Ceritasilat Novel Online

Rahasia Jubah Merah 2

Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle Bagian 2



Dapat membawa lari istri pejabat-pejabat tinggi, dan bahkan sampai masuk117 ke dalam ruang selir-selir kaisar dan bersenang- senang dengan mereka.

Tak ada satu perempuan pun yang meninggalkan lengannya tanpa terpuaskan jiwa dan tubuhnya.

Maka bisa dibayangkan betapa berbahayanya laki-laki ini.

Karena lelaki yang paling berbahaya adalah laki-laki yang dapat menaklukkan perempuan.

Seluruh kalangan mencarinya.

Seluruh kalangan menetapkannya sebagai buronan.

Karena dengan kemampuannya ini ia mampu mendapatkan apa saja.

Pedang Ungu yang sedang berada di depannya ini tentu saja adalah salah satu hasilnya.

Ia sangat paham pedang.

Bahkan pedang adalah salah satu keahliannya yang paling ia banggakan.

Dan ia tahu pedang apa yang berada di hadapannya ini.

"Tok Kiu Pai menaklukkan dunia dengan pedang ini. Aku pun akan menaklukan dunia dengan pedang ini pula."

Batinnya.

"Sayang, masuklah aku kedinginan."

Terdengar suara dari dalam kereta.118 Sang Dewa Pemetik Bunga tersenyum, lalu melompat turun dan masuk ke dalam kereta.

"Kau belum tidur, sayang?"

Tanyanya mesra.

"Bagaimana aku bisa tidur kalau tidak kau peluk?"

Suara itu suara perempuan. Tentu saja ia kedinginan karena saat itu ia tidak mengenakan sehelai benang pun.

"Hmm, memangnya apa yang akan kau berikan kepadaku jika aku memelukmu?"

Tanya si lelaki sambil tersenyum mesra.

"Apa saja. Kau minta apapun pasti akan ku berikan."

Jawab si perempuan. Wajahnya merona merah.

"Kalau aku meminta keningmu?"

Bisik si lelaki.

"Tentu saja ku berikan."

"Kalau aku minta mata mu?"

"Tentu saja ku berikan pula."

"Kalau hidungmu."

"Boleh kau ambil saja."

Kata si wanita sambil merengut manja.119

"Kalau bibirmu?"

Sambil bertanya ini, ia meng- hembuskan nafasnya ke kuping si wanita.

"Bibir ini toh punyamu, memangnya akan kau apakan jika kuberikan?"

Tanya si nona manja.

"Jika sudah menjadi milikku tentu saja terserah apa yang aku inginkan untuk kulakukan pada bibir itu."

Jawab si lelaki.

"Memangnya apa yang akan kau lakukan?"

Desah si wanita. Si lelaki tersenyum. Betapa tampannya wajah ini.

"Aku tidak mau mengatakannya kepadamu. Kau boleh membayangkan sendiri."

Katanya sambil tertawa kecil.

"Kau jahat! Aku tidak ingin melihatmu lagi."

Kata si wanita sambil memukul-mukul manja dada si lelaki. Mereka berdua tertawa dengan mesra. Kegelapan malam menyelimuti pinggiran hutan yang lebat dan sepi itu. Suara nafas mereka berdua memburu. Hingga sang lelaki berhenti.120

"Kenapa?"

Tanya si wanita.

"Kau tunggu di sini."

Kata si lelaki sambil cepat- cepat mengenakan bajunya. Ia mengenakannya dengan cepat dan sudah keluar dari keretanya. Di luar sudah ada seseorang yang terlihat mendekati kereta itu.

"Benar dugaanku penjahat hina ini berada di sini."

Kata lelaki yang datang itu. Ia sudah setengah baya.

"Ah, Bhok-tayhiap rupanya. Selamat datang."

Ia menjura dan memberi salam. Selamanya ia memang adalah lelaki yang sangat sopan dan mengerti adat.

"Tidak perlu bertele-tele."

Bhok-tayhiap mengeluarkan pedang dari sarungnya.

"Di mana anakku?"

Tanyanya.

"Bhok-siocia sudah terlelap di dalam kereta, tayhiap."

Jawab si lelaki berjubah merah ini.

"Kurang ajar!"

Cepat cepat ia memburu ke kereta itu dan membuka pintunya. Dilihatnya putrinya121 sedang tertidur lelap. Dengan marah ia membentak dan menarik putrinya.

"Ayo pulang!"

Putrinya tentu saja tidak terlelap. Ia hanya pura- pura saja sejak pertama kali ia mengetahui bahwa ayahnya datang.

"Eh, ada apa?"

Katanya kaget.

"Ayah?"

Plakkk! Itu jawaban dari ayahnya.

"Bikin malu keluarga!"

Dengan marah ia menoleh ke Si Jubah Merah.

"Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatan mu!"

Katanya sambil menuding pedang.

"Perbuatan apa?"

Tanya Si Jubah Merah.

"Kau telah membawa kabur anakku. Kau pilih mati kubunuh atau mengawininya?"

Si Jubah Merah tertawa. Orang seperti Bhok-tayhiap ini jika ada sepuluh pun belum tentu sanggup menggoreskan pedang kepada tubuhnya.

"Bhok-siocia secara sukarela untuk pergi dengan cayhe. Sama sekali cayhe tidak membawa lari.122 Bukankah ia telah menuliskan surat kepada tayhiap?"

Tanyanya sopan. Bhok-tayhiap sama sekali tidak bisa menjawab karena ia menyadari kebenaran kata-kata ini. Tiga hari yang lalu ia menemukan surat ini di atas mejanya.

"Kau... kau..."

Katanya terbata-bata.

"Ayah... sudahlah... aku... aku mencintainya... aku ingin hidup selamanya bersamanya."

Kata si nona.

Alangkah pedihnya hati seorang ayah.

Setelah bertahun-tahun membesarkan dan memberikan penghidupan yang layak kepada anak perempuannya, lalu si anak perempuan meninggalkannya karena jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang baru dikenalnya.

Kebanyakan laki-laki jika telah menjadi ayah baru akan mengerti pemahaman ini.

Baru akan mengerti betapa mereka dulu tidak disukai calon mertuanya.

Bhok-tayhiap tidak tahu harus berkata dan berbuat apa-apa.

Air mata menetes di pipinya.

Entah air mata kemarahan, dan air mata kesedihan.

Lalu ia menarik anak perempuannya dengan paksa.123

"Jika kau berani datang dan melamarnya secara baik-baik. Aku akan merestuinya."

Ia tidak lagi menghiraukan tangisan anak perempuannya yang meronta-ronta tidak ingin diajak pergi. Si Jubah Merah berkata dengan tenang.

"Tunggulah di rumah"

Dan tak lama kemudian ia telah sendirian berada di situ. Bayangan si nona dan ayahnya telah menghilang ditelan kegelapan. Ia tersenyum.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa perempuan begitu mudah dibohongi?"124 BAB 5. DUA KEMBANG CANTIK Kakinya melangkah dengan ringan. Tidak ada beban di dalam hidupnya. Kereta indahnya telah ia tinggalkan di dalam hutan. Ia memang lebih suka seperti ini, menembus malam sendirian dalam langkah-langkah kaki yang ringan. Menjelang pagi ia telah memasuki sebuah dusun di pinggiran hutan. Sebuah dusun kecil dengan suasana yang amat tenang. Beberapa petani telah menyiapkan diri untuk bekerja di sawah dan ladang mereka. Si Jubah Merah menanyakan di mana ia bisa menemukan penginapan kepada mereka. Seperti yang diduganya, tidak ada penginapan di dusun terpencil seperti itu. Akhirnya ia menanyakan di mana ada kedai yang menjual arak dan makanan. Salah seorang petani itu menunjukkan arah kepadanya. Dengan sedikit mencari-cari, akhirnya ia menemukan kedai itu.125 Walaupun belum resmi buka, pemiliknya mempersilahkan Si Jubah Merah masuk. Rupanya kedai itu memang buka pagi-pagi, sekedar untuk menjual arak kepada para pekerja yang akan menggarap ladang mereka.

"Maaf masih berantakan, tuan ingin pesan apa?"

Tanya pemiliknya yang sudah cukup berumur. Mulutnya bertanya tapi tatapan matanya tidak pernah lepas dari wajah Si Jubah Merah.

"Ah, lopek39 punya arak?"

Tanyanya sopan.

"Tentu saja. Tapi arak-arak ku tidak seenak di kota. Tapi lumayan untuk menghangatkan badan"

Katanya.

Dengan segera pemilik kedai itu sudah mengantarkan seguci arak yang berbau harum.

Memang benar, arak itu tidak terlalu istimewa.

Sejenis arak murahan yang bisa ditemukan di mana saja.

Tapi di tempat terpencil seperti di dusun seperti ini, dapat menemukan arak saja sudah merupakan sebuah berkah yang luar biasa.

Si Jubah Merah meminumnya dengan tenang.

Ia sangat menghargai arak.

Baginya arak seperti 39 Orang tua, Bapak126 perempuan, jika kau tahu cara menikmatinya, arak semasam apapun juga bisa terasa enak.

"Tuan hendak ke gunung himalaya?"

Tanya si pemilik kedai.

"Benar, bagaimana lopek bisa tahu?"

Tanyanya sambil tersenyum.

"Semua orang yang akan pergi ke Himalaya biasanya melewati tempat ini jika mengambil jalur timur"

Kata si lopek menjelaskan.

"Oh"

Si Jubah Merah mengangguk angguk sambil tersenyum.

"Di mana perlengkapan tuan?"

Tanya si lopek lagi.

"Aku tidak membawa perlengkapan apa-apa"

Jawabnya ringan.

"Wah, tuan bercanda? Pergi ke himalaya tanpa perlengkapan sama saja dengan bunuh diri."

"Memangnya aku perlu membawa apa saja?"

Tanya Si Jubah Merah.

"Tuan perlu beberapa mantel bulu yang tebal. Cuaca di sana amat berbahaya. Tuan juga perlu menyiapkan bahan makanan yang cukup banyak."127

"Di mana aku bisa membeli semua itu?"

"Si tua A Bin mempunyai toko khusus menjual perlengkapan ini. Tokonya di seberang utara. Mungkin 4 atau 5 rumah dari sini."

Jelas si lopek.

"Baik lah aku akan kesana sebentar lagi. Eh, apakah banyak orang yang pergi ke himalaya?"

Tanya Si Jubah Merah.

"Setiap tahunnya pasti ada, dari kabar yang ku dengar ada benda berharga yang mereka cari di sana."

"Benda apa?"

"Loh, tuan bukannya hendak mencari juga?"

"Eh, tidak. Aku hanya ingin bertualang. Ku dengar di kaki gunungnya ada sejenis kaum yang amat aneh. Aku tertarik mengenal mereka."

"Oh, apakah yang tuan maksud Pek Swat Ceng40 ?"

"Benar sekali."

"Aih, kecantikan gadis-gadis Pek Swat Ceng memang amat sangat terkenal. Sampai orang-orang rela bepergian jauh hanya untuk menemui mereka."

Tukas si lopek. 40 Perkampungan Salju Putih128

"Apakah lopek pernah bertemu mereka?"

Tanya Si Jubah Merah tertarik. Si kakek mengangguk.

"Beberapa anggotanya memang pernah lewat sini beberapa kali"

"Apakah mereka secantik legenda yang terdengar?"

"Tentu saja, aku yang setua ini belum pernah melihat kecantikan mereka."

Mata Si Jubah Merah membesar.

"Apa yang mereka lakukan saat lewat sini?"

Tanyanya "Cuma sekedar lewat. Tapi kami semua tahu mereka anggota Pek Swat Ceng. Dari bajunya kelihatan."

Jelasnya.

"Oh, ada ciri-ciri khusus di baju mereka?"

"Ya. Semua baju mereka ada bordiran huruf ?swat?41."

Jawab si lopek. Si Jubah Merah manggut-manggut.

"Eh tuan, bolehkah aku bertanya?"

Kata si lopek.

"Tentu saja." 41 salju129

"Tuan ini berasal dari mana?"

Si Jubah Merah tersenyum. Sepanjang hidupnya orang selalu menanyakan pertanyaan ini. Ia sendiri telah berusaha melupakannya. Bahkan namanya sendiri telah berusaha ia lupakan.

"Aku berasal dari kotaraja."

Jawabnya berbohong.

"Aih, tuan bepergian sejauh ini hanya untuk bertemu nona-nona Pek Swat Ceng?"

Tanya si lopek lagi.

"Benar"

Sahut Si Jubah Merah sambil tersenyum, lanjutnya "Apakah pantas?"

"Pantas. Pantas sekali. Tuan tidak akan rugi berjalan sejauh ini hanya untuk bertemu mereka. Tapi..."

Si lopek ragu-ragu melanjutkan kata-katanya.

"Tapi apa, lopek?"

"Seharusnya tuan tinggal saja di rumah, dengan wajah setampan ini, aku rasa justru nona-nona Pek Swat Ceng yang seharusnya mendatangi tuan ke kotaraja."

"Hahaha."

Ia hanya tertawa. Di dunia ini jika orang memujinya terlalu tampan, ia yakin mereka tidak mengada-ada. Justru ketika mereka berkata130 wajahnya buruk rupalah baru ia yakin mereka berbohong.

"Siapa nama tuan dan apa pekerjaan tuan?"

Tanya si lopek lagi.

"Aku adalah seorang Siucai42, dan aku she43 Li bernama Hiang"

Katanya sembarangan.

"Ah tuan Li Hiang? Nama yang cocok sekali"

Kata si lopek.

Hiang berarti ?Harum?.

Mereka mengobrol lama hingga terang tanah.

Li Hiang atau Si Jubah Merah menanyakan banyak hal kepada kakek ini.

Terutama tentang daerah ini, keistimewaannya, budayanya dan lain-lain.

Ia memang sangat tertarik mempelajari manusia dan ciri khasnya.

Karena pemahamannya yang mendalam tentang manusia inilah, ia mampu menaklukkan golongan manusia yang paling sukar untuk ditaklukkan, perempuan.

Matahari sudah mulai bersinar terang.

Berguci- guci arak pun sudah ia habiskan.

Ia pun sudah sempat 42 Sastrawan, Sarjana 43 Marga131 tertidur pulas beberapa jam.

Badannya kini sudah segar, ia telah siap memulai perjalanan.

Setelah membayar arak dan berterima kasih kepada lopek itu, ia bergegas ke toko A Bin yang menjual perlengkapan mendaki.

Setelah mencari sebentar, ia menemukan toko kecil itu.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Penjaga tokonya adalah seorang nona muda, berumur belasan tahun.

Begitu ia memasuki toko itu, si nona terperanjat kaget.

Li Hiang cuma tersenyum.

"Eh..eh selamat siang. Tuan mencari apa?"

Tanya si nona.

"Aku ingin mendaki Himalaya, dan ingin membeli perlengkapan."

Kata Li Hiang sambil tersenyum. Si nona mendengarkan suaranya yang dalam dan lembut itu, sekian lama baru bisa menjawab.

"Eh... ada... ada... tunggu sebentar"

Segera ia bergegas ke belakang dengan wajah memerah.

Begitu kembali, ia tidak datang membawa perlengkapan, melainkan membawa seorang nona pula.

Nampaknya kakak perempuannya.132 Sang kakak yang terlihat menahan diri, mau tidak mau terhenyak juga saat dipandang Li Hiang.

"Eh...tuan mau membeli perlengkapan mendaki?"

Tanyanya pelan dan terbata-bata.

"Benar. Menurut nona, apa yang kira-kira harus ku beli?"

Tanyanya tenang namun senyum lembut tidak pernah hilang dari bibirnya.

"Mmmmm, tuan butuh..."

Katanya sambil membongkar-bongkar beberapa barang.

"ini..."

Ia menunjukkan mantel bulu.

"Lalu?"

Tanya Li Hiang hampir menahan tawa.

"Mmmmm...ini juga"

Ia menunjukkan segulungan tali yang tebal.

Wajah mereka berdua memerah.

Pura-pura sibuk mencari-carikan barang.

Karena gugupnya, ada beberapa barang yang terjatuh dari rak.

Dengan sigap Li Hiang membantu si nona mengambil barang itu.

Tak sengaja tangan mereka berdua bersentuhan.

"Ahhh"

Lenguhan itu hanya terdengar perlahan. Tapi Li Hiang mendengarnya. Ia memang sengaja menyentuh tangan nona itu.

"Hati-hati nona."

Katanya sambil tersenyum.133 Rupanya barang yang jatuh tadi adalah beberapa bungkusan makanan kering.

"Tuan... tuan butuh ini juga."

Kata si nona terbata-bata. Adiknya malah sudah tidak berada di sana. Menenggelamkan diri dibalik tumpukan barang dagangan. Li Hiang tau nona kecil itu sedang tersenyum-senyum sendiri di balik tumpukan barang itu.

"Cici44, tuan itu butuh juga peralatan memasak."

Kata adiknya berkata dari balik tumpukan.

"Ah betul sekali, cici."

Kata Li Hiang menirukan sebutan ?cici?.

"Aih mengapa tuan memanggilku cici..."

Kata si nona, wajahnya sedikit merengut. Tetapi rona merah dari wajahnya tidak menghilang.

"Maaf aku tidak tahu namamu"

Kata Li Hiang, sambil berkata begitu tangannya secara ?tidak sengaja? menyentuh lengan atas nona itu yang putih mulus kemerah-merahan.

"Namaku, Tan Ling"

Katanya.

"Oh nona Tan"

Kata Li Hiang pelan. 44 Kakak134

"Kalau tuan siapa namanya?"

Tanya adiknya dari balik tumpukan barang.

"Namaku? Ah..."

Li Hiang tersenyum penuh rahasia. Lanjutnya.

"Namaku kan tidak penting."

Katanya sambil tertawa kecil.

"Curang. Tadi bukankah ciciku sudah memberitahukan namanya? Mengapa sekarang tuan merahasiakan nama tuan?"

"Kan yang bertanya kamu, bukan cicimu."

Goda Li Hiang. Pelajaran pertama menaklukkan hati perempuan. buatlah mereka penasaran. Li Hiang sudah pasti telah menguasai sekali pelajaran ini.

"Baiklah! Namaku Tan Cin."

Kata si adik. Dari ekor matanya, Li Hiang melihat si kakak tersenyum- senyum saja melihat salah tingkah adiknya.

"Salam kenal, nona Tan kecil."

Kata Li Hiang.

"Aku bukan anak kecil, umurku sudah enam belas."

Tukasnya dari balik tumpukan barang. Kepalanya muncul sejenak. Li Hiang tertawa kecil.135 Ironi terbesar manusia adalah saat kecil mereka ingin cepat dewasa, saat dewasa mereka ingin kembali menjadi anak-anak.

"Baiklah, Biar ku bantu mengangkat barang- barang yang akan kubutuhkan. Aku mungkin akan berada di sana sekitar 5 atau 6 hari"

"Baiklah, aih tuan baik sekali mau membantu."

Kedua nona Tan itu bekerja dengan semangat.

Bau tubuh mereka bercampur antara keringat dan wangi sabun dan pewangi.

Li Hiang paling menyukai bau ini.

Kadang-kadang saat ia membantu mengangkatkan barang yang cukup berat, ia menghirup bau ini.

Hal yang paling menarik dari perempuan selain wajah dan tubuh mereka, adalah wangi mereka.

Bau khas yang merupakan campuran keringat dan pewangi.

Wanita yang bisa merawat tubuhnya akan memiliki bau khas yang menyenangkan.

Kedua nona ini, walaupun belum terlalu mengerti tentang hal ini, bau mereka masih menyenangkan.

Ini mungkin karena mereka rajin menjaga kebersihan.

"Eh kemana orang tua kalian?"

Tanya Li Hiang.136

"Ibu sudah meninggal saat kami masih kecil, ayah sekarang sedang pergi ke kampung sebelah. Ada saudara kami yang meninggal"

Jelas Tan Cin.

"Oh, aku turut berduka."

Kata Li Hiang penuh simpati. Setelah bekerja beberapa lama, akhirnya selesai juga. Li Heng membayar semua keperluannya, bahkan membayar dengan harga lebih, kedua nona desa yang manis itu tentu saja senang.

"Tuan ada keperluan apakah ke Himalaya? Ingin mencari pusaka berharga, atau mengunjungi Pek Swat Ceng45 ?"

Tanya Tan Cin, nona kecil ini rupanya senang mengobrol. Li Hiang menerawang, padangannya jauh ke kaki langit di mana Himalaya terasa masih begitu jauh. Ia masih diam begitu lama.

"Menurut yang kami dengar, para gadis-gadis Pek Swat Ceng itu memang cantik bak bidadari. Dibandingkan dengan gadis dusun seperti aku dan cici tentu jauh sekali."

Kata Tan Cin lagi. Li Hiang seolah tersadar dari lamunannya, 45 Perkampungan Salju Putih137

"Benarkah?"

Tanyanya senyumnya yang tenang masih menyungging.

"Benar"

Tukas Tan Cin, yang dibenarkan oleh anggukan kepala Tan Ling.

"Aku tidak begitu tertarik dengan Pek Swat Ceng."

Kata Li Heng.

"Oh jadi tuan mencari pusaka?"

Tanya Tan Cin dengan mata membesar.

"Tidak juga."
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jawab Li Hiang pelan.

"Lalu?"

Serempak kedua nona mungil ini bertanya.

"Aku hanya ingin menyepi. Kalian tahu, aku adalah seorang siucai46. Aku ingin membuat puisi yang indah dan lagu yang merdu tentang pemandangan di Himalaya."

"Kenapa... memilih himalaya"

Kini Tan Ling yang bertanya.

"Aku sudah mendatangi banyak tempat. Gunung dan gurun, sungai dan samudera. Hanya Himalaya ini yang belum"

Kata Li Heng. sastrawan138 Lelaki yang amat tampan, sopan, dan gagah. Pandai menuliskan kata indah, senang bertualang pula. Perempuan siapa yang tidak jatuh hati? "Aih tuan punya syair yang bagus? Perdengarkan kepada kami."

Kata Tan Cin bersemangat.

"Alah, cuma syair dari penyair tak bernama, mana pantas diperdengarkan kepada peri-peri cantik."

Kata Li Hiang.

"Aih, tuan suka menggoda, mana pantas kami disebut peri-peri cantik?"

Kata Tan Cin, wajahnya semakin merona.

"Ayolah perdengarkan, tuan"

Kata Tan Ling.

"Baiklah jika kalian memaksa"

Kata Li Heng.

Ia terdiam sebentar.

Memejamkan matanya.

Wajahnya seperti menikmati wangi bunga yang semerbak.

Ia sendirian, Menatap bulan dan bintang di angkasa, Adakah seseorang di sana yang menatap pula angkasa ini?139 Merasakan yang dideritanya, Merasakan kerinduannya, Sesungguhnya sendirian pun tak mengapa, Asalkan ada seseorang di sana yang memikirkannya, Sendirian pun tak mengapa.

Lalu Li Hiang terdiam, dan membuka matanya.

Puisi ini pendek dan sangat sederhana.

Tapi seolah olah isi hati dan perasaannya telah tertuangkan ke dalam kata-kata yang sederhana itu.

Tan Cin dan Tan Ling seolah-olah terbawa pula oleh perasaan ini.

Lelaki yang penuh perasaan, memang memiliki pesonanya tersendiri.

Kata-kata ini memang ada benarnya.

Wanita mengutamakan perasaan, oleh sebab itu, lelaki yang penuh perasaan selalu dapat mengerti mereka.

"Beruntung sekali nona yang tuan rindukan itu."

Kata Tan Ling. Li Hiang memandang jauh ke depan. Seolah- olah bayangan ?nona? yang dimaksud Tan Ling itu140 benar-benar berada di hadapannya. Sampai-sampai Tan Cin dan Tan Ling pun menoleh ke tempat Li Hiang menatap. Sunyi. Lalu Li Hiang tertawa.

"Nona itu tidak perduli."

Kata Li Hiang.

"Bagaimana mungkin ada orang yang tidak perduli kepada tuan?"

Kata Tan Cin. Terus terang ia tidak mungkin percaya ada seorang nona yang menyia-nyiakan orang seperti tuan di hadapannya ini. Lanjutnya.

"Kalau bukan karena buta atau gila, tentu saja tak ada seorang pun nona yang berani menyakiti tuan."

Nona sekecil ini mengerti apa tentang cinta? Li Hiang hanya tertawa, dengan lembut ia menyentuh lengan Tan Cin. Lengan yang montok, dan menggairahkan untuk ukuran nona seumur dia.

"Tentu saja ada. Aku kan bukan seorang dewa cinta yang mampu membuat semua orang jatuh cinta kepadaku."

Katanya sambil tersenyum.

"Aih, bodoh sekali nona itu."

Kata Tan Cin merengut. Hidung dan bibirnya menjadi lebih mancung.141

"Nona itu tidak perduli atau tidak tahu? Apakah tuan pernah mengungkapkan perasaan tuan kepadanya?"

Tan Ling bertanya.

"Pernah."

"Lalu apa jawabnya?"

Tanya mereka serempak.

"Ia hanya tertawa dan pergi."

Perempuan yang tertawa dan pergi bukan hanya dia seorang, pun dia bukan orang yang terakhir.

Laki-laki di mana pun di dunia ini pasti suatu waktu pernah bertemu dengan perempuan yang tertawa dan pergi.

Entah bagaimana perasaan laki-laki di saat itu, hanya laki-lakilah yang benar-benar mengetahuinya.

"Lalu?"

Tanya mereka serempak lagi.

"Apanya yang ?lalu??"

Tanya Li Hiang sambil tertawa.

"Apa yang kemudian tuan lakukan?"

"Aku pun pergi."

Katanya sambil mengangkat bahu.

"Tuan tidak mengejarnya?"

"Tidak."

Kata Li Heng.

"Aihhhh."142 Jika perempuan mengatakan ?tidak? kepada lelaki, dan menyuruhnya pergi, maka kemungkinan nya hanya dua. Ia ingin dikejar, atau ia benar-benar ingin lelaki itu pergi. Sayangnya saat itu Li Hiang tidak mengerti pemahaman ini. Laki-laki selalu memang terlambat memahami perempuan. Saat ia akhirnya mengerti, ia memastikan kepada dirinya sendiri untuk tidak akan pernah mengalami lagi penderitaan seperti ini.

"Ah sudahlah, aku harus berangkat. Tak lama lagi akan sore"

Kata Li Hiang.

"untuk kenang- kenangan, ku harap nona berdua mau menerima ini."

Ia mengeluarkan dua buah giok yang indah dari kantongnya.

"Aih indah sekali, mana berani kami menerimanya."

Kata Tan Ling.

"Terima lah, suatu hari jika kita bertemu, aku kan bisa mengingat kalian berdua."

Kata Li Hiang. Ia lalu pergi dengan memanggul barang-barang yang dibelinya. Lama kedua orang ini memandang Li Hiang.143

"Ia nampaknya tidak seperti yang orang-orang ceritakan."

Kata Tan Cin.

"Benar. Ayo kita tuliskan laporan kepada suhu."

Kata Tan Ling. Jauh berjalan, Li Hiang masih tersenyum.

"Nona-nona bodoh itu apa merasa aku tolol?"

Ia tertawa.144 BAB 6.

DI TENGAH MALAM DI HUTAN PINUS Tan Ling telah selesai menulis surat, lalu melipatnya dan mengikatnya di kaki seekor burung elang.

Burung jenis ini biasanya ditemukan di daerah pegunungan bersalju.

Setelah menerbangkannya, Tan Ling menoleh kepada Tan Cin, dilihatnya adik seperguruan nya itu sedang melamun.

"Kau sedang memikirkan tentang dia, sumoy47 ?"

Tan Cin tak menjawab. Tan Ling tersenyum.

"Kau tak usah malu menjawab. Aku rasa semua perempuan yang telah bertemu dia, tentu akan banyak melamun."

"Suci48 kan tidak,"

Kata Tan Cin tersenyum.

Tan Ling pun tersenyum pula, katanya "Aku masih ingat cerita tentang dia yang dikisahkan oleh 47 Adik seperguruan perempuan 48 Kakak seperguruan perempuan145 guru.

Begitu bertemu sendiri, aku kini merasa berdosa meragukan kisah itu."

"Benar. Suci tentu masih ingat bahwa guru berkata kita harus hati-hati menghadapinya. Ia seorang ?Pemetik Bunga? bejat yang memperdaya kaum perempuan dan membunuh korban-korbannya tanpa ampun."

Tan Ling mengangguk. Lanjut Tan Cin.

"Sebenarnya, apa yang membuat ia menjadi orang seperti itu?"

"Menurut kisah yang kudengar,"

Kata Tan Ling.

"Latar belakang hidupnya tidak jelas. Kabar angin mengatakan, ia terlahir tanpa ayah yang jelas. Ibunya adalah wanita penghibur di sebuah rumah bordil terkenal. Setelah dewasa ia bertemu seorang ahli silat tanpa nama namun sangat sakti. Ilmu silatnya sendiri pun tidak jelas berasal dari mana."
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika sejak kecil ia hidup bersama wanita-wanita penghibur, ia pasti terlatih sekali menghadapi perempuan,"

Ujar Tan Cin.

"Begitulah,"

Tukas Tan Ling.

Mata mereka memandang jauh ke depan.

Ke arah bayangan jubah merah itu menghilang.

Ada perasaan aneh di hati mereka.146 Hati perempuan seperti selalu melekat pada langkah-langkah Li Hiang.

Langkah-langkah yang sangat ringan namun tanpa beban.

Tetapi orang yang terlihat tanpa beban, justru sebenarnya menyimpan penderitaan yang teramat dalam.

Matanya mencorong tajam dan bercahaya.

Senyum hangat tak pernah lepas dari wajahnya.

Jika seorang wanita terluka parah, hanya dengan memandang senyum ini, lukanya pasti akan tersembuhkan.

Senyum adalah senjatanya yang paling hebat.

Bukan untuk menaklukan hati orang, melain- kan untuk menyembuhkan luka dan penderitaannya sendiri.

Mungkin ini sebabnya senyumnya selalu terlihat tulus dan penuh ketenangan.

Teringat ia akan kisah hidupnya, ia terlahir sebagai anak yang tidak jelas.

Lahir dari rahim seorang wanita penghibur.

Ibunya dulu adalah salah seorang wanita tercantik di sebuah rumah bordil di kotaraja.

Ia tak tahu siapa ayahnya.

Sejak kecil ia belajar mempertahankan hidup dengan menjadi pembantu di rumah bordil itu.

Menjadi tukang bersih-bersih dan mempersiapkan segala kebutuhan para penghuninya.147 Sebagai orang yang hidup di rumah bordil, ia tahu betul seluk beluk kehidupan wanita penghibur.

Bagaimana mereka harus bertahan hidup dengan menjual tubuh.

Apapun yang terjadi harus tampil cantik, harus dapat menyenangkan hati tamu.

Salah sedikit mendapat hajaran dan hinaan.

Ia menjadi saksi bagaimana wanita-wanita ini menyimpan airmata dan memasang topeng senyuman paling indah.

Saat berumur 15 tahun, ia jatuh cinta kepada seorang gadis.

Seorang gadis yang berasal dari keluarga terhormat dan merupakan salah satu keluarga yang paling kaya di kotaraja.

Dengan berani ia mengungkapkan perasaan itu kepada sang gadis pujaan.

Apa nyana ternyata ia ditertawakan dan dihina.

Latar belakang kehidupannya sebagai jongos sebuah rumah bordil tentu saja tidak menarik bagi perempuan manapun.

Dalam kesedihannya, seorang gadis penghuni rumah bordil itu memberi perhatian yang dalam.

Hiang Hiang namanya.

Hiang Hiang mengajarkannya tentang banyak hal.

Bagaimana seorang lelaki harus bersikap dan menghadapi wanita.

Segala seluk beluk tentang perempuan dipelajarinya dari Hiang Hiang.

Bagaimana menyenangkan mereka, meneduhkan hati mereka, menyikapi mereka.148 Ia pun kehilangan keperjakaannya untuk pertama kali pada Hiang Hiang.

Dengan sabar Hiang Hiang mencintai dan merawatnya, hingga suatu hari Hiang-Hiang ditebus seseorang.

Sejak saat itu ia tak pernah bertemu kembali dengannya.

Namun segala pelajaran Hiang Hiang telah merasuk di dalam jiwanya.

Seluruh perempuan di rumah bordil itu ditaklukannya.

Ibunya yang sudah beranjak tua, tidak perduli dengan kelakuannya.

Selama ia tidak mencuri atau me- rampok, sang ibu membebaskannya untuk melakukan apa saja.

Ia baru bertemu kembali dengan Hiang-Hiang setelah wanita itu bercerai dengan suaminya.

Mereka pun kembali menjalani hubungan.

Tetapi sifat hidung belang yang telah terlanjur tumbuh di jiwa Li Hiang membuat petualangan cintanya tidak terhenti.

Semakin lama ia semakin berani.

Setelah menaklukan gadis-gadis rumah bordil, ia pindah menaklukan gadis-gadis di luar rumah bordil.

Siapapun yang ia temui, asal mereka perempuan, ia menaklukkannya.

Bahkan kemudian istri-istri para hartawan dan pejabat pun tertarik padanya.

Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, tentu akan terjatuh juga.

Hubungan gelapnya dengan149 istri salah seorang pejabat tertangkap basah.

Ia dipukuli sampai hampir mati.

Di saat genting seperti itu, kembali Hiang-Hiang lah yang menyelamatkannya dan menyembuhkan luka-lukanya.

Telah begitu banyak wanita yang memberikan hati untuknya, namun hatinya hanya untuk Hiang Hiang.

Wanita itu kemudian sakit-sakitan.

Sebuah sakit aneh yang mungkin di dapatkannya dari pekerjaannya sebagai wanita penghibur.

Ia telah membawakan berbagai macam tabib, tetapi tak ada seorang pun yang sanggup menyembuhkannya.

Perjalanannya ke Himalaya ini pun dilakukannya demi Hiang Hiang.

Tak ada seorang pun yang tahu sosok Hiang Hiang ini di hidup Si Jubah Merah.

Hanya ia yang paling tahu, dan paling paham betapa sosok itu begitu berarti di dalam hidupnya.

Seorang lelaki, jika telah mencinta, akan mencintai seumur hidupnya.

Tidak perduli ada berapa banyak wanita yang hadir di dalam hidupnya, selalu ada sebuah ruang kosong yang indah, suci, dan terjaga bagi seorang wanita itu di dalam hatinya.

Bidadari yang suci bersih karena cinta seorang lelaki, tak150 perduli apapun yang telah wanita itu lakukan sebelumnya di dalam hidupnya.

Meskipun ia telah bertualang sekian lama, dari perempuan ke perempuan, menaklukan hati mereka, tetap saja hatinya telah sepenuhnya milik Hiang Hiang.

Sejauh apapun ia melangkah pergi, hatinya telah tertinggal pada wanita itu.

Setinggi apapun ia terbang, akar cintanya tertanam terlalu dalam pada sosok Hiang Hiang.

Hiang berarti ?harum? atau ?wangi?.

Itulah kenapa ia memakai nama itu untuk menutupi nama aslinya yang bahkan terkadang ia pun lupa.

Ia bukan orang yang suka mengingat masa lalu.

Karena masa lalu adalah hal yang tak pernah bisa terulang kembali.

Ia selalu menatap masa depan, dan masa depan yang gemilang telah berada di depannya.

Ia hanya perlu untuk meraihnya.

Dengan segalanya yang telah ia miliki, ia bisa menjadi orang paling ternama di dunia ini, tapi ia mengesampingkannya.

Baginya Hiang Hiang adalah seluruh hidupnya.

Ia harus mampu menyembuhkannya.

Kadang-kadang, lelaki atau perempuan yang paling bejat pun, mampu memiliki cinta yang teramat suci dan bersih.151 Berbulam-bulan ia mencari tabib atau obat untuk Hiang-Hiang, ia kemudian bertemu dengan seorang nenek tua yang teramat sakti.

Nenek itu berjanji memberinya obat penyembuh yang sangat mujarab dan juga berjanji mengajarkannya ilmu-ilmu silat hebat.

Tetapi semua kebaikan nenek itu tentu harus dibayar mahal.

Ia harus memuaskan nafsu nenek itu.

Seorang pemuda tampan melayani nenek-nenek tua.

Walaupun sejak dahulu sampai sekarang cerita ini bukan cerita yang aneh, tetap saja orang-orang masih mual saat mendengar kisah seperti ini.

Apalagi hubungan guru dan murid adalah sebuah hubungan yang sakral bagi orang-orang Tionggoan.

Hubungan itu seperti hubungan orang tua dan anak, sehingga jika terjadi cinta antara guru dan murid hal itu dianggap sangat tabu.

Seorang pendekar besar di jaman dulu yang bernama Yo Ko pernah mengalami penderitaan yang besar saat memiliki hubungan cinta dengan gurunya.

Ia harus mengalami penderitaan dan cobaan yang teramat besar.

Untuk menghindari penderitaan itulah nenek tua dan Si Jubah Merah ini menyepi di sebuah gunung terpencil.

Tak berapa lama mereka tinggal bersama,152 ternyata si nenek tahu-tahu meninggal secara mendadak.

Untunglah si nenek sempat memberitahu kan rahasia obat mujarab itu.

Si Jubah Merah memutuskan untuk turun gunung dan terjun ke dunia Kang Ouw49.

Dengan warisan ilmu sakti dan sebilah pedang ungu yang konon merupakan milik pendekar Tok Ho Kiu Pay, Si Jubah Merah melanglang dunia.

Pada awalnya ia tidak pernah menggunakan pedang sakti itu dan disembunyikannya baik-baik dibalik jubahnya.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ilmunya teramat sakti sehingga ia tak pernah perlu untuk menggunakan pedang itu.

Selama 3 tahun ia bertualang mencari obat mujarab, tak pernah sekalipun ia menggunakan pedang itu.

Hingga pada akhirnya, ia bertemu dengan lawan yang sangat kuat sehingga mau tidak mau ia harus menggunakan pedang itu.

Seperti dugaannya, kalangan Kang Ouw heboh mendengar bahwa pedang ungu Tok Ho Kiu Pay telah ditemukan.

Berbagai pendekar dari bermacam kalangan mulai memburunya.

Kehebatan pedang ini telah begitu melegenda dan menjadi impian begitu banyak orang.

49 Dunia persilatan153 Kini ia telah berada di sini.

Namanya telah menggetarkan 8 penjuru angin.

Semua orang mengenal namanya, mengenal kehebatannya.

Tetapi dari semua hal dan semua penderitaan serta kenikmatan yang dilaluinya, hatinya masih merasakan kesepian.

Ia sudah berjanji kepada dirinya bahwa ia hanya akan pulang jika sudah menemukan obat untuk Hiang- Hiang.

Si Jubah Merah menatap ke depan, sebentar lagi ia akan memasuki sebuah hutan pinus yang indah.

Wangi pepohonan pinus tertiup angin.

Salju pada dedaunan membeku dan memutih.

Seperti cinta, semakin membeku kadang malah bertambah putih dan suci.

Mungkin seperti itulah cinta sejati.

Beku, dingin, dan sepi.

Hari semakin gelap ketika ia melintasi hutan pinus itu.

Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Segera ia mengeluarkan peralatan masak dari dalam kantong peralatannya.

Setelah membuat perapian, ia lalu berburu.

Tidak perlu waktu lama ia telah berhasil menangkap seekor kelinci gemuk.

Makanan enak, dan arak.

Tidak ada yang lebih nikmat dari kedua hal itu di tempat seperti ini.

Bau154 panggangan bercampur dengan wangi hutan pinus, siapapun yang mampu membayangkannya pasti akan menginginkannya.

Tak lama kemudian ia mendengar suara langkah yang semakin mendekat.

Ia menajamkan telinga.

Lalu munculah sesosok bayangan.

Tan Cin! "Oh, kau!"

Tukas Li Hiang sambil tersenyum manis. Tan Cin tidak menjawab, ia hanya terpana. Lalu berkata.

"Aku tidak mengejar kau!"

Katanya bersungut.

"Tentu saja. Tapi apapun yang ingin kau kerjakan, mengapa tidak beristirahat sejenak dan menikmati daging kelinci?"

Kata Li Hiang ringan.

"Apa yang tuan panggang?"

Kata ?kau? tadi sudah berubah menjadi ?tuan?.

"Kelinci yang gemuk"

Sambil berkata begitu, ia mencabik paha kelinci, meletakkannya diatas daun yang bersih, lalu menyerahkannya kepada Tan Cin.

"Hati-hati panas."

Tan Cin menerimanya dengan tersenyum. Betapa perhatiannya laki-laki ini.155 Setelah mengunyah sejenak, ia memuji "Masakan tuan enak!"

"Aku memang suka memasak!"

"Benarkah? Ku kira para lelaki memandang pekerjaan itu hanya milik kaum perempuan,"

Tukas si nona cantik.

"Pekerjaan perempuan toh bukan pekerjaan yang hina. Justru menjadi perempuan, dan mengerja- kan pekerjaan perempuan amatlah sulit."

Jelas Li Hiang.

"Oh ya? Tuan beranggapan begitu?"

"Iya. Jika aku menjadi perempuan, aku tak dapat membayangkan segala persoalan berat yang akan kuhadapi. Menjadi perempuan itu tidak mudah."

"Contohnya?"

"Perempuan adalah makhluk indah, yang terindah adalah perasaannya. Mereka hidup dikendalikan oleh perasaan. Tidak perduli apapun yang mereka kerjakan atau hadapi, mereka selalu menggunakan perasaan untuk menjalaninya. Bahkan mereka rela melakukan apa saja karena dorongan perasaan. Mereka rela menjalani kesulitan-kesulitan hanya demi perasaan mereka,"

Tutur Li Hiang.156

"Benaaaaaar sekali. Tuan nampaknya sangat memahami perasaan perempuan. Sangat mengerti perempuan!"

Pujinya.

"Laki-laki yang mengaku mengerti perempuan, jika bukan karena bodoh tentu karena pikun. Aku hanya mencoba menyelami perasaan perempuan saja. Jika laki-laki bisa melakukannya, sedikit banyak mereka akan mengerti mengapa perempuan bertingkah seperti perempuan."

Tan Cin terdiam. Perkataan Li Hiang tepat menusuk di jantung hatinya. Lama sekali baru ia berkata.

"Tuan, apakah tuan pernah membunuh orang?"

Li Hiang tidak kaget mendengar pertanyaan itu. Ia tersenyum.

"Pernah."

Tan Cin hanya memandangnya. Lalu berkata.

"Mengapa?"

"Karena mereka ingin membunuhku."

Sebuah jawaban yang sangat tepat. Tan Cin seperti kehabisan kata-kata. Li Hiang pun membiarkannya sibuk dengan pikiran-pikirannya. Setelah sekian lama, akhirnya Li Hiang yang bicara.

"Kau ingin bertanya mengapa aku membunuh157 puluhan bahkan ratusan wanita-wanita yang tak berdaya, bukan?"

Perkataan yang sangat tepat. Memang pertanyaan itulah yang ada di benak Tan Cin, ia hanya tak tahu bagaimana mengutarakannya.

"Kau mungkin telah mendengar bahwa aku adalah seorang laki-laki bejat yang pekerjaannya merusak perempuan, lalu membunuh mereka saat sudah selesai."

Tan Cin terdiam, rupanya Li Hiang benar-benar telah membaca isi hatinya.

"Semua cerita itu hanya fitnah. Aku bahkan tak pernah membunuh seorang wanita pun. Segala pembunuhan-pembunuhan itu bukan aku yang melakukannya."

"Lalu siapa?"

Tanya Tan Cin.

"Entahlah. Mungkin salah seorang musuh- musuhku melakukannya demi memfitnahku."

Tan Cin memandang wajah lelaki di hadapannya lama sekali. Ia baru beberapa jam mengenalnya. Tapi jika disiksapun ia tak akan mau percaya bahwa laki-laki ini sanggup melakukan kebejatan yang didengarnya.158

"Aku percaya kepadamu!"

Hanya itu yang keluar dari mulutnya setelah sekian lama terdiam.

"Terima kasih!"

Sambil berkata begitu, ia melepaskan jubah merahnya dan menyelimuti tubuh Tan Cin. Nona mungil yang manis. Wajahnya kemerah- merahan saat jubah yang wangi itu menghangatkan tubuhnya.

"Tuan.., bagaimana tuan tahu pertanyaan itulah yang ingin kutanyakan?"

Tanya Tan Cin. Li Hiang tertawa.

"Sejak awal aku sudah curiga bahwa kau bukanlah anak pemilik toko perlengkapan. Tangan kalian begitu halus. Kalian pun tidak tahu letak barang-barang yang akan ku beli. Seharian kalian membuat toko itu berantakan,"

Jelasnya.

"Aih..."

"Tapi sudahlah, apapun maksud kalian kepadaku, aku tak akan bertanya. Jika kau ingin pulang dan melapor kepada orang yang menyuruhmu, kau boleh pergi. Tapi jika kau ingin tetap di sini dan bercakap-cakap, aku bisa menemanimu,"

Kata Li Hiang.

"A..aku harus pulang,"

Kata Tan Cin terbata-bata.159 Li Hiang tersenyum. Dalam hati ia berkata.

"Ya, kau harus pulang. Tapi kau tak ingin melepaskan kesempatan untuk berduaan denganku."

Tapi ia berkata.

"Hari sudah malam, jika kau pulang sekarang kau bisa tersesat. Lagian, kau belum lagi melakukan yang diperintahkan kepadamu."

"Jangan sok tahu, memangnya apa yang diperintahkan kepadaku?"

Li Hiang tersenyum. Ia menuangkan arak dari guci dan menenggaknya. Tan Cin hanya memperhatikan dengan penasaran.

"Eh tuan, memangnya kau tahu apa yang diperintahkan kepadaku?"

"Mengapa kau bertanya kepadaku? Isi perintah itu kan hanya kau yang tahu,"
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jawab Li Hiang sambil tersenyum.

"Kau jahat!"

"Sedikit."

Tukas Si Jubah Merah sambil tersenyum.

Ia lalu melanjutkan meminum arak tanpa memperdulikan Tan Cin sama sekali.

Nona itu memandangnya dengan gemas.160 Pelajaran ke-dua.

Semakin kau tidak memperhatikan seorang perempuan, semakin ingin ia engkau perhatikan.

Tentu saja Li Hiang telah lulus pelajaran ini.

"Aku tak ingin berbicara lagi kepadamu!"

Kata Tan Cin dengan marah.

"Kenapa?"

"Kau jahat!"

Kata ?tuan? sudah berubah menjadi kata ?kau?.

"Aku apa pernah menyakitimu?"

Tan Cin berpikir sebentar.

"Tidak!"

"Nah!"

"Tapi kau tetap jahat!"

"Sebabnya?"

"Kau bermain rahasia denganku!"

"Memangnya kau tidak bermain rahasia denganku?"

Tan Cin terdiam lagi.

"Ihhh"

Dengan gemas ia membanting kaki dan melempar kerikil-kerikil kecil ke arah Li Hiang. Si Jubah Merah tidak menghindarinya dan hanya tertawa.161

"Masih berapa jauh lagi dari sini ke Pek Swat Ceng50 ?"

Tanya Li Hiang.

"Entah!"

Kata Tan Cin sambil membuang muka.

"Sekarang kau lah yang bermain rahasia denganku,"

Tukas Li Hiang.

"Kau bertanya kepadaku, lantas aku bertanya kepada siapa?"

Tanya nona cantik ketus.

"Kau tidak perlu bertanya kepada siapa-siapa. Kau kan hafal sekali jalan menuju ke sana,"

Tawa Li Hiang.

"Sok tahu!"

Li Hiang tertawa.

Dalam hati ia bertanya-tanya mengapa perkampungan itu mengirimkan anggotanya yang masih hijau untuk menghadapinya.

Untuk sejenak mereka terdiam.

Menikmati pikiran masing-masing.

Malam beranjak semakin larut.

Kekelaman menyelimuti dunia.

Ada api unggun untuk penerang dan penghangat suasana.

Ada kebersamaan.

Dua orang anak manusia, duduk saling berhadap-hadapan.

50 Perkampungan Salju Putih162 Nona itu lalu menggigil.

Cuaca di tempat itu memang sangat dingin.

Dengan sigap Li Hiang menambah kayu untuk memperbesar api, lalu pindah duduk ke sebelah nona itu.

Katanya.

"Aku kedinginan."

Dengan pintar ia mengaku kedinginan saat ia melihat nona itu kedinginan pula.

Dengan pintar ia memindah posisi duduknya dengan alasan ini.

Ia tidak bertanya apakah nona itu kedinginan.

Tetapi mengaku diri sendiri yang kedinginan.

Menghadapi perempuan, ia sangat paham caranya.

Karena ia tahu, jika ia menyuruh nona itu mendekat kepadanya, nona itu akan menolak.

Mereka mengobrol dan bercanda.

Li Hiang menceritakan kisah-kisah seru dan unik kepada nona itu.

Tak terasa duduk mereka semakin dekat dan semakin rapat.

Lalu entah kapan, lengan Li Hiang telah merangkul nona itu.

Tak butuh waktu lama baginya agar nona itu berada di dalam pelukannya.

Menghadapi perempuan harus seperti ini.

Dengan lembut namun pasti.

Kau harus tahu kapan maju dan kapan mundur.

Bujuk rayu lelaki memang berbahaya.

Yang paling berbahaya adalah merayu tanpa kata-kata.

Hanya lelaki yang berpegalaman yang mampu melakukannya.

Dengan senyum, dengan163 perbuatan-perbuatan kecil yang remeh, hati perempuan akan dengan mudah dirayu.

Pelajaran ke-tiga.

Merayu perempuan bukanlah dengan kata-kata.

Tentu saja ia telah menguasai dengan baik pelajaran ini.

Bibir mereka bersentuhan.

Ciuman yang lembut.

Sentuhan yang halus.

Rembulan di tengah malam.

Wangi hutan pinus yang menyegarkan.

Lama sekali mereka berciuman, ketika Li Hiang tersadar bahwa ia telah tertotok oleh nona mungil ini! "Ternyata nama besar Jai Hwa Sian hanya nama kosong!"

Kata Tan Cin sambil tertawa.

Li Hiang pun hanya tertawa.

Pelajaran ke-empat.

Laki-laki manapun di dunia ini yang mengaku mengerti perempuan, jika bukan karena bodoh, tentu karena sudah pikun.164 BAB 7.

SEORANG LAKI-LAKI, LIMA ORANG GADIS Tan Cin mengeluarkan sebuah sempritan dari sakunya, lalu meniupnya.

Tak berapa lama serombongan perempuan cantik sudah datang.

"Kau berhasil!"

Tukas salah seorang. Tan Cin tersenyum.

"Menaklukan laki-laki yang bernama besar seperti dia ternyata sangat mudah"

"Kerja yang bagus"

Kata salah seorang memuji. Li Hiang saat melihat mereka tetap tersenyum, ujarnya "Memang benar cerita yang kudengar. Para gadis Pek Swat Ceng51 memang cantik-cantik."

"Tutup mulutmu"

Seorang gadis memarahinya, tapi saat memandang wajah Li Hiang, gadis itu terhenyak.

Orang buta pun terhenyak memandang Li Hiang.

51 Perkampungan Salju Putih165 Beberapa orang gadis lalu memondong tubuh Li Hiang untuk diletakkan diatas sebuah kereta yang sudah mereka siapkan.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah membongkar-bongkar barang bawaan Li Hiang, mereka akhirnya menemu- kan yang mereka cari.

"Ada!"

Wajah mereka semua gembira. Saat ditarik, pedang itu memancarkan cahaya keungu-unguan. Tentu saja benda inilah yang mereka cari.

"Jika kalian mencari pedang itu, kenapa tidak meminta saja? Tidak perlu repot-repot menculikku."

Ujar Li Hiang sambil tertawa.

"Mulutmu seperti perempuan. Terlalu cerewet."

Bentak salah seorang.

Mereka lalu berangkat pergi dari situ sambil menyekap Li Hiang di dalam kereta.

Dibutuhkan perjalanan berhari-hari untuk sampai ke markas mereka.

Sepanjang perjalanan Li Hiang menolak untuk makan dan minum.

Hanya sekali-sekali saja ia mau menerima roti atau buah pemberian nona-nona itu.

"Jika kau tidak mau makan, kami tak perduli. Tapi jika sampai kau mati di perjalanan, guru akan memarahi kami."

Kata seorang gadis. Wajahnya cukup166 ramah. Pipihnya sedikit montok. Li Hiang senang memandang wajahnya.

"Terima kasih."

Li Hiang terima saja ketika ia disuapi nona itu.

"Nona baik sekali. Tidak seperti yang lain. Mereka semua judes."

Kata Li Hiang sambil tersenyum.

"Makanya kau harus menurut kata-kataku. Kalau tidak, aku akan lebih judes daripada mereka."

Tukas si nona pipi montok.

"Baiklah cici52 yang baik."

Kata Li Hiang.

"Eh, kau memanggilku kakak? Ditengok dari wajah saja, sudah jelas kau lebih tua daripada aku!"

"Memangnya berapa umur cici yang baik?"

Tanya Li Hiang serius. Jika bertanya, orang akan merasakan pertanyaannya sungguh-sungguh dan ia benar ingin tahu.

"Umurku 20 tahun. Dan kau jangan memanggil aku cici"

"Dua puluh tahun? Wah, tadinya aku ingin menggodamu karena ku kira kau seorang nona cilik." 52 Kakak perempuan167

"Nona cilik?"

"Benar. Dilihat dari wajahmu, tak ada seorang pun yang percaya kau berumur 20 tahun."

"Memangnya tampangku seperti orang berumur berapa?"

Tanya si nona penasaran.

"Paling banyak 16 tahun atau 17 tahun."

Jelas Li Hiang. Pipi nona yang montok itu memerah. Lalu ia berkata.

"Kau tak perlu menggodaku!"

Sambil berbalik pergi. Tapi sebelum pergi, ia menoleh dan berkata.

"Jika kau ingin makan sesuatu, mintalah kepadaku."

Li Hiang mengangguk, dan berkata dengan tulus "Terima kasih, nona."

Pelajaran kelima. Perempuan paling suka dianggap lebih muda. Tentu saja Li Hiang amat memahami pelajaran ini. Dengan pendengarannya yang tajam, ia bisa mendengar nona-nona itu membicarakan dirinya.

"Eh kau harus hati-hati jika berbicara kepada nya, kata suhu ia pintar merayu."

Kata salah seorang.168

"Benar"

Yang lain mengiakan.

"Ah dia tidak sehebat itu."

Seorang nona membantah.

"Hei Cin Cin, saat kau bersamanya, apa ia merayumu?"

Tanya salah seorang.

"Ih, dia sih tidak sehebat kabar yang terdengar. Kami cuma mengobrol biasa dan sama sekali ia tidak merayuku. Kecuali saat ia mencoba memelukku."

Jelas Tan Cin yang rupanya bernama Cin Cin.

"Ia memelukmu?"

Serempak mereka bertanya.

"Waaaah, kau beruntung sekali."

"Aih, aku sih, mana mau dipeluk laki-laki kurang ajar macam begitu."

Tukas salah seorang.

"Eh kau tidak boleh menyalahkan dia, dia kan hanya menjalankan perintah suhu."

Timpal salah seorang.

Li Hiang tersenyum.

Perempuan.

Mereka begitu akrab, tapi begitu suka menyimpan perasaan tidak suka satu sama lain.

Seakrab-akrabnya perempuan, pasti memendam ketidaksukaannya kepada sahabatnya.

Hal ini entah169 sudah menjadi bagian dari sifat mereka, atau karena pengaruh lingkungan, Li Hiang hanya tertawa.

Ia mencoba beristirahat.

Perjalanan masih panjang.

Dan gadis-gadis di luar kereta masih bertanya-tanya mengapa lelaki ini masih tetap tenang dan menjaga kesopanannya.

Keeseokan paginya, cahaya mentar bersinar menembus jendela kereta.

Tiga orang wanita di dalam kereta duduk dengan sigap di hadapannya.

Seolah- olah lelaki yang baru bangun tidur adalah seekor singa yang siap menerkam mereka.

"Selamat pagi sam-wi-siocia53."

Ucapan salam ini dilontarkan dengan sopan dan ringan, seolah-olah ia bukan tawanan nona-nona ini.

"Pa... pagi."

Nona pipi montok menjawab dengan ragu-ragu, diikuti pelototan mata kedua nona yang lain.

"Eh, kalian belum tidur?"

Tanya Li Hiang.

"Apa perdulimu?"

Jengek salah seorang.

"Manusia jika kurang tidur, kulit akan mengendur, kantong mata akan timbul, pipi menjadi 53 Tiga nona170 tembem. Jika keseringan, tak lama lagi gadis cantik akan berubah menjadi nenek-nenek. Apa kalian belum mendengar hal ini?"

Mendengar penjelasan Li Hiang mau tidak mau ketiga nona itu tergetar juga hatinya. Maklumlah, menjadi tua adalah ketakutan wanita di manapun di dunia ini. Lanjut Li Hiang.

"Banyak-banyaklah minum air putih, hal ini lumayan membantu."

"Tidak perlu sok memberi perhatian!"

Bentak nona manis yang tubuhnya agak sedikit terlalu kurus.

Tapi cantik sekali.

Li Hiang tersenyum saja, perempuan selalu ?marah? jika ada yang memberi perhatian.

Padahal hati mereka senang.

Ini mungkin hanya sekedar menutupi rasa senang, atau mereka khawatir jika perhatian itu hanya basa-basi.

Li Hiang hanya mengangguk-angguk saja.

Saat menoleh di luar, pemandangan sungguh indah.

Mereka sedang melalui bukit.

Di kanan kiri pemandangan sangat menarik hatinya.

Ia tersenyum memandang pemandangan di luar sana.

Seolah-olah ia sendirian di sana.171

"Orang ini sudah gila. Tersenyum-seyum sendiri."

Bisik gadis-gadis itu.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Li Hiang seperti tidak mendengar kasak kusuk nona-nona di depannya.

Perhatiannya terpusatkan memandang keindahan alam di jendela.

Sekian lama ia menikmati pemandangan itu, nona-nona di depannya sudah mulai bosan.

Ia sama sekali tak berkata apa-apa.

Sikapnya tenang dan tak ragu-ragu.

Senyum lembutnya tak pernah hilang.

"Apa yang kau lihat di jendela itu?"

Tanya si pipi montok.

"Kecantikan."

Mendengar kata ?kecantikan?, ketiga nona turut menoleh. Yang mereka lihat hanyalah alam. Mereka telah berkali-kali melihatnya. Terlalu sering malah.

"Hmmmmm."

Kata ?Hmmmm? adalah kata yang paling diucapkan perempuan.

Itu mereka lakukan jika apa yang ada di hati mereka berbeda dengan apa yang ingin mereka ucapkan.172 Li Hiang masih memandang ke luar jendela.

Terbentang sebuah danau yang indah.

Daerah di sekitar Himalaya memang diliputi banyak danau.

"Hey kau, makan dulu."

Kata si kurus, sambil berkata begitu ia mengeluarkan bekal roti dari dalam bungkusan. Li Hiang seolah-olah tidak mendengarkan. Dengan gemas nona itu membanting kaki.

"Ya sudah jika tidak mau makan, biar kau mampus kelaparan!"

Li Hiang menoleh kepada nona pipi montok.

"Nona membawa bekal apa?"

"Aku... aku membawa kacang-kacangan."

Jawab si pipi montok.

"Aku mau kacang."

Sahut Li Hiang sambil tersenyum.

Dengan rikuh si nona menyuapkan kacang-kacangan itu ke mulut Li Hiang.

Kedua nona yang lain memandang dengan iri.

Li Hiang makan dengan lahap namun perlahan.

Caranya mengunyah kacang menyenangkan sekali.

Dengan tersenyum ia memuji gelang giok milik si pipi montok.

"Indah sekali giok itu."

Si pipi montok tersenyum, tapi buru-buru ia mengubah sikap.173 Dua temannya yang lain melengos.

Tapi walaupun mereka melengos, secara tidak sadar masing-masing merapikan rambut dan pakaian.

Hari telah memasuki siang yang terik.

Walaupun cahaya matahari bersinar terang, cuacanya masih terasa sangat dingin.

Mereka berhenti sejenak untuk mengistirahatkan kuda-kuda.

Si pipi montok dan si kurus kini pindah ke depan, berganti tugas dengan dua orang yang tadinya bertugas sebagai kusir.

Begitu kedua nona yang tadinya menjadi sais itu masuk ke dalam kereta, terciumlah wangi yang khas yang keluar dari tubuh dan pakaian Li Hiang.

Perempuan paling suka wewangian.

Tapi wewangian itu harus lembut dan tidak menusuk, ada perasaan tersendiri di hati mereka kita mencium wewangian seperti ini.

"Ah ji-wi siocia54."

Sapa Li Hiang halus sambil menganggukan kepala.

Kedua nona yang baru masuk itu tidak membalas, hanya saling menatap mata Li Hiang dan menundukkan muka.

Tidak perlu siapapun engkau, 54 Kedua nona174 asalkan kau perempuan, kau pasti akan tertunduk malu jika dipandangi Li Hiang.

"Kalian beristirahatlah."

Kata si nona yang tertinggal, rupanya ia ketua rombongan nona-nona cantik ini. Walaupun ia bukan yang paling cantik, tatapan matanya sangat mempesona. Mau tidak mau, Li Hiang harus memujinya.

"Mata nona..."

Ia menjengek.

"Kenapa mataku?"

Li Hiang hanya mendengus sambil tersenyum.

Menaklukan perempuan galak ada caranya sendiri.

Untuk saat ini ia sebaiknya menahan diri.

Kedua nona yang baru masuk tadi, kini sudah mulai merebahkan diri bersandar pada dinding kereta yang terbuat dari kayu itu.

Walaupun tidak terlalu besar, kereta ini memang lumayan mewah.

Setelah beristirahat cukup, akhirnya perjalanan di mulai lagi.

Li Hiang membuka omongan.

"Aku heran, mengapa ketuamu menyuruh kalian meringkusku di sana. Padahal jika ini dilakukan di dalam markas kalian, bukankah jauh lebih gampang?"

Tak ada yang menjawab, hanya nona mata indah yang menoleh padanya.

Ia seperti ingin175 mengatakan sesuatu tetapi diurungkannya.

Kedua nona lain sudah malas bicara, mungkin karena ingin beristirahat.

Setelah berpikir sejenak, Li Hiang tersenyum sambil berkata.

"Ah aku tahu."

Si nona mata indah menatapnya, menanti ia berbicara lebih jauh. Tetapi setelah sekian lama menunggu, Li Hiang tidak kunjung bicara. Karena penasaran, si mata indah bertanya.

"Apa yang kau tahu?"

Li Hiang hanya menatapnya sekilas lalu tersenyum lagi.

"Jika nona sudah tahu, mengapa bertanya?"

"Apa kau selalu bersikap semenyebalkan ini? Aku heran bagaimana gadis-gadis itu bisa tertipu dengan manusia macam kau!"

Senyum di wajah Li Hiang menghilang dengan cepat, katanya dingin.

"Kau pikir aku manusia macam apa? Masa dengan otakmu yang cerdas kau tak dapat berpikir bahwa aku sebenarnya mengalah terhadap kalian?"

"Hah? Jangan melucu."

Bagitu kata ?cu? selesai, Li Hiang telah meniupkan sebuah kacang dari dalam mulutnya.

Tiupan itu sangat keras dan cepat menghujam kepada176 hiat to (titik syaraf) yang tertotok.

Dengan serta merta totokannya terbuka.

Si mata indah masih belum sadar apa yang terjadi ketika dengan cepat, tangan Li Hiang telah menutuk tiga hiat to di tubuhnya.

Si mata indah diam tak berkutik.

Kedua nona yang tadi beristirahat pun sudah terkena totok! Li Hiang menatap si mata indah dengan tajam.

"Jika aku menelenjangimu sekarang, kira-kira apa yang bisa kau perbuat?"

Matanya jauh memandang keluar jendela.

Rasa sepi di hatinya entah bagaimana bisa diobati.

Semakin ia memandang jauh ke luar, semakin wajah Hiang Hiang terbayang di matanya.

Dengan sedih ia menoleh ke si mata indah yang kini memandangnya dengan sangat ketakutan.

Lalu ia berkata.

"Aku akan membuka totokan kalian. Berjanjilah untuk tidak berbuat bodoh. Jika aku melihat kalian melakukan hal bodoh, dalam satu kali gerakan aku akan melepas Am Gi55 yang menembus lehermu. Mengerti?" 55 Senjata rahasia177 Si nona dan kedua sahabatnya hanya mengedipkan mata dengan ketakutan. Li Hiang benar- benar membuka totokan mereka. Lalu berkata.

"Jangan ganggu tidurku. Kalian pun tidurlah."

Lalu dengan tenang ia pun berbaring dan memejamkan mata.

Keringat dingin telah membasahi tubuh mereka.

Dalam mimpi pun mereka tidak pernah membayangkan betapa berbahayanya lelaki ini.

Mereka hanya bisa memandangnya dengan segala macam perasaan bercampur aduk.

Lalu secara tiba-tiba, Li Hiang membuka mata.

"Nona yang matanya indah, siapa namamu?"

"Eh eh"

"Namamu Eh Eh?"
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh...na..namaku Sim Lan"

"Oh, nona Sim Lan. Salam kenal. Namaku Li Hiang"

Lalu ia menoleh ke dua nona di sebelahnya.

"Kau?"

"Namaku Kiong Ji"

Nona yang satunya berkata.

"Aku.."

Sebelum ia selesai bicara, Li Hiang telah memotongnya.

"Aku tak lupa178 namamu Cin Cin"

Katanya sambil tersenyum. Lalu ia menoleh ke si mata indah.

"Nona Sim Lan, masih jauhkah perjalanan kita?"

Sim Lan berpikir sebentar lalu berkata.

"Jika tidak ada halangan, mungkin sekitar 5 hari kita sudah sampai."

Li Hiang menganggukkan kepala, lalu berkata "Tanpa harus menculikku pun, aku bakalan ke Pek Swat Ceng. Mengapa ketuamu menyuruh kalian menculikku, apa karena merasa jauh lebih gampang menaklukanku saat aku lengah?"

Sim Lan menjawab.

"Benar. Kata guru, jika kau telah memasuki markas, maka seluruh jiwamu, tubuhmu, dan pikiranmu telah terpusatkan untuk bertempur. Jika hal itu terjadi, amat sangat susah menaklukanmu."

"Kalian kan berjumlah sangat banyak, mengapa memandang remeh diri sendiri?"

Tanya Li Hiang. Sim Lan tidak menjawab, ia hanya menundukkan kepala. Lalu Tan Cin yang menjawab.

"Perkampungan kami saat ini sedang dalam kondisi genting. Banyak musuh yang datang menyerang."179 Li Hiang terdiam sesaat, lalu berkata.

"Apakah rahasia kalian sudah bocor dan tersebar kemana- mana?"

Ketiga nona itu hanya saling memandang, lalu Cin Cin lah yang berkata.

"Benar."

Li Hiang hanya menghela nafas.

"Jika itu yang terjadi, maka merupakan sebuah malapetaka yang besar. Siapa saja yang sudah menyerang kesana?"

"Banyak tokoh dari kalangan hitam. Banyak juga dari kalangan putih. Kami sudah berhasil menghalau dan mengusir mereka. Tapi harga yang kami bayar sangat mahal. Kami kehilangan banyak sekali anggota kami."

"Apakah gurumu terluka?"

Tanya Li Hiang lagi. Mereka hanya tertunduk diam. Hal ini saja sudah merupakan jawaban bagi Li Hiang. Ia tidak berbicara. Hanya menggelengkan kepala penuh penyesalan.

"Apakah maksud tuan datang ke tempat kami, sama dengan maksud orang-orang yang menyerang itu?"

Kali ini Sim Lian yang bertanya.180

"Tentu saja. Tetapi aku bermaksud memintanya baik-baik. Aku bahkan bermaksud menukarnya dengan pedang ungu itu."

Jelas Li Hiang.

"Aihhh."

Mereka semua menghela nafas.

"Tempat kalian bukankah sangat rahasia, bagaimana mungkin bisa didatangi berbagai macam orang?"

Tanya Li Hiang. Mereka semua menggeleng tak mengerti. Li Hiang berpikir lama, lalu dengan tiba-tiba bertanya.

"Kenapa Tan Ling tidak ikut rombongan?"

"Ia... memutuskan untuk berangkat lebih dulu untuk melapor."

"Siapa yang memutuskan hal itu?"

Tanya Lia Hiang.

"Dia sendiri"

Jawab Cin Cin.

"Celaka!"

Kata Li Hiang.

"Bisa jadi ia pengkhianatnya!"

Mereka semua terhenyak.

"Tidak mungkin."

Li Hiang bertanya lagi.

"Dengan apa kalian berkirim kabar?"

"Menggunakan burung elang salju"

Jawab Cin Cin.

"Lalu kenapa ia harus melapor sendiri?"

Tukas Li Hiang.181 Mereka seperti tersadar, tapi dengan segera Tan Cin membantah.

"Tidak mungkin ciciku melakukan hal yang memalukan seperti itu! Tidak mungkin!"

Li Hiang kemudian menenangkan.

"Nona, aku minta maaf jika terlalu cepat mengambil kesimpulan. Sebelum ada bukti memang ama sangat tidak pantas jika menuduh seseorang"

Kata Li Hiang. Lanjutnya.

"Untuk hal ini, aku benar-benar meminta maaf kepada nona."

Cin Cin mengangguk.

Menghadapi perempuan, seorang laki-laki harus bijaksana.

Ia sangat mengerti, amat sangat bodoh beradu pendapat dengan perempuan.

Karena perempuan tidak pernah punya pendapat.

Mereka hanya mempunyai dorongan perasaan.

Jika akal mereka berkata ?Ya?, namun hati mereka mengatakan ?Tidak?, maka mereka pasti akan berkata ?Tidak?.

Li Hiang pun lebih memusatkan perhatiannya untuk memikirkan segala kemungkinan.

Lama sekali ia berpikir.

Ketiga nona dihadapannya pun tidak berkata apa-apa.

Terlihat mereka begitu tidak tenang, dan gugup.

Dengan hangat Li Hiang berkata.

"Tenanglah. Aku pasti memikirkan segala cara untuk menolong kalian."182 Jika seorang laki-laki selalu ada untuk menenangkan perasaan perempuan, maka lelaki seperti inilah yang harus dicari dan dijaga. Herannya, perempuan selalu lebih tertarik dengan laki-laki yang membuat perasaan perempuan berkobar dengan hal- hal yang tidak masuk akal. Sepanjang hidupnya, perempuan selalu lebih tertarik dengan lelaki seperti ini. Perasaan perempuan memang tidak pernah tenang, seperti kuda liar yang membawa mereka kepada jurang penderitaan. Lalu ketika mereka sudah terjatuh ke dalam jurang itu, mereka menangis menyesal. Saat ada laki-laki lain menarik mereka keluar dari jurang itu, justru tidak jarang mereka justru mendorong laki-laki itu jatuh ke dalam jurang yang sama. Li Hiang amat sangat paham, hal yang paling berbahaya di dunia ini adalah perasaan perempuan. Justru karena berbahaya lah, ia tertarik untuk memasukinya. Ia memang terlahir untuk mencintai bahaya. Dan bahaya kematian sekarang telah membayang di depan mata. Li Hiang tidak pernah suka untuk membunuh orang. Baginya kehidupan itu sangat indah. Ia hidup untuk menikmati keindahan itu. Tetapi entah dari mana tuduhan dan fitnah bahwa ia183 suka membunuh korban-korbannya ia tidak pernah tahu. Ia pun tidak punya waktu untuk meluruskan hal itu. Baginya, selama ia tidak pernah melakukannya, ia tidak pernah perduli dengan pendapat orang lain. Hari telah menjelang malam. Gelap telah menyelimuti dunia. Rombongan kecil ini beristirahat di tepian telaga yang sangat indah. Kedua orang kusir, yaitu si pipi montok dan si kurus terkaget-kaget ketika mengetahui apa yang terjadi di dalam kereta selama perjalanan. Hal ini diam-diam telah menimbulkan kekaguman yang amat besar di dalam hati mereka. Di hati kelima nona yang cantik-cantik itu. Saat mereka telah mengetahui kesaktian dan kecerdasan Li Hiang, sudah pasti mereka tidak banyak berulah. Bahkan sekarang, segala perkataan Li Hiang mereka dengarkan dengan patuh. Ia telah membukti kan bahwa ia bukanlah orang yang kejam dan perusak kehormatan wanita. Li Hiang malah terlihat sebagai seorang lelaki sejati yang perduli dan melindungi mereka. Di malam itu, Li Hiang memasak untuk mereka, membuat api unggun untuk mengahangatkan mereka. Lelaki yang tampan itu bahkan memperhatikan hal yang secil-kecilnya.184

"Tan Cin, dengan dekat api, nanti kau bau asap."

"Kiong Ji, makanlah daging kijang ini. Jika kurang makan nanti tubuhmu lemah."

"Sim Lan, kau pakailah jubah ini untuk meng- hangatkan tubuhmu."

"Eh bagus sekali sepatu mungilmu itu."

"Ah, pita itu serasi sekali dengan rambutmu."

"Hmm, kau memang pintar memilih baju. Rajutan kembangnya itu siapa yang buat?"

Malam itu mereka habiskan untuk saling mengakrabkan diri.

Bahaya sudah menanti, bukankah amat baik untuk bergembira ria? Hal ini akan menambah kekuatan, dan daya pikir.

Juga membuat tubuh lebih kuat dan waspada.

Malam itu justru Li Hiang lah yang berjaga-jaga.

Sedangkan kelima nona itu tidur dan beristirahat dengan pulas.

Tapi Li Hiang tahu, walaupun nona-nona itu terlihat telah percaya kepadanya, mereka tetap saja masih tidur dengan waspada.

Masing-masing mereka tidur dengan menggengam pedang dan senjata rahasia.185 Di tengah malam, di temani rembulan, ia mengeluarkan sebuah seruling kecil yang selama ini selalu dibawanya.

Ia memainkan sebuah lagu yang sangat indah.

Tiupannya sangat merdu.

Nona-nona itu semua terbangun namun tak berani berkata apa-apa, takut mengganggu tiupan seruling yang indah itu.

Sebuah seruling emas.

Seruling Emas yang juga menyimpan banyak rahasia!186 BAB 8.

CAHAYA EMAS Lagu yang menjarah jiwa! Siapapun yang mendengarkannya, asal masih punya hati, walaupun hati itu sekeras karang di lautan, pastilah akan meneteskan air mata.

Bagaimana mungkin kelima gadis cantik yang lemah lembut hatinya ini tidak menangis.

Masing- masing memiliki cerita dan latar belakang kisah hidup sendiri-sendiri.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Masing-masing dari mereka tidak mampu menahan lelehan air mata bening itu.

Kerinduan.

Jika manusia mau memahami kerinduan orang lain terhadap dirinya, dunia mungkin tak akan semuram dan segelap ini.

Sayangnya kerinduan manusia teramat sering tidak terbalas dan tidak bertepi.

Semakin ia berusaha menyembunyikan kerinduan itu, semakin ia terbenam di dalam kesusahan dan kesedihan.187 Lagu apapun yang menceritakan kerinduan, selalu mampu menggetarkan hati.

Tangisan apapun yang disebabkan kerinduan, selalu menggetarkan langit.

Keenam orang ini kini duduk berhadap- hadapan.

Tenggelam dalam pikiran dan perasaan masing-masing.

Semua orang memiliki kisah perjalanan hidupnya sendiri-sendiri, namun mereka selalu memiliki kedalaman perasaan yang sama.

Itulah yang teramat unik dari manusia.

Sifat dan akal mereka selalu berbeda, tetapi perasaan pasti akan tetap sama.

Setelah sekian lama mereka berdiam diri, Cin Cin bertanya.

"Apa judul lagu ini?"

"Kerinduan"

Jawab Li Hiang pelan.

"Kau kah yang menggubah lagu itu?"

Li Hiang hanya mengangguk. Lalu ia berkata.

"Lagu ini sebenarnya masih panjang, tapi aku tak mampu memainkannya."

"Kenapa? Apakah bagian itu terlalu sulit untuk dimainkan?"

Tanya Cin Cin penasaran.188 Si Jubah Merah menggeleng.

"Tidak, justru bagian itu lebih gampang dimainkan. Hanya saja aku memang tak sanggup memainkannya."

"Kenapa?"

Ia hanya tersenyum dan menjawab.

"Suatu saat kau akan mengerti."

Ya, ia akan mengerti suatu saat nanti.

Saat kenangan berubah menjadi sesuatu yang indah namun kejam.

Yang membuatmu kuat dan lemah pada saat yang bersamaan.

Yang membuatmu berani melangkah menuju masa depan, tapi juga takut meninggalkan masa lalu.

Saat-saat seperti itu memang akan datang ke hati setiap orang.

Cin Cin hanya menggerutu.

Perkataan atau cerita yang menggantung selalu membuat perempuan penasaran.

Dalam hal apapun mereka selalu ingin tahu.

Ini mungkin kekuatan sekaligus kelemahan perempuan.

Karena hal inilah, laki-laki yang pintar bisa dengan mudah menguasai mereka.

"Sudahlah, tidur saja Cin-moy56 ."

Kata Li Hiang.

Ia sengaja menggunakan kata Moymoy.

Dengan sadar ia mengerti betapa keempat gadis lainnya terbakar api 56 Adik Cin189 cemburu.

Gerak-gerik perempuan sudah sangat dipahaminya.

Pelajaran keenam.

Jika kau ingin membuat wanita lebih tertarik kepadamu, beri perhatianlah kepada wanita lain.

Karena rasa cemburu bisa membuat perempuan berbuat apa saja.

Li Hiang sangat mengerti pemahaman ini.

Ia lalu berdiri dan berkata.

"Aku harus mencari kayu untuk menambah api"

Lalu dengan santai ia menghilang.

Tak berapa lama ia telah kembali.

Saat kembali ia memperhatikan nona-nona itu sudah ?bertambah? cantik.

Tentu saja ia mengerti bahwa saat ia pergi tadi, nona-nona ini dengan cepat merapikan diri.

Menyisir rambut, memakai wewangian, bahkan mungkin mengoles gincu dan pupur.

Kecantikan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari perempuan.

Perempuan mana saja.

Li Hiang menyukai kecantikan.

Dan perempuan menyukai Li Hiang.

Perempuan mana saja.

"Cerah sekali wajahmu malam ini, Lan-moy"

Katanya memuji. Sim Lan walaupun sedikit melengos,190 cahaya di matanya bersinar semakin terang. Ada sekilas senyum yang tersungging di sana. Tapi katanya.

"Lama sekali? Hampir saja kami mengiramu kabur."

Li Hiang hanya melengos sambil tersenyum.

"Kayu yang kering susah dicari di daerah sini. Kita sudah mulai memasuki daerah bersalju."

"Aduuuuh"

Tiba-tiba si pipi montok menjerit.

Semua orang kaget dan menoleh, rupanya ia terkena bara panas dari api unggun saat mencoba membesarkan api.

Dengan sigap Li Hiang bergerak menolongnya.

Dikeluarkannya beberapa ramuan dari kantong bajunya, dan mengoleskannya dengan lembut ke ujung jari-jari si kurus yang mengeluh kesakitan.

"Kau harus lebih hati-hati Giok-moy."

Ketika tadi mengobrol, Li Hiang sudah mengenal namanya Hwi Giok.

Walaupun di luarnya ia tampak perhatian sekali, di dalam hatinya Li Hiang tertawa.

Perempuan jika sendirian, jurang selebar apapun dapat dilewatinya dengan sekali lompat.

Tetapi jika bersama lelaki, apalagi lelaki yang disukainya, sebuah selokan kecil pun terlihat sangat membahayakan jiwanya.

Perhatian dan kelembutan Li Hiang terhadap Hwi Giok ini membuat keempat nona yang lain191 semakin penasaran.

Sejak saat itu masing-masing mulai melakukan hal untuk mendapatkan perhatian Li Hiang.

Ada yang mengatakan gelangnya jatuh entah di mana.

Ada yang minta dibuatkan minuman panas.

Macam-macam.

Li Hiang melayani mereka dengan sabar dan penuh perhatian.

Semakin lama mereka semakin dekat.

Li Hiang sudah mulai bisa mengorek cerita tentang latar belakang masing-masing.

Walaupun sebagian besar masih mereka tutup-tutupi, namun Li Hiang telah sekali lagi melewati tahapan penting dalam menaklukan mereka.

Perempuan harus merasa nyaman terhadap seorang laki-laki.

Ia harus merasa aman, agar curahan isi hatinya atau rahasia-rahasia perasaannya terjaga.

Laki-laki yang cerdas seharusnya membiarkan dirinya menjadi sosok seperti ini, sebelum mereka mengharapkan perempuan jatuh hati kepadanya.

Karena ketertarikan perempuan terhadap wajah laki- laki hanya sebentar, pada akhirnya ia mencari sesuatu yang jauh lebih dalam daripada ini.

Berbicara tentang sifat perempuan, banyak laki- laki mengaku tidak bisa memahami.

Padahal jika mereka mau sedikit mempelajari sejarah, setidaknya192 mereka bisa memahami mengapa perempuan berlaku seperti perempuan.

Ribuan, atau bahkan jutaan yang lalu, perempuan sebenarnya sudah seperti ini.

Mereka diciptakan sebagai pihak yang menjaga dan merawat, dan laki-laki ditakdirkan sebagai pihak yang mencari dan menyediakan.

Oleh karena itu, di jaman purbakala, laki-laki harus berburu, bercocok tanam, menyediakan keperluan keluarga, dan memberi perlindungan keamanan dari makhluk buas atau gangguan manusia lain.

Sedangkan perempuan merawat dan mengasuh anak, merawat rumah, dan menjaga milik keluarga.

Hal ini berlangsung sejak jaman dahulu kala, hingga masa depan.

Itulah mengapa, perempuan lebih memilih laki-laki yang kuat, cerdas, mampu menyedia kan keperluan, serta perlindungan kepadanya.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semakin seorang laki-laki terlihat memiliki sifat kepemimpinan yang kuat, yang dapat mengatur kehidupannya, semakin perempuan tertarik kepada nya.

Seekor singa, raja hutan, adalah sosok yang paling gampang untuk menggambarkan ini.

Ia kuat, melindungi kumpulannya, serta gagah dan jantan sejati.

Sebagai raja hutan, semua makhluk sungkan dan hormat kepadanya.

Jiwa bertarungnya yang kuat, membuatnya tahan menghadapi tantangan singa193 jantan lain yang ingin meraih kedudukannya sebagai Raja Hutan.

Dan yang lebih hebat lagi, sang raja tidak perlu berburu.

Para wanita lah yang berburu untuk nya.

Laki-laki memang tidak harus sepersis singa, namun setidaknya beberapa sifat dan keagungan singa amat menarik untuk diperhatikan.

Sosok Li Hiang dipandang perempuan memiliki kesemua hal ini.

Apalagi ditambah ia memiliki wajah yang sangat rupawan.

Ia seperti raja rimba yang berjalan sendirian di depan, sedangkan singa-singa betina mengekornya dengan patuh.

Ia tenang.

Melakukan sesuatu penuh perhitungan, tetapi jika bergerak, tak seorang pun yang sanggup menghalangi nya.

Jika tidak diganggu ia akan berlaku sopan dan tenang, tetapi jika diganggu, ia berubah menjadi sosok yang menakutkan.

Saat ini sang singa berjubah merah sedang dikelilingi para betinanya.

Dengan pesonanya yang tak tertindingi betapa wanita-wanita cantik ini telah hampir jatuh dibawah kakinya.

Bercengkerama dan mendengarkan mereka.

Mengisahkan cerita-cerita lucu, seram, dan menggugah hati.194 Lalu telinganya mendengar sesuatu di kejauhan.

Dalam melakukan apapun, ia selalu waspada.

Ia pernah tertangkap basah dan dianiaya hingga hampir mati.

Sejak saat itu ia tidak pernah membiarkan kewaspadaan hilang dari kesadarannya.

Badannya menegak.

Ia menyadari ada bahaya yang segera akan datang.

Tapi dengan tenang ia berdiri dan berkata.

"Kalian tenanglah."

"Ada apa?"

Tanya mereka serempak.

"Tidak apa-apa."

Katanya menoleh sambil tersenyum. Senyum memang adalah senjatanya. Tak berapa lama yang ditunggu-tunggu pun tiba. Tiga orang sosok besar yang menyeramkan. Kesemuanya berjanggut lebat. Kesemuanya datang menghunus golok.

"Aha...kita dapat mangsa, It-ko57."

"Mangsa yang sedap."

Kata si kakak pertama. Li Hiang tersenyum, tiga orang pembegal adalah seperti mainan bagi dirinya. Tapi dengan matanya yang tajam, ia tahu, ketiga begal ini bukan begal 57 Kakak pertama195 sembarangan. Ia pun menjaga perkataannya.

"Sam- wi-hohan58 hendak kemana? Apakah tersesat?"

"Hey, kau laki-laki? Ku kira kau perempuan. Hahaha."

Tawa si kakak pertama.

"Kalian bawa apa? Cepat keluarkan!"

Teriaknya.

"Aku cuma bawa pedang."

Kata Li Hiang. Ia tidak butuh waktu untuk berbasa-basi. Ia tahu kapan bersikap sopan, dan kapan bersikap garang. Cring! Sebilah pedang ungu yang bercahaya dalam temaram malam yang dingin.

"Pedang... pedang... ungu!"

"Hahaha... kita tidak perlu mencari jauh-jauh, pedang ungu itu ada di sini!"

Di dalam hatinya Li Hiang kaget juga.

Ternyata pedang ini memang sudah menimbulkan goncangan yang luar biasa di dalam dunia Kang Ouw59.

Tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk berita ini menyebar di mana-mana.

58 Ketiga orang gagah 59 Dunia persilatan196

"Di lihat dari ciri-cirinya, ia memang cocok menjadi Jai-Hwa-Sian60 ."

Kata salah seorang.

"Aku memang Jai-Hwa-Sian. Jika mau mengambil pedang ini, silahkan maju."

"Hahahaha...sekali menyelam minum air. Hahahaha."

Begitu tertawanya berhenti, ketiga orang bertubuh besar menyeramkan ini bergerak dengan cepat mengurungnya.

Li Hiang tidak panik.

Dengan tenang ia maju menyambut kepungan ini.

Dalam sekejap mata, ketiga orang itu sudah mengirimkan enam serangan berbahaya.

Angin serangan itu mengeluarkan deru angin yang mendesir.

Wuuuuuuuussss...

wuuuuuuuuus.

Tapi Li Hiang lebih cepat, pedangnya hanya diputar sekali berbentuk lingkaran, keenam serangan itu seketika terbenam dalam lingkaran cahaya ungu.

Hal ini membuat Li Hiang dan kelima nona itu terhenyak.

Tiada seorang pun yang menyangka, betapa bodohnya ketiga orang ini meneruskan serangan tangan kosongnya saat dihadang pedang.

Traaaang! 60 Dewa Pemetik Bunga197 Terdengar bunyi yang menyakitkan telinga.

Pedang Ungu itu seperti berbenturan dengan logam keras.

Keenam lengan itu ternyata sekeras baja! Wajah Li Hiang tidak menampakkan panik sama sekali, padahal di dalam hatinya ia tercengang melihat kekuatan lengan ini.

Dengan cepat ia mundur ke belakang, dan memutar tubuhnya.

Angin pukulan itu lewat di belakangnya.

Kelima nona yang berdiri di belakangnya tidak mampu menahan kekagetan.

Hampir bersamaan mereka berteriak.

"Tiat Po San61!"

Ilmu ini adalah ilmu yang langka, bahkan boleh dikatakan hampir punah, karena orang yang mem- pelajari ilmu ini tidak diperbolehkan berhubungan kelamin.

Itulah sebabnya hanya sedikit orang yang mempelajari ilmu ini.

Kini ilmu itu hadir secara tiba- tiba, kehadirannya tentu saja mencengangkan.

"Hahahaha. Pedang Ungu milik Tok Ko Kiu Pay pun tak mampu menembus kulit kami. Hahahaha. Hahahaha."

"Ah, jangan-jangan ini hanya sebuah pedang palsu!"

Kata salah seorang.

61 Ilmu Baju Besi / Lonceng Emas198 Karena penasaran, mereka maju berbarengan menyerang Li Hiang.

Sekali lagi Si Jubah Merah memutar pedangnya, tapi kali ini ia mengincar mata para penyerangnya.

Satu sabetan pedangnya telah mempu mencecar keenam mata penyerangnya.

Karena serangan ini, ketiga orang beringas itu menahan sedikit gerakannya untuk menghindar.

Hal ini membuktikan kecerdasan Li Hiang ketika dengan cepat ia menemukan kelemahan ilmu Baju Besi Emas ini.

Mata manusia, adalah bagian tubuh yang tidak bisa dilatih silat! "Hngggggggg"

Ketiga orang ini menggerung dengan marah saat kelemahan mereka terbongkar dengan mudah. Li Hiang tersenyum menggoda, katanya.

"Sekeras apapun kalian berlatih, kelemahan di mata kalian tak akan mungkin tertutupi."

Dengan kalap mereka menyerang kembali.

Mungkin karena nekat serangan ini jauh lebih membabi buta.

Bahkan mereka tak perduli untuk melindungi mata mereka.

Kembali enam pukulan dari enam kepalan terarah pada Li Hiang.

Dengan sekali melangkah, ia telah mengambil posisi yang menguntungkan untuk menyerang dan bertahan199 sekaligus.

Ia mencondongkan badannya ke belakang, lalu dengan cepat, pedangnya sudah ia putarkan ke depan.

Jurus ini dikenal sebagai salah satu jurus Hoa San Pay bernama "Pedang dan Bunga Menari Bersama."

Semua orang yang berada di sana kaget juga ketika melihat Li Hiang menggunakan jurus ini.

Tetapi kekagetan itu bertambah menjadi keheranan yang teramat sangat ketika ketiga orang itu tetap meneruskan pukulan, padahal mata mereka terancam serangan dahsyat.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Traaaaaaaang! Sabetan pedang itu menoreh di ketiga pasang mata itu! Tetapi bukan mereka ya terlempar mundur dan kesakitan, melainkan Li Hiang! Mata-mata itu ternyata kebal pula.

Li Hiang ternyata salah perhitungan! Dan ia harus membayarnya dengan cukup mahal.

Tubuhnya terhempas ke belakang dan dari bibirnya terlihat percikan darah segar.200

"Hahahahaha"

Tawa ketiga orang itu menggema memenuhi hutan.

"Begitu mudahnya kau tertipu!"

Ternyata mereka berpura-pura takut terhadap serangan Li Hiang ke mata mereka tadi, adalah sebuah taktik pura-pura untuk mengecoh lawan.

Saat sarangan berikutnya, mereka mengambil keuntungan dari tipuan ini untuk melanjutkan serangan dahsyatnya.

Tapi Li Hiang bukan pemuda sembarangan.

Tubuhnya telah tergembleng oleh seorang nenek aneh sakti yang juga adalah kekasihnya.

Dengan tenang ia bangkit.

Sinar matanya mencorong.

Setiap kali menghadapi tantangan dan bahaya, sinar matanya mencorong seperti ini.

Ia berbalik dan berbisik kepada kelima nona di belakangnya dengan menggunakan ilmu mengirimkan suara.

Ilmu ini adalah sejenis ilmu melatih gelombang suara yang sangat tinggi, yang berguna untuk mengirimkan pesan atau suara hanya kepada orang yang dimaksud.

"Tutup jalan pendengaran."

Dengan cepat kelima nona itu mematuhi perintahnya.

Mereka lalu duduk bersila dan bersemedhi.201 Li Hiang mengeluarkan suling emasnya.

Senjata ini belum pernah ia pergunakan sama sekali.

Dari kejauhan yang terlihat seperti tongkat kecil berwarna emas.

Li Hiang bergerak cepat.

Sekali menghentak ia sudah berada di hadapan ketiga orang itu.

Ia memutar suling itu ditangannya.

Terlihat lingkaran emas kecil di tangannya.

Dari lingkaran itu terdengar suara dengung yang menggetarkan jantung! Si Jubah Merah lalu melancarkan serangan.

Serangannya cepat dan berat.

Mengincar kepala ketiga orang itu.

Kawanan berangasan itu menerima serangan dengan gagah berani.

Tangan mereka diangkat.

Orang pertama yang menerima serangan itu adalah si kakak pertama.

Tapi ia kecelik, ketika ternyata Li Hiang merubah serangan itu dari kepalanya menuju kepalannya.

Kecepatan kepalan itu berada dengan kecepatan serangan Li Hiang.

Bluuuuummm! Dua orang yang lain tercengang melihat ternyata lingkaran kecil itu mampu melumpuhkan lengan sang kakak.

Terdengar rintihnya kesakitan bercampur dengan marah!202 Inti sari ilmu Thiat Po San62 adalah kekuatannya dalam menghadapi senjata tajam dan senjata lainnya.

Tetapi jika menghadapi serangan yang berisi tenaga dalam, maka ilmu ini sebenarnya tidak terlalu hebat.

Namun dibutuhkan tenaga dalam yang amat sangat besar untuk bisa menembus ilmu ini.

Dengan cerdik, Li Hiang memutar-mutar seruling itu agar tenaga yang tersalurkan menjadi berlipat-lipat, sehingga tanpa mengerahkan tenaga yang terlalu besar pun, hasil serangan yang dihasilkan menjadi berlipat ganda! Tangan si kakak pertama kesemutan untuk sementara ia tak dapat menggerakan lengannya.

Melihat keadaan ini, kedua adiknya menyerang Li Hiang dengan penuh amarah.

Tapi Li Hiang sekarang berada di atas angin, serangan tangan kosong mereka cukup di hadapi dengan kebutan lingkaran seruling emas di tangannya saja.

Para penyerangnya serta merta kelagapan karena serangan mereka harus selalu ditarik kembali.

Kini tubuh Li Hiang diliputi cahaya keemasan yang berputar mengelilingi tubuhnya, bahkan seperti 62 Baju Besi Emas203 sebuah ilmu Baju Besi Emas yang kini melindungi tubuhnya.

Cahaya emas ini begitu indah terlihat di dalam malam yang gelap.

"Adik berdua, ayo kita serang dia dengan menggabungkan kekuatan!"

Teriak si kakak pertama.

Mendengar teriakan ini, mereka lalu membentuk barisan.

Si Kakak duduk berjongkok di tanah, tangannya diangkat ke depan.

Terlihat tangannya berkilat memenacarkan cahaya keemasan.

Kedua adiknya berdiri di hadapannya menyandarkan pinggang mereka ke telapak tangan sang kakak.

Tubuh mereka pun terlihat berpendar mengeluarkan cahaya keemasan.

Li Hiang paham, ini adalah bentuk penyatuan cin-keng63 yang akan menimbulkan serangan yang amat dahsyat.

Ia memutar seruling di tangannya semakin kencang.

Suara menderu yang dihasilkan seruling itu semakin mengencang.

Lama-lama terdengar seperti semakin melengking.

Dengan tenang ia menunggu sampai ketiga orang itu melancarkan serangan.

63 Tenaga Sakti204 Lalu saat yang ditunggu pun tiba.

Kedua orang itu terlontar bagaikan anak panah yang maha dahsyat.

Kecepatannya sukar dibayangkan dan diikuti.

Yang satu menggunakan tendangan yang menghujam keras ke ulu hati, sedangkan yang satu menyusur ke bawah mengincar kuda-kuda.

Serangan ini jika dijelaskan terdengar biasa- biasa saja.

Tetapi kecepatannya sangat sukar untuk diikuti.

Li Hiang terhenyak dengan begitu cepatnya mereka bergerak.

Selama hidupnya, ia telah menghadapi puluhan bahkan ratusan pertarungan, tapi belum ada satupun yang menyemai cepatnya gerakan ini.

Ia pun bergerak.

Tidak ada jalan untuk menghindari gerakan ini.

Jika ia mundur ke belakang, nona-nona yang sedang bersemedi ini semuanya akan terancam bahaya tertabrak dirinya dan penyerangnya.

Jika menghindar ke samping, para penyerang ini mungkin akan meneruskan serangan mereka kepada nona-nona ini.

Li Hiang bergerak ke samping.

Begitu penyerang nya lewat sejengkal, dan terus meneruskan serangan mereka ke depan menuju nona-nona itu, ia melempar kan serulingnya ke arah si kakak pertama yang sedang205 berjongkok itu.

Ia tahu, pusat tenaga serangan ini justru berada kepada lontaran tenaga sang kakak.

Setelah ia melontarkan mereka, tenaganya yang tadi telah penuh terisi, akan habis terkuras untuk melempar mereka.

Seperti perumpamaan balon yang terisi penuh lalu meledak.

Seruling itu bergerak sangat cepat menghujam kepala si kakak yang terkaget-kaget menerima serangan tiba-tiba itu.

Ia tak pernah menyadari hidupnya berakhir dengan kepala pecah terhantam seruling emas.

Jarak nona-nona itu masih cukup jauh.

Li Hiang masih sempat memutar tubuh menggunakan jurus cakar untuk mencengkeram kedua penyerang itu dari belakang.

Cengkeraman itu memang tak mampu menembus kulit mereka yang kebal dan tebal, tapi cengkeraman itu mampu memperlambat gerakan mereka.

Begitu mereka mendengar teriakan menyedih kan dari sang kakak yang kepalanya pecah itu, serta merta mereka menghentikan serangan dan menoleh ke belakang.

Saat mereka menoleh itu, semua sudah terlambat.

Seruling yang tadi dilemparkan Li Hiang, telah kembali ke tangan pemiliknya.

Dengan206 kecepatan tinggi, ia menghajar tenggorokan kedua orang ini dengan sekali gerakan.

Rasa kaget, dan cemas terhadap keadaan kakak mereka, ditambah dengan hilangnya tenaga serangan mereka karena tadi berhenti tiba-tiba, memberikan waktu yang cukup dan keuntungan yang cukup besar bagi serangan Li Hiang.

Sebelum mereka sadar apa yang terjadi, mereka telah roboh dengan tenggorokan pecah! Terdengar suara.

"grrrkkkk...grrrkkkkk", dari mulut mereka saat sekarat. Lalu kemudian hening karena kedua orang ini telah menyusul sang kakak bertemu Giam Lo Ong64. Kelima nona itu melihat pertarungan ini dengan mata terbelalak. Walaupun mereka bersemedi menghimpun kekuatan untuk menutup jalan pendengaran, mata mereka tetap terbaka menyaksi kan dahsyatnya pertarungan ini. Li Hiang memberi isyarat bagi mereka untuk membuka kembali jalan pendengaran mereka.

"Hiang-ko65 kau hebat!"

Puji mereka serentak. 64 Dewa Kematian 65 Kakak Hiang207 Tentu saja setelah semua perhatian, kebaikan, dan pesona Li Hiang selama ini, mereka akan menyebutnya dengan panggilan yang mesra. Li Hiang tersenyum, katanya.

"Hampir saja. Musuh yang berbahaya."

"Siapa mereka?"

Tanya Cin-Cin.

"Jika tebakanku tidak salah, mereka adalah Tiga Iblis Gunung yang cukup terkenal di kalangan Liok Lim66."

"Apakah mereka kesini untuk mengejar pedang ungu, ataukah untuk keperluan lain?"

Tanya Sim Lan.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sepertinya mengejar hal lain. Itulah sebabnya mereka tadi berkata . sambil menyelam minum air"

Jelas Li Hiang. Sudah jelas apa yang dicari mereka itu adalah sebuah hal lain yang berada di Pek Swat Ceng67.

"Ilmumu hebat sekali, Hiang-ko."

Puji si kurus manis.

"Iya benar, hebat sekali serulingmu."

Puji yang lain.

"Apa nama ilmu itu?"

Tanya yang lain pula. 66 Golongan hitam 67 Perkambungan Salju Putih208

"Sudahlah, itu tidak penting."

Ujarnya sambil tersenyum hangat.

"Keadaan kalian lah yang paling kupikirikan. Apakah kalian semua baik-baik saja?? "Tentu saja, ada Hiang-ko di sini, tentu saja kami baik-baik saja"

Jawab mereka hampir berbarengan.

Li Hiang tersenyum.

Senyum memiliki banyak arti.209 BAB 9.

KEBODOHAN YANG INDAH Li Hiang memeriksa ketiga mayat ini.

Kelima nona berlagak jijik dan takut melihat kepala mayat-mayat yang pecah.

Padahal sebagai orang dari kalangan Kang Ouw, pemandangan seperti ini terhitung biasa.

Dari ketiga mayat ini, Li Hiang menemukan beberapa kantung besar yang isinya adalah emas permata dan barang-barang berharga, selembar peta, dan bekal makanan.

Alangkah kagetnya ia ketika mengetahui bahwa daging makanan itu berasal dari daging manusia.

Tampangnya biasa-biasa saja, padahal hatinya terguncang juga.

Dengan tenang ia memisahkan harta berharga, dan selembar peta itu, sedangkan yang lain ia tinggalkan.

"Kita harus menguburkan ketiga mayat ini."

Kata Li Hiang.

"Aih, kenapa kita harus repot-repot mengurus ketiga penjahat ini?"

Tanya Cin-Cin.210

"Saat menjadi mayat, mereka sudah bukan penjahat lagi. Lagian, biaya pemakamannya kan sudah mereka bayar berlebihan."

Kata Li Hiang sambil mengangsurkan kantong-kantong emas permata itu.

"Hiang-ko mau mengambil harta itu? Bukankah itu harta hasil rampokan?"

Tanya Sim Lan.

"Jika kutinggalkan disini, atau ku kuburkan bersama mereka, bukankah harta ini malah akan terbuang percuma? Akan lebih baik jika harta ini diambil, dan digunakan untuk hal yang berguna. Menolong orang lain, atau apa saja yang bermanfaat."

Jelas Li Hiang.

"Wah, pemikiran Hiang-ko jauh ke depan, Aku sepakat."

Tukas si pipi montok.

Dengan adil Li Hiang membagi isi kantong itu.

Semua orang mendapatkan porsi yang sama.

Perempuan di mana saja memang sama.

Selalu suka dengan harta dan kemewahan.

Jika ada perempuan yang tidak, maka kemungkinan cuma dua, ia bukan perempuan, atau ia sudah gila.

Setelah pembagian harta ini, mereka lalu menguburkan ketiga mayat itu.

Dibutuhkan waktu yang tidak terlalu lama untuk menggali lubang yang211 cukup besar untuk ketiga mayat itu.

Setelah menguburkan, mereka lalu beristirahat.

Pagi kemudian datang menjelang.

Li Hiang bangun paling awal daripada yang lain.

Ia lalu mempersiapkan makanan dan minuman bagi nona- nona ini.

Begitu mencium wangi masakan yang dibuat oleh Si Jubah Merah, kelima nona ini berangsur- angsur bangun.

"Kalian santai saja, biar aku persiapkan dulu hidangan ini"

Kata Li Hiang hangat.

Laki-laki di manapun paling suka jika dilayani perempuan dalam hal apa saja.

Mereka tidak paham bahwa kesukaan itu kalah besar dengan kesukaan perempuan jika dilayani laki-laki.

Li Hiang paham ini.

Karena ini adalah salah satu cara memikat hati mereka.

"Aku sudah menyiapkan air panas jika kalian ingin membersihkan diri. Campurkan saja air panas ini dengan air danau supaya kalian tidak kedinginan. Rendamlah kain besar ini ke dalam air danau, lalu rendam lagi ke baskom air panas lalu usapkan ke tubuh kalian."

Melihat perhatian sebesar ini, mau tidak mau hati mereka semakin tertarik kepadanya.

Ia melayani212 mereka bukan sambil menjilat-jilat, melainkan dengan kesabaran dan ketegasan.

Jika kau tahu caranya, kau dapat menaklukan perempuan mana saja.

Li Hiang tahu caranya.

Para nona ini menuruti kata-katanya lalu pergi bersama-sama ke danau untuk membersihkan diri.

Begitu kembali mereka semua nampak cantik dan wangi sekali.

Melihat ini Li Hiang hanya tersenyum dan memuji.

"Untung kalian tidak mempunyai sayap. Jika punya. tentu aku yakin ada bidadari kesasar datang kemari"

Pujiannya disampaikan dengan ringan dan hangat.

Tanpa ada unsur menjilat dan merendahkan diri sendiri.

Laki-laki memang harus selalu memuji perempuan.

Tetapi dengan cara yang tepat.

Jika tidak, perempuan akan mudah bosan kepadamu.

Mereka lalu sama-sama menikmati hidangan yang lezat yang telah dipersiapkan Li Hiang.

Hari belum lagi terang benar.

Embun pagi di rerumputan, serta udara dingin yang menghembus kulit membuat hidangan ini bertambah lezat.

"Kau pintar sekali memasak. Aku saja belum tentu sanggup membuat masakan sehebat ini, Hiang-213 ko."

Puji si pipi montok yang ternyata bernama Hwi Giok.

"Dulu aku pernah bekerja sebagai tukang masak."

Kata Li Hiang sungguh-sungguh.

"Benarkah?"

Tanya mereka serempak.

"Di rumah makan?"

Tanya mereka serempak lagi.

Li Hiang hanya tersenyum.

Banyak kenangan di tempat itu.

Begitu ia teringat Hiang-Hiang, hatinya serasa mencelos.

Hati manusia memang selalu seperti ini.

Jika teringat orang yang disayanginya, selalu terasa menyaktikan dan membahagiakan di saat yang bersamaan.

Tak ada seorang pun yang mengetahui perubahan hatinya.

Ia memang selalu pintar menyembunyikan perasaan.

Orang jika terlalu lama dihina, selalu akan pintar menyembunyikan isi hatinya.

Mereka bercakap-cakap dengan mesra hingga terang tanah datang.

Li Hiang kemudian beranjak sambil bertanya.

"Kapan kita melanjutkan perjalanan?"

Sim Lan, sebagai ketua rombongan, menjawab.

"Jika perbekalan sudah dipersiapkan, kita harus segera214 berangkat. Kita akan sampai pada danau ke delapan tengah malam nanti. Sampai di sana, kita boleh istirahat."

Li Hiang mengangguk-anggukan kepala. Lalu katanya.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku ingin mencari buah-buahan dan berburu sebentar. Kiong Ji, maukah kau menemani aku?"

Kiong Ji adalah gadis yang paling pendiam di antara rombongan ini, mendengar ia diajak oleh Li Hiang membuatnya terbata-bata.

Belum sempat ia menjawab, tangannya sudah ditarik dengan lembut oleh Li Hiang.

Perempuan siapapun jika tangannya ditarik oleh Li Hiang pasti akan menurut.

Dengan ringan Li Hiang bergerak melayang pergi dari situ.

Meninggalkan keempat nona lain yang hanya terdiam dibakar api cemburu.

Sesudah agak jauh dan yakin bahwa tak ada seorang pun yang mengekornya, Li Hiang lalu berhenti.

"Eh, kau yakin di daerah sini ada buah-buahan?"

Tanya Kiong Ji.

Li Hiang melihat sekeliling dan mengangguk pelan.

Genggaman tangannya tidak pernah ia215 lepaskan.

Nona itu pun nampaknya tidak ingin melepaskan tangan itu.

Pelajaran ketujuh.

Jika kau ingin melakukan sesuatu terhadap perempuan, pertama-tama kau harus memegang tangannya dahulu untuk membaca isi hatinya.

Orang seperti Li Hiang tentu saja sudah memahami ini.

Li Hiang menatapnya dengan lembut.

Tatapan mata teduh yang hangat.

Tangan kanannya menggandeng tangan kiri nona itu, tangan kirinya telah membelai rambutnya yang terurai indah.

Si nona diam saja tertunduk malu.

Lalu Li Hiang mengecup bibirnya.

Bibir yang hangat dan merekah.

Nona ini awalnya menarik mundur kepalanya, tetapi dengan lembut tangan kiri Li Hiang telah mendorong kepala itu maju kembali.

Keragu-raguan si nona berubah menjadi kecupan-kecupan yang hangat membara.

Dalam hati Li Hiang tertawa.

Perempuan yang terlihat pendiam, teramat sering menyimpan cinta dan nafsu yang membara.

Tentu saja ia sudah memahami ini, itulah kenapa ia memilih nona ini.216 Mengapa laki-laki seperti Li Hiang tidak pernah gagal dalam menaklukkan mangsa? Alasan paling utama adalah bahwa mereka selalu memperhitung kan langkah, ucapan, dan perbuatan mangsanya.

Setiap mangsa mempunyai cara sendiri-sendiri untuk ditaklukkan.

Di tengah hutan yang sepi, dua tubuh terlena dalam cinta yang membara.

Cinta yang membara akan selalu seperti ini.

Membakar dan menghanguskan.

Namun apinya selalu terlihat indah dan menghangat kan.

Nona itu tergeletak tanpa daya.

Ini pertama kali ia mengalaminya.

Pertama kali ia merasakan kehangatan laki-laki dalam bentuk yang sebenar-benarnya.

Dan Li Hiang adalah lelaki sejati.

Belum ada seorang pun perempuan yang meninggalkan pelukannya dengan kecewa.

Air mata mengalir di pipi Kiong Ji, lalu menghilang bersama kehormatan terindahnya.

Hampir semua wanita akan meneteskan air mata saat kehormatannya ia serahkan kepada lelaki yang bukan suaminya.

Namun air mata itu adalah air mata keindahan dan kesedihan yang bercampur menjadi satu.

Air mata itu berarti mereka telah rela menyerah217 kan seluruh hidupnya kepada laki-laki di hadapannya.

Air mata itu juga berarti mereka telah siap menghadapi apapun di dunia ini.

Dibutuhkan keberanian yang besar untuk menyerahkannya.

Tetapi keberanian ini lahir dari sebuah kebodohan.

Kebodohan yang manis! Perempuan mana saja yang pernah mengalaminya, pasti memahami benar perasaan ini.

Li Hiang memeluknya erat.

Membelai rambutnya.

Memberitahukan kepadanya bahwa apapun yang terjadi, ia akan mencintai nona ini dengan segenap hatinya.

Entah sudah berapa ribu kali ia membisikkan hal ini kepada orang yang berbeda.

Entah sudah berapa ribu kali pula perempuan yang bahagia mendengarnya.

Saat ini, apapun yang terjadi, bahkan jika langit runtuh sekalipun, perempuan manapun akan percaya sepenuh hati terhadap laki- laki yang membisikkannya.

Saat yang lebih indah selain melakukan hal terindah, bagi perempuan, adalah saat di mana laki- laki memeluk mereka dengan kehangatan dan perhatian setelah melakukan hal terindah itu.

Dan Li Hiang memeluknya dengan penuh kehangatan, membisikkan kata-kata yang begitu218 indah.

Memujinya dengan penuh ketulusan.

Perempuan memang lebih mendengarkan bisikan ketimbang teriakan.

Karena bisikan akan langsung sampai ke hati mereka.

Setelah sekian lama, akhirnya mereka beranjak dari situ.

Li Hiang membantu si nona memakai baju.

Ikut merapikan rambut si nona, mengikat pita sanggulnya.

Membersihkan wajahnya yang penuh keringat, dan membersihkan bagian tubuhnya yang terkena debu dan dedaunan kering.

Perhatian seperti ini justru membuat si nona semakin terpesona dan bertambah rasa hatinya.

Dengan panas, diciumnya bibir Li Hiang.

Menerima ciuman itu, Li Hiang membiarkannya sebentar, lalu menarik kepalanya.

Membuat si nona penasaran dan mengejar bibirnya.

Tapi Li Hiang dengan sabar dan tersenyum, berkata "Kita harus segera pergi, mereka menunggu kita terlalu lama."

Lalu tangannya menggandeng nona itu dan pergi dari sana. Setelah kembali, mereka sudah membawa buah yang cukup banyak dan seekor babi hutan yang besar. Sikap mereka pun biasa-biasa saja. Li Hiang tetap tenang, dan si nona terlihat malu-malu.219

"Mengapa kalian lama sekali?"

Tanya si kurus yang bernama, Lam Siu Kwi dengan sebal. Terlihat sekali api cemburu di wajahnya. Li Hiang tidak memperdulikan pertanyaan nona ini, ia malah berbicara kepada Sim Lan.

"Babinya pintar berlari dan menghindar. Ia menggunakan pepohonan untuk membantu pelarian nya. Lihat sampai kaki Kiong Ji pun berdarah."

Jelas Li Hiang. Sadar kehadirannya tidak dianggap oleh Li Hiang, ia membanting kaki dan pergi dari situ.

"Kau tidak apa-apa?"

Tanya Cin-Cin kepada Kiong Ji. Pertanyaan basa-basi karena ia sebenarnya tidak perduli.

"Tidak apa-apa"

Kata Kiong Ji sambil menunjuk kan lukanya.

"Tapi darahnya sempat mengotori beberapa bagian bajuku."

Tentu saja itu bukan darah karena luka. Hanya Li Hiang dan Kiong Ji yang tahu itu darah apa.

"Ya sudah, cepat kita kemas perbekalan ini."

Tukas Sim Lan.220 Mereka sibuk membungkus buah-buahan ke dalam keranjang.

Sedangkan Li Hiang menyembelih babi hutan itu dan mengiris-iris dagingnya.

Lalu ia mengasapkan daging-daging itu dan membungkusnya dengan rapih.

Setelah semuanya beres, mereka lalu berangkat dengan kereta.

Kali ini justru Li Hiang yang duduk di muka sebagai kusir bersama Sim Lan.

Perjalanan dilakukan tanpa beristirahat untuk menghemat waktu.

Agar mereka bisa sampai pada tujuan tepat sebelum tengah malam.

Makan dilakukan sambil jalan.

Li Hiang tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mendekatkan diri kepada Sim Lan.

Dengan caranya sendiri ia telah berhasil menaklukkan Sim Lan pula.

Mereka menghabiskan perjalanan sambil bercerita dan bertatapan hangat.

Bahkan Sim Lan kini sudah merasa nyaman untuk meletakkan kepalanya bersandar di pundak Li Hiang.

Saat memasuki hutan lebat yang tertembus cahaya matahari, Li Hiang bahkan mencium keningnya.

Awalnya Sim Lan cemberut.

Tetapi tidak berkata apa- apa.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Li Hiang menggenggam tangannya dan berkata.

"Kau jangan marah, aku tidak ingin kurang ajar. Tetapi hatiku tak bisa menahan diriku untuk tidak mengagumi kecantikanmu. Dalam hidupku, aku belum221 pernah melihat seorang pun yang secantik kau."

Ucapan ini disampaikan dengan tenang dan sungguh- sungguh.

Mata indah Sim Lan tak dapat menyembunyikan sinarnya, walaupun bibirnya cemberut.

Tidak ada perempuan yang tidak suka dibilang cantik.

Tapi jika kau mengatakan bahwa ia cantik, ia akan memasang wajah cemberut untuk menutupi kesenangan hatinya.

Jika kau mengatakannya berkali- kali, ia akan bosan.

Kau hanya perlu menemukan takaran yang pas untuk memuji dan menggodanya.

Dan itulah yang Li Hiang lakukan.

Sepanjang perjalanan ia menggoda nona itu.

Bukan godaan kurang ajar, melainkan ejekan-ejekan lucu yang membuat nona itu tertawa.

Perempuan sangat suka dengan laki-laki yang dapat membuatnya tertawa.

Hari menjelang sore, matahari tenggelam di ufuk barat.

Langit kemerah-merahan dan dunia perlahan-lahan menjadi gelap.

Mereka memasang lentera untuk menerangi perjalanan.

Sebuah perjalanan panjang yang penuh cerita tentang manusia.

Li Hiang memang tidak pernah kehabisan cerita dan candaan.

Sim Lan pun sangat menikmati222 kedekatannya saat itu.

Lalu dengan tiba-tiba Li Hiang mengeluarkan selembar kertas dari balik bajunya.

"Apakah ini peta menuju Pek Swat Ceng?"

Tanyanya. Sim Lan melihat sekilas dan mengangguk. Tanyanya.

"Apakah peta ini yang tadi kau ambil dari mayat-mayat itu, Hiang-ko?"

Gantian Li Hiang yang mengangguk, lalu berkata.

"Kalian kan tidak membutuhkan peta. Pasti ada yang membuatkan peta ini bagi orang luar. Entah bagaimana ketiga penjahat itu mendapatkannya."

"Selama ini tidak ada orang luar yang berkunjung ke perkampungan kami. Karena perkampungan itu letaknya sangat rahasia. Jika menerima tamu pun, subo68 hanya menerima mereka di Pavilliun Musim Dingin."

Jelas Sim Lan.

"Pavilliun Musim Dingin?"

Tanya Li Hiang.

"Itu sebuah bangunan kecil yang kami dirikan jauh dari perkampungan. Gunanya untuk menerima dan menjamu tamu."

Jawab Sim Lan.

"Tamu kalian dari mana saja?"

Kembali Li Hiang bertanya. 68 Ibu Guru223

"Biasanya sahabat-sahabat subo. Atau utusan dari perguruan lain."

Jawab si Nona.

"Jadi selama ini, tak ada satu pun orang luar yang mengetahui markas kalian?"

"Benar. Sebelum penyerangan-penyerangan beberapa waktu yang lalu, tak ada seorang pun pihak luar yang mengetahuinya."

"Dengan adanya peta ini, membuktikan bahwa ada pihak jahat yang sengaja membongkar rahasia letak perkampungan kalian. Peta ini entah bagaimana bisa tersebar, lalu menimbulkan gejolak besar di kalangan Kang Ouw69."

Sim Lan melamun sedih. Mengingat nasib perkampungannya, tak terasa air matanya menetes. Li Hiang sambil memegang pipi si nona menghapusnya air mata itu dengan lembut. Katanya.

"Aku dengan segenap pikiran dan tenagaku akan membantu kalian. Tenang saja."

Bisikan yang lembut untuk telah mampu menenangkan hatinya.

Bahkan ia tak tahu sejak kapan bibir Li Hiang telah bersatu dengan bibirnya.

Semua terjadi dengan tiba-tiba.

Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam perasaan yang menggelora.

Ciuman itu halus lembut.

Tidak terburu-buru, tidak memaksa.

69 Dunia persilatan224 Tetapi justru menariknya ke dalam pusaran perasaan yang begitu dalam.

Sim Lan tak pernah bisa menyangka bahwa sekuat apapun ia menahan dirinya, ia tidak mampu menahan bibirnya untuk mengecup dengan penuh hasrat seperti ini.

Ciuman sangatlah berbahaya.

Ia adalah jendela menuju dunia yang tak terduga.

Kecupan kecil ini bagaikan hujan rintik-rintik.

Jatuh ke bumi satu persatu dan perlahan-lahan.

Lalu tanpa diduga-duga berubah menjadi badai yang menyapu segalanya.

Hasrat adalah tempat dimana kesenangan dan penyesalan menjadi satu.

Ketika semua sudah terjadi, seseorang hanya bisa memilih, bahagia atau menyesal.

Sim Lan tidak menyesal.

Tidak ada seorang perempuan pun yang menyesal dikecup oleh Li Hiang.

Bahkan jika Li Hiang mencacah tubuhnya menjadi potongan daging kecil- kecil pun, para perempuan ini tak akan menyesal.

Dalam satu kecupan saja, seorang wanita tahu apakah ia harus menyerahkan jiwa raganya kepada lelaki itu atau tidak.

Bagi Sim Lan, jangankan jiwa raganya, jika harus memberikan jiwa raga orang lain pun ia bersedia mencarikannya.225 Kereta kuda berjalan di dalam kegelapan malam.

Tangan kanan Li Hiang mengendalikan kuda, sedangkan tangan kirinya memeluk Sim Lan dengan hangat.

Di malam yang gelap itu, entah tangan kiri itu telah menyentuh bagian mana saja dari tubuh Sim Lan.

Gadis seumur dia, yang baru saja mengerti akan cinta.

Apa yang tidak berani mereka korbankan? Cinta adalah kebodohan yang indah.

Siapapun yang mengatakannya tentu sudah pernah mengalaminya.

Li Hiang tahu bagaimana menahan diri.

Ia tahu bagaimana membuat perempuan penasaran.

Jika kau tidak memberikan sesuatu kepada perempuan, ia akan berusaha mendapatkannya apapun yang terjadi.

Justru ketika kau mengumbar pemberianmu, ia akan semakin tidak menghargainya.

Mungkin karena inikah, perempuan tidak pernah menghargai lelaki yang mencintai mereka? Justru laki-laki yang menyakiti dan mengacuhkan mereka lah yang mereka rindukan.

Oleh karena itu, lelaki yang bijak tahu, ia lebih baik menyimpan perasaannya dalam-dalam.

Ia lebih baik menyembunyikannya.

Daripada kemudian perasaan itu tersia-siakan dengan percuma.226 Malam semakin larut, perjalanan semakin panjang, cinta pun semakin membara.

Mereka pun sampai kepada danau tujuan.

Di daerah pegunungan Himalaya memang terbentang banyak danau mulai dari kaki gunung, sampai pada daerah pegunungannya.

Danau tempat mereka berhenti ini adalah sebuah danau yang tidak terlalu besar.

Mereka lalu turun dan membongkar muatan.

Sim Lan dan Li Hiang bersikap biasa saja seolah-olah tidak terjadi suatu apapun saat perjalanan tadi.

Tetapi siapapun yang matanya jeli pasti akan dapat memperhatikan betapa mata Sim Lan semakin berbinar-binar dan pipinya memerah jika berdekatan atau berbicara kepada Li Hiang.

Saat Li Hiang menurunkan beberapa barang, baru disadarinya di depan sana terdapat sebuah bangunan.

Karena gelap ia tidak bisa melihat dengan jelas bangunan apa itu.

Saat dilihatnya para nona ini menuju ke sana segera ia menduga, tentu bangunan itu adalah Pavilliun Musim Dingin.

Salju mulai turun di kegelapan malam.

Bangunan itu memang tanpa penerangan.

Baru saat mereka semua masuk, lentera-lentera lalu dinyalakan.

Li Hiang kagum dengan betapa indahnya bangunan227 itu.

Semua perabotan sangat bersih, dan tertata rapih.

Semua keperluan untuk melayani tamu ada di sana.

Mulai dari peralatan makan, sampai kamar-kamar.

Segalanya tertata rapi, wangi, dan menyenangkan.

Memang jika perempuan yang menata rumah, segala sesuatu akan tampak jauh lebih indah.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perapian sudah menyala pula.

Pavilliun ini memang sungguh menyenangkan.

Li Hiang bahkan sudah dipilihkan kamar oleh nona-nona ini.

Sebuah kamar yang paling besar yang tepat berada di tengah- tengah.

Ia lalu menyiapkan air panas untuk membersihkan diri.

Di jaman itu, orang menggunakan sejenis baskom yang sangat besar yang terbuat dari kayu atau porselen untuk berendam.

Kadang dibuat secara permanen dalam suatu ruangan khusus, tetapi ada juga yang bisa dipindahkan seperti baskom biasa.

Namun ukurannya besar, dua atau tiga orang manusia bisa berendam di bak ini sekaligus.

Di bawah bak seperti ini biasanya ada sejenis tungku untuk menghangatkan air, jadi orang akan berendam saat api di tungku itu itu masih menyala.

Begini pula yang Li Hiang lakukan.

Ia sangat menikmati saat berendam sendirian.

Rendaman bunga-bungaan228 khusus, membawa aroma yang menenangkan perasaannya.

Para gadis-gadis itu pun mungkin sedang membersihkan diri pula.

Perjalanan tadi walaupun hanya dilakukan sambil duduk di kereta, ternyata menguras tenaga.

Berendam di air hangat saat cuaca dingin seperti ini memang akan mengembalikan tenaga dan membuat tubuh lebih segar.

Li Hiang bersandar sambil memejamkan mata.

Entah berapa lama ia memejamkan mata, air rendamannya terasa semakin menghangat, ia pun terlelap.

Sebuah suara lirih terdengar dari belakangnya.

Suara sepelan itu saja sudah mampu membangunkan nya.

Saat ia menoleh, terlihat si nona kurus, Lam Siu Kwi, sudah berada di belakangnya.

Nona ini melepas baju tipisnya, dan membiarkan gaun indah jatuh di lantai.

Dengan perlahan-lahan, tubuh yang tampa sehelai benang pun itu pun turut masuk ke dalam bak mandi Li Hiang.

Tubuhnya bukan kurus, melainkan amat langsing.

Bentuk tubuh yang digemari perempuan, namun kurang digemari laki-laki pada umumnya.229 Saat ia masuk bak, harum keringat perempuan yang khas turut bercampur pula dengan aroma bunga- bungaan di air hangat ini.

Membangkitkan perasaan dan gairah dalam diri Li Hiang.

Tetapi walaupun jantungnya berdetak keras, wajahnya masih tampak tenang, bahkan tersenyum pun tidak.

"Apa yang kau lakukan?"

Tanya Li Hiang.

"Aku ingin mandi bersamamu"

Jawab Lam Siu Kwi sambil tersenyum. Pipinya berubah kemerahan- merahan, matanya membesar.


Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Pendekar Rajawali Sakti 171 Sayembara

Cari Blog Ini