Ceritasilat Novel Online

Dendam Iblis Seribu Wajah 5


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 5



Dendam Iblis Seribu Wajah Karya dari Khu Lung

   

   Sesosok tubuh perempuan tahu-tahu telah menelungkup di atas dadanya dan menangis tersedu-sedu.

   Pertama-tama Tan Ki tertegun, dia merasa heran, ketika dia melihat jelas siap perempuan itu, rasa tertegunnya berubah menjadi terkejut.

   Tanpa sadar dia berseru "Mengapa kau juga datang ke sini?"

   Begitu melihat Tan Ki, hati perempuan itu langsung diserang oleh kegembiraan yang meluap-luap.

   Rasa sedih dan gundahnya selama beberapa hari, bagai terlampias keluar dalam waktu seketika.

   Tentu saja dia tidak mendengar jelas ucapan Tan Ki.

   Anak muda itu menarik nafas panjang-panjang.

   Dia memaksakan diri untuk mengangkat sebelah lengannya dan menggenggam pergelangan tangan perempuan itu.

   "Cici, jangan menangis lagi. Urusan apapun sulit dibereskan dengan deraian air mata saja."

   Katanya menghibur. Setelah menangis beberapa saat, perempuan itu mendongakkan wajahnya yang masih basah dengan air mata.

   "Apakah kau tidak membenci aku? Kau tidak kesal karena aku mengingkari janjiku sendiri? Lagipula pada waktu itu aku tidak tahu bahwa orang itu adalah dirimu, sehingga menggunakan carayang begitu rendah yakni ilmu tarian iblis dan membuat dirimu terluka"

   Tan Ki tidak membiarkan dia melanjutkan kata-katanya. Dia segera menukas.

   "Urusan yang sudah lewat tidak perlu dibicarakan lagi. Apakah kau tahu tempat apa ini?"

   Rupanya, perempuan yang baru saja masuk itu tidak lain daripada Siau Yau Sian-li Liang Fu Yong yang membuat Tan Ki hampir kehabisan akal membimbingnya ke jalan yang benar. Tampak Liang Fu Yong tertawa getir.

   "Seluruh gedung ini merupakan villa kepunyaan Sam-jiu San Tian-sin Oey Kang."

   "Mengapa kau juga berada di sini?"

   Pertanyaan ini membuat Liang Fu Yong tertegun.

   Hari itu, di bawah paksaan Oey Kang dan demi keselamatan Tan Ki, mau tidak mau dia terpaksa ikut dengan iblis tersebut.

   Siapa kira, meskipun usia orang ini sudah di atas lima puluh tahun tetapi gairahnya masih berkobar-kobar.

   Yang diinginkannya, justru tubuh perempuan itu.

   Di hadapan Tan Ki, mana berani dia mengucapkan kata-kata ini.

   Hatinya merasa hina dan malu bukan kepalang.

   Meskipun tekadnya sudah bulat untuk berubah dan tidak pernah mengabulkan permintaan iblis tersebut, tetapi dia justru menerima banyak hinaan.

   Oleh karena itu, begitu bertemu dengan Tan Ki, dia langsung mencurahkan segala keperihan hatinya dalam bentuk tangisan.

   Hukum karma memang ada.

   Seakan semuanya merupakan takdir dari Yang Kuasa.

   Kalau dulu dia sering memaksakan kehendaknya agar orang lain memberi kepuasan sesaat kepadanya, siapa yang berani membangkang, pokoknya mati.

   Sekarang, dia diperlakukan seperti itu juga Hal ini merupakan hukum karma yang akibatnya terasa langsung.

   Tan Ki melihat dia termenung-menung tanpa memberikan jawaban untuk sekian lama, dia segera menduga bahwa perempuan itu mempunyai kesulitan yang tidak dapat diutarakan.

   Oleh karena itu Tan Ki segera tersenyum simpul.

   "Kalau begitu kau juga diculik ke mari?"

   Liang Fu Yong menganggukkan kepalanya sambil tertawa getir.

   "Mengapa tidak berusaha untuk melarikan diri? Berdiam di sini sama saja menunggu kematian di sarang harimau."

   Kata Tan Ki kembali. Tampak Liang Fu Yong tertawa sumbang.

   "Urusan ini kalau dibicarakan memang mudah. Karena ada sesuatu yang diinginkan Oey Kang dari diriku, maka aku diberi kebebasan. Tidak terkekang sedikitpun. Tetapi begitu melangkah keluar dari beberapa bangunan ini, setiap saat dan setiap waktu alat rahasia yang dipasang akan bergerak atau kita akan terperangkap dalam barisannya yang aneh. Lagipula, ketiga puluh enam jen-deral langit yang merupakan bawahan Oey Kang, setiap orangnya mempunyai kepandaian masing-masing yang istimewa"

   Tiba-tiba Liang Fu Yong merasa, apabila kata-katanya diteruskan, tetap saja ia tidak bisa merubah keadaannya, oleh karena itu dia segera mengubah bahan pembicaraan sambil tersenyum simpul.

   "Tadi mulutmu seperti sedang mengha-palkan pelajaran, apakah kau sedang memikirkan dirimu yang belum pernah mempelajari Lwe Kang sehingga merasa putus asa?"

   "Betul"

   Liang Fu Yong tertawa lebar.

   "Bagus sekali. Ilmu Lwe Kang maupun pernafasan, Cici pernah belajar sedikit. Di mana letak kesulitannya, sekarang boleh kau utarakan. Coba lihat apakah aku dapat mencernakan artinya."

   Tampang Tan Ki menjadi penuh semangat.

   Hampir saja dia melonjak bangun.

   Urusan ini sudah lama menggelayuti hatinya dan tidak berhasil mendapat pemecahannya.

   Tetapi karena dirinya telah dikenal sebagai Cian bin mo-ong yang telah menggemparkan dunia persilatan, dia tidak berani meminta petunjuk dari golongan lurus.

   Oleh karena itu, selama ini dia hanya menghapal mati ilmu tersebut dan tidak tahu cara penggunaannya.

   Tan Ki menundukkan kepalanya dan berpikir sejenak.

   "Apa yang disebut dengan Su-siang (Empat Persamaan)?"

   Hati Liang Fu Yong menjadi terkejut mendengar pertanyaannya.

   "Masa pelajaran serendah ini kau juga tidak paham?"

   Wajah Tan Ki yang tampan jadi merah padam. Dia menyahut dengan tersipu-sipu.

   "Ilmu silatku keseluruhannya merupakan hasil dari belajar sendiri. Tidak ada guru yang mewariskan. Tentu saja aku jadi tidak mengerti."

   Liang Fu Yong tersenyum.

   "Tidak heran kau tidak bisa menolak daya tarik dari ilmu tarian iblisku."

   Dia merandek sejenak. Tiba-tiba ia teringat kejadian tempo hari. Tanpa dapat ditahan lagi wajahnya jadi merah padam. Rasa malunya semakin bertambah. Setelah terdiam agak lama, perlahanlahan dia menggigit bibirnya sendiri dan melanjutkan kembali.

   "Renungan terpusat, cinta kasih diabaikan, tubuh kosong hawa murni terhimpun, hati mati jiwa hidup, Yang bangkit Im tenggelam. Itu yang disebut sebagai Empat Persamaan. Hal ini berarti ketika kau duduk bersila dan bersemedi, tubuh harus dilemaskan agar hawa murni berjalan dengan lancar. Pikiran tidak boleh melayang-layang, jiwa tidak boleh terbawa emosi."

   Pada dasarnya Tan Ki adalah seorang pemuda yang mempunyai bakat tinggi.

   Kecerdasannya melebihi orang lain.

   Kalau tidak, dengan menyembunyikan diri selama sepuluh tahun, mana mungkin dia bisa mempelajari sendiri keenam puluh empat kitab yang ditemukannya bahkan kemudian dapat dimanfaatkan untuk menghadapi musuh.

   Mendengar penjelasan dari Liang Fu Yong, dia langsung hapal di luar kepala.

   Menanti sampai keterangannya usai, dia langsung bertanya lagi "Cici, apa artinya menyembunyikan di dalam perahu?"

   "Badan perahu mempunyai bobot yang berat. Kalau berada di atas air, gerakannya jadi lancar, tetapi mudah terbakar api. Hal ini berarti gerakan harus lancar bagai perahu dalam air tetapi hati tidak boleh mudah terbakar. Dalam keadaan yang tenang, latihan baru bisa berhasil dan ibarat kata tubuh kita mempunyai bobot yang berat ibarat perahu itu sendiri."

   Sembari mendengar keterangan Liang Fu Yong, bibir Tan Ki terus mengembangkan senyuman dengan kepala terangguk-angguk.

   Perasaan hatinya demikian terharu sehingga tangannya yang mencekal pergelangan tangan Liang Fu Yong pun terus bergetar.

   Dia sendiri sadar bahwa ilmu yang dipelajarinya ibarat masakan kekurangan bumbu.

   Dia tidak bisa mengimbangi tenaga dalamnya dengan baik.

   Hal ini karena dia belum pernah mendapat bimbingan seorang ahli.

   Dia juga tidak paham cara menggunakan daya im untuk menambal tenaga yang-nya yang mana merupakan pelajaran tingkat tertinggi dalam ilmu silat.

   Meskipun dia sudah hapal luar kepala kitab yang ditemukannya, tapi tanpa adanya pengarahan dari seorang guru, dia pun tidak mempunyai kesempatan untuk melatihnya.

   Saat ini, lewat penjelasan Liang Fu Yong, kesadarannya menjadi terbangun.

   Tanpa dapat ditahan lagi, bibirnya terus tersenyum.

   Otaknya bagai disengat aliran listrik, banyak bagian yang tadinya kurang paham menjadi terang seketika.

   Begitu terharunya Tan Ki sampai air matanya menetes dengan deras.

   Liang Fu Yong mengeluarkan sapu tangan dari saku pakaiannya.

   Dengan penuh perhatian, dia mengusap air mata yang membasahi pipi pemuda tersebut.

   "Tidak ada hujan tidak ada angin malah menangis, memangnya tidak takut menjadi bahan tertawaan kalau sampai ada yang melihatnya."

   Dengan rasa haru Tan Ki menyahut "Cici, kunci pelajaran Lwe Kang dan pernafasan ini mempunyai kaitan yang erat dengan diriku. Aku ingin menggunakannya untuk membalaskan dendam ayahku. Aku aku terlalu bahagia."

   Jari jemari Liang Fu Yong yang lentik segera menutup mulutnya dengan lembut Dia mencegah Tan Ki berkata lebih lanjut. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman yang manis.

   "Aku tahu kau pasti ingin mengungkit segala budi, kasih, membuat orang yang mendengarnya menjadi salah tingkah. Lebih baik kau hemat saja tenagamu itu."

   Berkata sampai di sini, dia langsung teringat keadaannya sendiri yang terkenal jalang dan rendah.

   Bahkan keadaan yang memalukan inilah yang membuat dirinya menjadi terkenal.

   Mana berani dia mengharap cinta kasih dari adiknya, Tan Ki? Berpikir sampai di sini, segulungan perasaan yang pedih segera menyelimuti hatinya.

   Tanpa dapat ditahan lagi, air mata kepiluan mengalir dengan deras.

   Dengan tersendatsendat dia melanjutkan kata-katanya "Cici juga tidak mengharapkan balasan darimu.

   Asal di sanubarimu masih terselip bayangan Cici, hati ini sudah puas sekali"

   Melihat Liang Fu Yong tiba-tiba menangis dengan terisak-isak dan sebelumnya tertawa senang, dia malah menjadi kalang kabut.

   Dengan termangu-mangu Tan Ki memandangnya lekat-lekat.

   Dia tidak berani mengajukan pertanyaan apapun.

   Setelah puas menangis, kesedihan hati Liang Fu Yong bagai sudah terlampias semua.

   Dia mengusap sisa air matanya sambil tersenyum.

   "Adik, kalau kau masih mempunyai kesulitan lain yang belum kau mengerti, cepat katakan. Jangan sampai"

   Belum lagi perkataannya selesai, tiba-tiba telinga mereka menangkap suara tertawa yang panjang.

   Keduanya jadi terkejut setengah mati.

   Mereka segera memalingkan wajahnya.

   Entah sejak kapan, di depan pintu sudah berdiri Sam-jiu San Tian-sin Oey Kang.

   Ilmu orang ini sudah mencapai taraf tertinggi.

   Gerakan tubuhnya bagai hembusan angin.

   Kedatangannya tidak menimbulkan suara sedikitpun.

   Meskipun ilmu Tan Ki sendiri sudah termasuk lumayan dan indera pendengarannya sangat tajam, dia juga tidak tahu kapan orang ini muncul di kamar tersebut.

   Terdengar Oey Kang tertawa terbahakbahak.

   Dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam.

   "Rupanya kalian sudah saling mengenal. Hal ini malah kebetulan, aku tidak mengakukan lidahku ini untuk memperkenalkan kalian."

   Katanya sambil cengar-cengir.

   Pertama kali dia melihat Tan Ki, yakni ketika dia membawa pergi Liang Fu Yong.

   Namun saat itu Tan Ki merias dirinya menjadi laki-laki setengah baya.

   Sekarang Tan Ki sudah kembali pada wajah aslinya.

   Oleh karena itu, dia tidak mengetahui bahwa kedua orang yang pernah ditemuinya itu merupakan orang yang sama.

   Tan Ki tertawa dingin.

   Baru saja dia ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba dia melihat tubuh Liang Fu Yong bergetaran, mimik wajahnya menyiratkan perasaan takut yang dalam.

   Kepalanya tertunduk, tangannya terkulai.

   Bahkan bernafaspun tidak berani kuatkuat.

   Tampaknya dia takut sekali melihat orang ini.

   Hati Tan Ki merasa heran bukan kepalang, kata-kata yang tadinya sudah siap dilontarkan jadi tertelan kembali.

   Dengan wajah datar dia melihat perkembangan yang akan dihadapi.

   Begitu matanya beralih, tiba-tiba wajah Oey Kang berubah garang.

   Suaranya pun dingin sekali.

   "Untuk apa kau berdiri di situ? Barusan aku membawa seseorang, sekarang ada di ruangan sebelah. Cepat ke sana dan layani dia!"

   Bentaknya dengan suara keras.

   Mendengar ucapannya, wajah Liang Fu Yong berubah hebat.

   Hawa amarahnya hampir meledak, tetapi dia seperti teringat akan sesuatu hal, sehingga hatinya menjadi bimbang.

   Kemudian dia mengangkat kepalanya perlahan-lahan dan melirik ke arah Tan Ki.

   Dengan perasaan berat dia melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu.

   Lirikan mata menjelang kepergiannya seakan mewakili ribuan kata-kata yang ingin diucapkan.

   Juga tersirat cinta kasihnya yang dalam.

   Semuanya tertera jelas dalam sinar matanya.

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tan Ki sendiri seakan menemukan sesuatu rahasia dengan tidak diduga-duga.

   Hatinya bergetar, nyeri dan ngilu.

   Tanpa sadar, dia memperhatikan bayangan punggung Liang Fu Yong dengan termangu-mangu.

   Rasanya dia ingin mengucapkan beberapa patah kata untuk menghibur hati perempuan itu, tetapi kata-kata yang sudah sampai di ujung lidah, akhirnya ditariknya kembali.

   Bayangan tubuh berkelebat, sesosok bayangan yang mengenaskan menghilang di balik pintu.

   Oey Kang menunggu sampai Liang Fu Yong pergi jauh, lalu bibirnya pun mengembangkan seulas senyuman yang licik.

   "Bagaimana? Apakah kau sudah merubah keputusanmu?"

   Tan Ki menggertakkan giginya erat-erat.

   "Kalau kau mengharapkan aku menuruti kemauanmu, maka kau sedang bermimpi."

   Sahutnya dengan nada penuh kebencian. Oey Kang tertawa dingin.

   "Sungguh kata-kata yang congkak. Kau sudah menelan pil pembuyar hawa murni milikku, seluruh tenaga dalammu lenyap. Kalau suatu hari kau tidak meminum obat penawarnya, berarti satu hari kau kehilangan kebebasanmu. Biarpun dua tokoh sakti di dunia ini bergabung, mereka juga belum tentu dapat menyembuhkan dirimu. Kecuali kalau kau membuka mulut memohon kepadaku. Tetapi kalau ditilik dari adatmu, mungkin kau lebih suka menerima penderitaan ini. Tiga atau lima hari kemudian, aku akan menjengukmu kembali. Pertimbangkanlah baik-baik."

   Selesai berkata, dia mendongakkan wajahnya dan tertawa terbahak-bahak.

   Tanpa menunggu jawaban dari Tan Ki, dia langsung membalikkan tubuhnya dan meninggalkan kamar tersebut.

   Saking jengkelnya, sepasang mata Tan Ki sampai mendelik lebar-lebar kemudian membuka mulut mencaci maki.

   Hari lambat laun mulai menggelap.

   Ruangan itu tidak mempunyai penerangan setitikpun.

   Sekitar sunyi senyap, tidak tampak bayangan seorangpun.

   Tanpa sadar Tan Ki menarik nafas panjang.

   Berulang kali dia menyalahkan nasib yang seakan mempermainkannya.

   Di benaknya terlintas sebuah ingatan.

   Tiba-tiba penjelasan Liang Fu Yong tentang kunci ilmu pernafasan dan Lwe Kang terngiang kembali di telinga.

   Timbul secercah harapan dalam hatinya.

   "Penjelasan ini berisi ilmu tingkat tinggi dari kitab yang kutemukan. Mengapa aku tidak mencobanya? Siapa tahu di dalam kesalahan malah terselip kebenaran yang mana dapat menyembuhkan penyakit aneh yang reaksinya lambat ini?"

   Katanya kepada diri sendiri.

   Dengan membawa pikiran demikian, cepat-cepat dikosongkannya pikiran dan ia memejamkan mata untuk berlatih.

   Begitu perasaannya tenang, indera mata maupun pendengarannya menjadi tajam.

   Entah kapan, tiba-tiba telinganya menangkap suara tawa cekikikan yang terpancar sayup-sayup dari ruangan sebelah.

   Setelah didengarkan dengan seksama, Tan Ki segera tahu bahwa suara tawa tadi berasal dari ruangan sebelah kiri.

   Jumlahnya tidak lebih dari dua orang.

   Untuk sesaat dia jadi tertegun.

   Dia merasa suara itu tidak asing dalam pendengarannya, tetapi dalam keadaan panik, dia malah tidak dapat mengingatnya kembali.

   Sementara hatinya masih terkejut dan terpana, tiba-tiba dia mendengar Liang Fu Yong menarik nafas panjang.

   "Moay Moay, setelah sampai di tempat seperti ini, kau masih mempunyai kegembiraan?"

   Dari ruangan sebelah kiri sayup-sayup terdengar suara tawa yang merdu, disusul dengan suara sahutan seorang gadis.

   "Ketika paman berpakaian hijau itu membawa aku ke mari, memang aku merasa agak takut. Kemudian dia mengatakan bahwa tempat ini bagai istana, di dalamnya banyak permata serta taman yang indah-indah. Pokoknya penuh dengan pemandangan fantasi seperti istana para dewata. Dia juga mengatakan bahwa di sini banyak permainan yang aneh-aneh, maka aku tidak merasa takut lagi."

   "Kau percaya pada ucapannya?"

   "Paman berpakaian hijau itu memperlakukan aku dengan lembut. Mengapa aku harus tidak percaya?"

   Terdengar lagi suara helaan nafas Liang Fu Yong.

   "Tidak kusangka pembawaanmu demikian polos dan menawan hati."

   Mendengar sampai di sini, Tan Ki segera tahu bahwa orang yang mereka katakan adalah Sam-jiu San Tian-sin Oey Kang.

   Diam-diam dia berpikir Gadis ini sungguh lugu.

   Diri sendiri sudah terperangkap dalam sarang harimau, ternyata masih belum sadar.

   Tampaknya dia masih belum tahu bahwa Oey Kang merupakan manusia yang licik dan berhati keji.

   Nalurinya mengatakan bahwa akan terjadi bencana yang dahsyat, hal itu membuat perasaannya jadi bergidik.

   Hatinya tergetar, emosinya pun terbangkit, hampir saja dia tidak dapat mempertahankan diri.

   Dengan panik dia segera menghembuskan nafas panjang dan menghimpun hawa murninya.

   Setelah sibuk sekian lama, akhirnya dia berhasil menekan perasaannya yang gundah.

   Keadaannya menjadi normal kembali.

   Tetapi tubuhnya sudah dibasahi oleh keringat dingin.

   Kurang lebih sepeminum teh kemudian, dia merasa hawa murninya kembali berjalan dengan lancar.

   Segulung demi segulung mengaliri seluruh tubuhnya.

   Di dalam urat darahnya seakan terdapat sebuah selang yang mengalir kian ke mari sesuka hati.

   Perasaannya jadi nyaman seketika.

   Entah kapan, dari ruangan sebelah kiri terdengar lagi suara si gadis "Betul.

   Ketika aku dibawa, aku mendengar sendiri dia mengatakan, berlatih ilmu Tou Li Mi-hun Toa Ceng."

   "Itu dia. Tujuannya membawa kau ke mari justru karena barisan Gadis Pengait Sukma ini. Setahu Cici, barisan ini memang kekurangan seorang anggota. Mungkin dia bermaksud menjadikan dirimu sebagai pelengkap barisan tersebut. Siapa sangka kau malah percaya penuh dengan segala omong kosongnya"

   Tampaknya gadis itu mulai mempercayai kata-kata Liang Fu Yong.

   Hatinya mulai di serang rasa takut.

   Dengan nada gugup dia berkata "Cici, bagaimana baiknya? Ketika aku diculiknya, meskipun ada Ciong San Suang-siu yang melihat, tetapi mereka mana tahu kalau aku terperangkap di tempat ini.

   Cici yang baik, kalau kau bersedia membantu, tunjukkanlah sebuah jalan keluar yang baik agar aku dapat melarikan diri dari tempat ini.

   Dengan demikian kau sudah berbuat kebaikan."

   Berkata sampai di sini, ruangan sebelah menjadi hening kembali.

   Mungkin Liang Fu Yong sedang mengasah otaknya.

   Lama sekali dia tidak berkata apa-apa.

   Keheningan yang berlangsung lama ini membuat perasaan orang menjadi tertekan.

   Pada saat itu, Tan Ki yang berbaring di atas tempat tidur terkejut setengah mati.

   Wajahnya berubah hebat.

   Dia sudah mengenali suara tadi sebagai suara gadis pujaan hatinya, Liu Mei Ling.

   Hatinya menjadi panik, hampir saja dia membuka suara berteriak agar mendapat perhatian dari kedua orang yang ada di ruangan sebelah.

   Namun karena saat itu, latihannya sedang sampai pada masa kritis, biarpun ingin berteriak, tetap saja tidak ada suara yang keluar.

   Saking gelisahnya, mata Tan Ki yang membelalak terasa berkunangkunang dan tubuhnya basah oleh keringat.

   Tepat pada saat itu, telinganya menangkap lagi suara Liang Fu Yong yang bertanya dengan lirih "Moay Moay, apakah kau masih seorang gadis yang suci?"

   Pertanyaan ini diajukan, ruangan sebelahpun menjadi hening kembali.

   Di depan mata Tan Ki seperti muncul bayangan selembar wajah yang polos kekanak-kanakan dan sering tersenyum tersipu-sipu dengan kepala tertunduk dalam-dalam.

   Hampir saja dia tertawa keras-keras.

   Pertanyaan yang diajukan Liang Fu Yong ini rasanya terlalu bodoh? Biar bagaimanapun Tan Ki adalah seorang pemuda yang cerdas, ketika otaknya masih berputar, tiba-tiba kesadarannya tersentak.

   Pertanyaan Liang Fu Yong ini tidak mungkin tanpa sebab musabab.

   Mungkin kediaman Mei Ling bagi Liang Fu Yong merupakan suatu jawaban.

   Terdengar dia menarik nafas panjang sekali lagi.

   "Hal ini semakin mencurigakan. Barisan Gadis Pengait Sukma itu justru membutuhkan para perempuan yang sudah tidak suci lagi. Kalau kau masih perawan, kemungkinan Oey Kang akan mengambil keuntungan lebih dahulu sebelum menggunakan engkau sebagai pelengkap barisannya."

   Hati Tan Ki semakin kelam, dia semakin panik. Rasanya ia ingin dipunggungnya tibatiba tumbuh sayap dan terbang ke samping Mei Ling agar dapat menghiburnya beberapa patah kata. Tiba-tiba terdengar suara tertawa Mei Ling yang merdu.

   "Tidak mungkin. Kalau Siau Moay memilih mati daripada menuruti kehendaknya, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa."

   Liang Fu Yong menghentakkan kakinya sambil menarik nafas dalam-dalam.

   "Aduh, orang sudah kebingungan setengah mati, kau masih tenang-tenang saja bahkan bicara yang bukan-bukan. Kau percaya ilmu silatmu bisa menandinginya? Kau kira bisa dengan mudah melarikan diri dari tempat ini? Orang ini tampangnya ramah hatinya licik. Dia juga pandai menggunakan ratusan macam racun. Dapat membuat orang tertipu dalam situasi apapun. Sejenis obat yang tampaknya biasa-biasa saja sudah dapat membuat pikiranmu menjadi kehilangan akal sehat dan menuruti apa saja yang dikatakan olehnya. Atau pikiran tetap sadar namun seluruh anggota tubuh tidak mempunyai tenaga sama sekali sehingga tidak dapat bergerak serta lemas"

   Baru Liang Fu Yong berkata sampai di sini, Mei Ling sudah membuka mulut dan menangis tersedu-sedu.

   Dia adalah seorang gadis yang lincah dan polos.

   Walaupun pernah mempelajari ilmu silat yang lumayan tingginya, tapi bagaimanapun dia belum melihat dunia yang luas.

   Nyalinya kecil, baru mendengar Liang Fu Yong mengucapkan beberapa patah kata, dia sudah begitu terkejut sehingga ketakutan setengah mati.

   Apalagi berpikir tentang urusan cinta kasih antara laki-laki dan perempuan, apabila dia benarbenar diperkosa, bagaimana dia harus menghabiskan sisa hidupnya di kemudian hari? Semakin dibayangkan hatinya semakin takut, suara tangisnya pun semakin keras dan air matanya tercurah bagai hujan.

   Tan Ki juga panik sekali sampai kening serta dahinya basah oleh keringat.

   Tubuhnya terbaring di atas tempat tidur, matanya mendelik menatap langit-langit kamar.

   Hatinya gelisah dan perih.

   Di benaknya seperti muncul bayangan-bayangan.

   Dia mulai membayangkan yang bukan-bukan.

   Dia seperti melihat tubuh Mei Ling yang telanjang bulat berdiri di hadapannya.

   Sesosok bayangan manusia berwarna hitam sedang memaksakan kehendak setan di bathinnya Tanpa dapat ditahan lagi, Tan Ki menguraikan air mata.

   Dia seperti melihat orang itu sedang memperkosa Mei Ling.

   Tiba-tiba dia merasa aliran darahnya seperti bergejolak dan hampir saja termuntah dari mulutnya.

   Untuk sesaat tenggorokannya menjadi dingin dan matanya gelap.

   Nyaris dia jatuh tidak sadarkan diri.

   Sayup-sayup dia seakan mendengar suara ratapan Mei Ling yang menusuk hatinya dalam-dalam.

   Justru ketika perasaannya gundah dan hatinya gelisah, telinganya menangkap suara langkah kaki seseorang yang menuju ke ruangan sebelah.

   Kemudian terdengar pula suara tawa Oey Kang yang seperti orang gila.

   "Fu Yong, apakah kau sudah menasehati-nya?"

   "Aih, Locianpwe sebagai seorang angkatan tua di dunia Bulim, untuk apa memaksa seorang gadis yang masih suci bersih?"

   Oey Kang tertawa seram.

   "Kau berani mengajari aku?"

   "Tidak, tidak berani"

   Tan Ki mendengar suara sahutannya setiap kali selalu agak gemetar.

   Hal ini benarbenar di luar dugaannya.

   Kalau berani membantah perbuatannya, serta bermaksud menolong Mei Ling, mengapa setelah bertemu dengan iblis ini, dia begitu ketakutan? pikirnya dalam hati.

   Tiba-tiba terdengar suara Mei Ling yang merdu "Biar matipun, Kouwnio tidak akan menuruti kata-katamu!"

   "Moay Moay jangan menimbulkan masalah."

   Kata Liang Fu Yong gugup.

   Suara bentakan dan gerakan kedua orang itu terdengar hampir dalam waktu yang bersamaan.

   Mungkin dalam hati Mei Ling timbul rasa benci sehingga dia nekat menerjang akhirnya malah ditotok oleh Oey Kang.

   Justru karena hal ini pula, kemarahan dalam dada Oey Kang jadi terbangkit.

   "Fu Yong, ikat dia!"

   Teriaknya. Liang Fu Yong panik sekali.

   "Apa yang akan kau lakukan?"

   Oey Kang tersenyum simpul. Senyumnya tersirat keinginan hatinya yang menakutkan.

   "Malam ini rembulan bersinar indah. Kau keluarlah, aku tidak memerlukan pelayananmu lagi di sini."

   Liang Fu Yong mengalihkan pandangannya.

   Mei Ling terkulai di atas tanah dalam keadaan tertotok, dia tidak bergerak sama sekali.

   Namun orangnya masih sadar.

   Wajahnya yang cantik tampak murung, dua bulir air mata membasahi pipinya.

   Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kecantikannya semakin mempesona, bak bunga-bunga yang mekar di pagi hari.

   Tanpa dapat ditahan lagi, Liang Fu Yong menarik nafas panjang.

   "Usia Locianpwe sudah cukup tua, ternyata masih tidak tahu malu bisa menyimpan keinginan untuk merusak sekuntum bunga yang baru mekar"

   Liang Fu Yong sudah mendapat nasehat dari Tan Ki.

   Walaupun hanya beberapa hari, tetapi sudah mampu membedakan antara kebaikan dengan kejahatan.

   Hatinya menjadi sadar.

   Maka ketika mengucapkan kata-kata tadi.

   Suaranya terdengar tegas dan mengandung kemuliaan hatinya.

   Tampaknya Oey Kang merasa sindiran Liang Fu Yong barusan benar-benar di luar dugaan.

   Dia jadi tertegun sekian lama kemudian membentak dengan nada marah.

   "Tutup mulutmu!"

   Lengan kirinya terangkat, dengan gerakan secepat kilat, dia menggerakkan tangannya menggampar.

   Kaki Liang Fu Yong sampai goyah terkena pukulannya, dia tergetar mundur dua langkah.

   Pipi sebelah kirinya langsung merah membengkak dan terlihat bekas guratan telapak tangan.

   Sejak dilahirkan oleh ibunya, Liang Fu Yong mana pernah ditampar orang.

   Kali ini mendapat pukulan Oey Kang, dia jadi tertegun beberapa saat.

   Hatinya terasa perih dan tanpa ditahan lagi, air matanya mengalir turun dengan deras membasahi pipinya.

   Tetapi dengan keras hati dia menggertakkan giginya, dia berusaha untuk tidak mengeluarkan suara ratapan atau isak tangis sedikit juga.

   Malah dia memberanikan dirinya berkata.

   "Adik ini masih muda. Hatinya polos dan lugu. Jiwanya masih belum mengerti kekotoran manusia yang licik seperti dirimu. Kalau kau sampai mencemarkan kesucian dirinya, bukankah berarti kau menghancurkan kebahagiaannya seumur hidup? Kalau kau memang menginginkannya, mengapa tidak mengincar diriku saja?"

   "Kau kira aku tidak berani!"

   Bentak Oey Kang.

   Tubuhnya berkelebat, sembari melangkahkan kaki, lengannya terulur.

   Sekali loncat dia langsung memeluk pinggang Liang Fu Yong yang ramping dan menatapnya lekat-lekat.

   Dari sinar matanya terpancar kebuasan serta kekalapan seekor binatang yang kelaparan.

   Sinar itu demikian menakutkan Liang Fu Yong merasa hatinya tercekat, kaki tangannya menjadi dingin seketika.

   Hatinya sadar bahwa segelombang badai topan akan melanda dirinya.

   Tidak mungkin baginya untuk menghindarkan diri.

   Dengan panik dia memejamkan matanya erat-erat.

   Dua butir air mata bak mutiara justru berderai lagi pada saat seperti ini.

   Mei Ling dalam keadaan tertotok, tubuhnya terasa lemas dan ngilu.

   Dia tidak dapat bergerak sama sekali.

   Matanya melibat Oey Kang memeluk Cici yang dia tidak tahu siapa namanya itu.

   Baru saja dia membuka mulut dengan maksud ingin mencaci maki, tiba-tiba dia melihat Oey Kang menundukkan wajahnya dan mencium Cici tersebut dengan buas.

   Hatinya terperanjat sekali, cepat-cepat dia memalingkan wajahnya ke tempat lain.

   Wajahnya mendadak menjadi panas.

   Dia merasa jengah sekaligus benci.

   Begitu dia memalingkan wajahnya, tiba-tiba terasa serangkum angin yang kuat menerjang ke arahnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah ditendang oleh Oey Kang sehingga menggelinding keluar dari kamar.

   Terdengar suara alat rahasia menimbulkan bunyi yang berderak-derak.

   Dua bilah pintu rahasia yang terbuat dari besi merapat perlahan-lahan.

   Mei Ling jadi tergetar oleh perubahan yang mendadak ini.

   Untuk sesaat dia menjadi bingung tidak karuan.

   Ketika lambat laun dia mengerti maksud serta keinginan Oey Kang, bayangan Liang Fu Yong sudah lenyap di balik pintu besi tersebut.

   Tanpa dapat ditahan lagi, dia segera menangis meraung-raung.

   Tiba-tiba terlihat bayangan berkelebat, Tan Ki sudah menerjang ke tempat itu.

   Tampak mimik wajahnya menyiratkan penderitaan yang luar biasa.

   Dia sama sekali tidak memperdulikan Mei Ling.

   Menghambur sampai di depan pintu, dia langsung mengulurkan tangannya mendorong.

   Jangan kata terbuka, bergeming saja tidak.

   Pada saat itu dia baru merasa tangannya terasa dingin.

   Tentu saja dia terkejut setengah mati.

   Sekarang dia baru melihat kalau pintu itu terbuat dari besi yang kokoh dan tebal.

   Dalam waktu yang bersamaan, harapannya yang menggebu-gebu untuk menolong Liang Fu Yong hampir surut secara keseluruhan.

   Hidungnya terasa perih, air matanya pun berderai Rupanya Tan Ki berhasil menghilangkan pengaruh obat yang diberikan Oey Kang dengan ilmu pernafasan yang kuncinya diberitahukan oleh Liang Fu Yong.

   Mula-mula dia mengalami kesulitan.

   Beberapa kali dia mencoba namun tidak terlihat hasilnya.

   Justru pada saat itulah dia mendengar jeritan Liang Fu Yong.

   Dia segera tahu sesuatu yang tidak beres sedang berlangsung, juga tidak tahu dari mana datangnya kekuatan, dia memberontak sekuatnya dan langsung menerjang keluar.

   Sayangnya pengaruh obat yang diberikan Oey Kang tidak hilang secara tuntas.

   Tenaganya hanya cukup kuat untuk berlari.

   Dia tahu apa yang dilakukan oleh Liang Fu Yong adalah pengorbanan dirinya untuk menolong Mei Ling dari aib.

   Perbuatannya ini membuat orang menaruh hormat padanya.

   Tetapi memikirkan perempuan itu yang masih terkurung di dalam kamar dan apa yang akan dilakukan Oey Kang kepadanya, darah dalam tubuh Tan Ki seakan bergejolak.

   Hatinya terasa sedih dan sakit.

   Dia juga merasa kebencian memenuhi kalbunya.

   Meskipun Mei Ling adalah gadis pujaannya, tetapi pada saat ini dia tidak memperdu-likannya lagi.

   Setelah mengetahui bahwa kedua belah pintu tersebut terbuat dari bahan besi, dia tertegun sejenak, tiba-tiba dia membuka mulut dan berteriak sekeras-kerasnya."

   "Cici, cici, apakah kau mendengar perka-taannku?"

   Dalam keadaan panik serta sakit hati, suara teriakannya menjadi semakin keras dan nyaring, memecahkan keheningan seluruh ruangan dan bahkan bergema ke mana-mana.

   Setelah berteriak satu kali, suasana di dalam kamar itu tetap sunyi senyap.

   Tidak terdengar sahutan dari Liang Fu Yong.

   Semacam firasat buruk melintas di hati kecil Tan Ki.

   Tanpa terasa tubuhnya jadi menggigil.

   Dia berteriak sekali lagi.

   "Cici, jawablah aku Tan Ki!"

   Tetap tidak ada sahutan dari dalam kamar.

   Tiba-tiba Mei Ling juga merasa telah terjadi sesuatu yang tidak beres, air matanya tidak tertahankan lagi.

   Dia menangis tersedu-sedu.

   Ratapan isak tangis menambah kepedihan suasana di luar kamar.

   Hati Tan Ki semakin panik.

   Dengan kalap dia terus berteriak.

   "Cici, Cici, dengarlah ucapanku! Jangan biarkan tua bangka itu menghinamu!"

   Nafasnya mulai tersengal-sengal. Namun dia tidak berhenti. Dia seakan takut Liang Fu Yong tidak mendengarkan kata-katanya.

   "Cici, apakah kau mendengarkan kata-kataku? Cici, apakah kau dengar?"

   Air mata mengiringi suara teriakannya.

   Dia menggerakkan sepasang kepalan tangannya dan memukuli pintu besi tersebut.

   Blamm! Blamm! Blammm! Suara gedoran itu bagai irama kepedihan yang menyayat hati Mei Ling.

   Pintu besi itu juga menjadi batas antara dua alam.

   Tan Ki menjadi kalap.

   Tingkah lakunya seperti orang yang tidak waras lagi.

   Dia terus berteriak, menggedor, meraung-raung "Cici, jangan biarkan tua bangka itu menghinamu! Cici, jangan biarkan tua bangka itu melakukan hal yang tidak senonoh kepadamu!"

   Dalam keadan yang kacau dan bising itu, sayup-sayup terdengar isak tangis berkumandang dari dalam kamar.

   Tan Ki merasa hatinya pedih tidak terkira.

   Keringat dan air mata membaur menjadi satu membasahi pipinya.

   Suaranya semakin lama semakin parau, tetapi dia terus meneriakkan kata-kata yang sama.

   "Jangan biarkan dia menghinamu! Jangan biarkan dia menghinamu!"

   Dia sudah kehilangan ilmu silatnya.

   Tenaga dalamnya hampir lenyap.

   Sepasang kepalan tangannya yang terus menggedor pintu besi tersebut hanya timbul dari emosinya yang meluap-luap.

   Sampai saat itu, sepasang kepalan tangannya sudah merah membengkak, tetapi perasaan Tan Ki seakan menjadi kebal.

   Dia tidak merasa sakit sedikitpun.

   Hatinyalah yang sakit.

   Akhirnya dia terkulai dan duduk di atas tanah.

   Tampangnya kusut.

   Penderitaannya tersirat jelas di wajah.

   Dia juga tampak lelah sekali, perlahan-lahan dia menyandar pada pintu besi dan mengalirkan air mata kepedihan.

   Tiba-tiba serangkum suara tawa yang keras dan panjang berkumandang dari dalam kamar.

   Kemudian disusul dengan jeritan histeris Liang Fu Yong.

   Setelah itu hening kembali.

   Setelah mendengar suara jeritan Liang Fu Yong barusan, benak Tan Ki bagai disengat aliran listrik.

   Otaknya seperti pecah berhamburan seiring dengan suara tersebut.

   Untuk sesaat dia menjadi termangu-mangu, habislah sudah.

   BAGIAN XIII Tan Ki tahu kali ini semuanya sudah selesai.

   Segulung api kemarahan seakan berkobarkobar dalam hatinya! Tampangnya yang terlongong-longong berbaur dengan kepedihan hatinya.

   Penasaran, kecewa semuanya campur aduk menjadi satu.

   Dia tidak mengatakan apa-apa.

   Hanya berdiam diri sambil menguraikan air mata.

   Sampai saat ini, apalagi yang dapat dikatakannya? Dia menyalahkan dirinya sendiri yang tidak berguna, tidak mempunyai kesanggupan untuk menolong Cicinya.

   Telinganya menangkap suara ratapan dan isak tangis yang terputus-putus terpancar dari dalam kamar.

   Suara itu bagai sebilah golok, sebatang pedang yang tajam menusuk dan menyayat kalbunya.

   Yang mana membuat air matanya mengalir tambah deras.

   Sekitar ruangan tersebut masih sunyi senyap seperti sebelumnya.

   Gedung ini sangat besar tetapi seakan tidak ada penghuni lainnya.

   Tidak ada seorang pun yang menyusul ke tempat tersebut untuk melihat apa yang telah terjadi.

   Atau mereka sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Juga tidak terdengar suara seorangpun hanya ratap tangis dari bibir Mei Ling.

   Kurang lebih satu kentungan telah berlalu.

   Hati Tan Ki masih dilanda kesedihan.

   Tibatiba dia mendengar suara alat rahasia yang berderak-derak.

   Setelah berbunyi sesaat, baru pikiran Tan Ki tergugah, tahu-tahu kedua belah pintu besi telah bergerak dan menyusut ke dalam dinding.

   Begitu matanya memandang, dia melihat Liang Fu Yong duduk di ujung tempat tidur tanpa bergerak sedikitpun.

   Dia menundukkan kepalanya dalam-dalam karena malu.

   Rambutnya acak-acakkan, pakaiannya tidak karuan.

   Tampangnya kusut serta terlihat letih.

   Seakan badai topan yang baru melanda dirinya telah menguras habis tenaganya.

   Wajahnya juga pucat pasi, dia telah kehilangan kecemerlangan yang terpancar dari kedua pipinya tadi.

   Oey Kang sendiri entah kabur ke mana.

   Dia tidak berada di dalam kamar.

   Setelah menatap sejenak, perasaan Tan Ki menjadi sedih dan iba.

   Dia memanggil dengan suara sekeras-kerasnya.

   "Cici!"

   Sambil merangkak dan menggelinding, dia menerjang ke dalam kamar.

   Liang Fu Yong yang melihat Tan Ki seperti orang kalap menghambur ke dalam kamar hanya menganggukkan kepalanya sedikit.

   Bibirnya mengembangkan senyuman yang pilu.

   Belum lagi dia sempat mengucapkan sepatah katapun, air matanya sudah berderai dengan keras.

   Di bagian sebelumnya telah diceritakan tentang pengorbanan Liang Fu Yong demi aib yang akan dialami oleh Mei Ling.

   Begitu melihat perempuan itu, Tan Ki segera menerjang ke dalam kamar.

   Liang Fu Yong yang melihat Tan Ki menerjang bagai orang kalap, tidak bergerak sama sekali.

   Dia hanya menganggukkan kepalanya sambil tertawa sumbang.

   Badai topan yang melandanya kali ini seperti membuat dirinya menjadi tua beberapa tahun dalam waktu yang sekejap.

   Butiran air matapun tidak sekilau kemarin-kemarinnya.

   Tan Ki menghambur ke dalam kamar.

   Dia tidak memperdulikan lagi batas antara lakilaki dan perempuan, sekali loncat dia langsung menyusup ke dalam pelukan Liang Fu Yong dan menangis dengan sedih.

   "Cici, mengapa kau begitu ceroboh, mengapa bersedia mengorbankan diri sendiri sehingga menyerahkan tubuhmu?"

   Kata-katanya belum selesai, tenggorokannya seperti tercekat, dia tidak sanggup melanjutkan kembali.

   Air matanya mengalir semakin deras.

   Sekali lagi Liang Fu Yong tertawa sumbang.

   "Laki-laki di kolong langit ini, entah sudah berapa banyak yang pernah berhubungan badan denganku.

   Ditambah satu lagi tidak ada artinya.

   Buat apa kau menangis meraungraung seperti anak kecil?"

   Sahutnya dengan mengeraskan hati. Tampaknya kata-kata Liang Fu Yong benar-benar di luar dugaan Tan Ki. Dia menjadi termangu-mangu untuk beberapa saat.

   "Apakah penghinaan semacam ini tidak membuat hatimu menjadi pedih?"

   Tanyanya penasaran.

   Wajah Liang Fu Yong agak berubah.

   Tangan yang tadinya hampir terulur untuk membelai kepala Tan Ki ditariknya kembali.

   Perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya dan berdiam diri.

   Penerangan di dalam kamar bagai dihimpit oleh kegelapan malam.

   Cahaya semakin mere-mang.

   Tapi Tan Ki dapat melihat jelas sepasang alis Liang Fu Yong yang terus mengerut.

   Isak tangis yang lirih menyusupi indera pendengarannya.

   Untuk sesaat dia menjadi maklum akan isi hati perempuan itu.

   Kata-kata yang diucapkannya tadi pasti bermaksud meringankan beban hatinya.

   Akhirnya Tan Ki menatapnya sambil menarik nafas panjang.

   "Sebetulnya kau juga tidak dapat disalahkan. Kalau ada yang harus disalahkan, Thianlah yang mengatur sampai semua ini terjadi. Sayangnya aku juga tidak mempunyai kebisaan apapun, benar-benar manusia yang tidak berguna!"

   Gerutunya kepada diri sendiri. Liang Fu Yong tertawa getir.

   "Anak bodoh, Oey Kang sudah meninggalkan tempat ini lewat jalan rahasia buat apa kau menyalahkan dirimu sendiri?"

   "Aku benci benci kepada diriku yang tidak bisa memberi pertolongan kepada Cici!"

   Dengan kalap dia meninju ujung tempat tidur sekeras-kerasnya. Sekejap saja tangannya sudah merah membengkak. Liang Fu Yong menangkap pergelangan tangannya dan mencegah Tan Ki meneruskan perbuatan tolol itu.

   "Meskipun telapak tanganmu sampai hancur, tidak akan ada orang yang perduli. Lagi pula kau juga tidak dapat mengubah apa yang telah terjadi. Tenangkanlah hatimu dan dengarkan ucapan Cici ini."

   Tangannya terulur dan diangkatnya bantal bersulam di sisinya.

   Di bawah bantal tersebut terdapat sebuah bungkusan kertas.

   Kelihatannya biasa-biasa saja.

   Tidak ada keistimewaannya sama sekali.

   Tetapi Liang Fu Yong malah memandangnya seperti barang pusaka, dia mengambilnya dengan hati-hati.

   "Pertemuan beberapa hari, meskipun belum membuat aku mendapatkan apa-apa, tetapi kesungguhan hatimu yang ingin mengubah aku menjadi orang baik-baik serta kembali ke jalan yang lurus, aku menyadari sekali. Bahkan kau tidak menganggap aku hina serta bersedia memanggil Cici kepadaku. Di antara laki-laki yang pernah kukenal, aku tidak pernah bertemu dengan seorangpun yang hatinya lebih mulia dari padamu!"

   Tibatiba Liang Fu Yong merasa, apabila kata-katanya diteruskan hanya menambah kepedihan hatinya saja. Dan apa yang diharapkannya, mungkin akan diketahui oleh Tan Ki. Oleh karena itu dia menarik nafas panjang dan memadamkan kobaran api dalam hatinya.

   "Sekali bertemu, kita terhitung memiliki jodoh. Obat penawar ini anggaplah sebagai hadiah perpisahan. Semoga kelak namamu akan menjulang tinggi di dunia Kangouw dan mempunyai masa depan yang cerah."

   Hati Tan Ki terkesiap.

   "Apa, hadiah perpisahan?"

   "Tidak salah. Aku sudah mengambil keputusan untuk tetap menetap di sini. Mungkin sepanjang hidupku, aku tidak akan keluar lagi ke dunia ramai. Mengingat persaudaran kita yang meskipun baru terjalin dalam beberapa hari, tunggulah sejenak, nanti ada orang yang mengantarmu keluar dari perkampungan ini. Pergilah ke depan sana."

   Kata-katanya yang terakhir, walaupun diucapkan dengan nada yang kaku serta tegas, namun dia juga tidak sanggup menutupi kepiluan hatinya menjelang perpisahan ini.

   Perasaannya semakin tertekan.

   Di kelopak matanya kembali menggenang air mata yang siap berderai setiap waktu.

   Tanpa disangka-sangka, Tan Ki mengibaskan tangannya dan melempar bungkusan obat itu ke atas tanah.

   Dia tertawa sumbang dua kali.

   Saking kesalnya, air matanya ikut mengalir turun.

   "Rupanya kau mengorbankan diri, hanya untuk menolong aku. Kata-kata apa yang kau ucapkan barusan? Meskipun obat ini dapat merubah aku menjadi dewa, aku juga tidak mau meminumnya!"

   Mendengar perkataannya yang tulus dan air matanya yang berderai deras, tanpa dapat ditahan lagi, serangkum rasa pedih menyusup dalam sanubarinya.

   Tetapi dia menguatkan hatinya agar air matanya jangan menetes.

   Berulang kali dia mengibaskan tangannya dan sengaja berkata dengan suara yang dingin serta ketus.

   "Pergilah, pergilah! Di sini bukan tempat yang baik untuk berdiam lama-lama!"

   Tiba-tiba terlihat Tan Ki mengangkat lengan bajunya untuk mengusap air mata yang membasahi pipinya, kemudian dia memeluk Liang Fu Yong erat-erat.

   "Cici, katakanlah terus terang. Apakah kau mengorbankan diri hanya untuk memohon obat penawar ini? Katakanlah, aku ingin mendengarnya dari mulutmu sendiri!"

   Liang Fu Yong tetap berdiam diri.

   Dia tidak menyahut sepatah katapun.

   Namun kepedihan hatinya tidak tertahankan lagi.

   Dua butir air mata berurai ke bawah.

   Tan Ki semakin panik melihatnya.

   Dia mengguncang tubuh Liang Fu Yong keras-keras "Katakanlah!"

   "Jangan memaksa aku mengatakan apa-apa! Jangan memaksa aku!"

   Suaranya semakin parau dan tiba-tiba dia mengulurkan "sepasang lengannya serta memeluk Tan Ki erat-erat.

   Dengan wajah bersandar pada pundaknya, dia menangis tersedu-sedu.

   Air mata kepedihan terus mengalir Bukan kerena takut atau terkejut, tetapi air mata yang berderai karena curahan kasih dalam hati.

   Penerangan dalam kamar semakin lama semakin suram.

   Suasana dingin mencekam.

   Hanya terlihat sepasang pemuda-pemudi yang saling berpelukan sambil terisak-isak sungguh suatu pemandangan yang menyentuh hati.

   Setelah menangis beberapa saat, perasaan Tan Ki menjadi agak tenang.

   "Cici, terima kasih"

   Baru mengucapkan sepatah kata, hidungnya terasa pedih kembali.

   Kata-kata selanjutnya tidak sanggup ia lanjutkan kembali.

   Perlahan-lahan Liang Fu Yong mendorong tubuhnya.

   Dia mengeluarkan sehelai sapu tangan dan diusapnya bekas air mata yang membasahi pipi Tan Ki.

   Gerakannya sangat lembut dan penuh perhatian.

   Persis seperti seorang ibu yang menghibur putranya yang sedang bersedih hati.

   "Orang sebesar ini masih menangis meraung-raung"

   Tiba-tiba dia teringat bahwa dirinya sendiri juga tidak berbeda, wajahnya menjadi merah dan cepat-cepat kata-katanya dihentikan.

   Tan Ki tersenyum lembut.

   Dia tidak langsung menyahut kata-kata perempuan itu.

   Delipan mata yang memancarkan perasaan penuh kasih, dia menatap Liang Fu Yong lekatlekat.

   "Cici, maukah kau menikah denganku?"

   Tanyanya kemudian.

   "Apa?"

   Liang Fu Yong terkejut sekali. Sepasang matanya memandang terpana. Hampir saja dia tidak berani mempercayai pendengarannya sendiri, padahal dia mendengarnya dengan jelas.

   "Jangan sembarang mengoceh, mana boleh"

   "Ucapan yang kukatakan tadi bukan gurauan. Malah aku sudah mempertimbangkannya matang-matang. Sekarang kita sudah mendapatkan obat penawar, ilmu silatku dapat pulih kembali. Walaupun tidak ada yang mengantar kita keluar dari Pek Hun Geng ini, dengan asal terjang aku yakin kita bisa menemukan jalan keluarnya. Pada waktu itu, samudera luas dan batas langit kapan saja dapat kita datangi. Kau hanya perlu menunggu aku membalaskan dendam ayahku, kemudian kita cari pegunungan yang sunyi dan berpemandangan indah sebagai tempat tinggal kita di hari tua"

   "Tidak bisa"

   Tan Ki tertawa lebar.

   "Bukan masalah bisa atau tidak, tetapi kau bersedia atau tidak?"

   "Aku adalah seorang perempuan yang penuh dosa, mana pantas aku bersanding"

   Tiba-tiba Tan Ki mengangkat tangannya dan menutup bibir perempuan itu.

   "Jangan berkata apa-apa lagi. Aku tahu sebetulnya kau bersedia. Hanya perasaan harga dirimu yang mencegah kau mengatakannya."

   Mendengar ucapan Tan Ki, Liang Fu Yong tahu isi hatinya telah terbongkar oleh anak muda tersebut.

   Dengan tersipu-sipu dia menundukkan kepalanya, jari jemarinya mempermainkan ujung pakaian.

   Dia tidak berani menatap sinar mata Tan Ki.

   Sedangkan jantungnya berdegup semakin keras.

   Ketika perasaannya masih malu dan wajahnya tersipu-sipu, dia mendengar Tan Ki melanjutkan kata-katanya.

   "Kau duduk saja di sini, tunggulah aku sebentar. Aku akan bersemedi sesaat untuk memulihkan tenaga dalamku, setelah itu, kita bersama-sama melarikan diri dari tempat ini."

   Tan Ki langsung membalikkan tubuh dan memungut bungkusan obat yang tadi dilemparkannya di atas tanah.

   Dia segera membuka bungkusan obat itu dan menelannya sekaligus.

   Sejenak kemudian terasa serangkum hawa yang sejuk mengalir di dalam tubuhnya, dia merasa nyaman sekali.

   Setelah itu, Tan Ki duduk bersila di atas tanah.

   Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dia mengembangkan seulas senyuman lembut kepada Liang Fu Yong.

   Kemudian matanya dipejamkan rapat-rapat dan mulai bersemedi.

   Mata Liang Fu Yong memandang wajah tampan Tan Ki lekat-lekat.

   Dia sendiri tidak tahu apa yang terasa dalam hatinya.

   Sakitkah? Pedihkah? Terkejut? Atau gembira? Mendengar lamaran Tan Ki yang dinyatakan secara langsung.

   Sejenak dia tertegun tanpa tahu keputusan apa yang harus diambilnya.

   Beberapa hari menempuh perjalanan bersama, membuat hati Liang Fu Yong jadi memiliki semacam perasaan yang aneh terhadap pemuda di hadapannya ini.

   Tetapi masa lalunya terlalu suram sehingga dia tidak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan perasaan yang terkandung di dalam hatinya.

   Apalagi setelah dia membandingkannya, ketampanan, keceriaan, kegagahan Tan Ki membuat Liang Fu Yong merasa dirinya semakin rendah dan hina.

   Sedangkan pada saat seperti ini, tiba-tiba Tan Ki melamarnya, tentu saja hati perempuan ini menjadi curiga.

   Berdasarkan pengalamannya selama bertahun-tahun bergaul dengan kaum laki-laki, Liang Fu Yong dapat melihat bahwa tindakan anak muda itu hanya lampiasan emosinya sesaat.

   Dia belum mempertimbangkannya dengan matang-matang.

   Seandainya ada orang yang mengatakan bahwa pernikahan semacam ini dapat membawa kebahagiaan, maka di dunia tidak ada tragedi lagi.

   Meskipun demikian, bayangan Tan Ki sudah terpatri dalam hatinya.

   Dia tahu perasaan ini ajaib sekali.

   Biar bagaimanapun sulit baginya untuk menghapuskan bayangan tersebut, tetapi dia tidak tahu mengapa.

   Perasaannya saat ini seperti bercampur aduk, asam manis, pahit, pedas, semuanya bersatu di dalam kalbu.

   Air matanya bagai untaian mutiara yang jatuh berderai.

   Hati kecilnya ingin sekali menerima lamaran Tan Ki, namun perasaan rendah dirinya seperti mencegah.

   Dia menjadi serba salah.

   Burung-burung kecil yang berkeliaran di atas jendela tidak hentinya mencuit-cuit.

   Suaranya terputus-putus seakan menambah di dalam kamar itu menjadi semakin mengenaskan.

   Entah berapa lama sudah berlalu, di atas ubun-ubun kepala Tan Ki terlihat uap putih yang mengepul ke atas.

   Perlahan-lahan memenuhi ruangan.

   Tampaknya semedi anak muda itu sudah hampir mencapai puncaknya dan sebentar lagi akan selesai.

   Liang Fu Yong sadar bahwa sejenak lagi Tan Ki akan membuka matanya.

   Dia menggertakkan giginya erat-erat dan menarik nafas panjang dengan wajah yang muram.

   Dirapikannya pakaiannya yang tidak karuan.

   Matanya yang mengandung kasih sayang dan penyesalan diri terus menatap Tan Ki lekat-lekat.

   Dia seperti khawatir Tan Ki tiba-tiba akan menghilang dari pandangannya.

   Dia tidak mengedipkan matanya sama sekali.

   Tetapi langkah kakinya perlahan-lahan bertindak menuju pintu.

   Tan Ki sedang bersemedi, dia seperti meragakan kalau Liang Fu Yong akan meninggalkannya.

   Tiba-tiba sepasang matanya membuka dan melihat ke arah perempuan itu.

   Saat itu keadaannya sedang pada puncak krisis.

   Mulutnya tidak boleh bicara sama sekali.

   Melihat Liang Fu Yong melangkah perlahan-lahan dengan maksud pergi dari situ, dia hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan keras, wajahnya menunjukkan kepanikan.

   Dua pasang mata saling pandang, hati Liang Fu Yong menjadi tertekan.

   Wajahnya berubah hebat.

   Dia merasa dari sinar mata Tan Ki terpancar semacam kekuatan yang memaksa dirinya untuk kembali.

   Untuk sesaat tubuhnya terasa lemas.

   Dia tidak mempunyai tenaga untuk melangkah.

   Cepat-cepat dia memejamkan matanya dan bersandar pada daun pintu.

   Dia mengatur nafasnya beberapa saat.

   Ketika Liang Fu Yong memaksa diri untuk membuka matanya.

   Tampak dua bulir air mata telah membasahi wajah Tan Ki.

   Air mata yang mengalir dari cinta kasih dalam hati pemuda itu membuat pikiran Liang Fu Yong seakan mendapat pukulan bathin yang hebat.

   Dia berteriak sekeras-kerasnya dan menghambur keluar dari tempat tersebut.

   Rupanya di dalam hati perempuan itu telah tertanam semacam perasaan rendah diri yang dalam.

   Dia menganggap dirinya sebagai perempuan jalang dan rendah, sama sekali tidak pantas bersanding dengan Tan Ki.

   Melihat air mata kepedihan yang keluar dari sepasang kelopak mata Tan Ki, hatinya semakin menderita.

   Dua arus perasaan yang berbeda, yakni sesat dan lurus berkecamuk di dalam bathin-nya.

   Untuk sesaat dia menjadi kehilangan akal sehat dan menerjang keluar seperti orang yang kerasukan setan.

   Hati Tan Ki sendiri bertambah panik.

   Dengan kalap dia melonjak bangun dan bermaksud mengejar.

   Siapa nyana saat itu semedinya sedang mencapai puncak krisis, hawa murninya sedang mengalir mengelilingi seluruh tubuh.

   Mendadak dia melonjak bangun, otomatis hawa murni yang sedang mengalir itu seperti kehilangan kendali dan buyar seketika.

   Malah secara perlahan-lahan menyerang isi perutnya sendiri.

   Ketika kakinya baru berdiri tegak, dia sudah merasakan sesuatu yang tidak beres.

   Dia langsung menjerit keras-keras dan terkulai di atas tanah.

   Agak lama kemudian, lambat laun dia mulai tersadar dari pingsannya.

   Dia merasa kepalanya seperti digelayuti beban yang berat dan terasa pusing tujuh keliling.

   Tubuhnya seperti terserang penyakit yang parah serta tidak bertenaga sama sekali.

   Tanpa dapat mempertahankan diri lagi, dia memuntahkan darah segar beberapa kali berturut-turut.

   Tan Ki juga tidak memperdulikan bercak darah yang membasahi pakaiannya, dia juga tidak menghapus sisa darah di ujung bibirnya.

   Matanya mengedar ke sekeliling.

   Penerangan sudah padam.

   Ruangan tersebut menjadi gelap gulita.

   Untung saja penglihatannya sangat tajam.

   Biarpun malam gelap sekali, dalam jarak tiga depa dia masih dapat melihat dengan jelas.

   Tetapi dia tidak berhasil menemukan bayangan Liang Fu Yong.

   Meja maupun kursi di dalam ruangan tersebut masih sama dengan sebelumnya.

   Tanpa sadar dia menarik nafas dalam-dalam.

   Dia memaksakan dirinya untuk bangun.

   Sepasang tangannya bertumpu pada dinding ruangan.

   Setindak demi setindak dia berjalan keluar dari kamar tersebut.

   Karena emosi sesaat, hawa murni dalam tubuhnya malah berbalik arah melukai isi perutnya sendiri.

   Meskipun tenaga dalamnya dapat pulih kembali, tapi dia sudah mendapatkan kerugian yang besar.

   Setelah berjalan sejenak, dia keluar dari halaman lewat koridor yang panjang.

   Dia sudah kelelahan.

   Keningnya berkeringat.

   Dihentikannya langkah kakinya, wajahnya didongakkan dan menatap rembulan.

   "Meskipun dapat keluar dari tempat ini, tapi dalam waktu tiga kentungan, luka ini mungkin dapat mengakibatkan kematian."

   Katanya kepada diri sendiri.

   Berkata sampai di sini, gambaran dirinya menjelang kematian seakan membayang di depan pelupuk mata.

   Tanpa sadar dia menarik nafas dengan tampang mengenaskan! Angin bertiup rumputpun melambai-lambai, daun serta ranting pepohonan menimbulkan suara yang gemerisik.

   Seakan mengalunkan irama yang menyayangkan umur Tan Ki yang pendek.

   Tiba-tiba terdengar suara kibasan baju yang terpancar dari empat penjuru.

   Meskipun hati Tan Ki dalam keadaan gundah dan sedih, tetapi pendengarannya justru semakin peka.

   Begitu mendengar sedikit suara, dia langsung tersentak.

   Matanya segera mengedar dengan seksama.

   Justru dalam waktu yang sekejap ini, di bagian depan dan belakangnya telah berdiri tiga puluh enam lakilaki berpakaian hitam.

   Mimik wajah mereka masing-masing sangat kaku.

   Mata mereka membelalak, seperti manusia yang tidak mempunyai sukma.

   Mereka juga tidak bergerak.

   Ketika angin malam berhembus, perasaan Tan Ki seperti sedang dikelilingi oleh sekumpulan hantu gentayangan.

   Dalam hati timbul firasat yang buruk.

   Diam-diam dia berpikir Kalau ditilik dari gerakan mereka, tentunya semua orang ini tergolong tokoh tingkat tinggi.

   Tapi mengapa tampang mereka lebih mirip dengan mayat hidup, berdiri termangumangu dengan mata membelalak.

   Sehingga perasaan orang yang melihatnya jadi tidak karuan.

   Baru saja pikiran ini melintas dalam benaknya, tiba-tiba matanya terasa berkunangkunang, gulungan tenaga yang kuat dalam jumlah yang tidak terkira telah mendesak ke arahnya.

   Begitu kerasnya sehingga tubuh Tan Ki berputaran beberapa kali dan hampir tidak dapat tegak kembali.

   Pekarangan ini luasnya sedang-sedang saja.

   Dikatakan besar tidak, dibilang kecil juga tidak.

   Laki-laki berpakaian hitam yang berdiri di sana ternyata tidak merasa sesak, tetapi apabila bertambah satu orang lagi, malah terasa seperti tidak ada tempat lagi untuk berdiri.

   Tan Ki justru berdiri di tengah-tengah pekarangan.

   Dalam keadaan seperti ini, dengan hadirnya sedemikian banyak laki-laki berpakaian hitam, di tambah lagi dengan dirinya seorang, seakan terasa berlebihan.

   Seperti sebutir abu di dalam mata, yang mana terasa menusuk dan menimbulkan perasaan tidak enak.

   Sejak tadi dia sudah menghimpun tenaga dalam untuk melindungi dirinya.

   Secara tibatiba dia didesak oleh rangkuman tenaga dalam dari kiri kanan depan belakang, tentu saja timbul serangkum tenaga tolakan yang membuat tenaga yang mendesaknya seperti buyar seketika.

   Setelah itu, dengan kecepatan kilat dia mengirimkan dua pukulan ke arah lawannya.

   Terdengar suara bentakan yang menggelegar.

   Empat rangkum angin pukulan yang dahsyat menerjang ke arahnya.

   Rupanya para laki-laki berpakaian hitam ini merupakan Barisan Jenderal Langit yang dididiknya sendiri.

   Ketiga puluh enam orang ini terbagi dalam sembilan kelompok.

   Setiap kelompok mempunyai keahlian masing-masing yang berbeda.

   Ada yang menggunakan pukulan untuk melancarkan serangan, ada yang menggabungkan tenaga dalam meraih kemenangan.

   Hal ini membuat pihak lawannya sulit meraba bagaimana cara bekerjanya barisan itu dan mengadakan persiapan sejak semula.

   Sedikit saja kurang berhati-hati, hampir saja Tan Ki terjerat dalam perangkap.

   Dengan panik dia menghimpun tenaga dalamnya ke arah telapak tangan dan dengan posisi menahan di depan dada, dia mendorong ke depan.

   Meskipun serangan ini dilancarkan dalam keadaan terluka, tetapi kekuatannya tidak dapat dipandang ringan.

   Gagahnya bukan main, meskipun manusia berpakaian hitam itu menyerangnya dengan cara menggabungkan tenaga dalam empat orang sekaligus, tetapi dia berhasil menahannya.

   Mengadu pukulan dengan kekerasan yang hanya berlangsung satu jurus itu, tubuh Tan Ki hanya terhuyung-huyung sedikit kemudian tegak kembali.

   Telinganya menangkap suara desiran angin, serangan kelompok ketiga sudah menerjang tiba.

   Serangan kali ini tentu saja berbeda dengan yang sebelumnya.

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Empat orang itu memencarkan diri menjadi dua orang di kiri dan duanya lagi di kanan.

   Suara yang terpancar dari kepalan tangan dan bayangan telapak menerjang ke arahnya.

   Diam-diam sepasang alis Tan Ki mengerut dengan ketat.

   Mulutnya mengeluarkan suara bentakan yang keras.

   Sepasang telapak tangannya ditekapkan di bawah ketiak kemudian dihantamkan kedua arah yang berlawanan.

   Baru saja dia berhasil mendesak mundur orang-orang dari kelompok ketiga, orangorang dari kelompok keempat sudah menyerbu ke arahnya.

   Serangan demi serangan dilancarkan dengan gencar.

   Semuanya memiliki keahlian yang berbeda-beda.

   Apalagi serangan mereka semakin lama semakin kuat dan juga semakin membahayakan.

   Dengan berturut-turut dia menyambut serangan sembilan kelompok dari barisan tersebut.

   Diam-diam hatinya menjadi gelisah.

   "Mereka menyerang dengan cara bergiliran. Tampaknya tidak ada henti-hentinya. Kalau begini terus, sampai kapan aku harus bertarung, sampai kapan baru berhenti? Tenagaku yang seorang ini melawan tenaga mereka yang menggunakan cara bergilir, kalaupun tidak terpukul mati, lambat laun pasti akan mati lemas. Apalagi luka dalamku sangat parah, apabila dipaksakan, malah bisa-bisa mempercepat kematian. Lebih baik himpun seluruh tenaga dan menerjang keluar. Siapa tahu benar-benar berhasil keluar dari kepungan barisan ini."

   Katanya kepada diri sendiri.

   Baru saja pikirannya tergerak, dia langsung mengumpulkan seluruh tenaganya dan bersiap-siap melancarkan beberapa pukulan yang dahsyat.

   Dia berniat menggunakan siasat menggertak terlebih dahulu, kemudian menerjang.

   Tiba-tiba telinganya menangkap suara siulan yang nyaring dan berkumandang dari kejauhan.

   Laki-laki berpakaian hitam itu mendadak menghentikan gerakannya dan mundur ke tempat semula.

   Tampak sebelah telapak tangan mereka menahan di depan dada dan berdiri dengan termangu-mangu.

   Wajah mereka tidak menunjukkan perasaan sedikitpun.

   Empat orang dalam setiap kelompoknya berbaris dengan rapi.

   Apabila diperhatikan, barisan itu tampak angker sekali.

   Hati Tan Ki terkejut setengah mati.

   Mungkin kali ini, seluruh barisan akan bergerak serentak. pikirnya dalam hati.

   Suatu ingatan melintas di benaknya.

   Cepat-cepat dia maju dua langkah, telapak tangannya mengambil posisi menahan di depan dada, seakan-akan dia ingin melancarkan sebuah serangan ke arah kelompok yang berjarak satu depa di depannya.

   Ilmu silat Tan Ki sudah tergolong jago kelas satu dalam dunia Kangouw.

   Meskipun sedang terluka parah dan hawa murninya telah terhambur banyak, tetapi kecepatan gerakannya ini bukan alang kepalang.

   Lawannya baru melihat jelas kakinya melangkah maju dua tindak, tahu-tahu dirinya sudah kembali pada posisi semula.

   Ternyata di bagian belakang punggungnya terasa melanda tiba sebuah kekuatan yang besar.

   Kekuatan itu demikian besar laksana ombak yang bergulung-gulung.

   Tan Ki menggertakkan giginya erat-erat.

   Secepat kilat dia membalikkan tubuhnya dan menghantamkan sepasang telapak tangannya.

   Begitu matanya memandang, tanpa terasa dia jadi tertegun.

   Ternyata dibelakangnya tidak ada orang yang mengejar, hanya sekelompok orang-orang dari barisan yang berdiri berbaris.

   Masing-masing mengulurkan telapak tangan kanannya dengan gaya mendorong ke depan.

   Jarak mereka kira-kira setengah depa dari tempat Tan Ki, tapi ternyata gulungan tenaga yang terpencar dari pukulan mereka sudah sampai di belakang punggung anak muda tersebut.

   Kumpulan laki-laki berpakaian hitam itu merupakan tokoh-tokoh dari dunia Bulim yang dipaksa dengan berbagai macam cara oleh Oey Kang untuk mengikuti perintahnya.

   Mereka juga mendapat didikan langsung dari iblis tersebut.

   Kekuatannya tidak dapat dipandang ringan, setiap orang memiliki keahlian tersendiri.

   Begitu gabungan tenaga dalam mereka dilancarkan, otomatis kekuatannya jadi melipat ganda.

   Tadinya Tan Ki berpikir, apabila orang yang mengejar di belakangnya tiba, dengan tidak terduga-duga dia akan melancarkan sebuah serangan yang mengandung seluruh kekuatannya agar kelompok itu dapat terdesak mundur.

   Dengan demikian, dia bisa merebut posisi menyerang duluan kemudian menerjang keluar.

   Tetapi kenyataannya berbeda dengan apa yang dibayangkan.

   Justru dia yang terkejut setengah mati.

   Kalau diceritakan memang panjang, kejadiannya sendiri berlangsung dengan cepat sekali.

   Tenaga dalam yang terpancar dari telapak tangannya baru beradu dengan kekuatan gabungan empat orang tersebut, tiba-tiba dia membentak marah, lengannya tergetar dan tubuhnyapun mencelat ke tengah udara.

   Dia merasa tenaga hantaman keempat orang itu terus meluncur di bawah kakinya, kalau saja dia tidak bersiap sedia dengan menghimpun tenaga dalamnya, akibatnya sulit diba-yangkan.

   Sungguh detik-detik yang menegangkan! Begitu terpental, dia segera melambungkan tubuhnya sampai setinggi tiga depa, kepalanya menoleh ke bawah.

   Ternyata barisan ini memang hebat sekali.

   Gerakan mereka sangat kompak.

   Di dalamnya juga terkandung kekuatan yang dahsyat.

   Pada saat ini, kesembilan kelompok dari barisan itu sudah bergerak serentak ke arah pusat.

   Tampak bayangan manusia berkelebat ke sana ke mari, tetapi kibaran pakaian mereka tidak menimbulkan suara sedikitpun.

   Sementara itu, tubuhnya pun sedang meluncur ke bawah.

   Entah mengapa, tenyata orang-orang dari barisan itu tidak ada satupun yang mendongakkan kepala memandangnya.

   Hati Tan Ki segera tergerak, dia meliukkan pinggangnya dan merubah gerakan jurusnya, sebuah pukulan ia lancarkan ke arah seseorang yang di bagian penutup kepalanya tertancap sekuntum bunga merah.

   Apabila pukulan ini mencapai sasarannya, orang itu pasti akan terkapar mati seketika.

   Siapa nyana orang itu sama sekali tidak ambil perduli, dia tetap melangkahkan kakinya ke pusat barisan.

   Ketika pukulan Tan Ki hampir mencapai sasarannya, tiba-tiba serangkum tenaga dari samping menyampoknya sehingga angin pukulannya menghantam ke bawah tanah.

   Saat itu dia sudah kehabisan akal dan kehilangan tenaga, dia tidak tahu apa lagi yang harus diperbuatnya.

   Dia merasa tenaga dalam tersebut sedemikian kuat sehingga tubuhnya tergeser ke samping dan kecepatannya semakin bertambah ketika menukik ke bawah.

   Dia sudah kehilangan banyak hawa murni dalam tubuhnya.

   Dengan mengandalkan kekerasan hati dan kenekatannya dia tidak sampai rubuh dan dapat mempertahankan diri beberapa saat.

   Tetapi setelah mengadu kekerasan beberapa kali dengan pihak lawan, tenaga dalamnya sudah banyak terkuras, tubuhnya sudah basah oleh keringat.

   Dia sadar, apabila mengadu kekerasan dua kali lagi dengan pihak lawan, dia pasti tidak kuat lagi dan pasti rubuh.

   Apalagi saat ini tubuhnya sedang menukik ke bawah, tentu saja sulit baginya untuk mengedarkan hawa murni guna melindungi badannya.

   Terdengar suara gubrakan yang keras, Tan Ki pun terjatuh di atas tanah dalam posisi duduk.

   Beberapa perubahan yang mendadak ini terjadinya begitu cepat.

   Begitu terjatuh di atas tanah, Tan Ki langsung merasa kepalanya pusing tujuh keliling, matanya sampai berkunang-kunang.

   Belum lagi kesadarannya pulih semua, tiba-tiba terlihat orang-orang yang dari kelompok di hadapannya sudah mengulurkan telapak tangan dan berjalan menghampirinya.

   Dari jauh saja kekuatan tenaga dalam yang terpancar dari pukulan mereka sudah terasa.

   Herannya gerakan mereka sangat kompak dan barisan itu begitu rapi seperti barisan para prajurit yang sudah terlatih.

   Kali ini, siapa yang lemah dan siapa yang kuat sudah terlihat jelas.

   Keadaan sungguh membahayakan.

   Tan Ki sudah tidak bisa menghindar lagi.

   Semacam perasaan yang merupakan harapan mencari kehidupan di ambang kematian tiba-tiba menyusup dalam hatinya.

   Dia meraung sekeras-kerasnya.

   Telapak tangannya terulur ke depan dan dipaksakannya untuk melancarkan beberapa pukulan sekaligus.

   Kedua pukulan ini dilancarkan dalam keputusasaan.

   Hampir seluruh kekuatan dalam tubuhnya dihimpun sekaligus.

   Tampak deruan angin yang bergulung-gulung, kehe-batannya malah seperti berlipat ganda.

   Tenaga dalam yang merupakan gabungan dari kelompok tersebut ternyata berhasil ditolaknya.

   Begitu kerasnya benturan itu sehingga tubuh keempat orang itupun terpental dan melayang ke belakang.

   Namun setelah melancarkan dua buah pukulan tersebut, Tan Ki pun tidak dapat mempertahankan diri lagi.

   Mulutnya membuka dan segumpal darah segar terlihat muncrat dari mulutnya.

   Baru saja Tan Ki meghantam.empat orang yang sebelumnya sehingga terpental ke belakang dan dirinya sendiripun memuntahkan segumpal darah segar, satu kelompok yang lain telah tiba di sampingnya.

   Tinju dan pukulan bagai curahan hujan menerpa di atas tubuhnya.

   Terdengar suara bentakan Tan Ki, sepasang lengannya bergerak dengan kalap.

   Dengan memberontak dia melonjak bangun, ditangkisnya serangan tinju dan pukulan dari keempat orang tersebut.

   Tiba-tiba kepalanya terasa pening, langkah kakinya menjadi goyah kemudian ia terpaksa mundur dua tindak.

   Tepat pada saat itu juga, otaknya langsung diasah, kalau dia tidak mengerahkan jurus yang ampuh melukai orang-orang ini, malah dirinya sendiri yang akan rubuh dan mati tanpa kuburan.

   Dengan tujuan mencari hidup, pikirannya pun bekerja keras.

   Suatu ingatan mendadak melintas di benaknya.

   Dia seperti melihat bayangan-bayangan yang keadaan posisinya berbeda-beda.

   Ada yang berdiri, ada yang membungkuk, ada lagi yang pahanya direntangkan ke depan dan ada yang tangannya diangkat ke atas.

   Semuanya berputaran di depan pelupuk matanya.

   Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan ingatannya, secara kilat kedua tangannya terulur dan tahu-tahu dia sudah berhasil mencekal dua orang lawannya.

   Dengan bertumpu pada kedua orang tersebut, sepasang kakinya dihentakkan meninggalkan tanah dan dua orang manusia berpakaian hitam lainnyapun tertendang jatuh.

   Gerakannya ini merupakan salah satu jurus dari Te Sa Jit-sut, yakni Si Goat-liu Sing (Malam Purnama Bintang Kejora).

   Apabila telah terlatih sampai mencapai kesempurnaan, begitu tangan terulur untuk mencekal, pasti tidak akan luput.

   Meskipun baru kali ini Tan Ki menggunakannya, tetapi rumus ilmu itu sendiri sudah dihapalnya luar kepala.

   Di saat ilhamnya datang, tiba-tiba dia mengerahkan jurus yang ampuh tersebut.

   Begitu tangan terulur dan kaki menendang, empat orang sekaligus rubuh olehnya.

   Seandainya pikiran dan kesadaran orang-orang ini masih ada, tentu mereka, akan terkejut mengetahui bahwa dalam waktu yang singkat ilmu silat Tan Ki seakan bertambah tinggi.

   Sayangnya orang-orang ini telah dice-coki semacam obat oleh Oey Kang, sehingga kesadarannya hilang.

   Mereka seakan tidak mempunyai perasaan lagi.

   Meskipun melihat dengan mata kepala sendiri keempat rekan mereka terluka oleh pihak lawan, tidak ada satupun yang menerjang datang atau melampiaskan kemarahannya.

   Tan Ki memperdengarkan suara tawa yang dingin.

   Diam-diam dia mengedarkan hawa murninya agar jalan darah yang terguncang tadi dapat pulih kembali.

   Kemudian telapak tangannya kembali bergerak, dia melancarkan sebuah jurus lain dari Te Sa Jit-sut.

   Dalam waktu yang singkat dia sudah berhasil menotok tujuh manusia berpakaian hitam.

   Ketujuh manusia berpakaian hitam yang tertotok urat nadinya, tetap berdiri tanpa bergeming sedikitpun.

   Tan Ki mengulurkan tangannya dan mencekal bagian punggung orang tersebut.

   Dikerahkannya tenaga dalam sambil membentak keras.

   Orang itu dilemparkan pada kelompok orang-orang yang paling dekat dengannya.

   Baru tangannya bergerak, kembali dia mencekal manusia berpakain hitam lainnya dan dilemparkannya kembali ke sebelah kiri.

   Dua kelompok manusia berpakaian hitam itu tampaknya tidak bersiap siaga.

   Melihat rekannya sendiri melayang datang, keraguan sempat menyelinap dalam hati mereka.

   Sebelum sempat mengambil tindakan apa-apa, tubuh rekannya sudah membentur keras ke arah mereka.

   Terdengar suara bentakan dan seruan terkejut.

   Dua manusia berpakaian hitam segera terhantam ke belakang dan bergulingan di atas tanah.

   Seluruh bentuk barisan menjadi kacau balau.

   Seandainya saat itu Tan Ki membangkitkan keberaniannya untuk terus menyerang, serta menggunakan kekuatan tenaga dalamnya untuk membuka jalan, meskipun belum tentu dapat memecahkan barisan tersebut tetapi ada kemungkinan untuk meloloskan diri.

   Tetapi, justru pada saat ini luka dalamnya kambuh.

   Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.

   Bukan saja dia tidak dapat menggerakkan kakinya untuk melangkah, bahkan untuk berdiri tegak mengatur nafas saja sulitnya bukan main.

   Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dia merasa keringatnya menetes terus dan matanya berkunang-kunang.

   Tubuhnya bergetar hebat.

   Rasanya dia ingin membaringkan tubuhnya di atas tanah.

   Dengan demikian mungkin keadaannya lebih lumayan.

   Penderitaan di masa kecilnya membuahkan semacam watak pada dirinya.

   Dia sama sekali tidak membiarkan tubuhnya terkulai.

   Bayangan di benaknya melintas secepat kilat.

   Dia sedang merenungkan jurus lain dari Te Sa Jit-sut.

   Pikirannya terpusat.

   Dia sampai lupa bahwa dirinya berada dalam kepungan musuh-musuh yang tangguh.

   Dia malah berdiri termangu-mangu.

   Justru ketika pikirannya terpusat penuh, Tiba-tiba dia merasa bagian punggungnya tergetar.

   Tahu-tahu dia sudah termakan sebuah pukulan.

   Pukulan ini mengandung kekuatan yang dahsyat.

   Jantungnya serasa membalik.

   Tubuhnya terhuyung-huyung dan diapun terjatuh sejauh empat lima langkah.

   Begitu tubuhnya terjatuh di atas tanah, kembali ada sekelompok orang yang menerjang ke arahnya.

   Kecepatan gerakan mereka bagai kilat.

   Begitu melesat langsung sampai.

   Delapan buah lengan dari empat orang tersebut menyerang bagian berbahaya di tubuh Tan Ki dalam waktu yang bersamaan.

   Tiga empat rangkum tenaga yang kuat secara bergulungan menerpa tiba.

   Kalau sampai terhantam telak, meskipun tubuhnya terbuat dari baja, tetap saja dia tidak sanggup mempertahankan diri.

   Terdengar suara angin yang menderu-deru.

   Keadaannya sungguh membahayakan.

   Tanpa sadar dia menarik nafas panjang kemudian memejamkan matanya menunggu kematian.

   Tiba-tiba telinganya mendengar suara teriakan yang memecahkan keheningan.

   Entah apa sebabnya, serangan telapak tangan, tinju maupun pukulan yang gencar menjadi terhenti seketika.

   Tan Ki jadi termangu-mangu diserang rasa terkejut yang di luar dugaannya.

   Cepatcepat dia mengalihkan matanya memandang.

   Dia segera melonggo, wajahnya jadi berseriseri seketika.

   Entah sejak kapan, Liang Fu Yong sudah berdiri di sampingnya.

   Tampak tangannya mengibarkan sebuah bendera merah, dia sedang mengatur barisan manusia berpakaian hitam tersebut.

   Bendera merah itu panjangnya kira-kira tiga mistar, kalau diperhatikan seperti biasa-biasa saja.

   Tidak ada keistimewaan apa-apa.

   Entah mengapa, manusia berpakaian hitam yang tadinya berwajah kaku menyeramkan, begitu melihat bendera ini, tampang mereka seperti setan kecil di hadapan iblis besar.

   Mimik wajah mereka yang tidak menunjukkan perasaan apa-apa, tiba-tiba juga menunjukkan kilasan rasa ketakutan setengah mati.

   Dengan ber-pencaran mereka mengundurkan diri.

   Setelah mengatur beberapa saat, Liang Fu Yong menggebah orang-orang itu seperti gembala yang menggebah kambing-kambing pulang ke kandang.

   Dalam waktu yang singkat, pekarangan itu langsung bersih dan hanya tersisa mereka berdua.

   Perlahan-lahan dia membalikkan tubuhnya sembari menyimpan kembali bendera merah tersebut.

   Matanya beralih menatap Tan Ki.

   Setelah memperhatikan beberapa saat, dia tetap tidak mengucapkan sepatah katapun.

   Wajahnya yang cantik masih tersirat kepedihan, membuat orang yang memandangnya menaruh rasa iba kepadanya.

   Dalam waktu yang kurang lebih sepena-nakan nasi itu, Tan Ki sudah mengatur hawa murninya kembali.

   Tenaga dalamnya pun sudah pulih walaupun lukanya masih belum sembuh.

   Tiba-tiba dia melonjak bangun dengan bibir tersenyum.

   "Cici, kembali kau menolongku. Sekarang aku tidak akan membicarakan masalah balas budi segala, tetapi kali ini aku juga tidak akan membiarkan kau pergi lagi."

   Liang Fu Yong mendengar Tan Ki mengungkit masalah tadi, wajahnya jadi merah padam seketika. Bibirnya mengembangkan tertawa yang getir.

   "Aku memang dilahirkan dengan nasib yang buruk, tidak pantas merasakan kebahagiaan, mengapa kau mendesak aku sedemikian"

   Wajah Tan Ki langsung berubah.

   "Asal aku masih mempunyai sedikit nafas, tetap aku tidak membiarkan kau berdiam di tempat seperti ini dan menjadi permainan tua bangka itu. Kecuali kalau dirimu sendiri senang melakukannya!"

   Katanya kesal.

   Tanpa menunggu jawaban dari Liang Fu Yong, tubuhnya tiba-tiba bergerak, jurus Bulan Purnama Bintang Kejora kembali dikerahkan, tahu-tahu pergelangan tangan perempuan itu sudah tercekal olehnya dan langsung diseret meninggalkan pekarangan tersebut.

   Hati Liang Fu Yong jadi panik.

   "Mana boleh begini?"

   Meskipun mulutnya menolak, tetapi karena tangannya ditarik oleh Tan Ki, mau tidak mau langkah kakinya jadi terseret mengikuti gerakan Tan Ki yang menghambur secepat kilat.

   Para manusia berpakaian hitam yang berada di luar pekarangan seperti menyandang beban bathin yang berat, mata mereka melihat kedua orang itu meninggalkan tempat tersebut, tetapi tidak ada satupun yang mencegah.

   Wajah mereka masih kaku seperti sebelumnya dan berdiri tegak tanpa bergerak sedikitpun.

   Di bawah cahaya rembulan yang remang-remang, tampak dua sosok bayangan yang berlari dengan kecepatan tinggi, gerakan mereka seakan tidak menginjak tanah.

   Setelah melewati taman bunga, mereka sudah keluar dari Pek Hun Ceng (Komplek Awan Putih, nama tempat tinggal Oey Kang).

   Begitu mata memandang, seluruh permukaan bumi seperti samar-samar, sulit menentukan mana Barat dan mana sebelah Timur.

   Tiba-tiba Tan Ki menghentikan langkah kakinya dan berulang kali mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.

   Rupanya karena keadaannya masih letih dan hawa murninya banyak berkurang dan sekarang malah memaksakan diri untuk berlari, lukanya menjadi kambuh kembali.

   Keadaannya saat ini hampir seperti lampu yang kehabisan minyak.

   Baru saja langkah kakinya berhenti, dia segera menyandarkan kepalanya pada bahu Liang Fu Yong, dia tidak mempunyai tenaga lagi untuk bergerak.

   Tapi tangan-nya yang mencekal pergelangan tangan perempuan itu semakin erat, seakan takut Liang Fu Yong akan kabur meninggalkan dirinya.

   BAGIAN XIV Begitu kulit tubuh mereka saling menyentuh, Liang Fu Yong baru merasakan suhu badan Tan Ki panas membara.

   Tangannya seperti menyentuh api yang berkobar-kobar.

   Hatinya terkesiap, dia segera menundukkan kepalanya untuk melihat.

   Tampak bola mata Tan Ki yang menerawang telah kehilangan sinarnya yang cemerlang.

   Wajahnya pucat pasi, seluruh tubuhnya penuh dengan bercak darah.

   Hatinya terasa pedih sekali.

   Dia mengulurkan tangannya mengambil sapu tangan dari dalam saku, dengan hati-hati dia menghapus noda darah yang membasahi wajahnya.

   Gerakannya begitu lembut dan sangat terlatih.

   Pada saat itu juga, dari seorang perempuan jalang serta rendah, tiba-tiba dia berubah menjadi wanita lemah lembut dan berhati mulia.

   Baik mimik wajah maupun gerak-geriknya menunjukkan daya pikat seorang wanita yang lembut serta penuh perhatian.

   Di bawah cahaya rembulan, angin malam berhembus semilir, di sini hanya terdapat dua anak manusia yang saling berangkulan Tepat sepeminuman teh kemudian, Tan Ki baru mengeluarkan suara yang lemah dan ter-sendat-sendat, tampaknya dia sedang menahan rasa sakit yang amat sangat.

   "Tadinya aku berpikir untuk mengajak Cici meninggalkan tempat ini, kemudian mencari tempat yang tenang untuk hidup sampai hari tua.

   Namun manusia memang hanya bisa berharap, semuanya Thian yang menentukan, ternyata umurku demikian pendek"

   Hati Liang Fu Yong menjadi perih mendengarnya. Air matanya turun bagai curahan hujan. Cepat-cepat dia mengulurkan tangannya dan mendekap mulut anak muda itu.

   "Jangan mengucapkan kata-kata yang putus asa. Lebih baik hemat tenagamu agar tubuhmu dapat bertahan. Setelah mendengar kata-katamu tadi, Cici pasti akan mati meram."

   Tan Ki dapat mendengar suaranya yang pilu.

   Di dalamnya seakan terkandung penderitaan yang tidak kepalang.

   Hampir saja dia tidak dapat menahan air matanya yang akan mengalir.

   Cepat-cepat dia menarik nafas dalam-dalam dan mengulurkan tangannya menghapus air mata Liang Fu Yong.

   Kemudian dia membelai rambut perempuan itu dengan kasih sayang.

   Mulutnya bergerak-gerak, tampaknya seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi sepatah katapun tidak sanggup ia cetus-kan keluar.

   Menghadapi belaian Tan Ki yang demikian mesra, seluruh urat darah di dalam tubuh Liang Fu Yong seakan berdesir aneh.

   Apalagi mereka berdiri berhadapan dengan wajah saling menempel, jaraknya tidak sampai setengah inci, masing-masing dapat mendengar denyut jantung yang lainnya.

   Perasaan nyaman serta indah yang mereka alami, bukan suatu hal yang dapat diuraikan dengan kata-kata.

   Rasanya Liang Fu Yong ingin waktu yang beredar di seluruh dunia ini berhenti pada saat itu juga.

   Dia berharap waktu berhenti berputar, tetapi begitu teringat akan nama busuknya di masa lalu, harapannya yang menggebu-gebu langsung surut seketika.

   Air matapun tidak tertahankan lagi.

   Akhirnya Liang Fu Yong menarik nafas panjang.

   "Tempat ini masih dalam lingkungan Pek Hun Ceng, meskipun kita sudah berhasil melarikan diri, tapi keadaan belum aman. Mumpung tidak ada seorangpun, kita harus berlari lebih jauh sedikit."

   Katanya. Tan Ki menggelengkan kepalanya perlahan.

   "Aku tidak sanggup berjalan lagi,"

   Sahutnya lirih.

   Liang Fu Yong merasa kata-katanya memang beralasan.

   Setelah merenung sejenak, akhirnya dia mengambil keputusan.

   Tiba-tiba dia menggertakkan giginya erat-erat kemudian dibopongnya tubuh Tan Ki.

   Dengan menghimpun hawa murni ia bergerak secepat kilat dan melesat meninggalkan tempat tersebut.

   Ketika Liang Fu Yong membungkukkan tubuhnya ingin menggendong Tan Ki, anak muda tersebut tidak menyia-nyiakan kesempatan.

   Dia segera mengecup pipinya yang harum dan manis itu.

   Bibirnya malah tersenyum simpul.

   "Cici, usiamu hanya bertaut tiga tahun denganku. Meskipun kau lebih besar daripada aku, hal ini bukan berarti bahwa kita tidak boleh membicarakan masalah perkawinan. Tadi waktu masih di dalam kamar, mengapa kau sengaja menghindarkan diriku? Apakah kau benar-benar tidak sudi menikah denganku?"

   Liang Fu Yong meliriknya sekilas. Wajahnya menjadi merah padam.

   "Ini ini"

   Perempuan itu menjadi gugup sekali.

   Setelah beberapa saat, dia tetap tidak sanggup memberikan jawaban.

   Padahal, hati perempuan itu memang sudah jatuh cinta kepada Tan Ki, tetapi dia sendiri belum menyadarinya.

   Dia hanya merasa, apabila dapat menemani Tan Ki seumur hidup, sudah merupakan suatu kebahagiaan tersendiri dalam ba-thinnya.

   Sedangkan ucapan Tan Ki barusan, datangnya terlalu mendadak, di tambah lagi dengan penyesalannya terhadap masa lampaunya.

   Mendapat kasih sayang dari Tan Ki malah membuat dirinya merasa serba salah.

   Untuk sesaat dia tidak berani menerima lamaran itu, sekian lama dia termenung akhirnya mengembangkan senyuman yang pahit.

   "Lebih baik kita tinggalkan dulu tempat ini. Masalah lainnya kita bicarakan kemudian."

   Katanya seakan mengelak dari pokok pembicaraan.

   Tubuhnya melesat seperti terbang.

   Dia terus menghambur ke depan karena ingin cepat-cepat meninggalkan tempat yang penuh bahaya itu.

   Sebentar saja dia sudah berlari cukup jauh.

   Tiba-tiba mulutnya mengeluarkan suara mengaduh.

   Langkah kakinya pun terhenti, tubuhnya agak meringkuk seperti menahan sa-kit.

   Tan Ki terkejut sekali.

   "Ada apa?"

   Tanyanya panik.

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bagian bawah perutku"

   Wajahnya menjadi merah padam dan langsung bungkam.

   Tan Ki menggulingkan tubuhnya ke atas tanah dan diapun melorot turun dari bopongan Liang Fu Yong.

   Matanya segera mengalih, tampak Liang Fu Yong setengah meringkuk seperti sedang menahan sakit.

   Kedua tangannya terus meremas bagian bawah perutnya dan tidak bisa berdiri tegak.

   Sepasang alis Tan Ki terjungkit ke atas.

   "Apakah perutmu terasa sakit?"

   Liang Fu Yong menganggukkan kepalanya.

   Dia tidak mengucapkan sepatah katapun.

   Hanya wajahnya tampak muram.

   Di bawah cahaya rembulan yang remang-remang, tampangnya sungguh mengibakan.

   Tan Ki tidak tahu bahwa Liang Fu Yong diperkosa habis-habisan oleh Oey Kang.

   Lakilaki itu meminum semacam obat perangsang yang membuat gairahnya menggebu-gebu dan seperti tidak terpuaskan.

   Pertama-tama dia hanya merasa letih dan lemas.

   Tetapi karena barusan dia memaksa diri membopong Tan Ki sambil berlari, tiba-tiba dia merasa bagian bawah perutnya perih sekali bagai disayat pisau.

   Itulah sebabnya dia mengaduh kesakitan.

   Sedangkan Tan Ki hanya mengira perempuan itu sakit perut.

   Dengan gugup dia menggosok-gosokkan telapak tangannya.

   "Pada saat seperti ini tiba-tiba ribut sakit perut.

   Aku malah tidak bisa memberi pertolongan apa-apa.

   Bagaimana baiknya sekarang?"

   Katanya gugup. Dia segera mengedarkan matanya memandang daerah sekitar. Kemudian jari tangannya menunjuk ke arah hutan.

   "Kita sembunyi saja di sana untuk sementara. Meskipun Oey Kang mempunyai kemampuan menembus langit, dalam waktu yang singkat belum tentu dapat menemukan kita."

   Liang Fu Yong menggelengkan kepalanya.

   "Tidak bisa. Hutan ini tampaknya biasa-biasa saja. Tetapi sebetulnya telah dirancang sedemikian rupa dengan unsur Pat Kwa oleh Oey Kang. Orang yang masuk ke dalamnya laksana terombang-ambing di tengah lautan, memandang ke manapun sama saja. Yang terlihat hanya pepohonan yang rimbun. Untuk selamanya tidak bisa menemukan jalan keluar."

   Sembari berkata, perlahan-lahan dia menegakkan badannya. Bibirnya tersenyum.

   "Sekarang tidak terasa sakit lagi. Tetapi, kita tidak bisa berjalan cepat-cepat."

   Tan Ki menjadi bingung.

   "Bukankah kau mengatakan bahwa semakin cepat kita tinggalkan tempat ini semakin baik, mengapa tidak berlari saja? Masa kita mau merayap seperti seekor siput serta menunggu sampai si tua bangka berhasil menyusul kita?"

   Wajah Liang Fu Yong semakin merah.

   "Jangan tanya macam-macam. Urusan perempuan biar aku katakan, kau juga belum tentu mengerti. Hayo jalan!"

   Kedua orang itu saling membimbing mengambil jalan memutari balik hutan.

   Tiba-tiba, dari lembah sebelah Timur, terdengar suara suitan yang panjang dan perlahan-lahan suara itu semakin jelas seakan sedang menuju ke arah mereka.

   Kedua orang itu saling lirik sekilas.

   Wajah mereka tampak sama-sama terkejut.

   Entah tokoh kelas tinggi dari mana yang tiba-tiba berkunjung ke Pek Hun Ceng.

   Liang Fu Yong menarik tangan Tan Ki.

   Dia bermaksud mengajaknya menyembunyikan diri di balik semaksemak yang rimbun, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang dingin terpancar dari lebatnya dedaunan yang ada di sebelah kiri.

   "Berhenti!"

   Suara bentakan pun menyusul tiba.

   Suara bentakan yang tidak diduga-duga itu membuat orang tersebut menghentikan langkah kakinya secara otomatis.

   Tan Ki segera mengedarkan pandangannya, tidak terlihat bayangan seorangpun, yang ada hanya dedaunan yang melambai-lambai.

   Tetapi dari nada suaranya, Tan Ki tahu bahwa orang itu bukan si iblis Oey Kang.

   Dari dalam hutan berkumandang lagi suara orang itu yang datar dan dingin.

   "Sebelum masuk ke wilayah ini, apakah kalian tidak membaca papan peringatan yang tertancap di dekat kaki kalian itu?"

   Kedua orang itu langsung menolehkan kepalanya mencari-cari.

   Ternyata dalam jarak kurang lebih sepuluh langkah dari kaki mereka, terdapat sebuah papan peringatan yang bertuliskan.

   - Sebelum masuk ke wilayah ini, urus dulu masalah penguburan - Begitu mata Liang Fu Yong memandang jelas, dia merasa tulisan ini membawa keangkeran yang menggidikkan hati.

   Tanpa terasa tubuhnya gemetar dan wajahnya berubah hebat.

   Sedangkan Tan Ki hanya tertawa dingin, diam-diam dia berpikir dalam hati.

   Sungguh kata-kata yang congkak.

   Kalau keadaanku tidak sedang terluka parah, aku justru ingin masuk dan melihat apa gerangan yang ada di dalamnya.

   Sementara itu, orang yang bersembunyi dalam kegelapan seakan mempunyai suatu ganjalan dalam hatinya.

   Terdengar dia menarik nafas panjang.

   "Di sini ada sebungkus obat bubuk, berikan pada sahabat itu. Walaupun tidak dapat sembuh dalam sekejap mata, tetapi mempunyai khasiat membantu memulihkan tenaga dalam. Apabila Kouwnio sudah membawanya keluar dari tempat ini, jangan sekali-kali kembali lagi ke sini. Ingat baik-baik! Ingat baik-baik! katanya berulang kali. Baru kata-katanya selesai, tiba-tiba terdengar suara desiran di tengah udara, seperti suatu benda yang melayang ke arah mereka. Menggunakan cara menyambut senjata rahasia, Liang Fu Yong mengangkat tangannya menangkap benda tersebut. Begitu sampai di tangannya, dia segera melihat bahwa benda itu ternyata merupakan bungkusan obat. Belum juga dibuka, baunya sudah menusuk hidung. Bau itu harum sekali. Orang yang menghirupnya merasa nyaman seketika. Tiba-tiba terdengar Tan Ki menarik nafas panjang sambil memuji.

   "Ilmu ginkang orang ini hebat sekali. Tampaknya tidak berada di bawahku."

   "Apakah kau berhasil melihat orangnya?"

   Tanya Liang Fu Yong.

   "Lihat jelas sih tidak. Tetapi aku mendengar kibaran pakaiannya begitu lembut dan seperti ada dan tiada. Dari gerakan ini saja, dapat dibayangkan bahwa ilmu silat orang ini sama sekali tidak lemah."

   Dia berhenti sejenak, kemudian menarik nafas lagi.

   "Tetapi, mengapa dia bermaksud menolong aku?"

   Tanyanya tidak mengerti. Liang Fu Yong tersenyum.

   "Orang sengaja mengantarkan obat, bagaimanapun bermaksud baik. Kau tidak perlu berpikir yang bukan-bukan, cepat minum obat ini."

   Tan Ki seperti masih ingin mengucapkan sesuatu. Tetapi Liang Fu Yong sudah membuka bungkusan obat itu dan menjejalkannya ke dalam mulut anak muda tersebut. Tiba-tiba sepasang alis Tan Ki mengerut ke atas.

   "Obat ini pahit sekali. Ada air tidak, aku tidak bisa menelannya, obat ini masih tercekat dalam tenggorokan."

   Wajah Liang Fu Yong menjadi muram.

   "Tengah malam buta seperti ini, di mana aku harus mencari air."

   Tan Ki sengaja memperlihatkan tampangnya yang sedih.

   "Kalaupun ada, Cici juga belum tentu bersedia memberikannya, buat apa banyak bicara?"

   Dia mengulurkan tangannya dan mengelus-elus tenggorokan, seakan hendak mengurut obat itu agar tertelan ke dalam perut, tetapi tetap saja tidak ada hasilnya. Liang Fu Yong menjadi panik.

   "Kalau memang ada air, masa Cici tidak mau memberikan kepadamu. Masa Cici tega melihat obat itu tercekat di tenggorokanmu dan tidak bisa tertelan? Cepat katakan, di mana air itu?"

   Tan Ki tersenyum simpul.

   "Tempat di mana ada air, ya di mulutmu itu."

   Pertama-tama dia tertegun mendengar ucapan Tan Ki, kemudian dia seperti tersentak.

   Wajahnya tertunduk tersipu-sipu.

   Kakinya goyah sehingga mundur dua langkah.

   Rasanya ada segulungan perasaan yang aneh berkecamuk dalam hatinya.

   Tahu-tahu air mata sudah membasahi kelopak matanya.

   "Rupanya kata-katamu yang manis hanya karena masa laluku yang suram. Kau menganggap aku perempuan rendah dan hanya ingin mempermainkan cinta kasihku."

   Selesai berkata, tubuhnya berkelebat, sekejap saja dia sudah mencapai jarak tujuh delapan mistar.

   Sekali lagi kakinya menutul, orangnya sudah mencapai dua belas depaan, sejenak kemudian menghilang dalam kegelapan.

   Tan Ki sama sekali tidak menduga akibatnya akan seperti ini.

   Hatinya terkejut sekaligus panik.

   Dia tidak mengira ucapannya yang merupakan gurauan tadi membuat perasaan perempuan itu tersinggung dan meninggalkannya.

   Hatinya menjadi sedih seketika.

   Dia berteriak sekeras-kerasnya "Cici, jangan lari.

   Aku bukan!"

   Tiba-tiba dia merasakan serangkum hawa dingin menyerang dirinya.

   Bahkan sebentar saja sudah menjalar sampai keempat anggota tubuhnya.

   Dia segera sadar bahwa reaksi obatnya sudah bekerja.

   Cepat-cepat dia memutuskan ucapannya dan diam-diam duduk bersila serta bersemedi.

   Dia menghimpun hawa murninya yang kemudian dialirkan ke tujuh puluh dua urat darah dalam tubuhnya.

   Dia sudah hapal luar kepala isi kitab yang tertuliskan ilmu pernafasan dan Lwe Kang, Lewat penjelasan Liang Fu Yong, meskipun tidak bisa maju lebih jauh lagi, sehingga mencapai taraf kesempurnaan, namun terhadap ilmu pernafasan yang biasa-biasa saja, dia sudah dapat memanfaatkannya.

   Begitu menenangkan diri bersemedi, pikirannya langsung terasa kosong.

   Dipusatkannya reaksi obat dengan bagian yang terluka agar kerjanya lebih cepat.

   Dia merasa di dalam tubuhnya mengalir hawa murni yang lancar dan menimbulkan perasaan nyaman.

   Dalam waktu yang singkat, kesehatannya sudah lebih pulih.

   Tampangnya tidak begitu kusut seperti orang yang baru saja bekerja keras.

   Rasa sakitnya juga jauh berkurang.

   Perlahan-lahan dia membuka matanya memandang, rembulan bersinar dengan indah.

   Cahayanya berwarna keperakan.

   Sungguh suatu, alam yang romantis.

   Tiba-tiba perasaannya jadi tersentuh.

   Tanpa sadar dia menarik nafas panjang.

   Seandainya dapat duduk bersama kekasih hati di bawah pancaran rembulan, tentunya segala keruwetan hidup ini dapat terlupakan sejenak.

   Bersama-sama menikmati indahnya rembulan yang memancarkan cahaya berkilauan, meskipun waktu segera berlalu, dan masa remaja sebentar sudah lenyap.

   Tapi rasanya sudah menikmati kehidupan seperti para dewata. katanya kepada diri sendiri.

   Setelah pikirannya melayang-layang sejenak, dia merasa hatinya seperti terlena.

   Tibatiba dari kejauhan berkumandang suara beradunya senjata tajam.

   Di susul dengan suara bentakan kemarahan.

   Dia menjadi tertegun untuk sesaat.

   Tempat ini tidak jauh dari Pek Hun Ceng, siapa yang nyalinya begitu besar, beraniberanian memasuki sarang harimau? tanyanya dalam hati.

   Berpikir sampai di sini, hatinya semakin bingung.

   Tangannya mengetuk-ngetuk batok kepalanya sendiri dan merenung beberapa saat.

   Kemudian seperti teringat akan suatu urusan.

   Liang Fu Yong baru meninggalkan tempat ini, mungkinkah dia bertemu dengan musuh dan terjadi pertarungan diantara mereka? Untuk sesaat hatinya menjadi khawatir sekali.

   Semakin dibayangkan rasanya semakin tepat.

   Perasaannya menjadi tercekat.

   Sepasang alisnya terjungkit ke atas.

   Dia menoleh ke arah sumber suara dan menghentakkan kakinya untuk menghambur ke sana.

   Kurang lebih sepenanakan nasi, secara berturut-turut dia sudah melalui dua celah pegu-nungan dan sampai di sebuah lembah yang kosong.

   Di sana dia menghentikan langkah kakinya.

   Hatinya sedang khawatir, cara larinya tadi seperti orang kesetanan.

   Orang biasa pasti tidak dapat melihat kalau dia sedang berlari.

   Kakinya seperti tidak menginjak tanah, seolah terbang saja.

   Begitu matanya memandang, tenyata dugaannya tidak salah.

   Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tiga orang berdandanan tosu, sedang menggerakkan pedang menyerang Liang Fu Yong.

   Tampak perempuan itu tidak menggunakan senjata apapun.

   Dengan sepasang tangan kosong, dia menerobos ke kanan dan melesat ke kiri.

   Dia baru saja menghindarkan diri dari tiga serangan pedang yang gencar.

   Tampaknya perempuan itu sudah kewalahan.

   Dia tidak mempunyai kesempatan untuk membalas menyerang setengah juruspun.

   Keadaannya sungguh berbahaya.

   Hawa amarah dalam dada Tan Ki jadi meluap seketika.

   "Menghina seorang perempuan, kalian masih punya muka?"

   Bentaknya keras.

   Tubuhnya langsung melayang, jaraknya masih kurang lebih dua depaan, dia melesat ke tengah udara.

   Ketika sepasang kakinya mendarat di atas tanah, dirinya tepat berada di bagian belakang punggung tosu sebelah kiri.

   Dengan membentak keras, dia langsung menghantamkan dua buah pukulan.

   Begitu kedua pukulannya dilancarkan, segera terasa ada serangkum tenaga yang mengandung hawa panas menerpa datang.

   Tampaknya ketiga tosu tadi terkejut sekali melihat gerakannya yang begitu cepat, serta tenaga dalamnya yang mengandung kekuatan dahsyat.

   Serentak mereka terdesak ke samping seiring dengan suara deruan angin pukulan Tan Ki.

   Pertarungan yang menegangkan tiba-tiba ditambah oleh serangkum tenaga kuat yang membawa hawa panas.

   Suasana semakin mencekam.

   Kejadian di luar dugaan ini menyebabkan dada mereka terasa sesak.

   Sinar mata Tan Ki perlahan-lahan menyapu wajah ketiga tosu tersebut.

   Terdengar suara tawa dingin dari bibirnya.

   Kemudian dia menoleh ke arah Liang Fu Yong dengan pandangan khawatir.

   "Apakah kau terluka?"

   Tanyanya penuh perhatian. Liang Fu Yong tersenyum simpul.

   "Tidak"

   Tan Ki melihat beberapa bagian bajunya telah terkoyak di sana-sini, tetapi tidak ada bekas darah sedikitpun.

   Tampaknya perempuan itu memang belum mendapatkan luka apa-apa.

   Hanya dari bagian bajunya yang koyak, tersembul kulitnya yang putih mulus.

   Hatinya terasa pedih dan kasihan.

   Cepat-cepat dia melepaskan jubah panjangnya dan disodorkan kepada perempuan itu.

   "Cici, tadi aku hanya bergurau. Siapa sangka kalau kau malah jadi tersinggung. Cici, maafkanlah aku kali ini. Lain kali aku pasti tidak akan mengulanginya kembali."

   Ucapannya ini terdengar lucu sekali. Seperti anak usia tiga tahun yang memohon pengampunan dari ibunya. Hati Liang Fu Yong menjadi pedih. Air matanya langsung mengalir turun.

   "Aku tidak marah, hanya merasa agak sedih saja."

   Dengan hati-hati Tan Ki menghapus air matanya.

   Baru saja dia ingin mengucapkan beberapa patah kata untuk menghibur hatinya, tiba-tiba dia melihat tosu yang ada di sebelah kirinya menggenggam pedang dengan kedua tangannya, serta menegakkan tubuhnya dan berjalan ke depan.

   "Rupanya perempuan jalang ini sudah mempunyai kekasih hati. Maaf kalau Pinto belum menyatakan selamat."

   Selesai berkata, dia benar-benar menjura dalam-dalam kepada Tan Ki. Mendengar ucapannya, pertama-tama Tan Ki tertegun. Sepasang alisnya bertaut erat. Dia hampir mengira pendengarannya kurang beres. Oleh karena itu dia bertanya sekali lagi.

   "Apa yang kau katakan?"

   Tosu tersebut mendonggakkan wajahnya dengan angkuh.

   "Siau Yau Sian-li jalangnya bukan main. Orang-orang dunia Kangouw, siapa yang tidak tahu, siapa yang belum dengar. Eh entah dari mana tahu-tahu bisa menggaet seorang pemuda gigolo"

   Sepasang alis Tan Ki langsung mengerut mendengar sindirannya yang tajam ini. Dia merasa ada serangkum hawa panas berkobar dalam tubuhnya. Untuk sesaat wajahnya jadi berubah hebat. Dia tidak menunjukkan kemarahan, tetapi malah tertawa.

   "Dia adalah perempuan jalang, aku adalah gigolo. Sungguh paduan kata-kata yang tepat sekali, tepat sekali!"

   Selesai berkata, dia mendongakkan wajahnya dan tertawa terbahak-bahak tanpa henti-hentinya.

   Suara tawanya yang panjang dan mengandung kemarahan besar ini, tinggi dan nyaring sekali.

   Di dalamnya terkandung kepedihan yang tidak terkira, namun kegagahannya tetap terlihat jelas.

   Getarannya sampai membuat dedaunan di dalam hutan jatuh berguguran.

   Seluruh lembah kosong itupun bergema dengan suara tawanya.

   Mendengar suara tawanya yang hebat itu, ketiga orang tosu jadi terkesiap dan berubah hebat wajahnya.

   Mereka segera mempersiapkan diri, berjaga-jaga apabila diserang oleh lawannya secara mendadak.

   Tapi hati mereka mempunyai pikiran yang sama.

   Tidak disangka usianya masih begitu muda, ternyata mempunyai tenaga dalam yang demikian hebat.

   Apabila kita tiga bersaudara tidak memiliki ilmu yang lumayan, mungkin suara tawanya saja dapat menggetarkan isi perut kami sehingga terluka parah. Baru saja pikiran mereka terhenti, suara tawa Tan Ki yang panjang pun sirap pada saat yang hampir bersamaan.

   Wajah anak muda itu berubah kelam sekali.

   "Biar kalian rasakan dulu sampai di mana tingginya ilmu silat gigolo ini!"

   Katanya dengan nada ketus.

   Kakinya langsung maju, tubuhnya melesat, tepat pada saat kata-katanya yang terakhir terucap, terdengar suara deruan angin, sebuah pukulanpun dilancarkan ke depan.

   Serangan ini dilancarkan dalam kegusaran, hampir seluruh tenaga dalamnya dikerahkan.

   Sungguh pukulan yang keji dan datangnya bagai badai topan yang melanda.

   Tosu itu sudah tahu kalau Tan Ki bukan tokoh sembarangan.

   Tentu saja dia tidak berani memandang ringan.

   Pedang panjang dikibaskan.

   Timbul rangkaian cahaya yang memenuhi angkasa.

   Kemudian berubah menjadi serangan yang gencar.

   Tan Ki tertawa dingin.

   "Anak murid Go Bi Pai memang lain dari yang lain. Sambutlah seranganku sekali lagi!"

   Pergelangan tangannya memutar perlahan-lahan.

   Lima jarinya membentuk cakar, secepat kilat dia mencengkeram ke arah lawannya.

   Perubahan jurus ini sedemikian cepat.

   Belum lagi jurusnya dilancarkan dengan sempurna, gulungan anginnya sudah menerpa badan.

   Tentu saja tosu itu terkejut sekali.

   Pedang panjangnya segera digerakkan untuk menyambut datangnya cengkeraman lawan.

   Terdengar suara bentakan dari mulut Tan Ki.

   "Enyah!"

   Diiringi suara bentakan, pedang panjang tosu itupun sudah tiba di hadapannya untuk menyambut serangan Tan Ki.

   Tiba-tiba tubuh anak muda itu melesat ke depan.

   Kecepatannya bagai pancuran air terjun.

   Tahu-tahu dia sudah sampai di hadapan tosu tersebut, tangannya yang terulur, dengan perlahan-lahan menepuk di dada lawan.

   Tampaknya seperti tidak mengandung tenaga sama sekali.

   Namun kecepatannya bukan alang kepalang, tahu-tahu dada tosu itu telah terhantam telak.

   Terdengar suara jeritan ngeri dari mulut tosu tersebut.

   Pedangnya merenggang dan terjatuh di atas tanah.

   Tubuhnya yang tinggi besar pun segera melejit di udara.

   Tosu muda yang berdiri di sebelah kanan, melihat suheng-nya terjungkal di tangan lawan tidak sampai tiga jurus, dia merasa terkejut sekali karena kejadian itu benar-benar di luar dugaannya.

   Tanpa dapat ditahan lagi mulutnya mengeluarkan seruan terkejut.

   Aduh!"

   Begitu matanya memandang, Ji Suhengnya sudah mengulurkan lengan dan tubuhnya pun melesat ke tengah udara.

   Dia menyambut tubuh Toa Suhengnya yang sedang melayang turun.

   Tubuh tosu itu tidak goyah dan turun dengan mulus meskipun tangannya membopong seseorang.

   Gerakannya sungguh indah.

   Tanpa memperdulikan hal yang lainnya lagi, dia segera menundukkan kepalanya melihat keadaan Toa Suheng tersebut.

   Tampak darah mengalir dari ke tujuh lubang panca indera Toa Suhengnya itu.

   Ternyata Toa Suhengnya sudah melayang jiwanya.

   Melihat perkembangan yang terjadi, tosu muda itu merasa hatinya pedih sekali.

   Air matanya mengalir dengan deras.

   Mulutnya mengeluarkan suara raungan yang histeris dan dengan kalap dia menerjang ke arah Tan Ki.

   Tiba-tiba terdengar suara bentakan dari tosu yang satunya.

   "Berhenti!"

   Mendengar suara bentakan tersebut, tosu muda itupun menghentikan langkah kakinya. Wajahnya basah oleh air mata, cepat-cepat dia menoleh kepada Suhengnya yang satu.

   "Apakah Suheng memanggil aku?"

   Dengan menahan rasa pilu di hatinya tosu tersebut berkata.

   "Kalau kau menerjangnya, sama saja mengorbankan nyawa dengan sia- sia."

   Matanya segera beralih kepada Tan Ki. Dia memperhatikan anak muda itu dari atas kepala sampai ke bawah kaki.

   "Ilmu silat Sicu ternyata tinggi sekali."

   Tan Ki tertawa dingin.

   "Totiang hanya memuji."

   Sahutnya datar Sepasang mata tosu itu mendelik lebar-lebar.

   Dari dalamnya terpancar sinar kepedihan dan kebencian yang tidak terkirakan.

   "Mohon tanya siapa julukan Sicu yang mulia.

   Apabila Pinto bertemu lagi denganmu kelak, tentu lebih mudah meminta pelajaran."

   "Kau ingin membalas dendam? Ini, akulah yang disebut Cian bin mo-ong!"

   Mendengar keterangannya, kedua tosu langsung terkesiap.

   Karena tiba-tiba mendengar empat kata Cian bin mo-ong mereka terkejut setengah mati.

   Tanpa dapat ditahan lagi, keduanya memperhatikan Tan Ki sekali lagi.

   Liang Fu Yong yang sejak tadi berdiri di samping juga tidak kurang terkejutnya.

   Benarbenar keterangan yang di luar dugaannya dan rasa pedih diantara kegembiraan.

   Hal ini malah membuat perempuan itu jadi termangu-mangu dan menatap Tan Ki dengan terpesona.

   Untuk sesaat, suasana di tempat itu jadi hening.

   Setiap orang mempunyai renungan masing-masing.

   Kurang lebih sepeminum teh kemudian, tosu yang tua itu baru membuka suara dengan perlahan-lahan "Gunung tetap menghijau, lain kali kita akan berjumpa lagi!"

   Tanpa menunggu sahutan dari Tan Ki, dia langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi. Tampaknya si tosu muda merasa, kurang senang.

   "Masa kita lepaskan orang ini begitu saja?"

   Katanya. Dengan menahan kepedihan hatinya, tosu yang lebih tua membentak.

   "Jangan banyak bicara! Suheng sudah mempunyai rencana tersendiri!"

   Tiba-tiba dia mempercepat langkahnya dan dia melesat ke arah sebuah jalan tapak di samping sungai. Tosu muda itu tampaknya masih tidak sanggup menenangkan hawa amarah dalam dadanya. Dia membalikkan tubuhnya dan menuding hidungnya sendiri.

   "Ingat baik-baik, aku bergelar Ceng Hong Tojin, murid Bu Tong Pai. Malam ini kami. melepaskan dirimu. Pada suatu hari, kalau sampai bertemu lagi, meskipun aku tidak dapat menandingimu, aku juga akan berusaha membokongmu dari belakang!"

   
Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Selesai berkata, tubuhnya langsung menjungkir balik di udara dan melesat sejauh tujuh langkah.

   Kemudian dia menghimpun tenaga dalamnya dan melesat ke depan mengejar Ji Suhengnya.

   Dalam waktu yang singkat dia sudah menghilang dari pandangan.

   Liang Fu Yong memperhatikan sampai keduanya tidak terlihat lagi.

   Barulah dia menghela nafas lega.

   Tampaknya pikirannya yang tegang ikut terhembus keluar.

   Matanya segera dialihkan, dia melihat Tan Ki sedang mendongakkan kepalanya menatap langit dengan termangu-mangu.

   Entah apa yang sedang dipikirkannya.

   Tiba-tiba sepasang matanya dipejamkan.

   Dia mengangkat tangannya dan mengetuk batok kepalanya perlahan-lahan.

   Dia termenung beberapa saat.

   Tiba-tiba dia mengulurkan kepalan tangannya dan meninju beberapa kali.

   Kemudian kakinya menendang.

   Setelah itu tampak dia menggelengkan kepalanya beberapa kali dan menarik nafas panjang berulang kali.

   Gerak-gerik yang aneh, membuat Liang Fu Yong yang melihatnya jadi tertegun.

   Tetapi pikiran perempuan ini memang amat peka.

   Melihat sebentar saja, dia sudah dapat menduga bahwa saat ini Tan Ki sedang merenungkan semacam ilmu silat tingkat tinggi.

   Untuk sesaat dia tidak berani menegurnya dan terpaksa berdiam diri serta berdiri tegak di samping.

   Kembali Tan Ki merenung dengan pikiran terpusat.

   Tiba-tiba telapak tangannya diangkat ke atas dan menepuk kepalanya satu kali.

   Tahu-tahu air matanya telah mengalir dengan deras.

   "Rupanya aku orang yang begini bodoh, masih memikirkan soal balas dendam segala!"

   Keluhnya kesal.

   "Kau sama sekali tidak bodoh."

   Sahut Liang Fu Yong.

   "Masih bilang tidak bodoh. Kalau saja aku bisa menggabungkan Tian Si Sam Sut dan Te Sa Jit Sut, sekarang juga aku bisa mencari Oey Kang untuk membalaskan sakit hatimu. Sayangnya aku terlalu bodoh, malah melupakan kesempatan yang langka ini."

   Liang Fu Yong tertawa lebar.

   "Renungkan saja perlahan-lahan, toh sama saja. Saat ini kau dilanda keputusasaan dan sakit hati, mana bisa mengingatnya. Lebih baik cari suatu tempat yang tenang dan renungkan kembali. Siapa tahu, kalau perasaan tenang, otakmu pasti akan lebih cemerlang."

   


Lencana Pembunuh Naga -- Khu Lung Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung Rumah Judi Pancing Perak -- Khu Lung

Cari Blog Ini