Raja Gendeng 11 Mutiara Pembunuh Bagian 2
"Kenyataannya memang demikian. Tapi yang maha kuasa selalu bermurah hati. Segala bentuk kejahatan pada akhirnya musnah oleh kebenaran. Karena itu sudah waktunya bagimu untuk meninggalkan puncak bukit. Aku akan memberimu bekal berupa sebuah benda yang kuambil dari dasar neraka yang paling panas. Carilah pemuda itu dan temukan Pangeran Durjana."
"Tunggu!"
Dewa Mabok tiba-tiba memotong.
"Aku ingin tahu benda apa yang hendak diberikan padaku dan apa kegunaan benda tersebut bagiku?"
"Benda sakti yang kumaksudkan adalah sebuah Mutiara Pembunuh. Mutiara pembunuh dibutuhkan untuk mengakhiri semua bentuk kekacawan yang ditimbulkan pangeran itu."
"Bagaimana cara menggunakannya?"
Tanya Dewa Mabok tak mengerti.
"Caranya cukup mudah. Ikuti saja kemanapun pemuda yang bernama Raja itu pergi. Begitu dia terlibat perkelahian sengit dengan Pangeran Durjana kau jangan bersikap lengah. Kau harus bersiap siaga dengan mutiara itu. Tunggu kesempatan yang tepat. Kesempatan yang kumaksudkan akan datang pada saat Pangeran Durjana benar benar dalam keadaaan terluka di bagian wajahnya!"
Dewa Mabok anggukkan kepala tanda mengerti. Dalam hati dia merasa lega, Orang tua ini pun lalu rangkapkan dua tangannya di depan dada. Setelah menjura hormat sebagai tanda penghormatan pada Suara Kebenaran Suci dia berucap.
"Aku mengucapkan terinma kasih sebanyak-banyaknya padamu wahai suara suci dari dalam cahaya. Aku tak mungkin melupakan semua ini. Tapi...!"
Sampai disini Dewa Mabok tiba tiba hentikan ucapan.
"Tapi apa? Kau pasti hendak bertanya mengapa aku belum memberikan juga Mutiara Pembunuh yang kujanjikan itu?"
"I-i-ya mana Mutiara Pembunuh yang menurutmu baru kau ambil dari neraka itu?"
"Kau tunggulah sebentar, Mutiara yang kujanjikan akan segera datang kepadamu!"
Suara Suci Kebenaran lenyap.
Sebagai gantinya terdengar suara bergemuruh yang diberengi dengan suara lolong dan jerit mengerikan selayaknya suara ribuan orang yang tengah menjalani siksa.
Terkejut!
Tak kuasa ingin mengetahui gerangan apa yang terjadi.
Serta merta Dewa Mabok mengangkat wajahnya menatap ke atas. Mulut si kakek ternganga lebar mata terbelalak begitu melihat diketinggian langit meluncur sebuah benda bulat lonjong berwarna putih terang dengan warna merah disekeliling tepinya. Benda bulat lonjong itu terus bergerak menuju ke puncak bukit tempat di mana si kakek berada.
Swiit!
Siing!
Buum!
"Walah hampir saja mutiara itu jatuh di atas kepalaku!"
Teriak Dewa Mabok kalang kabut .Beruntunglah dia cepat menghindar dengan bergulingan kesamping hingga benda bulat besar yang jatuh hanya mengenai batu hitam yang didudukinya.
Tanpa menghiraukan pakaiannya yang basah dan kotor terkena tanah becek berair, secepatnya Dewa Mabok bangkit berdiri.
Dia melihat batu kedudukannya hancur menjadi kepingan merah seperti bara.
Diatas kepingan batu tergeletak benda sebesar pelukan orang dewasa.
Benda berwarna putih berkilau.
Cahaya putih kemerahan yang muncul di sekeliling benda perlahan lenyap, Hanya kepulan asap menebarkan hawa panas yang tersisa.
Melihat besarnya benda yang luar biasa.
Dewa Mabok geleng kepala namun cepat memandang ke atas tempat dimana cahaya terang seperti matahari mengambang menggantung diketinggian.
"Apakah ini Mutiara Pembunuh yang kau maksudkan, suara Kebenaran Suci?"
Tanya si kakek.
"Ya. Memangnya kenapa?"
Tanya suara kebenaran di ketinggian.
Si kakek berdecak kagum sambil geleng geleng kepala.
Dia kemudian mendekati mutiara yang ukurannya sangat besar itu.
Baru saja Dewa Mabok hendak menyentuh benda itu dia terpekik kaget.
Mutiara Pembunuh ternyata masih panas.
"Aku belum pernah melihat ada mutiara sebesar ini. Telur gajah sekalipun tidak ada yang segini besar."
"Apakah ada gajah yang bertelur?"
Dewa Mabok garuk-garuk kepala sambil menyeringai.
"Eeh maksudku telur gajah jantan, ee anunya. Itunya yang dibawah yang bergantung dan kembar."
Si kakek lalu tertawa.
"Kau ada-ada saja Gutara. Mutiara itu memang besar dan juga panas karena kudatangkan dari neraka. Tapi kau tak perlu risau. Kau tak perlu menggendong atau memanggul mutiara itu kemanapun dirimu pergi! Dengan kemurahan Yang Maha Kuasa. Mutiara Pembunuh akan menyesuaikan diri. Lihatiah! Buka matamu lebar-lebar!"
Tanpa ragu namun dengan hati diliputi rasa ingin tahu si kakek menatap tajam kearah mutiara itu.
Sekonyong-konyong mutiara putih berkilau bergetar.
Asap putih yang menyelimutinya secara perlahan berangsur lenyap.
Semakin lama getaran semakin menghebat. Dan si kakek pun akhirnya melihat sebuah pemandangan yang menakjubkan.
Mutiara berukuran raksasa yang tergeletak berada tidak jauh dari hadapannya tiba-tiba mengecil.
Semakin diperhatikan Mutiara Pembunuh terus bertambah kecil talu berubah menjadi seukuran ibu jari tangan orang dewasa.
"Luar biasa?"
Gumam Dewa Mabok takjub.
"Kuasa dewa memang melampaui akal manusia."
"Sekarang kau boleh mengambilnya Gutara Tribuana."
Kata Suara Kebenaran Suci.
"Apakah sudah tidak panas lagi?"
Bertanya si kakek dalam keraguan.
"Tidak... Tidak panas lagi. Ambil dan simpanlah di tempat yang aman dan kau boleh mempergunakannya. Pada waktu yang tepat."
Dewa Mabok menarik nafas dalam.
Kemudian dengan langkah perlahan namun pasti dia hampiri mutiara itu.
Si kakek ulurkan tangan.
Mutiara yang ukurannya agak lebih besar dari mutiara biasa lalu disentuhnya dengan ujung jari.
Sesuai yang dikatakan Suara Kebenaran Suci ternyata mutiara itu memang rasanya dingin-dingin saja.
Mutiara dipungut lalu diletakkan dalam genggaman tangan kanan. Tapi begitu Mutiara Pembunuh berada dalam genggaman. Tiba-tiba orang tua itu meraung hebat. Sekujur tubuhnya bergetar. Kilatan-kilatan cahaya putih terang bergerak dari bagian telapak tangan yang menggenggam mutiara lalu menjalar ke tubuhnya.
"Ah, mengapa bisa jadi begitu. Aku seperti disengat ribuan mahluk berbisa!"
Pekiknya kaget. Belum lagi pekik jerit orang tua ini lenyap.
Kilatan cahaya benderang yang menjalar disekujur tubuhnya berangsur mereda.
Dewa Mabok terhuyung.
Tapi ada beberapa keanehan yang dia rasakan.
Keanehan pertama penglihatannya menjadi terang.
Sedangkan keanehan ke dua tubuhnya menjadi enteng seperti kapas.
"Mutiara hebat! Kuasa dewa memang sungguh luar biasa."
Puji si kakek berulang kali.
"Tadi aku merasakan seperti digiring menuju ke gerbang kematian. Aku sempat ketakutan karena aku merasakan banyak dosa dan belum pernah kawin pula. Tidak tahunya Mutiara membuat tubuhku lebih enteng perasaanku seperti remaja tujuh belas tahun. Ha ha ha!"
"Anggap saja kau mendapat kelimpahan berkah, Gutara Tribuana. Sekarang sudah waktunya bagiku untuk undur diri. Dan kau sendiri sudah saatnya tinggalkan pondok bututmu itu!"
Tanpa sadar si kakek menatap ke arah pondoknya.
"Pondok itu memang sudah butut, lebih butut lagi usia penghuninya."
Batinnya. Dia lalu simpan Mutiara Pembunuh ini dari neraka di balik saku celananya.
"Aku berterima kasih atas semua petunjuk yang kau berikan, Suara Suci kebenaran!"
Katanya sambil menjura dalam-dalam.
Tidak ada jawaban yang terdengar.
Heran.
Orang tua itu menatap ke atas.
Dia tertegun ketika menyadari cahaya putih terang yang awalnya dia sangka cahaya matahari ternyata telah lenyap dari tempatnya.
Hanya bintang-bintang yang dilihatnya.
Sementara bulan hampir lenyap di ufuk sebelah barat.
Dewa Mabok menghirup nafas dalam. Setelah itu dia bergegas menuju pondoknya.
*****
Setelah bersusah payah menyingkirkan beberapa Bocah Iblis yang coba menghadang langkahnya, Senopati Rangga Wulung Utama akhirnya terpaksa melewati jalan rahasia untuk mencapai ruangan depan istana.
Raja Gendeng 11 Mutiara Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Usaha itu dia lakukan untuk menghindar dari serangan kawanan lebah yang walau jumlahnya sudah tidak banyak lagi namun tetap menjadi ancaman berbahaya.
Di samping itu jalan rahasia yang dilewati senopati adalah satu-satunya jalan memotong paling dekat untuk mencapai ruangan utama.
Setelah melewati ruangan penuh di lorong yang terletak dibawah istana, Senopati akhirnya sampai di ujung anak tangga yang menghubungkan jalan setapak itu dengan ruangan yang berada di sebelah atasnya.
Tanpa ragu senopati menaiki anak tangga yang jumlahnya tidak lebih dari lima.
Sesampainya dipuncak tangga dia segera mendorong lantai marmar putih yang menutup jalan itu.
Lantai bergeser ke samping.
Senopati julurkan kepala memperhatikan seluruh ruangan yang sunyi.
Dia melihat beberapa perajurit dan seorang perwira tergeletak di ruangan itu.
Tubuh mereka hancur luluh lantak menjadi lendir.
Hanya pakaian saja yang utuh yaitu pakaian seragam perajurit dan perwira kerajaan.
Senopati bergegas naik, lantai kembali digeser .Kemudian dia segera bergegas menuju ruangan depan.
Sesampainya di ruangan depan yang biasa dipergunakan sebagai tempat pertemuan pejabat tinggi dan raja, orang tua berambut panjang ini tercengang.
Dia melihat begitu banyak perajurit menemui ajal di tempat itu.
Tapi melihat keadaan luka ditubuh mereka, jelas yang membunuh perajurit itu bukan kawanan lebah maupun para Bocah Iblis
"Semua ini pastilah perbuatan pangeran busuk itu!"
Geram senopati sambil kepalkan tinjunya.
"Tapi kemana gusti prabu?"
Dengan segenap perhatian dia layangkan pandang. Senopati keluarkan seruan begitu matanya melihat sosok tubuh terbujur di sudut ruangan. Bergegas senopati hampiri sosok berpakaian kuning emas. Begitu sampai di samping orang yang dituju, senopati segera jatuhkan diri berlutut
"Gusti prabu. Keadaan gusti sangat menyedihkan sekali!"
Kata senopati sambil memeriksa sekujur tubuh prabu Tubagus Kasatama yang dipenuhi luka.
Tubuh itu telah dingin.
Orang tua ini melihat luka yang paling parah pada diri rajanya adalah luka dibagian leher dan dada.
Di sekitar luka menganga terlihat warna biru kehitaman pertanda lukanya mengandung racun ganas mematikan
"Maafkan hamba, gusti. Maafkan hamba!"
Teriak senopati begitu sadar jiwa rajanya ternyata sudah tak dapat diselamatkan lagi.
Sementara di bagian depan istana kehadiran kakek dan nenek aneh.
Aki Kolot Raga dan istrinya Nini Burangrang yang tidak terlihat mata itu, di luar dugaan mempunyai peran besar dalam membantu sekaligus menyelamatkan para perwira dan perajurit yang bertarung.
Para perajurit dan perwira merasa heran dan menganggap ada kekuatan dewa yang telah membantu mereka.
Maka mereka tidak menjadi gentar menghadapi sisa-sisa dari Bocah Bocah Iblis dan kawanan lebah ganas.
Diantara bau pesing yang makin santar tercium.
Perwira dan perajurit dengan semangat yang tinggi terus berusaha menghabisi musuh musuhnya.
Sedangkan Ki Kolot Raga dan istrinya yang tak dapat dilihat baik oleh lawan maupun perajurit istana dengan mudah membantai lebah-lebah yang beterbangan mencari sasaran.
Bahkan saat mereka menghadapi bocah-bocah iblis, mereka tidak lagi menemui banyak kesulitan.
Para bocah iblis menjadi hilang kesaktiannya setelah tubuh mereka terkena percikan air kencing si nenek. Tak lama kemudian suaminya bahkan ikutan mengencingi musuh-musuhnya.
Tindakan yang dilakukan Aki Kolot tentu membuat lawan makin tidak berdaya.
"Aku tidak menyangka kau bisa menemukan kelemahan mahluk-mahluk ini istriku!"
Berkata Aki Kolot. Dan tentunya ketika dia bicara suaranya sama sekali tidak dapat didengar oleh perajurit, perwira maupun musuh.
"Semuanya bermula dari air najis. Tapi sudahlah suamiku, mengapa kau tidak kencing saja yang banyak. Dengan begitu perajurit istana sangat semangat karena mereka menyangka yang kencing adalah dewa. Hi hi hi.!"
"Air kencingku sudah habis."
Sahut si kakek.
"Coba kau mengedan. Pasti masih ada sisa yang bisa dikeluarkan!"
Kata si nenek.
"Aku sudah mencoba. Bukan air hebat itu yang keluar. Sebaliknya pusaka keramatnya yang hendak terbang. Ha ha ha!"
Si nenek, cemberut. Sambil terus menggebuk kesana kemari dengan kipasnya ke arah kawanan lebah dia berkata.
"Pusaka karatan tak tahu diri. Coba kau angsurkan ke arah sini."
"Eh buat apa istriku?"
Tanya Aki Kolot tak mengerti.
"Aku mau menggebuknya dengan Kipas ini sampai remuk biar kau tahu rasa. Hik hik hik!"
Sahut Nini Burangrang lalu mengumbar tawa bergelak
"Ah tega-teganya kau bicara seperti itu."
Gerutu Aki Kolot bersungut-sungut.
Entah kesal atau marah.
Si kakek tiba-tiba berteriak, lalu ayunkan tongkat hitamnya ke arah beberapa bocah iblis yang berada di depannya.
Para Bocah iblis memang kesakitan.
Mereka hendak membalas, tapi karena kedua kakek nenek itu tidak terlihat mereka jadi tak tahu ke arah mana serangan harus dilakukan.
Satu demi satu bocah itupun terkapar.
Begitu terjatuh di tanah tubuh mereka lenyap berubah menjadi kepulan asap.
*****
Kita kembali pada Raja.
Pemuda itu menjadi sangat marah ketika tahu puteri Arum Senggini bukan cuma telah menjadi korban totokan biasa Pangeran Durjana tetapi juga kena totokan perangkap nafsu bejat Pangeran Durjana.
"Mahluk busuk sepertimu tidak layak lagi berada di dunia ini!"
Geram Raja yang ditanggapi dengan tawa sang Pangeran Durjana. Raja Gendeng tidak menanggapi. Sebaiknya kini dia berseru ditujukan pada puteri Nila Agung.
"Puteri Nila, sebaiknya bawa saudarimu itu menyingkir dari tempat ini!"
Tanpa bicara si gadis segera berusaha membawa Arum Senggini pergi menuju ke yang lain. Tapi diluar dugaan dengan menggunakan tangannya yang kini bisa bergerak Arum Senggini menepis niat baik adiknya.
"Tidak mau. Aku tidak mau pergi. Aku lagi kasmaran mengapa kau menggangguku. Iri ya? Hi hi hi..."
Bentak si gadis. Kemudian tanpa merasa malu atau merasa risih Arum Senggini mengusap dan membelai bagian bagian tubuhnya sendiri.
"Celaka! Dia sudah dirasuki nafsu sesat pangeran laknat itu, Raja!"
"Ah gila betul!"
Gerutu pemuda itu bingung sendiri
"Dia sudah ditakdirkan berjodoh denganku Raja Gendeng. Bahkan seandainya kau tidak datang kesini mencampuri urusanku, adiknya juga telah ditetapkan menjadi jodohku! Pemuda sinting pengusik kesenangan orang, sekarang terimalah kematianmu!"
Teriak Pangeran Durjana.
Sambil keluarkan teriakan menggeledek, kaki yang mengambang sejengkal di atas lantai bergerak selangkah ke depan.
Lalu tanpa suara kaki kanan menderu ke depan.
Belum lagi kaki yang menendang mengenai sasaran, Raja tiba-tiba merasakan ada satu kekuatan luar biasa besar melabrak dadanya.
Raja tercekat namun cepat ambil tindakan dengan mendorong dua tangan ke depan.
Gerakan tangan Raja bukan gerakan biasa karena Sang Maha Sakti menyertakan ilmu pukulan sakti Badai Serat Jiwa .Tidak mengherankan begitu dua tangan berkiblat terdengar suara menderu tak ubahnya badai yang mengamuk disertai berikiblatnya cahaya kuning menyilaukan mata.
Begitu pukulan melabrak kaki, hantaman keras tak terlihat yang menghimpit dadanya lenyap.
Sedangkan kaki lawan yang seharusnya menghantam perut Raja tampak bergetar.
Pangeran Durjana terdorong mundur sejauh tiga langkah, suara deru terus melabrak ke arah sang pangeran Durjana.
Namun hanya dengan kibaskan tangan kirinya serangan sakti yang dilakukan Raja musnah.
Sebaliknya di sebelah depan Raja terhuyung.
Pangeran Durjana tertawa dingin.
Wuut!
Tiba-tiba tubuh sang pangeran melambung, jungkir balik di udara.
Selanjutnya dalam keadaan rebah mengambang setinggi dada dia melesat ke arah lawan.
Dua tinju terkepal.
Menggunakan jurus Tarian Rajawali. Raja liukkan tubuh lalu berkelit ke samping .Selanjutnya dengan tangan kiri dia menghantam lawannya.
Tak!
Uuh....!
Raja Gendeng keluarkan seruan tertahan.
Sambaran tangan kiri yang dia pergunakan untuk meremukkan dua lengan lawan justru terasa sakit tak ubah seperti menghantam gunung karang .Pemuda itu terhuyung dan selagi belum sempat mengimbangi diri, satu tamparan keras mendarat dibahu sementara dua pukulan mendarat di dada kiri. Tamparan dan pukulan yang keras membuat Sang Maha Sakti jatuh terbanting.
Raja Gendeng 11 Mutiara Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi sesuatu yang aneh diluar dugaan terjadi pada lawannya.
Pangeran Durjana yang mempunyai berbagai ilmu aneh tiba-tiba melompat mundur ke belakang sambil kibas-kibaskan tangan yang dipergunakan untuk memukul dada Raja.
Berdiri tegak dengan tubuh tergontai, Pangeran itu memperhatikan punggung jemarinya yang bengkak menggembung .Setelah itu dia memperhatikan lawan yang sudah bangkit berdiri.
Dengan mata mendelik seakan tak percaya mulut sang pangeran mendesis.
"Baju itu? Baju sakti apa yang melekat ditubuhmu? Pakaianmu membuat seranganku berbalik menghantam diri sendiri!"
Raja yang baru mengetahui pakaian saktinya memberi reaksi saat dirinya diserang diam-diam merasa kagum, namun kemudian menyeringai
"Terkejut pangeran iblis? Ini belum seberapa. Sebentar lagi aku mencabik-cabik tubuhmu dengan pedangku!"
"Kau tak bisa melakukannya. Pedang saktimu mungkin bisa saja menjadikan tubuhku ini berubah menjadi kepingan. Tapi tak banyak artinya karena setiap potongan tubuhku bakal bertaut kembali!"
Sahut Pangeran disertai seringai mengejek.
"Aku telah melihatnya. Tapi sebelum mampus kiranya kau pantas menjajal manisan dari neraka!"
Belum lagi ucapan pemuda itu lenyap, Raja telah melesat ke depan, merangsak lawan dengan menggunakan jurus Delapan Bayangan Dewa.
Pangeran Durjana dan setiap orang yang berada di ruangan itu sama melihat betapa tubuh Raja bergerak cepat menjadi delapan bayangan aneh yang mengurung lawan dari segala penjuru.
"Jurus aneh apa yang dimiliki pemuda edan itu. Mengapa tubuhnya berubah menjadi banyak. Apakah mungkin dia juga mempunyai Ilmu Bayangan Kembar sebagaimana yang kumiliki."
Membatin Pangeran Durjana dalam hati.
Tapi dia tidak dapat memikirkan segala keanehan yang dilihatnya lebih lama.
Apalagi setelah menyadari walau dia telah berusaha berkelit, menghindar dari serangan tetap saja beberapa bagian tubuhnya menjadi sasaran dan pukulan lawan.
Sambil menggeram Pangeran Durjana tiba tiba memutar tubuh dan membuka pertengahan jubah sebelah kiri juga disebelah kanan.
Kedua ujungnya digerakkan sekaligus melepas serangan ganas dikenal dengan nama Kain Iblis Menyelimut Bumi Buut!
Wuus!
Angin dingin, laksana es menderu tindih menindih, melabrak kesegenap penjuru dan menghancurkan apa saja yang terdapat di sekitarnya.
Di sudut ruangan, Nila Agung yang terus membujuk sambil memegangi saudaranya menjerit keras, tubuh terpental lalu terbanting ke sebelah kiri.
Sedangkan Arum Senggini terkapar disudut sebelah kanan.
Sementara itu, Raja yang telah berusaha menggempur lawan dari segala penjuru, begitu merasakan ada angin dingin melabrak tubuhnya segera menghantam sambil lindungi diri dengan pukulan Cakar Sakti Rajawali.
Tapi baru saja tangannya terjulur dan jemarinya membersitkan cahaya seperti cakar rajawali besar, serangan ilmu Kain Iblis Menyelimuti Bumi telah melabrak tubuhnya. Tanpa ampun pemuda itu jatuh terpelanting.
Dinding di belakangnya jebol, langit-langit dan bagian atapnya hancur luluh berserakan menjadi kepingan. Megap-megap pemuda ini segera bangkit .Mata dipentang memperhatikan sekelilingnya.
Sunyi.
Hanya kepulan asap dan reruntuhnn bangunan saja yang dilihatnya.
Raja menjadi cemas.
Terlebih ketika tak melihat lawan berada di tempat itu.
Diapun mulai mencari sambil memanggil-manggil nama puteri Nila Agung.
"Puteri... dimanakah dirimu..."
Seru Raja sambil berusaha mengalirkan tenaga dalam berhawa hangat kesekujur tubuhnya yang serasa luluh lantak dan membeku.
"Ark....tolong aku...."
Terdengar suara erangan lirih disebelah kirinya.
Pemuda itu bergegas menghampiri ke arah datangnya suara.
Dia melihat Nila Agung nampak meringkuk setengah terbujur dibawah puing reruntuhan.
Tanpa bicara Raja menyingkirkan puing-puing itu.
Dia melihat sang puteri meringis kesakitan.
Wajah pucat kebiruan, pakaian dan rambutnya kotor, bahkan mahkota yang bertengger diatas kepalanya hilang tercampak entah kemana.
"Ak....aku tidak bisa bernafas.Tubuhku seperti membeku. Aku...."
Sambil terbata-bata Nila Agung jelalatan memperhatikan kesamping.
"Kakakku... saudaraku itu. Dia....dia membawanya!"
"Celaka! Dia sengaja membuat kekacauan seperti ini. Dia mencari kesempatan untuk membawa pergi puteri Arum Senggini!"
Desis Raja. Pemuda itu lalu menolong membantu sang puteri agar dapat duduk. Begitu terduduk barulah Raja dapat melihat jelas dari mulut dan hidung Nila Agung menetes darah kental.
"Tolong temukan saudaraku itu...!"
Pinta si gadis dengan nafas mengengah.
"Aku tahu, aku akan melakukan pengejaran. Tapi aku harus membantumu dulu. Kau menderita cidera dalam cukup parah. Jika aku tidak mengalirkan tenaga dalam ketubuhmu, jiwamu mungkin tidak tertolong lagi!"
"Bb...baiklah, bantu aku..."
Jawab si gadis sambil memaksakan diri untuk tersenyum. Raja tak mau membuang waktu.
Dia lalu menggeser tubuhnya hingga berada tepat di belakang Nila Agung.
Setelah menghela nafas dalam-dalam lalu dia ulurkan kedua telapak tangannya.
Telapak tangan yang dibuka ditempelkan di punggung sang puteri.
Begitu telapak tangan menyentuh punggung yang dingin seperti es, Raja segera alirkan hawa murni hangat yang disusul dengan pengerahan tenaga sakti.
Beberapa saat kemudian sekujur tubuh Nila Agung bergetar.
Dari kedua bahu hingga kebagian ubun-ubunnya tampak mengepulkan asap putih tebal.
Nila Agung merasakan tubuhnya perlahan lahan berubah menjadi hangat sementara dada yang menyesak sedikit demi sedikit menjadi longgar.
Tapi ada sesuatu yang mendesak dari dada.
Si gadis terbatuk beberapa kali lalu muntahkan darah kental hitam sebesar jemari tangan.
"Keluarkan terus! Darah beku seperti itu akan sangat berbahaya bila tetap mendekam di dadamu!"
Ujar Raja sambil lipat gandakan hawa murni ke tubuh Nila Agung.
Setelah tubuh si gadis menjadi hangat dan wajah yang pucat kebiruan berangsur normal kembali ke warna aslinya. Raja menjauhkan tangannya dari punggung sang puteri.
"Terima kasih kau sudah menyelamatkan nyawaku." ucap sang puteri dengan mata berkacakaca.
Raja anggukkan kepala.
Dia segera membantu sang puteri tegak berdiri.
Setelah keduanya berdiri dan berhadap-hadapan Raja berkata.
"Membantu setiap orang yang butuh pertolongan merupakan kewajiban setiap insan. Kau tidak perlu memakai banyak peradatan. Sekarang ini kau butuh memulihkan diri. Sedangkan aku harus segera mengejar Pangeran Durjana yang telah melarikan saudaramu."
Ucapan Sang Maha Saldti membuat Nila Agung terdiam. Sebenarnya dia ingin menahan Raja agar tinggal di istana lebih lama lagi. Apalagi mengingat keadaan di istana masih kacau dan dia juga belum tahu bagaimana nasib ayahanda prabu. Di samping itu juga jauh dilubuk hati sang puteri sebenarnya dia masih ingin berlama-lama bersama Raja. Dia merasa rindu pada Raja. Dan sejak pertemuan pertama di pantai Carita malam itu, Nila Agung memang sulit melupakan Raja.
Namun mengingat dia juga mengkhawatirkan keselamatan Arum Senggini saudaranya, dengan berat hati akhirnya dia berkata.
"Aku tidak bisa menahanmu lebih lama. Aku berharap saudaraku bisa kau tolong. Aku tak ingin kehilangan dia. Tapi kumohon kau juga bisa menjaga dirimu baik-baik."
Raja tersenyum.
"Aku bisa menjaga diriku. Kau tak usah risau. Aku yakin pangeran itu tak bakal lolos dari tanganku....!"
Sahut Raja.
"Aku percaya padamu, tapi aku tetap menghawatirkan keselamatanmu juga."
Ujar Nila Agung sambil menatap Raja dengan tatapan sendu penuh arti.
Raja menyeringai lalu menggaruk kepala.
Baru saja dia hendak berucap di ruangan itu tiba tiba muncul seorang kakek bertubuh pendek berambut panjang sebetis dan berpakaian kuning. Raja yang mengenali si orang tua karena sebelumnya pernah menolong membantu si kakek yang bukan lain adalah senopati kerajaan anggukkan kepala.
"Bagaimana keadaanmu senopati?"
Bertanya Raja sambil menatap orang tua itu.
"Beginilah keadaanku anak muda. Mungkin tanganku yang cidera tidak bisa pulih seperti sebelumnya. Namun aku bersyukur hingga saat ini aku masih diberi kesempatan hidup oleh Yang Maha Kuasa."
Jawab senopati.
Si orang tua kemudian beralih pada Nila Agung yang menatapnya dengan tatapan penuh tanya.
Walau gadis itu tidak mengajukan satupun pertanyaan tetapi senopati dapat merasakan ganjalan di hati si gadis.
Senopati cepat berlutut.
Tangan kiri yang tidak cidera segera diletakkan di depan dada ,kepala tertunduk dan dengan suara serak parau penuh prihatin dia berucap.
"Ampun seribu maaf, gusti puteri. Hamba tidak mampu melindungi gusti prabu...."
"Apa yang terjadi dengan ayahanda prabu, kek?"
Bertanya si gadis dengan mata berkaca-kaca namun dia tetap berusaha tabah.
Mendapat pertanyaan itu wajah senopati tertunduk makin dalam
"Gusti puteri.Ayahanda prabu gusti puteri tidak tertolong. Pangeran Durjana membunuh beliau. Saat ini beliau saya semayamkan di ruang peristirahatan, sekali lagi maafkan hamba yang bodoh ini gusti!"
Setabah-tabahnya Nila Agung, mendengar kematian orang tua yang dikasihi dia tak kuasa membendung tangisannya. Sambil menangis sesunggukkan mulutnya meratap.
Raja Gendeng 11 Mutiara Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jagad Dewa Bathara. Mengapa dia pergi begitu cepat. Aku bahkan tak diberi kesempatan membalas kebaikannya. Hu hu hu!"
Melihat Nila Agung menangis, Sang Maha Sakti Raja Gendeng rupanya merasa iba.
Sedangkan senopati yang merasa bersalah diam tertunduk ditempatnya.
"Setiap orang pasti pernah kehilangan. Kau harus tabah. Hendaknya pula kau selalu ingat bahwa hidup manusia pasti ada batasnya."
Ucap Raja sambil mengusap rambut hitam panjang Nila Agung. Sang puteri semakin tersentuh, dia larut dalam tangis.
Namun setidaknya dia merasa sedikit berlega hati karena dalam keadaan yang sulit masih ada orang memperhatikan.
"Terima kasih atas nasihatmu,"
Ucap Nila Agung sambil menyeka air mata yang membasahi pipi.
Setelah itu dia lanjutkan ucapan.
"Aku mohon bantulah kami. Cari Pangeran Durjana dan temukan kakakku puteri Arum Senggini. Aku tak mungkin pergi menyertaimu, harus ada yang merawat ayahku sampai sampai pada pemakamannya."
"Aku tahu. Pergilah! Temui ayahmu."
Kata Raja. Kemudian pada senopati. Raja juga berkata.
"Paman senopati, bantulah gusti puteri. Gusti prabu dan yang lain-lainnya harus dimakamkan. Sedangkan aku akan mencari dimana Pangeran Durjana itu berada."
"Tak perlu khawatir pendekar sakti. Ini sudah menjadi kewajibanku. Kuharap kau berhati-hati, lawan yang kau hadapi itu bukan manusia biasa. Selain sakti dia berbeda dengan kita."
Pesan senopati.
Raja anggukkan kepala.
Setelah berpamitan pada Nila Agung pemuda itu berjalan menuju ke bagian belakang istana.
Tapi sebelum pemuda itu sampai di taman belakang.
Di tengah jalan dia dikejutkan dengan kehadiran Kabut Hitam. Mahluk besar yang aslinya adalah gadis berilmu sangat tinggi yang dengan kesaktiannya pernah mencoba mencuri kabar di kayangan itu.
Sebagaimana telah diketahui berusaha mengejar sisa-sisa bocah iblis yang melarikan diri masuk ke istana.
Tapi Kabut Hitam, kemudian kehilangan jejak. Anjing besar ini kemudian berniat membantu Raja.
Tapi sebelum dia muncul di ruangan tempat dimana pertempuran terjadi, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dahsyat yang memporak porandakan ruangan yang bersebelahan dengan peraduan kedua puteri raja.
Baru saja Kabut Hitam mencoba mencari tahu gerangan apa yang telah terjadi. Sang Maha Sakti Raja Gendeng muncul di depannya.
Melihat kehadiran Raja, Kabut Hitam menjadi bingung.
Dia ragu apakah dia harus bicara pada pemuda itu.
Mengingat pada pertemuan sebelumnya dia memang tidak pernah bicara apapun pada Raja.
"Kau disini? kebetulan sekali. Apa yang kau lakukan di tempat ini?"
"Ah, ya waktu itu aku lupa mengucapkan terima kasih kepadamu. Tapi... apakah kau yang menyediakan kuda itu untukkku?"
Kata Raja sambil pandangi anjing besar berbulu hitam pekat itu.
"Ya... memang kuda itu untukmu. Aku juga yang meninggalkan pesan di daun lontar,"
Sahut Kabut Hitam dengan suara lirih bergetar.
Tak menyangka Kabut Hitam ternyata bisa bicara. Raja menjadi terkejut sekali.
"Kk...kau bisa bicara? Mengagumkan sekali. Baru kali ini aku melihat mahluk sepertimu bisa bicara selayaknya manusia. Biasanya..."
Raja tidak menyelesaikan ucapan. Sebaliknya dia menelan ludah sambil tatap mahluk itu dengan mata terbelalak
"Biasanya anjing hanya bisa melolong. Bukankah begitu yang ingin kau katakan?"
Kata Kabut Hitam. Raja Gendeng menyeringai.
"Maaf memang itu yang ingin kukatakan. Tapi aku tak mengerti bagaimana dirimu bisa bicara?"
Kabut Hitam mendengus.
"Mengenai diriku tak perlu diungkit. Satu yang kiranya patut kau ketahui wahai pewaris istana pulau Es. Dulunya aku adalah manusia, sama sepertimu. Sesuatu yang buruk menimpaku dan itu merupakan ketololanku di masa lalu."
Terang Kabut Hitam
"Agaknya kau pernah mengalami kejadian yang hebat. Walau aku ingin mengetahui lebih banyak tentangmu, tetapi nanti saja di lain hari. Saat ini aku ingin tanya bagaimana kau bisa tahu aku berasal dari istana Pulau es?"
"Mengenai bagaimana aku bisa tahu siapa dirimu rasanya tak perlu mengatakannya padamu. Masih banyak urusan penting yang harus diselesaikan. Ketahuilah aku baru saja menghalau dan membunuh sebagian bocah iblis dan kawanan lebah di taman belakang. Sayang aku tidak sempat menolong pejabat tinggi istana yang terluka parah di tempat itu."
Terang Kabut Hitam yang segera disambut Raja dengan ucapan.
"Kau telah banyak membantu aku. Mengapa kau melakukan semua ini padahal kita tidak saling mengenal."
"Membantu orang yang sedang dilanda berbagai kesulitan sebenarnya menjadi kewajiban setiap insan. Ada pun tentang alasanku, kau tak perlu tahu..."
"Hmm, begitu. Tapi aku perlu tahu mengapa kau memperhatikan aku saat nyaris telanjang di depan gua waktu itu? Apakah kau menikmatinya ataukah kau merasa aneh dan belum pernah melihat kodok menggigil kedinginan?"
Walau ucapan Raja hanya sekedar bercanda, namun Kabut Hitam merasa tersinggung. Andai rupa dan ujudnya tidak dalam keadaan seperti itu. Tentu Raja dapat melihat betapa wajah si gadis menjadi merah.
"Jangan berperasangka buruk padaku. Sama sekali aku tidak bermaksud melihatmu apalagi menikmati pemandangan konyol itu. Lagi pula aku lebih suka melihat pemandangan bagus. Jadi buat apa mengintai barang jelek butut begitu."
"Eeh jangan sembarangan. Biar butut tapi yang satu itu hebat. Sekali dia terjaga sepuluh gadis berlutut di depanku. Ha ha ha..!"
"Apa maksudmu?"
Tanya Kabut Hitam tak mengerti.
"Oalah, kau tidak mengerti atau pura-pura tak mengerti. Tapi sudahlah, lebih baik kau lupakan gurauanku. Saat ini aku harus mengejar Pangeran Durjana yang melarikan diri."
"Aku tahu. Tapi bukankah aku telah memberikan seekor kuda padamu?!"
"Iya. Kuda itu ada dihalaman diluar benteng istana. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan Angin Ribut,"
Ucap Raja menyebut nama kuda pemberian Kabut Hitam.
"Kalau begitu aku tak akan menahanmu lebih lama. Sekarang kau boleh pergi."
"Apakah kau tidak mau ikut denganku?"
"Lihat saja nanti. Kau pergi saja duluan." kata Kabut Hitam
"Aku tidak mau memaksa. Sekali lagi aku ucapkan banyak terima kasih atas segala bantuan yang kau berikan kepadaku. Selamat tinggal. Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi."
Kata Raja.
Sang anjing menggerung lirih sambil anggukkan kepala.
Sang Maha Sakti sendiri kemudian berkelebat melewati tembok benteng istana.
Sekejab kemudian raib.
Kabut Hitam berdecak kagum melihat ilmu meringankan tubuh serta kecepatan gerak Raja yang luar biasa itu.
Dalam hati dia berucap,
"Hyang Jagad Dewa Bathara, aku tak pernah menyangka .Engkau mempertemukan diriku dengan seorang pendekar tampan selugu dia. Keadaan diriku yang seperti ini membuatku merasa ingin selalu berdekatan dengannya. Mengapa dewa tidak mempertemukan aku dengannya disaat dulu sebelum rupa dan ujudku seperti ini."
Kabut Hitam dongakkan kepala menatap ke langit. Saat itu malam hampir berganti pagi. Sayup-sayup dia mendengar suara ayam berkokok dikejauhan.
Kabut Hitam menarik nafas dalam. Setelah itu dia berlari menuju istana. Rupanya sebelum pergi mahluk kutukan ini ingin memastikan Bocah-Bocah Iblis maupun kawanan lebah Pembunuh benar-benar sudah tidak ada lagi yang bertahan dilingkungan istana.
*****
Setelah selesai membantu perwira dan perajurit kerajaan di halaman depan. Aki Kolot Raga dan istrinya Nini Burangrang akhirnya memutuskan untuk meninggalkan istana diam-diam
"Aku kasihan melihat puteri Nila Agung kehilangan saudaranya,"
Berkata Nini Burangrang yang berjalan disamping si kakek.
"Ya Pangeran Durjana telah berhasil melarikan puteri Arum Senggini. Kurasa itu pula yang menjadi alasan mengapa pemuda gondrong bersenjata pedang yang datang ke istana dengan menunggang kuda aneh tak dapat mengikuti pemakaman gusti prabu...."
"Kau yakin pemuda gondrong itu ingin mengejar Pangeran Durjana?"
Tanya si nenek disertai kerlingan nakal.
"Aku yakin sekali. Mana mungkin dia mengejar dirimu. Kalau dia berani melakukannya aku akan gebuk dia dengan tongkatku ini!"
Tukas Aki Kolot Raga tak dapat menutupi rasa cemburunya. Nini Burangrang tertawa mengikik
"Kalau pemuda itu jatuh cinta padaku. Kurasa itu wajar-wajar saja. Aku kan cantik. Hi hi hi"
Ucap si nenek sengaja memanas-manasi. Aki Kolot menggeram matanya mendelik.
"Kumohon kau jangan berkata lagi seperti itu. Ucapanmu membuat darah ini mendidih, jantung deg-degan dan hatiku bisa meleleh. Kau tidak boleh jatuh cinta pada siapapun istriku. Kau hanya milikku seorang."
"Hik hik. Kau takut aku meninggalkanmu ya?"
Cibir si nenek.
"Ya itu pasti. Kuakui kau memang sangat cantik, sedangkan aku sudah tua dan tambah jelek pula. Tapi kalau dalam urusan yang satu itu aku tidak pernah membuatmu kecewa."
Ucap Aki Kolot sambil unjukkan tampang sedih memelas
"Ya sudah. Begitu saja kau sudah mau menangis. Sekarang lebih baik kita susul saja pemuda itu."
Usul Nini Burangrang membuat Aki Kolot hentikan langkah menatap istrinya dengan sorot curiga.
"Mengapa menyusul dia. Bukankah kita harus ke timur. Kita harus menemukan kitab Dewa Naga. Aku tidak mengerti mengapa jalan pikiranmu selalu berubah-ubah. Jangan-jangan kau tertarik pada si gondrong aneh berpakaian kelabu itu."
"Wah-wah-wah. Cemburu sih boleh-boleh saja Ki. Tapi kalau keterlaluan tolol itu namanya. Aku ingin tahu apa yang terjadi, mungkin saja dia butuh bantuan kita."
"Aku tak perduli lagi apa yang bakal terjadi. Kau minta datang kesini aku datang. Kau minta aku ikut bantu kerajaan aku bantu. Lagi pula apakah kau lupa.?"
"Lupa apa? Memangnya ada yang kulupakan?" katanya si nenek
"Bukankah kau berjanji begitu urusan di Istana selesai kita akan mencari tempat yang bagus untuk memadu kasih!"
Raja Gendeng 11 Mutiara Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Aki Kolot sambil julur lidah basahi bibir
"Ah hi hi hi. Aku tidak melupakan setiap janji yang kuucapkan. Tapi aku tidak bisa memenuhi permintaanmu saat ini. Kita harus menyusul pemuda itu!"
"Oh gusti pangeran. Lagi-lagi aku harus gigit jari,"
Ujar si kakek kecewa.
Setelah sempat diam dan berpikir akhirnya Aki Kolot melanjutkan.
"Baiklah Nini. Demi menyenangi hatimu... Rasanya walau harus ke neraka pun aku turut"
Nini Burangrang tersenyum sebagai tanda kemenangan.
Tanpa bicara lagi ke dua kakek dan nenek ini akhirnya bergegas meninggalkan gerbang istana.
Tapi baru saja keduanya hendak menggunakan ilmu lari cepat yang mereka miliki.
Tiba-tiba saja terdengar suara dengus sekaligus bentakan di belakang mereka.
"Dua orang tua yang menyembunyikan diri dari balik pandangan mata tak ubahnya setan. Siapa kalian dan hendak pergi kemana?!"
Terkejut Nini dan Aki Kolot lalu hentikan langkah.
Seketika keduanya balikkan badan menatap ke depan.
Kedua suami istri ini terkejut dan saling berpandangan ketika melihat di depan mereka berdiri tegak seekor anjing berbulu hitam bermata merah
"Ada anjing sebesar itu?"
Desis si nenek.
"Anjing itukah yang bicara? Mengapa suaranya seperti suara gadis cantik?"
Kata si kakek pula.
"Tak usah bingung dua orang tua aneh. Aku yang baru saja bicara. Aku adalah Kabut Hitam. Kalian siapa?"
Kata sang anjing sambil menatap curiga.
"Kabut Hitam? Kau ini anjing sungguhan atau anjing jejadian?"
Kata Aki kolot
"Anjing sungguhan atau anjing jejadian apa bedanya? Mengapa kau ada ditempat ini dalam keadaan seperti itu?"
"Ah ya. Seharusnya kami merasa kagum .Bagaimana kami yang berada dalam pengaruh ilmu melenyapkan diri dapat terlihat olehmu. Padahal Bocah-Bocah Iblis dan kawanan lebah yang menyerang istana tak dapat melihat kehadiran kami."
"Kau betul istriku. Walau heran sekaligus merasa takjub padamu. Ketahuilah kami baru saja membantu kerajaan dalam menghalau kaki tangan Pangeran Durjana. Kami bukan musuh, kami tidak bermaksud jahat. Namaku Aki Kolot Raga dan istriku ini bernama Nini Burangrang. Kuharap kau di pihak yang sama."
"Hm, ternyata kau membantu kerajaan. Akupun baru saja melakukan pekerjaan yang sama. Semula aku menduga kalian adalah kaki tangan pengikut Pangeran Durjana. Ternyata kalian berdua ikut menyumbangkan bakti membantu kerajaan. Bagus. Tindakan kalian terpuji."
Aki Kolot melangkah maju satu langkah.
Setelah memperhatikan sang anjing dengan sorot mata masih menyimpan heran, orang tua ini membuka mulut dan berucap.
"Kami tidak ingin mendapatkan pamrih, Dan perlu kau ketahui, aku bukan orang yang selalu bertindak lempang."
Nini Burangrang menimpali.
"Jalan hidup kami berbelok-belok seperti aliran sungai. Hari ini mungkin saja banyak melakukan bakti menebar kebaikan siapa yang menduga esok kami justru membunuh orang yang tidak berdosa."
"Hmm, ternyata kalian termasuk manusia remang-remang, setengah sesat setengah baik mengapa?"
"Aku tidak tahu..." menyahut Aki Kolot sambil menyeringai.
"Masalah itu jangan tanyakan pada suamiku. Dia hanya tahu urusan perut juga apa yang ada di atasnya juga yang ada di bawah itu. Hik hik "
"Nenek gila! Jangan bicara ngaco dihadapanku. Sekarang sebaiknya kalian berterus terang padaku, kalian berdua hendak kemana?"
Hardik Kabut Hitam disertai seringai angker menggidikkan.
Melihat sang anjing membuat kuda-kuda dan siap menyerang.
Nyali si nenek pun jadi ciut
"Mm, maafkan... Aku mengira kau mahluk yang suka bergurau. Tak disangka kau malah tersinggung. Baiklah aku ingin berterus terang. Kami sebenarnya ingin menyusul permuda gondrong bersenjata pedang itu."
"Kau hendak menganggunya?"
"Oh tidak. Kami bahkan berniat membantu kalau pemuda itu memang butuh pertolongan! Eeh apakah kau mengenalnya?"
Berkata si kakek.
"Tapi kurasa dia tak butuh bantuan kalian. Biarkan aku yang akan membantu. Dan itupun bila aku melihat dia memang butuh bantuan,"
Tegas Kabut Hitam ketus
"Baiklah.., tapi izinkan kami melihat apa yang akan terjadi. Kami berjanji tidak akan melakukan apapun."
Kata si nenek memelas. Kabut Hitam diam memperhatikan.
Melihat keduanya tampak bersungguh-sungguh, sang anjing berkata
"Baiklah! aku mengizinkan kalian pergi. Ikuti aku dan jangan lakukan apa pun bila tak kuminta. Ingat, walau kalian tak terlihat namun ilmu tipuan mata yang kalian pergunakan saat ini tidak ada artinya bagiku!"
"I... ya iya, aku...eh maksudku kami berdua mengerti,"
Ucap si nenek dan si kakek bersamaan. Sang anjing dongakkan kepala.
Kemudian tanpa menoleh lagi dia berkelebat tinggalkan tempat itu. Melihat gerakan Kabut Hitam yang begitu cepat tak ubahnya seperti kilat menyambar, Aki Kolot Raga geleng geleng kepala.
"Luar biasa! ilmu kesaktian apa yang dimliki mahluk itu. Mengapa dia mampu bergerak secepat itu?"
Desis Nini Burangrang.
"Aku juga tak tahu. Mungkin ilmu hantu dikejar iblis istriku. Ha ha ha....!"
"Hantu gundulmu itu yang tak tahu diri." dengus Nini Burangrang sambil berlalu dan menyusul mahluk kutukan itu.
"Ah istriku. Aku tahu setan gundulku memang tidak tahu diri. Tapi tanpa setan gundul kau pasti tak mau menjadi istriku. Hek-hek hek!"
*****
Di sepanjang jalan sambil memanggul tubuh puteri Arum Senggini di atas bahu di sebelah kiri Pangeran Durjana terus merutuk tiada berkeputusan. Dia tidak pernah menduga penyerbuannya mengalami kegagalan.
"Para pendatang itu. Bagaimana mereka bisa tahu aku bakal menyerang istana? Anjing Hitam, dua penyerbu yang tak bisa dilihat oleh kaki tanganku dan Sang Maha Sakti Raja Gendeng...!"
Geram sang Pangeran sambil terus berlari.
"Diantara mereka semua hanya Raja Gendeng lawan yang paling berat. Aku tidak akan membiarkan segala penghinaan ini terjadi. Aku belum kalah. Mereka semua harus tahu siapa aku. Sayang... aku tidak berhasil membawa kedua putri raja sekaligus!"
Batin Pangeran Durjana.
Laki-laki tinggi yang dapat merubah-rubah wajah dan penampilannya itu terus saja berlari.
Sambil berlari otaknya berpikir cepat.
Apakah dia harus membawa puteri Arum Senggini ke istana Kekuasaan dan Hasrat Cinta.
Tapi istana itu letaknya sangat jauh dari Malingping.
Dibutuhkan waktu setengah hari perjalanan dengan manggunakan seluruh limu lari cepat yang dia miliki.
"Aku tidak mungkin kembali ke istana Kekuasaan & Hasrat Cinta. Gadis ini terus mengerang. Aku tahu seluruh jiwa dan raganya telah dirasuki nafsu. Semua in? berkat ilmu totokan Pembangkit Rasa Penghilang Malu."
Pangeran Durjana menyeringai.
Sambil terus berlari dia mengusap dan menepuk pinggul besar sang puteri.
Si gadis mengerang.
"Aku hendak dibawa kemana?!"
Desah Arum Senggini bertanya.
"Ha ha ha. Pangeranmu ini akan membawamu ke suatu tempat yang tidak mudah ditemukan oleh orang lain. Kau bersabarlah. Pesta pengantin sekejab lagi dimulai!"
Sahut sang pangeran diiring tawa bergelak
"Aku sudah tak sabar pangeran. Jangan biarkan aku menunggu terlalu lama,"
Gumam si gadis. Ternyata Arum Senggini benar-benar telah kehilangan akal sehat dan kesadarannya.
Ingatan menjadi lemah, otak berubah tumpul akibat pengaruh totokan yang dilakukan sang pangeran. Yang ada dalam diri sang puteri tak lain adalah keinginan bercinta dengan Pangeran Durjana. Pangeran yang diingatnya telah berubah menjelma menjadi seorang pemuda luar biasa tampan.
"Sabarlah mempelaiku. Sekejab lagi aku akan membawamu ke surga yang tak pernah kau dapatkan sebelumnya,"
Ujar sang pangeran.
Setelah berkata begitu Pangeran Durjana memperlambat larinya.
Langkahnya kemudian terhenti saat dua kaki menginjak pucuk pohon tertinggi.
Dari atas ketinggian pucuk pohon sepasang mata yang telah berubah selayaknya mata manusia normal ini menatap ke arah persawahan yang terdapat di sebelah kanan bawah tempat dirinya berada.
Pangeran melihat sebuah dangau yang sunyi diujung bentangan sawah luas yang baru saja selesai musim panen.
Dengan gerakan melayang seakan terbang laki-laki itu bergerak turun melewati ranting dan cabang pohon.
Akhirnya dua kaki menjejak di atas pematang sawah.
Pangeran Durjana segera membawa gadis di atas panggulan ke dangau.
Sesampainya di pintu dangau sang pengeran lagi-lagi menyeringai.
Dia melihat dangau itu cukup terawat.
Lantainya yang terbuat dari anyaman bambu kelihatannya juga baru diganti oleh pemilik sawah.
Raja Gendeng 11 Mutiara Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan gerakan seringan kapas, Pangeran Durjana naik ke atas dangau itu.
Tubuh sang puteri segera direbahkan.
Setelah si gadis rebah, pangeran sendiri tegak, mulut berkemak-kemik. Agaknya dia membaca sebuah mantra.
Selesai membaca dia meniup kedua telapak tangannya.
Kedua telapak tangan selanjutnya diusapkan ke bagian muka.
Sang pangeran keluarkan suara raung dan lolongan panjang.
Tapi segala apa yang terjadi tidak berlangsung lama.
Ketika ada cahaya merah kehitaman yang merasuk dan kemudian memancar disekujur tubuh pangeran kemudian perlahan berangsur meredup lalu lenyap begitu saja.
****
Puteri Arum Senggini yang seolah baru mendapatkan kesadarannya kembali, melihat ada laki-laki yang berada di dekatnya dan merasakan sesuatu telah terjadi pada dirinya lalu menangis sejadi-jadinya
"Mahluk jahanam! Siapa kau..."
teriak gadis itu dengan geram.
Pangeran Durjana menyeringai.
Dia bangkit berdiri.
Dengan sikap tenang seolah tidak terjadi apa-apa dia berdiri tegak, mulut mengurai senyum
"Aku adalah orang yang baru saja menyempurnakan ilmu berkat hubungan yang baru terjadi. Kini kau sudah tidak berguna lagi. Kau telah berubah menjadi seonggok sampah busuk. Ha ha ha!"
"Keparat terkutuk! kau telah menghancurkan hidupku. Kau harus mampus sekarang juga!"
Teriak sang puteri.
Gadis yang kalap dan menjadi gelap mata ini serta merta bangkit berdiri menyerang pangeran Durjana.
Tapi bagi sang pangeran serangan berupa tendangan dan pukulan yang dilancarkan sang puteri dapat dengan mudah dipatahkan berkat kesempurnaan ilmu kesaktian yang baru di dapatnya.
Sambil terkekeh disertai tatapan mata bengis pangeran itu tiba-tiba gerakan tangannya ke leher sang dara.
Crep!
Sekali bergerak leler jenjang sang puteri kena dicengkeram.
Arum Senggini mendelik, tangan meronta kaki melejang-lejang.
Melihat ini Pangeran Durjana tertawa.
Sekali tangan disentakan.
Krek!
Leher itu patah berderak. Arum Senggini tak sempat menjerit.
Nyawanya lepas dari raga seketika itu juga.
Pangeran Durjana menggeram.
Dengan gerakan enteng tangan bergerak
Bruk!
Tubuh sang puteri melayang lalu jatuh bergedebukan di bawah dangau.
Baru saja pangeran jatuhkan tubuh gadis yang menjadi korbannya.
Tiba-tiba terdengar suara menderu dari belakang dangau
Wuus!
Byaar!
Pangeran Durjana terkesima, namun tidak sempat selamatkan diri ketika satu pukulan dahsyat laksana topan prahara menghantam dangau itu.
Dangau hancur menjadi kepingan dikobari api.
Tak ayal sang pangeran terpelanting dengan sekujur tubuh dan pakaian mengepulkan asap.
Hebatnya Pangeran Durjana sama sekali tidak mengalami cidera.
Dia berdiri tegak, lalu meniup kepulan api yang menyala ditubuhnya.Api padam.
Secepat kilat dia balikkan badan memandang ke bagian belakang dangau yang hancur porak poranda. Sang pangeran terkejut luar biasa begitu melihat seorang pemuda berambut gondrong yang sudah sangat dikenalnya melompat turun dari atas seekor kuda.
"Lagi-lagi si kurang ajar tengik ini. Dia berkuda, mengapa aku tak mendengar tanda-tanda kehadirannya?"
Membatin Pangeran Durjana dalam hati
"Iblis jahanam! Perbuatanmu sungguh biadab. Kau mahluk keji yang patut dikirim ke neraka!"
Maki si pemuda yang tak lain adalah Sang Maha Sakti Raja Gendeng adanya.
Mendapat makian seperti itu Pangeran Durjana malah sunggingkan senyum mengejek .Namun senyum sang pangeran lenyap seketika begitu teringat nasib buruk yang dialami Bocah Bocah Iblis dan kawanan lebah yang menjadi kaki tangannya.
Sambil menahan segala dendam kesumat, serta kemarahan dihati, Pangeran Durjana melangkah maju.
Langkah kakinya terhenti setelah dia berada sejarak dua tombak di depan Raja.
"Pendekar keparat! Kehadiranmu telah membuat kacau semua rencanaku. Aku telah kehilangan hampir seluruh pengikutku. Beberapa waktu lalu kau juga telah menghabisi bocah bocah Iblis yang ditugaskan untuk menghadang patih kerajaan. Lalu... jika kau tidak hadir di istana seharusnya aku sudah mendapatkan dua puteri itu sekaligus. Tapi karena dirimu memang bangsat jahanam yang sudah bosan hidup, tidaklah mengherankan bila kau tidak pernah memperhitungkan siapa yang menjadi lawanmu. Ketahuilah setelah mendapatkan kesucian puteri Arum Senggini. Tidak ada lagi jalan bagimu untuk mengalahkan aku."
"Puah! Lagak bicaramu selangit tembus. Apa sulitnya mengalahkan bangkai berjalan sepertimu.Kini aku akan mengirimmu ke liang kubur Heea..."
Disertai teriakan melengking. Raja tiba-tiba melesat ke depan. Dua tangan yang telah dialiri tenaga dalam dan kesaktian tinggi di pentang lalu dengan menggunakan pukulan Cakar Sakti Rajawali pemuda ini menghantam tubuh lawannya. Sepuluh jemari tangan menderu dengan kecepatan luar biasa. Asap putih bergulung menyertai gerak tangan Raja sementara itu cahaya putih membersit di udara mendahului gerakkan sepuluh jemari tangan Sang Maha Sakti.
Melihat serangan ganas yang dilakukan Raja .Pangeran Durjana malah memasang dada. Lalu dengan tak kalah sengit sang pangeran berlari ke depan menyambut? serangan dahsyat yang dilakukan Raja.
Sambil berteriak menggembor dua tangan yang terkepal membentuk tinju dihantamkan. Dua cahaya hitam memancar dari dua tinju yang menderu.
Benturan keras akhirnya tak dapat dihindari lagi. Ketika tinju sang pangeran membentur telapak tangan Raja terdengar suara ledakan laksana petir. Baik Raja maupun Pangeran Durjana sama terguncang.
Tapi keduanya tidak sampai terjatuh. Melihat ini sang pangeran kembali bergerak. Tubuh kemudian diputar. Sedangkan ujung jubah hitam dia kibaskan. Segulung angin menebar hawa panas luar biasa menyambar wajah Raja.
Namun pemuda ini cepat jatuhkan diri hingga sambaran angin hanya mengenai bagian dada. Terlihat kepulan asap dan kobaran api membakar dada Sang Maha Sakti. Tapi berkat pakaian sakti yang melekat ditubuhnya, hawa dingin yang keluar dari pakaian itu membuat kobaran api padam.
Melihat ini Pangeran Durjana menjadi terkejut. Tapi dia segera menyerang kembali. Kali ini kedua kaki menghantam Raja silih berganti.
Melihat dua kaki berkelebat manghantam dada, kaki dan kepalanya disertai suara menderu ganas. Raja bergulingan menyelamatkan diri. Tendangan-tendangan itu tidak mengenai sasaran tetapi hanya mengenai bongkahan batu disamping Raja.
Batu hancur menjadi kepingan terkena tendangan sementara Raja telah hentakkan kaki hingga membuat tubuhnya melambung ke atas. Baru saja pemuda ini mengapung di atas ketinggian. Pangeran Durjana tiba-tiba berteriak.
Tahu-tahu seperti gerakan setan berkelebat dia telah berada di depan Raja Gendeng.
"Mahluk hebat! Aku bahkan tak dapat mengikuti gerakan tubuhmu begitu cepat!"
Batin pemuda itu kagum.
"Sekarang remuklah dadamu" teriak Pangeran Durjana.
Dua tangan pangeran secepat kilat bergerak berbarengan, menghantam dada Sang Maha Sakti .Sambaran angin pukulan membuat Raja tergetar, setiap rusuk terasa nyeri.
Namun tanpa bergeser dari tempatnya dia menyambut serangan lawan dengan angsurkan dua tinjunya!
Duuk!
Bledak!
Dua kepalan tangan berbenturan dengan keras membuat keduanya sama terpental terlempar ke belakang sejauh tujuh tombak .Setelah jungkir balik tak karuan, Raja jejakkan kaki di atas sawah yang becek. Sebaliknya Pangeran Durjana sendiri jatuh dalam keadaan berlutut di atas pematang sawah.
Benturan yang terjadi membuat tubuh Sang Maha Sakti mengalami guncangan dibagian dalam.
Selain itu Raja juga kibas-kibaskan kepalan tangannya yang sakit menggembung bengkak.
Setelah meniup punggung tangannya tiga kali rasa sakitnya lenyap.
Bagian yang bengkak juga lenyap.
Raja tersenyum.
"Hanya seperti itukah kemampuanmu? Aku bersumpah kau tak akan bisa bertahan sampai sepuluh jurus ke depan!"
Seru Pangeran Durjana.
"Kau terlalu banyak mulut."
"Heaa...!"
Teriak Raja.
Disertai teriakan melengking. Pemuda ini berkelebat.
Dengan menggunakan jurus Delapan Bayangan Dewa. Raja kembali melakukan serangan sengit.
Pangeran Durjana menggumam.
Dia pun segera menghantam lawan dengan menggunakan ilmu pukulan sakti yang dikenal dengan nama Kerakau Meletus dan digabungkan dengan ilmu pukulan Kawah Kerakau menggelegak. Di masa kehidupannya sekitar seribu tahun yang lalu ilmu pukulan Kerakau Meletus yang dipergunakan Pangeran Durjana sangat ditakuti oleh lawan-lawannya.
Apalagi kini Pangeran Durjana menggunakan dua pukulan sakti sekaligus. Tidaklah mengherankan walau menggunakan jurus Delapan Bayangan Dewa membuat Raja menjadi sulit disentuh, namun sambaran pukulan yang melanda tubuhnya membuat bagian tubuh yang tak terlindungi terasa mau meleleh.
Wuus!
Wuus!
Buum!
Geleger!
Lima pukulan dahsyat menghantam.
Cahaya merah mengerikan menghampar, membuat Raja seakan terperangkap di neraka.
Raja Gendeng 11 Mutiara Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun berkat jurus ampuh yang dipergunakannya pukulan lawan hanya menghantam bayangan sang pendekar.
Sang maha Sakti, Raja Gendeng tak tersentuh.
Dua pukulan mengenai tempat kosong.
Dua diantaranya menghantam pematang sawah, membuat pematang itu hancur meninggalkan lubang menganga dalam dikobari api.
Sedangkan satu pukulan yang lain menyambar pohon besar di belakang Raja.
Pohon hancur menjadi kepingan mulai dari bagian batang, cabang dan rerantingnya bermentalan diseluruh penjuru dalam keadaan dikobar? api.
"Kau hanya bisa menghindar seperti monyet buduk! Jelas kau tak punya nyali menghadapi aku!"
Teriak sang pangeran gusar. Raja sunggingkan seringai mengejek. Kemudian sambil merangsak maju dia membuka mulut menjawab ucapan orang.
"Monyet buduk bukannya tidak punya nyali. Dalam menghadapi mahluk kesasar sepertimu kurasa aku harus dengan cara seperti ini."
Wuut!
Tiba-tiba tangan Raja berkelebat menampar mulut lawan. Melihat tangan menyambar ke bagian mulut .Pangeran Durjana miringkan wajah ke samping. Gerakan ini sekaligus diikuti dengan gerakan membungkukkan tubuh. Lalu secepat kilat tangan sang pangeran menderu menyambar perut Raja.
Jika sampai perut yang diincar terkena pukulan sang pangeran dapat dipastikan perut dan isinya remuk hingga ke punggung. Tapi dengan gerakan aneh Raja lambungkan ke dua kaki ke atas, dengan begitu posisi kepala terjungkir ke bawah. Serangan Pangeran Durjana luput. Sebagai gantinya Raja lancarkan pukulan Seribu Jejak Kematian ke bahu lawan. Segulung cahaya menebar hawa panas luar biasa menderu meluncur deras tak ubahnya sebuah mata tombak raksasa menghunjam ke bahu lawan.
Pangeran Durjana terkesima, namun cepat melompat kesamping sambil mendorong tangan kanan ke atas berusaha menghancurkan pukulan lawan. Tangkisan yang dilakukan sang pangeran ternyata tidak mempunyai banyak arti.
Walau dia dapat menahan serangan Raja namun hanya berlangsung sekejab. Sang pangeran merasa tangannya seperti dihantam palu besi menyala hingga membuatnya cepat hentakan tangan ke depan. Begitu tangan ditarik tanpa ampun serangan Raja menghantam punggungnya.
Blek!
Cees!
Terdengar suara seperti batu besar menghantam punggung disertai suara desis kulit dan pakaian yang terbakar.
Pangeran Durjana meraung hebat. Dia merasa punggung seperti remuk .Sedangkan jubah dibagian punggung terbakar. Untuk memadamkan api .Sang pangeran terpaksa jatuhkan diri. Api kemudian padam. Sambil bertumpu pada kedua kaki dia ayunkan kepala ke atas. Begitu dapat berdiri tegak sang pangeran menyeringai dalam keadaan tak kekurangan sesuatu apa.
"Kau hendak membunuhku dengan ilmu pukulan rongsokan itu? Mengapa tidak kau pergunakan saja senjatamu itu? Kudengar Pedang Gila adalah senjata yang sangat luar biasa! Ha ha ha!" dengus Pangeran Durjana diiringi gelak tawa.
"Jiwa yang bersemayam dalam pedang!" berkata Raja ditujukan pada pedang dipunggungnya.
"Mahluk busuk itu ternyata sudah tahu siapa kiranya dirimu.Kulihat dia semakin hebat. Dia bahkan jauh lebih hebat dibandingkan sebelumnya. Mungkin karena kerampat satu ini telah mendapatkan tumbal berupa kehormatan puteri Arum Senggini. Dengan merampas kehormatan gadis itu kesaktiannya jadi berlipat ganda."
"Yang mulia gusti Raja Gendeng. Tak usah takut pada kerampat satu itu. Kalau kita berdua maju berbarengan masakan kita tak mampu menggiringnya kembali ke liang kubur," terdengar suara ngiang ditelinga Raja.
Dia tahu Raja menyeringai.
"Bukan kerampat, Jiwa Pedang. Aku menyebutnya keparat!" kata Raja.
"Ya apa pun namanya. Masalah sepele saya harap tidak dipersoalkan lagi."
"Hmm, kau bersiap-siaplah. Lakukan tindakan yang benar bila sesuatu yang tidak diinginkan terjadi padaku!"
"Gusti Raja memangnya hendak kemana? Memangnya gusti hendak ke akherat juga."
"Hus jaga mulutmu!"
"Habisnya ucapan gusti Raja seperti orang yang mau mati. Hik hik!"
Raja tidak menanggapi. Saat itu dia menatap lurus ke depan.
Di depannya Sang Maha Sakti Raja Gendeng melihat Pangeran Durjana berdiri tegak tak ubahnya patung. Dua tangan disilangkan ke depan dada. Mulut berkemak-kemik membaca sesuatu, sepasang mata menatap nyalang tak berkedip.
"Apa yang hendak dilakukannya?" kata Raja ditujukan pada pedang yang tergantung di punggung.
"Saya dapat merasakan dia hendak mengeluarkan sesuatu dari perutnya paduka!" sahut Jiwa di hulu pedang.
Apa yang dikatakan sang jiwa ternyata tidak berlebihan. Kejab kemudian disertai raungan lirih sang pangeran berkata,
"Para pengikutku. Habisi pemuda berpakaian kelabu itu!"
Sang Pangeran menutup ucapan dengan membuka mulut lebar-lebar. Dari dalam mulut yang ternganga tiba-tiba bermunculan puluhan lebah dan segera beterbangan di udara. Setelah sempat terbang berputar di atas kepala sang pangeran, kawanan lebah hitam berwarna merah menderu kearah Raja.
Melihat kawanan datang menyerang pedang di punggung Raja tidak tinggal diam. Senjata pedang Gila yang dapat bergerak dengan sendirinya itu tanpa harus dikendalikan sang empunya dengan kecepatan luar biasa melesat, berkelebat menderu di udara disertai pancaran cahaya kuning berkilauan.
Puluhan lebah tewas menemui ajal dengan tubuh terkutung-kutung. Begitu banyak lebah yang terbunuh. Namun sebagian diantaranya dapat meloloskan diri dan menyerang Raja dari segala penjuru. Melihat serbuan lebah yang demikian ganas. Raja segera memutar tubuh. Secara bertubi-tubi pemuda ini menghantam mahluk-mahluk itu dengan pukulan Kabut Kematian dan pukulan Cakra Halilintar.
Dari tangan kanan Raja menderu segulung angin disertai tebaran kabut tebal. Deru angin dan tebaran kabut menggulung kawanan lebah yang menyerang dari arah depan dan samping sebelah kiri.
Sementara dari tangan kiri Raja berkiblat cahaya merah kebiruan bergerigi seperti cakra. Tak ubahnya seperti kilat yang menyambar terus menerus cahaya itu menghantam lebah yang menyerang dari sebelah belakang dan dari arah kanan Raja.
"Pedang jahanam itu! Aku harus mendapatkannya!"
Geram sang pangeran gusar. Setelah serangan lebah gagal sang pangeran akhirnya melompat tinggi.
Begitu tubuhnya mengapung di udara dia berusaha menyambar pedang Gila yang berkelebat menyambar ganas kearahnya.
"Gusti. Dia berusaha menangkapku!"
Seru Jiwa pedang pada Raja.
"Aku tahu. menghindar dan serang. Jangan sampai tertangkap olehnya.Aku akan menghajar mahluk jelek ini dengan Senandung Sang Maha Dewa."
Jawab Raja.
Sambil berkata begitu. Raja segera hentakan kaki.
Tubuh pemuda ini melambung ke atas.
Melihat Raja datang menyerang sambil hantamkan tangannya yang berwarna merah, sang pangeran menggeram.
Sambil terus berusaha menangkap hulu pedang dia kibaskan jubahnya ke bawah.
Dari ujung jubah menderu hawa dingin disertai sambaran angin ganas ke arah Raja.
Dan ternyata tindakan yang dilakukan lawan tidak terhenti sampai disitu saja, Setelah ujung jubah menggebuk, pangeran ini juga melepaskan satu pukulan dikenal dengan nama Di Balik Liang Lahat Ada Seribu Murka .
Kibasan tangan kiri lawan ternyata jauh lebih berbahaya dari serangan jubah itu sendiri.
Selagi Raja berusaha memusnahkan serangan jubah dengan jurus dan pukulan Senandung Sang Maha Dewa.
Serangan kedua menghantam tubuhnya dari kepala hingga kaki.
Walau pemuda itu akhirnya dapat memusnahkan serangan ujung jubah hingga mengakibatkan terjadinya letusan menggelegar.
Namun Raja tidak sempat selamatkan diri dari serangan di Balik Liang Lahat Ada Seribu Murka.
Tanpa ampun Raja yang mengambang diketinggian jatuh terbanting.
Sambaran cahaya hitam redup yang membersit dari tangan kiri lawan membuat sekujur tubuhnya serasa remuk bagai dihantam seribu cambuk.
Pakaian yang melekat di tubuhnya mengepul.
Raja merasa sulit bernafas.
Pandangan mata menjadi gelap, sementara tulang belulangnya segera remuk.
Melihat kenyataan ini Pangeran Durjana mengumbar tawa bergelak.
Namun untuk sesaat dia tidak menghiraukan lawan.
Pangeran ini terus saja berusaha menangkap pedang Gila yang tampak begitu liar, meliuk-liuk sambil menyerang dirinya dengan sikap seakan mengejek .Merasa dipermainkan pangeran Durjana akhirnya bertindak nekat.
Dengan penuh kemarahan laki-laki ini tidak lagi berusaha menangkap bagian hulu pedang.
Sebaliknya dengan penuh percaya diri dia menangkap badan pedang.
Tindakan yang dilakukan lawan tentu menguntungkan pedang Gila itu sendiri.
Dengan kecepatan luar biasa, pedang Gila yang dikendalikan oleh Jiwa yang bersemayam di dalamnya bergerak aneh hingga lolos dari cengkeraman pangeran itu.
Kemudian pedang meliuk kesamping selanjutnya melenting ke atas.
Setelah itu pedang menderu membabat leher.
Lawan berkelit sambil keluarkan seruan kaget.
Luput menebas putus pangkal leher lawannya.
Pedang menukik ke bawah lalu menebas kedua tangan sang pangeran.
Cresh!
"Hooh! Tanganku...."
Pekik sang pangeran.
Laki-laki itu terkejut, namun aneh sedikitpun tidak memperlihatkan rasa sakit.
Dua tangan yang terbabat putus jatuh di tanah.
Sedangkan dari bagian luka yang terpotong sama sekali tidak meneteskan darah.
Pangeran Durjana bergerak ke bawah, meluncur turun sambil jajakan kedua kaki.
Wajahnya yang pucat membayangkan kemarahan dan rasa kecewa.
"Pedang jahanam dan pemiliknya gondrong keparat! Kau dan pedang itu sama gilanya. Tapi ingat, kalian tak mungkin bisa melenyapkan aku!"
Teriak sang pangeran, Setelah menatap ke arah Raja yang tampak telah sembuh dari cidera yang dialami, Pangeran Durjana menatap ke arah dua potongan tangan yang tergeletak di rerumputan.
"Potongan tangan kembalilah ke tempat asal!"
Seru sang pangeran
Wuus!
Tep!
Potongan tangan yang tergeletak di atas tanah berlapis rerumputan tiba-tiba bergerak .Setelah itu dalam waktu tak sampai sekedipan mata kedua belah tangan telah bertaut, menyatu kembali seperti semula.
Melihat tangan bertaut, Raja segera melompat bangkit.
Raja Gendeng 11 Mutiara Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bersamaan dengan itu Pedang Gila yang melayang di udara bergerak ke arah Raja.
Begitu Pedang berada dalam jangkauan pedang mengapung di udara.
Sekali tangan pemuda itu menyambar hulu pedang telah berada dalam genggamannya.
Melihat kenyataan dengan mudah lawan dapat mengambil pedangnya kembali, Pengeran Durjana merasa geram bukan main.
Dia pun merangsak maju sambil lancarkan pukulan menggeledek ke arah Raja.
Dua pukulan disusul dengan tendangan berisi tenaga dalam penuh.
Membuat Raja terpaksa melompat ke belakang lalu sambut tendangan dengan kibasan senjata.
Sedangkan dua pukulan yang dilancarkan sang Pangeran beradu keras dengan siku Raja,.
Walau sempat terhuyung namun Pangeran Durjana mampu hindari tebasan cahaya kuning yang memancar dari pedang.
Merasa gagal pada serangan pertama sang pangeran segera lambungkan tubuhnya ke udara.
Kemudian saat tubuhnya mengambang diketinggian.
Pangeran Durjana memutar tubuh sekaligus hantamkan tendangan menggeledek ke kepala Raja.
Tiga larik cahaya hitam menggidikkan menderu menyertai tendangan sang pangeran.
Raja terkesima namun segera menekuk ke dua lutut sambil rundukan kepala serendah mungkin, Pada saat angin dahsyat menyambar nyaris menghantam remuk batok kepala Raja.
Pada saat itu pula terdengar suara ngiang ditelinga Sang Maha Sakti.
"Orang gila. Untuk membunuh mahluk yang satu itu pastilah tidak mudah dilakukan oleh siapapun. Aku punya saran untukmu. Kau tusuklah bagian keningnya tepat diantara kedua alisnya. Dengan begitu dia bakal binasa dan aku tak perlu kucurkan keringat membantumu meringkusnya."
"Eeh, siapa yang memberi tahu melalui ilmu menyusupkan suara. Nada suaranya seperti aku kenal. Jangan-jangan dia yang datang...!"
Batin Raja dalam hati. Tidak ada waktu bagi Raja untuk mencari tahu siapa gerangan yang hadir di tempat itu karena Pangeran Durjana kembali lancarkan serangan ganas setelah serangan ke bagian kepala Raja tidak mengenai sasaran.
Begitu merasakan ada angin berhawa panas menyambar rusuknya.
Pemuda ini segera berkelit ke samping.
Sambil berkelit dia memutar tubuh sekaligus tusukan pedangnya ke bagian keningnya.
Pangeran Durjana yang sangat bersemangat untuk membunuh Raja sama sekali tidak menduga bakal mendapat serangan seperti itu.
Walau dia telah berusaha berkelit selamatkan wajah dari tusukan tak urung ujung pedang Gila amblas masuk kedalam keningnya.
Sang Pangeran meraung setinggi langit.
Walau bagian kening telah tertusuk pedang namun sang pangeran berlaku nekat. Sambil berteriak menggembor dia ayunkan kakinya ke bahu Raja, sedangkan dua tangan diangkat tinggi siap melepaskan pukulan ganas ke wajah lawannya.
Melihat lawan terus menerjang dengan kecepatan luar biasa.
Raja cepat menarik pedang ke belakang, lalu jatuhkan diri bergulingan di sawah.
Tapi apa yang terjadi selanjutnya atas diri sang pangeran sungguh sangat mengerikan.
Walau pangeran terus merangsak maju dan lancarkan tendangan menggeledak ke arah Raja.
Namun sekonyong-konyong gerak tubuhnya yang mengambang di atas tanah nampak tertahan. Pangeran Durjana berteriak, sambil kerahkan tenaga sakti luar dalam dia memaksakan diri merangsak ke arah Raja.
Tapi tindakan itu justru membuat dua tangan dan kedua kaki mengeluarkan suara berderak mengerikan.
Dari ujung jemari tangan, kepala, tubuh dan kedua kaki terus berderak
Kreek!
Kreek!
Prang!
Dimulai dari tubuh sebelah atas, tubuh sang pangeran tak ubahnya seperti patung kristal mengalami kehancuran.
Pangeran Durjana melolong tinggi, matanya membeliak.
Tapi lolongannya lenyap saat bagian wajah dan mulut secara bersamaan mengalami kehancuran.
Raja tercengang melihat keanehan terjadi.
Dan dia lebih terkejut lagi ketika melihat puing puing tubuh lawan yang hancur bertebaran tiba tiba bergerak tersedot ke satu arah.
Ketika Raja menoleh menatap ke arah bergeraknya serpihan tubuh sang pangeran.
Dia melihat satu benda berwarna putih berkilauan.
Benda berwarna putih yang berada di telapak tangan seorang kakek sepuh yang memang dikenalnya itulah yang menyedot serpihan tubuh lawan.
Seluruh puing tubuh terus tersedot amblas masuk kedalam benda bercahaya disertai suara lolong dan raung mengerikan.
Sampai akhirnya semua serpihan tubuh lenyap ke dalam benda putih,
Si kakek segera meniup ke arah benda yang tak lain adalah Mutiara Pembunuh.
"Aku telah menguncinya dengan tiupan. Terima kasih kau telah melakukan tugas dengan sebaik-baiknya,"
Kata orang tua itu diiringi tawa tergelak-gelak.
Raja yang memang mengenali siapa adanya kakek berusia tujuh ratus tahun itu segera sarungkan pedangnya.
Kemudian dia melangkah lebar hampiri orang yang masih duduk menjeplok di pematang sawah.
"Kakek Dewa Mabok. Aku tidak mengerti arti semua ini. Aku tak menyangka Pangeran Durjana tewas dengan cara demikian aneh. Lagi pula benda apa yang yang menyedot kepingan jasad sang pangeran?"
Tanya Raja setelah berada di depan orang tua yang ternyata memang Dewa Mabok adanya.
Si kakek tertawa mengekeh. Dia menimang mutiara putih sebesar ibu jari yang kini sudah tidak memancarkan cahaya lagi.
"Benda di tanganku ini namanya Mutiara Pembunuh. Mutiara seperti ini khusus didatangkan dari neraka. Hanya dengan menggunakan Mutiara Pembunuh pangeran edan itu tak bakal bangkit dari kematiannya. Sekarang tidak cuma serpihan tubuhnya saja yang amblas masuk ke dalam mutiara, jiwanya juga ikut terperangkap di dalam mutiara ini."
Menerangkan Dewa Mabok dengan acuh. Kemudian dengan acuh pula dia bangkit berdiri
"Aku merasa lega dia tak akan pernah bangkit lagi dari kematiannya. Dengan begitu anak gadis orang bisa hidup dengan tenang."
"Tapi aku ingin tahu kau hendak kemana kek?"
Tanya Raja begitu dilihatnya Dewa Mabok balikkan badan dan siap tinggalkan tempat itu.
Tanpa menoleh Dewa Mabok menjawab.
"Tugasmu membantu kerajaan Malingping telah selesai. Tugasku memenjarakan arwah dan jasad Pangeran Durjana ke dalam mutiara ini juga sudah berakhir. Sekarang aku harus pergi, aku juga bebas mabok lagi. Soal dirimu kau boleh pergi kemana pun kau suka. Kau mau pergi ke istana untuk merajut tali kasih dengan puteri Nila Agung juga boleh. Ha ha ha!"
"Ee tunggu, bukan itu maksudku orang tua. Aku melihat puteri Arum Senggini telah tewas. Siapa yang mengurusnya. Siapa yang bakal membawa jenazahnya ke istana?"
Dewa Mabok tertawa terkekeh
"Aku lupa mengatakan padamu. Seorang sahabatmu gadis yang semuanya serba hitam datang menyambangi. Dia tidak sendiri, tapi bersama dengan dua tua bangka bernama Aki Kolot Raga dan Nini Burangrang. Aku sengaja melarang mereka menemui atau membantumu saat kau menghadapi Pangeran Durjana. Aku yakin mereka mau saja mengantar mayat puteri Arum Senggini ke istana agar dia mendapatkan penguburan yang layak. Bagaimana bereskan...!"
"Beres apanya kek Gadis serba hitam yang kau maksudkan itu siapa? Apakah anjing besar bernama Kabut Hitam?"
Tanya Raja sambil menggaruk kepalanya
"Ha ha ha! Orang gila, sudah tahu mengapa masih bertanya..!"
Dengus Dewa Mabok sambil berkelebat berlalu dari tempat itu.
"Tua bangka pemabokan. Dasar edan. Dia cuma mau enaknya sendiri."
Gerutu Raja kesal.
Dia menoleh sekelilingnya.
Tapi Raja tidak melihat Kabut Hitam atau pun dua kakek nenek yang dimaksudkan Dewa Mabok.
Setelah sempat bimbang. Sang Maha Sakti Raja Gendeng pun akhirnya merasa lega begitu melihat rombongan perajurit istana muncul di tempat itu.
Raja kemudian memerintahkan para perajurit mengusung jenazah puteri Arum Senggini.
Tak lama setelah belasan perajurit itu pergi membawa jenazah sang puteri, Raja segera melangkah pergi.
TAMAT.
Episode Baru Yang akan Terbit
Kisah Raja Pedang
(Tiada gading yang tak retak,begitu juga hasil scan cerita silat ini..
mohon maaf bila ada salah tulis/eja dalam cerita ini.Terima kasih)
Situbondo,18 September 2019
Di Kawasan Singa Perak Karya Karl May Di Kawasan Singa Perak Karya Karl May Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama