Ceritasilat Novel Online

Bara Naga 25


Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 25




   Bara Naga Karya dari Yin Yong

   
Utti Han-po menjadi murka setelah mengetahui Ki Tay-bok adalah salah seorang pengganas Ceng-siong-san-ceng terhadap Siang Cin, segera ia membentak.

   "Sin Kian, seret keluar keparat ini dan binasakan!"

   Tanpa ayal lagi Ki Tay-bok diseret keluar dan dihukum mati.

   Kemudian sorot mata Siang Cin beralih kapada Giam Ciat yang meringkuk di lantai, akan tetapi sebelum diambil sesuatu tindakan, tiba2 masuklah seorang Busiang- pay memberi lapor bahwa Tay-ciangbun Thi Tok-heng sudah tiba di luar Ji ih hu.

   Serentak lh Kiat, Utti Han-po dan lain2 berbangkit, hanya Sebun Tio-bu saja diminta tetap tinggal di tempat untuk menjaga tawanan, yang lain2 sama keluar menyambut.

   Baru saja mereka keluar Kim-bin-tian, tertampaklah belasan penunggang kuda ber-bondong2 sudah memasuki pintu gerbang sana, Pek-ih-coat to Thi Tok-heng membedal kudanya ke depan mendahului yang iain2, cepat Siang Cin dan lain2 juga menyongsong kedatangan ketua Bu-siang-pay yang perkasa ini.

   Thi Tok-heng juga sudah melihat Siang Cin berada di tengah para penyambutnya, dia terus melompat turun dari kudanya, ia tidak menemui anak buahnya sendiri, tapi lebih dulu menjabat tangan Siang Cin erat2, dengan muka merah bersemangat a berkata.

   "Siang-lote, engkau tentu sangat capek, sungguh besar jasa Siang-lote bagi Bu-siang pay kami, Tok-heng tidak tahu cara bagaimana harus berterima kasih padamu ....."

   "Ah, janganlah Tay-ciangbun terlalu memuji, Cayhe hanya sekadar ikut ramai2 saja ....""

   Jubah putih Thi Tok-heng tampak berlepotan darah, mukanya penuh berkeringat dan debu saking terharunya ia hanya pegang erat tangan Siang Cin dan tidak sanggup banyak omong lagi.

   Tiba2 Thi Tok-heng mengamat-amati air muka Siang Cin, lalu bertanya dengan rasa menyesal.

   "Siang-lote, kabarnya kaupun terluka?"

   "Ah, luka ringan, tidak apa2,"

   Jawab Siang Cin. 397 "Kin-tayhiap juga terluka dan cukup parah,"

   Kata Thi Tok-heng pula.

   "Ai, sungguh hati Tok-heng merasa tidak tenteram, lantaran anak perempuan hina itu sehingga banyak menimbulkan kesusahan orang banyak ... ,"

   Sesudah beramah tamah dengan Siang Cin, kemudian barulah Thi Tok-heng bicara dengan Utti Han-po dan Ih Kiat, katanya.

   "Pau-hou-ceng sudah bobol, Hek-jiutong dan Jik-san-tui juga hancur total, gembong2nya juga tertumpas seluruhnya. Kabarnya di sini juga berhasil dengan gemilang?"

   Utti Han-po mengangguk dan berkata.

   "Ya, tokoh utama Ji-ih-hu Hek-jan-kong sudah binasa, begitu juga jago2 undangannya dari Jit-ho-hwe, Toa-to-kau dan lain2 sebagian besar juga tewas, hanya sedikit saja yang tertawan."

   Lalu ia menguraikan siapa2 yang meringkuk dalam tahanan sementara.

   "Ketua Soh-lian-su-coat, To-hay-liong Giam Ciang juga tertawan, hanya seorang anak perempuan angkat ketua Tiang-hong-pay yang konon berkepandaian tinggi sejauh ini belum diketahui ke mana perginya?"

   Tanya Thi Tok-heng.

   "Dia tidak mati, hanya kututuk dan kutinggalkan bersama di antara mayat anak buah Ji-ih-hu yang lain,"

   Kata Siang Cin, lalu iapun menuturkan apa yang dilakukannya serta tempat Bwe Sim meringkuk. Segera Thi Tok-heng memberi perintah kepada Ih Kiat agar mengirim orang menyelamatkan Bwe Sim.

   "Dan bagaimana dengan Khang Giok-tek, apakah sudah tertawan juga, Toasuheng?"

   Tanya Utti Han-po. Thi Tok-heng menuding kebelakang dan menjawab.

   "Ya, di sana, keparat ini hampir saja mampus di tangan Tiangsun-Ki, untung aku keburu datang."

   Dalam pada itu "Jik-tan-su-kiat"

   Yang selalu berada disekitar Thi Tok-heng itu telah menuju ke rombongan pengiring tadi, kembalinya mereka telah membawa seorang berbaju ungu muda dengan tubuh kekar, tapi berlumuran darah.

   Rambutnya kusut, wajah pucat, kelihatan lesu dan lelah, tapi kalau tidak dalam keadaan konyol begini, je)as dia pasti seorang pemuda yang tampan.

   Di belakang tawanan ini mengikut pula anak buah Congtau Bu-siang-pay, yaitu Pek-ma-gin-cui Kang Siu sim serta The Kun, si andeng2 hijau dari Hui-ji-bun.

   Bahwa pemuda baju ungu ini dikawal sekuat ini oleh beberapa tokoh Bu-siang-pay, dapat dinilai betapa pentingnya tawanan ini.

   Para jago Bu-siang-pay jelas sangat benci terhadap orang berbaju ungu ini, dia diseret dan didepak hingga di depan Thi Tok-heng.

   "Apakah orang inilah Khang Giok-tek?"

   Tanya Siang Cin setelah memandang sekejap kepada pemuda itu.. Thi Tok-heng mengiakan sambil mengangguk pelahan. Lalu iapun bertanya.

   "Yang-yang, di mana budak hina itu?"

   "Di dalam,"

   Jawab Ih Kiat.

   "Siang heng telah menutuknya hingga tertidur, sekarang masih terbungkus di dalam selimut dan dijaga oleh Sebun Tio-bu di sana.." 398 "Baiklah Siang lote, kita masuk ke sana,"

   Kata Thi Tok-heng kepada Siang Cin.

   Segera mereka lantas masuk ke ruangan pendopo Kim-bin-tian.

   Thi Tok-heng beramah tamah pula sejenak dengan Sebun Tio-bu, lalu masing2 mengambil tempat duduk.

   Thi Tok-heng melirik sekejap Giam Ciat yang meringkuk di lantai itu.

   Cepat Utti Han-po memberitahu bahwa dia itulah adik perempuan Giam Ciang dari Soh-lian-suciat, Lo-sat-li Giam Ciat.

   Thi Tok-heng mendengus dan memerintahkan diseret ke pinggir.

   Lalu ia memandang Thi Yang-yang yang terbalut selimut dan disandarkan di sebuah kursi besar itu.

   "Lemparkan budak hina itu ke lantai,"

   Seru Thi Tok-heng dengan gusar.

   Sin Kian dan lain2 sama ragu2, tapi akhirnya mereka melaksanakan juga perintah sang ketua.

   Lalu Thi Tok-heng melototi pula Khang Giok-tek yang lesu itu, hati ketua Busiang- pay ini serasa dibakar karena pemuda itulah biang keladi dari semua malapetaka ini.

   Dilihatnya pula puteri kesayangan satu2nya itu, entah berapa banyak korban telah berjatuhan hanya karena kasmaran anak dara yang lupa daratan itu.

   Kini anak dara itu masih belum sadarkan diri dibalut selimut.

   Seketika Thi Tok-heng menjadi bingung entah apa yang harus dilakukannya.

   "Tay-ciangbun,"

   Tiba2 Siang Cin berkata.

   "maafkan jika terpaksa harus kututuk puterimu sehingga sampai saat ini belum sadar. Baiklah sekarang akan kulepaskan Hiat-to yang kututuk itu."

   Ia lantas mendekati anak dara itu dan mengusapnya dari balik selimut, hanya sejenak saja terdengarlah keluhan tertahan Thi Yang-yang dan tubuhnya mulai bergeliat.

   Siang Cin lantas mundur kembali ke tempat duduknya.

   Pelan2 Thi Yang-yang membuka matanya, tapi lantas terpejam pula.

   Selang sejenak lagi baru membuka lagi matanya.

   Kini ia telah sadar benar2, sudah teutu ketika pandangannya menyentuh sebuah wajah yang dingin di tengah sana, seketika tubuhnya tergetar keras.

   "Ayah ...."

   Ia menjerit tertahan, tapi segera ia mendekap mulut sendiri, air matapun lantas bercucuran.

   Perasaan Thi Tok-heng seperti di sayat2, tangan mengepal erat2, hampir saja dinding dendam dan benci yang dibangunnya dari segala pahit-getir dan susahpayahnya runtuh sama sekali oleh teriakan anak dara itu.

   Tapi mendadak ia mengertak gigi, bentaknya dengan mendelik.

   "Tutup mulut, budak hina, masa kau masih tahu akan ayahmu? Kau binatang yang tidak tahu malu, kau masih ada muka memanggil ayah padaku?"

   "Ayah ...."

   Ratap Thi Yang-yang.

   "anak ....anak merasa tidak berbuat kesalahan apapun, kalau ada kesalahan hanya karena anak menyukai Giok-tek, tapi 399 ....ayah tidak ....tidak berkenan akan hubungan kami, terpaksa anak ikut pergi bersama dia ....Anak merasa sudah dewasa dan boleh mencari kebahagiaan sendiri .

   "Binatang,"

   Bentak Thi Tok-heng.

   "Dengan cara apa kau mencari kebahagiaan? Dengan mengkorbankan nama Bu-siang-pay, kehormatan orang tua? Tata adat leluhur? Dan jiwa ratusan, bahkan ribuan pahlawan padang rumput yang telah gugur karena perbuatanmu ini? Kau kira boleh berbuat dengan bebas tanpa memikirkan akibatnya?"

   Thi Yang-yang tidak menjawab, akan tetapi ia sudah nekat, dengan bandel ia berkata pula.

   "Ayah, anak mungkin tidak berbakti, tapi anak berbak mencari kebahagiaan sendiri, asalkan dapat hidup bersama orang yang kusukai, anak merasa tidak merugikan siapapun juga. Anak tidak peduli tata adat segala, apapun tak dapat rnengalangi cinta kami."

   Thi Tok-heng memandang puteri satu2nya ini, sesaat itu ia se-akan2 tidak kenal lagi kepada anak dara yang telah berubah sama sekali ini, untuk sekian lamanya ia tertegun, kemudian ia menghela napas panjang dan berkata puia dengan suara berat.

   "Yang-yang, kau pernah puteri kesayanganku, dalam darahmu mengalir darah yang kukuh dan angkuh seperti darahku, bedanya kau suka menuruti jalan pikiranmu tanpa membedakan baik dan buruknva ....Ya, inilah kesalahanku, kelengahanku, seharusnya sudah dulu2 kubetulkan kesalahanmu, tapi semua itu sudah telanjur, aku memang juga bersalah dan apa mau dikatakan lagi? Aku tidak dapat mengorbankan saudara2 kita secara percuma, tak dapat membiarkan nama baik Bu-siang-pay kita tercemar. Juga tata adat leluhur tak dapat dinodai ....Yang-yang, aku sayang padamu, dalam waktu yang cukup lama kau pernah menjadi anak kesayanganku ... ."

   Suara Thi Tok-heng. berubah parau, matanya berkilau, lanjutnya pula dengan suara lemah.

   "Tapi tiada seorangpun yang berharga bagi ribuan jiwa saudara kita. tidak ada, sekalipun puteri kandungku sendiri ...

   "

   Suasana berubah mencekam, kini setiap orang mengerti apa arti ueapan Tbi Tok-being itu, meski Cara bicaranya begitu tenang dan pelahan, tapi cukup jelas dan tegas.

   Kembali Thi Yang-yang tampak gemetar.

   Semula ia menyangka kemarahan sang ayah cuma ingin menggagalkan perjodohannya dengan Khang Giok-tek demi nama baik Bu-siang-pay, iapun menyadari dirinya pasti akan mendapat hukuman, tapi sama sekali tak terpikir olehnya bahwa ayahnya sampai hati menghukum mati padanya Menghukum mati puteri kandung sendiri, sungguh hukuman yang maha berat dan sangat tragis.

   Mendadak Khang Giok-tek berteriak.

   "Thi Tok heng, kau tak boleh memperlakukan Yang-yang sesuka hatimu, Yang-yang sudah menjadi orangku, dia istriku, kami saling mencintai dan ingin menjadi suami-isteri, tapi kau menantang, katakan alasanmu!"

   "Plak-plak", kontan Khang Giok-tek menerima beberapa kali gamparan dari Jiktan- su-kiat sehingga mulutnya berdarah. 400 Baru sekarang Thi Yang-yang mengetahui kekasihnya juga tertawan di situ, ia tambah cemas dan berpaling ke sana, dilihatnya keadaan Khang Giok-tek yang meagenaskan itu, hatinya seperti di-sayat2. la menjerit dan meronta, ia melepaskan selimut yang membungkus dirinya itu hingga tinggal baju tidur saja yang dipakainya, ia terus menubruk ke arah Khang Giok-tek. Begitu juga Khang Giok tek berusaha melepaskan diri untuk menyongsong Thi Yang-yang. Akan tetapi Jik-tan-su-kiat sempat menarik mundur Khang Giok-tek, begitu pula Kang Siu-sim dan The Kun lantas mengadang di depan Thi Yang-yang.

   "Lepaskan aku, lepaskan....Aku ingin melihat Giok-tek ......"

   Demikian Yangyang menjerit dengan air mata bercucuran. Dengan kaku Kang Siu-sim menjawab.

   "Toa-siocia, sekarang kau bukan lagi kau yang dulu, tanpa perintah Tay-ciangbun kami terpaksa harus bersikap tegas padamu."

   Thi Yang-yang menjerit lagi sambil mencakar dan memukuli tubuh Kang Siu-sim dan The Kun. Namun kedua pahlawan Bu-siang-pay itu tetap berdiri tegak dari membiarkan dicakar dan dipukul si nona.

   "Ih-sute, seret dia kemari!"

   Kata Thi Tok-heng dengan ketus. Ih Kiat mengiakan dan melangkah maju, Thi Yang-yang diseretnya ke depan Thi Tok-heng. Mendadak Thi Tok-heng berdiri dan membentak dengan gusar.

   "Sin Kian, kau maju dan tampar mulut budak hina ini!"

   Keruan Sin Kian melengak dan ragu2.

   Di medan perang Sin Kian tidak kenal ampun kepada musuh, ia terkenal sebagai algojo Bu-siang-pay yang suka bertindak tegas dan ganas.

   Tapi disuruh memukul mulut puteri Tayciangbun sendiri, betapapun ia menjadi serba susah.

   "Pukul!"

   Bentak Thi Tok-heng pula.

   Terpaksa Sin Kian melangkah maju dan angkat tangannya, tapi pada saat terakhir ia tetap tidak sampai hati memuku) anak dara itu.

   Apalagi mendadak Thi Yang-yang tidak menangis lagi, sebaliknya ia lantas menengadah dan menantikan tamparan yang akan dijatuhkan pada mukanya.

   Tentu saja Sin Kian bertambah tidak tega.

   "Pukul!"

   Bentak pula Thi Tok-heng. Mendadak Sin Kian melangkah ke depan Thi Tok-heng dan berlutut, ratapnya sambil menyembah.

   "Tay-ciangbun, betapapun Tecu tidak ......tidak sampai hati .....

   "

   Tidak kepalang gusar Thi Tok-heng, kontan dia mendepak sehingga Sin Kian terguling.

   "Enyah kau!"

   Bentaknya. 401 Cepat Sin Kian merangkak bangun, ia mcmberi hormat dan mengundurkan diri dengan munduk2. Thi Tok-heng menjatuhkan diri di atas kursi, sampai sekian lama baru ia berseru.

   "Siang Goan-kian!"

   Ngeri juga Sian Goan-kian mendengar namanya disebut, terpaksa ia tampil ke depan dan mengiakan. Dengan tegas Thi Tok-heng berseru.

   "Thi Yang-yang ttdak patuh pada peraturan rumah tangga, minggat bersama orang, inilah dosa pertama. Membangkang perintah orang tua dan melawan adat, inilah dosa kedua. Mencuri pusaka, menodai nama keluarga, ini dosa ketiga. Ttdak tahu malu, bicara membela musuh, ini dosa keempat. Bikin susah kawan, mengakibatkan peperangan, ini dosa kelima. Dosa yang ber-tumpuk2 ini tak dapat diampuni. Sian Goan-kian, laksanakan hukuman mati."

   Kata2 mati"

   Itu diucapkan dengan tegas tanpa sangsi sedikitpun, seketika suasana terasa mencekam, air muka semua orang sama berubah.

   Bahkan Thi Yangyang lantas gemetar dengan wajah pucat seperti mayat.

   Ia pandang sang ayah dengan cemas se-akan2 tidak percaya kata2 tadi diucapkan oleh ayahnya sendiri.

   "Thi Tok-heng!"

   Mendadak Khang Giok-tek berteriak pula.

   "Kejam benar kau, macam2 dosa yang kau tuduhkan kepada Yang-yang, padahal kesalahan Yang-yang tidak lebih hanya ingin kebebasan. Tapi ternyata engkau bertindak sekejam ini terhadap anak perempuan sendiri. Orang bilang harimau saja tidak makan anaknya sendiri, nyata kau lebih kejam daripada harimau, Thi Tok-heng .....

   "

   "Plok", kontan tangan The Kun mampir pula di muka Khang Giok-tek sambil memaki.

   "Keparat, kematianmu sudah di depan mata, mulutmu masih sembarangan mengoceh, bisa kubeset dulu kulitmu sebelum kau mampus!"

   Mendadak Khang Giok-tek bergelak tertawa sehingga darah yang merembes di ujung mulutnya ikut berhamburan, dengan setengah kalap ia berteriak.

   "Haha, jelek2 aku Khang Giok-tek juga soorang lelaki katimbang kalian yang cuma pintar menjilat dan menjadi budak melulu, kini orang she Khang kecundang dan menjadi tawanan, mau bunuh boleh kau bunuh, selamanya orang she Khang tidak sudi munduk2 dan minta ampun .....

   "

   
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bangsat!"

   Damperat The Kun sambil mencengkeram leher baju Khang Giak-tek dan segera hendak menghajarnya lagi. Tapi Kang Siu-sim keburu mencegahnya dan berkata.

   "Khang Giok-tek, serendahnya kami, sedikitnya kami tahu bedanya atas dan bawah, kenal budi dan hormati orang tua. Sebaliknya kau, musang berbu!u ayam, diberi susu membalas dengan tuba. Dalam keadaan senin-kamis di tanah bersalju jiwamu ditolong oleh Tay-ciangbun, malahan kau dirawat di kediaman pribadi beliau dengan segala kehormatan, siapa tahu kau tidak tahu budi pertolongan beliau, sebaliknya dengan bujuk rayumu yang rendah kau bawa minggat puteri kesayangan beliau dan menggondol pula harta pusaka, bahkan untuk memenuhi ambisimu secara licik kau menghasut sana sini dan menimbulkan peperangan yang banyak makan korban. Apakah ini kebanggaanmu sehingga kau berani membual di sini? Hm, lebih tepat jika kau disebut tidak tahu malu, rendah, kotor, manusia berhati binatang, seekor anjing Bu-siang-pay juga lebih berharga daripada dirimu," 402 "Bagus, Kang lote, umpatan yang tepat, makian yang jitu,"

   Seru Sebun Tio bu dengan berkeplok..

   "Keparat, orang she Khang ini sudah hampir mampus, tapi masih berani membuat tanpa kenal malu."

   Sorot mata Thi Tok-heng mencorong pula ke arah Sian Goan-kian sehingga membuat anak buahnya ini mengkirik.

   Betapapun ia tidak sampai hati membunuh puteri kesayangan sang ketua yang diembannya sejak kecil.

   Melihat Sian Goan-kian tetap diam saja, Thi Tok-heng menjadi gusar dan membentak.

   "Apa yang kau tunggu, Sian Goan-kian?"

   Di sana mendadak Khang Giok tek berteriak pula dengan suara parau.

   "Thi Tokheng, kumohon dengan sangat janganlah kau membunuh Yang-yang, semuanya salahku, biarlah aku yang bertanggung jawab segala akibatnya. Thi Tok-heng, boleh kau bunuh saja diriku."

   "Sudah tentu kaupun takkan terhindar dari kematian!"

   Bentak Thi Tok-heng dengan mendelik. Segera ia berteriak pula.

   "Lekas turun tangan, Sian Goan- kian!"

   Tapi Sian Goan-kian mendadak berlutut dan memohon.

   "Tay-ciangbun, betapapun Tecu tidak berani membangkang atas perintahmu, namun ....namun urusan ini ....kumohon kebijaksanaan dan kemurahan hatimu ...."

   Belum habis ucapannya.

   "plak", kontan Thi Tok heng menggampar sehingga Sian Goan-kian jatuh tersungkur dengan muka bengap dan berdarah.

   "Bagus!"

   Jengek Thi Tok-heng murka.

   "tampaknya kalian sudah bersekongkol dan hendak membantah setiap perintahku. Baiklah, setelah pulang ke padang rumput tentu akan kubikin perhitungan dengan kalian."

   "Tay-ciangbun ...."

   Ih Kiat bermaksud membujuk.

   "Tutup mulut!"

   Mendadak Thi Tok-heng membentaknya sehingga Ih Kiat tidak jadi meneruskan ucapannya.

   "Ciangbun-suheng,"

   Dengan ragu2 Utti Han-po akhirnya ikut bicara.

   "apapun juga usia Yang-yang masih terlalu muda dan tidak berpengalaman, dia ....."

   "Kaupun tutup mulut!"

   Bentak Thi Tok-heng sambil mendelik.

   "Pokoknya keputusanku harus dilaksanakan, bilamana ada yang membangkang dan bermaksud memintakan ampun bagi budak hina ini, akan ku bungkam dia pula menurut peraturan kita yang berlaku."

   Ih Kiat dan Utti Han-po adalah Toa-cuncu, kedudukan mereka hanya di bawah sang ketua, dengan sendirinya mereka harus memberi contoh dan taat kepada hukum Bu siang- pay mereka.

   Karena itulah mereka tidak berani buka suara pula.

   Suasana seketika menjadi hening, semua orang sama prihatin.

   Pada saat inilah pelahan2 Siang Cin lantas bersuara, katanya dengan tersenyum.

   "Tay-ciangbun, Cayhe bukan anggota Bu siang-pay. makanya Cayhe juga tidak terikat oleh undang2 organisasi kalian. Mestinya Cayhe tidak ingin ikut bicara, tapi urusan kelihatan rada gawat, terpaksa Cayhe ingin mengemukakan sedikit pendapat ...." 403 "Siang lote adalah tuan penolong kami, ada kata apa silakan bicara saja,"

   Ujar Thi Tok-heng. Siang Cin terdiam sejenak, tanyanya kemudian.

   "Mohon tanya dulu, berapakah usia nona Thi tahun ini?"

   "Sembilan belas,"

   Jawab Thi Tok-heng.

   "Dan Khang Giok-tek?"

   Tanya pula Siang Cin. Thi Tok-heng melenggong sejenak, jawabnya kemudian.

   "Entah, kurang jelas, tapi sekitar tiga puluhan."

   "Tay-ciangbun,"

   Ucap Siang Cin kemudian.

   "Usia puterimu masih belia, dia hidup dilingkungan orang persilatan seperti kita, di tengah2 anggota Bu-siang-pay yang mengutamakan keluhuran, semuanya jujur, lugu dan bersih, tiada kejahatan, kepalsuan dan liku-liku orang hidup lainnya. Puterimu masih polos, murni, sederhana. Beginilah gambaran sebelum dia bertemu dengan Khang Giok-tek.

   "Dalam benak anak gadis yang masih belia serta hidup secara lugu dan sederhana begitu, tentunya mudah terpengaruh oleh bujuk rayu orang. Apalagi sejak kecil ia telah ditinggal sang ibunda, tentunya iapun mempunyai angan2 yang muluk2, khayalan yang di-cita2kan. Pada saat itulah datang orang she Khang itu. Dia juga masih muda, tampan, kukira mulutnya juga pintar omong. Dia kau jadikan pelayan pribadi sehingga banyak kesempatan bertemu dengan Yang-yang, ditambah lagi mungkin dia memang mempunyai maksud tujuan tertentu, maka mudahlah baginya untuk memompakan unsur2 berbisa ke dalam benak puterimu itu, dengan bujuk rayunya yang muluk2 dan melukiskan surga2 yang biasanya di-idam2kan oleh setiap anak perempuan, maka tergelincirlah Yang-yang ......"

   "Tayciangbun,"

   Siang Cin melanjutkan setelah merandek sejenak.

   "ibarat selembar kertas putih, apabila diberi berwarna merah, maka putih akan menjadi merah, jika kertas itu sebelumnya sudah berwarna, tentu tidaklah mudah untuk mengubah warnanya. Jiwa Yang-yang waktu itu boleh dikatakan putih bersih, suci murni. Maka dapatlah Khang Giok-tek mulai memberinya berwarna selama ada kesempatan, dan kita tahu, warnanya itu adalah jahat, buruk, rendah, seperti dosa yang dituduhkan Tay-ciangbun tadi."

   Semua orang mengikuti uraian Siang Cin dengan seksama, uraian yang cukup mengena dan menyentuh perasaan. Setelah terdiam sejenak, lalu Siang Cin menyambung lagi.

   "Seorang, kalau pada dasarnya memang jahat, buruk, maka dosanya tak dapat diampuni. Tapi bila kesalahannya akibat pengaruh lingkungan, ini dapat dimaafkan. Sebab kejahatan pembawaan sukar diperbaiki, tapi keburukan akibat pengaruh luar masih dapat diluruskan. Dan kukira Yang-yang adalah tergolong yang kedua, Tay-ciangbun adalah ayahnya, tentunya engkau tahu bagaimana prilakunya."

   Dengan sorot mata yang tajam Siang Cin menyapu pandang para hadirin, lalu berkata pula.

   "Sebab itulah, Tay-ciangbun, Yang-yang boleh dikatakan korban bujukan berbisa dari luar dan bukan karena buruk pembawaan. Kesalahannya sekarang harus ditinjau dari awal mula dan sebab-musababnya. Jika kita meneliti 404 lebih lanjut kesalahan Yang-yang, maka pertama karena dia kabur bersama Khang Giok tek dengan membawa lari harta pusaka Tay-ciangbun. Apa2 yang terjadi tentulah atas dorongan Khang Giok tek sehingga timbul sengketa berdarah ini. Yangyang masih belia, sedangkan Khang Giok-tek sudah cukup terkenal di dunia Kangouw dan menjadi pentolan Hek-jiu-tong. Bisa juga, Khang Giok tek memang mencintai Yang-yang, akan tetapi apa yang telah dilakukannya jelas terlalu keji, bodoh dan sembrono . ....

   "

   Thi Tok-heng menunduk tanpa bicara, sampai lama ia termenung ..... .. ."

   Diam2 Sebun Tio-bu mengangguk sebagai tanda memuji kepada Siang Cin, lalu iapun buka suara.

   "Tay-ciangbun, apa yang dikatakan Siang heng barusan kukira memang tepat dan jitu, dia bicara secara terus terang tanpa membela pihak manapun. Maka Tay-ciangbun, hendaklah engkau suka berpikir lagi lebih bijaksana.

   "Tapi ..... tapi hukum harus ditegakkan, betapapun budak hina itu tak dapat diampuni, cara bagaimana Tok-heng bertanggung-jawab terhadap sandara kita yang telah gugur?"

   Kata Thi Tok-heng sambil menghela napas.

   "Tay-ciangbun,"

   Ucap Siang Cin pula.

   "bahwa Bu-siang-pay kalian melakukan perjalanan sejauh ini ke selatan dan terjadi pertempuran sengit ini, tujuan kalian hanya demi mempertahankan nama baik Bu-siang-pay dan kehormatan pahlawan padang rumput, kukira maksud tujuan kalian kinipun sudah tercapai, para gembong Ji-ih-hu dan begundalnya yang membela kejahatan telah ditumpas, wibawa Busiang- pay sudah ditegakkan kembali, bahkan biang keladi yang mengobarkan peperangan inipun sudab tertangkap, puteri kesayanganmu juga dapat ditemukan kembai. Kini apa yang diharapkan sudah terkabul, apa yang harus dilakukan sudah terlaksana. Pertempuran sudah berakhir, suasana kembali damai. Maka menurut hematku, adalah bijaksana jika Tay-ciangbun menyelesaikan soal puteri anda dengan cara damai pula, berilah kesempatan anak dara yang tersesat ini, akan lebih berarti jika dapat menginsafkan anak yang tersesat ini daripada menghancurkannya sama sekali."

   Ucapan Siang Cin yang terakhir ini agaknya cukup menyentuh perasaan jago2 Bu-siang-pay, serentak Ih Kiat, Utti Han-po serta beberapa tokoh lain yang baru saja datang sama berlutut, seru mereka bersama.

   "Ya, hamba sekalian ikut menyokong gagasan Siang tayhiap ini, mohon kebijaksanaan Tay-ciangbun dalam urusan Toasiocia yang masih muda belia ini, ampunilah jiwanya!"

   Seketika Toi Tok-heng menjadi terkesima sendiri.

   Selama puluhan tahun ini siapa yang tidak kenal keperkasaan Pek-ih-coat-to, si golok sakti berbaju putih dari padang rumput, sudah puluhan tahun dia memimpin para pahlawan padang rumput, dihormati dan disegani kawan maupun lawan.

   Bahwa puteri satu2nya sampai ikut minggat bersama orang, sungguh kejadian ini suatu pukulan maha berat bagi lahir batinnya, hal ini hampir membuat runtuh semangat juangnya.

   Akan tetapi iapun sering menyesali dirinya sendiri.

   Sejak kecil Yang yang sudah ditinggalkan ibundanya.

   Demi kasih sayangnya kepada puteri satu2nya ini, sama sekali tak pernah terpikir oleh Thi Tok-heng akan mengambil isteri lagi.

   Pikirannya hanya tercurah kepada kejayaan suku bangsa dan demi kemakmuran padang rumput.

   Karena kesibukannya itu ia menjadi sering melupakan kewajiban pribadinya dan menelantarkan Yang-yang di tengah sangkar emas.

   Dalam keadaan demikian, jika mendadak muncul seorang Kang Giok-tek dengan segala bujuk-rayunya yang 405 memabukkan, tidaklah heran kalau anak dara itu menjadi lupa daratan dan ikut kabur.

   Jika terpikir demikian, mau-tak-mau Thi Tokheng harus mawas diri.

   Siapakah yang bersalah sebenarnya.

   Apakah dia sendiri tidak harus ikut bertanggung jawab?.

   Kini Siang Cin memohon kebijaksanaannya, semua jago2 bawahannya memintakan ampun bagi Yang-yang.

   Bukanlah Thi Tok-heng tidak menyadari kesalahannya sendiri, tapi apa mau dikatakan, hukum harus ditegakkan, harus dilaksanakan.

   Sekian lamanya ia tak dapat bicara.

   Tiba2 Siang Cin menambahkan pula.

   "Tay-ciangbun, apabila engkau tidak menerima permohonan orang banyak, rasanya terpaksa orang she Siang ini juga harus berlutut untuk minta keiklasanmu."

   So-konyong2 tubuh Thi-heng seperti menggigil, ia menghela napas panjang, katanya kemudian dengan berat.

   "Ya, sudahlah, sudahlah, berdirilah semuanya!"

   Seketika terdengarlah sorak sorai orang banyak, Ih Kiat, Utti Han-po dan lain2 sama mengaturkan terima kasih. Sesudah semua orang berdiri, dengan nada dingin Thi Tok-heng lantas membentak Thi Yang-yang yang masih berlutut di lantai itu.

   "Budak hina, apakah kau sudah menyadari dosamu?"

   Berderai air mata Thi Yang-yang, dia tenggelam dalam rasa terima kasih dan terharunya, ia tahu tindakan sang ayah tadi bukan cuma gertakan belaka, syukurlah ada seorang Siang Cin yang cukup disegani ayahnya sudi memohonkan ampun baginya.

   Jika melulu permintaan anak murid Bu-siang-pay saja, jelas jiwanya pasti tetap akan melayang.

   "Ya, anak ... .anak tahu kesalahannya ...."

   Dengan ter-guguk2 akhirnya Yangyang menjawab. Thi Tok-heng mendengus keras2, bentaknya.

   "Hayo, lekas mengaturkan terima kasih kepada para paman!"

   Segera Yang-yang menyembah kepada Siang Cin dan para Cuncu serta tokoh Bu-siang-pay yang lain.

   "Sudahlah, nona jangan banyak adat, lekas bangun"

   Seru Siang Cin.

   Cepat Ih Kiat tampil ke depan dan membangunkan Yang-yang.

   Maka sorot mata Thi Tok-heng yang tajam lantas beralih kepada Khang Giok-tek yang masih berdiri kaku di samping sana.

   Thi Yang yang dapat mengikuti sorot mata sang ayah yang beringas itu, tanpa terasa ia bergidik.

   406 Benar juga, segera terdengar ia menbentak.

   "Serat keluar keparat she Khang ini dan penggal kepalanya!"

   Sekali ini Jik-tan-su-kiiat dan lain2 tidak ragu2 lagi, serentak mereka mengiakan dan mendekati Khang Giok tek dengan garang, pemuda itu terus diseret keluar. Segera Thi Yang yang menjerit dan menubruk maju.

   "0. tidak....jangan....O, Giok-tek ...."

   Khang Giok tek juga meronta dan berusaha melepaskan diri, mukanya yang pucat berlepotan darah itu menampilkan rasa sedih, putus asa dan berat untuk berpisah, serunya dengan parau.

   "Lu ..... lupakan diriku, Yang- yang ....jangan pikirkan aku lagi. Yang-yang, asalkan kau bisa tetap hidup, maka legalah hatiku ....puaslah hatiku ...."

   Segera Kang Siu-sim mendorong Kang Giok-tek ke depan sehingga pemuda itu ter-huyung2, Ih Kiat juga lantas menarik Yang-yang dari belakang. Dengan suara memilukan nona itu menjerit.

   "Lepaskan dia ....lepaskan ....Kumohou sudilah kalian ....membebaskan dia ...."

   Tapi Khang Giok tek sudah diseret keluar pintu, namun dia masih berteriak dengan air mata bercucuran.

   "Yang-yang, jagalah dirimu ....Yangyang, kucinta padamu ....Aku tidak pernah berdusta padamu, aku tidak menipu kau ....Yangyang, cintaku padamu akan kubawa ke akhirat sekalipun ....Selamat tinggal Yangyang, akan selalu kukenangkan kau meski di tempat yang jauh ....akan kulindungi kau selalu ...."

   Seperti anjing buduk saja Khang Giok tek terus diseret dan didorong pergi oleh Jik-tan su-kiat.

   "Nanti dulu!"

   Se-konyong2 Siang Cin berseru.

   Meski cuma dua kata saja seruan Siang Cin itu, tapi cukup berbobot seperti dua potong batu raksasa yang mendadak jatuh di depan orang banyak.

   Seketika suasana menjadi sunyi, pandangan semua orang terpusat pada diri Siang Cin, semuanya ingin tahu apa yang akan dikatakannya.

   Thi Tok-heng sendiri juga tertegun, katanya kemudian.

   "Siang-lote, kau .....

   "

   "Tay-ciangbun,"

   Kata Siang Cin sambil memandang sekejap Khang Giok-tek yang digusur keluar oleh jago2 Bu-siang-pay itu, lalu sambungnya.

   "Jelas Khang Giok-tek itu busuk dan rendah."

   Thi Tok-heng tahu di balik ucapan ini pasti mengandung maksud tertentu, dengan menahan perasaannya ia menjawab.

   "Memang, tidak perlu disangsikan lagi."

   "Akan tetapi dia mencintai puterimu dengan sepenuh hati."

   "Siang-lote, betapapun hinanya si budak Yang juga tak boleh diperisteri oleh sampah macam keparat she Khang itu,"

   Ucap Thi Tok-heng tegas. 407 "Betul juga,"

   Ujar Siang Cin pelahan.

   "Namun, seekor kuda tidak memakai dua pelana, seorang perempuan tidak bersuami dua. Tay-ciangbun, apakah puterimu boleh lagi melakukan upacara nikah dengan lelaki lain? Seketika Thi Tok-heng jadi melenggong dan tidak dapat menjawab. Segera Siang Cin melanjutkan..

   "Meski Khang Giok-tek tergolong tokoh Hek-jiutong, dia juga biang keladi yang menimbulkan pertempuran sengit ini, tapi sebegitu jauh tidak nampak dia tampil memusuhi Bu-siang-pay. Untuk ini, kukira Kimtoacuncu dari Wi-ji-bun kalian dapat ikut menjadi saksi."

   Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Setelah ragu2 sejenak, akhirnya Kim Bok menanggapi sambil mengangguk.

   "Memang betul seperti uraian Siang-lote."

   "Sesudah pcrtarungan dengan Hek-jiu-tong, di Ji-ih-hu juga tidak ditemui Khang Giok tek ikut bertempur di pihak musuh, hal inipun disaksikan oleh banyak orang yang hadir di sini."

   Seluruh ruangan kembali hening, tiada suara apapun, dalam keadaan demikian, jika tiada orang menyanggah berarti membenarkan ucapan Siang Cin itu. Maka Siang Cin lantas menyambung pula.

   "Dari semua ini terbuktilah bahwa dalam hati kecilnya Khang Giok-tek tidak berani memusuhi dan juga mencelakai seorang anggota Bu-siang pay, atau dengan lain perkataan sedapatnya dia menghindari kontak langsung dengan Bu siang-pay kalian.""

   Setelah berpikir sejenak, Thi Tok-heng menghela napas, katanya kemudian.

   "Siang-lote, lalu apa maksudmu sesungguhnya?"

   Dengan pelahan Siang Cin menjawab.

   "Bahwasanya Khang Giok tek jelas mencintai puterimu dengan sesungguh hati, dan juga menghindari pertempuran dengan Bu-siang-pay kalian, namun dia tetap harus bertanggung jawab dari malapetaka yang dijangkitkan oleh perbuatannya serta tak terhindar dari dosa membawa lari anak perempuan orang. Namun mengingat keberuntungan masa depan puterimu, mengingat pula dia cenderung menghindari permusuhan dengan Bu-siang-pay, maka Cayhe pikir ...."

   "Apakah dia harus diampuni?"

   Sela Thi Tok-heng dengan kurang senang.

   "Hukuman mati boleh diampuni, hukuman hidup tak dapat dielakkan!"

   Jawab Siang Cin dengan tersenyum .

   "Hukuman hidup tak dapat dielakkan bagaimana maksudmu?"

   Tanya Thi Tokheng dengan sangsi. Untuk sejenak Siang Cin berpikir, tuturnya kemudian.

   "Kupikir banyak tempat di padang rumput sana dapat digunakan sebagai tempat hukuman kerja paksa. Misalnya diberi batas waktu sepuluh tahun, jadi beri hukuman sepuluh tahun kerja paksa padanya, pertama supaya dia mau menginsafi dosa2nya. Kedua, sekaligus dapat menggembleng lahir batinnya. Ketiga, sama seperti memberi kesempatan padanya untuk memperbaiki diri .....

   "

   "Kukira terlalu ringan hukuman ini,"

   Kata Thi Tok-heng sambil menggeleng.

   "Apalagi pernikahan budak hina itu dengan keparat itupun tak bisa diakui ......" 408 "Sudah tentu,"

   Sela Siang Cin.

   "resminya tidak diakui, tapi kenyataannya mereka sudah menjadi suami-isteri, bagaimanapun tak dapat kita sangkal lagi. Sebab itulah, jika kita tidak mengakui pernikahan mereka, tapi kita juga harus mencari suatu penyelesaian yang baik bagi hari depan puterimu, maka kupikir hanya ada suatu jalan yang dapat memecahkan persoalan ini, yaitu menghukum Khang Giok-tek dengan kerja paksa selama sepuluh tahun."

   Jika selama sepuluh tahun dia benar2 menginsafi kesalahannya dan tawakal, maka suatu tanda dia belum kehilangan hati nuraninya dan masih dapat dididik.

   tatkala mana Tay-ciangbun boleh mengumumkan mengampuni bagi hukuman Khang Giok-tek, habis itu dapatlah Tay-ciangbun melanjutkan perjodohan nona Thi dengan dia."

   Segera Sebun Tio-bu menukas.

   "Betul, Tay-ciangbun, kini faktanya sudah terpampang jelas. Pertama nona Thi sudah jelas sebagai suami-isteri dengan Khang Giok-tek, diakui atau tidak pernikahan mereka, jelas selanjutnya nona Thi tak dapat menikah lagi, Kedua sejak awal kelihatan Khang Giok-tek selalu menghindari permusuhan dengan Bu-siang-pay, jelas2 pula dia mencintai puterimu sepenuh hati. Semua ini sudah diuraikan Siang-heng tadi, maka kukira gagasan Siang-heng tentang hukuman kerja paksa sepuluh tahun bagi Khang Giok-tek boleh dikatakan cukup setimpal serta suatu pemecahan yang baik"

   Thi Tok-heng ter-menung2, suasana menjadi hening pula. Mendadak tokoh Bu-siang-pay yang berkedudukaa paling tinggi, yaitu Toa-cuncu Hui-ji-bun, Tiangsun Ki, tampil ke depan dan memberi hormat kepada sang ketua, katanya.

   "Ucapan Siang-lote memang tepat, usulnya mengandung arti yang luas, maka kumohon Toa-suheng sudi kiranya menerima saran Siang-lote itu."

   Segera Kim Bok juga menyambung.

   "Betul, Toa-suheng, sudah tiba sekarang masa damai serta bahagialah semuanya!"

   "Demi hari depan Yang-yang, sudilah Toa-suheng memberi kesempatan untuk memperbaharui hidupnya, Ciangbun-suheng,"

   Segera Ih Kiat menambahkan. Begitulah be-ramai2 tokoh2 Bu-siang-pay yang lain juga menyokong gagasan Siang Cin. Mendadak Thi Tok-heng membanting kaki dan berseru sambil duduk selonjor.

   "Ya, ya, rupanya kalian telah membentuk barisan paduan suara!"

   Dengan ucapan ini sama artinya dia telah menerima permintaan orang banyak.

   Maka berubahlah suasana .yang mencekam tadi menjadi kegembiraan, semua orang tersenyum senang, suasana benar2 berubah menjadi damai dan bahagia.

   Segera Tiangsun Ki memberi perintah.

   "Bawa Khang Giok-tek kebelakang dan tetap diawasi."

   Sungguh tidak kepalang terharu Khang Giok tek, lebih dulu ia berlutut dan mengucapkan terima kasih kepada Thi Tok-heng yang telah mengampuni kematiannya, lalu ia berlutut terhadap Siang Cin dan Sebun Tio-bu, ber turut2 ia 409 menyembah beberapa kali terhadap kedua orang itu, katanya dengan air mata berlinang2.

   "Siang-tayhiap dan Sebun-tangkeh, kalian telah menyelamatkan jiwaku, selama hidup ini takkan kulupakan budi kebaikan kalian."

   "Sudahlah, Khang-lote, alangkah girang hatiku dapat menyaksikan persoalan ini diselesaikan secara demikian,"

   Ujar Siang Cin dengan tertawa.

   "Jangan sungkan, Khang-lote,"

   Sebun Tio hu menambahkan.

   "Asalkan kau dapat membawa dirimu dengan baik, kelak kalau bertemu lagi kita pasti akan bersahabat baik."

   Maka di tengah linangan air mata terharu, di tengah perasaan antara terima kasih dan kesedihan, Khang Giok-tek melangkah pergi diiringi beberapa jago Busiang- pay.

   Dengan sendirinya Thi Yang yang, mengucapkan terima kasih pula kepada sang ayah dan Siang Cin untuk kemudian baru mengundurkan diri.

   Maka suasana di ruangan pendopo lantas berubah santai, semua orang tersenyum, puas.

   Para tokoh Bu-siang-pay saling memberi keterangan mengenai hasil pertempuran besar dan pengalaman masing2.

   Sejenak kemudian, mulailah Thi Tok heng menerima laporan dari para Toacuncu mengenai hasil pertempuran yang telah berakhir ini.

   Ternyata di antara jago2 Bu-siang-pay ada juga beberapa orang yang tewas dan terluka seperti Loh Hou, Le Tang, Giam Siok, Sin Kian dan lain2, sedangkan perajurit yang gugur ada lima ratusan orang, yang terluka tiga ratusan.

   Bahkan di antara para Toa-cuncu juga ada yang terluka, sebaliknya pihak musuh hampir sebagian besar dapat dibinasakan, antara seribu anak buah Ji-ih-hu hanya tersisa dua ratusan dan semuanya sudah tertawan.

   Sudah tentu ada sebagian kecil yang berhasil melarikan diri.

   Gembong Jiih- hu Hek -jan kong Ang Siang-long tewas dalam pertempuran, kesembilan jago utamanya juga mati delapan, hanya sisa seorang Toh Cong saja yang tertawan.

   Anak buah ceng-siong-san-ceng yang dikirim ada 500 orang dengan lima jagoan, tapi lebih empat ratus anak buahnya terbunuh dan lima jagoan itupun empat mati satu tertawan.

   Anggota Jit ho hwe juga mengalami nasib serupa, antara 1200 perajuritnya mati seribu lebih, sisanya melarikan diri.

   Pemimpinnya Ciang Heng juga tertawan.

   Begitu pula Toa-to-kau dan Hek-jiu tong hampir tiada yang lolos dengan hidup.

   Selain itu empat pentolan Sok-lian-su-coat tiga mati dan satu tertawan, sedangkan Tiang-hong-pay antara tujuh gembongnya tiada satupun yang selamat.

   Malahan adik perempuan gembong utama Soh lian su-ciat Giam Ciang, si janda kembang Giam Coat juga tertawan, begitu pula puteri ketua Tiang-hong-pay, Bwe Sim.

   Setelah memberi lapoaan terperinci tersebut, kemudian Tiangsun Ki minta keputusan Thi Tokheng untuk memutuskan cara penyelesaian para tawanannya.

   410 Oleh karena Giam Ciang dan Ciang Heng hanya merupakan jago undangan yang tidak banyak menjalankan peranan penting dalam persengketaan ini, maka Thi Tok heng memutuskan untuk membebaskan mereka.

   Sedangkan guru silat dari Ceng-siong-san-ceng Tio Jun serta pelatih Toa-to-kau Lo Sun adalah pembunuh bayaran yang tidak dapat diampumi, mereka diperintahkan dihukum mati.

   Kemudian Sin Kian menanyakan bagaimana dengan Giam Ciat, si janda.

   "Serahkan kepada keputusan Siang-susiokmu,"

   Jawab Thi Tok-heng.

   "Dan ada pula puteri ketua Tiang-hong pay, Bwe Sim,"

   Lapor Sin Kiat lebih lanjut.

   "Bebaskan saja,"

   Jawab Thi Tok-heng tanpa pikir.

   Kemudian juga diputuskan beberapa ratus perajurit musuh yang tertawan itu, yang terluka supaya diberi pengobatan seperlunya, kemudian dibebaskan seluruhnya.

   Selesai semua ini, Thi Tok heng menghela napas lega, baru sekarang ia seperti terbebas dari beban yang berat.

   Setelah terdiam sejenak, lalu Siang Cin bertanya.

   "Bilakah kiranya Tay-ciangbun akan kembali ke padang rumput?"

   "Kukira besok bolehlah,"

   Jawab Thi Tok-heng.

   "Jika demikian, besok pagi2 Cayhe juga mohon diri untuk ...."

   "He, Siang-lote dan Sebun-tangkeh telah membantu sepenuh tenaga kepada Busiang- pay, budi kebaikan kalian sama sekali tak tahu cara bagaimana harus kami balas. Maksudku mestinya hendak mengajak kalian bertiga ikut berkunjung ke padang rumput dan berdiam barang sebulan dua bulan di sana, mengapa sekarang Siang-lote ter-buru2 mau pergi?"

   Siang Cin mengucap terima kasih, katanya.

   "Soalnya kami sudah cukup lama meninggalkan kampung halaman masing2, Cayhe sendiri masih ada sedikit urusan pribadi yang harus diselesaikan, juga Sebun-tangkeh sudah lama melalaikan tugasnya sebagai pemimpin besar serikat seribu kuda (Jian-ki-beng). Selain itu kesehatan Kin-heng juga belum dapat sembuh dalam waktu singkat, untuk itu perlu dirawat dengan cermat, jelas tidak cocok untuk menempuh perjalanan jauh, maka kebaikan Tay-ciangbun biarlah kami terima di dalam hati saja. Kelak bila ada kesempatan, pasti kami akan berkunjung ke sana."

   Thi Tok-heng tahu jiwa ksatria Tionggoan yang suka bicara terus terang itu, maka iapun tidak banyak omong lagi, hanya dalam hati ia merasa berat untuk berpisah, katanya pula.

   "Bahwa kita harus berpisah secepat ini, sungguh hatiku, merasa tidak enak."

   "Tay-ciangbun, tiada perjamuan yang tidak bubar, jika besok kita tidak berpisah, mana ada kemungkinan bertemu lagi dikemudian hari?"

   Ujar Siang Cin. 411 "Baiklah, pada setiap kesempatan yang ada, hendaklah kalian, termasuk Kinheng, mau berkunjung ke tempat kami,"

   Pesan Thi Tok-heng pula.

   Segera Thi Tok-heng memberi perintah agar disediakan perjamuan, terutama arak supaya ditambah beberapa guci.

   Dalam perjamuan tidak lupa Thi Tok-heng memberikan tanda mata kepada Siang Cin bertiga, di antaranya adalah semacam obat "Pek Wan", pil putih, konon pil ini buatan seorang tabib sakti di daerah Sinkiang, tabib sakti itu sudah meninggal dua puluh tahun yang lalu.

   Pil ini selain dapat menyembuhkan berbagai macam luka luar dalam, juga sangat bermanfaat bagi kesehatan umumnya, mengembalikan tenaga muda dan memberi panjang umur.

   Kalau pil ini diminum bersama kuah Jinsom, maka khasiatnya akan berlipat.

   Sudah tentu Sing Cin sangat senang dan berterima kasih atas pemberian itu.

   Dia tidak lupa membagi pil mujarab itu kepada Sebun Tio-bu dan terutama kepada Kin Jin yang terluka itu.

   Iapun menyatakan maksudnya untuk berangkat pagi2, sebelumnya dia ingin mengunjungi Lok Bong-bu, Kin Jin dan lain yang terluka.

   Kemudian akan diselesaikan pula urusan Giam Ciat dan Bwe Sim yang masih mendekam di tahanan itu.

   ..

   Perjamuan yang sederhana tapi cukup semarak, yang paling banyak menenggak arak adalah Sebun Tio-bu serta Tiangsun Ki, hidangan yang disuguhkan adalah bawaan Bu-siang-pay sendiri dari padang rumput, namun begitu ternyata tidak ubahnya seperti hidangan di restoran yang paling besar.

   -0-000-000--0- Menjelang dinihari, dengan diantar Sian Goan-kian, Siang Cin dan Sebun Tio bu menyambangi lain-lain dan tokoh Bu-siang-pay yang terluka dan sekaligus untuk mohon diri.

   Luka Kin Jin cukup parah, tapi sudah ada kemajuan, apalagi setelah diberi minum pil putih pemberian Thi Tok-heng, jelas keadaannya tidak menjadi soal lagi.

   Kemudian mereka menuju ke kamar tahanan.

   Sesuai perintah Thi Tok-heng tadi, Ciang Heng dari Jit-ho-hwe sudah dibebaskan, tahanan yang masih mendekam di situ tinggal Giam Ciat, Bwe Sim, dan Giam Ciang saja.

   Sedangkan Tio Jun dan Lo Sun telah dihukum mati.

   "Bagaimana dengan Bwe Sim, apakah sudah siuman,"

   Tanya Siang Cin. Menurut perkiraannya, setelah nona itu ditutuknya dengan ilmu Tiam hiat yang khas, lewat 12 jam dapatlah nona itu siuman dengan sendirinya.

   "Tampaknya sekarang sudah mulai sadar,"

   Jawab penjaga.

   "Waktu digotong kemari matanya terpejam dan muka pucat, tanpa bergerak sama sekali, hamba sekalian mengira mayat yang dibawa ke sini."

   Kamar tahanan itu tidak terlalu sempit, diterangi lampu minyak yang remang2.

   Orang pertama yang terlihat oleh Siang Cin adalah Giam Ciat, hanya sehari saja keadaan janda kembang itu sudah berubah menjadi lebih layu, pucat dan lesu.

   Rambutnya kusut, sorot matanya juga guram.

   412 Di sebelah Giam Ciat berduduk bersandar dinding adalah seorang lelaki setengah baya, kelihatan kekar orang ini dan beberapa bagian tububnya terbalut kain putih, ada darah yang merembesi kain pembalut itu.

   Sedangkan Bwe Sim, nona itu meringkuk sendirian di pojok sana, dia berduduk diam saja seperti patung, mukanya juga pucat tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan.

   Sejenak Siang Cin memandang mereka, kemudian ia membuka suara dengan nada berat.

   "Kedatanganku ini tiada maksud lain, hanya ingin ku katakan kepada kalian bahwa permusuhan yang terjadi itu harus menjadi tanggung-jawab kedua pihak, kalau permusuhan harus diselesaikan dengan kekerasan, maka cucuran darah jelas tak dapat dihindarkan, akibat daripada darah yang mengalir akan menambah mendalam pula permusuhan ini atau bisa juga lantas berakhir seluruhnya. Maka aku telah membicarakannya dengan Thi-tayciangbun, kumohon kan Bu-siang-pay suka membebaskan kalian, maksudku permusuhan lebih baik dihapuskan daripada terikat semakin mendalam. Dan sekarang permusuhan dapatlah diselesaikan dan tidak perlu ber-larut2 lagi. Aku hanya ingin menyampaikan maksud tujuanku ini, bagaimana kelanjutannya terserahlah kepada jalan pikiran kalian sendiri."

   "Kau ini Naga Kuning?"

   Tanya lelaki setengah baya itu dengan suara parau.

   "Betul,"

   Jawab Siang Cin.

   "Dan kau ini tentunya To-hay-liong Giam Ciang?"

   Orang itu tersenyum getir, katanya.

   "Ya, rupanya Soh lian su-coat kini tertinggal aku sendiri saja ........

   "Kau penipu, Siang Cin!"

   Mendadak Giam Ciat berteriak dengan murka. Tentu saja Sian Goan-kian menjadi gusar, segera ia mendamperat.

   "Giam Ciat, apa kau cari mampus, mulutmu hendaklah bersih sedikit, jangan kau lupakan, Siangtayhiap yang menyelamatkan jiwamu !."

   Tapi Siang Cin lantas mencegah tindakan lebih lanjut Sian Goan-kian, ia tersenyum dan berkata.

   "Nona Giam, apa dasarnya kau tuduh aku sebagai penipu?"

   "Hm,"

   Giam Ciat mendengus.

   
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"dengan mulutmu yang manis itu, dalam waktu singkat kau dapat mengelabui kami."

   "Nona Giam,"

   Kata Siang Cin dengan tenang.

   "kita berdiri pada pihak yang berlawanan, siasat perang tidak pautang tipu menipu. Bukannya aku menipu kau, tapi kalian yang kurang waspada."

   "Huh, enak didengar ucapanmu. Padahal kaupun tidak perlu berlagak berbudi luhur dan menyelamatkan jiwa kami,"

   Jengek Giam Ciat pula. Bila kau benar2 ingin mencegah permusuhan lebih mendalam, mengapa kau tidak menolong jiwa Jikoku?."

   "Giam Ciat,"

   Ucap Siang Cin sambil menggeleng.

   "jalan pikiranmu ternyata suka ke-kanak2an. Kau tahu, di sini aku adalah tamu belaka. Yang lebih gawat lagi adalah Siang-jikomu itu telah membunuh tokoh penting Bu siang-pay, tentunya kau tahu pula adat dunia Kangouw, utang darah harus dibayar dengan darah. Bagiku, 413 memintakan ampun bagimu sudah berlebihan. Jadi kematian Siang-jikomu boleh dikatakan pantas pada tempatnya."

   Air mata Giam Ciat tampak berderai, katanya dengan tersedu-sedan.

   "Kau ... , kau tidak tahu betapa baiknya Jiko kepada ....kepadaku, tapi ..... tapi kalian telah membunuhnya di depanku dan aku sama ....sama sekali tak berdaya ...."

   "Nona Giam,"

   Kata Siang Cin.

   "kukira sebelum berangkat dari Pek-hoa-kok menuju Ji-ih-hu untuk ikut serta dalam pertempuran ini, tentu kalian sudah siap menghadapi keadaan yang paling buruk. Peperangan memang kejam dan tidak kenal kasihan. Jangan kau harap akan mendapat kelonggaran daripadanya, bahwa peristiwa sedih itu sudah terjadi, itu memang sudah dalam dugaan, jika tidak terjadi, itu namanya beruntung,"

   

   Jilid ke 20 Sampai di sini, lalu ia berpaling kepada Giam Ciang dan berkata.

   "Sahabat, tentu kaupun paham jalan pikiran ini."

   Muka Giam Ciang tampak berkerut-kerut, dengan suara parau ia menjawab.

   ""Siang Cin, tidak perlu nasehatmu. Selama puluhan tahun berkecimpung di dunia Kangouw, pengalamanku kiranya tidak lebih sedikit daripadamu......Dan sekarang, pudarlah segala angan2ku yang muluk2 . ...Sepulangnya di Pek hoa kok, selamanya aku akan mengasingkan diri dan takkan ikut campur urusan tetek bengek lagi ... .. ."

   "Kukira itu jalan yang paling baik, sahabat,"

   Ujar Siang Cin lalu ia berpaling kepada Bwe Sin dan berkata.

   "Dan kau nona Bwe, kaupun boleh bebas untuk pergi."

   Mendadak sorot mata Bwe Sin mencorong terang dan menatap Siang Cin setajam sembilu, katanya.

   "Kau sungguh baik hati Siang Cin."

   "Kuharap di antara kita akan lebih baik jika tidak saling bermusuhan .....

   "

   Ucap Siang Cin dengan tenang.

   "Jangan bermusuhan, setelah kau membunuh ayah angkat dan ke enam pamanku? Setelah kau hancurkan Tiang hong pay kami dan menipuku?"

   "Kau tahu, kita berdiri di pihak berlawanan, ayah angkat dan pamanmu ingin membunuhku, jika aku tidak membunuh tentu akan terbunuh, kau kira cara bagaimana harus bertindak kepada mereka?"

   "Dendamku kepadamu sedalam lautan, Siang Cin.

   "

   "Jangan bodoh nona Bwe, kau bukan tandinganku. Adalah menjadi kebiasaanku tidak mengampuni orang yang memusuhi diriku."

   "Jika begitu, akan lebih baik kau bunuh diriku saja sekarang, babat rumput sampai akar2nya."

   "Kau tahu aku takkan membunuh kau, kalau tidak, untuk apa ku buang waktu dan tenaga lagi? Nona Bwe, aku tidak meminta pengertianmu atas diriku, aku cuma 414 ingin mengatakan padamu bahwa nasib mujur dan pengampunan takkan datang berulang2 atas dirimu."

   Dengan rasa benci Bwe Sim mengangguk, katanya.

   "Ya, akupun ingin memberitahu padamu, bilamana aku dapat pergi dengan hidup, pada suatu hari pasti akan kucari kau, akan kubunuh kau dan ...."

   "Perempuan hina!"

   Sian Goan kian meraung murka, segera ia lolos goloknya dan hendak melabrak Bwe Sim. Sebun Tio bu juga lantai mencaci maki atas sikap Bwe Sam yang tidak tahu diri itu. Tapi Siang Cin lantas mencegah tindakan mereka, katanya.

   "Nona Bwe, apakah betul kau bertekad begitu? Apakah kau tidak kuatir aku mengingkari janji sekarang dan bertindak padamu. Kau tahu untuk ini hampir tiada kesukaran bagiku."

   "Kau boleh bertindak sesukamu Siang Cin, aku tidak gentar,"

   Jawab Bwe Sim tanpa gentar. Kembali Sebun Tio bu berjingkrak gusar, begitu pula Sian Goan kian hendak menghajar lagi si nona. Namun Siang Cin menggeleng kepala dan mencegah pula, katanya.

   "Sudahlah, bebaskan dia saja!"

   "Siang heng,"

   Teriak Sebun Tio bu.

   "apakah kau sudah keblinger, mengapa bebaskan dia jika keparat ini tetap tidak mau menyadari dosanya? Apakah kau tidak salah ...."

   "Bisa jadi aku salah, tapi biarlah ...."

   Kata Siang Cin. Dengan dingin Bwe Sim berkata.

   "Aku tidak berterima kasih kepadamu, Siang Cin."

   Siang Cin tersenyum, katanya.

   "Ingat pada perkataanku, aku tidak membunuh kau dan juga tidak memerlukan terima kasihmu. Aku merasa kau bukan pemeran pokok dalam pertempuran yang banyak menimbulkan banyak korban ini. kau hanya atas perintah dan ikut2an saja, malahan kaupun sudah membantu kelancaran usahaku, makanya kuberi jalan hidup bagimu. Ku tahu kebebasanmu akan merugikan diriku sendiri, tapi aku tidak menyesal, apabila kau tetap akan memusuhi aku, itulah hakmu, akan kutunggu kapan dan di manapun juga. Tapi kau harus yakin benar2 akan dapat mengalahkan aku, kalau tidak, maka nasibmu akan tamat juga pada saat itu ....Nah. sekarang boleh silahkan pergi semua!"

   Bwe Sim mendongak dengan angkuh, jengeknya.

   "Akan kuingat baik2 ucapanmu ini, Siang Cin."

   Habis berkata ia terus melangkah keluar tanpa menoleh disusul oleh Giam Ciang dan Giam Ciat. 415 Waktu lewat di samping Siang Cin, mendadak Giam Ciang berhenti dan menatap Siang Cin lekat2, sampai lama barulah ia bersuara parau.

   "Terima kasih, Naga Kuning!"

   Siang Cin hanya membalasnya dengan tersenyum tanpa berucap.

   Sorot mata Giam Ciat juga menampilkan perasaan aneh.

   Sesaat itu Siang Cin merasakan perasaan aneh pada pandangan kakak beradik itu, yaitu terima kasih, merasa utang budi dan ketulusan hati.

   Siang Cin memandangi bayangan mereka yang akhirnya lenyap di kejauhan sana.

   Sebun Tio bu menggeleng, katanya.

   "Siang-heng, lihat saja nanti, pasti akan datangkan kesukaran bagimu gara2 pembebasan budak hina tadi."

   Dengan tak acuh Siang Cin tersenyum, ucapnya.

   "Bisa jadi begitu. Tapi kukira dia juga akan berpikir, akupun bukan orang yang sering mengampuni orang."

   Setelah memandangi sekelilingnya, lalu ia berkata.

   "Kukira kitapun keluar saja, permainan di sini sudah berakhir."

   Memandangi malam yang kelam, tiba2 Sebun Tio bu berkata.

   "Fajar akan tiba tak lama lagi, apakah pagi2 kita akan terus berangkat?"

   Siang Cin mengangguk.

   "Dan bagaimana dengan Kin heng?"

   Tanya Sebun Tio bu pula setelah termenung sejenak.

   "Sudah tentu Kin heng berangkat bersama kita, akan kita antar pulang ke Tan ciu,"

   Jawab Siang Cin.

   "Kemudian?"

   "Tentu kaupun harus pulang kandang dan menjenguk Jian ki beng yang sudah lama kau tinggalkan itu!"

   Sebun Tio bu tertawa, ucapnya.

   "Siang heng, bicara sesungguhnya, memang ada niat ku undang engkau berkunjung ke tempatku itu sekadar melihat bagaimana aku menjadi `raja` di sana."

   "Tentu saja aku berkunjung ke tempat Sebun-tangkeh, cuma untuk sementara waktu mungkin tak dapat terlaksana ...."

   "Memangnya kenapa?"

   Tanya Sebun Tio bu.

   "Aku masih harus menjenguk beberapa kawan lamaku, mereka terluka dan sedang dirawat, sudah sekian lama kutinggalkan mereka. pula . ...Ciciku juga sedang menantikan kedatanganku."

   "Cicimu?"

   Sebun Tio bu melenggong.

   "Kau mempunyai seorang Cici (kakak perempuan)! Baru sekarang kudengar. aneh ....Apakah kakak kandung, Siang heng" 416 "O, bukan, kakak angkat, tapi tiada ubahnya seperti kakak kandung,"

   Jawab Siang Cin dengan tertawa.

   "Baik,"

   Seru Sebun Tio bu sambil berkeplok.

   "akan kuiringi kau ke sana dulu, habis itu kita boyong teman2mu itu berkunjung ke tempatku. Kita harus berkumpul dengan baik selama lima tahun atau sepuluh tahun ......."

   

Legenda Pendekar Ulat Sutera -- Huang Ying Anak Berandalan -- Khu Lung Sepasang Golok Mustika -- Chin Yung

Cari Blog Ini