Ceritasilat Novel Online

Bara Naga 9


Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 9




   Bara Naga Karya dari Yin Yong

   
Berpikir sebentar, Siang Cin berkata.

   "Tahukah siapa nama bocah yang menipu dan membawa minggat puteri tunggal Ciangbunjin kalian?"

   "Ji-ih-kim-kiam Khong Giok-tek."

   Siang Cin menopang dagu, katanya.

   "Agaknya pernah kudengar nama ini. Em, tentunya dia amat licik dan banyak muslihatnya?"

   "Memang "

   Kata Loh Boh-bu dengan gregeten, betapa cerdik dan hati2 Ciangbunjin kami, akhirnya toh kena dikelabui dan tertipu mentah2.

   Pernah beberapa kali Cayhe melihat dia, sikapnya memang ramah dan sopan santun, mulutnya manis dan pandai ber-muka2, lahirnya dia bekerja dengan giat dan rajin, hakikatnya tak pernah terbayang dalam benak kami bahwa ada orang luar yang berani main kayu dalam markas pusat kami, biasanya dia pura2 lembut, keberanian menyembelih ayampun tiada, kalau bicara halus dan munduk2, sopan dan pemalu seperti gadis pingitan ...."

   Siang Cin berkata.

   "Mohon tanya, ke mana tujuan perjalanan Loh-cuncu kali ini?"

   Loh Bon-bu berkata setelah menghela napas.

   "Menyerbu langsung ke sarang komplotan tangan hitam."

   Siang Cin menggeleng, katanya.

   "Loh-cuncu, bukan Cayhe banyak mulut dan berkomentar, bila hanya dengan kekuatan yang kau bawa ini, Bu-siang-pay hendak menyerbu ke sarang Hek-jiu-tong, ku kira kekuatan kalian jauh daripada memadai, keadaan pihak Hek-jiu-tong memang Cayhe tidak tahu, tapi pernah juga Cayhe dengar tentang mereka, kekuatan mereka memang tidak sebesar Bu-siang-pay, tapi juga tidak lemah, jago2 kosen Hek-jiu-tong cukup banyak, anak buah merekapun jahat dan kejam, apalagi mereka berhubungan erat dengan komplotan hitam lainnya, dengan tenaga yang tidak memadai ini kalian hendak menyerbu ke tempat yang jauh itu, mungkin tidak akan memperoleh keuntungan ...

   "

   Alis Loh Bong-bu bertaut, katanya dengan prihatin.

   "Apa yang Siang-heng katakan sudah Cayhe pikirkan, tapi perintah Ciangbunjin mana kami berani membangkang? Pertama Cayhe hanya ingin paksa Khong Giok-tek menyerahkan orang dan benda mestika yang dicurinya, jadi tidak harus menumpahkan darah. sementara bala bantuan dari markas kami, yaitu Thi ji-bun dan Wi-ji-bun dalam waktu tujuh hari ini akan berkumpul di kaki Au-than-san, setelah merundingkan strategi yang akan kami tempuh baru akan bergerak, menurut hematku, kekuatan kami akan cukup besar." 117 Siang Cin mengawasi pernandangan alam nan permai, alam pikirannya melayang pada sebuah persoalan yang lain, sesaat lamanya, baru dia berkata pula.

   "Loh-cuncu, kukira Khong Giok tek tidak akan sudi menyerahkan apa yang kalian tuntut."

   Dengan tertawa getir Loh Bong-bu berkata.

   "Memang mungkin, tapi dia harus siap menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya."

   "Apakah kalian hanya ingin mengajak orang pulang serta merebut mestika saja?"

   Tanya Siang Cin.

   "Itu langkah pertama, bila sekiranya tidak sampai menimbulkan akibat lain, maka langkah kedua adalah menawan hidup2 Khong Giok tek, hal ini tadi sudah kuterangkan."

   "Kalau demikian perhitungan kalian, mungkin pertempuran besar dan banjir darah tidak terhindar lagi ..... ."

   "Inipun sudah dalam perhitungan kami, kalau situasi menghendaki demikian, ya apa boleh buat, tapi tak peduli bagaimana hasil tujuan perjalanan yang terang Bu-siang-pay takkan memberi kesempatan pada Hek-jiu-tong untuk bernapas, umpama kami harus gugur di medan laga, jago2 Bu-siang-pay kami akan ber-bondong2 keluar dari padang rumput dan menyerbu ke sana."

   "Kalau Hek-jiu-tong tahu kekuatan tidak memadai, mereka pasti minta bala bantuan dari komplotan lainnya, beroperasi tidak di daerah kekuasaan sendiri betapapun Bu-siang pay pasti akan mengalami pukulan yang berat juga, maaf Cayhe bicara secara blak2an, harap Loh-cuncu tidak berkecil hati."

   "Kenyataan memang demikian, seharusnya aku berterima kasih akan petunjuk Siang-heng, masa aku menyalahkan kau malah?"

   Sampai di sini Loh Bong bu lalu menambahkan lagi.

   "Persoalan ini, biarlah kita bicarakan lain waktu saja, yang penting sekarang harus selekasnya cari tempat untuk merawat luka2 Siang-heng dan teman2mu."

   "Ya, benar,"

   Ucap Siang Cin.

   Derap tapal kuda berdetak di tanah pegunungan yang keras, seketika Loh Bong-bu melirik Siang Cin, sorot matanya mengandung permohonan yang sangat, bibirnya sudah bergerak sedikit, tapi akhirya dia telan kata2 yang ingin dilontarkan, alisnya berkerut dan wajahnya tampak murung, masgul dan gelisah.

   Sebetulnya Siang Cin tahu sikap Loh Bong-bu itu, iapun tahu apa yang ingin diutarakan olehnya.

   Hal inilah membuat Siang Cin serba susah, ia tahu jelas macam apakah gerombolan Hek-jiu-tong, apa yang dia beritahukan kepada Loh Bong-bu tadi hanya sekelumit keadaan luarnya saja, jadi keadaan sebenarnya dalam Hek jiu-tong belum dia beberkan.

   Sementara pihak Bu-siang-pay kelihatannya hanya melihat bentuk luarnya saja dari Hek-jiu-tong, tidak tahu seluk beluk di dalamnya, padahal Hek-jiu-tong adalah salah satu komplotan penjahat yang paling ganas di Bu-lim, pentolannya ada sepuluh orang, satu lebih kejam dari yang lain.

   Kungfu merekapun termasuk kelas wahid, kekuatan Hek-jiu-tong sudah melebar sampai di propinsi Ho-pak dan Ho-lam, usaha mereka ialah penyelundupan garam gelap dan membegal, bila perlu merekapun main bunuh secara kejam, umumnya mereka tidak mematuhi aturan Kangouw, tak mengerti apa itu keadilan dan kebenaran, demi keuntungan pihak sendiri mereka tidak peduli siapa lawan, asal sikat dan ganyang, cara yang digunakanpun melampaui batas perikemanusiaan.

   Oleh karena itu, sesama kaum Kangouw tiada yang berani mengusik dan mencari perkara pada mereka, padahal mereka jarang beroperasi keluar daerah kekuasaan sendiri, sejak Hek-jiu-tong berdiri, selama 10 tahun ini bukan saja mereka tidak pernah mengalami musibah besar, malah 118 kekuatan mereka semakin berkembang dan melebar kemana2.

   Sejak keluar kandang, meski Naga Kuning Siang Cin malang melintang dan disegani orang, tapi selama ini belum pernah dia bentrok dengan pihak Hek jiu-tong.

   Bagaimana keadaan Hek-jiu-tong sering didengarnya dari cerita orang, jadi seluk-beluk mereka banyak yang dia ketahui.

   Bu-siang-pay memang besar dan kuat, tapi mereka berada jauh di padang rumput sana, sebagai harimau galak yang meninggalkan gunungnya, bila betul2 harus bertempur jauh dari sarang sendiri, betapapun mereka harus berpikir lebih matang sebelum bergerak.

   Cepat sekali rombongan besar ini sudah berderap di jalan pegunungan yang kecil dan berliku naik-turun, tak lama lagi mereka akan keluar dari lekuk gunung dan menempuh perjalanan di jalan raya.

   Sambil membetulkan rambut panjangnya ke beIakang kepala Loh Bong-bu berkata.

   "Siang-heng ....."

   Siang Cin menoleh, katanya.

   "Ada petunjuk apa Loh-cuncu?"

   Menatap jauh ke depan, Loh Bong-bu berkata serba rikuh.

   "Ada suatu hal, ingin Cayhe ......"

   Diam2 Siang Cin menghela napas, dia tahu apa yang hendak diajukan orang, apakah dia harus menerima permintaan orang? Walau baru bertemu di tengah jalan dan baru berkenalan, tapi kaum persilatan mengutamakan setia kawan, apalagi sikap orang begini simpatik dan murah hati? "Silakan berkata,"

   Sahut Siang Cin kemudian. Setelah berpikir sekian lama dengan sikap serba susah, akhirnya Loh Bong-bu berkata getir.

   "Siang heng, Cayhe, Cayhe ....ai, sukar untuk kuutarakan ...."

   Akhirnya Siang Cin berkata tegas.

   "Baiklah, orang she Siang tidak akan berpeluk tangan dalam persoalan ini ...."

   Loh Bong-bu berjingkrak girang dan hampir jatuh dari kudanya mendengar janji Siang Cin, seperti ketiban rejeki matanya terbeliak, mulutnya megap2.

   "Siang-heng, kau maksudmu sudi bantu kami untuk menghadapi Hek-jiu-tong?"

   "Cayhe kira, begitulah maksud Cuncu semula,"

   Ucap Siang Cin dengan tertawa. Loh Bong-bu tertawa gembira, katanya.

   "Tentu tentu, cuma baru berkenalan, Cayhe tidak enak memohon bantuan kepada Siang heng, tapi Siang heng memang pandai menerka isi hati orang, sungguh tak terkira rasa terima kasibku ...."

   Pelan2 menepuk kepala kudanya, Loh Bong bu tak bersuara pula, sesaat kemudian baru berkata pula.

   "Siang-heng, pihak Hek jiu tong mungkin juga akan bermusuhan dengan kau ...."

   Dengan tajam Siang Cin pandang orang, katanya.

   "Loh-cuncu, berkelana di Kangouw, bahaya demikian siapapun sukar menghindarkannya, kalau sudah hidup di Kangouw, sebagai insan persilatan, maka dia harus berani menghadapi tantangan yang penuh liku2 kekejaman, kalau tidak ya jangan terjun ke dunia persilatan."

   Loh Bong-bu berkeplok tangan, serunya memuji.

   "Komentar bagus!"

   "Ah, tidak, hanya sekedar menghibur diri belaka,"

   Kata Siang Cin.

   Tanpa terasa rombongan besar ini sudah tiba di bawah bukit dan mulai menempuh perjalanan di jalan raya, sebelah kiri adalah sawah ladang yang luas dan subur, sebelah kanan adalah hutan lebar yang rimbun, jalan raya ini lurus lempeng, maka dari kejauhan kelihatan bangunan rumah yang tersebar di sepanjang sungai sana.

   Menuding ke rumah2 di kejauhan itu Loh Bongbu berkata.

   "Nah, di sana itulah Ho thau-toh, kutahu di sana ada sebuah restoran yang baik."

   Siang Cin manggut2, tiba2 dia berkata.

   "Oh, ya, bagaimana letak kota itu dari Ceng siong-san-ceng?"

   Lob Bong-bu menerawang sekitarnya, katanya kemudian.

   "Pagi tadi kita mengitari Ceng-siong-san-ceng jadi Ho-thau-toh terletak tepat di sebelah selatannya."

   "Jadi kota ini masih dalam lingkungan kekuasaan pihak Ceng-siong-san-ceng, Loh 119 cuncu, kita harus lebih berhati2."

   Kuharap mereka tidak mencari kesulitan untuk diri sendiri,"

   Ujar Loh Bong bu.

   Kini sang surya sudah tinggi di cakrawala, maka kerongkongan mereka mulai terasa kering, ingin minum dan istirahat.

   Setengah jam kemudian setelah menyusuri sungai akirnya mereka naik keatas tanggul dan memasuki Kota tambangan yang tidak begitu besar ini, mengawasi arus sungai dengan airnya yang keruh menguning, Siang Cin berkata pelahan, Loh-cuncu.

   "Apa nama sungai ini?"

   Loh Bong bu sedang mengatur anak buahnya yang membawa usungan untuk menyeberang, cepat ia menoleh dan menjawah.

   "O. namanya Se-jiang-ho sawah ladang seluas ribuan ha di kedua sisi sungai tumbur subur karena air sungai ini, setiap musim semi air pasang hampir setinggi tanggul."

   Tanpa menunjukkan perasaan Siting Cin manggut-manggut.

   "Loh Bong-bu sibuk mengatur anak buahnya pula, dengan barisan yang rapi dan teratur rombongan besar ini memasuki kota, melalui jalan raya yang hanya satu2nya di kota kecil ini. Para petani yang bekerja di ladang sama menoleh dan memandang keheranan, demikian pula penduduk kota ber-bondong2 keluar menonton barisan besar berkuda ini, wajah mereka sama menampilkan rasa heran dan curiga, maklum kota sekecil ini penduduk jarang melihat rombongan besar berkuda berseragam lengkap dengan senjata lagi. Barisan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah makan, dua anak buah Bu-siang-pay yang di tugaskan kemari lebih dulu tampak sudah menunggu di depan restoran, tanya Loh Bong bu.

   "Restoran itu masih buka tidak?"

   Salah seorang laki2 itu membungkuk. sahutnya.

   "Lapor Cuncu, masih buka, Tecu sudah pesan hidangan yang cukup untuk makan enam puluh orang."

   "Ehm,"

   Loh Bong-bu bersuara singkat lalu menoleh dan berkata.

   "Siang-heng, marilah turun."

   Dengan enteng Siang Cin melompat turun, para penunggang kuda yang lain juga turun be ramai2, dengan suara lirih Loh Bong-bu memberi pesan apa2 kepada Ceng-yap-cu Lo Ce, setelah Kun Sim-ti, Pau seh-hoa dan lain2 digotong masuk baru Siang Cin masuk terakhir.

   Ruang restoran ini cukup lebar, lantainya dari batu marmer, seorang laki2 gemuk dengan kain putih melingkar di depan perut beranjak keluar dengan langkah tergopoh.

   Mengawasi si tambun ini, Loh Bong-bu tertawa katanya.

   "Gui-poancu (Gui si gemuk), melihat tampangmu yang merah gembira ini, mungkin kau sudah tambah rejeki?"

   Gui poancu adalah taukeh atau majikan pemilik restoran ini, dengan ter gelak2 ia berkata.

   "Loh-ya, engkau memang suka berkelakar, restoran sekecil ini di kota yang serba miskin pula, kalau tidak gulung tikar sudah mending, mana bisa tambah rejeki segala? Kalau bisa mencari sesuap nasi untuk kehidupan keluarga sudah lebih dari lumayan."

   Loh Bong-bu menggeleng katanya.

   "Poancu, kau memang pandai bicara."

   Sembari silakan tamunya duduk.

   Gui poancu perintahkan juga para pelayan meladeni tamunya, dari luar restoran ini kelihatan kuno, tapi keadaan di dalam ternyata rapi dan bersih, tempatnya juga amat luas, lima belas meja berjajar menjadi sebuah meja panjang di tengah ruang, kursinya dari bangku panjang, di luar jendela tampak Se-jing-ho dengan pemandanganya nan permai.

   Loh Bong bu persilakan Siang Cin dan Kun Sim-ti duduk di dekat jendela, sementara pelayan yang hanya tiga orang muda sibuk bekerja sesuatu petunjuk si gemuk, menyuguh minuman dan menyiapkan piring mangkok.

   "Sebelum ini pernah engkau datang kemari Lohcuncu?"

   Tanya Siang Cin setelah 120 melihat sekelilingnya "Pernah lewat dua kali,"

   Sahut Loh Bong bu tertawa.

   "setiap kali si gendut itulah yang menyediakan hidangan untuk kami."

   Berpikir sebentar Siang Cin berkata pula.

   "Apakah orang ini dapat dipercaya? Maksudku mungkinkah dia menaruh apa2 di dalam hidangan?"

   Serta merta Loh Bong-bu melirik ke arah si gendut yang lagi sibuk di sana, katanya;

   "Kupikir, tak mungkin ......""

   "Hati2 lebih baik,"

   Ucap Siang Cin sambil tersenyum. Pau Seh hoa mengertak gigi, katanya.

   "Kalau ada yang berani main licik sekotor itu, orang she Pau pasti akan mengunyahnya hancur."

   Melirik kepada Pau Seh-hoa, belum lagi Siang Cin bicara, Gui-poancu sudah datang, katanya dengan tertawa lebar.

   "Loh-ya, engkau orang tua dan para tuan2 ini hendak pesan makanan apa?"

   "Hidangar apa yang paling baik dalam persedianmu boleh kau keluarkan seluruhnya, yang terang setelah kami makan kenyang kau boleh tutup restoranmu saja."

   "Loh-ya memang malaikat pembawa rejeki bagi kami, kalau Loh-ya bisa datang setiap hari, restoranku ini pasta kubangun menjadi tingkat tiga, hahaha ......"

   Sembari bicara dia terus mundur berlari masuk dapur.

   Pelan2 Loh Bong-bu tanggalkan mantel, sambil menghabiskan waktu mulailah mereka bicara bebas sambil berkelakar.

   Tanpa terasa waktu berjalan dengan cepat, kira2 setengah jam kemudian, hidangan masih belum juga disuguhkan, malah ketiga pelayan yang semula mondar-mandir keluar masuk kini juga jarang unjuk diri, apalagi Gui-poancu, dia seperti lenyap ditelan bumi.

   Setelah meneguk secangkir teh, perut yang tambah keroncongan lagi, Loh Bong-bu bersuara heran, katanya dengan kereng pada seorang pelayan yang kebetulan beranjak keluar.

   "Siau-ji-ko, memangnya kenapa majikan kalian? Sekian lamanya kenapa hidangan belum lagi disuguhkan? Memangnya kau masak pakai api lilin?"

   Pelayan ter sipu2 mengiakan terus berlari ke belakang, kebetulan Gui poancu tengah beranjak keluar dari dalam, tampak kedua tangannya mengusung sebuah baki besar, di atas baki penuh berisi daging ayam, itik, ikan dan udang goreng saus, lengkap dengan cabai, tomat, dan acar.

   Dua laki2 berpakaian kotor penuh minyak ikut di belakang Gui-poancu, dandanannya mirip koki, kepala dibungkus kain hitam kedua orang ini juga membawa dua nampan besar, isinya adalah berbagat macam masakan yang berbeda.

   Loh Bong-bu mendengus keras2.

   "Goi-poancu, cepat juga kau menyiapkan hidangannya."

   Gui-poancu minta maaf dengan tertawa ngakak, dia taruh baki di atas meja.

   
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Diam2 Siang Cin memperhatikan sorot matanya yang kelihatan guram, tawanya juga kaku dan suaranya sumbang, jelas yang tidak wajar.

   Ia melirik pula kedua koki yang mengintil di belakang Gui-poancu, cara kedua orang ini membawa nampan ternyata amat mahir dan kelihatan gesit, padahal isi nampan begitu banyak dan penuh, langkahnya cekatan bergerak di antara bangku2, cara kerjanya juga cepat tak ubahnya seperti koki di restoran lain.

   Sambil menerima sumpit yang diangsurkan Gui-poancu, Loh Bong-bu berkata dengan tertawa.

   "Nah, ayam, itik, ikan dan daging, semuanya lengkap, Loui, jangan lupa, bawakan dua poci untuk kami, bakpau pangsit juga keluarkan, lihat, ada tamu perempuan, mereka suka makanan yang empuk2."

   Gui-poancu mengiakan, tapi tampak agak ragu, tiba2 salah seorang koki tadi berteriak.

   "Ciangkui, sumpitnya masih kurang berapa pasang."

   Orang ini bicara sambil menaruh mangkuk piring, sementara mukanya menoleh ke sini mengawasi gerak-gerik si gendut. Gui-poancu seperti gemetar sedikit katanya tersipu.

   "Oh, ya, sebentar kuambilkan ...." 121 Beberapa patah percakapan ini seketika mengetuk hati Siang Cin, tanpa diketahui hadirin yang lain diam2 ia mengawasi kedua koki, tapi badan orang tidak menunjuk sesuatu tanda yang mencurigakan. Siang Cin menjadi bimbang, apakah dugaannya meleset. Lalu di mana kedua pelayan muda yang tadi meladeni tamu2nya? Sementara itu Gui-poancu tampak keluar pula dengan membawa sumpit, dikala dia membagikan sumpit, Siang Cin sudah perhatikan muka orang yang penuh butiran keringat segede kacang, padahal kini bukan musim panas. Arak disuguhkan oleh koki yang lain, orang ini bermuka putih dengan handuk melingkar di leher, sebuah tahi lalat warna merah tumbuh di ujung mata kirinya, dua helm bulu panjang tumbuh menjuntai, kedua tangannya tampak berotot kasar, mengkilat berminyak, dikala menyuguhkan arak, selalu dia unjuk tawa lebar, tak ubahnya pelayan yang ramah untuk menarik simpatik para tamunya. Mengawasi orang Siang Cin bertanya.

   "Mana kedua pelayan tadi? Kenapa tidak disuruh bantu di luar"

   Orang kami terlalu banyak, kalau hanya mengandal tenaga kalian, kapan kami baru bisa melanjutkan perjalanan?"

   Koki ini menjura, katanya tertawa.

   "Maksud tuan mungkin Siau-gu dan Ah-mao? Mereka adalah tenaga baru, belum mahir dan hanya disuruh mengerjakan tugas kasar, kalau melayani tamu sebanyak ini, mungkin bisa berantakan, maka mereka kini ditugaskan di dapur "

   Siang Cin tertawa, katanya.

   "O, lidahmu ternyata lincah berbicara."

   Si Koki menunduk, lekas dia mengundurkan diri tanpa bicara, tapi dikala dia menunduk itulah, mata Siang Cin yang tajam sekilas dapat menangkap waiah si koki yang putih itu ber-kerut2, itulah pertanda perasaan yang menaruh dendam.

   Sebagai tuan rumah Loh Bong-bu mendahului angkat cangkir araknya, katanya.

   "Siang-heng, Pau-heng, An-heng dan kedua nona mari habiskan secangkir arak ini."

   Siang Cin juga angkat cangkirnya, bola matanya bentrok dengan pandangan Pau Seh-hoa, tampak terpancar sinar aneh dari matanya seperti memaklumi sesuatu dia tatap Siang Cin, dan diluar tahu siapapun ia mengangguk pelahan. Loh Bong-bu berkata pula.

   "Hadirin sekalian, marilah kita habiskan secangkir ini."

   Siang Cin serba salah, ia tak sempat memberi tanda, hatinya gelisah, baru saia dia hendak mencegah, dilihatnya Loh Bong bu telah angkat cangkirnya yang sambil menengadah dia tuang arak yang berwarna kuning itu.

   Tapi arak bukan dituang ke dalam mulut, melainkan dituang ke dalam lengan bajunya yang longgar itu.

   Maka Siang Cin lantas tertawa lebar, katanya gembira.

   "Bagus, bagus sekali !"

   Bersama Pau Seh hoa iapun tiru cara orang. Di bawah meja jari Siang Cin menulis di telapak tapak tangan Kun Sim-ti, dengan maksud.

   "Kau jangan minum, kau dan istri An Lip tidak usah minum."

   An Lip dan istrinya tampak ragu2, Pau Seh hoa sengaja berkata.

   "Tidak, Lo An harus minum secangkir, aku orang she Pau yang menyuguh."

   An Lip menjadi gugup, ia bilang tak berani minum, sementara Ceng yap cu tampak mendatangi dan berdiri di samping meja, katanya.

   "Lapor Cuncu, mohon diberi izin para Tecu boleh mulai makan."

   "Sudah tentu,"

   Seru Loh Bong-bu ter gelak2, katanya.

   "Lain kali ingat, disiplin di padang rumput tidak perlu dilaksanakan di luaran"

   Ia merandek sejenak, lalu menambahkan.

   "Tapi kalian harus ingat peraturan lama Bu-siang pay kita bila menginap di mana saja. Nah, ayam sudah berkokok, elang terbang datang dari langit, golok tersembunyi di bawah payon, membabat bayangan nan tidak kelihatan itu ...."

   Waktu Loh Bong-bu mengucapkan kata2 yang aneh ini, sikapnya tampak kaku dan kereng, sudah tentu An Lip, Kun Sim-ti bertiga merasa heran, lekas Ceng-yap cu membalik badan, secepat angin dia sudah berkisar ke sana, dikala badannya berputar itulah, kedua telapak tangannya secara beruntun telah bertepuk lima kali.

   Perubahan berlangsung dengan cepat, selagi gema tepuk tangan Ceng-yap-cu yang 122 nyaring masih berkumandang di dalam ruangan, semua anak buah Bu-siang pay serempak melompat berdiri, golok melengkung di punggung serentak tercabut ke luar.

   Tiada sedikitpun rasa ragu dan bimbang, puluhan anak murid Bu-siang pay mendadak menerjang ke luar jalan raya, sekelompok menyebar kedua sisi rumah, sementara sisanya menyebar ke berbagai pojok ruangan, sehingga terbentuklah sebuah lingkaran besar, hanya sekejap mereka telah menduduki posisi yang menguntungkan, bayangan beberapa orang berkesiur kencang, meja kursi sama tertumbuk roboh, dikala kedua koki itu menyadari apa yang terjadi, tahu2 mereka sudah terkepung di tengah lingkaran.

   Saat mana Gui-poancu tengah mengangkat daging panggang, seperti mendadak terserang angin duduk, seketika dia berdiri kaku mematung, mukanya yang gemuk penuh daging menonjol itu sungguh lucu, seperti tertawa tapi juga mirip orang menangis seperti ketakutan tapi juga girang.

   Mulutnya melongo lebar, sementara kedua matanya melotot.

   Kedua koki itu berdiri tepat di tengah ruangan mereka celingukan bingung, dengan sorot mata mohon bantuan mereka menoleh ke arah si gendut she Gui yang berdiri mematung dan gemetar di sana.

   Pelan2 Loh Bong-bu berdiri, katanya mengejek.

   "Te Yau, periksa ke belakang."

   Poan hou jiu Te Yau mengiakan, sebat sekali ia melesat ke pintu belakang, sementara Loh Bong-bu letakkan cangkir ke atas meja, katanya sambil memandang Gui gendut.

   "Lo Gui, apakah kau di paksa?"

   Bergetar tubuh Gui gendut yang penuh daging itu, serta merta ia mengerling ke arah kedua koki, kedua orang yang dipandang diam saja tanpa unjuk perasaan apa2. Mendadak Loh Bong-bu menggebrak meja, teriaknya bengis.

   "Untuk apa kau lihat mereka? Kau kira golok lengkung Bu siang-pay kurang tajam?"

   Dengan menyengir kulit daging si gendut tampak ber-goyang2 saking ketakutan, mulutnya terpentang lebar, tapi sepatah katapun tak mampu bicara sungguh kasihan keadaannya. Siang Cin tertawa, katanya.

   "Loh-cuncu, Guiponcu terang dipaksa, kita tidak perlu mendesak dia, kukira kedua koki ini bisa memberi keterangan, karena merekalah biang keladinya."

   Seketika kedua koki itu ketakutan, mereka meratap.

   "Ciangkui, sudah sekian tahun kami membantumu, seingatku kecuali sering mencuri minum dua cangkir arak selamanya tak pernah berbuat salah, Ciangkui, tolonglah kau memberikan kesaksian, kami kan tak pernah melakukan kejahatan apa2 ..... ."

   Gui-poancu seka keringatnya dengan lengan bajunya, jari2nya tampak gemetar, sesaat kemudian baru dia dapat bersuara dengan tersendat.

   "Tidak ..... tidak salah, Loh-ya, mereka ....... mereka berdua."

   Dengan tersenyum Siang Cin mengulap tangan katanya.

   "Sahabat baik, dihadapan orang jujur tidak perlu membual, cara kalian ini hanya bisa rnenggertak si lemah dan mengelabui yang bodoh, dihadapan kami kau tak perlu main sandiwara, tak berguna"

   Semakin hijau muka koki tadi, katanya sedih.

   "Tuan ini, sudilah engkau suka menjelaskan, hamba kan bekerja baik2 dan tidak berbuat salah, mendadak tuan2 mencabut senjata dan mengepung kami, memangnya kami pernah melakukan kejahatan apa? Umpama membunuh orang kan juga harus dibikin terang persoalannya, entah kesalahan apa yang telah hamba lakukan?"

   Melotot gemas dan dendam Loh Bong-bu, bentaknya gusar.

   "Keparat yang licik."

   "Kesalahan sih ada,"

   Ucap Siang Cin dengan tertawa.

   "cuma arak, hidangan yang kalian masak ini rasanya koh ganjil sekali, kalian kan koki di restoran ini, nah, silakan kalian cicipi dulu hasil karya kalian sendiri, kalau apa yang 123 kukatakan terbukti benar, maka kalian harus lekas bikin lagi hidangan yang lain."

   Seketika berubah air muka kedua koki, sekuatnya mereka seperti menahan diri, si muka putih yang bernama Mao-ci menelan air liur, katanya dengan serak.

   "Tuan .. Ini kan hidangan untuk tuan2 sekalian, mana hamba berani mencicipinya lebih dulu ........."

   "Hm."

   Loh Bong-bu menggeram.

   "disuruh makan, maka kalian harus mencicipi dulu, nanti kubayar dua kali lipat."

   Sudah tentu tambah buruk air muka kedua koki ini, mereka bimbang dan saling pandang, koki yang bermata juling mengertak gigi hendak bergerak, tapi koki muka putih bernama Mao-ci menggeleng kepala.

   Golok besar melengkung telah terhunus mengelilingi mereka dengan sinar yang gemerdep demikian pula tombak pendek bersula telah terpegang di tangan kiri, agaknya Mao ci cukup tahu diri nelihat situasi dihadapan mata, sedikit bergerak tanpa perhitungan, jelas mereka akan menjadi sasaran empuk bidikan tombak2 pendek bersula itu.

   Berkejang muka Mao-ci, tiba2 sikapnya berubah tenang, katanya.

   "Baiklah, kalau demikian pesan tuan2, biarlah hamba mencicipinya."

   Waktu menoleh ke arah temannya, sorot matanya seperti mohon diri, seperti juga menyesali nasibnya yang jelek.

   Lalu dengan langkah lebar dia menghampiri meja Siang Cin, ia mencomot sepotong paha ayam serta menjemput cangkir arak di depan Loh Bongbu, sekilas ragu2, lalu dia angkat paha ayam ke mulutnya.

   Tiada orang bersuara, puluhan pasang mata tertuju ke muka Mao-ci, suasana terasa seram.

   Dengan menyengir Mao-ci pentang mulutnya, Sikap Siang Cin tampak dingin kaku, sorot matanya ber kilat2, dengan tajam diawasi gerak-gerik orang.

   Lagaknya Mao-ci mau makan paha ayam itu tapi ketika paha ayam itu hampir menyentuh bibirnya, tangan kirinya tiba2 menggentak, arak itu dia siramkan ke muka Loh Bong-bu, sementara paha ayam mendadak juga dilempar ke arah Siang Cin, begitu barang2 di kedua tangannya disambitkan, sigap sekali ia berputar, tahu2 tangan kanan sudah mencabut sebilah belati yang tajam berkilau.

   Hanya sedikit mengegos dengan mudah Siang Cin hindarkan, samberan paha ayam, perawakannya yang kurus bergerak gemulai, hampir tidak kelihatan melakukan gerakan apapun, tahu2 Mao-ci menjerit keras, tubuhnya berputar dan darahpun terhambur dari mulutnya.

   Sebat sekali Siang Cin melompat maju, dikala badan Mao-ci masih berputar2, telapak tangan kirinya terayun, kembali darah muncrat, Mao-ci mencelat tinggi membentur langit2.

   "klotak", dengan keras ia terpental balik dan jatuh terguling di lantai, dengan berlepotan darah. Siang Cin menghardik.

   "Jangan bergerak!"

   Baru saja koki bermata juling hendak menubruk maju dengan belatinya, hardikan Siang Cin bagai bunyi guntur telah membikinnya bergetar, sedikit merandek itu, tujuh batang golok sabit telah menyamber tiba, puluhan tombakpun meluncur datang dengan deru angin yang kencang, orang merasa pandangan mendadak kabur, dikala dia menggerakkan belatinya itu, kaki Siang Cinpun menyapunya, golok sabit dan tombak berdering saling bentur, mendadak Siang Cin melambung ke atas, berbareng ia tarik baju kuduk orang itu serta diangkat ke atas, Sekali tendang Loh Bong bu bikin meja kursi jungkir balik, lalu dia sudah berkelebat maju, beruntun dia gampar laki bermata juling itu beberapa kali, keruan gigi rompal bibir pecah dan darahpun berhamburan dari mulut orang itu.

   Sekali raih Loh Bong-bu menjambak rambut orang, hardiknya gusar.

   "Keparat, betapa tinggi kepandaianmu, berani membokong Cuncu Bu-siang-pay? Katakan, dari aliran setan atau golongan iblis mana kau?"

   Melotot bola mata laki2 yang juling (keroh) itu, Loh Bong bu mendengus, telunjuk tangannya mencolok, secara mentah2 dia cukil keluar sebuah biji mata orang.

   Raung kesakitan bergema, kaki tangan berkelejetan seperti orang terserang ayan, 124 wajah Loh Bongbu biasanya putih bagai batu jade kini berubah hijau kelabu, sekali raih pula dia betot biji mata orang yang bergelantung di pipi orang, kembali dia hendak cukil biji mata orang yang sebelah kiri.

   Lekas Siang Cin menarik mundur orang itu, katanya.

   "Loh-cuncu, biarkan dia hidup, nyawanya lebih berguna dari pada membunuhnya."

   Loh Bong bu menggerutu.

   "Bangsat, kalau tidak kuremukkan tulang belulangnya, sungguh tak terlampias amarahku."

   Siang Cin tersenyum, katanya.

   "Cepat atau lambat dia pasti mati, sekarang lebih baik mengompes keterangannya. Loh-cuncu, sampai sekarang kita belum tahu dia dari aliran mana." - Sembari bicara Siang Cin mencengkeram baju leher orang, katanya dingin.

   "Sahabat baik, apa yang harus kau katakan, kini sudah tiba saatnya kau beberkan."

   Sekujur badan orang itu gemetar, mukanya berkerut dan berlumuran darah, keadaanya sungguh seram dan mengerikan.

   "Anak muda,"

   Tiba2 Loh Bong-bu tertawa.

   "ini baru mulai, bila setiap pertanyaan tidak kau jawab dengan jelas, sedikit akan kusiksa kau hingga mangkat ke alam baka."

   Mendadak mata tunggal orang itu mendelik, katanya dengan meraung penuh dendam.

   "Loh Bong bu, kalau tuan besarmu mati, beribu anggota Hek jiu tong akan menuntut balas bagi kematianku, kau anjing tua ini akan mati lebih mengenaskan daripadaku, kalau berani, hayo bunuhlah sekarang, buktikan saja apakah anggota Hek-jiu-tong memang takut mati seperti omonganmu."

   Ceng-yap-cu Lo Ce yang berdiri di samping menghardik, golok sabit di tangannya tiba2 membacok, bentaknya.

   "Baik, coba rasakan ini!"

   Sekali tarik Siang Cin singkirkan tawanannva.

   "Siiuut", golok sabrt menyamber lewat dan "crat"

   Bangku panjang di sebelah tertabas kutung menjadi dua, dengan mata membara Lo Ce putar badan serta mengayun golok pula, lekas Siang Cin mencegah.

   "Berhenti dulu, Lo-heng ...."

   Lekas Loh Bong-bu angkat tangan mencegah Lo Ce, Katanya kemudian.

   "Sahabat baik, mulutmu ternyata berbisa juga. Baiklah Cap kau hwi ce Loh Bong-bu ingin menyaksikan sendiri kawanan anjing Hek-jiu-tong dapat berbuat apa terhadapku?"

   Siang Cin mengertak gigi, jari2nya yang mencengkeram kuduk orang semakin mengencang.

   "Sahabat, kalau kau tidak ingin disiksa, maka bicaralah, masih ada berapa banyak kaki-tangan Hek-jiu-tong di sekitar sini? Di mana mereka sembunyi? Siapa pula yang jadi pemimpin? Dengan cara licik apa pula kalian hendak mencelakai kami? Bagaimana gerakan orang2 Hek-jiu-tong akhir2 ini?"

   Orang itu malah memejamkan mata, dengus napasnya berat, dadanya turun-naik, mukanya kotor berlumurah darah yang mulai mengering, jelas sekuatnya dia menahan derita, sepatah katapun dia tidak jawab pertanyaan Siang Cin. Loh Bong-hu berseru gusar.

   "Siang-heng, ganyang saja dia."

   Berpikir sejenak Siang Cin berkata.

   "Sahabat, akan kuberi waktu selama satu sulutan dupa, bila kau menjawab beberapa pertanyaanku tadi, segera kau boleh meninggalkan tempat ini."

   "Cuh,"

   Tiba2 orang itu menghamburkan darah di mulutnya, katanya sambil tertawa.

   "Kau ....ingin aku menjual Hek-jiu-tong? Haha jangan menilai! Kau ingin aku menjawab pertanyaanmu, anak muda, boleh kau tunggu bila mentari terbit dari barat ...."

   "Ciiiiaaaat" - "Bluk", mendadak telapak tangan Loh Bong-bu mendarat di dada orang itu, terdengar suara tulang retak dan patah, orang itu meraung se-keras2nya, gumpalan darah tertumpah dari mulutnya, darah yang tercampur gumpalan2 merah, karena dada terpukul keras sehingga isi dadanya remuk dan ikut tersembur keluar. 125 Siang Cin menghela napas, sekali dorong "Byuuuarr", mayat orang itupun terlempar keluar jendela dan tercebur ke dalam sungai. Kun Sim-ti menunduk kepala dan menutup mukanya dengan kedua tangannya di meja sana, pundaknya tampak ber-goyang2, dulu dia tidak tahu apa yang dinamakan kejam, apa yang dinamakan dendam kesumat, sekarang dia dapat meresapinya. Bahwa derita yang menimpa manusia bukan cuma pukulan batin melulu, derita yang nyata di depan mata sekarang juga cukup mengerikan dan amat menyedihkan pula, kiranya demikianlah kehidupan insan persilatan yang kecimpung di Bu lim. Tanpa bersuara Siang Cin mengawisi jari2nya yang masih membengkak hijau ke-biru2an, pelan2 dia menggeleng kepala serta berkata.

   "Hek-jiu-tong dapat menggembleng anak buahnya sehebat ini, memang bukan kerja yang gampang. Yang kusangsikan sekarang apakah setiap anggota Hek-jiu-tong juga keras kepala dan tak takut mati seperti kedua orang ini?"

   Loh Bong-bu berkata sinis;

   "Siang heng. Cayhe sudah bentrok beberapa kali dengan orang2 Hek-jiu-tong, aku harus mengakui bahwa mereka memang punya keberanian yang luar biasa, tapi tidak semuanya demikian."

   Bercahaya sorot mata Siang Cin, katanya.

   "Kalau demikian, Loh cuncu, boleh kita tandangi Hek jiu-tong secara besar2an, cuma untuk itu, mungkin harus mengalami banyak kesukaran."

   "Cayhe mengerti,"

   Ucap Loh Bong-bu baru tapi penuh semangat.

   "kami harus bertempur dengan segala kekuatan, kamipun mohon supaya Siang heng suka membantu."

   Tertawa tawar Siang Cin berkata.

   "Kalau Cayhe sudah berjanji, pasti akan kutepati sampai titik darah terakhir."

   Terhibur hati Loh Bong-bu, lekas dia menjura, sementara seorang tampak berlari masuk, sekujur badannya berlepotan lumpur, basah kuyup oleh keringat dan air kotor, langsung dia memburu kearah Loh Bong bu serta berteriak.

   Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Loh cuncu, mata2 Hek-jiu-tong telah menyelundup ke restoran ini, dua koki dan dan pelayan restoran mereka gantung di belakang, waktu Tecu beramai menolongnya turun, kami sempat lihat beberapa orang berlari menyusuri tepi sungai ke arah barat, Te toa-suheng membawa beberapa orang telah mengejar ke sana, dengan susah payah akhirnya musuh dapat disusul dan terjadilah baku hantam sengit, baru beberapa gebrak mereka ngacir pula, Toa-suheng suruh Tecu pulang memberi laporan .....

   "

   Loh Bong bu mendengus, tanyanya.

   "Mereka juga perkenalkan diri sebagai anggota Hek-jiu-tong?"

   Dengan napas tersengal2 murid Bu-siang-pay itu mengangguk.

   "Ya, peminpinnya seorang yang tidak punya hidung .... perawakannya gemuk ... ."

   Tiba- Siang Cin menepuk paha, sikapnya tampak gelisah dan gugup, katanya.

   "Celaka, Loh cuncu, lekas kita susul mereka, kalau terlambat mungkin bisa celaka semuanya."

   Sikap Siang Cin yang gugup membuat Loh Bong bu tegang juga, katanya dengan nada curiga.

   "Siang heng, apa yang tidak beres?"

   Sembari melangkah keluar Siang Cin memberi tanda, katanya ter-gesa2.

   "Tinggalkan beberapa orang tunggu di sini, Loh heng, sisanya yang lain lekas ikut kita, laki2 gemuk tak berhidung yang di terangkan saudara ini adalah salah satu pentolan Hek jiu tong, yaitu Ang bin-cu (hidung malam) Kau Hui-hui, orang kelima dari Hek jiu-tong.""

   "Kau hui hui?"

   Loh Bong-bu mengulang nama yang aneh ini, mendadak dia berpaling, serunya.

   "Lo Ce kau pimpin dua puluh Tecu bertugas jaga di sini, sisanya ikut 126 aku mengejar musuh."

   Ceng yap-cu Lo Ce mengiakan, bayangan orang bergerak, derap orangpun beranjak keluar, di bawah pimpinan Siang Cin dan Loh Bong bu, dengan cepat sebarisan orang berlari menuju kebelakang.

   Di ujung serambi adalah dapur dan gudang rangsum, di belakang dapur ada undakan batu yang menjurus turun ke tepi sungai, dimusim rontok air sungai tak pernah pasang maka pesisir membentang panjang dengan pasirnya yang menghitam legam, tapak kaki tampak acak2an di atas pasir menjurus ke arah barat.

   Siang Cin membetulkan pakaiannya yang koyak, sakali narik napas, segera ia melayang ke depan secepat terbang.

   "Ginkang yang hebat!"

   Loh Bong-bu berseru memuji, sambil memberi tanda, bagai anak panah melesat iapun menyusul dibelakang Siang Cin, sekejap saja kedua orang ini sudah melayang jauh ke depan, anak buahnya jauh ketinggalan di belakang.

   Pesisir sungai ini berbelak-belok, ada kalanya teraling oleh batu karang yang menjurus ke tengah sungai, tapak kaki masih tampak acak2an ke arah depan, sejauh mata memandang bayangan Te Yau dan lain2 belum lagi kelihatan.

   Siang Cin berlari kencang berdampingan dengan Loh Bong-bu mulai menampilkan rasa gelisah, diam2 ia seka keringat yang membasahi hidung, katanya gemas.

   "Te Yau keparat itu memang sembrono terlalu serakah mengejar pahala dan suka menang sendiri, kalau sekali ini dia terjungkal, coba nanti kalau aku tidak membeset kulitnya ..... ."

   Sambil melompati gundukan pasir Siang Cin berkata.

   "Anak muda semuanya demikian, tapi dengan bekal kepandaian Te-heng, untuk bisa merobohkan dia musuh harus memeras keringat dalam waktu yang cukup lama juga, untuk ini Loh-heng tidak perlu kuatir."

   Mendadak Loh Bong-bu berteriak kaget, tarnpak di atas pasir di depan sana tiga orang seragam putih menggeletak di pinggir sungai, muka mereka terbenam dalam pasir, sekujur badan berlepotan darah, air sungai membasahi tubuh mereka, air sungai berubah merah, jiwa mereka terang sudah melayang.

   Dengan kencang Siang Cin tarik tangan orang serta menyeretnya lari ke depan tanpa memeriksa ketiga orang itu, gigi Loh Bong-bu gemeretak menahan gejolak hatinya.

   Tanpa berhenti Siang Cin terus seret orang berlari, sikapnya tenang2 seperti tak pernah terjadi apa2, katanya.

   "Sudah kulihat, Loh-heng, yang perlu dipikirkan sekarang ialah cara bagaimana menagih dan mencari imbalan untuk dendam sakit hati ini."

   Menggigit kencang bibirnya, Loh Bong-bu tidak bersuara, mereka berdua harus mengitari sebuah batu karang besar yang menongol di depan, di balik sana kiranya adalah rawa dengan rumput gelagah yang tumbuh subur dan membentang luas sepanjang sungai.

   Sekilas memandang.

   "Nah, itulah,"

   Serta merta Siang Cin berseru lirih, berbareng ia melayang ke sana, kiranya di tengah semak2 rumput sana beberapa bayangan orang tengah saling tubruk dan bertempur dengan sengit.

   Tampak seorang murid Bu siang-pay yang bergelang emas di kepalanya tengah meronta2 roboh ke dalam air, dadanya berlubang dan berdarah, menyusul seorang laki2 berpakaian abu2 juga melolong roboh dan kelejetan di tengah semak2, sebilah golok sabit menembus perutnya, isi perutnya ikut kedodoran keluar.

   Siang Cin melompat maju di tengah udara sebelah kakinya sempat menendang jatuh seorang laki2 kurus berbaju hitam.

   Masih ada tiga murid Bu-siang-pay yang bertempur sengit melawan lima orang anak buah Hek-jiu-tong yang berpakaian 127 warna-warni.

   Sekilas pandang Siang Cin lantas melihat Poan-hou-jiu Te Yau, dengan ilmu pukulan kebanggaannya Te Yau tengah bertempur mati2an melawan seorang laki2 berpinggang besar, muka penuh daging menonjol dan berperawakan tinggi, sepasang mata laki2 itu melotot beringas, sikapnya sadis, yang lebih mengerikan lagi ialah laki2 besar ini ternyata tidak punya hidung.

   Dari depan mukanya kelihatan rata, kedua lubang hidungnya tampak buruk dan menjijikkan.

   Laki2 gemuk ini ternyata memiliki kepandaian yang ganas dan keji, iapun main dengan kepalan tangan, setiap gerak tangannya membawa deru kekuatan yang dahsyat, tipu serangannya juga aneh dan banyak perubahan, rumput berterbangan, air muncrat ke sana-sini, Poan-hou-jiu Te Yau sudah terdesak, jelas kelihatan Poan-hou-jiu Te Yau sudah kewalahan dan tak mampu melawan lebih lama lagi, meski sekuat tenaga dia tetap berjuang dengan gigih.

   Bagai burung raksasa Siang Cin langsung menubruk ke arah laki2 tidak berhidung itu, dengan jurus Gwat-bong-ing tangan bergerak maju tapi sebat sekali lantas ditarik balik pula, cepat laki2 gemuk itu berputar.

   "bret", tahu2 juga biru yang dipakainya sobek tepat di depan dadanya, Tidak kepalang kejut si gemuk, cepat ia melompat mundur, ia menatap tajam ke arah Siang Cin. Siang Cin berdiri di tengah lumpur, sapanya sambil unjuk senyum.

   "Kau Hui-hui, selamat bertemu."

   Daging yang benjal benjol di selebar muka Kau Hui-hui ber-gerak2, dengan gusar dia tatap Siang Cin sekian lamanya, katanya dengan suara serak pecah seperti gembreng.

   "Kau, siapa kau?"

   Poan hou jiu sempat ganti napas, dengan serak dia memaki.

   "Kau Hui-hui, dia inilah raja akhirat yang akan mengantar nyawamu ke neraka."

   Dengan rasa hina dan mengejek Kau Hui-hui berludah, jengeknya.

   "Katakan, siapa kau?"

   Mendadak sesosok bayangan berkelebat di udara, seringan daun jatuh Loh Bong bu telah melayang turun, dia mengawasi Te Yau sebentar, tanyanya kereng.

   "Terluka tidak?"

   Paras muka Te Yau, dia betulkan letak tutup matanya, sahutnya dengan tergagap.

   "Tidak, tidak apa2 ...."

   "Tunggu apa lagi kau di sini, lekas bantu para saudaramu berantas kawanan binatang tangan hitam itu!"

   Demikian seru Loh Bong-bu gusar.

   Te Yau mengiakan dan cepat lompat ke sana.

   Kau Hui hui melotot, dia maju setapak ke depan, Siang Cinpun tersenyum, dia juga maju setapak lebih dekat.

   Otot hijau yang merongkol di jidat Kau Hui-hui bergerak2, mukanya yang tak berhidung tampak menjijikan, ia melotot beringas ke arah Siang Cin dan berkata lantang.

   "Orang yang berani merintangi sepak terjang Kau Hui hui pasti seorang yang punya asal-usul, anak muda, sebutkan namamu?"

   Sorot mata Siang Cin menatap luka jari2nya yang telah mulai mengering, katanya tawar.

   "Naga Kuning Siang Cin dari angkatan muda memberi salam hormat kepada Cianpwe Kau-longo."

   Mata Kiau Hui hui mendelik lebih lebar, lama dia mengawasi Siang Cin kataaya kemudian"

   "Orang she Siang, gerangan apa yang menimbulkan hasratmu main2 dengan orang Hek jiu-tong, apakah sudah kau pikirkan apa akibat dari campur tanganmu ini?"

   Alis terangkat, Siang Cin berkata tenang.

   "Sudah tentu, paling2 jiwa melayang."

   Merandek sebentar, lalu disambungnya dengan tertawa.

   "Tapi, jiwaku ini harus diimbali, beberapa jiwa kalian, malah bukan mustahil, hm, kau sendiri harus ikut serta ke alam baka." 128 Gigi Kau Hui-hui gemeratak, pada saat itu sebuah jeritan, berkumandang dari sebelah sana, tapi dia seperti tidak mendengar, katanya pula.

   "Siang-Cin,, kau akan menyesal ...."

   Siang Cin, menjawab.

   ""Entah sudah berapa tahun dan betapa banyak urusan telah kubereskan, tapi selamanya Naga Kuning tidak pernah menyesal."

   "Hayolah, Kau Hui-hui"

   Loh Bong-bu meraung tidak sabar.

   "Biarlah cuncu dari Bu Siang-pay menghadapimu."

   Sekilas ia melirik Loh Bung bu, Kiau Hui-hui berkata sinis.

   "Orang she Loh, tak perlu kau menampilkan diri, sudah lama Kiau longo tahu siapa kau keparat ini."

   Ditengah gelak tawanya mendadak Loh Bong bu menubruk maju secepat kilat, sekaligus dia lontarkan sepuluh pukulan dan tujuh belas kali tendangan.

   "Ciiiaat"

   Kau Hui hui menggembor keras, badannya yang besar tangkas luar biasa berkelit ke samping, sementara kedua telapak tangannya dengan gencar membelah dan menabas, Serangan balasan ini membawa damparan angin angin kencang, ekuatannya mampu membelah batu mematah pilar.

   Di tengah muncratnya air dan daun yang melayang, golok sabit Loh Bong-bu menyambar kian kemari, terjadilah pertempuran sengit dengan Kau Hui hui yang melawan dengan bertangan kosong.

   Dengan tawar Siang Cin berkata.

   "Kau Hui-hui, ilmu pukulanmu nyata memang lumayan, tapi kurang cepat, ingatlah pertempuran jago kosen mengutamakan ketangkasan, terpaut sedetik saja akibatnya jiwapun bisa melayang."

   Golok Loh Bong-bu bergerak semakin gencar, lincah dan mantap, dengan tangkas Kau Hui-hui berkisar ke samping, kedua telapak tangan berputar cepat menimbulkan gejolak angin keras, jengeknya dingin.

   "Orang she Siang, kau boleh terjun sekalian, Kau-longo tidak akan mundur karenanya."

   Dengan memicingkan mata Siang Cin saksikan kedua orang saling serang lagi puluhan jurus, katanya kemudian.

   "Jangan gelisah saudara, mungkin nanti kau masih punya kesempatan."

   Darah tampak berhambur dari belakang semak2 sana, seorang laki2 berpakaian warna hitam dengan sulaman benang putih sebagai hiasan tampak terhuyung beberapa langkah, mungkin telah kehabisan tenaga, pelan2 dia tersungkor roboh ke dalam air, di kuduknya tampak merekah besar sebuah luka tabasan golok yang mengerikan, darah masih menyembur deras, jiwa anak buah Hek jiu-tong ini jelas akan menyusul teman2nya yang telah mangkat lebih dulu.

   Kau Hui hui sedikitpun tidak terpengaruh, seperti tidak mendengar dan melihat, dia tetap bergerak lincah menempur Loh Bong bu dengan sengit, bayangan mereka berlompatan naik turun di antara semak2 gelagah, sekejap saja mereka telah bertempur tiga puluhan jurus.

   Dinilai secara menyeluruh, Loh Bong-bu adalah orang pertama dari Hiat ji-bun di Bu-siang-pay, dalam Bu-siang-pay tingkat kepandaiannya termasuk kelas wahid, kaum persilatan di utara bila menyinggung nama Cap-kau-hwi-ce (sembilan belas bintang terbang) pasti akan mengacungkan jempol dan memuji "bagus", Si-bun-cap-sa-sek, ilmu goloknya dikombinasikan dengan tiga belas biji senjata rahasia bintang terbang segi enam yang dibuat dari baja asli, entah telah merobohkan berapa banyak tokoh2 persilatan.

   Tapi kini menghadapi Kau Hui hui dia harus menguras tenaga, walaupun lambat-laun sudah menempatkan dirinya di atas angin.

   Jauh di luar semak2 sana terdengar derap langkah orang banyak berlari datang dengan cahaya kemilau senjata tajam, dua puluhan murid Bu-siang-pay baru sekarang menyusul tiba, dengan golok sabit mereka membabat rumput dan membuka jalan maju ke-semak2 cepat sekali sisa2 orang2 Hek-jiu-tong yang masih hidup telah terkepung oleh mereka.

   129 Tiba2 Kau Hui-hui bergontai ke kanan kiri, ketika golok lawan menyambar lewat, berbareng ia pun menghantam sambil bersuara keras memberi aba2.

   "Anak2 tangan hitam, lekas lari"

   Empat anak buah Hek-jiu-tong bagai memperoleh pengampunan serentak mengembor sambil angkat langkah seribu ke arah semak2 yang lebih lebat. Golok sabit Poan-hou-jiu Te Yau sempat membacok tempat kosong, teriaknya bengis.

   "Setengah lingkar, cepat!"

   Beberapa murid Bu-siang-pay yang tengah mengudak serentak berhenti, cepat mereka menyingkir kedua samping mengambil posisi setengah lingkaran, Te Yau diam sejenak mengawasi keempat orang Hek-jiu-tong yang lari seperti dikejar setan itu, mendadak ia memekik panjang, tumbak bersula di tangannya tiba2 meluncur bagai lembing memecah udara, dua puluhan murid Bu-siang-pay serentak juga menimpukkan tumbak masing2, keempat orang Hek-jiu-tong yang sedang lari itu satu persatu melolong terus roboh berkelejetan kesakitan di tengah semak, entah kepala, punggung, kaki tangan keempat orang itu sama tertusuk tumbak bersula, sebelum ajal mereka tetap berusaha melarikan diri, namun rasa sakit tak tertahan lagi darah mereka mewarnai air yang sudah keruh ini.

   Di bawah rangsakan golok sabit Loh Bong-bu, Kau Hui-hui terus bertahan dengan serangan balasan yang gencar, dia tahu kematian seluruh anak buahnya, tapi tampangnya yang kelihatan beringas sadis itu sedikitpun tidak menampilkan rasa murka dan dendam, gerak-geriknya tetap tangkas, meski air merendam sebatas lutut, mereka terus mengembangkan kegesitan masing2 dan saling labrak dengan sengit kembali tiga puluh jurus telah berselang.

   "Kau Hui-hui,"

   Siang Cin berseloroh dengan menggosok telapak tangan.

   "apa kau tidak ingin menyelamatkan jiwa?"

   Mendadak Kau Hui-hui melancarkan pukulan dahsyat Siang jong-ciang dikala Loh Bong-bu melompat berkelit, dia berkata dengan menyeringai.

   "Siang Cin, kalau Kau-longo ingin pergi, kalianpun tak kuasa merintangi."

   "Sudah tentu,"

   Siang Cin mengedip mata.

   "tapi kau boleh coba."

   Cap-kau-hwi-ce Loh Bong-bu menghardik lantang, golok sabit membabat ke kanan-kiri lalu membacok naik-turun, begitu gencar dan ganas rangsakannya, hawa di sekitar gelanggang seperti berpusar menimbulkan angin lesus, denging suara yang timbul dari sambaran goloknya laksana tangisan setan.

   Inilah jurus ilmu golok Tan-hun-liok-hoan ( enam gelang mega mendung ) dari Liong-hun-cap-sa-sek yang lihay.

   Dengan gelak tertawa Kau Hui-hui melompat naik turun, serunya.

   "Loh Bong-bu, beginilah baru memenuhi seleraku."

   Mendadak golok menusuk lurus kedepan, pada hal bagian atas tubuh Loh Bong-bu doyong ke belakang, namun dalam gerakan singkat itu, entah bagaimana tahu2 tiga benda sebesar kepalan tangan, yaitu bintang segi enam kemilau biru laksana kilat melesat mengincar leher perut dan selangkang Kau Hui hui, baru saja ketiga bintang terbang ini berkelebat di udara, kembali ia menimpuk lagi tiga bintang terbang dan mengincar kanan kiri kepala musuh.

   "Heit,"

   Tiba2 Kau Hui-hui melompat ke atas, badannya yang besar bagai gentong air itu melayang ke samping, kedua tangannya berbareng memukul, di tengah samberan bintang2 yang lebat, dengan golok sabit tergigit di mulut Loh Bong-bu ayun tangan ber-ulang2, tiga belas biji bintang terbang memancarkan cahaya biru berhamburan seperti hujan.

   Kau Hui-hui yang terapung di udara tampak bergetar sekali, tiba2 dia menggeliat, bagai anak panah terlepas dari busurnya tubuhnya melenting beberapa tombak jauhnya.

   130 Siang Cin menyeringai, serunya.

   "Kau-longo, kau takkan bisa lolos."

   Di tengah kumandang suaranya, Siang Cin terus menubruk ke arah Kau Hui hui.

   Kau Hui-hui masih berusaha menahan tubuhnya di udara, sekilas tampak mukanya telah berubah pucat menghijau, kedua matanya melotot berdarah ke arah Siang Cin.

   sekali menyendal lengan kanan, seutas sabuk sutera tiba2 melecut kencang ke depan, sabuk ini ternyata berisi terbagi beberapa ruas yang diikat kencang, laksana ular hendak membelit tubuh Siang Cin.

   Siang Cin tertawa ejek, telapak tangannya berkelebat dengan kecepatan tinggi, berbareng dia miringkan tubuh ke kanan.

   Sabuk itu tiba2 berbunyi bagai ledakan, kabut putih seketika berhamburan di udara, begitu dihembus angin seketika melebar bagai kabut tebal tapi bersamaan dengan itu terdengar pula rintihan tertahan, meski lirih masihi sempat didengar Siang Cin, lekas dia menahan napas serta berteriak.

   "lekas menyingkir."

   Dengan bergerak melawan arah angin Siang Cin melambung setingginya, dari tempat ketinggian ia menyapu pandang sekelilingnya, orang Bu-siang pay di bawah tampak lari pontang panting menyingkirkan diri, semua menutup mulut dan hidung sementara Loh Bong-bu berusaha mengitari kabut dan mengudak musuh.

   Di tengah udara Siang Cin mendatarkan tubuh dan berputar lambat2 dengan kedua tangan terpentang, sementara kedua kaki memancal, tubuhnya yang kurus seketika meluncur bagai anak panah, matanya tidak lepas mengawasi keadaan semak2 sekitarnya, tapi setelah bubuk kapur putih sirna tertiup angin, kecuali rumput yang bergontai tertiup angin, mana lagi ada jejak musuh.

   Dengan ringan Siang Cin melayang turun, berdiri diam dan pasang kuping mendengarkan dengan seksama, arus sungai di kejauhan terdengar gemercik, suasana sunyi senyap, entah di mana si hidung merah menyembunyikan diri.

   Terlihat Loh Bong-bu lari mendatangi, katanya dengan napas memburu.

   "Siang-heng, kau melihat dia? Siang Cin menggeleng, katanya.

   "Mungkin melarikan diri dengan menyelam kalau Kau Hui hui tidak jaga gengsi, tentu dia sudah selulup dan berenang ke tengah sungai"

   
Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Loh Bong-bu mengawasi air keruh dan berbau busuk, kalau harus lari dengan menyelam di air seperti ini, wah, cukup nekat juga dia ...."

   "Demi menyelamatkan jiwa sudah tentu Kau Hui-hui tidak peduli air kotor atau berbau,"

   Ucap Siang Cin tertawa.

   "Hahaha,"

   Loh Bong bu bergelak tertawa, katanya.

   "Siang heng, menurut pandanganku keparat tak berhidung itu agaknya terluka."

   Siang Cin manggut2, katanya.

   "Betul, dia terkena tiga biji bintang terbangmu. Loh-heng, kepandaian menimpuk senjata rahasia yang kau yakinkan sungguh hebat dan dapat dikatakan sebagai ahli."

   Lekas Loh Bong-bu goyang tangan, katanya.

   "Mana, permainan begini mana dapat disebut sebagai ahli? Dihadapan Siang-heng mana berani kuterima pujian yang berlebihan."

   "Loh-heng jangan merendahkan diri sendiri, sekarang silakan Loh-heng menoleh ke belakang ....... Dengan ragu2 Loh Bong bu menoleh, seketika berubah air mukanya. Ternyata tempat pertempuran di mana tadi Kau Hui-hui menebar bubuk kapur putih, tetumbuhan rumput telah layu menguning, permukaan air yang keruh itu dilapisi kapur putih yang ikut terombang-ambing oleh riak air, di antara kapur putih yang terapung itu tampak bangkai ikan dan udang. Hanya sekejap saja kadar racan bubuk putih itu telah memperlihatkan kekuatannya yang ganas.

   "Keji amat ...."

   Loh Bong-bu mendesis dengan mengertak gigi. 131 Siang Cin menepuk pundaknya, katanya.

   "Tak usah marah, Loh-heng, beginilah permusuhan dan pertempuran, sesungguhnya apa yang kita lakukan tadi juga tidak kalah ganas daripada musuh."

   Menyarungkan golok sabitnya Loh Bong-bu berkata.

   

Pengelana Rimba Persilatan -- Huang Yi Si Pedang Kilat -- Gan K L Misteri Bayangan Setan -- Khu Lung

Cari Blog Ini