Ceritasilat Novel Online

Malam Pekat Kelabu 1

Warok Ponorogo 10 Malam Pekat Kelabu Bagian 1


*****

Malam Pekat Kelabu

Karya Sabdo Dido Anditoru

Jilid 10 Seri Ceritera Warok Ponorogo

Penerbit Pt Golden Terayon Press Jakarta 1996

Gambar ilustrasi : Syamsudin

******

Buku Koleksi : Gunawan AJ

Edit teks dan pdf : Saiful Bahri Situbondo

Team Kolektor E-Book

*****




KEGETIRAN YANG MENAKUTKAN.

Malam malam hari yang pekat.

Desa-desa dijaga ketat oleh penduduk sejak terdengar kabar buruk mengenai merajalelanya perampokan yang mengganas. Menurut penuturan saksi mata, mereka telah melihat begitu kejamnya para perampok itu menganiaya korbannya hingga tega membunuh siapa saja setelah merampas harta benda, dan kalau ditemui ada perempuan langsung diperkosanya.

Di tiap pintu gerbang yang akan memasuki kampung dijaga ketat oleh penduduk kampung.

Semua laki-laki diwajibkan untuk bersiap diri di luar rumah dengan membawa pedang, keris, tombak, arit, atau apa saja yang menjadi senjata andalannya.

Sedangkan semua perempuan disuruh masuk rumah dan membuatkan kopi hangat, atau wedang jahe agar para penjaga kampung betah melek.

Di keheningan malam itu dari kejauhan terdengar seperti ada suara gending ditabuh keras.

Lamat-lamat suara tembang yang lantang dibawakan oleh suara serak yang menunjukkan suara orang yang berdendang itu sudah tua

"Cah angon...aah angon..."

Suara yang tersamar-samar itu makin jelas.

Tapi kemudian suara serak itu tiba-tiba menjauh kembali.

Orang di kampung semua diam.

Hatinya berdebar keras.

Bergiris.

Sambil tangannya memegang senjatanya masing-masing.

Banyak yang bergemetaran mendengar tembang yang hampir tiap malam mengganggu orang tidur di kampung itu.

Konon menurut ceritera salah seorang penduduk desa yang baru pulang bepergian tempo hari, pernah di jalan melihat sosok tubuh orang yang suaranya nembang lantang tiap malam itu.

Ketika itu ia sembunyi di balik semak semak sambil terus matanya memperhatikan orang tua itu, seperti seorang tua yang sudah renta.

Berjanggut panjang.

Rambutnya sudah memutih semua.

Ia mengenakan jubah abu-abu dan rambutnya panjang diikat di kepala.

Di punggungnya terselip sebilah keris nampak berkilau seperti ada lapisan emasnya. Ia berjalan cepat ke arah selatan sambil menenteng kampluk yang tidak diketahui isinya.

Bau orang itu anyir seperti kambing domba.Masih menjadi teka-teki, apakah orang ini yang menurut ceritera para leluhur, bernama Ki Ageng Sentanu, pertapa dari gunung kidul, atau penjaga pantai laut kidul yang sudah berabad-abad belum bisa mati.

Konon, dulu ia adalah salah seorang pewaris ilmu kanuragan dari para warok aliran hitam yang tidak bisa mati sebelum mewariskan ilmu kesaktiannya itu kepada murid yang mampu menerimanya.

Tetapi ceritera itu masih banyak disangsikan.

Sebab, sudah lama tidak ada beritanya lagi.

Dan apakah berita keonaran belakangan ini, orang tua ini yang menjadi penyebabnya.

Semua orang tidak ada yang tahu.

Para sesepuh pun masih sulit memperkirakan mengenai siapa orang tua yang selalu muncul misterius pada malam hari itu. Tiba-tiba terdengar tiupan angin yang lama-lama makin keras dalam cuaca mendung di langit itu, pelan-pelan menurunkan hujan gerimis.

Dan sekali-kali di langit terlihat sinar kilatan dengan diiringi suara halilintar yang menggeledek.

Suasana mencekam itu membuat warga kampung Dukuh Badegan yang berjarak hanya sekitar dua kilometer dari hutan belantara itu, hatinya menjadi menciut makin miris.

"Eyang Tondo...Eyang....Eyang Tondo," di kesunyian malam itu tba-tiba dipecahkan oleh suara orang dari kejauhan yang bayangannya nampak tersamar agak berlari-lari kecil datang dari arah barat menuju kampung terpencil ini. Yang dipanggil Eyang Tondo itu adalah sesepuh kampung yang sekarang sedang berbaring sakit di bilik rumahnya. Semua orang tiada berkedip memperhatikan bayangan orang yang terus berlari makin dekat itu.

"Eyang Tondo...aku dikejar tiga orang berkuda Eyang. Tolong aku Eyang"

Setelah agak dekat, para penduduk dapat memastikan siapa yang datang itu, tidak lain adalah Joko Manggolo.

Pemuda kampung yang sudah beberapa tahun ini tinggal di Dukuh Badegan ini, ia tiap hari kerjanya bepergian ke hutan mencari buruan babi hutan sebagai mata pencahariannya dari keluarga Paman Sadri. Joko Manggolo, keponakan dari Paman Sadri yang sudah dianggap seperti anak kandungnya sendiri .Suasana menjadi mencekam.

Secara spontan, orang orang yang menjaga di gardu itu dengan sigap berhamburan menjemput joko Manggolo yang nampak mulai sempoyongan mau jatuh.Setelah dipapah, Joko Manggolo diminta duduk di beranda tempat penjagaan gerbang pintu masuk desa itu sambil diberi minum seperlunya.

"Manggolo...kamu mau lapor apa," tanya Paman Sadri yang masih tergolong sebagai ayah angkat Joko Manggolo itu, juga dalam kedudukannya sebagai kapala Jogoboyo, keamanan kampung yang nafasnya masih terengah engah baru memapah joko Manggolo.

"Paman...baru kali ini Manggolo punya pengalaman yang mengerikan.
Mereka mencari Eyang Tondo," jawab Joko Manggolo sambil nafasnya masih terengah-engah, sepertinya ia sedang berjuang hebat untuk mengalahkan kekuatan tenaga sirep ganas yang tersebar di bulakan yang baru saja ia lewati

"Kamu dari mana, Manggolo"

Tanya Paman Sadri.

"Saya kemalaman di hutan, Paman.
Saya tidak tahu jalan, tersasar.
Tidak seperti biasanya, saya sudah berpengalaman keluar masuk hutan dan biasa menghadapi macam-macam rintangan, tapi kali ini seperti ada yang menutup semua indera saya.
Baru kemudian saya mendengar ada suara tembang keras.
Saya ikuti terus suara itu, sepertinya suara itu ingin memberikan kekuatan kepada saya, memberi petunjuk menuntun jalan keluar bagi saya.
Begitu, Paman.
Suara orang tua itu sepertinya mau menolong saya dari kesesatan.
Akhirnya saya bisa keluar dari hutan.
Sesampai di luar batas hutan, tiba-tiba aku tidak dengar lagi suara tembang itu."

"Seakan akan tembang itu menuntun aku agar aku dapat keluar dari hutan, dan setelah itu, suara itu menghilang" ceritera Joko Manggolo sambil nafasnya masih tergagap-gagap.

Walaupun Joko Manggolo dikenal memiliki ilmu kanuragan lumayan tinggi, lebih unggul dari rata-rata orang kampung di Dukuh Badegan ini.

Demikian juga pengalaman selama berkelana, selalu menghadapi berbagai masalah genting di perjalanan pengembaraannya akan tetapi kali ini agaknya ia tidak mampu mengendalikan dirinya menghadapi kekuatan bathin yang begitu dahsyat dihembuskan oleh orang sakti berilmu kanuragan tinggi yang barangkali bermaksud jahat.

"Kamu lihat orangnya,"

Tanya Paman Sadri kemudian.

"Tidak.
Sepertinya suara siluman. Suara itu tiba-tiba keras mendekat. Dan kemudian menjauh Tapi begitu aku sampai pinggir hutan. Suara itu lenyap. Dan aku terus lari pulang menyelusuri semak-semak. Tiba-tiba aku mendengar ada banyak orang sedang duduk-duduk membicarakan sesuatu. Saya meyelusuri di balik semak sambil mendengar pembicaraan mereka.
Tadi disebut sebut nama Eyang Tondo, katanya yang menyimpan tombak pusaka Aji Weling peninggalan kerajaan Wengker itu Eyang Tondo. Tetapi nampaknya mereka kebingungan tidak tahu jalan menuju kemari.
Dan mereka putuskan pada tidur di padang ilanglang itu. Aku pelan-pelan menjauhi mereka dan terus lari pulang kemari," ceritera Joko Manggolo dengan perasaan sedikit gemetar menahan getaran pengaruh kekuatan tenaga aneh yang berada di bulakan padang ilalang itu.

"Apakah kamu tidak diikuti."

"Sepertinya tidak, Paman. Sebab, terdengar dengkuran mereka tertidur kelelahan. Tetapi saya sepertinya mempunyai firasat orang-orang itu berilmu sangat tinggi. Saya tidak berani mengambil risiko, berkonsentrasi memasuki lingkaran pengaruh daya sirepnya."

"Kalau demikian kita segera laporkan saja kepada Eyang Tondo mengenai hal ini. Cepat atau lambat mereka akan temukan kampung kita ini. Bisa malam ini, besuk, atau lusa yang penting kita semua harus mempersiapkan diri,"

Kata Paman Sadri dengan sigapnya.

"Setuju, Pak," jawab yang lain serentak .

Tiga orang mendatangi rumah joglo tua milik Eyang Tondo yang berada tidak jauh dari gardu jaga itu. Suasananya sunyi. Gelap gulita. Semua lampu obor dimatikan, takut ketahuan penjahat yang ingin membuat celaka kampung ini. Setelah sampai di depan pintu, mereka bertiga ragu-ragu untuk membangunkan Eyang Tondo. Orang yang paling disegani di kampung ini. Apalagi ia dalam keadaan sakit parah sudah beberapa hari ini tidak keluar rumah. Tetapi mengingat keadaan gawat, terpaksa mereka memberanikan diri untuk mengetok pintu itu.

"Sit...s..paaa," terdengar ada suara perempuan tua lirih dari dalam bilik rumah Eyang Tondo itu.

"Kami Nyi. Saya Sadri" jawab Paman Sadri

"Ohhh Sadri. Ada apa Sadri"

"Maaf Nyi, anu. .an.anu Nyi, kami mau menemui Eyang Tondo. Keadaan kampung nampaknya sedang gawat"

Tidak ada jawaban suara dari dalam. Tiba-tiba pintu depan terbuka sendiri pelan-pelan seperti ada sentuhan angin yang menekan dengan kuat dari dalam. Apakah mungkin Eyang Tondo memelihara mahkluk halus yang khusus mengurus kebersihan rumahnya ini.

"Boleh masuk Nyi "

"Masuklah"

Setelah mereka bertiga itu masuk ruangan itu. Di pojok ruangan itu terlihat Eyang Tondo sambil beralas kayu besar sedang tergeletak lemas. Hanya sarung dan pakaian hitam kumalnya yang menutup tubuhnya.

"A..da...ada ap, Sadri,"

Tanya Eyang Tondo.

"Maaf Yang, ini ada berita dari Joko Manggolo. Katanya di ujung hutan sana ada segerombolan orang yang ingin mencari Eyang. Disebut-sebut soal tombak peninggalan kerajaan Wengker. Begitulah Eyang yang bisa kami laporkan,"

Kata Paman Sadri mengakhiri laporannya kepada orang yang disegani di kampung ini.

Suasana menjadi hening.

Dari keremangan cahaya malam, nampak wajah Eyang Tondo yang sudah penuh kerutan menua itu menunjukkan ia sedang berpikir keras, kelihatan begitu prihatin.

Tetapi tidak tahu seorang pun, apa yang sedang bergolak di benak orang tua renta ini.

"Mereka itu adalah gerombolan Begal Bledeg Ampar, di kampungnya sekarang ia malahan mendapat panggilan Warok Bledeg Ampar. Orang ini sebenarnya suruhan Kanjeng Gusti Adipati almarhum dahulu yang bergelar Kanjeng Reden Adipati Sampurnoaji Wibowo Mukti yang masih berdarah sebagai orang wetan, Kertosono itu. Namun kemudian atas bujukan para sesepuh keraton Kadipaten Ponorogo sekarang yang jumeneng putra kandungnya sendiri Raden Mas Sumboro, perjanjian antara ayahandanya dahulu dengan pemimpin gerombolan Bledeg Ampar ini tetap dilanjutkan. Gerombolan Bledeg Ampar itu sebenarnya dikendalikan oleh Warok Sawung Guntur yang kini masih mengabdi kepada Kanjeng Adipati Ponorogo yang berkuasa sekarang ini. Agaknya, tidak lama lagi gerombolan Bledeg Ampar ini akan datang ke kampung kita ini dengan tujuan untuk mencari tombak wasiat Aji Weling peninggalan kerajaan Wengker pada zaman dahulu itu. Mereka akan mendapatkan pengampunan dari Kanjeng Adipati Ponorogo atas segala kejahatannya yang pernah mereka lakukan, kalau mereka itu nanti dapat berhasil mempersembahkan tombak pusaka Aji Weling peninggalan kerajaan Wengker sebagai tetenger orang yang syah berkuasa atas tanah dan orang-orang di Ponorogo ini. Sebab, selama ini para warok di daerah Ponorogo banyak yang mempertanyakan mengenai kekuatan hukum kekuasaan Adipati sekarang ini, sebab mereka bukan turun raja Wengker dan tidak memegang tombak pusaka Aji Weling sebagai perlambang penguasa di daerah Ponorogo ini. Oleh karena itu, Kanjeng Adipati memerintahkan Warok Sawung Guntur untuk mendapatkan tombak pusaka yang sekarang ada di tanganku. Aku yang menyimpannya." Kata Eyang Tondo nampak masih lancar berbicara walaupun dikuti dengan batuk-batuk kecil.

Ketiga orang penduduk Dukuh Badegan ini terkejut dibuatnya begitu mendengar penuturan Eyang Tondo ini, selama ini ia tidak mengira begitu besar peranan Eyang Tondo ini.

"Bledeg Ampar," lanjut Eyang Tondo kemudian.

"Selain akan mendapatkan pengampunan, ia juga memburu upah yang akan dihadiahkan oleh Kanjeng Adipati seperti yang dijanjikan lewat penuturan Warok Sawung Guntur kepada Bledeg Ampar...beberapa tahun yang lalu," kata Eyang Tondo terbata-bata.

Warok Ponorogo 10 Malam Pekat Kelabu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu, bagaimana sebaiknya kami semua di kampung ini harus berbuat, Eyang Tondo" kata Paman Sadri seperti mengharapkan petunjuk dari Eyang Tondo itu

"Sebaiknya kalau mereka sampai ke sini, kamu semua jangan melawan. Nanti akan membawa banyak korban. Mereka terkenal jagoan sakti berkekuatan banteng. Biarkan aku sendiri yang akan menghadapinya. Mereka mencari aku karena tombak wasiat peninggalan kerajaan Wengker itu," kata-kata Eyang Tondo nampak makin melemah terdengar lirih hampir tak terdengar.

"Tapi Eyang sedang sakit. Apa tidak sebaiknya diserahkan saja kepada kami semua untuk menanggulangi perkara ini," kata Paman Sadri.

"Jangan pikirkan aku, Sadri. Tidak perlu engkau risaukan. Aku bekas perwira kerajaan Wengker. Sudah biasa menghadapi datangnya bahaya" sambil berkata demikian tiba-tiba Eyang Tondo bangkit dari tempat tidurnya. Ia rupanya semangatnya tiba-tiba timbul, teringat pada masa dahulu perwira perang kerajaan Wengker yang dibangga-banggakan oleh orang-orang Ponorogo pada zaman itu.

"Nyai, coba tolong ambilkan celana kolor hitam itu beserta perlengkapannya."

Tidak berapa lama Eyang Tondo sudah berpakaian lengkap seperti bekas seragam yang dulu pernah dipakai ketika masih mengabdi di kerajaan Wengker. Lalu ia menghadap ke sentong tengah mulutnya berkomat-kamit membaca mantra. Tiba-tiba keluar seperti api menyembur merah menyala mencuat ke seisi ruangan itu menjadi terang benderang.. Loncatan api itu bergeliat-geliat seperti mengelilingi ruas-ruas kusen rumah dan berkeliat pelan-pelan berubah menyerupai ular naga. Bayangan ular naga itu pelan-pelan mendekati pangkuan Eyang Tondo. Tangan Eyang Tondo dijulurkan ke depan, dan tidak lama berhasil memegang bayangan ular naga itu. Tiba-tiba bayangan itu berubah seperti tombak yang terhunus tajam. Senjata itu kini sudah dipegang Eyang Tondo.

"Ini adalah pertarungan yang menentukan. Bila aku harus bertarung esuk hari melawan Warok Bledeg Ampar, maka kekalahanku berarti hilangnya pusaka kerajaan Aji Weling yang dulu dipercayakan Paduka Raja kepada aku. Oleh karena itu, aku akan memilih bertarung sampai mati demi mempertahankan kehormatan diriku sebagai perwira perang kerajaan Wengker, dan demi amanah yang dipercayakan kepadaku. Sepeninggalku, kau Sadri, akan menjadi penggantiku di kampung Dukuh Badegan ini. Dan ketahuilah Sadri, kematianku bukan apa-apa, sebab tombak ini nanti akan memakan korban tujuh turunan bagi mereka yang tidak mampu mengendalikan. Semua sudah tersurat dalam kitab ajimat yang dulu disusun oleh para sesepuh, para pujangga, dan empu kerajaan Wengker ketika masih jaya."

Semua orang di ruangan yang mendengar petuah Eyang Tondo, terbelalak matanya,. Tidak mengira sebelumnya, Eyang Tondo yang sehari-harinya nampak hidup sederhana itu ternyata bekas perwira perang kerajaaan Wengker yang dulu pernah termashur namanya. Bahkan ia yang dipercaya untuk menyelamatkan pusaka kerajaan yang keramat itu. Tengah malam sebelum menjelang Shubuh pada pagi hari, udara tiba-tiba berubah terasa dingin sekali. Begitu menyengat tulang sungsum. Udara yang tidak wajar. Terasa ada udara aneh, datangnya semacam sirep yang merambat pelan-pelan merasuk dalam pori-pori udara. Para laki-laki yang semalaman berjaga-jaga, mulai terpengaruh oleh datangnya udara aneh itu. Bagi mereka yang kurang memiliki keunggulan ilmu kebatinan tinggi akan mudah tertidur lelap. Dan bagi mereka yang memiliki pegangan aji-aji tolak bala, seperti halnya yang dilakukan Joko Manggolo, ia bersemedi, berkonsentrasi, mulutnya terus kumat-kamit membaca mantra-mantra, nampak ia masih berusaha untuk mengendalikan diri terhadap pengaruh udara dingin pekat yang menyayat itu. Mereka merasakan ada kekuatan yang sedang berusaha menguasai daya batin orang-orang kampung agar tertidur lelap. Dalam beberapa saat, sudah tidak ada lagi orang yang mampu bertahan terhadap datangnya kekuatan sirep yang dahsyat itu, termasuk Joko Manggolo sudah tidak mampu menahan diri, ia tergeletak lemas bersama orang-orang lainnya. Namun di rumah joglo yang antik dan paling tua di dukuh itu Eyang Tondo, masih bersemedi mengheningkan cipta, penuh daya konsentrasi berusaha mengeluarkan daya tangkal untuk menghadapi kekuatan energi negatif yang terus mengalir menguasai segala lekuk-lekuk rongga udara. Tidak berapa lama, benar juga terlihat bayangan beberapa orang seperti datang berterbangan bertengger di beberapa dahan pepohonan. Seorang berperawakan kekar turun mendekati rumah joglo yang mulai kelihatan mendapat penerangan dari sinar rembulan yang redup-redup menipis. Laki-laki kekar itu berusaha membuka pintu depan rumah joglo kekuatan tenaga dalam, namun terasa ada kekuatan yang menangkal di depan pintu itu. Laki-laki kekar itu mulai merasa, bahwa penghuni rumah joglo itu masih terjaga dan menyebar kekuatan penangkal yang menembus pori-pori kayu pintu itu juga. dengan daya Dua kekuatan yang saling tolak itu makin keras, pelan pelan terdengar suara kayu daun pintu rumah joglo itu sepertinya retak-retak menahan debur kekuatan yang menghentak dari dua jurusan itu. Dari dalam menahan sedang dari luar menghantam.

"Krakkkk", tiba-tiba terdengar kayu daun pintu itu pecah berkeping-keping. Tidak lama kemudian terlihat seperti bayangan putih meluncur dari dalam rumah joglo berdiri tepat di depan daun pintu.

"Sudah kuduga Bledeg Ampar, engkau akan datang" terdengar suara serak seorang tua yang ternyata dikenal penduduk sebagai Eyang Tondo itu.

"Haa...hah..haa..." sahut orang yang dipanggil Warok Bledeg Ampar itu tertawa terbahak-bahak.

"Kamu memang orang yang tidak waras Bledeg. Kerjamu hanya mau cari gara-gara. Tidak punya hati baik sama sekali. Kamu tidak tahu khasiat tombak ini. Engkau hanya terima upahan. Dan kalau engkau tidak pandai merawat akan menjadikan korban tujuh turunmu. Mengerti, Bledeg. Maka urungkan niatmu untuk memperoleh tombak pusaka bekas peringgalan kerajaan Wengker ini, Bledeg', ujar Eyang Tondo tandas mengingatkan kepada para tamu yang tidak diundang itu.

"Ha...ha..hah. Tondo...Tondo...kamu sudah tua bangka sebentar lagi mati, untuk apa kamu simpan senjata kuno itu. Lebih baik kamu serahkan saja senjata itu kepadaku. Aku akan rawat baik-baik. Dan kamu akan dapat bagian upah dari bagian yang aku terima nanti. Setuju, Tondo,"

Jawab orang yang dipanggil Bledeg Ampar itu nampak melecehkan Eyang Tondo yang telah bersiap menerima kedatangan para perampok-perampok itu

"Sampai mati tidak aku serahkan tombak pusaka ini.Paduka Baginda Raja Wengker telah mempercayaiku untuk merawat dan menjaga tombak pusaka ini.
Dan tidak seorang pun tahu, kecuali si cecunguk yang menyuruh kamu itu"

"Kalau kamu banyak bacot, akan aku robek mulutmu Tondo.
Sudah.... bersiaplah perang tanding melawan aku," sambil berkata demikian tak berapa lama Bledeg Ampar telah membuka jurus terjangan babi hutan yang langsung menyerang lurus menuju sasaran jantung Eyang Tondo yang sedari tadi telah waspada sewaktu-waktu menerima serangan Bledeg Ampar yang terkenal sakti mandraguna itu.

"Weladalah, dasar anak kadal.
Dikasih nasehat orang tua malah nekat,":dengan melakukan gerakan katak bengkang, Eyang Tondo yang masih dalam kondisi sakit itu melompat beberapa langkah ke samping kanan, sehingga telah berhasil meghindar dari serangan Bledeg Ampar yang tidak diduga berjalan sangat cepat.

Bayangan sinar bertaburan di arena pertarungan di malam gelap itu seperti pancaran bunga api yang meletup-letup, pertanda kedua orang itu memiliki keunggulan ilmu kanuragan yang tinggi.

Sekali-kali terdengar suara kibasan dan mengenai salah seorang yang menyeringai kesakitan.

Namun pertarungan itu lama-lama makin seru.

Suara gemuruh angin dahsyat yang dilepas oleh salah seorang dari mereka itu sempat menerbangkan kerikil-kerikil berhamburan di udara yang jatuh di atas genteng rumah-rumah penduduk Dukuh Badegan. Kondisi badan Eyang Tondo yang sedang sakit itu nampak merupakan gangguan yang sangat menyulitkan dalam mengerahkan ilmu-ilmu kanuragannya yang terhimpun dalam dirinya.

Warok Bledeg Ampar yang jauh masih muda, selain memiliki perbendaharaan ilmu yang banyak, juga tenaga phisiknya masih sangat memungkinkan untuk menandingi ilmu Eyang Tondo yang nampak kondisi phisiknya mulai makin kelelahan itu.

Untung Eyang Tondo bukan orang sembarangan, ia di samping memiliki ketinggian ilmu kanuragan, juga keunggulan kekuatan bathin yang mendalam, sehingga tahan terhadap berbagai hentakan kekuatan yang tidak kasat mata itu. Warok Bledeg Ampar nampak sudah tidak sabar lagi untuk segera mengakhiri perkelahian yang melelahkan itu.

Telah berjalan lama selama tengah malam sampai hampir pagi hari.

Maka, ia berusaha mengembangkan jurus-jurus pancingan dengan tujuan untuk menguras tenaga Eyang Tondo yang mulai terhuyung-huyung itu, namun nampaknya taktik Warok Bledeg Ampar itu terbaca oleh Eyang Tondo yang melakukan gerakan sangat ringkas tidak terperangkap permainan Warok Bledeg Ampar yang melakukan gerak meloncat-loncat agar menguras tenaga Eyang Tondo itu.

Setelah kurang berhasil melakukan gerakan tipuannya, Warok Bledeg Ampar mencoba mengeluarkan aji-aji andalannya Aji Sempoyong Sumyur.

Kedua tangannya disilangkan ke samping kiri dan kanan, kemudian mengangkat tinggi seperti menangkap petir yang sedang lalu, kekuatan petir itu dihimpun bersama daya limuih yang ada pada dirinya, kemudian bersiap untuk ditembakkan ke arah jantung Eyang Tondo.

Namun, begitu melihat Warok Bledeg Ampar mempersiapkan ajiannya itu, segera pula Eyang Tondo mempersiapkan ajian tandingan Babad Geludug yang mengkombinasikan kekuatan awan pecah dengan tarikan magnit bumi. Kedua tangan Eyang Tondo bersimpuh dengan mengayunkan satu kaki ke samping untuk memberi peluang masuknya daya penarik magnit bumi, begitu terkumpul kekuatan itu, segera disiagakan untuk dilepas diarahkan tepat ke hulu hati Warok Bledeg Ampar.

Blarr

tidak berapa lama kemudian terjadi benturan kedua kekuatan dahsyat dari kedua orang sakti mandraguna itu.

Kedua orang itu nampak bergeser beberapa langkah ke belakang, tetapi tidak sampai terjungkal jatuh.Melihat ajian andalannya Aji Sempoyong Sumyur dapat diimbangi oleh ajian Babad Geludug, nampak Warok Bledeg Ampar makin kesal, ia kemudian mengubah taktik penyerangarnya dengan mengembangkan jurus-jurus kanuragan yang tujuannya untuk mengadu ketangkasan gerakan tipuan-tipuan, sapuan bawah terhadap kedudukan kuda-kuda, dan berusaha memancing dengan jurus-jurus kuncian yang bervariasi. Gerakannya lebih banyak mengandalkan serangan kaki yang diterbangkan ke arah leher lawan.

Namun gerakan yang nampak kurang disertai kecepatan dan bantuan tenaga dalam itu dengan mudah dipatahkan oleh Eyang Tondo dengan sekali gerakan membalik telah membelokkan tendangan Warok Bledeg Ampar yang akhirnya mengenai dahan kayu kering

brakkkk,

dahan itu segera patah jatuh ke tanah pecah berkeping-keping.

Kedua tokoh berilmu tinggi ini sama-sama mengeluarkan kemampuannya untuk merobohkan lawannya, Warok Bledeg Ampar berusaha memancing amarah Eyang Tondo dengan melakukan ledekan ledekan, tujuarnya agar menguras tenaga Eyang Tondo yang sudah renta itu.

Apabila Eyang Tondo dapat terpancing amarahnya, maka tenaga dalam yang dilemparkan kepada Warok Bledeg Ampar akan mengenai dirinya sendiri.

Tenaga itu akan memakan tubuhnya sendiri.

Namun, Eyang Tondo bukan anak kecil kemarin sore yang mudah dikelabuhi dengan berbagai jurus tipuan itu, ia sangat tahu.

Ia telah banyak makan garamnya pergolakan dunia ilmu kanuragan, sehingga ia tidak mudah terpancing emosinya yang akan dapat melemparkan dirinya sendiri.

"Ha...ha..bajingan tua bangka. Rupanya kamu tidak mudah dikelabuhi, ya Tondo...Tondo," teriak Warok Bledeg Ampar masih mencoba memancing emosi lawan agar ia terpental dengan tenaga dalamnya sendiri

"Bledeg, ilmumu memang tinggi, tapi pengalamanmu berlaga masih ingusan. Kembali sana sama gurumu, mintakan petunjuk Biar engkau mampu mengalahkan aku,"

Eyang Tondo diam-diam juga berusaha memancing amarah Bledeg Ampar agar ia makin penasaran.

Bagi orang yang sudah penasaran, akan dengan mudah dapat dikendalikan dan terus dilumpuhkan.

Tapi apa yang terjadi, rupanya Bledeg Ampar memang menjadi marah dengan ejekan itu, namun ia tidak gegabah langsung menerjang dengan gelap kepada pertahanan Eyang Tondo, tiba-tiba ia meludahi muka Eyang Tondo dengan secepat kilat.

Melihat kelakuan Bledeg Ampar yang sudah kelewatan menghinanya, apalagi umurnya jauh lebih muda dari dirinya, kali ini Eyang Tondo tidak dapat mengendalikan diri lagi.

Ia marah besar, merasa sebagai orang tua yang dihinakan, maka dengan tanpa banyak perhitungan ia membuka ilmu ajian Bantaran Pematuk Sukma.

Tanaganya disilangkan, gerakannya hampir tidak terlihat mata langsung menghimpun daya linuih yang ditarik dari pusaran bumi, lalu disemburkan ke arah dada Warok Bledeg Ampar.

Tapi, rupanya Warok Bledeg Ampar pun sudah menduga akan keluarnya ajian maut itu, maka ia segera mengembangkan daya linuihnya dengan meredam kekuatan dahsyat bledeg di angkasa.

Tidak berapa lama, terjadilah benturan dahsyat kedua ajian maut kedua orang sakti itu.

"Bummmmnggg".

Kedua orang sakti itu sama-sama terpental beberapa langkah ke belakang. Namun rupanya, karena Eyang Tondo ketika mengeluarkan ajiannya itu dalam kondisi yang sedang marah, emosional, sehingga keseimbangan bathinnya terganggu, ia selain terdorong oleh kekuatan lawan juga terkena oleh kekuatan balik tenaga ajiannya sendiri. Sehingga ia terluka parah. Susuk baja yang melindungi tubuhnya dari serangan senjata tajam sehingga menjadikan dirinya selama ini menjadi orang sakti yang tidak tedas bacok, menjadi lumer daya tahannya. Kondisi yang mulai melemah itu merupakan kesempatan yang baik untuk merubuhkan kekuatan dasarnya yang tidak ingin dilewatkan begitu saja oleh Warok Bledeg Ampar, ia segera mengembangkan jurus kalong bergantung seperti menyambar berputar berusaha meraih kepala Eyang Tondo. Kali ini Eyang Tondo tidak sempat bersiap menghadapi serangan yang ganas itu dikarenakan kondisinya yang sedang sakit dan demam badannya belum reda, sehingga mengurangi daya tangkap pada indera penglihatan dan pendengaran yang semuanya berkumpul di kepala itu. Dalam menghadapi gerakan kilat ini, kepala Eyang Tondo mendapat benturan keras dari kepalan yang menghujam milik aji andalan Warok Bledeg Ampar

"Brukkkk,"

suara keras telah membuat kepala Eyang Tondo makin pening sejadi-jadinya, sehingga membuat keseimbangan semua inderanya hancur. Dalam keadaan oleng itu, kesempatan yang baik itu tidak disia-siakan oleh Warok Bledeg Ampar yang sangat berpengalaman bertarung segera saja menyusulkan serangan bertubi yang dilambari ajian tenaga dalam dengan melepaskan serangan cakar ayam alas menerjang tepat di muka Eyang Tondo. Segala daya kekuatan Eyang Tondo lumpuh dibuatnya. Namun masih ada sedikit sisa kesadar?n untuk bertahan berakhir kalinya, ia sempat membaca mantera penghantar pelepas tombak pusaka Aji Weling, dan dengan susah payah Eyang Tondo berusaha melepas sarung tombak pusaka itu.

Byaarr

tiba-tiba muncul seperti percikan api yang cepat berkobar membara membuat semua tempat itu menjadi terang benderang.

Warok Bledeg Ampar dibuat terperanjat dan surut beberapa langkah ke belakang menjauhi pancaran cahaya maut itu yang lama-lama kelihatan berubah bentuk seperti naga yang menyemburkan api tajam. Melihat gerakan naga yang nampak akan menerkam Warok Bledeg Ampar dan gerombolannya itu, mereka segara memasang jurus kuda pacu, dalam beberapa saat mereka telah mundur berlarian meninggalkan pedukuhan Badegan yang nampak dikuasai naga besar jadi-jadian dari tombak pusaka itu. Tatapi naas bagi nasib Warok Bledeg Ampar, sebelum ia berusaha melarikan diri percikan api dahsyat yang terpancar dari naga jadian tombak pusaka Aji Weling tepat mengenai dirinya. Walaupun ia memiliki kesaktian yang dilapis susuk baja, masih dapat tertembus oleh kekeramatan tuah yang terpancar pada Aji Weling itu.

Sementara itu, Eyang Tondo keadaannya nampak sudah sulit tertolong. Ia lunglai tergeletak di tanah. Kepalanya penuh darah mengucur. Rupanya sepeninggal gerombolan Warok Bledeg Ampar yang lari terbirit-birit itu, nagajadian itu memangsa energi sirep yang masih bersebar di udara kampung itu, dan lambat laun membuatnya ikut ngantuk, dan tertidur, tergeletak di tanah, dan kemudian berubah kembali menjadi sebuah tombak seperti sedia kala. Hilangnya pengaruh sirep yang habis diserap naga jadian itu, membuat para penduduk terbangun. Mereka terbangun dan menemukan Eyang Tondo yang kondisi phisiknya sangat parah tergeletak di halaman rumah joglo tua itu penuh darah, maka mereka serta merta segera merawatnya dibawa masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba terdengar suaranya lirih

"Aku berpesan, jagalah tombak pusaka Aji Weling ini, dan bila ada kejahatan datang ke kampung ini, bacakan mantra ini, sudah aku tulis... rawatiah, dan mandikan tiap hari syuro..."

Dan setelah menyampaikan pesan-pesannya itu, Eyang Tondo sudah tidak berdaya lagi, menghembuskan nafas yang penghabisan, meninggalkan penduduk kampung Dukuh Badegan itu untuk selamanya.

Suasana duka telah menyelimuti dukuh kecil di pinggir hutan jati itu sejak tersiar berita kematian Eyang Tondo dalam adu sabung semalam dengan gerombolan penyerang yang tidak dikenal asal-usulnya itu.

Burung burung gagak sejak pagi terbang rendah dengan suara berkaok-kaok menandakan ada orang yang telah meninggal pada hari itu.

Tangis kerabat, dan handai taulan telah membuat suasana Dukuh Badegan seperti kehilangan seorang pewaris kerajaan Wengker, sebuah kerajaan yang pernah mengenyam masa kejayaannya di masa lalu di daerah Ponorogo yang merupakan daerah penuh pergolakan, dan kekerasan beradu nasib hidup itu.

******

ARENA PELATINAN.

SEPENINGGAL Eyang Tondo, penduduk Dukuh Badegan merasa kehilangan besar atas kematian seorang tua yang selama ini dikenal amat bijaksana dan berwibawa.

Hanya sayang, selama ini tidak pernah ada orang yang mengenali Eyang Tondo sebagai seorang pendekar ulung yang memiliki warisan ilmu kanuragan tinggi dari bekas Kerajaan Wengker yang termashur pada zamannya.

Ia pernah menjadi perwira di kerajaan itu.

Oleh karena itu, para penduduk tidak ada yang pernah merasa perlu belajar ilmu kanuragan itu kepada Eyang Tondo itu.

Kini baru disadari bahwa ternyata ilmu kanuragan itu sangat diperlukan untuk menanggulangi bahaya besar yang sewaktu-waktu datang mengancam.

Dan dari mana penduduk akan dapat mempelajari ilmu kanuragan itu.

Padahal selama ini tidak ada seorang pun dari penduduk yang menguasai ilmu kanuragan itu.

Untung saja setelah dipelajari mantra, dan tumpukan buku-buku kumal peninggalan Eyang Tondo itu ternyata berisi tuntunan ilmu penguasaan olah batin, ilmu kanuragan, dan jurus-jurus silat yang dahulu dijadikan sebagai materi pelajaran bagi para punggawa perang Kerajaan Wengker Pada dahulu kala karena tidak ada turun raja Wengker yang masih hidup ketika diserang oleh Raja Airlangga dari kerajaan Kahuripan beberapa tahun yang lalu, maka Tombak Pusaka peninggalan kerajaan Wengker yang berhasil diselamatkan oleh Eyang Tondo itu dapat dijadikan sebagai tanda pewarisan kekuasaan kerajaan.

Siapa pun orangnya yang bisa mengendalikan tombak itu berhak menjadi raja turun Wengker.

Tetapi kini bekas wilayah kerajaan Wengker itu telah berada di bawah Kerajaan Majapahit dan kedudukan sudah diubah menjadi daerah Kadipaten dengan penguasa baru Kanjeng Adipati yang berkedudukan di kota kadipaten Ponorogo.

Pada suatu malam para pengurus Dukuh Badegan berkumpul di pendopo padukuhan yang dipimpin sendiri oleh Paman Sadri.

"Saudara-saudaraku, malam ini kita berkumpul, saya ingin menyampaikan beberapa hal yang menyangkut mengenai tombak pusaka Aji Weling ini. Ada dua pertimbangan yang aku harapkan pertikel sampeyan semua.
Pertama, apakah tidak sebaiknya tombak pusaka ini kita serahkan saja kepada penguasa kadipaten agar para penjahat tidak mengusik kampung kita untuk merebut tombak pusaka ini.
Kedua, kalau kita tetap mempertahankan tombak pusaka ini di sini sebagaimana wasiat Eyang Tondo untuk menjaganya, bagaimana cara kita menjaganya, sementara kekuatan kita untuk mengamankan perdukuhan kita ini masih lemah.
Itulah yang menjadi ganjalanku beberapa hari belakangan ini saudara-saudaraku,"

Kata Paman Sadri membuka pembicaraan.

"Menurut saya, Paman" Kata Joko Manggolo memberikan tanggapan.

"Kita harus menghormati amanah Eyang Tondo untuk mempertahankan tombak pusaka itu tetap berada di Dukuh kita ini. Sebab selama ini, penguasa kadipaten juga tidak secara terang-terangan dan terbuka ia membutuhkan tombak pusaka itu. Malahan menurut Eyang Tondo itu si Bledeg Ampar yang jelas penjahat ulung justeru diajak damai, diampuni dosa-dosanya, dan ditugasi untuk merampas tombak pusaka dari siapa pun. Ini jelas langkah yang keliru. Oleh karena itu kita juga tidak ada kewajiban apa-apa untuk menyerahkan tombak pusaka itu. Demikian menurut hemat saya, Paman."

"Tapi, tunggu dulu Angger Manggolo, apakah nanti kita tidak dipersalahkan kalau umpamanya si Bledeg Ampar itu melapor kepada Warok Sawung Guntur mengenai keberadaan tombak pusaka ini di sini."

"Menurut saya, Paman.
Itu telah menjadi risiko kita sebagai orang-orang yang telah diberi amanah dari orang yang telah meninggalkan kita bersama.
Arwah Eyang Tondo tidak akan tenang di alam baka apabila begitu mudah kita menyerahkan tombak pusaka itu begitu saja kepada penguasa kadipaten.
Sedangkan kematian Eyang Tondo lantaran membela tombak pusaka ini.
Lagipula sepertinya banyak warok yang lain justeru menghendaki kembalinya keberadaan kerajaan Wengker sebagai negeri yang merdeka dipimpin oleh turun raja dan pemegang syah tombak pusaka ini, bukan penguasa atas tunjukan Raja Brawijaya yang bukan orang turun raja dan bukan pula orang asli dari Ponorogo."

"Bagaimana pendapat saudara-saudara yang lain,"

Paman Sadri menanyakan kepada pengurus Dukuh Badegan yang lain. Mereka nampak hanya bisa saling pandang. Kemudian salah seorang yang kelihatan paling tua memberikan komentarrnya.

"Saya rasa pendapat Nak Manggolo ada benarnya. Kita semua warga, Dukuh Badegan ini memegang amanah Eyang Tondo. Jadi tidak:sepantasnya, memang menyerahkan begitu saja tombak pusaka yang telah dibela matimatian oleh orang yang paling kita hormati di dukuh kita. Sampai beliau bertarung seorang diri sampai ajalnya, sementara kita semua terlelap tertidur kalah hanya dengan sirep. Tapi, saudara-saudara,"

Kata Paman Sadri kemudian.

"Apakah kekuatan kita di dukuh Badegan ini akan mampu menghadapi serangan dari luar yang hanya gara-garanya memperebutkan tombak pusaka di tangan kita ini"
Warok Ponorogo 10 Malam Pekat Kelabu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Saya rasa, Paman." Kata Joko Manggolo kemudian

"Kita semua harus mempersiapkan diri dan mulai sekarang mengatur kekuatan. Kita bersatu padu mempertahankan amanah sesepuh kita Eyang Tondo, untuk mempertahankan wasiat tombak pusaka ini sampai darah yang penghabisan."

Semua yang hadir jadi tercenung. Suasana menjadi hening. Mereka nampak menimbang-nimbang untung ruginya. Baik buruknya. Berat ringannya risiko.

"Baik, kalau demikian. Kita ambil keputusan tombak pusaka tetap harus kita pertahankan sampai titik darah yang penghabisan"

Kemudian semua yang hadir itu saling bersalaman, berpelukan, dan berikrar janji untuk bekerja keras mempertahankan diri, meningkatkan kemampuan untuk memegang amanah wasiat tombak pusaka Aji Weling yang bertuah itu. Guna menyelamatkan Tombak Pusaka yang kini sedang diincar oleh banyak orang dari luar yang sewaktu-waktu pasti akan datang kembali menyerang Dukuh terpencil ini, maka telah ditunjuk suatu kelompok kerja yang diberi tugas membuat Tombak Tiruan yang hampir mirip dengan aslinya Tombak Pusaka Wasiat kerajaan Wengker itu. Sedangkan Tombak Wasiat asli disimpan di suatu tempat di bawah tanah sebuah bangunan besar yang baru dibangun gotong royong di tengah-tengah Dukuh Badegan tersebut sebagai tempat pusat kegiatan pemerintahan Dukuh Badegan itu di mana para warga Dukuh sering bermusyawarah di situ.

Sejak saat itu, tiap hari secara bergiliran lingkungan Dukuh Badegan itu dijaga penduduk regu jaga secara ketat. Di halaman rumah joglo besar itu tiap hari diadakan latihan berlaga yang diikuti oleh semua warga. Halaman rumah itu banyak ditanam pohon-pohon sawo kecik yang dimaksudkan agar dapat menanamkan kebecikan atau kebaikan bagi siapa saja penghuni atau yang datang ke halaman rumah itu. Bangunan rumah joglo yang kayu-kayu penyanggahnya diambilkan dari hutan sangat memperhatikan arah serat kayu yaitu tidak boleh terbalik, tetapi tetap dari bawah ke atas agar dapat memberikan kehidupan sebagai kekuatan penyangga yang bersumber dari kekuatan bumi. Halaman luas itu sengaja tidak ditanam rumput, dengan anggapan bahwa rumput merupakan kehidupan yang tidak boleh diinjak, hal itu melambangkan agar tiap warga atau penguasa Dukuh Badegan itu tidak gampang menginjak kehidupan walaupun itu hanya sekedar tanaman rumput. Filosofis pengaturan Rumah Joglo yang menghadap selatan, dan halaman itu semua merupakan amanah yang diwariskan melalui catatan-catatan yang tertinggal di rumah Eyang Tondo, sehingga semua benda keramat dan pengurus Pedukuhan perlu mentaati agar membawa kemuliaan kehidupan Dukuh Badegan ini. Lamalama mulai terbentuk semacam kerajaan kecil di pinggir hutan Badegan itu. Ada semacam "keraton berupa bangunan joglo itu, ada semacam singgasana di mana Paman Sadri sebagai kepala Dukuh Badegan sering duduk di situ mengatur segala sesuatunya, dan mulai ada pembagian tugas di antara para warga yang berlatih ilmu kanuragan itu menyerupai pasukan perang kerajaan yang perkasa. Para penduduk sepakat, tiap pagi dan sore hari diadakan pengajian terhadap kitab-kitab Jawa Kuno peninggalan Eyang Tondo dari bekas milik kerajaan Wengker itu. Demikian juga telah diadakan latihan-latihan kanuragan sesuai petunjuk dalam kitab itu. Baik lakilaki maupun perempuan, anak-anak semua ikut berlatih ilmu kanuragan secara terus menerus dengan tekun. Dari sekian banyak penduduk akhirnya dapat ditemukan bibit unggul di antara beberapa orang yang ternyata mulai kelihatan bakatnya untuk mengembangkan ilmu-ilmu itu dengan mengkombinasikan menggunakan variasi mengikuti gerakan binatang-binatang dalam mempertahankan dirinya terhadap musuh-musuhnya di hutan. Gerakan loncat monyet, terkaman harimau, kibasan belalai gajah, kibasan ekor buaya, patukan ular weling loncatan katak, tandukan kerbau jantan, pengkalan kuda, liukan merpati, dan sebagainya, banyak diolah dan diamati oleh para pesilat yang terus-menerus berusaha memperdalam ilmu kanuragan alami itu. Paman Sadri yang selama ini menjabat sebagai Jogo Boyo Pedukuhan Badegan adalah satu-satunya orang yang tidak buta huruf. Konon sewaktu Eyang Tondo masih hidup ia sempat diajari membaca huruf Jawa kuno oleh Eyang Tondo. Maka sepeninggal Eyang Tondo, Paman Sadri adalah satu-satunya orang yang dapat menguasai kitab itu. Hasil penelaahan kitab itu kemudian didiskusikan bersama penduduk lainnya untuk dipraktekkan dalam gerakan-gerakan ilmu kanuragan, Tiap hari Paman Sadri juga tidak segan-segan mengajari penduduk untuk berlatih membaca dan memahami kitab kitab itu. Hanya saja, untuk melafalkan mantra dalam menggunakan kekuatan tombak pusaka itu belum ada yang mampu menguasai. Paman Sadri siang malam terus menerus belajar melafalkan mantra itu agar dapat menggunakan senjata tombak itu untuk melindungi penduduk terhadap kemungkinan datangnya serangan musuh seperti yang malam itu dialami, sehingga terbunuhnya Eyang Tondo itu. Sudah hampir dua tahun sejak peristiwa pembunuhan Eyang Tondo itu nampaknya musuh yang diperkirakan akan menyerang lagi Dukuh Badegan itu belum juga kelihatan. Namun para penduduk tetap menunjukkan kewaspadaan dan tidak mengendor semangatnya untuk terus berlatih ilmu kanuragan. Binatang kuda yang telah dijinakan pun makin banyak yang ditangkap untuk dijadikan kendaraan tunggangan guna memudahkan gerak orang-orang yang dipimpin oleh Bajul Legowo seorang laki-laki perkasa yang bertubuh gempal dengan otot-ototnya yang menonjol keluar, memperlihatkan kekuatan daya tubuhnya yang dapat diandalkan. Bajul Legowo diberi tugas untuk melakukan hubungan dengan para penguasa pengamanan dari dukuh-dukuh terdekat, baik yang berada di kota Kadipaten Ponorogo dan dukuh-dukuh terdekat lainnya untuk melakukan kerjasama pengamanan daerah yang mudah terancam oleh serangan para begal, dan lawan lainnya.

Selain Paman Sadri, ada lima orang lagi yang ternyata mempunyai kemajuan pesat dalam mengolah ilmu kanuragan dan olah bathin itu, Joko Manggolo, juga terdapat nama seorang laki-laki setengah umur bernama Kebo Daru, Bajul Legowo, dan seorang gadis bernama Sri Sulaksmi masih terhitung keponakan Paman Sadri. Oleh karena itu dalam musyawarah warga Dukuh berikutnya ditetapkan suatu kepengurusan warga Dukuh agar memudahkan pelaksanaan tugas rutin dengan susunan, Paman Sadri sebagai Kepala Dukuh yang bertugas memimpin warga Dukuh dalam arti yang seluasnya. Joko Manggolo sebagai Pendekar Muda yang diberi tugas untuk terus menerus mengembangkan keilmuan kanuragan, dan olah ketinggian bathin. Kebo Daru sebagai Jogo Bojo atau kepala pengamanan Dukuh. Bajul Legowo sebagai pembinaan warga yang bertugas menyiapkan perbendaharaan bersama, seperti menghimpun ternak tangkapan terutama kuda-kuda iar yang ditangkap kemudian dijinakkan untuk dijadikan tunggangan agar terbentuk semacam pasukan perang untuk melakukan komunikasi dengan warga Dukuh lain, menangkap hasil buruan kemudian di jual ke kota Kadipaten dan uangnya untuk biaya membeli senjata senjata tajam agar tiap penduduk memiliki senjata untuk pertahanan. Sedangkan Sri Sulaksmi, putri keponakan Paman Sadri ditunjuk sebagai kepala pembinaan ibu-ibu dan kaum putri lainnya, terutama dalam menyediakan makanan bagi penjaga malam, memberikan bimbingan latihan bela diri kepada kaum perempuan yang kurang cepat menguasai ilmu kanuragan itu, dan membentuk barisan pertahanan garis belakang yang terdiri dari para laskar perempuan.

"Yayi Laksmi" kata Joko Manggolo pada suatu hari ketika mereka sedang beristirahat sehabis latihan.

"Rupanya untuk meningkatkan daya tahan dan kemampuan penguasaan jurus-jurus ilmu kanuragan bagi laskar perempuan, kita perlu membuat pedoman latihan yang khusus agar tidak menimbulkan kebingungan di antara para ibu-ibu."

"Benar Kangmas Manggolo. Saya juga mengalami kesulitan kalau menggunakan jurus-jurus yang disamakan seperti para laki-laki. Kitab-kitab peninggalan Eyang Tondo mungkin waktu itu untuk memberi kan tuntunan latihan khusus bagi laskar kaum laki-laki di kerajaan Wengker. Padahal kalau sekarang itu diterapkan untuk kaum perempuan banyak mengalami kesulitan. Misalnya untuk jurus-jurus laki-laki banyak memberikan perlindungan pada bagian alat vital lakilaki, sebab nampaknya pada bagian kemaluan ini letak kelemahan laki-laki, tetapi bagi perempuan seharusnya banyak memberikan perlindungan pada bagian dada. Untuk laki-laki bagian dada justeru sering lebih terbuka hanya dikhususkan untuk perlindungan ulu hati dan lambung kanan. Perubahan-perubahan jurus pertahanan yang diperlukan"

"Sebaiknya, Yayi Laksmi langsung saja menciptakan jurus-jurus yang sesuai untuk kondisi pertahanan perempuan. Nanti aku bantu sebisaku," kata Joko Manggolo.

"Ya, Kangmas. Aku akan coba."

Kedua anak muda ini karena sering berlatih bersama dan masih tinggal serumah bersama keluarga Paman Sadri, nampaknya beberapa bulan terakhir ini, hubungan Joko Manggolo dan Sri Sulaksmi memperlihatkan makin dekat. Melihat keakraban kedua anak muda itu Paman Sadri kelihatan malahan senang, dan banyak memberikan keleluasaan terhadap kedua keponakannya itu. Sri Sulaksmi yang sudah yatim-piatu ditinggal kedua orang tuanya sejak kecil dan terus ia pelihara hingga sekarang. Sedangkan Joko Manggolo yang juga ditinggal bapak-ibunya yang konon masih hidup entah hidup dimana, ia ketika masih bocah dulu seperti anak linglung. Di bawah asuhan Warok Wirodigdo yang menjadikan dirinya sebagai gemblakan walaupun banyak diajari ilmu kanuragan yang menjadi dasar-dasar penguasaannya dia sampai sekarang. Dalam pengembaraannya itu untung ketemu kembali dengan Paman Sadri walaupun saat itu ditemukan dalam keadaan pingsan dihajar oleh anak buah Warok Tanggorwereng di rumah hiburan Nyai Lindri malam-malam itu. Kalau tidak kebetulan Paman Sadri ke tempat itu, entahlah nasib anak itu. Siapa yang merawat luka-lukanya yang parah. Melihat latar belakang kehidupan kedua keponakannya itu nampak bahwa Keluarga Paman Sadri sangat menyayangi mereka, apalagi kebetulan Paman Sadri tidak mempunyai anak. Maka kedua keponakannya itu dianggapnya seperti anak kandungnya sendiri. Sri Sulaksmi makin hari tumbuh menjadi gadis yang dewasa. Penampilannya tegap sejak terus berlatih ilmu kanuragan ini. Nampak sebagai gadis desa yang penuh percaya diri. Selain memiliki paras cantik, ia juga luwes dalam pergaulan di antara para anak muda di Dukuh Badegan itu. Banyak pemuda yang tertarik kepadanya. Tetapi nampaknya semua dianggap sebagai teman biasa saja. Demikian pula Joko Manggolo mulai memberikan perhatian istimewa terhadap saudara sepupunya ini.


******

ILMU HARIMAU.

PAGI hari yang cerah merupakan kesempatan yang baik untuk memulai segala sesuatu pekerjaan yang akan dilakukan sepanjang hari. Menghirup udara bersih di pagi hari merupakan kegiatan pertama yang sudah terbiasa dilakukan oleh penduduk Dukuh Badegan sejak mereka mengenal ilmu kanuragan beberapa tahun terakhir ini. Mereka rata-rata melakukan kegiatan senam permafasan di halaman rumah masing-masing bersama keluarga, ada juga yang terlihat melakukan latihan fisik agak berat dengan mengolah jurus-jurus ilmu kanuragan di lapangan terbuka di depan rumah joglo besar sebagai tempat pusat latihan laga bagi penduduk Dukuh Badegan tersebut .Banyak perempuan, ibu-ibu dan anak-anak gadis, setelah mereka berlatih pernafasan, kemudian mereka pergi ke sungai mengambil air, mencuci pakaian, mandi, dan kemudian memasak di dapur menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga. Suasana yang tenang dalam kehidupan keluarga-keluarga di Dukuh Badegan itu, terasa tenteram, aman, dan hidup rukun sejak Paman Sadri memimpin padukuhan yang terletak di pinggir hutan jati itu.

Sri Sulaksmi, putri keponakan Paman Sadri, nampak telah kembali dari sungai, membawa setumpuk pakaian-pakaian sekeluarga yang habis dicuci, dan mukanya tampak bersih dengan rambutnya yang basah habis mandi dengan mengguyur sekujur tubuhnya di air yang jernih sebagai sumber kehidupan warga dukuh ini.

"Laksmi, apakah masih banyak perempuan-perempuan yang mandi di sungai," tanya Paman Sadri kepada keponakannya itu

"Masih, Paman"

"Itulah, kalau ibu-ibu diberi waktu untuk mandi lebih dulu biasanya ngelantur tidak selesai-selesai. Mereka sambil ngobrol tidak habis-habisnya. Jadi rombongan bapak-bapak harus menunggu sampai selesainya mereka. Bagaimana menurut pendapatmu, Laksmi Kalau waktu mandi ibu-ibu ditukar yang siang, Bapak bapak, pagi-pagi lebih dulu, baru diganti para perempuannya. Sebab, bapak-bapak harus buru-buru pergi ke tanah ladang ke hutan, dan berdagang ke kota. Jadi jangan sampai kesiangan"

Ario Bledek Petir Di Mahameru 03 Iblis Dunia Persilatan Karya Aone The Kite Runner Karya Khaled Hosseini

Cari Blog Ini