Ceritasilat Novel Online

Bidadari Penebar Maut 2

Raja Gendeng 22 Bidadari Penebar Maut Bagian 2


"Bagaimana kalau ini semua hanya jebakan, gusti?"

Kata Jiwa Pedang membuat Raja tertegun dan keheranan.

"Jebakan? Siapa yang menjebak? Bagaimana kau bisa bicara seperti itu, Jiwa sahabatku?"

Raja mendengar helaan nafas dalam Jiwa Pedang. Mahluk alam roh itu pun berujar.

"Alam Nyata dan alam gaib mempunyai batas. Ada ketentuan serta aturan yang tidak boleh dilanggar oleh masing-masing penghuninya. Manusia penghuni alam nyata tidak bisa seenaknya gentayangan dialam gaib. Penghuni alam gaib juga demikian. Memang aneh bila ada gadis yang memiliki tubuh kasar bisa terperangkap di alam gaib. Saya merasa ada yang tidak beres. Pasti ada sesuatu dibalik keberadaannya di tempat itu." terang Jiwa Pedang

"Makanya kita harus ke sana. Kita tolong gadis itu. Setelah kita berhasil membawa gadis itu dari sana, baru kita bertanya apa yang menjadi pangkal sebab segala kemalangan yang dialaminya."

Ujar Jiwa Perempuan.

"Apa yang dikatakan Jiwa Perempuan ada benarnya juga, Jiwa Pedang. Kita selamatkan dulu gadis itu."

"Saya tidak berani membantah keputusan gusti,walau hati kecil saya mengatakan tidak. Dan sebagai sahabat yang selalu mendukung saya tetap akan mengikuti gusti sungguhpun gusti memutuskan untuk pergi ke akhirat. He he he...!"

"Kurang ajar. Jadi kau menyuruhku mati secepatnya? Kawin saja aku belum, Merasakan betapa serunya malam pertama cuma sebatas angan-angan. Masih banyak gadis-gadis cantik, tidak sedikit janda-janda kedinginan. Kalau aku mati kepagian siapa yang akan mengurusi mereka? Ha ha ha!"

Dengus sang pendekar disertai gelak tawa

"Gila...." rutuk Jiwa Perempuan.

Merasa kesal mendengar gurauan kedua orang itu maka Jiwa Perempuan langsung menimpali.

"Serahkan saja pada bandot-bandot tua pelalap daun muda dan kakek-kakek bau tanah pasti beres. Hik hik hik!"

"Beres kepalamu bau menyan, Jiwa Perempuan...."

Sahut Jiwa Pedang kembali mengekeh

"Yah, dia benar.Kalau diserahkan pada bandot tua mana ada gadis yang suka dengan bau kambing.Diserahkan pada kakek-kakek aku malah jadi iba, jangan-jangan baru mendayung perahu setengah jalan, si kakek malah putus nafasnya."

"Hah, apa. Apakah setiap kakek suka berperahu?"

Tanya Jiwa Perempuan polos

"Jangankan kakek bandotan, yang sudah lumpuh tidak bisa apa-apa dan sudah bau tanah juga masih mau."

Celetuk Jiwa Pedang lagi-lagi ketawa.

Setelah bicara melantur tak karuan kejuntrungannya, tiba-tiba saja Raja berkata.

"Sudah Jangan diteruskan. Apa nanti kata orang, melihat aku bicara sendiri sambil tertawa begini dikiranya aku gila."

"Bukankah gusti sudah dikenal dengan nama Raja Gendeng. Apakah Gendeng bukan berarti gila?"

Sahut Jiwa Perempuan.

"Gendeng-gendeng begini aku ini Raja sungguhan. Sudahlah! Sekarang kalian lebih baik kembali ke hulu pedang. Aku hendak menuju ke bukit itu."

Setelah berkata demikian, murid nenek bawel Nini Balang Kudu yang berdiam di dasar laut selatan ini segera berkelebat tinggalkan lembah dan pancuran bambu.

Karena petunjuk yang diberikan oleh Jiwa Perempuan dan Jiwa Pedang maka untuk menemukan penghubung pintu menuju alam gaib itu tidak begitu sulit.

Ketika berdiri di depan pintu aneh berbentuk bundar, bening, seolah dilapisi air, Raja melihat kepulan asap tebal berwarna putih laksana hamparan kabut. Sambil berkemak-kemik membaca doa-doa sebagaimana yang pernah diajarkan gurunya ketika berada di gua mayat es,sang pendekar julurkan tangan kanannya.

Maksudnya hendak menyentuh tabir tipis seperti lembaran air membeku.

Namun tiba-tiba dia merasakan sekujur tubuhnya jadi merinding.

"Aku merasa seperti hendak masuk menuju ke alam kematian. Ada hawa dingin aneh menebar dari balik pintu gerbang alam gaib ini." membatin Raja dalam hati.

"Ketuklah pintu tiga kali, ucapkan salam sebagaimana biasanya orang yang bertamu!"

Sekonyong-konyong Raja dikejutkan oleh terdengarnya suara orang bicara. Dan suara itu bukan ngiangan dari kedua jiwa sahabatnya.

"Baiklah." gumam sang pendekar sambil menghembuskan nafas dalam-dalam.

Tanpa peduli siapa saja yang baru bicara, Raja mengetuk tabir tiga kali lalu mengucap salam tiga kali.

Ketika jemari tangan menyentuh tabir bening itu,tabir bergoyang membentuk gelombang selayaknya sebuah benda menyentuh permukaan air.

"Tamu dipersilakan masuk. Yang masuk sulit keluar. Yang tersesat tak pernah pulang. Terkecuali bagi mereka yang berhati lurus, berniat tulus dan membaktikan diri dalam kebaikan!*"

Suara itu lenyap lalu..

Seer!

Seperti pecahan butiran kaca, tirai bening sesejuk air itu luruh berhamburan jatuh ke bawah.

Memandang ke depan dengan hati berdebar. Raja melihat dibalik pintu gaib ternyata yang ada hanyalah kegelapan semata.

Tidak ada lampu, tidak ada nyala pelita.

"Di luar sana di dunia kehidupanku, bukankah masih siang hari?"

Batin Raja.

"Gusti. Jangan banyak berpikir. Gusti baru saja hendak memasuki sebuah kehidupan penuh dengan kesesatan dan tipuan mata. Masuk saja, kami akan selalu berjaga-jaga. Jika ada bahaya kami kami akan memberi tahu!"

Terdengar suara mengiang di telinga Raja.

Pemuda ini tahu, Jiwa Pedang baru saja berbicara.

Sambil anggukan kepala tanpa ragu Raja segera melangkahkan kaki.

Berjalan memasuki dunia gaib yang dibalut dengan kegelapan abadi. Sang pendekar merasakan nyawanya seperti terbang.

Tubuh mengkeret merinding seakan dia memasuki alam kematian, Tapi dengan segenap keberanian yang dia miliki dan didukung oleh rasa percaya diri yang sangat tinggi maka sambil melangkah lebih ke dalam Raja diam-diam salurkan tenaga dalam kebagian tangan.

"Apakah kalian bisa melihat di dalam kegelapan seperti ini?"

Bertanya Raja ditujukan pada kedua sahabatnya yang berdiam di hulu pedang.

"Bisa."

Jawab Jiwa Perempuan.

"Kami bisa melihat dalam segala keadaan, gelap dan terang tidak ada bedanya karena kami tidak mempunyai raga kasar seperti gusti!"

Kata Jiwa Pedang pula.

"Mahluk halus."

Gumam pemuda itu.

"Banyak mahluk dunia gaib bisa menampakkan wujud, tapi mereka butuh kekuatan besar untuk menampilkan wujud mereka."

Pikir sang pendekar.

Baru saja pemuda ini berpikir demikian.

Kemudian menggerakkan kepala dan matanya ke segenap penjuru sudut.

Tiba-tiba saja suasana gelap pekat yang menyelimuti kawasan itu berubah menjadi temaram.

Kemudian perlahan namun pasti diketinggian langit muncul satu cahaya.

Cahaya itu berwarna kuning keemasan.

Walau tidak seterang matahari namun cukup membantu penglihatan sang pendekar untuk mengenali apa saja yang berada di sekitarnya.

"Matahari muncul! Mengapa cahayanya meredup seperti obor?"

Kata Raja seakan ditujukan pada dirinya sendiri.

"Gusti. Ditempat ini matahari muncul hanya sekejab mata dalam sehari. Bila sekarang gusti dapat melihat semua yang berada disekeliling gusti itu bukan karena bantuan matahari. Lihatlah ke langit!"

Saran Jiwa Perempuan.
Perlahan Raja dongakkan kepala. Menatap ke langit dia tidak menemukan matahari melainkan bulan. Bulan yang dilihat Raja bukanlah bulan sabit atau bulan purnama melainkan bulan berbentuk aneh, bulan berbentuk gambar hati yang setengah retak.

Melihat kearah bulan dalam bentuk yang sedemikian ganjil, Raja tersenyum malah tak kuasa menahan tawa.

Tapi tiba-tiba dia merasakan ada tangan yang tidak tertihat mendekap mulutnya.Raja meronta dan siap hendak mendamprat. Namun sebelum suaranya terlepas dari mulut, terdengar suara mengiang mendahului.

"Tidak ada yang lucu. Tak ada yang patut ditertawakan. Yang gusti saksikan bukan sebuah kelucuan tapi sebuah keanehan, dimana mahluk seperti saya pun baru sekali ini melihatnya!"

Kata Jiwa Perempuan memberi tahu. Raja tertegun sekaligus menelan ludah.

"Begitu? Tapi jauhkan tanganmu yang bau itu dari mulutku!"

Dengus Raja dengan suara di hidung. Dia kemudian merasakan tangan Jiwa Perempuan diangkat menjauh dari wajahnya. Memandang ke langit dengan wajah dibayangi rasa tidak mengerti pemuda itu tiba-tiba menggumam.

"Bukan bulan sabit, tapi bulan retak. Mengapa bulan muncul dalam keadaan seperti itu?"

"Gusti, bulan ditempat ini walau sama seperti bulan di dunia kehidupan gusti. Namun di tempat ini kehadiran bulan dengan bentuknya itu mewakili suasana para penghuninya. Bulan bergambar separoh hati menurut pengalaman saya menggambarkan Suasana hati seseorang atau lebih yang memiliki ilmu kesaktian tinggi sedang diliputi dendam kesumat dan amarah yang luar biasa. Kemarahan menimbulkan kebencian yang hebat. Kebencian dikuti dengan keinginan untuk membunuh. Dibalik semua yang saya sebutkan, ada sesuatu yang ingin diraih dan hendak didapatkan. Tapi orang itu cemas karena sesuatu yang ingin dia dapatkan terrnyata juga menjadi incaran seseorang yang mempunyai kekuatan dan kesaktian yang sama."

Terang Jiwa Pedang.

"Pengetahuanmu tentang dunia gaib lebih baik dariku. Coba katakan mahluknya yang membuat penampilan bulan seperti itu?"

Tanya Raja.

"Sulit untuk menduganya gusti. Saya hanya bisa merasakan seseorang datang dari dunia dingin. Satunya lagi datang dari daratan sunyi penuh benci. Yang dari daratan sunyi saya tidak bisa tahu siapa dia, karena dia dilindungi oleh kekuatan kekuatan jahat yang selalu mendukung setiap langkahnya."

"Yang dari dunia dingin itu? Apakah tidak keliru kalau kukatakan orang itu hidupnya di air?"

Tanya Raja.

"Hmm ternyata biarpun gendeng otak gusti cukup pandai untuk menafsirkan sesuatu."

Kata Jiwa Pedang sambil menahan tawa.

"Jiwa Pedang. Jangan bicara berpanjang kata sampai lidah terjulur mulut berbusa-busa. Katakan saja yang jelas dan singkat, biar gusti Raja tidak keburu pegal mendengarnya."

Tukas Jiwa Perempuan.
Rupanya mahluk yang satu ini sudah tidak sabar melihat Jiwa Pedang yang dilihatnya terlalu berbelit-belit dalam berkata-kata. Pada hal saat itu Jiwa Perempuan mulai merasakan kehadiran mahluk-mahluk lain dikeremangan itu.

"Baik saya tahu. Sekarang biar saya perjelas lagi."
Raja Gendeng 22 Bidadari Penebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Kata Jiwa Pedang tanpa menghiraukan ucapan Jiwa Perempuan.

"Seperti yang gusti katakan kekuatan itu satunya memang berasal dari kehidupan air."

"Lalu yang dari daratan apakah datang dari tempat ini?"

Tanya sang pendekar tidak sabar

"Saya tidak sanggup menjajakinya. Seperti yang saya katakan, ada tiga kekuatan jahat yang melindunginya. Tidak hanya melindungi, dimasa kecil menjadi membawa kebencian, tiga kekuatan itu pula yang mengasuhnya."

"Semua yang kau katakan, sangat menarik. Namun aku belum puas karena masih banyak pertanyaan yang mengganjal hati. Sekarang sebaiknya kita temukan dulu gadis yang dilihat Jiwa Perempuan."

Setelah memutuskan demikian, Raja ajukan pertanyaan pada Jiwa Perempuan.

"Kau yang paling tahu dimana gadis itu..."

Belum sempat sang pendekar selesaikan ucapan, tiba-tiba saja Jiwa Pedang melalui suara mengiang berseru

"Gusti, kita terkepung..."

Walau sejak awal memasuki pintu gaib. Raja telah bersikap waspada tak urung sang pendekar sempat terperangah mendengar seruan Jiwa Pedang.

Sambil melangkah ke depan satu tindak pemuda ini lipat gandakan tenaga dalam dan mengalirkannya ke kedua belah tangannya.

"Mereka ada dimana!"

Seru Jiwa Perempuan pula.

Karena belum melihat siapa yang datang, Raja memilih diam tetapi juga segera memerintahkan kedua sahabatnya untuk mempersiapkan diri.

Tiba tiba saja terdengar suara raungan.

Seiring dengan terdengarnya suara itu, bulan sebelah diketinggian langit memancarkan cahaya lebih terang.

Terangnya cahaya disertai dengan munculnya suara bergemuruh mengerikan yang datang dari segenap penjuru sudut yang gelap.


******


Iring-iringan rombongan kecil berkuda yang dipimpin oleh dara jelita berpakaian cokelat itu akhirnya memasuki alun-alun kadipaten Salatigo.

Menyusul dibelakang si gadis berkuda yang tak lain adalah Bunga Jelita yang juga dijuluki Bunga Kembang Selatan itu, seorang nenek gemuk gembrot berpakaian kuning berambut disasak ke atas mirip sarang lebah.

Disebelah nenek gemuk yang bernama Limbuk Ayu mengiringi dua orang kakek berhidung mancung mirip paruh burung.

Kakek yang berpakaian putih yang hidungnya terluka bersenjata arit besar tak lain adalah Bagus Lara Arang.

Sedangkan kakek di sebelahnya bersenjata sapu berpakaian hitam mewah selayaknya bangsawan keraton bernama Ki Demang Sapu Lengga.

Walau antara Ki Demang dengan kakek Bagus Lara Arang mempunyai kemiripan wajah, namun diantara keduanya tidak mempunyai hubungan darah.

Agak dibelakang orang-orang ini ada sebuah kereta kuda sederhana memuat sebuah peti mati yang dikawal oleh beberapa penjaga yang juga menunggang kuda.

Iring-iringan rombongan kemudian memasuki halaman pendopo tempat kediaman Adipati Salatigo Cakra Abiyasa.

Beberapa penjaga yang bersiaga di gerbang langsung bungkukkan badan sebagai tanda penghormatan begitu melihat siapa yang datang.

Dara cantik itu kemudian hentikan kuda.

Setelah melompat turun dari punggung kuda yang menjadi tunggangannya dan menyerahkan kuda pada seorang perawat kuda, Bunga Jelita segera memberi perintah pada dua kakek dan nenek untuk mengurus peti mati.

"Gusti, apakah tidak sebaiknya kami bertiga juga ikut menghadap gusti Adipati?"

Berkata si nenek gembrot Limbuk Ayu.

Ki Demang sendiri hendak ikutan bicara namun urung.

Hanya tatap matanya saja menatap gadis jelita pimpinan penjaga dengan dada bergemuruh darah berdesir

"Nek, kau dan Ki Demang juga Bagus Lara Arang baru boleh menghadap Adipati bila selesai menurunkan peti berisi tiga jenazah!"

Tegas Bunga Jelita.

Selanjutnya tanpa bicara lagi dia segera bergegas menuju ke dalam. Limbuk Ayu hanya bisa menggerutu, Ki Demang dan Bagus Lara Arang menggeleng sambil menggumam tidak jelas.

"Turunkan peti. Letakkan di ruang Prabon. Mudah-mudahan Adipati segera memutuskan kapan tiga jenazah dalam peti dikuburkan."

Kata Limbuk ayu ditujukan kepada beberapa pengawal.

Enam pengawal pengiring dibantu dengan penjaga dalam kadipaten segera melakukan tugasnya.

Pada kesempatan itu Bagus Lara Arang tiba-tiba membuka mulut tanggapi ucapan Limbuk Ayu.

"Kalau tidak lekas dikubur, seluruh pendepokan sampai alun-alun bakal dipenuhi bau busuk menyengat."

Tak ketinggalan Ki Demang ikut pula menimpali

"Siapa yang bisa hidup berdekatan dengan bangkai. He he he!"

Berkata begitu si kakek meludah sambil usap-usap janggutnya yang meranggas.

Sementara itu Bunga Jelita setelah melewati beberapa pintu yang dijaga ketat oleh pengawal dalam kadipaten akhirnya sampai di sebuah ruangan luas yang dipenuhi perabotan mewah berukir.

Ditengah ruangan seorang laki-laki berpenampilan rapi berpakaian lurik berkumis tebal duduk tenang menghadap ke arah lukisan besar bergambar pemandangan gunung dan bulan.

Ketika melihat kehadiran Bunga Jelita,laki-laki gagah berbelangkon dan selalu menyelipkan keris dibalik punggungnya itu tersenyum.

Sang dara yang masih terhitung kemenakannya itu segera berlutut, sambil rangkapkan tangan di depan dada gadis inipun berucap.

"Terimalah hormat saya, paman!"

Laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun yang adalah adipati Salatigo Cakra Abiyasa tersenyum.

"Bunga kembang Selatan kemenakanku, engkau tidak perlu bersikap dan menghormat seperti itu bila cuma kita berdua yang ada di dalam ruangan ini. Kau adalah puteri kakanda Daeng Anjasmoro, artinya kau darah dagingku. Aku telah menganggap dirimu sebagai puteri kandungku sendiri, karena seperti yang kau ketahui aku tidak punya keturunan. Istriku semuanya mandul, lalu menjadi gila."

Ucap Adipati dengan mata menerawang mengenang.

Namun kemudian dia gelengkan kepala. Kembali menatap ke arah sang dara yang bersimpuh di depannya. Adipati lanjutkan ucapan.

"Sudah, jangan berlebihan. Duduklah di atas kursi itu."

Sang Adipati menunjuk sebuah kursi yang berderet diseberang permadani merah.

"Terima kasih paman!"

Bunga Jelita bangkit berdiri. Setelah itu duduk di atas kursi yang dimaksud. Adipati yang memang sudah menanti kedatangannya segera ajukan pertanyaan.

"Tiga hari kau dan rombongan kecil juga tiga nenek dan kakek kepercayaanku pergi. Apakah kau sudah mendapatkan titik terang mengenai nasib Raden Salya saudaramu yang juga kemenakanku? Aku juga ingin tahu bagaimana nasib Rara Sintren kekasih Raden Salya dan juga pengiring setia Ki Bangor Madung."

Mendapat pertanyaan seperti itu walau sudah menduga tetap saja membuat wajah si gadis berubah muram.

Setelah sempat terdiam beberapa saat lamanya Bunga Jelita kemudian berujar,

"suratan takdir, hidup mati dan jodoh manusia sudah ada yang mengaturnya.Namun tentang bagaimana nasib orang-orang yang kita cintai dengan berat hati saya katakan mereka semua tidak tertolong.Maafkan saya paman!"

Ucap Bunga Jelita dengan suara serak tercekat.

Mendengar penjelasan gadis berkepandaian tinggi itu Adipati menghela nafas dalam lalu tundukkan kepala.

"Mereka terbunuh...tubuh mereka tercabik cabik sebagaimana korban lainnya. Yang membuat saya menjadi marah mereka ditumpuk dalam satu peti mati."

Terang gadis itu lagi.

Kemudian tanpa diminta Bunga Jelita menceritakan tentang raibnya tiga peti emas, uang kepingan dan tatakan perak.

Tak lupa dia juga menceritakan tentang keberadaan seorang pemuda berkepandaian luar biasa, mengaku bernama Raja dan menyebut dirinya dengan Sang Maha Sakti, Raja Gendeng 313.

Setelah mendengar penjelasan kemenakannya yang juga kepala pasukan kadipaten, Adipati mengusap wajahnya yang muram dan juga seka kedua matanya yang sempat berkaca-kaca.

"Semua ini ujian yang berat bagiku juga buat kita semua."

Kata Adipati sambil tatap gadis didepannya.

"Jika harta benda lenyap dirampok kawanan begal, aku tidak peduli. Tapi bila nyawa ikut dirampok, manusia sakti mana yang bisa menggantikannya?"

"Paman! Jika Raden Salya, kekasih dan pembantunya dirampok. Perampoknya jelas bukan penjahat biasa. Saya yakin ini ada hubungannya dengan pembunuh keji yang peri lakunya seperti binatang buas yang disebut dengan Perawan Bayangan Rembulan. Sejauh ini kita tidak tahu siapa gadis berdarah dingin itu. Mengapa dia membunuh pada waktu bulan timbul, mengapa yang dia bunuh hanya orang-orang yang kita anggap berperilaku baik dan selalu hidup di jalan yang lurus?"

"Perawan Bayangan Rembutan?"

Gumam Adipati mengulang ucapan Bunga Jelita.

"Siapa dia? Mengapa dia kelihatannya liar tidak terkendali?"

"Paman. Bila mengandalkan diri kita untuk mengatasi semua bencana yang terjadi, kita tidak bakal sanggup melakukannya. Alangkah baiknya bila meminta bantuan beberapa tokoh sakti seperti Nini Buyut Amukan nenek sakti berjubah terbang atau...!"

Sebelum dara cantik ini sempat selesaikan ucapan, Adipati tiba-tiba menyela.

"Aku telah menghubungi nenek itu dan dia berjanji memberi bantuan secepatnya. Malah dia berencana akan mengajak salah seorang sahabatnya bernama Resi Cadas Angin."

"Resi Cadas Angin yang tinggal di lembah Batu Pijar di dasar jurang Argoboyo itu?"

Sentak Bunga Jelita kaget tapi juga lega.

Walau usia Bunga Jelita masih muda, namun dia sangat mengenal beberapa tokoh sakti aliran putih.

"Di antaranya adalah dua yang disebutkan sang paman."

"Benar, Bunga Jelita... mungkin sekarang Nini Buyut Amukan telah menemui sobat karibnya itu karena aku telah bertemu dengan si nenek tiga hari yang lalu."

"Jika mereka membantu, mungkin dalam waktu yang tidak lama kita dapat mengetahui sekaligus meringkus Perawan Bayangan Rembulan itu, paman."

Ucap Bunga Jelita dengan wajah berseri seri

"Aku harap demikian. Namun diluar sana apa yang terjadi tidak sesederhana yang kita pikirkan."

Sahut Adipati dengan wajah muram dan dua matanya setengah dipejam seolah ada beban berat yang memenuhi benaknya.

Melihat sang paman bermuram durja, Bunga Jelita pun tak kuasa menahan diri untuk bertanya.

Raja Gendeng 22 Bidadari Penebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa maksud paman. Persoalan yang kita hadapi sudah sangat jelas. Kita harus menangkap Perawan Bayangan Rembulan. Karena dia biasa muncul dimalam datangnya bulan dilangit, kita tinggal menunggu dan memburunya. siang hari kita bisa melepas lelah!"

Mendengar ucapan Bunga Jelita yang penuh semangat, Adipati cepat gelengkan kepala.

"Masalah kita tidak hanya datang dimalam hari. Sekarang siang hari pun muncul masalah baru."

Jelas Adipati Cakra Abiyasa.

"Apa maksud paman?"

Tanya gadis itu dengan kening berkerut. Laki-laki yang duduk di atas kursi kebesaran itu tidak menjawab.

Sebaliknya dia terdiam dengan mata menerawang.

Mata itu menembus jendela terbuka yang menghadap ke arah halaman.

Diam ditengah kebisuan, dengan mulut Adipati melongo membuat sang dara jelita kesal menunggu sehingga jadi hilang kesabarannya.

Tapi selagi dia siap melanjutkan ucapan, tiba-tiba dengan suara lirih seakan takut didengar oleh orang lain Adipati berujar,

"persoalan tidak hanya datang dari Perawan Bayangan Rembulan. Apakah kau belum mendengar tentang munculnya seorang Gadis Jelita.Gadis itu dijuluki Bidadari Penebar Maut."

"Apakah mungkin Bidadari Penebar Maut adalah orang yang sama dengan Perawan Bayangan Rembulan?"

Tanya bunga jelita.

Adipati menggeleng. Setelah sandarkan punggungnya pada bantalan kursi yang empuk lembut, Adipati kembali melanjutkan.

"Bidadari Penebar Maut mempunyai tujuan yang jelas, dia mencari seorang gadis bernama Puteri Manjangan Putih."

"Puteri Manjangan Putih," desis Bunga Jelita sambil berpikir apakah dia pernah mengenal nama itu.

Tiba-tiba dara jelita itu tersentak.

"Astaga! Paman. Sepertinya saya pernah mendengar puteri yang paman maksudkan. Tapi mengapa Bidadari Penebar Maut mencari Puteri Manjangan Putih?"

"Aku tidak tahu."

Kata Adipati terus terang.

"Memangnya Puteri Manjangan Putih menetap dimana?"

Tanya laki-laki itu sambil menatap Bunga Jelita lekat-lekat

"Puteri Manjangan Putih tidak tinggal di dunia atau alam fana seperti kita.Puteri itu sejenis mahluk halus. Menurut yang saya dengar dia berdiam di sebuah istana alam gaib. Istana itu bernama Istana Satu Jagad Kelanggengan!"

"Kalau yang kau katakan itu memang benar adanya. Seharusnya Bidadari Penebar Maut tidak boleh membunuh setiap orang yang ditanyainya!"

"Mengapa orang-orang itu dibunuh?"

"Karena mereka selalu memberi jawaban tidak tahu ketika ditanya."

"Perempuan keji!"

Desis Bunga Jelita gusar.

"Saya heran mengapa Bidadari Penebar Maut itu mencari Puteri Manjangan Putih? Mungkinkah dia mempunyai kepentingan tertentu? Yang saya tahu seorang bidadari selalu berperilaku santun, berwajah cantik.Jangankan membunuh, menyakiti seekor semutpun dia tidak akan sanggup melakukannya."

"Mungkin saja bidadarinya gila, atau ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya hilang kewarasan lalu membunuh!"

"Mungkin. Semua itu bisa saja terjadi paman!"

Sahut Bunga Jelita, Adipati anggukan kepala. Setelah terdiam sejenak dia ajukan pertanyaan.

"Oh ya, mengenai pemuda yang kau ceritakan itu bagaimana? Apakah dia mungkin kaki-tangan Perawan Bayangan Rembulan?"

Pertanyaan sang paman membuat ingatan Bunga Jelita segera terbayang wajah tampan pemuda yang dianggapnya aneh itu.

"Andai saja Limbuk Ayu dan Bagus Lara Arang serta ki Demang tidak bertindak gegabah menuduh pemuda itu membunuh Raden Salya,kekasih juga pembantunya. Dia mungkin saja bisa diminta bantuannya untuk menyelidiki Perawan Bayangan Rembulan atau Bidadari Penebar Maut. Sayang..!" gumam sang dara menyesalkan.

"Eh ditanya mengapa malah diam?!" suara sang Adipati memecah keheningan.

"Hem, maafkan saya paman."

Bunga Jelita tersipu sambil benahi sikap duduknya.

"Seperti yang saya katakan telah terjadi kesalahpahaman antara nenek Limbuk Ayu, dua kakek dengan pemuda itu. Menurut saya, pemuda itu berhat polos. Sifatnya aneh, cenderung angin-anginan. Tapi dia memiliki kesaktian luar biasa tinggi."

"Aku juga tidak yakin dia telah berbuat jahat pada kerabat kita. Andai saja Raja Gendeng 313 bisa kita minta bantuannya..."

"Saya juga berpikir demikian, paman. Tapi tiga orang itu telah membuat keadaan berkembang tidak sesuai dengan yang saya harapkan!"

Baru saja Bunga Jelita berucap seperti itu, tiba-tiba saja terdengar suara teriakan dari halaman depan pendopo.

"Ada buaya datang menyerang!"

Teriak seseorang dihalaman luar pendopo. Kedua orang yang sedang berbicara dalam ruangan pertemuan tersentak kaget, saling berpandangan.

Adipat yang mengenal benar suara Limbuk Ayu melompat bangkit sambil berucap.

"itu suara Limbuk Ayu!"

"Biarkan saya menangani semua ini" kata Bunga Jelita yang dengan seketika beranjak dari tempat duduknya.

"Aku ingin melihat."

"Sebaiknya aku ikut serta, anakku!"

Tegas Adipati.

Keduanya kemudian bergegas tinggalkan ruangan itu.

Mereka sama sekali tidak tahu bahwa selama keduanya terlibat pembicaraan serius, sesungguhnya pembicaraan mereka itu didengarkan oleh seseorang yang mengintai mereka.

Ketika Adipati dan kepala pasukan berlalu, sang pengintai keluar dari tempat persembunylan.

Sambil mengendap-endap menuju halaman belakang orang ini diam-diam berkata.

"Lebih banyak rahasia yang kuketahui daripada yang diketahui oleh Adipati dan kemenakannya yang cantik. Aku tidak takut pada Adipati. Aku malah berhasrat pada Bunga Jelita. Suatu saat aku bisa mendapatkannya. Ancaman yang aku takutkan datangnya dari gadis jahanam itu. Harusnya dulu dia kubunuh. Mestinya sejak kecil dia kuhabisi. Kini dia menjadi duri dalam daging. Dan celakanya disaat seperti ini, Ki Jangkung Reksa Menggala tidak pernah terlihat batang hidungnya. Orang suruhanku yang menyambangi Padepokan Tiga Guru mengatakan bahwa tempat itu telah porak poranda. Ki Jangkung Menggala raib ditelan bumi. Dua adiknya Ki Jalung Upas dan Ragil Ijo malah ditemukan terbunuh ditempat pengungsian di sebuah gua di Kulon Watu Cadas. Satu terbunuh dengan kepala lenyap dan satunya lag mampus dengan tubuh tercabik."

Kata orang ini dengan bergidik dan usap tengkuknya.

Tanpa menunggu lama, orang ini segera berkelebat melewati pintu belakang.

Tidak ada orang atau pengawal Adipati yang melihatnya karena pengawal yang biasanya berjaga di tempat itu sedang berkumpul di halaman depan pendopo.

Ketika Bunga Jelita dan pamannya sampai dihalaman depan.

Mereka melihat halaman yang luas itu telah penuh dikepung puluhan pengawal dengan senjata terhunus, Penjagaan ketat juga dilakukan oleh pengawal yang berada di luar benteng kediaman Adipati.

Di antara mereka bahkan ada yang bersiaga di atas tembok benteng.

Melihat kehadiran Adipati dan kepala pasukan para penjaga segera memberi jalan pada keduanya untuk melangkah lebih kedepan.

Adipati segera disambut oleh Bagus Lara Arang, ki Demang Sapu Lengga dan Limbuk Ayu.

"Rasanya binatang itu bukan binatang biasa, gusti."

Limbuk Ayu memberi penjelasan.

Sang Adipati diam tidak menanggapi.

Sebaliknya dia memandang ke halaman yang telah dikepung pengawal.

Di depan sana Adipati dan Bunga Jelit melihat seekor buaya besar berdiri dengan empat kaki, mulut terbuka dengan sikap mengancam.

Disekeliling buaya berwarna putih itu bergelimpangan sedikitnya lima pengawal dengan tubuh dipenuhi luka cabikan penuh darah dan dalam keadaan tidak bernyawa.

"Dari mana dia datang?"

Tanya Bunga Jelita dengan sikap waspada.
"Tidak ada yang tahu datangnya darimana mahluk keparat itu. Dia muncul tiba-tiba dan menyerang pengawal kita!"

Jawab Bagus Lara Arang.

Lain halnya dengan Adipati sendiri.

Melihat kulit buaya yang tidak lazim, dia segera maklum buaya yang berada di hadapannya jelas bukan binatang biasa.

Tidaklah mengherankan walau lima pengawalnya telah menjadi korban, Adipati tanpa kemarahan dengan sikap bersahabat malah menjura sebagai tanda penghormatan.

Setelah itu dia berkata.

"Aku tidak tahu, angin apa yang telah membawamu ke sini, ratu dari sekalian buaya. Andai ada yang bisa kulakukan agar tidak terjadi pertummpahan darah.Aku lebih suka memenuhi segala kepentinganmu dan memilih jalan damai, wahai Bidadari Selaka Merah!"

Mendengar ucapan Adipati yang polos dan tidak menyangka bahwa laki-laki itu mengenal sang mahluk tentu saja membuat kaget dua kakek, nenek, pengawal dan juga Bunga Jelita.

Sebaliknya mahluk berujud buaya berwarna putih perak itu juga diam-diam tidak kalah terkejutnya. Sementara setelah dapat menguasai diri si nenek gemuk gembrot Limbuk Ayu dengan perasaan tidak suka dalam hati berkata.

"Adipati manusia lemah yang lebih mementingkan sikap dan perasaan. Dia tidak patut menjadi adipati. Sudah tahu mahluk jahanam itu membunuh lima pengawalnya. Masih juga dia memberi angin bicara manis-manis dengan buaya keparat itu!"

Dia menjadi geram tidak puas. Tidak jauh disamping si nenek, Ki Demang Sapu Lengga yang sedari tadi perhatiannya tidak pernah lepas dari buaya siluman diam-diam berkata.

"Siluman Buaya Putih, ratu penguasa dari sekalian buaya. Jika benar apa yang dikatakan Adipati mahluk jejadian itu adalah Bidadari Selaksa Merah, mungkin dia bisa kumanfaatkan untuk menyingkirkan bahaya besar yang mengancam diriku. Tapi aku harus tahu dulu, apa maksud kedatangannya di tempat ini."

Batin si kakek sambil mengelus janggutnya.

Sementara Bagus Lara Arang terpaku diam ditempatnya.

Sang mahluk itu merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan diri dalam ujud jelmaan.

Tidaklah heran, sesaat setelah mendengar ucapan Adipati tiba-tiba dia menguik panjang lalu memutar tubuh tiga kali berturut-turut. Menyangka sang buaya hendak menyerang, puluhan pengawal semakin meningkatkan kewaspadaannya.

Malah barisan pengawal yang berjejer di atas tembok mengangkat busur lengkap dengan anak panahnya.

Sewaktu-waktu bila keadaan berubah memburuk mereka telah siap menghujani buaya jejadian itu dengan panah.

Wuus!

Dugaan semua orang yang ada pendopo maupun yang berada di atas benteng ternyata meleset.

Raja Gendeng 22 Bidadari Penebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiga kali tubuh ratu buaya berputar.

Sosoknya mendadak raib tenggelam dalam pusaran angin yang dibuatnya sendiri. Sekejab kemudian ketika gerak berputar dan deru halaman angin berhenti maka di depan mereka berdiri tegak seorang gadis berwajah rupawan berambut hitam panjang tergerai dengan sebuah mahkota kecil bertengger di atas kepalanya.

Gadis yang memakai kain berupa gaun berwarna merah itu tersenyum dingin pada orang-orang yang menatapnya.

Hanya kepada Adipati dia menunjukkan sikap bersahabat.

Melihat siluman buaya itu telah berubah ujud dalam rupa yang sebenarnya, Adipatipun diam-diam merasa lega.

"Benar seperti yang telah kuduga. Ternyata engkau memang Bidadari Selaka Merah."

Gumam Adipati disertai senyum.

"Aku memang mengetahui siapa dirimu, Adipati Salatigo. Sesungguhnya maksud kedatanganku kemari bukan untuk membuat kekacauan atau menumpahkan darah pengawalmu."

Ucap sang dara sambil melirik ke arah lima prajurit yang terbujur kaku di depannya.

"Tidak ingin menumpahkan darah. Kenyataannya kau telah membunuh para pengawal itu. Malah turut kabar yang aku dengar akhir-akhir ini kau juga menebar maut dimana-mana. Ini menambah kekacauan di tengah kekacauan yang telah ada."

Dengus Limbuk Ayu dengan wajah menunjukkan rasa tidak senang.

"Nenek...harap jangan bicara dulu."

Cegah Adipati yang merasa ucapan si nenek hanya akan memperkeruh keadaan, Ditegur demikian si nenek langsung terdiam.

"Bidadari Selaka Merah tidak akan membunuh siapapun tanpa sebab!"

"Aku juga berpendapat demikian!"

Tidak disangka-sangka Ki Demang ikut menimpali, membuat Limbuk Ayu merasa gusar.

Dalam hati dia bertanya mengapa Ki Demang yang biasanya selalu memberi dukungan kini malah berpihak pada orang yang tidak dikenalnya.

Hanya kakek Bagus Lara Arang yang melihat semua kejanggalan itu dengan pikirannya yang jernih

"Ratu buaya atau Bidadari Selaka Merah. Siapapun dia pasti kehadirannya membawa maksud yang tidak baik. Sedari tadi kulihat diam-diam dia terus melirik pada Ki Demang. Apakah mungkin dia punya kepentingan tertentu dengan kakek berwatak bunglon itu?"

Batin si kakek

"Maafkan sahabatku nenek Limbuk Ayu bila ucapannya tidak berkenan di hatimu!"

Kata Adipati. Si nenek tambah kesal mendengar ucapan Adipati yang terkesan mengalah terus.

Namun dia hanya bisa diam sambil bersungut-sungut. Sementara itu, setelah mendengar ucapan sang Adipati, ratu buaya putih tak kuasa menahan tawa.

Guncangan hebat melanda halaman dan bangunan di belakangnya.

Para pengawal kadipaten terpaksa melindungi diri mereka dengan menutup telinga dengan jari tangan masing-masing.

Hanya orang-orang yang memiliki tingkat tenaga dalam tinggi saja yang sedikit terpengaruh oleh tawa sang ratu.

"Kau sangat bijaksana, aku suka itu!"

Ucap ratu buaya putih.

Setelah menatap si nenek dan melirik ke arah yang lainnya, mahluk siluman itu berkata.

"terus terang, aku tidak menyangkal, aku telah membunuh banyak orang beberapa hari belakangan ini. Tapi pembunuhan yang kulakukan memiliki satu tujuan yaitu membebaskan diri dari sebuah penderitaan menyakitkan sepanjang sisa hidupku."

"Ratu Buaya atau Bidadari Selaka merah. Penderitaan apa yang membuatmu menjadi seorang pembunuh?"

Tanya Adipati disertai tatapan tajam penuh ingin tahu.

"Hi hi hi. Sayang aku tidak bisa mengatakannya. Tapi aku ingin berterus terang bahwa kedatanganku kemari karena mempunyai kepentingan dengan seseorang. Aku ingin meminjamnya untuk beberapa hari...!"

"Bidadari, ratu buaya putih atau siapapun dia. Aku merasa dia menyembuyikan sesuatu. Siapa orang yang hendak dipinjaminya?"

Batin Bunga Jelita setelah itu perhatiannya tertuju sambil menatap pada kakek nenek serta orang-orang yang berada di sekitarnya.

"Maafkan aku bila lancang berbicara. Sebagai kepala pasukan kadipaten aku mempunyai hak untuk mengetahui siapakah orang yang engkau inginkan, ratu buaya?"

Gadis cantik ratu buaya itu menatap wajah Bunga Jelita, lalu tersenyum sinis.

Setelah julurkan lidah basahi bibir, dengan sikap acuh dia menjawab,

"kau masih begini muda, telah dipercaya menjadi kepala pengawal pasti kau memiliki ilmu kesaktian yang cukup diandalkan.Siapa namamu?"

"Sial! Perlu apa dia tanya nama segala?"

Gerutu Bunga Jelita dalam hati. Tapi walau hatinya kesal, Bunga Jelita kemudian sebutkan namanya.

"Bunga Jelita, nama yang bagus dan secantik orangnya."

Gumam ratu siluman buaya putih.

"Baiklah, karena Adipati telah menunjukkan sikap bekerja sama. Terus terang kukatakan, kedatanganku kemar? adalah ingin bertemu sekaligus menjemput orangtua yang bernama Ki Demang Sapu Lengga!"

Mendengar disebutnya nama Ki Demang, maka semua orang yang berada di sana menjadi geger tidak terkecuali Adipati sendiri

"Demang!"

Bagus Lara Arang yang jarang berbicara tiba-tiba membuka mulut.

"Rupanya peruntunganmu hari ini lumayan bagus. Ada orang berkenan bertemu dan menjemputmu. Yang menjemput adalah seorang bidadari dan ratu pula. Andaikan aku juga ada yang menjemput dan gadis cantik pula, mana kuasa tua bangka ini menolak Ha ha ha!"

"Tua bangka edan. Nanti datang penjemputmu tapi sang penjemput itu hanya menghendaki nyawa lapukmu. Hik hik!"

Tukas Limbuk Ayu lalu pencongkan mulutnya.

"Sudah. Jangan lagi ada yang bicara tak karuan!"

Seru Adipati sambil angkat tangannya.

Semua orang terdiam.

Adipati turunkan tangan sambil menghadap ke arah ratu siluman buaya dia ajukan pertanyaan.

"Ratu, aku tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat oleh sahabatku Ki Demang. Kalau boleh aku tahu?"

"Mungkin saja KI Demang, si kakek pelalap daun muda itu hendak dijadikan kekasihnya," kata Bagus Lara Arang dalam hati.

Sedikit banyak Bagus Lara Arang mengetahui apa yang selalu dilakukan sahabatnya yang satu ini dari masa muda sampai sekarang.

Dia juga tahu bahwa selama ini KI Demang sangat ingin mendapatkan Bunga Jelita.

Tapi belum tahu bagaimana caranya.

Sementara itu sambil mengurai senyum, ratu siluman buaya putih menanggapi ucapan Adipati dengan berkata

"dia tidak punya kesalahan apa-apa padaku. Sementara waktu aku ingin membawanya kesuatu tempat. Aku ingin menanyakan beberapa hal penting padanya. Hanya itu, tidak lebih. Setelah urusanku dengannya selesai, maka aku akan mengembalikannya ke sini."

Tegas ratu siluman.

Adipati sebenarnya ingin mengatakan tenaga Ki Demang sangat dibutuhkan di kadipaten mengingat semakin meningkatnya ancaman bahaya yang
dilakukan oleh Perawan Bayangan Rembulan.

Tapi Adipati memilih menelan kembali kata-kata yang hendak dia ucapkan demi menjaga keselamatan mereka semua.

"Ratu siluman buaya putih atau Bidadari Selaka Merah. Aku tidak menghalangi niatmu membawa Ki
Demang. Tapi tanyakan sendiri pada yang bersangkutan apakah dia bersedia ikut denganmu?" setelah
berucap demikian.

Adipati berpaling pada Ki Demang. Bunga Jelita, Limbuk Ayu, juga Bagus Lara
Arang, ikutan menatap kakek itu. Si kakek yang telah mempunyai sebuah rencana. Mula-mula
bersikap acuh namun kemudian sambil pura-pura unjukan wajah ketakutan dia berujar,

"Aku... memangnya aku hendak dibawa kemana?"

Ki Demang pun terlihat gugup.

"Tenang, bila ada bidadari yang juga ratu berkenan membawamu, kau tidak perlu takut. Kau
lebih beruntung dibandingkan dengan diriku!"

Goda Limbuk Ayu.

"Ikutlah bersamanya Ki Demang.Seorang ratu tidak mungkin menemuimu jika tidak ada masalah penting yang ingin dia bicarakan!"

Kata Bunga Jelita. Mendengar itu Ratu Siluman Buaya Putih
tersenyum. Tanpa banyak bicara lagi, setelah mengucap terima kasih pada Adipati, sang ratu
berkata ditujukan pada Ki Demang.

"Orangtua, kau
tak usah takut dan jangan pula berprasangka buruk
terhadapku. Selama kau ikut dengan baik, aku jamin tak ada lagi darah tertumpah atau nyawa yang
melayang sia-sia."

"Memangnya aku hendak dibawa kemana?"


Tanya si kakek. Dalam hati dia berkata,

"aku sering
mendengar segala kehebatanmu. Selama aku bersamamu,kemungkinan besar Perawan Bayangan
Rembulan tidak bakal bisa mengusikku. Biarkan saja dia membunuh dan menghabisi orang lain, aku tidak"

"Kau tak perlu bertanya, nantinya kau akan tahu akan kubawa kemana." sahut ratu siluman.

Dalam keraguan yang dibuat-buat, Ki Demang masih sempatkan diri menatap orang-orang yang berada disekitarnya.

Memandang ke Limbuk Ayu, si nenek cibirkan bibirya.

Memandang ke arah Bagus Lara Arang, kakek itu malah acungkan jari kelingkingnya.

Menatap pada Bunga Jelita justru dia tidak sanggup melakukannya karena mata yang indah itu membuat jantungnya berdebar dan wajah cantik Bunga Jelita membuat pikirannya tambah kacau.Ketika terakhir kali dia berpaling pada Adipati, lakilaki gagah yang selalu bersikap bijaksana itu berujar.

"Pergilah. Semoga kau cepat kembali Ki Demang!"

"Terima kasih gusti."

Hanya itu jawaban yang sempat diucapkan oleh Ki Demang.
Raja Gendeng 22 Bidadari Penebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Ketika tiba-tiba muncul deru angin dari tubuh ratu siluman buaya. Semua orang dengan tergesa-gesa menyingkir, mundur menjauh ke tempat yang lebih aman.

Dalam suasana tegang semua orang memandang ke arah dara bergaun merah dan Ki Demang yang diam mematung ditempatnya berdiri.

Pusaran angin tambah menggila.

Lalu...

wusss!

wusss!

Dua kali terdengar suara deru mengerikan, para penjaga berhamburan jatuhkan diri agar tidak tersapu gemuruh angin itu.

Tapi hempasan hempasan yang terjadi tidak berlangsung lama.

Ketika deru angin lenyap maka suasana kembali tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.

Semua mata kini tertuju ke tempat dimana ratu siluman dan Ki Demang berada. Ki Demang lenyap.

Ratu siluman buaya putih atau sang bidadari penebar maut juga tidak berada ditempatnya

"Mereka telah pergi.
Andai aku bisa ikutan dengan ratu siluman tadi?"

Berkata Limbuk Ayu dengan mata menerawang ke arah lenyapnya dua orang tadi.

"Jangan bicara ngaco, nek. Ratu siluman tidak berkenan membawamu karena tubuhmu berat.Terkecuali kalau kau bersedia dijadikan santapan buaya-buaya pengikutnya.ha ha ha!"

Sambut Bagus Lara Arang disertai gelak tawa.

Sambil delikan mata, Limbuk Ayu membuka mulut siap mendamprat.

Namun pada saat itu Bunga Jelita cepat menukas

"Kalian jangan ada lagi yang bergurau.Saat ini masih banyak urusan yang harus kita kerjakan.Mayat saudaraku Raden Salya bersama kekasih dan abdinya harus dikuburkan."

"Yang dikatakan Bunga Jelita memang benar." Adipati menambahkan.

"Selain itu kita juga harus bersiap menghadapi datangnya malam. Bulan purnama masih akan muncul sampai sepekan ke depan. Aku belum tahu apakah sahabatku Nini Buyut Amukan dan Resi Cadas Angin telah mengambil tindakan atau tidak. Dan aku berharap semoga pemuda yang kalian temui berada di pihak kita. Sekarang hendaknya kita lakukan upacara pemakaman sebelum hari berganti malam."

Setelah berkata demikian Adipati tinggalkan tempat itu.

Bunga Jelita dengan dibantu para pengawal dan para abdi dalam segera mengerjakan semua persiapan pemakaman.

*****

Terperangkap dalam satu ruangan dingin luar biasa membuat pemuda berpakaian merah, berambut tegak melengkung ke atas tak ubahnya tanduk itu benar-benar tidak berdaya.

Dengan kekuatan yang dia miliki si pemuda yang tak lain adalah Tanggul Api atau yang yang lebih dikenal dengan sebutan Seruling Halilintar berusaha menjebol pintu putih yang terbuat dari lempengan batu pipih.
Celakanya pintu tempat dia dan saudaranya dikurung keras laksana baja,tetapi ketika pintu berderak tiba-tiba terdengar suara gemuruh serta kucuran air yang memancar disetiap celah dari pintu yang bergeser.

"Nampaknya kita tidak mungkin selamat walau pintu ini berhasil kujebol dengan paksa!"

Kata Tanggul Api kepada gadis cantik berpakaian biru, berambut panjang awut-awutan yang tidak lain adalah Peri Halilintar.

Seperti telah diceritakan dalam episode "Dendam Orang-orang Sinting."

Peri Halilintar yang telah bertemu dengan Tiga Perwira Setan sebenarnya tengah dalam perjalanan menemukan orang yang dipercaya oleh Raga Sontang untuk menyerahkan mutiara Tujuh Setan pada ketiga perwira iu.

Inseparable Karya Laili Muttamimah Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede Manusia Harimau Merantau Lagi Karya S B

Cari Blog Ini