Ceritasilat Novel Online

Pendekar Naga Dan Harimau 22

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 22


Dengan langkah lebar ia menuju ke tengah lapangan, dua orang prajurit yang merintanginya telah disingkirkannya dengan sebuah kibasan ringan dari lengan jubannya yang rebar itu.

Melihat orang itu, Tong Lam-hou berteriak.

"Suhu (guru)! Jangan bunuh prajurit-prajurit yang tak bersalah dan cuma menjalanklan perintah itu !"

Orangtua itu memang bukan lain adalah Tiam-jong-losia Ang Hoan, tokoh tua dari gunung Tiam-jong-san yang jarang sekali muncul di dunia ramai namun memiliki nama yang menggetarkan.

Bagi orangtua ini, urusan yang terjadi di dunia ramai yang bagaimanapun juga tidak menarik perhatiannya untuk ikut campur, tapi kalau sudah menyangkut diri Tong Lam-hou, maka masalahnya lain lagi.

Ia begitu sayang kepada murid satu-satunya itu, sudah dianggap sebagai anak kandungnya sendiri karena memang orangtua itulah yang memomong sejak Tong Lam-hou masih berujud bayi merah, di samping ibu Tong Lam-hou sendiri.

Maka ketika seorang anggota Kay-pang dari kota Tayli mengantarkan surat ke puncak Tiam-jong-san, saat itu juga Ang Hoan meninggalkan gunungnya untuk berjalan cepat ke kota Pak-khia yang berlaksa-laksa li jauhnya.

Dan ia tiba tepat pada waktunya.

Teriakan Tong Lam-hou untuk tidak membunuh prajurit-prajurit itu dijawab oleh Ang Hoan.

"Kalau tidak kubunuh, paling tidak harus kuberi hajaran setimpal dengan mematahkan tangan atau kaki mereka. Keterlaluan sekali menjatuhkan hukuman keji kepada seorang yang berjasa sepertimu, A-hou, hanya karena fitnahan seseorang yang kebetulan punya pengaruh besar di kalangan pemerintahan !"

Mendengar itu, Tong Lam-hou tahu bahwa gurunya agaknya sudah mendengar secara lengkap persoalan yang menimpa dirinya.

Dan sambil berbicara itu maka kembali beberapa prajurit sudah ia robohkan.

Tidak mati, tetapi hanya berkaok-kaok kesakitan karena ada tulang-tulang mereka yang patah.

Tanpa mendapat rintangan berarti, orangtua itu berhasil mendekati tonggak tempat Tong Lam-hou terikat.

Hanya dengan tangannya ia mematah-matahkan borgol kayu di leher dan tangan muridnya, dan rantai-rantai besi itu dirusakkannya seperti benang lapuk saja "Suhu, aku sudah ikhlas menerima.

hukuman ini demi tegaknya hukum kerajaan,"

Kata Tong Lam-hou.

"Kau ikhlas karena kau tolol,"

Sahutnya dengan mendongkol.

"Kau ikhlas tapi beribu- ribu orang tidak ikhlas karena hukum ditegakkan tidak dengan mestinya."

Lalu tanpa mempedulikan muridnya setuju atau tidak, Ang Hoan menyeret tangan muridnya itu untuk pergi dari situ.

Ketika puluhan prajurit menyerbu mereka, maka guru dan murid itu sama-sama mengerahkan tenaga dalam Han-im-ciang sehingga dalam jarak beberapa tombak dari tubuh mereka ada semacam "perisai"

Berujud hawa maha dingin yang membuat para prajurit tidak dapat lagi mendekati mereka karena tidak ingin mati membeku.

Bahkan Panglima Kiu-bun Tetok yang berilmu tinggi itupun tidak sanggup mendekati kedua guru dan murid itu.

Maka ia pun segera memerintahkan anakbuahnya untuk melempar-lemparkan lembing-lembing dan panah.

Namun di hadapan Tiam-jong-losia Ang Hoan, semuanya itu bagaikan permainan anak kecil saja.

Bagaikan dua ekor elang, guru dan murid dari Tiam-jong-san itu melayang meninggalkan lapangan itu.

Di luar kota Pak-khia itu banyak pohon cemara, dan mereka berdua bagaikan bagaikan dua ekor tupai meloncat-loncat dari satu pohon ke pohon lainnya, makin lama makin jauh dari jangkauan para prajurit.

Apa yang diperhitungkan oleh Tong Wi- hong memang tepat.

Karena yang menolong Tong Lam-hou adalah seorang yang berilmu luar biasa tingginya seperti Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan, maka memang tidak jatuh korban yang berlarut-larut.

Yang mati hanya satu prajurit, yaitu algojo yang dikeningnya tertancap sehelai rumput ilalang itu.

Sedang pertempuranpun berjalan amat singkat, sebab tidak ada tandingan yang setimpal buat Tiam- jong-lo-sia di tempat itu.

Dengan gemas Kiu-bun Tetok Tam Liong melihat perginya kedua orang itu, sambil menghentakkan kaki ke tanah ia berteriak.

"Laporkan kepada Pakkiong Ciangkun !"

Tentu saja yang dimaksudkan dengan Pakkiong Ciangkun adalah Pakkiong An, bukan Pakkiong Liong.

Pakkiong An yang tengah berada di gedungnya yang masih bersuasana berkabung, dan dengan dendam "menyala-nyala menunggu berita dimulainya hukuman maha berat buat Tong Lam-hou itu, terkejut bukan kepalang ketika mendengar lolosnya Tong Lam-hou.

Sesaat itu terlongong seperti orang linglung dan tiba-tiba tangannya menyambar sebuah jambangan bunga yang terletak di samping tempat duduknya, dan menghantamkan jambangan bunga itu ke kepala prajurit yang melaporkan hal itu sampai si prajurit sial itu pingsan seketika.

Sebaliknya ketika Pakkiong Liong juga menerima berita itu, hampir saja ia melompat kegirangan.

Dia tahu bahwa pamannya yang kecewa itu tentu akan bertindak aneh-aneh untuk melampiaskan kekecewaannya, namun Pakkiong Liong tidak peduli, yang penting Tong lam-hou lolos lebih dulu.

Tetapi ia tidak menghentikan usahanya untuk membongkar komplotan Pakkiong An.

Dihubunginya Lim Tong-eng dan "diperintahkannya untuk tetap melanjutkan penyelidikan, tidak peduli Tong Lam-hou sudah bebas dari hukuman.

Komplotan Pakkiong An harus dimusnahkan, sebab meskipun kali ini mereka gagal menjatuhkan korban, di kemudian hari masih akan banyak korban fitnahan mereka yang berjatuhan apabila komplotan itu terus bercokol di Ibukota.

BAGIAN KE TUJUH BELAS TONG-LAM-HOU mengajak gurunya lari ke arah barat daya, ia ingin menuju Tiau-im-hong untuk bertemu dengan para pimpinan Hwe- liong-pang yang sudah dikenalnya.

Bukan untuk menggabungkan diri atau bahkan menjadi Ketua mereka, melainkan untuk menasehati agar Hwe-liong-pang menghentikan perlawanannya terhadap pemerintah Manchu.

Tidak ada gunanya memperjuangkan suatu keadaan yang dianggap lebih baik, sementara yang ada sekarangpun sebenarnya sudah cukup baik, sedangkan selama memperjuangkan sesuatu yang baru itupun rakyat sudah menjadi korban lebih dulu.

Tong Lam-hou berharap bahwa suaranya sebagai putera Hwe-liong Pangcu Tong Wi-Siang masih sudi didengarkan oleh orang-orang Hwe-liong-pang, dan setelah itu Tong Lam-hou ingin kembali ke Tiam-jong- san untuk hidup bersama ibunya, sebagai peladang dan pemburu.

Hidup miskin namun penuh ketenteraman, dibandingkan hidup di kota Pak-khia yang serba gemerlapan namun di baliknya terdapatlah kebusukan-kebusukan dari orang-orang yang berebut kekayaan dan kekuasaan.

Di tengah jalan, guru dan murid itu berpapasan dengan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin yang juga sedang hendak menuju ke Pak-khia.

Lalu mereka pun berjalan berempat menuju Tiau-im-hong.

Selama dalam perjalanan itu, Tong Lam-hou mengemukakan pikiran-pikiran-nya dan ternyata baik Siangkoan Hong maupun Lim Hong-pin dapat menerimanya.

Pada dasarnya kedua orang itu memang tidak begitu peduli siapa yang memerintah, dari suku apa atau golongan apa, asal dapat mengurus negara dengan becus maka bisa diterima Siangkoan Hong bahkan pernan hidup berpuluh tahun di Jiat-ho (Jehol), kota yang merupakan kampung halamannya orang Manchu sebelum menyeberangi Tembok Besar.

Berpuluh tahun hidup bertetangga dengan orang Manchu, merasakan suka duka bersama mereka, sampai Siangkoan Hong sendiri merasa dirinya sudah "setengah Manchu", dan selama itu pula ia merasakan bahwa orang Manchu bukanlah "orang-orang biadab"

Seperti yang dituduhkan oleh orang-orang Han.

Tuduhan yang hanya berdasarkan rasa unggul diri.

Orang Manchu merupakan orang-orang yang juga merasakan suka dukanya perang seperti orang Han, karena yang menentukan adalah Kaisar, dan mereka sebagai rakyat harus tunduk jika Kaisar meminta anak-anak laki-laki mereka, suami mereka, kekasih mereka, kakak atau adik mereka, untuk dipersenjatai dan kemudian disurukkan ke tengah-tengah ganasnya peperangan tanpa ada jalan mundur lagi, jauh dari kampung halaman.

Karena itu, Siangkoan Hong menyatakan tidak keberatan jika untuk tahun-tahun berikutnya bangsa Manchu dan bangsa Han harus hidup berdampingan seperti saudara, di bawah satu bendera, peperangan harus berhenti agar orang-orang Han maupun orang-orang Manchu dapat memanggul cangkul mereka ke ladang dengan rasa aman di hati.

Anak-anak kecil bergembira tanpa sebentar- sebentar dikejutkan oleh derap kaki kuda dengan penunggang-penunagangnya yang berwajah garang dan mengayun-ayunkan pedang mereka yang berkilat-kilat.

Dengan saling pengertian dari kedua pihak, suasana yang menakutkan itu akan dapat dihentikan.

Sayang, impian Tong Lam-hou yang begitu indah tentang sebuah negara yang damai sejahtera mirip tanpa bunga rasaksa, sulit terwujud-selama di kalangan pemegang kekuasaan di kota Pak-khia masih ada orang Pakkiong An.

Seorang yang sadar bahwa dirinya berkuasa, tapi tidak sadar untuk apa kekuasaan itu seharusnya digunakan.

Dengan suara yang gemuruh dahsyat, suatu hari pintu gerbang kota Pak-khia terpentang lebar dan mengalirkan dua-ribu limaratus pasukan berkuda yang berseragam baju kuning, pasukannya Pakkiong An, yang bertugas untuk mengejar Tong Lam-hou dan sekaligus menghancur leburkan Hwe-liong-pang.

Bukan apa, hanya sekedar melampiaskan dendam Pakkiong An yang kehilangan anak laki-laki satu-satunya.

Begitu pentingnya pembalasan dendam itu bagi si Panglima tua itu, sehingga tidak peduli andaikata ratusan prajuritnya bakal mampus di peperangan, dan keluarga- keluarga mereka.

kehilangan tiang keluarga mereka.

Para prajurit toh dibayar untuk berkelahi ? Pasukan berkuda itu hanya merupakan perintis jalan saja, pemimpinnya adalah seorang perwira berpangkat Congpeng bawahan Pakkiong An, bernama Tamtai Au-kha, seorang peranakan Man-chu-Mongol yang oleh kaum prajurit sendiri diberi gelar "Panglima berjan- tung iblis"

Karena kejamnya.

Sedangkan ia didampingi oleh belasan jago-jago bayaran Pakkiong An, orang-orang yang gemar mencabut nyawa orang hanya karena upah sekepeng uang.

Di belakang pasukan berkuda itu masih ada pasukan berjalan kaki, juga dari Ui ih-kun yang jumlahnya tidak tanggung- tanggung, sepuluh ribu orang yang dipimpin oleh seorang Congpeng lain yang tidak kalah ganasnya dari Tamtai Aukha, bernama Muyong Beng, seorang berdarah Sianbi jauh dekat kutub sana, yang bahkan masih suka makan daging mentah yang dibekukan untuk menjaga kekuatannya.

Kepada kedua Cong-peng itu, Pakkiong An berpesan bahwa mereka bertugas untuk "mengingatkan kembali orang-orang Han bahwa mereka hanya suku taklukan"

Dan untuk "cara mengingatkannya"

Terserahlah kepada kedua Congpeng itu.

Tentu saja kedua Congpeng yang dasarnya memang berwatak buas itu jadi gembira mendapat tugas semacam itu.

Dengan demikian dua gelombang besar pasukan Ui-ih- kun meninggalkan Pak-khia dengan bersamaan, namun sudah terang bahwa pasukan ber- kudanya Tamtai Au-kha akan tiba ke hadapan musuh lebih dulu.

Agaknya, dengan kedok membalaskan kematian anaknya, Pakkiong An bermaksud pula untuk menyempurnakan pengkhianatannya terhadap Kaisar yang selama ini sudah dipendamnya dalam hati.

Untuk itu, Kotaraja Pak-khia harus dikosongkan dulu-dari pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar, dan dipenuhi pasukan-pasukan yang sudah di bawah pengaruhnya.

Maka dengan bujukan kepada Peng-po Siangsi (Menteri Perang), Pakkiong An berhasil pula 'memberangkatkan? Pakkiong Liong dengan separuh dari pasukannya, Pasukan Naga Terbang, untuk diperbantukan sebagai pasukan gelombang ketiga.

Menerima tugas itu, tentu saja Pakkiong Liona mengadi tidak senang.

Andaikata Hwe- liong-pang benar-benar memberontak kepada Kerajaan haruskah diperlukan pasukan sebanyak itu untuk menumpasnya? Itu ibarat ingin membunuh nyamuk dengan sebatang gada besi seberat seratus kati, terlalu berlebihan.

Tapi lebih dari itu, nalurinya sebagai prajurit telah membisikkan kecurigaan terhadap pamannya sendiri, bahwa semuanya itu hanyalah siasat sang paman untuk mengosongkan Pak-khia dari pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar.

Jika benar-benar Hui- liong-kun keluar dari Pak-khia, maka di Pak- khia hanya tinggal Lwe-teng-wi-su (Pasukan Pengawal Istana) dan Gin-cian-si-wi (Pasukan Fengawal Kaisar) yang benar-benar setia kepada Kaisar, namun kedua pasukan itu terlalu sedikit jumlahnya meskipun terdiri dari orang- orang berilmu silat tinggi.

Pasukan-pasukan lain juga ada, tapi kebanyakan sudah dipengaruhi Pakkiong An, atau berpendirian kurang jelas.

Tegasnya, Pakkiong Liong mencemaskan bahwa kekosongan Ibukota itu adalah direncanakan Pakkiong An untuk merebut tahta dengan kekerasan.

Tapi Pakkiong Liong benar-benar tidak dapat menolak perintah, sebab surat perintah itu bukan hanya diberi cap Peng-po Cengtong tapi juga cap dari Kaisar sendiri.

Melawan surat perintah itu sama saja dengan melawan Kaisar sendiri, dan itu adalah suatu perbuatan yang sampai matipun Pakkiong Liong tidak akan melakukannya.

Karena itu, dengan setengah hati dan kurang bersemangat, Pakkiong Liong berangkat juga bersama pasukannya.

Ia bukan mencemaskan nasib dirinya dan pasukannya di medan laga, tapi justru mencemaskan keadaan di Ibukota yang ditinggalkannya.

Kalau benar sampai Pakkiong An merebut tahta, entah bagaimana 'jadinya dengan negeri ini? Karena itu, diam-diam Pakkiong Liong berpesan kepada Ha Toji yang ditinggalkannya di Pak-khia bersama dengan separoh dari pasukannya, agar Ha-Toji mengawasi dengan baik dan bertindak bilamana perlu.

Sementara itu, Tong Lam-hou berempat bersama dengan gurunya, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, belum mencapai separuh perjalanan ke Tiau-im-hong, ketika tiba-tiba mereka mendengar gemuruh derap kaki kuda di belakang mereka.

Selama beberapa hari ini memang mereka berjalan dengan santai sambil bercakap-cakap seenaknya, maka dalam waktu beberapa hari saja mereka telah tersusul oleh barisan Ui-ih-kun yang dipimpin oleh Tam-tai Au-kha yang lihai dan kejam itu.

Begitu melihat panji-panji Ui-ih-kun dalam pasukan berkuda itu, maka Tong Lam-hou menduga bahwa dirinyalah yang dikejar.

Namun ia pantang melarikan diri, begitu pula Ang Hoan, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, sehingga dalam waktu singkat saja keempat orang itu sudah terkurung pasukan berkuda yang berlapis-lapis.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Jika orang lain yang mengalami hal demikian, boleh jadi lututnya akan gemetar dan mukanya pucat karena terpengaruh oleh wibawa pasukan berkuda itu.

Namun Tong Lam-hou bersama gurunya dan dua orang pamannya adalah orang-orang bernyali besar, sehingga dalam kepungan ribuan prajurit itupun mereka tetap menunjukkan sikap tenang.

Tamtai Au-kha yang berwajah runcing dan bermata tajam seperti burung elang itupun memajukan kudanya dan membentak.

"Tong Lam-hou dan kau orang tua-tua yang melarikan Tong Lam-hou, menyerahlah untuk kubawa kembali ke Pak-khia !"

Dalam hatinya, kesetiaan Tong Lam-hou terhadap hukum dan Kaisar tidak berkurang sedikitpun, namun ia harus berpikir dua belas kali sebelum pergi sebagai tawanan yang dibawa oleh orang macam Tamtai Au-kha.

Selama menjadi perwira kerajaan, Tong Lam- hou sudah kenal beberapa orang perwira dari berbagai pasukan, di antaranya adalah peranakan Manchu-Mongol ini.

Seorang yang tidak segan-segan berbuat sekeji apapun hanya mencari muka terhadap Pakkiong An, atasannya.

Andaikata yang menyuruh Tong Lam-hou untuk menyerah itu Pakkiong Liong sendiri, atau Panglima lain yang sudah dikenal kejujurannya, maka dengan senang hati Tona Lam-hou akan mengulurkan tangannya untuk dibelenggu demi tegaknya hokum.

Tapi Tamtai Au-kha? Nanti dulu.

Sahut Tong Lam-hou.

"Maafkan, saudara Tamtai, hukum Negara dan Kaisar kujunjung tinggi, tetapi haruslah hukum yang ditegakkan berlandaskan kebenaran. Aku menyesali ketololanku sendiri tempo hari ketika aku menyerah begitu saja untuk dihukum, kelihatannya menyerah kepada hukum padahal sebenarnya menyerah kepada nafsu berkuasa Pakkiong An yang melonjak- lonjak menuntut korban demi korban !"

Wajah Tamtai Au-kha merah padam' mendengar jawaban itu.

"Kau berani bicara seperti itu tentang Pakkiong Ciangkun ?! Kau tahu siapa dia? Barangkali saat ini, di Ibukota Pak-khia sudah terjadi pergantian Kaisar, dan aku tidak tedeng aling-aling lagi bahwa Pakkiong Ciangkun pasti menang dalam perebutan ini sebab semuanya sudah direncanakan baik-baik !"

Agaknya begitu yakinnya Tamtai Aukha akan kemenangan Panglimanya di Ibukota, sehingga ia tidak merasa perlu lagi untuk menyimpan rahasia itu.

Dan bahkan ia bangga karena mengira dirinya sekarang adalah Panglima ter-percaya dari Kaisar yang baru.

Sebaliknya Tong Lam-hou terkejut bukan kepalang mendengar pengakuan Tamtai Au-kha itu.

Di bawah pimpinan Kaisar Khong-hi, kesejahteraan rakyat sudah mulai meningkat sedikit demi sedikit, meskipun di mana-mana masih ada perlawanan terhadap pemeriritah Man-chu.

Tapi kalau Pakkiong An yang jadi Kaisar, maka Tong Lam-hou yakin bahwa negara akan berantakan.

Kerusuhan akan berkobar di mana-mana dan ketenteraman yang sudah di ambang mata itu-pun akan semakin kabur kembali seperti awan dihembus angin.

Dengan wajah merah padam, Tong Lam hou menuding Tamtai Aukha yang duduk dengan congkak di pelana kudanya itu.

"Jadi...jadi kalian sendiri yang sebenarnya hendak berkhianat kepada Kaisar namun sengaja mengalihkan perhatian terhadap diriku dan Hwe-liong-pang? Sungguh keji !"

Tamtai Au-kha tertawa terbahak-bahak.

"Bukan keji tetapi cerdik, hanya orang secerdik Pakkiong Ciangkun yang pantas menduduki singgasana, bukan orang selemah Hian-hua yang kemudian bergelar Khong-hi itu! Dia hanya mewarisi tahta dari ayahnya, dan lagipula sikapnya kepada Hwe-liong-pang terlalu lembek, tetapi jika Pakkiong Ciangkun menjadi Kaisar, lihat saja Hwe-liong-pang kalian bisa berkutik atau tidak ?"

"Atas nama Sri Baginda Khong-hi, orang semacam kau harus dilenyapkan!"

Seru Tong Lam-hou marah.

Berbareng dengan habisnya kata-katanya, tubuhnya telah melayang tinggi dengan gerakan Eng-khik-tiang-gong (Elang Menyergap Dari Udara), sepasang tangannya- masing-masing dengan tiga jari yang tertekuk melengkung seperti kuku elang telah menerkam ke pundak kiri kanan dari Panglima itu.

Tamtai Au-kha terkejut melihat betapa cepatnya gerakan Tong Lam-hou, ia memang sering mendenqar kehebatan Tong Lam-hou di medan tempur, tetapi baru kali ini ia mengalaminya sendiri.

Bahkan golok yanq sudah terpegang di tangannyapun tak sempat memainkan jurus apapun, yang sempat hanyalah melontarkan dirinya secepat-cepatnya dari atas punggung kudanya, tapi tak urung topinya yang berhias bulu merak itu tersambar juga oleh tangan Tong Lam-hou.

Sementara Tong Lam-hou dalam kemarahannya telah kehilangan pengendalian dirinya.

Serangannya yang luput itu mengenai kepala kuda tunggangan Tamtai Aukna, dan tiga buah jari Tong l,am-hou itupun amblas di batok kepala kuda itu.

Kuda itu meringkik hebat dan kemudian roboh dengan tiga lubang yang mengalirkan cairan darah dan otak dari kepalanya.

Tamtai Au-kha dan pengikut- pengikutnya tergetar hatinya melihat keperkasaan Tong Lam-hou itu.

Tong Lam-hou sendiri dengan geram terus mengejar Tamtai Au-kha, tapi perwira Ui-ih-kun itu tidak sendirian.

Begitu Tong Lam-hou menerjang maju, maka dua orang jago sewaan Pakkiong An telah menerjang serempak dari kanan dan kiri dengan meloncat dari punggung kuda.

Yang satu bersenjata sebatang kong-pian (ruyung baja) yang dihantamkan ke pelipis dengan sekuat tenaga, yang satu lagi tidak perlu meloncat dari kudanya sebab senjatanya aciaian sebatang tombak panjang yang ditikamkan ke rusuk Tong Lam hou.

Bagaikan seekor harimau luka, Tong Lam- hbu dengan tangkas menunduk untuk menghindari kemplangan ruyung ke kepalanya, sementara tangan kanannya dengan tangkas sekali menangkap tangkai tombak dan langsung menyentakkan-nya ke atas dengan sekuat tenaga.

Begitu hebat tenaganya, sehingga ketika penyerang dari atas kuda itu ngotot mempertahankan tombaknya, maka malah tubuhnya sekalian ikut terangkat dan terbanting dari atas punggung kudanya.

Dengan tombak rampasannya, Tong Lam- hou meloncat ke atas punggung kuda yang ditinggalkan Tamtai Au-kha tadi, sehingga sekarang kedudukannya menjadi sama kuat dengan musuh-musuhnya.

Dengan tombak panjang yang diputar kencang, ia bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayapnya, kegarangannya menjadi berkali lipat.

Sementara itu, Ang Hoan, Siang-koan Hong serta Lim Hong-pin, tiga orang tokoh sakti yang jauh di atas kemampuan prajurit-prajurit biasa itu dengan mudah merampas kuda bagi diri mereka masing-masing seekor.

Dan ketika di tangan merekapun masing-masing tergenggam senjata, jadilah mereka bertiga seperti serigala- serigala kelaparan di tengah kerumunan kambing-kambing gemuk, daiam sekejap saja beberapa lapis terdepan dari prajurit-prajurit musuh sudah jungkir-balik.

"Tangkap hidup atau mati para pengacau ini!"

Teriak Tamtai Au-kha dengan geram kepa- Dengan tombak panjang yang diputar kencang, ia bagikan seekor harimau yang tumbuh sayapnya, kegarangannya menjadi berkali lipat.

da pasukannya yang berjumlah duaribu lima ratus prajurit itu, semuanya mahir bertempur di atas kuda.

Dia sendiri sudah mendapatkan seekor kuda pengganti karena kudanya telah "dipinjam"

Oleh Tong lam-hou.

Dengan demikian di tempat itu terjadilah pertempuran berkuda yang amat sengit Dari segi jumlah, perbandingan antara dua pihak sungguh sangat menyolok, empat lawan duaribu limaratus, tapi ternyata duaribu limaratus itu tidak dapat segera memenangkan pertempuran, sebab keempat orang yang hendak mereka tangkap itu memiliki bobot sendiri-sendiri yang tidak ringan.

Dua orang adalah bekas tokoh-tokoh tertinggi dalam Hwe- liong-pang, tokoh ketiga dan keempat di bawah urutan Ketua mereka dulu, sebagai pewaris- pewaris ilmu Bu-san Jit-kui yang kepandaiannya luar biasa dan bahkan berbumbu ilmu gaib.

Seorang lagi adalah Tiam- jong-lo-sia Ang Hoan yang sejak puluhan tahun yang lalu sudah menduduki urutan pertama dari tokoh-tokoh sakti di kolong langit, dan seorang lagi adalah murid kesayangan Tiam- jong lo-sia yang di medan-medan perang terkenal dengan sebutan Si Harimau dari Selatan.

Masih untung, para prajaurit yang kebentur Tong Lam-hou, sebab anakmuda itu betapapun juga masih tidak tega membabati nyawa prajurit-prajurit yang hanya menjalankan perintah Pakkiong An itu.

Tapi bagi Ang Hoan, Siangkoan Hong serta Lim Hong-pin, tiga orang yang dapat digolongkan sebagai "setengah sesat"

Itu, membunuh bukan hal yang terlalu memberatkan hati mereka.

Mereka berpendapat, jika nyawa sendiri terancam, maka lebih baik si penyeranglah yang mampus.

Dengan demikian bergelimpanglah tubuh-tubuh tak berdaya di sekitar ketiga orang yang ternyata juga cukup tangkas berkelahi sambil melarikan kuda mereka itu.

Bahkan lama kelamaan, Tong Lam-hou sendiripun mulai panas hatinya dan ujung tombaknyapun mulai mencabut nyawa beberapa prajurit.

Menghadapi musuh yang begitu banyak yang tanpa kenal ampun terus menyerbu seperti orang-orang mabuk, terlalu berbelas-kasihan hanya akan merugikan diri sendiri.

Maka diatas kudanya yang berlari kencang menerobos ke sana kemari, Tong Lam- hou berubah seperti malaikat maut yang dengan semena-mena mencabuti nyawa korban-korbannya.

Patukan tombaknya hampir-hampir tak pernah meleset menghunjam ke perut atau leher lawan, sementara tangkai tombaknya juga tidak kalah berbahaya sebab dapat meretakkan pelipis kepala atau mematahkan tengkuk lawan.

Setiap kal ia menyambar dengan kudanya yang berlari kencang, maka satu prajurit roboh, bahkan kadang-kadang dua atau tiga sekaligus.

Demikian pula Gurunya serta kedua pamannya.

Melihat begitu banyak korban, Tong Lam- hou merasa tak tega juga.

Ia pikir, yang harus dibekuk lebih dulu adalah Tamtai Au-kha sebagai kepala perangnya.

Kalau orang itu sudah berhasil dilumpuhkan pula tanpa bertambahnya korban lebih banyak lagi.

Namun Tong Lam-hou mengumpat-umpat dengan gemas ketika melihat bagaimana Tamtai Au-kha selalu berlindung di balik pengawalan kuat anakbuahnya, dan selalu menghindari kemanapun dikejar.

"Tamtai Au-kha, jangan jadi banci seperti itu!"

Teriak Tong Lam-hou sambil mencoba menerjang ke arah pemimpin musuh itu.

"Kau korbankan anakbuahmu untuk menyelamatkan dirimu sendiri? Hayo keluar dan ladeni aku bertempur tigaribu jurus, supaya aku yakin bahwa nama besarmu di peperangan bukan bualan belaka !"

Demikian Tong Lam-hou mencoba memanas-manasi hati Tamtai Au-kha agar terpancing keluar dari kerumunan peng-awal- pengawalnya, namun rupanya perwira bawahan Pakkiong An itu bermuka cukup tebal.

Tantangan Tong Lam-hou itu tidak dihiraukannya, sebab ia sadar bahwa dirinya bukan tandingan dari si Harimau Selatan yang garang itu.

Ia hanya mengandalkan jumlah anakbuahnya yang sangat banyak, yang lama- lama tentu akan melelahkan musuh-musuhnya itu, dan untuk itu ia tidak perlu memperhitungkan berapa ratus nyawa piagu- ritnya yang bakal amblas, toh di belakang mereka masib ada pasukan gelombang kedua yang gauh lebih banyak.

Bagi orang berjantung iblis seperti Tamtai Au-kha, nyawa prajurit tidak pernah dianggapnya sebagai nyawa manusia, melainkan hanya sebagai barang kebutuhan saja.

Kalau habis, ya ambil lagi.

Dan perhitungan Tamtai Au-kha itu memang cukup jitu, Betapapun tinggi ilmu keempat musuhnya itu, tapi lama kelamaan mereka kewalahan juga harus menghadapi, musuh yang seolah-olah tak habis-habisnya itu.

Dirobohkan satu, muncul dua orang.

Dirobohkan dua orang empat orang menggantikannya, demikian seterusnya sehingga tangan mereka terasa pegal-pegal karena terlalu beradu senjata dengan musuh.

Dan prajurit musuhpun bukan makanan makanan empuk yang menyerahkan lehernya begitu saja untuk dibantai, meskipun ilmu mereka tidak tinggi, namun sani persatu dari mereka cukup tangkas juga bertempur di atas kuda.

Keempat orang itupun mulai mandi keringat.

Sealam pedang-pedang yang harus mereka tangkis dan mereka balas, mereka juga harus waspada terhadap lembing atau panah yang mereka lemparkan, apalagi di antara perwira-perwira musuh ada pula orang-orang yang mahir melempar-lemparkan senjata rahasia berbagai jenis seperti hui-to (golok terbang) yang berar aan gampang dilihat, sampai jarum-jarum bunga sakura (Bwe-hoa- ciam) yang lembut dan sukar dilihat.

Meskipun Ang Hoan adalah guru Tong Lam hou dan ilmunyapun paling lihay di antara empat orang itu, namun usianya yang hampir seratus tahun itu mempengaruhi kekuatan tubuhnya juga.

Sudah sejak tadi dia telah mengerahkan Han-im-ciang yang berhasil membuat belasan prajurit Ui-ih-kun mati membeku tapi ilmu itu memerlukan banyak tenaga sehingga akhirnya tenaganyapun mulai menurun.

Dengan napas agak terengah ia berhasil menangkis seorang prajurit berkuda yang menerjang dengan kampak, bahkan membabatnya sehingga prajurit itu roboh dengan lambung terluka.

Tapi sebatang lembing yang meluncur dari belakang tak sempat dihindari dan sempat menancap di pundak orang tua itu, sehingga tubuhnya miring dan hampir saja roboh dari kuda nya.

Terlukanya Ang Hoan itu merupakan suatu isyarat baqi Tong Lam-hou, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, bahwa apabila mereka nekad bertahan terus di tempat itu maka mereka akan tertumpas habis meskipun bersama mereka akari gugur pula ratusan prajurit musuh.

Tapi kalau hendak kabur, lalu kabur kemana? Di sekeliling tempat yang kelihatan hanyalah prajurit-prajurit musuh yang berkuda, berlapis- lapis mengepung mereka berempat, sementara ujung-ujung senjata mencuat rapatnya seperti daun ilalang di padang.

Bendera yang berkibar- kibar, kuda-kuda yang meringkik gelisah, gomerincing senjata, semuanya benar-benar mirip dengan sebuah benteng baja yang meng elilirigi Tong Lam-hou dan kawan-kawannya.

Sedangkan usaha Tong Lam-hou untuk meskipun puluhan orang yang merintanginya sudah dirobohkan, tapi ia tidak dapat juga mencapai Tamtai Au-kha yang memang sengaja menghindarinya itu.

Tong Lam-hou melarikan kudanya ke dekat gurunya, sambil bertanya.

"Suhu, beratkah lukamu ?"

Wajah Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan nampak pucat menahan sakit, tetapi ia tidak mau membuat hati muridnya merasa kuatir, sehingga diapun menjawab sambil tertawa.

"Lembingnya sudah kucabut dan ternyata hanya melukai kulitku. Aku masih sanggup bertempur, tapi lebih baik selamatkan dirimu lebih dulu."

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tong Lam-hou terharu mendengar itu.

Kasih sayang gurunya kepada dirinya sama besarnya dengan kasih sayang seorang ayah kepada puteranya, di saat dirinya terlukapun Tiam- jong-lo-sia masih tidak memikirkan dirinya sendiri dan malahan memerintahkah muridnya untuk menyelamatkan diri lebih dulu.

Sudah tentu Tong Lam-hou tidak sudi menyelamatkan airi sendiri dengan meninggalkan Guru dan kedua pamannya.

Teriaknya.

"Suhu, paman Siangkoan dan paman Lim, kita menerjang ke utara !"

Di sebelah utara memang terlihat sebuah lereng bukit yang agak terjal dan ditumbuhi banyak pohon, dengan demikian Tong Lam-hou mengharap bahwa di tempat itu gerakan pasukan berkuda Tamtai Au-kha akan dipersulit, sedangkan bagi dirinya berempat yang memiliki ilmu meringankan tubuh cukup mahir, tempat itu akan lebih menguntungkan .

Tapi sementara itu Tamtai Au-kha juga sudah berteriak kepada pasukannya.

"Perkuat kepungan di sebelah utara !"

Tong Lam-hou yang gelisah karena kuatir akan luka di pundak gurunya yang terus meneteskan darah dan akan berbahaya jika tidak segera dirawat itu, menjadi habis sabarnya ketika melihat prajurit-prajurit Tamtai Au-kha bagaikan kesetanan terus merintanginya mencapai lereng bukit itu.

Diputarnya tombaknya sambil berteriak.

"Saudara-saudara, meskipun aku bukan lagi prajurit seperti kalian tapi aku masih segan untuk membantai rumput. Karena itu minggirlah, biarlah kami berlalu !"

Beberapa prajurit menunjukkan wajah ragu-ragu, namun beberapa prajurit sama sekali tidak menghiraukan teriakan Tong Lam-hou itu sebab mata mereka sudah digelapkan janji-janji hadiah yang dijanjikan Pakkiong An buat siapa saja yang berhasil membunuh Tong Lam-hou.

Janji dan seorang "Calon Kaisar"

Yang dipercaya sungguh-sungguh oleh prajurit-prajurit itu, sehingga dengan demikian lupalah prajurit- prajurit itu akan ilmu mereka yang rendah berhadapan dengan Tong Lam hou yang garang. Ibaratnya telur membentur batu, namun toh "telur-telur"

Lainnya terus berdatangan untuk mencoba menggempur sang "batu".

Menghadapi mereka, tidak ada jalan lain bagi Tong Lam-hou kecuali memutar senjatanya dengan kencang untuk menyibakkan jalan.

Di atas kudanya yang mendesak maju, Tong Lam- hou memutar tombaknya seperti angin prahara yang menghembus pepohonan.

Satu persatu prajurit-prajaurit yang merintanginya ditikam roboh sehingga ujung tombaknya bagaikan dicat merah, jum-.

bai benang-benang merah di dekat kepala tombakpun telah menjadi lekat karena basah oleh Tong Lam-hou bertindak sebagai pembuka jalan bagi paman-paman dan gurunya.

Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak tinggal diam pula.

Mereka bertindak sebagai "sayap-sayap"

Kanan dan kiri Tong Lam-hou untuk mengapit Ang Hoan yang rerruka di tengah-tengah.

Dengan susunan seperti itu, mereka mengikuti Tong Lam-hou untuk mendesak ke utara, betapapun pepatnya rintangan ke arah sana.

Sedangkan Ang Hoan sendiri ternyata tidak sudi diperlakukan seperti seorang sakit berat di bawah perlindungan para jururawat, orangtua itu justru memajukan kudanya ke depan untuk keluar dari perlindungan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, dan kemudian mendapingi muridnya yang tengah mencari jalan itu.

"Hati-hati dengan lukamu. Suhu!"

Teriak Tong Lam-hou yang cemas melihat jubah Suhunya di bagian kiri berlumuran darah. Tapi Ang Hoan menjawab dengan garang.

"Huh, masakan cecurut-cecurut ini mampu membunuh aku?"

Dan sambil menjawab dia mengayunkan pedangnya, dua prajurit terjungkal dari atas kuda nya.

Demikianlah, meskipun keempat terang itu berjuang habis-habisan untuk bisa lolos dari kepungan, tapi kepungan yang berlapis-lapis itu sungguh mustahil untuk bisa diterobos.

Tewasnya berpuluh prajurit tidak terasa kerarti buat seluruh pasukan yang terdiri dari ribuan orang itu.

Setiap jengkal Tong Lam-hou dan teman-temannya berhasil maju, namun tenaga yang diperasnyapun cukup banyak, sementara pasukan musuh bagaikan gelombang pantai yang terus menghantam tak henti-hentinya.

Jika bagian depan pecah, gelombang kedua sudah siap meneruskan gempuran, di belakangnya lagi masih ada gelombang ketiga, keempat, kelima dan seterusnya.

Ujung-ujung senjata bagaikan tak terhitung banyaknya bersambaran dari segala penjuru.

Bukan saja pedang dan tombak, tapi juga panah, lembing yang dilontarkan dan juga senjata rahasia yang bagaikan hujan lebat.

Kini yang luka bukan cuma Ang Hoan, tetapi keempat-empatnya sudah luka semuanya.

Tamtai Au-kha, melihat dengan seringai kejamnya bagaimana keempat orang itu nampak mulai kelelahan, dan baju-baju mereka mulai merah oleh darahnya sendiri.

Teriaknya memberi semangat kepada anakbuahnya.

"Gempur terus! Keempat orang itu sudah kehabisan tenaga !"

Begitulah Tamtai Au-kha berteriak-teriak "gempur terus"

Tapi dia sendiri berada di tempat yang aman dalam lindungan pengawal- pengawalnya.

Yang mempertaruhkan nyawa adalah anakbuahnya, tapi di Pak-khia nanti yang menerima pujian atau kenaikan pangkat sudah tentu dirinya sendiri.

Ketika Tong Lam-hou dan guru serta kedua pamannya sudah hampir putus-asa dan hampir saja memutuskan cara terakhir "Boleh mampus asal membawa korban sebanyak-banyaknya di pihak lawan", maka terjadilah suatu perkembangan yang membesarkan hati.

Dari lereng bukit di utara itu tiba-tiba terdengar suitan nyaring beberapa kali berturut-turut, masing-masing melengking tinggi namun nadanya berbeda-beda.

Jelas suitan-suitan itu dilontarkan oleh orang-orang yang berbeda-beda pula.

Menyusul itu, dari lereng bukit itu nampak ada puluhan titik-titik hitam yang meluncur turun dan langsung menerjang ke arah barisan musuh.

Jumlah penyerang dari lereng bukit itu tidak banyak, barangkali tidak lebih dari duapuluh orang, namun terjangan mereka ternyata cukup membuat pasukan musuh jadi tergoncang sejenak.

Di satu bagian, kelihatan seorang penunggang kuda yang berpakaian seperti gembala-gembala ternak di daerah Su-coan, lengkap dengan sepatu jerami, rompi dari kulit kambing, dan ikat kepala yang berwarna putih.

orang itu dengan wajah dingin tanpa perasaan mengayun-ayunkan sebatang golok yang bentuknya melengkung seperti bulan sabit, tipis namun tajam berkilat-kilat.

Sementara tangan kirinya dengan tangkas memegang kendali kudanya dengan sangat mahir.

Caranya mengayunkan golok sabitnya sungguh luar biasa, gerakannya begitu lugu dan sederhana tidak menuruti saja ilmu silat dari aliran apapun, namun sabetan-sabetannya begitu cepatnya sehingga setiap kali goloknya bergerak maka hanya terlihat seleret garis keperak-perakan sekejap mata dan tahu-tahu musuhpun sudah terbelah tubuhnya.

Begitu cepatnya.

Begitu seorang prajurit musuh mengangkat pedartg atau tombaknya hendak menyerangnya, maka pada saat senjata musuh masih terangkat itu golok sabitnya sudah berkelebat lebih dulu ke bagian tubuh musuh yang tak terjaga.

Bila yang menyerang dua musuh sekaligus, dengan lincah orang itu menggerakkan kudanya untuk menghindar kemudian secepat kilat berbalik dan merobohkan musuhnya satu demi satu.

Dengan demikian barisan musuh yang diterjang oleh orang itu menjadi agak kacau.

Orang itu bukan lain adalah Auyang Siau-pa, si Jing-ki Tongcu (Tongcu Bendera Hijau) dari Hwe-liong-pang.

Kecepatan goloknya sangat terkenal sehingga kabarnya dia dengan sekali tebas sanggup membelah tubuh tiga ekor lalat yang sedang terbang.

Di sebelah lain, nampak Lam-ki Tongcu (Tongcu Bendera Merah) In-Yong yang berjulukan Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Petir) juga telah membasahi goloknya yang sepasang itu dengan darah prajurit-prajurit musuh.

Atau Ci-ki Tongcu (Tongcu Bendera Ungu) bu Siong dengan pukulan seribu katinya menghajar terpental setiap prajurit musuh yang berada di dekat nya.

Di tengah riuhnya perkelahian itu dia tetap bertangan kosong dan lebih mengandalkan sepasang tinju besinya untuk mengobrak-abrik barisan musuh.

Selain itu nampak pula Tongcu-tongcu Hwe- liong-pang lainnya menyerbu dari berbagai arah, ya-hui-miao (Si Kucing Terbang Malam) Kwa Teng-siong dengan sepasang belatinya yang tidak kalah tangkasnya meladeni pedang atau tombak musuh yang jauh lebih panjang, nampak pula Siau-lo-cia (Si Dewa -Lo-cia Kecil) Ma Hiong yang kali ini tidak bersenjata Jit-goat- siang-lun (Sepasang Roda Matahari dan Rembulan) karena dianggapnya terlalu pendek dalam pertempuran berkuda, kini ia memain kan sebatang golok tan-to yang berputar dahsyat di sekitar tubuhnya bagaikan baling- baling terhembus prahara.

Nampak pula Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembuka Gunung) Ji Tiat, Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) Oh Yun-kim yang kali ini terpaksa bersenjata sebatang toya meskipun tendangan geledeknya masih saja sering dilontarkan dari kedudukannya di atas pelana.

Di ujung sana seorang tua bungkuk dan kurus ternyata mampu membuat barisan musuh kalang-kabut dengan sepasang pedangnya, dialah Tiat-jiau-tho-wan (Si Lutung Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng, Ui-ki Tongcu (Tongcu Bendera Kuning).

Bagaimanapun hebatnya kepandaian ke delapan orang Tongcu Hwe-liong-pang itu, sudah tentu mereka hanya berdelapan saja tidak akan sanggup menerobos barisan barisan berkudanya Tamtai Au-kha yang ribuan orang, dan sejelek-jeleknya mereka tapi merekapun prajurit-Prajurit yang telah pernah mengalami latihan-latihan berat.

Karena itu, ke delapan Tongcu itupun tidak dapat segera menerobos ke tengah untuk bergabung dengan Tong Lam-hou dan teman-temannya, antara mereka dengan Tong Lam-hou masih terpisah barisan prajurit berkuda yang amat banyak.

Apalagi kemudian pajurit-prajurit Ui-ih-kun itu bertindak cukup cerdik, mereka tidak lagi melawan para Tongcu yang lihai itu dengan satu persatu melainkan tiap beberapa orang membentulj.

sebuah regu kecil yang secara serempak berusaha membendung sepak terjang para Tongcu itu.

Siasat itu lumayan berhasil, sehingga para Tongcu itu sekarang maju setapak demi setapak dengan berat sekali.

Tapi dengan gigihnya para Tongcu itu maju terus demi menyelamatkan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin sebagai pemimpin mereka.

Namun ternyata para Tongcu Hwe-liong- pang itu, tidak sendirian.

Ketika mereka gagal untuk maju lebih lanjut, maka dari lereng bukit itu kembali terdengar suitan, dan muncul pula puluhan orang dengan pakaian aneka warna menyerbu ke pasukan Ui-ih-kun.

Kali ini orang- orang itu tidak berkuda, namun dari gerak-gerik mereka yang tangkas ketika berloncatan menuruni tebing, jelaslah bahwa mereka orang- orang yang berilmu pula.

Bahkan orang-oranq yang paling depan dari mereka seolah-olah bukan meloncat, namun terbang meluncur begitu saja.

Paling depan, nampak seorang lelaki setengah tua berpakaian serba putih- dengan pedang di tangannya, dia bukan lain adalah Gin- yan-cu (Si Walet Perak) Tong Wi-hong, paman kandung dari Tong Lam-hou.

Pendekar itu gerakannya nampak belum begitu tangkas, agaknya masih terganggu oleh luka-lukanya yang didapatnya di Pak-khia tempo hari.

Dia didampingi oleh seorang perempuan berpakaian ringkas yang tangan nya memegang sepasang senjata yang disebut Hau-thau-kau (kaitan Kepala Harimau), dan dua orang anakmuda yang bersenjata pedang.

Perempuan setengah baya dan kedua orang anak muda itu tidak pernah jauh dari Tong Wi-hong, sebab kuatir akan si walet perak yang belum benar- benar sembuh itu.

Mereka bukan lain adalah isteri Tong Wi-hong yang bernama Cian Ping serta dua orang putera mereka yang bernama Tong Hoa-tiong Cian Hoa-seng, sepasang kakak beradik seayah dan seibu tetapi memakai nama she (nama marga) yang berbeda.

Selain Tong Wi-hong dan keluarganya, kelihatan pula adik Tong Wi-hong yaitu Tong Wi-lian yang bersenjata sehelai selendang merah serta suaminya, Tiang Bun, yang bersenjata golok dan juga puteri mereka, Ting Hun-giok, yang bersenjata golok pula seperti ayahnya.

Kelihatan pula Gin-hoa-ki-am (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng dari Hoa-san-pay, serta keponakan muridnya yang tinggi besar dan bertangan kidal, Sebun Him, yang mengamuk seperti seekor beruang yang sedang marah.

Masih ditambah dengan segerombolan orang berpakaian compang camping dan tambal-tambalan yang bersenjata tongkat panjang, mereka anggota-anggota Kay-pang (Serikat Pengemis) yang dipimpin seorang pengemis bertubuh gemuk bulat dan bermuka putih gemuk, tampang yang sebenarnya kurang cocok untuk menjadi pengemis, tampang yang cocok untuk bandar judi.

Dialah Sun Ciok-peng yang dengan tongkat besinya menerjang ke tengah barisan musuh tanpa kenal takut.

Begitulah, kalau yang muncul Kedelapan Tongcu Hwe-liong-pang saja, tentunya tidak akan banyak mempengaruhi keseimbangan pertempuran.

Tapi setelah muncul pula orang- orang lainnya yang semuanya berilmu tinggi, maka pasukan berkuda pimpinan Tamtai Au- kha itupun mulai goncang.

Biarpun prajurit prajuritnya yang gugur cuma satu demi satu, tapi kalau terus-terusan akan habis juga.

Apalagi kemudian muncul pula puluhan orang yang terdiri dari macam-macam jenis.

Ada pendeta gundul, ada pendeta berambut panjang, ada imam To, ada pula orang-orang biasa namun kesamaan mereka adalah bahwa semuanya kelihatan tangkas dan berilmu cukup lihay.

Kembali pasukan Tamtai Au-kha menjadi panik mendapat terjangan itu.

Meskipun pengemis-pengemis itu tidak berkuda dan harus menghadapi lawan-lawan yang menunggang kuda, namun mereka ternyata cukup cerdik untuk menghadapi lawan.

Pengemis-pengemis itu lebih dulu menghantam kaki kaki kuda musuh sartibil berjongkok, sementara seorang temannya melindunginya dan kemudian menggebuk setiap kali prajurit musuh itu jatuh dari kudanya.

Tapi pengemis-pengemis itu juga harus berhati-hati terhadap terjangan kaki-kaki kuda yang sengaja diarahkan kepada mereka, selain terhadap panah-panah dan lembing- lembing musuh yang dilontarkan dengan cukup terarah.

Dengan datangnya balabantuan buat Tong Lam-hou dan teman-temannya, maka Tamtai Au-kha merasa bahwa pasukan berkudanya menemui hambatan yang tidak kecil.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Meskipun jumlah lawan-lawannya tidak lebih dari seratus orang, tapi rata-rata mereka adalah orang- orang pilihan yang setiap orangnya senilai dengan sepuluh atau lima belas prajurit biasa.

Dilihatnya bagaimana seorang Hweshio berambut panjang memutar senjata Hong-pian- jan dengan kencangnya, sehingga prajurit- prajurit yang diterjangnya berhamburan seperti daun-daun kering saja, karena hweshio itu agaknya bertenaga sangat besar.

Bahkan sempat dilihatnya bagaimana hweshio itu menyambar sepasang kaki depan seekor kuda yang masih ada penunggangnya, lalu diputar- putarnya di atas kepalanya seringan orang memutar-mutar seekor kucing saja, dan kemudian dilemparkan ke tengah kerumunan prajurit prajuritnya yang lain.

Akhirnya Tamtai Au-kha sadar bahwa jika dipaksakan, meskipun pasukannya yakin bisa memusnahkan orang- orang itu, namun paling tidak separoh dari pasukannyapun akan ikut musnah pula.

Deretan nama-nama seperti Tong Lam-hou, Ang Hoan, Siang-koan Hong, Lim Hong-pin, Tong Wi-hong, Auyang Seng, Bu-gong Hweshio, Sun Ciok peng Sebun Him serta delapan orang Tongcu Hwe- liong-pang itu benar-benar sama kekuatannya seperti sebuah pasukan yang tangguh.

Berambung ke

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid ukup tahu diri, Tamtai Au-kha segera memberi aba-aba kepada pasukannya.

"Mundur !"

Perintah itu tidak perlu diulangi untuk kedua kalinya.

Prajurit-prajurit Ui-ih-kun memang bukan prajurit yang setangguh Hui-liong-kun misalnya, baik dalam kemampuan jasmani maupun dalam hal semangat tempur.

Prajurit Ui-ih-kun akan menjadi garang sekali jika mereka mendapat kemenangan, namun jika mereka terperosok ke dalam kesulitan maka semangat mereka dengan gampang akan luntur.

Berbeda dengan prajurit-prajurit Hui-liong-kun gemblengan Pakkiong Liong yang ibaratnya tak akan mengerut kening sedikitpun meskipun C Bahkan sempat dilihatnya bagaimana hweshio itu menyambar sepasang kaki depan seekor kuda yang masih ada pe-penunggangnya, ...

dihadapannya ada lautan pedang ataupun hujan panah.

Begitu perintah untuk mundur dikeluarkan, beramai-ramai merekapun memutar kuda mereka dan mundur serempak.

Sekejap saja mereka sudah meninggalkan tempat itu dejigan meninggalkan debu yang mengepul tinggi.

Di tempat itu kini hanya tertinggal puluhan tubuh para prajurit yang malang melintang, ada yang sudah mampus ada pula yang masih merintih-rintih kesakitan.

Sementara kaum pendekar pun segera saling berkumpul dan saling menanyakan keselamatan masing- masing.

Tak seorangpun dari mereka terluka parah apalagi gugur, hanya beberapa orang yang luka-luka ringan.

Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan yang terluka itupun masih nampak gagah ketika meloncat turun dari kudanya dan melangkah tegap di samping murid kesayangannya.

Para pendekar seperti Tong Wi-hong dan Auyang Seng yang punya nama besar di kalangan persilatan itupun ternyata memberi hormat dengan bersungguh- sungguh, sebab mereka tahu banwa Tiam-jong- lo-sia adalah seorang tokoh maha sakti yang meskipun jarang muncul ke dunia ramai, namun kesaktiannya luar biasa.

Tong Wi-hong bahkan tahu bahwa Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan ini lebih sakti dari gurunya sendiri, dan konon yang bisa menandinginya secara seimbang hanyalah si rahib tua Hong-tay Hweshio dari Siau-lim-pay dan mendiang Ketua Hwe-liong-pang yang lama, Tong Wi-siang.

Tidak ada orang yang ketiga.

Ketika melihat Tong Wi-hong dalam keadaan sehat meskipun gerak-geriknya agak lemah dan mukanya agak pucat, maka Tong Lam-hou pun tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya.

Dihampirinya pamannya itu dan tanyanya.

"Paman kau Sudah baik bukan? Luka yang paman dapatkan di Pak-khia itu begitu mencemaskan sehingga aku menjadi mata gelap dan mengakibatkan kematian anak kesayangan Pakkiong An !"

Meskipun kalimat itu diucapkan dengan nada lugu tanpa kelemahan-lembutan sedikitpun, namun siapapun dapat mendengar bahwa di dalam kalimat itu terkandung perhatian yang mendalam.

Hal mana cukup melegakan semua orang.

Dalam pandangan orang-orang itu, setidak- tidaknya Tong Lam-hou masih ingat hubungan kekeluargaan dan "belum terlalu tersesat"

Meskipun ia pernah mengecewakan banyak orang ketiga ia menjadi perwira Kerajaan Manchu. Orang-orang Hwe-liong-pang bahkan berharap terlalu jauh bahwa anakmuda itu akan menyadari tentang "kelicikan dan kekejaman"

Bangsa Manchu, lalu Tong Lam-hou akan masuk menjadi anggota Hwe-liong-pang sehingga dapat memperkuat perlawanannya terhadap pemerintah Manchu.

Sesaat lamanya Tong Wi-hong dan Tong Lam-hou, paman dan keponakan, saling menggenggam tangan dengan erat dengan penuh kehangatan.

Adegan itu paling tidak telah memperbesar harapannya bahwa Tong Lam- hou akan berpaling dari pendiriannya yang sesat".

Justru sang paman, Tong Wi-hong, sendirilah yang tahu pasti bahwa keponakannya itu tidak akan berubah pendirian, sebab sang paman itu sudah tahu betapa teguh pendirian Tong Lam-hou tentang perlunya menghentikan perang, supaya orang Han dan orang Manchu dapat hidup berdampingan seperti saudara.

Tong Wi-hong tahu pasti bahwa pendirian keponakannya itu bukan pendirian yang goyah sebab hanya berlandaskan kekuatiran akan kehilangan kedudukan sebagai perwira yang bergaji tinggi, namun benar-benar menguatirkan nasib rakyat yang -terus menerus berada dalam suasana peperangan, suasana yang lama kelamaan akan membuat rakyat kehilangan kepercayaan kepada tatanan dan hukum yang berlaku, dan jika sudah demikian maka negara ibaratnya sebuah rumah yang tiang-tiangnya rapuh dimakan rayap.

Sama dengan keadaan di jaman dinasti Beng di bawah kekuasaan Kaisar Cong-ceng dulu.

Namun dalam pertemuan kali ini, baik paman maupun keponakan, sama-sama tidak menyinggung perbedaan pendirian masing- masing.

Mereka hanya saling menanyakan apakah terluka atau tidak, dan keselamtan diri masing-masing selama Ini.

Pertemuan yang lebih mirip pertemuan keluarga, karena kemudian Tong Wi-hong memperkenalkan Tong Lam-hou kepada anggota keluarganya yang lain.

Kepada Cian Ping, isteri Tong Wi hong, Tong Lam-hou memanggil "bibi"

Dan kepada Ting Bun, suami Tong Wi-lian, ia memanggilnya "paman".

Selain itu ternyata masih ada dua orang "piau-te" (adik sepupu) dan seorang "piau-moi" (adik sepupu perempuan) yang cantik dengan lesung pipit di pipinya.

Tong Lam-hou merasa gembira karena merasa berada di tengah-tengah keluarga.

Namun wajah-wajah yang berseri itupun berubah menjadi wajah-wajah yang kecewa ketika mereka mendengar bagaimana Tong Lam-hou dengar, tegas tetapi sopan, telah menolak ajakan orang-orang itu, bahwa perlawanan yang berlarut-larut hanyalah akan membuat rakyat kehilangan kesempatan untuk memperbaiki nasibnya, sementara yang diperjuangkan sebagai "membebaskan negeri orang Han"

Itu sendiri masih kabur. Ibarat akan merobohkan sebuah rumah namun belum punya rumah penggantinya . Suasana berubah menjadi tegang, ketika terdengar Tong Lam-hou berkata.

"Aku menyesal mengatakan kepada kalian, bahwa siapapun yang masih ingin mengacau dan menimbulkan keributan yang meresahkan negeri ini, ia harus melangkahi mayat Tong Lam-hou lebih dulu."

Beberapa pendekar yang datang bersama Tong Wi-hong tadi, menampilkan sikap yang berbeda-beda ketika mendengar ucapan itu.

Ada yang menarik napas dengari kecewa, ada yang menjadi merah padam wajahnya karena kemarahan, tapi orang-orang yang sudah memahami pendirian Tong Lam-hou seperti Tong Wi hong, Siangkoan Hong dan Lim Hong- pin nampak tenang-tenang saja mendengar ucapan Tong Lam-hou itu.

Bahkan Tong Wi hong mencoba meredakan keadaan.

"Aku berharap setiap orang dapat menahan diri. Pengalamanku selama beberapa hari berada di- Pak-khia di rumah Hou-ji (anak Hou, maksudnya Tong Lam-hou) adalah bahwa perbedaan pendapat yang bagaimanapun tajamnya, dapat dilunakkan apabila kedua pihak sama-sama mau berbicara dari hati ke hati, bukan lantas saling-melotot dengan menghunus senjatanya masing-masing. Masing-masing harus diberi kesempatan mengutarakan pendiriannya, tapi juga harus mencoba memahami pendirian pihak lain meskipun tidak harus menerimanya. Meskipun pendirian berbeda, tapi jika mau sebenarnya orang-orang bisa hidup berdampingan secara -damai... ."

"Tidak bisal"

Potong Sebun Him si anakmuda dari Hoa-san-pay yang bertangan kidal yang dengan bangga selalu menyebut julukannya sendiri sebagai Se-him ( si Beruang Barat), yang menurut perasaannya sudah dapat dise- jajarkan dengan Pak-liong (Naga Utara-dari Lam-hou (Harimau Selatan) itu.

"Mana bisa pembebas tanah-air yang berjiwa luhur itu hidup berdampingan dengan menjilat pantat Manchu yang berjiwa rendah ?"

Tujuan Sebun Him dengan kata-katanya itu sebenarnya cuma ingin memancing perkelahian dengan Tong Lam-hou, dan ia akan mendapat kesempatan untuk membuktikan di hadapan banyak saksi bahwa si Beruang Barat mampu mengalahkan, paling tidak mengimbangi, si Harimau Selatan.

Sebun Him yang akan mendambakan nama besar dan ketenarann itu memang sudah lama penasaran sebab namanya selalu berada di bawah bayang-bayang kebesaran nama Pak-kiong Liong dan Tong Lam-hou, dan akan menggunakan kesempatan ini untuk keluar dari bayang-bayang itu.

Tapi Tong Lam-hou ternyata tidak mudah terpancing kemarahannya, kepribadiannya sudah matang dan ia sadar bahwa berkelahi bukanlah satu-satunya-cara untuk menonjolkan diri, bahkan dinilainya cara itu agak kekanak- kanakan.

Meskipun dengan kuping yang a-gak merah, ia memberi hormat kepada sekalian orang termasuk kepada Sebun Him juga, sambil berkata.

"Aku minta maaf bahwa aku telah banyak mengecewakan kalian dengan pendirianku ini. Sebenarnya, jika kita sama- sama meletakkan kepentingan rakyat di atas segala-galanya, kita tidak akan berselisih pendapat."

"Hah, enak benar kau bicara. Kepentingan rakyat atau kepentingan orang Manchu?"

Dengus Sebun- Him.

"Rakyat Han dan rakyat Manchu adalah sama-sama rakyat negeri ini, kenapa harus terpecah belah? Jika pertentangan terus dilanjutkan hanya karena akal sehat kita kalahkan oleh rasa kesukuan. yang sempit, maka andaikata kelak kalian berhasil mendudukkan seorang Han sebagai Kaisar, kekacauan tetap tidak akan berhenti waktu itu, entah orang Manchu entah orang Mohgol entah orang Hui pasti penasaran kenapa bukan orang dari suku mereka yang menjadi Kaisar Cina ini. Kalau sudah begitu, kapan selesainya ?"

Tapi Sebun Him semakin berang karena merasa kalah pandai, dan dengan ngootot ia berkata, Kemukakan seribu satu alasanmu, Tong Lam-hou.

"Tetapi kami bangsa Han tetap tidak sudi diperintah oeh bangsa Manchu!"

Tong Lam-hou yang kesabarannya mulai menipis itupun tertawa dingin.

"Benar-benar pikiran sempit dan membabi buta. Saudara- saudara sekalian, tahukah kalian apa yang dipikirkan oleh Sri Baginda Khong-hi, dan apa yang dicita-citakan ?"

Sahut Sebun Him.

"Hemm, penjilat, kau menyebut nama Khong-hi dengan sebutan Sri Baginda dan nadamu sangat menghormatinya. Tapi aku justru tidak sudi mendengarkannya !"

"Sudi atau tidak sudi terserah kepadamu. Kau tidak sudi mendengarkan, tapi aku masih berharap agar para pendekar Hwe-liong-pang yang bersedia menggunakan akal sehatnya. Selamat tinggal!"

Habis berkata demikian, segera Tong Lam- hou memberi hormat, dan menggandeng tangan gurunya untuk diajak pergi dari situ.

Sikapnya tegas dan tidak ragu-ragu.

Namun Sebun Him telah menghunus pedangnya dan meloncat menghadang Tong Lam-hou sambil membentak.

"Jangan pergi! Kau setia kepada Kaisar bangsa Manchu itu, berarti kaulah perintang utama bagi perjuangan bangsa Han Kami dan sekarang kau mau pergi begitu saja ?"

Kalau Tong Lam-hou masih berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri, sebab ia sadar bahwa kekerasan hanya akan mempersulit orang-orang itu untuk menerima pendiriannya, maka sebaliknya Guru Tong Lam-hou yang meskipun usianya sudah tua tapi masih berwatak berangasan itu sudah kehabisan kesabarannya.

la sangat sayang kepada muridnya seperti kepada anaknya sendiri, dan darahnyapun meluap melihat muridnya yang dianggapnya bermaksud baik itu malahan diterima dengan sinis dan caci maki.

Melihat sikap Sebun Him yang dianggapnya sok pahlawan itu, Ang Hoan tertawa dingin.

"Anakmuda, dengan mengandalkan apa kau hendak merintangi kami berlalu dari sini ?"

Sebun Him yang sejak menemukan ajaran ilmu Kun-goan-sin-kang (Tenaga Sakti Alam Semesta) di penjara Kui-ki-ong itu telah merasa dirinya menjadi seorang yang berilmu tinggi, menjadi marah mendengar ucapan Ang Hoan yang kedengarannya menantang itu.

Tanpa banyak bicara lagi pedangnya segera menebas ke arah Ang Hoan dengan Lian-hoan-cin-po- sam-to (Tiga Bacokan saling susul dengan langkah berantai).

Dengan pengerahan tenaga Kun-goan-sin-kangnya maka gerakan pedangnya menimbulkan suara gemuruh angin, sementara wujud pedangnya sendiri telah lenyap menjadi mega.

Beberapa orang berseru kagum melihat kehebatan Sebun Him.

Tapi di hadapan Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan, tokoh nomor satu dunia persilatan dari gunung Tiam-jong-san itu, permainan pedang Sebun Him tak ada bedanya dengan permainan anak- anak saja.

Tanpa terlihat gerakannya tahu-tahu orang tua itu sudah mengelakkan serangan beruntun itu, gerakannya begitu gampang dan tak bersusah payah.

Sebun Him yang bertekad mengangkat nama besar dengan mengalahkan orang-orang terkenal, mengeram marah dan pedangnyapun menusuk lagi dengan gerakan Koay-bong- hoan- sin (Ular Naga Berjungkir Balik).

Gulungan cahaya pedangnya lenyap berganti sebuah garis keperakan yang meluncur dengan gerakan berputar seperti bor, bergerak secepat kilat ke dada orang tua dari Tiam-jong san itu.

Suara gemuruh mirip badai berganti dengan suara mencicit dari ujung pedang yang membelah udara.

Pergantian gerak dilakukan dengan manisnya sehingga beberapa orang kembali memperdengarkan seruan kagumnya.

Tapi kali ini Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan sudah habis sabarnya, dengat sebuah kebasan lengan jubahnya yang kedodoran itu, segulung angin meluncur ke depan dan membentuk selapis benteng yang tak kelihatan namun tak dapat ditembus.

Gerakan pedang Sebun Him berantakan sekaligus, dan orangnvapun terpental ke belakang sampai hamper membentur sebatang pohon, dengan muka yang pucat dan napas memburu.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Beruang Barat yang sangat membanggakan dirinya itu sekarang benar-benar telah ketemu batunya.

Dengan sikap acuh tak acuh dan tidak mempedulikan luka di pundaknya, Ang Hoan berkata kepada Tong Lam-hou.

"A-hou, marilah kita pergi. Maksud baikmu tidak bisa mereka terima, buat apa kita mengemis-ngemis belas- kasihan kepada mereka ?"

"Ang Lo-eng-hiong, tunggu dulu..."

Kata Tong Wi-hong mencoba mencegah kepergian tokoh tua itu.

Namun hanya dengar, beberapa langkah yang kelihatan ringan dan seenaknya, guru dan murid dari Tiam-jong-san itu tahu-tahu sudah melangkah jauh.

Suatu pameran ilmu meringankan tubuh yang mengejutkan, sehingga Tong Wi-hong yang ahli ginkang sampai berjulukan gin-yan-cu itupun merasa banwa darinya benar-benar masih kalah dibandingkan mereka.

Sementara Sebun Him dengan agak sempoyongan bangkit dari jatuhnya, dan meskipun ia tidak menolak ketika Ting Hun- giok membantunya untuk berdiri, tapi dengan getas.

"Aku tidak apa-apa, tidak luka sedikitpun. Tadi aku hanya kurang waspada terhadap si tua itu dan meskipun dia lebih lihai dari padaku tetapi itu wajar saja karena dia adalah seorang tokoh angkatan tua. Yang masih aku sesalkan ialah bahwa begitu banyak pendekar di tempat ini kenapa tidak ada yang berusaha mencegah kaburnya kedua kaki tangan Manchu-itu? Apakah semuanya gentar? Kalau aku sih demi tanah air bangsa Han tidak akan gentar kepada siapapun, biarpun lainnya menjadi pengecut berwatak kura-kura tapi aku si Beruang Barat akan tetap... ."

Pendekar dari Hoa-san-pay, Gin-hoa kiam Auvang Seng, dengan cepat menukas ucapan keponakan muridnya itu.

"A-him, jangan bicara kurang sopan!"

"Aku tidak bermaksud menyinggung siapa- siapa, susiok, aku hanya kuatir kalau perjuangan membebaskan tanah-air kita akan mengalami kegagalan, sebab para pendekar kita sudah terbius oleh omongan beracun dari si budak penjajah tadi, tentang ?kedamaian buat rakyat' dan orang Han dan manchu hidup bersaudara' dan entah omongan busuk apalagi..."

Beberapa orang yang berada di tempat itu menjadi merah kupingnya mendengar itu, namun sebagai tokoh-tokoh yang sudah matang dalam kepribadian mereka tidak mudah terpancing pertengkaran dengan Sebun Him.

Mereka maklum bahwa Sebun Him hanya sedang melampiaskan kekecewaannya karena gagal menunjukkan kegagahannya tadi, bahkan dijungkir -balikkan dalam dua gebrakan saja.

Anak Tong Wi-hong yang tua.

Tong Hoa- tiong, berbisik ke telinga adiknya..

"Anakmuda Hoa-san-pay ini sungguh besar mulutnya, kalau aku tidak segan kepada Auyang Tayhiap, ingin rasanya aku menjajal kehebatan ilmu pedangnya."

Adiknya yang bernama Cian Hoa-beng karena memakai nama marga ibunya, menjawab.

"Tiong-ko (kakak Ting), apa kau tidak paham bahwa dia sesumbar seolah-olah dirinya adalah pahlawan sendiri itu hanya untuk menutupi rasa malunya tadi lihat saja gerak-geriknya, rupanya dia sudah lama ingin menaksir piau-moi (adik misan perempuan, maksudnya Ting Hun-giok) dan segala lagak lagunya selalu berusaha menarik perhatian piau-moi. Tapi makin lama dia berlagak, piau- moi makin jemu agaknya."

Kakaknya menahan tertawanya.

"Benar, aku juga melihatnya. Kali inipun dia ingin jual lagak dengan ilmu silatnya. Sayang dia salah memilih lawan!"

Keduanyapun tertawa namun berusaha ditahan agar tidak bersuara.

Kalau sampai terdengar oleh Sebun Him maka anakmuda Hoa-san-pay itu tentu akan mencak-mencak seperti kakek kebakaran jenggot.

Sementara itu Sebun Him ketika menyaksikan bahwa kata-katanya tadi hanya mendapat tanggapan yang dingin dari oang- orang sekitarnya, menjadi kecewa sekali.

Dengan gerakan yang lesu ia menyarungkan pedangnya, dan bergumam sendirian.

"Sayang sekali, aku tidak sempat menjajal apakah si Harimau Selatan itu benar-benar memiliki ilmu kepandaian seperti yang diberitakan orang, la cuma bisa berlindung di belakang punggung gurunya."

Tong Hoa-tiong tidak dapat menahan kemengkalan hatinya mendengar ucapan Sebun.

Him yang tak lain selalu berusaha menonjolkan dirinya sendiri dan meremehkan orang lain itu.

Tong Hoa-tiong sendiri bukannya menyetujui sikap Tong Lam-hou yang terlalu setia kepada pemerintah Manchu itu, namun sikap Sebun Him yang sok pahlawan itu lama kelamaan meeibuacriya muak juga.

Sebun Him telah mencigunakan cara yang salah untuk menarik hati seorang gadis.

Sedangkan Sebun Him sendiri agak kecewa melihat orang-orang itu agaknya tidak tertarik sedikitpun juga kepada omongannya itu.

Sikap yang tawar itu membuat Sebun Him kebingungan sendiri apakah ada yang salah dengan ucapannya? Yang paling dikuatirkan Sebun Him sebenarnya bukanlah apabila para pendekar itu benar-benar "terbius omongan beracun"

Tong Lam-hou, namun ia kuatir apabila kemunculan Tong Lam-hou di pihak kaum pendekar akan menyainginya, menyaingi, pamornya. Bukankah tadi Ting Hun-giok nampaknya begitu kagum kepada kakak sepupunya itu ? Terdengar Tong Wi-hong berkata.

"Saudara- saudara, marilah kita akan menuju ke pangkalan, di sana aku akan mencoba menjelaskan kepada saudara-saudera tentang hasil pembicaraanku dengan Tong Lam-hou di kota Pak-khia beberapa hari yang lalu."

Para pendekar yang mendengar itu menjadi tertarik hatinya, tidak terkecuali orang-orang Hwe-liong-pang yang selama ini gigih menentang pendudukan Manchu.

Semuanya sudah kenal Tong Wi-hong sebagai pendekar besar yang bersikap anti Manchu, pendiriannya tidak goyah seujung rambutpun, namun nada bicaranya kali ini tentang diri Tong Lam-hou telah membuat orang-orang itu timbul perasaan ingin tahunya.

Agaknya akan ada "sesuatu yang baru"

Dalam sikap"dan pendirian Tong Wi-hong itu. Liong-pwe-nia Di atas bukit Yang disebut "pangkalan"

Itu adalah sebuah bukit yang bentuknya memanjang seperti punggung seekor naga yang muncul di permukaan air, sehingga bukit itupun disebut (Bukit Punggung Naga), itu ada segerombolan orang yang menamakan diri Jing-liong-pang (Gerombolan Naga Hijau) yang dipimpin seorang bernama Lim Kan, dulu ketika Hwe-liong-pang pecah tercerai-berai ia bersama segerombolan anggota Hwe-liong.

pang bersarang di tempat itu dan tetap melanjutkan cita-cita Hwe-liong-pang meskipun berganti nama dengan Jing-liong-pang.

Membela rakyat yang tertindas dari kesewenang-wenangan yang kuat.

Bagi para penindas, gerambolan Jing- liong-pang ini dicap sebagai "golongan hitam"

Sebab sering menghadang iring-iringan hartawan serakah, merampas harta mereka dan membagi-bagikan kepada penduduk miskin di sekitar Liong-pwe-nia.

Namun orang-orang Jing-liong-pang sendiri tidak pernah peduli mereka akan disebut sebagai iblis atau sebagai malaikat.

Sarang Jing-liong-pang sendiri terletak di atas bukit, dikelilingi lereng-lereng terjal dan hanya dapat dicapai lewat sebuah jalan kecil yang berliku-liku seperti ular.

Sarang itu sendiri dikelilingi pagar dari balok-balok tinggi yang dijajarkan rapat dengan ujung-ujung yang diruncingkan.

Melihat hal ini, orang akan tahu bahwa meskipun anggota Jing-liong-pang tidak lebih dari duaratus orang namun sulit untuk diserang.

Lim Kan sendiri menyambut kedatangan para pendekar itu ke dalam sarangnya yang semuanya terbuat dari kayu itu.

Pesta segera di adakan dan anggota-anggota Kay-pang yang terluka-pun segera diobati.

Dalam kesempatan itu, dengan kalimat-kalimat yang berhati-hati Tong Wi-hong mulai menjelaskan tentang diri Tong Lam-hou dan pendiriannya.

Selama beberapa hari memikirkan hasil perundingannya dengan keponakannya di Pak- khia dulu, ternyata Tong Wi-hong memikirkan bahwa pendirian Tong Lam-hou itu ternyata betul juga.

Di jaman Manchu itu memang perbedaan antara Manchu dan Han sudah hampir tak ada lagi, kedua suku berbaur dalam satu masyarakat, dan kalau ada perbedaaan juga maka perbedaan itu hanya ditiup-tiupkan oleh segolongan kecil orang Manchu atau orang Han.

Orang Manchu yang selalu ingin diunggulkan sebab mereka adalah bangsa yang berkuasa, sedang orang Han yang merasa bangsa mereka dijajah.

Namun jumlah orang- orang itu tidak banyak.

Orang masih ingat bagaimana jaman Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng yang orang Han itu malahan lebih morat- marit dibandingkan jaman Kaisar Khong-hi Sekarang.

Jaman dulu, prajurit-prajurit Beng galak sekali terhadap rakyat namun diam-diam malahan banyak yang bekerja-sama dengan kaum perampok untuk membagi hasil.

Jaman prajurit-prajurit Manchupun galak terhadap rakyat, namun terhadap para perampok dan penjahatpun mereka bertindak tegas, sehingga rakyatpun merasa terjamin keamanannya.

Kaisar Khong-hi yang masih muda itu mengendalikan negara-dengan tangan-tangan yang kokoh kuat, meskipun sebagai manusia biasa ia memiliki beberapa kelemahan pula.

Tapi ia jelas lebih baik dibandingkan raja-raja dinasti Beng.

Bagi oang-orang yang selama ini sudah terbiasa memusuhi pemerintah Manchu, maka perkataan-perkataan Tong Wi-hong itu memaksa mereka untuk meninjau kembali pendirian mereka, meskipun tidak langsung menerimanya.

Seolah mereka menemukan sebuah jendela baru dalam memandang persoalan ini.

Kini masalahnya bukan lagi suka atau tidak suka kepada orang Manchu, tetapi masih perlu ataukah tidak untuk melanjutkan perlawanan yang berlarut-larut.

Dan di telinga mereka seakan terngiang kembali ucapan Tong Lam-hou yang tadi sebelum pergi.

"Gunakan akal sehat, diatas segala-galanya."

Yang paling panas hatinya dalam ruangan itu adalah Sebun Him.

Ketika ia melihat orang- orang mulai bimbang mendengar penjelasan Tong Wi-hong itu, maka Sebun Him merasa perlu untuk angkat bicara demi "menyelamatkan perjuangan".

Sambil menggebrak meja Sebun Him berteriak.

"Tidak bisa jadi, Tong Tayhiap, kalau kita hendak berdamai dengan pemerintah Manchu maka akulah yang pertama kali menentangnya !"

Semua mata menoleh ke arah Sebun Him dan anak muda itu menjadi bangga karenanya.

"Dalam peperangan memang jatuh korban, dan meskipun itu sama-sama tidak kita sukai namun rakyatpun harus ikut mengorbankan ketenteraman dan kedamaiannya untuk sementara waktu, toh apabila kemerdekaan untuk tanah air bangsa Han ini tercapai kelak, mereka akan menikmatinya juga. Mereka terinjak, itu wajar!"

Tong Wi-hong tidak meladeni Sebun Him dengan suara yang sama kerasnya, melainkan dengan tersenyum sabar ia menjawab.

"Aku mengutarakan hasil pembicaraanku dengan Tong Lam-hou bukan untuk merubah pendirian saudara-saudara, atau mentang-mentang karena Tong Lam-hou itu keponakanku, tapi hanya mencoba menyodorkan pilihan lain yang bisa kita pikirkan. Kita akan, memilih yang terbaik, dan barangkali ukuran terbaik buat diri kita masing-masing itu pun berbeda-beda satu sama lain bukan ?"

"Bagiku, yang terbaik adalah meneruskan perjuangan sampai tuntas, apapun yang menjadi korbannya!. Hanya pengecut yanag menyerah kepada bujukan anjing Manchu bernama Tong Lam-hou itu!"

Sahut Sebun Him.

keras, lalu ia memandang berkeliling untuk melihat bagaimana orang-orang akan menatap kagum ke arahnya.

Tapi ternyata yang dilihatnya hanyalah alis-alis yang berkerut, sinar mata yang tawar dan ada juga satu dua kepala yang mengangguk-angguk menyetujui pendapat Sebun Him itu.

Tapi tak ada tepuk tangan kekaguman untuk ucapannya yang berapi-api itu.

Sementara Sebun Him bangkit dan berkata lebih keras lagi.

"Hubungan darah memang sulit dilupakan, dan betapapun seseorang disebut sebagai seorang pendekar besar yang berwatak adil dan bijaksana, tapi kalau sudah bicara menyangkut anggota keluarganya sendiri, mana bisa bersikap adil lagi? Pasti sikapnyapun sudah berat sebelah !"

Begitulah, sebagai luapan kekecewaannya karena tadi dikalahkan oleh Tiam-jong-lo-sia hanya dalam waktu dua jurus saja, maka kini Sebun Him berbicara makin berani.

Ucapannya yang terakhir ini terang-terangan ditujukan kepada Tong Wi-hong yang dituduhnya sudah berubah pendirian.karena membela keponakannya sendiri.

Bagi Sebun Him, sungguh kebetulan kalau Tong Wi-hong marah dan Kemudian menantangnya berkelahi, sebab jika ia dapat mengalahkan pendekar itu maka namanya akan terangkat naik dan tertebuslah rasa malu yang didapatnya tadi ketika dirobohkan Ang Hoan.

Yang hampir tidak dapat menahan diri adalah dua orang putera Tong Wi-hong yang masing-masing sudah melekatkan telapak tangan mereka digagang pedang mereka, tapi mereka masih belum berani bertindak sebelum diberi "lampu hijau"

Oleh ayahnya.

Mereka tidak rela sang ayah yang selama ini dihormati sebagai pendekar besar kini telah dicerca begitu tajam di hadapan sekian banyak orang.

Sedangkan Tong Wi-hong sendiri tidak mudah terbakar oleh sindiran Sebun Him itu, bagaimanapun juga usianya yang sudah hampir dua kali lipat umur Sebun Him itu mempengaruhi ketenangan sikapnya.

Setelah meneguk secawan arak, ia berkata dengan tenang.

"Sekali lagi aku ulangi, saudara Sebun, bahwa aku tidak berniat memaksa kalian berbalik pendirian dan mendukung pemerintahan Manchu. Aku hanya menceritakan hasil pembicaraanku dengan Tong Lam-hou, kemudian terserah penerimaan kalian."

"Tong Tayhiap sendiri bagaimana?"

Desak Sebun Him penasaran.

"Aku dapat menerima sebagian dari pendapat Tong Lam-hou itu,"
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Kata Tong Wi- hong terang-terangan.

"Menerima sebagian bagaimana ?"

"Aku bisa terima bahwa pertentangan. harus dihentikan. Tapi aku tidak setuju untuk itu kita harus bekerja kepada Kerajaan Manchu. asal kita bekerja untuk kedamaian dan ketenangan rakyat, sudah cukup bagus."

Saat itu terdengar Hwe-liong-pang menyahut diwakili Siangkoan Hong.

"Kita memang perlu mempertimbangkan untuk memperbarui sikap kita. Kepada saudara-saudara Hwe-liong-pang aku ingin mengingatkan bahwa sejak semula kita dirikan serikat kita untuk membela rakyat kecil yang waktu itu menderita di bawah pemerintahan Cong-ceng. Kita tidak akan mengikatkan diri kita kepada pemerintahan Kaisar yang manapun, asal rakyat sejahtera kitapun puas. Setelah Piangcu wafat, sebagian dari kita pernah ikut berjuang bersama Li Cu- seng untuk merobohkan Cong-ceng, kemudian melawan orang Manchu yang menyeberangi Tembok Besar lewat San-hai-koan. Tapi aku harap kita tidak terlalu terpancang kesetiaan kita kepada seorang Li Cu-seng yang matihidup- ya-pun-tidak kita ketahui, dan mengabaikan nasib laksaan rakyat yang menderita karena peperangan."

Para Tongcu Hwe-liong-pang itu menunjukkan berbagai sikap di wajah mereka ketika mendengar ucapan Siangkoan Hong itu, namun tak seorangpun yang menjawab. Suasana sunyi untuk sesaat sampai terdengar suara Lam-ki Tongcu ln Yong.

"Maksud Hiangcu, kita harus memberhentikan perlawanan kepada pemerintah Manchu, begitu? Tapi bagaimana kalau pemerintah Manchu berbuat sewenang- wenang kepada rakyat?"

Sahut Siangkoan Hong tegas.

"Kita lawan! Kita berpihak kepada rakyat yang ditindas, bukankah dulu kita melawan Cong-ceng yang sesama orang Han itu juga dengan dasar ini? Tapi apabila Khong-hi ingin membangun negeri untuk kesejahteraan rakyat, kenapa kita harus merintanginya? Kenapa kita harus memandang dia orang Han atau orang Manchu!?"

"Aku setuju!"

Tiba-tiba Ma Hiong menyahut.

"Sikap itu agaknya lebih masuk akal daripada kita bergentayangan kesana kemari tanpa tujuan yang jelas dan sekedar orang Manchu di mana-mana. Tapi bagaimana dengan pasukan yang tadi kita lawan, apakah kita akan terus melawan apabila mereka datang, atau tidak melawan?"

Semua mata diarahkan kepada Tong Wi- hong, yang bagaimanapun masih tetap dianggap sebagai orang yang paling berwibawa di ruangan itu.

Pendekar dari kota Tay-beng itu tersenyum gembira karena pendapatnya agaknya mendapat sambutan baik dari orang banyak, maka iapun menjawab.

"Aku tidak pantas untuk mengatur saudara-saudara semuanya. Tapi aku berpendapat secara pribadi, jika kita diserang, kita berhak membela diri. Tapi jika kita tidak diserang, kita wajib menunjukkan itikad baik kita, bukan dengan pemerintah Manchu retapi demi rakyat banyak!"

Semuanya menarik napas lega karena meiasa mendapat jalan keluar untuk tindakan-tindakan mereka di masa datang. Bu-gong Hweshio dari Siau-lim-pay yang terkenal sebagai tokoh berwatak keras itupun bahkan bertepuk tangan sambil berseru.

"Bagus!' Suatu sikap yang luwes yang paling bermanfaat. Orang Manchu bekerja untuk rakyat, kita dukung. Kalau mereka menindas rakyat, kita hantam !"

"Sekarang bagaimana menghadapi pasukan besar Pakkiong An yang kabarnya sedang menuju ke Tiau-im-hong meskipun tidak dipimpin oleh Pakkiong An sendiri itu?"

Tiba- tiba Sun Ciok-peng dari Kay-pang bertanya. Tong Wi-hong yang menganjurkan untuk memperlunak sikap terhadap pemerintah Manchu itu, yang kini menjawab pula dengan tidak ragu-ragu.

"Kita tidak bersalah, dengan sendirinya kita akan melawan jika diperlakukan dengan sewenang-wenang. Tapi ada satu hal yang kita akan mengingatkan saudara- saudara.."

Suasana menjadi sunyi sejenak, sehingga daun jatuhpun ibaratnya akan kedengaran suaranya. Kemudian suara Tong Wi-hong yang tidak keras namun jelas sepatah demi sepatah.

"Sikap Pakkiong An hendaknya jangan kita anggap mewakili sikap pemerintah Manchu secara keseluruhan terhadap kita. Pakkiong An adalah seorang berpikiran sempit dan segala yang dilakukannya sekedar mengejar kedudukan yang lebih tinggi bagi dirinya. Namun ada pejabat pejabat tinggi bangsa Manchu yang dengan tangan terbuka ingin berjabatan tangan dengan kita bangsa Han sebagai sesama penghuni negeri yang harus bersatu, terhadap orang-orang seperti itu kita harus dapat menunjukkan kelapangan dada kita. Kita sudah kenal bagaimana watak orang semacam Pakkiong Liong misalnya, yang meskipun bertangan-besi dalam menumpas setiap perlawanan, tapi keselamatan rakyat diutamakan lebih dulu tanpa membeda- bedakan apa suku dari rakyat itu. Dan orang yang demikian ini kulihat cukup banyak di Kotaraja Pak-khia. Kaisar Khong-hi sendiri adalah seorang yang giat memajukan pengajaran kebudayaan Han."

Hampir semua kepala mengangguk-angguk mendengar itu, bahkan kemudian Sun Ciok- peng berkata.

"Ya, bahkan aku dengar ketika terjadi pertempuran di Tay tong karena pemberontakan Pangeran Cu-Leng-ong dulu, rakyat kecil malah lebih suka berlindung kepada Pakkiong Liong daripada kepada Pangeran Cu Leng ong. Beberapa desa yang sempat diduduki oleh laskar Cu Leng-ong telah mengalami kerusakan lahir batin, bukan saja banyak rumah dirobohkan dan bahan makanan dirampas untuk perbekalan laskar pemberontak, tetapi banyak perempuan kehilangan kehormatannya karena ulah pemberontak."

Keragu-raguan semakin tersingkir dari setiap wajah dan semakin banyak wajah yang memancarkan kemantapan serta kepala yang teranqguk-angguk menyetujui pendapat.

Tong Wi-hong itu.

Itu bukan berarti berbalik pendirian, melainkan kembali ke landasan perjuangan yang semula..

Terutama orang- orang Hwe-liong-pang megakui dalam hati bahwa dalam tahun-tahun terakhir ini tindakan mereka memang telah agak kehilangan arah, yang diperbuat kadang kadang hanya berlandaskan ketidaksenangan terhadap pemerintah Manchu saja, sedang akibat-akibat dari tindakan mereka itu tanpa mereka sadari telah memancing sikap keras dari pihak pemerintah Manchu pula.

Kini Tong Wi-hong, adik dari mendiang pendiri Hwe-liong-pang Tong Wi-siang, seolah meletakkan cermin di depan wajah mereka masing-masing untuk melihat kesalahan diri mereka sendiri selama ini.

Yang tidak bisa menerima hanyalah Sebun Him.

Anakmuda berwatak kaku ini tetap berpendapat bahwa orang Han sebagai "bangsa yang berkebudayaan tinggi"

Tidak bisa hidup bersampingan, apa lagi di bawah perintah seorang Kaisar Manchu, sebab bangsa Manchu adalah "Orang Tartar yang liar dari luar Tembok Besar".

"bangsa biadab".

"setengah binatang"

Dan sebagainya.

Merasa bahwa di ruangan itu hanya dirinya sendiri yang berbeda pendirian, maka dengan mendongkol Sebun Him bangkit dari duduknya dan melangkah keluar tanpa menoleh kiri kanan lagi.

Tentu saja kelakuannya itu membuat seisi ruangan tertarik perhatiannya dan memandang ke arahnya sampai hilang di balik pintu.

Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng sebagai paman guru dari Sebun Him cepat- cepat berdiri member hormat berkeliling kepada orang-orang ni dalam ruangan itu sambil berkata dengan nada menyesal.

"aku atas nama Hoa-san-pay memohonkan maaf dari tuan sekalian atas ketidak sopanan keponakan muridku itu. Aku berjanji akan menegurnya dan mendidiknya lebih baik di kemudian hari."

Sahut Tong Wi-hong.

"Saudara Auyang tidak usah sungkan, memang begitulah watak orang- orang muda yang kadang-kadang menjadi kecewa kalau semangatnya yang berkobar- kobar tidak tersalurkan. Tapi sejalan dengan bertambahnya usianya nanti, iapun akan semakin tenang dan menemukan kembali keseimbangan sikapnya."

Terima kasih atas pengertian saudara Tong,"

Kata Auyang Seng sambil duduk kembali. Dan tiba-tiba saja sambil tersenyum ia melanjutkan.

"Sikapnya itu agak mirip dengan sikapku ketika masih muda dulu. Dalam pertempuran di Siong- san aku mengira ilmuku sudah cukup tinggi untuk melawan seorang anakbuah Te-liong Hiangcu, namun ternyata akulah yang hampir mampus, untung saja waktu itu aku ditolong seorang gadis yang baik hati,"

Dan bicara sampai sini ia tak dapat menahan tertawanya lagi sambil memandang ke arah Tong Wi-lian, adik perempuan Tong Wi-hong.

Tong Wi-lian yang usianya hampir setengah abad tapi masih kelihatan cantik dan ramping itupun tersenyum-mendengar ucapan Auyang Seng itu, sahutnya.

"Gadis itupun sebenarnya bukan gadis yang baik hati, namun kebetulan juga seorang gadis yang baru saja turun dari perguruan dan ingin menjajal ilmu silatnya."

Semua yang hadir di ruangan itu tertawa mendengarnya.

Beberapa orang yang tahu persis persoalannya tahu bahwa gadis yang dimaksudkan adalah Tong Wi-lian yang saat itu.

belum menjadi isteri Ting Bun.

Waktu itu memang Auyang Seng yang masih muda itu ada maksud jual tampang di depan Tong Wi-lian, namun malah hampir saja terbunuh oleh seorang pengikut Te-liong Hiangcu yang bukan lain adalah Hwe-tan Si Peluru Api Seng Cu? bok.

Untung ketika itu Auyang Seng bukannya mendapat muka terang tapi malah mendapat malu karena ilmunya kalah tinggi dari Tong Wi- lian.

Saat itu dilupakan olehnya, sebab saat itulah ia mulai meninggalkan sikap sombongnya dan sekaligus juga mempergiat latihan- latihannya saat ini ia memiliki tingkatan ilmu yang tidak kalah dari Tong Wi-lian.

Begitulah orang-orang itu makan minum dalam suasana yang gembira sambil bercakap- cakap dan bresendau-gurau.

Sementara itu, di luar ruangan, Sebun Him benar-benar merasa dirinya tersisih, meskipun sebenarnya tak seorangpun yang berusaha menyisihkan dirinya dan perasaan itu hanya timbul dari hatinya sendiri.

Memang demikianlah umumnya orang yang tidak bisa menerima perbedaan pendapat dengan oraag lain, akhirnya yang didapatkan cuma ketersisihan meskipun hal itupun ditimbulkan oleh perasaannya sendiri yang kecewa.

Tidak ada yang lebih menjengkelkan dari seorang yang inqin dirinya menonjol sendiri, tapi akhirnya malah merasa disisihkan.

Suara tertawa dari dalam ruangan perjamuan itu bagi telinga Sebun Him rasanya seperti suara ejekan bagi dirinya, padahal sebenarnya orang-orang dalam ruangan itu sedang bersendau-gurau sendiri dan tak sedikitpun menyinggung dirinya.

Bagi seorang yang sedang panas hatinya,suara yang tidak ditujukan kepada dirinyapun lama-lama terasa mengejeknya.

Dengan hati yang panas ia melangkah menjauhi ruangan itu sambil menggerutu.

"Sekarang mereka tertawa-tawa mengejekku, namun suatu ketika mereka akan tahu siapakah Sebun Him ini dan mereka akan merangkak- rangkak memohon maaf kepadaku. Sekarang boleh saja mereka memuja Tong Lam-hou seperti memuja malaikat dari langit tapi nanti mereka akan kecewa melihat bahwa orang pujaan mereka itu kukalahkan di medan perang."

Tengah ia melangkah dengan gelisah di bawah siraman embun malam, tiba-tiba di depannya nampak pula sesosok bayangan yang ramping juga sedang berjalan perlahan di lereng bukit Liong-pwe-nia.

Meskipun bayangan itu hanya kelihatan kehitam-hitaman di gelapnya malam dan sikapnyapun sedang membelakangi Sebun Him, namun Se-bun Him segera mengenal gaya berjalan bayangan itu adalah gaya dari Ting Hun giok, gadis puteri Tong Wi-lian dan Ting Bun yang sejak peristiwa penculikan di kota Tiang-an itu telah melekat di hati Sebun Him kuat-kuat.

Gadis yang mampu membuat anakmuda segagah Sebun Him jadi salah tingkah.

Seperti sepotong besi yang tertarik oleh besi sembrani, Sebun Him mempercepat langkahnya mendekati Ting Hun-giok dari belakang, dan menyapa.

"Ting Kohnio... Gadis yang sedang berjalan sambil melamunkan sesuatu itu terkejut mendengar sapaan itu itu, dan ia menoleh, dari bibirnya yang berbentuk indah itupun Membentuk sebuah senyuman ketika melihat Sebun Him melangkah mendekatinya.

"Eh, kiranya Sebun Siauhiap, kenapa tidak berada dalam ruangan untuk ikut berbicara dengan para pendekar itu? Siauhiap termasuk salah seorang pendekar yang cukup pantas untuk duduk bersama-sama mereka."

Hati Sebun Him mekar mendengar ucapan itu. Tapi ia pura-pura mengerutkan alis sambil berkata seolah-olah kecewa.

"Ya...aku baru saja dari dalam ruangan itu, namun aku merasa jemu mendengar pembicaraan mereka sehingga Seperti sepotong besi yang tertarik oleh besi sembrani. Sebun Him mempercepat langkahnya mendekati Ting Hun-giok dari belakang, dan menyapa.

"Ting Kohnio... aku lebih baik keluar saja, udara diluar lebih menyegarkan aku."

Ting Hun-giok agak kurang senang mendengar ucapan Sebun Him yang menyatakan jemu itu.

Bukankah yang ada dalam ruangan itu selain kedua orang tuanya juga ada paman-pamannya dan tokoh tokoh pendekar lainnya? Kenapa Sebun Him mengatakan jemu? Tapi gadis yang berpikiran luas itu tidak ingin bertengkar dengan Sebun Him seperti yang sudah-sudah.

Maka ia mencoba membelokkan pembicaraan.

"Udara di luar ini memang lebih segar daripada kita ikut bicara dengan orang- orang tua dalam ruangan itu. Kita berjalan-jalan kelereng-bukit, setuju, Siauhiap ?"

Mana bisa Sebun Him menjawab "tidak setuju"

Untuk menolak rembulan yang jatuh di pangkuannya? Tanpa disuruh lagi ia segera melangkah mendampingi gadis itu, namun yang diucapkannya masih saja nada kemendongkolan kepada orang-orang di dalam ruangan itu.

"Memang lebih baik menghirup udara yang segar dilereng bukit ini daripada mendengarkan orang-orang yang mengaku dirinya pendekar- pendekar perkasa namun begitu mudah terbius oleh seorang budak Manchu...."

"Sudahlah, Sebun Siauhiap, kita bicara soal lainnya saja yang menggembirakan hati."

"Mana bisa aku gembira kalau teringat bahwa gerakan perjuangan pembebasan tanah air bangsa Han kita terancam berantakan hanya karena munculnya sebuah gagasan untuk hidup damai dengan bangsa Manchu yang liar itu? Gagasan gila!"

"Sudahlah, kita berhak menerima atau menolak gagasan itu. Kalau Siau-hiap tidak setuju, ya tolak saja."

"Aku sudah menolaknya, tapi mereka tidak mendengarkan aku. Agaknya hanya tinggal aku sendiri yang masih memikirkan nasib jutaan bangsa Han kita yang ditindas oleh bangsa Manchu, yang lain-lainnya sudah tidak memiliki semangat juang lagi dan membuka perdamaian dengan musuh !"

Di sampingnya Ting Hun-giok menarik napas dalam-dalam, seakan seluruh udara Liong-pwe- nia yang sejuk itu hendak dihirupnya masuk ke paru-parunya untuk menekan kejengkelannya.

Se-bun Him memang seorang pemuda yang berwajah tampan, bertubuh tinggi tegap dan merupakan idaman seorang gadis, berilmu tinggi pula, hanya saja jika dia mulai bicara maka semua pembicaraan hanya terpusat kepada dirinya sendiri saja, seolah dialah satu- satunya tokoh unggul didunia ini.

Sahut Ting Hun-giok,"Perang atau damai, asal dilandaskan pada kepentingan rakyat, semuanya baik-baik saja."

"Tapi si anjing Manchu yang bernama Tong Lam-hou itu...

"Jangan sekasar itu, Siauhiap, bagaimanapun juga Tong Lam-hou adalah kakak misanku. Ayahnya adalah kakak dari ibuku."

Sesaat Sebun Him terperangah, tadi ia begitu bersemangat memaki-maki Tong Lam-hou sampai lupa bahwa gadis yang berjalan di sampingnya itu adalah adik sepupu dari orang yang dimaki-makinya.

Namun ia pantang menyerah meskipun suaranya menjadi sedikit melunak.

"Eh, maaf...tapi aku pikir seseorang harus dapat menarik garis tajam antara hubungan pribadi dengan hubungan berlandas kedudukan masing-masing. Misalnya saja aku, meskipun secara pribadi hormat kepada susiokcou (paman kakek guru) Yo Ciong-wan, tapi karena dia tersesat menjadi pengikut Te- liong Hiangcu maka aku tidak menyayangkan kematiannya di Ki-lian-san dulu..."

Ting Hun-giok hanya menghembuskan napas tanpa menjawab sepatah katapun. Ia sudah tidak begitu kaget lagi mendengar "ceramah"

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebun Him itu, sebab setiap kali tentu orang muda Hoa-san-pay itu melakukannya berulang kali.

Sambil berjalan-jalan dilereng bukit yang sunyi, Sebun Him tanpa merasa betapa gadis di sampingnya itu menjadi jemu akan ceramahnya, terus sana menyerocos tentang arti perjuangan pembebasan tanah air, tugas seorang pendekar dan sebagainya.

Apabila menceritakan hal-hal yang kurang baik, maka selalu diambilkan contoh orang lain.

Kalau menceritakan hal-hal yang baik, Sebun Him selalu bilang.

"sialnya aku ini..."

Dan seterusnya.

Pemandangan lereng bukit Liong-pwe nia di inalain hari sebenarnya cukup tenang dan nyaman, namun dengan adanya Sebun Him di sampingnya, Ting Hun-giok jadi tidak bisa menikmati ketenangan itu.

Saat itu mereka sudah semakin jauh dari barak tempat tinggal orang-orang Jing-liong- pang, dan Sebun Him belum juga berhenti dari sikap mengguruinya.

Namun tiba-tiba Sebun Him membalikkan tubuh secepat kilat menghadap ke salah satu gerumbul dan bentaknya.

"Siapa?! Keluar !"

Meskipun ia sedang asyik berbicara, namun karena latihan Kun-goan-sin-kangnya maka ia memiliki tenaga dalam yang tinggi sehingga pendengarannya pun tajam sekali.

Tadi ketika ia melangkah dekat gerumbul semak itu ia mendengar ada suara orang menarik napas seperti seorang yanq kecewa, dan meskipun suara itu sangat perlahan tapi tertangkap juga oleh telinganya yang peka.

Ting Hun-giok yang tenaga dalamnya tidak selihai Sebun Him itupun tidak tahu kalau ada orang bersembunyi di dekatnya dan baru tahu setelah mendengar bentakan Sebun Him tadi.

Ia pun meloncat bersiaga menghadap ke arah gerumbul semak belukar itu.

Sebun Him meloncat ke depan Ting Hun-giok dan bersikap siap untuk melindungi gadis itu, dan sekali lagi ia membentak.

"Bangsat, kau menunggu sampai kesabaranku habis.!"

Sesaat semak belukar itu berkeresek lalu perlahan-lahan muncul sebuah kepala yang sulit dilihat wajahnya karena bintang di langit tidak cukup cahayanya untuk menerangi lereng bukit itu.

Namun bentuk tubuhnya dapat dilihat sebagai seorang lelaki jangkung yang bertubuh ramping, bahkan agak kurus.

"Keluar dari bayangan pohon itu supaya bisa kulihat mukamu!"

Bentak Sebun Him lagi "Keluar dari situ ?!"

Orang itupun melangkah dengan ragu ragu, dan ketika ia sudah berada diluar bayangan pohon itu terlihatlah wajahnya yang dingin, dengan sebuah luka bekas kena senjata yang tergores di pipinya.

Suatu wajah yang jauh dari tampan, namun sepasang matanya memancarkan kehampaan perasaan dan kekecewaannya.

Melihat wajah itu, Ting Hun-giok berseru gembira.

"Im Toako!"

Sambil berteriak dia terus hendak berlari menyongsong orang itu, namun tiba-tiba dirasakannya tangan Sebun Him yang kokoh kuat itu memegang lengannya dekat pundak sehingga langkahnya tertahan, dan terdengar kata Sebun Him.

"Jangan dekat-dekat iblis dari Kui-kiong itu, nona Ting. Biar aku bereskan dulu sisa iblis Kui-kiong yang masih berkeliaran mencari mangsa dengan menipu gadis-gadis ini!"

Ting Hun-giok berusaha meronta lepas dari pegangan Sebun Him, tapi kekuatannya kalah jauh dengan kekuatan pemuda Hoa-san-pay itu, sehingga rontaannya itu sia-sia saja. Kata gadis itu kemudian.

"Pahamilah dia Sebun Siauhiap, dia bukan penjahat lagi dan aku tahu pasti dia ingin kembali ke jalan yang benar. Ia yang menolongku dari kebiadaban orang-orang Kui- kiong dan dia pula yang memberi tahu tentang rencana keji di Ki-lian-san, sehingga banyak orang bisa diselamatkan dari ledakan besar itu.."

Ting Hun-giok tidak sadar bahwa ucapannya itu bukan melunakkan hati Sebun Him melainkan inalah seperti minyak yang disiramkan ke dalam api, membuat apinya tambah berkobar.

Sebun Him marah, tepatnya cemburu, sebab Ting Hun-giok selalu memanggilnya dengan sebutan yang kurang akrab "siauhiap" (tuan pendekar muda) sedang terhadap Im Yao si iblis Kui-kiong yang dipandang rendah oleh Sebun Him itu malah memanggil "toako" (kakak), apalagi Ting Hun- giok selalu menyebut, jasa Im Yao membantu keluar dari Kui-kiong, padahal Sebun Hiin merasa bahwa hal itu sebagian besar adalah karena kepahlawanannya.

Kini hatinya terbakar hebat melihat Ting Hun-giok hendak menyambut "Im Toako"nya dengan sikap begitu hangat.

Karena letupan perasaannya itulah maka tanpa sadar ia mendorong Ting Hun giok dengan agak kasar sampai gadis itu terhuyung- huyung hampir roboh.

Hampir bersamaan, tangan kirinya telah menggenggam pedangnya yang besar dan seperti harimau menerkam ia menyabetkan pedangnya ke leher Im Yao dengan gerakan Liong-li-coan-ciam (Wanita Naga Menusuk Dengan Jarum) dengan sepenuh tenaga, sehingga tempat itu dipenuhi suara angin pedang yang menderu hebat.

Keinginan Sebun Him agar kepala Im Yao menggelinding ke tanah dengan sekali sabet saja.

Sejak Im Yao melihat Sebun Him marah- marah tadi, ia memang sudah siap sedia untuk mendapat perlakuan kasar dari anak muda Hoa- san-pay itu.

Begitu melihat pedang berkelebat ia segera gunakan wong-hong-tiam-tau untuk menundukkan kepalanya sehingga pedang Sebun Him hanya berdesing di atas kepalanya.

Tapi Sebun Him kembali menyabetkan pedangnya dengan gerakan balik ke arah kaki Im Yao.

Begitu cepatnya sehingga Im Yao hanya sempat menggulingkan diri ke belakang untuk menghindari serangan itu.

Tapi betapapun Im Yao adalah adik seperguruan dari Liong Pek-ji seorang tokoh golongan hitam yang ternama, bahkan merupakan tangan kanan dari mendiang Te-liong Hiangcu dulu.

Sambil berguling menghindarkan dia masih sempat mencabut pedangnya dengan gerakan yang hampir tak terlihat.

Ketangkasannya memang cukup dapat diandalkan.

Sebaliknya Sebun Him sudah tidak mempedulikan lagi teriakan-teriakan cegahan dari Ting Hun-giok.

Ketika melihat Im Yao menghunus pedang maka diapun semakin kalap, dan sambil berteriak keras ia menerjang.

"Bagus, iblis Kui-kiong! Hunuslah pedangmu supaya aku tidak dituduh membunuh lawan yang tak bersenjata kelak."

Maka bertempurlah kedua orang itu tanpa sempat bercakap-cakap lagi, sebab kekalapan Sebun Him telah menutup semua jalan damai.

Im Yao yang sadar bahwa lawannya memiliki, tenaga yang jauh lebih hebat daripadanya, tidak berani berbenturan senjata sebab pedangnya akan terpental jika demikian.

Namun dia adalah seorang yang berjulukan Tiat-ci-hok (Kelelawar Bersayap Besi) dan kata "kelelawar"

Itu menunjukkan akan kehebatannya dalam ilmu meringankan tubuh, dibantu dengan ilmu pedangnya yang aneh, ia mencoba bertahan sebisa-bisanya supaya tidak tergilas oleh amukan Sebun Him yang seperti angin topan itu.

Namun bagaimanapun Im Yao mengerahkan perlawanannya, ia tetap bukan tandingan Sebun Him yang lihai dalam Hoa-san-kiam-hoat (ilmu pedang Hoa-san) serta dilandasi dengan tenaga dalam Kun-goan-sin-kang yang lihai itu.

Pedangnya yang lebih besar dan lebih berat dari pedang orang lain, disesuaikan dengar tubuhnya yang tinggi besar itu, dapat diputarnya seringan orang memutar pedang- pedangnya dari bambu saja.

Dengan pedangnya ia dapat bertahan dengan rapatnya melebihi berlindung di balik selapis perisai besi namun jika menyerang maka seolah-olah tembok bajapun tak sanggup menghalangi sepak terjangnya.

Memang benar ia sedikit kalah lincah dibandingkan Im Yao, tapi Im Yao tidak punya kesempatan untuk membalas serangannya sebab Sebun Him menerjangnya bertubi-tubi seperti seekor beruang gila.

Kelincahan Im Yao hanya berguna untuk berloncatan mundur terus menerus dan bukan untuk menyerang.

Sebenarnya kedatangan Im Yao ke Liong- pwe-nia itu untuk memberi kabar penting buat para pendekar yang tengah berkumpul di bukit itu.

Ia tahu Ting Hun-giok ada di bukit ini pula, dan ia berharap untuk dapat menyampaikan kabar penting itu lewat gadis itu, namun ketika melihat gadis itu berjalan berdua saja dengan Sebun Him, timbullah rasa rendah diri Im Yao.

Ia membandingkan dirinya dengan diri Sebun Him sungguh seperti burung gagak yang hendak menandingi burung hong, dan karena rendah dirinya itulah maka ia bersembunyi.

Tak tahunya sudah bersembunyipun masih tetap diketahui oleh Sebun Him, dibentak-bentak dipaksa keluar dan akhirnya dicaci-maki dan hendak dibunuh seperti saat ini.

Karena itu kemarahan Im Yao itupun terungkah, dengan nekad ia melawan terus sambil berteriak.

"Sebun Him, pendekar yang gagah perkasa dari perguruan orang-orang yang sesuci malaikat, kau kira kau berhak mencabut nyawa orang lain karena kedudukanmu yang terhormat itu?!"

Sambil terus menyerang dan mendesak Sebun Him menjawab.

"Tutup mulutmu, bandit yang penuh kotoran. Tentu saja aku berhak mencabut nyawamu demi ketenteraman dunia!"

Sambil meloncat mundur, Im Yao membantah lagi.

"Kedatanganku untuk menyampaikan kabar penting kepada para pendekar. Beri aku kesempatan untuk bicara kepada mereka, setelah itu kau ingin mencincang tubuhkupun aku persilahkan... ."

Tapi Sebun Him sedikitpun tidak mengendorkan desakannya, malah dengan sebuah gerak tipu Gou-ong-sit-kiam-pek giok- coan (Gou Ong menguji pedang dengan menebas batu giok) telah menyusutkan Im Yao ke satu keadaan yang sulit dan ujung pedangnya berhasil melukai pundak.

Geramnya.

"Dari mulut anjing mana bisa tumbuh gadingnya? Dari mulut iblis Kui-kiong seperti kau mana bisa ada berita penting segala? Aku justru akan menghalangimu untuk bertemu dengan para pendekar terhormat itu, sebab kau hanya akan menipu mereka, sedangkan para pendekar itu sendiri belakangan ini sudah banyak terbius oleh omongan busuk seorang budak Manchu. Lagipula, setelah kau bertemu dengan para pendekar itu mana bisa aku membunuhmu? Sebab kau dengan licik tentu akan memanfaatkan kelemahan para pendekar yang suka berlagak sebagai pemaaf dan pengampun itu untuk Derlindung kepada mereka!"

Demikianlah, bukan hanya pedang Sebun Him yang tajam, namun lidahnya-pun mengeluarkan kata-kata yang tajam.

Im Yao sebagai bekas seorang penjahat yang ditakuti dan berwatak angkuh itu, tentu saja sangat tersinggung oleh ucapan Sebun Him yang menuduhnya seakan ia akan minta perlindungan kepada para pendekar itu.

Karena marahnya maka Im Yao nekad melawan mati- matian, tidak peduli lagi dirinya bakal mampus tanpa sempat mengucapkan berita yang dibawanya itu.

Ting Hun-giok yang menjadi sangat cemas melihat perkelahian kedua orang-muda itu semakin sengit meskipun berat Sebelah.

Ia bukan saja menguatirkan Im Yao, tapi juga menguatirkan "berita penting"

Yang bakal disampaikan itu entah berita apa? Kalau benar- benar penting, bukankah Sebun Him bakalan berbuat ceroboh dengan membunuh si pembawa berita? Gadis itu tahu pasti bahwa Im Yao agaknya benar-benar ingin kembali ke jalan yang benar dengan berbuat kebaikan sebanyak mungKin untuk menebus kesalahannya di masa lalu, dan itu sudah terbukti ketika ia dengan berani membongkar rencana Te-liong Hiangcu untuk membunuh banyak orang di puncak gunung Ki-lian-san, sehingga.

karena im Yaolah maka rencana itu gagal, malahan Te-liong Hiangcu tertumpas hampir tuntas.

Karena itu Ting Hun-giok pun berteriak- teriak.

"Hentikan Sebun Siauhiap, dengarkan dulu berita apa yang hendak dikatakan im Toako!"

Tanpa menggubris seruan itu, Sebun Him menjawab.

"Kau juga akan mempercayai mulut busuk anjing Kui-kiong ini?! Tidak, apapun yang dia ucapkan pastilah cuma bualan kotor belaka!"

Sungguh jengkel Ting Hun-giok melihat sikap kepala batu dari Sebun Him itu, namun ia kebingungan hendak berbuat apa? Hendak memisahkan perkelahian kedua orang itu merasa tidak mampu, untuk meminta bantuan, para pendekar di atas bukit sana ia takut keburu terlambat di mana Im Yao barangkali sudah menjadi korban.

Dalam bingungnya, gadis itu hanya meremas remas ujung bajunya sambil menghentak-hentakkan kakinya ke tanah.

Sementara itu keadaan Im Yao benar benar seperti telur di ujung tanduk, kelincahannya tidak lagi sepenuhnya dapat menolong dirinya.

Betapapun ia berusaha menghindari benturan pedang dengan Sebun Him, tapi sekali-sekali terjadi juga adu tenaga.

Dan jika demikian yang rugi tentu Im Yao, sebab setiap benturan membuat telapak tangannya pedih dan lengannya pegal, sehingga tiap kali ia harus melompat mundur untuk mencari kesempatan memperbaiki pegangannya pada gagang pedang.

Tapi kesempatan seperti itu tidak selalu didapat.

Suatu saat Sebun Him menyergap dengan jurus beruntun dari Hoa-san-kiam-sut.

Tan-hong-tiau-yang (Burung Hong Sendirian Menghadap Matahari), Hoan-in-hok-te (Mega Terbalik Menudingi Jagad), Hui-in-ki-lo (Mega Terbang Naik Turun) dan ditutup dengan Lui- hong-tiam-siam (Guntur Gemuruh dan Kilat Menyambar).

Dilandasi dengan kekuatan dan kecepatannya yang telah meningkat pesat sejak ia giat melatih ilmu Kun-goan-sin-kang, maka serangan beruntun pedang Sebun Him itu benar-benar maha dahsyat.

Mula-mula dengan tubuh merendah ia menikam ke leher dan pedangnya hanya berujud sejalur cahaya tajam yang melebihi kejapan mata cepatnya, lalu sinar pedang mendadak menebar menutup semua jalan lawan, dan kemudian bergulung menyambar dengan kekuatan sepenuh.

Semua pergantian gerak disertai dengan deru angin yang dingin menyebarkan suasana pembunuhan.

Bersambung ke

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid agaimanapun Im Yao mengerahkan ilmu, kekuatan, kecepatan dan pengalamannya, ia sulit lolos dari serangan beruntun itu.

Ambil mengertakkan gigi ia berusaha mundur untuk mengurangi tekanan sambil mengerahkan tenaga di pedangnya untuk menangkis.

Namun begitu pedangnya bersentuhan dengan pedang Sebun Him, rasanya tersedot oleh angin pusaran yang maha dahsyat, dan pengerahan tenaganyapun tidak berhasil mempertahankan pedangnya.

Tak tertahan lagi pedangnya terpental lepas dari tangannya, sementara pedang Sebun Him bukan berhenti tapi terus menerjang tubuhnya.

B Semutpun akan bertahan untuk hidup jika diinjak, apalagi manusia, di saat berbahaya itu mati-matian Im Yao gunakan gerakan Tiat-pan- kio (Jembatan papan besi) untuk menekuk tubuhnya ke belakang sampai punggungnya hampir menyentuh tanah.

Gerakan penghindaran yang sebenarnya sangat berbahaya sebab gerakan itu tidak punya banyak kemungkinan untuk gerak lanjutannya.

Dan benar saja, Im Yao memang berhasil secepat kilat dengan sabetan tegak lurus dari atas ke bawah, Thay-san-ap-teng (Gunung Thay-san Roboh ke Kepala), maka hanya suatu keajaiban yang akan bisa menyelamatkan Im Yao.

Melihat Im Yao terancam, Ting Hun-giok tidak bisa tinggal diam.

Digerakannya tubuhnya bagaikan dilontarkan dan sambil menghunus goloknya ia nekad menangkas pedang Sebun Him.

Dalam keadaan biasa, dengan tingkatan ilmu silatnya yang tidak begitu tinggi, mustahil Ting Hun-giok mampu bergerak secepat dan sekuat itu.

Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Dewi Sri Tanjung 12 Aji Wisa Dahana

Cari Blog Ini