Raja Gendeng 22 Bidadari Penebar Maut Bagian 1
Raja Gendeng 22 Bidadari Penebar Maut
****
Karya Rahmat Affandi
Sang Maha Sakti Raja Gendeng 22 dalam episode
Bidadari Penebar Maut
*****
Team Kolektor E-Book
Buku Koleksi : Denny Fauzi Maulana
(https.//m.facebook.com/denny.f.maulana)
Scan,Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http.//ceritasilat-novel.blogspot.com)
Dipersembahkan Team
Kolektor E-Book
(https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook)
Spesial thank to : Awie Dermawan
*****
Berjalan lurus menuju ke utara.
Pesan penguasa penghuni pohon Hijau diingat baik-baik oleh Ki Lumut.
Kakek berpakaian biru berbadan kurus berwajah muram yang sekujur tubuhnya ditumbuhi lumut ini terus saja mengayunkan langkah.
Menatap ke depan dia melihat jalan setapak berliku-liku laksana jejak panjang yang ditinggalkan ular raksasa.
Sejauh mata memandang belum kelihatan tanda-tanda kehadiran orang yang hendak ditemui.
Si kakek menggaruk rambutnya yang berwarna putih kehijauan yang ditumbuhi lumut.
"Sudah sejauh ini aku berjalan, tetapi mengapa orang itu belum juga kelihatan batang hidungnya? Penguasa pohon Hijau mengapa tidak memberiku tugas yang ringan-ringan saja? Mengapa aku diperintahkan menemui orang yang tidak pernah aku kenal," lalu Ki Lumut menggaruk rambutnya.
Memandang ke belakang si kakek tercengang.
Dia melihat bekas jejak kakinya sendiri menjadi berwarna hijau karena ditumbuhi lumut
"Astaga! Bagaimana mungkin lumut langsung tumbuh di jejak bekas kakiku, jangan-jangan?"
Belum sempat ki Lumut selesaikan ucapannya dengan penasaran orangtua itu berjalan menghampiri batang pohon tumbang yang terdapat di sebelah kanan jalan.
Sambil membungkuk si kakek menjulurkan tangan ke batang pohon tumbang itu dengan telapak tangannya.
Seer!
Baru saja telapak tangannya menyentuh dengan seketika batang pohon yang tumbang berwarna kecoklatan segera berubah menghijau ditumbuhi lumut
"Gawat! Apa jadinya bila semua yang kusentuh berubah menjadi lumut? Mengapa bisa begini?"
Gumam Ki Lumut sambil memperhatikan kedua telapak tangan dan seluruh tubuhnya yang ditumbuhi lumut tebal.
"Orang bertapa ratusan tahun malah ada yang sampai ribuan tahun biasa-biasa saja, Aku sendiri hanya sekitar tiga puluh tahun melakukan tapa, mengapa tubuhku menjadi lumutan tak karuan rupa seperti ini?"
Batin si kakek seakan lupa dengan tugas yang seharusnya dia lakukan. Baru saja batin bicara demikian, tiba-tiba terdengar suara bentakan sayup-sayup dikejauhan.
"Tua bangka bodoh. Sejak muda sampai menjadi tua lumutan, mengapa kau tetap pelihara ketololanmu? Jika sekujur tubuhmu telah ditakdirkan menjadi hijau lumutan begitu, apakah masih ada yang perlu disesali?"
Merasa mengenali suara orang yang bicara, Ki Lumut yang sudah lupa dengan nama aslinya nampak tergagap dan cuma dapat menyebut kata anu... beberapa kali.
"Memangnya anumu kenapa?"
"Apakah ditumbuhi lumut juga? Kalau betul artinya kau telah mendapat karunia, Ki Lumut. Mana ada di dunia ini yang punya anu sampai lumutan walau orang itu mandinya cuma satu tahun sekali? Ha ha ha!"
Berkata suara di kejauhan diringi tawa tergelak. Si kakek bersungut-sungut sambil cibirkan mulutnya.
"Dia bertanya apakah anuku ikut lumutan juga. Mana aku tahu? Ingin sekali aku memeriksanya. Tapi aku takut dan kalaulah benar yang satu itu juga ditumbuhi lumut. Tamat sudah riwayat hidupku. Walau aku dikaruniai usia yang panjang mana ada perempuan yang sudi menjadi kekasihku? Kalau benda pusaka karatan atau bulukan sekalipun masih bisa diasah, tapi kalau yang satu itu sudah lumutan digosok dengan cara apapun lumutnya tetap tumbuh lagi...tumbuh lagi. Dasar sial!"
Geram Ki Lumut penasaran.
"Jangan menyesali segala yang telah terjadi. Tidak pula perlu mengutuk diri sendiri. Kelak kau akan mensyukuri segala kelebihan yang telah dianugerahkan kepadamu."
Ucap penguasa pohon Hijau seakan datang dari kejauhan di dalam bumi.
Sebagaimana telah diketahui dalam episode Perawan Bayangan Rembulan'.
Hanya beberapa kejab setelah Ki Lumut meninggalkan cabang pohon Hijau yang dijadikan tempat bertapa selama tiga puluh tahun.
Pohon yang memiliki berbagai keajaiban itu tiba-tiba mengamblaskan diri ke dalam tanah.
"Penguasa pohon Hijau, mahluk sialan. Bagaimana dia bisa mengatakan segala kemalangan yang menimpa diri tua bangka ini sebagai sebuah anugerah?"
Dengus Ki Lumut dalam hati. Seolah mendengar ucapan si kakek, lagi-lagi terdengar suara bentakan.
"Banyak sekali manusia di dunia yang tidak pernah mensyukuri nikmat yang diberikan Yang Mahakuasa. Seperti dirimu yang suka berkeluh kesah sepanjang hidup. Dalam jiwamu yang rapuh tidak ada rasa sabar dan ketabahan hati."
"Aku!"
Ki Lumut berujar sambil menunjuk dirinya sendiri
"Diam! Sekarang dengar baik-baik. Saat ini orang yang harus kau temui berada tidak jauh lagi dari sini. Lekas pergi dan temui dia."
"Baiklah, aku akan temui orang bodoh yang kau maksudkan itu."
Jawab si kakek.
"Tidak perlu menghina orang lain.Karena sebenarnya kau dan dia tidak ada bedanya."
"Apa?"
Sentak si kakek sambil delikan matanya.
"Sudah temui saja dia. Jangan banyak bicara!"
Walau hati diliputi rasa kesal karena kerap disebut dirinya tolol, namun Ki Lumut hanya bisa memendam segenap kegusaran itu di dalam hatinya. Tanpa bicara, tanpa menoleh-noleh lagi si kakek segera berkelebat tinggalkan tempat itu.
Sementara itu pada waktu yang sama disebuah tikungan jalan yang berhadapan langsung dengan sebuah jurang menganga dalam.
Seorang kakek bertubuh tinggi dengan punggung sedikit melengkung berpakaian putih tampak berjalan dengan tergesa-gesa.
Sambil menelusuri jalan di tepi jurang,orang tua berambut dan berjanggut putih ini acapkali menoleh ke belakang.
Setelah yakin tidak ada seseorang yang mengejar atau membuntutinya diapun memperlambat langkah.
"Aku tidak mungkin terus menghindar sepanjang sisa hidupku. Apapun yang telah terjadi seharusnya kuhadapi dengan lapang dada dan hati tulus. Aku tidak bisa mengubah masa lalu. Perilaku buruk dimasa lalu telah kutebus dengan perbuatan baik. Ya...aku telah bertobat. Rasanya sekarang tidak perlu lagi untuk menghindari kenyataan."
Pikir si kakek yang bukan lain adalah Ki Jangkung Reksa Menggala.
Seperti yang telah dikisahkan dalam 'Perawan Bayangan Rembulan' Ki Jangkung Reksa Menggala pendiri padepokan Tiga Guru adalah salah satu pengasuh padepokan itu bersama dengan dua saudaranya yang lain yang bernama Ki Jalung Upas dan Ragil Ijo. Beberapa waktu sepekan sebelum hujan badai menyerang padepokan.
Puluhan muridnya ditemukan tewas mengenaskan tak jauh dari padepokan. Kemudian sebagian muridnya raib tidak diketahu rimbanya.
Malam berikutnya saat angin ribut menghantam kawasan tempat tinggalnya Ki Jangkung Reksa Menggala segera memerintahkan kedua saudaranya untuk sementara waktu mengungsi ke Kulon Watu Cadas.
Keduanya pergi meninggalkan padepokan Ki Jangkung Reksa Menggala yang tetap tinggal sendirian.
Pada saat dalam kesendirian itu di halaman pedepokan tiba-tiba muncul tanda-tanda hadirnya bencana.
Badai dan hujan tambah menggila, dikejauhan terdengar suara lolongan menggidikan.
Sebelum malapetaka benar-benar hadir dihadapan si kakek sayup-sayup dia mendengar suara mengiang di telinganya.
Suara mengiang itu memintanya segera tinggalkan padepokan dan berjalan ke utara.
Walau Ki Jangkung Reksa Menggala telah bertekat untuk menghadapi segala kemungkinan terburuk berikut akibatnya.
Namun akhirnya dia mengikuti juga apa yang disarankan oleh orang melalui suara mengiang.
Berjalanlah si kakek ke arah utara.
Selama berjalan dikegelapan malam buta hingga berganti siang. Ki Jangkung Reksa Menggala tidak pernah bertemu dengan seorangpun sebagaimana yang telah dikatakan suara mengiang.
Kini setelah berjalan cukup jauh menelusuri jalan setapak berliku di bibir jurang, Ki Jangkung Reksa Menggala merasa letih sendiri.
Keletihan yang bercampur aduk dengan rasa kecewa karena tidak kunjung bertemu dengan orang tersebut maka si kakek memutuskan berteduh.
Sambil berteduh dibawah pohon yang tumbuh menempel di dinding jurang sebelah atas Ki Jangkung Reksa Menggala layangkan pandang kebawah dimana kawasan jurang membentang luas di depannya.
Sambil menatap kosong dikejauhan, dia menggumam
"Masa lalu? Tanpa masa lalu mustahil ada masa sekarang, Setiap orang pernah melakukan kesalahan di dalam hidupnya.Besar kecilnya kesalahan mungkin masih bisa ditebus.Yang Mahakuasa kasihNya meliputi segala. Andai saja aku tidak pernah menjalin hubungan dengan Ki Demang...pasti aku dapat hidup dengan tenang dan baik-baik saja.Aku tidak akan ikut terjerumus pada perbuatan yang buruk."
Pikir Ki Jangkung Reksa Menggala sambil menghela nafas dalam. Baru saja si kakek berkata demikian tiba-tiba saja seluruh permukaan tebing jurang tempat dimana jalan setapak berada mengeluarkan suara bergemuruh mengerikan disertai guncangan hebat. Ki Janglung Reksa Menggala terperangah kaget lalu melompat bangkit.
Secepat kilat dia dongakan kepala menatap tebing disebelah atas.
Mata si kakek mendelik lebar ketika melihat bebatuan dan dinding tebing mulai runtuh berguguran.
Malah sebagian batu itu meluncur deras ke arahnya seolah siap hendak membuat tubuhnya remuk.
Tidak ingin celaka, dengan kecepatan luar biasa Ki Jangkung Reksa Menggala berlari ke arah mana tadi dia datang, Walau kecepatan Ki Jangkung Reksa Menggala dalam berlari tidak diragukan lagi. Namun beberapa batu seukuran kepalan tangan masih sempat menimpa bahu dan kepalanya.
Menyiasati keadaan seperti ini si kakek segera mempergunakan tangan.
Sambil berlari dia memutar tangan diatas kepala untuk melindungi diri.
Dengan segenap tanda tanya memenuhi benaknya atas segala keanehan yang terjadi ini akhirnya Ki Jangkung Reksa Menggala berhasil keluar dari jalan setapak di tepi jurang.
Walau si kakek telah berada di tempat yang aman namun guncangan-guncangan keras masih terus terjadi.
Raja Gendeng 22 Bidadari Penebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pohon-pohon bertumbangan, sementara dari sebuah pendataran Ki Jangkung Reksa Menggala masih melihat adanya ledakan-ledakan keras disertai munculnya tebaran asap hitam dan putih.
"Mengapa alam menjadi berubah tidak bersahabat? Apakah langkahku selalu membawa kesialan dimanapun diri ini berada?"
Kata Ki Jangkung Reksa Menggala dengan nafas mengengah hati dipagut rasa cemas dan takut.
Dengan hati diliputi keheranan, Ki Jangkung Reksa Menggala menatap nanar keadaan di sekelilingnya.
Ketika pandangan si kakek tertuju ke arah bekas ledakan dimana asap putih hitam bertaburan memenuhi udara, orang tua ini terhenyak. Dia melihat di atas bekas terjadinya ledakan berdiri dengan dua kaki mengambang mahluk-mahluk berujud aneh.
Mahluk-mahluk berwujud buaya itu berukuran besar dan berada dua tombak di depannya.
Mahluk-mahluk itu tidak berjalan dengan empat kaki sebagaimana seharusnya, melainkan berdiri dengan dua kaki belakang yang didukung dengan ekornya yang panjang besar bergerigi.
"Tidak salahkah apa yang kulihat ini? Atau mungkin mata tuaku yang mulai lamur salah melihat?"
Menggumam Ki Jangkung Reksa Menggala dengan suara serak bergetar.
Si kakek lalu menelan ludah basahi tenggorokannya yang mendadak kering.
Dia juga mengusap kedua matanya dengan punggung tangan berulang kali.
Alam menyimpan kehidupan dan rahasia.
Sedangkan kehidupan sebagian menjadi sebuah misteri tersembunyi yang tak terungkapkan.
Ki Jangkung Reksa Menggala pun kemudian dihadapkan pada sebuah kenyataan lain.
Mahluk-mahluk berwujud buaya yang tadi sempat dilihatnya mendadak lenyap.
Sebagai gantinya di tempat dimana buaya-buaya tadinya berdiri, bermunculan sedikitnya lima laki-laki berambut panjang menjela berjingkrak kaku berdiri tegak.
Kelima laki-laki itu masing-masing memiliki wajah yang dingin angker, berpakaian hitam dan cokelat berwajah licin tanpa cambang kumis dan jenggot.
Ketika Ki Jangkung Reksa Menggala menatap sekujur tubuh kelima lakilaki itu.
Dia melihat sebuah pemandangan yang tidak lazim.
Benar kelima sosok di depannya memiliki kaki dan tangan lengkap dengan kelima jari-jari di masing-masing bagian, tapi di antara jemari mereka ditumbuhi selaput kulit tipis yang berfungsi sebagai alat untuk berenang.
"Orang-orang ini kemungkinan adalah siluman buaya. Apakah mungkin mereka datang dari sungai di dasar jurang?"
Pikir Ki Jangkung Reksa Menggala sambil mengusap janggutnya yang putih meranggas.
Si kakek lalu terdiam, namun mata tetap memperhatikan sambil berlaku waspada.
Sejenak dia lalu ingat dengan siluman buaya putih yang konon ratunya segala buaya.
Tapi siluman buaya putih yang konon merupakan jelmaan seorang bidadari itu menetap di sebuah tempat mirip sindang namun luas sekali.
Tempat itu dikenal dengan nama Kedung Ombo dan terletak di lembah batu-batuah atau batu pijar.
Ki Jangkung Reksa Menggala segera ingat dengan jalan setapak di tepi jurang.
Tiba-tiba dia menepuk keningnya sendiri.
"Astaga. Mengapa baru terpikir olehku? Bukankah saat ini aku berada di tepi jurang Batu Batuah?"
Batinnya dalam hati.
Baru saja hati berkata demikian, lima laki-laki berkulit gelap tadi melesat ke arahnya.
Sejarak dua langkah didepan si kakek kelimanya berhenti..
Kemudian salah seorang di antaranya yang berdiri di sebelah tengah dan memiliki tubuh paling tinggi membuka mulut.
"Orangtua, kami diperintahkan untuk membawamu ke tempat kami. Pemimpin kami sedang menunggu kedatanganmu."
"Kalian ini siapa? Siapa pimpinanmu dan apa urusannya dengan diri saya?"
Tanya Ki Jangkung Reksa Menggala curiga.
Orang yang berdiri di sebelah kiri si tinggi ganti membuka mulut.
"Pimpinan kami adalah ratu dari sekalian ratu. D?a asalnya seorang bidadari. Dan kami adalah pengikut yang paling setia."
Terang laki-laki itu dengan suara dingin angkuh. Ki Jangkung Reksa Menggala tersenyum sambil cibirkan mulut
"Aku sudah bisa menduga siapa kiranya ratumu itu. Tapi aku tidak akan mengikuti kalian. Aku tetap di sini untuk menentukan sendiri kemana diriku akan pergi!"
Ketus Ki Jangkung Reksa Menggala. Lima laki-laki saling pandang. Orang yang berdiri di sebelah kanan terlihat tak kuasa menahan marah mendengar ucapan Ki Jangkung Reksa Menggala. Sambil melangkah maju mulutnya keluarkan ucapan.
"orangtua, apakah kau orangnya yang bernama Ki Jangkung Reksa Menggala?"
"Itu benar."
Menyahuti si kakek
"Hm, berarti kami datang pada orang yang tepat. Kami datang menjemput dan kau harus ikut!" tegas yang bertubuh tinggi.
Ki Jangkung Reksa Menggala menyeringai sinis.
"Aku harus mengikut seperti sapi tolol. Menghadap majikan kalian untuk kepentingan apa? Kenal dengan ratu kalian pun aku tidak. Harap jangan mengganggu. Aku hendak melanjutkan perjalanan!"
Dengus si kakek bersiap melangkah tinggalkan tempat itu. Kelima laki-laki segera menghalangi
"Kau tidak boleh pergi kemana-mana orangtua. Terkecuali bila urusan ratu kami denganmu telah selesai."
Kata si tinggi.
"Dan itupun bila ratu berkenan mengampuni selembar nyawamu!"
Timpal lainnya.
Si kakek yang tadinya berusaha menahan diri dengan bersikap sabar kini tak kuasa menahan kekesalan.
"Kalian semua..!"
Geram Ki Jangkung Reksa Menggala sambil menatap mereka satu demi satu
"Kalian mahluk siluman sungguh tidak mengenal peradaban. Orang tidak mau mengapa dipaksa?"
"Siapa yang memaksa, kami hanya ditugaskan untuk menjemputmu!"
Kata yang berdiri di sebelah kiri si kakek
"Kalau dia tidak mau menurut kita seret saja!" tegas salah satu dari mereka.
Kelima laki-laki keluarkan suara berdengus.
Tanpa diperintah oleh sang pemimpin empat lainnya segera menyebar bergerak melakukan pengepungan.
Tapi belum sempat mereka menyerang Ki Jangkung Reksa Menggala, tiba-tiba saja terdengar suara ucapan yang disertai gelak tawa.
"Mengapa cuma kakek Ki Jangkung Reksa Menggala itu saja yang dijemput? Aku juga mau ikutan dijemput. Apalagi kalau penjemputnya berkenan membawaku ke surga. Ha ha ha!"
Bukan cuma Ki Jangkung Reksa Menggala kelima mahluk siluman itupun ikut melengak kaget mendengar ucapan dan gelak tawa tersebut.
Serentak mereka dongakan kepala menatap ke arah datangnya suara.
Semua orang melihat satu sosok bayangan muncul dari balik kelebatan hutan lalu melesat ke arah mereka.
Belum sempat semua mata berkedip.
Di depan mereka antara Ki Jangkung Reksa Menggala dan lima utusan siluman buaya telah berdiri seorang kakek kurus berpakaian biru bercelana setinggi lutut sementara sekujur tubuhnya ditumbuhi lumut. Merasa tidak mengenal kakek itu.
Tapi sadar orang berlumut sepertinya berpihak padanya.
Ki Jangkung Reksa Menggala segera rangkapkan kedua belah tangan, sambil menjura dia berujar.
"Kakek Lumutan, Siapapun diri ki sanak, aku Ki Jangkung Reksa Menggala mengucapkan banyak terima kasih karena kisanak mau datang menolongku!"
Si kakek yang memang Ki Lumut adanya diam diam merasa lega ketika Ki Jangkung Reksa Menggala menyebut namanya.
"Diakah orang yang harus kucari dan kubantu seperti yang diperintahkan penguasa pohon Hijau? Lalu siapa lima laki-laki yang tubuhnya menebar bau anyir ini?"
Pikir ki Lumut sambil memperhatikan kelima laki-laki disekelilingnya satu-satu. Merasa tidak mengenal mereka, ki Lumut cepat menghadap Ki Jangkung Reksa Menggala. Tanpa menunggu dia menjawab,
"Maafkan aku kakek jangkung. Apakah kau berasal dari Padepokan Tiga guru?"
"Benar."
"Kalau begitu benarlah kau orang yang aku cari dan harus kubantu."
Jelas Ki Lumut Dengan singkat si kakek menceritakan perintah yang diterimanya dari penguasa pohon Hijau.
"Karunia dewa besar sekali. Aku senang bertemu orang aneh sepertimu. Sekarang tidak ada lagi kerisauan dihatiku."
"Senangnya sebaiknya disimpan dulu. Bukankah kelima orang ini datang menjemput dan ingin membawa dirimu ke tempat mereka?"
"Benar."
Jawab Ki Jangkung Reksa Menggala.
"Kalau mereka memaksa."
Kata ki Lumut sambil mengurai senyum.
"Sebaiknya kita gebuk saja mereka bersama-sama."
Merasa kehadiran mereka tidak dipandang sebelah mata oleh Ki Lumut. Kelima siluman menjadi marah. Ditujukan kepada si kakek lumutan yang jadi pimpinan siluman itu berseru.
"Tua bangka lumutan? Siapa dirimu? Mengapa mencampuri urusan kami?"
Ki Lumut pura-pura kaget lalu putar tubuh menatap ke arah laki-laki tinggi.
"Eeh, jangan berteriak, aku tidak tuli. Jaga mulutmu yang bau bangkai itu?"
Kata ki Lumut tenang.
"Barusan kau bertanya siapa aku? Oh sayang sekali, aku tidak pernah ingat namaku. Tetapi boleh kau panggil saja si tua bangka ini dengan nama Ki Lumut. Terus terang aku tidak ingin ikut campur urusanmu. Kedatanganku ke sini untuk membantu dia, demikian amanat yang diberikan kepadaku!"
Raja Gendeng 22 Bidadari Penebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau menjalankan amanat, sedangkan kami melakukan tugas. Mana yang lebih penting?"
Hardik pemimpin rombongan.
"Terang saja amanat yang lebih penting dari tugas. Kalian mahluk-mahluk bodoh mengapa tidak saja kembali ke sungai. Di sana lebih dingin, lebih sejuk. Mengapa gentayangan di daratan yang lebih panas?"
Ejek Ki Lumut membuat orang-orang itu tambah marah
"Kakek sialan! Kau benar-benar mencari mampus!"
Teriak pimpinan utusan tak kuasa menahan diri.
"Bunuh kakek berlumut itu dan bawa kakek Jangkung Reksa Menggala secepatnya dari sini!"
Teriaknya ditujukan kepada ke empat pengikutnya.
Serentak tiga pengikut bersirebut menyerang Ki Lumut dari tiga arah sekaligus.
Mendapati dirinya diserang sedemikian rupa, Ki Lumut malah tetawa terkekeh
"Apakah kalian hendak menggebuk diriku sampai pingsan? Apakah kalian kelak tidak menyesal bila tua bangka ini nantinya merubah penampilan kalian menjadi sesuatu yang baru.Hak hak hak!"
"Kakek tua Lumutan. Kami bahkan tidak akan menyesal jika harus membunuhmu!"
Seru laki-laki yang menyerang dari arah depan. Sambil berkelit hindari hantaman tinju yang siap meremukkan dada juga selamatkan diri dari tendangan yang datang dari arah belakang dan samping sebelah kanan. Ki Lumut membuka mulut.
"Weleh... melayangkan nyawa manusia tidak seperti melenyapkan nyawa nyamuk. Mulut busuk bau bangkai. Kalian menjual tua bangka ini membeli!"
Berkata demikian Ki Lumut tiba-tiba jatuhkan diri sama rata dengan tanah.
Secepat kilat dia gulingkan diri hindari hantaman kaki lawan.
Wuus!
Set!
Duk!
Bletak!
Demikian cepat gerakan jatuhkan diri yang dilakukan Ki Lumut.
Lawan yang menyerang dari arah depan tak sempat tarik tangan yang seharusnya menghantam remuk dada Ki Lumut. Sebaliknya tinju itu malah menghantam teman sendiri yang tadinya menyerang ki Lumut dari arah belakang, Laki-laki itu mengumpat menyalahkan temannya yang bertindak gegabah.
Selagi tubuhnya terhuyung dari arah samping kaki teman satunya lagi mendarat di pinggangnya.
Tanpa ampun laki-laki itu jatuh terjengkang.
Sumpah serapah berhamburan dari mulutnya.
"Kalian berdua apakah sudah gila semua? Mengapa aku yang kalian jadikan bulan-bulanan dan bukan kakek itu!"
Maki laki-laki itu sambil bangkit berdiri. Dua temannya yang merasa keterlepasan tangannya segera meminta maaf. Sebaliknya melihat kekacauan yang terjadi di antara mereka si kakek sekali lagi tertawa.
"Hadiah menarik belum lagi kubagikan, mengapa kalian bersiteru saling menyalahkan, ha ha ha!"
"Kakek jahanam! Jika kami tidak menghabisimu hari ini rasanya tidak pantas bagi kami berlima menyebut diri Lima Penjaga Terpilih!"
Geram ketiga orang itu hampir berbarengan. Ki Lumut manggut manggut.
Sambil mengusap janggutnya yang lumutan.
"Ya ya ya kini aku baru tahu ternyata kalian dijuluki Lima Penjaga Terpilih. Sebuah gelar yang angker membuat berjingkrak rambutku. Sekarang aku ingin menjajal kehebatan sampean bertiga. Kalau perlu yang dua lagi ikut bergabung juga boleh!"
Selesai berucap Ki Lumut dengan gerakan ringan melesat ke udara.
Di ketinggian dia berjumpalitan tiga kali.
Untuk menahan daya luncur tubuhnya dua kaki dikembang.
Kemudian dia meniup tiga lawan yang berusaha mengejarnya sambil lepaskan pukulan tangan kosong.
Si kakek dorongkan pula telapak tangannya dengan gerakan seperti orang yang menahan sesuatu dari bawah.
Wuuus!
Ser!
Ser!
Tiga tiupan aneh yang diluncurkan Ki lumut ke arah tiga lawan bukanlah tiupan biasa.
Walau tiupan itu tidak disertai dengan terdengarnya deru angin.
Namun dua lawan yang tidak sempat hindari tiupan seketika jadi terhenyak, bagian tubuh mulai kepala hingga kedua bahu laksana ditindih bukit batu.
Dalam kejut tidak menyangka lawan menyerang dengan akibat sehebat itu.
Kedua siluman itu segera batalkan serangan lalu dorongkan kedua tangan ke atas.
Tapi kenyataan yang mereka alami sungguh luar biasa.
Semakin besar mereka salurkan tenaga dalam dan berusaha membuyarkan pengaruh tiupan lawan.
Semakin besar pula himpitan yang menekan dari atas mereka.
Sampai tubuh mereka basah keringatan, upaya melenyapkan pengaruh serangan lawan tidak kunjung membuahkan hasil.
Melihat hal ini salah seorang temannya yang berhasil lolos dari tiupan segera mengambil tindakan menolong kedua temannya dengan melompat tinggi sambil melakukan satu tendangan keras disertai pukulan yang mengarah ke bagian kepala ki Lumut.
Walau tangan dan kaki si kakek bebas bergerak, namun saat itu dia sedang memusatkan perhatian pada dua lawannya.
Tak ingin celaka, ki Lumut terpaksa berhenti meniup, lalu sambil meluncur ke bawah dia balikan tubuh, dua tangan dijulur sambut serangan lawan.
Plak!
Des!
Dua pasang tangan beradu keras membuat keduanya sama-sama terdorong ke belakang.
Selagi tubuh terhuyung tendangan yang dilancarkan lawan mendarat di perut ki Lumut.
Si kakek yang seharusnya jatuhkan diri dengan kedua kaki terlebih dulu menyentuh tanah malah terpelanting.
Melihat ini dua lawan yang kena dikerjai oleh Ki Lumut dengan tiupan segera merangsak maju lalu menyerang Ki Lumut dengan jotosan dan serangan bertubi-tubi.
Sementara itu pemimpin Lima Penjaga Terpilih dengan dibantu oleh seorang temannya nampaknya sedang berusaha keras meringkus Ki Jangkung Reksa Menggala.
Sebagaimana perintah dari ratu Siluman Buaya Putih penguasa tertinggi dari sekalian buaya, mereka hanya ditugaskan untuk menjemput bukan untuk melukai.
Karena dia memiliki satu rahasia besar yang harus diketahui oleh sang ratu.
Mengingat Ki Jangkung Reksa Menggala bukan orang yang berkepandaian rendah.
Untuk meringkus dan melumpuhkan orangtua itu tidak mudah.Sepuluh jurus berlalu tanpa terasa.
Sejauh itu belum ada tanda-tanda Ki Jangkung Reksa Menggala dapat dilumpuhkan.
Sebaliknya karena dua lawan hanya berusaha melumpuhkan dengan totokan, hal ini menjadi keuntungan tersendiri bagi Ki Jangkung Reksa Menggala.
Walau kepandaian dan tenaga sakti lawan sangat tinggi, si kakek tetap masih berada di atas angin. Kesempatan ini dipergunakan Ki Jangkung Reksa Menggala dengan sebaik-baiknya.
Ketika melihat pimpinan penjaga melesat cepat ke arahnya sambil lancarkan totokan dan tamparan keras yang mengincar bagian dagunya.
Dengan gerakan lincah dia berkelit, dua tangan kemudian dia dorong ke depan melepas pukulan Raja Api Turun Gunung.
Melihat gumpalan api menyambar ke arahnya disertai tebaran hawa panas luar biasa, kepala penjaga segera jatuhkan diri sama rata dengan tanah.
Semburan lidah api raksasa menderu dibelakang punggung laki-laki itu, memberangus pakaian disebelah belakang namun tak sanggup mencidrai kulit punggung lawan yang atos tebal.
Lidah api terus menderu, membakar semak dan pohon di belakang kepala penjaga.
Selagi Ki Jangkung Reksa Menggala tercengang karena pukulannya tidak mengenai sasaran.
Kesempatan itu dipergunakan oleh kepala penjaga dan temannya untuk melakukan serangan balik.
Satu sentakan dilakukan kepala penjaga, membuat tubuhnya yang menelungkup meluncur deras mendekati lawan.
Bersamaan dengan itu dua tangan berkelebat menyambar kedua kaki Ki Jangkung Reksa Menggala.
Si kakek yang ketika itu sedang lancarkan satu jotosan untuk memapaki satu serangan pengikut kepala penjaga terkesiap begitu tiba-tiba melihat datangnya serangan yang dilakukan kepala penjaga.
Dia sendiri berhasil menghantam wajah pengikut itu hingga membuatnya terjajar dengan mulut dan hidung mengeluarkan darah.
Namun Ki Jangkung Reksa Menggala tak sempat selamatkan kakinya dari cekalan keras yang dilakukan kepala penjaga.
Sekali lawan sentakan tangannya seperti pohon ditebang Ki Jangkung Reksa Menggala pun ambruk.
Sekuat tenaga kakek itu meronta berusaha bebaskan kedua kaki dari cengkeraman lawan sambil menghantam kepala penjaga dengan menggunakan kedua tangannya yang bebas bergerak.
Tapi di sinilah kehebatan kepala penjaga Dengan sigap dia lakukan tiga totokan di beberapa bagian tubuh Ki Jangkung Reksa Menggala.
Dan Ki Jangkung Reksa Menggala semakin tak berdaya ketika pengikut kepala penjaga yang dibuat remuk hidung dan bibirnya menambahkan satu totokan di tengkuk kakek itu.
"Ingin sekali kuhabisi orang yang telah meremukan hidungku ini, kepala."
Geram laki-laki itu sambil tekan mulut dan hidungnya yang mengucurkan darah
"Kalau kau ingin menghabisinya. Kau harus sabar menunggu sampai gusti ratu selesai mengorek keterangan penting dari mulutnya."
"Sekarang selagi tua bangka Ki Lumut itu dibuat sibuk oleh teman-teman kita, secepatnya kita bawa dia pergi dari sini!"
Tegas kepala penjaga. Secepat kilat dia mengangkat dan meletakkan Ki Jangkung Reksa Menggala di atas bahu. Tanpa menunggu keduanya membalikan badan. Baru tiga langkah berjalan sosok mereka telah lenyap.
"Ki Jangkung Reksa Menggala! Duhai celaka dunia. Para pengecut jahanam. Kemana kalian hendak membawa kakek kenalan baruku itu!"
Teriak Ki Lumut.
Tanpa menghiraukan lawan dia balikkan badan lalu berlari ke arah lenyapnya dua siluman yang membawa Ki Jangkung Reksa Menggala.
Raja Gendeng 22 Bidadari Penebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi gerakan Ki Lumut seketika terhenti karena tiga gerakan pengawal laksana kilat melompat menghadang.
Ki Lumut Cemas, takut terjadi sesuatu yang tidak dinginkan pada orang yang seharusnya dia lindung maka Ki Lumut menjadi marah besar ketika melihat lawan menghalangi keinginannya.
"Mahluk-mahluk sialan! Walau cuma penjaga ternyata kalian memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Tapi kini aku tidak segan-segan lagi menghabisi kalian semua"
Geram Ki Lumut murka.
Sambil melangkah mundur satu tindak dia kepalkan dua tinjunya,
Rrrt!
Terdengar suara berderit seperti suara pintu lapuk yang terbuka.
Tiga penjaga sama berpandangan saling tatap satu sama lain dengan hati diliputi keheranan
"Kalian harus mampus.
Makanlah lumut-lumut ini. Heahhh!"
Teriakan Ki Lumut disertai gerakan mendorong dua tangannya.
Ketika tangan menderu jemari yang terkepal serentak terbuka.
Wuuus!
Dua gulung cahaya berhamburan diudara laksana ribuan kunang-kunang yang menerangi kegelapan.
Tebaran cahaya hijau berhawa dingin luar biasa kemudian bergerak menyerang ketiga penjaga.
Di tengah jalan gulungan cahaya memecah diri menjadi tiga membentuk alur yang kemudian berubah seperti tiga selendang berwarna hijau.
Bagian ujung depan alur cahaya laksana kepala ular berbisa meliuk lalu melibat menggulung tubuh lawannya.
Melihat bahaya datang mengancam ketiga penjaga itu tidak punya waktu untuk berpikir lebih lama.
Mereka hantamkan tangan masing-masing dengan tujuan menghancurkan serangan si kakek.
Serangkum hawa panas disertai membersirnya cahaya biru, hijau dan kuning menderu dari tangan ketiga lawan, Tiga benturan keras tidak dapat dihindari menimbulkan suara ledakan menggelegar.Cahaya kuning, hijau dan biru luluh lantak berhamburan di udara berubah menjadi kepingan bunga api dan kepulan asap tebal.
Tiga penjaga jatuh terjengkang. Belum sempat ketiganya bangkit, mereka dibuat terkesima ketika dapati tiga cahaya berbentuk selendang ternyata tidak dapat mereka hancurkan. Sebaliknya terus melesat ke arah mereka dengan kecepatan berlipat ganda.
Tidak ingin celaka.
Salah seorang diantaranya segera mengambil saku pakaian.
Benda itu kemudian disambitkan ke benda hitam dari balik arah tiga cahaya pipih yang bersumber dari serangan si kakek.
Benda itu menyambar tiga selendang
Buum!
Untuk kedua kalinya terjadi ledakan yang mengerikan.
Tiga cahaya selendang musnah.
Ki Lumut sendiri terjungkal.
Sementara kepulan asap yang menebar memenuhi udara sempat terhirup oleh mereka.
Huk huk huk!!
"Tinggalkan tempat ini! Kakek gila itu tak perlu dilawan!"
Seru suara dari seorang pengawal
"Para pengecut kurang ajar. Kemana kalian hendak lari!"
Teriak Ki Lumut yang baru saja dapat berdiri.
Dia hendak mengejar ke arah lawan lawannya.
Tapi dalam keadaan gelap tertutup asap dia tidak tahu pasti kearah mana tiga pengawal melarikan diri.
Kepulan asap hijau lenyap.
Setelah menyapu pandangan kesekitarnya Ki Lumut cuma bisa memaki dan mencak-mencak sendiri
"Kurang ajar. Kemana aku harus mencari Ki Jangkung Reksa Menggala. Mahluk-mahluk itu membawa Ki Jangkung Reksa Menggala ke alam gaib. Aku tidak bisa menyusul, tidak bisa menghilangkan diri seperti setan.Bagaimana ini?"
Gumam si kakek.
Dalam bingung dia hanya bisa tepuk kepalanya sendiri.
******
Dari hanya lari biasa lalu berkelebat dengan gerakan secepat terbang, Sang Maha Sakti Raja Gendeng 313 akhirnya berhenti disebuah lembah kecil di kaki bukit Ngampel.
Udara terasa sejuk walau matahari saat itu hampir mencapai titik tertingginya. Pemandangan indah yang menghijau dan suara gemercik air pancuran dimulut lembah sama sekali tidak dia hiraukan.
Mata sang pendekar sebaliknya menatap kesegenap penjuru sudut.
Akhirnya Raja menghela nafas kecewa.
"Aku mendengar suara jeritan perempuan. Suara minta tolong datangnya dari tempat ini. Tapi mengapa tidak terlihat seorangpun di sekitar sini?"
Gumam sang pendekar heran.
"Gusti Raja. Gusti, tiba-tiba lari meninggalkan medan pertempuran hamba kira karena takut pada nenek gemuk gembrot itu. Tidak tahunya Gusti meninggalkan musuh karena disini ada orang yang membutuhkan pertolongan."
Kata jiwa perempuan yang berbicara melalui suara mengiang.
"Apa kau tidak mendengar seperti yang aku dengar? Tadi ada orang menjerit minta tolong dan suaranya itu suara perempuan."
Tegas Raja tanpa keraguan.
"Maaf Gusti. Mungkin telinga saya memang mengalami sedikit gangguan. Saya cuma mendengar memang ada suara orang yang berteriak minta lontong!"
"Lontong itu makanan atau mahluk?"
"Jika mahluk, lelaki ataukah perempuan?"
Tanya Raja polos.
Jiwa perempuan tertawa tergelak-gelak.
Belum lagi lenyap suara gelak tawanya, terdengar ada suara mendamprat.
Walau berupa ngiangan juga tetapi membuat telinga Raja Gendeng jadi pengang.
"Jangan dengarkan gadis sinting itu Gusti. Dia memang maunya bergurau terus."
"Jiwa pedang sahabatku, kau boleh bicara aku tidak melarang. Tapi jangan berteriak seperti itu Telingaku bisa tuli, tahu?"
Dengus Raja ditujukan pada penghuni hulu Pedang Gila.
"Gusti maafkan saya. Mungkin saya terlalu bersemangat hingga bicara sekeras itu. Tapi saya sendiri juga sama seperti gusti telah mendengar suara perempuan berteriak. Dan suara yang saya dengar itu datangnya dari sini."
"Seperti yang terlihat, tidak ada siapapun di tempat ini. Di sebelah sana memang ada pancuran tempat mandi, namun tidak ada satupun rumah berdiri di tempat ini."
Ucap jiwa perempuan.
Raja diam tertegun.
Dalam diam dia ingat dengan Bunga Jelita, gadis cantik berambut hitam, berkulit putih berhidung bagus.
Gadis itu masih terhitung kemenakan Adipati Cakra Abiyasa.
Dipercaya sebagai pimpinan pasukan dalam usianya yang masih belia, Bunga Jelita sudah bersikap lebih dewasa dalam mempertimbangkan segala sesuatunya.
Berbeda dengan tiga pembantunya yang terdiri dari Limbuk ayu, dan dua kakek, satunya bernama Demang Sapu Lengga.
Ketiga orang ini bersikap gegabah dan bertindak selayaknya seorang pemimpin perompak
"Bunga jelita...hemm, nama yang bagus secantik orangnya."
Batin Raja sambil senyum senyum sendiri.
"Gusti, apakah gusti kembali mendengar suara dan agaknya ada orang yang bergurau hingga membuat gusti senyum-senyum sendiri?"
Tanya Jiwa perempuan membuat Raja cepat gelengkan kepala lalu menjawab.
"Tidak! Aku tidak mendengar apa-apa. Aku cuma mendengar suara kentutku sendiri. Sengaja kutahan agar kau dan jiwa pedang tidak mendengar-jadi suaranya kecil sekali nyaris tak terdengar. Dan itu yang membuatku tertawa."
Jawab pemuda itu berdusta.
"Ah Gusti ada-ada saja. Saya dan jiwa pedang percaya tidak percaya."
Timpal jiwa perempan ikutan tertawa. Namun tawa mereka hanya berlangsung sekejab karena sekonyong-konyong mereka mendengar suara orang meratap
"Tolong...tolonglah aku.Aku takut sekali.
Siapapun yang mendengar suaraku mohon tolonglah jangan biarkan aku seperti ini!"
Mendengar suara jeritan memelas, Raja memutar tubuh balikan badan menghadap ke arah bukit tempat dimana suara yang didengarnya berasal.
"Kalian mendengar suara itu?"
Bertanya sang pendekar ditujukan pada kedua jiwa penghuni hulu pedang.
"Ya."
"Kami memang mendengarnya,"
Menyahuti jiwa pedang.
"Sepertinya suara itu datang dari arah bukit bukan dibagian luar tapi dibagian dalam."
Tegas jiwa perempuan
"Dari dalam bukit?"
Raja Gendeng 22 Bidadari Penebar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gumam raja.
"Apakah mungkin ada ruangan di dalam bukit?"
"Aku tidak melihat gua atau sesuatu yang dapat dijadikan tempat berlindung." kata Raja heran.
"Gusti. Kalau gusti mengijinkan biarkan saya yang menyelidik ke bukit itu. Tidak membutuhkan waktu lama saya pasti segera kembali."
Ujar jiwa pedang.
"Baiklah.cepat lakukan!"
"Harap gusti suka menunggu beberapa kejaban."
Pinta jiwa pedang.
Raja anggukan kepala.
Dia kemudian merasakan ada desiran halus melintas di atas bahunya.
Pada saat Jiwa Pedang melakukan tugasnya, Jiwa Perempuan menunggu sambil menemani Raja. Untuk yang ketiga kalinya sang pendekar mendengar suara rintihan itu.
"Mengapa tidak ada yang menolong? Mengapa hidupku sengsara begini? Dimanakah manusia berbudi, dimana kebaikan bertahta? Mengaku suci sesungguhnya berdosa. Tiada dosa karena tidak merasa. Orang-orang terlihat bijak pandai mempermainkan lidah. Menipu diri bersembunyi dibalik kepalsuan. Siapa yang agung, siapa yang putih jika kesalahan selalu bersarang di diri?"
Suara pekik memelas kemudian lenyap. Sang pendekar terdiam sambil berusaha menyikapi setiap ucapan yang baru didengarnya.
"Siapa dia? Ucapannya seperti menyindir seseorang. Kata-katanya itu apa mungkin ditujukan kepadaku. Aku tidak pernah merasa diriku ini bersih dari dosa. Hmm, sungguh ucapannya menyentuh walau dia tidak menyebut siapa orang yang dia maksudkan!"
Sekali lagi Raja menatap ke arah bukit
"Gusti Raja."
Tiba-tiba terdengar suara mengiang datang dari arah depan sang pendekar.
"Kau sudah kembali jiwa pedang?"
Kata pemuda itu sambil menatap ke depan tepat dimana jiwa pedang dia perkirakan berada.
"Benar Gusti!"
Menyahuti jiwa pedang.
"Apakah kau menemukan sesuatu yang mungkin cukup penting?"
"Begitulah gusti. Dibalik hijaunya pepohonan yang tumbuh dilereng bukit saya melihat ada sebuah pintu terbuka. Pintu itu menghubungkan sebuah tempat atau dunia yang disebut dunia kesesatan."
"Maksudmu kau melihat pintu alam gaib terbuka? Dan pintu gaib itu kebetulan ada dilereng bukit?"
"Ya, memang demikian gusti,"
Jawab jiwa pedang.
"Hah benarkah yang kau katakan, jiwa pedang? Ada pintu alam gaib dibukit itu dan dalam keadaan terbuka pula?"
Sentak jiwa perempuan seakan tidak percaya.
"Aku tidak berdusta!"
"Aku percaya padamu."
Ucap jiwa perempuan.
"Tapi sebagai sesama mahluk yang berasal dari alam roh, kau juga tahu dunia kehidupan manusia yang bersifat fana ini berdampingan dengan dunia yang tak terlihat kasat mata yang dibatasi dengan sebuah tirai. Ada tabir pemisah juga pintu penghubung. Pintu penghubung antara kehidupan nyata dengan kehidupan mahluk selalu terkunci rapat. Tidak seorangpun manusia yang bisa memasuki pintu itu terkecuali hanya beberapa orang yang memiliki kelebihan dan keistimewaan tertentu. Mendengar ceritamu aku menjadi penasaran. Jangan-jangan ada sesuatu yang tidak beres. Kalau saja gusti Raja mengijinkan..."
Belum sempat jiwa perempuan menyelesaikan ucapannya, sang pendekar tiba-tiba menyela.
"Jiwa perempuan. Aku tahu maksud ucapanmu. Akupun merasa ada yang tidak beres. Sekarang kau kuberi waktu untuk melihat ke sana. Apapun yang kau temukan hendaknya secepatnya kembali dan memberi tahuku!"
Tegas pemuda itu.
"Terima kasih Gusti berkenan memberi kesempatan pada saya. Saya mohon diri dan segera kembali!"
Setelah berkata demikian, jiwa perempuan segera berkelebat tinggalkan Raja dan Jiwa Pedang.
Sambil menggerutu Raja tekap hidungnya begitu mengendus bau jengkol. Bersamaan dengan berlalunya Jiwa Perempuan, Jiwa Pedang menggerutu.
"Mahluk jorok. Cantik-cantik makanan kesukaannya serba bau. Sungguh dia mempermalukan kaumnya sendiri."
"Sudahlah, jangan mengeluh. Kau rupanya lupa banyak manusia, tidak lelaki atau perempuan memang menyukai yang serba bau dan jorok. Ha ha ha!"
Sahut Raja disertai gelak tawa.
Jiwa Pedang yang tidak mengetahui maksud Ucapan Raja hanya bisa diam melongo.
*****
KEPERGIAN Jiwa Perempuan memang tidaklah terlalu lama.
Raja telah mengendus bau tidak sedap yang menerpa hidungnya bersama hembusan angin.
Seketika itu juga Raja menyadari mahluk alam Roh yang konon menurut Jiwa Pedang memiliki wajah ayu rupawan telah kembali.
Tidak menunggu lama buru-buru pemuda ini ajukan pertanyaan.
"Bagaimana? Apakah yang kau di sana lihat sama dengan yang dilihat Jiwa Pedang?"
Jiwa perempuan tidak segera menjawab pertanyaan Raja. Sebaliknya dia malah bergurau.
"Wah, gusti hebat. Sekarang sudah bisa melihat diri saya yang cantik. Buktinya gusti tahu saya kembali."
"Melihat gundulmu! Aku tahu kedatanganmu karena aroma tubuhmu yang bau!"
Dengus Raja lalu palingkan perhatian ke jurusan bukit
"Jawab saja pertanyaannya!"
Perintah Jiwa Pedang ikutan kesal.
"Ya,ya baiklah."
Kata Jiwa Perempuan. Kemudian pada sang pendekar dia menjelaskan segala yang dilihatnya.
"Ada seorang gadis terperangkap di alam gaib katamu?"
Desis Raja dengan kening berkerut mata terbelalak.
"Jadi gadis itu yang berteriak minta tolong? Lalu gadis itu pula yang mengucapkan katakata seolah-olah hidup tidak berpihak padanya? Apakah dia mahluk lelembut?"
"Tidak gusti. Dia mempunyai jiwa dan raga sebagaimana manusia yang lain."
"Bagaimana dia bisa tersesat ke sana? Apakah penghuni kegelapan yang membawanya ke sana?"
Tanya sang pendekar heran.
"Saya tidak mengerti gusti."
Jawab Jiwa Perempuan.
"Waktu saya ke sana, saya tidak melihat siapapun. Bagaimana gadis itu tiba-tiba muncul disana?"
Tidak kalah heran Jiwa Pedang ikut bertanya.
"Matamu mungkin sudah lamur Jiwa Pedang. Gadis itu bukan muncul tiba-tiba. Dia memang ada di sana. Tidak jauh dari pintu gerbang yang terbuka. Dia berada di bawah pohon aneh dalam keadaan tidak berdaya, Tangan dan kaki dipentang, terikat pada sebuah tiang pancang. Tempat itu sunyi, dingin dan aku mencium hawa kematian. Juga ada hawa amarah, penderitaan, kesengsaraan hidup kebencian dan dendam, Hanya aku tidak bisa meyakinkan diriku dari mana semua rebawa keburukan itu datang."
Terang Jiwa Perempuan yang ternyata mempunyai perasaan lebih peka dari Jiwa Pedang.
Jiwa Pedang terdiam.Raja justru ingin mengetahui lebih jauh.
"Gadis yang kau lihat itu agaknya membutuhkan pertolongan"
Gumam Raja.
"Menurut saya memang demikian gusti."
Jawab Jiwa Perempuan, Mungkin karena sesama wanita Jiwa Perempuan terkesan lebih semangat. Berbeda dengan Jiwa Pedang yang tidak mudah terbawa arus perasaan tetapi lebih mengutamakan pikiran dan akal sehat.
"Gusti, apa yang gusti hendak lakukan?"
Bertanya Jiwa Pedang seolah ingin kepastian.
"Gadis itu siapapun dia pasti butuh bantuan kita."
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama