Pangeran Bunga Bangkai 1
Satria Lonceng Dewa Pangeran Bunga Bangkai Bagian 1
PANGERAN BUNGA BANGKAI Di depan semak belukar lebat, bersandar ke sebuah batu hitam duduk menjelepokdi tanah satu mahlukyang seumur hidup baru kali itu dilihat Ratu Dhika Gelang Gelang.
Jika manusia mana kepalanya.
Kalau hantu mengapa tubuhnya utuh seperti seorang manusia.
Sebagai pengganti kepala ada sekuntum bunga luar biasa besar berwarna kuning berbintik coklat.
Pada bagian tengah bunga mencuat kuncup berwarna hijau setinggi tiga jengkal.
Bunga aneh ini menebar bau busuknya bangkai yang membuat Ratu Dhika Gelang Gelang hampir tidak sanggup menahan muntah.
"Bunga Bangkai..."
Ucap Ratu Dhika Gelang Gelang.
MAHLUK TANPA KEPALA Rumah bambu berkolong tinggi beratap ijuk di lereng lembah kecil diselimuti kesunyian.
Saat itu rembang petang.
Cahaya terik sang surya mulai memudar.
Ketika angin bertiup silir dari arah Gunung Merapi tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat dari arah timur lembah.
Gerakannya luar biasa cepat dan ringan.
Sesaat kemudian kelihatan seorang kakek berpakaian selempang kain putih, berkalung semacam tasbih besar terbuat dari kayu cendana, berdiri di ujung atas tangga rumah panggung, di hadapan sebuah pintu kajang yang tertutup.
"Salam sejahtera bagi penghuni rumah. Sri Sikaparwathi, apakah kau ada di dalam?"
Orang tua tadi memberi salam.
Dia menunggu jawaban sambil memandang berkeliling, mengelus kumis dan janggut putih sementara rambut panjang menjela bahu melambai-lambai tertiup angin.
Ketika tidak ada jawaban dari dalam rumah, si kakek lantas mengulang salamnya untuk kedua kali.
"Sri Sikaparwathi, salam sejahtera untukmu. Apakah kau ada di dalam rumah?"
Tiba-tiba dari dalam rumah bambu yang pintunya tertutup terdengar suara batuk-batuk. Lalu menyusul ucapan perempuan. Perlahan sekali hingga nyaris tidak kedengaran.
"Orang yang ada di luar. Jika kau adalah utusan Dewa untuk mencabut nyawaku, silahkan lakukan sekarang juga. Lebih cepat lebih baik."
Paras orang tua di depan pintu serta meria berubah. Jantung berdetak, perasaan langsung tidak enak "Sikaparwathi? Benarsuaramu yang aku dengar? Mengapa lain sekali? Mengapa kau berkata seperti itu?"
Tidak menunggu jawaban, orang tua itu mendobrak pintu kajang lalu menghambur masuk ke dalam rumah.
Di bagian dalam, rumah bambu itu hanya memiliki satu ruangan.
Di tengah ruangan ada sebuah tempat tidur terbuat dari bambu beralaskan rumput kering.
Orang tua yang barusan masuk ini tak percaya akan apa yang disaksikannya.
Di atas tempat tidur terbujur sosok seorang nenek berjubah warna Jingga yang keadaan hampir sama rata dengan alas jerami kering.
Tubuh kurus kering, wajah pucat keriput.
Sepasang mata yang cekung nyalang menatap ke atas, ke arah atap.
"Dewa Agung! Sika, apa yang terjadi dengan dirimu?"
Orang tua berselempang kain putih sampai berteriak karena terkejutnya melihat keadaan nenek di atas tempat tidur itu.
Jari-jari tangannya memegang keras bambu pinggiran tempat tidur dan dalam menahan gelora perasaan jari-jari itu tidak sengaja meremas hingga kraaakk! Bambu pinggiran tempat tidur remuk di dua tempat.
Sepasang mata cekung perempuan di atas tempat tidur bergerak sedikit, berusaha melirik ke arah orang tua yang tegak di sampingnya.
Bibir yang kering bergerak sedikit, mengeluarkan suara batuk baru berucap.
"Tubuhmu terlihat tidak jelas, wajahmu tampak samar.Tapi telingaku mengenali suaramu. Bukankah kau Gede Kabayana sahabatku dari Klungkung Bali...?"
"Dewa Jagat Batara! Aku bersyukur kau masih mengenali diriku. Sikaparwathi sahabatku, katakan apa yang terjadi dengan dirimu. Sepintas lalu aku melihat sakitmu bukan sakit wajar."
Perempuan tua di atas tempat tidur bambu kembali batuk-batuk.
Kali ini ada lelehan darah mengucur di sela bibirnya.
Dengan cepat orang tua yang dipanggil dengan nama Gede Kabayana menyeka noda darah itu mempergunakan ujung selempang kain putih pakaiannya.
"Kabayana, aku memang bukan sakit wajar. Aku menderita seperti ini karena ada orang jahat menggandakan tubuh dan rohku lalu dibawa pergi untuk dipakai berbuat jahat."
Orang tua di pinggir tempat tidur terkesiap mendengar ucapan si nenek.
"Orang jahat menggandakan tubuh dan rohmu? Demi Dewa Agung! Baru sekali ini aku mendengar hal seperti yang kau katakan! Itu adalah perbuatan luar biasa keji! Tapi apakah ada orang yang begitu sakti di Bhumi Mataram ini hingga mampu melakukan hal itu? Aku tidak percaya. Atau mungkin..."
Gede Kabayana gelengkan kepala. Lalu bertanya.
"Kau sudah tahu siapa pelakunya dan sudah berapa lama hal itu terjadi?"
"Aku tidak tahu siapa pelakunya. Kejadiannya dua hari lalu."
Kembali Gede Kabayana dibuat terkejut.
"Baru dua hari dan keadaanmu sudah sangat sengsara seperti ini!"
"Gede Kabayana...."
"Sudah, kau jangan terlalu banyak bicara dulu. Aku akan menolongmu sebisaku. Jika kau sudah sembuh kita sama-sama mencari siapa pelaku keji rtu!"
"Kau sahabatku paling baik. Tapi sebelum kau melakukan sesuatu aku ingin bertanya dulu. Sekian belas tahun kita tidak pernah bertemu. Langkah peruntungan apa yang membawa dirimu terpesat ke lembah tempat kediamanku ini?"
"Sebenarnya aku datang membawa kabar baik. Tapi dalam keadaanmu seperti ini apakah kabar itu masih bisa mendatangkan kegembiraan pada dirimu..."
"Sebelumnya aku pasrah menerima kematian. Sekarang biarlah rasa gembira mungkin menunda kematianku beberapa kejapan mata. Katakan, kabar apa yang hendak kau sampaikan."
"Jauh-jauh aku tinggal di Klungkung. Tiga purnama yang silam aku datang ke tanah Jawa. Dari seorang sahabat aku berhasil mencari tahu dimana selama ini Sedayu Galiwardhana bersembunyi mengasingkan diri. Orang cari, dia tinggal dan bertapa di salah satu lereng Gunung Merbabu."
Wajah pucat si nenek berubah bercahaya sekilas.
Namun sesaat kemudian wajah itu tampak redup dan letih seperti menahan beban yang sangat berat.
Mulut yang tadi terbuka perlahan-lahan mengatup seolah-olah sengaja dikancingkan, pertanda dia tidak mau bicara lagi.
"Sikaparwathi, apakah kau masih mendengarkan kata-kataku?"
Bertanya Gede Kabayana.
"Aku tidak ingin membicarakan orang itu..."
"Aaahhh..."
Gede Kabayana hela nafas dalam.
"Menggantang dendam asmara dalam keadaanmu seperti ini sangat tidak baik, Sika..."
"Aku insan polos. Aku tidak pernah menaruh benci apalagi dendam terhadap siapapun. Dendam asmara katamu..."
Secuil senyum hampa menyeruak di bibir yang kering.
"Gede Kabayana, aku punya firasat buruk. Saat ini Sedayu Galiwardhana sudah tidak ada lagi..."
"Maksudmu Sika?"
"Dia sudah mati. Mungkin sekali dibunuh oleh manusia jahat yang meminjam tubuh dan rohku."
"Dewa Agung! Aku tidak berani berpikir sampai ke situ. Sikaparwathi, kau sakit tapi pikiranmu tidak kacau?"
Gede Kabayana usap kening Sri Sikaparwathi. Terasa panas.
"Dewa Agung memberi petunjuk padaku tadi malam melalui mimpi."
"Sika, kau orang cerdik orang pandai. Jangan percaya pada mimpi."
"Aku juga punya dugaan kalau kura-kura hijau peliharaanku Raden Cahyo Kumolo juga telah di gandakan secara gaib. Dikendalikan untuk berbuat kejahatan. Sudah dua hari aku tidak melihatnya. Aku tidak tahu dimana ujud asli kura-kura itu berada. Entah masih hidup atau sudah menemui ajal."
"Sikaparwathi, aku sahabatmu. Aku akan..."
Si nenek potong ucapan Gede Kabayana.
"Sahabatku Gede Kabayana, kalau apa yang hendak kau sampaikan sudah semua, tinggalkan tempat ini. Biarkan aku sendirian. Aku ingin menghadap Para Dewa di Swargaloka dengan tenang dan sendirian..."
"Tidak bisa! Aku memohon dengan sejuta doa pada Para Dewa agar kau disembuhkan!"
Gede Kabayana pegang tasbih kayu cendana dengan tangan kiri.Ujung dua jari tangan kanan lalu ditekankan ke batok kepala pada arah ubun-ubun Sikaparwathi, pelipis kiri kanan, pertengahan dada lalu pada dua telapak kaki.
Setiap dua ujung jari itu menyentuh bagian tubuh yang ditekan maka mengepul asap kelabu menebar harumnya bau kayu cendana.
"Tidurlah sahabatku, tidurlah. Para Dewa akan menolongmu. Para Dewa menyayangimu. Para Dewa akan menyembuhkanmu!"
Selesai kata-kata itu diucapkan Gede Kabayana maka sepasang mata Sri Sikaparwathi yang sejak tadi nyalang nyaris tak berkesip kini merapat terpejam.
Nenek ini benar-benar memasuki alam tidur.
BEGITU sepasang mata Sri Sikaparwathi terpejam Gede Kabayana segera duduk bersila di lantai rumah bambu dalam sikap siap untuk melakukan samadi.
Memohon petunjuk dari Yang Kuasa.
Hanya sesaat setelah orang tua ini memulai samadinya, di luar udara tiba-tiba berubah gelap.
Guntur menggelegar, kilat menyambung seolah hendak membelah langit.
Tak lama kemudian hujan lebat turun mengguyur kawasan lembah.
Pada saat itulah ketika udara dingin merambas masuk ke dalam rumah bambu, ketika deru hujan dan tiupan angin kencang menutup pendengaran, sesosok mahlukaneh muncul dalam keadaan basah kuyup di ambang pintu rumah bambu.
Saat itu juga udara di tempat itu dilanda bau luar biasa busuk.
Mahluk yang datang bertubuh manusia utuh mengenakan pakaian biru ringkas.
Namun mahluk ini tidak memiliki kepala sama sekati.
Bahunya tertutup kelopak lebar berbentuk bunga besar berwarna kuning berbintik coklat.
Dari bunga inilah keluar dan menebar bau busuk seperti busuknya bangkai.
Pada bagian yang seharusnya ada kepala hanya terdapat satu kuncup hijau setinggi tiga jengkal.
Di tangan kiri mahluk ini mengepit sebuah benda hijau yang ternyata adalah seekor kura-kura.
Dengan hati-hati mahluk busuk berkepala bunga berbau bangkai ini letakan kura-kura hijau di samping sosok Sri Sikaparwathi yang terbaring nyenyak di atas tempat tidur bambu.
Sambil mengusap punggung kura-kura hijau mahluk ini anehnya bisa mengeluarkan suara seperti manusia.
"Yang Kuasa telah menyelamatkan dirimu. Walau tubuh gandamu pernah hancur lulu di tangan pertapa Sedayu Galiwardhana namun ujud aslimu tiada menerima cidera. Karena kau tidak menyandang dosa maka Para Dewa mempertemukan diriku denganmu. Aku membawamu ke tempat ini. Tidurlah bersama nenek pengasuhmu. Bila kelak kalian terbangun, carilah kebenaran. Mudah-mudahan amal kecilku ini akan memberi kemudahan bagiku untuk menemukan orang yang aku cari..."
Entah dari mana datangnya, lalat mulai muncul di tempat itu, hinggap di atas kepala mahluk aneh yang merupakan sumber bau busuknya bangkai.
Perlahan-lahan bunga kuning berbintik coklat dan berkuncup hijau di atas bahu mahluk aneh berputar ke arah Gede Kabayana.
Lalu kembali terdengar suaranya berkata.
"Orang tua, aku tidak ingin mengganggu samadimu walau aku punya firasat, kau adalah salah seorang yang bisa memberi petunjuk dimana dan siapa adanya orang yang aku cari. Aku harus pergi. Yang Maha kuasa memberkahi kita semua..."
Mahluk aneh memutar tubuh. Sesaat kemudian sosoknya telah melesat keluar pintu rumah bambu, melayang laksana terbang dibawah curahan hujan lebat dan lenyap dari pemandangan. SRI MAHARAJA KE DELAPAN DIRIWAYATKAN dalam kisah terdahulu berjudul"
Arwah Candi Miring"
Bagaimana Sri sikaparwathi palsu jejadian bersama kura-kura hijau Raden Cahyo Kumolo yang juga mahluk yang digandakan untuk kesekian kali dan berada di bawah kendalinya, berusaha menyusup masuk ke dalam Sumur Api untuk menculik Ananthawuri yang tengah mengandung besar.
Bila mana dia berhasil menculik anak perawan desa Sorogedug yang hamil secara gaib maka berarti dia akan dapat menguasai dua orang bayi yang akan dilahirkan dan diramal bakal menjadi dua Kesatria sakti mandraguna di Bhumi Mataram.
Namun di sebuah lobang batu yang menuju ke dasar Sumur Api mereka di hadang oleh Naga Akhirat Raden Culo Dua.
Walau si nenek dan kura-kuranya berhasil menyelamatkan diri namun mereka terlempar keluar dari sumur gaib dan terdampar di satu rimba belantara.
Sambil duduk menjelepok di tanah dan bersandar pada sebatang pohon dalam kecewa sakit hatinya, Sri Sikaparwathi jejadian mengusap-usap kura-kura hijau yang bertengger di atas kepala.
"Raden, kita masih belum beruntung. Tapi kita tidak boleh putus asa. Kita pasti akan mendapatkan dua bayi itu. Suara tangisan bayi yang aku dengar di dasar Sumur Api adalah suara tipuan untuk memecah perhatian dan memperlambat gerakan kita. Aku yakin anak perawan desa itu masih belum melahirkan. Kita akan mencari jalan untuk mendapatkannya. Dua bayi itu harus kita dapati!"
Kura-kura hijau di atas kepala si nenek gerak-gerakan kepala beberapa kali seolah mengerti apa yang dikatakan sang tuan.
Tiba-tiba dari atas pohon besar meluncur seekor tikus hutan berwarna hitam pekat.
Sri Sikaparwathi baru tahu kehadiran binatang itu ketika si tikus telah masuk ke balik jubah, merayap di dada, turun ke perut, terus turun lagi ke bagian terlarang diantara dua pangkal kaki dan mendekam di sana tidak bergerak-gerak.
Pekik si nenek bukan olah-olah.
Tubuhnya terlompat sampai kepalanya menghantam cabang pohon sementara kura-kura di atas kepala saking kaget terpental jatuh ke tanah.
"Celaka! Celaka diriku!"
Sri Sikaparwathi berteriak berulang kali sambil menjingkrak-jingkrak kalang kabut.Tapi tikus nakal masih saja mendekam di tempat semula.
Tidak sabar dan tidak tahan rasa geli serta jijik, nenek ini singsingkan jubahnya tinggi-tinggi.
Tangan kanan diturunkan lalu disusupkan ke atas.
Sekail diremas tikus pohon mencicit keras lalu mati dengan tubuh hancur luluh.
Si nenek kibas-kibaskan tangan kanannya yang bergelimang darah.
Sekujur tubuh merinding.
Muka pucat pasi seperti tidak berdarah lagi.
Bersamaan dengan itu perlahan-lahan tubuhnya menjadi lemas.
Ada satu hal yang membuatnya sangat takut.
"Tubuhku terasa lemas. Aku seperti tidak punya tulang belulang. Aku tidak punya kekuatan, tiada daya. Mungkin kesaktianku juga sudah lenyap...Binatang celaka itu!"
Sementara itu kura-kura hijau yang tadi terlempar dari atas kepalanya kini mendakam tak bergerak di akar pohon.
Binatang ini juga tampak lemas tiada daya, nyaris tidak mampu bergerak.
Dalam keadaan Hal 18-19 Hilang agaknya binatang ini juga telah kehilangan kekuatan dan kesaktian! Tidak lagi mempedulikan kura-kura hijau itu, si nenek memutuskan untuk kabur seorang diri.
Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, didahului satu lengking jeritan keras dua tangan di kembang.
"Yang di bumi naik ke langit! Yang di langit turun ke bumi!"
Sri Sikaparwathi berteriak. Sri Maharaja Ke Delapan!Tolong diriku!"
Saat itu juga terjadilah satu hal yang hebat! Dari langit satu benda memancarkan cahaya tiga warna melesat ke arah Sri Sikaparwathi. Di saat yang sama tubuh si nenek melesat ke udara seolah ada yang menarik.
"Mahlukjahat! Kau mau lari kemana? Riwayatmu cukup sampai disini!"
"Braakkk!"
Kepala botak bertanduk yang ada di tanah melesat ke atas di susul sosok besar mengenakan jubah biru.
Dada tersingkap dan dua tangan tertutup bulu lebat.
Begitu tinggi dan besarnya mahluk ini hingga kepalanya hampir mencapai pucuk pohon besar yang ada di sebelahnya.
Sekali tangan kanan yang besar bergerak, leher Sikaparwathi sudah berada dalam ceng keramannya.
"Lepaskan! Jangan!"
Teriak Sikaparwathi berusaha keras loloskan diri namun tidak punya kemampuan.
"Arwah Ketua! Aku tidak punya silang sengketa denganmu! Mengapa hendak membunuhku?"
Mahluk raksasa bertanduk merah menyeringai. Dia ternyata adalah Arwah Ketua dari Candi Miring di bukit gersang! "Berapa manusia tidak berdosa yang telah kau bunuh sejak kau muncul sebagai mahlukjahat!"
"Mereka tidak ada sangkut paut dengan dirimu!"
"Bisa saja kau berkata begitu.Tapi mereka adalah orang-orang Bhumi Mataram yang telah berbakti pada Kerajaan. Mereka adalah orang-orang yang punya kewajiban untuk menjaga dan melindungi masa depan Kerajaan. Sebaliknya kau malah hendak menghancurkan Kerajaan!"
Arwah Ketua keluarkan suara menggembor, meniup ke depan hingga Sri Sikaparwathi merasa sepasang matanya luar biasa perih laksana disayat-sayat. Dalam kesakitan si nenek mengancam.
"Kalau kau tidak melepaskan diriku maka Sri Maharaja Ke Delapan akan melumat tubuhmu!"
Arwah Ketua tertawa tergelak.
Mendekatnya cahaya tiga warna seolah memberi kekuatan pada Sri Sikaparwathi.
Si nenek hantamkan pukulan berantai ke arah dada Arwah Ketua hingga dada berbulu itu bergoncang keras dan kelihatan bengkak matang biru pada bagian yang kena dijotos.
Saat itu pula cahaya tiga warna yang melesat turun dari langit menderu dahsyat, menyambar ke arah Arwah Ketua.
Di atas pohon terdengar suara berkerincing.
"Bummm!"
"Blaaar!"
Letusan keras menggelegar ketika tiga cahaya merah menghantam kepala Arwah Ketua lalu bertebar lenyap di udara.
Mahluk raksasa ini melesat ke tanah sampai sedalam pinggang.
Kepalanya yang botak pancarkan cahaya benderang menyilaukan mata.
Tanduk merah di atas kepala berpijar lalu leleh! Dari mata, telinga hidung dan mulut mengucur darah.
Leher Sikaparwathi yang tadi dicekal di tangan kanan terlepas.
Begitu lolos nenek ini cepat ambil langkah seribu.
"Perempuan celaka! Kucabik batang lehermu!"
Ada suara perempuan berteriak marah disusul dengan melesatnya satu bayangan merah disertai suara mengeong keras.
Sri Sikaparwathi menjerit keras.
Seekor kucing merah tahu-tahu telah bergelayutan dibahunya.
Mulut menganga, deretan gigi panjang runcing menancap dileher, dua kaki depan siap merobek tubuh.
"Ratu Dhika Gelang Gelang! Tahan serangan kucingmu! Aku perlu menanyakan sesuatu pada mahluk celaka ini! Aku tak apa-apa! Semoga Dewa mengembalikan keadaanku seperti semula!"
Arwah Ketua yang mukanya bergelimang darah usapkan tangan kiri ke atas kepala dan seluruh wajah sambil mulut merapal doa.
Saat itu juga seluruh cidera yang dialaminya sembuh.
Darah bukan saja berhenti mengucur tapi juga lenyap.Tandukdi kepala yang tadi leleh kini kembali mencuat tegak memancarkan cahaya meran.
VVaiau di luar keadaannya puli! t seperti semuia namun Arwah Ketua maklum kalau disebelah dalam dia mengalami luka yang cukup parah.
Ini memaksanya harus segera kembali ke Candi Miring.
Maka Arwah Ketua cepat menggoyang bahu.
Tubuhnya yang terpendam di tanah sampai pinggang serta merta melesat keluar.
"Pus Meong Ragil Abang, kembali ke sini!"
Kata-kata itu diucapkan oleh seorang perempuan muda bertubuh gemuk subur berkulit hitam yang berdiri di dekat Arwah Ketua.
Dia berkata sambil tepukkan tangan kiri ke bahu kanan.
Pus Meong Ragil Abang si kucing besar yang siap membeset leher dan merobektubuh Sri Sikapartwaihi setelah mengeong keras dengan cepat melompat ke atas bahu perempuan gemuk.
Perempuan ini mengenakan kemben merah yang bagian depan belakang dibelah tinggi.
Rambut dikonde di atas kepala, ditancapi sekuntum bunga mawar merah yang tak pernah layu karena diberi semacam jelaga.
Wajahnya yang bundar tertutup dandanan tebal mendok.
Pergelangan tangan dan kaki dihiasi gelang emas diganduli kencingan.
Setiap dia membuat gerakan, empat gelang itu keluarkan suara berkerincing.
Sambil mematuk rambut ikal disamping telinganya, si gemuk berdandan mencorong ini perhatikan wajahnya dalam sebuah cermin kecil yang dipegang di tangan kiri.
Seperti yang disebut oleh Arwah Ketua tadi, perempuan muda ini memang adalah Ratu Dhika Gelang Gelang yang di Bhumi Mataram juga dikenal dengan julukan Ratu Meong.
Mendengar ucapan sang tuan, kucing besar Ragil Abang segera melompat ke bahu perempuan gemuk itu.
Di saat yang sama Arwah Ketua cepat jambak rambut Sri Sikaparwathi hingga nenek ini tidak sempat melarikan diri.
Setelah membasahi bibirnya yang diberi pemerah dengan ujung lidah, Ratu Dhika Gelang Gelang berbisik pada Arwah Ketua.
"Rakanda Arwah Ketua, mahluk satu ini luar biasa berbahaya. Mengapa tidak dihabisi saat ini juga?"
"Aku memang ingin melakukan hal itu. Tapi barusan dia menyebut sesuatu. Aku harus menyelidiki sebelum menghabisinya!"
Tangan Arwah Ketua yang menjambak rambut si nenek diangkat ke atas hingga muka mereka saling berhadapan.
"Tadi kau berteriak minta tolong pada seseorang yang kau sebut Sri Maharaja ke Delapan. Jelaskan siapa orang itu!"
Walau keadaannya sudah babak belur tapi Sri Sikaparwathi agaknya kembali timbul keberanian. Sambil sunggingkan seringai dia berkata.
"Kalau kau mau membuat janji, aku akan katakan siapa yang kumaksud dengan Sri Maharaja Ke Delapan."
"Apa pintamu?!"
Tanya Arwah Ketua.
"Rakanda, jangan sampai tertipu. Perempuan tua ini liar seperti srigala, licin seperti belut!"
Kata Ratu Dhika Gelang Gelang mengingatkan.
"Radinda Ratu, aku tidak tolol,"
Jawab Arwah Ketua. Dia perkencang jambakan rambutnya si nenek. Ayo lekas bicara!"
"Jika kau bersedia melepaskan diriku dan kura-kura hijau di akar pohon sana, baru aku akan mengatakan siapa adanya Sri Maharaja Ke Delapan."
"Hemmm...begitu?"
Ujar Arwah Ketua.
"Ya, begitu!"
Jawab Sikaparwathi yang merasa berada di atas angin. Arwah Ketua angguk-anggukkan kepala.Tiba-tiba tangannya yang menjambak rambut Sri Sikaparwathi disentakan ke depan, dihantamkan ke kepala botaknya! "Praakkk!"
Tak ampun lagi kepala si nenek remuk nyaris rengkah.
Begitu jambakan dilepas sosok Sikaparwathi terbanting di tanah.
Setelah mengepulkan asap kelabu tubuh hasil pergandaan gaib ini lenyap dari pemandangan.
Di bawah pohon besar kura-kura hijau menyusup di dekat akar keluarkan suara mencuit panjang.
Sekali ulurkan kaki, Arwah Ketua injak binatang itu hingga hancur dan amblas ke dalam tanah di susul dengan kepulan asap kelabu.
Arwah Ketua berpaling kepada Ratu Dhika Gelang Gelang.
"Rakadinda Ratu, aku harus segera kembali ke Candi miring. Waktuku berada di dunia luar hampir habis. Aku mohon kau menyelidiki beberapa perkara. Pertama cari tahu siapa manusianya yang disebut sebagai Sri Maharaja Ke Delapan oleh perempuan tua jejadian itu. Kedua mahluk tadi diketahui berusaha masuk ke dalam Sumur Api untuk menculik perawan desa pilihan Para Dewa. Aku punya kecurigaan ada satu perkara besar di balik semua perbuatan Sri Sikaparwathi. Hal ketiga kau melihat sendiri tadi ada cahaya tiga warna melesat turun dari langit. Itu adalah ilmu kesaktian yang belum pernah ada di Bhumi Mataram.Selidiki siapa pemilikdan pengendalinya...."
"Oala Rakanda Arwah Ketua. Banyak sekali pekerjaan yang kau berikan padaku. Kau sendiri mau melakukan apa?"
Tanya Ratu Dhika Gelang Gelang lalu keluarkan kaca kecil dan bercermin diri sambil merapikan letak rambut, mengusap pipi yang medok tebal tertutup bedak merah.
Orang lain sekalipun berkepandaian tinggi tidak akan berani seenaknya bicara serta bersikap seperti itu terhadap Arwah Ketua.
Tapi Ratu Gelang Gelang sudah kenal lama dan sangat dekat bahkan menganggap Arwah Ketua sebagai kakaknya bicara ceplas ceplos apa sukanya.
"Seperti aku katakan tadi, aku akan kembali ke Candi Miring. Bukan untuk berlepas tangan tapi untuk menyimak apa yang saat ini terjadi di Bhumi Mataram. Juga menyimak serta membantu tugasmu. Lalu yang paling penting adalah mencari tahu dimana keberadaan Sri Sikaparwathi yang asli. Selain itu aku perlu memeriksa keadaan diriku. Hantaman cahaya tiga warna tadi tidak mustahil mendatangkan cidera dalam yang saat ini belum kelihatan..."
"Kalau begitu kata Rakanda Arwah Ketua aku menurut saja. Satu hal perlu aku beritahukan kalau Sedayu Galiwardhana, orang tua sakti yang bertapa di lereng Gunung Merbabu telah menemui ajal di tangan Sikaparwathi..."
"Aku sudah tahu. Aku juga tahu kalau diriku telah digandakan. Syukur para Dewa telah melindungiku hingga ketika tubuh dan rohku yang digandakan meninggalkan tubuh dan roh asli, aku tidak sampai sengsara menderita sakit. Namun aku kawatir apakah Sri Sikaparwathi mampu bertahan. Sejak belasan tahun dia tidak pernah bertemu dengan Sedayu Galiwardhana, sahabatku itu selalu dirundung sakit-sakitan..."
Ratu Dhika Gelang Gelang menatap sekali lagi kedalam cermin lalu bertanya.
"Bagaimana Rakanda, apakah dandananku sudah rapi?"
Arwah Ketua pencongkan mulut.
"Yang jelas wajahmu lebih cantikdariku. Ha...ha...ha. Atau sekali-kali kau ingin bertukar wajah denganku?"
Tidak menunggu jawaban orang Arwah Ketua usap wajahnya dengan tangan kiri lalu tangan yang sama diusapkan ke muka Ratu Dhika Gelang Gelang.
Saat itu juga terjadilah keanehan.
Kepala Arwah Ketua kini berada di atas tubuh Ratu Dhika Gelang Gelang dan kepala Ratu Dhika Gelang Gelang kini berada diatas tubuh Arwah Ketua.
Ratu Dhika langsung mengomel banting-banting kaki.
Arwah Ketua sambil tertawa mengekeh rubah kembali wajahnya dan wajah Ratu Dhika Gelang Gelang seperti semula.
"Rakadinda, tidak sepantasnya aku bercanda seperti ini. Aku pergi sekarang..."
"Tunggu, sekarang aku yang tak mau kelupaan bertanya."
Kata Ratu Dhika Gelang Gelang pula.
"Kau mau bertanya apa?"
"Waktu tikus pohon masuk ke balik pakaian Sri Sikaparwathi, tua bangka itu kulihat langsung pucat, lemas dan ketakutan. Dan kau mengatakan dia telah tertimpa barang pantangan hingga tidak punya kekuatan dan kesaktian lagi. Yang aku ingin tahu pantangan apa yang telah menimpa perempuan tua itu?"
Arwah ketua tertawa lebar.
"Kalau kau memang ingin tahu baik aku beri tahu. Ilmu kesaktian yang dimiliki Sri Sikaparwathi akan luntur bilamana ada mahluk hidup bersentuhan dengan bagian bawah perutnya..."
"Bagian perut yang mana?"
Ratu Dhika Gelang Gelang ingin lebih jelas.
"Aku tidak akan menyebutkan. Kau pikir saja sendiri. Kau juga punya! Ha...ha..ha."
Ratu Dhika Gelang Gelang ikut tertawa.
"Kalau memang disitu letak kelemahan dan pantangan si nenek mengapa tidak kau saja yang menyentuh tempat terlarang itu! Kau juga mahluk hidup! Malah akan lebih cepat perempuan itu menemui ajalnya! Begitu saja repot! Tapi eh...Jangan-jangan tadi kau yang merubah diri menjadi tikus pohon itu! Hik...hik...hik!"
Tidak tahan diganggu perempuan gemuk berdandan medok itu Arwah Ketua berkata.
"Aku pergi sekarang."
Dia memutar tubuh tapi tak jadi. Masih ada satu hal yang terlupa..."
"Ah, dari dulu kau selalu punya sifat begitu Rakanda."
Kata Ratu Dhika Gelang Gelang sambil simpan cermin kecil.
"Apa lagi yang hendak kau tanya atau kau sampaikan..."
"Ini menyangkut hubungan pribadi mu..."
"Aku sudah menduga. Maksud Rakanda hubunganku dengan pemuda ahli perawat ukiran candi itu bukan? Pemuda bernama Sebayang Kaligantha."
"Benar sekali Rakadinda. Cari dan temui dia. Aku tahu dia memiliki sebuah jimat sakti. Jika yang memegang jimat orang baik maka jadilah benda itu benda baik bermanfaat untuk menolong sesama manusia. Tapi jika berada di tangan orang jahat, jangankan manusia Bhumi Mataram ini bisa dibinasakannya!"
"Baik Rakanda Arwah Ketua. Aku akan mencari pemuda itu..."
"Kau pasti bisa cepat menemukannya. Bukankah dia kekasihmu? Atau salah aku menyebut?"
Habis berkata begitu Arwah Ketua tertawa gelak-gelak. Lalu dia memutar tubuhnya yang besar, siap hendak tinggalkan tempat itu tapi lagi-lagi dia berbalik.
"Pasti ada yang kau lupakan lagi!"
Ucap Ratu Dhika Gelang Gelang.
"Kau bisa-bisa membuat kucingku Ragil Abang terkencing-kencing!"
"Rakadinda, apa kau tahu kalau dua orang aneh yang aku beri tahu padamu tempo hari sudah muncul di Bhumi Mataram?"
"Maksud Rakanda si Tambur Bopeng dan si Suling Burik?"
Arwah Ketua anggukkan kepala.
"Sudah Rakanda. Aku melihat sendiri. Mereka muncul sewaktu pertapa Sedayu Galiwardhana tewas di tangan Sri Sikaparwathi yang menggandakan diri menjadi Rakanda. Aku menyaksikan sendiri mereka membuat makam dan mengubur pertapa malang itu secara aneh. Suling dan tambur bisa membuat lobang besar di tanah. Ke dalam lobang itu mereka memasukkan jenazah pertapa Sedayu Galiwardhana."
"Aku belum dapat meyakini, di pihak mana kedua orang aneh itu berada.Tapi jika melihat mereka mau bersusah payah menguburkan sang pertapa, agaknya mereka adalah orang baik-baik. Rakadinda, aku harus pergi sekarang." (Mengenai dua orang aneh ini bisa dibaca kembali dalam riwayat sebelumnya berjudul "Arwah Candi Miring") Tubuh raksasa Arwah Ketua kepulkan asap putih lalu amblas masuk ke dalam tanah dan lenyap tanpa bekas. MENCARI SANG PENGENDALI PADA saat mahluk ganda jejadian Sri Sikaparwathi dan kura-kura hijau Cahyo kumolo menemui ajal, rumah panggung yang terbuat dari bambu bergoyang keras berderak-derak. Atap dari ijuk terhempas terulang kali. Dari atas wuwungan bangunan ini keluar secarik cahaya tiga warna, melesat ke langit. Di dalam rumah bambu, atas tempat tidur sosok Sri Sikaparwathi asli bergoncang hebat dan mengepulkan asap hitam. Kura-kura hijau yang ada di sampingnya keluarkan suara menguik panjang. Di samping tempat tidur, masih bersila di lantai dalam keadaan bersamadi, tubuh Gede Kabayana tampak bergoncang lebih hebat dari goncangan yang dialami Sri Sikaparwathi. Hal ini karena dalam keadaan seperti itu orang tua ini masih sanggup kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti untuk melndungi diri. Ternyata kekuatan yang datang dari luar jauh lebih tinggi dari kekuatan yang dimilikinya. Ketika pertahanannya jebol, orang tua ini jatuh terlentang di lantai rumah. Masih untung dia tidak menderita cidera apa-apa. Di atas tempat tidur tiba-tiba Sri Sikaparwathi tersentak bangun dari tidurnya, bergerak bangkit dan duduk. Wajahnya yang pucat tampak mulai berdarah. Sepasang mata cekung memandang berkeliling. Kura-kura di atas tempat tidur ulurkan kepala. Sepasang matanya tampak merah bersinar.
"Cahyo Kumolo, kau tidak apa-apa?"
Si nenek usap punggung atas kura-kura hijau. Binatang ini menguik panjang lalu melesat ke atas dan bertengger di atas kepala Sri Sikaparwathi.
"Ah, kau juga mendapat kekuatanmu kembali.Apa yang terjadi. Mengapa tubuhku bergoncang hebat. Rumah ini seperti mau roboh..."
Memandang ke samping kanan dia melihat Gede Kabayana tergeletak di lantai.
Dengan cepat si nenek turun dari tempat tidur.
Dia memeriksa tubuh Gede Kabayana lalu memijatnya di beberapa tempat.
Sesaat kemudian sahabat dari Klungkung ini siuman dan duduk di lantai.
Seperti si nenek dia juga heran dan bertanya-tanya dalam hati apa yang telah terjadi.
"Gede Kabayana, aku berterima kasih padamu. Pasti kau yang telah menolong diriku hingga bisa mengalami keadaan seperti ini. Aku merasa kekuatan diriku mulai pulih..."
Gede Kabayana gelengkan kepala.
"Tidak bukan aku yang menolongmu. Samadiku belum rampung. Tiba-tiba ada satu kekuatan menggoncang bangunan ini.Termasuk menggoncang diriku dan tubuhmu! Sesuatu telah terjadi. Bukan disini.Tapi akibatnya membawa kesembuhan pada dirimu. Juga pada kura-kura hijau di atas kepalamu. Ini pasti kuasa tangan Para Dewa yang telah melakukan. Aku hanya bisa menduga. Mahluk ganda yang menyerupai dirimu dan kura-kura telah menemui kemusnahan..."
"Kau tahu kira-kira siapa yang rhelakukan?"
Tanya Sri Sikaparwathi.
"Sulit sekali menduga apa lagi memastikan. Cuma satu hal sangat aku kawatirkan. Gagal dengan diri dan binatang peliharaanmu, orang jahat yang memegang kendali ilmu kesaktian itu akan mengulangi perbuatannya. Melakukan lagi atas diri orang lain. Apa lagi jika maksud tujuannya belum kesampaian."
"Kita harus mencari tahu siapa orang jahat itu, apa maksud tujuannya menggandakan diriku! Aku yakin mahluk diriku yang digandakan telah dikendalikan untuk melakukan kejahatan. Mungkin juga aku telah melakukan pembunuhan..."Tiba-tiba Sri Sikaparwathi keluarkan suara tercekat. Mukanya yang tadi mulai berdarah kini mendadak pucat dan tangan pegang"
Dada. Bahunya bergoyang dan nenek ini mulai terisak-isak lalu menangis keras.
"Ada apa Sika?"
Tanya Gede Kabayana sambil mendekat dan pegangi bahu si nenek.
"Aku ingat mimpiku. Aku merasa yakin kalau diri gandaku telah membunuh Sedayu Galiwardhana..."
Gede Kabayana jadi ternganga mendengar ucapan sahabatnya itu. Kuduknya merinding dingin.
"Sika. Jika kau sudah sembuh betul kita akan menyelidiki kejadian ini. Goncangan aneh membuat samadiku tidak khusuk. Aku sempat melihat ada cahaya tiga warna' keluar dari tubuhmu, melesat keluar rumah melalui atap tanpa atap mengalami kerusakan atau terbakar. Itu adalah tanda-tanda ilmu hitam yang jahat luar biasa..."
Sri Sikaparwathi usap air mata di pipinya yang cekung.
Gede Kabayana, kita harus berterima kasih dan bersyukur pada Para Dewa.
Walau menderita sakit sengsara selama dua hari namun Para Dewa masih melindungi dan menyelamatkan diriku.
Mari kita sama-sama memanjatkan puji syukur serta berdoa bagi keselamatan masa datang..."
Kedua orang itu lalu pejamkan mata, menyampaikan rasa terima kasih serta berdoa pada Para Dewa memohon keselamatan. Selesai berdoa Gede Kabayana berkata.
"Sika, apakah kau tidak mencium bau sesuatu di dalam rumah ini?"
Si nenek menatap wajah sahabatnya itu lalu menghirup udara dalam-dalam. Wajahnya berubah.
"Aku mencium seperti ada bau busuk bangkai. Mungkin bau tubuhku."
Si nenek lalu menciumi tubuh dan pakaiannya sendiri.
"Bukan, ini bukan bau busuk yang bisa muncul dari dalam rumah.Tapi datang dari luar rumah."
Kata Gede Kabayana pula.
"Berarti ada seseorang atau mahluk yang masuk ke sini.Tapi kapan?"Tanya Sri Sikaparwathi.
"Mungkin sekali ketika kau tengah tertidur lelap dan aku sedang bersamadi."
"Kurasa rumah ini sudah tidak aman lagi. Aku harus mencari tempat kediaman baru."
Kata Sri Sikaparwathi. Dia mengusap punggung kura-kura hijau di atas kepala. Tak sengaja kemudian tangannya yang habis mengusap di letakkan di depan hidung. Si nenek terkejut.
"Punggung Cahyo Kumolo! Bau busuk!"
"Berarti ada satu mahluk busuk membawanya ke sini..."
Kata Gede Kabayana.
"Cahyo Kumolo, berikan tanda padaku kalau memang ada satu mahluk busuk yang membawamu ke sini."
Kura-kura di atas kepala keluarkan suara menguik memberi tanda sebagai jawaban! "Kau dengar sendiri,"
Kata si nenek pada sahabatnya.
"Siapa pun mahluk busuk itu aku rasa dia tidak punya niat jahat. Karena kalau dia membekal niat jahat kita berdua pasti sudah dihabisi."
Ucap Gede Kabayana.
"Cahyo Kumolo?!"
Sikaparwathi bertanya lagi pada kura-kura sakti peliharaannya. Binatang itu untuk kedua kali menguik panjang. Membenarkan ucapan Gede Kabayana bahwa mahluk busuk yang membawanya kembali ke rumah tidak punya niat jahat.
"Berarti ada tambahan tugas. Kita harus mencari tahu siapa mahluk busuk bau bangkai itu."
Kata Sri Sikaparwathi pula lalu melangkah ke pintu. Gede Kabayana berdiri. Sambil tegak disamping sahabatnya orang tua ini berkata.
"Sika, selain datang untuk memberi tahu mengenai dimana beradanya Sedayu Galiwardhana, aku juga membawa satu cerita yang ingin aku tanyakan kebenarannya."
"Cerita apa?"
"Riwayat Sumur Api. Konon dikabarkan akan terlahir dua orang bayi yang kelak akan menjadi dua Kesatria sakti andalan Kerajaan Bhumi Mataram..."
Sri Sikaparwathi palingkan wajah, menatap Gede Kabayana beberapa lama lalu berkata.
"Sebelum kau menjelaskan aku tidak pernah tahu dimana beradanya Sedayu Galiwardhana, namun aku pernah menyirap kabar bahwa Sedayu memiliki sebuah benda yang ada sangkut pautnya dengan Sumur Api. Mungkinkah dia dibunuh oleh pengendali mahluk ganda diriku karena benda tersebut?"
"Gading bersurat. Benda itukah yang kau maksudkan Sika?"
Si nenek anggukan kepala.
"Gede Kabayana, saat ini aku merasa sudah cukup kuat. Bagaimana kalau kita berdua melakukan penyelidikan mulai sekarang juga?"
"Tidak perlu menunggu barang satu dua hari? Kulihat wajahmu masih agak pucat."
Sri Sikaparwathi tertawa.
"Mudah-mudahan Para Dewa kelak akan memberikan kesembuhan sempurna padaku dalam perjalanan."
Kedua orang bersahabat itu lalu tinggalkan rumah panggung di lereng lembah.
HUKUM KUTUKAN ATAS SANG PANGERAN MAJELIS Keadilan Kerajaan Tarumanagara yang terdiri dari sembilan tokoh penting dalam sidangnya di Kotaraja pada pagi hari yang mendung itu mengambil keputusan menjatuhkan hukuman terhadap Pangeran Nalapraya.
Keputusan yang dituangkan di atas daun lontar bertuiiskan huruf Palawa dalam bahasa Sansekerta dibacakan oleh Ketua Mejelis, Resi Siga Kalamanda.
Dalam keputusan disebutkan bahwa Pangeran Nalapraya dijatuhi hukuman pancung di alun-alun Kerajaan karena terbukti telah melakukan pembunuhan atas diri Wiramenggala yang juga adalah ayah kandungnya sendiri dan merupakan Wakil Patih Kerajaan.
Sebagai seorang Pangeran adalah tidak pantas dia melakukan perbuatan keji seperti itu.
Kepada terhukum Majelis Keadilan memberikan kesempatan untuk menyampaikan pembelaan.
Dalam pembelaan Pangeran Nalapraya mengatakan bahwa dia tidak mengakui telah membunuh ayah kandungnya sendiri.
Walau demikian dia menyatakan penyesalan terjadinya kematian sang ayah.
Namun karena merasa tidak bersalah maka dia tidak meminta pengampunan.
"Kenyataan memang ada korban yang menemui kematian yaitu Wiramenggala yang adalah ayah kandung saya sendiri. Namun saya mempunyai kesan, Majelis Keadilan terlalu memaksakan hukuman mati atas diri saya karena korban adalah Wakil Patih Kerajaan. Padahal saksi yaitu ibu saya sendiri telah menjelaskan bahwa korban bukan menemui ajal karena saya bunuh, melainkan karena kecelakaan. Selain itu Majelis Pengadilan tidak meninjau secara dalam alasan mengapa korban akhirnya menemui kematian. Sejakdua tahun terakhir ayah telah berlaku sangat kejam terhadap Ibu. Ucapan kotor adalah yang sering dilontarkan korban merupakan makanan sehari-hari bagi Ibu. Dari hanya sekedar ucapan kotor perlakuan korban meningkat menjadi tindak kekerasan berupa penamparan bahkan pemukulan. Hai ini terjadi hampir setiap hari. Majelis Keadilan dan semua orang yang ada di sini bisa melihat sendiri keadaan Ibu saya yang hadir di tempat ini."
Lalu Pangeran Nalapraya menunjuk ke arah seorang perempuan yang duduk menangis terisak-isak di sebuah kursi. Wajahnya sembab bengkak dan ada beberapa luka yang masih belum kering.
"Pagi hari satu minggu yang lalu, korban bukan lagi hanya memukuli ibu tapi berniat hendak membunuh Ibu dengan sebilah keris, hanya karena Ibu terlambat menyiapkan sarapan pagi. Padahal Ibu saat itu sedang gering, menderita sakit demam panas. Saya berusaha mencegah namun korban dengan semena-mena menikam saya..."
Pangeran Nalapraya lalu membuka lebar-lebar baju birunya di bagian dada. Pada bagian tubuh itu terlihat jelas luka bekas tusukan benda tajam sepanjang hampir setengah jengkal.
"Ketika saya berlumuran darah dan jatuh terlentang, korban tanpa belas kasihan sama sekali mendatangi Ibu, membanting Ibu ke lantai. Selagi Ibu terkapar tidak berdaya korban bergerak hendak menusuk ke arah leher. Saya berusaha menyelamatkan Ibu dengan menendang korban hingga jatuh terguling. Pada saat terguling keris yang di pegang korban sendiri secara tak sengaja menusuk dada dan menghujam tepat di arah jantung. Korban akhirnya tewas. Jelas seperti yang disaksikan sendiri oleh Ibu peristiwa itu adalah kecelakaan. Namun Majelis Keadilan menyebutnya sebagai pembunuhan tanpa dapat mengajukan saksi yang membenarkan tuduhan tersebut. Karena yang terjadi adalah kecelakaan maka saya tidak akan mengajukan pembelaan, juga tidak akan meminta ampun. Saya di sini hanya menyatakan menyesal telah terjadinya peristiwa yang sangat tidak diharapkan itu. Selanjutnya saya tidak mengharapkan tanggapan Majelis Keadilan atas apa yang saya sampaikan ini. Saya menyatakan siap menerima hukuman dipancung di alun-alun di depan Istana sekarang juga! Biarlah ketidak adilan disaksikan oleh. semua orang di Kerajaan ini. Dan tangan-tangan mereka yang berdarah semoga akan dibasuh oleh keadilan yang datang dari Para Dewa."
Ibu pangeran Nalapraya langsung menjerit lalu tersandar di tempat duduk setengah sadar setengah pingsan.
Suasana persidangan menjadi kacau.
Orang banyak yang ada dalam ruangan sidang berteriak-teriak gaduh.
Mereka menghujat, mencaci maki Majelis Keadilan karena dianggap telah telah menjatuhkan hukuman semena-mena.
Mereka meminta agar Pangeran Nalapraya segera dibebaskan.
Sementara gedung sidang menjadi kacau dan panas, di luar gedung hujan dengan lebatnya.
Deru angin keras tiada henti.
Sesekali kilat menyambar disusul gelegar suara guntur.
Alam seolah ikut meratapi terjadinya ketidakadilan ini.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ruangan sidang diterangi oleh seberkas cahaya terang yang entah dari mana datangnya.
Cahaya itu menyorot ke arah sembilan anggota Majelis Keadilan dan Ketua Majelis Siga Kalamanda.
Lalu ada getaran aneh di lantai, dinding serta langit-langit ruangan sidang.
Sesaat kemudian terdengar gema suara yang membuat banyak orang jadi kecut merinding.
"Selama ini manusia tidak pernah menerapkan keadilan dengan benar, maka selama itu pula tangan Para Dewa akan turun ke bumi. Hukuman pancung atas diri Pangeran Nalapraya tidak akan menghidupkan kembali Wakil Patih Kerajaan Wiramenggala. Malah hanya akan menambah jatuhnya satu korban lagi. Para Dewa di Swargaloka telah menetapkan bahwa Pangeran Nalapraya yang berusia delapan belas tahun hanya pantas dihukum dengan kutukan selama sepuluh tahun. Bilamana sebelum masa hukuman kutuk itu berakhir dia menemukan seorang anak perawan yang bersedia dinikahinya maka kutukan akan berakhir. Tiada tuntutan lagi yang boleh dijatuhkan atas dirinya."
"Roh Agung!"
Ada beberapa orang di dalam ruangan sidang berseru dengan suara tercekat.
Begitu mendengar suara tanpa kelihatan ujud orang yang bicara, semua orang yang ada di ruang sidang tundukkan kepala.
Para anggota Majelis Keadilan tampak ketakutan.
Orang banyak berteriak dan menunjuk-nunjuk ke arah sepuluh orang itu.
Apa yang terjadi.
Sembilan mulut anggota Majelis Keadilan ditambah sang Ketua Siga Kalamanda saat itu tampak pencong ke kiri.
Ketika mereka berusaha bicara yang keluar hanya suara cadel! Sepuluh orang ini langsung jatuhkan diri ke lantai ruangan, tempelkan kening di lantai berulang kali dan keluarkan ucapan yang tidak jelas.
Agaknya mereka tengah menyeru Para Dewa mohon pengampunan.
Namun apa yang mereka mohon tidak terjadi malah orang banyak di ruangan itu terus memaki dan menyoraki mereka! Pangeran Nalapraya adalah satu-satunya orang di ruang sidang yang masih tetap berdiri tegar.
Setelah merunduk setengah berlutut pemuda gagah ini membuka mulut dengan suara lembut tapi jelas sehingga orang mendengar.
"Mahlukyang bicara tanpa kelihatan ujud. Salam sejahtera untukmu. Tiada kekuasaan tertinggi selain kuasaNya Para Dewa. Saya percaya hukum kutuk yang tadi diucapkan datangnya dari Swargaloka. Saya ikhlas menerima. Karena itu saya mohon diberi tahu hukum kutuk apa yang akan dijatuhkan pada diri saya."
"Pangeran Nalapraya, salam sejahtera berbalas bagi dirimu. Masuklah ke Hutan Raja. Saat ini baru saja memasuki musim penghujan. Kau akan melihat banyak sekali bunga-bunga mengembang. Carilah bunga bunga paling besar di dalam Hutan Raja dan menebar busuknya bau bangkai. Pegang kuncup hijaunya. Maka seperti itulah ujud hukuman akan jatuh atas dirimu. Kepalamu mulai dari leher ke atas akan lenyap dan berganti menjadi bunga besar berbau busuknya bangkai! Bilamana kutuk telah jatuh atas dirimu dan kau telah mengalami perubahan, tinggalkan Kerajaan ini, pergilah ke arah timur hingga akhirnya kau menemukan sebuah Kerajaan bernama Bhumi Mataram. Menetaplah di sana sampai Para Dewa memberi petunjuk lebih lanjut atas dirimu. Perlu kau ketahui, bilamana Para Dewa menghendaki, sewaktu-waktu kau menjalani hukuman, ujud kepalamu bisa kembali untuk beberapa ketika."
Tidak lagi memperdulikan Majelis Keadilan, Nalapraya menemui ibunya, memeluk dan mencium kening perempuan itu dan berkata "Ibu, maafkan anakmu. Jika Para Dewa menghendaki kita pasti akan bertemu."
Sang ibu menjerit keras. Sebelum jatuh pingsan perempuan ini berteriak.
Pendekar Romantis Geger Di Kayangan Roro Centil Tragedi Pulau Berhala Putri Bong Mini Sepasang Pendekar Dari Selatan