Ceritasilat Novel Online

Pendekar Naga Dan Harimau 23

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 23


Namun manusia mempunyai tenaga tersembunyi yang biasanya "keluar"

Apabila melihat orang yang paling dicintainya terancam mauty atau jika dirinya sendiri terancam bahaya, misalnya seorang pencuri yang ketika diteriaki mendadak saja mampu melompati pagar yang biasanya tidak mampu dilompatinya.

Begitu pula yang dialami Ting Hun-giok saat itu.

Tenaga tersembunyinya terungkit keluar ketika melihat tubuh Im Yao hampir terbelah oleh pedang Sebun Him.

Sebun Him sendiri terkejut ketika pedangnya yang tinggal sejengkal dari tubuh Im Yao yang tergeletak di tanah itu tiba-tiba tertahan golok Ting Hun-sehingga mental balik.

Sulit dipercaya oleh Sebun Him bahwa tenaganya yang sudah dikerahkan itu masih bisa dipukul balik oleh seorang gadis.

Dan ia bertambah tercengang melihat, betapa Ting Hun-giok dengan nekad menggunakan tubuhnya sendiri untuk mene- lungkupi tubuh Im Yao untuk melindunginya dari serangan berikutnya.

Waktu itu Im Yao sudah merasa bahwa sebelah kakinya sudah menginjak pintu neraka karena serangan pedang Sebun Him tadi tak mungkin dihindari.

Ia percaya arwahnya bakal jadi penghuni neraka, bukan sorga, sebab kejahatannya jauh lebih banyak dari kebaikannya.

Kejahatannya hampir seluruh hidupnya ia lakukan, sedang beberapa perbuatan baik baru dilakukannya hari- belakangan ini.

Tapi ternyata ia tidak merasakan tubuhnya terbelah, bahkan dirasakannya ada sesosok tubuh yang lunak dan hangat menelungkupi badannya, hidungnyapun mencium bau harum dari rambut seorang gadis.

Setengah tidak percaya setengah percaya Im Yao membuka matanya dan tahu bahwa yang menjadikan tubuhnya sendiri sebagai perisai dari pedang Sebun Him itu bukan lain adalah Ting Hun-giok.

Seorang gadis anak tunggal dari sebuah keluarga terhormat dan kaya, telah menempuh bahaya untuk melindungi seorang penjahat besar yang tidak punya apapun kecuali masa lalunya yang hitam seperti arang.

Sulit dipercaya, namun ini bukan mimpi.

Dada Im Yao bergolak oleh rasa haru dan bangga yang luar biasa.

Selama ini diam-diam ia memang mencintai gadis ini, dan rasa cintanya ini pula yang menerangi dan menghangatkan hatinya yang selama ini gelap dan dingin terhadap sesama manusia, seperti cahaya fajar yang mengusir gelapnya malam.

Namun Im Yao memendam rasa cintanya itu dengan Ting Hun- giok, ia tidak berharap untuk memiliki gadis itu, cukup asal bisa berbuat sesuatu yang membahagiakan gadis itu, dia matipun puas.

Tapi kini ia bahkan mendapat perlindungan dari gadis yang menyediakan punggungnya sebagai perisai bagi pedang Sebun Him, sesuatu yang dia impikan saja tidak berani.

Meskipun.

Im Yao masih merasakan hembusan nafas Ting Hun-giok yang hangat di pipinya, namun dengan cemas ia masih juga bertanya.

"Nona Ting, apakah kau tidak luka ?"

Ting Hun-giok sendiri tidak luka seujung rambutpun, kecuali lengannya yang pegal ketika menangkis pedang Sabun Him tadi dan goloknya sendiri juga terpental.

Namun berada di dekat tubuh Im Yao yang bidang itu ia merasakan kehangatan dan kenikmatan yang hampir saja membuat ia terlena, kalau tidak cepat-cepat mendengar pertanyaan Im Yao itu.

Dengan wajah panas karena merasa malu, ia cepat-cepat mengangkat tubuhnya sambil me.yahut.

"Aku baik saja, Toako, bagaimana dengan Toako sendiri ?"

Sementara itu Im Yao juga sudah meloncat bangkit pula, semangatnya berkobar-kobar dan rasa rendah dirinya tersapu sebagian besar.

Detik-detik yang baru saja hampir mengantarkan nyawanya ke neraka itu tiba-tiba dirasakannya tadi sebagai detik-detik yang paling berbahagia dalam hidupnya.

Hidupnya tiba-tiba saja terasa menjadi sangat berharga karena ada seseorang yang sanggup berkorban baginya.

Dipihak lain, Sebun Him dengan kecemburuan yang meluap-luap melihat cara bagaimana Ting Hun-giok menghalanginya membunuh Im Yao dengan "memasang"

Punggungnya sendiri sebagai perisai. Untung ia sempat mengendalikan pedangnya, kalau tidak, bukankah ia akan menyesal seumur hidup karena dialah yang membunuh gadis yang dicintainya itu? Namun "cinta"

Sebun Him terhadap Ting Hun-giok adalah cinta yang sempat.

"cinta"

Yang kalau gagal memiliki akan berubah menjadi benci dan dendam.

"cinta"

Yang mementingkan diri sendiri.

"Nona Ting, apakah kau sudah gila?!"

Bentak Sebun Him dengan kasar karena luapan marah dan cemburunya.

"Minggir !"

Supaya aku bisa membereskan bajingan tengik dari Kui-kiong ini!"

Tapi Ting Hun-giok tidak bergeser seujung rambutpun dari depan tubuh Im Yao.

Sebagai gadis yang berwatak lembut dan bijaksana, meskipun ia mulai marah dan muak kepada Sebun Him, tapi suaranya masih diusahakan sedapat mungkin untuk tidak menyakiti perasaan Sebun Him itu.

"Sebun Siauhiap, sukalah kau menahan diri, tidak selayaknya kalau seorang yang datang dengan maksud baik malahan kita sambut dengan ujung senjata..."

"Nona Ting, apakah kau sudah gila?!"

Bentak Sebun Rim dengan kasar luaran marah dan cemburunya.

"Minggir! Supaya aku bisa membereskan bajingan tengik dari Kii-kiong ini Yang tak terkendali malahan Sebun Him, padahal orang umumnya menilai bahwa seorang laki-laki lebih dapat mengendalikan diri dari seorang perempuan. Teriak Sebun Him sambil mengacungkan pedangnya.

"Minggir, ini peringatanku yang terakhir, nona Ting! Namamu dan keluargamu yang bersih dan harum itu terlalu berharga untuk kau korbankan buat seorang busuk yang tak patut lagi kembali ke masyarakat ramai!"

Mendidih juga Ting Hun-giok melihat sikap Sebun Him yang kepala batu itu, sahutnya.

"Tidak. Lebih baik seorang penjahat besar ingin kembali ke jalan yang lurus daripada seorang pendekar dari perguruan terhormat ingin berbuat sewenang-wenang dengan kedok membasmi kejahatan !"

Im Yao tidak tinggal diam menyaksikan pertengkaran itu, ia dorong tubuh Ting Hun- giok yang menghalangi di depannya itu sambil berkata.

"Ia benar nona Ting, orang sekotor aku mana mungkin hidup di bawah satu atap langit dengan orang yang suci bersih seperti dia. Nona minggirlah, tubuh dan kehormatan nona memang terlalu bernarga buat orang seperti aku. Jangan rintangi sang malaikat suci bersih itu mencincang aku si iblis kotor ini!"

"Tidak, Im Toako, aku bukan saja berhutang budi kepadamu tetapi juga hutang nyawa dan kehormatan. Kalau tidak kau lindungi dalam perjalanan dari kota Tiang-an sampai ke Kui- kiong dulu, tentu aku sudah menjadi seorang perempuan yang tak berharga lagi karena menjadi korbana serigala-serigala macam Pui In-bun dan teman-temanmu yang lain.

"Aku hanya sanggup membayar kebaikanmu itu dalam penjelmaanku yang akan datang, yang kuperbuat sekarang ini tidak berarti dibandingkan kebaikan Toako dulu!"

Lm Yao termangu-mangu dengan kerongkongan terasa tersekat karena keharuannya, sedang Sebun Him berteriak penasaran.

"Nona Tong, kenapa kau selalu menyebut-nyebut budi baiknya saja? Memangnya aku tidak mempertaruhkan nyawa ketika menerobos masuk Kui-kiong dan membawamu keluar ?"

Ting Hun-giok menarik napas dalam-dalam.

Semakin ia memahami watak asli Sebun Him maka semakin tipis pula rasa hormatnya terhadap anakmuda Hoa-san-pay itu, tidak peduli Sebun Him memiliki tubuh yang gagah, wajah yang tampan, ilmu yang tinggi serta latar belakang terhormat dari sebuah perguruan terhormat seperti Hoa-san-pay.

Namun Ting Hun-giok memaksakan dirinya untuk mengangkat kedua tangan di depan dada dan menjura dalam-dalam sambil berkata.

"Untuk pertolonganmu itu, Sebun Siauhiap yang maha perkasa dan berbudi amat luhur, untuk kesekian kalinya aku mengucapa terima kasih. Siauhiap dan Im Toako sama-sama berjasa kepadaku, maka aku mohon kalian jangan berkelahi dan untuk itu terima kasihku sebesar- besarnya kepada kalian. Kalian mau .?"

Dengan tegar Sebun Him menggelengkan kepalanya.

"Tidak, ksyatria dan durjana tidak bisa hidup berdampingan. Aku tetap harus membunuhnya."

"Siauhiap bisa membunuhnya setelah melangkahi mayatku!"

Baik Sebun Him maupun Im Yao terkejut sekali mendengar jawaban Ting Hun-giok yang amat tegas itu. Sebun Him menjadi pucat mukanya, pedangnya bergetar dan katanya.

"Nona Ting, kau ...kau...mengigau ?"

Sedang Im Yao berkata.

"Terima kasih, nona Ting, tapi pengorbananmu itu terlalu berat bagiku dan malah akan menjadi beban perasaanku. Selamanya aku tidak percaya kekuasaan Tuhan, tapi kali ini biarlah kuserahkan bagaimana nasibku kepada-Nya. Jika harus dicincang oleh Sebun Him, biarlah aku dicincangnya malam .ini, tidak perlu nona berusaha merubah takdir yang sudah digariskan kepadaku."

"Tidak, Im Toako, tidak ada takdir yang menggariskan seorang tersesat tidak boleh kembali ke jalan benar selamanya .

"

Saat mereka berbantah itu, Sebun Him tiba- tiba telah melesat maju, tangan kanannya yang tidak memegang pedang itu tiba-tiba terluncur dengan sebuah totokan ke jalan darah kian- keng-hiat di pundak.

Ting Hun-giok yang terkejut itu secara naluri segera menangkis meskipun dengana tubuh terhuyung-huyung, namun masih dapat bertahan dari usaha Sebun Him yang akan menyingkirkannya dari dekat Im Yao.

"Maafkan, nona Ting, aku bertindak keras kepadamuI"' kata Sebun Him. Sambil membentak maka dengan gerak Heng-sau- jian-kun (Menyapu Seribu Pasukan), pedang di tangan kiri Sebun Him menyapu ke pinggang Im Yao, tapi Im Yao masih sempat menyelamatkan diri dengan lompatan Ui-hona- senq-thian (Bangau Kuning Terbang ke Langit). Sementara itu Ting Hun-giok telah berkesempatan untuk memungut golok tipisnya yang tadi terpental dari tangan ketika berbenturan dengan pedang Sebun Him. Dengan golok di tangan ia nekad menyerang Sebun Him sambil berteriak setengah menangis.

"Sebun Siauhiap, siapapun tidak berhak memisahkan kami berdua!"

Dengan kalimat singkat itulah tercurahkan isi hati gadis itu yang sebenarnya, membuat hati Sebun Him dan Im Yao tergetar pada saat yang bersamaan.

yang satu tergetar oleh kemarahan dan kekecewaan, lainnya tergetar karna kebahagiaan.

Im Yao sadar, sekarang bahwa hidupnya ternyata tidak sia-sia, dan karena itu ia harus mempertahankan hidup ini sebisa- bisanya, bukan lagi menyerah untuk dicincang Sebun Him.

Semuanya adalah demi Ting Hun- giok.

Sebaliknya Sebun Him menjadi sakit hati karena terucapkannya kalimat tadi dari mulut Ting Hun-giok adalah tanda yang tak dapat disangkal lagi bahwa pintu hati gadis itu sudah tertutup rapat baginya.

Im Yao sudah mendahuluinya memasuki hati gadis itu.

Dan keputus-asaan di dada Sebun Him berubah kemarahan dan kedengkian yang membuatnya mata gelap.

Lenyaplah ajaran-ajaran kependekaran dan ajaran tentang berjiwa besar segala yang ditanamkan di hatinya sejak dari perguruannya, yang ada sekarang hanyalah tekadnya .

kalau ia tidak bisa memetik sekuntum bunga maka lebih baik bunga itu dihancurkan saja sama sekali.

Alangkah sakitnya hatinya apabila kelak ia melihat Ting Hun-giok hidup bahagia dengan Im Yao.

Ya, Ting Hun-giok lebih baik dibunuh saja dari pada dimiliki oleh orang lain.

Ia tidak takut andaikata perbuatannya itu mengakibatkan permusuhan dengan keluarga Tong, sebab ia merasa dengan telah memiliki Kun-goan-sin-kang ia tidak perlu takut lagi kepada siapapun.

Kepada nama-nama besar seperti Pakkiong Liong dan Tong Lam- hou saja ia tidak takut, apalagi hanya kepada Tong Wi-hong atau Tong Wi-lian atau Ting Bun.

Dengan tekad seperti itu dalam hatinya, maka tandang Sebun Him bagaikan sesosok iblis yang dengan nafsu haus darahnya ingin menelan korbannya bulat-bulat.

Sasaran utama dari pedangnya adalah Im Yao, namun apabila Ting Hun-giok merintanginya maka Sebun Him melabrak gadis itu pula dengan serangan- serangan maut yang tidak ditahan-tahan lagi, la sudah tak peduli lagi andaikata kepala Ting Hun-giok terpenggal atau perutnya cobek oleh pedangnya.

Ting Hun-giok bertempur bahu-membahu dengan Im Yao, masing-masing dengan golok dan pedangnya, karena Im Yao telah sempat pula menjemput pedangnya yang terpental diri lebih dulu, namun setiap kali pula ia mendapat jawaban yang sama bahwa gadis itu hanya mau menyelamatkan, diri jika bersamanya.

Kalau tidak, lebih baik gugur bersama-sama di lereng Liong-pwe-nia itu.

Bagaimana hebatnya sepasang merpati yang sedang dimabuk cinta itu mengerahkan ilmu silat mereka, namun mereka masih tetap terdesak menahan amukan Sebun Him yang kerasukan setan itu.

Dua kekuatan seakan bertabung, kekuatan dendam dan kebencian yang diwakili Sebun Him serta kekuatan cinta dalam diri Im Yao dan Ting Hun-giok.

Hanya tekad untuk mati atau hidup bersama itulah yang membuat kedua sejoli mampu mengerahkan kekuatan di luar batas kemampuan mereka untuk bertahan sekian lama.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Suatu ketika terdengar suara kain robek dan suara Im Yao yang mengaduh karena ujung pedang Sebun Him berhasil menyusupi pertahanannya dan membuat sebuah goresan memanjang di dadanya.

Ting Hun-giok cepat melancarkan serangan gencar untuk menyelamatkan kekasihnya, tapi akhirnya malah pundaknyapun terluka oleh pedang Sebun Him yang kalap itu.

"Jangan korbankan dirimu, A-giok, tinggalkan tempat ini demi masa depanmu yang masih panjang,"

Kata Im Yao di sela-sela deru pedang dan gemerincingnya senjata yang berbenturan. Tak terasa ia telah mengganti panggilannya dari "nona Ting"

Menjadi "A-giok"

Yang lebih akrab. Sambil berloncatan mundur bersampingan dengan Im Yao, Ting Hun-giok menyahut.

"Jangan halangi aku untuk melakukan sesuatu yang membuatku bahagia, Toako."

"Kau bahagia saat ini, A-giok?"

Tanya Im Yao sambil meloncat kesamping karena menghindari jurus Tiang-sian-ji-hun (Panah Panjang Menembus Mega) dari Sebun Him.

Dan ketika Sebun Him mengubah gerakannya menjadi Hek-hou-tiau-kan (Macan Kumbang Melompati Parit) dehgan gerak pedang yang melebar ke rusuk Ting Hun-giok, maka gadis itupun meloncat menghindar sambil menjawab.

"Ya, Toako, aku sangat bahagia sebab kita tidak dapat lagi saling bersembunyi dari perasaan kita masing-masing!"

Bekas luka yang memanjang dari kening sampai ke pipi di wajah Im Yao itu nampak bergerak-gerak karena guncangan perasaannya, dan kemudian iapun terbahak-bahak sambil berkata keras-keras.

"Bagus! Malam ini aku mati-pun puas !"

Sebun Him dengan kalap terus memutar pedangnya dengan berbagai jurus mematikan, sudah tidak ada apa-apa lagi di dalam otaknya kecuali suatu hal membunuh.

Membunuh karena "cinta" ? Di saat perkelahian semakin memuncak, tiba-tiba dari atas bukit Liong-pwe-nia meluncur beberapa sosok bayangan ke arah ajang perkelahian itu.

Gerakan mereka yang gesit membuat mereka nampak seperti bayangan-bayangan hitam saja, nmamun semakin dekat semakin jelaslah wajah-wajah mereka.

Tiga orang yang paling depan adalah Gin-yan-cu Tong Wi-wong, adik perempuannya Tong Wi-lian dan Kwa Teng-siong, itu Hek-ki longcu (Tongcu Bendera Hitam) dari Hwe-liong- pang yang terkenal gin-kangnya sehingga dijuluki Ya-hui-miao (Si Kucing Terbang Malam).

Beberapa langkah di belakang mereka kelihatan pula beberapa orang lainnya yang gin- kangnya kalah tinggi, meskipun tidak berarti ilmu silatnya kalah, merekalah Auyang Seng, Bu-gong Hweshio, beberapa Tongcu dan juga dua putera Tong Wi-hong.

Rupanya orang- orang tadi berdatangan karena mendengar suara pertempuran di bawah bukit, yang terdengar cukup jelas di malam yang sunyi itu.

Mengira ada musuh datang menyerbu, merekapun segera berhamburan ke bawah buki t untuk memeriksa segala bukit itu.

Dan setelah melihat siapa yang bertempur merekapun tercengang sebab melihat yang berkelahi itu ternyata adalah Sebun Him melawan Ting Hun-giok yang bertempur berpasangan dengan seorang pemuda baju hitam tak dikenal yang wajahnyaa ada bekas luka memanjang dari kening sampai ke pipi.

Dan siapapun dapat meLihat bahwa pertempuran yang tengah berlangsung itu adalah pertempuran mati-matian, bukan sekedar latihan atau saling menguji kepandaian.

Tong Wi-lian yang berkepentingan dengan keselamatan puterinya, anak satu-satunya itu, melihat bagaimana Ting Hun-giok dan pemuda berbaju hitam dengan luka di wajahnya itu sudah dalam keadaan gawat.

Mereka berdua hanya tinggal bisa bertahan saja dari tekanan berat Sebun Him yang berilmu jauh lebih tinggi dari kedua orang itu.

Bahkan kadang-kadang sekedar bertahanpun mengalami kesulitan apabila serangan Sebun Him datang membadai seperti angin ribut, dan saat itu Ting Hun-giok maupun Im Yao berloncatan mengelak seperti daun-daun kering yang terhantam badai.

Suatu saat, terjadi benturan keras antara golok Ting Hun-giok dengan pedang Sebun Him, dan tak terhindarkan lagi golok itu lepas dari tangan Ting Hun-giok sebab tenaga gadis itu bukan tandingan tenaga Sebun Him.

Sedang pedang Sebun Him tak kenal ampun terus menerjang hendak merobek lamburg gadis itu yang tak punya kesempatan lagi untuk mengelak maupun menangkis, bahkan Im Yao itupun tidak dalam kedudukan yang cukup menguntungkan untuk memberikan pertolongan, ia hanya bisa berteriak cemas.

"A- giok...!"

Tapi untunglah di tempat itu hadir pula banyak tokoh berilmu tinggi.

Seutas ikat pinggang sutera berwarna merah jambu tiba- tiba meluncur ke tengah gelanggang seperti cepatnya, dan melibat pergelangan tangan Sebun Him yang memegang pedang, lalu dientakkan sehingga selamat lah Ting Hun-giok dari kematian.

Dengar marah Sebun Him memutar tubuhnya ke arah orang yang merintangi dirinya dengan selendang itu, dan ia-pun berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang terkenal dari An-yang-shla.-Tong Wi-lian, yang juga tengah menatap Sebun Him dengan mata yang menyala-nyala, seperti seekor harimau betina yang sangat marah karena hampir saja kehilangan anaknya.

"Kau hampir membunuh anakku, kenapa?"

Tong Wi-lian mengucapkan pertanyaannya dengan bibir yang gemetar karena marahnya, dan betapapun Sebun Him menguatkan hatinya namun ia tetap tidak sanggup menentang pandangan mata Tong Wi-lian yang tajam menusuk itu.

Sambil membuang pandangannya ke samping karena tidak tahan, Sebun Him menjawab.

"Karena, kau tidak sanggup mendidik anakmu sehingga ia bergaul dengan golongan penjahat dari Kui-kiong maka aku lebih baik menindaknya daripada terlanjur menjadi bibit bencana bagi kaum lurus !"

Tong Wi-lian bertambah marah oleh jawaban yang sama sekali tidak sopan itu, namun sebagai angkatan tua ia harus menahan diri untuk tidak memulai perkelahian melawan Sebun Him yang seangkatan dengan anaknya itu. Ia hanya menjawab dengan tajam.

"Terima kasih atas pendidikanmu kepada anakku, Sebun Siauhiap, tapi kalau anakku berbuat tidak benar maka kami sebagai orang tuanyalah yang berhak menghajarnya, bukan orang luari"

Meskipun sudah menahan diri sekuatnya, toh nada suara Tong Wi-lian masih bergetar oleh kemarahan dan ketidaksenangannya, sebagai seorang ibu yang baru saja melihat nyawa anaknya hampir melayang oleh orang lain, maka sikap Tong Wi-lian itu lumrah.

Tidak ada kasih sayang yang melebihi kasih ibu kepada anaknya, dan ibu yang satu ini baru saja melihat bagaimana seseorang sama sekali tidak menghargai nyawa anaknya.

Dalam hati kecilnya yang paling dalam, timbul juga perasaan bersalah Sebun Him, namun ditindasnya kuat-kuat.

Dengan sikap yang dibuat segarang mungkin Sebun Him menjawab Tong Wi-li-an;

"Bagus kalau kau ingin mengajar anakmu, lakukanlah sekarang. Lihat, dia begitu akrab dengan sisa-sisa pen jahat dari Kui-kiong yang sudah melakukan banyak kejahatan itu !"

Waktu itu, memang Ting Hun-giok dan Im Yao berdiri dengan berpegangan tangan, tidak peduli lagi di tempat itu banyak orang berdatangan. Sikap yang seolah-olah "mengumumkan"

Hubungan antara mereka berdua, dan juga siap menghadapi badai yang bagaimanapur dahsyatnya dalam melayarkan bahtera cinta mereka.

Ketika Tong Wi-lian menanyai anak gadisnya apakah benar ucapan Sebun Him itu, maka tanpa ragu-ragu Ting Hun-giok menjawab.

"Im Toako dulu memang anakbuah Te-liong Hiangcu, ibu, namun salahkah kalau dia ingin memperbaiki masa lalunya dengan membuat masa depan yang lebih baik? Ibu, inilah Im Toako yang pernah kuceritakan kepada ibu, yang sudah menolong nyawa dan kehormatanku sehingga aku tetap terjaga sejak diculik dari kota Tiang-an itu, dan Im Toako inilah yang memberitahukan kepada kita tentang rencam licik Te-liong Hiangcu di Ki- lian-san. Kalau tidak ada Im Toako ini, entah bagaimana jadinya dengan para pendekar yang menghadiri pengangkatan Ketua Ki-lian-pay dulu? Tapi begitu ia datang, bahkan dengan membawa berita penting, Sebun...Sebun Siauniap malah tidak memberinya kesempatan berbicara sepatah-katapun dan langsung menyerangnya dengan penuh kebencian. Aku terpaksa harus membela Im Toako."

Melihat sikap dan ucapan Ting Hun-giok, maka banyak orang-orang yang sudah berusia setengah abad segera tahu bahwa antara Ting Hun-giok dengan Im Yao bukan, sekedar terjalin hubungan persahabatan, melainkan jauh lebih akrab dari sekedar persahabatan.

Tong wi-lian menarik napas dalam-dalam, akankah ia bermenantukan seorang dari Kui-kiong yang di masa lalu adalah pusatnya segala kejahatan itu? Namun dia tahu juga bahwa puterinya itu mewarisi darah keluarga Tong, darah dari keluarga yang memiliki kemauan keras luar biasa, sehingga mencegah hubungan itu hanya akan mempersulit persoalan.

Sesaat ia kebingunan harus bersikap bagaimana dalam menghadapi masalah itu ? Sebelum Tong Wi-lian sempat berbicara, yang berbicara adalah The Toan-yong, Ketua Ki- lian-pay, yang berada dalam rombongan itu pula.

Ia maju dan memberi hormat dalam-dalam kepada Im Yao sambil berkata.

"Kalau begitu Siangseng (tuan Im) inilah yang secara tidak langsung menyelamatkan Ki-lian-pay dari kehancuran. Tuan Im, terimalah hormatku sebagai wakil dari seluruh anggota Ki-lian- pay..."

Sebagai bekas penjahat, Im Yao hanya pernah merasakan caci-maki umpatan kebencian dan bahkan senjata yang ditodongkan kepadanya, teapi sekalipun belum pernah menerima penghormatan semacam itu, apalagi dari seseorang Ketua Perguruan seperti The Toan-yong.

Karena itu, sikapnya menjadi sangat canggung, namun dengan canggung pula dibalasnya penghormatan itu tanpa sepatah katapun.

Sedangkan Bu-gong Hweshio, si hwe-shio dari Giau-lim-pay yang bertenaga raksasa dan berjulukan Jian-kin-cun-tui (Palu oikut Seribu Kati) itupun menimbrung bicara dengan suaranya yang keras dan kasar seperti biasanya.

"Seorang jahat yang mau balik ke jalan yang benar, patut kita sambut seperti kita menyambut seorang saudara yang pulang dari bepergian jauh. Saudara Im, terimalah ucapan selamatku!"

Begitulah banyak pendekar yar.g menyambut kedatangan Im Yao dengan sikap bersahabat.

Kalau tidak mengucapkan terima kasih atas peristiwa Ki-lian-san ya membesar- besarkan hati Im Yao dan mencoba merukunkan dengan Sebun Him.

Semuanya itu sudah tentu membuat Sebun Him tidak suka, karena yang sebetulnya mengganjal di hatinya bukanlah masalah Im Yao itu orang Kui-kiong atau bukan, melainkan masalah Ting Hun-giok.

tapi sudah tentu ia tidak akan mengakui hal itu di hadapan banyak orang, sebab hal itu bisa menyuramkan citra kepahlawanannya, dan ia harus selalu menyelubunginya seolah-olah semua yang dilakukannya itu adalah "demi kepentingan gerakan pembebasan tanah air"

Dan bukan demi dirinya pribadi.

Ketika merasakan bahwa suasana lebih menguntungkan diri Im Yao, maka Sebun Him jadi merasa tersudut, sehingga ia bungkam saja.

Dengan suara keras ia menyarungkan pedangnya kembali sehingga beberapa orang menoleh kepadanya.

"Tampaknya ada suatu hal yang tidak berkenan di hatimu, Sebun Siauhi-p?"

Tanya Ki- lian-pay The Toan-yong. Sahut Sebun Him ketus.

"Memang ada, yaitu semangat kependekaran mulai menjadi luntur hanya karena lagak beberapa orang yang dengan nama besarnya mencoba mempengaruhi orang banyak."

Habis berkata demikian, Sebun Him segera meninggalkan tempat itu, melangkah ke atas bukiit.

Paman gurunya segera meninggalkan tempat itu, melangkah ke atas bukit.

Paman gurunya, Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng, merasa tidak enak sendiri melihat kelakuan keponakan muridnya yang sejak dalam ruangan markas Jing-liong-pang tadi sudah menunjukkan sikap kurang sopan terhadap pendekar-pendekar angkatan tua.

Maka begitu melihat Sebun Him memisahkan diri, dia pun segera menyusulnya, dan setelah cukup jauh dari kerumunan orang-orang itu maka Auyang Seng berkata dengan tajam.

"sebun Him, kau masih sanggup menjaga nama baik Hoa-san-pay atau tidak?"

Sebun Him terkejut mendengar pertanyaan itu.

"Tentu sana, susiok."

"Kalau masih sanggup ubahlah sikapmu yang tidak sopan terhadap para pendekar itu, sebab nama baik setiap perguruan bukan cuma ditentukan oleh tinggi rendahnya ilmu silat tokoh tokohnya, tapi juga perilaku murid- muridnya menurut tata-krama masyarakat beradab. Perguruan yang hanya mengajarkan ilmu silat kepada murid-muridnya, tanpa mengajarkan budi-pekerti, adalah perguruan yang hanya mencetak bandit-bandit saja dan tidak mencetak pendekar-pendekar. Aku tidak mau Hoa-san-pay dicap seperti itu."

Sebun Him merah kupingnya mendengar teguran paman-gurunya yang pedas itu, meskipun sekarang ia merasa memiliki ilmu yang lebih tinggi dari susioknya punya andil besar dalam membina ilmu pedangnya sehingga mencapai tingkatan seperti sekarang ini.

Dengan kepala tertunduk ia menjawab.

"Aku memang tidsk tahan lagi melihat sikap para pendekar yang mulai lembek itu. Budak Manchu semacam Tong Lam-hou mereka terima pikiran- pikiran-nya untuk berdamai dengan orang- orang Manchu. Dan sekarang penjahat busuk macam Im Yao juga disambut di sini seperti menyambut seorang pahlawan besar, aku yang sudah berbuat banyak bagi perjuangan melawan Manchu maupun melawan orang Kui- kiong, malahan mereka singkir-singkirkan. Siapa tidak penasaran ?"

"Siapa yang tidak menghiraukanmu?"

Tanya Auyang Seng heran.

"Mereka tidak menyingkirkanmu, tidak seorangpun mencoba mengucilkanmu, kau sendiri yang menyingkirkan dirimu. Menyatakan perbedaan pendapat boleh saja, tapi pakailah cara yang sopan supaya tidak menodai nama perguruan kita."

"Aku hanya bosan kepada sikap mereka, susiok. Aku tidak bias menerima perdamaian dengan bangsa Manchu... ."

Ucapan Sebun Him tidak terselesikan sebab paman gurunya telah memotongnya dengan ucapan yang langsung mengorek isi hati Sebun Him.

"A-him, jangan kau selubungi semua tindakanmu seakan-akan kau benar-benar seorang pahlawan yang tanpa pamrih memperjuangkan tanah-airmu. Kau kira aku buta tidak bisa melihat sikapmu selama ini kepada gadis puteri Ting Tayhiap dari An-yang- shia itu ?"

Dengan terkejut Sebun Him cepat-cepat membantah.

"Susiok, semua yang kulakukan demi tanah air... ."

"Jangan bohong, itu lebih buruk lagi. Aku hanya ingin memperingatkanmu agar menjaga kelakuanmu baik-baik jangan sembarangan membunuh orang sebelum terbukti orang itu melakukan kejahatan yang tak terampunkan."

Habis berkata demikian Auyang Seng sendiri tidak menunggu jawaban lagi dan segera berjalan meninggalkan keponakan-muridnya yang berdiri termangu-mangu.

Tiba-tiba Sebun Him mengertakkan gigi dan mencabut pedangnya, beberapa batang pohon di tempat itu dibacokinya untuk menumpahkan rasa geramnya.

Pikirnya.

"Paman Auyang sendiri sudah menjadi cengeng dan penakut. Sebenarnya dialah yang merusak nama baik Hoa-san-pay, bukan aku."

Meskipun belasan batang pohon sudah dibacoknya roboh, namun baru sebagian saja dari rasa jengekelnya yang terlampias.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan uring-uringan ia melangkah menuju ke barak Jing-liong-pang.

Sementara itu, di kaki gunung, para pendekar dengan wajah yang tegang mendengarkan keterangan Im Yao bahwa sebuah pasukan besar tengah menuju ke bukit itu.

Pasukan berkuda pimpinan Taitai Au-kha yang kemarin bentrok dengan para pendekar, hanyalah sebagian kecil dari sebuah pasukan besar yang sedang digerakkan untuk memusnahkan Hwe-liong-pang dan Tong Lam- hou sekalian.

Menurut keterangan yang berhamil diperoleh Im Yao, pasukan berjalan kaki itu berjumlah sepuluh ribu orang, ditambah dengan pasukan berkudanya Tamtai Au-kha yang baru berkurang sedikit karena pertempuran dengan para pendekar, maka kekuatan itu benar benar kekuatan rasaksa yang hampir tak tertandingi.

Andaikata seluruh Hwe liong-pang dikerahkan kebukit inipun jumlahnya tetap kalah jauh, apalagi Hwe-liong- pang masih dalam perjalanan kemari, sedang yang sudah ada di sini cuma Siangkoan Hong, Lim Hong-pin dan kedelapan orang Tongcu.

"Siapa yang memimpin pasukan besar itu?"

Tanya Tong Wi-hong kepada Im Yao.

"Apakah Pakkiong An sendiri ?"

"Bukan, Tong Tayhiap,"

Sahut Tm Yao.

"Kepala perang dari pasukan yang menuju kemari itu adalah seorang bawahan Pakkiong An yang haus darah bernama Muyong Beng. Seorang yang tidak segan-segan menghabiskan seluruh pasukannya di medan perang asalkan mencapai pujian dari atasannya. Aku kenal betul watak Muyong Beng sebab kami pernah bertemu beberapa kali, ketika Te-liong Hiangcu dan Pakkiong An masih bekerja-sama."

Apa yang dikabarkan Im Yao itu memang hal yang cukup gawat, sebab bagaimanapun tangguhnya para pendekar itu dengan ilmu silatnya masing-masing tapi bisakah melawan lebih dari selaksa prajurit yang cukup terlatih? Sanggupkah mereka memutar pedang terus menerus untuk menangkis panah-panah atau lembing-lembing yang tentu akan "dicurahkan"

Seperti hujan lebat? Apalagi di antara pasukan musuh sebesar itu tentu bukan semuanya terdiri dari prajurit-praiurit biasa, tentu ada perwira-perwira yang berilmu tinggi dan patut diperhatikan, apalagi kabarnya Pakkiong An tidak segan-segan mengupah jago-jago bayaran yang kebanyakan dari golongan hitam untuk memperkuat pasukannya.

"Ini adalah masalah besar vanq harus dilaporkan kepada Lim Cecu (majikan benteng she Lim) sebagai tuan rumah tempat ini,"

Kata Tong Wi-hong yang segera disetujui oleh banyak orang.

Maka berbondong-bondonglah mereka naik kembali ke bukit untuk menemui Lim Kan, pemimpin gerombolan yang menamakan diri Jing-liong-pang itu.

Malam itu juga mereka berunding, dan karena menurut laporan Im Yao pasukan Muyong Beng itu sudah cukup dekat, maka diputuskan bahwa malam itu juga seluruh isi barak akan "mengungsi"

Tak ketinggalan seorangpun.

Keputusan itu diambil karena mereka tahu bahwa anggota Jing-liong-pang yang hanya kira-kira duaratus orang itu sudah tentu tidak dapat melawan sepuluhribu prajurit berjalan kaki musuh dan dua-ribu limaratus prajurit berkuda, yang terjadi hanyalah pembantaian atau bunuh diri belaka.

Begitulah, malam itu juga terjadi kesibukan di barak itu, Anggota-anggota Jing-liong-pang berkemas-kemas meninggalkan bukit yang sudah bertahun-tahun menjadi tempat tinggal mereka.

Ada perasaan berat hati juga, tapi semuanya harus dilakukan demi keselamatan diri.

Meskipun Jing-liong-pang sering disebut sebagai "gerombolan rampok"

Oleh sementara pihak, namun dalam pengungsian itu ternyata tidak ada harta karun secuwil emaspun yang mereka bawa, semuanya hanya membawa bungkusan kecil yang berisi beberapa lembar pakaian dan tentu saja senjata mereka.

Mereka memang sering merampok orang kaya atau orang berpangkat yang dikenalnya kikir, namun kemudian dibagikan kepada penduduk miskin yang memerlukannya dan tak tersisa sedikit- pun buat orang Jing-liong-pang sendiri Untuk itu Lim Kan tak henti-henti menanamkan jiwa pengabdian kepada anakbuahnya.

Ui-ki Tongcu (Tongcu Bendera Kuning) Kwa Heng yang bergelar Tiat-jiau-tho-wan (Lutung Bungkuk Berkuku Besi) sebagai Tongcu paling tua dari delapan Tongcu, mewakili rekan- rerkannya berkata kepada Lim Kan.

"Saudara Lim, aku mengucapkan terima kasih bahwa untuk melindungi para Tongcu dari tangkapan pasukan musuh sehingga merepotkan kau dan seluruh saudara-saudara Jing-liong-pang untuk mengungsi."

Tapi Lim Kan cepat-cepat menyahut.

"Jangan berkata begitu Kwa Tongcu, jangan lupa bahwa aku pernah menjadi anggota Hwe-liong-pang juga, begitu pula seluruh anggota Jing-liong- pang kami. Jing-liong-pang atau Hwe-liong-pang tak ada bedanya."

Demikianlah, tidak menunggu sampai fajar terbit, para pendekat dan orang-orang Hwe- liong-pang, para pendekar serta orang-orang Jing-liong-pang pun berbondong-bondong menuruni lereng sebelah barat.

"Apakah saudara Lim sudah punya tujuan tertentu?"

Tanya Auyang Siaupa yang berjalan berdampingan dengan Lim Kan di bagian depan. Sahut Lim Kan sambil tersenyum.

"Bertahun- tahun kami hidup dengan bermain kucing- kucingan dengan pihak penguasa yang punya pasukan jauh lebih kuat daripada kami, karena itu kemungkinan seperti ini sudah kami perhitungkan jauh hari sebelumnya. Kami punya beberapa barak cadangan yang sudah kami siapkan untuk kemungkinan seperti ini."

"Jadi sekarang kita ke mana ?"

"Barak Hek-ku-nia (bukit kura-kura hitam), duapuluh li sebelah barat daya dari tempat ini. Tempat itu sangat menguntungkan untuk bertahan dari pasukan yang jauh lebih besar, sebab barak itu seakan dikelilingi tiga perlindungan. Dua buatan alam dan satu buatan kami sendiri."

Yang mendengarkan penjelasan Lim Kam itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka berjalan terus menembus malam, dan menjelang fajar sampailah mereka di. sebuah hutan. Kata Lim Kan.

"Inilah perlindungan kami lapis pertama. Dari hutan ini kami bisa bersembunyi sambil melepaskan panah, lembing atau bandil-bandil tanpa kuatir balasan lawan karena daun-daunnan yang lebat serta batang-batang pohon."

Mereka menyusup hutan yang meskipun tidak begrtu lebat, namun agaknya dapat juga menghambat gerak laju sebuah pasukan besar.

Apa yang dikatakan Lim Kan tadi memang tidak berlebih-lebihan, para Tongcu Hwe-liong-pang- yang pernah bertempur di pihak Coan-ong Li Cu-seng di jaman pergolakan dulu dan sedikit banyak mereka paham juga ilmu perang, dan ucapan Lim Kan dati memang tidak salah.

Setelah menyeberangi hutan, mereka tiba di sebuah dataran berumput yang cukup luas, dan di seberang dataran itu nampak bayangan bukit yang dinamakan Hek-ku-nia itu menggunduk kehitaman dalam keremangan pagi.

Beriringan rombongan itu menyeberangi dataran, dan setelah mendekati bukit itu merekapun melihat sebuah celah besar di tengah bukit yang diapit lereng-lereng terjdi kiri kanannya, sedangkan lereng bukit yang menghadap ke dataran itupun tidak landai melainkan hampir tegak lurus, sehingga sulit diserang pula.

Andaikata musuh nekad menyerang juga, maka dari atas bukit cukuplah digelundungkan batu-batu besar atau balok-balok kayu, sehingga musuh tak akan berdaya.

Tak terasa Siangkoan Hong berkata sambil mengangguk-angngukkan kepalanya.

"Benteng alam yang bagus!"

Biarpun ia tidak pernah membaca buku ilmu perang sama sekali, namun keadaan bukit itu sekilas pandang oleh orang awampun akan segera terlihat keuntungannya dari segi pertahanan.

"Benar, Hiangcu, itulah pertahanan pertahanan kami selama ini,"

Sahut Lim Kan."Tapi kita masih memiliki satu kelemahan."

"Kelemahan apa?"

Tanya beberapa pendekar hampir berbareng.

"Pasukan Pakkiong An sangat banyak, cukup melingkari bukit itu karena semua jalan keluar dikuasai oleh pasukan musuh, dan ransum dalam barak paling-paling hanya dapat bertahan beberapa hari."

Sambil berjalan, semua pendekar memutar otak untuk memecahkan masalah ini.

Biarpun mereka bukan panglima-panglima yang berpengalaman memimpin pasukan, namun sebisa-bisanya mereka mencari jalan juga, sebab tidak mungkin bagi Lim Kam dan anakbuahnya terus menerus melarikan diri, sebab suatu saat pasti akan terkejar dan dihancurkan oleh pasukan berkuda Tamtai Au- kha yang dapat bergerak cepat itu.

"Satu-satunya jalan, saudara-saudara Hwe- liong-pang yang sedang menuju ke tempat ini haruslah diberitahu agar mempercepat perjalanan mereka, supaya dapat segera memperkuat kedudukan kita di sini,"

Kata Tong Wi-hong.

"Sebab kurang baik kalau kita hanya bertahan saja. Dengan memanfaatkan keadaan alam yang menguntungkan kita, kita juga harus berusaha untuk balik menyerang dan kalau perlu memukul mundur atau memecahkan kepungan musuh."

Lim Kan mengerutkan alisnya.

"Apakah tidak menambah jumlah korban saja? Aku mengerti bahwa seluruh anggota Hwe-liong-pang berjumlah tidak lebih dari seribu orang, meskipun mereka masing-masing memiliki kemampuan seperti prajurit yang baik, tapi tidak membawa banyak kemungkinan apabila dihadapkan kepada pasukan yang jauh lebih besar. Apalagi tentunya tidak semua anggota Hwe-liong-pang akan dikerahkan kemari, tentu ada sebagian yang ditinggalkan untuk menjaga markas di Tiau-im-hong."

Kata Tong Wi-hong.

"Memang cara itupun kurang sempurna, tetapi agaknya sementara ini kita belum menemukan cara yang lebih baik daripada itu. Lagipula kita memang tidak ingin menyamai jumlah prajurit musuh, sebab hal itu tidak mungkin mengingat kekuatan musuh yang begitu besar. Kita hanya ingin menambah kekuatan kita, agar dalam bertahanpun kita bukannya bertahan mutlak, tepi sekali-sekali membalas menyerang saja. Bagaimana pendapat saudara-saudara?"

Sun Ciok-peng dari Kay-pang (Serikat Pengemis) segera berkata.

"Kalau begitu, biarlah aku Kerahkan pula anggota-anggota Kay-pang untuk memperkuat kita, meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak sebab yang dapat dikerahkan tentunya hanyalah dari cabang- cabang terdekat dari smi ... ."

Mendengar kesanggupan Sun Ciok-peng itu, para Tongcu Hwe-liong-pang merasa berterima kasih, mengingat bahwa pertempuran yang bakal terjadi itu hanya karena ingin melindungi mereka dari tangkapan Pakkiong An. Kata Lam- ki Tongcu.

"Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan saudara-saudara mengerahkan daya pikiran untuk melindungi kami. Tapi apabila korban yang jatuh diperkirakan akan terlalu banyak, lebih baik kami berdelapan saja yang menyongsong musuh, mati hidup biar kami serahkan kepada takdir Thian, jangan sampai, membuat orang lain jadi korban!"

Ucapan In Yong itu seketika disambut oleh ketujuh Tongcu lainnya.

Sebagai ksyatria- ksyatria berwatak jantan, mereka merasa lebih lega menghadapi maut dengan kekuatan mereka sendiri, daripada melibatkan banyak orang untuk melindungi mereka sehingga akan banyak jatuh korban.

Tapi ucapan In Yong itu dibantah oleh Bu- gong Hweshio.

"Ucapan saudara In tidak tepat. Masalahnya bukan sekedar menyangkut nyawa delapan gelintir nyawa para Tongcu, melainkan melawan kesewenang-wenangan yang dilakukan Pakkiong An. Kita sudah sepakati bersama bahwa apabila pemerintah Manchu bertindak sewenang-wenang kepada kita rakyat Han, kita akan lawan, mereka. Kalau mereka berbuat kebaikan kepada rakyat, kita tunduk. Bukankah begitu?"

Ucapan Bu-gong Hweshio inipun mendapat dukungan banyak orang yang sadar bahwa selama ini Hwe-liong-pang melambangkan perlawanan kepada kezaliman, sejak jaman pemerintahan Kaisar Cong-ceng dari Kerajaan Beng dulu.

Dan kedelapan Tongcu sebagai lambang Hwe-liong-pang, tentu tidak bisa diserahkan begitu saja kepada Pakkiong An yang kejam itu untuk dihukum tanpa kesalahan apa-apa, hanya karena oleh Pakkiong An dianggap memberontak padahal Hwe-liong- pang cuma membela keadilan.

"Nah, sekarang siapa yang akan berangkat untuk menyongsong rombongan Hwe-liong- pang?"

Tanya beberapa orang. Beberapa Tongcu menyatakan kesanggupannya, namuan terputus oleh ucapan Siangkoan Hong.

"biar aku saja menjumpai mereka. Aku akan menggunakan ilmu meringankan tubuh Jian-po-leng-khong (Seribu Langkah Udara Kosong)."

Ilmu meringankan tubuh ajaran Bu-san-jit- kui itu adalah campuran antara ketangguhan tenaga dalam, dengan ilmu yang berbau gaib, apabila digunakan untuk menempuh perjalanan maka kecepatan berjalan orang itu akan lebih cepat dari seekor kuda yang paling baik sekalipun Dengan sendirinya akan lebih cepat sampai, karena itu begitu mendengar Siangkoan Hong menyatakan kesanggupannya, tak ada orang lain lagi yang membantah.

"Kapan kau akan berangkat?"

Tanya Tong Wi- hong kepada Siangkoan Hong yang merupakan sahabat sekampung halaman sejak mereka masih sama-sama anak kecil itu "Kapan kau akan berangkat?"

Tanya Tong Wi- hong kepada Siangkoan Hong yang merupakan sahabat sekampung halaman mereka masih sama-sama anak kecil itu.

"Sekarang!"

Sahut Siangkoan Hong.

Ketika ia mulai berbicara sepatah kata itu ia masih berada di tengah-tengah orang-orang itu, namun pada akhir katanya ia sudah berada belasan langkah jauhnya dari kerumunan itu.

Begitu cepat gerakannya sehingga orang-orang yang berdekatan dengannya hanya merasakan angin berhembus, seolah yang lewat di dekat mereka itu bukan manusia melainkan hanya sesosok mahluk halus.

Melihat itu Bu-gong Hweshio mengomentari.

"Ratusan tahun yang lalu, Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis dari Bu-san) adalah malapetaka bagi dunia persilatan, kemudian oleh pewans-pewaris ilmu Bu-san-jit-kui, orang curiga bahwa malapetaka ratusan tahun yang lalu itu akan terulang kembali. Kecurigaan yang sempat membuahkan pertumpahan darah di Siong-san dan di Tiau- im-hong. Tapi ternyata terbukti tidak, kini malahan orang-orang Hwe-liong pang yang berdiri di barisan paling depan dalam membela kepentingan rakyat kecil."

Beberapa Tongcu Hwe-liong-pang tersenyum juga mendengar pendapat Bu-gong Hweshio tentang Hwe-liong-pang itu.

Jian-kin- sin-kun (Pukulan Malaikat Seribu Kati) Lu Siong sebagai Ci-ki.Tongcu (Tongcu Bendera Ungu) yang bersahabat baik dengan Bu-gong Hweshio itu lalu menyahut sambil tertawa.

"Eh, pendeta gadungan, kadang-kadang dari mulutmu bisa keluar perkataan yang baik juga ya ?"

Sementara itu Lim Kan telah berkata.

"Mari kita naik ke Hek-ku-nia samba menunggu perkembangan keadaan."

Dengan demikian, meskipun anak-buah Lim Kan sudah mengungsi dan Liong-pwe-nia ke Hek-ku-nia, namun belum timbul perasaan aman sama sekali di hati mereka.

Persiapan- persiapan tetap mereka lakukan untuk berjaga- jaga siapa tahu musuh yang menemukan kekosongan Liong-pwe-nia akan segera mengejar kemari.

Namun mereka berbesar hati, sebab bagaimanapun keadaan tanah di Hek-ku- nia jauh lebih memungkinkan untuk pertahanan yang baik daripada di Liong-pwe-nia.

Dalam pada itu, menjelang tengah hari, di Liong-pwe-nia muncul sebuah pasukan besar di kaki bukit.

Dari kejauhan, debu sudah mengepul tinggi ke langit karena teraduk oleh sepuluhri- bu pasang kaki-kaki kekar dari prajurit-prajurit yang berseragam kuning dan di bagian belakang dari barisan panjang itu duaribu lima ratus prajurit berkuda berderap perlahan.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dilihat dari atas bukit, pasukan itu mirip dengan seekor ular kuning rasaksa yang menggeleser di permukaan bumi, siap menelan dan menghancurkan apa saja yang merintanginya.

Ujung-ujung senjata yang rapat berkilat-kilat bagaikan sisik-sisik dari ular rasaksa itu, bendera-bendera yang berkibar-kibar membuat pasukan itu nampak begitu menggetarkan.

Di ujung barisan ada sebuah bendera besar berwarna hitam dengan sulaman seekor naga kuning emas, itulah Ngo- jiau-kim-liong-ki (Panji Naga Berkuku Lima), bendera kerajaan.

Muyong Beng sebagai pemimpin tertinggi dari seluruh pasukan itu kelihatan gagah dalam pakaian seragamnya, lengkap dengan topinya yang berhiaskan bulu burung merak.

Seperti u- mumnya orang-orang yang berasal dari daerah Siberia, ia berkulit putih salju jauh lebih putih dari orang Han, Manchu atau Mongol, dan matanya begitu sipit sehingga hanya menyerupai sepasang garis pendek di wajahnya yang membayangkan watak kejam luar biasa itu.

Bahkan ada desas-desus yang mengatakan bahwa Muyong Beng ini gemar makan daging mentah apa saja, konon termasuk daging manusia juga Ketika melihat bukit Liong-pwe-nia di depan mata.

Muyong Beng dengan gerakan tangannya mengisyaratkan kepada seluruh pasukannya untuk berhenti.

Maka barisan panjang itupun serempak berhenti dengan tertib.

Dan dengan lambaian tangannya pula ia memanggil perwira-perwira pembantunya untuk mendekat.

Kemudian kepada mereka ia menjatuhkan perintah.

"Kita sudah sampai ke bukit, yang oleh mata-mata kita dilaporkan sebagai sarang persembunyian bandit-bandit Hwe-liong-pang, dan barangkali si pengkhianat Tong Lam-hou itupun bersembunyi di atas bukit. Karena itu, kepung bukit ini."

Para perwira itu mengiakan dan kemudian berpencar untuk kembali ke kelompoknya masing-masing.

Tak lama kemudian pasukan besar itu bagaikan terpecah-pecah, setiap perwira membawa pasukannya masing-masing untuk menempati kedudukannya masing- masing.

Dalam sekejap bukit itu sudah terkepung rapat oleh sebuah "gelang"

Pasukan Ui-ih-kun, dan Muyong Beng mengangguk- angguk puas melihat kesigapan pasukannya.

Ia percaya dengan pasukan sesigap itu ia akan meraih kemenangan, sekaligus ia bertekad untuk menimbulkan kematian sebanyak- banyaknya agar menggemparkan seluruh negeri, dengan demikian ia akan ditakuti lawan- lawannya dan hal itu sangat mem- banggakannya.

Ia menyeringai sendiri ketika mengenang hal itu.

Lalu ia melambaikan tangannya pada beberapa orang berkuda yang tidak jauh dari padanya.

Empat orang berkuda yang tidak berseragam prajurit dan bertampang buas-buas segera mendekatkan kudanya kepada Muyong Beng.

Merekalah jago-jago bayaran yang diupah Pakkiong An untuk memperkuat pasukannya, merekalah orang-orang yang tidak bertarung demi cita-cita tertentu, melainkan demi uang belaka, selain demi kepuasan melihat mayat yang malang melintang di medan perang.

Dua di antara mereka adalah kakak beradik Thia Peng dan Thia Hong yang lebih dikenal oleh kalangan hitam di kawasan timur dengan julukan Tong- hai-siang-sat (Sepasang Pembunuh dari Lautan Timur) yang begitu jahatnya sampai orang- orang golongan hitam sendiripun benci kepada mereka.

Biasanya mereka jarang naik ke daratan, namun kali ini mereka bergabung dengan Pakkiong An karena upah yang menggiurkan dan janji kedudukan yang enak apabila Pakkiong An berhasil dengan cita- citanya untuk merebut singgasana kelak.

Seorang lagi bertubuh bungkuk dan berkepala gundul licin, berhidung seperti paruh burung betet dan sepasang matanya tajam menggidikkan.

Namanya Ki Koat dan berjulukan Hui-tho-koay (Siluman Bungkuk Terbang) yang kepandaiannya tinggi, sebab ia adalah adik seperguruan dari mendiang Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) yang tewas di Ki- lian-san, itu tokoh kepercayaan Te-liong Hiangcu.

Hui-tho-koay ingin membalas dendam kepada orang-orang Hwe-liong-pang sebab ia sudah mendengar bagaimana kakak seperguruan terpaksa membunuh diri karena didesak orang-oang Hwe-liong-pang.

Jadi ingin membalas dendam sekalian mendapat upah besar dari Pakkiong An.

Yang terakhir adalah seorang bertubuh tinggi besar yang tangannya membawa sebatang kampak besar.

Namunya To Hok-leng, julukannya Im-kan-hong-kui (Iblis gila dari akherat), satu-satunya "kebahagiaan"

Hidupnya di dunia ini adalah membelah batok kepala sesama manusia dengan kampak besarnya itu. Mereka mendekati Muyong Beng, dan seperti biasa tidak memberi hormat sedikitpun.

"Kau akan menyuruh apa lagi?"

Muyong Beng tidak mempedulikan sikap tak tahu adat dari pentolan-pentolan golongan hitam itu, yang penting kehadiran mereka di medan perang diharapkan akan membuat musuh-musuh menjadi gentar. Katanya.

"Kalian berempat naik ke bukit itu, katakan kepada tikus-tikus di sana bahwa Tong Lam-hou dan pentolan-pentolan Hwe-liong-pang harus diserahkan kepadaku sebelum sore nanti. Katakan juga, kalau perintahku tidak dituruti maka pasukanku akan naik dan meratakan barak itu dengan tanah."

"Hanya sekedar menggertak dan tidak boleh berkelahi?"

Tanya Ki Koat dengan mata berkilat- kilat. Sahut Muyong Beng.

"Yang penting mereka dapat ditangkap dulu. Nanti jika mereka sudah di tangan kita, mudahlah kita urus, hendak dibagaimanakanpun Pakkiong Ciangkun pasti tidak keberatan."

Hui-tho-koay Koat mengangguk-angguk dengan puas.

"Aku hanya akan minta batok kepala delapan Tongcu Hwe-liong-pang serta batok kepala dari orang-orang yang beranama Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin."

"Lalu bagaimana dengan aku?"

Tanya Im-kan- hong-kui To Hok-leng.

"Apa maksudmu?"

Tanya Muyong Beng. Hok-leng mengangkat kampaknya dan menggoyang-goyangkan di depan tubuhnya sambil berkata menyeringai.

"Sebulan lebih kampakku tidak berciuman dengan batok kepala orang. Kalau tidak terjadi peperangan, bukankah percuma saja aku jauh-jauh datang kemari ?"

Diam-diam Muyong beng menarik napas untuk menekan kejengkelan dalam hatinya dalam menghadapi orang-orang golongan sesat itu.

Namun kemudian ia sadar bahwa mereka memang bukan bawahan-bawahannya yang biasa diatur tata-tertib ketentaraan.

Maka Muyong Beng merasa tak ada salahnya sedikit, menuruti "selera"

Dari orang-orang yang agak sakit jiwa itu, pokoknya tidak mengganggu pekerjaannya, toh, Muyong Beng sendiri bukan seorang yang cukup menghargai nyawa manusia. Maka ia-pun menjawab.

"Aku memang sudah merencanakan, mereka menyerahkan orang- orang yang kuminta atau tidak, aku tetap akan menghancurkan mereka. Perintah Pakkiong Ciangkun memang begitu. Jadi kau bisa berpesta dengan kampakmu, To Hok-leng."

Wajah keempat penjahat itu berseri-seri. Bagi mereka, pesta darah adalah pesta yang paling mengasyikkan dari jenis pesta-pesta lainnya.

"Nah, naiklah ke bukit. Kalian tidak takut bukan?"

Pertanyaan "kalian tidak takut bukan?"

Itu ibarat obat manjur buat keempat orang gembong penjahat itu, sebab tak seorangpun dari mereka sudi disebut sebagai penakut.

Mereka segera memutar kuda mereka dan mulai mendekati ke bukit.

Tapai sebenarnya jauh di dasar hati mereka ada juga sedikit rasa berdebar, sebab mereka sudah pernah mendengar nama besar si Harimau Selatan, orang yang harus mereka tangkap di samping ke sepuluh tokoh Hwe-liong-pang itu.

Namun dengan mengandalkan pasukan besar yang menjadi tulang punggung mereka, merekapun menjadi besar hati.

Muyong Beng sambil tersenyum dingin memandang keempat orang yang berkuda di jalan yang berliku-liku menuju ke atas bukit itu.

Ia heran juga di dunia ada orang-orang macam itu, orang-orang yang hanya menuruti kesenangannya sendiri-sendiri yang termasuk kegemaran aneh.

Biasanya Muyong Beng "bangga"

Dengan kebuasannya sendiri, namun terhadap keempat orang itu ia mau tidak mau harus mengaku kalah.

Namun ia juga mentertawakan ketololan keempat orang itu yang mau begitu saja disuruh naik ke bukit, menghampiri sarang macan, dan apabila mereka mampus maka Muyong Beng tidak akan merasa menyesal sedikitpun.

Tak lama kemudian, keempat orang itu sudah turun kembali, dan wajah mereka tidak sedap dipandang.

Kata Thia Hong.

"Bangsat, tikus-tikus itu ternyata sudah kabur semua."

"Kabur semua bagaimana?"

Tanya Muyong Beng heran.

"Barak di atas bukit itu sudah kosong. Menilik jejaknya mereka kabur ke arah barat daya, tidak ada jejak kaki kuda, jadi mereka berjalan kaki saja. Kalau kita kejar berkuda pasti tertangkap."

"Tidak. Kita susul bersama seluruh pasukan, aku yakin mereka tidak akan lari jauh."

Demikianlah pasukan besar yang sudah bergerak mengepung bukit, malahan di beberapa bagian sudah bersiap siap mendirikan pesanggrahan untuk beristirahat, terpaksa ditarik kembali dalam satu barisan besar dan bergerak maju ke arah barat daya.

Sebagian dari prajurit-prajurit itu berjalan sambil menggerutu karena sebenarnya mereka sudah kelelahan berjalan selama setengah hari dan ingin beristirahat, namun mereka tidak berani membantah Muyong Beng selama masih ingin kepala mereka bertengger di tempatnya.

Prajurit Ui-ih-kun memang agak jauh berbeda dengan prajurit-prajuritnya Pakkiong Liong, Hui-liong-kun, yang tergembelng tangguh jasmani maupun semangat tempurnya sehingga sering disebut juga sebagai Pasukan Berani Mati itu.

Ketika matahari turun ke barat, pasukan yang berjalan agak lambat itu berhasil juga mencapai pinggiran hutan yang membentengi bukit.

Hek-ku-nia.

Menurut beberpa orang mata-mata yang dilepaskan untuk mendahului pasukan, di bukit Hek-ku-nia itulah terdapat pemusatan kekuatan dari "bandit-bandit"

Hwe- iiong-pang yang melarikan diri dari Liong-pwe- nia, namun di bukit ini agaknya mereka tidak akan lari, bahkan sedang menyusun kekuatan untuk melawan . Muyong Beng tertawa dingin mendengar laporan itu, katanya.

"Orang-orang sekarat. Bagaimana mungkin mereka hendak mencoba melawan pasukanku yang sangat kuat ini? Malam ini pasukan kita akan beristirahat mutlak agar besok pagi menjadi segar, dan besok pagi kita sapu mereka sampai tak tersisa seorangpun. Sampai mayat-mayat mereka kalau ditumpuk bisa menjadi sebuah menara."

Bersambung ke

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid eberapa perwira bawahan Muyong Beng diam-diam bergidik juga mendengar ucapan panglima mereka itu.

Namun mereka harus mempersiapkan pasukan mereka untuk bekerja keras besok pagi, sebab seperti kebiasaannya maka Muyong Beng pasti akan bekerja sampai tuntas, sampai musuh tertumpas.

Sebenarnya di luar perhitungan Panglima yang buas itu, kekuatan di atas bukit Hek-ku-nia telah menjadi beberapa kali lipat dari kekuatan ketika masih di Liong-powe-nia.

Orang-orang Hwe-liong-pang yang mempercepat perjalanannya karena disusul oleh Siangkoan Hong itu, menjelang sore hari telah tiba di Hek- B ku-nia tapi dari arah barat, sehingga tak terlihat oleh mata-mata Muyong Beng yang hanya mengintai di sisi timur bukit itu.

Biarpun orang- orang Hwe-liong-pang itu nampak agak kelelahan karena perjalanan yang tergesa-gesar wajah dan pakaian mereka berlumur keringat dan debu, namun sinar mata mereka justru bersinar-sinar siapapun demi cita-cita yang telah mempersatukan mereka di bawah satu bendera Hwe-liong-pang.

Jumlah mereka kira- kira delapanratus orang dan disambut dengan hangat oleh anakbuah Lim Kan, karena memang mereka dulunya juga anggota-anggota Hwe- liong-pang, sehingga terjadilah pertemuan antara teman-teman lama yang menggembirakan namun sekaligus dalam suasana tegang juga, sebab di hadapan hidung mereka telah siap sebuah kekuatan besar musuh.

Tak lama kemudian, orang-orang Kay-pang juga muncul dan menggabungkan diri, dalam jumlah sedikit lebih banyak dari jumlah orang- orang Hwe-liong-pang.

Mereka naik ke bukit dengan memutar dari sebelah barat, sebab sisi timur sudah terhalang Oleh pesanggrahan pasukan Muyong Beng.

Dan kemudian ternyata bukan hanya Hwe- liong-pang dan Kay-pang saja yang bergabung, namun juga kelompok-kelompok kecil atau perorangan yang merasa setia-kawan dengan Hwe-liong-pang yang hendak ditumpas itu.

Mereka terus mengalir ke Hek-ku-nia dari pagi sampai malam hari, tanpa diketahui oleh Muyong Beng, sehingga bukit Hek-ku-nia menjadi penuh sesak dengan sukarelawan yang bergabung itu.

Kalau dijumlah, seluruhnya hampir tiga ribu orang, suatu jumlah yang tentu akan mengejutkan Muyong Beng besok pagi, apalagi karena banyak di antara mereka yang memiliki ilmu silat cukup tangguh.

Malam harinya, diadakan pertemuan, antara para tokoh tertinggi dari orang orang yang berkumpul di Hek-ku-nia itu.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diangkatlah seorang "Panglima"

Yang ditunjuk adalah Tong Wi-hong. Meskipun di tempat itu ada orang- orang yang ilmunya lebih tinggi dari Tong Wi- hong, misalnya Siangkoan Hong dan Lim Hong- pin, namun kedua orang itu terus terang menyatakan diri mereka "buta huruf"

Sama sekali dalam siasat-siasat perang, sehingga mereka lebih rela menyerahkan jabatan "panglima"

Kepada Tong Wi-hong yang pengetahuannya lebih luas, lagi pula Tong Wi- hong bagi Hwe-liong-pang mempunyai kedudukan khusus, karena dia adalah adik laki- laki dari mendiang pendiri Hwe-liong-pang, dan juga dihormati oleh kaum pendekar yang dulunya menentang Hwe-liong-pang sekalipun.

Sebelum menentukan siasat, lebih dulu Tong Wi-hong membagi laskarnya yang campur aduk itu menjadi kelompok-kelompok seratusan orang agar lebih mudah menyalurkan perintah- perintah atau petunjuk-petunjuk.

Meskipun mereka bukan prajurit resmi, namun dengan kesadaran tinggi mereka mencoba bersikap seperti prajurit-prajurit asli.

Tong Wi-hong juga menunjuk kepala-kepala kelompok yang terdiri dari orang-orang yang memiliki ilmu yang cukup seperti .

Auyang Seng, Ting Bun, Bu-gong hweshio, Siangkoan Hong Lim Hong-pin, kedelapan Tongcu, Sebun Him dan sebagainya.

Sebun Him kurang puas bahwa dirinya hanya ditunjuk sebagai pemimpin sebuah kelompok kecil terdiri dari seratus orang, namun dia bertekad membuktikan dalam perang bahwa dia sebenarnya pantas untuk kedudukan yang lebih tinggi.

Ia juga kurang senang bahwa Tong Wi-hong yang "lembek"

Dan dianggapnya "kurang tegas terhadap bangsa Manchu"

Itu ma- lan dijadikan pemimpin seluruh laskar. Namun Sebun Him tidak membantah keputusan itu, sebab ia merasa dirinya akan kekurangan dukungan. Ia hanya berkata dalam hatinya.

"Besok dalam peperangan akan terbukti bahwa kunci kemenangan.adalah diriku, bukan Tong Wi-hong yang bernama besar namun sudah mulai pikun itu."

Sementara orang-orang di Hek-ku-nia mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh mengatur siasat menghadapi musuh, maka di pesanggrahan pasukan Ui-ih-kun tidak nampak persiapan yang sungguh-sungguh.

Pasukan yang merasa dirinya sangat kuat itu sudah yakin akan menang sebab yang bakal mereka hadapi cuma "segerombolan kecil bandit bandit pasaran".

Meskipun penjagaan nampak juga, namun prajurit-prajurit penjaga nampak begitu santai, sementara yang tidak mendapat tugas jaga banyak yang berkerumun di sekitar api unggun sambil bergurau dan minum arak.

Muyong Beng tidak melarang apa yang dilakukan anakbuahnya itu, biar saja mereka bergembira sepuas hati sebab musuh tidak terlalu kuat.

Malahan Muyong Beng sendiri di kemahnya berpesta-pora bersama perwira- perwira lainnya seperti Tamtai Au-kha, Ibun Hong serta jago-jago bayaran Pakkiong An lainnya.

Malah beberapa wanita penghibur didatangkan dari kota terdekat.

Keesokan harinya, pasukan siap menyerang.

Namun wajah-wajah para prajurit tidak ada yang tegang, sebagian besar masih diwarnai sikap memandang enteng musuh.

Dengan satu-aba-aba, pasukannya bergerak mendekati hutan yang merupakan perisai terdepan Hek-ku-nia.

Tapi pasukan yang melangkah dengan congkak itu terkejut ketika tiba-tiba dari hutan di depan mereka berhamburanlah anak panah dan lembing-lembing bagaikan hujan lebatnya.

Prajurit-prajurit yang tidak siap mendapat serangan itu segera menjadi, panik.

Prajurit- prajurit yang paling depan sebagian besar tidak sempat.

mengangkat perisai mereka untuk menangkis, sehingga berpuluh-puluh orang langsung roboh, sedang yang di belakangnya menjadi panik, gerakan maju menjadi agak terhambat karena yang di depan berhenti dan bahkan ada yang melangkah mundur sedangkan yang di berakang terus mendesak ke depan, sehingga keadaan menjadi gaduh.

Muyong Beng dan perwira-perwira yang berilmu serta jagoan-jagoannya Pakkiong An memang dengari mudah menghalau panah- panah dan lembing-lembing itu sehingga tak terluka seujung rambutpun, namun yang membuat mereka marah adalah bahwa pasukan mereka sudah kehilangan puluhan prajurit sedang pihak Hek-ku-nia belum kehilangan se- orangpun.

Suatu peristiwa yang betapapun juga akan memerosotkan semangat pasukannya.

Sambil memutar pedangnya, Muyong Beng tetap menghalau panah dan lembing yang tidak berkurang derasnya, ia berteriak.

"Yang membawa perisai maju ke depan!. Terus maju dan menebar, kuasai hutan! Pemanah dan pelempar lembing membalas!"

Perintah itu sedikit banyak dapat memberi pegangan kepada pasukannya, meskipun masih ada sedikit kepanikan di sana-sini, tapi perintah itu segera dilakukan.

Prajurit-prajurit yang membawa perisai segera mendesak ke barisan muka untuk melindungi teman-temannya, dan dengan berani mereka berlari ke depan di bawah hujan panah dan lembing, sementara teman-teman mereka yang tidak berperisai mengikuti di belakang teman-teman mereka itu dengan berlari setengah membungkuk.

Ada juga prajurit-prajurit kerajaan yang mencoba membalas melontarkan panah atau lembing, namun serangan balasan mereka tidak berarti sebab "direndam"

Oleh dedaunan dan pepohonan yang rapat.

Tapi desakan pasukan Muyong Beng yang berjumlah besar itu bagaikan gelombang samudera yang digerakkan oleh badai untuk menggempur pantai.

Biarpun belasan prajurit masih saja roboh oleh panah dan lembing musuh, namun yang lainnya terus merangsek maju dengan diiringi sorak sorai membahana, yang di belakang meloncati mayat teman teman mereka sendiri sebab merekapun didorong oleh yang di belakangnya lagi.

Tong-hai-siang-sat (Sepasang Pembunuh dari Laut Timur) Thia Peng dan Thia Hong berdampingan dengan Muyong Beng memutar senjata-senjata mereka untuk maju paling depan, mereka tidak butuh perisai sebab putaran senjata mereka sudah sama rapatnya dengan sehelai perisai .

Di sebelah lain kelihatan Ibun Hong dengan pasukannya sendiri juga berusaha mencapai hutan untuk memaksa para pemanah musuh bertempur dalam jarak pendek, juga terlihat pula Hui-tho-koay Ki Koat dan Im-kan-hong-kui To Hok-leng mempelopori para prajurit untuk menerjang ke arah hutan.

Meskipun mereka bukan prajurit, namun mereka maju dengan bersemangat karena sudah ingin membunuh lawan se banyak-banyaknya, jadi bukan karena mencintai tugas mereka.

Namun pemanah-pemanah dan pelempar pelempar lembing dari dalam hutan itu tidak ingin diri mereka digulung oleh gelombang pasukan musuh yang jauh lebih besar itu.

Mereka terdiri dari duaratus orang yang ahli panah dan ahli melempar lembing, dipimpin oleh dua orang Tongcu Hwe-liong-pang yaitu In Yong dan Anyang Siau-pa, Lam-ki Tongcu- (Tongcu Bendera Hijau) dan Jingki Tongcu Bendera Merah).

Tugas mereka bukan untuk menghadang pasukan musuh, sebab tidak mungkin menghadang sepuluh ribu prajurit hanya dengan duaratus laskar.

Tugas mereka hanyalah memancing kemarahan musuh agar maju lebih cepat, yang lebih tepat memancing kemarahan pemimpin-pemimpin musuh tapi merontokkan semangat tempur prajurit- prajurit rendahannya.

Begitu melihat musuh menyerbu semakin dekat ke hutan, In Yong merasa tugasnya sudah berhasil.

Tanyanya kepada Auyang Siau-pa yang duduk di dahan pohon di sebelahnya.

"Apakah sudah cukup, saudara Auyang ? Auyang Siau-pa sesaat mengintai dari balik dedaunan bagaimana Muyong Beng dan lain- lainnya dengan muka merah padam memimpin pasukannya untuk maju terus di bawah hujan panah dan lembing dari pihaknya. Kemudian Auyang Siau-pa menjawab.

"Aku kira cukup, saudara In. Kita mundur "

Hampir bersamaan kedua Tongcu itu mengeluarkan suitan panjang, memberi isyarat kepada semua anakbuahnya untuk mundur sebelum hutan itu "tergenang"

Prajurit musuh yang bagaikan air bah itu.

Maka berloncatanlah para pelempar lembing dan pemanah itu dari persembunyiannya masing-masing, ada yang dari balik semak-semak dan ada yang melompat dari atas pohon.

Selincah kelinci-kelinci yang berlari menyusup semak-semak, mereka menghilang semakin dalam ke hutan.

Cepat, gesit namun tidak kelihatan gugup meskipun gemuruh suara pasukan musuh sudah terdengar dekat di pinggir hutan.

In Yong dan Anyang Siau-pa ikut bergerak mundur namun justru paling akhir untuk melindungi anakbuahnya, andaikata tersusul oleh musuh maka kedua Tongcu itu siap melindungi anak- buah mereka.

Sementara itu pasukan Ui-ih-kun dengan gemuruh telah memasuki hutan, lebih lancar sebab tidak ada serangan panah dan lembing lagi.

Prajurit-prajurit yang paling depan membabat-babatkan senjata mereka ke semak- semak dan pohon kecil-kecil untuk membuka jalan bagi belakangnya.

Begitu bersemangat mereka menerjang kesana kemari dalam nutan, tapi yang berhasil mereka takut takuti hanya beberapa jenis kelinci, rusa dan marmut- marmut kecil serta burung-burung yang bertengger di dahan-dahan.

Pemanah-pemanah dan pelempar pelempar lembing musuh tadi sudah tak kelihatan batang hidungnya seorangpun, yang ada hanya bekas-bekasnya berupa lembing atau panah, yang tidak sempat mereka bawa, dan juga tak ada mayat musuh seorangpun sehingga dapat disimpulkan bahwa serangan balasan pasukan Muyong Beng tadi luput semua.

Hal ini cukup membuat Muyong Beng naik darah.

"Maju terus sampai ke seberang hutan! Ingin kulihat sampai di mana pengecut- pengecut Hwe-liong-pang itu bisa menyembunyikan diri mereka!"

Maka hutan yang biasanya sunyi itu sekarang gemuruh dengan hebatnya karena diterejang oleh pasukan besar itu.

Bukan hanya ribut tetapi juga hancur, sebab prajurit-prajurit yang marah itu melampiaskan kemarahan mereka kepada tumbuh-tumbuhan dan binatang- binatang hutan yang mereka jumpai.

Bahkan harimau-harimau besarpun lari pontang- panting, tidak berani menghadapi ribuan prajurit yang seolah mabuk itu.

Tapi begitu pasukan itu tiba di seberang hutan, tertegunlah mereka melihat dataran berumput di hadapan mereka.

Bukan dataran berumput, itu yang mengejutkan mereka, namun ketika melihat di bawah kaki bukit Hek- ku-nia telah berbaris sebuah pasukan yang siap menyongsong mereka.

Meskipun laskar Hek-ku- nia itu hanya sepertiga dari besarnya pasukannya, tapi Muyong Beng tidak berani memandang ringan melihat cara musuh mengatur barisannya itu Dilihatnya laskar Hek-ku-nia itu berbaris tidak dalam bentuk menebar lebar, namun memanjang sempit dan terpecah menjadi tiga jalur, sehingga mirip sebuah trisula rasaksa yang ujung-ujungnya menghadap ke dada musuh.

Barisan yang demikian adalah barisan yang sulit dikepung, kecuali oleh pasukan yang berpuluh kali lipat jumlahnya, sedang pasukan yang dibawa Muyong Beng itu meskipun besar pula namun belum cukup untuk mengepungnya.

Pada ujung "trisula"

Yang tengah terlihat seorang berpakaian putih yang memimpin barisan, dialah Tong Wi-hong yang didampingi oleh Lu Siong, Oh Yun-kim dan Ma Hiong serta beberapa tokoh lainnya.

Ujung trisula sebelah selatan dipimpin Siangkoan Hong, ujung trisula sebelah utara dipimpin Lim Hong-pin.

Wanita- wanita seperti Tong Wi-lian, Cian Ping dan Ting Hun-giok tidak ikut terjun ke medan laga, sebab diperhitungkan bahwa pertempuran akan menjadi sangat sengit dan kurang baik bagi perempuan, tidak peduli perempuan yang berilmu tinggi sekalipun.

Melihat susunan laskar Hek-ku-nia itu, Muyong Beng menarik napas, diam-diam dikaguminya orang yang mengatur seperti itu.

Dan untuk menghadapinya maka ia tidak bisa memerintahkan prajuritnya untuk asal menyerbu saja, melainkan harus diatur dalam satu barisan perang pula.

Dengan jumlah orangnya yang berkali lipat, ia memilih bentuk menebar melengkung seperti bulan sabit untuk menjaring musuh.

Ia berharap perwira- perwiranya di ujung-ujung pasukannya akan cukup cerdik untuk memancing terjadinya garis bentrokan yang melebar sehingga pihaknya akan merasakan keuntungan dengan pasukan yang lebih banyak.

Tidak akan a-da prajurit- prajurit yang menganggur di garis belakang dan semuanya maju ke depan karena medan yang melebar.

Sementara itu pihak Hek-ku-nia, Tong Wi- hong segera melihat bentuk barisan perang musuh itu, dan diapun mengirim pesan kepada Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin di kanan kirinya agar tetap menguasai barisan masing- masing agar tidak terpancing musuh dalam pertempuran melebar yang merugikan pihaknya.

Meskipun demikian Tong Wi-hong merasa cemas dalam hati bahwa pesannya itu tidak akan bisa ditaati sepenuhnya, sebab sebagian besar dari laskarnya adalah orang- orang yang tidak terbiasa bertempur dalam barisan yang rapi, melainkan sudah terbiasa mengandalkan kemampuan perseorangan dan berkelahi dengan kemauannya sendiri-sendiri.

Hanya orang-orang Hwe-iiong-pang saja yang agaknya bisa diharapkan bertempur dengan tertib dalam barisan, sebab mereka pernah menjadi prajurit-prajuritnya Coan-ong Li Cu- seng di jaman pergolakan menumbangkan dinasti Beng dulu.

Mudah-mudahan orang- orang Hwe-liong-pang yang ada dalam setiap bagian laskar itu dapat mengendalikan teman- teman mereka, demikian harapan Tong Wi- hong.

Kini dua barisan yang sudah berhadapan dengan barisan perangnya masing-masing itu mulai bergerak saling mendekati di tengah- tengah dataran berumput itu.

Masing-masing pihak makin lama makin jelas melihat siapa saja orang-orang di dalam barisan lawannya, dan wajah-wajahnyapun mulai menegang.

Prajurit- prajurit.

Ui-ih-kun yang semalam sempat bersuka-ria dan bahkan tadi pagipun masih menganggap enteng lawan mereka, kini dengan jantung berdebar melangkah maju mendekati lawan, dan melihat bagaimana lawan dapat mengatur barisannya dengan baik.

Tapi prajurit Ui-ih-kun masih saja menyandarkan kekuatan mereka kepada jumlah mereka yang lebih tiga kali lipat jumlah lawannya.

Yang lebih dulu menyerang malahan pihak laskar Hek-ku-nia.

Begitu aba-aba terdengar, segera ketiga "ujung trisula"

Itupun meluncur pesat ke depan.

Karena yang paling depan itu rata-rata adalah para pendekar yang cukup tangguh, maka gerakan mereka ketika majupun begitu pesat, meskipun masih tetap menjaga agar jangan terpisah dari anakbuah mereka yang berlari-lari di belakng mereka.

Sementara dengan sorak gemuruh yang bagaikan hendak meruntuhkan langit, pasukan Mu-yong Beng pun menyongsong maju.

Dataran rumput itu segera riuh rendah dengan ribuan manusia yang berlaga dengan hebatnya, gemerincing ribuan senjata yang berbenturan dan teriakan-teriakan memberi semangat atau justru teriakan-teriakan kesakitan dan kematian yang menggetarkan hati.

Begitu benturan antara dua kekuatan terjadi, maka orang-orang di bagian depan prajurit Ui- ih-kun segera bertumbangan karena mereka bertemu dengan ujung tombak laskar Hek-ku- nia yang terdiri dari pendekar-pendekar berilmu tinggi itu.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Nampaklah di sayap kiri itu ada Lim Hong-pin yang dengan tangan kosong saja menerjang ke tengah-tengah barisan musuh.

Hanya dengan sepasang tangannya yang kecil-kecil dan tidak berotot kekar itu, ternyata gerak-gerik Lim Hong-pin mampu menggemparkan pasukan musuh.

Seenaknya saja dia mencengekram tubuh prajurit yang berada di dekatnya dan prajurit yang dicengkeramnya itu tentu lumpuh tubuhnya seketika, kemudian dengan ringannya ia melempar-lemparkan tubuh para prajurit itu ke tengah teman-teman mereka sendiri.

Atau memutar-mutar tubuh itu sebagai "senjata"

Untuk menghantam rekan-rekan mereka sendiri.

Kadang-kadang muncul penglihatan aneh, di mana Lim Hong-pin yang kurus dan kecil itu seenaknya memutar-mutarkan tubuh Begitu benturan antara dua kekuatan terjadi, maka orang-orang di bagian depan prajurit Ui-ih- kun segera ber-tun'bangan karena mereka bertemu dengan ujung tombak laskar Hek-ku-nia........

seorang prajurit yang bertubuh tinggi besar seolah-olah memutar-mutar seekor ayam atau bebek saja.

Meskipun prajuarit-prajurit Ui-ih-kun dengan berkelompok-kelompok mencoba "menjaring"

Lelaki kurus itu, namun setiap kali jaring-jaring yang terbentuk itu porak poranda kembali.

Apalagi karena Lim Hong-pin tidak sendirian tapi juga disampingi orang-orang macam Bu-gong Hweshio, Lu Siong dan Oh Yun- kim yang masing-masing kemampuannya seperti limabelas atau dua-puluh prajurit biasa, di samping orang orang Hwe-liong-pang sendiri yang berkelahi seperti serigala-serigala kelaparan.

Pasukan Ui-ih-kun yang tadinya memandang remeh laskar Hek-ku-nia karena mengandalkan jumlah yang jauh banyak, kini melihat kenyataan bagaimana garangnya lawan-lawan mereka.

Untunglah sebelum prajurit-prajurit itu patah semangat, muncul seorang tua bertubuh bungkuk, berkepala gundul dan berhidung seperti paruh burung betet.

Orang ini setelah membunuh belasan orang laskar Hek-ku-nia juga dengan tangan kosong, meloncat menghadang Lim Hong-pin sambil membentak.

"Bangsat, sebutkan namamu sebelum kukirim kau ke akherat !"

Sambil melemparkan tubuh dua orang prajurit dengan tangan kedua-duanya, Lim Hong-pin menjawab dingin.

"Kaulah yang mengantar nyawa kepadaku."

Hui-tho-koay Ki Koat yang terlalu bangga dengan nama besarnya itu menjadi marah.

"Dengarkan baik-baik, akulah Hu-tho-koay Ki Koat yang ditakuti di wilayah timur !"

Nama itu memang cukup menggetarkan, tapi jawaban Lim Hong-pin tetap seenaknya aja.

"Kalau begitu kau adalah adik seperguruan Ang- mo-coa-ong yang dulu menjadi anakbuahku, kau harus berlutut kepadaku !"

"Siapa kau ?"

"Kim-liong Hiangcu."

Betapapun tinggi ilmunya, namun bergetar juga hati Hui-tho-koay Ki Koat mendengar nama itu, nama dari seorang tokoh puncak Hwe-liong- pang yang menggetarkan rimba persilatan.

Tapi sudah terlanjur berhadapan, ia malu jika harus mundur, apalagi di hadapan sekian banyak prajurit yang melihatnya.

Maka ia segera mengeluarkan senjatanya berupa seutas rantai kecil yang di ujungnya ada sebentuk cakar setan berjari lima yang runcing-runcing.

Senjata yang jarang sekali ia keluarkan kecuali menghadapi musuh yang benar-benar tangguh.

Dan tokoh golongan hitam itu dengan curang tidak memberi kesempatan kepada Lim Hong- pin untuk mempersiapkan senjata macam apapun, rantainya segera berputar dengan suara berdesing dan cakar baja di ujung rantai itupun segera menyambar ke wajah Lim Hong- pin, dibarengi sebuah tendangan keras ke bawah pusar.

Namuan kecurangan itu masih belum bisa mempecundangi Lim Hong-pin yang berilmu tinggi itu.

Hanya dengan kebebasan lengan bajunya naik turun, kedua serangan itu sudah dapat dihalau balik, bahkan cakar setan itu membalik ke wajah Ki Koat sendiri.

Dengan kelabakan si bungkuk gundul itu meloncat mundur sambil menyentakkan rantainya untuk mengendalikan senjatanya.

Saat itulah Lim Hong-pin sudah menyerang maju dengan kekuatan seperti badai di tengah samudera.

Dalam gebrakan-gebrakan pertama saja segera terlihat Ki Koat sudah terdesak beberapa langkah mundur.

Bagaimanapun gigihnya ia bertahan dan memainkan senjatanya, namun diam-diam tokoh golongan hitam itu mengeluh dalam hati karena ia telah memilih lawan yang salah.

Tapi sudah terlanjur, satu-satunya jalan sekarang adalah bertahan segigih-gigihnya supaya tidak kelihatan terlalu konyol di hadapan para prajurit.

Sementara Lim Hong-pin sudah "mendapat pekerjaan", maka Oh Yun-kim si orang Korea yang berjulukan Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) karena mahirnya dalam Tae-kyun (silat tendangan gaya Korea) juga menerjang ke tengah pasukan musuh dengan beraninya.

Bahkan ia tidak bersenjata sama sekali, hanya mengandalkan sepasang tangan dan kakinya yang dapat menghantam lebih keras dari martil besi itu.

Dulunya ia hanya ahli dalam tendangan saja, namun setelah bertahun-tahun bersahabat dengan Lu Siong yang berjulukan Jian-kin-sin- kun (Tinju Sakti Seribu Kati) yang jago dalam mainkan sepasang tinju, Oh Yun-kim mulai belajar pukulan juga, sehingga bukan saja kakinya yang berbahaya tapi juga sepasang tinjunya.

Dan sekarang hal itu terbukti di arena adu nyawa yang kisruh itu.

Dengan tangkasnya bagaikan seekor harimau menerjang di antara kerumunan domba-domba, ia memainkan sepasang tangan dan kakinya sehingga musuhpun kocar-kacir.

Kakinya begitu tangkas dan cepat sehingga benar-benar "tanpa bayangan"

Sesuai julukannya, entah berapa buah rusuk yang telah dijebol oleh kakinya, atau rahang yang dibikin retak dengan tangannya, dan agaknya masih akan bertambah terus.

Tidak jauh daripadanya, sahabatnya Lu Siong juga mengamuk dengan kedua tinjunya yang sekeras batu padas itu.

Agaknya antara dia dan Oh Yun-kim telah saling menukar ilmu andalannya masing-masing.

Lu Siong belajar menendang dari oh Yun-kim, sebaliknya iapun mengajarkan ilmu pukulannya yang membuat ia sampai dijuluki Jian-kin-sin-kun oleh kalangan persilatan itu.

Dengan demikian kedua pihak mendapat kemajuan ilmu.

Di seluruh dataran rumput di kaki Hek-ku- nia itu pertempuran sudah berkobar hebat.

Bentuk barisan perang dari masing-masing pihak sudah tidak serapi semula sebab jika orang-orang kedua pihak sudah berkelahi maka mereka-pun terpaksa keluar beberapa langkah dari barisan.

Tubuh-tubuh yang berlumuran darah dengan luka yang menganga mulai bertumbangan dari kedua belah pihak.

Tapi yang di belakang tanpa rerasa gentar telah melangkahi tubuh teman mereka, tidak peduli teman-teran mereka merintih minta tolong.

Alih alih menolong, mereka lebih suka mengayun senjata untuk menambah jumlah korban.

Pokoknya menang dulu, baru nanti bicara soal perikemanusiaan.

Itulah perang.

Desak mendesak antara kedua pihak terus berlangsung sampai matahari naik tinggi di langit.

Kedua pihak sara-sama penasaran.

Pihak Ui-ih-kun penasaran kenapa mereka yang jauh lebih banyak tidak dapat segera menggulung habis musuh dengan musuhnya seperti mereka bayangkan kemarin? Sebaliknya pihak Hek-ku- nia juga penasaran karena mereka merasa diri mereka secara perorangan lebih baik dari prajurit-prajurit Ui-ih-kun, kenapa belum menang juga? Padahal di antara merekapun banyak terdapat pendekar-pendekar berilmu tinggi.

Sesungguhnya pandangan yang terlalu memandang ringan Ui-ih-kun itu adalah pandangan yang gegabah.

Ui-ih-kun memang bukan pasukan yang cukup baik untuk dibandingkan pasukan-pasukan kerajaan yang lain, tapi bukan berarti mereka terdiri dari prajurit-prajurit lemah sama sekali.

Betapapun kecil andil pasukan ini, tapi mereka pernah ikut menyerbu San-hai-koan di jaman dinasti Beng dulu, kemudian ikut pula bertempur untuk mendepak Li Cu-seng angkat kaki dari singgasana di Pak-khia.

Apalagi sejak Pakkiong An menetapkan sasaran untuk merebut singgasana Kaisar Khong-hi, maka latihan untuk pasukannya itupun ditingkatkan, sehingga prajurit-prajurit Ui-ih-kun bukannya tidak becus sama sekali seperti yang sering diduga banyak orang.

Begitulah sampai matahari ada di tengah langit, belum diketahui pasukan siapa yang bakal memenangkan pertempuran.

Masing- nwasing pihak kadang-kadang bersorak menggemuruh, namun kemenangan itu hanya di sebagian kecil medan perang, sementara di bagian lain malahan pihak musuh masing- masing yang bersorak gembira.

Beberapa orang yang berilmu tingi sudah ketemu dengan lawan seimbang, namun ada yang belum menemui lawan seimbang sehingga masih saja membabat orang-orang rendahan yang tidak seimbang dengan mereka.

Di bagian tengah, kelihatan Im-kan hong-kui (Iblis Gila dari Neraka) To Hok-leng dengan tubuhnya yang tinggi besar dan kampaknya yang juga besar, ia menyapu orang-orang yang merintanginya.

Begitu banyak batok kepala yang terbelah sehingga dengan ngeri orang- orang laskar Hek-ku-nia menjauhinya, paling- paling hanya melempar-lemparkan tombak atau senjata rahasia namun hal itupun tak banyak menolong.

Setiap kali tentu kampak To Hok- leng berhasil menggapai kepala seorang korban, meskipun si korban sudah berusa ha menjauhkan dirinya.

Melihat keganasan si Setan Gila dari Neraka itu, si sesepuh Serikat Pengemis Sun Ciok-peng tidak membiarkannya.

Ia tahu laskar Hek-ku-nia tidak gentar, apalagi orang-orang Hwe-liong- pang yang seolah-olah tidak sayang nyawa sendiri itu, namun Sun Ciok peng tidak ingin membiarkan orang-orang Hwe-liong-pang itu seperti serangga-serangga yang menubruk api ketika mereka mencoba menghadang si ra- saksa berkampak yang luar biasa itu.

Sun Ciok- peng sendiri tidak yakin apakah dirinya bisa menang berkelahi melawan To Hok-leng, tapi ia tidak peduli menang-kalah lagi, ia hanya ingin mencegah korban berjatuhan di pihaknya .

Demikianlah, ketika To Hok-leng hamper saja berhasil membelah kepala seorang laskar, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dari samping disertai segulung angin senjata yang deras mengaraha ke pelipisnya.

Cepat To Hok-leng menghentikan serangannya dan terpaksa melompat ke samping, lalu bentaknya.

"Siapa orang yang bosan hidup ini ?"

Sun Ciok-peng yang luput dengan sabetan tongkat besinya itu, berputar sekali di udara dan kemudian menapakkan kaki di tanah dengan manisnya.

Tubuhnya yang pendek gemuk, bundar seperti bola itu ternyata tidak mereint-angi kegesitan pengemis yang berwajah seperti bayi sehat itu.

Bahkan kemplangan tongkat besinyapun membawa kekuatan yang hebat.

To Hok-leng yang merasa gerak-geriknya dirintangi, segera memutar kapak besarnya dan mulai bertempur melawan Sun Ciok-peng.

Ternyata kepandaian, kekuatan maupun kecepatan To Hok-leng begitu hebatnya, sehingga kampaknya dapat berputar begitu cepat sampai tak kelihatan bentuknya, hanya berujud segumpal cahaya kehitaman yang desingnya menggetarkan hati.

Sementara putaran tongkat Sun Ciok-peng rasanya semakin terjepit dan tenggelam dalam gulungan senjata lawannya.

Mamun tidak ada tempat untuk mengeluh atau mengadu bagi Sun Ciok- peng, sebab ia sudah berada di tengah medan perang dan disana semua orang sibuk mempertahankan nyawanya sendiri-sendiri.

Tapi Sun Ciok-peng menghadapinya dengan tabahnya, bahkan kematianpun sudah tidak dihiraukannya lagi, dan itu membuatnya merasa sangat tenang meskipun kampak To Hok-leng terasa semakin lama semakin dekat dengan kulitnya.

Di bagian lain, Siangkoan Hong juga sudah bertempur melawan tiga orang, yaitu Tong-hai- siang-sat Thia Peng dan Thia heng ditambah seorang perwira bertubuh Kecil namun lincah bukan main dengan sepasang senjatanya, perisai di tangan kiri dan pedang di tangan kanan.

Menghadapi ketiga lawannya itu Siangkoan Hong kelihatan santai saja dan belum mengerahkan seluruh tenaganya, tetapi toh ketiga lawannya tidak sanggup mendesaknya seujung rambutpun.

Dua saudara Thia yang terkenal kejahatannya di kawasan timur itu merasa marah dan heran bukan main bahwa mereka berdua, masih ditambah seorang perwira yang cukup lihay, masih belum ada tanda-tanda bakal memenangkan pertarungan melawan lelaki setengah tua bertangan kosong itu.

Itu karena pada awal pertempuran tadi kedua saudara itu belum menanyakan siapa lawan mereka itu, andaikata saja mereka tahu bahwa yang mereka hadapi itu adalah Thian-liong Hiangcu (Hulubalang Naga Langit) dari hwe-liong-pang, maka mereka tentu tidak akan heran lagi bahwa mereka berdua belum dapat mengalahkan lawan mereka.

Sementara itu jalannya pertempuran semakin ramai.

Berganti-ganti kedua pasukan saling desak mendesak dengan sorakan-sorakan menggemuruh, tapi makin lama kelihatan bahwa jumlah yang lebih banyak dari Ui-ih-kun telah mempengaruhi keadaan juga.

Ui-ih-kun lebih sering mendesak daripada pihak Hek-ku- nia yang sebagian terdiri orang-orang Hwe- liong-pang dan Kay-pang itu.

Meskipun Ui-ih- kun mendapat perlawanan yang sangat gigih dari lawannya, tapi jumlah yang tiga kali lipat lebih itu membuat serangan mereka tak putus- putusnya seperti gelombang samudera.

Di tengah-tengah, berada paling depan kelihatanlah Mu-yong Beng mengamuk dengan tombaknya vang sudah basah oleh darah.

Ia memang sepeerti seekor Harimau jantan yang dengan kuatnya menerkam dan merobek-robek mangsanya.

Yang sudah menjadi korban tombaknya bukan saja laskar laskar rendahan namun juga Ketua Ki-lian-pay The Toan-yong serta sesepuh Kay-pang Pek-siau-thian.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mana orang-orang Hwe-liong-pang yang katanya gagah perkasa?!"

Teriaknya dengan garang dari tengah-tengah riuhnya baku hantam itu, sambil memutar tombaknya untuk merobohkan seorang laskar yang menyerangnya.

"Keluar dan tunjukkan batang hidung kalian, supaya kalian bisa merasakan tajamnya tombakku ini !"

Sebagai jawaban, dari antara kerumunan laskar Hwe-liong-pang itu melompatlah seorang bertubuh ramping tegap, meskipun rambut di pelipisnya telah berwarna abu-abu Karena usianya yang mendekati setengah abad.

Di tangannya ada sepasang kampak bergadang pendek yang digenggamnya dengan mantap, menandakan bahwa sepasang senjata itu bukan sekedar untuk jual tampang namun sudah merupakan "bagian tubuhnya"nya.

"Bangsat Manchu, mari kulihat sampai dimana kehebatan ilmu silatmu, apakah sesuai dengan mulutmu yang besar itu atau tidak!"

Kata orang itu.

"Siapa kau? Korban-korbanku yang terdahulu sudah menyebut namanya masing- masing sebelum aku berbaik hati rengantarkannya ke surga."

"Aku Ji Tiat, menjabat Ang-ki Tongcu dalam Hwe-liong-pang!"

Sahut orang bersenjata sepasang kampak pendek itu.

"Siapa saja yang sudah menjadi korban kebiadabanamu ?"

Dengan tangan kiri bertolak ping-oang dan tangan kanan memegang dengan nada bangga.

"Sudah ada kuhitung duapuluh delapan orang laskar biasa yang kubunuh, dan dua orang pentola..,masing-masing The Toan-yong dari Ki- lian-pay dan Pek Siau-thian dari Kay-pang. Kau yang ketiga !"

Gigi Ji Tiat gemeretak karena marahnya ketika mendengar jawaban itu ia ingat bahwa serbuan pasukan kerajaan itu sebenarnya tujuan utamanya hendak menghancurkan Hwe- liong-pang, terutama tokoh-tokohnya termasuk dirinya sendiri, namun yang menjadi korban malahan The Toan-yong serta Pek Siau-thian yang ikut bertempur karena kesetia-kawanan terhadap Hwe-liong-pang.

Karena itu Ji Tiat bertekad untuk membunuh panglima Manchu yang ada di depannya ini demi membalaskan sakit hati sahabat-sahabat Hwe-liong-pang itu.

Namun sebelum ia mulai bertempur, tiba-tiba ia teringat ucapan Tong Wi-hong yang mengatakan bahwa sikap pasukan Ui-ih-kun yang keras itu jangan disamakan dengan sikap pemerintah Manchu yang mulai melunaK terhadap orang Han itu.

Timbul niat Ji Tiat untuk membuktikan apakah ucapan Tong Wi- hong itu benar atau sekedar karena pendekar itu sudah terpengaruh oleh keponakannya, Tong Lam-hou.

Katanya memancing.

"Kudengar bahwa sikap Kaisar terhadap orang Han sudah mulai membalik, tidak sekeras dahulu lagi, kenapa tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba kalian menyerbu kami yang merupakan pembela- pembela rakyat ini?"

"Hah, enak saja kalian mengaku diri kalian sebagai pembela rakyat, sedang sebenarnya kalian adalah kelompok yang sedang menyiapkan pemberontakan untuk menggulingkan pemerintahan kami. Dulu kalian sudah berani menyerbu Penjara Pak-khia untuk membebaskan para tahanan, dan yang terakhir ini kalian sudah berani membawa lari Tong Lam-hou yang sudah dijatuhi mati. He, orang Hwe-liong-pang, lebih baik kau ajak semua teman-temanmu untuk menyerah daripada aku memaksa kalian dengan kekerasan."

"Apakah ini perintah Kaisar ?"

Muyong Beng tiba-tiba tertawa mendengar pertanyaan itu, memperhitungkan bahwa gerakan Pakkiong An di Ibukota Kerajaan sudah berhasil baik, maka tanpa takut-takut lagi Muyong Beng menjawab seperti itu.

"Ha-ha-ha, Kaisar ingusan Khong-hi itu bisa apa tentang pemerintahan? Dia bersikap terlalu lemah- menghadapi orang-orang macam kalian, sehingga jika singgasana naga terus diduduki orang-macam dia akan membuat negara ini runtuh. Saat ini rencana besar Pakkiong Ciangkun untuk menyelamatkan negara pasti sudah berhasil dan Pakkiong Ciangkun pasti sudah duduk diatas tahta menggantikan si bocah Khong-hi itu. Itu berarti nasib buruk buat kalian, sebab Pakkiong Ciangkun tidak mungkin mengampuni bandit-bandit pengacau negara macam kalian!"

Mendengar itu, Ji Tiat mulai percaya bahwa dalam menjalankan pemerintahan dalam tubuh pemerintahan manchu sendiri ternyata terdapat sikap yang berbeda-beda.

Ada yang menganggap bangsa Han hanyalah bangsa taklukan yang tidak berhak menentang meskipun diperlakukan sewenang-wenang, tapi pihak lain menganggap orang Han sebagai sesama rakyat negeri yang harus diperlakukan sama dengan orang Manchu.

Persatuan diutamakan untuk menghadapi orang-orang Eropah yang mulai berkeliaran di laut timur dengan kapal kapal dagang mereka, namun kapal-kapal dagang yang diperlengkapi dengan meriam sehingga patut diragukan ketulusannya mereka dalam berdagang.

Dan Ji-tiat juga menyadari bahwa sikap yang mana yang akan mempengaruhi pemerintahan Manchu, akan dipengaruhi pula bagaimana sikap pergerakan- pergerakan bangsa Han.

Kalau pergerakan- pergerakan itu bersikap keras, maka pemerintah di Pak-khia akan menjawabnya dengan sikap yang keras pula, dan sebaliknya.

"Kau melamun menyesalkan nasibmu?"

Tanya Muyong Beng sambil tertawa mengejek melihat Ji Tiat termangu-mangu.

"Tidak ada gunanya, Pakkiong Ciangkun sebagai Kaisar sudah menetapkan bahwa kalian harus diberantas dari muka bumi."

Dengan mengangkat wajahnya dan menatap Muyong Beng tajam-tajam, Ji Tiat berkata tegas.

"Dan Hwe-liong-pang kami juga bertekad memusnahkan orang-orang Manchu yang suka menindas bangsa Han seperti panglimamu Pakkiong An itu. Sebelum induknya kami babat, biarlah keroco-keroconya macam kau ini yang kami habiskan lebih dulu !"

Habis berkata begitu, Ji Tiat dengan kampak ditangan kanannya langsung menghantam; tegak ke batok kepala Muyong Beng.

Muyong Beng dengan beraninya memelangkan gagang tombaknya yang terbuat dari besi itu untuk menangkis, artinya ia mengajak keras lawan keras alias adu tenaga.

Dua senjata dan dua kekuatan berbenturan, tangan kedua belah pihak sama-sama bergetar, tapi Ji Tiat dengan tangkas menggerakkan kampak di tangan kiri untuk membabat rendah ke pinggang Muyong Beng.

Si perwira Ui-ih-kun cepat melakukan gerak lompatan ke belakang, sementara ujung tombaknyapun dengan gerakan kilat menusuk ke leher Ji Tiat dengan Boan-liong-seng-thian (Naga Naik ke Angkasa).

Begitulah kedua orang itu segera bergebrak.

Mula-mula mereka saling membenturkan senjata untuk saling menjajagi kekuatan, lalu bergerak saling menyerang yang semakin lama semakin cepat, sehingga akhirnya mereka nampak saling menerkam dengan garangnya.

Muyong Beng yang mahir bermain tombak panjang itu mencoba menahan musuhnya dalam jarak tertentu yang tidak terlalu dekat untuk memberi keuntungan kepada senjatanya Namun Ji Tiat dengan kampak bergagang pendeknya berusaha sebaliknya.

Dan kedua pihak saling menyadari bahwa kini mereka bertemu lawan keras.

Sementara itu, dalam pertempuran yang semakin riuh itu terlihatlah bahwa laskar Hek- ku-nia selangkah demi selangkah mulai terdesak ke belakang.

Meskipun mereka mempunyai tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi seperti malaikat seperti Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, namun apakah artinya dua orang itu dalam perang campuh yang dahsyat antara ribuan manusia itu? Bagaimanapun juga jumlah turut menentukan.

Apalagi Muyong Beng sebagai kepala perang pasukan Ui-ih-kun tidak peduli berapapun jumlah prajuritnya yang harus jadi korban, pokoknya ia hanya memerintahkan untuk maju dan menggempur Hwe-liong-pang sampai tuntas.

Di tengah-tengah riuh-rendahnya saling bantai itu, kelihatan Sun Ciok-peng si tokoh Kay-pang dengan gigih bertahan dari lawannya yang memiliki ilmu beberapa lapis lebih tinggi daripadanya.

Im-kan-hong-kui To Hok-leng, si Iblis Gila dari Akherat.

Pengemis bertubuh pendek gemuk itu terus terdesak selangkah demi selangkah, menghindari sambaran kampak besar lawannya yang rasanya semakin cepat saja.

Tangannya yang memegang tongkat besi sudah pegal karena setiap kali menangkis kekuatan yang lebih besar, bahkan telapak tangannya sudah perih dan berdarah, namun dengan keras kepala ia bertahan terus.

Suatu ketika sebuah serangan To Hok-leng tak sempat ditangkisnya, dan hanya dihindarinya, tapi elakannya itupun kurang sempurna sehingga perutnya yang bulat itupun terserempet kampak sehingga menimbulkan luka memanjang berdarah..

To Hok-leng menyeringai buas melihat darah yang mulai terpancar dari tubuh Sun Ciok-peng.

Dengan beringas ia terus merangsek maju, dengan sekali putaran maka tangkai kampaknya sekali lagi menghantam pundak Sun Ciok-peng sehingga pengemis itu terpelanting ke samping dengan muka yang memucat namun bukan karena ketakutan.

Saat lawannya belum dapat memperbaiki keseimbangannya, kampak To Hok-leng terayun dari atas ke bawah, dipegang dengan dua tangan dan tepat menetak tengkuk Sun Ciok-peng yang tengah terbungkuk itu.

Habislah riwayat pengemis Kay-pang itu, dengan kepala yang terpisah dari tubuhnya.

Seperti seorang gila, To Hok-leng tertawa terbahak-bahak memandang tubuh pengemis itu, dan baik kawan maupun lawan menjadi ngeri ketika melihat To Hok-leng dengan lahapnya menjilati mata kampaknya yang berlumuran darah itu sampai mengkilat kembali, dan kini mulutnyalah yang berlepotan darah manusia.

Selesai "membersihkan"

Kampaknya, sambi tertawa terbahak-bahak To Hok-leng kembali memutar kampaknya menerjang ke barisan musuh sambil berteriak teriak.

"Hayo, siapa lagi yang akan menyusul teman-temannya ke akherat !"

Beberapa anggota Kay-pang yang marah karena sesepuh mereka terbunuh, dengan nekad menerjang To Hok-leng untuk membalas dendam.

Tapi mereka yang kurang perhitungan itu ibarat menyerahkan nyawa saja, To Hok- leng menyambut mereka dengan putaran kampaknya yang besar, dua kepala pengemis menggelinding ke tanah dan seorang lagi robek dadanya.

Sementara itu beberapa pengemis yang cukup berani telah berusaha membawa tubuh dan kepal Sun Ciok-peng ke garis belakang untuk diurus selayaknya.

Beberapa anggota Hwe-liong-pang melindungi gerakan rekan-rekan dari Kay-pang itu dibantu beberapa anggota perguruan lain yang bergabung dalam laskar.

Tapi belum seorangpun yang sanggup menghadang si iblis gila itu.

Prajurit-prajurit di Ui-ih-kun bersorak-sorai dengan penuh semangat ketika melihat kemenangan jagoannya itu, dan merekapun mendesak musuh dengan hebatnya.

Sementara pihak laskar Hek-ku-nia bertahan sebisa- bisanya agar barisan mereka tidak berantakan, dan selama bertahan itu To Hok-leng sudah mengambil korban beberapa orang lagi yang setiap kali darahnya dijilati di kampaknya.

Untunglah keadaan itu tidak berlarut-larut.

Di hadapan To Hok-leng segera muncul seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar, sama tinggi besarnya dengan To Hok-leng sendiri, dan memegang pedang dengan cara kidal yaitu dengan tangan kiri.

Pedang yang dipegangnyapun satu setengah kali besarnya dari pedang ukuran biasa.

Dia bukan lain adalah jago muda Hoa-san-pay yang sedang menanjak namanya, Se-bun Him, yang dengan bangga sering menyebut dirinya sendiri Se-him (si Beruang Barat) yang disejajarkannya dengan Pak-liong (Naga Utara) dan Lam-hou.(Harimau Selatan).

Melihat Sebun Him menghadangnya, To Hok- leng sambil menyeringai sombong membentak.

"Anakmuda, kau sudah bosan punya kepala ?"

Sahut Sebun Him.

"Bukan, aku hanya bosan melihatmu berkepala!"

Dan anakmuda yang sangat mendambakan ketenaran itu merasa mendapat kesempatan untuk mengangkat nama besar di medan perang itu.

Maka tanpa banyak bicara lagi pedangnya segera berkelebat ke leher lawannya dengan gerak Pek-hong-koan-jit (Pelangi Putih Menutup Sang Surya).

Tadinya To Hok-leng agak meremehkan Sebun Him, namun setelah melihat gerak pedang anakmuda itu ia pun terkejut.

Cepat, kuat dan rapi.

Cepat To Hok-leng menundukkan kepalanya rendah-rendah, berbareng dengan mengayunkan kampaknya mendatar menebas perut Sebun Him dengart gerakan Pek-lou- heng-kang (Embun Putih Melintang di Sungai).

Serangan maupun serangan balasan sama-sa ma dilakukan dengan cepat tanpa kenal ampun, membuat kedua pihak sama-sama terkejut.

Sebun Him meloncat tinggi menghindari tabasan ke perutnya itu, dan tanpa menarik pedangnya ia telah meneruskan geraknnya dengan Liu-seng-kan-goat (Bintang Sapu Mengejar Rembulan), tubuhnya datar sejajar dengan tanah dan ujung pedangnya meluncur ke arah tengah-tengah antara dua mata To Hok- leng.

Dengan kaget To Hok-leng men- doyongkan badannya ke belakang sambil melakukan tangkisan Heng-ka-kim-liang (Melintangkan Belandar Emas).

Dua kekuatan beradu lewat senjata masing-masing, menimbulkan datang yang memekakkan telinga serta bunga api yang memercik.

Sebun Him yang tengah mengapung di udara dan tak punya pijakan itu, menggunakan tenaga pantulan benturan itu untuk meloncat mundur dan dengan satu putaran tubuh yang manis ia mendarat di tanah, dengan pedang yang tetap siap di depan tubuhnya.

Sementara To Hok-leng sendiri merasa betapa ada getaran tenaga merambat lewat gagang kampaknya dan menggetarkan lengannya.

Diam-diam ia terkejut akan hal itu, sulit dipercaya ada orang yang bisa menandingi kekuatannya, apalagi hanya seorang anak-muda yang usianya barangkali baru dua-puluh tiga atau duapuluh empat tahun.

Sekilas nampak nafsu untuk membunuh menghiasi wajah To Hok-leng.

Tanpa banyak bicara, keduanya bertarung sengit.

Pedang dan kampak beradu dengan dahsyatnya berpuluh-puluh kali tanpa ada yang mengalah untuk adu k?ras otot semacam itu.

Masing-masing pihak berharap agar pihak lawanlah yang lebih dulu tidak betak dengan adu tenaga itu, namun agaknya kedua-duanya memang harus sabar sebab pihak lawan sanggup mengimbangi tenaga mereka.

Tidak jauh dari situ, Auyang Seng yang telah bertempur melawan keroyokan dua orang perwira musuh bernama Ibun Hong dan Hui Bong, diam-diam menarik napas dan geleng- geleng kepala menyaksikan cara bertempur keponakan muridnya yang sama sekali tidak menghemat tenaga itu.

Itu bukan cara bertempur seorang ahli pedang, sebab ahli pedang lebih mengutamakan keluwesan, kecepatan dan gerak tipu yang rumit, bukan sekedar memutar pedang seperti seorang mabuk seperti itu.

Namun agaknya Sebun Him.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


akan dapat mengatasi lawannya, sebab lawannya itu bukan seorang cukup pintar pula, seorang yang hanya mengandalkan tenaga besarnya dan sedikit berpikir.

Dengan demikian Auyang Seng tidak terlalu mencemaskan keponakan muridnya itu.

Ketika itu laskar Hek-ku-nia sudah terdorong mundur sampai mendekati kaki bukit.

Bentuk barisan perang mereka yang mirip trisula tadi, kini sudah berantakan tergencet pasukan Ui-ih- kun yang terus merangsek maju dengan penuh semangat itu.

Sementara matahari sudah condong ke cakrawala barat.

Namun untuk dapat menumpas habis orang-orang Hek-ku-nia sama sekali, pasukan Ui-ih-kun agaknya akan memerlukan waktu yang cukup lama, mungkin sampai malam hari nanti atau bahkan besok pagi, sebab musuh bertahan dengan mati- matian.

Dan ia menarik mundur dipertanyakan apakah daya tahan prajurit-prajurit Ui-ih-kun akan cukup memadai untuk melanjutkan pertempuran jangka panjang itu? Bagaimanapun juga Ui-ih-kun berbeda dengan Hui-liong-kun, pasukan berani matinya Pakkiong Liong yang tergembleng begitu hebatnya sampai disebut bertubuh dan bersemangat baja itu.

Muyong Beng sebagai kepala perang saat itu, agaknya sudah memperhitungkan hal itu.

Pasukannya tidak terlatih untuk bertempur sehari semalam seperti yang dibayangkannya, malahan bisa ambruk sendiri karena kelelahan.

Tapi iapun tidak sudi melepaskan gen-cetannya terhadap laskar musuh, sebab ia menganggap bahwa laskar musuh sudah hampir berhasil dihancurkan.

Jika ia menarik mundur pasukannya untuk menyerang lagi besok pagi, berarti memberi kesempatan untuk bernapas bagi laskar musuh, dan hal sebodoh itu tidak akan dilakukan oleh Muyong Beng.

Maka ia berpikir sudah tiba saatnya untuk memberi pukulan yang mematikan kepada laskar musuh.

Saat itu ia tengah bertempur seimbang melawan Ji Tiat yang berjuluk Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembuka Gunung) itu.

Kedua pihak sama uletnya, sama lihainya dengan senjata masing-masing, dan jika dibiarkan saja agaknya pertempuran satu lawan satu itu akan berlangsung lama tanpa diketahaui siapa, bakal menang dan siapa bakal mampus.

Namun tiba-tiba Muyong Beng mundur meninggalkan lawannya sambil berteriak.

"Petugas penghubung !"

Seorang prajurit keluar dari barisan di bawah perlindungan beberapa tamannya, dan prajurit itu menjawab.

"Siap, Panglima !"

"Lepaskan isyarat untuk pasukan berkuda agar segera masuk ke arena!"

Perintah Muyong Beng. Sehabis meneriakkan perintah itu, kembali Muyong Beng bertarung sengit melawan Ji Tiat. Ji Tiat sendiri terkejut ketika mendengar perintah itu. Tak terduga bahwa musuh ternyata masih punya "simpanan kekuatan"

Berupa pasukan berkuda yang tentunya akan membuahkan kehancuran bagi laskar Hek-ku- nia yang memang sudah terdesak itu.

Sedang di pihak Hek-ku-nia sendiri tak punya kekuatan cadangan seperti itu, kekuatan untuk pukulan terakhir yang biasanya akan sangat menentukan.

Dalam bingungnya, sambil bertempur melawan Muyong Beng maka Ji Tiat berteriak kepada seorang anggota Hwe-liong-pang yang berada beberapa langkah daripadanya.

"He, kau, cari Tong Tayhiap dan bilang bahwa musuh kan melepaskan pasukan berkudanya !"

"Baik, Tongcu"

Sahut anggota Hwe-liong- pang itu.

Lalu iapun mundur ke dalam barisannya dan menyusup untuk mencari Tong Wi-hong sebagai pimpinan seluruh laskar, agar seluruh laskar dapat bergerak sesuai dengan perubahan gerak pasukan musuh.

Sambil melancarkan serangan Liong-leng- hong-bu (Naga Berputar Burung Hong Menari) dengan tombak panjangnya yang bergelombang dahsyat, Muyong Beng berkata mengejek musuhnya.

Never Too Far Too Far 2 Karya Abbi Mas Rara Seri Arya Manggada 2 Karya S H Goosebumps Arwah Penasaran

Cari Blog Ini