Ceritasilat Novel Online

Puteri Selubung Biru 1

Raja Gendeng 31 Puteri Selubung Biru Bagian 1


Raja Gendeng 31 Puteri Selubung Biru

****

Karya Rahmat Affandi

Sang Maha Sakti Raja Gendeng 31 dalam episode

Puteri Selubung Biru

*****


Team Kolektor E-Book

Buku Koleksi : Denny Fauzi Maulana

(https.//m.facebook.com/denny.f.maulana)

Scan,Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo

(http.//ceritasilat-novel.blogspot.com)

Dipersembahkan Team
Kolektor E-Book

(https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook)

Spesial thank to : Awie Dermawan

*****

Lima kakek duduk berdampingan dalam posisi membentuk lingkaran dengan beralaskan batu bundar pipih.

Ruang terbuka pendopo tanpa atap tanpa dinding terasa hening dalam kesunyian yang mencekam.

Setiap pasang mata terpejam.

Kaki duduk bersila menyentuh lantai pendopo dingin yang terbuat dari lempengan batu marmer hitam.

Dua tangan diangkat didepan dada selayaknya orang yang memanjatkan doa.

Dinginnya angin berhembus menerpa kawasan Puncak Akherat disebelah selatan puncak Gunung Bismo tidak dihiraukan oleh kelima kakek yang rata-rata usianya diatas seratus tahun ini.

Malam yang dingin serasa merayap dengan lambat.

Kelima kakek yang tengah bergabung dalam semedi terus saja memanjatkan doa puji-pujian pada dewa di swargaloka dengan segenap perasaan tulus.

Ditengah kesunyian tiba-tiba salah satu kakek berpakaian putih berupa dan jubah bertubuh tinggi tegap membuka mulut.

Kemudian dari mulut yang terbuka terdengar ucapan.

"Para dewa di swargaloka. Kami lima tokoh mohon kabar. Sebelumnya kami telah berusaha menjajaki keberadaan sahabat kami Ariprahmana. Tokoh ke tujuh yang terpaksa turun gunung untuk memastikan kebenaran kabar terbunuhnya para tokoh yang menjadi sahabat kami! Mata batin kami ternyata tidak kuasa menembus memastikan keberadaan sahabat kami itu. Dan sekarang wahai para dewa kami berlima menunggu kepastian. Sahabat kami satunya lagi yang sedang mencari tokoh ke tujuh juga belum kembali. Mohon terangkan pada kami, berilah kami tanda bagaimana keadaan mereka. Kami siap menerima atau mendengar kabar yang paling buruk sekalipun!"

Kata si kakek gemuk gendut yang dikenal dengan nama Ki Sabda Lanang.

Empat kepala yang duduk disekelilingnya dengan tenang mendengarkan permohonan tokoh yang berada di urutan kelima dari Tujuh Tokoh Sakti dari Puncak Akherat itu.

Kelima orang ini kemudian menunggu.

Lima wajah yang bening berwibawa terlihat gelisah ketika tiba-tiba terdengar suara menderu disertai suara berdesir membelah langit malam.

Lima tokoh tersentak.

Dalam waktu hampir bersamaan kelimanya membuka mata masing- masing.

Tanpa kata mereka sama dongakkan kepala menatap ke langit, tempat dari mana suara datang.

Mereka melihat dilangit sebelah utara ada satu cahaya melesat memancarkan cahaya berwarna putih terang, Benda sepanjang tiga jengkal itu terus melesat ke arah dimana kelima orang tua ini berada.

Walau wujud benda masih samar, namun mereka segera bisa mengenali bahwa benda yang melayang diketinggian itu tak lain adalah sebuah senjata mustika seruling milik tokoh yang ke Tujuh.

"Seruling Naga! Dia kembali tanpa disertai kehadiran pemiliknya!"

Desis Tokoh pertama dari tujuh tokoh dari Puncak Akherat.

Empat kakek lainnya terus pandangi benda itu.

Dan ketika mencapai tempat yang dituju, Seruling Naga kemudian meluncur deras ke bawah lalu jatuh dalam posisi tegak tepat ditengah lingkaran tempat kelima tokoh berkumpul.

Lima pasang mata pusatkan perhatian lurus-lurus ke arah seruling.

Benda didepan mereka tidak lagi memancarkan cahaya.

Hawa yang keluar dari seruling juga terasa dingin, tidak hangat sebagaimana yang seharusnya.

Mel?hat kenyataan ini lima tokoh menjadi kaget.

Setiap tokoh menyadari sesuatu yang sangat buruk pasti telah terjadi atas diri Ariprahmana.

Sebagai tokoh paling tua, tanpa banyak pikir Resi Amarta segera menjangkau seruling sakti itu.

Setelah seruling berada dalam genggaman tangannya maka didekatkan benda itu ke wajahnya.

Hidungnya kemudian mengendus berusaha membau sesuatu.

Empat tokoh lainnya menunggu dengan hati berdebar.

"Aku mencium bau amis darah. Seruling ini juga telah kehilangan hawa kehidupan dari pemiliknya!"

Menerangkan Resi Amarta. Empat tokoh saling pandang. Kakek berpakaian ungu yang merupakan tokoh ke empat dan bernama Ki Lintang Geni segera memberi tanggapan.

"Jika itu merupakan tanda-tanda buruk dari seruling. Berarti sahabat kita Ariprahmana telah menemui ajal.!"

"Lalu siapa yang telah membunuhnya?"

Tanya kakek berpakaian biru yang dikenal dengan sebutan Pendekar Langit

"Tidak ada seorang pun diantara kita yang tahu siapa orang yang telah membunuhnya."

Kata kakek berpakaian Hijau sang tokoh ketiga yang dikenal dengan nama Mandang Jati.

"Kita harus turun gunung. Kita tidak perlu lagi diam berlama-lama di Puncak Akherat ini. Jenazah Ariprahmana harus kita cari dan temukan bagaimanapun keadaannya!"

Ujar Ki Lintang Geni merasa prihatin dan sangat terpukul.

"Tanpa petunjuk?"

Tukas Resi Amarta.

"Petunjuk satu-satunya ada ditanganmu kakang!"

Menyahuti Ki Sabda Lanang. Lalu kakek gemuk tinggi yang sangat dikenal dengan sabda- sabdanya yang kocak dan kerap bertingkah lucu itu memberi isyarat pada tokoh pertama.

"Berikan seruling sakti itu padaku!"

Pinta kakek yang dikenal banyak akal itu.

Walau tidak mengerti apa yang hendak dilakukan Ki Sabda Lanang pada seruling, namun tanpa ragu Resi Amarta segera ulurkan tangan serahkan seruling ditangannya.

Disertai tatapan tidak mengerti ke empat tokoh lainnya, Ki Sabda Lanang memegang seruling ditangan kanan.

Ujung seruling yang menghadap ke atas lalu ditetakkan di depan keningnya yang lebar.

Seiring dengan itu mulut si kakek yang dower menggelantung disebelah bawah mirip sarang lebah yang bergelayut dicabang pohon, berkemak-kemik.

Ujung seruling yang menempel dikening diturunkan, lalu ditusukkan kemata sebelah kanan hingga amblas masuk ke dalam rongganya.

Empat tokoh yang menyaksikan kelakuan K Sabda Lanang sama bergidik.

Sambil menahan nafas dalam hati masing-masing berdoa semoga Ki Sabda Lanang tidak kehilangan biji matanya.

Kenyataannya walau ujung seruling menembus amblas kedalam bola matanya.

Namun tidak terlihat ada darah yang mengucur.

Cairan putih bening yang memenuhi bola mata juga tidak ada yang meleleh keluar.

Disaat suasana tegang menyelimuti diri empat sahabatnya, tiba-tiba dari mulut Ki Sabda Lanang terdengar ucapan lirih namun jelas.

"Aku telah mengadakan tali sambung mata batin dengan seruling milik sahabat kita. Aku sudah melihat siapa yang membunuhnya! Aku juga melihat dimana sahabat kita menemui ajal. Tapi aku tidak melihat jasad kasarnya. Yang kulihat cuma puing- pulng tubuh yang dikobari api, berserakan seperti buah pohon kapas, terkelupas kulit pembungkusnya lalu berserakan diterbangkan angin!"

"Astaga! Jadi sahabat kita tokoh ke Tujuh menemui ajal dengan cara mengenaskan? Tubuhnya hancur menjadi serpihan. Ilmu keji apa yang dimiliki lawannya?"

Sentak Ki Lintang Geni tidak kuasa menyembunyikan rasa kagetnya

"Jahanam itu siapapun dia pasti juga orang yang sama yang telah menghabisi beberapa tokoh yang masih segolongan dengan kita!"

Geram Pendekar Langit sambil kepalkan tinjunya. Resi Amarta dan Mandang Jati lebih memilih diam. Sementara itu Ki Sabda Lanang tiba-tiba menyela.

"Aku belum selesai bicara. Yang kulihat masih jauh lebih banyak dari yang sudah kuterangkan....!"

"Baiklah, lanjutkan ceritamu, katakan apa saja yang kau lihat dengan mata batinmu.! "

Ujar Resi Amarta.

Ki Sabda Lanang anggukkan kepala. Seruling yang amblas dirongga mata sebelah kanan berputar-putar hingga membuat orang yang melihatnya merasa miris dan ngilu. Kakek itu sendiri malah terlihat senyum-senyum

"Hem... dengan begini mataku terasa lebih nyaman dan penglihatan batinku tambah terang."

Gumam Ki Sabda Lanang. Setelah terdiam dia kembali lanjutkan ucapan.

"Sahabat tokoh ke Tujuh tewas dibunuh oleh seorang pemuda ingusan berpakaian biru. Dan dia dibunuh dengan... dengan...."

Suara Ki Sabda Lanang tiba-tiba tercekat seperti tercekik ditenggorokan, membuat empat tokoh yang berada disekelilingnya terkejut.

"Dia dibunuh dengan apa?"

Tanya Pendekar Langit tidak sabar.

"Dia dihabisi bukan dengan menggunakan senjata. Pemuda itu...entah bagaimana tubuhnya memancarkan sesuatu. Sesuatu yang sangat aneh berbentuk huruf-huruf aksara kuno. Aksara itu jumlahnya ratusan, memancarkan ratusan cahaya yang jauh lebih tajam dari pedang, lebih panas dari lahar gunung dan lebih mematikan dari topan prahara!"
Raja Gendeng 31 Puteri Selubung Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Anehnya, ada orang tubuhnya bisa pancarkan aksara dalam bentuk cahaya. Jangan-jangan...!"

Mandang Jati tidak sempat selesaikan ucapan karena tiba-tiba Resi Amarta memotong ucapan kakek itu dengan berkata,

"Tunggu! Sepertinya aku ingat sesuatu...!"

"Sesuatu apa?"

Tanya Ki Lintang tidak sabaran

"Aku yakin kalian pasti pernah mendengar tentang sebuah kitab hebat yang dulu sempat membuat kegegeran di rimba persilatan. Iblis Kolot bahkan mencari kitab itu didelapan penjuru bumi..."

"Oh ya. Kitab yang dicari manusia sesat itu bernama Kitab Aksara Iblis."

Menyahuti Pendekar Langit yang segera disambut anggukkan kepala Mandang Jati dan Ki Lintang Geni.

"Iblis Kolot telah mati. Kita menjadi saksi bahkan ikut melempar mayatnya ke jurang!"

Kata Resi Amarta.

"Aku tahu, kalau dia mati maksudku benar benar mati tidak jadi masalah. Tapi bagaimana bila dia masih hidup? Jurang Watu Remuk Raga sangat dalam. Kita tidak pernah memeriksa kebagian dasarnya waktu itu."

Ujar Ki Lintang Geni pula.

"Jika Iblis Kolot ternyata masih hidup dan ternyata mempunyai murid. Aku yakin muridnya telah mewarisi isi kitab Aksara Iblis!"

Timpal Pendekar Langit

"Aku juga berpikir demikian. Pemuda itu kemungkinan telah mewarisi ilmu Aksara Iblis.Dari mana pun dia mendapatkan ilmu tersebut tidak perlu di persoalkan. Aku juga tidak perduli seandainya Iblis Kolot benar-benar masih hidup. Yang aku risaukan bagaimana caranya menghentikan tindak kejahatan yang dilakukan pemuda itu.!"

Kata Ki Sabda Lanang.

"Mengenai pemuda yang telah membunuh Ariprahmana sahabat kita itu. Kita bisa memikirkannya nanti. Sekarang yang ingin kami ketahui, apa lagi yang kau lihat melalui mata batinmu?!"

Tanya Mandang Jati.

Ki Sabda Lanang terdiam.

Seruling ditangannya diputar tiga kali, hingga bagian ujung satunya lagi ikut berputar menimbulkan suara grek-grek mengerikan. Gerakan memutar seruling dihentikan.

Tubuh Ki Sabda Lanang tiba-tiba bergetar.

Dari ubun-ubun kakek itu mengepulkan asap tipis berwarna kelabu.

Semua orang menatapnya dengan perasaan tegang hati bertanya-tanya.

"Kekacauan! Aku melihat kekacauan yang sangat luar biasa. Aku melihat orang kawin.....!"

"Hah, apa? Orang kawin?"

Sentak Resi Amarta.

"Bagaimana orang kawin bisa membuat kekacauan besar. Setahuku orang kawin cuma membuat keributan ditempat tidur!"

Timpal Ki Lintang Geni hingga membuat tiga kakek yang berada disekelilingnya tak kuasa menahan tawa. Tampang Ki Sabda Lanang berubah mengelam. Sambil bersungut-sungut dia menegaskan,

"Maksudku setelah perkawinan terjadi. Kekacauan yang diakibatkan oleh pernikahan itu juga mulai terjadi."

Empat kakek tersenyum sambil manggut-manggut.

Semua orang kemudian terdiam memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh Ki Sabda Lanang. Tidak dapat menahan diri akhirnya Pendekar Langit ajukan pertanyaan.

"Aku masih belum mengerti siapa yang telah melangsungkan perkawinan itu!"

"Aku juga tidak tahu. Urusan kawin mengawini urusan juru nikah. Semua yang kulihat lewat mata batinku hanya yang berhubungan dengan akibat setelah perkawinan terjadi."

Jawab Ki Sabda Lanang polos

"Hmm, mengenai kekacauan seperti yang disebutkan oleh Ki Sabda Lanang sebaiknya kita abaikan saja dulu."

Ujar Ki Lintang Geni.

"Lalu kau ingin kita bersikap bagaimana?"

Tanya Resi Amarta. Mendengar pertanyaan Resi yang usianya mencapai seratus dua puluh lima tahun itu, kini semua mata tertuju padanya.

"Lebih baik kita mencari dan menemukan orang yang membunuh sahabat Ariprahmana! "

Jawab Ki Lintang Geni.

"Aku setuju!"

Tukas Pendekar Langit.

"Kalau begitu!"

Sahut Resi Amarta. Orang tua ini lalu melirik ke arah Ki Sabda Lanang. Pada orang tua itu dia berkata,

"Ki Sabda Lanang.Sebaiknya kau hentikan tali sambung rasamu dengan alam gaib.Cabut seruling dari matamu. Lama-lama aku melihatmu aku jadi tidak tega memandang matamu ditancapi seruling,Kalau sampai kebablasan dan matamu tidak bisa pulih bagaimana? Matamu nanti diganti dengan apa?"

Ki Sabda Lanang tersenyum namun hatinya kesal disindir seperti itu.

Sambil mencabut seruling enak saja dia berkata,

"Kalau mataku rusak tertancap seruling akibat tali sambung rasa yang aku lakukan.Bisa saja mata ini kuganti dengan mata kelelawar biar lebih terang atau mata kerbau biar lebih besar!"

Empat kakek geleng kepala.

Tanpa sadar secara bersamaan mereka menatap ke mata Ki Sabda Lanang yang tadinya amblas terbenam kedalam rongganya.

Merasa diperhatikan sambil tertawa-tawa Ki Sabda Lanang mengusap matanya tiga kali.

Begitu diusap, mata yang ditusuk seruling telah pulih kembali sebagaimana sebelumnya.

"Kau.... luar biasa. Ada saja kejutan yang kau berikan buat kami."

Gumam Resi Amarta. Kemudian sambil mengusap jenggotnya Resi ini melanjutkan ucapan,

"Kami selalu terhibur dengan tingkahmu walau terkadang kau sering membuat kami cemas. Tapi ketahuilah sekarang bukan waktunya bagi kita untuk bergurau."

"Apa yang dikatakan tokoh Pertama memang benar."

Ki Lintang Geni memberi dukungan.

"Kita sudah mengetahui salah satu sahabat telah terbunuh. Kita juga sudah tahu siapa yang membunuhnya. Seharusnya sekarang kita meninggalkan puncak Akherat untuk mencari dan membantu mengatasi masalah besar yang sedang melanda dunia persilatan. Tapi keinginan itu harus ditunda karena kita menunggu kembalinya tokoh ke Enam yaitu Elang Permana!"

"Aku khawatir telah terjadi sesuatu dengan dirinya."

Kata Mandang Jati kakek berambut putih yang usianya hampir seratus lima puluh tahun itu

"Dia kita tugaskan untuk menyusul Ariprahamana. Mudah-mudahan dia dalam keadaan baik-baik saja...!"

Ujar Ki Sabda Lanang.

Baru saja kakek gemuk berusia tiga ratus tahun ini berkata demikian.

Tiba-tiba saja terdengar suara pekikan melengking merobek dinginnya udara yang menyelimuti Puncak Akherat.

Semua orang yang sudah mengenali pemilik suara itu seketika dongakkan kepala dan sama menatap ke langit.

Saat itu langit cerah, biru terang bertabur bintang.

Suasana malam di puncak Akherat selayaknya siang hari saja.

Agak disebelah barat bulan mengambang pancarkan cahaya kuning emas. Semua orang kini dapat melihat diatas ketinggian terlihat seekor burung elang berukuran cukup besar berbulu putih abu-abu melayang berputar-putar mendekat ke arah mereka.

Sang elang yang bukan lain adalah binatang jelmaan Elang Permana kemudian hinggap diatas sebuah batu tidak jauh dari pendopo tempat dimana kelima sahabatnya menunggu.

Kiiek!

Sang elang keluarkan pekikan lirih sambil kipaskan kedua sayapnya dua kali berturut-turut.

Dua kali sayap mengibas.

Terdengar suara menderu disertai pancaran cahaya benderang.

Ketika pancaran cahaya sirna, sosok sang elang juga raib.

Sebagai gantinya.Di atas batu didepan mereka duduk seorang kakek berambut dan pakaian serba kelabu berumur tidak kurang dari seratus tahun.

Wajah orang tua itu nampak muram, mata menyiratkan rasa letih karena dia memang baru bepergian jauh.

"Apa yang kau dapat, Elang Permana?"

Tanya Resi Amarta yang tidak mau berlama-lama menunggu penjelasan orang.

"Aku tidak menemukan petunjuk apa-apa. Lain yang kucari lain yang saya dapat!"

Menjawab tokoh ke enam seadanya.

"Kau tidak menemukan Ariprahmana tidak mengapa. Kami sudah tahu bagaimana keadaan- nya."

Terang Ki Sabda Lanang. Dia lalu memperlihatkan seruling naga berwarna putih ditangannya pada Elang Permana. Melihat senjata milik Ariprahmana itu Elang Permana belalakan matanya. Si kakek bangkit berdiri, lalu berjalan bergegas menghampiri untuk selanjutnya bergabung dengan kelima sahabatnya.

"Senjata kembali, berarti orangnya sudah tiada!"

Desis Elang Permana yang sudah mengetahui riwayat seruling juga pemiliknya.

"Kau benar."

Menjawab Ki Sabda Lanang.

"Kita semua sudah tahu, bila suatu saat senjata ini kembali ke Puncak Akherat tanpa disertai pemiliknya. Berarti si pemilik seruling sudah tiada."

Ki Sabda Lanang kemudian menceritakan bagaimana dirinya baru saja mengadakan tali sambung rasa dengan mempergunakan perantaraan Seruling Naga. Mendengar penjelasan si kakek gendut tinggi, Elang Permana merasa sangat terpukul juga kehilangan.

"Semua ini mungkin juga kesalahanku. Berhari-hari aku mencari Ariprahmana namun aku tidak menemukannya!"

Ucap Elang Permana dengan suara parau tersendat

Raja Gendeng 31 Puteri Selubung Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak boleh berkata begitu dan berkecil hati. Lebih baik kita berdoa saja agar arwah sahabat Ariprahmana tenang dialam sana."

Sela Pendekar Langit

"Sebaiknya ceritakan saja kejadian lain yang kau ketahui. Kami seharusnya meninggalkan Puncak Akherat, tapi karena menunggu kedatanganmu kami terpaksa menundanya.Kebetulan sekali kau sudah datang.Nantinya kita bisa pergi bersama- sama!"

Kata Ki Lintang Geni.

Elang Permana anggukkan kepala tanda mengerti, Sambil menghirup nafas dalam-dalam ditatapnya sahabatnya silih berganti. Setelah itu si kakek membuka mulut.

"Dalam perjalanan mencari Ariprahmana aku menemukan bukti sahabat kita Randu Wulih memang terbunuh. Beberapa tokoh lain seperti kakek Giring Sabanaya juga terbunuh. Walau dia bukan tokoh seangkatan dengan kita, namun kita sama-sama mengetahui Giring Sabanaya sama-sama ikut terlibat dalam peristiwa penyerangan tiga gedung megah tempat tinggal Pendekar Sesat. Dari penyelidikanku kemudian juga aku ketahui, putera Pendekar Sesat yang bernama Pura Saketi ternyata masih hidup walau dia menceburkan diri ke Jurang Watu Remuk Raga sesaat setelah terkena panah Arimaja. Walau belum pernah bertemu langsung dengan pemuda itu tetapi aku sangat yakin pemuda itulah yang paling bertanggung jawab atas kematian sahabat dan orang yang sejalan dengan kita."

"Elang Permana!"

Ki Sabda Lanang tiba-tiba memotong.

"Kalau putera Pendekar Sesat adalah pemuda berpakaian biru berambut lurus kaku itu yang kau maksudkan. Berarti memang dia orangnya yang telah menghabisi Ariprahmana sebagaimana yang kulihat lewat mata batin."

Ya, pasti dia!"

Mandang Jati memberi dukungan.

"Jadi tunggu apa lagi. Sekarang juga kita harus berangkat. Kita tidak usah menggunakan kuda. Kita bisa menggunakan ilmu Berlari dalam Bayu untuk mempercepat perjalanan."

Kata Resi Amarta. Ki Sabda Lanang lalu bangkit dan sambil serahkan seruling Naga pada tokoh Pertama dia berkata,

"Ilmu Ajian Berlari Dalam Bayu memang ilmu yang bisa kita pergunakan untuk mempersingkat waktu mempercepat perjalanan. Tapi aku tidak mau seperti hantu atau iblis gentayangan.Aku tidak ingin menyalahi kodrat aturan. Karena ilmu itu bisa membuat kita lenyap. Aku ingin memilih menempuh cara biasa!"

"Apa maksudmu, Ki Sabda Lanang? Dan mengapa kau serahkan seruling ini padaku?"

Tanya Resi Amarta tidak mengerti. Ki Sabda Lanang tersenyum.

"Walau usiaku lebih tua dari usiamu, tapi disini kaulah yang paling dituakan. Kau boleh menyimpan seruling itu. Aku tidak suka menyimpan senjata milik orang yang sudah tiada. Sekarang kalian semua sebaiknya berdiri!"

Pinta kakek itu. Lima orang yang duduk berjejer melingkar sama bangkit. Setelah semuanya berdiri tegak, Ki Sabda Lanang tatap Elang Permana. Pada kakek itu dia berkata,

"Aku bukan dukun, bukan pula ahli nujum. Tapi hatiku mengatakan perjalanan kita bakal banyak menemui rintangan dan hambatan. Elang Permana awasi dan perhatikan kami dari ketinggian."

"Heh, apa? Jadi aku harus merubah wujud menjadi burung lagi?"

Ucap Elang Permana yang menganggap permintaan Ki Sabda Lanang sebagai keinginan yang berlebihan. Ki Sabda Lanang tertawa mengekeh.

"Mengapa? Kau tidak suka menjadi burung. Bukankah kau lebih beruntung jadi burung yang bisa terbang? Dari pada kami. Walau mempunyai burung kerjanya cuma tidur sepanjang waktu. Ha haha!"

Mendengar gurauan orang tua itu membuat empat kakek lainnya ikut tertawa. Elang Permana lalu tiba- tiba menyela.

"Tadi kau mengatakan para sahahat tidak usah menggunakan ajian Berlari Bersama Bayu. Kalau begitu mereka harus menggunakan ilmu apa?"

"Iya kita harus memakai ilmu apa?"

Tanya empat kakek hampir berbarengan.

"Ha ha ha! Jangan-jangan karena sudah tua kalian menjadi tolol semua. Bukankah lebih hebat bila kita menggunakan ilmu yang telah kuajarkan. Ilmu Membayangkan Suatu Tempat Jiwa Raga Sampai Ke Tujuan.!"

Terang si kakek membuat para sahabatnya melongo. Elang Permana yang sudah dibuat kesal oleh sikap Ki Sabda Lanang tak mau menunggu lagi.

"Silakan ikuti petunjuk gila kakek gendut itu. Aku merasa lebih baik terbang ke langit sekarang!"

Setelah berkata demikian, Elang Permana kibaskan kedua tangan ke bawah dengan gerakan mirip burung mengepakkan sayap.

Wuus!

Begitu dua tangan menderu ke bawah seketika Elang Permana lenyap berubah menjadi seekor elang berbulu kelabu.

Tanpa keluarkan suara apa-apa elang itu melesat tinggi ke udara.

Melihat Elang Permana telah terbang diatas mereka, Ki Sabda Lanang berseru,

"Lihat! Si burung pintar sudah terbang tinggi, tidak seperti si burung bodoh milik kita. Aku sudah mengatakan pergunakan ilmu kesaktian, Membayangkan Suatu Tempat Jiwa Raga Sampai Ke Tujuan."

"Tapi...!"

Pendekar Langit tampak ragu.

"Tapi apa? Apa sulitnya mengangkat dua tangan ke atas, kepala lalu digoleng, pinggul digoyang dimegal-megol. Setelah itu kalian sampai ke tempat yang dituju!"

Terang Ki Sabda Lanang cemberut

"Baiklah!"

Resi Amarta mengalah.

Dia lalu memberi isyarat pada tiga kakek lainnya.

Selanjutnya sebagaimana yang telah diajarkan Ki Sabda Lanang, para kakek ini melakukan gerakan- gerakan aneh.

Tangan diangkat ke atas, kepala digeleng-geleng, tubuh meliuk, pinggul bergoyang selayaknya orang menari.

Walau gerakan-gerakan yang dibuat mereka terkesan lucu.

Namun dalam waktu sekejab tubuh mereka melesat laksana terbang.

Ki Sabda Lanang tertawa terkekeh.

Sambil menggerakan tubuhnya sendiri dengan gerakan yang sama persis dengan yang dilakukan empat kakek, si kakek gendut ini berkata,

"Pergilah ke tempat tujuan.Sekumpulan kakek gila mau lewat, orang cantik tanpa kepala menyingkir terbirit-birit Ha ha ha...!"

Ki Sabda Lanang pun kemudian melesat dengan kecepatan laksana terbang dengan diiringi gelak tawa berderai.

*****

Disebelah tenggara bukit tugu, tak jauh dari Kali Kresek ada sebuah tempat aneh angker dikenal dengan nama Bukit Keramat Lembah Dewi.

Setiap waktu ditempat ini selalu terdengar suara menderu.

Suara menderu itu berasal dari pusaran angin abadi yang mengitari kawasan itu.

Setiap kali pusaran angin datang melanda bukit, benda-benda berupa bebatuan, pasir, tanah dan debu tergilas, terkikis hingga akhirnya melayang beterbangan lenyap entah kemana.

Pagi itu disaat matahari belum munculkan diri dari balik peraduannya.

Dari arah sebelah utara Bukit Keramat Lembah Dewi terlihat empat sosok bayangan berkelebat melewati sebuah padang pasir luas.

Keempat sosok bayangan yang ternyata terdiri dari empat pemuda bertelanjang dada bertubuh tegap bercelana putih itu berlari seperti berkejaran, dua didepan yang dua lagi mengikut agak disebelah belakang.

Sambil berlari cepat ke empat pemuda itu memikul sebuah tandu besar beratap dan berdinding biru.

Bagian pintu tandu tertutup selembar kain tipis berupa renda berwarna kuning keemasan.

Walau tandu dalam keadaan kosong, namun alat yang biasa dipergunakan untuk membawa orang yang sangat dihormati itu sebenarnya sangat berat sekali.

Tapi bagi keempat pemuda tandu yang berat tidak menjadi halangan mereka dalam berlari. Tidak selang beberapa lama ke empat pemuda ini sampailah di depan Bukit Keramat Lembah Dewi. Saat itu deru pusaran angin sedang menggila.

Empat pemuda tegap berwajah tampan memutuskan untuk tidak lebih mendekat lagi ke arah bukit sebab bukit tampak menghitam tertutup pusaran angin.

Sambil membungkuk tandu biru lalu diturunkan.

Setelah itu masing-masing melangkah ke depan, berjejer membentuk barisan kesamping.

Empat pemuda lalu jatuhkan diri, dua tangan dirangkapkan didepan dada sambil tundukkan kepala sebagai sikap menghormat.

Mereka sama berkata,

"Wahai Junjungan yang kami hormati dan sangat dimulia- kan. Kami empat pengiring, empat manusia kembaran tidak bermama datang menghadap! Panggilan Junjungan telah kami penuhi. Apapun kepentingan sang Junjungan diluar sana di rimba persilatan bukan menjadi urusan kami. Tugas kami hanya mengantar tidak perduli walau seandainya sang Junjungan hendak berpelesiran ke Akherat!"

Empat mulut seusai bicara kembali mengatup.

Empat pemuda kembaran yang menamakan diri sebagai Pengiring kemudian menunggu dengan jantung berdebar-debar.

Penantian mereka tidak berlangsung lama.

Tiba-tiba saja ditengah suara deru terdengar suara Pret tiga kali berturut-turut.

Suara itu seperti suara yang keluar dari bagian tubuh sebelah bawah.

Suara deru pusaran angin tiba-tiba terhenti.

Bukit menghitam yang terlindung pusaran angin kini terlihat jelas.

Debu, pasir dan bebatuan luruh di- sekeliling kaki bukit.

Tercium hembusan angin menebarkan aroma harum mewangi, membuat empat pemuda Pengiring kembang kempiskan hidung, menghirup udara mewangi sedalam- dalamnya.

Empat pemuda kedap-kedipkan matanya, wajah tampan mereka kini terlihat penuh rasa suka cita dalam kebahagiaan.

Dan kebahagiaan itu tidak lain karena mencium aroma harum mewangi yang datang dari arah Bukit Keramat Lembah Dewi. Sambil tersenyum-senyum sendiri, salah satu dari pemuda itu tiba-tiba berkata,

"Sang Junjungan. Kalau sudah mencium aroma kebahagiaan seperti ini rasanya disuruh menunggu sampai seribu tahun lagi pun kami mau.!"

Suara pemuda itu lenyap dihembus angin.

Sebagai gantinya terdengar suara berkereketan seperti suara jendela dan pintu terbuka.

Kemudian entah dari mana datangnya diatas puncak bukit tiba-tiba saja berdiri tegak satu sosok berupa gadis berambut panjang berpenampilan serba biru.

Gadis ini mengenakan sebuah gaun indah selayaknya puteri raja.

Bagian lengan, leher serta ujung gaun dihias dengan renda berwarna emas.

Wajah si gadis tidak terlihat karena terlindung selubung tipis mirip cadar.

Hanya matanya saja bening indah mengintai dibalik selubung yang menutupi seluruh wajah.

Melihat kehadiran gadis berpenampilan aneh Ini, empat pemuda pengiring segera jatuhkan diri, berlutut diatas tanah pasir lalu bungkukkan tubuh dalam-dalam.

"Salam hormat kami Sang Junjungan puteri Selubung Biru. Selamat datang di dunia yang berisik yang dipenuhi seribu niat serakah nafsu rendah manusia!"

Ke empat pemuda mengucap lagi dengan berbarengan.

Wajah yang terlindung selubung tersenyum.
Raja Gendeng 31 Puteri Selubung Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dia menganggukkan kepala.

Baru saja kepala dianggukkan sang Junjungan yang bernama Puteri Selubung Biru mendadak raib.

Empat pemuda pengiring yang baru saja bangkit berdiri terpengarah kaget. Dengan mulut ternganga mereka menatap ke puncak bukit.

Sang Junjungan tidak berada lagi disana.

Selagi empat pemuda pengiring dibuat bingung mencari-cari.

Dari arah tandu terdengar suara merdu seorang wanita.

"Perjalanan segera dimulai, karena titah telah didengungkan. Semua aral melintang mestinya disingkirkan untuk melengkapkan ganjalan dibadan."

Empat pemuda serentak balikkan badan. Dengan terbungkuk-bungkuk mereka berlari menghampiri tandu biru. Setelah berada didepan tandu mereka melihat didalam tandu ternyata sang Junjungan telah berada disana, duduk sambil menyilakan kaki namun dengan sikap anggun berwibawa.

"Sang Junjungan! Maafkan kami yang rendah ilmu, dangkal pemikiran. Kami siap membawa Junjungan pergi!"

Kata pemuda di sebelah kiri tandu yang biasa disapa Pengiring Satu.

"Rendah ilmu bisa dipelajari, dangkal pemikiran dapat diperluas. Rendah budi, bejat langkah adalah perbuatan yang tidak bisa dibanggakan!"

Menyahuti Sang Junjungan.

"Sekarang bawa aku ke Teluk Penanjung! Aku harus menyelesaikan perkara penting ditempat itu. Setelah urusan disana selesai aku berniat menyambangi manusia-manusia tidak tahu diri yang maunya hanya membuat kekacauan saja!"

Perintah Sang Junjungan, Empat pemuda anggukkan kepala. Tanpa bicara lagi mereka segera menuju ke posisinya masing-masing.

Pengiring Satu dan Pengiring Dua memikul tandu disebelah depan, sedangkan pengiring Tiga dan Empat memikul tandu disebelah belakang.

Empat pengiring kemudian memutar arah.

Dari dalam tandu Sang Junjungan jentikkan jari telunjuknya ke bagian kaki para pemikul tandu empat kali berturut-turut.

Empat cahaya putih halus tanpa suara tanpa rasa menyentuh kaki ke empat pemuda itu.

Sambil tersenyum dalam hati dia berkata,

"Dari berlari seperti angin, kini tanpa disadari mereka bisa lari seperti topan!"

Setelah membatin dalam hati, ditujukan pada empat pengiringnya Sang Junjungan berujar,

"Tunggu apa lagi? Sekarang saatnya menunjukkan bakti!"

Empat pengiring anggukkan kepala.

Sekali kaki diayunkan ke empat pemuda melesat secepat kilat menyambar.


*****


Teluk Penanjung di laut sebelah utara.

Ombak tinggi mengganas menghempas dinding-dinding tebing karang yang tajam.

Angin barat yang mengamuk sejak awal munculnya bulan dilangit telah memporak porandakan kawasan pesisir pantai.

Beberapa dusun nelayan yang berada dipinggir pantai hancur, puluhan perahu milik nelayan rusak.

Laut murka tidak lagi bersahabat Penduduk yang selamat meninggalkan desanya untuk mengungsi ditempat yang aman.

Pagi itu ketika matahari mulai bersinar Sang Junjungan bersama pengiringnya tampak mulai memasuki kawasan Teluk Penanjung.

Ganasnya laut segera dirasakan oleh para tamu yang tidak diundang itu.

Suara gemuruh ombak dan deburan- deburan air yang menghempas karang menimbulkan kekhawatiran gadis yang berada di dalam tandu.

"Berhenti!"

Tiba-tiba suara merdu Sang
Junjungan menggema menindih debur ombak yang dahsyat.

"Mengapa harus berhenti. Teluk Pananjung masih jauh didepan sana! Junjungan jangan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki!"

Kata Pengiring Tiga yang berada disebelah kiri belakang.

"Laut murka! Kedatangan kita telah diketahui oleh penguasa serta penghuni tempat ini!"

Jelas Sang Junjungan. Empat pemuda pengiring terkesiap, sama menoleh sama berpandangan.

"Mahluk-mahluk telah siap bangkit pada malam perkawinan laknat antara manusia iblis dengan arwah sesat!"

Desis Pengiring Satu.

"Jika apa yang kami dengar itu benar maka penguasa tempat ini dan kaki tangannya tak mungkin muncul. Di siang hari mereka takut cahaya. Mereka selalu muncul hanya dimalam gelap!"

Ujar Pengiring Dua.

"Aku lebih tau dari yang kalian ketahui. Mereka bisa muncul kapan saja karena Pedang Halilintar, pedang Asmara yang dibuat oleh seorang kakek gila cinta sekarang sudah begitu dekat dengan calon pengantin wanitanya."

Menerangkan Sang Junjungan.

Empat pemuda dongakkan kepala ke atas. Dari mulut mereka terdengar seruan kaget

"Haah!"

"Tidak ada waktu kaget-kagetan! Dengar suara itu dan lihat ke depan ke arah Teluk Penanjung!"

Sang Junjungan berseru keras. Empat pengiring cepat menatap ke depan.

Mereka kemudian melihat ada pancaran cahaya berwarna kuning kehitaman bermunculan ditempat itu.

Diantara puluhan cahaya muncul pula cahaya kuning yang jauh lebih terang menyilaukan mata.

Walau terkejut, ke empat pengiring berusaha memasang telinga mempertajam pendengarannya.

Benar!

Ditengah gemuruh ombak mereka mendengar suara raung, pekik dan jerit menggidikkan yang seakan datang dari sebuah tempat jauh terasing yang bernama alam kematian.

Empat pemuda pengiring tanpa diminta serentak turunkan tandu dari bahu masing-masing. Sang Junjungan keluar dari dalam tandu.

Tiga langkah kaki menindak, tanpa menoleh ke belakang dia lambaikan tangan kanannya dari sebelah bawah ke atas.

Tandu tiba-tiba melambung tinggi dan menggantung di udara.

Para pemuda pengiring segera menyebar, berjaga-jaga dari segala kemungkinan.

Dua disisi sebelah kiri sedangkan yang dua lagi mengambil tempat disebelah kanan Sang Junjungan.

Empat pengiring menunggu dengan sikap waspada sambil alirkan tenaga dalam ke tangan dan kaki.

Sang Junjungan Puteri Selubung Biru sejauh itu nampak tenang saja namun perhatiannya tetap tertuju ke arah Teluk Penanjung.

Penantian mendebarkan tidak berlangsung lama.

Cahaya kuning kehitaman dengan dikut cahaya kuning terang berkilau tiba-tiba menderu disertai suara raungan dahsyat mengerikan.

Suara raungan itu sanggup membuat puncak tebing karang bergetar keras dan hancur bergugusan.

Sementara gerakan puluhan cahaya kuning redup dan cahaya kuning terang membuat tanah karang yang dilewatinya menggeletar bergelombang hebat laksana sapuan topan yang menderu dipermukaan air laut.

Reet!

Wuuees!

Hanya dalam waktu luar biasa singkat puluhan cahaya kuning redup menyambar sekaligus menggulung tubuh empat pengiring dan majikannya.

Serangan puluhan cahaya utama kemudian disusul dengan cahaya inti yaitu cahaya kuning berkilau.

Byar!

Buum!

Bum!

Ledakan luar biasa dahsyat berdentum memporak poranda sejauh seratus tombak ditempat mana kelima orang itu berdiri.

Gumpalan api bergulung-gulung membubung tinggi diudara laksana sekumpulan cendawan raksasa yang tumbuh dimusim hujan.

Serpihan batu karang yang menyala bertaburan diudara, lalu luruh berjatuhan disertai suara desing menggidikkan. Empat pengiring dan Sang Junjungan lenyap.

Ditengah kepulan asap dan hujan serpihan batu menyala tiba-tiba muncul cahaya kuning terang yang kemudian disusul munculnya puluhan cahaya kuning redup. Cahaya inti dan cahaya lainnya selanjutnya berputar seperti gasing.

Ketika semua cahaya musnah.

Ditempat itu bermunculan puluhan sosok berupa tengkorak, tulang belulang yang membentuk satu kesatuan kerangka manusia yang lengkap.

Puluhan sosok jerangkong hidup yang dipimpin oleh satu sosok jerangkong berukuran besar dan tinggi saling pandang dengan matanya yang bolong memutih seputih tulang belulang mereka.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari jerangkong besar yang bertindak sebagai pimpinan.

"Kaki dihempaskan silih berganti. Tulang belulang segera dibalut oleh daging dan alur darah. Anggota tubuh di sebelah dalam akan terbungkus kulit yang mulus resik!"

Puluhan sosok tengkorak berjingkrak, setiap gerakan mereka menimbulkan suara gemeretak membuat ngilu telinga yang mendengarnya.

Kemudian didahului dengan gerakan kaki sang pimpinan, puluhan mahluk tengkorak segera menghentakkan kakinya silih berganti.

Begitu puluhan pasang kaki tulang menghentak tanah.

Dilangit tiba-tiba terlihat kilat menyambar ke arah mereka.

Setelah tersentuh cahaya yang datang dari langit, secara aneh dan menakjubkan disekujur tulang belulang bermunculan otot-otot daging, alur darah, bagian-bagian tubuh sebelah dalam dan kemudian tumbuh pula kulit yang membalut jaringan tubuh dengan lengkap.

"Kehidupan telah dimulai! Aku, Mirah Raga, pemimpin tertinggi kawasan Teluk Penanjung menyatakan siap bergabung dengan pengantin yang berjodoh dengan Pedang Hallilintar!"

Kata Sosok tinggi yang ketika munculkan diri dalam rupa cahaya.

Dia adalah cahaya kuning paling berkilau. Puluhan mahluk tengkorak kini telah menjelma berubah menjadi manusia seutuhnya berpenampilan angker dengan kening menonjol selayaknya monyet lalu sama-sama keluarkan pekikan aneh.
Raja Gendeng 31 Puteri Selubung Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Mereka kemudian jatuhkan diri, berlutut didepan Mirah Raga sebagai wujud pernyataan patuh.

"Kami siap mengabdi dengan darah dan nyawa!"

Kata mahluk-mahluk itu bersamaan.

Mirah Raga yang menjadi pimpinan menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang runcing tajam.

Baru saja dia hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba saja terdengar suara gelak tawa yang disusul dengan bunyi suara.

Preet!

"Persekutuan kalian dengan para iblis tidak akan pernah terjadi selama Puteri Selubung Biru masih gentayangan di empat penjuru mata angin.Kebangkitanmu dan kebangkitan para pangikutmu hanyalah sebuah kesia-siaan saja.Sebentar lagi aku akan mengembalikan kalian ke liang lahat! Hik hik hik!"

Mirah Raga dan para pengikutnya tentu saja menjadi terkejut mendengar ucapan itu.

Semua mahluk liang lahat itu bersama-sama dongakkan kepala ke arah datangnya suara.

Disebelah kiri mereka diatas puncak karang tinggi terlihat seorang gadis berpakaian serba biru yang menyelubungi wajahnya dengan selendang warna biru sedang berdiri tegak berkacak pinggang.

Gadis ini tidak sendiri.

Disampingnya berdiri tegak pula empat pemuda bercelana putih.

Lalu agak jauh didepannya, terlihat pula sebuah tandu berwarna biru.

Tandu itu menggantung diketinggian, namun tandu itu tidak jatuh atau rusak ketika kena serangan cahaya yang menghantam pemilik dan pengusungnya.

"Gadis liar bernama Puteri Selubung Biru! Bukankah kau dan empat pemuda tolol pengiringmu seharusnya sudah mampus terkena seranganku dan para pengikutku? Aku tidak punya silang sengketa denganmu, mengapa selalu membuat kekacauan disini?"

Bentak Mirah Raga sambil berusaha menindih kemarahan yang membuncah didalam hatinya.

"Hik hik hik! Kau menuduh aku membuat kekacauan ditempat yang busuk ini? Aku baru saja datang, juga belum melakukan tindakan apa-apa, mengapa menuduhku telah membuat kekacauan? Mirah Raga... dengar baik-baik. Aku tidak pernah mencampuri urusanmu. Sebagai mahluk yang seharusnya menetap di liang kubur kau telah kerap kali gentayangan menculik bayi dan anak-anak untuk dijadikan tumbal. Apa kau ingin bergabung dengan mereka?"

Mirah Raga tentu saja tidak menyangka bahwa gadis itu mengetahui apa yang diperbuatnya selama ini.

Dia juga tidak menyangka Puteri Selubung Biru atau Sang Junjungan tahu tentang rencananya ingin bergabung dengan Sang Kuasa Agung. Walau sadar gadis itu bersama empat pemuda pengiringnya memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi.

Namun Mirah Raga tidak mau rencananya dihalangi.

Tidaklah mengherankan bila kemudian laki-laki dengan kening lebar menonjol ke depan ini berteriak marah.

"Sang Junjungan! Mulutmu kelewat lancang."

"Ucapanmu sangat takabur.Jangan berpikir bisa menghentikan aku dan pengikutku? Kau bakal menyesal karena telah mengambil keputusan tolol!"

"Hik Hik Hik! Sebentar lagi kita bisa melihat siapa sebenarnya yang telah bertindak tolol disini. Tapi....!"

Sang Junjungan hentikan ucapan lalu menggaruk rambutnya yang tertutup selubung.

"Kalau dipikir-pikir mahluk tolol sepertimu biasanya memang merasa lebih hebat, lebih pintar dari orang lain!"

Sang Junjungan sambung ucapannya yang membuat Mirah Raga menjadi sangat marah.

"Sang Junjungan puteri keparat! Rasakan betapa pedihnya azab yang bakal kau alami!"

Teriak Mirah Raga, laki-laki yang kedua lengannya dua kali lebih besar dari ukuran kakinya itu. Kemudian dia palingkan kepala pada para pengikutnya dan berseru,

"Habisi gadis dan pengiringnya yang berdiri diatas karang itu!"

"Graaah...!"

Perintah disambut dengan suara raungan mahluk berwujud aneh seperti kera dan manusia itu.

Mereka segera menyebar, lalu berlompatan ke atas melambungkan diri menuju ke puncak karang.

Hebatnya lagi dengan sekali lompatan mereka telah berhasil mencapai tebing karang.

Malah sebagian diantaranya mampu jejakkan kaki dipuncak tebing itu.

Melihat puluhan mahluk pengikut Mirah Raga jejakkan kaki dan langsung lancarkan serangan ganas.

Empat Pengiring segera menyebar mengelilingi Sang Junjungan dengan sikap melindungi.

Serangan berupa pukulan ganas dilancarkan oleh puluhan mahluk berkaki pendek, bertangan panjang besar itu.

Namun empat pemuda pengiring Puteri Selubung Biru ternyata memang bukan pemuda sembarangan.

Selain memiliki ilmu kesaktian tinggi dan tenaga dalam luar biasa besar, ke empatnya juga memiliki gerakan yang sangat cepat luar biasa.

Ketika beberapa mahluk dari alam kematian datang menyergap sambil hantamkan pukulan- pukulan yang memijarkan api, para pengiring Sang Junjungan segera menghantam mereka dengan pukulan dan tendangan menggeledek. Hawa dingin luar biasa menyambar disertai berkiblatnya cahaya biru angker.

Puluhan mahluk merangsak maju dan yang menjadi incaran mereka bukanlah empat pengiring, melainkan Sang Junjungan yang menjadi pimpinan. Sebagian mahluk-mahluk itu dengan menggunakan tenaga dalam penuh berusaha juga menghalau pukulan yang dilepaskan empat pengiring Sang Junjungan.

Namun hanya sedikit yang sanggup memusnahkan serangan.

Sisanya terlempar jatuh ke dasar karang bergedebukan didepan Mirah Raga seperti buah yang berjatuhan dari pohonnya.

Yang berhasil lolos menggerung marah.

Sepuluh diantara mereka lambungkan tubuh ke udara.

Setelah mencapai ketinggian, sepuluh mahluk memutar tubuh.

Tubuh sedikit dibungkukkan.

Kaki menyambar kepala empat pengiring dengan cepat luar biasa.

Melihat sepuluh pasang kaki menyambar kepala mereka disertai deru aneh dan tebaran cahaya hitam redup, empat pengiring segera jatuhkan diri ke bebatuan karang.

Begitu tangan dan kaki menyentuh pedataran batu, secepat kilat mereka berbalik, kemudian dengan menggunakan pukulan sakti Empat Pesan Maut Menjemput Jiwa, serentak mereka menghantam ke atas.

Delapan larik cahaya membersit dari telapak tangan ke empat pemuda itu.

Diudara delapan cahaya biru membelah diri menjadi beberapa bagian selanjutnya terus melesat melabrak ke arah sasaran.

Sepuluh pengikut Mirah Raga terkesima ketika merasakan tubuh mereka tak dapat bergerak seperti ada puluhan benang tak kelihatan mencencang dua tangan dan kaki mereka.

Mahluk-mahluk itu berteriak marah sambil meronta.

Untuk menyelamatkan diri dari serangan cahaya yang menyambar ganas mahluk-mahluk itu segera pula lepaskan pukulan sakti Menebar Bala Mengadu Jiwa.

Pukulan yang dilancarkan sepuluh mahluk yang menggantung mengambang diketinggian bukanlah pukulan biasa.

Namun karena tangan mereka dicencang maka gerakan mereka saat memukul tentu tidak bisa leluasa.

Dari sepuluh jemari tangan masing-masing mahluk melesat cahaya redup berwarna kelabu, menebar seperti jala yang hendak meringkus empat pengiring dari segala penjuru.

Melihat puluhan cahaya redup yang mengambang tiba-tiba menguncup hendak meringkus, Sang Junjungan bersiap akan melepaskan pukulan sakti untuk membantu empat pengiringnya.

Tapi sebelum niatnya terlaksana, tiba-tiba saja empat pengiring kembali hantamkan kedua tangan melepaskan pukulan susulan Empat Pesan Maut Menjemput Jiwa.

Serangan pertama yang dilepaskan oleh empat pengiring memang sempat musnah terkena pukulan Menebar Bala Mengadu Jiwa yang dilepaskan sepuluh lawannya.

Tapi serangan susulan yang dilancarkan oleh empat pemuda itu tidak sempat lagi dihindari oleh lawan-lawannya.

Delapan cahaya biru yang membelah menjadi enam belas cahaya dengan telak menghantam tubuh mahluk yang dalam keadaan menggantung diketinggian.

Terdengar suara letupan keras sepuluh kali berturut-turut.

Tubuh mereka meledak hancur bertebaran menjadi kepingan daging dan tulang yang tidak berbentuk lagi.

Serpihan tubuh luruh bertaburan diatas karang dan yang lainnya rontok berjatuhan disekeliling Mirah Raga.

Melihat pengikutnya tewas terbunuh dengan cara yang sangat mengerikan, Mirah Raga keluarkan raungan murka.

Jeritan sang pimpinan dari liang lahat ini merobek udara, membuat sakit telinga yang mendengarnya.

"Empat pengiring keparat! Kalian akan menerima balasan dariku!"

Teriak Mirah Raga kalap.

Melihat sang pimpinan siap hendak naik puncak karang, Sang Junjungan segera berucap ditujukan pada ke empat pengiringnya.

"Bereskan para cecunguk yang ada disini. Biarkan aku yang akan membungkam mulut monyet dari liang lahat itu untuk selama-lamanya."

Setelah berkata demikian Sang Junjungan memandang ke bawah. Pada Mirah Raga dia berkata,

"Setan Kubur! Berhentilah berteriak-teriak seperti mahluk gila! Jika ingin membunuh pengikutku, langkahi dahulu mayatku!"

Setelah berkata demikian Sang Junjungan melompat ke bawah.

Tubuhnya melayang dengan dua tangan dan kakinya dikembangkan.

Karena Sang Junjungan memakai pakaian berupa gaun, tentu saja Mirah Raga sekilas dapat melihat sepasang kaki yang mulus.

Gerakan seperti ini kiranya memang disengaja Sang Junjungan untuk mengalihkan perhatian lawan.

Ketika lawan tercengang terpesona melihat betis yang bagus dan paha yang mulus, kesempatan ini dipergunakan oleh Sang Junjungan untuk menghantam lawan dengan pukulan Tangan Membelai Maut Mengintai.

Dua tangan dengan jemari lentik Sang Junjungan mendorong ke bawah.

Mirah Raga merasakan ada angin berdesir menerpa rambut, kepala dan membelai wajah dan bahunya, Dan semua itu hanya berlangsung sesaat, begitu Sang Junjungan kembali dorongkan kedua tangannya ke bawah.

Tiba-tiba saja Mirah Raga merasa seperti ada palu godam menghantam kepala dan kedua bahunya.

"Hiiikgh...."

Terdengar suara seperti hembusan nafas dan leher dicekik. Mirah Raga jatuh terhempas. Bahu serasa remuk, kepala laksana mau meledak. Laki- laki itu bergoyang keras, pandangannya berkunang-kunang.

"Keparat licik..."

Raungnya sambil gelengkan kepala dan salurkan hawa sakti kebagian tubuh sebelah atas.

Begitu rasa sakit lenyap, Mirah Raga segera bangkit.

Matanya yang berubah merah menatap garang ke arah Sang Junjungan yang berdiri disebelah depannya sambil berkacak pinggang.

"Mahluk liang lahat sialan!"

Raja Gendeng 31 Puteri Selubung Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengus Sang Junjungan setelah mengumbar tawa cekikan.

"Sudah pernah mati, lalu hidup lagi.Begitu bangkit dari kematian mata masih saja jelalatan. Pantang melihat tubuh bagus betis putih mulus. Kau pikir aku tanpa pelindung gadis gampangan, memakai disebelah dalam.Dasar mahluk sesat, selamanya akan tetap berada dalam kesesatan!"

Maki gadis itu selayaknya seorang nenek yang memarahi cucunya yang nakal.

Darah Mirah Raga mendidih, menggelegak sampai ke ubun-ubun. Sekujur tubuh bergetar. Wajah yang pucat nampak merah padam. Gigi giginya bergemeletukan.

"Gadis licik! Aku sudah muak melihat tipu muslihatmu! Sekarang pergilah ke neraka!!"

Teriakan Mirah Raga yang menggeledek dibarengi dengan melesatnya tubuh laki-laki itu.

Selagi tubuhnya melayang diudara, dua tangannya yang terpentang dihantamkan ke bagian wajah dan dada Sang Junjungan.

Sepuluh kuku jari tajam runcing berwarna hitam pekat berkelebat.

Hanya dengan sekali pandang Sang Junjungan maklum jemari tangan lawan mengandung racun yang mematikan.

Sadar lawan siap menghabisi atau sedikitnya membuat cacat tubuhnya, Sang Junjungan segera geser kaki kiri kesamping.

Ketika serangan menghantam ke arah sasaran dia menggerakkan kepala ke kiri.

Gerakan kepala disertai denaan liukan tubuh.

Wus!

Tret!

Serangan lima kuku yang mengincar wajah luput, tapi serangan yang mengarah ke dada menyambar robek pakaian disebelah bahu Sang Junjungan, membuat kulitnya yang putih mulus tersingkap namun tidak ada luka dibahu itu.

Walau tidak mengalami luka, namun robeknya gaun disebelah bahu membuat Sang Junjungan menjadi gusar.

Selagi tangan yang menyerang wajah lewat didepan hidungnya, Sang Junjungan layangkan tinjunya ke lengan mahluk itu.

Kraak!

Terdengar suara tulang berderak patah.

Mirah Raga menjerit kesakitan sambil melompat mundur hindari serangan susulan yang mengarah ke bagian rusuk sebelah kiri.

Wuut!

Serangan luput.

Mirah Raga jejakkan kaki sambil menyeringai dan pegangi lengan kanannya yang patah.

"Perempuan jalang! Kau telah membuat perkara besar denganku. Selama dunia terkembang aku tidak akan memaafkan kesalahanmu!"

Geram laki-laki itu

"Ah sejak tadi kau cuma bisa berkoar. Mulutmu besar tapi tidak punya kemampuan apa-apa!"

Sahut Sang Junjungan disertai seringai mengejek.

"Begitukah? Jangan menyangka aku tidak punya kebecusan! Sebentar lagi lihatlah siapa aku sebenarnya!"

Dengus Mirah Raga.

Tiba-tiba saja dia mencekal ujung lengannya yang patah.

Tangan itu kemudian digerakkan ke kiri dan ke kanan.

Terdengar suara krak-krek bertalu-talu.

Sang Junjungan yang menyaksikan menjadi miris. Kemudian dengan sikap seolah tidak merasakan sakit dia dorongkan tangannya yang patah kesebelah atas.

Tangan yang patah lalu diusap.

Hanya dengan dua kali usapan tangan yang patah bersambung kembali.

Mirah Raga tertawa dingin.

Sang Junjungan geleng kepala tidak menyangka tangan lawan dengan cepat sudah bersambung lagi.

Tidak ada kesempatan lagi bagi gadis ini untuk berpikir lama tentang kesaktian apa yang dipergunakan Mirah Raga untuk menyambung tulangnya. Saat itu lawan telah melabrak ke arahnya.

Kaki menderu menghantam ke arah pinggang.

Melihat datangnya serangan Sang Junjungan dengan gesit berusaha menghindar karena tendangan itu sanggup meremukkan tulang belakangnya.

Tapi tendangan itu ternyata hanya tipuan belaka.

Selagi Sang Junjungan lengah karena menghindar dari tendangan, pada saat itulah berturut-turut kedua tangan Mirah Raga menghantam ke arahnya.

Mendahului pukulan yang dilepaskan lawan, tiba-tiba menyembur asap tebal berwarna kuning pekat.

Asap maut mengandung racun ganas itu menyerbu ke bagian wajah.

Sang Junjungan segera melompat mundur sambil menutup jalan nafas dengan menggunakan tenaga sakti.

Secepat kilat tangan kiri dikibaskan, menghalau asap yang menebar bau busuk. Asap buyar, namun didepannya terdengar suara bergemuruh disertai hantaman angin dingin yang menyambar sekujur badan.

Diterpa serangan angin dingin membuat Sang Junjungan terguncang kedua lutut goyah namun dia segera alirkan hawa sakti kesekujur tubuhnya.

"Mahluk keparat!"

Teriak Sang Junjungan begitu sambaran angin luar biasa keras menghantam tubuhnya.

Gadis ini terhuyung, nafas menjadi sesak namun dia segera dapat menguasai diri.

Tidak ingin mendapat malu untuk yang kedua kalinya, Sang Junjungan segera alirkan tenaga sakti ke bagian tangannya.

Saat itu dia tengah berusaha menggunakan ilmu ajian sakti Selubung Biru salah satu ilmu langka yang dimilikinya.

Tetapi baru saja Sang Junjungan silangkan kedua tangan di depan dada.

Dari arah depan lawan telah menyerangnya dengan pukulan Kemurkaan Dari Perut Bumi.

Dua tangan Mirah Raga yang telah berwarna merah kehitaman berkelebat siap menjebol perutnya dengan ujung jemari yang berkuku runcing merah membara.

Sang Junjungan mendengus.

Wajah yang terlindung selubung menyeringai dalam kemarahan.

Kepalang tanggung, tanpa bergeser dari tempatnya berdiri Sang Junjungan segera sambut serangan itu dengan menyambar dua tangan yang melesat ke arahnya.

Teep!

Crep!

Gerakan tangan yang siap menjebol perut jadi tertahan karena berhasil dicekal oleh Sang Junjungan,Keduanya kemudian saling dorong, Mirah Raga berusaha lepaskan tangannya yang merah membara yang dicekal lawan.

Tapi cengkeraman Sang Junjungan tak ubahnya seperti penjepit besi.

Tangan Mirah Raga sulit dilepas.

Semakin kuat dia meronta semakin erat pula cekalan si gadis.

Celakanya walau tangan laki-laki itu panas membara, namun tidak membuat tangan Sang Junjungan yang mencekalnya melepuh apalagi hangus terbakar.

Tidak ada pilihan lain.

Kini dengan menggunakan dua kaki yang bebas bergerak, Mirah Raga menyerang lawannya dengan tendangan menggeledek.

Tapi tendangan sakti itupun tidak memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan.

Beberapa tendangan memang berhasil menghantam kaki dan pinggul Sang Junjungan, namun Mirah Raga merasa tendangan kakinya seperti menghantam gundukan kapas tebal.

Sebaliknya begitu Sang Junjungan memutar tubuh sambil sentakkan dua lengan lawan, tubuh Mirah Raga terbetot kesamping disertai terdengarnya suara dua tulang yang berderak patah.

Kraak!

Kraak!

Cekalan dilepas.

Mirah Raga jatuh terbanting dengan dua tangan terkulai.

Selagi mahluk liang lahat ini menggerung kesakitan dalam keadaan berlutut sambil rapatkan tangan ke dada.

Kesempatan itu segera dipergunakan oleh Sang Junjungan dengan melepas pukulan Selubung Puru Dua cahaya biru dingin laksana es berkelebat menyambar ke arah Mirah Raga.

Dalam derita sakit yang luar biasa, disaat Mirah Raga berusaha menyembuhkan tangannya.Dia dibuat terkejut saat melihat dari kedua tangan lawan berkelebat dua cahaya aneh berbentuk bundar seperti lingkaran, menyambar dengan kecepatan luar biasa ke arah dirinya.

Tidak ingin celaka, Mirah Raga berusaha jatuhkan diri bermaksud hindari serangan.

Tapi gerakan Mirah Raga ternyata kalah cepat dengan serangan yang dilancarkan lawan.

Dari sisi sebelah kiri dan sebelah kanan cahaya biru menyergap, menjirat dan menyelubunginya hingga membuat mahluk itu tak bisa bergerak.

Mirah Raga menggigil, sekuat tenaga dia berusaha keras membebaskan diri dari selubung cahaya biru.

Segala upaya dia lakukan namun tidak berhasil karena selubung cahaya itu kemudian membeku seperti es.

Tidak ada suara jerit tidak pula terdengar suara raungan.

Pemimpin dari mahluk-mahluk penghuni dari liang lahat itu menemui ajal untuk yang kedua kalinya dalam keadaan membeku menjadi patung es biru.

Anehnya hanya sesaat setelah sang pemimpin tewas.

Beberapa pengikutnya yang masih tersisa yang saat itu tengah terlibat perkelahian sengit dengan empat pengiring tiba-tiba raib berubah menjadi kepulan asap.

Kejadian yang sama juga terjadi pada mahluk-mahluk yang telah menemu ajal di puncak karang es. Melihat semua mahluk lenyap.

Empat pemuda pengiring saling melempar pandang.

"Sang junjungan nampaknya telah berhasil mengatasi orang yang menjadi pimpinan mahluk mahluk itu. Dia menunggu dibawah.Tandu biru juga masih menggantung diketinggian! Apa yang akan kita lakukan?"

Bertanya Pengiring Empat.

Belum sempat seorang pengiring pun yang menjawab pertanyaan temannya.
Raja Gendeng 31 Puteri Selubung Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Tiba-tiba terdengar suara suitan dari arah bawah.

Bersamaan dengan terdengarnya suara suitan, tandu yang mengapung diketinggian melesat turun ke bawah tepat ke arah dimana Sang Junjungan berada.

"Kalian yang diatas tunggu apa lagi? Masih banyak tugas lain yang harus diselesaikan. Lekas kalian turun, bawa aku pergi dari tempat ini!"

Seru Sang Junjungan.

"Maafkan kami, Sang Junjungan. Perintah segera kami laksanakan!"

Kata Empat Pengiring hampir berbarengan. Empat pemuda tegap hampir berbarengan bergerak, melompat ke bawah. Mereka jejakkan kedua kaki tanpa suara di empat sisi tandu

"Kami siap membawa Sang Junjungan...!"

Kata Pengiring Satu.

Gadis itu tersenyum.

Tanpa bicara dia masuk ke dalam tandu.

Begitu sosok Sang Junjungan telah berada dalam tandu, Empat pemuda pengiring inipun segera bergerak tinggalkan Teluk Penanjung.


******


Buah yang berwarna merah ranum itu sungguh enak rasanya.

Bentuknya bulat seperti apel, baunya harum menggoda. Raja mendapatkan buah itu yang tumbuh dilamping sebuah tebing.

Buah tumbuh bergelayut dalam tandanan berbentuk aneh.Tandanan seperti buah kelapa, namun ukurannya tidak lebih besar dari kepalan tangan orang dewasa.

Tiga buah diambil sekaligus.

Dimakan satu, perut menjadi hangat.

Ketika buah kedua dimakan tubuhnya menjadi tambah enteng tapi kepala jadi sakit pening.

Ketika buah ketiga dimakan, Sang Maha Sakti Raja Gendeng 313 jadi bicara tidak karuan, tertawa-tawa sendiri seperti orang bahagia yang sedang menemukan segunung emas. Tingkah Raja tiba-tiba berubah menjadi aneh.

Saat ini Raja sedan duduk bersender dibawah sebatang pohon.

Dewi Kipas Pelangi yang tidak berhasil menemukan jejak Anjarsari ketika muncul didepan Raja gelengkan kepala.

Dia merasa heran dan bingung melihat sang Pendekar sedang duduk santai sambil tersenyum dan bicara sendiri.

"Aku lelah mencari Anjarsari sahabatmu itu kemana-kemana. Dan kau... mengapa enak-enakan duduk santai disini?"

Dengus gadis itu kesal.

Yang ditegur menatap ke arah gadis cantik berpakaian warna warni ini sejenak, tiba-tiba Raja tertawa tawa.

Tangan menunjuk-nunjuk ke arah betis sang dara cantik.

Dewi Kipas Pelangi melongo tertegun. Dia cepat turun dari Angin Puyuh kuda hitam yang menjadi tunggangannya.

Dihampirinya pemuda itu.

Diperhatikannya mata dan wajah Raja yang kemerahan.

"Apa yang terjadi padamu?"

Tanya sang dara dengan kening berkerut wajah tak kuasa menyembunyikan rasa heran.

"He he he! Apa yang terjadi denganku? Siapa yang baru bertanya? Setan? Oh oh, ternyata setan yang baru bertanya. Pantas aku lupa-lupa ingat."

Menyahuti sang pendekar sambil tertawa-tawa.

"Pendekar sinting gila! Apa yang telah dia lakukan? Mungkinkah dia mabok? Kalau benar mabok apa yang telah diminumnya? Bukankah ditempat ini tidak ada kedai penjual tuak? Jangankan kedai tuak warung penjual gorengan pun tidak ada. Kawasan ini adalah daerah yang hanya ditumbuhi semak belukar hutan lebat. Tidak ada rumah penduduk apalagi kedai?!"

Pikir Dewi Kipas Pelangi.

Si gadis lalu kembali memandang ke depan. Matanya mencari-cari. Dia tidak melihat kendi atau bumbung tuak tergeletak disekitar pemuda itu.

"He...ha ha ha...Kau siapa? Apakah aku mengenalmu?"

Tanya Raja kembali terkekeh.

Dewl Kipas Pelangi terkejut. Matanya yang indah mendelik

"Pendekar tolol! Kau bertanya siapa aku? Baru saja kita berpisah dan tiba-tiba saja kau sudah tidak mengenaliku? Benar-benar goblok! Perbuatan apa yang telah kau lakukan hingga menjadi seperti ini?"

Geram Dewi Kipas Pelangi.

"Hah apa? Siapa yang gila. Siapa yang tolol? Memangnya siapa kau nenek berbetis gemuk?"

Tanya Raja dengan mulut dipencong mata dijereng jereng.

"Sialan! Aku masih muda dan begini cantik dibilang nenek."

Gerutu Dewi Kipas Pelangi. Dia lalu menatap ke bawah kebagian betisnya.

"Betisku langsing bagus seperti bunting padi. Mengapa dia mengatakan betisku gemuk?"

Batinnya kesal.

"Otakmu sudah terbalik ya? Kau tidak kenal aku lagi?!"

"Apa? Otakku terbalik.? Enak saja kau bicara. Tentu saja aku waras. Kau yang aneh nenek betis gemuk. Lihat saja telingamu? Telingamu lebar mencuat keatas mirip telinga keledai. Selain itu hidungmu juga aneh lucu seperti hidung babi betina. Bibirmu juga aneh seperti bibir beruk yang diantuk lebah. Lihatlah tanganmu, tanganmu itu gemuk besar seperti batang pinang. Dan satu lagi...ha ha ha.... Ini yang lebih gila. Kulihat dikeningmu ada tanduknya. Bagaimana mungkin perempuan bisa punya tanduk. Seharusnya yang punya tanduk hanya laki-laki, itupun tidak disebelah atas tapi disebelah bawah. Ha ha ha...!"

Kata pemuda itu lalu tertawa tergelak-gelak. Walau bingung melihat Raja bertingkah aneh. Namun Dewi Kipas Pelangi tak bisa menyembunyikan kekesalannya.

"Pendekar gila keparat! Apapun yang telah kau makan aku tidak perduli. Seandainya kau dirasuki setan gila penghuni hutan ini juga aku tak mau tahu. Tapi ucapanmu yang sangat menghina itu sudah kelewatan.!"

"Aku tidak bisa menerima!"

Teriak si gadis. Dia lalu menghampiri pendekar 313.

Kaki diangkat, siap diayunkan dengan gerakan menendang. Tapi niat itu tidak segera terlaksana karena tiba-tiba Raja angkat tangannya.

Dengan gerakan agak terhuyung dia luruskan punggungnya sambil mengangkat tangan mencegah.

"Hei, jangan! Tunggu. Apa yang hendak kau lakukan dengan kaki gemukmu? Kau hendak mengelus tubuhku ya? Mengelus mengapa pakai kaki? Harusnya pakai tangan!"

Kata pemuda itu. Dia lalu pandangi Dewi Kipas Pelangi dari wajah, leher dan berhenti dibagian dada, Raja terheran-heran, lalu raba dadanya sendiri.

"Hei, ada lagi yang aneh. Dadaku biasa-biasa saja, tapi...tapi mengapa dadamu seperti bengkak ada munjung-munjungnya?!"

"Pendekar gila kurang ajar!"

Damprat Dewi Kipas Pelangi

Plak!

Satu tamparan keras mendarat dipipi Raja, membuat sang pendekar rebah dalam posisi miring.

Pipi yang bekas ditampar berubah merah lebam meninggalkan bekas lima jari tangan.

Dewi Kipas Pelangi terkejut.

Dalam kemarahannya tanpa dia sadari telah menampar Raja dengan keras.

Tamparan itu mengandung tenaga dalam.

Andai bukan Raja dan yang kena ditampar pipi anak orang pasti sudah remuk.

Diam-diam Dewi Kipas Pelangi menyesali tindakannya pada pemuda yang diam-diam mulai dia sukai ini.

Dia lalu memandang ke depan.

Dilihatnya dengan bersusah payah Raja berusaha bangkit untuk kembali bersender dipohon.

Tapi keinginan itu pun sepertinya sulit untuk dilakukannya.

Dewi Kipas Pelangi merasa iba.

Dia berjongkok, jemari tangan yang halus mulus dijulur siap menarik tangan Raja.

Tapi baru saja tangan itu menyentuh lengan sang pendekar si gadis terpekik kaget.

"Astaga! Tubuhmu panas luar biasa. Mengapa kau jadi seperti ini?!"

Sentak Dewi Kipas Pelangi kaget namun tetap lanjutkan menolong Raja. Pemuda itu kemudian disenderkan ke batang pohon

"Apa yang telah terjadi?"

Desis si gadis tambah cemas

"Apa yang terjadi? Aku tidak apa-apa nenek..."

Jawab Raja. Suaranya seperti orang meracau.

"Kau memanggilku nenek lagi? Setan alas! Apakah dimatamu aku sekarang sudah kelihatan tua? Kau panggil aku nenek? Memangnya kapan aku kawin dengan kakekmu?!"

Teriak si gadis kesal. Raja tertawa tergelak-gelak. Tangannya mengusap pipi yang kena ditampar. Bersikap seolaholah mendengar apa yang diucapkan oleh Dewii Kipas Pelangi pemuda itu bicara sendiri.

"Terima kasih kau sudah memijit pipiku."

Kata Raja sambil senyum-senyum.

"Sungguh otaknya sudah kacau. Aku menampar dia bilang dipijit. Gilanya lagi dia malah berterima kasih! Kau dengar!"

Kata gadis itu lirih juga prihatin.

"Katakan apa yang sudah kau lakukan hingga membuatmu seperti ini. Kau tidak gila, tidak juga kerasukan setan. Tapi tubuhmu panas sekali. Kau pasti telah memakan sesuatu. Makanan apa itu yang membuat otakmu jadi kacau?"

"Heh, kau bicara apa? Memangnya siapa kau?"

"Aku Dewi Kipas Pelangi, ingatkah?. Aku bukan nenek-nenek, betisku juga tidak gemuk, hidung tidak mirip babi, telingaku juga tak seperti telinga keledai. Mulutku juga tidak dower jontor sepert mulut beruk. Aku cantik, bukan nenek peot. Dan aku masih perawan... perawan tingting yang belum pernah disentuh jin dan manusia!"

Raja Gendeng 31 Puteri Selubung Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman Pendekar Naga Putih 95 Utusan Dari Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru

Cari Blog Ini