Istana Hantu Karya Batara Bagian 20
"Ha-ha, kau benar, Thai Liong. Lihat, kami akan merobohkannya sebentar lagi!"
"Dan menangkap pemuda ini hidup-hidup!"
Gwan Beng juga girang.
"Tanpa kau tak mungkin kami merobohkan pemuda ini, Thai Liong. Ah, bocah ini benar-benar lihai!"
Togur akhirnya terhuyung-huyung.
Sebenarnya dia sudah kehabisan tenaga ketika menghadapi Swat Lian dan dikejar-kejar, juga mentalnya telah jatuh setelah pasukannya dipukul hancur.
Maka begitu bertemu Thai Liong dan pertemuannya dengan pemuda ini sungguh tak diduga maka habislah harapannya untuk dapat menyelamatkan diri.
Sam-liong-to seakan merupakan perangkap dan dia akan tertangkap disitu, roboh dan menyerah kepada musuh.
Dan ketika benar saja Khi-bal-sin-kangnya tak bekerja dengan baik sementara Jing-sian-eng yang dikerahkan juga habis dikuras tenaganya maka lilitan benang laba-laba dari Jaring Naga yang dikeluarkan dua orang lawannya itu sudah memenuhi sekujur tubuh.
Togur jatuh bangun dan memaki-maki, pucat.
Harapan tak ada lagi baginya dan mengeluhlah pemuda itu ketika kedua kakinya terjirat.
Dia tak dapat mengelak karena sudah habis dikuras duluan, tertekuk dan roboh dan tertawalah dua orang itu ketika menggerakkan tangan hampir berbareng.
Segulung benang halus sudah menyambar dan membelit pinggang pemuda ini.
Dan ketika benang naik ke atas dan menjirat leher serta lengan akhirnya putera Gurba yang gagah perkasa itu bertekuk lutut, terjerembab.
"Bluk!"
Togur sudah tak berdaya. Pemuda ini memaki namun Hauw Kam menotok tengkuknya, terguling. Dan ketika pemuda itu pingsan dan Hauw Kam tertawa-tawa mendadak angin menderu dari segala penjuru dan Sam-liong-to bergolak.
"Badai! Laut akan pasang...!"
Yang berseru ini adalah Gwan Beng.
Laki-laki bercambang itu terkejut karena tiba-tiba tanpa mereka sadari mendadak langit di atas mereka gelap-gulita.
Petir sambar-menyambar dan saat itu di tengah pulau terdengar pekikan dan erangan.
Dentuman dahsyat terasa menggelegar dan dari dalam pulau sekonyong- konyong muncul dua ekor gorila yang menguik-nguik.
Thai Liong tertegun tapi cepat tanggap akan keadaan.
Itu berarti tanda-tanda badai yang akan datang dan tiba-tiba bergemuruhlah suara angin yang menderu- deru.
Ombak di tengah samudera mendadak bergolak tinggi dan menggelegar menghantam daratan.
Thai Liong teringat keadaan serupa ketika pertama kali dia datang ke situ bersama adiknya.
Dan ketika halilintar memecah langit hitam dan suaranya yang dahsyat sungguh memekakkan telinga maka dua gorila yang menguik keras itu sudah berlarian kencang menghampiri pemuda ini.
"Gotin, Gosar...!"
Thai Liong mendahului mereka, menubruk dan cepat membanting keduanya karena di atas Sam-liong-to tiba-tiba meledak secercah sinar kilat yang panjang.
Sinar itu menyambar dua binatang ini dan terpekiklah mereka ketika hawa panas menyambar tengkuk.
Rambut di punggung dua gorila itu hangus dan Thai Liong berseru mengeluarkan kata-kata aneh agar dua binatang itu menurut padanya.
Dan ketika pemuda itu meloncat bangun sementara dua supeknya disana juga melempar tubuh bergulingan dan bangun dengan pucat maka Gwan Beng berseru bahwa mereka semua harus menyembunyikan diri.
"Badai, kita diamuk badai. Sam-liong-to akan disapu badai!"
Benar saja, laut menggelegak.
Keadaan yang begitu cepat berubah dan angin yang mendesau-desau mendadak membuat dua laki- laki itu gentar.
Petir meledak-ledak di atas kepala dan hujan lebat pun turun, begitu derasnya, bagai ditumpah dari langit yang murka.
Dan ketika guntur sambung- menyambung mengeluarkan suaranya yang dahsyat maka Sam-liong-to digulung ombak dan sebentar saja tepi daratan lenyap.
"Slap!"
Thai Liong terbelalak.
Ombak sebesar bukit menelan pantai sedemikian buas, tak ada ampun.
Dan ketika ombak yang lain bergulung-gulung daan menelan daratan, cepat dan ganas maka tiba-tiba saja seluruh permukaan pulau sudah tidak dapat dipakai, diterjang gelombang pasang.
"Kita ke guha!"
Thai Liong berseru.
"Ikuti aku, ji-wi supek (paman berdua). Cepat dan jangan ayal!"
Dua orang itu mengangguk.
Thai Liong lebih mengenal keadaan dan mereka menurut saja.
Gotin dan Gosar, dua gorila yang menguik- nguik itu sudah ditarik dan dilarikan Thai Liong.
Pemuda ini sampai lupa kepada Togur tapi Hauw Kam tiba-tiba menyambarnya.
Dan persis mereka melarikan diri tiba-tiba sebuah perahu terbanting dan hancur di tepian karang.
Hauw Kam dan suhengnya tak mendengar teriakan dan bayangan orang, tak melihat tiga nenek-nenek tua terlempar dan berjungkir balik di atas daratan, yang kini sudah diserbu ombak.
Dan ketika mereka melayang turun dan berteriak saling sahut, karena bersuara biasa saja pasti tak terdengar karena begitu hebatnya angin dan badai menindih suara mereka maka tiga nenek-nenek yang baru datang itu tampak berkelebat dan berlarian mengikuti Hauw Kam.
Hauw kam dan suhengnya sendiri tak tahu kalau diri mereka dikintil dari belakang.
Mereka sedang sibuk menyelamatkan diri dari petir dan hujan, tak ada siapapun yang bakal dihiraukan karena demikian dahsyatnya badai di Sam-liong-to itu.
Dan ketika letusan-letusan juga terdengar dan gunung di tengah pulau ternyata "batuk"
Maka batu dan semburan pasir panas menghujani Sam-liong-to mirip dunia yang akan kiamat.
"Bum-buummm...!"
Suara-suara itu demikian menggetarkan.
Hauw Kam sampai tak berani menoleh ke belakang karena begitu pucatnya dia oleh amukan alam ini.
Badai ternyata bercampur dengan letusan gunung berapi dan pulau seakan diderak- derak.
Tak ada yang tahu bahwa bersama dengan letusan gunung maka permukaan pulau naik.
Sebuah gunung kiranya sedang lahir dan kelahirannya itu didahului dengan badai dan kilat, muncul dari permukaan tanah dan kiranya itulah yang menyebabkan semuanya terjadi.
Kedahsyatan alam tampak di sini dan Thai Liong serta dua orang supeknya sibuk menyelamatkan diri.
Pemuda itu menyelamatkan dua gorila di kiri kanannya sedang Hauw Kam dan suhengnya menyelamatkan diri mereka dan Togur, yang masih pingsan.
Dan ketika mereka tak tahu bawah di belakang mereka mengikuti tiga nenek jahat yang bermata keji maka tiga nenek-nenek itupun tak tahu kalau di belakang mereka meluncur dan mendarat sebuah perahu lain berisi dua penumpang.
Penumpang pertama adalah seorang gadis cantik sedang penumpang kedua adalah seorang anak laki- laki yang bermata berani.
Anak ini sama sekali tidak gentar atau takut melihat amukan badai itu.
Bahkan letusan serta semburan pasir-pasir panas yang dilontarkan ke atas seolah pemandangan menarik baginya, apalagi kalau disusul semburan-semburan api yang berlidah dan menjilat-jilat angkasa, seolah menyambut atau berbaur dengan petir dan guntur yang meledak-ledak di atas.
Tapi ketika perahu mereka terlempar dan hancur di tepian karang, sama seperti perahu tiga nenek-nenek itu maka anak ini meleletkan lidah dan berseru.
"Eng-ci, dahsyat sekali. Ini barangkali yang namanya gunung meletus!"
"Hush, jangan banyak omong. Waktu kita tak banyak lag, Beng An. Ini letusan gunung yang disertai badai. Hayo kita kejar nenek-nenek itu dan tangkap mereka kembali agar ayah dan ibu tak memarahi kita!"
Kiranya Beng An dan encinya.
Soat Eng, seperti diketahui, mendapat tugas menjaga adiknya ketika ayah dan ibunya mengejar- ngejar See-ong dan Togur.
Gadis itu juga mendapat perintah untuk menjaga nenek Naga dan Toa-ci serta Ji-moi, yakni para tawanan yang ditundukkan Pendekar Rambut Emas dan isterinya.
Tapi ketika semua orang lengah dan tertuju perhatiannya pada pertempuran dahsyat antara Kim-mou-eng dengan See-ong, juga Swat Lian yang menjatuhbangunkan Togur dan dua gurunya maka tiga nenek itu tiba-tiba lolos.
Entah bagaimana sekonyong- konyong Soat Eng terkejut ketika tiga tawanan itu tak ada di tempat.
Rantai yang mengikat tangan mereka juga putus sementara totokan yang melumpuhkan Ji-moi serta yang lain-lain bebas.
Soat Eng tak tahu adanya sebuah bayangan yang menolong nenek-nenek itu, bayangan pemuda tampan yang merunduk serta menyelinap di kala semua orang sedang kagum-kagumnya menyaksikan pertandingan diluar.
Dan ketika Soat Eng kembali dan kaget melihat tiga nenek-nenek itu tak ada, lepas, maka pucatlah gadis ini dan segera dia mencari.
Dan Soat Eng dibuat marah.
Tiga nenek-nenek itu akhirnya terlihat bayangannya menuju ke timur, terus diikuti dan terbelalaklah gadis ini melihat bahwa Ji-moi dan lain-lainnya itu ke Sam-liong-to.
Dia mengejar dan sayang sekali tak dapat mendahului karena adiknya, Beng An, harus selalu dilindungi dan dijaga.
Kalau dia mau tentu tiga nenek-nenek itu akan dapat disusul dan ditangkap, tapi resikonya Beng An akan tertinggal di belakang dan salah-salah hilang! Soat Eng tak mau hal itu terjadi dan akhirnya apa boleh buat dia terus mengikuti dan membayangi, karena Beng An tak mau ditinggal jauh meskipun berkali-kali adiknya itu menyuruh dia pergi duluan, biar anak ini di belakang.
Tapi ketika Soat Eng menolak dan berkali-kali pula menyatakan tak mau membiarkan adiknya sendiri maka meskipun tak tersusul namun bayangan tiga nenek- nenek itu tetap dapat ditempel dan akhirnya Soat Eng terbelalak melihat lawan-lawannya itu ke Sam-liong-to.
"Keparat, mereka akan bersembunyi di sana. Cepat, kita cari perahu, Beng An. Hayo jangan ayal-ayalan!"
Tapi laut berbuih.
Mengejar dan menyusul tiga nenek-nenek itu akhirnya gadis ini tiba pula di Sam-liong-to.
Tapi laut yang ganas menyambut mereka.
Badai dan kilat yang menyambar-nyambar di atas kepala membuat kepala terasa pening.
Beng An harus berpegangan di pinggiran perahu kalau tak mau terlempar.
Dua kali anak ini sudah terjatuh namun Soat Eng cepat menolong.
Dan ketika dentuman atau suara menggelegarnya gunung disusul oleh teriakan-teriakan atau pekikan dan jeritan maka Soat Eng tahu bahwa di pulau sudah terjadi pertandingan besar, tentu ayah dan ibunya melawan See-ong dan teman-temannya.
Namun saat itu Soat Eng tak bisa banyak berpikir.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia melihat Ji-moi terlempar perahunya dan hancur dipukul ombak, tertegun tapi perahu sendiri juga tiba- tiba meluncur dan terbang di tepian karang, hancur dan dia serta Beng An terlempar tinggi namun dengan sigap gadis ini sudah berteriak dan menyambar adiknya.
Beng An sendiri sudah berjungkir balik namun jatuh disambar ombak, untung didahului encinya dan mendaratlah mereka dengan basah kuyup.
Dan ketika permukaan pulau sudah penuh air karena laut berbuih ganas maka Soat Eng berkelebat mengikuti nenek Naga yang mengintil di belakang Hauw Kam.
"Kau berpegang erat-erat ke tanganku. Dan jangan mengeluarkan suara gaduh!"
Beng An menurut saja.
Anak ini terbelalak melihat kedahsyatan alam dan ombak atau angin yang menderu dipandangnya dengan takjub.
Beng An ngeri tapi sama sekali tidak takut, anak itu bahkan bersinar-sinar dan gembira melihat semuanya itu.
Betapa berani! Dan ketika gunung di tengah pulau bergerak ke atas dan sedikit tetapi pasti gundukan tanah itu muncul sambil menyemburkan lidah-lidah apinya ke angkasa maka Beng An bersorak memuji pemandangan luar biasa itu.
"Hebat, indah sekali. Mengagumkan!"
"Hush!"
Sang enci membentak.
"Jangan bersuara gaduh, Beng An. Sudah kubilang dan jangan membantah!"
"Tapi letusan gunung itu hebat sekali. Aih, lihat, enci. Batu raksasa itu dilontarkan ke atas.... blarr!"
Sebuah dentuman menggelegar mengguncang pulau, sebuah batu terlontar tinggi di angkasa dan batu yang berwarna kemerahan oleh api yang menyala itu sungguh menakjubkan untuk dipandang mata.
Beng An menuding dan melepas pegangannya, persis di saat pulau tergetar dan terguncang oleh letusan dahsyat yang memekakkan telinga itu.
Dan ketika Beng An terpeleset dan encinya kaget, karena Soat Eng sendiri terpeleset dan akan jatuh maka batu berwarna merah yang sebesar rumah itu meluncur turun dan tepat sekali jatuh di atas kepala mereka.
"Beng An...!"
Sang anak terkejut.
Encinya berteriak dan cepat serta luar biasa menyambar adiknya itu diajak bergulingan menjauh.
Beng An mendengar suara berdebum yang luar biasa dahsyatnya, terpental dan mereka berdua terlempar tinggi di udara, ada kira-kira sepuluh meter! Tapi ketika Soat Eng berjungkir balik dan mencengkeram adiknya itu dengan kaget dan marah, karena adiknya itu melepas pegangan maka gadis itu sudah turun dan melihat batu raksasa itu menancap dan ambles di tanah dengan warna yang masih merah marong.
"Kau terlalu, keparat! Tak dapat dinasihati baik-baik, Beng An. Kalau sedikit kita terlambat tentu kau sudah mampus di bawah batu besar itu!"
Beng An meleletkan lidah.
Dia pucat tapi matanya kagum bersinar-sinar memandang batu besar itu.
Batu itu begitu besar dan luar biasa.
Dan warnanya, wow.....
begitu menakjubkan.
Masih merah seperti dibakar dan membara begitu indah.
Beng An takjub.
Tapi karena batu menghempas ke tanah padahal hampir di semua tempat sudah diserang ombak yang bergulung-gulung maka suara ces selalu terdengar setiap air laut menerpa atau menyentuh batu besar itu, yang perlahan- lahan lalu menjadi gelap dan hitam.
Dan ketika encinya membentak dan menarik tangannya, tak mau dia berpegangan lagi maka Soat Eng sudah menghindar dan mengelak sana-sini ketika batu-batu yang lain berhamburan, disusul pasir-pasir panas yang juga warnanya kemerahan.
Debu mulai menutup pandangan mata dan kejadian tadi membuat Soat Eng kehilangan jejak.
Bayangan nenek Naga dan Ji- moi akhirnya entah kemana, dia geram.
Dan ketika dlihatnya sebuah guha di balik sebuah pohon besar maka Soat Eng meloncat dan sudah masuk ke sini.
Untuk selanjutnya mereka tak tahu apa-apa lagi.
Letusan dahsyat berkali-kali didengar dan deru serta ombak yang ribut mengiringi semuanya itu.
Kiranya, sama seperti dulu Sam-liong-to sedang dilanda kejadian menakjubkan.
Gunung di bawah pulau itu bergerak naik dan lahir, tanah bergerak-gerak dan banyak di antaranya yang pecah dan menganga.
Guha yang dimasuki Soat Eng juga mengeluarkan suara berkeratak seakan mau retak, beberapa dindingnya akhirnya pecah dan Soat Eng dua kali berpindah tempat dan kecut melihat air memasuki guha.
Kalau badai masih tidak berhenti dan terus meninggi tentu guha akan terendam dan dia harus keluar, padahal diluar masih terjadi angin ribut dan hujan batu.
Batu-batu itulah yang lebih berbahaya dibanding lain-lainnya.
Dan dia membawa Beng An, harus melindungi dan menjaga adiknya itu.
Tapi ketika dua jam keributan dan gemuruh semuanya itu mereda akhirnya pulau tenang kembali dan guha dimana Soat Eng berlindung sudah kemasukan air setinggi dada.
"Kita keluar!"
Soat Eng yang menempel di langit-langit guha menyambar adiknya, berkelebat keluar.
"Kita cari nenek-nenek siluman itu, Beng An. Dan sekali lagi kau harus menurut kata-kata encimu!"
"Baik,"
Beng An meleletkan lidah.
"Aku selamanya taat padamu, enci. Kalau sekali dua lupa tentu wajar. Sudahlah, jangan marah- marah lagi!"
Soat Eng menjewer adiknya itu.
Beng An menggemaskan tapi juga lucu.
Anak ini tak kenal takut dan mau tak mau membuatnya kagum juga.
Beng An memang pantas sebagai putera ayahnya, Pendekar Rambut Emas.
Dan ketika Soat Eng keluar dan berjungkir balik di atas pohon, karena semua permukaan pulau sudah basah dan becek oleh air laut maka di atas pohon gadis ini tertegun karena melihat nenek Naga dan lain-lain juga sudah di pucuk- pucuk pohon yang tinggi, menyelamatkan diri! "Itu mereka!"
Beng An menuding.
"Hei, kesini, nenek bau. Jangan lari!"
Nenek Naga, yang sedang celingukan dan mencari Hauw Kam, yang juga lenyap oleh semua keributan tampak terkejut oleh bentakan Beng An.
Tiga nenek ini, Ji-moi dan Toa-ci serta nenek Naga juga akhirnya kehilangan jejak Hauw Kam dan Gwan Beng.
Gemuruh dan hujan batu serta abu akhirnya menutup pandangan mata.
Dalam keadaan seperti itu tak mungkin lagi masing-masing orang akan memperhatikan lawan.
Paling selamat diri sendiri harus dipikirkan dulu.
Mereka bertiga akhirnya bersembunyi di balik sebuah pohon besar, pohon yang tengahnya berlubang.
Dan ketika letusan gunung berhenti dan badai yang melanda Sam-liong-to juga tak mengamuk lagi maka tiga nenek-nenek itu meloncat keluar dan memandang sekeliling dari puncak pohon yang tinggi, tak tahunya ketahuan Soat Eng dan adiknya dan Beng An sudah memanggil nama mereka.
Ji-moi terkejut karena puteri Pendekar Rambut Emas itu tahu-tahu sudah ada di belakangnya, dalam pohon yang lain tapi jarak mereka tak jauh.
Dan ketika semua terkejut dan nenek Naga melengking gentar, kaget dan jerih maka nenek itu sudah berkelebat ke pohon yang lain dan belum apa-apa sudah melarikan diri.
"Kita cari tempat selamat. Kiranya yang mengikuti kita adalah setan betina itu!"
Ji-moi terkejut.
Bersama encinya dia juga kaget dan gentar melihat Soat Eng.
Meskipun gadis itu sendiri namun Khi-bal-sin-kangnya yang amat ditakuti.
Gadis itu akan merobohkan mereka kalau mereka berhadapan.
Dan karena nenek Naga sudah mendahului dan meloncat melarikan diri, melayang dan berjungkir balik ke pohon yang lain maka nenek ini juga menggerakkan kakinya dan melarikan diri.
Tapi sial, tiga bayangan tiba-tiba berkelebat.
Baru nenek Naga berjungkir balik di udara tiba- tiba tahu-tahu pohon yang dituju sudah terisi orang.
Nenek itu berseru tertahan ketika dua bayangan di depan, dua laki-laki gagah membentak dan menggerakkan tangan menyerangnya.
Mereka itu bukan lain Hauw Kam dan suhengnya, Gwan Beng.
Dan ketika dua pukulan menyambut nenek ini dan si nenek terkejut karena sedang berada di tengah udara maka apa boleh buat dia menangkis tapi posisinya yang buruk membuat nenek ini terpelanting dan jatuh ke bawah.
"Heii..... dess!"
Nenek itu jatuh ke tanah.
Gwan Beng dan sutenya tergetar di atas dan dua laki-laki itu juga terkejut.
Mereka bergoyang dan tentu akan jatuh.
Tapi ketika bayangan ketiga, Thai Liong, menahan dan menggerakkan tangannya ke depan maka dua orang itu dapat tegak kembali sementara Ji-moi yang bersiap dan akan menuju ke pohon itu sudah meloncat dan berjungkir balik ke pohon yang lain, disusul Toa-ci! "Wut-wut...!"
Namun alangkah kagetnya dua orang ini.
Seperti iblis atau siluman saja tahu-tahu Thai Liong sudah berada di depan mereka.
Dengan ilmunya Jing-sian-eng pemuda ini berkelebat dan tahu-tahu mendahului si nenek, berdiri dan sudah menanti lawannya.
Dan ketika Toa- ci maupun Ji-moi terkejut karena Thai Liong sudah menunggu mereka, tersenyum, maka dua nenek itu berteriak keras dan tentu saja menghantam.
"Des-dess!"
Namun mereka terbanting.
Thai Liong tertawa dan sudah diteriaki adiknya.
Soat Eng, yang gembira melihat kakaknya disitu tiba-tiba berjungkir balik dan sudah melayang turun di dekat kakaknya ini.
Melupakan Beng An yang ditinggal di atas pohon gadis ini sudah menubruk dan memeluk Thai Liong.
Dan ketika Thai Liong tertawa dan memeluk adiknya, dihujani pertanyaan bertubi-tubi mendadak terdengar jeritan Beng An yang sudah disambar nenek Toa-ci.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Enci...!"
Soat Eng kaget bukan main.
Menoleh dan melihat adiknya dicengkeraman nenek itu tiba- tiba baik Soat Eng maupun Thai Liong terkesiap.
Kiranya tadi, ketika Soat Eng berjungkir balik dan menubruk kakaknya, gembira dan girang meluap-luap ternyata dua nenek iblis Toa-ci dan Ji-moi yang terbanting ke bawah melihat kesempatan baik itu.
Mereka meloncat bangun dan Toa-ci sudah saling memberi tanda kepada adiknya, bergerak dan menangkap Beng An.
Dan ketika Beng An terkejut dan tentu saja mengelak, sayang kalah cepat maka nenek itu sudah menangkapnya dan Toa-ci terkekeh-kekeh.
"Hi-hik, kau penyelamat nyawa kami, bocah. Menyerahlah!"
Beng An berteriak.
Dia sudah tertangkap dan tiba-tiba dibawa nenek itu terbang ke pantai, Ji-moi menyusul dan bergeraklah dua nenek itu melarikan diri.
Dan ketika Soat Eng maupun kakaknya tertegun di tempat, kaget, maka Soat Eng berkelebat dan meluncur turun mengejar dua nenek itu.
Namun Thai Liong berkelebat mendahului.
Pemuda ini berkata pada adiknya agar urusan itu diserahkan kepadanya, dialah yang akan menangkap nenek itu.
Dan ketika Soat Eng tertegun dan didahului kakaknya maka Thai Liong menyuruh dia membantu Hauw Kam dan Gwan Beng, supek-supek mereka itu.
"Aku akan menyelamatkan Beng An. Kau tolonglah Hauw Kam-supek dan Gwan Beng- supek!"
Soat Eng tertegun.
Untuk sekejap dia bingung, tapi ketika diingatnya bahwa dua orang itu gila, Soat Eng belum tahu bahwa Hauw Kam dan suhengnya sudah sembuh tiba-tiba gadis ini tak mau berurusan dengan orang gila apalagi dulu dua orang itu menangkapnya, mempermainkannya! "Tidak, Beng An adalah urusanku, Liong-ko.
Dia tanggung jawabku.
Karena aku yang lengah maka biarlah aku pula yang menangkap dan menghajar dua nenek-nenek keparat itu!"
"Hm, selamanya tak mau mengalah,"
Thai Liong menegur.
"Kau jangan membantah perintahku, Eng-moi. Kau terlalu keras dan ganas terhadap lawan. Kalau kau bersikap keras dan tak mau sudah tentu dua nenek itu akan membunuh Beng An, dan kesalahanmu akan menjadi ganda! Sudahlah, kau tolong dua supek kita itu dan biarkan Beng An aku yang mengurusnya!"
Soat Eng akhirnya minggir.
Sang kakak berkata benar dan dia memang akan bersikap keras terhadap lawan.
Kakaknya jauh lebih lembut dan pandai, juga kepandaiannya jelas lebih tinggi.
Dan karena sang kakak sudah mendorongnya dan menyuruh dia menolong atau membantu dua supeknya, yang saat itu terdengar menjerit dan terlempar roboh maka apa boleh buat gadis ini membalik dan terisak.
"Baiklah, tapi usahakan Beng An tidak cidera, Liong-ko. Atau aku akan mendapat marah ayah dan ibu!"
"Tidak, aku kakakmu. Tentu aku lebih mengerti dan tak akan mencelakai Beng An!"
Dan ketika Thai Liong lenyap dan mengejar si nenek, yang sudah jauh dan hendak meninggalkan pulau maka Soat Eng berkelebat dan menghadapi nenek Naga.
Saat itu, Hauw Kam dan suhengnya merasa mendapat kesempatan yang bagus.
Mereka marah dan girang melihat nenek Naga di situ, berbesar hati karena betapapun ada Thai Liong disitu, keponakan mereka yang lihai itu.
Maka menerjang dan menyerang nenek itu, yang dulu menangkap dan mempermainkan mereka berdua maka dua orang ini sudah melepas pukulan-pukulan tapi si nenek terlalu lihai.
Dulu mereka kalah karena kepandaian mereka memang jauh di bawah si nenek.
Maka ketika si nenek mendengus dan membentak mereka agar menyerah, karena biasanya dua orang ini akan ketakutan dan berlutut kalau bertemu dengannya maka nenek Naga menjadi gusar ketika dua orang itu malah memaki dan balas membentaknya.
"Kaulah yang harus menyerah, dan kami bunuh. Atau biar kami mampus menerima kekalahan kami!"
"Hm, sombong. Kalau begitu aku akan membunuhmu!"
Dan nenek Naga yang menangkis serta mengerahkan Tee-sin- kangnya (Pukulan Bumi) tiba-tiba membuat lawan mencelat dan terlempar, roboh terguling-guling dan Hauw Kam pucat karena Thai Liong yang diharap tiba-tiba malah pergi, menolong adiknya.
Tapi ketika mereka mengeluh dan merasa kehilangan kesempatan, mungkin terbunuh tiba-tiba Soat Eng berkelebat dan membantu mereka.
"Nenek siluman, akulah lawanmu!"
Nenek Naga terkejut.
Sebenarnya, dia tak bermaksud mendesak Hauw Kam maupun suhengnya karena segera bersiap-siap untuk angkat kaki.
Membunuh dua orang itu tak ada gunanya dan dia hanya akan menghalau saja, karena Hauw Kam maupun suhengnya ternyata bersikap nekat dan menyerangnya, membuat dia terganggu.
Maka ketika dua orang itu dipukulnya roboh dan dia akan memutar tubuhnya, melihat Thai Liong dan Soat Eng mengejar Toa-ci dan Ji-moi tiba-tiba saja nenek ini terkejut karena Soat Eng kembali dan kini membentaknya.
"Dess!"
Nenek itu terpelanting.
Seperti biasa ketika Soa Eng mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya maka nenek itu tak kuat dan terlempar.
Soat Eng mengejar dan nenek ini menggulingkan tubuhnya, menjauh.
Tapi ketika Soat Eng mendesak dan tak memberi kesempatan lawannya bangun tiba-tiba Hauw Kam yang sudah melompat bangun berseru padanya agar menyerahkan nenek itu kepada dia dan suhengnya.
"Kau berdiri saja menonton. Kalau kami terdesak barulah kau menolong. Selebihnya serahkan nenek iblis ini untuk membayar hutangnya yang setinggi gunung!"
Soat Eng tertegun.
Dia mendengar kata-kata yang waras dan benar sebagaimana layaknya orang sehat.
Hauw Kam meminta padanya agar menyerahkan nenek itu, padahal dulu mereka petunjang.
Dan ketika Gwan Beng juga berkelebat dan berseru padanya untuk melepaskan nenek itu maka Soat Eng mendengar kata-kata yang lebih lembut.
"Benar, serahkan nenek ini kepada kami, anak baik. Dendam kami sedalam lautan karena dialah yang membuat kami gila!"
"Dan kami sekarang waras!"
Hauw Kam berseru, rupanya dapat melihat keheranan gadis itu.
"Kau berdirilah saja disitu, bocah. Dan bantulah kami kalau kami terdesak!"
Soat Eng berseri.
Akhirnya dia girang bahwa dua supeknya ini kiranya sudah sehat, tidak gila.
Mereka sudah menerjang dan menerkam si nenek, Hauw Kam paling beringas karena dialah yang dulu dijadikan murid si nenek iblis, setelah dicekoki obat perampas ingatan.
Namun karena nenek Naga amatlah lihai dan pukulan itu ditangkis dan dibalas maka Hauw Kam terpelanting dan Soat Eng teringat ilmu silat Jaring Naga yang dipunyai mereka.
"Keluarkan saja kepandaian kalian yang lain, jangan yang itu!"
"Hm, Jaring Naga?"
Gwan Beng tersenyum, menggerakkan kedua lengannya.
"Kami juga berpikir kesitu, anak baik. Dan lihatlah ini ilmu silat baru kami.... cett!"
Dan segumpal jaring yang tiba-tiba melejit dan menyerang si nenek tiba-tiba membuat nenek Naga terkesiap.
Nenek itu tak tahu kepandaian ini namun dia mendengus, menolak.
Tapi ketika benang- benang itu lengket dan tak gampang dipukul tiba-tiba nenek ini berseru tertahan dan Hauw Kam tertawa bergelak mengeluarkan kepandaian yang sama.
"Ha-ha, sekarang kau terkejut, nenek siluman. Dan ini adalah kepandaian kami yang baru.... cet-cet!"
Hauw Kam juga melancarkan pukulannya yang aneh itu, melepas dan mengeluarkan Jaring Naga dan si nenek semakin terkejut karena jaring-jaring itu bersifat lembut.
Kalau dipukul tak gampang terpental karena serabutnya bertebaran kesana kemari.
Dan ketika si nenek dibuat sibuk dan ilmu silat aneh itu membuatnya terbelalak maka sebentar kemudian nenek ini mundur- mundur namun bukan berarti kalah.
"Siluman! Kalian boleh mengeluarkan kepandaian apa saja, bocah-bocah tengik. Tapi aku si tua bangka tak takut menghadapi kepandaian apapun!"
Benar saja, si nenek mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba meledakkan kedua tangannya.
Dari kedua tangannya itu muncul asap hitam beserta api, menjilat dan menghanguskan benang laba-laba yang dipunyai suheng dan sute itu.
Dan ketika Hauw Kam terkejut karena terhuyung mundur maka si nenek berkelebat dan dia ditampar terguling.
"Plak!"
Hauw Kam memaki-maki.
Gwan Beng suhengnya juga mendapat serangan yang sama dan api serta asap hitam menghanguskan jaring laba-labanya, terpental dan terguling-guling ketika si nenek menampar.
Dan ketika kemudian nenek itu bahkan mendesak mereka dan jaring laba-laba ternyata tak dapat dipakai lagi maka dua kakak beradik ini malah tunggang-langgang dan lagi- lagi mengeluh dibuat jatuh bangun.
Soat Eng yang menonton akhirnya tak tahan dan apa boleh buat gadis ini berkelebat ke depan.
Dan ketika nenek Naga terpental karena Khi-bal- sin-kang menghantamnya maka ganti nenek itu mengeluh dan memaki-maki.
"Keparat, kalian mengeroyok. Tak tahu malu. Cih, satu lawan tiga!"
"Hm, tak usah satu lawan tiga!"
Soat Eng membentak.
"Satu lawan satu saja cukup, nenek siluman. Dan lihatlah aku akan menghajarmu.... des-dess!"
Nenek Naga mencelat, terguling-guling dan merintih dan akhirnya dialah yang jadi bulan-bulanan gadis itu.
Hauw Kam dan suhengnya tahu diri dan akhirnya menahan marah.
Ah, kepandaian mereka masih juga belum tinggi.
Dan ketika Soat Eng menggantikan mereka dan apa boleh buat mereka harus menonton atau mengawasi jalannya pertandingan maka nenek Naga jatuh bangun menghadapi Khi-bal-sin-kang, mengeluarkan ilmu hitamnya dan tiba-tiba lenyap seperti siluman.
Namun ketika Soat Eng mengeluarkan seruan keras dan menampar ke depan ternyata ilmu hitamnya itu buyar dan gadis ini menyerang lagi.
"Kau tak dapat bersembunyi. Segala gerak- gerik atau kecuranganmu telah kuketahui!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si nenek menangis.
Akhirnya nenek ini terhuyung jatuh bangun dan minta ampun.
Berkali-kali bersembunyi di balik ilmu hitamnya namun Soat Eng membuyarkannya dengan bentakan batin.
Ilmu hitam yang dipunyai nenek ini bukanlah seperti yang dipunyai See- ong, Hek-kwi-sut itu.
Maka ketika si nenek berkali-kali gagal dan tak dapat menyembunyikan diri, merintih dan minta ampun maka satu tamparan keras membuat nenek itu terjungkal.
Soat Eng hendak menyusuli lagi dengan satu totokan ke tengkuk ketika mendadak Hauw Kam yang kebetulan dekat dengan nenek itu mengeluarkan bentakan, berkelebat dan melepaskan jaring naganya untuk menangkap.
Dalam keadaan seperti itu tentu si nenek tertangkap dan tak dapat mengelak.
Tapi ketika Hauw Kam berkelebat maju dan hendak meringkus sekonyong-konyong dirinya terlempar oleh sebuah angin dahsyat yang menerjang tempat itu.
"Heh, kita semua lari. Sam-liong-to bukan tempat yang baik!"
Hauw Kam terguling-guling.
Nenek Naga selamat dan sesosok bayangan tinggi besar bergerak cepat di situ.
Gwan Beng hanya melihat sekilas dan tahu-tahu berteriak tertahan.
Nenek Naga lenyap, terbawa atau terbungkus bayangan tinggi besar ini, yang menyerupai kabut.
Dan ketika Soat Eng juga terkejut karena itulah See-ong, si kakek iblis maka berturut-turut Siauw-jin dan Cam-kong di belakang kakek ini.
"Wher-wherr...!"
Angin atau gulungan asap hitam itu hilang.
Hauw Kam terlongong-longong tapi lengkingan tinggi tiba-tiba terdengar disitu.
Sebuah gerakan cepat luar biasa mengejar See-ong yang membawa nenek Naga dan Siauw-jin serta Cam-kong ini dan tahu-tahu menghantam.
See-ong kiranya bersembunyi di balik Hek-kwi-sut yang hebat, dikejar dan rupanya ingin melarikan diri bersama bekas pembantu-pembantunya itu.
Tapi ketika si kakek mengelak dan pukulan itu mengenai Siauw-jin dan Cam-kong maka dua iblis cebol dan kurus itu menjerit dan terlepas dari kungkungan Hek-kwi-sut.
"Aduh.... des-dess!"
Cam-kong dan Siauw-jin muncul, kelihatan.
Bayangan yang bergerak luar biasa cepat itu masih juga menghantam dan menyusuli dengan pukulan lain, dikelit dan ganti nenek Naga terkena, menjerit dan terlempar keluar.
Dan ketika See-ong memekik dan melarikan diri, sendirian, maka Siauw-jin dan dua temannya itu pucat melihat Soat Eng disitu.
"Gadis ini.... siluman! Dia di sini!"
Siauw-jin ngeri.
Si cebol yang sudah bergulingan meloncat bangun itu langsung saja melarikan diri.
Hauw Kam dan Gwan Beng tak dipandang sebelah mata dan dua orang itu tentu saja mendelik.
Sekarang Gwan Beng yang meluap melihat si cebol ini.
Maklumlah, dialah yang akhirnya dibuat bulan-bulanan oleh Siauw-jin.
Nenek Naga mempermainkan sutenya sedang dia dipermainkan si iblis cebol ini.
Maka begitu Siauw-jin melotot dan memutar tubuhnya tiba-tiba Gwan Beng membentak melepas Jaring Naganya dan segumpal`benang-benang halus menjirat dan langsung menerkam kakek cebol itu.
"Haiihhhh.... rrtt!"
Siauw-jin terkejut.
Sama seperti nenek Naga iapun tak pernah melihat silat aneh ini, terbungkus dan tahu-tahu sudah dililit-lilit tubuhnya.
Namun karena kakek itu bukan sembarang orang dan cepat dia mencabut sabitnya maka benang laba-laba itu dirantas putus dan iapun lolos keluar.
"Setan, ilmu apa ini!"
Gwan Beng tertegun.
Lawan sudah melarikan diri lagi karena gentar melihat Soat Eng, bukan dirinya.
Dan ketika Cam-kong juga berseru keras dan menggerakkan tubuhnya maka dua orang iblis itu berkelebat dan lari meninggalkan mereka.
Namun sesosok bayangan tahu-tahu berkelebat.
Siauw-jin dan Cam-kong tersentak ketika Thai Liong tiba-tiba menghadang di depan, berdiri tegak.
Di belakang pemuda itu tampak nenek Ji-moi dan Toa-ci yang merintih, tertotok.
Dan ketika dua iblis itu tersentak dan pucat melihat ini maka Thai Liong yang berseru dan menahan mereka sekonyong-konyong dihantam.
"Dess!"
Thai Liong tak bergeming.
Pemuda itu mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya dan justeru dua kakek itulah yang terpelanting dan berteriak keras.
Mereka terpental dan jatuh berdebuk di tanah, terguling-guling.
Dan ketika mereka meloncat bangun dan gentar serta ngeri maka Soat Eng dan Hauw Kam serta suhengnya berkelebat dan sudah mengurung.
"Berhenti, dan kalian menyerah baik-baik!"
Siauw-jin tiba-tiba menangis.
Kakek ini tanpa malu-malu mendadak menjatuhkan diri dan minta ampun, mengugguk.
Sikapnya mengiba dan Soat Eng tertegun.
Tapi ketika Gwan Beng membentak dan mencabut pedangnya, menusuk, maka punggung kakek itu menjadi sasaran namun pedang terpental bertemu sinkang di tubuh kakek ini yang kiranya siap melindungi.
"Pletak!"
Pedang Gwan Beng malah patah. Laki-laki itu terkejut dan sementara yang lain juga terkejut karena lawan yang menyerah masih juga diserang mendadak Siauw-jin membalik dan menghantam pusar lawannya ini.
"Awas!"
Terlambat.
Gwan Beng tertegun oleh pedangnya yang patah dan lengah oleh kelicikan Siauw-jin.
Sebenarnya, berpura-pura minta ampun sesungguhnya kakek itu hendak menyerang secara gelap.
Siauw-jin adalah kakek iblis yang amat licik dan curang.
Dia mempergunakan tangisnya yang mengiba untuk melengahkan kewaspadaan lawan, yang diincar sebenarnya Soat Eng atau Thai Liong.
Maklumlah, dua orang itulah yang paling lihai dan amat ditakuti.
Tapi begitu Gwan Beng menyerangnya dan kakek ini marah, gusar, maka pukulan yang sedianya untuk Soat Eng atau Thai Liong malah dilancarkan kepada laki- laki ini, telak menghantam dan Gwan Beng mencelat, mengaduh dan terbanting muntah darah.
Dan ketika Gwan Beng pingsan sementara Soat Eng dan lain-lain tentu saja marah maka Cam-kong melepas pukulan petirnya dan menghantam Hauw Kam, juga nenek Naga yang tiba-tiba bergerak dan menghantam Soat Eng.
"Dess!"
Tiga tubuh mencelat di udara.
Cam-kong yang menghantam Hauw Kam sekonyong-konyong bertemu Thai Liong.
Pemuda ini melihat gerakan pukulan itu padahal saat itu Hauw Kam berteriak menerima tubuh kakaknya.
Cam-kong dengan licik menghantam tapi Thai Liong sudah bergerak ke depan, menangkis.
Pemuda ini mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya dan dalam gemas dan tidak senangnya Thai Liong mengerahkan tiga perempat bagian tenaganya.
Cam-kong terkejut ketika Pukulan Petirnya diterima dan disambut pemuda itu, berteriak dan mau menarik tapi sudah tidak keburu.
Dan ketika sinar kilat meledak dan kakek itu menerima pukulannya sendiri, yang membalik, maka Cam-kong menjerit dan roboh dengan tubuh hangus separoh.
"Aduh... keparat... aduh!"
Hauw Kam terbelalak.
Laki-laki ini marah dan kaget karena Cam-kong kiranya menyerang secara diam-diam.
Untung ada Thai Liong disitu, kalau tidak, mungkin dia sudah roboh seperti suhengnya.
Maka membentak dan mencabut pedangnya tiba-tiba Hauw Kam menimpukkan senjatanya ke mata kakek itu, yang sedang mengaduh-aduh, mati separoh.
"Crep!"
Jeritan ngeri terdengar.
Mata Cam-kong ditembus pedang Hauw Kam dan tentu saja bagian yang amat lemah ini tak mungkin dilindungi kekebalan.
Cam-kong roboh dan menggelepar, sejenak memegangi kepalanya tapi mendadak terkulai, tewas.
Matinya sungguh mudah dan tak diduga, gampang.
Dan ketika kakek itu terguling dan nyawa meninggalkan raga mendadak nenek Naga yang menyerang Soat Eng juga terbanting dan mengeluh tertahan.
Pukulannya disambut gadis itu dan Soat Eng yang marah tak memberinya ampun.
Nenek yang jahat dan curang ini ditampar, lututpun ditekuk dan bekerja.
Dan ketika terdengar dua kali suara ngek-ngek yang keras maka si nenek menggelepar dan terguling dengan kepala pecah! "Jangan membunuh!"
Thai Liong terkejut.
"Robohkan dan tangkap saja mereka, Eng-moi. Jangan membunuh!"
"Hm, merobohkan dan menangkap bagaimana? Nenek jahat itu berkali-kali mencurangi aku, Liong-ko. Dan kau lihat sendiri betapa dia tak mau menyerah!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ampun!"
Siauw-jin, yang mencelat dan terguling-guling berteriak menyatakan maksudnya itu, gemetar.
"Aku tak akan berbuat curang, nona. Aku minta ampun dan harap kalian mengampuni!"
"Tapi kau mencelakai suhengku!"
Hauw Kam membentak.
"Kau tak dapat diampuni, iblis tua. Diampuni pun tak ada gunanya!"
Dan Hauw Kam yang sengit mencabut pedang dari mayat Cam-kong tiba-tiba menusuk bola mata kakek ini.
Agaknya, mengetahui bahwa iblis-iblis itu tak akan kebal melindungi bola matanya maka laki-laki ini hendak menghabisi si cebol.
Siauw- jin terbelalak dan bingung, sebenarnya mudah untuk menangkis tapi di situ ada Soat Eng dan Thai Liong.
Soat Eng gadis yang galak dan keras hati, sedang Thai Liong pemuda yang lembut dan lemah hati.
Maka meloncat dan bersembunyi di punggung Thai Liong akhirnya kakek itu melolong dan minta sang pemuda menyelamatkan jiwanya.
"Tolong.... aku tak mau dibunuh!"
Benar saja, Thai Liong menangkis pedang ini.
Tak mau si kakek dibunuh dan menampar pedang itu Thai Liong sudah mementalkan pedang di tangan Hauw Kam.
Sang supek terkejut dan berseru marah.
Tapi ketika dia menyerang lagi dan pedang ditangkis patah barulah Hauw Kam terhuyung dan melotot memaki pemuda ini.
"Thai Liong, kau melindungi kakek iblis itu? Kau tak mau mengingat semua penderitaan kami?"
"Sabar,"
Thai Liong mengerutkan kening.
"Lawan yang sudah menyerah tak baik dibunuh, supek. Siauw-jin sudah baik-baik menyatakan menyerah dan kita harus mengampuninya. Dia ditangkap saja dan biar kurobohkan!"
Thai Liong mendahului kata- katanya, bergerak dan sudah menotok roboh si kakek iblis itu dan tergulinglah Siauw-jin dengan muka pucat.
Kalau pemuda itu masih di situ tak apa baginya.
Thai Liong menjamin keselamatannya.
Tapi kalau pemuda itu pergi dan dia ditinggal sendiri, ah, tentu kematian bagiannya.
Dan Siauw-jin ngeri! Tapi ketika dia roboh dan Hauw Kam maupun Soat Eng kecewa oleh kata-kata pemuda ini mendadak terdengar lengking tinggi dan Swat Lian, wanita cantik itu, datang dengan kemarahan besar.
"Thai Liong, untuk apalagi menaruh kasihan? Kau tak tahu bahwa semua iblis-iblis ini adalah pembantu See-ong? Dan kakekmu terbunuh atas bantuan orang-orang ini juga. Keparat, semua harus dibunuh dan akulah yang akan mengantar nyawanya ke neraka.... dess!"
Dan Siauw-jin yang menjerit oleh pukulan jarak jauh tiba-tiba terlempar dan roboh dihantam si nyonya.
Swat Lian muncul dan marah-marah karena tak dapat memburu See-ong.
Dia benci dan dendam sekali kepada kakek iblis itu yang membunuh ayahnya.
Thai Liong berteriak jangan namun terlambat.
Sang ibu sudah datang dan melepas pukulannya itu, pukulan sinkang yang tentu saja membuat Siauw-jin berteriak dan tewas.
Kakek iblis itu dalam keadaan tertotok dan tidak tertotok pun tak mungkin dia mampu menandingi si nyonya, yang sedang beringas.
Dan ketika kakek itu terbanting dan roboh dengan dada hancur maka si nyonya mendelik melihat dua nenek lain menggeletak di situ, Ji-moi dan Toa-ci.
"Mereka ini juga dibiarkan hidup? Masih disuruh menghirup udara segar? Aih, jahanam. Terkutuk!"
Dan Swat Lian yang melengking berkelebat ke kiri tiba-tiba melepas pukulan lagi dan Thai Liong kaget.
Pemuda ini melihat keberingasan ibunya dan dia berkelebat ke depan.
Pukulan sang ibu ditangkis dan terdengarlah suara keras disusul getaran kuat yang membuat Hauw Kam terpelanting.
Bumi seakan diguncang gempa! Dan ketika Swat Lian terpental sementara Thai Liong sendiri juga berjungkir balik, menghindari tolakan tenaga dari pertemuan sinkang mereka maka pemuda itu buru-buru mengusap keringat dan melindungi dua nenek itu dengan tubuhnya.
"Jangan... ampunkan mereka, ibu. Toa-ci dan Ji-moi sudah menyerah. Orang menyerah tak boleh dibunuh! Ingat pesan ayah dan jangan marah-marah!"
"Kau!"
Sang nyonya berapi-api.
"Kau berani melawan ibumu, Thai Liong? Kau berani menentang? Minggir, jangan membuat aku naik pitam!"
"Maaf,"
Thai Liong pucat.
"Justeru naik pitammu itulah yang harus diredakan, ibu. Kau kehilangan pikiran jernih karena tak mampu mengejar See-ong. See-ong memang bagian ayah, karena ayah terikat perjanjian dengan Sian-su. Harap ibu sabar dan tidak membunuh dua nenek ini yang sudah kutangkap..."
"Jahanam, kau anak tiri yang banyak tingkah... wut!"
Dan Swat Lian yang mendidih oleh semua kata-kata Thai Liong tiba-tiba berkelebat dan menghantam pemuda itu.
Pikiran jernihnya lenyap dan Thai Liong dipandangnya penuh benci.
Kata-katanyapun meluncur tanpa dipikir.
Thai Liong dimakinya anak tiri yang tak tahu diri, satu makian atau bentakan yang membuat pemuda itu tiba-tiba pucat.
Muka yang sudah pucat semakin pucat saja oleh makian itu.
Sang ibu tiba-tiba tampak begitu ganas dan benci.
Dia seakan musuh besar yang akan dibantai! Dan ketika Thai Liong terkejut dan mengeluh, Soat Eng menjerit memperingatkan ibunya maka pukulan yang menghantam dahsyat itu diterima dan tidak ditangkis.
"Ibu....!"
Teriakan atau lengkingan itu hampir bersamaan dengan tibanya pukulan.
Suara keras menggetarkan tempat itu dan Thai Liong pun mencelat, terlempar dan terbanting muntah darah.
Soat Eng berteriak dan Swat Lian pun tertegun.
Nyonya ini terhenyak setelah Thai Liong menerima pukulannya, tidak menangkis, membiarkan saja pukulannya itu mendarat dan tentu saja Thai Liong terlempar.
Dan ketika pemuda itu muntah darah dan terduduk di sana, pucat pasi maka sang nyonya tersentak dan sadar dari semua kegelapan pikirannya.
"Ooh...!"
Swat Lian berkelebat, tangis pun tiba- tiba meledak.
"Kau.... kau terluka, Thai Liong? Kau tidak menangkis pukulanku?"
"Tak apa..."
Thai Liong menggigit bibir.
"Anak tiri tak perlu dikasihani, ibu. Aku bersalah dan sepantasnya mendapat pukulan ini. Aku tak tahu diri. Aku...."
"Tidak.... tidak!"
Sang nyonya menjerit-jerit.
"Kau tak bersalah, Thai Liong. Kau tak pantas mendapat perlakuanku seperti ini. Ah, aku mata gelap. Akulah yang tak tahu diri!"
Dan ketika si nyonya mengguguk dan menciumi Thai Liong, sadar akan kesalahannya maka sesosok tubuh kecil berkelebat dan menegur wanita itu.
"Ibu, apa yang kau lakukan terhadap Liong-ko? Kau melukainya? Kau memukulnya? Ah, terlalu sekali. Kau tak tahu bahwa Liong-ko telah menolongku dari tangan dua nenek iblis ini. Kau harus minta maaf!"
Dan Beng An yang muncul serta marah-marah kepada ibunya lalu mendorong dan menahan punggung pemuda ini, disusul kemudian oleh encinya dan Soat Eng juga menyesali ibunya itu kenapa ibunya demikian sembrono.
Swat Lian semakin bersalah dan merasa tak enak saja.
Thai Liong dipeluk tapi cepat ditempel pundaknya, mengerahkan sinkangnya dan mengobati pemuda itu.
Namun ketika Thai Liong menolak dan bangkit berdiri, terhuyung, maka terdengar seruan minta tolong.
"Thai Liong, tolong....!"
Thai Liong terkejut.
Ituchi, temannya, tiba-tiba disambar dan dipondong See-ong.
Kakek iblis itu tertawa bergelak dan dibelakangnya berkelebat bayangan Togur.
Pemuda yang tadi sudah ditangkap itu tiba-tiba saja lepas, entah bagaimana.
Mungkin ditolong kakek iblis itu karena Hauw Kam dan lain-lain sedang sibuk.
Masing-masing terlibat urusannya sendiri dan pemuda yang digeletakkan disitu rupanya diam-diam ditolong kakek ini, yang butuh kawan.
Dan ketika Thai Liong terkejut dan melihat See-ong berkelebat ke pantai maka Togur terbahak menyambar Beng An.
"Ha-ha, dan kau kesini, bocah. Ikut aku!"
Thai Liong bertambah kaget saja.
Ibunya, Swat Lian, sedang menolong dirinya dan Soat Eng pun tak menjaga sang adik.
Jatuh dan terlemparnya dia tadi membuat ibu dan adiknya gugup.
Soat Eng tak tahu bahwa See- ong masih juga belum tertangkap.
Kakek iblis itu berkali-kali lolos dan Pendekar Rambut Emas dikelabuhi, berpindah-pindah tempat dan kini kakek itu tiba-tiba malah membebaskan Togur, yang memang pingsan terkena totokan.
Dan ketika Beng An kini juga disambar dan untuk kedua kalinya bocah itu diculik maka Swat Lian yang terbelalak dan kaget melompat bangun tiba-tiba membentak.
"Lepaskan anakku!"
Namun Thai Liong mendahului. Pemuda ini berkelebat sebelum ibunya membentak dan menyambar Togur. Tapi karena dia sedang terluka dan gerakannya lemah maka Togur yang tahu melihat itu tiba-tiba menangkis dan menendang lawannya.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pergi kau.... dess!"
Thai Liong mencelat, disambut tawa yang terbahak-bahak dan tiba- tiba mengikuti See-ong.
Kakek itu telah lari ke pantai namun kembali lagi.
Pendekar Rambut Emas, lawan yang tangguh itu mencegat.
Berkali-kali kakek ini harus pulang balik dari satu tempat ke tempat lain, sambil akalnya bekerja melihat kalau ada sesuatu yang dapat dipakai untuk menyelamatkan diri.
Maka ketika Ituchi muncul dan pemuda itu terbelalak menyerangnya tiba-tiba saja kakek itu menangkap dan merobohkan si pemuda.
Ituchi berteriak namun lawan sudah mencengkeramnya.
Hek-kwi-sut dipergunakan dan lenyaplah kakek itu membungkus lawannya dalam ilmu hitam.
Tapi ketika di belakang terdengar seruan dan bayangan kuning emas menyambar tiba-tiba Kim-mou- eng, pendekar yang lama-lama gemas dan jengkel menghadapi kakek iblis ini berseru mengancam.
"See-ong, menyerahlah baik-baik. Atau aku akan menghantammu dengan pukulan khusus!"
"Ha-ha, pukullah. Sudah berkali-kali aku menerima pukulanmu, Pendekar Rambut Emas. Tapi setiap kali itu pula aku masih dapat bangun. Agaknya pukulanmu masih lemah, tangkap dan robohkan aku kalau bisa!"
"Aku dapat merobohkanmu, dan dulu kau sudah kutangkap! Tapi sadarlah, aku masih bersikap lunak, See-ong. Jangan membandel atau kali ini aku benar-benar akan bersikap keras!"
"Ha-ha, siapa takut? Coba keluarkan sikap kerasmu itu, Pendekar Rambut Emas. Dan kulihat seberapa kerasnya...... dess!"
Si kakek mencelat, berhenti mengeluarkan ejekan dan tiba-tiba dia menjerit.
Sebuah pukulan merah menghantamnya dari belakang dan terjungkallah kakek itu tunggang-langgang.
Dan ketika sebuah pukulan putih menyambarnya lagi dan kakek itu berteriak maka baju pundaknya hancur dan meleleh seperti timah panas dipanggang.
"Aduh, pukulan setan. Terkutuk...!"
See-ong meloncat bangun.
Kakek ini terkejut karena Pendekar Rambut Emas tiba-tiba mengeluarkan dua macam pukulan yang berbeda.
Satu berwarna merah sedang yang lainnya putih.
Dua kali dia menerima pukulan dan berteriak bagai dibakar.
See-ong tak tahu pukulan apa itu tapi yang jelas membuat dia seperti dipanggang.
Bajunya hangus dan hancur.
Tapi ketika kakek itu memekik dan mengeluarkan Hek-kwi-sutnya, membentak, maka diapun lenyap berubah sebagai asap hitam bergulung-gulung.
"Ha-ha, coba pukul aku!"
Pendekar Rambut Emas terbelalak. Dia membentak mengeluarkan Pek-sian-sutnya pula dan lenyap sebagai asap putih. Dan ketika asap hitam itu bergulung dan dikejar asap putih, mendadak See-ong lari dan berkelebat ke arah Togur.
"Kita tukar mainan kita!"
Togur tak mengerti. Dia sedang mengikuti si kakek ketika tiba-tiba kakek itu membalik. Dan ketika dia terkejut dan tak paham maksud orang tiba-tiba Beng An dirampas dan kakek itu menyerahkan Ituchi.
"Ha-ha, kita ke Istana Hantu. Bersembunyi di sana!"
Togur terbelalak.
Tiba-tiba saja tawanan di tangannya berganti orang.
Beng An telah dirampas kakek itu sedang Ituchi di tangannya.
Togur terkejut tapi memaki kakek itu, yang dinilai membawa barang lebih berharga.
Dan ketika dia berkelebat dan meminta kembali, dijawab tawa bergelak maka pemuda ini tiba- tiba menyerang kakek itu di balik Hek-kwi- sutnya.
"Keparat, kau licik, See-ong. Serahkan atau kuhajar kau!"
"Haihh...!"
Si kakek terkejut, terhembus ke depan.
"Jangan gila, Togur. Kita sama-sama menghadapi musuh tangguh!"
"Tapi bocah itu lebih berharga daripada ini. Serahkan atau aku akan mengganggumu!"
Dan See-ong yang memaki-maki dan membentak di balik ilmu hitamnya akhirnya melempar Beng An kembali tapi bayangan kuning emas menyambar mendahului. **SF** (Bersambung
Jilid 33) Bantargebang, 09-02-2019, 19.25 (Serial Bu-beng Sian-su) ISTANA HANTU
Jilid 33 * * * Hasil Karya . B A T A R A Pelukis . Soebagio & Antonius S. * * * Percetakan & Penerbit U.P. DHIANANDA P.O. Box 174 SOLO 57101 ISTANA HANTU - BATARA KONTRIBUTOR . KOH AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITER .
SITI FACHRIAH ? PDF MAKER .
OZ Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, di bawah lindungan Undang-undang.
Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang.
CETAKAN PERTAMA U.P.
DHIANANDA ? SOLO 1988 ISTANA HANTU (Lanjutan "Sepasang Cermin Naga") Karya .
Batara
Jilid . 33 * * * "KALIAN manusia-manusia tak tahu malu. Enyahlah!"
See-ong dan Togur menjerit.
Mereka terdorong dan terlempar oleh pukulan Pendekar Rambut Emas, yang lagi-lagi mengeluarkan pukulan anehnya itu, merah dan putih.
Dan ketika Togur mencelat sementara See-ong terguling- guling menyambar Ituchi, karena Beng An dsh disambar ayahnya maka kakek itu berteriak dan lari ke tengah.
"Kita bersembunyi di Istana Hantu, cepat!"
Togur pucat.
Dia ngeri dan gentar melihat pukulan itu tadi.
Dua macam hawa yang berbeda menyerangnya dalam satu pukulan luar biasa, yang pertama dingin sementara yang lain panas.
Jadi seolah dua kutub yang berlainan menggencetnya dari dua arah yang berbeda.
Kalau saja Pendekar Rambut Emas tak memecah pukulannya kepada See-ong pula mungkin dia sudah terbanting dan roboh, tak mungkin bangun lagi.
Maka begitu See-ong berteriak padanya dan Togur meloncat bangun maka pemuda itu sudah melarikan diri dan mengikuti kakek itu.
"Heii, tunggu...!"
See-ong tertawa aneh.
Saat itu Pendekar Rambut Emas memberikan puteranya pada sang isteri.
Swat Lian terbelalak melihat semuanya itu dan mau mengejar.
Tapi ketika sang suami melempar Beng An dan berseru padanya agar menyerahkan lawan dan tak usah ikut-ikutan maka nyonya cantik ini membanting kaki dan berseru gusar.
"Mana mungkin? See-ong atau bocah itu telah menghina kita, suamiku. Aku tak mau tinggal diam dan tetap akan mengejar. Kalau kau hendak menangkap See-ong silahkan, tapi aku akan membekuk bocah itu!"
"Hm, boleh. Tapi jangan membunuh!"
Dan Pendekar Rambut Emas yang sudah berkelebat dan lenyap di balik Pek-sian-sutnya akhirnya mengejar dan memburu See-ong.
Mereka semua tak tahu betapa Thai Liong yang terlempar dan terduduk oleh tendangan Togur tadi harus mengerang dan merintih menahan sakit.
Bukan tendangan itu yang membuatnya kesakitan, tapi oleh pukulan dan kata-kata ibunya tadi.
Ah, Thai Liong memejamkan mata dan makian atau bentakan ibunya tadi serasa menusuk-nusuk ulu hatinya yang sedang berkarat.
Begitu pedih, begitu tajam! Dan ketika ayah ibunya bertikai sendiri dan Soat Eng tertegun di samping ibunya maka pemuda itu diam-diam bangkit berdiri dan terhuyung memutari pulau.
Thai Liong bukan hendak meninggalkan Sam-liong-to justeru sebaliknya hendak menyelamatkan Ituchi.
Temannya itu jelas ditangkap See-ong dan See-ong telah berkata bahwa akan bersembunyi di Istana Hantu.
Tempat itu amat luas dan merupakan istana bawah tanah.
Ada jalan lain selain di tengah pulau, yakni di ceruk atau pantai bawah laut.
Dia akan menyelam di situ dan memasuki Istana Hantu dari tempat yang lain, tempat yang merupakan jalan rahasia karena di situlah dulu dia bersama Soat Eng lepas dari tangan See-ong, ketika See-ong menangkap mereka berdua.
Maka ketika ayah ibunya mengejar dua orang itu di tengah pulau maka pemuda ini sudah terhuyung-huyung menuju tempat yang tidak diketahui orang lain itu.
Dan Thai Liong sudah menyelam.
Berapa lama dia menyelam Thai Liong tak menghitung.
Yang jelas berkali-kali dia harus menahan sakit dan menekan dada.
Tapi ketika dia muncul di permukaan air di ujung terowongan itu maka Thai Liong sudah memasuki Istana Hantu melalui undak- undakan batu yang terus naik ke atas dan merupakan jalan yang gelap dimana dia harus menyalakan obor.
"Sstt...!"
Thai Liong tiba-tiba mendengar sebuah suara.
"Kesinilah, Kim-kongcu. Naik dan matikan obormu!"
Thai Liong terkejut.
Sesosok bayangan tiba- tiba muncul di tangga sebelah kiri dan menyongsongnya.
Dia serasa mengenal suara itu tapi dalam saat begitu tak terduga tentu saja dia kaget.
Maka ketika bayangan itu mengulurkan lengannya, bermaksud menolongnya naik tiba-tiba Thai Liong membentak dan melepas pukulan.
"Heii...!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bayangan itu terkejut.
"Jangan serang, Kim-kongcu. Aku kawan!"
Namun Thai Liong sudah terlanjur melepas pukulan, dikelit dan ditangkis dan bayangan itupun terlempar, terguling-guling, menabrak meja kursi batu dan berseru pucat melompat bangun.
Thai Liong bergoyang karena melepas pukulan tadi berarti mengerahkan tenaga, padahal dia terluka.
Dan ketika dia menyeringai dan obor padam, tak kuat di tangan pemuda yang gemetar ini maka bayangan itu sudah menangkapnya dan mencengkeram.
"Kau terluka,"
Seruan itu jelas bersahabat.
"Ah, bagaimana ini, Kim-kongcu? Bukankah aku tak membalasmu?"
"Siapa kau?"
Thai Liong lupa-lupa ingat.
"Kau membuat kaget namun aku serasa mengenalmu, mengenal suaramu!"
"Aku Siang Le,"
Jawaban itu membuat Thai Liong tertegun.
"Aku orang yang memang sudah kau kenal tapi mungkin saja kehadiranku yang tiba-tiba ini membuat kau kaget!"
Thai Liong mencengkeram lawan.
"Benar,"
Katanya.
"Kau Siang Le! Eh, apa artinya ini, Siang Le? Kau mau apa dan bagaimana bisa ada disini? Kau tak kulihat bersama gurumu. Kau aneh tapi tak sama dengan gurumu!"
"Hm, guruku memang sesat,"
Pemuda ini menarik napas dalam-dalam.
"Dan aku menyesal kenapa semuanya ini harus terjadi, Kim-kongcu. Tapi tak apalah, aku sudah menjadi murid guruku. Dan aku akan menolongmu!"
"Hm!"
Thai Liong mengerutkan kening, sedikit bercuriga.
"Menolong bagaimana, Siang Le? Apa maksudmu?"
"Aku akan membantumu mendapatkan temanmu itu. Bukankah kau datang untuk menyelamatkan Ituchi?"
"Benar,"
Thai Liong tertegun.
"Tapi kau akan berhadapan dengan gurumu!"
"Hm, aku sudah berkali-kali berhadapan dengan guruku itu,"
Siang Le tersenyum pahit.
"Masalah itu tak perlu kau pikirkan, Kim- kongcu. Pokoknya aku akan membantumu dan temanmu itu kuserahkan padamu. Bagaimana?"
Thai Liong tak menjawab.
Sebenarnya dia ragu tapi juga tahu bahwa pemuda yang satu ini lain dari yang lain.
Siang Le tak sama dengan gurunya dan heran bahwa See-ong bisa mempunyai murid macam itu, murid yang lebih suka membangkang daripada menurut! Tapi ketika Siang Le bertanya lagi dan dia terbatuk, luka di dadanya kambuh tiba-tiba pemuda ini terhuyung dan mengeluh menahan sakit.
"Ah, kau luka, tak ingat itu!"
Siang Le tiba-tiba terkejut, meloncat dan memegang pemuda ini.
"Bagaimana kau bisa begini, Kim-kongcu? Siapa yang melukaimu?"
Thai Liong tak menjawab.
Dia menggigit bibir dan tiba-tiba menggigil.
Kenangan itu terlalu pahit dan makian serta kemarahan ibunya terlalu menusuk.
Ah, dia anak tiri! Dan ketika Thai Liong diguncang namun mendorong lawan maka dia minta agar Siang Le tidak bertanya itu.
"Aku luka karena jatuh. Biarlah, aku dapat menolong diriku sendiri dan terima kasih atas bantuanmu."
Thai Liong menelan obat, tak mau ditolong Siang Le dan murid See-ong itu tertegun. Sejenak Siang Le melihat pemuda itu duduk bersila dan mengatur napas. Lalu ketika dirasa baik dan ringan tiba-tiba Thai Liong sudah bangun lagi dan berkata.
"Aku dapat menjaga diriku sendiri. Sudahlah, aku tak mengharap bantuanmu karena tak ingin kau bermusuhan dengan gurumu sendiri."
"Tidak!"
Siang Le tiba-tiba menghadang.
"Aku akan menolongmu setulus hatiku, Kim-kongcu. Kalau kau terluka seperti ini tentu saja semakin besar hasratku untuk menolongmu. Kau tak mungkin menghadapi guruku!"
"Hm, gurumu menghadapi ayahku, tak mungkin menghadapi aku!"
"Benar, tapi kalau dia melihat kau dan menangkapmu tentu ayahmu semakin bingung, kongcu. Marilah, turut kata-kataku dan kubawa kau ke dalam sebuah ruangan rahasia!"
Thai Liong mengerutkan kening.
Siang Le sudah menariknya dan tanpa menunggu jawaban lagi murid See-ong itu membawanya ke atas.
Obor sudah padam namun Siang Le rupanya hapal akan tempat itu, terbukti pemuda ini dapat turun naik dengan enak.
Dan ketika Thai Liong bimbang dan ragu menerima semuanya itu, karena janggal rasanya dia ditolong oleh seorang murid tokoh sesat maka pemuda itu sudah mengetuk sebuah dinding dan terbukalah pintu sempit terbuat dari baja.
"Suhu akan menyembunyikan tawanannya di sini, dan dia pasti datang. Nah, kau bersembunyilah di situ dan aku akan menyambut guruku!"
"Hm, nanti dulu,"
Thai Liong mencengkeram.
"Kau dan aku sebenarnya bermusuhan, Siang Le. Aku tak dapat percaya begitu saja dan jangan kau pergi!"
"Ah, aku justeru tetap di sini,"
Pemuda itu mendesah.
"Dan tentang permusuhan harap jangan disebut-sebut, Kim-kongcu. Gurukulah yang menciptakan semua itu. Aku secara pribadi tak terlibat!"
Thai Liong memandang tajam.
Di dalam ruangan yang remang-remang dan tidak gelap ini dia dapat memandang wajah orang.
Siang Le ditatapnya tajam tapi pemuda itupun balas memandangnya tajam, tak takut, tak menyembunyikan perasaan yang lain dan Thai Liong harus mengakui bahwa tatapan lawannya itu begitu jernih dan jujur.
Siang Le tak menampakkan sikap-sikap mencurigakan atau sebangsanya, pemuda itu tampak begitu sungguh-sungguh dan jujur.
Namun karena Siang Le adalah murid See-ong dan apapun bisa terjadi kalau See-ong marah-marah kepada muridnya maka Thai Liong bersikap waspada dan berkata.
"Baiklah, aku tahu kau tak terlibat, Siang Le. Tapi kalau seandainya gurumu kubunuh tentu kau akan marah dan menuntut balas. Nah, inilah yang harus kuwaspadai karena betapapun juga kau murid See-ong!"
"Hm, kau salah,"
Siang Le malah menggeleng, sedih.
"Kalau guruku mati di tanganmu atau di tangan ayah ibumu aku tak akan menuntut balas, Kim-kongcu. Karena guruku sudah berhutang jiwa dengan membunuh kakekmu. Aku tahu bahwa ayah dan terutama ibumu ingin menuntut balas, karena kematian Hu- taihiap. Tapi karena aku tahu guruku di pihak yang salah maka aku tak akan meneruskan benci-membenci ini dengan saling membunuh. Aku ngeri itu, aku sudah menasihati guruku. Tapi karena guruku seperti itu dan aku tak berdaya mencegah maka apa yang dilakukannya sudah menjadi resikonya pula kalau siapa yang menanam harus memetik buahnya!"
"Kau tak membela gurumu?"
"Orang salah tak patut dibela, Kim-kongcu. Biarpun dia guruku tapi kalau salah tentu saja tak boleh kubela. Aku sudah menetapkan itu sejak dulu!"
"Kalau begitu kau tak berbakti!"
Thai Liong mencoba berdebat.
"Salah atau benar See-ong adalah gurumu, Siang Le. Orang yang telah mendidik dan melepas budi kepadamu. Kau bakal dikutuk!"
"Hm, inilah yang paling tak kusuka untuk dibicarakan. Budi dan kasih sayang guruku! Hm, aku sudah siap menerima kutukan itu, Kim-kongcu, kalau guruku ingin mengutuk. Dan aku juga siap menyerahkan jiwaku kalau guruku menghendaki! Aku melihat hal yang berbeda antara budi dan kebenaran, dan aku telah memisahkannya. Kalau perbuatanku ini dianggap salah oleh guruku biarlah dia menghukum, aku siap menerima. Tapi kalau aku benar aku hanya menginginkan guruku itu insyaf dan sadar, merubah jalan hidupnya."
"Kau tak memberi muka gurumu? Kau bahkan berkata-kata seperti itu? Ah, kau tak pantas sebagai murid See-ong, Siang Le. Kau akan didamprat dan dimakinya habis-habisan!"
"Aku sudah kenyang makian, dan aku siap mendapat kemarahannya. Sudahlah, urusan ini tak perlu dibicarakan lagi, kongcu, hanya membuat hatiku pedih dan luka saja. Sebenarnya aku menyesal kenapa aku harus menjadi murid seorang sesat. Marilah, kau bersembunyi di situ dan dengar suara guruku datang!"
Thai Liong tertegun.
Deru diluar dan teriakan orang jelas menunjukkan adanya See-ong.
Kakek iblis itu rupanya sudah memasuki Istana Hantu dan gema suaranya memantul-mantul menggetarkan.
Di belakang kakek itu berkelebat bayangan Togur dan pemuda tinggi besar itu berteriak pada temannya agar tidak jauh mendahului.
See-ong berkelebat ke sebuah ruangan namun bayangan kuning emas menyambar, menampar dan mendorong kakek itu dan See-ong pun berteriak.
Kakek ini terpelanting dan asap hitam yang dipakainya pun berantakan, pecah oleh pukulan atau tamparan bayangan kuning emas itu, yang berkelebat di belakangnya.
Dan ketika kakek itu tunggang-langgang namun lenyap kembali dalam Hek-kwi-sutnya maka bayangan kuning emas yang memburunya itupun lenyap juga mengimbangi si kakek.
"See-ong, menyerahlah. Atau aku akan membuatmu lumpuh!"
"Keparat!"
See-ong, yang sudah bersembunyi lagi di balik Hek-kwi-sutnya memaki-maki.
"Kau mau membunuh atau melumpuhkan aku terserah kau, Pendekar Rambut Emas. Tapi aku tak akan menyerah dan tetap bertahan sampai titik darah terakhir!"
"Hm, kau keras kepala,"
Kim-mou-eng, yang lenyap dalam Pek-sian-sutnya membentak kesal.
"Kalau begitu aku akan melumpuhkanmu, See-ong, dan maaf bahwa kali ini aku bersikap keras.... dess!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
See-ong menjerit, asap hitamnya buyar dan tampaklah kakek itu terpental di udara, terbanting dan terguling-guling di lantai.
Punggungnya mendapat pukulan kuat dan kakek itu bertahan, gagal dan akhirnya muntah darah.
Tapi ketika Kim-mou-eng berkelebat dan hendak menyerangnya kembali mendadak kakek itu menginjak lantai dan berhamburanlah panah-panah rahasia menuju Kim-mou-eng.
"Wut-wut-wut!"
Kim-mou-eng menampar. Pendekar ini meruntuhkan semua anak panah tapi kakek itu sudah bangun lagi, melarikan diri. Dan ketika lawan mengejar dan Togur berkelebat di samping kakek itu maka See-ong membentak agar menyerang Pendekar Rambut Emas.
"Kau bantu aku, bunuh dia!"
Togur mengangguk.
Gentar tapi memberanikan diri karena berdua dengan kakek itu tiba-tiba dia melepas pukulan.
Kim-mou-eng sedang berkelebat ke arah See-ong ketika dia menghantam dengan Khi-bal-sin-kang, sepenuh tenaga.
Dan ketika pendekar itu terkejut tapi mendengus mengeluarkan suara dari hidung maka See-ong juga mengeluarkan pukulannay dan menghantam lawan.
"Dess!"
Kim-mou-eng lenyap.
Cepat mengerahkan Pek- sian-sutnya tiba-tiba dia sudah menghilang ketika lawan menyerang.
Lalu, ketika See-ong maupun Togur sama-sama terkejut karena dua pukulan mereka beradu sendiri tiba-tiba kakek itu berteriak melihat berkelebatnya asap putih di antara pukulan sinar merah.
"Awas....!"
Namun terlambat.
See-ong sendiri sudah membanting tubuh bergulingan ketika Pendekar Rambut Emas muncul lagi dengan pukulannya yang luar biasa itu, mengelak namun tetap juga keserempet dan See-ong berteriak mengaduh.
Kakek itu terpental dan mengaduh kesakitan karena pukulan itu membakar pundaknya.
Dia sudah bertahan namun tetap juga hangus, bengkak.
Dan ketika kakek itu menggigit bibir dan meloncat bangun tapi jatuh lagi maka disana Togur terlempar dan mencelat oleh pukulan ini, kalah cepat dan memekik dan saat itu berkelebatlah bayangan si nyonya cantik.
Swat Lian mengejar di belakang suaminya ini ketika See-ong maupun Togur memasuki Istana Hantu, berkelebat dan menyelinap di puncak bangunan itu yang menonjol di permukaan tanah.
See-ong melepas pukulan dan coba menahan Pendekar Rambut Emas namun pendekar itu telah berubah bentuk menjadi asap, menyelinap dan enak saja memasuki lubang dimana pukulan See-ong menghantam sia-sia.
Dan ketika Togur juga melakukan hal yang sama namun dorongan Pendekar Rambut Emas jauh lebih kuat dari pukulannya maka dua orang itu tunggang-langgang dan memasuki istana bawah tanah itu sementara si nyonya yang membentak dan mengikuti suaminya juga menerobos dan menyelinap di puncak bangunan misterius itu.
"Serahkan bocah ini kepadaku!"
Togur pucat.
Baik Pendekar Rambut Emas maupun isterinya bukanlah lawan-lawan yang dapat dihadapi.
Dia kalah tinggi dan kalah lihai.
Pendekar Rambut Emas dan isterinya memiliki dua gabungan Lui-ciang-hoat dan Khi-bal-sin- kang, di samping sepasang ginkang mereka yang luar biasa itu, Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang.
Dan karena dia hanya memiliki separuh dari kepandaian suami isteri itu padahal Kim-mou-eng masih memiliki Pek- sian-sut dan pukulan merah putih yang entah apa namanya maka Togur gentar dan pucat melihat si nyonya sudah membantu suaminya.
"Dess!"
Dan diapun terguling-guling lagi.
Togur baru melompat bangun ketika si nyonya sudah berkelebat tiba, menampar dan membentaknya dan mencelatlah pemuda itu oleh pukulan si nyonya.
Dan ketika dia berseru tertahan sementara See-ong sudah bergulingan menjauhi Pendekar Rambut Emas maka kakek itu melarikan diri membiarkannya sendirian menghadapi si nyonya yang berapi-api.
"Heii...!"
Togur panik.
"Jangan tinggalkan aku, See-ong. Atau aku akan menyerah dan nanti menyerangmu sebagai musuh!"
"Keparat!"
See-ong bingung.
"Kalau begitu pegang tanganku, Togur. Pejamkan mata dan berlindung di balik Hek-kwi-sut... slap!"
Togur disambar si kakek, memegang tangannya dan tahu-tahu asap hitam bergulung menghadang di depan Swat Lian.
Si nyonya terpekik karena lawanpun lenyap, terbungkus atau digulung asap hitam itu, Hek-kwi-sut.
Namun ketika suaminya menyambar dan Pendekar Rambut Emas berkelebat dalam bentuk asap putih ternyata asap hitam dipukul pecah dan Togur tampak lagi, terlempar.
"See-ong, bocah itu bagian isteriku. Kau bagianku. Menyerahlah, atau aku akan merobohkanmu!"
See-ong melotot.
Kakek ini basah kuyup dan kemarahan tapi juga kegentarannya memuncak.
Sekarang dia tak dapat berlindung lagi di balik Hek-kwi-sutnya karena lawan akan membuyarkan ilmu hitamnya itu.
Kemanapun dia bersembunyi kesitulah Pendekar Rambut Emas mengejar.
Kakek ini melotot dan pucat mukanya.
Dan ketika Togur terlepas dari tangannya dan apa boleh buat harus menghadapi si nyonya cantik maka kakek itu mengeluh dan berkelebat lenyap memasuki bagian bawah Istana Hantu.
"Togur, kita masing-masing tak dapat melindungi yang lain. Selamatkanlah dirimu, di istana ini banyak ruangan-ruangan rahasia!"
Togur melotot.
Dia melihat temannya itu sudah kabur dan mendahului menghilang, apa boleh buat dia meloncat dan melarikan diri pula.
Tapi ketika di belakang berkelebat sesosok bayangan ramping dan Soat Eng muncul di situ, mencegatnya, maka pemuda ini mendelik dan marah.
"Kau menggangguku di sini? Jahanam, mampuslah!"
Namun Soat Eng sedikit saja di bawah ibunya.
Gadis inipun sudah memiliki Lui-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang, berkelit dan lenyap di hadapan lawan ketika dia diserang.
Dan ketika Togur terbelalak dan terkesiap kaget, maklum bahwa Soat Eng pun bukan gadis biasa maka gadis itu muncul di belakangnya dan tamparannya mengeluarkan kesiur angin dingin ketika membalas.
"Togur, aku ingin kau mengembalikan Cermin Naga. Nah, berikan baik-baik atau aku dan ibu akan menghajarmu...... dess!"
Togur menangkis, lupa bahwa di belakang masih ada sang nyonya yang tak mau tinggal diam ketika pemuda itu menyerang Soat Eng.
Maka ketika Togur menangkis namun di belakangnya lagi berkesiur pukulan lain maka pemuda itu menjerit karena tiba-tiba kepalanya serasa disambar petir.
"Aduh!"
Pemuda ini terjengkang, pening memegangi kepala dan saat itu Soat Eng maupun ibunya berkelebat mengejar.
Sehebat- hebatnya pemuda ini tetap saja dia bukan tandingan lawannya.
Maka ketika dia mengelak namun sebuah tendangan mengenai pangkal telinganya maka totokan nyonya lihai itu mendahului anaknya dan tepat menyentuh tengkuk Togur.
"Bluk!"
Togur roboh tak mengeluarkan suara lagi.
Pemuda itu pingsan dan Swat Lian hendak menampar pecah kepalanya ketika Soat Eng tiba-tiba berteriak memperingatkan ibunya.
Gadis itu berkelebat di depan dan menahan lengan ibunya itu, berseru bahwa ayah mereka melarang membunuh.
Swat Lian mendelik namun teringat Thai Liong.
Seperti itulah Thai Liong mencegahnya dan diapun melemaskan tangan, menepis namun tubuh Togur ditendangnya mencelat lagi hingga menumbuk dinding, patah hidungnya dan ngocorlah darah merah dari luka di wajah pemuda yang sedang pingsan ini.
Dan ketika Beng An berkelebat di situ dan muncul membenarkan encinya maka nyonya itu membanting kaki dan menyuruh Soat Eng mengikat tawanan.
"Baiklah, aku akan terus masuk ke dalam. Jaga dan ikat dia!"
Dan tidak menghiraukan anak- anaknya lagi karena dirundung kecewa akhirnya nyonya ini menghilang ke dalam dan memasuki lorong demi lorong untuk mencari See-ong.
Soat Eng sendiri sudah mengikat dan menangkap Togur, bersebelahan dengan nenek Ji-moi dan Toa-ci yang tadi juga hampir dibunuh ibunya.
Dan ketika enci adik itu mengusap keringat karena peristiwa demi peristiwa yang dialami cukup mendebarkan maka terdengarlah seruan seseorang di atas sana.
"Kim-siocia, kau tak apa-apa? ini aku, Ji Pin. Tolong buka lubang ini lebih lebar agar aku dapat membantumu di dalam!"
Soat Eng tertegun.
Di atas bangunan terlihat sebuah tangan mendorong-dorong dan coba membuka lubang lebih lebar.
Tadi See-ong menghantam tempat itu berusaha menutup, dalam upayanya menghalangi ayahnya agar tidak dapat masuk.
Maka ketika Ji Pin muncul dan laki-laki itu berteriak minta tolong maka suara menguik juga mengiringi garukan- garukan kat di pinggir lubang.
"Ah, kau kiranya bersama Gosar dan Gotin!"
Soat Eng berkelebat, mendorong dan menggerakkan kedua tangannya dan terdengarlah bunyi berkeratak ketika lubang menganga lebih lebar.
Dua gorila di luar sana dan Ji Pin, laki-laki itu, tampak kegirangan melihat Soat Eng menolongnya.
Dan ketika lubang berbunyi keras dan laki-laki ini terperosok maka Ji Pin terpelanting tapi tertawa-tawa gembira.
"Ha-ha, terima kasih, siocia. Syukur kau selamat!"
Soat Eng tersenyum.
Dia sendiri sudah berjungkir balik dan turun lagi di atas lantai, melihat Ji Pin mengebut-ngebutkan bajunya dan memberosotlah dua gorila besar di atas sana.
Tubuh mereka lebih besar dari manusia biasa dan ketika Ji Pin terpelanting justeru mereka sesak menerobos lubang.
Tapi ketika keduanya berdebuk dan jatuh di bawah, di dekat Soat Eng maka gadis itu terkekeh menyambar mereka.
"Gotin, kau semakin gemuk dan tampak segar saja. Aih, lama kita tak bertemu. Kau tak apa- apa, bukan?"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia bunting, siocia!"
Ji Pin tiba-tiba berseru.
"Gotin gemuk karena sudah berisi!"
"Ah,"
Soat Eng terkejut, merah mukanya.
"Bunting? Gotin mau punya anak? Pantas, tak heran kalau kelihatan gemuk!"
Dan ketika binatang itu menguik dan mengendus-endus, menciumi tangan Soat Eng maka Beng An yang ada di situ tiba-tiba menyambar dan memeluk Gosar, gorila jantan.
"Ini binatang-binatang yang dulu kau ceritakan itu, enci? Ini yang jantan dan itu yang betina?"
"Benar, itu Gosar, ini Gotin. Dulu aku dan Liong-ko menundukkannya."
"Ha-ha, dan kekar mereka. Kalau begitu bisa menjadi teman Siauw-houw!"
Beng An yang mencengkeram serta menepuk-nepuk pundak Gosar lalu sudah meminta encinya untuk memberikan dua gorila itu kepadanya.
"Bukankah boleh, enci? Atau aku harus membayarnya?"
"Hush!"
Sang enci melotot.
"Milikku berarti milikmu, Beng An. Mereka adalah teman kita juga seperti halnya Siauw-houw pun sahabatku. Sudahlah, aku perlu mengejar ayah ibu dan kau bersama Ji Pin di sini!"
Lalu membalik menghadapi laki-laki itu Soat Eng melanjutkan.
"Ji-twako, urusan belum selesai. Pemuda ini baru kita tangkap. Kau jagalah dia dan bersama adikku kalian tak usah kemana- mana. Mengerti?"
"Baik, siocia. Tapi mana Kim-kongcu?"
Soat Eng terkejut.
"Mungkin mengejar di lain tempat. Atau..."
Dia ragu-ragu.
"Barangkali Liong-ko menyembuhkan lukanya."
"Benar,"
Beng An tiba-tiba juga teringat.
"Liong-ko tak ada di sana tadi, enci. Kita semua lupa karena sibuk menghadapi See-ong. Ah, kita harus mencarinya!"
"Nanti saja,"
Gadis itu merasa lebih perlu mengejar ayah ibunya.
"Sambil berjalan dapat kucari di dalam, Beng An. Siapa tahu Liong-ko mendahului kita dan ingin menyelamatkan temannya itu!"
Beng An terbelalak.
Sang enci sudah berkelebat pergi dan dua gorila itu mengeluarkan suara nguk-nguk mau ikut, dikibas dan Soat Eng lenyap menyuruh binatang itu bersama Ji Pin, juga adiknya.
Dan ketika gadis itu menghilang sementara Ji Pin bengong di tempat maka Beng An sudah mengajak dua gorila itu main-main dengannya karena Siauw-houw ditinggal di tempat Cen- goanswe.
**SF** "Sekarang kau tak dapat melarikan diri,"
Pendekar Rambut Emas membentak, menempel dan lekat di belakang See-ong seperti bayangan.
"Kemanapun kau lari kesitu aku mengejarmu, See-ong. Nah, sekarang kita sudah disini dan carilah lagi kamar-kamar rahasia lain untuk tempat persembunyianmu!"
See-ong, si kakek iblis, pucat pasi.
Ia sudah lenyap dan menghilang sepuluh kali namun tetap dibayangi juga.
Sepuluh kamar rahasia sudah dipergunakan namun dengan Pek-sian- sutnya Pendekar Rambut Emas itu dapat menerobos.
Sama seperti Hek-kwi-sut pula, Pek-sian-sut yang dimiliki Pendekar Rambut Emas itu akan membuat pemiliknya berubah dari badan kasar ke badan halus.
Dinding atau tembok tak menjadi halangan dan dengan mudah saja Pendekar Rambut Emas itu dapat menembus, seperti roh atau jasad halus yang mampu menerobos semua dinding-dinding tembok, bahkan baja sekalipun! Dan ketika See-ong pucat dan ngeri oleh itu, menyadari bahwa lawan tak dapat dijauhi maka tiba-tiba dia sudah menghantam sebuah dinding baja dimana pintunya yang tebal tiba-tiba menutup dan mereka berdua sudah ada di dalam, Swat Lian terlambat masuk dan nyonya itu melengking-lengking di luar! "Kim-mou-eng, kau hebat dan mengagumkan.
Tapi ini adalah ruangan terakhir yang akan menentukan mati hidupku.
Majulah, dan aku akan bertarung menghadapimu sampai satu di antara kita roboh binasa!"
"Hm, kau tak dapat mengalahkan aku. Sudah berkali-kali kita bertanding dan kau selalu melarikan diri. Apalagi yang kau miliki, kakek iblis? Kau tak sadar bahwa aku dapat menandingimu?"
"Keparat, kita tak perlu banyak omong lagi. Mampus atau kau bunuh aku.... wut!"
See-ong yang meloncat secepat setan tiba-tiba menghantam dan tidak berlindung di balik Hek-kwi-sutnya lagi, melepas pukulan dan kakek itu beringas serta mata gelap.
Sebenarnya, dalam pertandingan berkali-kali dia sudah mempergunakan segala akal dan tipu daya untuk mengalahkan lawannya itu.
Senjata-senjata gelap seperti paku atau jarum- jarum berbisa juga sudah dilepas semua, habis namun selalu gagal dan sia-sia.
Kalau tidak dipukul runtuh ya ditiup balik hingga menyambar mukanya sendiri.
Dalam keadaan terdesak dia lalu mempergunakan Hek-kwi- sutnya dan menghilang, lenyap dalam bentuk roh atau asap hitam.
Tapi karena lawan juga memiliki Pek-sian-sut dan ilmu itu adalah tandingan Hek-kwi-sut, hal yang tak diduga See-ong maka kakek yang biasanya mengandalkan ilmu hitamnya itu menjadi marah-marah dan kelabakan diburu lawan.
Pek-sian-sut lama-lama mengeluarkan cahaya terang yang menyilaukan.
Tempat segelap apapun akhirnya menjadi kelihatan kalau sudah didatangi cahaya Pek-sian-sut itu.
Itulah sebabnya See-ong tak dapat bersembunyi dan selalu ketahuan, dikejar.
Tempat sekecil apapun selalu diketahui lawannya itu dan orang akan terbelalak kalau melihat betapa dua orang ini selalu masuk keluar di lubang- lubang semut.
Celah atau tempat-tempat kecil selalu menjadi tempat persembunyian See-ong dan mengandalkan Hek-kwi-sutnya itu kakek ini dapat masuk atau keluar di tempat-tempat yang dikehendaki.
Lubang semut atau liang tikus sudah bukan menjadi halangan bagi kakek ini.
Jasad halusnya menyelinap dan menerobos semua tempat-tempat itu, seperti roh jahat yang ketakutan melihat bayangan sinar terang, lari dan bersembunyi namun Pendekar Rambut Emas, yang juga memiliki ilmu yang sama namun bersifat bersih, Pek- sian-sut, juga menerobos dan menyelinap ke lubang-lubang dimana lawannya itu melarikan diri.
See-ong akhirnya menjadi kesal dan gentar karena tak ada tempat lagi yang dapat dijadikan tempat persembunyian.
Dia menghantam namun selalu tertolak balik.
Khi- bal-sin-kang yang dipunyai pendekar itu tak mampu dilawannya.
Musuh benar-benar hebat, celaka! Dan ketika ruangan demi ruangan sudah dimasuki kakek itu dan See-ong sudah keluar masuk lorong-lorong rahasia tapi lawan selalu mengejar dan menempel di belakang akhirnya ruangan luas dimana kakek itu mendengus-dengus sudah ditutup pintunya karena See-ong melihat si nyonya cantik, isteri Pendekar Rambut Emas itu, juga selalu mengejar dan melengking-lengking di belakang.
Dan tepat dia menghantam lawan sambil menutup pintu baja maka kakek itu sudah menerjang seperti orang gila.
"Dess!"
Kim-mou-eng tak mengelak, membuang Pek-sian-sutnya dan diterimalah pukulan kakek itu dengan pengerahan sinkangnya.
Ituchi masih dipondong kakek itu dengan sebelah tangan yang lain dan kakek itu terpelanting, menggeram dan maju lagi dan pukulan demi pukulan menghantam dahsyat.
See-ong meliar matanya dan Sin-re-ciang, silat Tangan Karet tiba-tiba dikeluarkan.
Ilmu ini belum dipergunakan dan baru kali itulah dikeluarkan.
Kedua tangan memulur panjang dan tahu-tahu sudah menangkap leher Kim- mou-eng, mencengkeram dan membanting dan Pendekar Rambut Emas itu terkejut karena gerakan lawan demikian tak terduga.
Dan karena Sin-re-ciang memang belum dikeluarkan dan baru kali itulah diperlihatkan maka See-ong mengangkat tinggi-tinggi namun lawan berseru keras mengerahkan Jing- kin-kang (Tenaga Seribu Kati).
"Haiittt....!"
See-ong terkejut.
Lawan tak bergeming dan tubuh Pendekar Rambut Emas itu tiba-tiba berubah seperti gunung, kokoh dan tegak tak terangkat dan tentu saja kakek ini marah.
Dia menambah tenaganya namun lawan juga menambah tenaganya.
Dan ketika kakek itu mendelik dan marah memandang lawan tiba- tiba Pendekar Rambut Emas menggerakkan tangannya dan sebuah tamparan mengenai pelipisnya.
"Plak!"
Kakek itu malah terbanting! See-ong mendelik dan memaki-maki dan segera maju lagi dengan penuh kemarahan.
Sekali dicoba ternyata Sin-re-ciang gagal.
Keparat, kakek itu marah sekali.
Dan ketika pukulan demi pukulan dilepas lagi namun semua itu hanya dikelit atau ditangkis lawan akhirnya kakek itu menggeram mengancam tawanannya, melihat Pendekar Rambut Emas mulai maju dan mendesak, empat kali membantingnya roboh.
"Kim-mou-eng, kau bunuhlah aku. Namun bocah ini juga kubunuh!"
"Hm, kau manusia pengecut. Selamanya licik dan curang. Bocah itu tak tahu apa-apa, See- ong. Urusan kita tak ada sangkut-pautnya dengan pemuda itu. Lepaskan dia, dan kau menyerah!"
"Keparat, siapa mau menyerah? Kau cerewet seperti perempuan, Kim-mou-eng. Bunuhlah aku dan bocah ini juga kubunuh. Lihat, ha- ha...!"
Dan See-ong yang mengerahkan tenaganya mencengkeram pundak Ituchi tiba- tiba mematahkan tulang pemuda itu dimana Ituchi yang pingsan tiba-tiba berjengit, mengeluh namun tidak sadarkan diri dan Kim- mou-eng membelalakkan mata.
See-ong bersikap licik dengan menyiksa tawanannya, satu per satu lalu mematahkan jari-jari tangan pemuda itu atau kakinya.
Suara krak-krek- krak-krek terdengar seperti kerupuk dikeratak, tentu saja membuat Pendekar Rambut Emas marah dan pendekar itu membentak mengeluarkan Pek-sian-sutnya.
Namun ketika dia menghilang dan menyambar lawan ternyata See-ong juga mengeluarkan Hek-kwi- sutnya dan Ituchi pun dibungkus asap hitam.
"Dess!"
See-ong mencelat.
Kakek ini mengaduh karena kali ini Pendekar Rambut Emas memberi pukulan amat keras.
Asap putih menumbuk asap hitam dan buyarlah Hek-kwi-sut kakek itu karena kalah kuat.
Dan ketika keduanya muncul kembali dalam bentuk semula maka Pendekar Rambut Emas berkelebat dan See- ong yang sedang terguling-guling tiba-tiba mendapat dua pukulan putih dan merah yang tepat sekali menghantam tengkuk dan pundaknya.
"Des-dess!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ituchi sekarang terlepas.
Betapapun akhirnya kakek itu tidak kuat dan merintih kesakitan.
Tengkuk dan pundaknya gosong, baju di dua tempat itu hancur dan membara.
Namun karena kakek ini memang hebat dan See-ong adalah seorang kakek iblis yang memiliki kekuatan tubuh mengagumkan maka rasa panas itu dapat ditahannya namun rasa sakit yang membuat tulang-tulangnya remuk tak mampu diatasi.
"Aduh, keparat. Bunuhlah aku!"
Pendekar Rambut Emas merah gelap.
Dia berkelebat dan menampar lagi dan terlemparlah kakek itu menabrak dinding, mendapat tendangan dan mencelat lagi namun See-ong masih mampu bangun.
Kakek itu memang luar biasa dan Pendekar Rambut Emas mengeluarkan lagi pukulan putih merahnya itu.
Dan ketika kakek itu terbanting dan jatuh terduduk, melolong-lolong maka satu tamparan akhir memaksa kakek itu menjerit dan roboh terkapar, muntah darah.
"Aduh, tobat...!"
Sekarang See-ong tertelungkup.
Kakek itu menangis memaki-maki dan sekujur tubuhnya sudah hitam gelap.
Dia tak tahan dan meraung-raung.
Dan persis kakek itu roboh tiba-tiba pintu baja didobrak orang dan berkelebatlah Swat Lian dengan sebatang pedang di tangan.
"See-ong, bayar jiwa ayahku!"
"Tidak!"
Sesosok bayangan lain tiba-tiba meloncat, keluar dari balik dinding.
"Jangan bunuh guruku, hujin. Jangan.... crat!"
Dan bayangan itu yang menangkis pedang di tangan si nyonya tiba-tiba mengeluh dan terbanting roboh dengan luka memanjang di lengan, terguling-guling dan menimpa See-ong dan tertegunlah semua orang melihat kejadian itu.
Pendekar Rambut Emas sendiri siap bergerak ketika bayangan itu tiba-tiba mendahului, muncul dari balik dinding dan itulah Siang Le, pemuda yang menolong gurunya dari ancaman maut.
Dan ketika Siang Le terkejut dan meloncat bangun dengan terhuyung, pucat, melindungi gurunya dengan gagah maka pemuda itu tak menghiraukan cucuran darah yang sobek terkena pedang si nyonya ketika ditangkis.
"Tidak.... jangan bunuh guruku!"
Pemuda itu terbata, menggigil di depan si nyonya.
"Jangan bunuh dia, hujin. Aku siap menggantikannya dan bunuhlah aku!"
Swat Lian tertegun.
Siang Le sudah berlutut di depannya menggantikan See-ong, minta dibunuh sekaligus membebaskan gurunya dari ancaman nyonya cantik itu.
Sikapnya sungguh- sungguh dan matanya begitu tegar memandang lawan.
Namun ketika Swat Lian sadar dan marah, tentu saja tak menuruti kata-kata itu tiba-tiba nyonya ini berkelebat dan menendang si pemuda.
"Minggir, kau bukan orang yang kutuju, bocah. Gurumulah yang berhutang sebuah jiwa dan kini dialah yang harus membayar!"
Namun Siang Le bergerak sigap.
Begitu si nyonya berkelebat mendorongnya tiba-tiba dia mengerahkan Sin-re-ciang.
Silat Tangan Karet yang dapat membuat lengan terulur panjang ini tahu-tahu sudah menangkap pedang.
Swat Lian kaget karena dengan berani pemuda itu memapak pedangnya, siap dibabat putus dan tentu saja nyonya itu terpekik.
Kalau saja tak ada rasa terkejut oleh keberanian pemuda itu barangkali dia akan meneruskan serangannya, apalagi dia sudah dibuat marah dan benci kepada See-ong.
Tapi karena Siang Le memang pemuda yang aneh dan sedikit atau banyak nyonya itu mengakui bahwa pemuda ini tak seperti gurunya, yang jahat dan kejam maka nyonya itu menarik tenaganya dan secepat kilat dia memberikan pedang namun kakinay bergerak dari bawah menendang pemuda itu.
"Dess!"
Siang Le terlempar terguling-guling.
Pemuda itu merampas pedang namun senjata itu terpental ketika dia ditendang, diterima dan ditangkap lagi oleh si nyonya yang berkelebat berjungkir balik, tentu saja tak mau kehilangan senjatanya hanya oleh seorang bocah.
Dan ketika Swat Lian berapi-api dan membentak serta memaki pemuda itu untuk tahu diri maka nyonya ini mengancam akan membunuh lawan kalau Siang Le membandel.
"Aku siap mati,"
Siang Le melompat bangun, lutut terasa sakit.
"Aku tak dapat melihat guruku dibunuh, hujin. Atau kau bunuh aku dulu dan baru kau boleh membunuh guruku!"
"Keparat!"
Nyonya itu memekik.
"Kau tak dapat berbuat apa-apa kalau aku membunuh gurumu di depan matamu, Siang Le. Lihat sekali ini bagaimana kau melindungi gurumu.... wut!"
Sang nyonya berkelebat, marah bergerak cepat dan tahu-tahu pedang menyambar lagi ke leher See-ong.
Kali ini Swat Lian mempergunakan Jing-sian-engnya dan tak ada kesempatan bagi Siang Le untuk menghalangi.
Tadi lututnya ditendang dan rasa sakit yang menggigit membuat pemuda itu meringis.
Tapi karena dia ada di dekat gurunya dan betapapun dia memang akan membela gurunya sekuat mungkin maka pemuda ini membentak dan tiba-tiba melempar tubuh ke depan, memberikan leher atau dadanya untuk dibacok.
"Heii...!"
Teriakan itu terlontar dari tiga buah mulut.
See-ong, yang melihat keberanian dan kenekatan muridnya tiba-tiba menggerakkan kedua tangan ke depan.
Kakek ini lumpuh namun Hek-kwi-sutnya dapat bekerja, cepat membentuk asap hitam dan asap yang menyambar Siang Le itu tiba-tiba membuat si pemuda lenyap.
Swat Lian kaget karena sekarang See-ong pun lenyap.
Tapi ketika terdengar bentakan di sebelah kiri dan Pendekar Rambut Emas juga berkelebat mendorongkan kedua lengannya, mengibas asap hitam maka See-ong pun kelihatan lagi dan saat itu pedang si nyonya membabat ke depan, semua kejadian berlangsung cepat luar biasa.
"Crakk...!"
See-ong buntung lengannya.
Kakek itu berteriak tinggi dan Pendekar Rambut Emas telah melakukan jalan terbaik bagi isterinya.
Pendekar itu tadi tak dapat membiarkan Siang Le menjadi korban tapi juga tak mau See-ong tak mendapat hukuman.
Maklumlah, dendam isterinya sudah sedemikian dalam dan kematian Hu Beng Kui memang harus dibalas.
See-ong harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan saat itulah pendekar ini melakukan jalan yang terbaik, bagi semua pihak.
Dan ketika kakek itu menjerit dan roboh terbanting, lengan kirinya buntung sebatas siku maka Siang Le yang muncul lagi karena Hek-kwi-sut gurunya dipukul buyar tampak tertegun membelalakkan mata.
"Suhu....!"
See-ong menahan sakit.
Kakek itu mendelik dan seakan tak percaya melihat kutungan tangannya yang terlempar di tanah.
Jari-jari tangan itu masih bergerak-gerak tapi akhirnya diam, kaku, bercucuran darah dan luka di siku lengannya itupun mengeluarkan darah yang deras mengalir.
See-ong membelalakkan mata.
Namun ketika kakek ini mengeluh dan terbanting roboh, ditubruk dan diteriaki muridnya tiba-tiba See-ong mengeluarkan suara menyeramkan dan tangan yang menggeletak di atas tanah itu sekonyong- konyong ditiup dan melejit menyambar muka Swat Lian.
"Kim-hujin, kau jahanam keparat!"
Swat Lian terkejut.
Dia tersentak melihat kutungan tangan bisa menyambar ke arahnya.
Tangan itu seolah hidup dan jari-jari yang tadi kaku diam mendadak bergerak, meregang dan mencoblos matanya.
Nyonya ini mengelak namun tangan buntung itu dapat mengejar, persis tangan setan yang berisi roh hidup.
Dan ketika apa boleh buat dia harus menggerakkan pedangnya untuk membacok maka tangan itu putus lagi namun kini dua tangan yang buntung sama-sama menyerangnya, melejit dan terbang lagi menyambar begitu jatuh ke tanah! "Ha-ha, tahu rasa kau, nyonya siluman.
Bacoklah dan kutungi lagi dan setiap kutungan akan menyambarmu dari mana-mana!"
Benar saja, Swat Lian tiba-tiba saja diserang dan disambar jari-jari yang kutung atau tangan yang dibacok beberapa kali itu dari segala penjuru.
Sang nyonya sudah menggerakkan pedangnya namun setiap kutungan tangan itu putus maka yang putus ini akan melejit dan menyambar lagi seperti tangan iblis.
Lima jari yang akhirnya rontok dibabat itu beterbangan menyambar mukanya.
Darah yang berlepotan mengenai nyonya ini dan terpekiklah sang nyonya oleh kejadian mengerikan itu.
See-ong ternyata benar-benar iblis hingga dengan ilmunya kakek itu dapat "menghidupkan"
Kutungan tangannya untuk menyerang si nyonya.
Setiap dibacok tentu jatuh ke tanah tapi menyambar lagi, jumlahnya mendekati dua puluhan dan kutungan tangan yang sudah berubah bentuk sebagai tulang-tulang kecil yang mandi darah ini menyerang si nyonya.
Swat Lian ngeri dan hampir menangis pingsan.
Tapi ketika Pendekar Rambut Emas berkelebat ke See-ong dan membentak serta menusuk telinga kakek itu, yang tiba-tiba mengeluarkan ledakan nyaring maka See-ong berteriak tinggi dan sekonyong-konyong lenyap tanpa bekas.
"Aduhhh....!"
Dan bersamaan itu pula runtuhlah semua sisa- sisa tangan yang tadi beterbangan seperti setan.
Swat Lian terhuyung dan jatuh terduduk, mukanya pucat, tubuh menggigil dan nyaris nyonya ini tak dapat bernapas.
Dia sesak oleh kejadian mengerikan itu, melotot melihat dua puluh kutungan tulang-tulang kecil akhirnya berserakan di tanah.
Bentuknya sudah tak keruan tapi serpihan jari atau tulang-tulang kecil itu sudah tak menyambar- nyambar lagi, seakan sudah tak bernyawa dan nyonya itu tertegun menatap pucat.
Seumur hidup, baru kali itulah dia melihat kejadian luar biasa yang tidak mirip manusia.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
See-ong memang telah mempergunakan kekuatan ilmu hitamnya untuk menyerang nyonya cantik itu, melalui kutungan tangannya yang sudah dibabat si nyonya, Hek-kwi-sut yang luar biasa karena dengan ilmu hitam itu kakek ini dapat "menghidupkan"
Benda-benda mati yang lain, apalagi bagian dari tubuhnya sendiri.
Tapi ketika Pendekar Rambut Emas berkelebat dan menusuk telinganya, meledak, maka sesuatu keluar dari telinga kakek itu dan sebuah bayangan mirip ular melesat dan menghilang meninggalkan si kakek, yang melolong-lolong tapi tidak kelihatan orangnya.
"Aduh, tobat.... ampun...!"
Siang Le dan Swat Lian membelalakkan mata.
Mereka mendengar ratap dan raungan kakek itu namun See-ong tak tampak dimana.
Suaranya begitu kecil dan lirih, memilukan.
Tapi ketika Pendekar Rambut Emas membungkuk dan menjumput sesuatu di tanah maka dua orang itu terpekik melihat See-ong sudah berubah menjadi manusia sebesar jari telunjuk.
"Suhu...!"
Siang Le menyambar ke depan.
Pemuda ini kaget sekali melihat betapa gurunya sudah berubah begitu kecil, merupakan manusia mini yang amat kerdil, ditangkap dan dijepit dua jari Pendekar Rambut Emas untuk diletakkan pada telapak tangannya.
Dan ketika pemuda itu tersentak dan menjerit memanggil gurunya, yang merintih dan meratap maka See-ong kakek tinggi besar yang kini menjadi manusia amat kecil itu memaki-maki Pendekar Rambut Emas.
"Kim-mou-eng, kau jahanam keparat. Kau memusnahkan sumber ilmu hitamku!"
"Hm, tak ada jalan lain,"
Pendekar ini menarik napas dalam dan menjepit leher lawan, yang begitu kecil.
"Kau jahat dan licik, See-ong. Seharusnya kau dibunuh tapi Sian-su melarangku. Kau harus memasuki tempat ini dan selamanya tak boleh berkeliaran lagi."
"Tidak!"
See-ong tiba-tiba menjerit, melihat Pendekar Rambut Emas mengeluarkan semacam kotak emas yang amat kecil, sebesar bangun tubuhnya.
"Jangan masukkan aku kesitu, Kim-mou-eng. Jangan kurung aku di situ. Aku bertobat, ampun....!"
Namun Pendekar Rambut Emas tersenyum pahit.
Isterinya yang berkelebat dan terbelalak mau meremuk lawan sudah didorongnya minggir.
Dengan sungguh-sungguh dan berwibawa pendekar itu berkata bahwa Sian-su tak memperbolehkan mereka membunuh, See- ong harus dilumpuhkan ilmunya dan ditangkap atau dikurung di kotak emas itu, yang merupakan sebuah kerangkeng mini yang amat kecil.
Dan ketika kerangkeng dibuka dan See-ong berteriak-teriak namun tidak diperdulikan maka kakek itu sudah dijebloskan dan Swat Lian maupun Siang Le terbelalak melihat kerangkeng digembok dari luar, juga gembok yang amat kecil dan mini, seperti dongeng seribu mimpi! "Aku telah menghancurkan sumber kekuatan Hek-kwi-sut kakek ini.
Sekarang dia akan mendapat hukuman seumur hidup.
Semua persoalan selesai dan kematian gak-hu (ayah mertua) tak perlu diperpanjang lagi."
"Tapi,"
Swat Lian melotot.
"Dia berbahaya dan kejam, suamiku. Dan See-ong telah berhutang banyak jiwa kepada orang-orang lain yang dibunuhnya!"
"Itu sudah lewat. See-ong tak dapat melakukan kejahatannya lagi dan hukuman ini diharap menyadarkannya sebelum ajal. Aku hanya memenuhi kata-kata Sian-su dan kalau kau ingin mendebat bertanyalah saja kepada Sian-su,"
Dan tidak membiarkan isterinya dilanda dendam lagi Pendekar Rambut Emas lalu bergerak dan tiba-tiba hendak membuang kerangkeng itu ke angkasa. Tapi sebelum pendekar itu melempar See-ong tiba-tiba Siang Le berteriak.
"Nanti dulu, tunggu....!"
Dan bergerak menyambar lengan pendekar itu pemuda ini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, menggigil.
"Kim-taihiap, maafkan aku. Kau memang berhak atas guruku namun kuminta dengan sangat janganlah guruku dibuang dan dilempar ke angkasa. Aku hendak mengajukan permintaan dan sudilah kau mendengarkannya!"
"Hm, kau mau bicara apa?"
"Guruku sudah kalah, taihiap. Dan aku sebagai muridnya juga meminta sebuah hukuman. Tak adil rasanya kalau kau menghukum guruku sementara aku kau biarkan begitu saja!"
"Apa?"
Pendekar ini terkejut.
"Kau minta hukuman? Eh, yang membunuh mertuaku adalah gurumu, Siang Le. Kau tak ada sangkut-pautnya dengan ini. Kalau kau ikut- ikutan tentu aku tak akan membiarkanmu selamat. Tapi kau tak berbuat apa-apa!"
"Benar,"
Pemuda itu mengangguk, air mata tiba-tiba bercucuran.
"Tapi guruku tetaplah guruku, taihiap. Aku harus setia dan membayar semua budi-budinya. Kalau kau menghukum guruku di situ kau masukkanlah aku pula dan biar aku menemani guruku!"
Kim-mou-eng tertegun.
Pendekar itu tiba-tiba membelalakkan mata dan terkejut.
Siang Le ternyata ingin menemani gurunya dan minta dikerangkeng, padahal kerangkeng itu amat kecil dan tak mungkin si pemuda dimasukkan.
Siang Le tak memiliki Hek-kwi-sut dan pemuda itu tak mungkin dikecilkan tubuhnya.
Hanya See-onglah yang dapat diperlakukan seperti itu, karena sumber kekuatan hitam yang dimiliki kakek itu telah dihancurkan dan tadi seekor ular telah keluar dari telinga si kakek, kekuatan hitam yang membuat See-ong amat sakti tapi setelah itu terkena akibatnya, menjadi manusia mini yang amat kecil dan kini kerangkeng mini yang amat kecil pula yang dipakai untuk mengurung si kakek.
Maka begitu Siang Le berkata ingin menemani gurunya dan minta dikerangkeng, padahal pemuda itu tak memiliki Hek-kwi-sut maka Pendekar Rambut Emas pun tak dapat bicara.
"Bagaimana, taihiap? Kau tak dapat memenuhi permintaanku?"
"Hm!"
Sang pendekar sadar, tidak termangu- mangu lagi.
"Kau tak dapat kumasukkan ke dalam kerangkeng ini, Siang Le. Kau tak memiliki Hek-kwi-sut! Kalau kau memiliki ilmu hitam itu dan kulumpuhkan seperti gurumu tentu saja aku dapat memasukkanmu ke dalam kerangkeng ini dan berdua menerima hukuman bersama gurumu!"
"Kalau begitu berikan guruku kepadaku. Biarlah aku menjaganya di sini dan jangan lempar dia ke angkasa!"
"Apa?"
Sang pendekar mengerutkan kening.
"Kau mau meminta gurumu? Kau hendak...."
"Maaf,"
Pemuda itu memotong.
"Aku ingin membayar budi guruku, taihiap. Aku ingin berbakti kepada guruku meskipun dia seorang tokoh sesat! Aku ingin menjaganya di sini dan serahkanlah dia kepadaku atau sekalian saja kau satukan aku dengannya dan buang kami ke tempat yang kau kehendaki!"
"Ah!"
Dan Pendekar Rambut Emas yang tertegun mendengar semua kata-kata itu akhirnya saling pandang dengan isterinya yang tiba-tiba melompat maju.
Swat Lian mendengar semua pembicaraan itu dan terdengarlah tawa bergelak See-ong di dalam kerangkeng.
Dalam keadaan buntung lengannya dan kesakitan rupanya kakek ini bangga dan girang melihat sikap dan kata-kata muridnya.
See-ong mengejek Kim-mou-eng bahwa menghadapi muridnya itu sang pendekar tak dapat berbuat banyak seperti kalau menghadapi dirinya.
Hal itu memang betul karena Siang Le bukanlah seperti gurunya.
Pemuda ini baik dan tak pantas sebagai murid seorang sesat.
Atau mungkin See-ong yang justeru beruntung dapat memiliki murid seperti itu! Dan ketika Swat Lian melotot dan marah memandang kakek itu, yang hanya sebesar jari telunjuk saja maka bayangan Soat Eng berkelebat dan gadis itu juga sudah mendengar semua pembicaraan.
"Ayah, luluskan saja permintaannya. Kakek iblis itu sudah tak dapat berbuat apa-apa!"
"Ha-ha, benar!"
See-ong melengking.
"Aku tak dapat berbuat apa-apa, Kim-mou-eng. Tapi muridku tidak. Dia dapat berbuat apa-aap di sini atau dimana saja!"
"Hm,"
Pendekar Rambut Emas tak menghiraukan.
"Bagaimana pendapatmu, isteriku? Apa yang harus kulakukan?"
"Terserah kau,"
Sang nyonya tiba-tiba bersikap dingin.
"Kau yang menangkap dan mengalahkan lawanmu, suamiku. Aku tak mau campur tangan tapi harap berhati-hati kalau pemuda ini melepaskan gurunya!"
"Hm, benar,"
Pendekar Rambut Emas tiba-tiba bersikap keras.
"Kalau kau mau berbakti dan menjaga gurumu di sini berjanjilah bahwa kau tak akan melepasnya, Siang Le. Aku mau menyerahkan gurumu tapi tak begitu saja seperti permintaanmu!"
"Aku tak akan melepaskan guruku,"
Siang Le berjanji, tiba-tiba girang luar biasa.
"Apa yang kau minta tentu kuturuti taihiap, asal bisa kulakukan!"
"Tentu kau bisa melaksanakannya. Baiklah, begini..."
Dan Pendekar Rambut Emas yang memandang sekeliling tiba-tiba melihat puncak Istana Hantu, melihat sebuah celah kecil yang mirip gunung-gunungan.
"Aku tak jadi melemparkan gurumu ke angkasa, Siang Le. Aku akan menjepitnya di antara dua celah di puncak Istana Hantu itu. Kau boleh menjaga gurumu dan menemaninya di sini tapi berjanjilah bahwa kau tak boleh melepaskannya dari kerangkeng, dan kau juga tak boleh meninggalkan Sam-liong-to, kecuali atas perkenanku! Sanggup?"
Pemuda itu tiba-tiba mengangguk girang, berseri dan membenturkan dahinya tiga kali.
"Sanggup, taihiap. Aku berjanji!"
"Dan kau akan menerima hukuman berat kalau melanggar ini, dibunuh! Sanggup?"
"Aku sanggup, aku berjanji!"
Dan Siang Le yang bersumpah atas nama nenek moyangnya lalu berulang-ulang menyatakan janji atau kesanggupannya itu, juga hukuman yang akan diterima kalau dia melanggar.
Dibunuhpun dia mau, kalau dia sampai melepaskan gurunya.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan ketika semua mendengar dan Swat Lian maupun Soat Eng menjadi saksi maka Pendekar Rambut Emas tiba-tiba menggerakkan tangannya dan meluncurlah kerangkeng itu menancap tepat di tengah- tengah celah atau gunung-gunungan di puncak Istana Hantu.
"Cep!"
See-ong berteriak memaki-maki.
"Janji dan sumpahmu sudah didengar semua orang, Siang Le. Kalau kau melanggar harap terima hukumannya dan jangan menyesal!"
Siang Le mengangguk.
Untuk kesekian kalinya lagi dia membenturkan dahi di atas lantai, bersumpah.
Dia menyatakan bahwa kerangkeng itu tak akan dibukanya.
Bahwa dia akan membiarkan gurunya di situ dan akan menjaga serta menemani, seumur hidup.
Dan ketika gurunya berkaok-kaok di sana tapi Siang Le tak menghiraukan maka Pendekar Rambut Emas bersinar-sinar dan kagum memandang pemuda itu.
Sesungguhnya dia percaya dan tak memiliki keraguan sedikitpun.
Ia kagum akan bakti dan kesetiaan pemuda ini kepada See-ong, hal yang membuat perasaannya tergetar, tersentuh.
Tapi ketika Soat Eng terisak dan membuat semua menoleh, terkejut, maka buru-buru gadis itu berkelebat pergi menyatakan bahwa dia khawatir akan kakaknya, Thai Liong.
"Liong-ko terluka, aku belum menemukannya,"
Begitu gadis itu lenyap meninggalkan ayah ibunya. Pendekar Rambut Emas tertegun, menoleh pada isterinya tapi tiba-tiba isterinya itupun meloncat pergi, berkelebat keluar.
"Benar,"
Sang isteri pun berseru menahan tangis.
"Thai Liong terluka, suamiku. Aku tadi memukulnya. Aku ingin mencarinya."
Pendekar Rambut Emas terkejut.
Sekarang dia merasa urusan sudah selesai dan robohnya See-ong sudah tak merupakan ganjalan lagi.
Tapi mendengar puteranya terluka dan itu disebabkan isterinya yang memukul maka Kim- mou-eng berubah dan tiba-tiba mau bergerak ke depan, mengejar.
Tapi ketika telinganya menangkap erangan lemah dan Ituchi, pemuda yang patah-patah tulangnya siuman dan membuka mata maka sesosok bayangan terhuyung perlahan dan Thai Liong, puteranya, muncul.
"Thai Liong....!"
Pendekar Rambut Emas tertegun.
"Kau terluka?"
"Tidak,"
Thai Liong, pemuda itu, tersenyum menggeleng perlahan.
"Yang terluka adalah pemuda ini, ayah. Aku akan menolongnya dan jangan kau khawatir tentang aku."
Thai Liong sudah membungkuk, menolong Ituchi dan sebentar kemudian pemuda itu sudah memapah temannya.
Pendekar Misterius Karya Gan Kl Kucing Hitam Karya Edgar Allan Poe Pedang Siluman Darah 26 Munculnya Kera
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama