Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 2
Pakkiong Liong tidak mau kalah gertak, kepada perwira-perwiranya yang masih utuh ia berkata.
"Tunjukkan kepada mereka bagaimana seorang perwira Hui-liong-kun bertempur!"
Han Yong-kim dengan pedang samurainya menyambutnya.
"Ciangkun, izinkan aku menyumbat mulut orang-orang busuk Hwe- liong-pang ini! "Lakukan!"
Perintah Pakklong Liong.
Baru saja bibir Pakkiong Liong terkatup, Han Yong-kira telah meloncat bagaikan harimau menerkam, pedangnya diangkat tingi-tinggi dengan kedua tangannya lalu dibacokkan turun bagaikan gunung runtuh ke batok kepala Ma Hiong.
Gerakan ini mirip dengan jurus Tay-san- ap-teng (Gunung Tay-san ambruk ke kepala) dalam ilmu silat Tiongkok, namun cara memegang pedangnya berbeda.
Ilmu pedang Jepang yang disebut Kenjitsu ini sudah terkenal keampuhannya dan keganasannya.
Ma Hiong sendiri tidak berani gegabah melihat serangan sedahsyat itu, tapi Ma Hiong sendiri berilmu tinggi dan tidak mudah menjadi gugup dalam bahaya apapun.
Dia pernah menjadi salah seorang dari delapan orang long- cu (Pemimpin Kelompok) dari Hwe-liong-pang yang ditakuti oleh pemerintah Beng dulu, dengan demikian ilmunyapun tidak rendah.
Dengan gerakan yang sangat cepat tahu-tahu sepasang roda Jit-goat siang-lun yang tadinya tergantung di pinggang telah dipegang dengan kedua tangannya.
Roda kiri menangkis ke atar, roda kanan menyodok ke rusuk lawannya.
Han Yong-kim si orang Korea ini agaknya meniru kebiasaan para pendekar Jepang dalam bertempur, ia berteriak keras.
Serangan Ma Hiong ke rusuknya hampir tidak dipedulikannya, ia justru mengangkat tubuhnya ke atas sambil menambah tenaga ayunan pedangnya.
Dengan demikian ayunan pedangnya bertambah hebat beberapa kali lipat karena ditambah dengan berat badannya sendiri.
"Hebat!"
Desis Ma Hiong yang rupanya agak terkejut juga me ihat cara bertempur seperti badak dari perwira Kerajaan Manchu ini.
Untuk Dengan gerakan yang sangat cepat tahu-tahu sepasang roda Jit-goat siang-lun yang tadinya tergantung di pinggang telah dipegang dengan kedua tangannya.
menanggulangi gempuran pedang musuh itu ia tidak dapat mengandalkan tangan kirinya Saja, maka roda di tangan kanannyapun turut diangkat untuk menangkis! Benturan dahsyat antara dua jenis senjata yang sama-sama terbuat dari baja pilihan dan sama-sama digerakkan oleh kekuatan dahsyat pula.
Si orang Korea yang kakinya tak menginjak tanah itu sempat terpental ke belakang, namun kemudian berputar di udara dengan manisnya, dan menjejakkan kaki di tanah seringan seekor kucing.
Ma Hiong tergeliat, pinggangnya dan mundur selangkah.
Diam-diam pentolan Hwe-liong-pang itu membatin.
"Pantas kalau Hui-liong-kun merupakan pasukan kebanggaan Manchu, bahkan melebihi pasukan Pat-ki (Delapan Bendera) yang dipimpin oleh para Pwe-lek (Pangeran Bangsa Manchu) itu. Perwira yang satu ini saja amat tangguh, padahal entah terdapat berapa puluh orang perwira setingkat ini di dalam pasukan itu!"
Tapi Ma Hiong tidak menjadi kecut hatinya, semakin tangguh lawannya malahan akan semakin mengobarkan semangat tempurnya.
Bekas tokoh Hwe-liong-pang ini kemudian mencoba memaksakan suatu pertempuran jarak dekat yang menguntungkan buat senjatanya yang pendek itu.
Begitu Ma Hiong membentak, sambil menggerakkan sepasang tangannya, maka tiba-tiba di sekitar tubuhnya muncullah puluhan pasang roda Jit-goat siang- lun yang bergerak serempak dengan hebatnya.
Kini Ma hiong seolah punya puluhan pasang tangan yang bergerak sekaligus, bagaikan hujan deras menghambur ke tubuh Han Yong-kim.
Tapi orang Korea itupun cukup keras kepala untuk mundur begitu saja, pedangnyapun berubah menjadi bayangan yang berpuluh- puluh batang banyaknya.
Maka kedua itu segera terlibat dalam pertempuran yang sangat seru.
Sementara itu, Pangeran Cu Hin-yang bersama dengan sisa-sisa pengikutnya telah bangkit kembali semangat tempur mereka.
Kalau tadi mereka sudah pasrah nasib menunggu kematian saja, kini timbul kembali harapan untuk tetap hidup dan memperjuangkan cita-cita mereka.
Biarpun kini harus bekerja nama dengan bekas pendukung- pendukung si pemberontak Li Cu-seng, mereka tidak peduli lagi.
Pangeran Cu Hin-yang bertempur melawan Pakkiong Liong, tapi Pakkiong Liong yang kekuatannya sudah agak susut.
Namun demkian Pangeran tetap tidak boleh lengah menghadapinya, sebab meskipun luka, si Naga Utara itu tetap seorang yang berbahaya.
Tangan kirinya masih merah membara seperti mulut seekor naga yang menyemburkan api, dan tangan kanannya yang memegang pedang itu memainkan senjatanya dengan lincah.
Jika Pangeran lengah sedikit saja, bisa jadi ia akan mengalami nasib seperti Tio Tong-hai, mati dengan tubuh yang habis hangus.
Sementara itu di luar tembok kuil kosong itu telah berlangsung pertempuran sengit antara prajurit-prajurit anak buah Pakkiong liong melawan orang-orang Hwe-liong-pang anak buahnya Ma Hiong.
Para prajurit Manchu hasil gemblengan Pakkiong Liong itu merupakan orang-orang pilihan yang terkenal ketangguhan dan keberaniannya.
Manusia-manusia yang bertubuh dan bersemangat baja.
Maka anak buah Ma Hiong tidak dapat segera mendesak lawannya.
Tapi anak buah Ma Hiong-pun bukannya orang-orang bernyali tikus yang gampang menjadi ketakutan melihat kegarangan lawan mereka.
Dulu mereka adalah anggauta-anggauta Hwe-liong-pang yang terkenal gagah berani, biarpun mereka tidak pernah terlatih sebagai prajurit, namun mereka telah tertempa oleh ganasnya peperangan selama bertahun-tahun dan juga ganasnya hutan hutan lebat dan alam pegunungan yang penuh bahaya.
Dengan demikian, baik anak buahnya Pakkiong Liong maupun anak buah Ma Hiong telah ketemu tandingannya masing-masing.
Kedua belah pihak sama-sama terbentur lawan keras.
Anak buah Ma Hiong yang sering dengan mudahnya dapat menjebak dan mengalahkan prajurit-prajurit bawahan Peng-se-ong Bian-kui tadinya mengira dalam waktu tingkat akan segera mengalahkan lawan pereka.
Tapi kini mereka terkejut menemui ketangguhan lawan.
Sebaliknya prajurit-prajurit anak buah Pakkiong Liong tidak kalah terkejutnya ketika menghadapi gempuran-gempuran dahsyat orang-orang Hwe-liong-pang itu.
Prajurit- prajurit Pak-kiong Liong itu sadar bahwa mereka adalah Prajurit-prajurit pilihan kebanggaan Kerajaan Manchu, punya keunggulan dibandingkan pasukan-pasukan lainnya.
Tiap kali mereka turun ke medan tempur musuh akan dibuat kocar-kacir atau menggigil karena gentar.
Tetapi sekarang mereka telah kebentur orang-orang Hwe-liong- pang yang sama angguhnya dan sama nekadnya dengan mereka sendiri.
Hati kedua pihak yang bertempur semakin lama semakin panas, mengalahkan dinginnya malam.
Setelah keringat membasahi baju, masing-masingpun kian beringas.
Beberapa orang sudah roboh di tanah yang becek oleh air hujan.
Tapi korban-korban yang jatuh tidak, membuat mereka yang masih hidup menjadi jera, malahan membuat hati semakin panas dan semakin bulat tekadnya untuk menuntut balas.
Tapi lawan juga ingin berbuat serupa.
Bersambung ke
Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . AM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU
Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.
Jilid RAJURIT-PRAJURIT Hui-liong-kun itu penasaran dalam hati.
"Masakah kami yang merupakan prajurit prajurit terbaik Kerajaan Manchu ini harus kalah oleh gerombolan liar ini?"
Sebaliknya orang-orang Hwe-liong-pang juga menggerutu.
"Kami yang selama ini cukup disegani oleh prajurit-prajurit Bu San-kui, haruskah malam ini dikalahkan oleh bangsat- bangsat berkuncir ini?"
Lalu senjata-senjatapun berbenturan makin keras, sumpah serapah dan caci-maki terdengar semakin nyaring, bercampur aduk dengan teriakan dari mereka yang terkena senjata.
Suasana makin panas.
Tidak peduli pihak yang menamakan diri 'pembebas tanah air' atau P 'pengemban titah Kaisar demi ketertiban' Jika sudah dirasuki kemarahan, maka pengendalian diripun semakin kabur dan sifat-sifat merekapun semakin mendekati sifat binatang buas yang tak berakal budi.
Jika ketangkasan kedua belah pihak seimbang, maka segi jumlah ikut menentukan.
Dalam hal jumlah ini, orang-orang Hwe-liong- pang datang dengan jumlah yang lebih banyak, sehingga anak buah Pakkiong Liong sedikit demi sedikit mulai terdesak.
Namun untuk itu orang-orang Hwe-liong-pang juga harus memeras keringat dan bahkan mencucurkan darah.
Beberapa orang Hwe-liong-pang telah menerobos masuk ke dalam kuil dengan maksud membantu pemimpin-pemimpin mereka, tapi beberapa prajurit juga menyusul masuk, sehingga perkelahian antara anak buah itu-pun sebagian telah berpindah ke dalam kuil.
Sementara itu Pakkiong Liong dan perwira- perwiranya mulai merasakan betapa beratnya melawan gabungan kekuatan antara orang- orang dinasti Beng dengan orang-orang Hwe- liong-pang itu.
Siau-lio-cla Ma Hiong bersama dua orang kepercayaannya Itu ternyata cukup tangguh untuk mempengaruhi keseimbangan pertempuran.
Pakkiong Liong tidak dapat lagi bertempur segarang ketika datangnya tadi, sebab luka luar dan luka dalamnya terus-menerus mengganggunya.
Han Yong-kim dengan pedang samurainya kini ditekan mundur terus oleh Ma Hiong yang mahir dengan sepasang rodanya itu.
Ha To-ji yang tadi dapat membanggakan kekerasan kulitnya terhadap ruyung-ruyung Kongsun Hui, kini harus hati-hati sebab lawannya bukan bersenjata tumpul melainkan tajam, yaitu pengawal Ma Hiong yang bersenjata golok koan-to itu.
Tokko Yan menghadapi dua lawan sekaligus, yaitu pengikut Pangeran yang bersenjata tombak panjang, dan pengikut Ma Hiong yang bersenjata toya baja ce-bi-kun.
Jika satu lawan satu, kedua orang itu bukan tandingan Tokko Yan, tapi Jika maju berbareng maka Tokko Yan yang terdesak.
Pedang lengkungnya yang dibanggakan itu diputar serapat perisai untuk menjaga agar kulit dagingnya tidak robek oleh ujung tombak, dan tulang-tulangnya tidak retak oleh toya baja yang menyambar-nyambar dengan ganas itu.
Le Tong-bun si murid Hong- sa-pay yang berjulukan Tiat-cui-eng (Elang Berparuh Besi) karena lincahnya itu, bertempur seimbang melawan Kong-sun Hui yang kokoh kuat seperti batu karang.
Inilah pertandingan antara kelincahan melawan kekuatan.
Kong sun Hui memang kalah lincah dan tidak banyak bergerak, namun Jika menyerang, ia seperti gajah gila.
Kini Pakkiong Liong memperhitungkan bahwa pihaknya tidak punya Kesempatan lagi untuk memenangkan pertempuran, namun masih ada kesempatan untuk meloloskan diri sebelum hancur di situ.
Memang di luar perhitungannya bahwa orang-orang Hwe-liong- apng yang dulunya musuh Kerajaan Beng itu sekarang malahan membantu orang-orang bekas Kerajaan Beng.
Akhirnya Pakkiong Liong memutuskan untuk menggunakan lagi ilmu Hwe-liong-sin- kangnya, meskipun ia sadar bahwa penggunaan ilmu itu akan memperberat luka dalamnya.
Tapi Pakkiong Liong tidak melihat cara lain.
Orang- orangnya harus diselamatkan dari kehancuran mutlak.
Ia yakin, asal anak buahnya sudah berada diatas kuda, sulitlah bagi para pemberontak untuk mengejar mereka, sebab anak buahnya menunggangi kuda-kuda gurun yang tegar-tegar, lebih baik dari kuda-kuda yang ditunggangi para pemberontak itu.
Bahkan Pakkiong Liong berharap bias kabur sambil membawa Pangeran Cu Hin yang merupakan buruan penting yang sangat dibutuhkan oleh Peng-po-ceng-tong ( Kementrian Perang ) diibukota Kerajaan itu Setelah berpikir demikian, maka Pakkiong Liong tiba-tiba membentak keras dan dari tubuh maupun tangannyapun terpancar hawa udara yang panas luar biasa.
Untuk member kejutan kepada lawan, Pakkiong Lon langsung saja menerapkan ilmunya itu pada tingkat tertinggi, yaitu tingkat ke delapan, tanpa melaiui tingkat-tingkat sebelumnya.
Maka Pangeran Cu Hin-yang tiba-tiba merasa dirinya kejeblos ke neraka.
Dengan tergesa-gesa ia meloncat mundur agar tubuhnya tidak hangus oleh ilmu Panglima Manchu yang dahsyat itu.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pakkiong Liong mendesak maju, pedang dan telapak kanannyaberkelebatan membingungkan musuh.
Ia tidak mau kehilangan kesempatan sedetikpun.
Suatu saat sang Pangeran benar-benar terkurung dan mati langkah, maka Pakkiong Liong mengulurkan Jari-Jari tangannya bagaikan cengkeraman seekor naga ke arah pundak pangeran.
Yang diincarnya adalah Jalan darah koh-cing hiat di pundak yang dapat melumpuhkan lawan tanpa membunuhnya.
Ada dua keuntungan Jika Pangeran dapat ditangkap hidup-hidup.
Pertama dapat dijadikan sandera untuk menghentikan perrlawanan orang-orang dinasti Beng, meskipun kegunaan sandera Itu belum tentu ampuh kepada orang-orang Hwe- liong-pang yang tidak ada hubungan apa-apa dengan Pangeran Itu.
Ke dua, dari mulut Pangeran bisa diperas keterangan sebanyak- banyaknya tentang sebuah gerakan bawah tanah penentang Manchu yang menamakan diri Jit-goat-pang (Perkumpulan Matahari dan Rembulan) yang bermaksud menegakkan kembali dinasti Beng.
Pangeran adalah orang kedua alias wakil pemimpin dari gerakan itu, dan orang pertamanya adalah juga seorang bangsawan Kerajaan Beng bernama Pangeran Cu Leng-ong yang dengan Pangeran Cu Hin- yang adalah kakak beradik seayah lain ibu.
Sama-sama anak Kaisar ceng yang dilahirkan dari selir-selirnya.
Kini Pangeran Cu Hin yang ibarat ikan dalam keranjang, udara panas yang mengurungnya telah membuatnya sesak dan tubuhnya setengah lumpuh.
Saat Itulah hampir bersamaan waktunya kedua tangan Pakkiong Liong bergerak.
Pedang di tangan kiri memukul pedang Pangeran begitu kerasnya sehingga jatuh ke tanah, sementara tangan kanannya menekan pundak Pangeran tepat pada jalan darah pelumpuhnya.
Tapi pada saat Pakkiong Liong hampir berhasil, tiba-tiba dadanya terasa nyeri.
Rupanya ia begitu bersemangat mengerahkan tenaga sehingga luka dalamnya terasa menyakitinya lagi.
Namun dengan mengertak gigi Pakkiong-Liong meneruskan gerakannya.
Sementara itu, pengikut Pangeran yang bersenjata tombak panjang dan tengah melawan Tokko yan itu, melihat keadaan yang sangat mengancam junjungannya itu.
Tertangkapnya Pangeran berarti rahasa-rahasia gerakan bawah tanah Jit-goat-pang akan terancam bocor, maka pengikut Pangeran itu menjadi nekad demi mencegah tertangkapnya Pangeran itu oleh musuh.
Tanpa mempedulikan lawannya sendiri, ia telah melemparkan tombaknya sekuat tenaga ke arah tubuh Pakkiong Liong bagian belakang.
Pakkiong Liong yang hampir berhasil meringkus korbannya itu, terkejut ketika mendengar desiran angin deras mengancam punggungnya.
Cepat ia memiringkan tubuh sambil menamparkan telapak tangannya ke tangkai tombak, namun tamparannya begitu tergesa-sehingga meskipun ujung tombak berhasil disingkirkan, tapi pangkal tangkainya yang terbuat dari kayu rendaman arak itu sempat mengenai dahi Pakkiong Liong dan membuat panglima itu berkunang-kunang matanya.
Waktu yang hanya sejenak pada saat Pakkiong Liong nanar itupun telah, dimanfaatkan oleh Pangeran untuk meloncat mundur sejauh-jauhnya menjauhi musuh yang sangat menakutkan itu.
Sementara itu, pengikut Pangeran yang telah melemparkan tombaknya itu juga telah membayar mahal untuk tindakannya tadi.
Ketika ia melemparkan tombaknya, seluruh perhatiannya tertuju kepada keselamatan junjungannya, sedang keselamatan dirinya sendiri dilupakannya, padahal di dekatnya masih ada seorang musuh yang buas, Tokko Yan.
Ketika orang itu melemparkan tombaknya, maka Tokko Yan telah meemanfaatkan kesempatan itu untuk menyergap musuhnya bagaikan serigala kelaparan, pedangnya terayun mendatar setinggi pinggang dan tanpa ampun lagi pengikut Pangeran itupun robot dengan lambung yang robek.
Namun robohnya pengikut Pargeran itu segera disusul dengan robohnva Tokko Yan sendiri.
Hampir bersamaan dengan pedang Tokko Yan mengenai lambung korbannya, maka tengkuk Tokko Yan sendiri terhantam secara telak oleh toya baja ce-bi-kun dari pengawal Ma Hiong dan langsung mematahkan tulang leher perwira Manchu itu.
Demikianlah dalam waktu yang hampir bersamaan sudah dua nyawa lagi melayang karena pertentangan yang tak habis- habisnya itu.
Pakklong Liong melihat semuanya itu dengan darah yang mendidih, seorang perwira terbaiknya telah gugur di depan hidungnya.
Dan luka dalamnya terus saja terasa menggigit-gigit bagian dalam dadanya.
Namun Pakkiong Liong sadar bahwa detik-detik mati hidup itu tidak boleh dibuang percuma, tiba-tiba saja ia telah meloncat bagaikan petir menerkam Kongsun Hui.
Ternyata Pakkiong Liong mengganti sasarannya sebab Pangeran kini kelihatan 'lebih waspada.' Kini tujuan Pakkiong Liong adalah mengacau seluruh arena agar perwira- perwiranya mendapat kesempatan untuk menyelamatkan diri, sedang tentang keselamatan dirinya sendiri Pakkiong Liong kadang-kadang malah tidak ingat.
Ia bukan jenis panglima yang tega mengorbankan anak buahnya demi keselamatannya sendiri, melainkan justru sering membahayakan diri sendiri demi keselamatan anak buahnya.
Itu membuatnya sangat dihormati anak buahnya, sehingga setiap prajurit yang dipimpinnya akan bertempur dengan penuh semangat dan kebanggaan.
Begitu dekat Kongsun Hui, langsung dihantamkannya tangan kanannya yang bagaikan menyemburkan api itu.
memaksa Kongsun Hui melompat sejauh jauhnya, lalu Pakkiong Liong berkat kepada Le Tong-bun.
"Bawa semua kawan kawanmu dan anak buahmu untuk pergi dari sini secepatnya. Aku melindung kailan dari belakangi"
Le Tong-bun terkejut, sahutnya dengan perasaan yang bergolak.
"Ciang kun, ini membahayakan dirimu...
"Jangan membantah perintah Panglima!"
Bentak Pakkiong Liong.
"Cepat!"
Le Tong-bun tidak berani membantah lagi.
la tahu betapa keras watak Panglimanya sehingga Jika sudah punya niat tak akan mundur lagi.
Lebih dulu teman-temannya harus dibebaskan dari libatan lawannya masing- masing.
Lebih dulu ia membantu Ha To-Ji mendesak pengikut Ma Hiong yang bersenjata golok koan- to itu sambil berseru.
"Saudara Ha, perintah Ciangkun kita harus segera mundur!"
Ha To-Ji menggeram.
"Sebentar lagi. Kupatahkan dulu tulang si cecunguk Hwe-liong- pang ini sebagai pengganti nyawa Tokko Yan."
"Perintah ciangkun sekarang juga!' Demikianlah cara perwira-perwira Pakklong Liong dalam gerakan mundurnya. Arena seolah-olah jadi kacau sebab perwira- perwira itu tiba-tiba berlarian kesana kemari berganti-ganti lawan seperti orang kebingungan, namun lawanpun menjadi ikut kacau. Dan dalam keributan itulah Pakkiong Liong seolah "beterbangan"
Kian kemari untuk menyebarkan pukulan hawa panasnya yang sangat ditakuti lawan itu.
Memang, di antara orang-orang dari segala pihak di tempat itu, Pakklong Liong yang ilmunya paling tinggi.
Terjangan hawa panas pukulannya itu tak seorangpun berani menahannya, kecuali menghindarinya.
Dengan demikian semua musuh-musuhnya seolah terpusat perhatiannya kepada Pakklong Liong saja, dan dengan demikian perwira-perwiranya dan prajurit- prajuritnyapun mendapat kesempatan untuk meninggalkan tempat itu.
Kini Pangeran Cu Hin-yang, Kong-sun Hui, Ma Hiong serta dua orang pengawalnya itupun memusatkan perlawanan mereka kepada Pakkiong Liong yang mengamuk hebat bagaikan harimau terluka itu.
Kadang-kadang gerakannya bagaikan naga sakti bermain-main di atas mega, sementara hawa panasnya bagaikan semburan api dari mulut sang naga.
Sementara itu Ma Hiong dan empat orang lainnya telah mengepung Pakkiong Liong dengan rapatnya.
Senjatar-senjata mereka berhamburan bagaikan hujan lebat mengarah seluruh tubut Pakkiong Liong.
Betapa kagumnya Ma Hiong dan lain lainnya melihat keperkasaan Pakkiong Liong dan sekaligus juga sikap jantannya yang menyelamatkan anak buannya lebih dulu dari dirinya sendiri itu, namun Ma Hiong dan lain- lainnya sudah bertekad untuk membunuh Pakkiong Liong malam itu Juga.
Pakkiong Liong adalah hantu yang paling menakutkan dari kaum pembebasan tanah air, pasukan yang dipimpinnyapun merupakan pasukan maut yang menggilas hancur musuhnya di manapun juga.
Maka jika Pak-kiong Liong dapat dibunuh dan beritanya disebar luaskan, akan meningkatkan semangat para pejuang pembebas tanah air, dan sebaliknya melunturkan semangat pasukan Manchu.
Tapi membunuh Pakklong Liong tidaklah gampang, meskipun lima lawan satu dan yang satu itupun sudah luka.
Tubuh Pakklong Liong yang bergerak kian kemari dalam kepungan lawan itu ibarat segumpal bara raksasa yang amat panas, dan musuh harus sabar menunggu sampai "bara"
Itu padam sendirinya.
Pakklong Liong juga tidak menunggu dirinya kehabisan tenaga dalam, suatu saat ketika ia telah memukul mundur musuh- musuhnya, ia mendapat kesempatatan untuk meloncat ke atas tembok halaman kuil.
Lawan- lawannya tidak sempat mencegahnya karena gerakan Pak-kiong Liong begitu cepat.
"Jangan harap bisa lolos!"
Teriak Pakkiong Liong kepada Pangeran "Suatu ketika aku pasti akan menghancurkan gerakan Jit-goat-pangmu itu!"
Sementara Ma Hiong tidak membiarkan Pakkiong Liong lagi begitu saja di depan hidungnya.
Sekuat tenaga ia melemparkan sepasang gelangnya kearah kepala dan punggung Pakkiong Liong sebelum menghilang di balik tembok.
Sepasang senjata itu meluncur deras bagaikan bintang beralih berkejaran di angkasa, sementara deru anginnya menandakan betapa hebatnya tenaga Ma Hiong.
Pakkiong Liong merasa ada serangan dari belakang, namun rasa nyeri di dadanya tiba-tiba terasa lagi sehingga gerakannya menjadi agak lambat Dia hanya sempat, membungkuk untuk menghindari yang satu lagi, yang menghantam punggung Pakkiong Liong sehingga Pakkiong Liong memuntahkan segumpal darah.
Meskipun demikian, dengan mengeraskan hatinya Pakkiong Liong berhasil meloncat turun ke luar tembok meskipun dengan agak terhuyung- huyung.
Dengan langkah limbung ia masih sempat menghampiri kudanya yang tertambat di sebuah pohon di samping kuil, dan kemudian meloncat ke punggung kudanya.
Dua orang anggota Hwe-liong-pang yang ada di luar kuil telah mencoba merintanginya, tapi dengan sekali kibasan tangan saja maka kedua orang itu terjungkal dengan gigi rontok.
Seekor naga tetap berbahaya meskipun ia terluka.
Dalam pada itu, orang-orang yang di dalam kuil telah berhamburan keluar, ada yang meloncati tembok, dan yang ilmu meringankan tubuhnya agak jelek lebih suka lewat pintu saja.
Mereka segera berloncatan ke punggung kudanya masing-masing untuk mencoba mengejar Pakkiong Liong.
Tapi terryata kudakuda mereka tak sanggup mengejar kuda Pakkiong Liong yang berasa dari gurun itu.
Pakkiong Liong dalam keadaan setengah sadar memacu kudanya.
Sebenarnya ia ingin mengerahkan kudanya ke kota Kunbeng, Ibukota wilayah Hunlam, di mana di sana terdapat sebuah pangkalan pasukan pemerintah yang cukup kuat.
Tapi tubuh Pakkiong Liong telah begitu lemah sehingga tak dapat lagi mengendalikan kudanya yang lari bagaikan dikejar setan itu.
Kota Kun-beng ada di timur, namun kuda itu malah lari ke selatan, makin jauh menyusup ke padang ilalang yang maha luas dan gelap gulita itu.
Bulan tidak nampak sepotong kecilpun, sementara bintang- bintang yang jumlahnya hanya sedikit itu tidak dapat memberikan cahayanya yang berarti.
Ketika kuda dan penungangnya itu mendekati sebuah hutan, tiba-tiba kuda Pakkiohg Liong menjadi gelisah.
Mula-mula hanya mendengus-dengus sambil menggerak- gerakkan kepalanya, lama-lama meringkik sambil melonjak-lonjak dengan hebatnya.
Pakkiong Liong menjadi gugup, Jika sampai ia terbanting dan kemudian terinjak kaki kuda, mampuslah ia.
Sekuat tenaga ia menjepitkan kakinya ke perut kuda dan menepuk-nepuk leher binatang itu untuk mencoba menenangkannya.
Tapi rupanya memang ada sesuatu yang sedang ditakuti oleh binatang itu, sehingga ia bukan semakin tenang tapi malahan semakin keras melonjak-lonjak, sampai akhirnya Pakkiong Liong yang sudah lemah itu benar-benar melorot dari punggung kudanya.
Lalu kuda itu berlari sekencang-kencangnya meninggalkan tuannya.
Pakkiong Liong menggerutu karena nasibnya yang sial itu.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sudah tugasnya gagal, kini mengalami hal yang tidak enak lagi.
Di tengah padang liar tanpa penghuni, terluka, tanpa bekal makanan dan tanpa kuda.
Ini sama saja dengan mati secara perlahan-lahan.
Ia mencoba bersuit keras untuk memanggil kudanya, tapi sia-sia, malahan dadanya bertambah sakit dan lagi-lagi segumpal darah hitam terlontar dari mulutnya.
Sesaat kemudian muncullah jawaban akan tingkah laku kudanya yang aneh tadi.
Terdengar ilalang disekitarnya gemeresak, lalu ada suara menggeram yang ribut dan menguik-uik, nampak titik-titik kecil berwarna merah mendekatinya dari segala arah.
Segerombolan serigala liar yang tak terhitung jumlahnya! Kelompok binatang yang bahkan lebih ditakuti dari seekor harimau yang paling besar sekalipun.
Melihat itu, Pakkiong Liong mengeluh dalam hatinya.
Musuh-musuhnya kali ini jauh lebih sulit diladeni dari musuh-musuhnya yang di kuil rusak tadi.
Serigala-serigala ini tidak mengerti ilmu silat, namun mereka akan menerjang, menggigit, mencakar dan berbuat apa saja untuk membunuh lawan mereka.
Apalagi jumlah mereka banyak sekali.
"Celakalah aku sekarang,"
Piker Pakkiong Liong dengan perasaan sedih.
"Aku seorang Panglima terkenal, di medan perangpun musuh- musuhku menggigil mendengar namaku. Haruskah kini dagingku menjadi santapan hewan-hewan bangsat di tempat terpencil ini?"
Pakkiong Liong mengambil pisau belati dari balik bajunya.
Sementara itu daun ilalang telah tersibak dan muncullah moncong-moncong yang runcing, mata-mata yang merah liar, taring-taring yang putih tajam dan lidah yang terjulur meneteskan air liur.
Semuanya siap merobek-robek tubuh Panglima Manchu yang digiring oleh nasib buruknya sehingga sampai ke tempat itu.
Seekor serigala mencoba menerkam lehernya, tapi hewan itu segera terjungkal oleh sabetan belati di tangan Pakkiong Liong.
Namun serigala-serigala lainnyapun segera berebutan menerkam dari segala arah, mati-matian Pakkiong Liong menggerak-gerakkan pisau belatinya, beberapa ekor terbunuh, tapi jumlah hewan-hewan itu begitu banyak dan tanpa kenal takut terus menyerang, sehingga Pakkiong Liong kelelahan juga.
Napasnya mulai sesak, matanya berkunang-kunang dan isi dadanya rasanya bagaikan ditusuk ratusarn jarum tajam.
Pakkiong Liong hampir saja pingsan ketika seekor serigala besar berhasil menggigit mulut luka bekas bacokan golok Tio Tong-hai.
Pakkiong Liong masih mencoba menggerakkan pisaunya, tapi tenaganya hampir habis dan pisaunya tidak berhasil menembus tubuh serigala itu, hanya melukainya yang malah membuat hewan itu makin buas.
Sementara beberapa ekor telah menubruk pula dan menggigit lengan, paha, leher dan sebagainya.
Andaikata tenaga Pakkiong Liong masih utuh, cukup dengan menerapkan Ilmu Hwe- liong-sin-kangnya maka seriga-serigala itu tentu akan menyingkir sendiri karena hawa panasnya.
Tapi itu tidak mungkin dilakukannya sekarang.
Pada saat Pakkiong Liong sudah hampir kehabisan daya perlawanannya, tiba-tiba sebutir batu sebesar telur telah meluncur dari belakang kerumunan serigala itu, dan batu itu tepat menghantam salah seekor serigala yang menggigit Pakkiong Liong.
Serigala itu terjungkal dengan tempurung kepala yang pecah.
Ternyata kemudian lemparan batu-batu itu semakin gencar seperti hujan, dan setiap batu tidak ada yang meleset untuk-meremukkan tempurung kepala serigala-serigala itu, tapi tak sedikit-pun mengenai Pakkiong Liong.
Keruan serigala-serigala itu menjadi kalang kabut.
Dan ketika si pelempar itu agaknya kehabisan batu-batu, maka iapun berganti "senjata", yaitu ranting-ranting kayu kering.
Ternyata ranting-ranting yang rapuh itu seolah berubah menjadi lembing-lembing berujung besi yang sanggup menembus tubuh serigala- serigala yang berkulit liat itu.
"Iblis-iblis kecil, kapan kalian akan berhenti mengganggu manusia, terdengar teriakan seseorang dari dalam hutan. Mendengar suaranya saja Pakkiong Liong tahu bahwa yang berteriak itu tentu seorang muda yang umurnya mungkin sebaya dengan dirinya. Tapi yang mengagumkan Pakkiong Liong adalah akibat dari lemparan-lemparan batu maupun kayu dari orang yang bersuara itu. Tepi hutan masih jauh namun lemparan orang itu mengandung kekuatan, kecepatan dan ketepatan yang mengagumkan. Setiap butir batu telah meremukkan kepala seekor serigala, setiap batang kayu menembus perut seekor serigala, tak ada batu maupun kayu yang mengenai tubuh Pakkiong Liong padahal Pakkiong Liong ada ditengah kerumunan hewan liar itu. Diam-diam Pakkiong Liong menaksir bahwa ilmu sang penolong itu tentu setingkat dengan dirinya sendiri apabila la tidak terluka. Sedang di antara perwiranya tidak ada yang selihai itu, bahkan sulit dicari bandingannya di kalangan para panglima sekalipun. Pakkiong Liong menikmati "pertunjukan"
Yang masih berlangsung di depan hidungnya itu sambil berpikir.
"Di kalangan persilatan, tokoh selihai ini jumlahnya tidak melebihi sebelah jari tangan"
Dan ketika kawanan serigala bubar ketakutan dan "tokoh lihai"
Ini muncul dari tepi hutan, maka tercenganglah Pakkiong Liong melihat tampang si tokoh lihai yang telah menolongnya ini.
Ia hanya seorang anak muda sebaya Pakkiong Liong yang bahkan bertampang orang gunung asli.
Kulitnya agak coklat seperti umumnya kulit orang daerah Hun-lam di mana matahari bersinar lebih panas, wajahnya cukup tampan dengan berewok lembut di sekitar rahangnya.
Matanya bersinar lunak, hangat, tanpa kecurigaan, tanpa permusuhan dan bahkan siap menjalin persahabatan dengan siapapun juga.
Tampangnya mirip orang suku Hui di bagian barat daratan Cina.
Pakaiannyapun sederhana.
Baju pendek dan celana sependek lutut yang terbuat dari bahan katun abu-abu yang murahan, bagian dadanya agak tersingkap sehingga nampaklah dadanya yang berotot tegap.
Pinggangnya yang ramping diikat dengan tali rami untuk menyelipkan sebatang kampak pendek pemotong kayu.
Kakinya beralaska sandal kulit buatan sendiri yang diberi tali dan diikatkan silang menyilang sampai ke betisnya.
Pakkiong Liong memperhatikan penolongnya yang tengah melangkah mendekatinya sambil menimbang-nimbang dalam hati.
"Sungguh tak terduga orang bertampang seperti ini ternyata memilik ilmu yang begitu tinggi. Jika orang semacam inipun menjadi anggota yang menamakan diri "pembebas tanah air"
Itu, aku benar-benar akan mendapat lawan berat.
Tapi mudah-mudahan bukan anggota gerombolan itu".
Karena menyadari kelemahan tubuhnya, maka Pakkiong Liong hanya duduk di tanah , memasrahkan nasibnya sepenuhnya ke tangan orang gunung yang belum diketahui kawan atau lawan itu.
Namun ternyata sikap anak gunung itu baik.
Ia berjongkok di dekat tubuh Pakkiong Liong sambil bertanya.
"Kau terluka parah agaknya. Mari kubawa ke gubukku untuk diobati lebih baik". Dengan wajah sangsi Pakkiong Liong menatap wajah orang itu, katanya.
"Saudara, sebelum menolong aku, kau harus lebih dulu tahu siapa yang kau tolong ini. Meskipun pakaianku robek-robek tapi kau tentu masih mengenal bahwa ini adalah seragam tentara Manchu. Jika aku tinggal di tempatmu, apakah kau tidak akan mendapat kesulitan karena aku seorang Manchu? "Apa bedanya Manchu dan bukan Manchu ?"
Pakkiong Liong merasa betapa lugunya ucapan orang gunung itu. Katanya lagi.
"Saudara benar-benar seorang yang berjiwa lapang selapang samudera. Tapi orang-orang yang menamakan diri Pembebas Tanah-air itu tidak akan berjiwa selapang saudara. Jika mereka tahu aku ada di tempatmu, mereka akan menyulitkan kau dan keluargamu". Tapi orang gunung itu menjawab dengan mantap.
"Saling menolong sesama manusia adalah perintah Tuhan, seoran Kaisarpun tidak dapat mengubah perintah agung itu. Apakah karena kita berbeda keturunan lalu dilarang untuk saling menolong? Dan aku harus berpihak kepada serigala-serigala tadi itu?"
Perasaan Pakkiong Liong terguncang mendengar jawaban macam itu.
"Pendirianmu sangat kokoh, saudara. Aku berterima-kasih akan kau obati, tetapi aku akan sangat menyesali diriku jika kau mendapat kesulitan...."
"Sungguh aneh manusia ini, kenapa justru mendapat kesulitan jika berbuat baik kepada sesamanya?"
Potong orang gunung itu.
"Kau jangan pedulikan hal-hal lain lagi. Aku akan berbuat sesuatu menurut suara hatiku, dan tidak takut kesulitan apapun."
"Bukan main,"
Pakkiong Liong merasa kagum di dalam hatinya.
"Orang ini cukup berharga untuk menjadi seorang sahabatku. Tegas, jujur, lapang dada dan berilmu tinggi."
Sahabat dalam pengertian Pakkion Liong bukan sekedar kenalan untuk saling menguntungkan satu sama lain dan kemudian saling mencampakkan setelah tidak ada keuntungan lagi. Bukan seperti itu.
"Sahabat' macam ini Pakkiong Liong sudah punya cukup banyak di Ibukota Kerajaan dan bahkan sudah muak. Yang dibutuhkan adalah sahabat sejati yang bisa diajak membagi kedukaan dan kegembiraan, saling mengasihi dan saling membela, itulah yang belum dipunyai oleh Pakkiong Liong. Namun malam ini tiba-tiba Pakkiong Liong menemukannya. Di tengah- tengah padang sunyi, dikelilingi bangkai- bangkai serigala yang berbau anyir, dalam keadaan luka-luka parah. Maka tersenyumlah Pakkiong Liong.
"Kalau begitu, sahabat, kau boleh berbuat sesuka hati atas diriku."
Anak muda gunung itupun tersenyum pula, lalu Jari-jarinya dengan cekat menotok beberapa jalan darah penting untuk menghentikan mengalirnya darah.
Lalu dari sebuah kantong kecil pinggangnya ia mengeluarkan beberapa butiran obat yang berwarna coklat seperti tanah, diremasnya dengan tangan sehingga hancur dan ditaburkannya mulut luka-luka Pakkiong Liong.
Ses; Pakkiong Liong meringis kesakitan karena obat itu menimbulkan rasa panas dan pedih, tapi makin lama makin sejuk dan tiba-tiba rasa kantuk menyerangnya.
Pakkiong Liong masih setengah sadar ketika merasa tubuhnya diangkat oleh orang itu, dan mendengar orang itu berkata.
"Obat luka buatan guruku ini memang mengandung obat tidur yang dapat meredakan rasa sakit. Tetapi kau membutuhkan pengobatan yang lebih cermat lagi. Kau akan kugednong ke Gubukku di lereng Gunung Tiam-Jong-san sana."
"Terserah kepadamu, sahabat,"
Sahut Pakkiong Liong sambil menguap lebar-lebar.
"Siapa namamu, sahabat?"
"Aku she Tong, bernama Lam-hou."
"Lam-hou? Nama yang bagus. Kau tahu artinya?"
"Kata ibuku yang memberikan nama ini, kelak aku harus menjadi seorang pendekar terkenal seperti mendiang ayahku, maka ketika aku lahir di wilayah selatan ini, aku diberinya nama Lam-hou. Artinya Harimau dari Selatan."
Tiba-tiba Pakkiong Liong tertawa-, katanya.
"Harimau dari Selatan? Bagus sekali. Aku sendiri sering disebut sebagal Naga dari Utara. Inikah yang disebut Jodoh?"
Sebenarnya Pakkiong Liong masih ingin bercakap-cakap lagi, namun pelupuk matanya terasa semakin berat, ia tak dapat lagi mempertahankan kesadarannya dan akhirnya ia tertidur sama sekali dalam gendongan Tong Lam-hou.
Seperti seorang bayi di gendongan Sementara itu Tong Lam-hou telah melangkah semakin lama semakin cepat sampai sepasang kaki itu seolah-olah tidak menyentuh tanah lagi melainkan meluncur pesat.
Kemudian ketika mendaki lereng-lereng Gunung Tiam- jong-san yang licin sehabis tersiram hujan itu, Tong Lam-hou meloncat-loncat dengan enaknya seolah ada di tanah lapang saja dan tidak membawa beban sedikitpun.
Akhirnya tibalah ia di depan gubuknya.
Sinar api memancar keluar dari sela-sela pintu, dan Tong Lam-hou berteriak.
"Ibu, aku datang!"
Sementara itu Tong Lam-hou telah melangkah semakin lama semakin cepat sampai sepasang kaki itu seolah-olah tidak menyentuh tanah lagi melainkan meluncur pesat.
BAGIAN KE DUA.
IAU-LO-CIA MA HIONG dan per z -kut- pengikutnya maupun Pangeran Cu Hin-yang dan pengikutnya yang tinggal Kongsun Hui seorang itu, dengan marahnya berpacu di atas punggung kudanya masing-masing untuk mencoba mengejar Pakkiong Liong.
Namun gagal.
Ma Hiong merasa penasaran bahwa seorang musuh yang sudah terluka bias lolos begitu saja dari depan hidungnya.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat itu hujan sudah lama reda..
malam sudah mendekati dini hari, dan kokok ayam liar bersahut-sahutan di padang ilalang sunyi itu.
"Mudah-mudahan bangsat Manchu itu diterkam macan atau serigala,"
Geram Ma Hiong sambil mengepalkan tinjunya.
"Tetapi aku harus mengakui bahwa dia seorang yang hebat juga."
Pangeran Cu Hin-yang dan Kongsui Hui yang berkuda di dekat Ma Hiong itu tidak menjawab sepatah katapun.
Mereka masih sakit S hati akan kematian tiga orang teman mereka di tangan Pakkiong Liong dan orang-orangnya.
Tengah Ma Hiong dan lain-lainnya itu berputar-putar di padang ilalang tanpa hasil, karena malam terlalu gelap untuk melacak jejak kaki kuda di tanah, maka tiba-tiba di sebelah barat terdengar suara letusan, dan udara menjadi terang benderang untuk sejenak.
Sebuah kembang api berwarna kucing telah terlihat di langit sebelah jarat.
Cukup jauh, namun dapat disaksikan oleh Ma Hiong dan lain-lainnya.
Wajah Ma Hiong dan orang-orang-nyapun segera berubah hebat ketika nelihat kembang api di kejauhan itu.
Itu adalah isyarat yang digunakan oleh sesama orang Hwe-liong-pang bahwa ada sesuatu yang gawat telah terjadi pada diri mereka.
Kembang api itu berasal dari arah di mana letak markas Ma Hiong, tentu saja ia terkejut.
Untuk sesaat Ma Hiong harus menyingkirkan niatnya untuk menangkap Pakkiong Liong, markasnya harus diselamatkan lebih dulu, maka iapun segera memutar kudanya sambil berteriak kepada anak buahnya.
"Kita kembali ke markas. Entah iblis dari mana yang berani menyerbu markas kita ini?"
Ketika Pangeran Cu Hin-yang dan Kongsun Hui ikut pula memutar kuda mereka searah dengan Ha Hiong dan pengikut-pengikutnya, maka Ma Hiong membentak.
"He, mau ke mana kalian?"
Sahut Pangeran.
"Kalian sudah menolong kami, sekarang jika kalia mengalami kesulitan kamipun akan membantu kalian."
"Hemm, kapan kami menolong kalian?"
