Ceritasilat Novel Online

Dendam Tari Gambyong 2

Warok Ponorogo 8 Dendam Tari Gambyong Bagian 2


Suatu hal yang menjadi alasan ia harus tetap berkelana karena ada tujuan utama dalam hidupnya yaitu ingin mengabdikan dirinya kepada kedua orang tuanya, dan menuntut ilmu setinggi mungkin di kala masih muda. Joko Manggolo tahu bahwa ia tinggal dengan keluarga Paman Sadri, ia akan mendapatkan ilmu ketinggian budi, tetapi sayangnya, Paman Sadri orang tua yang tidak suka kekerasan. Sejak mudanya pun ia menghindarkan diri dari belajar ilmu kanuragan. Hal lini yang menimbulkan perbedaan pandangan dengan Joko Manggolo.

"Budi baik harus tetap ditegakkan, tetapi kekuatan pun harus tetap digali. Hanya berbaik budi tanpa kekuatan menjadikan diri kita lemah, tetapi hanya kekuatan tanpa budi baik menjadikan diri kita buta, menjadi orang yang bersombong diri, begitu pendapat Joko Manggolo yang diutarakan kepada Paman Sadri Ketika mendengar pendapat Joko Manggolo itu, Paman Sadri hanya terdiam, sehingga membuat tidak enak Joko Manggolo, apakah Paman Sadri tersinggung, atau mungkin ia merasa membenarkan pendapat Joko Manggolo, dan macam-macam tanda tanya yang tidak terjawabkan. Oleh karena itu, Joko Manggolo memutuskan untuk sementara ia perlu mengembara lagi Joko Manggolo dalam perjalanannya kali ini agaknya banyak merenung. Walaupun ia terus berkelana, keluar masuk kampung, menelusuri tanah-tanah gersang menyelinap ke dalam hutan, mendaki bukit-bukit terjal, menghindari jurang-jurang curam, dan di setiap keramaian di kampung-kampung yang ditemui, apabila ia bertemu perempuan yang sekiranya sebaya dengan ibunya selalu diamati tajam, apakah di antara perempuan-perempuan itu terdapat ibunya. Siang malam Joko Manggolo bermimpi-mimpi untuk mencari petunjuk dimana sekarang keberadaan ibunya, Waijah Sarirupi yang hingga kini dianggapnya tetap sebagai misteri dalam hidupnya.

*****

KORBAN BACOKAN.

WARUNG makan yang berada di tengah Dusun Tempuran ini nampak masih sepi dari pengunjung. Penjual warung ini pun kelihatan masih sibuk berbenah diri, sejak pagi buta sebelum ayam jantan berkokok ia telah terjaga dari tidurnya untuk melakukan pekerjaan rutinnya, bersiap diri menyalakan dapur, merebus air, menanak nasi, menggoreng lauk pauk, membuat adonan sayur, dan bersih-bersih rumah, peralatan dapur, bangku-bangku, meja kursi warung depan.

"Selamat pagi, Bu. Apa boleh numpang makan"

Terdengar suara seorang laki-laki, tamu warung nasi itu yang ternyata Joko Manggolo dari perjalanannya yang hampir satu bulan ini meninggalkan kampung halamannya Dukuh Badegan.

"Ohhh, silakan. Tapi belum ada makanan. Masakannya belum ada yang matang."

"Tidak apa Bu. Saya menunggu sampai masak Kalau ada tolong minta wedang kopinya dulu."

"Ya. Maaf, tunggu sebentar, ya. Menunggu sampeai airrnya mendidih dulu, ya."

"Baik, Bu. Terima kasih"

Perempuan setengah baya itu meneruskan pekerjaannya Sementara, Joko Manggolo duduk di bangku depan sebuah lincak yang terbuat dari bambu sambil memperhatikan lalu-lalang orang-orang kampung yang hilir mudik nampak sibuk bersiap diri. Ada yang nampak sudah rapi mau bepergian berdagang keluar kampung dengan membawa barang dagangannya, ada yang mengembala ternak, ada yang membawa peralatan kebun peralatan pengolah sawah, ada yang nampak menuju ke pasar mau berbelanja untuk keluarga, ada yang jalan pelan-pelan sambil ngobrol bersama teman seperjalanannya kelihatan habis mencuci di sungai, dan ada pula yang kelihatan berjalan terburu-buru, mungkin sedang menuju ke arah sungai keburu kebelet mau berak dan menahan kencing.

Joko Manggolo nampak termangu memperhatikan kehidupan dusun ini yang nampak tenang di pagi hari. Orang-orangnya kelihatan bermuka ramah, memperlihatkan orang-orang yang mempunyai hati bersih, sumeleh, dan nrimo ing pandum menerima atas pembagian yang diterimanya, rejeki yang diperolehnya sebagai berkah berapa pun besarnya. Kalau orang sudah berhati sumeleh ia akan merasakan hidup tenteram itu, tidak grusa-grusu, tidak mudah iri, tidak dengki, lapang dada dan luas pandangan. Dari wajah orang-orang yang berlalu di depan Joko Manggolo itu dapat diterka wajah orang orang itu yang sumeleh.

"Ini wedang kopinya, Kangmas."

Tiba-tiba terdengar suara halus dari arah belakang Joko Manggolo, rupanya ibu pemilik warung itu telah menyediakan secangkir wedang kopi beserta seonggok jagung rebus yang nampak masih hangat terlihat asap masih mengepul menembus embun udara pagi.

"Terima kasih, Bu"

Tanpa banyak kata lagi Joko Manggolo langsung menghirup wedang kopi hangat itu dan mencicipi jagung rebus yang nampak masih muda itu. Dalam suasana ketenangan itu, tiba-tiba joko Manggolo dikejutkan oleh suara gaduh yang lama-lama makin mendekat ke arahnya. Terlihat dari kejauhan seperti ada beberapa orang yang sedang mengangkat usungan bambu, berjalan terburu-buru melintasi jalan yang sedang banyak orang lewat itu, di atasnya tergeletak seorang laki-laki yang mengerang kesakitan. Setelah dekat, lewat di depan jalan, Joko Manggolo dapat memperhatikan orang yang sedang digotong itu terlihat banyak berlumuran darah merah dari tubuh laki-laki itu

"Ada apa itu, Bu."

Tanya Joko Manggolo kepada ibu pemilik warung nasi itu.

"Biasanya kalau pagi-pagi ini ada orang yang terluka, karena ada orang yang berkelahi di sawah berebut air."

"Berebut air?."

"Ya."

"Mengapa mereka berebut air."

"Dikampung ini, terutama bagi para petani, air itu menjadi utama. Aliran air yang mengairi sawah-sawah mereka sering menjadi pangkal kegaduhan mereka. Ada yang menutup saluran air dan membelokkan ke ah sawahnya sendiri. Itulah yang biasanya sering menjadi biang keladinya. Pak Jogoboyo kalau tidak adil mengamankan pembagian air sawah ini, bisa berubah suasana menjadi bermusuhan ini. Orang-orang menyebutnya bacokan. Berkelahi masing-masing menggunakan senjata tajam, bisa arit, sabit, atau membawa motek. Perkelahian satu lawan satu ini bisa membawa korban nyawa, atau kalau beruntung ketahuan orang-orang kampung yang sedang lewat seperti orang itu tadi. Mereka kedapatan dan korban dapat diselamatkan penduduk. Tapi kalau tidak ketahuan orang lain, mereka berkelahi sampai mati. Itu bahayanya."

"Ohhh, begitu ya, Bu. Kelihatannya dusun ini tenang tetapi ternyata sering terjadi keributan masalah berebut air itu..."

"Benar, Kangmas. Memang bagi kita yang tidak punya sawah dan pekerjaannya dagang suasana kehidupan kita leb?h tenang daripada para petani yang acapkali terjadi keributan yang bertaruh nyawa itu"

"Mereka itu apa penduduk dusun ini juga, Bu."

"Biasanya mereka bercekcok dengan penduduk dari dusun lain. Kalau kita sama-sama satu dusun ini, jarang terjadi. Kalau pun terjadi keributan biasanya bisa dimusyawarahkan antar warga. Yang salah mengaku salah dan yang benar juga berhak menerima kebenarannya."

"Ya ya" katajoko Manggolo sambil mengangguk anggukan kepalanya.

"Jadi orang itu tadi dari dusun sini."

"Ya, tentu saja. Kalau dari dusun lain ya mestinya dibawa pulang ke dusunnya sana"

"Tapi apakah sering terjadi perkelahian antar warga dusun yang bersebelahan itu"

"Sepertinya belum pernah terjadi berkelahi keroyokan yang hingga melibatkan banyak warga dusun. Kalau ada masalah antar pribadi ya mereka sendiri yang menyelesaikan. Satu lawan satu. Begitu, Kangmas."

"Jadi para laki-laki di sini cukup satria. Kalau ada yang berkelahi masalah pribadi, penduduk lain berusaha melerai. Kalau mereka tidak mau dilerai, ya akhirnya mereka tidak berbuat apa-apa, menyerahkan keputusanya kepada mereka sendiri yang sedang berkelahi. Lainnya melingkari orang yang berkelahi sebagai penonton. Begitu rupanya adat kita ini di sini."

"Ya, memang hampir terjadi di hampir pelosok daerah Ponorogo ini seperti itu."

"Soal pribadi diselesaikan secara pribadi tidak mau melibatkan orang lain untuk sama-sama berkorban membela orang yang sedang berkelahi itu. Itu biasanya sifat orang orang di sini"

Pembicaraan Joko Manggolo dengan Ibu pemilik warung itu terhenti ketika tiba-tiba terdengar telapak kuda yang berlari kencang dari arah timur. Dan tepat di depan warung ini, penunggang kuda itu menghentikan kudanya. Setelah menambatkan kudanya di pohon mahoni besar di pinggir jalan itu, laki-laki itu bergegas masuk ke warung ini. Sosok seorang laki-laki tinggi besar dengan menyilangkan sarungnya di pundaknya, nampak baru bangun tidur melihat mukanya yang masih penuh blolok, berkali-kali menguap dan mengusap-usap matanya, lalu duduk acuh tidak jauh dari tempat duduk Joko Manggolo.

"Minta wedang kopi yang kental," kata laki-laki itu sambil menyilangkan kakinya yang kiri terangkat bersikap duduk jigang

"Tunggu sebentar, ya. Pak,"

Kata ibu pemilik warung itu ramah.

"Ini kopi siapa. Minta, " kata laki-laki itu menghampiri tempat duduk Joko Manggolo, dan tanpa basa-basi wedang kopi Joko Manggolo itu langsung diteguknya sampai habis tanpa permisi terlebih dulu kepada Joko Manggolo.

"Uahhhh, ngantuk. Kopnya pahit, bah, buuuahh"

Mulut laki-laki itu meludah ke tanah sepertinya membuang bubuk kopi yang menempel di mulutnya.

Kemudian dengan sikap tak acuh kembali duduk jigang mengangkat satu kaki kanannya di atas bangku layaknya raja kampung.

Melihat sikap kasar yang tidak tahu aturan laki-laki itu, Joko Manggolo hanya terdiam, rupanya ia tak ingin membuat perhitungan terhadap laki-laki yang bersikap merendahkan dirinya itu

"Ini, Pak wedang kopinya.
Dan ini rebusan ketela rambat" kata ibu pemilik warung itu.

"Hah, mengapa aku dikas?h ketela rambat.
Kenapa anak monyet itu dikasih jagung rebus."

"Maaf, Pak.
jagungnya masih di rebus.
Tunggu sebentar."

"Bawa kemari itu jagung di depan anak monyet itu. Aku mau makan jagung, tidak mau makan ketela rambat."

"Ya, maaf ya, Nak. ini jagungnya untuk bapak ini."

"Silakan, Bu. Silakan ambil,"

Kata Joko Manggolo kalem. Laki-laki itu tanpa banyak cingcong langsung menyantap seonggok jagung rebus itu dengan rakusnya. Kulitnya dibuang kesana-kemari seenaknya.

"Pak, maaf. Kulitnya jangan dibuangi. Tolong ditaruh di sini saja," kata ibu pemilik warung itu sambil menyodorkan tempat sampah di dekat laki-laki itu.

"Masa bodoh, aku ini kan tamu. Semauku mau apa saja," kata laki-laki itu tetap tidak peduli, dan terus melempari kulit jagung itu kesana-kemari. Tiba-tiba di luar halaman warung depan terdengar suara riuh telapak-telapak kuda yang nampaknya berhenti di depan warung itu, dan serombongan penunggang kuda, berjumlah lima orang kelihatan menambatkan kudanya di pohon-pohon asam pinggir jalan, lalu mereka seperti berjajar memasuki warung ini. Nampak mereka datang dari luar Dusun ini

"Ada sarapan apa, Mbakyu." kata salah seorang dari mereka.

"Nasi pecel, Kangmas"

"Ya. Kasih kami enam bungkus."kata laki-laki itu sambil tak acuh mengambil tempat duduk tidak jauh dari Joko Manggolo. Tapi, tiba-tiba salah seorang laki-laki itu memukul keras kaki kanan laki-laki yang tadi enak-enak makan jagung sambil duduk kaki diangkat jigang. Plakkk suara keras pukulan tangan mengenai paha laki-laki itu..

"Kalau duduk yang sopan,"

Bentak salah seorang laki laki yang baru datang itu.

"Hah, apa urusanmu menganggu kesenangan orang."

Nampak laki-laki kasar itu tidak rela diperlakukan demikian. Ia langsung berdiri dengan mata melotot.

"Aku hanya beritahu. Di sini ini tempat umum. Kalau duduk yang sopan."

Tanpa banyak bacot tiba-tiba laki-laki yang tadi duduk jigang itu melemparkan kulit-kulit jagung itu ke arah muka laki-laki yang memukulnya itu

"Ini hadiah buat kamu, ha...ha..." teriaknya sambil tertawa lebar.

Rupanya laki-laki yang membawa rombongan lima orang itu tidak terima diperlakukan kasar dengan mukanya ditimpuk kulit jagung itu. Dengan geram lakilaki itu meloncat menerjang dengan menendang mulut laki-laki kasar yang sedang menikmati ketawa lebarrnya.

"brukkk"

"Wadalah. Kurang ajar. Mau bikin ribut sama aku ya. Hayo di luar sana," kata laki-laki kasar itu sambil memegangi mulutnya yang baru saja terkena tendangan keras kaki lawannya itu. Ia segera meloncat keluar yang diikuti oleh laki-laki yang baru datang itu. Pergumulan seru tidak terelakkan lagi. Mereka bertarung gigih di halaman warung itu. Rupanya kelima kawanan laki-laki pendatang itu tidak terima melihat temannya berkelahi sendirian. Maka, tanpa dikomando, kelima laki-laki itu secara berbarengan mengeroyok laki-laki kasar itu. Perkelahian yang tidak seimbang itu telah membuat celaka laki-laki kasar itu. Ia dihajar oleh kelima laki-laki itu berbarengan sampai tidak berkutik memberikan perlawanan lagi. Ia terjatuh terkulai di tanah. Joko Manggolo sejak tadi hanya memperhatikan pertarungan tidak seimbang itu, tapi ia tidak berniat ikut terlibat. Ia tidak ingin memihak kedua kelompok yang Manggolo sama-sama tidak simpatik untuk d?bela. Laki-laki pertama tadi yang bersikap kasar. Kemudian gerombolan laki-laki pendatang yang mau menurut unjuk kekuatan diri.

"Sudah. Sudah, Kangmas. Jangan diteruskan nanti kalau ketahuan Jogoboyo pengamanan dusun urusan bisa berkepanjangan,"

Teriak ibu pemilik warung itu berusaha melerai dan melindungi laki-laki kasar yang tergeletak lemas, mukanya babak-belur mengeluarkan darah bercucuran.

Dengan dibantu ibu itu, laki-laki itu berusaha berdiri dan menjauhi kelima kawanan laki-laki pendatang itu.

"Ha...ha...dasar begajul mau sok jadi jagoan kampung" ledek salah seorang laki-laki pendatang itu.

"Aw...awas, tunggu pem...pembalasanku..."

kata laki laki kasar itu sambil beringsut dengan menyeret kakinya yang nampak juga terluka sulit berjalan.

"Sudah babak-belur begitu masih mau menunjukkan kesombongannya, ha...ha..." teriak seorang laki-laki pendatang itu.

Dan kemudian kelima laki-laki itu memasuki warung itu, ketika dilihatnya laki-laki yang baru saja d?hajar itu menghilang di belokan jalan depan sana itu.

"Mana nasi pecelnya tadi, Mbakyu."

"Maaf, sudah saya siapkan tadi. Sebentar, saya ambil di belakang" kata ibu pemilik warung itu tergopoh-gopoh ke bilik belakang.

Tidak berapa lama ibu itu telah kembali dengan membawa nasi pecel yang ditaruh di atas daun pisang, dengan ditambah lauk gorengan rempeyek

"Silakan, makan, Kangmas-kangmas."

"Wah, ini baru nikmat," komentar salah seorang laki-laki itu dengan muka cerah dan langsung menyantapnya.

"Kalau mau nambah lagi silakan Iho, Kangmas," kata ibu itu.

"Ya. Terima kasih. Bikinkan aku satu lagi, Mbakyu. Rasanya aku masih kurang kalau cuma satu pincuk."

"Baik, saya mau bikinkan lagi. Pedas atau biasa,"

"Biasa saja, Mbakyu. Ehh, ngomong-ngomong mau nanya tahu enggak. Rumah Juragan Suroronggo di sebelah mana, Mbakyu" tanya laki-laki yang kepalanya diikat udeng hitam itu.

"Di ujung jalan itu. Di depan ada monyetnya. Monyet.?"

"Ya. Monyet, binatang peliharaan. Ha...ha...ha...aku kira monyet apa,"

Kata ketiga laki-laki itu sambil tertawa kasar dihadapan perempuan pemilik warung itu.

"Ada perlu apa tho Kangmas mencari Juragan Suro ronggo," kata Ibu pemilik warung itu sambil menyerahkan enam bungkus nasi pecel itu.

"Achhhh, ada urusan penting. Soal duwit." kata laki-laki itu sambil tanganya memperagakan menghitung uang.
Warok Ponorogo 8 Dendam Tari Gambyong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Ohhh mau menagih."

"Ya, kira-kira begitulah."

"Memang Juragan Ronggo punya utang sama bapak-bapak ini."

"Bukan aku yang punya urusan utang-piutang ini sama dia, tapi juraganku. Aku ini hanya ditugaskan untuk menagih utang saja."

"Ohhhh jadi-bapak-bapak ini jadi juru tagih."

"Huss, jangan bilang kasar begitu. Apa aku ini dikira tukang tagih."

"Ya. Maksud saya bapak-bapak ini pekerjaannya menagih utang sama orang-orang yang ngutang"

"Enak saja sampeyan menganggap rendah pekerjaanku. Aku ini jelek-jelek begini pengusaha."

"Ohhh pengusaha."

"Ya."

Kata laki-laki itu sambil memperlihatkan matanya yang mendelik tajam.

"Maafkan kalau saya salah ngomong tadi, Pak" kata perempuan pemilik warung itu dengan muka pucat.

"Ya, begitu."

Suasana jadi hening kembali

"Hee, kamu juga orang asing di sini ya,"

Tiba-tiba seorang laki-laki yang bertubuh dempal itu menolehkan perhatian kepada Joko Manggolo yang sedang asyik menikmati minuman wedang kopi dan jagung rebus itu.

"Ya, Pak"

Jawab Joko Manggolo nampak santun.

"Kamu ada perlu apa memasuki dusun ini."

"Saya tidak sengaja lewat dusun ini, kemudian mampir kemari untuk sekedar mencari minuman panas untuk... " belum habis kata Joko Manggolo sudah diputus orang itu.

"Achhh, sudah. Sudah. Aku tidak tanya macam-macam. Aku hanya ingin tahu apa tujuan kamu kemari. Mau ketemu siapa dan ada urusan apa."

Bentak laki-laki dempal itu yang diringi oleh teman-temannya yang lain dengan pandangan mata yang mencorong tajam nampak mencurigai Joko Manggolo ini.

"Tadi sudah saya jelaskan, saya hanya mam..."

"Heh, goblok. Aku mau tanya apa tujuan kamu memasuki dusun ini dan mau ketemu siapa. Jawab goblok"

"Tujuan saya mau mencari minuman. Ingin ketemu ibu pemilik warung ini."

"Hehh, dungu. Jangan permainkan aku. Ditanya baik baik, jawabnya meledek."

"Lalu, harus saya jawab apa, Pakkkk"

Kata Joko Manggolo nampak juga mulai kesal menghadapi rombongan laki laki kasar ini.

"Ehhh, kamu mau meledek ya."

"Tidak. Saya hanya menjawab pertanyaan bapak tadi."

"Siapa nama kamu."

"Joko Manggolo."

"Kamu aku ganti nama Joko Gemblung, ha...ha...ha..." kata laki-laki berbadan dempal itu sambil tertawa keras yang diikuti oleh teman-teman rombongan lainnya yang ikut mentertawai Joko Manggolo itu.

"Heh, kenapa kamu diam saja. Sudah dengar tadi, aku namai kamu Joko Gemblung. Jawab siapa nama kamu."

"Namaku Joko Manggolo," mantab kata Joko Manggolo

"Kurang ajar. Katakan namamu Joko Gemblung. Hayooo bilang."

Joko Manggolo hanya terdiam saja sambil kembali meminum wedang kopinya.

"Bu, sudah. Berapa, Bu." kata Joko Manggolo sambil berdiri bersiap mau pergi meninggalkan warung ini.

"Tiga keping"

Kata ibu penjaga warung itu.

"Hehh, anak ingusan mau pergi kemana kamu,"

Kata laki-laki dempal itu nampak masih penasaran ingin mempermainkan Joko Manggolo yang nampak seperti pemuda lugu yang masih ingusan itu

"Saya mau melanjutkan perjalanan, Pak" jawab Joko Manggolo kalem

"Sebentar, Sobat.
Jangan pergi dulu.
Kita kan bisa bercanda lebih lama di sini," kata laki-laki berbadan dempal itu sambil ia meloncat mendekati Joko Manggolo dan memegang kedua pundak joko Manggolo itu dengan kasar ditekan ke bawah agar duduk kembali.

Joko Manggolo hanya bersikap menuruti kemauan orang orang kasar itu, walaupun ia mulai marah atas perlakuan kasar laki-laki itu tetapi ia berusaha menahan diri.

Tidak ingin bikin gara-gara di dusun yang baru diinjaknya ini bisa-bisa menimbulkan salah paham penduduk atas kehadirannya di dusun ini.

"Nah, begini kan enak...tho Leeee,"

Kata laki-laki itu dengan muka menyeringai kegembiraan merasa dapat mempermainkan Joko Manggolo yang dianggap lakilak? lugu itu untuk bahan permainan.

Kemudian laki laki itu mengambil daun ketikir dan terus diketik-ketikan pada lubang hidung Joko Manggolo sambil tertawa terpingkal-pingkal diikuti oleh para laki-laki lainnya yang melihatnya dengan geli.

Kali ini kesabaran Joko Manggolo sudah benar-benar habis.

Dengan cekatan lengan laki-laki dempal itu disambarnya kemudian dengan cepat dipuntir ke arah belakang.

"Kamu sudah keterlaluan mempermainkan orang" Kata Joko Manggolo.

"Aduhhhh, lepaskan pegangan kamu. Kurang ajar, akan aku hajar kamu berani berbuat beg . begi.. begini ad...aduhhhh...sak...sakitt,"

Teriak laki-laki itu.

Tapi, tanpa diduga Joko Manggolo, keempat laki-laki yang lainnya segera memberikan pertolongan terhadap temannya yang dikunci lengannya oleh Joko Manggolo itu.

Seorang menendang muka Joko Manggolo, seorang lagi melemparkan kepalan tangannya tepat mengenai pelipis Joko Manggolo, dan lainnya menghujankan serangan berbarengan pada punggung Joko Mangggolo.

Mereka rupanya dapat mengenali begitu melihat gerakan Joko Manggolo yang mengeluarkan jurus kunciannya itu, baru menyadari pemuda yang dikira lugu dan dungu itu ternyata memiliki ilmu kanuragan yang lumayan tinggi, maka nalurinya segera menggerakkan mereka untuk segera bertindak menolong temannya agar tidak terkena celaka ditangan pemuda perkasa ini.

Menghadapi serangan serentak yang tiba-tiba itu. Joko Manggolo yang tidak siap, terjatuh terguling-guling ke tanah.

Kunciannya terlepas, sehingga nampak laki-laki yang tadi tangannya dikunci Joko Manggolo mengibas ngibaskan lengannya kelihatan kesakitan keseleo.

Setelah berguling-guling beberapa langkah, Joko Manggolo kemudian telah berhasil membangun kembali kedudukan kuda-kudanya dengan sikap "pasang"

Untuk menghadapi kemungkinan serangan lebih lanjut dari para begundal-begundal itu.

Benar juga tidak berapa lama, kelima laki-laki itu sudah berpencar mengepung posisi gerak Joko Manggolo.

Satu per satu membuka serangan kombinasi gerakan tendangan kaki dari berbagai jurusan dan lemparan pukulan tajam tangan-tangan yang kokoh-kokoh itu.

Untung Joko Manggolo sempat memasang jurus tipuan-tipuan sehingga para laki-laki yang menyerang dengan bernafsu itu hanya mengenai teman-temannya sendiri .Mereka saling tendang.

Saling pukul tidak sengaja.

Lama-lama mereka lumpuh sendiri kehabisan tenaga.

"Maafkan, anak muda.
Kami mengaku kalah.
Ma...maaf."

"Baiklah, berdirilah,"

Kata Joko Manggolo cukup arif.

Lalu mereka nampak bersalaman, walaupun nampak para laki-laki itu begitu lungkrah.

Tidak berdaya.

Para laki-laki itu mendapatkan perawatan dari Ibu pemilik warung itu.

Mereka dirawat luka-lukanya dibawa ke dalam bilik.

Sementara itu Joko Manggolo pun kembali duduk-duduk sambil menikmati minuman dan makan jagung rebus yang sempat tertunda oleh adanya gangguan dari para begundal itu tadi.

Tiba-tiba, masuk ke warung itu seorang laki-laki yang rambutnya sudah kelihatan memutih

"Maaf, anak muda.
Saya kagum atas ketangkasan anakmas tadi memperagakan ilmu kanuragan.
Saya diutus oleh juragan saya untuk mengundang anakmas, ingin menjamunya.
Tetapi, sssttt,"

Tiba-tiba laki-laki tua itu membisikkan sesuatu ke telinga Joko Manggolo.

"Jangan sampai ketahuan para laki-laki itu. Nanti saya akan dihajar kalau mengundang anakmas."

Rupanya, kata-kata terakhir itu yang membuat tertarik Joko Manggolo mau menuruti ajakan laki-laki tua itu.

"Mengapa mereka merasa takut dan perlu merahasiakan terhadap para laki-laki begundal itu, pasti ada ceritera di balik ini, mungkin ada latar belakangnya," guman Joko Manggolo dalam hati.

"Bu, berapa?."

Teriak Joko Manggolo mau pamit.

"Tiga keping" kata ibu itu dari dalam.

"Ini, Bu. Saya tinggal di sini uangnya."

"Ya, terima kasih."

"Pak, bapak-bapak, saya mohon diri dan mohon maaf "

"..iya, ya. Juga maafkan kami," terdengar suara serak laki-laki agak terbata-bata dari dalam bilik yang tadi sempat dihajar Joko Manggolo itu. Kemudian, tidak berapa lama terlihat Joko Manggolo diiringi seorang tua itu meninggalkan warung nasi itu berjalan kaki menuju ke rumah juragan Suroronggo.
Warok Ponorogo 8 Dendam Tari Gambyong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



******

KERIBUTAN.

RUMAH besar di pinggir Dusun Tempuran ini nampak kokoh. Terdapat pintu besar yang dijaga oleh dua orang dengan bersenjata sebilah senjata tajam motek, kedua orang penjaga yang berkumis tebal itu nampak angker bagi yang bertatapan dengannya Joko Manggolo yang diiringi orang tua tadi dengan lenggang melalui penjagaan kedua orang itu tanpa ditegur sapa.

"Nampaknya orang tua ini sangat dikenal mereka dan menjadi sesepuh di sini,"

Pikir Joko Manggolo dalam hati.

Setelah memasuki rumah besar itu, di tengah ruangan itu telah duduk di atas kursi besar seorang laki-laki perkasa dengan jampangnya yang lebat, namun terlihat pada sosok tubuhnya perutnya buncit sebagai pertanda orangnya suka makan kenyang, bersenang-senang, dan kurang tirakat.

"Silakan, silakan duduk anak muda," kata laki-laki berjambang lebat itu menyilakan Joko Manggolo dengan ramah setelah mereka berdua berjabat tangan penuh persaudaraan.

"Terima kasih,"

Jawab Joko Manggolo sambil mengambil tempat duduk yang nampak sudah disiapkan untuk dirinya, yang diikuti oleh laki-laki tua yang tadi membawanya ke sini.

"Tuan Juragan, beliau ini yang tadi hamba laporkan" kata laki-laki tua itu memperkenalkan Joko Manggolo yang nampak penuh hormat kepada juragannya.

"Ya, ya, aku senang anakmas bersedia bertandang ke rumahku ini. Perkenalkan namaku Suroronggo. Siapa nama anakmas,"

Tanya laki-laki yang memperkenalkan bernama Suroronggo itu.

"Nama saya Joko Manggolo."

"Bagus. Nama yang baik," kata laki-laki itu sambil mengangguk-anggukan kepala.

"Aku mengundang anakmas kemari, selain aku pengin berkenalan juga kepengin menjamu. Syukur-syukur anakmas bersedia tinggal di rumah ini untuk beberapa saat untuk memberikan latihan ilmu kanuragan kepada para anak buahku di sini. Maksudku untuk meningkatkan perbendaharaan keilmuannya, sebab mereka rata-rata sudah memiliki dasar-dasarnya, tinggal anakmas meningkatkan kemampuan mereka. Apakah sekiranya tawaranku ini bisa berkenan di hati anakmas. Soal bayarannya jangan dipikirkan, aku akan memberikan imbalan yang menarik..ha..ha..."

Kata Suroronggo yang diiringi ketawa gembiranya yang menggeladak

"Saya akan pikirkan dulu, Pak"

Jawab Joko Manggolo.

"Ha.ha...jangan terlalu dipikirkan. Putuskan saja. Itu kan lebih baik. Kami semua di sini akan menganggap anakmas sebagai saudara. Nah, mari silakan minuman dan makanannya. Sinambi ngobrol begini makan minum kan gayeng. Hayo, jangan sungkan-sungkan anggap saja seperti di rumah sendiri, ha...ha."

"Terima kasih,"

Kata Joko Manggolo sambil menghirup wedang jahe hangat dan makanan jajanan pasar, getuk, tiwul, cenil, jongkong, dan lain-lain yang banyak digelar di meja bulat itu.

Sebenarnya Joko Manggolo sudah kenyang tadi makan jagung di warung tetapi begitu melihat makanan jajanan pasar yang beraneka rupa itu seleranya bangkit juga.

"Nah, bagaimana anakmas Manggolo.
Mau kan menerima tawaranku ini,"

Kembali terdengar kata-kata Suroronggo yang menunjukkan mimik mukanya berseri seri.

"Terus terang saja anakmas Manggolo, aku ini sekarang sedang banyak musuh. Banyak orang yang ngiri kepadaku. Oleh sebab itu aku harus menjaga diri. Memperkuat barisan pengawalku. Mereka harus cakap berkelahi. Itu tadi, aku harapkan anakmas Manggolo dapat memberikan darma baktinya untuk membagi kepandaiannya kepada sesama. Bagaimana ?."

Joko Manggolo hanya tercenung. Terdiam. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Kelihatannya ia keberatan untuk menerima penawaran ini. Lantaran ia merasa bukan sebagai guru ilmu kanuragan, ia hanya seorang pengelana. Pekerjaannya mengembara dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan untuk mencari keberadaan ayah bundanya yang sekarang entah di mana.
Dalam suasana keheningan itu, tiba-tiba dipecahkan suara orang. seorang pengawal pintu depan rumah Suroronggo menghadap

"Maafkan, Tuan Juragan. Mau melapor. Ada tamu serombongan laki-laki mengendarai kuda berjumlah lima orang ingin ketemu juragan, apakah diperkenankan masuk"

"Siapa mereka itu,"

Tanya Juragan Suroronggo.

"Mereka mengaku utusan Juragan Markhoni."

"Hah, utusan Juragan Markhoni si gendut, perut buncit itu."

"Benar, Tuan Juragan."

Nampak Juragan Suroronggo itu mukanya jadi pucat. Ia tercenung sejenak, nampak gelisah. Kemudian ia berdiri, berjalan pelan mondar-mandir.

"Ba...ba..baik, suruh dia masuk. Kalau bisa satu orang saja yang masuk kemari. Lainnya suruh tinggal di luar. Kasih mereka minum," perintah Juragan Suroronggo kepada penjaga itu.

Kemudian penjaga itu berlalu. Suasana menjadi senyap kembali. Joko Manggolo hanya terdiam. Dan nampak Juragan Suroronggo masih menunjukkan rasa kekhawatirannya. Tiba-tiba terdengar suara ribut di luar halaman rumah. Seperti terjadi perkelahian. Benar juga, rupanya kelima laki-laki berkuda yang hanya diperbolehkan masuk satu orang itu menaksakan diri untuk bersama-sama masuk ke rumah besar ini. Ketika dicegah oleh para penjaga penjaga itu mereka nekat. Perkelahian tidak terhindarkan. Dua penjaga itu yang kemudian mendapatkan bantuan dari banyak penjaga lain yang keluar dari dalam, jumlahnya makin banyak.Akhirnya setelah Juragan Suroronggo mendapatkan laporan apa yang terjadi di luar ia memutuskan untuk keluar halaman menemui mereka. Sementara itu, Joko Manggolo tetap tinggal diam, tetap duduk di situ ditemani laki-laki tua itu.

"Hentikan perkelahian kalian" teriak juragan Suroronggo. Seketika itu perkelahian tawuran itu berhenti mematuhi perintah Juragan Suroronggo yang menjadi tumpuhan nafkah hidup mereka selama ini.

"Apa maksud kedatangan kalian ke rumahku ini,"

Tanya Juragan Suroronggo.

"Kami semua ini diutus oleh Juragan Markhoni untuk menagih utang kepada Juragan Suroronggo," kata salah seorang laki-laki yang nampaknya menjadi pimpinan mereka, tanpa tedeng aling-aling, bersikap terbuka terus mengatakan secara jelas maksud kedatangan mereka.

"Lho, utangku pada Juragan Markhoni kan sudah impas tho Adi. Aku telah menukar dengannya beberapa perempuan yang ia gauli waktu ia datang kemari beberapa bulan yang lalu. Apa Juragan Markhoni sudah lupa itu semuanya. Berapa aku harus bayar perempuan-perempuan itu untuk keperluan Juragan Markhoni. Ia sendiri yang bilang, bayarlah dengan perempuan-perempuan itu ketika aku ajak keliling ke Dusun Kembang tempo hari. Jadi utang apa lagi yang kalian maksud," kata Juragan Suroronggo dengan sikap berusaha tenang menghadapi para jagoan yang konon terkenal galak yang dihimpun oleh juragan Markhoni untuk keperluan penagihan demikian ini

"Kami semua ini hanya menjalankan perintah beliau, Juragan. Ini kalau Juragan mau lihat, ada daftar utang utang Juragan kepada Juragan Markhoni yang harus kami tagih," kata laki-laki dempal itu sambil menyerahkan seikat daun lontar yang bertulisan huruf Jawa itu. Sepenerima daun lontar itu, Juragan Suroronggo terus membacanya, dan tidak berapa lama kemudian, nampak kepalanya mengangguk-angguk.

"Memang benar catatan ini utang-utangku dulu. Tetapi semuanya sudah aku bayar. Impas dengan perempuan perempuan yang tadi sudah aku jelaskan. Jadi sudah tidak ada utang lagi antara aku dan Juragan Markhoni."

"Begini saja Juragan Kedatangan kami kemari diperintahkan untuk menagih utang sesuai daftar yang sudah tadi kami serahkan. Maka mohon Juragan Suro membayarnya kepada kami. Perkara juragan Suro sudah merasa membayar dengan menyediakan perempuan-perempuan kepada Juragan Markhoni itu nanti dapat dibicarakan lagi antara Juragan Suro dengan Juragan Markhoni, kalau memang sudah dianggap impas kan pasti ada perhitungannya. Dan uang yang Juragan Suro berikan kepada kami kan besuk-besuk bisa diminta kembali. Perkara impas atau tidak impas itu urusan antara Juragan Suro dan Juragan Markhoni silakan bicara tersendiri. Yang jelas tugas kami kemari untuk mengambil uang atau benda apa saja yang bisa kami ambil. Perhitungannya belakang."

"Jangan begitu Adi. Ini persoalan antara aku dan Juragan Markhoni. Coba kembalilah kepada beliau dan ingatkan mengenai utang yang sudah aku bayar dengan perempuan-perempuan itu."

"Rasanya bagi kami sulit untuk mengatakan hal itu kepada juragan Markhoni, kecuali kami telah membawa hasil tagihan itu dihadapkan kepada beliau."

"Aku tidak bisa menyediakan uang seperti yang Adi minta itu. Katakan saja dulu kepada Juragan Markhoni. Kalau beliau ingat mengenai perempuan-perempuan itu. Tentu, ia tidak akan memerintahkan Adi untuk menagih utang itu kemari lagi."

"Maaf, Juragan Suro. Kami tidak bisa meninggalkan rumah ini tanpa harus membawa uang atau harta benda apa saja sebagai hasil kepergian kami kemari."

Suasana jadi hening. Juragan Suroronggo nampak mulai terdesak. Kelima laki-laki itu nampak memasang wajah angker mereka. Matanya memeloti semua laki-laki yang berjajar bersiap diri di sebelah kiri kanan Juragan Suroronggo

"Aku tidak bisa menyediakan uang itu sekarang. Kalau demikian nanti aku akan utus pembantu kepercayaanku untuk bersama Adi menghadap kepada Juragan Markhoni untuk menjelaskan ini semua."

"Tidak usah repot-repot, Juragan Suro mengirim orang kesana. Cukup kita selesajakan antara Juragan Suro dengan kami ini di sini yang mewakili kepentingan Juragan Markhoni. Bukankah sudah jelas tertulis dalam surat Juragan Markhoni kalau kami berlima ini diberi kepercayaan untuk menyelesaikan perkara tagihan ini. Jadi mau cari apa lagi. Sebaiknya, Juragan Suro segera menyediakan uang itu, atau dapat berupa harta benda lainnya. Kami berlima siap menunggu di sini sampai berapa lama pun."

"Sudah aku jelaskan tadi. Aku tidak bisa menyediakan uang atau harta benda lainnya. Katakan saja demikian kepada Juragan Markhoni. Semuanya sudah impas. Juragan Markhoni telah mengambil uangnya melalui perempuan-perenmpuan itu tadi. Jadi sudah jelas jawabanku ini. Sekarang kembalilah ke juragan Markhoni,"

Kata Juragan Suroronggo nampak tegas, ia merasa b?rani berbicara dengan para jagoan itu, karena ia merasa mendapatkan orang kuat, Joko Manggolo yang menurut laporan para anak buahnya tadi, membisikkan kepada telinga Juragan Suroronggo, Joko Manggolo lebih unggul daripada para jagoan juru tagih ini ketika tadi pagi mereka bertarung.

"Wah...wah...weladalah. Ini namanya orang tidak mau diuntung. Diajak bicara baik-baik, tapi jawabnya sengak. Hayo konco-konco kita paksa saja orang ini. Aku peringatkan kepada kalian para penjaga Juragan Suroronggo, sayangi nyawa kalian. Kalau mau pengin hidup jangan coba-coba menghadang aku," kata laki-laki berbadan dempal itu sambil telunjuknya ditujukan kepada para penjaga Juragan Suroronggo itu. Sementara itu Joko Manggolo yang duduk-duduk ngobrol ditemani laki-laki tua itu di dalam dapat mendengar jelas pembicaraan mereka di luar.

"Sebenarrnya, apa pekerjaan Juragan Suroronggo itu Pak"

Tanya Joko Manggolo kepada laki-laki tua itu

"Beliau itu dulu memang bekerja menjadi kaki-tangan Juragan Markhoni untuk mengurus tengkulak-tengkulak padi di daerah sekitar daerah sini. Ya, semacam pengi jonlah.
Banyak petani yang memerlukan modal awal untuk menggarap sawahnya, perlu beli bibit, mengupah buruh, maka Juragan Suroronggo yang memberikan pinjaman kepada petani-petani di daerah sini, nanti hasil panenannya dibagi, dan hasil pembagiannya ttu disetor kepada Juragan Markhoni karena memang uang dia.
Tetapi belakangan ini usahanya sudah pisah.
Juragan Suroronggo mendirikan usaha sendiri di daerah sini.
Jelasnya beliau itu sekarang telah menjadi tuan tanah di daerah sini."

"Ohhh, begitu awal mulanya,"

Kata Joko Manggolo sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Ya, begitu."

"Tapi sampai sekarang, apakah Juragan Suro masih berurusan dengan Juragan Markhoni?"

"Sudah tidak lagi.
Nampaknya sudah tidak ada kecocokan kerjasama.
Tetapi tadi disebut-sebut orang-orang itu, Juragan Suro masih punya hutang kepada Juragan Markhoni.
Apakah itu urusan utang lama ketika Juragan Suro masih menjadi kaki-tangannya Juragan Markhoni atau belakang ini setelah pisah jadi bawahannya kemudian beralih bermitra kerja dengan Juragan Markhoni,"

Tanya Joko Manggolo penuh selidik

"Belakangan ini.
Itu utang piutang dagang biasa.
Kirim barang harus bayar.
Begitu saja.
Nah, itu tadi, sampeyan belum kenal itu yang namanya Juragan Markhoni rakusnya bukan main kalau sama perempuan.
Kalau mungkin semua perempuan sekampung ini maunya digauli.
Tiap kali dia datang kemari yang dicari perempuan, tentu saja bikin repot Juragan Suro, maka kemudian ada perundingan sendiri soal utang piutang itu dengan berapa banyak si Juragan Markhoni itu menggauli perempuan.
Sudah ada hitungan dan sudah ada kesepakatan waktu itu.
Impas Aku sendiri yang menyaksikan.
Tapi ya itu tadi dasar laki-laki bandot.
Lupa kalau sudah habis menggauli perempuan.
Waktu sebelum ia menggauli perempuan ia setuju-setuju saja menetapkan perundingan-perundingan berter itu" kata laki-laki tua itu dengan geram memberikan pembelaan terhadap juragannya, Juragan Suroronggo.

Tidak berapa lama, nampak terdengar suara gaduh di luar.

Rupanya perkelahian antara keliama laki-laki pendatang dengan para pengawal Juragan Suroronggo itu sudah tidak terhindarkan lagi.

Suara keras, benturan senjata tajam dan teriakan kesakitan terdengar nyaring dari daiam rumah besar itu .Nampaknya Joko Manggolo hatinya tergugah, ingin tahu apa yang terjadi diluar. Maka ia bangkit dari tempat duduknya yang diringi laki-laki tua itu berjalan pelan menuju halaman rumah besar itu.

"Kangmas...lIhat...kangmas, itu Manggolo,"

Teriak salah seorang laki-laki pendatang itu memberitahu kepada temannya.

"Ya, mundur. Kita bisa mampus lagi menghadapi anak kadal itu" kata laki-laki berbadan dempal itu seperti memberi isyarat untuk berlari meninggalkan tempat itu demi yang dilihat Joko Manggolo keluar dari rumah besar milik Juragan Suroronggo. Mereka mengira Joko Manggolo adalah orangnya Juragan Suroronggo, sehingga mereka ketakutan karena sudah tahu kehebatan ilmu kanuragan Joko Manggolo tadi pagi ketika mereka bertarung keroyokan di warung nasi itu.

"Minggirr, konco-konco"

Teriak laki-laki berbadan dempal itu seperti memberi aba-aba untuk segera meninggalkan tempat itu sebelum kena hajar Joko Manggolo untuk kedua kalinya.

Kelima laki-laki itu berhamburan lari terbirit-birit menaiki kudanya dan memacu dengan kencangnya meninggalkan rumah Juragan Suroronggo itu.

Joko Manggolo sendiri tidak sadar apa yang sedang mereka risaukan, ia sebenarnya tidak ada niat untuk mencampuri urusan mereka itu.

Ia sekedar nongol ingin mengetahui apa yang terjadi, tidak ada niat untuk membantu Juragan Suroronggo yang ternyata diketahui sebagai laki-laki yang pekerjaannya sebagai lintah darat yang sama buruknya dengan musuhnya Juragan Markhoni yang bekas juragannya juga.

"Terima kasih, terima kasih, anakmas Manggolo," kata Juragan Suroronggo yang mengetahui benar, kaburnya para juru tagih Juragan Markhoni itu karena takut oleh kedatangan Joko Manggolo yang tadi pagi telah mengalahkan mereka.

"Ada apa, Pak, mesti berterima kasih kepada saya?" tanya Joko Manggolo terbengong seperti tidak tahu maksud ucapan terima kasih Juragan Suroronggo itu, sebab ia merasa tidak membantu berkelahi, membantu anak buah Juragan Suroronggo.

"Mereka kabur, sebab mereka tahu kehadiran anakmas Manggolo. Mereka takut kena hajar anakmas Manggolo lagi."

"Ach masak. Bukannya mereka tadi sudah terdesak oleh orang-orang bapak itu."

"Ya posisi mereka memang mulai terdesak, tetapi korban di pihak orang-orang saya cukup banyak. Dan belum tentu mereka akan terus terdesak kalau kekuatan orang orang saya berkurang dengan banyaknya jatuh korban. Jadi kedatangan anakmas Manggolo sangat membantu kami."

Joko Manggolo hanya terdiam diri. Ia merasa tidak nyaman lagi dikatakan ikut membantu Juragan Suroronggo yang pemeras petan? ini. Ia tidak sudi membantu pengijon
Warok Ponorogo 8 Dendam Tari Gambyong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Mari, anakmas Manggolo kita teruskan ngobrol di dalam. Biarlah para korban itu diurus anak-anak," kata Juragan Suroronggo penuh keramahan. Joko Manggolo hanya menuruti ajakan ramah Juragan Suroronggo itu. Ia kemudian dijamu makan siang lantaran hari sudah saatnya makan siang. Hidangan yang nampak begitu mewah disajikan di meja makan yang besar itu.Ayam goreng kampung, sayur daun-daunan ikan mujahir, sambal tomat, dan rebusan macam-macam lauk pauk yang terkesan sangat berlimpah ruah.

"Silakan anakmas Manggolo disantap apa adanya," kata Juragan Suroronggo.

Joko Manggolo pun tanpa basa-basi melahap demgan gesitnya hidangan makanan yang nampak masih hangat itu lantaran memang perutnya sudah lapar berat. Setelah usai makan, Juragan Suroronggo memperkenalkan keluarganya, isterinya Bu Sumirah, kelima anak gadisnya, dua orang perjaka, dan seorang lagi perempuan anak sulungnya yang sudah berkeluarga beranak dua.

"Nah, anakmas Manggolo. Kami semua sekeluarga berharap agar hendaknya anakmas Manggolo sudi tinggal beberapa lama di rumah kami ini bersama keluarga dan orang-orang saya. Di belakang sana, banyak tersedia kamar-kamar. Perkebunan, dan peliharaan ternak. Juga ada gladi untuk berlatih kanuragan anak-anak. Aku berharap anakmas Manggolo bisa membantu kami di sini. Tidak perlu bekerja apa-apa, kami akan sediakan makan-minum yang anakmas Manggolo sukai ditambah uang jasa dan keperluan apa pun yang anakmas inginkan. Semua kami sediakan. Kami memerlukan anakmas Manggolo untuk menjadi centeng yang dapat kami agul-agulkan di dusun sini dan dusun-dusun tetangga lainnya. Nanti akan banyak perawan-perawan di dusun-dusun sini yang melamar anakmas Manggolo. Berebut pengin diperisteri anakmas Manggolo,"

Bujuk Juragan Suroronggo dengan senyuman yang tidak pernah terlepas dari bibirnya yang jebleh itu.

Suasana menjadi sepi sejenak.

Nampaknya mereka dengan berbesar hati akan mendapatkan jawaban kesediaan Joko Manggolo untuk menerima tawaran yang dianggap sangat menawan itu.

"Mohon, maaf, Pak. Kami sangat berterima kasih atas segala penawaran yang memikat ini, dan juga terima kasih atas segala budi baik bapak sekeluarga..
" belum selesai kalimat Joko Manggolo sudah disahut oleh Juragan Suroronggo itu.

"Ya, ya, kami ikhlas kok menerima kedatangan anakmas di sini, jangan berterima kasih, itu semua sudah menjadi kewajiban kami. Jadi anakmas Manggolo bersedia menerima tawaran kami."

"Tapi, maaf Pak. Saya belum bisa menerima tawaran bapak yang sangat baik ini"

"Lhooooo, kenapaaaa ?.

"Masih banyak yang harus kami selesaikan. Kami harus segera meneruskan perjalanan."

"Lhooo, ada pekerjaan apa. Ada masalah apa. Tentunya anakmas dapat mengurusnya di sini. Nanti kita bantu, kesulitan apa yang sedang anakmas alami."

"Sulit rasanya untuk diceriterakan."

"Katakan saja anakmas kepada bapak. Coba kalian minggir semua. Tinggalkan kami berdua bersama anakmas Manggolo. Hayo pergi semua"

Perintah Juragan Suroronggo yang menurut dugaannya, Joko Manggolo tidak mau bicara terbuka kalau didengar banyak orang

"Maaf, pak. Saya tidak bisa menceriterakan. Saya harus pergi sekarang dan terimakasih atas jamuan makannya,"

Kata joko Manggolo sambil berdiri akan memberi salam kepada Juragan Suroronggo yang menjulurkan kedua tangannya, tetapi Juragan Suroronggo tidak membalas uluran tangannya.

"Sebentar, anakmas Manggolo. Tunggu sebentar,"

Juragan Suroronggo kemudian berdiri meninggalkan Joko Manggolo seorang diri, ia pergi ke balik pintu belakang.

Tidak berapa lama, ia sudah kembali menemui Joko Manggolo, nampak pada raut wajahnya yang tadinya ramah berseri-seri kini berubah menjadi bengis, merah padam.

"Joko Manggolo, kalau bisa aku sanak ya akan aku hormati kamu, tetapi kalau tidak mengerti aku sanak lebih baik kamu mati di rumah ini.
Anak haram tidak mau diuntung kamu," kata kasar keluar dari mulut Juragan Suroronggo yang memperlihatkan kemarahannya.

Juragan Suro ronggo sangat kecewa berat terhadap Joko Manggolo yang ditawari untuk menjadi pelatih para anak buahnya dan sekaligus merangkap jadi Centeng menjaga keamanan Juragan Suroronggo, ternyata ditolaknya.

"Hayooo pergilah kamu dari sini," bentaknya dengan mata melotot.

"Baik, terima kasih. Mohon pamit, Pak"

"Pergiii, kamu" teriak Juragan Suroronggo seperti tidak mampu mengendalikan diri karena amarah yang memuncak. Setelah meninggalkan ruangan tamu yang luas itu, Joko Manggolo, ketika sampai di halaman depan rumah, terlihat pintu regol besar itu nampak sudah terkunci rapat. Dihadapannya berjejer banyak laki-laki, ia dihadang oleh para anak buah Juragan Suroronggo agar ia tidak meninggalkan rumahnya dan mau tinggal sebagai Centengnya.

Rupanya keadaan makin tidak terkendali, terpaksa terjadilah perkelahian yang keras. Joko Manggolo berusaha menghindar dari tiap serangan, tetapi ia tidak ingin membuat celaka pada orang-orang yang tidak bersalah ini. Mereka itu tahunya hanya menjalankan perintah sehingga tidak adil kalau ia sampai membuat binasa orang-orang itu. Pertarungan yang mulai dikuasai Joko Manggolo akhirrnya memberikan kesempatan kepada Joko Manggolo dapat meloloskan diri meninggalkan rumah besar di pinggir Dusun tempuran itu.


******

DALAM PENCARIAN.

SUATU sore Juragan Markhoni sedang asyik bermalas-malasan duduk di kursi goyang dihadap oleh minum enak yang menjadi kegemarannya. Tiba-tiba dikejauhan dikejutkan oleh datangnya serombongan kuda sebanyak lima orang dengan kecepatan tinggi memasuki halaman rumahnya yang besar itu.

Ternyata para penunggang kuda itu masih anak buah Juragan Markhoni sendiri yang kala itu ditugasi untuk menagih utang kepada juragan Suroronggo di Dukuh Tempuran tempo hari. Setelah menambatkan kudakuda mereka, lalu serta-merta para juru tagih itu menghadap Juragan Markhoni.

"Bagaimana kabar kalian, apa ada hasil atas segala pekerjaan yang aku tugaskan kepada kalian" tanya Juragan Markhon setelah menerima salam sungkem dari kelima anak buahnya itu.

"Ampun Juragan, sebenarrnya kami berlima telah menemui Juragan Suroronggo dan sudah bersedia menyerahkan pembayaran utangnya,"

Kata salah seorang laki-laki bertubuh kekar itu melaporkan hasil perjalanannya.

"Bagus, lalu mana uangnya,"

Sergah Juragan Markhoni nampak tidak sabar dikiranya kelima anak buahnya itu akan menyerahkan hasil tagihannya.

"Ampun Juragan.
Namun begitu, ketika saat itu uang itu akan kami terima dari Juragan Suroronggo, tiba-tiba muncul seorang pemuda gagah yang langsung menyerang kami berlima.
Mereka membawa banyak pengawal sehingga kami berlima terdesak mundur, dan kalau tidak sempat menyelamatkan diri, mungkin kami berlima ini sudah jadi mayat..."
celetuk laki-laki itu mencoba mengarang ceritera untuk tidak menceriterakan kejadian yang sebenarnya agar tidak mendapat amarah dari juragannya.

Namun begitu, Juragan Markhoni tetap saja murka begitu mendengar kegagalan pekerjaan menagih itu dan langsung memotong pembicaraan laki laki ini

"Hai, kalian lebih baik jadi mayat daripada pulang membawa berita buruk.
Gagal menjalankan perintahku. Siapa pemuda yang kamu maksudkan itu.?"

"Namanya, Manggolo.
Joko Manggolo."

"Manggolo?. Aku baru mendengar nama ini"

"Kami juga baru kenal saat itu, Juragan"

"Lalu, bagaimana maunya si Suroronggo itu. Kapan ia mau bayar utangnya."

"Mak...maaf...Juragan, surat Juragan sudah kami serahkan dan ia mengakui semua jumlah perhitungan utang utangnya. Akan...ak...akan tetapi..."

"Akan tetapi, bagaimana. Ngomong yang jelas," bentak Juragan Markhoni dengan muka keras pada wajahnya yang tembem itu

"Katanya, menurut Juragan Suroronggo, sudah dibayar impas dengan perempuan-perempuan pada waktu Juragan Markhoni berkunjung ke Dukuh Tempuran waktu dulu itu."

"Hah, perempuan. Mana ada perempuan."

"Menurut penuturan Juragan Suroronggo memang demikian itu, Juragan."

"Ha...ha...si Suro bikin karangan, mana ada perempuan dikasihkan aku. Tidak pernah ada."

"Te...tet...tetapi waktu juragan berkunjung ke sana pada musim panen itu, ada selusin perempuan yang kemudian juragan menginap di rumah besar itu..."

"Husss, kamu itu orang saya. Kenapa kamu membela si Suro, bukannya kamu harusnya membela aku yang menjadi juraganmu," kata Juragan Markhoni berusaha menyembunyikan kelakuannya ketika waktu itu memang ia "menggarap"

Semalam suntuk selusin perempuan yang disediakan oleh Juragan Suroronggo.

"Maaf, juragan kami hanya mengingatkan juragan kejadian waktu itu barangkali juragan lupa..."

"Sudah diam, kalian. Sekarang yang aku pikirkan bagaimana menangkap si anak ingusan Manggolo itu yang mau ikut campur urusan orang. Apakah anak itu juga orangnya si Suro."

"Benar, juragan. Anak itu sekarang menjadi centeng Juragan Suroronggo. Sepertinya tinggal serumah dengan Juragan Suro."

"Sampai seberapa sakti anak ingusan itu."

"Mel?hat gerakannya, anak itu memiliki ilmu kanuragan yang sangat tinggi. Kami berlima yang biasa memenangkan pertarungan dimana-mana, tetapi begitu menghadapi anak itu yang hanya seorang diri, kami berlima dibuat tidak berkutik."

"Dari perguruan mana asal anak ingusan itu. Atau siapa gurunya."

"Kurang jelas, Juragan. Sepertinya anak itu seorang pendatang di kampung itu dan kemudian ngenger, mengabdi kepada Juragan Suro untuk mendapatkan uang tentunya."

"Kalau begitu, kita tawari saja uang pesangon ia yang lebih besar jumlahnya daripada yang diterima dari si Suro. Asal saja ia mau meninggalkan Si Suro dan mau ikut bergabung bersama kita di sini."

"Kami rasa terserah saja kepada juragan."

Juragan Markhori nampak termenung. Berpikir dalam. Semua orang yang hadir di rumah besar itu terdiam. Menunggu apa yang mau dikatakan oleh juragannya.

"Baiklah kalau demikian, kalian berlima beristirahatiah. Aku akan tugaskan Sumirah, perempuan centil anak gadisnya di Bromoh jonggrah itu agar ia bisa mendekati si pemuda ingusan Manggolo itu Kelihatannya, si Sumirah itu pinter merayu pemuda-pemuda. Dan kawal tiga lakilaki untuk mengawasi dari jauh agar diperjalanan anak gadis itu aman. Cari penginapan di kampung itu. Kerjakan sampai pemuda ingusan itu takluk pada Sumirah dan mau dibujuk untuk bergabung kemari. Sekarang kerjakan peintahku"

"Baikkkk, Juragan"

Kata para laki-laki yang duduk melingkar mengerubungi Juragan Markhoni itu.

SORE hari rombongan ketiga laki-laki yang membawa Sumirah atas perintah Juragan Markhoni itu sudah sampai di Dukuh Tempuran.

Setelah mereka mencari sewa rumah, ketiga laki-laki itu berpencar untuk mencari informasi mengenai keberadaan pemuda Joko Manggolo yang menjadi sasaran mereka itu.

Diperoleh keterangan dari para tetangga rumah Juragan Suroronggo kalau memang pernah terdengar berita mengenai pemuda Joko Manggolo itu ketika terjadi keributan di rumah Juragan Suroronggo, tetapi menurut ceritera para pengawal rumah Juragan Suroronggo yang diceriterakan kepada para tetangganya, pemuda Joko Manggolo itu yang menjadi pangkal keributan karena menolak ditawari menjadi pengawal Juragan Suroronnggo.

Sehingga, berita perkelahian di rumah Juragan Suroronggo yang tersebar kepada para tetangga itu dianggapnya sebagai soal biasa.

Para tetangga sudah sering mendengar keributan perkelahian antar jagoan di tempat itu.

Tetapi mereka tidak mendengar berita soal melawan Joko Manggolo, maupun soal keributan waktu itu dengan para juru tagih anak buah Juragan Markhonimu .Setelah ketiga laki-laki utusan Juragan Markhoni mengetahui duduk soal mengenai Joko Manggolo itu mereka lalu memutuskan untuk kembali melaporkan kepada Juragan Markhoni.

Keesokan harinya, kelihatan ketiga laki-laki dengan membawa seorang anak perempuan, Sumirah itu, nampak telah meninggalkan Dukuh Tempuran. Begitu menerima laporan dari para anak buahnya itu Juragan Markhoni marah besar.

Ia kemudian tetap memerintahkan untuk mencari kembali dimana saja keberadaan Joko Manggolo itu.

Ia sudah lupa mengenai persoalan utamanya mengenai utang-piutang antara dia dengan Juragan Suroronggo yang ternyata kini tidak dijaga oleh pemuda kuat Joko Manggolo itu.

Beberapa orang andalan juragan Markhoni diberangkatkan untuk menelusuri kampung-kampung guna mencari keberadaan Joko Manggolo.

Mereka tidak ada yang tahu dan tidak penah berpikir untuk menjamah Dukuh Badegan, dimana sebenarnya Joko Manggolo berada di situ bersama keluarga Paman Sadri, karena Dukuh Badegan waktu itu belum banyak orang yang tahu.

Hanya nama kampung-kampung termashur yang dihuni para warok ternama.

Kampung demikian itu akan ikut terbawa namanya oleh nama harum warok penghuni kampung yang bersangkutan.

Siang malam para anak buah Juragan Markhoni mencari Joko Manggolo, sudah berbulan-bulan belum menemukan jejaknya.

Namun mereka tidak ada yang berani kembali ke Juragan Markhoni sebelum mendapat hasil pekerjaannya itu untuk menangkap joko Manggolo mati atau hidup.


BERSAMBUNG


*****







Warok Ponorogo 8 Dendam Tari Gambyong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Istana Yang Suram Karya S H Mintardja Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Pesta Halloween Hallowe Party Karya

Cari Blog Ini