Ceritasilat Novel Online

Playgirl Dari Pak King 2

Playgirl Dari Pak King Karya Batara Bagian 2


Warna itu telah semburat merata dan seluruh permukaan Liang- san tersaput warna ini.

Bukan main indahnya.

Dan ketika ia takjub dan berhenti di sini, kagum oleh keindahan ini maka bunyi berkeresek di belakangnya tiba-tiba membuat Kiok Eng sadar dan secepat kilat ia membalik dan menyerang bunyi itu, menyangka ular.

"Mampus kau!"

Namun Kiok Eng terkejut.

Ular yang disangka membuat bunyi berkeresek ternyata adalah seorang pemuda tampan, pundaknya penuh seikat kayu bakar dan tentu saja gadis itu berseru tertahan.

Tamparan yang siap dilancarkan terganti cengkeraman, pukulan sudah terlanjur dilakukan dan tak mungkin dia menarik kembali.

Dan ketika pemuda itu bengong dan terbelalak lebar melihat wajah jelita ini, sama sekali tak perduli atau menyadari serangan berbahaya maka lehernya tahu-tahu tercekik dan Kiok Eng membentak pemuda itu.

"Siapa kau!"68 Pemuda ini sadar. Kayu di atas pundaknya jatuh dan iapun mengeluh. Kiok Eng mencekik begitu keras. Tapi ketika gadis ini mengendorkan tenaganya dan sadar juga, lawan rupanya pemuda gunung pencari kayu maka ia melepaskan cekikannya namun tetap membentak, kaget.

"Siapa kau, dan bagaimana ada di sini. Kenapa bikin kaget!"

Pemuda itu terhuyung.

Ia meringis menahan sakit dan sepasang matanya yang tajam bersinar-sinar tampak keheran-heranan memandang Kiok Eng, padahal seharusnya Kiok Englah yang keheran-heranan bagaimana pemuda itu tahu-tahu di belakangnya, tak terdengar suara atau langkah kakinya.

Namun ketika ia mampu menguasai diri dan Kiok Eng berdetak melihat wajah yang tampan gagah, sungguh tak pantas sebagai pemuda gunung maka pemuda itu menjura, sikapnya ternyata sopan.

"Maaf, aku yang kaget dan heran kenapa tiba-tiba kau ada di sini, nona. Aku adalah Tan Hong, penghuni atau penduduk Liang-san ini. Siapakah kau dan kenapa begitu lama kau mengamati puncak gunung."

"Hm, aku kagum akan keindahan puncak. Dan aku juga sedang membayangkan seseorang di puncak sana. Kalau kau penghuni Liang-san tentu kau kenal dengan Dewa Mata Keranjang. Benarkah kakek itu di puncak!"

"Dewa Mata Keranjang? Ah, tentu saja, nona. Aku mengenalnya. Setiap penghuni dusun ini mengenalnya. Ia orang baik. Apakah kau mau berkunjung dan meminta nasihatnya!"

"Huh, nasihat apa? Aku ingin membunuhnya. Aku datang untuk memenggal kepalanya. Hei, kau tak usah memuji-69 muji namanya karena kakek itu. bukan orang baik-baik!"

"Nona mau membunuhnya?"

Pemuda ini terbelalak, tiba- tiba tertawa, meledak.

"Ha-ha. lucu sekali, nona. Kau tak mungkin membunuh kakek itu. Dewa Mata Keranjang orang sakti yang tak mungkin dibunuh. Ia hebat!"

"Kau berani mentertawai aku? Pergilah, kau kurang ajar.... wut!"

Dan Kiok Eng yang marah mengibaskan lengannya tiba-tiba membuat pemuda itu terlempar dan menjerit.

Gerakannya cepat dan pemuda itu tak mungkin mengelak.

Dan ketika Kiok Eng tertegun kenapa tiba-tiba memukul pemuda ini, pemuda gunung maka pemuda itu bangkit berdiri dan terhuyung di sana, matanya menyorotkan kemarahan.

"Nona, kau kejam sekali. Tiada angin tiada hujan tiba-tiba kau menyerangku. apakah kaukira dirimu ini orang baik- baik? Kalau Dewa Mata Keranjang ada di sini tentu kau dihajar. Hm, kau seperti kucing hutan yang sedang kelaparan!"

"Apa? Kau berani memakiku?"

"Makian dan pukulan lebih berat pukulan. Kau tak tahu malu menyerang pemuda gunung. Barangkali sikapmu sebagai gadis kang-ouw ini membuatmu kasar. Orang- orang kang-ouw memang kasar!"

Kiok Eng hampir saja berkelebat dan menampar pemuda ini. Ia marah dan melotot dimaki kasar. Namun kalau ia menyerang berarti kata-kata pemuda itu semakin benar, ia kasar dan tak tahu malu maka pemuda yang siap ditampar dan dihajar itu dihardik.

"Sudahlah, aku tak mau berdebat denganmu. Pemuda gunung tak pantas berhadapan dengan aku. Pergilah, atau nanti kutendang pantatmu!"70

"Hm-hm, heran bahwa gadis secantik ini kurang didikan. Kau boleh menendang atau memukul sesukamu, nona. Tapi menghadapi orang tak bersalah tentunya tak layak kau melakukan itu. Coba, apa salahku hingga kau marah-marah dan main pukul. Jangan kira aku takut!"

"Eh-eh, tak pergi juga? Tutup mulutmu mengata-ngatai aku, bocah gunung. atau nanti kulempar dan kutendang kau ke jurang!"

"Silahkan, aku tak takut."

"Apa? Kau menantang?"

"Hm, aku tak menantang siapa-siapa, nona. Aku hanya bicara apa adanya sesuai kebenaran. Jangan kira bahwa dengan ke-pandaianmu kau dapat menggertak aku. Orang tak bersalah tak perlu takut!"

"Wut..!"

Kiok Eng bergerak, tangan menyambar dan ia siap menampar mulut itu. Tapi ketika si pemuda tenang tak bergeming dan keberaniannya ini membuat Kiok Eng tertegun, aneh sekali, maka pemuda ini menurunkan tangannya lagi dan pemuda itu tertawa.

"Nona, kepandaian bukan untuk menindas. Kepandaian bukan untuk dipergunakan berbuat sewenang-wenang. Kalau kau merasa benar tentu saja kau boleh memukul dan bahkan membunuh aku. Tapi aku tidak takut. Aku tidak merasa bersalah. Kalau kau menganggap bahwa kaulah penduduk sini, aku orang asing maka silahkan hajar si orang asing ini yang telah membuat marah hatimu. Aku minta maaf bahwa aku orang asing berbuat tidak baik kepadamu, penduduk Liang-san."

Kiok Eng merah padam.

Baru kali ini ada pemuda yang bicara begitu enaknya tanpa takut atau sungkan.

Dia disindir bahwa sebagai tamu seharusnya dia bersikap71 baik kepada tuan rumah, bukan malah tuan rumah dihajar atau dipukuli! Dan karena ia telah melakukan itu padahal pemuda itu tak melakukan apa-apa kepadanya, hanya membuat kaget dengan berisiknya tadi maka ia tak bergerak dan tak berbuat apa-apa ketika dengan tenang pemuda itu membungkuk dan mengambil kayu bakarnya, dipondong dan memutar tubuh dan untuk selanjutnya pemuda itu meninggalkannya.

Kiok Eng sampai menjublak ketika pemuda itu lenyap di tikungan.

Tapi begitu pemuda itu lenyap den Kiok Eng sadar, sesuatu menyentak hatinya tiba-tiba ia bergerak dan berseru.

"He, tunggu...!"

Namun pemuda itu hilang.

Kiok Eng berkelebat dan mengejar namun aneh sekali pemuda itu tak meninggalkan jejak.

Dan ketika ia berteriak dan memanggil lagi, pemuda itu tak pantas sebagai bocah gunung maka ia kaget ketika tiba-tiba pemuda itu dilihatnya sudah jauh di depan, di dekat sebuah air terjun! "He, tunggu...!"

Kiok Eng meloncat dan mengerahkan ginkangnya.

Ia kaget dan heran bagaimana pemuda yang tadi menuruni gunung tahu-tahu sudah di atas sana, di lereng di pinggang gunung.

Dan ketika ia berkelebat dan pemuda itu tak menoleh, entah dengar atau tidak maka Kiok Eng mengerahkan suaranya lagi bergema menggetarkan hutan.

"He, tunggu...!"

Namun pemuda ini tak menoleh juga.

Tiga kali seruan Kiok Eng tak mendapat tanggapan dan Kiok Eng marah dan gusar melihat ini.

Tak mungkin pemuda itu tuli, seruannya menggetarkan gunung, bahkan pohon-pohon sampai berderak! Namun karena pemuda itu tak menoleh juga dan Kiok Eng kaget karena ketika ia mengejar tiba-72 tiba buruannya menghilang, lenyap di balik bayang- bayang air terjun maka ketika ia tiba di sini yang dilihatnya hanya gemuruh dan percik air terjun.

"Kurang ajar, tuli pekak. Ke mana kau lari!"

Kiok Eng mencaci-maki.

Ia gusar dan marah namun tiba- tiba ie merandek.

Gemuruh dan hujan air terjun itu hebat juga.

Mungkin inilah yang membuat si pemuda tak mendengar seruannya.

Dan ketika ia tertegun dan merah padam di situ, heran bahwa pemuda itu tak seperti laki- laki lain, berani memaki dan kecantikannya tak dipandang maka Kiok Eng mengepal tinju dan mengarahkan pandangan sekeliling ke tempat itu.

Ia tiba- tiba sudah di pinggang gunung dan kalau ia mau naik sedikit lagi tentu dapat menemui Dewa Mata Keranjang.

Hm, ia ingin melampiaskan marah.

Namun ketika terdengar pekik dan panggilan berkali-kali, bayangan Kaki Selatan dan delapanbelas orang lainnya berkelebatan di bawah maka Kiok Eng membatalkan niatnya ke atas dan turun lagi.

Kaki Selatan dan teman- temannya itu rupanya mendengar lengkingan atau seruannya tadi, ketika memanggil-manggil si pemuda gunung.

"Bu Beng Siocia, di mana kau? Apa yang terjadi?"

Kiok Eng sadar.

Akhirnya -ia ingat bahwa perbuatannya tadi diketahui atau didengar kawan-kawannya di bawah.

Kegemasannya kepada si pemuda gunung bereaksi di bawah, Ia harus turun.

Dan ketika ia berkelebat dan Kaki Selatan serta yang lain-lain tertegun melihatnya, muka yang merah dan bibir yang dikatup rapat maka Hung- wangwe dan rombongannya ini tampak heran, terkejut.

"Nona, apa yang terjadi. Siapa yang kau panggil-panggil tadi!"73

"Aku mencari seseorang. Dia lolos dan pergi secara cepat!"

"Siapa?"

"Seorang bocah gunung, pencari kayu bakar!"

"Pemuda gunung? Pencari kayu bakar? Apakah pemuda berbaju putih dari kain kasar itu?"

"Ya-ya, dia itu. Di mana dia!"

"Tadi lewat di tempat kami, tapi tidak kami gubris. Apa yang dia lakukan dan kenapa nona marah-marah!"

"Hm,"

Kiok Eng tertegun, bingung menjawab. Namun ketika ia ingat bahwa pemuda itu membela Dewa Mata Keranjang, memuji-muji kakek itu maka ia membuang sebal.

"Pemuda itu memuji-muji si tua bangka. Aku gregeten dan tadi menghajarnya. Namun karena ia lari dan menghilang di balik air terjun itu maka aku mencarinya tapi tidak ketemu. Sudahlah, ia orang sini dan tentu mengenal medan lebih baik. Kalau besok kita turun gunung dan menemuinya di dusun biar kugantung kepalanya di bawah!"

Kaki Selatan dan kawan-kawan tersenyum.

Hampir saja mereka tertawa namun tak ada yang berani.

Lucu rasanya melihat Bu Beng Siccia ini marah-marah kepada seorang pemuda gunung.

Buat apa! Dan ketika semua pura-pura mengangguk dan tentu saja membela Kiok Eng, beberapa gerutuan dijatuhkan kepada pemuda itu maka Hung-wangwe mengajak semua kembali dan istirahat.

Kiok Eng sendiri masih penasaran dan marah kepada pemuda ini.

Ketidakberhasilannya dianggap karena pemuda itu mengenal medan lebih dibanding dirinya.

Tak tahu bahwa itulah sebenarnya putera dari Dewa Mata74 Keranjang, keturunan satu-satunya dari kakek ini dengan isterinya terakhir, Mien Nio? Dan ketika malam itu ia bolak-balik tak dapat memejamkan mata, bawah gunung dijaga pengawal-pengawal Hung-wangwe agar Dewa Mata Keranjang tidak melarikan diri maka keesokannya gadis ini bangun dan bersama teman-temannya ia naik ke atas.

Serbuan ke tempat musuh mulai dilakukan.

"Awas, hati-hati. Semalam di puncak terdapat cahaya api tanda bahwa kakek itu berada di sana. Kita akan mendatanginya dan waspada terhadap jalanan licin!"

Hung-wangwe memberi tahu rombongannya.

Liang-san ternyata merupakan pegunungan berbahaya dengan banyak jurang-jurang di kiri kanan.

Setelah mereka mendaki dan tebing-tebing banyak dilalui maka berkerutlah dahi semua orang melihat ini.

Sampai di atas keadaan sungguh terjal sekali, tiga pengawal sampai terjatuh.
Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Untung, Kiok Eng meloncat luar biasa cepat dan disambarlah pengawal itu, selamat dan gadis ini akhirnya memerintahkan agar pengawal tak usah dibawa saja.

Hung-wangwe terlalu khawatir dan laki-laki itu membawa pengawal-pengawalnya, maksudnya sebagai tenaga cadangan untuk memperkuat penggerebekan.

Namun ketika kenyataan memperlihatkan lain dan hanya Kaki Selatan dan tujuhbelas temannya mampu mendaki gunung, itupun susah payah karena harus saling tolong- menolong maka Kiok Eng yang mengernyitkan kening menjadi tak sabar.

"Ambil tali. Dua orang sama-sama memegang ujungnya dan biar kulempar!"

Semua terbelalak.

Kiok Eng melakukan sesuatu yang luar biasa dengan melempar atau menyendal orang- orang gagah itu.

Tadinya mereka saling berpegangan setiap menemui jurang atau tebing-tebing terjal.

Hal itu75 menghambat perjalanan.

Dan karena Liang-san tempat berbahaya yang memang tak gampang didaki, tebing dan jurang menganga di kiri kanan maka Kiok Eng mempergunakan talinya untuk melempar orang-orang gagah ini.

Dengan sekali sentakan saja mereka itu dapat melewati jurang atau tebing-tebing tinggi.

Lontaran gadis ini amatlah kuatnya.

Dan ketika Kiok Eng menyusul terakhir dengan menjejakkan kakinya tinggi melampaui tebing, atau jurang-jurang lebar itu maka semua berdecak kagum dan semakin gila saja memuji gadis ini.

"Hebat, luar biasa. Bu Beng Siocia sungguh berkepandaian tinggi!"

"Sudahlah, tak usah memuji. Semua diam dan terus bergerak ke atas, cuwi enghiong. Jangan sampai kesiangan dan kakek itu kabur!"

"Tak mungkin dia kabur. Empat penjuru sudah dikepung!"

"Hm, tapi kakek itu dapat pulang dan pergi di tempat seperti ini. Kalau dia lewat tempat lain belum tentu kita tahu. Maaf, tebing di atas itu merupakan jalan terakhir kita, cuwi enghiong. Harap bersiap-siap dan pegang talinya!"

Kaki Selatan dan teman-temannya terbelalak.

Sekarang mereka sudah di leher gunung dan tampaklah betapa tingginya tempat itu.

Kaki gunung tampak jauh di bawah dan udarapun dingin menusuk tulang.

Beberapa di antaranya menggigil dan harus mengerahkan sinkang.

Kabut dan angin tiba-tiba juga menyambar.

Dan ketika Kaki Selatan dan lain-lain berketrukan, Liang-san tak bersahabat menyambut mereka maka semua orang tergetar dan ngeri memandang sebuah dinding paling terjal di depan mereka.

Tingginya lak kurang duapuluh tombak!76

"Ini luar biasa, tak mungkin nona kuat?"

"Hm, kita lihat saja. Siapa yang tak mau kulempar boleh merayap!"

"Baiklah, mari kita coba, nona. Dan biar aku dulu!"

Tangan Guntur, yang sejak tadi kagum dan percaya tenaga gadis ini tak banyak cingcong.

Dia menyambar tali dan sudah memegang ujungnya.

Dan ketika seorang temannya yang lain bergerak dan menyambar ujung tali satunya, siap dilontar mendadak terdengar seruan dan Tan Hong.

"pemuda gunung"

Itu muncul, dari balik tebing sebelah.

"Heii, jangan main-main, nona. Atas tebing itu penuh angin. Nanti kalian terlempar lagi ke bawah. Jangan melakukan itu karena berbahaya!"

Kiok Eng terkejut.

Hung-wangwe dan lain-lain juga terkejut karena bagaimana pemuda itu bisa di sana, padahal mereka sendiri sebagai orang-orang kang-ouw berkepandaian susah payah mendaki gunung! Dan ketika pemuda itu melambai-lambaikan tangannya berteriak lagi, berkata ada angin besar di atas tebing maka Kiok Eng membentak, rasa ingin tahu dan penasarannya muncul lagi.

"Hei, kau bagaimana bisa ada di situ. Kenapa berteriak- teriak seperti monyet, Apakah kau tak dapat diam!"

"Eh, aku penghuni gunung ini, nona. Tentu saja tahu jalan. Kalau kalian ingin ke atas sebaiknya jangan lewat situ, memutar saja tigapuluh langkah dan lihat jalanan bertangga!"

"Benar,"

Satu di antara belasan orang gagah itu tiba-tiba berseru, sudah berkelebat dan melihat itu.

"Ada jalanan bertangga, nona. Lewat sini saja daripada membuang-77 buang tenagamu!"

Kiok Eng tertegun.

Kawan-kawannya tiba-tiba berserabutan dan masing-masing menuju tempat itu, berlarian dan berkata bahwa biarlah tak usah dia melempar-lempar mereka ke atas, kasihan tenaganya.

Dan ketika dengan gembira delapanbelas orang itu mendaki jalanan bertangga, Hung-wangwe juga ikut dan Kiok Eng sendirian di situ maka gadis ini melotot kepada pemuda yang tersenyum di seberang tebing itu.

Pemuda ini mengangguk dan menyuruh Kiok Eng mengikuti jejak teman-temannya, tangannya dijulurkan sebagai isyarat.

Tapi begitu Kiok Eng membentak dan marah akan ini tiba-tiba gadis ini berjungkir balik dan sudah meledakkan tali mengait puncak tebing.

"Tak usah kau memerintahkan aku. aku dapat bergerak dan naik sendiri... tartar!' tali meledak dan benar saja mengait puncak tebing, melilit dan Kiok Eng berjungkir balik ke atas tapi puncak tebing tiba-tiba gugur. Tali terlalu melilit kencang dan tenaga gadis inipun juga terlalu hebat. Dan ketika Kiok Eng terpelanting dan jatuh ke bawah, kehilangan pegangan maka Hung-wangwe dan kawan-kawan melihat itu.

Jilid III "HEI Bu Beng Siocia jatuh!"

"Aih, ia terlempar ke bawah!"

Namun Kiok Eng melakukan gerak mengagumkan.

Gadis yang terpelanting dan jatuh dari tempat demikian tinggi itu tak kelihatan gugup ataupun pucat.

Ia hanya sejenak saja terkejut tapi setelah itu ia mengeluarkan seruan nyaring, membentak dan tangan kirinya menghantam78 dinding hingga angin memukul balik, menahan dan saat itu kakinya nenotol tumit dari kaki yang lain untuk dipergunakan menjejak.

Kuat sekali jejakan ini hingga tubuh melayang naik dan Kiok Eng melakukan salto empat kali di udara.

Dan ketika sekejap kemudian ia sudah tiba di puncak tebing dengan indah dan selamat, gagah sekali berdiri di sana maka pujian dan kekaguman meluncur dari sana-sini, juga dari Tan Hong yang ada di seberang tebing sebelah sana.

"Aihh, bagus. Hebat sekali!"

Kiok Eng membuang sisa talinya.

Sekarang ia telah mendahului kawan-kawannya di bawah sana, melirik dan bersinar-sinar memandang pemuda tampan yang terbelalak itu.

Tampak betapa Kiok Eng bangga dipuji pemuda ini, cuping hidungnya kembang-kempis.

Tapi ketika bertiup angin besar dan rambutnya menyambar menutupi muka, pandangannya terhalang maka sedetik kemudian pemuda itu sudah menghilang kembali.

Seperti iblis.

"Hei, ke mana pemuda itu. Ia tak ada!"

Kiok Eng terkejut, Ia telah melempar kepalanya untuk membuang rambut di depan mata itu, tak melihat lagi pemuda itu dan angin bertiup lebih besar lagi.

Dan karena kini ia merasa diserang angin dari segala penjuru, puncak tebing itu benar-benar tak enak dibuat tinggal berlama-lama maka ia tak menghiraukan pemuda itu lagi untuk mengajak teman-temannya ke tempat Dewa Mata Keranjang.

Sebuah bangunan kecil tapi manis terlihat di situ.

"Sudahlah, tak usah mencari bocah gunung itu lagi. Lihat, itu ada rumah di sana dan tentu tempat tinggal Dewa Mata Keranjang!"79

"Benar, kita sudah sampai di tujuan, lihiap. Mari kita labrak Dewa Mata Keranjang dan tentu itu rumahnya!"

Delapanbelas orang sudah melihat apa yang ditunjuk Kiok Eng.

Mereka juga sudah mendaki jalanan bertangga itu dan di puncak tebing mereka melihat rumah kecil mungil itu.

Siapa lagi kalau bukan milik Dewa Mata Keranjang karena tak ada orang tinggal di puncak selain kakek itu.

Dan ketika mereka berlarian karena daerah itu sudah tidak terjal atau berbahaya lagi, tebing yang paling berbahaya telah mereka lewati maka sambil mengagumi Kiok Eng mereka berkelebatan ke rumah kecil manis itu.

Dan begitu mereka tiba di sana dan bersiap dengan senjata di tangan mendadak mereka tertegun karena orang yang pertama kali mereka jumpai adalah lagi-lagi Tan Hong, si bocah gunung! "Hei, ada apa kau di sini.

Bikin apa!"

Bukan hanya Kiok Eng saja yang terkejut.

Hung-wangwe, dan delapanbelas kawannya juga tersentak dan kaget.

Tan Hong, pemuda itu, tersenyum-senyum dan sudah menyambut mereka di halaman rumah mungil itu.

Sikapnya tenang-tenang saja dan iapun tertawa ketika dibentak.

Kiok Eng tiba-tiba curiga.

Dan ketika ia berkelebat mendahului dan mencengkeram pemuda itu, Tan Hong tak mampu mengelak maka gadis ini membentak.

"Bocah, bikin apa kau di sini. Apakah kau pelayan Dewa Mata Keranjang!"

"Aduh, ah.... he-he. Lepaskan aku, nona. Aku bukan pelayan tapi justeru penghuni rumah ini. Karena kalian ke sini maka kusambut. Aduh, lepaskan cengkeraman mu!"

"Hm, ini bukan tempat tinggal kakek itu?"

Kiok Eng terbelalak, sinar matanya menyambar segala penjuru,80 liar.

"Kau siapa sebenarnya?"

"Aku penduduk Liang-san, nona, sudah kuberi tahu..."

"Tapi kau di atas gunung, bukan di bawah!"

"Eh, apakah tidak boleh? Aduh, lepaskan aku, nona. Ada ibuku di dalam!"

Benar saja, dari dalam rumah muncul seorang wanita cantik setengah tua.

Wanita itu muncul dan memanggil Tan Hong dan terbelalaklah dia melihat Kiok Eng dan kawan-kawan.

Kiok Eng melepaskan cengkeramannya dan Tan Hong mundur sambil mengurut-urut lehernya, menyeringai.

Dan ketika ia didekati wanita itu dan wanita ini mengurut-urut leher Tan Kong, rupanya ingin menggantikan pemuda itu yang kesakitan dicengkeram Kiok Eng maka ia bertanya dan suaranya yang lembut halus membuat Kiok Eng tercengang karena di puncak gunung ada wanita demikian halus budi pekertinya.

"Ini siapakah. Kenapa nona itu marah-marah kepadamu. Eh, demikian banyak tamu tidak kauberitahukan kepada ibumu, Tan Hong. Bagaimana kau diam-diam saja dan baru sekarang aku tahu. Siapa mereka!"

"Entahlah,"

Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tan Hong tertawa, ha-ha-he-he.

"Mereka ini katanya mencari Dewa Mata Keranjang, ibu. Datang ke sini dan melotot setiap bertemu aku. Lihat, semuanya membelalak. Aku jadi takut. Tolong kaulindungi aku dan biar aku bersembunyi!"

Pemuda itu tiba-tiba bergerak, sembunyi di belakang punggung ibunya dan Kiok Eng hampir saja terkekeh.

Tak disangkanya pemuda setampan itu demikian pengecut.

Rugi bahwa semalam ia selalu terkenang-kenang! Tapi ketika wanita setengah baya itu bersikap serius dan tidak seperti puteranya, yang berlindung dan tampak menggelikan adalah dia melangkah maju dan mendekat sampai semeter saja di81 depan Kiok Eng.

Hung-wangwe di belakang gadis ini.

"Kalian siapakah, ada apa mencari suamiku. Kebetulan suamiku tidur dan nanti kalau benar-benar ada kepentingan biarlah kubangunkan!'' "Kau isterinya?"

Kiok Eng terkejut, tiba-tiba berubah.

"Dan itu puteramu?"

"Benar, itu anakku Tan Hong, nona. Siapakah kau dan teman-temanmu ini."

"Ah!"

Dan Kiok Eng yang mundur dan tidak menjawab tiba-tiba merah mukanya dan berdetak.

Tan Hong, bocah gunung itu kiranya putera si Dewa Mata Keranjang.

Dan ia teringat betapa dua tiga kali pemuda ini mampu menghilang dengan aneh.

Hm, kiranya keturunan Dewa Mata Keranjang.

Dan kini berpura-pura seperti orang penakut, lemah.

Dan terkecoh bahwa itulah pemuda yang pandai bermain sandiwara, Kiok Eng tiba-tiba gusar dan berapi maka dia mendengus dan menoleh pada Hung-wangwe.

"Musuh sudah ada di depan. Mau apa lagi kalian kalau tidak segera menyerang!"

Hung-wangwe mengangguk.

Sejak tadi ia juga diam dan mendengarkan percakapan itu.

Dan tahu bahwa si bocah gunung kiranya putera si Dewa Mata Keranjang, hal ini tak disangka maka begitu berhadapan dengan wanita setengah baya ini segera hartawan itu tahu inilah kiranya wanita terakhir yang menjadi isteri Dewa Mata Keranjang.

"Apakah kau Mien Nio. Atau kekasih baru Dewa Mata Keranjang yang belum kukenal!"

"Benar, akulah Mien Nio,"

Wanita itu menjawab, tenang.

"Tapi aku sekarang adalah Tan-hujin (nyonya Tan), sahabat. Siapakah kau dan teman-temanmu ini. Juga82 nona yang cantik ini."

"Aku orang she Hung, sahabat Gok-tai-jin yang dulu dibunuh suamimu. Dan karena suamimu masih tidur biarlah kutangkap kau dan nanti baru suamimu.... wuutt!"

Hung-wangwe tiba-tiba bergerak dengan huncwenya (pipa rokok), menotok dan menyerang wanita itu dan Tan-hujin tiba-tiba bergeser mundur.

Gerakannya lebih cepat daripada huncwe dan sang hartawan terkejut, menyerang dan membentak lagi dan saat itu delapanbelas yang lain juga tiba-tiba membentak dan berseru keras.

Kiok Eng telah memberi aba-aba kepada mereka untuk maju.

Dan karena dua kali serangan Hung- wangwe dielak luput dan itu membuat orang-orang ini marah, nyonya itu kiranya lihai juga maka mereka bergerak dan serentak delapanbelas senjata menyambar ramai.

"Tangkap wanita ini, robohkan dia. atau bunuh biar sakit hati kita terbalas!"

"Benar, dan tangkap juga puteranya itu, kawan-kawan. Dia rupanya lemah!"

Namun orang-orang ini terkejut.

Mereka yang menubruk dan menyerang Tan-hujin tiba-tiba berteriak kaget karena wanita itu menghilang.

Hung-wangwe yang menyerang di depan terbelalak, melihat wanita itu meloncat ke belakang tapi teman-temannya di belakang berteriak satu sama lain.

Bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu semua kehilangan lawan.

Dan ketika Tan Hong di sana terkekeh melihat ibunya bergerak menghilang, sebenarnya meloncat tinggi dan melayang turun di dekat batu besar, berdiri mengerutkan kening maka pemuda itu berseru dan menuding, duduk mengambil kursi, satu paha diangkat ke paha yang lain.83

"Ha-ha, itu ibuku. Heii... kalian jangan melotot ke sini!"

Semua menoleh.

Serentak mereka terkejut karena Tan- hujin itu ternyata sudah berdiri di batu hitam, tegak dan berkerut-kerut keningnya tapi tiga di antara mereka mendadak berkelebat ke arah Tan Hong.

Dipikirnya pemuda itu empuk dan karena itu mereka hendak lebih dulu membekuk pemuda ini.

Tapi ketika mereka bergerak dan pemuda itu ditubruk, Tan Hong meloncat tiba-tiba kursinya terbalik dan tiga orang ini menerkam tempat duduknya, gedobrakan.

"Heii, jangan ke sini. Aku takut..... bress!"

Tiga orang itu saling bentur, kaget dan marah karena orang yang hendak ditangkap tak ada.

Pemuda itu sudah berlari dan ketakutan memanggil-manggil ibunya, ke batu hitam tapi di situ berjaga Hung-wangwe dan belasan yang lain.

Dan karena tak ada tempat berlindung kecuali sebuah tong bulat berisi sampah, pemuda itu membungkuk di sini maka dia sudah berteriak-teriak.

"Ibu, tolong....! Orang-orang jahat ini hendak membunuh aku!"

"Keparat!"

Tiga laki-laki itu bergerak bangun, kursi yang membuat mereka bertubrukan dilempar.

"Kau jangan berpetak umpet, bocah she Tan. Ke marilah dan jangan berteriak-teriak!"

Tan Hong membelalakkan mata lebar-lebar, ia dikejar dan dibentak lagi dan tiga laki-laki sudah menubruknya penasaran.

Mereka tak menganggap keberhasilan pemuda tadi sebagai kepandaian silat, melainkan secara kebetulan saja karena pemuda itu memberikan kursinya untuk ditubruk, meloncat dan sudah terbirit-birit dan kini berteriak-teriak memanggil ibunya untuk meminta perlindungan.

Dan karena pemuda itu tak berani84 melewati penjagaan Hung-wangwe dan lain-lain untuk mendekati ibunya, bersembunyi dan berlindung di tong sampah mereka marah tapi juga geli.

Dewa Mata Keranjang rupanya mempunyai seorang keturunan yang blo'on, meskipun tampan tapi demikian penakut dan lemah.

Sungguh mentertawakan! Tapi ketika mereka melompat dan pemuda itu ditubruk kembali, Tan Hong menjerit mendadak tong itu ditendang dan isinya berhamburan menyambut tiga laki-laki ini, segala sampah yang berbau busuk! "Ibu, tolong.

Di mana aku harus bersembunyi kalau tidak di belakang punggungmu!"

Dan lintang-pukang menyepak sampah-sampah itu, pemuda ini pucat dan nekat membentur Hung-wangwe dan kawan-kawan maka Hung-wangwe dan kawan-kawannya berteriak menutup hidung, mengelak dan kaget karena sampah tiba-tiba juga menghambur ke arah mereka.

Tiga teman mereka pertama jangan ditanya lagi.

Mereka itu lebih dulu berteriak dan menyumpah-serapah.

Tong yang mencelat ditendang pemuda itu malah jatuh di atas satu di antara mereka, tepat menakup kepala dan tentu saja bau luar biasa tidak enak membuat laki-laki ini muntah-muntah.

Dan ketika bunyi tong menerbitkan suara hingar-bingar sementara Hung-wangwe dan teman-temannya juga mengelak dan menutup hidung dengan kaget, Tan Hong tertawa maka dengan enak pemuda ini melalui belasan penjaga itu dan meloncat di batu hitam di mana ibunya berdiri, tangannya memeluk pinggang ibunya yang ramping.

"Hi-hih, selamat ibu. Aduh, hampir saja aku ditubruk mampus!"

Sang ibu, yang berdiri dan sejak tadi memandang ke bawah tidak menggubris puteranya.

Ia memandang lekat85 kepada Hung-wangwe dan kemudian Kiok Eng.

Gadis cantik di bawah itu tak dikenalnya begitu juga Hung- wangwe.

Nama Gok-taijin tak diingatnya dan lagi terlalu banyak taijin-taijin (pembesar) lain yang pernah ditangkap atau dirobohkan suaminya.

Dan ketika ia terbelalak memandang Kiok Eng yang cantik dan jelita itu, mencoba mengingat-ingat namun ia juga tak mengenal gadis ini maka nyonya itu lalu berdehem.

Hingar-bingar di bawah tak membuatnya sama sekali geli "Orang she Hung, dan kalian semua.

Harap kembali dan turun gunung baik-baik.

Aku tak ada waktu melayani kalian atau nanti aku bersikap keras!"

Hung-wangwe dan teman-teman sudah melepaskan hidung kembali.

Sampah berceceran di sana-sini dan diam-diam mereka heran dan kaget bagaimana putera lelaki Dewa Mata Keranjang itu mampu lewat.

Tapi karena menganggap bahwa semua itu bisa terjadi karena masing-masing melompat mundur, hujan sampah mengharuskan mereka pecah di kiri kanan maka mereka menganggap bahwa lewatnya pemuda tadi karena ini.

Dan Hung-wangwe meloncat maju dengan mata bersinar marah.

"Tan-hujin, kau turunlah. Jangan bersikap sombong kalau beranimu hanya menghindar saja. Suruh suamimu keluar atau kami menangkapmu lagi!"

"Wah-wah, jangan!"

Tan Hong berteriak dan mendekap ibunya erat-erat.

"Kalau kalian menangkap ibuku lalu siapa yang memasak dan memberikan makan minum kepadaku, Hung-loya. Jangan kejam dan bagaimana dengan kayu-kayu kering yang telah kusiapkan di dapur!"

"Hm, kau pemuda pintar yang licik. Mana keberanianmu sebagai putera Dewa Mata Keranjang. Tak nyana bahwa86 Dewa Mata Keranjang menelurkan bocah semacam ini. Turunlah, dan bawa ibumu ke mari baik-baik kalau tak ingin kami tangkap!"

Hung-wangwe, yang terbelalak dan heran juga akan sikap pemuda ini mengancam dengan mata melotot.

Dia tadinya curiga tapi sekarang bingung melihat sikap ketakutan pemuda ini.

Dua kali dia melihat bahwa pemuda itu tak berkepandaian sama sekali, gerak-geriknya bukan seperti ahli silat.

Tak pantas sebagai putera Dewa Mata Keranjang! Tapi Tan Hong yang tertawa dan menggelandot di bahu ibunya justeru semakin manja lagi.

"Wah, mana mungkin? Masa aku harus menyerahkan ibuku, Hung-loya. Kau ini aneh. Kau sajalah yang kuikat kaki tanganmu dan kujadikan satu dengan kayu-kayu kering di dapur!"

"Keparat, kalau begitu kaupun kutangkap. Kawan-kawan, lompat dan serang dua orang itu!"

Hung-wangwe menjadi marah, berseru dan meloncat dan kawan-kawannya yang lain juga bergerak dan mengikuti bayangannya.

Hung- wangwe sendiri kembali menyerang nyonya itu karena nyonya itulah yang di depan, Tan Hong bersembunyi.

Tapi begitu dia melompat naik dan Tan-hujin menggerakkan kakinya ke bawah, menyapu, tidak seperti tadi yang mengelak dan menghindar mendadak Hung- wangwe menjerit disambar kaki nyonya ini dan limabelas yang lain juga berteriak karena Tan-hujin meluncur turun dan kini membalas.

"Des-des-dess!"

Hung-wangwe dan teman-teman terpelanting jatuh.

Mereka yang bersemangat dan hendak merobohkan wanita itu tiba-tiba terpekik karena Tan-hujin menyapukan kakinya dengan cepat.
Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Bagai kitiran saja nyonya itu berseru dan menendang mereka.

Dan karena87 mereka kalah kuat karena sepasang kaki sang nyonya bagai tongkat baja, menghantam dan mengenai tubuh mereka maka semua terlempar dan nyonya itu sudah berdiri lagi di bawah dengan tangan bertolak pinggang.

"Kuperingatkan sekali lagi agar kalian pulang dan turun gunung. Siapa ingin coba-coba lagi dia akan mendapat pukulan lebih keras dari aku!"

Hung-wangwe dan kawan-kawan terbelalak.

Mereka kaget sekali karena begitu dibalas merekapun tiba-tiba berpelantingan, padahal ini barulah Tan-hujin dan bukan Dewa Mata Keranjang sendiri.

Tapi karena mereka masih belum puas dan di situ ada jago andalan mereka pula, Kiok Eng yang lihai maka Hung-wangwe penasaran dan membentak.

"Tan-hujin, kau sombong dan congkak sekali. Jangan kira kami takut dan lalu pergi menerima gertakanmu. Lihatlah, kami masih akan menangkapmu dan kami tak takut pukulan mu yang lebih keras!"

Dan Hung-wangwe yang bergerak dan kembali memimpin teman-temannya lalu menerjang dan huncwe menotok ulu hati.

Hartawan ini memang masih penasaran dan belum menerima kalahnya.

Ia tak akan sudah kalau benar-benar belum roboh.

Tapi ketika lawan mengelak dan ia menyerang lagi, teman-temannya yang lain juga bergerak dan berseru keras maka Tan-hujin tak lagi menghindar melainkan menangkis.

Dan sekaranglah Hung-wangwe dan kawan-kawannya merasakan langsung tangkisan wanita ini.

"Plak-plak-plak!"

Dan....

Hung-wangwe serta kawan- kawannya terpelanting.

Hartawan itu terkejut dan menjadi kaget namun marahnya juga semakin bertambah.

Ia melompat bangun dan menerjang lagi.

Dan karena kawan-kawannya yang lain juga dapat melompat bangun88 dan mereka menyerang lagi, tamparan Tan-hujin meskipun keras namun tidak membuat mereka luka maka Hung-wangwe dan kawan-kawannya itu berani menyerang lagi dan nyonya itu segera dikeroyok.

Dan Tan Hong berteriak-teriak.

"He... hei! Masa belasan lelaki mengeroyok ibuku. He, mundur Hung-loya, mundur. Jangan kalian menyerang ibuku. Tak tahu malu. He, curang...!"

Hung-wangwe dan kawan-kawan marah.

Mereka itu sudah menyerang berkelebatan namun si nyonya mengelak ke sana ke mari.

Gerakannya cepat dan merekapun tak dapat mengikuti.

Dan ketika pemuda itu berteriak-teriak sementara sang nyonya sudah beterbangan seperti burung, menyambar dan menukik sana-sini maka tamparan atau balasan nyonya ini jatuh pula menimpa Hung-wangwe dan kawan-kawan.

Dan Hung-wangwe serta kawan-kawannya terpekik.

Mereka sudah menggerakkan senjata menusuk dan membacok namun si nyonya mengelak dan menangkis.

Dan karena setiap tangkisannya tentu membuat lawan menjerit, pedas dan kesakitan maka saat itulah sang nyonya menyambung dan mereka terpelanting.

Tan Hong bersorak-sorak dan kini pemuda yang jingkrak-jingkrak itu terkekeh geli.

Dia tidak khawatir lagi melihat ibunya melainkan justeru bangga dan gembira.

Hung-wangwe dan kawan-kawannya dihajar.

Namun ketika dia bersorak dan bertepuk gaduh, Hung-wangwe dan kawan- kawannya diejek habis-habisan maka hartawan yang marah dan melotot mendengar itu tiba-tiba menerkam dan menubruknya.

"Diam, atau biar kau kubekuk.... wutt!"

Hung-wangwe menerkam, menganggap pemuda ini lemah dan kebetulan agak jauh dari ibunya.

Tapi begitu ia menubruk89 dan pemuda ini kaget, berteriak, maka Tan Hong tergelincir mengelak ke belakang dan kulit pisang yang baru diinjaknya terinjak pula oleh Hung-wangwe.

"Bress!"

Hung-wangwe terjengkang! Kontan laki-laki itu berteriak marah tapi Hung-wangwe sudah melompat bangun lagi.

Bajunya kotor tapi tak dihiraukan dan ia menubruk lagi.

Gemas dan marahnya kepada Tan Hong kian memuncak.

Tapi ketika pemuda itu melolong dan lari terbirit-birit, menyambar tong sampah dan melemparkannya kepada lawan maka Hung-wangwe mencak-mencak dan beringas.

Hartawan ini terus mengejar namun Tan Hong menyambar apa saja, dilempar dan dikelit untuk akhirnya bersembunyi di mana saja.

Dan ketika semua tempat habis dipakai bersembunyi dan Tan Hong lari ke arah pertempuran maka pemuda itu menangkap dan berlindung di balik pinggang atau punggung teman-teman Hung-wangwe ini.

Hung-wangwe melotot dan terbelalak lebar karena teman yang ditangkap atau dicengkeram pinggangnya itu diam saja, berseru seakan geli dan sejenak menegang tubuhnya, itu saja.

Tidak membalik dan menangkap pemuda ini dan selanjutnya Tan Hong sudah berpindah- pindah dari satu pinggang ke pinggang lain.

Tak ada satupun yang tahu bahwa diam-diam Tan Hong mencengkeram atau menotok pinggang lawan, membuat lawan sedetik merasa lumpuh dan karena itu enak saja dipakai bersembunyi.

Dan ketika Tan Hong terus berputaran dan berteriak-teriak memanggil ibunya, Hung- wargwe tetap mengejar dan gemas kepada pemuda ini maka Kiok Eng yang terbelalak dan tertegun melihat itu tentu saja tahu gerakan jari-jari putera Dewa Mata Keranjang ini, betapa Tan Hong mencengkeram atau melumpuhkan jalan darah kin-ceng-hiat di pinggang kanan kiri, cengkeraman atau totokan lembut yang bakal90 membuat lawan tersentak dan menegang sedetik, lumpuh dan karena itu enak saja pemuda itu berlindung atau bersembunyi di balik punggung.

Tan Hong sesungguhnya mempermainkan orang-orang itu! Dan ketika kawan-kawan Hung-wangwe itu juga pening melihat bayangan Tan-hujin yang menyambar-nyambar, pinggang yang lumpuh sejenak belum mengembalikan kekuatan lagi maka Mien Nio atau isteri Dewa Mata Keranjang ini menyerukan bentakan panjang dan tepat Tan Hong meremas jalan darah orang terakhir maka orang itupun roboh oleh tamparan Tan-hujin.

"Plak-plak- plak"' Hung-wangwe menghentikan larinya dan menoleh. Ia terkejut karena belasan teman nya berteriak dan roboh satu per satu. Dan ketika orang terakhir mengeluh dan itulah si Tangan Guntur dari Cian-bu, roboh dan berdebum maka Hung-wangwe terbelalak dan berubah mukanya.

"Eh!"

Hanya itu saja seruan hartawan ini.

Selanjutnya ia tak mengejar lawannya lagi karena Tan Hong sudah bersembunyi di balik ibunya.

Pemuda itu cengar-cengir dan tertawa.

Dan ketika hartawan ini sadar dan menoleh kepada Kiok Eng, minta perlindungan maka Kiok Eng berkelebat dan wajahnya kemerah-merahan.

"Kalian turun gunung saja, biar aku yang menyelesaikan urusan di sini!"

Hung-wangwe tertegun.

"Kau tak mendengar kata-kataku?"

Kiok Eng membentak, sebal.

"Kau dan teman-temanmu itu tak tahu diri, Hung- wangwe. Jangan sangka Tan Hong ini tak bisa silat, Ia mempermainkan kalian. Teman-temanmu sudah ditotoknya jalan darah di pinggang. Kau tak mungkin91 dapat menangkapnya!"

"Dia... dia itu?"

Hung-wangwe seakan tak percaya.

"Ya, dia itu. Pemuda yang kuanggap bocah gunung itu. Nah, kau pulang dan kembalilah bersama teman- temanmu ini. Jangan memperlihatkan diri lagi di sini. Kalian gentong-gentong kosong belaka!"

Dan menjentikkan butir-butir kerikil hitam, membebaskan totokan dan menyuruh bangun orang-orang itu Hung- wangwe tiba-tiba sadar dan pucat memandang Tan Hong.

Pemuda itu sendiri masih cengar-cengir dan tidak memperlihatkan bahwa dia seorang lihai.

Tapi ketika Hung-wangwe bertanya dan semua mengatakan betul, bahwa pinggang mereka tadi lumpuh dan baru sekarang sadar telah ditotok secara lihai maka tertegunlah hartawan ini dan percayalah dia bahwa omongan Kiok Eng benar.

Pantas dia tak mampu menangkap, kiranya Tan Hong berpura-pura.

Dan ketika hartawan itu menjadi merah dan malu serta jerih, keluarga Dewa Mata Keranjang sungguh tak dapat dibuat main-main maka ia dan kawan-kawannya lalu pergi tapi sebelum turun gunung hartawan itu bertanya kepada Kiok Eng kapan mereka bertemu lagi.

Apakah dia menunggu saja di bawah.

"Untuk apa? Memangnya kalian tidak tahu malu untuk bersahabat dengan aku lagi? Pergi dan tak perlu macam- macam, wangwe. Atau nanti aku menghajar kalian dan kulempar dari sini!"

Hung-wangwe terkejut.

Sekarang dia melihat kemarahan Kiok Eng dan wajah gadis ini yang beku dingin, kasar.

Kiok Eng sungguh tidak bersahabat lagi dengan mereka karena gadis itu kecewa teman-temannya ini tak dapat92 diharapkan.

Baru menghadapi Tan-hujin itu saja mereka semua kalah, apalagi kalau nanti dengan Dewa Mata Keranjang sendiri.

Dan karena bukan maksud Kiok Eng untuk berdekatan dengan mereka, orang-orang itu hanya dipergunakan sebagai alat dalam menghadapi Dewa Mata Keranjang maka begitu gagal iapun langsung mengusir.

Dan Hung-wangwe tak berani bercuit! Hartawan itu tahu benar kelihaian gadis ini.

Tak mungkin dia dan kawan-kawannya menang.

Dan karena di situ ada Tan-hujin dan juga Tan Hong, yang mungkin akan bersikap lebih keras lagi kalau tak cepat-cepat turun gunung maka hartawan ini pergi dan segera meninggalkan tempat itu.

Dan Kiok Eng berhadapan dengan ibu dan anak.

"Sekarang aku yang akan menyelesaikan perhitungan di sini. Mana Dewa Mata Keranjang dan suruh dia keluar!"

"Hm, siapa nona,"

Mien Nio bertanya, waspada bahwa gadis ini tentu jauh lebih berbahaya dibanding Hung- wangwe dan teman-temannya tadi. Bukti bahwa Hung- wangwe diusir tanpa banyak bercuit memperkuat dugaan itu.

"Ada apakah nona mencari suamiku dan permusuhan apa pula yang telah dilakukannya kepadamu. Seingatku belum pernah suamiku mengenalmu."

"Benar, tapi nanti akan kuberi tahu, hujin, kalau suamimu sudah keluar. Suruh dia ke sini atau aku tak sabar dan akan mencarinya sendiri di dalam!"

"Wah-wah, jangan..!"

Tan Hong meloncat, berseru seakan pemuda tolol "Ayah masih tidur, nona. Nanti kaget. Sebaiknya kaukatakan kepada ibuku atau tunggu saja sampai nanti ayah bangun!"

"Hm, kau tak usah berpura-pura,"

Kiok Eng membentak.

"Aku bukan orang-orang tadi, Tan Hong. Suruh ayahmu93 keluar atau nanti aku masuk!"

"Wah, jangan. Aku...."

Kiok Eng berkelebat.

Tiba-tiba dia menjadi tak sabar dan ingin menghajar pemuda ini.

Begitu Tan Hong menggoyang lengan iapun menjejakkan kaki mendorong.

Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tan-hujin yang ada di depannya ditampar dan nyonya itu terkejut, mengelak dan Kiok Eng sudah menerobos masuk tapi Tan Hong memekik mengejar gadis itu, tangan menarik baju.

Dan ketika Kiok Eng mengibas dan dua tangan mereka beradu, Tan Hong terpental maka Kiok Eng sendiri juga tergetar dan tertahan, terhuyung dan saat itu sang nyonya berkelebat ke depan.

Tan-hujin ini tak mau gadis itu memasuki rumah.

Ia sudah menghadang dan gerakan puteranya menahan gadis ini.

Dan ketika Kiok Eng terkejut bertemu tangan kuat berisi tenaga sakti, Tan Hong menyerangnya dengan cengkeraman sinkang maka gadis itu mendengus membetulkan dugaannya.

"Bagus!"

Ia tak mau banyak cakap.

"Minggir atau terima pukulanku, hujin. Maaf bahwa aku harus masuk!"

Tan-hujin terkejut.

Gerakan Kiok Eng yang luar biasa cepat hingga tadi mampu menerobos sejenak cukup membuktikan kepadanya bahwa gadis ini memang lihai, tidak sama dengan Hung-wangwe dan rombongannya tadi.

Namun karena ia juga harus menjaga rumahnya dan tak boleh gadis itu mengganggu suaminya, nyonya ini marah maka tamparan Kiok Eng diterima dan begitu beradu tiba-tiba nyonya ini menjerit.

"Aduh.... plak-plak!"

Sang nyonya terpelanting.

Kiok Eng mempergunakan Siang-kiam-ciangnya atau Sepasang Tangan Pedang dan rambutnya-pun meledak menyambar nyonya itu.94 Rambut itu tak diduga.

Dan ketika Tan-hujin terbanting dan Kiok Eng tertawa dingin, masuk dan berkelebat melanjutkan kakinya maka Tan Hong terkejut dan berseru keras mengejar, sang ibu sudah bergulingan meloncat bangun.

"Heii, jangan masuk.... jangan. Tunggu dulu dan jangan ganggu ayah yang sedang tidur!"

Kiok Eng tak perduli.

Ia telah merobohkan Tan-hujin dan itu cukup membesarkan hatinya.

Dari adu tenaga tadi ia dapat mengukur bahwa sesungguhnya ia masih di atas.

Hanya Hung-wangwe dan orang-orangnya itulah yang terlalu rendah.

Ia tak menyangka bahwa di sini masih ada wanita lain menemani Dewa Mata Keranjang, guru- gurunya tak pernah bercerita tentang wanita ini karena Sin-mauw Sin-ni dan lain-lainnya itu menganggap Mien Nio tak mungkin lama dengan kakek itu.

Maklumlah, Dewa mata Keranjang biasanya suka dan cepat sekali berganti-ganti pasangan.

Dan bahwa di situ ada seorang pemuda pula yang ternyata keturunan kakek ini, Sin- mauw Sin-ni dan lain-lain juga tak menduga maka Kiok Eng yang harus memutuskan dan mengambil sikap sendiri tak menggubris lagi Tan Hong maupun ibunya.

Dia ditugasi mencari dan membunuh Dewa Mata Keranjang, juga Fang Fang yang katanya lebih lihai lagi dibanding kakek ini.

Dan karena kakek itu harus cepat dicari dan Kiok Eng gatal ingin melihat lawannya, menjajal dan melihat seberapa hebat kakek itu dan harus super cepat menemukannya maka Kiok Eng sudah memasuki rumah dan tiga kamar berturut-turut dilihatnya di situ.

Dan pintu-pintu kamar inipun ditendang.

Untuk yang pertama dan kedua tak ada siapa-siapa.

Tapi begitu kamar nomor tiga didobrak dan Kiok Eng melompat masuk maka seorang kakek tampak menggeliat dan menguap bangun, sorot matanya95 menampakkan kaget dan heran akan kedatangan gadis ini.

"He, siapa kau. Ada apa mengganggu orang tidur!"

Kiok Eng terkejut.

Kakek yang bangun dan meloncat dari tidurnya itu ternyata hanya mengenakan kolor saja, tidak berbaju dan telanjang dada dan buru-buru menyambar pakaiannya.

Pakaian itu tergantung di dinding tapi saat itu terdengar teriakan dari luar bahwa Kiok Eng adalah musuh.

Dewa Mata Keranjang, kakek itu, diberi tahu untuk berhati-hati.

Dan ketika kakek itu terbelalak dan ganti terkejut, celana sudah disambarnya maka Kiok Eng tiba-tiba membentak dan menerjang kakek itu tak mau kedahuluan Tan Hong.

"Bagus, kau kiranya Dewa Mata Keranjang. Aku dari Bukit Angsa ingin menagih jiwa wuuutttt!"

Tamparan atau pukulan gadis itu menyambar cepat.

Angin atau hawa pukulan dahsyat mendahului lengan kanan itu, Dewa Mata Keranjang berteriak dan melempar tubuh ke kiri.

Namun ketika ia tetap dikejar dan kamar itu sempit, sang kakek berseru keras tiba-tiba celananya dilontarkan dan tepat menutupi wajah Kiok Eng.

"Plak!"

Kiok Eng menyumpah-nyumpah.

Pukulannya menggetarkan tembok dan saat itu si kakek terkekeh menggelinding lewat bawah kakinya, cepat sekali.

Dan ketika tahu-tahu kakek itu berada di luar, melompat bangun maka Dewa Mata Keranjang tertawa gembira dan bayangan anak isterinya berkelebatan datang.

"Bagus, heh-heh.... bagus sekali. Ada lawan tanding yang hebat dan setimpal. Aih, mana celanaku yang lain. Wah, gadis ini galak. Ia tak sabaran menyerang laki-laki96 yang belum bercelana. Hiihhh, siapa dia itu....!"

Kiok Eng terkejut dan membalik.

Ia sudah membuang celana sialan itu dan sedikit bau apek mengotori lubang pernapasannya.

Keparat, kakek ini kurang ajar! Tapi ketika dia melompat keluar dan marah memandang kakek ini, Dewa Mata Keranjang tertegun memandang wajah jelita itu maka kakek ini mendecak, kagum.

"Uiihh, cantiknya. Ayu dan penuh semangat. Heh-heh, ini calon isteriku, Tan Hong..... eh, bukan. Calon isterimu! Ha-ha, benar. Ia calon menantuku dan inilah gadis yang kucari-cari!"

Dewa Mata Keranjang berjingkrak.

Ia menari dan menepuk-nepuk pantatnya dan kekehnya yang renyah diiring tepuk tangan riang.

Kiok Eng yang baru kali ini berhadapan dengan kakek itu tiba-tiba dibuat marah, tentu saja membentak.

Dan ketika kakek itu terkejut dan berhenti menari, Kiok Eng bersinar-sinar maka mata di balik kacamata hitam itu mengeluarkan api.

Dewa Mata Keranjang melongo.

"Eh-eh, itu mata atau bukan. Aduh, bagusnya. Siapa bocah denok deblong ini!"

"Hm, ia tak menyebutkan nama,"

Tan-hujin kini maju dan bicara, menowel agar suaminya bercelana dulu. Jangan hanya kolor itu.

"Ia datang dan mencari dirimu, suamiku, tadi bersama kawan-kawannya tapi kawan-kawannya diusir. Entahlah, ia siapa tapi yang jelas ia lihai dan mampu menerobos penjagaanku di luar!"

"Ha-ha, benar. Angin pukulannya tadi bersiut kuat. Aku tahu, ia lihai. Tapi biar kutanya siapa dia dan aku seperti tahu. ilmu pukulannya tadi!"

Dan terkekeh menghadapi gadis ini, celana dipakai secara terbalik maka Kiok Eng yang melotot tapi hampir tertawa geli menguatkan97 bibirnya untuk bersikap kaku.

Sebenarnya, sejak bertemu dan melihat tingkah kakek ini Kiok Eng heran juga bagaimana guru-gurunya begitu membenci Dewa Mata Keranjang.

Kakek ini berwatak jenaka dan segalanya rupanya ingin dibuat main-main.

Urusan seriuspun masih ingin main-main.

Tapi karena dia datang untuk membunuh dan seberapa hebat kakek itu mau berjenaka dia tak akan tertawa, dia harus memasang sikap bengis maka Kiok Eng memasang sikap itu.

Dan kakek ini terkekeh.

"Heh-heh, lucu. Bocah begini ayu mau coba-coba bersikap menyeramkan. Eh, siapa namamu, anak baik. Bolehkah aku tahu sebelum kita saling menjajal kepandaian. Dari mana dan benarkah kau mau membunuh aku. Apa salahku."

"Salahmu bertumpuk-tumpuk!"

Kiok Eng membentak, tak jadi geli.

"Dosamu sudah melewati takaran, Dewa Mata Keranjang. Aku datang memang untuk membunuhmu tapi kalau kau mau baik-baik ikut aku mari pergi ke Bukit Angsa dan di sana kau menghadap guru-guruku!"

"Eh, kau punya lebih seorang guru? Heh-heh, menarik sekali. Tapi mana itu Bukit Angsa dan siapa guru- gurumu. Dosa apa yang sudah kulakukan bertumpuk- tumpuk itu!"

"Nanti di sana kau tahu. Sekarang ikutlah aku dan tinggalkan tempat ini!"

"Weh, seperti kambing? Ha-ha, kalau aku mau belum tentu anak isteriku mau, anak baik. Sebutkan siapa namamu atau nama guru-gurumu itu!"

"Nama guru-guruku terlalu berharga di sini. Kau boleh tahu namaku saja. Nah, aku Bu Beng Siocia!"98 Kakek ini tertawa bergelak. Mendengar nama Bu Beng Siocia (Gadis Tanpa Nama) segeralah dia tahu bahwa gadis ini menyembunyikan diri. Nama sebenarnya tak diperkenalkan dan tentu saja Dewa Mata Keranjang geli. Tapi begitu dia terbahak begitu pula Kiok Eng membentak.

"Diam, bagaimana dengan permintaanku tadi!"

Dewa Mata Keranjang meledak tawanya lagi.

Dia tadi sejenak berhenti tapi terkekeh lagi mendengar pertanyaan ini.

Mana mungkin dia mau! Dan ketika kakek itu menjawab bahwa silahkan gadis itu bertanya anak isterinya, yang tentu saja menolak maka Kiok Eng berkelebat dan tanganpun menyambar menghantam kakek ini.

"Baik, kalau begitu aku akan membunuhmu di sini!"

Dan sambaran Kiam-ciang atau Tangan Pedang yang bergerak cepat tiba-tiba dikelit dan sang kakek berteriak, mengenal dan masih ragu-ragu dan Kiok Eng menyambar lagi.

Dan ketika empat kali gadis itu mengejar dan pukulan ini yang dilakukan, Tan Hong dan ibunya melompat mundur maka si kakek berseru.

"Kiam-ciang! Eh, kau murid Bi Giok dan Bi Hwa, ha- ha....!"

Dan Kiok Eng yang terkejut tapi membentak lagi, menyerang dan mengejar akhirnya memburu si kakek dan Dewa Mata Keranjang mengelak ke sana-sini dan tertawa-tawa mengenal ilmu pukulan gadis itu.

Mula-mula Dewa Mata Keranjang mengira Kiok Eng hanya murid dua nenek itu, tentu saja menganggap enteng.

Tapi ketika Bhi-kong-ciang menyambar naik turun dan rambut gadis itu juga meledak-ledak, inilah kepandaian nenek Lin Lin dan May-may maka kakek itu semakin kaget ketika pukulan-pukulan lain ganti berganti menyambarnya.

Dewa Mata Keranjang segera terpekik99 menyebut nama bekas isteri-isterinya yang lain dan Kiok Eng kagum kakek ini mengenal semuanya.

Penasaran dia.

Dan ketika Tangan Pedang silih berganti dengan Pukulan Kilat Biru dan gadis ini menambah tenaganya sementara rambutnya berubah kaku seperti kawat-kawat baja, meledak dan menotok atau menyambar bagai ular ganas maka si kakek menjadi kelabakan dan sebelas kepandaian nenek sakti menjadi satu menghantam dirinya.

Dewa Mata Keranjang kaget sekali.

"Hayaaa.... ini kepandaian Ai Ping. Aih, ini punyanya Bwee Kiok. Dan augh... itu milik Cui Yong.... plak-plakk!"

Kakek ini menangkis dan sibuk mengelak sana-sini, gencar menerima serangan dan Tan Hong maupun ibunya terbelalak lebar.

Setelah Kiok Eng mengeluarkan kepandaiannya maka tampaklah betapa gadis ini luar biasa sekali.

Ia beterbangan menyambar-nyambar- dan Sin-bian Gin-kang atau Gin-kang Kapas Sakti dipertunjukkan Kiok Eng, tentu saja mengagetkan ibu dan anak dan Dewa Mata Keranjang yang juga melihat itu berteriak berulang-ulang.

Sadarlah kakek ini bahwa gadis jelita ini sudah digembleng guru-gurunya untuk membalas dendam.
Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Kakek itu menangkis tapi ia terpental.

Dan ketika Dewa Mata Keranjang terkejut karena kalah kuat, gadis jelita ini hebat sekali maka Tan Hong berseru agar ayahnya mundur.

"Apa, kau mau menghadapi? Wah, aku gembira sekali menemui lawan sehebat ini, Tan Hong. Sudah lama ayahmu tidak main-main dengan orang lihai. Biarkan aku berkeringat dan nanti saja kau maju!"

"Tapi ayah kalah tenaga. Gadis ini hebat!"

"Ha-ha, tenaga ayahmu memang tua. Aku sudah merosot. Tapi aku masih menang pengalaman dan dengan ini aku akan menghadapi lawanku ini, ha-ha....100 dukk!"

Dan si kakek yang terpental tapi berjungkir balik tak mau diganti, terbahak dan gembira melayani Kiok Eng lalu juga mengeluarkan Sin-bian Gin-kangnya dan kakek itu mainkan Im-bian-kun atau Silat Kapas Dingin untuk meredam keganasan pukulan-pukulan Kiok Eng.

Dengan pengalaman dan kepandaiannya yang matang segera Dewa Mata Keranjang tak mau beradu tenaga lagi.

Usia tuanya ternyata telah menggerogoti tenaganya.

Empat kali ia terlempar tapi empat kali itu pula ia mampu melepaskan diri dengan berjungkir balik.

Dan ketika dengan kecepatannya kakek ini mengimbangi Kiok Eng, dua ilmu meringankan tubuh yang sama dan sealiran dipergunakan sambar-menyambar maka Dewa Mata Keranjang sebagai pemilik dan pencipta tunggal ilmu ini mampu menghadapi lawan.

Beberapa tehnik atau kematangan teori ditunjukkan kakek ini.

Berapa kali ia mampu menghindar dari pukulan Kiok Eng yang cepat, atau ledakan rambutnya yang menjeletar itu.

Tapi karena Kiok Eng menang tenaga dan "ausdauer"nya juga lebih kuat, daya tahan kakek itu tak seperti sepuluh atau duapu-luh tahun yang lalu maka Dewa Mata Keranjang mulai lelah dan sebentar kemudian sudah mandi keringat.

Dan Kiok Eng tertawa mengejek.

"Lihat,"

Gadis itu berseru.

"Kau boleh mengandalkan kematangan dan pengalamanmu, Dewa Mata Keranjang. Tapi tak mungkin kau dapat terus-terusan bertahan dari seranganku. Kau sudah mulai lelah, dan inilah kemenanganku!"

"Heh-heh, kau benar. Tapi di sini ada anak isteriku. Tak mungkin mereka mau membiarkan aku roboh!"

"Kau mau mengeroyok? Bagus, suruh mereka maju atau nanti kau terlambat!"

Kiok Eng marah dan sengit, Ia merasa diancam dan tentu101 saja ia tak takut.

Tan Hong dan ibunya boleh membantu dan sekalian saja akan ia bereskan.

Tapi karena kakek itu main hindar dan pukulan-pukulannya sering meleset, kakek itu licik membiarkan ia membuang-buang tenaga maka Kiok Eng tertegun dan menjadi gusar.

"Hei, jangan berkelit saja. Ayo, maju dan balas pukulanku!"

"Heh-heh, aku sudah tua, tak ingin main balas. Kau saja yang merobohkan aku dan lihat berapa lama kau mampu menangkap Dewa Mata Keranjang!"

"Baik, kau kakek jahanam dan coba lihat berapa lama aku merobohkanmu..... wut-wutt!"

Dan Kiok Eng yang mengenjot kakinya beterbangan dengan Sin-bian Gin- kang lalu mempercepat gerakan dan rambut diledakkan lurus, memotong atau mencegat kakek itu kalau mau mengelak ke kiri atau ke kanan.

Dan ketika benar saja kakek itu harus menangkis dan menggerakkan lengannya, rambut mencegat jalan larinya maka dengan taktik begini Kiok Eng mengharuskan lawan beradu tenaga.

"Plak-plak!"

Kakek itu tergetar. Dewa Mata Keranjang terkejut dan Kiok Eng terkekeh. Gadis itu bergerak dan kembali menyerang dan kakek ini berkelit. Tapi ketika rambut kembali menyambar dan memotong jalannya maka terpaksa kakek itu lagi-lagi menangkis.

"Plak-plak!"

Dan kakek ini lagi-lagi tergetar.

Kiok Eng terus mendesaknya dengan cara itu dan marahlah Dewa Mata Keranjang dipaksa adu tenaga.

Lawannya itu cerdik, mampu mengantisipasi "kelicikannya".

Dan karena ia harus berkali-kali mengadu tenaga dan jelas ia kalah, usianya sudah menggerogoti tubuh maka untuk yang terakhir kalinya kakek itu terbanting102

"Dess!"

Dewa Mata Keranjang berseru keras.

Ia kaget dan bergulingan menjauh namun saat itu Kiok Eng mengejar.

Gadis ini melihat kesempatan baik dan tak mau menyia- nyiakan kesempatan itu.

Tapi ketika Tan-hujin dan puteranya berkelebat, membentak dan menangkis gadis itu maka Kiok Eng terpental dan gadis itu berseru keras berjungkir balik mematahkan pukulan lawan.

"Curang, tidak tahu malu!"

Dan Dewa Mata Keranjang yang meloncat bangun dan terbelalak memandang gadis itu sudah melihat Kiok Eng marah sekali melayang turun, berdiri dan melotot kepada ibu dan anak namun Tan- hujin tak perduli.

Ia tak mau suaminya dirobohkan orang dan apa boleh buat harus maju membantu.

Bantuannya terbatas pada tangkisan tadi dan kini wanita itu menyambar lengan suaminya, bersikap melindungi atau sekaligus meminta suaminya mundur dulu.

Tan Hong sudah di depan sana.

Dan ketika pemuda itu yang berhadapan dengan Kiok Eng dan gadis ini marah sekali, kacamata dilepas maka Kiok Eng menggigil membentak keluarga itu.

"Dewa Mata Keranjang, majulah kalian bertiga. Aku tak takut dan akan menghadapi kalian semua. Nah, kerubutlah aku dan kita selesaikan urusan ini!"

"Hm, tidak,"

Tan Hong menggeleng dan bersikap serius, watak main-mainnya lenyap, tidak blo'on lagi.

"Kau tak boleh mengganggu ayahku lagi, nona. Ayah kurang enak badan beberapa hari ini. Lihat ia batuk-batuk setelah melayanimu beberapa jurus. Kau pergilah dan buang pertikaian itu. Aku telah mendengar tentang bibi-bibiku yang kausebutkan sebagai guru-gurumu itu. Sampaikan hormatku dan mintalah agar persoalan lama tak diungkit- ungkit. Aku akan datang minta maaf dalam beberapa hari103 ini!"

"Kau bicara begitu enak? Mudah amat, dendam lama tak bisa dihapus, Tan Hong, kecuali dengan darah. Dan darah ayahmu belum mengalir. Minggir atau kubunuh kau!"

Kiok Eng berkelebat, mendorong atau memukul pemuda itu dan pemuda ini tentu saja mengelak. Namun ketika Kiok Eng lewat di samping tubuhnya maka ia menyambar dan balik mencengkeram punggung gadis itu.

"Plak!"

Kiok Eng membalik dan marah sekali.

Ia tahu serangan berbahaya dan karena itu membalik, menyambut atau menghantam cengkeraman itu dan dua- duanya terpental.

Dan ketika Kiok Eng terkejut karena Tan Hong rupanya bersungguh-sungguh, mengeluarkan kepandaian sebenarnya maka Dewa Mata Keranjang bersorak tapi batuk-batuk.

"Heh-heh, bagus, Hong-ji..... bagus. Ugh... kau boleh gantikan aku karena penyakitku kumat.... uh-uhh!"

Kakek ini terpingkal-pingkal, batuk datang mengganggu namun ia tak memperdulikan.

Dan ketika Kiok Eng melotot dan menyimpan kacamatanya, getaran adu pukulan tadi membuat ia khawatir barang miliknya pecah maka Kiok Eng membentak den menerjang maju.

Kini penasaran dan kemarahannya akan ditimpakan kepada putera musuhnya ini.

"Baik, kau mencari penyakit, Tan Hong. Dan ini kesempatan bagiku untuk mencoba kepandaianmu. Marilah.... mari keluarkan seluruh ilmumu dan lihat apakah kau lebih hebat dari ayahmu!"

Tan Hong mengerutkan kening.

Ia bergerak ke kiri ketika tiba-tiba Kiok Eng menyerangnya kembali, melejit dan mengelak ke kanan ketika Kiok Eng mengejar.104 Dan ketika sebentar kemudian ia sudah didesak dan mendapat pukulan bertubi-tubi, tak mungkin berkelit atau menangkis melulu maka pemuda ini menggerakkan lengan dan pukulan atau serangan gadis itu diterimanya.

"Duk-plakk!"

Kiok Eng mendapat kenyataan mengejutkan dengan kejadian ini.

Lain dengan kakek itu yang lemah dan kiranya sedang sakit-sakitan, akhir-akhir ini memang Dewa Mata Keranjang tak enak badan maka sinkang atau tenaga Tan Hong jauh lebih kuat dibanding ayahnya.

Kiok Eng menganggap rendah kalau pemuda itu di bawah ayahnya.

Justeru pemuda ini sudah setingkat ayahnya, hanya ia masih muda dan kurang pengalaman saja.

Maka begitu ia harus bertanding dengan Kiok Eng dan apa boleh buat harus bergerak cepat dan menangkis mengerahkan sinkang, Kiok Eng sudah berkelebatan dan menyambar-nyambar bagai burung srikatan maka Tan Hong mengeluarkan ilmunya dan silat bermacam ragam dari Kiok Eng dihadapinya dengan Im-bian-kun dan Sin-bian Gin-kangnya ini.

Dan dua orang muda itu sudah bertanding seru.

Kiok Eng, yang bergerak dan mengeluarkan Sin-bian Gin- kangnya juga memaki-maki pemuda itu.

Tadi ia terkejut dan marah melihat Dewa Mata Keranjang mempergunakan ilmu itu, menyangka kakek itu mencuri atau menjiplak ilmu subonya.

Tapi ketika Dewa Mata Keranjang terkekeh dan berseru bahwa justeru ilmu itulah miliknya, May-may dan lain-lain belajar darinya maka Kiok Eng menjadi merah padam dan marah kepada Tan Hong, menganggap omongan kakek itu tadi bohong dan kini ilmu curian itu diturunkan kepada puteranya.

"Heh-heh, May-may dan guru-gurumu yang lain itulah105 yang mendapatkannya dari aku, anak manis. Buat apa aku bohong dan tanya saja guru-gurumu itu. Puteraku mendapatkannya dari aku, bukan curian. Kaulah yang bisa kuanggap mencuri karena orang sejagad tahu bahwa Sin-bian Gin-kang adalah milik Dewa Mata Keranjang. Ha-ha...!"

Kiok Eng merah padam.

Untuk ini ia tak mendapat tahu dan tentu saja tak percaya.

Masa guru-gurunya mencuri! Dan karena tak usah dia bicara lagi, yang penting adalah menghantam dan merobohkan lawan maka ia berseru keras dan Tan Hong diterjangnya dengan pukulan- pukulan ganas.

Bhi-kong-ciang dan Siang-kiam-ciang dikeluarkan dan rambut meledak atau menotok dengan semberan maut.

Sekali kena tentu pemuda itu roboh dan Tan Hong minimal celaka.

Namun karena pemuda itu juga bergerak dan menangkis dengan pukulan-pukulan Im-bian-kun, Kiok Eng terbelalak dan penasaran tak dapat segera merobohkan lawan maka gadis ini membentak dan kuku-kuku jarinya mulai bercuitan menyambar tubuh Tan Hong.

Kuku-kuku itu bagai pisau- pisau kecil dan setiap menggurat atau menjentik tentu sanggup merobek kulit.

Jangankan kulit, tulang saja mampu ditembus! Dan ketika semua serangan ini masih ditambah dengan ujung saputangan yang mulai melecut seperti ekor buaya, tadi Kiok Eng belum mempergunakan ini ketika menghadapi Dewa Mata Keranjang maka Tan Hong terdesak dan pemuda itu tampak berubah.

"Crit-plak!"

Tan Hong menerima serangan ujung saputangan dan jentikan kuku jari.

Ia terhuyung namun selanjutnya saputangan dan kuku jari itu kian ganas meledak dan mencicit-cicit.

Ia terdesak dan semakin berubah saja.

Dan ketika ia memperhatikan dua serangan itu dan "lupa"106 kepada pukulan lain, Bhi-kong-ciang atau Kiam-ciang maka pundaknya terhantam pukulan ini.

"Dess!"

Pemuda itu terpelanting.

Sekarang Tan Hong pucat dan Kiok Eng tertawa mengejek, mengejar dan mendesak lagi dan Dewa Mata Keranjang tiba-tiba berseru kepada puteranya agar mencabut tongkat.

Tan Hong menyimpan tongkat pendek di pinggangnya, tongkat dari kayu kering mungkin sisa-sisa dari kayu gunung yang dia kumpulkan itu.

Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi ketika pemuda itu ragu harus mengeluarkan senjata, berseru bahwa lawan hanya bertangan kosong maka ayahnya memaki.

"Goblok, bodoh dan tolol. Lawanmu itu dibantu saputangan dan rambutnya, Tan Hong, juga kuku-kuku jarinya yang seperti pisau itu. Hayo, keluarkan tongkatmu dan mainkan Silat Naga Merayu Dewi atau nanti keburu roboh!"

Tan Hong akhirnya sadar.

Meskipun lawan tak bersenjata pedang atau golok tapi kuku dan saputangan serta rambut itu amatlah berbahaya.

Ini sudah lebih dari senjata! Dan ketika Bhi-kong-ciang yang membuatnya terpelanting tadi masih dibantu benda-benda aneh ini, ayahnya benar maka pemuda itu mencabut tongkat dan tiba-tiba ia tertawa bergelak, melenggang-lenggok.

"Baik, kau benar, ayah. Ha-ha, tidak salah. Biarlah aku mencabut tongkat dan kulayani lawanku ini dengan silat rahasia kita.... plak-plak!"

Dan ujung rambut maupun ujung saputangan yang terpental bertemu tongkat, melejit dan bergerak secara aneh tiba-tiba membuat Kiok Eng berseru tertahan karena gaya permainan lawan yang tidak masuk akal segera terlihat di depan mata.

Tan Hong menari seperti penari ular dan tongkat di tangannya107 meliak-liuk luar biasa.

Hebatnya, sering memukul-mukul diri sendiri tapi kemudian mental menangkis rambut atau saputangannya.

Dan karena kini rambut maupun saputangan sudah tertahan, berarti pemuda itu mampu menghadapi Bhi-kong-ciang ataupun pukulan-pukulan lain dengan kaki tangannya pula maka kedudukan mereka kembali berimbang dan Kiok Eng tak mam pu mendesak lawan.

"Ha-ha,"

Pemuda itu terkekeh.

"Gadis ini tak mampu mendesakku, ayah. Ia kelihatan bingung. Lihat, matanya melotot!"

"Ha-ha!"

Ayahnya tertawa pula.

"Kau benar, Tan Hong. Tapi hati-hati, ia masih seperti kuntilanak berbahaya yang dapat menyengat. Awas, ia marah!"

Tan Hong menurunkan tongkatnya dari atas ke bawah.

Ia menekuk pinggang dengan gaya penari ular dan dari atas tongkatnya itu menyambar turun.

Bhi-kong-ciang menghantam namun tangan kiri pemuda ini menangkis, Tan Hong waspada akan gerakan rambut atau saputangan yang tentu meledak tak diduga.

Dan ketika benar saja rambut gadis itu menusuk kaku dan saputangan melecut datang maka tongkat yang sudah bergerak dari atas ini menangkis.

"Plak-dess!"

Dua-duanya terpental dan berjungkir balik.

Bhi-kong- ciang, yang dilepas tangan kanan Kiok Eng bertemu tangkisan tangan kiri pemuda itu.

Rambut dan ujung saputangan bertemu potongan tongkat.

Dan ketika keduanya terlempar dan Kiok Eng berseru keras, Tan Hong menolak serangannya maka gadis ini menjadi gusar dan marah bukan main.

Lain sang ayah lain pula anaknya.

Kiok Eng kini percaya bahwa Dewa Mata108 Keranjang dan puteranya benar-benar lihai.

Kalau kakek itu tidak sedang sakit-sakitan barangkali ia tak akan menang.

Mereka rupanya berimbang.

Dan karena tangkisan Tan Hong menunjukkan sinkang luar biasa, masing-masing terpental dan harus membuang daya tolak yang besar maka Kiok Eng sudah menerjang lagi tapi tongkat di tangan pemuda itu naik turun dengan gilanya.

- "Ha-ha, kau juwitaku manis, Bu Beng Siocia.

Kau calon isteriku yang hebat sekali.

Aih, aku kagum dan bangga!"

"Apa?"

Kiok Eng melengking.

"Kau mata keranjang seperti ayahmu? Keparat, kubunuh kau. Bedebah!"

Dan Kiok Eng yang menerjang dan meledakkan rambutnya, disusul kaki dan tangannya yang bergerak dengan cepat tiba-tiba menghujani Tan Hong dengan serangan- serangan ganas.

Ia memekik dan marah sekali melihat perubahan Tan Hong ini.

Tadinya pemuda itu sopan dan lemah lembut namun tiba-tiba sekarang seperti pemuda pemogoran.

Bukan main gusarnya Kiok Eng.

Tapi ketika pemuda itu ha-ha-he-he dan silat tongkatnya berkembang semakin aneh, memukul kepalanya sendiri lalu menyambar dan menangkis rambutnya maka saputangan meledak tapi dengan cepat pemuda itu merunduk dan...

gagang tongkatnya dipakai menangkis dengan cara memegangi tongkat bagian tengah- tengahnya.

"Plak-plak!"

Sekaligus rambut dan saputangan terpental.

Kiok Eng memekik dan mengulangi serangannya lagi namun tongkat sudah mendahului, mencungkil dan tahu-tahu pahanya ditusuk.

Dan ketika ia mengelak namun tangan kiri pemuda itu bergerak menampar maka ia terhuyung.

"Dess!"

Tan Hong telah membalasnya.

Pemuda itu tertawa-tawa109 dan celoteh yang membuat panas telinga terdengar.

Tan Hong mulai menyebut-nyebut gadis ini sebagai juwitaku, atau juga calon isteriku yang tentu saja bagi telinga Kiok Eng amat memerahkan dan membuat malu.

Dan ketika gadis itu memekik dan marah bukan main, tak tahu bahwa itulah rahasia silat tongkat ini, Tan Hong harus mengeluarkan kata-kata yang membuat gadis itu kehilangan kontrol-diri maka dua pukulan lagi mengenai tubuh gadis ini.

Namun Kiok Eng tergetar dan terhuyung sejenak.

Untuk sekejap dia merasa kaget.

Tan Hong yang tadi didesak sekarang malah mendesak, ia merasa tertekan.

Dan karena Kiok Eng tak tahu bahwa kemarahannya itulah yang membuat ia kecolongan, Tan Hong mampu menyelinap masuk dan memberikan pukulannya maka tiga kali gadis ini terpelanting tapi bangun meloncat lagi.

Kiok Eng gusar dan marah sekali namun juga heran, Ia tak tahu dan belum mendengar ilmu silat aneh ini.

Silat Tongkat Merayu Dewi yang dimiliki Dewa Mata Keranjang itu memang sesungguhnya tak pernah diajarkan kepada bekas isteri-isterinya dan hanya puteranya serta muridnya sajalah yang mempelajari.

Silat ini memang khusus buat lelaki dan Dewa Mata Keranjang tak memberitahukan kelebihan atau kekurangannya kepada Lin Lin maupun lain-lainnya itu.

Dan karena mereka otomatis juga tak pernah memberi tahu kepada Kiok Eng, gadis ini tak tahu dari subonya maka ia terkejut dan marah sekali mendapat pukulan atau gebukan tongkat Tan Hong.

Kalau bukan dia tentu remuk.

Tan Hong diam-diam juga kagum dan kaget sekali.

Maklumlah, gadis yang dihadapinya ini memiliki sinkang yang demikian kuatnya.

Dan karena tiga kali ia membuat terpelanting dan selanjutnya Kiok Eng amat hati-hati menghadapi tongkat, rambut dan saputangan dipakai menahan tongkat ini maka110 pertandingan berjalan seru dengan keadaan berbalik.

Tan Hong kini sebagai pihak penyerang, meskipun tak mampu merobohkan lawannya karena Kiok Eng memang luar biasa.

Kuat pertahanannya dengan putaran rambut atau ledakan saputangannya itu! "Ha-ha, lihat!"

Dewa Mata Keranjang terbahak-bahak, terbatuk tapi tertawa lagi.

"Putera kita Tan Hong mendapat lawan setanding, niocu. Bagaimana penda- patmu apakah tak pantas menjadi mantu kita!"

"Hm, kau tak usah macam-macam,"

Sang isteri mengomel dan mengerutkan keningnya.

"Gadis itu amat memusuhi kita, suamiku. Kalau bukan atas hasutan gurunya tak mungkin begini. Kau harus membereskan dulu urusanmu dengan mereka sebelum bicara tentang orang lain!"

"Ha-ha, gampang. Nanti Lin Lin atau May-may kuajak menjadi besan. Aih, hebat sekali dia. Lihat, jurus Tongkat Menyapu Bianglala berhasil dia kelit..... bress!"

Tongkat di tangan Tan Hong menghantam lantai, Kiok Eng meloncat dan serangan luput mengenai dirinya. Dan ketika Tan Hong terbelalak dan terdorong ke muka maka Kiok Eng sempat membalas dan ujung rambutnya meledak di tengkuk pemuda ini.

"Plak!"

Tan Hong terputar tapi mereka sudah bertanding lagi.

Kiok Eng, yang mengejar dan menyusul dengan serangannya sudah dihadang tongkat yang naik turun membingungkan mata.

Tadi pemuda itu terbalas karena ia terhuyung ke depan.

Dan karena kini Tan Hong sudah memperbaiki dirinya dan ia meliuk atau memutar tongkatnya dengan gaya-gaya aneh, mengemplang atau memukul diri sendiri lalu mental menghalau serangan111 Kiok Eng, mulut kembali berceloteh memuji-muji gadis itu maka Kiok Eng tak tahan dan kemarahannya kembali membubung.

Selanjutnya ia menjadi gusar dan kata-kata lawan yang memerahkan telinga sungguh membuat ia akan meledak.

Bayangkan, Tan Hong ingin menciumnya pula dan dua kali luput menyambar.

Pemuda itu tiba-tiba gila seperti ayahnya, tak tahu bahwa silat tongkat itu memang mengharuskan begitu seperti sikap seorang pria merayu kekasihnya.

Dan karena Tan Hong selalu tertawa-tawa dan tongkat selalu mementalkan ke mana saputengan atau rambutnya menjeletar, tongkat aneh itu memotong atau menangkis tepat semua serangannya maka Kiok Eng marah bukan main karena pukulan- pukulan lainnya juga tertolak dan tak mampu merobohkan lawannya.

Bhi-kong-ciang atau Kiam-ciang selalu bertemu tangan kiri pemuda itu karena rambut atau saputangannya bertemu tangan kanan, membalik dan mereka sama terlempar tapi Tan Hong juga tak mampu mengalahkan lawannya.

Kiok Eng mulai kenal gaya silat permainan tongkatnya dan untuk itu gadis ini mulai hapal, akibatnya juga mulai mampu memotong atau menangkis setiap serangan-serangan pemuda itu.

Tapi karena Kiok Eng tak tahan mendengar celoteh pemuda itu dan terakhir sempat juga telinga kirinya dicium, suara "ngok"

Yang keras membuat Kiok Eng merah padam maka kata-kata Dewa Mata Keranjang semakin membuatnya sengit saja.

"Ha-ha, pulang dan berhenti saja, anak baik. Kau nanti semakin banyak dicium Tan Hong. Katakan kepada gurumu bahwa kita akan menjadi besan, tak perlu bertanding dan berhentilah!"

"Keparat!"

Kiok Eng merah padam.

"Kau bermulut lancang, kakek busuk. Siapa sudi menjadi menantumu. Bah, aku akan membunuhnya!"112

"Ha-ha, tak mungkin mampu. Semua ilmu-ilmu yang kaumainkan itu kukenal. Kalau aku memberi tahu Tan Hong tentu dia semakin lihai saja. Lihat....!"

Dan ketika kakek itu berseru agar Tan Hong melompat ke kiri atau ke kanan, menyodok atau menusukkan tongkatnya mendahului jurus-jurus yang akan dilakukan Kiok Eng maka Kiok Eng kaget karena benar saja kakek itu mengetahui ke mana selanjutnya dia akan bergerak atau menyerang.
Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dewa Mata Keranjang berada di luar dan karena itu kakek ini menjadi lebih awas daripada puteranya.

Tan Hong belum pernah turun gunung dan baru kali ini pula menghadapi lawan tangguh.

Dan karena ayahnyalah yang mengetahui ilmu-ilmu silat nenek May-may atau Lin Lin yang kini dimainkan Kiok Eng, dia mengikuti dan tinggal bergerak seperti seruan ayahnya maka pemuda ini tiba-tiba menjadi lebih hebat lagi daripada tadi.

Kiok Eng terkejut karena gerakan- gerakannya selalu didahului, kini Bhi-kong-ciang atau pukulan-pukulan lainnya dipotong.

Dan karena rambut atau ledakan ujung saputangannya juga mulai dikenal, kakek itu melihat bahwa Kiok Eng memainkan Sin-mauw Sin-hoat atau Silat Rambut Sakti dari nenek May-may sementara lecutan atau ledakan ujung saputangannya adalah gerakan ilmu cambuk dari Lui-pian Sian-li (Dewi Cambuk Kilat) nenek Bwee Kiok gurunya yang lain akhirnya gerak-gerik atau permainan silatnya dikenal.

Dewa Mata Keranjang begitu hapal akan ilmu-ilmu silat itu dan kini berseru sana-sini kakek itu memberi tahu putera-nya, tentu saja Kiok Eng kelabakan.

Dan ketika Tan Hong meliuk dan kaki diputar dari bawah menyerampang Kiok Eng, mendahului gerakan gadis itu maka Kiok Eng terbanting.

"Dess!"

Gadis ini memaki-maki.

Selanjutnya ia bergulingan karena lawan mengejar berdasarkan seruan atau113 teriakan Dewa Mata Keranjang.

Dengan begini Kiok Eng seolah-olah dikeroyok dua.

Dan ketika tentu saja gadis itu menjerit karena ia menerima pukulan dan gebukan, tongkat di tangan Tan Hong enak saja mendarat sana- sini akhirnya Kiok Eng sadar bahwa tugasnya gagal.

Ia akan menerima lebih banyak hinaan lagi kalau Dewa Mata Keranjang membantu puteranya.

Menghadapi Tan Hong seorang tak perlu ia takut karena pemuda itu ternyata hampir berimbang dengannya, menang dengan silat tongkatnya itu karena belum ia kenal.

Semua gurunya belum menceritakan ini.

Dan karena ia harus pergi dan kelak kembali lagi, biarlah pertemuan itu dianggapnya sebagai pengalaman berharga maka Kiok Eng mencabut gin-ciamnya (jarum-jarum perak) dan menyambitkannya ke arah lawan.

"Terimalah!"

Tan Hong terkejut.

Pemuda itu sedang enak-enaknya mencecar Kiok Eng yang bergulingan ke sana ke mari.

Petunjuk-petunjuk ayahnya benar-benar berharga dan Tan Hong girang, Ia tentu saja menjadi lebih hebat daripada tadi.

Tapi begitu Kiok Eng melempar jarum- jarum berkeredepnya dan jelas jarum-jarum itu amat berbahaya, Tan Hong menangkis dan kesempatan itu dipergunakan Kiok Eng meloncat bangun maka gadis ini menjerit berkelebat keluar.

"Dewa Mata Keranjang, lain kali aku datang lagi!"

"Eh!"

Kakek itu terkejut.

"Mau ke mana kau, bocah. Jangan lari. Tunggu!"

Namun ketika kakek ini hendak mengejar dan bergerak tiba-tiba isterinya mencengkeram dan menahan.

Mien Nio berseru agar suaminya tak usah menahan.

Tan Hong tertegun dan menjublak di sana tapi pemuda itulah yang mengejar Kiok Eng.

Tapi ketika ia melihat Kiok Eng sudah jauh di bawah, melengking- lengking maka pemuda ini juga terpaku dan berhenti di114 luar rumah.

Dewa Mata Keranjang bergerak dan menyusul puteranya.

Lalu melihat bayangan Kiok Eng yang lenyap di sana tiba-tiba kakek ini membanting kaki.

"Wah, sayang.... sayang. Calon menantuku hilang. Eh, bagaimana kau, Tan Hong Apakah tidak suka mengejar gadis itu. apakah kau akan tetap saja di sini bersama ayah ibumu!"

"Ayah menghendaki aku mengejar?"

"Tentu saja, tangkap dan bawa dia ke sini karena itulah calon jodohmu yang tepat. Ayo, cepat dan pergi!"

"Nanti dulu,"

Sang isteri bergerak, Tan Hong disambar.

"Kau boleh mengejar tapi sebatas bawah gunung, puteraku. Lebih dari itu sebaiknya kembali. Kau dengar?"

"Baik, tapi.... tapi ayah tak usah bicara tentang calon jodoh segala. Tadi aku hanya mainkan silat tongkat yang mengharuskan begitu. Gadis itu galak. Aku dan dia sebenarnya berimbang!"

"Ha-ha, kau takut? Eh, dia itu murid ibu-ibu tirimu, Tan Hong. Tak usah takut dan gentar. Tangkap dan bawa dia ke mari. Kalau tidak berhasil sebaiknya tak usah pulang!"

Tan Hong mengangguk.

Dia lebih setuju dengan kata- kata ayahnya ini daripada ibunya.

Setelah dia bergebrak dan mengenal Kiok Eng tiba-tiba dia juga ingin mengenal dunia luar.

Ada keasyikan di sana.

Ada sesuatu yang menarik.

Dan ketika sang ibu terbelalak mendengar kata- kata suaminya tadi, pemuda ini berkelebat dan turun gunung maka Tan Hong meluncur dan sudah meninggalkan ayah ibunya.

Wajahnya gembira.

"Tan Hong, hanya sebatas gunung. Jangan lebih dari itu!"

"Tidak, tangkap dan jangan kembali kalau belum115 berhasil, Tan Hong. Susul dan bawa dia ke mari, ha-ha!"



Jilid IV SUAMI isteri itu ribut.

Mien Nio menghendaki puteranya kembali sementara Dewa Mata Keranjang tidak.

Kakek itu berseru biarlah puteranya kembali kalau berhasil, kalau tidak biarlah tidak.

Dan karena mereka saling cekcok memerintah anak, sang ibu marah dan gemas maka wanita ini membanting kaki berkelebat turun gunung pula, suaminya didorong hingga terjengkang.

"Baik, kalau dia tidak kembali aku juga tidak mau tinggal di sini.

"suamiku. Kau tinggallah sendirian dan biar kedingin an di situ'"

"Heii, kau mau ke mana?"

Dewa Mata Keranjang terbatuk-batuk, kaget.

"Jangan pergi, niocu.

".. aduh!"

Teriakan itu mengejutkan sang isteri.

Dewa Mata Keranjang melompat menyusul namun kakinya terantuk batu, roboh dan kesakitan sementara batuknya semakin menjadi-jadi.

Tertegunlah Mien Nio melihat itu.

Dan karena Dewa Mata Keranjang mengeluh dan merintih, tak dapat bangun maka sang isteri berjungkir balik kembali berseru mengomel.

"Ada apa. Kenapa begitu saja jatuh"

"Ugh-ugh...!"

Kakek ini tersedak, mukanya begitu menyedihkan.

"Sudahlah, niocu. Aku tak apa-apa dan biarlah kau susul anak kita. Aku dapat berdiri."

Namun ketika ia terguling dan roboh lagi, batuknya menghebat maka Mien Nio menyambar dan menariknya bangun.

Wanita ini menotok116 dada sang suami dan batuk berkurang.

Napas kakek itu berjalan lega.

Namun karena kakek ini menggigil kedinginan dan membeku pucat, ia minta pulang maka pagi itu Dewa Mata Keranjang istirahat di kamarnya dan sang isteri terpaksa menjaga.

Jelek-jelek Mien Nio amat mencintai suaminya ini dan biarpun tadi marah-marah namun sesungguhnya tidaklah sekejam itu kalau ia meninggalkan suaminya.

Beberapa hari belakangan ini Dewa Mata Keranjang memang sakit.

Dan ketika kakek itu tersenyum dan melirik isterinya, diam-diam tertawa karena berhasil mengada-ada maka dengan manja dia minta dikeroki.

"Batukku kumat, aku mulai tak tahan hawa dingin. Tolong dikeroki saja, niocu. Dan nanti setelah itu tidur."

"Dikeroki?"

"Ya, dadaku masih sedikit sesak. Biarlah kau mengeroki dan nanti tentu sembuh. Aih, aku sudah kepingin merasakan jari-jarimu yang lentik lagi. Kerokanmu manjur!"

"Hm, tak usah main-main. Kau selalu membuat jengkel, suamiku. Tengkuraplah dan biar kukerok!"

"Eh, tengkurap? Dadaku yang sesak, bukan punggung!"

"Aku tahu, tapi pundak dan pinggang atasmu harus dikerok dulu, atau nanti kena angin duduk dan kau tak dapat berdiri!"

"Wah-wah, jangan seperti itu. Angin duduk berarti maut. Apakah ingin kalau aku cepat-cepat menghadap Giam-lo- ong!"

Tapi ketika sang isteri gemas menengkurapkan tubuhnya, menghentikan kata-kata itu maka si kakek sudah menerima kerokan dan orang tentu tertawa melihat wajah atau mimik muka Dewa Mata Keranjang117 ini.

Sesungguhnya, ia tadi pura-pura memperhebat batuknya dan sang isteri tentu saja tak jadi turun gunung.

Ia mengakali isterinya agar putera mereka tetap pergi.

Betapapun ia ingin agar Tan Hong membawa kembali Bu Beng Siocia itu.

Gadis yang satu itu terlalu menarik, ia juga terlalu cantik.

Dan karena amatlah pantas kalau puteranya berjodohkan gadis itu, apa lagi ia dikenal sebagai murid dari bekas isteri-isterinya sendiri maka Dewa Mata Keranjang sengaja menahan isterinya dengan cara begitu.

Ia tahu isterinya tak akan turun gunung kalau melihat ia batuk terkekal-kekal, apalagi roboh dan tersandung batu.

Dan karena semua itu adalah bikinannya sendiri, akal agar puteranya bebas turun gunung maka diam-diam kakek ini tertawa geli melihat isterinya dikibuli.

Wajah isterinya masih cemberut namun perlahan-lahan ia mengusap lengan isterinya itu, turun dan membelai kakinya dan kalau sudah begini biasanya si isteri akan meremang.

Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa Mata Keranjang tahu benar letak kelemahan isterinya, apalagi sudah dua minggu ini ia tak memberi jatah.

Dan ketika benar saja isterinya menggelinjang dan melotot, diusap dan dibelai lagi dan kini mengeluh maka kakek itu membalik dan tiba-tiba meraih leher isterinya.

"Niocu, cukup kerokannya. Sekarang temanilah aku tidur."

"Apa?"

Sang isteri tersentak, seketika meloncat bangun.

"Tidur? Pagi-pagi begini?"

"Eh, memangnya kenapa? Aku hanya mengajakmu tidur, niocu, tidak macam-macam. Aku kedinginan dan sekedar ingin berhangat-hangat. Apakah kau tega membiarkan aku menggigil begini!"118 Kakek itu membuat giginya gemeretuk dan kedinginan, Ia menggeletar-geletarkan tubuhnya seperti orang demam dan Mien Nio mengerutkan alisnya. Ia lagi-lagi tak tahu bahwa suaminya ini sedang akal-akalan, mengibulinya. Dan ketika dilihatnya suaminya itu semakin berketruk dan kebetulan angin gunung juga bertiup santer, lewat jendela maka nyonya ini menarik napas dalam dan menutup jendela itu. Kamar mulai gelap.

"Aku hanya menemanimu tidur saja, tidak lebih. Jangan macam-macam dan minta yang lain!"

"Tentu.... tentu niocu. Masa aku minta macam-macam padahal kedinginan seperti ini. Aduh, encokku kumat. Tolong, urut dan cepatlah ke sini!"

Sang nyonya melompat bergegas.

Ia tak menutup pintu kamar dan Dewa Mata Keranjang tersenyum menyeringai.

Ia pura-pura memegangi pinggangnya yang kena encok.

Busyet, kakek ini memang penuh akal.

Dan ketika sang isteri mengurut dan disambar halus, berkata bahwa kurang ke atas dan minta dipijit dengan penuh kasih sayang maka rayuan atau teknik merobohkan wanita digunakan kakek ini.

Dewa Mata Keranjang memang jagoannya dan sekali kena jarang wanita dapat mempertahankan diri.

Dan ketika hal itu juga berlaku bagi Mien Nio di mana perlahan-lahan lengan dan kakinya mulai diusap, kian ke atas dan menuju bagian-bagian lain maka wanita yang sudah kehausan dalam beberapa minggu ini tiba-tiba terkejut tapi membiarkan ketika kakek itu menciumnya.

"Niocu, dingin. Bagaimana kalau kulepas sebentar pakaianmu..."

"Bukankah kau sakit?"

"Sudah hilang, niocu. Begitu dekat denganmu119 penyakitkupun sembuh. Lihat, aku sudah perkasa lagi!"

Wanita ini tertawa.

Kakek itu memeluknya dan mendekapnya ketat, tangan menggerayang dan sebentar kemudian sudah rajin beroperasi.

Dan karena pada dasarnya ia juga mencintai suaminya ini sementara hawa pegunungan yang sejuk membuat tubuh agak menggigil' dingin, ia menerima saja perlakuan suaminya maka Dewa Mata Keranjang sudah menumpahkan cintanya kepada sang isteri.

"Aih, hangat, niocu.... hangat, ha-ha-ha."

Sang isteri tertawa dan gemas-gemas sayang.

Ia membiarkan dan akhirnya menyambut gerakan suaminya itu.

Dan ketika pagi itu penyakit Dewa Mata Keranjang sembuh maka dua orang ini memadu kasih di hawa dingin pegunungan yang segar! === Kiok Eng turun gunung dengan kecewa.

Ia merah dan marah meninggalkan Liang-san.

Hari itu ia mengalami sial.

Tapi ketika tiba di kaki gunung di mana Hung- wangwe dan kawan-kawannya menunggu mendadak gadis ini tertegun.

"Kalian masih di sini?"

Hung-wangwe menyeringai, maju mendekat.

"Kami menunggumu, nona. Siapa tahu Dewa Mata Keranjang dapat dibekuk.."

"Keparat, kalian sudah kusuruh pulang, ternyata masih di sini juga. Memangnya mau melihat kegagalanku?"

"Nona gagal?"

Kiok Eng marah.

Ia tak menunggu ucapan itu habis karena tiba-tiba ia membentak dan berkelebat menampar120 hartawan ini.

Keberadaan mereka tiba-tiba saja membuat ia gusar.

Hung-wangwe dan kawan-kawannya dianggap melihat kegagalannya, sengaja menunggu dan ingin mengejek! Maka begitu membentak dan menerjang iapun membuat hartawan itu terpelanting dan terjungkal.

"Bagus, mau mengejek ya. Keparat, kalian semua akan kuhajar..... plak-plak-dess!"

Kiok Eng menyambar pula ke arah delapanbelas laki-laki yang lain, Trisula Sakti dan kawan-kawannya dan sembilanbelas orang ini tunggang- langgang.

Sebenarnya mereka tak ingin mengejek karena mereka sendiri juga sebagai pecundang.

Kalau mereka menunggu adalah semata mendengar berita.

Kalau menang tentu saja mereka akan meluruk ke atas dan melampiaskan dendam tapi kalau kalah tentu saja ngacir dan baru betul-betul pergi.

Tapi begitu Kiok Eng mengamuk dan kegagalan gadis ini mengejutkan mereka, sekarang menjadi sasaran kemarahan maka Hung-wangwe dan kawan-kawan berteriak dan mereka terlempar ke kiri kanan.

"Aduh... tobat, Bu Beng Siocia. Kami tidak bermaksud menghina!"

"Benar, buat apa menghina. Kamipun orang-orang yang kalah. Kami.... aduh!"

Semua berteriak dan menjerit-jerit.

Gerakan Kiok Eng amatlah cepat dan tak ada satupun yang mampu mengelak.

Tamparan atau tendangan mengenai mereka.

Dan ketika pengawal juga tak luput dari kemarahan gadis ini, Kiok Eng marah besar maka puluhan orang menjadi bulan-bulanan pukulannya.

Orang-orang itu marah namun tak berani melawan.

Dikhawatirkan gadis itu akan menjadi semakin galak lagi dan kejam.

Maka ketika mereka merintih-rintih dan sebagian pura-pura patah tulangnya, mencari selamat maka Kiok Eng menendang121 seorang pengawal sebelum melayang pergi, melanjutkan larinya.

"Nah, lihat dan rasakan biar kapok. Kalau kalian tak cepat-cepat pulang nanti Dewa Mata Keranjang dan puteranya yang akan menambahi pukulan. Sekarang jangan tunggu-tunggu aku lagi.... dess!"

Pengawal itu berteriak, mencelat dan berdebuk dan dia ini benar-benar pingsan.

Kiok Eng melepas tendangan yang lebih berat dibanding lain-lain.

Itu orang terakhir yang dihajarnya.

Dan ketika ia membalikkan tubuh sementara puluhan laki-laki itu mengerang dan melotot menahan sakit, Kiok Eng berkelebat maka ia meninggalkan orang-orang itu namun begitu ia lenyap maka orang-orang inipun memaki-makinya.

"Terkutuk, sundal betina. Iblis jahanam keparat!"

"Benar, keparat sekali gadis itu. Kurang ajar. Enak saja ia menampar dan menendangi kita!"

"Memangnya apa kita ini? Ayo, kita cari dia, kawan- kawan. Labrak! Masa dua-puluh orang tak mampu menghadapi seorang, betina lagi!"

"Hm, jangan membuat kita menerima sial lebih berat. Kepandaiannya tinggi, Li Co. Siapapun tahu bahwa kita bukan tandingannya. Sudahlah, kita pulang dan telan kegagalan ini."

Yang berkata begitu adalah Hung-wangwe.

Hartawan sekaligus ahli silat ini tahu kelihaian Kiok Eng.

Ia tak ingin bermusuhan meskipun dia dan kawan-kawannya dihajar.

Dan karena ia juga masih mengharap bahwa kelak ia dapat bertemu gadis itu lagi, menjalin persahabatan maka laki-laki yang sebenarnya jatuh cinta kepada Kiok Eng ini mencegah kawan-kawannya memusuhi.

Mereka semua bangkit berdiri dengan tubuh sakit-sakit tapi saat122 itu tiba-tiba berkelebat bayangan lain, yakni Tan Hong si pemuda baju putih.

Dan begitu pemuda ini tertegun melihat orang-orang itu masih di situ, mengejar dan mengikuti Kiok Eng sampai di sini maka ia terbelalak tapi terpingkal-pingkal melihat orang-orang yang melipat punggung atau pinggangnya itu.

"Ha-ha, kalian rupanya baru dihajar orang. Ha-ha, tentu perbuatan Bu Beng Siocia. Heii, mana gadis itu!"

Orang-orang itu melotot.

Mereka terkejut melihat kedatangan putera Dewa Mata Keranjang ini dan tiba- tiba meledaklah kemarahan di hati.

Di puncak, Tan Hong banyak main-main dan kepandaiannya yang sesungguhnya tak dilihat banyak orang.

Ia seperti pemuda penakut yang beraninya menyelinap atau berlindung di balik punggung sang ibu, kalau diserang.

Dan karena mereka masih gemas dan marah oleh hajaran Kiok Eng maka kemunculan pemuda ini membangkitkan kemarah an dan para pembantu Hung- wangwe itu tiba-tiba bergerak dan mencabut senjata.

"Ini pemuda pengecut itu. Serang, bunuh dia!"

Tan Hong terbelalak. Ia melihat orang-orang itu menyerbunya dan senjata di tangan diacung-acungkan beringas.

"Celaka!"

Ia berseru.

"Orang kalap!"

Dan memutar tubuh melarikan diri ia terbirit-birit memasuki gerumbul pohon, bersembunyi dan dikejar dan berlompat-lompatanlah ia dari satu gerumbul ke gerumbul yang lain.

Herannya, tak pernah jauh ia melarikan diri, ya hanya sekitar-sekitar situ saja.

Dan ketika orang-orang ini semakin galak dan beringas mengejarnya, bergerak dan mengepung maka Tan Hong mengeluh menutupi kepalanya dengan kedua tangan di atas, akhirnya ia terjebak di tengah-tengah.123

"Mati aku...."

Seruan ini dibarengi dengan tubuhnya yang mendeprok ke bawah.

Saat itu belasan senjata sudah menyambar ke arahnya tapi karena ia terduduk lemas, begitu tampaknya, maka semua senjata lewat di atas kepalanya dan luput.

Kejadian ini seperti kebetulan dan orang-orang itu berteriak kaget.

Tan Hong yang sudah tinggal dibacok tiba-tiba ngelempruk ke bawah, persis kerupuk basah.

Tapi begitu mereka berbenturan sendiri dan beradunya senjata membuat telinga seakan pekak, mereka terpental tapi sudah maju dan menubruk ke bawah, menusuk atau membabat pemuda itu maka Tan Hong berteriak lagi dan kali ini ia berguling ke kiri untuk....

mencubit kaki seorang lawannya.

"Aduh!"

Entah itu seruan siapa.
Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Yang jelas laki-laki yang dicubit ketika Tan Hong bergulingan ini juga roboh.

Ia menerima serangan para temannya sendiri dan saat itulah Tan Hong sudah menyelinap keluar.

Ia memasuki atau lewat di bawah kaki orang ini, lolos dan meloncat bangun tertawa-tawa di sana.

Dan ketika Tan Hong melarikan diri dan lawan-lawannya terbelalak, orang yang menjadi korban mandi darah di situ maka mereka terkejut tapi membentak dan mengejar lagi.

"Keparat, ia mempermainkan kita!"

"Benar, tangkap dan kejar lagi!"

Tan Hong memasang muka ketakutan, Ia berlari dan menghambur ke Hung-wangwe berteriak meminta perlindungan.

Kedua tangannya kembali melindungi kepala dan tidak melihat-lihat lagi.

Dan ketika Hung- wangwe terkejut karena pemuda itu seperti kerbau menyeruduk, kaget dan diam-diam untuk kesekian124 kalinya lagi ia melihat sesuatu yang ganjil, luar biasa, maka ia mencabut huncwenya dan begitu pemuda itu berlari ke arahnya iapun membentak dan menotok menyambut serudukan ini, langsung ke ubun-ubun.

"Bocah, robohlah kau!"

Tan Hong menutupi kepalanya dengan rapat.

Ia seolah tak tahu serangan maut ini karena sikapnya seperti meminta tolong, pasrah.

Tapi begitu huncwe bertemu jari-jarinya yang melindungi kepala, mental dan terus menyeruduk maka Hung-wangwe terjengkang dan berseru kaget.

"Heiii.... bress!"

Dua orang itu terguling-guling.

Tan Hong menimpa lawannya dan Hung-wangwe tentu saja berteriak.

Laki- laki ini terpekik setelah huncwenya mental.

Jari-jari pemuda itu seolah karet yang liat dan kuat, huncwenya tertolak dan totokan tentu saja gagal.

Dan karena pemuda itu terus berlari dan gaya larinya seperti kerbau menyeruduk, Hung-wangwe terjengkang maka Tan Hong tertawa-tawa dan kebetulan tadi lututnya mengenai janggut.

"Aduh, maaf, wangwe.... maaf!"

Pemuda ini sudah meloncat bangun dan berlari ke tempat lainnya lagi.

Ia dikejar dan harus menyelamatkan diri dan hartawan itu menyumpah-nyumpah.

Dagu bekas tendangan lutut diusap dan alangkah merahnya hartawan ini melihat kotoran sepatu.

Ada tahi kambing di situ, pantas baunya tak enak.

Dan ketika ia terbelalak sementara orang-orangnya mengejar lagi, Tan Hong jatuh bangun di sana maka pemuda itu berteriak-teriak minta tolong.

Sikapnya seperti orang ketakutan tapi lucunya malah sering menabrak pembantu-pembantu Hung-wangwe itu,125 kepala ditutupi kedua tangan dan seruduk sana seruduk sini layaknya kerbau gila.

Dan karena setiap bacokan senjata yang mengenai kepalanya itu pasti mental dan si pemegang terpekik, sama seperti Hung-wangwe maka siapa saja yang ditabrak pemuda ini pasti terjengkang.

Akibatnya mereka mulai keheranan dan pucat.

Tan Hong yang berputar-putar di tengah kepungan dan lari sana lari sini akhirnya dihindari setiap orang.

Semua telah merasai tubrukannya dan siapapun sekarang menjadi ngeri.

Maka ketika pemuda itu berteriak-teriak dan kepala tetap ditutupi kedua tangan, tubruk sana atau seruduk sini dan membuat orang-orang itu cerai-berai akhirnya semua tunggang-langgang dan menjauhi Tan Hong.

Mereka ngeri ditabrak lagi dan akibatnya kepungan kendor, di sini pemuda itu tertawa dan lolos.

Dan ketika ia membuka kepalanya lagi dan lari turun gunung, tak ada yang mengejar maka Tan Hong mencari Kiok Eng mengikuti jejaknya.

Hung-wangwe dan orang-orangnya terbelalak.

Mereka memandang dengan ngeri kepergian pemuda itu.

Tapi ketika mereka sadar dan Hung-wangwe menjadi pucat, pemuda itu jelas lihai dan mempermainkan mereka maka laki-laki ini bergegas dan mengajak kawan-kawannya pergi.

Tentu saja bukan ke arah di mana Tan Hong lari melainkan ke tempat yang lain.

Mereka dua kali menghadapi dua orang muda lihai Dan ketika semua berangkat dan lari turun gunung, siapa tahu nanti Dewa Mata Keranjang atau isterinya bertemu mereka lagi maka Hung-wangwe dan teman-temannya kembali pulang.

Mereka kapok dan mendapat pengalaman pahit.

Dan ketika mereka lari lewat arah barat, Kiok Eng dan Tan Hong ke arah timur maka gadis murid sebelas nenek gagah itu juga sudah meninggalkan Liang-san dan tiba di kota Bu-lim.126 Kiok Eng langsung mencari penginapan untuk melepas lelahnya.

Ia merasa lelah dan amat kesal sekali.

Gangguan demi gangguan dirasanya bertubi-tubi dan menjengkelkan.

Dan begitu ia memasuki sebuah losmen kecil dan disambut rasa heran dan takjub, pelayan dan pemilik losmen ternganga maka Kiok Eng minta sebuah kamar.

"Aku minta yang paling bersih, bagus dan paling besar. Syukur kalau di bagian belakang!"

"Ah-ah, ada. Tapi yang paling besar dipakai tamu lain, nona. Kamar nomor sembilan. Bagaimana kalau kau kamar nomor tujuh saja. Kecil tapi bersih, apalagi hanya untuk seorang!"

"Hm, begitu? Baik, sediakan kamar itu!"

Namun baru saja Kiok Eng mengangguk tiba-tiba tiga lelaki mendekati dan berkata.

"Kami boleh pindah kalau nona ini menghendaki. He-he, ada rejeki bagus, Song-twako. Biarlah kami mengalah dan kami menempati kamar nomor tujuh. Kami juga baru saja tiba!"

Kiok Eng mengerutkan kening.

Tiga laki-laki mengelilinginya dan pemilik losmen terbelalak.

Kamar nomor sembilan, yang baru saja ditempati tiga laki-laki ini ternyata diberikan begitu mudahnya.

Tentu saja ia gembira.

Dan ketika ia tertawa dan mengucap terima kasih, menghadapi Kiok Eng maka ia berkata bolehlah nona itu menempati kamar paling besar dan paling bagus.

"Lihat, nona dengar sendiri. Ini adalah langganan- langganan yang biasa menginap di sini, orang-orang dari Ang-houw-piauw-kiok. Karena mereka sudah memberikan kamarnya biarlah nona tidur di situ dan127 mereka pindah ke kamar nomor tujuh!"

"Ha-ha, benar,"

Satu yang berjenggot pendek tertawa.

"Kami para laki-laki dapat tinggal di mana saja, nona. Di tempat sederhanapun bisa. Silahkan, pakai kamar kami dan siapakah nona yang begini gagah dan sendirian saja menginap di losmen!"

"Hm, aku tak berurusan dengan kalian. Kalau kalian tak ada maksud jelek memberikan kamar tentu saja aku mengucap terima kasih. Namaku Bu Beng Siocia, terima kasih dan jangan ganggu lagi!"

Kiok Eng membalik dan mengikuti pelayan.

Ia sedang menahan marah tapi karena ada orang berbaik hati mau juga ia menerima.

Ia hendak mengaso dan merencanakan apa yang hendak diperbuat, setelah kegagalannya di Liang-san.

Tapi karena ia memikat banyak orang dan wajah serta bentuk tubuhnya memang menggairahkan sekali, pinggul yang naik turun ketika bergerak itu membuat laki-laki melotot maka tiga orang dari Ang-houw-piauw kiok ini mendecak, kagum.

"Bukan main, gagah dan cantik sekali. Aih, aku tiba-tiba merasa jatuh cinta!"

"Benar,"

Temannya yang lebih muda berkata.

"Aku juga begitu, Ang-twako, dan aku rasanya lebih tepat. Aku masih bujang, kau sudah beristeri!"

"Ha-ha, laki-laki beristeri lebih satu adalah biasa. Memangnya kenapa dengan bujang. Kau atau aku sama saja, Gan Ki. Kita sama-sama lelaki!"

"Ha-ha, Ang-twako maupun Gan Ki benar. Tapi yang penting adalah kepada siapakah si cantik itu menujukan hatinya. Salah-salah akulah yang beruntung!"

Orang ketiga, yang terbahak dan mendecak kagum berseru128 tertawa.

Mereka adalah sekawan dan di mana-mana biasanya satu.

Mereka adalah para piauwsu atau pengantar barang.

Di kota ini mereka berhenti setelah mengantar barang antaran.

Besok mereka akan melanjutkan perjalanan dan di setiap kota memang biasanya mereka berhenti.

Tiga pedati, yang mereka kawal dan berada di samping losmen adalah bawaan mereka.

Para pembantu mereka juga ada tapi menginap di depan, kebetulan di depan losmen ini juga ada penginapan lain yang kelasnya lebih murah.

Mereka memilih yang lebih tinggi karena mereka adalah pemimpin.

Dan ketika mereka tertawa-tawa dan membicarakan Kiok Eng, yang sudah memasuki kamarnya dan menutup pintu kamar maka tiga orang ini bergerak dan menuju kamar mereka pula, kamar di sebelah kamar gadis ini.

"Ha-ha, ayo siapa yang akan berhasil. Aku atau kalian!"

"Hm, tentu aku. Aku lebih muda dan tampan, twako. Tentu aku yang menang!"

"Tapi kalian tak sabaran. Wanita tak suka watak ini. Tentu aku yang menang karena aku lebih sabar!"

Orang ketiga, yang tadi bicara dan menyela sudah tertawa mengejek temannya.

Ia adalah yang paling sabar dan sikapnyapun tidak semenyolok temannya.

Agaknya ia bukan tipe pemburu meskipun iapun tertarik dan kagum bukan main kepada Kiok Eng.

Dan ketika mereka tiba di kamar sebelah Kiok Eng dan memesan makanan dan minuman, yang berjenggot pendek mengetuk kamar Kiok Eng maka dengan sopan tapi cengar-cengir ia berseru.

"Nona, bolehkah kami memberi tahu sebentar. Ada makanan dan minuman yang ingin kami berikan kepadamu!"129 Kiok Eng mengerutkan kening. Ia sudah merebahkan diri dan siap beristirahat, kini tiba-tiba diketuk dan apa boleh buat ia membukakan pintu. Dan ketika tiga laki-laki itu dilihatnya sementara si jenggot pendek tertawa menyeringai, menunjuk meja di mana terletak makanan dan minuman maka laki-laki itu berkata.

"Aku ingin memberikan ini kepadamu. Barangkali nona perlu. Terimalah, kami berikan sebagai tanda persahabatan!"

"Benar,"

Gan Ki, si tampan, menyambung.

"Kami ingin tahu kapankah kami boleh berbincang-bincang denganmu, Bu Beng Siocia. Terus terang saja kami ingin berkenalan lebih jauh!"

"Hm!"

Playgirl Dari Pak King Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiok Eng menahan marah, tapi sinar matanya tidak menunjukkan itu.

"Terima kasih, sobat-sobat. Tapi aku tak dapat menerima semua pemberian itu dan maaf biarlah kukembalikan saja. Jangan mengganggu karena aku benar-benar ingin beristirahat."

"Ah, nona tak mau menerima?"

Si janggut kecewa.

"Apakah kurang enak?"

"Bukan, tapi aku tak lapar atau haus. Sudahlah, bawa kembali dan jangan ganggu aku!"

"Nanti dulu!"

Gan Ki melompat dan mencegah Kiok Eng menutup pintu kamar.

"Kapan kami dapat bercakap- cakap dengan mu, nona. Bolehkah kami tahu!"

"Hm!"

Kiok Eng kembali mengeluarkan suara dari hidung, hawa amarahnya naik tapi lagi-lagi ditahan.

"Besok saja kalian temui aku dan sekarang jangan mengganggu.... brakk pintu ditutup dan tak ada ke sempatan lagi bagi tiga laki-laki itu bertanya. Kiok Eng siap menghajar mereka kalau berani macam-macam, mengetuk pintu130 misalnya. Tapi ketika tiga laki-laki itu diam dan tak berisik lagi, masing-masing tertegun dan menyeringai masam maka orang ketiga tertawa dan berbisik.

"Lihat, ia tak suka kalian terlalu demonstratip. Sudahlah dan kita kembali dan tunggu kalau nanti ia keluar!"

Si jenggot pendek mengangguk-angguk.

Tentu saja ia tak akan membuat marah Kiok Eng karena ia ingin menarik perhatian gadis itu.

Percuma ia marah kalau hanya urusan sekecil ini.

Maka kembali tapi membiarkan makanan dan minuman itu di dekat pintu Kiok Eng, mereka bertiga tertawa masam maka Kiok Eng tak diganggu lagi namun tiga laki-laki ini bercakap sendiri di depan kamar mereka.

Dan karena kamar mereka bersebelahan dengan kamar Kiok Eng, tentu saja percakapan itu meng ganggu maka Kiok Eng menjadi sebal mendengar betapa tiga laki-laki itu menyebut- nyebut namanya dan satu sama lain melontarkan pujian dan kekaguman.

Mereka terus bicara sampai malam tapi Kiok Eng tak keluar sama sekali dari kamarnya.

Tiga laki-laki itu kecelik kalau mengira Kiok Eng mau menyentuh makanan dan minuman di luar pintu kamarnya itu misalnya, atau mengira gadis itu mau berbelanja atau keluar untuk sesuatu keperluan sebentar.

Dan ketika tengah malam lewat dan Kiok Eng mengurung diri, tak menggubris atau memperhatikan tiga laki-laki itu maka yang paling sabar juga kehabisan rasa sabarnya dan mengumpat.

The Proposal Proposition 2 Karya Katie Pendekar Bloon 17 Persekutuan Orang

Cari Blog Ini