Perawan Sumur Api 1
Satria Lonceng Dewa Perawan Sumur Api Bagian 1
SERI MIMBA PURANA Satria Lonceng Dewa Karya .
Bastian Tito 1.
ANAK PERAWAN SOROGEDUG AGAKNYA ini adalah malam paling indah di permulaan musim kemarau di Bhumi Mataram.
Langit biru bersih sedikitpun tidak berawan, dihias tebaran bintang gumintang.
Cahaya bulan purnama menyaput langit, turun ke bumi membawa kesejukan.
Bila angin bertiup, kesegaran terasa sampai di rongga dada.
Di bawah semua keindahan malam yang mempesona dan udara sejuk penuh kesegaran, candi Siwa yang terletak di kawasan Prambanan dan lebih dikenal oleh penduduk setempat dengan sebutan candi Loro Jonggrang tegak menjulang megah dan anggun.
Diapit oleh candi Brahma di sebelah selatan dan Candi Wisnu di sebelah utara.
Sesekali serombongan burung malam melayang terbang melewati puncak ketiga candi.Tiga candi tidak beda laksana tiga raksasa penjaga negeri dikelilingi oleh beberapa candi lainnya.
Menjelang tengah malam, ketika keheningan yang berselimut udara sejuk membuat terasa adanya kesakralan di kawasan Prambanan, dari balik Candi Nandi tampak seseorang berjalan ke arah Candi Loro Jonggrang.
Orang ini ternyata adalah gadis berambut panjang hitam sepinggang, mengenakan kemben lurik kasar, tidak mengenakan alas kaki dan wajah cantik alami tanpa diberi pupur, tidak juga penerang alis apa lagi pewarna bibir.
Beberapa saat akan sampai di tangga utama candi, gadis berusia sekitar enam belas tahun ini hentikan langkah.
Matanya yang bening bagus menatap ke depan, mulut berucap perlahan.
"Aneh, tadi aku tidak melihat orang tua yang duduk di depan tangga candi. Sekarang mengapa tahu-tahu sudah ada di situ? Dari mana gerangan datangnya?"
Seperti yang dilihat si gadis, saat itu di tanah di depan tangga candi memang tampak duduk seorang tua berambut, kumis dan janggut putih.
Pakaian selempang kain putih sederhana.
Di tanah di samping kiri terletak sebatang tongkat kayu.
Si orang tua duduk sambil memegang sebuah kitab.
Mulut bergumam membaca isi kitab yang ditulis dengan huruf Palawa dalam bahasa Sansekerta.
"Orang tua itu, dia membaca Kitab Weda pada bagian Yayur Weda, bacaan dan mantera untuk keselamatan..."
Si gadis berucap dalam hati.
Agaknya gadis ini punya pengetahuan tentang kepercayaan Hindu yang menjadi agama di Bhumi Mataram pada masa itu.
Tak berani melewati, sungkan mengganggu, maka si gadis tegak berdiri menunggu sampai si orang tua menyelesaikan bacaannya.
Cukup lama baru orang tua di depan tangga candi hentikan bacaan.
Perlahan-lahan dengan sikap khidmat dia menutup kitab, letakkan di atas pangkuan lalu mengangkat kepala.
Begitu pandangannya membentur gadis yang berdiri beberapa langkah di hadapannya, sepasang alis mata si orang tua naik ke atas.
Mulut lalu menyapa halus.
"Seorang perawan di malam hari. Mendatangi candi suci Candi Loro Jonggrang, ada apakah maksud di hati?"
Si gadis maju dua langkah, terlebih dulu membungkuk memberi hormat lalu berkata.
"Orang tua, salam sejahtera bagimu. Apakah kau seorang Brahmana..."
Orang yang duduk bersila di tanah letakan dua telapak tangan di atas dada lalu gelengkan kepala.
"Aku bukan Brahmana. Aku hanya seorang tua yang di rumah tidak bisa memincingkan mata. Lalu memutuskan mencari ketenangan di tempat ini dengan membaca Kitab Weda..."
"Orang tua, kau pandai merendah diri. Jangan-jangan kau Dewa Agung yang turun ke bumi menjelma diri."
Kembali orang tua itu gelengkan kepala. Kali ini disertai dengan senyum di wajah.
"Anak perawan, coba jelaskan siapa dirimu. Ada maksud apa malam-malam datang ke candi seorang diri."
"Saya datang dari Sorogedug. Sebuah desa kecil di selatan Prambanan. Saya meninggalkan desa saat matahari terbenam. Saya sengaja berjalan di malam hari agar tidak ada yang melihat."
"Sorogedug cukup jauh dari sini. Katanya kau sengaja berjalan di malam hari agar tidak ada yang melihat. Agaknya ada satu kerahasiaan dalam dirimu. Selain itu kau merasakan sepertinya ada sesuatu yang merisaukan dirimu kalau tidak mau dikatakan ada yang menakutkanmu. Anak perawan, siapa namamu? Ada maksud apa datang ke candi?"
"Nama saya Ananthawuri. Saya datang untuk mengunjung Patung Batari Durga Mahisasura-mardani."
Si orang tua menatap wajah gadis cantik di hadapannya sementara angin malam meniup rambutnya yang panjang hitam melambai-lambai di belakang punggung.
"Ananthawuri.... Sungguh nama yang bagus.Tapi dibalik wajahmu yang cantik aku melihat bayangan kesedihan, juga ada rasa ketakutan. Sesuatu mengganjal di lubuk sanubarimu. Dan kalau kau malam-malam datang ke candi untuk menemui Patung Batari Durga yang lebih dikenal dengan nama Loro Jonggrang, aku yang telah hidup puluhan tahun ini rasanya sudah bisa menerka apa maksud kedatanganmu. Apakah kau punya masalah dengan pemuda tambatan hatimu atau kau di usia semuda ini hendak memohon mendapatkan jodoh?"
"Terima kasih, kau memperhatikan diri saya, Kek. Bolehkah saya memanggilmu Kakek?"
Tanya si gadis. Orang tua berselempang kain putih tersenyum dan anggukan kepala.
"Berarti saya bisa membagi rasa denganmu. Tentu saja kalau kau mau Kek.Tapi ketahuilah, saya belum mempunyai seorang pemuda yang jadi tambatan hati dan saya datang ke candi ini tidak untuk memohon jodoh."
Begitu Ananthawuri menjelaskan.
"Begitu?"
Orang tua yang duduk bersila di tanah agak heran tapi mulutnya tersenyum.
"Kau beruntung. Bangunan candi belum seluruhnya rampung. Tapi Patung Loro Jonggrang sudah lama selesai. Indah dan cantik. Hai, aku memperhatikan kau seorang gadis bertubuh jangkung. Tingginya dirimu hampir menyerupai sang Batari. Dan wajahmu.... Dewa Maha Besar. Mengapa aku melihat banyak kesamaan antara wajahmu dengan wajah patung Loro Jonggrang?" (Jonggrang = jangkung) Perawan dari desa Sorogedug itu tertawa.
"Kek, kau ini ada-ada saja. Masa mau menyamakan saya anak desa yang jelek ini dengan Dewi cantik jelita itu."
"Ananthawuri, walau kita baru bertemu malam ini, kau mau memanggilku Kakek. Apakah aku yang tua ini berlaku lancang kalau aku menganggap dirimu sebagai cucu sendiri."
"Tidak, tidak lancang Kek. Saya malah sangat berterima kasih. Saya gembira kini punya seorang Kakek karena sesungguhnya Ayahpun saya sudah tidak punya."
Si orang tua mengangguk.
"Aku bisa melihat kesedihan di raut wajah serta pancaran sinar matamu. Ketahuilah Kakekmu ini bernama Dhana Padmasutra."
"Kakek Dhana, saya senang bertemu dan mengenal dirimu. Saat ini apakah saya boleh minta jalan dan naik ke candi?"
"Tentu saja cucuku. Namun sebelum naik dan masuk ke dalam candi dan menemui Patung Loro Jonggrang, aku ingin bertanya, apakah kau pernah mendengar riwayat kehidupan Patung yang kau hendak temui itu?"
"Saya pernah mendengar. Dari Ibu. Riwayat didongengkan setiap kali saya mau tidur.Tapi kalau Kakek juga punya cerita yang mungkin lebih bagus dan lebih lengkap tentang sang Dewi, saya suka sekali mendengarnya."
Si orang tua tersenyum dan anggukan kepala. Dalam hati dia berkata.
"Anak perawan ini, dia sudah mengetahui sesuatu tapi tetap ingin mengetahui lebih banyak. Berarti dia mencintai ilmu pengetahuan. Caranya meminta dengan segala kerendahan hati dan ketinggian jiwa. Dia membekal satu urusan penting, namun masih mau meluangkan waktu bercakap-cakap dan berbagi rasa. Dia tengah menghadapi kesulitan tapi masih menyempatkan bicara denganku. Ah....mengapa hatiku begitu suka padanya. Dewa Maha Besar, Dewa Maha Agung. Saya Dhana Padmasutra hambamu yang rendah menjatuhkan diri berlutut di hadapan Para Dewa, mengucap selangit terima kasih, menghatur sebumi rasa syukur dan menyampaikan selautan luas rasa gembira karena Para Dewa di Swargaloka telah mempertemukan saya dengan anak perawan ini.Wahai Para Dewa, apapun kesedihan serta ketakutan yang menyelinap dalam hatinya, berikan saya kemampuan untuk menolong."
Tiba-tiba satu cahaya putih laksana turun dari langit berpijar menyelubungi tubuh Dhana Padmasutra.
Saat itu juga Ananthawuri melihat bagaimana wajah si orang tua menjadi lebih segar dan lebih cerah.
Sepasang mata yang sebelumnya sayu kini bersinar cerah.
Tubuh yang tadi agak tertunduk merunduk kini duduk lurus dengan dada tegap ke depan.
"Kakek Dhana, apa yang terjadi? Ada cahaya putih saya lihat masuk ke dalam tubuhmu. Kau tidak apa-apa?"Tanya Anathawuri sambil beringsut maju dan memegang lengan si orang tua. Ketika jari-jarinya menyentuh lengan itu, si gadis merasa ada hawa luar biasa sejuk masuk ke dalam tubuhnya.
"Aku baru saja menerima berkah Para Dewa,"
Ucap Dhana Padmasutra. Lalu membungkuk dalam-dalam sampai keningnya menyentuh tanah. Sambil bersujud orang tua ini berucap.
"Wahai Batara Dewa di Khayangan. Saya tidak tahu pertanda apa yang Engkau berikan. Saya percaya Engkau melindungi saya dalam segala niat dan perbuatan saya. Jika saya harus melindungi dan menolong orang lain, maka berilah kepada saya kekuatan untuk mampu melakukan hal itu."
Setelah kembali duduk bersila si orang tua berkata.
"Cucuku Ananthawuri, aku akan ceritakan padamu riwayat Loro Jonggrang. Singkat-singkat saja agar sesudah itu kau bisa segera mengunjungi patungnya."
Si gadis tersenyum. Merasa lega mengetahui orang tua di hadapannya tidak kurang suatu apa. Sementara Dhana Padmasutra sendiri dalam hati membatin.
"Anak perawan ini agaknya bukan gadis sembarangan. Kalau bukan karena kehadirannya rahmat Para Dewa tidak akan turun atas diriku."
OoOOOoo 2.
KISAH DHANA PADMASUTRA SETELAH merapikan letak kitab Weda di atas pangkuannya kakek bernama Dhana Padmasutra menuturkan kisah Loro Jonggrang pada Ananthawuri.
Konon beberapa puluh tahun lalu seorang Raja yang memiliki Keraton di Gunung Boko mempunyai seorang puteri cantik jelita tinggi semampai bernama Loro Jonggrang.
Suatu ketika seorang Kesatria gagah perkasa dan juga sangat sakti bernama Bandung meminang Loro Jonggrang untuk dijadikan istri.
Raja Boko menerima lamaran itu namun sang puteri menolak.
Karena sangat menghormati Ayahnya dan tidak mau mempermalukan sang Kesatria maka Loro Jonggrang menerima pinangan tersebut dengan mengajukan syarat.
Syarat itu sekaligus diajukan sebagai mahar atau mas kawin yakni sang Kesatria harus membuat 1000 candi dalam waktu satu malam.
Jika Bandung mampu memenuhi syarat itu maka Loro Jonggrang menerima pinangan dan bersedia menjadi istrinya.
Bandung sang Kesatria karena sangat mencintai Loro Jonggrang dengan kesaktiannya memanggil ribuan makhluk halus sebangsa jin untuk membantu membangun 1000 candi yang diminta.
Maka mulai matahari terbenam sampai semalaman suntuk ribuan makhluk halus di bawah pimpinan Bandung bekerja keras.
Menjelang matahari terbit ternyata tinggal satu candi yang belum rampung.
Melihat kejadian itu Loro Jonggrang yang semalaman tidak tidur dan mengawasi pembuatan 1000 candi merasa sangat khawatir.
Kalau sampai candi ke 1000 selesai berarti dia harus bersedia dikawini oleh Bandung.
Padahal Loro Jonggrang sama sekali tidak menyukai apa lagi mencintai sang Kesatria.
Dalam khawatirnya Loro Jonggrang terus memohon pada Yang Kuasa agar diberi petunjuk bagaimana caranya menghindari perkawinan itu.
Loro Jonggrang mendapat akal.
Puteri Raja ini membangunkan dan mengumpulkan semua anak gadis yang ada di Kerajaan.
Kepada mereka diperintahkan agar segera menumbuk padi di lesung.
Dalam waktu singkat seluruh negeri ramai oleh hiruk pikuk suara tumbukan alu di lesung padi yang dilakukan oleh hampir ratusan anak gadis.
Suara alu beradu dengan lesung membuat ayam-ayam terbangun dan suara kokoknya kemudian terdengar di mana-mana.
Semua makhluk halus yang tengah melakukan pekerjaan membangun candi terakhir tersentak kaget.
Mereka mengira hari telah siang dan takut celaka terkena sinar matahari.
Semuanya serta merta meninggalkan tempat mereka bekerja membangun seribu candi.
Melihat apa yang terjadi dan mengetahui tipu muslihat yang dilakukan Loro Jonggrang, Bandung marah bukan alang kepalang.
Kesatria sejati ini menjatuhkan kutuk, menjadikan Loro Jonggrang sebagai patung.
Sejak diciptakannya Patung Batari Durga di Candi Siwa timbul kepercayaan bahwa patung itu adalah penjelmaan Loro Jonggrang puteri Raja Boko.
Patung banyak dikunjungi oleh muda mudi sambil memohon kepada Dewa agar mudah mendapatkan jodoh.
Dhana Padmasutra menutup kisahnya dengan bertanya.
"Cucuku Ananthawuri, setelah kau mendengar cerita Loro Jonggrang, aku ingin bertanya lagi. Apakah maksudmu mengunjungi Patung Loro Jonggrang karena kau juga ingin mendapat jodoh seperti yang dilakukan para gadis dan banyak pemuda?"
"Tidak Kek, saya tidak bermaksud mencari jodoh. Saya ingin minta petunjuk dan perlindungan. Nasib diri saya hampir tiada beda dengan Loro Jonggrang..."
Dhana Padmasutra pandangi anak perawan dari Sorogedug itu beberapa ketika.
"Cucuku, ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu."
Maka berceritalah Ananthawuri.
"Semasa Ayah masih hidup, beliau memiliki banyak sawah dan ladang. Suatu ketika untuk suatu keperluan Ayah membutuhkan uang dalam jumlah yang cukup besar. Panen hasil sawah dan ladang ditunggu masih lama. Ayah meminjam uang pada seorang saudagar muda dengan cara mengijonkan hasil sawah ladang.Tidak diduga semacam penyakit tanaman merusak seluruh tanaman. Anehnya musibah itu hanya terjadi pada sawah dan ladang Ayah saja. Hasil panen yang diharapkan akan dipakai untuk pembayar hutang tidak menjadi kenyataan. Sementara hutang bunga berbunga hingga berlipat ganda. Sampai Ayah meninggal dunia hutangnya tidak terbayar..."
"Cerita selanjutnya aku bisa menerka,"
Kata Dhana Padmasutra pula.
"Saudagar muda itu mendatangi keluargamu, minta agar hutang mendiang Ayahmu diselesaikan."
"Betul sekali Kek,"
Kata Anathawuri.
"Ibu memberitahu belum sanggup membayar hutang. Ibu menawarkan agar saudagar itu mengambil seluruh tanah sawah dan ladang sebagai pembayar hutang. Tapi dia menolak-Tanah sawah dan ladang kami tidak dihargai barang sekepeng batupun. Malah dia mengancam akan membawa perkara hutang piutang itu ke Pejabat Kerajaan. Ibu ketakutan dan jatuh sakitsakitan. Namun ancaman itu ternyata akal busuk sang saudagar saja. Karena satu kali dia pernah berkata pada Ibu. Jika saya mau dijadikan istrinya maka semua hutang Ayah akan dihapus."
Dhana Padmasutra tercengang mendengar keterangan si gadis dan gelengkan kepala sampai beberapa kali.
"Yang saya khawatirkan Kek, jika maksudnya mengawini saya tidak kesampaian, mungkin sekali saya akan diapaapakan. Bisa-bisa saya diculik dilarikan."
"Cucuku, aku tidak mengira di Bhumi Mataram ini ada seorang sejahat Saudagar muda itu. Kalau aku boleh tahu siapa gerangan orang itu."
"Namanya Narotungga..."
Memberitahu Ananthawuri.
"Narotungga? Kedengarannya bukan nama orang Bhumi Mataram. Sepertinya... Jangan-jangan orang ini pendatang berasal dari Selatan."
"Betul Kek, Saudagar muda itu memang dari selatan. Tapi kabarnya dia juga bukan asli orang selatan."
"Pantas...pantas. Orang Mataram asli tidak akan ada yang sejahat itu perilakunya. Tapi Yang Maha Kuasa berbuat sekehendakNya. Berdosa kita kalau menyalahkan seseorang bersifat dan berbuat jahat."
"Selain saya tidak suka padanya, saya juga mendengar kabar kalau Saudagar Narotungga telah mempunyai beberapa orang istri. Bila dia tidak suka pada salah seorang atau dua orang istrinya dengan mudah dia menceraikan lalu mencari istri-istri baru..."
"Bukan main, seperti hewan saja,"
Ucap Dhana Padmasutra."Cucuku Ananthawuri, sekarang sebaiknya kau segera naik ke candi.
Saatnya kau menemui Loro Jonggrang.
Ceritakan dengan hati dan ucapanmu semua apa yang kau hadapi dan mohon petunjuk.
Walau dia Cuma patung batu, bisu dan dingin namun melalui Kuasa Dewa sesuatu akan kau dapatkan sebagai petunjuk.
Aku akan menunggumu di sini sambil melanjutkan membaca Kitab Suci Weda."
"Saya akan segera naik ke candi. Kakek Dhana, saya mohon restumu agar Para Dewa mau memperhatikan diri saya yang malang ini."
Si orang tua anggukan kepala, tersenyum dan membelai rambut panjang si gadis.
"Doa orang lain memang diperlukan, namun doa serta permohonan sendiri yang disampaikan langsung kepada Yang Maha Kuasa akan lebih mustajab. Pergilah cucuku..."
Seundak-demi seundak Ananthawuri menaiki tangga utama Candi Loro Jonggrang.
Walau langit bersih tak berawan serta sinar rembulan ikut menerangi Bhumi Mataram termasuk kawasan Prambanan, di dalam candi keadaan tidak begitu terang.
Namun Ananthawuri melangkah cepat dan sigap.
Semasa kecil, sewaktu candi dibangun dia sering datang dan bermain-main di sana dengan teman-teman.
Karenanya dia hafal betul di mana letak ruangan tempat beradanya Patung Batari Durga atau yang lebih dikenal dengan nama Loro Jonggrang.
Di dalam suatu ruangan batu yang menghadap ke utara disitulah beradanya Patung Loro Jonggrang.
Patung berdiri di atas seekor banteng bernama Nandi yang tewas di tangan Batari Durga.
Konon menurut cerita, suatu ketika ada seekor banteng hendak mencelakai Durga.
Banteng ini ternyata bukan hewan biasa karena di dalam tubuhnya telah masuk satu roh jahat.
Durga berhasil menumpas makhluk halus yang menguasai banteng hingga berteriak-teriak dan melarikan diri.
Banteng Nandi sendiri akhirnya ikut tewas di tangan Durga.
Patung Loro Jonggrang ini bagus dan halus sekali bentuknya hingga dipandang dari kejauhan laksana hidup dan tersenyum kepada siapa saja yang memperhatikannya.
Setelah memandang patung beberapa lama, Ananthawuri lalu membungkuk tiga kali dan perlahan-lahan menjatuhkan diri berlutut.
Lama perawan desa Sorogedug ini terdiam sebelum mampu membuka mulut mengeluarkan ucapan sambil tundukan kepala.
"Wahai Batari Durga yang juga saya sebut dengan nama Loro Jonggrang. Pertama sekali saya mohon maaf kalau kedatangan saya mengganggu ketenteraman Batari. Wahai Nyi Loro kalau boleh saya panggil dengan sebutan Dewi. Saya gadis desa bernama Ananthawuri, datang menghadap Dewi karena saya tidak tahu lagi akan bertemu siapa, akan bicara dengan siapa dan akan minta tolong serta perlindungan kepada siapa."
Sesaat Ananthawuri angkat kepala.
Setelah memperhatikan wajah patung dia kembali tundukan kepala dan lanjutkan ucapan.
Namun belum sampai kata-kata meluncur keluar dari mulut perawan desa ini tiba-tiba dia mendengar suara halus seolah bergema datang dari kejauhan.
"Ananthawuri, aku sudah mendengar apa yang kau ceritakan pada orang tua di tangga candi. Kita hidup di alam yang berbeda namun ternyata nasib kita punya kesamaan."
Dalam kejutnya Ananthawuri langsung angkat kepala, menatap kearah patung. Hyang Jagat Bathara Sakti! Dia melihat sepasang mata Patung Loro Jonggrang seolah hidup, menatap kearahnya dan mulut patung tampak bergerak-gerak.
"Dewi Loro Jonggrang. Kau menatap ke arah saya, kau bersuara. Kau hidup. Oh Dewa! Besar nian berkah M u pada gadis malang ini..."
"Ananthawuri, kau masih muda belia. Karena itu mungkin kau belum tahu bahwa hidup dan kehidupan di atas dunia ini adalah semacam panggung sandiwara penuh tantangan. Seseorang bisa melambung ke puncak kejayaan dan kebahagiaan. Tapi seseorang juga bisa terpuruk ke jurang hina penuh nista dan teraniaya. Pulanglah, jaga Ibumu baikbaik. Bukankah dia sedang sakit-sakitan..."
"Saya mendengar ucapanmu wahai Dewi Loro Jonggrang. Saya akan segera pulang..."
"Tentang nasib dirimu Para Dewa tentu sudah mendengar dan mengetahui. Para Dewa tentu tidak akan membiarkan seorang gadis seperti mu teraniaya begitu saja."
"Terima kasih Dewi...terima kasih banyak."
Kata Ananthawuri berulang kali sambil membungkuk menyentuh kening ke lantai candi yang dingin tiga kali berturut-turut.
Lalu dia mencium ujung kaki Patung Loro Jonggrang.
Saat itulah dia merasa ada dua tangan mengangkat bahunya hingga dia berdiri.
Anehnya, kini tubuhnya jadi sama tinggi dengan patung Loro Jonggrang.
Kepala saling berhadapan, mata saling berpandang.
"Dewi Loro Jonggrang..."
Ucap Ananthawuri dengan suara bergetar.
Dia memandang ke bawah.
Dia melihat kakinya sejajar dengan kaki patung.
Apa yang terjadi.
Bagaimana mungkin tubuhnya bisa setinggi tubuh patung sang Dewi.
Ananthawuri kembali menatap ke wajah patung.
Seperti kata kakek Dhana Padmasutra, wajah patung memang menyerupai banyak kesamaan dengan wajahnya.
"Dewa Maha Agung, bagaimana ini bisa terjadi. Wajahku menyerupai wajah Dewi Loro Jonggrang..."
Ucap Ananthawuri dalam hati. Saat ini tangan kanan patung tiba-tiba bergerak ke depan, lima jari tangan menggenggam kencang membentuk tinju seolah hendak menjotos kepalanya.
"Dewi...."Ananthawuri terkesiap. ooOOOoo 3. BATU SAKTI KALADUNGGA LIMA jari tangan patung yang menggenggam tiba-tiba bergerak membuka. Di atas telapak tangan Loro Jonggrang terletak sebuah benda merah sebesar ujung jari kelingking. Benda ini memancarkan kilauan aneh hingga jika diperhatikan ber-bentuk seperti seekor kalajengking yang menggerakan kepala, kaki dan ekor.
"Ini Batu Kaladungga. Jika batu ini berada dalam tubuhmu maka siapa saja orang yang mempunyai niat jahat terhadapmu, sekalipun baru di dalam hati, maka orang itu tidak akan mampu melihat dirimu. Ananthawuri, ambil batu ini dan telanlah."
Sepasang mata Ananthawuri memperhatikan tak berkedip batu di tangan Loro Jonggrang. Lalu gadis ini menatap wajah sang patung. Mulut patung bergerak.
"Tidak usah ada keraguan. Ambil batu ini dan cepat telan. Dewa akan menolongmu."
Ananthawuri segera mengambil batu lalu memasukan ke dalam mulut.
Dia merasa ada hawa sejuk di dalam mulut dan menjalar keseluruh tubuh.
Namun setelah mencoba beberapa kali gadis ini mengalami kesulitan menelan batu yang bernama Kaladungga itu.
Loro Jonggrang usapkan tangan kanan ke leher si gadis.
Saat itu juga batu Kaladungga meluncur masuk lewat tenggorokan Ananthawuri.
Anak perawan berusia enam belas tahun ini merasa tubuhnya mendadak berubah ringan dan pemandangannya menjadi lebih terang.
"Ananthawuri, lekas tinggalkan tempat ini. Cepat pergi..."
"Dewi Loro Jonggrang..."
Ananthawuri cium tangan kanan patung yang masih terulur.
Dia seperti memegang dan mencium tiada beda tangan manusia biasa.
Halus dan wangi.
Sesaat kemudian tangan itu merapat kembali ke sisi kanan tubuh.
Secara bersamaan tubuh Ananthawuri berubah ke bentukasal yaitu tidak lagi setinggi tadi.
"Dewi, saya Ananthawuri mengucapkan terima kasih. Puji hormat saya untuk Dewi dan puji syukur saya untuk Para Dewa."
Ananthawuri bungkukan tubuh, mencium kaki patung lalu bersurut mundur.
Terakhir kafi sebelum keluar dari ruangan gadis ini menatap ke arah wajah patung, layangkan senyum sambil tangan kanan dilambaikan.
Wajah patung Dewi Loro Jonggrang balas tersenyum dan mata kirinya tampak dikedipkan.
Ketika menuruni tangga menuju pintu gerbang utama candi, Ananthawuri merasa dirinya seperti melayang.
Cepat sekali dia berada di undakan tangga terakhir sebelah bawah.
Namun begitu menginjakan kaki di tanah gadis ini terpekik.
"Kakek Dhana!"
Orang tua berselempang kain putih yang tadi ditemui Ananthawuri sebelum naik ke atas candi kini dalam keadaan tergeletak di tanah.
Kepalanya hangus hitam mengerikan.
Rambut gosong seperti habis terbakar.Tongkat kayu dan Kitab Weda tercampak di tanah dalam keadaan terkembang.
"Kakek Dhana, apa yang terjadi?!"
Ananthawuri menghambur jatuhkan diri di samping sosok si orang tua. Gadis ini hendak letakkan kepala orang tua itu di atas pangkuannya namun Dhana Padmasutra yang dalam keadaan sekarat masih mampu mengeluarkan ucapan.
"Cucuku, lekas tinggalkan tempat ini. Ambil Kitab Weda, bawa tongkat kayuku. Ikuti saja kemana tongkat itu akan menuntunmu. Jika kau mendengar suara maka itu adalah suara Roh Agung yang memberi etunjuk padamu. Pergilah. Jangan risaukan diriku. Aku telah menerima rahmat besar dari Para Dewa. Aku merasa berbahagia bisa meninggalkan dunia fana di malam yang begitu indah dan... sebelum pergi aku bisa bertemu dengan gadis sepertimu."
"Kakek, jangan bicara seperti itu. Saya akan menolongmu. Katakan apa yang terjadi? Siapa yang mencelakai dirimu sekejam ini?!"
Wajah tua itu tersenyum.
"Lekas pergi..."
Katanya.
"Kek..."
Ananthawuri merasa bimbang.
"Cucuku, ikuti kata-kataku...Tempat ini sekarang sangat berbahaya bagimu."
"Kalau begitu katamu Kek, baiklah.Tapi saya akan membawa tubuhmu dari sini. Saya tidak akan meninggalkan dirimu."
"Tidak.-.Jangan. Cucuku, lupakan diriku. Pergilah..."
"Baik, Kek. Saya akan segera pergi. Cepat-cepat pulang ke desa Sorogedug."
"Jangan, jangan pulang ke desa. Ikuti saja ke mana tongkat kayu milikku akan membawa menuntun dirimu..."
"Baik Kek. Saya akan menuruti kata-katamu..."
"Dewa akan melindungi dirimu,"
Ucap si orang tua. Lalu kepalanya terkulai.
"Kek!"
Ananthawuri memandang berkeliling.
Dia tidak melihat siapa-siapa di sekitar situ.
Sepi.
Namun naluri perawan belia ini merasakan ada kehadiran orang lain di tempat itu.
Pandangannya kemudian membentur Kitab Weda dan tongkat kayu yang tergeletak di tanah.
Dia ingat pada pesan si kakek.
Cepat-cepat gadis ini mengambil kitab dan tongkat.
Ketika hendak mengambil tongkat, di tanah Ananthawuri melihat sebuah benda bulat berwarna kemerahan.
Walau tidak pasti apa adanya benda itu namun diambilnya juga, diselipkan ke balik kemben.
Meski hatinya sedih dan berat meninggalkan si orang tua dalam keadaan seperti itu namun Ananthawuri terpaksa pergi dari tempat itu.
Tidak lama setelah si gadis tinggalkan halaman candi tiba-tiba dua orang berkelebat dari balik bangunan candi Wisnu yang terletak di sebelah kiri candi Loro Jonggrang.
ooOOOoo 4.
SETUNGGUL LANGIT DAN SETUNGGUL BUMI DUA ORANG lelaki yang muncul di depan candi perhatikan mayat Dhana Padmasutra lalu saling pandang satu sama lain.
"Kau tadi terlalu keras menghajarnya. Kau tidak perlu mengeluarkan ilmu Serat Arang. Seharusnya dia tidak perlu dibunuh,"
Kata lelaki di sebelah kanan.
Namanya Setunggul Bumi.
Orang ini bertubuh pendek katai, rambut panjang digulung dan dikonde di atas kepala.
Dia memelihara janggut putih panjang menjulai menyentuh tanah.
Pelipis kiri kanan dicantel gelang hitam terbuat dari akar bahar.
Pakaian jubah kuning yang leher serta dua ujung lengan dan bagian bawah berumbai-umbai biru.
"Dia bukan orang sembarangan. Memang dia tidak akan membunuh kita tapi kalau dibiarkan hidup kita berdua bisa celaka,"
Jawab lelaki satunya yang berbadan ramping dan tinggi sekali, mengenakan jubah hitam berkancing merah, celana juga hitam.
Rambut hitam berkilat digulung di atas kepala.
Dua tangan menjulai hampir menyentuh tanah seperti beruk.
Di keningnya menempel sebuah batu pipih .hitam legam berkilat berbentuk segi tiga.
Sesuai dengan keadaan tubuhnya yang tinggi jangkung dia dikenal dengan nama Setunggul Langit.
Dialah yang telah membunuh Dhana Padmasutra.
Orang ini lanjutkan ucapan.
"Lagi pula apa kau lupa pesan Arwah Muka Hijau. Kita tidak boleh meninggalkan jejak. Tidak ada satu orang pun boleh tahu dan menjadi saksi semua rencana dan perbuatan kita..."
Setunggul Langit berbicara sambil mengelus-elus dada.Tiba-tiba orang itu hentikan ucapan, tampang berubah. Kepala menunduk, mata memperhatikan dada pakaian.
"Kancing bajuku!"
Katanya.
"Salah satu kancing bajuku lenyap!"
Setunggul Langit memandang ke tanah, memperhatikan berkeliling.
"Aku ingat,"
Kata si katai Setunggul Bumi.
"Waktu kau menyerang orang tua itu, dia pergunakan tongkat kayu untuk menangkis.Tongkat kayu menyambar ke dada, mungkin membuat tanggal salah satu kancing bajumu."
"Kalau tidak ada yang mengambil kancing itu pasti jatuh sekitar sini!"
Setunggul Langit mencari kian kemari. Lalu dia menggeledah mayat Dhana Padmasutra, memeriksa dua tangannya.Tapi dia tidak menemukan kancing baju yang dicari.
"Celaka. Kancing bajuku. Kalau ada yang mengambil. Kalau sampai ada yang mengetahui...!"
"Sudah lupakan saja kancing itu. Mungkin sudah hancur sewaktu disambar ujung tongkat."
Kata Setunggul Bumi."Aku berpikir-pikir. Apakah tadi kita melihat gadis keluar dari candi?"
Setunggul Langit gelengkan kepala.
"Aku tidak melihat, kau juga tidak melihat. Aneh! Tadi aku jelas mendengar suara gadis itu. Suara teriaknya, lalu suara dia bicara.Tapi mengapa orangnya tak kelihatan. Aku melihat tongkat dan Kitab Weda melayang di udara ke arah timur."
"Ini memang kejadian luar biasa. Sebelum mati orang tua itu bicara dengan seseorang yang tidak kelihatan ujudnya. Pasti gadis dari desa Sorogedug itu."
Kata Setunggul Bumi sambil usap janggutnya dan memandang ke arah candi.
"Setunggul Bumi, seharusnya tadi kita terus saja mengikuti gadis itu masuk ke dalam candi. Kita bisa membekuknya di sana."
"Sobatku, enak saja kau bicara. Apa kau lupa peringatan Gendadaluh alias Arwah Muka Hijau. Kita punya pantangan tidak boleh naik apa lagi sampai masuk ke dalam candi manapun di kawasan ini."
Setunggul Langit terdiam. Sesaat kemudian dia berkata.
"Kita gagal mendapatkan gadis itu. Lalu apa yang akan kita katakan pada Arwah Muka Hijau!"
"Jelas dia pasti marah besar. Tapi kita punya alasan. Kita sudah mengikuti tapi tidak menduga kalau gadis itu masuk ke candi. Lalu ada orang tua bernama Dhana Padmasutra ini menghalangi. Kita berhasil menghabisinya. Arwah Muka Hijau pasti senang mendengar kematian seteru lamanya ini."
Jawab Setunggul Bumi.
"Lalu bagaimana kita mengatakan bahwa kita tidak melihat gadis itu keluar dari candi. Kita mendengar suara tapi tidak kelihatan orangnya. Apakah Arwah Muka Hijau akan mempercayai begitu saja cerita kita?"
Setunggul Bumi kembali usap janggut putih yang menjulai tanah.
"Sudah, kita terima nasib saja. Dia pasti akan memendam kita lagi di Kali Progo. Sekali ini mungkin sampai seratus kali kokok ayam pagi. Lebih lama dari yang sudah-sudah. Remuk tubuh kita berdua!"
"Terus terang, sebenarnya kita telah berlaku sembrono,"
Kata Setunggul Langit pula.
"Apa maksudmu?"
Tanya Setunggul Bumi.
"Tadi sewaktu kita melihat tongkat dan Kitab Weda melayang, seharusnya kita cepat mengikuti. Aku yakin sesuatu telah terjadi dengan anak perawan itu hingga dia mampu melenyapkan diri.Tongkat dan kitab tidak mungkin bisa melayang sendiri kalau tidak ada yang memegangi. Janganjangan di dalam candi anak perawan itu telah menemui seorang sakti mandraguna! Dengar sobatku, apapun yang terjadi kita harus mengejar. Harus menemukan perawan itu!"
"Setunggul Langit, kalau itu maumu, rasanya kita masih bisa mengejar. Kita punya ilmu Seribu Kaki Di Atas Bumi. Digabungkan dengan ilmu Empat Penjuru Bumi Mengendus Raga. Meski kita tidak melihat ujud tapi kita mampu mencium baunya. Mengapa tidak dipergunakan? Lagi pula gadis itu masih belia, masih suci. Pasti enak dan harum baunya. Ha...ha...ha!"
Mendengar ucapan sobatnya si katai berjanggut panjang tanah itu, Setunggul Langit langsung baringkan tubuh, menelungkup ke tanah.
Si katai Setunggul Bumi cepat melompat dan berdiri di atas punggung sobatnya.
Dua tangan diangkat tinggi-tingg ke udara.
Mulut merapal mantera.
Setunggul Langit ikut komat kamit.
Secara aneh hidung kedua orang ini menjadi panjang dan lobang hidung membesar.
Mengendus tiada henti.Tiba-tiba Setunggul Bumi berteriak sambil menunjuk ke kanan.
"Timur! Ke arah timur!"
Saat itu juga tubuh Setunggul Langit naik ke udara, melayang berputar dua kali lalu wuttt! Melesat ke arah timur.
Itulah ilmu kesaktian yang bernama Seribu Kaki Di Atas Bumi yang diterapkan bersamaan dengan ilmu Empat Penjuru Bumi Mengendus Raga.
Mereka mengejar dan menjajagi keberadaan Ananthawuri.
ooOOOoo 5.
SUMUR API KITAB Weda dikepit di tangan kanan, tongkat dipegang di tangan kiri.
Ananthawuri berlari ke arah timur.
Dia merasa berlari biasa-biasa saja.Tetapi mengapa pohon-pohon yang dilewatinya seolah melesat terbang ke arah berlawanan.
Rambutnya yang panjang melambai-lambai ditiup angin kencang, terasa dingin sampai ke tengkuk.
Kakinya seolah tidak menjejak tanah.
Walau berlari sudah sangat jauh tapi kaki tidak terasa capai dan dada tidak sesak.
"Apa yang terjadi dengan diriku? Mengapa aku memiliki kemampuan seperti ini? Dewa Bathara Agung, apakah Kau menolong diriku? Kakek Dhana Padmasutra, apakah ini berkat semua doamu? Dewi Loro Jonggrang, engkau pasti melindungi diriku."
Sementara berlari ucapan-ucapan itu keluar dalam hati Ananthawuri.
Anak perawan dari desa Sorogedug ini tidak tahu dia mau lari ke arah mana.Tapi dia sadar sekali kalau dia tidak tengah menuju desa kediamannya.
Sorogedug di selatan dan dia terus-terusan lari bukan ke arah selatan.
Setiap dia ingat akan ibunya yang sedang sakit serta muncul niat untuk pulang ke desa Sorogedug, tongkat kayu milik Dhana Padmasutra menarik dirinya, seolah menjadi kemudi ke arah mana dia harus menuju yaitu ke arah timur.
"Dewa Agung,"
Ananthawuri mengucap ketika di depannya dia melihat langit mulai terang.
"Fajar sudah menyingsing dan aku masih terus lari..."
Tongkat kayu di tangan kiri tiba-tiba bergerak ke kanan.
Ananthawuri ikut bergerak ke kanan.
Beberapa belas tombak di kejauhan dia melihat satu nyala terang.
Hingga akhirnya gadis itu sampai di depan satu tumpukan batu bersusun rapi membentuk lingkaran mulut sumur setinggi pinggang manusia.
Dari dalam lingkaran batu itulah menyebar keluar nyala terang berwarna merah.
Ananthawuri memperhatikan dengan dada berdebar mata tak berkesip.
Dia melangkah lebih dekat lalu dengan hati-hati ulurkan kepala, coba melihat ke dalam.
Gadis ini melihat sebuah lobang panjang dan dalam.
Di dasar lobang berkobar nyala api, mengeluarkan suara menderu angker, bergejolak merah dan panas.
Sesekali lidah api melesat ke udara melewati bibir sumur.
Luar biasa mengerikan.
"Sumur Api..."
Ucap Ananthawuri.
"Aneh, biasanya sumur berisi air. Yang ini mengapa berisi api?"
Si gadis bersurut menjauh dua langkah. Mukanya pucat pertanda ada rasa takut.
"Ananthawuri masuklah. Ceburkan dirimu ke dalam sumur!"
Perawan desa Sorogedug ini terkesiap. Memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa.
"Siapa yang barusan bicara?"
Ananthawuri beranikan diri bertanya.
"Ananthawuri! Lekas ceburkan dirimu ke dalam sumur! Cepat! Ada bahaya mengancam keselamatan dirimu!"
"Suara itu...."
Si gadis lantas ingat pada kata-kata orang tua bernama Dhana Padmasutra."Ikuti saja ke mana tongkat itu menuntunmu. Jika kau mendengar suara maka itu adalah suara Roh Agung yang memberi petunjuk padamu...."
"Roh Agung..."desis Ananthawuri. Tiba-tiba dalam keadaan udara yang mulai terang gadis ini melihat pemandangan yang aneh. Dari arah barat melesat laksana terbang seorang berpakaian hitam. Di atas punggungnya berdiri seorang lelaki katai berjubah kuning, berjanggut putih yang panjangnya sampai ke kaki. Lelaki bertubuh pendek ini berdiri sambil dua tangan diangkat ke udara.Tiba-tiba dia menunjuk ke arah Ananthawuri berdiri.
"Aku melihat tongkat dan Kitab Weda mengambang di udara! Dekat tumpukan batu yang ada cahaya terang. Gadis itu pasti ada di sana!"
Setunggul Langit putar tangan kanannya.
"Wuuttt!", Tubuhnya membelok, melesat ke arah sumur api.
"Cekal tongkat dan kitab. Gadis itu pasti bisa kita ringkus walau ujudnya tidak kelihatan!"
Teriak Setunggul Langit.
"Ananthawuri, jika kau ingin mencari selamat lekas masuk ke dalam sumur! Waktumu sudah habis!"
Kembali terdengar suara dari makhluk yang tidak kelihatan yang menurut Dhana Padmasutra adalah suara Roh Agung. Ananthawuri pegang kitab dan tongkat erat-erat. Mulut berucap gemetar.
"Yang Maha Kuasa. Saya serahkan diri saya padaMu."
Dengan memincingkan mata sambil keluarkan teriakan keras perawan desa Sorogedug ini melompat, menerjunkan diri masuk ke dalam sumur api. Suara gaung teriakannya bergema sepanjang kedalaman sumur, tembus ke udara terbuka lalu sirap lenyap! "Wuutt!"
"Wuutt!"
Setunggul Langit dan Setunggul Bumi sampai di tepi tumpukan batu yang membentuk dinding sumur setinggi pinggang. Mereka berusaha mencekal ke arah tongkat. Namun keduanya hanya menggapai angin.
"Kita terlambat!"
Ucap lelaki yang bertubuh katai sambil pukul-pukul kening sendiri karena kesal.
"Tempat celaka apa ini?"
Setunggul Langit melangkah mendekat lalu ulurkan kepala memandang ke dalam sumur.
"Wusss!"
Satu gelombang lidah api menderu keras, melesat ke atas membuat Setunggul Langit tersentak kaget, cepat-cepat melompat mundur, mengusap mukanya yang kepanasan dan menyumpah panjang pendek.
"Tidak pernah aku melihat yang seperti ini! Sumur Api! Mengapa ada kegilaan seperti ini di Bhumi Mataram!"
"Gadis tolol! Mengapa memilih bunuh diri!"
Maki Setunggul Bumi.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita tidak mungkin mencebur masuk mengejar anak perawan itu. Kita tidak mempunyai kemampuan melawan api!"
"Aku meragukan anak perawan itu benar-benar sudah mati!"
Sahut Setunggul Langit.
"Kita terpaksa menunggu di tempat ini. Masakan gadis itu tidak akan keluar-keluar dari dalam sumur."
"Setunggul Langit, jangan bodoh! Anak perawan itu pasti sudah menemui ajal! Kecemplung ke dalam sumur biasa saja dia pasti sudah tewas. Apa lagi Sumur Api seperti ini! Kita hanya membuang-buang waktu menunggu di sini. Sebaiknya kita segera menemui Arwah Muka Hijau. Terus terang saja padanya. Katakan semua apa yang kita alami."
Setunggul Langit menggeleng."Aku tetap punya keyakinan anak perawan itu tidak menemui ajal di dalam Sumur Api. Dengar, kalau kita berdua pergi, bagaimana jika anak perawan itu nanti menyelinap keluar. Kita bisa celaka lagi dihajar Arwah Muka Hijau."
"Kau benar-benar tolol!"
Ucap Setunggul Bumi.
"Menurutku dia sudah menemui ajal di dasar sumur celaka ini. Dia seorang anak perawan desa yang tidak punya ilmu kepandaian apa-apa. Apa lagi yang namanya kesaktian!"
"Kau yang tolol sobatku!"
Kata Setunggul Langit setengah berteriak.
"Kau bukan saja tolol tapi tidak melihat kenyataan! Anak perawan itu mampu melenyapkan ujud. Dia sanggup lari dari Prambanan sejauh sampai di sini. Kau masih mengatakan bahwa dia tidak mempunyai ilmu kesaktian?"
"Aku tetap tidak bisa percaya. Kita sudah mengawasi dia sekian lama dan kita tahu dia tidak punya ilmu kepandaian apa-apa. Bagaimana sekarang kau bisa mengatakan bahwa dia memiliki ilmu kesaktian?"
"Sudah! Kita tidak perlu berdebat! Kau tunggu di sini. Awasi Sumur Api itu. Aku akan menemui Arwah Muka Hijau. Syukur-syukur dia mau kita bawa ke tempat Ini!"
Kata Setunggul langit pula.
Setunggul Bumi tidak menjawab.
Dia mendudukan tubuhnya yang katai di bawah sebatang pohon jati yang kering dimakan umur.
Memperhatikan sahabatnya Setunggul Langit berkelebat ke arah selatan lalu berpaling, memandang ke arah Sumur Api.
ooOOOoo 6.
ROH AGUNG ANANTHAWURI dapatkan dirinya terduduk didasar sumur memegang Kitab Weda dan tongkat Dhana Padmasutra.
Di tempat itu udara terasa sejuk padahal di sebelah atas sejarak satu penggalan dari kepalanya da kobaran api yang sekali-kali melesat keatas membentuk gelombang lidah api.
Dia perhatikan seluruh tubuh, letakkan tongkat dan Kitab Weda di dasar sumur lalu mengusap wajahnya.
Dia tak kurang suatu apapun, Tidak luka tidak ada cidera.
"Aneh, aku jatuh sedalam ini kedalam sumur. Ketika melewati kobaran api tubuh dan pakaianku tidak terbakar. Ketika jatuh ke dasar sumur ini tubuhku tidak cidera,"
Ananthawuri menatap keatas.
"Api....Aku berada dalam Sumur Api. Wahai Dewi yang maha kuasa Saya mohon perlindunganMu..."
Berucap si gadis lalu ambil tongkat kayu dan Kitab Weda. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, bingung dan juga takut.
"Apa yang akan terjadi dengan diriku selanjutnya? Apakah aku akan berada di tempat ini selama-lamanya? Aku tidak takut sekali pun menemui kematian di tempat ini.Tapi bagaimana dengan Ibu...?"
Memikir ibunya yang tengah sakit, air mata Ananthawuri berlinangan.
"Ananthawuri..."
Tiba-tiba ada suara bergema di dasar sumur."Jangan kau bersedih, jangan menangis. Saat ini kau berada di tempat yang aman."
"Siapa yang bicara?"
Ananthawuri bertanya. Dia seperti mengenal suara itu. Sama dengan suara yang tadi menyuruhnya masuk ke dalam Sumur Api.
"Aku Roh Agung.Yang ditugaskan oleh Para Dewa di Swargaloka untuk melindungi dirimu dan keturunanmu kelak..."
"Roh Agung?"
Ucap si gadis lalu terdiam sejenak.
"Melindungi diriku dan keturunanku...?"
Ananthawuri ingat kembali ucapan orang tua bernama Dhana Padmasutra. Dengan cepat gadis ini jatuhkan diri berlutut lalu berucap.
"Roh Agung, siapapun engkau adanya, saya berterima kasih. Kau telah menyelamatkan diri saya. Yang saya ingin tahu, berapa lama saya akan berada di dasar sumur ini. Saya ingin segera pulang ke Sorogedug. Ibu saya sedang sakit.."
"Ananthawuri, jangan kau terkejut Kau tidak akan pernah keluar dari Sumur Api ini seumur hidupmu kecuali dengan perkenan dan petunjuk Yang Maha Kuasa."
Ananthawuri terpekik.
"Apa?"
"Dunia luar bagimu saat ini adalah malapetaka .yang bisa membawa dirimu pada kematian. Itu sebabnya Dewa membawa dirimu ke tempat ini..."
"Tempat yang begini mengerikan?"
"Tempat ini tidak seperti yang kau lihat. Dibalik hal yang kau katakan mengerikan ada keindahan. Sebentar lagi kau akan menyaksikan."
"Roh Agung, bagaimanapun keindahan yang kau janjikan, saya tetap memilih pulang ke desa. Menemui dan merawat Ibu yang sedang sakit."
"Ibumu tidak kurang suatu apa. Para Dewa akan melindungi dan menjaganya."
"Juga dari Saudagar jahat bernama Narotungga itu?"
Tanya Ananthawuri.
"Dari siapa saja. Dari setiap marabahaya..."
"Tapi saya tetap ingin merawat dan menjaga Ibu sendiri. Saya mohon, keluarkan saya dari Sumur Api ini."
"Harap maafkan diriku. Aku tidak berdaya menolongmu. Ketentuan yang Maha Kuasa telah berlaku atas dirimu. Inilah yang dinamakan takdir kehidupan."
Tongkat di tangan kiri Ananthawuri terlepas jatuh. Tangan kanannya cepat-cepat menekankan Kitab Weda ke dada agar tidak ikut jatuh.
"Takdir kehidupan..."ucap Ananthawuri perlahan.
"Apakah takdir kehidupan hanya menimpa diri seorang teraniaya seperti aku ini? Mengapa takdir buruk selalu jatuh pada manusia jelata, bukan pada mereka yang berlaku jahat? Wahai Para Dewa di Khayangan, maafkan diriku kalau aku telah berucap lancang..."
"Ananthawuri, ketahuilah. Kau telah dipilih oleh Para Dewa sebagai seorang insan yang kelak akan menjadi seorang Ibu yang akan melahirkan keturunan gagah perkasa yang akan berbakti, menjaga dan mengawal Bhumi Mataram."
"Roh Agung, saya mohon maaf padamu. Para Dewa, saya mohon ampunMu. Saya tidak akan menikah dengan siapapun...."
"Ananthawuri, jaga bicara, perhatikan ucapanmu. Siapa yang akan menjadi jodohmu sudah tertulis di sebuah Aras di Swargaloka. Ketahuilah, Para Dewa akan memberi satu berkat yang sangat luar biasa padamu. Kelak kalau kau sudah kawin dan melahirkan, maka dirimu tetap perawan selama-lamanya."
"Roh Agung, saya tidak inginkan itu. Saya mohon maaf. Saya minta ampun..."
"Ananthawuri, ambil tongkat kayu yang tergeletak di dasar sumur. Tekankan ujung tongkat ke dinding sumur sebelah kirimu. Maka itulah permulaan dari kehidupan barumu...."
"Saya tidak ingin kehidupan baru. Saya tidak mau berpisah dengan Ibu."
Ucap Ananthawuri setengah berteriak setengah menangis.
Saat itu seperti ada yang memegang tangan kanannya, membimbing mengambil tongkat kayu lalu tongkat di arahkan ke dinding sumur sebelah kiri.
Begitu tongkat ditekan, dinding sumur bergerak membentuk sebuah lobang berupa pintu empat persegi panjang.
Di sebelah atas terdapat ukiran batu berupa burung Rajawali membentangkan sayap.
Di belakang pintu terlihat satu lorong batu dengan dinding penuh ukiran, diterangi cahaya kebiruan.
Di ujung lorong Ananthawuri melihat berdiri seorang perempuan separuh baya, bermuka pucat berpakaian lusuh, tersenyum melambaikan tangan.
Roro Centil Empat Iblis Kali Progo Banjir Darah Di Pulau Neraka Hiat Sie Tee Gak To Karya Kiam Hong Pengemis Binal Pengkhianatan Dewa Maut