Musashi Karya S. Widjadja Bagian 1
MUSASHI The Journey of A Warrior & The Book of Five Rings S.Widjaja12 MUSASHI The Journey of A Warrior & The Book of Five Rings S. Widjaja Dikompilasi tanpa izin dari publikasi di
https.//www.kompasiana.com/s-widjaja/ xxx /musashi-the-journey-of- a-warrior-the-book-of-five-rings-20
https.//www.kompasiana.com/s-widjaja Editor .
D.A.S34 Gua Reigan, Gunung Iwato, Provinsi Higo, Pulau Kyushu.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal sepuluh bulan sepuluh tahun Kan?ei dua puluh (1643).
Laki-laki itu duduk bersila di dalam gua berpenerangan lilin tersebut.
Usianya sekitar enam puluh tahun.
Penampilannya bersahaja dan tatapan matanya teduh.
Wajahnya terlihat tenang ketika ia membuka gulungan kertas dan mulai menyapukan kuasnya, menulis di atas hamparan kertas itu.
Saya, Shinmen Musashi No Kami Fujiwara No Genshin, seorang yudhaka dari Provinsi Harima.
******** Kisah ini dimulai lebih dari lima puluh tahun yang lalu, di sebuah dojo ? milik seorang master pedang bernama Shinmen Munisai, di desa Miyamoto, Provinsi Harima.5 Bennosuke duduk bersimpuh sambil mengintip dari balik shoji (pintu atau pembatas ruangan yang dibuka dengan cara digeser) dan memerhatikan dengan penuh semangat.
Matanya berbinar-binar bercahaya, menunjukkan kegairahan yang luar biasa.
Apakah yang lebih menarik perhatian seorang bocah laki-laki selain kisah tentang kepahlawanan, pertarungan, pedang, dan kedigdayaan? Walaupun belum genap enam tahun usianya, Bennosuke sudah memperlihatkan minat dan bakatnya pada seni dan pertarungan.
Ia pandai menggambar dan ia juga sangat menyukai pedang ? bahkan ketika ia belum diperbolehkan menyentuh benda mematikan tersebut.
Ia selalu bersemangat menunggu saat-saat ketika ayahnya, Shinmen Munisai, bertarung dengan para penantangnya ? yang entah datang dari mana saja.
Jumlah mereka banyak sekali, sepertinya para pendekar dari seluruh provinsi di Jepang pernah mendatangi dojo ayahnya.
Bukan hanya para master pedang, di antara mereka juga terdapat beberapa pendekar yang piawai memainkan beragam senjata lain, seperti tombak ataupun toya.
Munisai sendiri selalu membatasi tantangan duel tersebut.
Tidak setiap hari, tidak juga dua hari sekali.
Sebagai seorang guru pedang, Munisai tentu lebih mendahulukan mengajar dan membimbing murid-muridnya daripada meladeni6 tantangan semacam itu.
Masalah adu kepandaian atau yang sering disebut sebagai ?perbandingan teknik? bukan hal yang utama baginya ? walaupun, jelas sekali, ia menyukai tantangan dan pertarungan, jika lawan yang dihadapi sepadan dengannya.
Banyaknya orang yang mendatangi dojo Munisai ini terjadi semenjak ia mengalahkan Yoshioka Naokata seorang jago pedang yang dikenal sebagai Yoshioka Kenpo.
Kenpo merupakan salah seorang pelatih pedang Shogun Ashikaga Yoshiteru, penguasa Jepang ketika itu.
Yoshiteru yang sangat menyukai ilmu pedang, juga merupakan seorang master pedang.
Kesukaannya akan ilmu pedang menyebabkan Yoshiteru dijuluki Kengo Shogun ? Shogun Jago Pedang.
Setelah memenangkan pertarungan melawan Kenpo ? yang diatur atas permintaan Yoshiteru, Munisai dianugerahi gelar pendekar ?tanpa tandingan di bawah matahari?.
Entah apa esensinya gelar tersebut bagi Munisai.
Bennosuke terkadang tertawa sendiri ketika melihat ayahnya membuka gulungan bertuliskan ?tanpa tandingan di bawah matahari? itu dan menatapnya sambil bertanya pada dirinya sendiri.
"Aku ingin tahu apa yang Kengo Shogun berikan kepada Bokuden?"
Tsukahara Bokuden yang pada masanya dianggap sebagai jago pedang nomor satu di Jepang, juga merupakan pelatih pedang Kengo Shogun.7 Seandainya Bokuden masih hidup saat ini, Munisai tentu akan sangat ?berterima kasih? pada master pedang itu ? jika gerombolan penantang ini mau mengalihkan keinginan ?membandingkan teknik? mereka dengan Bokuden.
Bennosuke selalu beranggapan ayahnya adalah master pedang nomor satu di dunia ? bukan hanya jago pedang, tetapi jago segala-galanya.
Munisai memang menguasai banyak keahlian beladiri selain ilmu pedang.
Munisai selalu beranggapan dalam pertarungan yang sebenarnya, tidak ada aturan yang baku.
"Jika kamu harus berduel dengan seseorang ? apakah itu begal ataupun samurai, maka yang ada adalah pertarungan hidup-mati. Tidak ada hal lain, selain keahlianmu yang mampu mengungguli lawanmu, yang akan menyelamatkanmu. Apakah ada aturan yang melarang lawan menggigitmu? Mencolok matamu atau bahkan menendang selangkanganmu?"
Demikian yang pernah ia katakan.
Munisai menguasai seni beladiri tangan kosong seperti jujutsu, suatu teknik pertarungan jarak dekat ? tanpa menggunakan senjata.
Awalnya, teknik ini dikembangkan untuk menghadapi samurai yang mengenakan armor, ketika menyerang lawan tersebut dengan pedang terbukti tidak efektif.
Munisai mampu membanting lawannya dengan cepat karena ia memiliki pergelangan tangan yang kuat serta cengkeraman yang ketat.
Gerakan tangan dan kakinya juga sangat cepat dan tangkas.
Munisai juga menguasai teknik8 penggunaan jitte senjata semacam pisau yang memiliki kait ? biasanya digunakan untuk mengunci mata pedang lawan.
Selama ini Bennosuke belum pernah melihat Munisai kalah dalam duel di dojo ini, sekalipun ia menghadapi penantang yang bersenjatakan pedang dengan tangan kosong.
Konon hanya Kamiizumi Nobutsuna yang bisa mengalahkan lawan yang berpedang dengan tangan kosong.
Nobutsuna mampu menangkap mata pedang lawannya untuk kemudian menghentikan serangan lawannya itu ? dan bukan kebetulan, jika Nobutsuna juga menjadi pelatih pedang Kengo Shogun.
Munisai tentunya berbeda dengan Nobutsuna ? dia tidak akan menangkap mata pedang lawannya, karena ia menyadari ia tidak memiliki kemampuan untuk itu.
Ia lebih memilih untuk menghindar lalu menyerang dengan cepat.
Serangannya ditujukan untuk langsung melumpuhkan lawannya.
Selama duel atau ?perbandingan teknik? di dojo ini, belum pernah ia menyebabkan penantang ? lawan tandingnya itu, terbunuh.
Munisai selalu ingin mengetahui apa yang dipikirkan lawannya jika ia diberi kesempatan untuk mengulangi pertarungan itu ? persis di saat sebelum lawannya itu ia kalahkan.
Biasanya, seusai pertarungan, Munisai akan mengajak penantangnya membahas secara mendetail hasil pertarungan tersebut.
Inilah yang ditunggu-tunggu oleh Bennosuke.9 Penantang kali ini adalah seorang pendekar pedang berusia paruh baya bertubuh jangkung dan berwajah tirus.
Siapa namanya dan dari mana asalnya, Bennosuke tak pernah mengingatnya.
Jumlah mereka yang menantang ayahnya itu terlalu banyak dan pertarungan mereka terlalu singkat, begitu pendapatnya.
Tetapi ia selalu memiliki nama-nama, yang menurutnya sangat cocok, untuk mendeskripsikan para penantang itu.
Nama yang ia berikan itu betul-betul memudahkannya untuk mengingat profil para penantang itu sekaligus bagaimana mereka dikalahkan oleh ayahnya.
Bennosuke sendiri telah memiliki nama-nama tokoh yang menurutnya lebih patut untuk diingat, seperti Tsukahara Bokuden, Kamiizumi Nobutsuna, serta Takeda Shingen, Uesugi Kenshin, Oda Nobunaga, dan Toyotomi Hideyoshi.
Dalam duel hari ini, sekali lagi ia menyaksikan kehebatan ayahnya dalam bertarung.
Si penantang, Agohige ? si Janggut (nama yang diberikan Bennosuke untuk penantang kali ini), menyerang dengan sangat cepat, ia bergerak maju sambil mengayunkan pedangnya lurus ke depan, dengan maksud melumpuhkan Munisai dengan satu serangan saja.
Tangannya yang panjang sepertinya memberikan keunggulan dalam hal jarak serangan.
Namun apa yang terjadi kemudian benar-benar di luar dugaan Agohige.10 Sesaat sebelum pedang itu mengenai tubuhnya, Munisai menggeser kakinya dan memindahkan tubuhnya ke sisi kiri hingga luput dari serangan itu.
Dengan cepat tangan kanannya mencengkeraman pergelangan tangan kanan Agohige yang memegang pedang itu.
Munisai berhasil menghentikan gerakan pedang orang tersebut.
Dengan satu tarikan tangan cepat ke sisi kanan Agohige disertai hantaman sikut pada rusuknya menyebabkan si penantang jatuh tersungkur.
Munisai menang tanpa menghunus pedangnya.
Bennosuke tahu, ketika mereka berdua saling berhadapan, bersiaga untuk berduel, dan Munisai tidak mencabut senjatanya, maka bisa dipastikan jalannya pertarungan akan singkat.
Munisai mengetahui kemampuan lawannya yang tidak memadai itu.
Agohige yang terjatuh itu tampak belum berhasil menghilangkan keterkejutannya.
Ketika mencoba bangkit, wajahnya terlihat pucat pasi, menyiratkan kebingungan ? sementara pedangnya terlempar beberapa kaki jauhnya dari posisi ia terjerembab.
"A apa ?"
Demikian perkataan yang diucapkannya.
Bennosuke memandang dengan bosan.
Lagi-lagi kalah cepat.11 Seperti biasa, seusai pertarungan, Munisai akan mengajak lawan tandingnya itu untuk berbincang-bincang mengenai teknik berpedang.
Mereka berdua duduk bersila di lantai dojo yang terbuat dari kayu itu.
Di saat seperti ini, Bennosuke baru menampakkan dirinya dan turut menyimak.
Dia duduk tidak terlalu dekat dengan kedua orang yang kini asyik berdiskusi itu.
Dia ingin mendapatkan hal baru mengenai hasil pertarungan kali ini ? walaupun sepertinya harapannya itu jauh dari kenyataan.
Ia sudah hapal kata-kata kunci yang diucapkan ayahnya.
kecepatan, kekuatan, keakuratan, dan ketepatan waktu.
Kecepatan bisa disetarakan dengan ketangkasan, kegesitan, atau kesigapan, baik untuk menyerang ataupun merespons serangan lawan, seperti menghindar atau membalas ? menyerang balik.
Kekuatan tentunya memiliki tenaga yang lebih besar daripada lawan yang dihadapi, atau paling tidak kekuatan yang mampu mengimbangi kekuatan lawan.
Keakuratan berarti menyerang bagian tubuh yang tepat atau mematikan.
Ketepatan waktu merupakan hal yang sangat penting, kapan harus menghindar, dan kapan harus menyerang.
Perbedaan12 satu detik bisa menyebabkan impak yang sangat besar dan berakibat fatal.
Keempat hal ini aku sudah tahu.
Sudah hapal.
Bennosuke selalu berusaha untuk hadir dan memerhatikan setiap pertarungan yang dilakukan ayahnya.
Ia selalu takjub melihat gerakan-gerakan yang dilakukan ayahnya.
Munisai bergerak dengan cara yang tidak biasa dan tidak diduga lawannya.
Kali ini Munisai menerangkan pentingnya melatih seluruh anggota tubuh, kaki dan tangan, termasuk sikut dan lutut, bahkan kepala, untuk menyerang.
"Mengandalkan senjata dalam suatu pertarungan adalah hal yang wajar. Tetapi harus diingat, kita juga memiliki tangan dan kaki yang bisa digunakan untuk menyerang lawan. Sebaliknya, seseorang yang ahli menggunakan pedang tetapi tidak mampu berbuat apa-apa ketika pedangnya lepas dari genggamannya, dia bisa dianggap sudah mati."
Agohige tampak mengangguk-angguk menyimak penjelasan Munisai.
Terus, bagaimana caranya tadi Ayah bergerak cepat ke sisi Agohige?13 Bennosuke menunggu dengan penuh harap Munisai akan menjelaskan bagaimana ia mengatasi serangan pedang Agohige.
Tetapi sepertinya ia tidak akan mendapatkan jawabannya kali ini.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun demikian, ada satu hal yang tidak disadarinya.
Sedikit demi sedikit Bennosuke belajar menilai karakter seseorang, kekuatan, serta kemampuannya.14 Di salah satu sudut dojo itu hanya ada mereka bertiga.
Munisai ? selaku tuan rumah, Agohige ? tamu yang sekaligus menjadi penantang duel kali ini, dan Bennosuke ? bocah yang kehadirannya tidak diacuhkan oleh kedua orang yang baru saja berduel itu.
Bennosuke cukup tahu diri untuk tidak mendekati keduanya.
Ia duduk bersila sekitar tujuh kaki dari mereka berdua.
Cukup jauh namun masih bisa menangkap percakapan kedua orang itu dengan jelas.
Munisai memang berusaha melakukan duel saat tidak ada kegiatan berlatih pedang di dojo ini.
Dia menghindari kesan pamer kehebatan di depan murid-muridnya, sekaligus menunjukkan bahwa ia tidak memerlukan dukungan mereka saat melakukan ?perbandingan teknik? itu.
Kenyataannya, para siswa Munisai semuanya hadir untuk melihat pertarungan guru mereka dengan penantangnya kali ini.
Begitu juga dengan sebagian warga desa yang merupakan tokoh masyarakat setempat.
Mereka begitu antusias hadir untuk menyaksikan pertarungan yang akan dilakukan warga desa mereka yang mendapatkan gelar ?tanpa tandingan di bawah matahari? dari shogun itu.
Walaupun duel tersebut biasanya berlangsung singkat, rata-rata hanya dalam hitungan menit, pembicaraan mengenai pertarungan itu bisa berlangsung berhari-hari hingga berbulan-bulan lamanya.15 Itulah hal yang paling menyebalkan ? menurut Munisai.
Tidak ada gunanya membicarakan kejadian yang sudah lewat itu (bagi mereka yang tidak memahami ilmu pedang).
Pengikut atau murid Agohige, yang terdiri dari enam orang, juga turut menyaksikan.
Dalam pertarungan semacam ini, biasanya dua orang ? satu orang dari masing-masing pihak, diminta untuk menyaksikan pertarungan tersebut sebagai perwakilan sekaligus saksi bilamana terjadi hal-hal yang memerlukan opini pihak ketiga.
Biasanya kedua orang itu diperbolehkan melihat dari jarak yang lebih dekat.
Saat ini kedua petarung itu ? tuan rumah dan tamunya, masih asyik berbincang-bincang mengenai pertarungan yang baru saja mereka selesaikan.
Warga desa yang sebelumnya berkumpul dan menonton pertarungan itu sudah membubarkan diri.
Murid-murid Munisai tampak mengobrol dengan anggota rombongan Agohige.
Beberapa di antaranya tampak serius membicarakan jalannya pertarungan barusan.
Bennosuke duduk dalam diam ? memerhatikan ayahnya dan Agohige.
Bagaimana Ayah bisa mengetahui seseorang itu hebat atau tidak? Ayah kan tidak pernah bertemu dengan mereka sebelumnya.16 Kriteria hebat atau tidak menurut Bennosuke adalah digunakan atau tidaknya senjata oleh Munisai ketika menghadapi penantangnya itu.
Jika Munisai lebih memilih bertarung dengan tangan kosong, maka penantangnya itu dianggap tidak hebat.
Bennosuke mencoba mengingat-ingat berapa banyak lawan yang dihadapi Munisai dengan tangan kosong ? tanpa bersenjata.
Toh Munisai tetap mampu mengalahkan mereka.
Seingatku, semua penantang yang datang ke sini adalah pendekar yang hebat ya, sebelum mereka dikalahkan oleh Ayah.
Dia terus memerhatikan Agohige yang masih asyik berbincang-bincang dengan ayahnya.
Kalau kulihat dan kuamat-amati, Agohige malah terlihat lebih kuat dari Ayah Tapi nanti dulu Ekspresi wajah Munisai memang tidak seseram dan semenakutkan Agohige, malah jika dibandingkan, tampang Munisai terkesan lebih ?baik dan ramah?.
Tampang ?baik dan ramah? untuk ukuran orang seperti Munisai adalah garang sesangar harimau.
Jadi bisa dibayangkan bagaimana tampang Agohige itu!17 Bennosuke selalu merasakan ada sesuatu pada ayahnya yang tidak bisa ia jelaskan.
Sesuatu itu apa? Kesan seperti cuek, seperti tidak memiliki beban, tidak mau tahu urusan orang ? bukan, seperti Setiap kali bertarung, Munisai tampak begitu tenang, kalem, dan tidak pernah gugup.
Ayah seperti tidak punya beban, tidak punya perasaan apa- apa tidak punya perasaan cemas, khawatir, dan takut! Ayah tidak takut pada apa pun.
Ayah tidak takut pada siapapun Itulah kelebihan Munisai.
Ia selalu bertarung tanpa beban.
Menang atau kalah tidak membebaninya.
Satu hal yang ia tahu, kemampuan bertarungnya masih di atas lawan- lawannya sampai saat ini.
Bennosuke mengamati ekspresi wajah Munisai yang terlihat santai dan sangat menikmati obrolannya dengan Agohige.
Bennosuke menunggu dan menunggu.
Tetapi yang ditunggu-tunggu Bennosuke, seperti biasanya, tidak terjadi.18 Munisai tidak pernah menjelaskan bagaimana ia melakukan serangan terhadap lawannya karena ia sepenuhnya paham, lawan sudah mengerti ? dan akan mengantisipasi serangan semacam itu jika Munisai mengulanginya lagi.
Ada pepatah yang mengatakan jurus yang sama tidak bisa digunakan lebih dari satu kali pada lawan yang sama.
Bennosuke pernah menyaksikan beberapa lawan sebelumnya yang dipecundangi Munisai dengan tangan kosong.
Setelah pertarungan itu pun Munisai berbincang-bincang dengan mereka seperti saat ini.
Serangan yang dilakukan Munisai selalu tepat sasaran dan langsung melumpuhkan lawannya.
Tendangan di samping lutut, menginjak bagian belakang betis lawan, ataupun bantingan terbukti efektif melumpuhkan lawan ? dengan menjungkalkan mereka ke berbagai arah.
Bennosuke mengikuti dengan serius penjelasan Munisai mengenai efek serangan tersebut.
Mengenai tendangan di samping lutut, Munisai menjelaskan jika tendangannya dilakukan lebih ke tengah sedikit, maka tempurung lawan bisa bergeser dan jika cedera tersebut tidak ditangani dengan benar, orang tersebut akan cacat seumur hidup, tidak bisa berjalan dengan normal lagi.19 Begitu juga dengan injakan di bagian belakang betis lawan, jika bagian yang diinjak berada sedikit di atas tumit, kemungkinan cedera seperti putusnya otot ? di bagian kaki itu, lebih besar.
Bantingan juga dilakukan dengan mengarahkan punggung lawan ke lantai dojo.
Bayangkan jika kepala yang lebih dulu menghantam lantai dojo ? orang itu bisa terbunuh akibat tulang leher yang patah.
Hal-hal semacam ini yang dibahas oleh Munisai.
Secara sambil lalu ia bermaksud menjelaskan kepada para penantangnya itu bahwa ia sebenarnya mampu berbuat ?lebih?.
Munisai tidak bermaksud menyombongkan diri dan ia juga tidak menganggap rendah kemampuan lawannya, ia mengaku kalau ia hanya lebih cepat bereaksi.
Ia juga tidak mau mencari musuh.
Ia menghormati keinginan lawan- lawannya untuk melakukan perbandingan teknik dengan mereka.
Walau sejujurnya, Munisai tidak belajar banyak dari teknik yang dimiliki para penantangnya itu.
Kali ini, kepada Agohige, ia menjelaskan hal lain lagi.
cengkeraman di bahu.
Munisai menjelaskan, seandainya ia tidak menghantam rusuk Agohige, ia akan menyerang bahu lawannya itu.
"Sendi bahu merupakan bagian tubuh paling luas ruang geraknya,"
Munisai menggerak-gerakkan bahu kirinya.
Terlihat tangannya mampu bergerak ke segala arah.20 Inilah keunggulan yang kaudapatkan jika memegang pedang dengan satu tangan.
Agohige hanya mengangguk.
Ia sepertinya tidak menangkap pesan yang disampaikan Munisai lewat gerakan tangannya itu.
"Tetapi bagian tubuh ini juga yang paling rapuh dan rentan cedera,"
Munisai melanjutkan.
"Mudah sekali untuk melepaskan persendian di bahu ini. Saya akan menjelaskan caranya."
Munisai meletakannya tangan kirinya di bahu kanan Agohige.
"Seperti ini,"
Ia menarik tangannya perlahan ke arah luar. Agohige mengangguk. Munisai memahami maksud anggukan Agohige itu.
"Mungkin Anda akan langsung merespons jika lawan mencengkeraman bahu Anda seperti ini,"
Katanya.
Dan tiba- tiba Munisai menekankan ibu jarinya di atas tulang selangka Agohige yang langsung menyorongkan badannya ke depan dan meringis kesakitan.
Itu yang terjadi kalau kau mencoba melawan.
Tetapi apa yang dipertontonkan Munisai tidak berarti apa- apa bagi bocah yang memerhatikan kejadian itu.21 Kalau sudah bisa mencengkeram lawan sih, gampang.
Yang penting, bagaimana bisa mendekati lawan dan berada di sisinya dengan cepat.
Namun demikian, ada hal yang hampir selalu dirasakan bocah itu.
Setiap usai berbincang-bincang dengan tamunya, Munisai menunjukkan ekspresi wajah yang tidak puas.
Ia sepertinya mengharapkan lawan tandingnya itu memahami ? seandainya saja mereka memegang pedang dengan satu tangan, bukan dengan dua tangan, hampir semua serangan Munisai itu bisa mereka patahkan.
Memegang pedang dengan dua tangan mengakibatkan gerakan tubuh bagian atas, sesudah pinggang, menjadi lebih terbatas ? kurang luwes jika dibandingkan dengan memegang pedang dengan satu tangan.
Kelak di kemudian hari, Bennosuke akan memahami keunggulan memegang pedang dengan satu tangan seperti yang selalu disiratkan Munisai.
Tetapi saat ini Bennosuke lebih tertarik mempraktikkan cara Munisai bergerak ke titik buta ataupun sudut mati lawannya.
Bennosuke pernah mencoba beberapa kali, menggeser kakinya sambil lompat ke samping, seolah-olah lawan ada di hadapannya.
Kenyataannya ia lebih sering terjatuh ketika mencobanya.
Tentu saja ia tidak menyadari perlunya kaki22 dan tangan yang kuat dan terlatih sebelum melakukan gerakan-gerakan semacam itu.
Terkadang Bennosuke bermain dengan menggunakan orang-orangan yang terbuat dari kayu ? lebih tepat potongan kayu berbentuk aneh-aneh, dan merekonstruksi berbagai pertarungan yang dilakukan Munisai.
Dia mampu mengingat dengan jelas bagaimana pihak lawan menyerang Munisai, dan bagaimana ayahnya mengantisipasi serangan tersebut.23 Setahun berlalu sejak pertarungan Munisai melawan Agohige.
Selama itu pula banyak penantang yang datang untuk ?membandingkan teknik? mereka dengan Munisai ? dengan hasil yang sudah bisa diperkirakan.
Bennosuke tetap tekun mengikuti jalannya pertarungan demi pertarungan itu.
Ia mengamati dan ikut mendengarkan perbincangan ayahnya dengan para penantangnya itu ? pasca pertarungan mereka.
Namun demikian, Bennosuke masih belum mencapai kemajuan apa pun dalam kemampuan ?teknik?-nya secara nyata, selain teorinya mengenai bagaimana gerakan- gerakan Munisai diperagakan ketika ia bertarung.
Ingatannya yang kuat akan jurus-jurus sang ayah belum mampu menjadikannya lebih kuat.
Bagaimanapun caranya, ia harus mengetahui bagaimana melatih dan menguasai gerakan-gerakan tersebut ? jika ia ingin menjadi seorang pendekar yang hebat.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selama ini, biarpun ia masih ?begitu-begitu? saja, ia selalu berpikir positif dan bersikap optimistis.
Suatu hari kelak, ia akan mampu mewujudkan keinginannya itu.24 Selain itu, bukankah ia masih bisa mendapatkan hal menarik lainnya di luar ilmu pedang dan pertarungan? Bennosuke menyukai kisah petualangan yang diceritakan para penantang ayahnya.
Kebetulan banyak di antara mereka termasuk tukang bercerita yang hebat ? terutama mengenai diri mereka sendiri.
Perbincangan tersebut biasanya mengenai peristiwa terkini, masalah politik, rumor seputar para daimyo mengenai potensi konflik di suatu wilayah, ataupun pengalaman mereka sendiri ? yang mereka anggap luar biasa dan patut diceritakan kepada anak cucu mereka.
Salah satu peristiwa yang sering didengar Bennosuke adalah peristiwa ?Pengepungan Benteng Odawara? di mana Toyotomi Hideyoshi berhasil menaklukkan klan Hojo ? penguasa wilayah Kanto, sekaligus menyempurnakan penyatuan atas Jepang.
Padahal kisah penaklukan itu sendiri bukan merupakan pertempuran sengit antar-samurai.
Hideyoshi menggunakan taktik mengepung hingga lawan kelaparan dan menyerah.
Sama sekali tidak ada seru-serunya! Namun demikian, Bennosuke mampu merasakan semangat dari cerita mereka ? orang-orang yang ikut ambil bagian dalam peristiwa itu.
Seolah-olah merekalah samurai terhebat di Jepang!25 Ada juga kejadian yang tidak bisa dipahami bocah seusianya, seperti kebijakan pelarangan kepemilikan pedang dan senjata tajam bagi warga sipil.
Hideyoshi bermaksud meminimalkan kemungkinan terjadinya pemberontakan.
Bennosuke hanya berpikir tanpa senjata, masyarakat tidak bisa membela diri menghadapi para begal yang berkeliaran di wilayah mereka.
Bennosuke juga memerhatikan pernah ada beberapa kali, penantang yang datang seorang diri.
Dia tidak memiliki pengikut.
Umumnya penantang seperti itu merupakan shugyosha, atau pendekar pengelana.
Selama berkelana, seorang shugyosha terus berlatih untuk mencapai kesempurnaan ilmu pedang mereka.
Kamiizumi Nobutsuna juga merupakan seorang shugyosha.
Bennosuke berpendapat, menjalani kehidupan sebagai seorang shugyosha merupakan hal yang sangat menarik dan penuh tantangan ? walau para shugyosha yang mendatangi dojo ini nyaris semuanya dibuat terkapar oleh ayahnya.
Bukan caranya, bukan pula jalan yang mereka tempuh, yang salah ? melainkan mereka sendirilah yang kurang tekun berlatih.
Bennosuke menyimpulkan sendiri ? walaupun makna dari apa yang disimpulkannya itu belum sepenuhnya ia pahami.26 Suatu hari kediaman Munisai kedatangan seorang tamu yang tidak biasa, berbeda dari yang lain, Dorin, sang tamu, adalah seorang biksu ? paman Bennosuke dari pihak ibu.
Kedatangan Dorin tentu bukan untuk menantang Munisai.
Dorin datang untuk mengajari Bennosuke membaca dan menulis.
Bennosuke merupakan seorang anak yang cerdas.
Dia menyukai menggambar dengan kuas dan tinta india.
Namun untuk menulis, ia kurang menyukainya.
Pada dasarnya Dorin adalah seorang yang berpembawaan kalem ? walaupun terkadang ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang langsung tercermin lewat ekspresi wajahnya itu.
Entah bagaimana, setelah beberapa kali bertemu, Bennosuke merasa kalau Dorin sesungguhnya adalah seorang yang kuat.
Ada kesamaan yang dimiliki pamannya itu dengan Munisai ? ayahnya.
Tetapi di mana kesamaannya, Bennosuke tidak tahu.
Dorin sudah jelas tidak bisa bertarung, tubuhnya juga tidak kekar, dan gerakannya tidak gesit ? boro-boro tahu cara memegang pedang dengan benar.
Namun mata Dorin bercahaya dan tenang seperti menyimpan suatu kekuatan yang dahsyat.
Sikapnya yang selalu tenang dan kalem konon mampu27 meredakan kemarahan siapapun ? bahkan Oda Nobunaga sekalipun.
Ya, kalau Nobunaga masih hidup Pernah Dorin bercerita kepada Munisai tentang kejadian di mana seorang samurai yang marah dan hampir menghunus pedangnya karena masalah sepele ? bertengkar mulut dengan seorang pedagang kelontong di pasar.
Si samurai akhirnya bisa dibuat tenang oleh Dorin.
Pertengkaran itu pun berhasil diselesaikan walaupun si pedagang harus memberikan ganti rugi kepada si samurai.
Penyelesaian yang sangat baik dan memuaskan ? daripada si pedagang kehilangan kepalanya ditebas pedang si samurai itu.
"Itu kan lantaran Paman seorang biksu. Kalau bukan, nasib paman tidak akan berbeda jauh dengan nasib yang bakal menimpa si pedagang kelontong itu."
Demikian komentar Bennosuke yang saat itu turut mendengarkan.
Komentar yang menyebabkan Bennosuke dikurung Munisai di dalam gudang, seharian tanpa mendapatkan makan malam.
Ketenangan sikap Dorin kembali terlihat saat ia sedikit pun tidak membela ataupun menggubris Bennosuke yang dihukum ayahnya.
Ketenangan yang tidak jelas maksudnya.
Tidak pedulian pada orang lain, pada makhluk lain yang menderita.28 Namun Bennosuke harus mengakui, Dorin tidak pernah memperlihatkan rasa takut.
Bennosuke memang belum mahir melihat karakter seseorang, tetapi perasaannya mengatakan demikian.
Dan Paman sepertinya memang tidak takut apa pun.
Bahkan kematian sekalipun tampaknya tidak merisaukannya.
Itukah kesamaannya dengan Ayah? TIdak takut mati? Atau tidak punya perasaan apa-apa, tidak punya ego Bennosuke masih belum menemukan jawabannya.29
"Bennosuke,"
Terdengar sapaan lembut.
"Bangun, Bennosuke."
Usapan tangan kakaknya membangunkan bocah itu dari tidur lelapnya.
"Kakak, jam berapa sekarang?"
Tanyanya saat ia terjaga dan melihat kakak perempuannya itu.
"Sudah lebih dari pertengahan jam harimau,"
Jawab Ogin. Kurang lebih jam setengah lima pagi. Jam harimau berkisar antara jam tiga hingga jam lima pagi. Bennosuke lalu duduk di tempat tidurnya sambil tangannya mengucek-ngucek kedua matanya. Sesekali ia menguap.
"Kamu harus bangun sekarang, paman Dorin sudah menunggumu."
Bennosuke mengangguk.30 Ogin lalu meninggalkan Bennosuke.
Aku harus bangun sekarang.
Bennosuke menggeliat sebentar, merentangkan kedua tangannya lurus-lurus ke atas.
atau aku akan diceramahi Paman mengenai pentingnya bangun pagi dan disiplin diri dalam belajar.
Ia lalu bangun dan membereskan futon-nya (sejenis kasur lipat yang tipis), melipat dan menyimpannya ke dalam lemari berpintu geser yang menyatu dengan dinding pembatas kamarnya.
Bennosuke lalu pergi mencuci muka dan berkumur-kumur.
Ia sudah siap untuk menerima pelajaran hari ini.
Biasanya Dorin akan mengajarinya bermeditasi sebelum memulai pelajaran membaca dan menulis.
Bennosuke melangkah menuju dojo.
Suasana pagi yang sunyi dan berhawa sejuk merupakan saat yang tepat untuk bermeditasi.
Bennosuke merasakan ketenangan.
Beberapa pekerja di rumah ayahnya tampak sudah mulai sibuk beraktivitas.
Tetapi ia tidak melihat ayahnya itu.
Di dalam dojo, Dorin sudah menunggunya.31
"Bennosuke,"
Panggilnya.
"Kemarilah."
Si bocah menghampiri Dorin dan mengambil tempat di hadapannya. Guru dan murid itu duduk bersila saling berhadapan. Mereka berdua lalu melakukan meditasi pagi.
"Fokuskan pikiranmu pada keluar dan masuknya napas,"
Dorin menginstruksikan.
"Dan tutup matamu, anak bodoh!"
Omelnya.
Bennosuke buru-buru menutup matanya.
Ada-ada saja anak ini.
Memangnya dia mau melihat ujung hidungnya sendiri? Begitulah cara Bennosuke berlatih meditasi di bawah bimbingan Dorin.
Pada mulanya ia merasakan kesulitan mengkonsentrasikan pikirannya.
Setelah beberapa hari melakukan meditasi, Bennosuke mulai terbiasa.
Kelak kemampuan mengkonsentrasikan pikiran ini sangat membantunya dalam melatih seni bela diri ? termasuk ilmu pedang.
***** Dorin bisa membaca pikiran.
Ada yang mengatakan begitu.
Dan Bennosuke memercayai hal itu.32 Jika seseorang tekun berlatih meditasi hingga mencapai tingkatan tertentu, maka ia bisa membaca pikiran orang lain.
"Itu adalah omong kosong terbesar yang pernah kudengar,"
Demikian jawaban Dorin ketika Bennosuke menanyakan kebenaran hal itu.
"Para dewa sekalipun belum tentu bisa membaca pikiran manusia. Kalau mereka bisa, tentu mereka sudah mencegah peperangan yang melanda seluruh negeri ini."
Bennosuke sepertinya tidak sependapat dengan Dorin mengenai dewa-dewa itu.
Para dewa pastilah bisa membaca pikiran manusia.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun ia memilih untuk tidak mengutarakan ketidak setujuannya itu.
Dan seperti yang ia duga, Dorin tahu bahwa ia tidak sependapat dengannya.
"Maksudku begini,"
Kata Dorin.
"Setiap kali terjadi peperangan, rakyat yang mengalami penderitaan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup. Tanah pertanian rusak terinjak-injak pasukan berkuda dan ashigeru (pasukan yang berjalan kaki atau prajurit infantri), desa-desa dibakar, rakyat diharuskan menyediakan bahan pangan untuk keperluan prajurit yang berperang."33 Dorin menatap Bennosuke yang memerhatikannya dengan pandangan mata kosong. Sepertinya bocah ini belum mengerti juga.
"Kalau untuk makan sendiri saja susah, apa yang mau dipersembahkan untuk dewa-dewa?"
Tanyanya.
"Ah, iya, ya,"
Kata si bocah sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Kalau yang itu aku mengerti."
Walaupun begitu, tetap saja Bennosuke menganggap Dorin mampu membaca pikiran orang lain ? termasuk pikirannya.
Terkadang ia menatap Dorin dengan pandangan waswas ? seperti orang yang khawatir tempat penyimpanan harta bendanya diketahui pencuri.
Dorin yang ditatapnya seperti itu tentu saja merasa jengkel.
Namun ia bersikap cuek saja.
Setelah selesai berlatih meditasi dan sarapan, kegiatan Bennosuke berikutnya adalah belajar membaca dan menulis.
Seperti biasa, Dorin selalu mengajarkan menulis huruf-huruf kanji yang sederhana agar Bennosuke mudah mengingat nya.
Sebagai seorang pengajar yang berpengalaman, Dorin biasa memilih aksara yang mewakili hal-hal yang disukai muridnya ? si bocah penggemar ilmu pedang ini.
Jika34 seorang murid tertarik pada apa yang dipelajarinya, maka ia akan lebih mudah menyerap pelajarannya.
Seperti saat ini.
Bennosuke sudah bersiap menerima pelajaran.
Kertas beserta perlengkapan untuk menulis sudah berada di atas meja kecil di hadapannya.
"To (?) yang berarti pedang. Chikara (?) yang berarti tenaga. Keduanya memiliki kemiripan, hanya karena kelebihan panjang salah satu goresan menyebabkan keduanya berbeda. Berbeda dalam makna dan pengucapannya."
Dorin memperlihatkan selembar kertas di mana terdapat dua aksara itu kepada Bennosuke. Sebatang kayu berukuran dua kaki di tangannya digerakkan ? menunjukkan cara menuliskan kedua aksara itu.
"Pedang dan tenaga ? bukankah keduanya merupakan hal yang sangat berbeda?"
Dorin bertanya sambil menatap Bennosuke.
"Kelebihan goresan sedikit saja menyebabkan perbedaan yang sangat besar,"
Ulangnya.
Bennosuke tertegun.
Apa yang dikatakan Dorin itu sepertinya sesuatu yang sangat familiar baginya.
Sesuatu yang sering ia dengar.35 Seolah-olah Dorin memahami apa yang selama ini dipikirkan bocah itu, apa yang selama ini menjadi pertanyaan besar dalam diri Bennosuke.
Perbedaan satu detik bisa menyebabkan impak yang sangat besar dan berakibat fatal! Bennosuke tiba-tiba teringat akan kalimat itu.
Kalimat yang sudah ia hapal di luar kepala.
Tetapi mengapa ia sepertinya baru benar-benar memahaminya sekarang? "Kedua huruf kanji ini mudah diingat dan dituliskan, masing- masing hanya terdiri dari dua goresan saja."
Dorin melanjutkan.
"Apakah perbedaan di antara keduanya membuat satu huruf menjadi lebih jelek dari yang lain? Apakah lebih pendek itu selalu lebih jelek daripada lebih panjang? Apakah lebih lambat itu selalu lebih jelek daripada lebih cepat? Masing- masing memiliki manfaat dan keunggulannya sendiri."
Bennosuke seolah-seolah mendengarkan ajaran tentang pedang dan pertarungan ? dan bukannya tentang tulis- menulis.
"Mana yang lebih baik, tachi (pedang panjang) atau wakizashi (pedang pendek)? Dalam pertarungan di ruangan sempit dan tertutup, wakizashi memiliki keunggulan tersendiri karena lebih leluasa digunakan. Bertarung di ruang terbuka, tachi memiliki keunggulan dalam hal jangkauan dan36 kemampuannya melumpuhkan lawan sebelum mereka mampu mendekat."
Benar kan, Paman sedang mengajarkan tentang ilmu pedang "Bergerak lambat atau cepat? Ada saatnya untuk bertindak lambat dan ada saatnya untuk bertindak cepat.
Seekor harimau yang sedang mengamati mangsanya, tentu ia harus bergerak lambat ? perlahan-lahan, terus mendekati mangsanya.
Jika mangsanya sudah berada dalam jangkauannya dan waktunya sudah tepat, maka ia harus bergerak cepat menerkam mangsanya itu."
Jadi itu maksudnya, bergerak lambat dan cepat masing- masing memiliki kegunaannya sendiri.37
"Segala hal harus dilihat dan dipahami sebagaimana apa adanya. Apakah itu benda mati, makhluk hidup, sesuatu yang berwujud, tidak berwujud, ataupun sesuatu yang abstrak ? tidak ada yang lebih baik atau lebih jelek. Semua tergantung dari sudut mana kita memandangnya dan mampukah kita mengambil manfaat darinya."
Bennosuke terus memerhatikan penjelasan Dorin. Kali ini ia terlihat lebih antusias daripada biasanya. Ini pasti filosofi ilmu pedang! "Kotoran kuda, sapi, dan binatang lainnya pun berguna karena bisa menyuburkan tanah."
Bennosuke langsung memalingkan wajahnya. Kembali menekuni kertas di hadapannya. Dia terlihat mendongkol. Apa-apaan sih, Paman ini? Kenapa sekarang jadi membahas kotoran kuda, sapi, dan binatang lainnya segala macam? Malas banget 38
"Ingat, Bennosuke, sapukan kuasmu perlahan-lahan. Kita mempelajari huruf dari yang gampang terlebih dahulu. Huruf yang mudah dituliskan ? to dan chikara."
Dorin kembali memberi pelajaran tentang tulis-menulis.
Ia seolah-olah tidak pernah membahas hal lain selain cara menuliskan huruf-huruf kanji ini.
Rupanya pelajaran ilmu pedangnya selesai sampai di situ saja.
Bennosuke terdiam dan mulai menuliskan aksara itu.
Ia menyapukan kuasnya perlahan-lahan sesuai instruksi pamannya.
Perlahan-lahan dan lakukan dari yang gampang terlebih dahulu.
Terus menulis, satu per satu, hingga kertas itu hampir penuh dengan goresan-goresan dua aksara itu.
Ternyata jika dilakukan dengan perlahan, tulisannya tampak lebih bagus dan teratur.
Latihan meditasi yang dilakukannya setiap pagi terbukti membantunya berkonsentrasi dalam menuliskan huruf-huruf kanji itu.
Sekali lagi, ia merasakan sesuatu, ia seperti menangkap satu hal yang menurutnya penting, tapi apa itu? Apa gerangan yang barusan mengusik pikirannya.39 Ia menoleh ke arah Dorin ? menunggu penjelasan lebih lanjut.
Bukan penjelasan tentang menulis huruf kanji ? apalagi masalah kotoran binatang dan kesuburan tanah, tetapi tentang seni bela diri, tentang ilmu pedang.
Seperti yang ia duga, Dorin sepertinya memang bisa membaca pikirannya.
Namun biksu itu kali ini terlihat acuh tak acuh.
"Lakukan setiap hal baru dengan perlahan-lahan. Mulailah dari yang paling mudah dikerjakan terlebih dahulu,"
Ia mengulangi apa yang barusan dikatakannya.
"Maka kamu akan bisa melakukannya dengan lancar, dengan lebih luwes, dan hasilnya tentu akan lebih baik."
Bennosuke teringat saat ia melatih gerakan-gerakan jurus ayahnya.
Ia bergerak terlalu cepat, berusaha meniru kecepatan gerakan Munisai.
Akhirnya ia lebih sering terjatuh karena keseimbangan tubuhnya belum terlatih dan kekuatan kuda-kudanya belum cukup kokoh.
"Lakukan sebanyak dan sesering mungkin. Maka kamu tidak akan pernah lupa. Tubuhmu akan mengingatnya."
Bennosuke tersentak, seperti tersadar akan apa yang menghambatnya selama ini.
Apa yang dikatakan Dorin berlaku tidak hanya dalam hal tulis-menulis, tetapi juga bisa diterapkan pada hal lainnya!40 Jika aku sudah bisa melakukannya dengan lancar, melatihnya sesering mungkin, tubuhku akan mengingatnya Refleks ? itu yang diingat tubuh.
Bergerak tanpa sadar merespons Apa yang hari ini dijelaskan oleh pamannya itu ternyata memang tidak hanya berkaitan dengan latihan tulis-menulis saja tetapi juga berkaitan dengan banyak hal ? termasuk pemahaman paling mendasar dalam berlatih bela diri dan ilmu pedang.
Mulailah perlahan-lahan, lakukan dari yang gampang terlebih dahulu, berlatihlah sesering mungkin.
Bennosuke mengulang-ulang kata-kata itu dalam pikirannya.
Paman pasti menguasai seni berperang! Selama lebih dari seratus tahun era perang saudara di Jepang ? yang disebut sengoku jidai (zaman peperangan seluruh negeri), kuil-kuil buddha merupakan tempat penyimpanan literatur yang aman, karena tempat tersebut relatif tidak terjamah peperangan.
Berbeda dengan kastil para daimyo yang banyak dirusak, dijarah, dirobohkan, ataupun dibakar habis, sehingga hasil karya seni bernilai tinggi serta koleksi pustaka dan naskah kuno yang terdapat di dalamnya ikut musnah.41 Di masa itu, beberapa samurai tangguh dan jenderal melepaskan status ksatria mereka dan menempuh hidup membiara sebagai biksu.
Ada yang melakukannya secara suka rela namun beberapa di antaranya dipaksa untuk menjalaninya.
Tidak mengherankan jika ada biksu yang memiliki kecakapan dan pemahaman akan strategi militer atau seni berperang.
Taigen Sessai, misalnya, seorang biksu yang masih merupakan kerabat Imagawa Yoshimoto, mendapatkan kedudukan sebagai penasihat militer klan tersebut karena kemampuannya di bidang politik dan militer.
Yoshimoto merupakan seorang daimyo yang sangat berkuasa sebelum ia terbunuh dan pasukannya dikalahkan oleh pasukan Oda Nobunaga dalam pertempuran di Okehazama.
Selain itu, ada juga biksu yang mengajar ? memberikan pendidikan bagi putra-putra daimyo.
Salah seorang di antaranya adalah Kosai Souitsu, yang menjadi guru bagi Date Masamune ? seorang daimyo muda yang saat ini dianggap memiliki potensi untuk menandingi Hideyoshi.
Selain Tokugawa Ieyasu, tentunya.
Apakah Paman Dorin juga salah seorang biksu yudhaka itu?42
"Biksu yang merangkap sebagai prajurit ataupun militan boleh dibilang sudah tidak eksis lagi. Walaupun kelompok mereka masih ada, tetapi tidak memiliki pengaruh yang luas seperti dulu. Sebelumnya mereka memiliki pengaruh kuat di bidang politik dan ekonomi. Mereka juga sering kali melakukan pemberontakan, dalam arti mendukung klan ? daimyo penguasa wilayah tertentu, yang menentang pemerintah. Sejatinya, biksu tidak boleh melakukan tindak kekerasan apalagi sampai mengangkat senjata ? untuk alasan apa pun. Itu menyalahi jalan buddha. Kamu tentu ingat ?Peristiwa Pembakaran Gunung Hiei? yang terjadi sekitar dua dekade yang lalu. Waktu itu Oda Nobunaga "
Dorin terdiam dan melihat ke arah Bennosuke.
Bocah itu tampak sedang memerhatikan sesuatu.
Dia sedang membandingkan tulisan dua huruf kanji yang ada di kertas Dorin dengan tulisannya sendiri.
Tulisan Paman sungguh-sungguh berbeda dengan tulisanku.
Kerapiannya bahkan ukurannya.43 Bennosuke melihat kedua aksara yang ditulis Dorin itu tampak begitu identik, kecuali pada aksara chikara, di mana kelebihan panjang salah satu goresannya membedakannya dengan aksara to.
Sapuan kuas bisa seperti ini? Bagaimana cara Paman memegang kuasnya dan menyapukannya ke kertas? Seberapa cepat sapuan kuasnya? Walaupun Bennosuke memikirkan tentang kuas dan sapuannya di atas kertas, benaknya seperti dipenuhi dengan pedang, bukan kuas ? bukan gerakan-gerakan menyapukan kuas di atas kertas, tetapi gerakan-gerakan pedang yang luwes, cepat, dan penuh kekuatan yang diarahkan pada sasarannya.
"PRAK!"
Bennosuke melihat ke arah asal suara itu ? tongkat kayu yang dipukulkan ke atas mejanya.
Ia tidak kaget.
Ia memandang dengan bingung ke arah Dorin.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ada apa dengan Paman ini? Apa karena aku tidak memerhatikannya berbicara? Semua imajinasinya tentang kuas dan pedang lenyap sudah.
Dorin tersenyum sekilas.
Bennosuke menangkap kilasan senyum itu walaupun Dorin langsung memalingkan wajahnya ke arah lain.44 Apa maksud senyumnya itu? Dia mengisengiku? Dorin memang terkadang jahil.
Tetapi apa yang dilakukannya barusan bukan iseng-iseng belaka.
Ada tujuannya dan tujuannya itu sesuatu yang berhubungan dengan mengukur kemampuan dan kekuatan Bennosuke.
Dan hal semacam ini akan terus dilakukannya.
Anak ini mempunyai nyali yang besar, ia juga tidak mudah dipengaruhi oleh keributan.
Batinnya tidak mudah dikacaukan.
Dorin lalu melanjutkan penjelasannya yang barusan terpotong.
"Oda Nobunaga memerintahkan tiga puluh ribu prajuritnya mengepung gunung itu, membakar bangunan yang ada di sana, dan meratakannya dengan tanah. Sejak itu pengaruh kelompok biksu yudhaka di Jepang berkurang secara drastis."
Bennosuke menoleh ke arah Dorin, lalu mengangguk.
Itu aku sudah tahu.
Aku bahkan pernah mendengar detail dari kejadian itu.
Ia tentu saja mengetahui tentang peristiwa pembakaran Gunung Hiei itu.
Beberapa penantang Munisai ikut45 berpartispasi dalam peristiwa itu ? di pihak Oda Nobunaga, tentunya.
Dari apa yang ia dengar, sampai saat ini pun masih ada kelompok biksu yudhaka yang aktif berlatih ilmu bela diri dan seni perang, walaupun mereka tidak terlibat langsung atau turut ambil bagian dalam peperangan ketika Hideyoshi berupaya menyatukan Jepang.
"Dan Bennosuke,"
Dorin memperlihatkan kedua jari tangan kanannya.
"Dua."
"Dua? Dua huruf kanji kan?"
Tanya Bennosuke. Dorin mengangguk.
"Dua huruf kanji ditulis sebanyak dua ratus kali. Masing- masing ditulis sebanyak seratus kali."
Hah? Apa ? Bennosuke terkejut.
Ia tidak mampu menjawab.
Walaupun ia merasa perintah Pamannya tidak seperti biasanya, ia tetap mematuhinya.
Ia adalah seorang bocah yang bertekad kuat.
Apa pun akan dilakukannya untuk menjadi orang yang lebih baik, lebih hebat dari dia yang sekarang ini.
Paman sepertinya mengada-ada, tetapi aku tidak akan kalah.
Aku sanggup melakukannya.
Akan kubuktikan!4647 Bennosuke memegang bokken (pedang kayu) itu dengan kedua tangannya.
Mengangkatnya ke atas hingga melewati kepalanya, lalu dengan cepat diayunkan ke depan seolah- olah ia sedang menyerang lawan yang berdiri di hadapannya.
Ia lalu menghadap ke kiri dan mengulangi gerakan yang sama, kemudian ia berbalik dengan cepat ke kanan dan kembali menyerang seperti sebelumnya.
Gerakannya terlihat cepat dan ayunan pedangnya kuat.
Namun demikian, raut wajahnya menunjukkan ketidakpuasan.
Terlalu lambat! Ia terus menggerakkan pedangnya ? mengulangi kembali gerakan-gerakan tersebut, menyerang ke berbagai arah.
Beberapa kali pun ia melakukannya, ia tetap terlihat tidak puas.
Mengapa sulit sekali berbalik badan dengan cepat? Dengan pedang di kedua tangan 48 Dorin memerhatikan bocah itu dari kejauhan.
Biksu itu saat ini sedang menyiram tanaman di sekitar pekarangan tempat Bennosuke berlatih pedang.
Bocah itu baru saja selesai belajar membaca dan menulis.
Matahari juga belum terlalu tinggi, baru pertengahan jam ular ? sekitar jam sepuluh pagi.
Dorin tersenyum.
Bocah yang rajin dan penuh semangat! Walaupun ia baru berusia tujuh tahun, Bennosuke terlihat jangkung untuk ukuran anak seusianya.
Saat ini dojo sedang digunakan oleh murid-murid Munisai berlatih pedang sehingga Bennosuke memilih untuk berlatih di pekarangan rumahnya.
Walaupun tidak begitu luas namun cukup lapang untuk digunakan berlatih pedang seorang diri.
Bennosuke memilih untuk berlatih sendiri, ia tidak ingin belajar pedang pada ayahnya.
"Aku ingin menjadi kuat, menjadi hebat, dengan caraku sendiri."
Begitu yang pernah dikatakannya kepada Dorin ? dengan wajah antusias.
"Oh, ya?"
Cuma itu yang dikatakan Dorin waktu itu ? dengan wajah tanpa ekspresi, terkesan acuh tak acuh.49 Setelah mengajari bocah tersebut membaca dan menulis selama beberapa bulan, mau tidak mau ia pun mengakui potensi yang dimiliki Bennosuke.
Bocah ini kemajuannya sangat pesat.
Bennosuke sudah menghapal lebih dari lima ratus huruf kanji.
Tulisannya juga sudah semakin baik, walaupun belum bisa dibilang bagus.
Bennosuke rajin belajar, tekun menulis dan menghapal huruf kanji karena Dorin berjanji akan meminjamkannya buku-buku mengenai kisah kepahlawanan, seperti Sangoku Engi (Sanguo Yanyi ? kisah Tiga Kerajaan atau Samkok), Suikoden (Shui Hu Zhuan ? kisah 108 pendekar), dan sebagainya.
Tentunya dalam versi yang lebih ringkas, karena sepertinya masih memerlukan waktu beberapa tahun lagi bagi Bennosuke hingga ia benar- benar mahir membaca dan bisa memahami isi buku tersebut.
Selama ini, ia hanya mengetahui kisah kepahlawanan tokoh- tokoh dalam Sangoku Engi dan Suikoden tersebut secara lisan ? berdasarkan apa yang diceritakan Dorin.
Dorin memerhatikan kalau Bennosuke juga sudah mulai bisa ?merasakan? apakah dia sedang diawasi atau diperhatikan seseorang.
Sekarang Dorin tidak bisa lagi seenaknya memukulkan tongkat kayu ke meja tulis bocah itu.
Entah kenapa setiap kali ia mengangkat tongkat kayunya, hendak memukulkannya ke meja tulis Bennosuke, anak itu selalu menoleh ke arahnya.
Suatu kebetulan? Atau insting si bocah yang semakin tajam?50 Saat ini Bennosuke sepertinya sudah selesai berlatih.
Wajah dan tubuhnya basah oleh keringat.
Ia berjalan menghampiri Dorin.
Bokken-nya diselipkan di obi (sabuk dari kain) yang melingkari pinggangnya.
"Paman,"
Panggilnya.
"Kalau mau bertanya tentang teknik pedang, kau salah orang,"
Dorin menjawab acuh tak acuh.
Ia meneruskan kegiatannya ? menyiram tanaman, kedatangan Bennosuke tampaknya tidak mengusiknya.
Bocah itu menggelengkan kepalanya.
Dorin melirik sekilas.
Ia melihat tampang Bennosuke yang letih namun menunjukkan ketidakpuasan.
Dia masih memikirkan latihan pedangnya barusan.
"Paman, bagi airnya sedikit."
Ia lalu mengambil gayung kayu dari tangan Dorin dan mendekatkannya ke mulutnya. Ia langsung meminum air di gayung itu dengan cepat.
"Lagi, ya,"
Katanya lalu menyerok air di ember yang ada di samping Dorin.
"Apanya yang sedikit?"
Tanya Dorin.
"Dua gayung itu tidak bisa dibilang sedikit."51 Bennosuke tersenyum dan mengembalikan gayung itu.
"Kan tidak sampai setengah ember,"
Katanya. Dorin mencedok air dari ember itu dan menyiramkannya ke Bennosuke ? yang sudah lari menjauh sambil tertawa-tawa.
"Kalau kamu minum setengah ember, kamu harus mengisinya lagi!"
Teriak Dorin sambil menunjuk sumur dengan gayung kayu yang dipegangnya ? maksudnya, Bennosuke harus menimba air dari sumur untuk mengisi ember itu.
Bennosuke berlari menuju salah satu sudut pekarangan dan duduk di atas batu berukuran besar yang permukaannya rata.
Batu-batu semacam itu banyak terdapat di sekitar pekarangan dan bisa digunakan sebagai tempat duduk.
Bennosuke sudah letih berlatih.
Hampir setiap hari ia berlatih mengayunkan pedang, namun sepertinya ia masih memerlukan waktu bertahun-tahun lagi, sebelum ia betul- betul mahir dan gerakan tubuhnya selaras dengan ayunan pedang di tangannya.
Terlalu banyak orang kuat di dunia ini.
Bennosuke mengingat para penantang yang bertandang ke dojo Munisai dan melakukan ?perbandingan teknik? dengan52 ayahnya.
Bennosuke mengetahui tak seorang pun murid ayahnya yang sanggup melawan para penantang itu.
Padahal beberapa di antara penantang itu usianya relatif muda ? sepantar dengan murid-murid Munisai, tetapi kemampuan teknik mereka jauh lebih tinggi.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cuma Ayah yang bisa menandingi mereka.
Dorin sudah selesai menyiram tanaman.
Ember beserta gayungnya sudah disimpan di tempatnya semula.
Ia berjalan menghampiri Bennosuke yang sedang merenung itu.
Seperti yang ia duga, pikiran Bennosuke masih melekat pada latihan pedangnya.
Latihan yang dilakukannya sendiri tanpa bimbingan siapapun.
"Kenapa kamu tidak berlatih di dojo saja?"
Tanya Dorin yang kemudian duduk di samping Bennosuke. Si bocah menggelengkan kepalanya.
"Murid-murid Ayah tidak ada yang hebat."
Bennosuke membandingkan murid-murid Munisai dengan penantang ayahnya.
"Maksudmu, Munisai itu guru yang payah?"
Tanya Dorin ? bercanda. Pertanyaan macam apa ini? Apa Paman mau mengadukanku ke Ayah?53 Bennosuke menoleh ke arah Dorin.
"Aku tidak bilang begitu,"
Jawabnya dengan ketus.
"Terus?"
Dorin menunggu si bocah berbicara lebih lanjut.
"Aku hanya "
Bennosuke tidak bisa menjelaskannya.
Bennosuke mampu mengingat dengan jelas gerakan- gerakan penantang ayahnya.
Mereka sangat tangkas dan serangan mereka mematikan.
Ayah mampu mengantisipasi serangan mereka, bahkan bergerak lebih cepat dari mereka, tetapi kenapa murid-murid Ayah tidak ada satu pun dari mereka yang bisa melakukan hal itu? Mendekati kemampuan Ayah saja tidak bisa.
Apa yang salah dengan latihan mereka? Bagaimana dengan latihanku sendiri? "Sering kali aku bahkan tidak mampu melihat gerakan kaki ataupun tangan Ayah,"
Katanya. Dorin terus mendengarkan. Pasti ini tentang pertarungan-pertarungan yang dilakoni Munisai.
"Walaupun begitu, aku ingin bisa sekuat dan sehebat Ayah."54 Pernyataan yang terdengar biasa-biasa saja dari seorang bocah yang masih harus belajar banyak tentang ilmu pedang. Namun Dorin mampu merasakan tekad yang kuat dari bocah tersebut. Ia tahu Bennosuke pasti menyadari apa yang menjadi kelemahannya dan ia percaya bocah itu akan mampu mengatasi hal itu. Kelak kau akan bisa sekuat dan sehebat ayahmu, Bennosuke!55 Setiap malam selama Dorin berada di kediaman Munisai, ia memberi sedikit pelajaran sejarah kepada Bennosuke. Biasanya ia bercerita tentang pergolakan yang melanda Jepang di zaman itu. Seperti umumnya seorang bocah, Bennosuke menyukai kisah kepahlawanan dan peperangan. Terkadang Dorin juga menceritakan kisah Sangoku Engi ataupun Suikoden. Ia menekankan pada strategi dan taktik militer ? terutama kecakapan dan kebijaksanaan tokoh-tokoh dalam kisah tersebut. Bennosuke adalah pendengar yang baik. Ia jarang bertanya dan boleh dibilang tidak pernah menyela cerita Dorin. Ia terus memerhatikan hingga Dorin selesai bercerita dan bertanya padanya ? apakah ada hal yang kurang jelas atau perlu diterangkan lebih lanjut.
"Bagaimana Bennosuke, ada yang ingin kautanyakan?"
Begitu yang biasa ditanyakan Dorin seusai bercerita ? kali ini pun demikian. Bennosuke menganggukkan kepalanya.56
"Bukan tentang teknik pedang kan?"
Dorin bertanya balik ? maksudnya menggoda si bocah.
"Bukan,"
Kata Bennosuke.
"Di Chuugoku "
Chuugoku (mandarin. Zhongguo) berarti China atau Tiongkok. Dorin memerhatikan bocah itu. Ada apa dengan Chuugoku? Tumben amat pertanyaannya ...
"Apakah mereka memegang pedang seperti ini?"
Dia memperlihatkan cara memegang pedang dengan kedua tangan itu kepada Dorin.
Bokken-nya diangkat tegak lurus di sisi kanannya.
Tadi bilangnya bukan pertanyaan tentang teknik pedang.
Dorin menggelengkan kepalanya.
Bennosuke terbengong sesaat.
Paman tidak tahu? "Setahuku tidak,"
Jawab Dorin. Oh begitu.
"Hm,"
Bennosuke tersenyum ? persis seperti anak kecil yang baru menemukan sesuatu yang hebat.
"Tepat dugaanku."57
"Apanya yang tepat dugaanmu?"
Tanya Dorin.
"Memangnya kamu pernah ke Chuugoku?"
Tanyanya lagi ? retoris. Bennosuke mengabaikan pertanyaan pamannya itu.
"Aku ingat, Paman kan sering bercerita tentang Sangoku Engi."
Dorin memerhatikan.
"Terus?"
Tanyanya.
"Ryuubi. Dia bersenjatakan sepasang pedang, kan?"
Tanya Bennosuke lagi. Ryuubi (Liu Bei) adalah salah seorang kaisar dalam Sangoku Engi. Dia bersama Kanu (Guan Yu), dan Couhi (Zhang Fei) adalah tiga bersaudara angkat yang merupakan tokoh utama dalam roman sejarah tentang Tiga Kerajaan tersebut.
"Ya, sepertinya begitu,"
Jawab Dorin.
"Berarti pedang harusnya bisa dipegang dengan satu tangan,"
Bennosuke memastikan. Semua orang juga tahu. Dorin menatap Bennosuke seolah- olah bocah itu mengemukakan suatu persoalan biasa, dan tidak perlu dibahas lebih lanjut ? alias tidak penting banget.
"Memangnya samurai berkuda memegang pedang dengan dua tangan?"
Tanyanya sambil menunjuk bokken di tangan58 Bennosuke yang saat itu masih dipegang bocah itu dengan kedua tangannya.
Bennosuke terpana.
Ia seperti baru menyadari sesuatu.
Ia pun menurunkan bokken-nya.
Benar juga apa yang dikatakan Paman.
Bertarung bisa dilakukan di mana saja, termasuk dari atas kuda.
"Ya, sebenarnya di medan perang, samurai berkuda atau kavaleri lebih sering menggunakan tombak. Tetapi toh mereka juga harus menggunakan pedang dalam keadaan tertentu. Pedang yang digunakan sambil berkuda, pastinya dipegang dengan satu tangan,"
Dorin menjelaskan lebih lanjut.
"Umumnya pasukan kavaleri dikerahkan untuk menembus barisan pertahanan musuh dalam pertempuran di lapangan terbuka. Barisan pertahanan musuh terdiri dari barisan ashigaru yang bersenjatakan yari (tombak panjang), pasukan senapan, atau pasukan pendukung lainnya. Panjang yari bervariasi antara 15 hingga 21 kaki (4,5 hingga 6,5 meter). Para ashigaru yang bersenjatakan yari itulah yang pertama kali menghadapi serangan pasukan kavaleri. Samurai berkuda biasanya menggunakan tombak untuk menerobos barisan pertahanan lawan. Jika keadaan tidak memungkinkan pertarungan dengan tombak, mereka akan menggunakan pedang. Pedang mereka yang tajam mampu59 dengan mudah memotong gagang tombak musuh. Seorang samurai berkuda yang ahli menggunakan pedangnya bahkan mampu membelah helm (pelindung kepala yang terbuat dari logam) atau menebas tubuh musuh yang mengenakan armor."
Tetapi bukan cuma itu masalahnya.
"Di Chuugoku, para pendekar berlatih bela diri dari usia yang sangat muda. Ya, lebih kecil sedikit daripada kamu. Dan mereka mula-mula dilatih bela diri tangan kosong. Kekuatan kuda-kuda dilatih terlebih dahulu. Tangan dan kaki dilatih agar mampu bergerak dengan cepat dan kuat. Setelah itu, barulah mereka berlatih menggunakan senjata. Awalnya mereka berlatih dengan berbagai macam senjata, sampai mereka menemukan senjata yang cocok untuk mereka. Jadi mereka tidak harus memilih pedang sebagai senjata utama mereka."
Tangan yang kuat dan kaki yang kuat, mampu bergerak dengan cepat. Bennosuke berpikir. Penjelasan Paman sepertinya memang masuk akal.
"Lalu mengapa di sini, semuanya memegang pedang dengan dua tangan?"
Tanya Bennosuke.
Tanya Bapakmu sana "Ya, karena dengan memegang pedang dengan dua tangan, ayunan pedang menjadi lebih kuat, lebih bertenaga, dan60 kontrol atas senjata tersebut juga lebih baik ? dalam hal keakuratan menyerang sasaran atau lawannya."
"Tetapi gerakan tubuh bagian atas jadi lebih terbatas "
"Betul. Tetapi bukankah lawanmu juga memiliki keterbatasan yang sama? Jika sama-sama memegang pedang dengan cara seperti itu, apa yang menjadi kelemahan dan kekuatan lawan juga menjadi kelemahan dan kekuatanmu."
Bennosuke menatap Dorin dengan ekspresi wajah sedikit ragu-ragu.
"Jadi kalau aku bisa seperti Ryuubi yang menggunakan sepasang pedang, maka aku akan melebihi mereka?"
"Ya, kalau tenagamu melebihi tenaga lawanmu. Di Chuugoku, para pendekar terkenal yang kemudian menjadi pahlawan ataupun jenderal besar umumnya memiliki tenaga yang sangat besar. Konon mereka memiliki tenaga dalam. Kanu, misalnya, dia mampu memegang tombaknya dengan satu tangan, padahal orang lain mengangkat tombak tersebut dengan dua tangan pun belum tentu mampu."
Tenaga dalam? Bennosuke baru pernah dengar.
Dorin yang melihat tampang Bennosuke yang setengah percaya setengah tidak percaya, merasa malas untuk menjelaskan masalah tenaga dalam itu dengan panjang61 lebar.
Lagi pula, sepertinya itu memang karangan para penulis agar cerita mereka menjadi semakin seru dan menarik.
"Ya, kalau kamu memakai dua pedang, paling tidak kamu bisa menyerang dua kali lebih banyak."
Dorin kembali ke topik semula.
"Benarkah?"
Tanya Bennosuke dengan bersemangat.
"Teorinya begitu."
Bennosuke langsung manyun. Teori katanya. Teori dari mana? Dari Kyoto?62
"Paman, kurasa Paman mengetahui teknik-teknik berpedang,"
Kata Bennosuke.
"Bukan cuma teorinya saja."
Walaupun selama ini apa yang dibabarkan Dorin tentang ilmu pedang jelas-jelas cuma teori belaka, Bennosuke sepertinya menganggap pamannya itu pernah belajar ilmu pedang.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sok tahu, kamu!"
Dorin menyangkal.
"Biksu itu tidak boleh pegang senjata."
Dia terdiam sebentar, teringat para biksu yudhaka dan Peristiwa Pembakaran Gunung Hiei.
"Ya, ada juga sih yang berlatih bela diri, pegang senjata, dan sebagainya."
"Tapi Paman bisa menjawab banyak hal mengenai ilmu pedang,"
Bennosuke merasa tidak puas dengan jawaban Dorin. Apa anak ini tidak tahu kalau biksu itu tidak boleh berbohong?63
"Ibu-ibu di pasar juga bakal tahu banyak tentang kamu dan ilmu pedangmu kalau kamu sering bergaul dengan mereka."
"Ibu-ibu di pasar?"
"Ehm,"
Dorin mengangguk acuh tak acuh. Ia lalu meneruskan merapikan gulungan kertas yang digunakannya untuk mengajar Bennosuke menulis dan membaca.
"Kok membahas ibu-ibu di pasar?"
Tanya si bocah. Dorin memandang bocah itu.
"Maksudku, siapapun bisa mengerti atau memahami segala macam hal, kalau ia bertemu dan sering berbincang dengan orang yang menguasai materi yang dibicarakan itu."
Sekalian saja bikin si Bennosuke tambah bingung. Dorin sengaja menggunakan kata-kata yang sulit dipahami anak- anak.
"Oh, maksudnya seperti yang dikatakan Koushi,"
Kata Bennosuke. Koushi (mandarin. Kongzi atau Kong fuzi) adalah Confusius.
"Eh?"
Sekarang gantian Dorin yang terperanjat. Bukannya tambah bingung, Bennosuke malah mengemukakan pendapat yang membuat Dorin terkejut.
"Koushi?64 Memangnya apa yang dikatakan Koshi?"
Tanyanya penasaran.
"Ketika aku berjalan bersama dengan dua orang, paling tidak aku harus bisa mempelajari sesuatu dari salah satu di antara keduanya,"
Bennosuke menjelaskan.
"Hm,"
Dorin menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Entah mendengar dari mana bocah ini, tetapi apa yang dikatakannya itu memang kutipan ajaran Koushi.
"Seseorang tidak harus menguasai ilmu pedang untuk menjadi orang hebat,"
Kata Dorin.
"Tetapi bukan itu sebabnya aku tidak mempelajari ilmu pedang."
Wajah Bennosuke menunjukkan ia tidak setuju dengan pendapat Dorin.
"Hideyoshi dan Koumei (Kongming atau Zhuge Liang) ? penasihat militer Ryuubi, bukanlah pendekar pedang. Keduanya bisa dikatakan tidak menguasai ilmu pedang bila dibandingkan dengan panglima perang seperti Takeda Shingen, Uesugi Kenshin ataupun Oda Nobunaga,"
Dorin melanjutkan.
"Kalau Paman, cocoknya dibandingkan dengan siapa?"
Tanya Bennosuke ? sambil menahan tawa.
"Dengan ibu-ibu di pasar?"65 Dorin spontan melotot mendengar gurauan Bennosuke.
"Hahaha!"
Bocah itu akhirnya tidak bisa menahan tawanya. Sementara Dorin terdiam dan terlihat mendongkol.
"Aku tahu Paman sebenarnya mengerti ilmu pedang, tetapi Paman bersikap rendah hati. Kuharap Paman mau memberikan sedikit petunjuk padaku,"
Kata Bennosuke sedikit membungkukkan badannya. Ia sudah berhenti tertawa, walaupun senyum lebar masih tersungging di bibirnya.
"Ogah,"
Jawab Dorin singkat.
"Paman takut padaku?"
Tanya Bennosuke dengan pandangan mata seperti anak bengal. Dorin memerhatikan bocah nakal itu dengan pandangan sebal. Ia bermaksud memberikan pelajaran pada Bennosuke.
"Siapa bilang? Aku punya jurus rahasia yang sengaja kusimpan untuk menghadapimu."
"Eh?"
Bennosuke terkejut.
"Masa berarti tepat dugaanku, Paman memang menguasai ilmu pedang."66
"Sudah kubilang berkali-kali kalau aku tidak mengerti ilmu pedang,"
Kata Dorin sedikit menggerutu.
"Berarti jurus rahasianya tidak pakai pedang?"
Bennosuke memandang Dorin dengan tatapan bingung. Dorin menggelengkan kepalanya.
"Aku tak perlu pedang atau senjata apa pun. Bahkan aku tak perlu menggerakkan tangan dan kakiku untuk mengalahkanmu."
"Masa sih?"
Bennosuke menatap pamannya dengan pandangan ragu-ragu.
"Jurusku adalah jurus menang tanpa pedang."
Bennosuke teringat kisah Bokuden yang memperdayai seorang samurai berandal ? tanpa perlu menghunus pedangnya. Waktu itu Bokuden juga mengatakan hal yang sama dengan yang dikatakan Dorin barusan ? jurus menang tanpa pedang.
"Seperti Bokuden?"
Tanya Bennosuke.
"Lebih hebat lagi,"
Jawab Dorin mantap.67
"Hahaha!"
Bennosuke kembali tertawa.
"Lebih hebat dari Bokuden? Hahaha!"
Walaupun ia merasa jengkel ditertawakan seperti itu, Dorin berusaha tetap sabar dan tersenyum.
"Paman terlalu banyak mengkhayal. Mana mungkin Paman bisa mengakaliku dengan jurus seperti itu? Kalau Paman tidak bergerak dan berdiam diri saja, tentu Paman sudah ditebas pedang lawan. Hahaha!"
Dorin membiarkan Bennosuke tertawa.
"Ya, paling tidak berlarilah. Kaburlah secepat mungkin kalau memang tidak mampu melawan. Hahaha!"
Bocah itu tertawa lagi sambil bergaya dengan pongah seolah-olah ia sedang berhadapan dengan seorang pecundang. Perasaan jengkelnya bertambah melihat lagak bocah sok jago itu. Dorin pun menjewer telinga kiri si bocah yang sedang tertawa itu.
"Adaaawwww!"
Bennosuke langsung berteriak kesakitan.
Dia menatap pamannya itu dengan sebal, tangan kirinya mengelus-ngelus telinganya yang kini memerah.
Yang ditatap bersikap biasa-biasa saja, seolah-olah ia tidak melakukan apa-apa terhadap si bocah.68 Lihat siapa yang akan tertawa nanti ? dialah si pemenangnya.
"Mau kuperlihatkan jurusnya?"
Dorin bertanya dengan nada mengancam.
Bennosuke segera bangkit berdiri.
Ia bersiap siaga untuk menghadapi jurus pamannya itu.
Ia berdiri tegak sambil memegang bokken dengan kedua tangannya.
Pandangannya tajam dan lurus menatap ke arah Dorin.
Dorin sedikit pun tidak merasa gentar melihat bocah yang sedang bersiap menyerang itu.
"Eh? Munisai?"
Dorin melihat jauh ke belakang Bennosuke. Ia lalu berteriak memanggil. Tangannya dilambaikan ke seseorang yang berada di belakang Bennosuke.
"Munisai! Coba kemari sebentar!"
Bennosuke terkejut bukan kepalang, tanpa sempat berpikir lagi, dia langsung melempar bokken-nya dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Paman berengsek! Kenapa memanggil-manggil Ayah? Jurus apaan tuh! Sayup-sayup ia mendengar Dorin mengatakan.
"Kaburlah secepat mungkin kalau memang tidak mampu melawan. Hahaha!"69 Berengsek! Ia malah mengulangi kata-kataku. Walaupun mendongkol, Bennosuke tidak menghentikan langkahnya. Ia juga tidak menoleh ke belakang. Siapa juga yang mau melihat tampang sangar Munisai? Pastinya Munisai marah besar mendapatkan laporan dari Dorin. Bagaimanapun juga, Bennosuke masih seorang bocah. Merupakan hal yang wajar kalau ia merasa ketakutan ketika Dorin memanggil Munisai di saat ia sedang memegang bokken menghadapi pamannya itu. Paman pasti bermaksud mengadukanku kepada ayah. Walaupun ia terpaksa harus melarikan diri dari ?medan pertempuran?, Bennosuke mempelajari hal baru lagi kali ini. Serangan secara psikis sama ampuhnya dengan serangan secara fisik. Selama berlari ia terus berpikir. Lebih hebat dari Bokuden? Lebih hebat apanya? Lebih hebat dalam tipu-menipunya? Eh, tunggu sebentar Bennosuke seperti tersadar akan sesuatu.70 Sonshi! Ia teringat akan pengarang kitab ?Seni Perang? itu. Sonshi (Sunzi atau Sun Tzu) mengatakan.
"Menaklukkan musuh tanpa berperang, itulah seni perang terhebat."
Sebagai seorang pendekar pedang yang melegenda, Bokuden pasti memahami seni perang yang ditulis Sonshi.
Menaklukkan musuh tanpa berperang ? itu sama dengan menang tanpa pedang.
Dorin, sama seperti Bokuden, menerapkan taktik perang Sonshi.
Ah, berengsek! Bennosuke terus berlari.
Pantas dia sesumbar ? lebih hebat dari Bokuden! Bennosuke telah kalah ? walaupun pamannya jelas-jelas tidak bertarung dengannya secara fisik, ia telah melarikan diri dari arena pertarungan.
Setelah merasa jaraknya sudah cukup jauh, Bennosuke menghentikan larinya.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia membalikkan badannya dan memerhatikan tempat Dorin berdiri.
Dorin melambaikan tangan ke arahnya.
Tidak ada orang lain di sana selain Dorin.
Ayah? Di mana Ayah? Jangan-jangan Bennosuke menyadari sesuatu.
Berengsek! Berengsek! Berengsek!71 Dia tertipu.
Munisai tidak ada di sana.
Dorin hanya pura-pura melihat Munisai dan memanggilnya.
Bennosuke telah kalah telak!72
"Kenapa kamu hari ini, Bennosuke?"
Tanya Dorin melihat wajah si bocah yang duduk cemberut.
Walaupun menunjukkan ekspresi wajah yang tidak bersahabat, bocah itu tetap tekun menuliskan huruf-huruf kanji yang dipelajarinya hari ini.
Sejak selesai latihan meditasi pagi hingga mulai pelajaran membaca dan menulis, tampang bocah ini selalu seperti itu ? cemberut dengan mulut agak dimonyongkan sedikit.
Dia lagi mengambek? "Nanti kamu bisa cepat tua, lho, Bennosuke,"
Goda Dorin. Entah karena dibilang bisa cepat tua atau karena merasa ia harus menjelaskan apa yang menjadi unek-uneknya hari ini, Bennosuke menengok ke arah Dorin dan menanggapi komentar pamannya itu.
"Paman berbohong kan?"
Tanyanya.73
"Eh?"
Dorin kebingungan. Dia menunjuk ke arah dadanya sambil membelalakkan matanya menatap Bennosuke.
"Aku? Berbohong? Yang benar saja!"
"Paman sendiri yang bilang kalau seorang biksu itu tidak boleh berbohong,"
Bennosuke menyela.
"Hm,"
Dorin seperti berpikir sejenak. Sepertinya ia tidak ingat kapan dan di mana ia berbohong. Sesaat kemudian, ia pun menganggukkan kepalanya.
"Benar. Seorang biksu itu tidak boleh berbohong."
"Lalu, semalam Paman berteriak memanggil Ayah, tapi aku tidak melihat ada Ayah di sana,"
Bennosuke mengarahkan jari telunjuk tangan kirinya ke pekarangan depan tempat mereka berdua berdiskusi semalam ? sementara tangan kanannya masih memegang alat tulis.
Dorin melongokkan kepalanya, melihat arah yang ditunjuk Bennosuke lewat pintu dojo yang terbuka.
Oh, rupanya yang dimaksud bocah ini kejadian semalam toh? Dorin nyaris tertawa mengingat apa yang terjadi semalam.74 Jurus menang tanpa pedang yang lebih hebat dari jurus Bokuden! "Ayahmu semalam ada di sini.
Di tempat kita berada sekarang,"
Dorin tersenyum, telunjuk tangan kanannya mengarah ke bawah ? ke lantai dojo.
"Kenapa Ayah tidak keluar menghampiri Paman?"
Tanya Bennosuke penasaran. Dorin mengangkat bahunya.
"Kurasa dia tidak mendengar panggilanku."
Bennosuke memandang pamannya itu dengan tatapan curiga. Ia merasa jawaban Dorin itu mengada-ada.
"Iya, ya, kalau Paman berteriak memanggil Ayah seperti kemarin, teriakan seperti itu tidak cukup keras,"
Kata Bennosuke dengan wajah seperti orang yang sedang berpikir.
"Ayah pasti tidak mendengarnya."
Walaupun Dorin menyetujui apa yang dikatakan bocah itu, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres ? dari cara Bennosuke berbicara. Anak ini mau mengatakan apa lagi?75
"Karena teriakan Paman itu seperti teriakan seorang kakek- kakek,"
Kata Bennosuke lagi sambil tersenyum menyeringai.
"Hahaha!"
Lalu tertawa. Benar kan, si kecil sial satu ini ujung-ujungnya pasti mengejekku.
"Yang jelas jurusku lebih hebat dari Bokuden. Dengan jurus menang tanpa pedang, Bokuden mencegah terjadinya pertarungan tetapi ia mampu membuat lawannya tidak berkutik. Tetapi aku, aku jelas-jelas mengalahkanmu dengan telak."
Dorin tersenyum puas. Bennosuke terdiam ? ia terus mendengarkan.
"Kamu kalah telak, Bennosuke. Kamu melempar bokken-mu dan melarikan diri dari arena pertarungan."
Bennosuke kembali memasang tampang cemberut dan mulut yang dimonyongkan.
"Aku mengerti kok, jurus Paman itu kan sebenarnya meniru siasat Sonshi ? menang tanpa berperang."
Makanya dia mengaku jurusnya lebih hebat dari jurus Bokuden. Tapi Bennosuke hanya mengatakannya dalam hati.76
"Eh? Memangnya kamu hapal kitab Seni Perang Sonshi?"
Dorin bertanya ? keheranan. Ia memang beberapa kali menjelaskan tentang strategi yang ada dalam Seni Perang Sonshi kepada Bennosuke. Itu pun secara lisan dan hal-hal yang ia bahas masih bersifat umum. Bennosuke menggelengkan kepalanya.
"Tentu saja tidak. Itu kan strategi yang tertulis di bagian akhir kitab. Menaklukkan musuh tanpa berperang, itulah seni perang terhebat."
Makanya aku ingat.
Bagian terakhir kan biasanya kesimpulan dari keseluruhan isi kitab ataupun menjelaskan hal yang sangat penting.
Dorin memandang Bennosuke dengan wajah seperti orang keheranan.
Bocah ini berpikir sejauh itu? Padahal ia semalam cuma main-main saja.
Ia tahu Bennosuke tidak begitu akrab dengan Munisai.
Mereka berdua bisa dibilang tidak pernah berbicara ataupun mengobrol panjang lebar.
Kedatangan Munisai saat itu pastinya tidak diharapkan bocah ini.
Bennosuke kembali menekuni pelajaran menulisnya.
Suasana di dojo itu menjadi hening.
Bennosuke begitu tenggelam dalam aktivitas menulisnya.
Gerakan-gerakan77 kuas di atas kertas itu seolah-olah membentuk suatu ritme.
Berulang-ulang dan terus-menerus.
Sepertinya perhatian Bennosuke tercurahkan sepenuhnya terhadap apa yang sedang dikerjakannya saat itu.
Dorin memerhatikan gerakan tangan Bennosuke serta tulisan huruf-huruf kanji di atas lembaran kertas yang terhampar di meja kecil di hadapan si bocah.
Konsentrasi bocah ini semakin baik.
Tulisannya juga semakin membaik, walaupun bentuk dan ukurannya masih belum seragam.
"Paman, apa artinya sejuta kali?"
Tanya Bennosuke tiba-tiba. Ia menghentikan sapuan kuasnya dan sekarang memandang Dorin, menunggu jawaban atas pertanyaannya itu.
"Eh?"
Dorin agak terkejut.
Ia merasa bingung dengan pertanyaan Bennosuke itu.
Sejuta kali? Kok tiba-tiba menanyakan sejuta kali? Apanya yang sejuta kali? Dalam bahasa Jepang, angka sejuta terdiri dari dua aksara, yaitu hyaku dan man, yang masing-masing artinya seratus dan sepuluh ribu.
Bennosuke sebenarnya menanyakan arti dari man ? bukan hyaku (seratus) yang maknanya tentu sudah diketahuinya.78 Dorin menatap bocah itu.
"Itu suatu jumlah yang sangat banyak, Bennosuke,"
Jawabnya.
"Seberapa banyak?"
"Banyak sekali."
Bennosuke berdiam diri dan menunggu Dorin menjelaskan lebih lanjut.
"Seratus,"
Dorin menuliskan aksara hyaku yang berarti angka seratus dan memperlihatkannya kepada Bennosuke yang terus memerhatikannya.
"Angka seratus ini ada seratus. Itu man (sepuluh ribu)."
Bennosuke ternganga.
"Sebanyak itukah?"
Tanyanya.
"Ya. Kalau lima puluh ribu kali. Berarti ada lima kalinya."
Tangan Dorin memperlihatkan kelima jarinya.
"Jadi hyaku man (seratus puluh ribu atau sejuta) itu seratus kali lipatnya lagi."
"Berarti sejuta itu "
Bennosuke terbengong-bengong. Wajahnya sesaat memperlihatkan kegundahan. Hanya sesaat.79 Bennosuke lalu tersenyum lebar memperlihatkan sederetan giginya dan berkata.
"Banyak juga ya."
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia menundukkan kepala lalu kembali melanjutkan pelajarannya menulis huruf- huruf kanji.
"Banyak juga? Banyak juga dari mana? Sejuta itu banyak sekali, Bennosuke!"
Kata Dorin.
Ia merasa ada sesuatu yang saat ini menjadi pikiran keponakannya itu.
Kok bocah ini sepertinya menganggap jumlah sejuta itu sesuatu yang biasa-biasa saja.
Pasti bocah ini sedang memikirkan ilmu pedang atau latihan bela dirinya.
Kalau sudah membahas tentang ilmu pedang dan semacamnya, tak ada yang bisa menyusahkan hatinya ataupun melemahkan semangatnya.
"Omong-omong, apanya yang menurutmu banyak juga? Bukankah seharusnya banyak banget?"
Tanya Dorin lagi. Bennosuke menghentikan sapuan kuasnya. Ia mengangkat wajahnya dan menatap pamannya.
"Latihan pedang yang dilakukan murid-murid ayah,"
Jawabnya dengan mimik serius.
"Ayah mengatakan kalau perlu setiap gerakan itu harus dilakukan sejuta kali."
"Hah?"
Dorin terkejut. Ia nyaris tertawa mendengar jawaban bocah itu.80 Anak ini tidak mungkin menganggap perkataan Munisai itu sesuatu yang serius.
"Lebih banyak, lebih sering, lebih baik, bukan?"
Bennosuke bertanya balik. Ia bingung melihat tampang Dorin yang sepertinya mau tertawa itu.
"Kamu akan mati sebelum selesai mengayunkan pedangmu sebanyak satu juta kali,"
Kata Dorin sembari menahan tawa.
"Eh?"
Jawaban Dorin kembali membuat Bennosuke bingung. Masa sih? "Ayahmu hanya mengandaikan saja. Itu hanya kiasan. Artinya kalau mau menguasai sesuatu hal, seseorang harus melakukannya sebanyak dan sesering mungkin."
Bennosuke terus memerhatikan.
"Tetapi kamu harus ingat, segala sesuatu itu ada batasnya. Lakukan secukupnya ? semampumu, tetapi tingkatkan kuantitas dan kualitasnya dari waktu ke waktu. Tubuh manusia juga memerlukan istirahat untuk memulihkan kondisinya seperti semula. Latihan yang terlalu keras malah bisa merusak tubuhmu."
"Seperti berlatih menulis?"
Bennosuke menggerak- gerakkan jari-jari tangan kanannya yang masih memegang kuas itu.81 Terasa sedikit kaku. Ia pun meletakkan kuas itu pada penyangga yang terbuat dari kayu.
"Benar."
Dorin mengangguk.
"Mampukah kamu menulis sebuah aksara sebanyak satu juta kali?"
Bennosuke menggaruk-garuk kepalanya. Tentu saja ia tidak bisa. Ia menatap tangan kanannya dan melihat ujung ibu jari dan telunjuk yang bernoda hitam. Jari-jarinya pun kini mulai terasa agak sakit.
"Kalau kamu melakukannya terlalu banyak, dengan terburu- buru, ingin cepat-cepat berhasil menguasai teknik tersebut ? entah teknik pedang ataupun menulis, kamu malah akan mendapatkan hal yang sebaliknya."
Paman benar. Kalau aku menulis dengan cepat dan terburu- buru, hasilnya malah lebih jelek. Tulisanku jadi berantakan.82
"Ah, Bennosuke, tidak berlatih pedang hari ini?"
Tanya Dorin.
Bocah yang sedang sibuk memahat sebatang ranting itu menengok ke arah orang yang memanggilnya itu, lalu menggelengkan kepalanya.
Tumben.
Selama beberapa hari, Dorin memerhatikan bocah itu tekun berlatih dengan bokken-nya, tetapi hari ini Bennosuke tampaknya tidak berniat melakukan latihan yang menjadi kerutinannya itu.
"Kenapa?"
Tanya Dorin lagi sambil ikutan duduk di samping Bennosuke. Mereka berdua duduk di batu-batu berbentuk pipih yang banyak terdapat di pekarangan rumah Munisai.
"Ini,"
Bennosuke memperlihatkan telapak tangannya. Kedua telapak tangan itu tampak dipenuhi bilur hingga ke jari- jemarinya.
"Aku terlalu banyak berlatih mengayunkan pedang,"
Katanya.
"Padahal belum sampai sejuta kali."83 Bennosuke tersenyum dan mentertawakan dirinya sendiri. Dia tentu ingat apa yang dikatakan Dorin, sejuta kali itu hanyalah perumpamaan. Suatu pengandaian mengenai kekuatan tekad untuk mencapai kesempurnaan, di dalam mengerjakan sesuatu hal ? apa pun itu, perlu latihan yang keras, dijalankan semaksimal dan sesering mungkin. Anak ini terlalu banyak berlatih.
"Kalau sudah lecet-lecet begini, kamu tentunya sudah tidak bisa lagi memegang bokken-mu dengan benar."
Dorin turut merasa prihatin. Pastinya telapak tangan anak ini terasa sakit sekali.
"Bisa, kok,"
Dengan tangan kirinya Bennosuke mengangkat ranting yang sedang dipahatnya itu tinggi-tinggi ? bagaikan mengangkat sebilah pedang.
"Eh?"
Dorin terkejut.
"Memangnya tanganmu tidak sakit?"
"Sedikit, tapi tidak kurasakan,"
Jawab si bocah ? enteng. Walaupun bibirnya tersenyum, wajahnya terlihat serius, dan matanya bersinar tajam.
"Aku berhenti latihan mengayunkan pedang karena kalau kuteruskan tanganku akan cedera."
Memangnya bilur-bilur sebegitu belum cedera? Dorin memandang bocah itu ? memerhatikan ekspresi wajahnya.
Tidak ada tanda-tanda Bennosuke menahan sakit ketika tangannya mengangkat ranting itu tinggi-tinggi.84 Ia benar-benar tidak merasakan luka-luka di telapak tangannya itu.
"Aku kan harus bersiap-siap, aku tidak boleh berlatih terlalu keras hingga tanganku cedera. Bagaimana kalau aku betul- betul mengalami cedera dan tidak bisa menggunakan pedangku, tiba-tiba musuh datang menyerang?"
Dia lalu mengayunkan ranting itu menghantam batang sebuah pohon.
"PRAK!"
Terdengar suara hantaman yang keras. Dorin sedikit memundurkan badannya. Tenaga anak ini kuat juga! "Saat ini aku masih bisa membela diriku kalau diserang."
Bennosuke tersenyum.
Ia tampak percaya diri kalau ia masih mampu mengayunkan ranting itu dengan kekuatan penuh.
Luka-luka di tangannya betul-betul tidak memengaruhi kekuatan genggaman tangannya.
Setelah itu ia kembali melanjutkan pekerjaannya mengupas dan meluruskan ranting itu.
Ranting itu sudah mulai terbentuk seperti sebatang tongkat ? lurus dan sedikit pipih.
Ia sedang membuat sebuah bokken.
Selama ini bokken yang dibuatnya tidak benar-benar pipih.85 Sepertinya tidak mudah bagi bocah seusianya membuat sebuah bokken yang cukup baik untuk digunakan berlatih pedang.
Tetapi Bennosuke tidak berharap terlalu muluk ? asalkan bentuknya lurus dan panjangnya memadai, serta tidak terlalu berat, bokken buatannya sudah memadai untuk digunakan berlatih pedang.
Dibandingkan pedang sungguhan, bokken memang lebih lurus sehingga mata pedangnya menjadi lebih panjang.
Nobutsuna juga menggunakan semacam pedang dari bambu yang dilapisi kulit sapi atau kuda ? yang disebut fukuro shinai, untuk berlatih.
Bentuknya tidak seperti pedang, tidak pipih, tetapi bisa digunakan untuk latihan bertarung tanpa khawatir akan melukai atau mencederai lawan berlatih.
"Ini yang keberapa?"
Tanya Dorin.
"Kelima,"
Jawab Bennosuke.
"Yang lainnya sudah hancur, patah, karena kugunakan untuk menghantam pohon-pohon di hutan."
"Tentu saja bokken yang pipih itu tidak mungkin bisa mematahkan batang pohon yang jelas-jelas lebih tebal dan kuat,"
Ujar Dorin. Bennosuke sepertinya tidak mendengarkan ucapan pamannya itu. Ia terus memahat, mengupas, dan menipiskan kayu itu dengan sebilah belati berukuran kecil.86
"Latihanku sudah mulai menampakkan hasilnya. Ayunan pedangku semakin cepat dan kuat."
Bennosuke tampak penuh percaya diri ketika mengatakan hal itu.
"Paman harus melihatku berlatih di hutan."
Dorin menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak, tidak perlu."
Bennosuke menoleh ke arah pamannya. Ia terlihat sedikit kecewa.
"Memangnya sudah berapa lawan yang kaukalahkan?"
Tanya Dorin asal saja ? sebenarnya dia bertanya untuk mengalihkan pembicaraan saja lantaran dia malas diminta menonton latihan pedang keponakannya itu. Bennosuke berhenti memahat. Dia terlihat seperti berpikir.
"Kurasa empat atau lima orang,"
Jawabnya kemudian.
"Eh?"
Dorin terkejut.
Dia sudah mengalahkan empat-lima orang?87 Dia membayangkan anak kecil itu memukuli anak lain dengan bokken-nya itu ? bokken yang sudah hancur empat batang.
Jangan-jangan dia menggunakan bokken-nya untuk memukuli anak-anak, bukannya memukuli pohon di hutan.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kamu memukuli anak orang, Bennosuke? Anaknya siapa?"
Tanya Dorin sambil tangannya mengguncang-guncang bahu Bennosuke.
Biksu itu terdengar seperti menahan amarah.
Capek-capek aku mengajarinya melatih diri, bersabar, dan bermeditasi, eh anak ini malah berkelahi dengan anak-anak lain! Bennosuke melongo mendengar pertanyaan Dorin.
Ia menatap Dorin dengan bingung.
"Apa maksud Paman?"
Tanyanya.
"Aku tidak memukuli siapapun."
Wajahnya menunjukkan kalau dia memang tidak berbuat seperti yang diduga Dorin.
Dorin menatap lurus ke arah Bennosuke.
Dia memerhatikan ekspresi wajah bocah itu serta tatapan matanya.
Anak ini tidak berbohong.88 Dorin jadi merasa tidak enak hati karena terlalu cepat mengambil kesimpulan.
Ya, siapapun akan berpikiran seperti itu kalau melihat tampang anak ini.
Romannya seperti anak bengal dan tatapan matanya tajam menakutkan seperti bandit atau penjahat.
Eh, bukan, seperti Munisai yang sangar.
"Lalu, empat-lima orang itu siapa?"
Tanya Dorin lagi ? kembali ke persoalan semula.
"Oh, itu "
Sahut Bennosuke ? seperti acuh tak acuh.
"Mereka murid-murid Ayah."
Apa? Dia bisa memukuli murid-murid Munisai? Yang benar saja? Antara percaya dan tidak ? tetapi Dorin sepertinya menjadi bingung sendiri menghadapi Bennosuke dan segala hal yang ada di pikiran bocah itu.
"Menurutku, sih "
Kata Bennosuke lagi. Dorin langsung merasa lega. Hah! Sudah kuduga, ia cuma asal omong saja. Anak ini cuma mengira-ngira saja.89
"Sannosuke, Madaemon, Yanabe, Matachiro "
Bennosuke menyebutkan sejumlah nama sambil menggunakan jarinya menghitung ? empat orang, sebanyak jumlah jari dari telapak tangan yang dibukanya.
Siapa itu? Tak seorang pun dari yang disebutkan itu kukenal.
Tidak mengherankan sebenarnya.
Dorin memang tidak mengenal satu pun murid Munisai.
Ia tidak tertarik dengan praktik ilmu pedang ataupun seni bela diri lainnya.
Kehadirannya di kediaman Munisai semata-mata untuk membimbing Bennosuke dalam berperilaku, serta mengajarinya membaca dan menulis.
"Kau sungguh-sungguh mampu mengalahkan mereka?"
Tanya Dorin ? nada suaranya acuh tak acuh, tetapi menunjukkan kesan meragukan atau bahkan meremehkan.
"Ehm,"
Bennosuke mengangguk mantap. Dorin bersikap seolah-olah anak itu cuma sedang memongahkan dirinya saja.
"Akan kuperlihatkan,"
Katanya. Ia lalu bangkit berdiri.
"Eh?"
Si biksu terkejut.
"Sannosuke, dia lebih tinggi sejengkal daripadaku,"
Bennosuke menaruh telapak tangan kanannya dengan jari-90 jari terbuka di atas kepalanya untuk menunjukkan tinggi badan Sannosuke.
"Dia biasanya menunggu lawan menyerangnya terlebih dahulu. Ketika diserang, dia selalu menghindar dengan melangkah mundur,"
Bennosuke ? memposisikan dirinya sebagai lawan Sannosuke, bergerak maju mengayunkan ranting kayu itu ke depan. Ia mencontohkan gerakan menyerang lurus ke depan.
"Seperti ini."
Bennosuke lalu mengarahkan ranting itu, menunjuk ke sisi kanannya.
"Lalu Sannosuke akan bergerak ke samping kirinya untuk kemudian balas menyerang."
Dorin terus memerhatikan.
"Tetapi, kalau ketika ia mundur aku terus maju, mengejarnya, dan mengayunkan pedangku seperti ini."
Bennosuke bergerak ke kiri ? berlawanan dengan arah gerak Sannosuke, lalu mengayunkan pedangnya dengan cepat ke posisi di mana Sannosuke seolah-olah berada.
"Dia akan kalah."
Dorin terperanjat. Ia mengakui gerakan Bennosuke betul- betul cepat dan ayunan tangannya kuat.
"Tetapi bagaimana kalau ia bergerak ke samping kirimu dan bukannya ke kananmu?"
Tanya Dorin.91 Bennosuke menghentikan gerakannya dan menghampiri Dorin.
Ia lalu berjongkok di hadapan biksu itu dan mengambil serpihan ranting yang ukurannya lebih kecil sedikit dari sebuah sumpit.
Ia menggunakan serpihan ranting itu untuk menggores tanah, menggambarkan posisi dua orang yang sedang bertarung itu.
"Sannosuke,"
Katanya sambil menggambarkan sebuah tanda silang.
"Bennosuke,"
Katanya lagi sembari menggambarkan tanda silang yang lain di hadapan tanda silang yang pertama.
"Bennosuke maju menyerang,"
Bennosuke menggambarkan garis lurus dari tanda silang kedua menuju tanda silang pertama.
"Sannosuke mundur untuk menghindari serangan Bennosuke."
Bocah itu terus menggambar garis-garis di antara kedua tanda silang itu. Ke kiri atau ke kanan gerak mundur Sannosuke, tanda silang yang merepresentasikan Bennosuke terus mengejarnya.
"Dari mana kamu bisa menduga kalau ia akan mundur ke kiri atau ke kanan?"
Tanya Dorin.
"Ia kuarahkan,"
Jawab bocah itu tersenyum.
"Jika kubuat seolah-olah bagian kiriku terbuka dan bisa diserang, Sannosuke akan bergerak ke kanan untuk menyerang dari sisi kiriku. Begitu juga sebaliknya."92 Dia memancing lawan menyerang bagian yang dibiarkannya terbuka.
"Sonshi?"
Tanya Dorin ? nada suaranya terdengar sedikit bergetar. Bocah ini mengaplikasikan seni perang Sonshi! Bennosuke mengangguk dan tersenyum.
"Jika kau kuat, berbuatlah seolah-olah kau lemah. Jika kau lemah, bersikaplah seolah-olah kau kuat."
Jadi bocah ini bermaksud menggiring lawannya menyerang sisi tubuhnya yang seolah-olah tidak terjaga itu.
"Bennosuke, Sonshi itu menulis kitab Seni Perang sebagai panduan bagi para komandan dan panglima militer untuk mengatur siasat ketika berperang ..."
Dorin bermaksud mengatakan Seni Perang Sonshi lebih efektif digunakan untuk berperang bukan untuk bertarung.
"Mengalahkan seorang musuh atau sepuluh ribu musuh, caranya sama saja kan?"
Bocah itu memotong kata-kata Dorin.
"Yang beda hanya sumber daya yang digunakan."
"Kamu bisa membuktikan kata-katamu?"
Tanya Dorin.93
"Maksud Paman?"
Tanya Bennosuke. Ia merasa bingung dengan maksud dari kata-kata ?membuktikan? itu. Bukankah barusan sudah kugambarkan dengan jelas? Tanpa sengaja tangan bocah itu menunjuk skema pertarungan yang barusan digambarnya di tanah.
"Kau berani menghadapi Sannosuke?"
Tanya Dorin lagi sambil menatap tajam bocah itu. Dia sepertinya tidak melihat gambar di tanah yang ditunjuk Bennosuke.
"Itu pembuktian yang kumaksud."
Bennosuke menggelengkan kepalanya.
"Itu tidak mungkin,"
Katanya.
"Ayah akan menghajarku."
Bagus! Kalau anak ini benar-benar menantang Sannosuke, Munisai pasti melabrakku ? bukan cuma menghajarnya. Dorin tersenyum.
"Lalu bagaimana aku bisa memercayai kata-katamu dan caramu mengalahkan Sannosuke?"
Biksu itu sebenarnya hanya bermaksud menguji keyakinan Bennosuke. Bennosuke kembali berdiri.
"Kumohon Paman mau memerhatikan apa yang kuperagakan,"
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya sambil menundukkan kepala.94 Ia lalu berjalan beberapa langkah ke depan.
"Aku akan bergerak maju menyerang,"
Katanya.
Begitu selesai berucap, Bennosuke sudah langsung maju ke depan sambil mengayunkan ranting di tangannya.
Dorin memerhatikan.
Diam-diam ia kembali terkejut melihat kecepatan gerakan Bennosuke.
Gerakannya lebih cepat dari sebelumnya! Bennosuke sedikit memiringkan tubuhnya ke kiri, membiarkan pundak kanannya terbuka.
Ia memancing lawan menyerang dari sisi kanannya! Kurang dari sedetik kemudian Bennosuke sudah berpindah tempat sekitar dua langkah dari posisi ia terakhir berdiri.
Dan ia sudah berada di sisi kanan ? menghadap lawannya yang diperkirakan berada di posisi tersebut.
Dorin tercengang.
Kapan berpindahnya anak ini? Gerakan Bennosuke sepertinya bertambah cepat dan terus- menerus membuat Dorin terkejut.95 Dia mengakui jika melihat jarak yang ditempuh Bennosuke itu, sekitar lima kaki dalam waktu satu detik, kemungkinan besar lawannya memang sudah terkena serangan bocah itu.
Bennosuke lalu berbalik menghadap pamannya.
"Kalau kubiarkan sisi kiriku yang terbuka, ia akan menyerangku di bagian itu."
Anak ini sudah berhasil melatih gerakan langkahnya.
Pengamatannya terhadap pertarungan yang dilakukan Munisai selama ini rupanya tidak sia-sia.
Bennosuke sudah memerhatikan puluhan kali pertarungan antara Munisai dan para penantangnya.
Ia juga sungguh- sungguh memerhatikan bagaimana Munisai melangkah dengan cepat, menggerakkan kakinya maju ke depan, mundur selangkah, memutari lawannya, ataupun melompat dengan cepat ke sisi lain ? kiri ataupun kanan.
Selama berbulan-bulan Bennosuke melatih kecepatan gerak kakinya, bergerak maju-mundur, menyamping, melompat, dan sebagainya ? meniru gerakan kaki Munisai.
Kelincahan dan kecepatan gerak kaki Bennosuke betul-betul membuat Dorin terperangah.
Dan anak ini baru berumur delapan tahun 96 Bennosuke lalu kembali duduk bersila di hadapan Dorin.
Ia terus menjabarkan hal-hal yang diketahuinya tentang "musuh-musuh"nya itu.
"Madaemon selalu menyerang lebih dulu. Serangan andalannya adalah menebas dari kanan atas ke kiri bawah."
Bennosuke menjelaskan.
"Sebelum menyerang, dia akan melangkah maju dengan kaki kanan diangkat seperti hendak melompat."
Bennosuke menggambarkan posisi Madaemon di tanah ? sama seperti ketika ia menggambarkan posisi Sannosuke.
"Biasanya lawan akan menghindar ? mundur ke belakang."
Ia menggambarkan garis lurus ? dari posisi awal Madaemon, maju ke depan.
"Tetapi, kalau lawannya bergerak seperti ini, Madaemon akan kalah."
Tanda silang ? yang mewakili lawan Madaemon, digambarkan Bennosuke tidak mundur ke belakang, melainkan bergerak ke sisi kanan Madaemon.
"Itu semua kan teori, Bennosuke,"
Kata Dorin seperti memprotes. Jelas sekali ia menganggap Bennosuke terlalu yakin dengan apa yang sedang diperagakannya itu.97
"Tidak,"
Kata si bocah.
"Paman bisa melihat gerakan pedang Madaemon ke sisi kanannya itu begitu lambat."
Bennosuke berdiri lagi, lalu melakukan gerakan seperti yang dikatakannya.
"Begitu lawannya bergerak ke samping kanannya, Madaemon terpaksa harus menarik pedangnya dulu sebelum bisa diayunkan lagi ke sisi kanan."
Itulah salah satu kelemahan memegang pedang dengan dua tangan.
Jika ia memegang pedang dengan satu tangan, ia bahkan tidak perlu memutar badannya ke kanan, cukup tangan kanannya saja yang diayunkan ke sisi tersebut ? mengejar, mengikuti gerakan lawan.
Ia memperagakan gerakan menarik pedang lalu memutar badannya menghadap ke sisi kanan.
"Jika lawan bisa memanfaatkan waktu yang singkat itu, Madaemon akan kalah."
Dorin terdiam. Dia tahu Bennosuke sering memerhatikan murid-murid Munisai berlatih tanding. Kenapa hanya empat orang itu yang dibahas? Apa cuma mereka yang dia kenal? "Yanabe,"
Kata bocah itu melanjutkan.98
"Sebentar, Bennosuke,"
Dorin memotong perkataan bocah itu.
"Kenapa cuma empat orang itu yang kamu bahas?"
"Oh, karena kupikir aku bisa mengalahkan mereka,"
Jawab Bennosuke setelah berpikir sejenak.
"Maksudmu, dari sekian banyak murid ayahmu, mereka berempat yang paling lemah?"
Tanya Dorin lagi. Bennosuke menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Yang lebih lemah dari mereka banyak,"
Katanya perlahan.
"Hanya saja aku sepertinya melihat keempat orang itu memiliki kelemahan yang mencolok. Mereka kuat tetapi sekaligus lemah. Kuat dalam hal tenaga, lemah dalam hal teknik dan kecepatan. Tetapi aku juga tidak mengerti mengapa murid-murid yang lain kebanyakan tidak mampu mengalahkan mereka?"
Dorin terus menyimak.
"Aku tidak bermaksud mengatakan kalau teknik berpedangku lebih baik dari keempat orang itu, tetapi aku yakin analisisku tepat. Aku tahu cara menghadapi mereka. Kecepatan gerakanku juga mampu menyaingi kecepatan gerakan mereka. Kalau membandingkan kekuatan ayunan pedang, tentunya tenaga mereka lebih kuat dari tenagaku."
Lagak bicaranya seperti orang dewasa saja.99 Selama ini Bennosuke memang lebih sering mengikuti dan menyimak pembicaraan orang dewasa.
Dorin pun sering kali menggunakan kata-kata yang rumit ketika membahas tentang kisah kepahlawanan di Chuugoku, menerangkan tentang ajaran Koushi, menjelaskan seni perang Sonshi, dan lain sebagainya.
Tidak mengherankan bocah itu menjadi terbiasa menggunakan kata-kata yang terdengar formal ketika ia berbicara.
Bennosuke tidak merasa ada yang aneh ketika ia mengatakan hal-hal seperti itu.
Dari apa yang didengarnya, banyak tokoh terkemuka di Chuugoku sudah memperlihatkan bakat dan kepandaian mereka di usia yang kurang lebih sama dengan usianya saat ini.
Sousou (Cao Cao), salah seorang penguasa dalam Sangoku Engi, memiliki seorang putra yang sangat cerdas, bernama Souchuu (Cao Chong).
Kecerdasan Souchuu sudah terlihat semenjak ia masih anak-anak.
Dikisahkan Sousou menerima pemberian seekor gajah dari Sonken (Sun Quan) ? seorang panglima perang wilayah selatan.
Sousou ingin mengetahui berapa berat binatang yang sangat besar itu.
Tetapi tak seorang pun pejabat yang tahu bagaimana cara menimbang gajah itu.
Souchuu kemudian menyarankan agar gajah tersebut ditempatkan di sebuah kapal, kemudian di bagian lambung kapal yang terbenam itu diberi tanda.
Setelah itu gajah tersebut dipindahkan ke daratan dan kapal dimuati dengan beban yang terukur hingga bagian lambung kapal terbenam persis di bagian yang sebelumnya diberi tanda.
Dengan demikian berat gajah tersebut dapat diketahui.
Sousou begitu gembira mendengar apa yang dikatakan putranya itu.
Ia memuji kecerdasan putranya di hadapan para pejabat yang tidak bisa menemukan cara untuk menimbang gajah itu.100 Cerita tentang anak-anak yang cerdas dan berbakat tentu menginspirasi Bennosuke.
Tetapi ia tidak pernah menganggap dirinya memiliki kecakapan atau talenta seperti anak-anak tersebut.
Ia lebih memilih berlatih ilmu pedang ketimbang belajar sejarah.
Walaupun Bennosuke berkata dengan penuh percaya diri, tidak terdengar kesombongan dalam nada bicaranya.
Ia berkata apa adanya berdasarkan pandangannya yang objektif.
Ia tidak menganggap kemampuannya menang atas lawan karena tekniknya lebih baik dari mereka.
Ia merasa kemampuannya masih jauh dari sempurna.
Logika berpikir yang sederhana dari seorang bocah, tanpa prasangka, tanpa keinginan untuk dianggap hebat, tetapi semata-mata hanya untuk membuktikan kemampuannya dan apa yang diyakininya.
"Nanti sore, aku mau melihat latihan pedang murid-murid Ayah,"
Kata Bennosuke. Lalu ia membungkukkan badannya sedikit.
"Kuharap Paman bersedia menemaniku melihat latihan mereka."101
"Bennosuke, ada bidadari kecil mencarimu,"
Ogin memanggilnya.
Suaranya terdengar riang dengan senyum menahan tawa tersungging di bibirnya.
Dorin, yang mendengar sebutan bidadari kecil itu, ikut tersenyum.
Tentu Otsu yang dimaksud.
Gadis cilik itu memang cantik dan lincah.
Pembawaannya yang ceria selalu menyenangkan hati siapa pun yang berada di dekatnya.
Pagi hari itu, seperti biasa, Dorin sedang mengajar Bennosuke membaca dan menulis di dojo.
"Selamat pagi Guru Dorin, selamat pagi Bennosuke,"
Sapa Otsu sambil menundukkan kepalanya.
"Pacarmu datang, sebaiknya kau menemani dia sebentar,"
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dorin ?berbisik? di telinga Bennosuke.102
"Paman!"
Protes si bocah ? wajahnya memerah dan tangannya yang memegang alat tulis itu tampak gemetar.
"Eh? Kenapa?"
Tanya Dorin bingung.
"Bisikan macam itu? Semua orang di sini bisa mendengarnya!"
Bennosuke memprotes.
Ia menatap pamannya itu dengan pandangan mata seperti anak kecil yang sedang mengambek.
Ketika berbicara, mulutnya dimonyongkan sedikit.
Dorin tertawa.
Sepertinya ia memang sengaja menggoda Bennosuke.
Ia mendekatkan mulutnya ke telinga Bennosuke dan walaupun berbicara sambil menutupi mulut dengan tangannya, seperti orang yang sedang berbisik ? kenyataannya ia berbicara biasa-biasa saja.
Seperti yang dikatakan Bennosuke, semua orang yang berada di dekatnya pasti bisa mendengar apa yang ?dibisikkannya? itu.
Bennosuke melirik sekilas ke arah Otsu yang tampak tersipu- sipu mendengar ?bisikan? Dorin itu.
Otsu sebenarnya bertetangga dengan Bennosuke.
Namun, seperti umumnya anak-anak di desa itu, ia enggan mendekati kediaman Munisai.
Tuan rumah berwajah galak yang tidak ramah pada para tetangga ? terutama pada anak kecil.103 Namun hal itu berubah sejak ia melihat Bennosuke melakukan hal yang menurutnya sangat keren.
Ia jadi sering bertandang ke kediaman Munisai.
Awalnya Ogin melihatnya sedang mengintip di depan gerbang.
Ogin mengenalinya sebagai si anak tetangga yang manis.
Otsu pun dipersilakan masuk dan diperlakukan layaknya seorang tamu.
Setelah berbincang-bincang beberapa saat, Ogin pun menyadari bahwa si anak tetangga yang manis itu sebenarnya ingin bertemu dengan adik laki- lakinya yang bengal.
Agak mengherankan sebenarnya.
Ogin mengakui kalau Bennosuke adalah seorang bocah tampan yang cerdas dan pemberani.
Tetapi ia tidak mengerti bagaimana Otsu bisa tertarik dengan Bennosuke padahal mereka berdua bisa dikatakan hampir tidak pernah bertemu langsung atau mengenal secara akrab satu sama lain.
Bennosuke yang ia tahu adalah anak yang malas bergaul dengan anak-anak yang lain.
Bocah itu lebih suka menyendiri, bermain di hutan ? memanjat pohon, berenang di sungai, menangkap ikan, ataupun berburu serangga.
"Bermain dengan anak-anak yang lain? Mereka itu hanya merepotkanku saja."
Demikian alasan yang dikemukakan Bennosuke ketika Ogin bertanya kenapa ia selalu bermain seorang diri dan tidak suka berkumpul bersama anak-anak yang lain.
Sebagai seorang perempuan, Ogin mungkin tidak tahu atau tidak menyadari status adiknya itu sebagai anak laki-laki104 Munisai, turut memengaruhi anak-anak yang lain.
Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Pendekar Mabuk 71 Perempuan Jahanam Permainan Maut Cat And Canary Karya
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama