Ceritasilat Novel Online

Istana Hantu 19

Istana Hantu Karya Batara Bagian 19


Cepat kakek itu berkelebat dan tak lama kemudian sebuah kerangkeng baja sudah siap di tangannya.

Beng An dimasukkan di situ dan lucu bahwa anak sekecil ini mendapat hukuman seketat itu.

Togur sudah membebaskan kembali totokannya namun si bocah sudah dilempar ke dalam.

Dan ketika Beng An memaki-maki namun tak dihiraukan, membuat anak itu semakin marah saja tiba- tiba di depan terdengar teriakan dan ribut- ribut.

"Apalagi itu?"

Togur berubah mukanya.

"Mana ji-suhu (guru kedua) dan kenapa dia selalu di belakang?"

"Perlukah kulihat?"

Cam-kong sudah cemas.

"Jangan-jangan Kim-mou-eng, Togur, atau isterinya?"

"Tak usah mengandai-andai. Kau lihat apa itu dan kenapa pasukan tiba-tiba kacau!"

Cam-kong sudah berkelebat.

Siauw-jin, rekannya, diberi suitan nyaring.

Temannya itu di belakang sana menjaga pasukan.

Dia dan Togur di tengah tapi kini keributan baru muncul di depan.

Baru saja dia mengatasi keadaan kini tiba-tiba anak buahnya kembali ribut-ribut.

Marah tapi juga gelisah kakek ini, maklumlah, dia gentar kalau yang datang itu adalah Kim-mou-eng.

Namun ketika kakek ini berkelebat dan membentak pasukannya untuk menceritakan apa yang terjadi ternyata semuanya sudah berkaok-kaok dan tak ada satupun yang dapat berbicara karena mulut mereka rata-rata bengkak dan pecah berdarah! "A-a-augh...

ada siluman wanita...!"

Cam-kong terkejut.

Dia menampar perajurit yang ah-uh-ah-uh itu, mencelat dan terguling- guling.

Dan ketika kakek itu harus melepas pukulan berkali-kali karena pasukannya tiba- tiba berhamburan dan lari ke belakang, jatuh bangun, maka kakek ini tak dapat maju dengan cepat sementara kepanikan atau kegaduhan di depan itu semakin menjadi-jadi.

Apa gerangan yang menjadi sebab? Bukan lain buntut dari hilangnya Beng An, bocah yang sudah tertangkap itu.

Seperti diketahui, anak ini bersama encinya ketika beriring dengan Cen-goanswe.

Soat Eng selalu mengawasi dan menjaga adiknya itu dengan baik.

Tapi ketika dia dipanggil ibunya dan kepergian sejenak ini tak disia-siakan Beng An maka anak itu berkata pada Cen-goanswe bahwa dia ingin main-main dulu di depan, di hutan yang akan dilalui pasukan, bersama Siauw-houw, harimaunya.

"Heii...!"

Cen-goanswe terkejut.

"Tunggu, Kim- kongcu. Jangan nyelonong begitu saja. Tunggu encimu!"

"Ha-ha, aku hanya sebentar, dan di hutan itu. Kenapa takut, Cen-goanswe? Sudahlah, aku hendak main-main sebentar dengan Siauw- houw dan nantipun kau pasti menyusul!"

Cen-goanswe mengeprak kudanya.

Anak itu sudah berlari tapi mana ada kuda mengejar harimau? Meskipun Cen-goanswe mengejar Beng An tapi sang kuda tetaplah kuda.

Siauw- houw yang menggeram dan melesat di sana tak berani diikuti kuda ini.

Berkali-kali Cen- goanswe mencambuk namun si kuda hanya berputar-putar saja, bahkan akhirnya meringkik dan lari membalik, mencongklang dan beringas menerjang pasukan yang berjalan di belakang, membuat sang jenderal berteriak- teriak dan kaget serta marah karena tak dapat mengendalikan tunggangannya lagi.

Banyak perwira berteriak dan coba menolong, memapakkan kudanya untuk melintang tapi malah diterjang dan roboh tunggang-langgang.

Tapi ketika sesosok bayangan berkelebat dan itulah Soat Eng maka gadis yang kebetulan sedang kembali ke depan setelah dipanggil ibunya melihat kejadian itu.

"Goanswe minggir...!"

Cen-goanswe tak tahu apa yang dimaksudkan.

Tubuhnya tahu-tahu terangkat naik dan terlempar ke kiri, sudah tak di atas kudanya lagi.

Dan ketika jenderal itu berteriak kaget dan bergulingan meloncat bangun ternyata Soat Eng sudah duduk di punggung kudanya itu dan menarik tali kekang.

"Rrtt!"

Mulut kuda tertarik ke atas.

Kuda meringkik panjang karena tarikan itu luar biasa kuatnya.

Mau tak mau dia berhenti dan meringkik panjang, kalau tak mau mulutnya sobek.

Dan ketika dia berhenti dengan kedua kaki depan terangkat tinggi-tinggi, kesakitan, maka Soat Eng menepuk lehernya dan kuda yang sedang beringas itu roboh, langsung mendeprok karena Soat Eng mengerahkan tenaga Seribu Katinya, sekaligus menotok urat leher binatang itu hingga kuda kehilangan kekuatan, seketika lumpuh.

Dan ketika perajurit bersorak-sorai melihat betapa mudahnya gadis ini menundukkan tunggangan Cen-goanswe maka Soat Eng sudah meloncat turun dan bertanya apa yang terjadi kenapa kuda tiba-tiba binal.

"Adikmu lari, kukejar. Tapi karena kuda ini takut kepada Siauw-houw maka dia kupaksa tapi malah kesetanan!"

"Apa? Beng An meninggalkan pasukan?"

"Itulah yang terjadi, Kim-siocia. Adikmu mempergunakan kesempatan selagi kau dipanggil ibumu untuk kabur. Katanya main- main dengan Siauw-houw, tapi aku khawatir karena dia sudah jauh kesana!"

"Ah, anak kurang ajar!"

Dan Soat eng yang gemas serta marah tiba-tiba tidak menunggu Cen-goanswe lagi dan langsung berkelebat ke depan, mengerahkan ginkangnya dan tiba-tiba gadis itu lenyap seperti iblis.

Orang hanya melihat titik kecil di depan dan akhirnya hilang, melongo dan membuat orang-orang itu terkejut meleletkan lidah.

Dan ketika Soat Eng memaki adiknya karena ditinggal sebentar saja sudah membuat repot maka dia memanggil- manggil namun adiknya itu tak tahu dimana berada.

Soat Eng cemas dan memasuki hutan, melihat tapak kaki Siauw-houw dan tentu saja dia terus mengikuti.

Kadang berbelok dan lenyap di suatu tempat tapi muncul lagi kalau ada tanah basah.

Hal ini membuat Soat Eng marah-marah dan tentu saja pengejarannya terlambat, berkali-kali harus meneliti kalau tak ingin kehilangan jejak.

Ia tak tahu bahwa saat itu adiknya sudah berhadapan dengan pasukan Togur, menghajar mereka tapi akhirnya tertangkap.

Dan ketika gadis ini memaki-maki dan hampir menangis mendadak terdengar auman lirih dan Siauw-houw muncul dengan tubuh barut-barut.

"He, kau!"

Soat Eng marah tapi juga girang.

"Mana Beng An? Kenapa kau menjadi begini?"

Harimau itu merintih-rintih.

Soat Eng hampir saja memukulnya kalau tak ingat bahwa harimau ini telah kehilangan induknya.

Siauw- houw patut dikasihani karena sekarang yatim- piatu.

Anak harimau itu mengeluh dan mendekam di kaki Soat Eng, menjilat-jilat ujung sepatunya.

Dan ketika Soat Eng tertegun karena tak biasanya harimau cilik itu begitu tiba-tiba dilihatnya mata anak harimau ini berair.

"Eh, kau menangis!"

Soat Eng terkejut, tiba- tiba berdebar tak enak.

"Mana tuanmu, Siauw- houw? Mana Beng An?"

Siauw-houw tak dapat menjawab.

Dia hanya mengeluarkan auman lirih berkali-kali dan Soat Eng pucat.

Tahulah dia bahwa sesuatu sedang terjadi dengan adiknya.

Celaka, mungkin adiknya masuk jurang.

Atau barangkali terpeleset di tempat yang tinggi dan Soat Eng pun menggigil, pucat.

Dan ketika dia bingung dan gelisah dan membentak-bentak Siauw- houw setengah menangis tiba-tiba harimau itu bangkit berdiri meloncat ke kiri.

"Heii...!"

Namun harimau itu menoleh mengibaskan ekornya.

Soat Eng tertegun tapi segera mengerti bahwa Siauw-houw kiranya mengajak ke suatu tempat, mengaum dan mengipat-ngipatkan lagi ekornya seperti biasanya dia hendak memberi tahu sesuatu.

Soat Eng hapal gerakan-gerakan itu karena betapapun dia cukup akrab dengan Siauw- houw, meskipun tidak seakrab Beng An karena adiknya itulah yang menundukkan dan menjinakkan harimau ini.

Dan ketika dia berkelebat dan mengikuti harimau itu ternyata Siauw-houw mengajaknya berjalan lurus untuk akhirnya berbelok dua kali dan tibalah dia di tikungan itu, memandang ribuan orang yang bergerak menuju ke arahnya dan kiranya dia bertemu dengan pasukan musuh! Soat Eng tertegun sekaligus terkejut karena mengertilah dia apa yang terjadi selanjutnya.

Siauw-houw menggaruk-garuk kaki dan menggeram-geram ke arah pasukan itu.

Mereka masih berada sekitar empat ratus meter dan sebentar lagi akan bertatap muka.

Soat Eng bangkit kemarahannya.

Maka begitu dia mengerti dan maklum adiknya bertemu pasukan ini tiba-tiba dia bergerak dan sudah berkelebat menghadang pasukan itu.

"Hei, berhenti!"

Pasukan itu terkejut.

"Dimana adikku yang bertemu kalian!"

Orang-orang melongo.

Mereka melihat Soat Eng tahu-tahu muncul begitu saja, seperti iblis.

Gadis ini memang mengerahkan Jing-sian- engnya dan Bayangan Seribu Dewa itu membuat tubuhnya mencelat dan tahu-tahu sudah di situ.

Jarak empat ratus meter hanya ditempuh sepersekian detik saja dan muncullah puteri Pendekar Rambut Emas ini seperti siluman.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Siauw-houw mengaum di belakang tapi segera mengejar, tak lama kemudian tiba dan sudah berdiri di samping gadis ini.

Gagah dan cantik benar.

Namun begitu orang-orang melihat Siauw-houw, harimau yang dikenal itu tiba-tiba mereka gaduh dan menuding-nuding.

"Ah, ini kiranya kakak perempuan bocah laki- laki itu. Ha-ha, cantik sekali. Tangkap saja sekalian!"

"Benar, dan siauw-ong tentu gembira, kawan- kawan. Serang dan tangkap dia!"

Soat Eng berkilat matanya.

Belasan orang tiba- tiba maju dan tertawa-tawa, mereka berteriak kegirangan seolah mendapat barang menarik.

Tapi begitu mereka menggerakkan senjata dan mau menyerang, menakut-nakuti tiba-tiba Siauw-houw menggeram dan mencelat menggigit dan mencakar mereka itu, mendahului dan tentu saja belasan orang ini berteriak kaget.

Mereka menusuk dan membentak tapi serangkum angin tiba-tiba menahan.

Senjata tak dapat digerakkan dan akhirnya leluasalah harimau itu menggigit dan mencakar.

Dan ketika semuanya menjerit-jerit dan berteriak melepas senjata maka belasan orang itu kocar-kacir dan yang lain maju membentak, marah kepada Siauw-houw dan mau mengeroyok binatang itu tapi Soat Eng sudah memanggil.

Harimau ini disuruh kembali dan Siauw-houwpun menurut, meloncat balik dan sudah berdiri lagi di samping nonanya sambil mengibas-ngibaskan ekornya.

Mulutnya menyeringai dan beberapa bercak darah dikecap-kecap, itulah darah dari orang-orang yang digigitnya! Dan ketika semua tertegun dan marah kepada binatang itu, maju mengurung Soat Eng maka gadis ini bertolak pinggang mendengus menanyakan adiknya.

"Kalian kiranya sudah menangkapnya. Bagus, serahkan kembali kalau tak ingin mampus. Aku datang secara baik-baik dan jangan membuat marah!"

"Keparat!"

Seorang pemimpin yang berkumis tebal membentak maju.

"Kau dan adikmu sama-sama pengacau, nona. Justeru kamilah yang akan minta secara baik-baik agar kau menyerah. Kau kami tangkap, dan jangan melawan!"

"Hm, begitu? Bagus, kalau begitu terimalah ini!"

Dan Soat Eng yang tidak banyak bicara lagi tiba-tiba berkelebat dan menampar si kumis tebal itu, disambut bacokan senjata tapi belum sepenuhnya diangkat tiba-tiba senjata itu mencelat dari tuannya.

Si kumis kaget dan berteriak mundur, tak tahunya kalah cepat dan tahu-tahu dia terlempar dan terbanting ketika tamparan itu mendarat di pipinya.

Suara berkeratak rupanya membuat pelipis orang retak dan si kumis tebal itu menjerit untuk akhirnya tidak bergerak-gerak lagi, roboh di tanah, tertelungkup.

Dan ketika yang lain kaget dan berseru keras, gentar, tiba-tiba Soat Eng sudah melanjutkan gerakannya dan tubuhnya berkelebatan di antara satu perajurit ke perajurit yang lain dan segera terdengarlah pekik ngeri atau kesakitan orang-orang ini, yang terjungkal dan roboh satu per satu dan ributlah tempat itu oleh kemarahan Soat Eng yang tak dapat dibendung lagi.

Sekarang dia tahu bahwa adiknya benar-benar tertangkap, dia mengamuk dan lima puluh orang segera roboh malang-melintang sambil merintih-rintih.

Soat Eng tidak membunuh melainkan hanya mematahkan kaki tangan orang-orang itu, menghajarnya dan tak ada yang sanggup lagi untuk bangun berdiri.

Yang di belakang menjadi panik dan gentar dan keributan itulah yang didengar Cam-kong dan Togur, yang segera memerintahkan suhunya untuk melihat apa yang terjadi.

Dan ketika kakek tinggi kurus itu akhirnya melihat apa yang terjadi dan bayangan Soat Eng berkelebatan di antara pasukannya maka kakek ini tertegun dan tentu saja mengenal gadis itu.

"Puteri Pendekar Rambut Emas...!"

Cam-kong terkejut.

Sang kakek langsung berkerut alisnya dan sikap jerih jelas tak dapat disembunyikan lagi.

Gerakan Jing-sian-eng yang luar biasa cepat itu selalu mengingatkannya akan pertandingan- pertandingan dulu di mana dia tak tahan menghadapi gadis ini.

Baik Soat Eng apalagi Thai Liong tak ada yang dapat menandingi.

Gadis itu seharusnya tandingan Togur.

Tapi karena muridnya sudah memberi perintah dan tak mungkin mundur kalau tak ingin didamprat maka kakek ini berkelebat maju dan apa boleh buat harus menghadapi dulu gadis itu.

"Berhenti!"

Kakek ini langsung melepas Cam- kong-ciangnya.

Dengan licik dan curang dia menyerang dari belakang, menghantam punggung gadis itu yang sedang berkelebatan mengobrak-abrik pasukannya.

Tapi karena Soat Eng mendengar bentakan itu dan kesiur angin dinginpun dirasanya dari belakang maka cepat gadis ini membalik dan menangkis.

"Dukk...!"

Dan...

Cam-kong pun terpental serta berjungkir balik mengeluarkan seruan keras.

Soat Eng mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya dan pukulan Bola Sakti itu menangkis Cam- kong-ciangnya.

Dari kesiur angin di belakang itu gadis ini tahu bahwa seorang lawan yang kuat sedang mencuranginya, dia tentu saja terkejut dan marah.

Dan karena Khi-bal-sin- kang adalah ilmu yang dapat diandalkan dan memang itulah ilmu dahsyat yang dapat dipakai menolak segala macam pukulan maka Soat Eng pun melakukan itu dan Cam-kong berjungkir balik tertolak oleh serangannya sendiri, harus mengelak dan akhirnya kakek itu turun dengan selamat.

Tapi begitu Soat Eng melihatnya dan Siauw-houw mengaum-aum disana, gentar dan jerih melihat kakek itu tiba- tiba gadis ini maklum bahwa inilah kiranya biang keladi tertangkapnya Beng An.

Soat Eng mendelik dan baru kakek itu menginjakkan kaki di tanah tiba-tiba sudah dibentak, tubuh berkelebat dan meluncurlah pukuklan Tiat-lui- kang menyambar si kakek.

Cam-kong terbelalak tapi segera teringat Beng An, menangkis dan menggeram karena iapun marah.

Tapi karena Soat Eng bukanlah Beng An dan Tiat-lui-kang di tangan gadis ini jelas lain dengan Tiat-lui-kang di tangan Beng An maka sinar api menyambar ketika ledakan keras terdengar di tengah-tengah pukulan di mana baju kakek itu seketika terjilat.

"Dess-augh...!"

Si kakek terguling-guling.

Dia harus memadamkan api yang membakar bajunya itu sementara dia melompat bangun.

Tapi begitu bangun tahu-tahu Soat Eng sudah menyerangnya lagi, membentak dan berkelebatan dan sibuklah kakek ini mengelak ke sana-sini.

Soat Eng mempergunakan Jing- sian-engnya dan kalang-kabutlah lawannya.

Cam-kong memaki-maki dan beberapa kali harus jatuh bangun, kalah cepat dan selalu mendapat tamparan atau pukulan Tiat-lui- kang.

Dan karena pukulan itu berhawa panas dan kakek ini harus mengerahkan sinkangnya untuk bertahan maka Cam-kong berteriak- teriak dan menyuruh pasukannya maju membantu.

Namun, siapa dapat maju? Hawa panas yang menyambar-nyambar dari pukulan Soat Eng sudah menahan orang-orang itu.

Dalam jarak lima meter tak ada yang sanggup mendekat, siapa yang coba-coba tentu menjerit karena tubuhnya terbakar, hangus! Dan ketika Cam- kong berteriak-teriak karena terdesak hebat maka muncullah Siauw-jin yang mendengar suitan rekannya, tanda minta tolong.

"Des-dess!"

Kakek cebol itu langsung menghantam.

Sama seperti Cam-kong ia pun tidak memberi tanda, berkelebat dan membokong Soat Eng dari belakang.

Gadis ini terpental karena tak menduga, untung berjungkir balik dan segera melihat si setan cebol itu, memaki dan membentak dan Soat Eng akhirnya berkelebatan mengelilingi dua orang lawannya ini.

Sekarang Tiat-lui-kang dibantu Khi-bal-sin-kang dan Siauw-jin yang suka membokong berteriak karena pukulannya membalik.

Mula-mula Soat Eng terdesak tapi kini sudah balik mendesak lawan.

Sebentar kemudian Jing-sian-eng yang dipergunakannya selalu mendahului lawan dan berkaok-kaoklah iblis cebol itu karena dia mendapat balasan atau pukulan Soat Eng yang bertubi-tubi.

Sebentar Khi-bal-sin-kang dan sebentar Tiat- lui-kang.

Tubuh kakek ini matang biru dan kalau bukan Siauw-jin tentu sudah roboh terkapar.

Siauw-jin akhirnya mencabut sepasnag sabitnya itu namun ternyata sia-sia juga.

Dia tergetar dan terpental kalau bertemu Khi-bal-sin-kang.

Dan ketika Cam-kong di sana juga terhuyung dan jatuh bangun oleh pukulan lawan akhirnya kakek tinggi kurus ini merintih dan memutar tubuhnya.

"Lari, kita lapor kepada murid kita!"

Siauw-jin mengeluh.

Kakek cebol ini harus terbanting lagi ketika pukulan Soat Eng menyambar, tak sempat berkelit dan bergulingan menjauh lalu melompat bangun, melarikan diri.

Dan ketika Soat Eng membentak dan tentu saja mengejar maka dua kakek iblis itu berseru pada pasukannya agar menghadang.

"Jaga dia, jangan sampai maju!"

"Bagus, boleh menghadang kalau ingin mampus.... des-des-dess!"

Dan Soat Eng yang menjawab dengan dorongan-dorongan tangannya akhirnya membuat berantakan siapa saja yang maju, terpaksa menghadang karena takut terhadap dua kakek itu tapi malah terlempar dan terbanting oleh pukulan- pukulan gadis ini.

Soat Eng mengejar dua orang lawannya di mana tiba-tiba dia berjungkir balik dan melayang di atas kepala para perajurit, memburu.

Dan ketika Cam- kong kembali menerima pukulan jarak jauhnya dan kakek itu terpelanting disana maka tiba- tiba terdengar bentakan dan sesosok bayangan tinggi besar berkelebat.

"Berhenti!"

Soat Eng terkejut.

Dari arah kanan menyambar sebuah pukulan yang kuat luar biasa, ditangkis dan terdengar dentuman mirip gunung pecah.

Dan ketika Soat Eng berteriak tertahan dan terlempar tinggi, lawan juga terlempar dan berjungkir balik di udara maka berdirilah di situ pimpinan dari semua pimpinan yang ada, Togur! "Ha-ha!"

Soat Eng terkejut melayang turun ke tanah, berjungkir balik.

"Kau kiranya datang menyusul adikmu, Soat Eng. Bagus sekali, selamat bertemu!"

Soat Eng merah padam.

Sekarang dia sudah berdiri dengan lawannya itu, berhadapan.

Togur menggapaikan lengannya ke belakang dan tahu-tahu sebuah kerangkeng baja tersedot, datang dan melekat di tangan pemuda tinggi besar itu.

Dan ketika Soat Eng terbelalak karena di dalam kerangkeng itu terlihat adiknya, Beng An, maka hampir berbareng enci dan adik itu saling berteriak.

"Enci...!"

"Beng An...!"

Soat Eng berkelebat.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Langsung saja gadis ini menyambar kerangkeng namun Togur meniup.

Kerangkeng menjauh dan tahu-tahu melesat ke arah Cam-kong, ditangkap dan diterima kakek itu dan gusarlah Soat Eng akan perbuatan lawan.

Dan ketika dia membalik dan memaki Togur maka pemuda tinggi besar itu merangkapkan tangan, berseri-seri.

"Soat Eng, sudah lama aku menunggumu. Bagus, aku akan menyerahkan adikmu secara baik-baik, tapi penuhilah permintaanku akan satu hal. Maukah kau mendengarnya?"

"Keparat, apalagi yang kau minta, Togur? Kau mau menyuruhku menyerahkan diri? Kau mau minta aku ditangkap dan dijadikan satu dengan adikku? Jahanam terkutuk, permintaanmu tak akan kupenuhi!"

Soat Eng marah-marah, memaki dan siap menerjang pemuda itu namun Togur buru-buru menggoyang lengan.

Pemuda ini tersenyum dan tertawa berkata bukan, bukan itu.

Dan ketika Soat Eng menghardik apa yang diminta pemuda itu maka dengan sungguh-sungguh dan muka dibuat memelas pemuda ini menarik napas, menjawab.

"Aku ingin kau mendampingiku. Aku akan menyerbu istana, menjadi kaisar. Kau bersedialah menjadi permaisuriku dan duduk di tahta agung!"

"Keparat!"

Soat Eng menjadi merah padam.

"Kau tak tahu malu dan memuakkan, Togur. Belum menjadi kaisar saja sudah membayangkan diri sebagai kaisar. Cih, kau tak tahu diri. Kau tak akan dapat merebut kota raja dan ketahuilah bahwa tiga orang subomu sudah ditangkap di sana!"

"Hm!"

Pemuda ini terkejut, matapun tiba-tiba bersinar.

"Bagaimana kau tahu itu? Siapa yang menangkap?"

"Aku!"

Soat Eng bersikap cerdik, membentak.

"Aku yang menangkap tiga subomu itu, Togur. Dan kini aku hendak menangkapmu pula!"

Dan Soat Eng yang berkelebat serta tidak mau diajak bicara lagi tiba-tiba melengking dan menghantam dengan Khi-bal-sin-kang.

Menghadapi pemuda ini tak mungkin dia mempergunakan Tiat-lui-kang.

Togur telah memiliki ilmu-ilmu warisan kakeknya dan tadi dia sudah merasakan kehebatan pemuda itu, ketika Togur menolong gurunya dengan melepas Khi-bal-sin-kang.

Dan ketika lawan mengelak dan Togur berkelebat dengan Jing- sian-engnya, siap diburu tiba-tiba pemuda ini berseru keras mencegah Soat Eng menyerangnya lagi.

"Tunggu, tahan...!"

Dan ketika Soat Eng harus menahan serangannya karena lawan menyambar Beng An, yang dilepas dari kerangkengnya maka pemuda itu bertanya apakah Soat Eng bicara benar.

"Maksudmu?"

Soat Eng marah.

"Kau kira aku bohong? Kau anggap aku dusta?"

"Tidak, nanti dulu. Tapi sebutkan apakah kau bersama ayah ibumu!"

Soat Eng terkesiap.

Ternyata lawannya ini cerdik dan sekarang memaksa dia untuk menjelaskan hal itu.

Apakah dia bersama ayah ibunya.

Tapi ketika dia hendak menggeleng dan menjawab tidak, demi mengelabuhi pemuda itu tiba-tiba saja Beng An yang dicengkeram pemuda itu berteriak, mendahului.

"Benar, ayah dan ibu ada bersama kami, Togur. Dan kau akan mampus bertemu mereka. Lepaskan aku, atau kau nanti kubunuh!"

Soat Eng dan Togur sama-sama terkejut.

Soat Eng terkejut karena kenapa adiknya itu berterus terang sementara Togur terkejut karena apa yang dikhawatirkan benar.

Kalau Kim-mou-eng dan isterinya ada di situ maka celakalah dia.

Dia belum tahu apakah Kim- mou-eng membantu istana kerajaan.

Tapi sementara dia tertegun dan membelalakkan mata tiba-tiba Soat Eng sudah menerjang dan membentak agar dia melepaskan anak laki-laki itu.

Dan ketika Togur mengelak dan marah melempar Beng An pada gurunya maka Soat Eng sudah bertubi-tubi melepas pukulan, berkelebatan dan akhirnya lenyap mengelilingi pemuda itu dimana Togur juga harus cepat mengimbangi.

Yang dapat menghadapi puteri Pendekar Rambut Emas ini hanyalah dirinya.

Pemuda itu marah dan mulai membentak Soat Eng yang terus menghujaninya dengan pukulan-pukulan.

Semua orang yang ada disitu akhirnya mundur tak kuat menerima dorongan atau hawa pukulan Soat Eng, apalagi ketika Togur membalas, terpaksa melepas pukulan- pukulan pula dan bertandinglah keduanya tanpa dapat dicegah lagi.

Beng An bersorak- sorak memberikan semangat pada encinya tapi tiba-tiba mulutnya ditampar, disuruh diam.

Dan ketika anak itu masih terus juga berteriak- teriak, tak perduli suaranya yang sumbang akhirnya Cam-kong menotok dan robohlah anak itu dicengkeraman si kakek tinggi kurus.

Soat Eng sudah berkelebatan di sana dan Togur melayaninya dengan cepat, menyuruh dua gurunya agar berjaga dan waspada siapa tahu musuh-musuh baru datang.

Pertandingan dua orang ini akhirnya diikuti semua orang dan melengking-lengkinglah Soat Eng melihat Togur mempergunakan ilmu-ilmu yang sama.

Teringatlah dia ketika dulu dia menghadapi si maling berkedok, yang ternyata bukan lain adalah pemuda ini.

Dan ketika Soat Eng menambah kecepatannya tapi lawan juga mengimbangi dan mengiringi sepak terjangnya maka dua orang itu lenyap dan tak ada lagi yang dapat mengikuti.

Tapi di luar tiba-tiba terdengar suara gemuruh.

Saat itu perhatian semua orang bisa dikatakan sedang terpusat disini.

Cam-kong dan lain-lain kagum karena inilah pertandingan cepat yang amat dahsyat, juga termasuk tingkat tinggi dan tentu saja mereka tertarik.

Jarang mereka menyaksikan pertandingan seperti itu.

Tapi ketika suara gemuruh disusul oleh teriakan- teriakan dan pekik kaget maka di atas tebing, di tempat dimana sebagian besar pasukan masih berdiri tiba-tiba berjatuhan batu-batu besar dan anak-anak panah berapi.

"Musuh! Kita diserang, musuh! Awas, pasukan kerajaan datang...!"

Semua geger.

Cepat dan seperti siluman saja tiba-tiba pasukan yang ada disitu diserang oleh sepuluh ribu pasukan kerajaan.

Di saat perhatian semua orang sedang tertuju kepada pertandingan Soat Eng dengan Togur tiba-tiba saja pasukan Cen-goanswe datang.

Itulah saat yang tepat sekali baginya untuk menyerang.

Lawan sedang berada di bawah tebing dan jenderal itu memecah pasukannya menjadi beberapa bagian.

Yang ada di depan disuruh naik ke atas dan menjatuhkan batu-batu besar atau anak-anak panah berapi sedang yang lain cepat bergerak dan mengepung lembah.

Kedudukan lawan yang terjepit di antara tebing dan ceruk yang lebar sungguh bagus sekali untuk diserang.

Cen-goanswe sudah melihat itu dan memberi aba-aba tanpa banyak bicara, benderanya dikebutkan dan bergeraklah sepuluh ribu pasukannya menyerang dari depan dan belakang, juga atas dan kiri kanan.

Dan karena musuh dibuat terkejut karena tiba- tiba Cen-goanswe muncul bersama pasukannya maka pasukan liar di bawah pimpinan Togur dan dua gurunya ini kalang- kabut, membentak dan menyambut tapi hujan paanh berhamburan dari segala penjuru.

Togur sendiri terkejut karena tak menyangka itu.

Yang disangka adalah kedatangan Kim-mou- eng dan isterinya, bukan pasukan besar dari kota raja! Maka ketika dia terbelalak dan kaget menerima sebuah tamparan Soat Eng tiba-tiba dia terhuyung dan cepat membentak gurunya untuk menahan musuh.

"Jangan menonton lagi. Sapu dan hantam mereka!"

Dua orang itu mengangguk.

Siauw-jin dan Cam-kong membelalakkan mata lalu berkelebat lenyap.

Mereka juga tak menyangka bahwa yang datang justeru adalah sebuah pasukan besar, bukan Kim-mou-eng atau isterinya.

Namun ketika kakek-kakek iblis itu membentak di depan memimpin pasukannya, Siauw-jin berkelebat ke kiri sementara Cam- kong ke kanan tiba-tiba saja seperti bertemu hantu di siang bolong dua orang itu berhadapan dengan orang-orang yang ditakuti, Pendekar Rambut Emas dan isterinya! "Hm, kau!"

Cam-kong mendengar desis di belakang.

"Untuk apa membawa-bawa anak kecil, kakek siluman? Lepaskan, dan berikan padaku!"

Cam-kong terkejut, mendengar kesiur angin di belakang dan belakang kakinya ditusuk.

Angin itu tampak lemah dan Cam- kong menangkis, membalik.

Dia mengira seorang perwira atau sebangsanya itu.

Maklumlah, tusukan di belakang ini tidak menunjukkan seorang lawan kuat dan kakek itu mengibas.

Namun ketika tangkisannya tertelan oleh sesuatu dan entah bagaimana tusukan yang lemah itu tiba-tiba berubah kuat dan tajam, mengejutkan kakek ini maka bagai ketemu hantu saja Cam-kong melihat seorang nyonya cantik sudah menangkap jari-jarinya itu.

"Kim-hujin (nyonya Kim)....!"

Dan selanjutnya kakek ini melempar tubuh ke kiri, membetot dan melepaskan jari-jarinya yang tertangkap si nyonya dan untuk itu tentu saja dia harus melepaskan Beng An.

Anak ini tak dapat dipertahankan lagi karena jari-jari si nyonya yang lain sudah bergerak ke belakang lehernya, melakukan totokan, padahal saat itu belakang lututnya serasa lumpuh karena tendangan si nyonya, yang sudah merubah gerakannya dengan sapuan kaki.

Dan karena semuanya itu dapat diselamatkan kalau dia membanting tubuh bergulingan, hal yang sudah dilakukan Cam-kong maka kakek itu mengeluarkan seruan tertahan sementara Beng An yang sudah disambar ibunya berteriak girang.

"Ibu...!"

Swat Lian, isteri Pendekar Rambut Emas ini mengangguk.

Dia tersenyum dan mencium Beng An tapi dijewernya telinga anak itu kenapa pergi secara diam-diam.

Beng An meringis tapi tertawa dan balik mencium pipi ibunya, berkata bahwa dia secara tak sengaja bertemu dengan musuh dan sudah meroboh- robohkan lima puluh orang lebih, sayang ditangkap dan dibekuk kakek tinggi kurus itu, yang diserang ibunya.

Dan ketika Swat Lian teringat dan menurunkan puteranya, menoleh, ternyata Cam-kong sudah kabur dan entah lenyap kemana.

Tak berani menghadapi nyonya yang hebat ini! "Ha-ha, dia lari!"

Beng An tertawa berseri.

"Kakek itu takut kepadamu, ibu. Ternyata beraninya hanya kepada anak-anak kecil saja. Cih, tak tahu malu!"

"Hm,"

Sang ibu mengangguk.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Kau harus bersamaku, Beng An. Tak boleh kemana-mana. Hayo ceritakan padaku apakah See-ong si kakek iblis ada disini?"

"Tidak,"

Anak itu kecewa.

"Disini hanya ada Togur dan dua gurunya itu, ibu. Dan sekarang enci Eng sedang bertempur dengan pemuda itu. Mari kita lihat tapi manakah ayah?"

"Hm, ayahmu sedang mencari musuh- musuhnya. Kalau See-ong tak ada di sini barangkali dia berhadapan dengan Siauw-jin. Sudahlah, mari kita lihat encimu dan itu Siauw- houw!"

Beng An berseri.

Siauw-houw, harimaunya itu tiba-tiba menyeruak di balik peperangan yang berkobar, gigit sana gigit sini dan mencakar serta mengaum atau mengelak kalau ada panah atau tombak menyambar.

Harimau kecil itu lincah berkelit dan menyerang.

Lucu, tapi juga mengagumkan! Dan ketika Beng An bersuit dan memanggil harimaunya itu, yang girang dan meloncat panjang tiba-tiba anak ini sudah meloncat di pungung harimaunya.

"Ha-ha, sekarang kau bertempur tidak sendirian, Siauw-houw. Ayo bawa aku menyikat musuh dan terjang siapa saja yang ada di depan!"

Siauw-houw mengipatkan ekornya empat kali.

Harimau itu mengaum dan sudah meloncat kembali, menerjang dan menggigit sana-sini sementara Beng An melepas pukulan-pukulan dari atas punggungnya.

Swat Lian mengerutkan kening tapi segera tersenyum, berkelebat dan menjaga puteranya itu dari serangan-serangan tombak atau panah yang berhamburan dari mana-mana.

Maklumlah, ibu ini khawatir kalau puteranya terluka, padahal kalau menghadapi musuh-musuh biasa saja tak mungkin Beng An roboh.

Anak itu dapat menjaga diri dan tombak atau panah yang menyambarnya sering ditangkap, ditekuk dan dipatah-patahkan.

Dan ketika ibunya mengangguk dan tersenyum-senyum, gembira, maka di tempat lain Siauw-jin bertemu dengan Pendekar Rambut Emas, yang berpisah dan berpesan pada isterinya untuk mencari dan menyelamatkan anak-anak mereka.

**SF** (Bersambung

Jilid 31) Bantargebang, 04-02-2019,11.04 (Serial Bu-beng Sian-su) ISTANA HANTU

Jilid 31 * * * Hasil Karya . B A T A R A Pelukis . Soebagio & Antonius S. * * * Percetakan & Penerbit U.P. DHIANANDA P.O. Box 174 SOLO 57101 ISTANA HANTU - BATARA KONTRIBUTOR . KOH AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITER .

SITI FACHRIAH ? PDF MAKER .

OZ Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, di bawah lindungan Undang-undang.

Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang.

CETAKAN PERTAMA U.P.

DHIANANDA ? SOLO 1988 ISTANA HANTU (Lanjutan "Sepasang Cermin Naga") Karya .

Batara

Jilid . 31 * * * "KITA cari Beng An atau Eng-ji. Hati-hati, siapa tahu See-ong ada di sini!"

Sang isteri mengangguk.

Memang mereka mengkhawatirkan anak-anak mereka itu, akhirnya mendapat laporan Cen-goanswe bahwa Beng An maupun Soat Eng pergi mendahului pasukan.

Cen-goanswe tentu saja tak dapat mengikuti mereka dan mula-mula Pendekar Rambut Emas terkejut, begitu pula isterinya.

Tapi ketika mereka tiba disitu dan Cen-goanswe bersama pasukannya sudah maju menyerang, mengepung musuh dari segala penjuru maka Pendekar Rambut Emas berkelebat ke kiri sementara isterinya ke kanan, bertemu dengan si setan cebol Hek- bong Siauw-jin.

"Hm, kau di sini, Siauw-jin? Mana muridmu?"

Siauw-jin, yang baru saja berpisah dengan Cam-kong tiba-tiba saja tersentak.

Dia mendengar suara yang amat dikenal itu dan cepat menoleh ke belakang, suara itu serasa meniup kuduknya! Tapi ketika dia menoleh dan melepas pukulan, kaget, ternyata tak ada siapa-siapa dan suara itu kembali terdengar, lagi-lagi di belakangnya.

"Eh, kau menghantam siapa? Aku di sini, Siauw-jin, bertanya baik-baik padamu dimana muridmu itu, atau See-ong... wut!"

Dan Siauw- jin yang memotong ucapan itu dengan bentakan dan pukulan dahsyat akhirnya melihat Pendekar Rambut Emas ketika membalik, melihat pendekar itu tersenyum tapi setan cebol ini tentu saja pucat.

Kalau sudah begitu tak ada lagi jalan menghindar dan satu- satunya jalan ialah menghantam musuh, mendahului.

Tapi ketika Pendekar Rambut Emas tertawa dan menerima pukulan itu, dengan bahunya, maka Siauw-jin terpelanting dan roboh terguling-guling.

"Dess!"

Justeru kakek ini yang tunggang-langgang.

Siauw-jin meloncat bangun dan berteriak mencabut sabitnya, menerjang dan menyerang lagi namun apa boleh buat ia harus mengakui kesaktian Pendekar Rambut Emas ini.

Kemana pun dia membacok kesitu pula sabitnya terpental, terakhir, malah patah! Dan ketika kakek ini pucat dan Kim-mou-eng mulai bertanya dimana putera-puterinya maka kakek itu memaki-maki dan mengutuk.

"Haram jadah, bangsat keparat! Aku tak tahu dimana anak-anakmu, Kim-mou-eng. Cari saja sendiri dan tanya kepada orang lain!"

"Hm, kau tak mau memberi tahu? Tetap saja membandel?"

"Jahanam kau, terkutuk! Aku benar-benar tak tahu dan mungkin saja anak-anakmu itu mampus.... dess!"

Si setan cebol mencelat, roboh terguling-guling ketika Pendekar Rambut Emas mengebutkan lengan bajunya.

Si kakek terguling-guling dan berteriak ketakutan, betapapun dia tahu bahwa lawan memang bukan tandingannya.

Dan ketika bayangan kuning emas berkelebat ke arahnya dan Siauw-jin mengenal bahaya tiba-tiba kakek ini meraup tanah dan sambil bergulingan meloncat bangun ia menghamburkan pasir atau tanah itu ke muka Pendekar Rambut Emas.

"Pyurr!"

Pendekar Rambut Emas menghembuskan napasnya.

Dengan satu tiupan kuat ia menolak balik serangan itu, membuat Siauw-jin terpekik karena tiba-tiba sebagian tanah malah menyambar mukanya sendiri, kelilipan dan berkaok-kaoklah iblis cebol ini mengucek matanya.

Tapi ketika kakek ini merunduk dan menyelinap di antara ratusan perajurit yang sedang berperang maka tubuhnya yang pendek dan kecil itu sudah memasuki selangkangan orang-orang itu dan kabur.

"Heii....!"

"Kurang ajar...!"

Siauw-jin menusuk selangkangan orang-orang itu.

Baik pasukan lawan maupun pasukannya sendiri sama-sama dijahili kakek ini.

Anggota rahasia lawan dicengkeram atau ditepuknya perlahan, setelah ditusuk atau disentil.

Dan ketika kakek itu terkekeh dan berlarian di bawah, di antara ratusan orang ini maka Pendekar Rambut Emas agak kewalahan mengejar.

Lawan bertubuh kecil dan pendek, gesit.

Kalau berlarian di bawah selangkangan perajurit yang sedang berlaga tentu saja dia kesulitan.

Tapi karena Pendekar Rambut Emas adalah pendekar yang memiliki kepandaian tinggi dan teriakan atau jeritan orang-orang yang dijahili kakek itu merupakan petunjuk atau pertanda baginya dimana kakek itu maka Pendekar Rambut Emas membayangi dan akhirnya tiba di bagian dalam pasukan musuh.

Dan di situ dilihatnya Siauw-jin meloncat keluar menghampiri sebuah kereta.

"Togur, tolong...!"

Kim-mou-eng tersenyum geli. Akhirnya Siauw- jin meloncat ke dalam kereta ini, membedal kudanya. Dan ketika kereta bergerak dan kuda melonjak kaget, iblis itu kabur memanggil- manggil muridnya.

"Hm,"

Pendekar Rambut Emas mau mengejar.

"Kau tak boleh lari begitu saja, Siauw-jin. Sebutkan dulu dimana puteraku atau kau kutangkap!"

Namun, ketika pendekar ini hendak berkelebat dan menangkap lawan, yang gugup melarikan diri ternyata di sebelah kanannya terdengar bentakan dan benturan suara dahsyat.

Pendekar Rambut Emas menoleh dan terlihatlah olehnya pertandingan dua orang yang saling berkelebatan dengan amat cepatnya.

Itulah Soat Eng dan Togur, kebetulan! Dan ketika pendekar ini menahan pengejarannya dan berkelebat ke arah pertandingan itu maka Soat Eng girang melihat ayahnya.

"Ayah, cari Beng An. Tadi ia dibekuk Cam- kong!"

"Hm!"

Pendekar itu mengerutkan kening.

"Berapa lama kau di sini? Kapan adikmu dibawa?"

"Baru saja, ayah. Cam-kong membawanya dan cepat kejar dia. Aku akan membekuk dan merobohkan lawanku ini!"

"Tidak,"

Pendekar Rambut Emas tiba-tiba menggeleng.

"Kau saja yang mencari adikmu itu, Eng-ji. Serahkan lawanmu ini kepadaku dan pergilah!"

"Tapi..."

"Tak ada tapi, kau pergilah dan serahkan dia kepadaku.... dess!"

Dan Pendekar Rambut Emas yang menangkis serta menerima pukulan Togur tiba-tiba sudah mendorong puterinya dan Togur mencelat terguling-guling, kaget dan pucat karena posisinya menjadi buruk.

Dia sudah bertanding amat seru dengan lawannya tadi dan berkali-kali harus mengakui bahwa Soat Eng amat hebat.

Dia mengganti-ganti jenis pukulannya dengan ilmu-ilmu yang diwarisi dari enam gurunya Iblis Dunia, selalu tertolak dan kalau tidak cepat mempergunakan Khi-bal-sin-kang tentu dia roboh tunggang- langgang.

Hanya berkat ilmu yang dicurinya dari Cermin Naga itulah dia dapat mengimbangi Soat Eng.

Kecerdikan dan kecurangannya mulai bekerja, yakni ketika dia mulai melepas jarum-jarum rahasia dan Soat Eng dibuat sibuk, mengelak dan merontokkan senjata-senjata itu tapi lawan segera menyerangnya di saat mengelak, licik.

Dan ketika Soat Eng memaki-maki sementara pertempuran mulai berkobar, antara pasukan penyerbu dengan istana maka Togur diam- diam mengumpat karena dia tak dapat membantu pasukannya.

Dan itu menjadi semakin buruk setelah Pendekar Rambut Emas datang.

Tadi Togur mendengar teriakan gurunya yang memanggil-manggil, melihat pula gurunya itu akhirnya kabur membawa kereta, hal yang membuat dia mengerutkan kening, terkejut.

Dan ketika dia menghantam Soat Eng namun ditangkis Pendekar Rambut Emas, yang maju dan menggantikan puterinya maka pemuda ini terguling-guling dan pucat memaki lawannya itu, orang yang sebenarnya adalah paman gurunya.

"Kim-mou-eng, kau licik dan curang. Tak tahu malu, keroyoklah kalau ingin menangkap aku!"

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm, tak perlu mengeroyok,"

Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam.

"Aku sendiri cukup menangkapmu, Togur. Menyerahlah, dan hentikan pasukan untuk takluk."

"Takluk? Kepadamu? Ah, jahanam keparat. Biar kau bunuh aku dan aku tak akan menyerah!"

Dan Togur yang bergulingan meloncat bangun lalu menyerang pendekar itu dan Soat Eng marah, membentak dan berteriak pada ayahnya agar pemuda kurang ajar itu diserahkan saja kepadanya.

Sang ayah tak usah ikut campur namun Pendekar Rambut Emas mengibas, menyuruh dan membentak puterinya untuk mencari Beng An.

Dan ketika Soat Eng memaki-maki namun terpaksa pergi, meninggalkan ayahnya maka Togur agak lega karena dia hanya menghadapi seorang lawan saja.

Namun selanjutnya pemuda ini mengeluh.

Kim-mou-eng, pendekar yang gagah itu bahkan melebihi Soat Eng.

Togur berkelebat melepas Khi-bal-sin-kang namun ditangkis dan dipentalkan.

Sang pendekar menggabung Khi- bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoatnya untuk menolak pukulan Khi-bal-sin-kang yang dilancarkan Togur.

Dengan dua gaya serangan yang berbeda ini Pendekar Rambut Emas menolak tapi sekaligus menyedot lawan, Togur terhuyung ketika dua kali pukulannya tertahan di udara, tersedot dan dia nyaris terjelungup.

Namun karena pemuda ini cepat berseru keras dan melepas jarum-jarum rahasianya, yang segera dielak pendekar itu maka pemuda ini dapat menyelamatkan diri dan kembali menyerang.

Namun, seperti yang sudah- sudah, dia tetaplah bukan tandingan sang pendekar.

Kim-mou-eng memiliki kelebihan Lui-ciang-hoat yang tak dipunyai Togur, juga ilmu meringankan tubuh Cui-sian Gin-kang yang ditakuti itu.

Dan ketika Togur berkelebatan dengan Jing-sian-engnya sementara Pendekar Rambut Emas tiba-tiba berseru keras menggabung Jing-sian-eng dengan Cui-sian Gin-kang maka Togur kalah cepat karena lawan bergerak dua kali lebih cepat dibanding dirinya, yang hanya memiliki sebuah ilmu meringankan tubuh saja.

"Des-dess!"

Togur mulai menerima balasan.

Pendekar Rambut Emas berseru agar pemuda itu menyerah, menampar dan memukul lagi dan pemuda ini terbanting.

Namun karena Togur adalah pemuda yang kuat dan daya tahan pemuda ini memang luar biasa maka meskipun dia terbanting dan bergulingan dipukul lawan tetap saja dia dapat berdiri dan meloncat bangun.

"Hm, kau keras kepala!"

Sang pendekar mulai marah.

"Kau tak mungkin bertahan dan menerima pukulan terus-menerus, Togur. Mengingat mendiang ayahmu menyerahlah baik-baik dan hentikan pasukanmu untuk mati secara konyol!"

"Aku tak akan menyerah!"

Pemuda itu membentak.

"Kau boleh bunuh aku atau pergi dari sini, Pendekar Rambut Emas. Sungguh tak kukira kalau kini kau menjadi antek kaisar, penjilat!"

"Hm, aku bukan penjilat. Aku membantu karena tak butuh kedudukan atau harta. Jaga mulutmu, Togur. Atau terpaksa aku menamparnya pecah!"

"Kau lakukanlah kalau mampu. Kau cerewet!"

Namun ketika bayangan kuning emas berkelebat dan Togur terkejut karena lawan benar saja menampar mulutnya, marah, tiba- tiba pemuda ini mengelak namun sayang kalah cepat, maklumlah, dia tak memiliki Cui-sian Gin-kang yang dimiliki lawan.

"Plak!"

Togur pecah mulutnya.

Pemuda ini terbanting dan mengaduh kesakitan.

Sekarang Pendekar Rambut Emas membuktikan ancamannya dan pemuda itu menggigit bibir.

Namun ketika dia bangkit berdiri dan mencabut senjatanya, sebuah nenggala mirip mendiang Gurba dulu maka pemuda itu berteriak dan menerjang lagi.

Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening dan melihat senjata itu dia teringat kepada mendiang suhengnya.

Gurba memang ganas dan menakutkan seperti puteranya ini, tak kenal menyerah dan amat keras hati.

Agaknya satu-satunya jalan hanya membunuh atau menghabisi lawannya itu.

Tapi karena Pendekar Rambut Emas adalah seorang pendekar yang lemah hati dan hubungan batin di antara dia dengan mendiang suhengnya itu masih melekat kuat maka kemarahan dan maki-makian Togur dianggapnya seperti kenakalan bocah yang tak tahu diri.

"Aku tak akan menyerah. Lebih baik mampus dan bergabung dengan ayahku di akherat!"

"Hm, kau mulai menyebut-nyebut nama ayahmu. Apakah pernah kau menengok kuburannya, Togur? Pernahkah kau melihat makamnya? Kalau begitu aku akan mengampunimu. Pergi dan tarik pasukanmu tapi serahkan dulu sepasang Cermin Naga yang kau curi!"

"Ah, cerewet dan bawel seperti nenek-nenek. Kau tak usah pentang bacot lagi, Pendekar Rambut Emas. Bunuh dan robohkan aku, atau aku yang akan merobohkanmu.... dar!"

Dan Togur yang tiba-tiba melepas benda bulat ke arah lawan tiba-tiba membuat Pendekar Rambut Emas terkejut karena itulah granat tangan, cepat mengelak namun Togur melepas lagi dua yang baru, meledak dan tertawalah pemuda itu melihat Kim-mou-eng tiba-tiba berkelebat lenyap.

Pendekar Rambut Emas harus menghindar kalau tak ingin celaka, lawan mulai licik dan curang.

Dan karena di situ banyak orang dan tujuh perajurit roboh menjerit, tewas terkena pecahan granat ini maka Kim-mou-eng berjungkir balik dan berseru agar yang ada di dekat situ mundur.

"Ha-ha-ha!"

Togur tertawa bergelak.

"Kiranya kau takut juga, Kim-mou-eng. Nah, kau yang pergi atau aku yang akan merobohkanmu.... dar-darr!"

Tujuh granat kini dilepas, berhamburan ke tujuh penjuru dan Togur melihat bayangan kuning emas berkelebat dan lenyap ke kanan.

Tadi dia melihat bayangan lawannya itu dan melepas granat-granatnya, tak perduli pada ratusan orang yang sedang berlaga.

Baik pasukannya maupun pasukan lawan sama-sama menjerit, roboh mandi darah.

Dan ketika tempat itu menjadi gelap dan Togur menyelinap menjauhkan diri, licik dan curang maka pemuda ini menyuruh pembantunya agar pasukan mundur dan kembali ke Tai-yuan.

"Mundur.... semua mundur...! Pergunakan granat-granat tangan...!"

Pasukan Cen-goanswe terkejut.

Tiba-tiba terdengar ledakan susul-menyusul.

Asap hitam berhamburan disusul jerit atau pekik-pekik ngeri.

Pasukan Cen-goanswe terlempar atau mencelat ke kiri kanan, terkena granat yang tiba-tiba diledakkan oleh pasukan Togur itu.

Kiranya mereka, terutama perwiranya, menyimpan atau menyembunyikan barang- barang berbahaya itu di kantong mereka.

Inilah hal yang tak diduga pasukan Cen- goanswe dan akibatnya banyaklah pasukan istana yang tumbang dan roboh.

Mereka terpaksa mundur dan kesempatan itu dipergunakan lawan untuk melarikan diri, bersembunyi atau berlindung di balik asap- asap tebal.

Dan ketika asap menipis dan mereka dapat melihat apa yang terjadi ternyata lawan sudah lenyap dan tinggal bekas-bekasnya saja yang berserakan di sana- sini, termasuk mereka yang luka-luka dan merintih-rintih.

Cen-goanswe marah-marah dan mencari Kim- mou-eng suami isteri, melihat Pendekar Rambut Emas berdiri mematung di sana dan termangu-mangu.

Pendekar itu sudah kehilangan lawannya karena di balik serangan granatnya tadi Togur telah menghilang, licik melarikan diri dan saat itu berkelebatlah tiga bayangan di dekat pendekar ini.

Dan ketika Cen-goanswe berseru karena itulah Kim-hujin dan anak-anaknya maka Swat Lian, sang nyonya cantik membanting-banting kaki dengan muka merah padam.

"Terkutuk, keparat jahanam. Cam-kong melarikan diri setelah bergebrak beberapa jurus! Mana Togur si bocah hina itu, suamiku? Kau tak berhasil menangkapnya?"

"Ia melarikan diri...."

"Sudah kuduga, dan kau tentu tak bersungguh-sungguh! Eh, lain kali serahkan dia kepadaku, suamiku. Atau ini akan terulang terus dan bocah itu tak dapat dibekuk!"

"Hm,"

Kim-mou-eng terkejut, melihat isterinya marah-marah.

"Kau jangan salah paham, niocu. Aku tidak setengah-setengah. Togur melarikan diri setelah melempar tujuh granat kepadaku. Dan karena di sekitarku banyak perajurit maka aku terpaksa menghindar agar pemuda itu tidak membabi-buta melepas granat."

"Tapi kau seharusnya dapat mendahululi. Kau tentu memang berlama-lama! Lihat, apa akibatnya ini dan banyak di antara kita menjadi korban!"

"Sudahlah,"

Soat Eng, yang ada di sebelah ibunya tiba-tiba berkata.

"Di sini ada Cen- goanswe, ibu. Tak baik marah-marah kepada ayah di depan orang lain. Mungkin ayah memang harus menyelamatkan para perajurit itu ketika Togur melempar granat. Pemuda itu memang licik, nanti kita cari kembali dan sekarang rundingkan apa yang hendak dilakkukan!"

"Hm,"

Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam, mukanya merah.

"Kau benar, Eng-ji. Tapi biarkan ibumu marah-marah karena dia perlu menumpahkan semua kekecewaannya. Aku tahu perasaannya, dan jangan dibendung."

Sang nyonya terisak.

Akhirnya Swat Lian sadar bahwa tak baik marah-marah kepada suami sendiri sementara disitu ada Cen-goanswe.

Jenderal itu terbelalak saja dan mendengarkan, rupanya bingung karena isteri marah-marah kepada suaminya, tak berani mencampuri.

Tapi ketika nyonya itu memeluk suaminya dan minta maaf, lembut dan halus akhirnya jenderal ini tertawa dan lega.

"Ah, mendebarkan sekali. Aku takut kalau Kim- hujin menyerang Kim-taihiap. Ha-ha, apa yang dikata kalian semua benar, Kim-siocia. Ibu dan ayahmu sama-sama benar. Sudahlah, sekarang kutanya ayahmu apa yang seharusnya dilakukan sekarang. Bagaimana dengan musuh-musuh kita yang melarikan diri!"

Jenderal itu memandang Kim-mou-eng, tajam bersinar-sinar dan tersirat keinginan besarnya untuk mengejar.

Betapapun mereka menang semangat dan musuh sudah dipukul separoh.

Cam-kong dan lain-lain yang dibuat jungkir balik oleh suami isteri ini sungguh merupakan kegembiraan bagi dirinya, juga pasukannya karena dengan begitu semangat tempur mereka menjadi tinggi, menggebu- gebu.

Tapi belum pendekar itu menjawab tiba- tiba Beng An, yang duduk dan kini meloncat dari punggung harimaunya berseru.

"Kita kejar mereka, yah. Kita gempur sampai tuntas!"

"Hm!"

Cen-goanswe berseri-seri.

"Aku juga berpikiran begitu, Kim-kongcu. Tapi semuanya terserah ayahmu. Kalau dia tidak mau tentu aku dan pasukanku tak dapat mendesak. Biarlah ayahmu yang memutuskan."

"Tapi kita datang memang untuk menyerang, dan musuh ternyata menyambut di tengah jalan. Kalau tidak diteruskan mau apalagi? Hayoh, kita gempur mereka, ayah. Kita rebut Tai-yuan dan kota-kota lain!"

"Ha-ha-ha, gagah perkasa!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Cen-goanswe tak dapat menahan kekagumannya lagi.

"Kau mengagumkan dan luar biasa, kongcu. Kau pemberani dan tak kenal takut, persis kong- kongmu!"

"Hm!"

Pendekar Rambut Emas terdesak, tak melihat jalan lain.

"Kalau kau ingin mengejar tentu saja aku tak menghalangi, goanswe. Memang kita berniat menumpas musuh dan menghancurkan mereka. Marilah, teruskan perjalanan dan kita gempur mereka!"

"Sekarang? Bagus, aku akan memberi tahu pasukan, taihiap. Dan terima kasih atas persetujuanmu. Kita langsung ke Tai-yuan!"

Cen-goanswe tertawa bergelak, girang dan gembira luar biasa karena itulah yang memang dikehendaki.

Sebenarnya dia tak mau mendahului tapi Beng An sudah mendahului ayahnya.

Anak itu dengan gagah dan mengagumkan berkata untuk menggempur musuh, merebut dan menyerang Tai-yuan.

Dan ketika jenderal itu mempersiapkan pasukannya tapi Kim-mou-eng tiba-tiba mengerutkan kening apakah pasukannya tidak kelelahan maka jenderal itu mengedikkan kepala.

"Kita dan mereka sama-sama lelah, taihiap. Tapi semangat pasukanku masih tinggi sementara semangat atau nyali musuh sudah anjlog. Aku tak mau semangat pasukanku tersia-sia dan mereka semua menyatakan sanggup untuk meneruskan perjalanan, mengejar sampai ke Tai-yuan!"

"Kalau begitu baiklah, tapi harap yang luka- luka ditolong dulu. Selebihnya kami akan berangkat duluan dan kalian menyusul!"

"Taihiap mau menyerang sendirian?"

"Bukan begitu, tapi aku dan anak isterku akan melihat keadaan. Kami akan membuka jalan bagi pasukanmu."

"Ah, terima kasih, taihiap. Kalau begitu terima kasih!"

Dan ketika jenderal itu menjura dan berulang-ulang mengucapkan terima kasih, gembira dan senang maka Pendekar Rambut Emas menyambar anak isterinya untuk berkelebat mendahului, lenyap dan untuk kesekian kalinya lagi jenderal itu terkagum- kagum.

Sekejap saja pendekar itu telah lenyap seperti iblis, padahal baru saja di depannya, baru saja bercakap-cakap.

Tapi begitu jenderal ini sadar dan membalikkan tubuhnya, memberi perintah pada pasukannya untuk bercepat- cepat maka tak lama kemudian pasukan kerajaan itu sudah bergerak ke Tai-yuan.

Mereka bersorak-sorak dan kemenangan yang diperoleh itu sudah membangkitkan semangat.

Hadir dan adanya Pendekar Rambut Emas sungguh merupakan bantuan yang amat besar, tenaganya begitu penting dan semua telah melihat betapa pendekar itu bersama anak isterinya telah menghalau musuh.

Mereka terbirit-birit tapi kini dikejar.

Dan ketika pasukan itu bergerak dan meneruskan perjalanannya, mengejar dan menggempur musuh maka tak lama kemudian Tai-yuan sudah diserang.

Pekik dan sorak gempita mengiringi semuanya itu.

Pasukan Cen-goanswe, yang turun dan mengepung kota melihat pintu gerbang sebelah timur terbuka.

Di sana berkelebatan bayangan Soat Eng dan adiknya, Beng An, yang duduk dan melompat-lompat di atas punggung harimaunya.

Rupanya enci adik itu sudah berhasil mengacau di sini dan membuka pintu gerbang, meroboh-robohkan musuh dan tampaklah keduanya yang begitu gagah menyerang dan menjungkirbalikkan musuh.

Cen-goanswe tak melihat bayangan Pendekar Rambut Emas maupun isterinya namun pintu gerbang yang terbuka itu sudah cukup baginya.

Dua buah gunung yang mengapit Tai- yuan sudah menjadi pangkal serbuan pasukannya.

Mereka sudah mengepung dan menjaga empat penjuru kota dengan rapat, separoh pasukan naik ke atas gunung dan bersembunyi di sana, mengintai.

Maka ketika pintu gerbang kelihatan terbuka dan panah api sudah dilepaskan maka bergeraklah pasukan jenderal itu menyerbu musuh.

"Serang, bunuh mereka!"

Bentakan itu tak perlu diulang.

Cen-goanswe sendiri sudah mengeprak kudanya dan meluncur di depan, menerjang dan mempergunakan goloknya yang besar untuk membantai lawan.

Siapa yang dekat pasti dibabat dan berteriaklah lawan setiap golok itu bergerak.

Jenderal ini diapit enam pembantunya dan masing-masing pembantu itu juga mengayun senjata ke kiri kanan.

Musuh menjadi kalut ketika serangan itu tak dapat dibendung, dilabrak dan didesak terus dimana tubuh-tubuh mulai roboh bergelimpangan.

Dan ketika jenderal itu mulai mengamuk dan tak kelihatan tokoh-tokoh pimpinan di mana biasanya mereka memimpin maka dengan mudah dan gampang jenderal ini bersama pasukannya membantai musuh.

Cen- goanswe akhirnya mendekati Soat Eng dan bertanyalah jenderal itu dimana Pendekar Rambut Emas dan isterinya, dijawab dengan tudingan dan menengoklah jenderal itu ke kanan, jauh dari pertempuran, di puncak sebuah gedung tinggi dimana sebuah bayangan tinggi besar kelihatan bertarung dengan sebuah bayangan kuning emas yang berkelebatan dengan amat cepatnya.

Dan ketika jenderal itu tertegun sementara Soat Eng menuding lagi ke arah lain maka Cen- goanswe bengong karena di gedung yang lain, gedung bertingkat dan paling tinggi di situ ternyata terdengar lengkingan berkali-kali disusul berkelebatnya empat bayangan yang luar biasa cepat.

"Itu ibu dan ayah. Aku disuruh di sini membantumu!"

"Ah,"

Jenderal ini terkejut.

"Bayangan hitam itu apakah See-ong, Kim-siocia? Dan ibumu, apakah menghadapi Togur dan dua gurunya?"

"Ya, benar. Ayah akhirnya bertanding melawan See-ong, goanswe. Dan ibu mendapatkan Togur. Aku pribadi ingin membantu tapi ayah dan ibu menyuruhku membuka pintu gerbang!"

"Dan aku membantu enci!"

Sebuah suara lain menyahut, nyaring dan keras.

"Aku merobohkan sebelas lawanku, goanswe. Dan ini lagi seorang... bluk!"

Cen-goanswe terkejut, seseorang jatuh di dekatnya tapi orang itu tidak bergerak-gerak lagi.

Dia terbanting dan rupanya sial lehernya tertekuk, patah dan tentu saja tak dapat bangun.

Cen-goanswe menoleh dan itulah Beng An, si bocah yang berkelebatan kian kemari di atas punggung harimaunya.

Anak itu tertawa-tawa dan jenderal ini kagum.

Sebentar Beng An meninggalkan harimaunya namun sebentar kemudian ia sudah hinggap lagi, kalau merobohkan atau melempar-lempar musuh yang ditampar dengan Tiat-lui-kangnya.

Dan ketika anak itu terus bergerak di samping encinya dimana Soat Eng juga berkelebatan meroboh-robohkan musuh akhirnya lawan menjadi gentar dan mereka mundur! Cen- goanswe membelalakkan mata dan takjublah jenderal ini akan tamparan-tamparan atau pukulan dua enci adik itu, terutama Soat Eng.

Gadis ini setiap bergerak tentu melempar sepuluh orang atau lebih, tanpa menyentuh.

Pukulan tangannya itu mengeluarkan dorongan angin kuat dan hanya terpukul oleh angin pukulan itulah semua lawan tunggang- langgang! Cen-goanswe melebarkan matanya dan bersoraklah pasukannya seperti gadis itu menjungkirbalikkan lawan.

Tapi ketika jenderal ini kagum dan memandang enci adik itu mendadak terdengar dentuman menggelegar di mana tiba-tiba semua orang terpelanting roboh.

"Blarr!"

Cen-goanswe jatuh dari kudanya.

Entah apa yang terjadi semua orang tak tahu tapi tiba- tiba dua bayangan kuning emas dan hitam yang bertanding di atas gedung itu sama-sama terlempar.

Mereka mengadu pukulan dan benturan pukulan itulah yang menggelegar bagai gunung mau pecah.

See-ong, si bayangan hitam, mengeluarkan suara yang dahsyat bagai beruang terluka.

Kakek itu mencelat dan terguling-guling karena atas gedung hancur.

Lawannya, Kim-mou-eng, juga terlempar dan jatuh dari tempat yang tinggi.

Baik pendekar ini maupun lawannya sama- sama berjungkir balik, turun ke tanah.

Tapi ketika See-ong tak dapat mengatur keseimbangan tubuhnya karena dari benturan tadi ia telah dilempar sepuluh tombak, jauh lebih keras dan jauh daripada lawannnya maka kakek itu masih saja terhuyung dan akhirnya roboh terjerembab.

"Keparat!"

Kakek itu meraung.

"Kau hebat dan lihai, Pendekar Rambut Emas. Namun aku masih belum kalah. Lihat, aku memiliki Hek- kwi-sut!"

Dan si kakek yang meledakkan kedua tangannya dengan keras tiba-tiba hilang dan lenyap seperti iblis.

Segumpal asap tebal mendahului semuanya itu dan Kim-mou-eng tertegun.

Tadi, dalam pertandingannya di atas gedung dia sudah mengerahkan semua kepandaiannya.

Menghadapi See-ong tak boleh berayal atau berlengah-lengah.

Mula-mula dia mengerahkan Jing-sian-eng dan berkelebatan dengan ilmu meringankan tubuhnya itu, menangkis atau membalas pukulan-pukulan lawan dengan Khi-bal-sin-kang.

Si kakek dibuat terpental tapi See-ong menyerang kembali, hebat dan kuat daya tahan kakek itu.

Tapi ketika dia menambah tenaganya dan semakin kuat pukulan lawan membuat See-ong terpental semakin jauh akhirnya See-ong menggeram dan melepas satu tendangan miring tiba-tiba See-ong menarik tendangannya itu dan secepat kilat menggantikannya dengan pukulan kedua tangan.

Untung, karena dia waspada dan Jing- sian-eng membuat tubuhnya seringan kapas maka tendangan yang berubah menjadi pukulan itu dielak namun sayang terlambat, kalah cepat dan See-ong menyusulinya lagi dengan sebuah serangan dahsyat, di saat dia terhuyung.

Dan karena kakek itu tampak begitu ganas dan dia mengerahkan Khi-bal-sin- kang untuk menolak maka Pendekar Rambut Emas menggerakkan tangan kirinya dan bertemulah dua pukulan dahsyat itu, terlempar namun See-ong juga mencelat dan gedung dimana mereka injak amblong, genteng- gentengnya pecah dan wuwungannya berderak, hancur dan robohlah gedung itu oleh pukulan dahsyat See-ong.

Suaranya demikian menggelegar sehingga mirip gunung mau meletus, dentumnya begitu mengguncang dan seluruh kota serasa berderak.

Cen-goanswe sendiri yang berjarak ratusan meter sampai juga terjungkal dari atas kudanya, tanda betapa hebat suara pukulan itu.

Dan ketika semua orang terkejut dan melompat bangun, pucat, yang berada paling dekat sudah mengaduh atau merintih tak dapat bangun maka See-ong mengeluarkan Hek-kwi-sutnya dan hilang membentak pendekar itu.

Cen- goanswe sendiri tiba-tiba berhenti bertempur dan melotot memandang kesana, para perwiranya juga berdecak dan berhenti, sama seperti yang lain-lain dimana para perajurit pun ikut menonton dan memandang.

Tapi ketika mereka terkejut karena See-ong tiba- tiba lenyap, entah dimana, mendadak segumpal asap hitam berada di belakang Kim- mou-eng dan meluncurlah sebuah pukulan dahsyat ke kepala pendekar itu.

"Awas...!"

Tak ada yang sempat memberi tahu.

Gulungan asap hitam itu tahu-tahu muncul lebih cepat daripada seruan.

Pendekar Rambut Emas terpelanting dan asap hitam ini lenyap dan muncul lagi di sebelah kiri, lalu muka dan belakang dan terdengarlah tawa terbahak- bahak tanda bahwa di balik asap hitam itu ada orangnya.

Itulah See-ong yang bersembunyi di balik Hek-kwi-sutnya, tertawa-tawa, menyerang dan melepas pukulan-pukulan dimana Pendekar Rambut Emas lalu jatuh bangun dicurangi lawan.

Kim-mou-eng tak dapat melihat lawannya itu karena See-ong berganti ujud dari badan kasar ke badan halus.

Kakek ini sedang mempergunakan ilmunya Bersatu Dengan Iblis, Hek-kwi-sut.

Tapi ketika Pendekar Rambut Emas jatuh bangun dan Soat Eng pucat serta berteriak mau membantu ayahnya tiba-tiba kejadian berbalik dan asap hitam itu kini terpental-pental.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim-mou-eng sadar kembali dan cepat mengerahkan Khi-bal- sin-kang.

Hanya tenaga Bola Sakti itulah yang dapat digunakan untuk menolak pukulan lawan, baik berbadan halus maupun kasar.

Dan ketika See-ong terpental berulang-ulang sementara lawan mulai tegak dan tidak bergeming, seperti dihantam maka kakek ini memaki-maki dan akhirnya menantang Pendekar Rambut Emas untuk membalas.

"Heh, banci! Kau balaslah aku, Pendekar Rambut Emas. Cari dan pukullah aku!"

"Hm,"

Pendekar Rambut Emas tak mudah terbakar, bersikap tenang.

"Aku pasti menangkapmu, See-ong. Kau pasti kutangkap. Janganlah berkaok-kaok, aku sedang akan memunahkan Hek-kwi-sutmu."

"Ha-ha, memunahkan ilmuku? Jangan bermulut besar. Melihat saja kau tak tahu, Kim-mou-eng, apalagi mau menangkap aku. Heh, cabut Khi-bal-sin-kangmu itu dan aku akan menarik Hek-kwi-sut!"

"Tak usah banyak cakap. Kau bersembunyilah di balik Hek-kwi-sut dan aku sebentar lagi akan menghancurkan ilmumu."

"Ha-ha, sombong...!"

Dan See-ong yang kembali menyerang namun terpental tiba-tiba terbelalak ketika lawan kini berdiri tegak, memejamkan mata dan menunggu dia menyerang dan bibir Kim-mou-eng tampak berkomat-kamit.

Selamanya kakek ini belum pernah melihat dan kejadian itu tentu saja dianggapnya aneh, kening berkerut tapi kakek ini terus menyerang dengan sesekali mencoba menghantam ke tempat-tempat lemah, seperti ulu hati atau mata dan terakhir kemaluan.

Tapi ketika Khi-bal-sin-kang melindungi lawannya dan dia tetap saja terpental tiba-tiba aneh, mengejutkan sekali, tubuh Kim-mou-eng mendadak berubah menjadi asap dan perlahan-lahan Pendekar Rambut Emas itu kehilangan badan kasarnya.

"Pek-sian-sut (Lebur Bersama Dewa)......!"

See-ong, si kakek iblis terkejut bukan main.

Orang-orang yang menonton juga membelalakkan mata karena tiba-tiba tubuh Pendekar Rambut Emas menjadi asap putih.

Asap itu membentuk bayangan tubuhnya tapi tak lama kemudian lenyap.

Dan ketika asap itu bergerak dan menyerang asap hitam tiba-tiba terdengar ledakan dan pekik kaget See-ong.

"Huwaduh.... bangsat jahanam!"

Asap hitam lenyap ujudnya.

See-ong muncul kembali dan Hek-kwi-sut hancur berantakan, kini Kim-mou-eng menjadi asap putih dan dikejarlah kakek itu yang segera jatuh bangun.

See-ong membentak dan mengeluarkan lagi Hek-kwi-sutnya, diterjang dan bertemu asap hitam tapi kakek itu lagi-lagi berteriak, terdorong dan terlempar untuk akhirnya kembali semula dalam badan kasar.

Dan ketika empat lima kali kejadian itu berulang dan See- ong menjerit-jerit, kaget bertemu tanding Pek- sian-sut tiba-tiba kakek itu jatuh bangun dan berteriak-teriak tak tahan.

Kim-mou-eng mengejar dan memburunya dalam bentuk roh halus dan See-ong pucat.

Sekarang kemanapun dia pergi kesitu pula lawan melihat.

Kakek ini berkaok-kaok dan akhirnya mundur-mundur, tentu saja gentar karena Kim-mou-eng ternyata memiliki tandingan Hek-kwi-sut, ilmu yang akan mengalahkan dan menundukkan ilmu hitamnya.

Pek-sian-sut atau Lebur Bersama Dewa adalah ilmu yang paling ditakuti Hek-kwi-sut.

Di samping pemiliknya dapat berubah sebagai roh halus juga asap putih itu mengeluarkan cahaya bersinar yang tak tahan dipandang oleh See- ong.

Cahaya itu terlalu menyilaukan dan orang-orang yang menonton jalannya pertandingan itu juga akhirnya mengeluh.

Mata mereka berair dan tiba-tiba tak kuat lagi, menunduk.

Dan ketika mereka pedih dan sakit karena cahaya menyilaukan itu semakin kuat saja tiba-tiba terdengar jeritan See-ong yang meraung bagai serigala diterkam harimau.

"Aduh, ampun, Kim-mou-eng.... ampun....!"

Terdengar gumam perlahan.

Asap putih meledak dan muncullah Kim-mou-eng, dalam ujudnya semula.

Dan ketika semua orang dapat memandang lagi dan kakek itu ternyata sudah ditangkap, pundaknya dicengkeram maka Cen-goanswe dan lain-lain girang karena See-ong sudah dikalahkan, menyerah.

"Ha-ha, bagus, Kim-taihiap. Bunuh saja dia!"

"Benar!"

Swat Lian, yang sedang dikeroyok Togur dan guru-gurunya tiba-tiba berkelebat mendorong lawan-lawannya, yang tunggang- langgang.

"Bunuh dia, suamiku. Atau serahkan padaku kalau kau tak mampu membunuhnya..... cret!"

Sebatang pedang berkelebat dalam sinarnya yang menyilaukan, langsung menusuk dada See-ong tapi Kim- mou-eng berseru kaget.

Pendekar itu membentak perlahan dan See-ong ditarik ke belakang, dada selamat tapi pinggangnya tertusuk berdarah! Dan ketika kakek itu menjerit sementara si nyonya terbelalak, marah, maka Kim-mou-eng berkata bahwa kakek ini belum boleh dibunuh.

"Aku menangkapnya atas bantuan Pek-sian- sut. Dan aku telah disumpah untuk tidak boleh membunuhnya kalau mempergunakan Pek- kian-sut!"

"Keparat!"

Sang isteri melonjak.

"Omongan apa yang kau keluarkan ini, suamiku? Bukankah dia membunuh ayah? Serahkan, atau aku tak perduli padamu.... sing-bret!"

Dan See-ong yang kembali diserang dan ditusuk ganas tiba- tiba membelalakkan matanya dengan ngeri tapi Kim-mou-eng lagi-lagi menyelamatkan tubuhnya, ditarik dan disentak ke belakang dan Swat Lian, sang nyonya, gusar bukan main.

Togur dan Cam-kong serta Siauw-jin yang ditinggalkan nyonya ini tiba-tiba tertegun, terkesiap dan kaget bahwa See-ong, kakek yang amat mereka andalkan itu ternyata akhirnya dapat ditangkap Pendekar Rambut Emas pula.

Teriakan See-ong bahwa Kim-mou- eng memiliki Pek-sian-sut sungguh membuat mereka bengong.

Dulu Kim-mou-eng belum mempunyai ilmu itu.

Jadi, jelas masih baru! Tapi begitu mereka sadar dan gentar bahwa keadaan rupanya benar-benar buruk tiba-tiba tiga orang pimpinan ini berkelebat dan....

kabur melarikan diri.

"Suruh pasukan mundur. Kita ke Cin-po!"

Siauw-jin dan Cam-kong mengangguk.

Mereka melepas granat dan meledaklah segumpal asap tebal.

Itu isyarat bagi pasukan mereka untuk mundur.

Tai-yuan harus diserahkan dan apa boleh buat mereka mundur, kalau tak ingin mati konyol.

Dan ketika ledakan itu disusul oleh ledakan-ledakan lain dimana perajurit liar itu sadar tiba-tiba pasukan Cen-goanswe diserang dan diterobos oleh Togur dan dua gurunya.

Saat itu Swat Lian bersitegang leher dengan suaminya.

Pendekar Rambut Emas tetap menyatakan bahwa kakek ini belum boleh dibunuh.

Yang boleh dilakukan adalah menangkap dan menawannya saja, selebihnya nanti.

Namun ketika nyonya ini melotot dan marah bukan main tiba-tiba Swat Lian menusuk suaminya dan kakipun menendang See-ong.

"Plak-dess!"

See-ong pun mencelat.

Apa boleh buat Pendekar Rambut Emas harus melepaskan kakek itu kalau tak ingin terbunuh.

Dia menangkis dan mementalkan pedang isterinya tapi sang isteri menyerang lagi.

Nyonya ini marah bukan main kenapa suaminya malah melepas See-ong.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas berloncatan namun dikejar dan dihujani pukulan bertubi-tubi maka See-ong, yang melihat dan mendapat kesempatan baik sekonyong-konyong melarikan diri.

"Hei, kakek itu. Jaga...!"

Namun See-ong menggerakkan tangannya. Sekali kibas dan dorong saja diapun sudah merobohkan dua puluh orang di depan. Lalu, tak mau ambil resiko dan membentak perlahan tiba-tiba kakek itu mengeluarkan Hek-kwi- sutnya dan lenyap di dalam.

"Dar!"

Selanjutnya orang tak tahu dimana lagi kakek itu.

Swat Lian masih ganas dan marah-marah menyerang suami.

Pendekar Rambut Emas berkali-kali membujuk isterinya namun tak digubris.

Dan ketika apa boleh buat dia harus menghilang dan membiarkan kemarahan isterinya reda maka pendekar ini menjentik pedang isterinya dan berserulah dia mengeluarkan Pek-sian-sut.

"Niocu, aku masih harus menangkap See-ong lagi. Lihat, dia kabur. Biarlah nanti kujelaskan semuanya dan sekarang kau kejar pula Togur dan dua gurunya itu. Mereka ke Cin-po!"

Swat Lian membanting-banting kaki.

Nyonya ini menangis dan tersedu-sedu melihat suaminya tiba-tiba berubah menjadi asap halus.

Asap itu tak dapat diserang dan dia membelalakkan mata.

Nyonya ini pun terkejut karena baru itu ia tahu bahwa suaminya memiliki ilmu aneh, ilmu seperti sihir namun jelas merupakan tandingan Hek-kwi-sut.

Dan ketika yang lain-lain berteriak karena keributan terjadi dengan pecahnya asap hitam dari ledakan granat yang dilempar Togur dan pembantunya maka Cen-goanswe terbelalak namun sudah menenangkan pasukannya, bertanya apakah mereka masih dapat mengejar musuh dan dijawab bahwa mereka masih kuat.

Pembantu-pembantu jenderal ini juga menyatakan kegeramannya dan ingin mengejar lawan.

Tai-yuan sudah jatuh dan Cin-po harus direbut, setelah itu Cin-yang.

Dan ketika jenderal ini mengangguk dan menghadapi sang nyonya maka dia bertanya apakah sang nyonya juga masih tetap dapat membantu.

"Aku akan membekuk semua musuh-musuhku. Kalau pasukanmu masih kuat mari teruskan pengejaran dan aku pergi dulu!"

"Nanti dulu!"

Sang jenderal berseri-seri.

"Apakah tidak bersama kami saja, hujin. Siapa tahu Cam-kong dan kawan-kawannya akan muncul secara licik kalau kau dan anak- anakmu dibawa serta!"

"Tidak, Soat Eng dan Beng An biar disini. Sementara aku, hmm... aku akan menyusul suamiku dan mencari mereka di Cin-po!"

Dan tidak memberi kesempatan jenderal itu bertanya lagi nyonya ini sudah menghadapi dua anaknya.

"Kau,"

Katanya.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Jaga adikmu dan pasukan, Eng-ji. Susul aku dan ayahmu bersama Cen-goanswe. Aku pergi dulu!"

Dan sang nyonya yang berkelebat tak menunggu jawaban sudah lenyap dan menghilang dengan muka merah padam.

Nyonya ini masih marah akan peristiwa tadi.

See-ong sudah ditangkap tapi tak segera dibunuh.

Dan suaminya memiliki Pek-sian-sut! Hm, kalau bukan kakek dewa itu siapa lagi yang memberi ilmu itu kepada suaminya? Dan suaminya diam-diam saja, tak memberitahu padanya dan memiliki sendirian.

Padahal, justeru dengan ilmu itulah dia akan dapat mengalahkan See-ong, menangkap dan membunuhnya! Dan teringat kematian ayahnya di tangan kakek itu maka kemarahan sang nyonya meledak lagi dan cepat dia ke Cin-po.

Cen-goanswe geleng-geleng kepala.

Ia kagum dan lagi-lagi merasa takjub akan kepandaian Kim-mou-eng suami isteri.

Mereka sama-sama memiliki kesaktian luar biasa dan lawan dibuat jerih.

Tertangkap dan kalahnya See-ong membangkitkan semangat semua orang.

Maka ketika dia membalik dan mengajak pasukannya ke Cin-po, mengejar dan memburu lawan yang sudah patah semangat maka keberhasilan demi keberhasilan diraih jenderal ini.

Cin-po akhirnya jatuh dan musuh melarikan diri, dikejar dan menuju Cin-yang.

Dan ketika di sini Cin-yang juga jatuh dan dua belah pihak sama-sama kelelahan maka di kota ini musuh menyerah dan membuang senjata.

Cen- goanswe mandi keringat bersama pasukannya.

Sepuluh ribu orang yang dibawanya akhirnya tak sia-sia, musuh terlanjur kena teror karena pemimpin-pemimpinnya, Togur dan See-ong, terus terdesak dan melarikan diri ketika dikejar dan berhadapan dengan Kim-mou-eng, juga isterinya.

Dan ketika mereka terus jatuh bangun dan mundur serta mundur, bersimbah peluh, akhirnya Cin-yang diserahkan dan Togur tak perduli lagi pada pasukannya.

"Biarkan mereka mampus, kita lari!"

Cam-kong, dan Siauw-jin, yang luka-luka dan mendapat hajaran berat sang nyonya cantik hampir kehabisan tenaga.

Tiga hari ini berturut-turut mereka melarikan diri.

Tenaga benar-benar terkuras dan dua kakek iblis itu berkunang-kunang.

Swat Lian mengejar mereka tanpa ampun, kalau saja tak ada murid mereka di situ, yang sering melepas granat dan menahan si nyonya tentu mereka roboh.

Ngeri dua orang kakek itu melihat keberingasan si nyonya.

Dan ketika di Cin- yang kedudukan mereka benar-benar terdesak dan di kota terakhir itulah mereka hancur semangatnya maka Togur mengajak mereka lari.

"Kemana?"

Siauw-jin gemetar, bertanya putus asa.

"Kita tak memiliki tempat persembunyian lagi, Togur. Nyonya itu seperti harimau haus darah, kita menyerah saja dan mohon ampun!"

"Apa? Menyerah? Minta ampun? Keparat, kusobek mulutmu nanti, suhu. Jangan katakan itu lagi kepadaku. Kita masih memiliki persembunyian, dan ini adalah benteng terakhir yang akan kita pertahankan sampai titik darah terakhir!"

"Kau punya tempat?"

Cam-kong tiba-tiba mendesah.

"Heran kalau kami tak tahu, Togur. Coba sebutkan kepada kami dimana tempat itu!"

"Sam-liong-to!"

Pemuda itu tiba-tiba tertawa, aneh dan dingin.

"Itu adalah tempat persembunyian yang baik, suhu. Karena itu cepat kalian ikuti aku dan kita kesana!"

"Sam-liong-to?"

Siauw-jin dan Cam-kong tiba- tiba terbelalak.

"Ah, benar kau Togur, tapi.... bluk!"

Kakek ini mendadak jatuh, roboh terguling, habis tenaganya.

"Aku... aku tak kuat, Togur. Oh, tolonglah aku!"

Togur mengerutkan kening. Dia melihat gurunya yang cebol, Siauw-jin, kehabisan tenaga. Tapi membentak menyuruh Cam-kong mengangkat dia meminta gurunya yang tinggi kurus itu membawa.

"Aku... aku juga tak kuat. Ah, tenagaku seperti diperas, Togur. Lihatlah...!"

Kakek itu terhuyung, mendadak roboh dan terduduk di tanah dan Togur terbelalak.

Kalau saja dia tak membutuhkan pembantu-pembantu barangkali akan dibiarkannya saja dua gurunya itu terguling.

Tapi, ah...

isteri Pendekar Rambut Emas itu hebat.

Kalau tak ada dua gurunya ini pula barangkali dia sudah tertangkap, roboh.

Maka menggaplok dan menampar gurunya dengan gemas terpaksa pemuda ini menyambar dan memondong mereka.

"Terkutuk! Kalian menambah beban padaku, ji- wi suhu (suhu berdua). Kalau tak ingat kita harus menyelamatkan diri barangkali kalian akan kubiarkan di sini. Baiklah, kalian kupondong tapi tiba di pantai klaian harus sudah pulih. Atau aku akan menceburkan kalian dan biar tenggelam di sana!"

Dua kakek itu saling pandang.

Mereka meringis namun senyum yang mengembang di bibir jelas menunjukkan kegembiraan mereka.

Togur sudah mengangkat dan menyambar mereka, meskipun harus menerima gaplokan atau tamparan murid yang kurang ajar ini.

Dan ketika mereka batuk-batuk untuk menyembunyikan kegembiraan hati maka Togur meloncat dan sudah terbang ke Sam- liong-to, Pulau Tiga Naga! **SF** "Nah,"

Pemuda itu melempar gurunya ke laut.

"Kalian mencari perahu, suhu. Kita menyeberang dan jangan menunda waktu lagi!"

Siauw-jin dan Cam-kong basah kuyup.

Mereka tertidur di pundak murid mereka itu saking lelah dan anglernya.

Mereka merasa keenakan dan lelap, tak tahu bahwa mereka sudah tiba di pantai dan Togur yang gemas lalu melempar gurunya itu, tidak di tanah melainkan langsung ke air.

Dan ketika pemuda itu duduk dan mendongkol memerintahkan guru-gurunya mencari perahu, hal yang harus segera dilaksanakan maka dua kakek itu basah kuyup namun tertawa-tawa, hati sebenarnya memaki namun tentu saja tak berani.

"Heh-heh, agaknya kita sudah sampai di tempat tujuan, Togur. Dan aku tertidur. Aih, maaf. Tenagaku sudah pulih dan jangan khawatir pasti kudapatkan sebuah perahu!"

"Dan kami akan mencari yang paling baik!"

Cam-kong juga mengambil hati.

"Kau tunggulah di sini, Togur. Sebentar kami kembali dan kita ke Sam-liong-to!"

Togur mendengus. Dia membentak menyuruh guru-gurunya cepat bekerja, jangan banyak omong saja. Dan ketika dua orang itu berkelebat dan tak berani bercuit, mencari perahu, maka Cam-kong tertegun ketika tiba- tiba sebuah perahu melintas tanpa penumpang.

"Hei...!"

Kakek itu terkejut.

"Ada perahu, Siauw-jin. Tapi tak ada orangnya!"

"Dan meluncur membelah ombak!"

Siauw-jin juga terkejut, melihat itu.

"Apakah perahu siluman?"

"Ah, mari kita tangkap!"

Dan Cam-kong yang bergerak berjungkir balik tiba-tiba sudah melempar dua potong papan untuk membantu kakinya, hinggap dan berjungkir balik lagi dan sebentar kemudian sudah tiba di dekat perahu yang meluncur sendirian itu.

Orang yang melihat tentu merasa ngeri karena ada perahu meluncur sendirian, di tengah laut, tanpa penumpang.

Meluncur dan melaju layaknya seperti ada orangnya saja.

Tapi karena Cam- kong adalah kakek lihai dan semua cerita tentang iblis atau siluman tentu bukan hal yang menakutkan hatinya maka kakek itu sudah berjungkir balik dan siap mendarat di perahu kosong yang dapat "berjalan"

Sendiri ini.

Tapi Cam-kong tiba-tiba terkejut.

Perahu yang siap diinjak sekonyong-konyong melejit.

Gerakannya begitu luar biasa dan Cam-kong tentu saja terpekik.

Dan karena dia sudah melayang turun sementara perahu sudah menghindar maka tak ayal kakek ini tercebur ke laut dan Siauw-jin yang terkejut di sana berseru tertahan.

"Byurr...!"

Kakek tinggi kurus itu menyumpah-nyumpah.

Cam-kong basah kuyup namun dengan kepandaiannya yang tinggi kakek ini sudah dapat menjejakkan kaki, menotol dan meluncur lurus berjungkir balik ke papan yang mengapung di permukaan air.

Ada tawa aneh di perahu itu namun tak kelihatan orangnya.

Dan ketika Siauw-jin mengeluarkan bentakan perlahan dan melakukan hal yang sama, berjungkir balik dan mengejar perahu tiba-tiba perahu itu meloncat dan menjauhkan diri dari sergapan si kakek cebol, yang lagi-lagi mengalami nasib sama seperti rekannya, tercebur ke laut.

"Byuurr...!"

Siauw-jin pun menyumpah-nyumpah.

Sekarang mereka membelalakkan mata dan sadar bahwa perahu itu berisi.

Seseorang berada di sana tapi agaknya mempergunakan ilmu hitam, yang tak dapat mereka lihat.

Dan ketika mereka teringat See-ong karena hanya kakek lihai itulah yang dapat melakukan hal itu maka benar saja terdengar tawa bergelak dan asap hitam meledak di tengah perahu, yang meluncur dan tiba-tiba terbang ke Sam-liong- to.

"Ha-ha, mencari perahu jangan seenaknya saja, Siauw-jin. Kalau ingin mencari carilah yang benar. Ini milikku...... prat!"

Dan air laut yang menciprat ke belakang dan mengenai dua orang ini segera membuat Siauw-jin dan temannya tertegun.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Benar saja See-ong di situ tapi kakek itu mempergunakan Hek-kwi-sut.

Kiranya, sama seperti Togur kakek tinggi besar itu pun merencanakan untuk bersembunyi di Sam-liong-to.

Wah, mereka pucat.

Dan ketika bayangan kakek itu muncul sekejap dan hilang lagi meninggalkan tawanya yang menyeramkan maka dua kakek itu menjublak dan terkejut.

Tapi begitu sadar dan menggerakkan kaki ke tepi, Siauw-jin meminjam papan satunya untuk meluncur ke darat maka mereka buru-buru menemui Togur yang melempar tubuh di pasir lunak.

"See-ong ada di sini pula, menuju Sam-liong- to!"

"Hm!"

Togur meloncat bangun.

"Apa, suhu? See-ong? Dia ada di sini?"

"Benar, dan kakek itu ke Sam-liong-to, Togur. Baru saja lewat dan aku khawatir!"

"Khawatir tentang apa? Kenapa?"

"Ah, Sam-liong-to milik kakek itu, Togur. Aku khawatir dia marah dan mengusir kita!"

"Hm, tak perlu takut. Dua hari ini kita tak bertemu dia, suhu. Dan See-ong akan membiarkan kita ke sana. Dia justeru perlu bantuan, rupanya belum mampus! Tak apalah, tetap cari perahu dan kita susul!"

Siauw-jin terbelalak.

Sebenarnya kakek ini mau bicara tapi Togur membentak.

Mereka disuruh lagi mencari perahu dan menyusul.

Dan ketika kakek itu mengangguk dan dimaki muridnya, yang marah belum mendapat perahu maka Togur diam-diam girang karena See-ong ternyata masih hidup.

Sebenarnya, sejak dia jatuh bangun dan tunggang-langgang menghadapi isteri Pendekar Rambut Emas itu masing-masing pihak tak tahu lagi akan nasib yang lain.

See-ong selalu berhadapan dengan Pendekar Rambut Emas karena hanya pendekar itulah yang dapat menandingi kakek ini.

See-ong selalu bersembunyi di balik Hek- kwi-sutnya dan Swat Lian tak mampu melihat.

Hanya suaminyalah yang dapat melihat See- ong, karena suaminya memiliki Pek-sian-sut, tandingan Hek-kwi-sut.

Dan karena nyonya itu selalu marah-marah dan yang menjadi korban kemarahannya adalah Togur dan dua gurunya ini maka nyonya itu selalu mengejar dan menyerang Togur, yang selalu menghindar dan meloncat menjauhkan diri setiap terdesak hebat, mempergunakan granat atau senjata- senjata gelap lain yang membuat lawan tertahan dan menyelamatkan diri.

Tiga hari berturut-turut ini didesak dan dicecar hingga kedua gurunya kehabisan tenaga.

Togur sendiri masih kuat namun diam-diam pemuda ini gelisah.

Granat tangannya akhirnya habis dan beberapa jarum atau senjata gelap lain tinggal sedikit.

Semua itu harus dihemat dan dia akan bertarung mati-matian di Sam-liong-to nanti, kalau lawan tahu dan tetap mengejarnya di sana.

Dan karena masing-masing menjadi sibuk oleh urusannya sendiri dan Togur tak tahu apakah See-ong masih hidup atau tidak menghadapi Pendekar Rambut Emas maka pemuda itu menjadi gembira dan bangkit semangatnya ketika diberi tahu bahwa kakek iblis itu baru saja lewat.

Dia memerintahkan gurunya dan menjadi tak sabar setelah mendengar cerita itu.

Tapi ketika gurunya berkelebat membawa perahu dan tak lama kemudian sudah berteriak padanya agar meloncat masuk maka pemuda ini bergerak dan sudah berada di perahu gurunya itu pula, melihat keduanya menggigil, menuding.

"Kami.... kami bertemu dua suami isteri itu. Dorong perahu dan bantu kami!"

Togur terkejut.

"Dimana mereka? Tak ada..."

Namun belum pemuda ini menyelesaikan kata- katanya mendadak terdengar bentakan dan bayangan seorang wanita.

"Siauw-jin, Cam-kong, berhenti kalian!"

"Nah, itulah!"

Togur sekarang melihat si nyonya.

"Dia hampir menangkap kami, Togur. Perahu ini hampir dirampas. Cepat kau bantu kami dan dorong perahu ke Sam-liong-to!"

Togur terbelalak.

Lawan, isteri Pendekar Rambut Emas itu, tampak berdiri dan menuding-nuding mereka.

Kim-mou-eng sendiri tak kelihatan namun sebuah suara terdengar ddi belakang si nyonya.

Bayangan atau asap putih muncul.

Dan ketika Togur terkejut karena itulah Kim-mou-eng, yang bergerak dalam ilmu gaibnya tiba-tiba pendekar yang berbadan halus itu muncul memperlihatkan diri.

"Niocu, tak usah marah-marah. See-ong sudah lebih dulu di depan dan biar kau kejar mereka dengan ilmu meringankan tubuhmu. Aku sendiri akan menangkap See-ong dengan Pek- sian-sutku dan tangkaplah mereka bertiga!"

Kim-mou-eng lenyap.

Sama seperti munculnya tadi mendadak pendekar ini sudah menghilang kembali.

Badan kasarnya berganti dengan badan halus dan Togur ngeri melihat asap putih bergerak ke tengah laut, berjalan atau mengambang dan akhirnya terbang mendekati perahu mereka! Tapi ketika asap putih itu meluncur dan terus lewat begitu saja, di atas perahu mereka maka mereka lega namun di tepian sana terdengar lengking nyaring dan isteri Pendekar Rambut Emas itu mempergunakan ginkangnya untuk berjalan di atas air, mengejar perahu mereka.

"Togur, berhenti. Atau kalian kubunuh!"

Togur pucat.

Sang nyonya sudah bergerak dan tubuhnya kemudian meluncur di permukaan laut, cepat sekali, berjalan atau berlari seperti orang bergerak di atas daratan.

Dan ketika si nyonya mengembangkan kedua lengannya dan bergerak-gerak seperti burung besar yang siap menyambar mereka maka Togur tersentak dan tiba-tiba memukul permukaan air laut.

"Plak!"

Perahu terdorong seperti dihantam tenaga raksasa.

Siauw-jin dan Cam-kong berteriak dan hampir saja terlempar, untung memegangi pinggiran perahu dan Togurpun berseru pada mereka untuk cepat mendayung.

Sang nyonya sudah dekat dan apa boleh buat mereka bertiga harus mengadu kecepatan.

Dan ketika Cam-kong maupun Siauw-jin menggerakkan tangan kiri mereka untuk memukul permukaan air laut maka perahu tiba-tiba terbang dan meluncur secepat setan.

"Plak-plak!"

Perahu meloncat-loncat.

Sang nyonya melengking karena perahu menjauh lagi, bergerak dan berganti-ganti mengatur keseimbangan tubuh.

Swat Lian mempergunakan Jing-sian-engnya untuk mengejar, melewati atau menyelinap di balik gulungan ombak-ombak besar.

Sungguh tak masuk akal tapi menakjubkan melihat sepak terjang nyonya ini.

Dan ketika perahu meloncat-loncat secepat setan namun si nyonya bergerak naik turun mengejar di belakang maka pemandangan yang bakal membuat orang ternganga ini berlangsung satu jam lebih di tengah laut yang luas.

Togur berkali-kali harus membelak-belokkan perahunya kalau lawan berhasil mendekat, sering menghantam ke belakang dimana air laut tiba-tiba memuncrat tinggi, menghalangi pandangan si nyonya.

Tapi karena nyonya itu adalah wanita yang amat lihai dan Swat Lian akhirnya memekik mengeluarkan Cui-sian Gin- kangnya pula, ginkang Pengejar Dewa maka beberapa mil dari Sam-liong-to yang mulai kelihatan tiba-tiba perahu tinggal semeter lagi.

"Menyerahlah, atau kalian kubunuh!"

Tiga orang itu pucat.

Sang nyonya bergerak demikian ringannya di atas permukaan air laut.

Tubuhnya yang basah kuyup oleh air dan keringat nyaris membuat pakaian atau bajunya mencetak ketat.

Togur menahan napas melihat itu.

Hm, bukan main cantik dan menggairahkannya! Kalau saja bukan musuh, dan lihai, tentu pemuda ini akan berhenti dan merayu.

Belum pernah selama ini dia gagal karena kebanyakan wanita yang melawan pasti dirobohkan, kecuali Soat Eng, gadis lihai puteri dari Pendekar Rambut Emas itu, juga nyonya yang kini mengejar di belakang itu.

Dan ketika Swat Lian semakin dekat dan pandangan menggairahkan itu akhirnya tak kuasa ditahan pemuda ini lagi mendadak Togur kehilangan kewaspadaan ketika si nyonya sudah setombak saja di perahunya.

"Hei...!"

"Awas!"

Togur terkejut.

Saat itu dia meleng karena pikirannya melayang yang tidak-tidak.

Dia membayangkan betapa nikmat dan senangnya kalau dapat bermesraan dengan nyonya ini.

Tubuh yang basah kuyup dan pakaian yang mencetak ketat itu melayangkan Togur pada lamunan yang jauh.

Dia melihat si nyonya mengembangkan lengan dan dibayangkannya seperti memeluk.

Togur terbawa lamunannya dan akan menyambut.

Tapi begitu angin pukulan kuat menyambar tubuhnya dan teriakan dua gurunya memperingatkan dia akan bahaya yang datang tiba-tiba perahu terguncang dan Togur terkejut mengelak dan menangkis pukulan itu.

"Dess!"

Semua mencelat.

Togur dan gurunya berjungkir balik berteriak tertahan dan untungnya perahupun juga terdorong, terhantam pukulan si nyonya.

Dan ketika mereka melayang turun dan kebetulan hinggap di perahu, yang terdorong dan maju ke depan maka Siauw-jin berteriak pada muridnya agar tidak meleng.

"Awas, jangan meleng. Nyonya itu bukan kekasih!"

Togur sadar.

Akhirnya dia tersentak bahwa si nyonya bukanlah kawan, apalagi kekasih.

Nyonya itu adalah isteri Pendekar Rambut Emas dan bahayanya luar biasa.

Dia dan dua gurunya harus berjungkir balik di udara dan untung jatuh ke perahu lagi.

Kalau tidak, tentu sudah kecebur! Dan ketika Togur membentak dan menjadi marah, gurunya memperingatkan dan tahu bahwa dia melamunkan yang tidak- tidak maka pemuda itu melepas pukulan dan air laut muncrat tinggi ketika dihantam Khi- bal-sin-kang, menahan atau menghalangi pandangan si nyonya dan saat itulah pemuda ini mendorong dan menggerakkan perahunya sekuat tenaga.

Dibantu dan didorong oleh dua gurunya pula akhirnya perahu meluncur secepat setan, sejenak dapat menjauhkan diri namun si nyonya berjungkir balik, tinggi dan meluncur lagi ke bawah untuk akhirnya mengejar mereka bertiga, mengembangkan kedua lengan dan tiba-tiba sudah terbang seperti burung, tahu-tahu sudah dekat lagi dengan perahu, kini semeter, bukan lagi setombak! Dan ketika semua berseru pucat padahal Sam-liong-to sudah di depan mata, gugusan pulaunya sudah tampak jelas tiba-tiba nyonya itu melengking dan menghantam mereka dari belakang.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dan Siauw-jin serta Cam-kong tak sempat menangkis.

Menangkis pun, kalau mereka sempat, tentu bakal terlempar dan tercebur ke laut.

Melihat dan merasakan dahsyatnya pukulan itu mereka ngeri dan sudah rontok nyalinya.

Perahu berkeratak dan pecah.

Dan ketika dua orang itu tidak berpikir panjang lagi karena waktu sudah tidak memungkinkan bagi mereka maka Cam-kong maupun Siauw-jin melempar tubuh ke laut dan....

mencebur.

"Krakk-des-byurr....!"

Suara-suara itu hampir bersamaan.

Entah mana lebih dulu tak ada yang tahu.

Yang jelas adalah dua orang kakek itu tiba-tiba sudah melempar dan membanting tubuh ke laut.

Pukulan menghantam dahsyat dan Togur yang menggerakkan tangan ke belakang juga berteriak keras.

Pemuda itu terlempar dan perahunya hancur.

Namun ketika dua gurunya selulup (menyelam) sementara pemuda itu berjungkir balik di udara tiba-tiba Togur mengeluarkan seruan panjang dan...

diapun sudah hinggap di atas permukaan air laut dan meluncur menuju daratan, berjalan atau berlari di atas air, persis si nyonya, mempergunakan Jing-sian-engnya.

"Wut-wut...!"

Swat Lian terbelalak.

Si nyonya melihat Togur mempergunakan ilmu yang sama untuk berjalan di atas air, cepat dan tahu-tahu sudah sampai ke tepi dimana pemuda itu meloncat dan melarikan diri.

Tapi ketika nyonya ini melengking dan marah meluncur lagi, mengejar, tiba-tiba Togur yang sudah ada di daratan berseru tertahan karena seseorang telah menunggunya.

"Togur, kau hebat. Tapi ilmu curianmu benar- benar menggemaskan. Hm, bagaimana kau mau lewat? Kemana kau mau melarikan diri?"

"Thai Liong!"

Pemuda itu tersentak.

"Keparat jahanam!"

Pemuda ini memaki.

"Kau sudah berjanji untuk tidak mencari dan memusuhi aku, Thai Liong. Minggir atau kukutuk kau!"

"Hm, aku di sini sebelum kau datang. Aku tidak mencari, melainkan secara kebetulan kita bertemu. Siapa mau menarik janji dan memusuhimu? Aku sudah di sini sebelum kau ada, Togur. Dan kau tak dapat menyuruhku minggir karena sejak tadi aku di sini!"

"Keparat, kalau begitu kau ingkar. Kau...."

"Tidak,"

Thai Liong, pemuda ini, tersenyum memotong kata-kata lawan.

"Aku tidak menjilat ludahku sendiri, Togur. Dulu kita berjanji bahwa aku tak akan mencari atau mengejar-ngejarmu, memusuhi. Tapi sekarang kita bertemu secara kebetulan. Aku tidak bermaksud mencarimu, kaulah yang datang dan bertemu aku. Dan untuk memusuhi, hm... aku tetap tak akan memusuhimu kalau kau tidak menyerang!"

Togur pucat pasi.

Pemuda ini akhirnya merah padam dan gugup serta bingung.

Dia juga gelisah karena banyak bicara hanya membuat lawan di belakang semakin dekat.

Benar saja, lengking si nyonya sudah terdengar dan Swat Lian berjungkir balik ke daratan, hinggap dan berteriak girang karena di situ tiba-tiba muncul puteranya, Thai Liong.

Dan ketika Togur pucat dan bingung melihat bentakan si nyonya, yang berkelebat dan menyuruh dia menyerah tiba- tiba Thai Liong yang ada di depan mendadak dihantam, tanpa pikir panjang lagi.

"Dess!"

Togur lupa bahwa Thai Liong selihai ibunya.

Dalam gugup dan paniknya pemuda ini lupa bahwa Thai Liong tak kalah dengan ibunya.

Pemuda itu juga memiliki Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat.

Maka begitu diserang dan Thai Liong mengerahkan dua ilmunya ini, untuk bertahan, tiba-tiba Togur mencelat dan mengeluh berdebuk.

**SF** (Bersambung

Jilid 32) Bantargebang, 04-02-2019,20.22 (Serial Bu-beng Sian-su) ISTANA HANTU

Jilid 32 * * * Hasil Karya . B A T A R A Pelukis . Soebagio & Antonius S. * * * Percetakan & Penerbit U.P. DHIANANDA P.O. Box 174 SOLO 57101 ISTANA HANTU - BATARA KONTRIBUTOR . KOH AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITER .

SITI FACHRIAH ? PDF MAKER .

OZ Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, di bawah lindungan Undang-undang.

Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang.

CETAKAN PERTAMA U.P.

DHIANANDA ? SOLO 1988 ISTANA HANTU (Lanjutan "Sepasang Cermin Naga") Karya .

Batara

Jilid . 32 * * * "BLUK!"

Pemuda itu terguling-guling.

Togur mengeluh dan baru sadar bahwa pemuda yang dihadapi ini adalah selihai si nyonya cantik.

Swat Lian berteriak mengejar Togur namun Thai Liong mencegah.

Pemuda itu berkata biarlah ibunya beristirahat, sekarang Togur bagiannya.

Dan ketika Togur meloncat bangun sementara Thai Liong berkelebat di depannya maka pemuda itu berkata agar lawan menyerah baik-baik.

"Kau tak dapat meloloskan diri lagi. Menyerahlah, atau ibuku akan menghajarmu dan aku tak dapat menolongmu lagi!"

"Keparat!"

Togur berteriak gusar.

"Kau penjilat omongan dan tak dapat dipercaya, Thai Liong. Mampuslah, atau biar aku yang mampus!"

"Hm, kau keras kepala, sombong dan tak dapat melihat keadaan!"

Dan Thai Liong yang mengelak serta menangkis pukulan lawan lalu berkelebatan kesana kemari ketika Togur menyerangnya, kalap dan membabi buta dan Swat Lian berkali-kali mengulang seruannya agar puteranya itu menyerahkan lawan kepadanya.

Thai Liong menggeleng dan berkata biarlah ibunya beristirahat.

Dan ketika pemuda itu membujuk bahwa ayahnya bertanding dengan See-ong, jauh di tengah pulau tiba-tiba berkelebat dua bayangan yang berseru nyaring.

"Hei, robohkan dia, Thai Liong. Atau serahkan kepada kami biar kami tangkap!"

Swat Lian tertegun.

Dua laki-laki bercambang gagah dan bergimbal, berumur sekitar empat puluh limaan tahun mendadak berkelebat di situ, muncul dan berteriak pada Thai Liong agar menyerahkan lawan, sama seperti dirinya tadi.

Dan ketika dua orang itu terkejut karena melihat Swat Lian di situ, yang tadi tak terlihat mendadak keduanya tertegun dan membelalakkan mata.

"Suheng...!"

"Sumoi...!"

Swat Lian terkejut.

Gwan Beng dan Hauw kam, dua orang itu, suhengnya, tiba-tiba memanggil namanya dan tampak waras.

Swat Lian girang dan tentu saja terharu.

Tak disangkanya bahwa dua orang suhengnya yang dulu gila itu kini tiba-tiba pulih, mereka tak tampak liar lagi dan bola mata yang biasa berputar-putar itu sekonyong-konyong hidup, bersinar.

Dan ketika Swat Lian terisak dan dipanggil namanya mendadak dua orang itu berkelebat dan menubruk dirinya.

"Sumoi, kau.... ah, kau masih gagah dan cantik!"

"Dan kau bertambah lihai! Ah, ha-ha, lihat ini kami berdua, sumoi. Lihat dua suhengmu yang seperti jembel ini!"

Hauw Kam dan suhengnya menerkam, menubruk dan memeluk serta menciumi nyonya cantik itu dan Swat Lian mula-mula terkejut.

Khawatir bahwa mereka masih gila dan dapat membuatnya bahaya tiba-tiba nyonya ini bersiap dan akan mendorong.

Tapi ketika dua orang itu meremas-remasnya dan air mata mereka bercucuran, tanda bahagia dan girang maka Swat Lian pun akhirnya menangis dan balas menubruk serta memeluk dua orang suhengnya itu.

"Kalian dimana saja? Kalian bagaimana tiba- tiba bisa begini? Ah, dulu kupanggil-panggil kalian, suheng. Tapi kalian lari dan tidak menghiraukan aku. Kalian.... kalian..."

"Gila! Ha-ha, kami gila!"

Hauw Kam memotong, meneruskan kata-kata sumoinya itu.

"Kami lari karena kami tidak waras, sumoi. Tapi sekarang kami sembuh dan tidak gila lagi. Lihat, kami mengenalmu dan tak mungkin menyerang!"

Dan ketika Hauw Kam mundur dan mendorong sumoinya, tertawa-tawa, maka Gwan Beng juga tersenyum dan melepaskan sumoinya itu.

"Ah, kau kian gagah dan masih cantik saja,"

Laki-laki ini mengagumi.

"Pantas kau menjadi isteri Kim-mou-eng, sumoi. Dan aku bahagia sekali!"

"Hm, kalian...!"

Nyonya ini tersipu merah.

"Jangan memujiku melulu, suheng. Katakan kepadaku kemana saja kalian selama ini dan bagaimana kalian bisa mengalami keadaan itu!"

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami dicekoki racun oleh Siauw-jin dan nenek Naga. Dua iblis itulah yang membuat kami gila dan merampas ingatan!"

"Ah, sudahlah,"

Gwan Beng memotong.

"Kejadian itu panjang sekali, sumoi. Biarlah nanti kita terangkan di belakang dan kami bersyukur bahwa puteramu menolong kami."

"Maksudmu Thai Liong menyembuhkan kalian dari ketidakwarasan itu?"

"Bukan pemuda itu, tapi lantaran dialah maka kami sembuh."

"Kami disembuhkan Sian-su!"

Hauw Kam tiba- tiba berseru.

"Kakek itulah yang memulihkan kami, sumoi. Tapi kalau kami tak dicari dan dibawa Thai Liong belum tentu kami bertemu Sian-su!"

"Ah, kalian bertemu Sian-su?"

"Benar, tapi sudahlah. Nanti kita bercerita lagi dan dengar letusan itu.... blar!"

Langit tiba-tiba menghitam, dari tengah pulau terdengar ledakan atau dentuman besar dan muncratlah segulung asap hitam disusul semburan api berwarna merah jingga.

Pulau Sam-liong-to bergetar dan terkejutlah semua orang karena kaki yang berpijak tanah terpeleset.

Togur dan Hauw Kam serta suhengnya terpelanting, tak kuat oleh getaram atau guncangan menggelegar tadi.

Dan ketika dua orang itu pucat sementara Togur berteriak disana tiba- tiba pemuda itu meloncat bangun dan melarikan diri.

"Heii...!"

Hauw Kam dan suhengnya berseru.

"Jangan lari, anak muda. Berhenti dan menyerahlah!"

Namun mana mau pemuda itu berhenti? Di saat semua orang terkejut dan diguncang getaran itu diapun mempergunakan kesempatan untuk lari.

Thai Liong terlalu kuat dan sudah berkali-kali terbukti bahwa dia bukan tandingan lawannya itu.

Putera Pendekar Rambut Emas itu memiliki dua kelebihan ilmu yang tak dipunyainya.

Thai Liong memiliki Lui-ciang-hoat dan Cui-sian Gin- kang.

Dan ketika pemuda itu mempergunakannya dan sinkang maupun ginkang digabung menjadi satu maka Togur yang hanya memiliki sebuah dan setengah saja dari kekuatan lawan akhirnya terdesak, jatuh bangun dan memaki-maki namun Thai Liong tak segera merobohkannya.

Putera Pendekar Rambut Emas itu hanya mendesak dan membuat lawan terhuyung-huyung saja.

Thai Liong rupanya tak tega merobohkan lawannya ini, dalam waktu yang singkat.

Maka begitu dentuman di tengah pulau terdengar dan Togur mempergunakan itu untuk melompat bangun maka pemuda ini melarikan diri namun Hauw Kam dan suhengnya berkelebat mengejar.

"Jahanam kalian!"

Togur membalikkan tubuh, menghantam ke belakang dan dua orang itu berseru keras.

Mereka menangkis namun terpelanting sendiri.

Togur mempergunakan Khi-bal-sin-kang.

Dan ketika mereka berteriak tapi Swat Lian melengking marah, menyambar dan berkelebat menghantam pemuda ini maka Togur terbanting dan pucat mengeluh.

"Dess!"

Pemuda itu terguling-guling.

Untuk kesekian kalinya lagi Togur menghadapi lawan yang tangguh.

Sang nyonya bukanlah Hauw Kam maupun suhengnya tapi ketika Swat Lian hendak menyerang lagi tiba-tiba Thai Liong berkelebat mencegah ibunya.

Pemuda itu berkata biarlah Togur diserahkan padanya atau Hauw Kam dan Gwan Beng, dua supeknya itu.

Minta kepada ibunya agar sang ibu melihat pertandingan di tengah pulau, dimana waktu itu terdengar dentuman pukulan lagi dan api atau sinar petir menyambar naik ke atas.

Sam- liong-to seakan diguncang badai karena air laut tiba-tiba naik tinggi, menghempas dan menghantam permukaan tanah.

Dan ketika Swat Lian tertegun namun dapat melihat itu, mendengar seruan suhengnya bahwa Thai Liong benar maka nyonya ini melepaskan Togur dan berseru mengancam.

"Baiklah, kuserahkan jahanam ini kepadamu, Thai Liong. Tapi sekali dia lepas jangan harap kau membujuk ibumu lagi!"

"Akan kupenuhi,"

Thai Liong mengangguk.

"Jangan khawatir, ibu. Dan aku pasti memperhatikan keinginanmu!"

Dan ketika sang ibu berkelebat sementara Togur memaki-maki maka Thai Liong menghadapi pemuda ini mencegat jalan larinya, tidak menyerang tapi malah diserang dan pemuda itu menangkis.

Thai Liong menepati janjinya menepati janjinya untuk tidak mulai dulu kecuali diserang.

Dan ketika Togur marah-marah dan memaki lawannya, membentak dan putus asa tak dapat melarikan diri maka Hauw Kam dan suhengnya tertawa bergelak agar pemuda itu diserahkan pada mereka saja.

"Kau terlalu lemah hati, persis ayahmu. Biarkan kami saja yang menghadapinya, Thai Liong. Dan kau mundurlah!"

Dan tidak menunggu pemuda itu menjawab tiba-tiba Hauw Kam sudah menerjang dan melepas serangan menghantam pemuda ini, ditangkis dan kembali terpental tapi sang suheng maju membantu.

Thai Liong segera mundur dan berkata pada dua supeknya itu bahwa tak guna memukul secara keras, lawan mempergunakan Khi-bal-sin-kang.

Dan ketika pemuda itu memberi petunjuk bahwa sebaiknya mereka mempergunakan Jaring Naga, silat yang dulu dipakai untuk menangkap dan merobohkan Soat Eng maka Hauw Kam dan suhengnya tertawa girang.

"Baiklah, kau lebih tahu daripada kami. Pemuda ini telah mencuri kepandaian keluargamu, biar dia kuhadapi dengan Jaring Naga dan mudah-mudahan kami dapat membekuknya.... cret!"

Seutas jaring tiba-tiba menyambar, halus dan kuat dan Togur terkejut.

Dia belum pernah menghadapi ilmu silat macam begini dan tentu saja memukul atau menolak.

Tapi karena jaring itu terbuat dari benang-benang halus yang dapat lengket maka begitu dihantam mendadak melekat dan menempel di lengan pemuda ini.

"Aiihhhh....!"

Togur kaget.

Pemuda ini cepat menarik kembali serangannya tapi saat itu Gwan Beng juga mengeluarkan Jaring Naganya.

Dengan bentakan dan pengerahan sinkangnya orang tua itu sudah menuruti petunjuk Thai Liong, melepas dan melancarkan ilmunya yang aneh itu.

Dan ketika Togur mengelak dan menangkis dengan lengan satunya maka lengan ini ditempeli dan dilekati benang-benang halus itu, yang melekat seperti lintah! "Keparat jahanam, terkutuk!"

Togur marah dan kaget, membentak dan merentangkan kedua tangannya kuat-kuat dan barulah benang- benang itu putus.

Tapi karena lawan sudah berkelebatan lagi di sekeliling tubuhnya dan Hauw Kam maupun suhengnya tertawa-tawa mengeluarkan silatnya yang aneh maka Togur dibuat sibuk dan membelalakkan mata, ngeri dan gelisah karena benang-benang yang mirip sarang laba-laba itu demikian lengket halus.

Entah bagaimana dua orang itu seperti laba- laba raksasa yang selalu mengeluarkan benang laba-labanya, setiap dipukul tentu mengeluarkan lagi yang lain.

Tak terasa, lengan Togur mulai dipenuhi benda-benda halus ini.

Dan ketika jaring atau benang laba- laba itu juga menimbulkan gatal dimana Togur mulai menggaruk-garukkan lengannya maka tak lama kemudian bagian tubuh yang lain dari pemuda ini sudah dilengketi benang-benang itu.

Thai Liong sering memberi petunjuk bagaimana menghadapi Khi-bal-sin-kang kalau pemuda itu mengeluarkannya untuk menghadapi pukulan-pukulan keras.

Khi-bal- sin-kang akan mementalkan dua orang ini kalau mereka berani beradu tenaga.

Dan karena Thai Liong ada di situ dan pemuda ini juga seorang ahli Khi-bal-sin-kang yang tahu bagaimana cara-cara menghadapi Khi-bal-sin- kang akhirnya setiap kali ilmu itu dikeluarkan maka Hauw Kam maupun suhengnya mengganti dengan serangan Jaring Naga yang mengeluarkan benang-benang halus itu, yang akhirnya memenuhi sekujur tubuh lawan.

Pendekar Aneh Naga Langit Thian Liong Jangan Percaya Pada Orang Mati Never Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik

Cari Blog Ini