Ceritasilat Novel Online

Dewi ULar 2


Wiro Sableng Dewi ULar Bagian 2



"

   Brakkk! "

   Dua buah tiang dangau yang terbuat dari bambu patah karena hantaman tubuh Wiro hingga bangunan yang memang sudah agak lapuk itu roboh berantakan.

   Wiro tentu saja menderita kesakitan sekujur badannya terutama pada pinggang.

   Namun yang berteriak Page 28 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html justru orang tua berambut kelabu itu.

   Apa yang terjadi? Ketika tubuhnya diangkat ke atas dan diputar-putar beberapa kali, sebelum dilemparkan ke danau Wiro susupkan dua tangannya mencengkeram bahu baju yang dikenakan Ki Sepuh Dulantara.

   Begitu tubuhnya dilempar dia cepat merenggut.

   Akibatnya baju tak berkancing yang melekat ditubuh orang tua terlepas tanggal! Kini Ki Sepuh Dulantara tegak dalam keadaan setengah telanjang dan memaki panjang pendek.

   Tenang saja malah sambil senyum-senyum Wiro bangkit berdiri lalu cepat kenakan baju yang berhasil dirampasnya itu.

   "

   Bangsat kau benar-benar mencari mati berani menghinaku! Lekas kembalikan bajuku! "

   Teriak Ki Sepuh Dulantara marah.

   "

   Kalau kau punya kemampuan silahkan ambil sendiri! "

   Sahut Wiro. Lalu dia melompat dan lancarkan tendangan ke arah kaki lawan. Dalam marahnya Ki Sepuh Dulantara bukannya menghindar tapi malah angkat kaki kanannya menyongsong tendangan dengan tendangan! "

   Pasti dia akan mengandalkan ilmu empuk-empuk itu! "

   Pikir Wiro.

   "

   Silahkan saja! Kali ini dia akan kutipu! "

   Begitu kaki kanan Ki Sepuh Dulantara melesat ke atas Wiro berkelebat ke samping.

   Dari samping dia gunakan tangan kanan untuk mengangkat tumit lawan tinggi-tinggi sambil tangan kirinya mendorong ke arah yang berlawanan.

   Akibatnya tak ampun lagi Ki Sepuh Dulantara jatuh tertelentang di tanah.

   Selagi orang tua itu terhenyak nanar, Wiro pergunakan kesempatan untuk mencengkeram kaki celana panjang yang dikenakan orang tua ini lalu membetotnya dengan sekuat tenaga.

   "

   Kurang ajar! Hai! "

   Apa yang terjadi dapat dibayangkan.

   Kalau tadi Ki Sepuh Dulantara hanya setengah telanjang kini orang tua itu benar-benar bugil karena ternyata dibawah celananya itu dia sama sekali tidak mengenakan apa-apa.

   Wiro lambaikan celana milik Ki Sepuh Dulantara pada Anggini yang masih tegak dekat tandu lalu berkelebat ke balik runtuhan dangau.

   Anggini yang mengerti isyarat Wiro segera pula berkelebat mengikuti.

   "

   Bangsat, jahanam! "

   Teriak Ki Sepuh Dukantara.

   "

   Kembalikan pakaianku! Hei! Kembalikan pakaianku! "

   "

   Aku akan perintahkan pasukan mencari kalian! sekali tertangkap kalian akan tahu rasa"

   Berteriak Pangeran Ipong. Wiro tidak perdulikan teriakan kedua orang itu. Sambil memegang lengan Anggini dia terus berlari.

   "

   Lumayan dapat pakaian. Sekarang aku tidak seperti banci lagi. Mengenakan pakaian perempuan...

   "

   "

   Bagusnya pakaian itu kau cuci dulu. Siapa tahu dia mengidap penyakit kulit. Kau bisa budukan! "

   Kata Anggini pula lalu tertawa cekikikan. Seratus lima puluh hari setelah jatuhnya Dewi Ular dan manusia paku Sandaka ke dalam jurang batu Page 29 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html pualam....

   Saat itu menjelang sang surya akan tenggelam ke ufuk barat.

   Di dinding timur jurang yang mulai redup temaram kelihatan satu cahaya kuning bergerak sebat kian kemari seolah seekor kunang-kunang yang terbang melayang.

   Namun sesekali cahaya itu tampak melesat panjang disertai suara bersiur dan membersitnya hawa dingin.

   "

   Bagus sekali! Hebat! Dasar tenaga dalammu jauh lebih kuat dari pertama kali dulu kau menginjakkan kaki di tempat ini! Tidak percuma aku menggemblengmu.

   Walau kurang dari setengah tahun tapi aku sudah bisa yakin kau bakal dapat menggusur kakek keparat di jurang barat sana! sekarang aku perlu menjajalmu untuk terakhir kali! Kau sudah siap Dewi Ular?! "

   Yang bicara adalah si nenek gendut Kunti Rao berjuluk Iblis Daun Setan.

   "

   Nenek guru, tentu saja saya sudah siap! Siapa nyangka berkat ketekunanmu paku emas yang tadinya sudah butut menghitam kau asah ujungnya hingga kembali ke bentuknya yang asli. Kuning emas berkilat! "

   Terdengar suara menjawab.

   Ini adalah suara kunti Ambiri alias Dewi Ular.

   Saat itu kedua perempuan tersebut berada di depan goa batu, di lereng barat jurang batu pualam.

   Demikian terjalnya dinding jurang jangankan bergerak dan membuat gerakan-gerakan silat, berdiri saja sangat berbahaya.

   Sekali seseorang tergelincir pasti akan disambut maut di dasar jurang yang ada kawah mendidih serta puluhan batu-batu lancip.

   Tapi luar biasanya Dewi Ular justru bergerak kian kemari, memainkan jurus-jurus ilmu silat yang dipelajarinya sejak seratus lima puluh hari lalu dari Kunti Rao.

   Gerak dan jurus-jurus yang dimainkan Dewi Ular memang merupakan ilmu silat langka.

   Namun yang lebih luar biasa adalah paku hitam yang berada dalam genggaman tangan kanannya.

   Paku hitam itu dulu adalah paku emas yang ditancapkan Pendekar 212 Wiro Sableng ke pusar Dewi Ular hingga perempuan setengah manusia setengah iblis ini musnah ilmu kesaktiannya yang ganas.

   Selama puluhan hari Kunti Rao mengasah paku itu ke dinding batu di sekitarnya, berusaha mengembalikan ke bentuk asalnya kuning emas.

   Namun dia hanya mampu mengikis lapisan hitam pada ujung runcing paku.

   Itupun hanya setengah panjang kuku jari kelingking.

   Tetapi kesaktian yang keluar dari ujung yang secuil itu sungguh luar biasa! Dewi ular memegang paku pada bagian kepalanya.

   Seutas tali diikatkan pada bagian bawah kepala paku.

   Selanjutnya ujung lain diikatkan ke lengan perempuan itu hingga dalam keadaan bagaimanapun paku itu sulit terlepas dari tangannya.

   "

   Dewi Ular! harap kau simpan dulu paku hitam berujung emas itu. Aku akan menjajal tenaga luarmu, gabung dengan tenaga dalam. Keluarkan ilmu baru yang kuajarkan.

   "

   "

   Saya siap guru! "

   Kata Dewi Ular. Dia cepat menyimpan paku hitamnya lalu tegak memasang kuda-kuda.

   "

   Lihat serangan! "

   Teriak Kunti Rao.

   Tubuhnya yang gemuk menyergap ke depan.

   Rambutnya yang acak-acakan berakibat sebat.

   Dua tangannya menghantam berbarengan.

   Dewi Ular geser sedikit ke dua kakinya ke samping.

   Lalu dengan gerakan tak kalah cepat dia songsong serangan dua tinju si nenek dengan balas menyerang, mempergunakan ke dua tinjunya pula.

   Terjadilah hal yang hebat.

   Empat jotosan saling berada menimbulkan suara keras.

   Bukan cuma satu kali.

   Tapi berulang kali dan dalam gerakan sangat cepat.

   Dalam waktu singkat saja terjadi saling adu jotos sebanyak seratus kali! "

   Bagus! "

   Seru Kunti Rao seraya mundur. Dia perhatikan jari-jari tangannya yang kelihatan merah. Hal Page 30 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html yang sama juga terjadi dengan jari-jari Dewi Ular. Meskipun merah namun sama sekali tidak cedera. Lecet sajapun tidak.

   "

   Kau boleh ikatkan paku hitam itu kembali ke pergelangan tanganmu.

   "

   Kata Kunti Rao.

   "

   Dan siap dengan ujian berikutnya! "

   Dewi Ular keluarkan paku hitam dari balik pakaiannya lalu mengikatkan tali paku ke pergelangan tangannya sebelah kanan.

   "

   Lihat serangan! "

   Kunti Rao kembali berteriak keras.

   Tangan kanannya dipukulkan ke arah dada Dewi Ular.

   Serangan yang dilancarkan perempuan gemuk berambut merah acak-acakan dan mengaku berusia lebih enam puluh tahun itu bukan serangan main-main.

   Jangankan tubuh manusia, dinding batu sekalipun sanggup dihantamnya sampai hancur.

   Dewi Ular selaku orang yang diserang bukan tidak tahu kalau bahaya maut mengancam jiwanya.

   Tapi penuh percaya diri dia bersikap diam.

   Dia sengaja menunggu.

   Begitu jotosan Kunti Rao hanya tinggal satu jengkal dari dadanya baru dia gerakkan tangan kanan yang memegang paku hitam yang ujung lancipnya berwarna kuning keemasan.

   Satu sinar kuning menyilaukan menyambar disertai deru dan menghamparkan hawa dingin menggidikkan.

   Kunti Rao merasa tangan kanannya mulai dari bahu sampai ke ujung-ujung jari laksana kesemutan.

   Tangannya tak bisa maju lagi.

   Berarti serangannya tak mampu mencapai sasaran yaitu dada Dewi Ular.

   Kunti Rao coba memaksa.

   Sekujur tubuhnya bergetar.

   Mukanya yang gembrot basah oleh keringat dan kelihatan sangat merah.

   Rasa kesemutan lenyap tapi bagaimanapun ia mengerahkan tenaga luar dalam tetap saja dia tidak mampu menghantam Dewi Ular.

   Di hadapannya Dewi Ular walaupun di luar tampak tenang namun sebelah dalam tubuhnya terasa seperti diremas-remas.

   Rahangnya dikatupkan kencang-kencang menahan rasa sakit aneh yang seperti hendak meluluhlantakkan sekujur auratnya.

   Keringat membasahi badannya.

   "

   Luar biasa! Aku tak sanggup bertahan! "

   Keluh Dewi Ular dalam hati.

   Dia segera pegang kepala paku hitam.

   Ujungnya ia arahkan pada Kunti Rao.

   Ketika tenaga dalamnya disalurkan ke paku hitam itu, ujungnya yang berwarna kuning emas mengeluarkan sinar terang menyilaukan.

   Bersamaan dengan itu terdengar suara seperti angin menderu dibarengi menebarnya hawa dingin menggidikkan.

   Kunti Rao menjerit keras ketika sinar kuning yang keluar dari ujung lancip paku menyambar tangannya yang masih terpentang dalam sikap memukul.

   Hawa dingin menyerang sekujur badannya.

   Bersamaan dengan itu tubuh gemuk berbobot puluhan kati itu terpental, terbanting keras ke dinding goa batu.

   Kunti Rao mengeryit menahan sakit.

   Dadanya yang besar berguncang turun naik.

   Dia cepat duduk bersila di lantai batu, atur jalan nafas dan peredaran darah.

   Sepasang matanya yang sipit terpejam.

   "

   Kau berhasil menguasai ilmu itu Dewi Ular! Kau hebat! Aku puas.... Tapi jangan lengah! lihat serangan! "

   Tiba-tiba si gendut berteriak. Tubuhnya yang tadi duduk seperti membal ke atas. Bersamaan dengan itu tangannya bergerak mencabut empat helai daun besar yang menutupi auratnya.

   "

   Wuttt! Wuuuttt! Wuttt! Wutttt! "

   Empat lembar daun lontar mengarah ke arah Dewi Ular. Suaranya laksana elang menyambar.

   "

   Bettt! Bettt! Betttt! Bettt! "

   Dewi Ular acungkan tangan kanannya yang memegang paku. Paku hitam itu kemudian digoyangkan dalam gerakan berputar. Empat lembar daun lontar yang menyerang tampak ikut Page 31 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html berputar di udara lalu berpelanting ke empat penjuru.

   "Clep! Clep! Clep! Clep!"

   Empat lembar daun itu menancap sampai setengahnya pada dinding batu goa! Dewi Ular rasakan tengkuknya menjadi dingin.

   "

   Dia tidak main-main mengujiku! Terlambat aku menangkis pasti saat itu aku sudah menjadi mayat! "

   "

   Bagus! Aku senang! tidak sia-sia aku menggemblengmu. Walau dalam waktu singkat tapi kau dapat menguasai semua ilmu! Dengan kepandaian itu kau bisa membantuku menamatkan riwayat Datuk Sipatoka. Dia akan tahu rasa nanti! "

   Dewi Ular ikut duduk dihadapan si gemuk Kunti Rao.

   "

   Guru saya sangat berterimakasih padamu. Bukan saja karena kau telah mengajarkan ilmu kepandaian yang hebat.Tapi lebih dari itu kau telah mengembalikan hasrat untuk hidup dalam diriku....

   "

   Kunti Rao tertawa lebar.

   "

   Kau harus hidup, kau harus percaya diri. Bukan saja karena aku perlu bantuanmu tapi bukankah kau juga ingin membalaskan dendam kesumatmu pada dua orang pemuda itu...? "

   Dewi Ular mengangguk.

   "

   Saya tidak akan lupakan dua manusia jahanam itu. Sandaka.... Pendekar 212. Tunggu pembalasanku. Kalian akan kubikin lumat! Kalian akan mati hancur, luluh dan tanpa kubur! "

   "

   Satu hal lagi jangan dilupakan. Justru ini yang paling penting! Kita harus mendapatkan sepasang keris sakti Nagasona itu! Itu lambang kekuasaan dunia yang tidak ada duanya! "

   Dewi Ular mengangguk.

   "

   Jangan khawatir guru. Bila tiba saat datangnya petunjuk itu, saya rela mengorbankan nyawa turun ke dasar jurang. Menyelam ke dalam kawah mendidih....

   "

   Kunti Rao tertawa panjang. Dia pegang bahu Dewi Ular dan menepuknya beberapa kali.

   "

   Kau murid baik! Baik dan hebat! "

   Dewi Ular menggeser duduknya lebih dekat kehadapan sang guru.

   Kepalanya ditundukkan seolah-olah hendak memberikan penghormatan sebagai ucapan terima kasih.

   Tetapi tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak ke atas.

   Perutnya mengempis.

   Nafasnya sesaat ditahan.

   Inilah satu pertanda bahwa dia tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

   Ujung paku yang berada dalam pegangan Dewi Ular memancarkan sinar kuning terang menyilaukan.

   Kunti Rao tidak tahu apa yang hendak dilakukan muridnya itu.

   Mendadak sontak paku hitam telah menancap ditenggorokannya! "

   Dew.... Dewi Ular... Apa yang kau lakukan ini?! Perempuan Jahanam! Dasar manusia berhati ular...! "

   Tampak meringis ganas. Tangannya yang memegang paku ditekannya hingga paku itu menancap Page 32 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html semakin dalam ke batang leher Kunti Rao. Darah mengucur membasahi leher dan tubuh sebelah atas si nenek gendut itu, juga membasahi tangan Dewi Ular sampai ke siku.

   "

   Jahanam penghianat! "

   Teriak Kunti Rao. Tangan kanannya diangkat tapi dia tak mampu melakukan pukulan. Sepasang matanya yang sipit kelihatan membesar sedikit dan berwarna kemerahan. Mulutnya dibuka. Lidahnya terjulur. Nafasnya mulai sesak. Dewi Ular terus mengumbar tawa.

   "

   Kunti Rao...

   "

   Katanya langsung menyebut nama orang yang biasanya dipanggilnya dengan sebutan nenek atau guru itu.

   "

   Kau manusia sakti paling bodoh di dunia.

   Setelah tahu apa yang terpendam di dasar jurang ini, apa kau kira cuma kau seorang yang ingin memilikinya? Apa cuma kau seorang yang ingin jadi raja di raja dunia persilatan? Semua orang menginginkan kedudukan itu.

   Termasuk aku! Hik...hik...hik! "

   "

   Jahanam! Perempuan jahanam! "

   Maki Kunti Rao.

   Tapi suaranya mendadak jadi perlahan bahkan menghilang.

   Matanya yang sipit semakin merah, bergerak liar.

   Lidahnya ikut bergerak.

   Lalu semuanya itu berhenti bergerak.

   Dadanya yang tadi turun naik kini diam.

   Sesaat kemudian kepalanya terkulai ke kiri.

   Dewi Ular tersenyum.

   Perlahan-lahan paku hitam dicabutnya dari tenggorokan perempuan gemuk itu.

   Asap biru keluar mengepul dari luka bekas tusukan.

   Dewi Ular mengumbar tawa lalu bangkit berdiri, keluar dari dalam goa.

   Di depan goa Dewi Ular menghirup udara segar dalam-dalam.

   Saat itu senja telah memasuki malam.

   Udara di dalam jurang batu terasa sangat sejuk.

   Dewi Ular timang-timang paku yang tergantung di pergelangan tangan kanannya.

   Dalam hati dia berkata.

   "

   Aku hanya tinggal menunggu munculnya bintang Kalimukus itu.

   Kunti Rao bicara banyak tentang bintang dan sepasang keris di dasar jurang.

   Aku pasti mampu mendapatkan dua senjata mustika itu.

   Hemm...

   begitu aku mendapatkannya pertama sekali akan kucari dua manusia terkutuk itu.

   Pendekar 212 Wiro Sableng, Sandaka...

   kalian tak bakal bisa lolos dari tanganku! "

   Dewi Ular goyangkan paku hitam di tangan kanannya. Selarik sinar kuning melesat menyilaukan lalu lenyap dalam kegelapan malam. Lalu dia ingat pada mayat Kunti Rao yang ada dalam goa.

   "

   Mayat itu harus disingkirkan dulu sebelum busuk! "

   Dewi Ular cepat masuk ke dalam goa. Dia membungkuk untuk mencekal kaki perempuan gemuk itu lalu menyeretnya ke luar goa. Tapi baru saja ia memegang kaki sebelah kiri tiba-tiba kaki kanan Kunti Rao melesat.

   "

   Bukkk! "

   Dewi Ular terpekik tubuhnya terpelanting ke pintu goa.

   "

   Keparat! Belum mati dia rupanya! "

   Sambil menahan sakit di dada kirinya yang kena tendangan, Dewi Ular masuk kembali ke dalam goa. Saat itu dilihatnya Kunti Rao berusaha bangkit berdiri.

   "

   Kau boleh punya tujuh nyawa! Tapi ini akan menamatkan riwayatmu! "

   Dewi Ular putar paku hitam di tangannya.

   Ujungnya yang lancip ditusukkan ke kening Kunti Rao.

   Perempuan gemuk ini menjerit keras.

   Darah mengucur deras membasahi mukanya yang gembrot hingga wajahnya menyeramkan seperti muka setan.

   Sebelum tubuhnya jatuh terkapar tangan kanannya masih bisa bergerak mencabut dua lembar daun lontar.

   Lalu "

   Bet...bet! "

   Dua lembar daun itu laksana lempengan besi menyambar ke perut dan kaki Dewi Ular.

   "

   Benar-benar jahanam! "

   Maki Dewi Ular. Paku hitam ditusukkan ke depan. Satu larik cahaya kuning Page 33 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html terang menyambar.

   Dua daun lontar yang menyerang ke arahnya mental dan hancur berantakan.

   Hancuran daun itu laksana kepingan besi menancap di dinding goa.

   Sosok Kunti Rao kembali kelihatan berusaha bangkit.

   Kali ini Dewi Ular tak mau memberi kesempatan.

   Sambil melompat dia kembali hujamkan paku hitam di tangannya.

   Sinar kuning kembali berkiblat.

   Paku hitam kembali menancap di dada kiri Kunti Rao, tepat di detak jantungnya! Kali ini bagaimanapun sakit dan kuatnya perempuan bergelar Iblis Daun Setan itu, ketika jantungnya pecah tak ampun lagi nyawanya lepas meninggalkan tubuh! Di dinding barat jurang batu pualam Datuk Sipatoka sedang berada di depan goa ketika tiba-tiba di arah timur dia melihat ada cahaya kuning menyambar ke sebelah atas jurang lalu lenyap dalam kegelapan.

   Orang tua berkepala botak biru ini berpaling ke samping.

   "

   Sandaka kau lihat sinar kuning tadi?! "

   Di sebelah si kakek tegak seorang pemuda berpakaian kotor.

   Pakaian ini pemberian Datuk Sipatoka hingga dia kini tidak lagi mengenakan cawat.

   Tubuhnya yang penuh tancapan paku kini tertutup namun kepala dan mukanya tidak bisa disembunyikan dari paku-paku yang dipantekkan Datuk Bululawang beberapa waktu lalu.

   Pemuda ini adalah Sandaka yang sejak seratus lima puluh hari lalu berada bersama si kakek di tempat itu.

   "

   Aku melihat. Sinarnya terang sekali lalu lenyap.

   "

   Jawab Sandaka.

   "

   Aneh selama puluhan hari jurang sebelah timur itu sunyi senyap.

   Tak terdengar suara apapun.

   Lalu malam ini tiba-tiba ada sambaran sinar kuning.

   Aku yakin sinar itu muncul dari arah depan goa kediaman si kuda nil Kunti Rao.

   Jangan-jangan dia telah menemukan satu ilmu baru.

   "

   "

   Kalau memang begitu berarti kesempatan bagiku untuk menjajal ilmu kesaktian yang telah kau ajarkan selama ini.

   "

   Ujar Sandaka pula. Datuk Sipatoka terdiam. Beberapa lama dia melangkah mondar-mandir di dalam goa.

   "

   Datuk, lupakan apa yang kita lihat tadi. Bukankah kau sudah berjanji malam ini kita akan mengadakan latihan sampai pagi? "

   "

   Mungkin tak jadi. Hatiku tiba-tiba saja kacau balau.... Hai! Kau dengan suara sesuatu Sandaka? "

   Tanya Datuk Sipatoka seraya memandang ke arah timur jurang.

   "

   Seperti suara jeritan...

   "

   Datuk Sipatoka mengangguk.

   "

   Jeritan perempuan. Malam celaka! Aku tak bisa melihat apa yang terjadi di sana! "

   "

   Kalaupun siang sama saja. Sejak beberapa minggu ini jurang tertutup kabut tebal. Kita tidak bisa melihat apa-apa.

   "

   Kata Sandaka. Selagi dua orang itu terdiam dan kesunyian mencekam mendadak lapat-lapat di kejauhan terdengar suara sesuatu.

   "

   Sandaka! Dengar! Ada sesuatu yang jatuh ke dasar jurang! "

   "

   Tubuh manusia! Aku yakin tubuh manusia! "

   Kata Sandaka seraya mementang mata berusaha Page 34 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html menembus kegelapan malam. Sesaat kemudian jauh di bawah sana, dalam kegelapan terdengar suara sebuah benda mencebur ke dalam air jurang yang mendidih laksana air kawah gunung berapi.

   "

   Bagaimana kau bisa yakin itu tubuh manusia...? "

   Datuk Sipatoka ajukan pertanyaan.

   "

   Kalau batu pasti akan menimbulkan suara berdentang dan gaung keras serta panjang di dasar jurang. Jadi tak bisa tidak yang barusan jatuh itu adalah tubuh manusia....

   "

   "

   Otakmu cerdas! Aku sependapat denganmu. Tapi...

   "

   Datuk Sipatoka usap-usap kepala botaknya.

   "

   Menurutmu siapa yang jatuh ke dasar jurang itu? Si kuda nil Kunti Rao? "

   "

   Di jurang sebelah timur sana cuma ada satu manusia. Kunti Rao. Lantas apa mungkin ada orang lain? "

   Datuk Sipatoka lama termenung. Akhirnya dia berkata.

   "

   Sebentar lagi kita akan tahu siapa yang barusan kecebur ke dasar jurang! "

   Lalu kakek botak ini melangkah ke dekat tubir jurang. Memandang tepat-tepat ke arah dinding jurang sebelah timur dan berteriak sambil kerahkan tenaga dalamnya.

   "

   Kunti Rao! Puluhan hari kau mendekam membisu! Apa kau masih hidup?! "

   Teriakan Datuk Sipatoka bergaung melantun beberapa kali di dinding jurang. Lalu sunyi.

   "

   Tak ada jawaban...

   "

   Katanya perlahan pada Sandaka.

   "

   Jangan-jangan perempuan itu memang sudah jadi bangkai di dasar jurang! "

   "

   Biar aku yang memanggil"

   Berucap Sandaka. Pemuda ini segera kerahkan tenaga dalam dan berteriak. Suara teriakannya menggelegar dalam kegelapan malam di jurang angker itu, membuat Datuk Sipatoka sendiri terkesima kagum.

   "

   Kunti Rao! Orang memanggil mengapa tidak menjawab? Apa tiba-tiba kau menjadi tuli atau bisu? Atau rohmu sudah gentayangan saat ini di alam akhirat?! Atau kau ikut menghadapi kenyataan bahwa Datuk Sipatoka musuh bebuyutanmu masih ada di tempat ini?! "

   "

   Bagus teriakanmu pasti akan membuatnya marah. Kalau manusia bertubuh kuda nil itu masih hidup pasti dia akan menjawab garang! "

   Kata Datuk Sipatoka sambil senyum-senyum. Di dinding jurang batu pualam sebelah timur Dewi Ular yang baru saja melemparkan mayat Kunti Rao ke dalam jurang pasang telinga, kerenyitkan kening.

   "

   Menurut Kunti Rao di sebelah barat sana memang ada seorang kakek musuh bebuyutannya bernama Datuk Sipatoka. Tapi barusan aku jelas mendengar teriakan dari dua suara yang berbeda. Berarti ada dua orang di tempat itu.

   "

   Di dinding barat Datuk Sipatoka memandang pada Sandaka.

   "

   Tak ada jawaban...

   "

   Katanya.

   "

   Berarti memang perempuan itu sudah menemui ajal! Mati di dasar jurang...

   "

   "

   Perlu kita uji dulu Datuk...

   "

   Jawab Sandaka. Lalu pemuda itu melangkah lebih dekat ke pinggir jurang. Kedua kakinya dikembangkan. Aneh, sesaat kemudian bagian perutnya seperti ada cahaya. Page 35 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html "

   Goa di dinding timur itu terlalu jauh Sandaka. Bagaimanapun hebatnya kesaktian paku dan tingginya tenaga dalammu, kau tak bakal mampu....

   "

   "

   Kita coba dulu Datuk. Paling tidak untuk membuat perempuan itu kaget! "

   Sahut Sandaka pula.

   Habis berkata begitu dia hentakkan kaki kanannya.

   Batu di sepanjang pinggiran sungai bergetar keras.

   Bersamaan dengan itu dari selangkangan Sandaka melesat sinar kuning menyilaukan, berkelebat ke arah jurang sebelah timur di mana Dewi Ular berada.

   Perempuan ini terkejut sewaktu belum lama dia melihat sinar di kejauhan tiba-tiba sinar itu sudah menyambar di samping kiri goa, membuatnya cepat menyingkir ke kiri.

   Dinding batu yang barusan kena sambaran cahaya kuning kelihatan biasa-biasa saja.

   Tidak berubah warna ataupun bentuknya.

   Tapi ketika dia mengulurkan tangan meraba bagian yang terkena sambaran cahaya tadi, Dewi Ular jadi berdebar.

   Lapisan luar dinding batu itu ternyata telah gugus, hancur menjadi pasir.

   "

   Kunti Rao! Sayang kau sudah mampus rupanya! "

   Dewi Ular melengak ketika kembali dari arah dinding jurang sebelah barat terdengar suara teriakan. Perempuan ini tak bisa lagi menahan hatinya. Maka diapun kerahkan tenaga dalam dan berteriak.

   "

   Datuk keparat! Jadi kau masih hidup! Kukira sudah dimakan cacing batu! Hik... hik... hik....! "

   "

   Ada suara teriakan! "

   Ujar Sandaka.

   "

   Betul! Tapi itu bukan suara Kunti Rao! "

   Kata Datuk Sipatoka terheran-heran.

   "

   Berarti disana juga ada dua orang..."

   Kata Sandaka.

   "

   Kau bukan Kunti Rao! Mana perempuan itu! Aku hanya mau bicara dengannya! "

   Teriak Datuk Sipatoka.

   "

   Manusia sepertimu tidak layak bicara dengan dia! Segala urusanmu cukup sampaikan padaku! "

   "

   Sialan! "

   Maki Datuk Sipatoka sambil memandang pada Sandaka. Lalu dia berteriak.

   "

   Aku tidak kenal perempuan kecoak macammu! Memangnya kau siapa?! "

   "

   Aku Dewi Ular bekas murid Kunti Rao alias Iblis Daun Setan! "

   Datuk Sipatoka dan Sandaka langsung melengak kaget. Keduanya sampai tersurut satu langkah dan saling pandang dengan mata melotot.

   "

   Dewi Ular..."

   Desis Sandaka.

   "

   Dewi Ular..."

   Ujar Datuk Sipatoka.

   "

   Tidak mungkin! Mustahil! Benar-benar tidak masuk akal! "

   Kata Sandaka sambil kepalanya dipalingkan ke arah dinding timur jurang batu pualam.

   "

   Aku membacok tubuhnya dua kali dengan Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro Sableng. Aku juga yang menendangnya masuk ke dalam jurang! Aneh kalau sekarang dia masih hidup dan ada di dinding jurang di sebelah sana! "

   "

   Jangan-jangan ini tipu daya Kunti Rao! Mengaku-ngaku sebagai Dewi Ular. Sengaja hendak menyiasati kita..."

   Kata Datuk Sipatoka pula. Page 36 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html Sandaka menggeleng.

   "

   Aku kenal benar suara tadi. Itu memang suara Kunti Arimbi alias Dewi Ular.... Manusia jahanam itu kalau memang dia masih hidup aku bersumpah akan membunuhnya untuk yang kedua kali! "

   Datuk Sipatoka usap-usap kepala botaknya yang berwarna biru. Tampaknya dia tengah berpikir keras.

   "

   Kita harus mampu menyingkap keanehan ini. Apa yang terjadi dengan Kunti Rao? Bagaimana Dewi Ular tahu-tahu ada di sana....

   "

   "

   Memang sulit dipercaya. Jangan-jangan waktu dia kutendang jatuh ke dalam jurang ada yang menolongnya....

   "

   "

   Kunti Rao...? "

   Datuk Sipatoka kembali usap-usap kepala botaknya.

   "

   Biar aku bicara padanya! Biar dia tahu kalau aku musuh besarnya berada di tempat ini! "

   Kata Sandaka.

   "

   Jangan! Kurasa ada baiknya kau merahasiakan keberadaanmu di tempat ini.

   "

   Kata Datuk Sipatoka cepat.

   "

   Biar aku saja yang bicara! "

   Lalu Datuk Sipatoka berteriak. Teriakannya diarahkan ke dinding jurang sebelah timur.

   "

   Kunti Rao jangan kau mengaku-ngaku sebagai Dewi Ular! Apa kau kira aku takut padamu? Atau kau sengaja menyiasatiku karena sadar tak bakal lolos dari tangaku?! "

   Di dinding timur jurang batu pualam terdengar suara tertawa melengking.

   "

   Dewi Ular tidak pernah memalsu diri! Kalau kau punya kemampuan silahkan datang ke sini! "

   "

   Sialan! "

   Maki Datuk Sipatoka . Tentu saja dia tidak mungkin datang ke tempat Dewi Ular berada. Di samping Sandaka berkata.

   "

   Tadi dia menyebut dirinya sebagai bekas murid Kunti Rao. Tanyakan apa maksudnya..."

   Datuk Sipatoka lantas berteriak menanyakan.

   "

   Aku Datuk Sipatoka tidak percaya kalau kau adalah Dewi Ular! Goa di dinding timur itu hanya dihuni oleh Kunti Rao! Lagi pula apa maksudmu menyebut diri sebagai bekas murid Kunti Rao?! "

   "

   Itu bagus! Orang tolol semacammu musti banyak bertanya agar tidak buta keadaan! "

   Sahut Dewi Ular yang membuat Datuk Sipatoka jadi bergerak-gerak pelipisnya dan menggembung rahangnya saking marah.

   "

   Kunti Rao sudah tidak ada lagi di dunia ini! Tubuh kasarnya mendekam di dasar jurang! Kalau kau untung rohnya mungkin akan menemuimu! Hik...hik...hik...! "

   "

   Apa yang terjadi dengan perempuan itu?! "

   Tanya Datuk Sipatoka berteriak.

   "

   Aku telah membunuhnya! "

   Jawab Dewi Ular yang membuat sangat terkejut sang Datuk dan Sandaka.

   "

   Ilmumu memang tinggi. Tapi untuk mampu membunuh Kunti Rao aku tidak percaya! "

   Teriak Datuk Sipatoka. Bagaimanapun juga kalau Kunti Rao sampai mati maka dia ingin musuh bebuyutannya itu mati di tangannya. Di jurang sebelah timur kembali terdengar tawa panjang Dewi Ular.

   "

   Tidak percaya itu urusanmu Page 37 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html sendiri! Aku tahu banyak tentang permusuhanmu dengan Kunti Rao.

   Aku juga tahu banyak tentang sepasang keris sakti Nagasona yang terpendam di dasar jurang ini! Selama aku masih hidup jangan harap kau dapat bakal menguasai dua senjata bertuah itu! "

   "

   Kau boleh mimpi Dewi Ular! Kalau tiba saatnya kau akan berhadapan denganku! Bersiap-siaplah untuk mencari nyawa cadangan! "

   "

   Tua bangka takabur! Kau menyusul akan kupendam di dasar jurang agar rohmu bias menyusul roh Kunti Rao! Hik...hik...hik...! "

   Awal bulan ke tujuh menjelang perayaan besar Sekaten, di kawasan bebukitan batu pualam terlihat kesibukan-kesibukan tidak seperti biasanya.

   Hari pertama satu rombongan besar berkuda dari Kotaraja kelihatan bergerak ke arah selatan dimana terletak jurang batu pualam.

   Rombongan ini terdiri dari duapuluh prajurit, dua orang perwira muda, seorang perwira tinggi yang mengawal sebuah kereta di dalam mana kelihatan duduk Pangeran Ipong Nalakudra.

   Lalu disitu jua ada seorang tua berambut dan berjanggut kelabu yang bukan lain adalah Ki Sepuh Dulantara.

   Di sebelah orang tua ini menunggang kuda seorang nenek berpipi dan bermata sangat cekung.

   Dia mengenakan jubah hitam yang permukaannya berbulu kasar.

   Jubah ini berbentuk aneh karena pada bagian ketiak bergelembung.

   Pada dua ujung lengan mengembang dan pada bagian bawah mekar.

   Di bagian punggung jubah hitam berbulu ini kelihatan lembaran kain tebal juga berwarna hitam dan berbulu, tidak beda seperti sehelai mantel.

   Sepanjang perjalanan dia tidak pernah bicara.

   Kedua matanya seolah nyalang terus jarang kelihatan berkedip.

   Perempuan tua ini adalah sahabat dekat Ki Sepuh Dulantara, dikenal dengan julukan Kelelawar Berjubah Hitam.

   Pangeran Ipong sebenarnya tidak suka dengan nenek satu ini.

   Namun karena dia memiliki kepandaian khusus maka mau tak mau sang pangeran harus menerima kehadiran si nenek untuk membantu.

   Rombongan besar dari Kotaraja ini berhenti lalu membuat kemah tak berapa jauh dari tepi selatan jurang batu pualam.

   Hanya beberapa saat saja setelah Pangeran Ipong sampai di tempat itu, dibagian lain dari jurang, terhalang oleh batu-batu besar berkelebat cepat satu bayangan hijau.

   Demikian cepatnya dia berkelebat, bukan saja tidak mengeluarkan suara tapi kedua kakinya pun seolah tidak menjejak bebatuan di bukit-bukit yang mengelilingi jurang batu pualam itu.

   Di satu tempat dia berhenti dan memandang berkeliling.

   Karena tempat ini agak ketinggian maka dia mampu melihat keadaan sekitarnya dengan jelas, termasuk pinggiran jurang batu pualam yang hanya tinggal belasan tombak saja di bawahnya.

   "

   Tempat ini cukup baik untuk mengawasi keadaan..."

   Kata orang itu dalam hati. Ternyata dia adalah si Ratu Ular yang kini mengenakan sehelai jubah hijau berkilat diatas pakaiannya berbentuk kemben. Sesaat dia memandang ke langit pagi yang cerah.

   "

   Bintang Kalimukus..."

   Desisnya.

   "

   Aku ingin melihatmu lebih dulu dari yang lain-lainnya.

   Hmmmm...

   baru rombongan pangeran lumpuh itu yang terlihat di sekitar sini.

   Pangeran kurasa nasibmu bakalan jelek.

   Kau akan lumpuh seumur-umur.

   Jangan mengharap sepasang keris mustika itu akan kau dapatkan! "

   Ratu Ular memandang ke arah selatan dimana Pangeran Ipong dan rombongannya berkemah.

   "

   Apa benar banyak yang sudah tahu kalau bintang Kalimukus akan muncul pada malam Sekaten? Aneh, sampai saat ini aku masih belum menemui jejak Dewi Ular. Dimana anak itu sekarang...? "

   Hari ke tiga awal bulan ke tujuh.

   Pagi terasa sejuk dan cerah.

   Di atas sebatang pohon berdaun lebat, tak berapa jauh dari mulut jurang sebelah tenggara, dua orang kelihatan duduk di atas cabang pohon sambil bercakap-cakap dengan suara Page 38 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html rendah.

   "

   Mungkin kita terlalu cepat datang ke tempat ini Wiro.

   "

   Dara berpakaian serba ungu berkata. Dia bukan lain adalah Anggini, murid Dewa Tuak. Pemuda yang duduk di sebelahnya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng menjawab.

   "

   Mungkin benar, mungkin tidak....

   "

   "

   Maksudmu? "

   "

   Hari Sekaten hanya tinggal satu hari dari sekarang.

   Kita melihat bagaimana rombongan Pangeran Ipong sudah lebih dulu datang.

   Lalu tadi kau bilang seperti melihat ada bayangan hijau berkelebat di sebelah sana.

   Aku yakin itu sosok Ratu Ular.

   Setelah merampas Kitab Seribu Petunjuk Kuna rupanya pengetahuannya tentang sepasang keris pusaka itu jadi bertambah.

   Kalau tidak ingin menguasainya apa juntrungannya dia muncul di sini...? "

   "

   Kau sendiri mengapa begitu yakin kalau bintang Kalimukus yang jadi petunjuk itu akan muncul pada malam Sekaten? "

   Tanya Anggini.

   "

   Seorang abdi dalem di Keraton yang pernah kuselamatkan jiwanya memberitahu.

   Katanya satu malam dia mendengar pembicaraan Pangeran Ipong dan Ki Sepuh Dulantara.

   Mereka yang lebih dulu tahu petunjuk itu dari seorang pertapa di lereng Merapi.

   Tapi setelah memberi tahu si pertapa itu juga mengatakan bahwa dia akan turun dari pertapaan untuk mengadu nasib mendapatkan sepasang keris jantan betina Nagasona.

   Pangeran Ipong yang khawatir keduluan lalu memerintahkan Ki Sepuh Dulantara untuk membuat si pertapa tidak berdaya..."

   "

   Pangeran itu menyuruh bunuh si pertapa? "

   Tanya Anggini.

   "

   Membunuh secara pelan-pelan..."

   Jawab Wiro sambil garuk-garuk kepala.

   "

   Membunuh pelan-pelan bagaimana? "

   Anggini tidak mengerti.

   "

   Pertapa malang itu dirantai tangan dan kakinya lalu besi diikatkan pada sebatang pohon besar. Sepuluh duapuluh hari dia bisa bertahan. Tapi kalau sampai berbulan-bulan apa dia tidak akan mati kelaparan...? "

   Sepuluh tombak dari pinggiran jurang batu pualam dua ekor kuda hentikan lari mereka lalu meringkik keras.

   Orang gemuk yang tidur mengorok di atas susunan batang-batang pinang menggeliat.

   Kepalanya diangkat sedikit.

   Memandang ke kiri dan ke kanan.

   Lalu setelah menatap ke langit dia bangkit dan duduk.

   "

   Ah, sudah sampai kita rupanya..."

   Kata si gendut ini yang bukan lain adalah Si Raja Penidur, dedengkot dunia persilatan yang telah berusia lebih dari seratus delapan puluh tahun. Dia cabut pipanya dengan tangan kiri sementara tangan kanan mengucak-ucak sepasang matanya.

   "

   Sialan! Kenapa cepat-cepat sampai! Padahal aku masih ingin tidur! Mimpi-mimpi bagusku tadi jadi terputus! Huahhhhh! "

   Si gemuk menguak lebar-lebar lalu hisap pipanya dalam-dalam.

   "

   Dua ekor kuda. Kalian tentu keletihan. Kalian boleh pergi kemana saja. Tapi ingat pada saat aku mau pulang kalian harus ada di sini! "

   Si Raja Penidur melompat turun dari atas susunan batang pinang.

   Tali-tali yang mengikatkan batang-batang pinang ke punggung dua ekor kuda dibukanya.

   Lalu susunan batang pinang itu diturunkan, diletakan di kaki sebuah batu besar.

   Sekali lagi si gendut ini hisap pipanya dalam-dalam lalu rebahkan tubuh di atas batang-batang pinang.

   Sesaat ketika dia hendak mengorok tiba-tiba Page 39 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html terdengar suara orang menegur.

   "

   Kek! Tidak sangka akan bertemu dirimu di tempat ini! "

   Si Raja penidur menguap dulu baru buka sepasang matanya. Belum melihat siapa orang yang bicara dia sudah memaki.

   "

   Mengganggu orang yang sedang tidur bagiku sama dengan memutus daun telingaku! Siapa kadalnya yang berani mencari mati? Sialan! Siapa memanggilku kakek? Aku merasa tidak pernah jadi kakek di dunia ini! "

   Si raja Penidur bantingkan kaki kanannya ke batu.

   "

   Braaaaakkk.

   "

   Batu yang terkena bantingan kaki remuk amblas. Kawasan bukit batu sesaat terasa bergetar.

   "

   Kek, maafkan kalau aku mengganggu tidurmu! Aku Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede....

   "

   Si Raja Penidur menggeliat, menguap lebar-lebar lalu cantelkan pipa panjangnya di sela bibir. Setelah itu perlahan-lahan dia bangkit dan duduk diatas susunan batang pinang. Dua matanya yang kuyu dan selalu tampak mengantuk itu menatap ke depan.

   "

   Ah! Kau rupanya! Pantas! Memang hanya orang sableng yang berani menggangguku! Murid sableng, gurunya gendeng! Cocok! Sudah pergi sana! Aku mau tidur lagi! Sebentar malam ada pekerjaan dan urusan besar di tempat ini! Aku tak mau diganggu...! "

   Raja Penidur rebahkan kembali tubuhnya yang gemuk luar biasa.

   "

   Harap maafkan Kek. Aku senang melihat kau berada di sini. Kalau aku bisa membantu apa saja aku akan melakukan. Apakah kedatanganmu kemari ada sangkut pautnya dengan sepasang keris sakti yang terpendam di dasar jurang...? "

   Raja penidur menguap lebar.

   "

   Itu urusan gila! Aku memang datang kemari untuk melihat orang-orang gila berebutan keris jantan betina itu! Aku tidak mau ikut campur. Hanya ingin menonton....

   "

   "

   Jauh-jauh kau kemari hanya untuk menonton?! Aku tidak percaya Kek! Pasti ada penyebab lain... Kalau saja kau mau menceritakannya padaku...? "

   "

   Dasar sableng! Kau keliwat mendesak.

   Baik! Aku bilang padamu.

   Aku kemari karena mencium Dewi Ular ada di sekitar tempat ini.

   Di atas sini dia tidak kelihatan, baunya tidak tercium.

   Aku punya dugaan keras dia ada di dalam jurang! Beberapa waktu lalu dia membunuh teman-temanku.

   Kabarnya dia juga mencariku untuk menamatkan riwayatku.

   Kutunggu-tunggu tak pernah muncul.

   Aku jadi gatal kaki.

   Lebih baik aku saja yang keluar sarang mencarinya.

   Perempuan iblis itu perlu diberi pelajaran apa artinya nyawa bagi seseorang.

   Aku juga mau memperlihatkan bagaimana cara mati yang layak baginya! "

   "

   Hemm... Kalau dia yang berkata begitu itu agaknya memang Dewi Ular berada di sekitar sini. Jangan-jangan masih hidup di dalam jurang sana..."

   Wiro hendak menceritakan kejadian jatuhnya Dewi Ular ke dalam jurang.

   "

   Kek....

   "

   Page 40 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html "

   Sudahlah! Dari tadi kau ribut saja. Kak kek kak kek! Aku bosan mendengar suaramu. Lagipula aku sangat ngantuk. Kau boleh pergi. Aku mau tidur dulu....

   "

   "

   Sebentar Kek. Aku..."

   Tapi Si Raja Tidur telah picingkan dua matanya.

   Sesaat kemudian terdengar suara dengkurnya panjang pendek tidak berkeputusan.

   Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa garuk-garuk kepala.

   Akhirnya dia tinggalkan tempat itu.

   Kembali menemui Anggini di cabang pohon.

   Langit di sebelah barat tampak kemerahan oleh cahaya sang surya yang perlahan-lahan menggelincir ke ufuk tenggelamnya.

   Suasana di dalam jurang sunyi senyap.

   Begitu juga di luar jurang seolah-olah tak ada tanda-tanda kehidupan di tempat itu.

   Padahal di beberapa penjuru ada beberapa orang sama menunggu datangnya malam dengan rasa tegang.

   Ketika cahaya kuning merah sang surya perlahan-lahan lenyap, orang-orang yang ada di tempat itu merasa datangnya malam seperti merayap.

   Ketegangan jadi berlipat ganda.

   Bola penerang jagad itu akhirnya lenyap di sebelah barat.

   Bersamaan dengan itu suasana berubah mulai menjadi gelap.

   Di sebelah selatan mulut jurang semua anggota rombongan Pangeran Ipong tampak sejak tadi sudah dongakkan kepala memandang ke langit sebelah tenggara.

   "

   Pangeran! Lihat! "

   Tiba-tiba Ki Sepuh Dulantara berteriak membuat semua orang kaget dan berpaling padanya. Orang tua rambut kelabu ini menunjuk lurus-lurus ke langit.

   "

   Bintang yang kita tunggu-tunggu sudah muncul! Itu! Lihat! "

   Semua mata kemudian diarahkan pada jurusan yang ditunjuk si orang tua.

   Mula-mula mereka belum bisa melihat apa-apa.

   Namun setelah memperhatikan dengan pandangan tak berkesiap satu persatu semuanya melihat kemunculan sebuah bintang di langit sebelah tenggara.

   Bintang ini saat demi saat tampak semakin terang.

   Kilauannya lain dari yang lain yaitu merah di sebelah tengah dan biru pada kelilingnya.

   "

   Kelelawar Berjubah Hitam ..."

   Pangeran Ipong berkata pada nenek yang mengenakan jubah hitam berbulu di sampingnya.

   "

   Bintang Kalimukus sudah muncul. Apakah kau sudah siap...? "

   Nenek bermuka dan bermata sangat cekung itu mengangguk.

   "

   Saat yang kita tunggu akhirnya datang juga. Pangeran akan mendapatkan apa yang pangeran inginkan. Kelak jika pangeran sembuh dari kelumpuhan dan dinobatkan menjadi Raja pengganti Sultan yang saat ini sudah uzur, harap jangan lupakan diriku..."

   Pangeran Ipong mengangguk.

   "

   Janji sudah kita buat! Aku Pangeran Ipong Nalakudra tidak akan mengingkari janji. Satu jabatan tinggi akan menjadi hakmu ditambah satu rumah kediaman bagus..."

   "

   Bagaimana dengan pemuda-pemuda gagah kesukaanku? "

   Tanya si nenek yang rupanya masih doyan daun-daun muda.

   "

   Tak usah khawatir. Kau bakal mendapatkannya! "

   Jawab Pangeran Ipong Nalakudra dengan menekan rasa jengkelnya.

   Sebenarnya dia tidak suka pada nenek satu ini.

   Kalau tidak terpaksa dan butuh bantuannya dia tak akan pernah mau berhubungan dengan orang ini.

   Ki Sepuh Dulantara sendiri yang adalah kenalan dekat si nenek kini diam-diam jadi merasa iri.

   Dia telah mengabdi belasan tahun pada Pangeran Ipong, apa yang didapatnya biasa-biasa saja.

   Tapi si nenek Page 41 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html bergelar kelelawar berjubah hitam itu belum apa-apa sudah dijanjikan jabatan tinggi, rumah serta pemuda-pemuda gagah.

   "

   Tua bangka cabul! "

   Rutuk Ki Sepuh Dulantara dalam hati.

   Nenek muka cekung periksa jubahnya dengan teliti.

   Mantel hitam di belakang punggungnya dikembangkan beberapa kali hingga mengeluarkan suara menderu keras.

   Lalu dengan langkah tetap dia berjalan menuju jurang batu pualam.

   Saat itu keadaan belum gelap betul.

   Matanya yang cekung masih sanggup melihat dasar jurang.

   Pada bagian kawah yang ada air mendidihnya terlihat gejolak aneh.

   Air di dekat jurang itu bercipratan ke atas sampai setinggi tiga tombak.

   Lalu berhenti dan perlahan-lahan tampak air kawah menyurut seolah ada yang menyedot.

   Batu-batu runcing bermunculan dimana-mana.

   "

   Keadaan seperti yang diterangkan dalam kitab itu..."

   Kata nenek kelelawar berjubah hitam.

   "

   Tapi petunjuk akhir belum muncul. Aku harus menunggu... Harus menunggu....

   "

   Tiba-tiba mata si nenek kelihatan berkilauan.

   Di dasar jurang kelihatan dua larik sinar aneh.

   Mula-mula sinar-sinar ini redup saja.

   Namun perlahan-lahan tambah terang.

   Sinar di sebelah kiri berwarna merah kehitaman.

   Di sebelahnya ada sinar kuning kehitaman.

   Nenek Kelelawar Berjubah Hitam menyeringai.

   Dia kembangkan kedua tangannya.

   Jubah yang melekat di tubuhnya menggembung lebar.

   Pada samping kiri dan kanan hingga dia seolah-olah memiliki dua sayap sangat lebar.

   Jubah ikut mekar, begitu juga ujung jubah di bagian kakinya.

   Di saat bersamaan mantel di punggungnya ikut menggembung ke atas seolah-olah ada rongga di sebelah dalamnya berisi angin.

   Di atas pohon di dalam gelap Pendekar 212 Wiro Sableng tampak gelisah.

   "

   Kau memikirkan sesuatu? "

   Tanya Anggini.

   "

   Aku harus mengambil keputusan.

   "

   Jawab murid Sinto Gendeng itu.

   "

   Keputusan apa? "

   Tanya Anggini heran. Wiro tak menjawab melainkan tiba-tiba saja dia melompat turun dari cabang pohon "

   Hai! Kau mau kemana?! "

   Teriak Anggini bertanya.

   "

   Cari tumpangan turun ke dasar jurang! "

   Sahut Wiro.

   Lalu dia lari secepatnya menuju tepi jurang dimana nenek berjuluk Kelelawar Berjubah Hitam siap untuk melompat turun.

   Saat itu si nenek telah menghambur ke dalam jurang.

   Jubah dan mantel yang dikenakannya membuat tubuhnya laksana seekor burung besar melayang turun menuju dasar jurang.

   Di saat ini pulalah Wiro sampai di tepi jurang.

   Tanpa tunggu lebih lama tanpa ragu-ragu dia segera melompat.

   "

   Ada orang lari ke arah jurang! "

   Pangeran Ipong berteriak.

   "

   Apa yang hendak dilakukannya! Lekas cegah! "

   Lima orang prajurit dan seorang perwira muda segera menghambur.

   Tak ketinggalan Ki Sepuh Dulantara.

   Tapi terlambat saat itu Wiro sudah terjun.

   Tubuhnya tampak melayang sebelum akhirnya jatuh tepat dipunggung nenek kelelawar Berjubah Hitam Dua orang prajurit di tepi jurang angkat tangan mereka yang memegang tombak.

   Tapi si perwira muda Page 42 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html cepat mencegah. Dia khawatir serangan tombak akan mencelakai si nenek. Ki Sepuh Dulantara sendiri dengan alasan yang sama tidak bisa berbuat apa-apa pula.

   "

   Pemuda kurang ajar itu! Dia! Jahanam betul! "

   Si kakek hanya bisa memaki.

   "

   Ki Sepuh! Apa yang terjadi?! "

   Berteriak Pangeran Ipong.

   "

   Celaka Pangeran! Pemuda bergelar pendekar 212 itu! Dia melompati tubuh si nenek, merangkulnya dan ikut terjun ke bawah jurang....

   "

   "

   Lekas kau berteriak pada perempuan tua itu agar segera membunuhnya! "

   "

   Saya rasa memang itu yang akan dilakukan Kelelawar Berjubah Hitam. Jurang gelap gulita. Saya hanya melihat sebentar sebelum mereka lenyap ke bawah..."

   "

   Kalau sepasang keris Nagasona itu sampai jatuh ke tangan Pendekar 212, aku bersumpah untuk membawanya ke tiang gantungan dengan tuduhan perampok besar! "

   Habis berkata begitu sang pangeran seperti terhenyak di atas bangku kereta yang didudukinya. Nenek Kelelawar Berjubah Hitam tentu saja kaget bukan kepalang ketika tahu-tahu ada dua tangan merangkul dadanya yang peot datar.

   "

   Kurang ajar! Siapa kau?! "

   Teriaknya marah.

   "

   Aku tidak bermaksud jahat! Aku hanya ingin menumpang terjun sampai ke dasar jurang! "

   Jawab Pendekar 212 Wiro Sableng.

   "

   Keparat kurang ajar! "

   Si nenek menendang. Tendangannya hanya mengenai tempat kosong. Kini dia pergunakan tangan kanan untuk hantam kepala orang. Tapi ketika Wiro menangkis dan dua lengan saling beradu si nenek meringis kesakitan.

   "

   Nek, kalau kita terus berkelahi kita bisa celaka sendiri! "

   Teriak Wiro.

   "

   Kau yang celaka! Bukan aku! "

   Teriak si nenek.

   "

   Sekarang mampuslah! "

   Nenek Kelelawar kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Untuk kedua kalinya dia menghantam kepala Wiro.

   "

   Rupanya kau tak bisa diajak bersahabat! "

   Kata Wiro pula. Lalu jari-jari tangannya dipergunakan untuk menggelitik dada dan tulang rusuk si nenek. Karuan saja perempuan tua yang tubuhnya tidak berdaging lagi itu jadi kegelian setengah mati. Dia berteriak-teriak panjang pendek.

   "

   Jahanam! Hentikan perbuatanmu! "

   Teriak si nenek. Page 43 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html Wiro tidak perduli. Dia terus menggelitik. Kemudian dirasakannya ada cairan panas mengucur membasahi kakinya.

   "

   Gila! Nek, kau kencing ya?! "

   Teriak Wiro.

   "

   Jahanam! Tutup mulutmu! "

   Balas si nenek sambil tubuhnya bergoyang-goyang menahan geli.

   Kitikan Wiro rupanya membuat si nenek sampai hilang daya tahan dan tak sanggup menahan kencing.

   Sementara itu di goa pada dinding jurang sebelah timur Dewi Ular yang berjaga-jaga sejak sore hari telah pula melihat munculnya bintang Kalimukus di langit sebelah tenggara lebih dulu dari si nenek Kelelawar.

   Waktu dia memperhatikan ke arah dasar jurang yang mulai gelap jelas kelihatan dua larik sinar kuning dan merah kehitaman mencuat ke atas.

   "

   Sepasang keris sakti! Di sana rupanya letaknya! "

   Kata Dewi Ular.

   Segera dia mengambil payung raksasa yang dibuat Kunti Rao.

   Di luar goa payung serta merta dikembangkan lebar-lebar.

   Sesaat dia memandang ke bawah lalu tanpa tunggu lebih lama perempuan ini jatuhkan diri ke dalam jurang.

   Payung besar yang mengembang kukuh membuat tubuhnya melayang turun dengan mantap.

   Sambil melayang dia berpaling ke arah dinding jurang sebelah barat.

   Melihat kalau-kalau Datuk Sipatoka sudah muncul dan melakukan sesuatu untuk terjun ke dasar jurang.

   Namun saat itu keadaan sudah tambah gelap.

   Dewi Ular tak bisa melihat dengan jelas.

   Selagi dia melayang turun dengan perasaan lega karena merasa yakin dia bakal dapatkan sepasang keris mustika itu tiba-tiba di sebelah atasnya dia mendengar suara orang marah dan memaki panjang pendek.

   Lalu dalam gelap di sampingnya terlihat satu benda melayang jatuh cepat sekali.

   Ketika benda itu lewat di sebelahnya dia cepat memperhatikan.

   "

   Ada dua orang terjun ke bawah! Yang satu bergelantungan kepada yang lain..."

   Dewi Ular jadi tak senang hati. Kalau orang lain mampu terjun lebih cepat berarti dia bisa keduluan dalam mendapatkan dua senjata sakti itu. Perempuan ini jentikkan tangan kanannya dua kali berturut-tirut ke atas.

   "

   Breett! Breettt! "

   Payung yang terbuat dari kertas tebal itu robek dan berlubang besar di dua bagian.

   Robekan ini membuat daya tahannya terhadap angin berkurang.

   Akibatnya daya luncur payung yang digelantungi Dewi Ular itu menjadi lebih cepat.

   Dia berhasil menyusul jatuhnya dua orang tadi.

   Begitu saling bersisian Dewi Ular hantamkan tangan kanannya.

   Lancarkan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.

   "

   Nek! Jangan memaki saja! Kita diserang orang! "

   Teriak Wiro.

   Suara makian berhenti.

   Dua orang yang jatuh deras sadar kalau diri mereka diserang.

   Yang sebelah depan yaitu si Nenek Kelelawar kebutkan lengan jubah kirinya yang lebar laksana sayap burung raksasa.

   Satu gelombang angin menderu ke arah Dewi Ular.

   Orang yang bergelantungan di sebelah belakang yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng tak tinggal diam.

   Tangan kirinya memukul lepaskan pukulan "segulung ombak menerpa karang."

   Terdengar suara bergemuruh ketika selarik angin laksana topan menghantam ke arah Dewi Ular.

   Diserang dua pukulan dahsyat sepeti itu tubuh Dewi Ular bergoncang.

   Dia membuat gerakan jungkir balik dan putar payung besarnya demikian rupa hingga dirinya terlindung dari dua serangan lawan.

   Page 44 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html "

   Breettt! Breettt! "

   Payung kertas robek besar.

   Kayu-kayu penahan kertas patah berantakan.

   Dewi Ular berteriak.

   Entah kesakitan entah marah.

   Yang jelas dia cepat pegang paku hitam yang terikat di lengan tangannya.

   Begitu tenaga dalamnya disalurkan dia segera gerakkan paku hitam itu.

   Ujung lancip paku yang kini berwarna kuning emas itu kiblatkan sinar kuning angker.

   "

   Wussss! "

   Pendekar 212 Wiro Sableng tercekat melihat cahaya aneh menyambar ke arahnya.

   Secepat kilat dia memutar badan seraya menarik tubuh si nenek Kelelawar.

   Sadar apa yang hendak diperbuat orang terhadap dirinya si nenek membentak marah.

   Sikut kanannya dihantamkan ke kepala Wiro sedang tangan kirinya lepaskan tangkisan berupa satu pukulan mengandung tenaga dalam penuh! Pendekar 212 merasa kepalanya seperti meledak pecah.

   Siku kanan si nenek mendarat tepat di pelipis kirinya yang langsung menggembung bengkak.

   Pinggiran matanya robek.

   Darah serta merta mengucur.

   Si nenek Kelelawar Berjubah Hitam menerima nasib lebih jelek.

   Tangkisannya tak sanggup menahan sambaran sinar dingin kuning yang keluar dari ujung lancip paku hitam di tangan Dewi Ular.

   Perempuan tua itu memekik panjang.

   Sinar kuning paku sakti membelah tubuhnya mulai dari kening sampai ke dada.

   Sayatan luka mengerikan itu mula-mula kelihatan putih.

   Lalu perlahan-lahan berubah merah ketika darah membersit dan mengucur keluar.

   Tubuh si nenek tak ampun melayang jatuh ke bawah tanpa daya penahan lagi.

   Pendekar 212 ikut amblas.

   Untungnya saat itu dasar jurang hanya tinggal dua tombak.

   Sebelum tubuh si nenek terhempas dan menancap disebuah lancipan batu murid Sinto Gendeng cepat melompat.

   Ketika dia berhasil menjejakkan tanah di dasar jurang yang tanahnya berpasir, orang berpayung hancur yang barusan membunuh nenek Kelelawar sampai pula di dasar jurang.

   Dua orang ini saling berhadap-hadapan dalam jarak hanya terpisah lima langkah.

   Dua lari cahaya yang mencuat dari dalam tanah jurang membuat tempat itu cukup terang hingga satu sama lain saling melihat dan mengenali "

   Dewi Ular! Kau...! "

   Seru Pendekar 212 kaget.

   "

   Jadi kau belum mati rupanya! "

   Dalam keadaan seperti itu Dewi Ular masih bisa keluarkan suara tawa melngking.

   "

   Kalau kau anggap aku sudah mati, maka yang berdiri di hadapanmu saat ini adalah setan Dewi Ular! Mengapa kau terjun ke jurang ini?! "

   "

   Kau sendiri ada urusan apa berpayung-payung turun ke sini? "

   Balik bertanya Wiro.

   "

   Bicara denganmu memang menjengkelkan. Aku sudah bersumpah untuk membunuhmu! Tidak sangka saatnya ternyata datang begini cepat! "

   Dewi Ular putar paku hitam yang terikat di pergelangan tangannya.

   "

   Pendekar 212! "

   Katanya sambil acungkan paku yang ujungnya kuning.

   "

   Dulu dengan paku ini kau celakai diriku! Kini paku ini pula yang akan merenggut nyawamu! Kau sudah saksikan kematian tua bangka itu! Nasibmu tak bakal beda! "

   "

   Tunggu dulu! "

   Teriak Wiro seraya cepat siapkan pukulan sinar matahari di tangan kanan.

   "

   Orang gagah tapi culas! Sayang sekali maut datangnya tak bisa ditunda! "

   Dewi Ular tertawa panjang. Tangan kanannya yang memegang paku bergerak. Larikan sinar kuning berkiblat. Wiro angkat Page 45 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html tangannya.

   Namun gerakannya tertahan ketika tiba-tiba dia merasa seperti ada yang mendorong dirinya ke samping lalu satu sinar yang juga berwarna kuning menyambar ke arah sinar paku yang tengah menyerangnya.

   Satu letusan dahsyat menggelegar di dasar jurang.

   Air dan pasir bermuncratan.

   Tanah dan batu-batu di jurang bergetar keras.

   Pendekar 212 Wiro Sableng dan Dewi Ular jatuh terbanting ke tanah jurang.

   Di samping mereka kemudian bergedebukan dua sosok tubuh.

   Yang satu seorang kakek berkepala botak biru.

   Satunya lagi seorang pemuda berpakaian hitam yang kepala dan mukanya ditancapi paku.

   Wiro segera kenali pemuda ini dan tahu betul si pemudalah yang barusan menolongnya.

   Si kakek dan pemuda rupanya meluncur turun dari atas jurang dengan mempergunakan tali aneh yang panjang dan kuat.

   "

   Sandaka! "

   Seru Wiro.

   Pemuda itu tidak menjawab.

   Sandaka melompat kehadapan Dewi Ular.

   Kakek kepala botak yang tentunya adalah Datuk Sipatoka memperhatikan Dewi Ular sebentar lalu balikkan badan, melompat ke dasar jurang di mana terlihat mencuat cahaya kuning dan merah kehitaman.

   Secepat kilat orang tua ini pergunakan kedua tangannya untuk menggali tanah jurang yang gembur itu.

   Baru setengah jengkal menggali dua larik cahaya terlihat semakin terang.

   Sang Datuk menggali terus.

   Pada kedalaman satu jengkal tangannya kiri kanan menyentuh sesuatu.

   Dadanya berdebar keras.

   Dia pegang erat-erat dua benda itu lalu menariknya ke atas.

   Mata si kakek menjadi silau ketika dua benda yang dikeluarkannya dari dalam tanah jurang itu ternyata adalah sepasang keris tanpa sarung terbuat dari emas.

   Satu memancarkan warna merah kehitaman.

   Satunya lagi berwarna kuning kehitaman.

   Itulah sepasang keris mustika sakti Nagasona, satu jantan satu betina! "

   Keris Nagasona...! Aku berhasil mendapatkannya! "

   Teriak Datuk Sipatoka.

   "

   Sandaka! Lihat! "

   Sandaka tidak perhatikan teriakan kakek botak itu.

   Sepasang matanya tidak berkedip memandang pada Dewi Ular yang saat itu mencoba bangkit sambil pegangi dadanya yang berdenyut sakit.

   Sandaka sendiri merasakan aliran darah dan pernafasannya seperti tidak keruan akibat bentrokkan dua kekuatan sakti yang keluar dari paku.

   "

   Kunti Arimbi..."

   Kata Sandaka menyebut nama asli Dewi Ular.

   "

   Jadi kau belum mati! "

   "

   Kau sendiri juga belum mampus! "

   Sahut Dewi Ular sambil menyeringai.

   Hasratnya untuk membunuh Sandaka tidak bisa ditahan.

   Tapi saat itu perhatiannya terbagi pada Datuk Sipatoka yang telah berhasil mendapatkan sepasang keris Nagasona.

   Akalnya bekerja.

   Di bibirnya yang merah merekah senyum.

   Lalu terdengar suaranya lembut.

   "

   Sandaka, dalam keadaan seperti ini apa ada perlunya kita melampiaskan dendam masa lampau? Kau dan aku, masih terbuka jalan bagi kita untuk menguasai dunia persilatan.

   Jangan khawatirkan keadaanmu.

   Dua keris ini sanggup memulihkan tubuhmu semula.

   Jadi saat ini yang harus kau lakukan ialah mengambil sepasang senjata itu dari tangan kakek botak itu! Lekas lakukan Sandaka! Ambil dua bilah keris itu...! "

   Sandaka Arto Gampito menyeringai.

   "

   Masamu menguasai dan memerintah diriku sudah lama berlalu Dewi Ular. Perlakuanmu terhadapku selama ini sangat keji! Kau membuat aku buta hingga menumpuk dosa yang tak sanggup aku pikul! Jalan terbaik untukmu adalah menebus semua itu dengan nyawamu! "

   Sandaka rentangkan kedua kakinya. Bagian bawah perutnya kelihatan seperti menyala oleh satu cahaya berwarna kuning. Dewi Ular terkejut. Dia cepat pegang paku hitam yang terikat di pergelangan tangan Page 46 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html kanannya. Sambil memegang paku dia melangkah mundur. Tiba-tiba perempuan ini membentak keras. Tubuhnya melesat ke samping.

   "

   Datuk awas! "

   Teriak Sandaka.

   Tapi terlambat.

   Serangan Dewi Ular datang sangat cepat.

   Satu tendangan menghantam punggung orang tua berkepala botak itu demikian dahsyatnya hingga tulang punggungnya remuk.

   Tubuhnya mencelat.

   Keris Nagasona di tangan kanannya yakni yang jantan terlepas mental.

   Dengan cepat Dewi Ular berusaha menyambarnya.

   Tapi dari samping Pendekar 212 bertindak lebih cepat.

   Didahului dengan menghentakkan pukulan "sinar matahari"

   Ke arah Dewi Ular dia melompat menyambar keris Nagasona jantan.

   Melihat cahaya putih panas menyambar ke arahnya dengan suara menggemuruh dahsyat Dewi Ular terpaksa tarik tangannya yang hendak mengambil keris Nagasona jantan.

   Penuh marah dia membuat gerakan menusuk dengan paku hitamnya.

   Sinar maut berwarna kuning menyambar ke arah Pendekar 212 pada saat belum lagi murid Sinto Gendeng ini sempat memegang keris Nagasona jantan yang masih melayang di udara.

   Pada saat itulah tiba-tiba menggelegar suara perempuan dari bagian atas jurang.

   "

   Manusia-manusia tolol! Apa yang kalian buat di tempat ini?! "

   Suara keras dari atas itu sangat berpengaruh.

   Membuat semua orang mendongak dan sama-sama terkesiap.

   Dalam gelapnya malam, hanya diterangi oleh cahaya keris Nagasona jantan yang masih melayang di udara dan keris Nagasona betina yang masih ada di tangan kiri Datuk Sipatoka kelihatan satu sosok tubuh perempuan mengenakan kemben dilapisi jubah hijau berkilat turun ke bawah.

   Yang membuat semua orang hampir tak bisa percaya ialah perempuan ini melayang turun dengan berpijak pada tubuh bergelung seekor ular besar warna hitam kuning.

   Binatang ini keluarkan suara berdesis tiada henti.

   Begitu sampai di tanah jurang tiba-tiba dia membuka gelungnya.

   Kepalanya melesat dua kali.

   Semua orang keluarkan seruan tertahan.

   Sesaat kemudian keris Nagasona jantan yang tadi melayang di udara dan keris Nagasona betina yang sebelumnya masih berada dalam genggaman tangan kiri Datuk sipatoka kini tahu-tahu telah berada dalam gigitan ular besar itu! Ular besar naikkan kepalanya ke atas.

   Perempuan berpakaian hijau berkilat cepat ambil sepasang keris Nagasona, membuat semua orang yang ada di situ jadi melongo sekaligus geram.

   Hanya Dewi Ular yang tampak tenang sekali bahkan ada senyum tersembul dari bibirnya.

   Sementara itu ular hitam kuning menjalar di atas tubuh perempuan itu.

   "

   Ratu..."

   Panggil Dewi Ular. Perempuan berbaju hijau yang di kepalanya ada mahkota yang terbuat dari ular yang telah dikeringkan menyapu wajah semua orang yang ada di jurang itu dengan pandangan mata dingin. Lalu tanpa menoleh pada Dewi Ular dia berkata.

   "

   Dewi Ular, lekas melangkah ke sampingku! "

   Dewi Ular cepat melakukan apa yang dikatakan orang. Begitu berada di sampingnya dia berkata.

   "

   Terima kasih Ratu Ular, kau bersedia datang untuk menolongku..."

   "

   Aku datang bukan untuk menolongmu! Selama ini kau banyak berbuat lalai. Kalau bukan Page 47 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html karena perbuatanmu aku tidak bakal kesasar ke tempat ini! "

   "

   Maafkan saya Ratu Ular. Saya mohon ampunmu! "

   Dari balik jubahnya Ratu Ular keluarkan sebuah benda berwarna kuning yang ternyata adalah sebuah mahkota kecil dan berbentuk kepala ular. Dewi Ular terkejut melihat benda itu.

   "

   Ini milikmu...? "

   Tanya Ratu Ular.

   "

   Betul Ratu. Mahkota itu jatuh waktu saya..."

   "

   Sudah! Tutup mulutmu! Aku sudah tahu semua yang terjadi. Mendekat padaku! "

   Perintah Ratu Ular.

   "

   Ratu kau hendak menghukumku...? "

   Tanya Dewi Ular ketakutan. Tapi dia bergerak juga mendekati sang ratu. Begitu Dewi Ular berada di sampingnya, Ratu Ular usapkan sepasang keris Nagasona ke bahu dan dada perempuan itu.

   "

   Wusss! "

   "

   Wusss! "

   Dua kali asap dingin kelabu mengepul dari tubuh Dewi Ular.

   Ketika asap lenyap Dewi Ular terpekik.

   Bukan pekik sakit atau ketakutan.

   Tapi pekik gembira.

   Sapuan sepasang senjata sakti itu telah menyembuhkan cacat luka hantaman Kapak Maut Naga Geni 212 di bahu dan dadanya.

   Tubuhnya kembali utuh dan mulus seperti semula.

   Bahkan wajahnya tampak segar berdarah kembali dan tambah cantik.

   "

   Terima kasih Ratu... Terima kasih..."

   Kata Dewi Ular manggut-manggut lalu jatuhkan diri di hadapan Ratu Ular.

   "

   Lekas berdiri! Saatnya kita tinggalkan tempat ini! "

   Kata Ratu Ular pula. Dewi Ular bangkit berdiri. Dia memandang pada Datuk Sipatoka, Pendekar 212 Wiro Sableng dan Sandaka.

   "

   Bagaimana dengan orang-orang ini? "

   Tanyanya pada sang ratu. Ratu Ular berpikir sejenak lalu berkata.

   "

   Jika dia mau menjadi hamba sahaya kita, dua pemuda itu boleh kau ajak serta. Yang berkepala botak biru itu hanya merusak pemandangan saja! Aku jijik Page 48 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html melihat tua bangka ini. Harap kau lekas membunuhnya! "

   "

   Perintah akan saya lakukan Ratu.

   "

   Kata Dewi Ular.

   Dia angkat tangan kanannya yang memegang paku hitam.

   Paku lalu ditusukkan pada Datuk Sipatoka.

   Selarik sinar dingin kuning menyambar.

   Mendapat serangan maut ini sang datuk tentu saja tidak berlaku ayal.

   Sambil melompat ke samping dia dorongkan kedua tangannya.

   Dua larik cahaya yang juga berwarna kuning menggemuruh menangkis serangan selarik sinar kuning yang keluar dari paku.

   "

   Bummm! "

   Tubuh Datuk Sipatoka bergoncang keras.

   Dari mulutnya keluar darah segar.

   Dewi Ular belum puas dia cepat melompat sambil tusukkan paku hitam berujung kuning ke kening orang tua itu.

   Kini sang datuk tidak bisa lagi selamat dari kematian! Pada saat itu dari samping terdengar bentakkan Sandaka.

   Tubuhnya melesat dan dari selangkangannya di mana tertancap paku hitam yang bagian kepalanya sudah diasah itu menyambar larikan sinar kuning yang lebih besar dari yang sanggup dikeluarkan oleh paku milik Dewi Ular.

   Karena tidak menyangka akan mendapat serangan Dewi Ular hanya sempat berkelit sedikit.

   Larikan sinar kuning memapas bagian belakang kepalanya.

   Dari tempatnya berdiri Ratu Ular yang melihat kejadian itu segera angkat dua keris Nagasona ke atas.

   Dia kerahkan tenaga dalam lalu lepaskan pukulan jarak jauh melewati dua senjata sakti ini.

   Apa yang terjadi sungguh luar biasa.

   Dari tubuh sepasang keris tanpa sarung itu melesat keluar cahaya kuning sangat terang.

   Dua cahaya ini langsung menghantam musnah larikan sinar kuning yang keluar dari bawah perut Sandaka.

   Si pemuda merasakan tubuhnya tergontai-gontai.

   Kalau tak lekas di tolong tubuhnya akan segera digulung serangan lawan! "

   Ratu Ular! Aku ingin menjajal kehebatan sepasang keris itu! "

   Satu suara menggeledek disusul dengan berkoblatnya sinar putih menyilaukan serta menghamparnya hawa panas lalu menggemuruhnya suara aneh laksana seribu tawon mengamuk! Itulah sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 yang dihantamkan Wiro ke arah Ratu Ular.

   Kalau semua orang merunduk kaget melihat serangan kapak itu Ratu Ular tetap tegak bahkan ganda tertawa.

   Dia angkat tangan kanannya yang memegang dua bilah keris sakti.

   Kembali dua larik sinar kuning menggebu.

   Pendekar 212 Wiro Sableng menjerit keras.

   Kapak Naga Geni 212 mencelat mental dari pegangannya.

   Dia sendiri kalau tidak lekas jatuhkan diri berlindung di balik satu batu besar yang runcing niscaya akan celaka berat! Batu tempatnya berlindung hancur berantakkan tapi Wiro selamat dari serangan maut walau sekujur tubuhnya kotor oleh hancuran batu dan tanah becek di dasar jurang.

   "

   Dewi Ular kau lihat sendiri! Aku sudah memberi kesempatan pada dua pemuda itu untuk ikut kita! Tapi mereka adalah manusia-manusia culas yang tidak bisa dipercaya! Biar keduanya meregang nyawa di tanganku! "

   Habis berkata begitu Ratu Ular angkat tangan kanannya kembali. Justru pada saat itu ada sesiur angin menyambar dari atas. Bersamaan dengan itu ada suara sesuatu meluncur di tali yang masih tergantung di dinding jurang. Lalu "

   Buk! "

   Satu sosok tubuh luar biasa besarnya jatuh berdebam di atas tanah jurang. Kaki ke atas kepala ke bawah sedang pinggangnya melintang di atas sebuah batu jurang. Luar biasanya Page 49 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html walau orang ini jatuh kepala duluan tapi lehernya tidak patah dan kepalanya tidak remuk.

   Begitu juga punggungnya yang menghantam batu runcing sama sekali tidak cedera.

   Malah terdengar suaranya seperti menguap.

   Lalu ada asap berbau tembakau memenuhi jurang itu.

   Tak lama kemudian terdengar suara orang mengorok keras! "

   Raja Penidur! "

   Seru Wiro ketika dia mengenali siapa yang tergelimpang kaki ke atas kepala ke bawah itu.

   "

   Celaka! Jangan-jangan kepalanya sudah pecah! "

   Wiro melompat dan cepat memeriksa.

   "

   Gila! Bagaimana dia masih bisa tidur dalam keadaan seperti ini! Hai! Kek! Bangun! "

   Wiro guncang tubuh itu.

   Tapi tubuh gemuk ratusan kati itu tidak bergerak sedikitpun.

   Tidak kehilangan akal Wiro cabut pipa dari mulut Raja Penidur.

   Ujung pipa ditusukkannya ke salah satu lobang hidung si gendut ini lalu dikocok-kocok hingga akhirnya Raja Penidur terbangun sambil berbangkis.

   Wiro cepat selipkan kembali pipa panjang itu ke mulut si Raja Penidur.

   "

   Aku enak-enak tidur mengapa dibangunkan? Sialan betul! Siapa kalian ini orang-orang jelek semua! Hah?! "

   Raja Penidur menggeliat.

   Lalu dengan gerakkan malas-malasan dia berdiri sambil bersandar ke sebuah batu lancip berbentuk tiang.

   Pada saat si Raja Penidur menggeliat tadi, Ratu Ular yang tampak ada perubahan besar pada raut wajahnya memberi isyarat pada Dewi Ular seraya berbisik.

   "

   Lekas ikuti aku! "

   Dewi Ular hendak bertanya tapi memutuskan untuk diam dan mengikuti saja apa perintah sang ratu. Namun baru saja keduanya bergerak tiba-tiba sekali sosok si Raja Penidur sudah berada di depan mereka.

   "

   Untari... Kau masih saja berkelakuan macam-macam. Apa kekecewaan masa muda masih menghantui dirimu.

   "

   Semua orang yang ada di tempat itu terheran-heran mendengar kata-kata si gemuk.

   Siapa yang bernama Untari itu? Lalu mereka melihat bagaimana berubahnya wajah Ratu Ular.

   Sikapnya menunjukkan rasa gelisah kalau tidak mau dikatakan takut.

   Takut pada siapa? "

   Raja Penidur, urusan masa lalu tak perlu diungkit-ungkit..."

   Terdengar Ratu Ular bersuara. Jadi dialah yang bernama Untari.

   "

   Kalau begitu baiklah. Kau boleh pergi. Tapi ada dua hal harus kau tinggalkan..."kata Si Raja Penidur pula.

   "

   Hemmm...Apakah itu? "

   Tanya Ratu Ular. Si Raja Penidur menyedot pipanya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya ke udara hingga tempat itu disamaki oleh tembakau. Setelah menguap dan mengucak kedua matanya baru dia menjawab.

   "

   Pertama, serahkan padaku sepasang keris Nagasona itu. Dua senjata mustika itu bukan milikmu.

   "

   "

   Lalu apakah keduanya milikmu? "

   Tukas Ratu Ular.

   "

   Jelas bukan milikmu. Aku hanya menjadi perantara untuk mengembalikannya pada pemiliknya. Sebentar lagi utusan si pemilik akan datang untuk mengambil..."

   Page 50 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html Ratu Ular tertawa panjang.

   "

   Ceritamu enak sekali didengarnya..."

   "

   Aku tidak bicara dusta. Tidak pernah..."

   "

   Kecuali terhadapku...? "

   "

   Ah, kau sendiri tadi mengatakan urusan masa lalu tak perlu diungkit-ungkit! "

   Si Raja Penidur berubah parasnya. Tapi hanya sebentar.

   "

   Menurutku ini adalah penyelesaian yang paling baik..."

   "

   Kau belum mengatakan hal kedua..."

   Ratu Ular alihkan pembicaraan.

   "

   Hal kedua yang harus kau tinggalkan di sini adalah perempuan muda berjuluk Dewi Ular itu...

   "

   Jawab Si Raja Penidur.

   "

   Apa keperluanmu dengan dirinya?! "

   Bentak Ratu Ular.

   "

   Apa kau hendak memperlakukannya seperti yang kau perbuat padaku puluhan tahun silam?! "

   "

   Eh, bagaimana ini..."

   Pikir Pendekar 212 Wiro Sableng sambil garuk-garuk kepala.

   "

   Perempuan itu menyebut-nyebut masa puluhan tahun lalu. Memangnya usianya berapa? "

   Si Raja Penidur batuk-batuk beberapa kali. Setelah menguap lebar-lebar diapun berkata.

   "

   Itu dua permintaanku. Terserah padamu mau memenuhinya atau tidak..."

   "

   Aku ingin tahu apa yang hendak kau lakukan terhadap muridku Dewi Ular? Jawab dulu itu! "

   "

   Kau tahu apa yang sudah diperbuatnya? Dosanya membunuhi tokoh-tokoh silat tidak bersalah sedalam lautan setinggi langit! Kau kira dia bisa lolos begitu saja dari hukuman? Mengingat hubunganmu denganku aku bersedia melindunginya dari balas dendam yang mengerikan.

   Biar aku yang mengatur hukuman terbaik bagi dirinya....

   "

   "

   Hemmm begitu? Hukuman terbaik baginya adalah ikut bersamaku. Saat ini kemana aku pergi dia harus ikut! "

   Kata Ratu Ular pula.

   "

   Terserah padamu. Aku sudah menawarkan yang terbaik! Mataku sudah mengantuk. Aku ingin menyelesaikan urusan ini sebelum aku tidur lagi....

   "

   "

   Aku tidak akan memenuhi apa-apa Raja Penidur. Seperti kau tidak memenuhi apa-apa terhadap diriku! "

   "

   Sayang sekali kalau begitu..."

   Kata Raja Penidur seperti tak acuh.

   Dia kembali menguap lebar-lebar.

   Ratu Ular memberi isyarat pada Dewi Ular.

   Kedua orang itu cepat melangkah pergi.

   Namun baru berjalan dua tindak tiba-tiba dari atas ada satu sinar terang melayang turun.

   Ketika sinar itu mencapai pertengahan jurang semua orang yang ada di tempat itu terkesiap.

   Yang melayang turun adalah seorang gadis sangat cantik.

   Sosok tubuhnya menebar bau harum kembang melati.

   Dan tubuh ini hanya terbalut segulung kain putih yang sangat halus tembus pandang.

   Tenggorokan Pendekar 212 Wiro Sableng tampak turun naik.

   Matanya memandang tak berkedip.

   Hal yang sama terjadi juga dengan Sandaka sementara Datuk Sipatoka yang berada dalam keadaan luka jadi Page 51 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html lupa diri dan ikut-ikutan menyaksikan pemandangan indah itu tanpa berkesip. Si Raja Penidur menguap dan tarik pipa dari sela bibirnya.

   "

   Utusan yang ditunggu sudah datang. Aku tidak bisa membantumu lagi Untari..."

   Untari alias Ratu Ular dan sang murid Dewi Ular sama-sama terkesiap.

   Gadis cantik jelita yang melayang turun tegak di hadapan Ratu Ular.

   Wiro melihat jelas kalau dua kakinya yang bagus dan putih mulus sama sekali tidak menginjak dasar jurang.

   Kalau tadi dia begitu terpesona melihat kecantikan dan sosok tubuh si jelita yang hampir polos itu maka kini tengkuknya terasa dingin.

   Gadis berbalut kain putih halus itu memberi isyarat pada Ratu Ular lalu mengulurkan tangannya meminta agar sepasang keris Nagasona diserahkan padanya.

   Ratu Ular melangkah mundur.

   Tangan kirinya mengusap kepala ular besar yang bergelung di lehernya.

   Dia melirik pada murid di sebelahnya lalu memberi isyarat.

   Dewi Ular yang tahu isyarat itu segera siapkan paku hitamnya.

   Lalu berlangsunglah tiga serangan yang mematikan.

   Serangan pertama, ular besar di leher Ratu Ular mematuk ke arah muka gadis jelita.

   Serangan kedua sambaran sinar kuning yang keluar dari ujung lancip paku yang dilancarkan Dewi Ular.

   Serangan ketiga ini yang terhebat adalah cahaya kuning besar yang menghampar keluar dari sepasang keris sakti.

   Manusia biasa, betapapun tinggi ilmunya diserang begitu rupa pasti tak bisa loloskan diri dari kematian.

   Namun gadis jelita yang tidak berpijak ke bumi itu tenang saja.

   Gerakannya lemah gemulai seperti penari ketika tangan kanannya diangkat dengan telapak terkembang.

   Tiga serangan yang datang ke arahnya laksana tersedot masuk ke dalam telapak tangan itu.

   Binatang itu menggeliat-geliat sesaat lalu jatuh terkapar di tanah jurang dengan kepala hancur.

   Ketika tangan kiri gadis jelita itu ikut bergerak, tahu-tahu sepasang keris sakti Nagasona telah berpindah dari tangan Ratu Ular ke dalam genggamannya! Seperti orang gila Ratu Ular berteriak keras.

   Kedua tangannya dipukulkan ke arah lawan yang hanya berjarak dua langkah dari hadapannya.

   Dari dua tangan itu secara tidak terduga melesat dua senjata berbentuk tombak dengan kepala tombak menyerupai kepala ular sendok.

   Yang diserang kembali angkat tangan kirinya.

   Kali ini gerakannya cepat sekali.

   Lalu.

   "

   Trak... trak... trak...! "

   Bukan cuma dua tombak kepala ular itu saja yang hancur berpatahan, tapi dua tangan Ratu Ular ikut hancur mulai dari ujung jari sampai ke pergelangan tangan.

   Ratu Ular meraung keras.

   Dewi Ular, meski bergidik melihat apa yang terjadi mendadak menjadi nekat dan kembali pergunakan dua paku saktinya untuk menyerang.

   Sebelum larikan dua sinar kuning keluar dari paku itu, si jelita berbalut kain putih ulurkan tangannya.

   "

   Kraaakkk! "

   Paku hitam dan tangan kiri Dewi Ular hancur luluh. Seperti sang ratu, dari mulut Dewi Ular terdengar pula raungan menggidikkan. Murid dan guru terhuyung-huyung nanar menahan sakit. Begitu keduanya saling berbenturan, Ratu Ular berkata.

   "

   Dewi, aku rasa tidak ada gunanya lagi hidup dengan derita cacat seperti ini. Ikuti apa yang aku lakukan...

   "

   "

   Saya mengerti Ratu, Saya siap...

   "

   Sahut Dewi Ular. Page 52 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html Tidak terduga dan tidak bisa dicegah, Ratu Ular dan Dewi Ular didahului teriakan keras sama-sama berlari lalu hujamkan kepala masing-masing ke dinding batu jurang.

   Suara kepala mereka yang pecah remuk terdengar mengerikan! Si Raja Penidur geleng-geleng kepala.

   Matanya semakin kuyu dan dia menguap berulang kali.

   Di sebelah sana, gadis jelita berbalut kain putih tembus pandang palingkan tubuhnya ke arah Si Raja Penidur.

   "

   Terima kasih kau sudah datang menjemput sendiri dua senjata sakti.

   Kau boleh pergi dan membawanya kepada pemiliknya di Pantai Selatan.

   Hanya saja kalau aku boleh meminta, saat ini ada dua orang yang menderita sakit di jurang ini.

   Lalu ada satu lagi di atas jurang sana.

   Aku mohon kau mau pergunakan sepasang senjata sakti itu untuk mengobati mereka...

   "

   Si cantik yang diajak bicara hanya mengangguk-anggukkan kepala.

   Lalu melangkah seperti melayang.

   Pertama sekali dia mendekati Datuk Sipatoka yang menderita luka parah di sebelah dalam akibat bentrokan pukulan sakti dengan Dewi Ular tadi.

   Sekali saja sepasang keris Nagasona diusapkan ke wajah dan dadanya, maka asap kelabu dingin mengepul.

   Begitu asap lenyap, kelihatan sang datuk tersenyum.

   Luka dalam yang dideritanya serta merta sembuh.

   Dia sanggup berdiri dan cepat menjura pada si jelita sebagai ucapan terima kasih.

   Selesai menyembuhkan Datuk Sipatoka, gadis berbalut kain putih mendekati Sandaka.

   Kembali dia pergunakan sepasang keris Nagasona untuk mengusap kepala, muka dan tubuh pemuda yang penuh ditancapi paku itu.

   "

   Wusss... wusss... wusss! "

   Asap kelabu mengepul berbuntal-buntal.

   Terdengar suara benda-benda keras bermentalan, lalu jatuh ke dasar jurang.

   Ketika asap kelabu lenyap, kelihatan kepala, muka dan tubuh Sandaka mulus.

   Puluhan paku yang menancap di kepala, muka dan tubuhnya lenyap dan kini kelihatan bergeletakan di tanah jurang.

   Semua orang yang menyaksikan kejadian ini leletkan lidah saking kagumnya.

   Sandaka berbungkuk hampir bersujud untuk menyampaikan rasa terima kasihnya.

   "

   Terima kasih kau telah mengobati dua orang itu.

   "

   Si Raja Penidur berucap.

   "

   Seperti permintaanku tadi, di atas sana ada seorang pangeran menderita lumpuh selama belasan tahun. Mohon kau mau mengobatinya...

   "

   Gadis yang diajak bicara anggukkan kepala. Dia memandang berkeliling seolah minta diri. Sebelum tubuhnya melayang ke atas, Pendekar 212 Wiro Sableng berseru.

   "

   Tunggu, aku juga sakit, tolong sembuhkan! "

   Si Raja Penidur cabut pipanya dari sela bibir lalu membentak.

   "

   Anak sableng! Jangan kau berani macam-macam! "

   Wiro jadi tersurut garuk-garuk kepala.

   Si gadis di sebelah sana tersenyum lalu kedipkan matanya pada sang pendekar.

   Sesaat setelah gadis itu melayang ke atas dan cahaya benderangnya lenyap dalam kegelapan malam, Wiro membungkuk mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi tercampak di tanah.

   Lalu dia berpaling pada Si Raja Penidur.

   "

   Kek, kenapa dia tak boleh menolongku? Bentrokan dalam perkelahian tadi menyebabkan sakit di sekujur badanku! "

   Si Raja Penidur tertawa mengekeh.

   "

   Aku sudah tua. Usiaku lebih dari seratus delapan puluh tahun. Masakan bocah sepertimu bisa membohongiku. Kau pura-pura minta diobati padahal Page 53 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html sebenarnya hanya ingin diusap jari-jari bagus gadis itu! Ayo! Jangan kau berani berkilah! "

   Wiro tertawa lebar dan kembali garuk-garuk kepala. Datuk Sipatoka melangkah ke hadapan Si Raja Penidur.

   "

   Sahabat, kalau tidak ada kau kami semua di sini tentu sudah menjadi mayat. Aku mewakili mereka mengucapkan terima kasih.

   "

   Si Raja Penidur hanya mengangguk perlahan lalu menguap.

   "

   Ada satu hal yang ingin aku tanyakan. Menyangkut Ratu Ular. Berapa usia perempuan itu sebenarnya? "

   Tanya Datuk Sipatoka pula. Si Raja Penidur geleng-gelengkan kepala.

   "

   Aku sudah seratus delapan puluh tahun lebih Perempuan itu hanya terpaut duapuluh tahun di bawahku...

   "

   "

   Astaga! "

   Ujar Wiro.

   "

   Kalau usianya memang seratus enampuluh tahun, mengapa kelihatan dia masih begitu muda? Seperti hanya berumur empat puluhan...? "

   Si Raja Penidur tertawa bergelak.

   "

   Perempuan itu punya kepandaian untuk mengubah wajah dan keadaan tubuhnya. Masih untung dia jadi perempuan empat puluh tahunan. Kalau dua puluhan kau pasti sudah naksir! Ha... ha... ha...! "

   "

   Kek, bagaimana kita keluar dari dasar jurang ini? "

   Tanya Wiro.

   "

   Nah, nah! Kau mulai cemas ingin buru-buru keluar dari sini. Tak usah khawatir. Aku tahu ada lorong rahasia yang membawa kita ke bebukitan di atas sana. Rupanya kau barusan ingat pada gadis berbaju ungu yang menunggumu di atas sana ya? "

   Wiro tertawa lebar.

   "

   Kau rupanya sudah tahu segalanya Kek! "

   Empat orang itu berjalan beriringan. Si Raja Penidur di sebelah depan, Menyusul Datuk Sipatoka, lalu Sandaka danh di belakang sekali Pendekar 212 Wiro Sableng. Sambil berjalan, di suatu tempat murid Sinto Gendeng yang suka usil ini ingat sesuatu.

   "

   Sandaka.

   "

   Bisiknya memanggil.

   "

   Semua paku-paku baja murni yang sebelumnya menancap di kepala dan tubuhmu tercabut mental secara aneh berkat sepasang keris Nagasona itu.

   "

   "

   Ya, aku sangat berterima kasih pada gadis ajaib itu. Mungkinkah dia seorang bidadari...? "

   "

   Anggap saja begitu. Tapi ada hal lain yang ingin aku tanyakan padamu...

   "

   "

   Apa? "

   "

   Setahuku ada sebuah paku lagi yang menancap di anu-mu! Ingat apa yang aku lakukan padamu dulu? "

   "

   Lalu...? "

   Tanya Sandaka masih tidak mengerti.

   "

   Apakah tadi paku yang satu itu juga sanggup dicabut mental oleh sepasang keris sakti itu? "

   Sandaka terdiam. Sesaat kemudian dia menjawab.

   "

   Tentu saja, kurasa begitu...

   "

   Page 54 Generated by ABC Amber LIT Converter,
http.//www.processtext.com/abclit.html "

   Kau rasa katamu. Agaknya kau sendiri merasa ragu.

   "

   "

   Tidak, aku tidak ragu. Aku merasa pasti! "

   "

   Kau bicara begitu tapi nada suaramu terdengar ada kebimbangan... Coba kau periksa. Pegang anu-mu itu untuk membuktikan bahwa paku itu benar-benar tidak menancap lagi di 'burung'-mu.

   "

   "

   Sialan kau! "

   Mengomel Sandaka.

   "

   Perlu apa aku memegangnya segala?! "

   "

   Tidak apa-apa, hanya sekadar untuk meyakinkan...

   "

   Diam-diam Sandaka menjadi bimbang juga.

   Dia memandang ke belakang ke arah Wiro.

   Murid Sinto Gendeng dilihatnya menyeringai.

   Akhirnya Sandaka susupkan tangan kirinya ke balik celana panjangnya.

   Dia meraba ke bawah perut, lalu terdengar dia menarik nafas lega.

   "

   Bagaimana? "

   Tanya Wiro.

   "

   Tidak ada! Paku satu itu tak ada lagi di anu-ku! "

   Jawab Sandaka.

   "

   Syukurlah. Kau sekarang benar-benar telah jadi manusia sempurna kembali. Kalau paku itu masih menancap di sana, apa kau pernah membayangkan gadis mana yang mau kawin denganmu...

   "

   "

   Sialan! Jalan pikiranmu kotor amat! "

   Ujar Sandaka. Dalam gelapnya lorong yang mereka lalui Pendekar 212 tak dapat lagi menahan tawanya.

   "

   Anak sableng! "

   Si Raja Penidur terdengar mengomel di sebelah depan.

   "

   Kalau kau tak bisa diam, aku lebih baik tidur saja di lorong ini. Kalian boleh menunggu aku bangun sampai berbulan-bulan...

   "

   "

   Kek, maafkan diriku...

   "

   Ujar Wiro.

   "

   Apa yang lucu hingga kau tertawa begitu rupa?! "

   Tanya Si Raja Penidur pula.

   "

   Anu Kek... Maksudku si Anu anu-nya sudah tidak ada anunya lagi. Jadi benar-benar sudah anu...

   "

   Jawab Wiro.

   "

   Dasar anak gila! "

   Maki Si Raja Penidur. Di sebelah belakang, Wiro dan juga Sandaka setengah mati menahan tawa. (Tamat) Page 55

   

   

   

Pendekar Rajawali Sakti Pembalasan Iblis Sesat Raja Petir Pencuri Kitab kitab Pusaka Putri Bong Mini Iblis Pulau Neraka

Cari Blog Ini