Tanya Ma Hiong dengan alis berkerut dan nada pertanyaannyapun ketus. Pangeran menjadi heran melihat sikap itu, namun dijawabnya Juga.
"Bukankah dalam kuil tadi kalian menolong kami dari ancaman orang- orang Manchu itu?"
Ma Hiong tertawa dingin.
"Kami tidak menolong orang-orang dinasti Beng sebab buat apa kami menolong orang-orang yang dulu adalah penindas-penindas rakyat kecil? Kami hanya memusuhi bangsa Manchu, tapi tidak berarti menolong orang-orang dinasti Beng. Kalian mampuspun kami tidak peduli."
Kongsun Hui seketika naik darah melihat sikap Ma Hiong yang sama sekali tidak menghormati Pangeran Cu hin-yang sebagai keturunan dinasti beng itu.
Kudanya telah digerakkan ke depan dan ruyung bajanyapun siap digunakan untuk mengemplang kepala Ma Hiong.
Bentaknya.
"Orang she Ma, Jaga mlutmu."
Tapi Pangeran buru-buru memajukan kudanya pula untuk melintang tepat di depan kuda Kongsun Hui, sambil menyabarkan bekas panglima yang berangsan itu,"Saudara Kongsun, tahan dirimu sedikit. Biar aku saja yang berbicara kepada saudara Ma ini."
Lalu kepada Ma Hiong, Pangeran lerkata.
"Saudara Ma, kuharap kau bersikap bijaksana dan tepat dalam urusan yang menyangkut keselamatan tanah air kita ini. Masa lalu kita memang bertentangan, tapi perlukah diungkit, ungkit sekarang pada waktu kita menghadapi musuh bersama di depan hidung. Kau benci segala sesuatu yang berbau Kerajaan Beng, baik, anggap saja aku bukar orang dinasti Beng tetapi seorang rakyat Bangsa Han yang ingin menyumbangkan tenaga untuk ikut mengusir bangsa Manchu. Setuju?"
Betapapun keras dan bencinya bekas orang- orang Hwe-liong-pang kepada bekas orang- orang dinasti Beng, namun tergerak Juga hatinya melihat Pangeran Cu Hin-yang tidak segan-segan merendahkan diri seperti itu. Akhirnya kepala Ma Hiong terangguk juga.
"Baiklah, orang she Cu, kau memang bukan anak buahku sehingga aku pun tidak berhak mengaturmu. Kau mau ikut kami, terserah kepadamu sendiri."
"Aku akan ikut. Bangsa Machu adalah musuh kita bersama."
Sementara itu, Kongsun Hui yang berwatak kepala-batu itu diam-diam tidak puas ketika melihat sikap Pangeran yang terlalu merendahkan diri terhadap Ma Hiong itu.
Pikirnya dengan jengkel, Mestinya Pangeran tidak perlu bersikap terlalu merendah kepada pemimpin gerombolan liar ini, membuat ia semakin besar kepala saja.
Pangeran adalah seorang bangsawan yang harus menjaga martabatnya di hadapan orang tak tahu adat ini, apalagi dulunya bekas pendukung Li Cu-seng.
Biarpun semua pejuang penentang Manchu harus dirangkul, tapi tidak dengan mengorbankan harga diri seperti ini...
Namun biarpun dihatinya tetap menggerutu, Kongsun Hui tetap ikut juga ketika rombongan itu mulai bergerak ke arah barat.
Udara dinihari yang habis tersiram hujan itu terasa dingin menggigit tulang, namun dalam dada orang-orang berkuda itu justru terasa membara oleh kobaran semangat tempur yang menyala.
Apapun sudah siap mereka korbankan demi tanah-air tercinta.
Belum lama mereka berkuda, mendadak dari arah depan kelihatan bayangan seorang berkuda yang menyongsong mereka sambil berteriak.
"Apakah yang di depan itu rombongan Tong-cu?"
Dalam Hwe-liong-pang dulu memang Ma Hiong berpangkat tong-cu (Pemimpin Kelompok) sehingga sampai sekarangpun anak buahnya masih memanggil dengan sebutan lama.
Ma Hiong dan rombongannya segera memperlambat derap kaki kuda mereka.
Setelah dekat maka kelihatan bahwa penunggang kuda dari depan itu berpakaian warna coklat, pakaian seragam gerombolan Ma Hiong, dan dengan terengah-engah diapun melapor.
"Kwa Jin-yang menjumpai Tong-cu!"
"Laporkan, saudara Kwa!"
"Tadi malam, tidak lama setelah Tong-cu meninggalkan markas untuk memeriksa keadaan, tentara Manchu bawahan Bu San-kui mendadak menyerang markas kita di hutan Pek-niau-lim. Karena laskar kita tidak siap menghadapinya, kita segera terdesak meninggalkan markas, dan kita sedang berusaha mundur ke bukit Hek-ku-san untuk bertahan di sana... ."
Kongsun Hui tertarik perhatiannya setelah mendengar bahwa yang menyerbu Hwe-liong- pang itu adalah tentaranya Bu San-kui, bekas saudara-angkatnya yang kemudian berpihak kepada Kerajaan Manchu itu.
Gara-gara Bu San- kui menyerahkan kota San-hai-koan kepada bangsa Manchu inilah maka balatentara Manchu sampai bisa menguasai seluruh daratan Cina.
Sudah lama Kong-sun-Hui ingin bertemu dengan bekas saudara angkatnya itu di medan perang untuk membuat perhitungan bagi negerinya, maka kini mendengar laporan itu, ia langsung bertanya kepada orang Hwe-liong- pang yang melaporkan itu.
"Sahabat, apakah Bu San-kui sendiri yang memimpin pasukannya itu?"
Orang Hwe-liong-pang itu sesaat menjadi heran melihat ada seorang tak dikenal berjalan bersama dengan pemimpinnya, namun karena kelihatannya orang itu bukan musuh, maka dijawab juga.
"Tidak, pasukan itu kecil, mana mau Bu San-kui memimpinnya sendiri. Penyerangan itu dipimpin seorang panglima bawahannya yang bernama Yang Kang."
Mendengar nama itu, tak urung gemeretaklah gigi Kongsun Hui karena geramnya.
Orang itupun dikenal oleh Kongsun Hui ketika masih bertugas di San-hai-koan dulu.
Dulu ia dengan gigih berjuang membendung serangan bangsa Manchu, sekarang malahan membantu bangsa Manchu untuk menindas pejuang pejuang tanah air sendiri.
Sementara Ma Hiong bertanya kepada anak buahnya itu.
"Bagaimana keadaan laskar kita? Siapa yang memimpin?"
"Untuk sementara akan dapat bertahan. Tapi tekanan terlalu berat karena Jumlah musuh yang hampir lipat empat. Yang memegang pimpinan laskar kita adalah hu- tong-cu (Wakil Ketua Kelompok) Cho Bun- liong!"
"Kenapa terlalu berat.
"Hu-tong-cu berusaha menarik laskar ke Hek-ku-san, namun pasukan musuh menyerang dengan bentuk menjepit dari tiga arah, jika terlambat pasukan kita akan terkurung di hutan Pek-niau-lim tanpa harapan untuk keluar Iagi!"
"Kalau begitu kita harus terjun ke arena dengan segera!"
Teriak Ma Hiong dengan dada yang terasa panas bergolak.
Orang-orang Hwe-liong-pang lain-nyapun telah mencabut senjata-senjata mereka dari mengangkat tinggi-tinggi ke udara sambil meneriakkan semboyan-semboyan perjuangan yang membakar semangat.
Mereka tergerak rasa setia kawan ketika mendengar teman- teman mereka terancam bahaya, maka merekapun sudah gatal tangan ingin segera terjun ke medan Jaga.
Namun pangeran Cu Hin-yang tiba-tiba berteriak.
"Tunggu! Jangan gegabah!"
Ma Hiong menoleh ke arah Pangeran dengan kening berkerut.
"Tunggu apa lagi? Menunggu sampai laskar kami hancur lebur dan tak tersisa seorang-pun?"
"Bukan maksudku. Tapi jika kalian yang sedikit ini terjun ke arena, kalian sedikitpun tidak akan dapat mempengaruhi Jalannya pertempuran. Kalian hanya akan tertelan oleh musuh yang Jauh lebih banyak, seperti telur membentur batu... ."
"Kami tidak peduli Lebih baik hancur bersama seluruh saudara-saudara kami daripada kami hanya berpangku tangan mencari selamat sendiri!"
"Itu tidak bijaksana. Coba dengar dulu kata- kataku, tuan Ma, biar aku menyuruh Kongsun untuk menghubungi Li Tiang-hong dan anak buahnya agar mereka ikut bergerak membantu mengusir musuh."
Ma Hiong menjadi bimbang mendengar usul Pangeran itu, dalam hatinya timbullah pertentangan antara harga dirinya dan juga harga diri kelompoknya, bertentangan dengan kenyataan yang dihadapinya.
Antara dirinya dengan Li Tiang-hong tidak pernah rukun, meskipun kedua pihak sama-sama musuh bangsa Manchu.
Li Tiang-hong dan pasukannya adalah pengikut-pengikut setia Kerajaan Bang, sedang Ma Hiong dulunya adalah pendukung perjuangan Li Cu-seng ketika menumbangkan pemerintahan Beng.
Keduanya memiliki desa- desa pengaruh mereka sendiri-sendiri, sebagai sumber perbekalan mereka.
Meskipun kedua kelompok belum pernah bentrok senjata, tapi saling bermusuhan dan saling menjelekkan.
Kini jika Ma Hiong menerima uluran tangan Li Tiang-hong, ke mana lagi mukanya hendak disembunyikan? Tapi tanpa dibantu Li Tiang- hong maka nyawa anak buahnya yang sekian ratus orang itupun akan tergulung habis oleh musuh.
Akhirnya, Ma Hiong memutuskan bahwa nyawa ratusan anak buahnya lebih penting dari pada ketakutan sekedar kehilangan muka.
Jawab Ma Hiong kepada Pangeran.
"Baiklah, saudara Cu, agaknya untuk melawan tentara Manchu yang jauh lebih kuat itu setiap kelompok harus menyingkirkan perbedaaan pendapatnya dan bersatu padu."
Wajah Pangeran menjadi cerah. Ini adalah suatu isyarat yang menggembirakan ke arah persatuan semua kelompr pejuang yang tadinya berjuang sendiri-sendiri itu.
"Keputusan yang bijaksana, keputusan seorang pemimpin yang lebih memikirkan keselamatan nyawa-nyawa anak buahnya daripada sekedar harga dirinya,"
Kata Pangeran.
"Ini tidak berarti saudara Ma kehilangan muka di depan, Li Tlang-hong, sebab jika kelak Li Tiang-hong menemui kesulitan maka saudara Ma akan membantunya bukan? Jadi tidak ada masalah siapa berhutang budi kepada siapa, tetapi kerja sama yang sederajat."
Lalu Pangeran melepaskan sebuah cincin di jarinya, diberikan kepada Kongsun Hui dan berkata.
"Saudara Kongsun, bawa cincin lambang pribadiku ni kepada Li Ciangkun (Panglima Li), katakan bahwa aku memohon kepadanya agar ia sudi menggerakkan pasukannya ke hutan Pek-niau-lim untuk mengusir pasukan musuh yang mengacau di sana."
Sahut Kongsun Hui.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pangeran, hamba belum tahu di mana markas Li ciangkun dan pasukannya."
Pangeran menoleh kepada Ma Hiong ambil berkata.
"Saudara Ma, bolehkah salah seorang anak buahmu yang sudah tahu tempat Li Ciangkun itu kupinjam untuk mengantarkan saudara Kongsun ini?"
"Baik. Lo Beng, kau antar tuan Kongsun ini ke tempat Li Tiang-hong. Kau kenal jalannya bukan?"
"Sebaiknya membawa bendera putih agar tidak menimbulkan salah paham mgan orang- orangnya Li Ciangkun,"
Usul Kongsun Hui. Namun Ma Hiong telah berkata dengan tegas.
"Tidak. Orang Hwe-liong-pang dilarang keras untuk membawa bendera putih di manapun juga dan dalam keadaan bagaimanapun juga."
Agaknya Ma Hiong kuatir kalau bendera putih itu oleh Li Tiang-hong dianggap sebagai tanda menyerah dari Hwe-liong-pang. Pangeran menarik napas, sementara Kongsun Hui menggerutu dalam hati. Kata pangeran kemudian.
"Baiklah, tidak usah dengan bendera putih segala, Li Tiang- hong tentu akan memaklumi. Lekas berangkat sebelum terlambat."
Demikianlah Kongsun Hui dengan diantarkan oleh salah seorang anak buah Hwe- liong-pang memisah dari rombongan untuk pergi minta bantuan ke markas Li Tiang-hong. Sebelum pergi, Kongsun Hui masih sempat berpesan kepada junjungannya.
"Pangeran, berhati-hatilah. bagaimanapun juga mereka... Sahut Pangeran.
"Jangan kuatirkan diriku. Orang Hwe-liong-pang sejak dulu terkenal sebagai orang-orang yang teguh memegang Janji. Aku aman di tengah-tengah mereka!"
Kongsun Hui menarik napas dalam-dalam, namun ia berjanji dalam hati apabila Pangeran sampai terluka seujung rambutpun oleh orang Hwe-liong-pang, maka Jit-goat-pang akan menjadi musuh Hwe-liong-pang untuk selama- lamanya.
Lalu didampingi oleh anak buah Ma Hiong yang bernama Lo Beng itu, Kongsun Hui berangkat ke tempat Li Tiang hong.
"Orangmu itu masih mencurigai kami,"
Desis Ma Hiong.
"Hanya pengaruh masa lalu, tak perlu digubris,"
Jawab Pangeran sambil tersenyum.
"Ayo kita berangkat sekarang."
Ma Hiong dan anak buahnyapun segera berderap menginggalkan tempat itu.
Suara hentakan-hentakan kaki kuda yang gemuruh itu bagaikan bunyi genderang perang yang ditabuh mengantarkan pahlawan ke medan perang.
Sementara warna langit telah semakin muda, menandakan tak lama lagi fajar akan tiba.
Tidak lama kemudian, di kejauhan, sudah terdengar sorak-sorai orang ber-perang.
Beratus-ratus orang bersenjata tengah saling membunuh dengan bersemangat, tak ubahnya sekawanan hewan buas tak berakal budi.
Bendera-bendera dari kedua belah pihak berkibar-kibar megah, memberi tanda pihak- pihak mana sajakah yang tengah beradu kekuatan di padang ilalang itu.
Pasukan Manchu mengibarkan bendera Ngo-jiat-kim-liong-ki (Panji Naga Berkuku Lima), didampingi sehelai bendera yang lebih kecil berwarna merah dengan bulatan kuning di tengah-tengahnya, menandakan bahwa yang sedang bertempur itu adalah pasukannya Peng- se-ong Bu San-kui, Rajamuda di wilayah Se- cuan.
Sedangkan laskar Hwe-Liong-pang juga mengibarkan bendera-bendera yang disebut Hwe-liong-ki (Bendera Naga Api), bendera berwarna dasar hitam dengan lukisan naga berwarna merah yang menyemburkan api- Belasan tahun yang lalu, bendera itulah yang paling ditakuti oleh kaum rimba persilatan, bahkan juga oleh penguasa-penguasa dinasti Beng kala itu.
Lalu masi ada bendera kecil berwarna coklat dengan huruf "Ma"
Di tengah- tengahnya, menandakan bahwa kedudukan Ma Hiong dalam Hwe-long-pang adalah pemimping Jai-ki-tong (Kelompok Bendera Coklat), salah satu dari delapan kelompok dalam Hwe-liong- pang.
Bendera Manchu dengan bendera Hwe- liong-pang hampir sama, sama-sama berwarna dasar hitam dan berlukiskan Naga.
Namun naga di bendera Manchu sersisik emas, sedang naga di bendera Hwe-liong-pang berwarna merah menyala.
Bendera Manchu berbentuk segitiga besar, bendera Hwe-liong-pang berbentuk segiempat.
Naga memang binatang pujaan rakyat di Cina, sehingga banyak orang yang menggunakan sebagai lambang.
Perang tengah berlangsung dengan hebatnya.
Garis pertempuran membentang panjang, dan di sepanjang garis itu ribuan manusia bertarung dengar buasnya.
Anak buah Ma Hiong dapat dikenali dari seragam mereka yang berwarna coklat, dan dengan gigihnya mereka bertahan dari musuh yang Jauh lebih banyak.
Namun tak dapat dihindari bahwa setiap kali laskar Hwe-liong-pang harus terdesak surut dan membuat garis pertahanan baru di belakang garis yang ditinggalkan.
Tentara Manchu yang unggul dari segi Jumlah, menggempur bagaikan gelombang samudera.
Mereka bertempur bukan hanya dengan senjata-senjata seperti pedang dan tombak, tapi juga senjata Jarak Jauh yang dilontarkan dari barisan seperti panah, lembing dan bahkan batu-batu sebesar kepala orang yang dilontarkan dengan pelenting dari bambu.
Pihak laskar Hwe-liong-pang Bertahan di bawah pimpinan wakil Ma Hiong yang bernama Cho Bun-liong.
Ia adalah seorang lelaki berusia empat-puluh tahun, bertubuh tegap besar.
Berpakaian coklat seperti orang Hwe-liong- pang lainnya, namun dilapisi dengan rompi kulit harimau tutul.
Senjatanya ialah sehelai perisai besi di tangan kiri dan trisula pendek di tangan kanan.
Dengan kemahiran memainkan senjatanya itulah biasanya Cho Bun-liong menjadi seorang tokoh yang sulit ketemu tandingannya di daerah Hun-lam itu.
Tapi kali ini Cho Bun-liong telah bertemu dengan seorang lawan yangg setimpal.
Panglima bawahan Bu San Kui yang bernama Yang Kang itu juga seorang yang berperawakan tinggi tegap dengan senjatanya sebatang golok kon-to yang berat.
Dengan tenaganya yang luar biasa Itu Yang Kang sanggup memutar senjatanya yang berat itu begitu kencangnya seolah hanya seringan bambu kering saja.
Begitulah kedua "raksasa"
Itu bertarung dengar, sengitnya, saling menggempur dan mendesak, benturan-benturan senjata-senjata mereka yang sama-sama terbuat dari baja pilihan itu selalu menimbulkan dentang yang memekakkan telinga.
Baik tentara Manchu maupun laskar Hwe-liong-pang tidak ada yang berani mencampuri perang tanding kedua orang itu, salah-salah kepala bisa copot.
Tapi meskipun secara pribadi Cho Bun-liong tidak kalah dari Yang Kang, mau tidak mau ia harus selalu bergerak mundur, sebab mengikuti gerakar.
laskarnya yang terus terdesak oleh tentara Manchu.
Jika tidak ikut mundur, Cho Bun-liong akan terpisah dari laskarnya dan saat itu ia akan terkurung di dalam pasukan musuh.
Sementara itu, Ma Hiong dan rombongannya telah mendekati medan perang, dan mereka melihat bahwa laskar Hwe-liong- pang terus menerus terdesak surut.
Bendera Hwe-liong-pang yang berkibar-kibar Itu kini kelihatannya seperti lambaian tangan seeorang yang hampir tenggelam di tengah laut.
Sementara pasukan Manchu mulai menebar ke samping kiri dan kanan, membentuk semacam jepit raksasa yang akan menjepit lascar Hwe-liong-pang dari seagala arah.
Jika nantinya ujung-ujung pasukan Manchu itu bertaut dan membentuk sebuat gelang besar, maka takkan ada kesempatan lolos lagi bagi orang-orang Hwe-Liong-pang.
Mereka akan tertumpas, meskipun di pihak pasukan Manchu tentu jatuh korban cukup banyak pula.
Dengan darah yang mendidih Ma Hiong melihat bagaimana laskarnya semakin terjepit.
Maka teriaknya.
"Ini tidak boleh terjadi. Kita segara terjun ke arena! Mati hidup kita tanggung bersama saudara-saudara kita."
"aku punya sedikit pertimbangan saudara Ma.!"
Kata Pangerang.
"Pertimbangan apa, saudara Cu?"
"Jika kita berjumlah sedikit ini nekad masuk ke dalam jaring pasukan musuh, sama dengan kupu-kupu menubruk api. Kita semua mati, laskarmupun tidak bakal tertolong. Sedang kita sebetulnya memiliki suatu kesempatan untuk mempengaruhi medan bagi keuntungan kita."
"Kesempatan bagaimana?"
"Tentara Manchu berjalan kaki semuanya, sedang kita biarpun sedikit tetapi berkuda. Berarti kita bisa bergerak lebih cepat dari mereka. Kita akan menyerang musuh tapi justru dari bagian luar lingkaran kepungan mereka alias dari belakang, namun sasaran kita harus berpindah-pindah. Diharapkan gangguan pada bagian belakang pasukan musuh akan membantu mengurangi tekanan kepada laskarmu."
"Bagaimana jika musuh memanah kuda kita?"
"Jika kita diam tak bergerak, kita dipanah. Tapi Jika kita bergerak cepat, kemungkinan terkena panah akan sulit sekali."
Dalam hal ilmu silat memang Ma Hiong lebih unggul dari Pangeran, namun urusan siasat perang semacam itu Pangeranlah yang lebih tinggi ilmunya dari Ma Hiong. Maka dengan tulus Ma Hiong mengacungkan jempolnya kepada Pangeran sambil memuji.
"Siaat yang hebat. Saudara, hari ini aku banyak belajar daripadamul"
"Pujian itu jangan ditujukan kepadaku, sebab akupun cuma menyetirnya dari kitab- kitab kuno ilmu perang. Siasat yang sangat mendasar itu hanya dirumuskan dalam satu kalimat . yang lebih kecil harus lebih lincah bergerak. Sederhana bukan?"
"Baik, kita jalankan sekarang."
Ma Hiong segera mengganti senjata jit-goat- siang-lunnya yang dirasakan terlalu pendek untuk hertempuran berkuda, diganti dengan sebatang golok tan-to.
"Kalian sudah siap?"
Tanya Ma Hiong kepada anak buahnya.
"Kami siap!"
Sambut anak buahnya serempak. Namun Ma Hiong masih merasa perlu perpesan sekali lagi.
"Ingat. Kita akan berganti- ganti sasaran dan tidak terparcang kepada satu titik saja. Jika kita hendak berpindah tempat dan masih ada di antara kita yang masih terikat lawannya, temannya yang lain harus membantu membebaskannya agar gerakan kita tidak terhambat. Kita akan bertempur mati-matian, tetapi bukan bunuh diri beramai-ramai, Jelas?"
Ketika anak buahnya menyataka . paham, Ma Hiong segera memutar goloknya dan berteriak.
"Serang sekarang!"
Maka berderaplah kuda-kuda tegar itu dengan lelaki-lelaki garang di atas punggungnya masing-masing, menyerbu ke barisan belakang tentara Manchu.
Ma Hiong dan Pangeran Cu Hin-yang menempatkan diri paling depan sebagai ujung tombak dari serangan kejutan itu.
Sementara itu kedua orang kepercayaan Ma Hiong telah membagi diri.
Oh Kim Cian yang bersenjata toya baja ce-bi-kun itu akan tetap mendampingi Ma Hiong, sementara yap Kim- heng yang bersenjata golok koan-to itu akan mendamping Pangerang, Meskipun orang-orang dinasti Beng pernah menjadi musuh mereka, tapi kali ini mereka menganggap Pangerang sebagai tamu dan sahabat Hwe-liong-pang yang keselamatannya pantas diperhatikan.
Serangan Ma Hiong dan kawar-kawannya itu memang terlalu mengejutkan tentara Manchu yang tak menduga akan diserang dari belakang itu.
Prajurit-prajurit yang ada di bagian belakang menoleh ketika mendengar derap kak-kuda, dan alangkah terkejutnya mereka sejumlah orang berkuda menerjang mereka.
Beberapa prajurti segera melemparkan lembing dan anak panah mereka, namun arahnya ngawur sehingga lembing-lembing dan panah-panah itu cuma berjatuhan di rerumputan, dan sama sekali tidak mengurangi laju sejumlah kecil orang-orang berkuda yang menerjang dengan beraninya itu.
Ma Hiong yang paling dulu tiba di barisan musuh, segera berteriak garang sambil memutar goloknya seperti baling-baling di atas kudanya, kemudian Pangeran Cu Hin-yang juga berbuat serupa.
Maka kacau-balaulah pasukan di bagian itu.
Tak ada prajurit musuh yang cukup siap untuk menghadapi amukan kuda- kuda dan penunggang-penunggangnya yang bagaikan kesurupan setan itu.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perwira -perwira Terus kepung mere...uuuk!"
La tidak sempat melanjutkan kalimatnya sebab lehernya tersambar oleh pedang Pangeran yang duduk di punggung kuda.
musuh yang berkepandaian cukup tinggi agaknya telah dikerahkan semua ke bagian depan, sehingga yang di bagian belakang tinggal prajurit-prajurit biasa saja.
Namun sebagai tentara yang terlatih, pasukan Manchu itupun segera mengatur diri.
Beberapa perwira rendahan mencoba mengatur teman-temannya dengan berteriak-teriak.
"Tetap tenang! Musuh hanya sedikit! Kait kaki- kaki kuda mereka dengan senjata bertangkai panjang, lainnya lepaskan lembing dan anak panah! Terus kepung mere..uuukl"
Ia tidak sempat melanjutkan kalimatnya sebab lehernya tersambar oleh pedang Pangeran Cu Hin-yang yang bertempur dengan gagahnya di atas punggung kuda. Bersambung ke
Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU
Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.
Jilid eorang prajurit mencoba membidik punggung Pangeran dengan lembingnya, namun tiba-tiba dia pun jatuh terjungkal sebelum sempat melemparkan lembingnya, sebab tengkuknya patah dihantam oleh seorang anak buah Ma Hiong yang bersenjata sebatang gada bergerigi.
Begitulah Ma Hiong dan teman-temannya itu bagaikan serombongan serigala mengamuk di tengah-tengah kawanan kambing.
Meskipun hanya sedikit, tapi karena menunggang kuda jadi lebih leluasa untuk menerjang ke sana ke mari.
Prajurit-prajurit bukan saja harus hati- hati terhadap senjata-senjata mereka, tapi juga terhadap kaki-kaki kuda yang menghentak- hentak itu.
Rupanya udara yang sarat dengan S nafas membunuh dan bau anyirnya darah telah membuat kuda-kuda Itu jadi liar pula seperti penunggang-penunggangnya yang haus darah.
Beberapa prajurit musuh berhasil mengait kaki-kaki kuda itu dengan tombak panjang, begitu penunggangnya jatuh segera dihujani senjata oleh prajurit musuh.
Dengan demikian di pihak Ma Hiong juga telah jatuh korban beberapa orang.
Namun sebagian dari orang Hwe-liong-pang yang jatuh dari kuda itu telah berhasil naik kembali ke punggung kuda mereka, di bawah perlindungan teman- temannya.
Dilain pihak, meskipun untuk gebrakan pertama tentara Manchu menjadi agak kacau, tapi mereka bukanlah orang orang tolol yang tak terlatih sama sekali.
Tak lama kemudian merekapun mulai mendapat ketenangan kembaili, dan memberi perlawanan kepada penyerbu-penyerbu berkuda itu.
Meskipun mereka masih saja berlari-larian menghindari derap kaki kuda dan sekaligus juga sambaran penunggangnya, namun setiap kali mereka selalu berusaha untuk merimpang kaki kuda.
Dengan demikian Ma Hiong dan teman- temannya harus berhati-hati.
Ketika melihat musuh mulai membentuk perlawanan terarah, pangeran Cu Hin-yang sebagai pencetus siasat itu segera sadar bahwa dampak kejutannya sudah habis, mereka harus segera mundur untuk membuat kejutan di bagian lain.
Maka ia berteriak kepada Ma Hiong yang masih saja bersemangat menerjang kesana kemari.
"Saudara Ma, tugas kita di sini sudah selesai!"
Di pihak tentara kerajaan ada seorang perwira rendahan yang berteriak-teriak.
"Jangan biarkan mereka lolos! Mereka akan mengacau di bagian lain dari barisan kital"
Tapi tak seorangpun prajurit kerajaan yang berani menghadapi terjangan kuda-kuda tegar dengan penunggang-penunggangnya yang bagaikan kesurupan setan itu.
Apalagi diujung barisan berkuda itu ada empat orang seperti Ma Hiong, Pangeran Cu Hin-yang serta dua pengawal kepercayaan Ma Hiong yang dengan gampangnya menyibakkan barisan musuh seperti menyibakkan rumput ilalang saja.
Dalam gerakan mundurpun mereka masih sempat menambah jumlah korban di pihak lawan.
Dengan marahnya prajurit-prajurit kerajaan melemparkan lembing-lembing dan anak-anak panah mereka, namun tak ada yang kena sebab Ma Hiong dan teman-temannya telah semakin jauh.
Keluar dari barisan musuh, Ma Hiong memimpin teman-temannya melingkar agak jauh dari medan perang, diberinya kesempatan sejenak kepada kuda-kuda dan penunggangnya untuk beristirahat atau mengobati luka.
Lalu mereka kembali menyerbu di bagian lain.
Begitulah Ma Hiong dan kelompoknya itu setiap kali menggunakan siasat "pukul dan lari", muncul dan menghilang seperti hantu-hantu yang ganas, seluruh barisan belakang musuh jadi tidak tenteram lagi.
Meskipun tidak terhindari bahwa beberapa orang Hwe-liong- pang gugur dalam serangan kucing-kucingan itu, namun sudah cukup membuat pasukan musuh kacau di bagian belakang.
Ternyata kekacauan di bagian belakang barisannya itu membuat tentara Kerajaan secara keseluruhan jadi terganggu juga.
Tekanan pasukan Manchu terhadap laskar Hwe- liong-pang tidak bisa lagi ditingkatkan, sebab bantuan yang tadinya "mengalir"
Dari garis belakang kini mulai tidak lancar.
Jepit raksasa yang direncanakan oleh Yang Kang untuk menggencet hancur laskar musuh menjadi macet dan musuh tak kunjung dapat dihancurkan.
Yang Kang yang tengah berduel dengan Cho Bun-liong itu segera merasakan ketidak- beresan gerakan pasukannya.
Nalurinya sebagai seorang panglima yang berpengalaman segera membisikkan kepadanya, garis depannya yang tadi terus mendesak maju, kini tiba-tiba berhenti.
Maka dengan sebuah isyarat ia segera memanggil tiga orang perwira bawahannya yang dianggapnya cukup berilmu, masing- masing bersenjata Sam-ciat-kun (Ruyung Tiga Ruas), kampak bertangkai sepanjang tangkai tombak, dan golok tebal.
"Kalian lawan dulu pemberontak ini!"
Katanya kepada ketiga perwira bawahannya itu.
"Aku akan memeriksa seluruh pasukan!"
Ketiga orang perwira bawahan itu segera meloncat memasuki gelanggang untuk melawan Cho Bun-liong, dan Yang Kang sendiri segera meloncat keluar dari arena. Sementara Cho Bun-Hong dengan marahnya berteriak.
"Anjing Manchu, Jangan lari dulu! Rasakan dulu senjataku!"
Namun ia tidak dapat mengejar Yang Kang sebab ketiga perwira musuh telah menghalanginya.
Sementara itu Yang Kang dengan tergesa- gesa menyusup ke barisan belakang, dan menemui seorang perwira bawahannya yang bertanggung-jawab di bagian itu.
Dampratnya.
"He, kenapa tekanan ke garis depan mengendor? Orang orang Hwe-liong-pang yang seharusnya sudah kita hancurkan, itu kini seolah mendapat kesempatan untuk bernapas kembali. Apa yang terjadi di sini?"
Perwira yang berperut besar tetapi keras seperti batu karang itu menyahut.
"Ciang-kun, barisan belakang kami terganggu oleh sekelompok orang-orang berkuda yang melakukan siasat sergap dan lari'"
"Berapa besar kekuatan mereka?"
"Berapa.? "Tadi kuhitung kira-kira tiga puluh orang..."
Merah padamlah wajah Yang Kang mendengar jawaban itu. Bentaknya.
"Gila! Kalian gila semuanyal Kalian yang berjumlah ratusan orang ini tidak sanggup mengatasi hanya tigapuluh orang? Kalian sadari akibat kegoblokan kalian? Orang Hwe-liong-pang yang seharusnya sudah tumpas itu sekarang masih bertahan, itu karena kalian tidak membantu dorongan ke garis depan dan hanya sibuk dengan orang-orang berkuda itu saja!"
"Tetapi...tetapi..Ciangkun, dalam rombongan kecil itu ada empat orang yang sangat tangkas. Kepandaian masing-masing dari keempat orang itu barangkali tidak kalah dengan Ciangkun sendiri, dan merekalah ujung tombak dari serangan-serangan itu sehingga Siapa yang sanggup menahan mereka?"
"Jadi bagaimana akalmu? Apa aku harus meninggalkan garis depan yang membutuhkan pimpinanku, dan kemudian berada di garis belakang ini sambil termangu-mangu menunggu munculnya orang-orang berkuda itu? He, gendut, kau bertanggung-Jawab di garis belakang ini untuk menyelesaikan orang-orang berkuda itu. Jika kau gagal, maka di Jing-toh nanti akan kucopot pangkat perwiramu dan kujadikan tukang mencuci kuda dalam pasukan kita, jelas?"
"Tetapi...tetapi...Ciangkun..."
"Kau sudah dilatih menghadapi macam- macam keadaan, jadi terserah bagaimana akalmu pokoknya harus berhasil.!"
Bentak Yang Kang tanpa mempedulikan wajah perwira bawahannya yang menjadi salah tingkah itu.
Lalu sang Panglimapun kembali menyusup ke garis depan untuk menyelesaikan tugasnya yang tadi tertunda.
Perwira gendut itu menarik napas panjang sambil menggaruk-garuk perutnya, gerutunya.
"Ciangkun tidak melihat sendiri bagaimana hebatnya orang orang berkuda itu bertempur, jika la melihat sendiri maka tentu tidak akan seenaknya saja main perintah kepadaku!"
Dalam pada itu, sergapan-sergapan dari Ma Hiong dan kelompok kecilnya ternyata bukan saja berhasil mengacaukan barisan belakang musuh, tapi juga mengobarkan semangat orang- orang Hwe-liong-pang yang berada didalam kepungan musuh.
Meskipun orang-orang Hwe- liong-pang yang terkepung itu hanya melihatnya dari kejauhan, namun mereka segera mengenal bahwa di antara orang-orang berkuda yang mengacau ekor pasukan musuh itu terdapat pemimpin mereka.
"Itu Tongcu!"
Teriak salah seorang Hwe- liong-pang.
Seruan itu segera menjalar dari mulut ke mulut sehingga semangat tempur merekapun berkobar semakin hebat, tidak peduli musuh lebih kuat.
Dengan sorak-sorai yang gemuruh yang dipekikkan orang-orang Hwe-liong-pang, maka pihak tentara Manchu merasa bahwa musuh ternyata masih belum begitu mudah untuk ditundukkan.
Tidak selancar ketika mereka masih merencanakan serangan di kota Jing-toh.
Alangkah geramnya Yang Kang menghadapi kenyataan itu.
Menurut perhitungan, sejak serangan dilancarkan tengah malam tadi, maka tidak sampai pagi pasti musuh sudah habis.
Tapi sekarang matahari sudah agak tinggi dan musuh masih juga melawan dengan uletnya.
Memang banyak musuh yang terbunuh, namun yang masih hiduppun berkelahi tanpa kenal takut.
Kini kesulitan justru menghantui pasukan Yang Kang sendiri.
Selama ini prajurit- prajuritnya kurang latihan, hanya mengandalkan jumlah yang besar saja dan perhitungan-perhitungan di atas kertas.
Setelah bertempur semalam suntuk, tanda-tanda kelelahan terlihat semakin jelas pada diri prajurit-prajuritnya.
Daya tahan perorangan mereka ternyata kalah dari orang-orang Hwe- liong-pang yang biasa ditempa kerasnya alam itu.
Tapi yang lebih lelah lagi adalah Ma Hiong dan pasukannya kecil berkudanya.
Betapa hebatnya jasmani mereka harus bertempur sambil "menggebrak"
Di seluruh sudut arena pertempuran itu, terasa terkuras juga tenaganya.
Serangan-serangan mereka yang paling akhir sudah tidak setajam serangan- serangan pertama tadi, dan sudah belasan orang anggauta pasukan kecil itu yang gugur atau luka.
Pangeran sendiri sudah terluka pundaknya oleh lemparan lembing lawan yang tak sempat dielakkannya.
Sedang pengawal Ma Hiong yang bernama Oh Kim-cian telah luka besar di betisnya, tertusuk tombak musuh.
Namun pada saat pihak-pihak yang bertempur itu merasa lelah, tiba-tiba dari arah selatan padang ilalang itu terdengar sorak-sorai yang membahana, ujung-ujung senjata yang berjumlah ratusan berkilat-kilat tertimpa sinar matahari, bendera-bendera berkibar dengan megahnya.
Sebuah pasukan yang cukup kuat telah memasuki arena itu dari arah selatan, namun belum diketahui entah pasukan dari pihak manakah itu.
Yang Kang yang tengah memimpin pasukan depannya untuk menghancurkan lawan secepat mungkin, tiba-tiba mendapat laporan yang mengejutkan dari seorang prajuritnya.
"Ciangkun, pasukan Li Tiang-hong memasuki arenal"
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terkesiaplah Yang Kang mendengar laporan ini.
"Gila! Gila! Kenapa mereka justru muncul pada saat kita sudah diambang kemenangan? Bagaimana keadaan pasukan kita yang menghadapi lawan baru itu?"
Sahut prajurit yang melaporkan itu.
"Sangat payah, Ciangkun. Kini pasukan selatan kita seakan terjepit, dari depan oleh Hwe-liong-pang dan dari belakang oleh Li Tiang-hong."
Alangkah jengkelnya Yang Kang. Kemenangan yang hampir diraihnya kini lolos lagi dari tangannya, bahkan kekalahan baginya kini bukan hal mustahil lagi. Segera dikeluarkannya perintah sebelum pasukannya terlanjur berantakan.
"Tarik semua sayap ke induk pasukan. Kita terpaksa melepaskan niat kita untuk menjepit lawan, daripada kita yang hancur tergencet dari dua arahl"
Dua orang perwira bawahannya yang bertugas sebagai penyambung perintah, segera meneruskan perintah itu secara berantai sehingga dalam waktu singkat prajurit yang paling ujungnya dapat mendengar perintah itu.
Maka dengan gerakan yang teratur karena sudah terlatih, pasukan Manchu segera bergerak mengumpul ke induk pasukannya.
Dengan demikian "jepit"
Yang hampir berhasil menjepit, hancur orang-orang Hwe-liong-pang itu terpaksa dibuka kembali karena kedatangan Li Tiang-hong dan pasukanya.
Sementara itu, Cho liong juga sudah mendengar laporannya tentang pasukan mana yang sudah memasuki arena itu.
Ia mengerutkan alisnya dan menggerutu.
"Budak- budak dinasti Beng itu datang? Huh, buat apa mereka datang dan ikut campur urusan kita? Kita juga tidak sudi menerima bantuan mereka!"
Maka teriaknya kepada anak buahnya.
"Kita tidak butuh bantuan budak-budak Cong-ceng itu! Saudara-saudara, mari kita tunjukkan kepada budak-budak itu lagaimana kita bertempur melawan musuh!"
Ucapan Cho Liong yang bernada membakar itu disambut dengan sorakan bersemangat oleh laskarnya.
Bagaikan gelombang menghantam pantai, orang-orang Hwe-li-ong-pang mengejar tentara Manchu yang tengah menarik diri itu.
Kembali berkumandang dentang senjata yang ramai, bercampur aduk dengan teriakan- teriakan pembakar semangat dari kedua pihak, caci-maki penuh kemarahan dan kebencian, teriakan kesakitan dan kematian.
Ratusan orang berkelahi dengan nafsu haus darah yang tak terkendali.
Padang ilalang yang biasanya sunyi tenteram itu, kini riuh dengan gemuruhnya perang.
Embun yang indah bagai mutiara bercampur dengan merahnya darah yang semerah api neraka, tubuh-tubuh beku saling menyilang di seluruh arena.
Perang memang kejam, namun manusia agaknya sangat asyik dengan permainan kejam itu.
Tentu saja mengasyikkan hanya bagi segelintir pemimpin yang menganggap para prajurit-prajurit rendahan itu sebagai bidak-bidak catur belaka, sebab mereka tinggal mengatur jalannya peperangan dari belakang meja.
Namun para pemimpin itu tidak mau tahu berapa banyak perempuan yang menjadi janda, berapa banyak anak-anak kehilangan ayahnya, berapa banyak gadis kehilangan kekasihnya dan ibu-ibu kehilangan puteranya.
Perang tetap saja mengasyikkan, anggap saja semacam olahraga asah otak bagi para pemimpin.
Di tengah gemuruhnya saling bantai antar manusia itu, Ma Hiong dan kelompoknya sudah melihat kedatangan pasukan Li Tiang Hong itu.
Dan ketika Pangeran melihat panji-panji yang dikibarkan oleh pasukan Li Tiang-hong itu seketika bergetarlah jantungnya.
Bagaikan kehilangan sukma, Pangeran menatap lekat- lekat ke arah sehelai bendera besar segitiga berwarna kuning, di tengah-tengahnya tersulam bulatan merah yang melambangkan matahari, dan di samping bulatan merah itu ada lukisan bulan sabit berwarna putih.
Itulah Jit-goat-ki (Panji Matahari dan Rembulan), bendera dinasti Beng.
Tiba-tiba mata Pangeran menjadi buram karena selapis air membasahi matanya, lambaian bendera itu seakan-akan mengucapkan selamat bertemu setelah bertahun-tahun tak bertemu.
Kemudian dilihatnya pasukan Li Tiang-hong memasuki arena.
Mereka masih tetap memakai seragam prajurit Beng, meskipun sudah kurang lengkap dan warnanyapun sudah lusuh, namun mereka tetap mengenakannya dengan rapi dan penuh kebanggaan, seakan mereka tetap merasa sebagal prajurit-prajurit dari sebuah dinasti yang benar, bukan sekedar pengacau- pengacau liar seperti yang disebut oleh orang- orang Manchu.
Pangeran hampir menangis rasanya melihat pemandangan yang mengharukan itu.
Untuk sesaat Pangeran lupa bahwa dirinya masih berada di tengah medan perang yang riuh.
Ketika seluruh perhatiannya sedang terampas oleh bendera Jit-goat-ki, maka seorang prajurit musuh telah melemparkan lembingnya dengan derasnya ke dada Pangeran yang tengah melamun itu.
Untunglah Oh Kim-ciam melihat Itu, teriaknya, Hati-hati, Pangeranl"
Dan sambil berteriak memperingatkan iapun melemparkan toya bajanya untuk membentur lembing itu.
Lembing dan toya baja berbenturan di udara dan sama-sama terjatuh ke tanah.
Pangeran segera sadar kembali bahwa di tengah medan perang itu bukan saatnya untuk melamun.
Dan iapun kembali memutar pedangnya sambil melarikan kudanya, seperti seekor garuda yang menyambar sekumpulan anak-anak ayam.
Ternyata, bukan Pangeran Cu Hin-yang saja yang tergetar hatinya ketika melihat bendera itu, tetapi juga Yang Kang sebagai pemimpin pasukan Manchu.
Yang Kang adalah bawahan Bu San-kui sejak Bu San-kui masih sebagai Panglima Kerajaan Beng di kota San-hai-koan.
Ketika dinasti Beng dirobohkan Li Cu-seng dan kemudian Bu San-kui beserta seluruh pasukannya menakluk kepada bangsa Manchu, maka seragam prajurit Beng-pun ditukar dengan seragam prajurit Manchu.
Namun Yang Kang tidak bisa melupakan bahwa di San-hai- koan dulu ia pernah berjuang di bawah lambaian Jit-goat-ki, haruskah kini ia melawannya? Memandang bendera yang berkibar-kibar di tengah-tengah pasukan Li Tiang-hong itu, hati Yang Kang ikut terobek- robek, seakan-akan bendera itu telah mengingatkan Yang Kang kenapa sekarang kau melawanku? Lambaian itu juga menatang Yang Kang robeklah aku, injaklah aku, kalau kau berani.
Yang Kang yang tidak pernah gentar bahkan ketika melihat lautan senjata musuh, kini tiba-tiba merasa tubuhnya menggigil karena gejolak jiwanya.
Bagi prajurit, bendera bukan sekedar sehelai kain yang dicantelkan di ujung sepotong kayu.
Sehelai bendera adalah lambang kehormatan pasukannya dan kehormatan negaranya.
Cerita-cerita kepahlawanan dari segala penjuru dunia dan dari segala jaman tidak jarang menceritakan bagaimaana sepasukan prajurit sanggup mengorbankan diri untuk sehelai bendera.
Sehelai kain digunting menjadi dua, yang sehelai dijadikan lap meja yang sehelai dijadikan bendera, maka makna kedua guntingan kain itu akan berbeda sekali.
Sehelai lap meja dapat begitu saja dibuang dan diinjak-injak, tapi sehelai bendera menuntut pembelaan dari seluruh rakyat negaranya.
Menginjak sehelai bendera berarti perang! Yang Kang bagaikan silau melihat ke arah Jit-goat-ki.Dan dalam kegoncangan perasaannya itu tiba-tiba meluncurlah perintah dari mulutnya.
"Tarik mundur seluruh pasukan!"
Perwira-perwira bawahannya terkejut mendengar perintah yang dirasa sangat gegabah itu. Seorang perwira segera berkata dengan cemas.
"Ciangkun, kita belum tentu kalah dalam pertempuran ini, dan kalau kita mundur begitu saja maka kita akan dihajar dari beiakang..."
Namun Yang Kang langsung membentaknya.
"Aku Panglimamu dan aku memerintahkan untuk menarik mundur seluruh pasukan!! Kau dengar?!"
Perintah itu memang janggal.
Masakah Yang Kang yang berpengalaman itu memerintahkan pasukannya untuk mundur begitu saja? Biasanya Yang Kang adalah seorang Panglima yang gigih.
Andaikata harus mundurpun tentu sambil mencari kesempatan untuk menyerang balik, tidak pernah mundur begitu saja.
Namun perwira-perwira bawahannya saat itu mana tahu bahwa Yang Kang tengah tergoncang Jiwanya melihat lambaian bendera Jit-goat-ki? Hujan panah dan dinding golok ia berani menerjangnya, tetapi Jit-goat-ki ternyata masih memiliki pengaruh yang besar atas jiwanya.
Sementara pihak lawanpun terkejut melihat pasukan Yang Kang yang belum kalah itu tiba- tiba mundur begitu saja.
Dengan demikian pasukan Li Tiang-hong yang baru saja memasuki medan itu tidak mengalami pertempuran yang berarti.
Baru bertempur sebentar dan musuh sudah kabur.
Kini, pasukan Li Tiang-hong dan laskar Hwe-liong-pang yang sudah kehilangan musuh bersama itu telah berdiri berhadap-hadapan dengan senjata-senjata tergenggam erat di tangan masing-masing.
Meskipun senjata belum berbenturan, namun pandangan mata dari kedua belah pihak- sudah saling berbenturan, memancarkan sikap permusuhan mereka sejak jaman pemberontakan Li Cu-seng dulu.
Seperti genangan minyak, cukup dengan setitik api saja akan berkobarlah sebuah pertempuran baru antara pasukan Li Tiang-hong lawan laskar Hwe-liong-pang.
Pertempuran ulangan ketika laskar Li Cu-seng merebut Istana Kerajaan di pak-khia beberapa tahun yang lalu.
Li Tiang-hong yang jumlah pasukannya lebih banyak dan juga masih segar itu tentu tidak akan mengalami banyak kesulitan untuk menghancurkan musuh lamanya yang tinggal sedikit dan kelelahan itu.
Namun wajah-wajah laskar Hwe-liong-pang tidak sedikit-pun menampakkan perasaan gentar mereka terhadap maut.
Mereka sudah bertekad andaikata tertumpas habispun tapi lebih dulu harus mencari korban sebanyak-banyaknya di pihak lawan.
Terdengar suara Li Tiang-hong.
"Nah, orang she Cho, sekarang kau harus mengakui bahwa kami lebih kuat dari kalian bukan? Ternyata kalian terpaksa telah mengirimkan dua orang untuk meminta bantuan kami... ."
Wajah Cho Bun-liong menjadi merah padam.
"Orang she Li, jaga baik-baik mulutmu! Kapan kami mengirim orang untuk mengemis bantuanmu?"
Li Tiang-hong juga menjadi marah. Sambil menunjuk ke arah Kongsun Hui yang berkuda tidak jauh dari padanya, Li Tiang-hong bembentak.
"He, kau berani mengingkari perbuatan pihakmu sendiri? Benar-benar tidak tahu malu! Bukankah saudara Kongsun ini dengan diantar oleh seorang anak buahmu telah datang dan memohon aku untuk menggerakkan pasukan, katanya kalian hampir mampus oleh tentara Manchu dan butuh pertolongan kami?"
Cho Bun-liong melirik ke arah Kongsun Hui dan berkata keras.
"Aku tidak kenal orang itu! Sejak tentara Manchu menyerang kami tadi malam, kami hanya mengandalkan tenaga sendiri untuk melawan mereka, buat apa minta bantuan budak-budak keluarga Cu seperti kalian ini? Dan bukankah kalian tidak mengalami pertempuran sedikitpun dengan tentara Manchu yang dulunya adalah bekas teman-teman kalian itu? Kamilah yang bertempur, bukan kalian!"
Li Tiang-hong yang bertampang berewokan seperti tokoh sejarah Utti Kiong dari dinasti Tong itu, bertambah marah ketika mendengar ucapan-ucapan Cho Bun-liong itu, apalagi ketika mendengar Cho Bun-liong menyebut tentara musuh tadi sebagai "bekas teman-teman kalian".
Maka Li Tiang-hong-pun mengangkat tombaknya dan berteriak.
"Kurang ajar! Bu San- kui dan begundal-begundalnya memang bekas teman kami, tapi setelah mereka menjadi budak-budak Manchu maka mereka adalah musuh yang harus kami musnahkan! Orang she Cho, kau ini orang berwatak hina, pantas dulu kau bergabung dengan pengkhianat Li Cu-seng itu!"
Darah Cho Bun-liong yang belum "mendingin"
Akibat pertempuran yang baru saja dialaminya itu, kini telah mendidih kembali mendengar cacian Li Tiang-hong itu.
Maka lapun telah mengangkat senjatanya dan siap memberikan aba-aba kepada laskarnya untuk bertempur kembali.
Dan meskipun laskar Hwe- liong-pang sudah kelelahan, tapi begitu melihat isyarat pemimpin mereka itu maka merekapun dengan sigapnya mempersiapkan diri.
Melihat keadaan yang memanas itu, Kongsun Hui cepat-cepat berteriak mencegah.
"Tahan.! Saudara Li dan saudara Cho, aku kira kalian sudah terlibat dalam suatu kesalah- pahaman yang sangat berbahaya dan bisa menghancurkan diri sendiri! Saudara Li, Jika nanti kau sudah bertemu dengan Pangeran, maka kau akan mendapat penjelasannya. Saudara Cho, pemimpinmu saudara Ma Hiong ada bersama Pangeran kami dan nanti kau pun akan mendapat penjelasan dari pemimpinmu. Sekarang tahanlah diri kalian, jangan seperti anak-anak muda belasan tahun yang hanya saling melotot saja sudah langsung berkelahi!"
Li Tiang-hong kenal Kongsun Hui sebagai bekas Panglima Beng pula, karenanya ia menjadi segan kepada Kongsun Hui.
Sedang walaupun Cho Bun-liong belum kenal Kongsun Hui, namun ucapan orang itu cukup berpengaruh juga, meskipun ia agak heran sejak kapan Tongcu-nya berkenalan dengan seorang Pangeran? Sementara kedua pihak masih bersitegang leher, tiba-tiba muncullah serombongan orang berkuda yang bukan lain adalah Ma Hiong dan rombongannya, di antaranya termasuk Pangeran Cu Hin-yang.
Ingatan Li Tiang-hong ternyata cukup baik, dulu ketika jaman dinasti Beng, Li Tiang-hong pernah bertemu dengan pangeran Cu Hin-yang.
Kini meskipun wajah pangeran itu kusut dan kotor, ternyata ketajaman mata Li Tiang-hong tetap dapat mengenalinya, apalagi karena ia sudah mendapat keterangan dari Kongsun Hui.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi Maka cepat-cepat Li Tiang-hong meloncat turun dari kudanya dan berlutut memberi hormat.
"Hamba Li Tiang-hong memberi hormat kepada Pangeran!"
Pangeran sangat terharu bertemu dengan bekas Panglima Beng yang sangat setia ini. Pangeranpun segera secara cepat-cepat turun dari kuda, membangunkan Li Tiang-hong dan merangkulnya dengan hangat.
"Terima kasih, Li Ciangkun. Dari jarak laksaan li di Shoa-say sana aku sudah mendengar berita tentang perjuanganmu yang gigih. Kau seorang panglima Beng yang membuat kami semua merasa bangga memilikimu.
"Bukan sesuatu yang luar biasa, Pangeran, hamba hanya sekedar menetapi sumpah ketika dulu diwisuda sebagai prajurit Kerajaan Beng."
Pangeran menarik napas.
"Li Ciangkun, kau mengucapkan alasanmu itu dengan ringan saja seolah-olah hal itu begitu mudah untuk dilakukan. Namun sesungguhnya menetapi sumpah prajurit dengan cara segigih kau adalah hal yang maha sulit. Berapa ratus orang yang dulu mengucapkan sumpah bersamamu, dan sekarang berapa gelintirkah yang masih setia kepada sumpahnya? Tidak sedikit malahan sudah menjadi anjing-anjingnya bangsa Manchu."
Terasa mekar juga hati Li Tiang-hong mendenar pujian itu, meskipun sebenarnya dia bertempur bukan untuk mendapatkan pujian, melainkan demi kesetiaan kepada negerinya dan kaisarnya, meskipun sang Kaisar sendiri telah tiada.
Li Tiang-hong melirik sekejap ke arah Ma Hiong, lalu tanyanya.
"Pangeran, bagaimana Pangeran bisa berada bersama-sama dengan bangs...eh, pemimpin orang-orang Hwe-liong- pang ini?"
Pangeran tahu bahwa Li Tiang-hong hampir saja menyebut Ma Hiong sebagai bangsat, namun kemudian membatalkannya karena sadar bahwa ucapan itu terlalu kasar diucapkan di depan Junjungannya.
Namun sikap Li Tiang- hong itu menunjukkan betapa saling membencinya antara sisa-sisa prajurit Beng dengan sisa-sisa pendukung Li Cu-seng.
Kini adalah tugas Pangeran Cu Hin-yang untuk mempersatukan kedua kekuatan itu agar menjadi satu barisan yang kuat.
Dengan tekad seperti itu, maka Pangeran sengaja menunjukkan hubungan baiknya dengan Ma Hiong.
Ia merangkul pundak Ma Hiong dan berkata kepada Li Tiang-hong.
"Li Ciangkun, jika tadi malam aku tidak ditolong oleh saudara Ma dan teman-temannya, maka aku dan Kongsun Ciangkun sekalian tentu telah menjadi bangkai karena dibantai oleh si Naga Utara Pakkiong Liong dengan regu mautnya yang terkenal itu. Meskipun saudara Ma dulu adalah pengikut Li Cu-seng, namun ketika melihat kami terancam bahaya maka tanpa pikir panjang ia telah berpihak kepada kami. Ia melupakan permusuhan masa lalu demi menghadapi musuh bersama. Jiwa besarnya ini dapatkah kita menirunya?"
Li Tiang-hong merasa bahwa penjelasan Pangeran itu agak diluar dugaan, dengan sangsi ia memandang wajah pangeran dan wajah Ma Hiong berganti-ganti.
Meskipun watak Li Tiang- hong keras dan kaku, namun memiliki kejujuran untuk menilai sebuah kenyataan.
Maka setelah ragu-ragu sejenak iapun memberi hormat kepada Ma Hicng dan berkata.
"Orang she Ma, kau sudah menyelamatkan seorang ahli waris Kerajaan Beng. Kuucapkan terima kasih kepadamu."
Sialnya, disebut-sebutnya dinasti Beng itu malah membuat Ma Hiong kurang senang. Sahutnya.
"Aku tidak peduli dengan dinasti Beng-mu. Aku menolong orang Han yang mana saja yang terancam oleh orang Manchu, tidak peduli orang Han itu she Cu atau bukan!"
Li Tiang-hong Jadi mendongkol mendengar Jawaban itu, lalu suaranya-pun berubah keras.
"Oh, begitu? Kalau begitu kau juga tidak usah berterima kasih atas pertolonganku kepada laskar mu tadi! Adalah kewajiban prajurit Beng untuk melindungi rakyatnya dari gangguan musuh, tidak peduli rakyat itu orang Hwe-liong- pang atau bukan!"
"Omong kosong!"
Cho Bun-liong menimbrung.
"Kalian tidak menolong kamil Kami sendirilah yang menyelamatkan diri kamil Dengan kekuatan sendiri!"
Tadi suasana tegang, setelah kedatangan Pangeran Cu Hin-yang menjadi agak reda, namun kini menjadi tegang kembali gara-gara kedua pihak bersikap sama kerasnya. Maka Pangeran Cu Hin-yang cepat-cepat menengahinya.
"Saudara-saudara, apakah hanya hal-hal remeh itu sudah cukup untuk membuat kalian naik darah dan saling gempur kembali? Kalian menjerumuskan diri sendiri ke dalam perpecahan dan kemudian kehancuran! Belum cukupkah kita merasakan akibat-akibat perang saudara, di mana akhirnya orang luar yang memetik hasilnya? Alangkah enaknya orang-orang Manchu itu, mereka tidak akan meneteskan setetes keringat-pun, tinggal berpeluk-tangan sambil menonton kalian baku hantam sendiri sampai remuk dan mereka tinggal memungut hasilnya. Saudara-saudara, kapan kita akan jera dengan pengalaman- pengalaman pahit kita di masa lalu?"
"Tetapi dia menghina dinasti Beng, Pangeran!"
Kata Li Tiang-hong sambil menunjuk kepada Ma Hiong. Sahut Pangeran.
"Tidak perlu merasa terhina. Aku bukan saja rakyat dinasti Beng, bahkan anak dari Kaisarnya sendiri meskipun hanya dilahirkan dari perempuan rakyat jelata! Tapi aku berani melihat kenyataan bahwa dinasti kita adalah dinasti yang bobrok, aku bisa memaklumi kenapa Li Cu-seng berontak. Jika ayahanda Kaisar bersih dari kesalahan, tidak mungkin Li Cu-seng akan memberontak. Li Ciang-kun, jawablah dengan jujur, apakah masa pemerintahan ayahanda Cong-ceng dulu tidak seperti yang kukatakan tadi?"
Pertanyaan Pangeran itu membuat wajah garang Li Tiang-hong tiba-tiba tertunduk lesu. Namun ia masih juga mencoba memberikan alasan.
"Memang jaman itu tidak dapat dibanggakan sama sekali, keboborokan dan kemelaratan merajalela di mana-mana. Tapi tidak seharusnya Li Cu-seng mengacau di dalam negeri sehingga memberi peluang kepada bangsa Manchu untuk menyerbu negeri ini. jadi yang salah adalah Li Cu-seng, dan orang-orang Hwe-liong-pang ini dulu adalah pendukung- pendukung bandit pemberontak itu!"
Ma Hiong hampir saja berteriak untuk mendebatnya, namun pangeran telah menepuk pundaknya dan memberi isyarat agar diam lebih dulu. Lalu Pangeranlah yang berbicara.
"Tidak, Li Ciangkun. Kita harus bisa memahami kenapa ia berontak. Kau pikir kesengsaraan rakyat itu boleh dibiarkan terus menerus? Li Cu-seng ingin mengangkat derajat rakyat kecil dan untuk itu tidak ada jalan lain kecuali mengangkat senjata. Kukatakan lagi, tidak ada jalan lain. Li Cu-seng tidak mungkin menghadap ke istana untuk mengadukan penderitaan rakyat, sebab kaki tangan si dorna Cho Hua-sun sudah memenuhi segala sudut istana, sehingga pengaduannya pasti akan dianggap angin lalu saja. Dan siapa yang berani mengadukan hal-hal yang tidak baik kepada Kaisar, ia akan segera kehilangan kepalanya. Jadi cara apa yang paling tepat bagi Li Cu-seng kecuali mengobarkan pemberontakan?"
"Jadi Pangeran menyetujui pemberontakan Li Cu-seng, meskipun yang digulingkannya adalah ayahanda Pangeran sendiri?"
Sahut Pangeran.
"Harus dipisahkan antara hubungan pribadi dengan kepentingan seluruh negara. Aku sebagai anak hormat kepada ayah Baginda sebagai ayahku. Tapi aku sebagai warga yang mendambakan tata-pemerintahan yang bersih dari kaum dorna, bisakah aku menghormati rajaku yang juga ayahku? Aku jawab terus-terang, Li Ciangkun, aku tidak bisa menghormatinya."
Li Tiang-hong menarik napas dalam dalam dan mencoba mencerna sikap Pangeran Cu Hin- yang yang terasa mengejutkan itu.
Namun perlahan-lahan akal sehat Li Tiang-hong yang menguasai dirinya, bukan sekedar kesetiaan kepada dinasti Beng yang membabi-buta.
Ucapan ucapan Pangeran itu benar adanya.
Li Tiang-hong sendiri ingat bagaimana ia pernah berusaha menghadap Kaisar untuk sebuah urusan penting yang mendesak harus diketahui oleh Kaisar, namun orang-orang di sekitar Kaisar tidak segera menyampaikan permohonan menghadap itu Sebelum Li Tiang- hong memberi "uang pelicin".
Tidak peduli ada masalah yang menyangkut mati-hidup negara, pokoknya tanpa uang pelicin Jangan harap masalahnya akan dibicarakan dalam sidang istana.
Bu San-kui, Panglima Beng yang berbalik menjadi panglima Manchu itu, barangkali adalah salah satu korban kekecewaan melihat tata pemerintahan yang semrawut itu.
Ketika Bu San-kui masih sebagai perwira rendahan di San-hai-koan, ia diutus oleh Panglima San hai- koan untuk pergi ke Ibukota untuk menghadap Kaisar telah dipersulit oleh orang-orang istana sendiri, meskipun Bu San-kui sampai kehabisan uang untuk sogok sana sogok sini, agaknya sogokannya kurang besar sehingga permohonannya diabaikan saja.
Akhirnya ia berhasil juga menghadap, namun keadaan sudah tak tertolong.
Panglima Hong di San-hai- koan sudah tertawan oleh musuh, dan untungnya kota itu masih dapat dipertahankan.
betapa kecewanya Bu San-kui saat itu, dan tidak aneh kalau kesetiaannya kepada pemerintahan Beng Jadi merosot.
Barangkali, itu pula salah satu alasannya kenapa rela menyerahkan negerinya kepada pihak Manchu daripada mempertahankannya mati-matian, mungkin karena dianggapnya mempertahankan dinasti Beng sama saja artinya dengan mempertahankan kebobrokan.
Kini di tengah padang ilalang di wilayah Hun-lam itu, Pangeran Cu Hin-yang tahu bahwa kata-katanya mulai meresap di hati Li Tiang- hong.
Katanya lagi "Kau tentu dapat menilai sejarah masa lalu dengan jujur, Li Ciangkun.
Sekarang bangsa Manchu telah menguasai negeri kita.
Apakah kita masih saja saling melempar kesalahan dan saling menudingkan telunjuk, menganggap diri sendiri paling benar?"
"Aku mengerti, Pangeran,"
Akhirnya Li Tiang-hong menjawab. Sementara itu Ma Hiong Juga mengangguk- anggukkan kepalanya mendengar ucapan Pangeran yang terasa kebenarannya itu. Bahkan kemudian Ma Hiong mendahului minta maaf kepada Li Tiang-hong.
"Orang she Li, aku minta maaf untuk ucapanku tadi. Dan terima kasih pula untuk pertolonganmu kepada laskarku."
Li Tiang-hong juga baru saja terbuka pikirannya, maka sambil tertawa terbahak ia menjawab.
"Jangan sungkan-sungkan, orang she Ma. Suatu ketika barangkali aku yang akan terburu-buru mohon bantuan kepadamu... ."
"Aku nantikan saat kau terbirit-birit menemui aku itu,"
Sahut Ma Hiong sambil tertawa.
Namun kali ini suara tertawanya tidak mengandung nada mengejek sedikitpun.
Entah siapa yang mendahului, tahu tahu kedua lelaki berwatak jantan itu sudah saling mengulurkan tangan dan kemudian saling genggam dengan eratnya.
Sirnalah sikap saling bersaingan selama ini, seperti embun pagi yang menguap terkena kehangatan sinar mentari.
Pangeran merasa sangat puas melihat peristiwa itu.
Tangannya pun ikut bersatu dengan tangan kedua orang itu katanya.
"Bagus, kita akan bekerja sama mengusir penjajah Manchu dari negeri ini. Dalam perjalanan menuju kemari, aku juga sempat mendamaikan antara Tiat-hi-pang (Serikat Ikan Besi) dengan Kang-liong-pang (Serikat Naga Sungai yang tadinya bertengkar terus karena merasa sama- sama berkuasa di sungai Hong-ho itu. Kini mereka sudah rukun dengan pembagian daerah kerjanya masing-masing, dan Jika mereka bersatu maka kekuatan mereka cukup disegani oleh armada kapal Manchu yang sering lalu- lalang di sungai Hong ho itu. Di wilayah Hok- kian aku juga sudah merukunkan Koay-to-bun (Perguruan Golok Kilat) dengan Ngo-pa-hwe (Perkumpulan Lima Harimau)."
Sementara itu, baik pasukan Li Tiang-hong dan laskar Hwe-liong-pang mulai membenahi diri mereka masing-masing.
Korban yang jatuh di pihak Hwe-liong-pang ternyata cukup besar, hampir separoh gugur dalam waktu hanya semalam, sedang yang masih hiduppun banyak yang luka-luka.
Yang gugur langsung dikuburkan di tempat itu juga, dengan batu nisan dari potongan-potongan kayu yang diukir dengan nama masing-masing.
Mayat-mayat prajurit musuhpun ikut di kuburkan dengan layak, meskipun tempatnya terpisah.
Selama hidup mereka memang musuh, tapi setelah mati merekapun diperlakukan sebagai sesama manusia yang tubuhnya harus mendapat perlakuan selayaknya.
Atas perintah Li Tiang-hong sendiri, pasukannya ikut bekerja membantu laskar Hwe-liong-pang dalam menguburkan mayat- mayat itu.
Pertama terasa agak canggung juga, namun setelah saling berbicara sepatah dua patah kata, perlahan-lahan kekakuan itupun mencair.
Sementara itu Ma Hiong telah berunding dengan pembantu-pembantunya, dan mereka memutuskan untuk mendirikan tempat persembunyian baru yang belum diketahui oleh musuh.
Tempat persembunyian yang lama tidak ada gunanya di tempati lagi, sebab sudah diketahui musuh.
Ketika Li Tiang-hong menawarkan agar laskar Hwe-liong-pang menjadi satu saja di dalam barak Li Tiang-hong, maka Ma Hiong menolaknya secara halus.
Meskipun permusuhan sudah menjadi perdamaian, namun Ma Hiong masih merasa enggan juga kalau harus menumpang di barak Li Tiang- hong, apalagi barak, itu mengibarkan bendera Jit-goat-ki yang dulu dimusuhi Hwe-liong-pang.
Baik Pangeran maupun Li Tiang-hong dapat memaklumi keengganan itu dan mereka-pun tidak memaksa, tapi kedua pihak sudah saling berjanji untuk saling membantu apabila diperlukan.
Maka berturut-turut rombongan Hwe liong- pang dan pasukan Li Tiang-hong pergi meninggalkan tempat berdarah itu.
Pangeran dan Kongsun Hui ikut dalam rombongan Li Tiang-hong dan mengucapkan selamat berpisah dengan Ma Hiong.
Dalam perjalanan menuju ke barak Li Tiang- hong, Pangeran sempat meminta kepada Li Tiang-hong untuk mengirimkan orang ke kuil terpencil San-sin-bio untuk mengambil jenazah Tio Tong-hai dan dua orang pengikut Pangeran lainnya yang masih tertinggal di sana.
Pangeran bermaksud akan memakamkan jenazah orang- orang yang setia kepada Kerajaan Beng itu dengan upacara kehormatan di barak Li Tiang- hong nanti.
Semasa dinasti Beng belum runtuh, Li Tiang-hong Juga mengenal Tio Tong-hai sebagai seorang Panglima yang jujur dan setia namun malah kurang disukai di kalangan istana.
Ketika mendengar kematiannya, ia mengertakkan giginya.
"Ia seorang yang baik dan berilmu tinggi, sayang umurnya sependek itu sehingga harus tewas di tangan bangsat Manchu itu. Namun aku sungguh penasaran mengapa Pakkiong Liong berani juga berkeliaran di tempat ini. Aku akan menyebar anak buahku untuk menangkap pentolan Manchu itu."
Mendengar itu, Pangeran lalu berpesan.
"Tapi Li Ciangkun, jika jejaknya sudah diketemukan, jangan dihadapi sendiri. Diperlukan suatu kekuatan yang besar untuk bisa menangkapnya."
"Kenapa? Apakah ia berkepala tiga dan bertangan enam?"
"Pokoknya jangan memandang remeh kepadanya, kalau tidak, maka Ciangkun hanya akan mengorbankan anak buah Ciangkun secara sia-sia. Tadi malam, dalam keadaan luka berat ia masih sanggup melawan kami berlima, yaitu aku sendiri, Kongsun Ciangkun, Ma Hiong dan dua orang kepercayaannya yang juga cukup tangguh ilmunya itu. Bahkan ia dapat meloloskan diri di depan hidung kami. Kau bisa mengira-ngira sendiri sampai di mana bobot orang itu, terutama ilmunya yang dapat memancarkan udara panas itu benar-benar hebat."
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mau tak mau Li Tiang-hong percaya Juga.
Jika Pangeran sampai.
berpesan begitu hati-hati, tentu ada alasan yang cukup untuk itu.
Namun hal itu tidak mengurangi tekad Li Tiang-hong untuk menangkap orang Manchu yang dijuluki Naga dari Utara itu.
BAGIAN KE TIGA.
i sebuah gubuk di lereng Tiam-Jong-san, sedikit demi sedikit Pakkiong Liong mendapatkan kembali kesadarannya.
Kelopak matanya terasa makin ringan untuk digerak- gerakkan dan kemudian terbuka sama sekali.
Dan yang pertama dilihatnya adalah kerangka bambu dari atap daun ilalang di atas dirinya.
Ketika ia memudar kepalanya, ia menemukan dirinyaa terbaring di sebuah pembaringan yang terbuat dari bata merah yang direkat dengan D tanah liat, dan bagian atasnya dilapisi dengan jerami yang tebal dan tikar yang bersih.
Ada dua pintu di ruangan itu, yang satu menuju keluar yang lain ke bagian dalam rumah.
Yang ke bagian dalam ditutup dengan tirai tenunan serat kayu yang kasar dan sederhana, sedang yang keluar rumah berdaun pintu dari potongan- potongan kayu yang dirakit dengan tali ijuk.
Pembaringan Pakkiong Liong terletak di dekat sebuah Jendela yang engselnya terletak di atas, dan Jendela itu terbuka lebar dengan diganjal sepotong kayu panjang.
Dari jendela itu mengalirlah angin yang sejuk menyegarkan, udara pegunungan.
Perabotan di dalam gubuk itupun sederhana sekali.
Selain pembaringan tempat Pakkiong Liong berbaring, hanya ada sebuah meja kayu kasar namun kokoh, dikelilingi empat buah bangku kayu yang sama kasarnya dan kokohnya.
Di atas meja ada empat buah cawan yang tertelungkup dan bertumpuk-tumpuk, dan sebuah poci entah berisi teh atau arak.
Di sudut ruangan itu disandarkan beberapa macam alat pertanian yang terdiri dari sebuah cangkul, sabit, kampak pembelah kayu dan sepotong kayu panjang berujung runcing yang sering digunakan untuk melubangi tanah untuk menanam bibit.
Secara keseluruhan, keadaan rumah itu amat sederhana, namun menimbulkan rasa tenteram dan damai.
Namun setelah Pakkiong Liong mengenangkan peristiwa yang terakhir dialaminya, maka ia berkesimpulan bahwa orang-orang penghuni gubuk itu tentu tidak sesederhana tempat tinggalnya ini.
Ini tentu rumah dari anak-muda yang bernama Tong Lam-hou itu, yang dengan lemparan batunya dapat memecahkan kepala serigala, dan ranting-ranting keringnya nampu menembus tubuh serigala yang liat dan terlapis bulu tebal itu.
Bukan tingkatan ilmu yang main-main.
Tanpa beranjak dari pembaringannya, Pakkiong Liong mencoba mengingat wajah anakmuda yang menolongnya dari terkaman serigala-serigala gila itu.
Dan Pakkiong Liongpun tersenyum sambil bergumam sendirian.
"Ia mengaku bernama Tong Lam-hou, Lam-hou yang berarti si Harimau dari selatan. Pasangan yang cocok untuk Pakkiong (Naga dari utara)."
Ketika Pakkiong Liong merasa bosan duduk terus, ia bangkit.
Dan alangkah herannya ketika ia merasa tubuhnya tidak merasa sakit lagi, padahal ia teringat bahwa saat terakhir itu ia dalam keadaan luka parah luar dan dalam.
Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire Midnight Sun Karya Stephenie Meyer Mahesa Edan 4 Rahasia Ranjang Setan
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama