Ceritasilat Novel Online

Bentrok Para Pendekar 6


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bagian 6



Bentrok Para Pendekar Karya dari Gu Long

   

   Bahwa Kim-hong-hong atau burung phoenix (Hong) emas ini belum ia bikin jengkel sampai mampus, Hong Si-nio sendiri merasa belum puas, dengan senyum menggiurkan ia menambahkan.

   "Yang pasti aku mengerti kau belum terlalu tua, usiamu sekarang paling dua tiga puluh tahun lebih tua dibanding Ciu Ci-kong, pupur di wajahmu itu kalau dipertebal, usiamu paling baru lima puluhan."

   Mendadak Kim-hong-hong memekik murka, dengan sengit menubruk maju.

   Umumnya wanita suka berteriak, memekik atau mengeluh panjang.

   Bila hati kegirangan sering memekik, jika marah besar membentak-bentak, jika sedang bermesraan juga mengeluh aleman, apalagi waktu berkelahi, jeritan dan pekik suaranya sungguh bisa membuat orang yang mendengarnya merinding.

   Kim-hong-hong adalah jenis wanita seperti itu.

   Jerit pekiknya amat aneh, melengking tajam, mirip pisau tajam menggorok leher ayam, mirip kucing yang ekornya terinjak.

   Yang pasti serangan dua tangannya tidak mirip cakar kucing atau cakar ayam.

   sergapannya bukan saja cepat, cekatan dan amat ganas mirip patukan ular berbisa.

   Waktu Hong Si-nio belum berkecimpung di dunia persilatan, Kim-hong-hong sudah terkenal sebagai perempuan yang tidak boleh dilayani sembarangan.

   Ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan Hong Si-nio, hal ini disadari Hong Si-nio setelah ia dicecar lima enam jurus serangan yang mematikan.

   Akan tetapi ilmu silat Hong Si-nio ternyata jauh lebih tinggi dari perkiraan burung phoenix sendiri, tujuh delapan belas jurus kemudian, secepat kilat mendadak ia berhasil mencengkeram pergelangan tangan Kim-honghong.

   Bukan hanya tangan saja, sekujur badan Kim-hong-hong seketika lemas lunglai, bersuara pun tidak mampu.

   Sekali gerak, Hong Si-nio tidak kepalang tanggung, sekali pelintir ia telikung lengan orang ke belakang punggung, sekarang baru ia merasa lega, katanya dengan nada ramah.

   "Ingin aku tanya beberapa hal padamu, kuharap kau mau bekerja sama dan menjelaskan kepadaku."

   Kim-hong-hong meringis kesakitan, desisnya dengan merigertak gigi.

   "Kau bunuh aku saja."

   "Kalau tahu aku takkan membunuhmu, bila jengkel paling kupapas hidungmu,"

   Lalu dengan tawa lebar Hong Si-nio menambahkan.

   "perempuan yang lebih menakutkan dibanding seorang nenek adalah perempuan yang tidak punya hidung."

   Kim-hong-hong mengertak gigi, air mata sudah berlinang di pelupuk matanya. Ia tahu perempuan seperti Hong Si-nio tega melakukan ancamannya, ia tahu siapa Hong Si-nio tak ubah mengerti siapa dirinya.

   "Mau tidak kau jawab pertanyaanku?"

   Desak Hong Si-nio.

   "Kau ... soal apa yang ingin kau tanyakan?"

   "Kemana lakimu pergi bersama Lian Shia-pik?"

   "Tidak tahu."

   "Kalau aku potong hidungmu apa kau lantas tahu?"

   "Aku bilang tidak tahu, ya tidak tahu!"

   Pekik Kim-hong-hong.

   "kau bunuh aku pun tidak tahu."

   Hong Si-nio menghela napas tanyanya.

   "Lalu Sim Bik-kun? Dimana kau sembunyikan dia?"

   "Kenapa aku menyembunyikan dia, dia sendiri bilang tidak ingin bertemu denganmu."

   Sebelum Hong Si-nio meluruk ke dalam tadi, mereka berdua sudah tahu yang datang adalah Hong Si-nio. Ada berapa banyak perempuan yang berani menunggang kuda menerjang ke dalam rumah orang.

   "Dia tidak mau bertemu denganku, tapi aku harus menemuinya,"

   Seru Hong Si-nio.

   "maka ...."

   Kata-katanya terputus karena ia sudah melihat Sim Bik-kun.

   Sim Bik-kun muncul dari balik pintu lalu berdiri di emperan rumah, wajahnya kelihatan pucat, sorot mata dan mimiknya kelihatan marah, bola matanya tampak merah.

   Merah karena menangis? Kenapa harus menangis? "Dengan susah payah aku ke sini mencarimu, kenapa kau tidak mau bertemu denganku?"

   Dingin suara Sim Bik-kun.

   "Siapa suruh kau kemari? Tidak pantas kau datang kemari."

   Hong Si-nio menyeringai dingin.

   "Kalau kau anggap dia yang menyuruh aku kemari mencarimu. Kau salah besar."

   Dia? Siapa dia? Yakin Sim Bik-kun tahu, mengingat orang ini, perasaannya seperti ditusuk jarum, diiris dengan pisau tajam, diremas hancur oleh sepasang tangan yang tidak kelihatan.

   Kakinya terasa lemas, badannya bertopang di pagar bambu di depannya, dengan muka masam ia berkata.

   "Peduli untuk apa dan suruhan siapa kau kemari, lebih baik kau pergi saja."

   "Kenapa?"

   Seru Hong Si-nio.

   "Sebab aku sudah tiada hubungan apapun dengan kalian, aku ... aku bukan Sim Bik-kun yang kalian kenal itu ...."

   Nada bicaranya terdengar garang, padahal air matanya bercucuran membasahi pipi, wajah nan sayu, pucat mirip kembang yang sudah hampir layu.

   Melihat betapa orang begitu sedih, pilu dan sesenggukan, betapapun besar amarah Hong Si-nio, tak kuasa ia mengumbar nafsu lagi.

   Betapa hatinya tidak sakit? Sesakit ditusuk sembilu? Jelas ia tahu dan mengerti perasaan Sim Bik-kun sekarang.

   Sim Bik-kun yang sejak awal ia kenal, adalah perempuan yang rela mengorbankan segalanya demi mengejar cinta.

   Sim Bik-kun yang sekarang, jelas dan gamblang sudah kembali menjadi bini Lian Shia-pik.

   "Apapun yang telah terjadi, ada beberapa patah kata yang perlu kusampaikan kepadamu,"

   Mendadak ia memburu maju beberapa langkah menggenggam lengan Sim Bik-kun.

   "Kau harus mendengar dulu ucapanku, setelah omong aku akan segera pergi."

   Dengan menggigit bibir, Sim Bik-kun mengangguk.

   "Baik, kudengar, tapi setelah bicara kau harus lekas pergi."

   "Kalau kau mau mendengar omonganku sampai habis, umpama kau menahanku juga aku akan segera pergi."

   Air mata Sim Bik-kun membasahi lengan bajunya.

   Siau Cap-it Long, dimanakah kau sekarang? Kenapa tidak kau dengar apa yang akan dibicarakan kedua cewek yang telah menderita, susah dan sengsara karena dirimu? Tahukah kau betapa mereka bersedih, pilu dan tersiksa? Sambil menutupi mukanya, Kim-hong-hong berlari keluar pekarangan, pergi tanpa berpaling lagi.

   Hong Si-nio tak kuasa membuka suara.

   Persoalan memang amat ruwet, terlalu aneh dan misteri, sungguh ia tidak tahu darimana harus mulai bicara.

   Sim Bik-kun malah mendesak.

   "Kenapa kau belum lagi bicara?"

   Akhirnya Hong Si-nio mengangkat kepala, katanya.

   "Aku tahu kau membencinya karena kau anggap dia sudah berubah, berubah menjadi raja iblis, iblis laknat yang banyak membunuh manusia."

   Sim Bik-kun menunduk, jari-jari tangannya saling genggam, kuku jarinya menembus telapak tangannya, bibir juga tergigit pecah, ia sedang menyiksa diri. Dia berharap dengan derita kesakitan badannya untuk melampiaskan, melupakan siksa derita batinnya.

   "Kalau begitu jalan pikiranmu, maka kau keliru menyalahkan dia. Kalau kau tahu duduk persoalan sebenarnya, umpama dipecut cemeti dan mengusirmu pergi, kau takkan rela meninggalkannya."

   Sim Bik-kun mendesis dengan nada tegas.

   "Umpama ada orang mengancam jiwaku dengan pisau melarangku pergi, biar mati aku tetap akan pergi. Sebab apa yang terjadi kulihat dengan mata kepalaku sendiri, melihat secara gamblang dan sejelas-jelasnya."

   BENTROK PARA PENDEKAR Karya Gu Long - Gan K.H. Bagian 12

   "Apa yang kau lihat?"

   Tanya Hong Si-nio, tangannya juga saling genggam.

   "Kau melihat, demi Pin-pin dia melukai orang, kau lihat dia berubah menjadi pembunuh yang sombong dan angkuh, kau lihat dia menjadi pemilik Bu-kau-san-ceng?"

   "Betul, semua itu kulihat sendiri dan tak sudi untuk melihatnya lagi."

   "Sayang apa yang kau lihat hanya merupakan permukaan dari awal kejadian yang tidak kau mengerti, jangan kau melihat persoalan dari sisi yang bisa kau lihat, dari sana lantas mengambil kesimpulan, seperti kau melihat sebuah jeruk yang kau anggap masih segar, padahal isinya sudah busuk, kau ...."

   Sim Bik-kun memutus omongannya.

   "Tapi banyak kenyataan demikian, kulit jeruk masih segar, isinya memang sudah busuk."

   "Tapi ada kulit jeruk kelihatan sudah kering, tapi bagian dalamnya masih segar."

   "Sebetulnya apa sih yang ingin kau bicarakan?"

   "Ingin kutanya kepadamu. Tahukah kau kenapa dia melukai orang demi membela Pin-pin? Tahukah kau kenapa Bu-kau-san-ceng bisa menjadi miliknya? Tahukah kau kenapa dia membunuh orang-orang itu?"

   "Aku tidak tahu dan tidak perlu tahu."

   "Aku justru tahu jelas."

   "O?"

   "Dia membela dan melindungi Pin-pin karena dia adalah penolong jiwanya, kasihan melihat gadis belia itu terserang penyakit yang tidak bisa disembuhkan, kapan saja dan dimana saja jiwanya bisa melayang mendadak."

   Berubah air muka Sim Bik-kun, sepertinya hal itu tak pernah ia duga selama ini.

   "Dia membunuh orang-orang itu karena mereka adalah anak buah komplotan Siau-yau-hou. lahirnya loyal, padahal batin mereka bejat, laki-laki palsu yang punya hasrat dan tujuan jahat."

   Sampai di sini Hong Si-nio menghela napas.

   "Apalagi dia tidak pernah menemukan harta terpendam seperti yang tersiar di Kangouw, seluruh kekayaan dan uang yang ia punya tidak lebih hanya muslihat orang yang ingin menjerumuskan dirinya, jadi uang dan perkampungan itu pemberian seseorang kepadanya."

   Sim Bik-kun menarik muka, suaranya lebih dingin.

   "Tak pernah terbayang dalam benakku, ada orang di dunia ini yang punya cara sejahat itu untuk mencelakai orang lain."

   "Jelas kau takkan pernah mengerti akan hal itu, karena persoalan yang tidak kau mengerti."

   "Persoalan apa maksudmu?"

   "Siau-yau-hou punya organisasi rahasia, ia menampung banyak orang, tengah merencanakan sebuah muslihat jahat, setelah ia meninggal, organisasi ini dipegang dan dikendalikan seorang lain."

   Sim Bik-kun mendengarkan.

   "Hanya Pin-pin yang tahu adanya organisasi rahasia itu, dan hanya dia yang kenal berbagai orang yang bermacam corak dan gaya serta riwayatnya itu. Sebab mereka adalah manusia-manusia palsu, di luar terkenal gagah berani, diagulkan sebagai ksatria, padahal hatinya busuk, sepak terjangnya jahat."

   "Orang-orang seperti itukah yang dibunuh Siau Cap-it Long?"

   Tanya Sim Bik-kun. Hong Si-nio memanggut.

   "Tapi ia tidak akan menyingkap rumput mengejutkan ular, pada saat turun tangan alasannya membela Pin-pin. Padahal Pin-pin adalah gadis berhati bajik, hubungan mereka suci bersih, tidak seperti yang kau bayangkan, punya rasa cinta asmara di antara mereka."

   Dengan kencang Sim Bik-kun menggigit bibir.

   "Untuk menjadikan Siau Cap-it Long sebagai sasaran bidikan orang banyak, orang yang mewarisi kedudukan Siau-yau-hou sengaja menyebar berita bahwa dia telah menemukan harta terpendam. Padahal Siau Cap-it Long menjadi orang kaya raya mendadak, semua itu adalah jebakan yang diatur orang itu."

   Tak tahan Sim Bik-kun bertanya.

   "Kau tahu siapa orang itu?"

   "Walau belum bisa memastikan, tapi tujuh puluh persen sudah kuduga seseorang."

   "Siapa dia?"

   Sepatah demi sepatah Hong Si-nio menyebut nama orang itu.

   "Lian Shia-pik."

   "Tiada orang lain di dunia ini yang membenci Siau Cap-it Long seperti dirinya. Apa yang ia lakukan bukan saja untuk mencelakai Siau Cap-it Long, maksud utamanya jelas supaya kau kembali ke dalam pelukannya."

   Mendadak Sim Bik-kun berkata lantang.

   "Yang ingin kau bicarakan dengan aku, hanya itu-itu saja?"

   Hong Si-nio manggut-manggut.

   "Sekarang kau sudah selesai bicara, kenapa tidak lekas pergi?"

   "Jadi apa yang kuceritakan tadi, kau tidak percaya?"

   Sim Bik-kun menyeringai dingin, lalu balik bertanya.

   "Darimana kau bisa tahu semua rahasia itu? Apakah Siau Cap-it Long sendiri yang memberitahu kepadamu?"

   "Jelas dan pasti."

   "Setiap omongannya, apa kau pasti percaya?"

   "Setiap patah katanya kupercaya. Sebab selama aku berkenalan dengan dia, tidak pernah dia membohongi aku."

   "Tapi sepatah kata pun aku tidak percaya."

   "Kenapa?"

   Teriak Hong Si-nio sengit.

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"apa karena dia pernah menipumu?"

   Dengan tajam ia menatap Sim Bik-kun, lalu dengan tertawa dingin ia menambahkan.

   "Dalam persoalan apa dia pernah menipumu? Satu saja kau jelaskan padaku, segera aku hengkang dari tempat ini."

   "Dia ...."

   Hanya sepatah kata keluar dari mulut Sim Bik-kun, mendadak ia menyadari meski dirinya selalu merasa Siau Cap-it Long telah menipunya, dalam persoalan apa dia pernah menipunya, hal ini tak bisa ia jelaskan.

   Sejak hari pertama ia bertemu dengan Siau Cap-it Long, tiap detik tiap jam ia selalu berusaha membela, melindungi dan memenuhi segala keperluannya.

   Setiap patah kata yang pernah dilontarkan padanya, setiap huruf, semua mutlak benar dan kenyataan.

   Tapi sampai detik ini ia masih mencurigainya, sebab dia adalah perampok besar Siau Cap-it Long yang paling kejam, paling ditakuti di kalangan Kangouw.

   Karena rasa curiganya itulah selama ini ia banyak menderita, malah hampir tewas di tangan Siau-kongcu.

   Hampir saja dia mati oleh tusukan senjata orang.

   Tapi selama ini tak pernah ia dengar orang mengomel, mengeluh dan menggerutu, malah sepenuh hati membela dan baik terhadap dirinya, malah tak jarang ia rela berkorban demi dirinya.

   Tak urung Sim Bik-kun merasa menyesal bukan kepalang, diam-diam ia menundukkan kepala, air mata meleleh di pipi.

   Dengan menatapnya, Hong Si-nio berkata lebih jauh.

   "Kau tidak percaya kepadanya, mungkin karena kau tidak percaya pada diri sendiri, sebab hakikatnya kau tidak pernah berkeputusan, tidak bertindak tegas. Karena kelemahanmu ini, ketidak mampuanmu, mirip burung kenari dalam kurungan, tak pernah bangkit keberanianmu menjebol kurungan itu, terbang bebas kemana pun kau ingin pergi."

   Sampai di sini ia mengubah sikap, senyum mulai menghias wajahnya.

   "Umpama ada orang membuka kurungan itu, kau jelas takkan berani keluar, karena kau kuatir hujan angin di luar akan merusak, membasahi bulu nan indah yang tumbuh di badanmu."

   Hong Si-nio sadar omongannya terlalu berat, terlalu menusuk perasaannya, tapi keadaan justru memaksa ia bicara.

   "Kau beranggapan selama ini kau banyak berkorban demi dia, meninggalkan segala milikmu, tapi pernahkah kau memikirkan kepentingannya, pernahkah kau berpikir betapa banyak dan besar pengorbanannya untuk dirimu?"

   Sim Bik-kun sesenggukan di pagar, menangis tergerung-gerung.

   Ia hanya mendengar apa yang diuraikan Hong Si-nio memang benar, tak kuasa ia membantah.

   Karena uraian itu semua adalah benar, setiap patah kata ibarat ujung pisau tajam yang mengiris relung hatinya.

   Melihat betapa pilu hati orang, hati Hong Si-nio menjadi lemah, katanya setelah menghela napas.

   "Apalagi umpama dia bisa menipumu, memangnya aku bisa menipumu? Tentu kau jelas dan tahu betapa perasaanku terhadapmu?"

   Air matanya juga bercucuran, perlahan suaranya makin sendu.

   "Kalau aku seorang egois, aku akan berusaha memecah belah kalian, supaya kalian lekas berpisah, kuadu domba supaya kalian saling benci, tapi sekarang ...."

   Dengan berlinang air mata, mendadak Sim Bik-kun mengangkat kepala.

   "Kenapa kau berbuat demikian?"

   Hong Si-nio tertawa, tertawa pilu.

   "Sebab aku tahu yang betul-betul dicintainya adalah engkau. Hanya engkau, tiada orang lain."

   Hancur hati Sim Bik-kun, hancur berkeping-keping.

   Melihat cucuran air mata di pipi Hong Si-nio, melihat betapa pilu senyum kepedihan hatinya, mendadak ia menyadari kekerdilan dirinya.

   Mendadak ia sadar, Hong Si-nio adalah perempuan tulen nan agung dan suci.

   "Bukankah pengorbanannya demi Siau Cap-it Long jauh lebih besar dibanding diriku?"

   Dalam hati Sim Bik-kun bertanya kepada diri sendiri.

   "Kenapa ia rela menahan deritanya sendiri, berusaha merangkap perjodohan kami malah?"

   "Lalu untuk apa dia harus membual kepadaku?"

   Akhirnya Sim Bik-kun mengakui.

   "Aku maklum apa yang kau ceritakan semua benar, tapi aku ...."

   "Tapi kau tidak berani mengakui, karena kau takut, kau tidak berani menjebol kurungan yang membelenggumu, sebab sejak kecil kau sudah dikurung dalam kurungan itu, kurungan yang orang lain tak bisa melihat, namun kau sendiri bisa merasakan dirimu terbelenggu oleh kurungan itu."

   Sim Bik-kun memang merasakan adanya belenggu itu.

   "Coba kau pikir, kenapa Ciu Ci-kong mendadak muncul?"

   "Kenapa?"

   "Karena Lian Shia-pik hendak menitipkan kau di sini, meninggalkanmu di sini, maka dia bisa lebih leluasa pergi membunuh orang."

   "Membunuh siapa?"

   "Siau Cap-it Long."

   XVIII. CARI MENCARI "Sekarang kau kembali menjadi Lian-hujin,"

   Demikian kata Hong Si-nio dingin.

   "maka Siau Cap-it Long boleh mati, setelah dia mampus, kalian bisa pulang ke Bu-kau-san-ceng, menjadi dan hidup sebagai suami istri yang dipuja dan dipuji banyak orang. Umpama jenazah Siau Cap-it Long dilempar ke tempat sampah menjadi makanan anjing, bahwasanya tiada sangkut-paut apa lagi dengan kalian."

   Sampai di sini tubuhnya berputar.

   "Tapi aku harus pergi menolongnya, maka setelah aku selesai bicara, segera aku harus berangkat."

   Ia betul-betul beranjak keluar. Mendadak Sim Bik-kun memburu maju menarik lengannya.

   "Aku ikut bersamamu."

   Berbinar bola mata Hong Si-nio.

   "Betul?"

   "Betul."

   "Kini kau sudah mengambil keputusan?"

   Dengan menggigit bibir Sim Bik-kun mengangguk.

   "Apapun yang terjadi, aku ingin bertemu sekali lagi dengannya."

   "Tahukah kau kemana Lian Shia-pik beramai pergi?"

   Sim Bik-kun menengadah memandang cuaca. Tanya Hong Si-nio terbelalak.

   "Apa betul kau tidak tahu?"

   Tenggelam perasaan Hong Si-nio.

   * * * * * Sementara itu mentari sudah mulai menggantung ke barat.

   Biasanya siang hari di musim rontok lebih pendek, jelas tidak lama lagi bakal datang senja.

   Hong Si-nio tidak tahu kemana ia harus pergi mencari Siau Cap-it Long.

   Ruang tamu ternyata masih ramai.

   Di meja masih penuh hidangan dan arak, Hou Ing dan Toh Lin sedang makan minum, riang gembira.

   Yang menjadi pendamping mereka ternyata adalah Kim-hong-hong.

   Mukanya sudah merah, sorot matanya juga kelihatan buram, dengan cekikikan tertawa ia sedang berkata.

   "Mari, tambah dua puluh cawan, kita masing-masing minum sepuluh cawan."

   Hou Ing sedang mengisi cawan araknya, melihat Hong Si-nio keluar, dengan menyengir tawa ia berdiri, mukanya juga merah.

   "Dia mengajakku minum, terpaksa kuiringi kemauannya."

   Hong Si-nio menghampiri sambil tertawa geli, bocah ini memang pandai membujuk orang untuk diajak minum.

   Dia juga maklum kenapa Kim-hong-hong memaksa dia untuk adu minum.

   Seorang kalau hatinya sedang gundah, pikiran sedang kacau, tentu ingin mencari pelarian, arak adalah cara yang paling manjur.

   Kim-hong-hong memang sedang gundah-gulana.

   Perempuan mana saja kalau dikatai sebagai seorang nenek, kalah adu mulut, kalah wibawa pula, tentu hatinya lara, apalagi selama ini ia selalu membanggakan diri sebagai wanita temberang yang dihormati dan diindahkan tutur kata dan tindak-tanduknya.

   Hong Si-nio ingin tertawa, namun malah menghela napas panjang.

   Wanita yang sudah kelewat umur, betapa suka dukanya dapat ia resapi lahir batin, detik-detik terakhir ini mendadak kesadarannya timbul, sikap dan tutur katanya tadi, memang agak terlalu, terlalu kejam bagi seorang Kim-hong-hong.

   Kim-hong-hong sedang mendelik kepadanya.

   "Bisik-bisik kalian sudah selesai belum?"

   Hong Si-nio mengangguk kepala. Kim-hong-hong berkata lagi.

   "Berani kau kemari adu minum arak denganku?"

   Hong Si-nio menggeleng kepala. Kim-hong-hong tertawa cerah.

   "Aku tahu kau takkan berani, ilmu silatmu boleh lebih tinggi dibanding diriku, tapi kalau kau berani adu minum denganku, pasti kubuat kau menggelepar di lantai."

   "Sekarang kau sudah hampir rebah malah, sudahlah kurangi dua cawan saja."

   Kim-hong-hong melotot.

   "Apa? Kau bilang aku mabuk? Ayo, masing-masing habiskan sepuluh cawan, buktikan siapa akan menggeletak lebih dulu?"

   Hong Si-nio sudah berkeputusan untuk tidak menghiraukan ocehan orang yang sudah mabuk. Kim-hong-hong masih terus mendesaknya.

   "Baiklah, kau tidak menghiraukan aku tidak jadi soal, yang pasti untuk selanjutnya kau tidak akan bisa menemukan mereka."

   Omongannya seperti mengandung arti tersembunyi. Maka Hong Si-nio segera bertanya.

   "Memangnya kau sendiri bisa menemukan mereka?"

   "Ciu Ci-kong adalah lakiku, kalau aku tidak bisa menemukan dia, siapa lagi yang bisa menemukan dia?"

   "Kau tahu mereka ada dimana?"

   "Tentu tahu, tapi tidak akan kujelaskan,"

   Demikian ejek Kim-hong-hong, lalu dengan mengejek tawa menghina dan mata melotot ia melanjutkan.

   "Kecuali kau kemari memohon maaf kepadaku, lalu mengiringiku minum sepuluh cawan lagi."

   Berputar bola mata Hong Si-nio, mendadak tertawa geli.

   "Kurasa kau lagi mengibul."

   Kim-hong-hong mendelik.

   "Aku mengibul soal apa?"

   "Lakimu mau pergi kemana, kapan dia pernah memberitahu kepadamu, hal ini aku tahu jelas."

   "Kau tahu kentut busuk,"

   Damprat Kim-hong-hong.

   "Kalau laki-laki muda punya bini setua nenek-nenek sepertimu, tiap kali keluar rumah mana mau memberitahu kemana dia pergi, sebab di luar dia bisa mencari kembang goyang yang cantik rupawan."

   Kim-hong-hong berjingkrak gusar, teriaknya keras.

   "Siapa bilang dia pergi mencari cewek. Jelas dia pergi ke Hong-lin-toh, dia ...."

   Apa yang dikatakan Kim-hong-hong selanjutnya sudah tidak terdengar oleh Hong Sinio. Begitu mendengar Hong-lin-toh, Hong Si-nio langsung menarik lengan Sim Bik-kun terus diajak keluar. Hou Ing dan Toh Lin ikut memburu keluar pintu gerbang.

   "Kemana kita akan pergi?"

   "Ke Hong-lin-toh."

   Ruang besar itu menjadi sepi, tinggal Kim-hong-hong seorang diri masih duduk terlongong di sana.

   Kuda meringkik, derap kakinya membedal keluar perkampungan, suaranya makin menjauh.

   Sorot matanya yang tadi seperti linglung karena mabuk mendadak berubah terang lagi segar bugar, ujung mulut Kim-honghong menyungging senyum sadis.

   Ia tahu umpama mereka mengaduk dan menggeledah seluruh Hong-lintoh selama sepuluh tahun pasti takkan bisa menemukan Siau Cap-it Long dan Lian Shia-pik.

   "Hong Si-nio, Hong Si-nio, akhirnya kau tertipu juga olehku."

   Mendadak Kim-hong-hong tertawa terkial-kial, di tengah tawanya, seluruh benda di permukaan meja ia sapu jatuh seluruhnya ke lantai.

   Tangannya masih memegang sisa cawan yang berisi arak, sekali tenggak ia habiskan isi cawan.

   Arak yang getir, air matanya kembali menetes ke dalam cawan.

   Sebab dia memang tidak tahu di mana suaminya berada, Dulu waktu masih pengantin baru, kemana pun ia mau pergi selalu memberitahu dirinya, tapi sekarang ....

   Seorang perempuan di kala usianya sudah mencapai senja, bukan saja tak mungkin meraih kembali masa remaja, dia juga takkan bisa meraih kembali cinta kasih sang suami.

   "Aku bukan nenek-nenek ... bukan ...."

   Pekiknya, lalu ia mendekam di meja, menangis tergerung-gerung. Sayang Hong Si-nio sudah tidak mendengar jerit tangisnya. * * * * * Jalan raya yang lurus lempang itu sesampainya di sini bercabang dua.

   "Dermaga Hong-lin harus lewal jalan yang mana?"

   "Entah aku tidak tahu."

   "Aku hanya tahu di sungai kuning ada sebuah dermaga bernama Hong-lin."

   "Di wilayah Kanglam mana ada Huang-ho, di sini hanya ada Tiangkang."

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Belum pernah aku mendengar di Tiangkang ada dermaga yang dinamakan Hong-lin."

   "Kau tak pernah mendengar, orang lain tentu ada yang tahu."

   Cahaya senja menyinari jagat raya, kini mereka tiba di jalan simpang tiga, di pinggir jalan sana terdapat sebuah kedai teh.

   Kedai teh biasanya juga menjual arak, ada hidangan sederhana sebagai teman minum arak, mungkin di sini para tamu masih bisa menikmati nasi goreng, entah nasi goreng, atau bakmi rebus.

   "Kita bisa mengaso di kedai teh itu sambil mencari tahu arah jalan, sekalian menangsal perut dan minum sepuasnya."

   "Betul, kalau perut kenyang, kerja tentu lebih bersemangat."

   Orang muda kalau bekerja tentu tak lupa mengisi perut, sebab perut kenyang, semangal kerja timbul, gairah kerja akan berkobar.

   Hari sudah sore, sebentar lagi bakal gelap.

   Hong Si-nio tidak ingin berhenti, sebelum rembulan muncul, ia harus berhasil menemukan Siau Cap-it Long, kalau kali ini gagal, boleh dipastikan dirinya akan gagal menemukan Siau Cap-it Long selamanya.

   Tapi ia tidak kenal jalan, ia juga perlu istirahat, yang pasti ia sendiri merasa dahaga.

   Bau arak terbawa angin lalu, masih tercium bau panggang daging, ikan goreng dan yucakwe yang harum.

   Hou Ing tertawa riang.

   "Baunya saja begini sedap, kalau dirasakan tentu nikmat sekali."

   Hong Si-nio melotot kepadanya, katanya merengut.

   "Mestinya tidak kuajak kau, kau terlalu suka makan."

   Lain di mulut lain di hati, bahwasanya dia memang perlu pembantu.

   Ilmu silat Hou Ing mau pun Toh Lin cukup tinggi, dari kalangan kaum muda di Kangouw, kemampuan mereka termasuk kelas tinggi.

   Anehnya mereka justru senang menjadi pembantu Hong Si-nio.

   Sim Bik-kun tidak mengerti.

   Selamanya dia takkan bisa memahami orang macam apa sebenarnya Hong Sinio, apalagi sepak terjang dan tingkah polahnya.

   Dan cewek ini memang dari jenis yang berbeda, maka nasib mereka jelas jauh berbeda.

   Dengan menundukkan kepala Sim Bik-kun beranjak masuk ke dalam kedai.

   Selama ini belum pernah ia berjalan segagah, sewajar dan apa adanya dengan langkah lebar, sambil mengangkat dada berjalan di depan umum, belum pernah ia mengunjuk tawa lebar seperti Hong Si-nio.

   Bahwasanya Sim Bik-kun memang sudah lama tidak pernah tertawa, tertawa seaslinya, ia sendiri tidak tahu sejak kapan dan sudah berapa lama ia tidak tertawa.

   Selama ini hatinya kalut, pikiran gundah, apalagi sekarang lebih ruwet lagi.

   Sekarang umpama berhasil menemukan jejak Siau Cap-it Long, memangnya mau apa? Apa ia harus meninggalkan Lian Shia-pik, tanpa menghiraukan segalanya ikut Siau Cap-it Long? Umpama dugaan Hong Si-nio tidak keliru, seluruh muslihat dan tipu daya ini diciptakan Lian Shia-pik, ia makin tak mengerti apa yang harus dilakukan? Hidupnya ini kenapa selalu dirundung berbagai persoalan yang tidak mampu dipecahkannya, persoalan yang membuatnya resah dan menderita? Hong Si-nio sedang memesan hidangan.

   "Hidangkan lima kati daging sapi, nasi dengan mangkuk besar. Jangan lupa beri makan juga empat ekor kuda di luar itu."

   Sekarang mereka satu orang satu tunggangan.

   Di kandang kuda Pek-ma-san-ceng, ia memilih empat ekor kuda gagah, tinggi besar, didatangkan dari Mongol, tak lupa dari kasir ia sabet satu kantong uang perak besar dan satu kantong uang emas.

   Bagi anggapannya, sambar menyambar uang di kasir adalah urusan jamak dan persoalan sepele, tidak pernah terpikir olehnya bahwa perbuatannya itu melanggar tata krama, berdosa melawan hukum.

   Tapi Sim Bik-kun tidak mengerti.

   Ia tidak pernah paham, seorang seperti Hong Si-nio di kala berlawanan dengan seseorang, kenapa masih mau menunggang kudanya, mau memakai uang orang.

   Sebaliknya dirinya berbeda, bila ia membenci orang, biarpun harus mati karena kelaparan, ia pantang minum setetes pun air orang.

   Sepertinya Hong Si-nio paham dan pandai menyelesaikan persoalan yang paling rumit, paling ruwet, dengan cara yang paling gampang.

   Dirinya justru terbalik, urusan yang paling gampang malah berubah makin ruwet.

   Sebab begitulah wataknya, pembawaannya, maka terbentuklah watak, terbentuklah nasib seperti yang dialaminya selama ini.

   Betulkah nasib itu adalah hasil perbuatannya sendiri? Panggang daging sapi sudah disajikan, rasanya sungguh sedap.

   Tanpa sungkan sekaligus Hong Si-nio gegares empat potong daging sapi, masih menenggak dua cawan arak, baru sekarang ia sempat bertanya kepada pemilik kedai.

   "Di daerah sekitar sini adakah tempat yang dinamakan Hong-lin-toh?"

   "O, ada letaknya ya di luar Hong-lin-tin,"

   Sahut pemilik kedai. Hong Si-nio merasa lega, seleranya timbul, kembali ia potong sekerat daging besar.

   "Pergi ke Hong-lin-toh harus lewat mana?"

   "Lewat jalan sebelah kanan."

   "Jauh tidak?"

   "Tidak begitu jauh."

   Kembali Hong Si-nio menenggak tiga cawan, katanya tertawa.

   "Kalau jarak tidak begitu jauh, boleh kita makan kenyang dulu baru melanjutkan perjalanan, yang pasti waktu malam tiba, kita sudah berada di tempat itu."

   Pemilik kedai manggut-manggut dengan tertawa, katanya.

   "Kalau naik kuda, besok menjelang senja kalian sudah bisa sampai di sana."

   Saking kaget, daging yang lagi dikunyah dalam mulut Hong Si-nio menyembur keluar, sekali raih ia jambret baju di depan dada kakek pemilik kedai.

   "Apa katamu?"

   Serunya. Orang tua itu amal kaget, suaranya gagap.

   "Aku ... aku tidak bilang apa-apa."

   "Tadi kau bilang baru besok malam kita akan sampai di Hong-lin-toh?"

   "Ya, paling cepat besok malam, untuk perjalanan jauh ini, naik kuda harus ditempuh satu hari satu malam."

   "Perjalanan satu hari satu malam kau bilang tidak jauh?"

   Si kakek menyengir tawa.

   "Seorang paling tidak bisa hidup puluhan tahun, kalau hanya menempuh perjalanan sehari, kenapa dibilang jauh?"

   Hong Si-nio melenggong.

   Berhadapan dengan kakek yang sudah beruban ini, kerut mukanya yang dimakan usia, satu dua hari lamanya bukan merupakan hari panjang, tidak terhitung lama.

   Beda bagi Hong Si-nio sekarang, hanya terlambat setengah jam, mungkin dirinya harus menyesal seumur hidup.

   Sama-sama menghadapi persoalan, tidak jarang pandangan dan pendapat tiap orang berbeda.

   Sebab tiap orang punya kesan, pengertian dan pandangan yang berbeda, tergantung dari sudut mana melihat dan menilai persoalan itu.

   Itulah yang dinamakan sifat manusia.

   Mengenai hidup, pengertian Hong Si-nio jelas tidak lebih banyak dari apa yang pernah ia bayangkan.

   Dengan harap-harap cemas ia masih bertanya.

   "Dari sini ada tidak jalan pintas?"

   "Tidak ada."

   Sahut orang tua itu.

   "umpama ada, aku tidak tahu. Sepanjang hidupku tidak pernah lewat jalan pintas, maka aku bisa bertahan hidup lebih lama dibanding orang lain."

   Dengan senyum bangga dan senang ia menambahkan.

   "Tahun ini aku sudah tujuh puluh sembilan tahun."

   Hong Si-nio kembali melenggong. Hong Si-nio benar-benar kehabisan akal, tak tahu apa lagi yang harus dilakukan, di dunia ini ternyata banyak persoalan sulit yang ia sendiri tak mampu membereskannya. Dari pinggir Hou Ing malah berkelakar.

   "Kulihat kakek ini pantas dijodohkan Thio-ko-lo yang berada di PatKANGZUSI WEBSITE
http.//kangzusi.com

   sian-cun itu."

   Hong Si-nio berjingkrak meraih bajunya.

   "Apa katamu?"

   Hou Ing terkejut.

   "Aku ... aku tidak bilang apa-apa."

   "Bukankah barusan kau bilang Pat-sian-cun."

   "Sepertinya pernah kubilang."

   "Dimana kapal itu?"

   Hou Ing menyengir aneh.

   "Itu bukan kapal, tapi adalah ... sarang pelacur."

   Hong Si-nio melepas tangan, lalu duduk di kursi, hatinya seperti tenggelam. Hou Ing masih memberi penjelasan.

   "Dalam sarang pelacur itu mengkoleksi delapan pelacur yang dinamai Pat-sian, yang paling jenaka dinamakan Thio-ko-lo, jelas gamblang dia itu seorang nenek-nenek, namun dandanannya yang norak dan berlebihan, masih juga menjual diri mencari kesenangan, begitu minum sampai mabuk, tingkah lakunya mirip orang gila, orang tiada yang tahu maksud ocehannya."

   Dengan tertawa Toh Lin menambahkan.

   "Anehnya, orang yang datang ke sarang pelacuran itu justru antri ingin melihat dia, jadi dia termasuk yang paling laris di antara pelacur lain."

   Hong Si-nio menarik muka.

   "Kalian juga pernah melihat dia? Kalian juga jadi tamunya?"

   Merah muka Toh Lin.

   "Siau-houlah yang menarik aku ke sana."

   "Ya, hanya karena tertarik ingin tahu saja, macam apakah sebenarnya siluman tua itu, sayang kedatangan kami ke sana sia-sia, meski sempat melihat wajahnya, tapi tak sempat mendengar ocehannya yang banyak diagulkan orang."

   "Kenapa?"

   "Karena tamu yang antri terlalu banyak."

   Kata Hou Ing menunduk.

   "mestinya kami siap menunggu semalam. celakanya, seluruh sarang pelacuran itu sudah dipesan orang."

   Hong Si-nio tertarik.

   "Siapa yang memesan tempat itu?"

   "Disewa seorang she Hu, kabarnya seorang yang suka royal menggunakan uangnya."

   Hong Si-nio berjingkrak berdiri, matanya benderang.

   "Dimana tempat itu?"

   "Di kota Jun-kang,"

   Sahut Hou Ing.

   "Di kota dimana kita bertemu dengan Ciu Ci-kong,"

   Toh Lin menjelaskan. Sambil menarik Sim Bik-kun, Hong Si-nio berseru.

   "Ayo berangkat."

   Hou Ing dan Toh Lin ikut memburu keluar.

   "Kemana?"

   "Tentu ke Pat-sian-cun di kota Jun-kang itu." * * * * * Malam. Lampu sudah guram, banyak pula yang sudah dipadamkan, jelas malam telah larut.

   "Pat-sian-cun ada di jalan apa?"

   "Di Tho-hoa-kang."

   Gang persik ini tidak sempit, hanya temboknya amat tinggi, dari balik tembok itu sayup-sayup berkumandang suara nyanyian diringi bunyi alat-alat musik.

   Sambil mengeprak kudanya, Hong Si-nio menerjang masuk lebih dulu, cepat dan mudah menemukan Patsian- cun.

   Lampion besar digantung di depan rumah masih menyala, enam huruf warna kuning yang mengkilap tampak jelas dari kejauhan "Pat-sian-cun, Yan-cu-hai".

   Dua daun pintu yang berwarna hitam legam tertutup rapat, kalau Soa-ong sedang ingin makan orang, mana boleh diganggu orang lain.

   Apakah dia sudah menelan Siau Cap-it Long? Hong Si-nio melompat turun dari punggung kuda, serunya.

   "Ayo terjang ke dalam."

   Sim Bik-kun ragu-ragu.

   "Terjang masuk begini saja? Kalau salah tempat bagaimana?"

   "Kalau salah tempat anggap saja mereka yang sial."

   "Anggap mereka sial?"

   Sim Bik-kun tidak mengerti.

   "Kalau orangnya tak kutemukan, biar rumahnya aku bongkar."

   "He, mereka tidak salah, bukan mereka yang mengundangmu ke sini."

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hong Si-nio tidak menghiraukan ocehannya, segera ia beraksi.

   Daun pintunya besar, kokoh kuat, tendangan Hong Si-nio tidak menjadikan pintu jebol atau ambruk, maka Hou Ing dan Toh Lin membantu, ternyata tendangan mereka tidak menggoyahkan daun pintu.

   Sim Bik-kun menonton dari pinggir sambil tertawa getir.

   umpama diancam akan dibunuh pun ia tidak sudi melakukan perbuatan sekasar itu.

   Tapi bila Hong Si-nio berhasil menjebol daun pintu, ia pun akan beranjak ke dalam.

   Maklum ia punya prinsip kerja yang berbeda, tak peduli prinsip itu benar atau salah, ia sendiri tidak bisa membedakan.

   Akhirnya daun pintu jebol sebelah.

   Dengan menarik Sim Bik-kun, Hong Si-nio mendahului berlari ke dalam, sepanjang perjalanan ke dalam, tiada orang keluar untuk bertanya, merintangi atau menegur mereka, keadaan di sini ternyata sunyi sepi.

   Dari ruang besar yang tampak benderang, mendadak berkumandang suara nyanyian romantis.

   Seorang perempuan yang berpakaian norak, dengan bermacam jenis perhiasan memenuhi rambut kepalanya, di tangan memegang cawan arak, sementara mulut mendendangkan lagu romantis dengan langkah gontai berjalan keluar.

   Gaun panjang yang melekat di badannya berderai menyentuh lantai, meski tampak mabuk, namun gaya dan gerak-geriknya memang indah dan gemulai di bawah penerangan lampu, dari kejauhan kelihatan cantik.

   Tapi setelah makin dekat, Hong Si-nio seketika mendekati perempuan ini dan ternyata adalah seorang nenek-nenek, meski bedak di kulit mukanya setebal satu senti, belum mampu menutupi karut-merut ketuaan di wajahnya.

   "Thio-ko-lo,"

   Seru Hou Ing memburu maju.

   "mana tamu-tamumu?"

   Thio-ko-lo mengangkat kepala, dengan mala sipit mengantuk menatapnya beberapa kali, lalu tertawa cekikikan geli.

   "Aku kenal kau, kemarin kau pernah datang."

   Lalu dengan menghela napas menambahkan.

   "Sayang kedatanganmu hari ini sudah terlambat."

   "Apakah orang lain sudah pergi semuanya?"

   "Belum, belum pergi,"

   Ujar Thio-ko-lo menggeleng kepala sambil tertawa renyah.

   "mana mungkin mereka pergi, umpama diusir dengan pentung juga mereka takkan mau pergi."

   "Kenapa?"

   "Kenapa kau tidak masuk melihatnya sendiri?"

   Hong Si-nio mendahului berlari masuk, segera ia paham apa yang dimaksud orang.

   Orang-orang sebanyak itu memang belum pergi, malah selamanya takkan bisa pergi.

   Ruang besar itu terang benderang, Di atas setiap meja yang ada tertata banyak hidangan serba mewah, arak juga dari kwalitas terbaik.

   Setiap tamu yang hadir semua berpakaian perlente, serba baru berwarnawarni dan model mutahir, jelas mereka dari orang-orang terpandang.

   Sayang mereka sudah menjadi mayat.

   Soa-ong Hi-cia-lang, Kim-pou-sat, Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to, Tui-hun-coh-gwat-cui-siang-biau Le Cenghong, Jin-siang-jin, Hamwan Sam-seng, Hamwan Sam-coat.

   Waktu hidup, mereka adalah tokoh kosen, orang-orang gagah yang punya kekayaan dan kekuasaan di masing-masing tempat tinggalnya, sayang sekali sekarang mereka sudah mampus seluruhnya, kepala mereka tertabas golok, sekali tabas jiwa melayang.

   Siapa memiliki golok seganas dan setajam itu? Siapa mampu turun tangan secepat itu? Siau Cap-it Long.

   Kecuali Siau Cap-it Long, rasanya tiada orang kedua Iagi.

   Hong Si-nio berdiri menjublek, sekujur badan terasa dingin.

   Hati Sim Bik-kun lebih dingin lagi.

   Yang mampus bukan hanya enam orang yang itu, kecuali Thio-ko-lo di luar yang masih hidup, seluruh yang hadir di ruang besar ini, termasuk perempuan juga tiada yang ketinggalan hidup, mampus di bawah goloknya.

   Siau Cap-it Long, Siau Cap-it Long, betapa kejam hatimu? Sepertinya orang-orang itu sudah cukup lama mati, mayat-mayat itu tiada yang mengalirkan darah lagi.

   Sim Bik-kun tak kuasa menahan air mata, bukan merasa sedih karena kematian orang-orang itu, dia pun sedih untuk dirinya sendiri.

   Orang yang ia cintai sepenuh jiwa raganya ternyata seorang pembunuh berdarah dingin.

   Perlahan Hong Si-nio menghela napas.

   Pemandangan di depan mata ini memang teramat kejam dan menakutkan, syukur Siau Cap-it Long sendiri belum menemui ajalnya.

   Sehari ia belum mati, segala urusan masih bisa diselesaikan dan dibikin terang.

   Mendadak Sim Bik-kun berpaling, dengan tatapan tajam ia mengawasi Hong Si-nio.

   "Masih kau bilang aku salah membencinya?"

   "Apapun yang telah terjadi, aku yakin dia bukan manusia kejam seperti yang kau bayangkan."

   "Memangnya dia bukan, hakikatnya dia terhitung bukan manusia."

   "Kau berani pastikan kalau orang-orang ini semua mati di tangannya?"

   "Memangnya bukan?"

   "Pasti bukan. Selama hidup dia tidak pernah membunuh orang yang tidak pantas mati."

   "Lalu siapa pembunuh orang-orang ini?"

   "Kalau bisa kutanya, pasti akan kuselidiki, untung di sini masih ada orang yang bisa dimintai keterangan."

   Thio-ko-lo memang masih hidup, di bawah penerangan lilin yang benderang, roman mukanya tidak banyak beda dengan mayat-mayat yang bergelimpangan itu.

   Perempuan ini duduk di undakan batu di depan ruang besar, tertawa cengar-cengir dengan mulut berceloieh mendendangkan lagu.

   Lagu romantis yang menggambar seorang yang lagi kasmaran, dalam keadaan dan kondisi sekarang, dendang lagunya itu terdengar begitu memelas, memilukan sekali.

   Hong Si-nio datang menghampiri, duduk di sebelahnya, tanya-nya dengan suara halus.

   "Sejak tadi kau berada di sini?"

   Thio-ko-lo manggut-manggut.

   "Peristiwa yang terjadi di sini kau saksikan juga?"

   "Walau aku sudah tua, tapi mataku masih bisa melihat, kupingku masih bisa mendengar, aku kan belum mati,"

   Demikian kata Thio-ko-lo, mendadak ia tertawa.

   "Bocah itu justru menyangka aku sudah mati, purapuraku mati pasti mirip sekali." 'Bocah itu' yang dimaksud tentu pembunuh itu. Dengan pura-pura mati ia berhasil mengelabui orang, maka sampai sekarang ia masih hidup. Seorang perempuan yang sudah bergelut hidup dalam sarang pelacur puluhan tahun, umpama bukan siluman tua, tentu dia termasuk serigala tua. Seekor serigala tulen, di dalam keadaan apapun, dia punya cara mempertahankan hidup. Hong Si-nio menghela napas lega, tanyanya pula.

   "Waktu bocah itu membunuh orang, kau juga menyaksikan?"

   Thio-ko-lo manggut-manggut sambil mengiakan.

   "Semua orang ini dia yang membunuh?"

   Thio-ko-lo memanggut sekali lagi, mendadak roman mukanya menampilkan rasa takut, mulutnya menggumam.

   "Begitu cepat dia membunuh ... dia memiliki golok yang teramat cepat dan tajam."

   "Kau tahu siapa dia?"

   "Sudah tentu aku tahu. Dia seorang mati."

   Hong Si-nio melenggong.

   "Orang mati mana mampu membunuh?"

   "Sekarang dia memang belum mati, tapi dia adalah orang mati."

   Apa yang diceritakan Hou Ing memang tidak salah, bicara orang ini sering ngelantur, tidak jarang orang dibuat pusing olehnya. Hong Si-nio harus menahan sabar, tanyanya pula.

   "Jelas dia masih hidup, kenapa kau bilang dia orang mati...."

   "Karena dia membunuh orang, orang juga ingin membunuhnya, maka usianya jelas tidak akan panjang, maka dalam pandanganku, hakikatnya dia terhitung orang mati."

   Cara bicaranya memang putar balik tak keruan, tapi bukan tidak masuk akal. Dengan tawa dipaksakan Hong Si-nio bertanya lagi.

   "Dia mati atau hidup tak usah diurus, coba kau jelaskan padaku, dia she apa, bagaimana tampang dan perawakannya?"

   "Tampangnya bagus, seorang lelaki ...."

   Sampai di sini ia cekikikan geli.

   "aku senang cowok, terutama cowok ganteng dan cakap, tapi ... kenapa lelaki yang ganteng cakap hatinya makin telengas ... kenapa lelaki yang makin bagus justru makin tak kenal kasihan ...."

   Meski dihiasi senyuman, tapi air mata bercucuran di pipinya.

   Mendadak ia memeluk lutut terus menangis tergerung-gerung, mirip anak kecil yang tidak diberi permen oleh ibunya.

   Tentunya dia pribadi menyimpan banyak persoalan yang menyedihkan.

   Siapa pun dia bila sekian belas tahun berkecimpung di sarang pelacur, pasti akan mengenyam banyak pahit getirnya kehidupan, diterpa banyak persoalan yang menyedihkan.

   Hong Si-nio sendiri juga ikut merasakan kegetirannya.

   Tentu ia sendiri maklum, walau Siau Cap-it Long bukan orang yang berhati kejam, tapi bukan seratus persen laki-laki yang tidak kenal kasihan.

   Tapi dia memang lelaki yang ganteng dan cakap, kenyataan memang memiliki golok tajam dengan gerak secepat kilat.

   Apa betul orang-orang itu mati di bawah goloknya? Kenapa ia tega turun tangan sekejam ini? Sekarang dia berada dimana? Sim Bik-kun masih terus menatapnya, mendadak bertanya.

   "Jin-siang-jin dan kawan-kawan betul mengundang dia di sini?"

   Hong Si-nio mengangguk.

   "Kau berpisah dengan dia, maksudnya hendak ke tempat ini?"

   Kembali Hong Si-nio mengiakan.

   "Sekarang dia justru minggat."

   Tak urung Hong Si-nio menghela napas rawan.

   Di kala harus tinggal, kau malah pergi.

   Di kala harus tinggal, justru ditinggal pergi.

   Kenapa kau suka menganiaya orang? "Jika mereka masih hidup, pasti tak memberi ampun padanya, sebab mereka mengundang kemari memang ingin membunuhnya."

   Hong Si-nio membenarkan kesimpulannya.

   "Maka waktu dia pergi, orang-orang ini tentu sudah mati, kalau bukan dia yang membunuh mereka, memangnya siapa pembunuhnya?"

   Roman mukanya membayangkan duka dan lara, air mata bercucuran.

   "Mestinya aku tidak perlu datang, dan kau juga tak usah kemari. Bahwa dia tidak ingin membawamu ke sini, karena dia tidak ingin kau menyaksikan dia membunuh ... Kenapa kau datang? Kenapa pula aku ikut ke sini?"

   Sembari bicara, air matanya mengucur makin deras, makin deras air matanya, langkahnya makin lambat, meski lambat ia tidak berpaling lagi.

   Hong Si-nio tidak menahannya.

   Seorang kalau sudah kepalang sedih, siapa bisa merubah pikirannya? Entah berapa lama kemudian, baru Hong Si-nio sadar Thio-ko-lo sudah menghentikan tangisnya, tubuhnya tampak lemas seperti hampir roboh ditiup angin.

   Tak tahan ia mengulur tangan menariknya.

   Tangan orang teramat dingin, lebih dingin dari hembusan angin, dingin lagi kering, mirip daun layu yang terhembus angin.

   Demikianlah tubuh Thio-ko-lo roboh dalam keadaan loyo.

   Perempuan macam dirinya, bertahan hidup dalam kondisi seperti itu, sekarang bisa meninggal dengan tenang, apakah boleh dianggap bernasib baik? Tapi kematiannya sungguh memelas, mati dalam kesepian, kalau bisa mati lebih dini, waktu usia masih muda, waktu wajahnya masih cantik, mungkin ada orang merasa sedih akan kematiannya.

   Sayang kematiannya sekarang badannya bukan saja loyo, tubuhnya sudah kering-kerontang.

   Bukankah ini nasib jeleknya? XIX.

   THIAN CONG YANG SERBA MISTERIUS Air mata sudah kering.

   Mendadak Hong Si-nio melompat bangun terus berlari keluar.

   "Ayo berangkat."

   "Kemana?"

   "Cari Kim-hong-hong, buat perhitungan dengannya."

   Mereka tidak menemukan Kim-hong-hong, tidak menemukan Sim Bik-kun. Malah bertemu dengan Ciu Cikong dan Lian Shia-pik.

   "Isteriku sakit, sakitnya cukup parah, dalam waktu dua bulan, mungkin belum boleh menerima tamu."

   Sementara sikap Ciu Ci-kong tampak temberang.

   Beberapa tahun lalu dia pernah menjadi salah satu laki-laki yang tergila-gila terhadap Hong Si-nio, tapi sekarang seperti sudah melupakan dia.

   Demikian pula sikapnya terhadap Hou Ing dan Toh Lin, seperti muak lagi dingin.

   Berbeda dengan Lian Shia-pik yang jauh lebih sopan, lelaki ini memang dikenal sebagai suami yang lembut, suami bijaksana.

   Belakangan ini ia seperti mulai berdandan dan merawat diri sendiri.

   Begitu Sim Bik-kun berada di sampingnya, kini kondisinya pulih kembali menjadi tampan, ramah dan sopan santun.

   Walau tampangnya masih kelihatan rada pucat, tapi sorot matanya sudah tampak bersinar, sikap dan tindaktanduknya penuh keyakinan.

   Kumisnya yang dicukur rapi menambah kerapian dirinya, lebih kelihatan matang.

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Benarkah pengaruh seorang perempuan terhadap laki-laki sedemikian besar? Tapi Hong Si-nio tahu dia bukan lelaki yang gampang dirubah oleh seorang perempuan.

   "Mana Sim Bik-kun?"

   Tanya Hong Si-nio.

   "bukankah dia sudah pulang?"

   "Ya, benar."

   "Apakah dia sakit? Tidak bisa keluar menyambut teman?"

   "Dia tidak sakit, tapi kelelahan."

   Sikap Lian Shia-pik sedemikian lembut lagi sopan, disertai senyum ramah pula.

   "Boleh aku sekarang menemuinya?"

   "Tidak boleh."

   "Harus tunggu sampai kapan untuk bisa bertemu dengan dia?"

   "Lebih baik jangan kau tunggu."

   "Kenapa?"

   Senyum ramahnya mengandung permohonan maaf.

   "Karena dia bilang tidak ingin bertemu lagi dengan kau."

   Hong Si-nio tidak putus asa, juga tidak marah, jawaban ini memang sudah dalam rekaannya. Setelah bola matanya berputar, mendadak ia bertanya lagi.

   "Sejak kapan kalian pulang?"

   "Cukup pagi kami pulang."

   "Cukup pagi? Kira-kira kapan?"

   "Sebelum petang kami sudah pulang."

   "Setelah pulang kalian terus menunggunya di sini?"

   Lian Shia-pik manggut-manggut.

   "Setelah tahu dia pergi lagi, apa kau tidak gelisah?"

   Lian Shia-pik tertawa.

   "Aku tahu, meski pergi dia akan segera kembali lagi."

   "Darimana kau tahu?"

   Jengek Hong Si-nio.

   "apa sudah kau perhitungkan, kami akan menemukan mayatmayat bergelimpangan dalam rumah?"

   "Mayat-mayat bergelimpangan dalam rumah?"

   Sepertinya Lian Shia-pik melengak kaget.

   "dimana?"

   "Apa betul kau tidak tahu?"

   Lian Shia-pik menggeleng kepala.

   "Apakah mereka bukan mati di tanganmu?"

   Mutlak ia tidak mau menjawab, sebab pertanyaan ini hakikatnya tidak perlu dijawab. Hong Si-nio belum patah arang, tanyanya pula.

   "Tadi siang kalian kemana?"

   Ciu Ci-kong mendadak menjengek dingin.

   "Sejak kapan kau menjadi opas yang mengompas keterangan orang?"

   "Bukan opas juga boleh mencari tahu duduk persoalannya."

   "Persoalan apa maksudmu?"

   "Soal pembunuhan."

   "Siapa pembunuhnya? Siapa korbannya?"

   "Korbannya adalah Hi-cia-lang, Jin-siang-jin dan Hamwan bersaudara."

   Ciu Ci-kong tampak kaget.

   "Tidak mudah untuk membunuh tokoh-tokoh kosen itu."

   "Sangat tidak mudah."

   "Kau kira kami pembunuhnya?"

   "Memangnya bukan?"

   "Kalau benar kami pembunuhnya, sekarang kau sudah mampus di sini."

   Mulut Hong Si-nio seperti dibungkam.

   Kalau benar mereka pembunuhnya, kenapa tidak membungkam mulutnya pula? Kalau sudah telanjur membunuh sekian banyak orang yang tiada sangkut-pautnya dengan urusan ini, apa halangannya membunuh lagi satu orang? Mendadak Lian Shia-pik tertawa.

   "Kurasa kalau kau mau menggunakan daya akalmu, tentu kau mengerti bahwa kami tak mungkin jadi pembunuh mereka."

   "Kenapa?"

   "Karena kami tidak punya alasan membunuh mereka."

   "Siapa pun takkan membunuh orang tanpa sebab, membunuh orang tentu ada sebab dan tujuannya."

   "Aku tahu, selama ini kau berprasangka aku punya ganjalan hati terhadap Siau Cap-it Long, selalu beranggapan aku menaruh dendam terhadapnya."

   Hong Si-nio diam.

   "Kabarnya mereka juga adalah lawan-lawan tangguh Siau Cap-it Long, pantasnya aku menggandeng mereka bergabung menghadapi lawan yang sama, kenapa aku justru membunuh mereka?"

   Hong Si-nio makin tak bisa bicara. Kalau mereka bergabung, yang mati di Pat-sian-cun jelas adalah Siau Cap-it Long. Mendadak ia sadar dan mengerti, persoalan ini jauh lebih rumit, ruwet dan aneh. Dengan tersenyum Lian Shia-pik berkata pula.

   "Kulihat kau amat lelah, perlu istirahat atau tidur. Besok setelah badan segar pikiran sehat, mungkin bisa kau tebak siapa pembunuh sebenarnya."

   Hi-cia-lang dan kawan-kawan jelas adalah musuh atau lawan Siau Cap-it Long, selama mereka hidup, merupakan tekanan yang tidak menguntungkan bagi Siau Cap-it Long.

   Maka pihak yang punya alasan membunuh mereka adalah Siau Cap-it Long.

   Siapa pun akan maklum, dan tidak perlu dipikirkan secara rumit, siapa pun akan tahu dan maklum.

   Namun Hong Si-nio tetap tidak mengerti, tidak paham, maka dia harus berpikir.

   Makin dipikir makin tidak mudah memecahkan persoalan, kalau hati sedang gundah, pikiran sedang buntu, mana dia bisa tidur? * * * * * Hari sudah terang tanah.

   Di meja berserakan banyak bumbung dari timah wadah arak, semua sudah kosong.

   Sekarang bukan waktu yang tepat minum arak, bukan saatnya berjualan arak.

   Kedai arak ini mau buka pintu membiarkan mereka masuk minta arak, karena Hong Si-nio ingin minum.

   "Kalau kau tidak buka pintu menyediakan arak bagi kami, akan kubakar kedai minummu ini,"

   Demikian ancam Hong Si-nio.

   Pemilik kedai tidak punya pilihan.

   Hong Si-nio memang senang menyudutkan orang, apalagi di kala hatinya gundah, perasaan kacau, bukan saja sedang rawan, badannya juga teramat penat.

   Karena tidak bisa tidur, maka Hou Ing dan Toh Lin terpaksa menemaninya duduk minum arak.

   Minum arak memang hal yang menggembirakan bagi mereka, sayang sekali kondisi mereka sekarang justru terbalik, tidak kelihatan rasa senang atau gembira.

   Hou Ing menguap mengantuk, berbangkis beberapa kali.

   Hong Si-nio menarik muka, katanya.

   "Jangan kau bertingkah di hadapanku, kapan saja kau boleh pergi, aku tidak memaksamu menemani aku."

   Hou Ing tertawa malah.

   "Kapan aku bilang mau pergi? Bicara saja tidak."

   "Kenapa tidak mau bicara?"

   "Apa yang kau ingin aku bicarakan?"

   "Kau tidak bisa mengajak aku minum, begitu?"

   "O, ya, mari kita minum, mari bersulang,"

   Langsung ia tenggak habis secawan arak. Akhirnya Hong Si-nio tertawa geli, tertawa rikuh, selama ini kedua pemuda ini bersikap baik, sopan dan hormat terhadap dirinya.

   "Siau Toh,"

   Ujar Hou Ing.

   "kenapa kau tidak bicara?"

   Toh Lin tampak bimbang, akhirnya ia mengangkat cawan.

   "Baiklah, bersulang ya bersulang."

   Hong Si-nio tertawa riang, tawanya berderai seperti kelintingan.

   "Untung bertemu kalian, kalau tanpa bantuan kalian selama ini, mungkin aku sudah menumbukkan kepala biar mampus saja."

   "Eh, kau sedang marah kepada siapa?"

   "Banyak orang,"

   Seru Hong Si-nio.

   "kecuali kalian, boleh dikata di seluruh kolong langit tidak ada manusia baik lagi."

   Biarpun mimiknya tertawa riang, padahal hatinya menjerit, pikiran ruwet, maka ia nekad minum arak sebanyak mungkin, kalau sudah mabuk, segala gundah, semua kekesalan hati akan tersapu bersih.

   Sorot matanya masih tampak terang, padahal ia sudah mulai mabuk.

   Hou Ing juga sudah mabuk, ia terus minum sambil tertawa-tawa.

   "Kau sendiri tidak mabuk? Mari bersulang."

   Hong Si-nio tertawa.

   "Isilah cawanku, mari bersulang."

   "Baik,"

   Seru Hou Ing. Tangannya diulur mengambil poci arak, ternyata dia tidak bisa memegangnya kencang, arak dalam poci tertuang ke badan Hong Si-nio.

   "Bajuku mana bisa minum, kau juga ingin melolohnya?"

   Dengan tawa renyah ia berdiri sambil membersihkan arak di bajunya.

   Hou Ing menghampiri membantu mengelap bajunya yang basah, mulutnya menggumam mohon maaf, sepasang tangannya secepat kilat menutuk tiga Hiat-to di tubuhnya.

   Caranya singkat, gerakannya cekatan.

   Hong Si-nio ingin menjerit, tapi suara sudah tidak keluar dari mulutnya, seketika ia merasakan sekujur badan kaku, ia berdiri mematung di tempatnya.

   Hou Ing mengangkat kepala, sorot matanya seperti terpengaruh air kata-kata, setajam pisau melotot pada pemilik kedai yang kaget ketakutan.

   "Bahwasanya kami tidak pernah ke sini, kau paham tidak?"

   Pemilik kedai manggut-manggut, mukanya pucat ketakutan, suaranya gemetar.

   "Sejak pagi hari, kedai minumku belum pernah dikunjungi tamu, aku tidak melihat apa-apa."

   "Makanya kuanjurkan kau sekarang pergi tidur saja."

   Tanpa bicara pemilik kedai segera hengkang, masuk ke kamar merebahkan diri di ranjang, malah menutup sekujur badan dengan selimut tebal. Sekarang Hou Ing mengerling ke arah Hong Si-nio, dengan enteng menghela napas.

   "Kau ini perempuan yang enak dipandang. Sayang sekali kau suka mencampuri urusan orang lain."

   Hong Si-nio tidak mampu bicara.

   Hou Ing memang tidak ingin mendengar ia bicara, Hiat-to yang mengendalikan suaranya juga ditutuknya.

   Agaknya dia takut pendiriannya berubah setelah mendengar bujuk rayunya nanti.

   Kedai minum ini masih tertutup rapat, memang tadi keinginan Hong Si-nio, waktu sedang minum ia paling pantang diganggu.

   Demikian pula bila Hou Ing ingin membunuh orang, ia pun tak mau diganggu.

   Dari balik sepatunya yang berlaras tinggi ia mencabut sebilah belati, belati tipis sempit lagi tajam.

   Itulah jenis senjata yang biasa digunakan para pembunuh.

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long - Gan K.H.

   Bagian 13 Toh Lin tetap di samping mengawasi dengan mendelong, katanya tiba-tiba.

   "Sekarang kita turun tangan?"

   "Kalau tidak sekarang turun tangan, lain kali tiada kesempatan lagi."

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Toh Lin tampak ragu, akhirnya mengambil sikap.

   "Aku belum pernah membunuh orang, kali ini biar aku yang turun tangan."

   Hou Ing mengawasinya.

   "Kau tega turun tangan?"

   Toh Lin menggigit bibir sambil memanggut, dari pinggir laras sepatunya ia juga mengeluarkan sebilah belati, bentuk dan panjangnya sama dengan milik Hou Ing.

   Sorot mata Hong Si-nio menampilkan rasa kecewa dan sedih.

   Selama ini ia berpendapat Toh Lin adalah pemuda jujur polos, baru sekarang ia tahu pandangannya ternyata keliru.

   Toh Lin menghindar beradu pandang dengan Hong Si-nio, melirik pun tidak berani.

   Hou Ing berkomentar.

   "Waktu membunuh orang, kau harus memperhatikan korbanmu, supaya sasaran tepat, adakalanya sang korban harus sekali tusuk tamat riwayatnya. Atau akibatnya kau sendiri bisa mampus di tangannya."

   "Lain kali akan selalu kuingat,"

   Sahut Toh Lin.

   "Membunuh orang juga memerlukan ketrampilan, asal kau selalu ingat omonganku, mungkin kelak bisa menjadi pembunuh kelas wahid."

   Siapa pun takkan pernah menduga, pemuda yang satu ini ternyata adalah pembunuh yang lihai di bidangnya. Dengan tertawa ia menyambung.

   "Anggaplah cewek ini bersikap baik terhadap kita selama ini, maka jangan kau menyiksanya, incarlah sasaran tulang kelima di antara celah sebelah kiri rusuknya, tempat itu cukup sekali tusuk, jiwa pun melayang."

   "Baiklah, aku tahu,"

   Sahut Toh Lin.

   Perlahan ia maju mendekat, jari-jari yang memegang gagang belati tampak memucat, otot hijau menonjol keluar, bola matanya memerah seperti berdarah.

   Hou Ing tersenyum sambil menggendong tangan, bagi anggapannya, membunuh orang memang adegan yang enak dipandang.

   Toh Lin mengertak gigi, mendadak belati di tangannya bergerak.

   Gerakannya cepat dan tepat, sekali serang belatinya tepat menusuk di celah tulang rusuk keempat dan kelima di dada Hou Ing.

   Yang dia bunuh bukan Hong Si-nio, tapi Hou Ing! Senyum tawa di muka Hou Ing seketika membeku, bola matanya melotot seperti hendak mencelat keluar, dengan kaget menatapnya tajam, sorot matanya penuh rasa kaget, heran, ngeri dan benci.

   Tak urung Toh Lin merinding oleh tatapan mata orang, tangan menjadi lemas, gagang belatinya pun ia lepas.

   Pada detik itulah, sinar kilat berkelebat, belati di tangan Hou Ing secepat kilat juga menusuk di tengah tulang rusuknya.

   Hou Ing menyeringai sadis.

   "Yang kuajarkan kepadamu adalah tusukan yang mematikan, sayang kau lupa mencabut belatimu, kepandaianmu membunuh orang memang harus belajar lagi."

   Toh Lin mengertak gigi, secepat kilat mendadak ia turun tangan lagi, kali ini ia cabut belati di rusuk orang.

   "Sekarang aku sudah belajar lengkap."

   Begitu darah menyembur keluar, muka Hou Ing tampak mengkerut menahan sakit, mulutnya megap-megap seperti ingin bicara.

   Tapi sepatah kata pun tidak kuasa bicara, perlahan badannya roboh terkapar di lantai, kali ini memang sekali tusuk jiwa melayang.

   Mengawasi badan rekannya roboh binasa, mendadak Toh Lin membungkuk badan terbatuk-batuk.

   Ujung belati yang tajam, dingin dan keras tetap menancap di celah tulang rusuknya, badannya terasa menggigil.

   Toh Lin belum roboh, karena belati masih menancap di dadanya.

   Meski berhasil membalas menusuk dada orang, Hou Ing sendiri kehabisan tenaga, tak mampu mencabut belati di dada Toh Lin.

   Ada kalanya hal itu bisa terjadi, kalau sekali tusuk kau tak mampu membunuhnya mati, kemungkinan jiwamu sendiri mampus di tangannya malah.

   Sejauh belati masih melekat di badanmu, jiwamu takkan segera melayang.

   Membunuh orang memang diperlukan ilmu yang tinggi.

   Toh Lin masih terus terbatuk, makin lama batuknya makin keras.

   Tusukan Hou Ing memang kurang tenaga, walau tidak tepat mengenai jantung, tapi melukai paru-parunya..

   Hong Si-nio hanya bisa mengawasinya.

   Pemuda ini memang berhati jujur dan polos.

   Penilaiannya tidak keliru.

   Hong Si-nio tidak mengucurkan darah, tapi mengucurkan air mata.

   Sekuatnya Toh Lin berusaha mengendalikan batuknya, lalu dengan napas tersengal-sengal beringsut menghampirinya, berusaha membuka tutukan Hiat-tonya.

   Kejap lain ia tak kuat berdiri, lalu jatuh di kursi, tenaga terakhir untuk bertahan pun sudah tak mampu dikerahkan lagi.

   Keringat sebesar kacang menetes membasahi selebar mukanya.

   Hong Si-nio merobek bagian bawah gaunnya, dengan air dingin di baskom pojokan sana ia basahi kain itu untuk mengompres jidatnya.

   Bujuknya lembut.

   "Untung tusukannya ini tidak tepat dan kurang dalam, bertahanlah untuk beberapa kejap, setelah napasmu normal dan rasa sakit jauh berkurang, nanti kubawa kau pergi berobat."

   Lalu dengan tawa yang dipaksakan menyambung.

   "Aku kenal seorang tabib pandai, dia pasti mampu menyembuhkan lukalukamu."

   Toh Lin juga mengunjuk senyum dipaksakan.

   Ia sendiri maklum dirinya takkan kuat bertahan lama, tapi banyak omongan yang ingin ia bicarakan.

   Hanya arak yang bisa mendukung tekadnya, asal dapat bertahan sampai isi hatinya ditumpahkan, cukup puaslah hatinya.

   "Beri aku arak, di tubuhku ada botol obat...."

   Puyer itu berada dalam botol kecil yang terbuat dari kayu, bukan saja mahal dan antik, di tengah botol ditempeli kertas yang berlulis "Hun-lam Tiam-jong".

   Hun-lam-pek-yo adalah obat luka buatan Tiam-jong-bun, terkenal di kolong langit, obat mujarab yang mendapat penghargaan kaum Bulim.

   Sayangnya betapapun mahal, hebat mujarab obat luka itu, takkan mampu menyembuhkan luka yang tepat mengenai sasaran, luka yang mematikan.

   Waktu melancarkan serangan, tenaga Hou Ing memang sudah terkuras hampir habis, betapapun dia adalah ahli di bidangnya.

   Hong Si-nio membanting kaki, serunya gelisah.

   "Kenapa semua ini dia lakukan? Kenapa dia ingin membunuhku?"

   Toh Lin tertawa getir.

   "Kami ke Bu-kau-san-ceng dengan tujuan membunuhmu."

   Hong Si-nio tertegun. Baru sekarang ia sadar, kenapa mereka rela menjadi pengiringnya.

   "Sungguh aku tidak mengerti kenapa kau justru mencari kami. Waktu itu aku hampir tidak percaya kalau kau benar-benar adalah Hong Si-nio."

   "Kenapa waktu itu kalian tidak turun tangan?"

   "Hou Ing tidak pernah bertindak kalau tidak yakin pasti berhasil."

   Kata Toh Lin lebih jauh.

   "Maka dia tidak pernah gagal membunuh orang."

   Sekaligus ia menghabiskan tiga cawan arak, sebotol obat ia tenggak seluruhnya didorong arak secawan, roman mukanya yang pucat mulai kelihatan bersemu merah.

   "Dalam usia sembilan belas, dia sudah terjebak sebagai pembunuh bayaran. Di antara sekian banyak anggota Thian Cong, sulit dicari yang mampu mengungguli dia."

   Toh Lin tertawa getir, lalu menyambung pula.

   "Kali ini aku diperintah ikut dia, maksudnya supaya aku belajar kepadanya."

   "Thian Cong?"

   Belum pernah Hong Si-nio mendengar nama ini.

   "Yang memerintah kalian membunuhku adalah Thian Cong?"

   "Betul."

   "Dua huruf itu kedengarannya bukan nama seseorang."

   "Thian Cong memang bukan nama orang, tapi milik orang banyak, nama sebuah organisasi gelap, kumpulan rahasia yang menakutkan."

   Sorot mata Toh Lin menampilkana rasa ngeri.

   "Aku sendiri tidak tahu berapa jumlah anggota mereka."

   "Apakah Thian Cong didirikan oleh Siau-yau-hou?"

   "Cosu atau cikal bakal Thian Cong she Thian."

   Bukankah Siau-yau-hou selalu senang menyebut dirinya Thian-kongcu? Benderang mata Hong Si-nio, paling tidak sekarang ia bisa membuktikan bahwa Siau Cap-it Long tidak bohong, Siau-yau-hou memang mengendalikan sebuah organisasi rahasia yang menakutkan.

   Hoa Ji-giok, Auyang-hengte adalah anggota organisasi itu.

   Setelah Siau-yau-hou mati, siapa pewaris tahta pimpinan organisasi rahasia itu? Apakah Lian Shia-pik? Soal ini adalah titik terpenting.

   Hong Si-nio berkeputusan untuk mencari tahu sampai jelas, namun ia insaf keadaan sekarang tidak bisa memberi tekanan lebih berat kepada Toh Lin, mengingat kondisinya yang sudah kempas-kempis.

   Setelah merenung sesaat ia bertanya dengan cara lembut.

   "Kau juga anggota Thian Cong?"

   "Aku juga anggota."

   "Sudah berapa lama kau menjadi anggota?"

   "Belum lama, belum genap sepuluh bulan."

   "Apakah tiap orang boleh menjadi anggota?"

   "Tidak boleh,"

   Ucap Toh Lin.

   "untuk menjadi anggota Thian,. harus di bawah perantara seorang Hiang-cu, itupun harus diuji dan diluluskan oleh Thian Cong sendiri."

   "Siapa Hiang-cu yang menjadi perantaramu?"

   "Pamanku. Mantan Ciangbunjin Tiam-jong-pay yang bernama Cia Thian-ciok."

   Hal ini kembali membuktikan bahwa omongan Siau Cap-it Long benar, Cia Thian-ciok adalah anggota organisasi rahasia itu, maka Siau Cap-it Long membikin buta matanya.

   Dari sini dapat disimpulkan pula bahwa apa yang dikatakan Pin-pin juga tidak salah.

   Betapapun sedikit terhibur hati Hong Si-nio, sedikit lega.

   Setelah mendengar uraian Lian Shia-pik, tak urung hatinya ikut mencurigai Siau Cap-it Long, maka seorang kalau dipaksa harus mencurigai pujaan hatinya, sungguh merupakan hal yang membuatnya sengsara.

   "Kecuali Cia Thian-ciok, masih berapa banyak Hiang-cu dalam Thian Cong?"

   "Konon ada tiga puluh lima orang, tiga puluh enam orang Thian-lo."

   "Congcu hanya seorang?"

   "Ya, hanya seorang."

   Hong Si-nio berusaha mengendalikan gejolak perasaannya.

   "Kau pernah bertemu dia?"

   "Pernah dua kali."

   Jantung Hong Si-nio berdegup lebih kencang, rahasia ini sudah hamnpir bisa diungkap, tanpa sebab roman mukanya memerah.

   "Pertama, waktu aku masuk dan diangkat menjadi anggota. Cia-susioklah yang membawaku bertemu beliau."

   "Yang kedua?"

   "Setelah mata Cia-susiok buta, kedudukan atau jabatannya digantikan oleh Hoa-hiangcu."

   "Hoa Ji-giok maksudmu?"

   Toh Lin mengangguk.

   "Huh,"

   Hong Si-nio menghembuskan napas dari mulut. Hoa Ji-giok ternyata juga orang Thian Cong. Tapi di antara mayat-mayat di Pat-sian-cun tidak tampak adanya Hoa Ji-giok.

   "Untuk yang kedua kali, Hoa-hiangculah yang mengajakku menemui beliau."

   "Dimana tempatnya?"

   "Pat-sian-cun."

   Kembali Hong Si-nio menghembuskan napas dari mulut. Peritiwa ini mirip sebuah gambar lukisan yang telah dirobek-robek, sekarang satu per satu mulai dibeberkan dan disatukan kembali.

   "Hou Ing sengaja mengajakmu ke Pat-sian-cun, awalnya mungkin akan turun tangan di sana."

   "Kalian juga tidak tahu penstiwa yang terjadi di sana?"

   Toh Lin tertawa getir.

   "Tidak banyak yang kuketahui, di dalam Thian Cong, aku hanya anggota biasa, anggota yang tidak terpandang sama sekali, mungkin dibanding anjing yang dipelihara Congcu masih lebih rendah,"

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tutur Toh Lin amat menyentuh, tawanya begitu pilu dan getir.

   Usianya masih muda.

   Seorang pemuda paling tidak suka diremehkan, dihina apalagi direndahkan, hal itu bisa dirasakan, lebih baik mati daripada hidup tidak terpandang.

   Hong Si-nio bertanya lagi.

   "Apakah Congcu memelihara anjing?"

   "Dua kali aku bertemu dia, dua kali aku melihat dia membawa anjing."

   "Anjingnya jenis apa?"

   "Anjing itu kecil saja, tampangnya tidak galak, kelihatan Congcu amat menyayangi, beberapa kali bicara selalu menunduk mengelus kepala anjingnya."

   Seorang yang menjadi pemimpin besar organisasi yang punya anggota banyak dan tersebar luas di seluruh pelosok negeri, jago silat lihai yang banyak membunuh dan berbuat kejahatan di Kang-ouw, ternyata seorang yang gemar memelihara anjing.

   Hong Si-nio menghela napas.

   Mungkin hati manusia paling susah dipahami dibanding segala urusan tetekbengek yang pernah terjadi di dunia.

   Kini ia bertanya pada titik persoalan yang paling penting.

   "Siapakah dia sebenarnya?"

   Setelah melontarkan pertanyaan, jantungnya mendadak berdetak keras.

   "Tidak tahu."

   Jawaban Toh Lin ini sungguh membuatnya amat kecewa. Meski rasa hatinya amat penasaran, namun ia belum putus asa.

   "Tadi kau bilang pernah melihatnya, memangnya bagaimana bentuk wajah dan perawakannya kau tidak melihatnya?"

   "Aku tidak bisa melihatnya."

   Hong Si-nio menghela napas, katanya dengan tertawa getir.

   "Kau sudah menjadi anggota Thian Cong, apakah waktu dia menerima dirimu mengenakan kedok?"

   "Bukan hanya mengenakan kedok, jari-jari tangannya memakai sarung tangan yang terbuat dari kulit ikan hiu."

   "Kenapa tangannya pun tak boleh dilihat orang? Apakah karena dia orang luar biasa?"

   "Dia memang orang luar biasa dan aneh, gayanya waktu berjalan, sikapnya waktu bicara kelihatan berbeda dengan manusia umumnya."

   "Dalam hal apa tidak sama?"

   "Tidak bisa kujelaskan, tapi dimana dan kapan pun aku melihatnya, aku pasti dapat mengenalinya."

   Menyala bola mata Hong Si-nio, tanyanya segera.

   "Kau pernah melihat atau bertemu dengan Lian Shia-pik?"

   "Aku pernah melihatnya."

   "Apakah dia Lian Shia-pik?"

   "Pasti bukan."

   "Muka atau perawakannya saja kau tidak pernah melihatnya, cara bagaimana kau berani memastikan kalau dia bukan Lian Shia-pik?"

   "Dia seorang yang kurus kecil, Lian Shia-pik bukan laki-laki gede, dibanding dia perawakannya jauh lebih tinggi, dalam hal ini dia tidak mungkin berpura-pura."

   Mulut Hong Si-nio serasa dibungkam, namun hatinya penasaran, teori yang dianggapnya pas, tak mungkin dipecahkan, mendadak seluruhnya batal, betpapun hatinya amat jengkel, namun ia harus menelan penasaran.

   Wajah Toh Lin kini sudah memerah lebih segar, napasnya sudah biasa, kadang terbatuk beberapa kali, kalau belati tidak menancap di dadanya, orang takkan tahu kalau dia seorang yang luka parah, terutama sorot matanya, tidak mirip orang sakit.

   Karena bola matanya sekarang juga menyala, rasanya lebih terang dibanding keadaan biasa, karena dia sedang mengawasi Hong Si-nio.

   Hong Si-nio mengunjuk tawa, meski dipaksakan, katanya lembut.

   "Apapun yang terjadi, lukamu tidak terlalu parah, setelah makan obat, lekas sekali pasti sembuh."

   Toh Lin memanggut, wajahnya mengulum senyum senang.

   "Kuharap demikian."

   Usianya masih muda, tidak irigin mati selekas ini, sekarang terasa kematian makin menjauh, timbul sinar harapan untuk mempertahankan hidup. Dengan nanar ia mengawasi Hong Si-nio, mukanya makin merah, mendadak ia berkata.

   "Kalau setelah ini aku masih bisa bertahan hidup, setelah lukaku sembuh, kau masih memerlukan tenagaku sebagai pendampingmu tidak?"

   "Tentu aku butuh bantuanmu."

   Beberapa kali bibirnya bergerak, akhirnya ia memberanikan diri berkata.

   "Mau tidak aku menjadi pendampingmu untuk selamanya?"

   Hong Si-nio manggut-manggut, hatinya pilu seperti ditusuk sembilu, jelas ia maklum isi hati pemuda ini terhadap dirinya.

   Dengan mempertaruhkan jiwa, orang berusaha menolong dirinya, kecuali tidak ingin diremehkan dan direndahkan oleh pihak Thian Cong, yang terpenting mungkin karena ia jatuh hati terhadap dirinya.

   Kenapa bisa timbul rasa cinta terhadapnya? Siapa pun tak bisa menjelaskan.

   Perasaan manusia, memangnya siapa bisa menyelaminya? Air mata Hong Si-nio belum meleleh karena ia terus berusaha mempertahankannya, bukan lantaran nasib pemuda ini ia merasa sedih dan pilu, dia sedih karena dirinya sendiri, sadar bahwa selama ini ia bersikap kurang kompromi terhadap pemuda ini, bahwasanya boleh dikata tidak ambil di hati, tidak ada perhatian sama sekali, tapi pemuda ini rela berkorban demi membela dirinya.

   Bagaimana dengan Siau Cap-it Long.

   Demi Siau Cap-it Long pengorbanan apa yang tidak pernah ia lakukan, sekarang apa pula yang dia peroleh.

   Cinta memang tidak bisa dipaksakan, juga tidak bisa ditukar, cinta memangnya pengorbanan tanpa syarat.

   Hong Si-nio paham akan pengertian ini, melihat bagaimana perasaan Toh Lin terhadap dirinya, kini ia paham lebih banyak, punya pengertian lebih mendalam.

   Satu hal yang ia tidak mengerti, kenapa nasib selalu mempermainkan orang? Ada kalanya memaksa seorang untuk mencintai seorang yang tidak patut ia cintai? Toh Lin termasuk seorang yang dipermainkan oleh nasib, patut dikasihani.

   Memangnya dirinya tidak merasakan punya nasib yang sama? Untung Toh Lin tidak bisa melihat jalan pikirannya, dengan tersenyum tenteram memejam, kelihatan amat puas dan tenteram.

   "Kita bertemu belum lama, aku tahu kau takkan menaruh diriku dalam hati, tapi kelak ...."

   Senyumannya makin mekar.

   "Kelak hari masih panjang, masih panjang ...."

   Suaranya makin lirih, makin lemas akhirnya ia sendiri tidak bisa mendengarnya.

   Kini roman mukanya berubah amat cepat, dari merah berubah pucat pias, namun senyum masih menghias wajahnya.

   Bagaimanapun akhirnya dia meninggal sambil tersenyum.

   Berapa banyak orang bisa tersenyum setenteram dia waktu meninggal dunia? XX.

   MIMPI HILANG CINTA PUN LENYAP Matahari memancarkan cahayanya yang cemerlang.

   Hong Si-nio berjalan di bawah terik matahari, air matanya Sudan kering.

   Dia bersumpah sejak kini takkan mengucurkan air mata.

   Sekarang seluruh analisa dan teorinya sudah tumbang, tapi ia bersumpah akan menggusur 'orang itu', membongkar muslihatnya.

   Kini ia sudah tahu, 'orang itu' adalah seorang yang suka memelihara anjing.

   Seekor anjing berlari-lari kecil menyusuri jalan raya di bawah bayang-bayang payon rumah, langkahnya gontai seperti kehausan.

   Entah kenapa Hong Si-nio membuntuti anjing itu.

   Jelas ia mengerti, anjing ini pasti bukan anjing yang dipelihara 'orang itu', tapi ia kehabisan akal, tak tahu kemana harus berjalan, kemana pergi mencari berita supaya bisa menemukan 'orang itu', apalagi bisa menemukan Siau Cap-it Long.

   Anehnya, makin terik sinar marahari, orang yang berjalan di bawah cahaya matahari akan lebih cepat merasa lelah.

   Kini Hong Si-nio tidak mabuk lagi, setelah pengalaman sehari semalam itu, sekarang justru saat ia merasa paling penat.

   Ingin tidur tak bisa tidur, dengan mata terbelalak ia rebah di ranjang, ingin tidur tidak bisa tidur, rasanya sudah sering ia alami.

   Sebatangkara, kesepian, tidak bisa tidur, resah dan sebal ...

   semua itu adalah perasaan orang yang susah ditahan, tapi seorang gelandangan, orang yang biasa keluyuran di luar, derita seperti itu sudah layak dirasakan.

   Memangnya sampai kapan mempertahankannya? Sampai kapan baru bisa tenteram? Hong Si-nio tidak berani memikirkan.

   Suami yang pengertian, anak yang patuh, keluarga bahagia, kehidupan nan tentram....

   Semua itu adalah dambaan setiap perempuan, dahulu ia pernah membayangkannya, tapi sekarang sudah lama ia tidak pernah mengharapkannya lagi, sebab ia merasakan semua dambaan itu seiring bertambahnya usia, jarak itu makin jauh dan jauh ....

   Jalan panjang ini makin lebar, tapi orang yang berlalu lalang makin jarang, tanpa terasa langkah Hong Si-nio menjurus keluar dari keramaian, terus menuju keluar kota, di jalanan yang sepi di depan sana terdapat sebuah hotel kecil, pintunya kecil, temboknya rendah, di pekarangan dalam ditaruh beberapa pot bunga seruni yang lagi mekar, penataannya mirip keluarga kecil dari kalangan kelas rendah.

   Kalau di depan pintu tidak ditempel papan yang dicat beberapa huruf merah, hakikatnya tempat ini tidak mirip sebuah hotel.

   Hotel yang tidak mirip hotel, betapapun tetap hotel, apalagi bagi seorang petualang yang tidak punya rumah, bolehlah dianggap sebagai penenteram hati yang lagi merana.

   Maka Hong Si-nio beranjak masuk, ia minta sebuah bilik yang dirasa nyaman dan tenteram.

   Sungguh ia perlu tidur barang sejenak.

   Kebetulan di luar jendela tumbuh sepucuk pohon cukup besar yang mengalingi sorot matahari.

   Rebah di ranjang, mengawasi bayang-bayang daun pepohonan yang bergontai, hatinya terasa kosong dan hampa, sepertinya banyak persoalan harus dipikir, namun tiada satu pun yang bisa ia ingat.

   Angin berhembus ringan, rasa sejuk berhembus masuk lewat jendela yang terbuka.

   Tempat ini sungguh tenang, kelopak matanya terasa makin berat, akhirnya layap-layap ia mulai terbuai dan hampir tidur.

   Apa boleh buat, di kala rasa kantuk sudah membuai pikirannya, mendadak dari kamar sebelah ia mendengar seorang sedang menangis.

   Tangisnya begitu sedih, suaranya rendah lagi lirih, namun Hong Si-nio dapat mendengarnya dengan jelas.

   Tembok di sini kurang tebal, keadaan di sini memang teramat sunyi.

   Hong Si-nio membalik badan, pikirnya ingin tidur saja, namun isak tangis itu didengarnya makin jelas.

   Itulah isak tangis seorang perempuan.

   Memangnya hati sedang dirundung persoalan apa? Seorang diri kenapa bersembunyi di sini untuk melampiaskan duka lara? Mestinya Hong Si-nio tidak ingin mencampuri urusan orang lain, urusan sendiri cukup membuatnya resah.

   Mungkin karena terlalu banyak urusan, hati resah pikiran buntu, maka begitu tahu orang lain juga sedih dan lara, rasa simpati timbul dalam sanubarinya.

   Tak tahan akhirnya ia melompat bangun, setelah mengenakan sepatu ia membuka pintu beranjak ke kamar sebelah.

   Pohon di pekarangan memang cukup rindang, suasana di sini nyaman, daun pintu kamar sebelah tertutup rapat.

   Sesaat ia ragu, isak tangis belum berhenti, akhirnya ia beranjak maju lalu mengetuk pintu perlahan.

   Cukup lama, dari dalam ada suara orang menegur.

   "Siapa di luar?"

   Suara orang seperti amat dikenalnya. Jantung Hong Si-nio bertambah cepat, dengan keras ia mendorong daun pintu, segera ia berteriak kaget.

   "Kau?"

   Perempuan yang diam-diam bersembunyi di kamar dan berisak tangis itu ternyata bukan lain adalah Sim Bik-kun.

   * * * * * Di meja ada arak.

   Sepertinya Sim Bik-kun sempat mabuk.

   Ada orang setelah mabuk suka tertawa, tertawa dan tertawa, ada juga setelah mabuk suka menangis, menangis dan menangis terus.

   Melihat Hong Si-nio, bukan saja tidak menghentikan tangisnya, tangis Sim Bik-kun malah lebih keras, lebih sedih.

   Hong Si-nio berdiri diam, mengawasi orang menangis.

   Dia juga seorang perempuan, ia tahu bila seorang sedang menangis, siapa pun takkan bisa membujuknya, makin dibujuk tangisnya makin sedih, tangisnya bisa menjadi-jadi.

   Kadang 'menangis' mirip orang minum arak.

   Seorang boleh menangis, seorang juga boleh minum arak.

   Tapi di kala minum arak, kalau ada seorang lain berdiri di samping mengawasi kau minum, selera minummu pasti hilang, arak takkan bisa masuk perut lagi.

   Demikian halnya dengan menangis.

   Karena diawasi Hong Si-nio, mendadak Sim Bik-kun berjingkrak, dengan bola matanya yang merah karena lama menangis menatap Hong Si-nio, serunya.

   "Untuk apa kau kemari?"

   "Aku juga ingin tanya, untuk apa kau ke tempat ini?"

   Tanya Hong Si-nio, lalu menarik kursi dan duduk.

   "Bagaimana kau bisa berada di tempat ini?"

   "Kenapa aku tidak boleh ke tempat ini?"

   Bukan saja lagi sedih, ternyata emosinya juga terbakar. Biasanya ia tidak pernah bersikap sekasar ini. Hong Si-nio malah tertawa.

   "Tentu kau boleh ke tempat ini. Tapi bukankah kau sudah pulang?"

   "Pulang kemana?"

   "Pek-ma-san-ceng."

   "Pek-ma-san-ceng bukan rumahku,"

   Air mata Sim Bik-kun hampir menetes lagi.

   "Kemarin malam aku ke Pek-ma-san-ceng, kau ada di sana?"

   "Ada."

   "Lha, kenapa seorang diri kau keluyuran di sini?"

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku senang,"

   Bantah Sim Bik-kun sambil menggigit bibir.

   "aku senang keluar, kenapa tidak boleh keluar?"

   "Dari tampangmu, kelihatan kau tidak senang,"

   Hong Si-nio tidak memberi kelonggaran.

   "Sebetulnya lantaran apa kau lari dari rumah?"

   Sim Bik-kun tak bisa menjawab.

   Arak masih ada di meja, mendadak ia meraih poci arak lalu dituang ke dalam mulut.

   Dia ingin mabuk, setelah mabuk baru bisa melupakan segala persoalan, bisa menolak pertanyaan yang tidak ingin dijawab.

   Sayang poci itu sudah kosong, sisanya masih beberapa tetes, mirip derai air matanya.

   Arak yang getir, segetir hatinya, sisa arak itu akhirnya bakal kering.

   Bagaimana dengan air mata? "Pyaarrr", poci itu jatuh di lantai dan pecah berantakan.

   Hati Sim Bik-kun rasanya lebih hancur dibanding poci arak, sebab bukan hanya hatinya yang hancur, mimpinya juga telah lebur.

   Hong Si-nio diam mengawasinya.

   Nasib kenapa menyiksanya sedemikian rupa? Sekarang dia sudah berubah total, kenapa nasib masih juga menyiksanya? Akhirnya Hong Si-nio menghela napas ringan.

   "Tak peduli karena apa, rasanya tak perlu kau lari dari rumah."

   Mengawasi pecahan poci di lantai, bola matanya yang semula indah berubah kosong.

   "Tidak pantas?"

   Hong Si-nio bersuara dalam mulut. Sim Bik-kun tertawa dingin.

   "Kemarin kau masih memaksaku, menyuruh aku pergi."

   "Kemarin malam? Mungkin aku yang salah."

   "Sejak kapan kau pernah merasa bersalah?"

   Hong Si-nio menunduk.

   "Aku yang salah, karena aku tidak pernah memikirkan dirimu."

   Yang dia pikir hanya seorang.

   Semua yang ia lakukan hanya untuk menyenangkan dia, supaya dia bahagia.

   Demi dia, ia rela mengorbankan segalanya.

   Tapi bagaimana dengan orang lain? Kenapa orang lain rela berkorban demi dirinya? Bukankah orang itu punya hak untuk mempertahankan hidup? Dengan lirih Hong Si-nio berkata.

   "Deritamu sudah cukup berat, pengorbananmu jauh lebih banyak."

   Baru sekarang ia sadar, dia tidak punya hak memaksa orang lain menerima derita, kebahagiaan orang ia bangun di atas penderitaan orang lain.

   "Sekarang kau harus memikirkan dirimu sendiri untuk bertahan hidup beberapa hari lagi, rasakan kehidupan yang bahagia. Kau berbeda dengan aku, kalau keluyuran terus di luar, hidupmu jelas akan runtuh."

   Inilah curahan tulus dari hati yang paling dalam.

   Terhadap perempuan yang cantik bagai kembang, bernasib setipis kertas, ia benar-benar merasa simpati dan kasihan.

   Tapi satu hal ia lupa, kasihan itu kadang dipandang sebagai hinaan, seperti sindiran yang tajam, lebih gampang melukai perasaan orang.

   Mestinya Sim Bik-kun sudah mempertahankan air matanya, mendadak bercucuran lagi, dengan kencang ia genggam kedua tangan, lama kemudian baru bertanya perlahan.

   "Menurutmu aku harus bagaimana?"

   "Kurasa kau harus pulang."

   "Pulang? Pulang kemana? Jelas kau tahu aku sudah tidak punya rumah."

   "Rumah dibangun orang, sejauh kau masih punya orang, kau masih bisa membangun kembali rumahmu."

   "Orang? ... Aku masih punya orang?"

   "Selama ini kau masih punya."

   "Lian Shia-pik maksudmu."

   Hong Si-nio memanggut, katanya dengan tertawa getir.

   "Selama ini aku salah menilainya, dia bukan orang yang kuduga semula, bila kau mau kembali ke sampingnya, dia pasti akan menerima dan bersikap baik kepadamu, kalian masih bisa membangun mahligai keluarga."

   Sim Bik-kun mendengarkan, mendengar sampai terpesona. Di dunia ini mana ada perempuan yang mau sepanjang hidup keluyuran di luar. Apakah dia sudah terbujuk? "Bila kau rela,"

   Kata Hong Si-nio lebih jauh.

   "kapan saja boleh kuantar kau pulang, aku malah rela memohon maaf kepadanya."

   Kali ini ia bicara jujur, bicara dari hati yang paling dalam.

   Sejauh Sim Bik-kun dapat meraih kebahagiaan, apapun yang harus ia lakukan, ia rela dan senang hati melakukan.

   Mendadak Sim Bik-kun malah tertawa berderai.

   Tawanya makin keras terkial-kial.

   Hong Si-nio melenggong.

   Tak pernah terbayang reaksi Sim Bik-kun bisa segila ini.

   Sungguh ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

   Mendadak derai tawa Sim Bik-kun berubah menjadi jerit tangis, bukan tangis terisak seperti biasanya, tapi tangis tergerung-gerung yang menyayat hati.

   Mirip anak kecil yang kaget dan menangis ketakutan.

   Tangisnya itu jelas tidak normal, tangis seperti ini lebih mendekati histeris, kalau didiamkan bisa menjadi gila.

   Hong Si-nio mengertak gigi, mendadak ia melayangkan tangan dan "Plak", dengan keras ia gampar muka Sim Bik-kun.

   Mendadak Sim Bik-kun menghentikan tangisnya.

   Tidak hanya tangisnya berhenti, napas, aliran darah dan pikirannya seperti berhenti.

   Sekujur badannya mengejang kaku, berdiri mematung seperti boneka.

   Hong Si-nio justru mengucurkan air mata.

   "Kenapa kau begini? Apa aku salah omong?"

   Sim Bik-kun tetap tidak bergeming, sorot matanya kosong hampa, seperti menatapnya, seperti memandang jauh ke depan.

   "Mungkin aku salah omong, aku ...."

   "Kau tidak salah,"

   Teriak Sim Bik-kun.

   "dia memang bukan Congcu dari Thian Cong, tapi aku lebih rela dia betul adalah Thian Cong."

   "Kenapa?"

   Seru Hong Si-nio tertegun.

   "Sebab seorang Thian Cong, paling tidak adalah manusia."

   "Memangnya dia bukan manusia?"

   Karena menahan rasa sedih, muka Sim Bik-kun tampak mengkeret.

   "Selama ini aku anggap dia manusia, peduli dia baik atau buruk, tetap orang yang dihormati, siapa tahu ternyata dia tidak lebih hanya seorang budak."

   "Budak? Budak siapa?"

   "Budak Thian Sun."

   "Thian Sun?"

   "Siau-yau-hou adalah Thian-ci-cu, ahli warisnya tentu adalah Thian Sun."

   "Walau Lian Shia-pik bukan Thian Sun, tapi budak Thian Sun?"

   Hong Si-nio lebih kaget, di luar dugaan, maka ia bertanya lagi.

   "Darimana kau tahu semua ini?"

   "Sebab ... sebab sebagai isterinya, semalam aku tidur di kamarnya,"

   Cerita ini mirip cemeti, begitu ia bercerita berarti cemeti itu menghajar sekujur badannya.

   Perasaan ini bukan hanya penderitaan, tapi juga kepedihan, kekecewaan ....

   Hong Si-nio maklum akan pergulatan perasaan ini.

   Dia tidak bertanya lebih lanjut, ia yakin Sim Bik-kun akan membeberkan cerita panjang yang mengejutkan.

   "Dia menyangka aku sudah tidur, dia kira aku menghabiskan secawan obat yang dia berikan kepadaku."

   "Kau tahu kalau itu obat bius?"

   "Aku tidak tahu, tapi seteguk pun aku tidak meminumnya."

   "Kenapa?"

   "Aku tidak tahu kenapa, yang pasti aku tidak suka minum obat, obat apapun aku tidak mau minum."

   Hong Si-nio mengangguk.

   Karena dia mengerti, seorang kalau sudah putus asa, maka ia akan berusaha menyiksa diri sendiri, mana mungkin dia mau minum obat.

   Banyak persoalan di dunia ini, kadang kelihatan kebetulan, padahal kalau diperiksa dengan seksama, akan ditemukan semua itu karena 'karma'.

   Entah 'sebab' apa yang ditanam, akan menerima 'akibat' yang nyata.

   Kalau paham akan pengertian ini, kelak bila ingin menanam tentu akan memilih 'bibit' yang baik.

   Sim Bik-kun berkata.

   "Dia tentu tak tahu kalau diam-diam aku membuang obatnya itu."

   "Ya, pasti tidak menduga, karena selama menjadi suami isteri kau tidak pernah berbohong padanya."

   Itulah salah satu sebab.

   "Waktu dia masuk kamar, sebenarnya aku belum tidur."

   "Tapi kau pura-pura sudah lelap"

   "Karena aku tidak ingin bicara dengan dia."

   Inipun salah satu sebab.

   "Dia tidak mengganggumu?"

   Sim Bik-kun menggeleng kepala.

   "Dia hanya berdiri di pinggir ranjang mengawasiku, lama dia menjublek di tempatnya, walau aku tidak berani membuka mata, namun aku rasakan keadaannya amat aneh."

   "Aneh?"

   "Waktu dia mengawasiku, aku merasa sekujur badanku makin dingin."

   "Selanjutnya?"

   "Kelihatannya aku memang sudah tidur, padahal hatiku memikirkan banyak persoalan ...."

   Yang dia pikir waktu itu bukan Siau Cap-it Long.

   Selama dua tahun belakangan ini, bayangan Siau Cap-it Long hampir mempengaruhi seluruh jiwa raga, seluruh jalan pikirannya.

   Tapi kala itu yang dia pikir justru adalah Lian Shia-pik.

   Sebab Lian Shia-pik kini berada di depan ranjangnya, sebab antara dirinya dengan Lian Shia-pik masih meninggalkan kenangan manis madu, kenangan asyikmasyuk.

   Betapapun Lian Shia-pik adalah pria pertamanya.

   Terbayang akan malam pertama dahulu, malam itu ia pun pura-pura tidur di ranjang, dia juga berdiri di ranjang seperti malam ini, mengawasinya, selama itu tak pernah menyentuh, meraba atau memanggilnya, secara diam-diam menutup selimut di badannya.

   Betapa tegang dan rasa malu dirinya kala itu, sampai sekarang, kalau dibayangkan, akan mengundang rasa tegang, jantung berdetak lebih kencang.

   Sepanjang mereka hidup bersama, belum pernah dia berbuat kasar, bicara keras, apalagi membentaknya.

   Sejak awal sampai terakhir mereka berpisah, dia tetap adalah suami teladan, suami pengertian yang lemah lembut.

   Membayangkan sampai di sini, hampir tak tahan dia akan membuka mata, lalu menikmati malam pertama yang ....

   Pada saat itulah, mendadak ia mendengar suara seorang bertepuk sekali di luar jendela.

   Lian Shia-pik segera beranjak ke sana, membuka daun jendela, dengan menekan suara berkata.

   "Kau terlambat, lekas masuk."

   Orang di luar jendela tertawa ringan, katanya menggoda.

   
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Malam pertama pengantin baru, kau tidak kuatir aku mengganggu kalian?"

   Mendengar suara orang ini, sekujur badan Sim Bik-kun mendadak mengejang dingin.

   Itulah suara Hoa Ji-giok.

   Ia kenal betul suara itu.

   Mimpi pun tak pernah terbayang dalam benaknya, Hoa Jigiok datang menemui Lian Shia-pik.

   Bagaimana mungkin mereka punya hubungan? Sim Bik-kun berusaha mengendalikan diri, memusatkan perhatian mendengar percakapan mereka.

   Lian Shia-pik berkata.

   "Aku tahu kau akan datang. Maka kucari akal membuatnya tidur."

   "Dia tidak akan terjaga?"

   "Tidak mungkin, obat yang kuberikan cukup membuatnya pulas sampai pagi."

   Hoa Ji-giok sudah melompat masuk lewat jendela, katanya dengan cekikikan geli.

   "Jerih payahmu tidak ringan untuk mengajaknya balik, sekarang malah membuatnya tidur, apa tidak menyia-nyiakan malam yang indah ini?"

   "Aku tidak pergi mencarinya, dia sendiri yang pulang."

   "Tak heran orang bilang kau ini punya peran yang lihai, bukan hanya orangnya pulang, hatinya pun kembali kau genggam."

   "Kalau aku hanya menginginkan orangnya pulang, buat apa aku berjerih-payah."

   Mendengar percakapan mereka, sekujur badan Sim Bik-kun terasa dingin kaku, hati pun seperti tenggelam ke dasar jurang.

   "Dalam hal ini kau telah melakukan perbuatan terbaik, maka Thian Sun ingin bicara langsung dengan engkau."

   "Kapan?"

   "Waktu padang rembulan."

   "Dimana?"

   "Cui-gwat-lo di Se-ouw."

   "Aku pasti datang tepat waktu."

   "Besok pagi kau harus sudah berangkat, pergi bersamaku, kita pergi dulu ke Jiu-hoa-tong menunggunya."

   "Boleh."

   "Kau tega meninggalkan dia seorang di sini?"

   "Dia sudah mau pulang sendiri, yakin tidak akan pergi lagi."

   "Kau yakin?"

   "Sebab aku tahu, tiada tempat lain dimana dia bisa pergi."

   Hoa Ji-giok cekikikan geli.

   "Kau memang serba pintar ...."

   Itulah percakapan dua orang yang didengar Sim Bik-kun semalam.

   Sampai sekarang, sorot matanya masih diliputi rasa sedih dan derita.

   Hong Si-nio maklum akan kepedihannya.

   Siapa pun orangnya, setelah sadar dirinya dibohongi, dirinya dijual oleh suami sendiri, hatinya jelas takkan merasa senang.

   Dengan berlinang air mata, Sim Bik-kun melanjutkan.

   "Kali ini sebetulnya aku bertekad tidak akan meninggalkan dia lagi, aku ... sesungguhnya tiada tempat kemana aku bisa pergi. Tapi setelah mendengar percakapan mereka, sehari tinggal lebih lama di sana sudah tidak betah lagi, kalau bertahan di sana, mungkin aku bisa gila dibuatnya."

   "Maka begitu dia pergi, kau pun minggat dari sana."

   Sim Bik-kun manggut-manggut.

   Bukan hanya tiada tempat kemana dia bisa pergi, malah seorang famili, seorang teman pun ia tidak punya.

   Maka secara diam-diam ia berlari dan bersembunyi di hotel kecil ini, diam-diam menghabiskan air matanya.

   Arak getir masuk perut berubah menjadi air mata.

   Mengawasi orang, tiba-tiba Hong Si-nio tertawa, katanya lembut.

   "Sekarang aku ingat satu hal."

   "Hal apa?"

   Tak tahan Sim Bik-kun bertanya.

   "Sepertinya kau dan aku belum pernah minum arak bersama."

   "Ya, belum pernah."

   "Apa salahnya hari ini kita minum bersama sampai mabuk?"

   Tak menunggu reaksi Sim Bik-kun, mendadak ia berlari keluar seraya berteriak.

   "Ambilkan arak, botol besar ukuran 20 kati."

   Betapapun baik kwalitas arak, dalam kondisi mereka sekarang, tetap menjadi arak getir.

   Demikian dalam angan-angan Sim Bik-kun, kehidupan ini memangnya mirip secawan arak getir.

   Hong Si-nio sudah menghabiskan dua cawan arak, cawan besar.

   Tapi cawan Sim Bik-kun masih penuh, setetes pun belum dimium.

   "Kau tidak minum?"

   "Aku tidak ingin mabuk."

   Hong Si-nio mengkerut alis.

   "Kapan hidup ini pernah mabuk, kenapa kau tidak ingin mabuk?"

   "Sebab aku sudah mengerti maksudmu."

   "Aku punya maksud apa?"

   "Kau ingin melolohku minum sampai mabuk, lalu meninggalkan aku di sini, kau sendiri akan pergi ke Seouw."

   Hong Si-nio menyengir lebar, tawanya kecut.

   "Aku tahu kau pasti akan menyusul Lian Shia-pik, pergi mencari Thian Sun, kesempatan baik kali ini takkan kau sia-siakan,"

   Hong Si-nio tertawa getir.

   "Awalnya kau bukan orang yang suka curiga, kenapa sekarang berubah?"

   "Karena aku dipaksa harus berubah."

   "Memangnya kau juga ingin mencari mereka?"

   "Memangnya aku tidak boleh pergi?"

   "Kau tidak boleh."

   "Kenapa?"

   "Karena bila kedatangan kita diketahui mereka, jangan harap kau bisa hidup lagi."

   "Maka kau melarang aku pergi?"

   "Sebab kau tidak perlu berkorban lagi."

   "Tapi kau boleh pergi, kau siap mati."

   Sejenak Hong Si-nio diam, lalu bertanya.

   "Tahukah kau, aku ini orang macam apa?"

   "Bukan saja cantik rupawan, cerdik pandai, jiwamu lapang dada, terbuka, setua ini usiamu, hidupmu lebih senang, lebih gembira dibanding orang lain, jauh lebih bahagia dibanding aku."

   Hong Si-nio tertawa lagi, tawanya membayangkan betapa kosong hatinya, betapa sedih dan merana. Cukup lama baru membuka suara.

   "Aku ini anak sebatang-kara, sejak kecil tidak punya rumah tiada keluarga tanpa famili, anak lain masih mengompol di pelukan ibunya, aku sudah terlunta-lunta di jalanan, kehangatan keluarga hakikatnya tidak pernah aku rasakan barang sehari saja.

   "Waktu usiaku belasan tahun, aku sudah pandai naik kuda yang berlari paling kencang, minum arak paling keras, meski dari kwalitas paling rendah, bermain golok yang paling cepat, berpakaian baju paling baru dan bagus, berkenalan dengan teman yang punya kuasa.

   "Sebab aku mengerti, perempuan macamku ini, kalau mau berkecimpung di Kangouw, maka harus banyak belajar cara bagaimana melindungi diri sendiri, sedikit meleng atau kendor kewaspadaan, mungkin sudah lama aku 'dimakan' oleh orang, sisa tulang pun susah dicari lagi."

   "Banyak orang menganggap aku hidup senang, karena aku sudah belajar menelan air mata ke dalam perut.

   "Tahun ini usiaku sudah tiga puluh lima, masih seperti dua puluh tahun lalu, tiada rumah, tanpa famili, tiap datang tahun baru, seorang diri diam-diam aku menyembunyikan diri.

   "Sebab tidak kubiarkan orang lain tahu, melihat aku mengucurkan air mata."

   Sampai di sini ia mengangkat kepala, menatap Sim Bik-kun.

   "Kau juga perempuan, kau tahu apa yang diharapkan, didambakan seorang wanita."

   Sim Bik-kun menundukkan kepala.

   "Keluarga bahagia, anak yang patuh, suami yang pengertian, kehidupan nan tentram ... semua itu adalah harapan dan dambaan setiap perempuan, sebab yang mereka inginkan bukan impian muluk, bukan barang mewah, tapi kebutuhan tiap keluarga."

   "Satu pun aku tidak punya apa-apa."

   Hong Si-nio menggengam tangan Sim Bik-kun.

   "Coba kau pikir, perempuan seperti aku ini, apa alasanku untuk mempertahankan hidup?"

   Sim Bik-kun tertawa, sama-sama terawa getir.

   "Dan aku? Apa alasanku mempertahankan hidup?"

   "Paling tidak ada satu alasan."

   "Siau Cap-it Long?"

   Hong Si-nio manggut.

   "Paling tidak, ada orang yang mencintaimu dan kau juga mencintainya."

   Berdasar alasan ini, cukup bagi seorang perempuan untuk mempertahankan hidup.

   "Maka kau tidak boleh mati, kau tidak boleh pergi."

   Hong Si-nio berdiri.

   "Bila bertemu dia, pasti kusuruh dia ke tempat ini mencarimu."

   "Kau kira aku akan menunggunya di sini?"

   "Kau harus menunggunya di sini."

   "Kalau kau menjadi aku, kau mau menunggu?"

   "Kalau ada seorang yang kucintai dan mencintaiku, berapa lama aku harus menunggu, aku akan selalu menunggunya."

   Mengawasi mata orang yang berlinang air mata, Sim Bik-kun mendelu dibuatnya.

   "Kalau begitu, yang harus menunggu dia di sini adalah kau, bukan aku."

   Kata-katanya sungguh mirip sebatang cemeti. Hong Si-nio merasakan sekujur badannya mengejang, cemeti ini tepat menghujam ke hulu hatinya, tempat yang paling lemah di tubuhnya. Sim Bik-kun berkata kalem.

   "Sekarang aku bukan lagi perempuan yang lemah, perempuan yang tidak tahu apa-apa, maka banyak persoalan yang kau anggap aku tidak bisa mengerti, semua sudah kupahami."

   "Kau ...."

   Teriak Hong Si-nio. Sim Bik-kun menukas ucapannya.

   "Maka kalau aku punya alasan untuk hidup, demikian pula engkau, kau boleh pergi menyerempet bahaya, kenapa aku tidak?"

   Ucapannya bernada tegas penuh tekad, meski bernada sedih.

   "Kelahiranmu berbeda dengan kelahiranku, tapi sekarang, nasibmu sama dengan nasibku, kenapa kau menyangkal akan hal ini?"

   Dengan tajam ia mengawasi Hong Si-nio, sorot matanya penuh pengertian dan simpati.

   Hong Si-nio juga tengah mengawasinya.

   Mereka berdua saling tatap, saling pandang ...

   dua cewek yang pasti berbeda, seperti dibelenggu oleh tambang yang sama ....

   Apakah nasib itu? Bukankah nasib merupakan sebuah rantai gembok yang tidak kelihatan.

   Apakah kasih? Apakah simpati? Ya, mirip sebuah rantai gembok yang tidak kelihatan.

   XXI.

   PERAN SI TUKANG PERAHU Kota Hang-ciu Setelah keluar dari kota Yong-kim-bun, melewati Lam-ping-am-ciong, perahu terus didayung menuju ke Sam-tham-ing-gwat, waktu mereka tiba di Se-ling-kio, hari sudah mendekati senja.

   Riak lembut di permukaan danau membayangi kemilau cahaya senja, dipandang dari kejauhan bagai kemilau permata bertaburan.

   Seorang nelayan dengan topi hitam menutupi separoh wajah, tengah berjongkok di ujung jembatan menjulurkan joran memancing ikan.

   Dari perahu pesiar di kejauhan sana, berkumandang alunan nyanyian merdu yang mengasyikan.

   "Kau pernah ke sini?"

   Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tanya Hong Si-nio. Sim Bik-kun mengangguk, bola matanya indah, membayangkan selintas kenangan nan sendu. Dulu bukankah dia pesiar di danau ini bersama Lian Shia-pik.

   "Kau tahu dimana letak Cui-gwat-lo?"

   Sim Bik-kun menggeleng kepala.

   Pemilik perahu yang mereka tumpangi adalah ibu beranak yang juga menjadi tukang perahu, sang putri tampak serba kasar dan kuat, rambut tak tersisir, pakaian pun carut-marut, namun masih nampak gerakgeriknya yang gemulai.

   Mendadak ia mengulur tangan menunjuk ke depan.

   "Bukankah Cui-gwat-lo ada di sana?"

   Yang ditunjuk adalah sebuah perahu pesiar yang berada jauh di tengah danau.

   "Apakah Cui-gwat-lo adalah perahu pesiar itu?"

   Tanya Hong Si-nio. Giliran tukang perahu menjawab.

   "Di danau ini ada tiga buah perahu pesiar paling besar, yang pertama bernama Put-kik-wan, yang kedua bernama Su-hoat-hong dan yang ketiga adalah Cui-gwat-lo."

   "Berapa besar perahu pesiar itu,"

   Tanya Hong Si-nio.

   "Wah, besar sekali,"

   Sahut tukang perahu atau sang ibu.

   "di atas perahu sekaligus bisa disiapkan belasan meja perjamuan."

   Setelah menarik napas dengan nada kepincut ia meneruskan menutur.

   "Entah kapan aku bisa memiliki perahu pesiar seperti itu, tidak sia-sia seumur hidup aku bekerja sebagai tukang perahu."

   Ia mengawasi sepasang jari tangannya, tangan perempuan umumnya halus runcing, tangannya justru kasar berkulit tebal.

   Maklum perempuan yang mencari nafkah di atas air, mereka bekerja tak kenal lelah, tidak ringan tak kenal berat, sepanjang hari bekerja, namun hasilnya tidak cukup untuk hidup satu hari, betapa lara dan rudin hidup mereka dapatlah dibayangkan.

   Mengawasi tangan orang, mendadak Sim Bik-kun bertanya.

   "Biasanya sehari kalian bisa dapat berapa duit?"

   Tukang perahu menyengir getir.

   "Mana bisa tiap hari dapat duit, umpama ada penumpang yang naik perahu, paling dapat upah belasan keping uang tembaga, memang di musim semi lebih mending ...."

   Bicara tentang musim semi, matanya tampak bersinar. Musim semi adalah hari-hari panjang yang diharapkan tiap nelayan di danau ini. Padahal saat itu pertengahan musim rontok. Mendadak Sim Bik-kun tertawa lebar.

   "Apa kalian tidak ingin pesiar ke kota barang beberapa hari? Kecuali ongkos perahu ini, nanti kutambah lima tahil perak?" * * * * * Setelah magrib. Di perahu itu tinggal dua orang tukang perahu, yaitu seorang ibu dan seorang putrinya. Lalu Hong Si-nio dan Sim Bik-kun kemana? Bukankah mereka tadi menumpang perahu ini? Sim Bik-kun sekarang adalah seorang ibu. Seorang ibu biasanya jarang menarik perhatian orang, ia tidak suka ada orang mengenali dirinya. Maka Hong Si-nio pun menjadi putri tukang perahu. Entah bagaimana mereka mempersiapkan diri, yang pasti wajah mereka sudah berubah.

   "Kau masih mengenalku?"

   Tanya Sim Bik-kun. Hong Si-nio tertawa.

   "Sungguh tak nyana, ternyata kau pandai tata rias."

   "Tata riasku paling hanya bisa mengelabui mata orang di malam hari, sementara masih boleh diandalkan."

   "Waktu bulan purnama, bukankah hari sudah malam?"

   "Makanya kalau siang jangan kita muncul di depan umum."

   "Apa kau tidak mendengar orang bilang Hong Si-nio adalah kucing malam?"

   Malam ini tanggal tiga belas, masih dua hari baru terang bulan. Rembulan malam ini belum bundar, belum bulat, namun cahayanya yang kemilau di permukaan air menambah indahnya pemandangan malam di danau.

   "Menurut pendapatmu, orang yang bernama Thian Sun, esok lusa mungkin tidak datang?"

   "Pasti datang, aku malah kuatir kalau dia datang, kita tidak bisa mengenalinya."

   "Bila dia datang, kita pasti dapat mengenalinya."

   "Kau yakin?"

   "Paling sedikit kita punya tiga sumber."

   "Coba jelaskan."

   "Yang pertama, kita tahu orang itu berperawakan kecil kurus, selalu membawa anjing."

   "Kedua, kita tahu dia akan datang ke Cui-gwat-lo."

   "Ketiga, kita tahu kalau Lian Shia-pik akan bertemu dia."

   "Walau kita tidak mengenalinya, tapi kita bisa melihat anjing, mengenal Cui-gwat-lo, juga mengenal Lian Shia-pik."

   Hong Si-nio benar-benar penuh keyakinan, sayang ia melupakan satu hal.

   Umpama kau betemu Thian Sun, memangnya apa yang bisa kau lakukan? Bulan merambat kian tinggi, meski musim rontok telah pertengahan, air danau terasa dingin.

   Duduk di haluan perahu, Hong Si-nio melepas sepatu kain hijaunya, dengan sepasang kakinya yang telanjang bermain air.

   Sim Bik-kun tengah mengawasinya, menatap sepasang kakinya, mendadak ia berkata.

   "Kabarnya sekali tendang kau pernah merobohkan Poan Thian-hun dari Ki-lian-san."

   BENTROK PARA PENDEKAR Karya Gu Long - Gan K.H. Bagian 14 Hong Si-nio manggut-manggut saja.

   "Kau menendang dengan sepasang kakimu itu?"

   "Hanya dengan satu kaki."

   Sim Bik-kun tertawa geli. Sudah lama ia tidak pernah tertawa, di hadapannya terbentang pemandangan danau nan permai, hawa nan sejuk, hatinya terbuka, pikiran jernih, tawa nan sejuk. Dengan tersenyum lebar ia berkata.

   "Sepasang kakimu itu rasanya tidak mirip kaki yang dapat menendang mati orang."

   

   first share di Kolektor E-Book 14-08-2019 21:44:42

Rumah Judi Pancing Perak -- Khu Lung Medali Wasiat -- Yin Yong Beruang Salju -- Sin Liong

Cari Blog Ini