Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 4
Ketika lawan menyerang lagi, tiba-tiba Tong Lam-hou .
memiringkan tubuhnya dan secepat kilat, menendang dengan Coan-sin-teng-kak (Memutar Badan Sambil Menendang) yang haimpir saja mengenai jidat Lamkiong Siang kalau saja orang tua itu tidak buru-buru menundukkan kepalanya.
Ternyata tendangan Tong Lam hou datang beruntun begitu, cepat, sia-sia saja Lamkiong Siang berusaha menangkap betis lawannya untuk dibanting jatuh, sebab kaki Tong Lam-hou bergerak bagaikan baling-baling terhembus badai.
Jika tadi Lamkiong Siang berhasil mendesak Tong Lam-hou dua langkah, maka kini Tong Lam-hou malahan dapat memaksa Lamkiong Siang surut lima langkah tanpa membalas.
Ketika Tong Lam-hou berganti napas, kesempatan itu segera digunakan oleh Lamkiong Slang untuk meloncat mundur.
Hatinya masih saja bergetar mengingat bagaimana ia hampir saja dirobohkan oleh seorang anak gunung yang sama sekali belum dikenal di dunia persilatan.
Sesaat Lamkiong Siang dan Tong Lam-hou saling memandang, lalu keduanyapun saling tubruk dan terlibatlah mereka dalam suatu perkelahian tangan kosong yang sengit sekali.
Lamkiong Siang masih belum mau mencabut pedangnya sebab sebagai seorang tokoh angkat an tua ia malu kalau melawan seorang anak gunung saja harus memakai senjata.
Ia yakin dengan tangan kosongnya akan dapat menaklukkan Tong Lam-hou.
Namun kemudian harapan Lamkiong Siang itu adalah harapan yang terlalu berlebihan.
Dia yang bertempur dengan ganas dan lincahnya dengan kecepatan tangannya yang seolah menjadi berpuluh-puluh tangan karena cepatnya itu, ternyata terbentur dengan seorang anak muda yang dapat mengimbangi baik kekuatan maupun kecepatannya.
Tong Lam-hou telah berkelahi seperti seekor harimau luka, tanpa gentar sedikitpun dihadapinya lawannya yang sudah punya nama besar di dunia persilatan itu.
Serangan dibalas dengan serangan, makin lama makin cepat, akhirnya bayangan tubuh kedua orang itu tidak terlihat lagi.
Keduanya bagaikan menjadi segumpal, bayangan yang bergulung menjadi satu dengan hebatnya, mata seorang jagoan seperti Mo Wan-seng itu-pun sulit membedakan mana yang gurunya dan mana yang lawannya.
Kadang-kadang terdengar bentakan Lamkiong Siang, atau geraman Tong Lam-hou yang seperti harimau lapar, apabila kekuatan mereka berbenturan dan merekapun meloncat berpencaran.
Namun sesaat kemudian merekapun sudah saling terjang kembali.
Sementara kedua orang itu sudah terlibat dalam perkelahian yang semakin lama semakin sengitnya, maka Pakkiong Liong dan si pendeta yang datang bersama dengan Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang itu telah saling memandang, dan agaknya mereka sudah saling mengenal sebelumnya.
Tiba-tiba terdengar Pakkiong Liong tertawa dingin sambil berkata.
"Selamat malam, Sin-bok Hweshio, tak kuduga bahwa aku akan bertemu kembali denganmu jauh di wilayah selatan ini."
Pendeta yang disebut Sin-bok Hwe-shio itupun tahu siapa yang sedang dihadapinya itu, sehingga sikapnyapun tidak berani sembarangan.
"Selamat malam, Pakkiong Ciangkun. Aku tidak memusuhi Pakkiong Ciangkun, apalagi memusuhi kerajaan, aku hanya akan membantu seorang sahabatku untuk menangkap orang yang telah membunuh dua orang muridnya. Harap Ciangkun maklum."
Pakkiong Liong paham betul akan watak orang berjubah pendeta yang berdiri di hadapannya itu.
Sin-bok Hwe-shio adalah seorang pendeta murtad yang sudah diusir dari perguruan Nge-tay-pay di Gunung Ngo-tay-san, seorang jago dalam ilmu Nge-kang (Tenaga Keras) dan memiliki ilmu Tit-siang-kin (Tenaga Melemparkan Gajah) yang cukup tinggi tingkatannya.
Namun orang sepandai ini ternyata tidak memiliki pendirian yang tetap dalam pergolakan di jaman itu.
Ia berpihak kepada siapa saja yang dapat membayar tenaganya.
Dulu Pakkiong Liong tahu bahwa sin-bok Hweshio pernah berpihak kepada pemerintah Manchu ketika la menyumbangkan tenaganya untuk menumpas sebuah gerakan bawah tanah di San-se, dengan upah beberapa taill emas.
Kini Pakkiong Liong menduga bahwa Sin-bok Hweshio agaknya sedang bekerja bagi Li Tiang-hong untuk menangkapnya, tentu saja dengan upah yang disepakati pula.
Orang semacam Sin-bok Hweshio tidak pernah peduli pergolakan yang terjadi, bahkan semakin bergolak akan semakin besarlah kesempatannya untuk mencari uang dengan jalan menyewakan tenaganya.
Kini Pakkiong Liong menyahut.
"Kau membantu sahabatmu, sayang bahwa akupun harus membantu sahabatku. Meskipun kita pernah bekerja-sama di San-se, tapi agaknya sekarang kira harus berhadapan. Kecuali kalau taysu (bapak pendeta) sudi meninggalkan gelanggang ini dengan sukarela, sehingga hubungan baik kita tidak terganggu."
Namun Sin-bok Hweshio menggeleng- gelengkan kepalanya, lalu pura-pura menarik napas dengan menyesal. Jawabnya.
"Yaaaah, sayang sekali. Tetapi Ciangkun tentu maklum bahwa aku ini seorang pendeta miskin yang mencari nafkah dari belas-kasihan orang lain, jadi terpaksa aku harus menjalankan tugas yang dibebankan Li Ciangkun kepadaku supaya mendapat sedikit uang untuk sekedar memperbaiki biaraku...."
Pakkiong Liong tertawa mendengar ucapan Sin-bok Hweshic itu, sesaat dipandanginya pendeta yang mengaku sebagai pendeta miskin itu.
Jubah kuningnya yang terbuat dari kain mahal, tasbehnya yang butiran-butirannya adalah mutiara hitam yang mahal pula karena kabarnya, hanya didatangkan oleh pedagang- pedagang Persi, lalu jari-jarinya yang bertaburan dengan cincin emas bermata berlian yang tidak cukup satu, melainkan hampir ssluruh jari-jarinya mengenakan cincin.
Sahut Pakkiong Liong.
"Ya, aku tahu taisu benar-benar pendeta miskin. Aku jadi kasihan karenanya. Tapi taisu bukan miskin harta benda melainkan miskin jiwa, tidak segan-segan menjual pendiriannya untuk uang setahil dua tahil, apalagi memakai jubah pendeta pula. Benar-benar memuakkan."
Wajah Sin-bok Hweshio memerah sejenak, dipukulkannya tangkai tongkatnya ke tanah. Samun kemudian ia justru tertawa dan nada perkataannyapun dibuat sesabar mungkin.
"Sudahlah, Ciangkun, tidak perlu kau mengungkat-ungkat apa yang aku lakukan. Kita hidup dengan cara kita sendiri-sendiri. Tetapi aku masih menawarkan suatu kesempatan kepada Ciangkun, kalau Ciangkun sanggup membayar lebih tinggi dari Li Tiang-hong, nanti aku akan berpihak kepadamu untuk menyerahkan Li Tiang-hong kepadamu. Bagaimana?"
"Kalau aku tidak mau?"
Tanya Pakkiong Liong dengan menahan rasa muaknya. Sin-bok. Hweshio menjawab sambil terkekeh-kekeh.
"Ya terpaksa aku akan bertindak sedikit kurang ajar kepada Ciangkun. Aku akan meminjam kepala Ciangkun sebentar saja untuk ditunjukkan kepada Li Tiang-hong agar aku mendapat upah. Setelah itu nanti aku kuburkan Ciangkun baik-baik dan dengan rajin menyembahyangi kuburan Ciangkun setiap tahun sekali. Aku berjanji."
"Apakah kau mampu?"
Tanya Pak-kiong Liong dingin.
"Heh-heh-he meskipun orang lain boleh gentar mendengar nama si Naga Utara, tapi aku si pendeta miskin ini tak tergetar seujung rambutpun. Sudah cukup banyak orang-orang yang memiliki nama terkenal dan julukan yang hebat-hebat telah kupetik kepalanya untuk kutukar dengan uang, dan kau tidak terkecuali, Ciangkun."
Habis perkataannya, maka Sin-bok Hweshio segera turun tangan.
Dibarengi sebuah bentakan nyaring tongkat panjangnya segera menyerang dengan jurus Liong-leng-hong-bu (Naga Berputar dan Burung Hong menari), ujung tongkatnya berputar menyerampang kaki dan kemudian menyambar Ke kepala musuh.
Tongkat yang terbuat dari perunggu dan sangat berat itu ternyata di dalam genggaman Sin-bok Hweshio jadi seringan sepotong rotan saja.
Dapat digerakkan begitu cepat sehingga menimbulkan angin yang menderu dahsyat.
Pakkiong Liong sadar bahwa lawannya kali ini cukup berat, bahkan lebih berat dari Pek-lek- jiu Tio Tong-hai yang pernah dibunuhnya di kuil terpencil beberapa hari yang lalu.
Maka sejak semula ia harus sangat berhati-hati.
Namun si Naga Utara itu bukan manusia bernyali tikus, ia tidak menghindar saja tapi kedua telapak tangannyapun mencengkeram dengan In-liong- sam-hian (Naga Muncul Tiga Kali di awan) untuk memaksakan sebuah pertarungan jarak pendek, lalu disusul dengan gerak Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Merebut Mutiara) untuk menusuk sepasang mata musuh dengan dua jarinya.
Sin- bok Hweshio terpaksa mundur sambil memutar kencang tongkat panjangnya.
"Kau sombong sekali, Pakklong Liong!"
Teriak Sin-bok Hweshio dari balik putaran tongkat panjangnya.
"Kau hendak melawan tongkat perungguku ini hanya dengan tangan kosongmu? Mana senjatamu?"
Pakkiong Liong terus mendesak maju dengan serangan tangan dan kakinya yang bertubi-tubi.
Menusuk dengan ujung jari, mencengkram, menjotos, menendang dan menyapu secara berantai, sehingga tubuhnya menjadi bayangan yang bergerak amat cepat dengan aneka ragam serangan.
Tak lupa ia membalas teriakan Sin-bok Hweshio tadi.
"Sebentar lagi kau akan membuktikan apakah aku hanya sekedar pandai menyombongkan diri atau tidak. Tapi hati-hatilah, jangan menyesal nanti!"
Begitulah, kedua orang itupun segera terlibat dalam pertempuran sengit.
Dengan demikian di depan gubuk terpencil di lereng Gunung Tiam-jong-san itu telah terjadi dua.
lingkaran pertempuran.
Lamkiong Siang melawan.
Tong Lam-hou dan Sin-bok Hweshio melawan Pakkiong Liong.
Dua orang tokoh tua golongan sesat telah kebentur dua orang anak muda yang tangguh.
Sin-bok Hweshio tidak begitu penasaran, sebab lawannya adalah Panglima Hui-liong-kun yang terkenal.
Yang penasaran adalah Lamkiong Siang yang lawannya cuma seorang anak gunung yang menurut orang-orang Jit-siong-tin pekerjaannya adalah berjualan sayur di pasar.
Dalam penasarannya, akhirnya Lamkiong Siang menghunus pedangnya yang tergendong di punggungnya itu, ia tidak peduli lagi bahwa seorang tokoh angkatan tua harus menggunakan senjatanya untuk melawan seorang anak gunung yang tidak bersenjata sama sekali, yang penting ia harus bias memancing lawannya yang muda itu.
Mo Wan-seng dengan terlongong-longong menyaksikan perkelahian antara empat orang itu.
Semakin melihat ia merasa semakin kecil dirinya di hadapan orang-orang yang bertempur itu, terutama Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong yang usianya jauh lebih muda dari dirinya sendiri itu, namun ilmunya telah mampu mengimbangi tokoh-tokoh seperti Gurunya dan Sin-bok Hweshio.
Ingin rasanya Mo Wan-seng terjun ke gelanggang untuk membantu gurunya, namun untunglah bahwa akal sehatnya masih berjalan dengan baik.
Jika ia terjun dalam perkelahian tingkat tinggi itu, maka perbuatannya itu tidak lebih dari bunuh diri belaka.
Gerakan-gerakan gurunya dan lawannya itupun tak dapat dilihatnya karena cepatnya, bagaimana ia bisa ikut membantu? Namun tiba-tiba muncul akal licik Mo Wan- seng.
Bukankah menurut kata orang-orang Jit- siong-tin yang ditanyainya tadi di rumah Tong Lam-hou juga ada ibunya? Pikir Mo Wan-seng.
"Kalau berhasil kutangkap ibu si bocah edan tentu pikirannya akan bercabang dan Guru dengan mudah akan membereskannya."
Berpikir demikian, ia segera melaksanakannya.
Di hunusnya pedangnya, dan sambil berjalan memutari gelanggang, la lalu meloncat masuk ke pintu gubuk yang terbuka lebar itu.
Perbuatan Mo Wan-seng itu diketahui jelas oleh Pakkiong Liong maupun Tong Lam-hou.
Pakkiong Liong menjadi agak gugup karena menguatirkan keselamatan ibu Tong Lam-hou yang dianggapnya seperti ibunya sendiri itu, karena perhatiannya terpecah, hampir saja kepalanya retak tersambar oleh tongkat panjang Sin-bok Hweshio, untung ia cepat-cepat menundukkan kepala sambil meloncat mundur.
Namun ketika Pakklong Liong melirik Tong Lam-hou, ia menjadi heran ketika melihat sahabatnya itu tenang-tenang saja meskipun sudah melihat Mo Wan-seng masuk ke gubuk dengan pedang terhunus .
"Agaknya kekuatirankulah yang tidak beralasan,"
Pikir Pakklong Liong.
Dan hatinyapun menjadi tenang kembali untuk melayani musuhnya dengan penuh kewaspadaan.
Sementara itu dalam gubuk telah terdengar suara ribut-ribut, bercampur suara ibu Tong Lam-hou yang memaki maki, kemudian terlihatlah Mo Wan-seng meloncat keluar dengan tergesa-gesa sehingga hampir saja terjungkal karena kakinya terantuk ambang.
pintu.
Jika masuknya tadi si Serigala Taring Besi ini masih gagah perkasa, maka keluarnya sudah tidak keruan lagi tampangnya.
Matanya biru sebelah, hidung berdarah, bibir bengkak dan kakinya terpincang-pincang.
Sedang wajahnya menampilkan perasaan kaget luar biasa.
Dari dalam gubuk itu menyusul keluar ibu Tong Lam-hou.
Perempuan itu tangannya memegang sepotong kayu panjang berujung runcing, yang biasanya dipakai untuk melubangi tanah yang akan ditanami bibit tumbuh-tumbuhan.
Dengan kayu sepanjang satu depa itulah rupanya ibu Tong Lam-hou itu telah menghajar Mo Wan-seng yang menyelo- nong masuk ke gubuknya.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maling kecil, mari rasakan tongkatku lagi!"
Bentak ibu Tong Lam-hou sambil memburu Mo Wan-seng dengan marahnya.
Maka bertempurlah kedua orang itu, menanti, ramainya halaman gubuk itu.
Diam-diam pakkiong Liong tersenyum di dalam hatinya ketika melihat seorang yang memiliki julukan begitu garang, Tiat-ge-long (Serigala Bertaring Besi), ternyata tidak berdaya apa-apa menghadapi seorang perempuan setengah tua yang cuma bersenjata sebelang kayu pencocok tanah itu.
Terlihat betapa tangkasnya ibu Tong Lam-hou memainkan kayunya itu sehingga Mo Wan-seng yang bersenjata pedang itu tidak berhasil meratas putus kayu itu, bahkan dirinyalah yang selalu terancam oleh ujung kayu yang runcing itu.
Pakkiong Liong setelah yakin bahwa keselamatan ibu Tong Lam-hou tidak terancam, kini dapat memusatkan perhatiannya kepada musuhnya.
Ia tidak saja berkelahi dengan, tangan dan kakinya, tapi juga dengan otaknya.
Meskipun ia tanu banwa Sin-bok hwesio bertenaga besar, namun Pakkiong Liong tidak takut.
Tapi ia lebih suka berkelahi dengan mengandalkan kelincahan dan kelenturan tubuhnya untuk menghadapi Sin-bok Hweshio yang kaku seperti badak itu.
Dengan silat gaya naganya Pakkiong Liong memperlihatkan gerakan aneh-aneh yang membuat Sin-bok Hweshio kebingungan.
Kadang-kadang berguling di tanah, atau merendahkan badannya sampai hampir rata dengan tanah, lalu meletik bangun dan berputar di udara, meliuk dan menyambar dari atas dan di lain saat kembali menyergap dari bawah.
Maka tongkat panjang Sin-bok Hweshio yang sebenarnya mampu menghancur-leburkan sebongkah batu karang itu jadi kehilangan daya gunanya.
Meskipun tongkat itu berputar-putar dengan kekuatan penghancur yang besar, namun yang dikenalnya selalu angin belaka, sedang Pakkiong Liong seperti segumpal asap saja, yang buyar setiap kali tersentuh.
Sin-bok Hweshio sampai mandi keringat sehingga jubahnya lengket dengan, kulitnya, namun tak dapat mengenai lawannya yang lincah itu.
Setelah merasa berhasil.
mendesak lawannya setapak demi setapak, Pakkiong Liong yang sudah tidak sabar itu memutuskan untuk segera mengakhiri pertempuran dengan menggunakan ilmu pamungkasnya, Hwe-liong- sin-kang (Tenaga Sakti Naga Api) yang diandalkannya itu.
Dan si pendeta gadungan Sin-bok Hweshio itu segera merasakan akibatnya.
Mula-mula ia hanya merasa agak heran ketika merasa di udara di sekitarnya terasa agak hangat, namun kemudian meningkat makin lama makin panas sampai rasanya berada dalam tanur pembakaran.
Dan dilihatnya sepasang telapak tangan Pakkiong liong telah menjadi merah membara bagaikan besi dibakar, itulah ilmu Hwe-liong-sin-kang tingkat ke delapan, tingkat yang paling tinggi yang dikuasai oleh Pakakiong Liong.
Sin-bok Hweshio segera merasa na pasnya menjadi sesak karena .
udara yang terlalu panas dl sekitarnya, keringatnya seakan terperas habis dan kulitnya hangus, sehingga dengan sendirinya gerakan senjatanyapun semakin kendor.
Tapi ia tidak beraya melepaskan diri dari libatan udara maha panas itu, sebab Pakkiong Liong terus mendesaknya dalam pertempuran Jarak dekat, sehingga Sin-bok Hweshio benar-benar setengah mati.
Untung tenaga dalamnya cukup tangguh sehingga untuk sementara masih bisa bertahan, sambil mencoba mengulur waktu untuk menunggu bantuan Lamkiong Siang setelah Lamkiong Siang menyelesaikan lawannya.
Terdengar Pakkiong Liong mengejek.
"Sayang sekali, upah yang bakalan kau terima dari Li Tiang-hong itu bukan berupa uang emas atau perak, tetapi cuma kertas kuning."
Kertas kuning adalah "uang"
Untuk orang yang mati, menurut adat Cina, dengan demikian Pakkiong Liong mengejek lawannya sudah pastl akan mati.
"Persetan! Aku belum kalah!"
Teriak Sin-bok Hweshio dengan marah sambil mengerahkan seluruh ilmunya untuk bertahan.
Bertahan bukan saja melawan sepasang telapak tangan yang merah membara itu, tetapi juga hawa panas yang terus melibatnya tanpa kenal ampun.
Dan sia-sia pula jika Sin-bok Hwesio mengharapkan bantuan Lamkiong Siang, sebab sahabatnya itupun sedang kerepotan menyelamatkan dirinya sendiri.
Meskipun ia telah meputar pedangnya sekencang angin, namun ternyata Tong Lam-hou memiliki gerakan yang lebih cepat daripadanya, sehingga serangan- serangannya tetap saja bisa mengenai tubuh Lamkiong Siang betapapun rapatnya ia bertahan.
Beberapa bagian tubuh Lamkiong Siang memar rasanya terkena pukulan atau tendangan Tong Lam-hou yang keras seperti palu_ baja itu.
Sedangkan pedangnya bergerak dengan sia-sia saja tanpa bisa mengenai tubuh lawan, sebab lawannya seperti sesosok hantu saja yang tak tersentuh badan kasar.
Seolah-olah Tong Lam-hou sudah berjanji dengan Pakkiong Liong, begitu Pakkiong Liong menggunakan ilmu Hwe-liong-sin-kangnya yang panas luar biasa itu, tiba-tiba Tong Lamhou juga ingat bahwa ia memiliki yang serupa, meskipun akibatnya berlawanan.
Ilmu ajaran gurunya yang disebut Hian-in-ciang (Pukulan Maha Dingin) Maka seolah bersaing dengan Pakkiong Liong, Tong Lam-hou juga mengeluarkan ilmunya itu untuk mempercepat selesainya pertempuran.
Bersambung ke
Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditiya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU
Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.
Jilid ula-mula Lamkiong Siang tidak merasakannya, seolah hanya ada angin lembut yang mengusap kulitnya, yang dikiranya angin pegunungan belaka. Tetapi "angin pegunungan"
Itu makin lama makin tajam mengiris kulit, bahkan darahnya yang tadinya hangat karena banyak bergerak itu seakan-akan semakin beku dan dengan sendirinya gerakannya-pun semakin tidak lancar.
Meskipun begitu, hawa dingin itu terus meningkat sampai, akhirnya Lamkiong Siang mengigil seperti terjerumus dalam sumur es, keringat yang keluar dari tubuhnyapun langsung membeku menjadi selapis es tipis yang melekat dikulitnya.
Tentu saja gerakannya M Meskipun ia telah memutar pedangnya sekencang angin, namun ternyata Tong Lam-hou memiliki gerakan yang lebih cepat dari padanya.
semakin kaku, dan mukanya sudah mulai ke- biru-biruan.
Hanya berkat tenaga dalamnya yang tinggi sajalah maka ia tidak langsung mati membeku oleh pukulan Tong Lam-hou.
Meskipun begitu giginya sudah gemerutuk karena dinginnya dan jurus-jurusnyapun semakin kaku karena darahnya yang tidak mengalir lancar.
"Hian-lm-ciang!"
Desis Lamklong Siang dengan nada gemetar.
"Ada hubungan apakah antara kau, dengan Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan?"
"Aku muridnya,"
Sahut Tong-lam-hou tanpa mengurangi serangannya.
"Sebentar lagi darahmu akan membeku dan kau akan terbungkus selapis es sehingga mirip boneka salju. Sedangkan temanmu yang gundul itu akan menjadi segumpal arang oleh pukulan sahabatku itu."
Kenyataan memang tak dapat ditolak.
Sin- bok Hweshio dan Lamkicng Siang yang sama- sama sering menyombongkan kepandaiannya itu, kini yang satu hampir mati kepanasan, yang lainnya hampir mati kedinginan.
Mereka tidak berani lagi mengharap hadiah dari Li Tiang- hong, asal tidak mampus saja sudah patut bersyukur.
Maka tanpa berjanji satu sama lain, baik Sin- bok Hweshio maupun Lam-kiong Siang yang merasa sudah tidak ada harapan lagi untuk memenangkan pertempuran mereka, segera berloncatan mundur dan kabur sipat kuping ke kaki gunung.
Menolehpun tidak berani lagi.
Dan keselamatan Mo Wan-seng yang masih berada di halaman gubuk itupun bahkan tidak digubris lagi.
Alangkah terkejutnya si Serigala Taring Besi itu melihat dirinya ditinggal kabur begitu saja oleh gurunya dan sahabatnya itu.
Maka tanpa pikir panjang lagi Mo Wan-seng juga meloncat keluar gelanggang, dan karena takutnya ia langsung menggulingkan dirinya begitu saja ke bawah gunung, seperti sebutir batu.
Rupanya ia sadar tidak mungkin menyamai kecepatan lari gurunya dan Sin-bok Hweshio, maka jalan yang terbaik ialah menggulingkan dirinya saja.
Meskipun tubuhnya kemudian babak-belur karena terkena batu-batu dan semak-semak berduri, namun ia berhasil tiba di kaki gunung dengan nyawa utuh.
Tapi matanya berkunang- kunang dan perutnya mual bukan main, karena harus bergulingan sekian lama.
Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong sebenarnya hendak mengejar untuk membekuk kedua orang yang mereka anggap sebagai pentolan pengacau itu, namun mereka batal mengejar ketika tiba-tiba saja di tempat itu muncul seorang tua.
Seorang tua bertubuh sedang, rambut dan jenggotnya yang panjang itu sudah putih semuanya, namun mukanya masih kemerah-merahan, dan cara mun- culnyapun sangat mengejutkan.
Muncul begitu saja seperti sesosok hantu, entah dari mana tahu-tahu sudah berada di situ.
"Aku mendengar ada ribut-ribut, ada apa?"
Tanya orang tua itu. Begitu melihat orang tua itu, Tong Lam-hou segera membungkuk dengan hormatnya sambil menjawab.
"Suhu, maafkan keributan ini telah mengganggu istirahat Suhu. Orang tua yang berpedang tadi datang karena ingin membalas kan kematian kedua orang muridnya. Beruntung aku dapat mengusirnya."
Sementara itu, ketika Pakkiong Liong mendengar Tong Lam-hou memanggil orang tua itu sebagai Suhu, maka tahulah Pakkiong Liong bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang tokoh yang sudah terkenal sejak puluhan tahun lalu.
Ang Hoan yang berjulukan Tiam-jong-lo-sia (Sesat Tua dari Tiam-jong-san).
Maka Pakkiong Liong-pun memberi hormat sambil menyapa.
"Salamku untuk Ang Lo-eng-hiong (Pendekar Tua she Ang)."
Ang Hoan hanya menganggukkan kepalanya sedikit, sambil mengisap pipa cangklongnya dalam-dalam.
"Kau murid dari kuil Thian-liong- si di Tibet?"
Tanyanya kepada Pakkiong Liong.
"Benar Lo-eng-hiong,"
Sahut Pakkiong-liong dengan sopan.
"guruku adalah Hoat-beng Lama."
Kembali kepala Ang Hoan terangguk angguk.
"Pantas. Hwe-liong-sin-kang yang kau tunjukkan tadi sudah sampai tingkat delapan, tinggal setingkat lagi untuk mencapai tingkat tertinggi. Jika pulang nanti ke Tibet, sampaikan salamku untuk Hoat-beng Lama. Meskipun tempat tinggalku jauh letaknya dari Tibet, namun aku sudah mendengar namanya yang besar dan kukagumi."
"Akan kusampaikan salam Lo-eng-hiong. Ia sering bercerita kepadaku siapa tokoh nomor satu di Tiong-goan untuk tigapuluh tahun terakhir ini."
Ang Hoan tertawa lebar sehingga terlihat giginya yang masih utuh sebagian besar, namun berwarna kehitam-hitaman karena sering mengisap tembakau itu. Katanya.
"Baiklah aku akan kembali tidur setelah tadi kepulasan tidurku terganggu oleh orang-orang tak tahu adat itu. Aku senang bahwa kalian anak-anak muda saling bersahabat tanpa membedakan suku bangsa, kalian akan mendapat banyak kemajuan kelak. Terutama untuk muridku si A- hou. Jika kau terus berdiam di gunung ini maka kau akan menjadi katak dalam tempurung, dan ilmu yang kau pelajari selama inipun tidak berguna sedikitpun bagi umat manusia. Paham?"
"Aku mengerti, Suhu,"
Sahut Tong lam-hou. Diam-diam ia menafsirkan ucapan gurunya itu sebagai "isyarat lampu hijau"
Bahwa gurunya tidak keberatan ia bersahabat dengan orang Manchu, asalkan segala perbuatannya itu membawa manfaat bagi orang banyak.
"Bagus kalau kau mengerti. Orang-orang picik pandangan berpendapat bahwa yang memimpin negara haruslah keturunan Cu Goan- ciang, tetapi biarpun darah keturunannya sah, kalau tidak becus lantas mau apa? Ayahmu sendiri, A-hou, dulu adalah seorang yang menentang kesewenang-wenangan Kaisar Cong-ceng sehingga dia mendirikan Hwe-liong- pang... ."
Dada Pakkiong Liong berdesir mendengar ucapan Ang Hoan tentang siapa ayah Tong Lam- hou itu. Pikirnya.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi Tong Lam-hou ini adalah anak si pendiri Hwe-liong-pang yang terkenal itu. Saat ini orang-orang Hwe-liong-pang masih menentang pemerintahan Manchu, jika aku berhasil menarik Tong Lam-hou ke pihakku, mungkin bisa melunakkan sikap orang-orang Hwe-liong-pang terhadap pihak pemerintah..."
Namun Pakkiong Liong hanya memendam saja rencananya itu dalam-dalam dan di pasangnya kupingnya baik-baik untuk mendengarkan ucapan Guru Tong Lam-Hou lebih jauh.
"...dan kau sebagai anaknya harus meneruskan perjuangan ayahmu. Rakyat tidak akan menjadi lebih baik nasibnya apabila keluarga Cu kembali ke singgasana, paling- paling hanya mengulangi jaman kebobrokkan seperti masa pemerintahan Cong-ceng dulu."
"Jadi, siapakah yang harus aku dukung, Suhu?"
"Yang harus kau dukung adalah pemerintahan yang sanggup mengendalikan negeri ini dengan baik, dan menjaga persatuan sehingga menjadi negeri yang besar. Aku mendengar bahwa mahluk-mahluk aneh berkulit putih dan berambut kuning sudah mulai bergentayangan di lautan wilayah kita dengan kapal-kapal mereka yang bermeriam. Mereka sudah punya pangkalan di semenanjung di sebelah selatan Campa untuk kapal-kapal mereka, dan sudah bentrok dengan raja di kepulauan selatan yang ingin mempertahankan wilayahnya. Tidak lama lagi mereka tentu akan mendarat ke pantai kita dengan muka manis seorang pedagang, namun sambil menodongkan senjata-senjata mereka. Maka negeri ini harus kuat dulu, tidak usah mempersoalkan orang mana yang memegang pemerintahan."
Tong Lam-hou tahu, meskipun usia gurunya itu sudah hampir seratus tahun, tapi masih sering berkelana, kadang-kadang sampai berbulan-bulan.
Sekali-sekali ia mengelilingi daratan Cina, di lain saat ia berjalan ke selatan untuk melihat-lihat negeri Campa dan Malaka sampai ke ujungnya yang dibatasi oleh lautan.
Lalu pernah pula berjalan terus ke barat sampai ke India dan Persia.
Gurunya juga punya pengetahuan sangat luas karena dapat berbicara beberapa bahasa dan pernah melihat gaya ilmu silat dari bangsa-bangsa asing yang dikunjunginya.
Setelah memberi beberapa petunjuk kepada muridnya dan Pakkiong Liong, maka Ang Hoan berkata.
"Sudahlah. Aku mau meneruskan tidurku yang tadi terganggu oleh keributan ini. Dan jika kau pergi, A-hou, tidak usah kau kua- tirkan ibumu. Aku akan selalu muncul jika ada keributan, bukankah gubukku tidak jauh dari sini?"
"Terima kasih, Suhu,"
Sahut Tong Lam-hou dengan hati lega.
Setelah Ang Hoan pergi, maka mereka bertigapun bercakap-cakap sebentar membicarakan pertempuran tadi, dan juga membicarakan perjalanan mereka besok yang akan menyerbu sarang Li Tiang-hong berdua.
Pakkiong Liong masih tetap ingat tugas yang dibebankan oleh Peng-po-siang-si (Menteri Perang ketika ia berangkat dari Ibukota Kerajaan .
tangkap Pangeran Cu Hin-yang hidup atau mati.
Kebetulan sekarang ia mendapat bantuan tenaga seorang Tong Lam-hou yang ilmunya tidak kalah dari Pakkiong Liong sendiri.
Sedang tujuan Tong Lam-hou ialah ingin membebaskan rakyat Jit-siong-tin sama sekali dari pemerasan orang-orang anggauta "pembebasan tanah air", untuk itu harus pemimpin-pemimpinnya yang ditangkap, bukan cura kaki tangan rendahan macam Hong Lotoa dan teman-temannya.
Dengan demiKian, meskipun pedorongnya agak berbeda, namun kebetulan bisa berjalan bersama.
"Sudah, jangan ngobrol saja,"
Kata ibu Tong Lam-hou ketika hari telah larut malam.
"Kalian harus tidur agar besok pagi bangun dengan tenaga yang segar. Tapi di dapur masih ada minuman hangat untuk kalian."
"Baiklah, bibi, kami akan segera tidur. Pembicaraanku dengan A-hou hampir selesai,"
Kata Pakkiong Liong. Lalu tanyanya kepada Tong Lam-hou.
"Jadi kita belum punya petunjuk sama sekali di manakah letak sarang Li Tiang- hong itu?"
"Belum,"
Sahut Tong Lam-hou.
"Mungkin Hong Lotoa tahu tetapi ia sudah diusir dari Jit- siong-tin dan kita tidak tahu di mana dia sekarang. Tetapi barangkali kita dapat mencari keterangan dari orang-orang Jit-siong-tin, mungkin ada yang tahu."
"Jadi besok kita harus ke Jit-siong-tin lebih dulu?"
"Begitulah."
Setelah menetapkan rencana, maka merekapun naik ke pembaringan untuk tidur.
Tong Lam-hou agak gelisah tidurnya, maklumlah ia besok akan melakukan sesuatu perbuatan yarg dianggapnya cukup luar biasa.
Selama ini ia tidak pernah berkelahi, dari tidak pernah pergi lebih jauh dari Jit-siong-tin, namun pertengkarannya dengan Kun-lun-sam-liong ternyata telah menyeretnya ke dalam suatu persolan yang akan memberikan pengalaman- pengalaman baru kepadanya.
Ia bukan saja akan, pergi ke suatu tempat yang belum diketahuinya, ia bahkan juga akan berkelahi dengan para pemimpin dari "gerakan pembebasan tanah air"
Yang belum diketahui entah seberapa tinggi ilmunya.
Tapi Tong Lam- hou tidak takut.
Kemenangannnya atas Kun - lun-sam-long dan bahkan atas guru mereka, Lam-kiong Siang, telah menambah tebal rasa percaya diri sendirinya.
Dalam umurnya yang hampir duapuluh tiga tahun itu ia belum pernah berkelahi satu kalipun, kecuali berlatih bersama gurunya, namun hari ini ia telah dua kali berkelahi dan dua kali menang.
Tentu saja hal itu membanggakan bagi jiwa mudanya, apalagi kalau mengingat orang-orang yang dikalahkannya itu adalah orang-orang yang terkenal di dunia persilatan.
Hampir setengah malam Tong Lam-hou tak dapat memejamkan matanya karena pikirannya yang bekerja terus, namun akhirnya ia pulas juga.
Dan dalam tidurnyapun ia berganti-ganti mendapat mimpi baik dan buruk.
Kadang- kadang ia mimpi berpakaian seperti seorang panglima perang seperti dalam gambar-gambar buku sejarah, memimpin pasukan yang besar untuk mengalahkan musuhnya, alangkah bangganya melihat bendera yang berkibar-kibar di atas kepalanya.
Lalu rasanya ia menaiki seekor kuda yang gagah masuk ke desa Jit- siong-tin, disambut oleh seluruh penduduk dengan sorakan-sorakan kekaguman dan kibaran bendera-bendera.
Tapi kenapa tiba-tiba wajah orang-orang Jit-siong-tin itu menjadi ketakutan, berlari-lari kacau-balau sambil berteriak-teriak panik, rumah-rumah terbakar, orang-orang tak dikenal membabati orang- orang Jit-si-ong-tin seperti membabati rumput saja.
Tong Lam-hou hendak berteriak, tapi tak ada suara yang keluar, hendak menyerbu orang- orang jahat itu, namun kakinya seolah melekat d.i tanah dan tak bisa lepas.
Ia hanya m- onta- ron-ta.
"Jangan! Jangan bunuh mereka! Gila! Gila! Biadab!"
Ia merasa ada yang menegangi tangannya, namun terus meronta, dan sayup-sayup ia mendengar suara yang manggil namanya yang makin lama semakin lama semakin jelas.
"A- hou!A-hou!"
Ketika akhirnya ia merasa tenang kembali dan sadar dari tidurnya dengan sebuah sentakan kaget, ia tahu yang memegangi tangannya itu adalah Pakkiong Liong.
Dan ibunya rupanya juga sudah terbangun oleh teriakan-teriakan Tong lam-hou ketika bermimpi tadi.
"Kau agaknya bermimpi buruk, A-hou,"
Kata Pakkiong Liong yang berjongkok di dekat tikar tempat tidurnya disodorkannya semangkuk air dingin Kehadapan Tong Lam-hou sambil berkata.
"Minumlah air. Akan menghilangkan kekagetanmu."
Tong Lam-hou bangkit duduk, dirasanya bajunya sudah basah oleh keringat dingin karena mimpinya yang menegangkan tadi.
Diterimanya mangkuk air dingin dari tangan Pakkiong Liong dan ditenggaknya habis, sehingga ketenangannyapun perlahan-lahan pulih kembali.
Kemudian Tong Lam-hou tertawa sambil berkata.
"Maaf, mengejutkan ibu dan A-liong. Tetapi sekarang aku sudah tidak apa-apa lagi, kalian bisa melanjutkan tidur kalian. Aku hanya terlalu tegang saja, terlalu memikirkan perjalananku besok pagi."
Ibu Tong Lam-hou-pun bisa tersenyum setelah melihat ketenangan anaknya pulih kembali.
"Ganti bajumu yang basah keringat itu, nanti kau sakit,"
Katanya.
"Kalian tidurlah kembali. Fajar masih agak lama datangnya."
Masing-masing kembali ke tempat tidurnya masing-masing, dan suasana gubuk itu menjadi sunyi kental.
Hanya terdengar desis napas halus dari ketiga penghuninya.
Namun Tong Lam-hou tidak berani lagi tidur terlalu pulas, takut mimpinya yang menakutkan itu akan datang lagi.
Meskipun ia menganggapnya hanya sebagai "kembangnya tldur, namun setiap kali mengingat akan Jit- siong-tin maka hatinyapun berdebar aneh, suatu firasatkah itu? Akhirnya fajar datang juga, kokok ayam hutan bersahut-sahutan di gunung itu, kicau burung terdengar di mana-mana.
Seisi rumah segera mempersiapkan dirinya.
Ibu Tong Lam- hou sudah menyiapkan makanan bagi anaknya dan sahabatnya yang sebentar lagi akan menunaikan suatu tugas berat.
Sebagai seorang ibu, ada juga kecemasannyakan nasib anaknya, namun iapun sadar bahwa anaknya tidak akan dapat berkembang menjadi pribadi yang mandiri apabila tidak pernah mendapat tantangan apapun dalam hidupnya.
Tantangan hidup mendewasakan seseorang.
Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou membersihkan diri dengan air pegunungan yang segar, lalu mengisi perut mereka sekenyang-kenyangnya.
Pakaian yang mereka pakai adalah pakaian anak-desa yang amat sederhana, bahkan tidak membawa senjata sepotongpun, agar tidak menarik perhatian musuh.
Setelah semuanya siap, merekapun berpamitan kepada ibu Tong Lam-hou, lalu melangkah ke arah timur, menyongsong cahaya matahari yang hangat.
Seperti seharusnya anak- anak muda juga harus melangkah tegap menyongsong matahari cita-cita mereka.
Ibu Tong Lam-hou memandang langkah-langkah anaknya dengan perasaan haru dan bangga, ngatannya melayang kepada seorang anakmuda juga kira-kira duapuluh lima tahun yang lalu, ketika ia juga masih seorang gadis.
Seorang laki- laki muda yang menyongsong badai kehidupan dengan dadanya yang kekar, meskipun kemudian ia gugur namun namanya tetap terpateri di hatinya.
Dan kini memandang langkah-langkah puteranya itu, rasanya ia melihat kembali wujud dari laki-laki itu yang menjelma kembali dalam raga Tong Lam-hou, karena Tong l.am-hou memang tetesan darah dari laki-laki itu.
"Selamat berjuang, Tong Wi-siang muda,"
Kata ibu Tong Lam-hou dalam hatinya. Doa seorang ibu yang mengantarkan anaknya membuka lembaran baru hidupnya. BAGIAN KE EMPAT.
"SESUAI rencana, kita akan ke Jit-siong-tin lebih dulu untuk bertanya kepada penduduk setempat tentang di mana letak sarang pengacau"
Kata Pakkiong Liong memecah kesunyi "Meskipun hasilnya belum tentu memuaskan kita."
"Ya. Dan bagaimana kalau kita gunakan gin- kang (Ilmu Meringankan Tubuh) supaya cepat sampai ke Jit-siong-tin? Mumpung jalanan masih sepi?"
Usul Tong Lam-hou.
Ternyata anak muda itu belum juga dapat menghilangkan kegelisahannya akibat pengaruh mimpinya tadi malam.
Oleh dorongan kegelisahannya itulah maka ia ingin cepat-cepat melihat desa itu, rasanya seperti meninggalkan seorang anak kecil bermain-main di pinggir sumur.
"Baik, kita gunakan ginkang, Hitung-hitung latihan di pagi yang dingin ini."
Maka kedua anakmuda itu pun kemudian berlari-lari menuruni lereng gunung.
Makin lama makin cepat, sehingga kaki mereka seolah sudah tidak menapak tanah lagi dan meluncur begitu saja.
Dengan cara demikian, maka tidak sampai sesulutan dupa mereka sudah tiba di sebuah bukit yang di baliknya terletak desa yang mereka tuju.
Sekali belokan dikaki bukit itu harus mereka lalui, dari pintu gerbang selatan Jit-siong-tin akan nampak di depan mata.
"Baik kita gunakan gin-kang. Hitung-hi tung latihan di pagi yang dingin ini."
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun di kaki bukit itu tiba-tiba Tong Lam- hou menghentikan langkahnya dan berdiri kaku sambil menatap ke satu arah.
Pakkiong Liong juga menghentikan luncuran tubuhnya, dan tanpa bertanya iapun ikut menatap ke arah yang ditatap oleh Tong Lam-hou itu.
Dan iapun ikut melihat dengan tegang ke arah segumpal asap hitam yang tipis mengepul ke udara.
"Asap itu dari arah Jit-siong-tin!"
Seru Tong Lam-hou dengan gemetar.
Dan seperti seekor burung saja tubuhnya tiba-tiba melesat kembali ke depan dengan kecepatan tinggi, Pakkiong Liong ikut saja di belakangnya.
Begitu melewati tikungan di kaki bukit dan melihat gapura selatan Jit-siong-tin yang masih berdiri megah itu, maka lemaslah kaki Tong Lam-hou.
Gapura itu masih ada memang, dan bendera Jit-goat-ki yang berkibar kemarin sekarang juga masih berkibar-kibar terhembus angin pagi.
Namun Jit-siong-tin sendiri sudah berubah wujudnya, kemarin masih desa yang ramai maka sekarang sudah berujud puing- puing hitam yang masih berasap.
Orang-orang yang kemarin masih bercakap-cakap dengan Tong Lam-hou, sekarang hanyalah mayat-mayat hangus yang malang-melintang di seluruh desa.
Di jalan-jalan, di tengah reruntuhan, di selokan.
Terbantai habis tanpa sisa.
Tong Lam-hou berdiri di tengah kehancuran itu seperti seorang yang kehilangan sukma.
Mimpinya tadi malam ternyata bukan sekedar "kembangnya tidur"
Melainkan firasat, menilik bekas-bekasnya, maka agaknya kemusnahan ini dilakukan oleh sepasukan manusia, bukan cuma satu atau beberapa orang saja.
Bekas-bekas kaki kuda juga bertebaran di mana-mana, berjumlah puluhan.
Pakkiong Liong yang berdiri mendampingi Tong Lam-hou itu pun diam-diam merasa ikut bersalah juga atas musibah itu.
Kemarin ia telah menjanjikan kepada orang-orang Jit-siong-tin bahwa pemerintah Manchu akan melindungi jika para pengikut dinasti Beng membalas dendam.
Namun ternyata selagi Pakkiong Liong tidur tadi malam, maka di desa ini telah terjadi pembantaian yang mengerikan.
Sekarang, apa lagi yang mau dilindungi? Sesaat kedua orang itu berdiri terlongong- longong tidak tahu apa yang harus mereka perbuat.
Tanpa semangat mereka melangkah jalan-jalan di desa itu yang dipenuhi mayat- mayat di segala sudutnya.
Masih ada yang bisa dikenali oleh Tong Lam-hou sebagai teman- temannya, kenalan-kenalannya, orang-orang yang sering membeli sayurannya, namun sebagian besar mayat-mayat itu tak dapat dikenali lagi karena sudah hangus terbakar.
Di angkasa, burung-burung pemakan bangkai sudah terbang berkelompok-kelompok, siap berpesta pora, bahkan beberapa ekor sudah hinggap di reruntuhan; Tiba-tiba Tong Lam-hou melihat sesosok mayat yang jari telunjuknya seolah sedang menggores tanah.
Mayat itu adalah mayat paman Lo yang kemarin memesan dendeng daging kepada Tong Lam hou, ia mati dalam keadaan tertelungkup, sementara jari, tangannya menggores tanah menuliskan huruf "Hong Lo..."
Di punggung mayat ada luka bekas bacokan yang panjang dan dalam.
"Pasti ia akan menuliskan Hong Lotoa!"
Teriak Tong Lam-hou dengan geram. Tiba-tiba saja Tong Lam-hou seperti orang kesurupan telah berteriak-teriak dengan kalapnya.
"Hong Lotoa! Hong Lotoa! Menyesal aku kemarin tidak membunuhmu sama sekali! Tapi aku bersumpah akan mencincangmu, mengulitimu, mematahkan tulang-tulangmu satu persatu!"
Pakkiong Liong membiarkan saja Tong Lam- hou berteriak-teriak sambil berlari-lari seperti itu, sebab ia memahami bahwa goncangan perasaan sahabatnya itu memerlukan pelampiasan sedikit.
Itu lebih baik daripada jika ia memendam saja perasaannya, namun kemudian meledak dalam ujud perbuatan- perbuatan yang tak terkendali.
Bagi Tong Lam- hou, orang-orang Jit-siong-tin adalah sahabat- sahabat baiknya sejak ia dilahirkan, dan kini semua sahabat-sahabat baiknya itu dihabiskan dalam waktu semalam saja, sudah wajar kalau Tong Lam-hou sangat terpukul.
Bahkan Pakkiong Liong sebagai seorang Panglima yang sudah berulang-kali melihat akibat keganasan peperangan, juga masih merasa ngeri melihat kehancuran desa Jit-siong-tin itu.
Di peperangan, yang terbunuh adalah lelaki-lelaki dewasa bersenjata yang lebih dulu melakukan perlawanan, namun di sini, yang terbunuh adalah orang-orang desa yang tak dapat bermain senjata, perempuan-perempuan yang tak berdaya, bahkan anak-anak kecil yang sama sekali belum tahu apa-apa.
Sementara itu Tong Lam-hou telah menjatuhkan diri duduk di tanah, lalu menangis meraung-raung seperti anak kecil.
Bahkan ketika ia masih kecil belum pernah ia menangis sesedih ini.
Pakkiong Liong berjongkok di sebelahnya sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu tanpa berkata sepatah kata-pun.
Dibiarkannya sampai tangis Tong Lam-hou reda dengan sendirinya, agar dapat mengurangi tekanan perasaannya.
Setelah tangisnya reda, Tong Lam-hou memang merasakan hatinya lebih rigan, tetapi kejadian hebat yang menimpa Jit-siong-tin itu bagaimanapun juga tidak akan dilupakannya.
Dengan suara yang masih terisak-isak ia berkata.
"A-liong, aku bukan manusia kalau sampai tidak menumpas orang-orang yang menamakan diri pembebas tanah Air itu. Aku yang bersalah da]am hal ini. Kemarin orang- orang Jit-siong-tin sudah menganjurkan agar Hong Lotoa dibunuh saja, tetapi aku salah melepaskannya, dan inilah akibatnya. Inilah kesalahanku!"
Berbicara sampai disini, kembali air mata Tong Lam-hou mengalir lagi, meskipun kali ini tidak meraung-raung seperti tadi lagi. Pakkiong Liong juga merasakan matanya menjadi basah. Sahutnya.
"Kuasai dirimu, A- hou. Kita memang akan menangkap pengacau- pengacau itu untuk dihukum berat."
Semakin lama memang Tong lam-hou semakin tenang, meskipun sikapnya yang tadinya periang itu telah berubah menjadi murung.
Matanya yang tadinya bersinar lembut dan hangat penuh persahabatan kepada siapa saja, kini telah menjadi tajam penuh kemarahan dan kegarangan, mencerminkan perubahan jiwanya.
Pakkiong Liong diam-diam menarik napas panjang melihat perubahan diri sahabatnya itu, namun ia mengharap mudah- mudahan kelak Tong Lam-hou akan kembali kepada pribadinya yang hangat dan lembut itu lagi.
Pakkiong Liong tidak suka bersahabat dengan seorang pendendam dan pembunuh, meskipun Pakkiong Liong sendiri sering menghilangkan nyawa orang di peperangan, namun semuanya itu dilakukan dengan sangat terpaksa demi tugasnya, dan dengan hati yang pedih.
Tidak benarlah desas-desus yang mengatakan semua orang Manchu berhati kejam, berhati binatang, membunuhi orang Han dengan semena-mena.
Kini di Jit-siong-tin yang membunuhi penduduk desa malahan orang Han sendiri.
Ketika Tong Lam-hou melihat burung bangkai yang beterbangan di udara, bahkan beberapa kelompok telah mulai turun untuk mendekati mayat-mayat yang betebaran itu.
Tiba-tiba Tong Lain hou meloncat bangun sambil berkata.
"Burung-burung keparat itu tidak boleh memakan tubuh-tubuh sahabat- sahabatku. Aku akan menguburkan mereka semua!"
Pakkiong Liong mengerutkan alisnya.
Menguburkan mayat yang jumlahnya seratus lebih itu tentu akan makan waktu lama, meskipun ia dan Tong Lam-hou bertubuh kuat, namun bila menghabiskan waktu sehari lebih.
Tetapi mengingat keadaan Tong Lam-hou yang sedang berpikiran keruh seperti itu, tidak bijaksana mencegah kemauannya.
Maka Pakkiong Liong-pun berkata.
"Baik. Aku akan membantumu."
"Di rumah paman Cang si tukang besi itu tentu masih ada cangkul dan sekop, biar kuambil dua biji,'' kata Tong Lam-hou sambil melangkah pergi.
"A-liong, kalau kau tidak merasa jijik dan ingin membantuku, coba kau hitung ada berapa mayat di seluruh desa ini."
"Baik,"
Sahut pakkiong Liong singkat.
Maka mulailah kedua sahabat itu bekerja.
Hasil penghitungan Pakkiong Liong menunjukkan ada seratus tigapuluh empat mayat, berarti kedua anakmuda itu harus membuat seratus tiga puluh empat lubang.
Sebagai orang-orang berilmu tinggi, tentu pekerjaan itu tidak akan membuat mereka lelah, bahkan dua kali lipatpun masih sanggup mereka lakukan, namun jelas perjalanan mereka akan tertunda sehari.
"Lubangnya tidak usah terlalu dalam, asal pantas saja,"
Kata Tong Lam-hou sambil mengayunkan cangkulnya.
"Asal jangan sampai bisa dikais-kais oleh kawanan serigala dan ditarik keluar dari lubang."
Demikianlah mereka bekerja, sampai matahari terbenam di sebelah barat barulah pekerjaan itu selesai.
Kini di tengah-tengah desa Jit-siong-tin itu, di tempat yang tadinya merupakan jalan raya, berderet-deretlah ratusan gundukan tanah berisi mayat-mayat penduduk Jit-siong-tin.
Burung-burung pemakan bangkai itupun beterbangan pergi dengan kecewa.
Namun satu dua diantara hewan-hewan itu tadi sempat juga menikmati daging secuwil atau dua cuwil.
Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong yang bermandikan keringat dan pakaian berbau mayat itu, segera membersihkan diri mereka di sebuah sungai yang jernih di dekat desa itu.
Dan pakaian yang mereka cuci itu terpaksa mereka tunggu sampai kering supaya dapat dipakai kembali, selama dalam perjalanan itu mereka memang tidak membawa buntalan pakaian yang mereka anggap akan merepotkan saja.
Matahari masih akan bersinar sesaat lagi sebelum tenggelam sama sekali, cukup untuk mengeringkan pakaian mereka.
Sambil berendam telanjang dalam air, mereka bercakap-cakap.
Jika tadinya Pakkiong Liong yang lebih bersemangat dalam mencari sarang Li Tiang hong, maka sekarang Tong Lam- hou yang lebih bernafsu untuk segera menemukan sarang Li Tiang-hong.
Kata Tong Lam-hou.
"Tadinya kita punya rencana untuk bertanya kepada orang-orang Jit-siong-tin, tapi mereka sudah terbunuh semua, jadi bagaimana sekarang?"
Sambil menciduk dengan telapak tangannya dan menyiramkan ke kepalanya sendiri, Pakkiong Liong menyahut.
"Tapi para penyerbu itu meninggalkan jejak-jejak kaki kuda mereka di tanah, kita dapat mengikutinya dan mudah- mudahan menemukan sarang mereka."
"Tapi bagaimana kalau tiba-tiba turun hujan dan jejak-jejak itu terhapus?"
Tanya Tong Lam- hou.
"Sekarang musim hujan."
"Itupun tidak sulit bagi kita. Ketika kulihat jejak-jejak kaki kuda mereka, kuperkirakan mereka berjumlah tigapuluh sampai empatpuluh orang, sebuah rombongan berkuda yang cukup besar. Jadi kalau kita tanyakan kepada orang-orang di sepanjang jalan tentu mereka akan bisa menunjukkan arahnya. Rombongan orang berkuda berjumlah sebesar itu tentu akan cukup menarik perhatian orang."
Sementara itu, matahari telah tenggelam di sebelah barat, dan pakaian yang mereka jemur di bebatuan di pinggir sungai kecil yang bening itupun sudah kering. Maka kedua orang itu segera keluar dari dalam air dan memakai kembali pakaian mereka.
"Kita akan bermalam di sini, besok baru kita lacak jejak mereka,"
Kata Pakkiong Liong.
Untuk makanan mereka, mereka mencabut beberapa tumbuh-tumbuhan umbi-umbian yang memang ditanam oleh orang-orang Jit-siong-tin di sekitar desa mereka.
Tengah mereka makan sambil menunggu datangnya malam, tiba-tiba telinga mereka yang tajam menangkap ada derap kaki kuda dari arah utara menuju ke desa itu.
Tong Lam-hou segera meloncat bangun dengan muka merah padam, serunya.
"Bagus! Mereka datang lagi untuk mengantarkan nyawa!"
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi Pakkiong Liong cepat menyambar tangan Tong Lam-hou sambil berkata.
"Jangan terburu-buru, jalan ini bukan jalan milik mereka, siapa saja bisa lewat di sini. Kita lihat dulu, baru kita putuskan tindakan kita."
Tong Lam-hou merasa ucapan sahabatnya itu cukup beralasan, maka ia menurut saja ketika Pakkiong Liong menarik tangannya untuk diajak bersembunyi di pinggir jalan.
Penunggang-penunggang kuda yang mendekati daerah itu ternyata berjumlah kira- kira tujuh orang, semuanya menaiki kuda yang tegar dan memakai tudung bambu untuk melindungi, kepala mereka dari panas matahari, meskipun saat itu hari telah sore.
Wajah dan pakaian mereka yang terlapis debu menandakan bahwa mereka baru saja melakukan perjalanan yang cukup jauh.
Di antara mereka terdapat seorang perempuan yang berusia kira-kira empat puluh tahun namun masih cantik dan bertubuh ramping, bersikap gagah seperti kaum pendekar.
Juga ada seorang berjubah pendeta dan seorang lagi berjubah imam agama To.
Ketika mereka melihat keadaan desa Jit- siong-tin yang telah menjadi puing itu, mereka kelihatan terkejut dan serentak menghentikan kuda-kuda mereka.
Orang yang paling depan adalah lelaki gagah berpakaian serba putih, usianya kira-kira empatpuluh dua atau empatpuluh tiga tahun, tegap dan menyandang pedang di pinggangnya.
Ia memperdengarkan seruan kagetnya.
"Hei Lihat, desa ini telah mengalami bencana! Beberapa bulan yang lalu ketika aku lewat tempat ini, desa ini masih merupakan desa yang makmur... ."
Si pendeta Buddha itu merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada. sambil berkata dengan nada prihatin.
"Omitohud! Pelaku dari pemusnahan desa ini sungguh-sungguh biadab dan tak berperi-kemanusiaan!"
"Pasti tentara Manchu!"
Kata seorang yang bermuka hitam dan bertubuh kekar, sambil mengepalkan tinjunya erat.
"Siapa lagi yang bisa berbuat sekeji ini selain orang-orang Manchu itu?"
Hati Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou di tempat persembunyiannya tergetar mendengar tuduhan terhadap tentara Manchu itu.
Tong Lam-hou sudah hendak meloncat keluar untuk menerangkan hal yang sebenarnya kepada orang-orang itu, namun Pakkiong Liong cepat- cepat menekan pundaknya.
Bisiknya.
"Tenangkan dirimu. Dan atur napas dan gerak gerikmu baik-baik agar persembunyian kita tidak mereka ketahui. Mereka orang-orang berilmu tinggi yang berpendengaran tajam, aku kenal mereka sebagian besar."
"Tapi mereka menuduh pasukan Manchu yang tidak bersalah,"
Sahut Tong Lam-hou dengan berbisik pula.
"Keenakan Li Tiang-hong dan teman-temannya kalau kejahatan mereka tidak diketahui oleh orang banyak.
"Sabarlah, aku sudah menemukan akal. Untuk sementara kita dengarkan dulu pembicaraan mereka."
"Siapakah mereka?"
"Nanti aku terangkan kepadamu."
Sementara itu, orang-orang berkuda itu tengah mencaci-maki dan mengutuk tentara Manchu yang mereka katakan biadab, berjantung hewan dan seba-gainya, yang membuat telinga Pakkiong Liong merah, namun ia tetap menahan diri.
Kata si orang gagah yang berpakaian serba putih itu sambil menunjuk ke arah bendera Jit- goat-ki yang masih berkibar di gapura itu.
"Mungkin tentara Manchu menumpas desa ini karena desa ini berani mengibarkan bendera Kerajaan Beng itu!"
Sahut si pendeta Buddha.
"Masuk akal juga pendapat Tong Taihiap (Pendekar she Tong) ini. Tapi sungguh keterlaluan, hanya karena sehelai bendera saja tentara Manchu telah sampai hati membasmi sebuah desa tanpa ampuni"
Di tempat persembunyiannya Tong lam-hou membatin.
"Kiranya orang gagah berbaju putih itu memiliki she (nama marga) seperti aku,, yaitu marga Tong."
Dan si penunggang kuda yang bermuka hitam itu Juga menggeram marah.
"Padahal, belum tentu bendera itu dikibarkan oleh penduduk desa ini dengan suka-rela. Dulu pemerintah Kaisar Cong-ceng dibenci oleh rakyat, tidak mungkin sekarang rakyat malah mengibarkan bendera dinasti Beng. Yang mengibarkannya mungkin adalah cecunguk- cecunguk pengikut dinasti Beng yang kabarnya masih banyak berkeliaran di daerah ini, dan tindakan itu telah mencelakai penduduk seluruh desai"
"Ya, banyak orang celaka gara-gara bendera keparat itu!"
Dengus seorang penunggang kuda lainnya yang pakaiannya mirip orang Korea.
Lalu penunggang kuda yang berpakaian seperti orang Korea itu tiba-tiba meloncat dari pelana kudanya, langsung ke arah tiang bendera Itu.
Sekali ia berputar di udara dan kemudian kakinya dengan derasnya menghantam tiang bendera itu sehingga patah menjadi dua, lalu tanpa menginjak tanah sedikitpun la telah berputar lagi di udara dan hinggap.
kembali di punggung kudanya dengan hebatnya.
Dalam satu gerakan saja ia telah menunjukkan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat, sekaligus kerasnya tendangannya, yang mampu mematahkan tiang bendera yang terbuat dari kayu sebesar paha itu hanya dengan sekali tendang.
Orang-orang berkuda lainnya serentak berseru kagum.
Si imam agama To mengangkat jempolnya sambil berseru.
"Tidak percuma saudara Oh ini . menyandang julukan Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan). Ilmu tendangan Tae-kyun dari Korea yang saudara tunjukkan tadi benar-benar luar biasa!"
Orang itu ternyata memang orang Korea, dan ilmu yang dipertunjukkannya tadi disebut Tae-kyun, seni menendang dari Korea, sejenis ilmu silat yang hampir sama tuanya dengan ilmu silat di Cina sendiri.
Orang Cina sendiri menyebut silat Korea itu dengan sebutan Tong- jiu-tao atau seni tempur dari Timur.
Di tempat sembunyiannya, Pakkiong Liong jadi teringat seorang perwira bawahannya yang berdarah Korea, Han Yong-kim namun tendangan Han Yong kim tidak semahir itu sebab ia lebih mengutamakan ilmu pedangnya.
Sementara pakkiong Liong sudah memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya, namun dengan menyamar.
Dijemputnya segenggam tanah untuk mengotori wajahnya dan tangannya sendiri, lalu setelah berpesan kepada Tong Lam-hou agar tetap dalam persembunyiannya maka Pakkiong Liongpun berjalan keluar dari semak-semak persembunyiannya.
Sengaja langkahnya dibikin berat seperti orang yang tidak mengerti ilmu silat sama sekali, dan penampilannya saat itu memang seperti anak desa asli.
Suara langkah-langkah Pakkiong Liong itu telah menarik perhatian ke tujuh orang, penunggang kuda itu, sehingga mereka menoleh serentak ke arah suara itu.
Namun mereka menarik napas lega setelah melihat yang datang itu cuma seorang anak desa yang dekil.
Orang berpakaian serba putih yang bertampang gagah itu segera melambaikan tangannya kepada Pakkiong Liong sambil memanggil.
"Saudara kecil, mendekatlah ke sini!"
Dengan sikap takut-takut seperti umumnya anak dari desa terpencil yang kedatangan orang asing, Pakkiong Liong mendekati orang itu. Langkahnya dibuat ragu-ragu, dan suaranya terdengar ketakutan.
"A...ak...aku tidak bersalah, tuan-tuan. Aku benar-benar tidak bersalah, aku secara kebetulan saja melihat tuan-tuan dan mendekati karena tahu bahwa tuan-tuan orang- orang baik. Bukan orang-orang jahat seperti yang telah membakar desa ini... Orang berpakaian putih itu tersenyum.
"Jangan takut, saudara kecil, kami memang bukan orang-orang yang membakar desa ini. Apakah kau tinggal di desa ini?"
Sahut Pakkiong Liong sambil menunjuk ke arah selatan.
"Bukan, tuan. Aku tinggal di desa sebelah selatan sana, namun sering pergi ke sini untuk berbelanja. Tadi pagi ketika aku dan kawan-kawanku datang kemari, ternyata desa ini sudah hancur."
"Yang menguburkan mayat-mayat itu siapa?"
"Aku dan penduduk desa sebelah selatan itu. Kami semua bekerja-sama menguburkan mayat-mayat teman-teman kami ini-."
"Kapan terjadinya pembantaian ini?"
"Tadi malam,tuan."
"Kau melihat sendiri?"
Pakkiong Liong menggelengkan kepala.
"Tidak, tuan.. Ketika orang-orang di desaku melihat ada api berkobar di desa ini, dan juga suara derap kuda serta teriakan-teriakan bengis, maka tak seorangpun dari desa kami yang berani datang ke sini untuk melihat apa yang terjadi. Bahkan keluar dari pintu rumah saja tidak berani."
Pakkiong Liong menelan ludahnya dulu, lalu melanjutkan.
"...dan keesokan harinya, barulah kami datang kemari beramai-ramai, hampir seluruh desa ikut semua. Dan inilah yang kami jumpai. Seluruh desa tertumpas habis."
Para penunggang kuda itu mengangguk- anggukkan saja kepalanya mendengar ceritera Pakkiong Liong yang setengah benar setengah bohong itu. Namun kedengarannya ceritera "anak desa"
Itu memang masuk akal.
"Saudara kecil, kau tahu siapa yang melakukan ini?"
Tanya orang berpakaian putih itu kepada Pakkiong Liong.
"Kami tidak melihat sendiri, tuan, namun- kami dapat memperkirakan siapa yang berbuat ini."
"Siapa? Dan bagaimana kau dapat menduganya?"
"Yang melakukan adalah..."
Pakkiong-Liong pura-pura ketakutan sebentar sambil memandang orang-orang berkuda itu dengan sikap kuatir. Dan orang berpakaian putih itu berkata.
"Jangan takut, katakan saja, saudara kecil"
Masih dengan sikap takut-takut, Pakkiong Liong menjawab.
"Yang melakukan adalah sekelompok orang-orang dari Gerakan Pembebasan Tanah Air, benderanya berwarna kuning bergambar bulatan merah dan bulan sabit berwarna putih."
"Bendera Jit-goat-ki!"
Hampir bersamaan ketujuh orang itu menyahut.
"Jadi bukan tentara Manchu?"
"Bukan, tuan. Pangkalan tentara Manchu yang terdekat dari sini ialah di kota Kun-beng yang jaraknya duaratus li lebih dari sini, sedang daerah ini termasuk dalam pengaruh gerakan pembebasan itu. Tentara Manchu tidak pernah menginjak daerah ini."
Penunggang kuda yang berwajah hitam itu nampak gemas sekali. Geramnya.
"Bangsat ternyata ini perbuatan tentaranya Cong-ceng si raja busuk itu. Dulu ketika masih berkuasa mereka menindas rakyat, sekarang sudah ja- tuhpun masih menyengsarakan rakyat! orang- orang macam itu masih juga tidak malu mengaku berjuang untuk rakyat Han? Huh! Yang benar, mereka itu berjuang hanya untuk kembali merebut singgasana, hanya ingin jadi Kaisar saja!"
Penunggang-penunggang kuda lainnya tidak ada yang menyahut, tetapi mereka nampaknya tidak menolak pendapat orang yang bermuka hitam itu.
Mereka semuanya sudah berusia hampir setengah abad, mereka pernah mengalami jaman pemerintahan Kaisar Cong- ceng sehingga merekapun tahu betapa bobroknya orang-orang pemerintahan di jaman itu.
Lalu orang bermuka hitam itu bertanya kepada Pakkiong Liong.
"Eh, saudara kecil, bagaimana kau tahu bahwa yang membakar desa ini adalah sisa tentara dinasti Beng, padahal kau tidak melihat sendiri?"
Sahut Pakkiong Liong.
"Sehari sebelumnya, desa ini kedatangan beberapa anggauta Gerakan Pembebasan Tanah-air, katanya mereka mencari seorang mata-mata Manchu yang menyusup ke daerah ini. Karena penduduk desa menjawab tidak tahu, orang-orang Gerakan itu merasa tidak puas, dan terjadi perkelahian dengan seseorang pemuda penjual sayur. Dua di antara orang-orang Gerakan itu terbunuh, sisanya lalu diusir oleh penduduk desa ini, maka kemungkinan besar pada malam harinya orang-orang Gerakan Pembebasan Tanah-air itu datang kembali dengan teman- teman yang lebih banyak untuk membalas dendam kepada orang desa atas kematian dua orang teman mereka di desa ini!"
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biadab!"
Geram orang bermuka hitam itu.
"Terima kasih atas keteranganmu, saudara kecil. Tapi kami masih ada beberapa pertanyaan lagi."
"Pertanyaan apa tuan?"
"Apakah saudara kecil tahu kalau di sekitar daerah ini ada sekelompok orang yang menamakan diri Hwe-liong-pang (Serikat Naga Api)?"
Pakkiong Liong terkesiap mendengar pertanyaan itu, teringatlah dia akan pertempuran di kuil terpencil itu, ketika orang- orang Hwe-liong-pang di bawah pimpinan Siau- lo-cia Ma Hiong telah ikut campur dalam pertempuran sehingga saat itu Pakkiong Liong gagal menangkap Pangeran Cu Hin-yang, meskipun sudah hampir berhasil.
Sesaat ia menjadi bimbang harus menjawab bagaimana terhadap pertanyaan itu, namun kemudian ia memutuskan untuk menjawab secara samar- samar saja, sebab kalau ia menjawab "tidak tahu sama sekali"
Maka orang-orang berkuda itu tentu akan curiga. Dengan berlagak tolol ia menjawab "Orang- orang Hwe-liong-pang? Orang-orang yang suka berpakaian hitam dan berikat kepala warna coklat itu?"
Wajah si muka hitam itu berseri seketika.
"Benar!"
Sahutnya.
"Kau tahu di mana tempat mereka?"
Gelengan kepala Pakkiong Liong membuat orang-orang berkuda itu agak kecewa. Orang bermuka hitam itu menoleh kepada teman- teman seperjalanannya sambil menarik napas.
"Kelihatannya kita harus bersusah-payah dalam menemukan persembunyian saudara Ma. Tetapi aku yakin ia berada di wilayah ini bersama dengan anak buahnya. Seorang anak buahku melaporkannya kepadaku dengan sangat yakin bahwa ia melihat saudara Ma di daerah ini."
Diam-diam Pakkiong Liong mencatat apa yang didengarnya itu.
Orang-orang berkuda ini menyebut Siau-lo-cia Ma Hiong dengan sebutan akrab "saudara Ma", berarti sama-sama anggauta Hwe-liong-pahg, atau paling tidak sama-sa-ma pendukung perjuangan Li Cu-seng beberapa tahun yang lalu.
Menurut pendengarannya Pakkiong Liong, meskipun sisa-sisa Hwe-liong-pang dan sisa-sisa dinasti Beng itu sama-sama menentang pemerintahan bangsa Manchu, namun antara kedua kelompok itu sendiri juga tidak akur.
Meskipun Pakkiong Liong pernah melihat sendiri bagaimana kedua kelompok itu bergabung ketika menentangnya di kuil terpencil itu, namun Pakkiong Liong memperkirakan bahwa tidak mudah menghapuskan permusuhan antara kedua kelompok itu begitu saja.
Tiba-tiba timbullah akal Pakkiong Liong untuk lebih mempertajam permusuhan di antara kedua kelompok itu demi memperlemah mereka sendiri dan memperkuat pemerintahan Manchu.
Maka, dengan sikap tetap seperti anak desa yang tolol, ia berkata.
"Memang aku tidak tahu persembunyian orang-orang baik budi dari Hwe-liong-pang itu. Tapi aku tahu beberapa hal tentang mereka. Mereka tidak akur dengan orang-orang berbendera Matahari dan Rembulan itu. Kalau orang-orang berbendera Matahari dan Rembulan itu sering memeras rakyat untuk bahan-bahan makanan, maka orang-orang Hwe-liong-pang itulah yang membela kami!"
Yang menunjukkan senang ketika mendengar Jawaban Pakkiong Liong itu adalah si orang bermuka hitam dan si orang Korea itu. Hampir bersamaan mereka tertawa berkakakah. kata si orang muka hitam itu.
"Ha- ha-ha, saudara Ma masih saja setia dengan cita- cita Hwe-liong-pang untuk selalu berpihak kepada rakyat kecil yang lemah! Bagus! Benar- benar saudaraku yang baik! Di samping bangsat-bangsat Manchu, maka bangsat- bangsat pengikut dinasti Beng itupun memang perlu sering-sering saja diberi hajaran."
Orang Korea itupun tertawa, katanya.
"Nanti kalau aku sudah bertemu dengan saudara Ma, akan kusuguhkan tiga cawan arak kepadanya."
"Nah, kita agaknya harus buru-buru mencari tempat menginap,"
Kata orang bertampang gagah yang berpakaian serba putih itu, sambil menunjuk langit yang semakin gelap, meskipun ada sisa-sisa cahaya mentari di ufuk barat.
Maka rombongan orang-orang berkuda itupun segera berangkat, setelah mengucapkan selamat berpisah dengan pakkiong Liong yang mereka panggil "saudara kecil".
Meskipun sikap mereka itu rata-rata garang, namun terhadap "anak desa"
Seperti Pakkiong liong mereka dapat bersikap ranah juga.
Setelah orang-orang berkuda itu menjauh, Pakkiong Liong cepat membersihkan wajahnya dari tanah yang tadi sengaja diusapkan kemukanya untuk menyamarkan wajahnya itu.
Katanya ke arah persebunyian Tong Lam-hou.
"A-hou, kau boleh keluar sekarang!"
Tong Lam-hou meloncat keluar dari persembunyiannya, dan wajahnya yang murung sejak pagi tadi, kini nampak agak cerah. Begitu meloncat keluar, ia langsung berseru.
"A-liong, nampaknya orang-orang berkuda tadi adalah teman-teman mendiang ayahku! Ayahku adalah orang Hwe-liong-pang, menurut Guruku dan ibuku, dan merekapun agaknya orang-orang Hwe-liong-pang! Tetapi aku tadi tidak berani keluar dari persembunyian karena kuatir merusak rencanamu!"
Jantung Pakkiong Liong berdegup keras, suatu hal yang ditakutinya ialah jika sahabatnya ini sampai bergabung dengan orang-orang Hwe- liong-pang yang juga menentang pemerintahan Manchu itu.
Jika itu sampai terjadi, berarti ia akan berdiri berseberangan dengan sahabatnya itu sebagai musuh satu sama lain.
Itu tidak dikehendaki oleh Pakkiong Liong.
Sesaat ia menjadi kebingungan bagaimana harus menanggapi sikap Tong Lam-hou itu tanpa menyakiti hatinya, ia berpikir sejenak dan akahimya menjawab.
"Benar, mereka teman- teman ayahmu. Mereka orang-orang baik semuanya."
"Jika mereka kau anggap orang-orang baik, kenapa tadi kau menemuinya dengan menyamarkan wajahmu, A-liong? Tadi kau juga bilang kenal mereka semuanya, maukah kau menceritakan kepadaku? "Tentu. Tapi sambil bercerita, mari kita tunggui jagung bakar kita agar tidak menjadi hangus."
Kedua anakmuda itupun kembali ke tempat istirahat mereka di pinggir sungai kecil tadi.
Di situ mereka membuat perapian kecil, selain untuk menerangi kegelapan, juga untuk membakar beberapa jenis ubi dan jagung yang akan mereka makan.
Tanpa diminta, Pak-kiong Liong memulai ceritanya "Orang-orang Hwe-liong-pang adalah orang- orang yang baik, mereka pembela rakyat sejati, itu aku yakin.
Dulu di jaman Kaisar Cong-ceng, mereka dengan berani telah melawan pemerintah bobrok waktu itu, dan bahkan bergabung dengan Li Cu-seng untuk menumbangkan dinasti keluarga Cu itu.
Aku sebenarnya tidak pernah bermusuhan dengan mereka, tetapi mereka masih salah paham kepada kami bangsa Manchu, sehingga masih tetap menganggap kami sebagai musuh mereka.
Itulah yang menyedihkan hatiku.
Itu pulalah yang menyebabkan aku harus menemui mereka dengan wajah disamarkan, sebab di antara mereka ada yang pernah berkelahi dengan aku dan mengenal aku sebagai Pakkiong Liong, si Panglima Manchu."
Tong Lam-hou mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menggerogoti makanannya. Dan Pakkiong Liong melanjutkan.
"Aku berharap suatu saat kesalahpahaman terhadap pemerintahan kami akan terhapus, dan akupun bisa bersahabat dengan orang-orang gagah itu seperti bersahabat denganmu!"
"Oh, begitu kiranya alasanmu. Dan siapa sajakah mereka itu?"
"Kebetulan semua dari tujuh orang itu kukenal semua. Tapi di antara mereka yang bekas anggauta Hwe-liong-pang hanya dua orang, yaitu si muka hitam, dan si orang Korea itu. Si muka hitam bernama Lu Siong, julukannya ialah Ji-an-kin-sin-kun (Tinju Sakti Seribu Kati) untuk menandakan betapa hebat kekuatan sepasang tinjunya itu. Di Hwe-liong- pang dulu, ia adalah pemimpin dari Ci-ki-tong (Kelompok Bendera Ungu). Si orang Korea itu bernama Oh Yun-kim, berjulukan Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) karena kemahiran tendangannya. Dia bekas pemimpin Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih) di Hwe-liong-pang dulu."
"Memang hebat sekali, cocok dengan Julukannya sebagai Tendangan Tanpa Bayangan. Aku tadi melihat sendiri bagaimana hebat tendangannya ketika merobohkan tiang bendera di gapura desa itu."
"Ya, kedua bekas Tong-cu (Pemimpin Kelompok) itu ke mana-mana selalu bersama- sama. Yang satu mahir tendangan, yang yang lain mahir pukulan. Jika mereka menggabungkan mereka punya Tinju Seribu Kati dengan Tendangan Tanpa Bayangan, maka tidak seorang tokohpun sanggup membendung mereka."
"Ada!"
Sahut Tong Lam-hou tiba-tiba "Siapa?"
Tanya Pakkiong Liong dengan heran. Tong Lam-hou menjawab sambil tertawa.
"Tandingan mereka ya. kita ini. Gabungan antara Naga Utara dan Harimau Selatan yang bisa membuat musuh jadi panas dingin."
Pakkiong Liong tertawa geli, namun kemudian ia meninju pundak Tong Lam-hou sambil pura-pura menggerutui "Uh, sombongmu!"
Kedua anakmuda itu tertawa serentak, dan tanpa sadar kedua telapak nangan mereka yang kekar itu telah saling genggam dengan kokohnya, sekokoh tali persahabatan yang telah mengikat hati mereka berdua, meskipun mereka baru saling berkenalan beberapa hari.
"Nah, A-liong, kau baru menceritakan dua di antara mereka. Yang lainnya itu siapa saja?"
"Yang bertampang gagah dan berpakaian serba putih itu bernama Tong Wi-hong, ia adalah pemimpin dari sebuah perusahaan pengawalan yang besar di kota Tay-beng dengan cabang-cabangnya yang terbesar di mana-mana. Perusahaan pengawalan itu bernama Tiong-gi Piau-hang. Orang yang bernama Tong Wi-hong itu sendiri berjulukan Gin-yan-cu (si Walet Perak). Ilmu pedangnya sangat mahir, karena ia adalah didikan perguruan Soat-san-pay yang terkenal dengan ilmu pedangnya. Perempuan setengah baya yang Juga gagah dan tak bersenjata itu adalah adik Tong Wi hong, namanya Tong Wi-lian, murid perguruan Siau-lim-pay, sangat mahir dengan ilmu tangan kosong Pek-ho-kun dan Coa-kun (Silat Bangau Putih dan Silat Ular), konon kekuatan jari-jari-nya sanggup menembus selembar papan tebal."
Tong Lam-hou nampak merenung mendengar penuturan Pakkiong Liong tentang kedua kakak beradik itu. Gumamnya.
"Aneh, nama mereka mirip benar dengan nama ayahku. Ayahku bernama Tong Wi-siang, dan mereka bernama Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian. Ayahku orang Hwe-liong-pang, dan mereka berdua Juga berada bersama-sama dengan orang-orang Hwe liong-pang. Tidakkah ini aneh?"
Pakkiong Liong tertawa.
"Apakah ibumu atau gurumu belum pernah menceritakan kepadamu bahwa ayahmu punya dua saudara kandung?"
"Belum pernah. Tapi ibu pernah berkata, katanya ayah punya tiga orang saudara angkat, dan salah satu dari ketiga saudara angkatnya itu, yaitu yang ke dua, telah berkhianat kepada ayah. Namun Jika hanya saudara angkat, tentu namanya tidak akan semirip itu. Tentang saudara kandung, ibu tidak pernah bercerita bahwa ayah mempunyai atau tidak."
"Kalau begitu, kemiripan nama itu tidak perlu kau herankan. Dunia ini begitu luas, banyak orang yang namanya bukan saja mirip tapi bahkan juga sama persis."
"Ya...ya...kau betul juga. Nah, teruskan keteranganmu."
"Baiklah. Orang yang berpakaian ringkas berwarna abu-abu dan di pinggangnya menyandang golok tadi, adalah suami dari Tong Wi-lian yang bernama Ting-Bun, mahir dalam tiga macam ilmu silat. Ilmu golok Ngo-hou-toan- bun-to (Sialt Golok Lima Harimau Menghadang Pintu), ilmu pukulan Ngo-heng-ciang (Pukulan Lima Unsur) dan ilmu cengkeraman Eng-jiau- kang (Cengkeraman Kuku Elang). Semuanya jenis ilmu keras yang memerlukan kekuatan besar, itulah sebabnya orang tadi nampak bertubuh kekar. Suami isteri Ting Bun dan Tong Wi lian tinggal di tepi danau Po-yang-pu di kota kecil An-yang-shia."
Pakkiong Liong menelan ludahnya dulu, lalu melanjutkan.
"Si pendeta Buddha itu bernama Bu-sian Hwesshio, pendeta dari kuil Siau-lim-si. Kepandaianya jangan ditanya lagi, kuil Siau-lim- si terkenal sebagai gudangnya orang berilmu, jika seorang pendeta Siau-lim sudah berani berkelana diluaran, maka ilmunya tentu tidak rendah. Dan si imam agama To itu bernama Te- sian Tojin, murid dari kuil Giok-hi kiong di Gunung Bu-tong-san, pusat dari perguruan Bu- tong-pay yang tidak kalah besarnya dengan Siau-lim-pay. Orang sering berkata bahwa Siau- lim-pay dan Bu-tong-pay adalah dua tiang penyangga utama dunia persilatan."
"Wah, kalau begitu ketujuh orang penunggang kuda tadi adalah orang-orang hebat semuanya!"
Seru Tong Lam-hou dengan kagum. Pakkiong Liong melanutkan dengan setengah bergurau.
"Ya, mereka orang-orang berilmu tinggi. Biarpun gabungan Naga Utara dan Harimau Selatan, kalau harus menghadapi mereka bertujuh maka tidak lebih dari Cacing Utara dan Kucing Selatan... ."
Tong Lam-hou bersungut-sungut.
"Uh, kalau mereka maju bertujuh, tentu saja kita kalah... ."
Demikian mereka bercakap-cakap, dan tujuan Pakkiong Liong yang sebenar nya ialah mencoba menghibur Tong Lam-hou dari kesedihannya akibat kematian teman-temannya di Jit-siong-tin. Nampaknya usaha Pakkiong Liong itu berhasil juga. Bersambung ke
Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditiya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU
Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.
Jilid ETIKA Pakkiong Liong mulai bercerita tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, kejadian-kejadiannya dan ilmu-ilmu yang aneh, perguruan-perguruan yang terkenal, maka Tong Lam-hou pun tertarik perhatiannya.
Ia banyak bertanya ini dan itu, dan Pakkiong Liong menjawab sebisa-bisanya.
Tanpa sadar, Pakkiong Liong telah ikut mempengaruhi masa depan Tong Lam-hou, sebab setelah mendengar cerita tentang dunia luar yang ramai itu, dalam hati Tong Lam-hou timbul rasa terarik untuk melangkah ke sana.
Tiba-tiba ia merasa hidupnya akan terlalu sepi jika terus-menerus berada di gunung hanya bersama ibunya dan K gurunya, sedang orang-orang Jit-siong-tin yang biasanya bergurau dengannya itu kini sudah jadi mayat semua.
Setelah berbicara berputar-putar, tiba-tiba Tong Lam-hou mengalihkan pokok pembicaraan kepada orang-orang berkuda tadi.
"A-liong, kau kenal orang-orang berkuda tadi satu persatu, apakah kau tahu juga bagaimana sikap mereka terhadap pemerintahan Manchu yang sekarang?"
"Yang dua orang bekas Tong-cu Hwe-liong- pang itu, jelas-jelas memusuhi pemerintah Manchu, sudah ku katakan tadi hanya karena kesalah-pahaman. Yang lain-lainnya bersikap kurang jelas, tapi agaknya lebih condong untuk memusuhi kami pula. Tiong-gi Piau-hang sebagai sebuah perusahaan dagang, tentu tidak berani memusuhi pemerintah secara terang- terangan supaya usaha mereka tidak ditutup. Namun pemimpin mereka Gin-yang-cu Tong Wi-hong, bergaul dengan orang-orang Hwe- liong-pang dengan akrabnya. Sedang Siau-lim- pay dan Bu-tong-pay sebagai perguruan yang berlandaskan agama Buddha dan To juga tidak menunjukkan sikap bermusuhan secara terang- terangan kepada pemerintah, namun banyak murid-murid dari kedua perguruan itu yang menjadi anggauta gerakan bawah-tanah. Ini sungguh memprihatinkan. A-hou, nanti jika kau bertemu dengan teman-teman ayahmu itu, maukah kau menjelaskan kepada mereka agar mereka menghentikan perlawanan mereka dan tidak lagi menganggap kami bangsa Manchu sebagai musuh?"
"Tentu saja, A-liong. Aku akan berbicara dengan mereka. Seperti katamu dulu, negeri ini butuh persatuan, bukan kekacauan, sebab ancaman orang-orang bule berambut kuning itu semakin terasa juga."
"Terima kasih, A-hou. Jika semua orang dapat memahami cita-cita Sri Baginda Sun-ti, maka semua pembangkang akan meletakkan senjata mereka dan negeri ini jadi aman. Sri Baginda Sun-ti ingin mempersatukan, bukan menjajah, sebab bagaimana mungkin bangsa Manchu yang hanya sedikit itu mampu menjajah bangsa Han yang berjumlah puluhan juta itu? Belum ditambah dengan bangsa- bangsa lain seperti Mongol, Korea, Tibet, Hui dan sebagainya? Tapi masih ada juga yang tidak segan-segan membuat kerusuhan hanya untuk memperjuangkan tahta bagi segelintir orang yang kebetulan dilahirkan dengan nama marga Cu."
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tong Lam-hou menggenggam tangan Pakkiong Liong, seakan ingin menyalurkan keberanian dan ketabahan ke dalam tubuh sahabatnya itu. Katanya.
"jangan kuatir, A-liong, aku berdiri di pihakmu dan juga di pihak Sri Baginda Sun-ti. Bukan karena aku tidak punya pendirian dan terpengaruh oleh kata-katamu, namun karena aku sudah melihat dengan mataku sendiri bagaimana kejamnya sisa-sisa dinasti Beng itu kepada orang-orang yang tak berdaya, seperti rakyat Jit-siong-tin itu. Jika mereka berhasil berkuasa kelak, entah berapa kali lipat lagi kekejaman mereka. Mereka harus dilenyapkan dari muka bumi ini."
"Bagus, aku menjadi besar hati mendengar tekadmu ini. Kita bersama-sama. Bergurau bersama, berlatih bersama, menghadapi dunia bersama-sama."
"... dan bersama-sama menggulung dunia seperti Jengish Khan dulu?"
Tanya Tong Lam- hou sambil tertawa.
"Membuat bangsa bule di benua barat sana menggigil ketakutan sambil menyebut Jengish Khan sebagai Badai Kuning dari Asia?"
Pakkiong Liong tersenyum.
"Apa salahnya?"
Ketika malam semakin larut, merekapun merebahkan diri di rerumputan yang tebal, dan kemudian tertidur nyenyak.
Malam itu Tong Lam-hou tidak gelisah lagi, sebab seolah sudah menemukan tujuan hidupnya yang mantap.
Mengabdi Negara dan Kaisar, ikut berjuang mempersatukan seluruh negeri.
Sinar matahari yang hangat menerobos lewat sela-sela dedaunan, jatuh menimpa tubuh kedua anakmuda yang pulas Itu, dan membangunkan mereka hampir bersamaan waktunya.
Sambil bangkit dan menggeliat, Pakkiong Liong bertanya.
"Tidak mimpi buruk lagi bukan?"
"Tidak. Kita akan segera berangkat sekarang?"
"Mandi dulu untuk menyegarkan badan, lalu makan dulu sekedarnya."
"Tidak membersihkan gigi?"
"Kita lupa membawa alat-alatnya. Tapi tidak apalah, cukup berkumur saja selama beberapa hari ini. Bau mulut kita akan merupakan senjata ampuh tersendiri untuk menghadapi musuh, bukan ilmu silat saja.". Tong Lam-hou tertawa.
"Uh, menjijikkan sekali. Kau sering menggunakan senjatamu yang ampuh itu?"
"Sekali waktu bolehlah."
Demikianlah mereka membuka pakaian dan menceburkan diri ke sungai kecil yang berair jernih itu.
Air pegunungan yang bercampur dengan embun pagi itu serasa menyusup ke seluruh permukaan kulit mereka, menghilangkan rasa kantuk dan menyegarkan tubuh.
Apalagi setelah mereka berpakaian dan kemudian mengisi perut mereka, meskipun hanya dengan ubi bakar dingin sisa tadi malam.
Lalu mereka melangkah meninggalkan Jit- siong-tin yang tinggal puing itu, di bawah cahaya matahari pagi yang hangat.
Ketika mereka melewati gapura sebelah barat, di mana di gapura itu juga masih ada bendera Jit-goat-ki yang berkibar-kibar melambai, tiba-tiba terungkatlah kebencian Tong lam-hou.
Sambil menggeram marah, ia meloncat tinggi untuk menggapai bendera yang tingginya hampir lima tombak dari tanah itu, dan dengan sekali jambret saja robeklah bendera itu menjadi dua potong, yang sepotong yang berada di tangan Tong Lam-hou itu lalu diinjaknya sampai bercampur dengan debu.
Pakkiong Liong menarik napas melihat itu, namun dibiarkannya saja sahabatnya itu melampiaskan kemarahannya.
Mereka berjalan ke arah barat, menuruti jejak kaki kuda yang masih jelas tertera di tanah.
Sehari suntuk mereka berjalan tanpa kenal lelah, bahkan makan dan minumpun dilakukan sambil berjalan.
Sebuah padang ilalang yang cukup luas telah mereka lampaui, lalu sebuah desa kecil dengan ladang-ladangnya dan sawah-sawahnya yang menghijau.
Di desa itu juga berkibar bendera Jit-goat-ki, namun ketika Tong Lam-hou hendak merobeknya, Pakkiong Liong mencegahnya.
"Jangan! Jika tindakanmu itu dilihat oleh musuh, maka mereka akan segera tahu bahwa kita sedang mengincar mereka, sehingga merekapun akan mempersiakan diri atau menghindar. Itu namanya memukul rumput mengejutkan ular ."
"Tapi aku benci sekali kepada bendera itu. Mengikatkan kepada orang-orang Jit-siong-tin yang terbantai tanpa 'dosa.'"
"Belajarlah menahan gejolak perasaanmu demi berhasilnya urusan yang lebih penting. Kelak jika kau menjadi seorang prajurit, apalagi perwira atau panglima yang memegang pimpinan dalam suatu peperangan tindakan sembrono seperti itu sangat tidak menguntungkan. Semuanya harus dipikir- dengan kepala dingin."
"Baiklah, A-liong,"
Sahut Tong Lam-hou dengan singkat.
Mereka tidak berhenti di desa itu, kecuali untuk berhenti sebentar di sebuah kedai di pinggir desa untuk makan beberapa biji bakpao dan secawan teh.
Yang disebut kedai di desa kecil itu hanyalah berujud empat batang kayu yang ditancapkan segi empat, lalu sehelai kain lebar dibentangkan dengan diikatkan pada kayu-kayu itu, sekedar untuk menahan panas matahari.
Di bawahnya diletakkan beberapa meja dan bangku kayu yang kasar untuk duduk tamu-tamunya.
Namun istirahat yang hanya sebentar itu sudah cukup menyegarkan lagi tubuh Pakkiong Liong serta Tong Lam-hou, dan merekapun meneruskan perjalanan setelah membayar makanan dan minuman di kedai itu.
Semakin mereka menuju ke barat, semakin sering mereka berjumpa dengan kelompok orang-orang yang berpakaian seragam prajurit Beng, meskipun sudah lusuh dan tidak lengkap lagi.
Kadang-kadang lima orang, kadang-kadang sampai belasan orang, ada yang berkuda dan ada yang cuma berjalan kaki.
Selain prajurit- prajurit itu, juga ada anak-anak muda yang tidak berpakaian seragam tetapi menyandang senjata dan sering berjalan bersama prajurit- prajurit Beng.
Merekalah agaknya anak-anak muda dari desa-desa kecil sekitar tempat itu yang dibina oleh Li Tiang-hong untuk memperkuat pasukannya, dengan diberi latihan keprajuritan yang sekedarnya saja.
Melihat itu, Pakkiong Liong menggerutu.
"Luar biasa. Li Tiang-hong tidak segan-segan mengorbankan masa depan anak-anak muda ini demi nafsunya untuk mendirikan kembali Kerajaan Beng. Anak-anak muda itu boleh saja garang terhadap penduduk desa, namun jika mereka diterjunkan di perang yang sebenarnya, mereka tidak lebih makanan empuk yang paling dulu terbunuh oleh tajamnya senjata."
"Tapi anak-anak muda itu tentu mendapat latihan,"
Kata Tong Lam-hou.
"Tentu saja. Tetapi menjadi prajurit yang baik tidak cukup dengan latihan sehari dua hari, atau seminggu dua minggu. Pasukanku di Ibukota Kerajaan, kupersiapkan sendiri selama setahun dengan latihan-latihan berat hampir tiap hari. Sampai sekarangpun tetap berlatih, meskipun tidak sedang bertugas. Namun Li Tiang-hong agaknya kurang peduli jika anak- anak muda ini nantinya menjadi korban sia-sia di medan laga."
"Seperti juga ia tidak peduli anak-buahnya melakukan pembunuhan di Jit-siong-tin. Berdirinya kembali Kerajaan Beng agaknya merupakan masalah yang paling penting bagi Li Tiang-hong, di atas segala-galanya, bahkan di atas nilai-nilai kemanusiaan,"
Geram Tong Lam- hou sambil mengepalkan tangannya erat-erat. Pakkiong Liong tahu darah Tong Lam-hou mulai memanas lagi, maka buru-buru dibisikkannya ke telinga sahabat-nya itu.
"Tahan dirimu, A-hou Menilik semakin banyaknya orang-orang berseragam prajurit Beng yang hilir-mudik di sini, agaknya kita sudah semakin dekat ke sarang Li Tiang-hong."
"Ya, ya, aku menahan diri sebisa-bisanya, meskipun mungkin di antara oang-orang berseragam itu terdapat salah seorang yang malam itu membacok paman Lo, atau memenggal leher paman Sun, atau melemparkan paman Chang ke dalam rumahnya yang terbakar, atau "Sudahlah, jangan diingat-ingat terus. Kita akan menghukum mereka, tetapi pemimpin- pemimpinnya lebih dulu, dan tindakan kita harus cermat."
Mereka berjalan terus, dan ketika matahari terbenam, mereka memasuki lagi sebuah desa yang kali ini.
agak besar, mirip sebuah kota kecil.
Bendera Jit-goat-ki bukan saja berkibar di pintu gerbang, tetapi juga di tempat-tempat yang ramai lainnya.
Dan suasana kota benar- benar mirip sebuah kota di jaman dinasti Beng, baik pakaian orang-orangnya, hilir-mudiknya prajurit-prajurit Beng dan sebagainya.
Pakkiong Liong terpaksa melibatkan kuncir rambutnya dan mengikatnya dengan sebuah ikat kepala, sebab kuncirnya yang bergaya Manchu itu bisa menimbulkan persoalan tersendiri di desa itu.
"Kalau daerah ini termasuk wewenang Bu San-kui, maka benar-benar suatu keteledoran besar buatnya, bahwa di dalam wilayahnya masih ada desa-desa yang terang-terangan memihak perintahan lama,"
Geram Pakkiong Liong.
"Nanti setibanya dl Ibukota, aku akan melaporkan hal Ini kepada Sri Baginda."
"Mungkin nasib rakyat dl sini tak ubahnya seperti rakyat Jit-siong-tin. Hanya sebagai sumber perbekalan makanan bagi pasukan Li Tiang-hong, dan dipaksa untuk tetap mengakui pemerintahan dinasti Beng. Rakyat tentu tidak berani melawan, takut dihukum berat."
"Aku juga menduga begitu."
Kedua anak muda itu terus berjalan memasuki desa besar itu, ketika mereka menjumpai sebuah rumah makan kecil yang agaknya juga menyediakan penginapan, maka Pakklong Liong mengajak temannya untuk berbelok masuk ke situ. Bisiknya.
"Barangkali dari desa inilah kita bisa mulai bekerja mtuk menyelidiki di mana letak sarang Li Tiang- hong."
Ketika mereka melangkah masuk, seorang pelayan hampir saja mengusir mereka karena melihat pakaian orang yang dekil itu.
Namun ketika Pakkiong Liong membuka kantong uangnya dan menunjukkan kemilauannya uang emas yang dibawanya, maka si pelayan segera berubah sikap menjadi sangat ramah.
Tong Lam-hou mengerutkan keningnya melihat adegan itu, selama ia bergaul dengan orang Jit- siong-tin belum pernah ditemuinya pelayan kedai yang begitu sikapnya.
Sikap seperti itu seperti sikap Hong Lot,oa dan teman-temannya saja.
Mereka mendapat sebuah kamar agak ke belakang, yang bagi Pakkiong Liong malah kebetulan, sebab dengan mudah nanti malam ia dapat membuka jendela untuk meloncat keluar tembok pekarangan.
Dari dalam kamar Pakkiong Liong memanggil pelayan, minta disediakan beberapa macam makanan dan minuman, dan juga dua tahang air hangat untuk mandi.
Pelayan itu mengiakan, tetapi sambil berjalan pergi ia menggerutu.
"Kurang ajar kedua orang itu. Tampang orang desa tetapi main perintah seperti seor- ang kaya saja."
Namun pelayan itu lalu tersenyum kalau mengingat bahwa orang desa itu membawa banyak uang, dan agaknya akan mudah untuk diakali.
Sore itu, setelah Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou selesai mandi air hangat sehingga terasa segar, meskipun pakaian yang dipakainya masih juga pakaian yang kotor oleh keringat dan debu tadi, maka keduanya makan sekenyang-kenyangnya dan membayar harganya.
Lalu Pakkiong Liong berkata.
"Sore ini kita akan beristirahat untuk mengumpulkan tenaga, kalau bisa tidur ya tidurlah. Nanti malam kita akan mulai bekerja."
"Kau yakin bahwa tempat ini sudah dekat dengan sarang Li Tiang-hong?"
"Aku yakin, berdasarkan ketajaman naluriku. Suasana kota kecil ini terang-terangan bersuasana seperti jaman Kerajaan beng dulu, tidak mungkin bisa begini kalau di dekat sini tidak ada pangkalan pasukan Beng yang merasa kuat, sehingga dengan kekuatan mereka dapat memaksa kota kecil ini untuk tetap mempertahankan suasana jaman Kerajaan Beng dulu."
"Bagaimana kita bisa mencari keterangan?"
"Mudah. Tangkap saja seorang dari prajurit- prajurit Beng yang berkeliaran Itu, dan dengan sedikit siksaan mereka akan memberi keterangan kepada kita!"
Kata Pakklong Liong.
Kedua orang anakmuda itupun kemudian berbaring di tempatnya masing-masing; Betapapun terlatihnya daya tahan tubuh mereka, tetapi setelah melakukan perjalanan sehari suntuk, dari matahari terbit sampai matahari tenggelam, maka terasa membutuhkan isttrahat juga.
Ternyata rumah penginapan kecil itu termasuk ramai, sebentar- sebentar ada suara langkah kaki hilir mudik di luar pintu, ada suara tamu yang berteriak minta sesuatu kepada pelayan dan sebagainya.
Namun Karena kepenatan mereka, maka Pakklong Liong dan Tong Lam-hou dapat juga tertidur sejenak.
Ketika gembreng tengah malam terdengar dari kejauhan, maka Pakklong Liong segera bangun, dan dengan sebuah sentuhan kecil la pun membangunkan Tong Lam-hou.
Tidur yang sekejap itu sudah cukup membuat tubuh mereka segar kembali.
"Sekarang?"
Tanya Tong Lam-hou kepada Pakkiong Liong yang tengah mencuci muka.
"Ya,"
Sahut pakkiong Liong singkat, sambil mengelap mukanya.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keduanyapun bersiap dalam waktu singkat.
Dalam gerakan malam hari seperti Itu, seharusnya mereka memakai ya-heng-i (pakaian untuk berjalan malam yang umumnya dimiliki oleh orang orang rimba persilatan, berwarna serba hitam).
Namun karena pakaian yang mereka kenakan juga berwarna biru gelap, mereka menganggapnya cukup memadai.
Dan bahkan mereka tidak membawa senjata sepotongpun, mereka terlalu percaya kepada kekuatan tangan mereka sendiri.
Pakkiong Liong meletakkan beberapa keping uang di meja dalam kamar itu, sebagal sewa menginapnya, sebab kemungkinan besar setelah berhasil menangkap pangeran Cu Hin- yang dan Li Tiang-hong, mereka tidak dapat lagi mampir ke penginapan itu.
Lebih dulu Pakkiong Liong membuka jendela sedikit dan melongok keluar, dilihatnya seluruh pekarangan belakang penginapan itu telah sepi, beberapa kamar masih menyala lilinnya, bahkan terdengar suara tertawa cekikikan dari perempuan panggilan.
"Aman,"
Desis Pakkiong Liong sambil meloncat keluar.
Diikuti oleh sahabatnya itu.
Lalu keduanyapun bergerak bagaikan hantu- hantu gentayangan, meloncat dari satu atap atau ke atap ainnya, tanpa suara dan begitu cepatnya seperti asap berhembus saja.
Mereka mencari di mana ada orang yang berpakaian seperti prajurit Beng.
Ketika Teng lam-hou melihat ada dua orang prajurit Beng tengah berjalan di sebuah loreng gelap sambil memanggul tombak mereka, ia segera menggamit pundak Pakkiong Liong sambil menunjuk ke arah kedua prajurit itu.
Pakkiong Liong membalasnya dengan anggukkan kepala tanda mengerti, namun ketika Tong Lam-hou sudah hendak meloncat ke bawah, ia menggamit tangan Tong Lam-hou sambil berbisik.
"Jangan melakukan pembunuhan yang tidak perlu, A-hou, cukup dipingsankan, saja."
"Tapi mereka membunuhi orang Jit-siong- tin..."
"Kita tidak tahu kedua prajurit itu ikut dalam pembunuhan atau tidak, kalau tidak maka kita akan membunuh nyawa yang tak berdosa meskipun mereka musuh. Kalau kita membunuh nyawa tak berdosa, kita tak ada bedanya dengan oang-orangnya Li Tiang-hong itu."
Tong Lam-hou mengangguk.
"Aku mengerti. Akan kupukul saja tengkuknya agar pingsan."
"Tapi Jangan keras-keras supaya kepalanya tidak copot."
Maka hampir bersamaan kedua orang itupun meloncat turun dari atas genteng dan menyergap kedua prajurit Beng yang sedang meronda desa itu.
Mereka terkejut ketika melihat bayangan-hitam bagaikan meluncur dari langit, namun sebelum mereka sempat berteriak atau melawan, keduanya sudah lumpuh menghadapi sergapan si Naga Utara dan Harimau Selatan itu.
Yang disergap oleh Tong Lam-hou Langsung dibuat pingsan dengan sebuah pukulan ringan pada tengkuknya, sementara prajurit yang satu lagi langsung dltotok jalan darah pembisunya, lalu dengan tangan ditelikung telah diseret oleh Pakkiong Liong ke sebuah tempat yang gelap.
Sambil berbisik di telinga orang itu.
"Jangan coba-coba berteriak, atau aku copot kepalamu, mengerti?"
Prajurit Itu menggerakkan kepalanya untuk mengangguk.
Sementara itu Tong Lam-hou juga telah menyeret prajurit yang pingsan itu ke sebuah kebun yang gelap.
Pakkiong Liong membuka totokan pemblsunya, lalu tanyanya dengan nada sebe- Maka hampir bersamaan kedua orang itupun meloncat turun dari atas genteng dan menyergap kedua prajurit Beng yang sedang meronda desa itu.
Mereka terkejut ketika melihat.
ngis mungkin.
"Jawab semua pertanyaanku baik-baik, sebab kau ragu-ragu sedikit saja aku tidak segan-segan membunuhmu!"
Kembali prajurit itu mengangguk-anggukan kepalanya.
"Dimana sarangmu? Maksudku sarang pasukanmu?"
Tanya Pakklong Liong.
"Di balik bukit di sebelah barat desa ini."
"Apa kata sandi untuk malam ini? Awas, Jangan bohongi"
"Pertanyaan ke mana elang terbang dijawab dengan ke arah matahari terbit"
Jawab prajurit itu dengan wajah ketakutan.
Dan menilik wajahnya yang ketakutan itu, nampaknya la tidak berbohong.
Diam-diam Pakkiong Liong mentertawakan keberanian prajurit-prajuritnya Li Tiang-hong ini, belum sampai disiksa, baru diancam sedikit saja mereka sudah mengaku semua rahasia pasukannya.
Prajurit-prajurit dengan semangat lembek seperti itu sudah jelas tidak akan memenangkan pertempuran, biarpun jumlahnya beberapa kali dari musuhnya.
Dan diam-diam Pakklong Liong bangga kepada pasukannya sendiri, Pasukan Naga Terbang, yang terkenal akan keberanian dan kekerasan hatinya, sehingga sering juga disebut Pasukan Berani Matinya Kerajaan Manchu.
dari segi keberanian saja, sudah Jelas bahwa pasukannya jauh lebih unggul dari pasukannya Li Tiang-hong.
Sementara Pakkiong Liong telah bertanya lagi.
"Benarkah di markasmu sedang ada seorang Pangeran Kerajaan Beng yang bernama Cu Hin-yang?"
Sekali lagi prajurit itu mengangguk. Pakkiong Liong merasa cukup dengan keterangan itu. Maka prajurit itu di totoknya kembali sehingga pingsan. Lalu kepada Tong Lam-hou la berkata.
"Lucuti pakaiannya sampai telanjang bulat. Kita akan meminjam pakaian mereka untuk menyusup ke sarang musuh."
Tak lama kemudian Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou telah berpakaian seperti prajuritnya Li Tiang-hong.
Sambil memanggul tombak mereka berjalan ke arah utara, ke pintu gerbang desa itu, kemudian berbelok ke barat.
Beberapa kali mereka berpapasan dengan anakbuah Li Tiang-hong lainnya, dan setiap kali mereka selalu dapat menjawab pertanyaan sandi dengan jawaban sandi yang sudah ditentukan.
Di sebelah barat desa itu menang ada sebuah bukit yang dalam kegelapan malam hanya nampak seperti gundukan hitam.
Ke sanalah Pakkiong Liong dan temannya melangkahkah kaki.
Di sepanjang jalan itu, penjagaan memang ketat sekali, bukan hanya oleh prajurit-prajurit Beng yang berkumpul di gardu-gardu tetapi juga yang bersembunyi di pohon atau mengintai di balik alang-alang.
Namun dengan berlenggang-kangkung Pakklong Liong berdua dapat melewati penjagaan-penjagaan itu dengan menjawab 'ke arah matahari terbit' setiap kali ada pertanyaan 'ke mana elang terbang'.
"Kalian sudah selesai meronda?"
Pada sebuah gardu Pakklong Liong ditanya oleh seorang prajurit yang agaknya pangkatnya agak tinggi.
"Sudah selesai, tong-leng,"
Sahut Pakkiong Liong untung-untungan sebab ia tidak tahu apa pangkat orang itu.
"Tugas reguku digantikan oleh regu Ong Toako tadi ketika tengah malam tepat."
Jawaban untung-untungan itu ternyata dipercaya oleh perwira di gardu itu, sehingga Pakkiong Liong berdua-pun tidak dicurigai lagi dan diijinkan lewat. Setelah agak jauh dari gardu itu Pakkiong Liong tertawa dingin.
"A-hou kau lihat prajurit- prajurit di gardu tadi? Minum arak, bergurau, duduk-duduk sambil mengantuk. Huh, pasukannya macam itu dengan satu regu dari pasukanku saja akan dapat disapu habis. Bagaimana pasukan itu bisa mendukung berdirinya kembali dinasti Beng? omong kosong belaka."
Tong Lam-hou tidak menjawab karena la memang tidak tahu sedlkltpun tentang seluk- beluk ketentaraan.
Namun diapun secara awam dapat menilai bahwa prajurit-prajurit bawahan Li Tiang-hong itu nampaknya memang kurang disiplin, gampang ditipu dan entah bagaimana daya tempur mereka.
Setelah melewati belasan gardu lagi, dan membelok di kaki bukit, akhirnya terlihatlah sarang pasukan Li Tiang-hong di depan mata.
Bangunan itu diapit oleh dua buah tebing, dipagari dengan pagar kayu yang terbuat dari balok-balok kayu gelondongan lima tombak lebih.
Di atas benteng kayu itu ada gardu jaga, dan lubang-lubang pengintai yang agaknya digunakan untuk melepaskan anak panah apabila musuh datang.
Pintu gerbang terbuka lebar, diterangi dua batang obor di kanan kirinya dan dijaga beberapa prajurit yang kedengaran sedang bersendau-gurau.
Melihat sarang Li Tiang-hong itu, diam-diam Pakkiong Liong menggerutu dalam hati.
"Keterlaluan, hanya sarang pengacau macam ini saja tidik dapat segera ditumpas oleh Bu Sam- kui.Percuma saja Sri Baginda menganugerahkan wilayah Se-cuan yang begitu luas kepadanya, dan memberi gelar Peng-se-ong segala. Atau barangkali Bu Sam-kui masih sungkan kepada Li Tiang-hong sebagai sama-sama bekas Panglima Kerajaan Beng? Kalau begitu, haknya sebagai Rajamuda di Se-cuan baiknya dicabut saja."
Mereka masuk ke dalam sarang Li Tiang- hong itu tanpa kesulitan. Di dalam sarang ternyata sangat luas, rumah-rumah para prajurit berderet-deret entah berapa lapis, dan ada pula lapangan untuk berlatih yang cukup luas.
"Di mana kira-kira sembunyinya Li Tiang- hong dan orang yang kau sebut bekas Pangeran itu?"
Tanya Tong Lam-hou.
"Mudah ditebak. Tentu berada di bangunan yang paling besar, paling bagus dan dijaga ketat. Nah, cari saja bangunan macam itu."
Bicara memang mudah, namun setelah berada dalam barak itu, alangkah sulitnya mencari bangunan yang dimaksudkan.
Bagian luar dari barak itu memang kelihatan sempit, terapit dua buah tebing karang yang terjal, agaknya sengaja dibuat demikian agar mudah dipertahankan apabila diserang musuh.
Tapi bagian dalamnya ternyata luas bukan main, barak-baraknya berderet-deret mirip sebuah kota kecil, Pakkiong Liong memperkirakan penghuni barak itu ada seribu limaratus atau dua ribu orang.
Jika tadinya ia agak memandang rendah Li Tiang-hong, sekarang mau tak mau tak mau ia harus mengakui bahwa Li Tiang- hong tak selemah yang ia duga tadinya.
Di tengah barak itu ada sebuah jalan yang agaknya merupakan jalan utama dalam barak, maka Pakkiong Liong lalu memutuskan.
"Barak ini dibangun dengan gaya sebuah kota di jaman Beng jalan utama seperti ini biasanya langsung menuju ke lapangan utama. Dan di dekat lapangan utama itu biasanya tinggal si pemimpin. Jadi kita coba saja susuri jalan besar ini sejauh-jauhnya ."
"Baiklah,"
Sahut Tong Lam-hou.
Keduanya segera berjalan berdampingan sambil memanggul tombak, gaya mereka persis dengan prajurit-prajurit Beng yang berkeliaran di dalam barak itu, sehingga mereka tidak dicurigai.
Kata-kata sandi itu ternyata tidak dipakai lagi setelah mereka berada di dalam barak.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya nampak Juga sebuah bangunan besar yang bentuknya paling bagus, meskipun hanya terbuat dari kayu seluruhnya.
Disekeliling bangunan kayu itu juga kelihatan puluhan orang penjaga yang berwajah garang dan bersungguh- sungguh, tidak bersenda-gurau seperti yang di pintu gerbang tadi.
"Kita temukan tempatnya,"
Bisik Pakkiong Liong.
"Apakah kita akan masuk dengan kata-kata sandi lagi?"
"Tidak. Aku rasa sulit, malah bisa menimbulkan kecurigaan mereka. Kita cari titik yang paling lemah penjagaannya dan kita meloncat masuk."
Maka dengan lagak sewajar mungkin, mereka mencoba mengelilingi bangunan besar itu, mencari tempat yang paling lemah penjagaannya.
Ternyata sekeliling gedung itu terjaga kuat semuanya, menambah dugaan Pakkiong Liong bahwa Pangeran Cu Hin-yang memang sedang berada di barak itu.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun dengan ilmu mereka yang tinggi, maka betapapun rapatnya penjagaan di sekitar bangunan itu, mereka berhasil juga menembus salah satu titik, dan meloncat ke dalam dinding.
Dari situ mereka meloncat keatas atap, karena merasa bahwa dengan berjalan diatas atap akan lebih aman dan lebih mudah mencari tempat Pangeran dan Li Tiang-hong.
Di balik dinding itu ada beberapa buah bangunan yang besar dan kecil, taman-taman dan kolam-kolam, bahkan pelayan-pelayan hilir mudik dengan berbagal keperluannya.
Melihat itu diam-diam Pakkiong Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Li Tiang- hong ini meskipun sedang dl tengah keprihatinan perjuangannya, toh tidak melupakan gaya hidupnya yang dulu sebagai seorang pembesar Kerajaan Beng. Menggaji sekian banyak pelayan dan membangun tempat tinggalnya sebagus ini."
Namun Pakkiong Liong tidak pedulikan itu.
Ia dan Tong Lam-hou bersembunyi di balik sebuah tumpukan batu-batu yang dibuat sebagai gunung-gunungan di dalam taman.
Ketika seorang pelayan pria lewat dekat-dekat tempat itu, cepat pakkiong Liong menotok pinggangnya dan menyeretnya ke balik gunung- gunungan itu.
Sebelum membebaskan totokannya, lebih dulu Pakkiong Liong mengancam pelayan itu.
"Kalau kau menjawab dengan jujur, kau akan selamat. Tapi kalau kau bersikap tidak bersahabat, jari-jariku ini sanggup melubangi batok kepalamu seperti ini..."
Dan Pakkiong Liong mengerahkan tenaga dalamnya ke ujung jari-jarinya, lalu mencengkeram segumpal batu gunung- gunungan itu, sehingga batu itupun menjadi, hancur karena kelima jari Pakkiong Liong amblas ke dalamnya.
Wajah pelayan itupun menjadi pucat, meskipun timbul juga sepercik keheranan sebab yang menyergapnya itu ternyata dua orang "prajurit Beng".
Namun demi keselamatan nyawanya, ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagus!"
Kata Pakkiong Liong sambil menggerakkan jarinya untuk membuka totokan pelayan itu. Lalu tanyanya.
"Di antara sekian banyak bangunan ini, di mana tempat tinggal Li Ciangkun dan tamunya yang kabarnya adalah Pangeran Kerajaan Beng itu?"
Sahut pelayan itu sambil menunjuk ke sebuah rumah kayu bertingkat dua.
"Di tingkat atas itu adalah tempat tingggal Pangeran. Li Ciangkun tinggal di gedung besar itu, di ruangan sebelah kanan yang di depannya ia kebun bunganya dan kolam ikan."
"Ketatkah penjagaan di kedua tempat itu?"
Tiba-tiba dalam hati pelayan itu timbul niatnya untuk menakut-nakuti kedua penyelundup itu. Katanya.
"Masing-masing dijaga satu regu prajurit pilihan, selain itu juga ada tiga orang tamu berilmu tinggi yang tengah menginap di sini."
"Tamu-tainu berilmu tinggi? Siapa mereka?"
Sahut si pelayan dengan nada bangga, seolah-olah yang berilmu tinggi itu adalah dirinya sendiri.
"Mereka adalah pendekar kenamaan dari Kun-lun-san, Hwe-gan-lo-long (Serigala Tua Bermata Api) Lam-kiong Siang dan muridnya Mo Wan-seng yang berjulukan Tiat-ge-long (Serigala Bertaring Besi), dan seorang pendeta maha sakti dari Ngo-tay-san bernama Sin-bok Hweshio..."
Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou hampir tertawa ketika mendengar keterangan pelayan itu. Sambil menotok kembali pelayan itu agar lumpuh dan bisu untuk semalam suntuk, Pakkiong Liong berkata kepada pelayan itu.
"Oh, ketiga butir telur busuk itu masih juga berani mengaku sebagai pendekar-pendekar kenamaan di tempat ini? Mereka sudah kami pecundangi. Nah, saudara pelayan yang baik, terima kasih atas keteranganmu dan kau boleh tidur di sini sampai besok pagi. Di sini hawanya cukup sejuk... ."
"...meskipun semalam suntuk kau bakal digigiti nyamuk dan semut,"
Sambung Tong Lam-hou sambil tertawa. Maka merekapun kemudian membiar kan pelayan itu terbaring kaku di tempat yang gelap itu, sementara mereka telah membagi tugas.
"A- hou, kau tangkap Pangeran, dan aku akan menangkap Li Tiang-hong, kita akan berkumpul kembali di luar barak ini di arah bukit itu!"
Never Too Far Too Far 2 Karya Abbi Tiga Dara Pendekar Siauw Lim Karya Kho Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama