Ceritasilat Novel Online

Penganugerahan Para Malaikat 2

Penganugerahan Para Malaikat Karya Siao Shen Sien Bagian 2



"Mungkin bayi ini yang dimaksud", kata salah seorang prajurit, segera membopong bayi tersebut, membawanya ke hadapan Chiu Bun Ong.Chiu Bun Ong menyambutnya, membopong bayi itu sambil menatapnya tajam. Wajah sang bayi terlihat cerdik, terang sorot matanya, tentunya akan menjadi insan yang pandai nantinya. Senang hati sang raja muda ketika menyaksikan segalanya itu. Menurut ramalan, Chiu Bun Ong akan mempunyai 100 anak laki-laki. Pada saat itu sudah memiliki 99 anak dari 24 isteri dan selir.

"Baiklah bayi ini kupungut anak, hingga genap anakku 100, sesuai dengan apa yang tersirat di dalam ramalan", Chiu Bun Ong memutuskan. Mereka melanjutkan perjalanan lagi, sambil mencari orang yang bersedia mewakili sang raja muda untuk merawat bayi tersebut. Selewat tujuh tahun nanti, Chiu Bun Ong akan mengambil anak itu dari tangan pengasuhnya dan membawanya ke See Kie. Belum begitu jauh mereka berjalan, telah bertemu dengan seorang Tojin (Pendeta agama To), yang mengangguk hormat pada Chiu Bun Ong seraya berkata.

"Terimalah hormat saya Paduka". Sang raja muda segera melompat turun dari kuda tunggangannya, membalas salam sang Tojin. Kalau boleh saya tahu, dari mana asal Totiang dan apa maksud Totiang ke mari?", tanya Chiu Bun Ong.

"Pinto bernama In Tiong Cu, berasal dari gunung Chong lam. Tadi telah turun hujan lebat yang disertai bunyi petir yang memekakkan telinga, sebagai tanda telah lahir 'bintang panglima'. Maka aku sengaja ke mari untuk mencari 'bintang itu dan betapa girangnya hati saya dapat bertemu dengan Paduka di sini". Chiu Bun Ong memerintahkan orangnya untuk menyerahkan bayi itu pada In Tiong Cu.

"Saya akan membawa bayi ini ke pemukiman saya dan mengangkatnya sebagai murid", kata In Tiong Cu sambil membopong bayi itu.

"bila Paduka pulang nanti, saya akan mengembalikannya".

"Tapi kita harus memberinya nama, agar sekembali saya nanti akan dapat mengenalinya", kata Chiu Bun Ong.

"Dia lahir diiringi bunyi gledek, maka kita namakan saja Lui Chin Cu, putera gledek!", ucap In Tiong Cu.

"kalian, ayah dan anak akanbertemu tujuh tahun kemudian". Selesai berkata, In tiong pamit pada Chiu Bun Ong, berlalu sambil menggendong bayi itu. Chiu Bun Ong melanjutkan perjalanan. Setiba di kota-raja, ternyata tiga raja muda lainnya. Kiang Hoan Chu, Ngok Tiong le dan Chong Houw Houw, telah lebih dulu tiba dan menginap di Wisma Negara. Mereka lalu makan minum bersama.

"Entah apa maksud Kaisar memanggil kita ke mari?", tanya Chiu Bung Ong setelah berselang sesaat. Ketiga raja muda lainnya juga tak tahu, sama herannya. Namun Ngok Tiong le telah sempat mendengar sedikit mengenai tindakan Kaisar belakangan ini. Dia menasehati para raja muda lainnya agar dapat mawas diri, tidak menyulitkan apalagi memeras rakyat, menjauhkan diri dari Hui Tiong dan Yu Hun yang terkenal licik dan keji.

"Kita tak boleh sembarangan menuduh orang sebelum ada bukti nyata", sela Chong Houw Houw yang sudah setengah mabuk.

"Tapi apa yang kukatakan sudah merupakan rahasia umum", kata Ngok Tiong le.

"semua menteri di kota-raja ini membenci kedua manusia licik itu, terutama Hui Tiong".

"Biarpun begitu, kita harus punya bukti", ujar Chong Houw Houw.

"Kau ingin membela mereka?", Tiong Ie mulai panas hatinya.

"Bukan, yang kuutamakan adalah fakta", ujar Chong Houw Houw. Segera terjadi pertengkaran sengit di antara mereka. Chiu Bun Ong dan Kiang Hoan Chu segera melerainya. Dalam dongkolnya Chong Houw Houw masuk ke ruang dalam hendak tidur. Sedang ketiga raja muda lainnya meneruskan makan minum. Selagi mereka asyik makan minum, tiba-tiba Chiu Bung Ong mendengar orang menghela nafas disusul dengan gumamnya.

"Sekarang kalian dapat makan minum sepuasnya, tapi besok aku khawatir lapangan rumput akan berwarna merah bersimbah darah segar. Sungguh menyedihkan". Chiu Bun Ong segera melompat keluar, yang bergumam ternyata YaoHu, pesuruh dari Wisma itu. Sang raja muda segera menariknya masuk dan menanyakan mengapa dia bisa berkata begitu!? Yao Hu terpaksa menceritakan apa yang telah terjadi di dalam istana. Tewasnya Permaisuri akibat disiksa, lenyapnya kedua Pangeran secara misterius dan juga maksud keji yang terkandung di balik undangan keempat raja muda ke kotaraja. Kiang Hoan Chu amat sedih campur marah ketika mendengar puterinya mati secara menyedihkan, juga mengenai hilangnya kedua cucunya. Chiu Bun Ong dan Ngok Tiong le berupaya menenangkannya.

"Dari mana kau ketahui segalanya itu?", tanya Chiu Bun Ong pada si pesuruh.

"Hamba kebetulan sempat mendengar perbincangan antara Kaisar dengan Souw Tat Kie dan Hui Tiong', menerangkan sang pesuruh. Ketiga raja muda itu segera berunding, kemudian memutuskan untuk sama-sama menemui Kaisar besok pagi, menyampaikan surat protes mereka. *** Touw Ong yang mendengar keempat raja muda telah tiba di kota-raja, besok paginya mengadakan pertemuan dengan para menteri. Tak lama kemudian petugas jaga melaporkan, bahwa empat raja muda ingin menghadap Kaisar. Touw Ong menyilakan mereka masuk. Dengan lebih dulu melakukan tata-krama istana, Kiang Hoan Chu sambil berlutut mengangsurkan sepucuk surat pada Kaisar. Seorang petugas mengambil surat itu, menyerahkannya pada Touw Ong. Kaisar jadi sangat marah seusai membaca surat protes tersebut.

"Keparat! Setelah menyuruh anak perempuanmu membunuhku untuk merebut kerajaan ini, masih juga kau berpurapura jujur untuk menasehatiku". Touw Ong segera memerintahkan pengawal untuk melucuti pakaian kebesaran Kiang Hoan Chu, lalu menyeret! keluar ruang untuk dihukum pancung.Kiang Hoan Chu mengumpat-caci Kaisar, melampiaskan kemendongkolannya, namun tak berlangsung lama, sebab dirinya telah keburu diseret keluar. Ketiga raja muda lainnya serentak memajukan diri, berlutut di depan Tahta kerajaan sambil menyerahkan surat yang berisi imbauan mereka. Menteri Pi Kan yang mengambil surat mereka, menyerahkannya pada Kaisar. Namun Touw Ong bukan saja tidak membaca surat tersebut, malah langsung merobeknya dan memerintahkan pula untuk menghukum mati mereka. Louw Hiong yang ditugaskan untuk melaksanakan hukuman mati tersebut. Namun sebelum hukuman dilaksanakan, Hui Tiong dan Yu Hun -yang diam-diam telah mengadakan persengkongkolan dengan Chong Houw Houw- langsung berlutut di hadapan Kaisar, memohon pengampunan bagi Chong Houw Houw, dengan mengemukakan alasan, bahwa biarpun Houw Houw tampak kasar luarnya, tapi jujur hatinya. Dia telah kena dipengaruhi oleh tiga raja muda lainnya untuk bersama- sama melakukan aksi protes. Touw Ong memenuhi harapan kedua menteri yang menjadi orang kepercayaannya itu, membebaskan Chong Houw Houw dari hukuman mati. Sementara itu ada tujuh orang menteri lainnya yang berlutut dan memohon pengampunan bagi ketiga raja muda lainnya pada Kaisar. Namun mereka hanya dapat menyelamatkan nyawa Chiu Bun Ong dari kematian, yang dianggap cukup setia kepada kerajaan Siang Sedang dua raja muda lainnya, Kiang Hoan Chu dan Ngok Tiong le yang dianggap terbukti ingin menggulingkan kerajaan, tetap dihukum mati. Louw Hiong yang ditugaskan melaksanakan hukuman mati bagi kedua raja muda itu, segera memerintahkan algojo untuk memenggal batang leher Kiang Hoan Chu dan Ngok Tiong Ie.... Menteri Pi Kan memohon pada Kaisar agar diperkenankan untuk memakamkan jenazah kedua raja muda yang telah menjalanihukuman mati itu dan memohon pula agar Kie Chiang (Chiu Bun Ong), diizinkan untuk kembali ke negerinya. Touw Ong meluluskannya. Seusai memakamkan jenazah Ngok Tiong le dan Kiang Hoan Chu, Pi Kan mengunjungi Chiu Bun Ong di Wisma Negara untuk menyampaikan kabar gembira itu. Chiu Bun Ong keluar menyambutnya seraya mengucapkan terima kasihnya. Setelah saling berbasa-basi sejenak, Pi Kan membisiki Chiu Bun Ong.

"Sebaiknya Hian Houw segera kembali ke negerimu sebelum Kaisar berobah pikiran". Chiu Bun Ong kembali mengucapkan terima kasih pada menteri yang jujur lagi baik hati itu. Keesokan harinya, Chiu Bun Ong pergi ke muka pintu balairung yang kosong karena tak ada pertemuan pada hari itu. Dia menyoja ke dalam sebagai tanda terima kasih atas kebaikan Kaisar yang telah bersedia membebaskan dirinya. Kemudian mengajak para pengikutnya meninggalkan kotaraja dengan melalui pintu Barat. Setelah berjalan sekira sepuluh li, tibalah dia di Tiang Teng (Gardu Panjang), di situ terlihat Oey Hui Houw, Pi Kan, Hui Cu, Kie Cu dan beberapa menteri lainnya, yang ingin mengucapkan selamat jalan pada Chiu Bun Ong dengan menyediakan meja perjamuan. Setelah makan minum secukupnya, Chiu Bun Ong hendak berpamitan dan berterima kasih pada mereka. Namun tiba-tiba muncul Hui Tiong dan Yu hun yang menyiapkan perjamuan untuk Chiu bun Ong. Oey Hui Houw dan menteri lainnya tak senang pada kedua pejabat yang licik keji itu, segera berlalu. Sedang Chiu Bun Ong merasa tak enak untuk menolak ajakan makan minum dari Hui Tiong dan Yu Hun. Ketika Chiu Bun Ong telah mulai pening kepalanya karena kebanyakan minum arak, Hui Tiong berkata.

"Saya dengar Hian Houw pandai meramalkan nasib orang --- Kini Kaisar telah melanggar undang-undang kerajaan, apa akibatnya nanti?".

"Masa depan kerajaan sangat suram bila tak ingin dikatakan gelap,",sahut Chiu Bun Ong yang sudah setengah mabuk itu,"tampaknya dinasti Siang akan runtuh di tangan Touw Ong --- Dengan perbuatannya yang kurang terpuji, bila tak ingin dikatakan kejam, Baginda telah mempercepat keruntuhan kerajaan Siang!".

"Bilakah itu akan terjadi?", Yu Hun ikut bertanya.

"Paling lama hanya dapat bertahan selama 47 tahun". Kedua menteri penjilat ini meminta diramalkan juga peruntungan mereka.

"Aneh! Benar-benar aneh!", seru Chiu Bun Ong setelah menghitung- hitung petangannya.

"Apanya yang aneh?", tanya Hui Tiong dan Yu Hun bersamaan.

"Akhir hayat kalian akan terpendam dalam es", menerangkan Chiu Bun Ong. Yu Hun dan Hui Tiong jadi kurang senang mendengar akhir dari hidup mereka. Namun mereka masih bertanya lagi. *Bagaimana dengan peruntungan Hian Houw sendiri?".

"Berdasarkan ramalan, menunjukkan bahwa hari tuaku cukup menyenangkan dan matiku pun dalam keadaan tenang". Namun Chiu Bun Ong segera menyadari kalau dirinya telah kelepasan kata, tak bersuara lagi. Hui Tiong dan Yu Hun juga tak bertanya lebih jauh, segera pamit. Chiu Bun Ong mengajak para pengikutnya untuk kembali ke negerinya. Sedangkan Hui Tiong dan Yu Hun langsung menemui Touw Ong, melaporkan perbincangan mereka dengan Chiu Bun Ong di tempat peristirahatan di pinggir kota-raja.

"Dia meramalkan kerajaan Siang paling lama dapat bertahan 47 tahun lagi dan akan hancur di tangan Tuanku", Hui Tiong mengadu.

"akhir hayat Tuanku tidak menyenangkan bila tak ingin dikatakan menyedihkan. Sedangkan bagi dirinya dikatakan cukup menyenangkan hari tuanya dan mati secara tenang. Tapi hamba rasa segalanya itu hanya omong kosong belaka, cuma buat menyesatkan rakyat. Padahal jiwanya sendiri sesungguhnya berada di tangan Tuanku --- Nasib hamba berdua pun telah diramalkannya, bahwa akan mati dalam es.. Tapi hamba tak percaya, sebab hamba berdua Yu Hunselalu mendapat perlindungan dari Tuanku".

"Benar-benar kurang ajar dia!", Touw Ong berseru marah.

"Orang semacam itu memang patut dihukum, agar nantinya tak berani bicara yang bukan-bukan lagi", Yu Hun sengaja lebih memancing emosi Kaisar. Akibatnya, Touw Ong jadi tambah marah, segera memerintahkan untuk menangkap Chiu Bun Ong....! Sebelumnya Chiu Bun Ong memang merasa heran karena dirinya dapat kembali dengan selamat dari kota-raja. Sebab hal itu bertentangan dengan ramalan sebelumnya. Dia beranggapan, kemungkinan dirinya telah salah meramal. Atau mungkin juga akan menghadapi sesuatu dalam perjalanan pulangnya nanti. Seandainya dia masih akan mengalami kesulitan, bisa jadi disebabkan oleh pembicaraannya dengan Hui Tiong dan Yu Hun. Dan dugaannya mendekati kenyataan ketika Chiao Tian menyusulnya serta memberitahukan dirinya dipanggil Kaisar. Chiu Bun Ong maklum apa arti segalanya itu. Maka para pengikutnya dimintanya pulang duluan, sedang dia baru akan kembali ke See Kie selewat 7 tahun lagi. Kemudian Chiu Bun Ong ikut Chiao Tian menghadap Kaisar. ... ***** Oey Hui Houw sangat terkejut ketika Chiu Bun Ong kembali ke kota- raja, dia segera menyuruh Chiu Kie untuk mengundang Hui Cu, Pi Kan dan menteri lainnya, untuk menolong raja muda Barat bila keadaan memerlukan. Dia menduga segalanya ini adalah ulah Hui Tiong dan Yu Hun yang ingin mencelakai Chiu Bun Ong. Kala itu Chiu Bun Ong telah dibawa menghadap Kaisar di balai agung. Chi Bun Ong berlutut di hadapan Kaisar.

"Dasar orang tak tahu diri, sudah kubebaskan dari hukuman mati, masih juga kau berani menjelek-jelekkanku!", maki Touw Ong.

"Biarpun hamba seorang yang bodoh, tapi hamba tahu, bahwa di atas ada Langit, di bawah ada Bumi dan di tengah ada Kaisar. Selain itu, orang tua mengaruniai kehidupan pada anaknya dan guru memberi ilmu bagi anak didiknya", Chiu Bung Ong berusaha membela diri,"berdasarkan segalanya itu, bagaimana mungkin hamba berani menghina Tuanku yang dapat mengakibatkan kematian bagi diri hamba!?".

"Coba sebutkan ramalanmu mengenai kerajaan Siang!", perintah Kaisar.

"Maaf Baginda, Kaisar Shin Nung dan Kaisar Hok See menciptakan Pat-kwa (Delapan trigram) untuk menetapkan peruntungan manusia --- Berhubung ilmu itu bukanlah ciptaan hamba, hingga hamba tak berani sembarangan membicarakannya".

"Tapi pada orang lain kau telah meramalkan, bahwa kerajaan ini akan ambruk dan aku akan mati secara menyedihkan, sedangkan kau akan mati dalam usia lanjut dan keadaan tenang. Itu merupakan suatu penghinaan bagiku! Akan kubuat ramalanmu itu tidak menjadi kenyataan, sekarang juga kuputuskan hukuman mati bagimu!". Selesai berkata, Kaisar memerintahkan untuk segera memenggal batang leher Chiu Bun Ong. Namun sebelum perintah itu sempat dilaksanakan, Oey Hui Houw dan para menteri lainnya telah tiba di balairung. Mereka segera berlutut dan memohon pengampunan bagi Chiu Bun Ong pada Kaisar.

"Sebelumnya rakyat sangat bersyukur atas keputusan Tuanku yang sangat bijaksana dengan membebaskan Kie Chiang (Chiu Bun Ong) dari hukuman mati", ujar Oey Hui Houw, seandainya kini Baginda menghukum mati dia, bagaimana kesan rakyat terhadap sabda Tuanku?".

"Tapi dia telah menghinaku dengan meramal yang bukanbukan", Touw Ong masih terus diliputi kemarahan.

"Ilmu meramal itu berasal dari zaman Kaisar Hok See dan Kaisar yang mendahuluinya, bukan diciptakan oleh Kie Chiang. Seandainya ada ramalannya yang meleset, itu disebabkan oleh salah hitung. Tapi seandainya tepat ramalannya, itu adalah berkat ketekunannya, hingga dia jadi peramal yang pandai --- Maka hamba bersama menteri lainnya memohon dengan sangat, sudilah kiranya Paduka mengampuninya". Namun Touw Ong tetap berkeras ingin melaksanakan hukuman mati itu. Pusing juga Oey Hui Houw dan menteri lainnya yang ingin membelaChiu Bun Ong. Untung tak lama kemudian Oey Hui Houw memperoleh cara yang dianggapnya cukup baik, segera mengusulkan pada Kaisar.

"Maaf Tuanku, bukanlah maksud hamba ingin menentang keputusan Paduka, tapi sudilah Tuanku memberi kesempatan pada Kie Chiang".

"Maksudmu?", Kaisar menatap tajam.

"Hamba harap sudilah Tuanku memberinya kesempatan untuk meramalkan apa yang segera akan terjadi? Bila ramalannya meleset, barulah Tuanku menghukum mati dia". Touw Ong mempertimbangkan sejenak usul itu, kemudian mengangguk.

"Baiklah, kuterima saranmu itu". Oey Hui Houw mengucapkan terima kasih. Kaisar segera memerintahkan Chiu Bun Ong meramalkan peristiwa yang bakal terjadi dalam waktu singkat. Chiu Bun Ong mengambil alat peramalnya, mulai menghitung, selang sesaat telah berkata dengan sikap terperanjat. *Tuanku, esok siang 'Tay Bio' akan dilalap api. Sebaiknya tabung abu leluhur cepat disingkirkan dari sana!". (Tay Bio = Rumah berhala besar). **Jam berapa peristiwa itu akan terjadi?", tanya Kaisar, seakan kurang yakin terhadap ramalan itu.

"Tengah hari", sahut Chiu Bun Ong.

"Kie Chiang harus ditahan, perkaranya akan diputus besok", sabda Touw Ong. Untuk sementara selamatlah jiwa Chiu Bun Ong. Atas saran Hui Tiong dan Yu Hun, Kaisar menetapkan, bahwa besok tidak boleh ada api di Tay Bio dan dupa pemujaan pun dilarang dipasang. ... Keesokan harinya, semua menteri menanti di balairung dengan hati berdebar, mereka cemas akan nasib Chiu Bun Ong yang akan ditentukan pada tengah hari itu.... Tepat tengah hari, tiba-tiba terdengar suara gledek secara beruntun dan hampir bersamaan waktunya, para penjaga di Tay Bio lari ketakutan dan melaporkan mengenai kebakaran di rumah berhala besar tersebut."Pertanda buruk bagi kerajaan", gumam Pi Kan seraya menghela nafas. Wajah Touw Ong jadi pucat. Hui Tiong dan Yu Hun gemetar tubuhnya. tapi ketika Kaisar meminta pendapat mereka, Hui Tiong masih dapat memberi saran pada Kaisar dalam menghadapi kasus itu. Di lain pihak, para menteri lainnya memohon pengampunan bagi Chiu Bun Ong, agar Kaisar sudi membebaskannya. Namun Touw Ong yang telah mendapat saran dari Hui Tiong, bersabda.

"Ramalan Kie Chiang ternyata sangat tepat, dengan begitu kubebaskan dia dari hukuman mati. Tapi untuk sementara ditahan di Yu Li. Bila keadaan kerajaan tetap aman, barulah dia akan dibebaskan dan kembali memangku jabatan semula". Oey Hui Houw dan para menteri lainnya mengucapkan terima kasih pada Kaisar, karena putusan Touw Ong tersebut telah menyelamatkan jiwa Chiu Bun Ong. Chiu Bun Ong juga mengucapkan terima kasih pada Kaisar dan amat bersyukur atas bantuan Oey Hui Houw dan lainlainnya, kemudian berangkatlah dia ke Yu Lie. Kedatangannya di kota kecil itu disambut oleh para penduduk yang bersujud di sepanjang jalan yang dilalui Chiu Bun Ong, yang telah lama sebelumnya mereka mengagumi raja muda yang adil lagi bijaksana itu. Beberapa waktu kemudian, Oey Hui Houw menerima kabar, bahwa Kiang Bun Hoan (putera Kiang Hoan Chu) di Tonglo dan Ngok Sun (putera Ngok Tiong Ie) di Lam-tu, telah mengangkat senjata melawan kerajaan Siang. Dalam waktu relatif singkat mereka telah berhasil merebut kota Yun-hun-koan dan kota Sam-san-koan. _ Goan Sie Thian Chun Chiu Bu ?ng.Kiang Chu Gie (Kiang Chu Ge)LIMA Di istana Giok-si di gunung Kun Lun-san, Dewa Goan Sie Tian Chun tak lagi mau menerima murid baru, sebab ada muridnya yang telah melanggar pantangan membunuh orang yang tak berdosa. Hari itu Goan Sie Tian Chun menyuruh salah seorang muridnya, Pek Hok Tongcu (Bocah Bangau Putih) untuk memanggil murid lainnya yang bernama Kiang Siang alias Kiang Chu Gie (kerap dieja Kiang Chu Ge), yang telah berusia 72 tahun. Tak lama kiang Chu Gie datang menghadap, memberi hormat pada gurunya seraya bertanya.

"Ada soal apa Suhu memanggil Teecu?".

"Rupanya kau telah ditakdirkan tidak dapat menjadi Dewa, tapi akan memperoleh ketenaran nama dan kehormatan duniawi. Kerajaan Siang tak lama lagi akan runtuh, diganti dengan dinasti Chiu. Berangkatlah kau mewakili diriku memberi anugrah kepada para arwah yang membantu Raja Chiu yang adil lagi bijaksana itu, untuk jadi Malaikat. Dengan begitu, tidaklah sia-sia kau bertapa (Bersamadhi) di sini selama 40 tahun". Agak berat bagi Kiang Chu Gie harus pisah dengan gurunya. Namun Goan Sie Tian Chun menghiburnya dan memberinya dorongan semangat. Kiang Chu Gie meminta gurunya meramalkan nasibnya. Permintaannya itu dikabulkan, sang guru meramalkan nasib muridnya yang satu ini dalam bentuk sajak, yang maknanya harus dapat dipecahkan sendiri. Chu Gie pamit pada gurunya, meninggalkan gunung Kun Lun-san. Kiang Siang atau Kiang Chu Gie ini berasal dari Khouwchiu, Tong Hay, tak memiliki sanak keluarga lagi. Tapi mempunyai saudara angkat yang bernama Song It Jin, berdiam di desa yang terletak 10 li di luar pintu Selatan dari kota-raja. Ke situlah dia menuju. Beberapa waktu kemudian tibalah dia di tempat kediaman saudara angkatnya. Song It Jin menyambut gembira kedatangan Kiang Chu Gie, mengajaknya masuk ke ruang tamu sambil memerintahkanpembantunya menyiapkan meja perjamuan. Mereka makan minum sambil berbincang-bincang, amat menyenangkan suasana pertemuan dua saudara angkat yang sekian lama pisah. Kemudian It Jin meminta Chu Gie tinggal bersamanya. Ketika tahu Kiang Chu Gie masih hidup membujang, Song It Jin segera teringat pada anak gadis dari Ma Wan-gwa di kampung lainnya. Biarpun telah berusia 68 tahun, anak Ma Wan-gwa masih belum menikah. Song It Jin menganggap cocok untuk dijadikan isteri saudara angkatnya yang telah berusia 72 tahun itu. Ketika Song It Jin mengungkapkan maksudnya itu, Chu Gie langsung menyetujuinya. Maka keesokan harinya Song It Jin datang ke rumah hartawan marga Ma itu, bermaksud melamar anak gadisnya untuk saudara angkatnya. Setelah berbasa-basi sebentar, Song It Jin mengemukakan maksudnya pada tuan rumah. Ma Wan-gwa memang telah lama cemas akan anak gadisnya yang berat jodoh, begitu mendengar lamaran It Jin, langsung menerimanya. Setelah memilih hari baik, perkawinan sepasang manusia yang lanjut usia itu pun berlangsunglah. Untuk sementara Kiang Chu Gie dan isterinya menumpang di rumah Song It Jin. Waktu beredar cepat sekali, tanpa terasa telah berjalan dua bulan sejak pernikahan Kiang Chu Gie dengan Ma-si. Dia sering teringat pada gurunya di Kun Lun-san. Ma-si ketika melihat suaminya terus menganggur dan kerap melamun, menyarankannya untuk berdagang kecil-kecilan, agar mereka tidak terlampau membebani Song It Jin. Chu Gie menganggap saran itu cukup baik, maka dia pun mulai membuat keranjang. Setelah cukup banyak jumlahnya, membawanya ke pasar untuk dijual. Senja harinya, sepulang menjual keranjang, Kiang Chu Gie merasakan bahunya sakit akibat memikul keranjang dan lecet kakinya karena harus berjalan jauh.Keadaan itu membuatnya uring-uringan, menyalahkan isterinya yang dikatakannya tak suka melihatnya hidup tenang di rumah. Sang isteri tak senang disalahkan begitu, menyanggah. Maka terjadilah pertengkaran yang cukup sengit di antara mereka. Song It Jin agak repot menengahi, selang sesaat baru dia berhasil meredakan pertengkaran suami isteri itu. Kemudian It Jin menyarankan, agar Chu Gie berjualan tepung gandum saja. Persediaan gandumnya cukup banyak, akan menyuruh pembantunya menumbuk gandum itu untuk dijadikan tepung. Kiang Chu Gie menerima saran itu, mulailah dia berjualan tepung keesokan harinya. Setelah dia berjalan hampir setengah hari, barulah ada orang yang bermaksud membelinya. Chu Gie menurunkan barang dagangannya. Bertepatan waktunya dengan itu, Oey Hui Houw yang sedang melatih ketangkasan para prajurit dalam hal menunggang kuda, salah seekor kuda yang masih agak liar, telah lepas dari kendali prajurit, kabur dan menerjang barang dagangan Chu Gie hingga terbalik, tepung berserakan di tanah. Bersamaan bertiup angin kencang, yang menerbangkan tepung gandum tersebut hingga tak terpungut lagi. Kiang Chu Gie menghela nafas, pulang dengan sikap lesu, menceritakan segalanya pada Song It Jin. Song It Jin mencarikan upaya lain, meminta Chu Gie membuka rumah makan di luar pintu Selatan kota-raja. Rumah makan itu menjual masakan dari daging babi dan kambing. Menurut perkiraan It Jin, rumah makan itu tentu akan ramai dikunjungi orang. Apa mau, pada hari pembukaannya telah turun hujan lebat sepanjang hari, hingga tak seorang tamu pun yang masuk ke rumah makan tersebut, makanan jadi rusak dan mubazir. Beruntun beberapa hari, rumah makan itu tak pernah dikunjungi tamu, hingga akhirnya Kiang Chu Gie memutuskan untuk menutupnya saja. Hari-hari berikutnya, hidup Kiang Chu Gie diliputi kemurungan. Melihat itu Song It Jin kembali mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli babi dan kambing hidup, menyuruh Chu Gie menjualnya di kota-raja.Namun rupanya Chu Gie bukanlah orang yang memiliki Hok-kie dalam dagang. Nyatanya ketika dia menggiring hewan dagangannya melewati pintu gerbang kota, petugas jaga bermaksud menangkap Chu Gie, membuatnya cepat-cepat kabur meninggalkan semua dagangannya. Petugas segera menyita babi dan kambing Chu Gie. Sesungguhnya telah setengah tahun lebih tidak turun hujan di kota Tiauw-ko, kota-raja, maka Kaisar dan rakyat bersembahyang untuk meminta hujan. Sehubungan dengan itu, diadakan larangan memotong hewan. Itu sebabnya, ketika Chu Gie menggiring ternak untuk dijualnya, dirinya langsung hendak ditangkap petugas, untung dia cepat kabur. Pucat pasi wajah Kiang Chu Gie ketika bertemu dengan saudara angkatnya.

"Kenapa kau, Hian-tee?", It Jin heran menyaksikan keadaan Chu Gie.

"Tampaknya aku tak memiliki Hok-kie dalam dagang, ternyata apa yang kulakukan selalu gagal, rugi terus!". Chu Gie menghela nafas.

"ternak yang akan kujual di kota-raja telah disita petugas, sebab Kaisar telah mengeluarkan larangan menjual dan memotong ternak --- Aku benar-benar malu telah membuang-buang uang Heng-tiang".

"Tak usah kau pikirkan itu, Hian-tee", Song It Jin ternyata seorang yang cukup bijaksana.

"orang dagang bila tak untung, ya rugi. Mari kita minum minum di taman". It Jin mengajak Chu Gie ke taman di belakang rumahnya. Chu Gie melihat sebidang tanah yang cukup luas dibiarkan kosong, maka dia menyarankan, agar saudara angkatnya mendirikan pesanggrahan kecil di situ. It Jin langsung menyetujui saran itu, segera menyuruh orang mendirikan bangunan bertingkat di situ. Tapi ketika bangunan itu telah selesai didirikan, sering diganggu siluman, membuat orang-orang di rumah It Jin pada ketakutan. Hari itu Kiang Chu Gie sengaja berdiam di situ, tak lama kemudian terlihat olehnya 5 siluman dengan wajah yang berlainan warna satu dengan lainnya, amat menyeramkan keadaan mereka. Mereka muncul dengan dibarengi hembusan angin yang cukupkencang, membuat pasir dan batu krikil beterbangan kian ke mari. Kiang Chu Gie membiarkan rambutnya beriap-siap seraya mencabut pedang sambil membaca mantera. Selang sesaat dia mengangkat pedang, bersamaan dengan itu terdengar bunyi gledek yang memekakkan telinga. Kelima siluman itu ketakutan dan berlutut di hadapan Kiang Chu Gie.

"Akan kubinasakan kalian dengan api sakti!", ancam Chu Gie. Para siluman itu lantas meminta ampun. Chu Gie bersedia mengampuni mereka, melarang mereka mengganggu orang lagi, kemudian mengirim mereka dengan jimat ke gunung See Kie untuk menantinya di sana. Kelima siluman tak berani membantah perintah Chu Gie, berulang kali menganggukkan kepala, kemudian berangkat ke See Kie-san. It Jin dan isterinya sangat takjub ketika menyaksikan Kiang Chu Gie dapat menaklukkan siluman. Di samping itu mereka tahu juga kalau Kiang Chu Gie pandai meramalkan nasib, maka It Jin kemudian mengusulkan agar Kiang Chu Gie membuka sebuah tempat meramal di luar pintu Selatan kota-raja. yang ramai dengan orang yang berlalu lalang. Chu Gie langsung menerima saran itu. Dengan bantuan It! Jin, dia memperoleh sebuah rumah di jalan yang ramai, memasang papan nama yang menyatakan kalau dirinya pandai meramalkan nasib orang. Demikianlah, Kiang Chu Gie jadi ahli nujum. Namun selama empat bulan, tak seorangpun yang datang meramalkan nasib padanya. Hampir Chu Ge (Chu Gie) hendak meninggalkan profesi barunya itu, untung Song It Jin dan isterinya terus memberi dorongan semangat, hingga Chu Gie dapat terus bertahan. Sampai pada suatu hari, ketika Chu Gie hampir tertidur di atas kursinya, telah datang seorang penebang pohon yang tinggi besar. Lauw Kian, demikian nama penebang pohon itu, yang karena melihat tulisan yang tercantum pada papan nama itu begitu memuji ketepatan ramalan, jadi timbul hasratnya untuk mencoba kepandaian Chu Gie.

"Bila tepat ramalanmu, akan kuberi kau 20 Bun", kata Lauw Kian.

"Tapi bila meleset, akan kuhajar kau dan mengusirmu dari tempat ini!".Biarpun agak mendongkol, tapi Chu Gie meramalkan juga nasib penebang pohon itu.

"Bila kau berjalan ke arah Selatan dengan membawa kayu hasil jerih payahmu, kau akan bertemu dengan seroang tua di bawah pohon Siong (Pinus; Cemara), yang akan membayar kayumu seharga 120 Bun, 4 piring sayur dan 3 cangkir arak!". Walaupun Lauw Kian merasa ragu, tapi dia ingin membuktikan kebenaran ramalan Chu Gie. Orang lain yang melihat taruhan itu, pada umumnya menyarankan agar Chu Gie cepat-cepat meninggalkan tempat prakteknya, jangan sampai dia dihajar oleh Lauw Kian yang bertubuh tinggi besar itu. Namun Kiang Chu Gie hanya tersenyum menanggapi saran mereka, tetap duduk tenang di tempatnya, begitu yakin akan ketepatan ramalannya. Beberapa waktu kemudian, terlihat Lauw Kian berlarilari menuju ke tempat Chu Gie.

"Bapak benar-benar seperti Dewa", katanya begitu tiba di hadapan Chu Gie.

"apa yang bapak ramalkan memang terbukti".

"Bila demikian tepatilah janjimu!", Kiang Chu Gie menagih janji.

"Itu pasti", Lauw Kian mengangguk.

"tapi biarpun saya membayar dengan seluruh uang yang saya miliki, rasanya masih kurang --- Tunggulah sebentar, akan saya lakukan sesuatu untuk bapak!". Lauw Kian berdiri di muka pintu tempat praktek Chu Gie, menarik seorang yang kebetulan lewat di dekatnya, mendesak nya agar mau meramalkan nasibnya pada Kiang Chu Gie. Orang itu, seorang penagih pajak, menuruti juga saran Lauw Kian. Kiang Chu Gie segera menujumkan peruntungannya, memberitahukannya jumlah uang yang akan diterima penagih pajak itu. Lauw Kian menyuruh orang yang baru diramalkan nasib nya itu untuk membayar 5 Bun pada Chu Gie. Kiang Chu Gie mengucapkan terima kasih pada penebang pohon yang kasar tapi jujur hatinya itu. Lauw Kian pamit pada Chu Gie, demikian pula petugas pajak tersebut.Sekira sejam kemudian, si petugas pajak kembali menemui Chu Gie dengan wajah berseri, memberitahukan, bahwa ramalan Kiang Chu Gie benar-benar sangat tepat. Dengan demikian mulai banyak yang datang meramalkan nasibnya pada Kiang Chu Gie dan apa yang diramalkannya selalu tepat, hingga dalam waktu relatif singkat Kiang Chu Gie telah jadi peramal terkenal di kota-raja dan terus meluas ke sekitarnya. Beberapa bulan telah berlalu. Pada suatu hari telah datang seorang wanita muda yang mengenakan pakaian berkabung menemui Kiang Chu Gie. Kiang Chu Gie yang cukup tinggi ilmunya, segera mengenali, bahwa wanita muda itu sesungguhnya Giok Cio Pi Pe Cheng-Siluman Kecapi Batu Jade (Kumala) Siluman itu sebelumnya memang sering datang ke kotaraja, menjenguk Souw Tat Kie. Begitu tiba tengah malam, dirinya berobah ke bentuk aslinya dan memangsa beberapa dayang istana. Tak mengherankan kalau di bawah sebuah batu besar di taman istana, berserakan tulang belulang manusia. Suatu hari, dalam perjalanan pulang ke tempat bersemayam setelah melahap mangsanya di tengah malam sebelumnya, dari atas awan dia sempat melihat banyak sekali orang berkumpul di tempat praktek Kiang Chu Gie, timbul rasa jailnya untuk mencoba kepandaian meramal kakek yang batal jadi Dewa itu. Maka dia pun turun tak jauh dari tempat praktek Chu Gie, Pian-hoa (mero bah bentuk dirinya) menjadi seorang wanita muda yang sedang berkabung dan meminta diramalkan nasibnya.

"Saya harap nona memperlihatkan telapak tanganmu!", kata Chu Gie.

"Tangan yang mana?", tanya sang siluman Kecapi.

"Yang kanan!", sahut Chu Gie. Siluman itu mengangsurkan tangan kanannya. Chu Gie memegangnya erat-erat. Dia mengetahui kalau wanita muda itu adalah penjelmaan siluman, tak sudi dia membiarkannya kabur.

"Kenapa bapak bukannya meramalkan nasib saya, malah memegangi erat-erat?", ujar sang siluman.

"cepat lepaskan! Berlakulah sopan terhadap wanita!".Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu jadi marah ketika menyaksikan kekasaran sikap Kiang Chu Gie.

"Sudah tua masih ingin mengganggu wanita, dasar tua keladi!".

"Aku bukannya ingin mengganggu wanita muda", ujar Kiang Chu Gie, tenang sikapnya.

"Dasar orang tua tak tahu diri", sela seseorang yang menyaksikan hal itu.

"sudah hampir masuk liang kubur masih menginginkan daun muda".

"Aku bukannya ingin melalap daun muda", Kiang Chu Gie berusaha menerangkan, tetap sabar sikapnya.

"tapi dia siluman!"

Namun orang banyak tetap tak percaya pada keterangannya, bahkan ada beberapa orang yang mulai tak dapat menahan emosi, bermaksud mengeroyok Chu Gie.

"Sabar saudara-saudara", Chu Gie berusaha menenangkan mereka.

"Lepaskan nona itu!", hardik salah seorang di antaranya.

"atau akan kuhajar kau!".

"Dia siluman", Kiang Chu Gie tetap tak sudi melepaskan pegangannya.

"Itu hanya alasan yang dibuat-buat!", ujar laki-laki yang berkata tadi.

"lekas lepaskan dia!". Kiang Chu Gie jadi serba salah. Bila dia tetap memegang tangan wanita itu, dirinya tentu akan dikeroyok masa. Seandainya dia melepaskannya, siluman Kecapi itu tentu akan mencelakai orang lebih banyak lagi. Maka kemudian diambilnya 'gosokan batu tinta'- nya, mengetukkan benda itu ke kepala sang siluman yang menyamar sebagai wanita cantik. Darah segar menyembur dari kepala wanita itu, terkulai tubuhnya. Namun Kiang Chu Gie tak pula melepaskan pegangannya.

"Jangan biarkan tukang nujum ini kabur!", teriak orang banyak.

"dia telah membunuh orang!". Mereka bersiap-siap ingin mengeroyok dan menangkap Chu Gie. Kebetulan pada saat itu menteri Pi Kan lewat di situ dengan menunggang kuda. Masyarakat yang semula telah bersiap-siap mengeroyok Kiang Chu Gie, segera berlutut di hadapan sang menteri seraya melapor, bahwakakek tukang nujum itu telah bersikap kurang ajar terhadap seorang wanita cantik. Ketika wanita itu melawannya, Chu Gie lalu membunuhnya. Biarpun Kiang Chu Gie tahu menteri Pi Kan yang ada di hadapannya, dia tetap tidak melepaskan pegangannya. Pi Kan jadi sangat marah ketika mendengar laporan masyarakat dan menyaksikan sendiri Chu Gie yang terus memegang tangan wanita itu, membuat sang meteri jadi benar-benar naik pitam, langsung memerintahkan untuk menangkapnya! Kiang Chu Gie menghampiri Pi Kan sambil tetap memegang tangan wanita itu, hingga tubuh si perempuan cantik terseret olehnya.

"Sama sekali tak ada maksud bagi hamba untuk mencelakai wanita muda ini, tapi sesungguhnya dia siluman", kata Kiang Chu Gie sambil berlutut di hadapan sang menteri.

"belakangan ini hamba melihat dari istana Kaisar telah menyorot keluar hawa siluman dan Siao-jin merasa berkewajiban untuk membasmi siluman, agar rakyat dapat terhindar dari mala-petaka". Namun masyarakat mengharapkan Pi Kan menghukum Kiang Chu Gie, sebab dalam pandangan mereka, Kiang Chu Gie telah membunuh seorang wanita muda.

"Bukankah wanita itu telah mati Kiang Siang? Kenapa kau terus memegangi tanggannya?", tanya Pi Kan.

"Bila hamba lepas, siluman ini akan kabur, Tay-jin", Chu Gie menerangkan.

"Dapatkah kau membuktikan ucapanmu?", desak sang menteri.

"Sulit saya terangkan dengan kata-kata, sebab siluman itu takkan dapat terlihat oleh mata biasa", ujar Chu Gie. Pi Kan tak dapat memutuskan kasus itu.

"Akan kulaporkan hal ini pada Kaisar, biar Baginda yang memutuskan nanti", katanya kemudian.
Penganugerahan Para Malaikat Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya kira begitu memang lebih baik", sambut Chu Gie. Pi Kan mengajak Kiang Chu Gie menemui Touw Ong di 'Menara Pemetik Bintang Chu Gie ikut sang menteri sambil menyeret-nyeret tubuh wanita siluman itu.Setiba di hadapan Kaisar, Kiang Chu Gie berlutut di hadapan Touw Ong sambil tetap memegangi tangan si wanita, kemudian menceritakan apa yang diketahuinya pada Kaisar.

"Yang jelas dia seorang wanita", kata Touw Ong.

"tapi kenapa kau mengatakan dia siluman? Dapatkah kau membuktikan kebenaran kata-katamu?".

"Bila Tuanku meragukan keterangan hamba, akan hamba usahakan supaya siluman itu memperlihatkan bentuk aslinya, yaitu Kecapi Batu!", kata Chu Gie.

"hamba harap sudilah Tuanku memerintahkan untuk mengumpulkan kayu bakar buat membakarnya!". Touw Ong memenuhi permintaannya, menyuruh para pembantunya mengumpulkan kayu bakar di bawah 'Chai Seng Louw' (Menara Pemetik Bintang). Kiang Chu Gie menempelkan 'Hu' (kertas jimat) di kepala wanita itu, barulah dia melepaskan pegangannya dan meletakkan tubuhnya di atas tumpukan kayu bakar. Mulailah dia membakar kayu tersebut. Namun biarpun telah dua jam api membakar wanita itu, tapi tubuhnya tetap tak mau hangus, apa lagi memperlihatkan bentuk aslinya. Melihat itu, Touw Ong mulai menuduh Kiang Chu Gie telah menipunya.

"Hendaknya Tuanku sudi bersabar beberapa waktu lagi", tetap tenang sikap Chu Gie.

"akan segera Paduka saksikan keadaan aslinya". Seusai berkata, dari mulut, hidung dan mata Chu Gie menyemburkan api, membakar si wanita siluman dengan api saktinya. Sang siluman tak lagi dapat menahan diri, bergerak-gerak kepanasan, kemudian terdengar teriakannya.

"Kiang Chu Gie, kita toh tak saling berdendam, kenapa kau bakar aku dengan api saktimu!?". Touw Ong amat terkejut mendengar teriakan itu. Namun Chu Gie tetap tenang, meminta Kaisar agar masuk ke dalam menara. Touw Ong menurut. Belum lama Kaisar berada di dalam menara, Kiang Chu Gie menggerakkan tangan. Dari telapak tangannya melesat gledek yang langsung menyambar tubuh si wanita siluman, seketika tubuhnya berobah ke bentuk aslinya --- Kecapi Batu! Baru sekarang Touw Ong percaya akan kebenaran ucapan Kiang ChuGie, lantas mengangkatnya sebagai Toa-hu, yang bertugas sebagai 'Pengawas Langit'. Di lain pihak, Souw Tat Kie ketika mendengar kabar kematian Kecapi Batu, menjadi sangat sedih. Dia meminta Kecapi itu dari Kaisar, kemudian menggantungnya di 'Chai Seng Louw', agar dapat menyedot sari Langit dan Bumi, yang lima tahun kemudian siluman itu niscaya akan hidup kembali. *** Hari itu Touw Ong mengadakan pesta di istananya. Agar lebih bersemarak suasana pesta, Souw Tat Kie tampil untuk menyanyi dan menari di hadapan Kaisar. Para dayang memuji dan bertepuk tangan menyambut tarian sang Permaisuri baru itu. Tapi ada beberapa puluh dayang yang tak ikut bertepuk tangan, bahkan berlinang-linang karena terkenang pada majikan mereka sebelumnya. Souw Tak Kie sempat melihat keadaan mereka, berhenti menari. Setelah menanyakan sebabnya, baru dia tahu, bahwa beberapa puluh dayang itu adalah bekas pelayan di istana Kiang Hong-houw yang telah meninggal secara tragis. Souw Tat Kie melaporkan hal itu pada Touw Ong sambil marah-marah. Kaisar langsung memerintahkan untuk segera menghukum mati beberapa puluh dayang itu. Namun Tat Kie mencegahnya dengan alasan ada cara lain yang lebih baik dalam menghukum bekas pelayan Kiang Honghouw. Maka untuk sementara, beberapa puluh pelayan itu dijebloskan ke dalam penjara, menanti tibanya saat hukuman dilaksanakan. Souw Tat Kie memerintahkan menggali lobang besar di bawah 'Menara Pemetik Bintang, kemudian mewajibkan setiap kepala keluarga dari penduduk di kota-raja menyumbang empat ekor ular beracun, yang harus diserahkan dalam keadaan hidup, yang kemudian dimasukkan ke dalam liang besar tersebut. Para dayang mendiang Kiang Hong-houw akan dilucuti pakaiannya sebelum dilempar ke dalam liang, untuk dijadikan santapan ular beracun!Ular-ular di kota-raja ternyata tidak mencukupi, hingga sebagian penduduk harus membelinya dari luar kota-raja. Ramailah para penduduk yang membawa keranjang berisi ular ke istana. Keadaan itu mengherankan menteri Chiao Ke yang sempat melihatnya.

"Kenapa kalian mengantarkan ular ke istana?", bertanya sang menteri.

"Kaisar telah mewajibkan setiap kepala keluarga di kotaraja untuk mengantarkan empat ekor ular ke istana", menerangkan salah seorang penduduk. Mendengar itu, Chiao Ke bergegas menuju ke balai berkumpulnya para pejabat kerajaan. Terlihat Oey Hui Houw, Pi Kan, Hui Cu, Kie Cu dan lainlainnya pada berkumpul di situ. Chiao Ke menceritakan apa yang baru disaksikan kepada para menteri itu. Oey Hui Houw dan lain-lainnya heran mendengar kabar itu, segera mengutus orang untuk menyelidiki sebabnya.... Kala itu seluruh kepala keluarga di kota-raja telah selesai mengantarkan ular. Souw Tat Kie berkata pada Touw Ong .

"Bekas dayang Kiang Hong- houw harus ditelanjangi, lalu melempar mereka ke liang ular, dengan demikian segala kejahatan di istana dapat disapu bersih". Para dayang menangis sedih ketika digiring ke tepi liang ular, sebab mereka tahu apa yang akan terjadi atas diri mereka. Chiao Ke yang mengetahui hal itu, sangat panas hatinya akan kekejaman Kaisar, segera meminta izin untuk menemui Touw Ong di 'Menara Pemetik Bintang Setelah diperkenankan menghadap, Chiao Ke memberitahukan Kaisar, bahwa hukuman yang dijatuhkan terhadap para dayang itu sangat sadis dan tak pernah dilaksanakan oleh Kaisar manapun.

"Dayang-dayang itu telah berlaku kurang ajar", kata Touw Ong.

"kurasa hanya inilah hukuman yang paling cocok untuk mereka".

"Walaupun di dunia ini manusia terbagi atas golongan yang tinggi dan rendah, tapi pada dasarnya keadaan mereka sama saja, yaitu terdiridari tulang dan daging", ujar Chiao Ke dengan beraninya,"tidakkah Tuanku dapat membayangkan, betapa sakit dan menderitanya mereka dilempar ke dalam liang dan dipatuk oleh binatang beracun itu!? Hamba mohon dengan sangat, sudilah Tuanku mengampuni kesalahan mereka sekali ini!".

"Saranmu memang cukup baik, tapi aku terpaksa menjatuhkan hukuman seperti itu, untuk menghindari hal yang mungkin ditimbulkan oleh oknum-oknum yang merasa tak senang bila aku bersikap terlampau lunak", ujar Touw Ong. Chiao Ke tak dapat lagi membendung emosi, mengumpat Touw Ong sambil membeberkan segala kekejaman yang telah dilakukannya. Touw Ong jadi sangat marah, segera memerintahkan untuk menangkap Chiao Ke, melucuti pakaian kebesarannya, melamparnya ke liang ular. Namun sebelum sempat pengawal Kaisar menangkap Chiao Ke, sang menteri telah mendahului melompat dari 'Menara Pemetik Bintang', tewas seketika. Touw Ong yang belum hilang dongkolnya, memerintahkan untuk melempar jenazah Chiao Ke ke dalam liang ular. Menyusul berpuluh dayang itu dilemparkan juga ke dalam liang tersebut. Jerit tangis terdengar sangat memilukan, tapi Souw Tat Kie yang mendampingi Kaisar, memandang segalanya itu seperti pertunjukan yang menarik lagi menyenangkan, senyum puas terkembang di wajahnya. Melihat Permaisurinya gembira, Kaisar ikut senang, mengusap sayang bahu Souw Tat Kie. Dalam kesempatan itu Souw Tat Kie telah mengusulkan lagi.

"Saya harap Tuanku memerintahkan untuk membuat liang lainnya di sebelah kiri lobang ular, di tengah-tengahnya dibuat gundukan tanah yang dihias dengan cabang-cabang pohon yang digantungi potongan daging. Tempat itu kita beri nama 'Rimba Daging'. Di sebelah kanan liang ular dibuat sebuah kolam yang diisi dengan arak dan tempat itu dapat kita namakan 'Telaga Arak'. Bila terlaksana, Tuankulah merupakan Kaisar pertama yang menciptakan karya besar tersebut".Touw Ong langsung menyetujui usul itu, segera memerintahkan untuk membangun tempat tersebut. Pada suatu hari, ketika Kaisar makan minum di dekat 'Rimba Daging' dan 'Telaga Arak', Souw Tat Kie berkata pada Touw Ong .

"Makan minum yang disemarakkan dengan tari dan nyanyian telah membosankan, saya kira akan lebih menarik bila Tuanku menggantinya dengan acara perang tanding antara pengawal istana. Bagi yang menang kita suguhkan arak dari 'Telaga Arak' dan yang kalah tak perlu dibiarkan hidup lagi, sebab kita tak butuh tenaga loyo seperti mereka dan daging mereka lebih tepat bila dijadikan hiasan di 'Rimba Daging'!". Tanpa pikir panjang lagi Kaisar langsung menyetujui saran itu. Tidaklah mengherankan, dalam waktu relatif singkat, cukup banyak jiwa Pengawal istana yang melayang akibat saran Souw Tat Kie. Selewat tengah malam, Souw Tat Kie merobah dirinya ke bentuk asalnya, menjadi siluman Rase, yang makan daging kurban-kurban perang tanding itu....ENAM Biarpun di luarnya Souw Tat Kie bersikap biasa saja, tapi di dalam hatinya terkandung niat ingin mencelakai Kiang Chu Gie, untuk membalas dendam atas kematian siluman Kecapi Batu Kumala. Maka kemudian Tat Kie membuat rencana untuk membangun sebuah menara yang sangat indah. Setiap tingkatnya terbuat dari batu marmer dengan tiang-tiang yang berukir dan di semua ruang dihias pula dengan ratna mutu manikam, yang menambah kemewahan bangunan. Bangunan itu akan diberinya nama 'Menara Menjangan', bila malam tiba akan tampak berkilauan oleh cahaya batu dan logam mulia yang digunakan menghias ruang. Touw Ong sangat gembira akan rencana dari isteri tercintanya.

"Bila Ranggon (Menara) itu selesai dibangun, bukan saja akan membuat nama Tuanku semakin terkenal di dunia, juga para Dewa tentu akan sering bertamasya ke sana. Dengan bergaul bersama mereka, Tuanku tentu akan berumur panjang", kilah Tat Kie. Semakin besarlah hasrat Touw Ong untuk membangun menara tersebut.

"Akan segera kuperintahkan orang membuatnya!", katanya.

"Tidak sembarang orang dapat membuatnya, Baginda", ucap Tat Kie.

"hanya orang yang memiliki kesaktian saja yang dapat melakukannya".

"Jadi menurutmu, siapa yang paling tepat menangani pekerjaan itu?", tanya Kaisar.

"Saya kira hanya Kiang Chu Gie yang mampu menanganinya", sahut Tat Kie. Kaisar segera memanggil Kiang Chu Gie, yang selama memangku jabatan di kerajaan, telah tinggal bersama Pi Kan. Sedangkan isterinya untuk sementara masih menumpang di rumah Song It Jin. Kiang Chu Gie yang sebelumnya telah mendapat firasat kurang enak, langsung saja meramalkan keadaan dirinya, yang diketahui ada bahaya yang tengah mengancamnya. Karenanya dia langsung mengucapkan selamat berpisah pada Pi Kandan berpesan .

"Aku telah menyisipkan sehelai surat di bak (batu) tinta. Bila di kemudian hari pak menteri terancam bahaya, segeralah baca surat itu, mungkin bapak dapat menghindari bahaya itu".

"Terima kasih atas perhatianmu terhadapku", kata Pi Kan yang berfirasat kurang enak juga.

"seandainya panggilan Kaisar akan membahayakan dirimu, biarlah aku yang mewakilimu menghadap Baginda".

"Tak usah, semua ini memang sudah merupakan garis hidup yang harus saya tempuh", ucap Chu Gie. Kemudian Chu Gie pamit pada Pi Kan, segera menghadap Kaisar di 'Menara Pemetik Bintang'. *** "Aku mengharap kau dapat membangun menara ini sesuai dengan denah", Kaisat memperlihatkan denah 'Menara Menjangan' pada Kiang Chu Gie. Kiang Chu Gie memperhatikan gambar rancangan tersebut.

"Bilakah bangunan ini akan selesai?", tanya Kaisar.

"Ini merupakan proyek raksasa lagi berat, Tuanku. Hamba rasa paling cepat akan memakan waktu 35 tahun baru dapat dirampungkan". Touw Ong berpaling ke Souw Tat Kie seraya berkata.

"Apa gunanya kita membangun menara itu bila memakan waktu selama itu!?".

"Dia berdusta Tuanku", ucap Tat Kie segera.

"setiap pendusta harus dihukum dengan 'Po Lok!".

"Maaf Tuanku", sela Kiang Chu Gie sebelum Kaisar sempat memutuskan sesuatu.

"bukannya hamba ingin menentang perintah Tuanku. Sesungguhnyalah, membangun menara semacam itu merupakan suatu 'proyek mercu suar' yang menghambur-hamburkan uang. Lebih baik bila uang itu dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat, hingga di sana-sini tidak lagi timbul pemberontakan seperti sekarang. Ini merupakan saran yang keluar dari lubuk hati hamba. Seandainya Tuanku tak sudi mendengar saran ini, hamba khawatir kerajaan Siang akan cepat runtuh". Touw Ong jadi sangat murka mendengar ucapan Kiang Chu Gie, segera menitahkan menangkapnya dan mencincangnya.Namun Chu Gie telah mendahului kabur. Kaisar kesal campur geli menyaksikan ulah Chu Gie.

"Ini sebagai bukti kalau dia takut mati!", ucapnya. Kiang Chu Gie terus lari sampai di 'Kiu Liong Kiauw (Jembatan Sembilan Naga). Melihat para pesuruh Raja terus mengejarnya, berkatalah dia.

"Tak ada gunanya kalian mengejarku!". Selesai berkata, Chu Gie terjun ke dalam air di bawah jembatan itu, menyelam. Para pengejar terbengong mengawasi arus air yang cukup deras. Kebetulan menteri Yo Jim lewat di situ, sangat heran menyaksikan sikap para pengawal istana itu, segera menanyakan sebabnya. Salah seorang pengejar menerangkan duduk soalnya. Yo Jim tak banyak komentar, meneruskan langkahnya menuju ke balai berkumpulnya para menteri. Begitu tiba di tempat itu, dilihatnya utusan Kaisar telah datang memanggil Chong Houw Houw. Sebab Souw Tat Kie telah memuji kepandaian raja-muda yang satu ini, yang dianggap tepat untuk membangun menara seperti yang dikehendaki Tat Kie. Yo Jim yang jujur dan setia, ketika tahu Kaisar bermaksud meneruskan rencananya membuat 'Menara Menjangan', segera dia menghadap Kaisar dan memohon pada Touw Ong untuk membatalkan saja rencananya yang akan menelan biaya yang tidak sedikit itu. Kaisar bukan saja tak pedulikan saran itu, malah menganggap dirinya dihina. Semula Touw Ong bermaksud hendak memancung batang leher Yo Jim yang dianggap lancang itu, tapi karena ingat akan jasanya, maka kemudian memutuskan untuk mencungkil sepasang matanya. Hawa penasaran dari menteri yang jujur lagi setia ini, melambung tinggi ke angkasa, terlihat oleh Dewa Cheng Si To Tek Cin-kun yang bermukim di Cheng Hong-san. Tergerak hati sang Dewa ketika tahu duduk soalnya, segera menyuruh Malaikat Oey Cheng Lek Su untuk menyelamatkan diri Yo Jim dan membawanya ke tempat pemukimannya. Oey Cheng Lek Su langsung berangkat ke 'Menara Pemetik Bintang',menyelamatkan Yo Jim dengan menggunakan kesaktiannya. Seketika bertiuplah angin kencang yang menghamburkan batu dan pasir. Setelah suasana kembali tenang, diri Yo Jim sudah lenyap dari hadapan Kaisar ....

"Persis ketika aku hendak menghukum kedua puteraku tempo hari", gerutu Touw Ong. Di lain pihak, Yo Jim telah dibawa oleh Oey Cheng Lek Su ke hadapan To Tek Cin-kun. Cin-kun mengeluarkan dua butir pil Dewa, memasukkan ke mata Yo Jim yang telah bolong, kemudian mengucapkan mantera untuk menyadarkan Yo Jim dari pingsannya. Ketika Yo Jim siuman, dari kelopak matanya tumbuh dua buah telapak tangan, yang di tengah-tengahnya terdapat mata. Dengan mata ajaibnya itu Yo Jim dapat melihat Cin-kun. Dia tahu kalau Dewa itulah yang menyelamatkan dirinya, langsung berlutut di hadapannya dengan mengucapkan terima kasih, sekalian memohon agar dirinya diterima sebagai muridnya. Cin-kun meluluskannya dan mulai saat itu Yo Jim ikut gurunya bermukim di Cheng Hong-san .... *** Chong Houw Houw ditugaskan oleh Kaisar untuk membangun 'Menara Menjangan'. Pelaksanaan pembuatan menara tersebut bukan saja menelan biaya yang besar, juga banyak jatuh korban karena dilaksanakan di luar pri- kemanusiaan, yang sekali-gus telah memperkaya diri Chong Houw Houw. Ternyata, setiap keluarga yang memiliki tiga orang lelaki, dua di antaranya diwajibkan untuk bekerja dalam 'proyek mercu suar' itu. Tapi jika yang ditugaskan cukup kaya, dapat memberi uang dalam jumlah yang cukup besar pada pimpinan proyek, dirinya dapat dibebaskan dari kewajiban tersebut. Uang itu akan masuk ke saku Chong Houw Houw, yang membuatnya kaya-raya dalam waktu relatif singkat. Sedangkan rakyat banyak mengeluh dan kian banyak yang melarikan diri ke luar kota-raja.Di laih pihak, Kiang Chu Gie yang berhasil meloloskan diri dari kejaran petugas istana melalui saluran air, segera menuju ke rumah Song It Jin. Dia menceritakan pengalamannya pada Ma-si, isterinya. Sang isteri kurang senang setelah mendengar penuturan suaminya.

"Seharusnya kau tahu diri", gerutunya.

"kau hanya tukang ramal, bukannya sarjana, tapi Kaisar telah begitu baik hati mengangkatmu sebagai Toa-hu. Seharusnya kau merasa berterima kasih, setia dan patuh pada Baginda. Tapi nyatanya, kau malah membangkang terhadap perintah Kaisar untuk membangun menara. Coba seandainya kau terima tugas itu, tentunya banyak uang dan bahan yang dipercayakan padamu, sebagian dari itu dapat kau geser untuk memperkaya dirimu. Tapi kau bukan saja menolak kesempatan baik itu, malah menggurui Kaisar lagi. Benar-benar goblok kau ini! Atau barang kali kau memang telah ditakdirkan seumur hidupmu harus jadi tukang Kwamia (peramal nasib)!?".

"Tenang Nio-cu", Chu Gie berusaha menenangkan isterinya.

"di kerajaan Siang aku takkan memiliki kesempatan untuk mengembangkan kepandaian --- Sebaiknya kita pergi ke See Kie, di sana hidup kita akan lebih menyenangkan".

"Sudah sinting rupanya kau!", mulai keras suara Ma-si.

"kesempatan baik yang sudah ada kau tinggalkan, malah ingin mencari sesuatu yang belum pasti di tempat lain".

"Aku yakin keadaan kita nanti jauh lebih baik dari sekarang".

"Aku tak percaya", seru Ma-si.

"lebih baik kita cerai saja, daripada aku harus mengikutimu ke tempat lain",sejak lahir sampai setua itu, Ma-si belum pernah meninggalkan kota Tiauw-ko (kota-raja), dia khawatir akan sengsara hidupnya bila ikut suami ke kota lain. Kiang Chu Gie berusaha membujuknya, tapi Ma-si tetap berkeras minta cerai. Song It Jin bantu membujuk Ma-si, tapi tak berhasil melunakkan tekad isteri Chu Gie. Akhirnya, atas nasehat Song It Jin, Chu Gie terpaksa harus menceraikan isterinya, mengantarkannya kembali ke orang tuanya. Beberapa hari kemudian Kiang Chu Gie pamit pada saudaraangkatnya yang baik hati itu.

"Ke mana tujuan Heng-tee?", tanya It Jin.

"Saya ingin pergi ke See Kie untuk melaksanakan tugas penting, mengabdi pada Raja yang akan menumbangkan kekuasaan Touw Ong".

"Yakinkah kau akan terjadi peristiwa semacam itu?", It Jin seakan meragukan keterangan adik angkatnya.

"Yakin seyakin-yakinnya", kata Chu Gie dengan nada pasti.

"Bila telah tercapai maksudmu nanti, segeralah surati aku, agar tenang perasaanku", pesan It Jin. Perpisahan mereka berlangsung penuh keharuan. Kiang Chu Gie melakukan perjalanan dengan menyusuri tepi sungai Oey-ho (Huang-ho; Sungai Kuning) dengan menyamar sebagai pengail ikan. Bila letih berjalan, dia beristirahat di tepi sungai sambil memancing ikan. Selang beberapa hari, dia hampir tiba di kota Leng-tongkoan. Terlihat olehnya beberapa ratus orang yang terdiri lakilaki, wanita dan anak- anak, pada berkumpul lesu-sedih di muka pintu gerbang kota. Ternyata mereka adalah penduduk kota-raja yang melarikan diri akibat perbuatan sewenang-wenang Chong Houw Houw dalam rangka membangun 'Menara Menjangan'. Apa mau dikata, setiba di kota itu, kolonel Thio Hong, penguasa Leng- tong-koan, tak memperkenankan mereka lewat. Kiang Chu Gie kasihan melihat keadaan mereka, segera menemui Thio Hong, memperkenalkan diri sebagai menteri Kiang Siang. Dia meminta pada penguasa kota itu agar memperkenankan penduduk kota-raja lewat. Sebab bila mereka sampai tertangkap, niscaya akan jadi korban tungku api 'Po Lok' atau pun liang ular! Namun Thio Hong menyatakan, bahwa para pengungsi dari kota-raja itu dianggap sebagai pengkhianat, bila dia menolong mereka, dirinya akan dicap sebagai pengkhianat juga. Selanjutnya Thio Hong mengusir Chu Gie dari markasnya. Ketika tahu Chu Gie gagal membujuk penguasa kota Lengtong-koan untuk mengizinkan mereka lewat, para wanita dan anak-anak banyakyang menangis, begitu pula kaum prianya tampak lemas tiada daya.

"Jangan kalian bersedih". Kiang Chu Gie berusaha menghibur mereka.

"akan kubantu kalian melewati lima kota sekaligus, tapi kalian harus bersabar menunggu sampai gelap cuaca". Begitu gelap cuaca, Chu Gie meminta para penduduk itu menutup mata dan baru boleh membuka matanya setelah ada pemberitahuan darinya. Sedang Chu Gie sendiri telah berlutut ke arah Kun Lun-san sambil membaca mantera. Para penduduk merasakan tubuhnya seperti melayang dengan disertai sampokan angin, biarpun merasa heran, tapi mereka tak berani membuka mata. Sebab, bila melanggar pesan Chu Gie, diri mereka akan jatuh hancur. Beberapa waktu kemudian terdengar suara Chu Gie, yang menyuruh mereka membuka mata. Ternyata mereka telah berhasil melintasi 5 kota lewat udara dan pada saat itu telah berada di Kim Khe-leng (Bukit Ayam Emas), sudah masuk wilayah See Kie. Para pelarian itu bersyukur atas bantuan Chu Gie, meneruskan perjalanan ke kota See Kie. Keadaan kota See Kie amat tenang, jauh beda dengan kotaraja. Kedatangan mereka disambut dengan tangan terbuka oleh Peh Ip Ko, yang memberi mereka makan, tempat tinggal, juga pekerjaan. Sedangkan Kiang Chu Gie meneruskan perjalanannya ke Hoan Kie untuk bersembunyi, memanfaatkan waktu luangnya dengan memancing ikan di tepi sungai .... *** Kehadiran para pengungsi dari kota-raja, telah membuat Peh Ip Ko semakin terkenang pada ayahnya, Chiu Bun Ong.

"Tujuh tahun sudah ayah ditahan di Yu Lie", kata hati Peh Ip Ko, sebaiknya aku pergi ke kota-raja untuk menebus dosa ayah". Ketika dia mengemukakan maksudnya kepada para pejabat istana, Shan Gie Seng berusaha mencegahnya, meminta agar Ip Ko sudi bersabar untuk beberapa waktu lagi. Namun kecintaannya terhadap ayahnya sangat besar, membuat PehIp Ko tak menghiraukan nasehat pejabat senior itu, seakan melupakan pula akan pesan ayahnya sebelumnya, yang melarangnya menyusul, apapun yang terjadi atas diri ayahnya. Setelah memohon diri pada ibunya dan mengangkat Kie Hoat, saudaranya, sebagai penggantinya, berangkatlah dia. Para saudara dan pejabat tinggi mengantarnya sampai cukup jauh. Ip Ko berangkat dengan naik kereta 'Tujuh Harum' dan membawa serta seekor monyet putih yang pandai menyanyi dan 10 wanita cantik. Setiba di kota-raja, beruntun lima hari dia mendatangi pintu gerbang istana, tapi tak seorang pun pejabat yang ditemuinya di situ.Baru pada hari ke enam dia melihat Pi Kan mendatangi dengan menunggang kuda. Cepat Ip Ko berlutut dan meminta tolong pada menteri itu untuk mengantarnya menghadap Kaisar. Pi Kan menyanggupinya, lalu menghadap Touw Ong di Menara Pemetik Bintang sambil membawa daftar barang-barang hadiah Peh Ip Ko untuk sang junjungan. Touw Ong berkenan untuk menerima Ip Ko. Peh Ip Ko mempersembahkan barang-barang yang dibawanya pada Kaisar. Kehadiran Ip Ko sempat terlihat oleh Souw Tat Kie, yang langsung tertarik pada ketampanannya. Makin dipandang dia semakin tertarik, membuatnya tak dapat menahan gejolak hati, keluar menemui Touw Ong yang sedang berbincang-bincang dengan Ip Ko.

"Ada apa manis?", tanya Touw Ong.

"Saya dengar Peh Ip Ko amat pandai main Khim (Siter), sudilah Tuanku menitahkannya memainkan sebuah lagu untuk kita", kata Souw Tat Kie. Touw Ong yang telah dipengaruhi siluman, langsung memenuhi permintaan Tat Kie, menyuruh Ip Ko mempertunjukkan permainan Khim-nya.

"Tuanku", kata Peh Ip Ko sambil berlutut di hadapan Souw Tat Kie.

"menurut apa yang hamba dengar dan ketahui, bila orang tua sedang sakit, sang anak tak berani makan --- Maka tidaklah patut hamba bersuka-ria dengan main Khim, sementara ayah hamba sudah tujuhtahun hidup dalam pembuangan".

"Mainkanlah Khim-mu Ip Ko, nanti akan kubebaskan ayahmu, hingga kalian dapat kembali ke negerimu", ujar Kaisar. Peh Ip Ko mulai memainkan Siternya sambil duduk di lantai. Amat indah irama yang dibawakannya, membuat Kaisar jadi sangat gembira dan memerintahkan pembantunya untuk mengadakan perjamuan. Souw Tat Kie yang amat tertarik akan ketampanan Ip Ko, berhasrat ingin merayu si pemuda untuk dijadikan kekasih gelapnya. Maka mulailah dia mengatur siasat agar tercapai maksudnya itu. Dia lantas mengusulkan pada Touw Ong untuk menahan Ip Ko dalam istana selama beberapa waktu, agar ia dapat belajar main Khim padanya. Bila telah mahir nantinya, akan dipertunjukkan untuk menghibur Kaisar. Touw Ong menganggap saran itu cukup baik, langsung menyetujuinya. Souw Tat Kie segera merayu Kaisar agar minum arak sebanyak mungkin, hingga dalam waktu yang tak terlalu lama, Touw Ong mabuk dan dipapah ke pembaringan. Kemudian Tat Kie memanggil Peh Ip Ko agar mengajarkannya memainkan Khim. Dua buah Siter disiapkan untuk keperluan itu. Peh Ip Ko tak dapat membantah, mulai mengajarkan teori, kemudian memainkan sebuah lagu berdasarkan teori yang dikemukakannya tadi. Tat Kie sama sekali tidak memperhatikan pelajaran yang diberikan, tapi berusaha menarik perhatian si pemuda dengan berbagai cara. Namun perhatian Ip Ko tercurah sepenuhnya dalam memberikan pelajaran, sama sekali tidak memperhatikan ulah Souw Tat Kie.

"Nyatanya tak mudah untuk belajar main Khim", kata Souw Tat Kie setelah berselang sesaat. Dia lalu menyuruh dayang untuk menyiapkan meja perjamuan, meletakkan kursi lain di sebelah tempat duduknya, yang disediakan untuk Ip Ko. Peh Ip Ko terperanjat mendapat perlakuan istimewa seperti itu,segera berlutut di hadapan Tat Kie seraya berkata .

"Tak patut saya duduk sejajar dengan Hong-houw (Permaisuri)".

"Bila dipandang dari hirarki kerajaan, kau memang tak dapat duduk sejajar denganku", ujar Souw Tat Kie.

"tapi dengan kau mengajarku main Siter, itu sudah merupakan hubungan antara guru dan murid. Maka apa salahnya bila seorang guru duduk di sebelah muridnya!?". Akan tetapi Peh Ip Ko tetap menolaknya. Tat Kie tak memaksanya lebih jauh.

"Mari kita teruskan pelajaran", katanya kemudian.

"tapi karena tempat dudukku lebih tinggi darimu, sulit bagiku untuk mempelajarinya. Sebaiknya kau duduk di sebelahku, agar lebih mudah bagiku untuk mengikuti pelajaran".

"Asal Hong-houw mengikutinya sungguh-sungguh, perlahan-lahan Sri Ratu tentu akan dapat memainkannya", Ip Ko menolak halus.

"Apa yang harus kukatakan pada Baginda besok seandainya malam ini aku tak dapat mempelajarinya? Duduklah kau di kursi yang lebih tinggi, aku akan duduk di pangkuanmu. Kau pegangi tanganku dan membimbing tanganku memainkan snar-snarnya. Dengan demikian aku tentu akan lebih cepat menguasai permainan Khim ini", ujar Souw Tat Kie. Pucat pasi wajah Peh Ip Ko ketika mendengar saran Tat Kie, berkata dengan suara gemetar .

"Maaf Hong-houw, bila hamba menuruti kehendak Hong-houw, diri hamba akan seperti binatang yang tak menghiraukan lagi etika dan moral --- Apa pula kata orang nanti bila mereka menyaksikan keadaan itu? Mereka tentu akan menuduh Hong- houw sudah menyeleweng, tak setia lagi pada Kaisar! Maka sebaiknya Sri Ratu mempelajari seperti sekarang, asal sabar dan tekun, pastilah Honghouw dapat memainkannya dengan baik". Merah padam wajah Tat Kie saking malu, dari malu berobah menjadi marah dan mulai timbul maksud untuk mencelakai Ip Ko. Maka dia pun tidak merayu lebih jauh, menyuruh Ip Ko meninggalkannya .... **** *Bagaimana hasil belajar main Khim-mu?", tanya Touw Ong pada keesokan harinya, setelah hilang mabuknya.

"Ip Ko bukan saja tidak sungguh-sungguh mengajari saya, malah telahmengeluarkan kata-kata yang tak sopan", sahut Tat Kie. Touw Ong jadi sangat marah, segera memerintahkan untuk memanggil Peh Ip Ko.

"Kenapa kau tidak sungguh-sungguh memberi pelajaran main Khim pada Hong-houw?", tanya Kaisar.

"Orang yang ingin mahir main Khim harus memusatkan seluruh perhatian dan murni perasaannya", Peh Ip Ko menerangkan. Touw Ong tak memiliki alasan untuk menghukum Ip Ko, maka kemudian dia menyuruhnya menyanyi. Ip Ko tak berani menentang perintah Kaisar, mulailah dia mengalunkan suara, membawakan lagu yang bernafaskan kesetiaan terhadap kerajaan. Souw Tat Kie yang ingin menyalurkan rasa kecewa dan dongkolnya pada si pemuda, menyarankan Kaisar .

"Saya dengar Peh Ip Ko memiliki seekor kera putih yang pandai menyanyi, sebaiknya Tuanku menyuruh binatang itu menyanyi". Touw Ong segera menyuruh Ip Ko mengambil kera itu. Ip Ko patuh, memberikan sebuah alat musik pada binatang peliharaannya. Sang kera segera memainkan alat musik itu, disertai alunan suaranya yang cukup merdu. Semua yang hadir kagum akan kepandaian monyet itu. Perasaan Souw Tat Kie sendiri ikut larut dalam alunan lagu tersebut, tanpa disadari mulai tampak bentuk aslinya. Biarpun perobahan yang terjadi pada diri Tat Kie itu hanya berlangsung sekejap dan tak dapat dilihat oleh mata manusia biasa, tapi tidak lolos dari penglihatan sang kera putih yang telah bertapa beribu-ribu tahun. Binatang itu segera melompat dan menerkam diri Tat Kie. Souw Tat Kie cepat menyingkir ke sisi. Touw Ong langsung menyabet kera putih itu dengan pedangnya, hingga tewas seketika. Perkembangan itu benar-benar berada di luar dugaan semua orang. Berarti Peh Ip Ko ingin membunuhku dengan menggunakan keranya", Souw Tat Kie mulai menghasut Touw Ong dengan nafas agakmemburu.

"syukurlah Tuanku dapat menolong saya". Touw Ong langsung memerintahkan untuk melempar Ip Ko ke liang ular.

"Kera hamba itu berasal dari hutan, mungkin dia ingin mencicipi buah- buahan di atas meja, hingga meninggalkan alat musiknya dan melompat untuk mengambil buah itu. Jadi bukannya ingin menerkam Hong-houw", Peh Ip Ko mengemukakan alasan.

"Cukup masuk di akal alasanmu itu", Kaisar membatalkan putusannya semula.

"Sekarang kau harus menyanyi lagi dengan diiringi Khim", Souw Tat Kie yang memerintah sekarang.

"seandainya kau benar-benar setia pada kerajaan dan Kaisar, aku pun tak ingin mempersoalkan peristiwa tadi".

"Tampaknya wanita ini selalu ingin mencari gara-gara denganku, maka biar bagaimana pun, sulitlah bagiku untuk lolos dari hukuman", kata hati Ip Ko.

"baiklah kugunakan kesempatan ini untuk memperingatkan Kaisar dengan nyanyianku, biarpun untuk itu aku harus binasa, namun akan mengangkat derajat keluargaku karena setia terhadap kerajaan". Dengan adanya pendapat itu, mulailah Ip Ko menyanyi sambil duduk di lantai. Dalam syair lagunya itu dia mengecam Tungku api (Po Lok; Pilar pembakar), liang ular, telaga arak dan rimba daging. Semula Kaisar tak menyadari akan adanya kecaman terselubung dalam nyanyian Peh Ip Ko, tapi setelah dijelaskan oleh Souw Tat Kie, Touw Ong pun jadi sangat gusar, segera memerintahkan menangkap Ip Ko. Peh Ip Ko melompat bangun, menghantam kepala Souw Tat Kie dengan Khim-nya. Souw Tat Kie sempat mengelak, kabur dia, tapi apa mau, terpeleset hingga jatuh terguling. Khim Peh Ip Ko hanya dapat menghajar meja hingga hancur. Dan dia langsung ditangkap pengawal istana. Touw Ong bermaksud melempar tubuh Ip Ko ke liang ular, namun Souw Tat Kie mencegahnya, menyatakan bahwa dia memiliki caralain. Ia menyuruh algojo untuk membaringkan tubuh Ip Ko di atas papan, kemudian memantek kaki dan tangannya, lalu mencincang tubuhnya. Touw Ong memerintahkan untuk membuang jenazah Ip Ko yang telah hancur itu ke liang ular, tapi lagi-lagi dicegah oleh Souw Tat Kie.

"Saya dengar, seorang yang bijak takkan mau memakan daging anaknya", kata Tat Kie.

"sebaiknya Tuanku menitahkan membuat bakso dari daging Ip Ko dan menyajikan hidangan istimewa itu pada Kie Chiang. Bila dia bersedia memakannya, berarti ramalannya tidak tepat lagi --- Tapi kalau dia menolak untuk memakannya, sebaiknya dia dibunuh juga, agar tidak menimbulkan mara-bahaya di kemudian hari". Seperti biasanya, Touw Ong langsung menyetujui usul Tat Kie. _ Chiu Bun Ong.In Tiong ChuLui Chin ChuTUJUH Selagi Kie Chiang (Chiu Bun Ong) main Khim, tiba-tiba dia mendengar suara aneh yang berasal dari snar alat musiknya, suara itu seperti orang yang sedang bertempur, saling bunuh. Chiu Bun Ong segera mengambil uang emas untuk meramalkan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Dari ramalan itu dia mengetahui kalau anak sulungnya telah mati secara menyedihkan. Namun begitu, dia berusaha sedapatnya untuk membendung kesedihan, agar sikap luarnya tetap terlihat tenang. Tak lama datang utusan Kaisar. Chiu Bun Ong segera berlutut di hadapan pejabat yang diutus Kaisar.

"Kemarin Baginda telah pergi berburu dan memperoleh banyak hasil", sang utusan memberitahukan.

"Kaisar teringat padamu yang telah ditahan selama 7 tahun di sini, berkenan untuk mengantarkan hidangan yang dibuat dari daging binatang buruannya, agar kau dapat ikut mencicipinya". Chiu Bun Ong mengucapkan terima kasih sambil tetap berlutut, lalu membuka tutup mangkok dan memakan tiga buah bakso yang terdapat di dalamnya dengan hati yang hancur; sebab dia tahu benar, daging yang ditelannya itu adalah daging anak kandungnya. Namun dari ramalannya, dia harus berbuat begitu, agar tidak sampai jatuh korban lebih banyak lagi. Selanjutnya dia memohon pada sang utusan untuk menyampaikan terima kasihnya pada Kaisar sambil berlutut ke arah Tiauw-ko, kota- raja. Utusan Touw Ong segera kembali ke kota-raja, melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Kaisar, yang kala itu sedang bermain catur dengan Hui Tiong dan Yu Hun.

"Dengan memakan daging anaknya, berarti ramalan Kie! Chiang tidak lagi tepat, maka aku bermaksud membebaskannya", kata Touw Ong seterimanya laporan tersebut.

"Hamba rasa ramalannya tidak meleset", kata Hui Tiong.

"hanya dia pura-pura tak tahu kalau itu daging anaknya, untuk meluputkan diri dari hukuman".Lebih jauh Hui Tiong menyatakan, bahwa pada saat itu wilayah Timur dan Selatan kerajaan sedang dilanda peperangan, maka bila membebaskan Kie Chiang berarti menambah pula bahaya bagi kerajaan". Atas saran orang kepercayaannya itu, Tiu Ong (Touw Ong) jadi membatalkan maksudnya semula. **** Kie Hoat (yang di kemudian hari lebih dikenal sebagai Bu Ong) amat sedih mendengar kematian saudara sulungnya, Peh Ip Ko. Jenderal Lam Kong Koa yang panas hatinya mendengar kekejaman Kaisar, menyarankan agar segera mengerahkan pasukan untuk menyerang kota-raja. Namun saran itu telah ditentang oleh Shan Gie Seng dengan mengemukakan alasan, bila mereka menempuh cara itu, Chiu Bun Ong yang masih ditahan Kaisar, akan segera dibunuh sebelum mereka sempat membebaskannya. Nasib buruk yang menimpa diri Peh Ip Ko adalah karena melanggar pesan ayahnya, bertindak atas kehendak sendiri. Shan Gie Seng menyarankan, untuk mendekati Hui Tiong dan Yu Hun, dengan memberi mereka hadiah, agar mereka bersedia membantu untuk membebaskan Chiu Bun Ong. Setelah Chiu Bun Ong bebas, barulah merundingkan langkah selanjutnya. Kie Hoat setuju dengan saran Shan Gie Seng. Shan Gie Seng mengutus dua orang perwiranya, Tay Tian dan Hong Thian membawa surat Gie berikut barang berharga untuk dihadiahkan kepada Hui Tiong dan Yu Hun. Ternyata pengaruh hadiah itu memang besar sekali. Ketika dalam perjamuan Touw Ong kebetulan menyebut diri Peh Ip Ko dan juga Chiu Bun Ong, Hui Tiong langsung menyatakan, bahwa dia telah mengirim orang kepercayaannya ke Yu Lie, untuk mengawasi ulah Kie Chiang. Berdasarkan pengamatan orang kepercayaannya itu, Kie Chiang sesungguhnya seorang yang berhati luhur dan setia pada Touw Ong. Biarpun dirinya telah dibuang ke Yu Lie, tapi dia bukan saja tidak berdendam pada Kaisar, malah setiap Ce-it dan Cap-go (tanggal 1 dan 15 menurut penanggalan Imlek), dia selalu memasang hio (dupa linting) untuk kesehatan Touw Ong. Yu Hun maklum kenapa sikap Hui Tiong terhadap Chiu Bun Ong mendadak berobah seratus delapanpuluh derajat. Maka dia pun mendukung ucapan temannya, bahkan kemudian menyarankan, di samping membebaskan Kie Chiang, hendaknya memberinya juga kekuasaan, agar dapat menumpas pemberontakan Ngok Sun dan Kiang Bun Hoan yang telah berlangsung tujuh tahun itu. Mendengar saran-saran kedua orang kepercayaannya, Touw Ong segera mengeluarkan perintah untuk membebaskan raja muda Barat . .... Dua buah genteng jatuh hancur, Chiu Bun Ong menganggap hal itu sebagai pertanda baginya, segera meramal prihal dirinya, yang segera diketahuinya apa yang akan terjadi.

"Hari ini Kaisar akan membebaskanku", ucapnya lirih. Dia lalu menyuruh para pembantunya untuk mengemasi barang- barangnya. Tak lama kemudian sampailah berita yang menyenangkan itu. Chiu Bun Ong segera berlutut ke arah Utara, sebagai pengungkapan rasa terima kasihnya pada Kaisar. Kemudian berangkatlah dia ke kota-raja. Di sepanjang jalan yang dilalui, penduduk kota kecil Yu Lie pada berlutut, sebagai ucapan selamat jalan. Mereka mengantarnya sampai sejauh 10 lie, seakan berat untuk pisah dengan raja muda yang mereka hormati dan cintai. Kalau saja Chiu Bun Ong tidak mencegah, mereka tentu akan mengantarnya lebih jauh lagi. Setiba Chiu Bun Ong di kota-raja, telah disambut oleh para menteri. Chiu Bun Ong mengucapkan terima kasih pada mereka, kemudian dia menuju ke istana untuk menemui Kaisar. Touw Ong berkenan menerimanya.

"Hamba takkan dapat melupakan budi Tuanku yang telah bermurah hati membebaskan hamba", kata Chiu Bun Ong sambil berlutut dihadapan Kaisar.

"semoga Tuanku dikaruniai usia panjang".

"Selama tujuh tahun kau diasingkan di Yu Lie, kau sama sekali tak pernah memperlihatkan sikap dendam, malah sering mendoakan agar aku berusia panjang, hingga aku jadi sadar atas kekeliruanku dalam mengambil keputusan tempo hari", sabda Touw Ong.
Penganugerahan Para Malaikat Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"sekarang akan kupulihkan kembali jabatanmu dan memberimu kekuasaan untuk menggerakkan pasukan guna menumpas para raja-muda yang berontak terhadap kerajaan Siang. Pusat pemerintahanmu tetap di See Kie. Tiap bulannya kau akan menerima sumbangan sebanyak 1000 pikul beras Akan kuselenggarakan pesta yang meriah di istana Liong Tek. untuk menyambut kembalimu dan kau boleh berpesiar sepuasnya di kota-raja selama tiga hari". *** Chiu Bun Ong menggunakan kesempatan yang diberikan Kaisar, untuk berpesiar di kota Tiauw-ko sepuasnya. Pada hari ke dua dia telah bertemu dengan Oey Hui Houw, yang langsung mengajaknya mampir ke tempat tinggalnya. Mereka berbincang-bincang sampai larut malam, kemudian Hui Houw menyuruh para pembantunya meninggalkan ruang, menasihati Chiu Bun Ong, agar sebaiknya segera meninggalkan kota-raja, sebab pendirian Touw Ong sering berobah. Bila Chiu Bun Ong berdiam agak lama di Tiauw-ko, dikuatirkan akan terjadi lagi hal-hal yang tak diinginkan atas dirinya. Chiu Bun Ong menganggap saran Oey Hui Houw memang cukup beralasan. Namun dia ragu untuk pergi begitu saja, sebab dia harus melewati lima kota, baru akan tiba di See Kie. Oey Hui Houw memberi petunjuk caranya melewati kelima kota tadi, yaitu dengan membawa Tong Hu Leng Kian' (Panah komando dari tembaga) miliknya, dengan begitu penguasa dari lima kota takkan berani menghalanginya melewati kota yang mereka jaga. Pada jam dua tengah malam, dia memerintahkan dua orang pembantu setianya membuka pintu kota Barat untuk memudahkan Chiu Bun Ong meninggalkan kota-raja. Atas saran Oey Hui Houw, Chiu Bun Ong berangkat dengan lebih dulu mengganti pakaian .....*** Hui Tiong amat terkejut ketika mendengar laporan dari pembantunya yang disuruh mengawasi gerak-gerik Chiu Bun Ong, bahwa raja muda Barat itu telah meninggalkan kota-raja tanpa pamit. Dia segera mengajak Yu Hun menghadap Touw Ong. Kaisar amat menyesalkan mereka, justeru merekalah yang mengusulkan untuk membebaskan Chiu Bun Ong. Dengan berangkatnya tanpa pamit, berarti dia telah melanggar undangundang kerajaan, dapat dianggap sebagai buronan. Hui Tiong dan Yu Hun memohon maaf atas kekeliruan mereka, menyarankan pada Kaisar, agar memerintahkan In Po Pai dan Lui Kay untuk melakukan pengejaran dengan membawa 3000 prajurit. Touw Ong menyetujui saran itu. In Po Pai dan Lui Kay segera melaksanakan perintah. Melalui ramalannya, Chiu Bun Ong mengetahui kalau dirinya dikejar oleh pasukan Kaisar, maka segera memacu kudanya. Namun In Po Pai dan Lui Kay beserta pasukannya ternyata mampu bergerak cepat, rupanya tak lama lagi diri Chiu Bun Ong! akan terkejar dan dapat mereka tawan ..... *** In Tiong Cu yang sedang duduk seorang diri, tiba-tiba merasa tak enak perasaannya. Dengan melalui kesaktiannya, dia mengetahui kalau Chiu Bun Ong sedang berada dalam bahaya. Dia segera menyuruh memanggil Lui Chin Cu, muridnya. Sang murid datang menghadap, memberi hormat seraya, bertanya.

"Ada titah apa Suhu?".

"Kie Chiang, ayah angkatmu, sedang menghadapi kesulitan di dekat kota Leng Tong-koan, segeralah kau berangkat ke sana untuk menolongnya --- Tapi sebelum ke Leng Tong-koan, hendaknya kau pergi dulu ke Houw-jie-gay (Lembah anak harimau) untuk mengambil sebuah senjata, nanti akan kuturunkan kau ilmu menggunakan senjata itu".

"Baik Suhu". Lui Chin Cu cepat-cepat meninggalkan goa tempat bersemayam gurunya, pergi ke lembah yang dimaksud untuk mencari senjataseperti yang diperintahkan oleh gurunya. Namun dia tidak menemukan sesuatu di lembah itu. Lui Chin Cu bermaksud kembali ke tempat gurunya untuk meminta keterangan yang lebih jelas, tapi tiba-tiba dia mengendus bau yang amat harum serta mendengar suara gemerciknya air. Dia amat terpesona menyaksikan keindahan panorama di sekitar tempat itu. Tiba-tiba melihat buah Sing (sejenis kenari) yang ranum di antara daun yang hijau. Chin Cu segera naik ke pohon itu dan memetik dua buah Sing yang telah masak, mencicipi sebuah, terasa manis lezat. Buah satunya yang semula hendak dipersembahkan untuk gurunya, tanpa terasa telah dimakannya juga. Kemudian dia meneruskan pencarian senjata yang dimaksud sang guru .... Mendadak terdengar suara ledakan, disusul di bahu kirinya tumbuh sayap. Lui Chin Cu berseru kaget, bermaksud mencabutnya. Namun biar bagaimana dia mengerahkan tenaga, tak juga berhasil mencabutnya. Lalu terdengar lagi suara yang keras, kini di bahu kanannya telah pula muncul sayap, wajahnya berobah bentuknya, mulutnya berupa paruh burung, kulitnya berobah biru dan merah rambutnya! Lui Chin Cu terkulai lemah melihat perobahan bentuk dirinya. Kala itu datang Kim Shia, murid In Tiong Cu lainnya, yang disuruh memanggil Lui Chin Cu.

"Kau dipanggil Suhu", ujar Kim Shia begitu bertemu Chin Cu. Lui Chin Cu terpaksa bangkit, pergi menghadap gurunya.

"Sungguh luar biasa!", kata In Tiong Cu ketika melihat perobahan diri muridnya.

"mari ikut aku!". In Tiong Cu mengajak muridnya ke taman belakang, mengeluarkan sebatang 'Kim Kun' (Toya atau pentungan emas), memberikan pada muridnya dan mulai mengajarkan cara menggunakannya. Lui Chin Cu ternyata sangat cerdas, sekali diajari langsung faham. Kemudian In Tiong Cu menuliskan huruf 'Hong' (Angin) disayap kiri sang murid, sedang di sayap kanan Chin Cu diterakan huruf 'Lui' (Gledek), lantas membaca mantera. Segera terjadi keajaiban, tubuh Lui Chin Cu langsung dapat melayangdan meluncur turun sesuka hatinya. Sekarang berangkatlah kau ke perbatasan kota Leng Tong-koan untuk menolong ayahmu melintasi lima kota, tapi jangan kau ikut ke See Kie setelah selesai menjalankan tugasmu, cepatlah kembali ke mari. Ingat baik-baik, kau tak boleh membunuh seorang pun prajurit dalam usaha menolong ayahmu". Lui Chin Cu pamit pada gurunya, terbang menuju ke perbatasan Leng Tong-koan. Dia turun di sebuah bukit, dari kejauhan melihat ada orang yang tengah memacu kudanya.

"Mungkin dia ayahku", Lui Chin Cu menduga-duga, lalu berseru.

"Apakah kau raja muda Barat!?". Chiu Bun Ong mengangkat muka dengan sikap terperanjat, terlihat olehnya seorang yang berwajah menakutkan. Tapi yang membuat sang raja muda agak tenang, manusia aneh itu dapat juga bicara, jadi dia pasti bukan siluman! Dia lantas menghampirinya seraya bertanya.

"Bagaimana Kiat-su bisa kenal aku?". (Kiat-su = Orang gagah). Lui Chin Cu segera berlutut seraya berkata.

"Saya adalah anak yang ayah pungut di gunung Yen-san, bernama Lui Chin Cu".

"Anakku telah 7 tahun diangkat murid oleh In Tiong Cu". kata Chiu Bun Ong yang ragu melihat keadaan fisik Lui Chin Cu,"dia berada di Chong-lam-san".

"Saya justeru telah diperintah Suhu untuk membantu ayah melintasi 5 kota dan menghalau para pengejar". Lui Chin Cu juga menceritakan kenapa keadaan dirinya jadi begitu aneh.

"Hendaknya dalam menolongku jangan sampai kau membunuh orang, anakku", pesan Chiu Bun Ong.

"agar tidak menambah dosaku".

"Guru saya pun berpesan begitu", ucap Lui Chin Cu. Dia segera terbang menyongsong pasukan kerajaan yang kala itu tengah mendekati bukit. Lui Chin Cu turun di hadapan pasukan pengejar sambil melintangkan tongkat emasnya seraya menghardik.

"Jangan kalian maju lebih jauh bila masih sayang nyawa kalian".Melihatnya mendadak turun dari langit dan bertampang aneh, pasukan pengejar jadi ketakutan, segera lari lintang pukang, sebagian dari mereka melaporkan hal itu pada In Po Pai dan Lui Kay yang berada di barisan belakang.

"Kenapa kalian pada lari?", tanya In Po Pai.

"Ada Malaikat yang bertampang seram menghalangi jalan maju kami", menerangkan salah seorang prajurit dengan sikap ketakutan. Lui Kay dan In Po Pai serta merta memacu kuda mereka. Begitu bertemu dengan Lui Chin Cu, In Po Pai sama sekali tak gentar, malah menghardik.

"Siapa kau? Sungguh besar nyalimu, berani menghalangi gerak maju pasukan kerajaan!".

"Aku Lui Chin Cu, anak ke 100 dari See Pek Houw (raja muda Barat)", sahut Lui Chin Cu dengan suara lantang.

"aku disuruh oleh guruku untuk menolong ayahku dan mengantarkan beliau pulang ke negeri asal. Sebaiknya kalian jangan meneruskan pengejaran, agar tak sampai terluka oleh kemplangan toyaku!". In Po Pai dan Lui Kay bukannya menuruti anjuran Lui Chin Cu, malah jadi sangat marah, langsung menyerang Lui Chin Cu dengan senjata masing-masing. Lui Chin Cu tak mau melayani mereka bertanding, tak berani melanggar pesan guru maupun ayah angkatnya yang melarangnya membunuh siapapun. Dia segera terbang dan turun di atas wadas lereng gunung yang cukup jauh jaraknya dengan kedua lawannya.

"Aku enggan bertanding dengan kalian", katanya.

"bila kepala kalian lebih keras dari batu gunung ini baru mau aku melayani kalian!". Begitu selesai berkata, Lui Chin Cu menggerakkan tongkat emasnya, menghantam batu wadas hingga hancur berkepingkeping. Menyaksikan itu, ciutlah nyali In Po Pai dan Lui Kay, mengajak pasukannya kembali ke kota-raja .... Lui Chin Cu mendatangi ayahnya, menceritakan apa yang baru terjadi. Berseri wajah Chiu Bun Ong mendengar penuturan anak angkatnya.

"Akan saya gendong ayah melintasi lima kota", ujar Lui Chin Cu kemudian. Chiu Bun Ong menyetujui usul itu. Lui Chin Cu terbang sambilmenggendong ayah angkatnya. Chiu Bun Ong memegang bahu Lui Chin Cu erat-erat sambil memejamkan mata, membuatnya hanya mendengar desiran angin dan bunyi halilintar. Beberapa saat kemudian, terasa Lui Chin Cu menukik turun, disusul dengan terdengar suaranya.

"Kita telah melintasi lima kota, ayah". Chiu Bun Ong membuka mata dan betapa herannya dia ketika mengetahui telah berada di perbatasan negerinya. Sesuai dengan pesan gurunya, Lui Chin Cu segera pamit pada ayah angkatnya. Sebenarnya berat bagi Chiu Bun Ong untuk pisah lagi dengan anak angkatnya, ingin dia mengajak Lui Chin Cu ke istananya, namun sang anak tak berani melanggar pesan gurunya. Ayah dan anak terpaksa berpisah dengan perasaan sedih. Chiu Bun Ong meneruskan perjalanan seorang diri, dia tiba di rumah penginapan menjelang gelap cuaca. Bermalamlah dia di situ. Keesokan harinya baru Chiu Bun Ong menyadari kalau dirinya tidak membawa uang, maka dia bermaksud meninggalkan rumah penginapan secara diam-diam, tapi sempat diketahui oleh pelayan penginapan tersebut, yang langsung mengejarnya dan memaksanya untuk membayar sewa penginapan. Tak lama muncul pula pemilik rumah penginapan. Chiu Bun Ong terpaksa memberitahukan identitasnya. Sun Kiat, pemilik rumah penginapan itu, segera berlutut, memohon maaf atas sikapnya sebelumnya. Chiu Bun Ong tidak menyalahkannya, menganggapnya wajar kalau dia harus menagih biaya menginap. Kemudian dia mengemukakan maksudnya untuk meminjam kuda, yang akan dipergunakan sebagai tunggangannya dalam meneruskan perjalanan ke See Kie. Namun Sun Kiat tak memiliki kuda, dia hanya dapat menyediakan keledai yang biasa digunakan untuk menggiling terigu. Chiu Bun Ong melanjutkan perjalanan dengan menunggang keledai dan Sun Kiat mengikutinya dengan berjalan kaki Hari itu, ibu Chiu Bun Ong, Tay Kiang, telah mendengar tiga kali hembusan angin keras yang disertai suara yang aneh. Ia segeramenitah menyediakan meja sembahyang, menyalakan lilin dan memasang hio, kemudian meramal dengan uang emas. Dari ramalannya itu ia mengetahui, bahwa tak lama lagi puteranya akan kembali. Betapa suka-citanya dia. Ia segera menitah para menteri dan panglima serta cucucucunya ke luar kota untuk menyambut kembalinya Chiu Bun Ong. Seluruh penduduk See Kie bersuka-ria, menyediakan meja sembahyang di luar rumah masing-masing, bersyukur akan kembalinya pemimpin mereka. Kie Hoat, putera kedua Chiu Bun Ong, berlutut di tepi jalan, yang diikuti lainnya dalam menyambut kembalinya Chiu Bun Ong. Chiu Bun Ong diminta menukar pakaian dengan 'pakaian kebesaran yang sengaja mereka bawa, menyilakannya duduk di joli. Tapi atas permintaan rakyat yang ingin melihatnya, Chiu Bun Ong lantas menunggang kuda. Tiba-tiba raja muda Barat ini teringat akan Peh Ip Ko yang tak dapat menyambut kembalinya karena telah mati secara tragis, membuat Chiu Bun Ong sedih dan merasa mual, mendadak memuntahkan bakso yang terbuat dari daging anaknya. Bakso itu bukan saja tak hancur di dalam perut Chiu Bun Ong malah ketika jatuh ke tanah, berobah menjadi kelinci, yang langsung lari ke Barat. Bakso ke dua dan ke tiga pun menjelma menjadi kelinci ketika menyentuh tanah, berlari ke arah yang sama. Para pembantu Chiu Bun Ong segera menolong pemimpin mereka turun dari kuda, memindahkannya duduk di joli kerajaan dan melanjutkan perjalanan. Setelah melewati saat-saat yang gelap selama tujuh tahun, akhirnya Chiu Bun Ong kembali ke negerinya dengan mendapat sambutan hangat dari para pembantunya maupun rakyat See Kie. Tay Kiang menyiapkan perjamuan untuk anaknya. Shan Gie Seng memberitahukan Chiu Bun Ong, bahwa dengan kacaunya keadaan di dalam negeri dinasti Siang, telah membuat banyak raja muda yang mengangkat Chiu Bun Ong sebagai pimpinan mereka. Menurutnya, tak lama lagi kota-raja akan jatuh ke tanganRaja lain. Sedangkan Lam Kong Koa menyarankan agar melakukan pembalasan atas kematian Peh Ip Ko, sekaligus menggulingkan Touw Ong dari Tahta, mengangkat Kaisar baru yang bijaksana. Chiu Bun Ong dapat memaklumi perasaan para pembantunya. Namun dia tak setuju menggunakan cara kekerasan. Walau Kaisar yang sekarang sering bertindak kejam, tapi sebagai orang! yang setia pada kerajaan, sulit baginya untuk menentang apa lagi mengangkat senjata terhadap junjungannya. Dia mengharapkan ada raja muda lain yang dapat mengakhiri kekuasaan Touw ?ng ....*** Chiu Bun Ong mengeluarkan maklumat, yang isinya menyatakan bermaksud membuat sebuah 'Leng Tay' (Menara Pengamat) di bagian Barat kota See Kie. Fungsi menara itu adalah untuk mengamati peredaran benda-benda di angkasa dan memecahkan rahasia yang terkandung di dalamnya. Banyak penduduk See Kie secara spontan bersedia menyumbangkan tenaganya untuk mengerjakan menara tersebut. Biarpun rakyat bersedia membantu secara suka-rela, tapi Chiu Bun Ong menghargai tenaga mereka, memberi bayaran yang layak, membuat mereka tambah bersemangat dalam melaksanakan pekerjaan. Maka tidaklah mengherankan menara itu dapat dirampungkan dalam waktu sebulan. Chiu Bun Ong amat bersuka-cita ketika berkunjung ke sana, berkeliling ke seputarnya dan malam harinya menginap di menara. Dalam tidurnya Chiu Bun Ong telah bermimpi ada Hui Him (Biruang Terbang) menerobos masuk ke balik kelambu, bersamaan terdengar suara letusan yg disertai cahaya menyilaukan di belakang 'Leng Tay'. Sang raja muda Barat berseru kaget dan terjaga dari tidurnya. Untuk sesaat Chiu Bun Ong duduk termenung di tepi pembaringan, tak tahu makna dari mimpinya itu ... Keesokan harinya raja muda Barat menceritakan mimpinya pada Shan Gie Seng. Sang menteri langsung mengucapkan selamat pada Chiu Bun Ong. Sebab menurut penafsirannya, tak lama lagi Chiu Bun Ong akan memperoleh seorang menteri yang bijaksana lagi sakti.DELAPAN Selama bersembunyi di Phoan-kie, Kiang Chu Gie memanfaatkan waktu luangnya dengan membaca buku pengetahuan atau mengail ikan di bawah pohon Yang-liu di tepi sungai. Pada suatu hari, selagi dia mengangkat kailnya, kebetulan lewat seorang pencari kayu bakar bernama Bu Kie, yang jadi sangat heran menyaksikan mata-pancing yang dipergunakan oleh Chu Gie. Bu Kie segera menghentikan langkah, meletakkan pikulannya dan bertanya pada Kiang Chu Gie.

"Kenapa pak tua menggunakan mata- kail yang lurus, bukannya melengkung?".

"Aku selalu mengutamakan yang lurus, tak ingin memperoleh sesuatu dengan yang bengkok", sahut Chu Gie.

"yang ingin kukail bukanlah ikan, tapi jabatan penting dalam kerajaan!".

"Jangan kau berkhayal yang bukan-bukan pak tua", kata Bu Kie dengan nada sinis.

"orang setuamu tak mungkin jadi menteri, apa lagi raja-muda'.

"Kau tak percaya?", Kiang Chu Gie menatap tajam si pencari kayu bakar.

"Tampangmu jelek, penuh keriput lagi loyo!". Bu kie menggelengkan kepala.

"Wajahmu sendiri tidak lebih baik dariku", kata Chu Gie.

"Apa kau bilang?", Bu Kie melotot.

"Maksudku, sorot wajahmu suram", ucapan maupun sikap Kiang Chu Gie tetap sabar.

"Mata kirimu merah, sedang mata kananmu biru kehijauan, itu berarti hari ini kau akan memukul orang sampai mati", ujarnya lebih lanjut.

"Kalau saja aku tak melihatmu telah tua, akan kuhajar kau!". Bu Kie memikul kembali kayu bakarnya dengan sikap mendongkol, merasa dirinya telah dipermainkan Chu Gie, melanjutkan perjalanannya. Tatkala dia akan memasuki kota See Kie melalui pintu Selatan, bersamaan waktunya dengan itu, Chiu Bun Ong tengah menuju ke 'Leng Tay'. Para pengiring raja muda Barat menyuruh rakyat agar menyisi. Keadaan itu membuat si pencari kayu jadi agak gugup menyisi, tanpa disengaja pikulannya telah menghantam kepala seorang penjagapintu kota hingga jatuh terjungkal dan mati. Bu Kie bengong menyaksikan kejadian yang benar-benar berada di luar dugaannya. Dia segera ditangkap dan dihadapkan pada Chiu Bun Ong. Sang Raja muda Barat menggaris sebuah lingkaran di tanah dan di tengah-tengahnya ditancapi sebuah tiang. Bu Kie dihukum dengan disuruh berdiri di tengah lingkaran itu. Demikianlah sistem hukuman di daerah kekuasaan Chiu Bun Ong, setiap penjahat atau orang yang bersalah akan ditahan di tempat terbuka, sebab di See Kie tak terdapat penjara. Tiada seorang tahanan pun yang berani kabur dari lingkaran tempatnya ditahan, sebab melalui ramalannya, Chiu Bun Ong akan dapat menangkap kembali buronan itu. Selama tiga hari Bu Kie menangis di tempat tahanan istimewa tersebut, terkenang pada ibunya yang telah tua dan tiada yang memberinya makan. Kebetulan Shan Gie Seng lewat di situ, kasihan menyaksikan keadaan si pencari kayu bakar, sebab dia bukannya sengaja membunuh penjaga pintu kota. Maka kemudian Gie Seng menyarankan kepada Chiu Bun Ong, agar memperkenankan Bu Kie pulang, untuk menyediakan segala keperluan hidup ibunya. Setelah itu baru kembali lagi ke dalam lingkaran untuk menjalankan sisa hukumannya. Shiu Bun Ong menyetujui usul itu. Bu Kie mengucapkan terima kasih pada Shan Gie Seng, berlari pulang ke rumahnya. Didapati ibunya sedang menyender di muka pintu, menanti kembalinya. Bu Kie menuturkan apa yang dialami pada ibunya. Sang ibu menyarankan agar Bu Kie meminta tolong pada pengail tua yang pandai meramal itu. Bu Kie patuh, menemui Kiang Chu Gie. Setiba di tepi sungai, terlihat Kiang Chu Gie yang sedang mengail sambil bersenandung.

"Pak tua", panggil Bu Kie segera.Kiang Chu Gie berpaling .

"Oh kau .... Tepat tidak ramalanku?". Bu Kie langsung berlutut di hadapan Chu Gie, memohon maaf atas kekasaran sikapnya tempo hari, kemudian mengungkapkan maksudnya untuk meminta tolong pada kakek sakti itu.

"Aku tak keberatan menolongmu, tapi kau harus jadi muridku", kata Chu Gie. Bu Kie langsung menyetujuinya, memanggilnya 'Suhu'.

"Sekarang pulanglah kau, galilah sebuah lobang sepanjang ukuran tubuhmu dan dalamnya 4 elo di muka pembaringanmu. Tidurlah kau di dalam liang itu, minta ibumu meletakkan pelita di dekat kepala dan kakimu, menaburi tubuhmu dengan dua genggam beras. Begitu kau bangun pada keesokan harinya, segalanya pasti beres, kau tak usah khawatir ditangkap lagi". Bu Kie mengucapkan terima kasih, segera pulang dengan wajah berseri, menyampaikan pesan Kiang Chu Gie pada ibunya. Malam itu Kiang Chu Gie berdiri di muka meja sembahyang dengan membiarkan rambutnya terurai lepas, di tangannya memegang sebilah pedang, sedang mulutnya berkomat-kamit membaca mantera, agar bintang Bu Kie tidak tampak di angkasa .... Keesokan harinya Bu Kie menemui Chu Gie, memberitahukan perasaannya jauh lebih tenang dari sebelumnya.

"Bagus, kau memang tak perlu mencemaskan apa-apa lagi", kata Chu Gie sambil tersenyum.

"Apa yang sebaiknya saya lakukan sekarang, Suhu?", tanya Bu Kie.

"Akibat ulah Touw Ong yang kejam, telah membuat keadaan di kerajaan Siang jadi kacau-balau, di mana-mana terjadi pemberontakan", ujar Chu Gie.

"di dalam keadaan seperti itu, sebaiknya kau belajar silat dan ilmu peperangan".

"Senang sekali bila saya dapat mempelajari segalanya itu, Suhu", kata Bu Kie segera.

"Akan kuajari kau nanti". Mulai saat itu Chu Gie mengajarkan ilmu silat dan siasat perang pada muridnya. Di lain pihak, Shan Gie Seng tak melihat Bu Kie kembali lagi untuk menjalankan sisa hukumannya. Dia segera melaporkan hal itu pada Chiu Bun Ong.Chiu Bun Ong langsung meramalkan diri si pencari kayu bakar itu. Hasilnya menyatakan, bahwa Bu Kie yang takut menjalankan sisa hukumannya, telah membunuh diri di telaga yang dalam .... *** Chiu Bun Ong yang sedang luang waktunya, jadi teringat akan mimpinya bertemu dengan Biruang terbang di menara, hingga timbul hasratnya untuk berpesiar ke daerah Barat. disamping untuk menikmati keindahan panorama di musim semi, juga ingin mencari orang-orang pandai di tempat sunyi. Chiu Bun Ong berangkat dengan diiringi oleh Lam Kong Koa, Shan Gie Seng dan lain-lainnya. Suasana di luar kota yang sejuk-tenang memang jauh beda dengan kehidupan di dalam kota yang selalu penuh diisi oleh kesibukan. Chiu Bun Ong dan para pembantunya memperhatikan rakyatnya yang berlalu-lalang dengan wajah cerah. Tak lama rombongan raja muda itu telah bertemu dengan serombongan pemancing ikan, yang berjalan sambil mendendangkan sebuah lagu. Mendengar syair lagu itu, Chiu Bun Ong tahu kalau penciptanya tentulah orang yang pandai. Dia segera memerintahkan Shan Gie Seng untuk menanyakan siapa pencipta lagu tersebut!? Didapat penjelasan dari pemancing ikan, bahwa mereka sering mendengar lagu dari seorang pengail tua yang biasa memancing di tepi sungai di Phoan-kie. Dengan seringnya mendengar lagu tersebut, mereka jadi dapat membawakannya juga. Chiu Bun Ong melanjutkan pesiarnya. Tak lama tampak mendatangi seorang pencari kayu bakar, yang memikul hasil yang diperolehnya sambil bersenandung. Shan Gie Seng seakan pernah melihat wajah orang itu, yang ketika ditegaskan, ternyata Bu Kie. Dia segera memerintahkan seorang pembantunya yang bernama Shin Chia untuk menangkapnya. Shin Chia segera melarikan kudanya menghampiri Bu Kie. Bu Kie yang tak sempat menyingkir, segera meletakkan pikulannya, berlutut. Shin Chia langsung membawanya ke hadapan Chiu Bun Ong."Kau benar-benar manusia licik dan tak boleh dikasihani!", Chiu Bun Ong marah, sekaligus merasa malu karena ramalannya tak tepat.

"Kenapa kau tak kembali menjalankan sisa hukumannya?"

"Siao-jin bukannya sengaja membunuh orang, sedang di rumah masih ada ibu yang telah lanjut usianya, yang menggantungkan hidup pada Siao-jin", Bu Kie menerangkan dengan nada sedih, maka kemudian hamba meminta tolong pada seorang kakek yang sering mengail di tepi sungai. Pak tua itu menyuruh hamba menggali lobang di depan ranjang hamba dan menyuruh hamba tidur di dalamnya, dengan begitu diri hamba akan dapat lolos dari sisa hukuman".

"Siapa nama kakek itu?", tanya Chiu Bun Ong.

"di mana tinggalnya?".

"Beliau she Kiang bernama Siang, alias Kiang Chu Gie, digelari orang sebagai Hui Him dan menetap di Phoan-kie". Begitu mendengar orang bergelar Hui Him (Biruang Terbang), Shan Gie Seng segera mengucapkan selamat pada Chiu Bun Ong, lalu mengusulkan untuk membebaskan Bu Kie dari sisa hukuman dan menyuruhnya mengantarkan rombongan Chiu Bun Ong ke tempat orang pandai itu. Bu Kie mengucapkan terima kasih, mengantar mereka ke tepi sungai, tempat gurunya sering mengail ikan. Chiu Bun Ong dan lain-lainnya mengikutinya. Namun Kiang Chu Gie ternyata tak ada di situ.

"Di mana rumahnya?", tanya Chiu Bun Ong.

"Di dalam rimba", Bu Kie menerangkan.

"Mari kita ke sana!", ajak Chiu Bun Ong. Bu Kie berjalan di muka, masuk ke rimba. Chiu Bun Ong beserta rombongan mengikuti dengan berjalan kaki. Tak lama tibalah mereka di rumah kecil mirip gubuk, kediaman sang guru. Shan Gie Seng mengetuk pintu perlahan. Tak lama pintu dibuka, keluar seorang anak kecil.

"Kiang Loosu (Guru Kiang) ada?", tanya Chiu Bun Ong dengan wajah berseri.

"Beliau baru saja pergi dengan para sahabatnya", menerangkan anak itu.

"Bila dia kembali?".

"Kadang cepat, tapi terkadang baru pulang setelah empat atau lima hari", si anak menerangkan."Mengundang orang pandai harus dengan upacara dan hati yang tulus", sela Shan Gie Seng Dengan perasaan berat Chiu Bun Ong meninggalkan tempat itu, kembali ke See Kie. Untuk menunjukkan kesungguhan hatinya, Chiu Bun Ong memerintahkan para pejabat tinggi untuk Cia-cai (tidak makan sesuatu yang bernyawa) selama tiga hari. Pada hari keempatnya, Chiu Bun Ong mengajak para pejabat sipil dan militer ke Phoan-kie untuk menemui Kiang Chu Gie. Setiba di muka rimba, Chiu Bun Ong meminta para pembantunya menanti di situ, sedang dia bersama Shan Gie Seng masuk ke dalam rimba. Tak lama terlihat Kiang Chu Gie yang sedang mengail di tepi sungai. Ketika mendengar suara langkah, Chu Ge (Chu Gie) berpaling, begitu melihat Chiu Bun Ong yang datang, dia segera meletakkan kail dan menyambut raja muda Barat itu sambil berlutut.

"Maaf hamba tak menyambut kehadiran Tuanku".

"Lama sudah aku mendengar kemasyhuran nama bapak dan betapa senang hatiku dapat jumpa dengan pak guru sekarang ini!", ujar Chiu Bun Ong. Chiu Bun Ong memerintahkan Shan Gie Seng membantu Kiang Chu Gie bangkit. Chu Gie mengundang Chiu Bun Ong dan Gie Seng singgah di rumah gubuknya. Setelah berbasa-basi sejenak, Chiu Bun Ong mengungkapkan maksud yang sesungguhnya, meminta Kiang Chu Gie untuk membantunya menjalankan roda pemerintahan. Chu Gie menerimanya. Setelah mengemasi barang, Chu Gie disilakan naik kereta yang disediakan. Chiu Bun Ong sendiri yang menarik kereta itu sejauh 808 langkah.

"Dinasti Chiu akan berjaya selama 808 tahun", kata Chu Gie setelah sang raja muda Barat berhenti menarik kereta karena kecapean.

"Bila demikian, akan kutarik lebih jauh", kata Chiu Bun Ong.

"Tak ada gunanya Tuanku", Chu Gie menggelengkan kepala,"semuanya itu sudah takdir". Beberapa waktu kemudian tibalah mereka di See Kie. Rakyat menyambut gembira Chiu Bun Ong telah berhasil mengundang orang pandai. Setiba di istana, Kiang Chu Gie diangkat sebagai Perdana Menteri dan pada saat itu telah 80 tahun usianya. Sedang Bu Kie, pencari kayu bakar yang jadi murid Chu Gie, diangkat pula sebagai perwira. Sejak Kiang Chu Gie menjadi Perdana Menteri, banyak peraturan yang dikeluarkan, semuanya demi meningkatkan kemakmuran hidup rakyat See Kie. *** Diangkatnya Kiang Chu Gie sebagai Perdana Menteri oleh Chiu Bun Ong, segera saja tersiar luas. Han Yong, panglima di kota perbatasan Si-sui-koan, melaporkan hal itu ke kota-raja. Pi Kan amat terkejut menerima berita tersebut, sebab dia tahu, bahwa Kiang Chu Gie selain pandai, juga besar ambisinya. Dia lalu melaporkannya pada Touw Ong. Kaisar menyatakan akan memusyawarahkan hal itu dengan menteri lainnya. Sementara itu datang pula Chong Houw Houw, melaporkan telah rampungnya pembangunan 'Menara Menjangan' yang telah dikerjakan selama 2 tahun 4 bulan. Touw Ong memberitahukan Houw Houw mengenai diangkatnya Kiang Chu Gie sebagai Perdana Menteri Chiu Bun Ong.

"Tuanku tak usah memusingkan hal itu, sebab, baik Kie Chiang maupun Kiang Chu Gie bagaikan kodok dalam sumur, hanya besar hasratnya tapi tak memiliki kemampuan untuk mewujudkan apa yang mereka cita-citakan". Touw Ong sependapat dengan Houw Houw, tak mengacuhkan lagi soal itu. Dia mengajak Souw Tat Kie untuk berkunjung ke Menara yang baru selesai dibangun. Betapa suka-citanya Touw Ong ketika menyaksikan keindahan Lu-tay tersebut, segalanya dibuat dengan bahan terbaik, segeramemerintahkan menyiapkan hidangan dan minuman untuk menjamu Chong Houw Houw dan Pi Kan. Chong Houw Houw dan Pi Kan meninggalkan ruang perjamuan setelah mengeringkan beberapa cawan arak. Maka di 'Menara Menjangan hanya tinggal Touw Ong yang didampingi Souw Tat Kie. Saking gembiranya, Touw Ong makan dengan lahapnya dan cukup banyak pula arak yang ditenggaknya.

"Setelah menara ini selesai dibangun, bilakah para Dewa akan bertamasya ke mari?", tanya Touw Ong.

"Para Dewa adalah makhluk suci, mereka baru akan datang pada malam tanggal 15, yaitu pada saat bulan sedang purnama", sahut Tat Kie.

"Sekarang tanggal 10, jadi kurang lima hari", ucap Touw Ong.

"Benar Tuanku", Souw Tat Kie mengangguk. (Penanggalan Tionghoa berdasarkan peredaran bulan, setiap Cap-go (tanggal 15), bulan akan purnama).

"Betapa bahagiaku dapat bertemu dengan para Dewa, apa lagi bisa berbincang-cincang dengan mereka", amat berseri wajah Touw Ong.

"Bersabarlah Paduka beberapa hari lagi", Souw Tat Kie menyender manja di dada Touw Ong. Tambah senanglah perasaan Kaisar .... Malam harinya, Souw Tat Kie menanti sampai Touw Ong tidur nyenyak, dia segera merobah dirinya ke bentuk aslinya, melayang ke luar kota melalui pintu Selatan kota-raja, datang ke makam 'HianWan'. Souw Tat Kie meminta para siluman Rase (Rubah) yang berdiam di kuburan tua itu, untuk mengubah dirinya sebagai Dewa dan Dewi, datang ke Menara Menjangan' pada tanggal 15 malam. Para siluman Rase menyambut baik permintaan Tat Kie. *** Pada tanggal 15 malam, Kaisar menitah menyediakan 39 meja untuk menjamu para 'Dewa' dan 'Dewi' yang akan berpesiar ke 'Menara Menjangan'. Pi kan sebagai menteri yang paling kuat menenggak minuman keras, ditugaskan oleh Touw Ong untuk melayani mereka. Menjelang jam 1 tengah malam, gumpalan awan menutupi rembulanyang sedang purnama. Tak lama terdengar suara orang yang berbincang-bincang, disusul dengan turunnya para Dewa dan Dewi tetiron. Setelah para 'Dewa' berada di Menara, bulan baru muncul kembali dari balik awan. Touw Ong menyambut para tamunya dengan sikap hormat, kemudian menitah Pi Kan untuk menemani mereka makan dan minum. Pi Kan menghidangkan para tamunya masing-masing secawan arak, sedang dia sendiri turut minum juga. Arak di istana Touw Ong ternyata cukup keras, setelah meminum beberapa cawan, para tamu istimewa itu mulai mabuk, membuat mereka sulit mempertahankan penyamarannya lebih jauh, ekor Rase mulai terlihat. Pi Kan sempat melihat ekor-ekor Rase itu, yang membuatnya sadar, bahwa para tamunya sesungguhnya bukan 'Dewa' atau 'Dewi', tapi siluman Rase! Souw Tat Kie menyaksikan pula kejadian itu, segera meminta Pi Kan meninggalkan tempat perjamuan. Tak tenang perasaan Pi Kan ketika meninggalkan istana, berpapasan dengan Oey Hui Houw yang sedang meronda bersama pasukannya sambil membawa lentera. Pi Kan segera menceritakan apa yang baru dialaminya. Oey Hui Houw meminta Pi Kan pulang duluan, dia yang akan menyelesaikan persoalan itu. Seberlalu Pi Kan, Oey Hui Houw menyuruh Oey Beng, Chiu Kie, Liong Hoan dan Gouw Kian masing-masing membawa 20 prajurit untuk mengawasi keempat pintu kota-raja, bila bertemu dengan orang-orang yang berdandan sebagai 'Dewa' dan "Dewi', mereka harus menguntitnya sampai ke sarangnya. Di lain pihak, para siluman Rase pada mabuk akibat terlampau banyak menenggak arak, membuat mereka tak dapat terbang lagi, jalan mereka pun sempoyongan, keluar melalui pintu kota Selatan. Chiu Kie bersama pasukannya mengikuti dari kejauhan. Ternyata para siluman itu masuk ke dalam goa di makam kuno 'Hian Wan'.Chiu Kie segera melaporkan hal itu pada Oey Hui Houw. Oey Hui Houw menyuruh Chiu Kie memimpin sejumlah pasukan sambil membawa kayu bakar, menyumbat mulut goa, lalu membakarnya selama tiga hari tiga malam. Kemudian Oey Hui Houw melaporkan hal itu pada Pi Kan. Berseri wajah Pi Kan mendengar kabar itu, mengajak Oey Hui Houw serta beberapa orang perwira lainnya, ke sarang siluman Rubah tersebut. Api di luar makam belum juga padam. Oey Hui Houw menitah para prajurit untuk memadamkannya, lalu memasukkan besi yang melengkung ujungnya, mengorek ke luar bangkai Rase. Bau daging yang hangus terbakar menyengat hidung. Pi Kan mengusulkan pada Oey Hui Houw untuk mengeset kulit-kulit Rase yang tak sempat terbakar, untuk dibikin jubah dan mempersembahkannya pada Touw Ong, sekali-gus sebagai peringatan bagi Souw Tat Kie. Oey Hui Houw langsung menyetujui saran itu. *** Touw Ong dan Souw Tat Kie memandang turunnya salju sambil minum arak.Tak lama Pi Kan datang ke situ sambil membawa sebuah bungkusan.


Gaung Keheningan Eloquent Silence Karya Konspirasi Hari Kiamat Doomsday Suro Bodong 07 Rahasia Tombak Dewa

Cari Blog Ini