Musashi Karya S. Widjadja Bagian 2
Bisa jadi merekalah yang sebenarnya menghindar atau tidak ingin berteman akrab dengan Bennosuke.
Jika bapaknya galak dan sangar, pasti anaknya berandalan dan suka mengganggu mereka yang lebih lemah.
Kedatangan Otsu akhir-akhir ini pun tidak pernah dikaitkannya dengan ayahnya itu.
"Tumben, Otsu, ada apa?"
Tanya Dorin ramah.
Biksu itu tersenyum sambil sesekali melirik ke arah Bennosuke.
Yang dilirik sepertinya sedang salah tingkah.
Kedatangan Otsu sudah cukup membuat bocah itu gugup dan jengah, tambahan lagi Dorin malah menggodanya.
Sambil tersenyum jenaka, biksu itu kemudian pergi meninggalkan Bennosuke berdua dengan Otsu.
Bennosuke masih tampak cemberut.
Ia sepertinya belum bisa menerima kedatangan Otsu di rumahnya, walaupun ia tidak merasa ada sesuatu yang salah dengan kehadiran anak perempuan itu.
Kakakku menyukainya, Paman Dorin pun demikian.
Tetapi Mana ada anak laki-laki seumurku yang sukanya bermain dengan anak perempuan?105 Bennosuke ingin berlatih pedang, bukannya ingin melakukan permainan anak perempuan.
Apa kata orang-orang nanti? Kenapa anak perempuan ini tidak mencari Ogin saja? "Bennosuke,"
Panggil Otsu.
"Eh? Ya, ada apa?"
Sahutnya malas-malasan.
"Ini untukmu,"
Otsu menyerahkan sesuatu.
Benda itu terbuat dari kain berwarna putih, bagian atasnya berbentuk bulat menyerupai kepala yang gundul ? dan diberi dua titik menyerupai mata dan garis yang melambangkan mulut sedang tersenyum.
Teru teru bozu.
Untuk apa dia memberikan ini kepadaku? Namun demikian Bennosuke menerima juga pemberian tersebut.
"Terima kasih, ya,"
Jawabnya dengan sopan.
"Ehm,"
Otsu mengangguk sambil tersenyum.
"Biar kamu tidak kehujanan setiap kali berlatih pedang."106 Teru teru bozu merupakan boneka yang biasanya digantungkan di jendela dan di dipercaya bisa menghadirkan cuaca cerah dan mencegah turunnya hujan. Bennosuke hampir saja mengatakan sesuatu ketika dilihatnya Dorin sudah muncul kembali dan saat itu sedang memerhatikannya. Biksu itu berdiri di pintu dojo dan memelotinya ? seolah-olah mengancam agar ia tidak mengatakan apa pun atau bersikap bagaimanapun yang bisa membuat Otsu sedih ataupun kecewa. Seperti biasa, Bennosuke merasa Dorin tahu apa yang sedang dipikirkannya. Bennosuke tidak memercayai takhayul dan segala macam hal seperti itu. Tetapi hal itu akhirnya urung ia katakan kepada Otsu.
"Baiklah, teru teru bozu ini akan kugantung di jendela setiap kali aku akan berlatih pedang,"
Katanya.
Kalau aku tidak lupa.
Kalau langit betul-betul mendung.
Kalau hujan sudah rintik-rintik.
Kalau ada Paman Dorin.
Otsu tersenyum lagi.
Ia menyukai Bennosuke tetapi memperlakukannya seperti seorang adik, karena ternyata107 usia Bennosuke lebih muda beberapa bulan darinya.
Hasil investigasi Otsu berdasarkan obrolan dengan Ogin.
"Kalau kuingat-ingat, lucu juga, ya,"
Katanya. Bennosuke menoleh.
"Apanya?"
Berpura-pura antusias, padahal sama sekali tidak tertarik.
"Pertama kali berjumpa, kukira kamu lebih tua daripada aku."
Hah? Memangnya hal itu penting ? begitu? Peristiwa itu terjadi beberapa hari yang lalu.
Bennosuke sedang dalam perjalanan pulang sehabis berlatih pedang di hutan ketika suatu kejadian menghentikan langkahnya.
Ia melihat dua orang pemuda sedang bertindak kasar terhadap seorang bocah laki-laki.
Usia bocah itu sepertinya lebih tua beberapa tahun dari Bennosuke.
Kebetulan saja tinggi badan mereka hampir sama.
Bocah itu bertubuh kurus dan terlihat lemah.
"Cuma ini yang kau punya?"
Tanya salah seorang pemuda berandal itu.
Dia berwajah bulat dengan alis mata tipis.
Matanya kecil dan hidungnya pesek.
Mulutnya kecil dengan bibir yang tipis namun suaranya besar.
Tingginya tidak berbeda jauh dengan bocah laki-laki itu ? yang berarti hampir sama dengan Bennosuke juga, namun ia jauh lebih gemuk dan kekar.
Yang seorang lagi bertubuh jangkung, mukanya108 panjang dengan dagu persegi.
Alisnya datar dengan mata seperti orang yang mengantuk.
Ia tampak mengambil sesuatu dari tangan si gemuk dan kemudian menyimpannya di dalam obi-nya.
"Iya,"
Jawab bocah itu memelas.
Suaranya terdengar bergetar.
Satu tendangan keras tiba-tiba mendarat di perut si bocah yang langsung jatuh terjengkang.
Bennosuke terkejut.
Apa-apaan itu? Rupanya si gemuk menendang bocah kurus itu.
Bennosuke berlari menghampiri si bocah dan segera membantunya berdiri lagi.
Kedua pemuda kasar itu tampak terkejut melihat kedatangan seorang anak lain yang tiba-tiba saja muncul entah dari mana dan langsung menolong korban pemalakan mereka.
"Hei! Apa yang kaulakukan?"
Bentak si gemuk.
"Jangan ikut campur urusan orang!"
Sementara si jangkung memelototi Bennosuke ? memerhatikannya tetapi tidak mengatakan apa pun.109 Bennosuke tidak menggubris kedua orang itu.
Ia tetap bersikap tenang walaupun hatinya kesal melihat dua orang itu menganiaya si bocah kurus.
Aku tidak boleh terbawa emosi.
"Siapa mereka?"
Tanya Bennosuke sambil memapah Mamoru ? si bocah korban pemalakan, ia terus menatap kedua orang itu.
"Madajiro dan Fukube,"
Jawab Mamoru berbisik.
Madajiro? Fukube? Siapa itu? Bennosuke mencoba mengingat-ingat.
Yang pertama-tama muncul dalam pikirannya adalah dua ekor anjing akita milik salah seorang tetangganya.
Anjing akita adalah anjing ras Jepang.
Rasanya aku pernah mendengar dua nama itu.
Kedua nama itu memang cukup terkenal di daerah ini.
Madajiro dan Fukube adalah berandal yang kerap mengganggu dan memeras warga desa.
Mereka selalu bersikap kasar namun tidak pernah melakukan tindak kekerasan kepada orang dewasa ? tentu saja mereka takut jika perbuatan mereka dilaporkan kepada pihak berwajib.
Tetapi hal yang berbeda mereka lakukan jika bertemu dengan anak-anak ? umumnya anak laki-laki.
Biasanya anak laki-laki malu mengakui telah menjadi korban kejahatan.
Mereka cenderung menyembunyikan apa yang mereka110 alami walaupun secara fisik akibat tindak kekerasan itu terlihat jelas.
Bennosuke terus memandangi kedua orang penjahat kampung itu.
Ia sama sekali tidak mengenal mereka dan tidak merasa pernah bertemu dengan keduanya.
Namun sepertinya ia pernah mendengar nama kedua orang itu.
Ah! Aku ingat! Fukuwa Madajiro dan Yozohika Fukube! Dua orang berandal yang kerap membuat keributan di sekitar desa ini.
Bennosuke mengira-ngira siapa yang bernama Madajiro dan yang mana bernama Fukube.
Rupanya merekalah orangnya ? yang kerap melakukan pemalakan kepada anak-anak.
Bennosuke berdiri dengan sikap menantang.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Matanya tajam menatap kedua bakal lawannya itu.
"Fukuwa Madajiro! Yozohika Fukube! Akulah lawanmu!"
Kata Bennosuke melangkah maju, membiarkan Mamoru berada di belakangnya.
"Heh?"
Madajiro ? si gemuk, menyeringai seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Seorang bocah berani menantang mereka berdua?111 Sambil tertawa, ia berjalan menghampiri Bennosuke.
"Kaupikir kau ini siapa? Kau cuma tikus kecil! Jangan coba- coba melawan kami."
Fukube ? si jangkung, tertawa mendengar ejekan yang dilontarkan rekannya itu.
"Sebaiknya kau bawa ayahmu ? si tikus besar itu, ke sini,"
Katanya menambahkan.
"Hahaha! Benar, biar kuhajar sekalian si tikus besar itu!"
Madajiro tertawa.
Bennosuke tetap berdiri dengan sikap waspada.
Matanya tidak pernah lepas dari kedua orang itu.
Aku beruntung, sepertinya mereka tidak membawa senjata.
Kedua orang itu hanyalah bandit kampung biasa yang beroperasi di sekitar desa ini saja.
Mereka juga bukan ronin (samurai pengelana yang tidak memiliki majikan) ataupun anggota kelompok bandit yang terorganisasi sehingga mereka tidak membawa senjata.
Kebijakan pelarangan membawa pedang bagi warga biasa ? bukan kalangan samurai, yang diterapkan Hideyoshi, membuat orang-orang seperti Madajiro dan Fukube tidak berani membawa senjata tajam.112 Sementara memerhatikan dua orang itu, tangan kanan Bennosuke sudah dalam posisi siap meraih bokken yang terselip di pinggangnya.
Tiba-tiba Madajiro bergerak maju dengan cepat menghampiri Bennosuke dan melayangkan kepalan tangan kanannya.
Dari caranya bergerak, jelas sekali terlihat Madajiro terbiasa berkelahi dengan menggunakan tinjunya.
Bennosuke sudah memperkirakan Madajiro akan menyerangnya dengan mendadak ? tipikal bandit yang kerap bertindak curang.
Orang akan berhenti melakukan tindakan apa pun jika ia merasakan sakit yang luar biasa ? jika bagian tubuhnya yang lemah atau sensitif dilukai.
Ketika kepalan tangan itu hampir mencapai sasarannya, Bennosuke menghindar ke sisi kanan sambil mengayunkan bokken-nya menghantam kepalan tangan itu.
"PLAK!"
"Aduh!"
Madajiro berteriak kesakitan. Bokken itu tepat menghantam ibu jari tangan yang terkepal itu. Sakitnya luar biasa! Spontan kepalan tangan itu terbuka dan Madajiro menghentikan gerak majunya. Ia mengibas- ngibaskan tangannya itu.113
"PRAK!"
Serangan Bennosuke tidak berhenti hanya di ibu jari ? dengan cepat ia langsung menghajar jari-jari lainnya di telapak tangan yang terbuka itu.
"Aduh, aduh, aduh!"
Sepertinya Madajiro tidak mampu menahan sakit pada jemari tangannya yang dihantam bokken Bennosuke itu.
Ia mulai mewek dan mengeluarkan air mata seperti orang yang sedang menangis.
Mamoru, yang sebelumnya diintimidasi oleh Madajiro, terheran-heran melihat orang yang sebelumnya begitu beringas itu bisa berubah menjadi anak cengeng.
"Aku bisa mematahkan ibu jarimu dan jari-jarimu yang lain, kalau aku mau,"
Bennosuke menegaskan.
Madajiro menghentikan tangisnya.
Kini ia memandang Bennosuke dengan tatapan penuh amarah.
Tangan kirinya menggenggam erat jari-jari tangan kanannya yang barusan dihajar Bennosuke itu.
Sesekali jemari yang sakit itu dimasukkan ke dalam mulutnya ? tampaknya tindakan itu merupakan cara Madajiro untuk mengurangi rasa sakit pada jari-jarinya itu.
"Kalau kau masih belum mengerti, aku cuma menggunakan bagian samping bokken-ku, bukan mata pedangnya."114 Bennosuke memukul jari-jari Madajiro dengan bagian samping bokken yang pipih sehingga hanya menyebabkan luka memar, tidak meremukkan atau mematahkan tulang jemari tangan Madajiro. Anak kecil ini piawai menggunakan bokken! Fukube yang sedari tadi hanya berdiri di belakang Madajiro memerhatikan serangan yang dilakukan Bennosuke. Pukulannya cepat, terarah dan akurat. Dia masih tidak bisa membayangkan bagaimana bocah itu bergerak menghindari serangan Madajiro, kapan ia mencabut bokken-nya, dan bagaimana ia menggerakkan bokken-nya menghantam ibu jari rekannya itu. Bukankah lebih mudah jika anak itu menghajar kepala Madajiro ketimbang memukul ibu jarinya? Sekilas Madajiro melirik ke arahnya. Fukube menggelengkan kepalanya sedikit. Fukube memahami, Bennosuke tidak ingin membuat Madajiro terluka parah. Ia hanya ingin memberi pelajaran ? yang sangat menyakitkan dan tidak akan pernah dilupakan Madajiro.115 Apa yang dikatakan bocah ini benar. Jika ia menggunakan mata pedang bokken-nya, jari-jari tangan Madajiro bisa remuk atau patah semuanya. Tetapi Madajiro tampaknya tidak puas dengan sikap Fukube. Ia kembali bersiap-siap menghadapi Bennosuke.
"Bocah bermulut besar! Bagaimana kalau kau kubunuh saja di sini?"
Bentak Madajiro. Fukube terkejut dengan perkataan rekannya itu, ia buru-buru mencengkeram lengan Madajiro, menahannya agar tidak bertindak sembrono.
"Tahan,"
Bisiknya.
"Kenapa? Kita kan berdua? Dan dia cuma seorang bocah!"
Kita tidak lagi berdua, kita sekarang cuma satu setengah.
Fukube memandang Madajiro dengan prihatin.
Madajiro praktis sudah tidak bisa menggunakan tangan kanannya lagi untuk berkelahi.
Selama ini Fukube tidak pernah melihat Madajiro berkelahi dengan tangan kirinya, berarti kans mereka untuk menang terhadap bocah itu ? yang jago menggunakan bokken, semakin kecil.
Dan anak itu hanya memerlukan waktu beberapa detik untuk membuat Madajiro cedera.116
"Memangnya kau berani?"
Bennosuke tersenyum meremehkan ? bukan menantang tetapi memperingatkan.
"Ada banyak saksi di sini,"
Katanya lagi. Kedua bandit kampung itu tampak terkejut. Tetapi karena mereka tidak melihat orang lain selain Bennosuke dan Mamoru, perkataan Bennosuke mereka anggap omong kosong belaka ? sekadar untuk menakut-nakuti mereka berdua.
"Banyak? Selain aku dan Fukube, hanya ada dua orang lain lagi ? termasuk kau."
Madajiro berkata dengan nada meremehkan.
"Ya, kalau lebih dari satu memang bisa disebut banyak sih."
Bennosuke merasa sedikit bingung.
Apakah dua orang ini benar-benar bodoh? Mereka tidak mampu merasakan? Banyak sekali orang di sekitar tempat ini! Bennosuke mampu merasakan kehadiran orang-orang itu ? para warga desa, walaupun mereka tidak tampak.
Mereka bersembunyi di belakang semak-semak, melihat dari kejauhan, mengintip dari balik pohon.
Tetapi ia tahu dan merasakan.
Mereka semua menonton apa yang terjadi di sini dan ingin mengetahui bagaimana akhir dari pertarungan ini ? bagaimana nasib dua orang berandal yang kerap mengacau desa mereka.117 Keributan yang terjadi di sini pasti menarik perhatian orang- orang yang kebetulan lewat, sebagian di antaranya mungkin meneruskan perjalanan mereka dan memberi tahukan yang lain tentang peristiwa ini.
Mamoru juga terlihat bingung mendengar perkataan Bennosuke.
Ia memandang sekitar tempat mereka berempat berada saat itu.
Tetapi, sama seperti Madajiro dan Fukube, ia pun tidak merasakan ataupun melihat orang-orang yang dimaksud Bennosuke.
"Bocah, siapa namamu? Kau belum menyebutkan namamu,"
Kata Fukube sambil memerhatikan sekeliling mereka untuk memastikan apa yang dikatakan bocah itu hanyalah kebohongan belaka.
Ia dan Madajiro tidak bergerak dari tempat mereka berdua berdiri saat itu.
Sebenarnya Bennosuke sengaja sejak awal tidak menyebutkan namanya.
Ia enggan memberitahu kedua orang itu kalau ia adalah anak Shinmen Munisai, seorang master pedang yang mengalahkan salah seorang guru pedang Kengo Shogun.
"Shinmen Bennosuke,"
Jawabnya dengan lantang.
"Anak Shinmen Munisai."
Kedua penjahat kampung itu tampak terkejut sekali mendengar nama yang disebutkan bocah itu.118 Sebenarnya Bennosuke tidak suka membawa-bawa nama Munisai, tetapi kedua orang ini telah menghina ayahnya itu.
Bennosuke dapat mendengar suara-suara perlahan dan berbisik di sekitarnya.
Tampaknya bukan cuma Madajiro dan Fukube yang terkejut, para penonton yang bersembunyi itu pun sama terkejutnya dengan kedua orang itu.
Begitu pula dengan Mamoru.
"Karena kalian sudah tahu siapa aku dan siapa ayahku, sebaiknya kalian menemui beliau,"
Kata Bennosuke tegas.
"Untuk meminta maaf."
Tatapan matanya tajam.
Ia memang tidak takut pada kedua orang itu, sekalipun ia tidak yakin akan menang berkelahi melawan keduanya ? jika mereka betul-betul mengeluarkan tenaga mengeroyoknya.
Walaupun ia berhasil mencederai Madajiro, Bennosuke tidak ingin bertindak gegabah.
Ia tidak tahu seberapa kuat Fukube, walaupun dari apa yang ia amati sepertinya Fukube lebih bertindak mengandalkan otak dan mulut ketimbang ototnya.
Wajah Madajiro dan Fukube kini tampak pucat.
Mereka berdua saling memandang.
Terdengar Madajiro berkata perlahan.
"Kaubilang dia tidak mengenal kita."
Nada suaranya terdengar seperti menyalahkan Fukube. Fukube sendiri tampak gugup. Seandainya Bennosuke bukan seorang bocah kecil berusia delapan tahun, bisa dipastikan dia sudah berlutut dan membungkukkan badannya meminta maaf.119
"Aku tidak ingat kalau kita pernah bertemu dengan anak itu "
Katanya perlahan.
Madajiro tampak tidak puas mendengar jawaban Fukube.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pernah bertemu atau tidak dengan bocah ini, itu bukan hal penting.
Yang penting adalah bocah ini anak Shinmen Munisai! Keduanya kemudian terlihat seperti sedang bertengkar mulut.
Bennosuke menjadi tidak sabar.
"Atau kalian ingin ayahku yang mencari kalian?"
Tanyanya ? lebih terdengar seperti mengancam. Madajiro dan Fukube berhenti berargumen. Mereka memandang Bennosuke dengan perasaan galau.
"Baiklah, kami akan mengunjungi beliau untuk meminta maaf,"
Kedua orang itu berkata dan serempak menundukkan kepala mereka. Keduanya lalu buru-buru membalikkan badan hendak meninggalkan tempat itu.
"Sebentar,"
Kata Bennosuke.
"Apa kalian tidak melupakan sesuatu?"120 Madajiro dan Fukube menghentikan langkah mereka dan menoleh. Keduanya terlihat bingung ? bukankah mereka sudah berjanji akan mengunjungi Munisai untuk memohon maaf? "Kurasa kalian juga perlu meminta maaf pada anak ini, dan mengembalikan apa yang kalian ambil darinya."
Bennosuke menepuk pundak Mamoru yang kini sudah berdiri di sampingnya.
Mamoru tampak terkejut mendengar apa yang dikatakan Bennosuke.
Madajiro tampak mengatupkan rahangnya kuat-kuat seperti menahan amarah.
Sial! Benar-benar sial! Anak ini benar- benar bikin sial! Ia menatap Fukube seperti meminta saran pada rekannya itu tetapi sebenarnya ia memberi tanda agar Fukube mengembalikan apa yang diambilnya dari Mamoru.
Dengan terburu-buru Fukube mengeluarkan sesuatu dari obi-nya.
Seikat uang logam, tidak banyak, tetapi bagi Mamoru uang sejumlah itu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama beberapa hari.
Hanya untuk uang sejumlah itu mereka memukuli Mamoru? Bennosuke tak habis pikir.
Ketakutan akan Munisai sepertinya mengalahkan semua yang ada pada diri kedua penjahat kampung itu.121
"Maafkan kami."
Mereka membungkukkan badan di hadapan Mamoru. Mamoru tampak bingung dan merasa gugup melihat kedua orang itu membungkuk di depannya. Bennosuke tersenyum geli melihat kedua orang itu begitu serius meminta maaf.
"Minta maaf padaku juga,"
Katanya sambil tangan kanannya menunjuk mereka berdua dengan bokken-nya.
"Maafkan kami,"
Kata mereka berdua serempak tanpa ragu- ragu sambil kembali membungkukkan badan.
"Ingat, segera temui ayahku. Jangan sampai dia yang mencari kalian. Ayahku bukan tipe orang yang penyabar."
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, keduanya bergegas meninggalkan tempat itu. Bennosuke sebenarnya ingin tertawa terbahak-bahak melihat mereka berdua berjalan cepat-cepat seperti terbirit- birit.
"Ehm, terima kasih banyak telah menolongku,"
Mamoru membungkukkan badannya.122
"Eh?"
Bennosuke menoleh.
"Tidak perlu, tidak perlu bersikap formal seperti itu."
Mamoru tersenyum.
"Apa anehnya, bukankah kau telah menolongku?"
"Ah, itu bukan masalah besar,"
Kata Bennosuke.
"Kau juga ingin melanjutkan perjalananmu kan?"
Mamoru mengangguk.
"Oh, ya, namamu "
Bennosuke belum mengetahui nama bocah yang baru saja ditolongnya ini.
"Takizawa Mamoru,"
Jawab Mamoru ? membungkukkan badan lagi. Bennosuke menggaruk-garuk kepalanya sejenak, lalu ikut membungkukkan badan dengan canggung.
"Shinmen Bennosuke."
Keduanya lalu tertawa.
"Kalau begitu, sampai bertemu lagi,"
Kata Mamoru.
"Ehm,"
Bennosuke menganggukkan kepalanya.123 Mamoru melambaikan tangannya dan melanjutkan perjalanannya yang sempat terhenti itu.
Bennosuke merasakan orang-orang yang mengintip dan menonton itu juga sudah meninggalkan tempat ini.
Sepertinya mereka pulang dengan membawa cerita hebat tentang seorang bocah yang mengalahkan dua berandal ? Fukuwa Madajiro dan Yozohika Fukube.
Biasanya orang-orang yang mengenali Bennosuke akan menyingkir jauh-jauh atau buru-buru menghindar sebelum berpapasan dengannya.
Bennosuke tahu mereka melakukan itu bukan karena takut padanya, tetapi pada seseorang yang kesannya begitu melekat pada dirinya.
"Dia anak Munisai, lebih baik kita menghindarinya,"
Begitu yang kerap didengarnya.
Aku tak peduli aku anak siapa.
Apa pun yang kulakukan adalah tanggung jawabku sendiri, aku tidak pernah berpikir untuk mengandalkan Ayah ataupun memintanya membantuku.
Ayahnya bukanlah orang yang jahat atau kejam, tetapi reputasinya sebagai seorang master pedang ditambah sikapnya yang keras dan galak membuat orang-orang segan berurusan dengannya.
Perasaan dijauhi dan dihindari bukan karena perbuatan atau sikapnya sendiri melainkan karena ia anak seseorang yang124 ?hebat? membuat Bennosuke merasa seolah-olah kehadiran dan keberadaannya tidak dikehendaki.
Mereka sebenarnya tidak takut padaku.
Mereka takut pada Ayah.
"Suatu hari nanti, kalian akan mendengar namaku disebut sebagai jago pedang nomor satu di Jepang!"
Bennosuke berteriak sambil mengangkat bokken-nya tinggi-tinggi dengan tangan kanannya.
"Aku tidak akan terkalahkan!"
"Plok!Plok!Plok!"
Terdengar suara tepuk tangan ? tidak terlalu keras.
Bennosuke terkejut.
Ada orang lain di sini? Ia merasa malu dengan apa yang baru saja ia ucapkan dengan gagah itu.
Seolah-olah ia baru saja mengatakan suatu hal yang bodoh ? sesumbar yang tidak perlu.
Ia menoleh ke asal suara tepuk tangan itu.
Dari balik semak- semak tampak seorang bocah perempuan sedang memandangnya dengan penuh kekaguman.
"Kakak hebat!"
Kata anak itu dengan riang lalu bertepuk tangan lagi.
"Kakak?"
Bennosuke mengernyitkan dahinya.125 Itulah perjumpaan pertamanya dengan Otsu.
Kala itu juga pertama kalinya Otsu memanggilnya ?kakak? ? sekaligus terakhir kalinya.126 Sore hari ini Dorin tampak sedang menikmati waktu kesendiriannya.
Ia duduk di salah satu batu besar berbentuk pipih yang banyak terdapat di tempat ini.
Suasana yang teduh dan nyaman turut membuat hatinya tenteram.
Ia merasakan kedamaian setiap kali pandangannya ia arahkan pada pepohonan yang banyak terdapat di pekarangan rumah ini.
Beberapa pohon memiliki ranting yang meliuk-liuk bagaikan aktor drama Noh yang sedang berpentas.
Langit senja yang kemerah-merahan dan semakin temaram turut menambah magis keadaan di tempat yang sunyi itu.
Dorin sedang menunggu Bennosuke untuk pelajaran sesi malam ? sejarah, biasanya mengenai kisah-kisah klasik Chuugoku ataupun sejarah Jepang yang meliputi perjuangan kaum samurai dalam peperangan, politik dan perebutan kekuasaan.
Dorin menyampaikannya dalam cara yang sederhana walaupun menggunakan kata-kata yang formal ? agar Bennosuke terbiasa dengan kata-kata semacam itu ketika membaca langsung literatur sejarah terkait.
Biasanya di sore hari seperti ini, Dorin suka berbincang- bincang dengan Bennosuke di tempat ini.
Membahas hutan dan pepohonan, bukit, sungai, hingga binatang-binatang dan127 serangga yang ada di sana.
Dorin mengakui Bennosuke memiliki selera yang baik akan keindahan ? apakah itu berupa pemandangan alam, benda-benda yang terdapat di sana, ataupun benda-benda artifisial hasil karya seni manusia yang terdapat di rumah ini.
Bocah itu bisa mendeskripsikan dengan kata-kata, begitu jelas dan sungguh menarik ? sehingga Dorin merasa seolah-olah ia sendiri yang berada di sana dan melihat apa yang dikatakan oleh Bennosuke mengenai keadaan di hutan, seperti bebatuan yang terlihat seperti tumpukan batu giok, berwarna kehijauan karena tertutup lumut ataupun pohon-pohon yang telah menua ? berusia puluhan tahun yang menimbulkan kesan mistis.
Di Jepang, ada semacam kepercayaan bahwa benda-benda yang sudah berumur tua ? termasuk benda mati, memiliki roh.
Ketika musim semi tiba, Bennosuke akan bercerita tentang aneka bunga yang bermekaran, hewan-hewan liar yang semakin banyak menampakkan diri, kelompok burung yang terbang kembali menuju utara, hingga sungai yang mengalir dengan deras.
Walaupun saat musim dingin salju jarang turun di desa ini, perilaku para penghuni hutan tersebut tetap terpengaruh dinginnya temperatur di hutan itu.
Mereka menjadi kurang aktif dan sebagian besar jarang menampakkan dirinya.
Dorin percaya Bennosuke sudah menjelajahi hampir seluruh wilayah hutan di luar desa ini.
Bisa jadi ia telah mencapai bagian terluar sisi seberang hutan itu.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hebatnya lagi, bocah ini belum pernah tersesat.128
"Aku akan memanjat pohon yang tinggi untuk mengetahui di mana sebenarnya aku berada saat itu,"
Kata Bennosuke ketika ditanya apa yang akan ia lakukan jika ia tersesat di hutan itu.
"Sekalipun di waktu malam, aku tidak takut tersesat. Dari tempat yang tinggi, aku bisa melihat cahaya ? nyala lilin yang menerangi rumah-rumah penduduk desa."
"Bagaimana jika kamu tidak menemukan pohon yang tinggi?"
Tanya Dorin ketika itu.
"Aku akan mengamat-amati pepohonan dan semak belukar. Semakin rimbun berarti semakin mengarah ke dalam hutan. Semakin berkurang atau semakin jarang pepohonan dan semak belukar, berarti mengarah ke permukiman. Tetapi jika kejadiannya malam hari, tentu keadaan sangat gelap dan aku tidak bisa melihat apa pun. Aku akan memanjat pohon, memilih batang yang cukup besar dan mengikat diriku di sana. Aku akan tidur sambil menunggu matahari terbit dan keadaan di dalam hutan menjadi terang kembali."
"Jawaban yang cukup masuk di akal,"
Dorin memuji.
"Sebenarnya pertanyaan Paman yang tidak masuk akal,"
Bennosuke menatap Dorin dengan pandangan memprotes.
"Eh?"
Dorin bingung.
"Aku tidak mungkin tersesat sampai malam hari di hutan. Kalau sore hari, sebelum matahari tenggelam, aku belum pulang ke rumah, orang-orang akan segera mencariku. Jika129 aku tidak juga ditemukan, kepala desa akan mengerahkan warga desa ? para laki-laki dewasa, untuk turut mencariku, bahkan kalau perlu mereka akan masuk ke dalam hutan."
Anak ini hebat! Cara berpikirnya luar biasa.
"Setelah mereka menemukanku, aku akan dikembalikan ke rumah."
Dorin menganggut-anggut dan terus mendengarkan.
"Lalu Ayah akan memukuli pantatku hingga bilur-bilur dan aku tidak bisa duduk karena pantatku sakit. Hahaha!"
Bennosuke tertawa terpingkal-pingkal lalu menungging sambil menunjuk pantatnya.
Rupanya pengalaman pribadi.
Anak ini mengerjaiku.
Dorin memandang Bennosuke dengan muka masam.
Sungguh pun demikian, Dorin tetap mengagumi kemampuan Bennosuke menjelajahi hutan.
Sewaktu ia berusia sama dengan Bennosuke saat ini, Dorin belum pernah pergi ke hutan seorang diri.
Jadi apa yang ia alami, ia lihat, dan ia rasakan, tidak seperti yang diceritakan oleh Bennosuke.
Bocah itu mempunyai kebebasan penuh akan apa yang ingin ia lakukan.
Ia mengeksplorasi hutan sesukanya, sejauh ia mau, dan selama ia inginkan.
Terkadang aku iri dengan bocah ini.
Ia begitu ceria dan menikmati kehidupannya.
Padahal ayahnya, Munisai 130 Dorin tertawa dalam hati.
Kok tiba-tiba aku terpikir akan orang itu? Kenapa Munisai? Ada apa dengannya? Ia teringat seharian ini ia belum melihat orang itu.
"Ah, Dorin, kebetulan."
Terdengar sapa seseorang. Dorin menoleh ke arah asal suara tersebut.
"Oh, Munisai, silakan,"
Katanya mempersilakan Munisai duduk di salah satu batu pipih di sampingnya. Tumben. Dan panjang umur ? baru dipikirkan, tiba-tiba muncul.
"Anda tahu kejadian yang melibatkan Bennosuke beberapa waktu yang lalu?"
Tanya Munisai yang kini sudah duduk di samping Dorin.
Walaupun mereka berdua berkerabat, keduanya menggunakan bahasa formal ketika bercakap- cakap.
Status Dorin sebagai seorang biksu dan Munisai ? seorang samurai yang kini menjadi pelatih pedang, menempatkan keduanya dalam strata yang lebih tinggi dari masyarakat umum yang lain (seniman, petani, pedagang, dan lain-lain).
Dorin sepertinya tahu ke mana arah pertanyaan Munisai.
"Mengenai dua orang penjahat kampung itu?"131 Munisai menganggukkan kepala. ?Kukira kasusnya sudah selesai. Bukankah mereka berdua telah mendatangi Anda untuk meminta maaf?"
Sekali lagi Munisai mengangguk ? kali ini sambil menghela napas sedikit.
"Ketika menemuiku, kedua orang itu terus membungkuk, seperti menyembah, di hadapanku sambil memohon maaf berulang-ulang."
Munisai berkata dengan suara berat seperti ada yang membebani pikirannya.
Semenjak mengalahkan Madajiro dan Fukube, dua orang bandit kampung itu, Bennosuke menjadi ?terkenal?.
Ia menjadi bahan pembicaraan warga desa selama berhari- hari.
Walaupun demikian, tetap saja orang-orang selalu menghubungkan Bennosuke dengan dirinya.
"Dia itu anak Munisai."
Begitulah yang dikatakan orang-orang ketika menceritakan peristiwa pertarungan tersebut.
Hal yang diyakininya tidak disukai Bennosuke.
Walaupun ia tidak begitu akrab dengan putranya, ia tahu Bennosuke memiliki kepercayaan diri yang kuat.
Bocah itu bukan anak kecil yang cengeng dan tentunya tidak suka mengandalkan nama besar ayahnya.132
"Aku sudah memeriksa tangan orang itu ? Madajiro, maksudku. Jari-jari tangan kanannya bengkak semua tetapi tidak parah,"
Kata Munisai.
"Persis seperti yang dikatakan Bennosuke kepada orang itu, kalau saja ia menggunakan mata pedang bokken-nya, tangan kanan orang itu mungkin sekarang sudah tidak bisa digunakan lagi. Tulang-tulang jari tangan orang itu bisa remuk dan tangannya menjadi cacat."
Ekspresi wajah Munisai menunjukkan ia merasa lega. Seandainya saja Madajiro lebih cepat menyadari kemampuan Bennosuke "Seharusnya ia sudah harus langsung berhenti ketika ibu jarinya dihantam bokken Bennosuke,"
Ia menambahkan.
Dorin juga mengerti mengapa Bennosuke memilih untuk langsung menghantam ibu jari Madajiro.
Anak itu tidak ingin berlama-lama bertarung.
Ia ingin lawannya mengetahui kemampuannya menggunakan bokkendan segera menyerah.
Tetapi ia enggan berkomentar dan memilih menunggu mendengarkan penjelasan Munisai.
Munisai memerhatikan ekspresi wajah Dorin, seolah-olah ingin mengetahui apa yang ada di benak biksu itu.
"Jika seseorang tidak memiliki ibu jari atau ibu jarinya patah, bagaimana menurut Anda?"
Tanyanya.133
"Tangan orang itu menjadi tidak berguna,"
Dorin langsung menjawab. Ia memperlihatkan telapak tangannya yang terbuka dengan empat jari, sementara ibu jarinya ditekuk ke arah dalam. Dorin lalu menggerak-gerakkan keempat jari itu.
"Benar,"
Munisai mengangguk setuju.
"Orang itu tidak akan bisa memegang cawan atau piring, menggunakan sumpit, apa lagi memegang pedang ? dengan benar. Seharusnya Madajiro memahami hal itu."
"Dan tentunya ia harus menggunakan tangan kirinya untuk menggantikan fungsi tangan kanannya yang sudah ?tidak memiliki? ibu jari itu,"
Dorin menambahkan.
Tiba-tiba suatu peristiwa terlintas di benaknya.
Itulah sebabnya Bennosuke terkadang berlatih dengan duabokken.
Masing-masing tangannya memegang sebilahbokken.
Bukan semata-mata karena keunggulannya ? seperti mampu menyerang dua kali lebih banyak, tetapi juga untuk melatih tangan kirinya agar bisa berfungsi sama baiknya seperti tangan kanannya.
Jika tangan kanannya cedera, dia masih memiliki tangan kiri yang kemampuannya setara dengan tangan kanannya.
Apa yang bisa menghentikan Madajiro ? cedera pada ibu jari tangan kanan, tidak akan mampu menghentikan Bennosuke.
Munisai terdiam sejenak ? entah apakah saat itu ia sedang memikirkan hal yang sama dengan yang dipikirkan Dorin atau ada hal lain lagi yang membebani pikirannya.134 Ia lalu melanjutkan perkataannya.
"Pukulan Bennosuke tepat mengenai persendian jari-jari tangan itu dengan kecepatan dan kekuatan yang terukur."
Dorin terus menyimak.
"Apa yang dilakukannya itu sepintas kelihatan sepele, namun sebenarnya hal itu bukan sesuatu yang mudah dilakukan."
Bergerak cepat menghindari serangan sambil memukul tepat ibu jari tangan lawan yang menyerangnya "Tidak bisa dipraktikkan hanya dengan latihan sebulan-dua bulan.
Anak itu berlatih pedang lebih tekun dari perkiraanku.
Tidak banyak muridku yang bisa melakukan apa yang dia lakukan."
Dorin jadi penasaran. Tidak banyak muridnya yang bisa melakukan apa yang dilakukan Bennosuke? "Apakah termasuk empat orang murid Anda yang bernama Sannosuke, Madaemon, Yanabe, dan Matachiro?"
Tanyanya.
Munisai menampakkan wajah terkejut ? sekilas, tidak ada gerakan apa pun di wajahnya, tidak bibirnya, tidak alisnya, tidak juga bola matanya, hanya saja sinar matanya seperti berkilat sesaat.
Nyaris tidak terlihat, tetapi Dorin sempat menangkap ekspresi tersebut.
Celaka! Aku kelepasan bicara.
Dorin mengeluh dalam hati.135 Berbagai macam hal muncul dalam benak Munisai ketika ia mendengar Dorin menyebutkan keempat nama itu.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bennosuke memerhatikan empat orang itu? Kenapa? Mereka bukanlah murid-murid dengan kemampuan yang mencolok.
Mereka biasa-biasa saja.
Atau dia sedang memilih lawan tanding? Lawan tanding yang sepadan dengannya.
Tetapi keempat orang itu kemampuannya masih di atas Bennosuke ? walaupun dalam hal tertentu mungkin saja Bennosuke lebih unggul daripada mereka, seperti apa yang dilakukannya terhadap Madajiro.
Kurasa tak seorang pun di antara keempat orang itu mampu melakukan apa yang dilakukan Bennosuke ? memukulkanbokkentepat di ibu jari tangan yang sedang bergerak menyerang ? apalagi dengan bagian pipihbokken.
Tetapi secara keseluruhan, dari segi ilmu pedang, pengalaman, jangkauan, kekuatan dan stamina, Bennosuke tidak akan bisa menang.
Mereka memang tidak bisa menghantam ibu jari lawannya seperti yang dilakukan Bennosuke, tetapi jika mereka diserang seperti itu, dengan mudahnya mereka dapat mengelak dan langsung balas menyerang.
"Putraku ingin menantang mereka?"
Tanya Munisai perlahan. Dorin, inilah akibatnya kalau kau bermulut besar, sekarang kau harus menjelaskan semuanya! Dorin memaki dirinya sendiri.136 Ia menggelengkan kepalanya.
"Tidak, tidak jadi."
"Hm,"
Munisai seperti berdeham. Anak itu lebih cerdas dari yang kukira. Ah, ternyata cuma "Hm". Itu saja. Dorin menarik napas lega.
"Oh, ya, Dorin, sepertinya aku kurang memahami apa yang selama ini Anda ajarkan pada Bennosuke?"
Dari nada suaranya, Munisai terdengar seperti menyalahkan Dorin.
Dorin tersentak mendengar pertanyaan itu ? yang menurutnya lebih terdengar seperti sebuah teguran.
Apa maksudnya? Namun ia tidak memperlihatkan ekspresi wajah yang terkejut.
Ia tetap bersikap biasa saja.
Seorang biksu terbiasa melatih diri agar mampu mengendalikan perasaannya, seperti perasaan sedih, marah, kecewa, dan sebagainya.
Senyum tersungging di bibir Dorin.
Apakah hal ini terkait dengan perkelahian antara Bennosuke dan Madajiro? Apakah Munisai menuduhnya telah lalai mendidik putranya itu? Apa pun itu, sudah menjadi kewajibannya untuk mengambil alih tanggung jawab atas perbuatan Bennosuke ? jika anak itu telah bertindak bodoh, melakukan suatu perbuatan yang tidak berkenan di hati ayahnya.
Dorin siap menerima teguran Munisai.137 Munisai sepertinya tidak menunggu jawaban Dorin.
Rupanya ia memang tidak bermaksud menegur, ia hanya ingin tahu.
Ia menoleh ke arah biksu itu.
"Kudengar, dia tidak sedikit pun gugup atau takut ketika berhadapan dengan dua bandit kampung itu."
Dorin merasa lega. Ia tidak perlu mencari-cari alasan untuk menjelaskan hal ini.
"Itu bukanlah hal yang biasa terjadi. Tidak gugup? Agak aneh kedengarannya, kecuali untuk orang yang sering berkelahi. Atau memang dia sering berkelahi? Aku kok tidak tahu?"
Munisai kembali bertanya ? dan sepertinya ia tidak memerlukan penjelasan secara detail.
Sebenarnya latihan meditasi yang dijalani Bennosuke mampu membuatnya berkonsentrasi penuh pada hal-hal yang sedang dilakukannya.
Apakah sedang menulis, membaca, berlatih pedang, dan lain sebagainya, sehingga pikiran negatif yang tidak dikehendaki ? seperti rasa takut, cemas, ataupun ragu-ragu, tidak akan muncul.
Jadi kondisi itu terjadi bukan karena ia tidak punya rasa takut atau tidak bisa merasakan ketakutan.
Ia hanya menyingkirkan perasaan itu.
Bukankah orang tidak bisa memikirkan dua hal yang berbeda pada waktu yang bersamaan? Ketika Bennosuke fokus pada lawan yang ada di hadapannya, pikirannya hanya tertuju pada lawannya itu.138 Tidak ada hal lain lagi yang dipikirkannya.
Ia telah menyingkirkan semuanya saat itu.
"Kurasa jawabannya adalah latihan meditasi yang ditekuni putra Anda,"
Dorin menjawab dengan perlahan namun tegas.
Zen, ya? Jadi Dorin mengajarkan Zen pada putraku.
Tidak mengherankan, dia kan seorang biksu.
Tetapi apakah dia mengarahkan Bennosuke untuk menjadi seorang biksu juga? Munisai tertawa dalam hati ketika ia membayangkan hal itu.
Bennosuke menjadi seorang biksu? Lebih mungkin Gunung Fuji meletus ketimbang Bennosuke menjadi seorang biksu.
"Kukira Anda pernah menceritakan bagaimana dia cenderung untuk menghindari konflik selama dia bisa mengambil keuntungan dari situasi yang ada,"
Munisai sepertinya ingin tahu apakah Bennosuke memang lebih suka memilih jalan damai ketimbang lewat cara kekerasan.
Ia sendiri lebih menginginkan Bennosuke untuk tidak terlibat dalam kontak fisik dengan orang lain ? untuk saat ini.
Ia menganggap bocah itu belum seharusnya menggunakan bokken untuk pertarungan yang sesungguhnya ? di luar latihan.
Bagaimanapun juga, bokken merupakan senjata mematikan yang dapat digunakan untuk membunuh jika digunakan oleh orang yang menguasai ilmu pedang.
Apa benar Bennosuke seperti itu? Dorin merasa ragu-ragu untuk menjawab.
Setahuku, dia selalu melihat keadaan139 terlebih dahulu sebelum memutuskan apa yang akan dilakukannya.
Tidak selalu menempuh jalan damai dan tidak selalu menggunakan kekerasaan.
Anak itu bersikap fleksibel, menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapinya.
Dalam peristiwa pertarungan dengan Madajiro, bocah itu pasti memahami tidak ada jalan lain selain dengan cara kekerasan.
Madajiro bukanlah tipe orang yang bisa diajak berbicara baik-baik ? kecuali jika ia diancam dengan hal yang ditakutinya.
Dan Bennosuke menganggap menunjukkan dirinya sebagai anak seorang master pedang ? sebelum bertarung, adalah tindakan yang menunjukkan tidak adanya kepercayaan diri dan sikap yang mengandalkan orang lain.
Bisa dibilang Bennosuke menganggap hal itu sebagai sesuatu yang memalukan.
"Menghindari konflik maksudku menaklukkan musuh tanpa bertarung."
Munisai mengutip salah strategi pamungkas Sonshi ? menang tanpa berperang.
"Bukan melarikan diri dari arena pertarungan."
Dorin jadi ingin tertawa mendengar Munisai mengatakan strategi tersebut.
Ia teringat Bennosuke yang langsung berlari dengan kencang ketika ia menggunakan taktik itu ? menyebut nama Munisai ketika bocah itu menantangnya bertarung.
Apa yang dilakukannya ketika itu juga bisa disebut sebagai taktik meminjam belati untuk menghabisi lawan.
Ia meminjam nama Munisai dan membuat Bennosuke kabur ? mengambil langkah seribu.
Sebenarnya Dorin tidak bermaksud menipu anak itu karena biksu memang tidak boleh berbohong, tetapi bagaimana jika ia hanya bercanda?140 Atau ia memang benar-benar memanggil Munisai, tetapi yang bersangkutan tidak mendengarnya? "Jika Bennosuke terus berperilaku seperti ini, ketika dia beranjak dewasa, orang-orang akan mencarinya untuk menantangnya bertarung."
Munisai menceritakan kerisauannya.
"Dia tidak akan bisa menikmati hidupnya dengan tenang. Anak seusianya seharusnya fokus pada bermain dan belajar."
Belajar yang dimaksud Munisai adalah menulis dan membaca.
Munisai berpikir, apa yang dilakukan anaknya saat ini, jika terus dilakukan hingga ia sudah beranjak dewasa ? berumur tiga belas atau empat belas tahun, maka tindakan itu seperti mencari dan mengumpulkan musuh.
Jika dia terus bertingkah seperti ini, sebentar saja jumlah musuhnya akan menyaingi jumlah orang-orang yang menantangku.
Orang yang tidak mengenalnya pun akan mencarinya dan menantangnya untuk sekadar mencari nama ataupun untuk mendapatkan pengakuan.
Bagaimana jika dia sampai terbunuh? "Saat ini orang-orang memang belum menganggapnya serius karena ia masih kecil,"
Munisai melanjutkan. Dalam hal ini Dorin sependapat dengan apa yang dikatakan Munisai.
"Jika dia tinggal di kuil, dia akan aman. Seorang anak ketika bertumbuh, perkembangan karakternya dipengaruhi oleh141 lingkungan di mana dia tinggal. Jika seorang anak dibesarkan di daerah yang dekat dengan tempat pemakaman umum, maka dia akan mengikuti perilaku orang- orang yang berkunjung ke tempat itu, melakukan upacara, bersembahyang, dan sebagainya. Jika dia dibesarkan di daerah yang dekat dengan pasar, dia akan meniru tingkah laku pedagang di sana. Dan jika dia dibesarkan di rumah yang dekat dengan sekolah, dia akan meniru murid-murid sekolah itu belajar. Bukan begitu?"
Dorin menganggukkan kepalanya.
"Benar. Yang Anda maksudkan tentu kisah tentang ibu dari Moushi yang berpindah rumah sebanyak tiga kali demi anaknya. Ia menginginkan Moushi mendapatkan pengaruh yang baik dari lingkungan tempat tinggalnya."
Moushi (Mengzi) adalah Mencius ? seorang filsuf terkenal di Chuugoku, ia merupakan seorang penganut ajaran Koushi dan dianggap sebagai penerus Koushi yang paling berbakat. Munisai mengangguk.
"Aku percaya kuil merupakan tempat yang aman bagi anak itu,"
Munisai mengulangi perkataanya. Ia kembali menyatakan keinginannya agar Bennosuke bisa dididik di kuil.
"Mana ada orang yang datang ke kuil untuk menantangnya bertarung?"
Munisai menambahkan ? alasan yang terdengar masuk di akal.142 Sebenarnya saat itu ada kelompok biksu yudhaka yang berlatih ilmu bela diri dan menggunakan berbagai macam senjata ? dan mereka semuanya tinggal di kuil.
Dorin tidak bisa membaca apa yang ada di benak Munisai.
Seorang master pedang pikirannya memang tidak dapat diduga.
Ketika ia menyerang pun, musuh tidak tahu kapan dan bagaimana serangan itu dilancarkan.
Apakah itu yang sebenarnya diinginkan Munisai? Dia ingin aku mengasuh dan membesarkan Bennosuke atau dia ingin Bennosuke dienyahkan secara halus? "Jika dia berdiam sementara waktu di kuil dan melupakan latihan pedang, mungkin sikap dan cara berpikirnya akan lebih matang.
Seandainya memang ia tetap berlatih pedang dan bertekad menjadi seorang pendekar pedang, aku tidak bisa melarang.
Kuharap Anda pun tidak melarangnya.
Biarlah nasib dan masa depan ditentukan oleh dirinya sendiri."
Apa yang dikatakan Munisai sepertinya hal yang wajar, tetapi sementara waktu itu batasannya sampai kapan? Berapa lama? Setahun, dua tahun, atau hingga anak itu beranjak dewasa?143 Dorin terdiam memikirkan apa yang akan diputuskannya ketika ia mendengar suara Munisai melanjutkan apa yang dikatakannya.
"Bennosuke boleh pergi dari rumah ini kapan pun dia mau,"
Kata Munisai.
"Asalkan tidak lewat tahun ini."144 Walaupun Bennosuke tidak ikut berlatih pedang di bawah bimbingan Munisai, ia kerap memerhatikan murid-murid ayahnya berlatih di dojo ? apakah sewaktu mereka berlatih fisik, berlatih teknik mengayunkan pedang, ataupun berlatih tanding ? berduel dengan menggunakan bokken. Ia juga memerhatikan mereka membersihkan dojo, mengepel lantai, hingga merawat perlengkapan untuk berlatih yang ada di dalam dojo itu. Bennosuke sendiri masih belum bisa memahami apakah mengepel lantai dojo ? dengan posisi badan menungging, terus bergerak maju ke depan dengan cepat seperti berlari, sementara tangan tetap memegang kain pel dan mendorongnya, merupakan satu bentuk latihan fisik. Ada yang mengatakan latihan semacam itu bertujuan untuk menguatkan pinggang, melatih otot kedua tangan, menjaga keseimbangan, serta berkonsentrasi pada apa yang saat itu sedang dilakukan. Saat ini, Bennosuke baru saja selesai bermain di hutan ? seperti biasa, bokken-nya diselipkan di obi, di bagian pinggang sebelah kiri dengan mata pedang menghadap ke atas. Ketika berjalan memasuki pekarangan rumahnya, ia145 melewati dojo dan hatinya tergerak untuk melihat latihan murid-murid ayahnya. Ia melongok sekilas lewat pintu dojo yang terbuka lebar. Eh? Benar dugaanku, mereka sedang latihan mengepel lantai dojo. Ia nyaris tertawa melihat beberapa orang murid tampak kehilangan keseimbangan ketika mendorong kain pel tersebut dengan cepat dan terpeleset hingga jatuh. Ada yang jatuh tergelincir ke samping, ada yang terdorong jatuh ke depan. Kalian seharusnya tidak menggunakan kain pel yang terlalu basah. Kalian terpeleset karena lantainya licin ? masih terlalu basah. Lain kali gunakan kain pel yang sedikit basah. Seberapa baik pun keseimbangan kalian, jika lantai masih basah dan kalian berlari dengan cepat di atasnya, kemungkinan besar kalian pasti tergelincir dan jatuh. Bennosuke menggeleng-gelengkan kepalanya melihat para murid yang terpeleset itu ? lagaknya saat itu seperti orang dewasa, bahkan melebihi ayahnya. Munisai yang berdiri di depan barisan para murid tampak serius memerhatikan mereka berlatih mengepel sambil berlari dan tidak menggubris Bennosuke yang hanya menyempilkan tubuhnya di pintu dojo.146 Bennosuke pernah mencoba melakukan latihan semacam itu. Awalnya memang sulit tetapi jika sudah terbiasa, segalanya akan menjadi lebih mudah ? begitu pendapatnya. Tarik ke atas sedikit hakamakalian, ketatkan di bagian pinggang dan selipkan dalam obi, pastikan kaki bisa lebih leluasa bergerak hingga tidak keserimpet. Hakama merupakan sejenis celana panjang dengan bagian bawah yang melebar. Jaga jarak antara kedua kaki, jangan terlalu rapat, sehingga bisa bergerak lebih cepat. Mungkin orang yang mengatakan latihan seperti ini untuk meningkatkan kemampuan fisik cuma akal-akalan saja supaya para murid rajin mengepel dan membersihkan lantai dojo. Setelah memerhatikan beberapa saat, ia segera meninggalkan tempat itu. Tanpa disadarinya, pandangan mata Munisai mengikuti langkahnya meninggalkan dojo. Mata yang biasanya garang itu tampak sedikit meredup, seperti sedang merenung. Tidak lama lagi Dan aku tidak akan pernah melihatnya lagi. Bennosuke sering membayangkan dirinya berlatih tanding dengan murid-murid ayahnya ? bagaimana ia merespons serangan mereka dengan menghindar, menangkis, ataupun bahkan mendahului menyerang.147 Ia bahkan dengan penuh percaya diri pernah mengatakan kepada Dorin bahwa ia mampu mengalahkan beberapa orang di antara mereka. Ada beberapa hal yang menjadi catatan Bennosuke. kecepatan gerakan kaki saat maju melangkah, ayunan pedang yang kurang terarah, serta kemampuan menghindar yang lamban. Semua kelemahan yang ada pada murid-murid ayahnya ?yang itu? tidak lepas dari pengamatan Bennosuke. Yang dimaksud dengan ?yang itu? adalah Sannosuke, Madaemon, Yanabe, dan Matachiro. Ketika memerhatikan latih tanding murid-murid ayahnya, dan membandingkannya dengan apa yang kerap ia amati ? pertarungan Munisai dengan para penantangnya, Bennosuke seperti melihat dua peristiwa yang sangat berbeda. Sepintas saja sudah terlihat perbedaan yang amat nyata, bahkan kesan yang ditimbulkan dan atmosfer di arena pertarungan pun terasa sangat berbeda. Para penantang Munisai adalah pendekar yang mumpuni ? berpengalaman dan memiliki kemampuan yang jauh di atas murid-murid Munisai. Membandingkan pertarungan yang berbeda kelas itu, Bennosuke seperti sedang menonton pertarungan antara sesama orang dewasa di satu sisi dan pertarungan antara anak-anak di sisi lainnya. Mungkin seperti itulah perbandingan kemampuan para pendekar yang berpengalaman dibandingkan dengan murid-murid yang masih dalam taraf belajar ilmu pedang. Satu hal yang tidak lepas dari perhatian Bennosuke adalah mata para petarung itu. Mata mereka saling memandang148 satu sama lain. Mereka bukan sedang mengukur kekuatan lawan, tetapi berusaha mencari tahu apa yang akan dilakukan lawan. Dengan memerhatikan mata lawan, maka semua gerakan tubuhnya ? tangan, kaki, bahu, pinggang, dan sebagainya, akan terlihat dan bisa dirasakan. Memerhatikan mata lawan seperti membaca pikiran mereka. Tiba-tiba Bennosuke menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang ? tepat ketika tangan Dorin akan menepuk bahu kanannya.
"Eh, Paman?"
Tanyanya keheranan.
Bennosuke melihat Dorin sepertinya sedang tersenyum.
Anak ini instingnya semakin kuat.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Walaupun Munisai tidak mengatakan pendapatnya tentang keinginan Bennosuke menantang murid-muridnya, Dorin mengetahui bahwa Munisai merasa anak ini belum memiliki kemampuan yang memadai.
Ia teringat sore itu, waktu yang sudah mereka sepakati.
Bennosuke mengajaknya menyaksikan latihan murid-murid Munisai.
Mereka duduk bersila di salah satu ruangan yang ada di dojo itu.
Dari sana mereka bisa melihat dengan leluasa latihan yang dilakukan murid-murid Munisai.
Bennosuke menunjukkan murid-murid ?yang itu? kepadanya.
Yang mana yang bernama Sannosuke, Madaemon, Yanabe, dan Matachiro.149 Dorin terkejut begitu ia melihat kemampuan berpedang keempat orang itu sewaktu mereka berduel menghadapi murid-murid yang lain.
Apa anak ini tidak salah? Dilihat dari sudut mana pun, dia tidak akan menang melawan salah seorang pun dari empat murid Munisai ?yang itu?.
Apakah itu Sannosuke, Madaemon, Yanabe, ataupun Matachiro.
Dorin melihat mereka cukup ahli menggunakan bokken dan keempatnya tidak terkalahkan dalam latih tanding barusan.
Bocah ini cuma melantur saja! Ah, aku juga yang salah, termakan omongan anak kecil! Keempat orang ini kemampuannya jelas di atas Bennosuke! Namun ia tidak melihat perubahan ekspresi wajah Bennosuke ketika melihat keempat orang itu beraksi.
Selesai menyaksikan latih tanding itu, mereka berdua menuju ke pekarangan dan tanpa berkata apa pun, keduanya lalu duduk di batu-batu besar berbentuk pipih yang ada di sekitar pekarangan itu.
Dorin merasa penasaran dengan apa yang dipikirkan Bennosuke mengenai empat orang ?yang itu?.
Setelah menunggu beberapa saat dan Bennosuke masih berdiam150 diri, akhirnya Dorin memutuskan untuk menanyakan pendapat bocah itu.
"Apa benar kamu bisa mengalahkan mereka, Bennosuke?"
Tanyanya.
Bennosuke tahu siapa yang dimaksud dengan ?mereka? oleh pamannya itu.
Mereka adalah empat orang murid ?yang itu?.
Dengan santainya Bennosuke menggelengkan kepala.
Ekspresi wajahnya biasa-biasa saja.
Dorin memandang keponakannya itu dengan wajah heran.
Tadi pagi anak ini bilang dia bisa mengalahkan keempat orang itu kenapa sekarang berubah pikiran? Bennosuke tahu apa yang dipikirkan pamannya.
Ada banyak hal yang tidak bisa ia ceritakan kepada Dorin.
Disadari atau tidak, setiap orang pasti memiliki hasrat untuk menguji kemampuannya.
Suatu hal yang wajar untuk mengetahui seberapa jauh hasil latihan yang telah ditekuninya selama ini.
Hal yang sama juga berlaku bagi Bennosuke.
Oleh karena itu, ia mulai serius memerhatikan murid-murid ayahnya berlatih.
Siapa di antara mereka yang sekiranya bisa ia kalahkan.
Entah bagaimana ia memilih keempat orang itu ? Sannosuke, Madaemon, Yanabe, dan Matachiro, sebagai151 bakal lawan tandingnya.
Ia tidak memiliki persoalan pribadi dengan mereka.
Ia mengamati latihan keempat orang itu, apa yang menjadi kelemahan dan keunggulan mereka dibandingkan dirinya.
Ia melatih dirinya seolah-olah suatu hari nanti ia akan berhadapan dengan Yanabe dan Matachiro.
Setelah melihat latih tanding keempat orang itu, ia seperti menyadari sesuatu.
Sesuatu yang terlintas dalam pikirannya.
Sekilas saja.
Apa yang ia alami ketika bertarung dengan si bandit kampung Madajiro.
Dorin menunggu penjelasan lebih lanjut dari Bennosuke.
Dia menatap Bennosuke yang duduk di sebelahnya dan saat itu sedang memandangi pepohonan yang banyak terdapat di pekarangan rumah ini.
Anak ini terlalu lama bengong memandangi pepohonan.
Dorin yang sudah tidak tahan lagi akhirnya bersuara.
"Eh, Bennosuke,"
Panggilnya perlahan. Yang dipanggil menoleh.
"Kalau mengalahkan salah satu saja, bagaimana?"
Tanya Dorin. Dari empat orang itu, pasti ada satu yang paling lemah.152
"Bagaimana menurutmu, apakah kau bisa mengalahkan Matachiro?"
Tanyanya lagi ? memancing. Matachiro adalah yang paling lemah di antara mereka, menurut pengamatan Dorin.
"Ehm,"
Bennosuke mengangguk mantap. Anak ini terlalu percaya diri! Sepertinya dia memang masih belum mampu mengukur kemampuannya sendiri.
"Kok, aku sepertinya merasa kalau kemampuan dia itu masih satu level di atasmu,"
Kata Dorin meragukan apa yang barusan di-iya-kan Bennosuke.
"Ehm,"
Bennosuke kembali mengangguk. Anak ini mengakuinya! "Eh, apa maksudnya dengan ?Ehm? itu?"
Tanya Dorin lagi.
"Tentu saja bukan sekarang, Paman. Bukan hari ini atau minggu depan. Tunggulah sampai tinggi badanku kira-kira sudah mendekati Matachiro."
"Eh?"
Dorin jadi bingung.
"Lalu perkataanmu tadi pagi itu?"
"Itu? Itu mah cuma sebatas wacana."153 Dorin menjadi geregetan. Wacana? Cuma sebatas wacana? Apanya yang cuma sebatas wacana? "Kamu itu! Kamu harus mengerti dengan jelas apa itu wacana dan apa itu rencana. Kedua hal itu memiliki batas- batas yang jelas. Kalau seperti tadi pagi, itu mah masuk kategori angan-angan, bukan wacana ? boro-boro rencana."
"Ya, aku tahu, kok,"
Jawab Bennosuke kalem.
Gerutuan Dorin sepertinya tidak memengaruhinya.
Ia kembali teringat peristiwa perkelahiannya melawan Madajiro dan Fukube.
Ia bisa mengalahkan mereka karena keduanya tidak bersenjata dan hanya seorang yang tidak bertindak.
Madajiro.
Sementara Fukube memilih untuk berdiam diri dan mengamatinya.
Gerakan Madajiro semata-mata berdasarkan kebiasaan berkelahi dengan tangan kosong melawan orang yang lebih lemah darinya.
Ketika berhadapan dengan Madajiro, ada saat ketika Bennosuke merasa dirinya dalam keadaan tanpa pertahanan ? walaupun hanya sekejap, satu detik atau bahkan kurang dari itu, tetapi ia merasa ada kekosongan.
Ada kelengahan.
Satu detik yang seharusnya bisa dimanfaatkan Madajiro seandainya saja ia seandainya saja lawannya itu memegang pedang ? tidak, tidak perlu pedang, bokken sudah cukup.
Jika Madajiro menggunakan bokken, ada kemungkinan serangan Bennosuke akan mengenai tsuba (pelindung tangan ? yang menjadi pembatas antara bilah pedang dan gagang pedang) dan bukan ibu jari Madajiro.
Bokken bentuknya bermacam-macam, di antaranya ada154 yang menyerupai pedang sungguhan, memiliki bilah pedang, gagang pedang, dan dilengkapi dengan tsuba.
Jika itu yang terjadi, maka Madajiro akan langsung membalas serangannya, menebaskan bokken-nya ke arah Bennosuke yang sempat selama ?lengah? selama kurang dari satu detik itu.
Dan hal seperti itu yang akan terjadi seandainya aku bertarung dengan murid Ayah, satu detik itu cukup buat mereka untuk menghajarku hingga terkapar.
Bennosuke tidak mengetahui apakah yang dipikirkannya sama dengan apa yang diperkirakan oleh ayahnya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Madajiro dan Fukube mengenai jalannya pertarungan, tentu Munisai bisa menilai kemampuan Bennosuke menggunakan bokken ? dan apakah kemampuan anaknya itu cukup untuk menghadapi muridnya dalam suatu duel ? latih tanding satu lawan satu.
Awalnya Bennosuke menganggap kemampuannya sudah memadai ? kegesitannya menghindari serangan lawan, ketangkasannya mengayunkan bokken, serta keakuratannya memukul sasaran, tetapi setelah melihat latih tanding keempat murid ?yang itu? barusan, ia akhirnya menyadari murid-murid ayahnya bukanlah pemain pedang kacangan.
Gemblengan Munisai yang keras dan tuntutan disiplin yang tinggi tentu berpengaruh pada kekuatan fisik dan kemampuan teknik murid-muridnya.
Munisai bukanlah155 seorang yang penyabar, namun ia adalah seorang guru yang hebat.
Kalau tidak berlatih dengan sungguh-sungguh pasti keempat orang ?yang itu? sudah tidak ada di sini.
Mereka pasti tidak tahan dengan metode latihan yang diterapkan Munisai.
Wajar saja jika Bennosuke mengaku saat ini ia belum mampu mengalahkan salah satu pun dari empat murid ayahnya ?yang itu?.
Tetapi sedikit pun ia tidak memperlihatkan rasa takut.
Ia menolak bertarung bukan karena ia takut.
Dorin memerhatikan Bennosuke.
Tampang kalemnya mau tak mau membuat Dorin berpikir.
Anak ini menyadari kemampuannya.
Ia memutuskan untuk tidak bertarung bukan karena ia takut.
Ia telah belajar mengenali dirinya dan juga mengenali musuhnya.
Eh? Masa sih? Sonshi lagi? Bennosuke terus-menerus membuatnya terkejut.
Dua hari berlalu sejak ia bersama Bennosuke menyaksikan latihan pedang murid-murid Munisai di dojo ? dengan fokus pada kemampuan empat orang murid ?yang itu?, dan satu hari setelah Munisai mengutarakan keinginannya agar ia mau mengasuh dan mendidik Bennosuke di kuil Shoreian, tempat tinggalnya selama ini.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kini bocah itu sudah duduk bersamanya lagi di atas batu pipih di pekarangan rumah ini.
Mereka berdua biasa menghabiskan waktu sore hari di tempat ini membicarakan156 banyak hal di luar pelajaran tulis menulis, sejarah, ataupun ilmu pedang.
"Kamu mengintip ke dalam dojo lagi?"
Tanya Dorin. Bennosuke mengangguk.
"Masih penasaran dengan empat orang ?yang itu??"
Godanya.
"Tidak,"
Bennosuke menggelengkan kepalanya.
"Lalu barusan kamu ..."
"Melihat murid-murid mengepel lantai dojo. Hehehe."
Bennosuke tertawa.
Dorin memandangi Bennosuke yang sedang tertawa ? seolah-olah meneliti suasana hati bocah itu yang sesungguhnya.
Pandangannya lalu terhenti pada sesuatu yang sedang digenggam Bennosuke.
Benda yang baru saja dikeluarkan dari balik obi-nya.
"Apa itu?"
Tanya Dorin.
"Ini,"
Bennosuke membuka genggaman tangannya dan memperlihatkan benda yang ditanyakan Dorin.157 Oh, teru teru bozu pemberian Otsu beberapa hari yang lalu.
"Bahagianya punya pacar yang penuh perhatian,"
Kata Dorin menggoda. Bennosuke langsung cemberut.
"Kenapa belum kaugantung?"
Tanya Dorin lagi. Bennosuke menggelengkan kepalanya.
"Beberapa hari ini cuaca selalu panas, sepertinya tanpa kugantung pun hujan tidak akan turun."
"Bennosuke, kamu harus menghargai pemberian Otsu. Dia sudah bersusah payah membuatnya. Gantunglah ? paling tidak dia akan senang melihatnya,"
Dorin memberi saran.
"Bisa jadi dia akan berpikir cuaca yang panas ini karena teru teru bozu pemberiannya yang kaugantung di jendela itu betul-betul manjur."
Walaupun Bennosuke terlihat seperti memerhatikan Dorin berbicara, sebenarnya ia mendengarkan perkataan pamannya itu dengan ogah-ogahan.
Sekilas pikiran konyol melintas di benaknya.
Apalagi kalau Paman yang menongkrong di jendela, pasti lebih manjur ...158 Berpikir begitu, Bennosuke jadi cengengesan sendiri.
Kebetulan teru teru bozu artinya memang ?bersinar- bersinarlah biksu?.
Walaupun Dorin tidak suka berpikiran negatif, namun senyum cengengesan Bennosuke tak urung membuatnya curiga.
Dorin memang memiliki perasaan yang peka, di samping itu ia juga mampu menerka apa yang sedang dipikirkan seseorang.
Ia memandangi Bennosuke dengan raut muka masam.
Apa yang barusan dipikirkan bocah ini? Kok aku sepertinya tidak suka dengan senyum cengengesannya itu.
"Eh, kenapa Paman, kok mukanya merengut begitu?"
Bennosuke kebingungan melihat perubahan ekspresi wajah pamannya. Jadi jelek tahu. Bennosuke tidak menyadari kalau dialah beserta pikiran konyolnya yang menjadi sumber penyebab Dorin bermuka masam. Bennosuke menatap pamannya yang masih merengut itu.
"Jadi menurutmu ada yang lebih cocok untuk menangkal hujan ketimbang teru teru bozu yang digantung di jendela?"
Tanya Dorin ? langsung pada sasarannya.159 Bennosuke terbelalak. Walaupun ia sudah menduga Dorin mampu membaca pikirannya, tetap saja ia terkejut. Masa? Paman benar-benar tahu apa yang kupikirkan barusan "Kebetulan sekali, Bennosuke,"
Kata Dorin sambil menyeringai ? setelah selesai merengut. Eh, apanya yang kebetulan? Bocah itu terlihat bingung.
"Kebetulan besok pagi ada pelajaran membaca dan menulis."
"Terus?"
Bennosuke menatap pamannya dengan curiga.
Biasanya kan setiap pagi memang ada pelajaran membaca dan menulis.
Apanya yang kebetulan? "Kamu kan belum pernah menulis huruf kanji teru teru bozu, jadi besok kamu akan menuliskannya sebanyak dua ratus kali!"
"Hah? Lha, kok?"
Bennosuke bermaksud memprotes.
"Tidak ada ?Hah? Lha, kok??,"
Kata Dorin tegas.
"Pokoknya besok harus kamu kerjakan!"160 Sekarang Dorin yang cengengesan ? senang, dan Bennosuke yang merengut. Mukanya merengut, hatinya meradang. Walaupun Dorin menampakkan wajah yang ceria dan nada bicaranya penuh semangat, apa yang ada di dalam hatinya berbeda. Aku belum bisa mengatakannya. Apa yang akan dipikirkan anak ini jika dia tahu ayahnya menginginkannya keluar dari rumah ini?161
"Jadi, seperti itulah keinginan ayahmu,"
Kata Dorin menutup pembicaraannya.
Bennosuke yang saat itu duduk bersila di hadapan Dorin tampak termangu.
Tatapan matanya kosong ? memandang ke bawah, ke hamparan tatami (sejenis tikar tebal penutup lantai yang terbuat dari anyaman jerami) yang menutupi lantai ruangan itu.
Ruangan tempat Dorin biasa bercerita tentang para tokoh hebat yang membentuk sejarah Jepang, sejarah Chuugoku, ataupun mengenai tokoh inspiratif lainnya seperti Koushi, Moushi, dan bahkan Sonshi.
Di ruangan inilah Bennosuke selalu menunjukkan wajah antusias ketika menyimak apa yang dikatakan Dorin.
Walaupun ruangan ini tidak begitu besar, seukuran 4? tatami, dan penerangannya juga sekadarnya saja, setiap malam tempat ini selalu menjadi tempat favorit bagi Bennosuke.
Entah karena kemampuan Dorin bercerita dan menggambarkan berbagai peristiwa dengan menarik ataukah minat dan keingintahuan Bennosuke akan hal-hal tersebut ? sejarah, kebudayaan, dan kisah kepahlawanan, yang membuatnya betah berlama-lama di ruangan ini.
Bennosuke terdiam cukup lama.
Ia menundukkan kepalanya.162 Ayo, Bennosuke, katakan kalau kau bersedia mematuhi keinginan Ayah dan ucapkan terima kasih pada Paman Dorin.
Ia menggigit bibirnya namun tak sepatah kata pun ia ucapkan, tak sedikit pun ia menggerakkan tubuhnya.
Dorin menunggu respons apa yang akan ditunjukkan anak itu.
Apa yang ia pikirkan? Sedari tadi sejak kukatakan Munisai menginginkannya pergi dari rumah ini, tak sepatah kata pun ia ucapkan.
Tangan bocah itu tampak mencengkeram hakama-nya dengan kuat ? saking kuatnya, kepalan tangannya seperti gemetar.
Hal itu tidak luput dari perhatian Dorin.
Anak ini sedih? Marah? Kecewa? Dorin bisa memaklumi perasaan Bennosuke.
Bocah itu tentunya bingung dan bertanya-tanya karena ia tidak merasa melakukan suatu kesalahan apa pun, yang menyebabkannya harus angkat kaki dari rumah ini, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.
Bennosuke tetap menundukkan kepala.
Perasaannya bercampur aduk.
Bahunya bergerak naik turun sedikit, hanya sebentar.163 Dia menangis? Dorin seperti merasakan apa yang dirasakan anak itu.
Bennosuke mengatupkan rahangnya ? mencoba mengendalikan emosinya.
Ia sedih, marah, dan kecewa.
Tetapi ia tahu keputusan ayahnya sudah bulat.
Tak akan ada yang bisa mengubahnya ? apa pun itu, siapapun itu.
Munisai adalah seorang laki-laki yang berwatak keras.
Ia tidak pernah menarik kembali kata-kata yang telah diucapkannya.
Bennosuke berusaha mengatur napasnya, mencoba bernapas dengan teratur seperti yang biasa ia latih saat bermeditasi.
Ketika ia mulai berhasil menenangkan dirinya sejenak, tiba- tiba semua hal-hal yang tidak menyenangkan tentang ayahnya muncul di benaknya.
Sejak dulu Ayah tidak suka padaku, Ayah tidak pernah dekat denganku, kami berdua memang tidak akan pernah bisa akrab.
Konsentrasinya menjadi goyah.
Semakin dipikirkan, bayangan ayahnya semakin jelas terbayang dan Bennosuke semakin merasa tertekan.
Dari dulu aku tahu Ayah membenciku.164 Namun demikian ia tetap tidak mampu menemukan alasan mengapa ayahnya menginginkan ia pergi dari rumah ini.
Apa sebenarnya kesalahanku? Apa yang telah kuperbuat? Sebegitu bencinyakah Ayah padaku? Bennosuke merasakan dadanya sesak.
Katakan katakan padaku, Ayah, apa yang telah kulakukan? Bennosuke mencoba bertahan dari segala macam pikiran negatif yang muncul ? dengan memusatkan pikirannya, berkonsentrasi.
Ia harus tegar.
Ia seorang anak laki-laki ? putra seorang samurai, pendekar pedang ternama, Munisai yang ingin mengenyahkannya dari rumah ini.
Berpikir tentang ayahnya malah kembali menimbulkan perasaan sedih, marah, dan kecewa yang tidak dikehendakinya.
Perasaan yang sama seperti sebelumnya, mulai mengacaukan pikirannya dan juga membuat matanya menjadi panas Eh? Aku menangis? Tidak, aku tidak mau menangis.
Tidak akan.
Ia ingin melawan semua perasaan itu termasuk keinginan menangis yang diluar kehendaknya.
Ia ingin mengangkat165 wajahnya, memandang Dorin dengan tegar.
Tetapi ia belum sanggup.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhirnya ia memutuskan untuk menunda memberikan jawaban.
Ia tidak ingin membiarkan Dorin melihat dirinya berada dalam kesedihan.
Toh ini semua hanya sementara.
Tak ada yang kekal di dunia ini.
Tidak kesedihan, tidak juga kebahagiaan.
Berpikir demikian, berangsur-angsur Bennosuke mulai mampu menguasai dirinya lagi.
Jika ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu ? apakah itu rasa sedih, marah, khawatir, takut, gugup, ataupun cemas, singkirkan! Pikirkan hal lain.
Pikirkan apa saja yang mampu membuatmu melupakan semua perasaan tidak menyenangkan yang kaurasakan saat ini.
Enyahkan pikiran- pikiran yang mengganggumu! Konsentrasi, Bennosuke.
Berkonsentrasilah.
Pedang.
Tiba-tiba imaji benda itu langsung terlintas ? terbayang, di benaknya.
Ia membayangkan sejenak saat-saat ia berlatih pedang, mengayunkan bokken-nya dengan penuh semangat.
Ia merasakan suka cita yang muncul saat ia berlatih.
Ia merasakan kegembiraan bercampur rasa letih setelah ia berlatih.
Ketika ia memikirkan itu semua perlahan-lahan perasaannya menjadi tenang.166 Ia berhasil mengatasi kesedihannya.
Ia tidak akan menangis.
Ia adalah seorang anak yang kuat.
Ia telah memenangkan pertarungan dengan dirinya sendiri.
Bennosuke lalu mengangkat wajahnya dan menatap Dorin.
Yang ditatap tampak sedang memerhatikannya.
Apa yang akan dikatakan Paman sekarang? Apakah Paman akan mencoba menghiburku denganbercerita tentang Minamoto no Yoritomo atau Yoshitsune yang juga diasingkan di kuil? Atau tentang Matsudaira Takechiyo? Matsudaira Takechiyo adalah nama kelahiran Tokugawa Ieyasu.
Ieyasu ditawan oleh pihak Imagawa atau lebih tepatnya diserahkan sebagai sandera oleh keluarganya, klan Matsudaira, sebagai wujud suatu pengakuan ? takluk.
Selama menjadi sandera, Ieyasu diperlakukan dengan baik dan mendapatkan pendidikan kesusastraan dan militer layaknya seorang putra bangsawan.
Akhir-akhir ini Dorin beberapa kali bercerita mengenai ketiga tokoh itu.
Mereka yang semula berada di pengasingan, menjadi tawanan, kemudian berhasil membebaskan diri mereka dan bangkit menjadi pemimpin.
Entah apakah semua yang diceritakan Dorin beberapa hari yang lalu itu ada hubungannya dengan peristiwa hari ini, ketika ia menyampaikan keinginan Munisai kepada Bennosuke.167
"Jika kamu ingin mengubah nasibmu, kamu harus berusaha keras dan bersungguh-sungguh. Berhasil tidaknya keinginanmu untuk mengubah nasibmu, sepenuhnya tergantung pada dirimu. Sang Buddha hanyalah penunjuk jalan, kamulah yang harus melalui jalan itu. Seperti juga yang dialami oleh ketiga orang itu, mereka semua berusaha keras dan tidak pernah menyerah pada keadaan atau istilahnya bersikap pasrah menerima nasib tanpa berbuat apa-apa. Di kemudian hari Yoritomo menjadi penguasa militer atau shogun pertama di Jepang. Yoshitsune menjadi salah seorang pahlawan terbesar dalam sejarah Jepang. Saat ini Ieyasu menjadi panglima perang yang disegani dan hanya dialah yang kekuatan militernya sanggup mengalahkan Hideyoshi."
Demikian yang dikatakan Dorin ketika itu.
Bennosuke berdiam diri menunggu ? apakah pamannya akan mengulangi lagi kisah ketabahan, keuletan, dan keberanian tiga orang itu atau apakah Dorin akan mengatakan hal yang lain? "Otsu tidak suka pada laki-laki cengeng yang mudah menyerah pada nasib dan tidak mau berjuang,"
Kata Dorin.
Bennosuke terperanjat.
Kata-kata macam apa ini? Ini bukanlah kata-kata yang diharapkannya saat ini.
Ia menatap sekilas wajah pamannya, menduga-duga apa yang ada di pikiran Dorin saat itu.168 Paman Dorin bisa-bisanya Paman mengatakan hal yang memalukan seperti itu.
Bennosuke jadi jengkel.
Apa urusannya dengan Otsu? "Hanya mereka yang kuat yang akan bertahan, mereka yang lemah akan dikalahkan."
Dorin melanjutkan kata-katanya sambil menatap tajam ke arah Bennosuke ? senyum tersungging di bibirnya tatkala ia melihat bocah itu memandangnya dengan wajah terkejut sembari merengut.
Kukira Paman bermaksud mengatakan kalau aku itu laki-laki cengeng Dorin memang suka iseng.
Namun demikian, ia merasa gembira melihat Bennosuke berhasil menaklukkan perasaannya.
"Paman, apa pun yang Paman katakan, mereka semua yang diasingkan itu adalah orang-orang yang tidak diinginkan oleh orang yang mengasingkan mereka,"
Bennosuke terlihat tenang ketika mengatakan hal tersebut, walaupun Dorin mendengar suara anak itu bergetar ketika mengucapkannya.
?Orang yang mengasingkan mereka? Aku hampir saja mengatakan ?keluarga yang mengasingkan mereka?.
Bennosuke seketika itu menyadari pendapatnya yang keliru.
Ketiga tokoh itu diasingkan bukan karena keinginan keluarga mereka, tetapi karena ada kekuatan yang lebih besar yang169 memaksa mereka berpisah dari keluarganya dan menjadikan mereka sandera.
Dorin memerhatikan ekspresi wajah Bennosuke.
Bocah ini sudah tahu, ayahnya tidak menginginkannya berada di sini.
Wajah Bennosuke terlihat biasa-biasa saja.
Senyum mengembang di wajahnya walaupun sinar matanya terlihat redup.
"Apa pun keinginan Ayah, akan saya lakukan."
Ia lalu membungkukkan badannya di hadapan Dorin.
Akhir tahun masih beberapa bulan lagi.
Ketika musim semi tiba, aku sudah tidak berada di sini lagi.
Sementara ini masih banyak hal yang harus kulakukan.
Bennosuke berharap ia masih diperbolehkan menonton pertarungan-pertarungan antara ayahnya dan para penantang yang menyambanginya.
Dorin merasa lega.
Jika anak ini bisa mengatasi perasaannya saat ini, ia akan bisa mengontrol dirinya nanti ketika Munisai sendiri yang mengatakan padanya ? memintanya pergi dari tempat ini.
Keesokan harinya, seperti biasa Bennosuke sudah berada di dalam salah satu ruangan di dojo, mempersiapkan diri untuk170 pelajaran membaca dan menulis.
Ia sedang menata meja kecil dan peralatan untuk menulis ketika ia melihat Otsu datang menghampirinya.
"Selamat pagi, Bennosuke,"
Sapa Otsu sambil tersenyum. Kedua tangannya disembunyikan di balik punggungnya.
"Ah, Otsu, selamat pagi,"
Balas Bennosuke datar. Sepertinya peristiwa kemarin masih membekas dalam pikirannya.
"Aku membawakan kamu sesuatu,"
Kata gadis kecil itu lagi. Senyum mengembang di wajahnya. Sesungguhnya Bennosuke tidak mengharapkan kehadiran Otsu saat ini, bahkan memikirkan kedatangan gadis kecil itu pun tidak.
"Ini, untukmu,"
Kata Otsu menyodorkan sesuatu. Sesuatu yang sebelumnya disembunyikan di balik punggungnya.
"Eh?"
Bennosuke terkejut memandang benda yang disodorkan Otsu. Teru teru bozulagi? Anak ini suka sekali ya samateru teru bozu? " terima kasih,"
Bennosuke sambil menerima benda itu dari tangan Otsu. Ia menjadi kikuk. Ia benar-benar tidak menyangka Otsu akan memberikan benda ini lagi. Kenapa benda ini lagi? Ada apa sebenarnya dengan Otsu danteru teru bozu?171
"Ehm,"
Otsu mengangguk sambil tersenyum senang melihat Bennosuke mau menerima pemberiannya. Apa yang akan kulakukan denganteru teru bozoini? Masa sih aku harusmenyimpan benda ini untuk kemudian menggantungnya jika cuaca mulai memburuk? "Ah, sebentar,"
Bennosuke mengambil alat tulisnya, ia lalu duduk bersila dan menyapukannya kuas itu di bagian wajah teru teru bozu pemberian Otsu. Ia menambahkan alis, menggambarkan garis pada kedua matanya, dan mengubah sedikit bentuk mulut yang sudah dibuat Otsu.
"Eh, kamu apakan teru teru bozu-nya?"
Tanya Otsu yang kini sudah duduk bersimpuh di samping Bennosuke dan memerhatikan apa yang dilakukan bocah itu.
"Ini. Sudah mirip kan, sekarang?"
Bennosuke memperlihatkan boneka itu pada Otsu. Mirip? Mirip apa? Mirip siapa? Otsu mendekatkan wajahnya dan memandangi boneka itu dengan saksama. Wajahnya menunjukkan kebingungan.
"Ini teru teru dorin,"
Kata Bennosuke sambil tersenyum ? menahan tawa.172 Otsu membelalakkan matanya.
"Teru teru dorin?"
Ia kembali memerhatikan boneka kain yang sedang dipegang Bennosuke itu.
"Hahahahaha!"
Otsu tertawa terpingkal-pingkal. Teru teru bozu buatannya ? yang sudah diubah tampangnya itu oleh Bennosuke, memang mirip dengan Dorin. Bennosuke pintar sekali menggambar wajah Guru Dorin! Otsu terus tertawa. Bennosuke ikut tertawa.
"Mirip ya, teru teru dorin,"
Katanya. Otsu kembali tertawa. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Bennosuke merasakan kehadiran seseorang. Seseorang yang sepertinya ada hubungannya dengan apa yang sedang mereka bicarakan.
"Ssssttt! Paman datang,"
Bennosuke memperingatkan ketika ia melihat Dorin berjalan mendatangi tempat mereka.
Keduanya langsung terdiam dan melanjutkan aktivitas mereka sebelumnya.
Otsu sibuk memerhatikan lembaran kertas di atas meja kecil tempat Bennosuke belajar menulis ? sambil tersenyum simpul.
Bennosuke menyiapkan peralatan untuk pelajaran membaca dan menulis.173
"Apanya yang mirip teru teru dorin?"
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya Dorin begitu ia sampai di tempat kedua anak itu. Ia berdiri tegak di hadapan Bennosuke sambil berkacak pinggang dan bermuka masam.
"Eh?"
Bennosuke terkejut.
Paman mendengarnya? Bennosuke menengadahkan wajahnya ? memandang Dorin sambil melongo.
Yang dipandang tampak memelototinya.
Otsu kembali tertawa ketika ia melihat gaya Dorin berhadapan dengan Bennosuke ? namun ia berusaha menahan tawanya itu.
"Ah, Guru Dorin. Selamat pagi,"
Katanya sambil menundukkan kepala dengan mulut tersenyum. Suara ?hehehe? perlahan terdengar dari mulut mungilnya.
"Selamat pagi, Otsu,"
Sahut Dorin yang lalu melirik ke arah teru teru bozu yang sudah dipermak itu ? dan kini berada dalam genggaman tangan kiri Bennosuke.
Matanya langsung mendelik.
Jadi itu yang namanya teru teru dorin.
Dorin sebenarnya ingin tertawa melihat wajah benda itu.
Alis, mata, dan mulutnya betul-betul menyerupai bentuk karikatur dirinya.
Sementara Bennosuke menjadi serba salah.174
"Ah,"
Katanya tiba-tiba dan dengan cepat melihat ke arah pintu dojo ? tempat dari mana Dorin datang.
Dorin pun spontan menengok ke arah itu.
Tidak ada sesuatu atau seorang pun di sana.
Dorin menyadari tipuan Bennosuke.
Tidak ada apa-apa! Anak ini mencoba menipuku, dia ingin mengalihkan perhatianku dariteru teru dorinhasil rekayasanya itu.
Dasar bocah nakal! Ia langsung mengarahkan pandangannya kembali ke bocah itu.
Tampak Bennosuke dengan terburu-buru menyembunyikan teru teru dorin di balik obi-nya.
Dorin menjadi jengkel, ia merasa kali ini tingkah laku bocah itu sudah keterlaluan.
"Aku sudah melihatnya, Bennosuke. Percuma kamu sembunyikan."
Ia menatap bocah itu dengan gemas.
"Aduh!"
Tiba-tiba Bennosuke berteriak kesakitan ? telinga kirinya dijewer oleh pamannya.
Sakit, tahu! Bennosuke mengelus-elus telinganya yang kini memerah itu.175 Sementara Otsu terus-menerus tertawa.
Ia menggunakan kedua tangan menutupi mulutnya dan memalingkan wajahnya ke arah lain.
Bennosuke melihat pamannya berjalan menuju sudut pekarangan ? mengambil sebuah benda yang biasa dijadikan alat untuk menghukum Bennosuke.
sapu.
"Bennosuke "
Belum selesai Dorin berbicara, bocah itu sudah bangkit berdiri dan berlari sekencang-kencangnya meninggalkan tempat itu.
"Sampai nanti, Otsu,"
Teriaknya ? melambaikan tangan, tanpa menoleh. Otsu terpingkal-pingkal melihat tingkah kedua orang yang usianya jauh berbeda ini.
"Lihat Otsu, begitulah Bennosuke. Kamu jangan mau sama laki-laki seperti dia yang melihatku memegang sapu saja sudah kabur meninggalkanmu, apalagi kalau dia melihatku memegang pedang."
Dorin sengaja berbicara keras-keras supaya Bennosuke mendengarnya.
Bennosuke sudah hapal apa yang akan dilakukan Dorin dengan sapu itu.
Ia akan disuruh menyapu pekarangan ? yang kemudian dilanjutkan dengan menimba air sumur,176 mengepel lantai dojo, dan banyak pekerjaan lainnya.
Padahal ayahnya telah mengupah beberapa orang pekerja harian untuk mengurus rumah, selain itu murid-murid ayahnya juga bertugas membersihkan dan merawat dojo.
Tentu saja Bennosuke merasa keberatan jika ia harus melakukan pekerjaan yang bukan merupakan tugasnya itu.
Ada-ada saja, Paman Dorin itu.
Bennosuke tahu konsekuensi dari membolos pelajaran pagi ini.
Hukumannya biasanya menulis huruf kanji sebanyak dua ratus kali.
Tetapi ia tidak yakin kalau huruf kanji yang harus ditulisnya sebagai hukuman kali ini adalah huruf kanji teru teru dorin.
Pagi hari ini, setelah pelajaran membaca dan menulis, Bennosuke berlatih pedang di pekarangan rumahnya.
Ayunan bokken-nya terlihat cepat dan bertenaga.
Sementara itu Dorin duduk di tempatnya yang biasa ? salah satu batu besar berbentuk pipih, memerhatikan Bennosuke berlatih.
Akhir tahun ya tinggal beberapa bulan lagi.
Bennosuke lalu menghampiri Dorin.
Sepertinya ia telah selesai berlatih.
Bokken dipegang dengan tangan kanannya dan bagian pipih senjata itu ditepuk-tepukkan ke bahu kanannya.
"Aku tahu cara mengalahkan Ayah,"
Katanya kepada Dorin ? ia menyeka keringat yang membasahi dahi dan pipinya.177
"Heh?"
Dorin memandang Bennosuke dengan bingung ? seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya itu. Takabur sekali anak ini.
"Bukannya tempo hari kamu lari terbirit-birit seperti tikus dikejar kucing?"
Ledeknya.
"Padahal ayahmu belum muncul."
Dorin mengingatkannya akan kejadian beberapa waktu yang lalu. Bennosuke menggelengkan kepalanya ? sebagai bentuk pernyataan bahwa ia tidak akan melakukan hal itu lagi.
"Itu kan karena aku tidak siap,"
Katanya dengan yakin.
"Memangnya kapan kamu mau siap? Seorang yang berlatih pedang harus selalu waspada, bersiaga setiap saat. Kelengahan sedetik pun bisa berakibat fatal. Di dalam bertarung, pikiran harus terfokus pada pertarungan itu. Jangan pernah pikiranmu terhenti dan melantur walaupun hanya sesaat ..."
"Caranya dengan bertarung di malam hari,"
Tukas Bennosuke ? mengabaikan penjelasan Dorin yang panjang lebar tentang pertarungan dengan pedang itu.
Dorin sebenarnya agak mendongkol omongannya dipotong oleh bocah itu, namun demikian ia tetap menyimak apa yang dikatakan Bennosuke.178 Mengalahkan Munisai dengan bertarung di malam hari? Barusan makan apa bocah ini? Atau jangan-jangan ia keracunan makanan basi? "Oh, malam hari seperti waktu itu dong, ya,"
Dorin menganggut-anggut ? nada bicaranya mengejek.
"Tapi, Bennosuke, malam hari, pagi hari, siang hari, sore hari, sama saja. Apa bedanya? Yang menentukan adalah kemampuanmu dan kesiapanmu."
Dorin menatap Bennosuke dengan sungguh-sungguh. Ia terlihat serius dengan apa yang dikatakannya. Bennosuke kembali menggelengkan kepalanya, lalu dengan pongah membusungkan dadanya.
"Ayah itu kan mendapatkan julukan ?tanpa tandingan di bawah matahari?."
Dorin teringat gelar yang diberikan oleh Kengo Shogun kepada Munisai.
"Terus?"
Tanya Dorin.
"Artinya dia ?bisa dikalahkan di bawah bulan?."
Lalu Bennosuke tertawa tergelak-gelak.
"Hahaha!"
Dorin terkejut mendengar perkataan Bennosuke yang kacau itu. Ternyata bocah ini cuma bercanda!179 Dorin agak mangkel juga mengetahui dirinya dijadikan korban kelakar Bennosuke.
"Ahahaha!"
Bennosuke terbungkuk-bungkuk sambil memegangi perutnya. Sesekali ia mengangkat wajahnya, memandang ke arah Dorin yang berwajah masam, lalu tertawa lagi.
"Hahaha!"
Dorin tiba-tiba menegakkan tubuhnya lalu sedikit membungkuk.
"Eh, Munisai,"
Sapa Dorin melihat seseorang yang berada di belakang Bennosuke.
"Selamat pagi."
Bennosuke menghentikan tawanya, namun mulutnya masih tersenyum lebar.
Dengan pandangan mata mengejek ia memerhatikan apa yang dilakukan Dorin.
Mau mencoba menipuku lagi? "Paman, memangnya Paman tidak tahu, jurus yang sama tidak bisa digunakan dua kali untuk menghadapi "
"Selamat pagi,"
Terdengar suara berat seseorang di belakangnya. Suara seseorang yang sangat dikenalnya ? yang hanya dengan mendengarnya saja sudah membuatnya merinding.180 Perlahan-lahan ia membalikkan badannya dan menoleh ke sumber suara itu.
"Ayah?!"
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Serunya terkejut bercampur gugup. Saat itu wajah Bennosuke pastilah sudah menjadi pucat pasi.
"Eh selamat pagi, Ayah."
Bennosuke membungkukkan badannya.
"Hm, selamat pagi."
Munisai menganggukkan kepalanya. Matanya tajam memandang wajah terkejut anaknya itu.
"Se se sejak kapan "
Bennosuke tergagap-gagap ? ia melirik ke arah Dorin yang kini terlihat serius.
"Sejak ?bisa dikalahkan di bawah bulan?,"
Jawab Munisai singkat.
Dorin tersenyum, rupanya kehadiran Munisai tidak bisa dirasakan oleh Bennosuke.
Bocah yang bisa menyadari ? menangkap gerakan tongkat kayu Dorin sebelum dipukulkan ke meja tulisnya atau bisa mengetahui kehadirannya dari arah belakang, ternyata tidak bisa merasakan kedatangan Munisai.
Seorang master pedang memang luar biasa.
Seorang master pedang tidak saja mampu menyerang lawan tanpa diduga ? seolah-olah serangan tersebut dilakukan tanpa persiapan, tetapi juga membuat lawan menjadi kesulitan mengarahkan serangan balik ke arahnya karena181 sepertinya semua gerakan lawan bisa terbaca oleh si master pedang.
Bahkan ada yang mengatakan ketika seorang master pedang bertarung, gerakan lawan terlihat lambat sehingga mudah ditangkis atau mudah dihindari.
Kecepatan mata membaca gerakan lawan diikuti refleks yang terlatih membuat seorang master pedang terlihat begitu digdaya.
Selama ini, Bennosuke belum pernah melihat ayahnya bertarung lebih dari seperempat jam.
Ketika menghadapi lawan yang kuat, Munisai pasti menggunakan pedang.
Apakah pedang itu dipegang dengan satu tangan atau dengan kedua tangannya, pertarungan tetap berlangsung singkat.
Sedikit banyak Bennosuke sudah bisa merasakan yang mana di antara para penantang ayahnya itu merupakan lawan yang kuat dan mana lawan yang lemah ? sebelum mereka bertarung menghadapi ayahnya dalam duel di dojo ini.
"Ini,"
Kata Munisai memberikan sebuah belati dan potongan kayu sepanjang setengah kaki.
"Bikin tusuk gigi,"
Perintahnya. Bennosuke menerima belati dan potongan kayu itu dari tangan ayahnya.182
"Semuanya?"
Tanyanya.
"Tentu saja tidak. Cukup dua ratus batang saja,"
Jawab Munisai.
"Untuk apa banyak-banyak, memangnya mau jualan tusuk gigi "
Katanya lagi. Dorin tersenyum menyeringai. Anak ini mendadak bisa berubah sikap ketika berhadapan dengan ayahnya.
"Baiklah,"
Jawab Bennosuke sambil membungkukkan badannya. Ia sudah terbiasa membuat tusuk gigi seperti yang barusan diperintahkan ayahnya itu. Biasanya ia akan menghabiskan waktu kurang lebih satu jam untuk membuat dua ratus tusuk gigi.
"Bennosuke,"
Terdengar Munisai memanggilnya.
"Ya,"
Sahut bocah itu menoleh ke arah ayahnya ? lalu menundukkan kepalanya.
"Kudengar Dorin sudah berbicara padamu."
Munisai memandang lurus-lurus ke arah Bennosuke. Tatapan matanya tajam.
"Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu mengerti apa yang dikatakannya padamu."183
"Saya mengerti,"
Jawab Bennosuke menganggukkan kepalanya.
"Dan kamu akan melaksanakannya dengan sungguh- sungguh,"
Kata Munisai lagi.
"Ya,"
Bennosuke menjawab dengan perlahan.
Tangannya yang memegang belati itu tampak gemetar.184 Munisai seperti termenung.
Tatapan matanya memandang kosong ke shoji yang terbuka ? memerhatikan keadaan di luar.
Tampak dedaunan berwarna merah yang mulai berguguran satu per satu, helai demi helai ? hari ini, lebih banyak dari kemarin, ataupun hari-hari sebelumnya.
Sudah mulai musim gugur.
Seandainya dia bukan putraku.
Seandainya saja dia anak seorangdaimyo, mungkin kehidupannya akan berubah.
Aku tahu dia memiliki bakat dan potensi yang luar biasa.
Dia juga sangat cerdas Ia menghela napas lalu memalingkan wajahnya menatap Dorin.
"Bennosuke "
Katanya.
Dorin mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Saat ini mereka berdua sedang duduk bersila di ruangan tempat ia biasa mengajarkan sejarah kepada Bennosuke.
Munisai duduk di hadapannya sambil sesekali memandang185 ke luar.
Siang hari di musim gugur, ketika hari menjelang sore, matahari akan terbenam lebih cepat dari musim sebelumnya.
Dorin menyadari kegundahan hati Munisai.
Ia mengetahui Munisai memiliki harapan yang tinggi akan Bennosuke.
Semenjak anak itu mampu memegang kuas dan mulai menggambar berbagai macam benda, Munisai sudah membanggakannya di hadapan Dorin.
Padahal saat itu usia Bennosuke belum genap empat tahun.
Ia memuji Bennosuke sebagai anak yang cerdas dan berbakat.
"Aku ingin dia tidak menyesali kepergiannya dari rumah ini."
Munisai seperti berkata pada dirinya sendiri.
"Aku ingin dia tidak mau mengingat lagi segala hal yang ada ataupun pernah terjadi di rumah ini. Rumah ini sudah sepantasnya tidak lagi menjadi bagian hidupnya. Tidak lagi menjadi bagian masa lalunya."
Dorin masih terdiam.
Ia mengetahui hubungan yang tidak harmonis antara istri kedua Munisai ? Yoshiko, dan Bennosuke membuat Munisai harus mengambil langkah ini.
Tidak sedikit pun Yoshiko memperlihatkan perasaan suka kepada anak tirinya itu, boro-boro menyayanginya.
Munisai rupanya ingin Bennosuke fokus pada kehidupan barunya kelak.
Jangan lagi ada hal apa pun dari masa lalu186 yang mengganggu anak itu ? khususnya relasi Bennosuke dengan ibu tirinya.
"Kemelekatan pada kenangan masa lalu, pada hal-hal yang menyenangkan dan indah, merupakan suatu kebodohan. Apalagi pada hal-hal yang buruk dan menyakitkan. Terus mengingat sesuatu yang telah terjadi di masa lalu dan tidak akan dapat kembali lagi "
Ia membuka genggaman tangannya seolah-olah menunjukkan sesuatu pada Dorin.
Sesuatu yang tampak bergerak-gerak di telapak tangan Munisai untuk kemudian terbang keluar ruangan.
Dorin terperangah melihatnya.
Lalat? Sejak kapan lalat itu ada dalam genggamannya? Saat ini serangga tersebut memang tidak terlihat sebanyak waktu musim panas.
"Merupakan suatu kelemahan, sesuatu yang menghambat kemajuan orang untuk terus meningkatkan kemampuannya."
Munisai menggerakkan tangan kirinya perlahan seolah menyapu lantai lalu menutup kepalannya.
Ia kembali membuka genggaman tangannya itu di hadapan Dorin.
Sekali lagi ada seekor lalat di telapak tangan yang terbuka itu, menggerak-gerakkan kaki-kaki dan tubuhnya sebentar, dan kemudian terbang keluar ruangan.187 Dorin melirik tatami ruangan itu.
Ada beberapa ekor lalat, tidak banyak, mungkin kurang dari lima ekor.
Munisai mampu menangkapi lalat-lalat ini? Gerakan tangan Munisai terkesan perlahan, lembut, seolah tanpa tenaga.
Ia pun tidak melihat ke arah mana tangannya itu digerakkan.
Ia seolah-olah tidak peduli dan melakukannya asal saja.
Kenyataannya, ia sanggup menangkap lalat itu hidup-hidup! Ia tidak melihatnya namun mampu merasakan keberadaan serangga itu.
"Seperti dua ekor lalat itu. Kita bisa menangkap dua ekor lalat, tetapi lalat yang kedua tidaklah sama dengan lalat yang pertama. Lalat yang pertama telah terbang entah ke mana. Di luar sana, aku pun tidak mampu membedakan lalat yang pertama dengan yang kedua ataupun dengan lalat-lalat yang lain."
Munisai seperti tersenyum ? namun nada suaranya terdengar getir.
"Memikirkan masa lalu, mengingat-ingatnya, dan ingin meraihnya kembali ? menganggapnya sebagai sesuatu yang perlu dikenang, tidak ada manfaatnya."
Dorin menganggukkan kepalanya.
"Anda benar. Kita memang seharusnya ?hidup? di saat ini, sekarang."
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang dimaksudkan oleh Dorin adalah menjalani keseharian, beraktivitas, berpikir, dan bertindak dengan berfokus pada saat ini.
Jika lapar, makan.
Jika mengantuk, tidur.
Demikianlah salah satu falsafah sederhana yang dipelajarinya dari Zen.
Kebanyakan orang memikirkan hal- hal lain di luar apa yang dihadapinya saat ini.
Ketika sedang188 makan, seseorang berpikir tentang masalah-masalah yang lain.
Ketika seseorang seharusnya beristirahat dan tidur, pikirannya melayang memikirkan banyak hal yang malah mengganggu dan meresahkan dirinya sehingga sewaktu terbangun keesokan harinya, orang itu malah merasa capek.
Kurang tidur, begitu alasannya.
Padahal semua itu berasal dari dirinya sendiri yang tidak bisa menikmati berkat yang ada saat ini.
Saat ketika ia seharusnya bersyukur karena ia masih hidup dan diberikan kesempatan untuk menjalaninya.
Munisai tersenyum.
"Memikirkan masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan, kedua hal itu sama-sama tidak ada gunanya."
Ia lalu melanjutkan.
"Seperti yang Anda katakan barusan, kita memang seharusnya ?hidup? di saat ini. Hari ini, sekarang, waktu itulah yang sepatutnya kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Tak ada gunanya menyesali apa yang telah terjadi. Tak ada gunanya menyesali masa muda jika ketika berusia muda tidak melakukan hal-hal yang bermanfaat."
Walaupun sepertinya ia sedang membahas masalah Zen dengan Dorin, sebenarnya Munisai menyampaikan pesan kepada biksu itu agar ia sungguh-sungguh membimbing Bennosuke untuk tidak menyia-nyiakan masa mudanya.
"Lebih banyak orang menyesali apa yang tidak mereka kerjakan di usia muda, ketimbang apa yang telah mereka lakukan di masa mudanya."189 Dorin sepenuhnya memahami perkataan Munisai.
"Aku tidak akan mengecewakan Anda. Aku akan membimbing Bennosuke sebaik-baiknya."
"Terima kasih,"
Munisai meletakkan kedua tangannya di atas pahanya lalu menundukkan kepalanya sedikit.
"Baiklah kalau begitu, aku mohon diri."
Ia lalu bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu.
Sepeninggal Munisai, Dorin memikirkan apa yang akan dilakukannya pada Bennosuke.
Anak itu sudah mandiri dan boleh dibilang mampu mengerjakan segala macam tugas, pelajaran, ataupun pekerjaan yang bisa dituntaskan oleh bocah seusianya.
Ia tahu Munisai secara tidak langsung pernah menyinggung keinginannya pada Bennosuke agar bocah itu angkat kaki dari rumah ini.
Lalu, apa hubungannya dengan apa yang dibicarakannya barusan? Apa pun yang dikatakan Munisai tidak akan bisa membuat bocah itu melupakan masa lalunya, melupakan kenangan hidupnya ketika ia masih kecil, atau bahkan melupakan rumah ini ? tempat ia dilahirkan dan dibesarkan hingga saat ini, seburuk apa pun hubungannya dengan ibu tirinya itu.
Berpikir demikian, Dorin menjadi termenung ? persis Munisai beberapa saat yang lalu.190 Aku yakin ia akan melakukan sesuatu pada Bennosuke untuk membuat bocah itu melupakan masa lalunya.
Tetapi apa? Apa yang akan dilakukan Munisai? Dorin tetap tidak mampu membaca ataupun menerka apa yang saat itu dipikirkan oleh Munisai.
***** "Bennosuke,"
Panggil Munisai.
Ayah?Bocah yang sedang bermain dengan seekor kabutomushi (kumbang badak) itu menghentikan kegiatannya.
Ia terkejut mendengar suara panggilan tersebut.
Tidak biasanya Munisai mendatanginya ketika ia sedang bermain di pekarangan rumah.
Ia menoleh dan melihat Munisai berdiri dalam jarak beberapa langkah di belakangnya.
"Iya,"
Sahutnya meninggalkan kabutomushi itu lalu bergegas menghampiri ayahnya. Ia berdiri diam dengan kepala sedikit ditundukkan. Munisai menatapnya dengan tajam.
"Ikut aku,"
Katanya.
Lalu ia berbalik dan langsung berjalan meninggalkan tempat itu.191 Bennosuke melangkah dengan cepat mengikuti langkah- langkah panjang ayahnya.
Mereka menuju dojo.
Saat itu suasana di dojo sangat sepi.
Tidak ada kegiatan latihan pedang hari ini.
Munisai lalu mengambil posisi di tempat ia biasa duduk mengamati murid-muridnya berlatih.
Ia lalu duduk bersila di tempat itu.
"Duduk,"
Perintahnya kepada Bennosuke. Bocah itu segera duduk bersimpuh di hadapan ayahnya.
"Bagaimana pendapatmu mengenai murid-muridku?"
Tanya Munisai langsung tanpa berbasa-basi.
"Eh?"
Bennosuke yang ditanya seperti itu menjadi terkejut dan tidak mampu menjawab.
Apa maksud Ayah? Munisai tahu Bennosuke suka membicarakan murid- muridnya dan mengkritik mereka di hadapan Dorin.
Beberapa kali Munisai memergoki anak itu sedang berdiskusi dengan Dorin mengenai teknik pedang empat orang muridnya ?yang itu?.
Saking serunya, Bennosuke tidak menyadari ayahnya sudah berdiri cukup lama di belakangnya dan mendengar semua yang ia katakan.
Munisai tentu saja memberi isyarat kepada Dorin agar tidak memberitahukan bocah itu mengenai kehadirannya di situ.192 Setelah ia merasa cukup mendengarkan apa yang dikatakan anaknya itu, Munisai segera bergegas meninggalkan kedua orang itu.
Begitulah yang terjadi, selama beberapa kali Munisai muncul dengan diam-diam dan mendengarkan Bennosuke membahas teknik berpedang empat orang muridnya ?yang itu? sampai akhirnya ia berkesimpulan apa yang dikatakan anak itu memang mengandung kebenaran.
Munisai mengakui pengamatan Bennosuke yang cukup tajam untuk seorang anak berusia delapan tahun.
Ia bisa menduga kemampuan menganalisis Bennosuke berkembang pesat semenjak putranya itu secara teratur menyaksikan pertarungannya dengan para pendekar yang menantangnya.
Dibandingkan kemampuan bertarung mereka yang menjadi penantangku, kemampuan murid-muridku bisa dikatakan seperti orang yang baru belajar memegang pedang.
Namun demikian Munisai tidak memperlihatkan ekspresi apa pun di wajahnya.
Saat ini ia memandang Bennosuke dengan tatapan mata seolah-olah menuntut bocah itu untuk menjelaskan apa yang telah dilakukannya ? menilai kemampuan keempat orang muridnya ?yang itu?.
"Bisakah kau mengalahkan salah seorang muridku? Kau bebas memilih siapa yang ingin kau jadikan lawan tandingmu."193 Pertanyaan Munisai yang tiba-tiba itu betul-betul mengejutkan Bennosuke. Ayah! Apa maksudnya ini? Bennosuke tidak menjawab. Ia terus menundukkan kepalanya. Ia bermaksud menggelengkan kepalanya ketika "Jawab, Bennosuke!"
Munisai berkata dengan keras. Akhirnya ia memutuskan untuk tetap berdiam diri sementara waktu. Ia harus memikirkan kata-kata yang tepat agar ayahnya mau mengubah keinginannya yang tidak masuk akal itu.
"Kalau kau memang memahami apa yang kaukatakan, dan kau memang bisa melakukannya, silakan buktikan."
Bennosuke menatap ayahnya dengan bingung.
Memangnya apa yang kukatakan? Aku tidak pernah mengatakannya pada Ayah! Ia ingat betul selama ini ia hanya berdiskusi dengan Dorin ? tidak pernah ia membahas masalah murid-murid ayahnya dengan orang lain.
Dan ia percaya, Dorin tidak akan pernah mengatakan apa yang mereka bahas itu kepada ayahnya.
"Kaupilih salah satu muridku yang kau anggap paling payah. Bertarunglah dengannya,"
Kata Munisai seolah-olah194 mengingatkan Bennosuke akan apa yang barusan dikatakannya.
Bennosuke terkejut.
Sepertinya Ayah serius ingin aku bertarung dengan salah seorang muridnya.
Apa yang ia lakukan sebenarnya hanyalah mengamati murid-murid ayahnya dan bermaksud mendiskusikannya dengan Dorin.
Walaupun pada awalnya ia memiliki keinginan untuk melakukan latih tanding dengan mereka, toh akhirnya ia mengurungkan niatnya itu.
Lagipula, bukankah hal itu juga penting baginya untuk memahami praktik teknik berpedang ? bukannya sekadar teori? Dibandingkan menilai kemampuan bertarung para penantang ayahnya, tentu saja lebih mudah menganalisis kemampuan berpedang murid-murid ayahnya.
Dia masih terdiam.
Aku memang pernah mengatakannya pada Paman Dorin kalau aku mampu mengalahkan beberapa orang dari murid- murid Ayah.
Tetapi tidak sekarang, tidak hari ini, bahkan mungkin juga tidak tahun depan.
Bennosuke tidak bisa melaksanakan keinginan ayahnya.
Aku pasti kalah.
Mau dilihat dari sisi apa pun ? teknik berpedang, kecepatan, tenaga, apalagi jangkauan, aku pasti195 kalah jika aku benar-benar harus bertarung dengan salah seorang dari mereka.
Tetapi bagaimana jika aku menang? Aku adalah putra Ayah, jadi tidak mengherankan jika mereka akan merasa sungkan ketika berduel denganku Ah, tidak, tidak mungkin.
Aku yang sekarang masih terlalu lemah, terlalu kecil, dan terlalu pendek untuk menjadi lawan mereka.
Biarpun mereka tidak mengeluarkan seluruh kemampuan mereka, aku yang sekarang tetap tidak akan mampu mengalahkan seorang pun dari empat orang murid ?yang itu?.
Seperti mampu membaca pikiran Bennosuke, Munisai tahu putranya tidak ingin bertarung melawan salah seorang pun dari murid-muridnya ? termasuk empat orang muridnya ?yang itu?.
Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan perkataannya.
"Bennosuke, melihat dan mengamati tidak sama dengan menjalaninya sendiri. Mungkin menurutmu mudah mengalahkan seseorang ketika kau melihat dia bertarung dengan lawannya. Kamu bisa menemukan banyak kelemahan yang ada pada dirinya saat itu. Karena kamu bisa melihat apa yang tidak bisa dia lihat."
Bennosuke menundukkan kepalanya dan terus mendengarkan.196
"Bertarung dengan murid-muridku yang terlatih menggunakan pedang berbeda sekali dengan apa yang kaulakukan terhadap Madajiro. Dia tidak menguasai teknik bertarung yang benar ? bahkan teknik bertarung dengan tangan kosong sekalipun."
Munisai berdiam sejenak.
"Ya, aku tahu kamu memahami situasi yang dihadapi seseorang saat bertarung sungguhan tentu sangat berbeda dengan situasi saat bertarung dalam latihan. Kemenanganmu atas Madajiro memang sesuatu yang di luar dugaan, tetapi tetap saja bukan sesuatu yang patut kau banggakan."
Alap Alap Gunung Gajah Karya Yusi Pedang Siluman Darah 7 Misteri Bunga Pedang Siluman Darah 7 Misteri Bunga
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama