Ceritasilat Novel Online

Pendekar Naga Dan Harimau 24

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 24


"Tidak usah sekarat, detik-detik terakhir hidup kalian sudah di tanganku dan aku sudah menjatuhkan keputusan untuk menumpas kalian tanpa sisa seorang pun!"

Sementara prajurit Ui-ih-kun yang ditugasi melepas isyarat itupun telah melepaskan panah bersuara dua kali berturut-turut ke udara.

Pasukan berkuda Tamtai Au-kha yang belum bergerak dan masih bersembunyi dalam hutan di kiri kanan medan tempur karena pasukan itu dipecah dua, begitu mendengar isyarat itu segera mempersiapkan diri.

Kemudian dengan satu aba-aba maka gemuruhlah derap kaki ribuan ekor kuda dengan penunggang- penungggangnya yang tangkas memasuki medan perang.

Separoh pasukan berkuda yang menerjang dari utara dipimpin Tamtai Au-kha sendiri, sedang yang menyerang dari selatan dipimpin seorang perwira pasukan berkuda bernama Yehlu Im.

Datangnya serangan pasukan berkuda dari dua jurusan, pada saat laskar Hek ku-nia mulai kelelahan itu, benar-benar merupakan malapetaka bagi laskar yang gagah berani itu.

Prajurit-prajurit yang masih segar yang menyerbu di atas kuda-kudanya yang tegar tegar, membuat laskar Hek-ku-nia porak- poranda di kedua sisinya.

Banyak yang gugur atau luka-luka, bukan saja oleh sabetan pedang atau tusukan tombak, melainkan karena terjatuh dan kemudian kena terjangan kaki-kaki kuda yang tegar-tegar itu.

Dari utara, Tamtai Au-kha benar-benar mirip seorang malaikat dari neraka yang menyebar maut dari atas kuda tunggangannya.

Ia memimpin pasukannya dengan berkuda paling depan, sebentar-sebenatar ia membungkuk di atas kuda sambil menyabetkan qolok lenakung di tangannya dan setiap kali seorang .

laskar musuh ditewaskannya.

Hujan panah dan lembing yang dilepaskan orang-orang Hek-ku- nia tidak sepenuhnya dapat menahan gerak maju pasukan berkuda ini, hanya dapat.menjatuhkan beberapa prajurit dari punggung kudanya, namun yang lainnya terus menerjang maju.

Dari antara laskar Hek-ku-nia yang agak kocar-kacir itu, tiba-tiba saja meloncatlah dua orang yang dengan beraninya menghadang derap ribuan kuda itu.

Yang seorang bertubuh gempal dengan muka putih, kemerah-merahan seperti anak-anak, namun matanya tajam bukan main.

Tangannya memegang sebatang golok Tan-to, sementara di pinggangnya ada sepasang senjata yang disebut Jit-goat-siang-lun (Sepasang Roda Matahari dan Rembulan).

Seorang lagi bertubuh ramping dan juga berwajah angker,dengan sepasang tangan memegang Siang-hap-to (Sepasang Golok Pendek Lebar), kedua orang ini sama-sama berpakaian hitam menandakan orang Hwe- liong-pang.

Mereka bukan lain adalah Jai-ki Tongcu (Tongcu Eendera Coklat) Ma Hiong yang berjuluk Siau-lo-cia i (Dewa Locia Kecil) dan Lam-ki Tongcu (Tongcu Bendera Eiru) In Yong yang berjulukan Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Petir).

Seorang prajurit berkuda berderap menerjang Ma Hiong sambil menyabetkan goloknya.

Tapi prajurit itu salah memilih sasaran.

Dengan tangkas Ma Hiong menangkis bacokan itu, sementara tanganhya yang lain dengan gerakan yang cepat telah menarik lengan prajurit itu dengan sekuat tenaga.

Tak ampun lagi prajurit itu terpelanting jatuh dari kudanya, dan sesaat kemudian terdengar jeritan ngerinya karena tubuhnya remuk diinjak kuda- kuda teman-temannya sendiri.

Sementara Ma Hiong sendiri dengan tangkasnya sudah duduk diatas punggung kuda yang baru saja kehilangan penunggangnya itu.

Dalam hal pertempuran berkuda, Ma Hiong pun memiliki cukup pengalaman selama ia dulu berkeliaran di padang ilalang di wilayah Hun-lam sana untuk bergerilya melawan Peng-se-ong Bu-san- kui.

Maka kini ia dengan mahirnya melarikan kudanya kian kemari dan setiap kali ada prajurit musuh yang terjungkal dari kudanya.

Di dekatnya, In Yong juga berhasil merampas seekor kuda, dan kemudian menungganginya untuk melawan serbuan musuh.

Namun apa artinya dua orang dibandingkan ribuan orang? Betapapun kedua Tongcu itu bekerja keras, mereka hanya dapat menumbangkan musuh satu demi satu, sementara pasukan berkuda musuh terus saja mendesak maju dengan menimbulkan korban berlipat kali.

Pada saat laskar Hek-ku-nia sudah sangat genting keadaannya itu, maka dari mulut kemulut menjalarlah perintah dari Tong Wi- hong sebagai pemimpin, agar semua laskar mundur ke bukit dengan memanjat lereng.

Dengan cara itu diharapkan pasukan berkuda akan kehilangan keampuhanya sedang terhadap pasukan berjalan kaki dari Ui-ih-kun akan dicapai keunggulan keletakkan tanah.

Meskipun orang-orang Hek-ku-nia bukanlah prajurit-prajurit, tetapi hanya sekedar orang- orang yang memiliki ilmu silat, tapi gerakan mundur semacam itu memang sudah dirundingkan lebih dahulu cara-cara bagaimana sebaiknya.

Maka, meskipun kurang begitu teratur, tokoh-tokoh yang berilmu tinggi seperti Auyang Seng, Bu-gong Hweshio, Ting Bun, para Tongcu Hwe-liong-pang dan lain-lainnya segera maju menjadi lapisan terdepan untuk melindungi seluruh laskar mundur ke bukit.

Tentu saja perlindungan itu kurang memadai, sebab bagaimana mungkin mereka yang hanya puluhan orang itu sanggup menahan ribuan prajurit? Namun ada pengaruhnya juga, apalagi kemudian dari lereng-lereng bukit dilemparkan pula panah dan lembing yang membantu para pendekar itu.

Kemudian orang-orang berilmu itupun naik ke bukit pula sambil mempertahankan diri.

"Kejar dan hancurkan mereka malam ini juga!"

Teriak Muyong Beng.

Ia ingin mencapai kemenangan sebelum hari menjadi malam, sebab saat itu matahari sudah separuh tenggeleam di ufuk barat.

Jika hari menjadi gelap, itu bisa menjadi tabir penyelamat bagi orang-orang Hek-ku-nia yang dianggapnya sudah hampir hancur itu.

Memerintahkannya mudah, tapi ternyata melaksanakannya sukar bukan main.

Dalam hal ketangksan memanjat lereng bukit yang cukup terjal itu, prajurit-pidjurit Ui-ih-kun masih kalah dibanding orang-orang Hek-ku-nia yang terbiasa hidup di alam keras itu.

Sedang prajurit-prajurit Ui-ih-kun terbiasa hanya di Kotaraja Pak-khia yang jalannya sudah rata dan halus itu.

Kini karena pertempuran terjadi di lereng bukit, di mana orang Hek-ku-nia di atas dan musuh di bawah, maka percuma pasukan Ui-ih-kun mengandalkan jumlahnya yang lebih banyak.

Laskar Hek-ku-nia terus mundur sasubil bertahan, dan ketika mereka sudah sampai ke barak mereka, maka me-reKapun melancarkan serangan balasan yang lebih berbahaya dari sekedar panah atau lembing.

Yaitu balok-balok kayu yang panjang-panjang atau, batuba-tu besar yang digulung-gulungkan dari atas bukit.

Dengan suara gemuruh seperti air bah, balok-balok kayu dan batu-batu besar itu menyapu prajurit-prajurit Ui-ih-kun yang baru mencapai kaki bukit itu, sehingga mereka berlari-larian mundur kembali.

Beberapa yang tak sempat menghindar telah memperdengarkan jeritan ngeri mereka ketika tubuh mereka tergulung serangan dari atas bukit itu.

Apalagi senja sudah mulai gelap sehingga balok-balok dan batu-batu itu lebih sulit lagi untuk dihindari.

Dengan suara gemuruh seperti air bah, balok- balok kayu dan batu-batu besar itu menyapu prajurit-prajurit Ui-ih-kun yang baru mencapai kaki bukit itu, sehingga mereka berlari-larian mundur kembali.

Bersambung ke

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid langkah geramnya Muyong Beng melihat hal itu.

Nafsunya untuk menghancur- leburkan orang-orang hwe-liong-pang malam itu juga ternyata tidak bakal terkabul.

Bagaimanapun marahnya, tapi sebagai kepala perang yang berpikiran luas, ia sadar bahwa jika dipaksakan untuk maju maka laskar musuh akan berbalik mendapatkan kemenangan, cukup dengan mengguling-gulingkan balok- balok dan batu-batu yang entah berapa banyak persediaan mereka.

Muyong Beng tidak ingin pasukannya musnah karena itu.

Maka betapapun geram hatinya, iapun menyerukan aba-aba untuk mundur.

A Tidak usah diulang untuk kedua kalinya, pasukan Ui-ih-kun yang memang sudah sudah kelelahan itu segera menarik diri dan kemudian membuat perapian di padang rumput bekas arena pertempuran itu.

Bahkan Muyong Beng juga memerintahkan untuk mengawasi sisa-sisa bukit sebelah utara, barat dan selatan untuk menjaga jangan sampai laskar Hek-ku-nia kabur lewat arah arah itu.

Kalau melihat gerakan laskar Hek-ku-nia, pengawas-pengawas itu harus memberikan isyarat yang ditentukan.

"Kenapa tidak kita kepung saja, Ciangkun?"

Tanya Tamtai Au-kha kepada atasannya itu.

"Keliling bukit ini cukup panjang, kalau pasukan kita harus mengepungnya maka kepungan itu akan rapuh sekali sebab pasukan kita tidak cukup banyak untuk itu."

"Tadi kenapa Ciangkun agak terlambat menerjunkan pasukan berkuda ke arena?"

Tanya Tamtai Au-kha lagi.

"Andaikata kami diterjunkan lebih pagi, tentu bangsat-bangsat Hwe-liong-pang itu sudah hancur sekarang."

"Sore ini pun mereka sudah hampir hancur, hanya diselamatkan oleh tenggelamnya matahari.."

"...dan juga balok-balok kayu serta batu-batu itu,"

Sambung Muyong Beng gemas.

"Mundur di siang hari atau mundur di sore hari, mereka tetap akan menggunakan benda-benda keparat itu. Lagipula tadinya aku memperhitungkan bahwa cukup dengan pasukan berjalan kaki saja mereka akan bisa digilas habis. Tak terduga ternyata mereka begitu ulet. Kita harus membuat perhitungan yang lebih cermat bila ingin menang."

Ketika diadakan penghitungan kembali pasukan Ui-ih-kun untuk mengetahui seberapa besar kekuatan yang besok masih bisa dikerahkan ke medan, ternyatalah hampir sepertiga dari pasukan berjalan kaki itu sudah gugur atau luka-luka berat sehingga jelas tidak bisa berkelahi lagi.

Selain prajurit-prajurit biasa, hari itu Ui-ih-kun juga telah kehilangan beberapa perwira-perwira berilmu tinggi, atau jagoan-jagoan andalan mereka.

Tong-hai siang- sat (Sepasang Pembunuh dari Laut Timur) Thia Peng dan Thia Hong sudah bertamasya ke neraka, sebab memeka keliru memilih lawan Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong dari Hwe- liong-pang, malahan dua perwira yang membantu merekapun ikut-ikutan mampus.

Hui-tho-koay (Siluman Bungkuk Terbang) Ki Koat agaknya cukup setia kawan dengan rekan- rekannya dari lautan timur itu, meskipun kematiannya melalui tangan yang berbeda, yaitu lewat tangan Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin.

Dari empat jagoan tingkat tinggi yang dibawa Muyong Beng dari Pak-khia itu, tinggal Im-kan-hong-kui To Hok-leng yang nyawanya masih alot, namun orang itu pun kelihatan lesu dan murung, sikapnya tidak tidak segarang kemarin hari.

Di peperangan tadi, nyawanya hampir saja amblas oleh pedang Sebun Him kalau saja ia tidak ditolong oleh beberapa perwira Ui-ih-kun.

Suasana muram bukan hanya di kubu pasukan Ui-ih-kun yang di luar dugaan gagal memperoleh kemenangan, tapi juga meliputi kubu orang-orang Hek-ku-nia.

Di dalam kubu, orang-orang Ki-lian-pay yang berwajah sedih mengerumuni jenazah Ketua mereka, The Toan- yong, yang gugur di ujung tombak Muyong Beng yang lihay.

Orang-orang Kay-pang kehilangan dua orang tokohnya, Pek Siau-thian yang terbunuh oleh Muyong Beng pula, dan Sun Ciok- peng yang terpenggal kepalanya oleh To-hok- leng.

Hwo-liong-pang harus merelakan keper- gian Ui-ki Tongcu (Tongcu Bendera Kuning) Kwa Heng yang berjuluk Tiat-jiau-thb-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi), sementara seorang Tongcu lainnya, Ya-hui-miao (si Kucinu Mala.n) Kwa Teng-siong menderita luka-luka berat sampai tidak bisa bangkit dari pembaringannya.

Namun rata-rata semangat orang-orang Hek-ku-nia itu tetap tinggi, bahkan entah siapa yang mulai, orang-orang itu banyak yang mengikatkan kain merah ke kepala mereka sebagai tanda siap berkorbar.

sampai titik darah terakhir.

Malam itu juga, Siangkoan Hong menunjuk seorang anggota Hwe-liong-pang yang cukup menonjol kepribadiannya dan masih muda pula, baru duapuluh enam tahun, bernama Yu Leng- hoa untuk menduduki jabatan Ui-ki Tongcu agar tidak kosong dengan meninggalnya Kwa Heng.

Yu Leng-hoa dikenal sebagai bekas murid Khong-tong-pay, dan mahir dalam memainkan sepasang Gun-goan-pay (Perisai Berpingggiran Tajam), keberaniannya juga sudah terbukti dalam berbagai peristiwa, sehingga pengangkatannya sebagai Ui-ki Tongcu itu tidak menimbulkan banyak keberatan.

Sedang Hek- ki-tong (Kelompok Bendera Hitam) untuk sementara akan dipimpin oleh Hek-ki Hutongcu (Wakil Tongcu Bendera Hitam) Lamkiong San yang berjulukan Jian-li-hui-eng (Elang Terbang Seribu Li) karena kemahirannya dalam ilmu meringankana tubuh dan berjalan jauh.

Begitulah suasana di Hek-ku-nia, selain yang gugur, di barak itu juga berjajar-jajar mereka yang luka dan perlu mendapatkan perawatan.

Mereka tahu barangkali ada teman-teman mereka yang luka dan tidak sempat dibawa mundur, tertinggal di medan perang, namun dengan menyesal orang-orang Hek-ku-nia tidak bisa mengambil teman-teman mereka itu, sebab sekeliling bukit diawasi dengan ketat oleh prajurit prajurit Ui-ih-kun.

Menurut hukum perang, sebenarnya petugas perawatan orang sakit dari kedua pihak diperkenankan mengambil orang-orang yang terluka tanpa boleh diganggu.

Tapi itu hanyalah berlaku antara prajurit-prajurit, sedang dalam pandangan Muyong Beng, orang-orang Hek-ku- nia itu cuma gerombolan liar yang tidak pantas membicarakan aturan perang segala.

Karena itulah Muyong Beng membiarkan orang-orang Hwe-liong-pang yang tidak sempat dibawa teman-temannya itu, dibiarkannya mati sendiri tanpa belas kasihan sedikitpun.

Dalam suasana murung di Hek-ku-nia itu, Sebun Him dibicarakan orang sebagai "bintang lapangan"

Karena keberhasilannya menandingi To Hok-leng, tokoh golongan hitam yang terkenal kelihaiannya dan keganasan itu.

Tentu saja Sebun Him menjadi sangat bangga mendengar cerita-cerita tentang dirinya itu, dan setiap kali ia berbicara dengan teman-temannya maka tidak lupa ditambah-tambahinya ceritanya sehingga jauh lebih hebat dari cerita yang sebenarnya, tentu saja dengan nada yang "rendah hati".
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Tapi dengan mendongkol Sebun Him melihat bahwa cerita kehebatan dirinya itu sedikitpun tidak menarik perhatian Ting Hun-giok.

Dilihatnya gadis itu malahan sedang duduk di pojok barak, sambil membalut lengan Im Yao yang terluka dalam perang tadi.

Gerutu Sebun Him dalam hatinya.

"Perempuan gila itu agaknya menganggap si bandit Kui-kiong lelaki paling hebat di dunia, lebih dari segala-galanya. Dasar katak dalam sumur. Dalam pertempuran besok pagi, aku akan menunjukkan kehebatanku lebih dari hari ini biar mata semua orang bisa mem- bandingkan apa yang terjadi, siapa aku siapa Im Yao."

Ketika tengah malam tiba, baik pesanggrahan Ui-ih-kun maupun orang- orang Hek-ku-nia berangsur-angsur menjadi sunyi.

Sebagian besar dari orang-orang kedua belah pihak telah mulai tertidur karena kelelahan, kecuali sebagian kecil yang bertugas untuk berjaga-jaga mengawasi keadaan.

Namun di kaki bukit sendiri, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam, begitu cepat dan ringan gerakannya sehingga seperti sesosok hantu gentayangan saja.

Lalu orang itu berdiri termangu-mangu di tengah-tengah bekas ajang pertempuran yang masih berbau darah, meskipun mayat-mayat sudah dikuburkan secara sembarangan di pinggir hutan itu.

Berkali-kali orang itu menarik napas seolah-olah berusaha melemparkan keluar sebuah beban berat yang menekan hatinya.

Terdengar orang itu bergumam sendirian.

"Pakkiong An di Pak-khia tentu tidak melihat sendiri akibat-akibat perang ini, meskipun dia yang memerintahkan serangan ini. Dalam pesta pora di istananya yang indah, diladeni pelayan- pelayan yang cantik-cantik, mana bisa ia membayangkan bahwa di sini banyak yang merintih karena pedihnya luka-luka ?"

Orang itu bukan lain daripada Tong Lam- hou.

si perwira pelarian dari Pak-khia.

Meskipun ia telah memisahkan diri dari rombongan paman kandungnya dan para pendekar lainnya, karena merasa ada perbedaan pendapat dengan mereka, sebenarnya Tong Lam-hou tidak pergi jauh- jauh.

Diam-diam ia terus membayangi rombongan pendekar itu untuk melihat gerak- gerik mereka, kalau perlu mencegah apabila mereka hendak merugikan perdamaian, tidak peduli di antara mereka terdapat paman kandungnya, bibi kandungnya, saudara-saudara sepupunya, adik-adik seperguruan ayahnya dan sebagainya.

Namun yang dilihatnya kemudian malah berbeda.

Bukan para pendekar itu yang mendahului merusak perdamaian, tapi malah pasukan kerajaan, pasukannya Pakkiong An.

Sejak dari Pak-khia, Tong Lam-hou memang sudah tahu bahwa Pakkiong An sangat getol menghasut Kaisar untuk mengeluarkan perintah penghancuran terhadap Hwe-liong- pang, dan sekarang ini Tong Lam-hou tidak dapat memastikan apakah pasukan itu menyerbu karena perintah Kaisar ataukah karena kemauan Pakkiong An sendiri ? Dan apa maksud perkataan Tamtai Au-kha yang didengar oleh Tong Lam-hou beberapa hari yang lalu, yang mengatakan bahwa saat itu gerakan Pakkiong An di Ibukota pasti sudah berhasil? Gerakan apa? Merebut tahta seperti yang didesas-desuskan ? Di tengah dataran yang berumput yang sunyi dan masih berbau darah itu, Tbng Lam-hou duduk termangu-mangu di atas sebungkah batu sambil bertopang dagu dan berpikir keras.

Bagaimana caranya menghentikan pertempuran agar korban tidak berjatuhan lebih banyak lagi ? Baik korban berupa orang orang Hek-Ku-nia maupun yang berupa prajurit-prajurit rendahnn Ui-ih-kun, bagi Tong Lam-hou sama berharganya dan harus dihindari sejauh- jauhnya.

Mereka sama-sama tidak bersalah, yang bersalah adalah biang keladi dari peperangan itu.

Dan biang keladinya berada jauh di Pak-khia sana.

Ketika mata Tong Lam-hou menatap kelap- kelip perapian di perkemahan laskar Ui-ih-kun sana, timbul niatnya untuk berjalan kesana dan menyerahkan diri untuk dibawa ke Kotaraja Pak-khia, bukankah peperangan ini diakibatkan oleh dirinya yang lari dari Pak-khia? Tapi kemudian Tong Lam-hou menggeleng- gelengkan kepalanya, jalan itu tidak menjamin bahwa pasukan Ui-ih-kun ditarik dari kaki bukit itu.

la kenal betul orang-orang macam apa Muyong Beng dan Tamtai Au-kha itu, orang- orang yang belum puas apabila belum mengadakan penghancuran besar-besaran.

Meskipun Tong Lam-hou menyerahkan kedua tangannya untuk dirantai dan digiring ke Pak- khia, tapi Muyong Beng pasti tidak akan membatalkan penghancurannya kepada orang- orang Hek-ku-nia, dengan demikian pengorbanan Tong Lam-hou akan sia-sia belaka.

Orang seperti Mu-yong Beng gemar melihat tumpukan mayat manusia atau aliran darah yang menganak sungai, dan udara perang yang dihirupnya akan membuatnya segar.

Lalu Tong Lam-hou menoleh ke atas bukit di mana terdapat kelap-kelip api pula.

Ataukah dirinya bergabung saja dengan orang-orang Hwe-liong-pang untuk melawan kelaliman Pakkiong An? Tapi dipikir-pikir cara itupun kurang baik.

Jika Hwe-liong-pang bisa mengalahkan Ui-ih-kun, persoalan tidak selesai begitu saja namun malahan akan berkepanjangan, sebab salah-salah Hwe-liong- pang akan dianggap memberontak, sama dengan Jit-goat-pangnya Pangeran Cu Leng-ong dulu, dan hal itu hanya akan memancing lebih banyak pasukan yang dikirim dari Pak-khia untuk menghancurkannya.

Jika pihak Hwe- liong-pang mendapat dukungan pula dari orang-orang anti Manchu yang masih banyak jumlahnya di seluruh negeri, maka benar-benar akan berkobar perang besar seperti di jaman Li Cu-seng dulu.

Siapa menang siapa kalah belum diketahui, tapi sudah jelas bahwa rakyat bakal menjadi korban paling dulu.

Jalan itu jelas tidak dikehendaki Tong Lam-hou yang tiap hari me- mimpikan perdamaian di seluruh negeri, memimpikan persaudaraan sederajat antara Han dan Manchu dan bahkan dengan suku-suku perbatasan lain.

Bagaimanapun juga Hwe-liong- pang berhak membela diri apabila diperlakukan sewenang-wenang, hendak ditumpas begitu saja tanpa tuduhan yang jelas.

Dalam bingungnya, Tong Lam-hou hanya duduk termangu-mangu sekian lama tanpa tahu apa yang mesti diperbuat nya.

Dia adalah seorang laki-laki yang biasanya dapat mengambil sikap tegas dengan cepat, tetapi kali ini hampir semalam suntuk otaknya terasa buntu.

Dan tengah, ia melamun, ia dikejutkan oleh suara kokok-ayam jantan, dan cahaya kemerahan yang merekah di ufuk timur.

"Fajar tiba, pembunuhan besar-besaran akan dimulai lagi,"

Keluh Tong Lam-hou seorang diri, namun tak ada yang mendengarkannya. ''Sementara aku belum menemukan jalan keluarnya."

Karena tidak ingin diketahui oleh kedua belafy pihak yang sama-sama punya kecurigaan terhadap dirinya, maka Tong Lam-hou pun bangkit dari duduknya, dan dengan beberapa kali loncatan saja ia telah menghilang ke dalam hutan.

Sementara di kedua kubu dari pihak yang bermusuhan itu telah terjadi kesibukan masing- masing untuk mempersiapkan diri menghadapi hari yang bakal datang.

Perut diisi dengan kenyang, meskipun barangkali perut itu akan dilubangi oleh pedang musuh di peperangan nanti.

Senjata-senjata disiapkan .

Sebagai prajurit yang cukup terlatih, pasukan Ui-ih-kun dapat mempersiapkan diri dengan cepat.

Pasukan berkuda Tam-tai Au-kha akan ikut bertempur namun tidak dengan kuda-kuda mereka, sebab Muyong Beng memperhitungkan bahwa laskar Hek-ku-nia pasti tidak akan berani menuruni bukit, mereka pasti hanya akan bertahan di atas bukit sambil memanah, melemparkan lembing atau mengguling- gulingkan balok-balok kayu dan batu seperti kemarin.

Dengan demikian maka pihak Ui-ih- kunlah yang harus memahjat naik ke lereng apabila ingin menggempur habis mereka.

Tapi Muyong Beng tidak ingin pasukannya habis ludes di kaki bukit hanya karena balok-balok dan batu-batu, maka ia telah mengatur siasat untuk itu.

Pasukannya dibagi dalam tiga bagian, yang menerjang dari lereng depan justru yang kekuatannya paling kecil, tujuannya tak lain hanya mengalihkan perhatian laskar Hek-ku- nia.

Tapi dua bagian lagi akan menyergap dari lereng utara dan lereng selatan, lereng yang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar sehingga jika musuh menyerang dengan balok-balok kayu dan batu-batu maka prajurit-prajurit akan bisa berlindung.

Selain itu, prajurit-prajurit Ui- ih-kun dipersenjatai dengan panah-panah berapi yang dapat membakar barak Hek-ku-nia yang sebagian besar terdiri kayu dan ijuk itu.

Sebelum hari menjadi terang, kedua pasukan yang akan menyerang dari utara dan selatan itu berangkat lebih dulu supaya gerakan mereka tidak terlihat dari atas bukit.

Di pihak Hek-ku-nia yang dipimpin Tong Wi- hong, gerakan pasukan Ui-ih-kun itu sama sekali tidak mereka duga.

Bagaimanapun cerdasnya Tong wi-hong, dia bukan seorang panglima perang dan cara berpikirnyapun tidak seperti orang yang terdidik dalam ilmu perang.

Dalam hal ilmu silat, boleh jadi dia mengungguli Muyong Beng, namun dalam ilmu mengatur barisan perang jelaslah pendekar Tay-beng itu tidak dapat menandinginya.

Para pendekar selalu berpikir menurut norma-norma persilatan, sementara para panglima perang dapat menggunakan siasat apapun untuk memenangkan pertempuran.

Karena itu, alangkah kagetnya laskar Hek- ku-nia ketika mereka sedang bersiap-siap tahu- tahu pasukan musuh sudah menyerang dari dua arah.

Segera mereka menggulingkan balok- balok kayu dan batu-batu serta melepas panah dan lembing.

Namun kali ini serangan mereka banyak yang gagal, sebab banyak balok kayu dan batu yang tertahan oleh pohon-pohon besar yang banyak tumbuh di lereng utara itu.

Prajurit-prajurit Ui-ih-kun dengan mudah dapat berlindung dibalik pepohonan, bahkan kemudian dengan tidak kalah derasnya mereka membalas dengan panah-panah biasa berujung tajam.

Beberapa prajurit gugur, tapi lebih banyak prajurit Ui-ih-kun yang berhasil mencapai kaki dinding barak yang terbuat dari kayu-kayu besar yang ditanam berjajar rapat di tanah itu.

Dengan kampak-kampak mereka, para prajurit itu mencoba merusak dinding itu.

Sementara itu panah-panah berapi yang dilepaskan telah menimbulkan kebakaran di bagian barak.

Beberapa laskar Hek-ku-nia yang bertahan diatas dinding barak telah terjungkal karena tubuh mereka terpatuk panah atau lembing Ui-ih-kun.

Dan kepanikan itu bertambah-tambah ketika dari arah selatan juga muncul hujan panah berapi, sementara balok- balok dan kayu yang mereka gulingkan tidak banyak membawa hasil karena rapatnya pepohonan, hanya berhasil membunuh beberapa orang prajurit yang terlambat mengambil perlindungan .

Tong wi-hong dan lain-laian pendekar mencoba mengatasi kepanikan itu dengan mengatur perlawanan.

Berteriak-teriak sampai kerongkoanannya hampir jebol, barulah ia berhasil membagi orang-orangnya dengan agak teratur, sebagian memadamkan api, sebagian mengadakan perlawanan.

Sementara itu, Muyong Beng ketika melihat kobaran api dan keributan di atas bukit, segera merasa sudaha tiba waktunya untuk bertindak.

Ia segera pimpin pasukannya untuk menyerbu naik.

Memang ada balok dan batu yang digelundungkan, tetapi tidak segencar kemarin, dan merupakan rintangan yang nyaris tak berarti bagi Muyong Beng dan orang-orangnya itu.

Ia didampingi oleh im-kan-hong-kui To Hok- leng yang memutar kampak besarnya dengan rapat untuk menghalau panah-panah yang tertuju ke tubuhnya.

Bahkan batu-batu sebesar kambingpun kadang-kadang dihantam dengan Tong Wi-hong dan lain-lain pendekar mencoba mengatasi kepanikan itu dengan perlawanan.

kampaknya sehingga terpental beberapa langkah.

Melihat itu prajurit-prajurit Ui-ih-kun menjadi amat bersemangat dan seperti rekan- rekan mereka di utara dan selatan, mereka juga memanah dengan panah berapi.

Bu-gong Hweshio yang berdiri di atas dinding barak di bagian yang diserang Muyong Beng itupun melihat betapa hebatnya kekuatan To Hok-leng, sehingga hwesio yang juga bertenaga besar ini menjadi gatal tangannya.

Diambilnya sebongkah batu sebesar kambing, diangkatnya dengan kedua tangannya sambil mengerahkan, kekuatannya, lalu dilemparkannya ke arah To Hok-ieng Sambil berteriak.

"Orang yang bersenjata kampak, terimalah hadiahku!"

Demikianlah watak ksyatria Bu-gong Hweshio, meskipun dalam peperangan ia tetap memberi peringatan kepada lawannya, sebab batu yang dilontarkannya itu melayang bersama batu-batu yang lain sehingga bisa-tidak terlihat oleh musuh.

To Hok-leng memang terperanjat sekali ketika merasa ada sebutir batu besar melayang ke arahnya dengan suara menderu dan jauh lebih pesat dari batu-batu lainnya.

Jelas pelemparnya adalah orang yang berilmu tinggi.

Namun To Hok-leng merasa malu kalau harus menghindari lemparan itu, maka iapun memasang kuda-kuda dengan kaki yang kokoh, lalu dengan mengerahkan tenaganya pula ia mengayunkan kampaknya untuk menangkis batu istimewa itu.

Kekuatan si pelempar batu maupun penerimanya memang hebat, sehingga batu itulah yang tidak sanggup menahannya.

Batu itupun pecah berkeping-keping menjadi gumpalan-gumpalan kecil sebesar kepala kambing.

Meskipun kuda-kuda To Hok-leng agak tergempur dan dadanya terasa agak nyeri, tapi tak urung keberhasilan To Hok leng itu memancing sorakan gemuruh dari prajurit- prajurit Ui-ih-kun.

Lalu gembong golongan hitam itu meletakkan kampaknya dan iapun memungut sebutir batu yang hampir sama besarnya dengan "hadiah"

Bu-gong Hweshio tadi, dikerahkannya tenaganya dan sekejap kemudian batu itupun melesat ke arah Bu-gong Hweshio yang berdiri di atas dinding barak itu. Deru angin dahsyat menyertai luncuran batu itu.

"Pendeta busuk, terimalah balasanku!"

Teriak To Hok-leng.

Bu-gong Hweshio ketika melihat itu timbul niatnya untuk memamerkan kelihaiannya untuk membangkitkan semangat laskarnya.

Ia terkenal dengan ilmu Jian-kin-cun-tui (Palu Sikut Seribu Kati)nya, maka disingsingkannya lengan baju kanannya dan dengan siku tangan kanannya ia menyambut luncuran batu besar itu.

Bukan dengan senjata Hong-pian-jan yang malahan diletakkan disampingnya.

Dan terbelalaklah mata To Hok-leng dan prajurit- prajurit Ui-ih-kun ketika melihat batu itu pecah menjadi kepingan-kepingan kecil, lebih kecil dari kepingan-kepingan yang terkena kampak To Hok-leng, sehingga orang bodohpun bisa menyimpulkan bahwa kekuatan Bu-gong hweshio setingkat lebih tinggi dari To Hok-leng.

Apalagi Bu-gong Hweshio hanya menggunakan siku tangan sedang To Hok-leng menggunakan kampak besar.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kekalahan kemarin dari Sebun Him masih terasa memberati hati To Hok leng, dan kini sekali lagi ia melihat ada orang lain yang selihai itu.

Diam-diam semangatnya merosot lagi beberapa bagian namun tidak diperlihat kaanyaa di depan Muyong Beng.

Meskipun secara perorangan, barangkali tokoh-tokoh di Hek-ku-nia lebih lihai dari prajurit-prajurit Ui-ih-kun, tapi jumlah yang banyak ikut mempengaruhi juga.

Pasukan Ui-ih- kun yang terus menyerbu seperti semut itu tidak tertahan seluruhnya hanya dengan panah dan lembing, apalagi karena balok-balok kayu dan batu-batu besar di pihak Hek-ku-niapun habis persediaannya.

Maka prajurit Ui-ih-kun semakin berhasil mendekati dinding barak yang hanya terbuat dari kayu itu.

Beberapa prajurit bertubuh kuat segera menggunakan kampaknya untuk merusak pintu gerbang vang tertutup rapat itu.

Mendobrak pintu gerbang dengan cara biasanya, yaitu dengan mengangkat sebatang balok kayu besar yang beramai ramai dibawa lari dan disodokkan ke daun pintu, tidak mungkin dilakukan, sebab jalan di harapan pintu gerbang itu tidak lurus dan tinggi rendahnya-pun tidak rata sehingga tidak mungkin ancang-ancang dapat dilakukan.

Dari atas pintu gerbang, Bu-gong Hweshio serta beberapa tokoh lainnya dengan cemas melihat betapa prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu semakin berhasil merusak pintu.

Bu-gong Hweshio tidak sabar lagi, tanpa menunggu perintah lagi, tiba-tiba ia berkata.

"Biar? aku cegah kawanan kuku garuda itu merusak pintu sebelum semuanya terlambat !"

Habis berkata demikian tubuhnyapun melompat ke bawah sambil memutar senjata Hong-pian-jannya.

Perbuatan yang sungguh mengejutkan rekan-rekannya di atas dinding, sebab Bu-gong Hweshio sama saja dengan menerjunkan dirinya ke tengah-tengah ribuan prajurit musuh.

Dua pendeta Siau-lim-pay lainnya, Bu-sian dan Bu-teng Hweshio yang masing-masing bersenjata toya besi itu, tidak membiarkan saudara seperguruan mereka mengadu nyawa seorang diri di bawah sana.

Maka bagaikan burung-burung garuda yang perkasa dan menyambar dari langit, merekapun berturut- turut menerjunkan diri ke bawah dinding.

Turunnya Bugong Hweshio serta kedua saudara saudara seperguruannya keluar dinding itu tidak sempat dicegah oleh orang- orang di atas dinding, dari atas dinding ilu mereka melihat bagaimana ketiga rahib itu sudah mulai memutar senjata masing-masing untuk menghajar prajurit-prajurit yang mencoba merusak pintu.

Namun prajurit- prajurit itupun segera dilindungi oleh teman- teman mereka, sehingga bertempurlah mereka.

Bu-gong Hweshio sambil menggeram marah segera menyerang Muyong Beng yang bersenjata tombak panjang itu.

Keduanya segera berkelahi dengan sengit di depan pintu gerbang.

Bu-sian dan Bu-teng Hweshio juga telah memutar toyanya masing-masing untuk menyerbu ke tengah-tengah "lautan"

Prajurit musuh, seperti dua ekor singa terluka menerjang kawanan kambing. Orang-orang di atas dinding itu menggeleng- gelengkan kepala melihat tandang ketiga saudara seperguruan dari siau-lim-pay itu. Salah seorang bergumam.

"Siau-lim-pay dianggap sebagai kubangan naga dan gua harimau, kiranya bukan omong kosong belaka. Tiga orang muridnya inipun bukan saja berilmu tinggi tetapi juga bernyali besar."

Orang yang berdiri di sebelahnya menyahut.

"Wah, Bu-sian dan Bu-teng Hweshio itu dalam pergaulan sehari-hari nampak lemah lembut dan tidak kelihatan kegarangannya sama sekali, tapi kini lihatlah, mereka bisa mengamuk sehebat itu "

"Apakah akan kita laporkan kepada Tong Tay-hiap ?' "Tidak usah, biar akupun terjun ke bawah."

Kedua orang yang bercakap-cakap itu menoleh kepada orang yang menyahut itu, dan ternyata adalah Lam-ki Tongcu In Yong.

"Maksud In Tongcu bagaimana ?"

"Daripada terkepung di dalam barak yang sudah terbakar, lebih baik kita mencoba menerjang keluar selagi masih ada kesempatan,"

Sahut In Yong.

"Siapa ikut aku ?"

"Aku, saudara In,"

Seseorang menyahut.

Dialah Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng dari Hoa-san-pay.

Maka kedua orang itupun terjun ke bawah, menggabungkan diri dengan Bu-gong Hweshio bertiga untuk mempertahankan pintu gerbang yang hendak di-rusak dari luar itu.

Waktu itu keadaan dalam barak memang semakin merepotkan, api menyala di mana- mana sehingga orang-orang yang terluka terpaksa diungsikan ke sebuah lapangan luas di tengah barak yang tidak terjangkau api.

Tetapi dinding barak sebelah utara sudah berhasil dirobohkan oleh prajurit kerajaan dan merekapun membanjir masuk seperti air menjebol bendungan, di bawah pimpinan Tamtai Au-kha.

Pertempuran jarak pendek segera berkobar di jalan-jalan, di lorong-lorong, di sela sela bangunan barak itu.

Nampaklah Tong Wi-hong didampingi oleh isterinya, kedua puteranya, iparnya, adik perempuannya dan juga Ting Hun-giok serta Im Yao, gigih membendung gelombang serangan musuh itu.

Namun karena jumlah musuh yang amat banyak maka merekapun terdesak mundur selangkah demi selangkah, meskipun merekapun berhasil membabat puluhan prajurit musuh.

Bertempur berdampingan dengan ayah ibunya serta pamannya, apalagi kekasihnya, maka Ting Hun-giok bersemangat sekali.

Tapi bagaimanapun bersemangatnya dia harus tetap bergeser mundur terus.

Saat itu datanglah Ui-ki Tongcu Hwe-liong- pang yang baru saja diangkat kemarin malam, Yu Leng-hoa bersama Pek-ki Tongcu Oh Yun- kim yang langsung saja menerjunkan diri ke arena.

Di belakang mereka ikutlah puluhan pejuang yang campur aduk terdiri dari orang- orang Hwe-liong-pang, Jing-liong pang, Kay- pang, Ki-lian-pay dan berbagai golongan lainnya yang juga langsung menerjunkan diri tanpa kenal takut.

Semuanya memakai secarik kail merah untuk mengikat kepala mereka, menandakan tekad mereka untuk bertempur sampai titik darah penghabisan.

Boleh gugur tapi harus membawa korban sebanyak- banyaknya dari pihak musuh.

Di pihak musuh, Tamtai Au-kha si peranakan Mongol-Manchu yang terkenal keganasannya di medan perang sehingga sering dijuluki Kui-sim Ciang-kun (Kepala Perang Berhati Iblis) itu, membuktikan bahwa julukannya tidak keliru.

Dengan pedang yang sudah merah oleh darah lawan-lawannya, ia memimpin orang-orangnya untuk mendesak terus, berapapun korban di pihak lawan atau kawan tidak dipedulikannya.

Ia sendiri mendapatkan kegembiraannya dengan mengayunkan pedangnya kesana kemari.

Tapi "kegembiraan"

Si panglima berhati iblis itu terhenti ketika di hadapannya muncul seorang anakmuda yang tanpa tanya apa-apa lagi langsung menikamkan pedangnya ke leher Tamtai Au-kha.

"Siapa kau, anakmuda? Nampaknya kau bukan orang sembarangan!"

Bentak Tamtai Au- kha sambil memiringkan tubuhnya untuk mengelak tikaman itu.

Tapi anakmuda itu dengan kelincahan seekor burung walet telah melejit ke samping dan pedangnyaapun ikut menebas ke samping dengan gerakan yang lincah tapi mantap.

Sambil menjawab.

"Tong Hoa-tiong, putera Tong Wi- hong dari Tay-beng!"

"Oh, kau puteranya si pemberontak itu?Baik, aku akan meringkusmu sekalian!"

Keduanya segera bergebrak sengit di tengah- tengah hiruk-pikuknya ratusan orang yang berkelahi serta suara gemeretaknya barak yang tengah di makan api.

Meskipun usia Tong Hoa- tiong masih muda, namun kemantapan ilmu pedangnya ternyata boleh juga, berkat gemblengan ayahnya sejak ia masih kecil.

Gerakannya mantap, lengannya kokoh kuat namun pergelangan tangannya justru lemas sehingga mampu menggerakkan pedang seperti seekor ular yang membelit-belit licin, tapi di lain saat sang ular berubah menjadi seekor burung walet yang lincah beterbangan.

Tamtai Au-kha harus bekerja keras untuk menghadapi anakmuda dari Tay-beng ini.

Waktu itu, keadaan sudah sangat kacau sehingga kedua belah pihak tidak lagi menggunakan bentuk-bentuk barisan perang yang tersedia di buku-buku ilmu perang.

Semuanya berkelahi dimana saja mereka bertemu dengan musuh.

Bahkan orang-orang yang terluka tetapi masih dapat berdiri, telah memegang senjata dan siap menantikan mu- duh meskipun musuh belum sampai ke tempat mereka.

Pasukan Ui-ih-kun membanjir masuk dari dinding-dinding barak yang berhasil mereka rusakkan dari utara dan selatan.

Orang-orang Hek-ku-nia bertahan gigih di dalam barak, meskipun mereka jumlahnya kalah jauh namun dengan semangat tempur yang menyala-nyala mereka tidak gampang dikalahkan.

Untuk mengalahkan mereka, agaknya pihak Ui-ih-kun harus mengadakan pengorbanan besar-besaran dari prajurit mereka.

Siangkoan Hong tokoh paling tinggi kedudukananya dalam Hwe-liong-pang saat itu, kelihatan mengamuk dengan hebatnya.

Dapat dikatakan bahwa setiap gerakan yang dilancarkan dengan kaki atau tangannya tentu merobohkan, seorang musuh.

Sepuluh gerakan, sepuluh musuh pula yang roboh.

Gerakannya terlalu cepat untuk diikuti mata prajurit- prajurit musuh, dan setiap sentuhan ujung kaki atau tangannya akan berarti remuknya tulang- tulang di bagian badan yang tersentuh itu.

Maka porak-porandalah pasukan Ui-ih-kun yang diterjang olehnya.

Namun prajurit musuh terus membanjir datang tak habis-habisnya.

Ilmu silat yang bagaimanapun saktinya yang pernah diciptakan manusia, tidak ada yang bisa digunakan untuk melawan kerubutan ribuan manusia.

Karena itulah Siangkoan Hong lama kelamaan terasa kelelahan juga.

Bahkan ia mulai menggunakan ilmunya yang disebut Jit- mo-tiau-goat-sin-hoat (Ilmu Sakti Tujuh Hantu Menyembah Kem-bulan) warisan Bu-san-jit-kui.

Terdengar mulutnya menggumamkan mantera aneh dalam bahasa yang aneh pula, lalu prajurit-prajurit musuh kebingungan melihat tubuh Siangkoan Hong tiba-tiba terpecah menjadi tujuh sosok yang semuanya bergerak sendiri-sendiri secara berlain-lainan.

Yang enam adalah bayangan semua dan yang asli hanya satu, namun tidak mudah membedakan yang asli dan yang palsu.

Kadang-kadang seorang prajurit menikam sosok tubuh "Siangkoan Hong"

Yang didekatnya, namun yang ditikam-nya itu ternyata tembus seperti segumpal asap saja, dan Siangkoan Hong yang asli dengan mudah menghantam kepalanya dari belakang.

Tapi Siangkoan Hong sendiri tidak lengah, andaikata tombak dan pedang para prajurit musuh itu benar-benar mengenai tubuhnya, maka kulitnya akan robek benar-benar, sebab ia tidak menguasai ilmu kebal.

Di sini terlihatlah bahwa keluarnya ilmu Jit-mo-tiau-goat-sin-hoat itu karena Siangkoan Hong benar-benar sudah terdesak, sehingga ia perlu menggunakan ilmu gaibnya itu untuk membingungkan lawannya.

Di bagian lain, pewaris Bu-san-jit-kui lainnya, Lim Hong-pin, juga sudah melakukan hal yang sama.

Tujuh bayangan tubuhnya berkelebatan menyambar-nyambar musuhnya, menjatuhkan banyak korban tetapi toh prajurit musuh terus membanjir- seperti kesetanan.

Sementara itu, pertempuran di bagian depan gerbang yang tertutup, antara Bu-gong Hweshio dan beberapa rekannya yang mencoba menghadang prajurit prajurit musuh yang mencoba merusak pintu gerbang, masih berlangsung sengit sekali.

Rata-rata pakaian Bugong, Bu-sian, Bu-teng Hweshio serta In Yong dan Auyang Seng berlima sudah kotor, oleh darah.

Bukan darah musuh saja namun juga darah mereka sendiri karena luka-lukanya.

Tapi mereka berlima masih saja mengamuk hebat, membabat siapa saja yang berani mendekati ke arah mereka.

Bu-gong Hweshio nampaknya berhasil mendesak Muyong Beng.

Namun apa artinya kemenangan seorang atas seorang lainnya dalam pertempuran besar-besaran, macam itu? Bu-gong Hweshio hanya berharap bila ia berhasil membunuh Muyong Beng maka pasukannya akan kocar-kacir kehilangan pimpinan.

Perhitungan yang terlalu sederhana dari seorang pendekar rimba persilatan yang sama sekali tidak tahu seluk-beluk peperangan .

Lagipula Muyong Beng bukan seorang yang berilmu silat rendahan, namun memiliki ilmu tombak yang cukup berbahaya dan dikuasainya dengan baik.

Waktu itu, laskar Hek-ku-nia yang berdiri di atas dinding sudah tidak nampak lagi.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Semuanya sudah dikerahkan ke bawah untuk melawan musuh yang jauh lebih banyak.

Sedangkan prajurit-prajuritnya Muyong Beng yang bertugas merusak pintu itupun sudah berhasil membuat lubang besar dengan kampak-kampak mereka.

Maka dengan dahului oleh perwira-perwira berilmu silat tinggi yang memegang perisai di depan tubuh mereka, merekapun menyerbu masuk lewat lubang itu.

Di antara mereka terlihat To Hok-leng ikut menerobos masuk.

Pertempuran baru segera berkobar di balik pintu gerbang yang dengan sia-sia sudah dicoba untuk dipertahankan oleh Bu-gong Hweshio berlima itu.

Begitu berada di dalam, kampak besar To-hok-leng kembali terayun menyebarkan irama maut dan beberapa korbanpun jatuh bergelimpangan.

Tapi ia tidak bisa mengumbar nafsu haus darahnya sepuas hati, sebab ia bertemu lagi dengan musuhnya yang kemarin juga.

Sebun Him, si pendekar muda bertangan kidal dari Hoa-san-pay yang sedang getol-getolnya mengangkat nama besar buat dirinya sendiri.

Di tangan kirinya tergenggamlah pedangnya yang lebih besar, lebih tebal dan lebih panjang dari pedang ukuran biasanya, sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar.

"Kemarin pertempuran kita terlalu singkat waktunya sehingga aku tidak sempat memenggal kepalamu,"

Kata Sebun Him dingin.

"Sekarang akan kutuntaskan pekerjaanku yang kemarin belum Belesai."

Hati To Hok-leng bergetar karena kemarin ia sudah merasakan betapa lihainya anakmuda itu.

Tapi di hadapan sekian banyak kawan maupun lawan, sudah tentu To Hok-leng sebagai gembong golongan hitam terkenal tidak sudi menunjukkan rasa takutnya kepada Sebun Him yang munculnya di dunia persilatan belum genap setahun itu.

Tanpa banyak bicara lagi, ia segera melompat ke depan dengan jurus Hek- hau-tiau-kan- (Macan Hitam Meloncati Parit) di mana mata kampaknya menebas tegak ke dada Sebun Him.

Ketika Sebun Him meloncat mundur maka ia lanjutkan dengan Hek-hou-teng-san (Macan Hitam Naik ke Gunung), dengan tubuh setengah berjongkok ia gerakkan kampaknya untuk menebas leher lawan dari bawah ke atas.

Tapi lagi-lagi Sebun Him dapat mengelakkannya dengan loncatan pendek, dan detik berikutnya pedang Sebun Himlah yang bergulung melibat lawannya.

Meskipun semangat tempur To Hok-leng tidak sebesar kemarin, tetapi kalau sudah menyangkut urusan keselamatan nyawa, terpaksa iapun mempertahankan dirinya dengan sungguh-sungguh.

Tapi ia sadar bahwa Sebun Him benar-benar merupakan lawan yang sulit diatasinya.

Dalam pertempuran- pertempuran sebelumnya, dengan mengandalkan tenaga besarnya dia selalu berusaha membenturkan senjatanya ke senjata lawan agar kedudukan lawan rusak.

Namun kali ini ia tidak bisa berbuat demikian, sebab itu sama saja dengan mencari penyakit.

Sedang dalam hal kecepatan gerakpun dia ternyata kalah dari lawannya yang muda itu, sehingga dalam beberapa puluh jurus saja ia sudah terdesak oleh Sebun Him.

Tapi gambaran pertempuran Sebun Him dengan To Hok-leng itu bukan gambaran yang mewakili medan perang secara keseluruhan.

Di bagian manapun, laskar Hek-ku-nia terdesak mundur setapak demi setapak, meskipun mereka sudah bertahan sekuat tenaga, dan para pendekar berilmu tinggipun sudah mengerahkan segenap kemahiran mereka masing-masing.

Namun untuk maju setapak demi setapakpun pihak Ui-ih-kun harus berjuang maha keras, setiap jengkal tanah mereka rebut dengan berpuluh-puluh korban di pihak mereka.

Dimedan sebelah timur, Tong Wi-hong dan lain-lainnyapun sudah terdesak sehingga dari semua arah laskar Hek-ku-nia bagaikan "digiring"

Ke tengah barak untuk dimusnahkan di situ.

Dalam hiruk-pikuknya pertempuran hebat itu, Ting Hun-giok telah terpisah dari rombongan ayah ibunya, pamannya dan saudara-saudara sepupunya.

Seorang diri ia terjebak di sebuah lorong, kiri kanannya adalah barak-barak yang sudah terbakar, sementara dari depan dan dari belakang prajurit-prajurit musuh terus menyerbu.

Sambil mengertak gigi, gadis itu memutar goloknya yang sudah berwarna merah darah itu, belasan musuh sudah dirobohkannya.

Tapi gadis itupun mulai kelelahan, keringat membasahi seluruh wajah dan tubuhnya, sementara tangannya yang memegang golok mulai terasa pegal-pegal dan gerakannyapun tidak mantap lagi, sementara musuh kelihatannya.

tidak semakin berkurang tetapi malahan semakin banyak.

Yang membuat Ting Hun-giok merasa ngeri bukanlah kematian, bahkan andaikata tubuhnya tercincang hancur sekalipun, melainkan ketika melihat sikap prajurit-prajurit yang mengepungnya itu sangat kurang ajar.

Yang terancam bukan cuma nyawanya tetapi juga kehormatannya.

"Jangan lukai, tangkap dia hidup-hidup! teriak seorang perwira setengah tua yang hidungnya merah dan matanya berair, menandakan orang yang memanjakan nafsunya.

"Dia masih perawan dan tentu lebih hebat mainnya dari perempuan di kota Wan-cuan dulu!"

Prajurit-prajurit lainnyapun tertawa-tawa sambil mengeluarkan kata-kata cabul yang memerahkan telinga Ting Hun-giok.

Namun prajurit-prajurit itu juga harus berhati-hati sebab di tangan Ting Hun-giok masih ada sebatang golok yang salah-salah bisa menggorok leher mereka.

Ada dua rekan mereka yang mampus tersambar golok ketika mencoba merayu gadis itu.

Sementara itu Ting Hun-giok bisa mengertak gigi dengan geram sambil melawan mati- matian.

Jika menuruti perasaan kewanitaannya, tentu ia ingin menangis dan menjerit sepuasnya untuk melampiaskan kepepatan hatinya, tapi ia mengerti bahwa jika ia berbuat demikian maka lawan-lawannya akan semakin senang menggangunya.

Karena itulah Ting Hun-giok bertekad melawan mati-matian, kemudian jika sudah tidak sanggup melawan lagi barulah ia akan menggigit lidahnya sendiri sampai mati.

Lebih baik mati daripada tubuhnya dijadikan sasaran pesta pora prajurit-prajuritnya Pakkiong An itu.

"Kuda betina ini agak binal juga, thongleng (tuan perwira)!"

Teriak seorang prajurit sambil menangkis golok Ting Hun-giok dengan perisainya.

"Aku justru senang, semakin binal akan semakin mengasyikkan untuk menungganginya !"

Sahut perwira berhidung merah itu. Namun kemudian tempa. itu digetarkan teriakan kesakitan dari prajurit yang menyebut Tong Hun-giok dengan sebutan.

"kuda b|tina"

Tadi.

Sebab di saat perisainya menangkis golok gadis itu dari atas, maka tanpa terlihat tahu- tahu kaki Ting Hun-giok sudah melayang dan mendarat keras di antara kedua pahanya sampai mengeluarkan suara berdetak keras.

Dalam hal ilmu menendang, Ting Hun-giok sudah mendapat gemblengan ibunya yang ahli dalam soal menendang itu, sehingga tendangannya kali inipun langsung membuat prajurit itu terjungkal dengan wajah pucat.

Entah hanya pingsan entah langsung mampus, tapi Ting Hun-giok tidak sempat memperhatikannya sebab sebatang tangkai tombak telah melayang dari samping menghantam pundaknya sehingga gadis itu sempoyongan.

Agaknya prajurit itu sengaja tidak menggunakan ujung tombaknya, karena ia hanya ingin menangkapnya hidup-hidup.

Di saat itulah seorang prajurit lainnya juga mengambil kesempatan untuk menendang pergelangan tangan kanan Ting Hun-giok, sehingga golok gadis itu terpental lepas dari tangannya.

Lalu dengan tangan kiri ia siap melumpuhkan gadis itu dengan tangan kirinya yang dipukulkan ke tengkuk.

Namun tiba-tiba terdengar bentakan dahsyat menggertakkan tempat itu.

"Tahan !"

Bukan, bentakan yang asal keras saja, namun mengandung perrbawa yang berat sehingga membuat hati prajurit-prajurit itu tergoncarg, bahkan beberapa orang sampai ciut nyalinya.

Itulah ilmu Sau-cu-hau (Geraman Harimau).

Prajurit yang hampir berhasil memukul Ting Hun-giok pada tengkuknya itupun tak terasa membatalkan tindakannya, sehingga memberi kesempatan kepada Ting Hun-giok untuk menjotoskan kepalanya ke pingggang dengan gerakan Hek-hou-tou-sim (Macan Hitam Mencuri Jantung), sehingga prajurit itu terjungkal pingsan.

Kini semua mata menoleh ke arah asal suara bentakan itu, dan tidak peduli mata Ting Hun- giok maupun mata para prajurit itu sama-sama terbelalak karena hampir tak percaya akan apa yang mereka lihat.

Beberapa prajurit mengucak- ucak matanya, namun yang dilihatnya itu memang kenyataan dan bukan gambaran semua saja.

Di antara kobaran api yang dahsyat yang tengah menelan sebuah barak itu, nampak sesosok tubuh berpakaian serba hitam dengan kedok hitam pula yang menutupi separuh mukanya, berdiri di tengah-tengah kobaran api namun tak terjilat oleh api.

Dari tempatnya berdiri, sejauh dua tombak keliling api padam dengan sendirinya seolah tak dapat mendekati tubuh orang berpakaian serba hitam itu.

Orang yang melihatnya jadi kebingungan entah berhadapan dengan malaikat atau siluman ? Orang berpakaian seba hitam itu lalu melangkah keluar dari tengah-tengah korban api itu dengan tenangnya seperti berjalan di taman bunga saja, dan api yang berkobar padam sendirinya jika ia melewati tempat itu, bahkan baranya yang menyalapun padam seperti disiram air.

Setelah orang itu cukup dekat dengan Ting Hun-giok dan prajurit-prajurit itu barulah terasa bahwa dari tubuh orang itu ternyata memancarkan hawa yang begitu dinginnya sampai mengatasi kobaran api, sehingga di mana dia lewat maka ia mampu menindas kobaran api dengan hawa dingin di tubuhnya itu.

Jelaslah orang ini memiliki ketinggian ilmu yang bukan main-main, udara dingin dari tubuhnya itu apabila dipancarkan dengan pukulan akan sanggup membekukan seluruh cairan dalam tubuh sasarannya termasuk darahnya, dan tentu saja si korban akan mampus seketika.

Dengan tajamnya orang berkedok itu menatap para prajurit, dan berkata dingin.

"menyingkir, supaya aku tidak perlu bertindak keras dengan membuat kalian mati beku di tempat ini."

Prajurit-prajurit itu banyak yang berasal dari Pak-khia, sehingga samar-samar merekapun dapat mengenali bentuk tubuh maupun suara orang berkedok hitam itu. Si perwira setengah tua berhidung . merah itu dengan suara gemetar berkata.

"Kau...kau..........Tong Congpeng ?"

Orang berkedok itu tertegun, kedoknya agaknya tidak dapat menyembunyikan diri sepenuhnya dari pandangan mata prajurit- prajurit itu, karena di Pak-khia dia adalah seorang yang memiliki ketenaran sejajar dengar Pakkiong Liong, Panglima Hui-liong-kun.

Akhirnya orang berkedok itupun merenggut kedoknya dari wajahnya, dan ternyata dia memang Tong Lam-hou.

Kepada prajurit-prajurit di hadapannya itu.

Tong Lam-hou berkata setengah membujuk setengah mengancam.

"Saudara-saudara, mengingat akupun bekas prajurit kerajaan seperti kalian, aku tidak akan membunuh kalian apabila kalian cukup tahu diri untuk menyingkir dari sini."

Para prajurit itu tahu benar bagaimana dahsyatnya Tong Lam-hou di medan perang, beritanya sampai mengguncangkan seluruh negeri.

Namun untuk mundur begitu saja, para prajurit itu-pun takut dihukum oleh atasannya.

Kata perwira berhidung merah itu sambil memberi hormat.

"Tong Congpeng, kau bekas seorang prajurit sehingga kau tentu tahu pula bagaimana kewajiban seorang prajurit terhadap tugas yang diletakkan di pundaknya. Gugur demi kerajaan yang besar ini akan menjadi kebanggaan kami."

Tong Lam-hou tertawa dingin.

"Kalian di sini bukan gugur demi Negara dan Kaisar, melainkan demi Pakkiong An si tua bengek itu. Ia mengorbankan ribuan prajurit macam kalian di medan perang hanya untuk memuaskan nafsu kemarahan atas kematian anaknya, Pakkiong Hok. Dan selama kalian mengadu jiwa di sini, di Pak-khia sendiri Pakkiong An sudah merebut kekuasaan pemerintahan. Dan kalian tidak usah mengharap tanda jasa apapun untuk bahaya yang kalian tempuh di sini, yang akan menerima tanda jasa adalah Muyong Beng, Tamtai Au-kha dan sebagainya sementera banyak isteri kalian menjadi janda, anak-anak kalian menjadi kelaparan dan menanyakan ayahnya, tapi sudikah Pakkiong An memperhatikan hal itu ?"

Para prajurit itu termangu-mangu merasakan kebenaran kata-kata Tong Lam hou yang betapapun adalah bekas orang yang mereka hormati di Pak-khia, biarpun berbeda pasukan. Sementara Tong Lam-hou berkata lebih lanjut.

"Aku tahu kalian akan menang dalam perang ini. Tapi kalian lihat bagaimana orang orang Hwe-liong-pang itu melawan? Meskipun kalian menang tapi bangkai kalian akan bertumpuk-tumpuk memenuhi bukit ini, yang pulang ke Pak-khia barangkali hanya seperlima dari kalian. Orang-orang Hwe-liong- pang boleh saja merasa berharga karena kematian mereka demi mempertahankan cita- cita dan pendirian mereka. Tapi kalian? Kalian bukan pahlawan, tapi mati konyol karena ditipu Pakkiong An dan hanya memenuhi nafsu serakah panglima tua yang gila kekuasaan itu !"

Dengan ucapan-ucapannya itu Tong Lam- hou memang berhasil mematahkan se mangat prajurit-prajurit itu. Maka perwira berhidung merah itu segera memberi hormat kepada Tong Lam-hou secara ketentaraan, sahutnya.

"Ucapan Congpeng memang benar, kami hanyalah seperti kayu-kayu kering yang dilemparkan ke dalam api, sementara dia. sendiri enak-enak di Pak-khia bermain kekuasaan. Terima kasih, Congpeng, aku mohon diri."

Maka prajurit-prajurit itupun mengeloyor pergi.

Mereka masih ikut bertempur di bagian lain, namun hanya dengan setengah hati dan lebih banyak cari selamat saja.

Mereka masih ingin pulang kembali kepada keluarga mereka dengan badan utuh dan nyawa masih menempel di badan.

Ucapan Tong Lam-hou masih saja terngiang-ngiang di telinga .

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, Ting Hun-giok bersyukur sekali dengan kedatangan Tong Lam-hou yang menolongnya dari malapetaka itu.

Ia menganggukkan kepala dengan agak canggung, dan berkata.

"Terima kasih atas pertolongan Cong-peng eh...piau-ko (kakak misan)!"

Tong Lam-hou tersenyum melihat kecanggungan gadis itu, tadi ia sudah menyaksikan keberanian dan kebandelan gadis itu dan itu mengingatkannya kepada seorang gadis Manchu adik sepupu Pakkiong Liong di Pak-khia sana, yang mirip betul dengan adik sepupunya ini.

Pakkiong Liong sering dibikin pusing oleh adik sepupunya itu, mungkinkah sekarang ia juga akan mengalami nasib sama dengan sepupunya itu, mungkinkah sekarang ia juga akan mengalami nasib sama dengan sahabatnya di Pak-khia i-tu ? Sahut Tong Lam-hou.

"Sudahlah, jangan seperti terhadap orang lain kita kan bersaudara. Yang penting, segeralah bergabung dengan ayah-ibumu dan paman serta bibimu, dan lebih berhati-hati, mengerti ?"

"Piau-ko sendiri hendak ke mana, kalau tidak bergabung dengan kami?"

Tanya Ting Hun-giok.

"Paman Wi-hong sudah menerangkan kepada sekalian pendekar tentang pendirianmu yang menginginkan perdamaian dengan bagsa Manchu itu, dan nampaknya bisa diterima. meskipun kemudian suasana dirusak oleh kedatangan pasukan kerajaan yang hendak membantai kami ini."

Sahut Tong Lam-hou.

"A-giok, pasukan ini tidak diperintahkan oleh Sri Baginda Khong-hi melainkan hanyalah pokal Pakkiong An sendiri. Bahkan menurut perhitunganku, saat ini SeriBaginda di Pak-khia malahan juga sedang dibahayakan oleh pokal Pakkiong An yang memang sudah lama ingin mendongkel Sri Baginda dari singgasananya. Tolong kau sebarkan keterangan ini terhadap teman- temanmu. Nah, pergilah, aku masih harus berkeliling seluruh arena untuk mencoba mengundurkan pasukan Pakkiong An."

"Baik, piau-ko, apakah piau-ko akan membabat mereka dengan ilmu udara dinginmu yang hebat itu ?"

"Itu hanya senjata terakhir. Manusia dikaruniai mulut dan akal budi untuk menyelesaikan segala persoalan dengan damai lebih dulu, meskipun ke dada karunia itu jarang digunakan. Manusia lebih sering menggunakan pedang lebih dulu, baru mulutnya. Aku kalau bisa ingin membujuk prajurit-prajurit musuh agar mereka jangan mau dikorbankan demi nafsu berkuasa Pakkiong An. Kalau tidak mau kunasehati, barulah kuhunus pedangku."

"Jadi piau-ko akan bertempur di pihak kami melawan tentara Man...eh tentara Pakkiong An?"

"Benar,"

Sahut Tong Lam-hou, dan bersamaan dengan selesainya kata-katanya itu tubuhnya telah melayang pergi.

Kobaran api yang menjilat langit dan panasnya bukan kepalang itu diterjang begitu saja seolah tidak ada apa-apanya.

Ting Hun-giok menatap kakak sepupunya itu dengan kekaguman melihat kesaktiannya, sambil bergumam sendirian.

"Piau-ko begitu lihai namun tingkah lakunya begitu lembut dan mengagumkan, berbeda dengan Sebun Him yang meskipun lihai namun bukan main sombongnya ."

Sementara itu, Tong Lam-hou benar-benar mengelilingi arena pertempuran itu.

Apa yang dilakukannya adalah sama dengan yang dilakukan di tempat ia menemui Ting Hun-giok tadi.

Diyakin-kannya para prajurit dan bahkan para perwira bahwa tidak ada gunanya membuang nyawa untuk Pakkiong An di bukit terpencil ini, sementara Pakkiong An sendiri bukan seorang yang menghargai hasil kerja bawahannya.

Di satu bagian Tong Lam-hou berhasil, tapi di lain bagian ia bertemu dengan prajurit prajurit atau perwira-perwira yang setia kepada Pakkiong An sampai ke tulang sungsumnya, sehingga terhadap diri mereka itu tidak ada jalan lain bagi Tottg Lam-hou kecuali bertindak keras.

Namun secara keseluruhan, kemunculan Tong Lam-hou itu mempengaruhi medan perang.

Sebagian prajurit yang telah mendengar ucapannya menjadi setengah hati dalam bertempur, asal mempertahankan hidup saja, sementara sebagian lainnya kehilangan dukungan teman-temannya.

Maka desakan pasukan Ui-ih-kun yang tadinya terasa berat hampir tak tertahankan oleh pihak Hwe-li-ong- pang dan teman-temannya itu, tiba-tiba terasa mengendor dibeberapa bagian, padahal saat itu tengah haripun belum dan mustahil sebuah pasukan Ui-ih-kun kelelahan begitu cepat, padahal kemarin mereka sanggup berkelahi dari pagi sampai sore.

Keheranan bukan saja menghinggapi orang- orang Hwe-liong-pang dan teman teman mereka, tapi juga prajurit-prajurit Ui-ih-kun sendiri.

Mereka yang ada di garis depan dan membutuhkan bantuan dari barisan belakang supaya serangan dapat mengalir lancar, begitu yang diajarkan dalam latihan prajurit, tiba-tiba merasakan bantuan dari barisan belakang tidak lancar lagi.

Terputus-putus, sehingga malah o- rang-orang Hwe-liong-pang mendapat kesempatan untuk mendesak balik.

Sebagai panglima yang banyak pengalaman dan berpandangan tajam, Muyong Beng yang belum selesai bertarung melawan Bu-gong Hweshio itu juga dapat merasakan kemerosotan semangat prajurit-prajuritnya itu, meskipun hanya sebagian.

Karena itu, sambil menangkis serangan-serangan Bu-gong Hweshio yang gencar, ia mengeluarkan perintahnya.

"Sebarkan perintahku. Yang bertempur dengan sungguh-sungguh akan mendapat hadiah, yang berkelahi dengan setengah hati akan kehilangan kepala nya malam ini juga!"

Ketika perintah itu merata ke segenap pasukan, maka prajurit-prajurit yang mulai lesu itupun terpaksa harus menunjukkan kesungguhannya lagi, sebab kalau ketidak sungguhan itu terlihat oleh teman mereka sendiri dan kemudian dilaporkan ke atasan, maka celakalah mereka.

Akhirnya mereka memilih lebih suka bertempur dengan sungguh- sungguh daripada dihukum mati dengan nama yang ternoda sebagai pengkhianat.

Diarena pertempuran di dekat pintu gerbang, terlihat To Hok-leng sudah mulai terdesak oleh lawannya, Sebun Him.

Kampaknya yang mengerikan dan sudah memenggal beratus-ratus kepala manusia itu, kini tidak lebih hanyalah alat bertahan yang diputar rapat di sekeliling badannya.

Itupun kadang-kadang ujung pedang Sebun Him.

beberapa kali berhasil menerobos pertahanannya dan melukai tubuhnya.

Bukan luka mematikan memang, tapi darah yang terus menerus mengalir dari luka telah membuat To Hok-leng semakin lemah.

Kini, Im-kan-hong-kui (Iblis Gila Dari Akherat) itu barulah merasakan apa artinya ketakutan terhadap maut.

Biasanya dia gembira melihat calon korbannya menggigil ketakutan atau meratap-ratap minta ampun, namun ia tidak pernah menaampuninya dan setiap kalipun.kampaknya terayun menebas leher korbannya.

Karena ia tidak percaya adanya pengampunan antara dua orang yang bertempur, bahkan, menganggap hal itu tolol, maka kini diapun yakin, bahwa Sebun Him tidak akan mengampuninya.

To Hok-leng sudah kehilangan harapan, apalagi melihat wajah Sebun Him yang beringas itu nampaknya juga bukan wajah seorang pemaaf.

Suatu ketika, Sebun Him melakukan sebuah jurus Hoa-san-pay yang disebut Hui-tou-goat- hong-tian-ci (Memutar Kepala Melihat Rembulan, Burung Hong Membuka Sayap).

Jurus yang namanya indah seperti sebuah syair, namun kehebatannya luar biasa, apalagi dimainkan Sebun Him yang memiliki kekuatan dahsyat karena ilmu Kun-goan-sin-kang-nya.

Pedangnya menderu luar biasa dan bergulung hebat ke arah lawan, sulit dibedakan mana yang serangan asli dan mana yang hanya gerak tipu saja.

To Hok-leng mati-matian dan meloncat mundur pula, tetapi cahaya pedang Sebun Him bagaikan mulur mengejarnya.

To Hok-leng memalangkan kampaknya di depan dada, tapi pedang Sebun Him bagaikan ular tiba-tiba menggeliat dan tangan kiri To Hok-leng pun tertabas putus.

Di tengah seringai kesakitannya, tanpa malu- malu lagi To Hok-leng berkata.

"Ampuni aku, siauhiap..."

Dan sinar matanya juga memancarkan ketakutan luar biasa.

Sangat berbeda dengan sinar matanya ketika kemarin ia menjilati darah korban-korbannya yang melekat di mata kampaknya.

Waktu itu matanya memancarkan kemenangan bercampur kebuasan hewani, dan juga kebanggaan karena orang-orang lain menatapnya dengan rasa ngeri.

Yang matanya mirip dengan dirinya ketika menjilati darah di kampak kemarin itu kini adalah mata Sebun Him.

Anak muda itu tidak menjawab sepatah katapun akan permintaan ampun To Hok-leng itu, melainkan dijawabnya dengan sebuah sabetan pedang yang membuat kepala To Hok-leng menggelundung.

Sebun Him merasa bangga setelah melakukan itu.

la memandang berkeliling, lalu tiba-tiba iapun meloncat menerjang prajurit- prajurit Ui-ih-kun dan kemudian pedangnyapun terayun ke-sana kemari menjatuhkan korban di antara prajurit-prajurit Ui-ih-kun.

Demikianlah, pembunuhan di mana-mana terjadi, di segala sudut barak itu.

Baik Ui-ih-kun maupun lawannya kehilangan banyak orang.

Orang-orang Hwe-liong-pang telah menunjukkan cara bertarung yang sangat menggetarkan hati kawan maupun lawan, cara bertempur yang sampai hampir matipun masih berar saha keras untuk mengayunkan senjata atau menendang untuk mencari tambahan korban baru.

Dengan demikian prajurit-prajurit Ui-ih-kun itupun mulai merosot semangatnya, bagaimanapun juga kata-kata Tong Lam-hou selalu terngiang di telinga mereka.

Buat apa mereka bertempur seperti ini? Buat menyenangkan Pakkiong An, atau cuma sekedar sebuah "langkah catur"

Dari si panglima tua itu?. Bersambung ke

Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditya Indra Jaya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU

Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.

Jilid itik balik dari pertempuran itu-pun tiba, kalau sejak pertempuran dimulai tadi pasukan Ui-ih-kun terus mendesak dengan mengandalkan jumlah yang banyak, maka semakin siang jumlah kedua pasukan semakin berimbang, sebab setiap orang Hwe-liong-pang yang gugur tentu "mengajak"

Dua atau tiga orang lawannya untuk gugur pula.

Ketangguhan anggota-anggota Hwe-liong-pang itu bukan saja membuat giris lawannya, tapi juga mengobarkan semangat teman-teman dari Kay- pang dan sebagainya.

Lagipula jumlah orang berilmu di pihak laskar Hek-ku-nia lebih banyak, sedang di dalam Ui-ih-kun yang berilmu T Sebun Him merasa bangga setelah melakukan itu.

Ia memandang berkeliling, lalu tiba-tiba ia meloncat menerjang prajurit-prajurit Ui-ih-kun dan kemudian pedangnyapun terayun...

hanyalah para perwira, itupun tidak ada yang lebih tinggi dari Muyong Beng.

Dengan demikian susutnya jumlah prajurit-prajurit Ui- ih-kun lebih cepat dari berkurangnya lawan- lawan mereka.

Dalam hal daya tahan tubuh, prajurit-prajurit Ui-ih-kun juga kalah, meskipun mereka latihan dua hari sekali tapi latihan- latihan mereka itu hanya lebih berat sedikit 'dari gerak badan.

Sedangkan orang-orang Hwe liong-pang melakukannya setiap hari, pagi dan sore.

Kalau pagi, lereng-lereng Tiau-im-hong yang terjal dan berliku-liku itu merupakan "sarapan pagi"

Mereka untuk menguatkan otot kaki, memanjangkah najjas dan melatih ketahanan tubuh secara luar biasa.

Kalau sore, mereka berlatih silat menurut alirannya masing-masing.

Ketika matahari mencapai puncaknya dan mulai bergeser ke barat, maka laskar di Hek-ku- nia itu sedikit demi sedikit balik mendesak Ui- ih-kun yang sudah setengah hati itu.

yang bertempur sungguh-sungguh hanyalah prajurit- prajurit Ui-ih-kun yang letaknya dekat perwira- perwira mereka karena takut dituduh tidak sungguh-sungguh.

Tapi secara keseluruhan memang pasukan Ui-ih-kun sedikit demi sedikit digiring' kembali ke kaki bukit.

Sorakan-sorakan bersemangat dari orang- orang Hwe-l-iong-pang terdengar di mana- mana, membuat semangat kian berkobar, sebaliknya semangat musuh kian merosot.

Alangkah geramnya Muyong Beng melihat semuanya itu.

Ingin rasanya ia menerjunkan diri ke tengah-tengah orang-orang Hwe-liong- pang itu dan membunuhi mereka semua.

Namun sambaran-sambaran senjata Hong-pian- jan di depan hidungnya seolah menyadarkannya bahwa seorang Bu-gong Hweshio saja belum berhasil dilewatinya, bahkan nasibnyapun sama dengan nasib prajurit-prajuritnya, yaitu terdesak mundur terus-menrus.

Ilmu tombaknya sebetulnya cukup lihai, namun ia adalah seorang panglima yang gemar mengumbar nafsu terhadap wanita, bahkan malam menjelang pertempuran kemarinpun ia masih tidur dengan seorang perempuan penghibur yang didatangkan kekemahnya dari kota terdekat.

Sebaliknya Bu- gong Hweshio lebih ketat dalam menjaga kesucian dirinya, ia seorang pendeta yang tidak pantang minum Arak dan daging, namun menjaga batas terhadap perempuan, sehingga tenaga dalamnyapun terpupuk kuat.

Karena itulah seorang panglima pemogoran macam Huyong Beng semakin lama merasa semakin berat.

menahan hantaman senjatanya.

Akhirnya barisan Ui-ih-kun itu tidak dapat dipertahankan keutuhannya.

Di beberapa bagian mereka sudah kocar-kacir dan mundur ke pinggang bukit, di beberapa bagian lainnya masih cukup rapi barisannya namun juga sudah terdesak mundur.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Muyong Beng melihat bahwa pasukannya hari itu bertempur lebih buruk dari hari kemarin, sebaliknya musuh berkelahi seperti kesetanan .

Muyong Beng akhirnya memutuskan bahwa pasukannya harus ditarik mundur sebelum berantakan sama sekali.

Dari teriakan-teriakan para prajuritnya sendiri maupun lawan- lawannya, ia sudah mendengar bagaimana To Hok-leng mati, meskipun rasa-rasanya sulit dipercaya bahwa orang selihai itu dapat terbunuh di peperangan oleh seorang anak muda yang baru saja turun dari perguruannya.

Lalu muncul pula berita tentang munculnya Tong Lam-hou di berbagai arah, berpihak kepada Hwe-liong-pang, dan semua berita itu sudah tentu tidak menyenangkan Muyong Beng.

la juga sadar bahwa ada pendekar pendekar dunia persilatan yang ilmu tenaga dalamnya begitu tinggi sehingga sanggup berkelahi tiga hari tiga malam tanpa mengaso, sedang prajurit-juritnya sendiri terang tidak mampu berbuat demikian.

Dengan seribu satu macam pertimbangan, akhirnya Muyong Beng memerintahkan pasukannya untuk mundur.

Maka seperti air yang sedang surut di tepi laut, pasukan berbaju kuning itupun segera mundur teratur, untungnya tidak sampai tercerai berai.

Namun dalam pertempuran hari itu jelaslah kekalahan ada di pihak Ui-ih-kun, dan Hwe-liong-pang telah menebus kekalahan kemarin hari.

Sorak-sorai orang-orang Hwe-liong-pang dari atas bukit terasa menyakitkan hati prajurit- prajurit Ui-ih-kun, namun apa boleh buat, mereka memang harus mundur kalau tidak ingin terjebak hancur di puncak bukit itu.

Dalam perkelahian di tanah datar kemarin, Ui-ih-kun lebih unggul sebab mereka selain berjumlah banyak juga lebih mahir dalam membentuk barisan-perang yang sering membinungkan musuh.

Tapi dalam pertempuran di atas bukit yang tempatnya tidak datar dan di tengah- tengah barak Hek-ku-nia yang banyak lika- likunya itu, barisan perang tidak bisa diatur dan pertempuran lebih mengandalkan kepada ketrampilan perorangan atau ketinggian ilmu silat masing-masing.

Dalam bidang itu, jelaslah di pihak Ui-ih-kun tidak ada orang orang yang setangguh Siangkoan Hong atau Lim Hong-pin atau pendekar-pendekar lainnya, bahkan To Hok-leng yang dianggap paling tangguhpun telah mampus di tangan Sebun Him.

Di sinilah letaknya sumber kekalahan Ui-ih-kun.

Melihat pasukan itu mundur, Tong Wi-hong sebagai pimpinan di Hek-ku-nia mencegah seluruh laskar untuk mencegahnya.

Ia tahu bahwa jika orang-orangnya mengejarnya sampai ke dataran berumput di bawah bukit itu maka mungkin sekali pasukan musuh akan berbalik menggencet dan mengurung mereka.

Demikian perang berakhir pada hari kedua itu, tidak sampai sore hari tetapi baru tengah hari lewat sedikit.

Orang-orang Hwe-liong-pang dan lain-lainnya boleh bangga kehilangan banyak teman-teman mereka dan juga tokoh- tokoh berbagai pihak yang membantu Hwe- liong-pang.

Si tokoh cemerlang dari Hoa-san- pay, Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng bersama-sama dengan tiga orang yang tadi melompat keluar pintu gerbang, yaitu Bu-sian Hweshio, Bu-teng Hweshio dan Lam-ki Tongcu In Yong, telah gugur semua dengan luka-luka hampir di seluruh tubuh mereka.

Namun di sekitar keempat mayat pendekar itu bergelimpangan pula ratusan mayat prajurit- prajurit musuh.

Kematian mereka telah "mengajak"

Sekian banyak musuh untuk gugur bersama.

Selain kematian-kematian yang menyedihkan itu, sebagian besar barak itu ternyata telah menjadi abu, sehingga malam nanti mereka akan tidur di udara terbuka.

Juga pintu gerbang sudah rusak, dan beberapa bagian dari dinding barak.

Semuanya menerima kepahitan itu dengan sikap yang tidak berlebih- lebihan, tidak ada jerit tangis melolong-lolong seperti perempuan, yang ada hanyalah tekad untuk meneruskan perlawanan meskipun mereka bakal menyusul rekan-rekan mereka itu ke akherat.

Di tengah-tengah kehancuran, di mana bau darah dan api tercium tajam.

Tong Lam-hou berdiri termangu-mangu dengan hati yang tersayat-sayat.

Hatinya sama pedihnya melihat mayat prajurit kerajaan maupun mayat lawan- lawan mereka.

Ia tahu prajurit-prajurit hanya menjalankan perintah PakkiOng An yang gila kekuasaan, sementara orang-orang di Hek-ku- nia hanyalah dipaksa untuk mempertahankan diri.

Kehancuran yang di depan mata itu mengingatkannya kepada sebuah desa kecil yang manis di kaki pegunungan Tiam-jong-san di Hunlam sana, desa Jit-si-ong-tin, yang hancur lebur tanpa sisa oleh kebiadaban perang.

Dan ia tahu masih banyak desa-desa yang mengalami nasib yang sama selama perang belum dihentikan, selama orang Manchu dan orang Han masih merasa sama-sama lebih unggul satu sama lain sehingga mere-kapun tidak segan- segan menghunus senjata masing-masing untuk membuktikan keungulannya.

Lamunan Tong Lam-hou berhenti ketika ia mendengar langkah-langkah kaki mendekatinya, dan suara yang dingin menusuk hati.

"Seperti inikah persaudaraan antara Han dan Manchu seperti yang selalu kau teriak- teriak-kan?"

Tanpa menolehpun Tong Lam-hou sudah bisa menebak siapa yang bersuara itu, namun ia menoleh juga, dan dilihatnya Sebun Him dengan pedang yang belum kering dan darah juga tengah menatap ke arahnya.

Sesaat kedua anakmuda itu bertatapan dengan tajamnya, sampai Sebun Him mengalihkan pandangannya ke tanah.

Sementara Tong Lam-hou berkata.

"Saudara Sebun, peristiwa di bukit ini jangan dijadikan alasan untuk tidak bisa berdamai lagi dengan orang Manchu. Kita harus melihat segala persoalan setepat-tepatnya menurut keadaan sebenarnya, bukan sekedar menyama-ratakan saja. Ketika kita...

"Tidak usah menciptakan banyak alasan untuk mengelabuhi kami,"

Potong Sebun Him.

"Gagasanmu tentang perdamaian antara Han an Manchu itu hanyalah akal licik orang Manchu yang hendak melestarikan kekuasaaan mereka atas negeri ini. Kau juga tidak lebih dari alat. mereka, anjing penjilat pantat Kaisar mereka, dan karena itu kau tidak berharga untuk berada di sini. Kami jijik melihatmu !"

Dengan kepribadiannya yang kokoh, Tong Lam-hou tidak gampang terseret gejolak perasaannya, namun bagaimanapun juga dia adalah seorang anakmuda yang darahnya sama panasnya dengan darah Sebun Him.

Cercaan Sebun Him yang semena-mena itu telah membuat kupingnya menjadi merah juga.

Tapi sekuat tenaga ia masih berusaha menghindari perkelahian karena hal itu semakin menimbulkan kesalah-pahama; buat dirinya.

Sahutnya.

"Barangkali aku keliru, saudara Sebun, tetapi menurut pengalamanku maka kesalah-pahaman yang bagaimanapun bisa dibuat lurus kembali asalkan kedua pihak mau berbicara secara baik-baik dan beritikad baik."

"Siapa sudi bicara dengan orang Manchu atau anjing-anjing peliharaan semacammu?"

Teriak Sebun Him sambil mengangkat pedangnya.

"Tong Lam-hou, angkat pedangmu dan kita tentukan siapa yang lebih hebat antara si Harimau Selatan atau si Beruang Barat !"

"Kalau hanya itu yang kau inginkan, saudara Sebun, kenapa tidak bicara langsung dari tadi saja? Kita tidak usah berkelahi, gelar pendekar nomor satu itu biarlah kau sandang saja. Anggap saja Lam-hou seorang pengecut yang dikalahkan oleh Se-him tanpa pertempuran !"

Waktu itu, pertengkaran kedua anakmuda itu telah membuat laskar Hek-ku-nia berkerumun membentuk sebuah lingkaran besar.

Dan orang-orang itu dengan bingung melihat bagaimana Sebun Him nampaknya sangat getol untuk berkelahi, padahal bukankah Tong Lam-hou juga sudah ikut berjasa untuk mengundurkan pasukan Ui-ih-kun? Meskipun cara mengundurkannya itu tidak selalu dengan pedangnya melainkan juga dengan bujukan- bujukannya.

Tetapi beberapa orang yang sudah mengenal watak Sebun Him, tahu bahwa kegetolan Sebun Him itu bukan karena "demi perjuangan bangsa Han"

Melainkan semata- mata hanyalah karena takut tersaingi dan sekaligus ingin mengangkat nama.

Semangat tempur Sebun Him sedang menyala-nyala sehebat-hebatnya sebab hari itu ia berhasil menjadi pahlawan dengan membunuh To Hok- leng si gembong golongan hitam, dan Sebun Him berharap namanya akan lebih harum lagi kalau berhasil membunuh Tong Lam-hou yang terkenal dengan alasan "membunuh si anjing Manchu".

Ditonton banyak orang, Sebun Him jadi semakin bersemangat.

Bahkan ia berteriak sekelilingnya untuk menarik dukungan orang- orang.

"Saudara-saudara, pantas atau tidak kalau anjing Manchu ini aku hajar agar dia menqaku sisasat busuk apa yang sedang dijalankannya terhadap gerakan kita?"

Beberapa orang yang tidak'tahu menahu persoalannya, segera saja menjawab "setuju!"

Atau "hajar anjing Manchu"

Dan sebagainya. Tetapi sebagian masih bungkam karena ragu- ragu, mana yang benar? Sebun Him atau Tong Lam-hou ? Sementara Sebun Him nampak puas. Katanya keras.

"Pedangku ini memang selalu haus akan darah pengkhianat tanah air. Siang ini ia baru saja menghisap darah Im-kan-hong-kui To Hok- leng, namun agaknya pedang ini belum puas dan masih ingin menghisap darah seorang anjing Manchu lainnya!"

Waktu itu kesabaran Tong Lam-hou sudah habis melihat kecongkakan Sebun Him, katanya dengan suara bergetar karena marah.

"Kau cuma bisa membuka mulutmu lebar-lebar, Sebun Him. Tapi kau tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadapku sebab kau terlalu kerdil untukku!"

Meledaklah kemarahan Sebun Him.

Tanpa banyak bicara lagi pedangnya segera menyabet mendatar ke arah leher Tong Lam-hou.

Tapi yang diserang sempat menunduk rendah dengan Hong-hong-tiam-tau (Burung Hong Menganggukkan Kepala) dan membalas dengan Wan-kiong-sia-tau (Mementang Busur Mengincar Rajawali) ke pundak Sebun Him.

Cepat Sebun Him memutar pedangnya untuk menangkis.

Maka kedua anakmuda yang sudah sama-sama mendidih darahnya itupun berkelahi dengan sengitnya.

Gerak pedang mereka mula-mula masih kelihatan, tapi semakin lama semakin cepat dan semakin cepat terus, sampai akhirnya kedua pedang itu cuma berwujud dua gumpal cahaya keperak-perakan yang berpusing dengan dahsyatnya, sementara berpuluh-puluh kali bunga api memancar keudara apabila kedua pedang berbenturan.

Bahkan lama kelamaan gulungan pedang itupun menyatu seperti prahara yangb bertubrukan, menimbulkan penglihatan yang menyeramkan.

Sebuh Him yang berharap mengalahkan Tong Lam-hou untuk mendapat nama besar itu, kini terpaksa menelan ludahnya karena terbentur kenyataan yang tak terduga.

Nama besar Si Harimau Selatan bukan nama kosong belaka, bahkan setelah Sebun Him mengerahkan Kun-goan-sin-kangnya sampai ke taraf tertinggi, ia tetap tidak sanggup mengalahkan Tong Lam-hou.

jangan lagi mengalahkan, sedang mengimbanginyapun tidak bisa.

Setelah berlangsung seratus jurus lebih, Sebun Him sudah melangkah mundur sampai ke pinggir arena, bagamanapun usahanya tapi ia tidak bisa melepaskan diri dari kurungan dan tekanan Tong Lam-hou.

Pedang Tong Lam-hou berdesing semakin dekat ke tubuhnya, sementara iapun dengan tegar meladeni setiap kali Sebun Him mengajak adu kekuatan dengan membenturkan pedang sekuat-kuatnya.

Dan setiap kali pula Sebun Him merasa tangannya tergetar seolah membacok dinding baja yang tak bergeming, makin keras bacokannya akan makin sakit tangannya sendiri.

Tong Lam-hou yang bertubuh lebih kecil daripadanya itu ternyata bukan saja bisa mengimbangi tenaganya, bahkan melebihinya.

Sedang dalam hal kecepatan, jangan harap Sebun Him menandingi kecepatan ilmu pedang ajaran Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan yang tidak mengutamakan keindahan gerak tapi hanyalah kecepatan dan ketepatan itu.

Alangkah marah dan malunya Sebun Him menghadapi kenyataan itu, alih-alih ingin mengakat nama, malahan yang sudah diperolehnya bakalan hancur pada hari itu.

Dalam keadaan terjepit itu, Sebun Him mendengar suara mengejek Tong Lam-hou.

"sekarang kau percaya, saudara Sebun? Bahwa kau sama sekali tidak berarti ?"

Sebun Him menggertakkan giginya, tapi tidak sempat menjawab sebab ujung pedang Tong Lam-hou bagaikan beribu ribu; banyaknya seperti serombongan tawon yang mengitari tubuhnya dan siap menyengat begitu ia lengah sedikit saja, menyusul pahanya dan kemudian punggungnya pula.

"Pertahanan yang jelek!"

Ejek Tong lam-hou pula.

"Sekarang hati-hatilah dengan pedangmu, aku akan mengambilnya!"

Sebun Him menggenggam erat-erat pedangnya sambil berteriak.

"Anjing Manchu, kau bisa mengambil pedangku hanya jika bersama dengan nyawaku!"

Tong Lam-hou tertawa dingin.

"Tidak, aku cuma butuh pedangmu dan bukan nyawamu!"

Lalu ujung pedang Tong Lam-hou selincah seekor lalat di musim panas, berhasil menyusup pertahanan Sebun Him dan menusuk pelan ke jalan darah ceng-ling-hiat di balik siku kiri lengan Sebun Him.

Di sini nampak kelihaian Tong Lam-hou dalam mengatur tenaganya, ujung pedangnya yang tajam itu melukai kulit namun hanya menekan dengan tenaga yang pas untuk membuat lengan Sebun Him kesemutan dan pegangannya atas pedangnya jadi mengendor.

Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu kaki kiri Tong Lam-hou secepat kilat naik menendang dengan gerakan yang disebut Pay-lian-ka (Tendangan Teratai Bergoyang).

Tepat mengenai pergelangan tangan kiri Sebun Him sehingga pedangnyapun lepas.

Sebun Him menyeringai salah tingkah sambil memegangi siku tangan kirinya yang kesemutan.

Ditatapnya Tong Lam-hou penuh dendam, namun juga heran dan gentar.

Sulit dipercaya orang bisa selihai itu dalam permainan pedang.

Saat itulah di dalam hati Sebun Him terngiang kembali petunjuk gurunya, Auyang Seng, bahwa ilmu pedang tidak bisa dimainkan melulu dengan kekuatan, jasmani, tapi juga dengan mencurahkan segenap perasaan dan pikiran.

Ilmu pedang yang hanya menggunakan tenaga memang berguna menghadapi orang yang berkelahi seperti kerbau gila mirip To Hok-leng tadi, namun tidak ada gunanya berhadapan dengan "ahli pedang murni"

Seperti Tong Lam-hou.

Baru kini Sebun Him menyadari hai itu.

Namun sungguh menyakitkan hati bahwa kekalahannya yang begitu telak disaksikan begitu banyak orang, sehingga akan pudarlah kecemerlangan yang selama ini dirintisnya dengan kemenangan demi kemenangan.

Bagaimana kalau Ting Hun- giok mendengar hal ini, atau bahkan ia melihat sendiri dari antara kerumunan penonton yang melingkari tempat itu ? Bukankah gadis itu akan semakin mengejeknya dan kemudian semakin membangga-banggakan kakak-misannya yang ber-juluk Lam-hou itu.? Sebun Him menatap wajah-wajah yang berkeliling di tempat itu, dan ia agak lega melihat Ting Hun-giok tidak berada di situ.

Tiba-tiba ia melompat meraih pedangnya yang tergeletak di tanah itu, lalu berteriak kepada orang-orang yang berkerumun di tempat itu.

"Terhadap anjing Manchu semacam ini, tidak perlu kita pakai banyak peraturan untuk membinasakan-nya. Saudara-saudara, hayo kita cincang dia bersama-sama untuk membalaskan kematian The Ciangkun, Sun Tiang-lo, Kwa Tongcu, Auyang Susiok dan sebagainya!"

Sengaja Sebun Him menyebut sederetan nama-nama tokoh-tokoh laskar yang telah gugur untuk membakar hati orang-orang yang berkerumun di tenpat itu.

Dan usahanya itupun agak berhasil juga, belasan orang telah mencabut senjata mereka dan dengan pandangan mata beringas tak takut mati, mereka mulai memasuki arena.

Tapi orang-orang Hwe-liong-pang tetap tidak bergerak dari tempatnya masing-masing.

Mereka terikat dalam tata tertib yang tinggi, dan mereka juga tahu bahwa Tong Lam-hou justru telah berbuat banyak untuk pihak mereka, bukankah menurut surat Tong Wi-hong dari Pak-khia dulu disebutkan.

"Tong Lam-hou hendak dihukum mati karena menolak perintah Kaisar untuk membasmi Hwe-liong-pang"? Namun orang orang Hwe-liong-pang itupun kebingungan harus, mengambil sikap bagaimana sebab Sebun Him juga seorang jago dari pihak mereka ? "Saudara-saudara Hwe-liong-pang,"

Teriak Sebun Him ketika melihat orang-orang Hwe- liong-pang masih belum bergerak.

"Jangan hiraukan bahwa Tong Lam hou adalah anak dari mendiang Ketua kalian, atau keponakan dari Tong Tayhiap. Siapapun yang memihak bangsa Manchu harus kita tumpas habis tanpa pandang bulul Hayo cabut senjata kalian. Hari kemarin kalian kehilangan Ui-ki Tongcu Kwa Heng dan hari ini kalian kehilangan Lam-ki Tongcu In Yong yang terbunuh di ujung senjata orang Manchu, kenapa kalian masih ragu-ragu?"

Tong Lam-hou tidak bisa membiarkan kesalah-pahaman itu berlarut-larut sehingga ia harus bertentangan dengan orang-orang itu. Ia hendak membantah, tapi Sebun Him telah mendahului berteriak.

"Siapa yang bernyali laki- laki, ikuti aku untuk membinasakan anjing Manchu ini! Siapa yang banci, tidak usah berbuat apa-apa, cukup menonton saja !"

Maka berlompatanlah orang-orang itu dengan didahului oleh Sebun Him.

Namun sebelum mereka mendekati tubuh Tong Lam- hou, masih kurang beberapa langkah dari tubuh Tong Lam-hou merekapun berlompatanlah mundur kembali dengan wajah terkejut, bahkan Sebun Him yang memiliki tenaga dalam Kun- goan-sah-kang itupun ikut-ikutan melompat mundur dengan muka pucat membiru dan tubuh agak menggigil.

Dengan menarik napas bebeapa kali sambil mengerahkan tenaga dalam ke seluruh tubuhnya, barulah ia berhasil mengusir hawa dingin yang menyusup ke tubuhnya tadi.

Namun wajahnya jelas menunjukkan tasa kejutnya.

Terdengar Tong Lam-hou berkata dengan nada berat.

"Aku tidak ingin bertempur dengan kalian, sebab aku ingin berdamai dengan siapa saja dan mendamaikan siapa saja. Tapi jika kalian memaksaku untuk bertindak, jangan menyesal.!"

Sebun Him tidak membiarkan kawan- kawannya terpengaruh oleh sikap yang angker dari Tong Lam-hou itu, teriaknya.

"Maju, teman- teman !". Lalu Sebun Him sendiri dengan mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi kulitnya, telah menyerang Tong Lam-hou. Tapi toh masih terasa hawa dingin yang menyusup ke pori-pori kulitnya membuat gerakannya jadi agak kaku karena pembuluh darahnya yang terpengaruh hawa dingin itu membuat darah mengalir tidak lancar. Namun dengan keras kepala Sebun Him terus menerjang membabi buta. Sedang yang lain- lainya yang tidak memiliki tenaga dalam sehebat. Sebun him terpaksa jadi penonton saja. Mereka tidak mampu mendekati tubuh Tong Lam-hou kurang dari jarak lima langkah. Dengan begitu perkelahian satu lawan satu terulang untuk kedua kalinya. Kali ini Sebun Him merasa lebih berat dari pertempuran yang tadi, karena sekarang Tong Lam-hou sudah menggunakan Han-im-ciangnya. Seluruh otot-ototnya terasa kaku karena hawa dingin, bagaimanapun ia mengerahkan tenaga Tidak sampai duapuluh lima jurus, ia sudah terdesak lebih hebat dari tadi. Pada jurus ke tigapuluh kembali pedangnya terpental dari tangannya, sementara tubuhnyapun dalamnya, sehingga sadarlah ia bahwa Kun- goan-sih-kangnyapun tidak dapat terlalu dibanggakan di hadapan Tong Lam-hou. Tidak sampai duapuluh lima jurus ia sudah terdesak lebih hebaat dari tadi; Pada jurus ke tigapuluh kembali pedangnya terpental dari tangannya, sementara tubuhnyapun terpental roboh karena sebuah tendangan keras dari Tong Lam- hou mengenai perutnya. Saat itulah tiba-tiba kerumunan itu tersibak, lalu Tong Wi-hong muncul di tempat itu diiringi beberapa tokoh-tokoh pendekar seperti Siang- koan Hong dan Lim Hong-pin, para Tong-cu serta Bu-gong Hweshio yang semuanya berwajah murung itu. Tong Wi-hong sendiri dengan wajah yang menampakkan ketidak senangannya telah berkata kepada Tong Lam- hou.

"Kau tahu bahwa kita dalam keadaan prihatin dan berkabung, kau malah muncul untuk membuat keributan ini ?"

Diam-diam ada beberapa orang menjadi penasaran, sebab mereka tahu Sebun Himlah yang lebih dulu membuat gara-gara, kenapa sekarang Tong Lam-hou yang disalahkan? Kemudian setelah menegur Tong Lam-hou, maka Tong Wi-hong menoleh kepada Sebun Him sambil bertanya.

"Sebun Hiantit (keponakan Sebun yang baik), ada apa sebenarnya?"

Tanpa ragu-ragu Sebun Him menjawab.

"Saudara Tong ini tadi pagi masih belum ada di sini, tapi siang ini tiba-tiba muncul dengan kelakuan yang mencurigakan. Aku hendak menanyainya secara baik, namun agaknya dia punya maksud yang kurang baik sehingga pertanyaanku itu membuatnya marah dan aku diserangnya sehingga terpaksa harus membela diri."

Tong Lam-hou terkejut mendengar jawaban Sebun Him yang berbalik secara tidak tahu malu itu.

Tadinya ia mashh menganggap Sebun Him hanya seorang anak muda yang seperti umumnya gila kemenangan dan mungkin sedikit sombong.

Namun setelah mendengar itu, tong Lam-hou tahu bahwa Sebun Him seorang yang berjiwa sempit dan berwatak rendah.

Dengan agak cemas, Tong Lam-hou menatap ke arah wajah-wajah di sekelilingnya, mencoba menjajagi bagaimana tanggapan mereka terhadap u-capan Sebun Him itu.

Dan ia lega bercampur heran ketika melihat wajah orang- orang itu kebanyakan malah menampilkan rasa muak atau sinis terhadap Sebun Him.

Yang Tong Lam-hou herankan, kenapa ada begitu banyak orang yang tidak senang kepada Sebun Him, terutama orang-orang Hwe-liong-pang.

Kata Tong Lam-hou.

"Paman, aku tidak ingin membantah apa yang saudara Sebun katakan itu, sebab kalian lebih dekat kepadanya sehingga condong berpihak kepadanya, itu wajar dan aku tidak marah. Aku hanya minta beberapa saksi yang sanggup disumpah di depan Sang Buddha untuk menceritakan hal yang sebenarnya. Kalian semua boleh berpegang sepenuhnya kepada kesaksian orang itu untuk melepaskan aku atau mencincang aku, aku pasrah."

Di kalangan orang-orang Hek-ku-nia itu memangnya sudah banyak yang meragukan kejujuran Sebun Him, sehingga tidak semua kata-katanya ditelan begitu saja.

Sebaliknya sikapi Tong Lam-hou begitu mantap, meyakinkan dan tidak takut menghadapi apapun juga, malah menimbulkan kesan baik, meskipun Tong Lam-hou adalah "orang baru"

Di lingkungan mereka. Apalagi yang sudah mendengar riwayat Tong Lam-hou, asal-usulnya dan bagaimana ia sampai dipecat dari ketentaraan Kerajaan Manchu. Yang serba salah adalah Tong Wi-hong yang harus "menghakimi"

Kedua orang itu.

Di satu pihak ia sudah paham betul akan watak keponakannya yang meskipun keras tetapi tidak akan menyerang orang dengan alasan yang sepele-sepele saja, sehingga iapun yakin Tong Lam-hou tidak seperti yang dituduhkan oleh Sebun Him.

Sebaliknya Tong Wi-hong juga tidak bisa menyalahkan Sebun Him begitu saja, sebab anak muda berjiwa sempit itu akan tersinggung dan mungkin meninggalkan laskar, padahal tenaganya masih sangat dibutuhkan dalam laskar yang sudah babak belur itu.

Maka Tong Wi-hong lalu menggunakan jalan tangah saja yang tidak menyinggung kedua belah pihak.

"Sudahlah, kalian anak-anak muda yang berdarah panas, wajar saja kalau begitu gampang menghunus pedang dan kemudian bertempur satu sama lain. Tapi untuk selanjutnya kendalikanlah diri kalian, sebab bagaimanapun juga kalian berada dalam satu barisan sekarang, kali-kalian harus bersatu hati. Tong Lam-hou, saudara Sebun itu sudah berjasa banyak dalam perjuangan ini, bahkan seorang pentolan musuh-bernama To Hok-leng sudah dibunuhnya. Karena itu tentunya dia tidak bermaksud jahat kepadamu tadi... ."

Akal yang digunakan Tong Wi-hong untuk menonjolkan jasa Sebun Him itu bertujuan untuk melunakkan hati anakmuda Hoa-san-pay itu, dan memang merupakan akal yang tepat.

Sebun Him segera mengangkat wajahnya dan membusungkan dada, sinar kemarahan di wajahnya berangsur hilang dan digantikan dengan sinar kebanggaan.

Beberapa orang ingin muntah rasanya melihat sikap itu, namun ditahankannya supaya tidak mengacau saling pengertian yang sedang ditimbulkan oleh Tong Wi-hong.

Lalu Tong Wi-hong berkata lagi.

"Saudara Sebun, Tong Lam-hou itu jasanya tidak sebesar jasamu, tapi sedikit banyak punya andil dalam mengundurkan pasukan musuh tadi, maka sudah sepantasnya kalau kita terima dia di tengah-tengah kita."

Sebun Him mendengus.

"Menerima seorang musuh dalam selimut di tubuh laskar kita adalah hal yang berbahaya. Tapi aku tahu ucapanku ini tidak akan digubris oleh kalian, karena itu apabila kelak kalian menyadarinyapun mungkin sudah terlambat."

Kemudian Sebun Him memungut pedangnya yang dijatuhkan Tong Lam-hou sampai kedua kalinya itu, menyarungkannya dan kemudian melangkah pergi dari tempat itu dengan sikap congkak.

Sampai para pendekar tua seperti Tong Wi-hong dan sebagainya juga tidak diberi anggukan kepala sedikitpun.

Beberapa orang geleng-geleng kepala melihat sikap Sebun Him itu, namun tak berkomentar sedikitpun.

Sementara itu Tong Lam-hou dengan tenang menyarungkan pedangnya kembali, lalu dengan ramah memberi hormat kepada pamannya, bibinya dan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lainnya.

Ia menyatakan penyesalannya bahwa ia datang terlambat, sehingga meskipun pasukan musuh berhasil dipukul mundur tetapi sudah terlanjur jatuh korban sebanyak itu.

Tengah mereka bercakap-cakap sementara hari menjadi semakin sore, tiba-tiba seorang anak buah Hwe-liong-pang yang ditugasi mengawasi gerak-gerik musuh di kaki, bukit, telah datang bergegas-gegas dengan wajah yang tegang.

Teriaknya.

"Tong Tayhiap! Tong Tayhiap!"

"Ada apa ?"

"Pasukan musuh mendapat bala bantuan!"

Berita itu tentu saja menggemparkan sekalian orang.

Biarpun hari itu pihak Hek-ku- nia berhasil memukul mundur pasukan Ui-ih- kun, namun dengan pengorbanan yang cukup besar.

Bukan saja kehilangan beberapa tokoh, tapi jumlah laskar yang kemarin tiga ribu orang itu menyusut tajam sampai tinggal seribu orang lebih yang masih sanggup bertempur.

Lainnya kalau tidak gugur ya luka-luka berat.

Ibarat manusia, bisa dikatakan babak belur, dan kini mendengar tambahan kekuatan bagi musuh, tentu saja hal ini ibarat mendengar lonceng kematian mereka.

Jika besok pagi musuh meluruk lagi ke atas bukit, mereka hanya bisa bertahan sampai titik darah terakhir tapi tidak mungkin menang.

Tong lam-hou lalu bertanya kepada pengawas itu.

"Berapa besar jumlah musuh, dan bagaimana pakaian atau bendera meraka ?"

Sahut si pengawas.

"Aku mencoba menghitung jumlah kemah dan biasanya satu kemah berisi tiga orang, maka kira-kira ada tujuhribu limaratus orang yang datang. Seragam mereka bukan kuning seperti yang menyerang kita kemarin dan hari ini, tetapi hitam-hitam dengan topi hitam pula berhias benang merah. Lengan baju mereka bergaris-garis putih melintang... Hampir bersamaan beberapa mulut menggumamkan nama yang menggetarkan sukma.

"Hui-liong-kun (Pasukan Naga Terbang)!"

Beberapa orang bertukar pandangan dengan wajah yang agak memucat.

Mereka sudah mendengar betapa hebatnya pasukan terkenal itu, yang daya gempurnya jauh lebih hebat dari Ui-ih-kun-nya Muyong Beng.

Sampai ada yang mengatakan, yang bisa menghentikan majunya prajurit-prajurit Hui-liong-kun hanya dua hal .

perintah Panglimanya dan Kematian.

Istilah "mundur"

Karena terdesak atau takut, tidak mereka kenal. Tong Wi-hong tidak membiarkan laskarnya menjadi kalah semangat.

"Mereka masih segar dan berjumlah banyak, dan kita tahu pasti bahwa mereka akan menang. Tetapi kita akan menjual kemenangan kepada mereka itu dengan harga yang semahal-mahalnya !"

Semuanya paham ucapan itu, artinya mereka akan bertempur mati-matian sampai orang terakhir.

Maka dengan dipelopori orang-orang Hwe-liong-pang yang menghunus senjata- senjata mereka dan mengangkat ke langit, segenap laskar itupun mengikuti jejaknya dengan meneriakkan kata-kata yang membakar semangat.

"Siapa yang tidak ingin kehilangan nyawa, sekarang belum terlambat untuk menyingkir dari barisan dan aku tidak akan menghalangi!"

Teriak Tong Wi-hong lagi. Namun disambut dengan teriakan orang- orang Hwe-liong-pang.

"Kami tidak takut mati demi kehormatan Hwe-liong- Suasana memang menggetarkan, dan ketika suasana mulai tenang kembali, maka mulailah Tong Lam-hou berbicara dengan suara hebat.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Paman Tong Wi-hong, kesediaan seluruh laskar untuk bertempur mati-matian patut dibanggakan. Tapi aku mengusulkan sebuah cara lain untuk menghindari jatuhnya korban di kedua pihak. Maaf, saudara-saudara, aku harus berterus-terang bahwa aku sama sedihnya melihat mayat prajurit kerajaan dengan melihat mayat saudara-saudara... ."

Suatu keterus-terangan yang mengejutkan, sebab selagi semua orang berteriak-teriak siap melawan tentara Manchu, Tong Lam-hou malahan menyatakan sedih melihat tentara Manchu terbunuh.

Tapi suasana tetap sunyi senyap menunggu kelanjutan kata-kata Tong Lam-hou tadi.

"Apa usulmu, Hou-ji?"

Tanya pamannya.

"Jika aku menyerahkan diri kepada Pakkiong Liong, barangkali perang akan dapat dihindari sampai di sini saja,"

Kata Tong Lam-hou.

"Pasukan kerajaan itu datang dan bertempur begitu jauh ke sini hanya untuk menangkap aku sendiri. Pantaskah jika hanya untuk melindungi diriku ini aku harus membiarkan berpuluh- puluh saudara-saudara di sini serta berpuluh- puluh prajurit di pihak sana ?"

"Itu kurang tepat,"

Tiba-tiba Ang-ki Tongcu (Tongcu Bendera Merah) Ji Tiat menimbrung dengan suaranya yang kasar namun mencerminkan kejujuran hatinya itu.

"Masalahnya, kita bukan mempertahankan saudara Tong Lam-hou secara pribadi, tetapi mempertahankan pendirian. Lagi pula bagaimana jika pihak Manchu mengingkari janji? Misalnya saudara Tong Lam-hou sudah menyerahkan diri tetapi Pakkiong Liong tetap saja menggerakkan pasukannya untuk menyerang kita? Bukankah kita yang dirugikan?"

Tong Lam-hou mengangguk hormat ke arah Ji Tiat dan berkatu.

"Terima kasih saudara Ji memperhatikan keselamatanku. Tapi aku kenal benar pribadi Pakkiong Liong yang jauh berbeda dengan pamannya maupun dengan manusia-manusia semacam Muyong Beng atau Tam-tai Au-kha. la seorang laki-laki sejati yang lebih suka tubuhnya hancur daripada menjilat ludahnya sendiri. Dia juga bukan seorang yang haus darah dan gemar berperang, biarpun setiap tugas negara dijalankan sebaik-baiknya. Kepadanya aku bisa menyerahkan diri dengan mantap, tidak seperti jika aku menyerah kepada Muyong Beng atau Tamtai Au-kha."

"Jadi bagaimana ?"

"Aku akan berbicara dengan Pakkiong Liong malam ini, aku yakin dia masih sejantan Pakkiong Liong yang kukenal terakhir kalinya aku di di Pak-khia, meskipun sekarang kami berdiri bersebrangan."

Semua bisa melihat tekad Tong Lam hou yang terpancar dari sepasang mata anak muda itu, tekad yang tak tergoyahkan lagi untuk berusaha sejauh mungkin mengurangi korban- korban yang hampir jatuh.

Beberapa Tongcu Hwe-liong-pang yang tadinya menganggap remeh dan kecewa terhadap kepribadian Tong Lam-hou yang dikiranya memihak Manchu hanya untuk mendapat kedudukan dan kemuliaan duniawi, kini merobah pandangannya setelah melihat sendiri bagaimana pribadi Tong Lam-hou itu.

Mereka juga tidak heran lagi kalau Tong Wi-hong yang terkenal berpendirian sangat teguh anti Manchu itu sepulangnya dari Pak-khia tiba-tiba saja mengalami perubahan pendirian yang sangat tajam, agaknya bukan sekedar karena Tong Lam-hou adalah keponakannya, tapi karena sang keponakan itu memiliki kepribadian yang mengagumkan.

Sementara itu, dipesanggrahan Muyong Beng, panglima itu dengan geram tengah merenungi kekalahannya hari itu.

Hari ini jumlah pasukannya susut banyak sekali, dan yang lebih gawat lagi semangat tempur prajurit- prajuritnyapun merosot dengan tajam pula.

Bagaimana mungkin bisa memenangkan perang kalau prajurit-prajuritnya sendiri memanggul senjata dengan setengah hati? Apakah harus mundur kembali ke Pak-akhia dengan menelan kekalahan yang sangat memalukan itu? Atau nekad menyerang terus dengan kemungkinan hancur bersama-sama ? Pada saat pikiran Muyong Beng terombang- ambing tak menentu itu, datanglah laporan seorang prajuritnya bahwa pasukan gelombang ketiga dari Pak-khia sudah datang untuk membantu.

Mula-mula Muyong Beng hampir melonjak gembira ketika mendengar datangnya bala bantuan itu, namun kemudian kegembiraannya itu susut banyak ketika diketahuinya bahwa yang datang itu adalah tujuhribu limaratus prajurit Hui-liong kun di bawah pimpinan seorang yang sangat dibencinya, Pakkiong Liong si Naga Utara.

Persaingan antara Ui-ih-kun dan Hui-liong-kun memang begitu tajam meskipun kedua pasukan itu dipimpin oleh paman dan keponakan, dan persaingan tajam itu kadang-kadang terbawa juga sampai ke medan perang meskipun kedua pasukan itu harusnya bekerja sama karena mereka menjalankan tugas negara yang sama.

Meskipun hatinya merasa, tidak senang, tapi Muyong Beng mengajak juga semua perwira- perwiranya untuk keluar menyambut Pakiong Liong dan pasukannya.

Di depan pesanggrahan itu, prajurit-prajurit Hui-liong-kun berbaris dengan rapi, meskipun wajah dan pakaian mereka kotor oleh debu karena menandakan mereka baru berjalan jauh, namun tekad dan kesungguhan yang mereka pancarkan nampak di mata mereka.

Muyong Beng melihatnya dengan perasaan rendah diri, dan harus mengakui bahwa pasukannya kalah jauh dari pasukan berani matinya Kerajaan Manchu ini.

Pakkiong Liong dengan seragam panglimanya, lengkap dengan topinya yang berhias burung merak itupun berjalan menyongsong Muyong Beng dengan diiringi tiga orang perwiranya.

Han Yong-kim si orang Korea yang mahir bermain kenjitsu (Seni Pedang) dari negeri matahari terbit, Hu Lan-to si orang Mongol dan Wanyen Hui.

Ketiga-tiganya memiliki nama besar yang membuat jantung Muyong Beng serta Tamtai Au-kha tergetar.

Setelah berhadapan dan saling memberi hormat, Pakkiong Liong segera bertanya.

"Ada kemajuan dalam tugasmu, saudara Muyong ?"

Sahut Muyong Beng.

"Dua hari ini sudah kami hancurkan sebagian besar kekuatan mereka, dan besok untuk membuat mereka lenyap dari muka bumi adalah sama gampangnya dengan memijit mampus seekor semut."

Pakkiong Liong tertawa dingin mendengar jawaban Muyong Beng itu, diedarkannya pandangannva kepada prajurit-prajurit Ui-ih- kun yang bertebaran di tempat itu. Dilihatnya pasukan yang "babak belur"

Itu bukan saja jumlahnya sudah kurang dari separuh semula, namun juga tidak terlihat semangat yang menyala pada diri prajurit-prajurit itu.

Mereka memang berbaris rapi, tapi ada yang nampak mengantuk, sedang lainnya ada yang kelihatan sedang melamun, mungkin sedang membayangkan seekor ayam panggang saus tomat di rumah makan terkenal di Pak-khia sana.

Tentu, saja sebagai seorang Panglima berpengalaman, Pakkiong Liong tidak bisa dikelabuhi oleh Muyong Beng yang malu mengakui kekalahannya itu.

Namuan Pakkiong Liong tidak ingin membuat Muyong Beng kehilangan muka, sebab bgaimanapun juga orang itu sekarang adalah rekan kerjanya, biarpun Pakkiong Liong sering tidak setuju tingkah laku Muyong Beng di medan perang.

Trio Detektif 09 Misteri Jeritan Jam Pendekar Rajawali Sakti 113 Pembalasan Roro Centil 30 Ninja Edan Lengan Tunggal

Cari Blog Ini