Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 5
Kata Pakkiong Liong.
"Tetapi hati-hatilah, selain ketiga telur busuk yang mengaku pendekar itu, Pangeran sendiri juga seorang yang agak mahir silatnya, Juga seorang pengiringnya yang bernama Kongsun Hui. Ada baiknya kau langsung menggunakan Hian-Im-ciang (Pukulan Dingin) agar cepat selesai tanpa keributan."
"Tangkap hidup atau mati?"
Tanya Tong- Lam-hou.
"Hidup-hidup saja. Pangeran itu adalah tokoh sebuah gerakan bawah tanah anti pemerintah, dari mulutnya banyak dibutuhkan keterangan tentang gerakannya itu."
"Baiklah. Aku pergi."
Bersamaan dengan habisnya kalimatnya, tubuh Tong Lam-hou telah melesat bagaikan seekor burung saja, sekejap saja sudah "hinggap"
Di bubungan atap yang terletak beberapa tombak dari gunung-gunungan itu.
Dari sana ia masih sempat melambaikan tangan kepada Pakkiong Liong.
Kemudian Pakkiong Liong-pun melesat pergi ke arah rumah besar tempat tinggal Li Tiang-hong.
Sedang pelayan yang tertotok itu ketika melihat kedua "prajurit Beng"
Itu "beterbangan"
Seolah-olah tubuh mereka tidak berbobot sama sekali, menjadi gemetar ketakutan.
Yang ditemuinya itu manusia atau cuma manusia jadi-jadian? Sementara itu, untuk sesaat lamanya Tong Lam-hou berjongkok di bubungan atap itu untuk melihat keadaan loteng yang disebutnya oleh pelayan tadi.
Di loteng itu masih ada cahaya lilin, dan samar-samar nampak bayangan "Tentu Pangeran itu dan pengawalnya yang bernama Kongsun Hui,"
Demikian pikir Tong Lam-hou.
"Aku harus menyerang mendadak agar cepat selesai."
Demikianlah Tong Lam-hou yang bernyali besar itu tidak terlalu banyak perhitungan dalam melakukan segala sesuatunya.
Maka setelah mengukur jarak antara bumbungan atap dan jendela loteng itu, la menarik napas dalam- dalam untuk mengerahkan semangat dan kekuatannya, lalu bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya, tubuh Tong Lam-hou meluncur deras ke arah Jendela loteng itu.
Kedua telapak tangannya dihantamkan ke depan menggunakan ilmu Hian-im-ciangnya yang maha dingin itu.
Yang sedang duduk di dalam ruangan loteng itu memang betul adalah Pangeran Cu Hin-yang dan pengawa.
setianya yang masih tersisa dalam perjalanan ke selatan itu, Kongsun Hui.
Mereka tengah bermain tio-ki (catur Cina) sambil menikmati arak, dan bercakap-cakap tentang berbagai urusan.
Dan alangkah terkejutnya mereka ketika tiba-tiba jendela itu pecah berkeping-keping disusul dengan masuknya sesosok tubuh yang berpakaian seperti anak buahnya Li Tiang-hong.
Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah ketika hawa di dalam ruangan itu mendadak menjadi sangat dingin sampai menggigilkan tubuh.
Kulit Pangeran dan Kongsun Hui seketika membeku kebiru-biruan, dan hanya dengan mengerahkan tenaga dalam secara paksa sajalah maka mereka masih bisa menahan untuk tidak mati kedinginan.
Sementara itu Tong lam-hou ketika melihat ada dua orang didalam ruangan itu, segera membentak "Yang manakah yang bernama Cu hin- yang?!"
Kongsun Hui yang hampir mati beku itu ternyata masih sempat membuat macam- macam pertimbangan dalam otaknya.
Dilihatnya tampang Tong Lam-hou yang tidak mirip orang Han karena Tong Lam-hou memang lebih banyak mewarisi tampang ibunya yang berasal dari suku Hui itu, maka Kongsun Hui mempunyai dugaan bahwa orang yang menerobos jendela ini tentu bermaksud jahat.
Apalagi caranya menyebut nama Pangeran yang sangat kasar itu, maka Kongsun Hui segera mendorong tubuh Pangeran ke arah pintu supaya segera melarikan diri, sedangkan Kongsun Hui sendiri langsung berseru.
"akulah Pangeran Cu Hin-yang. Mau apa kau mencariku?"
Namun sikap Kongsun Hui yang menyuruh Pangeran untuk lari itu ternyata dilihat dengan cepat oleh Tong Lam-hou yang bukan orang tolol itu. Katanya sambil tertawa mengejek.
"Aneh biasanya seorang pengawal yang menyuruh majikannya untuk lari lebih dulu, bukan sebaliknya. Jadi Pangeran Cu Hin-yang tentu yang kau suruh lari itu, dan tampangmu yang mirip maling jemuran ini tidak cocok menjadi seorang Pangeran!"
Kongsun Hui mengeluh dalam hatinya.
Agaknya dalam keadaan terkejut tadi ia telah membuat kesalahan tindakan dengan mendorong Pangeran, sehingga musuh malahan dapat menebak siapa Pangeran yang sebenarnya.
Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali melawan orang itu mati-matian demi menyelamatkan junjungannya.
Dengan melawan hawa dingin yang seolah-olah mencengkam urat-urat darahnya, Kongsun Hui menyambar sepasang ruyung baja yang tersandar dekat meja, sambil berteriak.
"Pangeran, cepat lari dan panggil pengawal! Biar hamba bertahan di sini!"
Namun Tong Lam-hou tidak tinggal diam, seperti seekor elang menerkam anak ayam, ia telah melambungkan tubuhnya untuk mencengkeram ke tengkuk Pangeran yang hampir saja melangkahi ambang pintu itu, hawa dingin yang luar biasa kembali memenuhi ruangan itu sehingga Pangeran merasa sepasang kakinya jadi kaku dan langkahnya terhambat.
Tampaknya sebentar lagi ia akan kena diringkus oleh Tong Lam-hou.
Tetapi Kongsun Hui si panglima setia Itu tidak akan membiarkan Junjungannya ditawan musuh, nyawapun akan sanggup ia korbankan asal Junjungannya selamat.
Cepat la meloncat menghadang Tong Lam-hou, sepasang ruyung baja yang menjadi senjata andalannya itu bergerak dalam jurus Hong-coan-pek lek (Angin Pusaran dan Petir Menyambar).
Dengan kuda- kuda yang kokoh kuat la putar sepasang ruyungnya secara bertubi-tubi untuk menahan gerak maju Tong Lam-hou.
Pengerahan tenaga Kongsun Hul yang berlebihan itu bukan saja bermaksud untuk menahan musuh, tapi sekaligus juga untuk menghangatkan darahnya yang serasa hampir beku oleh udara dingin yang tidak lumrah itu.
Tong lam-hou tidak mau kehilangan waktu, terhadap pengikut Pangeran ini ia tidak perlu sungkan-sungkan lagi, cepat ia menghentikan luncuran tubuhnya sambil memiringkan tubuhnya, jari-jari tangannya dengan gerakan mematuk telah menyerang leher Kongsun Hui dan sekali lagi udara maha dingin menyambar dengan dahsyatnya.
Kongsun Hul merasa kedua tangannya mulai menggigil dan gerakan kedua senjatanya tidak bisa lancar lagi, betapapun la mengerahkan tenaga dalamnya.
Tetapi semangat membaja yang tak kenal menyerah kadang-kadang memang merupakan sumber tenaga yang tersendiri pula.
Begitu juga dengan Kongsun Hui, kekuatirannya akan keselamatan junjungannya telah membuat ia secara nekad tetap tidak mau minggir dari hadapan Tong Lam-hou, tidak peduli tubuhnya bakal membeku sekalipun.
Tusukan jari-Jari Tong Lam-hou ke lehernya tidak dihiraukannya, melainkan dibarenginya dengan gerakan Tay- san-an-teng ( Gunung Besar Roboh Menimpa Kepala) dengan ruyung kanannya.
Ia siap mati bersama dengan musuhnya demi keyakinan akan perjuangannya.
Tong Lam-hou yang tidak mau mati bersama.
Selincah kupu-kupu dan selicin belut la telah menghindar ke samping dan ujung kaki kanannya berhasil menendang Kongsun Hui sehingga terlempar membentur dinding.
Tanpa peduli kepada Kongsun Hui lagi, Tong Lam-hou memburu ke arah Pangeran yang waktu Itu sudah turun lewat tangga kayu.
Pangeran Cu Hin-yang mencoba melawan, namun hanya dalam lima jurus saja la telah berhasil dilumpuhkan oleh Tong Lam-hou.
Selain dengan pukulan hawa dinginnya juga dengan beberapa totokannya.
Tong Lam-hou yang tidak mau mati bersama.
Selincah kupu-kupu dan selicin belut la telah menghindar ke samping dan ujung kaki kanannya berhasil menendang Kongsun Hui Lalu dengan memanggul tubuh Pangeran, Tong Lam-hou menuruni tangga Itu.
Beberapa prajuritnya Li Tiang-hong yang mencoba menghalanginya telah disapu runtuh dengar, tendangan berantainya yang mahir, ditambah pukulan hawa dinginnya yang membuat para prajurit itu tidak mendekat, kecuali yang ingin mati beku.
Sementara itu, Kongsun Hui yang terbanting di dinding itu perlahan-lahan merasa darahnya mulai lancar kembali, udara dingin dalam ruangan itu sedikit demi sedikit telah mengalir keluar dari ruangan itu bersamaan dengan perginya "sumber"
Dari hawa dingin itu. Diam- diam Kongsun Hui menarik napas.
"Pantas pemerintahan Manchu dapat bertahan kokoh dari gempuran-gempuran para pejuang, ternyata karena mereka memiliki banyak orang-orang berilmu tinggi. Dulu aku aan kawan-kawanku hampir mati kepanasan dikuil kecil itu gara-gara Pakkiong Liong, dan sekarang hampir mati beku oleh Anakmuda yang luar biasa tadi. Melihat kepandaiannya, anak muda tadi tidak bawah ilmu Pakkiong Liong. Dan cukup dengan dua orang semacam Pakkiong Liong dan anakmuda tadi saja, pemerintah Manchu sudah merupakan sesuatu yang sulit dihadapi. Sekarang aku harus memikirkan bagaimana caranya menyelamatkan Pangeran..."
Sementara itu Tong Lam-hou yang memanggul Pangeran dan mengobrak-abrik prajurit-prajurit yang menghadangnya, maka dari bangunan besar di tengah barak itupun terdengar suara ribut-ribut yang ramai.
Lalu muncullah Pakkiong Liong sambil memanggul tubuh Li Tiang Hong yang juga tertotok lumpuh.
Dalam hal siasat ilmu perang, Li Tiang-hong memang termasuk jagonya, namun dalam ilmu silat secara pribadi, la jauh bukan tandingannya Pakkiong Liong si Panglima pasukan Naga Terbang dari Kerajaan Manchu itu.
Maka tidak mengherankan kalau Li Tiang-hong dalam sekejap saja telah dapat ditangkap oleh Pakkiong Liong.
Kini nasib Li Tiang-hong tidak lebih dari seorang tawanan, prajurit-prajurit yang mengejarnyapun bernasib sama dengan prajurit-prajurit yang mengejar Tong Lam-hou.
bedanya, prajurit-prajurit yang mengejar Tong Lam-hou tertahan oleh lingkaran hawa dingin yang membekukan darah, maka prajurit- prajurit yang mengejar Pakkiong Liong telah tertahan oleh udara maha panas yang rasa- rasanya membakar kulit.
Baik Pakklong Liong maupun Tong Lam-hou memang tak tercegah lagi meninggalkan barak prajurit Li Tiang-hong itu.
Andaikata kedua orang itu tidak sedang membawa Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang, tentu prajurit- prajurit Itu akan melepaskan panah atau lembing-lembing mereka, namun sekarang hal itu tidak dapat dilakukan sebab prajurit-prajurit itu kuatir akan mengenal pemimpin-pemimpin mereka sendiri.
Bahkan setelah tamu-tamu yang berilmu tinggi seperti Lam-kiong Siang serta Sin-bok Hweshio keluar dari kamar mereka dan ikut mengejar, merekapun tidak berdaya apa- apa.
Apalagi karena kedua orang tokoh itu sudah rontok keberanian mereka lebih dulu jika mendengar nama Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou yang pernah mengalahkan mereka itu.
Ketika tiba di dinding barak, hampir bersamaan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou lebih dulu melemparkan tubuh tawanan- tawanan mereka ke atas, begitu tingginya sehingga melewati dinding kayu itu, lalu Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou sendiri meloncati, dinding itu dan kemudian menerima kembali jatuhnya tubuh Li Tiang-hong dan Pangeran di luar dinding itu.
Dengan demikian mereka menganggap kedua tawanan itu seperti bola saja.
Ketika mereka bertemu di luar dinding barak dan sudah bebas dari kejaran prajurit- prajurit itu, Tong Lam-hou bertanya.
"Kita ke bukit itu dulu?"
"Tidak perlu, langsung saja pergi sejauh- jauhnya dari tempat ini. Kedua tawanan ini sangat penting dan harus segera tiba di ibukota Kerajaan."
Wajah Tong Lam-hou nampak agak kecewa, sehingga Pakkiong Liong menjadi heran.
"Kenapa, A-hou?"
"Aku belum berhasil menemukan Hong Lotoa, sl biang keladi pembantaian di Jit-siong- tin itu."
Bagi Pakkiong Liong, sebenarnya urusan Hong Lotoa Itu adalah urusan amat kecil dalam keseluruhan tugasnya sebagai seorang Panglima, namun la tidak ingin menyakiti hati Tong Lam-hou, sebab ia tahu bahwa bagi sahabatnya itu urusan Hong Lotoa adalah urusan dendam seluruh penduduk Jit-siang-tin.
Jawab Pakkiong Liong dengan hati-hati.
"Dalam barak itu ada ribuan ruangan dan ribuan pula prajurit-prajurit musuh, yang tinggal di dalamnya, bagaimana kita bisa menemukan seorang Hong Lotoa di antara mereka? Ibarat mencari sebatang jarum dalam tumpukan sekam. Tapi yang penting pemimpin-pemimpin pengacau ini sudah di tangan kita, sehingga penjahat-penjahat rendahan seperti Hong Lotoa itu cepat atau lambat akan mati kutu dengan sendirinya."
Tong Lam-hou kurang puas mendengar jawaban itu.
"Apa yang kau maksudkan dengan mati kutu, A-liong? Sekedar tidak dapat memeras orang lagi? Sedangkan kejahatannya yang bertumpuk-tumpuk itu tidak terbalas sama sekali?"
Pakkiong Liong menarik napas.
"Tentu bukan begitu yang aku maksudkan. Seorang yang berbuat kejahatan besar maupun kecil, sebisa-bisanya harus ditangkap untuk dihukum sesuai berat-ringannya perbuatannya. Tapi saat ini kita belum bisa menangkap Hong Lotoa karena kita harus lebih dulu mengamankan kedua tawanan ini. Kawan-kawan dari kedua tawanan ini tentu tidak akan tinggal diam dan berusaha membebas kan mereka."
"Kemana kita akan mengamankan kedua tawanan ini?"
"Ke kota Kun-beng. Di sanalah pasukanku yang kubawa dari ibukota Kerajaan berpangkalan untuk sementara sebelum kembali ke Pakkhia. Di kota Kun beng, kemungkinannya kecil sekali kedua tawanan ini akan direbut kembali oleh temman-teman mereka, sebab di sana ada pasukan pemerintah yang kuat."
Tong Lam-hou akhirnya dapat juga menerima penjelasan Pakkiong Liong itu, meskipun dengan hati yang panas.
Dan ketika yang digandengnya itu adalah Pangeran Cu Hin- yang yang dianggap pemimpin dari orang-orang yang membakar Jit-siong-tin itu, maka Tong lam-hou melampiaskan rasa panas hatinya kepada Pangeran itu.
Diturunkannya tubuh Pangeran itu dari gendongan, lalu digamparnya muka Pangeran itu beberapa kali sehingga mukanya babak-belur.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Li Tiang-hong yang melihat Pangerannya diperlakukan seperti itu, hampir muntah darah karena marahnya.
Namun la tidak dapat berbuat apa-apa, sebab Jalan darah pelumpuh dan pembisunya tetap tertotok.
Sedang Pangeran Cu Hin-yang yang jalan darah pembisunya tidak tertotok itu melotot ke arah Tong Lam-hou sambil membentak.
"Kau orang Han atau orang Manchu?!"
Tong Lam-hou menambahkan lagi beberapa gamparan ke muka Pangeran, baru menjawab.
"Aku setengah Han setengah Hui!"
"Hemm, paling tidak kau masih memiliki darah bangsa Han di tubuhmu, kenapa kau malah memihak bangsa Manchu, musuh kita? Dan aku ini adalah bekas Pangeran Kerajaan Beng, jelek-jelek juga bekas keluarga istana yang pernah memerintah negeri ini, kenapa sikapmu begitu tidak tahu adat?"
Sahut Tong Lam-hou dingin.
"Masih lumayan kalau kau bekas Pangeran Beng, tetapi justru karena kau bekas Pangeran Beng Itulah maka setiap hari paling tidak aku harus menggamparmu dua puluh lima kail!"
"Kenapa?"
Tanya Pangeran Cu Hln-yang dengan penasaran.
"Kalian orang-orang dinasti Beng sering menuduh bangsa lain sebagal bangsa liar, bangsa biadab, tapi kelakuan anak buahmu sendiri adalah tidak kalah biadabnya dengan gerombolan serigala yang paling liar sekalipun! Serigala membunuh mangsanya hanya karena- dorongan rasa lapar. Tetapi anak buahmu yang berseragam prajurit-prajurit Beng itu, yang mengaku sebagal pembela rakyat Han, telah membumi-hanguskan sebuah desa dan membunuh seluruh penduduknya hanya untuk memuaskan nafsu kemarahan mereka. Apakah rakyat Jit-siong-tin itu bukan rakyat Han?"
Wajah Pangeran itu seketika pucat dan merah berganti-ganti ketika mendengar tuduhan Tong Lam-hou itu.
Sesaat la tidak dapat berbicara karena gejolak perasaannya, dan setelah agak tenang barulah la menoleh ke arah Li Tiang-hong yang juga sudah diletakkan dl tanah, tanyanya.
"Ll Ciang-kun, benarkah kejadian seperti Itu?!"
Li Tiang-hong yang masih tertotok jalan darah bisunya itu tentu saja tidak dapat menjawab. Ketika Pakkiong Liong membebaskan totokannya, barulah la dapat menjawab dengan suara gemetar karena marahnya.
"Anjing Manchu itu berbohong, Pangeran. Aku selalu mengawasi gerak-gerik semua anak buahku dengan tertib. Memang benar mereka sering menarik sumbangan dari penduduk desa-desa sekitar sini berupa bahan- bahan makanan, tetapi tidak pernah melakukan pembunuhan! Barangkali pembunuhan itu dilakukan oleh orang-orang Manchu sendiri untuk memfitnah kital"
Kali ini Pakkiong Liong yang menjawab.
"Keingkaran kalian akan tingkah laku bawahan kalian itu adalah gambaran dari kebusukan dinasti Beng dulu. Kalianlah tokoh-tokohnya. Kalau ada hal yang baik, semuanya berebutan mengaku bahwa itulah perbuatannya. Kalau ada hal yang tidak beres, kalian saling melemparkan kesalahan, atau mencari kambing-hitam. Dan belakangan ini kambing-hitam yang paling laris adalah kami, bangsa Manchu!" . Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang saling bertukar pandangan dengan keheran- heranan. Benarkah ada sekelompok anak-buah mereka yang telah menyeleweng dari tata-tertib yang telah mereka gariskan, yaitu tidak boleh mengganggu rakyat? Mungkinkah Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou menuduh mereka secara sembarangan saja?"
Tong Lam-hou tertawa dingin, kali ini ia menggampar muka Li Tiang-hong beberapa kali, lalu berkata kepada Pakkiong Liong.
"Inilah calon-calon pemimpin dari dinasti yang akan mereka dirikan kembali itu? Tidak bisa menguasai anak-buahnya sendiri, dan setelah itu berpura-pura bodoh dan tidak tahu seperti sikap kalian ini? Huh, betul-betul memuakkan. A-liong, baiknya kita bawa mereka ke Jit-siong- tin lebih dulu, supaya mereka dapat melihat sendiri betapa hebatnya hasil karya anak buah mereka!"
"Baik!"
Sahut Pakkiong Liong sambil menotok kembali jalan darah pembisu Li Tiang- hong, hampir bersamaan waktunya dengan jari- jari Tong Lam-hou juga menotok jalan darah pembisu di tubuh Pangeran Cu Hin-yang.
Maka kedua orang itupun kemudian memanggul tawanannya masing-masing menerobos gelapnya malam.
Mereka sengaja tidak melewati jalan yang tadi, sebab dengan terjadinya keributan di barak itu maka jalan itu tentu telah dijaga ketat.
Kini mereka menyusup- nyusup di antara padang ilalang dan hutan hutan yang tidak begitu lebat, dan dengan ketajaman mata mereka maka tidak sulit untuk meneruskan perjalanan meskipun malam sangat gelap.
Mereka tidak takut seandainya harus bertemu dengan binatang buas jenis apapun.
Tapi yang membuat Tong Lam-hou menggerutu terus-menerus bukannya karena harus menyusup-nyusup seperti itu, melainkan karena harus memondong Pangeran yang dibencinya karena dianggapnya bertanggung- Jawab atas pembantaian di Jit-siong-tin itu.
"Andaikata kau tidak dibutuhkan hidup-hidup oleh pemerintah kerajaan, rasanya aku ingin menyeretmu saja daripada memanggulnya seperti ini,"
Gerutu Tong Lam-hou.
"A-liong, apakah kita akan terus memanggul kedua bangsat ini sampai ke kota Kun-beng?"
Pakkiong Liong menahan senyumnya mendengar sahabatnya yang menggerutu saja itu. Sahutnya.
"Tidak. Nanti begitu terang tanah kita akan mencari sebuah gerobak atau kereta, tentu ada orang desa yang mau menjualnya jika kita beli dengan harga yang agak tinggi. Nah, kita angkut mereka berdua dengan gerobak itu."
"Dan kalau bisa cari dua perangkat pakaian orang biasa. Aku sudah muak mengenakan seragam pembunuh dan perampok ini,"
Kata Tong Lam-hou sambil menunjuk pakaian prajurit Beng yang, masih dipakainya itu.
Alangkah sakit hati Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang mendengar ucapan- ucapan Tong Lam-hou itu.
Namun mereka berdua sekaligus juga mendapatkan satu kesimpulan, bahwa orang-orang yang berpihak kepada pemerintah Manchu bukan cuma orang- orang yang gila harta atau gila pangkat, namun juga ada yang sepenuh hati mendukung pemerintahan Manchu karena tidak ingin melihat bangkitnya kembali dinasti Beng.
Orang-orang jenis ini tentu tidak segan-segan mempertaruhkan nyawanya untuk membela tegaknya pemerlntahan Manchu, bukan sekedar karena upah atau menjalankan perintah.
Bagi mereka, bangkitnya kembali dinasti Beng sama saja dengan bangkitnya lagi tirani maha kejam yang telah belasan tahun menyengsarakan rakyat di masa Kaisar Cong-ceng.
Dan jika ada asap tentu ada apinya, jika ada orang membenci dinasti Beng tentu ada penyebabnya, bukan benci begitu saja.
Hal itu mungkin disebabkan oleh tindakan-tindakan buruk orang-orang dinasti Beng sendiri, baik semasa masih berkuasa dulu maupun sekarang yang berkedok gerakan pembebasan tanah-air.
Hanya dengan semboyan muluk-muluk seperti "bebaskan tanah air"
Atau "tumbangkan bangsa Manchu"
Ternyata belum cukup untuk menarik banyak orang ke pihak kaum pergerakan, sebab semboyan muluk-muluk harus dibarengi dengan tlngkah-laku yang baik pula dari orang orang pergerakan sendiri, barulah rakyat akan percaya bahwa mereka benar-benar membela rakyat.
Dan di masa pemerintahan Kaisar Sun-ti dari dinasti Manchu itu, justru pihak pemerintah Manchu yang lebih berhasil merebut hati rakyat, meskipun kadang-kadang tentara Manchu juga menunjukkan tangan besinya dalam menghadapi golongan-golongan yang hendak memberontak.
Ketika menyadari hal itu, pangeran Cu Hin-yang merasa prihatin.
Ternyata tingkah-laku orang-orangnyalah sendiri yang menjauhkan mereka dari hati rakyat, bukan karena sepenuhnya di adudomba oleh pemerintah Manchu seperti yang diduga semula.
"Jika suatu saat rakyat Han sudah terbuai oleh kebaikan. pemerintah Manchu, maka semakin sulitlah untuk membangkitkan kesadaran rakyat untuk merebut kemerdekaan dari tangan orang Manchu,"
Demikian pikir Pangeran.
"Dan harapan untuk membangkitkan kembali dinasti Beng jadi semakin kabur Namun jauh di dasar hati Pangeran itu juga ada suara lain.
"Kenapa harus dinasti Beng? Apakah hanya keturunan keluarga Cu yang berhak satu-satunya untuk duduk di singgasana? Apa jeleknya Manchu? Apa salahnya jika orang Han dan Manchu berbaur menjalin persatuan yang kuat? Bukankah yang namanya bangsa Han itu ratusan tahun yang lalu juga terdiri dari berbagai negeri sebelum disatukan oleh Cin-si-ong dan dilanjutkan, oleh Han-ko-kou Lau Fang? Kenapa harus membeda- bedakan keturunan?"
Namun setiap kali Pangeran selalu membungkam suara hatinya yang paling dalam itu.
Setiap kali ditekankannya sendiri dalam hati bahwa Manchu adalah musuh yang harus ditumpas, kalau perlu kobarkan perang.
Dan dalam perang, yang jadi korban biasanya malah orang-orang yang tak tahu apa-apa, sedang perencana-perencana perang itu sendiri tetap aman di belakang mejanya, jauh dari garis depan, biar orang lain yang mempertaruhkan nyawa untuk nafsu berkuasanya.
Ketika fajar menyingsing, Pak-kiong Liong, Tong Lam-hou dan tawanan-tawanan mereka telah mendekati sebuah desa yang di gapuranya masih juga berkibar bendera Jit-goat-ki.
Mereka meletakkan tawanan-tawanan di tanah dan mengikat tangan mereka dengan ikat pinggangnya masing-masing, kata Pakki-ong Liong.
"A-hou, tunggui sebentar tawanan- tawanan ini. Aku akan masuk ke desa untuk mencoba mencari orang desa yang mau menjual gerobak dan binatang-binatang penariknya sekalian. Mungkin juga pakaian dan sedikit makanan."
Bersambung ke
Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditiya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU
Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.
Jilid api pakaianmu itu akan membuat orang desa ketakutan."
"Apa boleh buat, memangnya aku harus menanggalkan seragam prajurit Beng ini dan masuk ke desa dengan telanjang bulat? Pokoknya aku kan tidak merugikan penduduk, akan ada ganti rugi yang pantas."
Tong Lam-hou menganggukkan kepalanya, sementara Pakkiong Liong melangkah pergi.
Sambil menunggu datangnya Pakkiong Liong kembali, Tong Lam-hou memandangi kedua tawanan yang terikat, itu dengan mata yang menyala penuh kemarahan.
Andaikata tidak dipesan oleh Pakkiong Liong untuk "T membiarkan tawanan itu tetap hidup, ingin rasanya Tong Lam-hou mencekik kedua orang itu.
Ia membayangkan bagaimana orang-orang Jit-siong-tin yang baik hati itu menjerit-jerit minta ampun, tapi tak dipedulikan oleh prajurit- prajurit Beng itu, dan dengan ganasnya prajurit- prajurit itu berpesta pora dengan nyawa sesamanya.
Pangeran dan Li Tiang-hong bergidik karena ditatap secara itu oleh Tong Lam-hou menjadi bergidik karenanya, seperti dua orang terdakwa yang menyimpan seribu kesalahan di depan seorang hakim.
Selama ini mereka menganggap bahwa orang-orang yang berpihak kepada pemerintah Manchu hanyalah orang- orang upahan yang berjuang demi gaji dan kedudukan saja, namun kini dijumpainya orang jenis lain lagi.
Orang yang berpihak kepada pemerintah Manchu karena dendamnya kepada dinasti Beng.
Orang seperti ini tanpa dibayar sesenpun pasti sanggup menarung-kan nyawanya demi pemerintah.
Memangnya yang berpendidikan kuat itu hanya pihak mereka sendiri, dan pihak musuh tidak ada yang berpendirian kuat pula? Tidak lama kemudian Pakkiong Liong sudah datang kembali ke pinggir hutan itu dengan membawa sebuah gerobak yang ditarik seekor kerbau jantan Pakaian Pakkiong Liong juga sudah ganti dengan pakaian sederhana seperti orang desa umumnya.
Sambil tertawa Pakkiong Liong melemparkan segulung pakaian orang desa lainnya kepada Tong Lam-hou, katanya.
"Nih, kau pakai ini!"
Kedua tawanan itupun dinaikkan ke dalam gerobak, lalu bagian atas tubuh mereka ditutupi dengan jerami.
Jentu saja Li Tiang-hong dan Pangeran sangat mendongkol karena diperlakukan seperti itu, namun mereka tidak dapat berbuat apa.
Bahkan kemudian Tong Lam-hou dengan enaknya berbaring di atas tubuh mereka, sementara Pakkiong Liong yang bertindak sebagai saisnya.
Perjalananpun menjadi lebih lancar, meskipun berulang kali mereka bertemu dengan prajurit-prajurit Beng yang sibuk melacak jejak pimpinan mereka yang diculik.
Prajurit-prajurit itu tidak curiga kepada gerobak ditarik seekor kerbau yang dinaiki oleh dua orang anak desa, dan muatannya hanya jerami itu.
Li Tiang-hong dan Pangeran tadinya bermaksud untuk mogok makan saja agar mati sekalian, namun Tong Lam-hou selalu memaksakan untuk memasukkan makanan ke mulut mereka sehingga gagallah niat mereka untuk membunuh diri dengan mogok makan itu.
Suatu ketika Li Tiang-hong dan Pangeran berkeras tidak mau membwa mulut mereka dengan mengatupkan gigi mereka kuat-kuat, sehingga Tong Lam-hou terpaksa mengancamnya.
"Kalian tidak mau makan? Baik. Kuhitung sampai tiga, jika kalian belum mau membuka mulut, maka aku telanjangi kalian untuk dipertontonkan kepada penduduk desa. Biar mereka melihat bagaimana agungnya calon Kaisar dan calon Panglima Tertinggi dari Kerajaan Beng Yang Agung itu!"
Ancaman itu ternyata manjur sekali, dan kedua tawanan itu mau menelan makanannya.
Sedang Pakkiong Liong hanya geleng-geleng kepala saja melihat cara temannya itu memperlakukan tawanan-tawanannya.
Tapi ia tidak dapat mencegahnya, meskipun kadang- kadang dicobanya juga untuk memperlunak sikap Tong Lam-hou yang sangat keras itu.
Jarak ke kota Kun-beng sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar seratus li ( satu li tepatnya empatratus empatpuluh dua meter), namun karena kerbau penarik pedati itu berjalan dengan seenaknya, maka setelah menginap semalam di perjalanan mereka belum juga mencapai separuh dari perjalanan mereka.
Mereka masih saja berada di Jalan-jalan yang panjang yang menghubungkan desa-desa yang jaraknya berjauhan satu sama lain, di antarai oleh padang-padang ilalang yang kadang kadang nampak tak bertepi.
Atau hutan-hutan kecil tempat orang mencari kayu bakar atau binatang buruan.
Siang itu, ketika mereka tengah berada di tengah-tengah sebuah padang ilalang sementara pedati mereka merambat dengan pelannya bagaikan siput, tiba-tiba dari arah belakang mereka terdengar derap kaki kuda yang gemuruh, dengan debu yang mengepul tinggi.
Kelihatannya rombongan penunggang kuda yang datang dari barat itu berjumlah lebih dari duapuluh lima orang.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cepat Pakkiong Liong menepikan pedatinya agar rombongan dari belakangnya itu bisa lewat.
Namun ternyata rombongan itu tidak ingin mendahului pedati itu, melainkan ingin menghentikannya.
Bahkan dari antara orang- orang berkuda itu telah terdengar teriakan.
"He, pedati yang di depan itu! Berhentilah kalian!"
Sudah terang jalannya kerbau penarik pedati itu tidak dapat menandingi kuda-kuda yang tegar itu, sehingga sekejap kemudian pedati itu tersusul. Lalu salah seorang penunggang kuda itu tertawa dingin.
"Selamat bertemu kembali, Pakkiong Ciangkun (Panglima Pakkiong) yang perkasa!"
Ketika Pakkiong Liong melihat orang yang menyapanya, itu, maka iapun mengeluh dalam hatinya.
Orang itu adalah pentolan Hwe-liong- pang Ma Hiong, yang berjuluk Siau-lo-cia (si Dewa Locia Kecil).
Sedang yang lain-lainnya adalah orang-orang berkuda yang dilihatnya di Jit-siong-tin beberapa hari yang lalu seperti Tong Wi-hong beserta adik dan iparnya, dua orang bekas tokoh Hwe-liong-pang lainnya seperti Jian-kin-sin-kun Lu Siong yang bermuka hitam serta Bu-ing-tui Oh Yun-kim si orang Korea itu, dan si pendeta Buddha Bu-sian Hweshio dan si imam Bu-tong-pay Te-sian Tojin.
Tetapi yang membuat Pakkiong Liong heran adalah ketika melihat Kongsun Hui ada pula di antara mereka.
Bukankah kabarnya orang-orang bekas dinasti Beng itu bermusuhan dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang dulunya adalah pengikut-pengikut Coan-ong Li Cu-seng itu? Pakkiong Liong memang pernah melihat kerjasama kedua pihak itu ketika melawan pihaknya di kuil kecil San-sin-bio dulu, namun kerjasama yang tidak erat dan bahkan kedua belah pihak masih sempat saling mencaci-maki.
Kini mungkinkah mereka telah bekerjasama lagi? Melihat kekuatan musuhnya, Pak-klong Liong segera sadar bahwa kekuatan musuh jauh lebih besar dari kekuatannya sendiri, karena ia hanya berdua saja dengan Tong Lam-hou.
Tokoh-tokoh semacam Tong Wi-hong yang ilmu pedangnya hampir sempurna, Tong Wi-lian yang mahir bertangan kosong, suaminya Ting Bun yang ilmu goloknya juga hebat, serta tiga orang bekas Kongsun Hui, bukanlah musuh- musuh ringan.
Jika mereka maju serentak, habislah dirinya.
Sementara orang-orang berkuda itu telah melingkar mengepung dirinya.
Di bagian dalam lingkaran kepungan itu bersiaplah tokoh-tokoh berilmu tingginya, sedang di bagian luar dari kepungan itu adalah prajurit-prajurit Li Tiang- hong yang bercampur-aduk dengan anggauta- anggauta Hwe-liong-pang yang berpakaian serba hitam itu.
Kepungan begitu rapat sehingga Pakkiong.
Liong berbisik kepada sahabatnya.
"Seekor lalatpun sulit lepas dari kepungan ini."
Tong Lam-hou yang baru saja turun gunung dan masih getol-getolnya berkelahi itu segera menjawab.
"Tapi yang mereka kepung itu bukan lalat, melainkan seekor naga dan seekor macan dari selatan."
Pakkiong Liong menarik napas mendengar jawaban itu.
"Jangan pandang enteng mereka,"
Katanya memperingatkan. Sementara itu Kongsun Hui telah membentak.
"Pakkiong Liong, cepat bebaskan Pangeran dan Li Ciangkun, supaya kamipun mengampuni kalian berdua."
Mata Pakkiong Liong berkilat-kilat, sahutnya tenang.
"Kau tahu siapakah aku dan tentu tahu pula bagaimana aku akan menjawab."
"Bagus! Kau benar-benar berani, tapi hari ini kalian berdua akan menemui kematian kalian!"
Dengus Kongsun Hui sambil menarik keluar sepasang ruyung bajanya. Pakkiong Liong tertawa dingin, sesaat diedarkannya pandangannya ke sekelilingnya, ke arah musuh-musuh yang sudah memegang senjatanya masing-masing. Katanya.
"Kudenar ksyatria-ksyatria Hwe-liong-pang adalah para pendekar sejati yang memperjuangkann nasib pihak yang lemah. Tetapi kenapa hari ini kalian bersekutu dengan orang yang kejam, yang menumpas sebuah desa tanpa dosa tanpa kesalahan!"
Sahut Ma Hiong tegas.
"Kami sudah tahu apa yang terjadi di desa Jit-siong-tin, dan akan ada perhitungan tersendiri untuk itu. Namun dalam menghadapi penjajah negeri kami, kami harus melupakan permusuhan kami dulu."
Semua pihak sudah siap bertempur, hanya ada seorang yang masih ragu-ragu, yaitu Tong Lam-hou.
Andaikata yang dihadapinya itu orang-orang bekas dinasti Beng, ia tidak akan ragu-ragu untuk membabat mereka, namun menghadapi orang-orang Hwe-liong-pang maka Tong Lam-hou menjadi bimbang.
Mereka dulu adalah bekas anak buah ayahnya, terkenal sebagai pembela-pembela rakyat kecil yang gigih dan tanpa pamrih, haruskah sekarang ia membabat orang-orang seperti itu? Setelah berpikir sejenak, akhirnya Tong Lam-hou memutuskan akan bertempur di pihak Pakkiong Liong, namun lebih dulu ia akan mencoba mempengaruhi orang-orang Hwe-liong-pang.
Karena itu, ketika kedua pihak sudah bergerak untuk saling baku hantam, Tong Lam- hou tiba-tiba berteriak.
"Tahan! Siapa di antara kalian bekas anak buah Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong-pang! "
Seruan itu memang mengejutkan Ma Hiong, Lu Siong dan Oh Yun-kim yang merupakan bekas anakbuah Tong Wi-siang itu, dan sampai sekarangpun mereka masih tetap setia kepada cita-cita Ketua mereka.
Dengan heran mereka memandang Tong Lam-hou yang telah menyebut hama Ketua Hwe-liong-pang itu.
"Siapa kau?"
Tanya Lu Siong kepada Tong Lam-hou. Cepat Tong Lam-hou melepaskan kalung kumala hijau yang selalu tergantung di lehernya itu, dan diangkatnya tinggi-tinggi sambil berseru.
"Aku Tong Lam-hou, anak Tong Wi- siang! Setiap anggauta Hwe-liong-pang yang masih setia kepada cita-cita Hwe-liong-pang untuk membela rakyat kecil, harap minggir dan jangan bersekutu dengan pembunuh- pembunuh kejam yang berkedok pembela tanah-air itu!"
Pengakuan Tong Lam-hou itu menggemparkan sebagian dari para pengepung itu.
Bukan saja bekas orang-orang Hwe-liong- pang yang terkejut, tetapi si pendekar dari Tay- beng, Gin-yan-cu Tong Wi-hong, juga menampakkan rasa kagetnya.
Begitu pula adiknya yang bernama Tong Wi-lian serta suaminya yang bernama Ting Bun.
Sesaat ketiga orang itu menatap wajah Tong Lam-hou lekat- lekat, dan hampir bersamaan mereka bergumam.
"Kalung itu benar-benar milik A- siang. Dan wajah anak muda inipun agak mirip dengan A-siang, mungkinkah ia benar-benar anak A-siang yang selama ini kami cari-cari tetapi tak pernah bertemu?"
Tong Wi-hong yang berpakaian serba putih itu segera memajukan kudanya dan bertanya.
"AnakmuHa, benarkah kau anak Tong Wi- siang?"
"Ya, aku benar-benar anaknya, meskipun aku tidak pernah melihat wajah ayah karena beliau gugur ketika aku masih dalam perut ibuku. Buat apa aku mengaku-aku orang lain sebagai bapakku?"
Wajah pendekar dari Tay-beng itu tiba-tiba saja menampakkan rasa haru. Katanya agak tersendat.
"Kalau begitu, nak, kau adalah keponakanku. Aku adalah adik dari ayahmu, dan orang itu..."
Katanya sambil menunjuk kepada Tong Wi-lian.
"...adalah bibimu, sebab ia juga adik dari ayahmu."
Perasaan Tong Lam-hou sangat terguncang ketika menghadapi kenyataan itu.
Tadinya ia menyangka bahwa satu-satunya keluarganya di dunia ini adalah ibunya, namun kini ditemuinya lagi seorang paman dan seorang bibi.
Haruskah ia bergembira, atau bersedih sebab paman dan bibinya itu ternyata berdiri di pihak yang berlawanan? Sesaat Tong Lam-hou hanya membeku di atas pedatinya, tanpa tahu apa yang harus diperbuatnya.
Sementara itu, yang mendengarkan percakapan itu dengan perasaan agak cemas adalah Pakkiong Liong.
Jika sampai Tong Lam- hou terpengaruh oleh lawan, maka Pakkiong Liong benar-benar akan berdiri seorang diri menghadapi sekian banyak lawan.
Bukan cemas karena takut mati, namun cemas karena tugasnya akan gagal dan pengacau-pengacau negara seperti Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang masih akan bebas berkeliaran.
Cemas karena ia merasa belum puas mengabdi kepada negerinya.
Tapi kemudian Pakkiong Liong menjadi pasrah, apapun yang terjadi, ia siap mati demi tugasnya, ia adalah prajurit dan tetap akan menjadi prajurit sejati sampai akhir hayatnya.
Ia juga tidak ingin mempengaruhi keputusan yang diambil oleh Tong Lam-hou nantinya.
Ia sangat mencintai dan menghormati sahabatnya itu, dan akan membiarkan sahabatnya itu menentukan pilihannya sendiri, meskipun pilihan sang sahabat barangkali bisa merubah persahabatan di antara mereka menjadi permusuhan.
"A-hou seorang lelaki sejati,"
Pikir Pakkiong Liong dengan mantap.
"Sebagai kawan atau sebagai lawan, aku akan tetap menghormatinya. Hormat yang tulus antara sesama orang- jantan."
Suasana jadi tegang, seolah mereka berubah jadi patung-patung batu yang membeku.
Tong Lam-hou nampak ragu ragu, ketika ia menoleh ke wajah Pakkiong Liong, dilihatnya wajah sahabatnya itu begitu tenang tanpa kecemasan sedikitpun.
Bahkan Pakkiong Liong membalas tatapan matanya, dan tersenyum, dan berkata.
"Jangan minta pendapatku. Tentukan sendiri pendapatmu secara jantan."
Bukan saja Tong Lam-hou, tetapi bahkan pihak musuhpun timbul rasa hormatnya kepada sikap ksyatria Pakkiong Liong.
Namun betapapun kagumnya mereka, Pakkiong Liong tetap seorang musuh yang harus dilenyapkan.
Tong Lam-hou mengangkat kedua tangannya di depan dada memberi hormat kepada Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian, katanya.
"Sebagai keponakan aku memberi hormat kepada paman dan bibi, terimalah salamku. Dengan sangat, hormat aku menganjurkan kepada paman dan bibi agar tidak berteman dengan sisa-sisa dinasti Beng itu."
Setitik rasa kecewa nampak muncul di wajah Tong Wi-hong dan adik perempuannya.
Dulu kakak mereka, Tong Wi-siang pernah menggoncangkan dunia persilatan dengan Hwe- liong-pangnya, dan akankah sekarang puteranya juga mengguncangkan dunia dengan berpihak kepada bangsa Manchu? Kata Tong Wi hong dengan nada amat sabar.
"Lam-hou, kau jangan salah memilih. Sejelek-jeleknya dinasti Beng, mereka masih bangsa Han. Dan sebaik- baiknya bangsa Manchu, mereka adalah orang asing yang mengangkangi negeri kita."
Kembali keragu-raguan bergelut di dada Tong Lam-hou.
Terbayanglah bagaimana ia sering merindukan mempunyai keluarga yang lain kecuali ibunya, meskipun ibunyapun seorang yang cukup baik.
Orang lain punya ayah, punya ibu, paman, bibi, saudara sepupu dan sebagainya, kenapa ia tidak boleh menginginkannya? Dan impiannya itu a-geiknya tidak sia-sia, ia ternyata ma-si.h punya seorang paman dan seorang bibi, dan barangkali juga beberapa saudara sepupu, anak-anak dari pamannya dan bibinya itu.
Saudara-suadaru sepupu yang sepantaran usianya dengan sendiri, tidaklah itu menggembirakan? Tapi bayangan lainnya melintas di benaknya.
Bukankah orang-orang Jit-siong-tin juga cukup ramah kepadanya? Bertahun-tahun hidup bertetangga dengar, mereka, saling memberi dan menerima, kadang-kadang bertengkar namun besoknya sudah bergurau kembali.
Kebaikan dan kehangatan apa yang kurang dari mereka? Tapi kenapa mereka dibantai, dibakar, disiksa sampai habis? Kenapa'? Tiba-tiba darah Tong Lam-hou mendidih, ketika ia mengangkat kembali wajahnya, maka kebimbangan sudah tak terlihat lagi.
Sinar matanya tajam penuh kepercayaan diri, geramnya.
"Aku sudah menemukan pilihan, paman."
Semuanya menunggu dengan tegang apa yang akan diucapkan oleh Tong Lam-hou. Terutama Tong Wi-hong, Tong Wi-lian dan suaminya, bekas orang-orang Hwe-liong-pang dan juga Pakkiong Liong sendiri.
"Paman dan bibi yang aku hormati bagaimanapun eratnya persahabatanku dengan Pakkiong Liong, namun persahabatan kami hanyalah persahabatan antar pribadi, jauh kalau penting dibandingkan urusan yang menyangkut seluruh negeri,"
Kata Tong Lam- hou dengan mantap.
"Karena itu, aku tidak akan berpihak kepada Pakkiong Liong secara pribadi. Tidak. Aku berpihak kepada ketertiban negeri ini, dan aku akan melawan setiap perusuh yang manapun juga termasuk yang berkedok sebagai pembela rakyat tetapi membantai rakyat!"
Seperti setetes embun yang menetes di hati Pakklong Liong, jawaban Tong Lam-hou itu sangat melegakan Pakkiong Liong.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan karena takut mati, namun karena dianggapnya pemerintah kerajaan akan mendapat tambahan kekuatan.
Sesaat kedua sahabat itu saling bertukar pandangan dengan hangat, lalu Tong Lam-hou berkata kepada paman dan bibinya.
"Cita-cita yang sama untuk menegakkan ketertiban di negeri ini, dan membangun negeri ini menjadi negeri yang besar seperti di jaman Jengish Khan dulu, itulah tali ikatan yang mempersatukan aku dan Pakkiong Liong!"
"Jadi kau memilih menjadi anjing penjajah untuk memusuhi rakyat sendiri?"
Teriak Kongsun Hui dengan berang.
"Siapa yang memusuhi rakyat?"
Balas Tong Lam-hou.
"Bangsat, kau boleh meneriakkan sejuta semboyan muluk-muluk di hadapanku, tetapi aku sudah melihat sendiri akibat dari keganasan kalian! terkutuklah kalau aku bersekutu denan bandit-bandit keluar dinasti Beng dan dan begundal-begundalnya macam kau."
Sementara itu Pakkiong Liong telah meloncat turun dari pedati, dan menggerak- gerakkan tangannya untuk menghangatkan otot-ototnya, lalu katanya kepada Tong Lam- hou.
"Nah, A-hou, kalau Naga utara dan Macan Selatan sudah bersatu hati, agaknya pertempuran sudah bisa dimulai nih!"
Tong Lam-hou yang sudah mendapat ketetapan hati itupun segera melompat turun- dari kudanya, dan menyahut.
"Benar, A-liong, aku sebenarnya sudah ingin mulai sejak tadi. Tetapi kali ini jangan mencegah aku untuk menghajar begundal-begundal si Kaisar Tiau-si- kui itu!"
Pakkiong Liong tertawa.
"Tidak, aku tidak akan mencegahmu lagi. Berbuatlah sesukamu!"
Li Tiang-hong dan Pangeran yang terikat di dalam pedati, serta Kong-sun Hui yang di luar pedati itupun marah bukan kepalang mendengar ucapan Tong Lam-hou tadi.
Kaisar Cong-ceng sangat mereka hormati, namun Tong Lam-hou telah mengejeknya dengan sebutan "tiau-si-kui"
Alias "setan penggangtungan", sebab Kaisar Cong-ceng memang mati menggantung diri di bukit Bwe-san, ketika istananya tidak dapat dipertahankan lagi dari serbuan laskar Li Cu-seng.
"Budak Manchu, tutup mulutmu yang kotor itu!"
Bentaknya sambil menggerakkan ruyung bajanya bersilang ke pelipis Tong Lam-hou.
Tong Lam-hou cepat menggunakan gerakan-gerakan Hong-hong-liam-tau (Burung Hong Menganggukkan Kepala) untuk mengelakkan serangan itu, telapak tangannya balas menebas ke rusuk lawan.
Sambil berbuat demikian ia masih sempat berteriak.
"Paman dan bibi, menyingkirlah dari arena. Jangan membela pembunuh-pembunuh ini! Saudara- saudara Hwe-liong-pang juga aku harap menyingkir saja!"
Tong Wi-hong menarik napas dalam-dalam.
Melihat gerakan anak Tong Wi-siang ketika melawan Kongsun Hui itu saja sudah cukup baginya untuk menyimpulkan bahwa keponakannya itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi, mungkin lebih tinggi dari dirinya sendiri.
Ia bangga, tapi juga sedih.
Namun Tong Wi-hong tidak mundur begitu saja, segera dicabutnya pedangnya, lalu tubuhnya bagaikan seekor burung walet saja telah menyerbu ke arah Pakkiong Liong.
Tidak percuma julukannya sebagai Gin-yan-cu (si Walet Perak), sebab gerakannya benar-benar teramat cepat seperti seekor burung walet menukik dari(udara, dan ujung pedangnya terpecah menjadi puluhan bintik-bintik perak yang seperti hujan gerimis mencurah ke tubuh Pakkiong Liong.
Itulah jurus Jit-seng-kan-goat (Tujuh Bintang Mengejar Rembulan) dari ilmu pedang aliran Soat-san- pay yang terkenal kehebatannya.
"Bangsat Manchu, kaulah yang telah meracuni pikiran keponakanku sehingga ia membela pihakmu secara mati-matian!"
Bentak Tong Wi-hong. Pakkiong Liong cepat melompat bergeliatan beberapa kali di udara, dan seluruh serangan Tong Wi-hpng itu-pun lenyap tanpa menemui sasarannya. Sahut Pakkiong Liong.
"Tong Lam- hou sudah berumur duapuluh dua tahun, cukup dewasa untuk menentukan sikapnya sendiri dan sudah melihat sendiri mana yang dan mana yang salah. Bukan aku yang mempengaruhinya."
Sambil berkata demikian, Pakkiong Liong mengambil sebatang pedang dari bawah tumpukan jerami di pedatinya.
Sebenarnya Pakkiong Liong tidak membawa senjata, namun ketika ia menangkap Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang, maka pedang kedua tawanan itu telah ikut terbawa, dan disembunyikan di bawah tumpukan jerami di pedatinya.
Kebetulan pedang yang diambilnya adalah pedang milik Li Tiang-hong yang ukurannya agak besar dan bobotnya mantap, cocok untuk Pakkiong Liong yang juga bertenaga besar itu.
Maka bertarunglah kedua orang itu dengan sengitnya.
Ilmu pedang Soat san-pay yang mengutamakan kelincahan gerak serta kerumitan perubahan-perubahan jurus yang sulit diduga berhadapan dengan ilmu pedang Thian-liong-pay dari Tibet yang mengutamakan kemantapan gerak dan kekokohan kuda-kuda dan pinggang itu.
Kelincahan melawan kemantapan.
Tubuh Gin-yan-cu Tong Wi-hong bagaikan tanpa bobot saja telah berloncatan kian-kemari dengan cepatnya, sementara pedang di tangannya mencurah bagaikan hujan dengan tusukan tusukan yang beraneka-ragam.
Pedang dan tangan pemegangnya seolah telah menjadi sejiwa, memainkan Soat-san-ki-am- hoat dengan mahirnya.
Ilmu pedang itu jarang melakukan sabetan-sabetan melebar, tapi lebih banyak melakukan tikaman, irisan kecil atau menggores dengan ujung pedang.
Itulah ciri pedang Soat-san-pay.
Lincah, tidak terlalu bertenaga, namun sulit dijaga karena geraknya yang aneh-aneh.
Namun murid kesayangan Hoat-seng Lama dari Tibet itu tidak menjadi kebingungan melihat ulah musuhnya.
Kuda-kudanya yang kokoh bagaikan batu karang, ia jarang sekali meloncat, lebih banyak bergeser sambil melangkah pendek-pendek, dan pedangnya berputar di sekeliling tubuhnya bagaikah angin pusaran yang siap menelan dan melumatkan musuhnya.
Kadang-kadang Pakkiong Liong meloncat menerkam juga, seperti seekor naga yang bermain di angkasa, seolah-olah menyemburkan api dan kemulian sambil menyabet bagaikan seekor naga yang tengah murka.
Dengan demikian perkelahian itu berjalan amat seru.
Tong Wi-hong sadar bahwa tenaganya sendiri tidak sebesar lawannya, karena itu dalam setiap benturan pedang ia tidak pernah mengotot agar pedangnya tidak tergetar, namun justru pedangnya seolah-olah terpantul dan kemudian melakukan serangan dengan gerakan lain.
Tetapi lawan bukan hanya bertahan dengan rapat, tapi juga menyerang begitu dahsyat.
Setelah berlangsung beberapa jurus, kelihatan bahwa Pakkiong Liong sedikit lebih unggul dari lawannya.
Tapi keunggulan itu tidak bertahan lama, sebab Ting Bun, suami dari adik Tong Wi-hong, segera terjun ke arena dengan goloknya, sambil berseru.
"A-hong, kita ringkus bersama bangsat Manchu ini!"
Ilmu golok yang dilatih oleh Ting Bun adalah Ngo-hou-toan-bun-to-hoat yang mengutamakan banyak gerakan-gerakan memotong langkah lawan, dan kemudian membenturnya secara keras.
Dengan tenaga besarnya itu maka Ting Bun tidak ragu-ragu andaikata harus berbenturan tenaga dengan Pakkiong Liong, meskipun ia heran juga karena menemui seorang anak muda sehebat Pakkiong Liong yang sanggup menandingi kekuatan Gwa- kang (Tenaga Luar) miliknya.
Dan kerepotan Pakkiong Liong bertambah lagi setelah isteri Ting Bun, yaitu Tong Wi-lian terjun pula ke arena.
Meskipun perempuan setengah baya itu tidak memegang senjata apapun, namun ujung jari-jarinya merupakan senjata yang berbahaya, sebab Pakkiong Liong pernah juga mendengar ketenaran nama itu.
Perempuan itu menyerang dengan dua macam ilmu silat dari Siau-lim-pay, yaitu Pek-ho-kun (SilatBangau Putih) dan Coa- kun (Silat Ular).
Jika Pakkiong Liong menghantam bagaikan naga mengamuk, maka perempuan.
itu dengan lincahnya menyingkir jauh, namun kemudian melejit maju untuk balas menyerang dengan tusukan jari-jari tangannya yang terlatih kuat itu.
Dengan demikian kini Pakakiong Liong harus menghadapi perlawanan yang amat berat dari tiga orang musuh tangguh itu.
Mereka bertiga dari keluarga pendekar ternama.
Di sebelah lain, Tong Lam-hou juga menghadapi pekerjaan yang tidak kalah beratnya.
Ia juga menghadapi tiga orang yang berilmu tinggi, masing-masing adalah Kongsun Hui yang mahir dengan sepasang ruyung baja, Bu-sian Hweshio dari Siau-lim-pay dengan tongkat panjangnya yang memainkan serangan bergelombang seperti ombak samudera menghantam pantai, dan si imam Bu-tong-pay, Te-sian Tojin yang ilmu pedangnya juga hebat itu.
Ketiganya dapat bekerja-sama dengan baiknya sehingga Tong Lam-hou makin lama makin terjepit.
Suatu ketika Tong Lam-hou mendapat kesempatan untuk mendekati pedatinya, dan mengambil pedang yang tadinya dimiliki oleh Pangeran Cu-Hin-yang.
Dengan Jika Pakkiong Liong menghantam bagai-, kan naga mengamuk, maka perempuan itu dengan lincahnya menyingkir jauh, namun kemudian melejit maju untuk balas menyerang dengan tusukan jarinya.
pedang di tangan itulah mereka bertiga mendapat periawan gigih dari Tong Lam-hou.
Dalam perkelahian itu, Tong Lam-hou melihat bahwa Kongsun Hui adalah titik yang terlemah dari kerjasama tiga orang itu, dalam arti dialah yang ilmunya paling rendah, maka Tong Lam-hou memusatkan sebagian besar tekanannya kepada bekas Panglima Beng itu.
Dengan harapan jika Kongsun Hui rontok maka si pendeta Siau-lim dan si imam Bu-tong akan lebih mudah untuk diladeni, Tapi kedua orang beribadat itupun agaknya tidak membiarkan Kongsun Hui menjadi sasaran tunggal yang ditekan terus-terusan oleh lawan.
Merekapun berusaha memecah perhatian Tong Lam-hou dengan menyerangnya lari arah yang berbeda.
Yang belum teriibat dalam perkelahian adalah bekas tiga orang Tong-cu (Kepala Kelompok) dalam Hwe-liong-pang Sesaat mereka menjadi kebingungan memilih lawan.
Ingin melawan Pakkiong Liong, mereka melihat tenaga Tong Wi-hong bertiga bersama adik perempuan dan iparnya sudah cukup untuk menekan si Naga Utara itu ke dalam kesulitan.
Jika mereka melawan Tong Lam-hou, mereka merasa segan juga, sebab mereka kini sudah tahu bahwa Tong Lam-hou adalah anak Ketua Hwe-liong-pang dulu.
Ketiga bekas Tong-cu yang tetap menghormati Ketua mereka meskipun, sudah meninggal itu, bagaimana sanggup bertempur melawan darah daging dari Ketua mereka sendiri? "Apakah kita bertiga hanya akan menjadi penganggur-penganggur dan penonton- penonton saja?"
Tanya Oh Yun-kim kepada kedua rekannya. Lu Sioang tidak sanggup menjawab dan melanjutkan saja pertar vaan itu keoaca Ma Hiong.
"Menurut pendapatmu bagaimana, saudara Ma?"
Ma Hiong lalu menjawab.
"Kalian berdua coba bantu Tong Taihiap bertiga, agar si naga liar itu cepat dijinakkan. Aku biarlah melihat ke dalam pedati untuk mencoba menolong Li Tiang-hong dan Cu Hin-yang."
"Saudara Ma, kau sudah berteman dengan begundal-begundal Cong-ceng itu?"
Tanya Jian- sin-kun Lu Siong dengan mata melotot. Sahut Ma Hiong.
"Jangan salah paham, saudara berdua. Pertolonganku kepada meraka hanya sekedar membayar lunas pertolongan yang pernah mereka berikan kepadaku. Tentang cita-cita, aku tetap Hwe-liong-pang sampai ke tulang sungsumku, seperti kalian juga."
"Mereka pernah menolongmu?"
"Ya, si pangeran kelaparan itu pernah membantuku ketika laskarku diserang oleh pasukan Bu San-kui dari Jing-toh. Dan Li Tiang- hong juga pernah memukul mundur tentara Manchu pada saat tentara Manchu hampir saja memusnahkan laskarku."
"Baiklah kalau sekedar membalas budi. Tapi hati-hatilah, saudara Ma, jangan sampai siasat mereka untuk mengikatmu denan budi kebaikan itu nanti melunturkan semangat dan cita-cita Hwe-liong-pang kita,"
Kata Oh Yun-kim.
"Jangan kuatir, saudara Oh. Andaikata tidak ada kejadian pembantaian di Jit-siong-tin itupun aku tetap tidak sudi bergabung dengan mereka. Kali ini bekerja-sama hanya karena ada anjing- anjing Manchu berkeliaran di sini."
Maka Lu Siong dan Oh Yun-kim segera memasuki gelanggang untuk ikut mengeroyok Pakkiong Llong sehingga kini Pakkiong Liong harus menghadapi lima orang lawan.
Dan kedua orang yang baru masuk ke gelanggang itupun bukan tokoh-tokoh yang dapat dianggap ringan, sebab dulunya mereka adalah Tong-cu dalam Hwe-liong-pang, suatu kedudukan yang cukup tinggi sehingga orang yang menjabatnya tentu memiliki ilmu yang rata-rata cukup tinggi.
Lu Siong sesuai dengan Julukannya sebagai Tinju Sakti Seribu Kati memang memiliki kekuatan pukulan yang dahsyat bukan main, sehingga menimbulkan deru angin kencang.
Gerak- geaknva sederhana saja, namun karena didukung kekuatan yang dahsyat dan kecepatan yang bagaikan kilat, maka lawan tidak akan berani memandang ringan kepadanya.
Pak kiong Liong cukup mengetahui hal itu, sekali tinju Lu Sicng mengenai tubuhnya maka kulitnya akan memar dan tulangnya akan retak, dan saat itu akan menjadi awal kebinasaannya.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di samping Lu Siong, masih ada si Tendangan Tanpa Bayangan Oh Yun-kim yang setingkat kepandaiannya dengan Lu Siong.
Kalau Lu Siong mengandalkan sepasang kepalanya yang kuat dan keras, maka Oh Yun- kim mengandalkan sepasang kakinya yang lincah luar biasa.
Tendangan yang aneh-aneh dilakukannya seolah-olah tanpa kesulitan sedikitpun, seolah tulang-tulang dan persendian kakinya selemas sutera saja.
Tetapi tendangan itu sendiri tidak selembut sutera melainkan seberat palu waja yang digerakkan dengan deras.
Akibatnya tidak akan kalah hebatnya dengan pukulan Lu Siong.
Menghadapi lima orang lawan sekaligus denan kepandaiannya masing-masing yang luar biasa itu, bagaimanapun gagahnya Pakkiong Liong, tetap kewalahan juga.
Kini dengan pedangnya ia lebih banyak bertahan daripada menyerang.
Meskipun demikian, ia belum berniat untuk menggunakan ilmu pukulan hawa panasnya yang disebut Hwe .jong-.-.in-kang itu.
Pukulan itu akan digunakannya jika sudah benar-benar terjepit, dan diharapkan akan menimbulkan kejutan pada lawan-lawannya.
Sebaliknya kelima orang lawan Pakkiong Liong itu pun kagum melihat bagaimana lihainya Panglima Pasukan Naga Terbang yang terkenal itu.
Kelima pengeroyok itu masing- masing adakah jago-jago tangguh di lingkungan- nya masing-masing, namun kini mereka sampai mengeroyok berlima belum juga berhasil membinasakan Pakkiong Liong, meskipun Pakkiong Liong sendiri juga sudah terdesak hebat, nampaknya, untuk membinasakan Pakkiong Liong masih diperlukan perkelahian puluhan jurus lagi.
Sementara itu, Ma Hiong telah meloncat ke arah pedati dan kemudian membongkar jerami yang memenuhi pedati itu.
Namun tiba-tiba terdengar bentakan di belakangnya.
"Saudara anggauta Hwe-liong-pang, ini bukan urusanmu!"
Ternyata Tong Lam-hou telah meloncat meninggalkan ketiga orang lawannya dan kemudian memperingatkan Ma Hiong itu. Ma Hiong yang merasa sungkan bertempur dengan Tong Lam-hou itu segera meloncat menyingkir, sambil berkata.
"Anak muda, jika kau benar-benar putera Hwe-liong Pang-cu, kau tentu tidak akan sudi menjadi budak Manchu. Ayahmu adalah seorang yang bercita-cita tinggi dan luhur, kau sebagai putera nya harus mewarisi semangatnya itu!"
"Aku mewarisinya. Aku bercita-cita- menjadikan negeri ini besar dan sejahtera dan jika kau benar-benar bekas anggauta Hwe- liong-pang yang setia, kau tentu tidak akan menolong bangsat-bangsat begundal Cong-ceng ini, sebab kau tentu tahu sendiri bagaimana keadaan pemerintahan di jaman Cong-ceng dulu!"
Balas Tong Lam-hou dengan tajam.
"Dan bukankah dulu yang dilawan oleh Hwe-liong- pang itu adalah pemerintahan Cong-ceng? Kenapa sekarang kau malah membantu mereka?"
"Aku tidak membantu mereka. Secara kebetulan aku dan mereka hanya sama sama mentang penjajahan bangsa Manchu atas negeri ini."
"Aku berpendapat bahwa Manchu tidak menjajah tetapi mempersatukan yang terpecah- belah supaya menjadi satu yang kuat. Tapi minggirlah, aku tidak ada waktu untuk berdebat denganmu!"
Ma Hiong menarik napas dalam-dalam. Apa boleh buat. Dengan berat hati ia berkata.
"anakmuda, kau sungguh berbeda jauh dengan ayahmu. Ayahmu adalah pemimpinku dulu, dan aku sangat menghormati dan menghargai cita- cita besarnya. Tetapi aku agaknya tidak dapat bersikap sama terhadap kau."
Tong Lam-hou juga menarik napas. Sahutnya.
"aku juga menyesal bahwa kita berdiri berseberangan. Tetapi aku punya cita- cita sendiri dan kalian tidak memahaminya. Tapi apa boleh buat. Dipahami oleh orang lain atau tidak, aku akan berjalan terus dengan cita- citaku."
Dengan berat hati pula Ma Hiong telah melepaskan sepasang senjata andalannya dari pinggangnya. Sepasang roda yang disebut Jit- goat-sing-lun (Sepasang Roda Matahari dan Rembulan). Jika senjata itu dinamakan "Jit-goat"
Yang merupakan lambang Kerajaan Beng, bukan berarti Ma Hiong mendukung Kerajaan Beng, melainkan karena senjata jenis itu memang begitulah namanya.
Bahkan jauh sebelum berdirinya dinasti Beng yang didirikan oleh Beng-thay-cou Cu Goan-ciang ratusan tahun yang lalu, senjata semacam kepunyaan Ma Hiong itu memang disebut Jit-goat-siang-lun.
Kemudian secara kebetulan saja Cu Goan-ciang menamakan dinasti yang didirikannya dengan nama dinasti Beng.
"Beng"
Yang berarti "cahaya"
Adalah aksara yang terdiri dari gabungan dua akasara "jit" (matahari) dan "goat" (rembulan) yang diletakkan berdampingan. Itulah sebabnya lambang "matahari"
Dan rembulan"
Menjadi lambang Kerajaan Beng.
Namun bagi Ma Hiong, nama senjatanya itu tidak ada hubungannya sedikitpun dengan sikap dan pendiriannya.
Maka Tong Lam-hou dan Ma Hiong segera terlibat dalam saling gempur yang sengit.
Meskipun mula-mula mereka saling merasa segan-segan, tetapi setelah serangan berbahaya saling dilontarkan dan hati juga semakin panas, maka rasa sungkanpun perlahan-lahan menghilang.
Masing-masing menyadari bahwa mereka harus mempertahankan pendirian mereka masing-masing dengan tidak tanggung- tanggung, kalau perlu dengan taruhan nyawa.
Sementara itu ketiga lawan Tong Lam-hou yang tadi, yaitu Bu-sian Hwe-shio, Te-sian Tojin dan Kongsun Hui juga tidak tinggal diam dan membiarkan Ma Hiong bertempur seorang diri.
Maka Tong Lam-houpun segera menghadapi empat orang musuh tangguh dengan kemahirannya sendiri-sendiri.
Ma Hiong dengan sepasang roda Jit-goat- siang-lunnya adalah seorang ahli berkelahi jarak pendek, langkah-langkahnya gesit dan selalu mencoba mengunci pedang Tong Lam- hou dengan merapatkan tubuhnya.
Namun Tong Lam-hou terlalu lincah, dengan loncatan- loncatan pendek ia selalu menjaga jarak dengan Ma Hiong agar tidak terlalu pendek sehingga pedangnya bisa dijepit oleh sepasang roda musuh.
Sebaliknya terhadap Bu-sian Hwe-shio yang memainkan Lo-han-tung-hoat (Toya Sang Malaikat) dengan mahirnya itu, Tong Lam-hou justru tidak ingin terlalu jauh dari lawannya yang bersenjata toya panjang itu.
Toya panjang Bu-sian Hweshio bagaikan seekor naga yang mengaduk lautan, namun Tong Lam-hou selincah seekor camar yang bermain-main di atas gelombang.
Bagaimanapun ganasnya gelombang laut, sang camar tidak akan pernah dapat ditenggelamk annya.
Tapi masih ada bahaya-bahaya lainnya untuk Tong Lam-hou.
Pedang Tesian Tojin yang mematuk dan melilit seperti, seekor ular berkulit perak itu juga tidak dapat diabaikan begitu saja, betapapun juga Te-sian Tojin adalah murid yang menonjol dari Bu-tong pay, sebuah perguruan yang terkenal dengan ilmu pedangnya.
Selain itu masih ada Kongsun Hui, yang meskipun orang terlemah dari antara empat orang itu, namun sepasang ruyung bajanya tetap berbahaya dan dapat meremukkan lawan.
Makin lama terasa makin berat juga bagi Tong Lam-hou untuk menghadapi empat orang lawan yang tangguh itu.
Jika mereka maju satu demi satu, atau bahkan dua demi dua, mereka tetap bukan lawan bagi murid kesayangan Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan itu.
Namun karena mereka maju berempat sekaligus, terasa alangkah beratnya bagi Tong Lam hou, apalagi keempat orang lawannya itu rata-rata memiliki pengalaman tempur yang jauh lebih banyak dari Tong Lam-hou yang baru saja turun gunung itu.
Kalau Tong Lam-hou yang hanya menghadapi empat orang saja sudah terasa berat bukan main, apalagi Pakkiong Liong yang menghadapi lima orang lawan.
Dan di antara lawan-lawannya itu terdapat Gin-yan-cu Tong Wi-hong, si pemimpin Tiong-gi-piau-hang di Taybeng yang terkenal ilmu pedangnya, serta si pendekar wanita Tong Wi-lian dari An-yang- shia yang terkenal, dengan patukan jari-jarinya yang tidak kalah dengan sepucuk pedang tajam itu.
Sebagai seorang yang sudah kenyang pengalaman di berbagai macam medan kekerasan, Pakkiong Liong segera merasa bahwa cara bertempur sendiri-sendiri yang dilakukan olehnya dan oleh Tong Lam-hou itu kurang cocok dengan keadaan.
Karena itu tiba- tiba Pakkiong Liong melakukan serangan beruntun sambil menyalurkan ilmu Hwe-liong- sin-kangnya ke telapak tangan kiri.
Hembusan hawa panas yang luar biasa dan mendadak itu memang mengejutkan lawan-lawannya, terutama bagi lawan-lawan yang kurang mendalami tenaga dalam seperti kedua bekas Tong-cu Hwe-liong-pang serta Ting Bun yang mengutamakan gwa-kang (tenaga luar) itu.
Mereka segera berloncatan mundur, sedangkan Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian yang tenaga dalamnya cukup matang saja juga agak terhambat gerakannya oleh hawa panas itu.
Kesempatan itu segera digunakan oleh Pakkiong Liong untuk meloncat bagaikan seekor elang menyambar di udara, masuk ke arena pertempuran Tong Lam-hou dan empat lawannya.
Dengan putaran pedangnya yang menimbulkan angin menderu dahsyat itu ia memaksa keempat lawan Tong Lam-hou berpencaran melebar, lalu teriaknya.
"A-hou, kita beradu punggung!"
Tong Lam-hou memahami maksud Pakkiong Liong itu.
Dengan cara beradu punggung, maka seseorang tidak u-sah lagi menguatirkan serangan dari belakang, cukup memperhatikan lawan yang dari depan atau samping saja.
Tak lama kemudian keduanya sudah saling membelakangi dalam menghadapi lawan-lawan yang menyerang mereka dari segala arah itu.
Tong Wi-hong beserta adik dan iparnya, serta Lu Siong dan Oh Yun-kim juga sudah bergabung dengan bekas-bekas lawan Tong Lam-hou untuk mengepung musuh dan sebuah lingkaran yang lebar, dengan dua orang musuh muda tangguh di tengah-tengahnya.
Dengan demikian, kini beban, yang ditanggung olei Pakkiong Liong maupun Tong Lam-hou lebih merata.
Dengan gigihnya mereka memutar pedang mereka bukan saja untuk bertahan, tetapi juga untuk menyerang, kegagahan kedua anak muda itu benar-benar seperti pasangan Naga dan Harimau yang perkasa.
Lawan-lawannya yang berjumlah sembilan orang itu diam-diam kagum juga kepada mereka.
Nama besar Pakkiong Liong sebagai Naga Utara yang belum pernah bertemu tandingannya itu ternyata tidak bernama kosong belaka, dan sekarang belum lagi sang Naga Utara berhasil ditumpas, telah muncul si Harimau Selatan yang tidak kalah tangguhnya.
Namun kemudian orang tidak terlalu heran akan ketangguhan Tong Lam-hou setelah mengetahui bahwa dia adalah anak Tong Wi- siang, ketua Hwe-liong-pang yang puluhan tahun yang lalu telah membuat dunia persilatan menggigil ketakutan.
Bahkan kemudian Hwe- liong-pang di jaman itu ikut menentukan kemenangan laskar Li Cu-seng atas Tentara Kerajaan Beng.
Kini mereka melihat seolah Tong Wi-siang menjelma kembali ke dunia, dan untuk kedua kalinya dunia persilatan bakal digoncangkan lagi.
Sementara itu, ketika Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou merasa tekanan mereka semakin berat, maka Tong Lam-hou berseru kepada sahabatnya itu.
"A-liong kita buat mereka panas dingin, setuju?"
"Setuju!"
Sahut Pakkiong Liong.
"Mulai sekarang!"
Yang terkejut bukan main ketika mendengar perkataan kedua sahabat itu adalah Kongsun Hui. Ia tahu benar apa yang dimaksudkan dengan "panas dingih? Itu. Ia sudah "mencicipi"
Kedua-duanya.
Di kuil terpencil itu ia sudah melihat sendiri bagaimana hebatnya ilmu Hwe- liong-sin-kang milik Pakkiong Liong, sehingga Tio Tong-hai yang tangguh itupun tewas bagaikan segumpal daging hangus saja.
Dan di barak Li Tiang-hong beberapa hari yang lalu, ia hampir mati kedinginan oleh pukulan Tong Lam-hou yang maha dingin itu.
Untunglah saat itu Tong Lam-hou tidak berniat pembunuhnya, dan hanya ingin menculik Pangeran saja, sehingga Kongsun Hui tidak membeku, darahnya karenanya.
Kini setelah mendengar bahwa Pakkiong Liong hendak menggunakan ilmu "panas dingin"
Mereka, maka Kongsun Hui memperingati kawana-kawannya.
"Hati-hati! Kedua bangsat Manchu ini hendak menggunakan ilmu hawa panas dan dingin mereka!"
Baru saja seruan itu selesai diteriakkan, maka udara panas dan dingin itu telah tersembur keluar dengan dahysatnya.
Separuh dari lingkaran pengepungan itu mendadak udaranya menjadi begitu panas seperti dalam tanur pembakaran, sementara separuh dari lingkaran itu udara menjadi dingin seperti dalam sumur es di kutub.
Sebagian lawan megap-megap karena uadara yang mereka hisap seakan hendak menghanguskan isi dada mereka, sebagian lainnya mendadak merasa darahnya hampir berhenti mengalir karena dingin membeku.
Beberapa orang yang tingkatan tenaga dalamnya belum memadai untuk melawan ilmu Hwe-liong-sin-kang dan Han-im-ciang itu segera meloncat mundur dengan terpaksa.
Mereka adalah suami Tong Wi-lian, ketiga orang bekas Tong-cu Hwe-liong-pang dan Kongsun Hui.
Dengan demikian lingkaran pengepungan itu seolah-olah terbagi menjadi dua, yaitu bagian dalam dan bagian luar.
Bagian dalam terdiri dari Tong Wi-hong, Tong Wi-lian, Bu- sian Hwe-shio dan Te-siang tojin yang tenaga dalamnya cukup kuat untuk menahan udara panas dan dingin itu, dan di bagian luar adalah lima orang lainnya yang kehilangan sebagian besar peranan mereka dalam pertempuran yang berlangsung itu.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang-orang yang bertempur di bagian dalam itupun harus mengerahkan segenap ilmu mereka untuk bertahan agar tidak mampus kepanasan atau kedinginan.
Sambil memainkan jurus-jurus mereka, maka wajah merekapun terlihat sebentar merah padam dan di lain saat pucat membiru, keringat membasahi wajah mereka, sementara dari ubun-ubun merekapun terlihat mengepul uap tipis yang menandakan mereka teldh bertempur dengan taraf ilmu mereka yang tertinggi.
Udara panas dingin itu bagaikan berputar karena gerakan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou yang berpusaran itu, dan jangan dikira udara panas dan dingin itu jika digabung menjadi udara yang hangat- hangat sejuk dan nyaman, melainkan tetap berdiri sendiri-sendiri tanpa bercampur.
Yang panas tetap panas dan yang dingin tetap dingin.
Keadaan seperti itu lama kelamaan bisa membuat tubuh menjadi sakit berat karena udara yang berganti-ganti dengan tajamnya itu.
"Luar biasa! Luar biasa!"
Tak terasa Tong Wi-hong menggumam dalam hatinya.
"Anak- anak yang luar biasa! Mengingatkan aku akan empat serangkai anakmuda dari An-yang-shia Orang-orang gang bertempur di haqian dalam itupun harus mengerahkan segenap ilmu mereka untuk bertahan agar tidak mampus kepanasan atau kedinginan. yang menjadi pentolan-pentolan Hwe-liong- pang itu."
Kelima orang yang berdiri dl lingkaran luar itupun kemudian tidak ingin menjadi penonton saja.
Meskipun tidak ikut serta sepenuhnya dalam pertempuran, tapi mereka mencoba untuk mempengaruhi jalannya pertempuran sebisa-bisa mereka.
Kadang-kadang Ting Bun meloncat masuk ke arena dan melakukan sebuah jurus serangan dengan goloknya untuk mengganggu lawan, namun kemudian buru- buru meloncat keluar kembali ketika pukulan Hwe-liong-sin-kang atau Han-im-ciang menyambarnya.
Cara yang dilakukan oleh Ting Bun itu kemudian ditiru pula oleh Ma Hiong, Yun-kim, Lu Siong dan Kongsun Hui.
Sementara itu, biarpun musuh telah terbagi menjadi lingkaran luar dan lingkaran dalam, namun tidak berarti pekerjaan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou menjadi ringan.
Pengerahan ilmu mereka itu betapapun juga telah menguras tenaga mereka lebih cepat, sementara keempat orang lawan dl lingkaran dalam itupun ternyata mampu bertahan dari ilmu mereka meskipun dengan susah-payah pula.
Dengan demikian pertempuran itu telah memasuki tahap mati hidup bagi kedua belah pihak.
Tahap di mana pengerahan ilmu-ilmu tertinggi dari masing-masing pihak sudah merupakan hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi, dan siapa yang gagal bertahan sampai jurus terakhir maka ia akan binasa di arena.
Gerakan Bu-sian Hweshio dari Siau lim-pay nampak semakin berat.
Toya panjangnya yang tadinya menderu-deru dengan lincah bagaikan naga di samudera bebas itu, kini gerakannya semakin lambat seakan-akan di ujung toya panjang itu dibanduli beban tak terlihat yang semakin lamd semakin berat.
Dengan wajah yang merah padam dan uap tipis mengepul dari kepala gundulnya, ia Nampak seram sekali.
Setiap langkahnya yang menggeser tanah tentu meninggalkan jejak-jejak kakinya yang amblas di tanah yang keras itu, amblas hampir-lima jari dalamnya.
Dan jika ia melangkah, maka kakinya seakan-akan menciptakan parit-parit kecil di arena itu.
Dan ketika pertempuran semakin meningkat seru, maka Bu-sian Hwesiopun mengeluarkan ilmu andalan Siau-lim-pay yang terkenal, yaitu Tay-lik-kim-kong-ciang (Pukulan Malaikat Bertenaga Besar) dengan tangannya, setelah toyanya dilempar ke luar arena.
Maka arena pertempuran yang sudah cukup bising itu bagaikah bertambah dengan sebuah badai prahara yang berasal dari sepasang telapak tangan sang pendeta yang mengeluarkan angin pukulan yang bergulung-gulung kuat itu.
Bagi kedua lawannya, tak ada jalan lain kecuali bertahan dengan gigihnya.
Apalagi ketika kemudian Tong Wi-lian Juga mengeluarkan segenap kemampuannya dalam ilmu silat Pek-ho-kun dan Coa-kun, sehingga lengannya seakan berubah menjadi banyak sekali yang bergerak serempak dalam mematuk, mencengkeram, membabat, meno-tok, menyodok dan menyiku dan seba-gainya, sementara sepasang kaki pendekar wanita itupun, mulai memainkan Wan-yo-tui (Tendangan Bebek) yang merupakan tendangan berantai khusus untuk menghantam bagian bawah musuh, meskipun kadang-kadang tendangan itu juga menyambar ke kepala atau- rahang.
Oh Yun-kim si orang Korea yang ahli dalam Ilmu silat tendangan itu, diam-diam kagum juga melihat kelincahan sepasang kaki dari pendekar wanita itu.
Pikirnya.
"Untuk tendangan- tendangan tinggi ke arah ulu hati atau kepala, agaknya akulah jagoannya. Namun, dalam tendangan berantai rendah ke lutut atau persendian-persendian bawah lainnya, agaknya aku masih harus belajar dari Tong Lihiap."
Namun kemudian Oh Yun-kim terbelalak ketika melihat lawan mereka.
Tong Lam-hou tiba-tiba juga mengeluarkan tendangan- tendangan mautnya.
Tendangan maut yang bukan saja lincah dalam mengincar sasaran- sasaran bagian bawah, tetapi Juga sasaran- sasaran tinggi seperti ulu hati dan kepala.
Tong Lam-hou seakan-akan menunjukkan bahwa ia memiliki kemahiran Tong Wi-lian dan Oh Yun- kim yang digabung menjadi satu.
Ilmu tendangan ajaran Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan itu disebutnya sebagai Pek-pian-lian-hoan-tui (Tendangan Berantai Dengan Seribu Pergantiann).
Sepasang kaki Tong Lamhou kemudian berubah jadi seperti baling-baling yang tertiup taufan, berputar tinggi dan rendah seirama dengan gerak tubuhnya, sementara tangan kirinya tetap berbahaya dengan pukulan hawa dinginnya dan tangan kanannya tetap merupakan bahaya lain lagi dengan ilmu pedangnya yang cepat dan ganas.
Ilmu pedang itu adalah ciri khas Tiam-jong-pay, tidak terlalu bagus untuk dilihat, karena memang yang diutamakannya bukanlah keindahan, namun memiliki kecepatan dan ketepatan yang tinggi, telak menuju ke sasarannya.
Pertempuran itu jadi makin riuh, ilmu-ilmu andalan tak ada yang ketinggalan dikeluarkan semuanya.
Tong Wi-hong kemudian juga menggunakan tangan kirinya yang sejak tadi menganggur, untuk memainkan ilmu pukulan Hui-soat-sin-ciang dari Soat-san-pay.
Ilmu silat Salju Melayang.
Bayangan telapak tangannya berlapis-lapis melayang denan ringan seolah tak bertenaga.
Namun siapapun tahu bahwa tepukan telapak tangan itu akan sanggup meng- hancur-leburkan setumpuk batu bata.
Memang begitulah ciri ilmu dari perguruan Soat-san-pay, nampaknya saja kurang mantap, namun mengandung tenaga tersembunyi yang dapat membinasakan musuh.
Dengan demikian bercampur aduklah ilmu- ilmu tingkat tinggi di arena itu.
Ilmu pedang Thian-liong-kiam hoat serta ilmu pukulan Hwe- liong-sin-kang dari Thian-liong-si di Tibet yang jauh, Ilmu pedang Tiam-jong-kiam-haot, pukulan maha dingin Han-im-ciang serta tendangan Pek-pian-lian-hoan-tui yang, membingungkan, Tay-lik-kim-kong-ciang dari Siau-lim-pay yang bagaikan angin prahara, patukan-patukan jari-jari tangan dari Pek-ho- kun dan Coa-kun, tendangan Wan-yo-tui, ilmu pedang Soat-san-kiam-hoat dan Bu-tong-kiam- hoat, pukulan Hui-soat-sin-ciang yang berterbangan mencari mangsa, membuat arena itu benar-benar adu nyawa yang dahsyat.
Para prajurit pengikut Li Tiang-hong dan laskar Hwe- liong-pang yang berilmu rendah itu hanya melihat dengan terlongong-longong bagaimana mungkin manusia yang terdiri dari darah daging, sama dengan mereka sendiri, dapat berbuat demikian hebatnya? Namun adu pamor ilmu di arena yang keras itu sekaligus juga merupakan pengurasan tenaga habis-habisan di kedua belah pihak.
Sabetan-sabetan pedang dan pukulan-pukulan mereka tidak lagi sederas semula, loncatan- loncatan mereka tidak lagi selincah dan setinggi tadi, sementara keringat sudah membasahi pakaian mereka yang tengah bertempur itu.
Jika kedua belah pihak kehabisan tenaga, maka yang celaka adalah Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou.
Mereka hanya berdua saja dan tidak memiliki tenaga cadangan lagi.
Jika musuh kehabisan tenaga, masih ada Ting Bun, Oh Yun- kim dan lain-iainnya yang meskipun; ilmunya tidak terlalu tinggi namun dapat membahayakan juga, apalagi masih ada pengikut-pengikut yang bertebaran di luar arena itu.
Biarpun mereka hanya tenaga-tenaga kasar, namun dengan jumlah yang banyak akan merupakan bahaya besar pula.
Namun rejeki dari Thian agaknya masih melimpahi Kerajaan Manchu yang tengah berjaya itu, sehingga dinasti baru itu belum ditakdirkan untuk kehilangan seorang Panglimanya yang paling diandalkan di segala medan.
Di saat kedua belah pihak sudah mulai kelelahan, maka dari arah timur tiba-tiba kelihatan debu mengepul tinggi disertai derap kaki kuda yang bagaikan menghentak-hentak bumi.
Muncul sepasukan kecil orang-orang berkuda, semuanya berseragam hitam dengan bagian dadanya tersulam gambar naga sedang menginjak mega, bagian lengan baju mereka bergaris-garis putih melintang, kepala mereka memakai topi bulu berhias benang-benang merah.
Prajurit-prajurit Hui-liong-kun, Pasukan Naga Terbang, anak buah Pakkiong Liong.
Jumlah yang datang itu hampir lima-puluh orang banyaknya, suatu jumlah yang dapat mempengaruhi keseimbangan kekuatan di arena itu.
Melihat kedatangan musuh, maka tanpa diperintah lagi prajurit-prajurit pengikut Li Tiang-hong maupun orang-orang Hwe-liong- pang segera menghunus pedang-pedang mereka dan memutar kuda-kuda mereka ke arah musuh.
Dan langsung membentuk sebuah garis pertahanan yang lurus.
Yang paling depan dari Tentara Manchu itu adalah si jagoan dari gurun pasir Mongol, yaitu Ha To-ji yang berjuluk Tay-mo-him (si Beruang Gurun) yang kali ini tidak bertangan kosong melainkan membawa sebatang golok melengkung berbentuk bulan sabit.
Golok khas orang-orang Mongol.
Selain itu, nampak pula Han Yong-kira si jago pedang dari Korea, Le Tong bun dari Heng- san-pay yang berjulukan Tiat-cui-eng (Elang Berparuh Besi) dan beberapa perwira tangguh lainnya.
Begitu melihat Pakkiong Liong tengah terkepung oleh lawan, maka Ha To-ji segera berteriak kepada pasukannya.
"Serbu!"
Diiringi dengan sorak gemuruh prajurit- prajurit Manchu itu, berderaplah limapuluh ekor kuda itu menghantam pertahanan lawan.
Pihak pengikut Li Tian-hong dan orang-orang Hwe-liong-pang meskipun kalah jumlah, namun tidak mau terdorong mundur begitu saja.
Merekapun segera memacu kuda-kuda mereka maju menyongsong musuh sambil memutar- mutar senjata mereka dan bersorak-sorai pula.
Maka berbenturanlah kedua pasukan itu di tengah-tengah jalan yang sepi itu.
Karena jalan itu terlalu sempit untuk sebuah perkelahian menunggang kuda yang memerlukan tempat ke padang-padang ilalang di kiri kanan jalan.
Dengan demikian pertempuran berkudapun segera berkobar di tempat itu.
Kuda-kuda tegar dengan penunggang penunggangnya yang tangkas berlari-larian silang menyilang di arena yang luas, dengan senjata yang berputaran berusaha untuk menjatuhkan lawan dari kudanya dan kalau bisa langsung mencabut nyawanya.
Derap dan ringkik kuda, bercampur dengan sorak-sorai kedua pihak, dentang senjata dan pekik kesakitan, debu yang mengepul tinggi dan tubuh yang terbanting jatuh dari kudanya karena terhunjam oleh senjata lawan, membuat padang ilalang itu sangat panas dengan api kebencian.
Pada benturan pertama, segera terasalah bahwa pengikut-pengikut Li Tiang-hong kurang dapat mengimbangi ketangkasan lawan-lawan mereka dengan permainan senjata di atas punggung kuda.
Maklumlah bahwa lawan-lawan mereka kali ini adalah prajurit-prajurit dari kesatuan Hui-liong-kun, kesatuan yang paling diandalkan oleh pemerintah Manchu dalam tupas-tugas berat.
Bersambung ke
Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditiya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . AM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU
Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.
Jilid ang dapat mengimbangi prajurit-prajurit Manchu yang garang-garang itu malahan adalah orang-orang Hwe-liong-pang yang hidupnya tertempa oleh alam itu.
Dalam perang itulah orang-orang Hwe-liong-pang menunjukkan ketangkasan mereka.
Kadang- kadang jika mereka diburu oleh seorang prajurit Manchu yang berkuda pula, maka orang-orang Hwe-liong-pang sengaja melewati sebuah pohon yang bercabang rendah, kemudian dengan tangkas tangannya menyambar dahan pohon itu untuk berayun di dahan, membiarkan lawan lewat di bawahnya dan kemudian menerkam lawannya dari atas Y pohon dengan senjata pendek seperti pisau belati atau badik.
Prajurit-prajurit Manchu mengumpat melihat cara berkelahi orang-orang hwe-liong- pang itu.
Namun prajurit-prajurit itu sendiri bukanlah orang-orang yang mudah gentar oleh kehebatan lawan, mereka adalah hasil gemblengan Pakkiong Liong sendiri.
Cara berkelahi yang bagaimanapun juga sudah mereka pelajari, dan keberanian merekapun sudah teruji di medan-medan yang jauh lebih berat dari sekarang ini.
Jika bertempur di atas kuda, mereka sanggup, maka bergulat dengan menggunakan pisau belatipun mereka sanggup.
Orang-orang Hwe-liong-pang yang menyergap lawan-lawannya dari atas pohon, ternyata tidak semudah itu menghunjamkan belati mereka ke tubuh prajurit-prajurit itu.
Bahkan banyak yang terlibat dalam pergumulan sengit di rerumputan, pergumulan dengan memegang pisau belati di tangan masing-masing.
Pertempuran semakin seru.
Korban sudah mulai berjatuhan di kedua pihak.
Terutama di pihak prajurit-prajurit pengikut Li Tiang-hong yang kurang latihan keras itu.
Sedangkan antara prajurit-prajurit Manchu dengan orang-orang Hwe-liong-pang boleh di kata telah menemui lawan yang sama- tangguhn ya.
Di antara prajurit-prajurit Manchu itu, para perwiranya merupakan malaikat-malaikat maut yang malang-melintang dengan ganasnya.
Ha To-ji sebagai seorang Mongol yang sering diibaratkan "dua pertiga hidupnya dilalui di atas kuda", telah menunjukkan ketangkasannya yang luar biasa.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bila ia memacu kudanya dan menyambar seorang musuhnya sambil mengayunkan senjatanya, maka musuhnya itu pasti segera terjungkal roboh dengan luka yang mematikan.
Begitu pula perwira-perwira lainnya seperti Le Tong-bun dan Han Yong-kim yang meskipun tidak semahir Ha To-ji dalam permainan berkuda, namun merekapun merupakan orang- orang yang sangat berbahaya.
Sabetan-sabetan pedang samurai Han Yong-kim hampir tidak pernah luput mengenai sasarannya, Begitu juga pedang Le Tong-bun-sudah berlumuran darah musuh.
Tentu saja Ma Hiong dan lain-lainnyapun tidak membiarkan anakbuah mereka diobrak- abrik semuanya oleh musuh.
Merekapun segera berloncatan ke atas kudanya masing-masing dan segera terjun ke arena yang ganas itu.
Dengan terjunnya mereka ke pertempuran, maka perwira-perwira Manchu yang mengganas itupun segera mendapatkan tandingannya masing-masing.
Dan pertempuranpun bertambah ramai.
sementara itu, pertempuran antara Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou di satu pihak melawan pihak lain yang terdiri dari Tong Wi-hong, Tong Wi-lian, Bu-san Hweshio dan Te-sian Tojin, juga telah melewati puncaknya.
Nampaknya kedua pihak akan sama-sama kehabisan tenaga, dan entah pihak mana yang bakal keluar sebagai pemenang.
Kini menang kalah tergantung dari pertempuran anakbuah mereka masing-masing.
Dan ternyata, meskipun orang-orang Hwe- liong-pang cukup tangkas untuk mengimbangi prajurit-prajurit musuh, namun Jumlah mereka yang hanya belasan orang itu mana mampu menghadapi jumlah prajurit Manchu yang hampir limapuluh orang itu? Sedangkan prajurit-prajurit anak buah Li Tiang-hong tidak banyak membantu.
Rupanya prajurit- prajuritnya Li Tiang-hong itu telah susut nyalinya ketika melihat kegarangan prajurit- prajurit musuh.
Dan merekapun lebih banyak berputar-putar saja dengan kuda-kuda mereka, tidak berani menyongsong musuh secara berhadapan.
Dengan demikian tugas orang- orang Hwe-liong-pang menjadi sangat berat.
"Prajurit-prajurit cengeng anak buah Li Tiang-hong itu ternyata tidak mampu berbuat apa-apa,"
Ma Hiong berkata di dalam hatinya dengan geram.
"Percuma saja aku mengorbankan anakbuahku sampai habis di tempat ini. Nyawa anakbuahku lebih mahal dari sekedar nyawa Cu Hin-yang dan nyawa Li Tiang hong."
Karena pikiran semacam itu, maka Ma Hiong segera bersuit nyaring, memerintahkan anakbuahnya untuk mundur teratur.
Isyarat sang pemimpin itu segera disambut dengan baik oleh anakbuahnya, dan orang-orang Hwe- liong-pang itu dengan tangkasnya memutar kuda-kuda mereka dan bergerak mundur secara teratur.
Dengan sendirinya prajurit-prajurit Li Tiang-hong juga ikut mundur karena mereka tidak mungkin menghadapi prajurit-prajurit Manchu tanpa didampingi oleh orang-orang Hwe-liong-pang.
Kongsun Hui dengan muka merah padam mendekatkan kudanya ke arah Ma Hiong dan berteriak dengan sengit.
"Ma Hiong, kau tahu akibat dari perbuatanmu itu?"
"Kenapa kau marah-marah?"
Tanya Ma Hiong.
"Jika kita mundur, berarti kita tidak dapat menyelamatkan Pangeran dan Li Ciangkun yang tertawan musuh!"
Teriak Kongsun Hui berang.
"Cobalah melihat kenyataan dengan kepala dingin, saudara Kongsun,"
Kata Ma Hiong.
"Jika kita teruskan, anakbuahku akan tertumpas habis karena musuh lebih kuat. Apakah hanya untuk menyelamatkan nyawa dua orang seperti Pangeran dan Li Ciangkun itu kita harus mengorbankan puluhan nyawa anakbuah kita? Apakah dua nyawa lebih berharga dari puluhan nyawa?"
"Bangsat! Kau tak kenal budi! Pangeran dan Li Tiang-hong sudah menyelamatkan laskarmu ketika laskarmu hampir mampus digencet pasukan Bu San-kui beberapa hari yang lalu!"
Bantah Kong-sun Hui.
"Kau bisa melupakan itu?"
Wajah Ma Hiong-pun merah padam.
"Dan nyawa Pangeranmu dan termasuk kau sendiri juga pernah aku selamatkan ketika di kuil rusak itu, ketika kalian hampir terbakar hangus oleh tangan Pakkiong Liong itu! Kalau tidak kutolong saat itu, kau kira Pangeranmu itu sampai sekarang masih hidup? !"
Begitulah, di tengah-tengah gerakan mundur itu malah terjadi pertengkaran sengit antara Ma Hiong dan Kongsun Hui. Lu Siong yang rasa permusuhannya terhadap orang-orang dinasti Beng lebih tebal, telah ikut memaki Kongsun Hui pula.
"Dan kau buka matamu lebar-lebar, orang she Kongsun! Lihat pertempuran yang baru saja terjadi ini. apa yang bisa dilakukan oleh prajurit-prajurit begundal-begundal keluarga Cu itu? Cuma berputar-putar ketakutan! Siapa yang benar- benar memberi perlawanan tangguh kepada musuh, itulah orang-orang kami! Orang-orang Hwe-liong pang yang perkasa! Hanya karena kalah jumlah maka kami harus mundur. Atau kau ingin kami mengurbankan seluruh anakbuah kami hanya untuk membela Pangeran busukmu itu? Kau kira Pangeranmu itu begitu berharga sehingga kami orang-orang.Hwe- liong-pang harus mengorbankan nyawa untuknya?! Huh!"
Muka Kongsun Hui menjadi merah dan pucat berganti-ganti.
Namun dalam hati ia harus mengakui hahwa caci-maki Lu Siong itu memang ada benarnya.
Ia melihat dengan mata kepala sendiri betapa memalukannya prajurit- prajurit Li Tiang-hong kalau dihadapkan dengan musuh tangguh yang sebenarnya, dan betapa beraninya orang-orang Hwe-liong-pang itu menghadapi prajurit-prajurit Manchu dengan dada tengadah.
Sementara itu, Oh Yun-kim juga ikut "ambil bagian"
Dalam pendampratan itu.
"Prajurit- prajurit Beng memang goblok! Hadapkan saja kerapa rakyat kecil yang lemah seperti rakyat Jit-siong-tin itu, mereka akan berpesta-pora dengan nyawa manusia. Tetapi setelah berhadapan dengan bentara Manchu, merekapun seperti tikus yang melihat kucing!"
Ting Bun yang juga ikut dalam rombongan itu, segera mencoba menengahi pertengkaran itu.
"Sudahlah saudara Ma, saudara Kongsun dan lain-lainnya, musuh masih di depan hidung kita apakah kita akan saling cakar-cakaran sendiri di hadapan musuh? Bukankah mereka akan mentertawakan kita? Yang penting sekarang kita harus melindungi Tong Tayhiap dan lain-lainnya agar merekapun sempat mundur bersama kita!"
"Apakah dengan demikian Pangeran Li Ciangkun akan kita biarkan saja menjadi tawanan musuh?"
Tanya, Kongsun Hui dengan sedih.
"Tentu saja tidak. Tetapi kali ini agaknya keadaan tidak memungkinkan, sehingga kita harus mencari akal lain di kesempatan lain pula!"
Sahut Ting Bun yang sebenarnya dalam hati juga tidak begitu sepenuh hati untuk berusaha.
membebaskan Pangeran itu.
Sementara itu, setelah tahu bahwa Ma Hiong dan pasukannya bergerak mundur, maka Tong Wi-hong dan teman-temannyapun harus mencari kesempatan untuk mundur pula, supaya mereka tidak tertangkap oleh musuh.
Tong Lam-hou yang agaknya dapat membaca pikiran musuh-musuhnya itu, segera berbisik kepada Pakkiong Liong.
"A-liong, bagaimana kalau aku mintakan ampun untuk pamanku dan bibiku ini?"
"Baik, sebenarnya akupun hormat kepada mereka,"
Sahut Pakkiong Liong. Lalu iapun meloncat keluar dari arena perkelahian, diikuti oleh Tong Lam-hou sambil menarik pula ilmu Hwe-liong-sin-kang dan Han-im-ciang mereka. Pakkiong Liong segera memberi hormat kepada lawan-lawannya, sambil berkata.
"Mengingat kalian adalah pendekar-pendekar berbudi luhur yang suka membela rakyat kecil, dan belum pernah berbuat dosa kepada pemerintah Manchu, maka biarlah pertempuran kita ini kita akhiri di sini saja. Anggap saja sebagai pertandingan perkenalan kita!"
Tong Wi-hong dan lain-lainnyapun segera meloncat mundur. Sesaat Tong Wi hong berdiri termangu-mangu di hadapan kedua lawannya yang masih muda itu, lalu disarungkannya pedangnya dan ia pun membalas hormat Pakkiong Liong. Katanya.
"Baik. Selamat tinggal."
Merekapun segera berlompatan ke kudanya masing-masing. Sebelum memacu kudanya, Tong-wi-hong sempat berkata kepada Pakkiong Liong.
"Pakkiong Ciang kun, kalau kau berkenan, aku akan berbicara sebentar dengan keponaknku, Lam hou ini."
Pakkiong Liong ragu-ragu sejenak, ada juga rasa curiga jangan-jangan Tong Wi-hong akan mempengaruhi Tong Lam-hou sedemikian rupa sehingga berbalik menjadi penentang pemerintah Manchu.
Namun demikian besar penghargaan dan kepercayaan Pakkiong Liong kepada sahabatnya itu, sehingga ia akan tetap memandang Tong Lam-hou sebagai sesosok pribadi yang utuh dalam masalah apapun, sebuah pribadi yang tidak dipengaruhi olen siapapun.
Karena itulah Pakkiong Liong kemudian menyahut.
"A-hou bukan anakbuahku, Tong Tayhiap. Ia seorang pribadi yang merdeka. Jika paman dan keponakan bersepakat untuk berbicara, berbicaralah sepuas hati, orang lain tak berhak mencampuri."
Tong Wi-hong tersenyum.
"Aku kagum akan kelapangan dada Pakkiong Ciangkun. Nah, A- hou, dapatkah aku berbicara sebentar saja denganmu?"
Sahut 'Tong Lam-hou.
"jika hendak bicara tentang urusan keluarga, aku menurut kepada pamamn dan bibi. Tetapi jika mengenai sikap dan jalan hidupku yang hendak aku pilih, aku tidak ingin siapapun mempengaruhiku dan berusaha untuk membelokkan pendirianku. Paman dan bibi sudah tahu pendirianku bukan?". Sambil menarik napas dalam-dalam, dengan rasa kecewa yang sangat menggores hati, Tong Wi-hor.g berkata.
"Hatimu sekeras hati ayahmu, nak, namun alangkah baiknya jika kekerasan hatimu itu kau gunakan di jalan yang benar."
Tong Lam-hou juga menarik napas dengan kecewa.
"Paman dan bibi kecewa sekali barangkali, tetapi akupun sangat kecewa kalau orang masih saja menetapkan benar salahnya suatu masalah hanya dari sudut pandangannya sendiri saja. Aku hanya mohon agar paman dan bibi memahami pendirianku. Aku membela pemerintah Manchu bukan karena mengingini kedudukan dan kemuliaan, tapi hanya agar perang secepatnya berakhir meskipun tenagaku sendiri tidak berarti. Ya, berakhirnya perang, itulah keinginanku. Rakyat negeri ini sudah berpuluh tahun menderita akibat peperangan, sejak Li Cu-seng memberontak sampai sekarang entah telah berapa puluh tahun, dan selama itu pula rakyat hidup dalam kegelisahan dan bahkan kadang-kadang menjadi korban tanpa tahu salahnya. Apakah paman dan bibi ingin melihat keadaan kisruh macam ini berkepanjangan entah sampai kapan? Hanya karena segelintir orang yang merasa dirinya keturunan Kaisar Cong-ceng berusaha merebut kembali singgasananya tanpa peduli penderitaan rakyatnya? Haruskah pertentangan ini berlarut-larut hanya karena kita menarik perbedaan paham antara Han dan Manchu, sehingga memberi peluang kepada penjahat penjahat berkedok pejuang untuk bertindak sewenang-wenang seperti di Jit-siong-tin? Tidak, paman. Perang harus segera berakhir, dan aku tidak peduli siapa yang duduk di singgasana saat ini. Pokoknya rakyat sudah jemu perang dan sudah mendambakan perdamaian dan kesejahteraan."
Kembali Tong Wi-hong menarik napas dalam-dalam, ia sadar betapa kuatnya pendirian Tong Lam-hou itu sehingga agaknya sulit untuk diubah lagi. Akhirnya Tong Wi-hong berkata.
"Baiklah, kau dengan pendirianmu dan aku dengan pendirianku. Sebagai pribadi, aku ingin menyayangimu karena kau adalah anak dari kakakku Tong Wi-siang, darah dagingku sendiri. Tetapi sayang, aku tidak berdiri sendiri, aku bukan hanya pribadi Tong Wi-hong namun juga anggauta masyarakat yang punya ikatan-ikatan atas anggautanya. Jika kelak kita bertemu pula, belum tentu aku bisa bersikap sebagai seorang paman terhadapmu, meskipun aku menginginkannya. Kau paham maksudku?"
Wajah Tong Lam-hou juga menjadi sedih.
"Paham, paham. Bukankah paman maksudkan suatu ketika kita berdiri berhadapan dengan senjata terhunus, seperti yang baru saja terjadi? Tetapi apa boleh buat, paman. Aku tidak menyukainya tetapi yang tidak kusukai itulah yang harus terjadi antara kita. Aku hanya berpihak kepada hati-nuraniku, berpihak kepada rakyat yang sudah berpuluh tahun mendambakan perperdamaian."
Pakkiong Liong, Ha To-ji.
Han Yong-kim dan lain-lainnya mendengarkan pembicaraan antara paman dan keponakan itu dengan hati yang tegang pula.
Namun agaknya paman dan keponakan itu harus bersimpang jalan, masing- masing punya pendirian yang sama teguhnya.
Di tubuh masing-masing juga mengalir darah keluarga Tong keluarga pendekar yang berwatak keras dan berjiwa teguh.
Sekali lagi Pendekar dari Tay-beng, Tong Wi-hong mengangkat tangannya di depan dada untuk memberi hormat kepada Pakkiong Liong, sambil berkata.
"Agaknya pendirian kami tidak dapat dipertemukan lagi, Pakkiong Ciangkun. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku mohon diri, dan aku harus berterus terang bahwa secara pribadi aku kagum kepadamu, Pakkiong Ciangkun. Tapi aku tetap seorang Han yang menderita melihat negerinya dikuasai bangsa asing."
Pakkiong Liong juga menjura membalas hormat Tong Wi-hong dan pendekar pendekar lainnya itu. Sahutnya.
"aku ikut berprihatin bahwa paman dan keponakan harus berpisah jalan karena berbeda pendirian. Tetapi sesungguhnya Tong Lam-hou benar, bahwa perang harus segera diakhiri, dan sebenarnya Tong Tay-hiap punya pengaruh yang cukup besar untuk membantu mengakhiri perang ini."
Tong Wi-hong tertawa kecut.
"Aku juga ingin perang segera berakhir. Tapi berakhirnya perang menurut pandangan Pakkiong Ciangkun tentu saja jauh berlainan dengan pandangan kami bangsa Han."
"Yah...agaknya untuk sementara sandangan hidup kita memang akan berbenturan,"
Kata Pakkiong Liong menyesal.
"Tetapi barangkali suatu saat nanti, salah satu dari kita akan diterangi oleh kebijaksanaan sehingga kita menemukan persamaan-persamaan yang bermanfaat bagi negeri ini."
"Sekarang belum?"
Tanya Tong Wi-hong.
"Belum. Sebab pihakku maupun pihakmu masih merasa benar sendiri, sehingga kita masih terlalu sering merasa perlu untuk mencabut pedang-pedang kita."
Betapapun kecutnya, namun semua yang berada di tempat itu telah tersenyum juga.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Alangkah kejamnya perang.
Orang-orang yang seharusnya dapat saling mengagumi dan menghormati sebagai sahabat-sahabat sejati, telah dipisah-pisahkan menjadi pihak-pihak yang saling bermusuhan.
Aku di sini, dan kau di sana, sahabat.
Dan entah kapan jurang di antara kita dapat tertutup? Tak seorangpun tahu, sebab yang berperang bukan cuma beberapa gelintir orang tetapi beribu-ribu orang.
Dan ada orang-orang yang tetap berkepentingan agar perang terus berlangsung, sebab dengan perang mereka bisa jadi "pahlawan", tanpa perang mana ada "pahlawan"? Ketika Tong Wi-hong dan ketiga rekannya mulai bergerak pergi, maka prajurit-prajurit Manchu yang mengurung tempat itupun segera menyibak memberi jalan.
Saat ini mereka saling menghormati, tapi bukankah di lain kesempatan mereka akan saling bantai di medan tempur? Tong Lam-hou memandang penunggang- penunggang kuda itu sampai lenyap dari pandangan.
Ia terkejut ketika Pakkiong Liong menepuk pundaknya, dan kata-kata sahabatnya menyusup langsung ke hatinya.
"Pilihan ini berat bagimu bukan? Inilah hidup. Kadang- kadang harus memilih dari beberapa pilihan yang sama-sama tidak disuka dan perasaanpun menjadi pahit, namun dengan demikian hidup ini akan punya arti. Bukan seperti pertapa yang melarikan diri ke gunung-gunung, mencari ketenteraman diri sendiri namun tidak peduli akan sesamanya yang menjerit memohon pembelaan."
"Ya, ya aku paham. Aku harus tetap teguh pada pendirianku."
"Mari kuperkenalkan kepada teman- temanku, dan juga akan menjadi teman- temanmu ."
Maka Pakkiong Liong-pun memperkenalkan Tong lam-hou kepada Ha To-ji dan perwira- perwira lainnya.
Selain Ha To-ji, keempat perwira lainnya adalah Han Yong-kim si pedang samurai dari Korea, Le Tong-bun, dan dua orang perwira berkebangsaan Manchu lainnya yang bernama Ko Lang-to dan Tokko Seng.
Tokko Seng adalah adik dari Tokko Yan yang tewas di kuil terpencil ketika menggerebek Pangeran Cu Hin yang dan pengikut-pengikutnya.
"Kami gembira menemukan kembali Ciangkun (Panglima) dalam keadaan selamat,"
Kata Ha To-ji dengan gembira.
"Dan kalian belum kembali ke Ibukota?"
"Belum, Ciangkun, sebagian memang sudah kembali ke Pak-khia untuk memberi laporan ke Peng-po-ceng-tong (Kementerian Perang) agar mereka tidak cemas menunggu kedatangan kita. Sedangkan aku dan beberapa kawan tetap berada di kota Kun-beng, selain untuk melanjutkan tugas menangkap bangsawan Beng dan pengikut-pengikutnya itu, juga mencoba melacak! Jejak Ciangkun yang tiba-tiba saja seperti hilang ditelan bumi."
Pakkiong Liong tertawa. Ditepuknya pundak perwira-perwiranya itu satu persatu.
"Kalian memang sahabat-sahabtku yang baik. Aku memang hampir mati dikeroyok kawanan serigala, untung A-hou ini muncul menyelamatkan aku dan kamipun menjadi sahabat."
Ha To-ji si orang Mongol itu memegang tangan Tong Lam-hou erat-erat, katanya dengan hangat.
"selamat datang di lingkungan kami, Tong Lam-hou. Kita akan menjadi rekan seperjuangan dalam menegakkan kebesaran Negara dan Kaisar."
"Mudah-mudahan aku nanti menjadi prajurit yang baik,"
Kata Tong lam-hou sambil tertawa dan mengguncang pula tangan Ha To-ji.
"Dan sekarang bagaimana rencana kita selanjutnya, Ciangkun?"
Tanya Ha To-ji.
"Kita lanjutkan pencarian kita kepada Cu Hin-yang dan pengikut-pengikutnya yang memimpikan kembalinya dinasti Beng itu?"
"Tidak perlu. Mereka ada di dalam gerobak itu,"
Kata Pakkiong Liong sambil menunjuk ke pedati."Kita bawa mereka ke Kun-beng lebih dulu, sambil kita mengumpulkan teman-teman kita yang masih terpencar-pencar, lalu kita berangkat ke Pak-khia dengan iring-iringan yang kuat, sebab kedua tawanan itu merupakan orang-orang penting dalam kelompok mereka sehingga anak buah merekapun pasti akan berusaha untuk membebaskan mereka di tengah jalan."
Maka rombongan itupun berangkat ke kota Kun-beng, ibukota Propinsi Hun lam.
Beberapa prajurit yang gugur dalam pertempuran tadi, dibawa mayatnya ke Kun-beng untuk diperabukan di sana sementara Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong telah dipindahkan ke atas punggung-punggung kuda, meskipun tetap dalam kawalan yang ketat.
BAGIAN KE LIMA.
SEHARI kemudian, mereka memasuki pintu gerbang kota Kun-beng pada siang hari.
Tong Lam-hou yang seumur hidupnya belum pernah melihat desa yang lebih besar dari Jit-siong-tin, kini melongo ketika melihat kota Kun-beng.
Setelah beberapa hari yang dilihatnya hanya desa-desa kecil yang berselang-seling dengan padang-padang ilalang yang luas atau hutan- hutan yang tidak lebat, maka kini dilihatnya pemandangan yang lain sama sekali.
Dari kejauhan sudah dilihatnya benteng kota yang menjulang tinggi, yang oleh Tong Lam-hou hanya pernah dilihat di gambar-gambar di rumah kepala desa di Jit-siong-tin.
Kun-beng memang sebuah kota besar di wilayah Hun-lam.
Jaman kuno, wilayah Hun-lam itu merupakan setuan kerajaan tersendiri yang terpisah dari dinasti-dinasti yang silih berganti menguasai daratan besar.
Kerajaan kecil di Hun- lam itu turun temurun diperintah oleh keluarga yang mahir ilmu silat sehingga Ibukota-nya bukan saja menjadi pusat pemerintahan tetapi menjadi pusat perkunjungan ilmu silat pula.
Ketika bangsa Mongol dinasti Kim dan sekaligus mencaplok Kerajaan Lam-song (Song selatan), maka negeri kecil di Hun-lam itupun tersapu oleh tentara Mongol pula.
Setelah Cu Goan-cian mengusir bangsa Mongol dan mendirikan dinasti Beng, Hun-lam tidak lagi merdeka sebagai sebuah negara melainkan cukup hanya sebagai sebuah propinsi dari Kerajaan Beng.
Ketika bangsa Manchu mulai berkuasa, wilayah Hun-lam inipun masuk dalam wilayah Kerajaan.
Keturunan raja-raja Hun-lam yang dulu memerintah, sekarang entah dl mana.
Karena bekas sebagai Kota Kerajaan inilah maka kota Kun-beng cukup megah.
Di dalam kota jalan-jalannya lebar dan berlapis ubin persegi, setiap beberapa ratus langkah tentu ada sebuah gapura kuno yang atapnya bertingkat tingkat.
Sejauh mata memandang, yang kelihatan hanyalah atap-atap rumah yang berkilauan, bersusun-susun, pagoda-pagoda yang tinggi mencakar langit.
Sementara jalan-jalan besar dan lorong lorong kecilnya silang-menyilang seperti sarang laba- laba rumitnya.
Melihat semuanya itu, Tong Lam-hou menarik napas, dan gumamnya dalam hati.
"Dulu kuanggap Jit-siong-tin sebagai sebuah kota, padahal, kalau dibandingkan dengan Kun- beng ini, ibaratnya Jit-siong-tin cuma setumpukan tong-tong kayu belaka. Kalau Kun- beng saja sudah begini megah, lalu bagaimana dengan kota-kota besar lainnya seperti Lam- khia dan Pak-khia?"
Namun Tong Lam-hou juga merasakan bahwa Kun-beng ada kekurangannya di- bandingkan dengan Jit-siong-tin.
Di Jit-siong-tin, semua penduduknya saling mengenal dengan baik, bahkan dengan penduduk-penduduk di desa lain-pun saling mengenal, dan jika bertemu di tengah jalan akan saling menyapa atau bercakap-cakap dengan hangatnya.
Namun keakaraban antar manusia itu telah hilang di kota yang besar ini.
Di jalan-jalan, semua orang sibuk melangkah sendiri-sendiri dengan urusannya sendiri-sendiri pula, persetan dengan orang lain.
Tidak ada saling menyapa atau saling menanyakan keadaan, semuanya begitu terburu-buru seperti diburu setan.
Di kota Kun-beng itu memang berpangkalan pasukan Manchu yang cukup kuat dan berjumlah besar, dipimpin seorang Panglima yang berenama Song Jin-ho, seorang bangsa Han.
Karena itu, penduduk tidak heran jika melirat prajurit-prajurit Manchu hilir-mudik di dalam kota untuk menjaga keamanan, baik dengan menunggang kuda maupun berjalan kaki saja.
Namun rombongan Pakkiong Liong memang cukup menarik perhatian.
Selain jumlahnya yang besar, juga karena rombongan itu membawa pula mayat dan orang-orang terluka, dan ada pula dua orang yang berkuda dengan tangan terikat, yaitu Pangeran Cu Hin- yang dan Li Tiang-hong.
Selain itu, seragam anakbuah Pakkiong Liong itu memang berbeda dengan seragam pasukan penjaga kota Kun- beng.
Pasukan Kun-beng berseragam merah dan biru, kepalanya memakai tudung bambu berhias benang merah, sedangkan prajurit- prajurit Pasukan Naga Terbang berseragan hitam dari topi sampai sepatu, memberikan kesan yang angker.
Kemelut Tahta Naga 2 Tamat Karya Detektif Stop Pengkhianatan Di Lembah Han Bu Kong Karya Tak Diketahui
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama