Penganugerahan Para Malaikat Karya Siao Shen Sien Bagian 4
"Chu Gie yang berjiwa polos itu, mungkin akan diperdaya oleh Sin Kong Pa yang licik", gumam Lam Khek Sian Ang. Dia segera memerintahkan Pek Hok Tongcu (Bocah Bangau Putih) untuk Pian-hoa (merobah diri) menjadi seekor bangau putih, menyambar kepala Sin Kong Pa dan membawa terbang ke Lam-hay (Laut Selatan). Pek Hok Tongcu mematuhi perintah itu, menyambar kepala Sin Kong Pa, langsung dibawa terbang ke Laut Selatan. Sebagai seorang yang jujur, Kiang Chu Gie jadi amat gugup menyaksikan keadaan yang berada di luar dugaan itu, berseru .
"Hei, hei, jangan bawa kepala itu!".Selagi Chu Gie gugup, Lam Khek Sian Ang lantas menghampirinya seraya berkata .
"Sungguh tolol kau membiarkan dirimu ditipu oleh ilmu sulapnya. Sin Kong Pa sangat licik lagi keji. Itu sebabnya aku menyuruh Pek Hok Tongcu menyambar kepalanya dan membawanya ke Laut Selatan. Kalau dalam tempo lebih dari satu setengah jam kepalanya tidak melekat lagi ke tubuhnya, dia akan binasa ---Sedang dirimu sendiri akan mengalami berbagai kesulitan karena telah melanggar pesan Loo Sucun, gara-gara menyahut ketika dipanggil oleh Sin Kong Pa". Namun Chu Gie yang baik hati, tak sampai hati mencelakai Sin Kong Pa, lagi pula dia saudara seperguruannya. Maka dia memohon dengan sangat agar Sian Ang mengampuni Sin Kong Pa, membiarkannya hidup.
"Dia akan jadi penghalang besar bagi perjuanganmu dalam mencapai cita-cita", Lam Khek Sian Ang masih berusaha mengingatkan Chu Gie.
"Dia akan jadi musuhmu!".
"Saya bersedia menanggung segala akibatnya", kata Chu Gie dengan nada memohon.
"Agama melarang kita mencelakai orang". Rupanya kau memang sudah ditakdirkan harus menghadapi berbagai rintangan dalam mencapai apa yang kau cita-citakan itu!". Lam Khek Sian Ang menghela nafas.
"baiklah, akan kusatukan kepala dengan tubuhnya". Sian Ang (Kakek Dewa) melambaikan tangan ke angkasa. Bangau putih melayang ke arahnya, setelah dekat melepaskan kepala Sin Kong Pa, meluncur turun menyatu lagi dengan tubuhnya. Sin Kong Pa mulai membuka mata, melihat Lam Khek Sian Ang telah berdiri di hadapannya.
"Seharusnya aku membinasakanmu atas perbuatan licikmu menipu Chu Gie, atau sedikitnya membawamu ke hadapan Sucun (Guru). Tapi sekali ini, atas permohonan Chu Gie, bersedia aku mengampunimu!", kata Sian Ang.Sin Kong Pa berlalu dengan hati penuh dendam. Sementara itu Lam Khek Sian Ang berkata pada Kiang Chu Gie .
"Lanjutkanlah perjalananmu! Mulai sekarang kau harus bersikap lebih hati-hati dari sebelumnya!". Kiang Chu Gie menyoja pada Sian Ang, melanjutkan perja lanan ke Laut Timur. Tak lama tibalah dia di Tong Hay To (Pulau Laut Timur). Dia berdiri di atas batu gunung yang tak jauh dari laut amat terpesona oleh keindahan panorama di seputar tempat itu. Air laut yang semula tenang, tiba-tiba menggulung tinggi, membelah kedua sisinya. Dari tengah-tengah gulungan ombak muncul seorang laki-laki setengah baya yang bugil dan merah kulitnya. Begitu muncul, laki-laki itu berkata dengan nada memohon.
"Hoatsu, saya adalah arwah yang malang, telah beberapa ribu tahun ditahan di dalam air. Beberapa waktu berselang ada Dewa yang memberitahukan saya, bahwa pada hari ini Hoatsu akan lewat di sini dan dapat membebaskan saya dari tahanan ---Tolonglah saya, Hoatsu!".
"Siapa kau sebenarnya dan kenapa sampai bisa ditahan di sini?", tanya kiang Chu Gie.
"Nama saya Po Chian, dulunya saya adalah pimpinan pa sukan dari Kaisar Sun Goan. Dalam suatu pertempuran dengan Kie Yu, saya telah diceburkan ke laut dan ditahan di sini de ngan menggunakan kesaktiannya. Biarpun telah lewat beberapa ribu tahun, saya masih tetap belum dapat membebaskan diri. Sampai kemudian datang Dewa Cheng Sie ke mari, yang menyatakan Hoatsu dapat membebaskan saya dari segala penderitaan ini".
"Baiklah, aku bersedia membebaskanmu, Po Chian", kata Chu Gie.
"Setelah itu kau ikut aku ke gunung Kie-san dan sementara berdiam di sana untuk menerima tugas lebih lanjut".
"Terima kasih Hoatsu", Po Chian menyoja Chu Gie.Kiang Chu Gie mengeluarkan 'Ciang Sim Lui' (Halilintar dari telapak tangan)-nya, membebaskan Po Chian dari kurung an air laut. Seketika arwah Po Chian telah menjelma jadi Malaikat, yang langsung berlutut di hadapan Kiang Chu Gie sambil mengucapkan puji syukurnya. Chu Gie segera mengajaknya ke Kie-san dengan melalui bawah tanah. Setiba mereka di gunung Kie-san, tiba-tiba dari arah depan bertiup angin kencang. Ternyata 'Ngo Lou Sin' (Lima Malaikat Jalan) menyambut! kedatangan mereka.
"Kami telah berhutang budi pada tuan ketika berada di Tiauw-ko (Kota-raja) dan tuan telah memerintah kami pergi ke gunung ini untuk menanti titah lebih jauh", kata salah satu dari lima Malaikat itu.
"Hari ini kami dengar tuan akan lewat di sini, maka kami sengaja berkumpul untuk menyambut kehadiran tuan".
"Aku akan memilih hari baik untuk membangun 'Hong Sin Tay' (Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat)", kata Chu Gie.
"Kalian harus membantu Po Chian membangun Pesanggrahan itu, setelah rampung nanti, akan ditempatkan di situ Daftar Penganugrahan Malaikat". Selesai berkata, Chu Gie meninggalkan para Malaikat itu, kembali ke kota See-kie. Dia menemui Bu Ong, menceritakan segala yang dialaminya. Bu Ong menyelenggarakan pesta atas kembalinya Chu Gie. Setelah minum beberapa cawan, Chu Ge (Chu Gie) pamit, pulang ke rumahnya. Keesokan harinya Chu Gie mengumpulkan para perwira, menugaskan Oey Hui Houw dan Na Cha untuk menyerang kemah lawan pada malam hari. Kala itu Thio Kui Hong tengah merawat lukanya di dalam kemahnya. Tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut di luar perkemahan. Denganmenunggang kuda, dia mengajak Pang Lim untuk melihat apa yang terjadi di sana. Ternyata perkemahan mereka telah dikurung oleh pasukan Bu Ong. Na Cha segera menyerang mereka. Thio Kui Hong dan Pang Lim menyadari kalau mereka bukanlah lawan Lo Chia (Na Cha). Setelah menangkis beberapa kali, mereka segera melarikan diri. Kala itu Sin Chia dan Shin Bien telah menyerbu dari kanan perkemahan, tiada yang dapat menahan serangan mereka, hingga dengan mudahnya Shin bersaudara mencapai bagian belakang perkemahan. Terlihat Chiu Kie dan Lam Kong Koa ditahan da lam kerangkeng, mereka segera membebaskannya. Begitu bebas, Chiu Kie dan Lam Kong Koa merampas senjata lawan, mulai mengamuk, membuat suasana di dalam perke mahan Thio Kui Hong bertambah kacau, tak terhitung prajurit yang luka maupun tewas, yang masih selamat mengundurkan diri sampai beberapa puluh li. Thio Kui Hong mengumpulkan sisa pasukan, mengajak mereka kembali ke kotanya, kemudian mengutus seorang pembantunya ke kota-raja, untuk melaporkan kegagalannya dalam menyerang kota See-kie serta memohon bala bantuan. *** Bun Taysu terperanjat menerima laporan kekalahan Thio Kui Hong. Dia bermaksud memimpin sendiri pasukan menyerbu See-kie, tapi telah dicegah oleh salah seorang muridnya. Kie Lek, yang mengemukakan pendapat, seandainya Bun Tiong pergi, tak ada lagi orang yang menjaga kota-raja.
"Sebaiknya Suhu mengundang beberapa orang sahabat yang memiliki kepandaian tinggi untuk membantu Thio Kui Hong", kata sang murid lebih jauh. Bun Taysu adalah murid Dewi Kim Leng Seng-bo, cukup luashubungannya dengan orang-orang yang memiliki kesaktian. Maka dia menganggap saran Kie Lek cukup beralasan, memutuskan akan pergi selama dua atau tiga hari, guna mencari bantuan pada teman- temannya yang berkepandaian tinggi. Setelah memesan pada muridnya agar baik-baik menjaga rumahnya, dia pun berangkatlah dengan naik Hek Kie Lin (Kie Lin hitam). Binatang tunggangan Bun Taysu, yang mirip dengan barongsay, ternyata bisa terbang, maka Bun Tiong melakukan perjalanan dengan melalui udara. Dalam waktu singkat tibalah dia di tempat yang dituju, yaitu Kauw Liong To (Pulau Sembilan Naga) di Laut Barat, tempat bermukimnya salah seorang sahabatnya yang bernama Ong Mo. Dia turun dari binatang tunggangannya di muka sebuah goa, menghampiri seorang bocah yang berdiri di mulut goa seraya bertanya .
"Suhumu ada?".
"Ada", sahut Tong-jie, bocah itu.
"Sedang main catur dengan teman- temannya". Bun Taysu mengikuti si bocah masuk ke dalam goa. Dia sangat gembira, selain Ong Mo, dia dapat bertemu pula dengan teman- teman lainnya, yang rata-rata cukup tinggi kepandaiannya, yaitu Yo Seng, Kho Yu Kian dan Lie Hin Pa. Ong Mo bermuka bulat, Yo Seng berwajah hitam, berambut merah dan kuning alisnya. Mulut Kho Yu Kian seperti paruh burung, bertaring, dan wajah Lie Hin Pa mirip buah kurma. Setelah berbasa-basi sejenak, Bun Taysu mengungkapkan maksud sesungguhnya, yaitu meminta kesediaan Ong Mo membantu Thio Kui Hong menggempur kota See-kie. Ong Mo tidak keberatan membantu, malah ketiga teman lainnya pun bersedia membantu Bun Taysu. Bun Tiong sangat girang, mengucapkan terima kasihnya. Mereka segera berangkat ke kota-raja dengan menempuh jalan air. Setiba di rumah, Bun Tiong (Bun Taysu) menjamu keempatsahabatnya. Mereka makan minum dalam suasana menyenangkan. Setelah puas makan minum, Ong Mo dan lain-lainnya menginap di rumah Bun Tiong. Keesokan paginya Bun Taysu menemui Kaisar, memberitahukan mengenai kesediaan keempat orang sakti itu membantu kerajaan Touw untuk menggempur Bu Ong di kota See-kie,yang dianggap telah melakukan makar terhadap pemerintahan yang sah. Touw Ong amat bersuka-cita mendengar kabar itu, berkenan menerima bahkan menjamu mereka. Setelah puas makan minum, Bun Taysu mengantar keempat sahabatnya sampai ke luar pintu gerbang kota-raja, kemudian baru kembali ke rumahnya. Ong Mo dan lainnya berangkat ke Ceng Liong-koan dengan berjalan di atas air, menemui Thio Kui Hong, memberitahukan maksud kedatangannya. Thio Kui Hong amat gembira setelah tahu akan maksud kedatangan mereka. Segera menyiapkan pasukan, berangkat lagi ke See-kie. Beberapa hari kemudian tibalah mereka di luar pintu gerbang Timur kota See-kie, mendirikan kemah di situ. Malam harinya Ong Mo berpesan .
"Besok pergilah kau ke depan pintu gerbang, menantang Kiang Chu Gie berperang tanding. Setelah dia bersama para pembantunya keluar, kamilah yang akan menghadapi mereka".
"Baiklah", Thio Kui Hong mengangguk patuh. Sesuai dengan siasat Ong Mo, keesokan harinya Thio Kui Hong memimpin pasukannya ke muka pintu gerbang kota See kie, menantang Chu Gie berperang tanding. Penjaga kota melaporkan hal itu pada Kiang Chu Gie. Chu Gie segera memimpin pasukan ke luar kota dengan didampingi Na Cha dan Oey Hui Houw.Ketika berhadapan dengan Thio Kui Hong, tiba-tiba dari barisan lawan muncul 4 manusia bertampang luar biasa dan menunggang binatang aneh pula. Ong Mo, Yo Seng dan Lie Hin Pa menunggang binatang bermuka Barongsay tanpa tanduk, sedang Kho Yu Kian menunggang macan kumbang. Begitu mereka muncul, semua kuda di pihak pasukan Seekie langsung roboh, sehingga para penunggangnya terlempar jatuh. Hanya Na Cha yang mengendarai Roda Api dan Angin dan Oey Hui Houw yang menunggang Kerbau Sakti, terhindar dari malapetaka itu. Ong Mo dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak ketika melihat Kiang Chu Gie ikut terpelanting juga. Mereka segera melancarkan serangan, membuat pihak Kiang Chu Gie jadi sangat repot menghadapi lawan yang luar biasa itu, mundur dari medan laga, masuk ke dalam kota. Setiba malam hari, Kiang Chu Gie menitah Na Cha dan Bu Kie untuk menjaga kota. Kemudian berangkatlah dia untuk kedua kalinya ke Kun Lun-san dengan menempuh jalan bawah tanah. Di hadapan gurunya, dia menerangkan akan kehebatan binatang tunggangan keempat lawannya. Seusai mendengar keterangan Chu Gie, Goan Sie Tian Chun lantas menyuruh seorang muridnya mengambil binatang tunggangannya dari taman bekalang. Tak lama, To-tong itu telah kembali dengan membawa binatang yang dimaksud. Binatang tunggangan Goan Sie Tian Chun ternyata amat luar biasa, berkepala Banteng, bertubuh Naga dan berekor Badak. Sang guru memberitahukan, bahwa binatang tunggangan keempat lawannya termasuk kerabat Naga, itu sebabnya kudakuda pada terjungkal begitu berhadapan dengannya. Untuk menghadapi mereka, Goan Sie Tian Chun menyerahkan binatang tungganannya pada Chu Gie."Ini merupakan hadiah dariku atas jerih payahmu bersamadhi selama 40 tahun, sekali gus mewakiliku untuk mengurus soal pengangkatan para arwah menjadi Malaikat. Binatang ini bernama 'See Put Siang', dengan menunggangnya, kau akan tahan menghadapi makhluk ajaib macam apapun". Ucap sang guru lebih jauh. Kecuali itu, Goan Sie Tian Chun memberi dua hadiah lainnya pada Chu Gie, yaitu 'To Sin Pian' (Ruyung Sakti Pemukul/ Penakluk Dewa) dan 'Sin Huang Kie' (Panji Kuning Wasiat).
"Di dalam ruyung ini terdapat Hu (Surat jimat) yang dapat menaklukkan kesaktian lawan. Dan panji wasiat dapat kau pakai pada saat dirimu terancam bahaya", sang guru memberi penjelasan.
"Sekarang pergilah kau ke Pak-hay (Laut Utara), di sana telah ada seseorang yang menantimu". Kiang Chu Gie pamit pada gurunya, setibanya di Kie Lingay (Lembah Kie Lin), barulah dia menunggang 'See Put Siang, menuju ke See-kie. Ketika Chu Gie lewat di tepi pantai, tiba-tiba angin bertiup keras, disusul dengan munculnya makhluk aneh, bermuka macan dan tegak rambutnya, yang hanya tumbuh di sisi atas telinganya. Sedang bentuk tubuh lainnya serupa manusia. Begitu muncul, makhluk aneh itu langsung berkata.
"Cukup memakan sepotong daging Kiang Chu Gie, usiaku akan bertambah 1000 tahun". Kiang Chu Gie jadi berkeringat dingin ketika mendengar ocehan makhluk aneh tersebut.
"Kiranya makhluk ini ingin memangsaku", kata hati Chu Gie. Tiba-tiba dia teringat akan pesan gurunya, mengeluarkan Sin Huang Kie' (Panji Kuning Wasiat)-nya, menancapkannya di tanah seraya berkata .
"Hei siluman, bila kau mampu mencabut panji ini, aku rela kau melahap dagingku!". Makhluk aneh itu kegirangan mendengar ucapan Chu Gie, segera berusaha mencabut panji yang tertancap di tanah. Namun biarpun dia telah mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja tak mampumencabut panji tersebut. Kiang Chu Gie melepaskan gledek dari telapak tangannya, membuat makhluk itu ketakutan dan bermaksud melepaskan pegangannya, tapi apa hendak dikata, tangannya seakan telah melekat pada tiang panji, walau dia menarik cukup keras, tetap tak lepas. Kiang Chu Gie mencabut pedang, berpura-pura hendak membunuhnya. Sang makhluk aneh ketakutan, memohon.
"Ampunilah saya Dewa, Sin Kong Pa yang menyuruh saya menunggu Dewa di sini, ternyata dia telah menjerumuskan saya".
"Apa hubunganmu dengan Sin Kong Pa dan ingin memakan dagingku?", tanya Chu Gie.
"Saya bernama Liong Sie Houw, berasal dari batu yang setelah memperoleh hawa asli bumi dan langit, jadi hidup seperti sekarang dan memiliki tubuh yang tak lapuk sepanjang zaman"
Makhluk aneh itu menerangkan.
"Kemarin Sin Kong Pa lewat di sini, memberitahukan saya, bahwa Kiang Chu Gie akan lewat pada hari ini. Bila saya dapat memakan sepotong dagingnya, akan dapat memperpanjang hidup saya seribu tahun. Maka timbul hasrat saya untuk mencicipinya. Tak tahunya saya telah melakukan kesalahan pada Dewa, sudilah Dewa mengampuni saya".
"Aku bersedia mengampunimu, asal kau bersedia jadi muridku", kata Chu Gie.
"Saya bersedia", sambut Liong Sie Houw segera. Kiang Chu Gie menarik kembali gledek ke telapak tangannya, seketika bebaslah tangan Sie Houw dari tiang panji. Dia segera berlutut di hadapan Chu Gie.
"Kepandaian apa saja yang kau miliki?', tanya kiang Chu Gie.
"Saya pandai menimpukkan batu secara beruntun, selalu tepat mengenai sasaran", Liong Sie Houw menerangkan. Girang hati Chu Gie, mencabut panji wasiatnya, menggulungnya. Lalumengajak Liong Sie Houw meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanan ke See-kie. Setiba di muka rumahnya, Chu Gie turun dari binatang tunggangannya. Para perwira menyambut kembalinya Chu Gie, tapi mereka jadi tertegun ketika melihat Liong Sie Houw yang berada di belakang sang Perdana Menteri. Kiang Chu Gie menerangkan, bahwa dia telah mengangkat Sie Houw dari Pak-hay (Laut Utara) sebagai muridnya. Kemudian menanyakan situasi kota See-kie selama ditinggalkannya.
"Pihak lawan tak mengadakan gerakan apa-apa selama beberapa hari ini", Bu Kie menerangkan. Tiba-tiba datang laporan, bahwa pihak lawan telah menantang perang. Chu Gie segera mengajak Na Cha dan lain-lainnya ke luar kota. Begitu berhadapan dengan Kiang Chu Gie, Ong Mo langsung membentak .
"Sungguh licik kau, ternyata diam-diam kau telah pergi ke gunung Kun Lun, meminjam 'See Put Siang' untuk menghadapi kami!". Begitu selesai berkata, Ong Mo menabaskan pedang ke diri Chu Gie. Na Cha yang berada di sisi paman gurunya, segera menangkis serangan tersebut. Keduanya bertanding sampai belasan jurus, tapi belum dapat diketahui siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Ong Mo mengeluarkan kantong kulit macan tutul, mengambil sebutir ?Kay Thian Chu' (Mutiara Pembuka Langit), menimpuk Na Cha. Na Cha tak sempat menyingkir dari serangan tersebut, jatuh terguling dari Roda Api dan Anginnya. Melihat itu, Oey Hui Houw majukan diri untuk menolong Na Cha, tapi dirinya telah pula kena ditimpuk oleh Mutiara Pembuka Langitnya Ong Mo, hingga jatuh terguling dari Kerbau Saktinya. Namun masihuntung baginya, sebelum ditawan musuh, telah berhasil diselamatkan oleh Liong Sie Houw. Melihat keadaan menguntungkan pihaknya, Ong Mo berusaha menangkap Kiang Chu Gie. Namun Chu Gie tak mau membiarkan dirinya ditangkap begitu saja, melakukan perlawanan juga. Cukup seru perang tanding yang masing-masing bersenjatakan pedang itu, tapi setelah berlangsung belasan jurus, Kiang! Chu Gie mulai ket?ter, segera menerbangkan binatang tunggangannya ke Laut Utara. Ong Mo berusaha mengejarnya dengan menerbangkan juga binatang tunggangannya, sambil mengeluarkan Mutiara Pembuka Langitnya, menimpuk Chu Gie. Sesungguhnya, Kiang Chu Gie dalam mengabdikan diri di See-kie, telah ditakdirkan harus mati sebanyak 4 kali dan 3 kali mengalami malapetaka. Timpukan Ong Mo tepat mengenai sasaran, membuat Chu Gie jatuh dari atas 'See Put Siang', terguling-guling terhempas di kaki bukit. Ong Mo tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, mengangkat pedang, bermaksud menabas batang leher Chu Gie. Namun tibatiba terdengar suara orang mencegah. Ong Mo berpaling ke asal suara itu, terlihat tak jauh darinya berdiri Bun Chiu Kong Hoat Tian Chun dari Ngo Liong-san (Gunung Lima Naga).
"Jangan saudara membunuhnya!", cegah orang suci itu pada Ong Mo.
"Telah cukup lama aku menunggu di sini atas permintaan istana Giok Sie. Ada 5 alasan Kiang Chu Gie diperintahkan turun gunung . Pertama, dinasti Touw (Siang) akan segera runtuh. Ke dua, di See-kie telah lahir Raja yang bijaksana. Ke tiga, kaum Chau-kauw harus mengalami bahaya peperangan. Ke empat, Kiang Chu Gie memang telah ditakdirkan akan memperoleh kedudukan yang tinggi dalamdinasti Chiu nanti. Ke lima, atas nama istana Giok Sie, Chu Gie akan menganugrahkan para arwah sebagai Malaikat --- Sebaiknya kau kembali saja ke goamu, tutup pintu goa, pelajari kitab suci --- Bila kau pergi ke Barat, namamu akan tercantum dalam Daftar Penganugrahan Malaikat! Demikianlah, maka menyesal kemudian takkan ada gunanya lagi bagimu". Ong Mo jadi amat gusar, segera menyerang Tian Chun dengan pedangnya. Kim Cha (kakak tertua Lo Chia atau Na Cha) yang berdiri di belakang gurunya, cepat menangkis serangan Ong Mo dengan pedangnya, langsung terjadi perang tanding di antara mereka. Setelah pertandingan berlangsung belasan jurus, Bun Chiu Tian Chun melihat Kim Cha mulai terdesak. Dia segera mengeluarkan tongkat wasiatnya yang bernama 'Pek Teng Liong Chun'. Di tongkat wasiat itu terdapat tiga gelang emas, yang meluncur cepat ke arah Ong Mo. Sebuah gelang emas melingkar di leher Ong Mo, satunya lagi di pinggangnya dan yang ke tiga melingkari sepanjang kakinya. Fungsi tongkat itu sebagai tiang penahan, yang membuat tubuh Ong Mo tak dapat berkutik. Bun Chiu Tian Chun memerintahkan Kim Cha menusuk tubuh Ong Mo dengan pedangnya, lalu menempatkan arwahnya di 'Hong Sin Tay' (Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat). Bun Chiu Tian Chun menyimpan kembali benda wasiatnya, bersujud ke arah Kun Lun-san seraya berkata.
"Mohon dimaafkan kesalahan Teecu yang telah terpaksa melakukan pelanggaran membunuh". Kemudian Bun Chiu mengeluarkan sebutir Kauw Choan Hoan Hun Tan' (Pil Sembilan Putaran Mengembalikan Arwah). Merendam pil itu ke d- lam air, selanjutnya meminumkannya pada Chu Gie. Tak sampai sejam, Chu Gie telah sadar kembali. Bun Chiu Tian Chun memberitahukan Chu Gie, bahwa dia telah membunuh Ong Mo.Kiang Chu Gie menghaturkan terima kasihnya pada Tian Chun. Bun Chiu Tian Chun menitah Kim Cha ikut Susioknya turun gunung, untuk membantu pihak See-kie menumbangkan Touw Ong dan membangun dinasti Chiu. Kim Cha pamit pada gurunya, ikut Chu Gie turun gunung. Seusai Bun Chiu Tian Chun mengubur jasad Ong Mo, kemudian kembali ke gunung Lima Naga.Pek Hok Tong cu ..Po Chian.Sin Kong PaLam Khek Sian AngTIGA Kiang Chu Gie mengajak Kim Cha menemui Bu Ong, menceritakan apa yang telah terjadi. Tenanglah perasaan Bu Ong seusai mendengar penuturan Perdana Menteri, yang merupakan ayah angkatnya juga. Di lain pihak, berhubung telah cukup lama Ong Mo belum juga kembali, ketiga temannya mulai curiga campur cemas. Yo Seng lalu menujumkan nasib temannya yang satu itu. Dari ramalan itu diketahuinya kalau Ong Mo telah tewas, membuatnya kaget campur marah, lantas memberitahukan hal itu pada dua sahabat lainnya. Kho Yu Kian dan Lie Hin Pa sangat marah mendengar penuturan Yo Seng. Keesokan harinya mereka bertiga dari luar tembok kota Seekie, menantang Kiang Chu Gie berperang tanding, untuk membalaskan sakit hati Ong Mo. Kiang Chu Gie mengajak Kim Cha dan beberapa orang untuk menyambut tantangan tersebut. Begitu berhadapan, tanpa banyak bicara lagi Kho Yu Kian segera menyerang Chu Gie. Chu Gie menangkisnya, lalu balas menyerang, maka terjadilah perang tanding yang cukup seru. Setelah berlangsung belasan jurus, Kiang Chu Gie mengeluarkan 'Sin Pian' (Ruyung Sakti)-nya, melontarkannya ke angkasa, berhasil menghantam Kho Yu Kian hingga tewas. Sementara itu Yo Seng telah pula tewas terkena 'Teng Liong Chun-nya Kim Cha. Arwah Yo Seng dan Kho Yu Kian segera melayang menuju ke 'Hong Sin Tay' (Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat). Arwah mereka dibawa masuk oleh Malaikat Po Chian ke dalam pesanggrahan. Dalam pada itu, Pang Lim ketika melihat Yo Seng dan Kho Yu Kiantewas di tangan musuh, segera maju menyerang. Kedatangannya disambut oleh Oey Thian Siang. Setelah keduanya bertanding beberapa jurus, Thian Siang berhasil menusuk Pang Lim hingga menemui ajalnya. Menyaksikan kekalahan beruntun itu, Lie Hin Pa menarik mundur pasukannya, kembali ke perkemahan, 'berunding dengan Thio Kui Hong, untuk mencari siasat lain dalam menghadapi pihak See-kie. Mereka memutuskan untuk sementara berdiam diri, serta mengutus orang memberi laporan pada Bun Taysu mengenai kekalahan mereka dan memohon untuk segera dikirim balabantuan. Di pihak Kiang Chu Gie yang telah memperoleh kemenangan, tak memberi kesempatan pihak lawan menyusun kekuatan kembali. Keesokan harinya Chu Ge (Chu Gie) memimpin barisan ke muka perkemahan lawan, menantang perang. Thio Kui Hong amat gusar mendengar tantangan itu, segera keluar dari kemahnya bersama Lie Hin Pa menyongsong kehadiran lawan. Terjadilah perang tanding yang cukup seru. Para perwira See-kie rata- rata amat gagah dan sakti. Maka tak mengherankan, kalau dalam beberapa saat Lie Hin Pa telah berhasil dilukai oleh Kim Cha, hingga terpaksa melesat ke angkasa melarikan diri. Kala itu, para perwira See-kie lainnya mengurung Thio Kui Hong. Setelah bertanding beberapa waktu, Kui Hong menyadari kalau dirinya tak mampu menghadapi mereka dan untuk meloloskan diri pun sulit. Rupanya karena putus asa, dia menusukkan ujung tombak ke leher sendiri, jatuh terguling dari kudanya dan tewas. Arwahnya segera menyusul Pang Lim menuju ke 'Hong Sin Tay. Dengan tewasnya sang pimpinan, pasukan kerajaan Siang lari lintang- pukang, berusaha menyelamatkan diri. Kiang Chu Gie membiarkan mereka kabur, ia kembali ke dalam kota See-kie dengan kemenangan gemilang. Lie Hin Pa yang berhasil meloloskan diri, setelah mengetahui bahwatak ada lawan yang mengejarnya, baru berani turun di atas sebuah gunung. Dia amat sedih karena teman-temannya tewas di tangan lawan. Menganggap kepandaiannya sendiri belum lagi memadai, bermaksud kembali bertapa untuk meningkatkan kesaktiannya. Baru saja dia hendak berangkat ke tempatnya bertapa, tiba tiba telah dihadang oleh Bhok Cha (Bhok Chia), kakaknya Na Cha. Lie Hin Pa amat terperanjat, bertanya .
"Siapa kau? Apa maksudnya menghadangku?".
"Aku diperintah oleh guruku, Pouw Hian Cin-jin, untuk menangkapmu!".
"Aku kan tidak bermusuhan dengan gurumu!?", Lie Hin Pa heran campur dongkol.
"Kau tak perlu banyak bicara", bentak Bhok Cha.
"pokoknya kau harus dilenyapkan dari muka bumi ini --- Jaga pedangku!". Bhok Cha melontarkan Pokiam (Pedang wasiat)-nya. Lie Hin Pa tak keburu mengelak, tewas tertusuk pedang sakti Bhok Cha. Bhok Cha mengubur jenazah Lie Hin Pa, kemudian menuju ke See-kie dengan melalui bawah tanah, baru muncul setiba di depan rumah Perdana Menteri. Segera menemui Chu Gie, menyampaikan maksudnya hendak mengabdi pada Bu Ong untuk turut serta membangun dinasti Chiu. Dia juga menceritakan, bahwa telah berhasil membunuh Lie Hin Pa dalam perjalanan menuju See-kie. Kiang Chu Gie menyambut gembira kehadiran kakak Na Cha itu. Bun Taysu amat terperanjat ketika mendengar kabar bahwa tiga dari empat temannya telah tewas, juga Pang Lim. Geram hatinya dan berniat untuk memimpin langsung pasukan, menyerbu See-kie. Namun maksudnya telah dicegah oleh beberapa pembantunya, bahkan Louw Hiong menyatakan kesediaannya untuk memimpin pasukan kerajaan Touw, menggempur kubu Bu Ong.Pada mulanya Bun Taysu ragu, sebab Louw Hiong telah lanjut usia. Tapi karena keadaan dan pertimbangan lain, terpaksa dia mengizinkan Louw Hiong maju ke medan perang dan memerintahkan pula Hui Tiong dan Yu Hui mendampingi perwira tua itu. Louw Hiong berangkat dengan membawa 50.000 prajurit. Di tengah jalan Louw Hiong mendengar mengenai tewasnya Thio Kui Hong, juga Lie Hin Pa, maka dia segera menghentikan gerak maju pasukannya, mendirikan kemah di kaki gunung Kiesan. Kemudian menyuruh salah seorang pembantunya untuk melaporkan kabar buruk itu pada Bun Taysu, sambil menanti perintah lebih jauh. Hampir bersamaan waktunya dengan itu, Poh Chian yang telah jadi Malaikat 'Cheng Hok Sin', melaporkan pada Chu Gie, bahwa pembangunan Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat telah rampung dan 'Daftar Hong Sin' telah ditaruh di dalamnya. Kiang Chu Gie melakukan persiapan sembahyang dengan menitah Lam Kong Koa membawa sejumlah pasukan ke puncak gunung Kie- san. Lam Kong Koa berangkat dengan membawa beberapa ribu prajurit, mendirikan kemah di puncak gunung, membawa pula peralatan militer, juga keperluan sembahyang. Karena cuaca yang sangat terik dan sulitnya memperoleh air, sehingga para prajurit kepayahan. Keadaan itu sempat terlihat oleh Louw Hiong yang mendirikan kemah di dalam semak-semak di kaki gunung Kie-san, dalam hatinya merasa girang menyaksikan hal itu. Dengan membangun perkemahan di atas bukit dan harus membawa peralatan yang cukup berat dalam cuaca seterik itu, tanpa berperang juga akan banyak menimbulkan korban, demikian pikirnya. Dalam pada itu Kiang Chu Gie telah pula memerintahkan Bu Kie dan Shin Chia untuk membangun panggung terbuat dari tanah liat setinggi dua puluh elo, yang harus diselesaikan sece patnya. Malam harinya Bu Kie melaporkan, bahwa panggung tanah itu telahrampung. Malam itu juga, Chu Gie berangkat ke perkemahan di atas gunung Kie- san, membagi-bagikan mantel yang biasa dipakai di musim dingin, juga tudung bambu kepada para prajurit. Para prajurit See-kie menerima pembagian barang-barang itu dengan penuh diliputi tanda-tanya, justeru pada saat itu adalah penghujung musim Semi, hawa terasa panas sekali. Kiang Chu Gie naik ke panggung tanah dengan membiarkan rambutnya terurai lepas, tangannya memegang pedang dan berlutut ke arah gunung Kun Lun. Mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, sekali-kali memercikkan air 'Hu' yang telah disiapkan dalam gelas kecil. Hawa yang semula panas, berangsur-angsur berobah menjadi sejuk, bahkan kemudian bertiup angin kencang, sehingga hawa jadi bertambah dingin dan akhirnya turun hujan salju. Pasukan dari kerajaan Touw yang berkemah di kaki gunung Kie-san, yang sebelumnya menganggap telah mulai memasuki musim panas, sama sekali tidak dilengkapi dengan mantel, pada menggigil kedinginan. Berlainan dengan pasukan Bu Ong, yang mengenakan man tel tebal dan tudung bambu lebar, amat bersyukur pada Kiang Chu Gie. Louw Hiong semula menertawakan pihak lawan, yang dianggapnya tolol karena berkemah di tempat panas dan mengira mereka akan mati kepanasan dalam tempo beberapa hari. Namun kenyataannya sekarang, malah dia bersama anak buahnya yang menggigil kedinginan. Hui Tiong dan Yu Hui yang menyertai pasukan itu, tidak luput dari cengkaman hawa dingin dan tak tahu apa yang harus mereka lakukan!? Hujan salju terus saja turun, hingga lapisan salju di atas gunung itu setebal 3 elo dan lapisan di kaki gunung lebih tebal lagi Keesokan harinya cuaca cerah, lapisan salju mulai mencair.Kiang Chu Gie yang sebelumnya telah mendapat informasi akan kehadiran pasukan musuh yang dipimpin Louw Hiong disertai Hui Tiong dan Yu Hun yang bertindak sebagai penasehat, berpendapat kalau mereka pasti tetap berdiam di kemahnya karena kedinginan. Dia menitah Lam Kong Koa dan Bu Kie turun gunung dengan membawa sejumlah pasukan untuk menangkap Hui Tiong, Yu Hui dan Louw Hiong. Tanpa susah payah Lam Kong Koa dan Bu Kie berhasil memasuki perkemahan lawan yang tak terjaga, karena para prajuritnya tetap berdiam di dalam kemah untuk menghindari hawa dingin, hingga dengan mudah mereka ditaklukkan. Lam Kong Koa serta Bu Kie berhasil menawan Yu Hui, Hui Tiong dan Louw Hiong yang tengah kedinginan, lalu menggiring mereka ke atas gunung. Kiang Chu Gie amat girang mendengar keberhasilan pasukannya memporak-porandakan pasukan musuh dan menawan ketiga pemimpin mereka. Dia lantas memerintahkan untuk menyekap Louw Hiong bertiga di kemah belakang. Keesokan harinya dia menyuruh seorang pembantunya kembali ke kota See-kie, mengundang Bu Ong datang ke gunung Kie-san untuk bersembahyang di depan Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat. Beberapa waktu kemudian Bu Ong tiba di Kie-san, bersembahyang dengan khusuknya di depan meja sembahyang. Kiang Chu Gie memerintahkan Bu Kie membawa ketiga tawanannya ke depan meja sembahyang, langsung memenggal kepala mereka di situ. Po Chian lalu membawa ketiga arwah itu ke 'Hong Sin Tay. Alangkah terkejutnya Bu Ong menyaksikan hal yang berada di luar dugaan itu.
"Kenapa ayah membunuh mereka pada saat saya sembahyang?", tanyanya pada Perdana Menterinya yang menjadi ayah angkatnya itu."Bila tidak kita bunuh, ketiga orang ini akan menjadi perintang dan menimbulkan banyak korban bagi orang yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan", Kiang Chu Gie menerangkan.
"terutama Hui Tiong dan Yu Hui yang pandai menjilat dan menghasut". Bu Ong tak bertanya lebih lanjut. Seusai sembahyang, mereka kembali ke kota See-kie. ***** Pasukan Louw Hiong yang berhasil meloloskan diri dari serbuan pasukan Bu Ong, lari pontang-panting, berusaha menyelamatkan diri kembali ke kota-raja, melaporkan kekalahan me reka pada Bun Taysu. Bun Taysu amat gusar ketika mendengar kabar buruk tersebut, segera memerintahkan Kie Lip dan Yu Keng membawa 'Leng Pay' (Papan perintah) menemui empat saudara Mo yang bertugas menjaga kota Chia-beng-koan, untuk memimpin pasukan menyerbu kota See-kie. Yang tertua dari Mo bersaudara itu bernama Mo Lee Cheng, yang ke dua bernama Mo Lee Hay, ke tiga Mo Lee Ang dan yang bungsu bernama Mo Lee Siu. Mereka telah berguru pada seorang sakti, hingga rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Begitu menerima perintah dari Bun Taysu, keempat saudara Mo ini langsung berangkat ke See-kie dengan membawa 10.000 prajurit. Mereka melakukan perjalanan pada siang hari dan malamnya beristirahat. Beberapa waktu kemudian tibalah mereka di muka pintu gerbang Utara kota See-kie. Mo Lee Cheng memerintahkan pasukannya untuk mendirikan perkemahan di situ. Pada saat bersamaan, Kiang Chu Gie tengah merundingkan soal pertahanan kota dengan Oey Hui Houw, Lam Kong Koa, Shin Bien, Shin Chia dan lain-lainnya. Tiba-tiba datang laporan yang menyatakan, bahwa telah datang pasukan musuh yang mendirikan kemah di luar pintu gerbang Utara.Kiang Chu Gie mengernyitkan alis ketika mendengar kabar itu.
"Kita serang mereka besok!", katanya kemudian.
"Tapi kita tak boleh meremehkan Mo bersaudara itu, pak", ujar Hui Houw yang ternyata telah mengenal keempat saudara Mo.
"Mereka cukup sakti, amat berbahaya. Yang sulung bernama Mo Lee Cheng, tubuhnya jauh lebih tinggi dari manusia biasa, dalam bertanding selalu berjalan kaki dengan bersenjatakan tombak panjang. Dia memiliki pedang pusaka yang dinamakan 'Lam In' (Mega Biru). Pedang itu dapat menimbulkan tiupan angin yang cukup keras, dapat menerbangkan segala benda sampai beberapa ribu tombak, dan pentungan yang berwarna hitam. Di samping itu dia pandai menciptakan ular-ular api yang menyerbu dari angkasa, dia dapat pula menimbulkan asap-gelap yang dengan cepat sekali dari bawah mengepul ke atas, dapat menewaskan lawan. Sedang yang ke dua bernama Mo Lee Hay, bersenjatakan tombak juga, tapi lebih sering memakai Kecapi bertali empat, dikenal sebagai 'Hong Pi Pee' (Kecapi Angin); jika dimainkan, dapat menimbulkan api dan angin yang memburu lawan. Yang ke tiga bernama Mo Lee Ang, bersenjatakan payung, yang diberinya nama 'Kun Goan Cin Cu Shan' (Payung Mutiara Penggelap Asal). Bila payung itu dibuka, maka suasana menjadi gelap, matahari maupun rembulan seakan kehilangan sinarnya. Kalau payung itu diputar-putar, bumi akan berguncang hebat. Dan saudara bungsu mereka bernama Mo Lee Siu, bersenjatakan tombak dan memiliki pula kantong yang berisi seekor Rase, yang disebut 'Hoa Ho Tiauw' (Rase Kembang), bila dilepas di angkasa, menjadi garang dan haus darah, menerkam mangsanya ganas sekali".
"Baik sekali peringatan saudara", kata Chu Gie.
"Kita me mang tak boleh memandang enteng setiap lawan". Lalu mereka mengatur siasat untuk menghadapi lawan .... Keesokan harinya, keempat saudara Mo dengan pasukannya telahsampai di luar pintu gerbang kota See-kie, langsung menantang Kiang Chu Gie berperang tanding. Kiang Chu Gie didampingi para perwiranya menyongsong! musuh. Begitu Chu Gie muncul, Mo Lee Cheng langsung menusukkan tombaknya. Lam Kong Koa yang selalu mendampingi sang Perdana Menteri, segera menangkis serangan tersebut dengan golok panjangnya, terjadilah pertarungan yang cukup sengit di antara mereka. Mo Lee Ang maju membantu saudara tuanya, tapi langsung disambut oleh kampak bergagang panjang Shin Chia. Dengan demikian perang tanding terbagi dalam dua kelompok, silih berganti menyerang atau menangkis. Pertempuran telah berlangsung cukup lama, tapi belum dapat dipastikan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Moo Lee Hay dan Moo Lee Siu tak sabar lagi menanti usainya pertarungan, segera maju untuk membantu kedua saudara mereka. Namun kehadiran mereka segera pula dihadapi oleh Na Cha dan Kim Cha, hingga terjadi pertarungan sengit dalam kelompok baru. Mo Lee Ang yang melihat akan sulit memperoleh kemenangan dalam waktu singkat, segera membuka payung mutiaranya, menyedot 'Kan Kun Choan' (Gelang Alam Semesta)-nya Na Cha. Kim Cha marah menyaksikan lawan menyedot senjata pusaka adiknya, cepat melontarkan "Teng Liong Chun'-nya, namun senjata sakti Kim Cha itu pun kena disedot oleh payung saktinya Mo Lee Ang. Menyaksikan kejadian itu, Kiang Chu Gie langsung melontarkan "Ta Sin Pian (Ruyung Pemukul Dewa)-nya. Namun ruyung pusaka itu hanya ampuh untuk memukul para Dewa dan akan hilang keampuhannya bila digunakan untuk menyerang manusia yang berkepandaian tinggi. Maka tidaklah mengherankan kalau ruyung itu tersedot pula ke dalam payung sakti Mo Lee Ang, yang membuat Perdana Menteri lanjut usia ini amat terperanjat.Sementara itu para perwira See-kie telah pula terjun ke medan laga untuk membantu pimpinan mereka. Menyaksikan itu, Mo Lee Hay menggerakkan kecapi pusakanya, yang menimbulkan angin dan api, memburu pihak lawan. Sedangkan Mo Lee Siu telah pula melepaskan 'Hoa Ho Tiauw (Rase Kembang)-nya, langsung menyerang pihak lawan dengan ganasnya, mengakibatkan pasukan See-kie banyak yang terluka, bahkan tewas. Melihat barisannya menjadi kacau oleh serangan-serangan senjata pusaka lawan, Chu Gie segera menarik pasukannya mundur ke dalam kota. Di antara orang yang tewas terdapat saudara kandung Bu Ong. Keempat saudara Mo kembali ke perkemahan mereka de. ngan wajah berseri. Keesokan harinya mereka menantang perang lagi, bermaksud merebut kota See-kie. Kiang Chu Gie memerintahkan Na Cha, Kim Cha, Bhok Cha, Liong Sie Houw dan lain-lainnya agar mati-matian mempertahankan kota. Biarpun beruntun 3 hari Mo bersaudara coba menggempur kota See- kie, namun usaha mereka selalu kandas, karena disambut oleh lawan yang pantang menyerah dengan menghujani batu, hingga banyak prajurit yang luka. Terpaksalah Mo bersaudara menarik kembali pasukannya ke perkemahan, merundingkan cara lain untuk dapat menjebol pertahanan kota See-kie. Kemudian mereka bersepakat untuk melontarkan senjatasenjata pusaka mereka ke angkasa, agar kota See-kie tenggelam. Dalam pada itu Kiang Chu Gie mengajak para panglima dan perwira berunding, mencari daya menghadapi Mo bersaudara. Tapi belum lagi mereka menemukan cara terbaik, tiba-tiba te lah bertiup angin topan yang disertai hujan lebat. Chu Gie segera memasang hio (dupa linting) dan dengan menggunakan uang emas meramalkan apa yang sedang dan akan terjadi. Seketika dia jadi terperanjat, karena berdasarkan ramalannya,bahwa pihak lawan bermaksud menenggelamkan kota See-kie dengan menggunakan kesaktian senjata mereka. Chu Gie segera mandi, menukar pakaian dan membiarkan rambutnya terurai lepas. Bersujud ke arah Kun Lun-san sambil memegang pedang, membaca mantera. Demikianlah maka air segera surut hingga kota See-kie terhindar dari genangan air, manakala dibiarkan akan tenggelam. Regu dari pasukan kerajaan Touw (Siang) yang ditugaskan mengamati perkembangan kota See-kie, segera melaporkannya pada Mo bersaudara. Mo Lee Cheng dan ketiga saudaranya sangat terkejut mendapat laporan itu, sebab biasanya senjata pusaka mereka amat ampuh, apa yang mereka harapkan akan menjadi kenyataan. Mereka segera ke luar kemah, menyaksikan bahwa tembok kota See-kie tetap berdiri tegak, sama sekali tidak mengalami kerusakan. Saking penasaran, keesokan harinya Mo bersaudara menuju ke pintu gerbang kota, menantang perang lagi. Namun tidak dihiraukan oleh pihak See-kie. ***** Giok Teng Cin-jin dari goa Kim-shia di gunung Giok-choan, telah menitah muridnya yang bernama Yo Chian berangkat ke See-kie untuk membantu Kiang Chu Gie menghadapi Mo bersaudara. Yo Chian pamit pada gurunya, berangkat ke kota See-kie. Chu Gie menyambut gembira kedatangan Yo Chian. Yo Chian memberitahukan maksud kedatangannya, kemudian meminta Chu Gie mengangkat papan penundaan perang. Esok paginya Mo bersaudara datang lagi, menantang perang. Yo Chian keluar dari pintu gerbang kota, menyambut tantangan tersebut. Setelah masing-masing memberitahukan namanya, terjadilah pertarungan yang timpang, Yo Chian seorang diri menghadapi 4saudara Mo. Yo Chian sungguh sangat perkasa, biarpun hanya seorang diri, dia mampu menghadapi lawan-lawannya yang rata-rata berkepandaian tinggi itu. Keadaan itu membuat Mo Lee Siu jadi tak sabar, sebab bila bertanding dengan menggunakan ilmu silat, sulit bagi mereka untuk mengalahkan Yo Chian. Maka dia lantas mengeluarkan 'Hoa Ho Tiauw' dari kantong pusakanya. Sungguh hebat, 'Rase Kembang'-nya Mo Lee Siu ternyata dapat memangsa Yo Chian, menelannya bulat-bulat. Kiang Chu Gie amat terperanjat menyaksikan perkembangan yang benar-benar di luar dugaannya itu. Di lain pihak, keempat saudara Mo jadi kegirangan. Lee Siu lalu memerintahkan 'Hoa Hoa Tiauw untuk memangsa juga Chu Gie dan Bu Ong. Namun mereka tak menyangka kalau Yo Chian yang memiliki kesaktian luar biasa, dapat merobah-robah dirinya sampai 72 macam (seperti Sun Go Kong dalam cerita See Yu Kie). Dia sengaja membiarkan dirinya ditelan dan begitu berada di dalam perut 'Rase Kembang', langsung saja dia merenggut jantung 'Hoa Ho Tiauw' itu, hingga binatang tersebut mati seketika. Yo Chian segera keluar dari dalam perut bangkai si Rase, kembali ke gedung Perdana Menteri menemui Kiang Chu Gie, menceritakan apa yang telah dialaminya. Chu Gie girang sekali. Yo Chian mengutarakan siasatnya untuk mencuri bendabenda pusaka milik Mo bersaudara. Kiang Chu Gie langsung menyetujui rencana Yo Chian, hanya berpesan supaya dia bersikap hati-hati dalam melaksanakan tugasnya itu. Selepas kentongan pertama, Yo Chian menggunakan kesaktiannya, masuk ke dalam perkemahan Mo bersaudara dan berhasil mencuri 'Cin Cu Kun Goan Shan' (Payung Mutiara) milik Mo Lee Ang,membawanya ke See-kie. Kim Cha, Bhok Cha dan Na Cha yang sempat menyaksikan perbuatan Yo Chian, memuji kesaktiannya. Setelah menyerahkan payung pusaka lawan pada Chu Gie, Yo Chian lalu merobah bentuk dirinya sebagai 'Hoa Ho Tiauw, pergi lagi ke perkemahan musuh, masuk ke dalam 'kantong kulit macan tutul' milik Mo Lee Siu, menanti kesempatan baik untuk mencuri benda pusaka Mo bersaudara lainnya. *** Hari itu perasaan Cheng Sie To Tek Chin Kun tak tenang, Berkat ketepatan ramalannya, ia dapat mengetahui, bahwa kota See-kie tengah diserang oleh musuh yang sakti. Maka dia segera menyuruh Kim Shia Tongcu memanggil Oey Thian Hoa. Tak lama Thian Hoa datang, berlutut di hadapan gurunya seraya bertanya.
"Ada titah apa Suhu memanggil Teecu?".
"Kini telah tiba saatnya kau turun gunung", Dewa Cheng Sie To Tek menerangkan.
"kau bersama ayahmu harus membuat jasa bagi dinasti Chiu!".
"Teecu siap melaksanakan perintah Suhu", ucap Oey Thian Hoa segera, hormat sekali sikapnya. Mari ikut aku!", Dewa Cheng Sie To Tek mengajak muridnya ke taman bunga To yang terletak di belakang pertapaannya. Thian Hoa mengikutinya. Dewa Cheng Sie To Tek mengajarkan muridnya 'Chui Hoat' (Ilmu Gada). Thian Hoa yang cerdas, dalam sekejap telah mahir memainkan sepasang gada. Kemudian Dewa Cheng Sie To Tek Chin Kun menghadiahkan 'Giok Kie Lin' (Kie Lin Kumala) untuk tunggangan muridnya dalam menghadapi lawan. Oey Thian Hoa pamit pada gurunya, berangkat ke kota Seekie.Setelah bertemu dengan Chu Gie, Thian Hoa memberitahukannya, bahwa kedatangannya ke See-kie adalah atas perintah gurunya untuk membantu Bu Ong membangun dinasti Chiu. Kiang Chu Gie girang mendengar Thian Hoa, segera memanggil Oey Hui Houw untuk dipertemukan dengan anaknya. Oey Hui Houw amat gembira dapat kumpul kembali dengan anak sulungnya. Keesokan harinya Oey Thian Hoa keluar pintu gerbang kota, menyambut tantangan Mo Lee Cheng. Walau Thian Hoa cukup mahir ilmu gadanya, namun setelah bertanding belasan jurus, dirinya dapat dilukai oleh 'Pek Giok Cho' (Gelang Wasiat Kumala Putih)-nya Mo Lee Cheng, hingga jatuh dari binatang tunggangannya, Mo Lee Cheng yang kejam, bermaksud menghabisi nyawa Thian Hoa dengan menusukkan tombaknya. Untung Na Cha yang sejak semula memperhatikan jalannya pertarungan, segera maju dan menangkis serangan tombak Mo Lee Cheng yang diarahkan ke dada Thian Hoa, dengan begitu selamatlah nyawa anak sulung Oey Hui Houw tersebut. Mo Lee Cheng jadi marah terhadap Na Cha, melontarkan 'Pek Giok Cho'-nya ke diri Lo Chia (Na Cha). Namun Na Cha tidak gentar, melontarkan ?Kan Kun Choan' yang telah diperolehnya kembali dari dalam 'Payung Mutiara' milik Mo Lee Ang, yang berhasil dicuri Yo Chian. Kedua gelang pusaka itu saling berbenturan dan adu kesaktian, ternyata 'Gelang Kumala Putih' Mo Lee Cheng kalah sakti, hancur berkeping-keping. Lee Cheng amat terperanjat, tak berani melawan lebih jauh, menarik pasukannya mundur ke perkemahan. Na Cha tidak mengejarnya, membawa Oey Thian Hoa yang tengah sekarat kembali ke dalam kota. Bersamaan dengan itu, berkat kesaktiannya, Cheng Sie To Tek ChinKun, tahu kalau muridnya mengalami mala-petaka, segera menitah murid lainnya, Beng Goat To-tong, untuk membawa Thian Hoa kembali ke tempat persemayamannya di goa Che-yang. Sesampai di hadapan sang guru, Dewa Cheng Sie To Tek mengambil semangkok air, melarutkan sebutir pil, menyuruh To tong meminumkannya pada Thian Hoa. Tak lama kemudian Oey Thian Hoa siuman dari pingsannya. Begitu melihat gurunya, dia segera berlutut di hadapannya sambil mengucapkan terima kasihnya. Dewa Cheng Sie To Tek memberikan sebuah benda pusaka yang bernama 'Choan Sim Teng (Paku Penembus Jantung) dan menyuruh muridnya segera kembali ke See-kie untuk membantu Bu Ong menghadapi lawan. Oey Thian Hoa pamit pada gurunya, berangkat ke See-kie dengan berlari cepat bagaikan terbang. Beberapa waktu kemudian, dia pun tiba di kota yang dimaksud. Kiang Chu Gie dan Oey Hui Houw amat girang dan bersyukur ketika melihat Thian Hoa kembali dan telah sembuh dari lukanya. Pada pagi harinya Oey Thian Hoa mendatangi perkemahan Mo bersaudara, menantang mereka berperang tanding. Mo Lee Cheng amat gusar mendengar tantangan itu, segera keluar dari perkemahan, menyambut tantangan Thian Hoa. Setelah bertempur beberapa jurus, Oey Thian Hoa berpurapura kewalahan, melarikan diri. Mo Lee Cheng mengejarnya. Tiba-tiba Thian Hoa mengeluarkan 'Choan Sim Teng', melontarkan ke arah lawan. Senjata pusaka itu memancarkan sinar kemilau, amat menyilaukan pandang. Mo Lee Cheng tak sempat mengelak, dadanya tertancap 'Paku Wasiat', jatuh terguling dan tewas.Mo Lee Siu bersama dua saudara lainnya sangat gusar menyaksikan saudara mereka tewas di tangan lawan, serentak maju mengeroyok Thian Hoa. Na Cha yang khawatir Thian Hoa tak sanggup menghadapi mereka, segera maju membantunya. Tak tahunya, sebelum dia tiba di medan laga, Thian Hoa kembali telah berhasil menewaskan Mo Lee Hay dan Mo Lee Ang dengan 'Choan Sim Tengnya. Tinggal lagi Mo Lee Siu, yang tambah marah menyaksikan tiga saudaranya tewas oleh 'Paku Penembus Jantung' milik Oey Thian Hoa. Kian besar nafsunya untuk membalas dendam, merogoh kantong pusakanya, bermaksud mengeluarkan 'Hoa Ho Tiauw nya. Dia tak tahu kalau 'Rase Kembang' yang berada di dalam kantong itu adalah penjelmaan Yo Chian, yang langsung menggigit tangan kanan Lee Siu hingga putus. Dalam pada itu Oey Thian Hoa telah pula melontarkan paku wasiatnya, berhasil menewaskan Lee Siu. Dengan demikian tamatlah sudah riwayat Mo bersaudara. Oey Thian Hoa, Na Cha dan Yo Chian bersama-sama menghadap Kiang Chu Gie, melaporkan kemenangan mereka. Chu Gie amat gembira dan berterima kasih akan jasa mereka. Arwah Mo bersaudara melayang ke Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat. Sisa prajurit dari pasukan kerajaan Touw yang masih selamat, kembali ke kota-raja, melaporkan tewasnya pimpinan mereka. Bu kieKim ChaBhok ChaLouw HiongEMPAT Bun Taysu terperanjat dan geram sekali ketika mendengar kematian keempat saudara Mo, lalu menemui Tiu Ong (Touw Ong), meminta restu Kaisar untuk memimpin langsung penyerbuan ke See-kie. Touw Ong meluluskan permintaannya. Bun Taysu segera menyiapkan pasukan, meninggalkan kotaraja. Tapi baru saja dia berangkat, binatang tunggangannya, seekor Kie Lin hitam, mendadak meraung dan melemparkan sang Taysu ke tanah.
"Ini alamat tak baik, Taysu", kata seorang pembantunya sambil membantu Bun Taysu bangun.
"sebaiknya Taysu mengutus orang lain untuk menggempur See-kie".
"Tak apa-apa", Bun Taysu membersihkan pakaiannya dari debu.
"binatang tungganganku memang sering ngambeg". Perjalanan dilanjutkan, menempuh jalan melalui kota Cheng-liong- koan. Namun perjalanan ini agak sulit, turun naik melintasi tanah pegunungan, hingga banyak waktu yang terbuang Pada suatu hari tibalah mereka di Huang Hoa-san. Bun Taysu memerintahkan untuk mendirikan kemah di situ. Sedang dia sendiri memeriksa keadaan sekitarnya dengan menunggang Kie Lin hitamnya. Terlihat olehnya di bagian depan sebuah tanah lapang, amat indah panorama seputarnya. Selagi Bun Taysu asyik memperhatikan kepermaian alam, tiba-tiba terasa ada samberan angin, disusul munculnya seseorang yang langsung menyerang dengan kapak. Bun Taysu cepat menangkis serangan tersebut dengan 'Kim Pian' (Ruyung Emas)-nya. Setelah bertarung beberapa jurus, Bun Taysu memutar binatang tunggangannya, meninggalkan lawannya.Sang lawan yang mengenakan seragam perwira, mengejarnya. Tiba-tiba dari arah kiri muncul dua orang yang berseragam perwira juga, menyerang Bun Taysu. Bun Taysu tak berselera melayani mereka bertanding, mengacungkan ruyung emasnya ke arah sebuah batu besar sambil membaca mantera. Batu besar itu runtuh, menindih ketiga lawannya. Bun Taysu tak menghiraukannya ketiga lawannya, kembali ke atas gunung sambil memperhatikan panorama di seputarnya. Tiba-tiba dari angkasa terdengar suara angin dan gledek, disusul meluncur turun seorang bertampang mirip burung dan bersayap. Sebelah tangannya memegang 'Chui Chan' (Palu), menghantam kepala Taysu. Bun Taysu menangkis dengan ruyung emasnya, kemudian balas menyerang, yang membuat sang lawan terbang menjauh. Bun Taysu tak mempedulikannya, meneruskan jalannya.
"Jangan harap kau dapat lolos dari tangan Shin Hoan!", seru sang lawan sambil mengejar. Sikap Bun Taysu tetap tenang, mengacungkan ruyungnya ke batu gunung. Batu gunung itu mendadak runtuh, menindih tubuh Shin Hoan hingga tak dapat berkutik lagi. Bun Taysu bermaksud meninggalkan tempat itu.
"Tunggu pak!", tiba- tiba Shin Hoan berseru.
"Ada apa?"), Bun Taysu berpaling.
"Sudilah bapak memaafkan atas kekasaran saya tadi", kata Shin Hoan dengan nada minta dikasihani.
"kalau boleh saya tahu, siapa bapak?".
"Aku Bun Taysu dari kota-raja", sahut Taysu.
"Bila Taysu membebaskan Siao-jin, saya akan mengabdi pada Taysu", janji Shin Hoan. Bun Taysu menatap manusia yang berwajah mirip burung itu, seakan sedang mempertimbangkannya. Kemudian dia meminta bantuan Malaikat Oey Cheng Lek Su untuk mengangkat batu besar yangmenindih tubuh Shin Hoan. Begitu bebas dari tindihan batu, Shin Hoan segera berlutut di hadapan Bun Taysu seraya mengucapkan terima kasihnya, kemudian memohon .
"Tolonglah Taysu membebaskan juga tiga saudara saya, agar mereka dapat mengabdi pula pada Tay su".
"Di mana saudaramu?", tanya Bun Taysu, walau sesungguhnya dia telah dapat menduga siapa yang dimaksud.
"Tiga orang yang menyerang Taysu tadi", sahut Shin Hoan. Sang Taysu kembali mengacungkan ruyung emasnya ke angkasa, segera terdengar suara halilintar, batu yang menindih ketiga saudara Shin Hoan seketika lenyap. Bagaikan orang yang baru sadar dari mimpi buruknya, mereka memperhatikan sekelilingnya. Mereka sangat heran campur marah ketika melihat Shin Hoan berdiri di sisi lawan.
"Lekas tangkap siluman itu, Hian-tee!", kata salah seorang di antaranya pada Shin Hoan.
"Heng-tay salah paham, dia bukan siluman, tapi Bun Taysu dari kota- raja", Shin Hoan menerangkan.
"Taysu inilah yang telah membebaskan kita dari tindihan batu. Aku telah berjanji untuk mengabdi padanya, kuharap Heng-tay juga mengikuti jejakku". Sesungguhnya Shin Hoan telah mengangkat saudara dengan tiga orang yang berseragam perwira itu, masing-masing bernama Teng Tiong, Thio Kiat dan To Yong.
"Semula kami bermaksud menghimpun pasukan untuk melakukan pemberontakan terhadap kerajaan Touw yang kami nilai menjalankan roda pemerintahan dengan tangan besi", kata Shin Hoan.
"tak tahunya penilaian kami keliru. Sebab Bun Taysu ternyata seorang yang bijaksana, maka saya rela mengabdikan diri". Sikap Shin Hoan diikuti oleh ketiga saudara angkatnya, Mereka mengabdi pada Bun Taysu bersama pasukan yang telahberhasil mereka himpun. Bun Taysu yang memang sedang membutuhkan tenaga orang gagah dan bala tentara, menerima mereka dengan tangan terbuka, mengajak mereka menuju ke See-kie. Setelah berjalan sekian waktu, pada suatu hari mereka melintasi kaki sebuah bukit. Di pinggir jalan terdapat sebuah batu yang bertuliskan 'Kut Liong-leng' (Bukit Membunuh Naga). Bun Taysu bengong ketika melihat tulisan itu. Teng Tiong heran menyaksikan sikap sang Taysu, bertanya.
"Kenapa Taysu bengong?".
"Guruku, Kim Leng Seng Bo, telah berpesan, bahwa seumur hidupku pantang melihat huruf 'Kut', tapi kenyataannya sekarang di luar dugaan aku telah membaca 'Kut Liong-leng', yang mungkin akan membawa mala-petaka bagiku". (Kut berarti Membunuh atau Memusnakan).
"Jangan Taysu terlampau mencemaskan hal itu", Teng Tiong berusaha menenangkan perasaan Bun Taysu.
"Mati hidupnya seseorang, juga nasibnya, berada di tangan Thian". Teng Tiong mengajak sang Taysu melanjutkan perjalanan. Beberapa waktu kemudian tibalah mereka di pintu gerbang Selatan kota See- kie. Bun Taysu memerintahkan untuk mendirikan perkemahan di situ. Kedatangan pasukan di bawah pimpinan Bun Taysu segera diketahui oleh petugas keamanan kota See-kie, yang langsung melaporkannya pada Kiang Chu Gie. Petugas itu menyatakan, bahwa Bun Taysu telah datang bersama 300.000 prajurit dan kini mendirikan perkemahan di luar pintu gerbang Selatan. Mendengar laporan itu, Chu Gie segera mengatur siasat untuk menghadapi lawan.Esoknya Bun Taysu memimpin pasukannya, menantang perang pihak See-kie. Kiang Chu Gie keluar dari pintu gerbang kota dengan menunggang 'See Put Siang', didampingi oleh Oey Hui Houw yang menunggang kerbau saktinya. Begitu berhadapan muka, Chu Gie menyoja pada Bun Taysu .
"Terimalah hormat saya, Taysu".
"Sebagai orang yang pernah bertapa puluhan tahun di Kun Lun-san, kenapa tindakanmu begitu ceroboh?", tanya Bun Taysu.
"Justeru karena saya pernah belajar di istana Giok Sie di Kun Lun-san, saya jadi tahu mana yang patut dilakukan dan mana yang tidak. Saya selalu berusaha untuk bertindak adil dan mentaati perintah Thian, patuh pada Raja yang bijaksana dan berusaha membimbing rakyat yang berada di kegelapan ke tempat yang terang".
"Tapi kau dengan seenaknya saja mengangkat majikanmu sebagai Raja dan bersedia pula menerima serta memberi jabatan penting pada Oey Hui Houw yang telah berkhianat pada kerajaan Touw. Dan ketika pasukan Kaisar datang, bukan saja tidak kau sambut baik-baik, malah memeranginya, hingga banyak perwira dan prajurit yang gugur. Patutkah perbuatanmu itu?".
"Maaf Taysu, dalam beberapa hal saya tidak sependapat dengan Taysu", kata Chu Gie.
"Memang saya belum meminta restu Kaisar, tapi apa salahnya seorang putera Raja-muda menggantikan tahta ayahnya? Mengenai kasus Oey Hui Houw, tidaklah patut kita menyalahkannya. Bukankah ada pepatah yang mengatakan . Bila Raja tidak adil, hamba-hambanya akan mengabdi pada Raja lain yang lebih bijaksana!? --- Mengenai gugurnya para perwira dan prajurit Siang, mereka sendirilah yang mencari kematian di sini. Saya mengharap Bun Taysu sudi mempertimbangkan segalanya itu dengan kepala dingin, kemudian menarik pasukan dari sini, agar tak sampai terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan!".Bun Taysu bukan saja tak sudi mendengar saran Chu Gie, malah panas hatinya diminta menarik pulang pasukannya. Memerintahkan para pembantunya untuk menangkap Chu Gie dan Oey Hui Houw. Teng Tiong mengeprak kudanya, melancarkan serangan. Namun kehadirannya telah disambut oleh Oey Hui Houw. Thio Kiat bermaksud membantu dengan mengayun-ayunkan kapak bergagang panjangnya, tapi dirinya dihadapi oleh Lam Kong Koa. To Yong segera maju membantu saudara angkatnya, tapi langsung dihadang oleh Bu Kie. Maka berlangsunglah pertarungan sengit dari enam orang yang terbagi dalam tiga kelompok. Sekalipun telah berlangsung sampai 50 jurus lebih, tapi tetap belum dapat diketahui siapa yang akan jaya. Menyaksikan keadaan itu, Bun Taysu memacu Kie Lin hitamnya sambil melontarkan sepasang ruyung emasnya ke arah Bhok Cha yang berdiri di sisi. Bhok Cha ternyata tajam telinganya, begitu mendengar ada samberan angin, langsung melompat ke sisi menghindari serangan lawan. Sementara itu Kim Cha telah melompat maju, menangkis sepasang ruyung Bun Taysu dengan pedangnya, hingga benda itu terpental balik ke pemiliknya. Bun Taysu menangkap sepasang ruyungnya, kepalanya mengepulkan asap saking menahan dongkol yang luar biasa, juga penasaran. Sebab biasanya serangannya tak pernah gagal. Kembali dia melontarkan ruyungnya dan usahanya sekali ini berhasil, bukan saja telah melukai Bhok Cha dan Kim Cha, bahkan banyak perwira See-kie terkena gempuran sepasang senjata pusaka Bun Taysu tersebut. Chu Gie yang menderita kekalahan, cepat menarik pasukannya ke dalam kota, lalu berunding dengan para pembantunya untuk mencari siasat dalam menghadapi lawan.
"Sebaiknya kita beristirahat dulu dalam satu, dua hari ini pak. Untukmemberi kesempatan mengobati orang-orang yang terluka dan beristirahat beberapa saat untuk memulihkan tenaga". Usul itu disetujui Chu Gie. Hari ke tiganya barulah Kiang Chu Gie memimpin pasukannya keluar dari pintu gerbang kota. Seorang prajurit kerajaan Touw melaporkan perkembangan itu pada Bun Taysu. Bun Taysu bersama anak buahnya keluar kemah, menyambut kehadiran pasukan See-kie. Segera terjadi pertarungan sengit antara Chu Gie dengan Bun Taysu. Na Cha dan Yo Chian yang berada di sisi kiri dan kanan Chu Gie, ikut pula membantu menyerang Bun Taysu, hingga sang! Taysu berangsur- angsur jadi kewalahan juga, terpaksa harus mengeluarkan sepasang ruyung pusakanya, melontarkannya ke angkasa. Sekali ini Chu Gie telah pula melakukan persiapan, cepat! melontarkan 'Ta Sin Pian' (Ruyung Pemukul Dewa)-nya dan berhasil mematahkan sepasang ruyung Bun Taysu, bahkan ke mudian sang Taysu sendiri kena dihajarnya hingga jatuh terjungkal dari binatang tunggangannya. Untung Kie Lek dan Yu Cheng segera datang menolongnya, hingga Bun Taysu terhindar dari sergapan musuh. Bun Taysu melarikan diri dengan menempuh jalan bawah tanah. Kiang Chu Gie beserta pasukannya kembali ke dalam kota, kemudian merundingkan siasat berikutnya. Yo Chian mengusulkan, sebaiknya memanfaatkan kesempatan selagi lawan sedang turun mental akibat kekalahan yang dideritanya, untuk melancarkan serangan berikutnya. Chu Gie dan lain-lainnya menyetujui usul itu, memutuskan menyerang perkemahan Bun Taysu selepas kentongan pertama. Sementara itu Bun Taysu seakan mendapat firasat buruk, lalu menujumkan apa yang akan terjadi.Dari hasil p?tangannya dapat diketahui, bahwa pihak Seekie akan melancarkan serangan malam nanti. Maka dia pun me ngatur siasat untuk menghadapinya. Memerintahkan Teng Tiong dan Thio Kiat menjaga sektor kiri perkemahan. Sedang Shin Hoan dan To Yong diperintahkan menjaga sektor kanan. Kie Lek dan Yu Cheng memimpin sejumlah prajurit menjaga depan kemah. Bun Taysu sendiri akan bersiaga di bagian tengah. Selepas kentongan pertama, terdengar suara ribut-ribut di depan kemah, Na Cha dan Oey Thian Hoan melakukan penyerangan dari muka. Oey Hui Houw, Oey Hui Piao, Oey Beng dan beberapa perwira lainnya menyerang dari sisi kiri perkemahan. Lam Kong Koa, Shin Chia, Shin Bien melancarkan serangan dari sisi kanan. Kiang Chu Gie yang didampingi Bu Kie dan Liong Sie Houw, turut menyerbu di belakang Na Cha. Bun Taysu menunggang Kie Lin hitamnya, menyambut serangan lawan dengan ruyungnya. Oey Thian Hoa, Kim Cha, Bhok Cha dan Na Cha segera mengurung Bun Taysu, terjadilah pertempuran yang cukup sengit, untuk sementara belum dapat diketahui siapa yang akan unggul. Yo Chian memanfaatkan kekalutan suasana untuk menyerang bagian belakang, menggempur para prajurit yang ditugaskan menjaga perbekalan. Dalam sekejap dia telah berhasil membikin kucar-kacir para prajurit dan membakar kemah yang berisi perbekalan lawan tersebut. Sebentar saja api berkobar dengan ganasnya, memusnakan semua benda yang ada. Bun Taysu gugup ketika menyaksikan kemah belakang dilahap api, meninggalkan medan laga, segera melarikan diri dengan menempuh jalan bawah tanah ...... *** In Tiong Cu yang bermukim di Chong Lam-san, melalui kesaktiannya dapat mengetahui kalau Bun Taysu telah memimpin langsung pasukankerajaan Touw, untuk menghancurkan pemerintahan Bu Ong yang kini berpusat di See-kie. Dia segera menyuruh muridnya, Lui Chin Cu, turun gunung.
Penganugerahan Para Malaikat Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Segeralah kau berangkat ke See-kie untuk mendirikan jasa bagi dinasti Chiu", katanya pada muridnya.
"Bila di perjalanan kau bertemu dengan manusia bersayap sepertimu, tawanlah dia dan bawa ke See-kie!".
"Baik Suhu". Lui Chin Cu pamit pada gurunya, membentangkan 'Sayap Angin dan Gledek', melayang ke angkasa menuju ke See-kie, hendak membantu Bu Ong, saudara angkatnya. Ketika hampir tiba di tempat yang dituju, terlihat olehnya Bun Taysu bersama pasukannya melarikan diri dari kejaran pihak See-kie. Lui Chin Cu berpendapat, pada saat itulah yang tepat baginya untuk mendirikan jasa bagi Chiu Bu Ong. Dia segera meluncur turun, menyerang Bun Taysu. Bun Taysu yang sedang patah semangat akibat kekalahannya, tak berselera untuk melayani serangan Lui Chin Cu. Tapi Shin Hoan yang mendampingi Bun Taysu segera terbang menyambut serangan Lui Chin Cu. Terjadilah perang tanding yang hebat di angkasa antara dua manusia bersayap itu. Setelah berlangsung beberapa saat, Shin Hoan mulai terdesak, akhirnya melarikan diri. Lui Chin Cu mengejarnya, tapi lawannya keburu menghilang. Dia melanjutkan perjalanan ke kota See-kie. Dalam pada itu, Bun Taysu yang mengalami kekalahan tragis, terus melarikan diri bersama pasukannya sampai sejauh 70 li dari kaki gunung Kie-san, mendirikan perkemahan di situ. Ketika dia memeriksa pasukan, ternyata kehilangan 20.000 prajurit, menjadikannya sangat sedih. Dia memutuskan untuk pergi meminta bantuan para sahabatnya yang tinggi ilmunya, menitah Teng Tiongdan Shin Hoan untuk menjaga baik-baik perkemahan, Bun Taysu berangkat ke 'Pulau Kura-kura Emas' dengan menunggang Kie Lin hitamnya. Namun pulau itu ternyata kosong, tak tahu dia ke mana perginya para sahabatnya!? Selagi dia kebingungan, kebetulan bertemu dengan Han Kie Sian, pertapa wanita, yang merupakan sahabatnya juga.
"Teman-teman lainnya pada pergi ke 'Pulau Menjangan Putih' Taysu, mereka berupaya untuk menyusun 'barisan gaib'. Setelah siap, nantinya akan digunakan membantu Toyu dalam menumpas lawan", Kie Sian menerangkan.
"Toyu dapat menemui mereka di pulau itu". Bun Taysu mengucapkan terima kasih, langsung berangkat ke pulau yang dimaksud dan berhasil menemui 9 Tosu (Pendeta Taois) yang menjadi sahabatnya.
"Liatwi Toyu (para sahabat Taois)", sapanya kegirangan. Para Tosu menghampiri Bun Taysu dengan wajah berseri.
"Sungguh kebetulan Toheng ke mari", kata salah seorang di antara mereka.
"kami memang bermaksud menemui Toheng setelah berhasil menyusun barisan gaib, membantumu menggempur pihak See-kie".
"Saya bersyukur kalian bersedia membantu saya", girang benar hati Bun Taysu.
"Sudah selesaikah Toyu menyusun barisan gaib itu?"
"Baru saja rampung"
Sahut Tosu yang berkata tadi.
Kesembilan Tosu yang berada di pulau Menjangan Putih itu, masing- masing bernama Chin Wan, Tio Kiang, Tong Choan.
Wan Kak, Sun Liang, Pek Lip, Yao Pin, Ong Ek dan Thio Sao.
Mereka berangkat ke See-kie dengan naik awan, dalam sekejap telah tiba di tempat tujuan.
Kie Lek, Shin Hoan, Thio Kiat dan lain-lainnya menyambut kembalinya Bun Taysu bersama sembilan sahabatnya.
Semula Bun Taysu bermaksud segera menyerang See-kie lagi, tapi telah dicegah oleh Chin Wan, yang meminta sang Taysu bersabar,sebab Kim Kong Sengbo, seorang pertapa wanita yang jadi sahabat mereka, belum datang.
"Masih lamakah ia menyusun barisan gaibnya?", tanya Bun Taysu.
"Aku yakin takkan lama lagi", sahut Chin Wan Tojin.
"Kini dia sedang menyiapkan barisan gaibnya di pulau Mega Putih". Nyatanya, tak lama kemudian Kim Kong Sengbo telah muncul di hadapan mereka. Setelah kesepuluh orang sahabatnya kumpul, Bun Taysu membawa pasukannya ke depan kota See-kie lagi, membangun kemah dan menempatkan 10 barisan gaib di situ. Pada pagi harinya Bun Taysu menantang Kiang Chu Gie berperang tanding. Mendengar dirinya ditantang, Chu Gie keluar pintu gerbang dengan menunggang 'See Put Siang', didampingi oleh Na Cha, Oey Thian Hoa, Lui Chin Cu dan Yo Chian. Terlihat oleh Chu Gie, di pihak musuh terdapat beberapa Tosu. Masing-masing kulit Tosu itu berbeda satu dengan lainnya. Ada yang berkulit kuning, hitam, putih, hijau dan merah. Masing-masing menunggang Menjangan. Sebelum Chu Gie sempat berkata, Chin Wan tampil ke depan dan bertanya.
"Kenapa kau memusuhi para Taois?".
"Toyu salah paham, aku sama sekali tidak memusuhi pihak manapun", Chu Gie coba menerangkan.
"Tapi nyatanya kau telah membunuh empat Taois dari pulau Sembilan Naga dan juga Mo bersaudara! Kedatangan kami ke mari adalah ingin mengadu kepandaian denganmu, bukan memakai prajurit atau kekerasan, tapi dengan kesaktian". Ujar Chin Wan, yang tampaknya ingin membalas sakit hati temanteman sealirannya.
"Semua itu sudah merupakan kehendak Thian", tetap sabar sikap Chu Gie.
"Touw Ong sangat kejam, selalu memburu kesenangan tanpa menghiraukan penderitaan para Menteri dan pembantu lainnya yangsetia, tapi lebih percaya pada orang yang pandai menjilat, tamak lagi keji hatinya. Membuat roda pemerintahan amat kacau dan kehidupan rakyat amat mende rita".
"Jadi menurutmu, Chiu Bu Ong patut dijadikan junjungan? Tapi sebaliknya kami akan membela Tiu Ong (Touw Ong) dan menumpas Bu Ong --- Untuk menghindari jatuhnya banyak korban, sebaiknya kita mengadu kesaktian".
"Caranya?", tanya Kiang Chu Gie.
"Mudah saja", Chin Wan tersenyum luar biasa.
"Kami akan membentuk 10 barisan gaib, bila kau mampu menghancurkannya, kami menyerah kalah. Tapi bila kau gagal, kalian harus takluk pada Touw Ong".
"Aku tak keberatan", sahut Chu Gie segera.
"Silakan kau ikut aku untuk melihat-lihat barisan kami. Setelah itu kau boleh cari cara untuk menghancurkannya", tantang Chin Wan. Kiang Chu Gie mengajak Na Cha, Yo Chian, Oey Thian Hoa dan Lui Chin Cu untuk memeriksa ke-10 barisan gaib lawan. Di muka 'Tin' (Barisan) itu masing-masing diberi nama. Barisan pertama dinamakan 'Thian Kut Tin' (Barisan Pemusna Langit); ke dua Tee Liat Tin' (Barisan Perkosaan/Pemecah Bumi); ke tiga 'Hong Hou Tin' (Barisan Angin Merintih/Me nangis); ke empat 'Han Peng Tin' (Barisan Dinginnya Es); ke lima 'Kim Kong Tin' (Barisan Sinar Emas); ke enam 'Hoat Soat Tin' (Barisan Lebur Jadi Darah); ke tujuh 'Liat Yam Tin' (Barisan Api Membara); ke delapan 'Lok Hun Tin' (Barisan Pencabut Arwah); ke sembilan 'Ang Sui Tin' (Barisan Air Merah) dan ke sepuluh 'Ang Sha Tin' (Barisan Pasir Merah). Kiang Chu Gie heran campur kaget menyaksikan barisan gaib lawan, berjanji akan datang lagi beberapa hari kemudian. Namun sesungguhnya Chu Gie bingung menghadapi 'Tin' lawan, kembali ke dalam kota See-kie dengan sikap murung. Di luar tahu Kiang Chu Gie dan teman-temannya, di kubu pasukanTouw, Yao Pin telah berhasil menarik anasir arwah Chu Gie dari atas barisan gaibnya, membuat Perdana Menteri See-kie itu seperti orang kebingungan, bahkan sekembalinya ke rumah, dia langsung jatuh pingsan. Keadaan itu membuat orang-orang Bu Ong jadi amat gugup, segera melaporkannya pada Raja mereka. Bu Ong amat terperanjat ketika mendengar kabar itu, segera datang ke tempat Chu Gie. Pada saat itu Yao Pin telah berhasil menarik dua dari ketiga anasir arwah Hun dan enam dari ketujuh anasir arwah Pe-nya Chu Gie. Sedang anasir terakhir dari arwah Chu Gie telah pula meninggalkan jasadnya, hingga tubuh Kiang Chu Gie menjadi kaku, seakan telah meninggal dunia. Bu Ong amat sedih menyaksikan keadaan itu. Para pejabat lainnya banyak yang diam-diam mengucurkan air mata.
"Kematian Paman-guru tidak wajar", kata Yo Chian sambil bersedu- sedan.
"Pasti dikerjai lawan". Sementara itu, anasir terakhir dari arwah Chu Gie telah melayang ke 'Hong Sin Tay' (Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat), tapi Malaikat Po Chian yang tahu Chu Gie belum waktunya meninggal, menolak arwah tersebut masuk ke pesanggrahan. Kebetulan pada saat itu Lam Khek Sian Ang sedang memetik daun obat di kaki gunung tersebut. Begitu melihat arwah Chu Gie, dia langsung menangkapnya, memasukkannya ke dalam Buli-buli (Cupu), kembali ke istana Giok Sie, menyerahkan Buli-bulinya pada Chi Ching Cu sambil memberitahukan ada arwah Chu Gie di dalamnya. Chi Ching Cu langsung berangkat ke See-kie dengan menempuh jalan bawah tanah, tak lama tibalah dia di rumah Perdana Menteri. Yo Chian yang menyambut kedatangannya. Setelah menjalankan penghormatan, Yo Chian memohon Chi Ching Cu berusaha menyelamatkan nyawa Chu Gie."Di mana Chu Gie sekarang?", tanya Chi Ching Cu. Yo Chian segera mengantar Ching Cu ke kamar Chu Gie. Terlihat olehnya Kiang Chu Gie berbaring kaku dengan mata terpejam.
"Dia masih dapat diselamatkan", kata Ching Cu setelah memeriksa keadaan Chu Gie. Keterangan itu melegakan hati orang-orang yang berkumpul di ruang tersebut. Setiba kentongan ketiga, Chi Ching Cu berangkat ke luar kota. Terlihat olehnya, dari dalam sepuluh barisan gaib lawan mengepulkan asap hitam yang melambung tinggi ke angkasa. Di sana-sini ramai terdengar tangisan hantu, membuat suasananya amat menyeramkan. Chi Ching Cu menudingkan jari ke tanah sambil berkemakkemik membaca mantera. Di permukaan tanah segera muncul dua kuntum bunga Lotus (Teratai). Chi Ching Cu naik ke atas bunga teratai tersebut, agar dirinya terhindar dari pengaruh ilmu hitam lawan. Perlahan-lahan bunga teratai itu terangkat naik dan melayang di angkasa. Dari angkasa Chi Ching Cu dapat melihat jelas apa yang sedang dilakukan Yao Pin di dalam barisan gaibnya. Yao Pin membiarkan rambutnya terurai lepas, telanjang kaki dan tangan kanannya memegang sebilah pedang. Di hadapannya terdapat sebuah altar. Di atas altar itu berdiri boneka rumput, yang di bagian kepala dan kakinya terdapat sebuah pelita. Selang sesaat terlihat Yao Pin mengetuk 'Leng Pay' (Papan/ tanda perintah) ke altar, tapi lentera tidak padam dan arwah tak pula buyar. Melihat Yao Pin cukup sakti, Chi Ching Cu tak berani mengusik, apa lagi menempurnya. Dia segera kembali ke Kun Lun-san dengan mengambil jalan bawah tanah, menemui Lam Khek Sian Ang, menceritakan apa yang dilihatnya. Lam Khek Sian Ang mengajak Chi Ching Cu menemui Goan Sie TianChun, menuturkan apa yang telah terjadi. Goan Sie Tian Chun menyuruh Chi Ching Cu menemui Loo Cu di istana Pat Cheng. Chi Ching Cu pamit, berangkat ke goa Hian Tu, menemui Hian Tu Toa Hoatsu, memintanya untuk menyampaikan kedatangannya pada Loo Cu. Toa Hoatsu mengajaknya masuk ke istana Pat Cheng Begitu bertemu, Chi Ching Cu berlutut di hadapan Loo Cu, memohon pada Loo Cu agar sudi membantunya menyelamatkan nyawa Kiang Chu Gie. Loo Cu menitah Hian Tu Toa Hoatsu mengambil 'Thay Khek Tu' (Gambar Thay Khek), menyerahkannya pada Chi Ching Cu serta mengajarkan cara menggunakannya, agar dapat menyelamatkan nyawa Chu Gie.
"Sekarang cepatlah kau kembali ke See-kie", kata Loo Cu kemudian. Chi Ching Cu pamit setelah mengucapkan terima kasih, bergegas kembali ke See-kie. Kedatangan Chi Ching Cu disambut oleh Bu Ong dan para perwiranya, mengajaknya masuk ke dalam istana. Chi Ching Cu menceritakan pertemuannya dengan Loo Cu, yang memberi harapan pada Chu Ge (Chu Gie) akan dapat hidup kembali. Hati Bu Ong dan para pembantunya merasa lega seusai mendengar penuturan Chi Ching Cu ....... Setiba tengah malam, Chi Ching Cu berangkat ke luar kota, terlihat Yao Pin masih berlutut di muka altar. Chi Ching Cu membuka 'Thay Khek Tu', yang lantas berubah menjadi jembatan emas. Ching Cu turun dari angka sa dengan meniti jembatan emas tersebut, mengambil boneka rumput dan segera melayang ke angkasa lagi. Ketika melihat Chi Ching Cu berhasil menerobos masuk ke dalam barisan gaib dan merampas boneka rumputnya, sejenak Yao Pinterperanjat, tapi kemudian menjadi marah.
"Sungguh besar nyalimu, begitu berani merampas boneka rumputku", makinya sambil menimpukkan pasir hitam. Chi Ching Cu berteriak kesakitan, terluka tangan kirinya hingga 'Thay Khek Tu' lepas dari pegangannya dan jatuh ke dalam barisan gaib lawan. Untungnya dia masih sempat menyelamatkan boneka rumput itu dengan memeganginya eraterat. Dia turun di tempat yang aman dengan nafas tersengalsengal, mengeluarkan dua anasir arwah Hun dan enam anasir arwah Pe-nya Chu Gie, memasukkannya ke dalam Buli-buli. Setelah itu barulah dia kembali ke See-kie. Kembalinya Chi Ching Cu disambut gembira oleh para perwira, mengiringinya masuk ke ruang dalam. Chi Ching Cu menceritakan apa yang dialaminya.
"Sayang sekali pusaka Loo Cu jatuh ke dalam 'Tin' lawan", kata Lam Kong Koa selesai mendengar penuturan Ching Cu.
"Kita dapat berikhtiar untuk mencarinya nanti", ujar Chi Ching Cu.
"yang penting sekarang menyelamatkan nyawa Chu Gie dulu". Dia menghampiri pembaringan, menekankan mulut Bulibuli (Cupu) ke kening Chu Gie, menepuk Buli-buli itu 3 - 4 kali, semua anasir arwah Chu Gie masuk ke dalam jasadnya. Tak lama Chu Gie sadarkan diri, merasa aneh ketika melihat Oey Hui Houw dan lain-lainnya berkumpul di kamar tidurnya.
"Apa yang telah terjadi sebenarnya?", tanyanya. Oey Hui Houw menerangkan apa yang telah terjadi.
"Kita harus berdaya menghancurkan '10 barisan gaib' lawan", kata Chu Gie setelah jelas duduk soalnya. Tapi Chi Ching Cu meminta Chu Gie agar beristirahat dulu, setelah pulih benar kesehatannya, barulah mereka merundingkan cara untuk menghancurkan barisan gaib lawan. Chu Gie menerima saran itu.*** Baru saja pulih kesehatan Chu Gie, masuk seorang pemban tunya yang mengabarkan kedatangan Oey Liong Cin-jin dari gunung Jie Sian- san, ingin bertemu dengannya. Chu Gie segera menyilakan tamunya masuk.
"Senang sekali To-heng sudi datang ke mari", Chu Gie memberi hormat pada tamunya, lalu menyilakannya duduk.
"Pinto ke mari untuk menyampaikan sebuah kabar gembira", Oey Liong Cin-jin menerangkan.
"Senang sekali saya mendengarnya", berseri wajah Chu Gie. Pinto bersama beberapa sahabat dari kalangan To sengaja datang ke mari untuk menghancurkan ?10 barisan gaib'. Tapi sebagai orang yang menyucikan diri, suasana dalam kota kurang cocok bagi kami. Apalagi beberapa di antaranya telah menjadi Dewa".
"Maksud To-heng?".
"Bila mungkin, tolonglah dirikan panggung peristirahatan di luar kota untuk tempat beristirahat kami", Oey Liong Cin-jin menerangkan. Kiang Chu Gie lantas menitah Lam Kong Koa dan Bu Kie membangun panggung secepatnya. Lam Kong Koa mengerahkan beberapa tukang kayu yang benar-benar trampil, hingga tidaklah mengherankan kalau panggung peristirahatan, yang sederhana bentuknya tapi kokoh, rampung dalam tempo kurang dari sehari. Keesokan harinya, Chu Gie dengan ditemani oleh Chi Ching Cu, Oey Liong Cin-jin beserta beberapa orang muridnya, berangkat ke panggung peristirahatan yang baru selesai dibangun. Penjagaan kota See-kie dipercayakan pada Oey Hui Houw dibantu beberapa perwira lainnya. Belum lama Chu Gie berada di panggung peristirahatan, beruntun telah tiba orang pertapaan/suci, bahkan beberapa di antaranya yang telah berhasil mencapai tingkat kesempurnaan, jadi Dewa . Kong SengCu dari gunung Kauw Sian-san; Kie Liu Sun dari gunung Kia Liong-san; Tay It Cin-jin dari gunung Chian Goan-san; Leng Po Toa Hoatsu dari gunung Kong Tong-san. Bun Chiu Kong Hoat Tian Chun dari gunung Bu Liong-san (Di kemudian hari Bun Chiu dikenal sebagai salah satu dari 18 Lohan (Arhat). Dalam bahasa Sanskrit Bun Chiu disebut Manju'sri, Dalam 'The Encyclopaedia Sinica' karangan Samuel Couling, dinyatakan Manju'sri adalah yang terpenting antara Bodhisattva, merupakan pewujudan pikiran dan pengetahuan. Maka sering terlihat ia memegang pedang dan buku. Ia dapat dikenal karena duduk di atas seekor Singa dan memiliki Teratai Biru. Manju'sri dipuja di India. Tapi I Ching mengungkapkan, bahwa orang Hindu percaya Manju'sri datang dari daratan Tiongkok --- Pen.). Pouw Hian Cin-jin dari gunung Chiu Kong-san (Kelak Pouw Hian dikenal sebagai salah satu dari 18 Arhat, dalam bahasa Sanskritnya dikenal sebagai Samantabhadra. Samuel Couling! menuturkan, bahwa Samantabhadra menempati posisi sedangsedang saja dalam Budhisme India. Tapi di Tiongkok la sangat populer. Ia dilukiskan dengan wajah bersorot hijau dan menunggang seekor gajah dan disebut 'Pouw Hian Pousat'); Kwan Im Taysu (Dewi Kwan Im) dari pulau Pu-to; Giok Teng Cin-jin dari gunung Bu Choan- san; To Heng Tian Chun dari gunung Chin Teng-san; Cheng Hie To Tek Cin Kun dari gunung Cheng Hongsan dan beberapa lainnya lagi. Setelah saling berbasa-basi sejenak, para Dewa dan orang suci menyatakan kesediaannya membantu Chu Gie untuk menghancurkan '10 barisan gaib' lawan. Chu Gie keberatan dijadikan pimpinan para Dewa dan orang sakti itu, dengan mengemukakan alasan, bahwa kemampuannya amat terbatas. Namun para Dewa dan orang suci itu pun menolak jadi pemimpin dalam menggempur barisan gaib lawan, sebab kedatangan mereka hanya sekedar membantu. Selagi Chu Gie dan para Dewa itu saling menolak untuk dijadikanpemimpin, tiba-tiba telah datang Jian Teng Tojin dari gunung Leng Loan-san. Dia datang dengan naik Bangau Sakti. Munculnya Jian Teng Tojin telah memberi jalan pemecahan. Baik para Dewa maupun orang suci, juga Chu Gie, setuju memilih Jian Teng jadi pemimpin dalam menghancurkan barisan gaib lawan. Pada mulanya Jian Teng Tojin juga menolaknya, tapi setelah didesak oleh semua pihak, akhirnya Jian Teng bersedia menerima jabatan tersebut. (Di kemudian hari Jian Teng Tojin banyak dipuja orang sebagai Jian Teng Hud-couw, baik di Tiongkok maupun di Indo Cina).
"Setelah dipercayakan sebagai pemimpin, aku harap saudara Chu Ge (Chu Gie) sudi menyerahkan Cap Kebesaranmu pada ku", kata Jian Teng Tojin kemudian. Kiang Chu Gie memberikan benda yang diinginkan Jian Teng sambil berlutut. Jian Teng Tojin menerimanya.
"Dalam menggempur barisan gaib musuh, akan ada orangorang di pihak kita yang jadi korban", kata Jian Teng kemudian sambil menghela nafas. Mereka mulai merundingkan cara menggempur barisan lawan. Pada malam harinya, dari kepala Dewa dan orang suci me mancarkan sinar terang, membuat sepuluh Tosu di kemah Bun Taysu berseru kaget .
"Pihak See-kie telah dibantu para Dewa, juga murid-murid Kun Lun-san yang tinggi kepandaiannya".
"Lalu langkah apa yang harus kita tempuh?", tanya Bun Taysu, agak cemas.
"Kita tak usah cemas, kami yakin barisan gaib kami cukup ampuh, biar Dewa sekalipun sulit menghancurkannya!", kata Chin Wan. Para Dewa dan orang sakti ikut Jian Teng Tojin menuju ke depan 'Tin' lawan.Pintu "Tin' terbuka, keluar seorang berwajah biru dan berambut kasar dengan menunggang Macan. Orang itu adalah Chin Wan, yang memimpin "Tin' pertama dari 10 barisan gaib. Biasanya dia menunggang Menjangan, tapi sekali ini menunggang Macan. Jian Teng memperhatikan orang di sekitarnya, tapi dia tak melihat ada orang yang ditakdirkan jadi korban dalam menggempur barisan gaib pertama lawan. Selagi Jian Teng dalam kebingungan, tiba-tiba dari angkasa meluncur turun seseorang, yang bukan lain dari Teng Hoa. Teng Hoa merupakan salah seorang murid dari istana Giok Sie di Kun Lun-san, yang mendapat perintah untuk membantu menghancurkan barisan gaib tersebut.
"Rupanya ini merupakan kehendak Thian", kata hati Jian Teng Tojin. Pada saat itu Chin Wan telah menantang .
"Siapa dari perguruan Giok Sie yang berani menyerang barisanku!?".
"Aku!", seru Teng Hoa sambil melancarkan serangan. Chin Wan menangkisnya tanpa melakukan serangan balasan, tampaknya dia tak ingin bertempur di luar barisan gaibnya. Ini terbukti tak lama kemudian dia memutar binatang tunggangannya, masuk ke dalam 'Tin'. Teng Hoa mengejarnya. Begitu berada di dalam barisan gaibnya, Chin Wan segera turun dari binatang tunggangannya dan melompat ke atas panggung. Di panggung itu terdapat sebuah meja yang terpancang tiga panji. Chin Wan mencabut ketiga panji itu, menggerak-gerakkannya beberapa kali, lalu menuding ke bawah. Segera terdengar suara gledek yang sambung menyambung, disusul dengan jatuh tergulingnya Teng Hoa, tak dapat bangkit lagi, hingga dengan mudah Chin Wan memenggal kepalanya. Setelah berhasil membunuh Teng Hoa, Chin Wan yang telah berada di muka barisan gaibnya, menantang .
"Siapa menyusul?"Sekali ini Jian Teng Tojin meminta Bun Chiu Kong Hoat Tian Chun yang menyerang barisan gaib tersebut. Bun Chiu majukan diri. Chin Wan langsung menusukkan pedangnya. Bun Chiu menangkis serangan itu dengan pedang pula. Setelah bertanding beberapa jurus, Chin Wan lari masuk ke dalam barisan gaibnya. Bun Chiu mengejarnya. Sebelum masuk ke dalam barisan gaib lawan, dia menudingkan sebuah jarinya ke tanah seraya membaca mantera. Dari dalam tanah muncul dua kuntum bunga Lotus (Teratai) putih. Bun Chiu memasuki barisan gaib lawan dengan naik Teratai putih. Seperti juga sebelumnya, Chin Wan melompat naik ke atas panggung, mencabut tiga panji yang tertancap di atas meja, menggerak- gerakkannya. Namun sekali ini usahanya tidak membawa hasil seperti yang diharapkan. Bun Chiu tetap berdiri tegak di atas Teratai putih, melontarkan 'Teng Liong Chun' dan senjata pusakanya itu mampu membuat Chin Wan tak berkutik lagi, hingga dengan mudahnya Bun Chiu menamatkan riwayat lawannya. Maka musnalah 'Barisan Gaib Pemusna Langit'. Terdengar bunyi lonceng yang cukup keras, disusul dengan seruan Tio Kiang yang memimpin Barisan Gaib Pemerkosa Pembelah Bumi' .
"Siapa yang berani masuk ke 'Tin-ku!?". Bun Chiu tak menghiraukannya, meninggalkan medan tempur. Tio Kiang mengejarnya sambil mengumpat caci. Jian Teng Tojin memerintahkan Han Tok Liong menandingi lawan. Han Tok Liong maju berhadapan dengan Tio Kiang, yang kala itu ada di luar barisan gaib. Tio Kiang menusuk Han Tok Liong dengan pedang, yang langsung ditangkisnya. Terjadilah saling menyerang dan menangkis. Baru bertanding beberapa jurus, Tio Kiang lantas melarikan diri,masuk ke dalam barisan gaibnya. Han Tok Liong memburunya. Tio Kiang naik ke atas panggung, menggerak-gerakkan 'Ngo Hong Kie' (Panji Lima Arah)-nya. Segera terdengar suara halilintar yang disertai samberan api. Kasihan Han Tok Liong, tak dapat menghindari serangan tersebut, dalam sekejap tubuhnya lebur jadi debu. Tio Kiang tersenyum puas, semakin percaya akan kesaktian dirinya, keluar dari dalam barisan gaibnya, bersumbar.
"Siapa lagi yang ingin mencoba keampuhan barisan gaibku!?". Jian Teng Tojin menitah Kie Liu Sun menghadapi lawan yang angkuh itu. Kie Liu Sun maju. Tio Kiang segera menyerang dengan pedangnya. Secepat kilat Kie Liu Sun menangkisnya dan secepat itu pula balas menyerang. Serang dan tangkis silih berganti, namun tak berlangsung lama, sebab Tio Kiang telah kabur masuk ke dalam barisan gaibnya. Kie Liu Sun terus mengejar lawannya. Seperti sebelumnya, Tio Kiang naik ke panggung, mengibarngibarkan 'Panji Lima Arah'-nya. Kie Liu Sun tampak tenang-tenang saja, dirinya dilindungi oleh mega- mega berwarna yang keluar dari kepalanya. Kemudian dia mengeluarkan tali wasiatnya, melontarkannya ke arah lawan. Di lain saat tubuh Tio Kiang terikat erat oleh tali wasiat tersebut. Kie Liu Sun meminta bantuan Malaikat Oey Cheng Lek Su untuk membanting Tio Kiang kuat-kuat hingga remuk tubuhnya, tewas seketika. Dengan demikian bobollah barisan gaib lawan yang ke dua dan pertarungan hari itu hanya sampai di situ. Jian Teng Tojin kembali ke panggung peristirahatan. Para Dewa dan orang suci bertanya padanya, siapa yang akan ditugaskan untuk memusnakan ?Hong Hou Tin', yaitu barisan gaib lawan yang ke tiga. ''Untuk menghancurkannya, kita harus meminjam "Teng Hong Chu'(Mutiara Penenang Angin) milik Tu Nie Cin-jin yang bersemayam di goa Pat Po Leng Kong-tong di gunung Kauw Teng Thi Che-san". Kiang Chu Gie mengutus Shan Gie Seng dan Chiao Tian untuk meminjam benda pusaka milik Tu Nie Cin-jin. Shan Gie Seng dan Chiao Tian segera berangkat ke goa Pat Po Leng Kong-tong, menemui sang pertapa. Mendengar Mutiara Pusakanya akan digunakan untuk menggempur barisan gaib dan hal itu diperkuat dengan adanya surat dari sahabatnya, Jian Teng Tojin, maka Tu Nie Cin-jin bersedia meminjamkannya. Shan Gie Seng dan Chiao Tian mengucapkan terima kasih, lalu berpamitan dan bergegas kembali ke See-kie. Tapi setiba di tepi Huang-ho (Sungai Kuning), tak ada perahu yang menyeberangkan mereka. Ketika mereka menanyakan pada penduduk di sekitar tempat itu, diperoleh keterangan, bahwa belakangan ini telah muncul dua jagoan di daerah tersebut, ganas sikapnya, sering melakukan pemerasan, membuat tukang perahu tak berani menambangkan perahunya di situ. Dengan susah payah akhirnya mereka berhasil menemukan tukang perahu yang bersedia menyeberangkan mereka, tapi si tukang perahu meminta imbalan yang tinggi. Mendengar biaya penyeberangan yang mencekik leher, Shan Gie Seng bermaksud melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda saja. Namun Chiao Tian seakan pernah melihat kedua tukang perahu itu, begitu lebih ditegaskan, ternyata Phuy Pek dan Phuy Siang, yang dulunya telah melarikan diri dari kota-raja dengan membawa dua putera Kaisar. Timbullah harapan di hati Chiao Tian, berkata.
"Bantulah kami ke seberang sana. Kami ditugaskan untuk membawa Mutiara Pusaka ke See-kie".Mendengar Chiao Tian membawa benda pusaka, kedua saudara Phuy saling lirik sambil tersenyum.
"Boleh kami melihat pusaka itu?", tanya Phuy Siang. Shan Gie Seng yang mengira kedua orang itu kurang yakin akan keterangan Chiao Tian sebelum melihat bukti, dia segera memperlihatkannya pada mereka. Tak tahunya, Phuy Pek segera merampasnya dan membawa kabur. Mereka bermaksud mempersembahkan Mutiara Pusaka itu pada Tiu Ong (Touw Ong), sebagai penebus dosa mereka tempo hari, dengan harapan Kaisar bukan saja bersedia mengampuni, bahkan memulihkan pangkat mereka. Shan Gie Seng sangat menyesal telah memperlihatkan benda pusaka tersebut pada manusia berhati tamak lagi keji itu. Untuk menolak dia tak berani, sebab menyadari kalau dirinya bersama Chiao Tian tak mampu menandingi Phuy bersaudara. Karenanya Gie Seng bermaksud menceburkan diri ke sungai, namun sempat dicegah oleh Chiao Tian.
"Kita tak perlu berputus asa", ujar Chiao Tian.
"Apapun yang terjadi, harus kita laporkan pada Perdana Menteri". Shan Gie Seng menganggap ucapan temannya cukup beralasan, membuatnya membatalkan maksudnya semula, meneruskan perjalanan dengan memacu kudanya, agar cepat sampai ke See-kie. Tapi baru sekira 15 li mereka melanjutkan perjalanan, telah bertemu dengan Oey Hui Houw yang sedang mengangkut bahan makanan ke See-kie. Ketika mendengar Mutiara Pusaka dirampas oleh Phuy bersaudara, Oey Hui Houw segera melakukan pengejaran dengan menunggang kerbau saktinya, yang dalam sehari dapat menempuh jarak 800 li. Beberapa waktu kemudian Hui Houw telah kembali dengan membawa Mutiara Pusaka, disertai kedua saudara Phuy. Hui Houw ternyata berhasil membujuk mereka untuk mengabdi pada Bun Ong. Lantas mengembalikan benda pusaka itu pada Shan Gie danChiao Tian, untuk diserahkan pada Kiang Chu Gie. Sedang Hui Houw bersama Phuy Pek dan Phuy Siang menyusul kemudian. Dengan demikian Mutiara Pusaka selamat sampai di tangan Chu Gie.Oey Liong Cin-jin .Dewi Kwan Im Pouw Hian Cin-jin Bun Chiu Kong Hoat Thian-cunLIMA Jian Teng Tojin memimpin para Dewa dan pendeta sakti ke depan 'Hong Hou Tin'. Namun saat itu dia menemui kesulitan untuk mencari orang yang tepat sebagai pembuka jalan menggempur barisan gaib tersebut. Sementara itu Tong Choan terus menantang pihak See-kie dari depan 'Tin'-nya. Selagi Jian Teng Tojin dalam kesulitan itulah, telah datang Oey Hui Houw yang mengajak Phuy bersaudara menghadap Kiang Chu Gie. Jian Teng Tojin segera menitah Phuy Pek untuk memukul barisan gaib lawan. Phuy Pek di samping besar tenaganya, tinggi pula kepandaian silatnya. Dia merupakan perwira yang dapat diandalkan di medan perang. Tapi sekarang dia harus berhadapan dengan Tong Choan yang memiliki ilmu hitam, yang selalu mencelakai lawannya melalui barisan gaibnya. Dia menantang dengan tujuan memancing lawan masuk ke dalam 'Tin'-nya. Itu sebabnya, setelah bertanding sejenak, dia segera melarikan diri ke dalam barisan gaibnya. Phuy Pek memburunya. Terlihat Tong Choan turun dari Menjangan tunggangannya, cepat melompat ke atas panggung, menggerak-gerakkan panji hitam. Segera meluncur ratusan pisau yang menyerang Phuy Pek. Phuy Pek tak berdaya menangkis serangan senjata tajam yang serentak datangnya, dalam sekejap tubuhnya telah tersayat lumat, yang tinggal hanyalah tulang-belulangnya. Arwahnya melayang ke Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat. Poh Chian membimbingnya masuk ke dalam Pesanggrahan.Tong Choan menyuruh prajurit kerajaan Touw menyingkirkan tulang- belulang Phuy Pek ke luar barisan gaibnya.
"Siapa lagi yang ingin coba-coba masuk ke dalam barisan gaibku?", tantangnya angkuh. Sekali ini Jian Teng Tojin meminta bantuan Kwan Im Taysu (Dewi Kwan Im) untuk menghancurkan 'Hong Hou Tin' musuh sambil menyerahkan Mutiara Pusaka pada sang Dewi. Dewi Kwan Im menghampiri barisan gaib lawan. Tong Choan menyabetkan pedang ke diri sang Dewi. Namun Dewi Kwan Im yang terkenal sakti itu, mudah saja mematahkan serangan lawan. Setelah menyerang beberapa kali tanpa hasil, Tong Choan segera melarikan diri ke dalam barisan gaibnya. Dewi Kwan Im (Avalokites'vara) mengejar masuk. Tong Choan naik ke atas panggung, menggerak-gerakkan panji hitamnya, yang menimbulkan gulungan asap hitam, disertai angin kencang yang meluncurkan ratusan pisau. Tapi berkat kesaktian sang Dewi, yang membawanya juga "Teng Hong Chu' sebagai penangkal ilmu hitam lawan, Dewi Kwan Im tetap berdiri tenang di tempatnya. Kemudian dia mengangkat jambang (vas), seketika asap hitam berikut diri Tong Choan tersedot ke dalam jambang. Dewi Kwan Im menutup rapat mulut jambang. Dalam tempo tujuh hari tujuh malam, tubuh Tong Choan akan hancurlebur menjadi cairan darah! Arwah Tong Choan melayang ke 'Hong Sin Tay'. Kehadirannya disambut oleh Malaikat Cheng Hok Sin Poh Chian, yang segera mengajaknya masuk ke dalam Pesanggrahan. Menyaksikan temannya tewas di tangan Dewi Kwan Im, Wan Kak yang memimpin barisan gaib 'Han Peng Tin', langsung menantang Jian Teng Tojin berperang tanding.Jian Teng menitah Sie Ok Houw, murid To Heng Tian Chun, untuk menggempur barisan gaib ke 4 dari lawan. Sie Ok Houw maju seraya menghunus pedang. Wan Kak langsung menusuk Ok Houw dengan pedangnya. Sie Ok Houw menangkis, balas melancarkan serangan. Terjadilah pertempuran cukup seru dan setelah berlangsung belasan jurus, tiba- tiba Wan Kak melarikan diri ke dalam barisan gaibnya. Sie Ok Houw terus mengejarnya. Seperti juga teman-teman lainnya, begitu berada di dalam barisan gaibnya, Wan Kak segera melompat ke atas panggung, menggerak- gerakkan panji putihnya. Dari atas turun pecah anpecahan es, mirip senjata tajam dan dari bawah bermunculan pula serpih-serpih es yang menyerupai tombak, hingga tubuh Sie Ok Houw hancur tertusuk dan tercincang. Setelah berhasil menamatkan riwayat Ok Houw, Wan Kak keluar dari barisan gaibnya, menantang Jian Teng Tojin lagi. Jian Teng meminta bantuan Pouw Hian Cin-jin menghancurkan barisan gaib lawan. Pouw Hian Cin-jin maju, Wan Kak langsung menyerangnya, kembali terjadi pertarungan seru. Setelah bertanding beberapa saat, Wan Kak berpura-pura kewalahan, lari masuk ke dalam barisan gaibnya. Pouw Hian mengejar masuk. Wan Kak telah berada di atas panggung sambil menggerakgerakkan panji. Pouw Hian Cin-jin menudingkan jari telunjuk ke atas, dari ujung jarinya memancarkan cahaya putih mirip benang panjang, di ujungnya tersembur mega berwarna-warni yang tingginya sampai beberapa kaki. Di atas mega tersebut terdapat sebuah lampu emas bertaburkan mutiara, yang melindungi diri sang Cin-jin dari serpih-serpih es yang lancip tajam, sekali gus melumerkannya. Dengan demikian hancurlahbarisan gaib yang dikendalikan Wan Kak. Wan Kak bermaksud melarikan diri, tapi kepalanya telah keburu dipisahkan dari tubuhnya oleh pedang terbang Pouw Hian Cin-jin. Arwah Wan Kak menuju ke 'Hong Sin Tay' (Pesanggrahan Penganugrahan Malaikat). Menyaksikan temannya tewas, Kim Kong Sengbo kelur dari barisan gaibnya dengan menunggang Macan tutul, sepasang tangannya masing-masing memegang pedang.
"Siapa yang berani menggempur 'Kim Kong Tin'-ku?", serunya begitu muncul. Jian Teng Tojin memperhatikan orang di sekitarnya, tapi dia tak melihat orang yang tepat sebagai pembuka jalan dalam menggempur barisan gaib lawan. Tiba-tiba dari angkasa turun Siauw Chin, salah seorang murid dari istana Giok Sie, yang diperintahkan oleh gurunya untuk membantu pihak See-kie melenyapkan barisan gaib lawan. Baru saja Siauw Chin menginjakkan kaki di bumi, langsung diserang dengan pedang oleh Kim Kong Sengbo. Siauw Chin segera menangkisnya. Setelah bertanding beberapa jurus, Kim Kong Sengbo masuk ke dalam barisan gaibnya. Siauw Chin mengejar musuhnya. Kim Kong Sengbo melepaskan cahaya emas, menyorot diri Siauw Chin hingga tewas. Jian Teng Tojin meminta bantuan Kong Seng Cu menghancurkan barisan gaib lawan. Begitu Kong Seng Cu maju, tak ayal lagi Kim Kong Sengbo menyerang dengan sepasang pedangnya. Kong Seng Cu menyambut serangan lawan, kemudian balas menyerang. Kim Kong Sengbo lari masuk ke dalam barisan gaibnya, bersiasatmemancing lawan. Kong Seng Cu mengejarnya dengan lebih dulu melindungi kepala dan tubuhnya dengan jubah Pat-kwa wasiat. Terlihat olehnya Kim Kong Sengbo naik ke panggung, menarik tali yang diikatkan pada 21 tiang, nampak cermin-cermin yang dipasang di masing-masing tiang. Kim Kong Sengbo melepaskan suara petir, cermin-cermin itu berputar- putar serta memancarkan cahaya emas ke arah diri Kong Seng Cu. Kong Seng Cu yang mengenakan jubah Pat-kwa wasiat, terhindar dari tembakan-tembakan cahaya emas cermin. Diam-diam dia melontarkan 'Poan Thian Eng' (Cap Membalikkan Langit) ke atas panggung, berhasil menghancurkan 19 cermin wasiat musuh. Kim Kong Sengbo amat terperanjat, juga penasaran, bermaksud memanfaatkan sisa dua cermin yang masih utuh, melancarkan 'tembakan-tembakan sinar emas'-nya. Tapi cap wasiat Kong Seng Cu telah lebih dulu menghantam kepalanya hingga remuk, darah campur otak mengalir ke luar. Sun Liang amat marah ketika melihat sahabatnya tewas, se gera keluar dari dalam barisan gaib dengan menunggang Menjangan, menantang bertanding. Jian Teng Tojin meminta bantuan Thay Khek Cin-jin membereskan lawan. Thay Khek Cin-jin tampil ke muka, segera terjadi pertempuran sengit. Tapi beberapa jurus kemudian Sun Liang lari ma suk ke dalam barisan gaibnya. Thay Khek Cin-jin menuding ke tanah, segera muncul dua tangkai teratai biru. Dengan berdiri di atas kedua teratai itu, dia memasuki barisan gaib lawan. Sun Liang segera menebarkan segantang pasir hitam ke arahnya. Thay Khek Cin-jin menuding ke atas, dari ujung jarinya ke luar sinarputih yang tingginya lebih kurang dua kaki, dengan mega berwarna- warni di atasnya. Semua pasir hitam lenyap begitu membentur mega tersebut. Saking penasaran, Sun Liang menimpuk Thay Khek Cinjin dengan gantang wadah pasir hitam, tapi gantang itu ikut lenyap juga. Terperanjat sekali Sun Liang melihat perkembangan itu, bermaksud melarikan diri. Namun Thay Khek Cin-jin sempat melepaskan 'Sembilan Naga yang menyemburkan Api Suci', membakar diri Sun Liang hingga jadi debu! Bun Taysu amat sedih atas kematian beruntun para sahabatnya, meminta sahabat lainnya menunda dulu pertandingan. Dia akan berikhtiar untuk mencari bantuan teman-teman lainnya. Kepala Bun Taysu serasa mau pecah, tak tahu apa yang sebaiknya dilakukannya!? Untuk beberapa saat dia hanya berdiam diri sambil memijat-mijat keningnya. Kie Lek dan Yu Cheng yang terus mendampinginya, ikut bingung. Selang beberapa saat, wajah Bun Taysu mulai berseri, tersenyum. Sebab tiba-tiba saja dia teringat pada Tio Kong Beng yang bersemayam di goa Lo Houw di gunung Go Bie-san. Kalau saja Tio Kong Beng bersedia membantunya, segala keruwetannya tentu akan terpecahkan. Maka diputuskan untuk berangkat ke gunung Go Bi, menitah Kie Lek dan Yu Cheng menjaga perkemahan. Bun Taysu berangkat ke goa Lo Hou dengan menunggang Kie Lin hitamnya, melayang di angkasa. Beberapa waktu kemudian, tibalah dia di atas gunung yang dimaksud. Indah nian panorama di sekitar gunung tersebut, bunga-bunga bermekaran di sana-sini, terdapat pula air terjun, juga pohon-pohon Siong (Pinus). Amat cocok keadaannya bagi tempat bermukimnya seorang pertama atau manusia yang ingin menyucikan diri. Namun Bun Taysu tak berselera menikmati segalanya, dia ingin cepat-cepat bertemu dengan Tio Kong Beng, mengharapkan bantuannya menggempur pertahanan pihak See-kie. Dia turun di lereng gunung tersebut, menuju ke mulut goa Lo Hou, berkata pada seorang Totong (murid pertapa) yang berdiri di situ .
"Aku datang dari ribuan li, ingin bertemu dengan gurumu".
"Bapak siapa?", tanya Totong.
"Namaku Bun Tiong".
"Baiklah, akan segera saya sampaikan kedatangan bapak pada Suhu", kata si Totong, masuk ke goa. Bun Taysu berdiri di muka pintu goa. Ketika mendengar yang datang adalah Bun Taysu, Tio Kong Beng bergegas ke luar goa.
"Senang sekali Taysu sudi datang ke tempat saya yang buruk ini", katanya sambil memberi hormat pada Bun Taysu.
"Maaf saya terlambat menyambut kedatangan Taysu''.
"Siao-teelah yang seharusnya memohon maaf, karena telah mengganggu ketenangan Toheng", kata Bun Taysu sambil membalas hormat si pertapa. Setelah berbasa-basi sejenak, Tio Kong Beng menyilakan Bun Taysu masuk.
"Taysu tampak murung", ucap Tio Kong Beng setelah masing-masing mengambil tempat duduk.
"apa yang telah terjadi sesungguhnya?".
"Kalau diceritakan sungguh memalukan", sahut Bun Taysu dengan suara agak parau.
"rendahnya kepandaian Siao-tee, telah mengakibatkan sering menderita kekalahan dalam menghadapi musuh. Maksud Siao-tee ke mari adalah ingin memohon bantuan To- heng untuk menghajar lawan. Saya takkan melupakan budi To-heng". Tio Kong Beng adalah seorang yang berwatak jujur, selalu bersedia membantu memecahkan kesulitan orang lain tanpa pamrih.
"Taysu tak usah khawatir, selama saya masih mampu melakukan, akan saya bantu", katanya.
"Terima kasih To-heng", Bun Taysu segera menyojanya sebagaipengungkapan rasa terima kasihnya. Tio Kong Beng menyilakan Bun Taysu berangkat duluan, dia akan menyusul kemudian. Bun Taysu amat bersyukur akan kesediaan Tio Kong Beng membantunya, pamit. Sepulang Bun Taysu, Tio Kong Beng memanggil dua orang muridnya, Tan Kauw Kong dan Yao Siao Sie, mengajak mereka ke See-kie. Di tengah jalan mereka bertemu seekor Macan. Kong Beng berhasil menaklukkan ?raja hutan' itu dengan menggunakan ke saktiannya, lalu menjadikannya sebagai tunggangannya. Berkat kesaktian Tio Kong Beng, perjalanan selanjutnya mereka lakukan dengan naik awan. Maka dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka telah tiba di perkemahan pasukan kerajaan Touw. Bun Taysu ke luar kemah, menyambut kedatangan tamu agungnya. Keesokan harinya Tio Kong Beng ke luar kemah dengan menunggang Hek Houw (Macan Hitam) dan membawa sepasang ruyung, menantang Kiang Chu Gie berperang tanding. Seorang prajurit melaporkannya pada Kiang Chu Gie. Chu Gie menyambut tantangan lawan dengan menunggang See Put Siang', didampingi oleh Na Cha, Lui Chin Cu, Oey Thian Hoa, Yo Chian, Bu Kie dan beberapa perwira gagah lainnya lagi. Begitu berhadapan, tanpa banyak bicara lagi Tio Kong Beng menghantam Chu Gie dengan ruyungnya. Chu Gie segera menangkis serangan lawan dengan pedangnya, kemudian balas menyerang. _Pertandingan telah berlangsung sampai beberapa puluh jurus, tapi masih sulit diduga siapa yang akan memperoleh kemenangan akhir. Tio Kong Beng di samping gagah, juga cukup kuat, biarpun telah cukup lama bertanding, dia masih tampak segar. Namun dia tak ingin pertempuran itu berlangsung terlalu lama, maka diam-diam dia melontarkan sebuah ruyungnya ke atas, membarengi menyerang ChuGie dengan senjata ruyung satunya. Chu Gie menangkis serangan musuh, tapi dia tak menyangka akan muncul serangan ruyung lainnya dari angkasa, membuatnya tak keburu mengelak atau menangkis, hingga tubuhnya terhajar telak, jatuh terguling dari binatang tunggangannya dan tewas. Na Cha segera maju, menyerang Kong Beng dengan menusukkan tombaknya. Sementara itu Kim Cha membopong tubuh Chu Gie, membawanya ke dalam kota. Namun Na Cha bukanlah lawan yang seimbang bagi Tio Kong Beng, setelah bertanding belasan jurus, Kong Beng berhasil melukai Na Cha dengan ruyungnya hingga jatuh dari Roda Angin dan Apinya. Menyaksikan temannya terluka, Oey Thian Hoa yang menunggang 'Giok Kie Lin' (Kie Lin Kumala), menyerang Tio Kong Beng dengan sepasang gadanya. Sedang Lui Chin Cu ikut menyerang Kong Beng dari angkasa dengan menghantamkan 'Huang Kim Kun' (Pentungan Emas)- nya. Dalam pada itu Yo Chian telah pula melepaskan ?Anjing Menyalak Langit-nya dan binatang itu berhasil menggigit dan melukai bahu Tio Kong Beng, membuatnya terpaksa harus melarikan Macannya ke perkemahan ..... Kong Seng Cu di panggung peristirahatan para Dewa dan orang suci, mengetahui kalau Kiang Chu Gie tewas oleh pukulan ruyung Kong Beng, segera masuk ke kota See-kie, berhasil menghidupkan kembali Chu Gie dengan pil mujizatnya. Di lain fihak, di kubu pasukan kerajaan Touw, Tan Kauw Kong dan Yao Siao Sie segera mengambil obat mujarab dari dalam Buli-buli untuk mengobati luka guru mereka. Dan berhasil disembuhkan tak lama kemudian. Keesokan paginya Tio Kong Beng bermaksud menantang perang lagi. Tapi telah dicegah oleh Bun Taysu.
Pendekar Rajawali Sakti 31 Kaum Pemuja Pendekar Mabuk 074 Gerbang Siluman Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama