Bara Naga 15
Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 15
Bara Naga Karya dari Yin Yong
"Kin Jin dari Tanciu kebetulan datang kemari, mohon tanya siapakah she dan nama besar saudara ini?"
Terunjuk rasa curiga pada sorot mata Siang Cin, tapi lahirnya tetap sopan dan balas menghormat, katanya.
"Bertemu di tengah jalan, belum kenal lagi, anggaplah tidak melihat saja, untuk apa saudara tanya she dan namaku!"
Pelajar yang mengaku bernama Kin Jin tersenyum, katanya.
"Meski sandara tidak sudi memperkenalkan nama, sedikit banyak Cayhe juga sudah dapat meraba, jika saudara tidak anggap Cayhe kurang ajar rasanya Cayhe bica menebaknya."
Tersenyum tawar Siang Cin berkata.
"Selamanya tak kenal, darimana saudara bisa tahu namaku?"
Kin Jin menggeleng, katanya serius.
"Tidak kelihatan orang sudah tampak bayangannya, seluas jagat raya ini, orang yang mampu mengembangkan Liongsiang- toa-pat-sek sehebat ini, kecuali kau saudara kukira tiada orang keduanya lagi."
Berkedip Siang Cin, katanya.
"Kalau demikian, rupanya saudara ini seorang ahli."
"Di hadapan Siang-heng, mana berani aku mengagulkan diri, bikin orang tertawa saja."
Tiba2 Siang Cin menarik muka, sikapnya dingin, katanya.
"Tempat apakah ini ?"
Tenang2 saja, Kin Jin balas bertanya.
"Kenapa Siang-heng tanya soal ini ?"
"Di pegunungan yang belukar ini, saudara menyendiri di tempat ini, mencegat perjalanan dan menyapaku, kukira bukan hanya ingin berkenalan dengan si Naga Kuning Siang Cin bukan?"
Tetap tenang dan wajar Kin Jin berkata.
"Habis kalau menurut pendapat Siang-heng, untuk tujuan apa aku berada di sini?" 202 Siang Cin mendengus.
"Kukira saudara pasti berkomplot dengan pihak Hek-jiu-tong dan Jik san-tui?"
Sekilas tampak Kin Jin melengak, lalu tertawa, katanya.
"Hek-jiu-tong? Jik-san-tui? Siang-heng, kukira kau kurang cepat memperoleh berita. Memang sebulan yang lalu sarang Hek-jiu-tong berada di Pi-ciok-san tak jauh di depan sana, tapi kini mereka sudah boyong ke lain tempat, bahwasanya Cayhe tiada sangkut paut dengan mereka, kalau tidak kenapa berada di sini seorang diri? Memangnya Cayhe mau menikmati pemandangan belukar yang sepi ini? Siang heng seorang pandai, tentu dapat berpikir.
"
Siang Cin menegas.
"Anggaplah demikian, lalu untuk apa saudara berada di sini?"
Dengan senyum dikulum Kin Jin tatap Siang Cin, katanya.
"Tiada lain karena ingin menepati sebuah janji pertemuan."
Memandang sekelilingnya Siang Cin tidak bersuara. Kin Jin tertawa, katanya pula sambil malangkah maju selangkah.
"Apakah Siang-heng tahu maksud perjanjian pertemuanku ini?"
Siang-Cin menggeleng, katanya.
""Bertemu di tengah jalan, untuk apa main selidik urusan orang lain? Tapi, menurut hematku, bukan mustahil itu pertemuan untuk menentukan mati hidup."
Kin Jin memperlihatkan rasa kaget dan heran, katanya kagum.
"Pandangan tajam, tebakan yang tepat, cara bagaimana Siang-heng dapat meraba bila Cayhe menunggu pertemuan mati hidup di sini?"
"Sorot mata saudara setajam kilat, sikapmu gagah, bayangan wajahmu menampilkan rasa dendam, tapi sebagai seorang pengelana yang tidak mempunyai tanggungan apa2, tampaknya engkau terlalu tawar menghadapi kehidupan ini, padahal saudara gagah perkasa, seorang laki2 yang patut mendarma baktikan tenaganya bagi umat manusia umumnya, tidaklah pantas bersikap tak acuh terhadap hal2 di dunia fana ini."
Kin Jin diam sebentar, akhirnya dia menghela napas, katanya.
"Orang bilang Naga Kuning teramat lihay, kali ini aku Kim-lui-jiu ( tangan geledek emas ) betul2 meresapinya."
"Kim-lui jiu?"
Seru Siang Cing sambil mengernyitkan kening.
"Tidak berani, itulah julukanku,"
Sahut Kin Jin.
"Dengan siapakah Kin-heng janji bertemu di sini?"
Tanya Siang Cin.
"Siang heng lama berkecimpung di Kangouw, tentunya pernah dengar Cap pi kuncu?"
Bertaut alis Siang Cin, katanya.
"Maksud Kinheng Cap-pi-kuncu Sebun Tio-bu dari Jian ki-beng?"
"Benar,"
Sahut Kin Jin mengangguk.
"dialah orangnya."
Mendekat dua langkah Siang Cin berkata.
"Pernah dua kali Cayhe bertemu dengan Sebun Tio-bu, orangnya kekar, gagah dan angkuh, dialah orang yang paling angkuh kaum persilatan tulen, cara bagaimana Kin heng bermusuhan dengan dia?"
Bimbang sejenak akhirnya Kin Jin bicara terus terang.
"Hanya soal sepele, anak buah Sebun Tio-bu pada suatu malam memasuki Tan cin dan menuntut balas pada sebuah keluarga hartawan kenalanku, mereka mohon bantuan padaku, terpaksa Cayhe ikut campur urusan mereka. Setelah kembali dengan kegagalannya, orang itu lapor kepada pimpinannya, Sebun Tio bu lantas kirim utusan mengancamku supaya keluar dari pertikaian ini, tapi sebagai seorang insan persilatan yang menjunjung tinggi keadilan, apa lagi menyangkut gengsi, jelas aku tidak mau mundur, oleh karena itu hari ini Sebun Tio-bu menjanjikan pertemuan denganku di sini."
Siang Cin mengerut kening, tanyanya.
"Waktu Kin-heng ikut campur urusan itu di Tao-ciu, apakah Kin-heng melukai orang2 Jian-ki-beng?"
"Orang bilang kalau perang mulut tentu keluar kata2 yang tak pantas, adalah janggal kalau berkelahi tiada yang terluka. Waktu itu mereka begitu garang dalam jumlah besar lagi, jelas tak mungkin bisa dilerai?"
"Jadi Kin heng melukai orang2 mereka?" 203 "Waktu itu ada tujuh belas orang mereka yang kulukai.."
Siang Cin tertawa, katanya.
"Sekarang Sebun Tio-bu mengajakmu kemari untuk bertanding dengan cara apa? Satu lawan satu atau berkelahi dengan cara bebas?"
"Tidak, hanya satu lawan satu, sebelum salah satu pihak ada yang ajal pertempuran takkan berhenti."
Siang Cin berkata dengan menghela napas.
"Secara terus terang, di kalangan Bu-lim kini Kin-heng dan Sebun Tio bu sama2 ternama, kalau duel sampai mengorbankan jiwa, akibataya dapatlah dibayangkan. Kalian sama2 berkuasa di wilayah masing2, kenapa pula hanya lantaran soal sepele harus mempertaruhkan segalanya?"
"Cayhe tahu akibat dari pertempuran ini jelas tidak menguntungkan kedua pihak, tapi urusan sudah telanjur sejauh ini.". Siang Cin maju beberapa langkah pula, baru saja dia hendak buka mulut, dari kejauhan dibelakangnya terdengar derap kaki kuda yang berlari kencang mendatangi. Sikap Kin Jin yang semula santai itu sekilas tampak membayangkan ketegangan, alisnyapun sedikit berkerut, katanya dengan nada berat.
"Nah, itu dia Sebun Tio-bu telah datang."
Waktu Siang Cin berpaling, di antara padang belukar sana tampak seekor kuda putih yang gagah tinggi sedang mencongklang pesat ke arah sini, pelananya putih, penunggangnya juga berpakaian serba putih.
Hanya satu kuda dengan seorang penunggang, tanpa pengawal dan tidak membawa teman, dengan kecepatan yang mengejutkan kuda putih itu membedal semakin dekat dan kelihatan lebih nyata.
Penunggangnya memiliki raut wajah putih bersih, alisnya tebal hitam, hidungnya mancung, bibir tipis, di atas pipi kanannya dihiasi codet merah, lebih mengejutkan lagi adalah sepasang bola matanya yang mencorong terang.
Pendatang ini memang penguasa Jian-ki beng, Cap-pi-kun-cu (laki2 sejati berlengan sepuluh) Sebun Tio bu yang tenar di kalangan Kangouw.
Kira2 lima tombak jauhnya kuda putih itu berhenti, bagai burung elang penunggangnya itu melompat tinggi ke atas terus meluncur turun ke tanah.
Tatapan mata yang tajam langsung tertuju ke arah Kin Jin, suaranya terdengar bengis dan kereng.
"Kin Jin, entah masih berapa banyak lagi bantuan yang kau bawa?"
Sambil mengebas lengan baju Kin Jin menjawab.
"Hanya Cayhe seorang Sebuntangkeh, jangan kau salah lihat."
Dengan sikap menghina Sebun Tio-bu mengerling ke arah Siang Cin, tapi pandangannya seketika terbeliak, terasa wajah orang seperti pernah dilihatnya, waktu dia memandang lebih jelas, tiba2 ia maju mendekat serta berteriak kaget.
"Naga Kuning!"
Lekas Siang Cin menjura, katanya tertawa.
"Selamat bertemu, sekian tahun tak berjumpa, kukira Sebun-tangkeh sudah tidak mengenalku lagi ...."
Si baju putih memburu maju dan genggam tangan Siang Cin dengan kencang, serunya kegirangan.
"Ai, karena ada persoalan sehingga tidak kuperhatikan, atas kelalaian ini harap Siang-heng suka memaafkan, sudah lima tahun lebih bukan? Betapa besar rasa rinduku selama ini, bukan saja Siang-heng tidak kelihatan tua, malah kelihatan gagah bersemangat ...."
"Sebun tangkeh terlalu memuji, kehidupan selama seribu enam ratusan hari ini memang sulit, waktu yang sekian lama ini, manusia mana yang tidak bertambah tua?"
Demikian ucap Siang Cin berkelakar. Si baju putih Sebun Tio-bu, bergelak tertawa, katanya.
"Kalau demikian, Siang-heng kan baru berusia dua puluh limaan, bila kau bilang sudah tua, aku yang sudah loco ini kan lebih pantas masuk liang kubur? Hahahaha ...."
Kemudian Siang Cin berkata dengan suara tertahan.
"Kim lui jiu Kin-heng berada di sana, apakah perlu kukenalkan."
Sebun Tio-bu seketika menarik muka, tapi segera dia berubah sikap dan tersenyum lebar, katanya.
"Tak berani merepotkan Siang-heng, dengan Kin-tayhiap sudah lama kukenal." 204 "Melihat gelagatnya, ada perselisihan dengan Kin heng,"
Ujar Siang Cin. Sebun Tio bu mendengus, katanya dongkol.
""Memang kedatanganku ini hendak membuat perhitungan dengan dia."
Terangkat alis Siang Cin, katanya.
"Apakah Sebun-tangkeh tidak pikirkan bahwa dua harimau berkelahi apa pula akibatnya?"
"Meski harus gugur bersama telur busuk ini, betapapun harus melampiaskan rasa dendamku ini."
Sejenak berpikir, Siang Cin berkata pula.
"Kebetulan Cayhe pergoki persoalan ini, sudilah kiranya Tangkeh memberi muka padaku, marilah bicara sebagamana lazimnya para sahabat berbincang dan jangan saling labrak dulu."
Ragu2 sejenak akhirnya Sebun Tio-bu berkata.
"Untuk ini aku sih tiada pendapat apa2, Silakan Siang-heng tanya orang she Kin itu."
Kin Jin yang berdiri beberapa langkah di sana segera menanggapi dengan tertawa.
"Cayhe sudah tentu setuju saja, sekarang atau nanti persoalan antara kau dan aku jelas harus diselesaikan, tak perlu ter-buru2."
"Syukurlah, sebelum saling gebrak bolehlah kita ber-bincang2 soal apa saja asalkan baik, kalau tidak, setelah saling labrak hubungan tentu sudah tegang, mana ada kesempatan untuk beramah tamah?"
Kedua orang yang bertentangan ini dipaksa unjuk tertawa, Siang Cin sengaja menengadah melihat cuaca, katanya kalem.
"Sebun-tangkeh, perselisihanmu dengan Kin-heng barusan sudah kudengar dari penuturan Kin-heng, memang berkecimpung di dunia persilatan, yang diperjuangkan hanya nama dan gengsi, tapi untuk perjuaugan nama dan gengsi toh harus dinilai pula segi untung-ruginya, harus dipertimbangkan betapa besar imbalan yang harus dipertaruhkan hanya untuk melampiaskan rasa dongkol belaka?"
Sebun Tio-bu dan Kin Jin diam saja, Siang Cin meneruskan.
"Umpamanya kalian, sebagai orang yang lebih muda, dalam segala bidang jelas aku tak dapat dibandingkan kalian, sesungguhnya tak berani ku jadi juru pemisah ........"
"Ah, Siang-beng terlalu rendah hati . ..... tanpa merasa Kin Jin dan Sebun Tio-bu menyela. Sebun Tio-bu lantas berkata pula.
"Mana mungkin kami tidak memberi muka kepada Siang-heng? Selamanya aku sangat kagum dan memujamu ...."
Kin Jin juga menyela.
"Jangan sungkan Siang-heng, urusan apapun asal Siang heng yang memberikan petunjuk, pasti kupatuhi?"
Mendadak keduanya menutup mulut dengan telapak tangan, sekilas keduanya saling pandang, tiba2 mereka menyadari di tempat dan saat seperti ini, mereka bicara demikian rasanya jadi amat janggal.
Tapi Siang Cin tidak membuang kesempatan baik ini, segera dia ter bahak2 katanya.
"Banyak terima kasih bahwa kalian suka menghargai diriku. Kalau Cayhe tidak mengeluarkan isi hatiku, kan seperti aku menghendaki kalian bentrok. Pepatah ada bilang, permusuhan .lebih mudah terikat daripada dilerai. Dikatakan pula, tanpa berkelahi orang gagah tidak akan saling berkenalan. Sebagai orang gagah harus saling menghargai. Tentang perselisihan kalian, tidak lebih juga hanya soal gengsi, Sebun tangkeh jengkel karena anggap Kin-heng mencampuri urusan keluarganya, sebaliknya Kin-heng anggap Sebun tangkeh tidak memberi muka kepadanya. Hanya karena soal sepele ini kalian sampai harus duel di sini, kurasa tindakan ini kurang bijaksana. Coba pikir, sejak Sebun-tangkeh mendirikan perserikatan pemilik kuda, betapa jerih payah yang telah dikorbankan sehingga memperoleh kebesaran seperti sekarang? Kalau hanya karena soal ini, umpama Sebun-tangkeh sampai mengalami sesuatu yang tidak diinginkan, bukan saja ketenaran akan hanyut, usaha besar selama inipun akan bangkrut. Demikian pula halnya Kin-heng, Tan-ciu merupakan wilayah tersendiri yang luas, jika hari ini kau runtuh, betapa mengenaskan nasib seluruh rakyat di Tan-ciu, kepada siapa pula mereka harus bersandar? Kepada siapa pula keluarga Kin-heng sendiri akan bernaung? Untuk ini sebelum kalian bertindak, 205 sukalah pikirkan dulu untung ruginya dengan kepala dingin."
Setelah menyampaikan cetusan sanubarinya, pelan2 Siang Cin memejamkan mata, namun diam2 ia melirik reaksi kedua orang yang tenggelam dalam pikiran masing2.
Tanpa terasa kedua orang sama menggosok telapak tangan.
Cukup lama, kemudian Siang Cin berdehem pelahan, katanya dengan suara mantap.
"Dengan nama pribadiku, ingin Cayhe melerai pertikaian kalian supaya hubungan kalian selanjutnya bisa damai dan lebih bersahabat, sudah tentu jika kalian sudi mendengar dan memberi penghargaan kepadaku."
Cukup lama juga perang batin kedua orang itu, akhirnya dengan nada berat Sebun Tio-bu berkata.
"Siang-heng, apa yang kau uraikan memang beralasan, cuma ......ada belasan anak buahku yang dirugikan oleh orang she Kin ini, kalau aku pulang begini saja, bagaimana aku harus memberi keterangan kepada mereka .......
"
Siang Cin mengangguk, katsnya.
"Kekuatiranmu memang beralasan, tapi bilamana Sebun-tangkeh memberikan penjelasan seperti apa yang kuuraikan tadi sementara ongkos pengobatan mereka boleh dipikul seluruhnya oleh Kin-heng. Kukira persoalan ini tidak usah ditarik panjang lagi."
Lalu dia berpaling dan bertanya kepada Kin Jin.
"Cayhe mendahului keputusan ini, apakah Kin heng mau menerimanya?"
Kikuk Kin Jin, katanya.
"Sudah tentu Cayhe menurut saja."
Tapi Sebun Tio-bu masih ragu2.
"Namun ....ai ....
"
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siang Cin berkata pula dengan sungguh2.
"Mungkin Sebun-tangkeh masih belum mempercayai diriku?"
Melenggong sebentar, akhirnya Sebun Tio-bu rnembanting kaki, katanya.
"Ya, sudahlah, siapa suruh aku bertemu dengan Siang-heng di sini?"
Maka Siang Cin mendesak lebih lanjut.
"Jadi Kin-heng dan Tangkeh sudi mengakhiri pertikaian ini?"
Apa boleh buat, Sebun Tio-bu berkata.
"Kalau tidak demikian, memangnya Siangheng merasa puas?"
Tersenyum lebar Siang Cin dan tanya Kin Jin.
"Bagaimana pendapat Kin-heng?"
"Sudah tentu, aku tiada pendapat lain,"
Sahut Kin Jin.
"Kalau begitu,"
Ucap Siang Cin, dia tarik sebelah tangan Sebun Tio-bu untuk menjabat tangan Kin Jin. katanya.
"Marilah berjabatan tangan sebagai tanda berakhirnya pertikaian ini, dan selanjutnya harap bersahabat se-baik2nya,"
Terpaksa keduanya berjabatan tangan dengan menyengir2, semula keduanya merasa kikuk, tapi tanpa terasa genggaman tangan mereka menjadi erat.
Suatu pertikaian berakhir berkat usaha Siang Cin yang mendamaikan, suasana yang semula tegang kini berubah gembira, dua jagoan yang bermusuhan dalam sekejap berubah menjadi sahabat karib.
Siang Cin tertawa riang, katanya.
"Bahwa kalian sudi memberi muka, Siang Cin teramat senang, bersama ini terimalah ucapan selamat dan terima kasihku."
Kin Jin dan Sebun Tio-bupun tertawa riang, kata Sebun Tio-bu.
"Siang-heng, hari ini kami telah kau permainkan, kau harus dihukum."
"Sudah tentu,"
Ucap Siang Cin.
"Cayhe sendiri juga merasa patut dihukum."
"Siang-heng,"
Kata Sebun Tio-bu.
"sepuluh li ke arah barat dari sini ada sebuah desa, di sana ada sebuah warung arak vang menjual daging2 binatang buruan, kau harus traktir kami berdua, di sana kau akan kami hukum makan-minum?" .
"Baik, silakan Tangkeh tunjukkan tempatnya,"
Sambut Siang Cin dengan senang hati.
Sebun Tio-bu lantas menghampiri kudanya, sementara Kin Jin bersuit nyaring, maka terdengariah ringkik kuda di dalam hutan, tampak seekor kuda berbulu kelabu membedal tiba.
Memangnya kuda jempolan, tiga orang berkuda dua, tanpa sesuatu rintangan kedua ekor kuda terus menerobos semak dan hutan yang lebat, dalam sekejap saja, tak jauh di depan sudah kelihatan melambai secarik kain hijau yang dikerek tinggi di atas galah, di tengah kain yang panjang satu meter itu tertulis sebuah huruf "Ciu" ( arak ).
Sebun Tio-bu terus larikan kudanya memasuki desa dan dibedal menuju ke warung arak itu.
Belum lagi kudanya berhenti Sebun Tio-bu sudah melompat turun, serunya.
206 "Hai, Ciangkui, sambutlah tamu!"
Seorang laki2 berusia empat puluhan berbadan gemuk berkulit putih dengan tertawa lebar bergegas lari keluar menyambut, sementara itu Kin Jin dan Siang Cinpun menyusul tiba.
Meja kursi dalam warung terbuat dari bambu kuning, sebuah lukisan bunga teratai menghias dinding, dipojok sana terdapat sebuah guci arak besar, hanya itulah yang ada di dalam ruangan sempit ini, namun suasana terasa nyaman.
Mereka memi!ih sebuah meja, Sebun Tio-bu pesan lima macam daging binatang buruan, lima kati arak dan beberapa macam nyamikan, si Ciangkui ( pengurus ) mengiakan terus lari masuk menyiapkan pesanan.
Setelah menyeka keringat di mukanya Sebun Tio-bu berkata dengan suara lantang.
"Jangan kau kira Tauke warung ini hanya mencari nafkah di dusun kecil ini, dahulu dia pernah lulus sebagai Siucay, bukan saja pandai tulis, juga mahir melukis."
Lalu dengan tertawa dia menoleh kepada Siang Cin.
"Siang-heng, sejak berpisah di Lokyang dulu, sudah lima tahun berselang, urusan apa yang menarik perhatianmu sampai kau berada di tempat ini?"
Siang Cin menjawab.
"Membantu teman dan menyelesaikan urusan"
Tertegun sejenak, lalu Sebun Tio-bu bertanya pula.
"Apakah ada hubungan dengan Hek-jiu-tong?"
Siang Cin bertanya heran.
"Darimana Tangkeh tahu?"
Dengan tertawa Sebun Tio-bu berkata.
"Berita yang tersiar di Kangouw sangat cepat, waktu yang lalu Bu-siang pay menyerbu sarang Hek jiu tong di Pi ciok-san, berita diluar mengatakan mereka berhasil mengalahkan Bu-siang-pay, tapi keadaan mereka sendiri juga mengenaskan, peristiwa ini merupakan topik pembicaraan setiap insan persilatan, kebetulan Siang heng muncul di sini, memangnya tiada sangkut pautnya dengan Hek-jiu-tong?"
Siang Cin mengangguk membenarkan. Kin Jin lantas menambahkan .
"Malah, kurasakan bahwa Siang heng bertentangan dengan pihak Hek-jiu-tong?"
Sesaat Siang Cin diam saja, katanya kemudian.
"Ya, betul."
Terbeliak Sebun Tio-bu, katanya pelahan.
"Jadi kedatangan Siang-heng ini adalah untuk kepentingan Bu siang pay?"
"Betul,"
Siang Cin terus terang.
"Tiga "bun"
Dari Bu-siang-pay hancur seluruhnya dalam pertempuran di Pi ciok-san, hanya lima dari tiga belas jago2nya yang lihay masih hidup, kecuali sudah terbukti meninggal, sisanya yang lain tidak diketahui nasibnya, tiga ratusan anak buahnyapun tiada satupun yang lolos, maka tugasku kali ini adalah mencari orang yang hilang itu."
"Sebulan yang lalu Hek-jiu-tong sudah mem-boyong sisa2 miliknya ke tempat lain, keadaan Pi-ciok san tinggal puing belaka, beberapa kuburan memang tersebar di beberapa tempat, tiada makhluk hidup lagi di Pi-ciok-san"
Demikian Kin Jin menerangkan. Mengawasi Kin Jin, Siang Cin berkata dengan cemas.
"Hal ini memang ingin kuminta penjelasan kepada Kin- heng apakah kautahu ke mana Hek-jiu tong pindah sarangnya? Daerah subur di kedua pinggiran sungai besar adalah tanah yang mereka buka sebagai sumber penghasilan terbesar, menurut hemat Cayhe, tak mungkin mereka rela meninggalkan tempat itu begitu saja, apalagi pindah ke tempat lain yang jauh?"
"Memang beralasan, baru kemarin di tengah jalan aku bertemu seorang kawan dan mendapat kabar dari dia, katanya Hek-jiu-tong pindah ke Toa ho tin, kira2 tiga ratus li dari sini, Pau hou-ceng di Toa ho tin adalah sarang lama Jik-san-tui yang dipimpin Kiau Hong."
Mendadak Siang Cin menggebrak meja dan berkata.
"Tidak salah lagi, waktu Busiang- pay menyerbu Pi ciok-san, kedapatan orang2 Jik-san-tui ikut membantu Hekjiu- tong."
Sebun Tio-bu berkata.
"Kiau Hiong memang kenalan lama pihak Hek-jiu tong, bahwa mereka berserikat tidak perlu dibuat heran, Hek jan-kong (aki berewok) yang 207 berkuasa di Toa ho tin adalah bapak angkat Kiau Hong, umum juga tahu mereka bersekongkol melakukan berbagai kejahatan, begitu sisa2 Hek-jiu tong pindah kesana seketika Toa ho-tin menjadi ramai, untung kota itu tidak sampai terbalik."
Berpikir sejenak, Siang Cin bertanya.
"Hek-jan-kong? Siapa dia?"
"Masakah Siang-heng tidak tahu iblis kemaruk paras elok ini?"
Seru Sebun Tio-bu heran. Siang Cin menggeleng dan menjawab.
"Belum pernah kudengar namanya."
Ter-kekeh Sebun Tio bu menjelaskan dengan suara tertahan.
"Di depan Pau-houceng ada sebuah bangunan gedung yang megah, tapi gedung serba antik ini bukan milik pembesar, tapi milik Hek-Jan-kong itulah, tua bangka ini sudah berusia 70-an, bini dan gundiknya tidak terhitung banyaknya, hidupnya mewah dan ber-foya2, berbuat mesum di hadapan umum tanpa tedeng aling2. Tapi dasar tua bangka itu memang sudah tinggi ilmunya, kaki tangannyapun banyak dan tersebar di mana2, maka Toa ho-tin se-olah2 menjadi daerah kekuasaannya ...."
Kin Jin tertawa, katanya.
"Maka tempat kediaman Hek-jan-kong itu lantas dinamakan Ji-ih-hu."
"Em, mungkin tua bangka itu selalu terkabul segala keinginannya, setua ini masih doyan pelesir, pantas dia namakan gedungnya itu Ji ih-hu (gedung suka ria),"
Kata Siang Cin. Dengan tertawa Sebun Tio-bu berkata.
"Haha, orang kira Naga Kuning berwajah dingin, sifatnya nyentrik dan kaku, siapa tahu kalau bicara juga begini binal." -. Sampai di sini tiba2 sikapnya serius.
"Tapi, Hek jan kong memang seorang lawan teramat tangguh, tingkat kedudukannya amat tinggi di Bu-lim, sedikitnya setingkat lebih tinggi daripada kita, dia mahir menggunakan ilmu Tiang kwa-ciang- kian-kiu sek dan Jin-ho-khi, sampai kini ilmu pukulan dan Lwekangnya ini belum ada yang mampu menandinginya ...."
""Itu tak menjadi soal"
Ujar Siang Cin.
"paling mempertaruhkan jiwa dan gugur bersama, yang dikuatirkan pertaruhan sudah dikorbankan, tapi urusan masih belum bisa beres, orang tua selihay ini mendukung kejahatan, betapapun memang agak menyulitkan ..... ."
Sementara itu hidangan telah diberangsur keluar, ada daging kelinci panggang, daging menjangan rebus dan sebagainya. Di tengah makan minum itulah Siang Cin bertanya.
"Tangkeh, anak buahmu banyak dan tersebar luas, tahukah kau pihak Bu-siang-pay akhir2 ini ada gerakan apa?"
Sebun Tio-bu menjawab sambil geleng kepala.
"Maksud Siang heng bala bantuan Bu-siang-pay dari padang rumput? Agaknya belum terlihat ada tanda gerakan apa2, selama ini tidak kudengar ada orang membicarakannya, entah Kin-heng?"
Kin Jin juga menggeleng, ujarnya.
"Tidak, umpnama berita cepat disampaikan, perjalanan pulang pergi ke padang rumput sedikitnya makan waktu dua puluh hari, jadi kira2 setengah bulan lagi baru bisa terlihat gerakan mereka."
"Siang-heng,"
Ucap Sebun Tio-bu setelah menenggak secawan arak pula.
"apakah, orang2 Bu-siang-pay pasti akan datang menuntut balas?"
Ya, pasti,"
Sahut Sang Cin tegas.
"Jadi bakal ada pertempuran besar lagi,"
Ucap Sebun Tio-bu sambil menggosok telapak tangan.
"sifat orang2 Hek-jiu-tong memang kejam, kejahatan sudah menjadi kehidupan mereka se-hari2, bahwa mereka berhadapan dengan Bu-siang-pay pertanda mereka bernasib sial, tapi betapapun fatal akibatnya, jelas pihak Hek-jiutong takkan undur setapak pun, apalagi mereka dibantu Jik-san-tui, demikian pula Hek-jan-kong takkan berpeluk tangan, jadi Toa-ho-tin bakal menjadi arena pertempuran yang menggemparkan ......." - - -- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - Apakah bala bantuan Bu-siang pay segera akan tiba? Apapula yang dilakukan kawanan Hek-jiu tong di tempat hijrahnya yang baru? Tokoh macam apakah Hek-jan-kong? 208 - Bacalah
Jilid ke- 12 - - - -- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - --
Jilid 12 "Memang begitulah kehidupan Kangouw,"
Ujar Siang Cin sambil meletakkan sumpitnya.
"kalau manusia sama berhati bajik baru dunia ini akan damai."
Setelah menghela napas, Sebun Tin bu berkata dengan tertawa.
"Siang-heng, apakah engkau juga terjun dalam arena perternpurao di Pi-ciok-san?"
"Ya, malah tak ringan lukaku,"
Kata Siang Cin. Kin Jin unjuk rasa gusar, tanyanya.
"Perbuatan siapa antara orang2 Hek-jiu-tong itu?"
Dengan tertawa Siang Cin berkata.
"Tujuh di antara sepuluh gembong mereka, ditambah seorang King Ji seng."
"Setan tua bangka keparat ini,"
Damperat Sebun Tro bu.
"Tapi ..... konon King Ji-seng sudah mampus?"
Tanya Kin Jin. Setelah meneguk arak, Siang Cin membenarkan.
"Kau yang mengganyang dia, Siang-heng?"
Tanya Sebun Tio bu.
"Ya, tujuh gembong mereka yang melabrakku juga enam mati dan satu terluka."
Keruan kedua jago yang namanya sudah menggetar Bu-lim ini seketika terbeliak kaget dan kagum, sekian lamanya baru Sebun Tio-bu berseru dengan nada tak percaya.
"Maksud Siang-heng, seorang diri engkau menggasak mereka bertujuh""
"Ya,kira2 demikianlah."
Ujar Siang Cin tertawa. Kin Jin jadi tegang, tanyanya.
"Apakah si Serigala tertawa Ji Bu, pentolan Hiat-hun tong di Hek-jiu-tong itu juga mampus?"
Siang Cin mengangguk, katanya.
"Orang ini memang sukar dilayani, beruntung aku menang."
Tiba2 Sebun Tio-bu berseru.
"Bagus kau Siang Cin, orang bilang kepandaian Naga Kuning setinggi langit, sifatnya sebuas serigala, sepak terjangnya tegas, semula aku ragu2, hari ini baru betul2 aku percaya "
Kedua orang berdiam sejenak, kemudian Kin Jin berkata pula "Jadi, bila Bu-siangpay melakukan serbuan besar2an kepada Hek-jiu tong lagi, Siang-heng akan membantu pihak Bu siang pay?"
"Sudah tentu, tiada alasan untuk ingkar janji"
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sahut Siang Cin tegas. Mata Kin Jin memancarkan cahaya terang, katanya.
"Bila Siang-heng sudi menerima, Cayhe bersedia membantu."
Agaknya di luar dugaan, sesaat kemudian baru Siang Cin berkata pelahan.
"Kinheng, maksud baikmu sungguh mengetuk sanubariku, banyak terima kasih, cuma soal ini bukan urusan sepele, akibatnya cukup besar pula, kalau sampai Kin-heng terlibat dalam pusaran rumit ini, sungguh hatiku tak bisa tenteram."
Kin Jin tertawa, katanya.
"Kalau sudah demikian tekadku, kenapa harus takut terlibat ke dalam pertikaian ini, jika Siang-heng tidak anggap rendah kepandaianku, biarlah aku selalu berdampingan dengan Siang- heng,"
Bimbang sesaat, akhirnya Siang Cin berkata.
"Tapi, kenapa Kin-heng mau menempuh bahaya untuk membantu Cayhe? Meski sekali berkenalan lantas akrab persahabatan kita, tapi untuk hal ini rasanya Kin-heng terlalu besar mempertaruhkan modalmu ... ....
"
Kata Kin Jin dengan mantap.
"Persahabatan tidak terletak pada nilai tingginya kebendaan, akan tetapi terletak pada hati nurani yang murni, betapa besar dunia ini, sulit untuk memperoleh seorang sahabat yang sejati, sahabat yang dapat dipercaya, di samping itu ikatan persahabatan itu sendiri juga bergantung pada jodoh, meski baru saja kita berkenalan, tapi naluriku berbicara dan kuyakin Siangheng betul2 sahabat sejati yang menitik beratkan kasih sayang, kesetiaan, dan kepercayaan."
"Kin-heng, kau terlalu memujiku,"
Ucap Siang Cin.
"Hai, kalian asal omong sendiri saja, memangnya aku.tidak dianggap lagi,"
Tiba2 209 Sebun Tio-bu, menyeletuk.
"Kalau Kin-heng dapat membantu Siang-heng, memangnya orang Sebun hanya berpeluk tangan dan kurang sembabat untuk ikut membantu."
"Baiklah kita putuskan demikian, marilah habiskan tiga cawan sebagai tanda perserikatan kita bertiga,"
Kata Kin Jin. Sekali tenggak Sebun Tio-bu habiskan dulu isi cawannya, teriaknya.
"Memangnya kenapa kau Siang heng, masih ragu2, apakah kami berdua kurang setimpal menjadi kawan seperjuanganmu?"
"Mana berani, terus terang aku sangat senang dan rada2 terkejut malah,"
Kata Siang Cin, lalu iapun menenggak araknya.
Sang surya telah doyong ke barat dengan cahayanya yang kuning merah, hari sudah menjelang magrib.
dengan dua ekor kuda Siang Cin bertiga menuju ke kota Toa-ho tin.
Setelah membelok ke sebuah pengkolan jalan, tak jauh di depan tertampak bangunan rumah penduduk yang ber deret2, sementara jalan raya yang mereka lalui terletak di tengah deretan rumah2 itu.
Lekas Sebun Tio-bu mengendurkan lari kudanya, katanya.
"Dusun ini merupakan pos terdepan Toa-ho-tin, kira2 tiga puluh li di luar Toa ho-tin akau kelihatan tembok kotanya, maka lebih baik kita menyelundup ke sana setelah hari gelap."
"Baik, marilah istirahat saja di dusun ini sambil memupuk tenaga,"
Ujar Siang Cin.
"Menurut pendapatku,"
Deniikian kata Kin Jin sambil memandang ke depan.
"lebih baik jangan masuk ke dusun itu, bukan mustahil di situ ada mata2 Toa-ho-tin, siapa tahu kalau jejak kita dilaporkan ke sarang musuh."
"Alasan Kin heng memang benar, biarlah kita istirahat di balik hutan di belakang dusun itu, setelah malam gelap, sekadarnya kita habiskan rangsum yang tersedia ini, baru nanti kita bertindak lebih jauh, bagaimana?"
Kata Siang Cin.
Kuda mereka lantas membelok menuju ke hutan sebelah kiri, dengan cepat mereka sudah sampai di tempat tujuan, Sebun Tio-bu melompat turun, matanya yang tajam memeriksa keadaan sekitarnya, sementara Siang Cin dan Kin Jin sudah melompat turun, katanya dengan ber-malas2.
"Tangkeh, tiada sesuatu yang menarik bukan?"
Sebun Tio bu menggeleng sambil menambat kudanya, katanya.
"Tidak ada, sekarang marilah kita isi perut lebih dulu?"
Dia mengeluarkan dua bungkusan kertas minyak, isinya ternyata empat potong kue kering dan dua potong ayam panggang, belasan telur asin, sepotong paha babi panggang, lalu dari kantong pelananya kembali dia keluarkan sebuah guci arak kecil, katanya tertawa.
"Bagaimana? Arak dan daging sudah lengkap, mau makan tidak?"
Siang Cin mengedip mata, katanya.
"Hidup berkelana seperti ini sungguh nikmat bila punya kawan seteliti Tangkeh, paling sedikit dalam waktu singkat pasti tidak menjadi kurus karena kurang makan."
Sebun Tio-bu ter-bahak2 mendengar banyolan Siang Cin, mereka lantas duduk dan makan minum dengan lahapnya, cuaca sudah remang2, hawa mulai dingin, angin barat menderu kencang.
Habis makan, mereka istirahat dengan tenang untuk menghabiskan waktu ketiganya sama tenggelam dalam pikiran masing2.
Sementara itu, suasana yang memang sepi menjadi gelap, malam telah tiba.
Bertepuk tangan sekali, Sebun Tio-bu mendahului berbangkit dan berseru..
"Siangheng, hayolah berangkat."
"Tidak perlu naik kuda, bagaimana pendapat kalian?"
Usul Siang Cin.
"Ya, supaya tidak rnengejutkan mereka,"
Ucap King Jin.
Mereka tepuk2 kuda masing2 dan membelai bulu surinya, kedua orang ini sama sayang terhadap kuda tunggangan masing2, begitu besar cintanya terhadap binatang itu seperti terhadap anaknya sendiri.
Segera mereka mengembangkan Ginkang masing2, jarak tiga puluh li tanpa terasa sudah dicapai dalam waktu sekejap saja, sinar pelita yang kelap kelip mulai tampak di ke jauhan sana, itulah Toa- ho-tin.
210 Kurang lebih dua ribu rumah penduduk Toa-ho tin, semuanya masih membuka pintu, lampu masih menyala, orang mondar-mandir, suasana kota mash ramai, toko2 juga masih buka, tanpa banyak perhatian orang, diam2 mereka menyelinap ke sebuah gang kecil yang sepi dan gelap, di sini mereka berunding membuat rencana kerja.
Sehabis pembicaraan mereka, dengan berlenggang, mereka menuju ke jalan raya yang masih ramai orang berlalu lalang, di sana sini, orang bicara seenak sendiri, semuanya menggunakan bahasa rahasia kaum persilatan, rombongan orang2 Jik san tui yang berpakaian merah tampak mondar-mandir, tidak sedikit pula orang2 Hek-jiu-tong yang mengenakan seragam khas mereka yang hitam itu.
Sembari bicara dan berkelakar Sang Cin bertiga terus menerobos diantara orang banyak.
Tiba2 Kin Jin menarik lengan baju Sebun Tio-bu semburi berbisik.
"Awas!"
Mata Siang Cin cukup celi, sekilas dilihatnya di bawah emper rumah sana, di sebuah warung makan kecil berdiri dua laki2 berpakaian merah dengan mata jelalatan sedang mengawasi mereka dengan penuh perhatian, wajah mereka menampilkan rasa heran dan curiga.
Sebun Tio-bu menoleh ke sana, sambil mendengus ia berludah, sikapnya jumawa, dia sengaja mencemooh dan memaki orang Jik san tui.
Tiba2 bayangan orang berkelebat, kedua orang itu tahu2 sudah mengadang di depan mereka, seorang diantaranya menyapa dengan suara kasar.
"Sahabat, kau datang dari garis mana? Di sini tempat apa, memangnya kau boleh bertingkah dan menugoceh seenak perutmu sendiri."
Sebun Tio-bu tahu kedua laki2 inilah yang memperhatikan mereka di emper warung tadi "Crot", setelah berludah Sebun Tio-bu bertolak pinggang, dengan sikap yang angkuh dia meraung.
"Eeh, kalian mau apa? Kalian antek2 kecil ini berani garuk kepala tuan besarmu. Memangnya tuan besarmu yang telanjang kaki ini takut kalian yang pakai sepatu? Hayolah maju, biar kuhajar adat kalian yang tidak tahu diri ini. Nanti akan kucari pentolanmu untuk menuntut keadilan."
Kin Jin juga menyingsing lengan baju, teriaknya.
"Ya, kebetulan, memangnya kita ingin tanya pentolan mereka, kenapa barang antaran milik kita sudah sekian lama belum jupa dikirimkan, sekarang kalian malah mencari gara2 lagi."
Sudah tentu kedua laki2 itu jadi melenggong, muka mereka pucat seketika, untung yang berbadan lebih jangkung memiliki otak lebih encer, melihat gelagat jelek, tersipu2 dia tertawa sambil munduk2, katanya.
"Sabar tuan2, tolong tanya kalian ini sahabat terhormat dari gunung mana? Temanku ini barusan terlalu banyak minum, melihat kalian ngelantur seperti di rumah sendiri pula, karena emosi lantas tanya sedikit keterangan, harap sesama orang sendiri jangan sampai salah paham ...."
"Salah paham?"
Teriak Sebun Tio-bu.
"Salah paham kentut. Tuan besarmu ini dengan Pek-sam-thauling kalian umpama bukan teman karib juga boleh dikatakan tamu undangan, setelah dia menerimn panjar delapan ratus tahil perak sebagai ongkos antaran, sejauh ini belum juga berangkat menyampaikan barang milikku itu, memangnya siapa yang tidak dongkol. Sekarang kalian kawanan anjing buduk ini berani mengusikku lagi, biar Tuan besarmu pergi ke Pau-hou-ceng menuntut keadilan pada majikanmu, coba saja apa yang akan dikatakan Pek-losam."
Dari samping Kin Jin pura2 membujuk, katanya.
"Sudahlah, anggaplah kita sendiri yang sial, lebih baik kembali saja ke Ji-ih-hu dan laporkan hal ini kepada Jan-kong Loyacu, biar beliau memberi keputusan yang adil, beberapa hari di Toa-ho-tin, sungguh kenyang aku dibuat jengkel ...
"
Pandai juga kedua orang ini bermain sandiwara, padahal tak pernah latihan, sudah tentu Siang Cin sudah menyingkir ke samping dan hampir saja tertawa ter-pingkal2, tapi kedua orang Jik-san-tui ini menjadi gemetar.
dan pucat ketakutan, yang bertubuh pendek kurus lekas munduk2, katanya tergagap2.
"Para ......O, tuan2 .....harap maaf akan keteledoran kami tadi ....sesama orang sendiri, tidak ....tidak perlu bertengkar, ada persoalan apa belehlah dibicarakan baik2 ....
"
Mendelik mata Sebun Tio-bu, damperatnya.
"Orang sendiri apa? Kalian kaum keroco 211 juga berani bicara tentang "orang sendiri?"
"
Berkeringat dingin orang itu dicaci sedemikian rupa, dia tidak berani bersuara lagi setelah menelan ludah dengan cengar-cengir dia meratap.
"Cian ....Cianpwe ....anggaplah memang mataku ini buta dan tak tahu siapa sebetulnya engkau orang tua, mohon ampun seribu ampun, mohon engkau jangan memaki lagi ...."
Tapi Sebun Tio-bu bertambah murka, teriaknya.
"Apa? Memangnya kau tidak terima kumaki? Kurangajar, Lo Kin, biar kutunggu di sini, lekas kau pulang ke Ji ih hu, panggilkan Hoan-wi-jit-so Nyo Kam, Nyo-lote kemari, katakan bahwa anak celurut Jik-san-tui ini berani main gila, kalau Nyo-lote tidak ada, boleh kau seret Pa-te-ki Toh Cong kemari kalau tidak ketemu, pergilah ke Pau hou-ceng. carilah Pek Wi bing, bila perlu temui To Yau atau Kiau Hiong juga boleh ...."
Semakin ciut nyali kedua orang Jik-san-tui itu, nama2 yang disebut terakhir ini bukan saja tokoh-tokoh pihak sendiri, malah satu dan lain lebih tinggi kedudukannya, tarnpaknya orang memang tidak main gertak, kalau tidak masa kenal begitu banyak pentolan2 dari pihak sendiri? Jika sampai hal ini dilaporkankan bisa celaka? Maka cepat2 mereka memohon.
"Lo ....Locianpwe, kalian adalah orang2 besar yang bijaksana, maafkan kesalahan kami yang tidak sengaja, betapapun selanjutnya kami tidak berani kurangajar lagi."
Sebun Tio-bu mendengus keras2, sambil menengadah ia tidak menggubris mereka.
Sementara orang yang berlalu lalang ada yang berhenti dan mengerumuni mereka, di antaranya sudah tentu ada orang Hek jiu-tong, ada Pula dari Jik-san-tui, tahu karena ada yang tahu duduk persoalannya, mereka segan turut campur, maka sekian lamanya tiada orang yang berani melerai.
Kembali kedua orang itu memohon.
"Baiklah tuan2, memang kami bersalah, mohon sudilah engkau ....."
Sebun Tio-bu mendelik, jengeknya.
"Hm, baru sekarang kau bicara seperti manusia. ketahuilah Toa-ho-tin terhitung tempat tinggalku juga, setiap kedatanganku selalu mendapat pelayanan istimewa dari Jik-san-tui? Toh-loko dan Nyo-lote pasti menjamu padaku. Baru setengah tahun tidak kemari sudah ketemu keroco yang berani mengusik kesenanganku?"
Kin Jin pura2 membujuknya.
"Saudaraku, begini saja, biar aku yang traktir minum beberapa cangkir arak, suruhlah kedua saudara ini melayani beberapa cangkir padamu ....""
"Memangnya urusan segampang ini?"
Scbun Tio bu menggeleng.
"aku toh tidak marah padamu, kenapa kau yang harus keluar duit? Tidak bisa. tidak boleh .....
"
Kedua laki2 baju merah menjadi gelisah pula, katanya.
"Apa yang diucapkan Cianpwe ini memang betul, sudilah Cianpwe suka memberi muka, biarlah anggap kami yang menjamu kau orang tua, bilamana Cianpwe sudi menerima, legalah hati kami ...."
Mendengus dua kali, dengan lagak ogah2an Sebun Tio-bu berkata.
"Tidak bisa mana boleh begitu? Itu artinya aku meucari keuntungan dari kalian ...."
"Mana boleh dikatakan begitu, anggaplah sebagai penghormatan kami, untuk ini mohon Cianpwe betul2 sudi memberi muka, mumpung ada kesempatan ini, kalau tidak kapan kami dapat menyuguh secangkir arak kepada engkau orang tua ......."
Sengaja berpikir sejenak dan berlagak ragu2, akhirnya Kin Jin pura2 membujuk pula.
"Hayolah, terima saja ajakan baik ini, jangan nanti orang bilang kau ini berjiwa sempit ........"
Seperti apa boleh buat, akhirnya Sebun Tio-bu berkata.
"Baiklah, kuterima perrnohonan kalian. Kin-lote, memang kau yang berhati lemah, masa kau malah ikut membujukku segala."
Kedua laki2 baju merah berjingkrak girang, sambil munduk2 mereka mempersilakan Sebun Tio-bu dan Kin Jin jalan di muka, mereka berempat terus menuju ke arah timur, di sana pasar malam sedang ramai.
212 Sekilas Kin Jin melirik ke sana, dilihatnya Siang Cin tetap mengintil dari kejauhan.
Setelah ajak bicara sekadarnya kepada kedua orang baju merah, akhirnya Kin Jin coba memancing.
"Katanya saudara2 dari Hek-jiu-tong juga hijrah keperkampungan sini, bukankah kalian harus hidup berhimpitan."
Dengan munduk2 laki2 baju merah yang tinggi menjawab.
"Berhimpitan sih tidak, perurnahan di sebelah timur dan selatan seluruhnya diperuntukkan mereka, sementara Jiong gi tong juga diserahkan ke pada orang2 Hiat-hun-tong, sedang anak buah Ji-thauling dan Sam-thauling dipindah keluar perkampungan, di sana baru beberapa bulan terakhir ini didirikan tiga deretan perumahan yang luas, jauhnya hanya dua li, pemandangan amat indah di sana ...
"
Semua ini diingat baik2 oleh Kin Jin, lalu dia bertanya lebih jauh.
"Kabarnya kali ini Hek jiu tong berhasil mengalahkan Bu-siang-pay, sungguh hebat mereka, tentunya sepanjang hari mereka terus merayakan kemenangan gilang gemilang ini?"
Orang itu celingukan sebentar, lalu berkata dengan merendahkan suara, seperti soal yang hendak dibicarakannya amat rahasia.
"Kebetulan Cianpwe yang tanya, kalau orang lain terus terang kami tidak berani memberi keterangan. Memang kawan2 Hek-jiu-tong berhasil melebur penyatron dari Bu-siang-pay, tapi musuh yang menyerbu datang hanya sekelompok kecil saja, masih besar bala bantuan mereka dari padang rumput yang belum tiba, jika musuh betul2 menyerbu secara besar2an, entah bagaimana pula situasi mendatang nanti. Padahal pihak Hek-jiu-tong sendiri kali ini juga serba runyam, anak buah mereka yang mati dan terluka ada tujuh ratusan orang, malah enam dari sepuluh gembong pimpinan merekapun gugur di medan laga, demikian pula saudara kita yang diperbantukan ke sana juga rontok ratusan banyaknya . ......"
"O, jadi keadaan mereka sekarang cukup runyam juga?"
Tanya Kin Jin.
"Betul, orang2 Hek jiu-tong yang hijrah kemari ada seribu lebih, empat ratusan di antaranya terluka parah atau ringan, keadaan mereka memang cukup mengenaskan, padahal mereka harus ber siap2 menghadapi serbuan pasukan besar Bu siang-pay, sehingga para pimpinannya harus mempersiapkan ini dan itu, maka kota inipun menjadi sibuk pula, yang celaka adalah penduduk yang tidak tahu apa2 harus ikut tegang dan hidup tertekan, kemarin ada berita bahwa bala bantuan besar dari padang rumput telah melewati Liok-sun ho, naga2nya pertempuran besar bakal berlangsung tak lama lagi . ...."
Kin Jin pura2 bergumam.
"Liok-sun-ho, Liok-sun ho ......"
Dengan keheranan orang itu berkata, kepada Kin Jin.
"Liok sun ho terletak di arah timur sana, kira2 tiga ratusan li jaraknya, apakah Kin-cianpwe tidak pernah lewat sana? Sungai itu cukup besar dan luas."
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tahu, kalau demikian, Hek-jiu tong dan Pek losam kalian kan harus mencari kawan untuk membantu, memangnya kenapa masih berdiam di sini saja?"
"Sejak beberapa waktu lamanya orang2 sudah disebar untuk mengundang bantuan, cuma belum diketahui siapa dan berapa banyak jumlah bantuan yang diundang."
Dengan tak acuh Kin Jin memberi komentar.
"Soal penting dan rahasia begini kalian kaum keroco mana bisa tahu? Bila sampai membocorkan rahasia kan bisa berabe ......"
Mungkin karena diremehkan, maka laki2 ini menjadi uring2an, katanya dengan nada misterius.
"Ah, belum tentu, meski kami orang2 rendah, tapi punya jalannya sendiri untuk mencari berita, tak seluruhnya kami tahu, tapi sedikit banyak tentu tahu juga."
"Tidak mungkin, aku tidak percaya,"
Ucap Kin Jin menggeleng. Orang itu merasa penasaran, katanya.
"Bukan aku sengaja mau menyombongkan diri, aku berani bertaruh, apa yang Cianpwe ketahui belum tentu lebih banyak daripada apa yang kuketahui. Mungkin Cianpwe hanya tahu Ji ih-hu yang akan memberi bantuan, padahal orang2 Ceng -siong-san ceng juga akan datang, mungkin pula Cianpwe belum tahu bahwa Jit-ho-hwe dan Toa-to-kau juga setuju untuk berserikat, malahan Sio lian-su-coat yang bersemayam dl"
Pek hoa-kok juga diundang keluar. Hal yang lebih penting adalah Tiang-hong pay juga akan mengutus 213 orangnya kemari, sungguh suatu usaha besar yang tak kepalang tanggung, tiba waktunya pasti amat ramai ......"
Rahasia yang tak sengaja terkorek ini sungguh membuat jantung Kin "Jin berdetak keras, maklumlah aliran dari goIongan yang disebut ini semua diketahui jelas olehnya.
Terutama Tiang hong pay, perkumpulan yang menempati Ki hong nia di Ong-ju-san ini merupakan Pay yang paling aneh dan misterius, pimpinan mereka seluruhnya ada tujuh orang, julukan mereka semuanya menggunakan, huruf "Ang" (merah).
Ketujuh makhluk aneh yang biasanya jarang berhubungan dengan dunia ramai ini melarang siapapun berkeluyuran di sekitar Ki-hong-nia, apalagi ketujuh orang ini masing2 memiliki watak aneh yang berbeda pula, konon Kungfu mereka sangat tinggi, sungguh tak nyana bahwa Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui bisa mengundang mereka keluar dari sarangnya, sungguh sukar dibayangkan dengan cara bagaimana mereka bisa dipancing keluar? Satu hal lagi yang membuat Kin Jin ngeri adalah ketujuh makhluk aneh dari Tiang hong-pay ini punya hubungan intim dengan Kun lun-pay, karena Ciangbunjin Tiang hong-pay adalah adik kandung Ciangbunjin Kun-lun pay, jika bermusuhan dengan mereka, tentu pihak Kun-lun- pay takkan berpeluk tangan.
Melihat Kin Jin hanya mengerut alis tanpa bicara, laki2 baju merah menjadi bingung, tanyanya.
"Cianpwe, apakah Cianpwe kurang enak badan?"
Setelah menghela napas, Kin Jin berkata.
"Ya, rasanya jadi kurang enak badanku, apalagi setelah mendengar ceritamu ini, hatiku ikut kebat-kebit. Tapi tak apalah. Ah, bukankah Sebun-toako sudah masuk ke sana? Itulah Jay-sing-tiu-lau (rumah makan Petik Bintang)?"
Dengan hormat yang berlebihan orang itu menyilakan Kin Jin masuk dan naik ke loteng, Sebun Tio-bu dan laki2 baju merah yang lain sudah menempati sebuah meja.
Cepat sekali masakan telah di hidangkan, merekapun makan minum sekenyangnya, terutama Kin Jin dan Sebun Tio bu, mereka tahu malam ini tugas mereka cukup berat, perut harus di isi sekenyangnya supaya tidak meruntuhkan semangat tempur mereka.
Setelah turun dari Jay-cing-siu-lau, sepanjang jalan mereka masih ngobrol dan tidak sedikit keterangan yang berhasil dikorek pula oleh Sebun Tio-bu dan Kin Jin, setelah meninggalkan kedua laki2 baju merah yang mabuk itu, Sebun Tio-bu dan Kin Jin tertawa geli sambil saling pandang, kata Kin Jin.
"Sudah sekian lamanya, mungkin Siang-lote sudah tidak sabar menunggu lagi."
Sebun Tio-bu segera menariknya ke arah barat, kini orang yang berlalu di jalan raya sudah jauh lebih sepi, maklumlah waktu menjelang tengah malam, toko2pun telah tutup, demikian pula pedagang kaki lima sudah mulai mengukuti barang2 dagangannya.
Tidak jauh mereka meninggalkan rumah makan itu, tahu2 Siang Cin muncul dari gang sebelah depan sana, dengan menengadah santai ia berjalan berlenggang, tak ubahnya seperti pelancongan yang sedang menikmati panorama nan indah permai.
Kin Jin segera mendekati, sapanya.
"Bikin Siang-heng menunggu terlalu lama."
"Tidak perlu ter-gesa2, pasti tidak sedikit berita yang berhasil kalian peroleh?"
Ucap Siang Cin dengan tertawa.
"Memang."
Sahut Kin Jin.
"supaya tidak mengejutkan musuh, maka kami tidak pakai kekerasan, terpaksa main sandiwara untuk menipu keterangan mereka."
Sebun Tio bu celingukan ke kanan kiri lalu katanya.
"Situasi kurang meguntungkan Bu-siangpay, dari padang rumput mereka sudah mengerahkan seluruh kekuatannya, kini sudah melintasi Liok-sun- ho, diperhitungkan dari kecepatan jalan mereka paling lama dua hari lagi pasti sampai di sini ....."
"Mumpung ada kesempatan, daripada menunggu terlalu iseng, barusan aku pergi ke Pa-hou-seng, jaraknya kira2 tiga li, pagar temboknya dibangun dari batu2 hijau besar, perumahan di dalamnya cukup banyak dan tersebar luas, pada setiap bagian dibangun taman dan hutan buatan yang terawat baik, agaknya keadaan di sana 214 memang amat berbahaya, sekian lamanya aku memeriksa dari atas tembok. Bayangan orang tampak mondar mandir di dalam kampung, senjata tajam kelihatan kemilauan, cahaya lampu tampak masih menyala dibanyak rumah2 di sana, penjagaan cukup ketat, suasana terasa tegang, naga2nya mereka sudah sejak beberapa hari ini mempersiapkan diri untuk menyongsong serbuan musuh ......"
Sementara itu, mereka sudah membelok ke gang samping yang gelap, sambil berjalan secara singkat Kin Jin ceritakan kejadian tadi serta berita apa yang berhasil mereka korek itu kepada Siang Cin.
Mengawasi bintang2 di langit yang berkelip, Siang Cin berpikir sejenak, katanya kemudian.
"Arah pasukan Bu-siang-pay jelas tertuju ke Toa-ho-tin, pertempuran besar segera akan berlangsung, agaknya malapetaka dan penderitaan sukar lagi terhindar."
Ketiga orang sama2 prihatin, Siang Cin seperti hendak bicara, tapi tiba2 didengarnya derap kaki orang banyak lari lewat di jalan raya sana, terdengar suara aba2, bentakan dan caci-maki, tapi segera suara dan derap langkah barisan ini semakin jauh dan akhirnya tidak terdengar lagi.
Sebun Tio-bu berkata.
"Agaknya Jik-san-tui menemukan apa2, atau mungkin menyadari tindak tanduk kita yang mencurigakan tadi, maklumlah, beberapa hari terakhir ini mereka hidup dalam suasana tegang. Lalu bagaimana tindakan kita selanjutnya? Menghajar musuh atau menyingkir saja secara diam2? Kin Jin memberi tanda, cepat mereka melesat ke tempat yang lebih gelap, dengan suara lirih Siang Cin berkata.
"Jika mau pakai kekerasan, tadi tak perlu kalian main sandiwara segala."
Baru saja mereka mendekam di tempat gelap, puluhan orang tampak berlari mendatangi, senjata mereka tampak kemilau serta mengeluarkan suara gemerantang, secara membabi buta mereka mengadakan pemeriksaan di gang sempit gelap ini sambil menggerutu, sudah tentu mereka tidak memperoleh apapun yang diharapkan.
Sambil berludah dan mencaci maki akhirnya mereka mengundurkan diri.
Setelah orang2 itu pergi, Sebun Tio-bu mengomel, katanya.
"Siang-heng, sekarang kita terjang ke Ji-ih-hu atau menyelundup ke Pau-hou-ceng?"
Siang Cin menjawab.
"Ke Pau-hou-ceng saja."
Dengan tertawa Sebun Tio-bu bertanya.
"Apa tidak perlu berkedok?"
"Ya, harus berkedok,"
Ucap Siang Cin. Mengawasi jubah kuning Siang Cin, Kin Jin berkata.
"Berkedok atau tidak sama saja, jubah kuning yang Siang-heng pakai ini sangat menyolok, memangnya siapa yang tidak kenal bahwa Siang-heng berjubah kuning?"
"Kukira tidak jadi soal, malam terlampau gelap, bila gerak-gerikku cukup cepat, tanggung mereka tak bisa mengenalku lagi,"
Demikian ucap Siang Cin.
Sebun Tio-bu mengeluarkan sapu tangan sutera putih, dia tutupi hidung dan mulut sendiri, sementara Kin Jin keluarkan kain hijau untuk membalut kepala, demikian pula Siang Cin keluarkan sapu tangan kuning untuk menutupi mukanya, mereka saling pandang dengan tertawa geli, di bawah aba2 Siang Cin mereka segera berlalu dari tempat itu.
Dengan gaya yang indah dan ringan Siang Cin melayang ke atas rumah.
Sudah tentu Kin Jin dan Sebun Tio bu tidak mau ketingalan, merekapun ingin pamer kepandaian masing2, seperti berlomba saja ketiganya segera melesat ke depan.
Pada wuwungan terakhir di dalam kota Toa-ho-tin, pada saat mereka mengapung tinggi di udara itu, Sebun Tio-bu dan Kin Jin sama melihat Pau-hou-ceng yang terletak di balik hutan sebelah timur sana.
Pau-hou ceng memang amat luas, bangunan gedungnya tinggi dan megah, pagar tembok yang mengelilingi perkampungam juga amat tinggi.
Sinar lampu ber kelip2 di sana-sini tersebar jauh, se-akan2 mata setan yang selalu mengintip gerak gerik orang luar yang menyelundup ke dalam kampung.
Menuding ke depan Siang Cin berkata lirih.
"Itulah Pau hou-ceng," 215 Sebun Tio bu berludah sambil mencaci. Sebaliknya Kin Jin berkata dengan tertawa.
"Semoga perjalanan kita malam ini membawa hasil yang memuaskan." ********** Halaman 27 - 28 hilang ********** sudah siap, Siang Cin meraih dua ranting pohon dan di sambitkan. Malam gelap, tapi terdengar jelas kedua ranting kayu itu menerbitkan deru angin mencicit, dikala ranting kayu itu hampir tiba di depan pintu gerbang, mendadak membelok ke kiri-kanan. Dua puluh empat laki2 yang bertugas jaga itu sama melengak, sigap sekali mereka memburu ke kiri-kanan, pada waktu yang sama Siang Cin bertiga lantas melijit tinggi ke atas, tanpa bersuara dan tiada rintangan apapun mereka meluncur masuk ke Pau-hoa-ceng. Begitu melampaui pintu gerbang, kembali Siang Cin memberikan tanda, mereka tidak hinggap ke bawah, tapi langsung melayang ke pohon besar yang berada di kanan pintu gerbang. Tertampak sebuah jalan lapang mengkilap beralas batu hijau menjurus lurus ke sebelah dalam dan berakhir pada undakan batu hijau pnla di depan sebuah gedung besar dan angker, begitu megah bangunan gedung ini, bentuknya serba antik, semuanya serba ukiran dan berwarna warni lagi, dua ekor singa batu di kanan-kiri pintu menambah angkernya gedung ini. Dari ketinggian pucuk pohon mereka memeriksa keadaan sekitarnya tanpa menghiraukan keributan para penjaga yang menggerundel tadi, Sebun Tio-bu bersuara tertahan.
"Siang-heng, gedung besar itu seperti markas mereka untuk bersidang atau pusat kekuasaan mereka ...."
Duel Dua Jago Pedang -- Khu Lung Kereta Berdarah -- Khu Lung /Tjan Id Walet Besi -- Cu Yi