Ceritasilat Novel Online

Perawan Bayangan Rembulan 1

Raja Gendeng 21 Perawan Bayangan Rembulan Bagian 1



Raja Gendeng 21 Perawan Bayangan Rembulan

****

Karya Rahmat Affandi

Sang Maha Sakti Raja Gendeng 21 dalam episode

Perawan Bayangan Rembulan

*****


Team Kolektor E-Book

Buku Koleksi : Denny Fauzi Maulana

(https.//m.facebook.com/denny.f.maulana)

Scan,Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo

(http.//ceritasilat-novel.blogspot.com)

Dipersembahkan Team
Kolektor E-Book

(https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook)


*****

Padepokan Tiga Guru.

Malam gelap gulita.

Langit hitam pekat.

Di kaki bukit Talang Hijau dimana Padepokan Tiga Guru berada, beberapa pelita yang terpasang untuk menerangi halaman depan padepokan telah lama dihempas angin.

Seolah-olah tidak menghiraukan keadaan alam.

Di tengah halaman depan ada seorang kakek yang tingginya sekitar dua tombak sedang duduk bersila di atas gundukan batu pipih.

Kedua tangannya diletakan di atas lutut.

Sementara tangan kanan tampak sibuk memutar tasbih yang terbuat dari tulang yang memancarkan cahaya putih redup.

Dengan mata terpejam mulut si kakek yang terlindung kumis dan janggut putih itu terus berkemak-kemik memanjatkan doa kepada para dewa. Waktu berjalan terus, hembusan angin tambah menggila.

Tubuh kurus jangkung si kakek berguncang keras.

Walau keadaan alam tidak bersahabat tapi si kakek tidak peduli.

Dia tetap diam terpaku di tempatnya sambil terus memutar tasbih dan memanjatkan doa-doa pujian.

Tiba-tiba kilat menyambar.

Kemudian disusul dengan suara gelegar petir.

Mendadak hujan turun laksana tercurah dari langit.

Dalam keadaan seperti itu dari mulut si kakek jangkung terdengar ucapan bernada permohonan.

"Hyang Jagad Dewa Bathara! Kuasamu meliputi segala.Lindungilah kami guru penghuni kaki bukit Talang Hijau ini dari malapetaka susulan. Jangan pula segala malapetaka yang menimpa seluruh murid terjadi pada diri kami. Mohon perlindungan dan keselamatan kami khususnya diriku ini agar dapat menebus semua dosa kesalahan yang telah kami lakukan dimasa lalu!"

Baru saja si kakek jangkung selesai mengucapkan doa permohonannya, tiba-tiba saja satu dentuman dahsyat menggelegar di depannya.

Dalam suasana gelap dan di bawah curah hujan bebatuan dan pasir bermuncratan membumbung tinggi lalu luruh kembali.

Dan sebagiannya mengguyur tubuh kurus yang hanya terlindung selembar pakaian putih bersih lapuk. Si kakek yang kaget seketika membuka matanya.

Menatap ke depan terlihat satu lubang besar menganga ke dalam.

"Ledakan yang baru terjadi adalah kekuatan yang baru saja dikirim oleh seseorang"

Batin si orang tua di dalam hatinya dengan perasaan cemas.

Baru saja si kakek jangkung yang dikenal dengan nama sebutan Ki Jangkung Reksa Menggala berkata demikian, pintu padepokan panggung berlantai tinggi berderit terbuka.

Di bawah temaram cahaya pelita yang berasal dari ruang dalam muncullah seorang kakek bertubuh pendek berpunuk berambut putih di depan pintu.

Sekejab matanya menyapu pandang ke arah halaman tempat dimana saudaranya Ki Jangkung Manggala Reksa berada.

Kemudian dengan perasaan khawatir dia berseru.

"Ki Jangkung Reksa Manggala. Hujan bercampur badai rupanya masih akan berlangsung lama. Keadaan diluar tidak aman. Padepokan ini pun tidak akan bisa menahan hembusan angin yang kian menghebat. Sebelum keadan semakin bertambah parah. Sebaiknya kau, aku dan adik Ragil Ijo tinggalkan tempat ini. Kita harus menyingkir ke Kulon Watu Cadas untuk sementara waktu. Esok setelah badai gila ini mereda kita bisa kembali dan mencari murid-murid kita yang hilang."

Jawaban yang terdengar dari mulut saudara tuanya sungguh diluar dugaan si kakek berpunuk mirip unta ini.

"Aku tidak mau meninggalkan tempat ini seperti pengecut! Jika manusia-anjing itu yang menjadi penyebab dari kekacauan alam. Biar aku akan menghadapinya seorang diri.Menjajal kehebatan dan keganasannya bagiku merupakan sebuah permainan yang menarik. Tidak ada yang perlu ditakuti walau dari dua puluh murid kita sebagian diantaranya telah menemui ajal dan sisanya lenyap tidak diketahui keberadaannya."

"Kau pergilah secepatnya bersama Ragil Ijo. Esok bila cuaca membaik dan menemukanku mati di sini, kau dan Ragil Ijo dapat menguburkan jasadku secara layak" kata Ki Jangkung Reksa Manggala dengan suara bergetar diliputi dendam amarah.

"Kakang! aku tidak mau kau mati. Semua kekacawaan alam yang sedang terjadi atas kehendak dewa. Bukan manusia yang melakukannya. Lagi pula manusia mana yang sanggup mendatangkan topan, petir dan hujan sehebat ini!"

Ucap Ki Jalung Upas. Tidak disangka-sangka di tengah gemuruh angin dan hujan kakek bertubuh jangkung ini bangkit berdiri.

Kemudian sambil bertolak pinggang dia berseru.

"Ki Jalung Upas! Apa yang kau ketahui tentang manusia yang satu itu. Kepandaiannya di atas manusia biasa. Ilmu kesaktiannya dapat dipergunakan untuk menghancurkan gunung-gunung. Dia juga pernah membuat gelombang laut dan menenggelamkan musuhnya yang melarikan diri menggunakan perahu. Jangan pernah membantah perintahku! Lekas tinggalkan padepokan ini sebelum terlambat!"

Bentak Ki Jangkung Reksa Menggala.

Walau sadar ucapan saudara tuanya tidak dapat dibantah, Namun Ki Jalung Upas terombang-ambing dalam keraguan.

Dia merasa tidak tega meninggalkan saudaranya untuk menghadapi bahaya yang muncul dengan tidak terduga seorang diri. Selagi Ki Jalung Upas tertegun terombang- ambing dengan berbagai pertimbangan.

Dibelakangnya tiba-tiba muncul seorang kakek tua bertubuh gemuk luar biasa memakai pakaian berwarna hijau, wajah dan rambutnya putih kehijauan.

Kakek yang raut wajahnya seperti orang yang tersenyum ini menyeruak keluar melewati Ki Jalung Upas yang berdiri tak jauh di depan pintu.

Sesampainya diberanda depan.

Tanpa menghiraukan deru dan hujan, tiba-tiba saja dia keluarkan suara ringkikan aneh.

Begitu mulut meringkik selayaknya kuda merah, seluruh rambut putih kehijauan yang memenuhi batok kepala orang tua ini berjingkrak tegak.

Melihat berjingkraknya rambut adiknya, Ki Jalung Upas segera maklum.

Ragil Ijo tidak suka mendengar perdebatan yang terjadi antara dirinya dengan saudara tuanya.

"Dikegelapan maut mengintai. Murka alam tidak memilih siapa yang baik siapa yang jahat. Alam selalu memberikan kehidupan, matahari menyinari siapa saja tanpa membedakan. Manusia suka berbuat salah. Belajar dari kesalahan baru dapat ditemukan jalan menuju kebaikan."

Setelah berucap demikian dia melirik ke arah Ki Jalung Upas. Selanjutnya dia layangkan pandang ke halaman yang gelap. Dalam kegelapan dia masih dapat melihat Ki Jangkung Reksa Menggala.

Lalu pada orangtua yang duduk di halaman itu, dia berkata.

"kakangku, Ki Jangkung Reksa Menggala. Setiap orang selalu mempunyai pilihan dalam hidupnya. Dalam hidupnya manusia juga harus memilid tujuan. Tanpa tujuan hidup tidak berarti apa-apa karena hanya menghabiskan waktu dengan sia-sia. Yang dikatakan Kakang Ki Jalung Upas rasanya cukup jelas. Hujan dan badai ini membawa kemurkaan dari alam. Alam murka entah pada dirimu atau mungkin juga terhadap diriku. Aku tak ingin berpanjang kata. Karena masih ingin hidup. Aku bersama kakang Ki Jalung Upas segera hendak menyingkir ke kulon Watu Cadas! Ingin aman ikutlah bersama kami. Bila hendak mencari petaka, berbuatlah sekehendak hatimu"

Wajah tua penuh keriput berubah merah kelam.

Ki Jangkung Reksa Menggala tahu seumur hidup Ragil Ijo dikenal sebagai manusia paling pendiam. Bila sekarang dia bicara seperti itu, mungkin saja karena kesalahan atau juga rasa sayang seorang adik terhadap kakaknya.

Tapi Ki Jangkung Reksa Menggala bukan orang yang suka diatur walau itu buat kepentingan dirinya sendiri, maka sambil menahan amarah dia berseru.

"kau dan Ki Jalung Upas adalah orang yang mementingkan diri sendiri. Pembunuh itu telah membantai murid-murid kita. Dia akan segera muncul di Padepokan kita. Seperti yang telah aku katakan pada Ki Jalung Upas. Kau juga sebaiknya segera angkat kaki dari sini. Jangan lupa kembali kemari bila badai telah mereda."

Ragil Ijo keluarkan suara ringkikan panjang.

Dua tangan tiba-tiba digerakan ke atas.

Wuut!

Tahu-tahu entah dari mana datangnya ditangan kanan Ragil Ijo tergenggam sebuah tongkat berwarna hijau.

Sedangkan di tangan kiri tergenggam benda hitam berupa batok.

Keduanya bukan lain adalah dua senjata yang menjadi andalan kakek ini.

"Aku pergi sekarang!"

Kakek Ragil Ijo berpamitan.

"Aku juga."

Ucap Ki Jalung Upas tidak mau ketinggalan. Selesai berkata, keduanya bungkukkan badan sebagai tanda penghormatan pada saudara tua mereka.

Setelah membungkuk tiga kali mereka pun memutar tubuh.

Wuuus!

Belum sempat mata Ki Jangkung Reksa Menggala berkedip, sosok kedua adiknya lenyap dari pandangan mata.

Seperginya mereka Ki Jangkung Reksa Menggala menghela nafas. Dalam kegelapan dia memperhatikan keadaan sekelilingnya.

Hembusan angin kencang dan curah hujan yang luar biasa deras tiba-tiba saja mereda. Si Kakek menjadi terheran-heran.

"Topan, angin ribut dan hujan mengapa mendadak berhenti, seperginya kedua adiknya? Apakah semua ini berhubungan dengan mereka ataukah hanya kebetulan belaka?"

Membatin Ki Jangkung Reksa Menggala dalam kebimbangan.

Dia lalu diam berusaha memikirkan keanehan demi keanehan yang baru saja terjadi.

Sampai kemudian langit kembali terang.

Bintang-bintang kembali bermunculan di langit.

Ki Jangkung Reksa Menggala dongakan kepala menatap ke langit.

Dia melihat bulat sabit di sebelah timur.
Raja Gendeng 21 Perawan Bayangan Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Entah mengapa setelah menatap bulan tiba-tiba bulu tengkuknya meremang tegak.

Si kakek yang tadinya berdiri kini duduk kembali ke tempat semula.

Pada saat itulah tiba-tiba saja terdengar suara lolong anjing di kejauhan.

Kaki bukit Talang Hijau jaraknya cukup jauh dari belantara lebat.

Lima belas tahun Ki Jangkung Reksa Menggala menetap di tempat itu.

Walau sekalipun dia tidak pernah mendengar suara anjing melolong atau kawanan anjing berkeliaran.

Bahkan tidak seorangpun dari penduduk setempat yang tinggal tidak jauh dari Padepokan ini yang suka memelihara anjing.

"Perasaanku tidak enak. Sepertinya ada yang mengawasi halaman ini dan mengintai gerak- gerikku!"

Membatin si kakek dalam hati.

Baru saja hatinya berkata demikian, tiba-tiba di antara desir angin berhembus, terendus bau busuknya bangkai.

Terkejut orangtua ini melompat bangkit dari batu yang didudukinya.

Belum sempat dia mengetahui dari mana bau busuk menyengat berasal.

Tahu-tahu dari arah depan dan belakangnya terdengar suara mengorok.

Ketika Ki Jangkung Reksa Menggala menatap ke depan yang dilanjutkan dengan gerakan menoleh ke belakang.

Kejut dihati kakek bertubuh tinggi ini bukan kepalang.

Dia melihat di depan sana sedikitnya lima sosok laki-laki muda entah dari mana datangnya melangkah menghampiri.

Dibelakangnya terlihat pula lima pemuda lain dengan membawa lentera bergerak mendekati.

Anehnya sepuluh sosok muda yang datang dari dua arah yang berlawanan itu mempunyai wajah yang sangat mirip dengan sepuluh muridnya yang hilang beberapa pekan yang lalu.

Yang membedakan Kesepuluh pemuda yang datang, melangkah tertatih-tatih dengan gerakan kaku ini semuanya berpakaian putih lusuh tidak berjahit.

Pakaian dalam keadaan kotor dipenuhi tanah merah becek.

Di sana-sini dihiasi lubang memanjang berupa sayatan namun lebih mirip dengan cabikan.

Dibalik pakaian yang tercabik terlihat ada cairan dan lelehan darah menghitam menebar bau busuk. Ki Jangkung Reksa Menggala sejenak hanya diam tercengang dan belalakan mata.

Namun ketika melihat para pemuda berpenampilan selayaknya mayat yang baru bangkit dari liang kubur ini tambah mendekat.

Sementara tangan mereka terjulur seolah-olah menggapai dan memeluknya, maka dengan tengkuk bergidik dia segera melompat ke samping hindari jangkauan tangan-tangan kotor yang menggembung bengkak dipenuhi lendir tersebut.

"Siapa kalian?"

Tanya ki Jangkung Reksa Menggala sambil memperhatikan sepuluh pemuda yang kini memutar arah dan kembali merangsak ke arahnya.

Tidak ada yang menjawab.

Dua orang yang memegang lentera berbentuk aneh berwarna merah berkilauan hentikan langkah.

Kedua orang yang agaknya bertindak sebagai pimpinan itu menatap ke arah si kakek dengan kedua matanya yang menggembung bengkak seolah hendak meletus.

Kemudian salah seorang yang bertubuh tegap dan berdiri di sebelah kiri keluarkan suara mengorok.

Ketika mulutnya terbuka terdengar suaranya yang parau disertai semburan belatung berwarna kuning kehijauan.

"Ki Jangkung! Guru me-nga-pa...guru bersama dua guru lainnya tidak membantu menolong menyelamatkan kami?"

"Meng-a-pa gu-ru..." kata pemuda yang mengikut dibelakangnya pula bersamaan.

"Kalian... apakah kalian ini benar-benar muridku? Apa yang telah terjadi? Aku dan adik adikku telah mencari kalian kemana-mana, tapi upaya yang kami lakukan sia-sia. Kalan menghilang bagai ditelan bumi. Dan saat inipun masih ada sedikitnya sepuluh saudara seperguruan kalian lainnya yang belum kembali!"

Jawab KI Jangkung Reksa Menggala dengan suara terbata-bata.

"Badai yang datang malam itu, guru!" berkata pemuda yang berada di sebelah kanan juga memegang lentera.

"Badai itu sama dengan yang datang malam ini guru. Badai membawa kami ke suatu tempat aneh, Di tempat itu kekuatan apa saja yang dimiliki oleh manusia menjadi tidak berarti. Tempat itu dingin, sepi dan asing. Kami mengalami kesengsaraan panjang. Kami seperti anak ayam yang kehilangan induk."

Belum sempat pemuda yang sekujur tubuhnya menggembung laksana hendak meletus selesaikan ucapan, Ki Jangkung Reksa Menggala tiba-tiba menyela.

"Aku tidak tahu tempat apa yang kalian maksudkan itu? Aku juga ragu apakah kalian semua benar murid-muridku? Aku melihat wajah dan tubuh kalian berbeda dengan murid-muridku yang hilang!"

"Kami murid-muridmu! Mengapa kini tiba-tiba guru tidak mengakui? Bersikap seakan tidak mengenal kami adalah sebuah sikap yang sangat tidak terpuji!"

Kata sepuluh pemuda yang berdiri di depan si kakek.

Ki Jangkung Reksa Menggala terdiam.

Dalam diam dia dapat merasakan kemarahan dalam diri setiap orang itu.

Tapi sebagai seorang guru yang berpengalaman, Ki Reksa Menggala segera berusaha menenangkan mereka.

"Kalian dengar?! Siapa yang tidak mengakui kalian sebagai muridku. Aku hanya tidak mengerti apa yang telah terjadi? Dan satu yang paling mengganggu pikiranku. Mengapa keadaan kalian seperti mayat-mayat yang baru bangkit dari liang 1 kubur?"

Tanya si kakek.

"Tua bangka bodoh! Apakah kau masih belum mengerti juga bahwa sebenarnya kami memang sudah mati!"

Jawab semua orang di depan Ki Reksa Menggala hingga membuatnya tercengang kaget. Rasa kejut di hati Ki Jangkung Reksa Menggala tidak berlangsung lama.

Selesai sepuluh mulut menebar bau busuk mengucapkan kata yang sama.

Tiba-tiba terdengar suara seruan.

"Ki Jangkung Reksa Menggala. Sebelum ajal datang menjemput. Ingat-ingatlah semua dosa kesalahan yang pernah kau lakukan dimasa lalu. Setelah ingat maka sekarang hadapilah mayat- mayat muridmu sendiri. Hi..hi..hi."

Dalam kaget si kakek layangkan pandang ke satu jurusan tempat dimana suara itu datang.

"Siapa yang bicara?!"

Serunya dengan suara lantang.

"Siapa yang bicara?"

Menyahuti suara itu dengan berdengus.

"Siapa aku apakah bagimu masih penting? Aku adalah mimpi burukmu! Aku kematian yang tidak mengenal kata ampun Hihi hi!"

"Hm, kaukah yang membunuh mereka, lalu kau buat seolah mereka ini hidup kembali. Bangkit dari kematian untuk menyerang diriku!"

Teriak si kakek dengan penuh kemurkaan.

"Membunuh murid-muridmu adalah langkah yang keliru. Aku tidak akan pernah menjawab pertanyaanmu itu. Yang jelas kuasa pemilik langit bumi meliputi segalanya. Dia berkehendak berbuat apa saja!"

Sahut suara itu dingin.

"Kurang ajar! Jangan pernah menggurui tua bangka ini. Siapapun dirimu jika punya nyali sebaiknya unjukan diri. Kau boleh mengatakan kesalahan apa saja yang pernah kulakukan kepadamu!"

Geram Ki Jangkung Reksa Menggala tambah jengkel

"Kau ingin melihat bagaimana tampang rupaku? Apakah kau masih punya waktu melakukannya? Apakah kau tidak sadar saat ini maut mula menjulurkan tangannya siap membetot nyawa busukmu? Hik hik hik!"

Ucapan lantang suara perempuan lenyap.

Dari arah yang sama sekali lagi terdengar suara lolong mengerikan.

Ki Jangkung Reksa Menggala rupanya masih penasaran.

Namun baru saja mulutnya hendak terbuka, Dari arah samping kanan dan kiri berpasang-pasang tangan berkelebat menyambar siap menjadikan tubuh dan wajahnya hancur tercabik-cabik

"Mahluk-mahluk celaka! Selagi hidup menjadi muridku.Setelah mati mengapa hendak membuat celaka diriku!?"

Dengus Ki Jangkung Reksa Menggala.

Secepat kilat orang tua ini menarik kakinya ke belakang.

Kepala disentakan sedangkan dua tangan dihantamkan ke depan dan samping dengan sepuluh jemari terkembang.

Serangan yang dilakukan orang tua ini bukan serangan biasa.

Selain menggunakan sebagian tenaga sakti yang dia miliki.

Si kakek juga menggunakan jurus maut Merapi Mendidih yang dibarengi dengan pukulan Selaksa Lahar Melanda Lautan.

Akibat yang ditimbulkannya sungguh mengerikan.

Selain dari kedua tangan si kakek menyemburkan cahaya merah laksana luapan lahar gunung meletus.

Dari tangan itu pula menderu hawa panas yang segera menghantam ketiga arah dimana mayat-mayat bersirebut merangsak maju menyerang si kakek.

Semburan luapan cahaya merah laksana muncratan lahar gunung menyambar dari pinggang ke atas.

Sementara serbuan hawa panas bercampur deru angin yang dilepaskan si kakek menghantam bagian tubuh sebelah bawah.

Melihat bahaya mengancam diri mereka.

Sepuluh mayat hidup tertegun.

Namun rupanya makluk penghuni liang kubur ini mengetahui bahaya besar mengancam keselamatan mereka.

Terbukti mereka berserabutan selamatkan diri. Walau gerakan makluk-makluk itu terkesan kaku dan lambat.

Namun ketika sadar mendapat ancaman bahaya, mereka ternyata dapat bertindak cepat.

Tidaklah heran pada saat cahaya merah laksana kipas menderu menghantam tubuh mereka.

Mayat-mayat itu segera jatuhkan diri sama rata dengan tanah.

Justru tindakan yang mereka lakukan merupakan sebuah kesalahan karena walau mereka dapat menyelamatkan diri dari jurus Merapi Mendidih hingga serangan itu menjadikan sebagian bangunan Padepokan hancur porak poranda dilalap api.

Tapi mereka tidak bisa lolos dari pukulan Selaksa Lahar Melanda Lautan.

Tanpa ampun ketika pukulan berkiblat menderu kedepan.

Raja Gendeng 21 Perawan Bayangan Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mayat-mayat yang selamatkan diri dengan merebahkan dirinya sama rata dengan tanah ini menjadi sasaran empuk pukulan si kakek

Wuus!

Buuum!

Begitu pukulan Selaksa Lahar Melanda Lautan yang dilepaskan orang tua itu melabrak tubuh lawan-lawannya.

Seketika itu juga sepuluh mayat tenggelam dalam luapan cairan merah mendidih yang mendadak muncul dari dalam tanah.

Para mayat menjadi panik.

Mereka segera bangkit dan berusaha selamatkan diri.

Namun tindakan yang dilakukan oleh mayat-mayat itu nampaknya sia-sia saja karena dalam waktu yang singkat cairan mendidih yang muncul ke permukaan tanah menelan tubuh mereka.

Luapan cairan mendidih yang menelan tubuh mereka akhirnya menyisakan satu pandangan mengerikan.

Panasnya cairan yang bersumber dari ilmu kesaktian si kakek ternyata tidak hanya membuat rambut dan kulit mayat-mayat itu menjadi rontok. Seluruh daging pembalut tulang disekujur tubuh leleh bertanggalan menebar bau busuk menyengat luar biasa.

Tulang belulang dan rangka tubuh yang tadinya bersusun rapi satu demi satu rontok berjauhan.

Tak kuasa menahan bau busuk dan menyaksikan tulang merah jatuh bergugusan meninggalkan raga yang hancur.

Ki Jangkung Reksa Menggala pun melompat mundur menjauh halaman itu.

Dari jarak yang aman si kakek lalu layangkan pandang ke arah luapan cairan merah yang melanda halaman.

Perlahan cairan panas mengerikan itu lenyap.

Anehnya setelah halaman kering tulang belulang yang bertanggalan dari setiap tubuh setiap mayat ternyata juga raib tidak meninggalkan bekas.

Ki Jangkung Reksa Menggala hanya bisa menyaksikan dibeberapa tempat dimana mayat-mayat tadi berada, ada kepulan asap tebal meliuk membubung ke udara menebar bau tulang terbakar.

"Aneh! Mengapa terasa segala sesuatunya berlangsung cepat? aku tidak meragukan kehebatan jurus-jurus maut serta ilmu pukulan sakti yang kumiliki. Tapi..." belum lagi sempat Ki Jangkung Reksa Menggala menyelesaikan ucapannya.

Serta merta terdengar suara mengiang ditelinga kanannya.

"Wahai anak manusia bernama KI Jangkung Reksa Menggala. Jangan kau layani tipuan-tipuan mata. Semua yang terjadi di sini berlangsung dalam ketidakwajaran. Kau harus segera tinggalkan tempat ini. Pergilah ke arah utara. Orang yang sedang mempermainkanmu bukanlah lawannmu yang sepadan."

Terang suara ngiangan itu.

Ki Jangkung Reksa Manggala diam tertegun.

Dibawah cahaya bulan yang temaram matanya melirik kesegala penjuru sudut.

Jelas suara mengiang ditelinganya berbeda dengan suara pertama yang didengarnya tadi, sesaat sebelum mayat-mayat muridnya melakukan serangan.

"Ada orang memanggilku anak manusia. Padahal usiaku sudah lanjut-menjadi seorang kakek. Tapi siapa yang bicara dengan menggunakan ilmu mengirimkan suara itu? Suaranya samar, jauh dan tak dapat diduga. Apakah laki-laki ataukah perempuan yang bicara?"

Membatin si kakek dalam hati.

Selagi dia menduga-duga. Lagi-lagi terdengar suara mengiang di sebelah kiri.

"Ki Jangkung! Jangan menduga dengan hatimu, jangan berpikir dengan otakmu. Lakukan saja yang aku perintahkan!"

"Perintah apa? Kau Siapa?"

Tanya Ki Jangkung Reksa Menggala melalui ilmu mengirimkan suara pula

"Jangan tolol! siapa diriku tidak penting. Saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan selembar nyawamu. Atau kau ingin hidupmu berakhir sebagaimana yang dialami oleh kedua adikmu Ki Jalung Upas dan Ragil Ijo?!"

Dengus suara mengiang membuat Ki Jangkung Reksa Menggala terperangah kaget, mata melotot sedangkan mulut ternganga.

Dia ingin mengucapkan sesuatu tapi tidak ada suara yang keluar.

"Tunggu apalagi. Pergi ke arah utara. Lakukan saja yang aku perintahkan. Pergunakan ilmu tipuan mata Menghapus Jejak yang kau miliki. Lekas atau kau tidak bakal sempat melakukannya!" desak suara mengiang tidak sabar.

Ki Jangkung Reksa Menggala dapat merasakan kekhawatiran orang yang bicara melalui ilmu mengirimkan suara itu. Namun rasa tidak percaya akibat kehilangan dua saudara membuat hatinya terguncang. Dia tidak habis mengerti bagaimana kedua adiknya yang baru saja menyingkir ke tempat yang dianggap aman demi keselamatan mereka justru malah kehilangan nyawa?

siapa yang membunuh mereka?

Dan lagi pula bagaimana orang yang bicara itu bisa tahu dia mempunyai ilmu Tipuan Mata Menghapus Jejak?

"Jangan menduga dengan hatimu. Jangan berpikir dengan otakmu!"

Desis si kakek mengulang ucapan orang. Baru saja mulut ki Jangkung Reksa Menggala terkatub.

Sekonyong-konyong-dari empat penjuru arah terdengar suara raungan menggelegar merobek kesunyian.

Ki Jangkung Reksa Menggala terkesima.

Memandang kejurusan mana suara raungan berasal.

Dia melihat ada empat cahaya merah terang seolah kumpulan bara raksasa muncul dibalik gelap.

Si kakek tidak lagi sempat berpikir apa dan makluk apa yang muncul dalam rupa seperti nyala bara itu karena saat itu pula suara mengiang kembali menyentak ditelinga kirinya

"Manusia bodoh!"

"Diberi jalan malah memilih menentang bahaya menyongsong bala. Kalau kau mati bagaimana kau bisa tahu siapa yang membunuh kedua adikmu dan sebab apa dia dibunuh! Lekas pergi! Maut telah muncul diempat penjuru sudut. Lakukan sekarang atau tidak sama sekali!"

Ki Jangkung Reksa Menggala bukanlah manusia pengecut.

Si kakek pun menyadari dirinya memiliki ilmu serta kesaktian yang tinggi.

Tapi dia ternyata termakan dengan ucapan orang yang bicara melalui ngiangan suara.

Dua adiknya telah menemui ajal.

Ternyata inilah yang membuatnya segera lakukan apa yang diperintahkan orang.

Sebelum empat bara raksasa menderu ke arahnya.

Ki Jangkung segera rangkapkan kedua tangan didepan dada.

Begitu dua tangan menyentuh dada, si kakek pejamkan matanya.

Wuuus!

Hanya sesaat sebelum empat bara dalam bentuk bola raksasa yang menderu dari atas ketinggian menghantam tubuh ki Jangkung Reksa Menggala.

Sosok si kakek mendadak raib, lenyap dari pandangan mata.

Empat bara raksasa secara bersamaan menderu lalu saling hantam dengan sesamanya ditempat mana si Jangkung Reksa Menggala tadinya berdiri.

Gleger!

Terdengar suara dentuman dahsyat mengerikan.

Tanah berpasir dihalaman itu bermuncratan membubung tinggi ke udara, bertaburan sedemikian rupa dalam keadaan merah membara.

Tak jauh disebelah depan padepokan berlantai panggung berdinding papan beratap ilalang hancur porak poranda dalam bentuk kepingan dikobari api. Untuk beberapa saat lamanya kegelapan temaram disekitar Padepokan tiga guru terang benderang dilamun kobaran api.

Ditempat dimana ledakan menggelegar terjadi tertihat sebuah lubang besar menganga dalam.

Hanya beberapa kejaban sebelum kobaran api yang melahap puing-puing padepokan padam.

Tiba-tiba terdengar suara lolong yang disertai dengan munculnya tiga sosok berupa mahkluk berkaki empat berbulu hitam bertubuh besar.

Tiga sosok yang ternyata adalah tiga anjing inilah yang sempat keluarkan suara lolongan sebelum munculkan diri dihalaman itu.

"Grauuung!"

Tiga anjing hitam seukuran anak kerbau tiba-tiba keluarkan suara lolongan untuk kedua kalinya.

Mata yang merah jelalatan gelisah, mulut terbuka memperlihatkan taring-taring yang tajam sedangkan lidahnya terjulur ditengah hela nafasnya yang mengengah.

Selagi tiga anjing hitam besar jelalatan memperhatikan padepokan yang porakporanda.

Dari balik kegelapan tiba-tiba berkelebat satu sosok tubuh berpakaian ringkas terbuat dari kulit yang juga berwarna hitam.

Ketika sosok berambut panjang tergerai jejakkan kaki didepan tiga anjing bermata merah.
Ketiga mahkluk yang kelihatan ganas ini keluarkan suara mengiuk manja.

Ketiga anjing segera datang menghampiri.

Kemudian selayaknya tiga orang anak kecil pada ibunya, ketiganya menggosok- gosokan kepala dan badan di kaki sosok berpakaian hitam.

Sosok berambut panjang mengusap dan membelai kepala dan bulu-bulu tebal mahluk yang selalu menemaninya setiap kali bulan muncul dilangit

"Sama seperti diriku.Kalian harus bersabar."

Kata si rambut panjang yang ternyata adalah seorang perempuan berwajah cantik.

Tiga anjing yang ukurannya setinggi pinggang perempuan tersebut merintih lirih. Tanpa menghiraukan rintihan ketiga anjing hitam dia lanjutkan ucapannya.

"Malam ini dia lolos dari kematian. Tapi aku pastikan usianya tidak akan lebih lama dari datangnya bulan purnama kedepan. Aku yakin ada seseorang yang telah menyuruhnya menyelamatkan diri. Tapi siapa?"

Tanya perempuan itu seolah ditujukan pada dirinya sendiri.

Perempuan itu terdiam.

Tiga anjing hitam yang menjadi kepanjangan tangan dalam setiap menjalankan keinginannya tiba-tiba dongakan kepala.

Tiga hidung yang bertengger di atas moncong lancip basah mengendus.

Menghadap ke arah angin yang datang dari utara.

Ketiga mahluk itu tiba-tiba keluarkan suara menggereng.

Sebagai orang yang sangat mengenali tabiat kebiasaan ketiga binatang itu si perempuan cantik tentu saja dapat mengerti makna setiap suara ketiga anjing tersebut.

"Hmm, jadi dia melarikan diri lalu pergi ke utara."

Kata perempuan itu sambil menatap tiga mahluk yang memandangnya.

Memang diantara perempuan dan tiga anjing yang selalu muncul dan menemaninya dimalam hari telah terjalin suatu ikatan batin yang kuat.

Sehingga walau salah satu atau tiga anjing itu memperdengarkan suara tertentu, perempuan muda berpakaian hitam ini ternyata dapat memahami maknanya.

Raja Gendeng 21 Perawan Bayangan Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wahai tiga mahluk sahabatku,"

Berkata perempuan berambut panjang ditujukan pada tiga anjing didepannya.

"Mengapa Ki Jangkung Reksa Menggala tidak mengungsi ke Kulon Watu Cadas sebagaimana yang dilakukan oleh kedua adiknya?"

Salah satu anjing menggereng lalu si perempuan manggut-manggut.

"Seseorang memintanya pergi ke utara. Begitu menurutmu?"

Gumam si rambut panjang.

"Utara daerah yang jarang kita sambangi.Ada beberapa sesepuh yang sangat disegani berdiam di sana.Salah satunya adalah Gusti Ratu Penguasa pantai utara. Tapi perburuan ini belum berakhir dan dimanapun orang itu berada harus kita cari tanpa terkecuali."

"Tidak ada gunanya lagi kita berlama- lama ditempat ini.Sebaiknya kita pergi, kita harus menyusun rencana. Setiap orang tidak terkecuali siapapun orangnya yang pernah berurusan denganku dimasa lalu harus kita singkirkan secepatnya. Mereka harus diberi hukuman yang setimpal!"

Geram perempuan itu.

Sebagai jawaban tiga anjing keluarkan suara lolong panjang.

Tidak lama kemudian tiga mahluk itu berkelebat ke arah lenyapnya perempuan cantik yang selalu mereka ikuti.

******

Kulon Watu Cadas terletak di ujung barat Karang Ngampel.
Pagi hari saat matahari sembulkan diri diufuk langit sebelah timur suasana dikawasan itu terasa Sunyi namun sejuk.

Dalam kesunyian sejauh mata memandang yang terlihat adalah hamparan bukit- bukit batu dan onggokan cadas.

Ditempat tertentu beberapa jenis tumbuhan liar tumbuh subur menghijau.

Tidak seluruh kawasan Kulon Watu Cadas merupakan sebuah daerah gersang.

Terbukti agak disebelah utara terdapat sebuah sungai berair jernih selayaknya kaca.

Dan ketika matahari pagi merambat naik mengikuti titik edarnya, Ditepi sungai yang jernih dipenuhi bebatuan.

Seorang pemuda berpakaian kelabu berambut gondrong sebahu terlihat duduk disana sambil membasuh diri. Tidak lama setelah selesai membasuh wajah dan mengeringkan rambut panjangnya, si pemuda yang tak lain Sang Maha Sakti Raja Gendeng adanya segera hendak tinggalkan tempat itu.

Tapi segala keinginannya terpaksa diurungkan begitu mata sang pendekar melihat sebuah benda berbentuk bulat mirip dengan kelapa timbul tenggelam terseret arus sungai yang tidak begitu deras.

Karena air sungai dalamnya hanya setinggi lutut dan jernih pula.

Tentu saja Raja dibuat terkejut ketika melihat benda yang timbul tenggelam yang terbawa arus itu ternyata adalah potongan kepala manusia.

Terdorong oleh rasa kaget, heran bercampur keingintahuan membuat Raja segera melesat ke atas bebatuan di tengah sungai tempat dimana potongan kepala itu berada.

Begitu kaki menjejak batu, dengan tubuh sedikit membungkuk tangannya bergerak menyambar ke dalam air.

Wuus!

Raja berhasil meraih potongan kepala itu.

Kepala diangkat dengan memegang rambutnya yang putih laksana perak.

Sesaat dia memperhatikan bagian wajah.

Raja tertegun ketika mengetahui potongan kepala ditangannya adalah kepala milik seorang kakek.

Yang membuat Raja bergidik ngeri adalah ketika dia melihat sepasang mata kepala tanpa badan dalam keadaan melotot ketakutan, mulut ternganga tanpa lidah dan didalam rongga mulut yang terbuka dipenuhi genangan darah kental.

Raja segera membawa potongan kepala ke tepi sungai.

Namun baru saja kakinya menjejak pinggiran sungai itu.

Tiba-tiba saja dia mendengar suara berdesis.

Ketika sang pendekar menatap ke arah kepala dalam genggamannya.

Dia melihat kepala tanpa tubuh itu mengeluarkan kepulan asap menebar bau daging hangus terbakar.

Terkejut tidak mengerti dengan segala keanehan yang terjadi.

Dengan gerakan cepat dia campakan benda mengerikan ditangannya ke tanah.

Potongan kepala menggelinding, kepulan asap tambah menebal.

Bersamaan itu terdengar pula suara

grek...!

grek...!

Kepala bergoyang dan menggeletar hebat lalu...

Blaar!

Kepala meledak hancur menjadi kepingan.

Raja melompat mundur sekaligus terhenyak.Beberapa saat dia hanya terdiam terpaku sementara tatap matanya memandang penuh rasa tidak percaya dengan segala keanehan yang terjadi didepannya.

"Kakek tua yang malang. Siapa yang telah menghabisinya dengan cara demikian keji? Apa dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya?"

Membatin Raja setelah dapat menguasai diri.

Tak lama setelah memperhatikan puing-puing batok kepala serta otak hangus yang berserakan.

Sang Maha Sakti Raja Gendeng segera layangkan pandang ke jurusan hulu sungai dimana tempat potongan kepala terbawa arus.

"Kepala berasal dari sana. Kemungkinan bagian tubuhnya ada di hulu sana. Jika aku ikuti sungai ini ke arah hulu, kemungkinan besar aku bisa menemukan potongan tubuh juga mencari tahu mengapa kakek itu dibunuh dan siapa pula yang membunuhnya!"

Berpikir sejauh itu.Raja pun kemudian melangkah cepat telusuri tepian sepanjang sungai.

Bagian hulu sungai ternyata berakhir di sebuah tebing batu.

Di bawah tebing terdapat sebuah lubang sepemasukan tubuh orang dewasa.

Dari lubang itulah sumber mata air utama yang mengalir hingga ke hilir.

Raja memperhatikan sumber mata air sekilas. Dia berpikir mungkin saja ada gua tersembunyi di balik dinding tebing itu.

Namun dugaan itu tidak menggerakkan hatinya untuk melakukan sesuatu. Semua perhatian sang pendekar justru lebih tertuju ke arah dinding tebing sebelah kirinya.

Di bawah tebing sebelah kiri dia melihat ada jalan setapak memasuki sebuah celah sempit yang dipisahkan oleh bukit tandus.

Tanpa membuang waktu pemuda ini melangkah menuju ke sana.

Celah yang lebarnya tak lebih dari dua kali tubuh orang dewasa ini ternyata mengarah pada sebuah gua tersembunyi.

Melihat sekilas gua itu memang menjadi tempat yang baik untuk bersembunyi. Namun sebelum Raja memutuskan untuk masuk ke dalam gua, dia melihat ceceran darah di depan gua.

Pemuda itu segera jongkok, sejenak dia memperhatikan ceceran darah sedangkan hidungnya mengendus berusaha membaui.

"Jelas! Darah ini adalah darah manusia!"

Batin Raja sambil bangkit berdiri.

Lalu dia layangkan pandang ke dalam bagian gua.

Dia melihat ada nyala pelita di dalam gua itu pertanda ada seseorang yang tinggal di sana.

Sambil menghela nafas Raja melangkah dekat mulut gua itu.

Setelah sampai di depan mulut gua sambil bersikap waspada dari segala kemungkinan pemuda itu berucap.

"Siapa pun yang berdiam di dalam gua ini. Aku Sang Maha Sakti Raja Gendeng memohon restu hendak masuk ke dalam. Aku tidak bermaksud mengganggu. Kedatanganku hanya ingin menanyakan sesuatu yang cukup penting!"

Setelah berkata demikian sang pendekar menunggu.

Tidak terdengar adanya jawaban.

Kesunyian sesekali dipecahkan oleh suara desau angin yang menghempas celah dua lamping tebing yang membentang dikedua sisi jalan setapak itu.

Dengan bersabar diri sang pendekar menunggu.

Kemudian dia mengulangi ucapan yang sama.

Karena dari dalam gua tidak kunjung terdengar jawaban juga. Raja memutuskan masuk ke dalam gua.

Sambil melangkah kaki mulut terucap.

"Lebih baik aku masuk saja. Terserah penghuni gua nantinya mau berkata apa. Aku sudah meminta izin. Tapi tidak ada yang menjawab. Mungkin penghuni tempat ini terdiri dari orang-orang tuli. Siapa peduli!"

"Paduka Gusti Raja Gendeng!"

"Eeh, kaukah yang bicara lewat suara mengiang itu Jiwa penghuni hulu pedang ?"

Tanya Raja sedikit terperanjat

"Benar paduka. Saya jiwa penghuni pedang. Bukan jiwa perempuan yang ikutan bergabung yang tinggal bersama saya."

Raja tersenyum. Teringat olehnya Jiwa Perempuan mahluk baru yang kini tinggal di dalam hulu pedang Gila.

"Bagaimana keadaan perempuan itu. Apakah dia kerasan tinggal dalam satu ruangan bersamamu?"

Tanya sang pendekar sementara bibirnya tetap menyunggingkan senyum

"Perempuan cerewet itu nampaknya sudah kerasan tinggal dalam ruangan bersama saya paduka.Cuma sejak dia menetap bersama saya, waktu saya untuk istirahat jadi terganggu. Beberapa hari belakangan saya jadi kurang tidur?" keluh sang Jiwa sahabat Raja.

"Begitu. Bukankah dengan adanya jiwa perempuan bersamamu, kau tidak lagi kesepian. Kau bisa berhangat-hangat, sementara aku berdingin-dingin sambil memeluk mimpi buruk. Mengapa malah mengeluh? Apakah jiwa perempuan yang cantik itu bersikap dingin padamu?"

Sindir Raja sambil menahan tawa.

"Paduka bicara apa? Kami tidak mengenal arti sebuah kemesraan karena kami hanya jiwa. Setiap jiwa yang tidak mempunyai tubuh kasar tentunya- tidak memiliki nafsu."

Tukas jiwa Pedang.Raja manggut-manggut sementara mulutnya sempat melongo.

"Aku baru mengerti. Kalau demikian buat apa ada jiwa perempuan cantik bersamamu. Tanpa nafsu dan keinginan sampai lumutan pun diantara kalian tidak bakal ada rasa saling tertarik."

Gumam sang pendekar

Raja Gendeng 21 Perawan Bayangan Rembulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Itulah kenyataan yang berlaku dalam kehidupan dunia kami. Tetapi memang ada sedikit yang membuat saya terganggu,"

Jawab Jiwa.

"Apakah dia mengganggu waktu istirahatmu?"

Tanya Raja.

"Bukan. Saya merasa terganggu karena jiwa perempuan tidurnya selalu mengigau dan mendengkur. Nafasnya selalu berbunyi seperti seruling batang padi."

Jelas sang jiwa. Penjelasan jiwa pedang tentu saja membuat Raja tak kuasa menahan tawa.

"Oh ho ho. Bagus itu. Harusnya kau merasa terhibur karena mendengar nafasnya seperti seruling. Anggap saja suara dengkurannya sebagai gendang. Jadi jangan menganggap suara apapun yang keluar dari jiwa perempuan sebagai gangguan. Lebih baik anggap saja sebagai pengganti irama tetabuhan dan gamelan yang merdu."

"Aduh Paduka ini bukannya membela kepentingan saya. Paduka malah menganggap keluhan aya sebagai gurawan."

"Makanya jangan terlalu diambil hati. Jika selalu memikirkan segala gangguan yang ditimbulkan jiwa perempuan nanti kau bisa jadi kurus dan mati mengenaskan. Lagi pula jiwa perempuan mengorok dan mendengkur bukan atas keinginannya sendiri."

Kata Raja, Jiwa Pedang terdiam. Raja pun kemudian lanjutkan ucapannya.

"Jiwa sahabatku, aku harap nantinya kau tidak usah lagi berkeluh kesah. Saat ini aku sedang berusaha mencari tahu keberadaan bagian tubuh dari potongan kepala yang kutemukan ditengah sungai."

Terang Raja.

"Saya tahu. Saya tidak akan mengeluh lagi. Tapi satu lagi kebiasaan buruk jiwa perempuan yang perlu saya katakan pada paduka."

Kata sang jiwa

"Kebiasaan buruk apa lagi?"

Tanya Raja dengan kening berkerut tanda tidak mengerti.
Sepi sejenak.

Raja merasa sepertinya Jiwa Pedang ragu untuk menjawab pertanyaan.

Setelah didesak barulah Raja mendengar suara mengiang lirih terkesan malu-malu di telinganya.

"Jiwa perempuan tidurnya suka mengangkang. Selain itu mulutnya yang-bau jengkol kerap terbuka melongo."

"Ha ha ha Bagus itu jadi kau bisa melihat pemandangan bebas. Kalau-aku jadi kau bisa-bisa aku mementang mata sepanjang malam!"

Sahut sang-pendekar diringi gelak tawa.

"Paduka sungguh keterlaluan. Saya bukan laki-laki mata keranjang." dengus mahluk halus penghuni pedang jengkel.

"Makanya jangan bicara menyangkut urusan pribadi. Kekurangan yang lain tak perlu kau utarakan. Lagi pula bagimana kalau ucapanmu atau ucapanku sampai didengar oleh jiwa perempuan."

"Dia tidak akan mendengar karena saat ini saya lihat jiwa perempuan masih tidur. Yang merepotkan air liurnya mengalir kemana-mana."

"Sudah bersihkan saja. Siapa tahu suatu saat kelak air liur jiwa perempuan laku dijual. Ha...ha.." kata sang pendekar seenaknya sendiri.

Jiwa sahabatnya menggerutu. Namun gerutuan jiwa penghuni pedang itu hanya samar ditelinga sang pendekar. Sampai kemudian tawa Raja lenyap dan langkahnya terhenti saat matanya melihat satu pemandangan mengerikan di tengah ruangan gua.

"Paduka, ada apa? Jantung paduka berdegup keras, aliran darah bergemuruh laksana curah air terjun."

Tanya jiwa sahabatnya.

"Jangan berlebihan. Kau ada-ada saja. Mana ada darah manusia yang mengalir bergemuruh seperti air terjun."

Tukas Raja.

"Lihat ke depan sana. Keluarlah dari tempatmu.!"

"Baiklah Paduka."

Jawab jiwa pedang. Raja kemudian merasakan ada desir angin halus melintas di samping telinganya.

"Kau sudah keluar dari ruangan butut tempat tinggalmu?"

"Paduka sudah tahu. Apakah Paduka ingin saya memeriksa dua sosok yang tergeletak di lantai gua ini?"

Tanya jiwa.

"Sebaiknya kita memeriksa bersama-sama."

Tukas Raja.

"Apapun yang menurut paduka baik, saya pasti selalu mengikuti."

Sahut jiwa penghuni pedang tanpa ragu.

Dua sosok yang tergeletak dilantai gua itu tak lain adalah dua tubuh yang dipenuhi luka cabik bermandikan darah.

Satu diantaranya seorang kakek berambut dan berwajah hijau.

Raja memperkirakan kakek ini berusia sekitar tujuh puluh tahun.

Sedangkan kakek yang mempunyai benjolan berupa punuk di atas bahunya kemungkinan juga seorang kakek yang usianya tidak terpaut jauh dari kakek berwajah hijau

"Paduka! Orang berpunuk ini mengalami luka cabikan disekujur tubuh. Selain itu dadanya robek besar dan kepalanya juga raib entah kemana."

Kata jiwa penghuni pedang.

Tidak seperti biasanya, sang Jiwa yang selalu bicara dengan suara mengiang kali ini berucap dengan suara tercekat.

Sang Maha Sakti Raja Gendeng diam membisu. Seumur hidupnya dia belum pernah melihat orang terbunuh dengan keadaan mengerikan seperti itu. Raja pun belum bisa menduga siapa pembunuh keji berdarah dingin yang melakukan pembantaian dengan cara seperti binatang buas itu.

Apakah manusia yang melakukannya ataukah binatang. Hilangnya kepala yang seharusnya bertengger pada laki-laki berpunuk segera mengingatkannya pada potongan kepala yang ditemukannya disungai.

"Dua orang yang terbunuh ini semuanya sudah tua. Aku menemukan potongan kepalanya seperti sengaja dihanyutkan disungai."

Gumam Raja sambil memperhatikan segenap penjuru ruangan gua.

"Ada dua pelita menempel di sudut sebelah kiri dan sebelah kanan dinding gua. Tidak ada perabotan terkecuali dua buntalan besar. Ini berarti orang yang terbunuh bukan penghuni tetap gua itu melainkan orang yang mungkin kemalaman dan menggunakan gua sebagai tempat istrahat.Jiwa sahabatku. Coba kau periksa isi kedua buntalan itu!"

Perintah Raja.

"Baiklah Paduka. Perintah Gusti segera saya laksanakan!"

Jawab jiwa Pedang Gila.

Masih dengan berdiri tegak ditempatnya.

Raja memperhatikan ke arah kedua buntalan itu.

Dia lalu melihat satu demi satu buntalan bergerak- gerak, Raja maklum jiwa sahabatnya sedang melakukan tugasnya.

Sementara menunggu jiwa menyelesaikan tugasnya perhatian Raja kini tertuju ke arah sebuah tongkat berwarna hijau dan sebuah batok hitam terbuat dari tempurung kelapa.

Tertarik dengan keberadaan kedua benda itu.

Sang pendekar pun datang menghampiri.

Tongkat dan batok dipungutnya.

Ketika kedua benda berada dalam genggamannya.

Tiba-tiba saja kening Raja mengernyit.

Dia merasakan ada hawa panas mengalir dari tongkat sedangkan dari batok membersitkan hawa dingin sejuk

"Hmm, ternyata tongkat dan batok ini bukan benda biasa. Kedua benda ini merupakan dua senjata yang menyimpan kesaktian yang cukup tinggi, Pemiliknya pastilah salah satu diantara dua orang terbunuh itu."

Pikir Raja sambil layangkan pandang ke arah dua mayat kakek yang tidak dikenalnya.

Tidak berselang lama setelah memperhatikan dua mayat didepannya.

Kini mata Raja kembali tertuju pada dua senjata yang biasa dipergunakan oleh kaum pengemis itu.

Penasaran dia mengendus batok di tangan kiri, lalu mengendus tongkat hitam.

"Mengapa mereka dibunuh dan siapa pula pem bunuhnya?"

Pikir sang pendekar terdiam.

Selagi pemuda itu bingung mencari tahu siapa pembunuh kedua kakek malang. Pada saat itulah terdengar suara ngiang di telinganya.

"Paduka. Dua buntalan itu berisi beberapa perangkat pakaian dan bekal makanan yang hanya cukup untuk kebutuhan satu hari. Semuanya dalam keadaan basah. Berarti mereka datang ke gua ini di tengah curah hujan lebat."

Pendekar Pedang Matahari 4 Neraka Pendekar Rajawali Sakti 108 Harga Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping

Cari Blog Ini