Ceritasilat Novel Online

Pendekar Naga Dan Harimau 1

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 1

PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid 1 ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman 761 RT 02 RK III telepon No. 5801 SOLO - 57122SOURCE IMAGE . KOH AWIE DERMAWAN & KO ADITYA INDRA JAYA (

KANG ZUSI ) Di PDF-kan di Pringsewu - Lampung September-November 2018 TIDAK UNTUK DIKOMERSILKAN...!! *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid BAGIAN KE SATU WAN mendung yang kelabu dan sarat dengan air hujan Itu tergantung rendah dl atas sebuah padang luas dl wilayah Hun-lam.

Wilayah itu adalah wilayah yang paling selatan dari Kemaharajaan Manchu yang luas itu, dan wilayah itu berbatasan dengan ke-rajaan- kerajaan kecil Annam dan Blrma.

Angin bertiup kencang dl padang ilalang itu, membawa hawa panas yang lembab, menandakan bahwa tidak lama lagi hujan akan turun.

Dalam cuaca yang sama sekali tidak nyaman itu, ada tigapuluh orang lelaki penunggang kuda .yang semuanya bertubuh tegap dan berseragam prajurit prajurit Kerajaan Manchu.

A Jaman itu memang jaman berkuasanya wangsa Manchu (Jing), wangsa yang menggantikan wangsa Beng (Ming) yantg runtuh tahun Masehi itu.

Di antara masa berkuasanya wangsa Beng dengan wangsa Manchu, sempat diselingi dengan sebuah pemerintahan yang sangat pendek yaitu pemerintahannya Li Cu-seng si pemberontak yang menumbangkan wangsa Beng, namun kemudian dalam waktu kurang dari dua bulan pemerintahan Li Cu seng Juga roboh karena diserang bala tentara Manchu.

Dengan demikian dinastinya Li Cu-seng merupakan dinasti yang paling pendek umurnya dalam sejarah Cina.

Prajurit-prajurit Manchu yang tengah berpacu di tengah padang terpencll itu semuanya memakai seragam ringkas warna hitam, dengan lengan baju yang bergaris-garis melintang berwarna putih, dan pada dada mereka tersulamlah gambar seekor naga yang perkasa sedang terbang di langit.

Kepala mereka yang dikuncir itu tertutup dengan topi bulu binatang berwarna hitam,dihiasi dengan benang-benang merah.

Penampilan mereka nampak perkasa dan tangguh.

Merekalah prajurit-prajurit dari sebuah pasukan yang ternama, pasukan yang bernama Hui-liong-kun (Pasukan Naga Terbang).

Sebuah pasukan penggempur yang sangat garang, pasukan penggempur Kerajaan Manchu yang paling ditakuti lawan.

Pasukan itu jarang sekali keluar dari Ibukota Kerajaan di Pak-khia, namun jika mereka keluar dari Pak-khia maka mereka tentu sedang memikul tugas penting.

Prajurit-prajurit itu memacu kuda-kuda mereka ke arah matahari tenggelam.

Hari sudah sore dan terancam pula oleh hujan lebat, namun prajurit-prajurit itu bergerak terus pantang mundur.

Baik jasmani maupun semangat mereka tidak menunjukkan adanya kelelahan, mereka memang prajurit-prajurit gemblengan.

Demi kehormatan negara dan pasukan mereka, mereka siap menerjang bahaya yang bagaimanapun besar nya.

Dan kali ini tugas mereka ialah memburu sekelompok yang berbahaya bagi Kerajaan Manchu.

Di antara prajurit-prajurit itu, ternyata ada seorang prajurit yang seragamnya agak berbeda, agaknya ia bukan berasal dari kesatuan yang sama dengan ke dua puluh sembilan orang rekannya.

Tampangnyapun ternyata juga lain sendiri.

Ia berkulit agak gelap dan rahangnya lebar, itulah tampang khas orang-orang suku Biao (Meo), sebuah suku yang hidup terpencil di daerah perbatasan antara negeri Cina dengan Birma.

Orang-orang lelaki dari suku Biao biasanya merupakan ahli-ahli dalam hal melacak Jejak, itulah sebabnya prajurit suku Biao ini dibawa untuk menjadi penunjuk jalan.

Apalagi padang ilalang itu memang termasuk daerah tempat berkeliarannya orang-orang Biao.

Prajurit suku Biao yang berkuda paling depan itu matanya terus-menerus memperhatikan tanah.

Suatu saat ia tiba-tiba mengangkat tangannya dan memberikan Isyarat agar seluruh rombongan berhenti.

Lalu ia sendiri melompat turun dari kudanya, dan berjongkok di tanah sambil memeriksa rerumputan di sekitar tempat itu dengan cermatnya.

Pemimpin dari rombongan prajurit-prajurit itu adalah seorang yang masih muda, berusia kira-kira duapuluh lima tahun, bertubuh ramping tegap, berkulit putih dan bermata coklat, tampang seorang berdarah Manchu asli.

Alisnya yang tebal itu menaungi sepasang mata yang bersinar tajam, memancarkan keberanian dan kekerasan hati yang luar biasa.

Sejenak ia memperhatikan prajurit suku Biao yang tengah mengamat-amati rerumputan itu, lalu tanyanya.

"Bagaimana? Kita tidak kehilangan Jejak mereka bukan?"

Sahut prajurit suku Biao itu.

"Kita belum kehilangan jejak para pembangkang itu. Di sini agaknya merekamlembelok ke selatan dan tidak melanjutkan ke arah barat. Agaknya mereka sadar, kalau sampai terus ke barat dan melintasi perbatasan Se-cuan atau Kui-ciu akan sama saja dengan segerombolan ikan yang masuk ke dalam jaring. Sebab daerah Itu adalah kekuasaan Peng-se orang yang dijaga kuat."

Kepala suku Biao melompat turun dari kudanya dan berjongkok memeriksa rerumputan di sekitar tempat itu dengan cermatnya.

Panglima Manchu yang masih muda itu tidak sabar mendengarkan ocehan penunjuk Jalannya itu, la mengibaskan tangannya sebagai Isyarat agar prajurit suku Biao itu diam, lalu katanya.

"Mereka adalah buruan yang membahayakan Kerajaan, karena itu biarpun mereka kabur ke istananya Giam-lo-ong (Raja Akherat), kita tetap akan mengejar dan meringkus mereka. Demi Negara dan Kaisar.!"

Tapi prajurit suku Biao itu nampaknya menjadi ragu-ragu untuk ikut terus dalam rombongan itu. Katanya.

"Ciangkun (Panglima), aku... aku minta ijin untuk menunjukkan jalan sampai di sini saja, dan kembali ke pasukanku di Kun-beng... ."

"He, kenapa dengan dirimu?"

Prajurit suku Biao itu kebingungan sejenak, tapi akhirnya ia memutuskan untuk berkata terus terang.

"Clangkun, sebelum Ciangkun memutuskan, untuk mengejar ke arah itu, harap Ciangkun membuat pertimbangan lagi yang lebih masak."

"Pertimbangan apa lagi? Apakah di selatan sana ada hutan-golok atau lautan pedang?"

"Panglima, kekuatan yang kita bawa saat ini terlalu kecil untuk menerjang ke wilayah selatan sana. Di sana keadaannya sangat rawan, karena di kawasan itu bercokollah tiga buah gerombolan yang kuat dan berbahaya."

Panglima Manchu itu agaknya mulai tertarik oleh penjelasan prajurit suku Biao itu. Tanyanya.

"Gerombolan apa saja?"

"Ketiga buah gerombolan itu agaknya berdiri sendiri-sendiri, bahkan kabarnya tidak rukun antara satui dengan lainnya. Tapi dalam ketidak-rukunan mereka itu ada juga kesamaanya, yaitu... yaitu... maaf, Ciangkun, mereka sama-sama membenci orang Manchu seperti Ciangkun ini."

Panglima Manchu itu mendengus dingin.

"Hemm, daerah ini masuk kekuasaan Peng-se- ong Bu Sam-kui, apakah Peng-se-ong mendiamkan saja daerahnya ni menjadi sarang pengacau?"

Prajurit suku Biao itu menyahut, Bukannya Peng-se-ong membiarkan mereka, tetapi beliau memang belum berani gegabah bertindak dengan menggerakkan tentara.

Gerombolan- gerombolan itu sangat lincah, begitu digempur mereka menghilang dan kemudian tiba-tiba muncul di daerah lain untuk mengacau lebih hebat.

Selain itu, Peng-se-ong mpertimbangkan bahwa daerah itu dekat dengan perbatasan negeri tetangga Birma yang hubungannya cukup baik dengan negara kita.

Kalau kita menggerakan tentara di dekat perbatasan, kuatir memperburuk hubungan antara kedua negara."

Panglima Manchu itu mengerutkan alisnya.

"Hemm, banyak alasan. Tetapi kau belum menceritakan gerombolan apa saja yang bersembunyi di kawasan selatan itu?"

"Baik, Ciangkun, akan aku jelaskan. Gerombolan yang paling banyak anggautanya dan Juga paling teraturi susunannya adalah gerombolan yang dipimpin Tiang-hong, seorang bekas Panglima Kerajaan Beng yang fanatik. Anggauta gerombolannya sebagian besar juga bekas prajurit-prajurit Kerajaan Beng, ditambah dengan orang-orang yang belakangan menggabungkan diri dengan mereka. Jumlah anak buahnya kira-kira seribu orang, mendapat latihan keprajuritan yang teratur. Mereka juga menguasai beberapa desa terpencil yang dijadikan sumber perbekalan pangan mereka."

Panglima Manchu itu tertawa mengejek mendengar cerita itu.

"Mereka mimpi di siang hari bolong. Kerajaan Manchu sudah menguasai seluruh daratan ini dan mendapat dukungan dari sebagian besar rakyat, mana mungkin Li Tiang hong berhasil melawan kami, apalagi untuk mendirikan kembali wangsa Beng yang dibenci rakyat itu? Bukankah di jaman Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng itu rakyat kecil malah sengsara hidupnya? Mana mungkin rakyat mau menerima ketidak becusan dalam mensejahterakan rakyat?"

Semua prajurit-prajurit itu mengangguk- anggukkan kepala menyetujui pendapat Panglima Manchu itu. Kemudian Panglima Manchu itu bertanya lagi kepada prajurit suku Biao itu.

"Dan gerombolan-gerombolan lainnya?"

Prajurit suku Biao itu melanjutkan keterangannya.

"Di jaman Kerajaan Beng dulu ada sebuah perkumpulan yang bernama Hwe- liong-pang (Perkumpulan Naga Api) yang bersarang di puncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san di wilayah Se-cuan. Perkumpulan itu dibagi dalam delapan kelompok yang diberi nama menurut warna benderanya masing-masing, yaitu putih, kuning, hijau, biru, merah, coklat, hitam dan ungu. Nah, kelompok yang bersarang di selatan sana adalah salah satu kelompok dalam Hwe-liong- pang yang dulu disebut Jai-ki-tong (Kelompok Bendera Coklat). Dalam masa pemberontakan Li Cu-seng terhadap dinasti Beng dulu, banyak o- rang-orang Hwe-liong-pang yang mendukung pemberontakan Li Cu-seng, sehingga kelompok Jai-ki-tong ini sekarang kurang rukun dengan kelompoknya Li Tiang-hong yang setia kepada Kerajaan Beng itu."

"Bagaimana kekuatan mereka?"

"Pemimpin Jai-ki-tong bernama Ma Hiong dan berjulukan Siau-lo-cia (Dewa Lo-cia Cilik), ilmunya cukup tangguh. Anak buahnya diperkirakan hanya tiga ratus orang namun sulit digempur karena sangat lincah. Mereka mahir dalam hal menyergap, menyelundup, menyusup, meracun, merusak, membunuh secara gelap dan sebagainya. Mahir bertempur dengan memanfaatkan keadaan alam untuk menjebak lawan. Saat ini Peng-se ong sedang menyelidiki gerak-gerik mereka sebelum melancarkan sebuah serangan mematikan buat mereka."

"Huh, dari dulu Bu San-kui selalu akan menggempur dan akan menggempur, tapi kenyataannya sampai sekarang dia belum bertindak dan para pengacau masih berkeliaran di daerah tanggung-jawabnya, Percuma saja Sri Baginda menghadiahinya dengan wilayah yang seluas dan sesubur ini, ternyata ia tidak becus untuk mengurus dan mengamankannya."

Sebenarnya orang Biao itu adalah prajurit bawahan Peng-se-ong Bu-San-kui yang diperbantukan pada rombongan kecil itu sebagai penunjuk jalan, la menjadi kurang senang Juga mendengar Panglima Manchu itu terus menerus mencerca Peng-se-ong, namun sebagai prajurit rendahan tentu saja ia tidak berhak membantah sepatah katapun.

Ia tahu bahwa Panglima Manchu itu adalah seorang yang cukup berpengaruh di Pak-khia di kalangan pucuk pemerintahan.

Peng-se-ong Bu San-kui sendiri tidak berani bersikap kurang-ajar kepada Panglima yang masih muda ini.

Sementara itu, Panglima itu agaknya masih saja menggerutu, entah ditujukan kepada siapa.

"Bu San-kui memang berjasa kepada Kerajaan Man-chu. Ketika balatentara kita menggempur ke selatan, Bu San-kui inilah yang menyerahkan kota San-hai-koan sehingga kita dapat menyerbu tanpa rintangan. Tetapi pengangkatannya sebagai Peng-se ong adalah hadiah yang terlalu besar bagi jasanya yang hanya kecil saja itu, apalagi diberi kekuasaan atas wilayah Se-cuan yang paling subur di negeri ini. Ia bukan seorang yang dapat dipercaya sepenuhnya, pendiriannya mudah goyah dan kesetiaannya mudah berganti kiblat. Sejak semula aku sudah memberi pertimbangan kepada Sri Baginda agar jangan menyerahkan wilayah Se-cuan kepadanya, tapi agaknya Sri Baginda lebih mengindahkan pertimbang orang lain dan terang menghiraukan aku."

Setelah merasa agak lega karena menumpahkan uneg-unegnya, Panglima itu bertanya kepada prajurit suku Blao itu.

"Jika antara kelompok Li Tiang-hong dengan kelompok Jai-ki-tong pecahan Hwe-liong-pang itu tidak rukun, bukankah itu sangat menguntungkan kita?"

Orang Blao itu menarik napas.

"Ya. Seharusnya begitu. Tapi anehnya biarpun mereka bermusuhan, tapi jika salah satu diserang oleh pasukan kita, yang lainnya membantu. Hubungan mereka dingin tapi saling membantu, mereka punya wilayah sendiri- sendiri dan saling segan untuk melanggar daerah orang lain."

"Kelompok orang-orang gila. Kalau begitu, suruh Bu San-kui untuk nenggempur saja kedua-duanya. Ataukah Bu San-kui masih merasa tidak tega karena Li Tiang-hong adalah sesama bekas Panglima Kerajaan Beng?"

"Bukan begitu, Ciangkun, aku kira kesetiaan Peng-se-ong kepada Kerajaan Manchu tidak usah disangsikan lagi, meskipun dia adalah bekas Panglima Kerajaan Beng. Tapi untuk menggempur kedua gerombolan pengacau itu memang dibutuhkan rencana yang matang, tidak asal menyerang saja. Aku kira Peng-se-ong sudah memikirkannya."

"Sudah, kau dari tadi membela Peng-se-ong saja. Sekarang bagaimana dengan kelompok yang ke tiga?"

Sahut si prajurit suku Biao.

"Kelompok ini adalah suku-ku sendiri, suku Biao, yang telah mendiami wilayah ini turun-temurun sejak jaman kuno. Mereka tidak akan menyerang jika tidak diganggu. Sejak dulu, di daratan Cina berganti pemerintahan entah berapa ratus kali, tapi suku Biao tidak tunduk kepada pemerintahan yang manapun juga. Mulai jaman Kerajaai Tong, lalu Song dan Lam-song, pemerintahan Mongol, lalu Beng dan Manchu sekarang ini. Berpuluh Kaisar naik dan turun dari singgasana, suku Biao tidak peduli. Mereka hanya menganggap kepala suku mereka sendiri sebagai pemimpin. Namun banyak juga laki-laki suku Biao yang masuk menjadi tentara di negeri Cina atau Birma, atau negeri lain seperti Nepal "Bagaimana kekuatan perang mereka?"

"Prajurit suku Biao itu agaknya mendapat kesempatan untuk membanggakan sukunya sendiri. Maka jawabnya dengan dada membusung.

"Orang-orang suku Biao yang laki- laki, dari remaja sampai kakek-kakek yang hampir masuk liang kubur, semuanya dapat bertempur dengan cukup baik, tidak kalah dari para prajurit. Mereka yang tua-tua umumnya juga ahli dalam menembakkan sumpit beracun, ahli menenung dan menyihir sehingga musuh mati dengan penyakit aneh. Tempat tinggal mereka terpencar di beberapa buah desa, tapi dengan sebuah isyarat yang dibunyikan dari desa induk, dalam sekejap semua laki-laki akan berkumpul dengan senjata siap di tangan."

Panglima Manchu itu ternyata mengangguk- anggukkan kepalanya dan memuji.

"Kesigapan yang mengagumkan. Tadi kau bilang bahwa mereka tidak tunduk kepada Kaisar dinasti apapun, apakah itu juga berarti mereka tidak tunduk kepada Sri Baginda Sun-ti yang sekarang bertahta?"

"Soal ini... aku... aku kurang paham, Ciangkun."

"Kenapa tidak paham? Bukankah kau orang suku Biao pula?"

"Ciangkun, sejak aku masuk tentara di bawah Peng-se-ong Bu San-kui, aku belum pernah pulang kampung sehingga tidak tahu bagaimana sikap sukuku terhadap Sri Baginda Sun-ti."

Panglima Manchu itu tidak mendesak lebih lanjut, wajahnya berubah agak lunak, dan sambil menepuk-nepuk pundak prajurit itu ia berkata.

"Satu waktu kelak kau harus pulang kampung, dan kau harus bisa menerangkan pada orang-orang sesukumu bahwa bahwa bangsa Manchu tidak menjajah tetapi mempersatukan ratusan suku-suku di daratan besar ini agar bersatu menjadi negara yang kuat. Membentang dari Tibet sampai Korea. Hanya orang-orang berpandangan piciklah yang merasa dijajah, misalnya saja para pengikut fanatik dinasti Beng itu. Padahal ketika dinasti Beng masih berkuasa rakyat malahan menderita gara-gara Cong-ceng tidak becus mengendalikan negara. Kalau mereka tidak becus, kenapa kami tidak boleh mengambil-alih untuk memperbaikinya?"

Prajurit suku Biao itu memang kurang berminat akan seluk-beluk urusan pemerintahan, tahunya la cuma memutar golok menjalankan perintah atasan, maka penjelasan Panglima Manchu itu ditanggapinya hanya dengan mengangguk-angguk, entah mengerti betul-betul entah tidak.

Sementara Panglima Manchu itu telah berkata pula.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita sudah-tahu keadaan medan yang kita hadapi, tapi kita akan menerjangnya demi keberhasilan tugas kita. Malam hampir tiba, namun gelapnya malam justru akan mempermudah sergapan kita agar tidak diketahui lebih dulu oleh musuh Maka rombongan itupun bergera kembali. Seperti yang diucapkan ole Panglima mereka tadi, tidak peduli ke istana Raja Akheratpun mereka aka memburu musuh-musuh mereka, demi negara dan Kaisar. Itulah semangat prajurit-prajurit Hui-liong-kun. Sedangkan prajurit suku Biao itu sebenarnya agak ketar- ketir juga berjalan serombongan dengan prajurit-prajurit yang tidak menghiraukan nyawa sendiri itu namun ia menyembunyikan jauh-jauh rasa cemasnya agar tidak diketahui oleh rekan-rekan seperjalanannya. Agaknya prajurit suku Biao itu masih juga punya harga diri, dan ingin menjaga nama baik kesatuannya agar tidak ternoda. Sementara itu mataharipun telah tenggelam di ufuk barat. Mendung semakin tebal dan semakin rendah, akhiri nya titik-titik airpun berjatuhan satu demi satu, semakin lama semakin deras sampai akhirnya air hujan begitu rapatnya sehingga mirip sebuah tirai putih. Sepuluh langkah di depan sudah tidak kelihatan apa-apa lagi. Tetapi sekelompok prajurit yang bertubuh baja dan bersemangat baja itu terus bergerak maju di bawah pimpinan langsung Panglimanya sendiri. Bahkan air hujan yang dingin itu malah terasa menyegarkan kembali tubuh mereka yang sudah kelelahan karena sehari suntuk melakukan pengejaran itu. Prajurit suku Biao yang tetap bertindak sebagai pemandu jalan itu agaknya betul-betul seorang yang mahir dalam bidangnya. Biarpun hari telah menjadi gelap dan air hujanpun telah mengaburkan jejak kaki-kaki kuda buruan mereka, namun berdasarkan pengamatannya yang cermat atas rumput-rumput yang patah, dia tetap dapat menuntun rombongannya ke arah yang tepat. Dengan keahlian dan pengalamannya, ia dapat membedakan antara rumput yang rebah karena terinjak kaki kuda dengan yang disebabkan hembusan angin. Dalam pada itu, Jauh di depan prajurit- prajurit yang gigih itu, ada sebuah kelenteng kosong yang dulunya disebut (Kelenteng Malaikat Gunung) yang terletak di kaki sebuh bukit kecil. Dulu, ketika di sekitar tempat itu masih ada pemukiman penduduk, kelenteng itu cukup ramai dan terawat, tapi setelah penduduk mengungsi karena daerah itu menjadi rawan akibat peperangan, maka kelenteng itupun tak terawat lagi. Malahan kata penduduk yang tinggal agak jauh dari tempat itu, kelenteng itu sekarang dihuni hantu-hantu yang suka mengganggu manusia. Malam itu, di bawah hantaman hujan lebat yang bagaikan melecut bumi dengan pongahnya, dari dalam kelenteng yang sudah lama tak terjamah manusia itu tiba-tiba kelihatan ada cahaya api. Cahaya api itu bukan hantu penunggu kelenteng, melainkan api unggun yang dibuat oleh sekelompok kecil manusia yang agaknya telah memanfaatkannya bangunan kosong itu untuk berteduh. Ada lima orang lelaki yang duduk di sekitar api unggun itu. Semuanya berpakaian kotor, berwajah keras karena tempaan keadaan, dan mata mereka selalu memancarkan kecurigaan kepada keadaan-keadaan di sekitar mereka. Rahang dari janggut mereka kelihatan sudah berhari- hari tidak tersentuh pisau cukur, dan untuk melengkapi tampang-tampang dekil mereka, di sekitar tempat mereka duduk itu bergeletakanlah senjata-senjata mereka yang setiap saat siap untuk melawan musuh. Salah seorang dari lelaki-lelaki di kelenteng itu menggeliat sambil menggerutu.

"Mudah- mudahan malam ini tidak ada gangguan sehingga kita dapat tidur nyenyak. Semalampun cukup untuk memulihkan tenaga kita. Bangsat- bangsat Manchu itu benar-beriar gila, mereka sudah mengejar kita dua hari dua malam tanpa berhenti. Mereka dapat berganti orang, tapi kita? Huh, pinggangku mau patah rasanya."

"Ya. Dan terpaksa kita telah menjadi perampok di jalan demi mendapatkan kuda- kuda yang segar untuk menggantikan kuda- kuda kita yang kelelahan."

Yang menggerutu tadi adalah seorang yang berkepala gundul licin, bertubuh gemuk pendek dan berotot gempal Ia memaki jubah kuning seperti umumnya pendeta Buddha, tapi jubahnya itu sudah kotor tak keruan dan robek sana-sini, bahkan ada noda darah kering yang berwarna kecoklat-coklatan Di pinggangnya terselip sebatang golok tanpa sarung yang juga bernoda darah kering.

Sambil menggerutu ia mengunyah sepotong roti yang sudah berjamur, namun makanan basi itu dinikmatinya seolah sedang menikmati makanan yang paling enak di dunia ini.

Dengan mulut masih mengunyah, ia tidak berhenti menggerutu.

"Bangsat! bangsat berkuncir itu memang edan semua. Entah dari siapa mereka tahu akan rencana perjalanan kita ini, sehingga mereka dapat menyergap kita di tempat-tempat yang tak terduga. Mungkin ada pengkhianat yang sengaja memberitahu bangsat-bangsat itu."

Si pendeta gemuk itu agaknya masih akan menggerutu lagi, tetapi seorang temannya yang bermuka berewokan telah meremas pundaknya sambil berbisik.

"Ssst, jangan ribut terus dengan suaramu yang seperti gembreng pecah itu. Biarkan Pangeran tidur dengan nyenyak, beliau juga sangat lelah."

Pendeta gemuk itu menahan suaranya dan ia hanya menjawabnya dengan anggukan satu kali.

Sekilas ia melicik kearah orang yang disebut Pangeran itu, yang duduknya agak Jauh dari keempat orang lainnya.

Pendeta gemuk itupun menarik napas sambil berkata perlahan.

"Kasihan Pangeran. Seharusnya ia berada di istana, tidak di tempat yang sunyi, dingin dan kotor seperti ini."

Tapi temannya yang berewokan itu pun menyahut.

"Pangeran adalah seorang pejuang pula seperti kita. Penderitaan ini akan membuatnya semakin tangguh dan bukanya semakin cengeng."

Yang disebut Pangeran itu ialah seorang lelaki berusia kira-kira tiga puluh lima tahun.

Sebenarnya pada dasarnya ia berwajah cukup tampan, tetapi dengan pakaian yang dekil dan berbau serta wajah tak bercukur selama berhari-hari, maka penampilan saat itu tidak mirip seorang Pangeran sedikitpun.

Ia lebih mirip seorang gelandangan di pojok-pojok jalan.

Ia duduk dengan punggung bersandar dinding kuil yang berlumut tidak peduli pakaiannya menjadi kotor atau tidak.

Matanya terpejam seolah ia tiduran, namun sebenarnya la tidak tidur, hatinya tengah bergejolak mengenang masa lalu dirinya, masa lalu mas kejayaan keluarganya, masa lalu negerinya....Bayangan-bayangan masa lalu tergambar jelas di pelupuk matanya, seakan sengaja dipertunjukkan kembali kepadanya, seperti sebuah cermin yang memantulkan baik buruknya diri sendiri.

Pada masa yang hanya tinggal kenangan itu, Kerajaan Beng masih berdiri dengan wilayahnya yang membentang luas, sebuah kemaharajaan raksasa yang pengaruhnya terasa sampai ke negeri-negeri seberang lautan.

Namun kemegahan yang hanya nampak luarnya itu tidak seimbang dengan keadaan dalam pemerintahan yang sangat bobrok.

Masa pemerintahan Kaisar Cong-ceng adalah suatu masa yang sangat buruk dalam sejarah.

Keadaan negeri kacau-balau, rakyat menderita dan kebingungan tanpa pelindung, sebab para pejabat yang bertugas mengabdi rakyat telah lupa akan tugasnya dan sibuk baku hantam satu sama lain untuk berebut kedudukan dan kekayaan.

Para menteri, raja muda atau panglima yang benar-benar mengabdi kepada negara dan rakyat, malahan tersingkir dari tubuh pemerintahan, tidak sedikit yang dihukum mati dengan tuduhan yang direka- reka oleh kaum dorna.

Pemerintahan diduduki orang-orang yang pandai menjilat, dan membuat laporan palsu, sambil menyikut kiri kanan dan menyebar fitnah.

Biang keladi semua kebobrokan itu adalah seorang menteri berhati iblis bernama Co Hua-sun, seorang kebiri yang sangat dipercaya oleh Kaisar Cong-ceng, dan akhirnya kekuasaannya malah melebihi kekuasaan Kaisar sendiri.

Ketidak-puasan di dalam negeri makin meluas.

Lalu meletuslah pemberontakan rakyat di bawah pimpinan seorang petani bernama Li Cu-seng.

Pemberontakan tidak dapat dipadamkan dan bahkan makin luas dan mendapat banyak dukungan, sehingga terbentuklah suatu laskar rakyat yang berjumlah amat besar.

Perlawanan meletus di mana-mana.

Tahun ke tujuh belas dari masa bertahtanya Kaisar Cong-ceng, bulan ketiga tanggal Sembilan belas, Ibukota Kerajaan Jatuh ke tangan pemberontak.

Pertempuran berlangsung sengit di jalan-Jalan, di lorong- lorong, halaman-halaman rumah sampai ke halaman Istana, mayat bergelimpangan di seluruh penjuru kota.

Beberapa Panglima serta bangsawan yang setia kepada Kerajaan Beng telah bertahan dengan gigihnya dl Istana, sampai titik darah terakhir.

Boleh dikata Li Cu- seng merebut jengkal demi jengkal tanah Istana dengan taruhan nyawa laskarnya.

Namun di samping Panglima-panglima dan para bangsawan yang bertahan secara ksyatria itu, lebih banyak lagi yang menjadi pengecut dengan melarikan diri sambil membawa keluarga dan harta benda mereka, tak sedikitpun tersisa kesetiaan mereka.

Kaisar Cong-ceng sendiri telah merasa bahwa singgasananya tidak terselamatkan lagi, lalu menggantung dirinya di bukit Bwe-san.

Li Cu- seng memenangkan perang dan mengangkat dirinya sendiri sebagai Kaisar dari sebuah dinasti baru.

Sementara itu, di sebuah kota kecil bernama San-hai-koan ada seorang Panglima Kerajaan Beng yang belum ditaklukkan oleh Li Cu-seng Panglima di San-hai-koan itu bernama Bu San- kui.

Meskipun yang dikuasainya hanya sebuah kota kecil, tapi San-hai-koan penting sebebab kota itu merupakan "Pintu timur"

Dari Tembok Besar yang tak dapat ditembus musuh-musuh dari luar perbatasan itu.

Keruntuhan Kerajaan Beng membuat Bu San-kui terjepit, dari dalam negeri ia terancam oleh Li Cu-seng si penguasa baru, dari luar la terancam oleh Kerajaan Manchu yang senantiasa mengincar untuk merebut San-hai-koan sebagai kunci untuk merebut daratan Cina, Li Cu-seng menekan Bu San-kui dengan jalan menghentikan semua perbekalan menuju San-hai-koan, sebaliknya bangsa Manchu dengan cerdik menggunakan kesempatan itu untuk mengajak Bu San-kui ke pihaknya.

Dan Bu San-kui.

akhirnya benar- benar terpikat oleh pihak Manchu.

Pintu San- hai-koan dibuka, balatentara Manchu dipersilahkan masuk, maka menyerbulah mereka bagaikan air bah, menggoncangkan kedudukan Li Cu-seng yang baru bertahta satu setengah bulan itu.

Pasukan Li Cu-seng yang kalah terlatih dan masih kelelahan setelah mengalahkan tentara Kerajaan Beng itu, tidak sanggup menahan laju pihak Manchu yang berjumlah besar, bersenjata lengkap dan terlatih baik Itu.

Orang-orang lelaki bangsa Manchu adalah orang-orang yang sejak kecil telah ditempa oleh kerasnya alam berupa padang-padang salju yang dingin, naluri untuk bertempur dan menang sudah tertanam sejak kecil.

Maka pada tanggal dua belas bulan empat tahun itu juga, balatentara Manchu telah berbaris di ambang pintu Kotaraja Pak-khia.

Dan akhir bulan Itu Juga Li Cu-seng dipaksa angkat kaki dari Pak-khia dalam keadaan kocar- kacir, lalu kabar beritanya menghilang begitu saja.

Dengan demikian dalam waktu kurang dari dua bulan telah terjadi dua kali Perpindahan kekuasaan, dan Ibukota kerajaan mengalami dua kali pertempuran dahsyat.

Kerajaan Beng diruntutkan oleh Li Cu-seng, kemudian Li Cu- seng dikalahkan Kerajaan Manchu sebagai pemenang terakhir.

Bu San-kui yang oleh Kerajaan Manchu dianggap sangat berjasa karena seolah membukakan pintu bagi masuknya tentara Manchu ke bagian dalam Tembok Besar, lalu mendapat anugerah sebagai Rajamuda di wilayah Se-cuan dan bergelar Peng-se-ong.

Istananya di kota Jing-toh, Ibukota wilayah Se-cuan.

Setelah membayang-bayangkan kejadian- kejadian masa lalu, maka Pangeran yang ada dl kelenteng kosong itu pun tiba-tiba mengepalkan tinjunya dan menghantam, lantai sambil mengguram dengan gemasnya.

"Bu-san-kui...Bu- San-kui... tak terpikir olehku bahwa kau akan berbuat demikian tololnya, menyerahkan negerimu sendiri kepada bangsa Manchu. Seburuk-buruknya Li Cu-seng ia masih sesama bangsa Han. Keempat orang pengikut Pangeran itu terkejut ketika melihat junjungan mereka tiba- tiba menggeram sambil memukul lantai. SI pendeta gemuk itu agaknya dapat menebak apa yarg sedang dirl-aiukan oleh junjungannya itu. Sebisa-bisanya ia menghibur.

"Pangeran Jangan disesali lagi masa lalu yang tak mungkin kembali lagi. Kita sekarang harus senatap ke masa depat oengan tabah, yang kita pikirkan adalar langkah-langkah selanjutnya. Suatu saat, entah lambat entah cepat, kita akan mengusir bangsa Manchu dari tanah air kita dan mendirikan kembali dinasti Beng kita yang Jaya."

Pangeran itu tersenyum pahit ke-pnda pendeta gemuk itu. Katanya sambil menarik napas.

"Seharusnya mendiang ayahhanda Kaisar merasa beruntung karena memiliki Panglima-panglima setia seperti kalian ini. Andaikata orang-orang berjiwa bersih seperti kalian yang duduk sebagal pengendali pemerintahan saat itu, tentu negeri ini tidak begini jadinya. Sayang sekali, Pada waktu ayahanda masih berkuasa, oraang-orang setia seperti kalian malahan tersingkir dari Istana dan tidak dipedulikan sama sekali dalam pengambilan keputusan-keputusan penting. Bahkan kalian ditugaskan ke tempat-tempat yang jauh dari Ibukota supaya tidak dapat merintangi sepak-terjang para dorna yang mengelilingi ayahanda Kaisar pada waktu Itu. Ah, dasar nasib negeri ini memang buruk..."

"Sudahlah, Siau-ong-ya (Pangeran) jangan membiarkan pikiran berangan-agan yang bukan-bukan, hanya akan menggelisahkan hati dan merusak kesehatan saja. Kami tidak merasa sakit hati kepada mendiang Sri Baginda, sebab sudah menjadi kewajiban seorang prajurit untuk taat kepada rajanya. Apalagi kami juga tahu bahwa sebenar nya Sri Baginda tidak jahat, yang jahat adalah dorna-dorna yang mengelilingi dan mempengaruhi Sri Baginda itu, terutama si Co Hua-sun keparat itu. Mudah- mudahan saat ini ia sedang dibakar di api neraka yang paling bawah... ."

Namun agaknya Pangeran yang sedang bergejolak itu tidak dapat dicegah untuk berbicara terus.

"Jangan cegah aku untuk menumpahkan isi hatiku kepada kalian yang dulu berada didekat ayahanda Kaisar, tentu negara tidak bobrok dan rakyat tidak menderita. Pemberontakan Li Cu-seng takkan ada, dan bangsa Manchu takkan mendapat peluang untuk melintasi Tembok Besar melalui San-hai-koan. Tetapi semuanya terlambat untuk disadari... ."

Pangeran menggunakan kedua telapak tangannya untuk menutup wajahnya dan bahkan meremas-remas rambutnya sendiri. Suaranya semakin lambat dan bahkan bercampur dengan isak-tangisnya.

"Terlambat...terlambat... kini orang Manchu sudah mengangkangi negeri kita dengan kuatnya. Semoga arwah ayahanda Kaisar dapat melihat siapa hamba-hambanya yang benar- benar setia dan siapa yang hanya pandai berbicara saja untuk memfitnah kiri kanan. Kalian yang dulu tersingkir, kini malahan rela menanggung lapar dan haus, mempertaruhkan nyawa menempuh bahaya maut untuk berjuang kembali merebut tanah air. Orang-orang yang dulu hanya pandai bicara muluk-muluk di hadapan ayahanda Kaisar, sekarang ada di mana? Mereka hidup mewah tanpa rasa risi sedikitpun di bawah telapak kaki orang Manchu... Begitulah, kalimat demi kalimat meluncur dari bibir Pangeran Itu, makin lama makin tinggi nadanya, menyalurkan gejolak Jiwanya yang selamu ini terpendam tanpa sempat dilontarkan keluar.

"...dan yang paling gila adalah Bu San-kui itu. Dimana otaknya ketika ia memutuskan untuk menyerahkan kota San-hai-koan kepada orang Manchu? Sementara itu, salah seorang dari pengikut Pangeran itu menundukkaa kepalanya dengan hati yang pedih, setiap kail mendengar nama Bu San-kui di caci-maki. Bu San-kui adalah saudara angkatnya. Dulu ia dan Bu San-kui pernah bekerja-sama di San-Hai-koan, bahu membahu menanggulangi bahaya Manchu, suka dan duka dirasakan bersama. Keduanya saling mengagumi kegagahan masing-masing dan ahirnya memutuskan menjalankan upacara angkat saudara. Ketika cahaya bulan tengah membulat sempurna diatas kota San-hai-koan, maka kedua orang itupun naik ke atas benteng kota, disaksikan oleh bulan purnama mereka bersumpah sebagai saudara angkat. Bersumpah pula untuk sama-sama mengabdi kepada Kerajaan Beng sampai titik darah yang penghabisan. Suatu ketika kedua saudara angkat itu harus berpisah. Saudara angkat Bu San-kui yang bernama Kongsun Hui itu harus ditarik ke tempat lain bersama pasukannya untuk membendung laskar pemberontak yang mulai mengancam Ibukota Kerajaan. Tapi Kongsun Hui ian pasukannya gagal membendung laskar pemberontak yang Jauh lebih kuat, panglima-panglima Kerajaan Beng yang lainpun tidak berhasil. Bahkan ada Panglima yang menyebrang ke pihak Li Cu-seng. Maka Kongsun Hui dan pasukannya yang tinggal sedikit lalu memutuskan melawan melawan Li Cu-seng dengan cara bergerilya, sementara perang semakin berkecamuk, keadaan makin kacau, dan hubungan Kongsun Hui dengan saudara angkatnya yang di Sang- hal-koan pun terputus sama sekali kabar beritanya. Sampai suatu saat Kongsun Hui dengan setengah tak percaya mendengar berita bahwa Kotaraja telah jatuh ke tangan Li Cu- seng, dan tak lama kemudian ada berita yang lebih mengejutkan lagi bahwa Bu San-kui telah menyerah kepada bangsa Manchu, bahkan membawa balatentara Manchu untuk masuk ke daratan Cina. Memang berhasil mengusir Li Cu- seng, tapi apa gunanya kalau kemudian hanya digantikan oleh kekuasaan asing? Mengenang semuanya itu, Kongsun Hui mengertakken giginya dan mengepalkan tinjunya dengan geram. Ia mengutuk di dalam hatinya.

"Bu San-kui, aku telah bertindak tolol dengan mengangkat saudara denganmu. Aku bersumpah akan menuntut pengkhianatanmu atas sumpah suci kita yang kita ikrarkan di atas benteng kota San-hai-koan itu. Meskipun kau beralasan membalaskan dendam dinasti Beng terhadap Li Cu-seng, tetapi tidak dengan cara membawa bangsa asing untuk menjajah negeri sendiri. Aku lebih rela Jika negeri ini diperintah oleh Li Cu-seng daripada oleh orang Manchu."

Demikianlah suasana dalam kelenteng kosong yang menjadi tempat perteduhan orang- orang sisa-sisa dinasti Beng itu.

Meskipun orang-orang itu lebih banyak diamnya daripada bicaranya, namun sebenarnya gejolak jiwa mereka Adalah melebihi gejolak samudera yang dihembus taufan.

Berjuta kalimat tidak akan cukup untuk mewakili gejolak perasaan mereka itu, tetapi kini senjata adalah "bahasa"

Satu- satunya untuk berhubungan dengan orang Manchu.

Memang begitulah umat manusia.

jika mulut sudah kehilangan peranan untuk usaha perdamaian, senjatalah yang berperan.

Namun perjuangan, akan panjang bekali, sebab orang- orang Manchu juga bersenjata dan tidak akan menyerahkan leher mereka begitu saja untuk digorok.

Mereka juga memperjuangkan kebenaran menurut sudut pandangan mereka sendiri, dengan pendirian yang sama teguhnya dengan pendirian lawan-lawan mereka.

itulah sebabnya perangpun berkepanjangan.

Malam semakin larut dan udara dingin rasanya bagaikan mencekam tulang.

Beberapa orang di antara mereka mulai membaringkan diri di lantai yang dingin dan keras, dan mereka mencoba untuk tidur sekejap agar tenaga mereka bisa dipulihkan untuk menghadapi tantangan-tantangan selanjutnya Si pendeta gemuk itu masih saja duduk sambil mengunyah rotinya yang sudah mengeras itu, sementara di luar kuil hujan masih turun dengan derasnya diselingi suara petir yang bersambung di udara.

Di luar kuil yang suasananya gelap dan berkabut itu, tiba-tiba terlihat ada puluhan sosok bayangan hitam yang berjalan merunduk- runduk mendekati kuil dengan senjata-senjata terhunus.

Salah seorang dari bayangan- bayangan hitam itu memberi isyarat dengan gerakan-gerakan tangannya, lalu bayangan- bayangan hitam ltupun memencar mengepung kuil itu.

Bayangan hitam yang memberi isyarat itu lalu berkata dengan suara yang agak keras untuk mengalahkan suara air hujan yang gemerasak.

"Para prajurit berjaga di luar. Keempat perwira ikut aku untuk menyerbu ke dalam, tapi hati-hatilah, di antara buruan- buruan itu ada beberapa orang yang berilmu tinggi pula."

"Baik, Ciangkun,"

Jawab keempat orang perwira itu.

Sementara itu, di dalam kuil, si Pendeta gemuk yang nampaknya hanya asyik dengan rotinya itu ternyata juga tidak lengah.

Kupingnya yang tajam segera menangkap suara-suara mencurigakan di luar kuil, meskipun suara-suara itu tersamar oleh suara hujan.

Cepat-Cepat pendeta gemuk itu membuang sisa Poti yang masih di tangannya, detik berikutnya la sudah melompat berdiri dengan sigapnya sambil menggenggam erat goloknya.

Teriaknya.

"Pangeran dan teman- teman, musuh datang!"

Pangeran dan pengikut-pengikutnya, baik yang sudah tidur maupun baru setengah tidur, segera berlompatan bangun sambil menyambar senjatanya masing-masing dan siap bertempur.

Masing-masing memegang senjata yang berbeda-beda sesuai dengan keahliannya sendiri-sendiri.

Pangeran itu sendiri menghunus sebatang pedang.

Kongsun Hui bersenjata sepasang Kong-plan (Rujung Baja), si berewokan memegang tombak panjang, dan seorang lagi bersenjata pedang bermata dua seperti Pangeran sendiri.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Suasana tegang bukan main menunggu datangnya musuh.

Orang-orang yang mengepung kuil itu agaknya tahu bahwa buruan mereka sudah ter- Pendeta gemuk itu melompat berdiri dengan sigapnya sambil menggenggam erat goloknya.

Teriaknya, Pangeran dan teman-teman, musuh datang!"

Bangun semuanya, tidak ada gunanya lagi bergerak dengan mengendap-endap seperti maling.

Bahkan kemudian dari luar kuil Itu terdengarlah suara tertawa terbahak-bahak seolah mengejek keslap-siagaan Pangeran dan peng-lkut-pengikutnya.

Suara tertawa itu semakin lama semakin keras, sampai akhirnya begitu kerasnya sehingga membuat dada terasa sesak dan telinga berdenging hampir pecah.

Beberapa pengikut Pangeran yang berilmu kurang tinggi segera merasa kaki mereka lemas dan terhuyung-huyung hampir roboh.

Si pendeta gemuk agaknya adalah orang yang ilmunya tertinggi di antra rombongan Pangeran itu, namun toh ia tetap harus mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk dapat tetap berdiri tanpa roboh.

Geram si pendeta gemuk.

"Hebat tenaga dalam orang ini. jika selama beberapa hari ini kita hanya menghadapi anjing-anjing Manchu yang tak seberapa kepandaiannya, agaknya malam ini kita akan bekerja lebih keras dari hari-hari kemarin. Jauh lebih keras!"

Ucapan pendeta gemuk merupakan peringatan bagi teman-temannya bahwa musuh yang datang kali inj.

oenap benar seorang musuh yang tangguh bukan kepalang.

Sementara suara tertawa yang bagaikan menghentak-hentak jantung itu perlahan-lahan mereda, lalu sesosok bayangan hitam meluncur dari luar kuil.

Tembok halaman kuil setinggi tiga tombak itu dilompatinya dengan ringan, seperti gerakan sesosok hantu saja, dan kemudian bayangan hitam itu dengan ringannya mendarat di hadapan Pangeran bersama pengikut- pengikutnya yang sudah siap-siaga di dalam kuil itu.

Bayangan hitam itu ternyata adalah seorang pemuda bertampang Manchu asli, berusia kira- kira dua puluh lima tahun, berwajah cukup tampan namun sorot matanya angker dan dingin.

Pakaiannya hitam dan ringkas, namun pada pakaiannyaa yang sederhana itu kelihatan beberapa tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pangkatnya cukup tinggi dalam susunan ketentaraan.

Tadi pemuda itu sudah menunjukkan kehebatan tenaga dalamnya lewat suara tertawanya yang menggoncangkan jantung itu, dan sekarang begitu kakinya menginjak lantai kuil, kembali la menunjukkan kehebatannya.

Ketika la masuk tadi pakaiannya masih basah kuyup karena air hujan, namun tiba-tiba terlihatlah uap panas mengepul dari ujung topinya sampai ujung sepatunya, dalam waktu sekejap saja seluruh titik air yang menempel di tubuh dan pakaiannya telah menguap menjadi uap air yang membumbumbung ke atas.

Dan keringlah seluruh pakaiannya tanpa bekas kehujanan sedikitpun, hanya dalam waktu beberapa kejapan mata saja.

Pangeran dan pengikut-penglkut-nya dengan tegangnya melihat pameran kepandaian oleh pemuda Manchu tersebut.

Si pendeta gemuk yang berpengetahuan luas dalam masalah dunia persilatan, segera dapat menebak siapakah gerangan anakmuda Manchu Itu.

Ia mengangguk-anggukkan kepala gundulnya sambil berkata.

"Ilmu Hwe-liong-sin- kang (Ilmu Sakti Naga Api) dari kuil Thian-long- si di Tibet yang tiada duanya, anak muda, kau tentunya Panglima dari Hu-Liong-kun yang bernama Pak-Kiong long dan berjulukkan Naga dari utara itu bukan?"

Anak muda Manchu itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya kepada pendeta gemuk itu, katanya.

"Pandanganmu cukup tajam. Tetapi aku pun kenal siapa dirimu meskipun kau coba-coba sembunyi di balik jubah pendeta itu. kau adalah Tio Tong-hai yang berjulukan Pek-lek-Jiu (Si Tangan Petir), Jaman Kerajaan Beng dulu kau menjabat sebagai Panglima Lwe-teng-wi-su pasukan pengawal istana yang kemudian dipindahkan jauh ke kota perbatasan San-bun-koan karena menentang para dorna di Istana. Benar bukan?"

Ketika melihat pendeta gemuk itu menjawab dengan anggukan kepalanya maka anak muda Manchu yang bernama Pak-Kiong Liong itu menarik napas sambil berkata.

"Pantas orang-orangku yang terdahulu telah gagal menangkap kalian, bahkan pulang dalam keadaan berantakan, kiranya si Tangan Petir ada di tengah-tengah rombongan ini... Lalu Pakkiong Liong menyapukan pandangannya kepada Pangeran dan pengikut- pengikutnya yang lain, ketika tatapan matanya membentur Kongsun Hui, maka Pak Kiong Liong-pun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ramah, seolah bertemu dengan seorang teman lama. Katanya dengan ringan.

"Ah, ternyata di sini aku juga bertemu dengan teman lamaku, Kongsun Ciangkun yang pernah kukenal di medan perang San-hai-koan dulu. Apa kabar, Kongsun Ciangkun? Jika Kongsun Ciangkun dapat bertindak bijaksana seperti saudara angkatmu itu, maka kita tidak akan bermusuhan tapi menjadi sahabat baik... Ucapan Pakkiong Liong yang menyentuh luka hati Kongsun Hui itu dijawab dengan geraman sengit oleh Kongsun Hui.

"Jangan sebut-sebut lagi nama Bu San-kui di hadapanku. Si pengkhianat tolol Itu bukan saudara angkat ku lagi, aku sudah muak mendengar namanya."

Alis Pak kiong-Liong sedikit berkerut mendengar jawaban Kongsun Hui yang keras itu, tapi sikapnya masih saja tenang dan bahkan tersenyum-senyum. Katanya.

"Terserah kepadamu. Tetapi kedatanganku kali ini masih tetap membawa uluran tangan persahabatan dari Sri Baginda kepada kalian. Sri Baginda sesungguhnya sangat mengagumi kalian sebagai orang-orang yang berani, tetapi juga menyayangkan bahwa kegigihan kalian itu berada di jalan yang keliru. Bagaimanapun kalian berjuang, hanya kekacauan yang akan kalian timbulkan, tapi tidak mungkin merobah keadaan yang sudah seperti ini. Thian sudah mentakdirkan bangsa Manchu kami untuk memimpin suku-suku lainnya, bersatu-padu dalam sebuah negara yang kuat, bersama-sama menikmati kejayaan dan kesejahteraan. Maka Sri Baginda sekali lagi menawarkan kepada kalian untuk meletakkan senjata dan bergabung dengan kami. Kita akan menjadi teman seperjuangan untuk membuat negeri ini menjadi besar seperti di Jaman Jengis Khan dulu."

Pangeran Kerajaan Beng yang bernama Cu Hin-yang itu menjawab dengar sengit.

"Negaramu menjajah negaraku, bagaimana mungkin kami dapat bekerja-sama dengan pihak yang telah menganiaya rakyat kami?"

Dengan tetap berkepala dingin, Pak Kiong Liong menjawab.

"Pangeran, istilah 'menjajah' serta 'menganiaya' itu terlalu kasar. Lebih tepat jika disebut 'mempersatukan negeri' dan bukankah Kaisar-kaisar terdahulu juga enggan disebut sebagai penjajah? Tidak peduli Kaisar bangsa Mongol atau Han. Kaisar bangsa Han yang bernama Li Si-bin dari dinasti Tong pernah mengirim tentara untuk menaklukkan Korea dan Se-liau? Dan Kaisar Yung-lo dari dinasti Beng kalian bukankah pernah juga mengirim armada laut ke kepulauan selatan sana, sehingga bentrok dengan mahluk-mahluk aneh berambut kuning bermata biru yang datang dari benua barat? Bagaimanapun juga bangsa Manchu dan bangsa Han adalah serumpun, akankah kita baku hantam sendiri hanya untuk mempersoalkan siapa memerintah siapa? Sementara ancaman dari luar semakin terasa. Orang-orang bule bermata biru itu sekarang sudah bersekutu dengan Kaisar di Jepang, dengan alasan berdagang dan menyebarkan agama baru, tapi ancaman mereka itu sebenarnya ditujukan kepada kita. Jika kita lengah, suatu ketika orang-orang asing itu akan merapatkan kapal-kapal meriamnya ke pantai- pantai kita dan menancapkan bendera mereka di tanah kita. Bangsa Han dan bangsa Manchu harus bersatu menghadapai ancaman ini, begitu pula suku-suku serumpun lainnya seperti Mongol, Uigur, Tibet, Korea dan lainnya. Kau paham, Pangeran?"

Tapi Pangeran Cu Hin-yang tertawa sinis dan menyahut.

"Tidak paham sedikitpun. Omonganmu manis tapi penuh perangkap. Jika Kaisarmu ingin bekerja-sama dengan tulus dengan kami, bawa keluar semua tentara kalian dari negeri kami dan biarkan kami membangun negeri kami sendiri. Jika Kerajaan Beng telah bangkit kembali, tidak ada salahnya bekerja sama dengan Kerajaan Manchu untuk menghadapi persekutuan Jepang dengan orang- orang bule itu. Tetapi kerja-sama kita kelak adalah kerja-sama sederajat antara dua negara yang sama-sama berdaulat, bukan yang satu memerintah yang lainnya."

"Wah, pintar bicara juga kau, Pangeran. Tapi usulmu itu tidak bisa jadi. Jika kita yarig terdiri dari macam-macam suku ini ingin berdiri sendiri-sendiri, ingin punya negara sendiri- sendiri, maka akan bermunculan banyak negara kecil-kecil. Kita akan kembali ke Jaman Liat-kok (Enam Negara) sebelum dipersatukan oleh Cin- si-ong (Chin-shih-huang, dari kata "Chin"

Ini muncul sebutan "China"

Sampai sekarang ini).

Kemudian satu persatu akan dipatahkan oleh musuh.

Kau sadari itu tidak? Dan tentang robohnya wangsa Seng jangan menyalahkan kami yang membalaskan dendam wangsa Beng dengan mengusir Li Cu-seng dari singgasananya.

Sahut Pangeran Cu Hin-yang.

"Hemm, kalian bukan membalaskan dendam kami kepada Li Cu-seng, melainkan memanfaatkan kesempatan selagi kami lelah karena perang saudara di dalam negeri. Dengan licik kalian merangkul Bu San-kui untuk membukakan pintu San-hai-koan bagi balatentara kalian. Pak-kiong Liong, Jangan coba-coba menutup-nutupi nafsu serakah dari Kaisarmu yang ingin mengangkangi dunia. Kalian sudah lama menyiapkan penyerbuan ke negeri kami. Bahkan sebelum Ll Cu-seng memberontak, kalian sudah menyiapkan tentara berjumlah besar di sepanjang perbatasan kami. Untuk apa itu? Kau kira kami akan berterima kasih kepadamu karena kalian telah mengusir Li Cu-seng dari Pak-khia? Huh, kami agaknya lebih rela diperintah oleh Li Cu- seng daripada oleh orang Manchu!"

Sesabar-sabarnya Pak Kiong Liong la mulai jengkel Juga melihat kekerasan hati Pangeran Cu Hin-yang itu. Kata Pak Kiong Liong dengan mata menyala.

"Aku bermaksud baik dengan jalan ingin menyadarkan kalian dari mimpi kalian yang tak bakal terwujud itu. Kenyataannya, Kerajaan Beng yang kalian impikan itu sudah ambruk terkubur sejarah, Li Cu-seng yang diharapkan untuk memerintah dengan baik ternyata juga tidak becus, kenapa bukan kami yang mengambil-alih pemerintahan? Pemerintah sah atas negeri ini sekarang adalah wangsa Manchu. Habis perkara."

"Tidak peduli kau membujuk atau menggertak, kesetiaan kami kepada dinasti Beng tak akan goyah!"

Sahut Pangeran Cu Hin- yang dengan hati yang semakin panas. Pak Kiong Liong tertawa keras dengan nada mengejek.

"Ha-ha-ha... kalian agaknya sangat bangga dengan dinasti kalian itu, tapi adakah kalian juga berani melihat bahwa dinasti kalian itu adalah dinasti yang bobrok? Lihat saja Kaisar Cong-ceng, ayahmu itu, patutkah orang seperti itu menjadi Kaisar yang disujudi jutaan orang? Seorang yang tidak punya semangat sama sekali. Ketika laskar Li Cu-seng menyerbu Istana, selagi semua prajurit Beng bertempur mati-matian mempertahankan istana, apa yang diperbuat ayahmu? Dia lari secara pengecut dan menggantung diri di Bwe-san. Huh! Ada satu contoh lagi, tentang kerabatmu sendiri yang bernama Cu Yu-long. Dengan tidak tahu diri ia mencoba mendirikan kembali dinasti Beng dengan modal secuil tanah yang dikuasainya. Ketika tentara kami menggempurnya, apa yang terjadi? Cu Yu-long dan pengikut-pengikutnya lari terbirit-birit dengan konyolnya, bahkan larinya sampai ke negeri Birma. Untung Raja Birma bersikap bersahabat dengan Sri Baginda kami, sehingga Cu Yu-long diserahkannya kepada kami. Pangeran, keluarga seperti inikah yang mengimpikan untuk kembali ke singgasana dan menentukan nasib Jutaan orang rakyat? Kalau begitu, keluarga Cu (keluarga yang turun-temurun menguasai pemerintahan dinasti Beng) kalian ini sungguh mementingkan diri sendiri. Hanya ingin merasakan enaknya duduk di singgasana tanpa mau merasakan penderitaan rakyat yang sengsara di bawah pemerintahan kalian"

"Tutup mulutmu, anjing Manchu!"

Bentak Pangeran Cu Hin-yang dengan muka yang merah padam karena marahnya.

Ia tidak tahan lagi mendengar Pakkiong Hong mencerca keluarganya.

Bagi Pangeran Cu Hin-yang, maka Kaisar Cong-ceng bukan cuma seorang raja tapi juga seorang ayah, seorang yang menjadi lantarannya untuk keberadaannya di dunia ini, meskipun Pangeran Cu Hin-yang hanyalah seorang yang dilahirkan dari selir Kaisar yang berasal dari rakyat Jelata.

Pangeran Cu hin-yang mengakui dalam hatinya bahwa Kaisar Cong- ceng memang bukan pemimpin yang baik, seorang raja yang berhati lemah dan mudah dipengaruhi oleh menteri-menteri jahat, namun kupingnya tidak tahan mendengar Pak Kiong Liong mencaci ayahnya setajam itu.

Sementara itu, Pak Kiong Liong-pun sudah kehilangan sikap ramahnya.

Senyumnya sudah menghilang dari wajahnya dan sikapnyapun semakin keras.

"Kalian memang berhak memilih, kematian atau kejayaan. Mati konyol seperti Cu Yu-long atau berkesempatan mengabdi negara seperti Bu San-kui. Pilih yang mana?"

Dengan geram Pangeran Cu Hin-yang menudingkan ujung pedangnya ke wajah Pak Kiong Liong sambil berkata.

"Kami memilih mati mempertahankan tanah air daripada menjilat pantat Kaisarmu!"

Pak Kiong Liong mendengus.

"Baik. Kalian memilih mati, maka akupun tidak keberatan menunjukkan jalan ke neraka kepada kalian!"

Lalu Pakkiong Liong berseru keluar kuil.

"Pembicaraan gagal! Kalian boleh masuk sekarang untuk menangkap pemimpi-pemimpi ini!"

Begitu selesai kalimat Pak Kiong Liong, pintu kuil yang tebal dan kuat itu telah gemuruh karena dihantam dari luar sehingga jebol.

Lalu masuklah yang pertama kali seorang bertampang bangsa Mongol namun berpakaian prajurit Manchu.

Orang Manchu menguncir rambutnya dalam satu jalur, sedang orang Mongol menguncir rambutnya menjadi dua Jalur yang ujungnya diikatkan satu sama lain.

Ketika, pasukan Manchu menyerbu ke bagian selatan dari Tembok Besar, banyak orang Mongol yang membantunya, dan kini banya orang Mongol berhasil mencapai pangkat perwira dalam ketentaraan Kerajaan Manchu.

Orang mongol berpangkat perwira ini melangkah masuk bagaikan seekor beruang.

Tubuhnya tegap dan besar, lengan-lengannya besar berotot, dan meskipun ia tidak membawa senjata tetapi sepasang tangannya itu nampak lebih berbahaya dari senjata jenis apapun.

Pak Kiong Liong memperkenalkan perwira bawahannya itu kepada Pangeran Cu Hin-yang dan musuh-musuhnya.

"Perwiraku ini bernama Ha To-Ji, punya Julukan Tay-mo-him (si Beruang Gurun). Ia akan mematahkan tubuh- tubuh kalian semudah mematahkan ranting- ranting kering."

Pangeran dan pengikut-pengikutnya tidak menjawab gertakan itu.

Namun mereka sama- sama mengakui bahwa Ha To-ji ini memang bukan lawan, ringan.

Caranya menjebol pintu kuil yang tebal dan kuat itu saja sudah menunjukkan betapa ia memiliki kekuatan yang luar biasa.

Kemudian ternyata Ha To-ji tidak sendirian saja, berturut-turut muncullah tiga orang lainnya.

Semuanya berpakaian seragam perwira Kerajaan Man-chu, sikap merekapun mantap dan penuh rasa percaya diri.

Jelaslah bahwa merekapun merupakan perwira-perwira berilmu tinggi yang barangkali bobotnya tidak kalah dari Ha To-ji.

Pak Kiong Liong tersenyum ketika melihat wajah Pangeran dan pengikut-pengikutnya itu menjadi tegang.

Seolah-olah sengaja menggertak musuh-musuhnya.

Pak Kiong Liong memperkenalkan perwira-perwiranya itu satu persatu.

"Yang paling depan itu Han Yong-kim, ahli pedang nomor satu di Korea, pernah berkelana di Jepang dan menguasai Kenjitsu (Ilmu Pedang Jepang) dengan sempurna. Lalu Tokku Yan si harimau dari Gunung Tiang-pek- san yang dengan pedang lengkungnya seorang diri la pernah mengobrak-abrik sarang penyamun di Tiang-pek-san. Ia orang manchu asli. Nah, yang terakhir ini orang Han, namun orang Han yang berpandangan luas dan tidak sempit-pikiran seperti kalian. Namanya Le Tong-bun, murid terbaik dari perguruan Heng- san-pay dan julukannya adalah Tiat-cui-eng (Elang Berparuh Besi)."

Seperti pemain-pemain sandiwara yang diperkenalkan kepada penonton-penontonnya, maka setiap kali Pak Kiong Liong menyebut sebuah nama, si pemilik nama itu mengangguk kepada Pangeran sambil tersenyum-senyum.

Sikap itu jelas menandakan bahwa perwira- perwira jPakkiong Liong itu merasa yakin akan memenangkan pertempuran, dan tidak memandang sebelah matapun kepada Pangeran Cu Hin-yang dan pengikut-pengikut-nya.

Hampir meledak rasanya dada Pangeran melihat sikap perwira-perwira Kerajaan Manchu itu, namun si pendeta gemuk yang ternyata adalah bekas seorang Panglima Kerajaan Beng itu lalu membisiki telinga Pangeran.

"Jangan terpancing oleh akal busuknya, Pangeran. Pak Kiong Liong sengaja memanasi hati kita agar kita menjadi kurang cermat dalam tindakan kita."

Pangeran menganggukkan kepalanya tanda mengerti, lalu si pendeta gemuk yang bernama Tio Tong-hai itulah yang menjawab sinis.

"Bukan main. Agaknya Pak Kiong Ciangkun ingin menunjukkan kepada kami bahwa pemerintahan Manchu telah berhasil mempersatukan negeri, sehingga perwira- perwiranyapun terdiri dari macam-macam suku. Tapi dalam pandanganku, mereka tidak mewakili sukunya masing-masing melainkan anjing-anjing penjilat yang gila uang dan kedudukan!"

Bersambung ke

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid erwira-perwira bawahan Pakkiong Liong itu seketika menjadi merah padam wajahnya.

Dengan gigi gemeretak mereka telah siap menggerakkan senjata mereka, tinggal menunggu aba-aba dari Panglima mereka untuk turun tangan.

Kongsun Hui yang pendiam itu agaknya pernah saling mengenal dengan perwira Han yang bernama Le Tong-bun itu.

Iapun ikut menyindir.

"Dan kudengar Heng-san-pay adalah sebuah perguruan yang terhormat, bahkan gunungnyapun dijuluki sebagai Lam-gak (Gunung Suci di Selatan). Tapi sungguh tak terduga bahwa gunung suci di selatan itupun dapat menelurkan sebutir telur busuk semacam Le Tong-bun..."

P Wajah Le Tong-bun yang sudah kelam itu berubah menjadi semakin kelam. Sahutnya.

"Apa jeleknya menjadi prajurit Kerajaan Manchu? Negara membutuhkan tenaga dan aku mengabdikan tenagaku, itu lebih baik daripada kalian yang hanya bermimpi tentang masa lalu sambil mengacau di sana-sini. Aku berpijak kepada kenyataan, kalian berpijak kepada angan-angan kosong."

Begitulah, suasana menjadi sangat-tegang.

Sambil mulut mereka saling-mencaci lawan mereka masing-masing, maka tangan mereka yang sudah gatal itupun telah menggenggam senjata semakin erat, siap diayunkan untuk membelah kepala musuh.

Tanpa prajurit- prajurit Manchu yang hanya ditugaskan berjaga di luar kuil, maka pihak Pak-kiong Liong hanya lima orang termasuk dirinya sendiri, begitu pula pihak Pangeran juga berjumlah lima orang.

Dari segi jumlah memang seimbang, entah bagaimana kemampuan manusianya? Masing- masing menyadari betapa beratnya lawan masing-masing.

Pakkiong Liong sudah memesan para perwiranya agar berhati-hati, sebab yang mereka hadapi itu adalah bekas Panglima- panglima Kerajaan Beng dari pasukan-pasukan terbaiknya.

Yang juga harus diperhitungkan adalah juga bahwa mereka itu tentu akan berkelahi seperti orang mabuk, karena fanatik membabi-buta kepada dinasti Beng.

Tapi Pakkiong Liong-pun telah berpesan kepada anak buahnya bahwa malam itu tidak boleh gagal meringkus mereka, sebab jika sampai lolos lagi mereka masih akan bisa menimbulkan kekacauan di mana-mana.

Sebaliknya Pangeran dan pengikut- pengikutnyapun sadar bahwa yang mereka hadapi bukanlah prajurit-prajurit biasa, melainkan Panglima Hui-liong kun didampingi perwira-perwira pilihannya.

Prajurit-prajurit Hui-liong-kun sudah terkenal bukan saja sebagai prajurit yang bekerja demi mencari upah, melainkan sebagai prajurit-prajurit yang memiliki kesetiaan sangat tinggi kepada Negara dan Kaisar, tanpa kenal gentar terhadap apapun juga.

Hui-liong kun boleh disebut sebagai Pasukan Berani Mati-nya Kerajaan Manchu, kedahsyatannya di medan laga sudah menjadi buah bibir orang banyak.

Kini masing-masing pihak segera menempatkan dirinya masing-masing untuk memilih lawannya masing-masing.

Si pendeta gemuk Tio Tong-hai yang sadar bahwa ilmunya adalah yang paling tinggi dalam rombongannya, segera menempatkan dirinya untuk melawan Pakkiong Liong yang Juga orang terkuat di pihaknya lawan.

Dalam keadaan seperti ini tidak dapat digunakan siasat "kuda musuh yang terbaik dilombakan dengan kuda kita yang terjelek"

Yang tertulis dalam Kitab Pe- rang Sun Pin.

Sebab kepandaian Pakkiong Liong Jauh lebih tinggi dari kawan-kawan Tio Tong- hai lainnya, sehingga dalam waktu singkat lawan Pakkiong Liong tentu akan kalah dan Pakkiong Liong akan bisa malang-melintang di arena untuk menjatuhkan korban lain.

Yang terkuat di pihak lawan harus dilawan oleh yang terkuat di pihaknya sendiri, meskipun Tio Tong- hai tidak yakin dapat mengalahkan lawannya namun ia akan mencoba bertahan sekuat tenaga sampai salah seorang kawannya bisa membereskan lawan dan kemudian membantunya untuk mengeroyok Pakkiong Liong.

Demikianlah perhitungan Tio Tong-hai sebagai bekas seorang Panglima yang sudah biasa menghitung kekuatan musuh dan kekuatannya sendiri.

Karena itu, ketika dilihatnya Pangeran sudah berhadapan dengan Pakkiong Liong, maka Tio Tong-hai dengan tergesa-gesa mendekatinya sambil berkata,"Siau-ong-ya, biarkan aku yang menghadapi Pakkiong Ciangkun yang perkasa ini, sambil mencicipi ilmu Hwe-liong-sin-kangnya yang hebat itu."

Pangeran yang cukup tahu diri bahwa dirinya bukan tandingan Pakkiong Liong, segera menyingkir ke samping. Sedangkan Pakkiong Liong sendiri membiarkan lawannya berpindah-pindah tempat seperti di atas papan catur saja, dan bahkan sempat mengejek.

"Bagus, Tio Ciangkun, rupanya kau kuatir kalau boneka kesayanganmu itu rusak oleh tanganku maka kau suruh dia menyingkir lebih dulu. Kebetulan akupun sudah lama ingin menjajal kehebatan Tangan Petir-mu yang sudah lama terkenal sampai ke luar Tembok Besar itu."

Tio Tong-hai menggeram.

"Bukannya Pangerana takut kepadamu, tetapi ia sebagai seorang bangsawan berderajat tinggi adalah tidak pantas untuk bertanding denganmu yang hanya seorang hamba dari Kaisar busukmu itu."

Pakkiong Liong tertawa.

"Ya... kau boleh mengarang alasan apapun, tapi jangan kau kira aku tidak tahu isi otakmu. Kau tahu bahwa Pangeran-mu itu sama sekali bukan lawanku, dalam waktu kurang dari sepuluh juruspun dia akan terjungkal di tanganku."

"Kau sombong sekali,"

Desis Tio Tong-hai. Sahut Pakkiong Liong kalem.

"Karena aku berilmu tinggi, sombong sedikit boleh juga bukan?"

Sebenarnya Tio Tong-hai merasa agak tegang Juga menghadapi Pakkiong Liong yang bernama besar itu.

Tapi ia tidak gentar.

Dalam hatinya la sudah pasrah nasib, andaikata dirinya harus gugurpun rela asalkan Pangeran dapat lolos dari situ dan melanjutkan perjuangan mereka untuk menegakkan kembali Kerajaan Beng.

Sementara itu, orang lain sudah mulai berkelahi.

Kongsun Hui sudah mulai menyerang dengan tombaknya kepada Si Beruang Gurun Ha To-Ji.

Baik Kongsun Hui maupun Ha To-ji merupakan jago-jago dalam hal Gwa-kang (Tenaga Luar), maka keduanya seakan-akan telah menemukan lawan yang setimpal.

Dengan bentakan keras Kongsun Hui menggerakkan sepasang ruyung bajanya dengan serempak.

Ruyung kiri menghantam ke pinggul musuh, ruyung kanan menghantam ke pundak, semuanya adalah serangan berkekuatan besar yang dapat meremukkan tulang belulang musuh.

Orang yang bertubuh besar biasanya dianggap berkekuatan hebat namun kurang gesit, tapi anggapan ini tidak berlaku untuk Ha To-Ji.

Si Beruang Gurun Ini ternyata memiliki kegesitan dan kelenturan badan yang tinggi, cepat sekali ia bergeser ke samping, dan sepasang tangannya dengan Jari-Jari terbuka seperti kuku elang telah berusaha mencengkeram ke arah siku dan pergelangan tangan kanan Kongsun Hui Jika kedua sasarannya kena, biasanya lalu siku dan pergelangan tangan itu akan diputar dengan arah berlawanan sehinggga tangan musuh patah, bahkan Ha To-Ji pernah membuat lengan musuhnya copot dari pundaknya.

Cengkeramannya ini berdasarkan ilmu Eang- jiau kang yang dilatihnya sejak kecil.

dengan cara memuntir-muntir segebung potongan bambu.

Melihat gerakan Eng-Jiau-kang (Ilmu Cakar Elang) musuhnya itu, Kong-sun Hui cepat meloncat mundur dan berkata.

"Bagus. He, orang Mongol, kau kelihatannya adalah murid dari Eang-Jiau-bun (Perguruan Cakar Elang). Apakah kau punya hubungan dengan Bok Lau- siang yang berjulukan Tiat-Jiau-sing-eng (Elang Sakti Berkuku Besi) yang menjadi Ketua Eng- Jiau-bun yang sekarang ini?"

Ha- To-Ji menegaskan.

"Mau apa kau tanyakan Suhengku itu?"

Kongsun Hui mengerut kening.

"Kakak seperguruanmu? Dia adalah seorang pendekar yang gigih menentang bangsa Manchu, kenapa kau sebagai adik seperguruannya malah berpihak kepada bangsa Manchu? Tidakkah ini akan merusak nama baik perguruanmu?"

Sahut Ha To-Jl.

"Jalan hidup setiap orang ditentukan oleh pribadinya masing-masing, tidak ada aturannya kalau orang seperguruan harus berpandangan sama pula dalam segala hal. Suhengku menuduh aku gila uang dan kedudukan, aku tidak peduli. Tapi hati kecilku sendiri tahu bahwa aku tidak gila uang dan kedudukan, aku bukan orang serendah itu, aku hanya mengimpikan kejayaan masa lalu seperti di jaman Jengis Khan. Derap kaki kuda pasukan kami akan membikin orang-orani benua barat menggigil ketakutan, dai kapal-kapal kami akan mengarungi laut ke seberang lautan dan membuat kapal-kapal bangsat bule bermata biru itu menjadi penghuni dasar lautan. Itu cita- citaku. Aku mengabdi kebesaran Negara, bukan mengabdi kepada segelintir manusia yang kebetulan merupakan keluarga istana seperti kalian ini.'' "O, rupanya kau juga sudah terbius oleh ucapan orang Manchu yang muluk-muluk itu. Namun sebenarnya mereka itu perampok- perampok yang akan memeras orang Han, Mongol, Uigur dai lain-lainnya sampai kering darahnya. Mereka perampok dan kau ini anjingnya perampok, sama sekali tidak pantas mengaku sebagai laki-laki Mongol. Banyak kukenal laki-laki Mongol yang berdarah panas dan berwatak kesyatria tapi kau ini benar-benar tak berguna."

Muka Ha To-ji berkerut geram mendengar cacian yang pedas itu.

Selama ini ia yakin bahwa ia menjadi prajurit Kerajaan Manchu karena cita-citanya untuk mengembalikan kebesaran Jengis Khan di benua maha luas ini, bukan karena pangkat atau hadiah.

Ucapan Kong Hui itu melukai pendiriannya dan membuat hatinya tersinggung.

Maka begitu bibir Kongsun Hui terkatup rapat, Ha Toji telan menyerang dengan gerakan Hui-tui-hoan-ciang (Menekuk Lutut Sambil Menyodok) yang dilakukan dengan sepenuh tenaga.

Desir angin yang kuat menyertai gerakannya ini, menandakan betapa hebat tenaganya.

Kongsun Hui yang tidak kehilangan kewaspadaan itu segera melangkah surut selangkah untuk mendapat ruang gerak bagi ruyungnya.

Tapi Ha To-ji yang tidak memegang senjata itu tidak ingin terlibat dalam perkelahian jarak panjang yang akan menguntungkan lawannya.

Begitu musuh mundur dan sodokannya luput, diapun mendesak dengan cepat sambil menggunakan kedua tangannya untuk merangkul dan menangkap pinggang Kongsun Hui.

Sekali lagi Kongsun Hui surut selangkah, namun kali ini ia berkesempatan untuk mengayunkan ruyungnya untuk menghantam kening Ha To-Ji.

Ha To-ji yang tengah meluncur maju itu terkejut, tak sempat mundur lagi iapun hanya memiringkan kepalanya untuk menghindari hantaman ruyung baja itu.

Keningnya memang luput, tapi pundaknya kena.

Ha To-ji merasakan pundaknya bagaikan tertimpa reruntuhan bukit batu sehingga pundaknya pegal bukan main, tak kuasa menahan diri lagi iapun terhuyung mundur selangkah.

Tapi yang tidak kurang terkejutnya adalah Kongsun Hui sendiri.

Hantaman ruyung bajanya tadi seharusnya dapat meremukkan pundak lawan dan sekaligus mengakhiri pertempuran, namun ternyata lawan hanya terdorong selangkah, bahkan ruyung baja Kongsun Hui rasanya bagaikan menghantam selapis papan besi dan terpental balik, hampir saja membenjolkan kepalanya sendiri.

Kini Kongsun Hui menyadari betapa tangguh lawannya itu.

"Kiranya orang ini bukan cuma mahir dalam cengkeraman Eng Jiau-kang tapi Juga cukup matang dalam latihan ilmu kebal Kim-ciong-toh (Perisai Lonceng Emas) dan terkamannya ke arah pinggang tadi juga menandakan keahliannya dalam gulat Mongol. Tiga macam ilmu dikuasainya, kelihatannya ia malah lebih tangguh dari kakak seperguruannya. Jika semua perwira Hui-liong- kun berkepandaian setingkat dengan dia, memang harus diakui betapa dahsyatnya pasukan itu."

Kini semua orang yang berada di dalam kuil itu sudah mendapatkan lawannya masing- masing.

Untunglah bahwa Pakkiong Liong tidak mengikut-sertakan prajurit-prajuritnya, dan mereka hanya disuruhnya untuk berjaga-jaga di luar kuil.

Agaknya Pakkiong Liong menyadari jika prajurit-prajuritnya diikut-sertakan maka akan jatuh korban di antara prajurit- prajuritnya, meskipun mungkin penangkapan akan berjalan cepat.

Namun Pakkiong Liong selalu berpendirian bahwa sebisa-bisanya jangan ada korban satupun di pihaknya, tidak peduli itu adalah prajurit rendahan Pakkiong Liong menghargai nyawa orang lain seperti nyawanya sendiri, meskipun dalam tugasnya kadang-kadang tak terhindarkan ia menjadi seorang pembunuh.

Di dalam kuil itu, perkelahian yang paling seru adalah perkelahian antara orang-orang terkuat dari maling masing pihak.

Pertarungan antara Pakkiong liong si Panglima Hui-liong- kun, melawan Tio Tong-hai si bekas Panglima Kerajaan Beng yang dalam perjuangan bawah tanahnya kini ia menyamar sebagai seorang rahib itu.

Masing-masing memiliki nama julukan yang menggambarkan kehebatan mereka masing-masing.

Pakkiong Liong adalah Naga dari Utara dan Tio Tong-hai adalah si Tangan Petir.

Menghadapi golok Tio Tong-hai yang menyambar-nyambar dengan hebatnya itu, ternyata Pakkiong Liong masih belum juga menghunus pedang yang tergendong di punggungnya itu.

Ia masih tetap bertangan kosong.

Tapi dengan telapak tangannya itu ternyata Pakkiong Liong adalah seorang yang benar- benar berbahaya, sebab dari sepasang telapak tangannya itulah terpancar hawa panas yang semakin lama semakin meningkat sehingga akhirnya hampir-hampir tak tertahan lagi oleh Tio Tong-hai, tidak peduli Tio Tong-hai memiliki tenaga dalam yang cukup tangguh.

Itulah ilmu Hwe-liong-sin-kang, ilmu kaum Lama Tibet di kuil Thian-liong-si yang hanya diturunkan kepada murid-murid terbaiknya.

Pakkiong Liong adalah murid terkasih dari Hoat-beng Lama, rahib tua penghuni kamar belakang Thian-long-si yang kepandaiannya begitu tinggi sehingga dikabarkan konon sudah menjadi setengah dewa.

Semua ilmu milik gurunya sudah diserap habis oleh pemuda Manchu ini, maka Pakkiong Liong sering diolok- olok oleh teman-temannya sendiri sebagai "seperempat dewa"

Karena murid dari si "setengah dewa".

Malam itu udara basah diguyur air hujan, hawa udara sebenarnya dingin menggigit tulang, apalagi karena kuil itu terletak di dataran tinggi dekat pegunungan Tiam-jong- san.

Tapi setelah ilmu Hwe-liong-sin-kang dikeluarkan, maka suhu dalam kuil itu mulai meningkat dan akhirnya panas luar biasa seperti dalam tanur peleburan logam.

Dalam jarak lima atau tujuh langkah dari tubuh Panglima itu, udara terasa menghanguskan kulit, sehingga baik kawan maupun lawan lebih suka menjauhkan diri dari Panglima yang hebat itu.

Mereka lebih suka menjauhkan diri dari Panglima yang hebat itu.

Mereka lebih suka turun ke halaman kuil dan bertempur di bawah siraman hujan lebat.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Jika orang-orang yang berjarak beberapa langkah saja tidak tahan oleh hawa panas itu, apalagi Tio Tong-hai yang menjadi lawan langsung dari Pakkiong Liong.

Menjadi sasaran langsung dari ilmu yang luar biasa itu.

Tetapi Tio Tong-hai tidak akan mundur, dengan nekad dikerahkannya seluruh daya tahan tubuhnya dan ilmunya untuk bertempur habis-habisan.

Di dalam hatinya Tio Tong-hai sudah punya rencana untuk mengorbankan diri demi keselamatan Pangeran dan rekan-rekan seperjuangannya.

Terutama Pangeran Cu Hin- yang sendiri, sebab ia adalah keturunan Kaisar Cong-seng meskipun hanya dilahirkan oleh seorang selir yang tersingkir dari istana.

Tio Tong-hai telah berani memilih Pak-kiong Liong sebagai lawannya, berarti ia pun siap menerima akibat apapun dari pilihannya sendiri itu.

Asal ia dapat menjadikan Pakkiong Liong luka parah, Pangeran dan tenian-temaimya akan punya kesempatan besar untuk lolos.

Tanpa pakkiong Liong yang bagaikan malaikat utusan neraka itu, maka perwira-perwira Manchu lainnya bisa ditembus meskipun harus dengan perjuangan berat pula.

Dengan tekad berkorban itulah maka Tio Tong-hai menemukan kekuatan dalam jiwanya, sehingga diapun sanggup meladeni Pakkiong Liong bertempur dengan gigih luar biasa.

Golok di tangannya berputar kencang bagaikan baling- baling yang terhembus oleh badai yang maha dahsyat, sementara tanga kirinyapun setiap ada kesempatan selalu melepaskan pukulan- pukulan Pek-lek-jiu yang kehebatannya menyaing guntur yang bersambung di udara.

Pakkiong Liong Juga tidak berani meremehkan lawannya.

Meskipun Panglima itu yakin bahwa kemenangan tetap akan diraihnya, tapi ia tidak mau terburu-buru dan menimbulkan kekeliruan bertindak.

Lawannya bukan lawan empuk.

Lawannya berilmu tinggi, gigih dan bahkan nekad, sehingga Pakkiong Liong harus sangat berhati-hati dalam menghadapinya.

Bila perkelahian di kuil itu dilihat secara keseluruhan, nampaklah bahwa pihak Manchu lebih unggul.

Yang kelihatan seimbang hanyalah Kongsun Hui melawan Ha To-ji.

Teman-teman Kongsun Hui lainnya, termasuk Pangeran Cu Hin-yang sendiri, agaknya benar-benar terdesak oleh lawannya masing-masing.

Keadaan benar- benar gawat bagi para pengikut setia dinasti Beng itu.

Tio Tong-hai sudah mulai terdesak oleh Pakkiong Liong meskipun Pakkiong Liong belum mencabut pedangnya.

Pangeran Cu Hin- yang yang memainkan ilmu pedang dari Hoa- san-pay itu juga terdesak oleh Le Tong-bun yang memainkan ilmu pedang Heng-san-pay dengan tangkasnya.

Seorang pengikut Pangeran yang bertubuh tegap dan bersenjata tombak panjang, agaknya mengalami kesulitan ketika menghadapi Tokko Yan, si perwira bangsa Manchu yang bersenjata pedang melengkung yang tajamnya seperti pisau cukur itu.

Sedang Tokko Yan sendiri adalah seorang yang lincah, suatu saat ia berlincahan seperti seekor kupu-kupu, di lain saat ia menerkam seperti seekor harimau kelaparan.

Pengikut Pangeran itu sudah luka- luka di seluruh tubuhnya.

Tapi orang itu terus berkelahi seperti orang kesurupan setan, tanpa peduli darah yang terus menetes dari tubuhnya.

Kesetiaannya kepada junjungannya telah membuat orang itu mata gelap.

Sementara itu perwira Kerajaan Manchu lainnya, Han Yong-kim, memegang pedangnya yang bertangkai panjang itu dengan dua tangan.

Ia pernah berguru di Jepang dan cara memainkan pedangnyapun seperti gaya para samurai di kepulauan seberang sana.

Jepang memang dekat letaknya dengan Korea, negeri asal Han Yong-kim.

Lawan Han Yong-kim adalah seorang pengikut Pangeran yang bersenjata pedang pula, namun nampaknya tenaganya sudah hampir habis karena kelelahan.

Setiap kali ia harus menangkis pedang samurai Han Yong- kim yang digerakkan dengan disertai bentakan- bentakan menggelegar yang menciutkan nyali, dan pengikut Pangeran itu sudah merasa tangannya pegal bukan main sebab tenaga Han Yong-kim ternyata dahsyat sekali.

Suatu ketika Han Yong-kim mengangkat tinggi-tinggi pedangnya dan menyabetkannya bagaikan gunung runtuh, pengikut Pangeran itu mencoba menangkis dengan sisa-sisa tenaganya, tapi pedangnya segera terpental jatuh karena kalah kuat.

Buru-buru pengikut Pangeran itu melompat hendak menjemput pedangnya kembali, tapi Han Yong-kim telah menendang pinggangnya sehingga terhuyung- huyung, lalu tanpa kenal ampun pedang samurainya menyabet mendatar dan membelah perut pengikut Pangeran itu.

Pengikut Pangeran itu ambruk, darahnya bercampur dengan air hujan, meresap ke bumi yang dibelah nya.

Pangeran Cu Hin-yang dan lain-lainnyapun mendengar jerit kematian rekan mereka itu.

Dan jerit kematian itu tak ubahnya lonceng kematian bagi pihak mereka.

Kekalahan sudah jelas, cepat atau lambat.

Han Yong-kim yang kehilangan lawan itu tentu tidak akan menganggur saja, dengan demikian Pangeran dan pengikut-pengikutnya itu tinggal menunggu untuk dibantai satu persatu.

Han Yong-kim memang tidak mau tinggal diam.

Dilihatnya pertarungan antara Pakkiong Liong dan Tio Tong-hai berlangsung seperti naga dan harimau.

Tio Tong-hai terdesak namun masih melawan dengan gigih.

Han Yong- kim tidak bermaksud mencampuri pertarungan itu, sebab selain merasa ilmunya masih belum pantas untuk ikut dalam pertarungan ilmu tingkat tinggi itu.

ia juga tidak mau Pakkiong Liong menjadi tersinggung karena dibantu.

Lalu Han Yong-kim melihat pertempuran antara Ha To-Ji dan Kongsun Hui masih berlangsung dengan seimbang, tanpa diketahui siapa yang akan menang dan siapa yang akan terkapar sebagai bangkai di kuil terpencil itu.

Maka Han Yong-kim lalu mengambil keputusan untuk lebih dulu membantu Ha To-ji membereskan Kongsun Hui.

Kini Kongsun Hui harus melawan dua orang sekaligus, dan ini tentu saja sangat memberatkannya.

Melawan Ha To-ji saja ia hanya bisa seimbang, apalagi kini ditambah dengan Han Yong-kim yang kepandaiannya setarap dengan Ha To-ji.

Sabetan-sabetan pedang samurai Han Yong-kim begitu deras, cepat dan mengincar tempat-tempat yang mematikan.

Itulah ciri-ciri seni pedang Kenjitsu dari Jepang.

Gerakan-gerakannya serba sederhana, cepat kuat dan terarah, didukung dengan langkah-langkah yang pendek-pendek.

Kini Kongsun Hui dipaksa untuk bertahan saja dengan rapatnya, sambil menantikan kekeliruannya sekecil apapun di pihak lawan yang bisa dimanfaatkannya.

Di bagian lain, meskipun Tio Tong hai menghadapi keadaan gawat, tapi ia menyempatkan diri untuk melirik dan menilai keadaan seluruh arena.

Ia melihat bahwa orang- orang di pihaknya mulai terhimpit kesulitan besar.

Hal itu membuat Tio Tong-hai mengertakkan giginya dan semakin bulatlah tekadnya untuk mengorbankan diri.

Ia harus bisa membunuh Pakkiong Liong tewas atau paling tidak luka parah, dan diharapkannya Jatuhnya Pakkiong Liong akan me runtuhkan semangat anak buahnya, sehingga Pangeran dan pengikut-pengikut nya sempat meloloskan diri.

Ketika itu Pakkiong Liong melancarkan sebuah Jurus yang disebut Tui Jong-bong-goat (Mendorong Jendela memandang Rembulan).

Kedua, telapak tangannya yang panas itu melakukan gerakan berputar berlawanan arah, lalu "menggunting"

Lambung Tio Tong-hai dari kiri dan kanan.

Segulung hawa panas bergulung kencang ke tubuh Tio Tong-hai dari kiri dan kanan.

Telapak tangan Pakkiong Liong itu bukan saja berbahaya karena udara panasnya, tapi juga mengandung kekuatan yang sanggup membelah batu sebesar anak kerbau.

Tubuh Tio Tong-hai bukan hanya terancam hangus tapi juga terancam rontok seluruh tulang- belulangnya.

Demikian dahsyat serangan Pakkiong Liong itu.

Hampir saja Tio Tong-hai mundur carena tekanan kekuatan yang seolah dari dasar neraka itu.

Tapi tiba-tiba Tio Tong-hai teringat akan tekadnya, lalu di dalam hatinyapun dia berkata.

"Saat pengorbanan telah tiba. Pangeran junjunganku dan sahabat-sahabatku selamat tinggal dan selamat berjuang!"

Dengan tekad seperti itu di dalam hatinya, ia mendapat kekuatan untuk tidak mundur setapakpun.

Kedua telapak tangan musuh yang memukul lambungnya tidak dipedulikannya lagi, malahan dibarenginya dengan bacokan jurus Te-lai-hong-sing (Gempa Menimbulkan Badai) ke leher Pakkiong Liong, sementara tangan kirinyapun tak ketinggalan menghantam sekuat tenaga ke ulu hati Pakkiong Liong dengan ilmu Pek-lek-jiu.

Inilah serangan yang mengajak lawan untuk gugur bersama.

Ternyata Pakkiong Liong sendiri terkejut melihat sikap nekad lawann itu.

Bukannya Panglima Manchu takut mati, tapi sebagai pihak yang sudah di ambang pintu kemenangan tentu saja ia enggan diajak mati bersama seperti itu.

Itu berarti keuntungan buat lawannya.

Tapi Pakkiong Liong berilmu tinggi dan kaya dengan penga laman, pada detik-detik membahayakan itu ia dengan tangkasnya menyurut mundur sambil mengubah jurusnya menjadi Hun-im-ki- giat (Memisah Mega Merebut Rembulan), sebuah gerakan bertahan kedua telapak tangan berputar kencang saling melindungi, membentuk perisai tubuh yang rapat.

Namun dibalik kerapatan pertahanannya itu tersembunyi jurus serangan balik yang setiap saat bisa dilontarkan keluar.

Sekali lagi udara sepanas api neraka bagaikan berpusar kencang, enam atau tujuh langkah di sekitar tubuh kedua orang yang bertempur itu udara panas tak tertahankan lagi, kecuali oleh Tio Tong-hai yang tidak lagi memikir nyawanya itu.

Tio Tong-hai mengentakkan giginya.

Jurusnya sama sekali tidak dirubah, malahan kekuatannya ditambah dan dibarengi dengan loncatan ke depan bagaikan harimau lapar.

Bagaimanapun Pakkiong Liong berusaha menghindari adu nyawa itu, tapi ia cuma berhasil sebagian saja, lawannya terlalu nekad.

Detik-detik terakhir sebelum golok Tio Tong-hai mengenai lehernya, Pakkiong Liong sempat memiringkan tubuh sambil mencondongkan tubuhnya sedikit ke belakang, sehingga golok Tio Tong-hai cuma menancap di pundaknya.

Tapi tinju kiri Tio Tong-hai berhasil "mengendor"

Dada Pakkiong Liong meskipun tidak terlalu telak pula karena gerakan miring Pak-kiong Liong itu.

Sebaliknya telapak tangan kanan Pak-kiong Liong yang bagaikan besi merah membara itu berhasil memukul telak dada Tio Tong-hai karena Tio Tong-hai sendiri yang meloncat maju itu.

Terlihat Pakkiong Liong berdesis menahan sakit sambil terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.

Golok Tio Tong-hai masih terjepit di daging pundaknya, sementara dengan muka pucat pasi ia memuntahkan segumpal darah hitam dari mulutnya.

Namun ketangguhan Pakkiong Liong terlihat, ia tidak roboh dan masih tetap berdiri tegak dengan garangnya.

Sebaliknya Tio Tong-hai yang terhantam oleh telapak tangan yang berisi Hwe-liong-sin- kang itu, tubuhnya terpental ke belakang bagaikan dilemparkan oleh sebuah tangan raksasa maha kuat.

Tubuhnya terbanting di lantai berlumut dengan derasnya.

Ia hanya terlihat menggeliat sedikit, mencoba meronta dari terkaman malakul maut, namun sia-sia, sebab sang maut benar-benar telah menjemputnya.

Bagian dadanya terlihat hangus seperti terbakar bukan saja pakaiannya telah menjadi abu, bahkan dagingnyapun nyaris menjadi arang dengan tulang-belulang yang hancur lebur.

Itulah kehebatan pukulan Hwe- sebaliknya telapak tangan kanan Pakkiong Liong yang bagaikan besi merah membara itu berhasil memukul telak dada Tio Tong-hai karena gerakan Tio Tong-hai sendiri yang meloncat maju.

liong-sin-kang yang mengangkat Pakkiong Liong sebagai tokoh puncak dunia persilatan.

Untuk sesaat orang-orang yang berkelahi itu menjadi terhenti, suasana sunyi seperti di kuburan.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baik kawan maupun lawan sama-sama membutuhkan waktu untuk menenangkan debaran jantung mereka setelah melihat ada ilmu yang luar biasa itu.

Pihak Pangeran Cu Hin-yang kini mulai menilai diri sendiri.

Pihaknya sudah berkurang dua orang, bahkan termasuk Tio Tong-hai yang dianggap sebagai tulang punggung kekuatan mereka itu.

Sebaliknya pihak lawan belum seorang seorangpun.

Pakkiong Liong luka namun tidak mati, dan agaknya masih dan mampu bertempur meskipun tidak penuh tenaga.

Sementara di bagian luar kuil itu masih ada puluhan pra-rit Manchu yangg belum digerakkan, jadi Pangeran dan sisa-sisa pengikutnya sudah seperti ikan di dalam bubu, tidak ada lagi kesempatan untuk lolos kecuali terjadi suatu keajaiban.

Dengan mengertakkan giginya Pakkiong Liong mencabut golok Tio Tong-hai yang masih hinggap di pundaknya, lalu dengan sebelah tangan ia menaburkan obat bubuk pemampat luka, dan dibantu oleh Han Yong-kim ia membalut luka-luka itu dengan robekan bajunya sendiri, dan setelah lukanya dibalut, Pakkiong liong masih saja nampak tangguh, meskipun mukanya agak pucat.

Menggunakan kesempatan selagi perkelahian terhenti, pakkiong Liong berkata kepada Pangeran.

"Pangeran Cu, terimalah kenyataan bahwa perlawanan kalian tidak akan ada gunanya lagi kecuali untuk bunuh diri. Aku tawarkan lagi satu kesempatan untuk bertindak bijaksana, kalian menyerah dan memberi kesempatan kepada pemerintah kami untuk memikirkan kesejahteraan rakyat bukan cuma disibukkan oleh pembangkang- pembangkang seperti kalian ini. Jika kalian menyerah, kami akan memperlakukan kalian sesuai dengan martabat kalian sebagai keluarga istana, meskipun dinasti kalian itu sudah tidak ada lagi. Kami bukan orang-orang kejam yang memperlakukan tawanan seenaknya sendiri saja."

Pangeran melirik ke arah mayat Tio Tong- hai yang hangus itu dengan gejolak perasaannya yang hampir tak terkendali. Ia berbisik lirih seolah hanya untuk didengarnya sendiri.

"Lagi- lagi seorang prajurit sejati telah gugur membela pendiriannya. Arwahnya pasti akan mencaci- maki aku jika aku menghentikan perjuangan ini, dan hati nuranikupun akan selalu mendakwa seumur hidupku... Meskipun kata-kata itu setengah berbisik, namun karena suasana kuil itu sangat sunyi maka Pakkiong Liong ndengar juga. Sahutnya sambil tertawa dingin.

"Ini adalah masalah antaras kenyataan yang benar-benar ada dengan angan-angan kosong, tidak ada sagkut pautnya dengan hati nurani segala. Di satu pihak ada kenyataan yang tak dapat diganggu- gugat bahwa kerajaan Manchu sudah berdiri kokoh kuat, tak akan tergoyahkan lagi untuk ratusan tahun. Di lain pihak adalah api kosong belaka untuk mendirikan ajaan Beng yang sudah diruntuhkan rakyatnya sendiri itu. Jalannya arah tidak mungkin diputar balik lagi. Pangeran, coba gunakan akal sehatmu ."

Pangeran Cu Hin-yang tidak menjawab perkataan Pakkiong Liong itu, ia hanya mendengus dengan hidungnya. Ia menoleh kepada Kongsun Hui dan seorang sisa pengikutnya yang masih hidup, tanyanya.

"Kalian dengar tawaran orang Manchu ini? Kalian ingat sumpah kalian ketika masuk menjadi anggota gerakan bawah tanah kita?"

Kongsun Hui dan seorang teman itu bagaikan terbakar hatinya, mereka serentak mengangkat senjata mereka berteriak serempak mengulangi sumpah mereka dulu.

"Seng-wi-beng-jin, Si-wi beng-kui (hidup sebagai rakyat Kerajaan Beng, mati menjadi hantu Kerajaan Beng)!"

Wajah Pangeran ikut memerah, serunya.

"Bagus. Kita akan bertempur sampai titik darah terakhir demi cita-cita kita!"

Meskipun Pakkiong Liong berwajah dingin- dingin saja melihat sikap orang-orang dinasti Beng itu, namun dalam hatinya timbul rasa hormat akan ketegguhan hati orang-orang itu.

Ia merasa sayang akan kematian orang-orang itu namun demi tugasnya ia harus menumpas mereka sebab orang-orang itu jika dibiarkan lolos akan mengacau lagi di tempat lain.

Kata Pakkiong Liong.

"Baiklah. Kalian memang keras kepala. Aku sudah menawarkan jalan lain yang lebih baik daripada mati konyol, namun kalian memilih mati konyol. Jika kalian memilih menjadi hantu Beng daripada rakyat Manchu, kami pun akan berbaik hati untuk membunuh kalian, biar arwah-arwah kalian menghuni kuil kosong ini sebagai hantu-hantu penasaran. Kelak penduduk di sekitar sini akan bercerita kepada anak-cucu mereka bahwa di kuil ini ada hantu-hantu konyol Kerajaan Beng."

Para perwira Kerajaan Manchu itu-pun segera mempersiapkan diri untuk menuntaskan tugas mereka.

Karena mereka yakin bahwa kemenangan sudah pasti di pihak mereka, maka ketegangan mereka agak mengendor.

Bahkan si perwira Manchu Tokko Yan sempat membuat lelucon.

"Kawan-kawan, malam ini kita mendapat pekerjaan yang aneh... ."

"Pekerjaan apa?!"

Tanya Han Yong-kim.

"Membuat hantu,"

Sahut Tokko Yan.

"Bahan- bahan mentahnya sudah tersedia di depan kita. Ayo cepat-cepat kita kerjakan!"

Perwira-perwira lainnyapun tertawa mendengar senda-gurau rekan mereka itu, namun mereka dengan waspada tetap memperhatikan ketiga orang calon korban mereka itu.

Meskipun tinggal tiga orang, jika nekad mengadu nyawa akan cukup berbahaya juga.

Di pihak pengikut dinasti Beng, karena merekapun sudah pasrah nasib untuk mati, maka ketegangan merekapun justru mengendor pula, bahkan Kongsun Hui kemudian membalas ejekan musuhnya.

"Barangkali kuil ini akan dihuni beberapa hantu Beng, melainkan juga beberapa hantu Manchu dan penjilat- penjilatnya."

Kemudian kedua belah pihak kembali terlibat dalam pertempuran yang sengit.

Tapi dengan keseimbangan tiga lawan lima, maka Pangeran dan pengikut pengikutnya rupanya betul-betul akan menjadi hantu-hantu gentayangan.

Pak-kiong Liong yang terluka itupun tidak tinggal diam, ia ikut berkelahi juga meskipun harus memainkan pedangnya dengan tangan kiri, sebab pundak kanannya sudah luka oleh bacokan Tio Tong-hai tadi.

Gerak-geriknya juga tidak setangkas semula, sebab isi dadanya masih terasa nyeri.

Tengah baku hantam itu meningkat semakin sengit dan kedua belah pihak semakin nekad, tiba-tiba dari luar kuil itu terdengar suara ribut- ribut, teriakan saling memaki dan bahkan juga suara gemerincing senjata berbenturan.

Terdengar sebuah bentakan yang menggelegar.

"Bangsat-bangsat Manchu, kalian berani berkeliaran di tempat ini berarti menyetorkan nyawa kalian!"

Di dalam kuil, wajah Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya berubah hebat ketika mendengar seruan yang nadanya bermusuhan dengan pihak pemerintah itu.

Tentu ada sekelompok penentang pemerintah, entah dari kelompok yang mana, telah datang ke tempat itu dan langsung bentrok dengan prajurit- prajurit yang bertugas menjaga di luar kuil.

Pemandu jalan suku Biao sudah menceritakan tentang adanya tiga kelompok penentang pemerintah Manchu yang bersarang di kawasan ini, sekarang yang datang ini entah kelompok yang mana? Sementara suara pertempuran di bagian luar itu masih kedengaran dan malahan semakin seru.

Agaknya jumlah penyerang cukup banyak, tetapi prajurit-prajurit bawahan Pakkiong Liong melawan dengan gigihnya.

Teriakan saling memaki terdengar dari kedua belah pihak.

Jika satu pihak memaki "Penjajah Manchu"

Maka pihak lainnya membalas dengan "pengacau liar". Wajah Pakkiong Liong berkerut menghadapi perkembangan yang sama sekali tidak diharapkannya ituj Geramnya.

"Entah gerombolan liar dari mana ini, yang berani menentang hamba-hamba negara yang tengah mengemban tugas? Ha To-ji, coba kau lihat, keluar dan kemudian laporkan secepatnya kepadaku"

"Baik, Ciangkun!"

Sahut Ha To-ji mantap, lalu ia pun meloncat keluar dari arena dan kemudian melangkah keluar dengan langkah lebar.

Namun sebelum orang Mongol itu melangkahi ambang pintu kuil yang tadi dirobohkannya, maka di ambang pintu kuil itu telah muncul tiga orang lelaki yang menghadang jalan.

Mereka seolah-olah muncul begitu saja dari kegelapan malam karena pakaian mereka yang berwarna gelap.

Disorot cahaya api unggun yang masih menyala di dalam kuil, nampaklah orang yang berdiri di tengah itu bertubuh agak gemuk dan berkulit putih, wajahnya tidak menakutkan, bahwa pipinya kemerah-merahan seperti bayi.

Namun sinar matanya justru tajam menusuk.

Pakaiannya serba hitam, di pinggangnya tergantung sepasang senjata yang langka di dunia persilatan, yaitu sepasang roda yang disebut Jit-goat-siang-lun (SepasangRoda Matahari dan Rembulan).

Dua orang lelaki yang berdiri di kiri kanannyapun menunjukkan sikap yang menandakan bahwa merekapun orang yang cukup tangguh dalam ilmu silat.

Yang satu menenteng toya Ce-bi-kun (Toya Setinggi Alis) yang agaknya terbuat dari baja karena berwarna kehitam-hitaman.

Satunya lagi memanggul sebuah golok bertangkai panjang, sepanjang tangkai tombak, yang dikenal dengan nama golok Koan-to, karena golok itu jaman dulu merupakan senjata dari tokoh sejarah di jaman Sam-kok, yaitu Koan In-tiang alias Koan Kong.

Hanya saja, jika golok Koan-to umumnya tebal dan berat, maka golok Koan-to.

yang dipanggul orang itu agak kecil dan nampaknya ringan, sehingg memungkinkan untuk dimainkan dengar lebih lincah.

Ha To-ji yang tak pernah gentar kepada siapapun itu, kini membentak ketiga orang yang menghadang di pintu kuil itu.

"Kami adalah prajurit-prajurit pemerintah yang tengah mengemban tugas, melawan kami berarti melawan Kerajaan dan Kaisar, ancamannya hukuman mati. Minggir kalian!"

Lelaki berwajah "bayi sehat"

Yang di tengah- tengah itu tertawa lebar dan menjawab.

"Jangan menakut-nakuti kami dengan menyebut nama Kaisar berkuncirmu itu. Kami anggauta-angauta Hwe-liong-pang tidak gentar kepada kalian! Jadi kalian sajalah yang menyerah untuk kami adili!"

Ha To-ji mengerutkan alisnya, tiba-tiba ia ingat akan keterangan penunjuk jalan suku Biao tadi tentang kelompok Hwe-liong-pang ini. Katanya.

"He, jadi kalian dulu adalah pendukung-pendukung Li Cu-seng dalam pemberontakannya melawan Kerajaan Beng?"

Sahut si lelaki gemuk itu.

"Ya, dulu kami mendukung Li Cu-seng karena tindakannya sejalan dengan cita-cita kami yang ingin membebaskan rakyat dari tindasan Kaisar lalim. Dulu rakyat ditindas Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng, sekarang ditindas Kaisar Sun-ti dari dinasti Manchu, maka perjuangan kami belum selesai."

Ha To-ji tertawa.

"Kalian orang-orang gunung ini memandang perubahan-perubahan tata pemerintahan menurut, selera kalian sendiri saja. Kerajaan Manchu justru membebaskan rakyat Han dari kesengsaraan akibat pemerintahan Cong-ceng dan Li Cu-seng yang sama-sama tidak becus memerintah itu. Jika kalian benar-benar pembela rakyat, lihatlah ke dalam kuil, di sana ada pengikut-pengikut Cong-ceng yang sampai sekarangpun masih suka mengacau dan menakut-nakuti rakyat yang sebenarnya sudah tenteram di bawah kekuasaan yang sekarang. Merekalah musuh kalian. Bukannya kami yang justru selalu berusaha menegakkan ketertiban ini."

Tapi orang yang membawa toya baja Ce-bi- kun itu tiba-tiba tertawa geli, sehingga Ha To-ji membentaknya.

"Hei, apa yang kau tertawakan?"

Jawab orang itu.

"aku mentertawakan kau. Orang bertampang mirip kerbau dogol seperti kau ini ternyata berani bicara panjang lebar tentang urusan negara pula, malah kau juga pintar bersilat lidah untuk mengadu domba orang. Agaknya tadi aku terlalu memandang rendah tampang keledaimu..."

"Kurang ajar!"

Bentak Ha To-ji marah.

Secepat burung elang menyambar dia telah meloncat maju dan dengan sepasang tangannya yang mencengkeram ia hendak membanting roboh orang yang telah mengejeknya itu.

Namun orang-drang yang mengaku sebagai orang-orang Hwe-liong-pang (Perkumpulan Naga Api) itupun segera melompat berpencaran begitu melihat Ha to-ji bergerak.

Masing-masing menampakkan kegesitan gerakannya, menampakkan mereka cukup terlatih baik.

Namun Ha To-ji bukannya kelas kambing, biarpun tubuhnya besar tapi tidak mengganggu kelincahannya begitu serangannya menemui tempat kosong, dengan sigap ia menghentikan luncuran tubuhnya dan sekaligus memutar pinggangnya, berganti arah menyerang lelaki yang di pinggangnya membawa sepasang roda Jit-goat-siang-lun itu.

Kedua tangannya mencoba meraih pinggang untuk kemudian dipatah-kannya sesuai dengan jurus gulat Mongolnya.

Tapi lelaki itupun percaya kepada kekuatannya, meskipun badannya tidak sebesar tubuh Ha To-ji.

Dengan kuda-kuda yang kuat menancap tanah, ia menyongsong serangan Ha To-ji tanpa sedikitpun berusaha menghindarinya, tanpa ragu-ragu ia mementang kedua tangannya ke kiri dan kanan untuk membentur kedua lengan Ha To-ji secara keras lawan keras.

Diam-diam Ha To-ji bersorak di dalam hati melihat sikap lawannya itu, dianggapnya lawannya telah berbuat kesalahan yang akan memberi peluang kepadnya.

Jika dua pasang tangan berbenturan, aku akan mencengkeram ke-dua pergelangan tangannya dan langsung memuntirnya patah, demikian rencana Ha To-ji di dalam hatinya.

Namun kesudahannya ternyata di luar perhitungan si Beruang Gurun itu, Tangan- tangan maha kuat dari si Beruang Gurun itu ternyata membentur sepasang tangan yang tidak kalah kuatnya, bahkan Ha To-ji terdorong mundur tiga langkah.

Ha To-ji terkesiap, tapi lelaki baju hitam itupun juga terkesiap karena kekuatan lawannya mampu membuat lengannya linu untuk sesaat.

Setelah pulih ketenangannya, Ha to-ji bertanya.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Kau...kau pemimpin pecahan Hwe- liong-pang yang bernama Ma Hiong dan berjulukan Siau-lo-cia ( Dewa Lo-cia Kecil) itu?"

Lelaki baju hitam itu menyahut.

"Bagus kalau anjing-anjing Kaisar seperti kalian mengenal aku. Kelak arwah kalian tidak akan bergentayangan mengganggu manusia jika tahu siapa yang membunuh kalian."

Baik pihak Pakkiong Liong maupun pihak Pangeran Cu Hin-yang segera menyadari bahwa kekuatan baru yang tengah memasuki arena itu adalah kekuat yang tidak dapat dianggap remeh.

Masing-masing pihak sudah pernah mendengar nama besar Siau-lo-cia Ma Hiong sebagai pentolan Hwe-liong-pang yang ditakuti.

Apalagi kini Siau-lo-cia Ma Hiong datang dengan membawa sejumlah anak buahnya yang tangguh pula.

Pakkiong Liong maupun Pangeran Cu Hin- yang mempunyai sikap tertentu terhadap orang-orang Hwe-liong-pang yang dulunya merupakan pendukung-pendukung Li Cu-seng si pemberontak terhadap dinasti Beng itu.

Pakkiong Liong selalu berpendapat, bahwa kelompok Hwe-liong-pang, sanmgat berbahayanya dengan kelompok-kelompok penentang pemerintah Manchu lainnya sehingga suatu saat kelak kelompok ini harus ditumpas pula.

Sebaliknya Pangeran Cu Hin- yang dan pengikti-pengikutnya sebagai orang- orang dinasti Beng tentu sulit melupakan bahwa orang prang Hwe-Liong-pang adalah musuh besar mereka.

Ketika laskar pemberontak Li Cu-seng menyerbu Istana Kerajaan Beng dulu, orang-orang Hwe-lion- pang ini menjadi ujung tombak dari serbuan itu, sehingga seolah senjata orang-orang Hwe-liong- pang belum kering dari darah para prajurit Beng dan keluarga istana Beng yang waktu itu mempertahankan Istana dengan mati-matian.

Tapi pihak Hwe-liong-pang sendiri tidak akan melupakan betapa banyak teman-teman mereka yang mati dipenjara karena disiksa oleh prajurit-prajurit Beng semasa masih berkuasa, dan lebih banyak lagi teman mereka yang gugur di luar kota Pak-khia ketika membendung serbuan balatentara Manchu.

Dengan demikian, di dalam kuil itu sekarang ada tiga pihak yang berlainan berhadapan dengan kekuatannya masing-masing, dan juga dengan pendirian teguhnya masing-masing.

Jika masing-masing pihak tetap berdasarkan sejarahnya masing-masing, maka akan terjadi perkelahian segitiga di kuil itu.

Tidak ada satu pihakpun yang akan mau bersekutu dengan pihak lainnya untuk memukul sisanya.

Sementara pengawalnya yang bersenjata toya baja Co-bin-kun itu telah mengawal Siau- lo-cia Ma Hiong masuk ke dalam arena yang tegang itu, maka seorang anak buah Ma Hiong yang bergolok koan-to itu telah berkelahi melawan Ha To-ji dengan sengitnya.

Ma Hiong menyapukan pandangannya kepada wajah-wajah di dalam kuil sambil tertawa dingin ia berkata.

"Seak kalian masuk wilayah Hun-lam ini aku sudah tahu siapa kalian, dan napas kalian, dan napas kalian yang busuk penuh ketamakan itu telah membuat udara pegunungan ini jadi busuk pula. Yang satu pihak adalah anjing-anjingnya Kaisar Manchu yang memburu korban dengan rakusnya, yang lain adalah pengikut-pengikut setia si tolol Cong-ceng yang merasa bahwa negeri ini adalah milik mereka, padahal mereka pernah menjerumuskan negeri ini ke jurang kemelaratan. Hemm, memuakkan sekali. Seperti dua ekor anjing berebut tulang. Berebutan tahta, tapi rakyat yang paling berkepentingan justru tidak kalian pedulikan pendapatnya sama sekali.!"

Baik Pakkiong Liong maupun Pangeran Cu Hin-yang sama-sama menjadi merah padam mukanya ketika mendengar caci-maki Ma Hiong yang pedas itu.

Tapi Pangeran yang merasa bahwa pihaknya rang terlemah dalam permusuhan segitiga itu, berusaha untuk menahan diri dan bersikap lebih cerdik, apalagi ia mengemban tugas dari kakaknya, Pangeran Cu Leng-ong, untuk menghubungi semua gerakan yang melawan Manchu, tidak peduli bagaimanapun kiblat mereka di masa lalu.

Entah bekas pengikut Li cu-seng, entah bekas pengikut Pangeran Pangeran Beng lainnya seperti Cu Yu-Long dan Cu Gi-yap, entah gerakan yang berdiri sendiri-sendiri, semuanya harus dihubungi dan diajak bersatu dalam satu barisan besar.

Pokoknya bangsa Manchu harus lebih dulu terusir dari tanah air, begitu pesan Pangeran Cu Leng-ong masih jelas terngiang di telinga Pangeran Cu Hin-yang.

Dan kelompok sisa-sisa Hwe-liong-pang yang bertebaran di mana-mana dan menjadi kelompok sendiri- sendiri itu, termasuk dalam daftar yung harus dirangkul untuk dijadikan teman.

Karena tujuan yang lebih besar itulah maka Pangeran tidak membalas caci-maki Ma Hiong itu, ditekannya peraaaannya yang bergejolak.

Malah dengan sikap sopan ia memberi hormat kepada Ma Hiong sambil berkata.

"Saudara ini tentunya adalah Ma Hlong dari Hwe Liong-pang yang terkenal sebagai pembela rakyat kecil, Memang harus diakui bahwa ayahanda Cong- ceng adalah seorang Kaisar yang lemah, namun kesalahannya yang bertumpuk-tumpuk itu sudah detebusnya dengan kematiannya yang hina, yang tidak sesuai dengan martabat seorang raja, yaitu menggantung diri. Saudara, maukah memaafkannya? Dan tentang orang- orang Manchu ini, berhakkah mereka menyerbu negeri kita dengan senjata dan kemudian mengaturnya sesuai dengan kehendak mereka sendiri?"

Sikap Pangeran itu diluar dugaan Ma Hiong, sesaat ia terpaku tak dapat menjawab, tapi akhirnya iapun menganggukkan kepalanya sedikit untuk membalas penghormatan Pangeran Cu Hin-yang itu. Sahutnya.

"Bagus, kau adalah bangsawaan Kerajaan Beng yang dengan jantan berani melihat keburukan diri sendiri, itu jarang ada. Biasanya para pengikut Kerajaan Beng selalu enggan melihat diri sendiri, tapi lebih suka mencari kambing hitam ke kanan tiri, menganggap diri mereka sendiri paling benar. Ambruknya Kerajaan Beng dibebankan kesalahannya kepada Li Cu-seng, Co Hua-sun, Bu San-kui dan entah siapa lagi, tapi tidak menyadari bahwa yang menyebabkan ambruknya negara adalah mereka sendiri yang menjadi cengeng karena hidup mewah dan tak becus mengurus negara. Tapi kau agaknya lain dari mereka. Nah, untuk sementara kita bisa bertempur bersama-sama untuk mengusir anjing-anjing Manchu ini!"

"Bagus!"

Sahut Pangeran.

"Biarpun kita pernah bermusuhan di masa lalu, tapi sebagai sesama anak negeri ini, kita harus melupakan permusuhan kita dan menghadapi musuh kita bersama! "

Sedang Pakkiong Liong dan perwira-- perwiranya merasa bahwa pekerjaan mereka akan bertambah berat dengan terjadinya persekutuan antara Pangeran dan orang-orang Hwe-liong-pang itu, namun mereka tidak takut dan tetap merasa yakin akan dapat menyelesaikan tugas yang betapapun beratnya.

Pakkiong Liong tertawa mengejek.

"Hemm, kalian hanya berlagak rukun di hadapan kami, tapi siapa yang tak tahu bahwa kalian masing- masing sama-sama bernafsu untuk merebut tahta bagi kepentingan golongan kalian masing- masing? Dan andaikata kalian benar-benar bersatu, kalian kira kalian akan bisa menumbangkan pemerintahan sah yang sudah berakar kuat di benua ini? Itu hanya mimpi di siang bolong!"

Ma Hiong menjawab.

"Jangan membual, orang Manchu. Aku memang pernah mendengar betapa perkasanya Panglima Hui-liong-kun yang berjuluk Naga Utara, yang dengan telapak tangannya saja dapat melumerkan logam. Tapi jangan mimpi akan dapat lolos dari tangan kami, kau sudah hampir mampus karena luka- lukamu, dan anak buahmu yang berada di luar itupun akan mampus oleh anak buahku."

Tiga Dara Pendekar Siauw Lim Karya Kho Gaijin Karya Marc Olden Siluman Ular Putih 08 Sayembara Angkin

Cari Blog Ini