Ceritasilat Novel Online

Bentrok Para Pendekar 5


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bagian 5



Bentrok Para Pendekar Karya dari Gu Long

   

   Dari kejauhan ia berteriak.

   "Jagalah dirimu sendiri, hati-hati, zaman ini banyak orang jahat...."

   Kereta itu sudah pergi jauh.

   Roda dan tapak kuda yang berlari kencang meninggalkan kepulan debu yang memanjang di belakang.

   Dengan nanar Sim Bik-kun mengawasi bayangan yang makin menjauh, entah kenapa mendadak hatinya dirasuki perasaan takut yang aneh, takut yang ia sendiri tidak tahu dan tidak bisa menjelaskan sebab musababnya.

   Bukan seluruhnya karena kesepian, tapi rasa sabatangkara yang menggejolak dalam relung yang paling dalam, tanpa bantuan dan keputusasaan.

   Tiba-tiba ia menyadari sepanjang hidupnya ini ternyata dirinya tak pernah mandiri.

   Sejak kecil ia hidup dalam dibimbing ayah bunda, setelah menikah ikut suami, lalu bertemu dan mengikuti Siau Cap-it Long.

   Sudah dua tahun ia tidak berjumpa dengan Siau Cap-it Long, tapi relung hatinya masih terus memikirkan dia, ia hidup demi dia, hidup dengan penuh harapan.

   Apalagi sudah dua tahun ini tiada orang merawat hidupnya, seorang perempuan rupawan memangnya tiada yang teguh, menyendiri, memangnya pantas ia hidup memperoleh perawatan dan bimbingan orang lain.

   Sekarang mendadak ia merasa dirinya terpencil.

   Siau Cap-it Long sudah mati, Lian Shia-pik juga sudah meninggal, kedua orang yang menjadi dambaan hatinya sudah tiada, kini hatinya sudah beku.

   Cahaya matahari benderang, perasaan hatinya malah dingin, dia merasa dirinya ingin mati saja.

   Tapi biarpun mati, jangan mati di tempat ini.

   Jangan jenazahnya dikebumikan oleh Lian Shia-pik.

   Padahal dua tahun ini ia tidak pernah mendengar beritanya.

   Memangnya dia sudah tenggelam dalam keputusasaan.

   Sim Bik-kun tak mau memikirkannya lagi, tapi tidak mungkin tidak memikirkannya.

   Akhirnya ia berkeputusan untuk meninggalkan tempat ini, tempat yang banyak meninggalkan kenangan indah masa lalu.

   Tapi waktu kakinya bergerak, ia melihat dua orang berpakaian hijau keluar dari pintu besar berukir kuno.

   Bergegas ia menyingkir dan bersembunyi di belakang pohon, ia tidak ingin ada orang di sini tahu bahwa dirinya telah pulang.

   Banyak orang di sini mengenal dirinya, mungkin mereka terheran-heran, kenapa majikan perempuan rumah ini telah lama pergi dan tak pernah kembali lagi.

   Langkah kedua orang itu makin dekat, mereka bercakap dengan riang, tertawa senang dan saling goda, dengan langkah cepat mereka memasuki bidang rimbun di tengah pepohonan yang lebat.

   Dari dandanannya, jelas mereka adalah kacung atau pelayan dari Bu-kau-san-seng, dahulu para pelayan di perkampungan ini tiada yang berani sebebas itu bicara dan mondar-mandir, keluar masuk seenaknya.

   Apalagi raut muka mereka terasa asing bagi Sim Bik-kun.

   Perubahan yang terjadi selama dua tahun sungguh luar biasa, tiap orang berubah, apa yang terjadi di sini semua sudah berubah.

   Bagaimana dengan Lian Shia-pik? Awalnya Sim Bik-kun berpendapat suaminya itu mirip batu cadas di belakang perkampungan yang menjulang tinggi ke angkasa, keras, tua dan bangkotan, selamanya tidak akan berubah.

   Suara tawa mereka makin dekat, dua orang ini saling rangkul pundak mendatangi, yang di sebelah kanan bermuka hitam, usianya lebih tua, temannya lebih putih, usia lebih muda, mukanya malah mirip nona yang mulai menanjak dewasa.

   Mereka juga melihat Sim Bik-kun yang berada di belakang pohon.

   Sebab ia merasa tak perlu bersembunyi atau menyingkir.

   Dengan bengong mereka mengawasi, biji matanya seperti hampir melotot keluar, siapa pun kalau mendadak berhadapan dengan perempuan cantik seperti Sim Bik-kun, pasti akan menampilkan mimik seaneh itu.

   Tapi para pelayan Bu-kau-san-ceng mestinya dikecualikan.

   Yang berusia lebih tua bermuka hitam mendadak menyengir tawa lebar, bertanya dengan nada menggoda.

   "Kau datang ke sini mau apa, mencari orang? Atau mencari kami?"

   Sim Bik-kun berusaha mengendalikan amarahnya, dahulu ia tidak akan mengizinkan orang-orang bangor seperti ini tinggal di Bu-kau-san-ceng, tapi sekarang ia sudah tiada hak dan kuasa untuk mencampuri urusan di sini.

   Dengan menundukkan kepala ia berpikir untuk menyingkir saja.

   Ternyata pemuda itu makin berani, katanya.

   "He, aku bernama si hitam, dia bernama si putih, kami sedang ingin membeli arak, mumpung kau datang, kenapa tidak menemani kami berdua minum dua cawan?"

   Sim Bik-kun menarik muka, katanya dingin.

   "Apakah Lian-cengcu kalian tidak pernah memberitahu peraturan di perkampungan ini?"

   "Apa Lian-cengcu? Peraturan apa?"

   Seru si hitam melotot.

   "O, aku tahu,"

   Seru si putih.

   "yang dia maksud tentu Lian-cengcu pemilik perkampungan ini yang dulu, dia bernama Lian Shia-pik."

   "Cengcu yang dulu", seperti tenggelam perasaan Sim Bik-kun.

   "Apakah dia sekarang bukan Cengcu perkampungan ini?"

   Tanyanya.

   "Sudah lama bukan,"

   Sahut si hitam.

   "Sudah satu tahun lalu tempat ini dijual kepada orang lain,"

   Si putih menjelaskan.

   Rasa dingin di tubuh Sim Bik-kun mengendap sampai di ujung kaki.

   Bu-kau-san-ceng adalah warisan leluhur keluarga Lian, seperti juga keluarga she Lian, perkampungan ini adalah milik Lian Shia-pik yang paling dibanggakan, paling disayang.

   Untuk mempertahankan keberadaan perkampungan ini, dia sudah berusaha berjuang keras supaya sejarah keberadaannya tidak punah.

   Bagaimana mungkin warisan leluhurnya sekarang, dijual kepada orang.

   "Kurasa tidak mungkin,"

   Desis Sim Bik-kun sambil menggenggam tangan.

   "dia takkan berbuat demikian bodoh."

   Si hitam tertawa.

   "Konon karena bangkrut, Lian-kongcu itu terpaksa menjual harta miliknya ini, jangan heran, manusia kan bisa berubah."

   "Ya, kabarnya berubah karena seorang perempuan,"

   Timbrung si putih.

   "maka dia menjadi setan arak dan raja judi. Akhirnya celana pun digadaikan, malah punya hutang segudang banyaknya, terpaksa apa boleh buat, perkampungan inipun dijualnya."

   Hancur hati Sim Bik-kun, luluh lantak kondisinya sekarang, hampir ia tak kuasa bertahan lebih lama lagi.

   Tak pernah terbayang dalam benaknya, karena dirinyalah Lian Shia-pik hancur, karena dirinyalah Lian Shia-pik bangkrut.

   Si hitam masih terus tertawa.

   "Pemilik perkampungan kita yang sekarang she Siau. Siau-cengcu kita yang satu ini, wah betul-betul luar biasa, selaksa perempuan pun jangan harap bisa membuatnya runtuh."

   "Marga Siau? Cengcu kalian yang sekarang bermarga Siau?"

   Mendadak Sim Bik-kun berteriak.

   "siapa namanya?"

   Si hitam membusungkan dada, katanya pongah.

   "Siau Cap-it Long, yaitu orang yang paling kaya, paling ...."

   Sim Bik-kun tidak mendengar apa yang diucapkan si hitam selanjutnya, mendadak matanya gelap, orangnya pun jatuh semaput. * * * * * Perkampungan ini amat besar, luas dan marak. Mengawasi wuwungan nan lancip tinggi, Hong Si-nio menghela napas.

   "Rumah seperti ini, kau punya berapa?"

   "Tidak banyak,"

   Sahut Siau Cap-it Long.

   "tapi yang lebih besar dari perkampungan ini ada beberapa."

   Hong Si-nio menggigit bibir.

   "Kalau aku jadi Pin-pin, akan kucari rumah yang paling besar untuk bersembunyi di sana."

   "Ya, mungkin sekali."

   "Rumahmu yang paling gede berada dimana?"

   "Tak jauh dari sini."

   "Kalau tidak salah Bu-kau-san-ceng tak jauh dari sini?"

   Sorot mata Siau Cap-it Long menampilkan rasa sedih.

   "Bu-kau-san-ceng sekarang sudah menjadi milikku." * * * * * Ruang kembang, ruang utama tetap dan persis keadaan semula, tidak berubah karena memang tidak dirubah. Beberapa pot bunga di atas meja bertambah banyak, terutama pot kembang seruni berwarna biru itu, jenis yang paling langka, adalah pemberian Thio-jiya dari Kay-hong. Segala sesuatunya, entah bangunan, pohon, kembang atau bebatuan, semuanya dirawat dan dijaga keasliannya, semua tetap dalam keadaan utuh seperti semula. Entah orangnya? Air mata Sim Bik-kun membasahi selebar mukanya. Sesungguhnya ia tidak ingin pulang, kembali ke tempat ini, sayang waktu ia siuman dari pingsan, ia dapati dirinya berada di tempat lama, tempat dahulu ia tinggal. Cahaya matahari menjelang senja menyorot masuk menyinari kursi merah itu. Itulah kursi dimana Lian Shiapik suka duduk kalau ia melayani para tamunya, kelihatan kursi itu masih baru. Kursi takkan pernah menjadi tua karena kursi benda mati, tak punya pikiran tak punya perasaan, Tapi bagaimana dengan orang yang sering duduk di kursi itu? Orangnya sudah gugur, dialah yang membuatnya gugur. Rumah atau keluarga ini juga gugur di tangannya. Karena Siau Cap-it Long, hampir seluruhnya hancur karenanya. Tapi Siau Cap-it Long tidak hancur.

   "Siau-cengcu adalah laki-laki jempol", mestinya rumah ini milik Lian Shia-pik dan dirinya, sekarang berubah menjadi milik Siau Cap-it Long. Betapa kejam, betapa besar deritanya, itulah sindiran yang tajam. Sim Buk-kun berharap semua kejadian ini bukan jadi kenyataan, tapi sekarang ia benar-benar membuktikan bahwa apa yang dilihat, didengar adalah betul dan kenyataan. Belum senja, masih menjelang senja. Angin lalu berhembus, daun-daun pohon melambai-lambai, sepertinya pohon itu juga sedang gegetun. Kenapa Siau Cap-it Long membeli perkampungan ini? Untuk menunjukkan wibawa atau mau pamer? Hatinya berkeputusan untuk tidak memikirkan atau membayangkan orang macam Siau Cap-it Long. Ingin rasanya ia menerjang keluar meninggaikan tempat ini, sekejap saja rasanya sudah tidak betah. Pada saat itulah di pekarangan belakang mendadak terjadi ribut-ribut, orang berteriak.

   "Ada maling!"

   Siau Cap-it Long adalah maling tulen, bukan saja telah mencuri semua milik mereka, juga mencuri hatinya.

   Kalau sekarang ada maling mencuri barangnya, itu namanya pantas dan lumrah.

   Perlahan Sim Bik-kun berusaha berdiri lalu beringsut keluar, lewat pintu kecil di samping ia menerobos ke belakang, keadaan di tempat ini jelas ia amat hapal.

   Belasan lelaki berpakaian serba hijau berada di pekarangan belakang, ada yang membawa pisau dapur, ada yang membawa pentung, seseorang dikepung dan dipukuli.

   Yang dipukuli adalah lelaki bercambang lebat, rambut kepalanya awut-awutan, pakaiannya lusuh, usianya sekitar tiga puluhan tahun.

   Si hitam mengacungkan parang di tangannya sambil menggertak.

   "Letakkan benda yang kau curi atau kupatahkan sepasang kakimu."

   Dengan kedua tangannya orang itu memeluk benda yang dianggap curian itu, mati pun tak mau dikembalikan, mulutnya menggumam ketakutan.

   "Aku bukan maling ... barang yang kuambil ini semula memang milikku."

   Suaranya serak, meski gemetar nadanya seperti amat ia kenal.

   Sekujur badan Sim Bik-kun mendadak menjadi gemetar dingin, hampir beku, karena mendadak ia sadar, lelaki berpakaian compang-camping yang dituduh mencuri barang itu bukan lain adalah Lian Shia-pik adanya.

   Betulkah dia Lian Shia-pik? Dua tahun yang lalu, dia adalah pemuda gagah yang diakui kaum Bulim sebagai tokoh punya harapan, jago yang paling dihormati.

   Dua tahun yang lalu, pemuda yang satu ini paling mengutamakan penampilan, berpakaian perlente, rajin dan cakap ganteng.

   Pakaiannya terbuat dari kain yang paling berkualitas, makan sehat tidur nyenyak, kesehatannya terjaga dengan baik, tiada noktah tak ada noda di badannya, air mukanya selalu memancarkan sinar cemerlang, senyumnya lebar, langkahnya gagah, bicaranya santun, serba lengkap.

   Mengapa hari ini berubah menjadi orang seperti ini? Dua tahun yang lalu, dia adalah pemuda ganteng kaya yang disegani kalangan atas, pemilik perkampungan nan megah ini.

   Sekarang berubah menjadi maling.

   Bisakah terjadi perubahan begitu besar pada seseorang? Begitu menakutkan? Mati pun Sim Bik-kun tak mau percaya, tidak rela dan tidak mau percaya, tapi kenyataan membuatnya harus percaya.

   Orang itu betul adalah Lian Shia-pik.

   Dia masih mengenal suaranya, mengenal tatapan sorot matanya.

   Kini sorot matanya sudah berubah seperti binatang yang terluka, diliputi rasa sedih, derita dan putus asa.

   Padahal bentuk dan tatapan mata seseorang selamanya tidak akan berubah.

   Mestinya Sim Bik-kun pernah bersumpah, selama hidup takkan membiarkan Lian Shia-pik melihat dirinya lagi, karena ia tidak sudi dan tidak ingin bertemu dengannya, tak tega bertemu dengannya.

   Dalam sekilas ini, dia sudah melupakan semuanya.

   Dengan mengerahkan seluruh tenaganya, mendadak ia memburu ke sana, menerobos kerumunan orang banyak, memburu ke depan Lian Shia-pik.

   Waktu Lian Shia-pik mengangkat kepala lantas melihatnya.

   Sekujur badannya seperti mendadak kena sengat listrik menjadi kaku beku, suaranya bergetar.

   "Kau ... betulkah engkau ...."

   Mengawasi orang, air mata Sim Bik-kun tak kuat ditahan.

   Mendadak Lian Shia-pik membalik badan ingin melarikan diri, ternyata gerak-geriknya sudah tak setangkas dahulu, ia tak mampu membobol kerumunan orang banyak.

   Apalagi Sim Bik-kun telah menarik tangannya, menahan dengan setaker kekuatannya.

   Sekujur badan Lian Shia-pik menjadi lemas, perasaannya luluh.

   Selama menjadi suami isteri, Sim Bik-kun tidak pernah menariknya sekuat itu, tak pernah terbayangkan bahwa orang akan menarik dirinya.

   Mengawasi muka orang, air mata sendiri tak kuasa ditahannya lagi.

   Mereka saling pandang, saling bertangisan.

   Adegan yang tak pernah terduga ini jelas membuat si hitam kaget, tak mengerti dan tak pernah bisa mengerti.

   Mendadak ia mengacungkan parang di tangan seraya berteriak.

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mampuskan dulu bocah keparat ini, berani dia mencuri di tempat kita."

   Parang diayun turun, dia betul-betul membacok kepala Lian Shia-pik.

   Lian Shia-pik tidak mampu melawan dan tidak mau melawan, seperti binatang terluka yang jatuh dalam perangkap, terima nasib saja.

   Tapi pegangan Sim Bik-kun entah kenapa seperti memberi semangat dan kekuatan, seketika ia kipatkan lengannya, parang di tangan si hitam disampuknya jatuh, sekali jotos si hitam dipukulnya roboh telentang.

   Orang banyak menyurut mundur, semua kaget dan heran, entah darimana datangnya tenaga orang hingga masih kuat melawan.

   Lian Shia-pik tidak menghiraukan keberadaan orang banyak, dengan nanar ia mengawasi Sim Bik-kun.

   "Aku ... selama hidup mestinya aku tidak ingin kembali."

   "Aku tahu,"

   Sahut Sim Bik-kun sambil mengangguk.

   "Tapi ... tapi ada sebuah benda, amat sayang kalau terbuang."

   Benda yang dipeluk kencang di dadanya itu adalah segulung gambar lukisan.

   Gambar lukisan biasa, betulkah sedemikian penting bagi dirinya? BENTROK PARA PENDEKAR Karya Gu Long - Gan K.H.

   Bagian 10 Sim Bik-kun tahu, hanya dia saja yang tahu.

   Sebab gambar lukisan itu adalah gambar lukisan hasil karyanya.

   Gambar lukisan pribadinya waktu berpose di depan kaca.

   Lian Shia-pik rela membuang semua harta miliknya, perkampungan warisan leluhurnya pun dijual.

   Tapi tidak tega meninggalkan gulungan gambar lukisan itu, kenapa? Kepala Sim Bik-kun menunduk, air mata membasahi baju dan lengannya.

   Orang-orang berseragam hijau mengawasi mereka dengan kaget dan heran, entah siapa yang mendahului berteriak.

   "Aku tahu siapa maling ini. Dia pemilik perkampungan ini yang dahulu, yaitu Lian Shia-pik."

   Seorang lalu menanggapi dengan nada mengejek.

   "Konon Lian Shia-pik adalah laki-laki gagah yang jantan, mana mungkin menjadi maling."

   "Karena dia sudah berubah, sekarang menjadi rudin karena seorang perempuan."

   "Apakah perempuan ini yang kau maksud?"

   "Jadi perempuan ini adalah Sim Bik-kun?"

   Tanya jawab orang-orang itu bagai godam mengetuk sanubari Lian Shia-pik dan Sim Bik-kun. Sekuatnya ia menggereget tak urung sekujur badan bergetar saking sedih dan malu. Lian Shia-pik tak berani memandangnya, dengan menunduk ia berkata.

   "Aku harus pergi."

   Sim Bik-kun manggut-manggut.

   "Aku ... tak pernah terpikir olehku di sini bisa bertemu lagi dengan kau."

   "Kau tak sudi bertemu denganku?"

   Lian Shia-pik tidak tahu bagaimana ia harus menjawab.

   "Sekarang aku harus pergi."

   Sim Bik-kun menariknya lagi, katanya dengan tatapan tajam.

   "Aku juga harus pergi, kau mau membawaku pergi?"

   Terangkat kepala Lian Shia-pik, balas menatapnya, sorot matanya menampilkan tanda tanya, dengan penuh emosi ia berkata.

   "Aku berubah begini rupa, kau masih ingin ikut aku?"

   Sim Bik-kun memanggut lagi.

   Sim Bik-kun maklum, Lian Shia-pik takkan mau mengerti, lantaran keadaannya sekarang begini, mana dia rela aku mengikuti dia pergi.

   Kalau dia masih Lian Shia-pik yang dahulu, jangan kata ikut dia, melihatnya saja tidak sudi.

   Sekarang betapapun ia tidak tega meninggalkannya, tidak tega melihat kondisinya yang serba konyol.

   Sambil menarik lengan orang ia berkata.

   "Kalau mau pergi, marilah kita pergi bersama."

   Pada saat itulah seorang mendadak menimbrung bicara.

   "Tempat ini adalah milik kalian, tak usah kalian pergi."

   Itulah suara Siau Cap-it Long.

   Suaranya masih lantang, dingin dan tenang.

   Siapa pun pasti tak menduga, dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengendalikan gejolak hatinya, rasa derita dan haru.

   Maka bubarlah orang-orang yang berkerumun.

   Sim Bik-kun melihatnya, Lian Shia-pik juga melihatnya.

   Melihat seorang yang mematung berdiri di bawah pohon sana.

   Wajahnya pucat, sorot matanya juga seperti memutih.

   Ia berdiri mematung, badannya sudah beku.

   Hanya sekilas Sim Bik-kun memandangnya lalu melengos, seperti tidak mengenalnya sama sekali.

   Lian Shia-pik justru seperti malu berhadapan dengan orang ini.

   Kalau orang kelihatan kuat dan tegar, dirinya sebaliknya loyo, rudin dan mengenaskan.

   Dia berusaha melepas pegangan tangan Sim Bik-kun.

   "Biarlah aku pergi."

   Sim Bik-kun menggigit bibir, lalu katanya dengan tandas.

   "Sudah kubilang, kalau mau pergi, kita pergi bersama."

   "Aku juga sudah berkata,"

   Demikian desis Siau Cap-it Long.

   "kalian tidak usah pergi. Tempat ini masih tetap milik kalian."

   Dingin suara Sim Bik-kun.

   "Awalnya tempat ini memang milik kami tapi sekarang sudah bukan."

   Dia tetap tidak berpaling ke arah Siau Cap-it Long, seperti berusaha mengendalikan perasaan hati, lalu lanjutnya.

   "Kami bukan tokoh juga bukan orang gagah, kami tidak sudi menerima kebaikan dari orang seperti kalian, umpama kami harus mampus di tengah jalan, kami takkan tinggal di sini lagi."

   Ya, hanya kami...

   kami ...

   kami....

   Hanya kami berdua takkan berpisah lagi.

   Kau ini siapa, kau hanyalah orang luar yang tiada sangkut paut dengan kami.

   'Kami' satu patah kata setajam ujung pisau menghunjam ke hulu hati Siau Cap-it Long, dari kata-kata orang ia merasakan firasat putusnya harapan yang ia dambakan.

   Tiba-tiba ia menyadari banyak persoalan, paling tidak menurut pandangan pribadinya.

   Bibirnya gemetar, mulut terkancing, ia tidak bicara lagi, tak bisa bicara.

   Tapi Hong Si-nio yang berdiri di samping mendadak memburu ke sana, suaranya keras.

   "Kalau benar kau ingin pergi bersamanya, aku tidak mengganggumu. Tapi satu hal kau harus mengerti."

   Sim Bik-kun diam, ia mendengarkan.

   "Dia bukan macam orang yang kau bayangkan selama ini,"

   Teriak Hong Si-nio.

   "Terhadapmu dia tetap ...."

   Sim Bik-kun menjengek dingin.

   "Aku sudah sangat mengerti orang macam apa dia, tak perlu kau jelaskan kepadaku."

   "Tapi kau salah paham terhadapnya, semua persoalan kau salah menilainya."

   "Peduli apakah aku salah pengertian terhadapnya. Sekarang sudah tiada urusan denganku."

   "Kenapa?"

   Pekik Hong Si-nio.

   "Karena hakikatnya tiada hubungan apa-apa antara aku dengan dia."

   Begitu menarik tangan Lian Shia-pik, mereka terus melangkah pergi dengan langkah lebar, tidak berpaling tapi suaranya masih berkumandang.

   "Cepat atau lambat, kapan saja kita akan kembali ke sini, dengan daya upaya dan kemampuan kami, tidak perlu menerima sedekahmu."

   Lian Shia-pik mandah dituntun keluar, tapi langkahnya sudah tegap, dadanya terangkat.

   Dia tahu kapan dia akan pulang ke tempat ini.

   Apa yang pernah diinginkan dan akan dikerjakan, selama ini belum pernah gagal.

   Sekarang Sim Bik-kun sudah kembali ke haribaannya, entah kapan yang pasti bukan hari ini, dia akan menyaksikan Siau Cap-it Long roboh di hadapannya.

   Cuaca sudah mulai gelap.

   Angin bertiup kencang, hawa terasa makin dingin, dingin menusuk tulang sumsum.

   Orang sudah bubar semua.

   Siau Cap-it Long masih berdiri mematung di bawah pohon.

   Hong Si-nio sengaja tidak menghampiri, dari kejauhan mengawasinya, pandangannya makin buram.

   Dia tidak menghampiri karena dalam hati ia maklum, sejak hari ini, sukar bagi dia bisa menghiburnya lagi.

   Hembusan angin menghamburkan daun-daun kering, berjatuhan dari atas pohon, berserakan di sekitar kaki mereka.

   Dia membungkuk badan hendak meraih selembar daun, tapi daun kabur ditiup angin.

   Banyak persoalan di dunia ini, seperti daun kering yang ditiup angin tadi.

   Mendadak Siau Cap-it Long bergelak tertawa, tawa lebar.

   Hong Si-nio kaget, dengan melongo ia mengawasi.

   Karena sedih dia menangis atau meraung-raung, keadaan ini masih bisa diterima olehnya.

   Tapi tawa yang menggila seperti ini, membuat hatinya hancur luluh, seperti daun-daun pohon yang berhamburan tak terhitung banyaknya.

   Kini di dunia hanya dia seorang yang benar-benar bisa menyelami jiwa Siau Cap-it Long, merasakan derita dan luka hatinya, tapi dia juga tahu, siapa pun takkan bisa membantu untuk menahan Sim Bik-kun, meski dipaksa sekalipun, karena Lian Sian-pik sudah berubah sedemikian rupa, siapa pun dia bila manusia normal pasti akan terharu dan kasihan.

   Saat itu si putih beranjak masuk dengan langkah takut-takut, dengan mata terbelalak kaget mengawasi Siau Cap-it Long.

   Belum pernah dia mendengar dan melihat orang tertawa seperti itu, mukanya yang putih makin putih saking takut dan ngerinya.

   Diam-diam Hong Si-nio menyeka air mata, ingin rasanya maju mendekat, berusaha menghentikan loroh tawa Siau Cap-it Long.

   Tiap manusia entah senang atau sedih, tertawa atau menangis ada cara pelampiasannya, melampiaskan rasa senang atau sedih, tidak jarang mendatangkan kehancuran bagi diri sendiri juga bagi orang lain.

   Siapa tahu loroh tawa Siau Cap-it Long mendadak berhenti, begitu mendadak berhenti seperti mendadaknya ia bergelak tertawa.

   Si putih menarik napas lega, sambil membungkuk hormat ia berkata.

   "Tuan, di luar ada orang mohon bertemu."

   Memangnya siapa orangnya yang tahu kalau Siau Cap-it Long saat ini berada di sini? Bagaimana bisa tahu kalau dia sudah kemari? Untuk keperluan apa mencarinya? Semua ini merupakan persoalan yang bisa mengundang rasa curiga, tapi tanpa pikir Siau Cap-it Long berkata sambil mengulap tangan.

   "Suruh dia masuk."

   Seorang di kala berduka, penampilan yang tidak perlu diragukan lagi adalah menangis atau tertawa, bukanlah emosi, tapi hati yang beku.

   Demikian kondisi Siau Cap-it Long sekarang, berdiri di bawah pohon, layaknya patung batu yang tak bisa bergerak.

   Dari tempatnya berdiri yang berjarak belasan langkah.

   Hong Si-nio mengawasinya, sorot matanya memantulkan perasaan yang penuh perhatian dan kuatir, ia tahu harus berusaha membangkitkan kembali semangat dan gairah hidup Siau Cap-it Long, tapi tak terpikir olehnya dengan cara apa dan bagaimana ia harus mulai bekerja, pukulan lahir batin seberat ini memang tak mudah diterima dan dirasakan oleh siapa pun.

   Kalau Siau Cap-it Long tak mampu mengatasi, mengendalikan diri, ibaratnya dia akan terjeblos ke jurang nista, ke lumpur yang dalam.

   Hong Si-nio tak berani membayangkan apa yang bakal terjadi padanya.

   Dia melihat keadaan Lian Shia-pik yang begitu mengenaskan.

   Dia juga tahu keadaan Siau Cap-it Long bisa menjadi lebih mengenaskan, lebih menakutkan.

   Dari pekarangan luas seorang sedang barjalan masuk, seorang pemuda yang kelihatan tahu sopan santun, tata-krama dan jujur, dilihat dari wajah dan penampilannya, boleh dibilang masih anak-anak.

   Perawakannya tidak tinggi, kaki tangannya tumbuh normal, hanya mungkin belum akil baliq, mimiknya masih kelihatan seperti anak kecil.

   Tapi sepasang matanya menampilkan sorot tajam, membayangkan jiwanya yang telengas.

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Setelah dekat, melihat keadaan Siau Cap-it Long, sedikitpun ia tidak terpengaruh oleh suasana yang bagi orang lain tidak menyenangkan, tiada heran, kaget atau bingung di perasaannya, namun dengan sopan ia memberi hormat, katanya.

   "Cayhe mendapat perintah datang kemari menghadap Siau-cengcu ...."

   Wajah Siau Cap-it Long mendadak berkerut-merut, bentaknya beringas.

   "Aku bukan pemilik tempat ini, bukan Siau-cengcu. Aku adalah Siau Cap-it Long, perampok besar yang suka membunuh orang."

   Ternyata pemuda itu tetap berdiri tenang, tidak berubah sikap, mimiknya juga tetap tenang. Setelah Siau Cap-it Long habis bicara, baru dia membungkuk melanjutkan kata-katanya.

   "Cayhe membawa sepucuk surat, diperintah untuk menyerahkan langsung kepada Siau-tayhiap. Silakan terima, setelah dibaca aku menunggu jawabannya."

   Undangannya ternyata berwarna putih mirip pemberitahuan berkabung dari keluarga yang lagi berduka cita.

   Syukur kondisi Siau Cap-it Long makin membaik, akhirnya tenang dan tenteram, tapi kondisi sebenarnya belum membaik seperti sedia kala.

   Perlahan ia mengulur tangan menerima undangan, membuka lalu membaca dengan pandangan kosong.

   Mendadak wajah yang mendekati beku itu menampilkan perubahan luar biasa, demikian pula sorot matanya yang semula kosong, kini memancarkan cahaya.

   Undangan itu ibarat sebatang jarum, orang yang sudah mendekati beku perasaannya, memang perlu dihujam dengan tusukan jarum yang keras dan kuat, supaya orangnya lekas sadar.

   Bola mata Hong Si-nio ikut bersinar, tak tahan ia bertanya.

   "Atas nama siapa undangan itu."

   "Ada tujuh orang,"

   Sahut Siau Cap-it Long.

   "Tujuh orang?"

   Hong Si-nio mengerut alis. Siau Cap-it Long manggut-manggut.

   "Orang pertama adalah Hi-cia-lang."

   Hi-cia-lang, ikan gegares manusia. Ada saja manusia memakai nama yang menakutkan itu. Ternyata Hong Si-nio pernah mendengar nama ini, dengan berjingkat ia bertanya.

   "Hay-siang-soa-ong maksudmu?"

   Siau Cap-it Long manggut-manggut.

   "Kecuali Hay-siang-soa-ong, siapa yang bisa menggunakan nama Hicia- lang."

   "Huh,"

   Hong Si-nio menghembuskan napas dari mulut.

   "lalu enam orang lainnya siapa?"

   "Kim-po-sat, Hoa Ji-giok, Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to, Tui-hun-coh-gwat-cui-siang-biau Le Ceng-hong, Hamwan Sam-coat, Hamwan Sam-seng dan Jin-siang-jin."

   Kembali Hong Si-nio menghembuskan angin dari mulutnya. Ternyata semua musuh-musuh bebuyutan Siau Cap-it Long bergabung menjadi satu.

   "Mereka bersatu, untuk apa mengundangmu?"

   "Sengaja menyediakan arak paling baik 180 guci, mengharap tuan datang ikut menikmati,"

   Demikian seru Siau Cap-it Long seperti membacakan undangannya, lebih jauh suaranya berkumandang pula.

   "Arak bagus memabukkan orang, kalau tuan datang pasti mabuk, kalau tuan takut mabuk, tidak datang juga tak apalah."

   "Jelas kau tidak takut mabuk."

   "Aku juga tidak takut mati,"

   Siau Cap-it Long menyeringai tawar. Hong Si-nio mengerti apa yang dimaksud, mungkin undangan itu awalnya mau ditulis begini.

   "Tuan datang pasti mampus, kalau takut mampus, tak usah datang."

   Lalu dengan menghela napas ia melanjutkan.

   "Makanya kau harus memenuhi undangan itu."

   "Ya, harus datang."

   "180 guci arak itu mungkin adalah 180 jebakan yang menunggumu".

   "Aku tahu."

   "Kau tetap akan pergi?."

   "Tetap harus pergi,"

   Tegas dan lugas jawabannya.

   "Kapan undangan itu."

   "Besok malam."

   "Dimana?"

   "Kalau Soa-ong mengundang tamu, tentu di atas kapalnya."

   "Dimana letak kapalnya?"

   Siau Cap-it Long tidak langsung menjawab, tapi berputar ke arah pemuda itu, tanyanya.

   "Kapalnya ada dimana?"

   Pemuda itu membungkuk hormat, katanya.

   "Kalau Siau-tayhiap memenuhi undangan, besok pagi Gayhe akan datang menjemput dengan kereta."

   "Baiklah, siapkan keretanya."

   Pemuda itu membungkuk lagi seperti siap akan pergi, mendadak berkata pula.

   "Cayhe datang bukan datang seorang diri."

   "O, bersama siapa?"

   "Masih ada dua orang, sepanjang jalan ini dia berada di belakangku, tapi mereka tidak seiring denganku."

   "Siapa kedua orang itu?"

   "Tidak tahu, aku juga tidak melihat mereka."

   "Kalau kau tidak melihat mereka, darimana kau tahu di belakangmu ada orang?"

   "Cayhe merasakan mereka menguntit di belakangku."

   "Apa yang kau rasakan?"

   "Hawa membunuh,"

   Kata pemuda itu kalem.

   "sepanjang jalan kedua Cianpwe itu menguntit di belakang, ibarat dua ujung pedang tajam mengincar Pwe-ki-hiap di punggungku."

   Bila senjata tajam terlolos dari sarungnya, sering kali mengeluarkan hawa membunuh, tidak banyak orang yang bisa merasakan adanya hawa membunuh itu.

   Padahal pemuda ini kelihatannya masih bocah, masih anak-anak.

   Siau Cap-it Long menatapnya lekat-lekat, mendadak ia bertanya.

   "Kau murid siapa?"

   "Guruku she Hi."

   "Hi-cia-lang?"

   Pemuda itu mengangguk, wajahnya tetap tenang,, tidak kuatir atau takut karena ia menyebut nama gurunya yang aneh dan menakutkan.

   "Kau sendiri siapa namamu?"

   Tanya Siau Cap-it Long. Ragu-ragu sejenak, akhirnya pemuda itu menjawab dengan suara lirih.

   "Cayhe juga she Siau."

   "Siau apa?"

   Baru sekarang wajahnya menampilkan perasaan tidak tenang, apakah namanya lebih aneh dibanding Hicia- lang? Atau lebih menakutkan? "Siau apa?"

   Siau Cap-it Long menegas. Kelihatannya ia mulai tertarik karena melihat mimik mukanya yang tidak tenang, hatinya tertarik. Bimbang sesaat, pemuda itu menundukkan kepala baru bersuara lirih.

   "Siau Cap-ji Long."

   Siau Cap-ji Long. Pemuda itu bernama Siau Cap-ji Long. Siau Cap-it Long tertawa, tertawa lebar.

   "Namaku tidak menggelikan bukan?"

   Tanya pemuda itu.

   "O, ya?"

   Siau Cap-it Long bersuara dalam mulut.

   "Menurut apa yang Cayhe tahu, di kalangan Kangouw, yang bernama Cap-ji Long sedikitnya ada empat orang."

   Siau Cap-it Long menahan geli, tanyanya.

   "Adakah yang bernama Cap-sha Long?"

   "Ada,"

   Sahut pemuda itu.

   "Cap-sha Long ada dua orang. Yang pertama bernama Bu-ceng Cap-sha Long, yang kedua bernama To-jing Cap-sha Long,"

   Pemuda itu menjelaskan dengan tersenyum lebar, karena hal ini jelas menarik perhatian banyak orang, kecuali Cap-sha Long, di Kangouw masih ada Siau Su-long, Siau Jit-long, Siau Kiu-long dan Siau Cap-long."

   XV. ANG-ING-LOK-LIU Siau Cap-it Long tertawa.

   "Aku ini anak sebatangkara, sekarang tiba-tiba punya banyak saudara, rasanya patut dibuat senang."

   Pemuda itu berkata.

   "Seorang setelah terkenal, tak heran kalau dibuat risau oleh urusan tetek-bengek."

   "Jadi kau tidak ingin ternama?"

   Pemuda itu tertawa.

   "Ternama memang merisaukan, kurasa daripada tak punya apa-apa ya mending punya nama."

   Dengan tersenyum lebar ia memberi hormat, lalu putar badan melangkah pergi dengan riang gembira. Mengawasi bayangan orang, Hong Si-nio menghela napas perlahan.

   "Kulihat bocah ini kelak bisa jadi orang terkenal."

   Sorot mata Siau Cap-it Long masih membayangkan perasaan sepi dan kosong, suaranya tawar saja.

   "Kurasa demikian, yang penting dia bisa berumur panjang."

   "Aku justru ingin tahu,"

   Demikian ujar Hong Si-nio.

   "apakah di Kangouw ada Hong Go-nio, Hong Toa-nio, Hong Sam-nio, Hong Lak-nio atau Hong Jit-nio?"

   "Kurasa tidak lama lagi."

   Hong Si-nio cekikikan geli.

   "Aku hanya mengharap mereka tidak menjadi gila karena 'hong' (angin)."

   Kali ini ia tertawa benar-benar, tertawa tulus karena kondisi enak, perasaan pun terhibur.

   Karena ia melihat keadaan Siau Cap-it Long sudah membaik.

   Ada sementara orang dalam keadaan yang paling bahaya, malah bisa mengendalikan diri sehingga hati tenang pikiran mantap.

   Siau Cap-it Long adalah orang demikian.

   Tapi mengingat bahaya pertemuan besok malam, diam-diam jantung Hong Si-nio berdetak sekeras tambur ditalu.

   Pada saat itulah si putih masuk sambil membungkuk hormat.

   "Tuan, di luar ada lagi orang ingin bertemu."

   "Suruh mereka masuk,"

   Sahut Siau Cap-it Long, Si putih ragu-ragu.

   "Mereka tidak mau masuk."

   "Kenapa?"

   "Mereka minta Cengcu keluar sendiri menyambut."

   Angkuh benar tamu yang satu ini. Siau Cap-it Long berpaling mengawasi Hong Si-nio. Hong Si-nio berkata.

   "Kurasa dua ujung pedang yang mengancam punggung Cap-ji Long itu sudah datang."

   "Aku justru ingin tahu macam apa pedang mereka."

   Sebetulnya tak perlu ia mengajukan pertanyaan, karena segera ia akan memperoleh jawabannya.

   Jelas gaman itu adalah pedang runcing lagi tajam yang dapat digunakan membunuh orang, kalau bukan, tak mungkin mengeluarkan hawa membunuh.

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ternyata tiada pedang tapi ada orang.

   Hawa membunuh yang dimaksud ternyata keluar dari badan dua orang, dua orang yang mirip dua batang pedang runcing.

   Tokoh Bulim yang kosen memandang jiwa manusia sebagai rumput alang-alang.

   Mereka memang bisa mengeluarkan hawa membunuh.

   Mereka berperawakan tinggi kurus, jubah yang membungkus tubuh mereka amat perlente dengan warna yang menyolok.

   Warna jubah mereka hijau dan merah.

   Yang merah mirip warna bunga sakura, yang hijau mirip daun pisang.

   Sikap mereka kelihatan amat kelelahan, rambut beruban menandakan bahwa usia tidak muda lagi, tapi pinggangnya masih tegak, sorot mata mereka memancarkan cahaya garang, seperti mata serigala yang kelaparan.

   Melihat kedua orang ini, diam-diam Hong Si-nio menyurut mundur hendak minggat.

   Tapi sudah tidak keburu lagi.

   Dia kenal siapa kedua orang ini, ia pernah membawa Sim Bik-kun yang ditawan kedua orang ini dan menipunya masuk ke sebuah rumah yang bisa berjalan.

   Kedua orang itu jelas takkan mungkin melupakan dirinya, sekilas pandang, sorot mata mereka beralih ke arah Siau Cap-it Long.

   Siau Cap-it Long tersenyum ewa.

   "Dua tahun berpisah, tak nyana penampilan kalian masih tampak gagah dan bersemangat."

   "Hm,"

   Kakek jubah merah berdehem dalam mulut.

   "Huh,"

   Kakek jubah hijau mendengus dari hidung.

   Wajah mereka kaku, suaranya juga dingin.

   Melihat kedua kakek ini, bayangan Siau Cap-it Long lantas terbang ke Hoan-ou-san-ceng yang misterius dan menakutkan itu.

   Karena segala sesuatu yang terjadi di perkampungan itu bukan saja misterius, juga amat menakutkan.

   Selama hidup pasti takkan pernah dilupakannya.

   Terutama pertandingan adu catur melawan kakek jubah hijau itu, ia sudah mengerahkan segala kemampuan, bakatnya, pertarungan itu tidak memakai senjata, tapi justru amat melelahkan.

   Sampai sekarang Siau Cap-it Long tidak pernah melupakan betapa tegang pertarungan waktu itu.

   Tak tahan ia bertanya.

   "Apakah kalian masih bermain catur?"

   "Tidak,"

   Sahut kakek jubah merah. Kakek jubah hijau berkata dingin.

   "Karena dua tahun ini, kami sibuk mencari jejakmu."

   Siau Cap-it Long tertawa getir.

   "Aku tahu."

   Ia tahu selama dua tahun ini Sim Bik-kun berada bersama mereka.

   "Kau tahu tapi tidak mau keluar menemui kami?"

   Tanya kakek jubah merah. Kakek jubah hijau menjengek.

   "Mungkin karena kau mengira dirimu jempolan, tokoh besar mana sudi bertemu dengan kami."

   "Aku yakin, kalian pasti tahu bahwa aku tidak punya maksud demikian."

   "Yang pasti kami dengar belakangan ini kau adalah tokoh luar biasa yang selalu dipergunjingkan orang banyak."

   "Konon kau sudah diagulkan sebagai jago nomor satu di jagat, kekayaanmu katanya juga menjagoi kolong langit."

   "Tapi kami masih tak mengira, Bu-kau-san-ceng inipun sudah kau beli."

   "Keluarga ini bubar lantaran dirimu, kau malah membeli perkampungannya."

   "Demi dirimu Sim Bik-kun meninggalkan keluarga, berpisah dengan suami, jadi gelandangan di luar, sekarang kau justru punya gendak baru."

   "Tentu kau sudah tahu, barusan kami bertemu dengannya."

   "Dia begitu kagum dan memujamu, sampai ia tak mau bertemu lagi dengan kau."

   "Tokoh besar segagah ini, kami dua orang tua rudin, sungguh tak berani berjajar denganmu."

   "Kedatangan kami berdua hari ini, adalah ingin memberitahu kepadamu, bahwa hubungan kita mulai saat ini putus."

   "Mulai hari ini kami tidak akan mengenalmu lagi."

   Dua kakek ini mengoceh sendiri, makin bicara makin cepat, makin emosi, orang lain tidak diberi kesempatan menimbrung bicara. Terpaksa Siau Cap-it Long hanya diam mendengarkan, karena dia tidak sempat menimbrung bicara. Kakek jubah merah berkata lagi.

   "Kecuali itu, kedatangan kami kali ini ada persoalan yang ingin kami bicarakan denganmu."

   Kakek jubah hijau berkata.

   "Kami akan membawa seseorang pergi."

   Sorot mata kedua kakek serempak beralih ke arah Hong Si-nio. Tak tahan Hong Si-nio bergidik mundur, tersenyum dipaksakan.

   "Kalian hendak membawa aku?"

   "Ya."

   "Hm."

   Tak tahan Siau Cap-it Long bertanya.

   "Untuk apa kalian membawanya pergi."

   "Selama hidup kami berdua belum pernah ditipu orang."

   "Cewek ini justru membohongi kami berdua."

   "Tentu kau pernah mendengar tentang hal itu."

   "Tapi perkara lain mungkin belum pernah kau dengar,"

   "Perkara apa?"

   Tanya Siau Cap-it Long.

   "Kalian tahu siapa kami berdua?"

   Tanya kakek jubah merah.

   "Kau tentu sudah tahu, tapi kami ingin kau sebutkan nama kami."

   Siau Cap-it Long menghela napas.

   "Ang-ing-lok-liu, Thian-gwa-sat-jiu, Siang-kiam-hap-pit, Thian-he-bu-te."

   Maksudnya, Sakura merah dan Liu hijau, pembunuh lihai dari luar dunia, sepasang pedang bersatu padu, tiada tandingan di kolong langit.

   "Betul, akulah Li Ang-ing."

   "Aku adalah Nyo Lok-liu."

   "Peduli siapa dia, berani membohongi Ang-ing Lok-liu dia harus mampus."

   "Tentang pantangan ini, yakin kau juga pernah mendengar."

   "Aku tidak pernah mendengar,"

   Sahut Siau Cap-it Long.

   "Sekarang kau sudah mendengar."

   "Maka kau tentu tahu, cewek ini harus mampus hari ini."

   "Aku tetap tidak tahu."

   "Kau tidak tahu?"

   "Dilihat keadaannya sekarang, yakin dia tidak akan mati dalam waktu singkat ini."

   "Kau tidak percaya dia bakal mati?"

   "Aku tidak percaya."

   "Cara bagaimana baru kau mau percaya?"

   "Terserah bagaimana, yang pasti aku tidak percaya, selama aku masih hidup, aku tidak percaya."

   "Kalau kau mampus?"

   "Kalau aku mampus, segala persoalan tentu percaya. Tapi dalam waktu singkat ini, yakin aku juga belum mati."

   "Bagus,"

   Seru kakek jubah merah.

   "bagus sekali."

   "Memang sudah beberapa tahun kita tidak pernah bertarung, tapi cara membunuh orang kami belum lupa."

   "Betul. umpama ingin dilupakan juga tak mungkin bisa lupa,"

   Dengus Siau Cap-it Long.

   "Tadi sudah kujelaskan, hubungan kita dengan kau sudah putus."

   "Selama hidup entah berapa jiwa yang terbunuh di tangan kami, hari ini membunuh lagi satu tidak terhitung banyak."

   "Ya, aku maklum,"

   Sahut Siau Cap-it Long.

   "Apalagi yang kau tahu?"

   Tanya kakek jubah merah.

   "Pembunuh luar dunia, membunuh orang seperti anjing, sepasang pedang bersatu padu, tiada yang ketinggalan hidup."

   "Setelah tahu belum juga kau segera minggat?"

   Siau Cap-it Long tertawa getir.

   "Selama hidupku, berapa banyak orang yang kubunuh, hari ini bertambah dua, tidak terhitung lebih banyak."

   "Bagus sekali."

   Dimana angin menghembus, hawa membunuh makin tebal.

   Sejak tadi Hong Si-nio menatap Siau Cap-it Long dengan pandangan terharu, diliputi rasa terima kasih.

   Belum pernah terpikir dalam benaknya, Siau Cap-it Long mau mengadu jiwa demi membela dirinya, rela mati demi keselamatan dirinya.

   "Mana pedang kalian?"

   Tanya Siau Cap-it Long.

   "Ang-ing Lok-liu, pedang di antara intinya."

   "Pedang di antara intinya, tajamnya menusuk jantung."

   Mendadak dua kakek ini membalik badan, entah darimana, tangan mereka tahu-tahu sudah memegang sebilah pedang yang memancarkan cahaya gemerdep.

   Pedang panjang tujuh dim,, begitu pedang berada di tangan, hawa pedang memancar berkembang melebar.

   Kedua pedang itu memang pedang intinya pedang, tajam nan kemilau menggiriskan lawan.

   Dua pedang ini menakutkan bukan lantaran ketajamannya, walau batang pedang pendek, namun hawa pedang menggiriskan, 10 tombak di sekitar gelanggang diliputi hawa pedang.

   Siau Cap-it Long merasakan adanya arus dingin yang mendesak dirinya, hawa pedang nan tajam seperti hendak mengiris daging dada, menusuk ke hulu hati.

   Dengan kedua jari tangan Li Ang-in memegang gagang pedang yang panjangnya dua dim, katanya dingin,.

   "Keluarkan golokmu."

   "Aku tidak pakai golok,"

   Sahut Siau Cap-it Long.

   "Kenapa?"

   Bentak Li Ang-ing beringas.

   "Aku tidak ingin membunuh orang,"

   Sahut Siau Cap-it Long.

   Dia tidak ingin membunuh, ia bukan orang bodoh.

   Satu dim lebih pendek, satu dim lebih bahaya, kedua pedang mereka panjangnya hanya tujuh dim, terhitung pedang paling pendek di dunia.

   Pedang yang paling pendek pasti adalah gaman yang paling berbahaya.

   Siau Cap-it Long tahu betul akan hal ini, maka ia tidak akan menghadapi pendek dengan pendek, bahaya di atasi dengan bahaya, sebab ia tidak yakin golok jagalnya dapat menghadapi gabungan kedua pedang pendek lawan.

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Maklum kedua pedang pendek itu sudah membunuh orang tak terhitung banyaknya, hawa membunuh yang bisa disalurkan sungguh dahsyat luar biasa, apalagi kedua pedang hebat itu berada di tangan kedua tokoh silat yang luar biasa.

   Li Ang-ing menatap tajam, suaranya dingin.

   "Tak pakai golok, lalu kau menggunakan apa?"

   Siau Cap-it Long tertawa.

   "Pakai apa saja boleh, kalian tidak menentukan aku harus melawan pakai golok bukan?"

   Mendadak tubuh Siau Cap-it Long mencelat mumbul, berjumpalitan di udara, dengan enteng ia mencabut sebatang belandar yang melintang di atas pintu.

   Kayu palang sepanjang setombak dua kaki.

   Sejak tadi ia sudah mengincar palang kayu ini.

   Dengan panjang menghadapi pendek, dengan kekuatan mengatasi bahaya.

   Bercahaya bola mata Li Ang-ing.

   "Sekarang aku tahu, kenapa sampai sekarang kau masih tetap hidup."

   "Orang ini memang tidak bodoh,"

   Jengek si jubah hijau.

   "Orang pintar juga banyak yang telah kita bunuh."

   Sebelum si jubah hijau menjawab, Siau Cap-it Long menyeletuk lebih dulu.

   "Makanya, membunuh satu lagi juga tidak jadi soal bukan?"

   "Aku protes!"

   Teriak Hong Si-nio mendadak. Langsung ia memburu ke depan Siau Cap-it Long.

   "Aku tahu kau punya maksud baik terhadapku, itu sudah cukup, biar aku ikut mereka."

   "Tapi sayang aku tidak rela,"

   Seru Siau Cap-it Long.

   Pentung di tangannya mendadak menjungkit, badan Hong Si-nio mendadak terbang mumbul ke udara.

   Tahu-tahu Hong Si-nio merasa dirinya terlempar tinggi di udara, sekujur badan menjadi kaku, dengan enteng badannya jatuh di payon rumah sebelah sana, rebah diam tak bergerak.

   "Di atas pasti semilir, kau boleh istirahat di atas sejenak, bila aku mati, tolong rawatlah jenazahku."

   Saking gemasnya, gigi Hong Si-nio menggereget namun tak mampu bicara. Tanpa menghiraukan keadaannya di atas, Siau Cap-it Long berputar menghadapi Ang-ing-lok-liu, katanya.

   "Pek-tiong-siang-hiap Auyang-hengte, namanya tidak setenar kalian, namun kebesaran nama keluarganya amat berbobot. Tentu kalian pernah mendengar nama mereka."

   "Maksudmu anak murid keluarga Auyang?"

   Li Ang-ing menjengek. Siau Cap-it Long memanggut.

   "Seperti juga kalian, setiap bertarung dengan orang, berapa pun jumlah musuh, mereka selalu maju bersama."

   "Bedebah,"

   Damprat Nyo Lok-liu.

   "memangnya kami berdua kau samakan dengan anak-anak tidak diuntung itu."

   "Waktu aku bergebrak melawan mereka, hanya tiga jurus. Sebelum bertanding sudah kutandaskan, tiga jurus aku tidak menang, anggaplah aku yang kalah."

   "Lalu berapa jurus kau akan melawan kami berdua?"

   Jengek Li Ang-ing.

   "Sama, tiga jurus saja."

   Semasa Ang-ing-lok-liu malang melintang di Kangouw dulu, mungkin Siau Cap-it Long belum lagi lahir.

   Sekarang dia berani melawan mereka bertarung hanya dalam tiga jurus.

   Jika Hong Si-nio bisa bergerak, pasti sudah berjingkrak.

   Umpama Siau-yau-hou hidup kembali, yakin takkan berani temberang akan melawan kedua musuh bangkotan ini hanya dalam tiga jurus.

   Padahal bertahan tiga jurus saja sukar sekali, umpama tidak terkalahkan sudah mending.

   Dari tempatnya berbaring, Hong Si-nio mengawasi Siau Cap-it Long, ia mengira pemuda ini sudah menjadi gila.

   Nyo Lok-liu juga mengawasi Siau Cap-it Long, ternyata bukan saja tidak menjadi marah, sikap mereka malah menjadi tenang.

   Li Ang-ing berkata dingin.

   "Pedang kami panjangnya tujuh dim, pentungmu panjang satu tombak setengah."

   Nyo Lok-liu berkata.

   "Dengan panjang kau menggempur pendek, dengan kekuatan mengatasi bahaya, kau kira kami berdua tak mampu mendekati tubuhmu?"

   "Kau kira umpama diri sendiri tidak mampu menang, juga bisa bertahan tidak terkalahkan."

   "Maka dengan pancinganmu ini kau hendak mengobarkan amarah kami."

   "Kau berani melawan dalam tiga jurus. Padahal dengan kedudukan dan tingkatan kami berdua, takkan mungkin kau melawan lebih satu jurus lagi."

   "Kau kira dalam tiga jurus kami berdua pasti tak mampu mengalahkan engkau."

   "Tapi kau jelas salah."

   Siau Cap-it Long menunggu dengan sabar, menunggu mereka mengoceh. Nyo Lok-liu bertanya.

   "Apa kau tidak tahu bila seorang melatih ilmu pedang dan sudah mencapai puncak kedigdayaannya, dengan hawa pedang mengendalikan pedang, dapat membunuh musuh dalam jarak seratus langkah."

   Mengendalikan pedang dengan tenaga hawa.

   Bukan saja berubah air muka Siau Cap-it Long, kuduknya juga mengkirik.

   Ilmu pedang setingkat itu sudah lama lenyap dari Kangouw, namun tokoh silat manapun berkesimpulan, cerita itu hanya dongeng belaka, hakikatnya belum pernah ada jago silat berhasil mempelajarinya sampai tingkat itu.

   Apakah gabungan permainan ilmu pedang Ang-ing dan Lok-liu sudah mencapai taraf setinggi itu? Li Ang-ing berkata.

   "Banyak orang Kangouw berpendapat bahwa dengan tenaga hawa murni mengendalikan pedang hanya dongeng belaka. Padahal ilmu pedang semacam itu bukan tidak bisa diyakinkan."

   "Hanya saja untuk meyakinkan ilmu pedang setaraf itu, seseorang harus bekerja keras berlatih selama seratus lima puluh tahun."

   "Lalu manusia mana yang mampu hidup selama itu."

   "Ya, maka kami berdua juga tidak mungkin bisa."

   "Katakanlah ada orang bisa hidup mencapai usia seratus lima puluh tahun, sepanjang hidupnya tidak mungkin hanya untuk latihan pedang bukan."

   "Makanya kami berdua juga tak berhasil meyakinkan ilmu pedang setaraf itu."

   Lega hati Siau Cap-it Long.

   "Sejak umur tujuh tahun kami mulai latihan, sampai sekarang sudah tujuh puluh empat tahun lamanya."

   "Maka sampai sekarang kami baru berhasil meyakinkan dengan hawa murni mengendalikan arus, arus yang terkendali menggerakkan pedang saja."

   Bergetar pula hati Siau Cap-it Long.

   "Dengan hawa murni mengendalikan arus, dengan arus mengendalikan pedang?"

   "Kau tidak mengerti?"

   Memang Siau Cap-it Long tidak mengerti.

   "Baiklah, boleh kupertontonkan dulu kepadamu,"

   Seru Li Ang-ing.

   Pedang pendek di tangannya mendadak meluncur terbang bagai kilat menyambar, tapi lebih lincah, lebih tangkas dibanding kilat.

   Cahaya pedang berputar menari di tengah keremangan malam mirip seekor naga dalam cerita dongeng.

   Dengan cermat Siau Cap-it Long memperhatikan secercah sinar kemilau keluar dari tangan orang, arus kemilau itulah yang menggerakkan dan mengendalikan pedang pendek dengan enteng leluasa dan lincah sekali.

   Dimana sinar pedang menukik balik, kejap lain pedang pendek sudah kembali ke tangan.

   "Beginilah yang dinamakan hawa murni mengendalikan arus, arus mengendalikan pedang, kau sudah paham?"

   Siau Cap-it Long menarik napas dingin, ilmu pedang sehebat itu sungguh belum pernah ia saksikan.

   "Taraf kami hanya dapat mengendalikan arus pedang sejauh tujuh tombak, pedangnya juga pendek sebobot yang kami miliki."

   "Kalau tarafnya setingkat lebih tinggi, kami bisa mengendalikan sejauh belasan tombak dengan pedang panjang tiga kaki. Itu baru berhasil pada kelas pertama. Kelas pertama itupun sudah mampu hawa murni mengendalikan pedang."

   Li Ang-ing menghela napas gegetun.

   "Untuk mencapai kelas pertama itu, kami masih butuh waktu sepuluh tahun lagi."

   "Karena kelas pertama dengan pedang terbang itu kami belum berhasil, hal ini jelas sangat menguntungkan dirimu."

   "Kalau nanti kau pikir dapat mengalahkan dengan keuntungan senjatamu yang lebih panjang, aku yakin kau pasti kalah."

   "Kenyataan pedang kami bisa mulur lebih panjang dari pentungmu, gabungan kekuatan kami jelas lebih kuat, hal ini kukira kau juga maklum."

   Sudah tentu Siau Cap-it Long juga tahu, maka ia tidak menyangkal bahwa taraf ilmu pedang kedua orang ini sungguh jauh di luar perkiraannya.

   Hong Si-nio juga menyaksikan permainan sinar pedang yang dikendalikan hawa murni tadi.

   Tanpa sadar sekujur badannya basah kuyup oleh keringat dingin.

   Betapapun ia tidak bisa tinggal diam, mengawasi Siau Cap-it Long mampus di tangan kedua kakek itu demi dirinya.

   Tapi kondisi sendiri tak mampu bergerak, hanya mendelong jadi penonton, betapa hatinya tak sedih, pilu dan menangis.

   Siau Cap-it Long akhirnya menarik napas dalam, katanya tenang.

   "Sekarang kalian siap berapa jurus mengalahkan aku?"

   "Tiga jurus."

   Tentu tiga jurus.

   Sebagai tokoh besar, jelas tidak akan mereka menawarkan satu jurus lebih banyak dari tigajurus yang ditawarkan Siau Cap-it Long.

   XVI.

   SUNGAI BESAR MENGALIR KE TIMUR Hanya dalam sekejap, mentari sudah menghilang di ufuk barat, kegelapan menyelimuti seluruh jagat raya, sinar bintang tiada, rembulan belum menongol dari peraduannya.

   Dalam kegelapan, bayangan Ang-ing dan Lok-liu mirip sukma gentayangan yang muncul dari neraka.

   Wajah nan pucat dingin, demikian pula sorot mata yang berkilau di kegelapan kelihatan seperti lentera setan yang menggiriskan.

   Padahal pedang pendek di tangan mereka memancarkan cahaya yang kemilau gemilang seperti dialiri listrik tegangan tinggi.

   Pentung kayu sepanjang satu tombak dua kaki di tangan Siau Cap-it Long melintang datang, tangan kanan dan kiri berjarak enam kaki.

   Demikian pula jarak antara Ang-ing Lok-liu kira-kira lima enam kaki.

   Serempak suara pedang pendek di tangan mereka melesat bersama, ibarat dua naga yang saling membelit, seperti dua jalur kilat menyambar, begitu berkelebat yang diserang adalah bagian mematikan, di bawah tepatnya di belakang sepasang telinga Siau Cap-it Long.

   Kecepatan serangan pedang ini susah diukur hanya dengan perkiraan belaka.

   Siau Cap-it Long tidak berkelit, tidak mundur, badannya malah menubruk maju ke depan, pentung panjang di tangannya menyapu miring mengincar tulang rusuk kedua lawannya.

   Jurus pertama, kedua pihak sama-sama melancarkan jurus pertama.

   Jurus pertama Siau Cap-it Long menyerang sebagai pertahanan, jurus mematikan dalam merebut kesempatan untuk bertahan hidup.

   "Tring", dua pedang pendek saling bentur, karena serangan dilancarkan di udara, benturan itupun menimbulkan gema nyaring, sementara dua pedang berputar arah, mirip bayangan bergerak mengikuti bentuknya. Dimana Siau Cap-it Long maju mundur, pedang yang dua itu tetap berada di belakangnya, sementara musuh berada di depan, berarti dirinya disergap dari dua sisi yang berlawanan. Betapa sengit dan begitu berbahaya babak yang menentukan kali ini, sungguh merupakan pengalaman hidup yang belum pernah terjadi bagi Siau Cap-it Long. Posisinya jelas menghadapi dua serangan mematikan dari dua arah berlawanan, sementara serangan balasannya sendiri belum mencapai sasaran, hanya sekejap bukan mustahil dirinya mampus dengan badan ditembus dua batang pedang yang tajam luar biasa. Pada detik-detik yang menentukan itulah, entah daya apa yang memancar dari gerakan Siau Cap-it Long, mendadak tubuhnya melejit mumbul ke atas terus berjumpalitan mundur sejauh empat tombak, waktu badannya melorot turun, dirinya sudah berada dekat kaki tembok, untuk mundur lagi jelas tidak mungkin. Waktu kedua kakinya berpijak di tanah, kedua pedang pendek lawan sudah mengejar tiba pula. Pentung di tangan Siau Cap-it Long diangkat lurus ke atas menyongsong datangnya sinar pedang, ia sudah mengincar dan memperhitungkan dengan amat tepat dan persis.

   "Trap", tahu-tahu kedua batang pedang menancap di pentung persis di pinggir tangannya. Inilah jurus ketiga dari Ang-ing dan Lok-liu. Pedang menancap di pentung orang, sementara Siau Cap-it Long masih hidup segar bugar, berarti belum terkalahkan. Hong Si-nio menjadi lega, menarik napas panjang dengan perasaan haru. Siapa tahu kedua pedang yang menancap di pentung ternyata mempunyai daya kekuatan yang luar biasa, pedang tembus dan menerobos lubang, tetap menusuk ke jalan darah penting di belakang mata Siau Cap-it Long. Berarti jurus ketiga masih tetap berlaku. Siapa pun pasti tak pernah menduga kekuatan sisa tusukan pedang masih sedemikian kuat setelah menancap di atas pentung, dan tidak tertahankan oleh kekuatan gerak pentung di tangan Siau Cap-it Long. Dalam kondisi seperti itu, Siau Cap-it Long jelas tak mampu mundur atau berkelit, pentung di tangan juga tak mungkin ditarik mundur, ia tak bisa balas menyerang pula, apalagi pentung terpegang di depan dada, tembok berada di belakang punggung, depan belakang tiada jalan mundur, berarti buntu, jelas kematian sudah berada di ambang mata. Hong Si-nio sudah hampir memejamkan mata, tak tega melihat nasib rekan yang amat dipujanya ini. Siapa tahu pada detik-detik yang menentukan, terjadilah perubahan yang amat mengejutkan, perubahan yang tak pernah terduga sebelumnya. Pada detik yang teramat genting itu, mendadak Siau Cap-it Long menundukkan kepala, kepalanya menumbuk pentung yang dipegang di depan dada.

   "Ser", kedua pedang tertahan kembali menyerempet di atas batok kepalanya, lalu beradu dan mengeluarkan suara "Tring"

   Yang nyaring.

   Sementara pentung di tangannya patah karena ditumbuk batok kepalanya, dua patahan pentung karena tumbukan kepala yang begitu keras, mencelat terbang meluncur ke arah Ang-in dan Lok-liu.

   Betapa kuat tumbukan kepala Siau Cap-it Long, bagai anak panah yang dibidikkan saja, dua patahan pentung itu meluncur ke arah Ang-ing dan Lok-liu.

   Mimpi pun Ang-ing dan Lok-liu tidak menduga bahwa serangan sepasang pedang mereka gagal melukai musuh, patahan pentung lawan justru meluncur menyerang mereka.

   Tak sempat berpikir, tanpa berjanji mereka cepat membalik tubuh, meski berhasil meluputkan diri, namun benang ronce yang menghias gagang pedang mereka putus.

   Di tengah keremangan cuaca malam nan gelap, tampak dua bayangan orang bagai dua gumpal mega melayang terbang, melampaui tembok meluncur jauh keluar sana.

   Suara Ang-ing yang rendah dingin berkumandang dari kejauhan.

   "Bagus, Siau Cap-it Long, bagus."

   Ketika suaranya sirna, bayangan mereka pun lenyap ditelan kegelapan.

   * * * * * Malam makin larut....

   Kedua batang pedang pendek yang memancarkan cahaya kemilau ditaruh melintang di atas meja.

   Di bawah cahaya lampu, cahaya sinar pedang lebih cemerlang dari sinar lampu yang redup.

   Paduan sinar lampu dan cahaya kemilau pedang menyinari lembaran undangan di pinggir meja.

   ".... Khusus dipersiapkan 180 guci arak, mohon tuan hadir menikmati bersama...."

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
".... Arak bagus memabukkan orang, kalau tuan hadir pasti mabuk, kalau anda takut mabuk, lebih baik tak usah datang ...."

   Secawan arak berada di tangan, Siau Cap-it Long mengawasi arak di tangannya, mulutnya menggumam.

   "Yakin mereka tahu kalau aku tidak takut mabuk, siapa pun di antara mereka tahu ...."

   Hong Si-nio tengah menatapnya lekat.

   "Maka sekarang engkau sudah mulai sinting."

   Begitu mengangkat cawannya, arak langsung ditenggak habis, Siau Cap-it Long berkata.

   "Aku tidak mungkin mabuk, aku tahu kondisiku sendiri, berapa banyak arak mampu aku minum."

   Setelah mengisi secawan lagi, ujarnya.

   "Setiap orang tentu tahu ukuran pribadinya jadi jangan suka main untung-untungan."

   Mendadak Hong Si-nio tertawa.

   "Kurasa Ang-ing dan Lok-liu justru tahu mengukur diri sendiri, setelah tahu pihaknya kalah, segera mereka menyingkir."

   Jelas ia ingin bicara ke persoalan lain, persoalan yang bisa memancing rasa gembira Siau Cap-it Long.

   "Mereka sudah melancarkan tiga jurus, padahal engkau baru menyerang dua jurus. Kenyataan pedang mereka sekarang berada di tanganmu."

   "Memang,"

   Ujar Siau Cap-it Long tertawa.

   "tapi kepalaku benjut, sementara mereka tidak kurang sesuatu apapun."

   "Apapun yang terjadi, mereka sudah terkalahkan."

   "Mestinya aku tahu diri, aku bukan tandingan mereka, seperti pertarungan tempo hari, aku bukan tandingan Siau-yau-hou."

   "Tapi kenyataan kau telah mengalahkan mereka."

   "Ya, mungkin karena nasibku lebih baik,"

   Kembali ia menghabiskan secawan arak, lalu mengawasi undangan di atas meja.

   "Sayangnya nasib baik seseorang tidak selamanya abadi."

   Di bawah pancaran cahaya pedang, surat undangan itu mirip undangan kematian bagi dirinya.

   Ada sementara orang jelas tahu dirinya bakal mati, maka dia akan mempersiapkan segala keperluan dirinya bila jiwanya melayang nanti, menyebar pemberitahuan duka-cita umpamanya.

   "Kau gundah karena undangan besok itu?"

   Tanya Hong Si-nio. Tawar suara Siau Cap-it Long.

   "Selamanya tak pernah aku gundah karena urusan yang bakal terjadi besok pagi."

   Mendadak ia bergelak tertawa, kembali menghabiskan dua cawan arak.

   "Hari ini ada arak hari ini mabuk, kenapa peduli urusan besok pagi."

   "Betul, hakikatnya tidak perlu kuatir, apa arti ketujuh orang itu?"

   Mengawasi nama-nama yang tercantum di atas undangan itu, Siau Cap-it Long bertanya.

   "Kau kenal mereka?"

   Hong Si-nio manggut-manggut.

   "Le Jing-hong sudah mati, meski kelihatannya amat berwibawa, padahal hatinya sudah mampus."

   Maklum siapa pun dia, kalau selama dua tiga puluh tahun hidup enak, hidup mewah, tanpa kerja tiada usaha, betapapun gagah dan kuat jaya masa lalunya, wibawanya tentu akan kuncup dan ludes dikubur masa.

   "Orang cacad macam Jin-siang-jin saja dia tidak mampu melawan, meski goloknya belum karatan, tapi hati dan daya pikirnya sudah berjamur, lebih parah dibanding karatan."

   "Kau pernah melihat dia bertarung?"

   Tanya Siau Cap-it Long.

   "Pernah, aku juga bisa menilai, gerak dan kecepatannya sudah merosot jauh di bawah seorang ahli silat umumnya,"

   Demikian komentar Hong Si-nio.

   "Kau bisa menilainya? Kau tahu betapa cepat gerak serangannya?"

   "Tidak tahu,"

   Sahut Hong Si-nio.

   "aku hanya tahu kecepatan gerakannya dahulu tidak berbeda dengan kondisinya sekarang, memangnya dia bisa hidup sampai sekarang?"

   Lalu ia menambahkan.

   "Bahwa Jinsiang jin bisa bertahan hidup sampai sekarang, anggaplah suatu mujizat."

   "Ya, dia memang orang kuat,"

   Puji Siau Cap-it Long. Manusia kalau kaki tangan dibuntung tiga di antara keempat kaki tangannya, masih berani bertahan hidup dan kenyataan masih malang melintang, maka dia pasti orang kuat, orang luar biasa.

   "Sayangnya sanubarinya selalu dibayangi rasa ketakutan, maka boleh dipastikan pribadinya hakikatnya tidak sekuat penampilannya, aku yakin dia pasti amat takut mati."

   "Kau bisa melihat jalan pikirannya?"

   Tanya Siau Cap-it Long.

   "Aku hanya tahu kalau seorang menganggap dirinya sebagai Jin-siang-jin (manusia di atas manusia), yakin pasti bukan manusia normal."

   Siau Cap-it Long menghela napas panjang.

   "Ya, aku justru kasihan pada lelaki gede yang selalu dicambuk mirip kuda itu, betapa menderita hidupnya, patut dikasihani."

   Hong Si-nio juga menghela napas.

   "Aku malah tidak pernah memikirkan nasibnya, tapi aku justru berkuatir atas dirimu, karena kau lebih banyak memikirkan kepentingan orang lain daripada memikirkan kepentingan diri sendiri."

   "Begitulah jalan hidupku, hakikatnya tiada sesuatu kepentingan pribadiku yang perlu kupikir."

   "Ya, karena kau hanya seorang serigala,"

   Ujar Hong Si-nio tertawa.

   "sedang Hoa Ji-giok tidak lebih hanya seekor rase, rase ketemu serigala, bukankah mirip tikus berhadapan dengan kucing?"

   "Apakah Hamwan bersaudara bukan rase?"

   Tanya Siau Cap-it Long.

   "Ya, rase yang licik, licin dan jahat,"

   Demikian komentar Hong Si-nio.

   "begitu mencium bau bahaya, mereka akan mencawat ekor lari lebih cepat dibanding orang lain."

   "Bagaimana dengan Kim-pou-sat?"

   "Yang satu ini bukan rase, dia babi, babi yang malas, suka gegares dan rakus harta."

   Siau Cap-it Long bergelak tertawa.

   "Menurut pendapatku, orang ini tidak perlu kau layani, ketiga rase itu justru akan mencaploknya malah."

   "Maka yang paling berbahaya jelas adalah Soa-ong?"

   Hong Si-nio tak menyangkal.

   "Konon dia adalah macan yang suka gegares daging manusia, tulang belulangnya juga ditelannya."

   "Tapi aku tidak menguatirkan dia,"

   Kata Siau Cap-it Long.

   "Kenapa ?"

   Tanya Hong Si-nio. Tawar suara Siau Cap-it Long.

   "Karena aku sendiri juga bukan manusia. Boleh kau tanya kepada siapa saja, mereka pasti bilang Siau Cap-it Long bukan manusia."

   Mengawasi rona muka orang, perasaan Hong Si-nio mendelu, hatinya seperti ditusuk sembilu. Seorang kalau sepanjang hidupnya selalu difitnah orang, maka hidupnya pasti sengsara. BENTROK PARA PENDEKAR Karya Gu Long - Gan K.H. Bagian 11

   "Dan yang paling kukuatirkan justru bukan ketujuh orang ini."

   "Soal apa yang kau kuatirkan."

   Siau Cap-it Long mengawasi kartu undangan, suaranya perlahan.

   "Yang kukuatirkan adalah orang yang tidak mencantumkan namanya di undangan ini."

   "Maksudmu bukan hanya ketujuh orang itu saja yang akan berhadapan denganmu? Masih ada seorang yang bergerak di belakang layar akan menyergapmu."

   Siau Cap-it Long tertawa lebar.

   "Aku seekor serigala, maka selalu aku bisa mencium bahaya yang tidak mungkin bisa dicium orang lain."

   Mimik tawanya amat aneh, selama berkenalan beberapa tahun ini, belum pernah Hong Si-nio melihat mimik tawa seaneh itu. Siau Cap-it Long masih tertawa.

   "Seekor serigala sebelum terperangkap, selalu akan mendapat firasat jelek, tapi dia tetap maju ke depan, umpama tahu begitu masuk perangkap jiwanya bisa melayang, dia tetap akan menerjang ke depan, karena dia sadar, dalam posisi seperti itu dirinya tidak mungkin putar balik, sebab di belakang sudah tiada jalan untuk meloloskan diri. Seorang kalau sudah kehilangan gairah hidup, kehilangan semangat juang, kalau usaha bertahan hidup juga sudah tidak dipikirnya lagi, maka siapa pun akan mudah membunuhnya."

   Demikianlah gambaran kondisi Siau Cap-it Long sekarang ini, dia sendiri merasa dirinya sudah tiada alasan untuk mempertahankan hidupnya, hakikatnya pukulan lahir batin yang menimpa dirinya memang teramat berat dan tragis.

   Bahwa dalam duel tadi dia mampu mengalahkan Ang-ing dan Lok-liu, karena pertarungan tadi bukan untuk mempertahankan jiwa raga sendiri, tapi usaha untuk menyelamatkan Hong Si-nio.

   Karena dia merasa dirinya banyak berhutang terhadap Hong Si-nio, umpama dirinya harus mampus seketika, hutang ini harus berusaha dibayar lunas.

   Sekarang setelah dia merasa hutangnya telah dibayar lunas, berarti dirinya sudah mampus sekali demi Hong Si-nio.

   Berbeda dengan hutangnya kepada Sim Bik-kun, sejak dia menyaksikan Sim Bik-kun pergi mengikut Lian Shia-pik, maka dia merasa hutangnya sudah lunas.

   Sekarang dia beranggapan, Sim Bik-kun yang berhutang terhadap dirinya, bukan dia berhutang kepada Sim Bik-kun.

   Bahwa sekarang dia masih hidup, tapi hatinya, pikirannya sudah mati.

   Mati di saat ia mengawasi Sim Bikkun pergi meninggalkan dirinya, ikut Lian Shia-pik.

   Mendadak Hong Si-nio seperti berfirasat, setelah dia pergi besok, dirinya takkan bisa bertemu lagi dengannya.

   Karena dia sekarang sudah bertekad untuk mati, pergi menyongsong bahaya, bahwasanya dia tidak berpikir untuk pulang kembali.

   Mendadak Siau Cap-it Long menggenggam tangannya, katanya dengan menatap tajam.

   "Kau tahu, soal apa yang terpikir dalam benakku?"

   Tanpa bersuara Hong Si-nio mengangguk. Tangan Siau Cap-it Long menggenggam makin kencang, bola matanya dihiasi rona merah seperti ingin menangis.

   "Mestinya aku tidak berpikir demikian, aku sendiri tahu, dia adalah bini orang lain, hakikatnya tidak pantas aku ...."

   "Mati untuknya", dua patah kata ini tidak lepas dari mulutnya, tapi Hong Si-nio tahu apa yang ingin dia katakan. Gemetar tangan Siau Cap-it Long yang menggenggam tangannya.

   "Aku tahu, aku harus melupakan dia, supaya bisa hidup dengan wajar, aku belum tua, masih punya masa dapan, paling tidak ada kau yang mendampingiku."

   Hong Si-nio menggigit bibir, sekuatnya ia mengendalikan perasaan, dia tahu Siau Cap-it Long sudah mabuk, matanya mendelong lurus, kalau tidak mabuk, tak mungkin di hadapannya dia melontarkan isi hatinya. Lebih jauh Siau Cap-it Long berkata.

   "Persoalan apapun aku tahu, duduk perkara apapun aku mengerti, tapi aku justru tak mampu ... tak mampu melakukan tugas yang harus kulakukan."

   "Maka tak usah kau menyalahkan diri sendiri, jangan memaksakan dirimu,"

   Bujuk Hong Si-nio.

   "Tapi aku ...."

   "Kalau segala persoalan kau tahu, tentu kau maklum, tiada persoalan di dunia ini yang boleh dipaksakan, hanya perasaan saja yang tidak dipaksakan oleh siapa pun."

   Siau Cap-it Long menundukkan kepala.

   "Aku ... aku mengharap ... kau memaafkan aku."

   "Tentu aku memaafkanmu,"

   Seru Hong Si-nio.

   "kapan aku pernah menyalahkan engkau."

   Siau Cap-it Long tidak bicara lagi, kepalanya tetap menunduk dalam.

   Tiba-tiba Hong Si-nio merasa punggung tangannya dihiasi sebutir air kemilau nan dingin.

   Itulah air mata Siau Cap-it Long, ada kalanya Siau Cap-it Long juga mengucurkan air mata.

   Sebutir air mata, bagi Hong Si-nio laksana sebatang jarum yang menusuk hulu hatinya, tapi juga ibarat sebutir mutiara yang paling bernilai di dunia ini.

   Ingin rasanya Hong Si-nio menyimpan titik air mata yang dinilainya tak terbandingkan oleh benda paling mahal sekalipun, sayang air mata itu akhirnya menetes dan lenyap meresap di kulit daging Hong Si-nio.

   Entah berapa lama kemudian, Siau Cap-it Long menggumam.

   "Kau sendiri sering bilang, bahwa kau bukan perempuan sembarang perempuan ...."

   Hong Si-nio mengangguk sambil menggigit bibir.

   "Tapi kau salah,"

   Desis Siau Cap-it Long.

   "Aku salah?"

   Tanya Hong Si-nio.

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kau memang perempuan tulen, malah perempuan agung, perempuan yang punya pambek, perempuan yang punya pribadi maha suci, aku berani tanggung, tiada perempuan di dunia ini yang lebih agung dibanding dirimu ...."

   Suaranya makin lirih, kepalanya juga menunduk makin turun, akhinya jatuh di punggung tangan Hong Si-nio.

   Punggung tangan Hong Si-nio sebagai bantal, dia tidur pulas sekali.

   Hong Si-nio tidak bergerak, tidak berani bergerak.

   Meski kepala Siau Cap-it Long makin terasa berat, lengan tangannya tertindih makin kejang, tapi ia tidak berani bergeming.

   Secara terbuka, umum tahu Hong Si-nio adalah perempuan yang punya watak seperti angin, perempuan yang berwatak membara.

   Tapi tiada orang tahu, perempuan mana pun di dunia ini, derita apapun yang tidak bisa dihadapi perempuan, Hong Si-nio telah meresapinya dengan tabah.

   Dia tahu dan mengakui apa yang diucapkan Siau Cap-it Long memang benar, mulut bicara dengar di hati, entah bagaimana perasaan hatinya.

   Entah manis? Kecut? Atau pahit getir? Dia tahu Siau Cap-it Long mengenal dirinya, seperti dirinya mengenal Siau Cap-it Long.

   Tapi perasaannya terhadap dirinya, jelas berbeda dengan perasaan hatinya terhadap pujaannya ini.

   Di sinilah letak derita paling besar bagi kehidupan manusia, derita apa boleh buat.

   Tapi ia terima dan mempertahankan hampir sepuluh tahun lamanya, sepanjang dirinya bertahan hidup, derita itu akan terus diresapinya.

   Satu hari ia hidup, satu hari ia sengsara, setahun ia hidup, ia harus bertahan setahun lamanya, ya, terus bertahan hingga ajal.

   Hong Si-nio tidak tahu berapa lama ia harus bertahan, tak tahu sampai kapan ia bisa bertahan hidup.

   Ia hanya tahu sekarang ia pantang mati, malah harus terus hidup, sebab ia harus berusaha mencari akal supaya Siau Cap-it Long tetap hidup.

   Hidupnya adalah demi Siau Cap-it Long, dia rela mati, rela berkorban demi Siau Cap-it Long.

   Lilin nyala hingga pangkalnya, air mata juga belum kering, lengan Hong Si-nio sudah terasa kaku kesemutan, namun ia tidak bergerak.

   Hatinya kecut, tubuhnya pun kaku, sedih lagi lelah.

   Dalam kondisi seperti ini, ia ingin sampai mabuk, ingin tidur barang sejenak, tapi ia tahu dirinya tidak boleh mabuk, tidak boleh tidur.

   Dia harus berjaga melindungi Siau Cap-it Long hingga fajar menyingsing, menjaganya sampai dia pergi.

   Tiba-tiba lilin padam, cahaya lilin makin redup, lalu menjadi gelap gulita.

   Kini ia tidak bisa melihat keadaan Siau Cap-it Long.

   Di tengah gelap nan sunyi sepi, meski dirinya penat dan sedih, kondisinya justru bertambah segar bugar.

   Mendadak banyak persoalan berkecamuk dalam hatinya.

   Satu per satu persoalan terlintas di benaknya, lalu satu per satu ia beri jawab pula.

   Pertama ia bertanya pada diri sendiri.

   "Orang macam apakah Hoa Ji-giok?"

   Jelas Hoa Ji-giok adalah seorang yang berpenampilan tenang, namun licik dan licin, orang lihai yang cukup menakutkan.

   "Orang selihai dia, dengan jerih payah akhirnya berhasil menggondol pergi Sim Bik-kun, bagaimana mungkin bisa membiarkan kusir kereta menolongnya pergi?"

   Hal ini jelas tak mungkin terjadi.

   "Mungkinkah Hoa Ji-giok mengaturnya demikian? Sengaja memberi peluang kepada kusir kereta untuk menolong Sim Bik-kun?"

   Penjelasan ini rada masuk akal, dalam kondisi seperti sekarang, penjelasan ini paling masuk akal.

   "Kenapa Hoa Ji-giok berbuat demikian? Dengan akal muslihat, jerih payah berhasil mendapatkan Sim Bikkun, kenapa sengaja membiarkan orang menolongnya?"

   "Sebab apa dia menyuruh kusir kereta itu membawa Sim Bik-kun pergi ke Bu-kau-san-ceng."

   "Lalu apa maksud tujuannya?"

   "Sebab ia tahu Lian Shia-pik bakal pulang ke tempat itu, sengaja ia mengatur pertemuan Sim Bik-kun dengan Lian Shia-pik, supaya Sim Bik-kun tahu dan melihat, kini suaminya telah berubah rudin dan nestapa."

   "Kenapa?"

   Hong Si-nio bertanya pula kepada dirinya sendiri.

   "Sebab dia tahu Sim Bik-kun adalah perempuan bijak yang lemah, bila melihat kondisi Lian Shia-pik begitu mengenaskan lantaran dirinya, hatinya pasti luluh lantak. Untuk membangkitkan semangat hidup suaminya, ia pasti akan berusaha dan rela berkorban segalanya."

   "Apalagi kesannya terhadap Siau Cap-it Long sekarang teramat jelek."

   "Tapi manusia sepintar Hoa Ji-giok, pasti takkan melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan diri pribadi. Lalu keuntungan apa yang akan dia peroleh?"

   "Tiada keuntungan."

   Penjelasannya ialah seluruh rencana kejadian ini pasti bukan Hoa Ji-giok yang mengaturnya, di belakang layar pasti ada seorang pengendali yang menjadi dalang semua peristiwa ini.

   "Manusia macam apa di dunia ini yang mampu mengendalikan Hoa Ji-giok? Orang yang membuat Hoa Jigiok tunduk dan menerima perintahnya?"

   "Tokoh yang satu ini jelas lebih tabah, lebih lihai dan lebih menakutkan."

   "Mungkinkah tokoh yang menggantikan posisi Siau-yau-hou yang sudah mati itu? Atau mungkin orang yang selalu mengirim uang sebanyak itu di bank untuk Siau Cap-it Long?"

   "Ya, pasti dia."

   "Hoa Ji-giok pasti salah satu anak buahnya, maka Hoa Ji-giok tidak pernah memperhatikan 'harta karun' yang katanya sudah berada di tangan Siau Cap-it Long. Karena hanya dia yang tahu bahwasanya harta karun itu tidak pernah ada."

   "Kenapa orang ini berbuat demikian?"

   "Karena ia ingin menjebak dan mencelakai Siau Cap-it Long, supaya orang banyak memusuhinya, demikian pula supaya Sim Bik-kun membencinya."

   "Jelas Hoa Ji-giok sudah tahu kalau Bu-kau-san-ceng belakangan ini sudah menjadi milik Siau Cap-it Long."

   "Juga sudah dalam perhitungannya, bila Sim Bik-kun tahu akan hal ini, betapa hatinya takkan sedih, takkan marah."

   "Tapi kalau dia sudah tahu Lian Shia-pik menjual Bu-kau-san-ceng, darimana ia bisa memastikan Lian Shiapik bakal dan pasti bertemu dengan Sim Bik-kun?"

   "Apa tidak mungkin Lian Shia-pik sendiri yang telah mengaturnya?"

   "Setelah persoalan ini berkembang sampai kondisi ini, satu-satunya orang yang akan memungut keuntungan, siapa lagi kalau bukan Lian Shia-pik."

   "Kecuali Lian Shia-pik, tiada orang tahu keberadaan Siau Cap-it Long di tempat ini. Lalu bagaimana mungkin kartu undangan itu dikirim ke sini?"

   "Mungkinkah seluruh rencana kerja ini diatur dan direncanakan oleh Lian Shia-pik? Berarti dialah tokoh di belakang layar yang menggantikan posisi Siau-yau-hou."

   Beruntun Hong Si-nio mengajukan lima pertanyaan kepada dirinya sendiri.

   Lima pertanyaan yang tidak terjawab.

   Bukan karena tidak mampu menjawab, tapi karena ia sendiri tidak percaya akan jawabannya sendiri.

   Bahwa Lian Shia-pik benar adalah tokoh itu.

   Begitu membayangkan kemungkinannya, sekujur badan Hong Si-nio menjadi basah oleh keringat dingin.

   Kalau duduk persoalan betul sesuai kenyataan, betul-betul amat menakutkan.

   Hong Si-nio menghelas napas dari mulut, ia sadar sekarang perlu minum arak, dalam kondisinya sekarang, jelas ia takkan kuat bertahan lama kalau tidak ditunjang kekuatan arak yang pasti merangsang syarafnya.

   Supaya tidak membuat berisik, ia tidak berani menuang arak ke cawan, tapi poci langsung ia angkat terus diangsurkan ke mulut serta ditenggaknya sisa arak seluruhnya.

   Setelah poci arak ditaruh lagi di meja, perlahan ia mengendurkan badan, pelan-pelan menyenderkan kepala di sandaran kursi.

   Keadaan gelap pekat di luar jendela, angin menghembus kencang, daun pohon bergoyang gontai seperti menari.

   Dalam suasana yang hening, dengan penuh perhatian ia perhatikan deru napas Siau Cap-it Long yang perlahan, panjang dan tenang.

   Perasaan hatinya menjadi ikut tenang dan tenteram, setenang tabir malam yang menyelimuti jagat raya.

   Akhirnya ia pun tertidur pulas.

   Senyenyak apapun manusia tidur, akan datang saatnya siuman.

   Hong Si-nio terjaga kaget dari pulasnya, cahaya mentari yang menguning menyorot di jendela.

   Perlahan ia menarik napas panjang, pelan-pelan mengangkat tangan untuk mengucek mata.

   Mendadak perasaannya seperti tenggelam, mengendap turun ke bawah menyentuh kaki, perasaannya seperti terjeblos ke dalam jurang yang dalam.

   Siau Cap-it Long yang selama tidur dengan punggung tangannya sebagai bantal kini sudah tiada.

   "Apakah dia pergi begitu saja?"

   Hong Si-nio berjingkrak berdiri, ingin berteriak, ingin mengudak dan mencarinya.

   Untung ia sempat melirik ke balik halaman belakang undangan yang tergeletak di meja, tergores beberapa huruf yang belum kering seluruhnya, huruf-huruf yang ditulis dengan sumpit dan kuah bakmi sebagai tinta, tulisannya samar dan gayanya kacau, namun jelas bisa dibaca.

   "Aku pergi. Aku yakin tanganmu tentu kesemutan, tapi begitu kau terjaga bangun, yakin tanganmu sudah tidak kesemutan lagi. Orang yang mereka kehendaki hanya aku seorang, kau tak usah ikut dan tak perlu pergi. Umpama selanjutnya kau takkan bertemu lagi dengan aku, berita tentang diriku yakin akan segera kau dengar dari berita yang tersiar luas". Tulisan yang samar makin buram karena dibasahi butiran air mata. Hong Si-nio gegetun, gemas lagi penasaran. Kenapa dalam detik-detik yang genting tadi dirinya bisa jatuh pulas. Dengan sengit ia raih poci arak, lalu dibantingnya dengan keras. Rasanya ia pun hancur berkeping seperti pecahan poci arak. Karena sedikit keributan ini, seorang beranjak masuk dengan langkah pelan dan lirih, dengan kaget dan mendelong mengawasi Hong Si-nio. Mendadak Hong Si-nio memburu ke sana serta merenggut bajunya, suaranya meraung keras.

   "Mana Siaucengcu kalian?"

   "Sudah ... sudah pergi,"

   Sahutnya gemetar. Dia adalah kacung tua perkampungan yang bernama Lo-hek, si hitam, kini selebar mukanya yang hitam pucat pias.

   "Kapan dia pergi,"

   Tanya Hong Si-nio.

   "Begitu terang tanah dia berangkat, di luar datang sebuah kereta menjemputnya."

   "Kereta macam apa?"

   "Aku ... aku tidak melihat jelas."

   "Plak", belum habis orang bicara, Hong Si-nio menggampar mukanya dengan keras.

   "kenapa tidak kau periksa ... kenapa tidak kau lihat jelas...."

   Tamparannya amat keras, tapi Lo-hek seperti tidak merasa sakit.

   Saking takut dan kagetnya, ia berdiri menjublek di tempat.

   Untung Hong Si-nio segera mendorongnya mundur terus berlari keluar.

   Muka Lo-hek seketika menyeringai sinis lagi sadis.

   Ia tahu Hong Si-nio pasti takkan bisa menemukan Siau Cap-it Long.

   Kereta kuda yang menjemputnya dicongklang ke arah timur terus menuju ke dermaga, Siau Cap-it Long turun dari kereta lalu naik kapal.

   Hanya begitu keterangan yang diperoleh Hong Si-nio.

   Kereta kuda macam apa? Kapal jenis apa dan berapa besarnya? Dermaga mana yang dimaksud? Bahwasanya ia tidak tahu, ia hanya tahu bagaimanapun dengan cara apapun, harus mencari dan menemukan Siau Cap-it Long.

   Sekarang kalau ia bisa memberitahu tentang persoalan dan jawaban yang semalam ia analisa kepada Siau Cap-it Long, pasti dan yakin dapat menumbuhkan semangat hidup dan membakar watak juangnya.

   Tak peduli apakah Lian Shia-pik yang menjadi biang semua intrik dan muslihat ini, dia pasti dapat berusaha memperoleh jawabannya, ya, harus dapat menemukan jawabannya.

   Untuk bisa mencari jawabannya, dia harus bertahan hidup.

   Mungkin cara itulah satu-satunya kekuatan yang dapat mendukung dirinya untuk terus hidup, atau sebaliknya dia akan mampus, sebab hakikatnya dia sudah tidak memikirkan hidup lagi, tiada harapan dan keberanian untuk bertahan hidup.

   Kalau Siau Cap-it Long mati, apakah Pin-pin masih bisa juga bertahan hidup? Apakah Sim Bik-kun juga masih bisa tetap hidup? Demikian pula dirinya, apakah pantas mempertahankan hidup? Jawabannya hampir mutlak, tidak bisa.

   Mati! Kalau Siau Cap-it Long mati, dapat dipastikan kawan-kawannya juga akan mati.

   Hong Si-nio tidak takut mati, tapi kalau semua orang mati begitu saja, dirinya akan mati penasaran.

   Mati bukan merupakan beban bagi dirinya, tapi kalau mati secara konyol, mati ini sungguh penasaran.

   Begitulah wataknya, demi memperjuangan hak dan kewajiban hidup, umpama harus mati seribu, selaksa kali tidak akan pernah membuatnya jera.

   * * * * * Hari masih pagi, musim rontok sudah menjelang lama.

   Daun kuning berhamburan dihembus angin berserakan, terasakan oleh Hong Si-nio seperti banyak orang menghela napas, simpati atas nasibnya ini.

   Di tempatnya berdiri ia tidak melihat bayangan kereta, bekas roda di jalan raya.

   Tanah di jalan raya kering kerontang, umpama kereta kuda baru saja lewat di sini, bekasnya sudah hilang terhembus angin kencang.

   Angin musim rontok mulai terasa dingin, pepohonan di hutan bergontai dengan alunan lembut dihembus angin, rasa dingin timbul dari alas kakinya.

   Seorang diri, sebatangkara ia diterpa angin kencang dengan daun-daun kering yang berjatuhan di bawah, hati membeku, rasanya ingin bersedu sedan.

   Tapi ia masih sadar, apa gunanya menangis? Kenapa harus sedih? Umpama menangis sesambatan, siapa yang akan mendengar? Siau Cap-it Long.

   Kenapa kau minggat secara diam-diam? Kenapa pergi naik kereta? Kalau dia naik kuda atau jalan kaki, lebih mudah ia mencari jejaknya dari orang-orang di jalan raya.

   Sebab Siau Cap-it Long orang yang selalu menjadi perhatian orang banyak.

   Kalau duduk dalam kereta, orang tidak melihatnya, jelas takkan ada yang memperhatikan dirinya, memangnya siapa mau memperhatikan sebuah kereta yang lewat di jalan raya? Apalagi bagaimana bentuk, besar kecil, warna apa, ditarik berapa kuda, dirinya tidak tahu.

   Yang ia tahu sekarang hanya sebuah kapal, kapal selalu berlabuh di pinggir sungai.

   Pelabuhan di sini berada di tenggara kota.

   Dengan mengertak gigi, menghapus rasa sedih, memompa semangat, segera ia berlari kencang ke tenggara, satu-satunya harapan yang bisa ditempuhnya sekarang, kalau tidak bisa menemukan Siau Cap-it Long, maka jalan yang ditempuhnya ini adalah jalan kematian baginya.

   Air sungai besar itu mengalir ke arah timur.

   Betapa banyak kapal besar kecil hilir mudik di sungai besar itu, siapa tahu Siau Cap-it Long naik perahu yang mana? Umpama sudah sampai di tempat tujuan sana, memangnya apa yang bisa ia lakukan? Yang pasti Hong Si-nio berjalan cepat seperti diburu setan, ingin rasanya tumbuh sayap dapat terbang ke tempat tujuan, tapi makin jauh ia berjalan, makin lama ia menempuh perjalanan, perasaannya makin resah, hatinya seperti tenggelam ke dasar air.

   Mentari sudah terbit di ufuk timur, cahayanya nan gemilang menerangi jagat raya.

   Ditimpa cahaya matahari, wajah Hong Si-nio seperti menyala, padahal hatinya mendelu seperti diselimuti mega mendung, betapapun benderang sinar mentari, hatinya tetap resah, perasaannya terus mendelu.

   Makin jauh langkahnya makin lambat, hampir tak berani meneruskan langkahnya, bahwasanya ia tidak yakin berhasil.

   Saat itu ia beranjak di jalan raya yang mulai ramai, warung makan dan kedai minum sudah mulai menggelar dagangannya menyambut tamu-tamu yang siap berangkat kerja, entah warung nasi, warung bakso, kedai tahu atau kios arak.

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ya, minum tiga cawan arak tentu dapat membangkitkan semangat di pagi yang cerah ini.

   Masih puluhan langkah lagi Hong Si-nio baru akan tiba di warung atau kedai itu, puluhan pasang mata semuanya melotot mengawasi kedatangannya.

   Hong Si-nio memang perempuan yang paling sering diperhatikan orang, kalau ada orang mau mencari jejaknya, siapa saja pasti akan mudah menemukan dirinya.

   Orang yang biasa menarik perhatian khalayak di dunia ini tidak banyak, bukan hanya Siau Cap-it Long dan Hong Si-nio saja, tapi kedua orang ini memang paling sering diperhatikan orang.

   Paling tidak masih ada dua orang, apalagi kalau kedua orang ini berjalan bersama, mereka adalah Lian Shia-pik dan Sim Bik-kun.

   Seorang nyonya cantik yang mampu menggetarkan hati lelaki, berjalan bersama laki-laki dekil, pemabukan lagi.

   Siapa pun dia pasti akan menoleh mengawasi mereka.

   Kalau Lian Shia-pik betul adalah si dia seperti yang diduganya, bukankah pagi hari ini juga pasti ke pelabuhan naik kapal itu? Kalau dapat menemukan Lian Shia-pik dan Sim Bik-kun, bukankah sekaligus bisa menemukan jejak Siau Cap-it Long? Bercahaya bola mata Hong Si-nio.

   Sepasang mata Hong Si-nio secara umum sering menarik perhatian banyak lelaki, apalagi saat itu sedang menyala, siapa pun yang melihatnya pasti tertarik dan terpesona.

   Di ujung gang sana ada sebuah pohon besar, dua pemuda menyoreng pedang berdiri santai di bawah pohon, bola mata mereka melotot bundar mengawasi kedatangan Hong Si-nio, arak di cawan yang mereka pegang sampai tumpah tanpa mereka sadari.

   Pemuda yang berdiri di kiri sepertinya lebih tabah, lebih pengalaman, waktu Hong Si-nio datang menghampiri, ia berdiri menyambut.

   "Hai,"

   Hong Si-nio menyapa lebih dulu. Kedua pemuda itu kaget dan gelagapan, yang berdiri segera melangkah maju, katanya sambil tersenyum lebar.

   "Aku bernama Hou Ing, dia bernama Toh Lin. Nona siapa namamu?"

   Dengan tersenyum mekar Hong Si-nio mendekat, tidak menjawab pertanyaan malah balas bertanya.

   "Kelihatannya kalian adalah pegawai Piaukiok?"

   "Ya, aku pegawai Piaukiok,"

   Sahut Hou Ing.

   "dia bukan."

   "Sudah berapa lama kalian berkelana di Kangouw?"

   Tanya Hong Si-nio.

   "Sudah lama,"

   Sahut Hou Ing.

   "dia belum pernah."

   "Kalian pernah mendengar seorang yang bernama Hong Si-nio?"

   "Tentu pernah mendengar, dia ...."

   "Aku juga pernah mendengar,"

   Toh Lin segera menimbrung.

   "konon dia adalah ... adalah ...."

   "Adalah apa?"

   Tanya Hong Si-nio. Merah jengah muka Toh Lin, katanya gapap.

   "Adalah seorang perempuan, perempuan elok, malah ...."

   "Kabarnya amat galak,"

   Sela Hou Ing.

   "kabarnya para pendekar gagah di Kangouw bila bertemu dia pasti sakit kepala."

   Hong Si-nio tertawa.

   "Sekarang kepala kalian sakit tidak?"

   Kedua pemuda ini tampak kaget, dengan terbeliak mengawasinya. Ternyata nyali Hou Ing lebih besar, katanya dengan suara gemetar.

   "Jadi kau adalah Hong Si-nio?"

   "Seratus persen betul,"

   Ujar Hong Si-nio.

   "Aku adalah siluman perempuan yang garang dan tidak kenal aturan itu."

   Hou Ing melenggong mematung, akhirnya menarik napas panjang.

   "Tapi, kurasa kau tidak mirip."

   "Tidak mirip Hong Si-nio-nio?"

   "Tidak mirip siluman perempuan,"

   Seru Hou Ing.

   "Ya, sedikitpun tidak sama,"

   Timbrung Toh Lin. Hong Si-nio tertawa lebar, memang dia perempuan cantik tinggi semampai, bila sedang tertawa gaya dan mimiknya jelas tidak garang. Timbul rasa berani Hou Ing, katanya memancing.

   "Konon kau suka minum arak, arak di sini lumayan, kau ...."

   Hong Si-nio tersenyum manis.

   "Memang aku ingin kalian mentraktirku minum tiga cawan."

   Yang pasti arak yang dijual di kedai ini bukan kwalitas yang patut diminum Hong Si-nio, tapi arak tetap arak. Sekaligus Hong Si-nio menghabiskan tiga cawan, bola matanya langsung bersinar. Di pinggir sana terikat dua ekor kuda, Hong Si-nio bertanya.

   "Kalian menunggang kuda itu?"

   "Betul,"

   Ucap Hou Ing.

   "bila ingin ikut, kau boleh sekuda denganku."

   "Kau tahu aku hendak kemana?"

   "Terserah kau, kemana pun tak jadi soal,"

   Sahut Hou Ing.

   "Kalian tidak punya tugas lain?"

   Tanya Hong Si-nio.

   "Tidak ada,"

   Sahut Hou Ing.

   "Kalau dia ...."

   "Aku bebas,"

   Seru Toh Lin.

   "kemana pun jadi."

   Hong Si-nio berjingkrak berdiri, serunya.

   "Baiklah, segera berangkat."

   Hou Ing melenggong, tanyanya.

   "Berangkat? Kemana?"

   "Mencari dua orang,"

   Sahut Hong Si-nio.

   "Lho,"

   Seru Hou Ing.

   "minum belum mabuk, kenapa pergi?"

   "Yang penting mencari orang, di jalan kita minum lagi,"

   Seru Hong Si-nio.

   "Setelah kutemukan kedua orang itu, terserah kau kuat minum berapa banyak akan kuiringi sampai mabuk."

   "Baiklah,"

   Teriak Hou Ing sambil berdiri.

   "bicara soal mencari orang akulah pakarnya. Orang macam apa yang kau cari, jelaskan bentuk dan umurnya, dengan mudah aku bisa temukan dia."

   "Ah, yang benar,"

   Seru Hong Si-nio.

   "benar kau pandai mencari orang?"

   "Kalau tidak percaya, tanya kepada Siau Toh?"

   Toh Lin memanggut, katanya menjelaskan.

   "Matanya tajam, ingatannya juga baik, siapa pun yang pernah dilihatnya sekali takkan dilupakan."

   Hong Si-nio tertawa lebar.

   "Dua orang yang kucari, siapa pun sekali pernah melihatnya, pasti takkan melupakannya."

   "Maksudmu kedua orang itu istimewa?"

   "Ya, amat istimewa."

   "Laki-laki atau perempuan?"

   "Laki-laki dan perempuan. Yang perempuan amat elok ...."

   "Lebih cantik dibanding kau?"

   "Seratus persen lebih cantik."

   "Yang laki-laki bagaimana?"

   Tanya Hou Ing.

   "Mestinya yang laki-laki cakap, tapi saat ini hidupnya rudin dan dekil, cambang lebat tumbuh di selebar mukanya."

   Hou Ing menggeleng kepala.

   "Belum pernah aku melihat kedua orang itu, sukar mencarinya."

   Rona wajahnya sedikit berubah, pada hakikatnya ia sudah tak mampu lagi untuk tertawa. Berputar biji mata Hong Si-nio.

   "Kau belum pernah melihatnya, tapi aku tahu ada seorang pasti pernah melihat mereka."

   "Siapa?"

   Tanya Hou Ing gugup.

   "Siau Toh."

   Hou Ing menjadi legang, katanya dengan menyengir.

   "Selama ini aku seperjalanan dengan dia, kalau aku tidak pernah melihat, mana mungkin dia melihatnya."

   "Tapi dia orang jujur dan tak mungkin berbohong,"

   Ujar Hong Si-nio, lalu berpaling ke arah Toh Lin dan menatap wajahnya lekat-lekat.

   "Siau Toh, benar begitu?"

   Merah jengah wajah Toh Lin, dia memang tidak biasa berbohong, namun dia juga tidak berani bicara jujur, agaknya takut terhadap Hou Ing. Dari perubahan wajahnya dapat diketahui memang begitulah kejadiannya. Hou Ing tidak mau kalah angin.

   "Pagi tadi, waktu kami sedang sarapan, sepertinya pernah melihat kedua orang itu."

   "Bukankah yang perempuan amat cantik?"

   Tanya Hong Si-nio. Hou Ing hanya memanggut.

   "Bukankah kau ingin mengajaknya minum arak,"

   Desak Hong Si-nio. Merah muka Hou Ing, untuk menjawab pun terasa malu.

   "Sebetulnya dia tidak bermaksud jahat,"

   Tutur Toh Lin dengan kepala menunduk.

   "memang begitulah sifatnya, bila melihat cewek sikapnya agak...."

   "Agak romantis begitu,"

   Desak Hong Si-nio pula. Muka Hou Ing makin jengah, ingin rasanya meninggalkan tempat itu. Hong Si-nio menepuk bahunya, ujarnya sambil tertawa.

   "namanya juga pemuda romantis, melihat cewek rupawan tentu timbul keinginan....."

   Hou Ing memandangnya sekejap, dalam hati ia merasa perempuan ini bukan saja tidak menakutkan, bahkan sangat menarik.

   Siapa pun juga bila bertemu dengan Hong Si-nio, pasti akan mempunyai pikiran seperti itu.

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bukan saja dia pandai memahami perasaan orang, juga mudah memaafkan kesalahan orang lain.

   "Tiada keinginan apa-apa, cuma memandangnya agak lama, sabab Lian-hujin itu ...."

   Toh Lin sungkan melanjutkan.

   "Jadi kalian tahu kalau dia Lian-hujin adanya?"

   Tanya Hong Si-nio. Toh Lin manggut-manggut.

   "Darimana kalian tahu kalau dia Lian-hujin?"

   Tanya Hong Si-nio pula. Hou Ing menghela napas.

   "Melihat cewek cantik itu berjalan bersama laki-laki rudin, dekil dan bau itu, tatapannya dirundung kesedihan ...."

   "Kau kira Lian-hujin digelandang oleh lelaki bau itu, lalu ingin membantunya. Begitu?"

   Dengan menyengir Hou Ing mengangguk.

   "Tentu kau tidak mengira, lelaki dekil kotor dan bau itu adalah Lian Shia-pik yang dikenal gagah ganteng, perlente dan nomor satu."

   "Ya, sedikitpun aku tidak pernah menduganya."

   "Maka kau berpendapat rugi besar, sekarang kalau bertemu dengan mereka lagi?"

   "Yang membuatku malu sebetulnya bukan Lian-kongcu."

   "Bukan dia?"

   Seru Hong Si-nio.

   "Memangnya siapa?"

   "Seorang yang juga suka ikut campur tangan urusan orang lain, dia she Ciu bernama Ci-kong."

   "O, jadi Pek-ma Kongcu?"

   Tanya Hong Si-nio.

   "Kelihatannya dia teman baik Lian-kongcu, agaknya suami-istri itu diajak pulang olehnya."

   "Kau dipermalukan olehnya?"

   Tanya Hong Si-nio. Merah muka Hou Ing, kepalanya tertunduk. Berputar bola mata Hong Si-nio, mendadak berjingkrak maju.

   "Hayolah kau ikut aku, aku akan membelamu."

   "Ah, yang benar,"

   Seru Hou Ing.

   "Jangan lupa, aku ini siluman perempuan yang selalu membawa sial dan penyebab sakit kepala. Kau bertemu denganku terhitung bernasib baik, bertemu aku bagi dia akan sial tujuh turunan."

   Bangkit semangat Hou Ing, katanya dengan tertawa lebar.

   "Kan tadi aku bilang, kemana kau pergi, aku selalu ikut."

   "Baiklah, sebentar kau menjadi pengiringku, tanggung tiada orang berani mengusikmu."

   "Tapi kami hanya punya dua ekor kuda."

   Kata Toh Lin.

   "Tidak soal,"

   Ujar Hou Ing.

   "dua pengiring menunggang seekor kuda."

   "Betul, dua pengiring naik satu ekor kuda sudah jamak, terhitung nasib kita mujur."

   Berderai tawa Hong Si-nio.

   "Bisa menjadi pengiringku, sungguh besar rezeki kalian."

   Maka mereka pun meneruskan perjalanan dengan bercanda dan berkelakar.

   Hong Si-nio sedang rudin, uang sepeser pun tak punya, kini bisa menunggang kuda yang gagah besar, diikuti dua pengiring yang masih muda dan gagah.

   Itulah Hong Si-nio.

   Selama hidup dia selalu banyak tingkah, namun semuanya dilewatinya dengan penuh kegembiraan.

   Betapapun rumitnya persoalan, selalu mampu dihadapinya, bahkan kadang beres dalam waktu sekejap.

   Menghadapi kaum lelaki pun dia mempunyai satu cara khas, kecuali....

   Siau Cap-it Long! Menghadapi pemuda yang satu ini, ia selalu mati kutu.

   XVII.

   BURUNG HONG EMAS "Sekarang kita mau kemana?"

   "Jelas ke Pek-ma-can-ceng milik Ciu Ci-kong itu."

   Namanya saja Pek-ma-san-ceng, di sana memang ada seekor kuda putih.

   Putih sekujur badan, dari kepala sampai ujung kaki tiada warna bulu lainnya, bentuknya mirip sekali dengan kuda buatan dari batu jade.

   Kuda putih umumnya dipakai sebagai lambang keagungan, kuda putih yang satu ini bukan saja indah dan gagah, dia memang kuda jempolan jenis unggul dari Persia.

   Pek-ma-san-ceng juga dihuni seorang pemuda ganteng yang disebut Pek-ma Kongcu, ilmu silat yang dipelajari dari turunan keluarga murni, ilmu sastra juga dikuasai dengan baik.

   Maka tiap orang yang membicarakan kuda putih dari keluarga Ciu, insan persilatan di daerah Kanglam tidak ada yang tidak mengenalnya.

   Bahwa Pek-ma-san-ceng terkenal, Pek-ma Kongcu ternama, kuda putih juga termasyur.

   Khalayak ramai jadi susah menentukan mana yang lebih terkenal dari ketiga nama itu.

   Mungkin Ciu Ci-kong sendiri juga susah membedakan.

   Pendek kata, kuda memang jempol, orangnya memang terkenal, hal ini tidak bisa disangkal oleh siapa pun.

   Maka siapa saja yang ingin pergi ke Pek-ma-san-ceng, tidak ada alasan bilang tidak bisa ketemu.

   * * * * * Tengah hari.

   Hutan di pergunungan itu tampak menguning karena daun-daun di musim rontok mulai layu.

   Hong Si-nio sedang gegetun, hatinya resah.

   Wajahnya tampak berkeringat ditimpa sinar matahari, kelihatan cemerlang lagi sehat.

   Tapi ia sendiri maklum, masa remaja sudah berlalu, tak mungkin ditarik kembali.

   Bukan dia gegetun karena ingin mempertahankan masa remaja, yang diinginkannya hanya sedikit kenangan masa lalu.

   Bukan kenangan masa remaja, tapi rasa rindu terhadap seseorang, biarlah rasa rindu itu juga diresapi oleh si dia.

   Memangnya kalau daun mulai layu dan berguguran, lalu siapa lagi yang akan tetap merindukan dirinya? Hong Si-nio menggentak kaki menghilangkan rasa rindu, waktu ia berpaling, dilihatnya Hou Ing dan Toh Lin tengah mengawasinya dengan pandangan terpesona.

   Paling tidak kedua pemuda ini selama hidup akan selalu merindukan dirinya.

   Hong Si-nio tertawa.

   "Kamu berdua anak-anak baik, kalau usiaku lebih muda lagi, mungkin satu di antara kalian kupilih jadi lakiku, sekarang...."

   "Sekarang kami hanya sebagai pengiringmu,"

   Kata Toh Lin. Hou Ing tampak menyengir kecut.

   "Sebagai pengiring juga termasuk saudaraku."

   "Syukur kau tidak ingin menikah dengan kami,"

   Ujar Toh Lin.

   "Kenapa?"

   Tanya Hong Si-nio. Toh Lin berkata jujur.

   "Sekarang kita adalah teman, kalau betul kau harus memilih satu di antara kami berdua, bukan mustahil aku bisa bertarung dengan dia memperebutkan engkau."

   Bingar tawa Hong Si-nio.

   "Kalau aku harus memilih, pasti tidak memilihmu, karena kau terlalu jujur."

   Hou Ing tertawa senang.

   "Sejak awal sudah kuberitahu padanya, lelaki yang terlalu jujur, perempuan malah tidak suka."

   Toh Lin jengah, katanya malu-malu.

   "Sebetulnya, dalam hal tertentu aku juga tidak jujur."

   Hong Si-nio tertawa besar.

   "Kau pikir apa yang harus kulakukan untuk melampiaskan hatimu?"

   "Tereserah kepadamu,"

   Sahut Hou Ing.

   "Kita terjang saja ke dalam, lalu ringkus dia keluar, bagaimana?"

   "Bagus!"

   Seru Hou Ing.

   "hayo lakukan."

   Bukit itu tidak terlalu terjal.

   Hong Si-nio mengeprak kudanya, dibedal lari menerjang ke dalam hutan.

   Pintu gerbang Pek-ma-san-ceng terbuka lebar, tanpa rintangan mereka mencongklang kudanya masuk ke perkampungan.

   Penghuni rumah jelas kaget, terutama yang bertugas jaga, semuanya memburu keluar sambil membentak.

   "He, siapa kalian? Untuk apa kemari?"

   "Kami datang untuk mencari Ciu Ci-kong, aku adalah bibinya."

   Kudanya terus dikeprak masuk rumah menerjang ke ruang besar.

   Bukan hanya semua orang kaget, kuda tunggangannya juga kaget sambil berjingkrak menumbuk meja kursi.

   Belasan orang memburu maju menghadang, ada yang menarik tali kendali, ada juga yang hendak menghajar orang, tapi belum mendekat mereka sudah dihajar cambuk di tangan Hong Si-nio.

   "Lekas panggil Ciu Ci-kong keluar,"

   Seru Hong Si-nio.

   "memangnya aku harus menerjang masuk ke dalam?"

   Hou Ing tampak bergairah, mukanya merah gembira.

   "Betul, terjang ke dalam saja."

   Seorang tua berpakaian pelayan melompat naik ke atas meja, teriaknya keras.

   "Kalian mau apa? Kawanan perampok ya?"

   Tahu-tahu Hong Si-nio juga melompat ke atas meja, sekali raih ia renggut baju di depan dada si orang tua.

   "Kan sudah kubilang aku ini bibi Ciu Ci-kong, mana dia?"

   "Dia ... dia tidak ada."

   "Kenapa tidak ada?"

   Teriak Hong Si-nio.

   "Jelas karena pergi maka orangnya tidak di rumah."

   Hong Si-nio bertanya lagi.

   "Kapan dia pergi?"

   "Baru saja."

   "Pergi seorang diri?"

   "Bukan, dia pergi bersama Lian-kongcu."

   "Lian-kongcu? Lian Shia-pik maksudmu?"

   "Sepertinya dia."

   "Mereka pergi kemana?"

   "Tidak tahu, mereka tidak memberitahu."

   "Apakah Lian-kongcu datang bersama isterinya?"

   "Ya, ya, bersama isterinya."

   "Dimana Lian-hujin?"

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Di pekarangan belakang, sedang makan dengan majikan perempuan."

   Hong Si-nio menjengek.

   "Sengaja dia melibatkan Ciu Ci-kong hanya untuk menitipkan isterinya di sini, supaya dia leluasa pergi membunuh orang."

   Pelayan tua itu tidak mengerti apa maksud perkataannya, Hou Ing sendiri juga menjadi bingung.

   "Siapa akan membunuh orang? Membunuh siapa?"

   Hong Si-nio mengertak gigi, tanyanya mendadak.

   "Ilmu silat kalian berdua bagaimana?"

   "Belum termasuk kelas tinggi, tapi untuk menghajar para gentong nasi ini kurasa cukup berlebihan."

   "Bagus, kalian tunggu saja di sini, sekarang suruh mereka menyediakan arak, hidangan yang paling lezat, siapa membangkang, hajar saja habis perkara, bila perlu bongkar saja rumah ini."

   "Untuk kerja lain aku tidak pandai,"

   Ujar Hou Ing tertawa lebar.

   "untuk membongkar rumah, aku inilah ahlinya."

   "Jika arak dan hidangan tidak sesuai keinginan, hajar mereka."

   "Apa kami harus menunggumu pulang makan?"

   "Tidak perlu, aku ke belakang mencari orang."

   "Mencari siapa?"

   "Mencari setan yang tidak tahu diri."

   Pekarangan di bagian belakang juga amat luas, suasana di sini amat sejuk, harum lagi.

   Berbagai macam bunga yang ditanam dalam pot sedang berbunga, sepucuk pohon cemara besar tumbuh di tengah sana.

   Seorang ibu rumah tangga berpakaian panjang tengah beranjak keluar dari perkarangan dalam, kebetulan bersua Hong Si-nio.

   Walau sudah berusia setengah abad, nampaknya masih muda, sorot matanya berwibawa, siapa pun bila berhadapan dengan perempuan ini, akan tahu kalau perempuan ini tidak boleh sembarang diganggu.

   Hong Si-nio justru adalah perempuan yang suka mengganggu, dia memburu maju dua langkah, segera ia berkata.

   "Kabarnya nyonya rumah di sini she Kim, apa benar?"

   "Tidak salah."

   "Konon dia adalah perempuan galak di Kangouw yang bernama Kim-hong-hong?"

   "Betul sekali."

   "Suruh dia keluar, aku ingin mencarinya."

   "Dia sudah keluar."

   Hong Si-nio sengaja membelalakkan mata mengawasinya.

   "Jadi kau inilah Kim-hong-hong?"

   Wajah Kim-hong-hong merenggut dingin.

   "Aku inilah."

   Hong Si-nio tertawa lebar, dengan mengedip mata ia berkata.

   "Maaf, maaf, kurang hormat, kurang hormat, kukira kau ini adalah bunda Ciu Ci-kong."

   Wajah Kim-hong-hong berubah merah membesi, mendadak ia tertawa dingin, jengeknya.

   "Konon di Kangouw dahulu pernah muncul seekor macan betina bernama Hong Si-nio, senang menggoda lakiku, sayang begitu melihat dia, lakiku sering tumpah-tumpah."

   "Lakimu bernama Ciu Ci-kong?"

   "Memangnya perlu kujelaskan lagi?"

   Jengek Kim-hong-hong sambil bertolak pinggang.

   "Ah tidak benar. Justru dia kepincut padaku, saking senangnya hanya kucium tangannya, dia berjingkrak terus bergulingan di tanah, belum pernah kulihat dia tumpah-tumpah."

   "O, jadi kaukah Hong Si-nio?"

   "Tidak keliru."

   "Maaf, maaf, kurang sopan, kurang sopan, sejak tadi aku kira kau ini anjing gila yang suka menggigit orang."

   Hong Si-nio justru tertawa lebar.

   "Memang ingin aku menggigit pipimu sekali. Sayangnya aku pantang menggigit nenek tua."

   Wajah Kim-hong-hong seketika berubah menghijau.

   Sesungguhnya usianya memang dua tahun lebih tua dari Ciu Ci-kong.

   Perempuan yang usianya lebih tua, paling pantang dikata-katai "nenek".

   Dia lebih rela dimaki anjing gila daripada disebut nenek tua.

   Hong Si-nio seperti mengerti boroknya, maka sengaja mengolok-olok.

   Sejak tahu Lian Shia-pik sebagai pewaris Siau-yau-hou, saat itu juga dia siap mencari gara-gara dan berusaha mempersulit Lian Shia-pik.

   Kalau Lian Shia-pik bergaul rapat dengan Ciu Ciu-kong, dapat disimpulkan bahwa Ciu Ci-kong pasti bukan manusia baik.

   Karena tidak menemukan mereka, terpaksa ia berhadapan dengan burung Hong betina emas ini.

   Kemampuan Hong Si-nio mencari gara-gara, yakin jarang ada perempuan lihai manapun yang mampu menandinginya.

   

   first share di Kolektor E-Book 14-08-2019 21:44:42

Pedang Hati Suci -- Jin Yong Setan Harpa -- Khu Lung/Tjan Id Sarang Perjudian -- Gu Long/Tjan Id

Cari Blog Ini