Raja Gendeng 11 Mutiara Pembunuh Bagian 1
Raja Gendeng 11 Mutiara Pembunuh
****
Karya Rahmat Affandi
Sang Maha Sakti Raja Gendeng 11 dalam episode
Mutiara Pembunuh
*****
Team Kolektor E-Book
Buku Koleksi : Denny Fauzi Maulana
(https.//m.facebook.com/denny.f.maulana)
Scan,Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http.//ceritasilat-novel.blogspot.com)
Dipersembahkan Team
Kolektor E-Book
(https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook)
*****
Serbuan mahluk-mahluk pembunuh yang terdiri dari kawanan Bocah Bocah Iblis, Lebah Kepala Hati Berbunga dan Lebah Pembunuh membuat para perwira dan perajurit menemui ajal, baik yang bertahan di luar maupun di atas benteng istana.
Yang lebih mengerikan adalah serangan Lebah Pembunuh menjadikan ratusan perajurit tewas dengan tubuh meleleh hingga ke tulang-tulangnya.
Sedangkan serbuan Bocah Bocah Iblis itu membuat perajurit dan perwira yang tewas menjadi santapan lezat bagi bocah bocah yang haus darah itu.
Malam semakin larut.
Di dalam istana dan sekelilingnya pertempuran masih berkecamuk. Rangga Wulung Utama kakek bertubuh pendek berambut panjang berpakaian kuning emas yang baru menggantikan senopati Tubagus Aria Kusuma tampaknya tidak dapat menutupi kecemasannya.
Dia merasa khawatir akan keselamatan gusti Prabu dan seluruh keluarganya walau tangan kanannya hangus akibat serangan dari Mata Tunggal alias si Setan.
Seperti dikisahkan dalam episode sebelumnya, Mata Setan diutus oleh diraja kegelapan yang menetap di tahta Sitaloka untuk membantu Pangeran Durjana yaitu Pangeran Sesat yang bangkit dari kematian setelah seribu tahun mayatnya terkubur di lautan.
Saat pertempuran mulai berkecamuk banyak pengikut pangeran Durjana yang terdesak oleh hujan panah api dan perangkap jaring berperekat maka dia memerintahkan Mata Setan untuk menghancurkan pasukan yang masih bertahan di tembok benteng istana dan membunuh senopati kerajaan Rangga Wulung Utama yang dianggapnya cukup cerdik.
Serangan yang dilakukan oleh Mata Setan dari kedipan matanya yang memancarkan cahaya panas luar biasa itu memang nyaris merenggut nyawa Rangga Wulung Utama.
Beruntunglah Sang Maha Sakti Raja Gendeng muncul bersama dengan seekor kuda hitam bernama Angin Ribut, membantu senopati dari serangan Mata Setan yang ganas. Mata Setan dapat dihalau Raja, tetapi pemuda itu sendiri kemudian berlari cepat menuju ke atap istana meninggalkan si kakek. Si kakek yang semula jatuh dari atas pohon segera bangkit dan naik ke atas benteng.
Dia layangkan pandangannya ke bagian belakang istana dan halaman depan istana.
Saat itu di bagian belakang istana sedang terjadi pertempuran sengit antara Jatulaka yang dikenal dengan sebutan Maung Berem dengan bantuan beberapa perajurit serta perwira utama melawan kawanan Lebah Pembunuh dan Bocah Bocah Iblis.
Jatulaka yang ditugaskan menjaga taman Kaputren berusaha menghalau serangan Lebah Pembunuh dengan api obor.
Tetapi dia mendapat kesulitan karena juga mendapat serangan Bocah Bocah Iblis yang jauh lebih ganas dari lebah-lebah itu.
Di tengah suara jerit menyayat dari korbankorban yang berjatuhan, Jatulaka terpaksa pergunakan pedangnya untuk menghadapi serbuan bocah-bocah iblis.
Celakanya.
Tidak seperti kawanan lebah yang mudah terjatuh bila tersambar api.
Sebaliknya para bocah itu ternyata sangat gesit menghindari serangan.
Anehnya ketika senjata di tangan Jatulaka dan senjata perwira yang mendampingi kakek berkulit loreng kemerahan ini mengenai tubuh para bocah, sedikitpun tak dapat melukai mereka. Jatulaka terdesak. Belasan perajurit lagi-lagi menjadi korban.
Para perajurit yang tewas dikeroyok menjadi santapan mahluk-mahluk iblis berujut bocah tersebut.
Dengan sekuat tenaga Jatulaka mengayunkan pedang dan mengibaskan obor kearah lebah dan kawanan bocah, Tapi segala serangan gencar yang dilakukannya tak banyak berarti.
Satu dua ekor lebah terbunuh akibat tersambar obor di tangan, namun yang lainnya masih bebas lancarkan serangan.
Jatulaka terhuyung ketika salah satu lebah berhasil menyusup dan menyengat keningnya.
Sengatan itu cepat menjalar ke seluruh tubuh membuat Jatulaka menggigil, sementara tubuh di sebelah dalam serasa panas menggelegak.
Melihat kejadian ini, Senopati turun tangan memberi bantuan.
Namun pada waktu bersamaan terdengar suara jeritan menyayat di depan istana.
Karena jarak antara dirinya dengan halaman depan istana lebih dekat dibandingkan bagian belakang istana maka dia bisa menyaksikan apa yang terjadi di halaman depan itu.
Ternyata keadaan di depan istana jauh lebih tragis, lebih mengenaskan dibandingkan di halaman belakang istana khususnya disekitar taman kaputren tempat kediaman dua puteri prabu.
Para perajurit, puluhan perwira mulai dari perwira utama dan perwira tinggi telah banyak yang menemui ajal. Mereka baik yang telah terluka dan yang tidak terluka bertahan mati-matian menghadapi serangan lebah dan bocah-bocah yang jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan di belakang istana.
Melihat kegigihan perwira dan perajuritnya dalam menghadapi serbuan mahluk-mahluk pengkut Pangeran Durjana ini, Senopati Rangga Wulung Utama menjadi sangat terharu..
Senopati ingin membantu anak buahnya yang berjuang dengan gagah berani.
Namun si kakek merasa bimbang.
Mana yang harus dibantu terlebih dulu.
Apakah menolong Jatulaka dibelakang istana atau membantu para perwira di halaman depan.
Selagi Senopati diliputi keraguan.
Tiba-tiba saja dia mendengar suara berkata.
"Agaknya kau terlalu tua saat diangkat menjadi senopati. Kau tak usah bingung melihat kekacawan ini senopati. Kami dua hantu kesasar walau bukan orang baik-baik akan membantumu dalam mengatasi masalah."
Senopati terkejut sekaligus menatap sekelilingnya. Dia tidak melihat siapapun di sekitar benteng tempat dimana dirinya berada.
"Siapa yang bicara?"
Tanya si kakek heran.
Pertanyaan itu dilanjutkan di dalam hati.
"Suaranya seperti seorang kakek. Tapi aku mendengar suara tawa mengikik. Suara itu perlahan, namun aku yakin itu suara dua orang."
"Tak usah menduga tak perlu mencari tahu. Sudah kami bilang kami berdua cuma hantu kesasar yang ingin membantu. Sekarang sebaiknya kau masuklah ke istana menolong gusti rajamu. Kami melihat dia terkapar disana setelah dihajar Pangeran Laknat itu."
"Dan menghadapi para lebah dan bocah tengik yang ada dihalaman."
Kali ini yang menyahuti adalah suara adalah wanita.
Walau tak bisa melihat dan mengenali siapa yang bicara.
Tetapi dari cara orang berbicara, Senopati dapat menduga, siapapun kedua orang yang datang itu pastilah menyimpan dendam kesumat pada Pangeran Durjana.
Merasa ada yang hendak membantu ,senopati menjadi lega.
Namun dia masih mengkhawatirkan Jatulaka yang kini telah tersandar di tembok dengan kening menggelembung bengkak tersengat lebah.
Sementara bagian kaki nampak mengucurkan darah.
Belum lagi senopati sempat membuka mulut. Tiba-tiba dia melihat satu sosok mahluk besar berbulu hitam seukuran anak kuda dan berbulu hitam muncul dari balik tembok.
Karena jaraknya yang cukup jauh senopati tidak dapat memastikan mahluk apa gerangan yang munculkan diri dengan cara menembus tembok itu.
Namun akhirnya dia tahu mahluk apa gerangan yang hadir dekat kaputren itu setelah sang mahluk keluarkan suara raung lolong panjang menggidikkan.
Melihat kehadiran mahluk berujud dan bersuara seperti anjing itu para bocah-bocah Iblis menjadi jerih ,mereka segera berlompatan mundur menjauh dari Jatulaka yang terluka parah.
Hanya kawanan lebah saja yang masih berusaha menyerang Maung Berem atau Macan Merah.
Sementara melihat gelagat mahluk berujud anjing sepertinya datang hendak memberi bantuan. Senopati, mengusap dadanya dengan tangan kiri.
Dalam hati dia berkata.
"Hyang jagat Agung. Terima kasih atas segala bantuan dan pertolongan ini. Aku orang jelek dan pendek ini tak akan melupakannya."
"Tunggu apa lagi. Bala bantuan datang tidak terduga. Mengucap syukur pada para dewa bisa dilakukan nanti. Dan itu pun seandainya kau beruntung, bisa selamat dan nyawamu masih lekat di badan. Hik hik hik,"
Kata suara perempuan diiring tawa mengikik
"Jangan menoleh-noleh lagi. Seorang senopati harus bertindak cepat. Masih banyak yang bisa kau perbuat senopati. Kami tahu tanganmu terluka parah tapi kalau cuma tangan yang terluka kurasa itu jauh lebih baik dari nyawa."
Menimpali suara seorang kakek. Kemudian selagi senopati bangkit berdiri kembali terdengar ucapan.
"Oh Iya istriku, memangnya nyawa berada di sebelah mana ya?"
"Mana aku tahu, mungkin saja di dengkul tapi bisa saja bersembunyi di dalam batok kepala. Hi hi hi.!"
"Siapa mereka. Tak terlihat tapi terus saja bicara,"
"Ucapannya melantur tak karuan. Jangan jangan mereka hanya sepasang setan gila kesasar,"
Gumam senopati ragu.
Walau hanya menggumam ternyata orang yang tak kelihatan ujudnya itu mendengar ucapan senopati.
Tak disangka-sangka terdengar suara mendamprat marah.
"Setan alas. Senopati kerdil sialan. Kami datang hendak membantu kau malah menuduh kami setan gila kesasar. Dasar tua bangka tak tahu membalas budi,"
Kata yang laki-laki.
"Kita bunuh saja. Kita cekik dia! Dia kan tidak bisa melihat kita-kita ini"
Timpal yang wanita membuat senopati ketakutan.
"Ampun, maafkan aku. Aku cuma bergurau"
Buru-buru senopati rangkapkan dua tangannya.
Raja Gendeng 11 Mutiara Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mengingat tidak tahu pasti keberadaan orang yang bicara.
Si kakek menjura hormat di delapan penjuru
"Senopati kurang ajar. Sudah tahu perajurit dan perwiramu banyak yang mampus bahkan kau sendiri hampir celaka. Sempat-sempatnya kau bergurau!"
"Pergi sana! Temui gusti raja...." hardik suara seorang kakek.
"I-iya...Maafkan aku...!"
Sahut senopati dengan terbata-bata.
Tanpa menunggu lama, orang tua itu segera balikkan badan.
Walau memendam kemarahan, dimaki senopati kerdil sialan.
Namun si kakek berusaha menahan kegeraman dihati.
Diam-diam sebenarnya dia berterima kasih diberi tahu tentang keadaan rajanya.
Tanpa menoleh lagi senopati akhirnya berkelebat tinggalkan benteng menuju istana dengan berlari mengambang di atas ketinggian halaman istana.
Seperginya senopati terdengar suara tawa cekikikan dibenteng yang baru ditinggalkan oleh kakek kerdil itu.
Siapakah dua orang yang tertawa tawa namun tak terlihat ujud kasarnya itu?
Kedua orang yang tidak kelihatan yang duduk sambil uncang-uncang kaki di bibir atas benteng tak lain adalah Nini Burangrang dan suaminya Aki Kolot.
Sepasang kakek nenek yang di tempat asalnya pulau Andalas dikenal dengan sebutan Sepasang Naga Pemabokan.
Seperti telah dikisahkan dalam episode sebelumnya, kakek nenek yang tengah melakukan perjalanan menuju ke kawasan timur tanah Dwipa ini pernah tertangkap dan menjadi tawanan Pangeran Durjana.
Pangeran itu lalu memanfaatkan mereka.
Pangeran memberinya tugas untuk menculik dua puteri gusti prabu Tubagus Kasatama sekaligus membuat kekacawan di istana Malingping.Untuk menjaga agar tidak menghindar dari tugas yang yang dibebankan, Pangeran Durjana diam-diam mengutus kawanan Lebah Pembunuh, mahluk paling mematikan untuk mengawasi gerak gerik mereka.
Dalam perjalanan menyadari terus menerus dikuti oleh kawanan lebah, kakek dan nenek berwajah rupawan bertubuh bagus dan berdada besar diusianya yang tidak muda lagi itu mencari siasat.
Rupanya sejak menerima tugas yang diberikan Pangeran Durjana keduanya sudah sama sepakat untuk tidak melaksanakannya.
Bagi mereka menculik dan membawa kedua puteri raja kehadapan sang pangeran bukan hal yang mudah.
Apalagi selain istana dijaga ketat mereka juga diam-diam menaruh dendam pada pangeran itu atas perlakuan yang mereka alami selama dalam penahanan di istana Kekuasaan dan Hasrat Cinta.
Sadar tak mungkin bisa menuntut balas mengingat kesaktian Pangeran Durjana yang demikian tinggi.
Pasangan suami istri yang sering terlibat cekcok dan berselisih pendapat ini akhirnya menjalankan muslihatnya.
Ketika mereka sampai di tepi sebuah sungai bernama Cai Atis tak jauh dari istana Malingping keduanya dengan menggunakan ilmu sakti yang dikenal dengan nama Menahan Nafas Hentikan Denyut Jantung segera menceburkan diri ke dalam sungai.
Seharian penuh mereka mendekam di dalam dasar sungai hingga kawanan Lebah Pembunuh yang ditugaskan mengawasi kakek nenek ini menyangka mereka menemui ajal didalam sungai.
Tidak lama setelah kawanan lebah Pembunuh pergi, Aki Kolot dan istrinya muncul di permukaan air.
Setelah mengeringkan pakaian Aki Kolot lalu mengajak Nini Burangrang untuk melanjutkan perjalanan mereka yang sempat tertunda.
Diluar dugaan keinginan itu ditolak oleh Nini Burangrang.
Dan yang lebih membuat si kakek terkejut. Nini Burangrang mengajaknya masuk ke istana yang telah berada di depan mata untuk melihat kekacauan yang terjadi.
Aki Kolot tentu menolak, karena si kakek tahu segala kekacauan yang terjadi di istana semuanya disebabkan oleh ulah Pangeran Durjana dan para pengikutnya.
Rupamnya si kakek khawatir kehadiran mereka di istana akan menimbulkan masalah.
Terlebih bila pangeran Durjana melihat kehadiran mereka.
Tetapi atas desakan dan segala ancaman Nini Burangrang yang bersumpah bakal meninggalkannya bila keinginan si nenek tidak dituruti membuat Aki Kolot Raga yang tak ingin kehilangan istri menurut juga.
Berkat ilmu ajian Panglemun Gelap Menghampar menjadikan sosok keduanya tidak terlihat penglihatan mata biasa.
Itulah sebabnya waktu kakek nenek ini bicara dengan senopati, keduanya tak dapat dilihat oleh senopati itu walau saat itu Aki Kolot dan Nini Burangrang berada tak jauh dari si kakek.
Kini setelah senopati tidak berada lagi di atas benteng Aki Kolot dan Nini Burangrang saling berpandangan.
"Aku akan menghabisi lebah-lebah keparat yang membunuh orang tua dan anak-anak."
Berkata si nenek penuh semangat
"Aku lebih suka menggebuk bocah-bocah iblis dengan menggunakan tongkat saktiku ini."
Menyahuti Aki Kolot Raga sambil acung-acungkan tongkat ditangannya yang berwarna hitam redup.
"Bocah-bocah iblis tidak bisa dibunuh! Aku yakin matamu yang sudah belekan melihat bagaimana perwira kerajaan dan para perajurit tak dapat membunuh mereka."
Aki Kolot menyeringai, lalu mengusap kedua matanya.
"Mata bagus begini dibilang belekan," gumam si kakek.
Nini Burangrang, tertawa mengikik. Si kakek bersikap acuh dan lanjutkan ucapan.
"Aku tahu bagaimana mengatasi bocah-bocah itu. Mereka punya kelemahan. Aku yakin bila tongkatku menggebuk di tempat yang tepat, mereka jadi tidak berdaya."
"Bagaimana dengan tongkatmu yang satu lagi, apakah hendak kau pergunakan untuk menggebuk juga?"
Sindir si nenek disertai lirikan penuh arti. Si Aki tersipu mendengar gurawan istrinya. Enak saja dia menjawab.
"Ah kalau tongkat yang satu itu mana mungkin dipakai sembarangan. Biar tongkat itu butut dan hampir lumutan. Kau tau sendiri tahu selama ini belum pernah terkalahkan saat bertempur denganmu. Ha ha ha!"
Wajah cantik Nini Burangrang merona merah. Hatinya berdebar jantung berdetak lebih keras. Darah berdesir dan entah mengapa tiba-tiba keinginannya untuk berdua-dua dengan si kakek muncul
"Suamiku... oh." desis si Nini sambi geliatkan tubuh, busungkan dada. Lidah dijulur, dibasah sedangkan matanya tampak terpejam.
Melihat gelagat yang ditunjukkan si Nini. Aki Kolot segera mendamprat.
"Nenek gila. Jangan berlaku tolol bertindak gila. Aku mau-mau saja kau ajak bertarung. Tapi kalau kita berkelahi di sini. Bisa-bisa kita bakal mampus menemui ajal diserang oleh mahluk-mahluk dihalaman istana itu. Segala ganjalan dihati menyangkut urusan kita, biarlah kita selesaikan nanti saja."
Si nenek pun seolah sadar. Dia buka mata lebar-lebar sambil mengusap wajahnya yang putih tanpa polesan. Pura-pura kaget si nenek membuka mulut bertanya.
"Eh memangnya apa yang kulakukan?"
"Ah, kau sudah pikun rupanya. baru saja kau mengajakku anu-anu dan menganu..."
Menyahut si kakek sambil terkekeh.
"Menganu apa? Tua bangka jangan membuatku penasaran,"
Damprat Nina Burangrang lalu delikkan mata.
"Kau ini seperti kura-kura dalam tahu. Sudah mau tapi pura-pura malu. Lebih baik kita lakukan tugas kita. Jangan banyak bergurau yang membuat kita lupa diri. Sudah kukatakan nanti saja kita selesaikan urusan diantara kita."
"Ah sial. Mengapa nanti, padahal aku sudah tidak tahan!"
Keluh si nenek tiba-tiba dekap perutnya.
"Hah apa? Tidak biasanya kau bertingkah seperti ini."
Desis si kakek, Matanya mendelik tak percaya memandang pada istrinya. Yang dipandang justru mendamprat.
"Kadal bulukan tak tahu diri. Kau pilir aku mau itu ya? Saat ini aku mau buang hajat kecil, aku mau kencing tahu!"
Karuan saja jawaban si nenek membuat Aki Kolot tak kuasa menahan geli.
"Oalah, mau kencing saja menggeliat seperti cacing sekarat. Ingin kencing ya kencing saja. Kau punya ilmu berlari Mengapung di Ketinggian. Sudah kau guyur saja orang-orang yang berkelahi dihalaman itu. Siapa tahu ada yang tidak kebal dengan curahan air kencingmu."
"Dasar kakek sial. Kau mau membuat aku malu luar dalam. Kalau mereka melihat ke atas bagaimana?"
"Ah iya. Kalau mereka melihat ke atas mereka melihat pemandangan gratis. Mereka untung aku yang rugi. Sudah kencing saja di situ!"
Kata si kakek.Tak menunggu lama si nenek segera berdiri.
Kain yang membalut tubuh di sebelah bawah dia singsingkan hingga ke atas lutut.
Aki Kolot melihat betis dan sebagian paha yang putih mulus itu.
Merasa diperhatikan Nini Burangrang memaki.
"Tua bangka edan. Tak bosan-bosannya kau melihatku?"
Belum lagi sempat si kakek menjawab.
Seer!
Nini Burangrang pancarkan air kencing.
Hajat kecil yang menebarkan bau pesing luar biasa itu muncrat mancur kemana-mana.
Sebagian diantaranya berhamburan ke bawah mengenai perwira dan para bocah juga lebah-lebah pembunuh.
Beberapa perwira dibuat terkejut.
Mereka mengira saat itu sedang terjadi hujan gerimis.Tapi ketika percikan air yang mengenai pakaian mereka di endus yang tercium malah bau pesing menyengat.
Penasaran beberapa orang memandang ke atas tetapi tidak melihat kakek dan nenek itu.
Salah satu diantara perwira berkata.
"Jangan hiraukan. Mungkin saja dewa yang sedang kencing!"
Karuan ucapan perwira membuat Nini Burangrang dan suaminya tak dapat menahan geli.
Tapi walau keduanya tertawa bergelak orang-orang itu tak dapat mendengar tawa mereka.
Sementara keyakinan para perwira dan puluhan perajurit tentang kehadiran dewa yang sedang buang hajat kedil makin menjadi begitu mereka melihat guyuran air kencing yang mengenai Bocah-bocah dan kawanan Lebah ternyata menbuat para bocah meraung, tubuh mengepul menebarkan asap lalu meledak menjadi kepingan asap.
Sementara yang terjadi pada kawanan lebah kurang lebih hampir sama.
Lebah Lebah yang terkena percikan air kencing langsung berjatuhan dengan tubuh mengepulkan asap hitam melejang-lejang, mengelepar lalu tewas menjadi serpihan bubuk.
Kejadian yang tidak terduga itu membuat heran perwira di halaman.
Sementara Aki Kolot dan Nini Burangrang jadi saling pandang
Raja Gendeng 11 Mutiara Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Istriku ternyata air kencingmu sangat manjur. Tak kusangka mahluk-mahluk itu kelemahannya ada pada pancuranmu yang ada di sebelah bawah."
"Kalau sudah tahu begini. Rasanya kita tak perlu repot, kau kencing saja lagi."
"Apakah kau sudah gila. Memangnya kencing ku sebanyak apa?"
Damprat Nini Burangrang.
"Aku tahu cuma sedikit. Tapi apakah masih ada sisanya? Kalau ada aku ingin memoles tanganku dengan sisa kencingmu untuk memyerang mereka."
Kata Aki Kolot polos. Si nenek menyeringai.
"Tua bangka keparat! Mencari kesempatan dalam kesempitan. Mengapa kau tidak mengguyur tangan dan tongkat saktimu dengan air kencing sendiri!"
"Ha ha ha. Maafkan aku istriku. Aku memang selalu mencari yang sempat dan yang sempit-sempit saja."
Ucapnya lalu menghambur ke halaman hindari gebukan keras yang dilakukan si nenek.
Karena sosok mereka tidak terlihat.
Begitu sampai dihalaman istana dengan leluasa tentu saja mereka dapat menyerang para bocah Iblis yang masih tersisa, Sementara disebelah atas Nini Burangrang dengan menggunakan kain yang telah basah lepek terkena guyuran air kencing menyerang lebah-lebah itu.
Puluhan Lebah Kepala Hati Berbunga dan Lebah Pembunuh berjatuhan menemui ajal membuat prajurit dan perwira yang sudah kelelahan dan banyak yang terluka merasa terbantu.
"Dewa bermurah pada kita. Memberi bantuan tanpa diminta. Terima kasih dewa... terima kasih ...!"
Berkata seorang perajurit yang bahunya terluka. Perajurit itu duduk bersender di tembok istana. Lalu seorang perwira yang dadanya berlubang terkena cakaran Bocah Iblis dengan nafas megap-megap membuka mulut.
"Dewa memang bermurah hati. Tapi mengapa Yang Kuasa mengirimkan dewa berbau pesing?"
Tidak ada yang bisa menjawab. Nini Burangrang yang mendengar ucopan orang itu hanya bisa menggerutu.
Sedangkan Aki Kolot cuma senyum-senyum namun terus merangsak maju. Dengan menggunakan tongkat saktinya yang dilumuri air kencing sendiri .Aki Kolot terus menerjang. Sekali tongkatnya berkelebat menggebuk kepala atau bagian uibuh para Bocah Iblis yang tak kuasa menghindar. Bocah bocah itu walau berasal dari alam gaib ternyata tidak dapat melihat siapa yang mereka hadapi dan lawan seperti apa yang menyerang mereka. Setiap kali tongkat ditangan menghantam ke tubuh bocah bocah itu, maka terdengar suara lolong dan pekik menyayat. Bocah yang terkena pukulan tongkat mengelepar di tanah lalu diam untuk selanjutnya lenyap menjadi kepulan asap
"Kita berhasil! kita berhasil membalaskan dendam kesumat kepada pangeran itu!"
Seru Aki Kolot Raga yang tentunya hanya bisa didengar oleh Nini Burangrang. Melihat si kakek berjingkrak kegirangan, istrinya yang masih sibuk di atas segera berseru.
"Jangan cuma berjingkakan seperti monyet gila. Di ketinggian ini masih banyak lebah yang berkeliaran. Cepat ke atas bantu aku!"
"Ah istriku. Bukankah biasanya yang diatas diselesaikan terlebih dulu baru menyusul yang disebelah bawah!"
"Tua bangka mesum kepala bejat bau menyan. Jangan suka bergurau dalam keadaan seperti ini! Lekas banto aku setan tua!"
Teriak si nenek.
Sadar istrinya marah-marah, Aki Kolot tidak berani bergurau lagi segera saja dia patuhi perintah istrinya. Sementara dihalaman belakang istana bersebelahan dengan taman kaputren merangkap tempat berdiam dua puteri raja, Si Maung Berem Jatulaka tampaknya tak mungkin lagi dapat bertahan lebih lama.
Luka sengatan dibagian kening terlihat mulai meleleh dan menjalar hampir ke seluruh wajah.
Sementara luka akibat gigitan lawan di bagian kaki yang mengandung racun membuatnya sulit bergerak.
Mahluk besar berbulu hitam yang berujud seekor anjing dan tak lain adalah mahluk kutukan jejadian yang aslinya seorang gadis cantik memang datang pada waktu yang tepat. Tepat disaat Jatulaka membutuhkan pertolongan.
Namun anjing hitam bermata merah menyala itu sadar tak banyak yang bisa dia lakukan untuk menolong orang tua itu.
Sang anjing setelah keluarkan suara raungan panjang yang membuat Bocah Iblis terkejut lalu bersurut mundur menjaga jarak begitu muncul ditempat itu, langsung berdiri di depan Jatulaka dengan sikap melindungi.
Dalam keadaan terluka parah Jatulaka yang merasa tidak punya harapan hidup lebih lama lagi sempat pandangi mahluk itu. Dua matanya yang berkaca-kaca akibat menahan sakit yang tiada tertahankan membersitkan rasa heran atas kehadiran binatang Itu.
Kemudian dengan suara terbata dan nafas mengengah dia berucap
"Aku tidak pernah melihat anjing sebesar dirimu. Tetapi siapapun kau adanya kuharap tidak menyakitiku,"
Diluar dugaan Jatulaka binatang itu berpaling menatap tajam ke arahnya sekilas lalu berkata.
"Wahai pejabat kerajaan. Kau tidak usah takut tak perlu pula risau. Aku adalah Penjelajah Kelam, dunia persilatan mengenalku dengan sebutan Kabut Hitam. Aku datang ingin membantu mengatasi segala kekacawan yang dilakukan oleh Pangeran Durjana dan pengikutnya Sayang dan harap dimaafkan. Aku tidak bisa menolongmu aku tak mampu memusnahkan racun akibat sengatan lebah Pembunuh yang mengantuk keningmu."
Walau kaget tak menyangka sang anjing mampu bicara selayaknya manusia biasa .Jatulaka setidaknya merasa lega.
Dia merasa lega karena yang datang bukanlah musuh yang berniat membuat kekacawan.
Walau demikian akibat rasa sakit yang tiada tertahankan, orang tua itu akhirnya meraung bergulingan di atas tanah.
Sepasang mata mendelik, mulut ternganga sedangkan tangan dipergunakan untuk mendekap wajahnya yang mulai meleleh mengalami kehancuran.
"Bunuh! Bunuhlah aku untuk mengakhiri penderitaan ini!"
Jerit Jatulaka ditujukan pada sang anjing.
Kabut Hitam tertegun.
Permintaan Jatulaka yang menyayat hati menimbulkan kebimbangan dihatinya.
Sementara Bocah Bocah Iblis, menggerung melupakan kegembiraan melihat Jatulaka meregang ajal.
Sebaliknya anjing yang mengaku bernama Kabut Hitam itu memendam kemarahan pada para bocah juga kawanan lebah yang beterbangan di atasnya.
"Kabulkan permintaanku. Tolong aku dari penderitaan ini, Kabut Hitam!"
Teriak si orang tua. Kabut Hitam menggeram.
Tanpa mengurangi kewaspadaannya terhadap serangan tak terduga yang bisa saja dilakukan oleh kawanan lebah maupun bocah-bocah Iblis yang mulai mengepungnya, anjing besar ini tiba-tiba balikkan badan.
Lalu sekonyong-konyong sang anjing angkat tangan kirinya yang berfungsi sebagai kaki depan.
Begitu tangan diangkat, secepat kilat tangan yang biasa dipergunakan untuk berjalan itu berkelebat menyambar ke arah Jatulaka.
Satu kilatan cahaya hitam menggidikkan menderu disertai tebaran hawa dingin luar biasa.
Dan sebelum kaki depan menyentuh bagian leher Jatulaka.
Cahaya hitam menyambar merobek tenggorokan laki-laki itu
Cras!
Terdengar suara seperti senjata luar biasa tajam menghantam leher Jatulaka.
Kabut Hitam cepat tarik kakinya sebelum sempat menyentuh sasaran yang dituju.
Jatulaka terkapar.
Tapi tidak ada darah yang mengucur dari luka itu.
Sang anjing menggerung lirih, sambil menatap si orang tua dengan mata berkaca-kaca.
Seumur hidup setelah mendapat kutuk dari dewa akibat kelancangannya mencuri kabar rahasia langit.
Gadis sakti ini belum pernah merasa sesedih itu melihat kesengsaraan yang dialami oleh orang lain.
Tapi kini entah mengapa demi melihat penderitaan yang dialami Jatulaka Kabut Hitam merasa terenyuh.
"Maafkan saya, maafkan saya, pejabat tinggi" ucap Kabut Hitam berulang kali.
Binatang itu kemudian melolong saat menyadari Jatulaka akhirnya menemui ajal. Tubuh orang tua itu tidak meleleh sebagaimana yang sering terjadi pada setiap korban sengatan lebah mematikan.
"Semoga arwahmu dapat beristirahat dengan tenang orang tua. Tubuhmu tidak akan hancur karena aku telah memotong jalan menuju kehancuran sebagai akibat sengatan lebah."
Berkata demikian Kabut Hitam secepat kilat memutar tubuh .Setelah menghadap ke arah kawanan lebah yang beterbangan seperti kawanan semut di udara. Mahluk satu ini kemudian alihkan perhatian pada para bocah-bocah Iblis.
"Mahluk-mahluk menjijikkan! Andai saja kalian anak manusia sungguhan. Aku memiliki sejuta kasih yang layak kiranya aku persembahkan pada kalian. Tetapi kalian adalah mahluk dari alam sesat. Dikandung ibu dalam waktu tiga hari. Begitu lahir kalian membunuh orang tua yang telah melahirkan .Kemudian tumbuh berkembang selayaknya bocah seusia tiga tahun. Jelas segala sesuatu yang terjadi pada kalian menyalahi kodrat, takdir kehendak Yang Maha Kuasa! Menyadari siapa diri kalian, aku menjadi maklum bahwa kalian semua harus dimusnahkan. Terkecuali kalian mau bertobat tinggalkan Pangeran Durjana dan angkat kaki dari tempat ini. Untuk yang terakhir itu aku bersedia memaafkan...!"
Greeng!
Kawanan lebah menyambut dengan keluarkan suara berdengung. Para bocah walau merasa jerih kalau tidak dapat dikatakan takut menghadapi Kabut Hitam nampak saling pandang. Selanjutnya Kabut Hitam, melihat terjadi pembicaraan diantara mereka dalam bahasa yang tidak dimengerti.
Kesudahannya para bocah sama anggukkan kepala. Kemudian menatap ke arah anjing hitam besar yang berdiri tak jauh di depan dengan dua kaki depan setengah ditekuk. Puluhan bocah mendadak dongakkan kepala.
Didahului oleh suara raung lolong tak ubahnya seperti mahluk dari neraka. Tiba-tiba saja sebagian dari mereka berlompatan menerkam Kabut Hitam sambil ngangakan mulut lebar sementara gigi giginya siap mencabik tubuh lawan. Sebagian bocah lainnya kini ikut bergerak, merangsak maju menyerang Kabut Hitam pada bagian kedua kaki belakang, juga bagian perut.
Melihat Bocah Bocah Iblis telah memulai serangannya. Maka kawanan lebah seolah memiliki naluri sama ingin membunuh segera lakukan tindakan yang sama. Mula-mula kawanan lebah itu secara beriring iringan melambung diketinggian.
Setelah berada di ketinggian yang mereka inginkan mereka bergerak berputar tiga kali. Selanjutnya kawanan lebah ganas itu menukik tajam ke arah lawan disertai suara bergemuruh laksana tebing runtuh dan dengung menggidikkan.
Mendapat serangan ganas yang datang dari tiga penjuru arah sekaligus .Kabut Hitam sedikitpun tidak menjadi gentar. Sambil keluarkan suara raungan marah sang anjing tiba-tiba mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Setelah itu dia memutar tubuh dan....
Wuut!
Sosok sang anjing mendadak raib berubah menjadi selendang panjang besar berwarna hitam. Tak ubahnya seperti seekor ular yang murka. Selendang itu meliuk dan terus bergerak melambung ke udara. Serangan para Bocah Iblis mengenai tempat kosong. Diluar dugaan para bocah ,lebah lebah yang menyerang dari sebelah atas ternyata dapat mengendalikan diri. Gerakan terbang mereka menukik seperti benda tajam jatuh dari langit. Tanpa ampun sebagian lebah menghantam bocah bocah itu, sedangkan sebagian menghantam halaman berbatu. Lebah-lebah yang jatuh ke halaman banyak yang menemui ajal. Sedangkan yang menubruk kawanan bocah iblis ada yang sempat menyengat bocah-bocah itu. Karuan saja sengatan yang tidak disengaja itu membuat para bocah yang menjadi korban meraung sejadi-jadinya.
Bocah-bocah itu bergulingan tak tentu arah hingga membuat suasana jadi kacau. Sementara para bocah dan lebah yang selamat, kini kembali merangsak, mengejar ke arah selendang hitam yang meliuk melambai-lambai diketinggian.
Namun sang selendang jelmaan anjing hitam nampaknya tak memberi hati. Kedua ujungnya kini berputar sebat menghantam sekaligus melecut tak ubahnya cambuk. Celakanya setiap lecutan mengenai sasaran. Ujung selendang itu memancarkan cahaya merah redup disertai tebaran hawa panas menghanguskan.
Puluhan sisa lebah berjatuhan. Sebagian yang masih selamat segera melarikan diri. Melihat kawanan lebah tewas terbantai, sementara sebagian besar teman sendiri juga menemui ajal menjadi korban serangan selendang. Sisa-sisa bocah iblis berhamburan masuk ke bagian belakang istana. Sambil berlari salah satu diantara bocah itu berteriak histeris.
"Ayah....ayah...dimanakah dirimu? Kami tidak sanggup menghadapi mahluk yang satu ini. Kami membutuhkan dirimu ..."
Katanya berulang kali.
Suara teriakan si bocah menghilang dibalik pintu istana yang jebol.
Tak ada jawaban yang terdengar.
Sang selendang hitam berputar lalu dengan gerakan perlahan akhirnya jatuh di tanah.
Ketika ujung selendang disebelah atas menyentuh tanah.
Wuus!
Tiba-tiba selendang lenyap sebagai gantinya tepat dimana selendang telah jatuh, berdiri setengah mendekam anjing hitam besar tadi.
Sang anjing menggerung lirih, kepala digeleng dan mahluk ini segera bangkit.
Setelah berdiri tegak dia menatap ke arah lenyapnya beberapa bocah Iblis.
Sebelum berlari mengejar ke arah yang sama, Kabut Hitam berkata.
"Entah kemana perginya Sang Maha Sakti Raja Gendeng. Tapi aku harus membantu menyelamatkan kedua puteri dari kebejatan Pangeran Durjana."
Raja Gendeng 11 Mutiara Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selesai berkata Kabut Hitam memutar tubuhnya sebanyak tiga kali.
Seketika itu juga sosoknya lenyap hilang raib dari pandangan.
Pangeran Durjana dan pasukannya menyerbu istana Malingping hingga memicu terjadinya pertempuran hebat yang sengit.
segala kekacawan dan malapetaka yang ditimbulkan akibat pertempuran berdarah itu sebenarnya telah diketahui baik oleh puteri Arum Senggini maupun puteri Nila Agung.
Kedua gadis berpakaian putih dan berpakaian biru ini sebenarnya ingin meninggalkan kamarnya yang dijaga ketat oleh belasan perajurit .Mereka juga berkeinginan kuat untuk turut ambil bagian dalam pertempuran itu.
Namun mengingat pesan gusti prabu yang mengharuskan mereka tidak boleh keluar dari dalam kamarnya membuat mereka tak dapat berbuat apa apa.
Kedua puteri ini menyadari selama ini mereka jarang mematuhi segala peraturan istana.
Mereka kerap keluar istana secara diam-diam.
Jadi untuk kali ini mereka harus patuh kepada perintah Rama Prabu. Penantian selalu ada batasnya.
Dan kedua gadis itu akhirnya menjadi kehilangan kesabarannya begitu salah satu perajurit yang berjaga di depan pintu peraduan yang mereka tempati memberi kabar bahwa banyak perajurit dan perwira istana yang tewas.
Bahkan perajurit itu juga memberi tahu senopati Rangga Wulung Utama mengalami cidera berat
"Bagaimana nasib ayahanda prabu?"
Tanya puteri Nila cemas membayangkan kehawatiran. Perajurit berseragam hitam bertubuh tegak dan membekal sebuah pedang itu gelengkan kepala.
"Ampunkan hamba gusti puteri. Kami sama sekali belum mendengar tentang keadaan gusti prabu. Mudah-mudahan beliau selamat dalam keadaan tidak kekurangan sesuatu apa."
"Baiklah. Terima kasih atas laporanmu. Sekarang kau boleh kembali ke tempatmu!"
Perintah puteri Arum Senggini.
Sang perajurit anggukkan kepala.
Setelah bungkukkan badan menjura ke arah kedua puteri cantik itu dia balikkan badan menuju ke bagian pintu depan.
Seperginya perajurit penjaga, Puteri Nila Agung segera menutup pintu.
Begitu pintu ditutup dan dikunci dari dalam dia dan sang kakak segera menuju ke sebuah kursi. Gadis berlesung pipit ini duduk disana.
Sementara puteri Arum Senggini segera duduk menempati kursi yang terletak di depan adiknya
"Aku semakin tidak tenang dengan keadaan yang serba tidak menentu ini!" berkata puteri Nila Agung berterus terang.
Puteri Arum Senggini tidak segera menjawab, Gadis itu menarik nafas dalam.
Tak lama setelah menghembuskan nafas dengan mata menerawang dia membuka mulut berikan jawaban.
"Perasaanku pun sama saja adik. Aku khawatir terjadi sesuatu yang buruk atas diri ayahanda prabu. Seharusnya kita tidak berada di sini, berdiam diri hanya berpangku tangan yang membuat kita seperti orang yang lumpuh. Kita harus perangi musuh-musuh kita!"
"Aku sependapat denganmu. Aku tak ingin istana ini jatuh ke tangan Pangeran Durjana. Mahluk jahanam yang bangkit dari liang kematian itu harus disingkirkan!"
Tegas Nila Agung dengan penuh semangat.
Arum Senggini anggukkan kepala. Dua matanya yang indah berkedap-kedip.
Dia membayangkan bila saja Sang Maha Sakti Raja Gendeng ada di istana itu.
Kemungkinan besar keadaannya tidak seburuk ini.
Pemuda gagah berwajah tampan namun mempunyai tabiat aneh itu pasti bisa membantu mengatasi kesulitan yang mereka hadapi.
"Hmm, sudah lama aku tak melihatnya. Apa yang terjadi dan dimana dia saat ini berada.. Ingin sekali aku bertemu dengannya. Aku sendiri tidak mengerti apa yang terjadi dengan diriku. Setelah pertemuanku dengannya dimalam itu. Hingga saat ini aku tak dapat melupakannya. Aku sering teringat padanya. Tapi... bagaimana dengan adikku Nila Agung. Dia sendiri pernah berterus terang mengaku suka pada Raja. Dia gadis yang polos suka bicara apa adanya. Berbeda dengan diriku, suara hati dan apa yang keluar dimulut selalu berbeda."
Berkata dalam hati begitu Arum Senggini tiba-tiba melirik pada adiknya.
Merasa diperhatikan Nila Agung tiba-tiba membuka mulut ajukan pertanyaan.
"Ada apa kakak? Kau nampak gelisah. Apa yang kau pikirkan?"
Pertanyaan itu membuat Arum Senggini kaget. Dengan gugup cepat-cepat dia menjawab.
"Eeh, tidak. Aku tidak apa-apa, adik."
"Engkau berdusta. Kakak selalu membohongi diri sendiri."
"Ee, apa maksudmu?"
Tanya Arum Senggini sambil pura-pura delilkkan matanya.
Puteri Nila Agung dongakkan kepala lalu tertawa.
"Aku tahu sekarang, sebenarnya kau sedng memikirkan keberadaan Raja, bukankah begitu?"
"Oh tidak. Buat apa memikirkan pemuda gila itu?"
Kilah Arum Senggini tersipu sementare wajahnya terlihat kemerahan.
"Tak usah berdusta. Aku tahu sifat kakak. Bila mulutmu mengatakan tidak biasanya dihati lain lagi. Akui saja kau merindukan Raja!"
"Jangan bicara sembarangan. Bukankah kau yang lebih tertarik kepada pendekar maha sakti itu?"
Ucap Arum Senggini walau diluar bicara seperti itu tetapi hatinya terasa nyeri.
"Aku....?"
Nila Agung memekik sementara jari tangannya menunjuk dirinya sendiri.
"Aku ini orang yang suka berterus terang. Tak bisa kupungkiri aku memang menyukai Raja., Tapi aku tidak mau memaksakan diri. Kurasa kakaklah yang lebih pantas berdampingan dengannya."
"Haus.... bicara apa kau! Jangan suka bicara melantur. Aku hanya sempat berpikir andai saja Raja Gendeng ada disini. Kurasa dia bisa membantu kerajaan dalam menghadapi serbuan mahluk:mahluk asuhan Pangeran Durjana itu."
"Kau benar kakak. Dia seharusnya ada disini. Kita tak mungkin dapat menghadapi semua ini hanya berdua saja."
Sahut Nila Agung.
"Mahluk keparat itu."
"Memangnya kenapa?"
"Apakah kau tidak tahu dia sebenarnya menginginkan kita berdua untuk dijadikan pengantinnya?" kata Nila Agung.
"Ihh, menjijikan sekali. Dia hendak menjadikan kita seperti gadis-gadis yang menjadi korbannya?"
Menjawab Arum Senggini sambil mengusap tengkuknya yang dingin.
"Pangeran Durjana. Hmm aku tidak tahu seperti apa tampang rupanya"
"Aku yakin dia mahluk yang menyeramkan."
"Apakah kau pernah melihatnya, kakak?"
Tanya Nila Agung lalu layangkan pandang ke arah pintu. Arum Senggini menggeleng.
Dia segera membuka mulut menjawab pertanyaan sang adik.
"Orang yang sudah mati lalu hidup kembali, apalagi kematiannya telah seribu tahun berlalu. Rasanya mustahil memiliki wajah yang tampan. Pangeran Durjana pasti mempunyai wajah angker mengerikan."
"Jika yang kau katakan benar, mengapa banyak sekali gadis-gadis desa yang jatuh dalam pelukannya?"
Pertanyaan itu membuat sang kakak terdiam. Dalam diam dia berpikir keras sambil berusaha mengingat kejadian mengerikan yang dilihatnya saat berada di pantai Carita. Sang puteri akhirnya menggumam.
"Aku yakin yang menjadi pangkal sebab semua petaka yang dialami oleh gadis-gadis malang itu karna sengatan Lebah Kepala Hati Berbunga. Bukankah ayahanda prabu pernah mengatakan setiap gadis yang menjadi korban sengatan lebah-lebah itu mereka menjadi lupa diri, hilang rasa malu. Segala akal sehat lenyap yang ada hanya keinginan untuk bercinta dengan Pangeran Durjana. Hasrat yang menggebu ditambah dengan hilangnya akal sehat membuat mereka dengan sukarela menyerahkan diri, menyerahkan kehormatan yang paling berharga yang mereka miliki pada pangeran itu..."
"Benar-benar iblis keji!"
Geram Nila Agung sambil kepalkan tinjunya.
Arum Senggini anggukkan kepala.
Tapi pembicaraan diantara mereka terputus karena tiba-tiba saja terdengar suara denting senjata dan pekik jerit kesakitan dibagian luar bilik peraduan yang dijaga oleh para perajurit.
"Sepertinya ada keributan diluar sana!"
Sentak Nila Agung.
"Jangan-jangan Pangeran Iblis keparat itu datang membuat kekacauan!"
Sahut Arum Senggini.
Dua gadis saling pandang.
Dengan hati diliput ketegangan keduanya segera menyambar pedang yang mengantung di dinding persis di belakang mereka.
Tidak menunggu lama kedua puteri pemberani yang memiliki jurus silat serta ilmu kesaktian cukup tinggi ini segera bergegas menuju ke arah pintu .Sementara itu dibalik pintu yang terkunci.
Belasan pengawal yang ditugaskan menjaga keselamatan puteri ternyata memang sedang terlibat perkelahian sengit dengan seorang laki-laki berjubah hitam berambut panjang menjela.
Dua perajurit jatuh terkapar dilantai setelah terkena tinju laki-laki berjubah hitam itu.
Sedangkan satunya lagi tulang rusuknya berderak patah terkena tendangan.
Setelah menghantam tiga pengawal si jubah hitam berwajah pucat angker angkat tangannya tinggi-tinggi.
Sambil mengangkat tangan siap melepaskan pukulan dia berseru.
"Siapa saja yang ingin mampus menghadap diraja akherat silahkan maju. Tapi ingat, kedatanganku kesini hanyalah ingin menjemput dua puteri raja. Aku tahu mereka berada disekitar sini, siapa yang mau memberi tahu tempat persembunyian mereka, aku Pangeran Durjana akan memberikan hadiah imbalan yang besar!"
Tidak ada yang menjawab. Belasan perajurit sama berpandangan, setelah itu mereka menatap orang berjubah berwajah buruk yang mempunyai mata aneh berwarna putih kemerahan dengan sebuah titik hitam pada bagian tengahnya.
"Jangan memberi tahu."
Berbisik salah seorang penjaga ini pada temannya yang berada di sebelah kanannya. Yang diajak bicara anggukkan kepala.
"Kita telah bersumpah setia pada gusti prabu dan keluarganya."
"Tapi kau lihat sendiri. Orang berjubah hitam itu agaknya bukan manusia. buktinya sama sekali tidak menyentuh tanah."
Bisik sang teman.
Tanpa sadar dia menggenggam hulu pedang yang tergantung dipinggangnya.
Raja Gendeng 11 Mutiara Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Belum sempat perajurit disebelah kiri menjawab..
Orang berjubah yang memang Pangeran Durjana adanya membentak
"Kecoak busuk, cacing-cacing kecil yang tidak berguna. Aku telah memberikan tawaran yang terbaik tapi kalian justru menganggap sepi kebaikan hatiku! Mampuslah kalian semua!"
Teriakan Pangeran Durjana ini kemudian disusul dengan satu gerakan yang tidak terduga.
Tiba-tiba saja sang pangeran memutar tubuh.
Begitu tubuh berputar jubah hitam tak terkancing yang melekat ditubuhnya menderu menyambar tiga pengawal yang berada di bagian paling depan.
Tiga pengawal keluarkan seruan kaget ketika merasakan dari ujung jubah menyambar hawa panas luar biasa.
Sebelum hawa panas dan deru angin dari jubah itu mengenai tubuh mereka.
Dengan kecepatan luar biasa ketiga pengawal itu merangsak ke depan sambil hantamkan senjata di tangan masing-masing.
Dua golok besar dan satu pedang ditangan tiga perajurit berkelebat menghantam perut dan berusaha merobek wajah Pangeran Durjana.
Sementara itu pengawal yang berada dibelakang juga segera menyerang Pangeran itu dari bagian belakang.
Tak pelak lagi belasan senjata menghujani tubuh Pangeran Durjana.
Tapi betapa kaget hati mereka begitu melihat kenyataan senjata ditangan mereka ternyata tak mampu menembus atau mencederai tubuh lawannya.
Jangankan membuat lawan terluka, bahkan sedikitpun senjata itu tak dapat merobek jubah yang melekat di tubuh Pangeran Durjana.
Sebaliknya dengan disertai teriakan menggembor marah, Pangeran Durjana lalu kibaskan tangan kanannya ke arah tiga perajurit yang menyerang dari depan.
Ketiga perajurit itu berusaha menghindar dari sambaran jemari tangan Pangeran Durjana.
Sayang secepat apapun mereka berkelit tetap saja serangan itu mengenai wajah, bahu dan leher mereka.
Sekali lagi terdengar jerit dan pekikan menyayat.
Tiga perajurit terkapar dengan wajah hangus leher menganga.
Dua orang ini langsung terkapar. Sedangkan perajurit yang bahunya kena pukulan lawan jatuh terduduk, mata mendelik mulut meraung.
Bahu perajurit itu remuk mengerikan, sementara bagian bahu sebelah luar tampak mengepulkan asap menebar daging hangus terbakar.
Pangeran Durrjana terus mengamuk, mengumbar kemarahan dengan membabi buta.
Lakilaki itu segera balikkan badan menghadap ke arah tujuh perajurit yang mengeroyoknya dari arah belakang.
Melihat lawan berbalik, para perajurit itu terus merangsak maju.
Sambil babatkan senjata ditangan mereka menghantam sang pangeran dengan pukulan sakti yang disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Tapi Pangeran Durjana ternyata memang bukanlah lawan bagi mereka.
Terbukti hanya dengan kibaskan jubah hitamnya empat perajurit dibuat terjungkal, sedangkan satunya lagi melolong kesakitan sambil dekap bagian dadanya yang pecah terkena hantaman ujung jubah .Melihat teman-temannya tewas, mereka yang bertahan hidup walau merasa jerih namun terus merangsak maju.
Kini dengan mengandalkan jurus silat andalan beberapa perajurit kembali mengepung Pangeran Durjana.
Namun sang pangeran agaknya merasa muak, maka dia tak ingin membuang waktu lebih lama.
Tiba-tiba pangeran itu melompat tinggi ke langit-langit ruangan, dia berdiri tegak mengapung disana.Mula-mula mulut sang pangeran berkemak-kemik setelah itu dua tangan di-satukan digosok satu sama lain.
Asap menebar bau busuk mengepul menebar dari telapak tangan pangeran Durjana.
Melihat serangan yang akan dilakukan Pangeran Durjana kepala pengawal berteriak ke anak buahnya.
"Bunuh! Jangan biarkan dia melepaskan suatu serangan mematikan ke arah kita!"
Mendengar teriakan itu secara susul menyusul para pengawal melesat keatas lalu lepaskan satu pukulan menggeledek ke arah Pangeran Durjana.
Pukulan itu kemudian disusul pula dengan bacokan senjata ke bagian kaki dan punggung lawan.
Tetapi segala tindakan yang dilakukan oleh perajurit kepala pengawal itu sangat terlambat.
Pukulan yang mereka lepaskan tersedot amblas ke dalam tubuh Pangeran Durjana.
Bahkan tanpa pernah terduga senjata yang dipergunakan untuk menyerang lawan malah menempel melekat di bagian tubuh yang menjadi sasaran.
Kaget bercampur heran mereka berusaha membetot senjata yang melekat di tubuh Pangeran Durjana.
Celakanya semakin keras mereka berusaha menarik senjatanya kembali semakin sulit senjata dilepaskan.
Dalam keadaan panik dan tubuh bergelantungan para pengawal mencoba selamatkan diri dengan melepas genggamannya pada hulu senjata.
Tapi apa yang mereka lakukan ini juga tak punya banyak arti.
Tangan tak mau lepas juga dari gagang senjata.
Selagi para perajurit dan kepala pengawal dibuat sibuk dengan apa yang terjadi.
Pangeran Durjana menyeringai.
Dengan suara dingin dia berucap.
"Cecunguk tidak berguna. Dikasih hidup malah minta mati. Sampai kiamat kalian tak mungkin bisa melepaskan dirimu karena aku telah menggunakan ilmu sakti Perekat Jiwa. Dengan ilmu itu siapa saja yang menempel ditubuhku tak akan pernah terlepas. Dan sekarang, kalian akan merasakan dahsyatnya ilmu kesaktianku yang lain. Heaah."
Dua tangan tiba tiba didorongnya ke bawah sementara tenaga sakti yang bersumber dari bagian pusarnya dia lepaskan ke arah kakinya. Gerakan melepas tenaga dalam yang sedemikian cepat tentu tidak mudah karena dapat menghancurkan otot dan pembuluh darah sang pangeran. Namun sang Pangeran Durjana yang telah menguasai ilmu ajian serat Karang tindakan yang dilakukan itu tentu saja menimbulkan akibat yang berbahaya bagi para perajurit dan kepala pengawal. Dari bagian tubuh pangeran sebelah bawah tiba-tiba menyambar cahaya terang kebiruan menjalar ke semua senjata yang menempel di kaki dan jemari yang terbalut kasut tipis dan terus menjalar menyengat tangan dan sekujur tubuh para perajurit itu.
Terlihat kilatan cahaya seperti menyelimuti tubuh semua perajurit. Terdengar suara jerit menyayat bersahut-sahutan. Para pengawal kemudian berjatuhan dengan tubuh dan pakaian hangus menghitam. Ketika tubuh mereka jatuh terlepas di lantai terdengar serpihan tubuh berserakan menjadi kepingan aneh disertai suara gemerincing.
Melihat apa yang dialami oleh semua penjaga itu. Pangeran Durjana donggakkan kepala lalu tertawa tergelak-gelak.
Sambil tertawa laki-laki itu bergerak meluncur perlahan menuju lantai. Dan gerakan sang pangeran terhenti setelah telapak kakinya mengambang satu jengkal di atas lantai. Segala kedahsyatan serta tindakan keji yang dilakukan Pangeran Durjana ternyata tidak luput dari perhatian puteri Nila Agung dan juga Arum Senggini yang baru saja muncul diruangan itu.
"Iblis laknat jahanam!"
Damprat Arum Senggini sambil silangkan senjata di depan dada.
"Mahluk keparat yang menyalahi aturan takdir. Seharusnya kau membusuk di neraka.Kau tidak layak gentayangan lagi di dunia kehidupan" dengus Nila Agung tak kalah sengit.
Mendengar ada orang mendamprat sang pangeran yang tampak merasa puas melihat kematian perajurit penjaga segera palingkan kepala memandang ke arah datangnya suara. Wajah angker menjijikan dilapisi lendir putih itu menyeringai. Mata yang putih pucat membelalak, lidah dijulur begitu mengetahui siapa yang bicara.
"Ah calon pengantinku, bakal istriku. Walau belum pernah bertemu namun dari aroma tubuh dan keringat kalian aku yakin kalian pastilah dua puteri yang sedang kucari! Kau yang berpakaian putih bukankah kau yang bernama puteri Arum senggini. Dan yang berpakaian biru aku yakin adalah puteri Nila Agung."
Walau merasa kaget tak menyangka laki-laki berwajah angker tak ubahnya mayat hidup itu mengenali, namun kedua gadis ini unjukkan wajah garang.
"Kau hanya seonggok bangkai busuk, mahluk kesasar dari liang kubur. Siapa yang sudi ikut bersamamu?"
"Apalagi untuk menjadi kekasihmu!"
Damprat Nila Agung pula mendukung ucapan sang kakak. Pangeran Durjana menggumam lalu dongakkan kepala disertai tawa tergelak. Sambil tertawatawa dia menanggapi ucapan kedua puteri cantik itu.
"Siapa yang seonggok bangkai busuk. Kalian pasti salah melihat, kalian berdua tidak menatap memandangku dengan mata yang benar. Pandang baik-baik. Aku adalah pangeran gagah dan tampan dan masih terhitung kerabat buyut kalian."
Berkata begitu sang pangeran memutar tubuh.
Sementara dengan menggunakan telapak tangan kiri yang dikembangkan dia mengusap wajahnya.
Wuuus!
Begitu tubuh yang berputar berhenti bergerak dari usapan tangan menyapu seluruh wajah.
Wajah angker muka pucat dan mata putih bertitik hitam lenyap.
Sebagai gantinya baik Arum Senggini dan adiknya sama melihat di depannya sejarak tujuh langkah berdiri tegak masih dengan kedua kaki mengambang di atas lantai seorang pemuda berwajah luar biasa tampan berkulit putih, berkumis tipis bagus dan berjanggut halus.
Arum Senggini tercengang.
Seakan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri gadis ini mengusap matanya dua kali.
Walau mata telah diusap, ketampanan pemuda berjubah itu tidak berubah.
"Ternyata dia sangat tampan. Belum pernah aku melihat pemuda setampan ini. Pantas banyak gadis tergila-gila yang jatuh dalam pelukannya?" gumam Arum Senggini terpesona.
Berbeda dengan Nila Agung adiknya. Walau gadis ini sempat tertegun melihat wajah yang tampan itu. Namun akal sehatnya tetap bekerja dan dia selalu ingat siapa sesungguhnya pemuda yang tegak di depannya yang sedang mengumbar senyum itu. Mendengar ucapan Arum Senggini, Nila Agung cepat membuka mulut keluarkan seruan bernada mengingatkan.
"Semua yang kau lihat dan yang kau saksikan itu hanyalah tipuan belaka, kakak. Mungkin dikehidupannya di masa lalu dia memiliki rupa tampan. Tapi ingat semua itu telah lama berlalu. Dia sudah mati, bahkan terkubur di lautan selama seribu tahun lebih. Jelas pangeran keparat ini menggunakan kekuatan iblis untuk menipu kita!"
Seolah tersadar Anum Senggini anggukkan kepala.
"Aku tahu. Aku tahu. Dia momok paling bejat perusak kehormatan wanita. Jadi tunggu apa lagi, mari kita cincang tubuhnya bersama-sama!"
Berkata begitu Arum Senggini melompat ke depan lalu menyerang Pangeran Durjana dengan babatkan pedang ke wajah lawan.
Melihat sang kakak telah mengambil tindakan menyerang lawan dengan serangkaian jurus-jurus pedangnya. Nila Agung tidak tinggal diam.
Dibarengi teriakan melengking si gadis melompat tinggi, lalu menyerang kepala sang pangeran sambil bacokkan pedangnya.
Dua pedang menderu ganas.
Satu bergerak mengincar sasaran dibagian tubuh sebelah depan sedangkan satunya lagi siap membelah kepala sang pangeran.
Apa yang dilakukan oleh kedua puteri itu tidak cukup sampai disitu.
Dengan menggunakan tangan kiri mereka juga kirimkan jotosan ke dada dan bahu lawannya.
Sementara kaki kanan dengan menggunakan jurus Kibasan Kaki Rajawali berkelebat mengincar bagian tubuh lawan yang dianggap paling lemah.
Mendapat serangan ganas yang datangnya saling susul menyusul disertai suara deru mengerikan ini, Pangeran Durjana sama sekali tidak merasa gentar ataupun cemas.
Sebaliknya dengan wajah kegirangan disertai tawa tergelak dia berkata,
"Oalaa....gadis-gadisku calon pengantinku. Rupanya kalian sudah tidak sabar menunggu kubelai dan kupeluk. Kalian sudah datang sendiri menghampiri aku. Kalian gadis-gadis montok, kulit putih mulus. Oh, betapa tak tahannya diriku. Kemarilah, datang lebih mendekat. Kalian boleh menghantam tubuhku dibagian mana saja yang kalian anggap paling empuk"
Kata-kata yang diucapkan Pangeran Durjana membuat kedua puteri ini menjadi bertambah marah.
Sambil menyerang mereka lipat gandakan tenaga dalamnya ke bagian tangan dan kaki.
Kini dengan tenaga dalam penuh semua serangan menghantam tubuh sang pangeran
Trak!
Trang!
Raja Gendeng 11 Mutiara Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ting!
Buk!
Buk!
Karena Pangeran Durjana sedikitpun tidak berusaha menghindar atau menangkis setiap serangan yang datang.
Tentu saja semua serangan maut yang mereka lancarkan mengenai sasaran dengan telak.
Tapi apa yang terjadi sungguh membuat kedua puteri benar-benar tercengang.
Tebasan, tusukan maupun bacokan pedang juga tendangan maupun pukulan sakti yang mengenai tubuh Pangeran Durjana sedikitpun tidak membuatnya mengalami cidera.
Tidak hanya itu ketika pedang ditangan menghantam kepala dan dada sang pangeran terdengar suara berdenting seakan senjata menghantam lempengan baja yang tebal.
Sementara kaki maupun tangan keduanya terasa sakit luar biasa.
Kedua gadis ini terbelalak.
Selagi mereka dibuat tercengang menyaksikan apa yang terjadi. Tiba-tiba saja Pangeran Durjana melangkah maju secepat kilat menyambar dua tangannya terjulur.
Tangan kiri bergerak kearah Arum Senggini sedangkan tangan sebelah kanan meluncur deras ke arah Nila Agung.
Dalam kaget tak menyangka lawan bertindak seperti itu. Arum Senggini kibaskan senjata membabat tangan yang menyerang bagian dada. Tapi bacokan pedang dengan mudah dapat dihindari.
Tahu-tahu tangan sang pangeran telah hinggap mendarat didada si gadis, membuat usapan dan remasan lembut di dada itu.
"Keparat lancang!"
Teriak Arum Senggini sambil menggerakkan senjata ke atas sementara dengan tangannya yang lain dia juga melepaskan pukulan ke bagian wajah lawan.
Tapi baik gerakan menghantam maupun serangan pedang terhenti di tengah jalan.
Usapan di dada si gadis tidak hanya membuat dirinya menjadi kaku tertotok.
Sebaliknya usapan itu sendiri menimbulkan perasaan aneh dan suatu yang tak pernah dia alami seumur hidup.
Sementara itu ketika tangan Pangeran Durjana yang lain siap lancarkan totokan dengan gerak cepat menyapu dan mengelus dada lawan.
Nila Agung yang bertindak lebih waspada dengan sigap segera jatuhkan diri ke lantai lalu berguling guling menjauh dari jangkauan tangan sang pangeran.
Nila Agung lolos dari serangan totokan yang aneh itu.
Namun ketika dia bangkit berdiri.
Sang dara jadi tercengang melihat saudaranya tak kuasa bergerak lagi, sementara tubuh menggeliat, mulut mendesis dan matanya berkedap-kedip setengah terpejam
"Kakak! Apa yang terjadi dengan dirimu?" teriak Nila Agung heran penuh tanya.
Yang di tanya diam tidak menjawab.
Seolah tidak mendengar dia terus saja menggeliat dan mendesis. Penasaran Nila Agung alihkan perhatian pada lawannya.
Melihat si gadis memandangnya sang pangeran justru mengumbar tawa bergelak
"Apa yang kau lakukan pada kakakku?!"
"Ha ha ha! Apakah kau tidak melihat saudaramu dalam keadaan kaku tertotok. Totokan itu tiada duanya di dunia ini. Dengan totokan itu pula segala nafsu dan keinginan bercinta kubangkitkan Lihatlah! Dia nampaknya siap untuk kuajak bercinta."
Ucap Pangeran Durjana.
Lalu diam sejenak sambil memperhatikan Nila Agung dan sebelum sang puteri bicara, Pangeran Durjana lanjutkan ucapan.
"Satu telah kudapatkan, Tapi dia saja tidak cukup. Untuk menyempurnakan ilmu kesaktian yang menuju kekuatan abadi aku juga harus bercinta denganmu. Kau tidak perlu melawan kau tak akan mampu membunuhku. Ketahuilah, bila aku sanggup membuat ayahandamu gusti prabu Tubagus Kasatama sekarat maka coba kau bayangkan untuk membunuhmu bukanlah perkara yang sulit!"
Nila Agung tercengang mendengar pengakuan lawan.
Dia sadar sang kakak dalam ancaman bahaya.
Tetapi gadis itu lebih kaget lagi ketika mengetahui ayahnya ternyata telah dicidrai oleh lawannya, Dengan wajah merah padam menahan segala kemarahan Nila Agung melangkah maju.
"Kau seperti yang telah aku duga terrnyata memang bukan manusia. Kau hanya iblis yang berkedok dan menyaru sebagai manusia. Sekarang aku minta bebaskan saudaraku dari pengaruh totokan laknatmu!"
Teriaknya sambil mengangkat pedang tinggi-tinggi.
"Apa yang bisa kau lakukan wahai calon mempelaiku.Dengan kekuatan serta senjata ditanganmu itu kau tak bakal mampu menundukkan aku Kemarilah. Aku punya tempat yang bagus untuk kita bertiga. Di tempat itu kita bisa bercinta dari malam pagi dan sampai pagi lagi.."
Ucap sang pangeran. Dia pun lalu ulurkan tangan dengan sikap seperti orang yang menyambut tamunya .Gerakan yang dilakukan Pangeran Durjana ini sebenarnya hanya tipuan belaka karena begitu si gadis babatkan pedang ke arah tangan lawan.
Dengan cepat tangan ditarik mundur ke belakang. Serangan pedang luput dan hanya membabat angin .Nila Agung memutar tubuh begitu melihat tangan lawan tiba-tiba melesat siap lakukan totokan berupa usapan di kedua dadanya
"Keparat mesum!"
Teriak si gadis.
Tak ingin celaka menjadi korban usapan dia jatuhkan diri .
"Lebih baik kau bergabung bersama kakakmu."
Begitu punggung menyentuh tanah dan jemari tangan lawan menukik tajam memburu ke tempat dimana dirinya terjatuh.
Dara berlesung pipit ini langsung tusukkan pedang ke bagian lengan bawah .
Crest!
Tusukan pedang berhasil melukai lengan lawan.
Namun begitu pedang yang menembus lengan dicabut.
Luka kembali bertaut dengan sendirinya.
"IImu setan!"
Teriak Nila Agung yang segera lepaskan satu pukulan ganas lagi begitu melihat dua tangan sang pangeran terus mengejar menyergap dari dua arah sekaligus.
Satu gelombang cahaya berwarna biru kemerahan seperti selendang menyambar ganas ke arah tangan dan tubuh Pangeran Durjana.
Sang pangeran yang sudah terpancing kemarahannya menggerung.
Dengan kecepatan luar biasa tangannya melambai berusaha memapas serangan sang puteri yang siap menghancurkan tangan dan meremukkan dadanya.
Wuut!
Byaar!
Terdengar suara ledakan keras begitu cahaya mirip selendang beradu dengan tangan sang pangeran.
Guncangan keras melanda tempat itu, sementara kepulan asap memenuhi ruangan.
Selagi Nila Agung berusaha selamatkan diri menghindar dari kepulan asap menebar bau busuk menyengat.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Pangeran Durjana untuk meringkusnya.
Ketika tangan itu disentakkan ke depan.
Tiba-tiba saja tangan berubah menjadi panjang.
Melihat ini sang puteri memekik kaget sekali lagi jatuhkan diri, berguling-guling di lantai hindari cengkeraman tangan Pangeran.
Tangan yang berubah menjadi lentur itu meliuk-liuk terus, mengikuti kemana pun sang puteri bergerak.
Tak sampai setengah jengkal lagi bagian leher belakang Nila Agung dicengkeram oleh lawannya. Tiba-tiba saja terdengar suara atap genteng hancur berderak disusul dengan jebolnya langit langit ruangan.
Dari balik lubang besar diantara atap dan langit-langit yang jebol melesat seolah terbang satu sosok bayangan putih kelabu ke arah Pangeran Durjana.
Sosok itu adalah sosok pemuda berambut gondrong yang tak lain adalah Sang Maha Sakti Raja Gendeng dengan disertai deru Cahaya kuning keemasan.
Menderunya cahaya kuning emas itu ternyata bersumber dari Pedang Gila ditangan Raja yang disertai sengatan hawa panas dan dingin luar biasa.
Pangeran Durjana kaget ketika melihat cahaya emas yang belum dapat dia duga apa adanya tiba-tiba membabat tangannya.
Sambil menggerung karena ada orang lain ikut campur dia cepat menarik balik serangan.
Tangan yang menjulur panjang disentakkan kebelakang.
Tangan terbetot mengerut hendak kembali ke bentuk aslinya.
Tapi sebelum tangan benar-benar kembali ke ukuran semula.
Pedang Gila membabat lengan si pangeran.
Craas!
Pangeran Durjana menjerit keras ketika tangan yang sekeras baja itu ternyata sanggup dibabat putus kilatan cahaya kuning yang ternyata adalah sebuah pedang.
Belum lenyap rasa kaget dihati.
Satu cahaya putih menyilaukan yang berasal dari ilmu Badai Es yang dilepaskan Raja munghantam tubuhnya.
Pangeran Durjana terjajar ke dinding.
Sekujur tubuh hingga ke bagian rambutnya nampak diselimuti uap putih seperti es.
Namun walau pukulan Raja sempat membuat tubuhnya dingin seakan beku.
Sang pangeran masih dapat bergerak bebas.
Sambil mendengus dia kembali tegak.
Mata nyalang memperhatikan Raja yang baru saja jejakkan kaki tak jauh di depannya. Setelah itu dia memperhatikan tangannya yang buntung.
"Belum pernah ada senjata yang membuat tanganku seperti ini."
Batin Pangeran Durjana. Dia melirik ke arah potongan tangan yang tergeletak di lantai. Sekonyong-konyong dengan sikap tidak perduli namun memendam kemarahan pada Raja dia berseru ditujukan pada bagian tangan di lantai.
"Tanganku. Kembalilah kau masih dibutuhkan!"
Wuus!
Raja Gendeng 11 Mutiara Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Potongan tangan melayang, lalu menempel dan menyatu kembali ke tempat semula.
"Edan! Bagaimana tangan yang putus bisa bersambung lagi!" kata Raja dengan mata mendelik tak percaya.
Sang pangeran menyeringai sambil sunggingkan senyum mengejek. Sementara itu setelah berhasil lolos dari bahaya. Merasa ada yang datang menolong secepat kilat gadis ini bangkit berdiri. Dia merasa lega begitu dilihatnya Raja telah berada di tempat itu
"Aku hampir saja mati dan saudaraku telah kena totokan aneh. Mengapa kau baru datang?"
Tanya sang puteri menegur.
Lalu tanpa menunggu jawaban Sang Maha Sakti dia melirik ke arah Arum Senggini.
Dia melihat sang kakak masih berdiri di tempatnya.
Tubuh terus meliuk, mulut terus mendesah, bibir basah lidah dijulur keluar masuk. Sesekali dari mulutnya terdengar suara erangan.
Tanpa ragu Nila Agung berlari mendapatkan sang kakak.
Tapi gerakannya tertahan karena Pangeran Durjana berusaha menghalanginya.
Melihat tindakan yang dilakukan pangeran itu. Raja tidak mau diam.
Dia melompat menghadang sambil babatkan pedang di tangannya.
Mendengar suara bergemuruh dan berkiblatnya pedang di tangan Raja.
Pangeran Durjana tak mau mengambil resiko.
Dia segera batalkan serangan, kembali ke tempat semula sedangkan mulut semburkan sumpah serapah.
Raja jejakkan kaki tak jauh di depan Arum Senggini.
Dari sikapnya jelas pemuda ini berusaha melindungi kedua puteri ini.
"Kau tak menjawab pertanyaanku, apakah kau tuli?"
Tanya Nila Agung.
Dengan bersusah payah dia mencoba menyadarkan sang kakak.
Tapi upayanya sia-sia.
Demikian pula ketika si gadis mencoba melenyapkan pengaruh totokan di dada Arum Senggini.
Usahanya itu malah membuat sang kakak mengerang dan berusaha memeluknya.
"Benar-benar edan!"
Maki Nila Agung. Penasaran bercampur marah dia menyeret kakaknya ke sudut ruangan.
"Aku datang terlambat."
Berkata Raja. Dan seperti diketahui pada episode sebelumnya Raja pernah bertemu dengan dua puteri kakak beradik itu di pantai Carita.
"Oh ya siapa yang kau maki edan?"
Tanya Raja tanpa menoleh ke belakang dan terus memperhatikan gerak gerik Pangeran Durjana.
"Totokan ini. Dia telah menotok kakakku."
Raja terdiam. Tadi dia sempat melihat Arum Senggini meliuk-liukkan tubuh, mulut berdesis, mata setengah terpejam dan wajah merona merah. Ada yang janggal. Sesuatu telah terjadi pada sang puteri.
"Tapi apa?" pikir Raja.
"Jahanam edan itu telah menotok Arum Senggini."
Akhirrnya Nila Agung memberi jawaban.
"Keparat busuk itu menotoknya. Totokan biasanya membuat tubuh korbannya menjadi kaku. Tapi yang kulihat saudaramu malah menggeliat seperti cacing kepanasan, lidah mendesis selayaknya orang kepedasan, wajah merah seakan malu dan mata seperti orang mengantuk. Bagaimana bisa begitu?"
"Apakah yang ditotok? Eeh.... maksudku bagian mana yang ditotok?!"
Tanya Raja.
Pertanyaan itu jelas membuat Nila Agung menjadi bingung.
Sebelumnya dia sempat melihat Arum Senggini sempat mendapat perlakuan keji dari lawan.
Dia melihat pangeran itu mengusap dan membelai dada kiri Arum Senggini.
Usapan dan belaian itu tidak hanya menimbulkan rangsangan aneh tapi juga membuat tubuh saudaranya kaku tak dapat bergerak dengan leluasa.
"Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya pada Raja?"
Pikir Nila dalam kebimbangan.
"Kau tak mau menjawab tidak menjadi apa?"
Ucap Raja acuh walau di hati dia merasa penasaran.
Di luar dugaan Pangeran Durjana yang sejak tadi diam memperhatikan membuka mulut
"Monyet gondrong bernama Raja, manusia jahanam yang telah membunuh Bocah Bocah Iblis anak sekaligus kaki tanganku. Menyangkut apa yang terjadi pada puteri calon pengantinku itu kiranya dapat kujelaskan. Tapi kuharap kau tak merasa iri. Ketahuilah. Aku sama sekali tidak menotok kekasihku itu, aku cuma mengusap dan membelai dadanya. Ternyata dia terlena dan nampaknya sudah tidak sabar kuajak tidur bersama! Ha ha ha!"
Raja manggut-manggut.
Tapi wajah mendadak berubah lebih merah kelam, mata mendelik garang hingga membuat hilang lenyap segala kejenakaannya.
Sementara itu di atas sebuah batu pipih bundar yang terletak diatas Bukit emas.
*****
Seorang kakek berpakaian rompi hitam tak terkancing bertubuh berperut gendut masih terus melakukan semedinya.
Sudah tiga hari orang tua berambut putih melakukan semedi di halaman pondoknya.
Dan orang tua yang usianya lebih dari tujuh ratus tahun dikenal dengan sebutan Dewa Mabok ini tidak bergeming walau saat itu hujan mulai turun rintik rintik.
Sejak Raja datang menyambangi tempat tinggalnya dan tak lama kemudian pergi meninggalkan pondoknya.
Diam-diam Dewa Mabok mulai diliputi kegelisahan.
Sebagai orang yang mengetahui asal-usul Pangeran Durjana.
Dia menyadar? niat Sang Maha Sakti Raja Gendeng untuk menghentikan kejahatan sang pangeran tak bakal mudah dilakukan.
Dia tahu.
Setelah bangkit dari kematiannya selama hampir seribu tahun.
Sesuai dengan sumpah pangeran sendiri.
Dia akan mendapat bantuan dari penguasa kegelapan.
Tidak mengherankan setelah hidup kembali untuk kedua kalinya.
Pangeran itu memiliki itmu kesaktian berlipat ganda.
Pada akhirnya Pangeran Durjana bakal menjadi manusia paling sakti tak terkalahkan bila dia berhasil bercinta dengan dua orang gadis yang masih mempunyai garis keturunan sama dengannya.
Mengingat itu sang pangeran diam-diam memendam niat untuk mendapatkan dua puteri gusti prabu Tubagus Kasatama yang tak lain masih terhitung cucu buyutnya sendiri.
Sebagai orang yang ingat mengetahul sejarah riwayat hidup Pangeran Durjana, Dewa Mabok tidak lagi dapat diam berpangku tangan hanya dengan bermabok-mabokkan saja.
Orang tua ini yang semula tidak ingin lagi mencampuri segala urusan duniawi akhirnya memutuskan umntuk bersemedi mengharap sekaligus memohon petunjuk dari para Dewa. Hujan yang mengguyur kawasan bukit semakin lama semakin bertambah deras.
Sesekali kilat menyambar disusul dengan gelegar petir.
Si kakek yang sudah berhari-hari duduk bersila sambil pejamkan mata tiba-tiba dongakkan kepala.
Tak lama kemudian dari mulutnya terdengar ucapan.
"Wahai Hyang Jagad Dewa Bathara. Aku si tua bangka lapuk ini banyak melakukan kesalahan dan kekeliruan dimasa muda. Aku juga tidak bisa melepaskan kebiasaan burukku bermabok 66 Mutiara mabokan. Dan aku mohon berilah aku petunjuk atau sesuatu yang berguna untuk menghentikan segala petaka yang diperbuat oleh pangeran yang pernah mati yaitu Pangeran Bagus Anom Aditama alias Pangeran Durjana!"
Dhuar!
Bukan jawaban atau petunjuk yang dia dapatkan. Sebaliknya petir menyambar ganas di depan tempat yang diduduki oleh si kakek. Dewa Mabok berjingkrak kaget. Mulut terbuka keluarkan ucapan.
"Aku minta diberi petunjuk. Mengapa petir yang dikirimkan padaku. Wahai dewa-dewa aku tahu kesibukan diatas sana.Aku tahu karena jelek jelek begini dulunya aku masih titisan dewa juga walau cuma dewa titisan yang bersama Gutara Tribuana.Permintaanku hanya sekali saja dan tak akan pernah meminta apapun setelah ini. Kuharap dewa bermurah dengan kelimpahan kasih sayangnya."
Setelah mengucapkan kata-kata bernada permohonan. Dewa Mabok lalu diam membisu. Kilat tiba-tiba menyambar. Hujan lebat yang seakan tercurah dari langit mendadak terhenti.
Langit yang gelap gulita berubah menjadi cerah .Tidak terlihat lagi mendung hitam tebal. Langit biru ditaburi kerlip cahaya bintang. Seiring dengan itu terlihat pula bulan yang mulai condong di ufuk langit sebelah barat.
"Segala keresahan hatimu dapat dirasakan oleh penghuni kayangan. Para dewa tahu apa yang bakal terjadi di rimba persilatan. Untuk itu bukalah matamu dan pandanglah ke langit!"
Kata satu suara bergaung dikesunyian.
Sebagaimana yang diperintahkan, Dewa Mabok buka matanya.
Setelah mengusap dan mengedipkan mata tiga kali si kakek lalu mengangkat wajah dan memandang ke langit.
Dia terkejut ketika melihat cahaya putih benderang diatas ketinggian.
"Wow.. bagaimana bintang dan matahari muncul bersamaan."
Desisnya kaget.
"Saat ini malam hari. Hari telah lewat tengah malam. Yang hampir tenggelam di ufuk barat adalah bulan."
Kata suara itu mengejutkan.
"Cahaya putih yang berada di atas ketinggian tepat berada disebelah atasku itu apakah bukan matahari? Mengapa terang sekali?!"
Kata Dewa Mabok seperti orang linglung.
"Gutara! Dalam keadaan waras tak terpengaruh minuman ternyata jalan pikiranmu keruh selayaknya orang mabok. Ketahuilah yang kau lihat adalah diriku. Tapi kurasa menyangkut diriku tidak penting bagimu. Jadi kau dengarlah baik-baik."
"Aku belum menjelaskan segala-galanya tentang maksud keinginanku. Apakah kiranya dewa tahu gerangan apa yang kubutuhkan?!"
"Mengapa kau semakin tua semakin pikun dan bodoh Gutara! Tidakkah kau sadar pemilik bumi mengetahui semua rahasia yang terucap maupun yang masih tersimpan di dalam hati dan setiap benak kepala manusia?"
Raja Gendeng 11 Mutiara Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata suara dalam cahaya terang. si kakek menyeringai, lalu garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Oh ya, aku lupa. Maafkan aku!"
Ucap si kakek. Setelah menghela napas dan berpikir sejenak Dewa Mabok berucap.
"Aku tak mau membuang waktu berlama-lama. Saat ini aku membutuhkan sesuatu. Sesuatu yang kuanggap dapat membantu seorang pendekar maha sakti dalam menyelesaikan sebuah tugas penting demi keselamatan manusia khususnya wanita."
"Yang kau maksudkan pastilah menyangkut pangeran yang sudah mati namun bangkit dari kematiannya. Dan Pangeran itu adalah Pangeran Durjana."
"Ya, betul sekali. Hebat ternyata kau sudah tahu padahal aku belum beri tahu. Tapi apakah aku boleh tahu siapa dirimu ini agar aku bisa yakin tidak minta petunjuk pada yang salah."
"Aku, sudah katakan tidak penting siapa diriku ini. Tapi karena kau terus memaksa. Baiklah tidak mengapa. Ketahuilah aku adalah suara kebenaran yang suci. Bukankah sejak tadi aku mengatakan dengan baik-baik, jangan menyela ucapanku."
Si kakek mengusap wajahnya lalu anggukkan kepala.
Setelah itu Dewa Mabok diam membisu dan tidak bertanya-tanya lagi. Untuk yang kesekian kalinya kembali terdengar ucapan dari balik cahaya gemerlap.
"Gutara Tribuana yang juga lebih dikenal dengan sebutan Dewa Mabok. Membunuh dan menghabisi Pangeran Durjana memang tidak mudah, karena dia sebenarnya sudah mati."
"Itu aku sudah tahu. Dia bangkit kembali sesuai dengan sumpahnya ketika dihukum gantung dulu. Tapi aku ingin tahu bagaimana dia bisa bangkit dari kematian?"
"Bukankah kau tahu dia mengikat perjanjian dengan kuasa kegelapan yang bertahta di Sitaloka Lalu penguasa kegelapan mengirimkan roh yang tersesat ke dalam dirinya yang mati, maka diapun hidup kembali sesuai dengan sumpah yang pernah dia ucapkan," terang suara kebenaran.
"Dukungan yang diberikan oleh penguasa kegelapan menjadikannya kuat dan tangguh. Kekuatannya jadi tak terkalahkan apalagi bila dia sampai mendapatkan puteri prabu Kasatama."
"Sekarang dia sedang melakukannya. Dia tengah berusaha keras membawa kedua puteri raja dari istana. Tapi seorang pemuda sakti dari istana Pulau Es berusaha menghalangi."
Mata si kakek yang seperti orang mengantuk itu terbelalak lebar. Penjelasan suara suci kebenaran membuat Dewa Mabok menjadi cemas
"Jika dua puteri terjatuh dalam cengkeramannya. Dunia p?rsilatan benar-benar berada diambang malapetaka besar. Aku butuh sesuatu yang bisa menghentikan semua sepak terjangnya. Aku tidak meragukan Raja Gendeng Sang Maha Sakti dari Istana es itu, namun aku takut Pangeran Durjana tak mudah untuk dihabisi."
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Rajawali Sakti 158 Pasukan Lima Sekawan 9 Jo Anak Gelandangan
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama