Istana Hantu Karya Batara Bagian 9
"Goblok, jangan diam saja! Hayo pasukan panah bergerak!"
Pasukan terkejut.
Mereka sadar dan menciut nyalinya, bentakan itu disertai pula ancaman kepada mereka.
Seolah Togur siap menelan kepala mereka bulat-bulat.
Maka begitu pemuda itu membentak dan pasukan panah bergerak maka Kim-mou-eng segera disambar puluhan panah dari segala penjuru, mencegat gerakannya yang selalu ingin mendekati Togur.
"Sing-singg...!"
Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening.
Hujan senjata yang tiba-tiba menyambar dari segala penjuru tak membuatnya terkejut, dia mengibas dan sebagian besar panah tersampok, runtuh terkena angin kebutannya.
Tapi ketika Togura mulai menyelinap dan bersembunyi di balik ribuan pasukannya maka pendekar ini membentak.
"Hei, jangan lari, Togur. Kau sengaja kucari untuk kutangkap. Kemarilah, jangan bersembunyi!"
"Ha-ha, kau bodoh. Aku adalah pemimpin di sini, Kim-mou-eng. Kalau kau ingin menangkap aku tentu saja kau harus berhadapan dengan pasukanku!"
"Licik! Kau, ah...!"
Dan Kim-mou-eng yang harus menghadapi hujan senjata lagi tiba-tiba mendapat serangan Siauw-jin dan kawan- kawan, berkelebat menangkis mereka dan tiba-tiba lima orang itu menjerit.
Mereka terlempar dan terpental semua.
Lalu ketika lima iblis itu bergulingan dan Kim-mou-eng mengerahkan Cui-sian Gin-kangnya mendadak pendekar ini lenyap membingungkan pasukan panah, yang tiba-tiba kehilangan sasaran.
"Hei, dia di sini!"
Itu teriakan Togur.
Pemuda ini memang sengaja mulai meninggalkan pertempuran karena dia gentar menghadapi Kim-mou-eng, karena berkali-kali pendekar itu memandangnya dan berusaha mendekati, menggeram dan suaranya seolah di belakang kuduk.
Ke manapun Togur lari ke situ pula Pendekar Rambut Emas membayangi, pucat pemuda ini.
Maka ketika lima gurunya terpental semua dan pasukan panah kehilangan Kim-mou-eng tiba-tiba pemuda itu menunjuk ke bayangan kuning emas yang berkelebat luar biasa cepatnya, mengejutkan pasukan panah yang tiba-tiba melihat itu.
Maka begitu mereka menjepret panah namun di sana Kim-mou-eng sudah melepas pukulan untuk merobohkan pemuda ini maka Togur membalik dan terpaksa menangkis pukulan lawan.
"Dukk!"
Togur mengeluh.
Dia terlempar dan terbanting bergulingan karena Kim-mou-eng menggabung pukulannya dengan Lu-ciang-hoat.
Khi-bal-sin- kang diredam dan Togur mencelat.
Dan ketika pemuda itu terguling-guling namun untung pasukannya melindungi dengan panah yang berhamburan maka Kim-mou-eng terhalang gerakannya ketika harus menangkis atau meruntuhkan panah-panah itu.
"Plak-plak-plak!"
Gerakan ini menunda.
Kim-mou-eng mengutuk ketika di sana lawannya sudah melompat bangun, memaki dan membentak pasukan agar melindungi dirinya dengan baik.
Panah kembali berhamburan dan kini majulah pasukan besar itu menghadang perjalanannya, pendekar ini marah.
Dan ketika tak lama kemudian pemuda itu sudah lenyap di balik pasukannya yang besar sementara hujan serangan juga kian menghebat saja tiba-tiba Kim-mou-eng sudah harus menghadapi ribuan orang ini, bukan Togur atau kelima gurunya yang entah menghilang ke mana.
Lenyap melarikan diri! Dan karena pendekar itu menjadi naik darah karena dengan licik dan curang Togur bersama gurunya menyuruh pasukannya yang maju akhirnya pendekar ini menyapu roboh dan berkelebatan menangkis semua hujan senjata.
"Hei, berhenti kalian. Berhenti... plak-plak- plakk!"
Kim-mou-eng geram, menangkis dan memukul runtuh semua panah dan tombak dan orang-orangpun yang dekat dengannya disambar angin pukulannya, menjerit dan terlempar ke kiri kanan namun yang di belakang terus maju mendapat aba-aba.
Pendekar Rambut Emas itu tiba-tiba dikurung di tengah namun semua berpelantingan setiap dia menggerakkan kedua tangannya ke kiri kanan.
Dan ketika Pendekar Rambut Emas meroboh-robohkan musuhnya sementara Togura dan guru-gurunya lenyap entah ke mana maka terdengarlah suara aneh dan tawa bergelak di balik bentakan dan geraman pendekar itu.
"Ha-ha, bagus. Kau roboh-robohkanlah mereka itu, Kim-mou-eng. Kau binasakanlah mereka semua. Habis di sini aku akan mencari yang lain, gagal di sini aku pasti tak akan gagal di tempat yang lain!"
Kim-mou-eng terkejut.
Tiba-tiba dia sadar bahwa membunuh pasukan ini bukanlah tujuannya.
Mereka hanya orang-orang yang diperalat Togura dan justeru pemuda itulah yang harus ditangkap.
Kalau pemuda itu bersembunyi dan kini menyerahkan pasukannya untuk dibantai sungguh tidaklah tepat tindakannya.
Dia datang bukan untuk membuat banjir darah.
Pasukan yang mengepungnya ini bukanlah musuhnya, lagipula mereka memang bukan tandingannya.
Maka begitu melengking dan mendorong seratus orang yang ada di depannya tiba-tiba Pendekar Rambut Emas berjungkir balik dan sudah bergerak luar biasa cepat di atas kepala ribuan orang.
"Baiklah, aku gagal menangkapmu, Togura. Kau anak setan yang keji dan kejam. Kalau kau bersembunyi dan sengaja memberikan pasukanmu untuk kubunuh maka kau keliru. Aku akan datang lagi kelak!"
Dan lenyap membuat pasukan bengong tiba-tiba pendekar ini telah meninggalkan Shen-yang dan kecewa tak dapat menangkap sasarannya, apa boleh buat harus pergi dan tak mau membunuh- bunuhi orang-orang tak berdosa.
Dia bukanlah Siauw-jin atau teman-temannya yang berwatak kejam.
Dia akan kembali dan memberi tahu isterinya.
Dan ketika pendekar itu menghilang sementara pasukan tertegun dan bengong maka malam itu Shen-yang cukup terguncang, melihat kesaktian Pendekar Rambut Emas dan Togur menunda serangannya ke kota raja.
beberapa penasihatnya memberi tahu bahwa mungkin saja Pendekar Rambut Emas mendahului ke kota raja, menghadap kaisar dan mungkin akan datang kembali dengan pasukan yang besar.
Maklumlah, Kim-mou-eng memang sahabat istana.
Dan ketika semuanya itu menyadarkan pemuda ini dan Togur jerih melihat kesaktian lawan yang memang luar biasa maka pemuda ini diam-diam menyesal tak dapat menangkap Soat Eng.
"Keparat, kalau saja dulu Siang Le tidak menghalangi rencanaku tentu gadis siluman itu berhasil kutangkap. Heh, kita harus berhati- hati kalau Pendekar Rambut Emas datang lagi, suhu. Aku benar-benar harus mendapatkan Lu- ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang!"
"Hm, bagaimana caramu?"
"Aku belum tahu, tapi sambil berjalan aku akan memikirkannya!"
Dan ketika hari itu Shen-yang dibuat gempar dan Togur beserta gurunya menjadi waspada akan datangnya Kim-mou- eng maka di sana Pendekar Rambut Emas itu sendiri terbang dan lenyap di luar pintu gerbang.
**SF** "Aduh, tolong...
lepaskan aku, tolong....!"
Thai Liong dan Ituchi terkejut.
Waktu itu mereka berlari cepat untuk menuju ke tempat Cucigawa, sesuai yang direncanakan.
Tapi ketika teriakan itu terdengar melengking dan rupanya seorang wanita atau gadis terancam bahaya tiba-tiba Thai Liong melesat ke kiri menuju asal suara, meninggalkan temannya.
"Hei, tunggu, Thai Liong. Jangan sendiri!"
Ituchi terkejut, mengejar temannya ini dan membelokkan arah namun Thai Liong tak tersusul.
Dengan gerakan Jing-sian-eng yang luar biasa pemuda ini sudah bergerak, mendahului temannya.
Dan ketika di sana Ituchi berteriak dan menyusul maka Thai Liong memasuki hutan di mana teriakan minta tolong ini terdengar, mendengar tawa bergelak di sana dan kiranya seorang gadis tertangkap segerombolan laki-laki.
Gadis itu koyak-koyak pakaiannya dan para lelaki itu mempermainkannya.
Thai Liong merah dan marah.
Maka begitu dia berkelebat dan tangan- tangan yang kurang ajar mengusap serta meremas tubuh wanita itu tiba-tiba Thai Liong menggerakkan kaki tangannya dan terlemparlah belasan lelaki kasar itu.
"Lepaskan dia... bluk-plak-dess!"
Thai Liong membuat terkejut orang-orang ini, yang seketika berteriak kaget dan terlempar ke kiri kanan.
Mereka kaget melihat bayangan pemuda itu yang menyambar datang, berkelebat dan tahu-tahu tamparan atau tendangan telah membuat mereka semua mencelat, tak ada yang tidak menjerit.
Dan ketika semua laki-laki itu berseru kaget dan gadis atau wanita itu terlepas maka Thai Liong sudah menyambar serta menahan wanita itu, yang menangis tersedu-sedu, mau jatuh.
"Tenang, aku menolongmu, nona. Siapa mereka ini dan bagaimana kau seorang diri ada di sini?"
"Aku... aku, ah... aku tidak seorang diri, kongcu. Mereka ini perampok-perampok hina yang mengeroyok barang kawalan ayahku. Di pohon itu ayahku dan anak buahnya roboh bergelimpangan!"
"Hm, kau puteri seorang kauw-su (guru silat)?"
"Ya, tapi... tapi aku tak mau belajar silat, kongcu. Aku... awas!"
Gadis itu terpekik, melihat dua orang perampok meloncat bangun dan tiba-tiba dengan geram mereka menyerang pemuda ini, dengan bacokan golok, diteriaki tapi tentu saja Thai Liong tahu.
Desir senjata itu sudah ditangkap telinga Thai Liong.
Maka begitu golok menyambar dan tengkuk pemuda ini dijadikan sasaran tiba-tiba dengan gerakan ringan dan tanpa menoleh Thai Liong menyentil dua senjata itu yang deras membacoki dirinya.
"Cring-tak!"
Dua golok itu patah.
Thai Liong membuat dua orang lawannya terkejut, menggerakkan kaki dan mencelatlah dua perampok itu ketika Thai Liong menyepak seperti kuda.
Dan ketika gadis di depannya terbelalak sementara dua orang itu menjerit terbanting roboh maka Thai Liong bertanya lagi bagaimana selanjutnya, tenang dan tidak menghiraukan belakang.
"Nah, apalagi yang terjadi. Di mana kereta barang ayahmu dan di mana pula ayahmu."
"Ayah... ayah..."
Gadis ini terbelalak.
"Ayah di belakang pohon itu, kongcu. Tapi... tapi, awas!"
Gadis itu menjerit lagi, melihat lima perampok yang lain menyerang dengan bentakan marah.
Thai Liong kembali tidak mengelak atau menghindari serangan- serangan itu, hal yang membuat si gadis memekik ngeri.
Tapi ketika kelima senjata menyambar datang dan pemuda ini ingin memberi hajaran keras maka tanpa menoleh tiba-tiba Thai Liong menyambut sebuah golok yang paling depan, menangkap dan menekuknya patah lalu secepat kilat melempar patahan golok yang sudah diremas hancur, menghamburkannya ke lima orang itu, hal yang tentu saja tak diduga.
Maka begitu terdengar jerit dan pekik kelima perampok itu maka gadis yang berbicara dengan Thai Liong tertegun melihat para perampok yang bergulingan mengaduh-aduh ini, pundak atau pipi mereka tertancap serpihan golok.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aduh... aduh...!"
Gadis itu bengong.
Tujuh perampok tiba-tiba saja sudah dirobohkan begitu mudah, tanpa menoleh.
Betapa gampangnya! Tapi ketika terdengar geram dan bentakan kepala rampok, yakni laki-laki tinggi besar yang berikat kepala hitam tiba-tiba gadis itu menjerit lagi karena bersama sisa perampok yang lain, sebelas orang jumlahnya, tiba-tiba mereka ini menerjang Thai Liong.
"Awas, kongcu...!"
Thai Liong bergerak lebih cepat.
Melihat lawan tak jerih juga setelah dia merobohkan tujuh yang pertama tiba-tiba Thai Liong mengeluarkan seruan marah.
Pemuda ini berkelebat dan lenyap, Jing-sian-engnya kembali bekerja.
Dan ketika lawan berseru tertahan karena kehilangan dirinya mendadak Thai Liong sudah muncul lagi dalam bentuk bayangan kuning emas yang berkelebatan di antara sebelas orang itu, ditambah si kepala rampok.
"Kalian tak tahu diri, robohlah... plak-plak- plak!"
Thai Liong membagi-bagi pukulan, tidak terlalu kuat namun dua belas orang itu sudah merasa kepalanya seakan pecah.
Mereka menjerit dan bergulingan melepas senjata, mendekap kepala sambil mengaduh-aduh.
Dan ketika si kepala rampok mendapat bagian paling keras karena di samping menampar kepala si tinggi besar ini Thai Liong juga menendang lututnya maka kepala rampok itu menjerit seperti babi dipagut ular berbisa karena tempurung lututnya tergelincir.
"Huwaduh...!"
Kepala rampok itu berteriak kesakitan.
Tubuhnya kontan roboh dan kepala rampok ini tak dapat bangun berdiri, mengaduh-aduh dan berteriak pada anak buahnya agar menolong dirinya.
Dia tak dapat bangun selain memegangi kakinya itu, lutut yang bengkok dan tak dapat dipakai berjalan.
Dan ketika anak buahnya semua terkejut dan sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda sakti maka bagai diingatkan saja mereka teringat Kim-mou-eng, Pendekar Rambut Emas, karena rambut Thai Liong memang sama kuning keemasan seperti ayahnya.
"Dia... dia Pendekar Rambut Emas. Lari... dia Kim-mou-eng...!"
Semua orang tiba-tiba berserabutan.
Si kepala rampok meneriaki pada pembantunya agar tolong dipapah, gentar dan pucat setelah mengenal siapa lawannya.
Kiranya Kim-mou- eng, nama yang memang sudah dikenal di seluruh jagad.
Lupa bahwa Kim-mou-eng tak mungkin selalu tetap muda sejak dua puluh tahun yang lalu! Maka begitu yang lain berlarian dan si tinggi besar ini sudah ditolong empat pembantunya maka Thai Liong tersenyum melihat mereka terbirit-birit, tak mengejar.
"Kau Kim-mou-eng? Kau Pendekar Rambut Emas? Aih, maaf, siauwhiap (pendekar muda). Aku telah menyebutmu kurang hormat!"
Adis yang koyak-koyak pakaiannya itu juga tiba- tiba terkejut, membelalakkan matanya lebar- lebar dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.
Kiranya nama Kim-mou-eng memang rupanya sudah tersohor hingga gadis yang tidak bisa silat inipun mengenal nama Pendekar Rambut Emas itu, berlutut dan menggigil di depan Thai Liong, hal yang membuat Thai Liong ganti terkejut.
Maka begitu si nona menjatuhkan diri berlutut dan pucat mukanya tiba-tiba Thai Liong menarik bangun berkata, tepat bersamaan dengan datangnya Ituchi, yang berkelebat muncul.
"Aih, jangan begini, nona. Kim-mou-eng adalah ayahku, bukan aku!"
"Apa?"
"Benar, aku adalah Thai Liong, puteranya."
Dan ketika gadis itu tertegun dan terbelalak memandang Thai Liong maka Ituchi yang berkelebat di situ berseru.
"Thai Liong, apa yang terjadi? Kenapa orang- orang itu lari terbirit-birit?"
"Siapa kongcu ini?"
Mendadak gadis itu bertanya, mendahului Thai Liong.
"Apakah... apakah teman para perampok itu?"
"Ha-ha, tidak!"
Thai Liong menjawab, tertawa.
"Dia sahabatku, nona. Putera Raja Hu. Eh...!"
Thai Liong menoleh pada temannya.
"Nona ini baru dipermainkan perampok, Ituchi. Dia ketakutan dan mereka yang lari itu adalah perampok-perampok yang kuhajar. Dia puteri seorang kauwsu!"
"Hm!"
Ituchi mengerutkan kening.
"Dan ayahnya?"
"Benar,"
Thai Liong tiba-tiba teringat.
"Ayahnya di sana, Ituchi. Roboh...!"
Pemuda itu berkelebat, tiba-tiba sudah berada di balik pohon besar dan melihat bergelimpangannya tubuh-tubuh yang mandi darah.
Seorang tua merintih dan tidak kurang dari tiga puluh orang malang-melintang di situ.
Thai Liong terkejut dan sudah berjongkok di dekat orang tua ini, kakek yang mandi darah dan rupanya dia seorang yang masih hidup, meskipun dalam sekarat.
Dan ketika Thai Liong menotok dan membantu orang tua itu untuk bersandar di pangkuannya maka kakek itu membuka mata dan tampak terkejut melihat Thai Liong.
"Kim... Kim-mou-eng...?"
"Bukan,"
Thai Liong terharu, menjawab pendek.
"Aku Thai Liong, orang tua. Apakah kau pemimpin yang diserang perampok- perampok itu?"
"Beb... benar..."
"Mana barang antaranmu?"
"Ooh...!"
Kakek itu tiba-tiba mengeluh, melihat gadis yang koyak-koyak pakaiannya itu, yang sudah berkelebat bersama Ituchi.
"Kau... kau..."
Kakek ini sukar bicara, melotot dan tiba-tiba kejang-kejang. Dan ketika dia mendelik dan gadis yang koyak pakaiannya itu menangis tiba-tiba kakek ini menggeliat dan menuding-nuding, menunjuk gadis di dekatnya itu.
"Dia... dia..."
Namun gadis ini tersedu-sedu. Sambil menjerit menyebut "ayah"
Tiba-tiba gadis itu menubruk kakek ini, mengguguk dan memanggil-manggil ayahnya.
Thai Liong terkejut karena gadis itu memukul-mukuli ayahnya, si kakek yang semakin mendelik dan berkelojotan.
Dan ketika kakek itu seolah orang ketakutan tapi juga marah besar tiba-tiba terdengar suara tertahan dari kerongkongannya dan tiba-tiba terkulailah kakek itu.
"Ayah...!"
Thai Liong dan Ituchi terkejut.
Kakek yang hendak ditolong itu tiba-tiba tewas, matanya mendelik dan gadis yang menjadi puterinya ini menggerung-gerung.
Dan ketika Thai Liong terkejut bersama temannya mendadak di tengah hutan terdengar jerit melengking tinggi.
"Tolongg...!"
Thai Liong tertegun. Telinganya yang tajam mendengar suara memberebet, seperti kain sobek. Lalu ketika suara itu disusul tawa dan sorak laki-laki mendadak pemuda ini berkelebat ke tengah hutan.
"Keparat, rupanya tempat ini penuh orang- orang jahat, Ituchi. Kau jaga gadis ini biar aku ke sana... wut!"
Thai Liong lenyap, mendahului temannya dan Ituchi pun tertegun.
Akhirnya dia pun mendengar sorak laki-laki dan tawa yang kasar, jerit minta tolong itu terdengar kembali namun tiba-tiba berubah dengan teriakan kaget.
Suara bak-bik-buk terdengar di situ dan Thai Liong rupanya sudah tiba di sana, memang benar dan pemuda itu melihat para perampok yang tadi diusir tiba-tiba ada di tengah hutan ini, mendapatkan korbannya, seorang wanita cantik lain yang menjerit minta tolong itu.
Dan ketika Thai Liong marah dan tentu saja bergerak menghajar orang-orang itu maka para perampok yang jungkir balik ditendang atau ditampar pemuda ini berteriak- teriak.
"Lari... Kim-mou-eng datang...!"
Thai Liong gemas.
Kiranya yang mengganggu ini adalah para perampok yang tadi mengganggu puteri guru silat itu, datang dan entah bagaimana menemukan wanita cantik ini di tengah hutan, menerkam dan tadi menangkap wanita itu, mempermainkannya dan meraba serta meremas-remas tubuh wanita itu, yang tentu saja menjerit-jerit dan berteriak tak keruan, takut dan juga marah sekaligus bingung.
Maka begitu Thai Liong datang dan menghajar lagi orang-orang kasar itu maka mereka terpelanting bergulingan dan tiba-tiba lari lintang-pukang.
"Ooh, bunuh mereka itu... bunuh!"
Thai Liong menyambar wanita ini, menenangkannya.
"Tidak, mereka sudah lari, nona. Kau diamlah dan tenang di sini."
"Tidak, mereka... mereka, ooh... mereka hampir merenggut kehormatanku!"
"Hm!"
Thai Liong merah mukanya, melihat pundak dan punggung wanita itu memang terbuka lebar.
"Kau sudah selamat, nona. Aku tak dapat membunuh mereka kalau mereka tobat. Kau pakailah ini, jangan biarkan dirimu terbuka."
Wanita itu tertegun.
Thai Liong sudah memberikan bajunya sendiri untuk dikenakan wanita itu, tinggal memakai baju dalam dan tampak betapa bidang dada pemuda ini, hal yang membuat wanita itu tersipu dan merah mukanya.
Namun ketika Thai Liong sudah memberikan bajunya dan wanita itu terisak tiba-tiba wanita ini sudah mengenakannya dan berlutut di depan Thai Liong.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Te... terima kasih, kongcu. Kau rupanya penyelamatku yang datang secara kebetulan. Ah, aku berhutang budi padamu!"
"Hm, bangkitlah!"
Thai Liong teringat temannya.
"Aku juga baru saja menolong seorang wanita, nona. Dan temanku ada di sana. Mari kau berdiri dan kita ke tempat temanku!"
"Kongcu.... kongcu Pendekar Rambut Emas?"
"Aku puteranya. Dan, eh... siapa kau?"
"Aku... aku Ui Kok!"
"Hm, baik, Ui Kiok. Kita sekarang ke tempat temanku dan kita berkumpul di sana!"
Thai Liong menyendal lengan wanita ini, tiba-tiba mengangkatnya naik dan Ui Kiok menjerit.
Wanita ini serasa dibawa terbang namun sekejap kemudian dia sudah tiba di tempat di mana tubuh guru silat itu dan anak buahnya bergelimpangan, tempat di mana tadi Thai Liong meninggalkan Ituchi dan gadis puteri guru silat itu.
Namun ketika Thai Liong tak melihat temannya lagi dan gadis puteri guru silat itu juga tak ada di situ maka pemuda ini tertegun sementara Ui Kiok berseru tertahan menutupi mulutnya.
"Ih, apa... apa ini, kongcu? Mereka... mereka sudah mati...?"
"Hm!"
Thai Liong tertegun, tak menjawab, melihat kiri kanan. Dan ketika wanita itu bertanya lagi namun Thai Liong seolah tak mendengar maka pemuda ini berseru.
"Ituchi, di mana kau? Hei, di mana kau, Ituchi?"
Namun aneh, jawaban Ituchi tak terdengar.
Thai Liong berteriak lagi dan mengerahkan khikangnya, tetap saja tak terjawab dan Thai Liong tentu saja terkejut, heran dan cemas.
Dan ketika dia berteriak hingga seluruh isi hutan tergetar maka wanita di sampingnya tiba-tiba menjerit dan terguling roboh.
"Aduh!"
Thai Liong sadar. Kiranya getaran khikangnya tadi membuat Ui Kiok tak kuat, roboh dan terguling sambil mendekap telinganya, pucat. Dan ketika wanita itu menangis dan Thai Liong sadar mendadak pemuda ini menyambar wanita itu dan berkata.
"Ui Kiok, temanku hilang. Mari kita mencarinya dan kelilingi hutan ini!"
Wanita itu mengeluh.
Thai Liong berkelebat dan kedua kaki tahu-tahu sudah berjungkir balik di atas pohon, melayang dan hinggap di sana.
Dan ketika Thai Liong mempergunakan ilmunya meringankan tubuh di mana dengan amat luar biasa dan cepat pemuda itu mulai beterbangan dari satu pohon ke pohon yang lain sambil berteriak memanggil-manggil Ituchi maka Ui Kiok menjadi takut namun juga kagum dipanggul pemuda ini.
"Ih, aduh... jangan tinggi-tinggi, kongcu. Ih, awas...!"
Thai Liong tak perduli.
Tentu saja dia tersenyum mendengar semua seruan-seruan wanita itu, seruan ketakutan atau ngeri kalau dia melayang-layang di atas pohon yang tinggi, seolah burung menyambar dan acap kali dari pohon yang satu ke pohon yang lain dia meloncat begitu saja, dari pucuk yang kecil ke pucuk yang lain.
Tanah di bawahnya begitu tinggi dan tak dapat disalahkan kalau Ui Kiok menjerit, takut mereka terjungkal, yang tentu akan tewas atau paling tidak patah punggungnya terjatuh dari tempat begitu tinggi.
Namun ketika sekeliling hutan sudah diputari dan dari atas pohon Thai Liong tak menemukan temannya maka pemuda ini melayang turun dan mendesah mengusap keringatnya.
"Tak ada. Temanku hilang...!"
Ui Kiok gemetar, membetulkan anak rambutnya.
"Kongcu, kau... kau mencari siapa?"
"Hm, temanku, Ui Kiok. Sahabatku. Tadi dia di sana di tempat tubuh-tubuh yang bergelimpangan itu! celaka, ke mana dia?"
Wanita itu terbelalak.
"Kongcu mau mendengar kata-kataku?"
"Bagaimana?"
"Aku... aku mengenal sebuah hutan di luar tempat ini, kongcu. Hutan yang lebih lebat dan angker. Barangkali saja temanmu dibawa Sian- bi!"
"Sian-bi? Siapa itu?"
"Penunggu hutan di situ, kongcu. Kabarnya cantik tapi termasuk keluarga roh halus!"
"Hm, aku tak percaya segala roh halus!"
Thai Liong mengerutkan keningnya.
"Omong kosong kalau hutan ada penunggunya, Ui Kiok. Tapi kalau di sana temanku berada mungkin saja kita pergi mencarinya!"
"Kalau begitu kongcu ikut aku!"
Wanita ini tiba-tiba berubah sikapnya, lepas dari pengamatan Thai Liong, yang terlalu memusatkan diri pada Ituchi.
"Aku tahu di mana dewi penunggu hutan itu bersemayam, kongcu. Mari kita cari dan berangkat ke sana!"
"Nanti dulu!"
Thai Liong teringat mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Kita kubur dulu mayat- mayat di sana itu, Ui Kiok. Baru kita pergi dan meninggalkan mereka!"
"Apa?"
"Benar, kita tak dapat meninggalkan mayat- mayat itu begitu saja, Ui Kiok. Aku harus menguburnya dan kita kembali!"
Thai Liong menarik, menyendal lengan wanita ini dan Ui Kiok tertegun, berseru perlahan tapi Thai Liong telah membawanya berkelebat, sekejap kemudian sudah tiba di tempat itu, di mana guru silat yang diserang perampok tewas bersama anak buahnya.
Dan ketika Ui Kiok terbelalak dan melihat Thai Liong mematahkan sebatang ranting maka dengan senjata yang kecil ini Thai Liong menusuk dan mencongkel tanah dan...
sekejap kemudian terdapatlah lubang besar di mana seluruh mayat itu dapat dimasukkan menjadi satu.
"Ah, kau menakjubkan, kongcu. Kau pantas menjadi putera Pendekar Rambut Emas!"
"Sudahlah, jangan memuji,"
Thai Liong terus bekerja, melempar-lempar mayat dengan cepat ke lubang besar itu.
"Aku harus menyelesaikan pekerjaanku dulu, Ui Kiok. Setelah itu kita ke tempat yang kau tunjuk dan mudah-mudahan temanku benar di sana!"
Thai Liong selesai, mayat terakhir dilemparkan ke dalam lubang dan akhirnya menimbunnya dengan tanah.
Semuanya ini tak lebih dari dua menit, bukan main! Dan ketika Ui Kiok ternganga dan kagum maka Thai Liong membersihkan bajunya dan mengebut- ngebutkannya membuang debu.
"Nah, kita berangkat. Sekarang selesai!"
Ui Kiok sadar.
Setelah Thai Liong memandangnya dan bersinar-sinar kepadanya maka wanita itu pun mengangguk.
Ui Kiok tak dapat menyembunyikan kagumnya dengan desah yang panjang.
Dan ketika pemuda itu menyambarnya dan memanggulnya kembali di pundak maka Thai Liong minta agar wanita itu memberikan petunjuknya.
"Di sana...!"
Dan begitu jari itu menuding maka Thai Liong pun berkelebat dan menuju gunung di seberang.
**SF** Ke mana Ituchi? Apa yang terjadi? Memang sesuatu yang di luar dugaan.
Tadi, seperti diketahui pemuda tinggi besar ini disuruh Thai Liong menjaga gadis puteri guru silat itu.
Baik Thai Liong maupun Ituchi tak menaruh curiga apa-apa.
Mereka menganggap gadis itu benar-benar seorang gadis lemah yang tidak bisa silat, puteri guru silat yang mendelik-delik ketika melihat gadis ini.
Hal yang tak membuat dua pemuda itu merasa aneh.
Dan karena guru silat itu akhirnya tewas dan Thai Liong berkelebat meninggalkan temannya ketika mendengar jeritan minta tolong di tengah hutan maka Ituchi waktu itu bersama gadis ini, gadis cantik yang matanya mulai bersinar-sinar memandang pemuda itu, pandangan yang aneh dan amat ganjil.
Seperti ketawa tapi juga geram, atau mungkin gemas yang bercampur dengan bibir yang digigit-gigit.
Dan ketika Ituchi tertegun mendengar teriakan itu sementara guru silat di depan kakinya roboh terkulai maka gadis yang belum dikenal namanya ini membuat pemuda itu teringat untuk menanyakan, ketika gadis itu tersedu- sedu menangisi kematian ayahnya.
"Sudahlah, ayahmu sudah tiada, nona. Kita kubur dia dan juga yang lain-lain ini."
"Tidak!"
Gadis itu tiba-tiba berseru.
"Aku masih ingin bersama ayahku, kongcu. Atau kau hidupkan dia lagi dan bersamanya seperti dulu!"
"Tak mungkin orang mati dihidupkan lagi,"
Ituchi mengerutkan kening.
"Ayahmu sudah tiada, nona. Orang mati harus dikubur!"
Namun ketika gadis itu menjerit sewaktu Ituchi memegang jenasah si korban mendadak gadis itu histeris.
"Kongcu, hidupkan ayahku. Kembalikan ayahku!"
Ituchi terkejut.
Gadis ini mengamuk dan tiba- tiba marah kepadanya, tak boleh dia menyentuh jenasah itu dan dia akan diserang kalau berani menyentuh jenasah si guru silat, hal yang membuat Ituchi mengerutkan kening karena gadis ini dianggap terganggu jiwanya.
Dan ketika benar saja dia diserang dan gadis itu mengamuk sambil marah-marah maka Ituchi mengelak dan menampar tengkuk gadis ini.
"Hm, kau gila. Kalau aku tak boleh mengubur ayahmu biarlah kau tenang di sini. Kita tunggu Thai Liong!"
Gadis itu roboh, ditampar Ituchi dan Ituchi menarik napas.
Dia tidak melakukan tamparan keras namun gadis itu sudah terguling, mengaduh dan terpelanting di sana.
Dan ketika gadis itu selalu berteriak agar dia tidak memegang jenasah ayahnya maka Ituchi menggeleng mengangguk berkata.
"Sudahlah, aku tak akan memegang jenasah ayahmu. Kita tunggu Thai Liong di sini tapi kau juga jangan berteriak-teriak!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gadis itu menurut.
Ternyata dia sekarang tidak marah-marah lagi kecuali terguncang di sana, sedikit bersedu-sedan.
Dan ketika Ituchi duduk membanting pantatnya dan berdebar memandang tengah hutan, tempat di mana Thai Liong tadi menolong jerit permintaan tolong maka dia bertanya siapa nama gadis itu, karena tadi si gadis belum menjawab.
"Aku... aku Pek Kiok..."
"Hm, dan ayahmu?"
"Ayahku Pek-kauwsu, kongcu. Kami dari Li- bun."
"Hm...!"
Ituchi mengangguk-angguk, melihat betapa jauhnya Li-bun dengan tempat itu.
"Dan kau, eh... ayahmu itu. Mana kereta barangnya, Pek Kiok? Kalian membawa apa?"
"Ayah membawa kiriman dari hartawan Cu, kongcu. Tapi jangan tanya-tanya lagi dulu!"
Ituchi menarik napas. Dia dapat memaklumi kesedihan atau kedukaan gadis ini. Tapi sementara dia bersinar-sinar memandang gadis itu, juga menanti kedatangan Thai Liong tiba-tiba terdengar denting senjata di sebelah kirinya.
"Hei, ada orang bertempur...!"
"Hei, jangan tinggalkan aku!"
Ituchi terkejut.
Dia yang sudah bergerak hendak meninggalkan gadis itu tiba-tiba ganti diteriaki agar tidak meninggalkan gadis ini, teringat dan cepat dia menyambar Pek Kiok, melompat dan berkelebat ke asal suara.
Tapi ketika denting senjata itu menjauh dan samar- samar Ituchi melihat dua bayangan bertempur maka pemuda ini penasaran dan terkejut, mengejar mereka.
"Ah, jangan keras-keras, kongcu. Sakit!"
Ituchi sadar.
Cengkeramannya pada Pek Kiok diperkendor, lupa bahwa dia memanggul gadis yang lemah.
Sedikit dicengkeram saja sudah sakit.
Maka ketika Ituchi mengejar lagi namun bayangan di depan itu menjauh dan semakin menjauh saja maka Ituchi bergerak mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
"Keparat, siapa mereka?"
Pemuda ini gemas.
Dua orang yang bertempur itu hampir didekati ketika tiba-tiba mereka menyelinap di hutan sebelah, denting senjatanya terdengar beradu dan Ituchi menyusul ke sini.
Tapi ketika suara itu menjauh lagi dan berkali-kali mereka berpindah tempat di mana Ituchi juga harus bergerak dan mengikuti mereka maka tiada disadari lagi tiba-tiba pemuda ini sudah dibawa jauh meninggalkan tempat semula, memasuki hutan lebat yang amat besar di mana tiba-tiba dua orang yang bertempur ini hilang.
Ituchi terkejut.
Dan ketika pemuda itu berhenti dan longok-longok dengan penasaran mendadak Pek Kiok, yang dipanggul di atas pundaknya mengeluarkan kekeh yang aneh dan...
bluk, robohlah Ituchi oleh sebuah totokan lihai! "Hi-hik, selamat datang, putera Raja Hu.
Kau sudah tiba di tempat tinggalku!"
Ituchi tertegun.
"Apa... apa ini?"
Pek Kiok bertepuk tangan.
Tanpa menghiraukan pertanyaan pemuda itu gadis atau wanita ini sudah meloncat turun, terkekeh dan tiba-tiba muncullah banyak laki-laki di situ, juga beberapa wanita dan Ituchi tertegun ketika melihat dua bayangan baju hitam, yang tadi dilihatnya sebagai orang-orang yang bertempur secara berpindah-pindah.
Eh! Ituchi melenggong.
Dan sementara pemuda itu terbelalak dan kaget, juga heran serta marah maka orang-orang yang muncul itu sudah menjatuhkan diri berlutut di depan gadis atau wanita ini.
"Pangcu (ketua), selamat atas keberhasilanmu membawa pemuda ini!"
"Hi-hik, bangunlah. Aku belum berhasil sepenuhnya, Thi Kiat. Karena enciku Ui Kiok masih harus menangkap pemuda yang satunya itu, putera Pendekar Rambut Emas. Kalau dia juga berhasil maka barulah kalian memberi selamat!"
"Keparat!"
Ituchi tiba-tiba sadar, merasa telah tertipu.
"Kau kiranya menipu aku, Pek Kiok? Dan kau, ah... bukan puteri guru silat itu?"
"Hi-hik, kau bodoh. Aku adalah Hui-hong Sian- li Chu Pek Kiok, Ituchi. Dan aku adalah penguasa seluruh wilayah hutan-hutan di sini, bersama enciku!"
Ituchi tertegun.
Tiba-tiba dia menjublak, bengong, kaget dan merah mukanya dan dia merasa tertampar.
Dan ketika semua orang yang menjatuhkan diri berlutut disuruh bangun dan wanita itu bertanya di mana adanya barang rampasan maka ditariklah sebuah kereta oleh tiga orang laki-laki yang semuanya dikenal Ituchi sebagai perampok-perampok yang dihajar Thai Liong! "Hi-hik, bagus.
Keluarkan semua barang- barang dari kereta, Thi Kiat.
Lihat isinya dan taksir berapa nilainya!"
Ituchi terbelalak.
Dia segera melihat betapa kereta yang ditarik dua ekor kuda itu dikeluarkan isinya, peti-peti warna-warni dan belasan gebung kain sutera, indah gemerlap dan halus buatannya.
Dan ketika bahan makanan juga ada di situ dan gandum atau kue-kue kering dikeluarkan satu per satu akhirnya terkuraslah isi kereta itu, rapi disusun di atas tanah.
"Ha-ha, banyak sekali, pangcu. Barangkali bernilai laksaan tail!"
"Hm, buka peti itu. Kita lihat isinya!"
Semua bersorak.
Memang isi peti inilah yang menjadi incaran mereka, paling ingin diketahui dan Thi Kiat serta tiga laki-laki pertama sudah membukanya, digembok tapi jari laki-laki yang menjadi pembantu Hui-hong Sian-li (Dewi Burung Hong Terbang) ini sudah mematahkannya, mudah dan dibukalah isi peti itu.
Dan ketika semua orang melihat betapa rata-rata peti-peti itu berisi perhiasan emas permata maka semua tiba-tiba kembali bersorak dan bertepuk riuh.
"Aih, luar biasa. Bisa untuk hidup tujuh turunan!"
"Benar,"
Pek Kiok si Burung Hong Terbang berseru, tertawa.
"Luar biasa hasil rampasan kita kali ini, Thi Kiat. Dan kita dapat bersenang-senang selama tujuh turunan!"
"Jahanam hina!"
Ituchi tiba-tiba membentak.
"Kalian tak layak menyentuh barang rampokan itu, Pek Kiok. Hayo bebaskan totokanku dan kita bertanding!"
"Hi-hik!"
Pek Kiok membalik, berseri-seri.
"Kau gagah dan tampan, Ituchi. Kau pantas sebagai putera Raja Hu. Aku dan enciku gembira menemukan kau dan temanmu, tapi jangan berteriak-teriak di sini!"
"Keparat, aku akan mengutuk dan memaki- makimu. Kau siluman busuk, kau curang dan tak tahu malu!"
Dan Ituchi yang lalu memaki- maki dan melepas semua kemarahannya dengan sangat lalu membuat semua orang marah dan terbelalak, membentak pemuda itu namun Ituchi tak perduli.
Dan ketika dia memaki si Burung Hong ini sebagai Hui-hong Mo-li (Siluman Betina) dan bukannya Hui-hong Sian-li (Dewi Jelita) maka Pek Kiok akhirnya berkelebat dan menotok rahang Ituchi, yang kontan membuat pemuda itu tak dapat memaki-maki lagi, tertotok urat gagunya.
"Ikat dia, ambil rantai besi!"
Ituchi mendelik.
Sekarang dia tak dapat memaki-maki lagi karena mulutnya dilumpuhkan, rahangnya ditotok dan jangankan memaki, menggerakkan sedikit bagian bawah mulutnya saja sudah sakit bukan kepalang.
Dan ketika pemuda itu melotot dan mendelik dengan muka merah padam maka di sana si Burung Hong itu bergembira bersama pembantunya, menghitung nilai emas permata dan sebentar-sebentar terkekehlah wanita itu.
Kalung atau perhiasan-perhiasan lain dikenakan di tubuhnya, satu per satu dan muaklah Ituchi melihat itu.
Dan ketika gelang atau cincin juga dikenakan wanita itu dan Pek Kiok menghampiri Ituchi maka pemuda ini mendengar kata-kata wanita itu.
"Hi-hik, lihatlah, Ituchi. Malam nanti atau besok kita mengadakan pesta. Aku dan enciku akan mengadakan undian. Kita akan bermalam bahagia!"
"Keparat, apa maksudmu ini? Malam bahagia bagaimana? Aku tak sudi berpesta dengan barang rampokan, Pek Kiok. Lepaskan aku dan kuhajar kalian!"
Ituchi dibebaskan totokannya sejenak, diajak bicara dan tentu saja yang meluncur pertama kali adalah umpatan.
Pemuda itu memaki namun Pek Kiok tertawa- tawa.
Dan ketika wanita itu bersinar-sinar dan kagum memandang Ituchi, yang hitam namun gagah mendadak wanita ini menundukkan mukanya dan...
diciumlah pipi Ituchi.
"Hore, hidup pangcu!"
"Pangcu akan menikah...!"
Ituchi merah padam. Dia merasa kaget dan juga malu oleh ciuman itu, memaki-maki namun Pek Kiok sudah menotok urat gagunya lagi, terkekeh. Dan ketika pemuda itu melotot namun tak berdaya di bawah kekuasaan lawan maka teriakan "pangcu akan menikah"
Begitu gaduh terdengar di dalam hutan. Dan saat itulah tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan lain dan Thai Liong tampak dipanggul seorang wanita cantik yang rupanya hampir mirip dengan Pek Kiok. **SF** (Bersambung
Jilid 14) Bantargebang, 14-10-2018,16.57 (Serial Bu-beng Sian-su) ISTANA HANTU
Jilid 14 * * * Hasil Karya . B A T A R A Pelukis . Soebagio Antonius S. * * * Percetakan & Penerbit U.P. DHIANANDA P.O. Box 174 SOLO 57101 ISTANA HANTU - BATARA KONTRIBUTOR . KOH AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITER .
SITI FACHRIAH ? PDF MAKER .
OZ Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, di bawah lindungan Undang-undang.
Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang.
CETAKAN PERTAMA U.P.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
DHIANANDA ? SOLO 1987 ISTANA HANTU (Lanjutan "Sepasang Cermin Naga") Karya .
Batara
Jilid . 14 * * * "ITUCHI...!"
Ituchi tertegun.
Thai Liong berteriak memanggil namanya dan putera Pendekar Rambut Emas itu tertegun.
Baik Thai Liong maupun Ituchi sama-sama bengong, tak menyangka.
Tapi ketika dua pemuda itu terbelalak dan sama-sama tertegun maka wanita yang mirip Pek Kiok itu menurunkan Thai Liong dan terkekeh.
"Hi-hik, kau sudah lebih dulu di sini, Pek Kiok? Dan kalian akan berpesta?"
"Ah,"
Pek Kiok, wanita yang menawan Ituchi tiba-tiba tertawa nyaring, menyambut.
"Kau sudah berhasil menangkap putera Pendekar Rambut Emas itu enci? Tidak banyak kesukaran dan mudah kau robohkan?"
"Hi-hik, tidak mudah, Pek Kiok. Tapi juga tidak sukar. Pemuda ini berhasil kutipu dan sekarang dia menjadi tawananku!"
"Dan pemuda ini juga!"
Pek Kiok berseru, menuding Ituchi.
"Kita dapat bersenang- senang dan malam ini kita berpesta!"
"Benar, dan aku jatuh cinta pada putera Pendekar Rambut Emas ini, Pek Kiok. Dia gagah dan lihai. Kalau aku tidak cerdik tentu tak dapat dia kurobohkan!"
"Hidup pangcu berdua...!"
Sorakan ramai tiba- tiba terdengar.
"Kami akan merayakan pesta bersama kalian, pangcu. Siap bersenang- senang menyaksikan kalian menikah!"
"Keparat!"
Thai Liong berseru, merah padam.
"Apa arti semuanya ini, Ui Kiok? Mana itu Sian- bi yang kau bilang?"
"Hi-hik,"
Ui Kiok terkekeh.
"Sian-bi adalah kami berdua, Kim-kongcu. Kamilah penguasa hutan ini dan segala isinya. Kami bahagia menemukan kalian berdua, jangan marah- marah."
"Apa?"
"Benar, aku dan adikku telah mendapatkan apa yang kami cari-cari, kongcu. Kau lihai dan temanmu itupun gagah. Kau dan dia akan sama-sama menyenangkan hati kami malam ini!"
"Maksudmu?"
"Hi-hik, kau menjadi pasanganku sementara temanmu itu menjadi pasangan adikku. Malam ini malam bulan purnama, kita menikah dan resmi menjadi suami isteri!"
"Oh, terkutuk!"
Dan Thai Liong yang marah- marah dan memaki gadis itu lalu melotot dan mendengar semuanya tertawa, tadi ditipu dan tiba-tiba ditotok ketika memasuki hutan ini, atas bujukan atau ajakan Ui Kiok, yang tak tahunya adalah wanita tak tahu malu yang menjadi pemimpin rampok.
Kiranya Ui Kiok ini adalah wanita sesat dan cabul, tadi sepanjang jalan menciuminya dan Thai Liong mengumpat- caci.
Totokan yang membuatnya tak berdaya itu diam-diam berusaha dibukanya, belum berhasil dan dia terkejut.
Ui Kiok rupanya cukup lihai, jadi cukup berbahaya juga.
Dan ketika dia sudah di tengah-tengah orang-orang kasar ini dan di situ terdapat pula Pek Kiok yang sudah dikenalnya, bersama Ituchi maka sadarlah Thai Liong bahwa dia ditipu.
"Ui Kiok, Pek Kiok, kalian wanita-wanita tak tahu malu. Bebaskan kami dan lepaskan Ituchi agar kami dapat menghajar kalian!"
"Hi-hik, masalah bebas tentu bebas, kongcu. Kami berdua memang tidak berniat untuk menawan kalian seumur hidup. Tapi sabarlah, tunggu malam purnama nanti dan kalian pasti bebas!"
"Aku tak sudi. Kami tak mau menjadi barang permainan kalian!"
"Hi-hik, bungkam mulutnya dulu, enci. Lihat seperti tawananku ini!"
Pek Kiok tiba-tiba berseru, gatal juga telinganya oleh makian Thai Liong. Dan ketika Ui Kiok menggerakkan jarinya dan urat gagu putera Pendekar Rambut Emas ini ditotok maka bungkamlah mulut Thai Liong tak dapat memaki-maki lagi.
"Hi-hik, bukankah mudah? Srkg kita persiapkan segala sesuatunya, enci. Dan malam ini adalah malam paling bahagia bagi kita!"
Thai Liong mengeluh.
Kalau dia benar-benar sudah dibuat tak berdaya di bawah dua orang wanita siluman ini sementara Ituchi di sana juga sama-sama tak berdaya maka mereka sungguh berada di bawah ancaman bahaya, bukan bahaya kematian melainkan bahaya malu.
Dia dan Ituchi ternyata hendak dijadikan suami kakak beradik ini, orang-orang sesat.
Dan ketika Thai Liong menggigit bibir dan dilihatnya di sana Ituchi mengeluh dan menggigit bibir pula maka pemuda ini saling memberi isyarat dan Thai Liong diam-diam marah sekali.
Tadi, ketika dia diajak Ui Kiok mencari Sian-bi, yang katanya menculik dan mungkin membawa Ituchi maka dia percaya dan tidak curiga.
Maklumlah, Ui Kiok dilihatnya lemah dan bukan wanita berbahaya, satu penglihatan yang keliru.
Dan karena dia tidak curiga dan ajakan itu disambut baik maka apa yang ditemui justeru membuat Thai Liong kaget sekali.
Ui Kiok, wanita yang dibawa dan minta digendong itu tiba-tiba melancarkan totokan, tepat di belakang tengkuknya dan robohlah dia oleh totokan itu, yang memang tidak disangka.
Dan ketika Ui Kiok tertawa dan turun berjungkir balik maka wanita ini berseru bahwa Thai Liong ditipunya, menjadi tawanan.
"Hi-hik, cukup, Kim-kongcu. Sudah sampai dan sekarang kau yang kupanggul!"
Thai Liong tersentak.
Dia sudah roboh namun cepat disambar lawannya, terbelalak tak dapat bicara karena perubahan itu demikian cepat terjadinya.
Dia bengong dan tidak dapat berkata apa-apa ketika Ui Kiok menyambarnya.
Tapi ketika wanita itu terkekeh-kekeh dan tanpa malu-malu lagi menciuminya dengan ganas maka Thai Liong sadar.
"Keparat! Eh-eh... apa artinya ini, Ui Kiok? Mana itu Sian-bi yang kau bilang? Apa yang kau lakukan ini?"
"Hi-hik, cukup semua permainan ini, Kim- kongcu. Sekarang ketahuilah bahwa aku adalah penawanmu!"
"Maksudmu?"
"Kau tunduk di bawah kekuasaanku, kau harus menuruti semua keinginanku!"
"Keparat, aku masih mencari temanku, Ui Kiok. Bebaskan aku dan jangan berbuat hina!"
"Hi-hik, temanmu ada di sana. Marilah, ikut aku!"
Dan Thai Liong yang sudah dibawa dan diciumi sepanjang jalan akhirnya menjadi malu namun juga marah memaki-maki wanita ini, tiba di situ dan akhirnya melihat Ituchi, seperti apa yang telah diceritakan di depan.
Dan ketika dia dan Ituchi tak berdaya di bawah kecurangan lawan maka Thai Liong diam-diam berusaha membebaskan totokan yang melumpuhkannya itu.
"Ituchi, kau dapat membebaskan dirimu?"
Akhirnya pemuda ini dapat membuka jalan darah di urat gagunya, berbisik, melancarkan pertanyaan dari jauh.
"Apakah kau dapat melepaskan dirimu?"
"Hm, tidak,"
Ituchi ternyata dapat menjawab dari jauh.
"Aku hanya dapat membebaskan totokan urat gaguku, Thai Liong. Selebihnya aku masih tak berdaya."
"Sama seperti aku,"
Thai Liong terbelalak.
"Tapi sudah cukup, Ituchi. Kita harus berjuang lagi dan bekerja lebih keras. Dua wanita siluman itu rupanya bersiap-siap untuk menguasai kita, lahir batin!"
"Ya, dan aku muak padanya, Thai Liong. Kita tertiup dan roboh seperti anak kecil!"
"Kesalahan kita sendiri,"
Thai Liong tertawa getir.
"Kita terjebak tipu muslihat lawan, Ituchi. Tapi biarlah, jadikan ini pengalaman berharga. Beberapa jam lagi kita harus bebas!"
"Ya, dan secepatnya menghajar wanita-wanita itu. Atau kita bakal dipermalukan dan menjadi bahan tertawaan orang banyak!"
"Hm, hati-hatilah, Ituchi. Pek Kiok menghampirimu!"
Thai Liong menutup mulut, memberi isyarat dan segera percakapan berhenti.
Ituchi dihampiri wanita cantik itu dan terdengar kekeh yang penuh nafsu dan genit.
Dan ketika Ui Kiok juga muncul dan menghampiri Thai Liong, dari arah yang berbeda maka terdengar enci adik itu bicara.
"Pek Kiok, bawa calon suamimu ke dalam. Kasihan mereka kalau kedinginan di sini!"
"Benar, dan kau juga, enci. Bawa kekasihmmu ke kamar dan bujuk dia agar menuruti permintaan kita!"
"Hi-hik, tentu!"
Dan Thai Liong serta Ituchi yang sudah diangkat dan disambar dibawa masuk lalu mendengar sorak-sorai anak buah dua wanita itu di mana Ituchi dibawa ke sebelah kiri sementara Thai Liong ke sebelah kanan.
Apa yang akan dilakukan dua wanita ini Thai Liong maupun Ituchi tak tahu.
Tapi begitu mereka memasuki sebuah kamar yang harum lagi besar maka Ituchi mula-mula terbelalak dan ngeri.
Pek Kiok, yang membawanya lebih dulu sudah melempar tubuhnya di atas pembaringan empuk.
Tiga pelayan wanita ada di situ tapi sudah diusir keluar, mereka tersenyum- senyum dan tertawa penuh arti.
Dan ketika pintu kamar ditutup dan Ituchi tertegun maka pemuda itu melihat Pek Kiok mulai melepas pakaian luarnya.
"Hi-hik, rasanya tak sabar menunggu datangnya malam, Ituchi. Aku ingin kita mengawali malam pengantin dengan bercinta lebih dulu... bret-bret!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wanita cantik itu melepas pakaiannya, tinggal pakaian dalam dan tentu saja Ituchi tersirap.
Dia berdesir melihat tubuh mulus terpampang di depan mata, dengan lekuk-lengkung menggairahkan dan tentu saja dia cepat memejamkan mata.
Tapi ketika sepasang lengan yang lunak halus melingkar di lehernya dan napas yang harum berbisik di sebelah telinga maka Ituchi tergetar dan tiba-tiba lupa membebaskan jalan darahnya, yang tadi sudah berhasil sebagian.
"Hu-koko, lihatlah aku. Buka matamu!"
Ituchi terbelalak.
Tanpa diulang tiba-tiba dia membuka matanya, terkejut dan hampir berteriak ketika Pek Kiok sudah memeluk tubuhnya dengan dada terbuka.
Sepasang daging lembut membola di dekatnya, begitu dekat hingga nyaris menempel dengan ujung hidungnya.
Bukan main! Ituchi kaget tapi tak dapat berteriak.
Urat gagunya yang tadi terbuka mendadak tertutup lagi, macet.
Maklumlah, pengerahan sinkang yang dilakukan guna membuka jalan darah memang tak boleh buyar.
Seluruh perhatian harus dipusatkan atau orang akan gagal lagi dalam usahanya.
Dan ketika benar saja urat gagu itu menutup lagi dan Ituchi tersentak oleh pemandangan luar biasa ini maka Pek Kiok tiba-tiba mengurut tengkuknya dan membuka jalan darah yang dapat membuat pemuda ini bicara lagi.
"Hu-koko, aku cinta padamu. Malam nanti kita menikah!"
"Tidak... tidak...!"
Ituchi datang kagetnya, dapat bicara.
"Kau pergilah, Pek Kiok. Kau wanita hina yang tak tahu malu!"
"Ah, kita akan menjadi suami isteri, koko. Malam nanti kau menjadi suamiku dan sekarang kita bersenang-senang!"
"Tidak... tidak...!"
Namun Pek Kiok yang terkekeh dan mendengus menciumi mukanya tiba-tiba menunduk dan sudah mencium bibir pemuda itu, dihisap dan dikecup tiba-tiba pemuda ini tersentak.
Semacam aliran listrik yang tinggi menyengat tubuhnya, begitu luar biasa dan nikmat tapi tiba-tiba pemuda ini ingat siapa lawannya itu, bukan lain wanita keji yang telah membunuh guru silat di hutan, berikut para pengawal yang lain yang membawa barang hantaran.
Dan ketika Ituchi teringat ini dan ciuman itu seakan melumat tubuhnya mendadak pemuda ini menggerakkan mulutnya dan...
digigitnya lidah yang menyapu ganas itu.
"Aduh...!"
Pek Kiok menampar serta membanting tubuh bergulingan.
Alangkah kagetnya wanita ini ketika tiba-tiba Ituchi mengiggit, lidahnya serasa putus dan tentu saja dia menjerit, menampar dan Ituchi pun terpelanting.
Dan ketika Pek Kiok bergulingan meloncat bangun sementara Ituchi di sana terlempar dan mengeluh dengan pipi bengkak, akibat tamparan tadi maka Pek Kiok mengumpat caci dan marah-marah, gusar bukan kepalang.
"Keparat jahanam! Kau tak tahu dicinta, Ituchi. Kau tak tahu diuntung! Ah, keparat kau. Kalau saja malam nanti tidak bulan purnama tentu kau kubunuh. Jahanam!"
Dan Pek Kiok yang marah-marah serta mendesis memijit lidahnya lalu menendang Ituchi dan memaki-maki pemuda itu, dihajar pulang balik dan Ituchi menggigit bibirnya menahan sakit, mengeluh dan berulang-ulang terbanting atau menumbuk tembok.
Dan ketika satu jam dia dihajar dan akhirnya lunglai di sudut barulah lawannya itu meloncat keluar dan meninggalkannya dengan muka merah padam, berapi-api.
"Kulaporkan enciku, pemuda keparat. Awas kau!"
Namun bagaimana dengan Ui Kiok? Hampir saja saja.
Waktu itu, Thai Liong juga dibawa ke kamar yang lain dan pemuda ini juga dilempar di pembaringan.
Ada dua pelayan di situ namun Ui Kiok cepat mengusirnya, melihat kamar sudah disiapkan dan rupanya sama seperti adiknya wanita ini juga "ngebet", tak tahan, ingin mengajak Thai Liong bermain cinta dan dia sudah tertawa-tawa melempar pemuda itu.
Dan ketika Thai Liong terlempar di atas pembaringan dan bertanya apa yang mau dilakukan wanita itu, lupa bahwa sebenarnya dia harus berpura-pura sebagai tawanan yang tetap tertotok maka Ui Kiok tertegun dan membelalakkan matanya.
"Eh, kau dapat berbicara, Kim-kongcu? Kau berhasil membuka totokan urat gagumu? Aih, hebat, kau memang mengagumkan!"
Dan Thai Liong yang malah disambar dan diciumi tiba- tiba membuat pemuda ini terkejut dan sadar.
"Tahan.... tahan!"
Thai Liong merah mukanya.
"Mau apa kau bawa aku ke sini, Ui Kiok. Dan kenapa pintu kamar ditutup!"
"Hi-hik, aku membawamu ke sini untuk menyatakan cintaku, kongcu. Bahwa kita bersenang-senang dulu mendahului bulan purnama!"
"Ah, kau wanita tak tahu malu. Lepaskan aku, jangan teruskan niatmu yang gila ini!"
"Hi-hik, menjadi mantu Pendekar Rambut Emas adalah suatu kebanggaan bagiku, Kim- kongcu. Dan menjadi isterimu juga suatu kebanggaan besar. Kenapa harus kulepaskan? Eh, mari kita bersenang-senang, kongcu. Dan malam nanti kita lanjutkan lagi... bret!"
Ui Kiok merobek bajunya, menubruk dan sudah memeluk pemuda ini dan Thai Liong terkejut.
Wanita itu membiarkan bajunya terbuka dan tampaklah buah dadanya yang padat menggairahkan.
Thai Liong merasa silau dan tentu saja berdesir.
Tapi ketika dia cepat memejamkan mata namun bibirnya sudah dicium dan dilumat bertubi-tubi tiba-tiba pemuda ini membuka mata dan mengigit bibir wanita itu, berseru.
"Ui Kiok, pergilah...!"
Wanita itu menjerit.
Hampir seperti adiknya di sana wanita ini kesakitan digigit bibirnya.
Thai Liong tidak mengigit lidah karena wanita itu belum memainkan lidahnya.
Namun karena menggigit bibir juga cukup kesakitan dan wanita itu memekik maka Ui Kiok melempar tubuh sambil memaki-maki, membiarkan dadanya terbuka lebar, hal yang lagi-lagi membuat Thai Liong memejamkan matanya rapat-rapat.
"Kim-kongcu, kau keparat jahanam. Kau pemuda tak tahu dicinta!"
"Hm, boleh maki sepuasmu. Aku muak melihat sepak terjangmu, Ui Kiok. Bebaskan aku atau bunuh kalau kau suka!"
"Tidak, aku ingin menundukkanmu!"
Dan Ui Kiok yang nekat dan tak menyerah begitu saja tiba-tiba menubruk dan memeluk lagi, kali ini menarik seluruh sisa pakaiannya dan dengan telanjang bulat wanita itu menggumuli Thai Liong.
Tubuh yang seperti belut dan lunak serta lembut tahu-tahu sudah berada di atas tubuhnya, mendengus dan menciumi tak kenal menyerah.
Biasanya lelaki akan roboh kalau wanita sudah melepas seluruh pakaiannya, memang tak bakalan tahan.
Tapi karena Thai Liong adalah putera Pendekar Rambut Emas dan sebagai pemuda berwatak bersih Thai Liong pantang melakukan perbuatan-perbuatan hina atau memalukan maka pemuda ini cepat mematikan rasa ketika nafsu birahinya bangkit, bagaimanapun memang tergerak dan bekerja sebagaimana biasanya laki-laki normal.
Thai Liong tergetar dan tentu saja terkesiap oleh pemandangan itu.
Tubuh Ui Kiok memang indah dan menggairahkan, bahkan, terlampau menggairahkan di saat seperti itu, berdua di kamar sendiri dan dapat melakukan apa saja yang sebenarnya dapat mereka lakukan, kalau mau.
Tapi karena Thai Liong tak mau pemuda ini justeru marah melihat tubuhnya diciumi bertubi-tubi tiba-tiba Thai Liong malah meludahi wanita itu ketika Ui Kiok hendak menarik lepas celananya.
"Ui Kiok, pergilah...!"
Wanita itu terkejut.
Dia sudah terbakar oleh nafsunya sendiri dan berhati-hati, tidak mencium bibir Thai Liong lagi karena takut digigit.
Tapi begitu Thai Liong meludah dan tepat sekali mengenai mukanya, yang menunduk di perut pemuda itu tiba-tiba ludah yang menyambar bagai pelor baja ini melukai pipi wanita itu.
"Aduh...!"
Thai Liong kiranya mengerahkan lweekangnya (tenaga dalam) untuk membuat ludahnya keras seperti batu.
Memang saat itu jalan darahnya sudah terbuka sebagian, sedikit mengempos semangat saja dia berhasil menyalurkan hawa saktinya ke pusar.
Tak akan dipergunakan kalau saja Ui Kiok tidak berbuat terlalu jauh, melepas celananya dan mau membuat dia telanjang! Maka begitu pemuda ini marah dan apa boleh buat dia "menembak"
Wanita itu dengan air ludahnya maka Ui Kiok terbanting bergulingan dan mengaduh-aduh.
"Jahanam keparat! Bedebah terkutuk...!"
Thai Liong berdebar.
Untuk sesaat ia selamat dan bebas, Ui Kiok bergulingan di lantai dan kaget.
Tentu saja kaget karena tak menyangka pemuda itu dapat menyerangnya, padahal sudah dilumpuhkan.
Tapi begitu dia meloncat bangun dan memaki-maki menyambar pakaiannya maka kemarahannya segera ditumpahkan kepada pemuda ini.
Thai Liong dihajar dan ditendang, ditampar dan bertubi- tubi mendapat dampratan serta kutukan.
Dan sementara pemuda itu menggigit bibir menahan sakit tiba-tiba berkelebat bayangan Pek Kiok yang baru saja marah-marah terhadap Ituchi, yang juga gagal merayu atau merobohkan putera Raja Hu itu.
"Enci, tahan. Apa yang terjadi?"
"Keparat jahanam!"
Ui Kiok memaki-maki.
"Pemuda ini berani kurang ajar dan melukaikku, Pek Kiok. Dia... dia tak berhasil kubujuk!"
"Hm, kau belum main?"
"Main apa? Menundukkannya saja belum, Pek Kiok. Pemuda sombong ini minta dibunuh. Baiklah, biar kubunuh dia dan kubalas sakit hatiku!"
"Tahan!"
Pek Kiok terbelalak, menahan encinya yang mencabut pedang.
"Jangan tergesa-gesa, enci. Aku juga mengalami kegagalan tapi tak mungkin pemuda-pemuda ini dapat menolak keinginan kita. Bukankah malam nanti kita akan berpesta? Dan anak buah kita sudah mengetahuinya, enci. Kalau dia dibunuh maka kau mendapat malu di hadapan anak buahmu sendiri. Tidak, ingatlah akan Empedu Rajawali. Kalau malam nanti kita mempergunakannya dan dua pemuda ini kita cekoki tak mungkin kita tak dapat menundukkannya, enci. Sabar dan tahanlah keinginanmu itu. Mereka memang pemuda-pemuda yang mengagumkan. Dan aku justeru semakin mengagumi mereka!"
Ui Kiok tertegun. Tiba-tiba dia teringat itu dan berhenti menyerang, mata bersinar dan tiba- tiba wajahpun berseri-seri. Dan ketika dia tertawa dan mengangguk memeluk adiknya tiba-tiba dia berseru.
"Aih, hampir aku lupa. Kau benar, Pek Kiok. Empedu Rajawali akan menundukkan pemuda- pemuda yang kita cintai ini. Mereka akan menjadi ganas dan liar bermain cinta!"
"Ya, dan kalau perlu kita ganti pasangan, enci. Kita tukar-menukar dan bercinta sepuas- puasnya."
"Hi-hik, kau benar. Ah, kau benar!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan Thai Liong yang melihat Ui Kiok berjingkrak dan terkekeh mencium pipi adiknya lalu berkelebat dan tiba-tiba menutup pintu kamar, membuat pemuda ini tertegun dan tentu saja was-was.
Perasaan tidak enak melanda hatinya dan diam-diam dia berdebar.
Empedu Rajawali? Barang apa itu? Tapi karena Ui Kiok maupun Pek Kiok sama-sama dilihatnya sebagai wanita- wanita berbahaya yang cabul maka Thai Liong gelisah dan melingkar di sudut, baru saja menerima sebuah tendangan dan untung Ui Kiok lupa pada keberhasilannya membuka sebagian totokan.
Wanita itu agaknya terlampau girang oleh kata-kata adiknya, Empedu Rajawali itu.
Dan ketika malam mulai tiba sementara hampir empat jam lamanya Thai Liong mencoba membebaskan totokan maka genderang dan tambur mulai terdengar di luar.
"Hm, itukah bakal dimulainya pesta? Dan dia akan melihat sebuah keramaian yang mengerikan?"
Thai Liong mengeluarkan keringat dingin, berdebar dan tentu saja perasaannya semakin tidak enak.
Dia tinggal beberapa saat lagi untuk berhasil sepenuhnya, berkutat dan berkali-kali mengulang.
Kalau saja konsentrasinya tidak buyar oleh kengerian yang baru dialami dan juga bayangan Ui Kiok yang telanjang memperlihatkan segalanya barangkali sejak tadi pemuda ini berhasil.
Sayang, Thai Liong dikacau oleh pemandangan tidak-tidak itu, tubuh bugil dari Ui Kiok.
Namun ketika pemuda ini bertahan dan mengusir jauh- jauh semua bayangan "mengerikan"
Itu maka setengah jam lagi dia akan bebas kalau saja bayangan Ui Kiok tidak berkelebat dan memasuki kamar, bersama adiknya, terkekeh.
"Hi-hik, apa yang kau lakukan, Kim-kongcu? Kau mau membuka jalan darahmu?"
Thai Liong terkejut. di saat hampir berhasil mendadak saja wanita ini muncul, tertawa dan langsung menotoknya lagi. Dan begitu Thai Liong roboh dan mengeluh di dalam hati maka Ui Kiok menyambar tubuhnya dan tertawa.
"Kongcu, jangan macam-macam. Jangan kira aku tak tahu. Nah, ayo keluar dan kita mulai pesta!"
Thai Liong terbelalak.
Di sebelah kirinya terdengar Pek Kiok terkekeh genit, rupanya gadis itu geli oleh kegagalan pemuda ini.
Maklumlah, begitu totokan akan berhasil dibuka mendadak saja encinya muncul, menotok lagi dan tentu saja pemuda itu roboh.
Maka begitu encinya berkelebat keluar dan Thai Liong dipanggul di pundak kanan maka wanita ini berkelebat ke sebelah kanan.
"Enci, tunggu aku. Aku juga akan mengambil calon suamiku!"
"Baiklah,"
Encinya tertawa.
"Kita sekalian, Pek Kiok. Dan lihat apakah pemuda itu juga berusaha membuka totokannya!"
Thai Liong mengumpat.
Ui Kiok mengikuti adiknya dan tibalah mereka di kamar Ituchi, melihat pemuda itu tak berdaya di sudut kamar dan muka Ituchi matang biru.
Pemuda ini mau memaki namun menahan seruannya begitu melihat Thai Liong, yang dipanggul Ui Kiok.
Dan ketika Thai Liong memberi isyarat dan pemuda itu mengedipkan sebelah matanya, agar Ituchi tidak berteriak atau memaki-maki maka Pek Kiok sudah menendangnya dan menerima tubuh pemuda itu ketika terlempar ke atas.
"Hi-hik, malam ini semua kesombonganmu akan lenyap, Ituchi. Aku akan membuatmu tunduk dan merangkak-rangkak di bawah kakiku!"
"Sudahlah,"
Encinya berseru.
"Tak usah marah- marah lagi, Pek Kiok. Bawa calon suamimu itu dan kita keluar. Keramaian sudah menanti!"
Pek Kiok tertawa. Dia gemas menepuk pundak pemuda itu, melihat Ituchi tetap tertotok dan tidak berdaya. Tapi melihat muka pemuda itu matang biru bekas hajarannya maka wanita ini memborehkan obat luar berupa minyak dingin.
"Hm, tak baik mempunyai suami yang memar begini, Ituchi. Diamlah dan kugosok sejenak!"
Lalu berkelebat mengikuti encinya wanita ini sudah meninggalkan kamar itu, menuju ke tempat keramaian dan kiranya di tempat itu sudah dibuat semacam panggung besar dengan meja kursi.
Ada bunga dan juga dupa- dupa harum, altar dan sebuah cepuk, semacam tempat perhiasan, gemerlap bersinar-sinar di atas meja altar itu.
Dan ketika semua orang bersorak melihat enci adik ini di mana masing- masing memanggul calon suaminya maka Thai Liong merah mukanya mendengar teriakan atau sambutan para orang-orang sesat ini "Ha-ha, hidup siang-li pangcu (dua ketua cantik).
Hormat kepada Dewi Bulan yang akan memberi berkah!"
"Benar, selamat dan bahagia untuk kalian berdua, siang-li pangcu. Calon-calon suami kalian adalah pemuda-pemuda yang tepat sekali!"
"Dan malam ini kita bisa bersenang-senang. Kita rayakan pesta pernikahan pangcu dengan Tarian Naga Betina!"
Semua bersorak.
Suara tambur dan genderang dipukul semakin gaduh, riuh rendah tapi menyuarakan irama panas, semua laki-laki bangkit berdiri dan Thai Liong melihat bayangan-bayangan wanita di balik pohon, berbisik-bisik dan terkekeh ditahan.
Ada sesuatu yang mendebarkan di sana.
Wanita yang samar-samar setengah telanjang.
Dan ketika Thai Liong berdebar dan dua kakak beradik itu meloncat ke atas panggung, ringan berjungkir balik maka Ui Kiok sudah tertawa mengangkat lengannya.
"Saudara-saudara, malam ini memang malam yang bahagia. Ini adalah malam yang istimewa bagi kami. Dan karena kalian tahu sendiri bahwa kami telah berhasil mendapatkan calon- calon suami yang gagah maka Tarian Naga Betina akan kalian saksikan mengiring upacara Dewi Bulan!"
"Hidup siang-li pangcu!"
Sorakan tiba-tiba menggegap-gempita.
"Kami setuju, pangcu. Akuurr...!"
"Ya, terima kasih, pangcu. Kami dapat bergembira dan bersenang-senang sepuas hati malam ini!"
"Baik, dan sekarang kalian hentikan bunyi musik,"
Pek Kiok kali ini mengangkat lengannya.
"Upacara agama akan segera dimulai, saudara-saudara. Harap kalian tenang karena Dewi Bulan akan segera muncul!"
Tambur dan bunyi-bunyian lain mendadak sirap.
Semua orang tiba-tiba membungkuk ke depan sebagai tanda hormat, Pek Kiok dan encinya telah berdiri di depan altar dan tampak mereka mulai memasang dupa.
Dua buah dupa paling besar tiba-tiba disulut dan menguarlah bau harum yang keras menyengat hidung, lebih keras dan harum daripada dupa-dupa biasa.
Dan ketika kakak beradik itu memegang cawan dan cepuk di tengah altar didentingkan dua kali maka tiba-tiba semua orang menjatuhkan diri berlutut.
"Kalian lihatlah, Empedu Rajawali akan memulai upacara agama!"
Semua mata tiba-tiba tegang.
Thai Liong dan Ituchi terkejut melihat mata semua orang tiba- tiba beringas, penuh gairah dan mereka tampak mengilar sekali begitu melihat dua enci adik itu menyentuh cepuk, membuka tutupnya dan tampaklah benda kemerah-merahan di dalam cepuk itu.
Dan ketika semua tampak berkilat-kilat dan Pek Kiok serta encinya mulai membaca doa-doa yang aneh maka perlahan- lahan di sebelah timur muncullah sang dewi bulan dengan sinarnya yang keemas-emasan.
Semua orang mengikuti bunyi doa dan angin semilir tiba-tiba berdesir semakin dingin, meniup bulu kuduk dan meremanglah Thai Liong mendengar suara-suara aneh di situ.
Mula-mula dua kakak beradik ini mengembangkan lengan, ke atas dan ke bawah tiga kali lalu mereka mulai berputaran mengelilingi altar.
Dan ketika lima menit kemudian suasana hening itu mencekam semua orang maka kakak beradik ini bertepuk tangan agar musik yang lebih sopan dibunyikan.
"Dewi Bulan sudah muncul. Kita sambut kedatangannya dengan suling dan genderang!"
Suling dan genderang tiba-tiba disuarakan lembut.
Suasana yang menyeramkan sejenak berubah halus, sopan dan Pek Kiok serta encinya sudah menghadap ke timur.
Semua orang berdiri dan menghadap ke timur pula, menyambut dewi bulan.
Dan ketika bunyi musik dipukul kian lembut dan halus sementara bulan purnama mulai naik perlahan- lahan maka tampaklah sinarnya yang gilang- gemilang menyinari bumi.
Luar biasa sekali.
Thai Liong terpaku dan terpesona.
Samar- samar sebuah pengaruh mulai melibat dirinya.
Musik dan doa-doa lembut menyatu isi- mengisi, dilihat begini rasanya janggal bahwa orang-orang macam Pek Kiok atau anak buahnya itu merupakan orang-orang sesat.
Tapi ketika dewi bulan naik semakin tinggi dan kini Ui Kiok bertepuk tiga kali mendadak suara suling berhenti digantikan tambur yang gencar dipukul panas.
"Dewi Bulan telah memberikan berkahnya kepada kita. Tarian Naga Betina harap muncul!"
Thai Liong terkejut.
Dari balik pohon-pohon yang tadi dilihatnya itu mendadak muncul belasan wanita muda, rata-rata cantik namun semua setengah telanjang.
Mereka muncul seperti siluman-siluman betina, tentu saja disambut sorak dan suitan riuh para lelaki.
Dan ketika mereka melenggang-lenggok naik ke atas panggung, dengan menggendong sebuah tempayan kecil maka genderang tiba-tiba menyambut dan suasana yang panas mendadak terjadi tanpa dapat dicegah lagi.
"Ui-hwa, kau nanti milikku!"
"Bi-nio, kau nanti punyaku!"
Tapi ketika semua lelaki bersorak dan memanggil nama wanita-wanita muda itu tiba- tiba Ui Kiok berseru agar mereka tidak gaduh, mengangkat lengan dan menarilah belasan wanita-wanita muda itu dengan senyum dan lenggak-lenggok mereka, mata mengerling dan genit menyambar-nyambar.
Dan ketika tambur atau suara musik lain menyusul dan mengira- makan suasana yang lebih panas maka belasan penari yang setengah telanjang ini sudah memutari altar dan Ui Kiok serta Pek Kiok tertawa-tawa.
"Ui-hwa, Bi-nio, ulurkan tempayan kalian!"
Dua wanita yang disebut mengulurkan tempayannya.
Thai Liong melihat sepercik air diambil Ui Kiok kakak beradik, dituangkan pada sebuah kendi yang sudah disiapkan di situ.
Nama-nama lain dipanggil dan berturut-turut wanita-wanita yang disebut namanya itu maju satu per satu, kaum lelaki sudah berteriak histeris melihat air yang diambili ini.
Dan ketika musik semakin panas menghangat dan kendi yang sudah berisi cukup air itu direndam benda yang ada di dalam cepuk mendadak kaum lelaki bersorak dan belasan penari yang meliak-liuk di atas panggung itu tiba-tiba melepas pelilit dadanya.
"Horeee...!"
"Astaga!"
Seruan terakhir itu disuarakan Thai Liong.
Pemuda ini dan temannya tiba-tiba melihat sesuatu yang membuat darah muda berdesir.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wanita-wanita muda itu sudah menunjukkan bagian atas tubuhnya yang telanjang tak berpenutup, persis seperti Ui Kiok kakak beradik mencumbu Ituchi dan Thai Liong.
Jadi semua penari itu "topless", tak mengenakan apa-apa bagian atasnya.
Dan ketika para lelaki bersorak dan berjingkrak-jingkrak di bawah terbakar oleh pemandangan ini maka Ui Kiok dan adiknya sudah mengambil cawan dan membagi-bagi minuman yang ada di kendi itu, yang sudah terendam dengan Empedu Rajawali.
"Sekarang kalian boleh bersenang-senang. Menarilah semuanya sepuasnya!"
Kaum lelaki berlompatan.
Mereka sekarang menjadi tak teratur dan berteriak satu sama lain, menyerbu ke kaum wanita itu namun para penari mendorong mereka, berkata bahwa mereka harus menghadap pangcu dulu, meminta ijin untuk bersama dengan mereka.
Dan ketika semua lelaki berebut menuju Ui Kiok dan Pek Kiok maka semuanya mendengus-dengus berlutut di depan dua wanita cantik itu.
"Pangcu, ijinkan kami bersama Ui-hwa!"
"Ya, dan aku Bi-nio, pangcu..."
"Aku Kiu-lin..."
"Kami Pui-hui dan Pui-yang...!"
Dan ketika semua berseru dan mandi keringat dahulu-mendahului maka bagi yang dikabulkan langsung menerima air Empedu Rajawali, yang ditolak tak diberi minuman ini dan mereka kebetulan para pemain musik, yang diminta melanjutkan berhingar-bingar dahulu dan biar teman-temannya yang lain bersenang-senang.
Dan ketika Thai Liong maupun Ituchi terbelalak melihat semuanya itu, pemandangan yang bertambah seram karena para lelaki yang sudah meminum Empedu Rajawali langsung menubruk pilihan masing-masing maka pasangan demi pasangan bergulingan di lantai panggung dengan kekeh atau erangan yang tumpang tindih.
Selanjutnya Thai Liong tak mau melihat lagi karena apa yang disaksikan itu sungguh mengerikan.
Puluhan lelaki sudah "mengeroyok"
Belasan penari, yang tentu saja kewalahan menerima serbuan itu.
Dan ketika arena panggung berubah menjadi arena kotor yang bergelimang nafsu birahi, karena semua sudah terlibat dan bergumul tak malu-malu maka Ui Kiok dan adiknya sudah meneguk sisa minuman di mana mereka menyisakan dua cawan untuk Thai Liong dan Ituchi.
"Hi-hik, sekarang kita mulai, Pek Kiok. Ayo tundukkan dua pemuda ini dan kita masuk ke kamar masing-masing!"
Thai Liong dan Ituchi tersentak. Saat itu mereka mencoba menutup telinga agar tak mendengar rintihan atau kekeh nafsu, karena semua penari sudah telanjang bulat dan "dikeroyok"
Puluhan laki-laki.
Mereka mendengus-dengus dan meja altar terguling, kacau dan semuanya tak keruan.
Dewi Bulan di atas sana tampaknya tersenyum tapi Thai Liong dan Ituchi justeru merasa seram.
Mereka seakan berada di tengah dunia penuh nafsu kotor yang amat cabul sekali.
Laki perempuan tumpang tindih tak keruan dan rata-rata seorang penari muda harus melayani tiga sampai lima lelaki.
Pemandangan yang bukan main menjijikkannya.
Tapi ketika mereka menutup telinga dan mata rapat-rapat mendadak Ui Kiok dan Pek Kiok berkelebat di samping mereka, tertawa, tawa yang bagi mereka seakan tawa kuntilanak yang lagi gila birahi! "Hi-hik, sekarang nikmatilah malam kita berdua, Kim-kongcu.
Malam ini kita menjadi pengantin dan Dewi Bulan sebagai saksi!"
"Benar, dan kau juga Ituchi. Malam ini tak dapat menolak dan ingin kulihat bagaimana kau merangkak di bawah kakiku!"
Pek Kiok terkekeh-kekeh, menyambung kata-kata encinya dan dua wanita itu sudah mengangkat cawan masing-masing.
Thai Liong maupun Ituchi sudah melihat pengaruh isi cawan ini, minuman Empedu Rajawali di mana kiranya minuman itu adalah minuman berbahaya, perangsang birahi di mana seekor kuda pun agaknya tak akan tahan kalau sudah dicekoki minuman ini, apalagi para penari itu sudah merangsang lebih dulu dengan tubuh mereka yang setengah telanjang, menjerumuskan seseorang ke dalam nafsu yang kotor dan tentu saja Ituchi maupun Thai Liong menolak.
Namun ketika mereka menutup mulut dan memaki-maki mendadak Ui Kiok maupun Pek Kiok telah mencengkeram bawah rahang mereka agar membuka, mata bersinar-sinar dan terkekeh.
"Hi-hik, percuma, Kim-kongcu. Lihatlah, aku akan membuka mulutmu!"
"Benar, dan kau juga, Ituchi. Kau tak dapat melawan kalau sudah begini!"
Dua pemuda itu terkejut.
Ituchi dan Thai Liong meronta dan tentu saja tak mau, menolak dan Thai Liong tiba-tiba mengeluarkan bentakan nyaring, hal yang tak diduga.
Dan ketika isi cawan membentur sisi kepalanya dan saat itu Thai Liong teringat ilmu ayahnya yang dinamakan Membuang Napas Menarik Hawa Murni tiba-tiba pemuda ini dapat menjebol hawa yang menutup jalan darahnya di mana saat itu juga isi cawan yang membentur kepalanya tumpah, menyiram muka Ui Kiok! "Heii...!"
Kejadian ini memang tak diduga.
Sebenarnya dalam keadaan kritis tadi Thai Liong tak tinggal diam.
Diam-diam dia coba mengerahkan lagi tenaga sinkangnya, membangkitkannya namun sayang gagal karena pemandangan di atas panggung itu amat mengganggu sekali.
Belasan wanita telanjang yang tidak malu-malu mempertontonkan bagian tubuhnya yang paling vital membuat pemuda ini terguncang, menahan napas dan berkali-kali gagal lagi.
Jalan darah yang hampir ditembus mendadak tertutup lagi, buyar oleh konsentrasinya yang kacau.
Namun begitu pemuda ini teringat ilmu Membuang Napas Menarik Hawa Murni di mana sebuah bentakan harus dikeluarkan untuk memperkuat diri mendadak saja semuanya itu berhasil dilakukan dan totokan tubuhnya terbuka! Thai Liong girang sekali karena terjadinya semua itu di saat dia berada di ambang bahaya, tepat sekali di saat-saat terakhir dan isi cawan yang tumpah yang mengenai muka Ui Kiok cukup membuat wanita itu kaget.
Ui Kiok agak terhuyung karena sebenarnya wanita ini juga mulai diamuk berahi.
Empedu Rajawali yang sudah diminum tak mungkin dimuntahkan lagi.
Pengaruh minuman sudah membuat wanita ini tertawa-tawa dan berseri, yakin akan berhasil dan pikiran yang ada di benaknya hanyalah bermain cinta dengan pemuda ini, putera Pendekar Rambut Emas yang hebat.
Tapi begitu Thai Liong berhasil membuka totokannya dan di saat yang tepat sekali dia menumpahkan isi cawan dan langsung bergulingan meloncat bangun maka di saat itulah Ui Kiok terpekik kecewa dan adiknya di sana juga menjadi kaget.
"Awas...!"
Tak ada yang mendengar seruan ini kecuali Pek Kiok.
Ui Kiok sebenarnya hendak memberi tahu semua anak buahnya bahwa satu di antara dua pengantin pria lepas, kini lolos dan bergulingan meloncat bangun.
Dan ketika Ui Kiok maupun Pek Kiok tertegun pucat, muka segera berubah, mendadak Thai Liong melepas pukulan jarak jauh dan menghantam Ui Kiok.
"Kau wanita tak tahu malu. Jahanam.... dess!"
Ui Kiok terbanting.
Wanita ini menjerit namun di sana Pek Kiok tiba-tiba membentak, Ituchi yang ada di tangan tiba-tiba diancam, siap dibunuh dengan satu totokan di ubun-ubun.
Tapi ketika Thai Liong tertegun dan tak jadi menyerang wanita ini, karena Thai Liong juga siap melancarkan pukulan jarak jauhnya tiba- tiba dari samping berkelebat bayangan biru di mana bayangan biru itu membentak Pek Kiok dan menyambar Ituchi.
"Jangan mengancam, serahkan pemuda itu... plak!"
Pek Kiok terkejut.
Wanita ini tiba-tiba menjerit dan terbanting, melempar tubuh bergulingan dan Ituchi terampas, sudah disambar bayangan biru itu, yang menyerangnya dari samping.
Dan ketika Thai Liong tertegun namun bayangan biru itu sudah membebaskan totokan Ituchi, yang tentu saja girang dan berterima kasih maka Thai Liong terkejut melihat siapa kiranya bayangan itu.
"Siang Le!"
"Ya, aku,"
Siang Le, pemuda ini tersenyum dan mengangguk.
"Aku terlambat, Kim-siauwhiap (pendekar muda Kim). Maaf tapi syukur kau berhasil melepaskan dirimu."
"Ah,"
Thai Liong bengong.
"Dengan siapa kau datang, Siang Le? Dan kenapa menolong kami?"
"Maaf, aku datang sendiri, siauwhiap. Tanpa guruku. Tapi awas, wanita itu menyerangmu!"
Siang Le berseru, melihat saat itu Ui Kiok berkelebat dan menghantam Thai Liong.
Wanita yang marah karena gagal mendapatkan putera Pendekar Rambut Emas ini tentu saja marah dan gusar bukan main.
Dia terkejut melihat lepasnya pemuda itu, yang berhasil membuka jalan darahnya di saat hendak diminumi Empedu Rajawali.
Dan melihat bahwa di situ muncul pula seorang pemuda lain yang gagah namun menyerang adiknya hingga Ituchi bebas pula maka wanita ini berkelebat dan menyerang Thai Liong, tentu saja dengan cepat dan tak memberi tahu, bergerak dan sudah melepas dua pukulan miring ke kepala pemuda itu.
Thai Liong mengelak dan tentu saja menangkis, tak usah diberi tahu dia sudah tahu.
Dan begitu Ui Kiok menjerit dan terlempar lagi, memang sesungguhnya bukan lawan Thai Liong maka wanita ini melengking mencabut pedangnya.
"Hei, keparat kalian. Lihat ada musuh-musuh yang datang. Bangun!"
Namun bentakan atau seruan wanita ini sia- sia.
Puluhan anak buahnya yang bergumul dan terbakar nafsu tak mendengar atau melihat semuanya itu.
Masing-masing asyik oleh keinginannya sendiri, Empedu Rajawali terlanjur merangsang berahi mereka dan tak ada seorang pun yang mendengar teriakan ketuanya.
Atau, kalaupun ada, belum tentu mereka itu mau bangun.
Mereka sedang tenggelam dan asyik sepenuhnya dalam urusan mereka sendiri.
Kenikmatan itu terlampau memabokkan dan Ui Kiok marah bukan main menerjang Thai Liong.
Tapi ketika sekali lagi Thai Liong menamparnya mundur dan Pek Kiok di sana juga sudah berteriak dan menyerang Siang Le, yang melepaskan korbannya maka Ituchi terhuyung mengumpulkan tenaga dan kekuatan batinnya.
"Sobat, terima kasih. Kau telah menyelamatkan mukaku!"
"Ah, kita sesama teman,"
Siang Le tersenyum.
"Kau lihatlah aku merobohkan wanita ini, Hu- kongcu (tuan muda Hu). Atau kau hajar manusia-manusia cabul di atas panggung itu!"
"Tidak,"
Ituchi melompat ke depan, sudah pulih semua tenaganya.
"Wanita ini bagianku, sobat. Kau biarkanlah aku yang menghajarnya dan tolong minggir... dess!"
Ituchi marah, menghantam Pek Kiok dan wanita itu menjerit.
Ituchi akhirnya sudah berkelebatan melepas tamparan-tamparan atau pukulannya, ditangkis tapi selalu pedang wanita itu terpental.
Dan ketika Siang Le membiarkan pemuda itu menghajar lawannya dan mundur sambil menonton tiba-tiba Ui Kiok melepas empat batang jarum dari samping.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cet-cet-cet!"
Siang Le pura-pura tak tahu.
Dia mengerahkan sinkangnya dan semua jarum rontok, runtuh bertemu tubuhnya yang kebal.
Dan ketika Ui Kiok di sana terbelalak tapi mendapat tamparan Thai Liong, yang marah melihat kecurangan wanita ini maka wanita cabul itu terpelanting dan terguling-guling.
"Plak!"
Ui Kiok mengeluh.
Akhirnya ia meloncat bangun dan menendang orang-orangnya yang sedang bergumul, satu per satu dibentak dan kagetlah anak buahnya itu.
Mereka melihat kemarahan sang ketua dan hadirnya pemuda lain di situ, Siang Le, yang tidak dikenal.
Maka ketika sang ketua memaki-maki mereka dan membentak dengan marah maka semua orang akhirnya terpekik dan melepaskan pasangannya, keadaan menjadi kacau dan puluhan laki-laki serta belasan wanita yang telanjang bulat panik mencari pakaian masing- masing.
Ui Kiok terhuyung dan nanar matanya, hawa birahi masih tak dapat dibebaskannya sebegitu cepat, betapapun ia menggigil dan pucat.
Di satu sisi diamuk kemarahannya karena Thai Liong lolos sedang di sisi yang lain dia diamuk berahinya sendiri, yang masih terpengaruh oleh Empedu Rajawali, yang terlanjur diminum.
Tapi ketika semua anak buahnya bangkit dengan kacau dan akhirnya menyerang tiga orang pemuda itu, dengan pakaian dan senjata seadanya maka Ui Kiok membentak dan menyerang Thai Liong lagi, di sana adiknya sudah menyerang Ituchi yang geram mengutuknya habis-habisan.
Ituchi marah karena hampir dia menjadi korban, tak selihai Thai Liong hingga tak dapat membebaskan diri lebih dulu, hal yang semakin membuat pemuda tinggi besar ini memuncak kemarahannya.
Maka begitu Pek Kiok mengeroyok bersama para pembantunya dan berkali-kali putera Raja Hu ini harus melengos atau membuang muka melihat lawan yang kedodoran pakaiannya, nyaris telanjang, maka pemuda ini memaki dan berkelebatan menurunkan tangan keras.
"Pek Kiok, kau harus kubunuh. Ah, kau siluman betina yang keji dan cabul!"
"Tak usah banyak cakap!"
Pek Kiok juga marah.
"Sekarang aku yang akan membunuhmu, Ituchi. Kau pemuda tak tahu dicinta dan disayang orang!"
"Hm, aku tak butuh cinta dan sayang macam dirimu. Kau siluman cabul yang terkutuk... plak-plak!"
Dan Ituchi yang kembali menangkis dan menghalau lawan akhirnya membuat Pek Kiok melotot dan terpental mundur, berkali-kali melihat bahwa putera Raja Hu ini memang hebat, dia masih bukan tandingannya meskipun dibantu puluhan anak buahnya.
Dan ketika di sana Siang Le juga menghadapi keroyokan anak buah wanita sesat itu di mana dengan mudah dan gampang pemuda ini menampar atau mendorong maka di pihak yang lain lagi Ui Kiok juga marah-marah dipukul atau didorong Thai Liong.
"Keparat, kalian maju lagi. Bunuh pemuda ini!"
"Hm, tak mungkin membunuhku,"
Thai Liong mengejek.
"Kau dan anak buahmu bukanlah orang-orang yang kutakuti, Ui Kiok. Dan karena kau telah menipuku maka justeru kaulah yang akan kuhajar!"
Benar saja, Ui Kiok menjerit ketika sebuah tamparan Thai Liong mengenai pundaknya.
Dan ketika Thai Liong berkelebat dan sebuah tendangan menyusul tamparan tadi maka wanita ini mengeluh namun untung puluhan anak buahnya menyerbu dan melindungi dirinya.
Thai Liong gemas.
Kalau saja dia bertangan ganas dan berwatak dingin mungkin akan dibunuhnya orang-orang ini, manusia- manusia sesat yang tak tahu malu.
Namun karena dia berwatak mulia dan lemah hati, seperti ayahnya maka orang-orang itu hanya didorongnya mundur dan mereka itu terpelanting ke kiri kanan, berkelebat ke arah Ui Kiok lagi dan tentu saja wanita ini pucat.
Thai Liong menamparnya dengan pukulan perlahan namun sudah membuat pundaknya melepuh, bengkak.
Dan ketika pedangnya digerakkan namun akhirnya patah, hal yang membuat wanita itu semakin pucat lagi akhirnya Ui Kiok melengking tinggi dan berkelebat turun panggung, melihat adiknya di sana juga terlempar dan terbanting bergulingan oleh pukulan atau tamparan Ituchi.
"Kiok-moi, lari. Kita bersembunyi!"
Pek Kiok pucat.
Wanita ini gentar dan akhirnya juga ngeri, melihat ketakutan encinya itu dan tamparan-tamparan Thai Liong di sana, yang membuat anak buahnya jatuh bangun.
Dan ketika encinya berteriak dan harapan bagi mereka agaknya memang tidak ada maka Pek Kiok mengangguk dan meloncat bangun melarikan diri, tak tahunya Ituchi berkelebat dan membentak melayang turun, melepas pukulan.
Dan ketika Pek Kiok terbanting dan bergulingan lagi maka Thai Liong di sana juga menghajar dengan pukulan jarak jauhnya.
"Ui Kiok, jangan lari. Roboh dan terimalah dulu pukulanku... dess!"
Sang enci terlempar, terbanting bergulingan lagi dan dua kakak beradik ini pucat.
Mereka jerih dan berteriak- teriak agar para pembantunya menahan, datang dan melindungi diri mereka berdua.
Tapi ketika Ituchi membentak dan menggerakkan kedua tangannya ke muka dan belakang maka orang-orang sesat itu terlempar dan lima di antaranya menjerit dengan tulang iga patah.
"Jangan lari!"
Ituchi menggeram.
"Kau terima dulu hukumanmu, Pek Kiok. Baru setelah itu ke akherat bersama encimu!"
Pek Kiok gentar.
Setelah Ituchi bersikap keras dan lima pembantunya roboh dengan tulang patah maka wanita ini semakin pucat, jerih.
Pedangnya sendiri telah terlepas dan patah menjadi tiga.
Sama seperti Thai Liong di sana pemuda ini tak mempergunakan apa-apa, hanya tangan telanjang tapi hebatnya bukan main, kebal karena Ituchi mengerahkan sinkangnya untuk menyambut hujan senjata lawan, yang terpental dan patah-patah bertemu jari-jarinya yang ampuh itu.
Dan ketika pemuda ini membentak dan mukanya merah tanda benar-benar ingin membunuh wanita yang membuatnya malu ini maka Pek Kiok mengeluh dan ketakutan hebat.
"Enci, bantu aku. Lemparkan tok-ciam (jarum beracun)!"
Ui Kiok bergerak.
Wanita ini telah melempar tujuh jarum hitam ke tubuh Ituchi, yang mendengus dan mengebutkan lengannya.
Dan ketika semua jarum tersapu rontok dan Pek Kiok juga menggerakkan belasan jarum hitamnya namun tak satu pun mampu melukai pemuda itu, yang menerima dan mengerahkan kekebalannya maka Ituchi tiba-tiba meraup beberapa jarum beracun untuk disambitkan ke arah lawannya.
"Aduh!"
Pek Kiok kena matanya.
Wanita ini menjerit dan terpelanting, langsung berkelojotan.
Sebatang jarum yang ditimpuk balik oleh Ituchi ternyata menyambar luar biasa cepatnya, tak dapat dielak.
Dan ketika wanita itu terjengkang dan tentu saja menjerit-jerit, mengejutkan encinya maka Ituchi tertawa mengejek dengan dorongan tangannya memukul mundur lima orang di depan yang menyerangnya dengan marah.
"Minggir kalian... des-dess!"
Lima orang itu terjungkal.
Ituchi sudah bergerak dan berkelebat ke arah Pek Kiok, yang menjerit dan kesakitan oleh jarum yang menancap di bola mata, tentu saja nyeri bukan main.
Dan ketika pemuda itu berkelebat dan tangan kirinya bergerak menampar kepala Pek Kiok maka Ui Kiok, sang enci menjerit memberi tahu si adik.
"Awas...!"
Sayang terlambat.
Ituchi sudah geram dan marah sekali kepada Pek Kiok ini, yang menyiksa dan memperlakukannya begitu menyakitkan, perbuatan yang tak mungkin dapat dilupakan pemuda itu seumur hidup.
Maka begitu tangannya bergerak dan Pek Kiok tak tahu karena mendekap matanya maka tamparan itu singgah dan robohlah wanita ini dengan satu pekikan ngeri.
"Prak!"
Ituchi telah membuat lawan terkapar.
Kepala Pek Kiok pecah dan berteriaklah Ui Kiok di sana, kaget dan gentar, juga ngeri.
Dan ketika yang lain juga terkejut karena untuk pertama kalinya pemuda tinggi besar inilah yang melakukan pembunuhan maka Ui Kiok berkelebat dan memutar tubuhnya, melarikan diri, menangis.
"Jangan kejar!"
Thai Liong tiba-tiba berseru, melihat Ituchi masih tak puas dan ingin mengejar wanita itu, sang kakak.
"Jangan menumpahkan darah lagi, Ituchi. Jangan kejar dan biar kita ampuni dia...!"
"ah,"
Ituchi menggeram.
"Mereka menipu dan mempermainkan kita habis-habisan, Thai Liong. Tak membunuh mereka berdua tak puas rasanya hati ini!"
"Tidak!"
Thai Liong berkelebat, merobohkan belasan orang di depan.
"Cukup, Ituchi. Dengarkan kataku dan jangan membunuh lagi!"
"Benar,"
Siang Le tiba-tiba juga berseru, meroboh-robohkan belasan lawannya di sana, dengan enak.
"Jangan luapkan kemarahan dengan menumpahkan darah, Hu-kongcu. Kalian sudah selamat dan itu cukup!"
Ituchi tertegun.
"Kalian tak membunuh saja tikus-tikus tengik ini?"
"Sudahlah,"
Thai Liong memegang lengan pemuda ini.
"Pek Kiok sudah kau bunuh, Ituchi. Ui Kiok sebenarnya musuhku tapi aku mengampuninya. Kau lihatlah, semua orang- orang ini akhirnya lari!"
Benar saja.
Setelah Pek Kiok roboh dan Ui Kiok melarikan diri tiba-tiba saja semua orang itu memutar tubuhnya.
Mereka ketakutan melihat tandang tiga orang pemuda ini, yang gagah- gagah dan lihai.
Dan ketika Ituchi tertegun dan mengerutkan keningnya maka mereka bertiga yang berdiri tanpa lawan mendadak membuat pemuda tinggi besar ini menggeram.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah, aku menuruti nasihatmu, Thai Liong. Tapi lain kali tentu kubunuh siluman betina itu!"
"Dan aku mohon maaf karena terlambat,"
Siang Le tiba-tiba membungkuk di depan keduanya.
"Aku sudah melihat semuanya ini dari jauh namun kalah cepat, Hu-kongcu. Untung Kim-siauwhiap berhasil membebaskan totokannya dan menyelamatkan diri."
"Siapa kau?"
Ituchi tiba-tiba tertegun, kagum dan bersinar-sinar memandang pemuda ini.
"Bagaimana mengenal diriku dan Thai Liong?"
"Ah, Kim-siauwhiap mengenalku,"
Siang Le melirik Thai Liong.
"Aku Siang Le."
"Hm, dia murid See-ong, Ituchi. Dan bersyukur bahwa kau yang ditolongnya, bukan aku."
Ituchi terkejut.
"See-ong?"
"Ya, itu guruku,"
Siang Le tersenyum pahit.
"Kim-siauwhiap rupanya kurang suka kehadiranku, Hu-kongcu. Biarlah aku pergi dan syukur bahwa kalian berdua selamat. Maaf!"
Siang Le tiba-tiba menggerakkan kakinya, melihat muka muram dari Thai Liong dan tentu saja dia harus pergi.
Kematian Hu-taihiap tiba- tiba saja merupakan gangguan, bakal mengganjal perasaan Thai Liong dan Ituchi tentu saja terkejut.
Lain Thai Liong lain pula pemuda tinggi besar ini.
Siang Le telah menyelamatkannya dan membuat pemuda ini berhutang budi, meskipun mungkin saja akhirnya Thai Liong juga dapat membebaskannya, karena putera Pendekar Rambut Emas ini akhirnya berhasil membuka totokannya lebih dulu.
Tapi karena Siang Le jelas telah menolongnya dari kecurangan Pek Kiok dan Ituchi berhutang budi maka pemuda ini berkelebat dan berseru, mengejar.
"He, tunggu, Siang Le. Sebentar!"
Pemuda itu berhenti.
"Kongcu mau bicara apa?"
"Aku... aku hendak mengucapkan terima kasih. Kau telah menyelamatkan jiwaku!"
"Ah,"
Pemuda itu tertawa.
"Kau sudah mengucapkannya berkali-kali, kongcu. Jangan katakan lagi dan membuat aku menjadi malu."
"Tapi... tapi..."
"Sudahlah,"
Siang Le memotong.
"Kim- siauwhiap menunggumu, kongcu. Selamat tinggal dan biar lain kali kita bertemu lagi!"
"He!"
Namun Siang Le yang berkelebat meninggalkan pemuda itu akhirnya lenyap keluar hutan, tersembunyi di balik malam yang pekat dan sinar bulan yang tadi menerangi bumi mendadak muram, terhalang mega tebal yang melayang di langit biru.
Semuanya berlangsung cepat.
Namun ketika mega tebal menyingkir ke utara dan bulan purnama muncul lagi maka Thai Liong berkelebat dan telah berdiri disamping pemuda ini.
"Ituchi, murid See-ong itu telah pergi. Kita juga harus pergi!"
"Benar,"
Pemuda ini sadar.
"Dan perjalanan kita tertunda, Thai Liong. Ah, pengalaman ini sungguh berharga!"
"Ya, dan kita benar-benar terkelabuhi. Kita nyaris menjadi permainan dua enci adik yang cabul!"
"Dan Siang Le telah menolongku, Thai Liong. Sungguh aku merasa berhutang budi padanya!"
"Sudahlah, pemuda itu memang telah menolongmu, Ituchi. Tapi tanpa dia pun agaknya aku juga dapat menyelamatkanmu!"
"Ya, dan baru kali ini aku melihat pesta demikian gila-gilaan, Thai Liong. Kalau saja tidak mengalami dan melihatnya dengan mata telanjang barangkali seumur hidup aku tak bakalan percaya bahwa di dunia ini ada orang- orang yang demikian bejat akhlaknya. Ah, aku harus malu. Aku seperti bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa, mudah diperdayai wanita!"
"Hm, bukan hanya kau. Akupun juga begitu, Ituchi. Aku pun diperdayai dan ditipu dua wanita cabul itu. Ah, akupun juga merasa goblok!"
"Dan bagaimana penilaianmu tentang tempat terkutuk ini?"
"Maksudmu?"
"Aku ingin membakar tempat ini, Thai Liong. Aku ingin membumihanguskan bekas percabulan ini!"
"Aku setuju, tapi tak usah semuanya. Mari, kita bakar!"
Dan Thai Liong yang ternyata sependapat dan tidak banyak bicara lalu melempar ranting kering yang sudah menyala dan membakar panggung bekas tempat upacara itu, sebentar kemudian diikuti temannya dan terbakarlah tempat itu.
Dan ketika api membubung tinggi dan panggung itu terbakar dengan cepat maka Thai Liong dan Ituchi bersinar-sinar memandang tempat itu, tempat yang hampir saja menjerumuskan mereka dalam perbuatan hina, percabulan yang tentu saja mereka kutuk habis-habisan.
Dan ketika api menjilat-jilat dan Ituchi tampaknya puas maka Thai Liong mengajak temannya pergi.
"Sekarang selesai, mari kita tinggalkan tempat ini!"
"Hm!"
Pemuda tinggi besar itu mengerutukkan giginya.
"Sebenarnya aku ingin membakar Pek Kiok dan encinya di sini, Thai Liong. Melihat mereka hangus dan mati dengan tubuh hitam!"
"Sudahlah, Pek Kiok telah kau bunuh, Ituchi. Tak baik menyimpan dendam lagi dan mari kita pergi!"
"Benar, aku harus ke ibuku!"
Dan Ituchi yang bergerak dan sudah mengikuti Thai Liong lalu keluar hutan dan masih melihat api yang menyala besar di belakang, sinarnya yang kemerah-merahan tampak menerangi langit yang hitam dan pemuda itu berkali-kali mengeluarkan kutukan.
Namun ketika Thai Liong mengajaknya berlari cepat dan malam itu juga meninggalkan tempat itu maka dua pemuda ini sudah meneruskan perjalanannya ke tempat Cucigawa, raja yang dulu hendak menangkap dan membunuhnya itu.
**SF** "Eh, kenapa kosong?"
Begitu mula-mula pemuda tinggi besar ini tertegun di tempat, berhenti dan terbelalak memandang wilayah yang tiba-tiba serasa tidak berpenghuni itu.
Suku bangsa U-min yang berjumlah ribuan dan biasanya tampak menggembala ternak mendadak tak kelihatan ujung hidungnya.
Thai Liong juga berhenti dan mengerutkan kening di samping sahabatnya.
Dua pemuda ini tak tahu adanya perubahan besar-besaran yang terjadi setelah Togur dan kelima gurunya menguasai bangsa itu.
Dan ketika Ituchi bertanya apa yang harus mereka lakukan, karena tempat itu tampak mencurigakan dan mungkin musuh menunggu di tempat tersembunyi mendadak Thai Liong melihat lewatnya seorang kakek yang mengejar seekor anjing buduk, memaki- maki, serak.
"Hm, itu ada seseorang di sana, Ituchi. Kau mau menangkapnya?"
"Can-lopek!"
Ituchi tiba-tiba berseru, mengangguk dan sudah melihat kakek itu pula.
"Dia bekerja di dapur istana, Thai Liong. Heran bahwa dia sekarang begitu kurus dan tua. Coba kutangkap dia!"
Dan Ituchi yang berkelebat dan menyambar kakek itu tiba-tiba berseru agar Thai Liong menjaganya dari belakang, siapa tahu ada anak panah atau lembing yang dilepas secara curang, seperti dulu.
Namun ketika Ituchi berkelebat dan sudah berjungkir balik menangkap kakek ini, yang tentu saja kaget dan berteriak tertahan ternyata tak ada panah atau lembing yang dilontarkan orang.
"Pangeran...!"
"Ssst,"
Ituchi sudah membawa kakek ini berjungkir balik ke belakang, cepat dan membuat si kakek bengong.
"Jangan berisik, Can-lopek. Syukur kau masih mengenalku dan ceritakan kenapa tempat ini kosong!"
Kakek itu tertegun.
Thai Liong sudah keluar dan terbelalaklah kakek ini mengenal pemuda itu, yang dulu menyelamatkan dan membawa Ituchi keluar dari tempat itu, di bawah hujan serangan pasukan Cucigawa yang besar.
Dan ketika Thai Liong tersenyum dan kakek itu ternganga maka berkatalah kakek ini dengan suara menggigil.
"Eh, bukankah ini... ini pemuda yang dulu menolongmu itu, pangeran? Di mana yang satunya?"
Yang dimaksudkan adalah Ji Pin. Ituchi tentu saja tersenyum namun Thai Liong sudah menjawab, bahwa teman yang satunya itu tak ada di sini. Dan ketika kakek itu mengangguk dan menjatuhkan diri berlutut maka kakek ini tiba-tiba menangis.
"Pangeran, celaka. Cucigawa dan semua orang di sini telah dibawa seorang pemuda sakti!"
"Hm, siapa maksudmu? Pemuda dari mana?"
"Entahlah, aku tak tahu, pangeran. Tapi pemuda itu... pemuda itu... ah, luar biasa sekali. Dia datang bersama guru-gurunya, iblis-iblis yang hebat dan pandai menghilang, seperti siluman!"
"Hm!"
Ituchi menyuruh kakek ini bangkit berdiri.
"Kau ceritakanlah kepada kami secara jelas, Can-lopek. Duduk dan bersikaplah tenang."
"Mereka itu..."
Kakek ini menangis.
"Mereka itu menguasai dan menaklukkan suku-suku bangsa di sini, pangeran. Dan membawa mereka untuk berperang menundukkan Tiongkok!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa?"
"Benar,"
Kakek itu tersedu-sedu, menutupi mukanya.
"Puteraku telah menjadi korban, pangeran. Dan semua anak muda di sini akan menjadi korban. Mereka disuruh berperang dan menjadi tumbal. Pemuda itu iblis, dia hebat tetapi iblis!"
"Hm, siapa dia?"
Thai Liong kali ini bicara.
"Siapa namanya, lopek? Dan siapa pula guru- gurunya yang kau maksudkan itu?"
"Dia... dia putera mendiang Gurba, kongcu. Dan guru-gurunya itu kalau tidak salah berjuluk Lima Iblis Dunia!"
"Ah, Togura!"
"Benar,"
Kakek itu berseru.
"Itu namanya, kongcu. Dan kalau tidak salah dia adalah keponakan Kim-mou-eng! Eh, bukankah kau adalah Pendekar Rambut Emas? Kalau begitu kongcu ini..."
"Bukan,"
Ituchi menggeleng dengan cepat, muka pun berubah.
"Ini adalah puteranya, lopek. Kim-siauwhiap ini adalah putera Pendekar Rambut Emas!" **SF** (Bersambung
Jilid 15) Bantargebang, 16-11-2018,19.09 (Serial Bu-beng Sian-su) ISTANA HANTU
Jilid 15 * * * Hasil Karya . B A T A R A Pelukis . Soebagio Antonius S. * * * Percetakan & Penerbit U.P. DHIANANDA P.O. Box 174 SOLO 57101 ISTANA HANTU - BATARA KONTRIBUTOR . KOH AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITER .
SITI FACHRIAH ? PDF MAKER .
OZ Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, di bawah lindungan Undang-undang.
Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang.
CETAKAN PERTAMA U.P.
DHIANANDA ? SOLO 1987 ISTANA HANTU (Lanjutan "Sepasang Cermin Naga") Karya .
Batara
Jilid . 15 * * * "OH, kalau begitu aku telah bersikap kurang hormat!"
Dan si kakek yang menjatuhkan diri berlutut di depan Thai Liong tiba-tiba berseru minta ampun.
"Sudahlah,"
Thai Liong berkata.
"Bangunlah, lopek. Kau tak bersikap kurang hormat karena sesungguhnya siapapun sama saja bagiku. Kau ceritakanlah apa yang kau ketahui dan lanjutkanlah."
Kakek itu gemetar, lega.
"Kongcu tidak marah?"
"Tidak, kau tenanglah dan ceritakan kembali apa yang terjadi."
"Pemuda itu membuat onar, mengacau!"
"Ya, kau sudah mengatakannya. Sekarang katakan ke mana pemuda itu pergi, lopek. Apalagi yang kau ketahui dan kemana pula kelima gurunya itu."
"Mereka ke selatan, membawa pasukan besar!"
"Dan Liima Iblis Dunia itu?"
"Kakek dan nenek-nenek itu juga mengikuti muridnya, kongcu. Mereka semua ke selatan!"
"Dan benar-benar menyerbu kota raja...."
"Benar, memang begitu, kongcu. Dan anakku telah menjadi korban! Ah, puteraku telah tewas, aku hidup sebatangkara!"
Kakek itu menangis lagi, teringat nasibnya dan terkepallah tinju yang kurus itu. Dan ketika dia memaki-maki namun Thai Liong menghibur dan memberi isyarat pada temannya maka Ituchi memberi segenggam uang pada kakek itu.
"Lopek, tenanglah. Kau memang patut berduka, tapi kami akan membalas semua sakit hatimu ini, juga hati bangsa kita yang sudah dikuasai dan dipermainkan pemuda itu. Kau pergilah, yang jauh. Bawa uang ini dan mulailah hidup baru di suatu tempat."
"Pangeran.... pangeran mau ke mana?"
"Mencari musuh kita itu, lopek. Membebaskan dan menolong bangsa kita!"
"Tapi pemuda itu lihai, dia hebat dan sakti!"
"Ada temanku di sini, Kim-siauwhiap. Sudahlah tak usah kau khawatir dan sekarang kau pergilah!"
Ituchi mendorong kakek renta itu, menyuruhnya pergi tapi kakek ini bengong saja.
Dia membelalakkan mata dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, kali ini di depan Ituchi.
Dan ketika dia menggigil dan terbata di depan pemuda itu maka kakek ini berkata.
"Pangeran, ibunda... ibunda juga menghilang. Aku tak tahu di mana dia dan dua adikmu juga tiada. Mereka barangkali saja selamat, tapi barangkali juga dibunuh pemuda iblis itu!"
"Ibu tak ada?"
Ituchi tergetar.
"Dia dibawa juga dalam peperangan?"
"Aku tak tahu, pangeran. Tapi mungkin juga. Aku, ah... aku khawatir. Sebaiknya paduka memang cepat menyusul pemuda itu namun berhatil-hatilah. Aku telah melihat kepandaiannya yang luar biasa!"
Lalu mengguguk dan meratap memeluk kaki pemuda itu kakek ini seakan berat dan tak mau meninggalkan Ituchi, menangis dan tersedu-sedu di situ dan Ituchi tertegun.
Dia teringat ibunya ini dan seolah baru diingatkan.
Tadi pikirannya tertuju pada keselamatan suku bangsanya itu dan lupa pada yang lain-lain.
Apalagi setelah nama Togura disebut-sebut, nama pemuda yang selalu membuat setiap orang bakal berdebar.
Maklumlah, Togura adalah murid Enam Iblis Dunia, dan lebih-lebih lagi dia adalah keturunan mendiang Gurba, tokoh paling dahsyat di suku bangsa Tar-tar, suheng Kim-mou-eng yang sudah tewas itu.
Namun ketika kakek itu berguncang-guncang di kakinya dan Thai Liong batuk-batuk tiba-tiba pemuda ini sadar dan berseru.
"Can-lopek, kalau begitu kami yang pergi. Hati-hatilah, dan doakan kami selamat!"
Dan begitu melepaskan diri dari pelukan si kakek tiba-tiba pemuda tinggi besar ini telah berkelebat, memberi tanda pada Thai Liong dan uang yang dipegang si kakek berkerincing jatuh.
Kakek itu tertegun dan melongo.
Tapi begitu dua bayangan pemuda itu lenyap dan bagai iblis saja mereka berdua itu sudah tak ada di depannya lagi tiba-tiba kakek ini menjerit dan bangkit berdiri.
"Pangeran, hati-hati. Awas kau celaka....!"
"Terima kasih,"
Ituchi ternyata masih dapat menjawab dari jauh, entah di mana.
"Aku selalu ingat pesanmu, lopek. Tapi kaupun sebaiknya cepat pergi dari situ!"
Dan ketika si kakek mendelong dan sedih tapi bersinar-sinar maka Ituchi di sana sudah mengerahkan ilmu lari cepanya bersama Thai Liong.
"Bangsaku dalam bahaya. Ah, kita harus menyusul Togura, Thai Liong. Menghentikan sepak terjangnya dan menghadapi pemuda itu!"
"Ya, tapi jangan terburu-buru, Ituchi. Lawan yang kita hadapi bukanlah sembarangan, di sana ada kelima gurunya pula!"
"Aku tak takut!"
"Aku juga, namun kita tak boleh gegabah!"
Dan ketika Thai Liong memperingatkan temannya agar mengendalikan emosinya maka Ituchi mengangguk meskipun terbakar, memang tak dapat menahan marahnya setelah tadi mengetahui bahwa Togur menguasai dan mengajak suku bangsanya berperang, bukan suku bangsa pemuda itu sendiri melainkan suku bangsanya orang lain.
Betapa licik dan culasnya! Dan ketika dia mengerahkan ilmu lari cepatnya dan terbang ke selatan maka Thai Liong sendiri diam-diam menekan debaran jantungnya.
Bukan main Togura itu, dan amat berani! Tapi karena dia sudah mengenal siapa pemuda itu dan bapaknya juga merupakan laki-laki pemberani dan gagah perkasa, sayang sesat, maka pemuda berambut keemasan inipun menarik napas panjang dan menekan ketidakenakan hatinya, melirik pada Ituchci dan melihat wajah temannya yang merah padam.
Thai Liong tahu bahwa Ituchi marah sekali, marah karena Togura mempergunakan bangsa orang lain guna mencapai cita-citanya.
Kalau ada korban tentu bukan pemuda itu yang rugi tapi kalau ada untung jelas Togur dan kelima gurunya itu yang menikmati! Maka begitu maklum dan mengerti akan kemarahan temannya ini Thai Liong lalu berdiam diri dan berlari mengimbangi sahabatnya, terus ke selatan dan mereka berdua akhirnya sudah jauh meninggalkan Can-lopek, laki-laki tua itu.
Dan ketika mereka sudah memasuki tembok besar dan sekali mengerahkan ginkang mereka berdua sudah melewati tembok yang tinggi dan melayang turun ke dalam maka Ituchi dan Thai Liong sudah siap memburu Togura! **SF** Dua gadis cantik melenggang di jalanan berbatu itu.
Mereka bercakap-cakap dan terdengar sesekali suara tawa atau kekeh mereka itu, merdu dan renyah dan orang akan mengetahui bahwa dua gadis ini adalah orang- orang yang periang, mudah gembira dan agaknya gampang diajak bercakap-cakap, atau mungkin gampang pula diajak bersahabat.
Dan ketika hal itu diketahui oleh serombongan laki- laki yang sejak tadi saling pandang dan menyeringai di balik batu-batu besar, daerah yang akan dilewati dua gadis ini maka seorang di antaranya, yang merupakan seorang pemuda bertubuh kuat yang gagah namun matanya berminyak memberi aba-aba pada temannya, sembilan belas orang laki-laki lain untuk muncul ketika dua orang gadis itu lewat di depan mereka.
"Aih, nona-nona yang cantik! Ke mana kalian hendak pergi? Bagaimana berjalan berdua saja di tempat sesepi ini? Eih, berhenti, nona. Kalian memasuki daerah berbahaya di depan!"
Begitu pemuda gagah ini muncul memperlihatkan dirinya, berseru nyaring dan sembilan belas temannya yang lain berlompatan satu per satu.
Mereka tertawa- tawa dan membenarkan kata-kata pemuda itu, berkata bahwa daerah di depan berbahaya dan serentak mereka itu mengurung dan mengelilingi dua gadis ini, ada yang coba-coba memegang dan tentu saja dua gadis itu menghentikan percakapan mereka, terbelalak dan mundur mengipatkan lengan ketika tubuh mereka hendak dipegang-pegang.
Seorang di antaranya membentak dan yang coba memegang terpelanting, mengaduh dan berdirilah dua orang gadis itu dengan mata bersinar-sinar, marah.
Tadi yang menggerakkan tangannya ini menampar seorang laki-laki yang coba mengusap pinggulnya, dikepret dan laki-laki itu berteriak karena tangannya bengkak, bertemu tamparan atau kelima jari si nona, gadis baju hitam yang ada di sebelah kiri.
Dan ketika semua tawa atau godaan itu sirap oleh bentaksan dan suara mengaduh ini maka gadis baju hitam itu, yang berdiri di sebelah kiri temannya berseru marah, sikap ramahnya hilang terganti sikap yang galak dan dingin.
The Spiderwick Chronicles 4 Pohon Besi Goosebumps Rambut Setan Golok Maut Karya Batara
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama