Ceritasilat Novel Online

Rahasia Jubah Merah 3

Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle Bagian 3



"Kau tidak bisa mandi sendiri? Memangnya kau bayi berumur tiga tahun?"

Tanya Li Hiang ketus. Dengan marah, nona itu membanting tangannya di air.

"Memangnya apa salah ku kepadamu sehingga kau memperlakukanku begitu buruk? Apakah wajahku jelek buruk rupa, sehingga menatapku saja kau begitu muak?"

Li Hiang tidak menjawab, tidak juga tersenyum seperti biasa. Ia membiarkan nona itu menumpahkan kemarahannya. Matanya memerah, lalu beranjak pergi dari situ sambil menangis. Saat beberapa langkah dari bak, terdengar suara Li Hiang.

"Kembali."230 Nona itu menghentikan langkahnya. Menoleh ke belakang dengan tidak percaya.

"Jika kau keluar dari pintu itu, aku tak akan mau kenal denganmu lagi"

Kata Li Hiang. Si nona masih terdiam.

"Kenapa kau begitu jahat kepadaku?"

Kali ini pertanyaannya begitu lirih. Li Hiang menjawab dengan perlahan pula.

"Karena aku takut, jika aku bersikap baik kepadamu, justru kaulah yang akan bersikap jahat kepadaku."

Nona itu tersenyum sambil menangis.

"Bagaimana aku tega berbuat jahat kepadamu?"

Ia tidak menerima jawaban Li Hiang.

Karena ujung jarinya telah ditarik dengan lembut.

Tubuhnya pun telah terhempas jatuh dengan lembut di air hangat beraroma bunga itu.

Tubuhnya benar-benar milik Li Hiang saat itu.

Siapapun tak dapat memiliki tubuh dan jiwanya, kecuali Li Hiang.

Bahkan dirinya sendiri tak memiliki lagi tubuh dan jiwa itu.

Entah berapa lama mereka menikmati keindahan ini.

Kenikmatan terindah dalam hidup sebagian besar manusia.

"Kau tidak boleh jahat lagi kepadaku"

Kata Lam Siu Kwi manja, sambil mencemberutkan bibirnya.

Saat231 melakukan ini wajahnya terlihat lebih menyenangkan.

Memang ada sebagian wanita yang jika ia semakin membuat wajahnya bertambah jelek, ia justru kelihatan tambah cantik, lucu, dan menggemaskan.

Li Hiang hanya mengangguk dan berbisik.

"Iya, sayang."

"Kau benar-benar sayang kepadaku? Tidak mempermainkan aku?"

Matanya berbinar, tetapi bibirnya tetap mencibir.

"Kenapa kau bertanya seperti ini? Apakah janjiku saja tidak cukup?"

Tanya Li Hiang lembut.

"Aku tak percaya kepada janjimu. Sudah berapa perempuan yang kau tipu, lalu kau bunuh."

Matany mengejap membayangkan kekejaman yang dilakukan Li Hiang.

"Saat kau mendengar berita itu, apakah kau pernah bertemu denganku?"

Tanya Li Hiang tegas.

"Tidak."

Jawab Lam Siu Kwi.

"Saat bertemu, apakah kelakuanku persis seperti yang diceritakan?"

"Tidak."232

"Lalu mengapa kau masih begitu tega menuduhku yang tidak-tidak?"

Si nona terdiam. Sambil becanda, Li Hiang mencipratkan air ke wajah si nona. Ia lalu tersenyum dan berkata.

"Jika ditanya, harap menjawab. Jangan membuatku panik dengan mengiramu berubah menjadi gagu."

Si nona tertawa. Tawa perempuan saat setelah cemberut adalah tawa yang paling menyenangkan untuk dilihat. Li Hiang memeluknya dan berkata.

"Kembalilah ke kamarmu, aku tak ingin mereka curiga dan menuduhmu macam-macam."

"Aku tak perduli"

Jawab Lam Siu Kwi.

"Aku tahu kau tak perduli. Tapi justru aku yang perduli. Aku tak ingin mereka memperlakukanmu dengan buruk."

Setelah berpikir sebentar, Lam Siu Kwi lalu bangkit dari bak itu dan memakai kembali bajunya.

Sebelum ia melangkah pergi, Li Hiang menciumnya dengan sangat mesra.

Lalu bayangan si nona menghilang dari kamar nya.

Li Hiang hanya tersenyum kecut.

Ia tahu lembaran peta yang tadi berada di jubah merahnya sudah hilang.233 BAB 10.

S A L J U Li Hiang memakai bajunya.

Lalu memeriksa barang- barangnya, ada sebuah benda yang sangat ia jaga jangan sampai hilang.

Dari balik sebuah kantong, tangannya menemukan barang yang dicarinya.

Sebuah boneka mungil yang lucu.

Boneka itu lalu dimasukkannya ke dalam saku bajunya paling dalam.

Benda mungil itu mempunyai arti besar bagi dirinya.

Seringkali manusia sedemikian lucu, sampai- sampai hal kecil menjadi sedemikian penting dan hal besar sepenuhnya terabaikan.

Setelah itu ia mengendap-endap keluar dari kamarnya, menuju kamar Lam Siu Kwi.

Ia ingin tahu apa yang dilakukan gadis itu terhadap peta yang hilang.

Dengan hati-hati ia mengendap-endap.

Pekerjaan mengendap-endap ini nampaknya sudah merupakan pekerjaan sehari-hari baginya.

Ia begitu luwes, lincah, dan cepat.

Lorong gang di mana kamar-234 kamar itu berdampingan yang sempit dan gelap, membantu menyamarkan pergerakannya.

Di dapatinya kamar itu sudah kosong.

Ia berpindah meneliti kamar-kamar yang lain.

Semua gadis itu telah beristirahat.

Dengan menggunakan pandangannya yang tajam, ia memeriksa permadani di lantai.

Jejak kaki nona itu yang basah masih meninggalkan jejak.

Ditelusurinya jejak itu.

Rupanya si nona tidak masuk ke kamarnya.

Jejak kaki itu menuju ke kamar lain.

Kamar siapa? Jejak itu mulai menghilang.

Hilangnya tepat di di pertigaan gang.

Jika lurus menuju ke kamar dua orang nona lain.

Jika belok kiri menuju pintu luar.

Dengan heran Li Hiang memeriksa ke luar.

Tidak ada jejak.

Lam Siu Kwi telah pergi meninggalkan tempat itu! Otaknya bergerak cepat memikirkan segala kemungkinan.

Apakah nona itu adalah pengkhianat nya? Ia mencuri peta itu untuk menghilangkan barang bukti.

Tetapi mengapa ia pergi? Mungkinkah ia pergi karena telah tahu bahwa kedoknya telah terbuka.

Ia pergi tanpa berganti baju karena jejak kakinya langsung menuju kesini.

Apakah sebelumnya ia sudah235 mempersiapkan perlengkapannya dan diletakkan disini? Sehingga saat keluar, tinggal mengambil saja? Entahlah.

Li Hiang kembali ke kamarnya.

Baginya hal yang terbaik sekarang ini adalah beristirahat sebanyak- banyaknya untuk memulihkan tenaganya.

Pagi-pagi sekali ia sudah terbangun saat mendengar ketukan perlahan di pintunya.

Ia telah tahu apa yang terjadi.

"Apakah Kwi-ci70 ada di sini?"

Tanya si pipi montok Hwi Giok. Li Hiang menggeleng.

"Kwi-ci (kakak Kwi Ci) menghilang"

Jelas Hwi Giok.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sejak kapan?"

Tanya Li Hiang pura-pura tidak tahu.

"Entahlah. Sejak kami masuk ke kamar masing- masing, aku tidak melihatnya lagi. Pagi ini saat Cin-Cin ingin membangunkannya, ia sudah tidak berada di kamar."

"Mungkin ia keluar sebentar?"

Tanya Li Hiang lagi. 70 Kakak Kwi236

"Tidak mungkin. Kami semua sudah sepakat untuk bangun pagi-pagi sekali dan mengadakan rapat."

Tukas si nona.

"Baiklah. Kubantu kalian mencarinya."

Kata Li Hiang dengan tanggap.

Dengan bergegas ia bergerak ke luar mencari jejak Lam Siu Kwi dengan dibantu nona-nona yang lain.

Setelah berjam-jam mencari jejaknya dan berteriak kesana-kemari, mereka akhirnya menyerah.

Si nona menghilang! "Apakah ia tidak pulang ke Pek Swat Ceng71 ?"

Tanya Li Hiang.

"Tidak mungkin. Perintah guru jelas. Kami berlima harus mengawalmu sampai ke sana."

Kata Sim Lan. Ada bayangan kepanikan di wajahnya yang indah.

"Mungkin saja ia menemukan suatu petunjuk dan harus buru-buru melaporkannya kepada suhu kalian?"

Kata Li Hiang mencoba menenangkan.

"Petunjuk apa?"

Mereka hampir serempak bertanya.

"Petunjuk tentang siapa pengkhianatnya."

Tukas Li Hiang. 71 Perkampungan Salju Putih237 Para nona saling memandang. Kemungkinan itu bisa saja terjadi.

"Atau bisa saja ia pengkhianatnya!"

Tegas Cin-Cin.

"Bisa jadi "

Jawab Li Hiang sambil mengangguk perlahan-lahan.

Mereka semua kembali ke Pavilliun Musim Dingin itu.

Masing-masing tenggelam dalam pikiran nya sendiri-sendiri.

Kelima orang ini memutuskan untuk menikmati makan pagi sambil membahas kejadian yang barusan saja terjadi.

"Sungguh tak kusangka Kwi-ci72 lah pengkhianat nya."

Tukas Cin-Cin.

"Sebelum kita mengetahui kejadian sebenarnya, kita tidak boleh mengambil keputusan terlalu cepat."

Sanggah Sim Lan.

"Tapi jika tidak terjadi apa-apa, mengapa ia menghilang secara tiba-tiba?"

Tegas Cin-Cin. Li Hiang sebenarnya ingin membuka permasalahan hilangnya peta, namun ia mengurung kan niatnya. Ia memilih untuk mencermati keadaan dulu sebelum mengatakan atau melakukan sesuatu. 72 Kakak Kwi238 Sim Lan menoleh kepadanya.

"Hiang-ko, apakah kau... tidak ada... hubungan dengan menghilangnya Kwi-moy73 ?"

Tanya Sim Lan. Li Hiang menggeleng, katanya.

"Jika aku ingin membunuh atau menghilangkan kalian, mengapa harus menunggu sekarang? Selama di perjalanan kan aku bisa membunuh kalian semua."

"Bisa saja kau memang menunggu agar kami membawamu ke Pek Swat Ceng74 baru kemudian membunuh kami."

Sanggah Sim Lan.

"Lalu mengapa aku harus membunuh Lam Siu Kwi sekarang?"

"Karena... ah... aku tidak tahu... bisa saja karena ia mengerti rahasiamu! Atau kau memaksanya melakukan sesuatu yang tidak ingin dilakukannya!"

"Lan-moy75, kau sedang panik, semua tuduhan mu tidak berdasar. Kau boleh menuduhku sombong, tapi aku jamin, aku tak perlu memaksa wanita untuk melakukan hal yang tidak ingin mereka lakukan."

Jelas Si Jubah Merah.

73 Adik Kwi 74 Perkampungan Salju Putih 75 Adik Lan239 Jauh di dalam hati masing-masing nona itu, mereka paham betul apa yang Li Hiang maksudkan.

Karena mereka tahu kata-katanya memang benar.

Sim Lan menutup wajahnya, air mata telah meleleh di pipinya.

Ia tidak tahu harus mengatakan apa.

Dengan lembut, Li Hiang menyentuh pundaknya dan menenangkannya.

Tak berapa lama, si nona cantik bermata indah ini akhirnya dapat menenangkan dirinya.

"Jika ada musuh yang datang, kita pasti akan tahu. Tapi nona Lam Siu Kwi menghilang dengan sendirinya, tanpa jejak pula. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu dan melihat perubahan."

Kata Li Hiang menenangkan.

Keempat nona itu memang tidak bisa melakukan apa-apa selain menanti.

Li Hiang sendiri memikirkan beberapa kemungkinan yang mungkin telah terjadi.

Lama berpikir, ia masih belum dapat memastikan kemungkinan mana yang benar-benar terjadi.

Hari menjelang sore dan si nona langsing yang cantik itu masih tetap menghilang.

Seharian mereka semua duduk di ruang tengah Pavilliun yang indah itu.

Selain untuk menenangkan pikiran, duduk bersama-240 sama seperti ini berguna sebagai pertahanan jika ada musuh tak terduga.

Karena masing-masing orang yang ada di sini semuanya mencurigakan! Suasana di sana hangat, walaupun di luar hujan salju turun rintik-rintik.

Perapian di ruang tengah itu diatur dengan baik sehingga panasnya menjalar ke seluruh ruangan.

Masing-masing termenung dengan pikirannya sendiri-sendiri.

Di tengah suasana sepi seperti ini, segala gerakan yang terjadi di luar akan cepat dapat diketahui dari dalam.

Letak Pavilliun yang sedikit lebih tinggi dari daerah sekitar, memberi pandangan yang luas dan keutungan tersendiri.

Selain sebagai rumah peristirahatan, Pavilliun ini sebenarnya adalah sebuah benteng yang bagus.

Dengan pendengarannya yang tajam, Li Hiang mendengar sesuatu di luar sana.

Hari telah menjelang gelap, dan salju telah menutupi tanah.

Gerak langkah kaki di salju.

Li Hiang bangkit berdiri.

Ke empat nona yang sedang duduk-dudukan itu pun ikut berdiri.

Rupanya mereka kemudian mendengar langkah- langkah ini.

Serentak mereka bergegas menuju jendela untuk mengintip ke luar.

"Guru!"241 Rombongan yang terdiri dari 3 orang itu ternyata adalah rombongan Pek Swat Ceng76 (Perkampungan Salju Putih). Li Hiang dapat merasakan perasaan cemas ke empat nona yang telah berlari keluar menyambut guru mereka. Ia sendiri mengikuti mereka dari belakang sambil berjaga-jaga. Segala kemungkinan bisa terjadi.

"Guru, murid memberi salam!"

Kata keempat nona itu serempak sambil berlutut.

"Bangkitlah."

Jawab sang guru.

Pandangan sang guru tertuju kepada laki-laki di belakang ke empat muridnya itu.

Setiap perempuan yang memandang Li Hiang pasti akan memiliki pandangan seperti ini.

Pandangan kagum sekaligus tak percaya bahwa ada orang setampan itu di kolong langit ini.

Li Hiang memberi salam duluan.

"Cayhe77 Li Hiang, memberi hormat kepada Cengcu78."

Katanya sambil menjura.

Sang guru yang melihat keadaan Li Hiang yang tidak terikat dan bergerak dengan santai dan tenang, 76 Perkampungan Salju Putih 77 Saya 78 Ketua perkampungan242 dapat memahami bahwa orang ini bukanlah tahanan seperti yang direncanakannya.

Ia lalu bertanya.

"Apakah cayhe sedang berhadapan dengan Si Jubah Merah yang tersohor itu?"

"Nama cayhe Li Hiang. Tapi orang-orang memang suka menjuluki cayhe dengan nama Si Jubah Merah. Sebuah nama kosong belaka, sungguh tidak pantas terucap oleh bibir Cengcu yang terhormat."

Jawab Li Hiang sambil menunduk sopan. Sang guru yang ternyata masih sangat cantik walau sudah tua itu hanya mengangguk sambil tersenyum sinis.

"Sudah mampu menaklukkan murid- muridku, tentu saja bukan nama kosong."

Tukasnya. Dalam hati Li Hiang ingin tertawa. Murid-murid pingkan dan kemayu seperti ini mana bisa dibanggakan? Tapi di luaran wajahnya tetap tenang dan penuh hormat. Katanya.

"Sesungguhnya justru cayhe yang merasa takluk oleh murid-murid Cengcu. Karena itulah cayhe tunduk dibawa kesini."

Sang guru tersenyum.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus. Setidaknya kau bukan orang yang suka menjilat."

Li Hiang memang pintar memilih kata-kata. Dengan mengatakan "merasa takluk", Li Hiang seperti mengatakan bahwa ia "tidak takluk", hanya "merasa"243 saja. Jika diadu sungguh-sungguh tentu saja ia sanggup mengalahkan nona-nona mungil ini.

"Eh, kemana Siu Kwi?"

Tanya sang guru.

"Guru sebaiknya masuk dan beristirahat dulu."

Kata Sim Lan, yang diikuti dengan anggukan kepala sang guru.

Setelah masuk dan melepas mantelnya, tampak lah tubuh semampai sang guru yang sintal dan menggairahkan.

Menurut taksiran Li Hiang, umurnya mungkin sekitar 50an.

Tetapi wajah dan tubuhnya seperti wanita berumur 30an.

Sang guru bersama kedua orang pengawalnya lalu memilih ruang tengah untuk duduk dan beristirahat.

Murid-muridnya lalu menyiapkan makanan dan minuman.

Li Hiang sendiri tidak tahu harus berbuat apa, ia hanya berdiri memandang pemandangan luar Pavilliun itu melalui jendela.

Sim Lan lalu melaporkan hasil tugas mereka, termasuk kejadian hilangnya Siu Kwi.

Diceritakan secara ringkas dan jelas.

Sang guru hanya manggut- manggut mendengar cerita itu.

Setelah selesai, ia lalu bertanya.

"Di mana pedang ungu itu?"244

"Ini guru."

Kali ini Hwi Giok, si pipi montok, maju dan menyodorkan sebuah pedang. Sang guru menerima pedang itu dengan mata berbinar. Di keluarkannya pedang itu dari sarungnya. Cahaya ungu merona keluar dari badan pedang yang berwarna perak menyala.

"Pedang ini palsu!"

Lalu pedang itu dibantingnya. Dengan marah ia menoleh ke Li Hiang.

"Pedang asli masih berada padamu, bukan?"

Li Hiang hanya mengangguk.

"Serahkan padaku!"

Perintah sang guru cantik ini. Si Jubah Merah tersenyum.

"Baik"

Katanya tenang.

Tapi ia tidak melakukan apa-apa, pandangannya malah kembali ia tujukan ke luar jendela.

Seolah sang guru dan murid-muridnya tidak pernah berada di hadapannya.

Setelah menunggu beberapa saat sikap Li Hiang tidak berubah, dengan sang guru membentaknya.

"Serahkan pedang itu sekarang!"

Li Hiang hanya menoleh dan tersenyum.

"Aku akan memberikannya kepadamu jika saatnya tiba."

Kata- kata itu tenang dan dalam. Seperti memerintah. Sang245 guru seolah-olah tersihir menjadi patuh, ia hanya menjawab.

"Baiklah."

Ketenangan, rasa percaya diri, sikap, dan ketegasan, adalah unsur utama yang paling menarik dari laki-laki.

Seluruh unsur inilah yang paling membuat perempuan tertarik dan merasa penasaran.

Li Hiang sudah lulus pelajaran ini.

Ia sangat ahli di bidang ini.

"Cengcu beristirahatlah. Aku telah berjanji, dan janjiku selalu ku tepati."

Ujar Li Hiang.

"Mulut lelaki mana pernah bisa dipercaya?"

Kali ini Cin-Cin yang menukas.

"Mulut laki-laki bernama Li Hiang pasti bisa dipercaya!"

Jawab Si Jubah Merah sungguh-sungguh.

Melihat ketegasan dan ketenangan ini, mau tidak mau mereka tunduk juga.

Dengan segala pesona, ketampanan, dan pembawaannya, Li Hiang telah berhasil menguasai kumpulan guru dan murid ini hanya dengan kata- katanya.

"Bukankah Cengcu sekalian sedang dalam pelarian dari kejaran musuh?"

Tanyanya. Sang guru hanya bisa sedikit terhenyak, lalu mengangguk dan mengiyakan.246

"Apakah Pek Swat Ceng sudah hancur?"

Tanyanya.

"Tidak"

Jawab sang guru tenang.

"Lalu mengapa Cengcu kemari?"

"Kehadiranku di sini justru untuk memancing para musuh datang ke mari."

Jawabnya tenang.

"Ahhh"

Li Hiang hanya bisa tersenyum dan tertawa.

"Rupanya cayhe harus mengakui kelihayan dan kepintaran Cengcu."

"Hmm"

Hanya itu yang keluar dari bibir sang guru.

"Cengcu ingin menggunakan cayhe untuk mengalahkan musuh-musuh itu. Betul tidak?"

Tanya Li Hiang.

"Benar sekali."

"Dan Cengcu yakin bahwa cayhe akan membantu menghadapi karena Cengcu memiliki sebuah benda yang cayhe cari-cari?"

Tanya Li Hiang.

"Benar lagi."

"Cengcu yakin pula bahwa cayhe tak akan membunuh cangcu sekalian guru dan murid, karena hanya Cengcu lah yang tahu di mana letak benda yang cayhe cari?"247 Sang guru hanya mengangguk, lalu menjawab "Kau memang seorang yang cerdas."

Li Hiang tertawa.

"Walaupun cayhe bukan orang paling sakti di dunia persilatan, rasanya cayhe pun bukan orang lemah. Tapi jika menghadapi keroyokan banyaknya tokoh-tokoh persilatan yang nanti akan datang kemari, rasa-rasanya jika Li Hiang membelah diri menjadi 10 orang pun belum tentu bisa mengalahkan mereka."

"Kau tak perlu mengalahkan mereka. Kau hanya perlu mengalihkan mereka."

Jawab sang guru tenang.

"Oh?"

Sang guru tersenyum manis. Li Hiang bertanya.

"Apakah Cengcu akan memberikan barang yang cayhe cari itu dengan sukarela, lalu membiarkan cayhe yang gantian diuber orang-orang dunia persilatan?"

"Ah tidak. Barang itu terlalu berharga jika diberikan secara cuma-Cuma."

Jawab sang guru penuh rahasia.

"Lalu?"248

"Mengapa aku harus membeberkan rencanaku?"

Jawab sang guru sambil tersenyum.

"Haha. Baiklah. Aku tak akan bisa mengancam mu. Lebih baik kau ku ajak minum arak saja."

Setelah berkata begitu, dengan santai Li Hiang maju dan duduk di hadapan sang guru. Para murid hendak mencegah, namun sang guru memberi tanda untuk membiarkan saja.

"Kalian para murid beristirahatlah. Besok adalah hari penentuan. Kumpulkan tenaga sebanyak- banyaknya."

"Subo79 biarlah teecu80 berjaga di sini. Siapa tahu orang ini punya rencana jahat."

Kata salah seorang murid yang tadi datang bersamanya.

"Tidak perlu. Patuhi saja perintahku."

"Baiklah, teecu mematuhi."

Keenam murid yang ada di sana kemudian masing-masing masuk kamar.

Masih ada beberapa kamar kosong yang bisa dipakai oleh kedua murid yang baru datang.

Mereka sendiri merapikan dulu 79 Guru perempuan, Ibu Guru 80 Murid249 kamar untuk guru mereka sebelum menggunakan kamar sendiri.

Kini tinggal Li Hiang berduaan dengan sang guru.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malam sudah datang.

Tatapan mata mereka beradu.

Harus diakui, perempuan yang sudah hampir setengah abad ini masih sangat cantik dan menggiurkan.

Sebaliknya, ia sendiri belum pernah melihat lelaki setampan Li Hiang.

Mereka duduk berhadap-hadapan.

Bersila di lantai, hanya dipisahkan sebuah meja kecil.

Seguci arak berada di sana.

Li Hiang menuangkkannya ke dalam cawan.

Gerakannya tegas, tanpa ragu-ragu.

Dengan lembut dan sambil tersenyum, ia lalu menyodorkan cawan itu kepada wanita di hadapan nya.

"Silahkan Cengcu."

"Kau pintar sekali melayani wanita."

Kata sang Cengcu.

"Wanita memang sukar dilayani keinginannya. Cengcu memuji cayhe terlalu tinggi."

Katanya sambil menuangkan sendiri arak ke dalam cawannya.

"Mari"

"Mari !"250 Mereka mengangkat cawan tinggi-tinggi lalu menenggaknya.

"Mohon maaf, cayhe81 belum mengetahui nama Cengcu."

Kata Li Hiang.

Sebenarnya, seorang tamu menanyakan nama tuan rumah bukanlah hal yang sopan.

Tapi ia tahu caranya.

Ia mengerti bagaimana cara bersikap tidak sopan dengan amat sopan.

Begitu pula sebaliknya.

Sang cengcu tersenyum, sambil memandang wajah Li Hiang dalam-dalam, ia berkata.

"Namaku Song Ling Ji."

"Bagus sekali nama cengcu."

Pujian dari mulut Li Hiang selalu terdengar merdu.

"Selain pintar melayani perempuan, kau juga pintar memuji perempuan."

Matanya tetap menatap wajah Li Hiang.

"Ada orang yang bilang, cayhe ini memang tercipta untuk menyenangkan hati perempuan. Entah perkataan ini betul atau tidak."

Katanya Li Hiang.

"Orang yang berkata begitu, pasti telah kau senangkan hatinya."

Tukas Song Ling Ji.

"Orang yang 81 aku251 kau senangkan hatinya tentu sudah tak terhitung lagi jumlahnya."

"Orang yang cayhe lukai hatinya, rasa-rasanya jauh lebih banyak."

Saat berkata begitu mata Li Hiang seperti menerawang di kejauhan.

"Laki-laki seperti engkau mungkin memang ditakdirkan untuk menyakiti hati perempuan."

Kata Song Ling Ji.

"Ada yang bilang cayhe tercipta untuk menyenangkan, ada pula yang bilang cayhe tercipta untuk menyakiti. Entah sebenarnya cayhe masuk golongan mana?"

Kesedihan dan kesenangan adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan.

Seseorang hanya bisa disakiti oleh orang yang menyenangkan hatinya.

Jika ia sudah tidak senang, ia pasti sudah tidak perduli apapun yang orang itu lakukan.

Manusia memang hanya bisa menyakiti hati orang yang mencintainya.

"Ku lihat kau pun menyimpan penderitaan yang cukup dalam."

Ucapan Li Hiang ini menusuk tepat di jantung hati Song Ling Ji. Ia sedikit terhenyak, namun dalam sekejap ia telah mampu menguasai dirinya.252

"Hanya orang-orang yang pernah terluka yang mampu menyelami penderitaan orang lain. Betul tidak?"

Tanya Song Ling Ji. Li Hiang tidak menjawab. Ia memang tidak perlu menjawab. Ia bangkit berdiri dan menarik tangan Song Ling Ji. Semua perempuan di muka bumi ini pasti menurut jika tangannya ditarik pergi oleh Li Hiang.

"Kau hendak membawaku kemana?"

"Ikut saja."

Jawab Li Hiang pendek.

Perempuan memang suka dengan hal-hal yang rahasia.

Semakin rahasia, hati mereka semakin penasaran.

Di luar salju telah turun dengan deras.

Li Hiang menarik wanita itu pergi keluar.

Dengan lembut ia menuntun wanita itu.

Lalu mereka berhenti.

"Kau lihat salju-salju itu?"

Tanya Li Hiang. Song Ling Ji mengangguk.

"Salju-salju itu seperti hatimu. Dingin, rapuh, namun putih bersih. Terlihat sangat indah, namun di saat yang sama terlihat kesepian."

Entah bagaimana, Song Ling Ji merasakan matanya berair. Ia hanya bisa menghela nafas.253

"Tapi musim dingin yang paling panjang dan penuh penderitaan pun pada akhirnya akan berganti musim semi. Salju akan mencair, dan bunga-bunga akan tumbuh berkembang lagi. Jika cahaya matahari datang dan menyinari, tempat yang paling dingin dan gelap pun akan berubah menjadi hangat dan bercahaya."

Kata Li Hiang. Genggaman tangan Song Ling Ji semakin mengeras. Ia merasakan kehangatan tangan Li Hiang.

"Jika kau mau, kau bisa meninggalkan musim dingin dan beranjak ke musim semi. Cahaya matahari akan selalu menunggumu di sana."

Salju turun dan memenuhi rambut Song Ling Ji.

Ia tidak bisa dibilang muda lagi.

Tapi tak ada seorang pun yang bisa berkata bahwa ia tidak cantik.

Masih sangat cantik.

Wajahnya yang putih bersih memerah diterpa angin dingin pegunungan.

Matanya masih bersinar cerah seperti seorang gadis pingitan yang bertemu kekasihnya untuk pertama kali.

Walaupun mata itu dipenuhi air mata, mata itu tetap indah dan bercahaya.

"Apa maumu?"

Tanya Song Ling Ji.

"Aku hanya ingin kau bahagia."254

"Kau tahu apa tentang kebahagiaan?"

Tanya Song Ling Ji lagi.

"Walaupun aku tidak begitu jelas tentang makna bahagia, setidaknya aku tahu persis apa itu penderitaan."

Jawab Li Hiang.

"Dan kau ingin memberikan kebahagiaan itu kepadaku?"

Tanya perempuan cantik ini.

"Jika kau pergi sampai ke ujung dunia untuk mencari orang yang dapat membahagiakanmu, kau tak akan pernah menemukannya. Kau hanya perlu mencari cermin. Karena sesungguhnya satu-satunya orang yang dapat membahagiakanmu adalah dirimu sendiri. Tetapi jika kau menginginkan seseorang untuk menemani perjalananmu, aku bersedia."

Kata-kata ini diucapkan dengan sungguh-sungguh, dengan polos, dan dengan kepercayaan diri yang amat kuat.

Song Ling Ji hanya bisa menutup matanya.

Saat itu juga sukmanya telah melayang entah kemana.

Bersama ciuman hangat seorang pemuda paling tampan yang pernah ditemuinya.

Segala penderitaan hatinya pun seolah-olah terangkat seluruhnya dari jiwanya.

Ketika ia benar-benar tersadar, tubuhnya telah tergeletak penuh peluh di atas ranjang di dalam kamarnya.255 Ia tidak memakai apa-apa.

Li Hiang juga tidak memakai apa-apa.

Laki-laki dan perempuan yang sedang melakukan hal-hal seperti ini memang biasanya paling suka jika tidak memakai apa-apa.

Dan ketika semua ini selesai, yang tertinggal adalah pelukan hangat sepasang kekasih.

Justru saat- saat seperti inilah, perasaan manusia berada di tingkat yang paling menyenangkan.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Li Hiang memeluknya dari belakang.

Song Ling Ji menikmati sekali pelukan itu.

Hal yang dirindukannya sejak puluhan tahun yang lalu.

Seseorang jika pernah terluka karena cinta yang terlalu dalam, memang kadang-kadang lebih memilih kesendirian selama ribuan tahun daripada membiar kan dirinya terluka lagi.

Sejak jaman dahulu, orang-orang seperti ini telah ada.

Kelak di masa mendatang, jumlahnya tidak berkurang, malah selalu bertambah.

Orang-orang yang tidak pernah mengenal cinta sejati, selamanya tidak akan pernah mengerti dan memahami hal ini.256 Apakah karena di dunia ini manusia selalu lebih suka dengan cinta yang sementara? Sementara karena tidak ada.

Sementara karena yang ditunggu tidak juga datang.

Sementara karena yang disayang sedang pergi jauh.

Sesuatu yang sementara, memang seperti namanya, sementara, memang tak akan bertahan lama.

Orang-orang seperti ini walaupun terlihat sangat bahagia, sebenarnya penderitaannya jauh lebih dalam dan menyakitkan.

Justru karena hal inilah, penderitaan di muka bumi seperti tidak pernah berakhir.

"Besok, jika musuh-musuhku datang, maukah kau menghadapinya bersamaku?"

Tanya Song Ling Ji lembut.

"Tentu saja."

"Aku merasa bersalah karena memanfaatkanmu."

Ujar Song Ling Ji "Sebenarnya, apa rencanamu pada awalnya?"

Tanya Li Hiang.257

"Seperti yang kau bilang, aku berencana untuk mengatakan bahwa barang itu sudah kau rebut, agar musuh-musuhku mengubermu."

Kata Song Ling Ji.

"Lalu kenapa tidak kau akui tadi saat ku tanya?"

Tanya Li Hiang sambil tertawa.

"Perempuan bukan perempuan jika ia kalah bicara dengan laki-laki. Orang seperti kau seharusnya mengerti hal ini."

Kata Song Ling Ji manja sambil cemberut.

Tentu saja Li Hiang paham.

Tapi ia juga paham, beradu mulut dengan perempuan adalah hal yang sia- sia.

Cari terbaik adalah dengan membuat mereka mengakui sendiri perbuatan mereka.

Dan tentang cara ini, Li Hiang sudah lulus seluruhnya.258 BAB 11.

KEBAHAGIAAN YANG MENYEDIHKAN "Aku memikirkan sebuah hal yang mengherankan, sayang"

Li Hiang telah menggunakan kata sayang.

"Apa itu, sayangku?"

Song Ling Ji pun mengguna kan sebutan yang sama.

"Aku harus menceritakan satu hal kepadamu dulu"

Jelas Li Hiang. Lanjutnya.

"Sebelum Lam Siu Kwi menghilang, aku telah kehilangan sebuah peta di dalam kamarku."

"Kau yakin dia yang mengambil?"

Tanya si Cengcu cantik ini.

"Dari 10 bagian keyakinan, aku yakin 8 bagian."

"Memangnya itu peta apa?"

"Aku sendiri tidak yakin. Aku menemukan peta itu dari tubuh salah seorang dari Tiga Iblis Gunung."

"Oh, Sim Lan tadi sudah bercerita bahwa kau membunuh mereka."259

"Iya. Aku bahkan menunjukkan peta itu kepada Sim Lan."

"Apa kata dia?"

Tanya Song Ling Ji.

"Iya mengatakan bahwa peta itu adalah peta menuju Pek Swat Ceng82."

"Ah, jadi letak perkampungan kami sudah tersebar di dunia luar."

"Ada satu hal yang mengherankan."

Kata Li Hiang.

"Apa itu?"

"Jika itu adalah peta menuju Pek Swat Ceng, mengapa Lam Siu Kwi harus mencurinya?"

Song Ling Ji berfikir sebentar, lalu berkata "Benar juga."

Lanjutnya.

"Apakah dia adalah pengkhianat yang selama ini membocorkan rahasia kami?"

"Bisa jadi. Mungkin di dalam peta itu ada beberapa petunjuk yang memperlihatkan keterlibatan nya dalam pengkhianatan itu. Misalnya mungkin saja peta itu adalah tulisan tangannya." 82 Perkampungan Salju Putih260

"Benar. Bisa jadi. Aih... aku tak pernah menyangka dia lah pengkhianat itu."

"Sebelum semua ini jelas, kita tidak boleh mengambil kesimpulan terburu-buru. Harus memper- hatikan keadaan lebih jauh."

"Baiklah. Aku ikut maumu saja, sayang."

Sambil berkata begitu, ia memeluk Li Hiang dan menghujani nya dengan ciuman yang panas membara.

Malam itu adalah malam yang panjang bagi mereka berdua.

Kebahagiaan.

Terlihat sangat sederhana, namun sungguh amat sangat tidak sederhana.

Terlihat tidak sederhana, namun sungguh sangat sederhana.

Pagi menjelang.

Li Hiang telah mempersiapkan dirinya.

Ia telah selesai mandi air hangat, dan berpakaian.

Semua dilakukannya sendiri tanpa manja meminta disiapkan.

Bahkan ia telah menyiapkan roti-rotian untuk sarapan.

Song Ling Ji terbangun oleh aroma wangi sarapan yang sudah disiapkan Li Hiang.261 Dengan manja dan sambil malas-malasan, Cengcu cantik ini makan dengan disuapi oleh Li Hiang.

Perempuan sangat ingin dimanjakan.

Dan jumlah laki- laki yang mengerti hal ini di kolong langit mungkin bisa dihitung dengan jari.

"Kau sudah siap?"

Tanya Song Ling Ji. Li Hiang menangguk, lalu katanya.

"Apa rencanamu, apakah bunga itu memang berada pada mu?"

Song Ling Ji bangkit dari sikap manjanya. Sikap nya kini serius dan bersungguh-sungguh.

"Aku akan memberitahukanmu di mana letak Anggrek Tengah Malam."

Kata sang Cengcu cantik.

Mendengar kata Anggrek Tengah Malam, betapa jantung Li Hiang berdetak kencang.

Inilah benda yang dicari-carinya selama ini.

Mengorbankan hidupnya hanya untuk menemukannya.

Tapi walaupun di dalam hatinya ia tak dapat menahan kegembiraan, raut wajahnya tampak tenang-tenang saja.

"Kau tidak terlihat gembira"

Kata Song Ling Ji. Li Hiang hanya tersenyum.262

"Seluruh manusia di kolong langit ini berlomba- lomba mencari bunga ini. Dengan segala khasiatnya, bunga sakti ini mampu menjadikan manusia sebagai dewa atau dewi. Kenapa tampangmu biasa-biasa saja?"

Tanya Song Ling Ji.

"Aku dengar bunga itu dapat mempertahankan kecantikan dan kemolekan wanita sampai ratusan tahun lamanya. Aku curiga kau sudah pernah menggunakan khasiat bunga ini."

Kata Li Hiang.

"Aih, kau terlalu memuji. Memang dasar kau perayu wanita."

Walaupun bersungut-sungut, mau tidak mau wajah Song Ling Ji terlihat gembira dan tersipu malu.

"Sebagai ketua perkampungan, aku telah disumpah oleh para leluhur untuk tidak mem- pergunakannya. Seluruh murid Pek Swat Ceng83 pun tidak tahu keberadaan bunga ini."

"Perkumpulan yang aneh"

Tukas Si Jubah Merah.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang. Tanaman itu telah menjadi rebutan orang sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Bahkan namanya telah menjadi serupa legenda yang tak dapat dipastikan kebenarannya. Khasiatnya 83 Perkumpulan Salju Putih263 mampu menambah kemampuan tenaga dalam seseorang hingga berlipat-lipat, mampu menyembuh kan segala penyakit yang tak tersembuhkan sekalipun, mampu membuat seseorang awet muda, bahkan memberikan umur sampai seratus tahun lebih. Itulah sebabnya menjadi rebutan orang selama ribuan tahun. Tanaman ini tersembunyi aman, terjaga oleh aku seorang. Baru beberapa bulan belakangan ini bocor keberadaannya. Aku heran, bagaimana kau bisa tahu bunga ini berada di sini?"

"Guruku pernah menceritakan rahasia ini kepadaku beberapa tahun yang lalu."

Jelas Li Hiang.

"Siapa nama gurumu?"

Tanya Song Ling Ji. Li Hiang hanya menggeleng.

"Ah, rahasia? Baiklah, aku takkan memaksa."

Kata Song Ling Ji.

"Menurut pendapatku, di dalam perkampungan mu mungkin ada seorang pengkhianat yang menyebar kan rahasia itu."

Kata Li Hiang.

"Hmmm... eh, tapi jika kau telah mengetahui rahasia ini bertahun-tahun yang lalu, mengapa kau tidak segera datang merebutnya?"264

"Karena saat itu aku belum membutuhkannya."

Jelas pemuda tampan itu.

"Belum?"

Setelah berpikir sebentar, ketua cantik ini bertanya lagi.

"Apakah karena sekarang kau sedang sakit?"

"Bukan aku yang sakit. Tetapi seseorang yang benar-benar ku sayangi yang sedang menderita sakit."

Jelas Li Hiang.

"Siapa dia? Istrimu kah? Atau kekasihmu?"

"Dia seseorang yang sangat berharga bagi hidupku. Aku rela mengorbankan seluruh hidupku baginya."

Ujar Li Hiang.

"Seandainya aku adalah orang itu, maukah kau mengorbankan hidupmu pula?"

Tanya Song Ling Ji sungguh-sungguh.

"Tentu saja."

Li Hiang mengangguk tegas.

"Sayangnya, aku bukan orang itu."

Tak terasa matanya memerah.

Pertemuan ini baru semalam, tetapi hati dan jiwanya telah menjadi milik Li Hiang sepenuhnya.

Entah berapa banyak hati dan jiwa perempuan yang sepenuhnya menjadi milik seorang laki-laki dalam semalam.265 Sesungguhnya seorang perempuan jika telah mencintaimu, saat itu juga ia rela memberikan seluruh hidupnya kepadamu.

Tetapi saat cintanya menghilang dan hatinya berubah, maka ia seolah-olah berubah menjadi seorang asing yang tak kau kenali lagi.

Memang tak ada seorang perempuan pun yang benar-benar kejam.

Yang ada hanyalah perempuan yang berubah hatinya.

Cerita ini bukan cerita baru di dalam hidup manusia.

Song Ling Ji menatap wajah Li Hiang dengan penuh cinta dan hormat.

"Orang-orang di muka bumi ini menganggapmu sebagai seorang bajingan. Sesungguhnya kau seorang baik dan setia. Kau hanya terlalu baik kepada semua perempuan yang kau temui."

Li Hiang hanya diam. ?Terlalu baik? itu tidak enak. ?Terlalu baik? itu menyakitkan. Ia sesungguhnya telah berhenti menjadi ?terlalu baik? kepada orang lain.

"Jika nanti semua telah terjadi, mau kah kau mengenangku? Menyimpan rapat-rapat kenangan kita berdua, walau hanya sebentar, sesungguhnya266 saat itu adalah saat yang paling membahagiakan dalam hidupku."

Tak terasa air matanya meleleh.

Air mata perempuan, kadang terlihat indah.

Apakah karena keindahan ini, laki-laki begitu sering menyakiti perempuan? Agar sekedar dapat melihat air matanya.

Ataukah karena keindahan ini, perempuan begitu sering menggunakannya agar setiap hati laki- laki bertekuk lutut di hadapannya? Entahlah.

Urusan manusia begitu banyak.

Urusan hati justru jauh lebih banyak lagi.

"Tak akan ada sedetik pun yang terlewatkan. Tak ada sedetik pun yang terlupakan. Seseorang boleh datang dan boleh pergi dalam kehidupan orang lain. Tapi kenangan pasti membekas dan menorehkan ceritanya tersendiri."

Kadang-kadang, kenangan adalah sesuatu yang jauh lebih berharga ketimbang cinta itu sendiri.

"Baiklah. Aku percaya sepenuhnya kepadamu. Asalkan kau berjanji, di dalam hidupmu, di dalam hatimu, terdapat sebuah ruangan kecil yang kau kosongkan bagi namaku. Di mana kau menemukan267 kebahagiaan dan kedamaian, aku sudah cukup berbahagia."

Kata perempuan cantik ini.

Ia lalu berdiri.

Merobek seutas kain dari pakaiannya lalu menuliskan sesuatu.

Rupanya ia menggambar sebuah peta.

Dengan terang dan jelas, ia menunjukkan di mana bunga Anggrek Tengah Malam itu berada.

Li Hiang mengangguk mengerti.

Setelah penjelasan itu selesai, ia mengecup bibir Song Ling Ji.

Kecupan terakhir.

Segala sesuatu yang terakhir memang selalu berharga.

Demikian juga kecupan terakhir.

Rasanya akan membekas di jiwa manusia selamanya.

Kecupan ini lama, namun tak lagi membara.

Segala nafsu telah menghilang lepas entah kemana.

Yang tertinggal hanya perasaan cinta yang dalam.

Lalu perpisahan pun tiba.

Perpisahan yang datang ke dalam sebuah perasaan cinta yang dalam.

Adakah yang lebih menyedihkan dari hal ini? Seperti pertemuan, perpisahan pun adalah takdir.

Manusia kebanyakan mengingat pertemuan, tanpa pernah mau menghargai perpisahan.

Padahal268 berpisah pun sama berharganya dengan bertemu.

Bahkan jauh lebih berharga.

Karena walaupun pertemuan mampu merubah hidup seseorang, perpisahan justru jauh merubahnya dengan lebih dalam.

Memberi seseorang pengertian akan hidup.

Memberi arti kepada kenangan.

Karena kenangan sesungguhnya hanya akan berharga jika ada perpisahan.

Maka mereka pun berpisah.

Tidak perduli apakah kedua orang ini suami-istri atau bukan, kekasih atau bukan, sahabat atau bukan, perpisahan selalu menggetarkan jiwa.

"Sebelum kau pergi, totoklah aku. Lalu totoklah semua murid-muridku."

Pinta Song Ling Ji. Li Hiang memandangnya dengan penuh tanya. Perempuan cantik itu berkata.

"Jika musuh-musuhku datang, aku akan berkata bahwa kau telah menotok ku, dan kau pergi sambil membawa peta keberadaan Anggrek Tengah Malam."

"Baiklah. Jadi kau ingin mereka benar-benar mengejarku?"

"Aku ingin kau mendapatkan bunga itu. Lalu pergi dan menemukan kekasihmu dan menyembuh269 kannya. Tapi aku ingin kau berkorban pula untukku. Dengan mengejarmu, aku ada kesempatan untuk menyingkir dan menyelamatkan anak buahku. Jika bunga itu telah berada di tanganmu, para musuh tidak akan menganggu lagi Pek Swat Ceng."

"Aku telah berjanji untuk memberikan pedang ungu kepadamu, maukah kau...?"

Belum selesai Li Hiang bicara, Song Ling Ji telah memotongnya.

"Aku tidak pernah menginginkan pedang itu. Aku hanya ingin menggunakanmu melawan musuh-musuhku. Tapi setelah bertemu, aku tahu hatiku telah menjadi milikmu."

"Mengapa tidak kau berikan saja bunga itu kepada salah seorang musuhmu? Bukankah dengan begitu mereka akan saling menghancurkan."

Kata Li Hiang.

"Aku hanya memberikan bagian paling berharga dalam hidupku kepada orang yang ku cintai. Apakah penjelasanku sudah cukup?"

Li Hiang mengangguk.

"Lebih dari cukup."

Tangannya bergerak menotok perempuan cantik itu.

Lalu ia membisikkan bagaimana cara membuka totokan itu.270 Lalu mata mereka saling memandang.

Pandangan ini mungkin untuk yang terakhir kalinya.

Laki-laki yang pergi demi mengejar impian hidupnya, dan perempuan yang rela melepasnya pergi dengan penuh setia dan percaya.

Di dunia ini tidak ada yang lebih mengharukan selain pemandangan ini.

Jauh di hati masing-masing, mereka tahu, mereka berdua mungkin akan mati tanpa pernah bertemu kembali.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi masing-masing menghadapi perpisahan ini dengan kegembiraan yang menyedihkan.

Karena mereka tahu, masing-masing mengorbankan dirinya demi satu sama lain.

Jika di dalam hidupmu kau sanggup melakukan hal ini satu kali saja, maka kau baru pantas mengaku sebagai manusia.

Lalu ia pergi.

Bayangan merah itu menghilang dari hadapannya.

Air mata Song Ling Ji menetes dengan deras, tapi bibirnya menyungging senyum bahagia.

Kebahagiaan yang menyedihkan.

Hanya mereka yang telah mengalaminya yang betul- betul memahami artinya.

Song Ling Ji memahaminya.271 Li Hiang pun memahaminya.

Oleh karena itu Li Hiang bergerak tanpa ragu- ragu.

Ditotoknya seluruh murid-murid yang berada di sana.

Dengan gerakannya yang sukar diikuti mata, tidak sulit baginya untuk menotok murid-murid itu satu persatu di kamar mereka masing-masing.

Lalu ia pergi menyusuri jalan kecil di belakang Pavilliun itu.

Jalan kecil berkelok yang mengantarnya ke sebuah kecil.

"Gua ini adalah gerbang masuk menuju jalan di mana Anggrek Tengah Malam disimpan"

Katanya dalam hati.

" Hiang-Hiang, aku akan datang menyembuhkanmu. Tunggulah!"

Pagi masih gelap, cuaca masih dingin, bayangan Li Hiang telah menghilang dari dalam gua.

Song Ling Ji masih tak bergerak di atas tempat tidurnya.

Ia telah memperhitungkan segalanya.

Tak lama lagi akan banyak orang berdatangan kemari.

Dan ia benar, dalam beberapa jam setelah Li Hiang pergi, saat terang tanah, ia telah mendengar suara di luar Pavilliun.

Li Hiang menotoknya dengan sebuah totokan yang sangat sulit dibuka, tapi lelaki tampan itu telah memberitahukannya bagaimana cara membuka totokan itu.

Dengan penggunaan tenaga dalam272 seorang ahli silat seperti dirinya, asal tahu rahasianya pasti dapat membuka totokan yang sulit itu.

Suara itu semakin mendekat, rupanya cuma ada satu orang yang datang.

"Aku Bwee Hua, datang memberi hormat."

Terdengar suara dari luar. Bwee Hua? Siapa itu? Belum pernah ia mendengar tokoh bernama Bwee Hua sebelumnya.

"Silahkan masuk. Maaf kami tuan rama tak dapat menyambut tamu secara pantas."

Teriak Song Ling Ji dari dalam kamarnya.

"Maaf dengan siapa kami bicara? Apakah dengan Pek Swat Cengcu84 sendiri?"

Tanya Bwee Hua.

"Benar. Cayhe bernama Song Ling Ji."

"Baiklah. Mohon ijin."

Sambil berkata begitu Bwee Hua masuk ke dalam rumah indah itu. Pintunya tidak terkunci. Dengan pandangan yang tajam, Bwee Hua memeriksa seluruh isi rumah itu. Setelah merasa aman dan yakin, ia lalu membuka suara, 84 Ketua Perkampungan Salju Putih273

"Maaf, di mana tuan rumah berada?"

"Aku berada di kamar paling kanan di ujung lorong. Silahkan datang"

Terdengar jawaban.

Bwee Hua beranjak kesana.

Ia melangkah dengan hati-hati.

Tapi pengalamannya dalam suasana seperti ini sudah terhitung banyaknya.

Oleh sebab itu langkahnya ringan dan santai, seperti anak perempuan berjalan di toko pakaian.

Ringan, enteng, dan gembira.

Saat membuka pintu pun ia berlaku hati-hati, tapi gerakannya gembira seolah-olah memasuki kamarnya sendiri.

Begitu dilihatnya ada sesosok tubuh tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur, ia bertanya.

"Cengcu?"

"Benar"

Jawab sang Cengcu.

"Aku tertotok."

"Oh? Siapa yang melakukannya?"

Tanya Bwee Hua sambil tersenyum.

"Si Jubah Merah"

Jawab Song Ling Ji.

"Aih... laki-laki itu, sudah berapa perempuan yang dibuatnya tidak berdaya seperti ini?? ia berkata sambil melangkah maju. Di luaran wajahnya tersenyum ramah, tapi seluruh tubuhnya telah bersiap-siap dengan segala perubahan yang ada. Di274 saat seperti ini, segala jebakan atau serangan tidak akan mempan terhadap Bwee Hua. Ia adalah perempuan yang paling cerdas dan paling menakutkan di dunia ini. Segala ketenangan, pemikiran, dan perbuatannya telah terlatih melalui segenap pengalaman hidupnya. Memang, pengalaman hidup seseorang lah yang mampu membentuk jiwanya. Dengan hati-hati ia memperhatikan tubuh itu. Secara tiba-tiba saja melancarkan serangan yang sangat mematikan tepat ke jantung Song Ling Ji. Cengcu cantik itu memang belum sempat membuka totokannya, sebab itu tak ada yang bisa ia lakukan kecuali pasrah, dan mempercayakan nasibnya. Dan kali ini ia benar. Serangan itu tiba-tiba berhenti tepat seujung kuku di titik jantungnya. Bwee Hua mengangguk puas dan berkata.

"Kau benar-benar tertotok."

Lalu ia bertanya.

"Di mana murid-muridmu?"

"Entahlah, mungkin di kamar masing-masing."

Bwee Hua cepat bergerak memeriksa. Ternyata benar murid-murid itu semua dalam keadaan275 tertotok. Ia lalu kembali ke kamar Song Ling Ji dan bertanya.

"Kemana Li Hiang pergi?"

Song Ling Ji tidak menjawab.

Bwee Hua tertawa.

Saat tertawa, wajahnya yang cantik itu jauh bertambah cantik.

Lalu tangannya bergerak.

Dengan satu jarinya ia menyerang sebuh titik di telapak kaki Song Ling Ji.

Serangan yang sangat tidak berperikemanusiaan, karena titik itu membawa penderitaan yang amat sangat bagi Song Ling Ji.

Seolah-olah kakinya direndam ke dalam sebuah kuali berisi minyak yang amat sangat panas.

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!"

Teriakannya bahkan membahana ke segala penjuru tempat itu. Teriakan yang sangat memilukan. Bwee Hua hanya tertawa.

"Aku tak akan menghilangkan penderitaanmu sebelum kau mem- beritahukan ke mana Li Hiang pergi"

Teriakan Song Ling Ji masih berlanjut. Tak dapat dipungkiri bagaimana kekuatan hatinya menahan siksaan sedemikian berat.

"Kau tahu, ilmu yang barusan ku pakai bernama Ilmu Totok Naga Api."

Jelas Bwee Hua.276 Sebagai seorang yang berkecimpung di dalam dunia persilatan, Song Ling Ji pernah mendengar tentang kedahsyatan ilmu ini, tapi sedikit pun tak pernah ia bayangkan bahwa ia sendiri yang akan mengalaminya.

Dengan segenap hati ia menahan penderitaannya.

Teriakannya kini telah berubah menjadi bisikan lemah yang penuh kesedihan.

Suaranya telah habis.

Air matanya telah menetes dan bahkan mungkin telah mengering.

Entah berapa lama ia bertahan dalam penderitaan ini.

Namun kekuatan seseorang dalam menerima penderitaan memang ada batasnya, akhirnya ia menyerah.

"Ba... baik... lah... a...ku... menye... rah..."

Bwee Hua lalu menotoknya lagi. Dalam sekejap penderitaan itu menghilang. Tapi Song Ling Ji tidak lagi punya kekuatan untuk melepaskan totokan seperti yang diajarkan Li Hiang. Ia kini hanya bisa pasrah.

"Ia... ia pergi mengambil Anggrek Tengah Malam."

"Nah, jika kau menjawab dari tadi kan kau tidak perlu menderita seperti ini Cengcu."

Desah Bwee Hua277 sambil tersenyum manis.

Sebagai sesama perempuan, Song Ling Ji harus mengakui, inilah perempuan yang tercantik yang pernah ditemuinya.

Bagi perempuan untuk mengakui hal ini, dibutuhkan kebesaran hati tersendiri.

Dalam ketidakberdayaannya ini, pelan-pelan Song Ling Ji mengumpulkan tenaga untuk membuka totokannya.

Sedikit demi sedikit totokan itu mulai terbuka, namun ia tetap tenang agar tidak menimbul kan kecurigaan.

Dari luar kamar terdengar langkah.

Alangkah kagetnya ketika yang muncul ternyata Sim Lan.

"Subo85 "

Kata Sim Lan. Song Ling Ji akan menjawabnya, ketika ternyata disadari bahwa Sim Lan menyapa kepada Bwee Hua! "Ka kau..."
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hanya itulah kata-kata yang muncul dari mulut Song Ling Ji. Sim Lan menjura dan memberi hormat kepada Bwee Hua.

"Bagus! Kau menjalankan tugasmu dengan baik. Aku telah membuka totokanmu dan kini kau bebas. guru278 Aku ingin menugaskan sebuah hal yang penting kepadamu."

"Teecu (murid) siap menerima perintah."

Kata Sim Lan dengan penuh hormat. Bwee Hua menoleh kepada Song Ling Ji.

"Kau tidak perlu kaget seperti itu. Sim Lan memang muridku sejak kecil. Dia kususupkan menjadi orang perkumpulanmu untuk mencari rahasia Anggrek tengah Malam."

"Jadi yang menyebarkan tentang rahasia perkumpulan kita adalah kau, Sim Lan? Yang meng- hilangkan Lam Siu Kwi juga adalah kau? Mengapa?"

Song Ling Ji begitu marah, namun suaranya begitu lemah.

"Saat kusadari bahwa peta yang ditemukan oleh Li Hiang adalah peta hasil gambar tanganku, aku panik. Peta itu harus kurebut agar nantinya tidak ketahuan. Aku menyuruh Lam Siu Kwi untuk merayu dan mencuri peta itu dengan mengelabuinya dengan berkata bahwa peta itu harus diserahkan kepada kau. Sebagai pemimpin rombongan, kata-kataku pasti dipatuhinya. Dengan tanpa curiga ia membawa peta itu ke kamar ku."

Jelas Sim Lan sambil tersenyum.279 Senyumnya pun cantik sekali. Bahkan hampir mirip dengan Bwee Hua! "Kau lalu membunuhnya?"

"Tentu saja. Mayatnya kini berbaring tenang di atas langit-langit kamarku."

Senyum Sim Lan.

Begitu senyum itu hilang, Song Ling Ji sudah berkelebat dengan cepat.

Ia telah mampu membuka totokan.

Serangannya sangat dahsyat menuju ke kerongkongan Bwee Hua.

Bwee Hua adalah perempuan yang sudah sangat matang dengan segala intrik seperti ini.

Oleh karena itu ia telah siap menerima segala perubahan dan jebakan apapun.

Urusan akal-mengakali memang tidak ada seorang pun yang mengalahkan Bwee Hua! Serangan Song Ling Ji disambutnya dengan bergerak ke samping.

Ia sedikit menunduk lalu melepaskan sebuah tendangan maha cepat yang menyerang paha Song Ling Ji.

Tanpa ampun Song Ling Ji terjengkang ke samping.

Pada kesempatan itu, Sim Lan sudah maju memburu dan melancarkan serangan pedang yang dahsyat.

"Tunggu!"

Teriakan Bwee Hua menghentikan serangan Sim Lan.280 Song Ling Ji ingin maju menyerang sekali lagi, tapi kekuatannya telah sirna karena sejak tadi menahan siksaan Totokan Naga Api, gerakannya menjadi lambat dan tak bertenaga.

Dengan sekali gerakan, Bwee Hua kembali menghempaskannya ke tembok.

Kali ini darah segar keluar dari mulut Song Ling Ji.

"Subo, sebaiknya perempuan bodoh ini dibunuh saja."

Tukas Sim Lan.

"Aku masih merasa ada keanehan."

Kata Bwee Hua. Lanjutnya.

"Jika Li Hiang memang memaksa dia atau memperalat dia agar mendapatkan letak daerah tempat bunga itu, tentu ia tak akan sesehat ini seperti pertama kali ku menemukannya."

"Tentu Li Hiang sudah menggunakan kekerasan dan perempuan ini pun melawan, jika dilihat dari betapa kuatnya ia menjaga rahasia. Kecuali jika Li Hiang telah menjatuhkan hatinya. Dengan rayuan mautnya Li Hiang pasti sudah berhasil memperalat dia agar mendapat peta keberadaan bunga itu."

"Lalu, jika peta itu sudah diberikannya sepenuh hati, mengapa Li Hiang harus menotoknya? Jika aku menjadi dia, tentu aku akan turut pergi mengambil281 bunga itu bersama Li Hiang. Mengambil khasiatnya bersama-sama lalu hidup bersama-sama."

"Ah aku tahu. Kau sudah memanfaatkannya. Kau rela membiarkannya pergi untuk mengambil bunga itu, sedangkan kau bertahan di sini, mencoba memberikan tipu muslihat agar orang yang datang percaya bahwa Li Hiang telah mendapatkan bunga itu. Lalu seluruh orang di dunia Kang Ouw akan mengalihkan perhatian kepada Li Hiang. Seluruh dunia akan mengejarnya, dan kau memiliki kesempatan untuk kabur dan menyelamatkan dirimu sendiri."

"Tapi pengertian ini terlalu sederhana, dan terlalu kejam untuk orang sepertimu. Kau pasti mempunyai rencana lain."

Bwee Hua berpikir dan diam sebentar.

"Ah aku tahu! Bunga itu palsu! Peta yang kau berikan kepada Li Hiang memang benar, tapi bunga nya palsu. Kau sengaja mengalihkan perhatian orang- orang untuk mengejar Li Hiang, sedangkan kau bisa menyelamatkan diri dan menyelamatkan bungamu! Eh, tapi, jika kau bisa menyelamatkan diri dan bungamu, mengapa sejak tadi kau tidak segera kabur? Hmmmm, apakah karena kau takut orang-orang itu akan tahu bahwa bunga itu palsu? Jika orang-orang282 tahu bunga itu palsu, kan memang sebaiknya kau menghilang sejak tadi? Aha! Aku tahu sekarang! Kau memang ingin berada di sini seolah-olah kau telah mempertahankan hidupmu dan bunga itu dengan sepenuh hati, sedangkan bunga yang asli tersimpan dengan selamat di suatu tempat!"

Begitu Bwee Hua selesai bicara, Song Ling Ji telah membunuh dirinya sendiri.

Seluruh darah mengalir dari semua lubang di tubuhnya.

Cengcu itu memilih mati untuk menyimpan rahasia itu rapat- rapat! "Aih, dia sudah mati, bagaimana mungkin kita mengorek keterangan lebih dalam, subo?"

Tanya Sim Lan.

"Aku sudah tahu ia bakalan bunuh diri. Walau pun aku menyiksanya dengan lebih kejam pun, ia pasti memilih mati daripada memberitahukan rahasia bunga itu."

"Jadi apa yang harus kita lakukan, subo?"

"Segera selidiki keberadaan bunga yang asli. Namun itu akan merupakan tugas yang panjang dan283 berat, sebelum itu aku membutuhkanmu untuk merayu seseorang."

"Siapa dia?"

"Dia adalah murid dari Tong Hong Siansing. Umurnya mungkin sedikit lebih tua darimu. Tapi ia memiliki banyak ilmu dan kemampuan yang bisa kita pergunakan di masa mendatang nanti."

Jelas Bwee Hua.

"Baiklah, subo. Siapa namanya?"

"Cukat Tong."

"Baiklah"

Saat berkata begitu, tiba-tiba ada seekor burung rajawali datang menghampiri melalui jendela.

Bwee Hua lalu menghampiri rajawali itu dan mengelusnya.

Dari kaki rajawali itu, ia mengambil sebuah bungkusan yang ternyata berisi sepucuk surat.

Setelah membaca ia mengangguk dan tertawa senang.

"Sudah mulai ramai!"

"Ada apa subo?"

"Orang-orang sudah mulai berkumpul di kaki bukit. Tak berapa lagi mereka mungkin akan sampai kemari?"284

"Oh, siapa saja?"

"Bhiksu Hong Tam dari Siu Lim Pay, Pendekar Pedang Kelana Can Li Hoa, Pendekar wanita dari Go Bi Pay bersama seorang anaknya yang masih kecil, Singa dari Barat Gow Han Sing, Raja Golok Utara Sie Man Hok, seorang pendekar Bu Tong Pay yang belum ketahuan namanya, beberapa iblis tak berguna dari rimba hijau yang tak perlu disebutkan namanya, ada lagi beberapa tokoh hitam yang masih bergerak dalam kegelapan yang perlahan-lahan menuju kemari. Dan tak lupa, yang paling seru, sepasang suami istri keluarga Suma yang mencari anaknya."285 BAB 12. AYAH DAN ANAK "Aih, orang-orang yang datang kebanyakan bukan orang sembarangan. Tapi aku yakin subo (guru perempuan) pasti sanggup menghadapi mereka semua"

Puji Sim Lan sambil menjura.

"Kau pintar menjilat, tapi aku suka padamu. Kelak, kau akan kuberikan sebuah rencana besar. Tapi untuk saat ini, kau masih perlu banyak latihan. Ilmu merayumu masih kurang sempurna. Jika kau sudah bisa memuji-mujiku tanpa aku merasa jijik, maka kau akan kunyatakan lulus."

Kata Bwee Hua sambil terkikik.

"Teecu86 meminta ampun atas kebodohan dan kekurangan ini. Kelak tidak akan mengecewakan subo87."

Sim Lan berlutut dengan sungguh-sungguh.

"Pekerjaanmu kali ini sungguh bagus, karena itu kau kumaafkan. Untuk aku menugaskan kau sejak 86 murid 87 Guru perempuan286 dahulu di sini. Jika tidak, kita tak akan pernah tahu bahwa bunga yang paling dicari-cari itu berada di sini. Sudahlah, ayo kita segera berangkat. Aku sudah membuat pos persembunyian tidak jauh dari sini. Tak lama lagi orang-orang akan segera datang."

Kata Bwee Hua.

Dengan segera mereka bergegas dari situ.

Terlebih dulu mereka membunuhi semua murid yang ada di dalam kamar-kamar.

Keadaan murid-murid malang yang dalam keadaan tertotok itu memang sangat menyedihkan, mati tanpa dapat berbuat apa- apa sedikit pun.

"Aku harus melukaimu. Kau akan menjadi penunjuk jalan bagi orang-orang yang datang. Katakan bahwa kalian semua telah diserang oleh Li Hiang dan kau adalah satu-satunya orang yang selamat. Katakan pula bahwa Li Hiang telah memiliki peta letak keberadaan bunga itu"

"Lalu subo sendiri bagaimana?"

Tanya Sim Lan.

"Tentu saja aku menghilang"

Kata Bwee Hua sambil tersenyum.

Dari balik kantong perlengkapan nya, ia mengeluarkan sepasang sepatu.

Sepatu ini adalah sepatu khusus yang mampu membuat pemakainya berselancar di atas es!287 Dengan sebuah gerakan yang amat cepat, ia telah menghantam dada Sim Lan.

Gadis terhempas roboh ke belakang.

Memuntahkan darah segar dari mulut dan hidungnya.

Beberapa tulang rusuknya patah, tapi organ bagian dalamnya selamat.

"Maaf. Aku harus sungguh-sungguh memukul mu. Jika tidak, orang-orang akan curiga. Aku akan mengirimkan surat perintah berikutnya. Tunggu saja."

Sambil berkata begitu ia memakai mantel putih lalu melayang pergi.

Di atas udara ia memakai sepatunya itu, lalu mendarat dengan ringan di atas danau yang membeku.

Tubuhnya yang terbungkus mantel putih membuat Bwee Hua seperti hilang ditelan salju.

Dalam sekejap mata saja, Bwee Hua sudah tidak kelihatan lagi.

"Pintar sekali subo mengambil jalur danau. Tak ada seorang pun yang mengira ada orang yang berjalan di atas danau. Ah, aku harus mempunyai sepatu seperti itu suatu saat nanti. Aih...subo memukul terlalu keras."

Ia lalu bangkit dan berjalan tertatih-tatih menuju arah yang berlawanan dengan Paviliun.

Dengan begitu, ada kesempatan baginya untuk bertemu orang di tengah jalan.

Dalam hati ia heran288 juga, bagaimana jika di tengah jalan ia bertemu orang jahat yang justru akan mencelekai atau bahkan membunuhnya? Tapi ia percaya sepenuhnya atas perintah gurunya.

Sim Lan berjalan menyusuri hutan sekian lama.

Ia tidak berani membekali diri dengan makanan atau mantel tebal bagi perjalanannya.

Semua kejadian ini harus terlihat alami, agar orang-orang percaya semua sandiwara yang diatur gurunya.

Setelah hampir 2 jam ia berjalan, akhirnya ia melihat titik hitam dari kejauhan.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Titik itu berubah menjadi dua titik dan bergerak mendekatinya.

Sim Lan lalu mempersiapkan segala sandiwaranya.

Ia pura- pura tergeletak di atas salju.

Darah yang mengucur dari mulutnya pun seolah muncul lebih banyak.

Entah bagaimana ia melakukannya.

Tak lama kemudian kedua titik yang bergerak di kejauhan itu membentuk 2 sosok manusia.

Laki-laki dan perempuan.

"Suamiku, tampaknya ada sebuah tubuh terkapar di depan"

Kata si perempuan.

"Hati-hati jebakan"

Kata suaminya dengan tenang.289 Ternyata kedua orang ini adalah suami-istri keluarga Suma yang sedang dalam perjalanan menemukan anak mereka.

Anak yang harus mereka tukarkan dengan sebelah pedang istimewa.

Pedang belum ditemukan, tentu saja anak belum ditemukan pula.

Dengan cepat namun hati-hati mereka telah sampai di depan tubuh Sim Lan.

Terlihat gerakan nafas gadis yang lemah dan tak berdaya.

"Ia masih hidup"

Bisik sang istri. Tanpa memperdulikan perkataan istrinya, mata pendekar Suma menyapu sekeliling daerah itu.

"Tidak ada apapun yang mencurigakan di sini."

Kata-kata itu bagai pemberitahuan bagi sang istri agar segera bergegas menolong tubuh tergeletak itu. Ia mendekati tubuh yang lunglai itu lalu bertanya.

"Siocia88, apakah siocia mendengar kata-kataku?"

Hanya terdengaran desahan kesakitan si nona. Sang istri memperhatikan keadaan nona itu lalu berkata kepada suaminya.

"Ia terpukul di bagian dada. Beberapa tulang rusuknya patah."

Nona290 Sang suami hanya mengangguk. Sang istri dengan sigap segera menempelkan tangannya ke dada nona itu dan menyalurkan tenaga dalam. Tak berapa lama Sim Lan mulai pulih kesadarannya.

"Te... te terima... ka.. sih... inkong89."

Katanya meracau.

"Nona beristirahatlah sejenak. Telan pil obat ini."

Kata sang istri.

Sim Lan menelan obat itu.

Tak berapa lama tubuhnya terasa hangat.

Berbaring lama di atas es membantu sandiwaranya dengan baik.

Tubuhnya dingin dan wajahnya sangat pucat.

Selain karena pukulan gurunya sendiri, dinginnya salju sangat berperan besar dalam hal ini.

Setelah si nona mulai pulih keasadarannya, barulah sang istri mulai bertanya.

"Siocia90 siapakah? Dan siapa yang melakukan ini terhadap nona?"

"Si Ju... bah Merah." 89 Tuan penolong 90 Nona291 Mendengar nama itu disebut, kedua suami istri itu menegakkan tubuh.

"Apakah ia berada di sekitar sini?"

Tanya si istri.

"Di... paviliun ka... mi... tak ja... uh da...ri sini..."

"Apakah yang dimaksud siocia adalah pavilliun milik Pek Swat Ceng."

Sim Lan hanya mengangguk.

"Siocia adalah anggota Pek Swat Ceng?"

Sim Lan mengangguk lagi. Si istri menoleh kepada sang suami.

"Jejak yang kita cari ternyata benar. Ia berada di sana"

"Inkong siapakah? ada keper... luan... apa kemari?? tanya Sim Lan. Sempat ragu sebentar, sang istri menjawab.

"Kami berdua adalah sepasang suami istri. Kami dalam perjalanan mencari anak kami yang diculik"

"Di cu lik siapa?"

"Aih ceritanya panjang. Tapi singkatnya, kami harus menemui Si Jubah Merah sebelum bisa menemu kan anak kami."292

"Aih... bang... sat ja hat itu... telah meng habi si... selu... ruh anggota ka...mi."

"Benarkah? Aih malang sekali nasibmu nona."

Ia lalu menoleh kepada suaminya.

"Kita harus menolong nona ini."

"Kita sudah menolongnya"

Jawab sang suami pendek.

"Suamiku, kau ingin meninggalkannya di tengah salju seperti ini?"

Tanya sang istri.

"Dengan membawanya kesana, kita akan menambah beban. Kehebatan ilmu Si Jubah Merah ini masih belum bisa kuukur. Jika kita menambah beban, maka kita memberatkan keadaan sendiri."

"Lalu kau akan membiarkannya mati di sini?"

"Dia tak akan mati. Jika kau meninggalkan sedikit perbekalan kepadanya, ia akan bertahan dan selamat."

"Aih... bagaimana jika orang-orang yang dibelakang sana menyusul kemari? Mereka ada yang jahat dan baik. Jika kita tidak menolongnya, bisa jadi nanti ia jatuh ke tangan orang jahat."

"Empat orang yang berada di belakang kita adalah orang baik. Sebentar lagi mereka da..."

Belum293 sempat ia menyelesaikan kata-katanya, dari kejauhan terlihat sesesok manusia.

Manusia itu ternyata perempuan.

Ia datang menggendong anak di punggungnya.

Perempuan macam apa yang mengajak anak kecil ke dalam perjalanan seperti itu? "Salam Suma-tayhiap91 dan Suma-liehiap92."

Kata perempuan itu menjura.

"Salam. Anda telah mengekor perjalanan kami sekian lama. Akhirnya bertemu muka, rasa-rasanya cukup pantas jika cayhe menanyakan siapa nama anda?"

Tanya pendekar wanita Suma dengan sopan namun tegas.

"Nama cayhe Hok Lian Si, dari Go Bi Pay."

Tangannya masih menjura. Lanjutnya.

"Cayhe akui selama ini mengekor tayhiap berdua karena inilah satu-satunya cara bagi cayhe agar menemukan Li Hiang."

"Li Hiang, Si Jubah Merah?"

"Benar sekali, liehiap." 91 Pendekar besar Suma 92 Pendekar wanita294

"Anda apakah istrinya?"

Tanya Suma-liehiap "Istri? Entahlah. Tapi cayhe adalah ibu dari anaknya yang cayhe gendong kemana-mana ini."

"Mengapa anda begitu tega membawa anak sekecil ini ke dalam perjalan yang seberat ini?"

Tanya Suma-liehiap lagi.

"Ini mungkin satu-satunya cara agar ia dapat bertemu ayahnya."

Harus Suma-liehiap akui, dengan nama buruk yang dimiliki Li Hiang, anak kecil ini memang amat sangat sukar bertemu ayahnya itu. Melihat bahwa pendekar wanita she93 Suma itu tertegun, Hok Lian Si menyambung.

"Sudah tersabar di dunia persilatan bahwa tayhiap berdua sedang mencari Li Hiang agar dapat meminta pedangnya untuk ditukar dengan anak tayhiap berdua yang hilang. Cayhe pikir, dengan mengekor tayhiap berdua, cayhe dapat pula menemukan Li Hiang."

Suma-liehiap mengangguk.

"Menurut nona yang terluka ini, Li Hiang berada di paviliun di depan sana. Kami akan pergi kesana, 93 Marga295 namun tidak tega meninggalkan nona ini sendirian di sini."

"Li... Hiang... sudah... tidak... berada di paviliun ... ia pergi men... cu... ri bu... nga ra... ha sia... ka...mi"

Sim Lan menimpali.

"Anggrek Tengah Malam? Jika bunga itu jatuh ke tangannya, ia akan berubah seperti harimau diberi sayap94."

"Kau jaga saja nona ini, aku yang berangkat ke sana."

Suma tayhiap segera bergerak tanpa menunggu jawaban dari istrinya.

"Ginkang95 yang mengagumkan"

Puji Hok Lian Si.

Suma-liehiap tidak mau menunggu.

Suaminya tadi pergi meninggalkan beberapa perlengkapan.

Di dalam perlengkapan itu terdapat kain panjang yang bisa dibuat tenda.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan cekatan ia membuat tenda, dengan dibantu Hok Lian Si.

Setelah membuat tenda, mereka memindahkan Sim Lan ke dalam tenda itu, lalu mencoba membuat api.

Di cuaca yang sedingin itu, membuat api adalah sebuah hal yang hampir tidak mungkin.

Tapi Suma- 94 Maknanya .

berlipat ganda kesaktiannya 95 Ilmu meringankan tubuh296 liehiap bukan orang sembarangan.

Pengalaman hidup telah mengajarkannya banyak hal.

Ia ternyata membawa sejenis ramuan khusus yang berbau menyengat.

Ia mengorbankan salah satu pakaian dalam perlengkapannya sebagai bahan bakar.

Ramuan menyengat itu dituangkannya ke pakaian itu, lalu tangannya menyambitkan sesuatu.

Tak berapa lama, api telah membesar! Kehangatan menyelimuti tenda sederhana itu.

Hok Lian Si sendiri telah menidurkan anaknya.

Di umur yang belum lagi genap 5 tahun, anak kecil itu sama sekali tidak rewel dan bersikap sangat tenang.

Murid perempuan perguruan Go Bi Pay itu lalu mengeluarkan perbekalan agar dinikmati bersama.

Seguci arak pun menghangatkan tubuh mereka.

Mereka pun beristirahat sejenak.

Badai salju sudah mulai turun.

Untunglah Suma-liehiap mengingatkan tenda itu kepada sebuah pohon yang amat besar di sela-sela pohon lain, sehingga keadaan mereka sangat terlindungi.

Setelah beristirahat beberapa, Hok Lian Si meminta diri.

Ia merasa harus segara menemukan Li Hiang untuk menyerahkan anak itu.

Kata Suma-297 liehiap.

"Kenapa tidak menunggu suamiku pulang saja, ia pasti berhasil menemui Li Hiang."

"Aih... bukannya cayhe berpikiran buruk, tetapi pertemuan kedua pendekar seperti Suma-tayhiap dan Si Jubah Merah, tidak jarang menghasilkan pertempuran yang hebat. Cayhe takut..."

Ia tidak melanjutkan ucapannya. Suma-liehiap mengerti sekali perasaan ibu muda itu. Ia akhirnya hanya bisa mengangguk dan menatap pendekar muda Go Bi Pay itu pergi dari sana.

"Cinta"

Hanya itu yang keluar dari mulutnya.

Walaupun ia tidak muda lagi, umurnya juga tidak bisa dibilang sudah tua.

Walaupun ia belum mengerti betul perasaan manusia, sedikit banyak ia tahu bagaimana cinta bisa menyebabkan hal-hal yang tak terduga dalam hidup manusia.

Cinta merubah banyak hal.

Cinta bisa membuat manusia waras menjadi gila.

Membuat orang sehat menjadi tuli, bisu, dan gagu.

Cinta pula yang bisa menumbuhkan semangat, dan melumpuhkan seseorang dalam saat yang bersamaan.298 Cinta lah yang menggerakkan ia dan suaminya pergi ribuan li jauhnya untuk mencari anaknya yang hilang.

Cinta pulalah yang membuat nona pendekar Gobi-pay menempuh badai sendirian untuk menemui kekasih hatinya.

Apakah cinta pula yang membuat seseorang pergi dari kehidupan orang lain? Apakah cinta pula yang membuat seorang suami meninggalkan istri? Membuat istri mengkhianati suami? Jika cinta mengakibatkan hal-hal yang penuh duka, mengapa pula seluruh umat manusia sepenuh hati ingin menemukannya? Salju jatuh dengan lembut.

Angin dingin menusuk tulang.

Dedaunan membeku.

Ranting mengering.

Cinta menghilang.

Semua ini adalah hal- hal yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan manusia.

Tak jauh di sana, tampak bayangan datang dengan perlahan.

Siapa pula yang datang dalam cuaca sedingin ini? Apakah karena cinta pula?299 Bayangan itu kini menjadi nyata, berubah menjadi sosok kurus berbaju kuning emas.

Kepalanya gundul, janggutnya sudah memutih seluruhnya.

"Salam, Suma-liehiap"

Kata orang itu.

"Salam. Apakah cayhe sedang berhadapan dengan yang mulia pendeta Hong Tang dari Siau Lim- pay?"

Kata Suma-liehiap balas menjura.

"Pandangan Suma-hujin96 sungguh tajam. Pinceng97 sungguh kagum."

"Apakah yang mulia juga sedang mencari Si Jubah Merah?"

Tanya Suma-liehiap.

"Aih, sungguh pertanyaan yang berterus terang. Semakin menambah kekaguman pinceng. Tebakan hujin memang benar. Pinceng memang sedang mencari Si Jubah Merah, Li Hiang."

"Pemuda itu, begitu banyak manusia di dunia ini yang mencarinya?" 96 Nyonya Suma 97 Sebutan diri sendiri bagi seorang bhiksu300

"Omitohoud...omitohoud98..."

Kata bhiksu Hong Tang sambil menunduk-nunduk.

"Jika kita berbuat, maka kita akan menerima balasannya."

"Cayhe sudah mendengar berbagai perbuatan keji Si Jubah Merah ini. Di mana-mana ia menculik dan memperkosa anak gadis. Setelah itu masih sempat membunuh mereka pula. Bagaimana mungkin ada manusia yang sekejam ini? Sungguh dia memang pantas mati."

Tukas Suma-liehiap.

"Omitohoud... sesungguhnya seluruh manusia akan mati. Maka sebaiknya bertobatlah dan memilih jalan Buddha."

Suma-liehiap merenung. Lalu berkata.

"Suami cayhe, dan seorang pemudi dari partai Gobi-pay sedang mengubernya, ke arah sana."

Sambil menunjuk arah.

"Di belakang pinceng terdapat beberapa orang yang menuju kemari pula. Sebagian dari mereka, piceng khawatirkan akan menggangu hujin, dan nona yang sedang tidur itu."

"Siapa mereka?" 98 Buddha berbelas kasih301

"Ada beberapa orang yang pinceng kenal. Dan pinceng tahu mereka banyak sekali melakukan perbuatan yang menyimpang. Sebaiknya pinceng menanti mereka di sini."

"Jika mereka berniat jahat, cayhe berani menghadapinya"

Tukas Suma-liehiap. Ia adalah istri dari keluarga Suma. Jika ia berkata begitu memang bukan omong kosong belaka.

"Tentang keberanian dan kelihaian keluarga Suma, tidak ada seorang pun di kolong langit ini yang menyangkal. Tapi pinceng khawatir jumlah mereka lumayan banyak."

Tepat saat ia berkata begitu, terlihat sejumlah titik yang bermunculan dari jauh.

"Tujuh orang"

Pandangan mata bhiksu Siau Lim- pay memang tidak bisa diragukan. Ketujuh titik itu semakin mendekat, lalu terdengarlah teriakan yang dipenuh tawa.

"Seorang bhiksu tua berduaan dengan perempuan cantik di tempat sepi. Sungguh pemandangan yang menyenang kan."

"Eh, kau salah. Ia bersama dua orang perempuan."

Sahut salah seorang dari rombongan itu.302

"Aih, besar juga nafsu kakek ini."

Sahut seorang yang lain, yang kemudian ditimpali dengan tawa yang membahana.

"Omitohoud..."

Hanya itu yang keluar dari bibir bhiksu Hong Tang.

"Liok Lim Chit Koay99. Sungguh beruntung sekali!"

Sahut Suma-liehiap.

"Eh? Kau mengenal kami? Bagus juga matamu."

"Aku memang mencari kalian. Justru kalian yang datang sendiri kemari."

Jawab Suma-liehiap dingin.

"Hoho... Ada perempuan cantik mencari kami. Sungguh memang hal yang patut disyukuri. Hahaha."

Tanpa banyak bicara, Suma-liehiap sudah melolos pedang. Sian-kiam100. Semua orang di rimba persilatan mengenal pedang ini. Lebih-lebih lagi, pasti mengenal pemiliknya.

"Ah, pelacur she101 Suma"

Kata salah seorang. 99 Tujuh Orang Aneh Rimba Hijau 100 Pedang Dewi 101 Marga303 Kembali tawa mereka terdengar membahana. Tapi masing-masing sadar bahwa tawa ini bukanlah tawa bahagia. Ada sedikit rasa jerih melihat pedang itu.

"Mana suamimu? Apa sudah kau tinggal untuk kabur bersama bhiksu tua ini? Hahahaha"

"Tutup mulut. Lihat serangan!"

Begitu kata terakhir diucapkan, tubuh nyonya Suma ini sudah berkelebat secepat kilat menyerang ketujuh orang ini.

Tangan kirinya menyapu pedang dengan ringan.

Dalam satu serangan pedang, ketujuh orang ini sudah dibuat mundur seluruhnya! Tapi gerakan mundur ini langsung dibarengi dengan gerakan maju menyerang pula! Nyonya Suma terhenyak ketika menyadari bahwa kecepatan ketujuh orang ini tidak berada di bawahnya.

Gerakan mereka cepat dan ganas.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terlihat sembarangan dan tidak teratur.

Tapi seolah-olah saling mengisi.

Tak ada jalan lain baginya selain melangkah mundur.

Pedang di tangannya ia angkat ke depan, sambil melayang mundur.

Ketujuh orang itu pun melayang maju mengikuti gerakan sang nyonya.304 Ini adalah kesalahan mereka.

Karena gerakan mundur ini hanyalah sebuah pancingan belaka.

Saat melayang ke belakang itu tahu-tahu sang nyonya melempar pedang ke depan.

Lemparan itu merupakan sebuah lemparan yang teramat lihay sehingga pedang itu memutar bagaikan bor, dan menyapu ketujuh orang itu.

Mereka kaget.

Namun mereka bukan anak kemarin sore dalam dunia persilatan.

Nama mereka justru termasuk nama yang paling ditakuti.

Menerima serangan itu mereka tidak panik.

Walaupun sedang dalam posisi di udara, tubuh mereka tahu-tahu berhenti melayang dan berhenti seketika.

Di dunia ini, manusia yang mempunyai kemampuan berhenti di udara hanya bisa dihitung dengan jari.

Dan tujuh jari untuk menghitung itu adalah milik ketujuh orang ini.

Sebuah pameran ginkang102 yang sangat memukau! Saat mereka berhenti di udara, tahu-tahu secara aneh pula mereka telah bergerak ke segala arah, keluar dari daerah serangan pedang yang memutar bagai angin puting beliung itu.

Gerakan mereka malah jauh lebih cepat dan kali ini ketujuh 102 Ilmu meringankan tubuh305 tubuh mereka telah maju ke depan menghujam ke tubuh nyonya Suma! Bhiksu Hong Tang yang melihat kejadian ini kaget bukan main.

Ia bergerak menolong nyonya itu, tapi ia tahu ia pasti terlambat.

Walaupun gerakannya tidak kalah cepat dengan ketujuh orang ini, ia telah kedahuluan mereka.

Mereka bergerak lebih dulu.

Dengan ledakan tenaga dan kecepatan yang mengagumkan pula! Ia tahu ia terlambat! Nyonya itu kini melayang mundur ke belakang tanpa pedang.

Ia tak memiliki senjata apapun untuk bertahan dari hujaman serangan ketujuh orang aneh ini.

Ia seolah-olah sudah tidak memiliki harapan lagi.

Tapi orang-orang yang berada di sini semuanya lupa.

Ia adalah nyonya dari keluarga Suma.

Itu saja sudah cukup! Entah bagaimana pedang yang tadi sudah dilepaskannya kini bisa kembali berbalik.

Gerakan baliknya pun datangnya jauh lebih cepat dari saat perginya tadi.

Ketujuh orang ini begitu mendengar suara gemerincing suara pedang yang meluncur cepat306 ke arah mereka serta merta membuyarkan serangan mereka.

Kembali secara aneh tubuh mereka berhenti di udara untuk kemudian melayang secara acak dengan cepat kembali ke tempat semula mereka tadi.

"Hebat!"

"Mantap!"

Mulut mereka memuji.

"Majulah!"

Teriak nyonya itu dengan berani.

"Dosa kalian sudah terlalu banyak. Korban yang kalian bunuh sudah tak terhitung jumlahnya. Kejahatan yang kalian perbuat sudah tidak bisa dimaafkan lagi."

"Eh? Memangnya kau tidak pernah berbuat dosa? Hahahaha. Dasar munafik!"

Tukas salah seorang.

Mereka bergerak lagi.

Gerakan mereka serampangan dan asal-asalan.

Entah ke mana arah yang dituju.

Tapi gerakan mereka serempak dan susul menyusul.

Kali ini bhiksu Hong Tang tidak tinggal diam.

Ia melompat ke arah serangan ketujuh orang itu dan memotong gerakan mereka.

Setiap gerakan anggota Siu Lim-pay selalu ringan dan penuh tenaga.

Apalagi ia307 adalah pendeta dengan gelar ?Hong?.

Gelar itu adalah gelar bagi bhiksu-bhiksu utama dalam Siu Lim-pay.

Gerakan ketujuh orang ini menjadi kacau ketika bhiksu Hong Tang masuk ke dalam arus pusaran gerakan mereka.

Sebagai salah satu pendekar terkemuka di dunia persilatan, kemampuan bhiksu ini memang sangat tidak bisa diragukan.

Terdengar suara gemuruh angin yang keluar dari tangannya saat ia melancarkan serangan.

Padahal ia melancarkan serangan dengan ringan.

Terlihat cahaya berwarna emas keluar dari telapak tangannya.

Cahaya emas itu terlihat menyerupai tapak pula.

Muncul dalam jumlah yang sangat banyak mengejar setiap anggota tujuh orang aneh itu.

"Tapak Budhha!"

Teriak mereka.

Nyonya Suma pun cuma melongo.

Ini adalah jurus yang dikabarkan telah menghilang dari dunia persilatan.

Bahkan konon tak ada seorang pun anggota Siau Lim-pay yang menguasainya! Cahaya telapak emas itu menghujam ke seluruh tubuh ketujuh orang itu.

Tanpa ampun tubuh mereka308 terjengkang dan formasi serangan mereka berantakan.

Ilmu silat yang mampu membuat penggunanya mengeluarkan cahaya yang menyerupai sinar sampai saat ini hanya berupa dongeng belaka.

Tak ada seorang pun yang pernah melihatnya apalagi menguasainya.

Ilmu-ilmu ini adalah milik dari pendekar jaman dahulu yang diyakini telah menghilang dari dunia persilatan.

Selain Tapak Buddha, jurus 18 Tapak Naga juga adalah salah satu jurus yang membuat penggunanya mampu mengeluar kan kekuatan yang menyerupai cahaya.

Seperti juga ilmu tapak Buddha, ilmu 18 Tapak Naga ini diyakini menghilang dari dunia persilatan.

Namun ada kabar angin yang mengatakan bahwa Siau Lim-pay sebagai pusat ilmu silat, menyimpan kitab-kitab ilmu hebat ini di dalam perpustakaannya.

Berhubung nama Siau Lim-pay adalah nama yang paling angker dan sangat dihormati di dalam dunia persilatan, tidak ada seorang pun yang cukup gila untuk bertanya keberadaan kitab-kitab itu kepada Siau Lim-pay.

Jadi saat Hong Tang-thaysu (Bhiksu Hong Tang) mengeluarkan jurus Tapak Buddha, yakinlah seluruh309 orang yang berada di tempat itu bahwa kuil Siau Lim- pay memang menyimpan kitab-kitab ini.

Ketujuh orang itu tergeletak di tanah.

Darah muncrat dari mulut mereka.

Sepanjang hayat mereka tak pernah menyangka bahwa gerakan mereka yang khas serta dahsyat itu sanggup dipatahkan hanya oleh sebuah gerakan.

Pertarungan ilmu silat kelas tinggi memang tidak memerlukan waktu yang lama.

Sepersekian detik saja sudah mampu menentukan hidup dan mati seseorang.

"Buddha maha pengampun. Semoga sejak saat ini kalian tidak lagi melakukan dosa."

Lalu bhiksu itu berbalik badan dan meninggalkan mereka.

Ketujuh orang yang terkapar itu tak tahu harus berbuat apa.

Mereka telah kalah dalam satu jurus.

Tapi orang yang mengalahkan mereka justru mengampuni mereka dan berbuat seolah-olah mereka tidak berharga untuk dibunuh.

Bagi mereka ini adalah penghinaan! "Bhiksu keparat!"

"Kau pikir kami takut kepadamu?!"310 Dengan sisa-sisa kekuatan mereka, ketujuh orang ini berdiri. Harus diakui kekerasan hati mereka. Siapapun yang terpukul oleh ilmu Tapak Buddha akan mengalami luka dalam yang sangat parah. Jika tidak segera memulihkan tubuh, organ-organ bagian dalam tubuh mereka akan rusak selamanya.

"Manusia yang tidak tahu terima kasih ini memang sepertinya harus dipenggal lehernya agar bisa diam"

Sahut Suma-liehiap.

Pedang di tangan kiri nyonya Suma terangkat lembut.

Matanya terang memandang ketujuh orang di hadapannya.

Rambutnya berkibar mewangi.

Walau pun pedang adalah sebuah senjata yang kejam, di tangan nyonya ini berubah menjadi anggun dan penuh kelembutan.

Ketujuh orang ini bergerak serentak! Tapi apa daya, tubuh mereka telah terluka berat, gerakan mereka menjadi lamban, serangan mereka kehilangan kekuatannya.

Sian Kiam103 melayang.

Masih tetap cepat, masih tetap mengagumkan, masih tetap indah dipandang mata.

103 Pedang Dewi311 Pedang itu melayang, tujuh leher pun meninggalkan tempatnya.

Lalu setelah selesai, dengan aneh pedang itu pun kembali ke tangan nyonya muda nan cantik ini, seolah-olah peliharaan yang memiliki sayap terbang kembali pulang ke pemiliknya.

"Omitihoud..."
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sang bhiksu hanya bisa menghela nafas menyaksikan pemandangan ini.

"Musuh yang sudah kalah, pantas untuk diampuni. Tetapi musuh yang sudah kalah namun tidak tahu diri, memang pantas untuk mati."

Suara nyonya ini lembut namun dalam. Ia yakin benar terhadap setiap patah kata yang dikatakannya.

"Ilmu pedang yang sungguh hebat sekali. Apakah ini adalah ilmu pedang keluarga Suma?"

"Bukan, thaysu104. Ini adalah ilmu pedang asli milik keluarga ibu cayhe saat cayhe belum menikah."

"Sungguh mengagumkan. Tetapi nyonya harus mencari cara untuk menutup kawat halus lembut yang menyambungkan pedang itu dengan jemari nyonya. Bagi orang yang pandangannya cukup tajam, kawat itu 104 bhiksu312 adalah titik kelemahan ilmu pedang ini."

Ujar Hong Tang-thaysu.

Seketika nyonya itu terhenyak.

Sang thaysu menemukan kunci ilmu pedangnya hanya dengan sekali pandang.

Tingkat ilmu silat dan kepandaian bhiksu ini amat sangat sukar untuk diukur.

Dalam seumur hidupnya, mungkin bhiksu inilah orang yang paling hebat yang pernah ditemuinya.

"Terima kasih atas petunjuk thaysu105, semoga kelak cayhe bisa lebih menyempurnakan lagi ilmu ini."

Jawab nyonya Suma penuh terima kasih.

"Suami nyonya tidak membantu nyonya dalam hal ini?"

Tanya sang thaysu.

"Aih, sepanjang hidupnya dihabiskan untuk mendalami ilmunya sendiri, bagaimana sempat mengurusi ilmu orang lain?"

Kata nyonya itu sambil tertawa.

Walaupun ia seperti mengejek suaminya, cahaya mata dan senyum dibibirnya menunjukkan kebanggaan dan cinta yang amat dalam terhadap suaminya itu.

Bhiksu itu hanya tersenyum.

Ia mengerti sekali sifat para pendekar.

Menghabiskan seluruh hidup untuk 105 bhiksu313 mendalami ilmu silat, untuk kemudian menemui ajal karena silat pula.

Ia sendiri pun seperti itu.

Kadang-kadang menertawakan orang lain sebenarnya adalah menertawakan diri sendiri.

Tahu-tahu dari balik balik pepohonan, muncul sesosok tinggi jangkung yang rambutnya telah memutih.

Melihat ini nyonya Suma dan Hong Tong- thaysu terhenyak.

Sejak tadi mereka tidak tahu jika sudah ada orang lagi yang datang di tempat itu.

Ini menunjukkan bahwa sosok yang baru datang ini ilmunya masih berada di atas Hong Tang-thaysu! "Omitohoud...

apakah pinceng sedang berhadapan dengan Pendekar Pedang Kelana, Can Li Hoa-tayhiap?"

Pendekar jangkung yang sudah tua itu hanya mengangguk.

"Hong Tang-thaysu terlalu sungkan."

"Ayah? Buat apa kemari?"

Sahut nyonya Suma.

"Kau sudah menemukan anakmu?"

Tanya Pendekar Pedang Kelana.

"Belum. Tapi Tian-ko106 sudah hampir berhasil menemukan Li Hiang." 106 Kakak Tian314 Yang dimaksud Tian-ko adalah suaminya sendiri, Suma Tian. Pendekar Pedang Kelana lalu berkata.

"Mainkan kembali ilmu pedangmu!"

Nyonya Suma paham.

Tadi ilmu pedangnya sempat dikritik oleh Hong Tang-thaysu, oleh karena itu ayahnya ingin membenahi ilmu pedang itu di hadapan Hong Tang-thaysu.

Ia lalu bergerak dengan cepat.

Pedang melayang, berputar, dan bergerak dengan indah.

Meluncur dari tangannya seperti anak panah, lalu berputar kembali dan ditangkap oleh nyonya itu.

Saat melihat gerakan itu, ada perasaan tersendiri yang timbul di hati Pendekar Pedang Kelana.

Ilmu itu adalah ilmu istrinya.

Merupakan warisan dari keluarga istrinya.

Ia dulu tidak punya waktu untuk membenahi ilmu itu, karena ia sendiri terlalu sibuk mendalami ilmu pedangnya.

Saat istrinya meninggal dalam pertempuran, itu karena lawan berhasil memecahkan rahasia ilmu itu.

Dirinya sendiri berhasil membalas dendam, namun kesedihan yang mendalam membuatnya menghilang dari dunia persilatan.315 Kini saat melihat anaknya sendiri memainkan ilmu itu, perasaan Can Li Hoa, sang Pendekar Pedang Kelana seolah-olah terbang melayang.

Begitu besar kemiripan anak semata wayangnya ini dengan istri yang sangat dicintainya.

Gerakannya begitu sama, wajahnya begitu sama pula.

Anak-anak harusnya mengerti, bahwa betapa mereka adalah bayangan dari orang tuanya sendiri.

"Mana pedangmu?"

Nyonya muda itu menyerahkan pedang tersebut kepada ayahnya.

"Perhatikan!"

Sang ayah lalu bergerak. Gerakan yang amat sederhana namun luwes. Hampir tidak ada keistimewaan apa-apa. Tapi Hong Tang-thaysu dan nyonya Suma ini paham betapa gerakan itu sanggup menghadapi ilmu tinggi mana pun.

"Kau sudah paham?"

Tanya sang ayah.

"Sudah!"

Tukas si nyonya sambil tersenyum. Seorang wanita, umur berapapun, jika bertemu ayah yang sangat disayanginya, pasti akan bersikap semanja ini.316

"Ayo kita cari anakmu"

Kata sang ayah.

"Aku harus menjaga nona itu... kasihan"

Jawab si nyonya. Sang ayah menatap nona yang tertidur di dalam tenda kecil itu cukup lama.

"Baiklah. Aku sendiri yang akan menyusul suamimu"

Ia lalu menoleh kepada sang bhiksu.

"Hong Tang-thaysu, mari."

Ajaknya.

"Mari!"317 BAB 13. C I N T A Nyonya Suma melihat kepergian ayahnya serta Hong Tang-thaysu dengan berseri-seri. Ada kedua orang ini, harapannya bertambah besar. Ia kemudian kembali ke tendanya untuk berteduh. Ketujuh mayat orang aneh itu telah tertutup salju. Tak berapa lama si nona yang tadi tertidur sudah bangun.

"Kepalaku pening sekali, nyonya"

Katanya.

"Beristirahatlah. Kau terluka. Dalam beberapa jam lagi, keadaanmu akan membaik, dan aku bisa meninggalkanmu."

"Terima kasih sekali atas bantuan nyonya."

Kata Sim Lan sambil tersenyum.

Ia dan nyonya Suma itu lalu bersandar di sebatang pohon besar tempat mereka mengikat tenda.

Salju sudah tidak sederas tadi.

Dari kejauhan kembali terlihat orang yang datang.318 Ia datang sambil berlari-lari.

Semakin dekat, Sim Lan mengenalnya.

Itu adalah Subo107 nya sendiri.

"Eh, Lan-moy108 ? Apa yang kau lakukan di sini? Kau terluka?"

Tanya Bwee Hua. Sim Lan sadar bahwa gurunya sedang bersandiwara. Dalam hati ia tersenyum, tapi di luaran ia menunjukkan wajah khawatir.

"Ting-ci109, kau baru datang? Aihhhhh."

Wajahnya menunjukkan kesedihan yang amat besar.

"Begitu mendengar kabar bahwa subo kita melarikan diri ke Paviliiun Musim Dingin, aku segera bergerak ke sini"

Jawab Bwee Hua yang sekarang namanya sudah diganti Sim Lan menjadi Ting-ci.

"Kau... kau... terlambat... aihhh."

Air mata menetes dengan deras dari pipi Sim Lan.

"Terlambat? Apakah... apakah subo... sudah ..."

Ting-ci pun terbata-bata. 107 Guru perempuan, Ibu Guru 108 Adik Lan 109 Kakak Ting319

"Subo... subo telah tewas... dibunuh Li Hiang keparat itu... hu... hu hu..."

Tangisannya pun tambah membesar.

"Aih"
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ting-ci pun menangis.

Menangisnya pun terlihat penuh kesedihan.

Dua orang kakak-adik seperguruan ini saling berpelukan.

Suma-hujin sangat tersentuh melihat keadaan ini.

Dengan lemah lembut ia mendekat untuk menenangkan kedua nona yang sedang berduka ini.

Inilah kesalahannya.

Perempuan selalu tersentuh melihat penderitaan perempuan lain.

Bwee Hua mengerti sekali hal ini.

Karena Bwee Hua adalah perempuan.

Perempuan yang kejam.

Entah dari mana, dengan kecepatan yang tak pernah bisa dibayangkan, telapak Bwee Hua yang penuh dengan tenaga dalam yang dahsyat telah menghantam dada Suma-hujin! Tubuhnya terpental jauh beberapa tombak.320 Suma-hujin memuntahkan darah kental yang menghitam.

Tubuhnya terpukul sebuah pukulan kejam yang terlalu dahsyat.

Tapi ia masih bergerak.

Melihat ini pun, Bwee Hua heran.

"Eh? Kau masih hidup?"

"Ka... kau... ke... jam..."

Nafas Suma-hujin sudah satu-satu, tetapi ia masih ingin berdiri dengan gagah.

Siapapun kau, jika kau menyandang nama Suma, kau pun akan berdiri gagah dalam keadaan seperti ini.

Tubuhnya sudah bergetar, tak ada lagi kekuatan yang tersisa.

Tetapi perempuan ini tetap memaksa untuk berdiri.

Dan ia berdiri.

Ia memang pantas menyandang nama Suma.

Memandang ini, Bwee Hua tersenyum manis.

"Kau tidak mengecewakan. Orang lain pasti sudah mampus."

Suma-hujin bukan orang lain.

Ia adalah Suma-hujin.

Pedang masih berada di pinggangnya.

Untuk bernafas saja ia sudah kepayahan, apalagi untuk bergerak.

Tapi tangannya tetap berusaha menggapai pedang yang ada di pinggangnya.

Tangan dan321 pinggang itu jaraknya hanya sejengkal.

Tetapi seolah- olah berjarak ratusan li110.

Pada saat tangannya telah berhasil menyentuh pedang, wajahnya yang tadi sepucat mayat kini mulai sedikit merona merah.

Bagi keluarga Suma, pedang bukan senjata.

Pedang adalah harga diri.

Jika anggota keluarga Suma mati, maka matinya pun harus memegang pedang.

Dengan sisa-sisa kekuatannya, nyonya ini menarik keluar pedangnya.

Dibutuhkan waktu yang sangat lama baginya untuk melakukannya.

Bwee Hua hanya tertawa.

"Kau akan melawan ku? Dalam satu dua langkah saja kau akan jatuh tergelepar mampus."

"Kau... kah... Bwee... Hua...?"

"Tidak ada yang lain."

Senyum manis itu tetap tersungging di wajahnya.

"Di... ma... na anak... ku..?"

"Sebentar lagi tiba. Jika kau tidak keburu mampus, kau mungkin masih bisa bertemu dengan 110 kilo322 nya."

Sambil berkata begitu matanya memandang dari kejauhan, seperti menunggu kedatangan seseorang.

Mendengar ini, nyonya Suma terlihat sedikit lega.

Di akhir hidupnya ia masih bisa bertemu dengan anak kesayangannya.

Semangatnya pulih kembali.

Konon katanya, keinginan yang besar untuk menemui seseorang, dapat menunda kematian.

Perkataan ini mungkin ada benarnya.

Di dunia ini tidak ada seorang pun yang bisa bertahan selama ini terhadap pukulan telapak Bwee Hua.

Jika bukan karena cinta yang membara terhadap anaknya, tidak mungkin nyonya Suma sanggup berdiri selama itu.

Dengan menggunakan pedang sebagai tongkat, ia menunggu dengan sabar.

Orang yang ditunggu pun datang.

Ia bertubuh tinggi besar dengan kepala botak namun memiliki janggut lebat berwarna keemas-emasan.

Ia membawa sebuah karung besar di pundaknya.

Begitu melihat Bwee Hua, ia berlutut dan memberi hormat.

Tak ada suara yang keluar dari mulutnya karena ia bisu.

"Kau tepat waktu. Tadinya kupikir ibu cantik ini tak akan punya kesempatan untuk melihat anaknya. Keluarkan dia!"

Perintah Bwee Hua.323 Orang tinggi besar mengangguk dengan penuh hormat dengan mengeluarkan isi kantong besarnya. Ternyata Suma Sun adalah isinya. Anak ini tertotok, tak bergerak dan tak bersuara. Melihat anaknya, betapa gembiranya Suma- hujin.

"San... ji... san... ji111."

Suara dari mulutnya lirih hampir tak terdengar.

Tetapi telinga Suma Sun tentu mendengarnya.

Karena tertotok, ia tidak sanggup membalas panggilan itu.

Si gundul kekar itu lalu meletakkan Suma Sun dengan posisi duduk di tanah.

Sang ibu berusaha maju meraih anak satu-satunya itu.

Jarak mereka demikian dekat, namun demikian jauh.

Suara sang ibu terngiang-ngiang di telinganya begitu jelas.

Tetapi ia tak sanggup menjawab panggilan itu.

"San... ji... kau... sehat... kah?"

Begitu dalam cinta seorang ibu, sehingga yang ia khawatirkan bukanlah dirinya sendiri yang sudah 111 Anak San324 hampir sekarat, melainkan anaknya yang paling dicintainya.

"San... ji... ba... ik kah... kau?"

Hanya air mata yang menetes.

Menetes dari mata ibu dan anak.

Cinta manusia tak akan bisa sedalam ini.

Tak akan bisa melebihi cinta seorang ibu terhadap anaknya.

Anaknya yang paling dikasihinya hanya berjarak selangkah lagi.

Tangan sang ibu sudah meraih ke depan.

Tapi wajah orang yang paling dicintainya itu terasa begitu jauh.

Begitu sukar diraih.

Cinta memang selalu seperti ini.

Begitu dekat namun begitu sulit diraih.

"San... Ji... sayang..."

Pemandangan ini adalah pemandangan yang tak ada satu pun pemandangan yang sanggup me- ngalahkan nilai kesedihan, kedukaan, dan penderitaan nya.

Seorang anak yang tak dapat membalas panggilan ibunya yang sekarat.325 Seorang ibu sekarat yang tak dapat menyentuh wajah anak yang paling dikasihinya.

Gerakan sang ibu begitu lemah.

Begitu lunglai.

Wajahnya memucat pasi bagai salju yang putih bersih.

Tapi sorot matanya begitu bercahaya.

Begitu penuh kasih yang murni.

Hanya cinta kasih seorang ibulah yang membuat dunia tidak segelap ini.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seperti cahaya kecil di dalam kegelapan malam yang paling pekat.

Tangan itu gemetar meraih ke depan.

Tubuh Suma Sun yang telah tertotok pun bergetar.

Begitu besar cinta dan harapannya sehingga membuat tubuh yang telah tertotok itu sanggup bergerak sedikit deni sedikit.

"Menarik."

Tukas Bwee Hua sambil tersenyum.

Tangan itu sudah hampir meraih wajah mungil itu.

Wajah itu pun sudah seperti merasakan sentuhannya.

Sedikit lagi.

Sedikit lagi.

Tapi yang sedikit itu sering kali tidak pernah terjadi.326 Bwee Hua telah melempar sebuah pedang yang memutus tangan indah itu.

Tangan indah seorang ibu yang ingin menyentuh anaknya untuk yang terakhir kali.

Darah muncrat dari tangan kutung itu.

Membasahi wajah mungil di depannya.

Suma Sun tahu apa yang terjadi.

Darah ibunya telah bercampur dengan air matanya.

"Te... nang sa yang... se...mua akan... baikba..ik saj...a"

Suara itu tanpa tenaga, namun begitu lembut menenangkan.

"Kau... ada... lah... se... orang... Suma"

Lalu ia roboh.

Tanpa pernah menyentuh anaknya untuk yang terakhir kali.

Hanya air mata bercampur darah di wajah Suma Sun.

Ia adalah seorang Suma.

Kata-kata ini akan diingat selamanya.

Seorang Suma bukanlah sebuah nama yang sia- sia.

Nama ini telah menggetarkan jantung orang327 ratusan tahun yang lalu.

Ribuan tahun ke depan pun nama ini akan menggetarkan jantung orang.

Dan nama yang akan paling menggetarkan sukma adalah Suma Sun.

Di dalam hatinya ia telah menjanjikan hal itu.

Di masa depan nanti, saat bibir seseorang mengucapkan nama Suma, maka pemilik bibir itu harus merasakan ketakutan dan kepedihan yang dialaminya sekarang ini.

Karena ia adalah seorang Suma.

"Apalah arti nama Suma jika kemampuannya hanya sekosong ini?"

Tawa Bwee Hua mengejek.

Suma Sun mendengarkan perkataan itu dengan jelas.

Suara lembut dan menggairahkan dari seorang perempuan.

Suara itu dulu begitu lembut dan penuh cinta.

Suma Sun bahkan telah jatuh cinta kepada pemilik suara lembut ini.

Tapi cinta itu telah berubah seketika menjadi kebencian yang amat sangat dalam.328 Begitu mengherankan ketika cinta berubah menjadi benci.

Terkadang karena dendam yang begitu membara.

Terkadang hanya karena perkara sepele.

Kebencian yang mendalam justru kadang lahir dari perasaan cinta yang mendalam pula.

Suatu saat nanti, suara yang lembut ini akan merasakan jawaban dari pertanyaan itu.

Jawaban dari pertanyaan "Apa hebatnya keluarga Suma?"

Hatinya telah membeku.

Air matanya telah mengering.

Jika air mata seseorang telah mengering, yang tinggal di hatinya hanyalah api yang membara.

Dan api yang membara itu sangat menakutkan.

Ia telah berhenti menangis.

Karena ia adalah seorang Suma.

Memiliki nama Suma baginya sudah cukup.

Sudah amat sangat cukup.

"Gouw Han Sing, masukkan kembali anak itu ke dalam karung mu."

Si raksasa bisu itu kemudian menuruti perintah.

Bwee Hua sendiri kemudian berjalan menuju tubuh nyonya Suma.

Ia lalu mengeluarkan sebuah botol kecil.

Ketika tutupnya dibuka, tercium aroma329 harum tajam yang menusuk.

Ia lalu mengeluarkan satu tetesan saja ke tubuh nyonya malang itu.

Tak berapa lama terdengar suara mendesis.

Tubuh itu sedikit demi sedikit hancur dan menguap! Suara desis yang menyeramkan itu bercampur dengan bau daging terbakar dan bau harum yang menusuk.

Tak berapa lama, tubuh nyonya malang itu hancur seluruhnya.

Tanpa bekas! Hanya pedangnya yang tertinggal.

Pedang itu dipungut Bwee Hua, sambil tertawa senang ia menukas.

"Lumayan."

"Sim Lan, bereskan tenda itu lalu tumpuk rapat- rapat dengan salju. Jangan sampai orang menemukan jejak."

Perintahnya. Dengan sigap Sim Lan melaksanakan perintah itu.

"Orang-orang yang datang, sebagian sudah bisa diatasi orang-orang kita. Cecunguk-cecunguk tak penting sudah mati semua. Hanya beberapa orang dari perguruan ternama yang masih susah untuk diatasi. Tapi orang-orang kita berhasil menahan perjalanan mereka untuk sementara."

Kata Bwee Hua.330

"Oh pantas saja teecu112 belum melihat mereka berdatangan"

Tukas Sim Lan.

"Ayo kita pergi menyusul. Di atas sana suasana pasti sudah ramai sekali. Aku ingin menonton keramaian!"

Salju putih turun di musim dingin.

Bagi Suma Sun, musim dingin kali ini mungkin adalah yang paling dingin di sepanjang umurnya.

112 murid331 BAB 14.

PERTARUNGAN DI GUNUNG SALJU "Sim Lan, kau harus segera menemui Can Li Hoa, pendekar pedang kelana.

Katakan bahwa nyonya Suma sedang bertarung mati-matian di bawah sini melawan Bwee Hua.

Usahakan agar ia kembali bersamamu ke sini, Jika mereka tidak menemukan nyonya Suma, katakan bahwa mungkin nyonya itu sudah mengejar Bwee Hua, karena kau melihat Bwee Hua membawa Suma Sun.

Sampai di bawah sekali, ada orang-orang kita siap melayani mereka.

Begitu pertarungan di mulai, kau harus bersiap-siap menghilang.

Ada orang yang akan membantumu nanti"

"Baik. Suhu."

Setelah Sim Lan berangkat, Bwee Hua dan Gouw Han Sing pun menyesulnya.

Cuma kali ini mereka memilih masuk ke hutan di samping jalan setapak di dekat pavilliun itu dan bersembunyi di sana.332 Untuk urusan bersembunyi ini Bwee Hua memang sudah sangat ahli.

Setelah menunggu cukup lama, ternyata Sim Lan berhasil.

Dari kejauhan ia terlihat berlari bersama Can Li Hoa, dan Hong Tang-thaysu.

Bwee Hua tersenyum puas melihat kerja murid kesayangannya itu.

Setelah bayangan mereka menghilang, dengan cepat ia pergi ke arah pavilliun.

Mencoba mengikuti jejak Li Hiang dan Suma Tian, serta nona dari Go Bi-pay itu.

Sim Lan memang berhasil.

Sejak kecil ia telah dilatih sendiri oleh Bwee Hua.

Tipu menipu, muslihat, serta akal-akalan keji memang adalah senjata utama Bwee Hua.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika sampai di tempat semula, Sim Lan melakukan hal yang diperintahkan Bwee Hua, mengatakan bahwa nyonya Suma mungkin sudah mengejar Bwee Hua ke bawah.

Kedua orang ini, Can Li Hoa serta Hong Tong- thaysu bukanlah orang-orang baru dalam dunia persilatan.

Pengalaman mereka sudah sangat matang dalam pertempuran.

Tetapi mereka orang-orang berhati lurus yang mengabdikan hidup memepelajari ilmu silat.

Segala macam tipu muslihat keji tidak333 pernah terpikirkan dalam jiwa mereka yang putih bersih itu.

Apalagi Sim Lan adalah seorang nona cantik yang lemah.

Di situlah memang kesalahan laki-laki.

Justru nona cantik muda usia yang terlihat begitu polos dan tak berdosa, malah sebenarnya menyimpan rahasia dan kelicikan-kelicikan yang menakutkan.

Laki-laki yang tertipu perempuan jenis ini memang sungguh banyak.

Laki-laki yang belum pernah tertipu perempuan jenis ini juga sama banyaknya.

Laki-laki yang tidak tertipu perempuan jenis ini, malah bisa dihitung dengan jari.

Mereka dengan sekuat tenaga menyusul ke jalan bawah gunung.

Untuk kemudian menerima ratusan, bahkan ribuan serangan Am Gi113.

Senjata seperti ini walau tidak berbahaya, juga tidak bisa dianggap remeh.

Kedua orang yang namanya mungkin sudah patut diperhitungkan sebagai jago-jago terkemuka di jamannya, menerima serangan itu dengan tenang.

113 Senjata rahasia334 Tetapi di dalam hati mereka sungguh heran mengapa senjata ini disambitkan dengan kecepatan yang sangat tinggi, dan seolah-olah tidak ada habisnya.

Entah berapa lama baru serangan Am Gi itu selesai.

Begitu mereka menoleh, Sim Lan sudah melompat ke dalam sebuah air tarjun yang sangat dalam! Air terjun itu seolah-olah membeku.

Can Li Hoa ingin melompat juga, tetapi dicegah oleh Hong Tang- thaysu.

"Tayhiap, jangan. Ini sebuah adalah jebakan!"

Dengan mara Can Li Hoa menghambur ke berbagai jurusan tempat sumber Am Gi itu meluncur. Ketika sampai di sana ia hanya menemukan beberapa kotak aneh. Kotak itu tersebar di mana-mana, terikat di cabang-cabang pohon secara tersembunyi.

"Jadi kotak-kotak ini lah yang menyambitkan Am Gi beracun itu"

Katanya.

"Hati-hati tayhiap, siapa tahu serangan berikutnya akan datang lagi"

Kata Hong Tang-thaysu mengingatkan.335

"Aih, siapa orangnya yang sanggup menciptakan senjata macam begini. Di dalam kotak ini mungkin terdapat semacam pegas yang sanggup melontarkan ribuan Am Gi."

Tukas sang Pendekar Pedang Kelana.

"Angkatan muda jaman ini sungguh telah maju pemikirannya. Menciptakan benda-benda yang sangat mengagumkan."

Puji Hong Tang-thaysu tulus.

"Thaysu, ku mohon thaysu segera kembali ke gunung di atas. Cayhe akan mencoba menemukan putriku."

"Baiklah. Hati-hatilah cianpwee."

Mereka berpisah.

Sampai ke ujung dunia pun pendekar tua ini mencari putrinya, ia tak akan pernah menemukannya.

Manusia yang tidak pernah menemukan apa yang dia cari, adalah manusia-manusia yang patut dikasihani.

Suma Tian memandang lelaki di depannya.

Setelah sekian lama ia mencari jejaknya, akhirnya bertemu juga.336 Lelaki itu memang sangat tampan, seperti cerita yang pernah didengarnya.

Belum pernah ia melihat lelaki setampan itu.

Ia memakai jubah merah.

Duduk sendirian di atas batu besar yang sudah hampir tertutup salju.

Udara dingin seperti tidak berpengaruh pada dirinya sama sekali.

Di tangannya, ia menggenggam sebuah bunga.

"Kau yang bernama Li Hiang?"

Tanya Suma Tian. Yang ditanya hanya diam. Lalu memandang sebentar. Ia tersenyum kecut, kemudian mengangguk.

"Aku datang ingin meminta kemurahan hatimu, lalu kemudian meminta nyawamu."

Perkataan ini sungguh aneh. Tidak kalah aneh dengan orang yang mengucapkannya. Li Hiang tertawa.

"Boleh ku tahu siapa nama tuan yang terhormat?"

"Namaku Suma Tian"

"Ah, keluarga Suma?"337 Siapapun di kolong langit ini memang pernah mendengar nama ini. Tapi sangat jarang yang pernah bertemu langsung dengan salah satu pemilik nama ini.

"Jika kau menginginkan bunga ini, mohon maaf aku tak dapat memberikannya."

"Aku tidak ingin bunga itu. Aku hanya menginginkan sebuah pedang."

Li Hiang paham pedang apa yang dimaksud.

"Aku tidak bisa memberikannya kepadamu. Aku telah berjanji untuk memberikannya kepada orang lain."

Jawab Si Jubah Merah.

"Siapa?"

Tanya Suma Tian.

"Aku tidak bisa memberitahukannya kepadamu."

"Ketahuilah bahwa anakku telah diculik oleh seorang wanita bernama Bwee Hua. Ia ingin menukar anakku dengan pedangmu."

Jelas Suma Tian.

"Jadi apapun yang terjadi, kau harus merebut pedang itu dariku?"

Tanya Li Hiang sambil tersenyum. Suma Tian hanya mengangguk.

"Apakah kau pernah punya dendam kepadaku sebelumnya?"

Tanya Li Hiang lagi.338 Suma Tian menggeleng, lalu berkata.

"Manusia yang punya dendam kepadamu sudah tidak bisa dihitung. Tapi aku bukan salah satunya. Aku hanya ingin membantu mereka membalas dendam itu."

Jawab Suma Tian datar.

"Dendam seperti apakah gerangan?"

"Bukankah tidak perlu kujelaskan?"

Sahut Suma Tian.

"Apa maksudmu dendam beberapa orang tua yang anaknya kunodai? Atau dendam lelaki yang kurebut kekasihnya?"

"Dendam dari keluarga nona-nona yang kau bunuh."

Jawab Suma Tian singkat.

"Walaupun aku pernah membunuh orang, aku tak ingat pernah membunuh nona-nona."

"Seorang enghiong tidak akan berbohong menutupi dosanya. Kupikir kau tidak serendah ini."

Ujar Suma Tian.

"Walaupun aku bukan enghiong, aku tidak perlu malu mengakui dosaku."

Sahut Li Hiang. Suma Tian menatapnya. Di lubuk hatinya entah kenapa ia percaya dengan ucapan lelaki berjubah merah di hadapannya ini.339

"Sepanjang perjalananku mencari jejakmu, aku telah mendengar kabar bahwa semua nona yang pernah kau bawa lari, telah mati seluruhnya."

Jelas Suma Tian.

"Apa?"

Li Hiang terbalalak tak percaya. Ia diam dan berpikir sejenak.

"Lidah keluarga Suma, adalah lidah keluarga Suma, bukan?"

Lidah keluarga Suma memang lidah keluarga Suma. Tidak pernah berbohong dan selalu dapat dipegang kata-katanya. Suma Tian mengangguk.

"Pasti ada orang yang ingin memfitnahku."

Kata Li Hiang masih sambil melamun. Jika kau berbuat banyak kesalahan, orang yang membencimu akan sangat banyak. Tetapi jika kau berbuat kebaikan, orang yang membencimu akan jauh lebih banyak. Manusia memang aneh. Lin Hiang tersenyum.

"Biarlah. Suatu saat aku akan mengetahui siapa pelakunya."

Lalu lanjutnya.

"Nah, karena kau tidak punya dendam kepadaku, dan kau pun ingin meminta kebaikan dariku, bolehkan aku meminta sesuatu dari mu?"340

"Silahkan"

"Ku lihat kau membawa sebotol arak."

Tanpa bertanya Suma Sun sudah melemparkan arak itu ke arah Li Hiang. Lemparan itu pelan, namun mengandung tenaga dalam yang luar bisa. Li Hiang menangkapnya dengan enteng. Membuka tutup botol itu dan meminumnya.

"Arak bagus!"

Pujinya.
Rahasia Jubah Merah Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sisakan sedikit untukku. Kutemani kau minum"

Kata Suma Tian.

"Baik! Hahaha."

Sambil tertawa botol itu dilemparnya pula.

Dengan kekuatan tenaga dalam yang tak kalah dahsyat dengan lemparan Suma Tian.

Pendekar pedang itu menangkap botol itu dengan enteng pula.

Masing-masing telah mampu menakar tenaga masing-masing.

Sebanding! Pantas jadi kawan, pantas pula jadi lawan.

Jika bisa menjadi kawan, kenapa pula harus menjadi lawan? Suma Tian melompat ringan, lalu duduk di sebelah Li Hiang.341 Mereka minum arak bergantian dari botol yang sama.

Sifat mereka pun begitu sama.

Kadang-kadang memang ada sebagian orang yang kelakuannya sama persis.

Orang-orang semacam ini biasanya menjadi sahabat yang sangat akrab.

Lama mereka minum.

Menghabiskan arak sedikit demi sedikit.

Sekadar menikmati persahabatan baru, yang pada akhirnya mungkin harus diakhiri dengan permusuhan.

Selama masih bisa menjadi teman, selama itu pula harus dinikmati.

Hari sudah beranjak gelap.

Dua orang laki laki duduk di sebuah batu yang sangat besar menikmati arak.

Hanya laki-laki dan peminum arak yang bisa menghargai pemandangan seperti ini.

"Aku telah berjanji menyerahkan pedang ini kepada seseorang, aku tidak bisa memberitahukan namanya kepadamu, karena aku khawatir kau akan membunuhnya."

Kata Li Hiang.

"Bagaimana jika aku berjanji untuk tidak membunuhnya?"

Tanya Suma Tian.342

"Bagaimana jika ia tidak mau memberikannya?"

Li Hiang balik bertanya.

"Aku pasti akan menemukan caranya."

Jawab Suma Tian.

"Baiklah aku percaya"

Lanjutnya.

"Namanya Song Ling Ji, ia cengcu dari Pek Swat Ceng."

"Pek Swat Ceng? Hmmmm"

"Ada apa?"

Tanya Li Hiang.

"Aku menemukan beberapa mayat di bawah sana, di pavilliun kecil itu"

"Apaaaaaa?"

Dengan kaget Li Hiang segera beranjak dari situ.

"Aku harus melihat keadaan mereka!"

Saat mereka berdua berlari turun ke bawah, mereka bertemu dengan seorang perempuan. Hok Lian Si.

"Si-moay (adik Si)?"

"Aku datang, Liang-ko (kakak Liang)"

"Kau... apa yang kau lakukan di sini? Mengapa membawa anak kecil pula?"343

"Aku... aku... terusir dari Go Bi-pay"

Jawab nona itu.

"Mengapa?"

"Aku...hamil..."

Jawaban itu membelalakan mata Li Hiang.

"Apakah..dia..?"

Tanya lelaki itu sambil menuding anak yang digendong Hok Lian Si.

"Benar... dia dia anakmu."

"Hahaha... tidak mungkin!"

Bentak Li Hiang.

"Mengapa kau menyangkal darah dagingmu sendiri? Liang-ko?"

Air mata telah menetes di pipi Hok Lian Si.

"Hahahaha... mengapa semua orang di dunia ini ingin memfitnah ku?!"

Ada kemarahan, ada kesedihan, ada ketidakberdayaan di dalam perkataan ini. Tawanya membahana. Namun terdengar sangat menyedihkan.

"Liang-ko, kau jangan mengingkarinya. Aku menempuh perjalanan begitu jauh hanya untuk mencarimu."

Tukas Hok Lian Si.

"Kau perempuan jalang, tutup mulutmu!"344 Sambil berkata begitu Li Hiang berlari turun ke bawah. Tapi Suma Tian mencegahnya.

"Kawan, kau jangan sampai lari dari kenyataan."

Teguran itu halus dan sopan, tetapi membangkitkan gelegak amarah di hati Li Hiang.

"Kau tahu apa? Apa urusannya aku denganmu?"

Bentaknya.

"Aku pernah minum arak denganmu. Bagiku kau adalah sahabatku."

Kata sahabat saja sebenarnya sudah cukup untuk menangkan hati laki-laki. Tapi entah ada apa yang timbul di pikiran dan perasaan Li Hiang sehingga ia begitu marah. Ia seolah-olah berubah menjadi seorang yang asing.


Bila Pedang Berbunga Dendam Karya S D Sleep With Devil Karya Santhy Agatha Lima Sekawan 06 Petualangan Di Kapal

Cari Blog Ini