Ceritasilat Novel Online

Pecinta Dari Alam Kematian 1

Raja Gendeng 7 Pecinta Dari Alam Kematian Bagian 1


Raja Gendeng 7 Pecinta Dari Alam Kematian

****

Karya Rahmat Affandi

Sang Maha Sakti Raja Gendeng 7 dalam episode

Pecinta Dari Alam Kematian (Sumpah Seribu Tahun)

*****


TIM Kolektor E-Book

Buku Koleksi : Denny Fauzi Maulana

(https.//free.facebook.com/denny.f.maulana)

Scan,Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo

(http.//ceritasilat-novel.blogspot.com)

Dipersembahkan Team
Kolektor E-Book

(https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook)


*****

Malam Sabtu Kliwon Seribu tahun setelah runtuhnya istana Dewa Ruci.

Pulau Rakata tempat dimana istana suci itu dulunya berdiri diselimuti kabut tebal.

Keindahan pulau dengan latar belakang gunung Krakatau yang menakjubkan lenyap ditelan kegelapan.

Angin menderu.

Langit gelap tanpa bintang dan rembulan.

Ombak bergulung-gulung menyapu pedataran di pantai sepanjang selat Sund?.

Di tengah suasana laut yang seolah murka .Disebelah Selatan gunung Krakatau yang menjulang tinggi diatas permukaan laut.

Dalam kegelapan tiba- tiba saja muncul kerlip cahaya.

Seperti kunang-kunang cahaya bergerak cepat menuju ke sebuah pulau sepi tak berpenghuni.

Nelayan setempat menyebut pulau itu dengan nama Pulau Karang Hantu.

Tidak berselang lama cahaya merah redup yang ternyata berasal dari sebuah pelita itu bergerak melambat sesampainya di tepi pantai.

Ternyata ada seorang kakek renta bertubuh kurus kering seperti Jerangkong yang menyeberangi lautan dengan menjunjung sebuah pelita di atas kepalanya.

Rambut putihnya panjang menjela, wajah angker menyeramkan dibalut kulit tipis kemerahan dengan dua mata cekung seolah amblas ke dalam rongganya.

Tidak diketahui kakek penjunjung pelita itu datang darimana.

Yang jelas ketika dia menyebrangi laut sedang bergolak hebat.

Perjalanan menuju ke pulau Karang Hantu ditempuhnya dengan cara berlari diatas air.

Dari caranya bergerak yang seperti angin berhembus.

Jelas orang tua berpakaian serba putih ini mempunyai ilmu langka yang dikenal dengan nama ilmu Napak Sancang.

Dengan ilmu hebat seperti itu memungkinkan bagi si kakek berjalan atau berlari di atas permukaan air. Hanya sesaat setelah kedua kaki menjejak pantai pulau berbatu karang si kakek layangkan pandang memperhatikan keadaan sekitarnya.

Dalam kegelapan tidak ada sesuatupun yang dapat dilihatnya.

Orang tua ini geleng kepala sambil keluarkan suara berdengus.

Sekali kaki dihentakkan diatas ke sebuah tebing curam yang terdapat di sebelah utara pulau Itu.

Si kakek agaknya bukan orang asing di pulau itu.

Terbukti dia mengenali segenap penjuru pulau dengan baik walau saat itu kegelapan menyelimuti kawasan sekitanya. Sekejab kemudian orang tua penjunjung pelita ini sampai disebuah tebing curam.

Deru angin dingin makin menjadi.

Sementara dibawah tebing karang tempat dimana dirinya berdiri tegak gemuruh ombak setinggi pucuk kelapa menghempas ganas membuat puncak tebing bergetar hebat seolah dilanda gempa besar.

Walau maut mengamuk tak berkeputusan dan tiupan angin tak pernah surut.

Seolah tidak peduli dengan murka sang alam si kakek malah tertawa.Dengan sikap acuh orang tua ini segera duduk bersila menghadap ke laut yang dilamun ombak.

Dua mata yang cekung menjorok ke dalam rongga terkatub rapat.

Seiring dengan terpejamnya mata si kakek.

Dari mulutnya yang tertutup kumis putih menjuntai terdengar ucapan.

"Hooo jagad dewa bathara. Seribu kali aku memohon ampun. Berjuta maaf terlontar membuat lidah ku menjadi kelu. Aku tidak tahu apakah para dewa mendengar kata maaf dan mau mengampuni Jiwa lapuk si tua bangka ini. Namun aku mengakui aku telah lelah dikaruniai usia yang panjang dan tanggung jawab yang besar. Aku ingin kembali, aku ingin berpulang. Tapi... siapa yang akan mengemban, menggantikan tugas yang maha berat ini. Aku merasa tidak sanggup menjalankan jika tidak mengenal kata kesudahan." kata si kakek dengan suara bergetar dalam keletihan. Orang tua ini terdiam. Mata yang terkatub rapat perlahan dibuka. Dengan tangan kiri dia mengambil pelita yang bertengger diatas kepalanya. Pelita kemudian dia turunkan lalu diletakkan di depan kedua kakinya. Yang aneh walau angin menderu tiada henti, namun nyala api pada pelita sedikit pun tidak bergoyang. Sekilas perhatian si kakek tertuju pada pelita. Dan wajah yang hanya berbalut kulit tipis berwarna kemerahan itu tiba-tiba berubah tegang begitu dia melihat ada selubung cahaya biru seperti lingkaran muncul mengelilingi cahaya pelita yang berw?rna kemerahan.

"Astaga! Apa yang bisa kulakukan? Tanda- tanda kembalinya mereka dari kematian semakin tak bisa kupungkiri! Apa dayaku? Aku tak mungkin mencegah kehadirannya di dunia ini seorang diri!" desis si kakek kaget.

Secepat kilat orang tua ini bangkit berdiri. Dua tangannya yang kering disilangkan ke depan dada. Mulut berkomat-kamit sementara perhatiannya tertuju lurus ke arah pelita yang tergeletak di atas tanah batu. Selesai membaca mantra-mantra orang tua ini kibaskan sepuluh jemari tangan sekaligus ke arah lingkaran cahaya biru yang mengelilingi pelita. Dari sepuluh jemari si kakek membersit sedikitnya sepuluh cahaya putih menyilaukan berhawa dingin luar biasa. Sepuluh cahaya menyambar cahaya biru bundar yang mengurung cahaya asli pelita yang bernwarna merah. Terdengar lima kali letupan berturut-turut begitu cahaya putih berbenturan dengan cahaya biru disekelilingi pelita. Tebing utara terguncang keras. Sementara pelita yang hendak diselamatkan si kakek malah hancur meledak bertaburan di udara berubah menjadi kepingan.

Si kakek terguncang. Seketika keadaan disekitarnya berubah menjadi gelap gulita. Dalam gelap dari mulutnya terlontar seruan.

"Astaga! Pelita Kaki Nyawa meledak. Ini sebuah pertanda buruk. Segala mimpi buruk bagi setiap pemuda gagah dan para gadis perawan bakal menjadi kenyataan. Badai, ombak menggila dan angin yang mengamuk?! Keparat jahanam! Ternyata sumpah seribu tahun yang lalu itu nampaknya sekarang benar-benar hendak terwujud menjadi sebuah kenyataan. Tapi aku tidak peduli, aku harus mencegah sebelum kiamat benar-benar muncul di rimba persilatan!"

Sambil berucap demikian di dalam gelap dimana tak dapat terlihat apa-apa si orang tua rangkapkan kedua tangan yang terkembang di depan dada. Seiring dengan menyatunya dua telapak tangan di dadanya dia keluarkan ucapan.

"Tiga Pelita Keramat Penunjuk Terang Dalam Kegelapan. Aku memanggil kalian untuk membantuku!"

Berkata begitu orang tua ini memutar tubuh, telapak tangan segera direntang, lalu diangkat tinggi kemudian sepuluh jemari tangan berlawanan arah bergerak melambai ke langit.

Diatas ketinggian dalam kegelapan diwarnai suara menderu tiba-tiba saja terdengar suara ledakan dahsyat yang meningkahi suara gemuruh ombak.

Begitu suara ledakan terjadi diatas sana muncul tiga cahaya merah terang luar biasa. Orang tua itu menarik nafas lega setelah tiga cahaya yang muncul diketinggian sana tak lain adalah tiga Pelita Keramat yang diinginkannya.

Tanpa menunggu sekali lagi si kakek berseru ditujukan pada tiga cahaya merah itu.

"Kalian bertiga cepat bergabung denganku. Aku membutuhkan kalian pada saat-saat seperti ini. Cepat mengambil tempat sebelum segala sesuatunya semakin memburuk!"

Tiga cahaya merah terang meluncur deras ke arah bawah, disertai suara menderu dan guncangan- guncangan keras.

Si kakek menggumam aneh.

Wajahnya tegang, tatap mata tak kuasa menyembunyikan rasa heran.

Sebagai pemilik pelita yang dia datangkan dari alam para arwah.

Selama ratusan tahun.

Setiap kali si kakek memanggil pelita-pelita itu dia belum pernah melihat keganjilan seperti yang disaksikan. Orang tua ini menjadi curiga.

Hanya sekejab begitu tiga cahaya merah yang memang bersumber dari tiga pelita kramat alam arwah mendarat bertengger di kepala dan kedua bahu kiri kanan.

Secepat kilat dia palingkan kepala dan memandang ke arah tebing sebelah bawah.

Berkat bantuan cahaya yang memancar dari tiga pelita keramat yang bertengger di bagian tubuh sebelah atas.

Orang tua ini dengan jelas dapat melihat bagaimana ombak besar yang menghempas tebing nampak mereda, laut menjadi lebih tenang dan tiupan angin tidak sehebat sebelumnya.

Tapi dibalik murka sang alam yang mulai menunjukkan tanda-tanda bakal berhenti.

Sejarak seratus tombak dari tebing curam tempat dimana si kakek berdiri..

Samar-samar dia melihat di tengah laut tepat didepannya muncul butir-butir gelembung putih seperti busa.

Orang tua ini tertegun.

Keningnya berkerut dalam.

Dia terus memperhatikan laut di bawah sana yang mengeluarkan gelembung aneh.

"Aku tak pernah melihat keanehan seperti ini. Jangan-jangan...!"

Belum sempat si kakek menyelesaikan ucapannya. Di tengah kedalaman laut dimana gelembung putih bermunculan, sekonyong- konyong terjadi pergolakan hebat. Air laut membuncah seolah mendidih. Melihat perubahan yang terjadi orang tua ini melompat mundur sejauh satu langkah. Sedangkan mulutnya berseru ditujukan pada pelita yang bertengger di bahu kanan, atas kepala juga bahu kirinya.

"Tiga Pelita Keramat yang datang dari alam para arwah! Kalian bertiga lebih mengetahui apa yang terjadi saat ini. Aku melihat laut di depan sana bergolak hebat. Aku tidak akan pernah lupa, seribu tahun yang lalu seorang pangeran sesat pernah dijebloskan di tempat itu dalam sebuah peti mati kebinasaan. Sebelum menemui ajal dia bersumpah bakal bangkit kembali setelah seribu tahun kematiannya. Kalau benar tanda yang aku lihat itu sebagai awal yang buruk. Kalian bertiga sudah tahu bagaimana caranya menjelaskan semua ini padaku. Lekas tunjukkan padaku karena aku tak dapat menunggu lebih lama lagi.!"

Seolah mengerti apa yang diucapkan si kakek tiga pelita Keramat yang bertengger diatas tubuh orang tua itu tiba-tiba menderu disertai suara aneh.

Seiring dengan itu nyala pelita yang tadinya kecil kini berubah membesar menjulang ke atas.

Dengan membesarnya api yang terdapat pada ketiga pelita. Sikakek menunggu.

Tenaga dalam segera dia arahkan ke bagian kedua bahu dan kepalanya. Begitu hawa sakti menyentuh bagian bawah pelita maka secepat kilat ketiga pelita yang bertengger di kedua bahu dan kepalanya melesat meninggalkan orang tua itu. Tiga pelita keramat dari alam Arwah melesat sebat ke arah laut, meluncur deras menuuni tebing lalu menuju ke arah air laut yang bergolak. Sesampainya diatas putaran air laut, ketiga pelita diam mengapung diatas ketinggian.

Tapi tak lama kemudian didahului oleh pelita yang tadinya bertengger diatas kepala si kakek.

Ketiga pelita itu segera bergerak, berputar sebanyak tiga kali dengan segala kewaspadaannya.

Sayup-sayup dia mendengar suara gemuruh aneh seperti suara kawanan ribuan lebah terbang

"Alamat dan pertanda buruk. Tiga pelita gaib, kembali kemari!"teriak orang tua itu dengan suara serak tercekat.

Tapi teriakan orang tua ini boleh dikatakan terlambat.

Disaat ketiga pelita memasuki hitungan ketiga mengelilingi pusaran air yang seolah mendidih itu.

Dari kedalaman laut mendadak muncul cahaya putih terang.

Cahaya yang muncul menyambar ganas ke arah pelita Keramat dari Alam Arwah.

Byar!

Raja Gendeng 7 Pecinta Dari Alam Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wuus!

Wuus!

Mendapat serangan ganas dari cahaya yang mencuat dari kedalaman laut yang bergolak.

Dua pelita tak sempat selamatkan diri .Keduanya hancur menjadi kepingan disertai ledakan dahsyat dan suara jerit aneh yang menyayat

"Celaka! Dua pelita gaib sahabatku...!"

Orang tua ini keluarkan seruan kaget.

Tubuhnya tergetar hebat.

Hancurnya pelita ternyata berpengaruh bagi jiwa orang tua ini.

Tidak ingin pelita satunya lagi ikut hancur dihantam cahaya putih aneh.

Orang tua ini segera hentakan tangan ke arah pelita yang membubung tinggi meninggalkan laut.

Lalu menarik tangannya ke belakang.

Satu kekuatan luar biasa besar yang bersumber dari tangan orang tua itu menyedot sang pelita yang melayang-layang di udara.

Begitu sampai dihadapan si kakek, pelita berputar lalu mendarat di atas batok kepala orang tua itu yang ditumbuhi rambut putih tipis.

bersyukur karena pelita yang hancur bukanlah pelita kepala, melainkan pelita dua tangan.

"Aku ikut prihatin dengan musibah yang menimpa dua pelita saudaramu." ucap orang tua itu ditujukan pada pelita diatas kepalanya.

Mendengar ucapan si kakek sang pelita bergoyang keras. Sementara nyala apinya yang membesar dengan cepat berubah mengecil ke bentuk dan ukuran semula.

"Aku sedih, aku juga prihatin pelita Kepala. Tapi kita juga harus melihat. Sumpah pangeran durjana telah menjadi kenyataan. Sebagai juru kunci makam raja-raja apa yang dapat kuperbuat?!"

Desah orang tua itu.

Tak terdengar jawaban apa-apa. Api yang menyala pada pelita bergoyang ke kiri dan kanan tak ubahnya seperti orang yang menggelengkan kepala.

Si kakek menghela nafas.

Dengan perasaan cemas dia menatap ke bawah tebing tepat dimana dua pelita Keramat menuai malapetaka.

Di bawah sana di dalam pusaran air laut cahaya putih yang telah menghancurkan dua pelita keramat ternyata terus mencuat ke atas lalu melambung tinggi meninggalkan permukaan air.

Yang membuat si kakek diatas tebing tambah tercekat.

Begitu cahaya putih meninggalkan laut bergerak menuju ke bagian puncak tempat dimana diri si kakek berada.

Dari dalam air bergolak dimana cahaya putih muncul.

Kini bermunculan mahluk-mahluk kecil dalam jumlah yang tidak terhitung.

itu berterbangan mengikuti cahaya putih yang mendahuluinya.

Si kakek belum dapat memastikan apa jenis mahluk-mahluk yang muncul dari kedalaman laut tersebut mengingat jarak antara dirinya dan mahluk- mahluk itu cukup jauh.

Tapi tak lama setelah cahaya putih sampai di puncak tebing karang dan mahluk-mahluk yang mengikutinya datang menyusul.

Si orang tua hanya bisa delikan matanya.

"Lebah Kepala Hati Berbunga...!" desis si kakek menyebut nama ribuan mahluk yang ternyata dikenalinya.

Dengan wajah pucat sesaat dia hanya bisa memperhatikan kawanan ribuan lebah yang berputar-putar mengelilingi cahaya putih.

"Dia benar-benar telah bangkit dari kematiannya. Tapi mengapa hanya lebahnya saja yang muncul. Mengapa lebah-lebah itu tidak datang bersamanya? Apakah mungkin sang pangeran masih terkubur di dalam laut?!" batin si kakek cemas.

Dengan cepat dia memutar kepala. Jelalatan sepasang matanya yang cekung seperti amblas terbenam kedalam rongganya mencari-cari. Dibawah sana bagian laut yang tadinya bergolak seperti mendidih kini nampak tenang. Gerakan ombak di laut tidak seganas tadi, sebaliknya lebih tenang dan nampak bersahabat.

"Sang lebah tidak mungkin datang tanpa majikannya." sekali lagi orang tua ini berucap dalam hati. Dia memutar otak berpikir keras. Selintas pikiran tiba-tiba muncul dalam benaknya. Sekali lagi orang tua ini menatap ke cahaya putih.

"Ada ujar-ujar mengatakan dimana ada madu disitu lebah berkumpul. Dimana penguasa berada, para pengikut selalu menyertainya. Apakah mungkin Pangeran durjana kembali dari kematian dalam bentuk cahaya? Seribu tahun yang lalu Kanjeng Ratu Tria Arutama pernah berpesan padaku agar mencegah kehadiran pangeran gila itu kembali ke dunia ini. Karena kehadirannya hanya mendatangkan petaka bagi kaum wanita. Aku harus mencoba, aku harus hancurkan cahaya yang dikelilingi oleh kawanan lebah itu." kata si kakek.

Setelah bulat dengan keputusannya. Si kakek tiba-tiba melompat mundur sejauh tiga langkah. Tanpa bicara apa-apa, perlahan tenaga sakti di?m- diam dia salurkan ke bagian tangan dan kakinya. Begitu hawa sakti mengalir deras memenuhi tangan dan kaki. Dia segera mengangkat dua tangan di atas kepala sejajar dengan pelita keramat yang bertengger diatas kepala. Tapi baru saja orang tua ini hendak menghantam cahaya putih yang menggantung di ketinggian. Mendadak terdengar suara seruan keras seperti suara ledakan mengguntur yang merobek kegelapan disekitarnya.

"KI Lara Saru Saru! Juru Kunci keparat makam keramat para raja di pulau Rakata. Apa yang hendak kau lakukan? Kau hendak menghancurkan aku? Kau ingin mengembalikan aku ke dunia para arwah? Tua bangka jahanam! Jangan pernah bermimpi kau sanggup menguburkan aku, kembali ke dunia kematian. Seperti sumpah yang telah kuutarakan seribu tahun yang lalu. Aku pasti akan kembali ke dunia ini untuk menuntut balas atas semua perbuatan penguasa yang telah menghakimi diriku juga kekasihiku. Ha ha ha!"

Si kakek renta berwajah macam tengkorak berkulit merah yang terrnyata memang bernana Ki Lara Saru Saru juru kunci makam para raja istana kuno di pulau Rakata diam tercekat. Dia yang semula siap melepaskan pukulan sakti ke arah cahaya yang disekelilingi ribuan lebah berterbangan. Dengan perlahan turunkan kedua tangannya. Dengan sorot mata seakan tidak percaya dia memandang ke arah cahaya menyilaukan dimana suara yang dia dengar berasal.

"Seperti yang kuduga! Ternyata benar pangeran mesum itu muncul sekaligus bangkit dari kematiannya. Aku mengenali suara itu. Tapi mengapa dia kembali dalam selubung cahaya? Mengapa tidak dalam peti mati Batu Kumala." pikir Ki Lara.

"Apa yang kau pikirkan Ki Lara? Kau sedang merasani diriku. Kau hendak mencari tahu, kau dunia ini bersama peti mati jahanam yang telah memendamku di dasar laut Krakatau?"

Lagi-lagi terdengar suara bentakan keras dari balik cahaya putih berkilau. Ki Lara Saru Saru menyeringai. Dadanya yang kurus kering terlindung baju putih luruh bergetar. Dia marah namun juga merasa penasaran. Sambil menahan segala kegusaran serta tanda tanya dihati Ki Lara tiba-tiba memberanikan diri membuka mulut.

"Pangeran! Benarkah kau Pangeran Kusuma Putera. Sang pecinta yang pernah melakukan perbuatan terkutuk di istana Dewa Ruci?"tanya si kakek.

Ucapan Ki Lara yang tidak terduga membuat cahaya putih berpijar memancarkan cahaya putih benderang. Sebagian cahaya pecah, pecahan cahaya melesat ganas menyambar ke arah Ki Lara. Sementara dari balik cahaya yang memijar terdengar suara raungan marah menggelegar.

"Tua bangka jahanam! Juru kunci tak berguna! Mengapa kau tidak mampus saja sejak dahulu. Padahal usiamu sudah lebih dari seribu tahun!"

Teriak suara dibalik cahaya kalap.

Ki Lara Saru Saru tidak memperdulikan kemarahan orang.

Sebaliknya dia berusaha selamatkan diri dari serbuan tujuh cahaya putih yang berasal dari pecahan cahaya menyllaukan yang menggantung di ketinggian.

Tujuh cahaya menderu dahsyat, menyerang tujuh titik kelemahan yang terdapat pada tubuh Ki Lara.

Sambil lambungkan tubuhnya Ki Lara meng-hantamkan kedua tangannya ke arah tujuh cahaya yang siap membuat sekujur tubuhnya berubah menjadi kutungan.

"Sesal Dalam Kematian Bisu.!" teriak Ki Lara menyebut ilmu pukulan sakti yang dilepaskannya. Dari kedua telapak tangan Ki Lara menderu dua larik cahaya biru besar tak ubahnya separti pedang raksasa. Dua larik cahaya menebar hawa dingin luar biasa itu menghantam tujuh cahaya menggelegar tak dapat dihindari.

Puncak tebing karang terguncang keras. Sebagian bibir tebing hancur, batu-batu di tepi tebing longsor, berjatuhan ke laut disertai suara gemuruh menggidikkan. Ki Lara jatuh terduduk dengan kaki tangan tertekuk. Wajah merahnya pucat pasi, isi tubuh bagian dalam tergetar membuat nafasnya tersengal. habis tujuh cahaya yang nyaris mencabik tubuhnya menjadi serpihan. Dia juga tidak sampai mengalami cidera berat. Namun akibat terjadinya ledakan membuat ribuan lebah hitam berkepala merah yang mengelilingi cahaya jadi terusik. Kawanan lebah berbisa itu menjadi sangat marah. Sebagian diantaranya meninggalkan kawanan, menyebar berpencar dengan sikap siap menyerang Ki Lara. Gerakan kawanan sebagian lebah ini tentu saja diketahui oleh si kakek apalagi mengingat suasana disekitarnya sangat terang akibat pancaran cahaya putih itu. Tanpa menunggu lebih lama lagi. Selagi si kakek mendengar suara berdengung di seluruh penjuru. Ki Lara segera bangkit berdiri. Sekali lagi dia alirkan hawa sekaligus tenaga sakti ke sekujur tubuhnya.

"Aku tahu pangeran durjana sangat berbahaya. Tapi yang menjadi penyebab utama dari segala kegilaannya itu adalah lebah-lebah itu. Sengatan lebah bisa membuat laki-laki menjadi gila dan bila yang menjadi korbannya perempuan. Maka perempuan itu bisa bertingkah edan akibat diamuk asmara dan gairah yang luar biasa. Harusnya lebah-lebah keparat itu kumusnahkan terlebih dahulu. Tapi apakah aku sanggup melenyapkan ribuan lebah seorang diri?" batin Ki Lara bimbang.

Selagi si kakek terombang-ambing dalam keraguan. Tiba-tiba saja terdengar suara seruan keras ditujukan pada sebagian lebah yang siap menyerang.

"Sahabat Lebah Kepala Hati Berbunga. Lekas kalian kembali! Jangan menyerang tua bangka itu tanpa perintahku. Biarkan dia menjadi bagianku. Aku membutuhkan sesuatu dari tubuhnya."

Begitu mendengar suara teriakan dari dalam cahaya, sebagian lebah yang memisahkan diri dari kawanan yang telah mengepung si kakek tiba-tiba berbalik arah dan bergabung dengan kawanannya.

KI Lara tercekat.

Diam-diam dia merasa takjub tak menyangka para lebah ternyata sangat patuh pada perintah sang pangeran durjana.

"Ki Lara...Aku mengetahul apa yang ada dalam hatimu. Aku juga tahu apa yang terlintas dalam batok kepalamu. Sejak tadi kau bertanya mengapa aku muncul seperti ini.Kau tak usah bingung orang tua. Sekarang aku akan menemuimu dengan segala penderitaanku selama seribu tahun ini!" kata sang pangeran dengan suara dingin menusuk.

Suara sang pangeran lenyap.

Cahaya putih menyilaukan berbentuk empat persegi tak ubahnya seperti peti mati bergerak turun ke bawah.

Ribuan kawanan lebah yang mengelilingi cahaya itu bubarkan diri tinggalkan cahaya, namun kemudian sama bergerak tak jauh dibelakang membentuk sebuah pengawalan ketat yang berlapis-lapis. Melihat bagaimana kawanan lebah mengawal sang cahaya membuat tengkuk KI Lara merinding.

Namun orang tua ini tak sempat memikirkan lebah-lebah maut itu lebih lama. Saat itu cahaya putih telah berada di atas permukaan tanah.

Begitu bagian bawah menyentuh tanah terdengar suara derit tak ubahnya seperti sebuah penutup peti mati berat yang terbuka.

Kemudian dari balik cahaya muncul kabut putih tebal menebarkan bau aneh seperti aroma setanggi namun juga bercampur bau busuk. Bersamaan dengan itu dikejauhan terdengar pula suara lolongan anjing. Ki Lara mengusap wajah dan tengkuknya yang semakin dingin.

Orang tua ini juga menahan nafas ketika melihat dari balik kepulan kabut dan cahaya putih muncul satu sosok bertubuh tinggi bertelanjang dada berambut panjang riap-riapan berwajah angker dipenuhi cairan putih.

Tanpa bicara apa-apa.

Sosok berpenampilan selayaknya mayat hidup ini melangkah sejauh tujuh tombak dari cahaya empat persegi tempat dimana dia munculkan diri. Ki Lara tercekat.

Dia mengusap keningnya tiga kali.

Gerakan mengusap kening yang dilakukan si kakek membuat nyala pelita keramat yang bertengger di atas kepalanya makin bertambah terang.

Dengan bantuan cahaya pelita yang membesar kini Ki Lara secara leluasa dapat melihat laki-laki itu.

Laki-laki itu sekujur tubuhnya putih pucat dengan pembuluh darah bersembulan.

Sementara secara keseluruhan penampilan orang itu tak ubahnya seperti mayat hidup.

"Ki Lara...juru Kunci makam para raja Pulau Rakata.Apakah kau masih mengenaliku?" tanya sang pangeran sambil sunggingkan seulas senyum kaku dan sinis.

Yang ditanya diam membisu.

Hanya matanya menatap orang di depannya dari kepala hingga ke kaki.

Dulu...seribu tahun yang lalu.
Saat mayatnya dijebloskan ke dalam peti mati Kumala kemudian dikubur di dalam Selat Rakata keadaannya tak seburuk ini.

Walau saat itu dia sudah mati, namun ketampanan wajahnya tidak ikut terenggut kematian.

"Dan sekarang..mengapa tampangnya berubah menjadi buruk, wajah penuh keriput, mata yang biasa bersinar berubah putih pucat mengerikan." membatin si kakek sambil menelan ludah.

"Apa yang kau pikirkan kakek penjunjung pelita? Tidakkah pelita sahabatmu itu telah memberi tahu bahwa di hari kebangkitanku aku butuh darah untuk memulihkan tubuhku ini. Untuk menjadi tampan aku butuh darah perjaka yang terlahir pada bulan purnama. Aku sudah tahu kemana harus mencari darah yang kubutuhkan. Tapi ingatlah diawal kehidupan aku ini pertama-tama yang aku butuhkan adalah darahmu. Ha ha ha!"

"Kau butuh darahku? Mengapa kau menginginkan darahku?" tanya Ki Lara sambil memperhatikan ribuan lebah yang berjaga-jaga dibelakang pangeran durjana dari istana pulau Rakata.

Bukannya menjawab, sang durjana malah melangkah maju.

Kemudian dia hentikan langkah dalam jarak empat tombak di depan Ki Lara.

Dengan mulut sunggingkan seringai dingin laki-laki yang seluruh tubuhnya nampak memutih, penuh keriput dan tak berbeda dengan mayat hidup itu menjawab.

"Kau lihat keadaanku saat ini Ki Lara? Tubuhku kering keriputan tanpa darah.Wajahku buruk tak ubahnya seperti seorang tua bangka renta berusia lanjut.Untuk memulai kehidupan yang baru aku butuh darah.Karena hanya kau yang berada disini. Rasanya untuk sementara biarlah aku menggunakan darahmu.Begitu kutemukan darah pengganti dari orang yang tepat. Maka penampilanku akan berubah.Ha ha ha!"

"Mahluk laknat. Apakah kau tidak sadar para dewa mengutuk perbuatanmu dimasa lalu? Apakah kau belum juga mengerti bumi juga melaknatmu?!"

Bentak Ki Lara Saru Saru geram.

Mendengar ucapan orang tua itu tawa sang pangeran lenyap seketika. Wajah yang pucat berubah menjadi tegang. Sepasang mata putih dengan bagian tengah berwarna hitam kelabu mendelik besar.

"Segala ucapan dan penghinaanmu terhadapku sudah waktunya diakhiri sampai disini. Sekarang serahkan jantung dan darahmu!"

Teriak pangeran durjana dengan suara keras mengeledek.

Raja Gendeng 7 Pecinta Dari Alam Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belum lagi gema suara teriakannya lenyap .Sang pangeran melompat ke depan sambil gerakkan tangan kanan kiri.

Sepuluh jemari tangan yang dipenuhi lendir putih dengan kuku-kuku mencuat panjang bewarna hitam kehijawan menyambar ganas ke bagian tenggorokan dan dada sebelah kiri Ki Lara .Walau telah bersikap waspada tak urung KI Lara dibuat terkejut setengah mati karena tak menyangka serangan yang dilakukan lawan ternyata berlangsung cepat luar biasa.

Tak ingin mendapat nasib celaka si kakek segera melompat mundur ke belakang.

Sambil bungkukkan badan dia arahkan pelita keramat yang bertengger di atas kepala kepada pangeran durjana dengan disertai seruan.

Teriakan yang ditujukan pada pelita itu ditanggapi dengan semburan api merah dari bagian atas pelita.

Cahaya merah raksasa yang memancar menyambar ganas ke arah lawan, menghantam kedua tangan juga mengincar tubuh sebelah bawah pangeran durjana.

Sang pangeran mendengus.

Walau sambaran api raksasa yang muncul dari pelita terasa panas luar biasa, laki-laki ini sama sekali tidak bergerak dari tempatnya berdiri.

Sambil menggerakkan tangannya ke arah pelita dia berucap.

"Kau datang dari dunia gaib para arwah. Tapi aku adalah pangeran raja di raja dari seluruh arwah yang mati tersesat. Berani menentangku apalagi membantu tua bangka itu aku tak akan segan menghancurkanmu!"

Kemudian angin dahsyat sedingin es menderu, menghantam ke arah cahaya pelita yang siap hendak memberangus tubuhnya. Begitu deru angin yang melesat dari telapak tangan sang pangeran melabrak api besar nyala pelita terdengar suara

blep!

Api pelita padam seketika sementara tubuh si kakek terpelanting akibat terdorong serangan ganas yang dilakukan Sang Pangeran.

Ki Lara menggerung .Walau tubuhnya terasa membeku, napas sesak dan tubuh di sebelah dalam serasa remuk namun dia segera bangkit. Begitu bangkit dengan tubuh terhuyung si kakek diam-diam berucap.

"Pelita keramat dari alam arwah. Nyalakan dirimu!"

Wuss!

Mendengar perintah si kakek pelita keramat kembali menyala.

Ternyata nyala api pada pelita begitu kecil.

Walau tak melihat namun orang tua ini dapat mengetahui pelita di atas kepalanya tak dapat diharapkan terlalu banyak dalam membantunya.

Tidaklah heran.

Begitu dia melihat sang pangeran terus merangsak maju setelah berhasil dengan serangan pertama, Ki Lara cepat badan lalu menghantam lawan dengan pukulan Neraka Liang Lahat.

Dua pukulan yang dilancarkan Ki Lara bukan serangan biasa.

Pukulan sakti yang dilepaskannya sanggup menghancurkan gunung dan menghentikan gelombang raksasa di lautan.

Bila manusia yang terkena pukulan maut tersebut tubuhnya dapat hancur lebur menjadi kepingan beku.

Walau tak mengenali dan belum pernah melihat serangan yang seperti itu namun pangeran dapat merasakan betapa hebatnya pukulan yang dilancarkan Ki Lara.

Dan sambil menggeram pangeran durjana ini segera melipat gandakan tenaga dalam untuk melindungi tubuh.

Sementara sebagian tenaga sakti dia salurkan ke arah kedua belah tangannya.

Laksana kilat sang pangeran segera dorong kedua tangan ke depan.

Kaki depan ditekuk membentuk kuda-kuda .

Begitu tangan melesat.Dari kedua tangannya menderu cahaya biru kehitaman.

Dua pukulan sakti beradu di udara.

Ledakan keras menggelegar mengguncang tebing pulau Karang Hantu .Tebing Karang bergetar keras seperti dilanda selaksa gempa, sebagian dinding runtuh ke laut disertai suara bergemuruh.

Bebatuan dan asap tebal bertaburan di udara.

Pangeran Durjana jatuh terduduk dengan kaki tertekuk.

Wajah dan sekujur tubuhnya yang pucat semakin bertambah pucat.

Dia menyeringai walau rasa sakit mendera bagian dada.

Dengan senyum dingin tersungging di mulut dia menatap ke arah Ki Lara.

Senyum pangeran tampak lebar begitu melihat Ki Lara jatuh terkapar, terpental sejauh empat tombak dari tempatnya berdiri.

Sementara dari mulut dan hidungnya semburkan darah segar.

Melihat darah yang menyembur dari mulut dan hidung Ki Lara, pangeran durjana menelan ludah.

"Ini yang kucari" batinnya.

Dia segera berdiri. Kemudian melangkah lebar menghampiri tubuh si kakek. Begitu sampai di depannya seperti kilat kaki kiri bergerak menginjak dada Ki Lara. Juru kunci penjaga makam kerabat raja-raja di pulau Rakata yang terluka parah akibat pukulan sakti itu masih berusaha meronta sambil melepaskan pukulan tangan kosong.Namun serangan yang dilancarkan si kakek tidak berakibat apa-apa bagi sang pangeran ini.

"Riwayatmu sudah habis. Bagaimana kau bisa melawanku."

Dengus sang pangeran.Dia cepat turunkan kaki yang menginjak dada. Setelah itu jemari tangan bergerak menyambar ke bagaian leher.

Crept!

Wuut!

Dalam waktu sekedipan mata rambut putih panjang Ki Lara telah berada dalam cengkeraman jemari sang pangeran. Begitu tangan disentakkan ke atas, tubuh si kakek terangkat naik dengan dua kaki menggantung dua jengkal di atas tanah.

"Aku tidak butuh nyawamu. Saat ini aku inginkan darahmu dulu sebelum aku mendapat darah dari para pejaka!"

Kata pangeran durjana dengan suara dingin.

Ki Lara meronta, walau merasa sulit bernapas karena lehernya tercekik namun dia masih berusaha membebaskan diri dengan mencoba melakukan serangan.

Tapi ketika sang pangeran gerakkan jari tangannya yang berkuku panjang ke bagian punggung Ki Lara maka orang tua ini tak dapat lagi bergerak karena tubuhnya kaku akibat totokan.

Sang Pangeran tak membuang waktu lama.
Tak terduga dengan menggunakan tangan kiri dia menjebol dada di sebelah kiri si kakek tepat di bagian jantung.

Ki Lara menjerit, meraung setinggi langit, Dua matanya mendelik sementara darah menyembur dari lukanya.

Sang pangeran menyeringai.

Begitu dia menarik nafas, maka darah yang mengalir di sekujur tubuh Ki Lara kini mengalir deras berpindah ke tubuh sang pangeran melalui tangannya yang masih terbenam di dalam dada ki Lara.

Setelah darah berpindah ke tubuhnya maka sang pangeran mengalami perubahan drastis.

Wajahnya yang pucat, kulit yang keriput, pembuluh darah yang seolah mati bersembulan disekujur tubuh mulai berubah hidup dan menjadi lebih hitam dan mata lebih jernih.

Setelah keinginannya mendapatkan darah si kakek terpenuhi sang pangeran menarik lepas jemari tangan yang terbenam di dalam dada ki Lara. Begitu tangan kanan yang mencekal leher disentakan.

Juru kunci malang itu pun jatuh tergelimpang.

Sang pangeran tersenyum.

Tanpa menghiraukan korbannya dia menoleh memandang ke arah kawanan lebah beracun yang terus menunggunya.

Kepada ribuan kawanan lebah itu dia berkata,

"Kalian semua ikut denganku.Kita harus menyeberangi laut menuju ke daratan yang lebih luas. Aku ingin mencari musuh-musuhku dan juga orang-orang yang telah membuat kekasihku celaka.Disamping itu aku juga harus mendapatkan keturunan sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat.Karena itu aku butuh gadis-gadis dan perempuan cantik yang bisa memberikan keturunan padaku!"

Sebagai jawaban kawanan ribuan lebah itu keluarkan suara berdengung.Pangeran Durjana tertawa.

Sekali dia menggerakkan kedua tangannya.

Laksana kilat tubuhnya melesat di udara.

Apa yang terjadi kemudian sungguh sulit dipercaya.

Pangeran itu ternyata mampu terbang.

Dia terbang melintasi lautan luas dengan diikuti ribuan kawanan lebah yang terus mengawalnya disepanjang perjalanan.

Sementara itu setelah darahnya tersedot nyaris habis oleh lawan Ki Lara Saru Saru ternyata masih dapat bertahan hidup.

Tapi dia tak dapat berbuat apa-apa untuk menyelamatkan diri.

Dia juga tak kuasa menutup luka di bagian dada karena tubuhnya dalam keadaan tertotok. Dengan suara lirih dan mata menatap kosong memandang kegelapan di langit kakek ini berucap.

"Celaka dunia. Aku tidak bisa mencegahnya. Ilmu kesaktian yang dia miliki sekarang jauh lebih hebat dibandingkan yang dulu. Siapa yang bisa menghentikan kejahatannya yang gila luar biasa?!"

Sepi!

Tak ada yang menjawab ucapan serta kekhawatiran yang dirasakan orang tua itu.

Yang terdengar hanyalah suara deru angin disertai deburan ombak di kejauhan di bawah tebing karang yang runtuh.


******

Tidak sampai sepekan setelah bangkitnya pangeran durjana dari kematiannya.

Seorang pemuda bernama Loh Seta Karawuri seorang juru kuda sekaligus perawat kuda utama istana Malingping ditemukan tewas mengenaskan di dalam bilik ketidurannya yang terletak disebelah timur luar benteng istana. Loh Seta tewas dengan sekujur tubuh kering tidak berdarah.

Tidak ada luka mengerikan terkecuali sebuah guratan yang terdapat dibagian kening tepat diantara alis kiri dan alis sebelah kanan serta luka kecil di dada kiri tepat di bagian jantung.

Kematian Loh Seta adalah lahir tepat pada bulan purnama malam sabtu kliwon enam belas tahun yang silam itu memang sempat membuat geger kerabat istana termasuk juga Raja Malingping Gusti Prabu Tubagus Kasatama.

Betapapun Loh Seta yang yatim piatu yang telah mengabdi pada kerajaan sejak kecil.

Dia dikenal sangat ramah, rajin dalam menjalankan tugas hingga sang Prabu telah menganggap pemuda ini sebagai bagian dari keluarga kerajaan. Tapi kematian Loh Seta yang misterius dalam waktu yang tidak begitu lama cepat dilupakan oleh banyak orang.

Berbeda dengan Ajengan Giri Swara.

Kakek renta yang dikenal dengan julukan Aneh Juru Obat Delapan Penjuru ini justru tak dapat melupakan peristiwa kematian Loh Seta yang dianggapnya tidak wajar itu. Dua hari setelah kematian Loh Seta ahli nujum sekaligus juru obat ini terus menyelidki peristiwa kematian itu.

Sejak lama dia mengenal Loh Seta itu lebih senang mengurungi diri di dalam pondoknya di puncak gunung Kendeng

"Dua tanda yang terdapat di dada dan kening anak muda itu bukanlah suatu tanda biasa. Gusti prabu, para pejabat dan patih istana tak mengetahui keanehan di balik kematian Loh Seta. Tapi jelas firasatku mengatakan dia mati dibunuh oleh seseorang.Sang pembunuh menyedot habis darah Loh Seta."


"Tapi untuk kepentingan dan tujuan apa?" membatin kakek berpakaian hitam bersorban dan berjanggut menjela ke tanah sambil menark nafas dalam.

"Aku harus mencari tahu. Jawaban apapun yang kudapatkan nantinya harus aku sampaikan pada gusti prabu secepatnya!" pikir si kakek.

Raja Gendeng 7 Pecinta Dari Alam Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah bulat dengan keputusannya sang Penujum Aneh segera bangkit dari tempat duduk yang sekaligus sebagai tempat ketidurannya itu. Dari langit-langit pondok dia mengambil sebuah keris. Keris berluk sembilan bersarung emas lalu diselipkan dibalik punggung pakaian. Kemudian sambil membawa sebuah pendupaan menyala berwarna merah membara dia tinggalkan pondoknya.

Penujum Aneh melangkah lebar menuju ke lereng gunung yang terletak tak jauh dari pondoknya. Setelah melewati pepohonan besar yang sunyi dan angker sampailah Penujum Aneh disebuah pemakaman tua.

Makam itu dulunya adalah makam para kerabat si kakek. Tapi mengingat Loh Seta hidup sebatang karang dan tak mempunyai kerabat. Atas perintah Sang prabu juga keinginan si kakek sendiri Loh Seta dimakamkan di tempat itu. Ketika Penujum Aneh sampai di tengah hamparan tanah kering dipenuhi nisan dan batu tanda. Orang tua ini layangkan pandangan mata kesekelilling pemakaman. Dia tidak melihat tanda mencurigakan atau kehadiran orang lain di tempat itu. Namun anehnya dia merasakan seperti ada yang memperhatikan gerak geriknya.

"Aku seorang ahli nujum. Aku dapat melihat ke alam nyata dan alam gaib. Dalam gaib aku merasakan ada yang memperhatikan aku, tapi siapa yang perdull. Ini daerah atau wilayah yang menjadi kekuasaanku. Kalaupun ada mahluk halus atau hantu gentayangan siapa takut. Selagi matahari belum tenggelam melenyapkan diri di ufuk barat aku harus melakukan semua yang menjadi keinginanku!"

Kata Penujum Aneh .Setelah mantap dengan keputusannya. Penujum Aneh berkemak kemik membaca seuatu .

Pembacaan mantra dan doa ditutup dengan ucapan salam tiga kali.

Tanpa perasaan bimbang Penujum Aneh melangkah lurus ke depan.

Setelah melewat beberapa makam tua sampailah orang tua ini di depan sebuah gundukan tanah merah yang masih baru. Sang Penujum memperhatikan makam di depannya.

Dia melihat aneka bunga yang ditaburkan di atas makam beberapa hari yang lalu telah hitam dan mengering.

Baru dua hari bunga-bunga menghiasi pusara, tapi keadaannya seperti taburan bunga belasan hari.

"Mudah-mudahan aku bisa mendapatkan petunjuk siapa yang telah menghabisi Loh Seta"

Penujum Aneh lalu kibaskan tangannya ke atas permukaan tanah rata disamping makam Loh Seta.

Begitu tangan dikibaskan, asap mengepul memenuhi tempat itu.

Kemudian entah darimana datangnya tahu-tahu diatas tanah terhampar sebuah tikar pandan.

Walau tidak baru namun keadaannya masih bagus. Penujum Aneh jatuhkan diri, duduk diatas tikar pandan lalu letakan pendupaan membara yang dia bawa dari pondok. Setelah merapikan diri dengan duduk bersila. Perlahan namun pasti Penujum Aneh pejamkan matanya.

Tanpa membuka mata dua tangan yang tadinya diletakkan diatas lutut tiba-tiba diangkat tinggi .Setelah itu kedua tangan di putar diatas kepala sebanyak tiga kali.

Tangan di turunkan lalu diletakkan diatas pendupaan menyala.

Tanpa menyentuh mulut pendupaan yang panas luar biasa sekali lagi mulutnya bergetar membaca mantra. Tak lama setelah untaian mantra-mantra sakti di baca.

Sekujur tubuh Penujum Aneh bergetar hebat.

Asap mengepul dari dalam pendupaan, lalu menebar ke seluruh penjuru makam mengikuti arah hembusan angin .Bersamaan dengan itu di kejauhan terdengar suara lolong dan raungan menggidikkan. Seakan sudah terbiasa mendengar suara suara aneh menyeramkan seperti itu.Penujum Aneh bersikap acuh.

Kini seluruh rasa dan perhatian disatukan menuju ke satu tempat tujuan, sementara dari mulutnya terdengar suara ucapan lirih namon jelas.

"Yang ada berasal dari yang tiada. Dari lubang Mencari lubang Kembali ke lubang .Adalah awal dan akhir kehidupan. Setiap jiwa pasti kembali ke alam baka. Semua roh kembali ke alam arwah .Menuju kematian membawa warna hitam dan putih. Baik dan buruk balasan pasti di dapat Aku Sang penujum Juru Obat Delapan Penjuru Bertanya pada bumi yang menghidupkan Atas nama dewa. Atas nama roh suci juga yang tersesat. Mencari sebab atas ketentuan takdir jiwa yang kutuju. Aku minta pada penguasa alam gaib Berilah aku petunjuk. Siapa yang telah membunuh Loh Seta .Mengapa dia dibunuh ? Dan apa yang sesungguhnya terjadi? Dibalik semua peristiwa yang menimpanya..."

Baru saja Penujum Aneh selesai berucap. Dikeremangan pemakaman tua terlihat ada cahaya putih menyambar ke arah makam Loh Seta. Begitu cahaya menyentuh batu nisan yang berdiri diatas kepala makam maka seluruh penjuru makam Loh Seta yang hanya sejarak setengah tombak di depan Penujum Aneh bergetar hebat Asap mengepul, menebarkan aroma bunga melati bercampur aroma busuk menyengat .

Di atas tikar penujum Aneh mengangkat wajah dan pusatkan perhatiannya ke arah makam di depannya .Kepulan asap kelabu terus menebar memenuhi seluruh penjuru makam membuat suasana semakin tambah angker menyeramkan.

Tapi orang tua ini tidak menghiraukan.

Dia tetap duduk diam .Sampai akhirnya Penujum Aneh mendengar suara langkah suara terompah yang seakan datang dari sebuah tempat yang jauh dibalik liang kubur

"Pintu gaib liang lahat sudah terbuka. Siapapun yang datang kuharap aku bisa mendapatkan titik terang. Aku ingin mengetahui sebab musabab kematian Loh Seta Karawuri."

Setelah berkata begitu orang tua ini segera tancapkan tiga jari tangan kanannya ke dalam bara menyala dalam pendupaan.

Sementara jari tangan sebelah kiri langsung dia tusukkan pula ke bagian batu nisan bertuliskan nama Loh Seta yang berdiri di atas kepala makam.

Baby Sitter Club 6 Hari Istimewa Kristy Strangers Karya Barbara Elsborg

Cari Blog Ini