Warok Ponorogo 5 Tragedi Perempuan Kampung Bagian 2
"Cepat bawa ke sentong kiri, sudah saya siapkan lulur untuk menahan keluarnya kekuatan jahat dari dalam," perintah Mbah Dukun Mantri begitu dokar itu berhenti tepat dihadapannya. Tanpa banyak tanya Trimo dibantu Waijah, dan laki-laki muda di samping Mbah Dukun Mantri Jopomontro itu segera memapah tubuh Pak Kartosentono yang sudah dingin itu. Beberapa saat tubuh itu terbujur di atas dipan kayu yang beralas tikar mendong. Seluruh badan Kartosentono dilulur oleh Mbah Dukun Mantri Jopomontro sambil mulutnya komat-kamit membacakan mantra jampi-jampi.
Agaknya, nyawa Pak Kartosentono sudah tidak tertolong lagi. Serangan kekuatan tenaga jahat itu begitu kuatnya dan dengan cepat telah menguasai seluruh tubuh Kartosentono. Mbah Dukun Mantri berusaha membendung dari celah-celah pori-pori yang masih ada antara permukaan kulit dan daging tubuh itu untuk menahan kekuatan dahsyat itu tetapi rupanya usaha Mbah Dukun Mantri Jopomontro itu tidak membawa hasil, masih kalah cepat dengan serangan kekuatan itu Maka, ajal telah tiba merenggut nyawa Pak Kartosentono. Pedagang hasil bumi dari Dukuh Bubadan yang kaya itu meninggal dipelukan isterinya yang cantik jelita, Waijah Sarirupi yang tangisnya tersedu-sedu menahan duka.
"Maafkan Mbah, Waijah," kata Mbah Dukun Mantri Jopomontro.
"Aku tidak berhasil mengejar datangnya kekuatan penyerang itu."
"Ap...apa yang menyebabkan kematian suami hamba, Mbah," kata Waijah di tengah isak tangisnya.
"Tenangkan dirimu, Waijah. Suamimu tersambar tenung yang sedang lewat" kata Mbah Dukun Mantri Jopomontro sambil memegang tubuh Waijah Sarirupi yang langsung ambruk mendekap jasad suaminya itu. Walaupun Mbah Dukun Mantri Jopomontro sebenarrnya tahu apa yang menyebabkan kematian suami Waijah Sarirupi itu yaitu racun dari minuman yang berasal dari gelas minuman yang telah disiapkan di pesta makan di Kadipaten tadi. Racun yang telah diberi jampi-jampi itu menyerang kuat setelah beberapa saat kemudian. Tetapi hal itu tidak disampaikan kepada Waijah Sarirupi, ia hanya mengatakan bahwa yang menyebabkan kematian itu ada serangan kekuatan tenung yang sedang lewat di jalan secara tidak sengaja menyerang tubuh suaminya.
Setelah dimand?kan, jasad Pak Kartosentono itu dirawat dengan baik untuk dibawa pulang ke Dukuh Bubadan. Para tetangga dan handai taulan ramai mengiringi jenasah untuk mengantar ke peristirahatan terakhir pedagang hasil bumi yang gigih itu. Meninggalkan isterinya yang cantik jelita itu dan seorang bocah bernama Joko Tole yang belum tahu banyak apa yang baru menimpa ayahandanya itu.
*****
PENOLAKAN.
WAIJAH SARIRUPI kini telah menjadi janda sejak ditinggal mati oleh suaminya Pak Kartosentono beberapa waktu yang lalu. Belakangan ini, ia kelihatan dengan sangat terpaksa mengurus usaha dagangnya untuk mempertahankan hidupnya. Meneruskan usaha dagang hasil bumi peninggalan suaminya. Setelah kematian suaminya itu, Waijah Sarirupi seakan- akan tidak mempunyai semangat hidup lagi. Perasaannya tidak pernah tenteram. Walaupun sudah banyak laki- laki yang berusaha mendekati, untuk mengambil hati ingin menjadikan isteri. Demikian juga tidak sedikit yang nekat telah mengajukan lamaran. Akan tetapi sampai berita terakhir nampaknya belum ada seorang pun yang diterima lamarannya.
Dalam hati kecil Waijah Sarirupi mengatakan bahwa yang menyebabkan kematian suaminya waktu itu, diperkirakan lantaran minuman suguhan di pesta Kadipaten malam itu. la, sepintas sering menangkap isyarat yang tidak beres dari pancaran mata Kanjeng Gusti Adipati, sepertinya terlintas ada rasa kebencian kepada suaminya. Walaupun kelihatan bersikap ramah dan memperlihatkan senyum manis dihadapannya, namun naluri seorang wanita tidak mudah diperdaya, sepertinya ada maksud-maksud tertentu yang di- rasakan agak janggal. Demikian juga secara sepintas, ada semacam kilatan mata terpancar aneh yahg beberapa kali tertangkap Waijah, agaknya Kanjeng Adipati itu sedang memendam rasa birahi kepadanya.
Ketika malam di acara pesta di Kadipaten itu, sebenarnya Waijah Sarirupi sempat memperhatikan warna gelas yang diminum suaminya waktu itu. Warnanya agak lain dari gelas-gelas yang disediakan untuk tamu-tamu yang lain. Nampak keruh kebiru- biruan. Dan sepertinya ada semacam sinar kecil yang memantul menuju ke gelas suaminya itu dari arah arca di sudut ruangan itu. Walaupun kecurigaan itu hanya terlintas di dalam benaknya, tetapi ia tidak berani berbuat apa-apa dihadapan Kanjeng Adipati. Jangankan mau memprotes, kalau pun tiba-tiba kehormatannya pun diminta seketika itu, perempuan seperti Waijah Sarirupi itu tidak kuasa untuk menolaknya. Berita kematian Pak Kartosentono telah sampai ke Kadipaten.
Setelah satu minggu dari upacara penguburan Pak Kartosentono, datang utusan dari Kadipaten yang meminta Waijah Sarirupi untuk menghadap ke Kadipaten Ponorogo dengan alasan untuk memperbarui surat-surat kios pasar yang sebelumnya atas nama suaminya akan diubah menjadi nama Waijah Sarirupi sebagai pewaris.
Kedatangan punggawa Kadipaten yang disertai pengawalan dengan membawa kereta kencana mewah yang dimaksudkan untuk menjemput Waijah Sarirupi itu, tentu telah membuat heran penduduk Dukuh Bubadan. Ada apa Waijah Sarirupi sampai mau dibawa ke Kadipaten dengan dijemput kereta kencana kadipaten beserta pengawalan lengkap para punggawa kadipaten.
Dalam keadaan kebingungan, Waijah Sarirupi segera menyuruh anak laki-lakinya yang masih bocah itu, Joko Tole untuk memintakan pertimbangan kepada Warok Wirodigdo. Sepulang menemui Warok Wirodigdo bocah laki-laki itu melaporkan hasil pembicaraannya dengan Warok Wirodigdo kepada Ibunya.
"Menurut Eyang Guru Wirodigdo, Ibu tidak apa-apa pergi ke Kadipaten untuk mengurus soal surat-surat izin kios pasar itu, tetapi jangan ikut naik kereta jemputan, agar sebaiknya ibu pergi ke sana sendirian diantar oleh si Kusir Trimo saja dengan menggunakan dokarnya sendiri. Dan saya juga tidak boleh ikut mengantar Ibu", begitu penuturan Joko Tole kepada ibunya setelah menghadap Warok Wirodigdo.
"Baik kalau begitu. Bapak-bapak punggawa. Saya akan segera ke Kadipaten dengan menggunakan Dokar saya sendiri. Kalian hendaknya kembali saja dan sampaikan kepada Kanjeng Adipati, saya segera menghadap", begitu jawab Waijah Sarirupi kepada para punggawa Kadipaten yang menungguinya sejak tadi. Para punggawa itu, rupanya tidak ingin kena marah. Tetap pada pendiriannya ingin membawa Waijah Sarirupi bersamanya, lantaran mereka tidak mau melanggar perintah. Maka diambil jalan tengah. Para punggawa supaya pergi menunggu di jalan jauh dari Dukuh, dan nanti beriringan membawa kendaraan masing masing ke kota Kadipaten. Sesampainya di Kadipaten, Waijah Sarirupi langsung dibawa masuk ke ruang tengah yang mewah sebagai ruangan kehormatan, hanya orang-orang tertentu yang dapat diterima di ruang ini. Kanjeng Adipati sudah nampak lama menunggu di sana. Surat-surat penggantian balik nama pemilik kios pasar sudah dipersiapkan untuk digantikan nama kepada Waijah Sarirup?. Dengan menunjukkan sikap ingin menolong, Kanjeng Gusti Adipati sekaligus menyampaikan keinginannya untuk mempersunting Waijah Sarirupi, janda yang telah ditinggal suaminya itu, agar ia bersedia menjadi isteri keempatnya.
Waijah Sarirupi kaget dibuatnya mendengar uraian Kanjeng Gusti Adipati yang halus pelan-pelan dalam mengutarakan maksudnya, ingin mempersunting dirinya. Waijah Sarirupi tidak bisa memberikan keputusan saat itu dan memohon waktu, juga dengan alasan tidak pantas dipandang orang kalau buru-buru menerima lamaran laki-laki, ketika baru seminggu suaminya meninggal
"Untuk apa lama-lama kita menunggu, Waijah. Kita toh sudah pernah melakukan hubungan sebagaimana layaknya suami-isteri. Demikian juga kita telah membuahkan anak, padahal waktu itu suamimu masih ada. Dan sekarang engkau sudah menjanda. Aku punya kedudukan sebagai penguasa di daerah ini. Dulu aku belum jadi apa-apa, semua masih menjadi milik ayahku. Jadi sekarang ini, kita dalam keadaan yang paling baik. Aku mencintaimu. Kita telah mempunyai anak yang harus kita bahagiakan bersama di istana Kadipaten ini. Sementara aku tidak punya anak dari isteri-isteriku yang lain. Anak kita itu yang akan memjadi penggantiku di sini nanti. Pikirkan itu baik-baik Waijah. Ini demi masa depanmu dan masa depan anak kita," bujuk Kanjeng Gusti Adipati seperti layaknya orang yang sedang a?kasmaran berat.
Waijah Sarirupi tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menunduk dan matanya berkaca-kaca menahan tangis. Tiba-tiba seperti ada kekuatan gaib yang mempengaruhi kondisi bathin Waijah Sarirupi, sehingga kemudian menimbulkan keberanian untuk berkata tegas
"Kanjeng Adipati yang hamba hormati. Hamba ingin bertanya, siapa sebenarnya yang merencanakan untuk membunuh suami hamba, Kanjeng Adipati. Apa gelas yang diminumnya ketika pesta di sini dulu itu diberi racun?"
Tanya Waijah Sarirupi tiba-tiba tanpa dinyana.
"Hah..Racun?. Siapa yang memberi racun?."
Pertanyaan Waijah Sarirupi yang tidak disangka itu sempat membuat gagap Kanjeng Gusti Adipati.
Dan dalam hati timbul kebingungannya, dari mana Waijah dapat informasi itu.
"Hamba melihat sendiri.
Ada semacam warna racun di dalam gelas suamiku malam itu.
Gelas minuman suami hamba berwarna lain dari warna gelas yang disuguhkan untuk tamu-tamu yang lain.
Jadi apa maksudnya semua ini.
Kami sekeluarga telah memberikan pengabdian kepada Kanjeng Gusti Adipati.
Bahkan ketika Kanjeng Gusti Adipati meminta pengorbanan hamba pun hamba bersedia menyerahkan kehormatan hamba.
Suami hamba pun rela mengorbankan isterinya demi untuk kepentingan Kanjeng Gusti Adipati.
Demikian juga hamba pun patuh memenuhi yang Kanjeng Gusti minta.
Mengapa masih meminta pengorbanan nyawa suami hamba.
Laki-laki yang baik hati itu," kata Waijah Sarirupi tegas dengan air mata yang berlinang ingat akan sikap baiknya yang selalu ditunjukkan kepadanya.
"Jangan..jangan tuduh yang macam-macam Waijah. aku tidak tahu apa-apa. Soal kematian suamimu itu menurut penuturan Tabib Kadipaten, adalah mati wajar. Ada serangan awan jahat di tengah perjalanan kalian malam itu. Engkau sendiri katanya yang telah membawa ke Dukun Sumoroto. Jadi siapa yang membunuh, saya tidak tahu. Kalau ketahuan ada pembunuhnya akan saya usut, dan akan aku ganjar hukuman berat. Ini janjiku kepadamu, Waijah" ujar Kanjeng Gusti Adipati nampak berwajah serius.
Namun dalam hati juga timbul keheranan terhadap kejelian perempuan ini yang kelihatannya mempunyai kekuatan tanggap sasmito yang mampu melihat hal-hal yang tidak tertangkap oleh indera manusia biasa. Dan yang lebih menarik bagi Kanjeng Gusti Adipati, makin penasaran saja untuk cepat-cepat memiliki perempuan kampung yang molek penuh daya tarik ini.
"Kanjeng Gusti Adipati, kalau demukian hamba mohon ampun, dan mohon diri untuk kembali pulang"
"Jangan dulu pulang. Jangan buru-buru pulang, Waijah. Waktuku banyak sekali untuk menerimamu di sini. Aku sangat senang engkau ada di sini. Sungguh, Waijah. Hari ini aku sangat bahagia engkau berada di sini."
"Tetapi kalau sekiranya, Kanjeng Gusti Adipati sudah tidak ada perlu lagi memanggil hamba kemari hamba berpamit pulang "
"Waijah, engkau sangat aku perlukan di sini. Aku sangat membutuhkanmu. Anggap saja di sini ini semua rumahmu sendiri. Engkau pulang ke rumahmu ini. Baiknya tenangkan hatimu. Aku akan menemanimu. Waktuku sangat berharga bersamamu di sini. Engkau mau minum apa, ada anggur enak dari Majapahit. Bagaimana, sebentar aku ambilkan,"
Adipati itu segera mengangkat kaki dan mengambilkan sendiri minuman anggur yang kemudian diminum bersama Waijah Sarirupi.
Walaupun sebenarnya Waijah ingin menolak pemberian minuman itu, tetapi lantaran tenggorokannya juga merasa kering merasa kehausan terpaksa diterimanya pemberian minuman itu.
Ia bersama Kanjeng Gusti Adipati yang nampak hatinya sedang berbunga-bunga karena dapat berbincang dengan perempuan secantik Waijah Sarirupi ini, kelihatan sering gugup begitu nampak sangat dimanjakan Kanjeng Gusti Adipati.
"Bagaimana keputusanmu, Waijah.
Apa engkau bersedia menerima lamaranku tadi agar kita tiap hari, tiap malam kita selalu bisa menikmati hidup ini bersama."
"Hamba belum bisa menjawab sekarang.
Nanti kami akan haturkan jawabannya kepada Kanjeng Gusti Adipati"
"Ohh, begitu.
Ya..tapi jangan lama-lama ya,"
Kata Kanjeng Gusti Adipati nampak puas dengan wajah berseri-seri.
"Tetapi engkau tidak keberatan bukan, kalau aku ingin menciummu, Waijah."
Waijah Sarirupi tidak menjawab hanya menundukkan kepalanya, dan Kanjeng Gusti Adipati itu pun nampak dengan penuh hormat mencium kening Waijah Sarirupi yang rupawan berkilau itu.
*****
GEMBLAKAN.
HARI demi hari telah berlalu. Minggu silih berganti minggu, menjadi berbulan-bulan, dan hingga kini telah berjalan hampir lima tahun, Waijah Sarirupi terus menghindar dari lamaran Kanjeng Gusti Adipati yang masih penasaran mengubernya untuk menjadikan dirinya sebagai isterinya itu.
Namun selalu mendapat jawaban dari Waijah Sarirupi
"Sabarlah Kanjeng Gusti Adipati.
Hamba sedang mempertimbangkan.
Mohon waktu," demikian kata-kata yang selalu keluar dari mulut Waijah Sarirupi ketika tiap kali dipanggil ke Kadipaten untuk ditanya mengenai jawaban terhadap lamaran Kanjeng Gusti Adipati Raden Mas Sumboro Mukti Wibowo yang sudah tertunda-tunda bertahun-tahun itu.
Tiap malam Waijah Sarirupi tidak bisa tidur apabila ia ingat akan kematian suaminya Pak Kartosentono, dan juga menjadi semakin bingung menghadapi desakan lamaran Kanjeng Gusti Adipati yang tiap kali selalu menanyakan itu.
Kalau sudah demikian ia biasanya lalu bersemedi di ruang sentong kiri, samping rumahnya berlama-lama memohon petunjuk kepada Sang Hyang Tunggal penguasa alam semesta ini. Anaknya laki-laki, Joko Tole, anak kecil yang masih bocah belum tahu apa-apa, kemudian ia pun ikut bersedih sejak sepeninggal Bapaknya, Pak Kartosentono beberapa tahun yang lalu ketika ia masih bocah.
Tetapi ia tidak pernah tahtu, ada misteri apa di balik dirinya dan kesedihan Ibunya yang berlarut-larut itu.
Ia hanya ikut prihatin atas perubahan sikap ibunya yang sering menangis sendirian yang juga mulai tidak memperlihatkan kegembiraan hidupnya.
Perubahan yang terjadi atas diri Ibunya itu diceriterakan kepada Warok Wirodigdo yang beberapa tahun terakhir ini diam-diam telah memperlakukan bocah Joko Tole sebagai gemblakannya.
Selain dijadikan gemblakan, bocah Joko Tole sendiri menganggap Warok Wirodigdo sebagai gurunya yang telah mengajarkan ilmu-ilmu kekuatan bathin dan kanuragan kepada dirinya, sehingga ia pun sangat menyayangi Warok Wirodigdo yang perkasa itu dianggap seperti layaknya bapaknya sendiri.
Kebiasaan yang harus dijalani seseorang yang telah dijadikan gemblakan utamanya adalah menemani tidur orang yang memungutnya sebagai gembiakan itu.
Oleh karenanya, antara Warok Wirodigdo dan Joko Tole sudah seperti hidup bagaikan pasangan "suami- isteri"
Walaupun berbeda umur yang sangat jauh, boleh dibilang seumur eyang buyutnya.
Pantangan kawin merupakan salah satu tradisi para Warok dalam salah satu aliran yang dipercaya oleh warok-warok tertentu, walaupun ada pula aliran ilmu ilmu lain yang dikuasai oleh Warok lainnya lagi yang tidak selalu mengharuskan pantang kawin ini.
Untuk menggantikan fungsi isteri itu, biasanya seorang Warok mengambil anak laki-laki yang ganteng untuk dijadikan "isterinya"
Yang disebutnya gemblakan.
Mengangkat gemblakan ini merupakan kebanggaan bagi seseorang Warok tertentu yang merasa makin mantab kedudukan kewarokannya apabila telah mampu memelihara gemblakan ini.
Kepemilikan gemblakan ini juga dianggap akan mengangkat gengsinya di mata masyarakat sebagai orang yang "mampu' menyantuni gemblakan yang ada hubungannya dengan soal harta dan martabat, sebab seorang gemblakan yang dipeliharanya itu pada waktu- waktu tertentu selalu harus d?berinya hadiah-hadiah biasanya berupa hewan, kambing, anak sapi (pedet), sapi, kerbau, dan lain sebagainya.
Selama Joko Tole menjadi gemblakan Warok Wirodigdo, ia pun rupanya tidak meninggalkan kebiasaan berpakaian ala gemblakan yang telah melekat sebagai adat-istiadat masyarakat setempat.
Hal itu juga membuat kebanggaan bagi warok yang memeliharanya, martabatnya akan menjadi naik lantaran dapat memberikan pakaian seragam yang menjadi ciri-ciri gemblakan yang bergengsi, antara lain Joko Tole diberi ikatan latar putih seperti layaknya seorang temanten, memakai pakaian hitam model jas bukakan dengan memakai pakaian putih atau merah muda diberi variasi kaos lengan pendek, celana hitam sebatas bawah dengkul dibelek dengan ditempeli strip merah, membawa sarung batik latar putih.
Tiap saat joko Tole dengan pakaian seragamnya itu diajak jalan-jalan Warok Wirodigdo untuk dipamerkan kepada masyarakat umum sebagai kebanggaan seorang warok yang memiliki gemblakan yang dapat dipertunjukkan.
Kebiasaan kehidupan sebagian para Warok ini dianggapnya sebagai sangat bergengsi. Memang umumnya, anak yang dijadikan gemblakan itu biasanya dari orang tuanya yang miskin.
Atau diambilkan dari anak keluarga miskin yang sedang dirundung kesusahan.
Kemudian karena terpepet ekonomi, ia merelakan anak bocah laki-lakinya yang disayanginnya itu diambil jadi gemblakan oleh seorang Warok yang tersohor dan disegani masyarakat di daerahnya dengan imbalan akan menerima sejumlah pemberian dari Warok yang memeliharanya itu biasanya berupa pedet, anak sapi kalau si gemblakan sudah ikut Warok yang bersangkutan sekitar satu tahun.
Namun lantaran hubungan yang baik saja antara keluarga orang tua Joko Tole dengan Warok Wirodigdo, maka yang terjadi nampaknya lebih pada sikap suka sama suka.
Tidak ada hitungan imbalan apa-apa.
Saling membutuhkan saja, dan saling hormat-menghormati sesamanya.
Suatu sore hari kedua laki-laki itu, yang satu sudah tua berusia lanjut dan yang satunya masih bocah belia nampak sedang ngobrol santai d?beranda depan rumah Warok Wirodigdo yang terbuat dari bambu dan sebagian dari ukiran kayu jati.
"Aku kesal sekali waktu itu kepada Bapakmu, Joko," kata Warok Wirodigdo membuka pem-bicaraan,
"Sudah aku nasehati jangan pergi malam itu, aku telah menangkap isyarat kekuatan jahat yang bakal terjadi menimpa kepada Bapakmu.
Tetapi Bapakmu tidak menggubris nasehatku.
Ia lebih mementingkan untuk mengejar harta.Nafsu terhadap kekayaan itu yang sering membuat dirinya lupa untuk menjaga keselamatan dan martabat keluarga.Bahkan ia sering lupa memberikan pengamanan kepada ibumu. Demikian juga sampai-sampai ia teledor memberikan pengamanan terhadap dirinya sendiri.Jadi kematian Bapakmu itu sudah menjadi bagian dari rencana hidupnya.la sendiri yang membuat demikian itu.
Ia yang seakan-akan telah menggali lubang kuburrnya sendiri .Kasihan ibumu yang telah memberikan pengorbanan banyak.Apa saja yang dimaui Bapakmu, selalu dituruti oleh ibumu"
Demikian suatu sore, Warok Wirodigdo beceritera kepada Joko Tole.
"Sekarang, apa yang bisa saya perbuat terhadap Ibuku, Eyang Guru," tanya Joko Tole.
"Kamu harus bisa menjaga Ibumu. Bahkan, aku juga telah menutup jalan masuk bagi serangan kekuatan jahat yang ingin masuk mempengaruhi kekuatan bathin Ibumu dari jauh sini. Tugasmu Joko, kamu harus mampu mempelajari dengan tekun, secara terus menerus ilmu-ilmu yang telah aku turunkan kepadamu. Kamu harus bisa menguasai semua ilmuku, sebelum ajal memanggilku," ujar warok Wirodigdo.
"Matur nuwun. Terima kasih, Eyang Guru."
Setelah berbincang lama dengan Joko Tole, tidak berapa lama Warok Wirodigdo kemudian bersemedi lama sekali, Warok Wirodigdo sedang berusaha keras untuk melepaskan semua susuk yang selama ini ditanam dalam sekujur tubuhnya berupa besi baja dan kuringan. semua benda keras itu yang dapat menahan serangan lawan terhadap tusukan benda tajam, bacokan, atau senjata tajam lainnya, sehingga membuat Warok Wirodigdo selama ini menjadi manusia yang tidak tedas bacok .Barangkali kini, Warok Wirodigdo sudah mulai merasa bahwa umurnya tidak akan lama lagi, maka kemudian ia melakukan upacara pelepasan susuk itu agar memudahkan jalan menuju ajal apab?la memang saatnya telah dikehendaki oleh Sang Hyang Tunggal .
Semula semua susuk itu akan diwariskan kepada Joko Tole, tetapi kemudian setelah dipertimbangkan, mengingat usia dan pengalaman hidup Joko Tole yang masih bocah belum waktunya menerima kekuatan susuk yang memerlukan kemampuan diri untuk merawatnya itu agar tidak menjadi senjata makan tuan yang bisa membinasakan diri sendiri apabila yang memakainya belum kuat benar. Oleh karena itu kemudian, kekuatan susuk itu dilepas oleh Warok Wirodigdo tanpa ada pewarisnya. Entah siapa nanti yang akan menemukan kekuatan yang ada pada susuk itu.
****
Waijah Sarirupi, ibu kandung Joko Tole, ketika semalaman bersemedi di kamar rumahnya, merasa ada kekuatan gaib yang mendatanginya. Kekuatan itu berusaha menguasi dirinya, dan ingin memasuki jiwa raganya.
Warok Wirodigdo, segera prayitno, kekuatan susuk yang baru dilepaskan itu berusaha berpindah kepada diri Waijah Sarinupi, ternyata kekuatan itu mendapatkan tolakan keras yang terpancar dari diri Waijah Sarirupi. Hampir saja akan terjadi pergumulan kekuatan kalau tidak segera diambil kembali oleh Warok Wirodigdo, apabila terlambat mungkin akan membawa cilaka, kematian bagi Waijah Sarirupi yang tidak kuat menahan datangnya kekuatan dahsyat itu. Tolakan kekuatan itu yang kemudian dikendalikan oleh Warok Wirodigdo lagi untuk dicarikan pangkalan kekuatan pada orang lain yang lebih kuat dan dinilai orang tersebut mempunyai moral yang baik agar kelak kekuatan itu tidak digunakan secara sembarangan. Dalam semedinya itu, tiba-tiba setelah berkeliling untuk mendapatkan orang yang tepat untuk memindahkan kekuatan itu, terlintas gambaran seseorang perkasa yang malam itu juga sedang melakukan semedi.
Orang itu adalah Warok Wulunggeni yang ketika melihat pancaran sinar mendatanginya, ia segera waspada dan tanpa banyak sikap kekuatan dahsyat itu disambarnya, ditangkapnya dan disimpan pada dirinya. Warok Wulungggeni yang sedang bersemedi itu kini mendapatkan tambahan kekuatan baru yang ditarik dari kekuatan yang dilepas oleh Warok Wirodigdo itu. Waijah Sarirupi yang merasa semedinya mendapatkan gangguan-gangguan dari berbagai kekuatan yang silih berganti, tiba-tiba ia mendapatkan petunjuk untuk meneruskan semedinya itu untuk mendatangi sebuah Pertapaan di lereng Gunung Lawu.
Warok Ponorogo 5 Tragedi Perempuan Kampung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka, akhirnya ia memutuskan untuk memilih pergi bertapa ke Gunung Lawu itu. Hal itu secara tidak langsung merupakan keputusan untuk menolak lamaran Kanjeng Gusti Adipati yang dinilai berhati jahat sebagai pembunuh suaminya. Sedangkan anak bocah yang ditinggalkan, Joko Tole, yang sedang tekun berguru kepada Warok Wirodigdo yang tidak punya isteri dan anak itu, dibiarkan terlantar begitu saja. Dalam hati Waijah berkata
"Mudah-mudahan Kangmas Warok Wirodigdo mau mengangkat anak pada si Tole ini. Anak ini sebagai anak haramnya Adipati si mata keranjang itu. Manusia pembunuh itu,"
Tukasnya dalam hati sambil memandangi anaknya yang sudah menginjak remaja itu ditinggalkan dalam keadaan tidur pulas di amben kamar depan rumah besar itu.
*****
AWAL PENGEMBARAAN.
SEJAK ditinggal pergi ibunya, Joko Tole, hidupnya selalu dirundung gelisah.
Gurunya Warok Wirodigdo yang dibanggakan selama ini dan sudah dianggap seperti layaknya orang tuanya sendiri, atau bahkan lebih diperlakukan seperti eyangnya sendiri, tidak lama kemudian juga menyusul meninggal dunia karena umurnya yang sudah tua renta itu.
Tetapi sebelum meninggal, Warok Wirodigdo sempat menurunkan ilmu-ilmu andalannya kepada Joko Tole yang masih bocah itu, juga setumpuk buku-buku pelajaran berharga mengenai ilmu kanuragan dan olah batin tingkat tinggi.Joko Tole, walaupun masih terhitung anak bocah ingusan yang baru berumur sekitar sembilan tahun, lama-lama karena Joko Tole dikenal masyarakat di kampung itu memiliki kemahiran menguasai ilmu kanuragan dan olah batin hampir setangguh gurunya Warok Wirodigdo, walaupun sebenarnya ilmu yang dikuasai Joko Tole itu baru permulaan, baru dasar-dasarnya saja, namun kemudian oleh masyarakat ia sering dimintai tolong untuk membantu segala rupa urusan yang menimpa penduduk di Dukuh Bubadan itu.
Namun, tidak lama kemudian Joko Tole, diam-diam meninggalkan kampung halamannya itu pergi berkelana dengan tujuan untuk mencari ibunya yang telah meninggalkannya.
Selain itu terlintas dalam benaknya, ia ingin mengenal ayahnya yang sesungguhnya itu siapa.
Menurut penuturan Warok Wirodigdo sebelum menghembuskan nafas penghabisan sempat membeberkan rahasia hidupnya.
Menceriterakan mengenai asal-usul diri Joko Tole yang sebenarnya, akan tetapi tidak terlalu lengkap terutama misteri siapa ayah kandungnya yang sebenarnya.
Belum sempat terungkap lengkap.
"Muridku Joko Tole,"
Begitu kata Warok Wirodigdo menjelang ajalnya ketika itu.
"Engkau boleh bersedih ditinggal ibumu Waijah Serirupi, dan carilah beliau sampai engkau dapatkan. Akan tetapi, engkau seharusnya tidak perlu terlalu bersedih ditinggal bapakmu Kartosentono. Sebab, ia sebenarnya bukan bapak kandungmu sendiri. Bapak kandungmu sendiri sebenarnya masih hidup. Dan..dan...dan...cari..iilah...ia. Mintailah. Min...min- tailah ia..tanggung..jawabnya. Bap...bapak.bapakmu, nama...manya..."
Warok Wirodigdo sudah tidak sanggup lagi meneruskan kata-katanya untuk menyebut nama ayahanda sesungguhnya dari Joko Tole.
Kemudian keburu meninggal dunia untuk memberikan petunjuk yang benar,
Kata Joko Tole dalam hati.
Kemudian, Joko Tole diam-diam tanpa berpamitan kepada orang kampung, pagi-pagi buta telah berangkat meninggalkan perkampungan penduduk Dukuh Bubadan itu menuju ke arah barat dengan berjalan kaki.
Hanya berbekal secukupnya di atas kampluk yang menggelantung di pundaknya.Laporan mengenai kepergian Waijah Sarirupi dan anaknya Joko Tole itu telah sampai kepada Kanjeng Gusti Adipati di keraton Kadipaten Ponorogo.
Seketika itu pula Kanjeng Gusti Adipati menjadi lemes mendengarnya.
"Bagaimana menurut hemat Eyang Empu Tonggreng mengenai hal ini," kata Kanjeng Gusti Adipati kepada penasehat spiritualnya yang senior itu.
"Saya ingin membahagiakan perempuan kampung janda Kartosentono itu dan ingin menunjukkan rasa tanggung jawabku terhadap anak bocah itu, akan tetapi mereka berdua malahan memutuskan untuk lari kabur tidak tahu rimbanya. Tidak jelas kemana mereka perginya. Saya benar-benar tidak mengerti, apa yang sekiranya diinginkan perempuan itu. Dan anak bocah itu katanya juga tiba-tibe menghilang tanpa satu orang pun di kampung itu mengetahui keberadaan mereka berdua. Saya sangat prihatin terhadap kejadian ini semua, Eyang Empu Tonggreng. Jadi bagaimana sebaiknya."
"Kanjeng Gusti Adipati" kata Empu Tonggreng, orang yang sangat mengetahui semua awal mula kejadian ini.
"Sudah selayaknya Kanjeng Gusti Adipati berbuat banyak kebaikan kepada mereka itu. Baik terhadap ibu maupun anaknya itu. Tetapi barangkali mereka salah menerima. Salah paham. Salah sangka. Mereka tidak mengerti maksud baik Kanjeng Gusti Adipati. Oleh karena itu, sebeaiknya Kanjeng Gusti Adipati menyelenggarakan sayembara saja. Hal itu barangkali agar kita mendapatkan bantuan pencarian dari para warga yang mengetahui keberadaan mereka berdua. Dengan diumumkan adanya sayembara ini, diharapkan dengan sendirinya, semua orang tahu dan dengan mudah akan mendapatkan keterangan mengenai keberadaan mereka berdua. Kita perlu siapkan bahan-bahan untuk sayembara itu, terutama mengenai jati diri mereka berdua itu agar ketika orang-orang mengetahui atau berpapasan langsung dengan Waijah Sarirupi dan anaknya Joko Tole dengan ciri-ciri mereka, masyarakat akan dengan mudah mengenalinya di mana pun beradanya kedua orang itu."
Kanjeng Adipati berpikir sejenak.
"Sebentar Eyang Tonggreng. Apakah akan baik, kalau hubunganku dengan janda dan anaknya itu sampai tersebar di masyarakat. Itu kan tidak pantas diketahui oleh umum tho, Eyang Tonggreng. Mengenai kejadian ini kan seyogiyanya harus dirahasiakan rapat-rapat thoo, Eyang Tonggreng. Kalau kejadian ini sampai diketahui oleh masyarakat banyak, apakah hal ini tidak akan bisa menimbulkan aib dan meruntuhkan kewibawaanku sebagai Adipati, tho Byang Tonggreng."
"Kalau dulu aku masih belum menjabat Adipati, masih dijabat oleh ayahku. Sekarang ini kedudukanku kan lain, Eyang Bmpu Tonggreng"
"Ya.Ya. Memang dalam perkara ini Kanjeng Gusti Adipati harus hati-hati"
"Ya, itulah, Eyang Apakah mungkin rahasia ini akan mudah diketahui oleh masyarakat. Mengapa Adipati sampai begitu menaruh perhatian besar atas hilangnya seorang perempuan kampung dan anaknya. Apakah tidak akan menimbulkan tanda tanya masyarakat, jangan jangan anak itu anak haramnya Adipati, dan itu tentu akan sangat memalukan saya, Eyang Tonggreng"
"Untuk berbuat b?ik sesamanya itu, tidak perlu takut terhadap rasa malu itu, Kanjeng Gusti Adipati."
"Tetapi ini akan menyangkut wibawa kedudukanku sebagai seorang Adipati. Masyarakat akan bertanya. Ada apa dibalik peristiwa ini semua. Jangan-jangan Adipati ada main. Walaupun hal ini merupakan upaya sebagai rasa tanggung jawab saya terhedap peristiwa masa laluku, Eyang Tonggreng."
"Kejadian antara Kanjeng Gusti Adipati dan perempuan kampung itu bukan sekarang, atau kemarin lusa lho, Kanjeng Gusti Adipati. Akan tetapi sudah beberapa tahun yang silam sebelum ada pengangkatan terhadap diri Kanjeng Gusti Adipati. Orang dapat memaklumi darah muda yang mengalir pada diri Kanjeng Gusti Adipati pada waktu itu ketika pertama kali melihat perempuan cantik jelita, Ajeng Roro Waijah Sarirupi di kampung itu. Siapa bisa mengingkari hal ini. Oleh karena itu, menurut hamba, tidak ada pengaruhnya terhadap kedudukan Kanjeng Gusti Adipati. Tidak akan menggoyahkan kewibawaan kedudukan Kanjeng Gusti Adipati, justeru orang akan menilai, bahwa Kanjeng Gusti Adipati orang yang mau bertanggung jawab terhadap apa-apa pun yang pernah dilakukan di masa lalu. Demikian juga orang akan menilai bahwa Kanjeng Gusti Adipati sangat jujur terhadap masa lalunya. Apa pun masa lalu itu, baik atau buruk. Begitu menurut hemat hamba. Namun keputusannya sepenuhnya kan terserah kepada Kanjeng Gusti Adipati."
Setelah Kanjeng Gusti Adipati mendengar nasehat dari Empu Tonggreng sebagai sesepuh yang dekat dengannya, dan juga orang yang mengetahui kejadian malam itu di Dukuh Bubadan maka kemudian Kanjeng Gusti Adipati nampaknya dapat menerima alasan-alasan yang dikemukakan oleh Empu Tonggreng itu. Beliau pun kemudian mengambil keputusan untuk mengumumkan segera penyelenggaraan sayembara kepada warga siapa saja yang dapat berhasil menemukan Waijah Sarirupi dan Joko Tole, mereka akan diganjar anugerah dan mendapatkan hadiah yang setimpal. Berita mengenai sayembara ini dalam waktu singkat elah tersebar ke seluruh pelosok di kampung-kampung. Namun agaknya kurang mendapatkan peminat. Lantaran dianggapnya tidak lazim. Sayembara mencari seorang perempuan dewasa dan anaknya yang sudah remaja. Dianggap tidak menarik. Kalau sayembara adu tanding, atau pekerjaan-pekerjaan yang menantang penuh kekerasan mungkin malahan akan lebih menarik dan akan mendapatkan peminat dari masyarakat Ponorogo yang memang mempunyai tradisi kekerasan seperti itu.
*****
SALAH PAHAM.
SETELAH berbulan-bulan, kemudian berganti bertahun- tahun yang ketika Joko Tole meninggalkan Dukuh Bubadan baru anak-anak bocah berumur sekitar sebelas tahun, pergi mengembara dengan tujuan untuk mencari orang tuanya, kemudian agar memudahkan pencariannya juga dimaksudkan supaya kedua orang tua yang dicarinya itu tidak menghindar darinya, maka ia kemudian memutuskan untuk berganti nama menjadi Joko Manggolo. Ia tahu bahwa kepergian ibunya juga ada hubungannya untuk meninggalkan dirinya. Oleh karena itu ia harus menyamarkan jati dirinya. Kalimat terakhir yang diucapkan oleh gurunya Warok Wirodigdo ketika itu Joko Manggolo baru berumur sepuluh tahun yang mengatakan ayahnya masih hidup itu merupakan misteri yang harus dipecahkan.
"Mungkinkah, ibu kandungku mau meninggalkan aku begitu saja tanpa sebab-sebab yang masuk akal. Mungkin ia membenciku lantaran aku bukan anak kandungnya sendiri. Bisa-bisa Ibu Waijah Sarirupi yang selama ini aku kenal sebagai ibu kandungku sendiri ternyata ia ibu angkatku. Demikian juga mengenai siapa sebenarnya ayahku. selama ini aku mengenal Pak Kartosentono yang telah wafat itu sebagai ayah kandungku. Akan tetapi menurut kata eyang guru Warok Wirodigdo, Bapakku masih hidup. Jadi, berarti bapak kandungku bukan Pak Kartosentono. Lalu, siapakah mereka berdua itu "
Begitu pikir Joko Manggolo pada setiap saat di perjalanan pengembaraannya itu. Entah sudah berjalan berapa jauh dan berapa tahun mungkin sudah ada lima tahun ini, Joko Manggolo sudah tidak menghitungnya, siang malam keluar masuk kampung. kadang harus tidur di bulakan, di hutan, di tepi sungai, di atas batu besar, di bawah keteduhan pohon, ia terus berjalan menyelusuri kemana-mana. Untung dalam perjalanannya ini, ia membawa setumpuk buku buku pelajaran mengenai ilmu kanuragan dan ilmu olah bathin yang ditinggalkan oleh Warok Wirodigdo, sehingga kesempatan ia selalu berlatih dan mempraktikan ilmu-ilmu yang ada dalam buku-buku itu, kadang ia harus belajar mengamati gerakan-gerakan binatang-binatang buas yang ditemui ketika berkelahi melawan mangsanya di hutan, hampir mirip dengan pelajaran gerakan-gerakan ilmu kanuragan yang tertulis dalam buku pelajaran berharga yang kini menjadi kekayaan satu-satunya baginya. ia merasa tidak jemu-jemunya menyebarangi tanah kosong, bulakan panjang yang bergelombang penuh tanah-tanah gundukan, Joko Manggolo melihat ada tanda pintu gerbang yang menunjukkan ia telah sampai di suatu tepi dusun di kaki pegunungan yang berbukit-bukit. Pemandangan pohon-pohon besar amat jarang dijumpai, hanya terkadang ada beberapa pohon asem yang tumbuh menjulang ke atas tidak beraturan. Joko Manggolo kemudian berhenti di situ, mencari tempat duduk di bawah pohon yang rindang untuk merenung. Diperhatikan gerakan-gerakan burung-burung elang di angkasa ketika melakukan gerak menukik, menghempas, dan memutar-mutar sayapnya, kemudian ia menirukan cara gerakan burung itu untuk menaklukkan alam angkasanya, terciptalah jurus-jurus elang. Demikian juga ia sering menjumpai monyet-monyet yang berkelahi sesamanya, gerakannya begitu lincah meloncat- loncat, ia merasa mendapatkan pelajaan dari cara gerak monyet yang lincah itu. Sampai kepada gerakan katak yang begitu gesit melompat melemparkan tubuhnya kian kemari hanya untuk menangkap nyamuk yang begitu kecil dengan juluran lidahnya. Semuanya ia telah menambah perbendaharaan jurus-jurus ilmu kanuragan Joko Manggolo, dan sekaligus sebagai hiburan di perjalanan panjangnya karena tiap hari ia merasakan mendapatkan sesuatu kehidupan dan pengalaman baru. Dalam perjalanannya, Joko Manggolo selalu berusaha menghindari bertemu orang kampung-kampung yang dilewati, hanya kalau sudah sangat terpaksa, misalnya seharian ia tidak mendapatkan makanan, terpaksa ia mengemis ke rumah penduduk yang dianggap mampu sekedar memberi makan, entah singkong, jagung atau apa saja. Ia makan dari tumbuh-tumbuhan yang dijumpai di perjalanan, dimasak sendiri dengan kayu bakar, kadang ia membidikkan plintengan (ketapel) sebuah peralatan yang terbuat dari kayu kecil yang bercabang dua, kemudian diberi alat pemantul semacam karet yang dapat ditarik dilepas untuk melemparkan batu keras ke arah binatang, burung-burung, atau kadang ia hanya menggunakan seutas tali dari bahan kulit pohon yang kemudian dijadikan alat sebagai pelempar batu untuk senjata menangkap hewan buruannya. Hasil hewan buruan itu kemudian ia panggang di atas kayu bakar. Atau kadang ia menangkap ikan di kali. Semua keterampilan itu yang pernah diajarkan oleh gurunya Warok Wirodigdo ketika masih kanak-kanak dahulu ketika suka ikut bepergian bersama gurunya ke hutan, atau pergi ke sawah ladang.
Sudah sekitar lima tahun ini, tubuh dan wajah Joko Manggolo berubah oleh tempaan alam. Ia kini menjadi pemuda gagah, berdada bidang, dengan otot-ototnya yang menonjol menandakan ia tiap hari hari bekerja keras menyambung hidup. Kulitnya menjadi hitam kelam terkena matahari tiap hari bolong. Bagi orang lama, atau sanak keluarganya, mungkin kini kalau menemui dia di jalan sudah tidak mengenalinya. Hanya ia masih setia menggelantungkan sebuah kalung yang terikat oleh tali sirat yang kuat dalam lehernya dengan manik-manik kecil yang konon menurut pesan orang tuanya dulu sebagai pertanda keluarga. Namun demikian, kalung tanda keluarga itu sering pula dicopot disembunyikan ketika ia memasuki kampung-kampung yang kadang-kadang ia mencari kerja apa saja untuk mendapatkan upah kepingan uang .Membelah kayu, membantu menunai di sawah ladang, atau menjual binatang hasil buruannya kepada penduduk kampung yang dilaluinya. Dari sana hidupnya terus dapat menyambung. Dalam perjalanannya yang keras itu, Joko Manggolo tidak jarang menemui banyak kesulitan, sering diejek oleh pemuda-pemuda yang dijumpainya di jalanan di kampung-kampung, sejauh ini ia selalu berusaha menghindari dari perkelahian. Namun, kadang-kadang ia tidak mungkin lagi menghindar, sehingga ia harus melayani perkelahian keras melawan jago-jago kampung atau orang-orang yang ditemui di jalan yang salah paham kepadanya.
Nasib baiknya nampaknya masih sering berpihak kepadanya. Ia sering memenangkan perkelahian, walaupun dengan korban dirinya biasanya babak-belur, dan kemudian berakhir dengan persahabatan dengan bekas lawannya itu. Beberapa kali ia berusaha menguasai ilmu kesaktian agar ia tidak mempan terhadap bacokan, tidak tedas terhadap tusukan benda tajam, namun belum berhasil. Dalam salah satu bukunya, memang diajarkan bagaimana cara memasang susuk, memasukkan benda-benda keras dalam tubuh-tubuhnya yang penting, misalnya perlindungan terhadap perut, dada, punggung, kaki, muka, dan sebagainya, tetapi sejauh ini, ilmu kesaktian itu belum dikuasai Joko Manggolo, hanya ilmu kanuragan yang menyangkut keterampilan bertarung saja yang nampak sudah begitu ia kuasai dengan baik. Oleh sebab itu, sebenarnya Joko Manggolo mengharapkan untuk memperoleh guru, orang bijaksana yang sakti mandra guna dan mau menurunkan imu-lmu kesaktiannya kepadanya. Dalam pengembaraannya ini, selain bertujuan mencari kedua orang tuanya itu, ia juga berharap suatu saat menemui seorang guru yang dapat memberikan bekal ilmu kesaktian bagi dirinya. Dengan semangat tinggi dan tekad bulat, ia terus menempa dirinya, sebagaimana pesan terakhir gurunya dahulu yang masih terus terngiang di telinganya.
"Jadilah kamu Tole sebagai Warok Sejati"
BERSAMBUNG
*****
Animorphs 11 Petualangan Di Dua Dunia Pusaka Golok Iblis Dari Tanah Seberang Cahaya Perak Bukit Timur Karya Kwee Oen
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama