Ceritasilat Novel Online

Berburu Ilmu Kanuragan 1

Warok Ponorogo 3 Berburu Ilmu Kanuragan Bagian 1


*****

Berburu Ilmu Kanuragan

Karya Sabdo Dido Anditoru

Jilid 3 Seri Ceritera Warok Ponorogo

Penerbit Pt Golden Terayon Press Jakarta 1996

Gambar ilustrasi : Syamsudin

******

Buku Koleksi : Gunawan AJ

Edit teks dan pdf : Saiful Bahri Situbondo

Team Kolektor E-Book

*****



BERGURU DI LODAYA.

SORE hari hampir senja, Warok Wulunggeni baru sampai di perguruan Padepokan Lodaya yang terletak di dekat pantai laut kidul, daerah Blitar selatan.

Udara panas dari arah laut, dan angin pesisir yang berhembus keras, menghamburkan pasir-pasir berterbangan menandakan sebentar lagi akan turun hujan lebat. Pemimpin begal yang dikenal bermama Tanggorwereng bersama rombongannya itu bertindak sebagai penunjuk jalan bagi Warok Wulunggeni.

Mereka hanya mengantarkan sampai halaman pintu gerbang paling depan.

Itu pun ia hanya memperhatikan dari kejauhan sambil berlindung di balik semak-semak yang rimbun agar tidak ketahuan kedatangannya oleh Eyang Guru Lodaya.

Tanggorwereng takut ketahuan oleh Guru Lodaya yang sebenarnya masih terhitung sebagai Eyangnya sendiri.

Ia tidak mau masuk ke dalam gapura yang terukir indah agak berlumutan kehijawan itu lantaran takut kena amarah eyangnya, karena dulu ia pernah kabur dari Pedepokan Lodaya itu.

Setelah memberikan salam perpisahan kepada Warok Wulunggeni, Tanggorwereng dan anak buahnya segera beranjak dari tempat itu kembali ke hutan untuk menjalankan pekerjaan sehari-harinya sebagai begal.

Dua orang pemuda yang berpakaian serba hitam menyongsong kedatangan Warok Wulunggeni yang juga berpakaian serba hitam itu.

Hanya mereka itu memiliki ciri-ciri yang berbeda.

Pakaian hitam orang Ponorogo dan pakaian hitam orang Blitar selatan itu tidak sama.

Mereka masing-masing memiliki filosofis sendiri-sendiri disesuaikan menurut kegunaannya, dan demi membantu kelancaran kegiatan hidup sehari-harinya. Pakaian khas Warok Ponorogo seperti halnya yang digunakan oleh Warok Wulunggeni itu berwarna hitam legam, celana longgar sebatas lutut dengan ikat pinggang besar serta kolor putih nglewer sebesar lengan yang memakainya, dilengkapi pakaian baju penadon, ikat kepala yang disebut udeng', sebilah pedang pendek yang disebut 'motek terselip diikat pinggangnya

"Bapak hendak bertemu siapa," sapa salah seorang pemuda yang berpakaian serba hitam itu dengan sopan-santun, menerima kedatangan Warok Wulunggeni ketika ia telah berada di halaman pekarangan komplek perguruan Padepokan Lodaya itu

"Boleh aku bertemu dengan Eyang Guru Lodaya."

"Bapak bernama siapa, dan dari mana asalnya ?".

"Namaku Wulunggeni. Asal dari Ponorogo."

"Kalau boleh tahu. Ada keperluan apa, kok sampai jauh-jauh begini datang ke Padepokan Lodaya ini."

"Saya ingin berguru kepada Eyang Lodaya."

"Sebaiknya Bapak silahkan tunggu di ruang sebelah sentong kiri sana. Kami akan haturkan terlebih dahulu kepada Eyang Guru."

"Baik, terima kasih."

Kedua pemuda yang berpembawaan sangat santun itu kemudian memasuki pintu besar berwarna hitam pekat, nampak berwibawa.

Sementara itu Warok Wulunggeni duduk menunggu di tempat yang ditunjukkan oleh kedua pemuda tadi.

Tidak berapa lama kemudian kedua pemuda itu kembali lagi menemui Warok Wulunggeni

"Bapak dipersilahkan masuk, ditunggu Eyang Gunu di ruang tengah.

"Terima kasih."

Kemudian, Warok Wulunggeni dengan dikawal oleh kedua pemuda tegap tadi, memasuki rumah utama yang terdiri dari bangunan besar terbuat dari kayu jati yang nampak kokoh. Setelah melalui lorong yang bercahaya remang-remang, lalu memasuki sebuah pintu besar dari kayu jati yang nampak kokoh, kemudian di dalamnya terhampar ruangan yang berbau dupa menyengat. Di tengah-tengah terdapat sebuah kursi besar dan seorang tua berambut panjang yang terikat oleh kain hitam sedang duduk dengan sikap tenang di situ. Lakilaki tua itu menyambut kedatangan Warok Wulunggeni itu dengan senyuman ramah kebapakan.

"Silahkan duduk orang jauh,"

Kata orang tua itu mempersilahkan Warok Wulunggeni untuk mengambil tempat duduk dihadapannya.

Warok Wulunggeni kemudian hanya bisa menyembah lalu mengambil tempat duduk di hamparan tikar mendong yang kelihatan bersih terpelihara.

Ia duduk di tengah diapit oleh kedua pemuda yang mengantarkan tadi.

Dihadapan Guru Lodaya, Warok Wulunggeni merasa dirinya menjadi kecil.

Mungkin kalah wibawa dengan guru yang kaya akan ilmu kedigdayaan itu.

"Siapa namamu, Dimas,"

Tanya Guru Lodaya memecahkan kesunyian.

"Nama hamba, Wulunggeni, Eyang Guru".

"Nama yang bagus. Lalu, dari mana asalmu, Dimas Wulung."

Tanya Guru Lodaya itu lagi. Walaupun sebenarnya Guru Lodaya itu sudah tahu nama dan asal-usul Warok Wulunggeni itu, tetapi untuk pembuka pembicaraan ditanyakan kembali jati diri Warok Wulunggeni itu.

"Hamba datang dari Ponorogo, Eyang Guru."

"Ponorogo. Wah, ini aku tidak suka sama sekali terhadap orang orang Ponorogo. Sangat tidak aku sukai,"

Kata Guru Lodaya itu sambil manggut-manggut. Tampak pada raut mukanya yang tiba-tiba berubah menjadi bengis. Warok Wu lunggeni hanya terdiam menunduk dengan takjim, tidak tahu harus bilang apa.

"Engkau masih tunun raja atau berasal dari rakyat jelata,"

Lanjut Guru Lodaya itu kemudian.

"Hamba dari rakyat biasa, Eyang Guru."

"Rakyat biasa. Bagus. Syukurlah. Kalau engkau masih turun raja, sekarang juga aku usir engkau dari hadapanku ini. Untung saja engkau datang dari rakyat biasa. Jadi aku masih menanuh setitik simpati kepadamu. Engkau tahu, Dimas Wulung. Apa sebabnya demikian."

"Tidak tahu Eyang Guru".

"Beberapa puluh tahun yang lalu, muridku yang menjadi raja di Kerajaan Lodaya bergelar Prabu Singobarong itu, telah dibuat malu oleh rajamu si Kelana Swandana itu. Masak, raja disurtah menari-nari dengan dicengkerami burung merak, diikuti tetabuhan macam macam untuk hadiah hiburan calon permaisurinya putri Doho Kediri, Dewisri Sanggalangit itu. Aku tidak terima perlakuan Raja Swandana dari kerajaan Bantaran Angin Ponorogo itu. Maka sejak itu aku putuskan untuk tidak menyukai turun raja Ponorogo itu. Kalau kebetulan kamu berasal dari rakyat biasa, sebagai turun rakyat jelata. Nah, orang semacam engkau ini yang malahan aku cari. Aku ingin sekali mempunyai ikatan hubungan dengan rakyat Ponorogo seperti engkau ini Dimas Wulung. Tetapi bukan menjalin ikatan hubungan dengan turun raja Ponorogo. Sama sekali aku tidak sudi. Aku tidak mau mempunyai urusan dengan turun raja Ponorogo. Itulah semua latar belakangnya, Dimas Wulung."

Suasana menjadi hening sejenak. Guru Lodaya itu batuk-batuk kecil menandakan usianya yang telah lanjut dengan rambutnya yang memutih semua sepanjang bahu yang terikat rapi

"Lalu, apa perlumu datang kemari jauh-janh, Dimas Wuung."

"Hamba ingin 'ngangsu kaweruh'. Ingin menimba ilmu dari Eyang Guru untuk bekal kelanggengan hidup."

"Imu itu 'angel le nemu. Maka harus diupayakan dengan matimatian untuk memperolehnya. Ilmu apa yang akan engkau cari, Dimas Wulung."

"Ilmu kedalaman bathin, dan ketangguhan ilmu kanuragan, Eyang Guru "

"Bagus. Bagus sekali. Semua ilmu yang Dimas cari itu, memang gudangnya ada di sini. Di perguruan Pedepokan Lodaya ini"

Kata Eyang Guru Lodaya itu agak membanggakan diri dihadapan orang Ponorogo itu.

Ia nampak senang, ada orang Ponorogo yang mau memuntut ilmu kadigdayanan kepadanya.

Selama ini daerah Ponorogo juga sangat termashur namanya sebagai gudangnya ilmu kanuragan, ilmu kedigdayaan, dan gudangnya ilmu kedalaman bathin, tetapi toh masih ada orang tangguh seperti Warok Wulunggeni ini yang mau menjelajahi perguruan-perguruan keilmuan di mana pun saja beradanya.

"Tidak salah lagi, Dimas Wulung.
Sangat tepat kalau Dimas Wulung bersedia jauh-jauh datang kemari untuk keperluan memperdalam ilmu-ilmu penjaga kehidupan itu.
Tetapi aku musti uji dahulu kemampuan dasarmu.
Apakah engkau harus aku ajari dari bawah atau langsung pada tingkat-tingkat atasnya. Apakah engkau sanggup mengikuti petunjuk-petunjukku, Dimas Wulung.
Terutama engkau harus terlebih dahulu mengucapkan sumpah kebaktian untuk tidak sembarangan menggunakan ilmu-ilmu barumu yang akan engkau terima.
Engkau dapatkan dari perguruan Padepokan Lodaya ini. Apakah engkau akan sanggup memenuhi segala yang aku syaratkan ini, Dimas Wulung."

"Atas seijin Eyang Guru. Hamba sanggup memenuhi segala hal yang dipersyaratkan, Eyang Guru. Dan hamba menghaturkan sembah bhakti.
Demikian juga hamba bersedia mengangkat sumpah untuk memegang janji-janji terhadap segala yang Eyang Guru tetapkan."

"Bagus. Bagus sekali. Aku senang atas keteguhan sikapmu .Engkau nampaknya orang yang memang suka belajar dan pemburu ilmu. Aku senang bertemu orang seperti Dimas Wulung ini. Orang yang aku cari. Ini baru namanya orang Ponorogo yang memiliki keuletan hati. Mempunyai ketegaran tekad yang kuat, Aku suka semuanya ini. Nah, untuk sementara, karena Dimas Wulung baru datang dari perjalanan jauh, demikian juga hari telah malam, maka sebaiknya hari ini engkau pergunakan untuk istirahat dahulu. Esuk hari, pagi pagi ketika ayam jantan berkokok engkau harus sudah bersiap diri di sini. Sekarang engkau akan diantar cantrikku ke tempat peristirahatan di sebelah kidul sungai di belakang bangunan rumah bambu di sebelah sana itu. Dimas Wulung dapat gunakan untuk pemondokan selama tinggal di padepokan ini."

"Matur nuwun. Terima kasih. Eyang Guru."

"Cantrik, antarkan tamu baru kita ini ke tempat peristirahatan kidul sungai sana."

"Siap menjalankan dawuh Eyang Guru,"

Jawab kedua cantrik yang masih muda-muda itu hampir berbarengan.

Tidak berapa lama, nampak Warok Wulunggeni dengan diiringi oleh kedua pemuda yang berpenampilan tegap tegap itu keluar dari rumah besar tempat kediaman Eyang Guru Lodaya yang terkenal sakti mandraguna itu.

Mereka menuju ke arah selatan ke tempat pemondokan yang diperuntukkan khusus bagi Warok Wulunggeni, sebagai murid baru Eyang Guru Lodaya pada hari itu.

Tempat pemondokan yang terbuat dari kayu dan bambu.

Warok Wulunggeni mendapat tempat tersendiri terpisah dan tempat para murid yang lain.

Letaknya pun agak berjauhan dari murid-murid yang lain, terkesan merupakan tempat pemondokan yang sengaja dibuat menyendiri.

Di dekat pemondokan itu mengalir air sungai yang terus menuju ke muara laut kidul.

Bunga teratai banyak mengapung di kolam ikan di sebelah belakang rumah pemondokan Warok Wulunggeni itu.

Suara kodok bersautan seakan-akan menyambut kedatangan tamu baru dari Ponorogo yang sengaja di tempatkan di tempat yang sunyi, gelap gulita hanya diterangi oleh lampu obor yang di pasang di tiang kayu depan rumah pondokan itu.

Di dalam ruangan hanya diterangi oleh lampu minyak kelapa yang menyala cukup sempurna. Sesampai di rumah pemondokan itu Warok Wulunggeni segera diperkenalkan tempat-tempat, baik itu kolam mandi dan air pancuran alam, kamar dengan tempat tidur dari bambu yang berbantal kayu balok, dan lain sebagainya.

Setelah Warok Wulunggeni mandi dan berganti pakaian khas pakaian perguruan Padepokan Lodaya yang disiapkan oleh para cantrik itu, sekembali dari mandi ke ruang tengah pemondokan itu, ia dikagetkan ternyata telah disediakan makanan dalam tampah oleh para cantrik tadi.

Nasi putih hangat, jangan bobor', 'kulupan', ikan laut, dan 'kendi' untuk minum.

Dalam keadaan lapar berat, Warok Wulunggeni segera bersantap sendirian.

Setelah itu ia membersihkan segala bekas tempat makannya .Kemudian ia bersemedi beberapa saat, dan terus mengambil tempat tidur untuk mempersiapkan diri menerima pelajaran esuk hari.

*****
Warok Ponorogo 3 Berburu Ilmu Kanuragan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


PENDADARAN KEILMUAN.

PAGIhari sebelum ayam jantan berkokok, Warok Wulunggeni telah bersiap diri di ruang khusus yang kemarin sore diperintahkan oleh Eyang Guru Lodaya untuk datang kembali ke tempat itu.

"Dimas Wulung, bersiaplah. Aku akan menguji kemampuan dasar ilmu kanuraganmu,"

Suara Eyang Guru Lodaya tiba-tiba muncul dari balik pintu besar yang berwarna hitam pekat itu siap dengan pakaian berlaga hitam pekat dengan ikat kepala yang tertata apik nampak teguh.

Kemudian, tanpa banyak tanya lagi Warok Wulunggeni begitu melihat kesiapan Guru Lodaya itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri seperti yang diperintahkan oleh Guru Lodaya itu.

Warok Wulunggeni kemudian memasang kudakudanya.

Menyiagakan kewaspadaan seluruh inderanya.

Konsentrasinya pun terus-menerus dikembangkan.

Ia kini dalam keadaan yang siap siaga segalanya.

Seterusnya, nampak bahwa Eyang Guru Lodaya yang juga sejak tadi telah bersiap diri dengan pakaian hitam kelamnya itu, tidak banyak bicara lagi, tiba-tiba ia menyerang menerjang pertahanan Warok Wulunggeni.

Dengan cepat Eyang Guru Lodaya itu berloncat loncat kian-kemari, gerakannya seperti muncul dari berbagai jurusan yang berkebat sangat cepat hampir sulit ditangkap oleh indera penglihatan Warok Wulung geni.

Bayangan hitam yang melingkar-lingkar di udara itu seperti siap sewaktu-waktu menerkam tubuh Warok Wulunggeni yang juga terus bergerak cepat mempertahankan diri di ruas tengah putaran kedudukan kuda kudanya.

Perubahan kedudukan masing-masing sangat bergeser.

Sangat dibutuhkan kemampuan untuk menangkap tiap kali perubahan gerakan yang dikembangkan oleh pihak lawan.

Apabila salah satu di antara mereka itu ada kurang cermat melakukan gerak perubahan, maka niscaya sudah dapat diperkirakan akan terkena sambaran terjangan jurus serangan lawannya.

Melihat situasi serangan-serangan maut yang dilancarkan oleh Eyang Guru Lodaya yang sedemikian rupa itu, Warok Wulunggeni segera memasang jurus-jurus sapu bersih, baik pertahanan bawah, tengah, maupun atas.

Cara demikian diterapkan dengan harapan agar ia dapat terhindar dari serangan yang bertubi-tubi datang dari Eyang Guru Lodaya yang sangat kaya variasi gerak dan berpengalaman bertanding itu.

Dengan menerapkan jurus sapu bersih itu Warok Wulunggeni agak tertolong posisinya.

Sehingga nampaknya, belum ada satu serangan pun yang dilancarkan oleh Eyang Guru Lodaya itu yang dapat mengenai sasaran.

Tidak ada satu serangan pun yang dapat mengenai tubuh Warok Wulunggeni yang gagah perkasa itu.

Melihat kecekatan gerak Warok Wulunggeni itu, Eyang Guru Lodaya itu kemudian nampak mundur surut beberapa langkah, dan terlihat pada mulutnya sedang bergerak komat-kamit entah mantra apa yang sedang dibacanya.

Kemudian, tidak berapa lama, terlihat pada tangan-tangan Eyang Guru Lodaya itu berubah kulit.

Pada wajah raut mukanya mulai terlibat ditumbuhi oleh munculnya banyak bulubulu yang dengan cepat merata ke seluruh tubuhnya.

Pada pantatnya pun kemudian keluar ekor panjang.

Eyang Guru Lodaya itu telah berubah menjadi macan tutul.

Kemudian dengan mengeluarkan suara menggeram, macam tutul itu tiba-tiba meloncat gesit menyerang Warok Wulunggeni yang masih agak terbengong menyaksikan perubahan pada tubuh Eyang Guru Lodaya, baru kali ini seumur hidupnya, Warok Wulunggeni melihat keanehan ilmu kanuragan yang dimiliki oleh gunu padepokan yang sakti mandraguna itu .Terjadilah pergumulan sengit.

Suara keras macan tutul itu, mengerang-ngerang dengan tujuan untuk mengganggu saraf pendengaran bagi lawannya.

Namun nampaknya, Warok Wulunggeni pun memiliki jurus untuk menghalau getaran suara yang dapat mengganggu saraf dan membuyarkan konsentrasi lawan itu, sehingga usaha untuk mempengaruhi kekuatan indera pendengaran lawan melalui suara raungan macan tutul itu kurang berhasil.

Akan tetapi, kekuatan jurus-jurus serang yang dilancarkan oleh macan tutul itu sangat bervariasi, dan memiliki kecepatan gerak yang begitu gesit.

Sehingga, kekuatan macan tutul itu tidak saja berusaha meruntuhkan kekuatan indera tetapi juga ditopang oleh kekuatan bathin dan daya 'linuwih' yang tersimpan pada tiap ujung kuku dan taringnya.

Oleh karena itu kemudian telah mengubah pergeseran perimbangan kekuatan.

Posisi Warok Wulunggeni makin terjepit.

Tidak berapa lama kemudian daya kesiagaan indera Warok Wulunggeni menjadi lengah, sehingga membuat dirinya terjatuh beberapa kali bergelimpang sulit menghadapi terkaman macan tutul yang begitu lincah itu.

Walaupun dalam beberapa kali terkaman nampaknya macan tutul itu mempunyai kesempatan untuk menggigit dan mencakar tubuh Warok Wulunggeni dengan kukunya, tetapi rupanya hal itu tidak pernah dilakukan.

Mungkin saja, macan tutul dari jadian Eyang Guru Lodaya itu tidak ingin melukai calon muridnya itu, hanya mau memberikan pengujian ketangkasan saja.

Sehingga ia tidak menggigit dan mencakar seperti yang seharusnya dilakukan oleh macan yang menggunakan naluri hewaninya.

Walaupun wujud bentuknya macan tutul, tetapi perangai dan perilakunya tetap sebagaimana layaknya manusia biasa.

Warok Wulunggeni berusaha mengerahkan ilmu bathin dan kemampuan ilmu kanuragan yang dimilikinya.

Dengan mengerahkan kekuatannya itu, Warok Wulunggeni pada akhirnya dapat berhasil menjerat macan tutul itu.

Dengan sigap Warok Wulunggeni menggunting perut macan tutul itu, dan mencekik lehernya, berusaha untuk mengunci kekuatan gerak macan tutul itu dengan menerapkan jurusjurus kuncian yang diandalkan.

Akan tetapi seketika itu, macan tutul itu telah terkunci, sehingga sulit bergerak, tibatiba macan tutul itu berubah bentuk menjadi macan loreng yang lebih besar.

Kuncian yang dipasang oleh Warok Wulunggeni untuk mematikan gerakan macan tutul itu seketika terlepas.

Warok Wulunggeni terlempar keras beberapa langkah ke belakang hampir tergelepar.

Begitu dahsyat kekuatan macan loreng itu seakan-akan telah berubah menjadi kekuatan dua kali lipat dari keluatan macan tutul sebelumnya.

Belum sempat Warok Wulunggeni mengatur peredaran darahnya yang agak terhenti akibat lemparan tenaga dalam macan loreng itu, tiba-tiba macan loreng besar itu nampaknya telah siaga akan menyerang kembali.

Warok Wulunggeni segera mencoba menerapkan aji-aji samber bledek yang merupakan senjata andalannya yang kalau seseorang tidak menguasai ilmu perangkat daya lebih, maka bila terkena aji-aji andalan itu pasti langsung mati tergelepar.

Macan loreng yang sedianya akan menerkam itu, kemudian surut kembali beberapa langkah ke belakang.

Ia agaknya sangat maklum dan mengerti benar akan kehandalan ilmu aji-aji samber bledek itu yang bisa mematikan lawan yang terkena.

Maka kemudian macan loreng jadian dari Eyang Guru Lodaya itu tiba-tiba berubah menjadi macan gembong besar.

Walaupun tubuhnya begitu besar, namun mudah tertangkap oleh indera penglihatan orang awam. Gerakannya begitu cepat dengan didukung oleh kekuatan yang juga begitu dahsyat seperti badai lewat.

Warok Wulunggeni nampaknya sampai tidak sempat melepaskan ilmu aji-aji samber bledeknya itu ketika tiba-tiba macan gembong dengan cekatan menerkam tubuhnya.

Ia kalah cepat daripada gerakan macan gembong besar itu.

Belum-belum Wulunggeni sudah berada dalam cengkeraman macan gembong besar itu.

Daya dorong tubuhnya terbelenggu oleh kekuatan dahsyat macan gembong itu, sehingga Warok Wulunggeni tidak berdaya untuk bergerak.

Macan gembOng itu dalam posisi sedang mengunci gerak Warok Wulunggeni yang nampak mulai sulit bergerak, menjadi tidak berdaya.

Dan tidak berapa lama, macan gembong itu berubah menjadi Eyang Lodaya kembali.

Perkelahian untuk menguji kemampuan Warok Wulunggeni itu kemudian diakhiri oleh Eyang Guru Lodaya yang nampak juga terengah-engah menahan nafas.

Baju hitam legamnya itu tampak basah kuyup terguyur keringatnya yang mencucur deras.

Guru Lodaya itu kemudian memasuki ruang biliknya untuk berganti pakaian barunya.

Demikian juga yang dilakukan oleh Warok Wulunggeni, ia nampaknya juga telah disediakan pakaian barunya untuk mengganti baju hitamnya yang juga sudah basah kuyup itu.

Setelah mereka berdua berganti pakaian barunya itu, nampak kedua laki-laki jantan itu kemudian duduk bersama di ruang tengah yang luas itu.

Tidak berapa lama kemudian muncul seorang dayang, perempuan berpenampilan luwes berumur setengah baya dengan tingkah laku yang amat bersopan santun yang mendalam, memasuki ruangan itu sambil membawa dua cangkir minuman hangat, dan teko besar yang terbuat dari tanah liat.

Berisi wedang jabe beserta singkong rebus yang masih hangat nampak mengepul asapnya.

"Bagus. Bagus Dimas Wulung. Engkau memiliki perbendaharaan ilmu kanuragan yang cukup bisa diandalkan, dan penuh bervariasi. Aku kagum juga atas kecerdikanmu mengolah seni gerak ilmu kanuragan ini. Luar biasa penerapan teknik-teknik pengendalian jurus jurusnya. Aku hampir kewalahan menghadapi jurus-jurus perangkap tipuan itu. Kalau aku tidak waspada betul, mungkin aku sudah masuk ke dalam jurus perangkapmu itu. Engkau mempunyai kemampuan mengolah berbagai kombinasi ilmu bela diri. Aku yakin engkau pun dalam waktu yang tidak lama juga akan dapat menguasai ilmu andalan dari lodaya ini,"

Kata Eyang Guru Lodaya memberikan pujian terhadap kehebatan ilmu kanuragan yang dimiliki oleh Warok Wulunggeni itu.

"Terima kasih, Eyang Guru. Hamba hanya berusaha memperagakan apa saja yang hamba punya agar Eyang Guru dapat mengetahui tingkat pengetahuan hamba,"

Jawab Warok Wulunggeni setelah duduk bersila dihadapan Eyang Guru Lodaya itu.

"Dasar-dasar keilmuan macan jadian ini nantinya ada titik singgungnya dengan daya alam. Ilmu kemampuan mengolah kekuatan daya alam untuk saling bersinggungan dengan daya yang ada pada tubuh diri kita sebagai manusia ini. Kekuatan yang terpadu antara unsur kemanusiaan dan alam. Unsur-unsur kehidupan, ciptaan Sang Hyang Tunggal, yaitu manusia yang paling sempurna, kemudian makhluk hewani, dan seterusnya tumbuh-tumbuhan itu. Semuanya itu adalah ilmu kehidupan. Kita memiliki beberapa unsur yang sebagian menyerupai binatang yaita kemampuan bergerak cepat yang dinamis. Sedangkan ilmu macan kita perdalam karena mengambil gerak yang cepat dan dinamis itu. Dasar tenaga dalamnya seperti biasa adalah unsur pengendalian pernafasan secara baik. Menghirup udara bersih yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan, kita tahan dalam tubuh, dan kemudian kita melepaskan kembali udara kotor agar diserap kembali oleh tumbuh-tumbuhan. Kemudian oleh tumbuh-tumbuhan diolah keluar kembali menjadi udara bersih yang merupakan daya pendorong bagi kehidupan manusia"

Demikian bunyi pelajaran pertanma yang diwejangkan oleh Eyang Guru Lodaya dihadapan Warok Wulunggeni seorang diri di pagi hari yang berudara sejuk itu.

"Hayo silahkan sambil diminum wedang hangatnya ini, Dimas Wulung. Kita istirahat sejenak dulu. Nanti kita mulai lagi beberapa dasar keilmuannya, dan langkah-langkah lanjutan pengembangannya."

"Terima kasih, Eyang Guru,"

Kata Warok Wulunggeni sambil mengangkat cangkir wedang hangat itu, kemudian menghirup pelan pelan wedang jahe, juga mencicipi singkong rebus hangat yang gembur merekah itu.

Pintu-pintu ruangan itu kemudian dibuka oleh para dayang dayang yang bertugas tiap hari untuk pekerjaan harian itu.

Terrnyata hari telah pagi.

Para cantrik terlihat dari jendela ruangan itu sudah banyak yang membersihkan tempat-tempat pemondokan mereka.

Dan sebagian dari mereka terlibat sedang melakukan senam pernafasam di pagi hari yang berudara segar itu.

Tidak ketinggalan para murid, baik murid laki-laki maupun perempuan yang mempunyai kewajiban menjalankan latihan pemanasan di pagi hari dengan tekun mereka pun berlatih bersama secara serius.

Eyang Guru Lodaya dan Warok Wulunggeni kemudian nampak berjalan-jalan memutari komplek padepokan itu sambil masih terlihat Guru Lodaya itu memberikan wejangan-wejangan yang didengarkan dengan seksama oleh Warok Wulunggeni yang dengan tekun pula mengikuti segala petuah pelajaraan yang baru saja diterima itu langsung dari guru panutannya itu.

******

KEHIDUPAN PADEPOKAN.

KEHIDUPAN di Pedepokan Lodaya itu nampak sangat tenang.

Suasana yang nyaman dengan keramahan para penghuni padepokan itu nampak terasa membuat kerasan bagi para penghuninya.

Bila siang hari terdengar tetabuhan gending dan suara tembang 'uyon-uyon' yang berirama halus melantunkan tembang-tembang yang bersyair berisi pelajaran dan falsafah hidup yang mendalam, memberikan gairah hidup bagi mereka yang mendengarkan, dibawakan oleh para murid murid perguruan Pedepokan Lodaya itu. Tiap murid mendapatkan jatah kamar berupa bilik-bilik yang tertata apik.

Mereka masing-masing menjaga kebersihan biliknya sendiri-sendiri.

Tiap bilik ukurannya tidak sama.

Ada bilik berukuran besar yang diisi oleh penghuni secara beramairamai terutama diperuntukan bagi para murid tingkat pemula.

Sedangkan bagi murid tingkat lanjutan atau yang sebelumnya telah menguasai dasar-dasar keilmuan yang mencapai ilmu tingkat tinggi, mereka mendapat jatah bilik sendiri-sendiri yang letaknya agak terpisah jauh berada di pinggir aliran sungai yang mengalir tenang pengelilingi lingkungan pedepokan itu. Demikian juga bagi posisi seperti Warok Wulunggeni ini, begitu diterima sebagai murid, langsung mendapatkan tempat bilik khusus karena ia dianggap sudah memiliki dasar-dasar keilmuan tinggi sebelumnya.

Ia datang sebagai murid untuk proses penambahan dan pengembangan ilmunya, maka ia mendapatkan tempat khusus itu agar tiap kali ia bisa leluasa melakukan meditasi sendiri tanpa ada gangguan dari orang lain, dan juga terlepas dari bimbingan guru.

Ia dapat melakukan latihan sendiri di biliknya itu agar tidak terganggu oleh orang lain

"Selamat pagi, Kangmas,"

Warok Ponorogo 3 Berburu Ilmu Kanuragan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba terdengar suara perempuan dari balik pintu depan biliknya.

Rupanya yang datang Sri Wiji Darmini nama seorang perempuan berparas cantik menawan yang tiap kali selalu setia mengantarkan jatah makanan bagi para penghuni bilik bilik khusus bagi mereka yang telah menguasai ilmu tinggi itu.

"Oh, Jeng Wiji. Mari Jeng, silahkan masuk,"

Kata Warok Wulunggeni dengan mimik muka yang ramah penuh simpatik menyambut kedatangan perempuan yang amat dikenalnya itu. Sri Wiji Darmini adalah perempuan yang berwajah melur, berkulit kuning langsat, bertingkah halus gemulai ini selalu menampakkan senyum manisnya yang mudah membuat berdesir hati tiap laki-laki yang memandang keelokan wajahnya itu.

Namun bagi Wulunggeni yang adalah seorang warok menurut aturannya tidak mudah melepaskan dirinya terkesima oleh perempuan secantik apa pun.

Itu pantangannya yang berkaitan dengan ilmu kanuragan yang dimilikinya dari Ponorogo.

"Kangmas Wulung sedang semedi too."

"Oh tidak kok, Jeng. Hanya ini ada kegiatan kecil, baru saja bersemedi, dan ini sedang menghafalkan mantra-mantra yang tadi malam diajarkan oleh Eyang Guru."

"Rupanya Eyang Guru sangat sayang yah, sama Kangmas Wulung "

"Tentunya tidak saya saja to Jeng yang disayang Eyang Gunu. Semua penghuni padepokan ini disayang oleh Eyang Guru. Kalau tidak disayang, mana mungkin Eyang Guru mau memberikan bimbingan kepada kita semua ini di sini,"

Kata Warok Wulunggeni sambil tersenyum ramah pula kepada tamunya yang masih dari lingkungan dalam padepokan ini .Nampak kedua laki-laki dan perempuan itu seperti layaknya sebagai saudara dekat yang sudah lama kenal.

Sekali-kali terdengar tertawa ria penuh kebahagiaan.

Mereka nampak semakin akrab saja dibuatnya.

Walaupun Sri Wiji Darmini sebenarnya tergolong perempuan yang berstatus janda.

Suaminya dulu, juga berasal dari salah seorang murid Guru Lodaya yang mati tidak tahan terhadap ujian yang berat ketika menempuh pendadaran pengujian tahap penyempurnaan ilmu itu.

Oleh karena itu, untuk meneruskan persaudaraan di antara kalangan pedepokan ini, isterinya ini pun akhirnya mengabdikan diri di Padepokan Lodaya ini.

Selain menjadi murid di pedepokan Lodaya ini, Sri Wiji Darmini juga mendapat tugas untuk mengurus makan bagi kalangan murid yang berilmu telah mencapai kesempurnaan, termasuk Warok Wulunggeni ini.

Sedangkan bagi murid pemula, untuk mengurus segala keperluannya, termasuk makannya harus diurus masing-masing.

"Jeng Wiji, pagi ini kok kelihatan makin cantik saja,"

Kata Warok Wulunggeni mencoba menggoda

"Ach Kangmas Wulung, ada saja."

Kata Wiji Damini sambil tersenyum-senyum di kulum nampak juga senang mendapatkan pujian dari Warok Wulunggeni yang selalu bersikap ramah kepadanya itu.

"Benar lo, Jeng. Saya saja jadi terkagum-kagum."

"Kangmas sendiri yang kelihatan makin gagah saja."

"Ach. Apa benar."

"Menurut Wiji, beberapa bulan belakangan ini Kangmas Wulung makin kelihatan gagah saja. Terutama sejak tinggal di padepokan ini, lo."

"Oh, berarti tergantung yang merawat dan yang mengasih makan."

"Iyah..hi...hi."

Kata Wiji Darmini sambil tertawa kalem.

"Berarti selama saya di sini makin ada kemajuan. Belum pernah ada orang yang mau memuji saya sebelum saya datang ke padepokan ini. Apalagi yang memuji perempuan secantik Jeng Wiji ini,"

Goda Warok Wulunggeni makin berani.

"Ach, Kangmas. Masak, orang jelek seperti begini kok di katakan cantik. Kangmas Wulung sendiri yang suka memuji Wiji."

"Lho, ini bukan memuji Iho, Jeng. Mengatakan yang sebenarnya saja...ha.. .ha..." kata Warok Wulunggeni sambil tertawa ceria.

"Jadi, kalau tidak ada kemajuan, mana mungkin Kangmas ditempatkan di bilik khusus bagi orang-orang yang telah menguasai ilmu tinggi ini di bilik sini seperti Kangmas Wulung ini."

"Ini barangkali lantaran kebaikan Eyang Guru saja to, Jeng."

"Bukan soal kebaikan Eyang Guru. Di bilik ini khusus diperuntukkan dihuni hanya oleh orang-orang istimewa yang sudah sangat menguasai ilmu-ilmu bathin dan ilmu kanuragan tinggi."

"Ach, masak to, Jeng."

"Ehhh, Kangmas Wulung ini bagaimana kok belum mengerti juga. Kalau bukan bagi penghuni berilmu tinggi manamungkin Wiji yang mengurus makannya. Kalau masih murid rendahan harus tinggal di bilik ramai-ramai dan mengurus makan sendiri. Bukan Wiji yang mengurus makan mereka."

"Wah, kalau demikian saya harus berhutang budi kepada Jeng Wiji."

"Bukan hutang budi, Kangmas. Wong ini sudah menjadi kewajiban saya untuk mengurus bilik-bilik khusus ini."

"Waduh. Hebat juga. Saya benar-benar berterima kasih sama Jeng Wiji."

"Jangan berterima kasih kepada Wiji. Berterima kasih kepada Sang Hyang Tunggal yang telah memberi anugerah ketinggian ilmu kepada Kangmas Wulung. Begitu kan yang baik,"

Kata Wiji Damini sambil tersenyum manis yang membuat hati Warok Wulunggeni makin kesengsem saja. Lama-lama nampak kedua insan itu tertawa lepas kelihatan bahagia penuh canda ria.

"Kangmas, kalau sudah selesai berguru dari padepokan ini, apakah Kangmas Wulung akan menetap di sini terus atau pulang ke Ponorogo"

"Mungkin pulang ke Ponorogo.

"Mengapa tidak menetap saja di sini".

"Ada persoalan berat yang harus saya selesaikan di Ponorogo"

"Persoalan apa, Kangmas. Kalau boleh tahu".

"Yah. Biasa. Persoalan antar laki-laki".

"Berebut soal perempuan"

"Hah. Apa. Berebut perempuan. Mana ada ceriteranya berebut soal perempuan dibuat sampai begitu mendalam"

"Lalu, apa kira-kira, Kangmas"

"Soal harga diri sebagai laki-laki"

"Apa itu maksudnya"

"Suatu saat aku ingin menuntut kehormatan. Harga diriku pernah terinjak-injak di muka umum".

"Jadi soal perkelahian"

"Iyah. Jeng"

"Ohh, begitu"

"Oleh karena itu, pada suatu saat aku harus tetap kembali ke Ponorogo"

"Wiji boleh ikut, Kangmas Wulung"

"Hahh. Apa saya tidak salah dengar"

"Tidak, Kangmas. Apa Wiji boleh ikut ke Ponorogo".

"Apa nanti tidak dimarahi oleh Eyang Guru. Siapa yang akan mengurus orang-orang di sini".

"Kalau yang mengajak Kangmas Wulung, pasti dijinkan oleh Eyang Guru"

"Ach, jangan, Jeng. Saya takut kena marah Eyang Guru".

"Takut kena marah, atau takut saya ikuti". Keduanya lalu tertawa ceria kembali

"Jeng Wiji. Tadi malam saya mendapat petuah dari Eyang Guru untuk melakukan puasa. Ada banyak jenis puasa yang harus saya lakukan mulai besuk. Eyang Guru mengatakan tadi malam agar saya memberikan daftar waktu-waktu puasaku ini untuk diberikan kepada Jeng Wiji, sebab yang akan mengatur makannya katanya Jeng Wiji."

"Memang benar, Kangmas. Wiji yang selama ini diberi tugas untuk mengatur makan bagi para murid tingkat tinggi yang akan melakukan puasa"

"Ini daftarnya, Jeng Wiji. Aslinya telah aku simpan dan ini tulisanku yang aku salin untuk Jeng Wiji"

Setelah secarik tulisan yang tertulis di atas daun lontar itu dibaca oleh Sri Wiji Darmini, ia nampak terkejut.

"Wah banyak sekali puasa yang harus Kangmas lakukan"

"Begitulah perintah Eyang Guru"

"Coba aku baca satu per satu petuah Eyang Guru ini, Kangmas. Pertama, Kangmas harus melakukan puasa Ngrowot, berpantang makan nasi, pantang makanan rasa manis, pedas, dan asin.Setelah itu selesai dikerjakan, harus dilanjutkan melakukan Puasa 'Ngidang', hanya boleh makan dedaunan saja dengan tangan diikat rapat di bambu kuning, tiap kali akan makan harus langsung menggunakan dengan mulutnya tidak boleh dengan tangan atau kaki. Puasa Mendem, tinggal di dalam lubang tanah, tidak boleh kena sinar matahari atau sinar apa pun, seperti orang mengubur diri. Lalu, harus melakukan puasa Pati Geni, harus bertapa di dalam bilik, tidak boleh melihat api, tidak dibolehkan minum, tidak boleh makan, tidak boleh tidur sepanjang sehari semalam. Kemudian, harus melakukan puasa Mutih', hanya boleh makan nasi putih, tidak boleh disertai lauk-pauk, minum hanya boleh air putih dari sumur tua di samping bilik yang ada tanaman pohon kamboja putih, mulai tengah malam sampai tengah maiam hari berikutnya. Puasa Ngalong, bolehnya hanya makan buah-buahan, semalaman tidak boleh tidur, mata tidak boleh terpejam, harus melotot seperti kalong. Puasa Ngasrep, hanya boleh minum air putih dingin tanpa boleh dicampur apa pun, dan makan makanan yang sudah dingin. Puasa 'Ngepel, boleh makan nasi dengan cara dikepeli sebanyak per angka ganjil. Lalu puasa 'Ngebleng', tidak boleh makan minum jenis apa pun, tidak boleh tidur semalam suntuk kecuali saat akan terbit matahari, tidak boleh keluar dari bilik meskipun hanya untuk keperluan berak dan kencing, tetap dilarang keluar bilik. Waduh, bagaimana ini Kangmas, kalau sudah kebelet banget pengin mau berak apa bisa tahan tidak dikeluarkan".

"Yah harus dilakukan demikian sesuai petunjuk Eyang Guru. Semua harus dilakukan di dalam bilik lo Jeng. Mudah-mudahan saya kuat menjalankan semua unut-urutan puasa itu semua"

"Wah, berat juga ya bagi orang yang mau menjalani mencari ilmu ini".

"Benar, Jeng Wiji. Maka orang kita sering menyebut Ngelmu yang maksudnya 'Angel lek nemu'. Sukar untuk mendapatkannya. Nah itu tadi. Makanya saya diharuskan untuk menjalani banyak jenis puasa yang begitu berat itu"

*****

MEMPERDALAM ILMU KADIGDAYAN.

SORE hari Warok Wulunggeni diperintah oleh Eyang Guru Lodaya untuk pergi ke pesisir pantai laut kidul.

Ia harus mencari tempat sepi yang sekiranya belum pernah ada orang yang menjamah tempat angker itu.

Daerah wingit yang 'gung liwang iwung .Setelah beberapa lama berjalan menyelusuri pantai scorang diri, memutari tempat-tempat di daerah pesisir itu, Warok Wulunggeni kemudian menemukan tanah gundukan yang diumbuhi pohon rindang tepat menghadap ke arah laut kidul. Di tanah gundukan itu, setelah Warok Wulunggeni melepaskan semua pakaiannya, ia kemudian bersila mengheningkan cipta.

Pikirannya ditujukan kepada bayangan kekuatan mahkluk halus yang datang dari arah laut kidul yang terbentang luas penuh dengan gelombang ombak yang mengganas itu.

Sebelumnya memang ia telah melakukan puasa 'patigeni' berpantang selama empat puluh hari empat puluh malam berturut turut.

Setelah membaca mantra-mantra yang pernah diajarkan oleh Eyang Guru Lodaya itu.

Pada malam hari itu sesajen yang dibawanya dari Pedepokan Lodaya itu dilarungkan ke dalam laut dengan menggunakan bambu apus.

Ombak seketika datang menggelombang, timbul getaran gelombang dan cahaya remang-remang yang menandakan sesajen itu telah dijemput oleh penguasa laut kidul yang menerima persembahan sesajen itu.

Isi sesajen yang terdiri dari telur berjumieah ganjil, ayam cemani atau ayam hitam yang seluruh tubuhnya hitam disajikan dengan dipanggang, ayam hitam ini mempunyai kekuatan magis yang sangat ampuh konon mampu memberikan pengaruh yang dahsyat, serta jajanan pasar beraneka rupa. Suara ombak laut itu tiba-tiba bergemuruh hebat seakan-akan menggetarkan bumi tempat berpijak manusia di alam jagat raya ini, Dari arah laut kidul tiba-tiba muncul bayang-bayang singa laut yang sangat besar dengan taringnya yang runcing mengaum-ngaum.

Warok Wulunggeni terus berkonsentrasi penuh.

Lamat-lamat terdengar suara lembut yang datang dari arah laut kidul itu

"Wulunggeni, engkau kini telah kemasukan daya lebih dari pecahan kekuatan ilmu singa laut yang kini induknya berada bersemayam di tubuh gurumu Pertapa Lodaya itu.
Teruskan usahamu untuk menyempurnakan ilmu kekuatan bathin ini agar engkau mendapat ketangguhan dalam dirimu.
Kembalilah sekarang ke padepokan Pertapa Guru Lodaya."
Warok Ponorogo 3 Berburu Ilmu Kanuragan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Suara itu tiba-tiba menghilang seketika.

Tubuh Warok Wulunggeni tiba-tiba terasa ringan seperti terbang.

Kemudian ia kembali ke alam kesadarannya seperti semula. Pagi harinya, Warok Wulunggeni sepulang dari pantai kidul, langsung menemui gurunya untuk melaporkan hasil meditasinya di pesisir laut kidul semalam

"Dimas Wulung.
Pada dirimu akan terus-menerus dilakukan pengujian.
Sekarang pergilah ke Bilik Angsa di sebelah sana itu.
Bakarlah dupa dan kemenyan agar datang para iblis jahat.
Mereka akan menyerangmu.
Coba hadapi dan uji kemampuan menghadapi raja iblis jahat itu dengan menggunakan aji-aji keilmuanmu,"

Ujar Eyang Guru Lodaya itu memberikan pengarahan selanjutnya.

"Sendika Eyang Guru. Hamba akan segera melaksanakan".

Tidak berapa lama, Warok Wulunggeni sudah berada di dalam sebuah bilik khusus yang diberi nama Bilik Angsa itu. Hanya bagi murid pada tingkatan tertentu saja yang dapat diperkenankan boleh memasuki bilik angker itu. Konon di tempat itu merupakan kediaman istana raja iblis jahat yang memang diperkenankan oleh Guru Lodaya untuk menempati bilik besar itu. Tujuannya adalah untuk memberikan latihan bagi murid-muridnya yang telah mencapai tingkatan lanjutan untuk berlaga melawan raja iblis jahat itu dan para pengikutnya yang jumlahnya ribuan. Bau bakaran dupa dan kemenyan segera terasa menyengat hidung yang datang dari arah bilik dimana Warok Wulunggeni telah terkungkung di dalamnya itu. Iblis jahat itu mempunyai kegemaran menyantap asap bebawan. Nampak bayangan bergentayangan di atas langit langit bilik itu menandakan iblis jahat itu sedang asyik bersantap menikmati makanannya itu. Tanpa basa-basi, Warok Wulunggeni memasang jurus perangkapaya untuk mengganggu iblis jahat yang sedang enak-enaknya menghisap makanan kegemarannya itu. Merasa diganggu oleh Warok Wulunggeni, iblis jahat itu murka besar. Matanya mencorong tajam memelototi ke arah Warok Wulunggeni yang telah berdiri tegar di hadapannya itu.

"Kurang ajar manusia tidak tahu budi. Orang lagi enak-enak bersantap makanan lezat, mau bikin gara-gara. Berani menggangguku, yah,"

Tanpa banyak kata lagi raja iblis jahat itu langsung menyerang Warok Wulunggeni.

Tidak berapa lama segeralah terjadi pertempuran sengit antara kedua mahkluk yang berlainan alam kedudukannya itu.

Hanya bagi orang yang "Iinuwih' berilmu tinggi seperti Warok Wulunggeni itu yang dapat menangkap gelombang getaran kehadiran mahkhuk halus itu. Pergumulan seru itu sudah tak terelakkan lagi.

Akhirnya raja Iblis jahat itu kalah, kemudian kabur meninggalkan bilik itu, entah kemana larinya, ia lepas begitu saja menerobos dinding dinding bilik itu bersama para anak buahnya yang terdiri dari ribuan Iblis jahat yang tadi ikut mengeroyok Warok Wulunggeni itu.

"Ha.. .ha... Wulung... Wulung...tunggu pembalasanku...Wulung...." masih terdengar suara ketawa nyaring menakutkan raja iblis itu, membuat berdiri bulu kuduk para murid penghuni Pedepokan Lodaya yang masih berilmu pemula.

Namun bagi mereka yang telah berilmu tinggi, kejadian seperti itu dianggapnya sebagai hal yang biasa saja. Warok Wulunggeni yang tidak berpakaian sama sekali ketika bertarung melawan raja Iblis itu, nampak sekujur tubuhnya basah kuyup oleh mengalirnya keringat yang terus mengucur. Setelah ia berkonsentrasi kembali untuk mengembalikan keseimbangan bathinnya, kemudian ia menyeka peluh yang meleleh di dahinya itu dengan membaca mantra-mantra agar dirinya tertutup dari serangan licik yang mungkin tiba-tiba datang ketika Warok Wulunggeni lengah. Begitu keluar dari dalam bilik itu, dihadapan Warok Wulunggeni telah berdiri Eyang Guru Lodaya itu dengan diiringi oleh lima orang pembantu utamanya, dan tidak jauh dari tempat itu berderet para murid yang lain yang duduk bersila mulutnya berkomat-kamit membaca mantra-mantra tolak bala.

"Selamat kepadamu, Dimas Wulung. Engkau telah lulus, satu langkah lagi ujian beratmu. Selanjutnya, datanglah engkau ke Lembah Sedayu, di sana mengalir air sungai yang menghanyutkan. Lembah wingit yang banyak dihuni oleh setan setan ganas. Daerah lembah itu berudara panas. Hati-hatilah Pasang jurus Tujum' yang telah aku ajarkan kepadamu itu. Apabila engkau tidak mampu menghadapi, panggil aku dengan jurus telepatimu itu. Tetapi aku perkirakan engkau mampu menaklukkan kekuatan magis mereka. Sekarang berangkatlah."

"Sendika Eyang Guru."

Tanpa banyak bicara lagi, Warok Wulunggeni berangkat menelusuri arah lembah yang di situ mengalir sungai bersuasana wingit.

Konon di tempat itu banyak dihuni oleh roh-rob jahat yang bergentayangan suka mengganggu manusia yang lewat daerah wingit itu.

Warok Wulunggeni diperintah oleh gununya harus berani dan mampu berhadapan dengan mahkluk mahkluk halus yang jumlahnya ribuan itu, tidak sampai oleh hitungan manusia biasa.

Warok Wulunggeni harus bertarung dikeroyok banyak mahkluk halus itu.

Pertarungan sengit terjadi, lama-lama mahkluk halus menjauh dan menghilang tidak tahan menghadapi kekuatan daya lebih yang dimiliki Warok Wulunggeni itu.

Setelah Warok Wulunggeni lolos dari macam-macam gangguan yang berasal dari kekuatan mahkluk halus itu, maka pada saatnya Guru Lodaya mengajarkan dasar-dasar yang hakiki dari ilmu macan jadian itu.

"Dimas Wulung, engkau kini telah terisi kekuatan bathinmu menghadapi segala rintangan yang ditimbulkan oleh kekuatan magis bersumber dari roh-roh dan mahkluk-mahkluk halus lainnya. Selanjutnya akan aku perkenalkan bagaimana engkau harus mampu mengubah dirimu, wadah kasar yang ada pada dirimu itu berganti menjadi wadah kasar seekor harimau,' suara Guru Lodaya itu terhenti sejenak, ia nampak sedang menarik nafas dalam-dalam, menahannya beberapa saat dan kemudian melepaskan pelan-pelan.

"Pada hakikatnya, " lanjut Eyang Guru Lodaya itu

"Wadah kasar dari manusia maupun binatang itu merupakan wujud benda. Dengan perantaraan kekuatan yang telah engkau kuasai, penciptaan pikiran itu akan mampu mengubah wadah kasar itu menjadi daya kekuatan. Kemudian daya kekuatan itu akan dapat diubah kembali menjadi wadah kasar. Jadi sebenarnya perubahan itu karena terjadi dalam pikiranmu itu. Wadah kasar harimau engkau pinjam, engkau simpan yang sewaktu-waktu dapat engkau gunakan untuk mengalihkan wadah kasarn.u berpindah ke wadah kasar harimau itu. Namun harus diingat, semua kejadian ini berada dalam kontrol penuh dipikiranmu, jangan sampai terlepas kalau tidak ingin mendapatkan celaka. Apakab engkau sudah mengerti segala uraianku ini, Dimas Wulung".

"Mengerti, Eyang Guru"

"Bagus. Sekarang saatnya engkau untuk melakukan latihan latihan mempraktekkan jurus-jurusnya. Ciptakan dalam pikiranmu, macan tutul itu. Konsentrasikan. Dan datanglah".

Warok Wulunggeni beberapa kali belum berhasil melakukan konsentrasi itu. Namun karena terus dilatih berulang-ulang sampai beberapa minggu terus menerus, maka akhirnya lambat laun ia mulai merasakan muncul kemampuannya. Berbulan bulan berlatih terus, dan tiba pada hari yang dimungkinkan ia telah berhasil menguasai ilmu macan jadian. Semula macan yang kecil dan tidak buas, kemudian berkembang menjadi macan tutul, lebih maju lagi sampai menjadi macan loreng yang buas bertaring panjang, dan cengkeraman kuku-kukunya yang tajam.

"Bagus, Dimas Wulung. Engkau telah berhasil menguasai ilmuku itu. Aku turut gembira atas ketekunan dan kemampuanmu ini. Terakhir sekali nanti engkau akan aku ajarkan jurus-jurus penutup sebagai penyempurnaan terhadap penguasaan ilmumu secara keseluruhan. Sekarang beristirahatlah sejenak. Kapan-kapan akan aku pilihkan hari baik agar membawa hasil yang juga baik,"

Perintah Guru Lodaya itu nampak puas melibat kemajuan muridnya yang satu ini.

******

PAMIT PULANG KAMPUNG.

SETELAH hampir lima tahun, Warok Wulunggeni belajar dengan tekun ilmu macan jadian di perguruan Padepokan Lodaya yang terletak di daerah Blitar Selatan itu, maka kini ia oleh Eyang Guru Lodaya dianggap telah merampungan pelajarannya.

Warok Wulunggeni dinyatakan sudah bisa menguasai ilmu lodaya itu walaupun penguasaannya belum setinggi gurunya, tetapi ia dianggap telah hampir satu taraf di bawah tingkatan gurunya.

Warok Wulunggeni, memang ia termasuk salah seorang mund yang beruntung, karena ia tidak belajar mulai dari tingkat bawah.

Oleb Guru Lodaya, ia langsung dibawa naik masuk pada tingkatan ilmu ilmu yang lebih tinggi untuk jenjang keilmuan di Padepokan Lodaya.

Pertimbangan Guru Lodaya itu mungkin karena Warok Wulunggeni telah dianggap memiliki dasar-dasar kemampuan keilmuan kanuragan yang juga cukup tinggi sebelumnya.

Berbubung telah dinyatakan lulus ujian dalam mengikuti pendadaran akhir terhadap penguasaan ilmunya, maka pada suatu hari Warok Wulunggeni berpamit diri untuk pulang kembali ke kampung halamannya di Ponorogo.

"Eyang Guru, berhubung Eyang Guru telah mengakhiri pelajaran bagi diri hamba. Mohon berkenan Eyang Guru mengijinkan hamba untuk kembali pulang ke kampung halaman hamba"

"Yah. Baik Dimas Wulung. Hanya pesanku, jangan sembronoan dalam menggunakan ilmu macan loreng yang telah engkau kuasai itu. Sebab sangat berbahaya. Apabila engkau tidak mampu menguasai emosimu, akan membawa celaka pada dirimu sendiri. Gunakan ilmu itu benar-benar hanya untuk bela diri. Untuk mempertahankan diri, dan membela pada kebenaran."

"Akan hamba ingat selalu pesan dan segala nasehat Eyang Guru."

"Bersiaplah agar engkau di perjalanan nanti tidak mengalami kesulitan. Bawalah perbekalan secukupnya yang engkau perJukan. Sri Wiji Damini, mintai tolong untuk mempersiapkan bekal makanan dan minuman secukupnya. Dan aku akan menyelenggarakan acara pamitanmu itu nanti malam mengundang semua murid di padepokan pada acara makan malam nanti."

"Matur nuwun. Terima kasih, Eyang Guru."

Setelah semalaman diadakan acara perpisahan Warok Wulunggeni dengan para murid, para sesepuh, para pengurus pengelola padepokan, dan Eyang Guru Lodaya sendiri, pada pagi harinya Warok Wulunggeni sudah terlihat akan meninggalkan Padepokan Lodaya itu dengan mengendarai kudanya. Sudah hampir lima tahun ini ia hidup di lingkungan padepokan yang tenang, keramahan para penghuninya, kini ia harus berpisah. Tidak terasa air mata Warok Wulunggeni bercucuran mengalir. Rasa harunya timbul seketika. Ia merasa berhutang budi kepada seluruh penghuni padepokan ini, terutama atas kebaikan Eyang Guru di Padepokan yang dengan tekun dan ihklas mau membimbing dan menurunkan ilmunya kepadanya walaupun ia orang asing dari luar daerah, dan ada sejumlah persoalan masa lalu di masa pemerintahan Kerajaan Bantaran Angin dan Kerajaan Lodaya. Namun semua hal itu untungnya tidak menimbulkan sentimen bagi para penghuni padepokan itu yang ternyata orang-orangnya adalah sangat berbaik hati, lapang dada, dan huas pandangan.

Ketika ia hendak menaiki kudanya, tiba-tiba terdengar ada suara lirih perempuan menyapanya dari belakang. Suara yang amat dikenalnya selama ini, Sri. Wiji Darmini. Orang yang selalu sabar mengatur dan menyediakan makanan serta minuman bagi keperluan Warok Wulunggeni selama ia menjalani hidup di Padepokan Lodaya ini

"Kangmas Wulung"

"Oh Jeng Wiji,"

Kata Warok Wulunggeni sambil mengikat kembali kudanya pada pohon sawo kecik itu mengurungkan niatnya mau menaiki kuda itu.

"Kangmas jadi berangkat pagi ini".

"Iyah, Jeng,"

Jawab Warok Wulunggeni dengan berusaha tersenyum seramah mungkin.

"Apa saya boleh ikut, Kangmas"

"Lho. Kenapa. Jangan. Nanti bisa membuat tidak enak Eyang Guru. Jangan, Jeng. Nanti tidak lama lagi saya juga akan kembali lagi kemari. Saya sudah menganggap pedepokan ini seperti kampung halaman sendiri. Kita hidup bersaudara di sini. Saya amat bahagia dan berterima kasih banyak kepada Jeng Wiji atas segala kebaikannya selama saya tinggal di sini."

Suasana menjadi sunyi. Nampak perempuan itu menundukan kepalanya. Dari pelupuk matanya mulai mengalir air matanya. Warok Wulunggeni berusaha mendekat dengan perasaan yang juga tidak menentu. Harus bersikap bagaimana untuk mengendalikan perasaannya yang bercampur tidak karuan

"Jeng Wiji, apa yang terjadi terhadap diri Jeng Wiji."

"Kangmas apa tidak 'tresno sama Wiji"

"Yah...yah...sangat sayang sama Jeng Wiji. Maafkan saya, Jeng. Barangkali selama ini saya terlalu banyak membuat kesalahan".

Suasana kembali sunyi senyap. Hanya sekali-kali terdengar kokok ayam jantan yang menandakan datangnya pagi hari. Suara cicit burung-burung mulai terdengar bersautan gembira menyambut datangnya pagi hari yang indah, berudara sejuk berembun ini.

"Kangmas berjanji akan kembali".

"Tentu. Tentu, Jeng Wiji. Aku akan kembali."

"Tetapi kembali untuk Eyang Guru atau untuk Wiji"

"Untuk semuanya"

"Lho kok semuanya. Apa Kangmas tidak punya perhatian sama Wiji"

"Yah tentu sangat perhatian to, Jeng. Bagaimana tidak perhatian sama leng Wiji. Selama saya hidup di sini siapa lagi yang mengurus makan minum saya kalau bukan Jeng Wiji. Tentu saja saya sangat berterima kasih dan berhutang budi kepada Jeng Wiji. Dan sangat perhatian kepada Jeng Wiji"

"Kangmas. An...a.. .an.. .maaf..maaf yah Kangmas kalau Wiji terlalu lancang"

"Ach. Tidak apa Yah. Ada apa, katakan saja Jeng Wiji. Ada apa"

"Witing tresno jalaran soko kulino. Tolong, ambil Wiji menjadi isteri Kangmas"

Mendengar ucapan yang terus terang tanpa 'tedeng aling aling' itu, Warok Wulunggeni dibuatnya menjadi tergagap seketika. Ia seperti tidak percaya mendengar pengakuan perempuan yang selama ini memang amat diperhatikan itu.

Animorphs 5 Serangan Nekat Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu

Cari Blog Ini