Death Du Jour 8
Kathy Reichs Death Du Jour Bagian 8
"Espinoza tidak mau bicara kalau ditanya hal itu."
"Yang lainnya ke mana?"
Kerongkonganku terasa kering. Aku sudah tahu jawabannya.
"Kurasa mereka ada di sekitar sini."
Aku terdiam.
"Kathryn tidak tahu persis ke mana mereka akan pergi, tapi dia tahu bahwa mereka harus menyeberangi perbatasan. Mereka berangkat berduaan atau bertigaan dan mendapatkan pengarahan untuk melewati jalanan yang tidak diawasi polisi."
"Ke mana?"
"Menurut Kathryn, dia pernah mendengar kata Vermont. Mobil patroli polisi dan INS sudah diberi tahu, tapi mungkin sudah terlambat. Mereka punya waktu hampir tiga hari lamanya dan penjagaan perbatasan Kanada tidak seketat di Libya."
Ryan menghirup kopinya.
"Kathryn mengatakan bahwa dia tidak menaruh perhatian serius karena mengira mereka akhirnya tidak akan pernah pergi. Tapi, dia yakin akan satu hal. Saat mereka bertemu dengan sang dewi penolong, semua orang akan mati."
Aku menyeka meja dapur, walaupun sebenarnya sudah bersih. Untuk beberapa saat lamanya kami membisu. Kemudian.
"Ada kabar tentang adikmu?"
Perutku langsung melilit.
"Tidak."
Ketika berbicara kembali, suaranya terdengar lebih lembut.
"Anak buah Baker menemukan sesuatu di padepokan Saint Helena."
"Apa?"
Rasa takut menembus tubuhku.
"Sepucuk surat untuk Owens. Surat itu menyebut-sebut seseorang bernama Daniel yang membahas Inner Life Empowerment."
Aku merasakan sebuah tangan mendarat di bahuku.
"Sepertinya organisasi itu sudah ada lebih dahulu, sebab kalau tidak, para pengikut Owens pasti sudah memasuki institusi itu. Bagian itu tidak begitu jelas, tapi yang pasti mereka menggunakan ILE untuk menarik anggota baru."
"Ya Tuhan."
"Surat itu bertanggal sekitar dua bulan yang lalu, tapi tidak ada tanda yang menunjukkan dari mana surat itu dikirimkan. Katakatanya amat samar, tapi kelihatannya ada sebuah kuota yang harus dipenuhi, dan Daniel berjanji akan menepatinya."
"Bagaimana?"
Aku hampir tidak bisa berbicara.
"Dia tidak mengatakan bagaimana caranya. Tidak ada hal lainnya yang bersangkut-paut dengan ILE. Hanya surat itu saja."
Mimpi itu kembali merasuk ke dalam pikiranku dengan jelas dan bisa kurasakan es mengalir di pembuluh darahku.
"Mereka berhasil mendapatkan Harry!"
Ujarku dengan bibir bergetar.
"Aku harus menemukannya!"
"Kita akan menemukannya."
Kuceritakan kepada Ryan apa yang dikatakan Kit.
"Sialan."
"Bagaimana bisa orangorang ini tidak diketahui keberadaannya selama bertahuntahun, dan saat kita menemukannya, mereka langsung kabur dan menghilang?"
Suaraku terdengar bergetar. Ryan meletakkan cangkirnya dan membalikkan tubuhku dengan kedua tangannya. Kuremas spons sedemikian kerasnya sehingga berdesis.
"Tidak ada jejak karena orangorang ini memiliki sumber pendapatan yang sangat besar. Mereka memenuhi kebutuhannya dengan uang tunai, tapi sepertinya tidak terlibat dalam kegiatan ilegal."
"Kecuali pembunuhan!"
Aku ingin meronta, tetapi Ryan memegang erat tubuhku.
"Maksudku, bajingan-bajingan ini tidak berhubungan dengan penjualan narkoba atau pencurian atau penipuan kartu kredit. Tidak ada jejak uang atau bukti kejahatan, padahal dari sinilah biasanya kita menemukan petunjuk."
Sorot matanya tampak mengeras.
"Tapi, mereka benarbenar salah langkah karena telah masuk ke halaman belakang rumahku dan aku akan menangkap semua orang gila ini!"
Aku meronta dan berhasil lepas dari cengkeramannya dan melemparkan spons itu ke ujung dapur.
"Apa kata Jeannotte?"
"Aku mencoba menghubungi kantornya, kemudian mengintai rumahnya. Tidak kutemukan dia di kedua tempat itu. Jangan lupa, aku bekerja sendirian, Brennan. Badai telah membekukan seluruh provinsi."
"Apa yang kamu temukan tentang Jennifer Cannon dan Amalie Provencher?"
"Universitas menutup diri dengan berdalih melindungi data mahasiswa seperti biasanya. Mereka tidak akan mau memberikan informasi apa pun tanpa surat dari pengadilan."
Hal itu membuat emosiku meledak. Aku mendorongnya dan lari ke kamar tidur. Aku sedang mengenakan kaus kaki wol saat dia muncul di pintu.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Aku akan memaksa Anna Goyette menjawab, lalu aku akan menemukan adikku."
"Wah, wah, wah, tunggu dulu. Di luar sana sedang diselimuti es setinggi langit."
"Aku bisa mengatasinya."
"Dengan Mazda yang umurnya sudah lima tahun?"
Tubuhku gemetaran dengan kerasnya sehingga tidak bisa menalikan sepatuku. Aku berhenti, membuka ikatannya, lalu menyilangkan talinya dengan cermat. Kemudian, kulakukan hal yang sama dengan sepatu yang satunya lagi, lalu berbalik menghadap Ryan.
"Aku tidak akan duduk di sini dan membiarkan semua orang gila itu membunuh adikku. Peduli amat kalau mereka dirasuki keinginan untuk membunuh diri mereka sendiri, tapi mereka tidak boleh membawa Harry bersama mereka. Dengan atau tanpa bantuanmu, aku akan menemukannya, Ryan. Dan aku akan melakukannya sekarang juga!"
Selama satu menit, dia hanya menatapku.
Kemudian, dia menarik napas dalamdalam, mengeluarkannya melalui hidungnya, dan membuka mulutnya untuk berbicara.
Saat itulah lampu berkedip, meredup, kemudian mati.[] iLantai jip Ryan basah oleh es yang meleleh.
Kipas menyapu kaca mobil, sesekali menyingkirkan gumpalan es.
Di depan bisa kulihat jutaan butiran salju melayang turun diterangi cahaya lampu mobil.
Pusat kota tampak gelap dan sepi.
Tidak ada lampu jalan atau cahaya dari bangunan, tidak ada tanda dengan lampu neon, tidak ada rambu lalu lintas, Satu-satunya mobil yang kulihat hanyalah mobil polisi.
Tali pengaman berwarna kuning dipasang di trotoar untuk mencegah kecelakaan karena tergelincir di atas es.
Entah berapa banyak orang yang mencoba pergi ke tempat kerja hari ini.
Sesekali kudengar suara berderak, kemudian lapisan es merekah di trotoar.
Bentang alam itu mengingatkanku pada penggalan berita tentang Sarajevo, dan aku membayangkan semua tetanggaku meringkuk di kamarnya yang dingin dan gelap.
Ryan mengemudikan mobil di tengah bagai salju, bahunya tegang, jari-jemarinya mencengkeram kemudi mobil dengan erat.
Dia menjaga kecepatan cukup rendah dan stabil, sesekali mempercepat laju dan melepas pedal gas saat mendekati persimpangan jalan.
Biarpun begitu, kami sering tergelincir.
Ryan memang benar saat menganjurkan agar kami menaiki Jipnya.
Mobil yang kami lihat di jalanan lebih tepat disebut sedang menggelincir daripada sedang melaju.
Kami menyusuri rue Guy dan membelok ke timur ke Docteur-Penfi eld.
Dari atas, kami bisa melihat Montreal General menyala dengan menggunakan listrik dari generatornya sendiri.
Jarijemariku menggenggam pegangan kursi sebelah kanan dan tangan kiriku mengepal.
"Cuacanya dingin luar biasa, Tapi, kenapa salju ini tidak terasa dingin?"
Ujarku geram. Rasa tegangdan takut mulai menunjukkan tajinya. Mata Ryan tidak pernah lepas dari jalanan.
"Menurut radio ada semacam inversi yang sedang terjadi, jadi lebih hangat di awan daripada di tanah. Salju ini turun dalam bentuk hujan, tapi langsung membeku saat tiba di sini. Berat es menyebabkan pembangkit listrik kelebihan beban."
"Kapan cuaca akan kembali normal?"
"Peramal cuaca mengatakan bahwa cuaca akan bertahan begini untuk beberapa waktu."
Kupejamkan mata dan mendengarkan suara di sekelilingku.
Suara penghangat mobil.
Kipas kaca mobil.
Angin yang bersiul.
Jantungku yang berdegup kencang.
Mobil itu tergelincir ke samping dan kelopak mataku terbuka.
Kulepaskan kepalan tanganku dan memukul radio.
Suaranya terdengar serius, tetapi menenangkan.
Sebagian besar provinsi kehilangan tenaga listrik dan Hydro-Quebec sudah mengerahkan tiga ribu karyawan untuk memperbaikinya.
Mereka bekerja tak henti-hentinya, tetapi tidak ada yang bisa mengatakan kapan tepatnya listrik akan kembali menyala.
Generator di pusat kota meledak karena kelebihan beban, tetapi menjadi prioritas utama.
Dinas pengolahan air minum tidak berfungsi dan penduduk disarankan untuk mendidihkan air terlebih dahulu.
Gawat kalau tidak ada listrik, begitu pikirku.
Sejumlah tempat penampungan telah didirikan dan polisi akan mulai menyisir dari pintu ke pintu pada subuh untuk menemukan lansia yang terjebak.
Banyak jalanan telah ditutup dan pengendara motor dianjurkan untuk tetap tinggal di rumah.
Kumatikan radio, benarbenar berharap aku berada di rumah.
Dengan adikku.
Pemikiran tentang Harry menyebabkan sesuatu memukul-mukul di belakang kedua mataku.
Jangan pedulikan rasa sakit kepala itu dan berpikir, Brennan.
Kamu tidak akan ada gunanya kalau tidak bisa berkonsentrasi.
Keluarga Goyette tinggal di daerah bernama Plateau, jadi kami mengarah ke utara, kemudian ke timur ke Avenue des Pins.
Dari atas bukit bisa kulihat cahaya lampu dari Royal Victoria Hospital.
Di bawah kami, McGill hanyalah sebuah gundukan hitam, di belakangnya tampak kota dan pelabuhan, satu-satunya bangunan yang terlihat adalah Place Ville-Marie.
Ryan mengarah ke utara di St-Denis.
Biasanya dipenuhi orang yang berbelanja dan turis, tapi jalanan itu sekarang tampak lengang dan hanya es serta angin yang hadir.
Cahaya redup menyelimuti semuanya, menghapus semua nama butik dan bistro.
Di Mont-Royal, kami mengarah ke timur kembali, membelok ke selatan di Cristophe Colomb, dan sesaat kemudian berhenti di alamat yang diberikan Anna kepadaku.
Gedung itu bangunan berlantai tiga yang banyak dijumpai di Montreal dengan tangga sempit mengarah ke lantai kedua.
Ryan mengarahkan Jip ke belokan dan memarkirnya di pinggir jalan.
Ketika kami turun dari mobil, es langsung menusuk pipiku seperti serpihan kayu dan menyebabkan mataku berair.
Dengan kepala menunduk, kami naik ke fl at keluarga Goyette, tergelincir dan meluncur di atas undakan tangga yang membeku.
Bel ditutupi es berwarna abu-abu, jadi aku mengetuk pintu.
Be berapa saat kemudian, gorden disibakkan dan wajah Anna muncul di jendela.
Melalui panel yang membeku aku bisa melihat kepalanya menggeleng.
"Buka pintunya, Anna!"
Teriakku. Gelengan kepalanya semakin dipercepat, tetapi aku tidak sedang ingin berlamalama.
"Buka pintu keparat ini!"
Dia tercenung dan sebuah tangan naik ke telinganya.
Dia melangkah mundur dan aku menduga dia akan menghilang.
Namun, kudengar suara kunci diputar, kemudian pintu terbuka sedikit.
Aku tidak menunggu lagi.
Aku langsung mendorong pintu keras-keras, lalu kami masuk ke dalam sebelum dia bisa bereaksi.
Anna melangkah mundur dan berdiri sambil menyilangkan lengannya, tangan memegang lengan jaketnya.
Sebuah lampu minyak tampak bergetar di atas meja kayu kecil, membuat bayangan bergerakgerak di dinding lorong rumahnya yang sempit.
"Kenapa kalian tidak bisa meninggalkanku sendiri?"
Matanya tampak besar di bawah cahaya yang berkerlap-kerlip.
"Aku membutuhkan pertolonganmu, Anna."
"Aku tidak bisa menolongmu,"
"Ya, kamu bisa."
"Aku sudah mengatakan hal yang sama kepadanya. Aku tidak bisa melakukannya. Mereka akan menemukanku."
Suaranya gemetaran dan kulihat rasa takut tergurat di wajahnya.
Tatapan matanya membuat hatiku nelangsa.
Aku sudah pernah melihat tatapan seperti itu.
Seorang teman, yang ketakutan karena diintai seseorang.
Kuyakinkan dirinya bahwa bahaya itu tidak nyata dan dia bisa mati karena ketakutan yang tak beralasan.
"Mengatakan kepada siapa?"
Aku bertanya dalam hati, ke manakah ibunya.
"Dr. Jeannotte."
"Dia tadi ke sini?"
Anna mengangguk.
"Kapan?"
"Beberapa jam yang lalu, Aku sedang tidur."
"Apa yang dia inginkan?"
Matanya menatap Ryan, kemudian menatap lantai.
"Dia mengajukan berbagai pertanyaan yang aneh. Dia ingin tahu apakah aku pernah melihat orang dari kelompok Amalie. Sepertinya dia akan pergi ke pedesaan, ke tempatku mengikuti pelatihan itu. Aku dia memukulku. Aku belum pernah dipukul orang seperti itu. Dia seperti orang gila. Aku tidak pernah melihat dia seperti itu."
Aku bisa merasakan kegundahan dan rasa malu dalam suaranya, seakanakan penyerangan itu adalah karena kesalahannya. Dia kelihatan sangat kecil berdiri dalam kegelapan, jadi aku mendekatinya dan memeluknya.
"Jangan salahkan dirimu, Anna."
Bahunya mulai gemetaran dan kubelai rambutnya. Rambut itu berkilauan diterpa cahaya lampu yang kerlapkerlip.
"Aku sebetulnya ingin membantunya, tapi sungguh, aku tidak ingat. Aku itu adalah salah satu pengalaman terburukku."
"Aku tahu, tapi aku mau kamu mengingat kembali saat-saat itu dan berpikir keras. Pikirkan semua hal yang kamu ingat tentang tempat yang kamu datangi waktu itu,"
"Aku sudah mencoba. Tapi aku tidak bisa mengingatnya."
Aku ingin mengguncang tubuhnya, agar bisa menumpahkan semua informasi yang bisa menyelamatkan adikku.
Aku teringat pada mata kuliah tentang psikologi anak.
Jangan abstrak, tanyakan pertanyaan yang spesifik.
Dengan lembut, aku mendorongnya dan mengangkat dagunya dengan tanganku.
"Ketika kamu pergi ke pelatihan itu, apakah kamu pergi dari kampus?"
"Tidak. Mereka menjemputku ke sini."
"Dari jalan ini, kamu belok ke jalan mana?"
"Entahlah."
"Apa kamu ingat bagaimana kamu meninggalkan kota?"
"Tidak."
Terlalu abstrak, Brennan.
"Apa kamu menyeberangi jembatan?"
Matanya memicing, kemudian dia mengangguk.
"Yang mana?"
"Entahlah. Eh, tunggu sebentar, aku ingat sebuah pulau dengan banyak bangunan tinggi."
"Yle des Soeurs,"
Ujar Ryan.
"Ya."
Matanya terbuka lebar.
"Seseorang membuat lelucon tentang para biarawati yang tinggal di apartemen. Kamu tahu 'kan, soeurs, suster, biarawati."
"Jembatan Champlain,"
Ujar Ryan.
"Seberapa jauh peternakan itu?"
"Aku-"
"Seberapa lama kamu naik van itu?"
"Sekitar empat puluh lima menit. Ya. Saat kami tiba di sana, pengemudinya menyombongkan diri bahwa dia berhasil sampai ke sana dalam waktu kurang dari satu jam."
"Apa yang kamu lihat sewaktu kamu keluar dari van itu?"
Kembali kulihat keraguan terpancar dari matanya. Kemudian, pelan-pelan, seakanakan dia sedang menggambarkan percikan Rorschach.
"Tepat sebelum kami tiba di sana, aku ingat sebuah menara besar dengan banyak kabel dan antena. Kemudian, sebuah rumah yang sangat kecil. Mungkin ada orang yang membangun rumah itu untuk anakanaknya, untuk menunggu kedatangan bis sekolah. Aku ingat waktu itu aku mengira rumah itu dibuat dari roti jahe dan dihias dengan kembang gula."
Saat itu, sebuah wajah muncul di belakang Anna. Ia tidak memakai rias wajah dan terlihat cemerlang sekaligus pucat diterpa cahaya yang kerlapkerlip.
"Siapa kalian? Kenapa kalian datang di tengah malam seperti ini?"
Bahasa Inggrisnya memiliki aksen yang sangat kental. Tanpa menunggu jawaban, wanita itu menyambar pergelangan tangan Anna dan menarik anak itu ke belakang tubuhnya.
"Kalian jangan ganggu anakku."
"Nyonya Goyette, aku yakin ada orangorang yang akan mati. Anna mungkin bisa membantu kami menolong mereka."
"Dia sedang sakit. Sekarang kalian pergilah."
Dia menunjuk ke pintu.
"Kuperintahkan kalian pergi, atau aku akan menelepon polisi."
Wajah yang pucat. Cahaya remang-remang. Aula yang seperti lorong. Aku kembali berada dalam mimpi itu dan tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku tahu dan aku harus segera pergi ke tempat itu! Ryan mulai berbicara, tetapi aku memotongnya.
"Terima kasih. Putri Anda sudah sangat membantu,"
Ujarku.
Ryan melotot saat aku berjalan melewati dirinya ke pintu.
Aku hampir jatuh saat meluncur menuruni tangga.
Aku tidak merasa begitu kedinginan lagi saat berdiri di dekat Jip, dengan tidak sabar menunggu Ryan berbicara dengan Nyonya Goyette, memakai topi rajutnya, kemudian menuruni tangga dengan berhatihati.
"Apa-apaan-"
"Ambilkan peta, Ryan."
"Si gila cilik itu mungkin-"
"Kamu punya peta provinsi ini nggak sih?"
Ujarku meradang.
Tanpa berkata apa-apa, Ryan memutari Jip dan kami berdua masuk ke dalamnya.
Dia mengambil peta dari laci di samping pengemudi dan aku mengeluarkan senter dari tasku.
Saat kubuka lipatan peta, dia menyalakan mesin mobil, kemudian keluar untuk membersihkan kipas kaca.
Kucari Montreal, kemudian mengikuti jembatan Champlain, menyeberang ke St.
Lawrence dan menuju ID East.
Dengan jari yang kebas, kutelusuri rute yang pernah kujalani ke Lac Memphremagog.
Di dalam pikiranku, aku melihat gereja tua itu.
Aku melihat kuburan.
Aku melihat papan penunjuk, terkubur setengahnya di dalam salju.
Kugerakkan jariku di sepanjang jalan bebas hambatan, memperkirakan lamanya waktu tempuh.
Namanama berkelebatan di bawah cahaya lampu.
Marieville.
St-Gregoire.
Ste-Angele-de-Monnoir.
Jantungku berhenti saat melihat nama itu.
Ya Tuhan, semoga kami tiba tepat pada waktunya.
Kuturunkan jendela dan berteriak ke arah angin yang menderu.
Kerikan di kaca mobil berhenti dan pintu terbuka.
Ryan melemparkan alat pengerik ke kursi belakang dan bergeser ke belakang kemudi.
Dia melepaskan sarung tangannya dan kuserahkan peta dan senter.
Tanpa berkata apa-apa, kutunjuk sebuah titik kecil di peta itu yang kulipat ke atas.
Dia mengamatinya, napasnya seperti kabut di bawah cahaya senter yang kuning.
"Waduh."
Sebuah kristal es meleleh dan menetes dari bulu matanya. Dia menyeka matanya.
"Masuk akal juga. Ange Gardien. Ternyata bukan orang, tapi sebuah tempat. Mereka akan bertemu di Ange Gardien. Jaraknya sekitar empat puluh lima menit perjalanan dari sini."
"Kenapa kamu bisa menarik kesimpulan begitu?"
Tanyanya. Aku tidak mau menyebutkan mimpi itu.
"Aku teringat rambu-rambunya sewaktu mengunjungi Lac Memphremagog. Ayo kita pergi."
"Brennan."
"Ryan, aku akan mengatakannya sekali lagi, Aku akan menyelamatkan adikku."
Aku berusaha mengendalikan suaraku.
"Aku akan pergi dengan atau tanpa kamu. Kamu bisa membawaku pulang atau kamu bisa membawaku ke Ange Gardien."
Dia ragu-ragu, kemudian.
"Sialan!"
Dia keluar, memajukan kursi pengemudi dan mencaricari sesuatu di belakang.
Saat membanting pintu, kulihat dia menjatuhkan sesuatu ke dalam sakunya dan menarik risleting.
Kemudian, dia kembali mengerik es dari kaca depan.
Dalam sekejap, dia sudah kembali masuk ke dalam.
Tanpa berkata apa-apa, dia mengenakan sabuk pengaman, memasukkan gigi, kemudian melaju.
Roda berputar, tetapi mobil tidak bergerak.
Dia mengganti gigi mundur, kemudian segera kembali ke gigi satu.
Mobil itu bergetar saat Ryan memindahkan dari gigi satu ke gigi mundur, kemudian ke gigi satu lagi.
Jip itu melonjak dan kami berjalan pelan-pelan menyusuri jalanan.
Aku tidak berkata apa-apa saat kami merayap ke selatan di Cristophe Colomb, kemudian ke barat ke Rachel.
Di St-Denis, Ryan membelok ke selatan, membalikkan rute yang kami lewati sebelumnya.
Sialan! Dia membawaku pulang ke rumah.
Darahku langsung membeku saat memikirkan perjalanan menuju Ange Gardien.
Kupejamkan mata dan mempersiapkan diri.
Kamu punya rantai, Brennan.
Kamu dapat memasangnya di roda mobilmu dan melakukan apa yang dilakukan Ryan saat ini.
Ryan Sialan.
Keheningan mengganggu pikiranku.
Kubuka mata menatap ke kegelapan malam.
Es kini sudah tidak tampak lagi di kaca mobil.
"Kita di mana?"
"Terowongan Ville-Marie."
Aku tidak berkata apa-apa.
Ryan melaju di sepanjang terowongan seperti pesawat luar angkasa yang menembus lubang cacing di angkasa luar.
Saat dia keluar di jembatan Champlain, aku merasa lega sekaligus khawatir.
Yes.' Ange Gardien.
Lama sekali rasanya waktu berlalu ketika akhirnya kami menyeberangi St.
Lawrence.
Sungai itu terlihat sangat padat, tidak seperti biasanya.
Gedunggedung di Yle des Soeurs tampak gelap di langit menjelang subuh.
Walaupun lampunya mati, aku mengenali semua gedung itu.
Nortel.
Kodak.
Honeywell.
Begitu normal.
Begitu akrab di akhir milenium kedua ini.
Aku berharap sedang mengunjungi deretan perkantoran yang rapi ini, bukannya kegilaan yang mungkin sedang terjadi di depan sana.
Atmosfer di dalam Jip sedemikian tegangnya.
Ryan memusatkan perhatian ke jalanan dan aku mengutakatik kuku jariku.
Kutatap pemandangan di luar jendela, menghindari pikiran tentang hal-hal yang mungkin menunggu kami.
Kami merangkak di tengah bentang alam yang dingin dan penuh rintangan, rangkaian kejadian yang menyorot dari planet yang membeku ini.
Saat kami bergerak ke timur, salju semakin lebat, melahap tekstur dunia di sekelilingku.
Pinggiran gedung tampak semakin samar dan berbagai benda sepertinya menyatu seperti bagian dari sebuah patung raksasa.
Tiang penunjuk arah, rambu, dan papan iklan hilang ditutupi salju, menghapus berbagai pesan dan batasan.
Di sana-sini dalam kegelapan tampak asap yang mengepul dari corong perapian, sementara yang lainnya tampak membeku.
Tepat di seberang Sungai Richelieu, jalanan membelok dan kulihat sebuah mobil pantai, terbalik seperti kepala kura-kura.
Stalaktit menggantung dari bemper dan rodanya.
Kami sudah mengemudi selama dua jam ketika aku melihat papan penunjuk.
Hari sudah subuh dan langit mulai berubah dari gelap menjadi abu-abu kelam.
Di antara selimut es bisa kulihat sebuah panah dan rangkaian huruf nge Gardi.
"Di sana."
Ryan melepas pedal gas dan membelok keluar dari jalan raya. Ketika tiba di persimpangan T, dia menginjak rem dan Jip itu langsung berhenti.
"Ke mana?"
Kuraih alat pengerik, turun dari mobil, dan berusaha mengerik es di papan penunjuk itu, sekali aku tergelincir dan tempurung lututku berderak.
Saat mengerik, angin mengelus rambutku dan meniupkan butiran es ke dalam mataku.
Di atas kepalaku, angin mendesis di antara dahan dan kabel listrik dengan suara berderik yang mengerikan.
Kucacah es itu seakanakan sedang kerasukan.
Akhirnya pisau itu patah, tetapi aku terus menghujamkan alat itu sampai bagian plastiknya juga pecah.
Dengan menggunakan bagian kayunya, kukerik dan kucakar, sampai akhirnya aku bisa melihat huruf dan tanda panahnya.
Saat kembali masuk ke dalam Jip, lutut kiriku terasa sakit sekali.
"Ke sana."
Tunjukku.
Aku tidak minta maaf karena telah menghancurkan pengeriknya.
Ketika Ryan membelokkan mobil, bagian belakangnya berputar dan kami tergelincir tanpa terkendali.
Kakiku menjejak ke depan dan mencengkeram pegangan kursi.
Ryan mulai bisa mengendalikan mobilnya dan kulemaskan gertakan gigiku.
"Tidak ada rem di sisi penumpang, lho."
"'Makasih sudah mengingatkan."
"Ini distrik Rouville. Ada pos polisi SQ tidak jauh dari sini. Pertama-tama, kita akan ke tempat itu dulu."
Walaupun aku mengomel karena akan kehilangan waktu berharga, aku tidak berdebat dengannya.
Jika kami hendak masuk ke sarang lebah, aku tahu bahwa kami mungkin akan membutuhkan bala bantuan.
Dan, walaupun Jip Ryan bisa berjalan dengan baik di atas es, ia tidak memiliki radio dua arah.
Lima menit kemudian, kulihat menara itu.
Atau, paling tidak yang tersisa darinya.
Besinya telah patah karena beratnya es, lalu tiang serta balok penopangnya tergeletak dan berserakan seperti bagian dari mainan Logo raksasa.
Tepat di belakang menara yang runtuh itu, jalanan membelok ke kiri.
Tiga meter kemudian, aku bias melihat pondok roti jahe yang diceritakan Anna.
"Di sini, Ryan! Belok di sini!"
"Kita akan melakukannya dengan caraku atau tidak sama sekali."
Katanya tanpa melambatkan laju mobil. Aku panik. Memikirkan argumentasi.
"Sudah semakin terang. Bagaimana kalau mereka memutuskan untuk melakukannya subuh-subuh?"
Aku memikirkan Harry, diberi obat bius dan tidak berdaya, sementara orangorang itu menyalakan api dan berdoa kepada dewa. Atau, melepaskan anjing buasnya memangsa domba korban yang tidak berdaya.
"Kita akan melapor lebih dulu."
"Bagaimana kalau kita terlambat!"
Tanganku gemetaran.
Aku tidak bisa menahannya lagi.
Adikku bisa saja berada sepuluh meter dari tempat kami.
Aku merasa dadaku mulai terengah-engah dan membelakangi Ryan.
Sebuah pohon tumbang membantu kami mengambil keputusan.
Kami baru maju sekitar empat ratus meter ketika sebuah pohon raksasa menghalangi jalan kami.
Pohon itu tumbang, dengan batangnya yang berukuran empat meter menarik kabel listrik ke tengah jalan.
Kami tidak akan bisa melanjutkan perjalanan.
Ryan memukul kemudi dengan pangkal tangannya.
"Sialan. Dasar pohon peach keparat!"
"Itu pohon pinus."
Jantungku berdegup kencang. Dia menatapku dengan muka masam. Di luar, angin mengerang dan melemparkan es ke jendela mobil. Kulihat rahang Ryan mengeras, melemas, kemudian mengeras kembali. Dan akhirnya.
"Kita akan melakukannya dengan caraku, Brennan. Kalau aku bilang tunggu di jip, itulah tempatmu berada. Jelas?"
Aku mengangguk.
Saat itu aku akan menyetujui semua perkataannya.
Kami memutar dan berhenti di menara yang runtuh itu.
Jalanan tampak sempit dan dipenuhi pepohonan, beberapa di antaranya tumbang sampai ke akarnya, lainnya patah di pangkalnya.
Ryan mengemudikan mobil di antara pepohonan itu.
Di kedua sisi jalanan tampak pepohonan membentuk huruf U yang terbalik, puncaknya bengkok ke tanah karena terbebani oleh es.
Sebuah pagar kayu tampak didirikan mulai dari pondok roti jahe itu.
Ryan memperlambat mobil dan merayap di sepanjang jalan itu.
Di beberapa tempat, pohon tumbang telah menghancurkan pagar itu.
Kemu dian, kulihat makhluk hidup pertama sejak kami meninggalkan Montreal.
Hidung mobil itu terbenam di selokan, rodanya berputar, ditutupi asap dari pipa knalpot.
Pintu pengemudi terbuka dan kulihat sebelah kaki yang dibungkus sepatu lars berdiri di tanah.
Ryan menginjak rem dan memasukkan gigi netral.
"Tunggu di sini."
Aku ingin memprotesnya, tetapi menahan diri.
Dia keluar dan mendekati mobil itu.
Dari tempat dudukku, aku tak bisa melihat apakah pengemudi mobil itu lelaki atau wanita.
Saat Ryan dan pengemudi itu bercakap-cakap, kuturunkan kaca jendela, tetapi aku tidak bisa mendengar sedikit pun katakata mereka.
Napas Ryan diembuskan seperti letupan kabut.
Dalam waktu kurang dari satu menit, dia sudah kembali masuk ke dalam Jip.
"Bukan orang yang ramah."
"Apa katanya?"
"Oui dan non. Dia tinggal di ujung jalan, tetapi si berengsek itu tidak akan tahu seandainya pun Gengiz Khan pindah ke sebelah rumahnya.' Kami terus mengendarai mobil sampai ke ujung pagar di jalanan berkerikil. Ryan masuk dan mematikan mesin mobil. Dua buah van dan setengah lusin mobil tampak diparkir sembarangan di depan sebuah penginapan yang sudah bobrok. Semuanya terlihat seperti gundukan bulat, kuda nil beku di sungai abu-abu. Es menetes dari dedaunan dan bangunan tersebut dan membuat jendela berwarna putih, menghalangi pandangan kami ke bagian dalam bangunan itu. Ryan menoleh.
"Sekarang dengar baikbaik. Kalau ini ternyata tempat yang benar, kita akan mendapatkan sambutan yang tidak bersahabat."
Dia menyentuh pipiku.
"Berjanjilah bahwa kamu akan tetap di sini."
"Aku-11 Jarinya meluncur ke bibirku.
"Tunggu di sini."
Matanya tampak sangat birudalam cahaya subuh yang muram ini.
"Ini omong kosong,"
Ujarku di sela-sela jarinya. Dia menarik tangannya dan menunjuk kepadaku.
"Tunggu di mobil."
Dipakainya sarung tangannya dan melangkah ke tengah badai salju.
Saat dia membanting pintu, kuraih sarung tanganku.
Aku akan memberikan waktu dua menit kepadanya.
Apa yang terjadi berikutnya muncul dalam serangkaian bayangan yang tidak jelas, kepingan kenangan yang terpenggal-penggal dengan berjalannya waktu.
Aku melihatnya, tetapi pikiranku tidak mau menerimanya sebagai suatu keseluruhan.
Apa yang kulihat terkumpul di dalam otakku dan tersimpan dalam kerangka yang berbedabeda.
Ryan baru berjalan enam langkah saat kudengar letusan dan tubuhnya terpelanting.
Tangannya melayang ke atas dan dia mulai membalikkan tubuhnya.
Sebuah letusan terdengar lagi dan tubuhnya bergetar kembali, kemudian dia jatuh ke tanah, tidak bergerak sedikit pun.
"Ryan!"
Jeritku sambil membuka pintu. Saat keluar, rasa sakit menusuk kakiku dan lututku melemas.
"Andy!"
Jeritku kepada sosok tubuhnya yang tidak bergerak.
Kemudian, cahaya meledak di dalam batok kepalaku dan aku diselimuti kegelapan yang lebih tebal dari es.[J iApa yang kurasakan saat sadarkan diri juga berupa kegelapan.
Kegelapan dan rasa sakit.
Pelan-pelan aku bangkit, tidak mampu melihat bentuk apa pun dalam kegelapan ini.
Rasa nyeri yang mendera meledak di benakku dan sepertinya aku akan muntah.
Rasa sakit makin terasa saat aku mengangkat lutut dan menggantungkan kepala di antara kedua lututku itu.
Beberapa menit kemudian, rasa mual itu berlalu.
Kupasang telinga.
Tidak terdengar suara apa pun, kecuali degup jantungku.
Kutatap tanganku, tetapi tidak terlihat dalam kegelapan yang pekat ini.
Kuhela napas.
Tercium bau kayu membusuk dan tanah yang lembap.
Dengan gamang, kujulurkan tangan.
Aku duduk di atas tanah.
Di belakang dan sampingku terasa dinding batu bulat yang kasar.
Dua puluh cm di atas kepalaku, tanganku menyentuh kayu.
Napasku terengah-engah saat aku berpikir dengan panik.
Aku ada dalam perangkap! Aku harus keluar! Tidaa.aaaa.ak! Jeritan itu membahana dalam benakku.
Aku belum kehilangan kendali atas diriku sendiri.
Kupejamkan mata dan mencoba mengendalikan napasku.
Sambil mengepalkan tangan, kucoba memusatkan pikiranku.
Tarik napas.
Embuskan napas.
Tarik.
Embuskan.
Pelan-pelan rasa panik itu berkurang.
Aku berlutut dan menjulurkan tangan ke depan.
Tidak ada apa-apa.
Rasa sakit di lutut kiriku membuat air mataku meleleh, tetapi aku merangkak ke depan ke ruang kosong di hadapanku.
Setengah meter.
Dua meter.
Tiga meter.
Saat mampu bergerak tanpa menghadapi halangan, kengerianku mulai mereda.
Sebuah lorong lebih baik daripada kurungan batu.
Aku duduk dan mencoba berhubungan dengan sel otakku yang masih bekerja.
Aku tidak tahu di mana aku berada, sudah berapa lama berada di sini, dan bagaimana aku bisa berada di dalam lorong ini.
Aku mulai mengingat-ingat kembali peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Harry.
Penginapan.
Mobil.
Ryan! Tuhan, Tuhanku, ya Tuhan! Aduuh, tidak! Aduuuh duh duuuh, jangan Ryan.
Perutku terasa melilit lagi dan rasa asam menjalar ke mulutku.
Kutelan ludah.
Siapa yang menembak Ryan? Siapa yang membawaku ke sini? Di mana Harry? Kepalaku berdenyutdenyut dan tubuhku mulai beku karena dinginnya ruangan itu.
Ini gawat.
Aku harus melakukan sesuatu.
Kutarik napas panjang dan berguling kembali ke posisi merangkak.
Selangkah demi selangkah aku merangkak menyusuri lorong itu.
Aku sudah kehilangan sarung tanganku, dan tanah liat yang dingin membuat tanganku kebas dan menggetarkan lututku yang terluka.
Rasa sakit membuatku memusatkan perhatian sampai aku menyentuh sebuah kaki.
Ketika mundur lagi, kepalaku menghantam kayu dan jeritan yang ingin kuteriakkan tersekat di tenggorokanku.
Sialan, Brennan, kendalikan dirimu.
Kamu seorang penyelidik profesional, bukan orang biasa yang mudah histeris.
Aku membungkuk, masih kaku karena ngeri.
Bukan karena ruangan yang terasa seperti kuburan ini, tetapi pada benda yang sekarang menemaniku.
Waktu seakanakan berlalu lama sekali ketika aku menunggu tandatanda kehidupan dari sosok tubuh itu.
Tidak ada yang berbicara, tidak ada yang bergerak.
Kutarik napas dalamdalam sekali lagi, kemudian bergerak ke depan dan menyentuh kaki itu lagi.
Kaki itu memakai sepatu lars dari kulit, kecil, dengan tali seperti tali sepatuku.
Kutemukan kaki yang sebelah lagi dan kuraba kaki itu sampai ke pangkalnya.
Tubuhnya berbaring menyamping.
Dengan hatihati, kubalikkan tubuhnya dan kuteruskan eksplorasiku.
Hem.
Kancing.
Syal.
Kerongkonganku menegang saat jari-jemariku mengenali pakaiannya.
Sebelum menyentuh bagian wajah, aku sudah tahu siapa orang itu.
Tetapi, tidak mungkin! Sungguh tidak masuk akal.
Kutarik syal itu dan kuraba rambutnya.
Ya.
Daisy Jeannotte.
Ya Tuhan! Apa yang terjadi? Teruslah bergerak! Begitu perintah dari otakku.
Kuseret tubuhku ke depan dengan bertumpu pada satu lutut dan satu lenganku, menempelkan telapak tangan di dinding.
Jariku menyentuh sarang laba-laba dan benda-benda yang tidak kupedulikan.
Serpihan kayu hancur yang rontok ketika aku bergerak perlahan menyusuri lorong itu.
Setelah beberapa meter, kekelaman lorong itu mulai berkurang.
Tanganku menyentuh sesuatu dan aku mengikutinya.
Pegangan dari kayu.
Kuda-kuda.
Saat mendongak, bisa kulihat cahaya lampu remang-remang berbentuk segi empat.
Undakan tangga menuju ke atas.
Kunaiki tangga itu, menguji setiap suara yang muncul setiap kali aku melangkahkan kaki.
Tiga langkah membuatku bisa menyentuh langitlangit.
Tanganku menyentuh bagian penutup, tetapi ketika kudorong, tutup itu tidak bergerak sama sekali.
Kutempelkan telingaku ke kayu itu dan suara anjing menggonggong menyebabkan semua bulu kudukku berdiri.
Suaranya terdengar jauh, tetapi aku bisa merasakan bahwa binatangbinatang itu kegirangan.
Sebuah suara manusia berseru memberikan perintah, kemudian hening, kemudian suara salakan itu terdengar lagi.
Tepat di atasku tidak terdengar suara gerakan sedikit pun, tidak ada suara apa pun.
Kudorong dengan bahuku dan panel itu bergerak sedikit, tetapi tidak mau terbuka.
Ketika mengamati segaris cahaya yang tembus, bisa kulihat bayangan di tengah-tengah di sebelah kanan.
Aku mencoba mencongkelnya dengan jariku, tetapi celah itu terlalu sempit.
Karena frustrasi, kucolokkan jariku lebih jauh lagi dan menggesernya di sela-sela celah itu.
Serpihan kayu menusuk jariku dan merobek kukuku, tetapi aku tidak bisa meraih ujungnya.
Celah di ujungnya tidak cukup lebar.
Sialan! Kupikirkan adikku, anjing, dan Jennifer Cannon.
Kupikirkan diriku, anjing, dan Jennifer Cannon.
Jariku beku sekali sehingga aku tidak bisa merasakannya, dan kumasukkan lagi ke dalam sakuku.
Buku jari kananku menyentuh sesuatu yang keras dan rata.
Dengan kebingungan, kutarik benda itu dan menempelkannya di depan celah itu.
Bagian besi dari alat pengerik yang patah itu.
Mudah -mudahan I Sambil berdoa, kuselipkan batang besi itu.
Bisa masuk! Dengan gemetaran, kutarik ke ujung celah.
Suara keri-kannya keras sekali sehingga pasti bisa didengar orang dari jarak beberapa kilometer.
Aku tertegun dan menajamkan telinga, Tidak ada gerakan di atas.
Dengan menahan napas, kugeser batangan besi itu lebih jauh lagi, tapi hanya beberapa cm lagi dari tempat yang kuduga kaitan kunci papan itu, kerikan tersebut lepas dari tanganku dan jatuh ke dalam kegelapan.
Sialan! Sialan! Bajingan! Kuturuni undakan tangga dengan kedua tanganku dan tanpa tertahankan lagi aku jatuh tungganglanggang ke lantai lorong.
Sambil memaki kebodohanku, aku mulai mencaricari di atas tanah liat yang berbau tengik itu.
Tak berapa lama kemudian, tanganku berhasil menemukan batangan besi pengerik yang patah itu.
Kembali menaiki tangga.
Pada saat itu, setiap gerakan tubuh mengirimkan rasa sakit ke sekujur kakiku.
Dengan menggunakan kedua tangan, kuselipkan lagi besi itu dan menggesernya mendekati kaitan.
Tidak berhasil.
Kutarik lagi dan kuletakkan potongan itu sedemikian rupa sehingga bisa bergerak miring di sepanjang celah itu.
Sesuatu berbunyi.
Kudengarkan.
Hening.
Kudorong dengan bahuku dan pintu kayu itu terangkat ke atas.
Dengan mencengkeram sisi panel, kudorong ke atas, kemudian menurunkannya kembali dengan perlahan-lahan ke lantai di atasku.
Dengan jantung yang berdegup kencang, kuangkat kepala dan kuintip sekelilingku.
Cahaya dalam ruangan itu berasal dari sebuah lampu minyak.
Kuduga ruangan itu semacam dapur kecil.
Tampak rak di ketiga sisi ruangan, beberapa di antaranya berisi kotak dan kaleng.
Tumpukan karton memenuhi sudut ruangan di sebelah kiri dan kananku, Saat melihat ke belakang, rasa dingin yang lebih hebat dari cuaca di luar terasa menghujam kalbu.
Tumpukan tangki gas berjejer di dinding, lapisan luarnya tampak gemerlapan diterpa cahaya lampu.
Sebuah bayangan memenuhi pikiranku, sebuah foto propaganda di masa perang tentang persediaan persenjataan dalam tumpukan yang rapi.
Dengan tangan gemetar, kuturunkan tubuhku dan duduk di puncak undakan tangga.
Apa yang bisa kulakukan untuk menghentikan mereka? Kulirik ke bawah tangga.
Cahaya kekuningan berbentuk segi empat menerpa lantai ruangan bawah tanah, tepat menyentuh wajah Daisy Jeannotte.
Kutatap wajah yang dingin dan tidak bergerak itu.
"Siapakah kamu sebenarnya?"
Gumamku.
"Kukira ini pertunjukanmu."
Tetap hening.
Kutarik napas panjang beberapa kali, kemudian naik ke dapur itu.
Rasa lega karena telah keluar dari lorong sekarang digantikan oleh rasa takut tentang apa yang mungkin akan kutemukan berikutnya.
Dapur itu bersebelahan dengan sebuah dapur raksasa.
Aku berjalan tersaruk-saruk ke sebuah pintu di seberangku, menempelkan punggung ke dinding dapur, dan bergerak merayap.
Terdengar suara derikan kayu.
Desir angin dan es.
Suara ketukan dahan pepohonan.
Dengan nyaris tak bernapas, kusentuh gagang pintu dan kumasuki sebuah lorong yang panjang dan gelap.
Suara badai telah reda.
Aku bisa mencium bau debu, asap kayu dan bau apek karpet tua.
Aku membungkuk ke depan, menyandarkan diri di dinding.
Tidak ada cahaya sediki pun yang masuk ke bagian rumah ini.
Di manakah kamu, Harry ? Kudekati sebuah pintu dan kutempelkan telingaku.
Tidak terdengar suara apa-apa.
Lututku gemetaran dan entah seberapa jauh lagi aku harus berjalan.
Kemudian, kudengar beberapa suara.
Sembunyi! Jerit sel otakku, Gagang pintu berputar dan aku menghilang dalam kegelapan.
Ruangan itu tercium lembap dan manis, seperti bunga yang dibiarkan mati di dalam vas.
Tiba-tiba, bulu di lengan dan leherku berdiri.
Apakah itu gerakan? Kembali, kutahan napas dan kuatur suara yang keluar.
Sesuatu sedang bernapas! Dengan mulut kering, kutelan ludah dan berusaha untuk tidak bergerak sedikit pun.
Selain suara tarikan dan embusan napas, ruangan itu sunyi senyap.
Pelan-pelan, aku merayap ke depan sampai sebuah benda muncul dari dalam kegelapan.
Sebuah tempat tidur.
Sesosok manusia.
Sebuah meja dengan gelas berisi air dan botol berisi pil.
Dua langkah lagi dan tampak rambut pirang panjang di atas selimut.
Mungkinkah? Apakah doaku dikabulkan sedemikian cepatnya? Aku bergegas ke depan dan membalikkan kepalanya untuk melihat wajahnya.
"Harry!"
Ya Tuhan.
Ternyata memang Harry.
Kepalanya berguling dan dia mengerang pelan.
Aku sedang meraih pil saat sebuah lengan menangkapku dari belakang.
Tangan itu mencekik leherku, meremas saluran udara, dan menghentikan pasokan oksigen ke paru-paruku.
Sebuah tangan membekap mulutku.
Kedua kakiku menendang-nendang dan aku berusaha melepaskan diri.
Entah bagaimana, aku bias menggenggam pergelangan tangannya dan menarik tangan itu dari wajahku.
Sebelum ia mencengkeram kembali, kulihat sebuah cincin.
Sebuah cincin segi empat berwarna hitam dengan ukiran ankh (tanda salib yang bagian atasnya melengkung menjadi satu) dan pinggiran yang berlekuk-lekuk.
Saat merontaronta dan mencakar, aku teringat pada sebuah memar di kulit tangan yang putih dan lembut.
Aku tahu bahwa aku berada dalam cengkeraman seseorang yang tidak akan segan-segan mencabut nyawaku, Aku mencoba berteriak, tetapi pembunuh Malachy telah mencengkeramku sedemikian rupa sehingga ia menekan leher dan membungkam mulutku.
Kemudian, kepalaku disentakkan ke samping dan ditempelkan ke dada yang kurus kering.
Di dalam ruangan yang gelap itu kulihat sebuah mata yang pucat, seberkas rambut putih.
Waktu seakanakan berlalu sangat lama ketika aku berusaha menarik napas.
Paru-paruku terbakar, detak jantungku berdegup, dan aku berada antara sadar dan tidak.
Kudengar beberapa suara, tetapi dunia sekelilingku terasa semakin memudar.
Rasa sakit di lututku menghilang saat kehampaan menyelimuti pikiranku.
Aku merasa tubuhku diseret.
Bahuku menghantam sesuatu.
Bagian bawah kaki yang lembut.
Keras lagi.
Kami melewati pintu, lengan itu menyentuh tenggorokanku.
Ada tangantangan yang menarikku dan sesuatu yang keras diselipkan di pergelangan tanganku.
Lengan ku ditarik ke atas, tetapi tekanan di kepala dan tenggorokanku dilepaskan sehingga aku bisa bernapas! Kudengar erangan dari tenggorokanku saat paru-paruku melahap udara yang kuhirup dengan rakusnya.
Setelah aku dapat merasakan kembali saraf di sekujur tubuhku, rasa sakit itu terasa kembali.
Kerongkonganku terasa sakit dan napasku terengah-engah.
Bahu dan siku terasa diregangkan, dan tanganku terasa dingin dan kebas di atas kepalaku.
Lupakan tubuhmu! Gunakan otakmu Ruangan itu luas, seperti ruangan yang kita lihat di penginapan.
Lantainya terbuat dari papan yang lebar dan dindingnya terbuat dari balok kayu raksasa, serta ada sebatang lilin sebagai satu-satunya sumber cahaya.
Kedua tanganku digantung ke balok di langitlangit.
Kuamati keadaan di sekelilingku dan bayang-bayang tengkorak tampak memanjang di bawah cahaya yang kerlapkerlip.
Pintu ganda tepat ada di hadapanku.
Batu perapian di sebelah kiri.
Jendela di sebelah kanan.
Kuhafalkan isi ruangan itu.
Saat mendengar suara-suara di belakangku, kumaju-kan salah satu bahu dan kutarik yang satunya lagi, dan mendorong dengan ujung jari kaki.
Tubuhku berputar dan untuk sedetik aku berhasil melihat mereka sebelum tali itu memutarku kembali ke posisi semula.
Aku mengenali rambut putih dan mata lelaki itu.
Tetapi, siapa orang yang satunya lagi? Suara percakapan itu berhenti, kemudian dilanjutkan dengan suara berbisik-bisik.
Kudengar suara langkah kaki, diikuti keheningan.
Aku tahu bahwa aku tidak sendirian.
Kutahan napas dan menunggu mereka.
Saat wanita itu melangkah di hadapanku, aku memang kaget, tetapi tidak heran.
Hari ini kepangan rambutnya disusun di atas kepala dan tidak dibiarkan berjuntai seperti sebelumnya saat dia berjalan menyusuri jalanan Beaufort dengan Kathryn dan Carlie.
Dia menjulurkan tangan dan menghapus air mata di pipiku.
"Kamu takut?"
Matanya terlihat dingin dan keras. Rasa takut akan membuatnya gemetaran seperti anjing jaianan! "Tidak, Ellie. Aku tidak takut kepadamu atau anak buahmu."
Rasa sakit di tenggorokan membuatku sulit berbicara. Dia menyentuh hidungku dan melintasi bibirku. Jarinya terasa kasar di atas kulitku.
"Bukan Ellie. Je suis Eiie. Aku adalah Dia. Wanita penguasa."
Kukenali suara yang dalam dan mendesah itu.
"Pendeta kematian!"
Aku meludah.
"Kamu seharusnya tidak mengganggu kami."
"Kamu seharusnya tidak mengganggu adikku."
"Kami memerlukannya."
"Bukankah orang-orangmu sudah cukup banyak? Atau setiap pembunuhan membuatmu bergairah?"
Ajak dia bicara terus. Menunda-nunda waktu.
"Kami menghukum orangorang yang keras kepala."
"Itukah sebabnya kamu membunuh Daisy Jeannotte?"
"Jeannotte."
Suaranya terdengar kasar karena sebal.
"Si tua yang ganas dan suka ikut campur itu, Akhirnya, dia membiarkan adik lelakinya."
Apa yang harus kukatakan agar percakapan ini terus berlanjut? "Dia tidak ingin adik lelakinya mati."
"Daniel akan hidup selamanya."
"Seperti Jennifer dan Amalie?"
"Kelemahan mereka bisa menghambat kami."
"Jadi, kaukorbankan yang lemah dan menonton mereka dicabik-cabik?"
Matanya memicing, memancarkan sesuatu yang tidak bisa kupahami. Kegetiran? Penyesalan? Antisipasi? "Kubawa mereka keluar dari kelaparan dan kutunjukkan kepada mereka bagaimana cara menyelamatkan diri. Mereka memilih kehancuran."
"Apa dosa Heidi Schneider? Mencintai suami dan kedua bayinya?"
Matanya mengeras.
"Aku menunjukkan jalan dan dia membawa racun ke dunia ini! Kejahatan ganda!"
"Anti-Kristus."
"Ya!"desisnya. Pikir terus! Apa katakata yang diucapkannya di Beaufort? "Kamu mengatakan bahwa kematian hanyalah transisi dalam proses pertumbuhan. Apakah kamu menjalankan proses itu dengan membantai bayi dan wanita tua?"
"Mereka yang ternoda tidak bisa diizinkan untuk mengotori para pembaharu."
"Kedua bayi Heidi itu baru berusia empat bulan!"
Rasa takut dan amarah membuat suaraku melengking.
"Mereka adalah sesuatu yang tidak wajar!"
"Mereka itu masih bayi!"
Aku meronta dan mencoba menerkamnya, tetapi tali itu mengikatku dengan eratnya.
Di belakang pintu bisa kudengar suara orangorang bergerak.
Aku memikirkan anakanak di Saint Helena dan merasakan dadaku berguncang.
Ke mana Danie! Jeannotte? "Berapa banyak anakanak yang akan kaubunuh dan dibunuh oleh para penjagalmu?"
Ujung matanya memicing. Terus ajak dia bicara.
"Apakah kamu akan meminta semua pengikutmu mati?"
Dia tidak berkata apa-apa.
"Kenapa kamu membutuhkan adikku? Apa kamu sudah tidak mampu lagi mencari pengikut?"
Suaraku terdengar gemetaran dan dua oktaf terlalu tinggi.
"Dia akan menggantikan tempat orang lain."
"Dia tidak percaya pada hari kiamat yang kamu ramalkan."
"Duniamu akan berakhir."
"Duniaku baikbaik saja."
"Kalian membunuh pepohonan untuk membuat tisu dan membuang racun ke sungai dan lautan. Apa itu yang kamu sebut sebagai baikbaik saja?"
Dia mendekatkan wajahnya ke mukaku sehingga aku bias melihat pembuluh darah yang menonjol di pelipisnya.
"Bunuh dirimu kalau menurutmu itu perlu, tetapi biarkan orang lain membuat keputusan sendiri."
"Harus ada keseimbangan yang sempurna. Jumlahnya telah ditetapkan."
"Benarkah? Dan apakah semuanya sudah ada di sini?"
Dia menarik kembali kepalanya dan tidak menjawab. Kulihat sesuatu berkilat di matanya, seperti cahaya yang memantul dari pecahan kaca.
"Tidak semuanya akan datang, Elle."
Mata itu tidak pernah bergeming.
"Kathryn tidak akan datang untuk mati bersamamu. Dia sekarang sudah berada jauh sekali dari sini, aman dengan bayinya."
"Kamu bohong!"
"Kamu tidak akan bisa mencapai kuota untuk kos-mikmu."
"Tanda-tandanya telah dikirim. Kiamat sudah dekat dan kami akan bangkit dari kematian!"
Matanya tampak seperti lubang hitam di bawah percikan cahaya.
Aku segera bisa mengenali pandangan itu.
Kegilaan.
Aku baru saja akan menanggapinya saat terdengar suara geraman dan salakan anjing.
Suaranya datang dari dalam penginapan itu.
Aku berusaha keras melepaskan diri dari tali yang mengikat dengan eratnya.
Napasku berubah menjadi napas terengah-engah yang panik.
Semuanya usaha untuk melepaskan diri secara refl eks.
Aku tidak bisa melakukannya! Aku tidak bias melepaskan diri! Dan, bagaimana kalau aku bisa melepaskan diri? Aku berada di tengah-tengah mereka.
"Tolonglah,"
Kataku dengan memelas.
Elle menatap, matanya tidak memancarkan perasaan.
Sebuah tangisan keluar dari mulutku saat salakan itu terdengar lebih keras.
Aku terus merontaronta.
Aku tidak mau menyerah begitu saja, walaupun usahaku sia-sia.
Apa yang dilakukan korban-korban yang lain?Kulihat kembali daging yang tercabik-cabik dan tengkorak yang bolong-bolong.
Salakan itu sekarang berubah menjadi geraman.
Anjing-anjing itu sudah semakin dekat.
Rasa takut yang tidak terkendalikan lagi menguasai diriku.
Kuputar tubuhku agar bisa melihat dan mataku menyapu jendela.
Jantungku membeku.
Apakah aku melihat sosok tubuh bergerak di luar? Jangan tarik perhatian mereka ke arah jendela! Kuturunkan tatapanku dan kembali memutar tubuh menghadap Elle, masih menggeliat-geliat, namun pikiranku melayang keluar.
Apakah masih ada harapan untuk melarikan diri? Elle mengamatiku tanpa berkata apa-apa.
Satu detik berlalu.
Dua.
Lima.
Kuputar tubuhku ke kanan dan mengintip lagi.
Melalui es dan kondensasi kulihat sebuah bayangan bergeser dari kiri ke kanan.
Alihkan perhatiannya! Aku berputar kembali dan menatap mata Elle lekat-lekat.
Jendela ada di sebelah kirinya.
Salakan itu terdengar makin keras.
Makin dekat.
Katakan sesuatu! "Harry tidak percaya pada-"
Pintu terbuka, kemudian kudengar suara-suara yang berat.
"Polisi!"
Suara sepatu lars terdengar menghantam lantai kayu.
"Haut les mains1,"
Angkat tangan! Terdengar geraman dan salakan.
Teriakan.
Jeritan.
Mulut Elle membulat, kemudian menjadi garis tipis yang gelap.
Dia menarik sebuah pistol dari dalam bajunya dan mengarahkannya ke sesuatu di belakangku, Begitu matanya meninggalkanku, aku segera memegang tali itu, melontarkan pahaku ke depan, menendangnya dengan kakiku, dan melenting ke arahnya.
Rasa sakit menghujam bahu dan pergelangan tanganku saat tubuhku mengayun ke depan, tanganku terentang.
Kulontarkan pahaku dan kuangkat sepatuku ke atas, menendang tangannya dengan seluruh beban tubuhku.
Pistol itu terlempar ke seberang ruangan dan keluar dari sudut pandangku.
Kakiku menghantam lantai dan aku terhenyak ke belakang untuk mengendurkan tekanan di bagian atas tubuhku.
Saat aku mendongak, Elle tertegun, sebuah moncong pistol SQ tampak diarahkan ke dadanya.
Salah satu kepangan hitam terlepas dan menghiasi dahinya seperti pita.
Kurasakan tangan menyentuh punggungku dan suara-suara menyapaku.
Kemudian, ikatanku dilepaskan dan sebuah tangan yang kuat setengah menyeret, setengah membimbingku ke sebuah sofa.
Kucium bau udara dan wol basah.
Kulit Inggris.
"Calmez-vous, madame. Tout va bien."
Lenganku dibimbing, lututku terasa lentur. Aku ingin menenggelamkan diri dan tidur selamanya, tetapi berusaha untuk berdiri.
"Ma soeur! Aku harus menemukan adikku!"
"Tout est bien, madame."
Tangan itu mendorongku kembali ke sofa. Semakin banyak sepatu lars. Pintu. Seruan perintah. Kulihat Elle dan Daniel Jeannotte diborgol dan digiring pergi.
"Di mana Ryan? Kalian kenal Andrew Ryan?"
"Tenanglah, kamu akan baikbaik saja."
Bahasa Inggris. Kucoba untuk membebaskan diriku.
"Ryan baikbaik saja?"
"Tenanglah."
Kemudian, Harry duduk di sampingku, matanya tampak besar.
"Aku takut,"
Gumamnya dengan suara yang kental dan berat.
"Tidak apa-apa."
Kuangkat lenganku yang mati rasa ke sekeliling bahunya.
"Aku akan membawamu pulang ke rumah."
Kepalanya terkulai ke bahuku dan kusentuhkan kepalaku ke kepalanya.
Aku memegangnya selama beberapa saat, kemudian melepaskan dirinya.
Kucoba mengingat kembali kenangan pendidikan keagamaan dari masa kanak-kanakku, kupejamkan mata, kukatupkan tanganku di depan dada, dan menangis tanpa bersuara saat aku berdoa kepada Tuhan, memohon agar nyawa Andrew Ryan diselamatkan.[] Seminggu kemudian, aku sedang duduk di beranda rumah di Charlotte, tiga puluh enam berkas ujian menumpuk di sebelah kanan, buku yang ketiga puluh tujuh ada di atas meja kecil di pangkuanku.
Langit di Carolina tampak biru, rumput hijau menghiasi pekarangan rumah.
Di atas bunga magnolia tampak seekor burung mockingbird berusaha menyanyikan kicauan terbaiknya.
"Pekerjaan biasa yang sangat bagus,"
Ujarku sambil memberi nilai C+ pada sampul biru dan melingkarinya beberapa kali.
Birdie mendongak, menggeliat, dan meluncur dari kereta kudanya.
Lututku sudah sembuh dengan baik.
Retakan kecil di lutut kiriku tidak ada artinya dibandingkan dengan luka dalam batinku.
Setelah teror di Ange Garden, kuhabiskan dua hari di Quebec, tersentak setiap kali mendengar suara dan setiap kali melihat bayang-bayang, khususnya suara salakan anjing.
Kemudian, aku kembali ke Charlotte untuk menyelesaikan sisa semester itu dengan tertatih-tatih.
Kupenuhi harihari itu dengan berbagai kegiatan yangtiada hentinya, tetapi malamnya selalu kulewati dengan susah payah, Di kegelapan malam, pikiranku melepaskan diri dengan bebasnya, melepaskan berbagai bayangan yang dikunci di siang harinya.
Ada kalanya aku tidur dengan lampu menyala.
Telepon berdering dan kuraih gagangnya.
Ternyata telepon yang sudah kunantikan sejak tadi.
"Bonjour, Dr. Brennan. Comment g a va?"
"Ca va bien, Suster Julienne. Tapi, yang lebih penting lagi, bagaimana kabar Anna?"
"Kurasa pengobatannya itu banyak membantu."
Suaranya terdengar lemah.
"Aku tidak tahu apa-apa tentang gangguan bipolar, tapi dokter memberikan banyak bahan kepadaku dan aku sedang mempelajarinya. Aku tidak pernah memahami depresi yang dialaminya. Tadinya kukira Anna sering berubah-ubah suasana hatinya karena itulah yang dikatakan ibunya. Kadangkadang dia depresi, kemudian tiba-tiba bersemangat kembali dan merasa nyaman dengan dirinya. Aku tidak tahu bahwa itu disebut sebagai, apa namanya tadi ...?"
"Sebuah fase manik?"
"C'est ga. Emosinya sepertinya naik turun dengan begitu cepat."
"Aku senang dia sudah semakin membaik."
"Ya. Puji Tuhan. Kematian professor Jeannotte membuatnya terpukul. Tolonglah, Dr. Brennan, demi Anna, aku harus tahu apa yang terjadi dengan wanita itu."
Kutarik napas panjang.
Apa yang bisa kukatakan? "Masalah yang dihadapi Dr.
Jeannotte berawal dari perasaan sayangnya kepada adik lelakinya.
Daniel Jeannotte menghabiskan hidupnya mengelola sekte demi sekte.
Daisy yakin bahwa adik lelakinya itu berniat baik, tapi dia diperalat oleh kelompok yang salah.
Karier Dr.
Jeannotte di dunia akademis di Amerika tercoreng oleh keluhan kepada universitas dari para orang tua mahasiswa yang anaknya diikutsertakan dalam berbagai konferensi dan pelatihan yang diadakan oleh Daniel.
Dr.
Jeannotte mengambil cuti dari pekerjaannya untuk melakukan penelitian dan menulis buku, dan akhirnya muncul kembali di Kanada.
Selama bertahuntahun dia terus memberikan dukungan kepada adiknya.
"Ketika Daniel bertemu dengan Elle, Daisy mulai kehilangan kepercayaannya. Menurutnya Elle seorang psikopat, dan sebuah persaingan muncul di antara kedua wanita itu untuk mendapatkan kesetiaan Daniel. Daisy ingin melindungi adiknya, tetapi takut terjadi sesuatu yang membahayakan.
"Jeannotte tahu bahwa kelompok Daniel dan Elle sangat aktif di kampus, walaupun universitas telah berusaha mengusir mereka. Jadi, ketika Anna berkenalan dengan mereka, Daisy ingin mengamati kegiatan mereka melalui Anna.
"Daisy tidak pernah menjadi orang yang mengerahkan calon anggota untuk bergabung dengan kelompok itu. Dia mendapatkan informasi bahwa anggota sekte telah masuk ke pusat konseling, mencari mahasiswa untuk dijadikan teman. Adik perempuanku dipikat dengan cara yang sama di universitas swasta di Texas. Hal ini semakin membuat Daisy gelisah karena dia takut disalahkan akibat berbagai kasus di masa lalunya."
"Siapa sebenarnya wanita bernama Elle ini?"
"Nama aslinya Sylvie Boudrais. Informasi mengenai dirinya hanyalah sepotong-sepotong. Dia berusia empat puluh empat tahun, dilahirkan di Baie Comeau dari seorang ibu berdarah Inuit dan ayah dari Quebec. Ibunya meninggal saat dia berusia empat belas tahun, dan ayahnya seorang pemabuk. Ayahnya sering memukulinya setiap hari dan memaksanya menjadi pelacur saat dia berusia empat belas tahun. Sylvie tidak pernah menamatkan sekolah, tapi IQ-nya sangat tinggi."
"Boudrais menghilang setelah putus sekolah, kemudian muncul di Quebec City pada pertengahan sembilan belas tujuh puluhan, menawarkan penyembuhan mental dengan menarik biaya yang tidak terlalu tinggi. Dia berhasil menarik beberapa orang pengikut dan akhirnya menjadi pemimpin kelompok yang tinggal di sebuah padepokan berburu di dekat Ste-Anne-De-Beaupre. Selalu ada kesulitan keuangan dan masalah semakin besar akibat banyaknya anggota di bawah umur. Seorang anak berusia empat belas tahun hamil dan orang tuanya langsung melaporkannya ke pihak yang berwajib."
"Kelompok itu dibubarkan dan Boudrais meneruskan perjalanan hidupnya. Dia mengikuti sebuah sekte Celestial Pathway untuk beberapa waktu lamanya di Montreal, tapi kemudian keluar lagi. Seperti Daniel Jeannotte, dia berpindah-pindah dari satu kelompok ke kelompok lainnya, muncul di Belgia sekitar tahun 1980an dan di sana dia mengajarkan kombinasi shamanisme dan spiritualisme New Age. Dia mendirikan sebuah kelompok yang salah seorang anggotanya seorang lelaki kaya raya bernama Jacques Guillion.
"Boudrais sudah pernah berkenalan dengan Guillion di Celestial Pathway, dan melihatnya sebagai solusi bagi kesulitan keuangan kelompoknya. Guillion jatuh ke dalam pengaruhnya dan akhirnya dibujuk untuk menjual propertinya dan menyerahkan semua asetnya."
"Tidak ada yang protes?"
"Semua pajak dibayar dan Guillion tidak punya keluarga, jadi tidak ada pertanyaan dari siapa pun."
"Mon Dieu."
"Pada pertengahan tahun sembilan belas delapan puluhan, kelompok itu meninggalkan Belgia dan menuju Amerika Serikat. Mereka mendirikan sebuah komune di Fort Bend County, Texas, dan Guillion sering pulang-pergi ke Eropa selama beberapa tahun, mungkin memindahkan uangnya. Dia terakhir kali masuk ke Amerika dua tahun yang lalu."
"Apa yang terjadi padanya?"
Suaranya terdengar kecil dan gemetar.
"Menurut dugaan polisi, dia dikuburkan di peternakannya."
Kudengar suara gemerisik kain.
"Adik Jeannotte berkenalan dengan Boudrais di Texas dan langsung terpesona. Saat itu Boudrais sudah menyebut dirinya sebagai Elle. Itulah saat ketika Dom Owens bergabung dengan mereka."
"Dia lelaki yang dari South Carolina itu?"
"Ya. Owens adalah orang yang suka ikutikutan dalam mistik dan penyembuhan organik. Dia mengunjungi peternakan Fort Bend dan langsung terpesona oleh Elle. Dia mengundang Elle ke padepokan South Carolina di Saint Helena dan Elle langsung mengambil-alih kendali atas kelompoknya."
"Tapi, sepertinya tidak berbahaya. Hanya berurusan dengan ramuan dan jampi-jampi serta obatobatan holistik. Bagaimana bisa berubah menjadi sumber kekejaman dan kematian?"
Bagaimana kita menjelaskan masalah kegilaan? Aku tidak mau mendiskusikan penilaian psikiatris yang ada di mejaku, atau catatan tentang bunuh diri yang ditemukan di Ange Gardien.
"Boudrais senang membaca, terutama tentang filsafat dan psikologi. Dia yakin bahwa bumi akan hancur dan sebelum hal itu terjadi, dia akan membawa semua pengikutnya pergi. Dia meyakini dirinya akan menjadi dewi penolong bagi mereka yang berbakti kepadanya dan penginapan di Ange Gardien akan menjadi titik perpindahannya."
Untuk sejenak, kami tidak berkata apa-apa. Kemudian.
"Apakah mereka benarbenar memercayai itu?"
"Entahlah. Kurasa Elle tidak sepenuhnya berani mengandalkan kemampuannya dalam berbicara. Dia juga mengandalkan penggunaan obat terlarang."
Hening kembali.
"Apakah para pengikutnya itu begitu memercayainya sampai-sampai bersedia untuk mati? Pikiranku melayang kepada Kathryn. Dan Harry.
"Tidak semuanya."
"Tuhan tidak akan mengampuni orang yang merencanakan pembunuhan atau bahkan menahan manusia lainnya sebagai tawanan."
Sebuah jalan penghubung yang sempurna.
"Suster, apakah sudah membaca informasi yang kukirimkan mengenai Elisabeth Nicolet?"
Keheningan dari pihaknya terasa lebih lama. Diakhiri dengan helaan napas.
"Va, sudah."
"Aku melakukan penelitian cukup teperinci tentang Abo Gabassa. Dia seorang fi Isuf yang sangat dihormati dan sering bicara di depan umum, dikenal di seluruh Eropa, Afrika, dan Amerika Utara atas usahanya untuk menghentikan perdagangan budak."
"Aku mengerti."
"Dia dan Eugenie Nicolet berlayar ke Prancis dengan kapal yang sama. Eugenie kembali ke Kanada dengan membawa seorang bayi perempuan."
Aku menarik napas.
"Tulangbelulang itu tidak berbohong, Suster Julienne. Dan mereka tidak memihak. Sejak aku melihat tengkorak Elisabeth, aku sudah tahu bahwa dia memiliki ras campuran."
"Itu tidak berarti dia seorang tahanan di biara."
"Tidak, sama sekali tidak."
Hening kembali. Kemudian, dia bicara dengan suara perlahan.
"Aku setuju bahwa anak haram tidak akan diterima di dalam lingkungan keluarga Nicolet. Dan pada zaman itu, bayi dengan ras campuran tidak akan mungkin diterima. Mungkin Eugenie memandang biara sebagai solusi yang paling manusiawi."
"Mungkin, Elisabeth mungkin tidak memilih sendiri takdirnya, tapi hal itu tidak mengesampingkan sumbangsihnya. Dinilai dari semua aspek pun, kinerjanya selama wabah cacar sungguh mengagumkan. Ribuan orang telah terselamatkan berkat usahanya."
"Suster, apakah ada santa dari Amerika Utara yang memiliki darah keturunan Amerika Asli, Afrika, atau Asia?"
"Entahlah, aku tidak tahu."
Kudengar sepercik semangat dalam suaranya.
"Elisabeth akan menjadi panutan yang luar biasa untuk orangorang yang dilecehkan karena mereka tidak dilahirkan sebagai orang berkulit putih."
"Ya. Ya. Aku harus bicara dengan Pastor Menard."
"Bolehkan aku mengajukan pertanyaan, Suster?"
"Bien sur."
"Elisabeth memperlihatkan diri kepadaku dalam sebuah mimpi dan mengatakan sesuatu yang tidak kumengerti, Ketika kutanyakan kepadanya siapa dia sesungguhnya, dia menjawab, 'Semuanya ada di gaun gandum yang paling gelap.'" '"Datanglah suster yang tafakur, mengabdikan diri dan murni; setia dan bersungguhsungguh; Semuanya ada di gaun gandum yang paling gelap; Mengalir dengan kereta yang megah.' II Penseroso karya John Milton."
"Otak memang arsip yang luar biasa,"
Ujarku, tertawa.
"Sudah bertahuntahun yang lalu aku membaca buku itu."
"Kamu mau mendengarkan kalimat yang paling kusenangi?"
"Tentu saja."
Sebuah pemikiran yang sangat indah.
Setelah kami menutup gagang telepon, kulirik jam tanganku.
Sudah waktunya pergi.
Selama perjalanan, kuhidupkan dan kumatikan radio, mencoba mencari penyebab suara gemerisik di dasbor, kemudian mengetuk-ngetukkan jari-jemariku.
Pergantian lampu merah di Woodlawn dan Billy Graham Parkway terasa sangat lama.
Ini gagasanmu, Brennan.
Memang.
Tetapi, apakah itu berarti gagasan ini bagus? Aku tiba di bandara dan langsung menuju ke bagian pengambilan bagasi.
Ryan sedang menyampirkan tas pakaian di bahu kirinya.
Lengan kanannya dibalut dan gerakannya tampak canggung.
Tetapi, dia terlihat sehat.
Bagus sekali.
Dia di sini untuk memulihkan kesehatannya.
Itu saja.
Kulambatkan tangan dan memanggilnya.
Dia tersenyum dan menunjuk ke sebuah tas olahraga yang sedang berputar menghampirinya.
Aku mengangguk dan mulai memilah-milah kunciku, memutuskan kunci mana yang akan dipindahkan ke gantungan kunci yang baru.
"Bonjour y'all."
Kupeluk dia sekilas, seperti orang yang menjemput saudara iparnya. Dia melangkah mundur dan matanya yang terlalu biru itu menatapku dari atas ke bawah.
"Bagus juga pakaianmu."
Aku memakai jins dan kemeja yang tidak terlalu cocok dengan kruk yang kugunakan.
"Bagaimana perjalananmu?"
"Pramugarinya kasihan padaku dan memindahkanku ke bagian depan."
Aku yakin pramugarinya pasti melakukan itu. Dalam perjalanan pulang, kutanyakan keadaan cederanya.
"Tiga tulang rusuk patah dan paru-paru bocor. Peluru lainnya menancap di otot. Tidak apa-apa, tapi aku sempat kehilangan darah."
Vang tidak apa-apa itu membutuhkan operasi selama empat jam.
"Masih terasa sakit?"
"Hanya kalau aku bernapas saja."
Saat kami tiba di Annex, kutunjukkan kamar tidur tamu kepada Ryan dan beranjak ke dapur untuk menuangkan es teh.
Beberapa menit kemudian, dia bergabung denganku di beranda.
Cahaya matahari menyeruak di antara bunga magnolia dan kawanan burung pipit menggantikan burung mockingbird.
"Pakaianmu bagus,"
Ujarku sambil menyerahkan gelas. Ryan memakai celana pendek dan kaus oblong. Kakinya pucat seperti ikan cod yang masih mentah dan kaus kaki olahraga menjuntai di sekeliling pergelangan kakinya.
"Menikmati musim dingin yang panjang di Newfoundland?"
"Berjemur menyebabkan melanoma."
"Aku harus memakai kacamata hitam untuk menghalau silau."
Aku dan Ryan telah mendiskusikan kejadian di Ange Gardie.
Kami membicarakannya di rumah sakit, kemudian di telepon saat berbagai informasi tambahan mulai kami dapatkan.
Ryan menggunakan ponselnya untuk menghubungi markas SQ di distrik Rouville ketika aku sedang mengerik rambu jalanan.
Ketika kami tidak juga muncul, seorang petugas mengirimkan truk untuk membersihkan jalan sehingga sebuah unit kepolisian bisa datang untuk melakukan penyelidikan.
Para petugas menemukan Ryan dalam keadaan pingsan dan meminta dikirim petugas tambahan sert ambulans.
"Jadi, adikmu sudah kapok dengan penyembuhan kosmik?"
"Ya."
Aku tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Dia ke sini dan tinggal selama beberapa hari, kemudian kembali ke Texas. Pasti sebentar lagi dia akan kembali terpikat oleh kegiatan lain."
Kami meneguk teh.
"Sudah kamu baca laporan psikiaternya?"
"Salah mengenali sesuatu karena halusinasi disertai unsur rasa cinta akan kemegahan dan paranoid yang signifi kan. Apa artinya semua itu?"
Pertanyaan yang sama telah membuatku membedah literatur psikologi.
"Halusinasi Anti-Kristus. Orang melihat dirinya sendiri atau orang lain sebagai setan. Dalam kasus Elle, dia mengarahkan ketakutannya pada kedua bayi kembar Heidi. Dia membaca tentang zat dan anti-zat, dan meyakini bahwa segala sesuatu harus berimbang. Dia mengatakan bahwa salah satu dari kedua bayi itu adalah Anti-Kristus, sementara yang satunya lagi cadangan kosmiknya. Apa dia masih terus mengoceh?"
"Seperti seorang DJ yang sedang naik panggung. Dia mengakui telah mengirimkan tim pembunuh ke St-Jovite untuk membunuh anakanak itu. Simonnet mencoba menghalang-halanginya, jadi mereka menembaknya. Kemudian, para pembunuh itu menyuntikkan narkoba dan membakar rumah itu."
Kubayangkan wanita tua yang tulangbelulangnya telah kuperiksa.
"Simonnet pasti berusaha melindungi Heidi dan Brian. Semua telepon ke Saint Helena itu, kemudian misi penyelamatan ke Texas setelah Daniel Jeannotte, bmuncul di kediaman Schneider."
Jarijemariku membentuk sidik jari oval pada embun yang muncul di gelas tehku.
"Menurutmu, kenapa Simonnet terus menelepon setelah Heidi dan Brian meninggalkan Saint Helena?"
"Heidi terus berhubungan dengan Jennifer Cannon, dan Simonnet menelepon untuk mencari informasi. Ketika Elle mengetahuinya, dia menyuruh orang untuk membunuh Cannon."
"Cara pengusiran setan yang sama dengan anjing, pisau, dan cairan asam yang diperintahkannya ketika mengetahui Carole Comptois hamil."
Bayangan itu masih tetap membuatku menggigil ketakutan.
"Apakah Comptois masih meneruskan pekerjaannya sebagai pelacur?"
"Dia sudah berhenti. Ironisnya, dia diperkenalkan kepada Elle oleh mantan pelanggannya. Walaupun Comptois sering tinggal bersama kelompok itu dan pergi lagi, rupanya dia tetap mempertahankan hubungannya di dunia luar karena ayah bayinya bukanlah anggota kelompok sehingga tidak diakui sebagaidonor sperma yang sah oleh kelompok itu. Itulah sebabnya Elle memerintahkan acara pengusiran setan itu."
"Bagaimana dengan Amalie Provencher?"
"Yang itu tidak jelas. Amalie mungkin menghalangi pembunuhan Jennifer."
"Elle meyakini bahwa dia memerlukan kekuatan psikis dari lima puluh enam jiwa untuk mengumpulkan energi untuk melakukan penyeberangan. Dia tidak memperhitungkan hilangnya Comptois. Itulah sebabnya dia memerlukan Harry."
"Kenapa lima puluh enam?"
"Ada hubungannya dengan lima puluh enam lubang Aubrey di Stonehenge."
"Apa pula lubang Aubrey itu?"
"Lubang kecil yang digali dan segera diisi kembali. Lubang-lubang itu mungkin digunakan untuk meramalkan gerhana matahari. Elle menjalin semua pengetahuan itu dalam khayalannya."
Aku meneguk teh kembali.
"Dia terobsesi oleh konsep keseimbangan. Zat dan anti-zat. Pernikahan yang terkendali. Tepatnya lima puluh enam orang. Dia memilih Ange Gardien bukan hanya karena namanya, tetapi juga karena jarak dari tempat itu ke komune di Texas dan South Carolina sama jauhnya. Sebuah kebetulan yang menakjubkan."
"Kebetulan apa?"
"
"Adikku tinggal di Texas. Aku bekerja di Quebec dan memiliki hubungan dengan Carolina. Ke mana pun aku pergi, pengaruh Elle ada di tempat itu. Jangkauannya sungguh mencengangkan. Menurutmu, berapa banyak orang yang terpengaruh oleh sekte?"
"Tidak ada yang bisa memastikannya."
Suara Vivaldi berkumandang dari beranda tetangga.
"Bagaimana temanmu, Sam, ketika menerima kabar bahwa salah seorang pegawainya yang membawa kedua mayat itu ke Murtry?"
"Dia geram."
Aku teringat pada kegugupan Joey di truk air saat kami muncul dari tempat penguburan.
"Joey Espinoza telah bekerja untuk Sam selama hampir dua tahun."
"Memang. Dia pengikut Owens, tapi tinggal di rumah ibunya. Ibunyalah yang menghubungi Social Services. Yah, ternyata dia juga ayah Carlie. Itulah sebabnya Kathryn berpaling kepadanya ketika keadaan mulai kacau. Sepertinya dia tidak tahu apa-apa tentang semua pembunuhan itu."
"Sekarang mereka di mana?"
"Dia dan bayinya tinggal dengan salah seorang sepupunya. Joey mendiskusikan hal-hal yang telah terjadi dengan Sheriff Baker."
"Apakah ada orang yang dituntut?"
"Elle dan Daniel masing-masing dituntut dengan tiga tuduhan pembunuhan tingkat pertama untuk kematian Jennifer Cannon, Amalie Provencher, dan Carole Comptois."
Ryan memungut daun magnolia dan meletakkannya di pahanya.
"Apa lagi yang didapatkan dari evaluasi itu?"
"Menurut psikiater yang ditunjuk pengadilan, Elle menderita multidelusional psychosis yang akut. Dia meyakini bahwa hari kiamat akan segera terjadi dalam bentuk musibah lingkungan hidup dalam skala besar, dan dia berniat untuk menyelamatkan umat manusia dengan mengirimkan para pengikutnya menjauhi kiamat itu."
"Mereka akan ke mana?"
"Dia tidak mengatakannya. Tapi, kamu tidak termasuk dalam kelompok yang akan dibawanya."
"Bagaimana orang bisa terbuai oleh omong kosongnya?"
Ryan mengulangi pertanyaan yang pernah kulontarkan kepada Red Skyler.
"Kelompok itu menarik orangorang yang tersingkir dari teman-temannya dan terbuai oleh penerimaan kelompok, merasa dirinya berharga dan penting, dan diberi jawaban yang sederhana untuk setiap pertanyaan yang mereka miliki, dengan sedikit bantuan terapi obatobatan."
Embusan angin mengangkat dedaunan magnolia sekaligus menghantarkan bau rumput yang basah. Ryan tidak berkomentar.
"Elle mungkin memang gila, tapi dia cerdas dan kemampuannya membujuk orang sungguh luar biasa, Bahkan, sekarang pun para pengikutnya masih setia kepadanya. Walaupun dia mengoceh tak hentinya, mereka diam seribu bahasa."
"Yah."
Dia menggeliat, mengangkat tangannya yang dibalut, meletakkannya kembali di dadanya.
"Dia memang sangat licik. Dia tidak pernah ingin memiliki pengikut yang banyak. Dia hanya ingin memiliki sekelompok pengikut yang kecil tetapi setia. Keadaan itu dan uang Guillion membuatnya tidak terdeteksi selama ini. Sebelum semuanya terungkap, dia tidak begitu banyak melakukan kesalahan."
"Bagaimana dengan kucing itu? Itu tindakan yang sadis, tapi bodoh."
"Itu ulah Dom Owens. Elle memerintahkannya untuk membuatmu berhenti ikut campur. Owens berkata bahwa dia tidak mau melukai manusia, jadi dia memerintahkan beberapa pengikutnya yang masih kuliah di Charlotte untuk melakukan sesuatu untuk menakut-nakutimu. Mereka memperoleh makhluk malang itu dari tempat penampungan binatang."
"Bagaimana mereka bisa menemukanku?"
"Salah seorang dari mereka mengambil surat tagihan atau entah apa dari kantormu. Di situ tercantum alamat rumahmu."
Ryan menghirup tehnya.
"Ngomong-ngomong, pengalamanmu dirampok saat St. Paddy's Day di Montreal juga sebetulnya ulah seorang mahasiswa."
"Bagaimana kamu tahu itu?"
Dia tersenyum dan menggerakkan gelasnya.
"Seperti nya tindakan melindungi dilakukan secara timbal-balik oleh Jeannotte dan mahasiswanya. Salah seorang mahasiswanya melihat Jeannotte marah, dan menyimpulkan bahwa kunjunganmu yang menjadi penyebabnya. Dia memutuskan untuk main hakim sendiri dan mengirimkan pesan pribadi."
Kuganti pokok pembicaraan."Kamu percaya bahwa Owens terlibat dalam pembunuhan Jennifer dan Amalie?"
"Dia menyanggahnya. Katanya, setelah bertengkar dengan Jennifer tentang panggilan telepon itu, dia melaporkannya kepada Elle. Katanya, Elle mengatakan kepadanya bahwa Elle dan Daniel akan membawa Jennifer dan Amalie kembali ke Kanada."
"Kenapa Owens tidak berada di Ange Gardien?"
"Owens memutuskan untuk tidak jadi ikut. Entah karena dia takut pada apa yang akan dilakukan Elle karena telah kehilangan Joey, Kathryn, dan Carlie, atau mungkin dia tidak memercayai penyeberangan kosmik itu. Apa pun alasannya, dia membawa sekitardua ratus ribu dolar dari uang Guillion yang tersisa, jadi dia pergi ke barat, sementara yang lainnya ke utara. FBI menangkapnya di sebuah komune naturalis di Arizona. Elle bahkan tidak akan mendapatka lima puluh enam jiwa yang disyaratkan olehnya sekalipun ada Harry."
"Kamu lapar?"
"Ayo kita makan."
Kami membuat salad, kemudian menusuk daging ayam dan sayuran untuk dibuat shish kebab.
Di luar, matahari telah tenggelam ke balik cakrawala dan sore hari yang semakin larut memenuhi pepohonan dan tanah dengan bayang-bayang hitam.
Kami makan di beranda, berbicara dan mengamati malam tiba, Akhirnya, percakapan mengarah kembali kepada Elle dan semua pembunuhan yang telah terjadi.
"Kurasa Daisy Jeannotte merasa dia bisa menghadapi adiknya dan memaksanya untuk menghentikan semua kegilaan ini."
"Ya, tetapi Elle melihat Daisy terlebih dahulu dan menyuruh Daniel membunuhnya dan melemparkannya ke dalam ruangan bawah tanah tempat mereka menyekapmu. Kamu dianggap ancaman yang tidak begitu besar dan sudah cukup kalau kepalamu saja yang dihantam, kemudian dimasukkan ke dalam lubang itu. Ketika kamu berhasil membebaskan diri dan menimbulkan semakin banyak masalah, Elle murka dan berniat untuk melakukan acara pengusiran setan yang sama yang dilakukannya pada Jennifer dan Amalie."
"Daniel menolong Elle membunuh Jennifer dan Amalie, dan dia adalah tersangka utama pada pembunuhan Carole Comptois. Siapa yang melakukan pembunuhan di St-Jovite?"
"Kita mungkin tidak akan pernah tahu. Tidak ada yang menyebutkan hal itu sampai sekarang."
Ryan menghabiskan tehnya dan menyandarkan tubuh. Jangkrik telah mengambil alih posisi kawanan burung. Di kejauhan suara sirene membelah malam. Untuk beberapa saat, kami tidak berkata apa-apa.
"Kamu ingat penggalian yang kulakukan di Lac Memphremagog?"
"Santa itu."
"Salah seorang biarawati itu adalah bibi Anna Goyette."
"Berkat biarawati itu aku masih bisa menggunakan kepalan tanganku ini."
Aku tersenyum. Lagi-lagi sebuah kesenjangan gender. Kuceritakan kisah Elisabeth Nicolet.
"Mereka semua tawanan. Harry. Kathryn. Elisabeth."
"Elle. Anna. Penjara dalam bentuk yang berbedabeda."
"Suster Julienne berbagi sebuah kutipan denganku. Dalam Les Miserabtes Victor Hugo menyebutkan biara sebagai alat teropong, tempat kita bisa mengintip keabadian."
Jangkrik berbunyi.
"Bukan keabadian, Ryan, tapi kita sedang mendekati akhir abad. Apakah menurutmu ada makhluk lain di luar sana yang mengumbar kiamat dan mempersiapkan ritual kematian berkelompok?"
Untuk sejenak dia tidak menjawab. Bunga magnolia gemerisik di atas kami.
"Akan selalu ada penggemar mistis yang akan mern-peralat kekecewaan, keputusasaan, rasa percaya diri yang rendah, atau rasa takut untuk memantapkan agenda mereka. Tapi, jika orangorang gila ini datang ke kotaku, perhitungannya akan terjadi dengan cepat. Itu ramalan menurut Ryan."
Kuamati sepucuk daun mendarat di atas batu bata.
"Bagaimana denganmu, Brennan? Apakah kamu akan bersedia menolongku?"
Sosok Ryan tampak gelap dengan latar belakang langit malam.
Aku tidak bisa melihat matanya, tetapi aku tahu bahwa kedua mata itu menatap mataku lekat-lekat.
Kujulurkan tangan dan meraih tangannya.
UCAPAN TERIMA KASIH Ungkapan terima kasih saya ucapkan kepada Dr.
Ronald Coulombe, pakar bidang kejahatan pembakaran; kepada Carole Peclet, pakar bidang kimia; dan kepada Dr.
Robert Dorion, Responsible d'Odontologie, Laboratoire de Sciences Judiciaires et de Medecine Legale; dan kepada Louis Metivier, Bureau du Coroner de la Province de Quebec, karena telah berbagi pengetahuannya dengan saya.
Dr.
Walter Birkby, ahli antropologi forensik di Office of the Medical Examiner of Pima County, Arizona, karena telah menyediakan informasi mengenai cara pengumpulan kembali sisasisa jasad yang terbakar.
Dr.
Robert Brouil-lette, Kepala Divisi Newborn Medicine and Respiratory Medicine di Rumah Sakit Anak di Montreal, karena menyediakan data pertumbuhan bayi.
Curt Copeland, Koroner Beaufort County; Carl McC-leod, Sheriff Beaufort County; dan Detektif Neal Player dari departemen sheriff di Beaufort County yang telah sangat membantu saya.
Detektif Mike Mannix dari Illinois State Police juga telah menjawab berbagai pertanyaan saya mengenai seluk-beluk penyelidikan suatu pembunuhan.
Dr.
James Taylor, Profesor Religious Studies di University of North Carolina di Charlotte, yang menyediakan informasi mengenai berbagai pergerakan sekte dan agama.
Leon Simon dan Paul Peichs yang menyediakan informasi mengenai Charlotte dan sejarahnya.
Saya juga sangat berutang budi kepada Paul Reichs atas komentarnya tentang naskah ini.
Dr.
James Woodward, rektor University of North Carolina di Charlotte, yang mendukung saya sepenuhnya saat penulisan buku ini.
Terima kasih yang khusus saya ucapkan kepada tiga orang.
Dr.
David Taub, Walikota Beaufort dan ahli primatologi, yang selalu siap menjawab hujan pertanyaan yang saya kirimkan kepadanya.
Dr.
Lee Goff, Profesor Entomologi di University of Hawaii di Manoa, yang tidak mengabaikan saya saat terusmenerus diganggu pertanyaan tentang serangga.
Dr.
Michael Bisson, Profesor ahli antropologi di McGill University, yang menjadi sumber informasi mengenai McGill University, di Montreal, dan pada dasarnya semua informasi yang perlu saya ketahui.
Ada dua buku yang khususnya sangat berguna dalam penulisan cerita ini.
Plague.
A Story of Smallpox in Montreal (1991) oleh Michael Bliss, Harper Collins, Toronto; dan Cults in Our Midst.
The Hidden Menance in Our Everyday Lives (1995) oleh Margaret Thaler Singer dan Janja Lalich, Jossey-Bass Publisher, San Fransisco.
Saya sangat bersyukur atas kasih sayang agen saya, Jennifer Rudolph Walsh, dan editor saya Susanne Kirk dan Maria Rejt.
Tanpa mereka, Tempe tidak akan bisa mengungkapkan berbagai cerita seperti yang dilakukannya.
TENTANG PENERJEMAH Sofi a Mansoor lahir di Bandung, 12 Oktober 1950 apoteker lulusan Farmasi ITB (1974).
Sejak 1980 menekuni dunia penerjemahan dan penerbitan buku, khususnya ketika menjabat sebagai Kepala Bagian Penyuntingan di Penerbit ITB (1982-2001).
Dalam kurun waktu itu pula, ia terlibat dalam penataran penerjemahan, penulisan, dan penyuntingan buku ajar untuk para dosen perguruan tinggi negeri maupun swasta di seluruh Indonesia.
Karyanya, Pengantar Penerbitan (Penerbit ITB, 1993), masih sering digunakan sebagai acuan dalam pelatihan di bidang penerbitan.
Puluhan judul buku ajar, fi ksi, dan nonfi ksi telah digarapnya, baik sebagai penerjemah maupun penyunting.
Karya suntingannya yang terakhir antara lain Komplikasi (Serambi 2006) serta The She dan Void Moon (Serambi 2007).
Raja Naga Tapak Dewa Naga Putri Bong Mini Sepasang Pendekar Dari Selatan Roro Centil Ular Betina Selat Madura