Warok Ponorogo 3 Berburu Ilmu Kanuragan Bagian 2
"An...anu. Jeng. Maafkan saya, Jeng. Bukan karena apa. Atau jangan disalah mengerti. Anu. Beg...begi. Begini, Jeng. Saya ini sebagai orang Ponorogo. Masyarakat di daerahku memberiku gelar sebagai warok. Orang-orang di kampungku menamainya demikian. Sudah menjadi kebiasaan bagi para warok yang ingin memegang ilmu kanuragannya. Ia hanus menjauhi berhubungan intim dengan perempuan. Harus hidup membujang sepanjang hidupnya. Caranya para warok itu mengambil anak laki-laki untuk dijadikan 'gemblakan sebagai pengganti isteri. Nah, persoalan ini yang menjadikan kesulitan bagi saya sebagai warok. Tidak mungkin untuk mengambil isteri Jeng Wiji, walaupun betapa sayang dan cinta saya kepada Jeng Wiji"
"Ohhh. Begitu. Memang benar begitu, Kangmas. Jadi Kangmas Wulung tidak akan kawin selamanya"
"Ehhh.begitulah kira-kira".
"Kalau demikian, maafkan Wiji lo, Kangmas. Wiji tidak tahu tata krama ini semua bagi Warok Ponorogo"
"Tidak mengapa. Saya senang kok mendengarkan ucapan Jeng Wiji itu tadi. Saya juga ikut lega. Akan tetapi yah itu tadi. Halangannya ada. Yah, kalau ingin tahu banyak tentang kehidupan para warok Ponorogo mengenai soal kehidupannya yang menyangkut hubungan dengan perempuan ini, tolong tanyakan sendiri kepada Eyang Guru, beliau sangat tahu banyak mengenai adat kebiasaan-kebiasaan hidup orang-orang Ponorogo yang sudah menyandang gelar warok itu,"
Kata Warok Wulunggeni yang sebenarnya dalam hatinya ia pun trenyuh harus berkata bohong kalau ia belum mempunyai isteri.
Apalagi ia sebenarnya temasuk warok yang beraliran ilmu putih, berpikiran lebih maju, bukan termasuk warok yang menganut pendirian hidup membujang, ia termasuk pemegang ilmu kedigdayaan yang tidak mengharuskan menjauhi hidup berumah tangga, atau ia tidak termasuk warok yang memiliki ilmu harus memelihara 'gemblakan.
Ia adalah seorang warok yang nglakoni urip sarwo opo enekke'.
Wajar sebagai manusia yang membutuhkan makan dan minum, membutuhkan isteri, dan mempunyai anak sebagaimana umumnya manusia biasa.
Tetapi apa mau dikata.
Cara harus mengatakan sedikit berbohong demi kebaikan itu, inilah salah satu kelemahan sifat orang Jawa.
Lebih baik mengambil sikap berbohong demi untuk menyenangkan hati orang lain.
Mengenakan bagi telinga orang yang mendengarkannya.
Orang Jawa itu paling sulit untuk berkata menyakitkan hati orang lain, maka untuk tidak menyakitkan hati orang lain lebih baik berkata bohong daripada harus mengatakan yang sesungguhnya tetapi tidak enak didengar.
Hal ini tercernmin dalam praktek hubungan persaudaraan maupun dalam pergaulan sehari-hari, baik di lingkungan masyarakat luas maupun di lingkungan kekeluargaan dekat.
"Kalau demikian, maafkan Wiji ya Kangmas. Wiji ini orang bodoh. Tidak tahu adat sopan santun, dan berani lancang mendahului mengatakan apa yang terlintas dalam benak".
"Tidak usah dipikirkan Jeng. Semua itu pasti akan ada kebaikannya. Niat yang baik tentu akan menghasilkan kebaikan pula"
"Kalau Kangmas Wulung sudah selesai urusan di Ponorogo, kembali lagi kemari yah Kangmas"
"Tentu. Tentu, saya harus kembali lagi kemari. Saya sangat berhutang budi kepada semua penghuni padepokan ini. Terutama nanti tentu sangat rindu ketemu Jeng Wiji"
"Benar ini, Kangmas"
"Benar"
"Yah kalau begitu hati saya sudah lega"
"Sekarang, saya mohon pamit dulu yah, Jeng"
"Yah, Kangmas. Selamat jalan yah Kangmas Wulung. Sekali lagi jangan lupa sama Wiji yah".
"Yah, tentu. Selamat tinggal Jeng Wiji"
"Selamat jalan, Kangmas Wulung"
Kemudian Warok Wulunggeni menaiki kudanya diiringi lambaian tangan halus Sri Wiji Darmini perempuan cantik jelita yang halus budi itu nampak tersenyum manis melepaskan kepergian Warok Wulunggeni walaupun diiringi tetesan air matanya yang terus mengalir sejak tadi itu.
******
PERJALANAN PULANG KAMPUNG.
SETELAH menempuh perjalanan selama sehari semalam, Warok Wulunggeni sampai di daerah perbatasan antara Kadipaten Blitar dan Kadipaten Tulungagung.
Di daerah ini, Warok Wulunggeni sengaja menyempatkan diri untuk mampir menengok ke tempat persinggahan kenalan lamanya, Tanggorwereng.
Akan tetapi Warok Wulunggeni tidak dapat menemui Tanggorwereng sahabat baiknya itu.
Rumah Tanggorwereng kelihatan kosong, dan sudah berganti penghuni baru.
Di tempat ini, Warok Wulunggeni mendapat kabar dari orangorang bekas tetangga Tanggorwereng di situ, bahwa Tanggorwereng sudah lama pindah.
Bahkan menurut kabar terakhir, keadaan Tanggorwereng sekarang sudah jauh berubah daripada dulu pertama kali dikenalnya.
Tanggorwereng kini telah hidup sejahtera di Dukuh Sawo yang merupakan deerah perbatasan antara Kadipaten Ponorogo dan Kadipaten Trenggalek.
Menurut pemuturan para bekas tetangganya itu, kini Tanggorwereng sudah hidup berumah tangga, sudah kawin mendapatkan isteri dari orang Dukuh Sawo itu.
Setelah memperoleh keterangan perihal kehidupan baru Tanggorwereng kenalan lamanya itu, Warok Wulunggeni kemudian melanjutkan perjalanannya mengarah ke barat.
Ia terus menuju ke Kadipaten Trenggalek untuk menjumpai kenalan lamanya yang lain, Raden Mas Poerboyo, pengusaha beken di kota Kadipaten Trenggalek itu.
Warok Wulunggeni singgah beberapa saat di rumah teman kenalan lamanya Raden Mas Poerboyo di Trenggalek ini, akan tetapi sayang ternyata beliau juga tidak ada di rumah, sehingga Warok Wulunggeni tidak bisa ketemu.
Hanya bertemu dengan para penjaga numahnya.
Katanya, menurut orang yang menjaga rumah itu, juragannya Raden Mas Poerboyo sekeluarga sedang bepergian ke Kadipaten Tulungagung.
Setelah dijamu makan dan minum oleh para pelayan Raden Mas Poerboyo yang sudah sangat mengenal baik Warok Wulunggeni selama dahulu pernah tinggal di sini, maka kemudian Warok Wulunggeni berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya.
Sebelumnya ia tidak lupa menitipkan salam kepada kenalan lamanya itu yang disampaikan lewat para pengawal rumahnya itu
"Tolong, sampaikan salam hangat saya kepada juragan Raden Mas Poerboyo,"
Pesan Warok Wulunggeni.
"Apakah Juragan Wulung tidak sebaiknya menginap saja di sini, sambil istirahat dan menunggu kedatangan juragan Poerboyo,"
Kata salah seorang penjaga rumah yang berperawakan tinggi besar berwarna kulit hitam kelam itu.
Nampaknya kini Raden Mas Poerboyo sudah mulai memperbitungkan penjagaan diri dengan memasang para pengawalnya sejak peristiwa naib yang hampir membuat celaka dirinya lima tahun yang telah silam itu.
Kini terlihat banyak penjaga rumahnya, tidak seperti dahulu ketika Warok Wulunggeni beberapa saat tinggal di sini, masih nampak lenggang dari penjagaan rumahnya.
"Terima kasih. Di. Aku rasa lain kali saja. Soalnya perjalananku masih jauh. Aku pengin buru-buru menengok rumah dulu di Ponorogo. Sudah lima tahun ini aku meninggalkan keluargaku. Lain waktu aku pengin berkunjung ke mari lagi. Salamku saja, tolong disampaikan kepada Juragan Poerboyo. Dan juga tolong sampaikan mobon maaf saya sebesar-besarnya lantaran tidak bisa menunggu kedatangan beliau. Saya hanrus buru-buru kembali pulang ke Ponorogo."
"Baik kalau demikian Juragan. Akan kami sampaikan salam Juragan Wulung kepada Juragan Poerboyo"
"Yah, terima kasih. Sampai bertemu lagi ya, Di."
Kemudian Warok Wulunggeni bersiap dini akan menaiki kudanya yang ditambatkan di bawah pohon mahoni di halaman rumah besar itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar ada suara perempuan memanggilnya dari dalam rumah.
"Juragan. Juragan Wulung. Mobon tunggu sebentar dahulu," teriak seorang perempuan setengah baya itu yang ternyata Mbok Inah, seorang pembantu setia Juragan Raden Mas Poerboyo yang bertugas menyediakan masakan dan menghidangkannya kepada para tamunya. Selama ini ia sangat mengenal masakan kesukaan Warok Wulunggeni ketika dulu Warok Wulunggeni pernah tinggal beberapa bulan di rumah besar ini.
"Maaf Juragan, ini ada sekedar bingkisan untuk bekal Juragan di perjalanan,"
Kata Mbok Inah sambil menyerahkan bingkisan besar kepada Warok Wulunggeni yang menerimanya dengan suka cita.
Memang bekal makanan seperti demikian ini yang saat seperti sekarang ini sangat diperlukan oleh Warok Wulunggeni untuk bekal menempuh perjalanan selanjutnya.
"Wah repot-repot amat Mbok Inah.
Terimakasih.
Terima kasih sekali yah, Mbok Inah. Maafkan saya, tidak sempat bawa oleh-oleh buat Mbok Inah, malahan saya dibawakan bingkisan begini besarrnya,"
Kata Warok Wulunggeni sambil menerima bingkisan besar yang diserahkan oleh Mbok Inah itu, mungkin berisi makanan-makanan kering. Mbok Inah nampak tersenyum-senyum gembira melihat Warok Wulunggeni mau menerima pemberian bingkisan makanan itu.
"Lho, Mbok Inah, bagaimana keadaannya juragan ayu Ajeng Sarimbi, apa baik-baik saja,"
Tanya Warok Wulunggeni menanyakan keselamatan isteri Raden Mas Poerboyo yang dulu bersama Mbok Inah sering yang selalu rajin menyediakan masakan makanan yang disukainya selama Warok Wulunggeni tinggal di numah ini.
"Baik-baik saja juragan. Malahan sekarang Juragan Ayu sedang hamil tua, sudah kelihatan besar perutnya. Selama lima tahun sepeninggal Juragan Wulung, Juragan Ayu sudah ber tambah lagi putranya tiga."
"Ohhh, begitu. Kalau demikian, tolong ini ada racikan jamu godogan. Saya membawa bahan-bahan dedaunan. Sangat baik untuk menjaga kesehatan perempuan yang sedang hamil tua. Dan biasanya kalau rajin minum jamu racikan ini, sewaktu melahirkan nanti tidak begitu terasa sakit. Sebentar Mbok Inah, aku akan ambilkan di kampluk pelana kudaku itu."
Tidak berapa lama Warok Wulunggeni telah kembali dengan membawakan sebungkus racikan dedaunan yang dapat dijadikan sebagai bahan ramuan jamu khusus untuk perempuan hamil tua.
"Ini Mbok, tolong disampaikan kepada Juragan Ayu. Tiap hari di minum dengan cara diseduh dengan air hangat. Dan ini semua sudah ada catatan untuk cara meramunya. Tinggal mengikuti petunjuk dalam catatan-catatan yang aku tulis ini."
"Terima kasih, Juragan Wulung. Pasti Juragan Ayu senang menerima ini."
"Yah, sudah aku pamit dulu yah Mbok. Sekali lagi sampaikan salamku kepada Juragan Poerboyo dan Juragan Ayu. Maafkan saya tidak sempat menunggu kedatangan beliau berdua. Lain waktu saja aku akan sempatkan berkunjung kemari lagi. Yah sudah Mbok, aku pamit."
Tidak berapa lama kemudian, nampak kuda Warok Wulunggeni itu telah meninggalkan halaman yang luas rumah gedongan milik juragan Raden Mas Poerboyo itu.
Warok Wulunggeni kemudian melanjutkan menempuh perjalanannya menuju ke arah barat.
Naik turun bukit.
Memasuki hutan lebat belukar yang sepi dari jamahan orang.
Kadang kadang harus menerjang jurang yang curam dengan tujuan mengarah ke daerah Dukuh Sawo.
Ia bermaksud perlu menengok terlebih dahulu kenalan lamanya si Tanggorwereng itu yang dikabarkan telah pindah alamat, kini telah hidup berumah tangga di daerah Dukuh Sawo itu.
Setelah menempuh perjalanan panjang, Warok Wulunggemi baru dapat memasuki Dukuh Sawo.
Ia bertanya kepada beberapa orang, sampai berkali-kali tanya kepada tiap orang yang dijumpai di jalan.
Rupanya nama Tanggorwereng kini sudah menjadi orang beken di daerah Sawo ini.
"mau ketemu Warok Tanggorwereng."
"Bapak rumahnya di sebelah sana.
Itu yang berwarna hijau lumut, rumah beliau,"
Kata orang tua penjual sapu lidi di pojok jalan itu dengan mantab ketika ditemui Warok Wulunggeni di belokan jalan itu .Pikir Warok Wulunggeni
"Sejak kapan si bedebah Tanggorwereng itu dapat menyandang gelar kehormatan sebagai Warok.
Barangkali telah terjadi perubahan besar pada diri Tanggorwereng selama lima tahun belakangan ini.
Sesampainya di halaman rumah besar yang ditunjukkan orang tua tadi, tiba-tiba seorang laki-laki bertubuh kekar menghampirinya dengan menunjukkan sikap keramahannya. Rupanya orang itu sudah lama mengenal Warok Wulunggeni sebelum nya.
Laki-laki itu yang selama ini dikenal bernama Sanggrok Dempal, sambil tersenyum lebar menyambutnya dengan ramah kedatangan Warok Wulunggeni ke rumah besar ini
"Kangmas Wulung, sudah lama baru kelihatan sekarang,"
Sapa orang itu yang kemudian menjabat tangan Warok Wulunggeni.
"Iyah. Bagaimana kabar kalinn, apa semua selamat, sehat walafiat,"
Sambut Warok Wulunggeni sambil menyalami laki Laki bertubuh kekar itu.
"Berkat doa, Kangmas saja. Kita semua di sini dalam keadaan sehat walafiat. Mari silahkan masuk, Kangmas,"
Kata laki-laki kekar itu menyilahkan Warok Wulunggeni memasuki rumah besar itu.
Warok Ponorogo 3 Berburu Ilmu Kanuragan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lho, ini rumah siapa. Apakah ini rumah Dimas Sanggrok, atau rumah Dimas Wereng," tanya Warok Wulunggeni setelah duduk di kursi besar di pendopo rumah besar yang nampak asri itu.
"Ini rumah Kangmas Wereng."
"Sekarang di mana beliau."
"Beliau sedang ke Ponorogo. Tetapi, sssttt, Kangmas, jangan heran dulu yah,"
Kata laki-laki kekar itu sambil bicaranya dipelankan membisikan sesuatu ke telinga Warok Wulunggeni.
"Sekarang Kangmas Wereng sudah bergelar sebagai Warok Tanggorwereng. Ia kawin dapat anaknya Pak Lurah Sawo. Beliau sekarang punya usaha dagang mondar-mandir dari Sawo ke Ponorogo, atau kadangkala pergi ke Trenggalek. Bahkan sampai ke Tulunggagung dan Blitar,"
Kata laki-laki yang dipanggil Sanggrok Dempal itu.
"Wah. Luar biasa, Bagus sekali itu. Suatu kemajuan besar,"
Sambut Warok Wulunggeni dengan menunjukkan muka gembira.
"Tetapi, Kangmas Wulung. Ini ada rahasianya. Mau menjaga rahasia, Kangmas Wulung. Dan juga ada seriusnya. Ada ceritera di balik berita...ha..ha..."
"Wah apa ini. Kelihatannya makin menarik. Kok pakai rahasia segala,"
Kata Warok Wulunggeni dengan mimik muka yang jenaka.
"Memang ini masalah serius, dan juga mengandung canda ria.. ha. ha."
"Apa itu. Serius dan bercanda,"
Tanya Warok Wulunggeni dengan tersenyum-senyum melihat tingkah Sanggrok Dempal yang kadang lucu itu
"Apakah Kangmas Wulung, berani berjanji untuk merahasiakan sesuatu.
Kalau berani berjanji untuk merahasiakan, baru akan aku beritahu sesuatu yang penting."
"Yah. Aku janji menjaga rahasia. Ada apa to sebenarnya,"
Kata Warok Wulunggeni dengan muka berubah dibuat serius.
"Kangmas, jangan ngomong-ngomong yah. Benar ini. Sebenarnya banyak orang di daerah sini yang pada tidak tahu kalau sesungguhnya Kangmas Tanggorwereng, dan kami ini semua dulu bekas begal."
"Ohhh, begitu,"
Sabut Warok Wulunggeni sambil mengangguk-anggukan kepalanya
"Benar, Kangmas. Ini rahasia antar kita saja. Temasuk isteri Kangmas Tanggorwereng, tidak tahu-menahu latar belakang kita semua ini."
"Ohhhh. Begitu. Ini yang dikatakan rahasia itu tadi."
"Tya. Kangmas."
"Baiklah. Aku akan merahasiakan rapat-rapat."
"Kalau tidak dirahasiakan akan kasihan Kangmas Wereng."
"Iyah, iyah, aku mengerti. Aku tidak akan ngomong apa-apa kepada siapa pun. Aku janji ini."
"Nah ini yang kami harapkan, Kangmas."
Kata laki-laki anak buah Warok Tanggorwereng itu sambil memukul keras-keras pundak Warok Wulunggeni yang kekar itu sebagai tanda keakraban mereka.
"Sebenarnya. Aku juga ikut senang mendengar perubahan kalian ini semua. Lalu kau sendiri, sekarang tinggal dimana, dan apa pekerjaanmu, Dimas Sanggrok,"
Kata Warok Wulunggeni
"Aku dan semua kawan-kawan lama masih tetap membantu Kangmas Wereng..."
Tiba-tiba laki-laki kekar itu telunjuk tangannya menutup mulutnya sambil matanya melirik ke kiri dan ke kanan, dan kemudian melanjutkan kata-katanya
"Akan tetapi, Kangmas, Sseeettttt,"
Sambil membisikan ke telinga Warok Wulunggeni.
"Dengar Kangmas Wulung. Sebenarnya pekerjaan kami yang mbegal dan merampok itu sampai sekarang masih tetap berjalan. Hanya bedanya, pekerjaan itu tidak beroperasi di daerah sini. Kita beroperasi di daerah Ponorogo selatan, barat, utara, dan luar daerah lainnya. Semuanya berkedok dagang. Tetapi mohon hal ini tetap Kangmas Wulung rahasiakan juga."
"Iyah, iyah. Aku akan jaga rahasia kalian ini semua. Sepertinya kok serba rahasia begitu,"
Kata Warok Wulunggeni manggut manggut dengan muka berseri-seri kelihatan ia geli mendengar ceritera-ceritera yang semuanya serba mengandung rahasia itu.
"Kalau Dimas Brendel Gepuk apakah juga masih ikut Dimas Wereng."
"Masih. Ia sejak dulu adalah tangan kanan Kangmas Wereng. Kemana saja Kangmas Wereng pergi, Kangmas Brendel selalu ada di sampingnya "
"Wah hebat juga. Kalau Dimas Sanggrok sendiri posisinya di mana."
"Saya urusan bagian belakang. Mengurus keamanan rumah ini menjadi tanggung jawab saya, Kangmas."
"Tetapi kan malah enak."
"Yah, enaknya jarang ikut berkelahi. Kalau Kangmas Brendel Gepuk selalu menangani urusan soal berkelahi. Malahan sebelum Kangmas Wereng yang maju, Kangmas Breadel Gepuk yang harus maju dulu, baru kemudian diikuti yang lain, Kalau kalah kuat menghadapi lawan, baru terakhir sekali Kangmas Wereng yang maju. Saya bagian paling akhir. Itu aturan di gerombolan kita, Kangmas.. .ha.. ha.."
"Bagus. Bagus itu ada aturannya segala,"
Jawab Warok Wulunggeni yang diringi ketawa Sanggrok Dempal lantaran merasa mondapat pujian dari Warok Wulunggeni sebagai orang sakti yang amat disegani itu. Tidak berapalama kemudian, dari balik pintu tengah rumah itu tiba-tiba muncul seorang perempuan yang berparas cantik jelita.
Dilihat dari raut muka wajahnya masih kelihatan berumur muda belia.
Mengenakan kebaya ketat berwarma putih, sampai terlihat lekuk-lekuk tubuhnya, dadanya nampak menonjol, perutnya membumbung besar kelihatan sedang bunting tua.
Jalannya walaupun nampak gesit tetapi agak terkekah kekah menahan beban di perutnya yang melembung besar itu.
"Siapa tamunya, Kangmas Sanggrok,"
Tanya perempuan muda itu sambil tersenyum ramah kepada Warok Wulunggeni, menanyakan kepada laki-laki kekar yang bernama Sanggrok Dempal, anak buah Warok Tanggorwereng itu, sambil kepalanya mengangguk memberikan homat kepada Warok Wulunggeni
"Oh, beliau ini sahabaf Kangmas Tanggorwereng, Mbakyu.
Bernama Kangmas Warok Walunggeni asal dari Ponorogo.
Dan perkenalkan Kangmas Wulung, beliau ini isteri Kakangmas Tanggorwereng bernama Mbakyu Warti."
"Ohh, mobon maaf, Kangmas Wulung. Kangmas Wereng sudah sering berceritera banyak tentang Kangmas Wulung. Perkenalkan nama saya Warti."
"Nama saya Wulunggeni,"
Kata Warok Wulunggeni sambil menyambut uluran tangan perempuan itu. Menyalaminya dengan baik sambil berdiri dan membungkuk membalas memberi bormat juga untuk memperkenalkan dirinya.
"Asal saya sebenarnya dari Blitar tetapi sudah lama pindah ke Dukuh Sawo sini ini," lanjut Warti, isteri Tanggorwereng itu setelah mengambil tempat duduk di sebelah Sanggrok Dempal yang mendengarnya sambil tersenyum-senyum ramah pula.
"Sejak ibu saya kawin lagi dengan Pak Martojo sebagai lurah di Sawo di sini ini, maka saya ikut pindah kemari menjadi penduduk di Dukuh Sawo ini. Ayah kandung saya sudah lama meninggal di Blitar. Jadi Pak Lurah Sawo ini ayah tiri saya lho, Kangmas Wulung,"
Kata perempuan muda isteri Warok Tanggorwereng itu berceritera meriah mengenai asal-usul dirinya.
"Ohhh, begitu,"
Kata Warok Wulunggeni sambil mengangguk anggukan kepalanya
"Kangmas Wulung, rencananya akan tinggal lama di sini to.
Tentunya sangat lelah dari perjalanan jauh.
Apakah tidak sebaiknya, Kangmas Wulung istirahat dulu di kamar sambil menunggu kedatangan Kangmas Wereng.
lyah begitu kan, Kangmas Wulung."
"Ohhh. Maaf, Jeng Warti. Jangan repot-repot. Justeru, sehanusnya saya ingin buru-buru segera sampai ke rumah. Jadi tolong saja sampaikan salam saya kepada Dimas Wereng. Saya hanya ingin singgah sebentar untuk silaturahmi, sambil berbagi keselamatan bersama keluarga di sini."
"Kenapa buru-buru, Kangmas. Apakah tidak sebaiknya menunggu dulu sampai Kangmas Wereng datang."
"Lain kali saja, Jeng. Saya sekarang dalam keadaan terburu buru. Pengin segera menengok keadaan keluarga di rumah."
"Oh, begitu."
"Yah. Maafkan saja."
"Sebentar Kangmas Wulung. Minum dulu yah. Saya akan ambilkan minum dulu. Maaf sebentar,"
Kata perempuan, isteri Warok Tanggorwereng yang perutnya sedang membuncit besar itu, ia segera bergegas ke belakang, gerakannya nampak masih cekatan.
Warok Wulunggeni segera dapat membaca melihat cara gerak perempuan muda itu, ia sebenarnya juga memiliki ilmu isian kanuragan yang lumayan.
Perempuan muda ini tentu juga tekun mengisi kemampuan ilmu kanuragannya.
Tidak berapa lama lagi Jeng Warti itu telah kembali lagi dengan membawa baki dan cangkir-cangkir berisi air putih, kopi panas, dan air degan kelapa muda, juga sajian kueh-kueh hangat yang nampak masih baru digoreng.
"Silahkan, Kangmas Wulung. Pilih sendiri Mau minum wedang kopi yang hangat, atau air dingin, atau degan kelapa Juga kueh-kuehnya. Semuanya bikinan sendiri. Maaf lho Kangmas, adanya hanya ini,"
Kata perempuan muda itu dengan senyum keramahannya
"Terima kasih. Terima kasih, Jeng Warti,"
Kata Warok Wulunggeni sambil mengambil cangkir yang berisi air putih dingin yang baru saja dituangkan dari 'kendi' itu agar menjadi segar ditenggorokan Warok Wulunggeni yang kering baru menempuh perjalanan panjang di panas terik matahari sepanjang hari itu
"Nampaknya waktu kelahiran putranya sudah dekat to, Jeng Warti.
Kok perutnya sudah kelihatan besar sekali,"
Kata Warok Wulunggeni memecahkan kesunyian
"Iyah, Kangmas, mungkin beberapa hari ini. Menurut Mbok Dukun Bayi, tidak lebih dari 'sepasar', satu minggu lagi diperkirakan akan lahir,"
Kata perempuan cantik itu sambil mengelus-elus perutnya yang buncit itu
"Ini calon putra yang nomor ke berapa, Jeng Warti."
"Baru pertama kali ini kok, Kangmas. Jadi belum berpengalaman melahirkan. Aduh beratnya membawa bayi dalam perut ini. Kalau mau perlu mondar-mandir kesana kemari, sepertinya membawa beban berat begini."
"Yah. Yah, tetapi kan senang juga sebagai calon ibu to."
"Yah, memang selain beban juga menyenangkan.. hi...hi,"
Kata Warti itu sambil tertawa kecil. Warok Wulunggeni dan Sanggrok Dempal hanya tersenyum-senyum saja mendengarkan. Mereka nampak ikut gembira.
"Kalau sudah lahir tolong dikasih kabar, yah. Nanti mudah-mudahan isteri saya juga biar bisa ikut menengok kemari. Kalau belum sempat berkenalan kemari, sebelumnya kami sekeluarga ikut mengucapkan selamat mudah-mudahan bayinya sehat walafiat."
"Atas doa Kangmas Wulung, mudah-mudahan semuanya selamat."
"Tentu selamat. Wong bapak dan ibunya sehat-sehat begini."
Warok Ponorogo 3 Berburu Ilmu Kanuragan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketiga orang itu kemudian terdengar tertawa ceria.
Sanggrok Dempal pun ikut tertawa mengikuti tawa lepas Warok Wulunggeni
"Saya ada beberapa racikan dedaunan yang bisa Jeng Warti minum tiap hari menjelang kelahiran bayi.
Khasiatnya waktu melahirkan rasa sakitnya akan berkurang, bahkan kalau kebetulan beruntung akan bisa menghilangkan rasa sakit sama sekali tergantung keadaan masing-masing ibunya.
Sebentar saya ambilkan."
Kata Warok Wulunggeni sambil merogoh kampluknya itu dan mengeluarkan beberapa bungkus, kemudian di pilih-pilih dan yang satu diserahkan kepada Jeng Warti itu
"Kemarin lusa ketika saya mampir kepada kenalan lama di Trenggalek, saya juga menyerahkan bingkisan ini.
Menurut para pembantunya, katanya isteri kenalan saya Raden Mas Poerboyo yang isterinya bernama Ajeng Sarimbi itu juga sedang hamil tua.
Barangkali Jeng Warti kenal nama-nama itu. Jadi ini hanya tinggal sedikit Jeng.
Tetapi, Jeng Warti juga dapat meramu sendiri.
Ini ada catatan soal jamu-jamu itu.
Jeng Warti bisa membuat sendiri kalau racikan daun-daun ini sudah habis."
Kata Warok Wulunggeni sambil menyerahkan tulisan berisi cara adonan membuat jamu bagi perempuan hamil tua. Jeng Warti menerima catatan cara membuat jamu itu dengan suka cita
"Terima kasih banyak Iho, Kangmas Wulung.
Untung Kang mas Wulung sempat singgah kemari.
Jadi ada pengetahuan baru soal jamu-jamu ini bagi saya.'
"Nah, baiklah, Jeng Warti. Karena hari sudah makindekat sore.
Saya mohon diri untuk pamit dulu.
Sekali lagi, tolong sampai kan salam saya buat Dimas Wereng.
Kabar selamat dari saya. Demikian juga saya titip kabar bahwa saya telah selesai menempuh pelajaran Eyang Guru Lodaya."
"Telah selama hampir lima tahun ini berguru di Lodaya, dan sudah dinyatakan lulus oleh Eyang Lodaya.
Ini semua juga atas berkat jasa pertolongan Dimas Wereng yang telah menunjukkan jalan ke arah kediaman eyangnya Guru di Padepokan Lodaya itu,"
Jelas Warok Wulunggeni dengan penuh ramah.
"Wah hebat, Kangmas Wulung ini, masih juga mau mengejar ilmu terus,"
Kata perempuan yang bernama Warti itu nampak ikut menyambutnya dengan gembira.
"Yah, karena supaya ada kegairahan hidup saja kok Jeng. Nah, saya mau mohon pamit dahulu agar tidak kemalaman di jalan."
"Wah, jadi buru-buru amat... Sebentar Kangmas. Tunggu sebentar saja,"
Kata perempuan isteri Tanggorwereng itu, ia buru-buru pergi ke belakang. Tidak berapa lama, ia telah kembali lagi dengan membawa bungkusan besar.
"Kangmas, maaf tidak ada apa-apa. Ini hanya untuk bekal di jalan, dan sekedar oleh-oleh untuk Mbakyu di numah"
"Wah, repot-repot amat. Terima kasih banyak kalan begitu Jeng Warti, dan sekali lagi salam buat Dimas Wereng. Dan kamu, Dimas Sanggrok, sempatkan main-main ke rumahku yah kalau lewat Dukuh Dawuan."
"Yah, Kangmas Wulung. Aku akan cari kesempatan baik untuk sowan ke rumah Kangmas di Dawuan nanti."
"Baik, aku tunggu. Terima kasih. Sekarang, saya mohon pamit dulu.
"Selamat jalan, Kangmas Wulung."
Setelah diantar oleh Sanggrok Dempal dan Jeng Warti isteri Warok Tanggorwereng itu, sampai di halaman depan rumah, Warok Wulunggeni terus memacu kudanya pada siang hari yang hampir masuk sore hari itu. Warok Wulunggeni melaju ke arah barat. Dalam menempuh perjalanan ini agaknya Warok Wulunggeni, ternyata tidak ingin buru-buru terus pulang ke numahnya di Dukuh Dawuan di daerah Ponorogo selatan, akan tetapi ia tiba-tiba ingat pada salah seorang, sehingga ia menyempatkan diri untuk mampir menengok kenalan lama lainnya di Dukuh Sirah Keteng.
Di dukuh Sirah Keteng ini, Warok Wulunggeni bahkan sempat bermalam sampai dua malam lantaran ketika ia mau buru-buru pulang, dicegah oleh kenalan lamanya yang bernama Bardjo Genggem, seorang petani di Dukuh ini yang meminta tolong kepada Warok Wulunggeni agar mau tinggal lama di kampungnya itu. Banyak tetangga Bardjo Genggem, bahkan Pak Lurah Dukuh Sirah Keteng itu sendiri yang menyempatkan diri datang ke rumah Bardjo Genggem demi mendengar tamunya yang datang bermalam di rumah Bardjo Genggem itu adaiah Warok Wulunggeni. Mereka dengan suka cita berkenalan dengan Warok Wulunggeni yang nampak gagah perkasa ini sebagai orang yang diharapkan dapat membantu penduduk Dukuh Sirah Keteng itu dari gangguan keamanan. Dari penuturan orang-orang Dukuh ini yang disampaikan oleh seorang penduduk kepada Warok Wulunggeni ternyata sedang ada masalah serius yang menyangkut keamanan di daerah ini. Sedang terjangkit merajalela banyak kejahatan, perampokan, pembunuhan, dan penganiayaan yang sering terjadi di daerah ini.
Kepada para penduduk, yang kemudian diperkenalkan oleh kenalan lamanya, Bardjo Genggem itu bahwa Warok Wuhunggeni termasuk jagoan yang bisa diandalkan, maka kemudian mereka mengharapkan kepada Warok Wulunggeni agar hendaknya dia mau menanggulangi merajalelanya kejahatan di daerah itu.
"Tolonglah, Dimas Wulung. Bagaimana sebaiknya menanggulangi keamanan di daerah Dukuh kami ini,"
Kata Pak Lurah yang nampak berusia makin tua itu ketika diperkenalkan oleh sahabatnya, Bardjo Genggem itu, tentang kehebatan ilmu kanuragan yang dimiliki oleh Warok Wulunggeni di dunia pergolakan para jagoan di daerah Ponorogo itu.
"Yah, saya akan usahakan sebisa saya, Pak Lurah. Tetapi saya harus buru-buru pulang dulu ke Dukuh Dawuan untuk menengok keluarga."
"Baiklah Dimas Wulung, sepulang menengok keluarga, segeralah Dimas Wulung kembali ke Dukuh Sirah Keteng. Kami semua di sini sangat memerlukan bantuan Dimas Wulung."
"Terima kasih, Pak Lurah."
Setelah berpamitan dengan para warga Dukuh Sirah Keteng, Warok Wulunggeni masih harus menempuh perjalanan yang panjang untuk sampai kembali ke kampung halamannya di Dukuh Dawuan di daerah Ponorogo selatan itu.
Selepas dari Dukuh Sirah Keteng, Warok Wulunggeni merasa ada beberapa orang yang mengikuti perjalanannya.
Akan tetapi Warok Wulunggeni nampak tidak peduli.
Ia sekali-kali memperkencang jalan kudanya, namun orang-orang yang mengikutinya itu juga memperkencang kudanya mengikuti kecepatan lari kuda Warok Wulunggeni.
Ketika Warok Wulunggeni menghenti kan kudanya, gerrombolan orang-orang yang mengikutinya itu pun juga ikut berhenti di kejauhan.
Melihat situasi yang mencurigakan itu, Warok Wulunggeni hanya mengambil sikap waspada terhadap orang-orang asing yang berusaha membuntutinya sejak kemarin lusa ia meninggalkan Dukuh Sawo itu.
Tepat di belokan gundukan batu padas, Warok Wulunggeni berpapasan dengan lima orang berkuda yang nampaknya mereka itu sengaja menunggu kedatangan Warok Wulunggeni yang akan melewati daerah sangar itu
"Berhenti dulu, Sobat,"
Teriak salah seorang dari kelima orang laki-laki yang nampak bertampang paling berangasan itu. Warok Wulunggeni pun serta-merta menghentikan kudanya tepat dihadapan mereka.
Satu per satu tampang kelima orang yang menghadang di tengah jalan itu ditatapnya tajam-tajam oleh Warok Wulunggeni yang matanya juga tidak kalah mencorongnya dengan mata para rombongan gerombolan liar itu
"Siapa namamu, dari mana asalmu, dan mau pergi kemana,"
Tanya salah seorang laki-laki berkulit hitam bermata mencorong itu dengan geram.
"Namaku Wulunggeni. Aku tadi baru dari Dukuh Sirah Keteng. Sekarang aku akan pergi ke Dukuh Dawuan di Ponorogo selatan."
"Tiga hari yang lalu, aku lihat kamu memasuki Dukuh Sawo ada perlu apa kamu ke sana."
"Aku perlu menemui sahabat lamaku, namanya Warok Tanggorwereng."
"Warok Tanggorwereng."
"Ya ?"
"Apa buktinya kamu mengenal Warok Tanggorwereng, Sobat,"
Tanya laki-laki yang mukanya 'mencereng' itu penuh selidik .Mendengar pertanyaan itu, Warok Wulunggeni kebingungan.
Mesti harus menjawab apa.
Sebab ia tidak punya bukti apa-apa yang memperkuat ia masih ada hubungan persahabatan dengan Warok Tanggorwereng itu.
Akan tetapi, ia tiba-tiba teringat akan bingkisan yang tempo hari diberikan oleh Nyi Warti isteri Warok Tanggorwereng itu kepadanya.
"Aku membawa bingkisan ini pemberian Nyi Warti isteri Warok Tanggorwereng."
"Ha..ha. ha...bagaimana aku bisa percaya kalau bingkisan itu pemberian isteri Warok Tanggorwereng, Sobatt"
Ejek laki laki yang mukanya 'mencereng' itu sambil tertawa sinis. Tanpa disadari, tangan Warok Wulunggeni membuka bingkisan yang katanya tempo hari berisi bahan-bahan pangan untuk oleh-oleh keluarga di rumah itu.
Setelah dibuka bingkisan itu, selain terdapat bahan-bahan pangan terdapat sebilah keris kecil sebesar kelingking yang diikat dengan janur kuning yang sudah mulai mengering .Keris itu kemudian dikeluarkan dan diperlihatkan kepada orang-orang yang mencegatnya itu
"Ini isinya bingkisan yang tempo hari diberikan oleh Nyi Warti isteri Warok Tanggorwereng itu,"
Kata Warok Wulunggeni. Mata para begal itu melototi barang-barang yang ada dalam bingkisan itu. Kemudian nampak kepala mereka pada mengangguk-angguk. Mungkin sebagai tanda mereka memahami maknanya.
"Yah. Benar. Sekarang aku baru bisa percaya kalau engkau masih orangnya Warok Tanggorwereng. Simpan baik-baik benda keris terikat janur kuning itu, Sobat. Kalau kamu nanti ketemu gerombolanku di tengah jalan. Perlihatkan keris kecil itu. Kami semua tidak akan mengganggumu. Keris kecil itu sebagai tanda bahwa orang-orangnya yang membawanya adalah orang-orang yang dekat dengan Warok Tanggorwereng dan kami semua tidak akan mengganggunya."
"Terima kasih,"
Jawab Warok Wulunggeni singkat.
"Maafkan kami atas kekasaran kami tadi. Kami semua mengenal nama Warok Tanggorwereng itu. Orang-orang dia juga mengenal siapa kami ini semuanya. Terima kasih,"
Jawab Warok Wulunggeni.
Ia sempat berpikir sejenak, mengapa Nyi Warti tidak memberitahu mengenai kegunan keris kecil ini.
Apakah mungkin ia lupa memberitahunya karena ia buru-buru pamit pulang ketika itu.
Atau mungkin ia segan memberitahunya, sebab orang setangguh Warok Wulunggeni ini apa tidak tersinggung kalau dalam perjalanannya melalui daerah kawasaan Warok Tanggorwereng harus dilindungi oleh keris kecil sebagai pertanda bahwa orang yang bersangkutan itu tidak boleh diganggu oleh gerombolan lain yang menjalin hubungan pensahabatan dengan Warok Tanggorwereng.
Belum sempat ia mencerna makna ini semua, suara laki-laki berwajah 'cengkereng itu menyadarkan kembali pikiran Warok Wulunggeni.
"Kalau demikian, silakan jalan, Sobat."
"Sebelumnya, saya ingin tanya, Sobat. Apa maksud kalian menghentikan aku di sini ini tadi,"
Tanya Warok Wulunggeni timbul rasa ingin tahunya lebih banyak.
"Kalau kamu tadi sebegai orang luar daerah ini, dan tidak ada hubungannya dengan Warok Tanggorwereng,maka kamu sudah aku bikin mampus.
Tetapi karena ternyata kamu masih orangnya Warok Tanggorwereng.
Jadi kami tidak akan mengganggu perjalananmu. Sebab, memang kami sudah ada kesepakatan untuk tidak saling mengganggu orang-orangnya, Kami tidak akan mengganggu penduduk Dukuh Sawo.
Jadi, karena kamu datang ke Dukuh Sawo sebagai orangnya Warok Tanggorwereng, yah sekarang silahkan kamu, jalan saja"
"Kalau demikian, aku ucapkan terima kasih, Sobat,"
Kata Warok Wulunggeni
"Sampaikan saja salam kami ini semua. Pimpinan kami bernama Brojol Mangundro. Kami semuanya sangat saling mengenalnya, dan sepakat untuk tidak saling mengganggu. kepada Warok Tanggorwereng"
"Saya akan sampaikan pesan kalian kepada sahabat Warok Tanggorwereng."
"Yah, silahkan. Selamat jalan, Kangmas Wulung. Terima kasih."
Warok Wulunggeni kemudian melanjutkan perjalanannya setelah melewati rombongan gerombolan penyamun yang mencegat di tengah perbukitan yang berpohon belukar ganas itu.
"Untung saja si bedebah Tanggorwereng itu laku juga namanya di daerah ini, kalau tidak. Aku musti melayani gangguan si monyet-monyet kerdil itu."
Pikir Warok Wulunggeni di dalam hati setelah terbebas dari gangguan para pencegat di jalan itu.
Perjalanan pulang Warok Wulunggeni kali ini nampak lebih nyaman, tidak sesulit ketika berangkatnya dahulu, Sebab, ia telah tahu jalannya.
Kalau waktu berangkat dulu sering kesasar karena merupakan perjalanan baru sehingga ia sering bertanya kepada orang yang ditemui di jalan, dan salah-salah yang ditanya justeru penjahat yang memang mencari sasaran orang asing yang tidak tabu jalan.
Kalau sekarang ini, perjalanan pulang Warok Wulunggeni itu terasa nyaman, tidak banyak gangguan di jalan sehingga membuat hatinya berbunga-bunga.
Lain sekali dengan waktu berangkatnya dulu, ia masib dalam suasana hati yang resah lantaran waktu itu sehabis kalah tanding dengan Warok Surodilogo musuh bebuyutannya itu.
Kini Warok Wulunggeni seperti mendapatkan penerangan bathin, dan makin luas wacananya, juga merasa makin yakin akan kemampuan ilmu kanuragannya dengan makin bertambahnya ilmu-ilmu barunya yang telah ditekuninya selama lima tahun terakhir ini di Blitar selatan.
******
Warok Ponorogo 3 Berburu Ilmu Kanuragan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
KEMBALI KEPADA KELUARGA.
KEPULANGAN Warok Wulunggeni malam itu ke rumahnya yang masih di daerah Dukuh Dawuan, dari kepergiannya berguru ke perguruan Pedepokan Lodaya Blitar selatan disambut hangat oleh isterinya yang setia menunggunya selama ini.
Warok Wulunggeni meninggalkan kampung halamannya di Dukuh Dawuan itu sudah hampir sekitar lima tahun ini. Isterinya, Mbok Rukmini malam itu kebetulan sedang duduk-duduk santai di serambi depan rumah sambil nginang ditemani oleh keponakan perempuannya, bernama Milah yang sedang metani' mencari kutu rambut Budenya itu.
Milah ikut serumah dengan keluarga Warok Wulunggeni sejak kepergian Pakdenya Warok Wulunggeni lima tahun yang lalu. Mbok Rukmini agak terkejut ketika melihat ada tamu laki-laki yang datang ke numahnya malam-malam begini.
Namun begitu diketahui yang datang malam ini adalah suaminya yang siang malam ditunggu-tunggu kedatangannya, maka ia segera melompat menubruk tubuh suaminya itu, menyambutnya dengan suka cita.
"Byuh...byuh. Bungahe hatiku Pakne. Aku sangat senang dan bahagia sekali. Pakne sekarang sudah kembali lagi,"
Kata Mbok Rukmini sambil memeluk erat lama sekali suaminya, kedua tangannya melingkar erat-erat ke tubuh Warok Wulunggeni yang gagah perkasa itu dengan rasa kasih sayang yang mendalam.
"Bagaimana keadaanmu, Mbokne, baik-baik saja, to,"
Tanya Warok Wulunggeni kemudian sambil duduk di sebelah isterinya di amben ampyak depan rumah itu.
"Ya, baik. Sehat-walafiat. Pakne,"
Jawab isterinya
"Kamu, Milah. Sudah lama kamu hidup bersama Budemu di sini,"
Tanya Warok Wulunggeni kepada keponakannya Milah yang juga nampak ikut gembira menyambut kedatangan Pak denya itu
"Baik-baik saja, Pakde,"
Kata perawan itu dengan manisnya.
"Maafkan. Pakdemu ini yah. Tidak sempat membawakan oleholeh buat kamu, Milah. Pakde tidak tahu kalau kamu ikut bersama Budemu di sini"
"Ach, tidak apa-apa kok, Pakde. Milah juga ikut senang, sekarang Pakde sudah kembali pulang dengan selamat"
"Yah. Yah, berkat doamu juga, Milah. Pakde dapat pulang dengan selamat".
"Pakne, apa tidak ada halangan apa-apa selama di perjalanan," tanya isterinya kembali .
"Yah. Berkat doamu saja. Mbokne. Walaupun banyak juga halangan di jalan. Syukur, aku masih bisa mengatasi dengan baik. Aku selamat dan bisa kembali sekarang ke rumah ini juga lantaran banyak kesulitan yang bisa diselesaikan dengan aman di perjalanan"
"Lalu, apa sudah ada hasil, usahanya, Pakne"
"Berkat doamu saja, Mbokne. Banyak pengetahuan baru yang dapat aku peroleh selama kepergianku ke Blitar ini".
"Pakne. Apa tidak sebaiknya kita masuk saja ke dalam rumah sana. Udaranya mulai dingin. Aku akan bikinkan wedang jahe kesukaanmu,"
Kata Mbok Rukmini serambi terus ke dapur diikuti keponakan perempuannya yang biasa rajin membantu Budenya itu
"Ini Mbokne, ada sedikit oleh-oleh.
Hanya ini saja oleh olehnya, sekampluk dari kenalan-kenalan lama yang memberikan ini semua kepadaku ketika aku menengok mereka.
Semua isteri kenalan-kenalanku itu pada titip salam untuk kamu, Mbokne."
Kata Warok Wulunggeni sambil menyerahkan kampluk besar, Mbok Rukmini dan Milah segera membuka isi kampluk itu yang terrnyata berisi macam-macam barang keperluan dapur, bahan makanan, dan lain-lain.
Mbok Rukmini dan Milah nampak gembira melihat itu semuanya
"Aku tidak tahu, apa saja isinya kampluk-kampluk itu.
Wong itu semua pemberian mereka.
Hanya makanan yang sudah dimasak saja yang aku ambil untuk makan di jalan,"
Kata Warok Wulunggeni
"Wah, baik sekali kenalan-kenalan kamu itu, Pakne"
"Yah, mereka hanya butuh persahabatan saja. Dan itu sepertinya sebagai tanda mata persaudaraan untuk saling memberikan perhatian sesamanya teman".
"Sebentar, Pake. Aku akan siapkan makan dulu untuk kamu, sepertinya kamu belum makan".
"Iyah, memang belum. Kamu masak makanan apa, Mbokne"
"Yah, itu ada lauk, jangan lodeh"
"Wah itu makanan kesukaanku. Sudah lama aku tidak mencicipi masakanmu, Mbokne. Tolong cepat disediakan, aku sudah kepengin makan. Perut rasanya sudah lapar sekali".
"Yah, sabar dulu, Pakne. Aku panaskan dulu, biar kalau nanti dimakan jadi enak".
Setelah ngobrol beberapa saat sambil menunggu tersedianya makanan yang sedang dihangatkan oleh Milah di dapur, Warok Wulunggeni, menanyakan keadaan anak gadisnya, Sri Wigati
"Lho, sejak tadi kok tidak kelihatan Sri Wigati. Kemana anak itu. Mbokne".
"Sabar dulu, Pakne"
Diceriterakan oleh isterinya bahwa anak perempuan satu satunya yang bernama Sri Wigati itu sekarang telah diambil isteri oleh seorang perwira tinggi Kadipaten. Sejak mendengar ceritera diambilnya anaknya, putri satusatunya itu menjadi isteri seorang punggawa Kadipeaten itu, remuk hati Warok Wulunggeni.
Mukanya nampak merah padam ketika mendengar penuturan isterinya demi diketahui anak perempuan satu-saturnya itu kini berada pada pihak Kadipaten yang dibencinya itu
"Siapa nama laki-laki yang telah berani mengambil anak perempuan kita itu, Mbokne,"
Tanya Warok Wulunggeni nampak geram.
"Namanya, Drajad Panuju. Pangkatnya katanya setingkat Tumenggung kerajaan begitu. Malahan katanya perkawinan putri kita dengan Drajad Panuju itu atas restu langsung dari Kanjeng Gusti Adipati. Jadi karena pada waktu itu, tidak ada Pakne, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sudah aku katakan, tunggu persetujuan Bapaknya Sri Wigati. Tetapi sudah ditunggu, tahun ganti tahun terus, Pakne tidak muncul-muncul juga, apakah Pakne masih hidup apa sudah mati, tidak ada kabar beritanya. Lalu, mereka memutuskan untuk mengawini anak kita itu. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Begitu ceriteranya, Pakne,"
Ujar Mbok Rukmini, isteri Warok Wulunggeni itu nampak lesu.
"Byuh..byuh. Wah...wah...wah tatanan apa yang dipakai ini. Aku ini kan Bapaknya. Orang tuanya. Berani-beraninya mengambil anak orang, tidak pamit dulu kepada bapaknya. Ini aturan mana. Apa kalau sudah pangkat tinggi itu, bisa seenaknya sendiri melakukan apa saja. Aku merencanakan anak kita, Sri Wigati itu sudah aku 'gadang-gadang' akan aku kawinkan dengan laki-laki keturunan raja. Harus jadi permaisuri raja. Itu sudah jadi harapanku sejak lama. Kalau sudah begini ini bagaimana. Inilah Mbokne yang jadi bikin tidak enak hati. Aku tidak terima anakku hidup sengsara seperti kita. Derajatnya selalu diinjak-injak sama orang yang kuasa. Kalau anakku jadi permaisuri raja, derajat kita juga akan ikut naik pamornya. Bagitu kan, Mbokne. Tetapi naas juga nasib anak kita cuma dikawini sama punggawa Kadipaten,"
Ujar Warok Wulunggeni nampak mengeluh dalam. Terasa begitu menyesali diri tidak bisa menjaga anak perempuan satu-satunya sehingga diambil laki-laki lain yang belum pernah diketahui juntrungnya, asal-usulnya, dan perangainya.
"Sudah. Sudahlah, Pakne. Anak kita juga nampak sudah senang hidup di lingkungan Kadipatea. Kelihatanya si Panuju menantu kita itu anaknya baik. Jadi aku juga tidak banyak mempersoalkan waktu itu ia melamar kemari. Anak kita kini kelihatan hidup bahagia lo, Pakne,"
Kata Mbok Rukmini berusaha menenangkan suaminya yang kelihatan resah berat itu. Warok Wulunggeni, termenung sejenak setelah mendengar kata-kata terakhir isterinya itu.
Rupanya hatinya agak terhibur juga dengan kata-kata anaknya kini sudah hidup bahagia.
"Jadi anak ini bukan menyepelekan aku sebagai bapaknya, begitu to Mbokne,"
Ujar Warok Wulunggeni selanjutnya
"Ya, jelas tidak.
Wong ia datang kemari dengan baik-baik dan menunjukkan sikap sopan-santunnya.
Beberapa kali menanyakan kamu.
Ia mau meminang kepada kamu sebagai bapaknya, tetapi kamu tidak pernah ada.
Lalu, bagaimana.
Jadi jelas tidak mungkin bermaksud menyepelekan kamu.
Ia senang kepada anak kita.
Jadi menurutku, kita sebagai orang tua ya tut wuri handayani saja to, Pakne,"
Ujar Mbok Rukmini nampak mulai merasa lega dapat memberikan pengertian kepada suaminya yang terkenal suka naik darahnya kalau melihat hal-hal yang tidak disukai.
"Yah, kalau demikian itu memang benar. Aku yang salah. Tetapi yang masih menjadi ganjalan hatiku, mengapa anak itu tidak sudi menunggu izinku. Menunggu sampai aku datang"
"Izin. Bagaimana mungkin menunggu izinmu, wong kamu tidak jelas beradanya dimana. Sampai kapan akan ketemu Pakne. Perginya kemana, cara menghubungi dimana, tidak diberitahu, mana mungkin aku dapat menyampaikan semua kejadian ini kepada Pakne. Syukur Pakne masih hidup, kalau sudah mati, terus ditunggu sampai kapan".
"Huss. Jangan ngomong ngawur saja. Sembarangan ngomong. Kapan aku dikatakan mati. Warok Wulunggeni masih berjaya perkasa. Siapa yang berani bikin mati aku, Mbokne. Malahan sekarang aku memiliki ilmu macan loreng. Jangan kaget Mbokne kalau tiba-tiba aku jadi macan, kamu harus tahu itu macan jadianku,"ujar Warok Wulunggeni membanggakan diri dihadapan isteri setianya, nampaknya ia sudah mulai lupa pada pembicaraan soal anaknya, ia baru ingat ingin pamer kepada isterinya mengenai ilmu bela diri yang baru diperolehnya selama lima tahun belajar di perguruan Padepokan Lodaya Blitar Selatan itu.
"Hah, apa benar ini, Pakne,"
Kata isterinya nampak terkejut
"Benar. Coba sekarang aku akan peragakan dihadapanmu agar kamu tidak kaget sewaktu-waktu melihat ada macan di rumah kita ini. Itu aku yang jadi,"
Ujar Warok Wulunggeni kelihatan bangga.
"Jangan Pakne, aku takut. Nanti kamu tidak dapat berubah jadi manusia lagi"
"Ha..ha.. .ha... jangan khawatir. Jangan khawatir. Aku ini sudah sangat menguasai ilmu ini. Selama lima tahun ini aku menuntut ilmu macan loreng ini. Sudah sangat aku kuasai. Sekarang, diamlah, Mbokne. Aku akan mulai berkonsentrasi," kata Warok Wulunggeni sambil menyilangkan tangannya ke depan dan mendekap dadanya erat-erat. Mulutnya komat kamit nampak sedang membaca mantera. Tiba-tiba secara pelan-pelan dan kemudian makin cepat dan tak lama kemudian sekujur tubuh Warok Wulunggeni itu telah berubah menjadi macan loreng yang perkasa. Taringnya nampak runcing, kukukuku pada jarinya nampak menjulur tajam. Matanya mencorong berkilap. Isterinya nampak ketakutan, terbayang betapa ngerinya macan segede itu menerkamnya dengan ganas.
"Jangan takut, Mbokne,"
Tiba-tiba ujar macan loreng besar itu mengeluarkan suara yang masih suara suaminya, Warok Wulunggeni.
Hati isterinya menjadi tenteram kembali.
Dan lama-lama macan loreng itu berubah kembali pada asalnya menjadi suaminya lagi setelah mulutnya nampak komatkamit membaca mantra.
Lega sudah hati isterinya melihat suami yang dicintainya itu kembali utuh berwujud manusia seperti semula.
"Ha ha. hebat bukan sekarang aku, Mbokne,"
Kata Warok Wulunggeni membanggakan diri dihadapan isterinya.
"Pakne, pakne. Saya hampir pingsan melihat kamu jadi macan garang seperti itu,"
Kata Mbok Rukmini kepada suaminya.
"Sudah sana, mana makan kita, aku sudah lapar,"
Kata Warok Wulunggeni sanmbil membetulkan ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit ular sawah, segede anak ular naga itu.
Di tengah pembicaraan sambil makan malam itu, Warok Wulunggeni mengutarakan rencananya untuk pindah rumah ke daerah Sirah Keteng.
"Mbokne, sepulangku dari Blitar ini, aku pengin 'tetirah dulu. Istirahat. Sampai beberapa saat. Kalau rumah kita masih di Dukuh Dawuan sini ini, hatiku tidak bisa tenteram. Aku merencanakan untuk pindah saja dari Dukuh Dawuan ini Apa kamu setuju"
"Terserah, Pakne saja. Kemana saja Pakne mau pindah, aku tidak keberatan".
"Sudah aku pikir lama. Bagaimana kalau kita pindah ke daerah Sirah Keteng. Kita bertani di sana. Memelihara ikan, beternak lembu, dan mungkin banyak pekerjaan yang bisa kita lakukan di sana "
"Aku setuju saja, Pakne. Kapan rencana kita pindah".
"Esuk pagi"
"Mengapa terburu amat."
"Sebelum aku pulang kemari, kemarin aku sudah mampir ke daerah Sirah Keteng itu. Seorang kawan lama telah menawariku sebidang tanah yang luas. Aku disuruh mengolahnya. Tanah itu langsung diberikan kepadaku, dengan syarat, aku harus mau pindah ke sana "
"Ach masak. Mana ada orang mau kasih begitu saja terhadap tanahtanahnya. Mungkin dipinjamkan, bukan dikasih "
"Dikasihkan. Ini surat-suratnya sudah disetujui Pak Lurah. Lihat ini tulisan Pak Lurah. Aku sudah dikenalkan, sudah ketemu, dan sudah diberi namaku terhadap tanah itu".
Warok Ponorogo 3 Berburu Ilmu Kanuragan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa mereka mau berbaik hati begitu, Pakne".
"Di daerah Sirah Keteng, tanahnya subur, air gampang didapat. Pertaniannya baik, maka banyak orang kaya di sana. Hanya saja, penduduk di situ punya masalah. Banyak diganggu oleh para perampok dan begal-begal. Nah di situ mereka mengharapkan kepadaku untuk mengurus soal gangguan para perampok dan begalbegal itu. Jelas aku sanggupi saja soal perlindungan pengamanan itu, wong menghadapi begal saja apa susahnya. Maka mereka mengharapkan aku segera pindah dan hidup di sana secepatnya"
"Ohhh, begitu. Ya, kalau demikian aku bersiap-siap sekarang. Lantas, rumah kita ini bagaimana. Mau diapakan, Pakne".
"Rumah ini biar diurus oleh si Sarwo Dipo itu saja, Mbokne. Dia itu kan dulu bekas anak buahku. Sejak dulu orang itu selalu setia kepadaku. Apalagi ia kan sampai sekarang belum punya numah sendiri. Keluarganya biar diboyong kemari. Menempati rumah kita ini. Itu kan cukup prayogo' to, Mbokne"
"Iyah, yah. Pakne. Aku cocok dengan rencanamu itu"
"Yah. Sudah. Kalau kamu juga setuju. Aku ikut senang. Sekarang, aku mau istirahat dulu. Badan ini rasanya jadi capek sekali sejak menempuh perjalanan jauh ini"
"Apa perlu aku pijat, Pakne".
"Ach, tidak usah. Kamu sendiri istirahatlah supaya kamu juga terjaga kesehatanmu".
Setelah berbincang lama sampai larut malam. Kemudian, tampak tidak terdengar lagi suara pasangan suami-isteri yang sudah lama tidak berkumpul itu. Tidak berapa lama mereka kelihatan sudah tidur berpelukan mesra di kamarnya seperti layaknya pengantin baru.
BERSAMBUNG
*****
Hex Hall Karya Rachel Hawkins Goosebumps Dingdong Matilah Kau Trio Detektif 23 Misteri Anjing Siluman
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama