Ceritasilat Novel Online

Musashi 3

Musashi Karya S. Widjadja Bagian 3



Bennosuke memang tidak merasa ada hal yang luar biasa dalam pertarungannya dengan Madajiro karena saat itu ...

"Dia tidak bersenjata,"

Kata Munisai. Bennosuke tidak menjawab. Ayah sepertinya bisa menerka apa yang kupikirkan.

"Jangan pernah menilai kemampuan seseorang jika kamu tidak mengenalnya atau tidak mengetahui situasi yang pernah dihadapi orang itu."

Pengalaman bertarung. Itu yang dimaksudkan Ayah dengan situasi yang pernah dihadapi seseorang.

"Jangan pernah merasa kamu memiliki kemampuan lebih baik dibandingkan dengan orang lain jika kamu belum betul-197 betul menguasai teknik berpedang dengan baik; kemampuan fisikmu ? kecepatan, kekuatan, keakuratan, dan ketepatan mengarahkan pedangmu masih belum memadai; pengalaman bertarungmu masih kurang; dan penguasaan dirimu masih jauh dari sempurna."

Munisai menatap bocah di hadapannya yang terus menundukkan kepala itu.

"Kamu paham maksudku?"

"Saya mengerti,"

Jawabnya.

"Bennosuke,"

Panggil Munisai.

Bennosuke mengangkat wajahnya.

Munisai mengulurkan tangan kanannya ke arah Bennosuke.

Ada sesuatu dalam genggaman tangan kanannya itu.

Bennosuke menggeser kedua lututnya bergantian, bergerak maju menghampiri Munisai.

Ia mengangkat kedua tangannya dengan telapak terbuka, siap untuk menerima apa yang akan diberikan ayahnya.

"Ini."

Munisai meletakkan sesuatu di telapak tangan Bennosuke. Sebuah koin ? uang logam dengan lubang berbentuk segi empat di tengah-tengahnya.

"Perlihatkan kalau kamu memang cepat."198

"Maksud Ayah?"

"Aku ingin mengetahui kecepatan gerakan tanganmu, apakah bisa mengalahkan kecepatan tanganku."

Bennosuke bengong. Tidak mungkin kan? Aku tidak mungkin bisa bergerak lebih cepat dari Ayah.

"Siapa yang lebih cepat, kamu menutup tanganmu dengan menggenggam koin di dalamnya atau aku mengambil koin dari telapak tanganmu sebelum kamu sempat menutupnya,"

Kata Munisai tersenyum.

Bennosuke merasakan senyum itu seperti senyum yang meremehkan.

Tetapi bagi Bennosuke, apa yang dikatakan Munisai kedengarannya mudah sekali.

Tentu saja menutup tangan sendiri jauh lebih mudah dan lebih cepat daripada mengambil koin dari tangan orang lain! "Kalau kau bisa mempertahankan koin itu sekali saja, kau kuanggap sudah sepadan dengan keempat orang muridku ?yang itu?."

Yang dimaksud oleh Munisai dengan keempat orang murid ?yang itu? adalah mereka yang kerap dikritik oleh Bennosuke di hadapan Dorin.199 Bennosuke menahan senyum lalu menganggukkan kepalanya.

Setuju! Ternyata dalam sepuluh kali kesempatan, koin tersebut selalu berhasil diambil oleh Munisai.

Yang benar saja! Bennosuke mengeluh.

Setiap kali ia menutup tangannya, dan kemudian membukanya kembali untuk melihat apakah koin tersebut berhasil ia genggam, ia hanya menemukan telapak tangan yang kosong ? terbuka namun tidak ada sesuatu pun di atasnya.

Jangankan berusaha menutup telapak tangannya dengan cepat Bahkan melihat gerakan tangan Ayah pun aku tak mampu! "Murid-murid Ayah itu apakah mereka mampu "

Bennosuke bertanya ? penasaran. Munisai menatap putranya itu dengan pandangan heran.

"Tentu saja tidak. Tak ada seorang pun yang pernah berhasil mencegahku mengambil koin dari tangan mereka."

Bennosuke menunduk dengan dongkol. Bilang dong dari tadi!200

"Tetapi tak seorang pun di antara mereka yang melakukan apa yang kamu lakukan."

Munisai berkata sambil menatap tajam ke arah Bennosuke.

"Mereka tidak membicarakan kelemahan orang lain di belakang punggungnya."

Bennosuke terkejut. Aku tidak pernah bermaksud membicarakan kelemahan orang lain di belakang punggungnya! "Kamu tahu, membicarakan hal-hal jelek tentang orang yang tidak hadir itu sangat tidak patut,"

Munisai meneruskan perkataannya yang menyakiti perasaan bocah itu.

Ada apa dengan Ayah ini? Aku tidak seperti itu.

Bennosuke merasa tersinggung.

Aku bukan seorang pengecut.

Apa salahnya membahas kemampuan seseorang ? kekuatan dan kelemahannya? Bukankah itu termasuk dalam strategi untuk memenangkan pertempuran? Bennosuke teringat akan salah satu strategi Sonshi.

Jika kita memahami kemampuan diri kita sendiri dan mengetahui kemampuan lawan, maka kita akan mampu memenangkan perang tanpa "Jika kamu tidak mau mengakui apa yang telah kamu lakukan itu, mungkin kamu memang tidak pantas memegang pedang.

Seorang pengecut, walaupun memegang pedang,201 tidak akan bisa menggunakan senjata itu dengan benar ? bahkan bukan tidak mungkin senjatanya itu malah akan menyebabkannya terbunuh.

Senjata makan tuan."

Bennosuke terdiam.

Aku memang melakukannya, tetapi itu kan bukan sesuatu yang salah aku membahas teknik berpedang mereka, bukannya bergosip atau hal-hal lain semacamnya.

Dan aku bukan seorang pengecut! "Mungkin kamu memang tidak layak berada di sini,"

Kata Munisai.

Bennosuke terkejut bukan kepalang.

Ia seolah-olah mendengar suara halilintar menggelegar saat itu.

Ayah mengusirku? Berpikir demikian, Bennosuke segera mengenyahkan perasaan marah dan kecewa yang saat itu muncul dan melanda dirinya.

Ia telah berlatih meditasi cukup lama sehingga bukan hal yang sulit untuk mengkonsentrasikan pikirannya pada apa yang ingin ia pikirkan dan menyingkirkan apa yang tidak ingin ia pikirkan ? sebelum pikiran buruk itu menguasai dirinya.

Munisai terus memerhatikan putranya itu.

Ia menunggu.

Namun ia tidak merasakan adanya upaya atau keinginan untuk melawan dari Bennosuke.

Ia adalah seorang master pedang dengan tingkat kepekaan yang tinggi.

Ia tidak bisa dibokong atau ditikam dari belakang.

Jangankan lawan yang202 berada di belakangnya menghunus senjata untuk membunuhnya, bahkan andaikan lawan tersebut hanya berpikiran untuk menyerangnya ? tanpa menggenggam senjata apa pun, Munisai sudah bisa merasakannya.

Ia mampu menghindari serangan gelap dari para pembunuh rahasia seperti ninja yang kerap bersembunyi untuk kemudian diam-diam melontarkan shuriken atau menembakkan senapan ke arahnya.

Tak ada aura membunuh dari seorang pun yang bisa disembunyikan dari dirinya.

Tetapi ia tidak menemukan perasaan apa pun pada diri Bennosuke.

Tidak ada hasrat untuk menyerang yang muncul ...

dia anak yang patuh.

Ia tidak menyanggah perkataanku ataupun ingin membantah perintahku.

Walaupun Munisai mengharapkan Bennosuke akan menentangnya, dalam hati ia berharap perilaku Bennosuke adalah seperti yang ditunjukkan kepadanya saat ini ? perilaku seorang bocah yang mampu menempatkan dirinya sesuai dengan situasi yang dihadapi dan mengontrol emosinya.

Sikap demikian adalah hal yang sangat penting, menunjukkan kematangan seseorang yang mampu menguasai dirinya dan tidak mudah terprovokasi.

Munisai tersenyum dalam hati.

Dorin telah mendidik anak ini dengan sangat baik.

Aku telah melakukan hal yang benar dengan memintanya membimbing Bennosuke lebih lanjut.

Apakah anak itu akan menjadi203 seorang master pedang ataupun tidak, biarlah ia sendiri yang memutuskan.

Dorin hanya perlu mengarahkannya sesuai dengan bakat dan keinginan anak ini.204 Jadi ini yang namanya jitte Bennosuke tersenyum sambil memandangi senjata dalam genggamannya itu.

Ayah begitu mahir menggunakan benda ini.

Walaupun jitte tersebut tidak lebih panjang dari bokken miliknya, namun senjata itu terlihat begitu besar di tangan Bennosuke.

Genggaman tangan Bennosuke sebenarnya berukuran lebih besar dan kokoh dibandingkan dengan anak-anak seusianya, tetapi ketika ia menggenggam sepasang jitte itu di kedua tangannya, ia semakin terlihat kecil sedangkan senjata itu menjadi terlihat jauh lebih besar dari ukuran sebenarnya.

Berbeda dengan bokken yang dibuatnya sendiri dengan menyesuaikan ukurannya ? proporsional dengan tinggi tubuh dan panjang lengannya, jitte itu berukuran normal layaknya senjata untuk orang dewasa.

Bennosuke mengayunkan sepasang senjata itu seolah-olah sedang memotong jalur ayunan pedang lawannya.205 Ugh! Berat juga! Jika hanya dipegang-pegang saja dan digerakkan sebentar ? diayun ke kiri dan ke kanan, senjata itu tidak terasa berat.

Tetapi jika digunakan untuk berlatih selama beberapa menit barulah terasa betapa sulit mengayunkan jitte itu dan berat senjata itu juga membuat lengan Bennosuke terasa pegal.

Jitte digunakan untuk menangkis sekaligus menahan dan menjepit mata pedang lawan.

Dengan satu gerakan memuntir yang kuat dan cepat, pedang lawan dapat terlepas dari genggamannya.

Tentu saja gerakan memuntir tersebut harus sedemikian cepat dan kuat hingga lawan tidak sempat menahannya.

Puntiran itu akan menyebabkan kedua lengan lawan yang memegang pedang itu terpelintir ? ikut terbawa gerakan tangan yang memuntir tersebut dan terpaksa melepaskan pedangnya.

Jika pedang tetap dipertahankan, besar kemungkinan tangan lawan tersebut akan cedera ? terkilir atau bahkan mungkin patah di bagian pergelangan atau sikunya.

Pendekar pedang yang berpengalaman memiliki genggaman tangan yang kuat sehingga pedang yang dipegang dengan dua tangannya itu seolah-olah sudah menyatu menjadi bagian tubuhnya.

Pedang yang digenggam dengan kuat seperti itu tentu sangat sulit digoyahkan apalagi dibuat terlepas dari tangan yang memegangnya.

Tindakan merebut pedang tersebut dengan jitte sepertinya merupakan hal yang mustahil.

Diperlukan satu teknik khusus ketika berhadapan dengan lawan seperti itu.

Teknik yang disebut tipu muslihat.206 Ketika kekuatan lawan tidak bisa ditaklukkan dengan kekuatan kita ? yang berarti kedua pihak memiliki kekuatan seimbang atau sama-sama kuat, pihak yang memiliki taktik yang lebih unggullah yang akan memenangkan pertarungan.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil terus menggerakkan jitte di kedua tangannya, Bennosuke mencoba mengingat-ingat pertarungan yang dilakukan oleh ayahnya ? menggunakan jitte untuk merebut pedang lawan.

Munisai sangat menguasai teknik merebut pedang lawan dengan jitte ? ia biasanya berhasil memuntir dan menarik pedang lawan, setelah sebelumnya menjepit pedang lawan dengan jitte tersebut dan membuat lawannya menyerang ke arah yang ?salah? ? yang mengakibatkannya berada dalam posisi kuda-kuda yang tidak seimbang karena terlalu memaksakan ayunan pedang ke posisi yang tanpa disadarinya ?diarahkan? oleh Munisai.

Dengan cara itu genggaman pedang lawan menjadi lemah karena pergelangan tangannya sudah dalam keadaan terpelintir dan jika ia tetap memaksa mempertahankan pedangnya, kemungkinan besar ia akan jatuh terbawa gerakan tubuhnyayang berada dalam posisi yang ?tidak pas? dengan kuda-kudanya itu.

Suatu keadaan yang bisa dikatakan jauh lebih baik daripada mengalami patah persendian pergelangan tangan atau siku.

Bagaimana jika Munisai berhadapan dengan lawan yang memiliki genggaman tangan yang kuat sehingga pedang yang berada dalam genggamannya itu menjadi terlalu kokoh207 dan tidak mungkin digoyahkan ? apalagi dialihkan ke arah yang sesuai keinginan Munisai? Saat seperti itulah merupakan waktu yang tepat untuk menggunakan teknik khusus yang disebut tipu muslihat itu.

Saat jitte di tangan kananmu telah berhasil menjepit pedang lawan, gunakan jitte di tangan kirimu untuk mengacaukan perhatian lawan.

Seranglah lawan ? arahkan jitte-mu ke wajahnya.

Lawan akan memilih untuk menghindari serangan jitte yang kedua itu dan menyebabkannya lengah ? lupa mempertahankan kekuatan genggaman pada pedangnya.

Genggamannya mengendur dan pedang pun akan terampas dari tangannya.

Bennosuke terus berlatih ? menggenggam sepasang jitte di kedua tangannya dan menggerak-gerakkannya seperti menghadapi lawan yang menggunakan pedang.

Ah, gerakanku masih terlalu kaku.

Walaupun ia memahami prinsip-prinsip dasar bertarung menggunakan jitte ? hasil pengamatannya terhadap pertarungan-pertarungan Munisai, ia belum cukup terlatih menggunakan senjata itu.

Ia menyadari gerakannya masih kurang luwes dan kekuatan tangannya belum mencukupi.

Hal itu akan menyebabkan lawan mudah mematahkan serangannya.208 Ia lalu meletakkan jitte itu kembali pada tempatnya.

Kedua lengannya terasa pegal dan keringat bercucuran di keningnya.

Namun demikian ia merasa puas.

Setidaknya ia sudah mencoba dan merasakan ?menyerang? lawan dengan jitte.

Jika pedang lawan berhasil kurebut atau kujatuhkan, habislah dia.

Mereka yang terlalu mengandalkan pedang biasanya kemampuan menggunakan senjata lain, seperti tombak atau panah, tidak sebaik kemampuan mereka menggunakan pedang ? alih-alih kemampuan bertarung dengan tangan kosong atau tanpa senjata.

Memang ada beberapa master pedang yang juga mampu menggunakan senjata lain sehebat kemampuan mereka menggunakan pedang, seperti Nobutsuna.

Nobutsuna diketahui sangat ahli menggunakan tombak dan kemampuannya itu diakui sebagai yang terbaik di wilayah Kozuke ? provinsi tempat Nobutsuna mengabdi sebagai seorang jenderal.

Munisai juga tidak terlalu mengandalkan pedang ketika bertarung.

Selain itu ia sangat mahir bertarung dengan tangan kosong ? tanpa senjata.

Ia mampu dengan cepat menangkap tangan lawan yang bersenjata, membekapnya, untuk kemudian membantingnya.

Apalagi jika ia berhadapan dengan lawan yang tidak bersenjata sama sekali.

Pertarungan akan menjadi mudah dan berlangsung singkat.209 Sebenarnya setiap pendekar pedang pasti membawa dua bilah pedang, pedang panjang dan pedang pendek sehingga jika pedang panjang mereka terlepas dari genggaman atau patah, mereka bisa langsung menggunakan pedang pendek mereka untuk menyerang lawan.

Tetapi bagi Munisai seberapa banyak pun lawan membawa pedang, hal itu bukan masalah baginya.

Yang terpenting adalah kecepatan, kekuatan, keakuratan, dan ketepatan waktu.

Sekali pun seseorang menggunakan senapan, ia akan kehilangan nyawanya jika senjata itu belum sempat meletus sedangkan pedang lawan sudah mendarat di lehernya.

Umumnya lawan yang kehilangan pedang panjangnya membutuhkan waktu beberapa detik untuk mencabut pedang pendek mereka.

Beberapa detik sudah cukup bagi Munisai untuk menempelkan kedua jitte-nya di leher lawannya itu.

Jika bukan dalam rangka perbandingan teknik, Munisai tentu sudah melontarkan jitte tersebut hingga menembus leher penantangnya ataupun menggunakannya untuk memotong tangan lawan yang berusaha mencabut pedang pendeknya.

Itulah yang katakan Munisai kepada para penantangnya.

Hal itu juga yang menyebabkan mereka menjadi semakin respek kepada Munisai.

Munisai mendeskripsikan pertarungan mereka secara objektif dan terperinci tanpa bermaksud210 menyombongkan keunggulannya.

Ia juga menunjukkan saat- saat di mana ia memiliki kesempatan untuk ?menghabisi? para penantangnya itu dan bagaimana mereka seharusnya mengantisipasi hal itu.

Mereka mengakui kebenaran dalam kata-kata Munisai ? walaupun kebenaran itu pahit, tidak mengenakkan dan jelas sekali menunjukkan kelemahan mereka.

Mereka menyadari apa yang dikatakan Munisai telah membuka mata mereka.

Bennosuke ada di sana waktu itu ? ketika Munisai menggambarkan kembali pertarungannya menggunakan jitte melawan para penantang yang bersenjatakan pedang.

Itulah pertarungan sesungguhnya.

Tidak ada aturan dan tidak boleh ada kelengahan.

Kelengahan adalah kelemahan.

Paman Dorin pun mengatakan hal yang sama.

orang yang lengah bagaikan orang yang sudah mati.

Karena itulah seorang master pedang bukan hanya dituntut untuk menguasai teknik berpedang dengan sempurna dan kemampuan mengendalikan dirinya, tetapi juga harus senantiasa waspada.

Hal remeh sekecil apa pun, seperti ikatan pada sandal jerami yang terlalu kendur atau terlalu ketat; jari-jari tangan yang tidak menggenggam gagang pedang dengan kokoh ? terus-menerus bergerak untuk memantapkan genggaman; atau ? hal yang paling membahayakan seperti konsentrasi yang terpecah ketika tiba-tiba pikiran tidak lagi terfokus pada pertarungan; bisa berakibat fatal dan bahkan menyebabkan kematian.211 Bennosuke juga bukan tipe petarung yang selalu mengikuti aturan atau mengandalkan strategi tertentu.

Ia fleksibel dan lebih menyukai mengantisipasi serangan lawan dalam arti menyesuaikan diri dengan apa yang dilakukan lawannya ? membuat mereka merasa tidak nyaman bertarung dengannya, sekaligus mengganggu konsentrasi mereka, sehingga mereka lebih mudah ia kalahkan.

Hal inilah yang kelak membuatnya dikenal sebagai pendekar pedang dengan jurus yang terkesan tanpa aturan ? tidak menganut aliran atau gaya pedang tertentu.

Suatu persepsi yang keliru dari orang yang tidak mengenalnya dengan baik.

Setelah mencoba sepasang jitte itu, Bennosuke kemudian beralih ke senjata yang lain.

Mencoba, menurut pendapat Bennosuke, berarti mengamati, memerhatikan bentuk dan merasakan berat senjata itu dengan tangannya, lalu menggunakannya ? dengan perlahan-lahan dan berhati-hati, serta membayangkan lawan yang menggunakan senjata itu menghadapinya.

Bennosuke berdiri di hadapan rak perlengkapan senjata.

Ia berjalan menuju tempat senjata-senjata berukuran panjang yang ditata dengan cara diberdirikan ? masing-masing ditempatkan dalam posisi tegak.

Sekarang toya.

Bennosuke meraih senjata berupa tongkat panjang itu.

Selain digunakan untuk menghantam kepala dan tubuh lawan, toya juga bisa digunakan untuk menyerang bagian212 kaki lawan tersebut, bukan hanya memukulnya tetapi juga menyapunya hingga membuat lawan kehilangan keseimbangan lalu terjatuh.

Seperti halnya tombak, toya merupakan senjata yang diminati oleh Bennosuke.

Bukan untuk digunakan dalam pertarungan, tetapi untuk dipelajari kemampuan menyerang ataupun kemampuan bertahannya sehingga ia bisa mengantisipasi senjata tersebut manakala digunakan oleh lawan untuk menghadapinya.

Begitulah yang dilakukan Bennosuke di dojo ini.

Hampir setiap hari ia menghabiskan waktu di sana ? setiap kali ada kesempatan, ketika tempat ini tidak digunakan untuk latihan pedang murid-murid ayahnya.

Bennosuke mengamati berbagai macam senjata yang ada di sana dan mencobanya.

Ia sudah cukup mahir mengenali suatu senjata sehingga ia bisa memperkirakan dari berat senjata yang ada dalam genggamannya, berapa kecepatan maksimum senjata itu dapat ia gerakkan dan bagaimana mengarahkannya, sehingga serangan yang ia lakukan dengan senjata itu tidak akan menyebabkannya terjatuh ataupun menyebabkan senjata itu lepas dari genggamannya.

Ia cukup berhati-hati dan menyadari betapa berbahayanya sebuah senjata jika digunakan dengan sembrono.

Waktuku tidak banyak lagi.

Begitu yang selalu dipikirkannya.

Ia berusaha memfokuskan pikirannya pada hal-hal yang betul-betul perlu dikerjakannya saat ini.213 Aku tidak tahu apakah aku bisa mendapatkan kesempatan berlatih dengan berbagai macam senjata seperti ini lagi nanti.

Bennosuke pernah beberapa kali mengunjungi kuil Sorein ? tempat Dorin menetap, namun ia tidak pernah melihat satu pun senjata di kuil tersebut.

Jika pun ada benda yang bisa digunakan sebagai senjata, benda itu sebenarnya merupakan alat pertukangan atau alat untuk berkebun seperti sabit untuk memotong rumput, golok untuk memotong kayu, kapak, dan sebagainya.

Oleh karena itu, ia bermaksud mencoba sebanyak dan sebisa mungkin semua senjata yang tersimpan di dojo ini sebelum ia akhirnya pergi dari rumah ini untuk kemudian tinggal di kuil tersebut.

Ketika Bennosuke sedang mencoba toya tersebut, ia teringat apa yang pernah dikatakan ayahnya ? yang menurutnya sama dengan apa yang ia pikirkan saat ini.

"Memahami bagaimana suatu senjata digunakan akan memudahkan kita mempertahankan diri jika diserang oleh lawan yang menggunakan senjata tersebut,"

Demikian yang pernah dikatakan oleh Munisai.

Hal ini menunjukkan bahwa Munisai bukan saja piawai menggunakan suatu jenis senjata ? katakanlah jitte, tetapi ia juga mampu dengan mudah mengalahkan lawan yang bersenjatakan jitte ? terlepas dari macam senjata yang saat itu digunakan Munisai, apakah ia menggunakan pedang, toya, atau bahkan jitte juga.214 Bisa dikatakan sebenarnya Munisai tidak pernah mempermasalahkan senjata apa yang digunakannya untuk bertarung.

Bahkan bertarung dengan tangan kosong menghadapi lawan yang bersenjata pun ia berani.

Bertarung harus bergantung pada kemampuan diri sendiri bukan pada senjata yang digunakan.

Efektivitas suatu senjata ditentukan oleh orang yang menggunakannya, bukan sebaliknya, senjata tidak menentukan kemampuan bertarung seseorang.

"Seseorang harus bergantung kepada dirinya sendirinya dan bukan kepada hal lain,"

Kata Dorin beberapa waktu yang lalu.

Awalnya Bennosuke berpikir bahwa Dorin sedang membicarakan teknik pedang karena apa yang dikatakannya mirip dengan prinsip Munisai.

seseorang tidak boleh bergantung pada senjatanya.

Bennosuke seratus persen setuju dengan apa yang dikatakan kedua orang itu sampai akhirnya ia menyadari bahwa yang dikatakan Dorin adalah salah satu prinsip dalam Zen.

Di luar pelajaran sejarah dan seni berperang, Paman tidak akan pernah membahas tentang teknik berpedang atau apa pun yang berhubungan dengan hal itu, selain Zen.

Walaupun demikian, Dorin selalu mengaitkan aplikasi dari Zen dalam kehidupan sehari-hari dan tentunya secara tidak langsung juga termasuk pedang dan pertarungan ? tergantung bagaimana seseorang memahaminya.215 Ia menekankan pentingnya menguasai diri karena musuh terbesar adalah diri sendiri.

Jika seseorang belum mampu menguasai dirinya, ia akan terlena dan kelengahan tersebut, walaupun hanya sesaat, akan dimanfaatkan oleh musuh untuk mengalahkannya.

Bennosuke menimang-nimang toya itu dengan kedua tangannya.

Walaupun sepintas terlihat berat dan kokoh, toya ini ternyata cukup nyaman digenggam dan diayunkan ke segala arah.

"Bennosuke!"

Terdengar suara seseorang memanggilnya.

Ayah? Bennosuke terkejut.

Dari intonasi suaranya, Bennosuke bisa mengetahui, Munisai tampaknya sedang tidak dalam suasana hati yang gembira.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah Ayah marah karena saat ini aku sedang berada di dalam dojo dan bermain-main dengan senjata-senjata yang ada di sini? Walaupun tujuan keberadaannya di tempat ini adalah untuk mencoba berbagai jenis senjata yang ada, Bennosuke masih menganggap apa yang dilakukannya belum bisa dikatakan sebagai suatu aktivitas yang serius seperti berlatih menggunakan senjata-senjata itu.

Ia malu mengakuinya karena kemampuannya menggunakan senjata-senjata ini masih jauh dari memadai.

Ia yakin Munisai beranggapan ia sedang bermain-main dengan senjata-senjata yang ada di sana.216 Bennosuke membalikkan badan menghadap Munisai yang berdiri di hadapannya.

Jarak di antara mereka berdua cukup jauh sekitar tiga puluh langkah.

"Ya, Ayah,"

Jawabnya.

Ia menengadahkan wajahnya memandang ayahnya lalu bergerak menghampiri Munisai.

Munisai mengangkat tangannya sebagai tanda agar Bennosuke diam di tempat ? tidak perlu mendekat ke arahnya.

Munisai menatap tajam anak itu dan melihat kondisinya.

Ia telah cukup lama mengamati Bennosuke sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mendatanginya.

Saat ini Munisai seperti sedang menunggu sesuatu.

Ia memerhatikan Bennosuke yang saat itu sedang memegang sebatang toya.

Matanya memandang lurus ke arah Bennosuke seolah-olah sedang menduga-duga bagaimana reaksi anak itu jika ia mendadak diserang oleh seseorang saat ini.

"Awas, Bennosuke!"

Teriak Munisai tiba-tiba sambil mengangkat tangannya ke arah bocah itu.

Munisai melontarkan sesuatu ke arah Bennosuke.

Bennosuke terkejut mendengar teriakan Munisai namun ia mampu merespons dengan cepat.

Matanya menangkap sesuatu yang berkilat menerjang ke arahnya dengan cepat ?217 hanya sesaat sebelum benda itu mengenai tubuhnya ? atau perkiraan terburuk, kepalanya.

"PRAK!"

Secara refleks Bennosuke menggunakan toya yang dipegangnya itu untuk memukul benda itu.

Tampak sesuatu terpental terkena hantaman toyanya.

Walaupun Bennosuke tidak bisa melihat dengan pasti benda yang dilontarkan ayahnya, ia tahu benda itu terbuat dari logam dan bentuknya pipih.

Ia bisa merasakan berat benda itu saat bersentuhan dengan toyanya.

"Sekali lagi!"

Teriak Munisai tiba-tiba.

Dan tanpa memberikan kesempatan bagi Bennosuke untuk bersiaga, satu benda yang sama seperti sebelumnya kembali melayang dengan cepat menuju ke arah bocah itu.

Kali ini Bennosuke tidak menggunakan toya itu untuk menangkis ? karena ia memang belum mahir menggunakannya sedangkan arah serangan Munisai itu begitu dekat dengan kepalanya sementara toya itu berada dalam posisi yang tidak memungkinkan untuk digerakkan ke arah tersebut.

Bennosuke segera memiringkan kepalanya ke sisi kanannya untuk menghindari serangan itu.

Serangan yang kedua itu pun luput, sama seperti yang pertama.218 Bennosuke langsung bersiap diri untuk menghadapi serangan berikutnya.

Ia membetulkan posisi toya itu.

Toya itu kini dipegang dengan kedua tangannya dengan salah satu ujungnya mengarah ke Munisai.

Munisai hanya memandang tajam putranya itu.

Lalu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ia beranjak meninggalkan tempat itu.

Tidak ada serangan yang ketiga.

Ayah apa maksudnya? Bennosuke menoleh ke belakang melihat ke arah benda itu mendarat ? lantai dojo.

Belati? Bennosuke terkesiap melihat dua bilah senjata tajam itu tergeletak di lantai dojo.

Tiba-tiba saja ia merasakan hawa dingin pada tengkuknya.

Ia tahu Munisai sangat ahli menggunakan belati.

Ayahnya itu mampu membidik sebuah apel di atas pohon dan menjatuhkannya dengan sebilah belati yang dilontarkan dengan tepat memotong tangkai buah itu.

Ayah ingin membunuhku? Tetapi mengapa? Tidak mungkin! Akal sehatnya membantah.

Namun demikian ia tetap tidak berhasil menemukan jawaban atas apa yang barusan dilakukan Munisai terhadapnya.

Yang tidak disadari Bennosuke saat itu adalah Munisai sebenarnya tidak mengerahkan seluruh kemampuannya ketika melontarkan belati ke arahnya.

Kecepatan dan arah belati itu masih dalam batas-batas kemampuan Bennosuke219 untuk menangkis atau mengelakkannya.

Sekalipun Bennosuke terlambat mengantisipasi serangan itu, belati- belati itu tidak akan melukainya ? arahnya sengaja dibuat melebar sekitar ? sun (sekitar 1,7 sentimeter) dari posisi diam Bennosuke.

Jika ia berdiam diri dan tidak bergerak sedikitpun, ia tidak akan terluka sama sekali.

Tetapi saat ini bocah itu belum mampu menyadari adanya selisih jarak yang sedemikian tipis itu sehingga ia tidak memahami maksud Munisai yang sebenarnya ? menguji sudah seberapa jauh kemampuan teknik berpedangnya meningkat.

Kemampuan teknik berpedang tersebut tentu termasuk kemampuan menangkis serangan dan mengelakkan serangan seperti yang barusan diperagakan oleh Bennosuke tanpa bocah itu menyadarinya.

Bennosuke merasa tubuhnya lemas.

Ia menjatuhkan dirinya ke lantai dojo.

Kedua tangannya menopang badannya sementara lututnya menyentuh lantai ? posisi tubuhnya saat itu seperti posisi tubuh seorang murid ayahnya yang sedang membersihkan lantai dojo.

Walaupun demikian, pikirannya yang terlatih segera saja mampu memperoleh sesuatu dari kejadian ini.

Apa pun yang terjadi pada diri kita, kita harus mampu memetik pelajaran dari hal tersebut ? termasuk dari lawan kita sekalipun! Dan pelajaran yang didapatkan Bennosuke kali ini adalah 220 Belati! Aku harus berlatih menggunakan belati.

Bukan cuma untuk pertarungan jarak dekat tetapi juga untuk melumpuhkan lawan dari jarak jauh.

Munisai telah sering kali menunjukkan betapa efektifnya belati itu untuk melumpuhkan sasaran dari jarak jauh.

Salah satu keuntungan melumpuhkan lawan dari jarak jauh ialah mengurangi kemampuan serangnya, terlebih jika menghadapi lawan yang berkelompok ? berjumlah lebih dari dua orang.

Selama ini Bennosuke belum menyadari keunggulan belati sebagai senjata yang mampu melumpuhkan lawan dari jarak jauh.

Dan dalam pertarungan yang sebenarnya, tidak ada jaminan kalau aku akan selalu bertarung satu lawan satu ? terlebih jika lawan yang kuhadapi datang berkelompok.

Dengan belati, aku mampu melumpuhkan beberapa orang dari mereka sebelum mereka mendekat ke arahku.

Dibandingkan panah dan senapan, belati relatif lebih mudah digunakan ? walaupun efektivitasnya untuk melumpuhkan lawan, terutama dalam hal jangkauan, masih kalah dengan dua senjata tersebut.

Satu hal lagi! Bennosuke mengatupkan rahangnya kuat-kuat dan menggemeretakkan giginya.

Aku harus mampu mengatasi perasaan ini! Perasaan ketakutan yang amat sangat ? seolah-olah kematian sudah menjemputnya.

Ia memang sempat menghindari terjangan belati yang kedua, tetapi itu pun ia lakukan pada saat-saat terakhir ketika kedua221 tangannya berada dalam posisi yang salah sehingga toya yang seharusnya bisa ia gunakan untuk menangkis serangan itu menjadi tidak berguna.

Di dalam pertarungan, tak sedikit pun aku boleh membiarkan diriku lengah dan tidak mampu mengatasi serangan lawan.Bennosuke berikrar pada diri sendiri.

Ia tidak menyadari Munisai saat itu masih memerhatikannya dari balik pintu dojo.

Ia tersenyum melihat Bennosuke yang sedang termenung itu dan tampak dalam keadaan lemas belum mampu menggerakkan tubuhnya untuk bangkit berdiri.

Dengan berdiam diri pun kamu tidak akan apa-apa.

Kamu akan tetap selamat, Bennosuke.

Hanya saja kamu belum mampu melihat penyimpangan arah belati itu.

Penyimpangan sebesar ? sun itu.

Munisai beranjak pergi meninggalkan dojo.

Ia tahu apa yang ada dalam benak Bennosuke saat itu.

Anak ini akan bangkit dan menjadi kuat.

Apa yang baru saja dialaminya akan menjadi tantangan baginya untuk terus meningkatkan kemampuannya.222 Napasku terasa lebih berat dan gerakanku terasa lebih lamban.

Namun demikian aku harus terus berlatih ? siang dan malam.

Bennosuke tekun berlatih menggunakan berbagai macam senjata ? walaupun fokus utamanya tetap pada pedang, dalam hal ini bokken.

Ia baru berhenti berlatih setelah telapak tangannya mulai terasa sakit.

Berlatih pun ada batasnya.

Tidak terlalu ringan dan tidak terlampau berat.

Jika aku berlatih terlalu keras hingga aku cedera, kemudian ada musuh yang menyerangku dan aku tidak bisa membela diriku karena cedera tersebut, apa yang kulatih selama ini akan menjadi sia-sia.

Selama musim dingin itu, Bennosuke berusaha untuk terus berlatih dan tidak mengurangi porsi latihannya.

Selain berlatih menggunakan berbagai macam senjata yang ada di dalam dojo ayahnya, dia juga mendokumentasikan dalam catatan berbentuk gambar dan narasi mengenai cara Munisai mengatasi lawan yang menggunakan berbagai macam senjata disertai dengan nama dan deskripsi dari penantang ayahnya itu ? berupa ciri-ciri khusus yang melekat223 pada mereka.

Tentu saja nama mereka merupakan nama pemberian Bennosuke karena bocah itu boleh dibilang tidak mengetahui nama-nama para penantang Munisai dan ? sekalipun ia tahu, ia juga belum bisa menuliskannya.

Hal ini telah ia kerjakan semenjak ia bisa menggunakan kuas untuk menggambar orang dalam bentuk yang paling sederhana.

Bennosuke teringat sejak ia masih seorang bocah berumur empat tahun, ia sudah sering mendengarkan obrolan ayahnya dengan para penantang ? pendekar yang berkunjung ke dojo milik ayahnya itu.

Saat itulah imajinasinya berkembang, ia membayangkan pertempuran-pertempuran yang diceritakan orang-orang itu.

Ia juga menikmati saat-saat ketika ia menyaksikan duel antara ayahnya dan para penantang tersebut.

Mereka merupakan pendekar-pendekar dari berbagai aliran dan banyak di antara mereka mahir menggunakan berbagai macam senjata.

Bukan cuma pedang.

Inilah yang menarik untuk diingat dan juga dicatat oleh Bennosuke.

Melihat dari dekat dan mengamati pertarungan-pertarungan tersebut merupakan suatu pengalaman yang berharga.

Ia mempelajari semua hal itu dengan penuh minat.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun, ia tidak pernah berguru ataupun mengikuti latihan ilmu pedang yang dibawah bimbingan ayahnya.

Belum genap berusia delapan tahun, ia sudah mampu mengenali gerakan-gerakan bertarung yang efektif, walau sering kali matanya belum mampu menangkap kecepatan gerakan para petarung itu ? terutama sekali kecepatan gerakan ayahnya.224 Ia mengingat-ingat bagaimana gerakan lawan saat menyerang dan bagaimana Munisai mengantisipasi serangan lawannya itu.

Terlalu banyak dan terlalu bervariasi, tidak mungkin bisa diingat ? tanpa menggunakan catatan.

Namun demikian, hanya sebagian kecil dari pertarungan tersebut yang dicatat oleh Bennosuke ? itu pun sudah meliputi seratus lebih lembar kertas.

Hanya pertarungan- pertarungan yang membuatnya terperangah karena begitu dahsyat dan memesona ? bukan dalam arti pertarungan yang mematikan tetapi bagaimana Munisai memperlihatkan kemampuannya melumpuhkan lawan yang sepadan dengannya.

Bagaimana Munisai dengan berbagai upaya terus menyerang atau menghindar sementara si penantang terus memberikan perlawanan yang sering kali menyulitkan Munisai.

Pada akhirnya, semua pertarungan itu toh dimenangkan oleh Munisai.

Nama-nama yang diberikan Bennosuke untuk lawan-lawan Munisai terkesan apa adanya, seperti Agohige, Tengu, Aktor Noh, dan masih banyak lainnya.

Namun tentu saja hanya sebagian kecil dari nama-nama tersebut yang layak didokumentasikan ? demikian menurut Bennosuke.

Tengu adalah penantang yang memiliki memiliki jurus menyerang seperti seekor burung pemangsa.

Ia bergerak berlompatan ? seperti beterbangan ke segala arah dan mengurung lawannya di satu titik.

Selain Tengu, Aktor Noh juga merupakan salah seorang penantang yang patut diperhatikan dan tentu saja patut dicatat oleh Bennosuke.

Ia adalah seorang pria tampan yang penampilannya terlihat begitu feminin.

Banyak yang menduga kalau ia menggunakan riasan, paling tidak bedak dan sedikit pemerah bibir.

Namun hal itu bukan berarti ia seorang yang225 lemah seperti perempuan.

Aktor Noh memiliki gerakan yang halus namun cepat.

Hanya saja kekuatannya tidak memadai dibandingkan dengan Munisai.

Namun demikian Munisai tetap tidak menganggap remeh kemampuan Aktor Noh.

Munisai sepertinya tidak mampu menebak kemampuan sesungguhnya orang tersebut.

Ketika Munisai memutuskan untuk menggunakan pedang sewaktu ia bertarung melawan Aktor Noh, hal tersebut sudah cukup untuk menunjukkan bahwa Munisai tidak memandang rendah kemampuan Aktor Noh.

Dan terbukti ia memang merupakan lawan yang hebat.

Bennosuke juga mencatat ada seorang penantang lagi yang sempat membuat Munisai keteteran.

Orang itu sudah cukup tua dan bertubuh pendek gemuk.

Ia selalu tersenyum dan sering kali tertawa.

Si penantang itu sempat membuat Munisai terkecoh.

Ia tidak bersenjata.

Walaupun Munisai sempat ragu, ia akhirnya mengikuti apa yang dilakukan si orang tua ? ia memutuskan untuk bertarung tanpa menggunakan senjata.

Di situlah sebenarnya letak kekeliruan Munisai.

Orang tua itu memiliki lengan yang kokoh dan mampu membuat Munisai meringis menahan sakit tatkala lengan mereka saling bertemu.

Munisai juga tidak mampu menangkap tangan atau tubuh Warai Rojin (Si Orang Tua yang Tertawa) ? demikian Bennosuke menyebutnya, untuk kemudian membekap atau membantingnya.

Setiap kali tangan Munisai hampir berhasil mencengkeram salah satu tangan Warai Rojin, tangannya itu langsung ditarik memutar ke arah dalam dan diposisikan di depan dadanya dengan begitu kokohnya sehingga cengkeraman Munisai menjadi lepas.

Saat itulah tangan Warai Rojin yang satu lagi dengan cepat menyerang bagian kepala Munisai ? memaksanya mundur dan melepaskan cengkeramannya.

Dalam226 pertarungan tangan kosong dalam jarak dekat, Munisai sepertinya kalah segala-galanya dari Warai Rojin.

Namun Munisai akhirnya mampu mengakali lawannya itu dengan terus bergerak dan menjaga jarak hingga akhirnya Warai Rojin menyerah karena kalah stamina.

Bennosuke bukan cuma mencatat, mempelajari, dan menganalisis para penantang Munisai beserta pertarungan yang mereka jalani.

Ia sering kali melihat-lihat dan mempelajari catatannya itu.

Mengingat-ingat dalam benaknya semua pertarungan itu seolah-olah mereka kembali melakukan duel itu di hadapannya.

Lambat laun Bennosuke seperti mendapatkan gambaran cara bertarung yang efektif ? walaupun ia belum mampu melakukannya.

Ia berubah menjadi anak yang kritis ? terlalu kritis demikian informasi yang didapatkan Munisai dari Dorin.

Hal inilah yang menyebabkan Munisai enggan berpanjang kata dengan Bennosuke.

Bennosuke juga mengamati latihan yang dilakukan murid- murid ayahnya dan berpendapat bahwa apa yang mereka latih hanyalah gerakan dasar yang sudah seharusnya dikuasai oleh para pemula.

Tetapi dalam latihan berduel, Bennosuke mampu melihat banyak di antara mereka yang terpaku pada gerakan yang mereka latih dan bukannya membebaskan tubuh mereka bergerak mengantisipasi serangan lawan.

Mereka tidak harus balas menyerang, mereka perlu menghindar,227 menahan serangan lawan, atau untuk mereka yang sudah mahir, langsung menyerang lawan dengan cepat sebelum lawan menyerang lebih dulu.

Munisai sebenarnya terkesan dengan hasil pengamatan Bennosuke.

Hanya saja cara bocah itu mengungkapkan pendapatnya terkesan menganggap remeh kemampuan orang lain ? dalam hal ini murid-muridnya.

Tidak ada seorang guru pun yang merasa senang murid-muridnya dianggap remeh dan kurang berkemampuan, tidak terkecuali Munisai.

Setiap pagi, di sela-sela pelajaran membaca dan menulis, terkadang Bennosuke terlihat seperti menunggu seseorang.

Seseorang yang tidak pernah terlihat lagi selama beberapa pekan terakhir.

Gadis kecil itu tampaknya tidak suka keluar rumah saat musim dingin atau bisa juga orangtuanya yang tidak mengizinkannya.

Walaupun salju tidak turun, tetapi hawa terasa begitu dingin, menyebabkan orang-orang enggan keluar rumah jika tidak ada urusan mendesak.

Bennosuke yang dulu merasa terganggu dengan kehadiran Otsu, kini sepertinya merasa kehilangan.

Ia merindukan saat-saat Otsu memarahinya ketika ia malas mengerjakan tugas menulis dari Dorin, atau ketika Otsu tertawa melihat ia meledek Dorin di belakangnya.

Entah mengapa setiap kali ia teringat Otsu, Bennosuke jadi ingin tersenyum.

Otsu yang bawel namun baik hati dan penuh perhatian, yang menganggapnya seperti seorang228 adik.

Padahal tubuh Bennosuke sudah jauh melebihi tinggi Otsu.

Mungkin karena sebentar lagi aku akan pergi dari tempat ini dan tidak akan bertemu lagi dengan Otsu, makanya aku jadi merasa kehilangan dan ingin berjumpa dengannya walau hanya sesaat.

Bennosuke juga selalu teringat kejadian yang beberapa waktu dialaminya di dojo ? kejadian yang sepertinya tidak akan dilupakan seumur hidupnya, saat ia didatangi Munisai dan dilempar dua bilah belati.

Semenjak itu, ia sebisa mungkin selalu menghindari bertemu dengan ayahnya.

Bahkan jika mereka akan berpapasan sekalipun, Bennosuke memilih untuk berbalik arah agar tidak bertemu dengan ayahnya dan saling bertatapan mata.

Bennosuke memilih untuk menghindar jika ia harus bersilang jalan dengan ayahnya.

Ia bingung mengapa Dorin tidak tahu kejadian tersebut ? walaupun ia memang tidak pernah menceritakannya pada Dorin, seharusnya biksu itu pasti mendengar sesuatu dari ayahnya.

Bennosuke menduga sebenarnya Dorin pasti mengetahui bagaimana perlakuan ayahnya kepadanya saat itu.

Jika berlatih di dojo pun, Bennosuke berusaha untuk mengawasi shoji agar ia bisa mengetahui jika ada orang datang.

Tentu saja yang ia maksudkan adalah ayahnya dan ia tidak ingin kejadian yang pernah dialaminya itu terulang229 lagi.

Walaupun ia merasa saat ini ia lebih siap jika mendapat serangan dari Munisai, tetap saja hatinya gentar membayangkan senjata yang dilontarkan begitu cepatnya mengarah ke dirinya.

Munisai sendiri merasakan perubahan yang terjadi pada Bennosuke ? sesuai ekspektasinya, dan ia tidak merasa perlu untuk memperbaiki hubungannya dengan putranya itu.

Peristiwa tersebut bahkan bisa menjadi semacam peringatan bagi bocah tersebut bahwa ia sebenarnya tidak diinginkan berada di tempat ini.

Dengan begini, Bennosuke akan lebih mudah menghilangkan kenangannya akan tempat ini dan tentu saja kenangan akan Munisai sebagai seorang ayah.

Namun demikian, Munisai tetap bersikap biasa-biasa saja.

Seolah-olah tidak ada hambatan atau sesuatu yang mengganjal dalam hubungan mereka.

Sama seperti ratusan pertarungan yang telah ia lalui, tak ada satu pun yang bisa membebani pikirannya.

Segalanya berlalu sebagaimana adanya bagaikan arus sungai yang terus mengalir dan tak mungkin berdiam di tempat apalagi berbalik arah.

Munisai selalu menikmati kekinian sambil menatap ke masa depan.

Pagi ini, ketika Bennosuke sedang menekuni pelajarannya, menulis huruf-huruf kanji, Munisai mendatangi Dorin.

Bocah itu menyadari kedatangan ayahnya, namun ia terus melanjutkan tugasnya.

Kebetulan saat itu Dorin berada di luar ruangan, di pekarangan, sehingga Bennosuke tidak perlu bertegur sapa dengan ayahnya yang langsung menghampiri biksu itu.

Munisai sendiri sepertinya tidak230 menggubris keberadaan Bennosuke di ruangan tempat ia biasa belajar itu.

Sementara kedua orang itu duduk di batu-batu pipih yang ada di pekarangan, Bennosuke terus menekuni pelajaran nya.

Hari ini ada sesuatu yang berbeda pada Munisai.

Ia membawa sebilah pedang panjang yang dipegang dengan tangan kirinya.

Sepertinya ia sengaja membawa pedang itu untuk didiskusikan dengan Dorin.

Munisai menghunus pedang itu, memegangnya tegak lurus dengan satu tangan.

Ia seperti hendak memamerkan pedang itu kepada Dorin.

"Pedang Jepang terkenal akan ketajamannya,"

Demikian Munisai mengatakan. Ia lalu mencabut sehelai rambutnya dan meniupnya ke arah mata pedang itu. Rambut yang melayang itu terputus ketika bersentuhan dengan mata pedang yang tajam.

"Pedang ini mampu memotong baja jika diayunkan dengan kecepatan dan kekuatan yang tepat,"

Kata Munisai.

Yang ia maksudkan tentu saja memotong mata pedang lawan dalam suatu pertarungan ataupun helm yang dikenakan lawan.

Armor para samurai umumnya berupa pelat besi atau baja dan memiliki ketebalan rata-rata 1/16 sun (2 mm) ? tidak terlalu sulit bagi seorang ahli pedang untuk memotong armor231 tersebut sekaligus dengan tubuh orang yang mengenakannya.

"Tetapi pedang ini juga menjadi kelemahan bagi orang yang memilikinya. Mereka terlalu bergantung pada keandalan senjata ini sehingga mereka melupakan bahwa sesungguhnya merekalah yang menguasai pedang ini dan pedang ini tidak berarti apa-apa tanpa mereka."
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dorin mengangguk setuju.

"Sebuah benda yang tidak digunakan menjadi sesuatu yang tidak berguna,"

Katanya.

"Manusia pun demikian. Jika ia tidak memanfaatkan pengetahuannya ataupun keahlian yang dimilikinya dalam hidupnya, orang itu tidak berguna,"

Kata Dorin.

"Pedang, betapa pun tajamnya, jika hanya disimpan dan dijadikan hiasan, maka kegunaannya menjadi tiada,"

Kata Munisai menambahkan.

Dorin hanya tersenyum.

Tentu saja ia tidak bisa menyetujui ataupun mengiyakan perkataan Munisai tersebut.

Kegunaan pedang adalah untuk memotong atau membelah tubuh lawan, dan bahkan memenggal lehernya ? sesuatu yang berarti pembunuhan, yang tentu tidak bisa ditoleransi oleh seorang biksu.

Jangankan menyetujui ataupun menyarankan suatu tindakan pembunuhan, berpikir atau berniat untuk itu pun tidak boleh.232 Munisai tertawa.

"Ada apa? Aku tahu Anda seorang biksu, jadi tidak mungkin Anda akan mengatakan bahwa pedang seharusnya digunakan sesuai dengan peruntukannya, bukan begitu?"

Dorin kembali tersenyum.

"Anda bisa menerka apa yang akan kukatakan."

Munisai lalu kembali memandangi pedang di tangannya itu.

"Berlatih dengan bokken, sebaik apa pun tetap berbeda dengan berlatih menggunakan pedang sungguhan."

Bennosuke tersentak. Ia berada cukup jauh dari kedua orang yang sedang berbincang-bincang itu. Tetapi ia bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka berdua bicarakan. Sepertinya Munisai memang ingin pembicaraannya didengarkan oleh Bennosuke.

"Terutama di waktu perang. Pedang sekalipun tidak akan mampu membunuh seorang samurai yang mengenakan armor ? jika pedang tersebut tidak digunakan secara tepat,"

Kata Munisai.

"Apalagi bokken."

Lalu, mengapa Ayah lebih memilih berlatih dan bertarung menggunakan bokken daripada menggunakan pedang sungguhan? Bennosuke berpura-pura tidak mengacuhkan kata-kata Munisai tersebut walaupun sesungguhnya ia yakin kata-kata itu ditujukan padanya.

Sekalipun dalam hatinya ia bertanya-233 tanya tentang maksud dan tujuan ayahnya mengemukakan hal semacam itu, ia tetap tekun meneruskan menulis huruf- huruf kanji.

"Kegunaan armor bahkan berhasil mengurangi efektivitas anak panah. Samurai yang mengenakan armor tidak lagi membutuhkan perisai."

Zaman itu perisai digunakan untuk melindungi barisan pemanah dan umumnya terbuat dari kayu.

Tentu saja perisai tersebut tidak akan mampu melindungi penggunanya dari pedang yang bahkan mampu memotong baja itu.

Munisai bangkit berdiri menuju tumpukan kayu bakar yang teronggok di salah satu sudut pekarangan yang kering.

Ia mengambil satu potongan yang belum dibelah dan meletakkannya tegak lurus di atas alas untuk membelah kayu tersebut.

Biasanya digunakan kapak untuk membelah kayu itu menjadi dua atau empat bagian ? tergantung ukurannya.

Munisai lalu mengayunkan pedangnya ke potongan kayu yang ditegakkan tersebut.

Tidak terjadi apa pun.

Ia lalu bergeser sejauh 90 derajat dari posisi sebelumnya.

Kembali ia mengayunkan pedangnya.

Kayu itu tetap tidak bergerak, bergeser sedikit pun tidak.

Munisai lalu menyarungkan pedangnya.

"Ya, seperti itulah. Walaupun fungsinya bukan untuk hal-hal semacam itu, ya sekadar untuk latihan bolehlah."234 Dorin menganggukkan kepalanya dan berkata.

"Tepat sekali. Betul-betul presisi."

Munisai seperti tidak menggubris apa yang dikatakan oleh Dorin.

Ia kembali berbicara dengan Dorin, kali ini mengenai hal lain, sedikit pun ia tidak menggubris kayu tersebut.

Sekilas Bennosuke sempat melihat apa yang dilakukan Munisai terhadap kayu itu.

Ia merasa penasaran.

Aku melihat Ayah mengayunkan pedangnya mengenai kayu itu.

Tetapi kayu tidak terbelah, bergeser sedikit dari tempatnya pun tidak.Ia lalu kembali menekuni pelajarannya.

Satu hal lagi, tidak ada bunyi apa pun.

Padahal jelas-jelas pedang Ayah mengenai kayu itu.

Bennosuke menunggu hingga waktu belajarnya selesai.

Kebetulan kala itu Munisai sudah meninggalkan tempat tersebut.

Hanya ada Dorin yang duduk di batu pipih di pekarangan itu.

Sepertinya ia sedang menunggu Bennosuke menyelesaikan tugas menulisnya untuk kemudian memeriksa hasil pekerjaan bocah itu.

Bennosuke yang sedari tadi penasaran segera menghampiri potongan kayu yang masih berdiri tegak di alas untuk memotong itu.

Ia mendekati kayu itu, mengamati dan mencari bekas goresan pedang di sana.

Tidak tampak sedikit pun bekas goresan pedang di kayu itu! Bennosuke lalu menggunakan jarinya menyentuh kayu itu.235

"Plak!"

Kayu itu terbelah sebagian dan terjatuh ? menyebabkan potongan kayu itu terpecah menjadi empat bagian.

Bennosuke terbelalak.

Jadi benar, tadi kayu ini terpotong oleh pedang Ayah! Ia lalu menyusun kembali kayu di tempatnya semula dan memerhatikan.

Potongan kayu itu tegak lurus satu sama lain.

Tidak tampak adanya bekas goresan pedang di kayu yang seolah-olah kembali menyatu itu.

Ini bagaimana caranya? Ia mengambil salah satu dari empat bagian kayu itu dengan tangan kirinya.

Ia memerhatikan bekas potongan pedang Munisai di kayu tersebut.

Kecepatan ayunan pedang memang mampu membuat sebuah obyek terpotong dua namun tetap terlihat menyatu untuk sementara waktu.

Tetapi bagaimana jika pedang tersebut diayunkan kemudian ditarik kembali ? seperti yang dilakukan Munisai? Apakah obyek yang terpotong itu masih dapat tetap menyatu untuk sementara waktu? Hal itu seperti menggunakan pedang memotong suatu benda dua kali pada tempat yang sama.236 Bennosuke menggaruk-garuk kepalanya sambil memandangi potongan kayu yang ada di tangan kirinya itu.

Aku masih harus banyak belajar.

Ia lalu meletakkan potongan kayu itu kembali ke tempatnya semula.

Ia lalu mencabut bokken yang terselip di pinggangnya dan memandangi mata pedang kayu itu.

Tanpa sadar ia mengusap-usapnya.

Pedang sekalipun tidak akan mampu membunuh seorang samurai yang mengenakan armor ? jika pedang tersebut tidak digunakan secara tepat.

Apalagi bokken.

Bennosuke teringat perkataan ayahnya.

"Bennosuke,"

Terdengar suara Dorin memanggilnya.

Biksu itu sedari tadi memerhatikan apa yang dilakukan bocah itu.

Ia tahu Bennosuke sepertinya belum mampu memahami bagaimana Munisai menggunakan pedangnya untuk melakukan hal itu ? memotong kayu menjadi empat bagian tetapi tetap menyatu untuk sementara waktu.

"Paman Dorin?"

Sahut Bennosuke.

"Waktunya semakin dekat,"

Kata biksu itu.

"Kamu sudah bersiap-siap?"

"Ehm,"

Bennosuke mengangguk.237 Keberangkatannya ke kuil Sorein tidak lama lagi.

Namun demikian Bennosuke sudah mulai mempersiapkan segala sesuatunya.

Ia tidak membawa banyak barang karena ia memang tidak pernah memerlukan banyak barang karena sejak kecil ia telah terbiasa untuk hidup sederhana ? apa adanya.

Bennosuke kembali memandangi potongan kayu di hadapannya.

Ia mengarahkan bokken-nya dan mengayunkan ke potongan kayu tersebut.

Ujung bokken-nya berhenti tepat sebelum menyentuh sasarannya.

Bennosuke tersenyum.

Ia sudah menemukan orang pertama yang harus ia lampaui ? Munisai, sang ayah.

***** Lima tahun kemudian.

Tenkaichi.

Bennosuke membaca panji-panji yang diusung oleh orang itu ? yang dalam pandangannya terlihat seperti seorang ronin (samurai pengelana yang tidak memiliki majikan).

Nomor satu di kolong langit? Tenka ichi secara harfiah berarti ?nomor satu di bawah langit (surga)? yang bisa juga diartikan sebagai ?yang terhebat di bumi (dunia)?.238 Bennosuke berpikir sejenak dan mengingat-ingat sesuatu.

Sepertinya ?nomor satu di kolong langit? berbeda tipis dengan ?tanpa tandingan di bawah matahari?.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Walaupun ia tidak mengetahui dari mana julukan atau pengakuan tersebut didapatkan oleh ronin itu.

Tanpa berpikir dua kali, ia segera menghampiri si ronin yang sedang berjalan menyusuri jalan utama desa itu sambil mengusung panji-panjinya.

"Paman,"

Panggilnya.

Arima Kihei ? si ronin, menoleh.

Ia melihat seorang pemuda berjalan mengikuti di belakangnya.

Bennosuke baru berusia tiga belas tahun tetapi perawakannya tinggi dan tegap.

Ia lebih terlihat seperti seorang pemuda daripada seorang bocah.

Paman? Anak muda ini memanggilku ?Paman?? Saat itu di Jepang, seorang bocah sudah dianggap siap untuk menikah saat ia berumur setidaknya 14 tahun dan menurut pandangan Kihei, Bennosuke paling tidak sudah berusia 18 atau 20 tahun.

Dipanggil ?Paman? oleh pemuda seusia itu membuat Kihei merasa dianggap sudah tua.

"Ada apa?"

Tanya Kihei dengan enggan.239 Ia malas menanggapi Bennosuke.

Kesan pertamanya terhadap pemuda itu tidak menyenangkan.

Dia memanggilku ?Paman?, memang setua itukah tampangku? Bennosuke mengamati Kihei.

Orang ini tidak menyadari kehadiranku.

Dia lengah.Aku sudah memerhatikan dan mengikutinya selama hampir satu jam.

Dia menoleh sedikit pun tidak.

"Jurus pedang Paman beraliran Shinto (Shinto-ryu), ya?"

Tanya Bennosuke.

Kihei mulai menanggapi Bennosuke dengan lebih serius.

Ia tidak menyangka pemuda kampung yang terlihat seperti petani miskin ini mengerti tentang pedang.

Walaupun ia mengakui penampilan dan fisik Bennosuke memang terlihat seperti seorang pendekar pedang.

Pemuda ini sepertinya seorang petani, tetapi fisiknya terlihat kuat seperti seorang pendekar pedang.

"Iya, memangnya kenapa?"

Kihei balik bertanya. Dari nada bicaranya terdengar ia sedikit bangga karena ada yang menanyakan aliran ilmu pedangnya.

"Berarti seperti Bokuden, dong."

Sekilas Kihei terlihat sedikit terkejut.

Pemuda di hadapannya mengenal aliran pedang yang dipelopori oleh Tsukahara240 Bokuden itu.

Bokuden meninggal sekitar dua dekade yang lalu.

Banyak orang awam yang pernah mendengar tentang kehebatan Bokuden tetapi jarang ada yang tahu tentang Shinto-ryu ? kecuali mereka yang menekuni ilmu pedang.

Namun demikian perasaan bangga Kihei mengalahkan kebingungannya.

"Hm,"

Kihei mengangguk dengan dada membusung. Wajahnya menunjukkan kalau ia merasa senang dikaitkan dengan Bokuden yang merupakan master pedang legendaris.

"Kalau begitu, Paman juga bisa mempraktikkan jurus mengalahkan lawan tanpa pedang?"

Tanya Bennosuke lagi. Mengalahkan lawan tanpa pedang? Jurus apaan itu? Kihei terlihat bingung mendengar pertanyaan Bennosuke.

"Maksudmu melawan musuh yang berpedang dengan tangan kosong?"

Tanyanya.

"Mustahil!"

Kihei teringat akan Nobutsuna yang mampu menangkap mata pedang lawannya dengan tepat dan menghentikan gerakan pedang tersebut.

Tetapi ia tidak ingin mengemukakan hal itu kepada pemuda ini karena ia tidak mungkin melakukan hal itu.

Sejujurnya, ia tidak mampu melakukannya.

Merupakan hal yang memalukan bagi Kihei untuk mengakui ketidakmampuannya di depan pemuda ini.

Bukankah ia telah mendeklarasikan241 dirinya sebagai ?nomor satu di kolong langit? ? seperti yang tertulis di panji-panjinya? "Bukan,"

Bennosuke menggelengkan kepalanya.

"Bukan itu maksudnya. Persisnya tidak menggunakan tangan, tetapi mulut "

Kihei menjadi terbengong-bengong mendengarkan penjelasan si pemuda.

Mulut? Apa maksudnya menangkap atau menggigit mata pedang lawan dengan mulut? Gila! Pemuda ini gila! Bennosuke menangkap keterkejutan dan kebingungan yang amat sangat pada wajah Kihei.

"Ehm, tidak, tidak seperti itu,"

Katanya.

"Semacam tipu-tipu sedikit, mengakali lawan maksudnya begitu,"

Bennosuke menjelaskan.

Seharusnya yang ia katakan adalah bersiasat dengan kata-kata.

Tetapi saat itu Bennosuke sepertinya memang kesulitan menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan maksudnya kepada Kihei.

Tipu-tipu? Si pendekar aliran Shinto itu tersinggung.

"Aku, Arima Kihei, tidak suka tipu-tipu. Sedikit atau banyak, pokoknya tidak."

Dia menggelengkan kepalanya sementara matanya menegaskan kalau ia tersinggung.242 Apa yang tidak disadari oleh Kihei adalah selama perbincangan itu, Bennosuke terus memerhatikannya, walaupun ia tidak melakukannya secara terang-terangan, seolah-olah sambil lalu ? tidak terlihat seperti orang yang sedang melakukan pengamatan.

Caranya memandang Kihei, sambil melihat ke sekeliling secara sambil lalu, seperti orang yang sedang mengobrol biasa saja.

Fisiknya biasa saja.

Pergelangan tangannya tidak terlalu besar, jari-jari tangannya juga tidak terlihat kuat.

Bennosuke terus mengamati Kihei ? tanpa orang yang diamatinya itu menyadarinya.

Wajahnya yang pongah dengan tatapan mata memandang rendah orang lain, menunjukkan kedangkalan pengetahuannya seni berperang.Kesombongan berarti ketidakmampuan menguasai diri.

Bagaimana gerak-gerik tubuh Kihei, bagaimana cara ia bicara dan bagaimana ia memandang lawan bicaranya ? semua hal itu tidak luput dari pengamatan Bennosuke.

Orang ini kuat, tetapi kurang waspada.Namun aku belum bisa menyimpulkan kemampuan Kihei menggunakan pedangnya Setelah berbasa-basi sejenak, Bennosuke mengakhiri percakapan itu.243

"Terima kasih atas waktunya, Paman,"

Bennosuke tersenyum.

"Aku mohon diri."

Bennosuke menganggukkan kepalanya lalu berbalik badan meninggalkan Kihei.

Kihei mengamati Bennosuke yang berjalan meninggalkannya.

Pemuda yang aneh.

Kelihatannya kuat tetapi sepertinya bodoh.

Kihei menggeleng-gelengkan kepalanya.

Dunia ini penuh hal-hal seperti itu.

Aku, Arima Kihei, akan menunjukkan pada dunia bahwa akulah terbaik.

Hal-hal aneh dan bodoh tidak ada tempatnya di dunia ini.

Sementara itu, Bennosuke yang telah melakukan pengamatan terhadap Kihei merasa ia sudah mendapatkan apa yang ia inginkan ? kecuali kemampuan berpedang Kihei yang masih harus ia buktikan dalam duel yang sesungguhnya.

Kenali dirimu, kenali musuhmu, kau akan memenangkan pertempuran tanpakendala?Sonshi.

Selama ini ia telah dengan tekun mempelajari, memikirkan dan mengingat-ingat para petarung yang pernah mendatangi dojo ayahnya, menantangnya berduel.

Beberapa di antaranya memiliki karakteristik seperti Arima Kihei.

Dan mereka itu semuanya dihadapi Munisai tanpa menggunakan senjata.

Mereka semuanya dikalahkan Munisai dalam waktu singkat ? bahkan beberapa di antara mereka dikalahkan dalam waktu kurang dari satu menit.244 Apa benar dugaanku kalau Kihei itu payah? Bennosuke menyingkirkan pikiran yang menganggap lemah lawan itu.

Aku tak boleh takabur dan menganggap lemah lawan.

Aku harus tetap waspada.

Bennosuke terus berjalan menuju kediamannya ? kuil Sorein.

Sepanjang perjalanan Bennosuke sudah tidak lagi memikirkan mengenai Kihei ataupun hal-hal lainnya.

Ia menikmati perjalanannya.

Menikmati pemandangan sekitar, memerhatikan jalan di depannya dan arah menuju kuil Sorein.245 Suatu ketika Tsukahara Bokuden bersama beberapa orang lainnya menumpang sebuah perahu menyeberangi danau yang sangat luas.

Salah satu penumpang perahu tersebut adalah seorang samurai yang berpenampilan kasar dan bersikap pongah.

Samurai tersebut menyombongkan dirinya sebagai seorang pendekar pedang yang mumpuni.

Sementara para penumpang serius mendengarkan omongan si samurai, Bokuden tampak acuh tak acuh.

Si samurai yang tersinggung dengan sikap Bokuden lalu menghampirinya.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia menegur Bokuden karena tidak menggubrisnya dan ia tahu kalau Bokuden membawa pedang.

Bokuden hanya menjawab kalau jurus pedangnya bukanlah untuk mengalahkan orang, melainkan supaya tidak dikalahkan orang.

Si samurai pun menanyakan nama jurus pedang tersebut.246 Jurus menang tanpa pedang ? demikianlah jawaban Bokuden.

Si samurai tertawa.

Ia bertanya mengapa Bokuden membawa pedang padahal ia memiliki jurus menang tanpa pedang.

Bokuden pun menjawab kalau pedangnya digunakan untuk membunuh kesombongan diri dan bukan untuk membunuh orang.

Samurai itu merasa tersindir akan ucapan Bokuden.

Ia lalu menantang Bokuden untuk bertarung dengannya tanpa menggunakan pedang.

Bokuden pun menyanggupi dan menerima tantangan tersebut.

Atas permintaan Bokuden, perahu segera diarahkan menuju sebuah pulau terpencil sebagai arena pertarungan.

Ketika perahu sudah merapat ke pulau tersebut, si samurai segera melompat dari perahu dan menjejakkan kakinya di daratan.

Bokuden segera mengambil dayung dari salah satu pendayung dan menggunakannya untuk mendorong perahu tersebut menjauhi pulau terpencil itu.

Perahu pun dengan cepat melaju kembali ke perairan yang dalam.

Si samurai terperanjat bukan kepalang melihat perahu tersebut bergerak menjauh meninggalkan dirinya seorang diri di pulau terpencil itu.247 Bokuden memandang si samurai, tersenyum lebar, lalu mengatakan.

"Inilah yang dinamakan jurus menang tanpa pedang."

Dorin mengakhiri ceritanya.

Bennosuke terdiam setelah mendengarkan cerita tersebut dengan penuh perhatian.

Ia tampak tidak puas dengan akhir kisah tersebut.

Apa yang ada dalam benaknya adalah pertarungan seru antara Bokuden yang tidak berpedang dan si samurai sombong yang menggunakan pedang.

Dorin hanya tersenyum melihat ekspresi keponakannya itu.

Ia memahami kekecewaan bocah itu.

"Apa yang dilakukan Bokuden sesungguhnya merupakan hal yang benar-benar luar biasa,"

Katanya.

"Sebagai seorang master pedang terkemuka, Bokuden tidak perlu meladeni tantangan seorang samurai seperti itu. Bokuden bisa saja mengalahkan lawannya itu dengan sangat mudah, namun tentu saja tidak ada gunanya."

Bennosuke, walaupun masih merasa tidak puas, terus mendengarkan.

"Apa yang dilakukan Bokuden tersebut menunjukkan kemampuannya mengendalikan diri. Ia tidak perlu menunjukkan kehebatannya menggunakan pedang "

Kata Dorin.

" untuk menaklukkan orang seperti itu."248 Dorin tahu Bennosuke masih belum memahami makna dari apa yang dilakukan Bokuden itu.

"Bennosuke, kamu masih ingat strategi pamungkas dari Sonshi?"

Tanya biksu itu. Bennosuke mengangguk.

"Menang tanpa berperang,"

Jawabnya.

Seketika itu mata Bennosuke berbinar-binar.

Jadi, itulah yang dipraktikkan oleh Bokuden.

Menang tanpa berperang! Bokuden benar-benar seorang master pedang yang hebat! Saat berjalan pulang usai bertemu dengan Arima Kihei, Bennosuke teringat peristiwa beberapa tahun yang lalu ? ketika Dorin menceritakan kisah Bokuden yang menggunakan jurus mengalahkan lawan tanpa pedang.

Apa yang dilakukan oleh Bokuden tersebut bahkan melampaui apa yang ia pikirkan.

menang tanpa berperang! Ternyata apa yang ada dalam pikiran Kihei tidak berbeda banyak dari apa yang dipikirkannya ketika ia masih seorang bocah ingusan berumur sepuluh tahun.

Kihei beranggapan jurus menang tanpa pedang merupakan pertarungan secara fisik.

Bennosuke lalu meneruskan langkahnya menuju kuil Sorein.

Kuil Sorein, menjelang petang.249 Dorin berdiri memandangi jalan setapak di depan kuil.

Sudah lewat tengah hari, kemana perginya anak itu? Dorin hanya merasa ingin tahu.

Ia tidak cemas ataupun khawatir terhadap Bennosuke.

Anak itu tahu bagaimana membawa diri.

Ia tidak akan sembarangan berkelahi dengan orang lain.

Ia tahu batas-batas kemampuan dirinya.

Dorin teringat beberapa tahun yang lalu ketika Bennosuke menyambangi kediamannya ? kuil Sorein ini.

"Eh, Bennosuke?"

Tanya Dorin keheranan melihat kedatangan keponakannya waktu itu ? seperti biasa, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

"Kenapa, Paman?"

Tanya Bennosuke sambil memamerkan senyum lebarnya.

Ini bukan pertama kalinya ia mendatangi kuil Sorein.

Kuil tempat kediaman pamannya itu terletak lebih dari 1 ri (1 ri kurang lebih 4 kilometer) dari desa tempat tinggal Bennosuke.

Walaupun Bennosuke sudah beberapa kali melakukan kunjungan dadakan seperti ini, tetap saja Dorin selalu merasa terkejut dan bingung.

"Bokken-mu mana?"

Tanya Dorin lagi. Tidak biasanya bocah itu lepas dari bokken-nya.250

"Hehehehe,"

Bennosuke tidak menjawab. Ia malah memperlihatkan kedua telapak tangannya kepada pamannya itu. Tampak lecet di sana-sini ? termasuk di jari- jemarinya. Anak ini berlatih terlalu keras.

"Jadi karena tanganku masih sakit, aku tidak berlatih pedang dulu. Lagipula kalau aku membiarkan diriku cedera, musuh akan mudah mengalahkanku."

Kali ini Bennosuke berkata dengan wajah serius.

"Aku sengaja tidak membawanya. Kalau aku terus memegang bokken, aku pasti sulit menahan keinginan untuk berlatih."

Dorin menganggukkan kepalanya.

"Ayo, Bennosuke, masuklah."

Dorin lalu mengajak keponakannya itu ke dalam.

"Kalau tanganmu seperti itu, tentu kau juga tidak bisa berlatih menulis dong,"

"Kurasa bisa,"

Sahut si bocah sambil memandangi telapak tangan kanannya.

"Aku bisa menggunakan kedua ujung jari telunjuk dan jempolku."

Bennosuke kemudian belajar membaca dan menulis seperti yang biasa ia lakukan di rumahnya.251 Tak lama kemudian ia mendatangi Dorin.

"Paman, aku libur dulu latihan menulisnya, ya,"

Pinta bocah itu.

"Eh, kenapa?"

Tanya Dorin keheranan. Tidak biasanya bocah itu meminta libur dari tulis-menulis.

"Nih, lihat tanganku, Paman,"

Bennosuke memperlihatkan kedua telapak tangannya kepada Dorin. Tampak kulitnya berwarna merah dan terkelupas di sana-sini. Lecetnya bertambah parah? Dorin menggaruk-garuk kepalanya yang tidak berambut itu.

"Kamu kebanyakan berlatih pedang,"

Demikian yang dikatakannya. Bennosuke memandangi kedua telapak tangannya dan menggerak-gerakkan jari-jarinya.

"Kalau dibilang kebanyakan, kayaknya sih tidak. Mungkin caraku yang salah dalam memegang bokken."

Dorin tersenyum.

Apa pun alasannya, anak seusia ini sudah bisa mengetahui batas-batas kekuatannya.

Hebat! Selain itu,252 sepertinya tidak sedikit pun ia merasakan sakit di telapak tangan dan jari-jarinya itu.

Bennosuke lalu mengalihkan pandangannya dari telapak tangan yang terbuka itu ke Dorin.

"Tetapi aku tetap akan melanjutkan pelajaran membaca."

Lagi-lagi Dorin tersenyum. Semangat anak ini memang luar biasa. Ia tidak menganggap luka-luka itu sebagai sesuatu hal yang dapat mengurangi semangatnya untuk mengerjakan hal lain.

"Aku pulang!"

Suara teriakan itu menyadarkan Dorin dari kenangan masa lalu yang barusan melintas di pikirannya. Ia melihat bocah yang perawakannya seperti seorang pemuda itu berjalan menaiki tangga yang terbuat dari batu menuju tempat ia berdiri.

"Dari mana saja kamu, Bennosuke?"

Tanyanya. Padahal sudah berkali-kali diingatkan untuk tidak berteriak-teriak seperti itu di kuil. Tempat ini bukanlah sebuah rumah atau tempat tinggal keluarga. Bennosuke hanya tersenyum.

"Paman, saya menemukan sesuatu yang luar biasa,"

Katanya ? seolah tidak menggubris pertanyaan Dorin.253 Dorin hanya menggeleng-gelengkan kepala.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku,"

Kata Dorin.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, iya, akan saya ceritakan nanti, Paman,"

Kata Bennosuke.

"Ceritanya panjang."

Keduanya lalu berjalan menuju bagian dalam kuil. Bennosuke menceritakan pertemuannya dengan Arima Kihei. Dorin sepertinya tidak tampak tertarik.

"Menurutku, ia adalah seorang shugyosha yang sedang mengasah teknik berpedangnya. Ia ingin bertarung untuk meningkatkan kemampuannya ataupun meraih reputasi yang lebih tinggi. Dengan demikian ia akan dilirik oleh seorang Tuan ? daimyo yang membutuhkan kecakapannya itu. Mengenai aksara yang tertulis di panji-panji itu ?nomor satu di kolong langit?, aku tidak mempunyai pendapat apa-apa tentang hal itu."

"Paman,"

Kata Bennosuke.

"Bukankah ?nomor satu di kolong langit? itu berbeda tipis dengan ?tanpa tandingan di bawah matahari??"

Walaupun pertanyaan itu diajukannya dengan serius, hal itu terdengar seperti bercanda di telinga Dorin. Dorin menggelengkan kepalanya.

"Itu jelas sekali merupakan dua hal yang sangat berbeda,"

Katanya.

"Bukan dalam makna kedua julukan itu tetapi nilai yang terkandung di dalamnya."254 Dorin melanjutkan.

"Munisai memperoleh gelar itu dari shogun. Sedangkan Kihei? Tak seorang pun tahu siapa yang memberikan sebutan itu kepadanya. Bisa saja ia sendiri yang menganggap dirinya layak menyandang julukan itu dan kemudian menuliskannya di panji-panji yang selalu dibawanya itu."

Dorin sedikit pun tidak menyadari apa yang ada dalam benak Bennosuke.

Sekalipun hal itu sempat terlintas dalam pikirannya ? bahwa Bennosuke akan menantang Kihei, Dorin langsung menepisnya.

Baginya anak seusia Bennosuke tidak akan bertindak bodoh dan gegabah seperti itu.

Sesuatu yang selama ini selalu ia yakini.

Sementara itu Bennosuke terus berpikir dan merencanakan apa-apa saja yang harus dipersiapkannya jika ia ingin bertarung dengan Kihei.

Bennosuke ingin meraih prestasi tertinggi yang dapat dicapai oleh ?orang? seusianya.

Ia menganggap dirinya bukan lagi seorang anak tetapi seorang pemuda.

Ia teringat pelajaran sejarah yang diberikan Dorin padanya beberapa waktu yang lalu.

Dorin bercerita tentang para tokoh yang berkuasa di Jepang di era penuh pergolakan ini.

Dan mereka semua meraih prestasi di usia yang sangat muda.

Takeda Harunobu ? yang kelak dikenal sebagai Takeda Shingen, pertama kali bertempur di usia 16 tahun.

Ia memimpin 300 pasukan kavaleri yang ditempatkan sebagai255 pengawal barisan belakang pasukan utama.

Harunobu berhasil mematahkan serangan pasukan musuh yang mencoba menyerang pasukan Takeda yang saat itu sedang bergerak mundur.

Dalam pertempuran itu, pasukannya bahkan berhasil membunuh jenderal musuh.

Suatu prestasi luar biasa bagi orang yang masih sangat muda dan baru pertama kalinya memimpin pasukan bertempur di medan perang.

Selain Shingen, masih ada lagi orang muda yang memiliki kemampuan luar biasa.

Nagao Kagetora baru berusia 13 tahun ketika ia memimpin pasukannya berperang.

Masih di usia yang sama, ia kemudian menjadi pemimpin klan menggantikan ayahnya.

Di kemudian hari, Nagao Kagetora mengganti namanya menjadi Uesugi Kenshin ? salah seorang daimyo terkuat pada waktu itu.

"Dan kamu, Bennosuke, apa yang sudah kamu lakukan atau paling sedikit apa yang sudah kamu rencanakan dalam hidupmu?"

Tanya Dorin waktu itu. Bennosuke tersenyum. Ia juga teringat apa yang dikatakan Dorin kepadanya belum lama ini.

"Bennosuke, kamu sudah berusia 13 tahun. Seharusnya kamu sudah mulai berpikir untuk hal-hal yang besar. Seperti misalnya menjadi orang yang hebat ..."256

"Seperti Shingen atau Kenshin,"

Kata Bennosuke. Dorin mengangguk.

"Karena, sudah jelas kan, kamu tidak punya pasukan? Kamu bukan anak seorang daimyo yang menguasai tanah yang luas ataupun prajurit yang banyak."

Bennosuke termenung memikirkan kata-kata Dorin waktu itu.

Karena itu, Bennosuke merasa gembira ketika ia bertemu dengan Kihei ? orang yang dianggapnya bisa mewujudkan keinginannya, paling tidak membuktikan bahwa ia adalah orang yang hebat.

Bertahun-tahun melatih diri ? mental dan fisik, telah membuat Bennosuke menjadi seorang pemuda yang mampu menguasai emosinya, penyabar, sekaligus pemain pedang yang handal.

Ia sanggup berdiam menunggu kedatangan seseorang hingga dua jam lamanya tanpa mengeluh, tanpa merasa kesal ataupun jengkel.

Ia bahkan merasakan kedamaian di saat-saat seperti itu.

Ia selalu mengingat apa yang dikatakan Dorin padanya.

"Kesabaran, Bennosuke, adalah cara terbaik melatih konsentrasi."

Hari ini Bennosuke menyambangi tempat Kihei.

Ia memerhatikan Kihei yang sedang duduk bersila di bawah sebuah pohon yang rindang.

Panji-panji bertuliskan ?nomor257 satu di kolong langit? itu tegak berdiri di sebelah kanannya.

Kedatangan Bennosuke tampaknya tidak dihiraukan oleh Kihei.

Atau mungkin ia yang tidak menyadarinya? "Paman,"

Panggil Bennosuke. Kihei menoleh. Ah, rupanya pemuda yang kemarin itu.

"Ada apa?"

Tanya Kihei. Sedikit pun ia tidak merasa ada hal penting yang akan disampaikan Bennosuke. Seperti dugaanku, ia payah. Teknik berpedangnya mungkin hebat, tetapi cara ia menghadapi lawan ia terlalu ceroboh dengan menganggap remeh lawan.

"Aku ingin menantangmu,"

Jawab Bennosuke tegas. Kihei terkejut. Anak muda ini ingin menantangku? Ia mengamat-amati Bennosuke. Lalu mengibaskan tangannya ke arah bocah itu.

"Pergilah, aku tidak mau meladenimu,"

Kata Kihei.

"Aku tidak akan pergi sebelum Paman mau bertarung denganku,"

Jawab Bennosuke yang kini sudah memegang bokken-nya dengan posisi bersiap untuk menyerang.258

"Eh?"

Kihei segera bangkit berdiri.

Nalurinya mengatakan kalau pemuda ini akan betul-betul menyerangnya.

Bertarung dengan anak muda ini tidak ada untungnya bagiku, tetapi sikap sombongnya itu rasanya perlu diperbaiki.

Lagipula aku sudah cukup lama tidak berduel.

Satu dua ayunan pedang rasanya cukup untuk mengalahkan anak muda yang sombong ini.

Ia mengamati cara Bennosuke berdiri dan memegang bokken-nya.

Sejenak ia merasakan sesuatu terlintas di benaknya.

Walaupun penampilan anak muda ini tidak mengesankan, bagaimanapun juga ia terlihat seperti orang yang terampil menggunakan pedang.

Kihei menjadi waspada.

Ia segera mencabut pedangnya dan diarahkan lurus ke Bennosuke.

"Aku Shinmen Bennosuke berasal dari Harima,"

Kata Bennosuke memperkenalkan diri. Kihei mengangguk. Ia tetap waspada.

"Aku Arima Kihei seorang pendekar pedang dari aliran Shinto."

Sesaat Kihei selesai berbicara, ketika itulah Bennosuke melompat maju ke depan dan mengayunkan bokken-nya ? ia mengubah pegangan pedangnya dari dua tangan menjadi hanya satu tangan.

Jangkauan bokken tersebut sekarang menjadi lebih jauh dan gerakannya juga lebih fleksibel.259 Kecepatan gerakan Bennosuke dan jangkauan bokken-nya itu memaksa Kihei bergerak mundur.

Tetapi ia terlambat, ujung mata pedang bokken Bennosuke sempat mengenai siku kirinya.

Cukup keras hantaman tersebut.

Sikunya terasa berdenyut-denyut.

Jika ia terlambat menghindar, bisa dipastikan persendian di bagian itu akan terlepas dan lengan kirinya tidak akan bisa digunakan.

Anak ini bisa menyerang dengan cukup baik.

Tapi apa ia juga bisa bertahan sama baiknya dengan menyerang? Bennosuke yang sedang bersiap untuk kembali menyerang Kihei terkejut saat ia melihat ayunan pedang Kihei sudah mengarah ke tubuhnya.

Kihei sepertinya ingin menebas tubuhnya menjadi dua bagian ? dari bahu kiri hingga bagian pinggang sebelah kanan.

Satu gerakan kuat bokken Bennosuke mampu menahan serangan tersebut.

Ia mampu menangkis dengan memukul bagian sisi mata pedangku yang tidak tajam dengan bokken-nya.Kihei tersenyum.

Apakah ia juga bisa melakukan hal itu ketika ia menggunakan bokken-nya untuk menyerang? Bennosuke tidak berhenti bergerak, setelah ia berhasil menahan serangan Kihei, ia langsung menyerang lagi.

Kali ini bokken-nya digerakkan untuk menghantam kepala Kihei.

Kihei segera menyambut serangan tersebut.

Kihei tidak bermaksud menangkis bokken itu tetapi memotongnya!260 Satu gerakan pedang yang sangat cepat dari Kihei tak bisa dihindari oleh Bennosuke.

Bokken yang sedang mengayun itu langsung terpotong menjadi dua! Sesaat Bennosuke seperti merasakan sesuatu.

Bahaya! Ia merasakan adanya bahaya atau ancaman yang mengintai jiwanya.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak berhenti sampai di situ, Kihei melanjutkan serangannya.

Kini pedang tersebut menyambar dengan cepat mengarah ke bagian atas dan hampir mengenai leher Bennosuke.

Namun bocah itu berhasil menghindar.

Ia sempat merasa menggigil.

Ia nyaris tewas.

Jika ia biarkan dirinya merasakan hal itu, membiarkan tubuhnya merespons dengan kelemahan, dan menjadi lemas, maka ia pasti akan kalah dan terbunuh.

Walaupun nyaris terkena serangan maut itu, Bennosuke tidak merasa gentar dan ia tetap fokus pada pertarungan.

Tidak sekejap pun ia mengalihkan pikirannya dari apa yang sedang dilakukannya saat itu.

Bokken adalah alat dan bukan sesuatu yang menentukan.

Orang yang menggunakan bokken itulah yang menentukan jalannya pertarungan.

Begitu yang selalu dipikirkannya.

Oleh karena itu, ia tidak pernah merasa bergantung pada atau terlalu mengandalkan benda itu.261 Kihei tampak tersenyum puas sesaat.

Hanya sesaat ketika ia sadar ia harus bergerak cepat untuk menghindari serangan Bennosuke berikutnya.

Bennosuke melontarkan potongan bokken yang dipegangnya ? yang berukuran kurang dari separuh panjangnya semula.

Ia melontarkannya dengan kecepatan penuh dan terarah.

Kihei berhasil menghindari patahan bokken itu.

Serangan yang nyaris bisa membuatnya terluka parah.

Ia sekarang bersiap untuk menyerang kembali dan menggerakkan pedangnya ke arah atas.

Saat itulah ia menyadari sesuatu.

Ia tidak dapat menggerakkan pedangnya.

Ada sesuatu yang menahan pedangnya! Bennosuke mencengkeram erat gagang pedang Kihei tepat di bagian tengah.

Pedang jepang memiliki gagang yang cukup panjang dan biasanya dipegang dengan dua tangan di masing-masing ujungnya.

Tangan kanan memegang ujung bagian atas tepat di bawah tsuba dan tangan kiri pada ujung satunya lagi ? di bagian bawah.

Cara memegang pedang seperti itu berfungsi untuk menjaga kestabilan ayunan pedang sekaligus membuat pegangan menjadi lebih kokoh.

Bagian tengah pegangan yang terpampang bebas (kosong) itu biasanya digunakan untuk menahan atau menangkis serangan senjata lawan ? selain dengan mata pedang.

Dan tepat di bagian itulah Bennosuke mencengkeram.

Kihei mengira Bennosuke bermaksud merebut pedangnya, ia mencoba menarik pedang itu agar terlepas dari tangan262 Bennosuke.

Satu hal yang ia tidak sadari adalah Bennosuke tidak bermaksud merebut pedangnya.

Ia hanya membuat pedang Kihei tertahan untuk sementara dan memberinya waktu bagi tangan kirinya untuk mendorong siku kanan Kihei ke arah kiri.

Akibat dorongan yang kuat itu, tangan kanannya seolah-olah terpelintir ke arah kiri, badan Kihei pun bergerak ke kiri.

Usahanya untuk mempertahankan pedang itu malah menjadi kelemahannya.

Ketika badannya sudah condong ke kiri, bagian sisi kanan tubuhnya menjadi terbuka.

Di saat itulah Bennosuke menggunakan lutut kirinya menghantam dengan keras rusuk Kihei.

Drak! Terdengar suara tulang iga yang patah.

Kihei menjadi limbung.

Ia merasa kesakitan yang amat sangat sebelum jatuh ke samping.

Posisi jatuh seperti itu menyebabkan tangan kirinya tertindih tubuhnya.

Ia tidak bisa bergerak lagi.

Bennosuke yang terus menyerang menggunakan tangannya menekan kepala Kihei.

Sesaat ia melihat sekilas ekspresi wajah Kihei yang seperti melihat sesuatu.

Shugyosha itu seperti merasakan maut menghampirinya.

Apa Kihei ketakutan? Apa ia merasakan seperti apa yang tadi sempat kurasakan? Krak! Leher Kihei pun patah.

Ia tewas di tempat.263 Bennosuke berdiri lalu mundur beberapa langkah.

Ia mengamati Kihei yang telah menjadi mayat itu.

Aku menang.

Ia merasa lega ? seperti terbebas dari beban yang begitu berat.

Ataukah ia merasa lega karena ia masih hidup setelah pertarungan tersebut, setelah ia sempat merasakan kematian yang mengintainya dengan begitu dekat seolah-olah shinigami sang maut ? dewa kematian, itu sendiri yang datang menghampirinya.

Bennosuke telah memenangkan pertarungan pertamanya ? pertarungan hidup mati melawan seorang pendekar pedang, Arima Kihei, yang menjuluki dirinya ?nomor satu di dunia?.264 Aku baru menyadari kalau tubuhku gemetar.

Aku lelah.

Aku nyaris terbunuh.

Apakah tadi aku merasa ketakutan? Aku tidak tahu dan tidak ingat dengan pasti.

Hal yang kuingat dengan jelas dan kusadari betul adalah aku tetap berfokus pada pertarungan itu.

Tidak sedikit pun aku boleh lengah.

Ketika bokken-ku terpotong dua aku seharusnya gugup, bingung, karena senjata itu satu-satunya yang kumiliki tetapi aku telah bertekad untuk terus memikirkan kemenangan.

Aku tidak boleh kalah.

Karena kalah berarti mati.

Teringat akan hal itu, Bennosuke merasa menggigil.

Ia nekat tetapi kenekatan ? yang dibarengi dengan jerih payah berlatih setiap hari selama bertahun-tahun itu, berbuah manis.

Sekadar nekat tanpa keterampilan adalah kebodohan ? yang berarti maut.

Bennosuke berjalan pulang ke tempat tinggalnya.

Sementara itu ia mendengar bisik-bisik orang-orang di sekitarnya.265 Ah, begitu banyak orang ada di sini.

Ia baru menyadarinya.

Selama pertarungan barusan, ia begitu terfokus pada Kihei sehingga apa yang terjadi di sekelilingnya tidak ia rasakan ? termasuk kerumunan orang-orang yang menyaksikan jalannya pertarungan tersebut dari jarak yang cukup dekat.

Mereka, para warga sekitar, mengenal Bennosuke sebagai seorang bocah yang belum matang ? walaupun tubuhnya tinggi dan tegap.

Bagaimanapun juga mereka tahu ia adalah anak kecil yang lima tahun lalu dibawa Dorin untuk menetap dan belajar di kuil Sorein.

Pertarungan dengan Kihei tentu menarik perhatian banyak orang.

Terlebih Kihei memilih tempat yang terbuka dan cukup ramai untuk dirinya.

Ia sengaja memilih lokasi tersebut agar mudah menarik perhatian orang banyak ? sekaligus bisa mendapatkan atensi dari penguasa lokal atau daimyo di wilayah ini yang membutuhkan orang-orang seperti dirinya.

Bennosuke tersenyum kecut.

Ia baru menyadari apa yang dilakukan merupakan perbuatan yang menarik perhatian orang ? terlalu menarik malahan.

Ia menantang Kihei dan orang-orang itu tahu siapa Bennosuke.

Ia terus memantapkan langkah kakinya.

Sesekali ia merasakan kakinya lemas.

Mungkin efek dari pertarungan barusan? Walaupun aku berusaha untuk tetap tenang, tenaga dan konsentrasiku terkuras habis tidak belum habis.

Tetapi kenapa aku merasa begini lemas?266 Ia menyadari tatapan mata orang-orang itu mengikut gerak langkah kakinya.

Apa yang akan dikatakan Paman? Terus terang ia tidak mampu menerka apalagi membaca apa yang dipikirkan pamannya itu.

Dorin sama misteriusnya dengan Munisai ? apa yang dipikirkan keduanya tidak bisa dibaca.

Ia kembali tersenyum mengingat hal besar yang telah dilakukannya.

pertarungan pertama dengan seorang pendekar pedang! Apa pun yang akan dikatakan Paman tidak akan berpengaruh apa-apa bagiku.

Kihei adalah masa lalu.

Ia telah kalah dan terbunuh.

Dan begitulah, Bennosuke akhirnya sampai di kuil Sorein.

***** "APA?!?"

Dorin yang sedang duduk di halaman belakang kuil sontak berteriak saking terkejut mendengar apa yang baru saja dikatakan Bennosuke. Ia nyaris terlompat dari tempat duduknya. Matanya membelalak.

"Ka kamu bertarung dengan Kihei?"

Ia melongo seperti mendengar berita yang begitu267 menggemparkan dan tidak dapat dipercaya.

Ia seperti mendengar ibukota Kyoto terbakar lagi seperti yang terjadi di masa lalu.

Dorin tidak perlu menanyakan hasil dari pertarungan itu.

Melihat Bennosuke berdiri di hadapannya saat ini sudah cukup menjadi bukti bahwa bocah itu telah memenangkan duel dengan si pendekar aliran Shinto ? yang berarti ia telah membunuh Kihei.

Reaksi yang muncul dalam pikiran Bennosuke tentu berbeda dari yang diharapkan Dorin.

Bocah itu masih anak-anak berumur 13 tahun.
Musashi Karya S. Widjadja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia mengira Dorin terkejut karena tidak percaya akan kemampuannya mengalahkan Kihei.

Ia tidak suka melihat orang meragukan kemampuannya ? terlebih jika orang itu adalah orang yang mengenalnya dengan dekat, seperti Dorin.

"Paman tidak percaya?"

Tanya Bennosuke ? terdengar kecewa.

"Apa aku perlu memenggal kepalanya dan membawanya kemari jadi Paman bisa menginspeksinya langsung,"

Kata Bennosuke bersungut-sungut sambil beranjak hendak meninggalkan tempat itu.

Dalam peperangan, memenggal kepala dan kemudian membersihkan kepala tersebut ? termasuk menyisir dan meminyaki rambutnya, menghilangkan bekas darah pada wajah, dan jika memungkinkan menjahit luka pada wajah itu, untuk kemudian memperlihatkannya kepada komandan pasukan dan para jenderal untuk diperiksa merupakan hal yang umum saat itu.

Salah satu tujuannya adalah untuk268 meyakinkan bahwa kepala tersebut memang milik dari orang yang dimaksud, misalnya komandan pasukan musuh.

Tujuan lainnya adalah untuk memberikan penghargaan kepada mereka yang berhasil membunuh orang atau musuh tersebut ? terutama jika orang yang dibunuh memiliki kedudukan tinggi.

"Tidak perlu!"

Dorin masih berkata dengan keras. Rupanya ia masih terkejut. Ada apa dengan bocah ini? Ia memandang Bennosuke dengan tatapan mata penuh kebingungan dan ketakutan. Bukan ketakutan pada Bennosuke tetapi pada apa yang telah diperbuat anak itu.

"Hm "

Bennosuke seperti berpikir sejenak.

"Apa kuambil saja jasadnya ya, bukankah mayat yang masih baru itu laku dijual?"

"Jangan!"

Kali ini Dorin berteriak sampai berdiri.

"Kamu jangan berbuat yang aneh-aneh!"

Saking gemasnya ia sampai menjewer telinga Bennosuke.

"Aduh!"

Anak itu meringis kesakitan.

Bennosuke lebih merasakan kesedihan dan kekecewaan yang muncul dari sikap dan perkataan Dorin.

Biksu itu tidak marah.

Ia berteriak ketus, ia marah, hanya untuk menyembunyikan perasaannya yang terluka.

Dorin merasa gagal mendidik dan membesarkan Bennosuke.

Pada269 awalnya ia mengira Bennosuke sudah menjauhi dan tidak memikirkan pembunuhan ? memenangkan pertarungan hidup dan mati, di mana si pemenang akan menghabisi lawannya.

Tidak.

Bukan itu yang ia ajarkan selama ini pada anak itu, tetapi kita semua tidak bisa terlepas dari karma.

Apa pun yang kita lakukan, baik atau buruk, kelak kita sendiri yang akan menuai akibatnya.

Kitalah yang akan mengalami akibat baik ataupun buruk dari perbuatan yang kita lakukan saat ini.

Dorin menghela napas.

Ia tahu pikiran Bennosuke itu masih sangat sederhana, pikiran seorang bocah berusia 13 tahun.

Sebenarnya apa yang dikatakan Bennosuke barusan pun bukan sesuatu hal yang aneh.

Praktik membeli mayat merupakan hal yang umum dilakukan di kalangan para samurai utamanya untuk berlatih pedang.

Selain untuk mengetahui ketajaman pedang mereka, mereka juga perlu tahu dan merasakan saat pedang tersebut memotong tubuh manusia dari daging hingga menembus ke tulang.

Hal ini dilakukan agar mereka terbiasa dengan hal itu, sehingga tidak mengalami keterkejutan saat pedang mereka benar- benar memotong tubuh lawan dalam suatu pertarungan.

Para samurai akan berlatih berbagai cara memotong dengan pedang, baik itu potongan diagonal dari atas ke bawah (kesa- giri), potongan diagonal dari bawah ke atas (kiri-age atau gyaku-kesa), horisontal (yoko atau tsuihei), serta potongan tegak lurus dari atas ke bawah (jodan-giri).

Selain membeli mayat, mereka juga menggunakan para terpidana mati manakala eksekusi telah dilakukan.

Mayat tanpa kepala270 tetap bisa dimanfaatkan untuk berlatih memotong tubuh manusia.

Tentu saja Dorin menentang perbuatan semacam itu.

Mayat sekalipun tetap harus diperlakukan dengan layak.

Mereka perlu didoakan sehingga roh mereka menjadi tenteram di alam berikutnya.

Apa yang telah ia ajarkan pada Bennosuke sebenarnya sudah mencukupi.

Entah mengapa anak ini sepertinya belum bisa memahami pelajaran darinya.

Aku harus melakukan sesuatu terhadap anak ini.

Dorin berkeyakinan kalau Bennosuke tidak akan berurusan dengan pihak berwajib terkait dengan masalah Arima Kihei.

Selain pertarungan itu dilakukan di tempat terbuka dan disaksikan orang banyak, Bennosuke telah bertarung dengan adil.

Bukankah Arima Kihei sendiri yang menyatakan siap untuk meladeni siapapun yang menantangnya.

Jadi tindakan Bennosuke merupakan suatu duel biasa dan bukan pembunuhan yang bisa dikategorikan sebagai tindak kejahatan.

Namun demikian, Dorin tetap merasa perlu untuk menyingkirkan Bennosuke dari tempat ini.

Ia tidak ingin anak itu menjadi sorotan ataupun bahan gunjingan masyarakat setempat yang mungkin bisa mengundang perhatian aparat atau lebih buruk lagi, kawan-kawan atau kelompok orang yang membela Kihei.

Dorin tahu Bennosuke mampu271 mengatasi hal itu seperti ketika ia berhasil mengalahkan Madajiro dan Fukube.

Bennosuke tidak akan memedulikan omongan orang-orang itu atau apa pun yang dikatakan mereka tentangnya.

Ia tidak akan menjadi sombong ataupun tinggi hati semata-mata karena ia telah berhasil mengalahkan seorang shugyosha seperti Arima Kihei.

***** Beberapa hari kemudian, Dorin mengajak Bennosuke untuk berbincang-bincang tentang hal yang serius.

"Bennosuke, apa yang kuajarkan padamu tentunya belumlah mencukupi. Masih jauh dari apa yang kamu perlukan untuk mengarungi dunia ini. Kuharap kamu mau untuk terus belajar. Belajarlah mengasah dirimu, pikiran dan fisikmu. Jadikan apa yang telah kamu pelajari di sini sebagai bekalmu di masa depan."

Bennosuke mengangguk.

Ia teringat tentang kisah Ryomou (Lu Meng) seorang jenderal yang mengabdi pada Sonken (Sun Quan), salah satu penguasa dalam kisah Sangoku Engi (Sanguo Yanyi ? kisah Tiga Kerajaan atau Samkok).

Ryomou terkenal karena dalam suatu pertempuran di wilayah Ryuubi (Liu Bei), ia berhasil mengalahkan dan menangkap Kanu (Guan Yu) untuk kemudian mengeksekusinya.

Sejak awal Ryomou adalah seorang jenderal yang berbakat, namun sayangnya ia kurang memahami taktik dan strategi militer karena ia bukanlah seorang yang terpelajar.

Ia tidak suka membaca buku.

Adalah Sonken yang terus-menerus272 mendorongnya untuk belajar hingga Ryomou akhirnya benar-benar menjadi seorang ahli strategi militer yang hebat.

Kisah Ryomou itu benar-benar menginspirasi Bennosuke dan memacunya untuk terus belajar.

Tentu selain Ryomou masih banyak lagi tokoh-tokoh terkemuka yang di masa mudanya belajar dengan giat dengan segala keterbatasan mereka, dan dengan berbagai macam tujuan.

Dorin memiliki banyak tokoh teladan untuk dijadikan panutan bagi Bennosuke.

Dorin juga selalu mengajarkan agar Bennosuke menjadi orang yang mandiri agar ia mampu berdikari.

Kehidupannya nanti sebagai seorang shugyosha ? pendekar pedang yang mengembara sembari menuntut ilmu, tentu seringkali melintasi hutan dan gunung, serta daerah yang jarang atau bahkan tidak berpenduduk.

Oleh karenanya Bennosuke harus mampu mengatasi berbagai macam persoalan itu dengan kekuatannya sendiri.

"Ingatlah selalu, Bennosuke. Kamu jangan menggantungkan dirimu pada orang lain. Berusahalah sendiri, berhasil atau tidaknya perjuanganmu adalah tanggung jawabmu sendiri. Jangan pernah menyalahkan orang lain atas kegagalan yang menimpa dirimu."

Kelak di kemudian hari, Bennosuke akan menuliskan pendapat dan pengalamannya mengenai hal ini (Dokkodo ? Jalan Kesendirian, oleh Miyamoto Musashi), yang lebih273 terlihat sebagai disiplin diri serta perenungannya akan dunia dan dirinya.

Dorin telah mempersiapkan upacara jelang dewasa bagi Bennosuke.

Tidak ada hal yang istimewa untuk dilakukan saat itu, kecuali mendoakan Bennosuke serta memberinya nama baru.

Shinmen Takezo ? demikianlah ia kini dipanggil.

"Aku tahu kamu ingin melihat dunia,"

Kata Dorin.

Dunia yang dimaksud adalah keadaan masyarakat dan kehidupan di berbagai wilayah di Jepang.

Takezo memang ingin menjelajahi seluruh wilayah Jepang dan mempelajari kehidupan para penduduknya.

Ia ingin tahu tentang mereka dan apa yang mereka kerjakan.

Walaupun ia telah memutuskan untuk menjadi seorang master pedang, ia perlu mempelajari penghidupan yang lain ? agar ia kelak tidak menyesali keputusannya.

Jika ia memilih satu hal tetapi ia tidak tahu hal yang lain, apakah ia boleh dikatakan seorang yang bijak? Sekalipun ia memilih untuk tidak menjadi pedagang, seniman, petani, dan sebagainya, paling tidak ia perlu belajar mengenai hal-hal yang mereka kerjakan.

Bukankah dalam kehidupan ini, mau tak mau ia akan berinteraksi dengan mereka? Kenali dirimu, kenali musuhmu, kau akan memenangkan pertempuran tanpa kendala ? Sonshi.274 Ketika kita berperang, kita perlu untuk mengenali musuh kita.

Di saat damai, ketika kita berjuang untuk hidup, kita perlu untuk mengenali mereka yang juga hidup bersama kita ? baik kawan ataupun sekadar kenalan.

Lebih dari sekadar untaian kata-kata, apa yang dikatakan Sonshi dan para bijak lainnya perlu untuk direnungkan dengan mendalam sebelum diaplikasikan dalam dunia nyata.

Jika kita tahu, jika kita memahami, namun tidak mempraktikkan, apa yang kita tahu dan pahami hanyalah sekadar ilmu tanpa guna ? sesuatu yang tidak bermanfaat dan hanya membebani pikiran kita saja.

Kini Takezo telah siap menghadapi masa depan ? kehidupan barunya sebagai seorang dewasa.

T A M A T (Bagian Pertama) *******






Munculnya Jit Cu Kiong Istana Mustika Jaka Sembung 3 Menumpas Bergola Ijo Roro Centil 04 Siluman Hitam

Cari Blog Ini