Pedang Langit Dan Golok Naga 81
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Bagian 81
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya dari Chin Yung
"Benar, benar dia,"
Katanya didalam hati.
"Tak heran, waktu kulihat punggung dan gerak geriknya, aku merasa seperti sudah mengenalnya. Apa benar, sebab mati penasaran rohnya tidak berpulang kealam baka? Apa benar rohnya tahu, bahwa di Siauw lim sie sedang diadakan sembahyang? dan dia datang untuk menerima doa-doa?"
Sementara itu sejumlah pendeta sudah keluar untuk menyelidiki.
Melihat Boe Kie mereka kaget tercampur heran.
Seorang pendeta tua memberi hormat dan berkata.
"Sebab tak tahu Kauwcoe datang berkunjung, kami tidak keburu menyambut.
Mohon Kauwcoe sudi maafkan".
Boe Kie membalas hormat dan lalu masuk kedalam ruangan sembahyang.
Cie Jiak belum tersadar dari pingsannya.
Ia memburu dan memijit bibir dan mengurut punggung si nona.
Beberapa saat kemudian Cie Jiak mendusin.
Ia melompat dan memeluk Boe kie seraya berteriak.
"Setan! ..."
"Aku pun heran,"
Kata Boe Kie.
"Tapi kau tak usah takut. Disini terdapat banyak pendeta suci dan mereka pasti bisa menyingkirkan segala setan penasaran". Atas dorongan rasa takut yang luar biasa nona Cioe jadi kalap dan memeluk Boe Kie di hadapan orang banyak. Sesudah Boe Kie bicara ia tersadar dan mukanya lantas bersemu merah. Ia melepaskan pelukannya tapi tubuhnya masih terus bergemetaran dan mencekal kedua tangan Boe Kie sekeras-kerasnya. Sesudah memberi hormat kepada Kong boen Boe Kie memberitahukan adanya muka yang penuh tanda di jendela timur. Kong boen dan yang lain tidak melihatnya. "Boe Kie .... Thio Kauwcoe,"
Kata Cie Jiak.
"yang kulihat adalah dia."
Boe Kie lantas menyahut.
"Aku - - - - akupun melihat dia,"
Katanya akhirnya. Si nona menggigil.
"Kau .... kau juga lihat?"
Ia menegas. Boe Kie mengangguk. "Siapa yang dilihat olehmu?"
"In Kouwnio, Coe Jie, Piauw moayku."
Nona Cioe mengeluarkan seruan, tubuhnya bergoyang- goyang, kedua matanya meram dan ia pingsan lagi. Boe Kie segera mencekal tangannya, sehingga ia tidak sampai roboh. Sesaat kemudian ia tersadar pula.
"Yang kulihat adalah Coe Jie,"
Kata Boe Kie. Tapi dia bukan setan .... dia manusia biasa."
"Bukan setan ? Apa benar?"
"Aku telah menguntit dia sampai disini. Tindakannya tindakan manusia biasa, bukan setan,"
Boe Kie berkata begitu terutama untuk menghibur Cie Jiak. Didalam hati, ia sendiri tidak percaya apa yang dikatakannya. "Apa sungguh-sungguh dia bukan setan?"
Si nona menanya lagi. Boe Kie menengok kearah Kong boen dan berkata.
"Hong-thio, ada sesuatu yang aku kurang mengerti. Aku mohon petunjuk Hong thio. Sesudah manusia mati, apa benar ada roh atau setannya?"
Sesudah berpikir beberapa saat, Kong boen menjawab.
"Soal yang mengenai alam baka sangat sukar dijelaskan.
Segala apa dalam dunia ini merupakan kekosongan.
Apalagi roh atau setan?"
"Tapi mengapa Taysoe mengadakan sembahyang besar ini? Bukankah untuk menyembahyangi roh?"
"Siancay! Roh sebenarnya tak usah diseberangi.
Sembahyang dilakukan kami bertujuan menenteramkan hati manusia.
Yang harus diseberangi adalah manusia hidup.
Boe Kie tersadar.
Ia menyoja dan berkata sambil membungkuk.
"Terima kasih atas petunjuk Taysoe. Ditengah malam buta aku mengganggu kalian. Kumohon Taysoe suka memaafkan."
"Kauwcoe adalah Toa in jin (penolong besar) kami. Beberapa kali kauwcoe sudah membebaskan Siauw lim sie dari bencana. Kauwcoe tak usah berlaku sungkan." Sesudah berpamitan dengan Kong boen dan para pendeta, Boe Kie berkata kepada Cie Jiak. Mari kita jalan."
Si-nona kelihatan bersangsi! "Kalau begitu kita berpisahan disini saja.
"
Kata pula Boe Kie yang lalu bertindak keluar. Cie Jiak mengawasi tindakan pemuda itu. Ia tahu, bahwa kalau sekarang mereka berpisahan, belum tentu mereka akan bisa bertemu lagi. Mendadak ia berseru.
"Boe Kie Koko .... aku ikut."
Ia mengudak dan meninggalkan kuil Siauwlimsie berendeng pundak dengan Boe Kie.
Sesudah terpisah dari kuil beberapa puluh tombak, si nona memegang tangan Boe Kie.
Pemuda itu tahu bahwa dia masih ketakutan.
Tapi sebagai manusia biasa, memegang tangan seorang wanita cantik dia mengendus bau harum menimbulkan perasaan yang sukar dilukiskan.
Mereka berjalan tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Sesudah melalui beberapa li, si nona menghela napas.
"Boe Kie Koko,"
Katanya.
"hari itu waktu kita pertama bertemu di sungai Han soei, jiwaku ditolong oleh Thio Cinjin. Kalau tahu aku harus mengalami begini banyak penderitaan, alangkah baiknya jika aku mati dihari itu."
Boe Kie tidak menyahut. Tiba-tiba ia ingat pula doa Beng kauw. Tanpa merasa ia berkata dengan suara perlahan.
"Hidup apa senangnya mati apa susahnya? Kasihan manusia dalam dunia, banyak yang menderita. Kasihan manusia dalam dunia, banyak yang menderita!"
Tangan Cie Jiak bergemetaran.
"Kutahu, dalam mengirim aku ke Go bie, Thio Cin jin bermaksud baik,"
Katanya.
"Tapi andaikata ia menerima aku sebagai murid Boe tong, keadaan sekarang tentu lain sekali Hai--! Insoe (guruku yang besar budinya) pun sangat baik terhadapku. Tapi ... ia paksa aku bersumpah berat, ia paksa aku membenci Beng kauw, membenci kau tapi didalam hatiku . .."
Boe Kie merasa sangat terharu. Ia mengerti bahwa segala penderitaan si nona dan segala perbuatannya yang berdosa sebagian besar karena gara-gara Biat coat Soethay. Mengingat itu, rasa kasihannya bertambah pula."
Angin malam yang bersilir dengan perlahan mengirim harumnya bunga ke hidung dua orang muda itu.
Waktu itu adalah permulaan musim panas.
Langit bertabur bintang dan diantara keindahan dan keharuman sang malam, Boe Kie mendengar pengakuan rasa cinta dari seorang wanita cantik.
Jantungnya mengetuk lebih keras.
"Boe Kie Koko,"
Kata pula Cie Jiak.
"Pada waktu kita mau menjalankan upacara pernikahan di Hauwcoe, begitu lihat Tio Kauwcoe kau lantas kabur. Apa sungguh kau sangat mencintai dia?"
"Inilah justru keterangan yang sudah lama ku mau berikan kepadamu,"
Jawabnya.
Sesaat itu mereka sudah tiba didekat tenda-tenda Bengkauw, Boe Kie menuntun Cie Jiak kesebuah batu besar dipinggir jalan dan mereka lalu berduduk dengan berendeng pundak.
Boe Kie lantas saja menceritakan sebab musabab dari kaburnya itu.
Ia kabur bukan semata-mata sebab kecantikan Tio beng, tapi sebab lihat rambut Cia Soen yang dipegang nona Tio.
Sesudah Boe Kie selesai menutur, Cie Jiak tidak mengatakan apa-apa juga.
"Cie Jiak apa kau marah terhadapku?"
Tanya Boe Kie. Si nona menangis.
"Aku banyak lakukan perbuatan berdosa, aku hanya boleh mempersalahkan diriku sendiri," jawabnya.
"Mana boleh aku marah terhadapmu ?"
Tiba-tiba ia mendongak.
"Boe Kie Koko,"
Katanya.
"Aku ingin ajukan satu pertanyaan dan kuharap kau akan menjawabnya dengan setulus hati."
"Katakanlah!"
"Kutahu dalam dunia terdapat wanita yang mencintai kau dengan segenap jiwa dan raganya. Yang satu Siauw Ciauw. Dia sudah ke Persia. Yang satu lagi Tio Kouwnio. Yang ketiga dia - - - - "
Ia tak menyatakan In Kouwnio tapi perkataanmu tidak bisa keluar dari mulutnya. Sesudah berdiam sejenak ia berkata pula.
"Kecuali Siauw Ciauw. kami bertiga pernah berbuat sesuatu yang tidak baik terhadapmu. Tapi andaikata kami berempat berada disini siapa yang benar-benar dicinta olehmu?"
Boe Kie tertegun, beberapa saat kemudian barulah ia bisa membuka mulut.
"Aku... aku...."
Waktu mengarungi lautan bersama-sama Cie Jiak, Tio Beng, In Lee, dan Siauw Ciauw, pertanyaan itu sudah sering muncul dalam hatinya.
Ia sendiri tidak bisa menjawabnya.
Untuk mengelakkan soal itu, ia sering berkata pada dirinya sendiri, bahwa sebelum orang Mongol di usir dari tahta kerajaan, tidaklah pantas ia memikir soal kawin.
Tapi ada juga katanya, didalam hati kecilnya ia membayangkan bahwa alangkah beruntungnya apabila ia bisa menikah dengan keempat gadis itu sekaligus.
Jaman itu adalah akhir kerajaan Goan.
Pada jaman itu tiga empat isteri atau gundik dipandang lumrah.
Tapi Bengkauw berasal dari Persia menurut ajaran Beng kauw seorang harus hemat, sehingga oleh karenanya, diantara penganut agama jarang sekali yang punya lebih dari satu isteri.
Boe Kie pun anggap, bahwa ia sudah boleh merasa beruntung kalau bisa menikah dengan salah seorang dari keempat gadis itu.
Ia merasa bahwa jika sesudah menikah dengan salah seorang ia masih mengambil gundik, ia berbuat tak pantas terhadap isteri yang seperti dewi itu.
Demikianlah pada waktu yang lalu persoalan itu bsering memusingkan kepala.
Belakangan Siauw Ciauw pergi ke Persia dan In Lee dibunuh orang.
Semua orang menduga bahwa pembunuh nona In adalah Tio beng maka dari itu, menurut kepantasan maka pilihannya harus jatuh kepada Cie Jiak.
Diluar dugaan, timbulah gelombang yang akhimya berakibat kaburnya Tio Beng dan diajukan partanyaan sulit oleh nona Cioe.
Melihat Boe Kie tidak menjawab, Cie Jiak berkata pula.
"Pertanyaanku hanya andai2.
Sekarang ini kau tak usah memilih lagi.
Siauw Ciauw sudah menjadi Kauwcoe di Persia sedang aku---aku telah mencelakai In Kouwnio.
Diantara kami berempat, secara wajar pilihanmu harus jatuh kepada Tio Kouwnio.
Aku hanya ingin bertanya.
"Andaikata kami berempat, bebas dari kedosaan atau ganjelan, sekarang berada disini siapakah diantara kami yang akan kau pilih?"
"Cie Jiak, pertanyaan itu sebenarnya sudah lama mengganggu pikiranku.
Hari ini baru kutahu siapa yaug dicintai olehku."
"Siapa? Tio Kauwnio?"
"Hari ini aku tak berhasil mencari dia.
D i dalam hati, aku kepingin mati.
Manakala aku tidak bisa bertemu lagi dengan dia kurasa akupun tidak akan bisa hidup lama di dunia.
Waktu Siauw Ciauw pergi, aku berduka.
Perbuatanmu juga sangat mendukakan aku.
Tapi Cie Jiak, aku tak boleh mendustai kau.
Apabila aku tidak bisa bertemu dengan Beng moay, aku lebih suka mati, Cie Jiak rasa hatiku ini belum pernah kuuraikan kepada orang lain."
"Hari itu dikota raja, waktu kulihat kau menemui dia dirumah makan, aku sudah tahu kepada siapa kau berikan cintamu.
Tapi aku masih terus mimpi.
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kuduga bahwa sesudah aku - -aku - - - menikah denganmu kau bisa berubah pikiran.
Tapi - - - aku hanya mendustai diriku sendiri !"
"Cie Jiak, terhadap kau, aku selalu menghargai dan menghormati.
Terhadap In Piauw moay, aku merasa berterima kasih.
Terhadap Siauw Ciauw, aku menyayang- Hanyalah terhadap Tio Kouwnio aku menaruh cintaku.
Cintaku terhadap dia adalah cinta yang tercetak di jantung dan terukir di tulang."
"Ya - - - cinta yang tercetak di jantung dan terukir di tulang - - Cinta yang tercetak dijantung dan terukir di tulang - - "
Cie Jiak mengulang dengan suara perlahan. Ia berdiam sejenak dan kemudian menambahkan.
"Boe Kie Koko, cintaku terhadapmu juga cinta yang tercetak di jantung dan terukir ditulang, apa kau tahu?"
Boe Kie merasa sangat terharu. Sambil mencekal tangan si nona ia berkata.
"Cie Jiak aku tak dapat merasai perasaan hatimu. Aku tak tahu cara bagaimana aku harus membalas kecintaanmu. Aku - - - aku berlaku sangat tidak pantas terhadapmu."
"Tidak! Kau selalu berbuat kebaikan terhadapku. Apa kau tak tahu? Sekarang kutanya- Apabila kau tak bisa mencari Tio Kouwnio, jika ia dibunuh orang, atau andaikata ia berubah pikiran, kau ... bagaimana kau berbuat?"
"Entahlah! Tapi biar bagaimanapun juga diatas ada langit dibawah ada bumi, aku akan mencari dia deogan segala tenaga yang dipunyai olehku. Si.nona menghela napas.
"Dia tak akan berubah pikiran,"
Katanya.
"Kalau benar kau ingin menemui dia, hal itu bisa terjadi dengan mudah sekali."
Boe Kie kaget bercampur girang. Ia melompat bangun. "Dimana dia?"
Tanyanya.
"Cie Jiak lekas bilang."
Nona Cioe mengawasi wajah Boe Kie penuh kegirangan. "Terhadap aku kau tidak akan perlihatkan kecintaan yang begitu besar,"
Katanya.
"Jika kau ingin tahu dimana adanya Tio Kauwnio, kau lebih dulu harus mengatakan satu permintaanku. Tanpa meluluskan permintaanku itu, tak usah harap kau bisa bertemu lagi dengan dia!"
"Permintaan apa?"
"Permintaan itu sekarang belum dapat dipikir olehku. Namun, setelah kudapat, aku akan beritahukan kau. Tapi kau tak usah kuatir. Permintaanku itu tidak akau melanggar "Hiap gie" (kesatrian) tidak akan menodai nama baik Bengkauw, maupun namamu sendiri dan permintaan itu akan bermanfaat bagi usahamu yang besar. Tapi mungkin sekali tugas yang terdapat dalam permintaan itu tak mudah dikerjakan."
Boe Kie tercengang.
Si nona ternyata telah menuruti contoh Tio beng waktu nona Tio mengajukan tiga permintaan kepadanya.
Ia tidak bisa lantas menjawab dan untuk beberapa saat, ia menatap muka Cie Jiak dengan mulut ternganga.
"Kalau kau tak suka meluluskan, terserah kepadamu,"
Kata pula si nona.
"Tapi seorang laki-laki harus menjaga kepercayaan. Apabila kau sudah mengatakan, dibelakang hari kau tidak boleh mangkir janji."
"Kau kata parmintaan itu tidak melanggar "hiap gie"
Tidak menodai nama Beng kauw dan namaku sendiri dan bahkan bermanfaat bagi usaha besar. Bukankah begitu?"
"Benar."
"Baiklah. Kalau benar tidak melanggar "hiap gee"
Dan kalau tidak merugikan usaha besar, aku meluluskan." (Usaha besar ialah usaha untuk merobohkan kerajaan Goan). "Mari kita bersumpah dengan saling menepuk tangan."
Kata Cie Jiak seraya mengeluarkan tangan kanannya.
Boe Kie tahu, bahwa begitu lekas ia menepuk telapak tangan Cie Jiak ia seperti juga diikat dengan rantai besar.
Nona Cioe sungguh hebat.
Ia halus dan lemah lembut tapi cara-caranya lebih keras dari Tio Beng.
Perlahan-lahan ia angkat tangannya, tapi tidak lantas menepuk.
Si nona tersenyum.
"Begitu kau menepuk, begitu kau akan bisa bertemu dengan kecintaanmu,"
Katanya. Darah Boe Kie bergolak. Tanpa berpikir lagi ia menepuk tangan Cie Jiak tiga kali. Nona Cioe tertawa.
"Coba kau lihat siapa di dalamnya?"
Tanyanya sambil menyingkap ranting-ranting pohon berdaun rindang yang berada dibelakangnya. "Bengmoay!"
Teriak Boe Kie. Tiba-tiba ditempat yang jauhnya beberapa tombak terdengar suara "ih"
Dari seorang perempuan.
Biarpun perlahan, suara itu didengar Boe Kie.
Ia terkesiap dan rupa- rupa ingatan berkelebat diotaknya.
Tapi ia tak sempat memikir yang lain dan lalu menarik tangan Tio-beng.
Sekali lagi ia terkejut, sebab tangan si nona kaku.
Ia mendusin bahwa Tio beng telah ditangkap dan ditotok jalan darahnya oleh Cie Jiak yang lalu menyembunyikannya ditempat itu.
Ia mulai mengurut punggung nona Tio supaya darah bisa mengalir lagi sebagaimana biasa.
Si nona mengawasi Boe Kie dengan sorot mata penuh kecintaan dan rasa bahagia.
Ia sudah dengar pembicaraan antara Boe Kie dan Cie Jiak.
Ia sudab tahu bahwa pemuda itu mencintainya dengin cinta yang tercetak dijantung dan terukir ditulang.
Mendadak Cie Jiak membungkuk dan bicara bisik-bisik di kuping Boe Kie yang lalu menjawab dengan bisik-bisik pula.
Diluar dugaan, tiba-tiba saja nona Cioe marah besar.
"Thio Boe Kie!"
Bentaknya. Kau sama sekali tak pandang mata padaku! Kau lihatlah! Sesudah kena racun, apa perempuan she Tio itu masih bisa hidup terus?"
Boe Kie mencelos hatinya.
"Dia - - - dia, kena racun? Kau yang meracuni?"
Tanyanya kemudian, Ia membungkuk dan membuka kelopak mata kiri Tio Beng. Sesaat itu mendadak ia merasa punggungnya kesemutan. Ia ditotok Cie Jiak. "Celaka!"
Ia mengeluh dan tubuhnya bergoyang-goyang.
Sebab memiliki Lwekang yang sangat kuat, biarpun tertotok, ia tidak lantas roboh.
Cepat-cepat ia mengerahkan tenaga dalam untuk melancarkan jalan darahnya.
Tapi Cie Jiak tak tinggal diam, bagaikan kilat ia mengirim lima totokan lain di lima "hiat"
Besar, yaitu dipundak dan di punggung. Meskipun lihay, Boe Kie tak kuat melawan enam totokan itu. Ia roboh terjengkang, tiba-tiba sinar hijau berkelebat dan Cie Jiak menuding dadanya dengan pedang. "Thio Boe Kie, hari ini kuambil jiwamu!"
Bentaknya. "Aku tak perduli setannya. In Lee terus saja mengganggu aku. Aku tidak. bisa hidup lebih lama lagi, Mari kita mati bersama!"
Seraya berkata begitu, ia mengayun pedang untuk menikam Boe Kie. "Tahan!"
Mendadak terdengar teriakan seorang wanita. "Cie Jiak, aku belum mati."
Cie Jiak menengok.
Seorang wanita baju hitam melompat keluar dari alang-alang dan menotok punggungnya.
Cie Jiak berkelit dan wanita itu memutar tubuh sehingga mukanya kena sinar rembulan.
Muka itu sangat cantik tapi di muka yang ayu itu terdapat goresan- goresan bekas luka.
Boe Kie lantas saja mengenali bahwa dia itu bukan lain dari pada In Lee.
Bengkak-bengkak di muka nona In sudah hilang dan biarpun terdapat tanda bekas luka, kecantikan si nona tidak berkurang.
Boe Kie lantas saja ingat si gadis cilik yang mengikut Kim hoa Popo dan yang pertama kali ditemuinya di Ouw tiap kok.
Sesudah berkelit, Cie Jiak menuding dada Boe Kie dengan pedangnya.
"Kalau kau maju setindak lagi, aku ambil jiwanya,"
Ia mengancam. In Lee benar saja tak berani bergerak! "Apa belum cukup kau melakukan perbuatan jahat?"
Katanya dengan suara bingung. "Apa kau manusia atau setan?"
Tanya nona Cioe. "Tentu saja manusia,"
Jawabnya. Mendadak Boe Kie berteriak.
"Coe Jie!"
Ia melompat dan memeluknya.
"Oh, Coe Jie! Kau membuat aku sangat menderita!"
Katanya dengan suara parau. Dipeluk begitu, In Lee tak bisa berkutik lagi. Cie Jiak tertawa geli. Sesudah memasukkan pedang ke sarung, ia berkata.
"Huh-huh Menyamar menjadi setan untuk menakut-nakuti aku. Jika aku tidak menggunakan tipu, kau tentu masih belum mau keluar."
Sehabis berkata begitu ia menghampiri Tio Beng dan membuka jalan darah nona Tio! Tio Beng menghela napas.
Sesudah menjadi tawanan Cie Jiak, ia bergirang sebab dengar pengakuan Boe Kie! Tapi baru bergirang ia sudah berkuatir lagi sebab munculnya nona In.
"Lepaskan aku!"
Kata In Lee.
"Tio Kouwnio dan Cioe Kouwnio berada disini. Apa kau tak malu!"
Boe Kie tersenyum."
Melihat kau hidup kembali, aku kegirangan,"
Katanya "Tapi .. tapi bagaimana bisa jadi begitu?"
In Lee menarik tangan pemuda itu sehingga muka Boe Kie menghadapi rembulan. Ia mengawasi dan mendadak menjewer kuping orang. "Aduh! Mengapa kau jewer kupingku?"
Teriak Boe Kie. "Tioe-pat koay,"
Kata si nona, kau memang pantas dicincang dengan laksaan golok! Kau menggunakan nama Can A Goe untuk menipu aku, menyuruh aku membuka rahasia hatiku.
Kau mau bikin aku malu dihadapan banyak orang.
Kau...
kau mengubur aku hidup-hidup.
Celaka sungguh! Karena kau, aku sangat menderita."
Sehabis berkata begitu ia pukul tiga kali dada Boe Kie. Boe Kie tidak mengerahkan Kioe yang Sinkang. Ia rela menerima pukulan itu.
"Piawmoay,"
Katanya sambil tertawa.
"Sungguh mati, kukira kau sudah meninggal dunia. Aku sudah mencucurkan banyak air mata. Bagaimana kau bisa hidup lagi? Loo thian ya (Langit) benar-benar mempunyai mata."
"Loo thian ya punya mata, tapi kau, Tioe-pai koay, tak punya mata. Kau murid Tiap kok-Ie sian, Masakah orang sudah mati atau belum mati tak diketahui olehmu? Aku tak percaya. Kau tentu mencela mukaku yang bengkak- bengkak, sehingga sebelum aku putus jiwa, kau sudah mengubur aku. Kau tak lebih tak kurang daripada setan umur pendek yang tak punya perasaan hati!"
Boe Kie menyeringai.
"Kau boleh caci aku sepuas hati,"
Katanya.
"Waktu itu aku memang gila. Melihat mukamu berlepotan darah, napasmu berhenti dan jantungmu tidak mengetuk lagi, aku lantas menarik kesimpulan, bahwa kau sudah tidak dapat ditolong lagi..."
In Lee melompat coba menjewer kuping kanannya. Boe Kie berkelit dan sambil menyoja ia berkata.
"Piauw moay yang baik, ampunilah aku!"
"Tidak! Aku takkau ampuni kau! Hari itu entah bagaimana aku tersadar. Diseputarku dingin semua potongan-potongan batu. Kalau kau mau mengubur aku hidup-hidup, perlu apa kau membuat lubang tertutup batu? Bukankah lebih baik kau menguruk aku dengan tanah, supaya aku tak bisa bernapas, supaya aku mati sungguhan?"
"Terima kasih kepada langit dan bumi !"
Kata Boe Kie. "Sungguh mujur hari itu aku menutup lubang dengan batu- batu."
Seraya berkata begitu, tanpa merasa ia melirik Cie Jiak. "Aku larang kau lihat dia !"
Bentak In Lee dengan gusar. "Mengapa?"
Tanya Boe Kie. "Sebab dia pembunuh yang membunuhku"
Jawabnya. "Kau masih hidup, sehingga tak dapas kau mengatakan Cioe Kauwnio sebagai pembunuh,"
Sela Tio beng. "Aku sudah mati satu kali. Dia tetap pembunuh!"
Sambil berkata begitu In Lee telah menatap Cie Jiak dengan sorot mata yang dingin seakan juga menembus ke ulu hati Cie Jiak membuat tubuh Cie Jiak jadi gemetar karenanya. "Piauw moay yang baik!"
Kata Boe Kie untuk melenyapkan kekakuan suasana disaat itu.
"Kau telah pulang dari pulau karang itu dengan selamat, kami benar2 merasa bersyukur dan girang melebihi perasaan girang jika memperoleh hadiah yang tak ternilai harganya, maka sekarang aku ingin mohon kepadamu, maukah engkau duduk dengan tenang, untuk saling menceritakan pengalaman selama itu?"
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Muka In Lee jadi berobah waktu mendengar perkataan Boe Kie, dia telah tertawa dingin sekali dengan wajah yang memancarkan perasaan tidak senangnya. "Engkau mempergunakan perkataan kami"
Kata In Lee kemudian.
"Ingin kutanya dulu, dengan perkataan kami.
"KAMI"
Yang engkau maksud itu meliputi siapa-siapa saja?"
"Disini hanya terdapat empat orang, dengan sendirinya meliputi aku bersama nona Cioe dan Tio, entah merekapun senang untuk mendengarkan pengalaman yang menarik di pulau karang yang pernah engkau alami itu..."
"In Kouwnio,"
Tiba2 Cie Jiak te1ah memotong perkataan Boe Kie.
"Waktu itu memang timbul maksud jahatku, hingga telah mencelakaimu, setelah itu siang dan malam aku telah tersiksa oleh penyesalan-penyesalan yang tidak berkesudahan, dalam mimpiku, selalu pula aku tidak merasa aman dan dikejar oleh perasaan menyesal dan takut. Jika tidak, tentu akupun tidak akan ketakutan setengah mati waktu hari itu mendadak melihat engkau ditengah rimba itu ....! Tetapi kini melihat engkau masih sehat dan selamat tidak kurang suatu apapun juga, maka terhindarlah segala dosa-dosaku. Thian yang maha pengasih menjadi saksi, aku merasa bersyukur melihat engkau dalam keadaan selamat dan sehat seperti sekarang ....!"
In Lee tidak menyahuti perkataan Cie Jiak, tampakoya dia berpikir sejenak, dan kemudian menganggukkan kepalanya perlahan-lahan beberapa kali.
"Ya, memang dapat diterima oleh akal sehat.
Sesungguhnya peristiwa itu terjadi karena dikuasai oleb nafsu jahat saja dan engkau melakukannya diluar kesadaranmu.
Sesungguhnya aku ingin mencarimu untuk membuat perhitungan tetapi kini biarlah.
Anggap saja sudah selesai dan diantara kita sudah tidak terdapat sakit hati dan dendam."
Mendengar perkataan In Lee itu, tiba-tiba Cie Jiak telah berdiri dan berlutut di hadapan In Lie dengan air mata yang bercucuran berlinang membasahi pipinya.
Dia telah meratap dengan suara yang menyayatkan, mengandung perasaan syukur dan terharu bercampur juga dengan perasaan dukanya.
"Nona In ... ooh nona In ... aku benar- benar terlalu jahat, aku terlalu jahat memperlakukan dirimu beberapa saat yang lalu, akulah manusia yang terkutuk ..."
Ratapnya dan dia berkata begitu sambil berlutut, sehingga menimbulkan kesan yang mengharukan, terlebih lagi dia telah menangis terisak isak.
Suara In Lee terdengar begitu ramah dan lembut, dia berkata-kata dengan penuh perasaan persahabatan, menambah Cie Jiak terharu bukan main.
Dia menangis sampai tubuhnya gemetaran.
Biasanya In Lee mempunyai watak yang keras dan kukuh, tidak mudah pendirian dan hatinya berobah, tetapi waktu melihat Cie Jiak rela berlutut demikian sambil menangis, dan mengakui kesalahan yang pernah dilakukannya, hati In Lee jadi lemas dan kemarahan dihatinya jadi mencair.
Segera ia membangunkan Cie Jiak dan disertai oleh perkataannya.
"Cioe Ciecie, semuanya sudah lewat dan berlalu, janganlah menyinggung-nyinggungnya pula, karena tidak perlu kita mempercakapkan persoalan yang tidak ada artinya lagi itu, akupun memang tidak mengalami kecelakaan apa-apa, dan juga tidak jadi mati ... In Lee membimbing Cie Jiak untuk duduk berendeng disampingnya, kemudian dia membenarkan rambutnya yang agak kusut, disusul oleh kata-katanya.
"Semula mukaku bengkak dan mengerikan sekali, tapi karena dahsyat pedangmu, darah yang mengandung racun telah mengalir keluar, bengkak mukaku lantas saja berangsur- angsur menjadi kempis dan lenyaplah bengkak dimukaku."
Sambil berkata begitu In Lee telah tersenyum ramah sekali, tidak memancarkan sikap permusuhan pula dengan Cie Jiak.
Hati Cie Jiak jadi terharu dan menyesal sekali, sehingga dia tidak mengetahui harus mengucapkan kata-kata apa untuk menyahuti perkataan In Lee, dan akhirnya Cie Jiak hanya berdiam diri saja.
"Aku bersama Cicu dan Cie Jiak waktu itu masih tinggal cukup lama diatas pulau karang itu,"
Kata Boe Kie memecahkan suasana hening itu. Setelah engkau keluar dari kubur, apakah engkau tidak melihat kami?"
Muka In Lee jadi berobah lagi, memancarkan kegusaran yang sangat, dan dia telah mendengus mengeluarkan suara tertawa dingin. "Hmmm, tidak melihat kalian?"
Tanyanya dengan suara yang sinis dan mengejek.
"Justru aku yang tidak sudi menemui kau! Huh! Huh! Betapa mesranya, betapa sangat hangatnya dan penuh kasih sayang, bisik-bisikmu yang ditujukan kepada nona Cioe, tentu saja tidak dapat aku menyaksikan dengan hati yang dingin, dimana perasaanku terbakar oleh kemarahan dan mendongkol. Hmm, bukankah disaat itu engkau berkata.
"Selanjutnya aku akan lebih mencintaimu, lebih sayang dan memanjakanmu, mana bisa kubiarkan engkau menderita lagi ... ! Huh, bukankah begitu kata-kata yang kauucapkan?"
Dan sengaja In Lee meniru suara palsu Boe Kie waktu mengucapkan isi hatinya waktu dibuai cinta-kasih dengan Cie Jiak waktu berada di pulau karang dulu, lalu In Lee menyusul pula dengan meniru suara Cie Jiak.
"Apabila aku berbuat sesuatu yang salah, apakah engkau akan menghajar memaki dan membunuh? Dan disaat itu engkau pernah berkata lagi. 'Sejak kecil aku telah kehilangan bimbingan orang tua, siapa berani menjamin pada suatu waktu aku tidak akan melakukan sesuatu yang khilap? Cie Jiak, engkau adalah isteriku yang sangat kucintai, melebihi dari diriku sendiri. Andaikata benar kau melakukan suatu kesalahan, betapapun aku takkan tega untuk menghukum dirimu dan biarlah sekarang ini Sang Rembulan menjadi saksi, alasan apapun juga aku tentu takkan tega untuk menghukummu. Bukankah begitu? Alangkah mesranya! Alangkah mesranya!"
Ternyata, semua percakapan yang begitu mesra antara Boe Kie dengan Cie Jiak waktu di pulau karang dulu itu telah didengar seluruhnya oleh In Lee, tentu saja muka Cie Jiak seketika berubah menjadi merah padam dan dia malu sekali, sehingga dia menundukkan kepala dalam-dalam.
Sedangkan Boe Kie juga sangat malu dan merasa kikuk sendirinya.
Boe Kie berusaha untuk menguasai goncangan hatinya dan dia melirik kepada Tio beng, dimana dia melihat wajah gadis itu pucat pasi diliputi kegusaran yang sangat, maka dia mengeluarkan tangannya memegang tangan si gadis.
Diluar dugaan mendadak Tio beng membalikkan tangannya, dengan sengit kedua kuku jarinya panjang dan tajam itu telah menusuk ke punggung tangan Boe Kie.
Kaget dan kesakitan Boe Kie menarik pulang tangannya, dia hanya meringis dan tak berani bergerak atau menjerit.
Disaat itu In Lee telah mengeluarkan sepotong papan kayu dan diangsurkan kehadapan Boe Kie, disusuli dengan perkataannya yang dingin.
"Lihatlah yang jelas, benda apakah ini ?"
Mata Boe Kie terpentang lebar-lebar mengawasi benda itu, hatinya kembali tergoncang keras karena ternyata diatas papan kayu itu terukir tulisan yang cukup dikenalinya. "Kuburan isteri ternyata In Lee alias Coe Jie, suami Tio Boe Kie."
Itulah papan kuburan yang dibuat oleh Boe Kie didepan kuburan In Lee tempo hari waktu berada dipulau karang. Dengan sikap yang ganas dan bercampur perasaan mendongkol, In Lee telah berkata lagi.
"Aku waktu itu telah merangkak keluar liang kubur dan melihat tulisan papan ini, aku jadi bingung karenanya. Aneh, jadi setan cilik Thio Boe Kie yang membuatnya ... Sungguh membuatnya aku jadi tidak mengerti. Baru kemudian setelah mendengar percakapan kalian, aku baru mengerti duduknya persoalan ... Rupanya Can A Goe itu sama dengan Thio Boe Kie dan Thio Boe Kie itu tidak lain dari pada Can A-Goe, setan cilik, selama itu engkau telah menipuku mentah2, memperdayakan diriku ..."
Setelah berkata begitu, dengan sengit In Lee menggebrakkan papan kayu itu, yang dikeprukkan diatas kepala Boe Kie. "Pletak !"
Papan itu pecah menjadi beberapa potong. "Mengapa sedikit2 kau main pukul?"
Tegur Tio Beng gusar dan muka memancarkan perasaan tidak senang. "Mengapa tidak hujan tidak angin selalu main pukul seenakmu ?"
"Hahahaha,"
Tertawa In Lee dengan suara suara keras, mengandung ejekan dan sering sekali dia memperhatikan Tio beng telah berubah merah ketika dia berkata-kata.
"Yang kupukul adalah dia, tapi kau yang merasa sakit, bukan?"
"Dia hanya mengalah.
kepadamu, jangan engkau tidak kenal gelagat ..."
Bentak Tio-beng tidak mau kalah dengan perasaan mendongkol dan suara yang sengit.
"Aku tak tahu gelagat ? Ya, ya sekarang aku tahu, tapi percayalah, engkau tidak perlu kuatir bahwa aku kelak akan saling rebut dengan kau memperebutkan Ciu Pat Koay ini,"
Kata In Lee sambil diiringi suara tertawanya yang keras.
Di dalam batinku hanya terukir seorang yang pernah kukenal, yang sangat kucintai, yaitu Thio Boe Kie cilik yang pernah menggigit tanganku di Ouw Tiap Kok.
Mengenai Ciu Pat Koay yang berada disini, baik ia bernama Can A Goe maupun dia menamakan dirinya Thio Boe Kie, aku tidak mau perduli.
Sedikitpun aku tidak merasa senang ataupun mencintainya --- lalu dia berpaling dan berkata dengan suara yang lemah lembut kepada Boe Kie.
"Engko A Goe, selamanya kau sangat baik kepadaku, engkau memperlakukan aku selamanya dengan baik dan aku benar- benar sangat berterima kasih sekali ..., namun sayang sekali hatiku sudah kuserahkan bulat-bulat kepada Boe Kie cilik yang kejam dan bengis itu, sedangkan engkau .... bu .... bukan dia. Engkau bukan Boe Kie cilik yang kucintai itu... !"
Tentu saja Boe Kie jadi heran.
Sudah jelas dia adalah Thio Boe Kie, mengapa sekarang In Lee mengatakannya bahwa dia bukan Thio Boe Kie? Bukankah dia yang pernah menggigit tangan In Lee waktu di Ouw Tiap Kok dulu? Dengan sorot mata yang ramah dan lembut sekali, In Lee menatapi Boe Kie dengan sikap termangu dan tertegun.
Tiba-tiba saja sinar matanya dalam sekejap telah berobah bersinar sangat aneh, diiringi oleh kepalanya yang digeleng- gelengkannya.
"Engko A Goe, engkau tidak mengerti ketika digurun pasir didaerah barat dulu, engkau pernah sehidup semati dengan aku dan di pulau karang itupun engkau sangat setia dan berbakti, memperlakukan aku dengan sangat baik-- - - - Yaa...kau adalah seorang anak yang baik! Hanya saja ingin kukatakan padamu bahwa hatiku sudah lama kuserahkan kepada si-Boe Kie cilik itu, maka aku ingin pergi mencarinya ...
aku ingin mencarinya ..."
Dan mata In Lee telah memandangi Boe Kie sejenak, lalu dia memutar tubuhnya dan melangkah perlahan-lahan dengan sikap yang lesu.
Mendadak saja Boe Kie tersadar.
Rupanya yang benar2 dicintai Piauw moay nya itu adalah Thio Boe Kie dalam khayalan belaka, yaitu Boe Kie yang terukir dalam sanubarinya, didasar hatinya yang suci yang pernah dikenalnya di Ouw Tiap Kok dulu itu, tapi bukan Thio Boe Kie yang sebenarnya, yang kini berada dihadapannya.
Ya, bukan Boe Kie yang berbudi pekerti baik dan bijaksana ini, tetapi adalah Boe Kie cilik, yang licik, yang bengis dan jahat itu.
Bermacam-macam perasaan yang saat itu muncul dihati Boe Kie dan dia hanya duduk tertegun saja memandangi bayangan Piauw moay yang pergi dengan langkah-langkah kaki yang lesu, yang lambat laun akhirnya lenyap dari pandangan matanya, tertelan oleh kegelapan sang malam.
Boe Kie juga yakin dan merasa kasihan kepada Piauw moaynya karena In Lee tentu akan tetap teringat kepada pemuda tanggung yang pernah dikenalinya di Ouw Tiap Kok itu dan pasti akan mencari Boe Kie 'khayalan' itu, sekalipun seumur hidupnya tidak akan berhasil dicapainya, tetapi itu bayang2 dari Boe Kie khayalan itu telah terukir dalam meresap didasar kalbu dan hatinya yang suci.
Cie Jiak menghela napas menyesal, dan dia jadi berpikir bahwa semua itu karena kesalahannya, sehingga dia membuat pikiran In Lee tidak waras ....
Tetapi Boe Kie malah berpikir lain.
"Dia memang memiliki pikiran yang kurang waras, itu adalah dosa dan kesalahanku yang tidak berampun! Kini dia merupakan gadis yang tidak normal alam pikirannya...!"
Namun kalau dibandingkan dengan orang yang berotak waras, dia mungkin lebih bahagia dan senang.
Dan yang dipikirkan Tio beng berbeda lagi.
In Lee telah muncul secara tiba-tiba dan telah pergi lagi begitu saja, hal ini telah membuat hatinya merasa lega.
Tetapi bagaimana dengao Cioe Cie Jiak? In Lee tidak jadi mati.
Cia Soen juga selamat tidak kurang suatu apa, kitab militer dalam To Liong To dan kitab silat dalam It Thian kiam sudah diberikan semua kepada Boe Kie, kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Cie Jiak beberapa saat yang lalu, kalau dinilai sekarang boleh dibilang sudah tidak memiliki arti apa-apa lagi.
Sudah tentu Song Ceng Soe membinasakan Bok Seng Kok akibat jatuh cinta kepadanya namun itu adalah perbuatan Song Ceng Soe sendiri.
Sebelumnya Cie Jiak sama sekali tidak tahu menahu akan peristiwa itu, juga tidak pernah meminta kepada Song Ceng Soe untuk melakukan perbuatan itu, terlebih lagi diantara dia dengan Boe Kie memang pernah ada ikatan tali perkawinan, diluar dari hubungan yang lainnya.
Setelab semuanya berdiam diri tenggelam dalam alam pikiran masing-masing, tiba-tiba Cie Jiak telah bangkit berdiri, sambil katanya.
"Mari kita segera berangkat!"
"Berangkat kemana?"
Tanya Tio beng heran. "Ke Siauw Lim Sie,"
Sahut Cie Jiak.
"Tadi aku melihat Pheng Hweesio tergesa-gesa datang hendak mencari Kauwcoenya, rupanya di dalam Bengkauw terjadi sesuatu persoalan yang gawat sekali ...
"
Boe Kie jadi terkejut mendengar berita itu. "Celaka, jangan aku terlalu melalaikan urusan besar agama, akibat tenggelam dalam persoalan pribadi,"
Berpikir Boe Kie dengan hati diliputi penyesalan.
Maka segera dia mengajak Tio Beng dan Cie Jiak untuk berangkat.
Tidak berselang lama, merekapun tibalah di tempat tinggal rombongan Beng Kauw.
Memang Yo Cie Soe (Hoan Yauw).
Pheng Eng Giok dan Yo Siauw serta yang lainnya tengah sibuk mencari-cari kemana perginya sang kauwcoe.
Mereka jadi gembira dan bersyukur melihat Boe Kie telah kembali dalam keadaan sehat dan selamat.
Tetapi merekapun jadi heran waktu melihat Cie Jiak dan Tio Beng ikut dengan bersama Kauwcoe mereka.
Meiihat sikap rekan-rekannya itu memperlihatkannya sikap yang lesu dan tidak bersemangat, segera Boe Kie dapat menduganya bahwa talah terjadi sesuatu hal yang tidak baik.
Cepat-cepat dia bertanya.
"Pheng Taisu, ada urusan apakah engkau mencariku?"
Sebelum Pheng Eng Gie menjawab, Cie Jiak segera menarik tangan Tio Beng, diajak menyingkir.
Tio Beng mengetahui maksud Cie Jiak, yang tidak mau mendengar rahasia dalam Beng kauw, dia mengikuti saja tanpa mengucapkan suatu apapun juga.
Yo Siauw dan Hoan Yauw menjadi terheran-heran melihat kelakuan kedua gadis itu.
Dulu waktu di Ho Cin, waktu sang Kauwcoe hendak menikah, keduanya itu saling cakar2an dan saling pukul2an, aneh sekali ....
mengapa kini mereka tampaknya demikian rukun, bagaikan saudara kandung saja ! Entah dengan mempergunakan cara apa sang Kauwcoe telah berhasil merujukkan kedua gadis itu? Setelah Cie Jiak dan Tio Beng pergi, Pheng Eng Giok lalu berkata.
"Lapor kepada Kauw-coe, kita telah mengalami kekalahan besar di Ho Cioe, kita telah menderita kerugian yang sangat besar dan Han Sian Tong telah gugur."
"Hah ?"
Berseru Boe Kie kaget dan berduka. Kini pimpinan sementara didaerah dipegang oleh Coe Goan Ciang, kedua saudara Cie Tat dan Siang Gie It dan Co Cun juga telah pergi membantu, begitu pula Han lim jie". Pheng Eng Giok melanjutkan laporannya.
"Situasi agak penting, mohon Kauwcoe mengatur seperlunya". Segera Boe Kie menanyakan lebih jauh peristiwa yang terjadi di medan pertempuran akhir-akhir ini. Waktu mereka tengah berunding tiba-tiba In Ya Ong telah datang dan berkata.
"Lapor kepada Kauwcoe, Kay pang mengirimkan orang membawa berita bahwa si jahanam Ta Yoe Liang itu sudah diketahui jejaknya". "Di mana dia ?"
Tanya Boe Kie. "Keparat itu ternyata telah berhasil menyelusup kedalam pasukan yang dipimpin saudara Cie Siu Hwe, kabarnya saudara Cie sangat percaya dan sayang kepadanya,"
Sahut In Ya Ong. "Jika demikian, tentu kita yakin sulit untuk mengambil tindakan ..."
Ujar Boe Kie.
"Harap Koko mengirimkan orang untuk memberikan bisikan kepada saudara Cie, bahwa keparat Tan Yoe Liang itu sangat licik dan kejam, jangan-jangan akan timbul bibit bencana bila terlalu mempercayai dia maka paling baik jika bisa menjauhi dia ..."
"Yang terbaik adalah sekali tabas membinasakan she Tan itu, urusan menjadi beres!"
Ujar In Ya Ong. "Baiklah, urusan itu biar kuselesaikan,"
Kata In Ya Ong waktu melihat Boe Kie dan yang lainnya berdiam diri dalam keadaan bimbang. Disaat itu tiba-tiba sekali datang kurir yang membawa surat kilat dari Cie Siu Hwee. "Celaka, kita kena didahului dia - - - "
Kata Yo Siauw mengerutkan alisnya.
Waktu Boe Kie membaca surat itu, ternyata merupakan sepucuk surat yang bunyinya sangat panjang lebar, dimana Cie Siu Hwee melaporkan bahwa Tao Yoe Liang telab mengakui berbuat dosa dan salah kepada sang Kauwcoe.
Ia menyadarinya jika dosanya terlampau besar maka dia rela untuk masuk menjadi anggauta Beng kauw dan ia berjanji pula untuk merobah kesalahannya yang lalu dengan berjuang membantu Beng kauw, asalkan sang Kauwcoe memberikan kesempatan kepadanya untuk memperbaikinya.
Boe Kie menyerahkan surat itu kepada Yo Siauw dan kemudian kepada semua rekan-rekannya untuk dibaca bergilir.
Kata Ya Ong kemudian.
"Cie Hiati terlalu percaya pada orang ini, kelak pasti akan merasakan akibatnya."
"Ya, keparat Tan Yoe Liang ini benar-benar sangat licin,"
Ujar Yo Siauw.
"Tetapi kita menjadi tidak enak membunuhnya sekarang, kuatir kalau-kalau menimbulkan salah paham pahlawan-pahlawan seluruh negeri."
"Kata Yo Co-soe memang benar,"
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sahut Boe Kie.
"Peng Taysoe, kau sangat akrab dengan Cie Hiati. Sediakah kau mencari kesempatan untuk menasihatinya agar waspada terhadap muslihatnya Tan Yoe Liang, dan jangan sekali- kali menyerahkan kekuasaan padanya."
Peng Eng Giok menerima tugas itu.
Namun Cie Sioe Hwee kelak ternyata tidak memperhatikan nasihat itu, malah ia makin percaya pada Tan Yoe Liang hingga akhir jiwanya melayang di tangan Yoe Liang.
Setelah menjalankan kudeta, Yoe Liang memimpin tentaranya ke pergerakan Beng-kauw di wilayah Barat dan bertempur sendiri dengan pasukan Beng-kauw di daerah Timur dan mengangkat dirinya sebagai Han Ong.
Walaupun akhirnya ia dikalahkan di Hoa-yang-ouw dan terbinasa, namun banyak pahlawan Beng-kauw telah menjadi korban juga.
Malamnya Boe Kie berunding lebih mendalam dengan Yo Siauw dan gembong-gembong Beng-kauw yang lain untuk membagikan tugas-tugas membantu pasukan- pasukan Beng-kauw di berbagai daerah.
Ia sendiri sudah terlalu lama berpisah dengan Thio Sam Hong, maka sangat rindu kepada orang tua itu.
Besok harinya ia lantas mendahului berangkat ke Boe- tong-san bersama Tio Beng, Jie Lian Coe, Thio Siong Kee, dan Song Ceng Soe.
Juga Cioe Cie Jiak ikut serta karena merasa berdosa berhubung pendurhakaannya Song Ceng Soe itu, maka ingin pergi menerima hukuman dari Thio Sam Hong dan anak muridnya Goe-bie-pay lantas mengiringnya ke Boe-tong-san juga.
Jarak Siauw-lim-sie dengan Boe-tong-san tidak terlalu jauh, dan tidak beberapa hari sampailah mereka di perguruan indah itu.
Boe Kie ikut Jie Lian Coe, In Lie Heng, dan Siong Kee ke dalam untuk menemui Thio Sam Hong, lalu memberi hormat juga kepada Song Wan Kiauw dan Jie Thay Giam.
Mendengar puteranya dibawa pulang, dengan geram Song Wan Kiauw meloloskan pedang dan memburu keluar.
Boe Kie dan lainnya menjadi serba salah, mencegah salah, tidak salah, tidak mencegah pun tidak benar.
Segera mereka ikut keluar.
"Di mana binatang yang durhaka itu?"
Bentak Wan Kiauw setelah sampai di ruang depan.
Ketika melihat sang puteranya merebah di atas usungan dengan kepala penuh dibalut kain putih, tanpa bicara lagi pedangnya terus ditusukkan.
Sesaat itu teringatlah dia dan mendadak tangannya terasa lemas, tusukan itu tidak tega diteruskan.
Saat itulah dia teringat cinta kasih antara ayah dan anak, hubungan baik sesama saudara seperguruan yaitu Boh Seng Kok almarhum.
Sungguh ruwet dan kacau pikirannya.
Mendadak ia baliki pedangnya dan menusuk ke arah perutnya sendiri.
Tapi sekali jambret Boe Kie dapat merampas pedang sang Soepek dengan Kian-koen Tay-lo- ie.
Katanya.
"Toasoepek, jangan begitu. Urusan ini biarlah diputuskan oleh Thay-soe-hoe saja." Thio Sam Hong menghela napas, katanya.
"Sungguh tidak beruntung, Boe-tong-pay kita terdapat murid durhaka seperti ini. Lebih baik tidak ada!"
Terus tangannya bergerak, plak, dada Song Ceng Soe telah dipukul sekali. Betapa hebatnya tenaga pukulan itu, cikal-bakal Boe-tong- pay itu, seketika juga isi perut Song Ceng Soe hancur lebur dan putus napasnya. "Soehoe,"
Dengan menangis Song Wan Kiauw berlutut di hadapan sang guru.
"Teecoe tidak bisa mengajar anak sehingga mengakibatkan kematian Cit-tee. Sungguh Teecoe merasa berdosa."
Thio Sam Hong membangunkan murid tertua itu, sahutnya.
"Ya, peristiwa ini memang ada kesalahanmu, maka Ciangbun teecoe Boe-tong-pay kita mulai hari ini kuserahkan pada Lian Coe. Kau boleh mencurahkan pikiranmu untuk meyakinkan Thay-kek-koan-hoat. Tentang urusan umum perguruan kau tidak usah urus lagi."
Song Wan Kiauw menerima keputusan itu sambil mengucapkan terima kasih.
Menyaksikan betapa kerasnya Thio Sam Hong mengatur rumah tangganya, membinasakan Song Ceng Soe dan memecat Song Wan Kiauw sebagi akhliwaris, semua orang menjadi kesima.
Ketika Thio Sam Hong mengetahui hasil Eng-hiong-tay- hwee serta pergerakan Beng-kauw melawan tentara Mongol, ia sangat memberikan pujian terhadap Boe Kie.
Sejak semula Cie Jiak berdiri di samping, namun sekejap pun Thio Sam Hong tidak memandangnya.
Sesudah mayat Song Ceng Soe dibawa pergi oleh petugas kuil, mendadak Thio Sam Hong meloloskan pedangnya Song Wan Kiauw, ia tuding Cie Jiak dan berkata.
"Nona Cioe, sebagai ketua Go-bi-pay, sudah berapa banyak ilmu pedang Biat-coat Soe-thay yang yakinkan?" "Apa yang dipahami Wanpwee tidak lebih banyak daripada tiga bahagian kepandaian Insoe,"
Sahut Cie Jiak.
"Mendiang Kwee Lie-hiap mendirikan Go-bie-pay di Kang-ouw serta menjadi orang baik-baik, tetapi kau hanya memiliki tiga bahagian daripada ilmu silat kepandaian Biat- coat Soe-thay, lalu berdasarkan apa kau mampu mengembangkan Go-bie-pay?"
Tanya Thio Sam Hong pula.
"Kau telah memperoleh sedikit ilmu silat keji dan malang- melintang menjagoi Eng-hiong-tay-hwee, apakah selanjutnya anak murid Go-bie-pay akan belajar juga kepandaianmu yang keji itu? Kwee Lie-hiap pernah menanam budi padaku.
Biarpun aku sudah tua bangka, tidak rela juga menyaksikan Go-bie-pay yang didirikannya itu hancur begitu saja."
"Tegoran Thio Cin Jin memang benar,"
Sahut Cie Jiak. "Wanpwee sudah lama mengatur rencana."
"Rencana apa?"
Tanya Sam Hong. Cie Jiak tidak menjawab pertanyaan Thio Sam Hong, tetapi menjadi berpaling ke arah Boe Kie, katanya.
"Thio Kauw-coe, dahulu ketika kau menempur jago Lak-toa-pay di Kong-beng-teng, kalau tidak salah pernah kudengar kau mengatakan bahwa kau bukan anak murid Boe-tong-pay, betul tidak?"
Boe Kie tidak tahu hendak ke mana pertanyaan itu, namun sahutnya.
"Mendiang ayahku adalah murid Boe- tong-pay, dan Thaysoehoe pernah mengajarkan Thay-kek- koen-hoat padanya. Kalau tidak mengaku murid Boe-tong- pay, rasanya boleh juga."
"Pernah kudengar lagi, katanya gurumu yang pertama adalah Cia Tayhiap. Dia adalah muridnya Koan-goan Pek- ek-jioe Seng Koen. Sedang Kioe-yang-sin-kang-mu adalah diperoleh dari kitab peninggalkan Tat-mo-cow-soe. Kian- koen Tay-lo-ie Sim-hoat dipelajari dari kitab wasiat Kauw- coe Beng-kauw yang lalu. Padahal orang persilatan kita paling mengutamakan perbedaan aliran mana yang kau anut."
"Apa yang kupelajari terlalu banyak dan ruwet kalau dibicarakan. Ya, yang benar aku tidak termasuk anak murid sesuatu golongan,"
Sahut Boe Kie. Segera Cie Jiak tanya Thio Sam Hong.
"Thio Cin-jin, apa yang dikatakan ini betul tidak?"
Sam Hong mengangguk, sahutnya.
"Ya, sesungguhnya memang sedemikian. Keadaan dia sangat jarang terjadi di kalangan Boe-lim. Itu adalah karena banyak penemuan- penemuan aneh yang diperolehnya."
Mendadak Cie Jiak meloloskan potongan Ie-thian-kiam dari pinggangnya, tangan lain menarik rambutnya yang panjang ke depan.
Sekali tabas, putuslah rambut itu, ya rambut sebagai mahkota wanita.
Para hadirin semuanya terperanjat dan bingung.
Lalu berkatalah Cie Jiak.
"Dosaku terlalu besar. Sudah lama aku ada niatan memotong rambutku ini dan kembali kepada Buddha. Thio Kauw-coe, bukankah kau berjanji padaku bahwa ada sesuatu permintaanku yang harus kaulaksanakan, betul tidak?"
"Betul,"
Sahut Boe Kie.
"Cuma "
"Cuma soal ini harus tidak mengingkari perbuatan kaum Hiapgie, menguntungkan pergerakan nasional, dan tidak merusak nama baik Beng-kauw dan pribadimu, bukan?"
Sela Cie Jiak. "Ya,"
Sahut Boe Kie.
"Jika demikian halnya, permintaanmu pasti akan kulakukan."
"Seorang lelaki sejati, sekali berkata harus ditepati,"
Kata Cie Jiak.
"Apalagi di hadapan Thaysoehoe dan para paman guru, janganlah nanti kaujilat ludah sendiri."
Melihat si gadis berbicara dengan sungguh-sungguh serta memotong rambutnya sendiri, Boe Kie menjadi terharu. Tanpa pikir lagi ia berkata.
"Ya si silakan kau bicaralah!"
"Thio Cin-jin,"
Kata Cie Jiak kemudian.
"mohon pinjam pakai ruangan pendopomu sebentar."
Segera ia membuka rangselnya dan mengeluarkan dua potong Leng-pay (papan sembahyang). Yang sepotong tertulis "Tempat abu Cikalbakal Go-bie-pay, Kwee Siang Lie-hiap"
Dan yang lainnya tertulis.
"Tempat abu ketua Go-bie-pay angkatan ketiga, Biat-coat Soe-thay."
Dengan hormat Cie Jiak meletakkan Leng-pay tersebut di atas meja sembahyang.
Melihat itu, Thio Sam Hong bersama-sama Song Wan Kiauw, Thio Boe Kie dan lain-lainnya ikut memberi hormat, begitu pula seluruh anak murid Go-bie-pay.
Kemudian Cie Jiak meloloskan Tiat-cie-goan atau cincin besi yang dipakainya dan berpaling kepada Boe Kie.
"Thio Kauw-Coe, selaku Ciang-bun-jin dari Go-bie-pay angkatan keempat, Cioe Cie Jiak, dengan ini menyerahkan jabatan ketua kepadamu."
Mendengar itu semua orang ternganga kaget. Maka terdengar Cie Jiak menyambung lagi.
"Tapi kau masih tetap merangkap menjadi Beng-kauw Kauw-coe, dengan ini harapan, kau dapat mengembangkan golongan kita dan membangun Beng-kauw, memimpin para patriot untuk mengusir penjajah. Sejak kini anak murid Go-bie-pay tunduk di bawah perintahmu semua."
"He ma mana boleh jadi?"
Cepat Boe Kie menyahut sambil goyang-goyangkan tangannya. "Kenapa? Go-bie-pay adalah Kwee Lie-hiap yang mendirikan, dan jikalau kau diangkat menjadi Ciangbunjin, rasanya tidak merendahkan kau,"
Ujar Cie Jiak. Boe Kie menjadi serba salah. Ia memandang Thio Sam Hong dengan sorot mata mohon pertolongan. Tak tersangka, Thio Sam Hong malah tertawa terbahak-bahak, katanya.
"Nona Cioe, kau benar-benar hebat. Melulu berdasarkan tindakanmu ini, tidaklah sia-sia Biat-coat Soe- thay menyerahkan di bawah tugasmu. Kalau Go-bie-pay diserahkan di bawah pimpinan Boe Kie, soal perkembangannya tak perlu diragukan lagi."
Walaupun itu kejadian di luar dugaan orang, tapi Boe Kie memang tidak termasuk salah satu golongan atau aliran.
Kalau sekiranya ia menerima jabatan ketua Go-bie- pay, tidaklah melanggar peraturan Kang-ouw.
Sebaliknya, hal itu memang besar manfaatnya bagi pergerakan nasional, yaitu persatuan.
Begitu pula tidak merugikan nama baik Beng-kauw dan pribadinya sendiri.
Maka terdengar Thio Sam Hong berkata pula.
"Anakku Boe Kie, jika kau sudah pernah berjanji pada Nona Cioe, apa yang telah kaujanjikan janganlah kauingkari."
Lalu Cie Jiak mengeluarkan se
Jilid kitab tipis bersama potongan Ie-thian-kiam lalu diserahkan kepada Boe Kie, lalu katanya.
"Ini adalah kitab inti ilmu silat Go-bie-pay kita yang ditulis sendiri oleh Kwee Lie-hiap. Harap kau terimakan dengan baik."
Terpaksa Boe Kie menurut.
Ia terima kitab ajaran silat Go-bie-pay dan kedua potongan Ie-thian-kiam dan cincin besi tanda Ciangbunjin dari tangan Cioe Cie Jiak, lalu memberi hormat di hadapan Leng-pay.
Menyusul Cie Jiak memimpin anak murdinya Go-bie-pay memberi hormat pada Ciangboenjin angkatan kelima yang baru.
Begitu pula Thio Sam Hong dan yang lain-lainnya berturut-turut mengucapkan selamat.
Sejak itu Cioe Cie Jiak memotong rambut menjadi nikoh (pendeta wanita) tidak mengurus soal-soal keduniawian lagi.
Boe Kie lantas memperingatkan Ceng Hoei memimpin anak murid Go-bie-pay kembali dulu ke Go-bie-san.
Ia sendiri mohon diri dari Thio Sam Hong dan lain-lain menuju ke Ho-cioe bersama Tio Beng untuk melakukan inspeksi atas pasukan-pasukan pergerakan Beng-kauw.
Sepanjang jalan beruntun-untun ia menerima berita- berita kemenangan serta mendengar di perbagai daerah lain banyak terjadi pergolakan-pergolakan dari kaum patriot- patriot lain.
Di daerah Keng Soh ada Thio Soe Seng, di daerah Tay Coe ada Poei Kok Tin yang meskipun tidak termasuk di bawah panji Beng-kauw, tapi adalah pasukan kawan yang sama-sama melawan tentara Mongol.
Dengan senang Boe Kie melanjutkan inspeksi bersama Tio Beng.
Melihat usaha pergerakan nasional banyak mendapat kemajuan, rasanya pembesar tanah air sudah dekat pada tarap terakhir.
Ia pikir sebabnya usaha pergerakan itu bisa berhasil, syarat utama ialah adanya persatuan nasional secara terpimpin.
Harap saja selanjutnya seluruh negeri akan aman abadi, rakyat jelata hidup sejahtera.
Dengan begitu, barulah tidak percuma perjoangan selama beberapa tahun ini.
Karena tidak ingin bikin geger, maka sepanjang jalan ia tidak menemui pemimpin pasukan Beng-kauw, hanya dengan diam-diam menyelidiki dan melihat disiplin laskar-laskar Beng-kauw itu sangat baik dan tidak mengganggu rakyat.
Di mana-mana terdengar suara pujian atas kebijaksanaan Jenderal Coe Goan Ciang dan Panglima Cie Tat dan Panglima Siang Gie Coen.
Suatu hari, sampailah ia di Ho-cioe.
Jauh-jauh Coe Goan Ciang sudah kirim wakilnya, Theng Ho dan Teng Jie, untuk menyambut kedatangan sang Kauw-coe, karena dia sendiri lagi sibuk berunding dengan Cie Tat dan Siang Gie Coen mengenai perkembangan di garis depan.
Malamnya, Theng Ho mengadakan resepsi meriah untuk menghormati kedatangan pucuk pimpinan itu dan sejenak kemudian barulah Coe Goan Ciang datang tergesa-gesa bersama beberapa perwira tinggi yang lain, terus memberikan sembah di hadapan sang Kauw-coe, meminta maaf atas keteledoran menyambut.
Boe Kie cepat membangunkan dan memuji kemenangan-kemenangan yang dicapai di Ho-cioe dan sekitarnya berkat gagah- beraninya Coe Goan Ciang.
Dengan sangat hormat, Coe Goan Ciang menuang tiga cawan arak berturut-turut untuk menuguh sang Kauw-coe, lalu menuguh pula kepada Tio Beng, kemudian mereka asyik membicarakan perkembangan Beng-kauw dalam situasi medan perang yang sangat menguntungkan Beng-kauw itu.
Tiba-tiba tampak masuk Panglima Liauw Eng Tong tergesa-gesa, lebih dulu memberi hormat pada sang Kauw- coe, lalu membisiki Coe Goan Ciang.
"Sudah dapat menawannya? Bagus,"
Sahut Coe Goan Ciang. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara teriakan penasaran orang di luar. Mendengar suaranya, segera Boe Kie mengenalinya sebagai Han Lim Jie. Ia menjadi heran dan menanya.
"Ada apakah atas dirinya Han Hiati?"
"Lapor, Kauw-coe,"
Sahut Coe Goan Ciang.
"Han Lim Jie telah bersekongkol dengan musuh, bermaksud memberontak, maka ia telah diringkus."
"Hah selamanya Han Hiati jujur dan setia, mana bisa terjadi begitu?"
Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ujar Boe Kie kaget.
"Lekas bawa dia ke sini. Biar kutanya sendiri padanya "
Belum selesai ucapannya, mendadak kepalanya terasa pusing, mata berkunang- kunang, menyusul gelap dan tak sadarkan dirinya lagi.
Waktu Boe Kie siuman kembali, terasa tangan dan kakinya telah diborgol orang dengan alat-alat belenggu yang sangat kuat.
Keadaan sekitarnya gelap pekak.
Sungguh terkejut Boe Kie tak terkatakan.
Untung terasa dadanya tersandar pada suatu badan yang lunak halus.
Ternyata Tio Beng juga diringkus bersama di situ, cuma gadis itu belum lagi siuman.
Memikir sejenak, segera tahulah Boe Kie bahwa diam-diam Coe Goan Ciang telah memberikan minuman yang dicampur obat pulas pada mereka.
Nyatalah bahwa Jenderal kepercayaannya itu telah menyeleweng.
Sedikit menggerakkan tenaga, Boe Kie merasa kondisi badannya sedikit pun tidak berkurang, kekuatannya belum punah.
Tiba-tiba terdengar di kamar sebelah ada suara orang sedang berbicara.
"Coe Toako, babat rumput harus sampai ke akar-akarnya. Jangan kita tinggalkan bibit bencana di kemudian hari."
Itulah suara Cie Tat. "Tapi bangsat kecil ini adalah atasan kita. Janganlah kita lupa budi dan ingkar kawan,"
Terdengar suara Coe Goan Ciang menyahut.
Tiba-tiba terdengar suara Siang Gie Coen ikut berbicara.
"Jika Toako kuatir terjadi apa-apa dalam pasukannya, ada lebih baik turun tangan secara diam-diam agar tidak merugikan nama baik Toako."
"Jika begitu pendapat saudara-saudara Cie dan Siang, baiklah aku menurut,"
Sahut Coe Goan Ciang.
"Cuma bangsat cilik ini rada berjasa bagi agama kita. Harap rahasia ini jangan sampai diketahui orang lain."
Habis bicara, ketiga orang itu lalu keluar kamar.
Boe Kie menarik napas dingin.
Ketika meraba pinggangnya, syukur potongan Ie-thian-kiam masih ada.
Segera ia gunakan ilmu Kian-koen Tay-lo-ie-hoat dan melolos pedang patah itu untuk memotong belenggu besi, lalu menyadarkan Tio Beng dan melarikan diri.
Pendekar Pendekar Negeri Tayli -- Jin Yong Sang Ratu Tawon -- Khulung Pusaka Pedang Embun -- Sin Liong