Kekayaan Yang Menyesatkan 11
Ken Follet Kekayaan Yang Menyesatkan Bagian 11
Sekarang mereka tidak akan pernah menemukan namanya.
Dan ia juga bersyukur karena peraturan imigrasi di Inggris yang begitu bebas.
tidak perlu paspor untuk masuk atau keluar dari negara itu.
Dengan geram ia menunggu si penjual menulis tiketnya.
Setelah selesai membayar, ia gergegas meninggalkan loket.
Ia tahu wajahnya akan segera terpampang di seluruh pelabuhan dan stasiun kereta.
Karena itu, ia sangat membutuhkan penyamaran.
Sambil mendesak kerumunan orang, ia terus berpikir keras.
Di luar, salju makin menebal.
Ia menyewa kereta kuda dan memerintahkan kusir pergi ke .arah Kedutaan Kordoba.
Semenit kemudian ia membatalkan arah tujuannya.
Terlalu besar risikonya pergi ke sana; siapa tahu sudah ada polisi yang menungu.
Polisi akan mencari seseorang yang berpakaian rapi dan mahal, bepergian sendiri.
Untuk mengelabui mereka, ia perlu menyamar sebagai orang tua di kursi roda dan seseorang lain membantu mendorongnya.
Tapi siapa? yang pasti bukan salah satu staf kedutaan.
Ia bukan duta besar lagi sekarang.
Edward jawaban satu-satunya.
"Pergi ke Hill Street,"
Perintahnya pada kusir kereta.
Edward masih di rumah kecil sewaannya di Mayfair.
Ia belum pindah, karena sewa rumah telah dibayarnya selama tiga bulan di muka.
Ia makin tergantung saja pada Micky.
Ia tak peduli ulah Micky yang telah menghancurkan bank keluarganya yang telah terbina selama tiga generasi.
Semenjak kejatuhan banknya, hanya dia yang masih sering bertemu Micky.
Edward membukakan pintu dalam mantel kamar sutra yang kotor.
Ia mengajak Micky ke kamarnya, ke dekat perapian.
Di meja terlihat gelas dan botol wiski.
Jam sebelas pagi ia sudah menenggak minuman keras! Dan wajahnya makin parah, memerah, dan penuh bercak-bercak.
Micky jadi ragu memilihnya sebagai pendamping di kapal.
Tapi tak ada waktu lagi untuk mencari orang lain, putus Micky cepat.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Aku akan pergi meninggalkan Inggris,"
Kata Micky. Edward menjawab dengan memohon.
"Oh, bawa aku denganmu,"
Lalu ia menangis seperti anak kecil.
"Kenapa kau?"
Tanya Micky heran campur sebal.
"Aku akan mati. Mari kita pergi ke suatu tempat yang sepi dan menunggu kematianku."
"Kau tidak akan mati, tolol! Kau hanya kena sakit kulit."
"Tidak, ini bukan sakit kulit. Ini sipilis!"
Micky sangat terkejut.
"Oh, Tuhan... aku mungkin kena juga."
"Bisa saja, kita terlalu sering pergi ke tempat Nellie."
"Tapi April sudah menjamin bahwa gadis-gadisnya bersih semua."
"Tak ada pelacur yang bersih!"
Micky jadi berpikir keras.
Ia harus segera menemui dokter untuk memeriksakan diri selengkapnya.
Di London tak mungkin, karena ia bisa tertangkap polisi.
Nanti saja setelah tiba di Lisabon, tempat transit kapalnya.
Ia mungkin tidak kena sipilis, karena selama ini ia selalu menjaga kebersihan dirinya.
Tidak seperti Edward yang jarang mandi.
Tapi sekarang siapa yang bisa menolongnya? Edward jelas tak bisa, malah akan menjadi beban baginya.
Hanya satu pilihan tersisa.
Augusta Sebenarnya Edward lebih penurut daripada Augusta yang sangat independen dalam bertindak.
Tapi kalau bukan Augusta, siapa lagi? Ia bangkit dari kursi.
"Jangan tinggalkan aku,"
Pinta Edward mengemis. Tak ada waktu untuk rasa kasihan.
"Aku tidak bisa membawa orang yang hampir mati seperti kau,"
Bentaknya. Edward tersinggung.
"Kalau kau tidak mau, aku akan..."
"Apa?"
"Akan kukatakan kepada polisi bahwa kau sudah membunuh Peter Middleton, Paman Seth, dan Solly Greenbourne." ^ Augusta pasti sudah memberitahu Edward tentang Seth. Micky terdiam sesaat, mencoba menganalisis posisinya dan ancaman Edward. Jika dia sudah tahu, kenapa menunggu begitu lama untuk memberitahu aku? Persetan dengan dia! Sosok Edward tampak memuakkan di matanya. Heran, kenapa aku bisa tahan terus-menerus bersamanya selama ini, pikirnya. Sekonyong-konyong ia menyadari, betapa senang rasanya bisa terbebas dari makhluk satu ini.
"Hmmm,"
Jawabnya sinis.
"Silakan saja kauadukan itu. Aku baru saja membunuh seorang lagi. Tonio Silva... jadi tak ada bedanya. Toh mereka juga sudah mencari-cariku saat ini."
Ia segera keluar rumah tanpa menoleh lagi. Di luar rumah, ia mencari kereta sewaan.
"Ke Kensington Gore,"
Perintahnya ke kusir.
"Rumah Whitehaven."
Edward sialan! Dengan khawatir ia mencoba mengingat-ingat selama ini.
adakah tanda-tanda aneh di alat vitalnya? Ada gatal-gatal di kulit tubuhnya? Rasanya tidak ada.
Tapi ia harus tetap memeriksakan diri ke dokter.
Ia juga khawatir dengan Augusta.
Apakah wanita itu masih mau menerimanya setelah kejadian penipuan obligasi itu? Apakah Augusta masih mau menolongnya? Ia tahu perempuan itu selalu bernafsu terhadap dirinya, dan kali ini ia akan memenuhinya demi keselamatan nyawanya.
Sekarang ia tidak bergairah lagi terhadap Augusta, tapi rasanya Augusta justru semakin bergairah pada dirinya.
Mudah-mudahan begitu, sebab ia akan mengajak Augusta lari bersamanya.
Pintu rumah Augusta dibukakan oleh seorang pelayan wanita yang kotor.
Melewati koridor dalam, Micky melihat betapa tak terawatnya istana ini.
Jelas Augusta sedang dalam kesulitan besar.
Bagus.
Jika begitu keadaannya, ia akan makin mudah dimanipulasi.
Ketika menemui Micky, Augusta masih tampak rapi, mengenakan gaun sutra ungu berlengan susun.
Roknya lebar dan berpinggang sempit.
Masih menarik, pikir Micky, meski usianya sudah lima puluh delapan tahun.
Tapi sayang, ia tidak lagi tertarik pada wanita ini.
Namun demi nyawanya, ia harus berpura-pura.
Augusta tidak menyalam atau menyapa, tapi langsung bertanya.
"Kenapa kau masih ke sini? Kau sudah mencelakakan kami semua."
"Aku sama sekali tidak bermaksud begitu."
"Kau sebelumnya pasti sudah tahu rencana pemberontakan ayahmu."
"Ya, tapi tidak kusangka obligasi itu akan tak ada nilainya hanya karena perang. Kau juga, kan?"
Augusta jadi ragu. Sebenarnya ia sendiri juga tak menyangka begitu. Celah kecil telah terbuka dengan perlahan tapi pasti. Dengan cepat Micky berkata lagi.
"Aku tentu tidak akan tega melakukan itu padamu jika sebelumnya akan tahu akan jadi begini."
Tapi Augusta menyanggah.
"Kau sudah membujuk Edward untuk menipu para mitra lainnya soal pertanggungan itu, sampai dua juta pound."
"Kukira bank tidak akan jatuh hanya karena sejumlah itu. Benar. Kukira kalian sangat kaya."
"Ya, aku juga menyangka begitu,"
Jawab Augusta pelan. Kepalanya dipalingkan ke arah jendela. Micky tahu ia mulai menang.
"Sudahlah, ini sudah tidak relevan lagi. Aku akan pamitan. Malam ini aku meninggalkan Inggris dan mungkin tidak akan kembali lagi ke sini."
"Mengapa?"
Tanya Augusta cemas. Pancaran matanya mengandung ketakutan. Tak ada waktu lagi untuk mengarang cerita bohong.
"Aku baru saja menembak mati seseorang,"
Kata Micky.
"Siapa?"
Tanya Augusta ngeri.
"Antonio Silva."
Augusta kaget sedikit, lalu bertanya penuh gairah.
"Tonio? Kenapa dia?"
"Dia merupakan ancaman bagiku. Aku sudah membeli tiket kapal malam ini, berangkat melalui Southampton "
"Begitu cepat?"
"Tak ada pilihan lain."
"Jadi, kau datang berpamitan padaku?"
"Tidak."
Ia menatap Micky. Benarkah matanya menyorotkan harapan? Micky ragu-ragu, lalu nekat.
"Aku ingin kau ikut denganku,"
Katanya. Augusta terbelalak, kaget campur senang. Ia mundur selangkah. Micky memegang dan meremas kedua tangan Augusta.
"Sudah sejak dulu aku ingin mengatakan ini. Semula aku masih ragu, tapi karena akan meninggalkan negeri ini selamanya, aku perlu mengungkapkan isi hatiku sejujurnya padamu. Aku cinta padamu, Augusta."
Sambil berbicara, ia memperhatikan wajah wanita di depannya, seperti seorang pelaut yang sedang menganalisis permukaan air.
Untuk sesaat Augusta berupaya menunjukkan wajah terkejut, tapi hanya sebentar.
Di wajahnya tersungging senyum nakal, lalu disusul pipi yang memerah malu bagai anak gadis yang baru pertama kali dicium; akhirnya wajahnya tampak penuh pertimbangan, mereka-reka untung rugi menerima pernyataan pria di depannya.
Micky tahu Augusta masih belum mengambil keputusan.
Ia melakukan perannya sekali lagi.
Tangannya meraih pinggang Augusta, menariknya mendekat.
Tak ada perlawanan, tapi ia tahu wanita ini belum memutuskan.
Ketika wajah mereka bertemu dan dada Augusta sudah menyentuh kerah bajunya, ia berbisik.
"Aku tidak akan bisa hidup tenang tanpa kau di sampingku, Augusta sayang."
Ia merasa wanita itu gemetar oleh sentuhannya. Dengan suara serak si wanita berkata.
"Aku sudah tua, lebih pantas menjadi ibumu."
Ia berbisik ke telinga Augusta, menciumi wajahnya sambil berbisik mesra.
"Tidak, bagiku kau tak pernah tua. Aku sudah lama mendambakanmu. Aku selalu merindukan saat-saat begini. Sekarang..."
Ia memindahkan tangannya dari pinggang ke dada Augusta, lalu berbisik lagi.
"Sekarang bahkan tanganku sendiri tak bisa ku-kendalikan lagi. Augusta..."
Ia diam.
"Apa?"
Tanyanya. Ia hampir berhasil, tapi belum seluruhnya. Ia harus memainkan kartu terakhirnya.
"Sekarang aku bukan lagi duta besar, jadi aku bisa menceraikan Rachel."
"Apa maksudmu?"
Ia berbisik ke telinga Augusta.
"Maukah kau menikah denganku?"
"Ya, mau."
Ia mencium penuh kedua bibir Augusta. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY APRIL TILSLEY datang bergegas ke kantor Maisie di rumah sakit khusus wanita. Pakaiannya mencolok, ditambah mantel bulu rubah. Ia melambaikan surat kabar yang dibawanya.
"Kau sudah dengar atau baca ini?"
Tanyanya. Maisie berdiri.
"April! Ada apa?"
"Micky Miranda menembak mati Tonio Silva!"
Maisie kenal siapa Micky, tapi nama Tonio membuat -nya berpikir keras.
Akhirnya ia ingat, Tonio salah satu teman Hugh dan Solly.
Ia gila judi dan dulu April pernah berpacaran sebentar dengannya, tapi segera pindah ke pria lain karena Tonio selalu kehabisan uang.
"Micky menembak dia?"
Tanyanya heran.
"Dia mati?"
"Ya. Beritanya di koran siang. Ini."
"Ya, tapi mengapa?"
"Tidak disebutkan kenapa, hanya di sini sikatakan..."
April ragu sejenak.
"Duduk dulu, Maisie."
"Kenapa? Katakan segera."
"Di sini diberitakan bahwa polisi juga ingin menginterogasi dia Soal kematian Peter Middleton, Seth Pilaster, dan... Solomon Greenbourne."
Maisie tersentak duduk.
"Solly!"
Tukasnya gemas, dan tiba-tiba matanya berkunang-kunang. Wajahnya pucat.
"Micky membunuh Solly? Oh, Solly yang malang!"
Ia menutup wajahnya.
"Maisie, kau perlu minum brendi sedikit,"
Saran April.
"Di mana kau menyimpannya?"
"Kami tidak punya minuman keras di sini. Coba kubaca korannya."
April menyerahkan koran itu.
Maisie membaca alinea pertama.
Diberitakan bahwa polisi sedang memburu bekas duta besar Kordoba, Miguel Miranda, untuk menginterogasinya dalam kasus pembunuhan Antonio Silva.
April berkomentar, 'Tonio yang malang.
Dia salah satu pria paling baik yang pernah bercinta denganku waktu aku masih muda dulu."
Maisie melanjutkan membaca.
Polisi juga akan menginterogasinya mengenai kematian Peter Middleton di Windfield tahun 1866; Seth Pilaster, mitra senior Pilasters Bank tahun 1873; dan Solomon Greenbourne, yang didorong seseorang ke depan kereta kuda yang sedang berlari kencang di kawasan Piccadilly pada bulan Juli "Seth Pilaster? Paman Seth, paman Hugh?"
Tanya Maisie geram.
"Kenapa dia membunuh orang-orang ini?"
April berkata lagi.
"Koran tak pernah mengatakan apa yang sebenarnya ingin diketahui pembaca."
Alinea ketiga membuat Masie tertegun lagi. Tonio ditembak di timur laut London, dekat Walthamstow, desa Chingford. Jantungnya serasa berhenti.
"Chingford!"
"Aku tak pernah dengar tempat itu."
"Itu tempat tinggal Hugh."
"Hugh Pilaster? Kau masih berhubungan dengan dia?"
"Aku khawatir dia punya kaitan dengan kasus ini. Ini tak mungkin hanya kebetulan. Oh, Tuhan, apakah dia ikut terluka?"
"Kurasa koran akan menyebutkan kalau dia terluka."
"Tapi ini baru terjadi beberapa jam yang lalu. Koran pasti belum tahu atau belum sempat mencetak."
Ia segera berdiri dan berkata pada April.
"Aku harus memastikan dia tidak apa-apa."
"Bagaimana caranya?"
Maisie mengambil topi dan memasang peniti di bagian luarnya.
"Aku akan pergi ke rumahnya."
"Istrinya pasti tak senang melihatmu."
"Istrinya seorang paskudniak."
April tergelak.
"Apa itu?"
"Kantong kotoran."
Maisie memakai mantelnya. April ikut berdiri.
"Keretaku ada di depan. Akan kuantar kau ke stasiun."
Ketika sudah masuk ke kereta, mereka baru sadar tidak tahu di stasiun mana ada kereta menuju desa Chingford.
Untungnya kusir April yang juga merangkap sebagai penjaga pintu utama tahu letaknya.
Ia lalu mengarahkan keretanya ke stasiun Liverpool.
Sampai di stasiun, Maisie mengucapkan terima kasih kepada sobat lamanya dan langsung masuk ke dalam.
Stasiun itu penuh dengan orang-orang yang berbelanja untuk hari Natal dan hendak pulang ke rumah mereka di pinggiran London.
Udara stasiun terasa pengap oleh asap dan kotoran.
Kerumunan manusia yang ribut saling memberi salam Natal dan berceloteh.
Derit gerbong dan rem kereta api menambah bobot polusi suara.
Dengan susah payah Maisie menerobos sana-sini, menyeruak di antara kerumunan anak-anak, pria dan wanita, kuda dan anjing, dan akhirnya bisa juga membeli tiket kereta.
Ia harus menunggu lima belas menit sebelum kereta berangkat.
Di peron ia sempat iri menyaksikan sepasang kekasih saling cium mesra.
Kereta berangkat melewati daerah kumuh Bethal Green, kawasan pinggiran kota Walthamstow, dan pa-dang berselimut salju di Woodford, berhenti setiap beberapa menit.
Bagi Maisie, kendati kecepatannya sudah dua kali kecepatan kereta kuda, kereta api itu masih terasa sangat lambat.
Di benaknya yang ada hanyalah keselamatan Hugh.
Ketika tiba di stasiun Chingford, ia bergegas turun dan langsung disambut oleh seorang polisi.
Ia diminta masuk dulu ke ruang tunggu stasiun.
Seorang detektif sudah menunggu.
Rupanya pihak berwajib sedang berusaha mencari saksi mata atas kejadian pagi ini.
Ia mengatakan pada mereka bahwa ia belum pernah datang ke Chingford.
Lalu ia bertanya.
"Apakah ada orang lain terluka, selain korban Antonio Silva?"
"Dua orang terluka kecil,"
Jawab si detektif.
"Saya mengkhawatirkan teman yang kenal Mr. Silva. Namanya Hugh Pilaster."
"Mr. Pilaster adalah saksi mata yang bergulat dengan si pembunuh. Dia mendapat sedikit luka di kepala. Tidak serius, hanya lecet saja."
"Oh, terima kasih, Tuhan,"
Seru Maisie pelan.
"Dapatkan Anda memberitahukan jalan ke rumahnya?"
Si detektif memberitahunya.
"Mr. Pilaster tadi pagi melaporkan kejadian ini ke Scotland Yard, dan saya SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY tidak tahu apakah sekarang dia sudah pulang atau belum."
Maisie mempertimbangkan, akan kembali ke London atau terus mencari rumah Hugh, karena sekarang ia sudah yakin kekasihnya tidak luka berat.
Tanpa ke rumah Hugh, ia tak perlu bertemu Nora.
Tapi ia ingin melihat sendiri kondisi kekasihnya, dan ia tidak takut pada Nora.
Bergegas ia menuju ke arah rumah Hugh.
Kawasan Chingford sangat berbeda dengan Kensington, pikir Maisie.
Rumah-rumah di situ kecil dan murah, kebun-kebunnya tak terawat.
Hugh pasti bisa menerima dan menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya ini.
Entah kalau Nora.
Wanita itu kawin dengan Hugh karena uangnya, bukan karena cinta.
Sayup-sayup, begitu mendekati rumah, Maisie mendengar tangis anak kecil.
Ketika ia mengetuk, pintu dibukakan oleh anak laki-laki sekitar sebelas tahun.
"Kau pasti Toby, benar kan?"
Tanya Maisie ramah.
"Aku datang ingin menengok ayahmu. Namaku Mrs. Greenbourne." ť -"Ayah sedang tidak ada di rumah,"
Jawab anak itu sopan.
"Kira-kira kapan dia pulang?"
"Tidak tahu pasti."
Maisie lemas. Ia jauh-jauh ke sini ingin bertemu Hugh. Dengan kecewa ia berkata.
"Mungkin kau bisa mengatakan pada ayahmu nanti bahwa aku datang ingin tahu apakah dia baik-baik saja. Katakan aku telah membaca beritanya dari koran siang ini."
"Baik, akan kukatakan pada Ayah."
Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Ia bisa segera kembali ke stasiun dan tidak perlu bertemu Nora. Tapi sesuatu membuat langkahnya berhenti. wajah anak ini tampak ketakutan. Secara naluriah ia berbalik lagi.
"Apakah ibumu ada di rumah?"
"Tidak, tidak ada."
Aneh. Hugh tidak mampu mengupah seorang penjaga anak, tapi anak-anak ini ditinggal sendiri oleh ibunya? Pasti ada yang tidak beres. Ia bertanya,"
Bisakah aku bicara dengan siapa saja yang sedang menjaga kalian saat ini?"
Dengan ragu si anak menjawab.
"Tidak ada yang menjaga aku dan adik-adikku."
Naluri Maisie tepat.
Apa yang terjadi? Bagaimana sampai tiga anak ditinggal sendirian di rumah? Ia me-i mang tidak mau ikut campur, khawatir Nora akan tersinggung.
Tapi ia tak bisa begitu saja pergi meninggal-kan ketiga anak itu sendirian di rumah tanpa ada yang menjaga.
"Aku sobat lama ayah kalian... juga ibu kalian,"
Katanya lembut.
"Ya, aku kenal Anda. Aku lihat Anda di pesta kawin Bibi Dotty "
Jawab Toby.
"Ah, ya. Hmm... boleh aku masuk?"
Ada pancaran lega di wajah Toby.
"Ya, silakan masuk."
Maisie masuk ke dalam rumah.
Ia terus menuju ke suara tangis anak kecil itu; arahnya ke dapur di bagian belakang rumah.
Di lantai terlihat seorang anak berusia empat tahun sedang meraung-raung, dan di kursi dapur ada seorang anak berusia sekitar enam tahun yang tampaknya juga akan menangis.
Ia mengangkat si kecil dari lantai.
Ia tahu nama anak ini Solomon, persis nama Solly Greenbourne, mendiang suaminya.
Panggilannya Sol.
"Sst, diamlah,"
Bujuknya lembut.
"Kenapa menangis?"
"Aku mau Mama... mamaku."
Isaknya makin keras.
"Ya, ya, tapi diam dulu,"
Hibur Maisie sambil membuai Sol.
Ia memperhatikan sekeliling ruangan.
Betul-betul seperti kapal pecah.
Tidak ada perapian.
Meja kotor, penuh tumpahan makanan dan susu.
Piring dan gelas berantakan.
Suhu ruangan terasa makin dingin.
Tampaknya anak-anak kecil ini ditinggal begitu saja oleh ibunya.
"Apa yang terjadi sebenarnya?"
Tanyanya pada Toby.
"Aku berusaha memberi makan siang untuk adik-adik,"
Kata Toby.
"Aku membuatkan roti dengan ham. Aku juga mencoba menyeduh teh, tapi jariku kena ketel panas, jadi tumpah semua."
Ia berusaha keras untuk tidak menangis, tapi matanya sudah mulai memerah.
"Apakah Anda tahu di mana ayahku sekarang?"
"Tidak, sayang sekali aku tidak tahu,"
Jawab Maisie. Si sulung ini ingin ayahnya, tapi si bungsu ingin ibunya. Apa yang telah dilakukan Nora? "Di mana ibu kalian?"
Toby tidak menjawab, hanya mengambil amplop kecil terbuka dari rak perapian dan memberikannya pada Maisie. Di sampul tertulis jelas. HUGH.
"Amplopnya tidak disegel, jadi bisa kubaca,"
Jelas Toby.
Maisie membuka amplopnya dan membaca isinya.
Hanya ada satu pesan besar dan tampaknya ditulis dengan amarah.
SELAMAT TINGGAL Maisie terkesima.
Bagaimana muhgkin seorang ibu yang telah mengandung, melahirkan dengan taruhan nyawanya, lalu menyusui ketiga anaknya bisa meninggalkan mereka sendirian seperti ini? Maisie teringat para wanita di rumah sakitnya di Southwark.
Jika saja mereka ditawari rumah dengan tiga kamar seperti ini, walau kecil dan terpencil di kawasan pedesaan, mereka akan sangat senang.
Ini sudah seperti surga bagi mereka.
"Ayahmu pasti kembali hari ini, mungkin malam,"
Hiburnya sambil berharap dugaannya benar. Ia lalu bertanya kepada si bungsu.
"Tapi kalian pasti tidak mau dia pulang dan melihat rumah yang berantakan begini, bukan?"
Sol, dengan wajah lucu, menggelengkan kepala.
"Kalau begitu, kita semua akan bekerja sama mencuci piring dan gelas kotor, membersihkan dapur, menyalakan perapian, dan menyiapkan makan malam. Bagaimana menurutmu, Samuel?"
Samuel mengangguk senang.
"Aku senang makan roti panggang mentega,"
Sahutnya.
"Itu yang akan kita siapkan bersama."
Toby masih gelisah.
"Menurut Anda, jam berapa Ayah pulang?"
"Aku tidak tahu pasti,"
Jawab Maisie terus terang. Tidak perlu berbohong pada anak kecil; mereka punya intuisi tajam untuk tahu kapan seseorang berbohong.
"Tapi begini saja. Kalian boleh menunggunya pulang. Bagaimana?"
Si sulung tampak lega.
"Ya,"
Katanya.
"Nah, sekarang kita mulai bekerja. Toby, kau yang paling kuat, tolong ambilkan sekeranjang arang untu perapian. Samuel, aku yakin kau mampu mengerjakan tugas dengan benar, jadi tolong bersihkan meja ini dengan lap. Dan kau, Sol, kau bisa mulai menyapu lantai, sebab kau paling kecil, sehingga paling dekat dengan lantai. Ayo, anak-anak, mulai bekerja." [IV] HUGH sangat terkesan dengan cara kerja Scotland Yard dalam menangani laporannya. Kasus pembunuhan Tonio Silva ditangani oleh detektif berpangkat inspektur, Magridge, yang berwajah tajam, sebaya dengan Hugh. Ia cerdas dan teliti, tipe khas seorang hamba hukum yang pantas menjadi kepala staf administrasi bank. Hanya dalam sejam ia telah menyebarkan gambaran diri Micky Miranda di seluruh penjuru strategis. pelabuhan, stasiun kereta api. Atas saran Hugh, ia juga telah mengirim seorang sersan detektif untuk menanyai Edward Pilaster. Tak lama kemudian sersan itu datang dan melapor bahwa menurut Edward, Micky berusaha melarikan diri ke luar negeri. Edward juga bersaksi bahwa Micky bertanggung jawab atas kematian Peter Middleton, Seth Pilaster, dan Solomon Greenbourne. Hugh ikut terpana sewaktu mendengar nama Paman Seth. Mengenai Peter dan Solly, ia memang sudah menduga bahwa Mickylah yang membunuh mereka. Si sersan detektif segera dikirim ke rumah Augusta di Whitehaven House. Tanpa uang, dia tak akan mampu tinggal di sana terus, pikir Hugh; kendati selama ini ia selalu melarang calon pembeli melihat-lihat rumah dan isinya. Seorang petugas polisi juga dikirim ke agen perkapalan London, dan kembali dengan melaporkan bahwa seorang pria yang mengaku bernama M.R. Andrews cocok dengan gambaran Micky. Menurut petugas loket, pria ini membeli tiket kapal AZTEC yang akan berangkat dari Southampton malam ini. Polisi di Southampton segera ditelepon agar siap siaga, baik di dermaga ke-berangkatan maupun di stasiun kereta api. Detektif yang dikirim ke rumah Augusta kembali dengan laporan bahwa tak ada satu orang pun membukakan pintu rumah. Hugh berkata.
"Aku punya kunci rumah itu."
"Dia mungkin sedang keluar,"
Kata Magridge. Aku akan menugaskan sersanku memeriksa Kedutaan Kordoba. Bagaimana kalau Anda membantu dengan mengecek rumah Whitehaven?"
Senang karena bisa membantu, Hugh menerima tugas itu.
Ia bergegas menyewa kereta kuda menuju rumah Whitehaven di kawasan Kensington Gore.
Ia memencet bel pintu dan mengetuk; tak ada jawaban.
Jelas tak ada SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY pelayan lagi di rumah ini, pikir Hugh.
Ia lalu mengeluarkan kunci rumah dan membuka pintu utamanya.
Suasana di dalam rumah dingin sekali.
Jelas tak ada penghuninya.
Augusta tak mungkin bersembunyi; itu bukan tipenya.
Tapi Hugh memutuskan untuk memeriksa seisi rumah.
Siapa tahu.
Lantai dasar kosong.
Ia naik ke lantai satu dan memeriksa kamar tidur Augusta.
Pemandangan dalam kamar membuatnya terpana.
Pintu lemari pakaian terbuka lebar, laci lemari juga terbuka, dan beberapa pakaian tersebar terhampar di mana-mana.
Jelas ini bukan tipe Augusta yang terkenal sangat rapi dan selalu teratur.
Mulanya ia mengira ada perampokan, lalu pemikiran kedua membuatnya bergegas keluar kamar.
Ia lari ke lantai tempat kamar-kamar para pelayan.
Ketika ia tinggal di lantai ini, tujuh belas tahun yang lalu, ia ingat bahwa salah satu kamar itu dipakai sebagai tempat penyimpanan koper dan tas pakaian.
Ia masuk ke dalam kamar koper; kedua pintunya terbuka lebar.
Ia mencari koper-koper besar yang biasa dipakai untuk bepergian ke luar negeri.
Benar, tak ada sama sekali.
Rupanya Augusta telah melarikan diri.
Bergegas ia memeriksa kamar-kamar lain.
Seperti telah diduga, semua kosong.
Aroma kamar pelayan dan kamar tamu sudah berbau apak, tanda lama tak dipakai.
Ketika masuk ke kamar almarhum Paman Joseph, ia kaget karena dekorasinya tidak berubah sama sekali, padahal ruangan dan kamar lainnya telah didekor ulang beberapa kali.
Ia berbalik hendak keluar, tapi sesuatu membuatnya berhenti.
lemari pajang tempat menyimpan koleksi kotak tembakau milik Joseph.
Lemari itu kosong, tak ada isinya! Hugh mengernyit.
Ia tahu pasti semua kotak berharga itu belum diambil oleh juru lelang, karena sikap bermusuhan yang diperlihatkan Augusta.
Ini berarti Augusta telah membawanya lari.
Nilai seluruh kotak itu bisa mencapai seratus ribu pound, cukup untuk biaya seumur hidup Augusta.
Tapi semuanya telah terdaftar dalam aset keluarga yang harus dilelang.
Semuanya milik sindikat.
Ia memutuskan untuk mengejar Augusta.
Ia bergegas keluar rumah dan melihat sekumpulan kereta kuda sedang diparkir.
Para saisnya sedang istirahat sambil mengobrol.
Mereka menggerak-gerakkan kaki untuk mengusir hawa dingin.
Hugh lari menghampiri mereka dan langsung bertanya.
"Apakah ada dari kalian yang membawa Lady Whitehaven siang ini?"
"Kami berdua yang membawanya,"
Sahut salah satu sais kereta.
"Saya membawa koper-koper, dia membawa Lady Whitehaven."
"Ke mana kalian bawa dia?"
Desak Hugh.
"Ke stasiun Waterloo, mengejar kereta api jam satu siang."
Kereta api menuju Southampton pelabuhan yang dituju Micky malam ini. Mereka berdua memang pasangan penipu, pikir Hugh gemas. Kendati beda delapan belas tahun, mereka benar-benar serasi.
"Tapi mereka terlambat, keretanya sudah berangkat,"
Sambung salah satu sais.
"Mereka?"
Tanya Hugh kaget.
"Apakah ada orang lain yang ikut bersamanya?"
"Ya, seorang pria tua yang didorong dengan kursi roda."
Bukan Micky, pikir Hugh kecewa. Siapa lagi? Seingatnya, tak ada anggota keluarga Pilaster yang sakit dan dibawa dengan kursi roda. Tanyanya.
"Apakah kalian tahu jam berapa lagi kereta berangkat?"
"Jam tiga sore."
Hugh melihat jam sakunya. Jam setengah tiga. Masih bisa mengejar mereka.
"Bawa aku ke Waterloo!"
Pintanya sambil melompat ke salah satu kereta kuda sewaan.
Ia masih sempat membeli tiket dan segera naik ke kereta.
Di dalam kereta yang melaju ke arah selatan London, Hugh berjalan mencari Augusta.
Ia tidak perlu jauh-jauh mencari.
Augusta ada di gerbong berikutnya.
Hugh melihatnya, lalu cepat-cepat menyingkir sebelum Augusta melihatnya.
Micky tidak tampak bersamanya.
Mungkin ia sudah pergi dengan kereta jam satu tadi.
Satu-satunya pria yang sekilas dilihatnya dalam kamar Augusta adalah pria tua yang duduk di kursi roda, kedua lututnya tertutup selimut tebal.
Hugh pergi ke gerbong lain dan duduk sambil berpikir keras.
Tak ada gunanya berkonfrontasi dengan Augusta saat ini.
Kemungkinan besar kotak-kotak tembakau itu ada di kopernya di gerbong barang.
Seandainya ia tetap membantah membawa kotak-kotak itu? Hugh akan mendesak polisi memeriksa semua bawaan Augusta, kalau perlu menahan semuanya.
Ia berusaha mengendalikan emosinya.
Kereta baru saja melewati padang-padang di Wimbledon yang tertutup salju.
Seratus ribu pound bukan jumlah sedikit.
Yang lebih penting dari semuanya, kotak-kotak tembakau itu adalah simbol kesungguhan hati keluarga Pilaster untuk membayar para kreditur mereka.
Jika sampai salah satu anggota keluarga mencurinya, nama baik seluruh keluarga Pilaster akan hancur.
Orang-orang akan menganggap mereka tak lebih dari perampok dan penipu besar.
Pikiran itu membuat Hugh makin geram.
Ketika kereta tiba di Southampton, salju belum reda.
Hugh bersiap di pintu kereta.
Di stasiun banyak polisi berseragam berjaga-jaga.
Ini berarti Micky belum tertangkap, pikir Hugh.
Ia melompat keluar saat laju kereta mulai melambat.
Ia bergegas ke pintu keluar stasiun dan mencari inspektur polisi yang bertugas.
"Saya Mitra Senior Pilasters Bank,"
Katanya sambil menyerahkan kartu namanya.
"Saya tahu Anda sedang mencari seorang buronan pembunuh, tapi di kereta itu ada seorang wanita yang membawa perhiasan curian senilai seratus ribu pound yang sebenarnya milik bank. Dia akan ke luar negeri dengan naik kapal AZTEC malam ini."
"Apa saja barangnya, Mr. Pilaster?"
Tanya si inspektur.
"Koleksi kotak tembakau berlapis permata."
"Dan nama si wanita?"
"Countess of Whitehaven."
Alis mata si inspektur naik. Katanya.
"Saya selalu mengikuti berita jatuhnya Pilasters Bank, Sir, dan saya duga ini ada hubungannya dengan kebangkrutan itu."
Hugh mengangguk.
"Kotak-kotak itu rencananya akan kami jual untuk membayar semua uang nasabah bank."
"Bisakah Anda menunjukkan Lady Whitehaven pada saya?"
Hugh melongok beranda stasiun dan menunjuk ke arah Augusta.
"Itu, wanita bertopi lebar dengan hiasan bulu burung di tepinya."
Augusta sedang mengatur para petugas yang membawakan koper-kopernya. Si inspektur mengangguk.
"Baiklah. Anda sebaiknya menunggu dengan saya di pintu keluar, dan nanti menahannya ketika dia akan keluar."
Hugh ikut tegang.
Ia memeriksa wajah penumpang satu per satu, mencari Micky.
Augusta merupakan penumpang terakhir yang meninggalkan stasiun.
Tiga portir membawakan koper-koper besarnya.
Ketika melihat Hugh di pintu keluar, wajahnya segera berubah pucat pasi.
Si inspektur dengan sopan menyapa.
"Maafkan kami, Lady Whitehaven. Bisa bicara sebentar?"
Hugh belum pernah melihat Augusta ketakutan seperti sore ini, tapi Augusta tidak juga kehilangan kepongahan-nya.
"Tidak bisa, officer. Aku harus mengejar kapal yang berangkat malam ini,"
Katanya. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Kujamin kapal Anda tak akan berangkat tanpa diri Anda,"
Sahut si inspektur dengan halus. Kepada ketiga portir ia memberi perintah.
"Kalian letakkan dulu koper-koper itu."
Lalu ia kembali berbalik menatap Augusta.
"Mr. Pilaster melaporkan bahwa Anda membawa kotak-kotak tembakau yang sebenarnya milik bank. Apakah benar begitu?"
Augusta menarik napas lega yang membuat Hugh heran. Ia khawatir, akal apa lagi yang sedang dilakukan wanita itu? "Aku tidak sudi meladeni pertanyaan kurang ajar seperti itu,"
Sergah Augusta dengan dingin.
"Jika begitu, izinkan kami memeriksa koper-koper Anda,"
Tegas si inspektur yang mulai hilang sabar.
"Baiklah, Inspektur. Aku memang membawa kotak-kotak itu, tapi semuanya dibeli mendiang suamiku dan tentunya milikku sekarang."
"Apa komentar Anda, Mr. Hugh?"
Tanya si inspektur ke arah Hugh.
"Memang itu milik mendiang suaminya, tapi semuanya diwariskan kepada anaknya, Edward Pilaster mitra bank karena itu menurut peraturan, semuanya sekarang disita oleh bank. Lady Whitehaven berusaha mencuri semuanya."
"Kalau begitu, saya minta kalian berdua datang ke kantor polisi sekarang juga, untuk menunggu sampai semuanya jelas."
Dengan p^anik Augusta menjawab cepat.
"Tapi aku bisa ketinggalan kapal."
"Kalau begitu, satu-satunya jalan keluar adalah menyerahkan untuk sementara kotak-kotak itu ke tangan polisi. Semuanya akan dikembalikan jika ternyata klaim Anda benar."
Augusta tampak ragu.
Hugh tahu hati Augusta akan hancur jika harus berpisah dengan kotak-kotak itu.
Tapi bukankah tak ada jalan lain? Ia tertangkap basah men -curi harta bank, dan masih beruntung ia hanya diminta menyerahkan harta curiannya ke polisi tanpa ditahan.
"Di mana Anda menyimpan semuanya itu?"
Tanya si inspektur tegas. Hugh menunggu. Augusta menunjuk ke salah satu kopernya.
"Semuanya di situ."
"Kuncinya, tolong."
Sekali lagi Augusta agak ragu, tapi lalu menyerah.
Ia memilih dari serangkaian kunci, lalu memberikan salah satu pada si inspektur.
Si inspektur segera membuka kopernya.
Penuh dengan kotak sepatu.
Augusta menunjuk salah satu kotak.
Inspektur membuka, menarik sebuah kotak kayu kecil dari dalamnya, dan membukanya.
Di dalamnya tampak beberapa benda kecil dibungkus rapi dengan kertas.
Memilih salah satunya, ia membuka bungkusan kertasnya dengan hati-hati.
Terlihat sebuah kotak emas bertatahkan berlian dan permata aneka warna dalam bentuk seekor kadal.
Hugh menghela napas lega.
Si inspektur memandang Hugh dan bertanya.
"Berapa jumlah semuanya, Sir?"
Setiap anggota keluarga Pilaster pasti tahu berapa jumlahnya.
"Enam puluh lima,"
Jawab Hugh mantap.
"Satu untuk setiap tahun kehidupan Paman Joseph."
"Maukah Anda menghitungya saat ini juga, Sir?"
Augusta cepat menyambar.
"Tidak perlu, semuanya ada di situ."
Hugh tak peduli. Ia berjongkok dan menghitung satu per satu semuanya ada, lengkap. Hatinya serasa lepas dari beban yang amat berat. Si inspektur segera mengambil semuanya dan menyerahkannya kepada salah satu anak buahnya.
"Jika Anda bersedia ikut Polisi Neville ke kantor polisi sekarang, Anda akan diberi bukti tanda terima,"
Dia menawarkan pada Augusta. 'Tidak perlu, serahkan saja nanti ke bank,"
Jawab Augusta ketus.
"Aku boleh pergi sekarang?"
Hugh jadi bertanya-tanya.
Wanita itu tampak sama sekali tidak kecewa dengan disitanya seluruh kotak bawaannya.
Mengapa? Apakah ada sesuatu yang lebih penting daripada harta itu? Dan di mana Micky Miranda sekarang? Si inspektur mengangguk sopan, mempersilakan wanita di depannya pergi.
"Terima kasih sekali, Inspektur,"
Ujar Hugh.
"Anda telah menyelamatkan uang orang banyak, dan izinkan saya ikut prihatin karena Anda belum juga bisa menangkap Micky Miranda."
"Kami akan menangkap pembunuh itu, Sir. Dia tidak akan bisa naik kapal AZTEC tanpa lewat kami dulu, kecuali dia bisa terbang."
Seorang petugas kereta datang mendekat dengan membawa sebuah kursi roda terlipat di tangannya. Ia berhenti di depan si inspektur dan bertanya.
"Sekarang aku harus berbuat apa dengan kursi roda ini?"
"Ya, ada masalah apa?"
Tanya si inspektur heran.
"Wanita dengan topi berbulu burung dan koper-koper besar tadi."
"Lady Whitehaven, ya... mengapa?"
"Dia tadi naik kereta dengan seorang pria tua yang sakit dan memakai kursi roda ini. Lalu dia minta aku meletakkan kursi ini di gerbong barang. Setelah tiba di sini, dia menyangkal pernah menyerahkan barang ini padaku, padahal aku yakin benar, hanya ada satu wanita memakai topi bulu burung seperti dia."
Hugh menyokong pendapatnya.
"Ya, dia tidak salah. Tadi saya lihat Lady Whitehaven satu gerbong dengan seorang pria tua berkursi roda."
"Nah. benar kan, apa kataku,"
Ujar si petugas kereta antusias. Si inspektur tiba-tiba tampak gelisah, lalu berpaling ke Hugh.
"Anda melihat pria tua tadi lewat pintu keluar ini?"
"Tidak, sudah saya teliti satu per satu. Augusta yang terakhir keluar."
Tiba-tiba ia bagai disambar petir.
"Oh, Tuhan. Apakah mungkin Micky Miranda menyamar sebagai orang tua?"
"Ya, bisa saja,"
Jawab si inspektur.
"Pertanyaannya sekarang, di mana dia berada? Apakah dia turun di stasiun sebelumnya?"
"Tidak mungkin,. Sir,"
Jawab si petugas kereta mantap.
"Ini jenis kereta ekspres, langsung dari Waterloo fe Southampton."
"Kalau begitu, kita harus segera mencarinya di dalam kereta itu. Dia pasti masih sembunyi di sana."
Tapi percuma.
Micky Miranda tidak ada di dalam kereta.
[V] KAPAL AZTEC dihias aneka lampion dan gulungan kertas beraneka warna.
Pesta Natal sedang diselenggarakan para penumpang dan para pengantar.
Busana aneka ragam dan sampanye berlimpah ruah.
Seorang petugas kapal mengantar Augusta ke dek paling atas, kabin terbaik di kapal.
Augusta telah membayar kamar khusus itu dengan semua sisa uang kontan yang ia miliki.
Ia berani melakukan itu karena harapannya terletak pada kotak-kotak tembakau milik mendiang suaminya.
Kamar Augusta terletak tepat di depan dek.
Di dalam sudah tersedia sebotol sampanye dingin dan sekotak cokelat.
Juga bunga segar dalam vas di meja.
Hampir saja Augusta minta si pelayan kapal membawa pergi botol sampanyenya, tapi segera mengurungkan SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY niatnya.
Ia memutuskan tidak akan membatasi dirinya lagi dalam minum, karena ia sudah menjadi manusia bebas.
Sesaat kemudian ia mendengar suara yang memberi tanda kapal akan berangkat.
"Semua penumpang yang masih di darat, segera naik ke kapal. Kapal akan segera diberangkatkan."
Ketika portir selesai menata semua kopernya di dalam kamar, Augusta menarik napas panjang.
Kekhawatirannya sirna.
Ia dan Micky sekarang aman.
Untuk memastikan tidak ada polisi yang mengikuti mereka, Augusta keluar ke kabin, memeriksa keadaan.
Di kabin, menyandar ke pagar dek, ia menyaksikan para pengantar berdiri menyaksikan lepasnya kapal dari tepi dok pelabuhan Southampton.
Dengan lega ia kembali ke kabinnya dan menutup pintu kamar.
Perlahan-lahan ia membuka pakaiannya, lalu memakai pakaian tidur sutra dan pasangan mantel luarnya.
Setelah itu, ia memanggil pelayan kabin dan memberitahukan untuk tidak diganggu sampai esok hari.
"Apakah Anda perlu dibangunkan besok pagi?"
"Tidak perlu, akan kubunyikan bel kalau aku perlu apa-apa."
"Baiklah."
Augusta mengunci pintu kamar kabinnya. Lalu dengan perlahan-lahan ia membuka koper besarnya dan membantu Micky keluar dari dalamnya. Micky keluar dengan terhuyung-huyung, lalu mengempaskan tubuh di tempat tidur.
"Sialan, aku hampir mati di dalam koper ini,"
Umpatnya.
"Oh, sayangku, di mana yang kaurasakan sakit?"
Tanya Augusta mesra.
"Lututku, kakiku,"
Erang Micky.
Augusta mengelus dan memijatnya.
Merasakan kulit pria di depannya ini membuat gairah Augusta bangkit.
Sudah lama sekali ia tidak menyentuh langsung tubuh seorang pria.
Ia sering memimpikan kejadian ini, melarikan diri dengan Micky Miranda, baik sebelum maupun setelah kematian Joseph.
Dulu ia selalu menghapus mimpinya karena tak mau membuang semua kewewahan yang dimilikinya.
Sekarang tidak ada lagi yang ia khawatirkan, karena dirinya sudah menjadi orang bebas.
Bebas melakukan apa saja yang ia kehendaki.
"Air,"
Pinta Micky lemah. Ia menuangkan air ke gelas di samping meja. Dengan lahap Micky meneguknya sekaligus.
"Lagi... Micky?"
Micky menggelengkan kepala. Ia mengambil gelas dari tangan Micky.
"Kau kehilangan kotak-kotak itu?"
Tanya Micky.
"Aku dengar semuanya dari dalam koper. Si Hugh sialan itu."
"Ya, tapi bukankah kau punya banyak uang di bank?"
Jawab Augusta.
"Mari kita minum sampanye untuk merayakan lolosnya kita dari Inggris."
Micky diam, menatap dada wanita di depannya.
Augusta melihatnya.
Ia ingin Micky menyentuhnya.
Ia hampir saja mengundang Micky melakukannya, tapi segera membatalkan niatnya.
Malam masih panjang dan masih ada lagi malam-malam seperti ini kelak.
Tiba-tiba ia merasa malu dan bersalah, tapi juga tak sabar lagi ingin memeluk tubuh Micky, dan kerinduan ini lebih kuat daripada rasa malunya.
Ia duduk di tepi ranjang dan menarik tangan Micky ke bibirnya.
Menciumnya, lalu menekannya ke dadanya.
Micky memandangi Augusta dengan tatapan aneh, lalu tangannya membelai dada Augusta, mula-mula dengan lembut.
Augusta mendesah.
Kemudian Micky meremas dadanya, makin keras dan makin keras, begitu menyakitkan hingga Augusta berteriak dan menarik diri.
"Kau, perempuan tua tak tahu diri,"
Ejek Micky sinis.
"Tidak! Apa katamu? Oh, tidak!" %"Kaupikir aku benar-benar mau kawin denganmu?"
"Ya."
"Kau sekarang tidak punya uang lagi, tak punya pengaruh apa-apa. Apa yang bisa kuharapkan darimu?"
Augusta merasa dadanya sakit bagai tertusuk belati.
"Katamu kau mencintaku."
"Huh, yang benar saja, kau sudah lima puluh delapan, pantas jadi ibuku! Kau egois, licik, dan jahat. Bahkan seandainya aku terdampar sendirian di pulau, aku tak sudi bercinta denganmu!"
Augusta terenyak lemas. Air mata menetes dari kelopak matanya. Ia hancur sudah! Tak punya uang, tak punya rumah, tak punya siapa-siapa lagi! Laki-laki yang dicintainya mengkhianatinya. Ia berbalik ingin menyembunyikan tangisnya.
"Kumohon hentikan itu,"
Bisiknya.
"Ya, pasti,"
Kata Micky ketus.
"Aku sudah punya kabin di kapal ini dan ke sanalah aku akan pergi." 'Tapi kalau kita tiba di Kordoba?"
"Kau tak akan pergi ke Kordoba. Setibanya kapal ini di Lisabon, kau bisa turun dan pulang kembali ke Inggris. Aku tidak membutuhkanmu lagi."
Setiap kata bagai sebuah tamparan ke muka, ke hati, dan harga dirinya.
Ia mengangkat kedua tangannya ke depan wajah, seolah untuk menangkis sumpah serapah itu.
Dinginnya udara luar membuat hatinya tenang.
Kepalanya terasa jernih, benaknya kembali berputar memikirkan segalanya.
Ia sadar tadi ia bertindak seperti seorang gadis remaja, bukan wanita yang matang dan cerdas.
Ia malu.
Ia harus segera menata hidupnya kembali.
Dan sekaranglah waktunya.
Seorang pria berbusana malam lewat, memandang Augusta yang bergaun tidur dengan pandangan ingin tahu.
Tiba-tiba Augusta mendapat sebuah gagasan.
Ia kembali ke kamar dan dengan cepat menutup pintunya.
Micky sedang merapikan dasi di depan kaca.
"Ada yang datang, cepat sembunyi,"
Bisik Augusta cemas.
"Polisi!"
Wajah Micky memucat. Panik dan takut.
"Oh, Tuhan!"
Bisiknya.. Augusta berpikir cepat.
"Kita masih berada di perairan Inggris,"
Bisiknya.
"Kalau tertangkap, kau akan diserahkan ke patroli laut dan dikirim kembali ke London."
Ia tak yakin ancamannya itu benar atau tidak.
"Aku perlu sembunyi dulu."
Tanpa diminta, Micky masuk kembali ke dalam koper besar milik Augusta.
"Tolong tutup,"
Pintanya ketakutan. Dengan senang hati Augusta menutup dan menguncinya sekaligus.
"Nah, sekarang kau aman."
Augusta duduk di tepi ranjang, menatap ke arah koper besar di dekat kakinya.
Benaknya berputar keras, memikirkan sebab dan akibat rencananya.
Sesaat tadi ia telah terhanyut dan Micky telah melukainya.
Selama ini hanya dua pria yang pernah memegang dan meremas dadanya.
Strang dan Joseph.
Lalu baru saja ia membiarkan Micky memegang dadanya, dan kemudian laki-laki itu melontarkan sumpah serapah keji padanya.
Rasa marah yang amat sangat membara di hatinya, berubah menjadi dendam.
Suara Micky terdengar dari dalam koper.
"Augusta, apa yang terjadi?"
Ia tidak menjawab.
Terdengar teriakan minta tolong dari dalam koper.
Ia segera mengambil selimut tebal di ranjang dan menutupi koper di kakinya.
Suara teriakan pria di dalam koper terdengar melemah.
Lalu berhenti.
Dengan tenang Augusta melepas label namanya dari koper.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Ia mendengar pintu-pintu kabin berulang kali dibuka dan ditutup oleh para penumpang yang akan ke ruang makan.
Kapal pelan-pelan mulai masuk ke laut lepas di Selat Inggris.
Malam mulai datang.
Antara tengah malam sampai jam dua pagi, beberapa kali terdengar pintu kabin dibuka.
Sayup-sayup terdengar suara musik pengantar dansa.
Lalu menjelang jam tiga pagi, hanya suara mesin kapal dan deru ombak laut.
Tak terdengar ada seorang pun di kabin.
Augusta bangkit dari tepi ranjang.
Kedua matanya nyalang menatap koper besar di lantai.
Dengan sigap ia mulai menarik tali koper yang melintang dari bagian bawah ke bagian atas.
Koper itu terbalik, bagian bawah menghadap ke atas; bunyinya keras sekali.
Sayup-sayup terdengar suara teriakan dari dalam koper.
Augusta menunggu sebentar, kalau-kalau ada yang datang untuk menyelidiki bunyi berdebam tadi.
Ternyata tidak ada.
Micky berhenti berteriak.
Augusta kembali menarik koper.
Berat sekali, tapi ia berhasil menggesernya sedikit demi sedikit.
Setiap satu tarikan, ia beristirahat.
Sepuluh menit kemudian, ia berhasil menyeret koper itu ke pintu kabin.
Ia mengenakan stocking, sepatu bot, dan mantel bulunya, lalu membuka pintu.
Sepi, tak kelihatan satu orang pun.
Malam masih gelap.
Hanya ada sinar temaram lampu dek kapal.
Ia menarik kopernya keluar dari kabin.
Menarik koper di lantai dek terasa lebih ringan.
Lantainya licin karena salju.
Sepuluh menit kemudian ia sudah sampai di pagar pembatas badan kapal.
Bagian selanjutnya lebih sukar.
Dengan susah payah ia berusaha menegakkan koper agar bersandar ke pagar pembatas.
Karena berat, ia gagal.
Suara koper menimpa dek terdengar sangat keras, tapi lagi-lagi tak ada yang datang menyelidiki.
Sayup-sayup terdengar suara mesin kapal dan deru ombak di samudra lepas.
Pada percobaan kedua, ia berusaha lebih keras.
Dengan bertumpu pada satu lutut, ia memegang tali koper dengan dua tangan, lalu menariknya perlahan-lahan.
Ketika koper itu miring empat puluh lima derajat, Micky bergerak di dalam, beratnya pindah ke sebelah bawah koper, hingga lebih mudah bagi Augusta untuk menegakkannya.
Akhirnya koper itu tersandar juga di pagar kapal.
Tibalah bagian yang paling sulit.
Ia membungkuk dan mencengkeram tali sebelah bawah.
Setelah menarik napas panjang, ia mengangkat.
Karena ujung atas koper tersandar di pagar, tidak terlalu berat sebenarnya mengangkat benda itu.
Tapi ia tetap harus mengerahkan tenaga.
Sekonyong-konyong jemarinya yang dingin terpeleset dan pegangannya lepas.
Ia takkan bisa mengangkat koper ini.
Ia beristirahat sejenak, merasa kehabisan tenaga.
Tapi ia tak mau menyerah.
Mesti dicoba lagi.
Ia membungkuk dan menggenggam tali itu kembali.
Terdengar suara Micky bertanya.
"Augusta, apa yang kaulakukan?"
Dengan suara dingin ia menjawab.
"Ingat bagaimana Peter Middleton mati?"
Sunyi. Tak ada jawaban dari dalam koper.
"Kau akan mati dengan cara yang sama,"
Bisiknya lagi.
"Jangan, Augusta, kumohon. Aku sangat mencintai dirimu."
"Air laut akan terasa dingin dan asin, lalu pelan-pelan menyusup ke dalam koper, memenuhi paru-parumu. Kau akan menggelepar menahan napas, dan merasakan ketakutan yang sama saat bayangan kematian mulai menyelimutimu."
Terdengar suara teriakan putus asa dari dalam koper.
"Tolong! Tolong! Tolong selamatkan aku!"
Augusta mencengkeram tali koper dan mengangkat sekuat tenaga.
Bagian bawah koper terangkat dari dek.
Di dalam koper, Micky sadar apa yang akan dilakukan .
Augusta.
Ia berteriak makin keras; suaranya mengatasi deru mesin dan laut.
Tak lama lagi pasti ada yang datang.
Augusta mengangkat lagi koper itu hingga sebatas dada, lalu berhenti kelelahan, rasanya tak sanggup lagi meneruskan.
Dari dalam koper terdengar suara menggaruk-garuk putus asa.
Augusta memejamkan mata dan mengenakkan gigi, lalu mendorong.
Sementara ia mengerahkan tenaga, terasa ada sendi yang lepas di punggungnya dan ia berteriak kesakitan, tapi terus mengangkat.
Bagian bawah koper sudah lebih tinggi dari bagian atasnya, dan benda itu meluncur maju di pagar kapal beberapa senti, tapi kemudian terhenti.
Punggung Augusta sangat sakit.
Ia hanya sanggup mendorong satu kali lagi.
Mesti berhasil.
Ia mengenakkan gigi, memejamkan mata, dan mendorong.
Dengan cepat tubuh koper terjun ke kegelapan laut.
Masih sempat terdengar teriakan Micky, hanya sebentar, lalu tenggelam ditelan deru ombak dan angin.
Augusta terenyak di pagar kapal, menyaksikan koper itu menghantam permukaan air laut, lalu tenggelam ke dalam air.
Sesaat kemudian koper itu muncul kembali ke atas.
Akan mengapung sesaat, pikir Augusta puas.
Rasa sakit di punggungnya tak tertahankan lagi, tapi ia menikmati bagaimana koper itu terapung timbul-tenggelam, terseret ombak dan terlempar maju-mundur, dan akhirnya hilang dari pandangan.
Tiba-tiba ia mendengar suara pria di belakangnya.
"Sepertinya tadi ada yang berteriak minta tolong,"
Katanya dengan nada khawatir. Augusta cepat-cepat mengendalikan diri, lalu membalikkan badan. Di depannya berdiri seorang pria muda yang sopan, mengenakan mantel kamar sutra dengan syal di leher.
"Oh, itu suaraku tadi,"
Jawab Augusta sambil tersenyum.
"Mimpi buruk lagi. Aku keluar kamar untuk menghirup udara segar."
"Anda yakin tidak ada apa-apa?"
"Ya, pasti, terima kasih atas perhatian^ Anda. Aku tidak apa-apa."
"Kalau begitu, selamat malam."
"Selamat malam."
Pria itu kembali ke kabinnya.
Augusta belum mau kembali ke kamarnya.
Ia ingin menatap laut di bawah sana lebih lama.
Terbayang olehnya air laut perlahan-lahan masuk melalui celah-celah koper itu, memenuhinya.
Makin banyak dan makin banyak, sementara di dala'mnya Micky meronta-ronta, berusaha untuk keluar.
Ketika air laut mencapai hidung dan mulutnya, ia akan berusaha menahan napas selama mungkin.
Tapi pada akhirnya ia tidak akan tahan.
Air laut yang dingin akan masuk ke mulutnya, mengalir dan memenuhi paru-parunya.
Ia akan menggeliat-geliat dan meronta beberapa saat, tercekam rasa sakit dan ketakutan.
Kemudian gerakannya makin lemah dan makin, lemah, lalu berhenti.
Segalanya menjadi gelap dan ia akan mati.
[VI] MALAM hari, Hugh merasa lelah lahir batin ketika tiba di stasiun Chingford.
Walau sangat ingin cepat-cepat tiba di rumah dan tidur, melupakan segalanya, ia masih merasa wajib berhenti sebentar di tempat Tonio ditembak mati.
Di dekat jembatan kereta ia berhenti, mengangkat topi, menunduk sebentar, lalu bergegas pulang ke rumah.
Di jalan setapak ke rumahnya, ia memikirkan bagaimana kira-kira reaksi Kementerian Luar Negeri atas tindakan Micky, dan bagaimana kebijakan mereka pada Kordoba.
Sejauh ini ia belum mengontak polisi, baru pihak Scotland Yard.
Tanpa menunggu tertangkapnya Micky, ia bisa menekankan bahwa dirinya adalah saksi mata atas kejahatan diplomat Kordoba ini.
Masyarakat pasti akan geger mengetahui seorang diplomat asing berani membunuh di siang hari, di depan saksi mata.
Ini berarti dengan pongah sekali ia telah menantang bahkan meremehkan kesadaran masyarakat Inggris.
Hugh membayangkan reaksi kaum oposisi di Parlemen, juga reaksi surat kabar.
Jangan harap Papa Miranda akan memperoleh pengakuan! Jika memang begitu, tak lama lagi kaum pemberontak itu akan ditumpas dan diganti dengan pemerintah baru.
Lalu para investor Inggris yang telah membeli obligasi pelabuhan Santamaria akan diberi penggantian.
Makin dipikirkan kemungkinan ini, makin optimis ia akan hasilnya.
Ia berharap Nora sudah tidur sewaktu ia tiba di rumah.
Ia tidak mau mendengarkan keluh kesah istrinya tentang pekerjaan sehari-hari, soal mengasuh ketiga anak nakal, dan tetek bengek lainnya.
Ia ingin tidur dan melupakan kejadian tragis hari ini*Besok ia akan memikirkan apa yang harus ia lakukan.
Dari kejauhan ia melihat masih ada sinar lampu di rumahnya.
Ia kecewa.
Ini berarti Nora masih menunggunya.
Dengan gundah ia memasukkan kunci rumah dan membuka pintu depan.
Ia heran melihat ketiga anaknya, semuanya dalam pakaian tidur, sedang duduk bersama di sofa, melihat buku cerita bergambar.
Dan lebih heran lagi ketika melihat siapa yang duduk di tengah mereka, membacakan ceritanya.
Maisie! Melihat sang ayah datang, ketiga anak itu lari menyongsong dengan gembira.
Ia memeluk dan mencium mereka satu per satu.
Sol, si bungsu; lalu Samuel; lalu si sulung, Toby.
Si bungsu dan kakaknya tampak gem-SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY bira, hanya si sulung yang tampak cemas.
"Ada apa. Bung?"
Tanyanya menggoda.
"Ada sesuatu? Di mana ibu kalian?"
"Dia pergi belanja,"
Jawab Toby, lalu menangis. Hugh merangkul Toby dan melihat ke arah Maisie.
"Aku tiba di sini sekitar jam empat sore,"
Kata, Maisie.
"Nora mungkin sudah pergi tak lama setelah kau."
"Dia meninggalkan anak-anak sendirian di rumah?"
Maisie mengangguk. Hugh menjadi berang. Begitu teganya Nora meninggalkan ketiga darah dagingnya di rumah sendirian. Bagaimana kalau terjadi sesuatu atas diri mereka? "Kenapa dia sampai hati?"
Tanyanya pahit.
"Dia meninggalkan surat."
Maisie menyerahkan sebuah amplop. Hugh membuka dan membaca isinya. SELAMAT TINGGAL. Komentar Maisie.
"Amplopnya tidak disegel. Toby membacanya dan memberikan padaku."
"Sungguh sukar dipercaya,"
Kata Hugh tanpa emosi; Nora selalu meletakkan kepentingan dirinya di atas kepentingan semua orang; hanya kali ini ia begitu tega menelantarkan ketiga anaknya sendiri.
Ia pasti kembali ke rumah ayahnya, pikir Hugh.
Dan ia tahu Nora tak akan kembali lagi ke rumah ini.
Ia tak perlu memikirkan apa yang harus ia lakukan.
Tugas dan kewajibannya adalah kepada ketiga anaknya.
Jangan sampai mereka jadi merasa lebih kecewa lagi.
Untuk sementara, ia harus mengesampingkan kesedihannya sendiri.
"Baiklah, anak-anak, sekarang sudah waktunya tidur,"
Katanya. Ia mengantar mereka ke lantai atas. Samuel dan Sol tidur di satu kamar, dan Toby mempunyai kamar sendiri. Setelah memastikan kedua anaknya berselimut dan berdoa malam, ia pergi ke kamar Toby, mencium dahi anaknya.
"Mrs. Greenbourne baik sekali,"
Komentar Toby tiba-tiba "Ya, aku tahu. Dia menikah dengan sahabat Papa yang paling baik, Solly. Lalu dia meninggal."
"Dia juga cantik."
"O ya? Menurutmu begitu?"
"Ya. Apakah Mama akan kembali ke sini?"
Pertanyaan yang paling ditakuti Hugh.
"Ya, pasti dia akan kembali."
"Benar, Papa?"
Hugh mendesah.
"Terus terang, aku sendiri tidak yakin."
"Jika dia tidak pulang, apakah Mrs. Greenbourne bersedia menjaga kita semua?"
Pertanyaan ini begitu terus terang. Hugh tak mau menjawab. Ia mengalihkan pertanyaan Toby.
"Dia repot, mengelola sebuah rumah sakit. Banyak sekali pasien yang harus dia perhatikan. Papa rasa dia tidak punya waktu lagi untuk merawat kalian. Sekarang tidur, jangan bertanya lagi. Selamat malam."
Toby tampak masih belum puas, tapi setelah diam sesaat, keluar ucapannya.
"Selamat malam juga, Papa."
Hugh meniup lilin dan keluar dari kamar sambil menutup pintunya. Maisie telah membuat minuman cokelat panas.
"Aku yakin kau lebih senang kubuatkan brendi, tapi kulihat tak ada minuman keras setetes pun di rumah ini."
Hugh tersenyum.
"Kami orang kelas bawah tak mampu beli minuman keras. Cokelat lebih enak."
Cangkir dan teko berisi cokelat itu tetap tak tersentuh. Mereka berdua hanya berdiri berdekatan. Maisie yang membuka kata lebih dulu.
"Aku membaca tentang pembunuhan itu di koran. Aku khawatir ada apa-apa dengan dirimu, jadi aku ke sini dan menemukan anak-anak ditinggal sendirian. Aku mengajak mereka membersihkan rumah, lalu makan malam bersama. Dan menunggu kedatanganmu."
Ia mengakhiri keterangannya dengan senyum pasrah, menunggu jawaban dan tindakan Hugh selanjutnya. Hugh diam, lalu tiba-tiba ia mulai gemetaran. Ia bersandar ke kursi.
"Hari ini aku mengalami segala peristiwa yang sangat menegangkan saraf. Semuanya membuatku lemas lunglai."
"Ya, kulihat kau butuh istirahat."
"Oh, Maisie...."
Tiba-tiba Hugh ingin membagi se-* muanya dengan wanita yang ia cintai ini.
"Peluklah aku,"
Pintanya. Maisie memeluk erat Hugh.
"Aku cinta padamu Maisie, selalu cinta padamu,"
Bisik Hugh pelan.
"Aku tahu,"
Jawab Maisie. Hugh menatap kedua mata Maisie. Air matanya yang mulai menggenang akhirnya menetes, membasahi pipinya. Hugh mencium butir demi butir.
"Akhirnya... setelah bertahun-tahun ini,"
Bisik Hugh.
"Bercintalah denganku malam ini,"
Hanya itu jawaban Maisie. Hugh mengangguk.
"Dan setiap malam... setiap malam setelah malam ini."
Lalu mereka saling berciuman.
EPILOG M................................................................................................................... di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh OBI Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa anda selamanya \ * Berita dari The Times.
TELAH MENINGGAL DUNIA Pada tanggal 30 Mei, di rumahnya di Antibes, Prancis, setelah sakit berkepanjangan, EARL OF WHITEHAVEN, mantan mitra senior Pilasters Bank.
"Edward meninggal,"
Kata Hugh setelah membaca halaman dukacita.
Maisie duduk di sebelahnya dalam gerbong kereta api, memakai gaun musim panas warna kuning bertitik-titik merah dan topi kecil kuning berpita renda.
Mereka sedang menuju Windfield untuk menghadiri acara wisuda.
"Dia benar-benar pria tak berguna, tapi ibunya akan sangat kehilangan dia,"
Komentar Maisie.
Augusta dan Edward tinggal bersama di selatan Prancis selama delapan belas bulan belakangan ini.
Kendati telah banyak menyusahkan sindikat bank, mereka tetap mendapat tunjangan bulanan seperti para anggota keluarga lainnya.
Mereka melewatkan hidup bersama-sama di kursi roda.
Edward sakit sipilis stadium akhir, dan Augusta retak tulang pinggulnya.
Kendati cacat, ia masih aktif menjadi perantara perjodohan, juru damai perselisihan, pengatur pesta-pesta, dan penentu tata krama pergaulan.
"Edward sangat mencintai ibunya,"
Kata Hugh. Maisie memandang Hugh dengan heran.
"Kenapa kau berkata begitu?"
"Karena hanya itu sifat baiknya, tidak kulihat ada yang lain."
Maisie tersenyum dan mencium ujung hidung Hugh.
Kereta api berhenti di stasiun Windfield dan mereka berdua turun.
Hari ini Bertie diwisuda dan Toby naik kelas.
Cuaca di luar hangat, sinar matahari terang benderang.
Maisie membuka payung kecil yang serasi dengan busananya.
Keduanya berjalan ke Windfield School.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Windfield School telah berubah sejak dua puluh enam tahun yang lalu, ketika Hugh terpaksa meninggalkan tempat itu.
Kepala sekolahnya yang lama, Dr.
Poleson, telah lama meninggal.
Di sudut sekolah didirikan patungnya.
Kepala sekolah yang baru selalu berjalan dengan memegang tongkat rotan penghukum murid nakal yang terkenal itu, tapi ia jarang sekali menggunakannya.
Bangunan nomor empat yang dipakai sebagai asrama anak-anak masih terletak di dekat kapel kecil yang terbuat dari batu, dan di depan kapel sekarang sudah dibangun sebuah aula luas untuk acara-acara resmi.
Materi pendidikannya juga lebih baik.
Toby dan Bertie belajar matematika dan ilmu bumi, juga bahasa Latin serta-Yunani.
Hugh dan Maisie bertemu Bertie yang sudah menanti di depan pintu gerbang sekolah.
Ia sudah lebih tinggi daripada Hugh.
Sikapnya pendiam, sopan, dan rajin sekali.
Tidak seperti Hugh, ia tak pernah dihukum karena nakal.
Perilakunya lebih menyerupai seorang keturunan Rabinowicz, irialah mirip dengan kakak Maisie, Dan Robinson.
Ia mencium pipi ibunya dan menjabat tangan Hugh.
"Ada sedikit kesalahan,"
Katanya.
"Kami kekurangan lembar cetakan nyanyian sekolah, dan sekarang anak-anak kelas empat sedang menyalin dengan tulisan tangan. Aku harus mengontrol mereka agar selesai tepat pada waktunya. Akan kutemui kalian setelah aku selesai berpidato nanti."
Ia bergegas kembali ke sekolah.
Hugh memandangnya dengan penuh kasih sayang, sambil mengenang betapa penting rasanya bersekolah pada masanya dulu, sampai saat ia terpaksa keluar.
Mereka lalu bertemu Tobby.
Murid-murid kelas satu dan dua sekarang tidak diharuskan memakai jas dengan topi tinggi pada acara resmi sekolah; Toby memakai jaket dan celana seragam sekolah.
"Menurut Bertie, aku boleh menemani kalian minum teh di kamarnya nanti setelah pidato, tentunya kalau kalian izinkan. Boleh, kan?"
"Ya, tentu,"
Jawab Hugh sambil tersenyum geli.
"Trims, Papa."
Toby lari kembali ke teman-temannya. Di aula sekolah, mereka terkejut karena bertemu Ben Greenbourne. Ia tampak tua dan kurus. Maisie, seperti biasanya selalu terus terang, langsung bertanya.
"Halo, apa yang Anda lakukan di sini?"
"Hari ini cucuku diwisuda, dan dia akan menyampaikan pidato,"
Jawab Ben dengan nada bangga. Hugh terpana. Bertie bukan cucu Ben Greenbourne, dan orang tua ini juga tahu. Apakah dia jadi lembut dalam usia tuanya? "Ayo, kau duduk dekatku,"
Perintah Greenbourne. Hugh melihat ke Maisie. Istrinya angkat bahu sebagai tanda tidak keberatan.
"Kudengar kalian sudah menikah,"
Komentar Greenbourne.
"Ya, bulan lalu,"
Jawab Hugh.
"Istri pertamaku tidak menolak permohonan ceraiku."
Nora sekarang hidup bersama seorang wiraniaga wiski. Untuk membuktikan penyelewengan mereka berdua, Hugh menyewa seorang detektif swasta. Hanya perlu waktu seminggu untuk menangkap basah perselingkuhan mereka.
"Aku tidak pernah setuju dengan perceraian,"
Tukas Greenbourne pendek. Lalu ia menghela napas.
"Tapi aku sekarang sudah terlalu tua dan kuno untuk memberi nasihat pada generasi muda macam kalian. Abad ini sebentar lagi usai. Masa depan terletak di tangan kalian."
Hugh meremas tangan Maisie. Greenbourne bertanya pada Maisie.
"Apa kau akan mengirim anak itu ke universitas?"
"Aku tidak sanggup membayar,"
Jawab Maisie terus terang.
"Untuk membayar biaya sekolahnya di sini saja sudah sangat mahal."
"Aku akan senang jika kalian izinkan aku yang membiayai kuliahnya."
Maisie kaget dan terpana.
"Anda sangat baik."
"Seharusnya sejak dulu aku sudah bersikap baik pada kalian,"
Jawab Greenbourne.
"Dulu kuanggap kau wanita pemburu harta. Itu salah satu kesalahanku. Tapi melihat kau mau menikah dengan Hugh Pilaster yang sedang jatuh miskin, aku tahu aku keliru tentang dirimu."
"Anda tidak pernah melakukan hal yang merugikan diri kami."
"Tapi aku terlalu keras, itu sama saja. Aku tidak punya banyak penyesalan dalam hidupku. Tapi sikapku pada kalian merupakan salah satu dari penyesalanku yang tidak banyak itu. Kusadari itu sekarang."
Murid-murid mulai berdatangan memenuhi aula. Mu--rid yang lebih muda kelasnya duduk di lantai, di barisan paling-depan, dan yang lebih tinggi tingkatannya duduk di kursi di barisan tengah. Maisie berkata pada Greenbourne.
"Hugh sekarang sudah mengadopsi Bertie secara sah."
Ben Greenbourne menatap Hugh dengan tajam dan berkata tegas.
"Kukira kau memang ayah kandung anak itu!"
Hugh mengangguk.
"Aku seharusnya sudah menduga ini sejak dulu. Tapi itu tidak penting lagi saat ini. Anak itu tetap mengira aku kakeknya, karena itu aku harus bertanggung jawab atas pendidikannya."
Ia terbatuk-batuk karena jengah, lalu mengubah topik pembicaraan.
"Kudengar sindikat akan membayar dividen."
"Benar,"
Jawab Hugh. Ia memang akhirnya berhasil menjual semua aset keluarga Pilaster dengan harga pantas, dan sindikat para bankir yang telah menyelamatkan para nasabah Pilasters Bank berhasil memperoleh laba memadai.
"Seluruh anggota sindikat memperoleh lima persen atas investasi mereka "
"Kerja yang bagus,"
Puji Greenbourne tulus.
"Dulu terus terang aku ragu kau mampu mengelola sindikat itu."
"Yang paling berjasa sebenarnya pemerintahan baru Kordoba. Mereka menyerahkan seluruh aset keluarga Miranda ke perusahaan pelabuhan Santamaria. Dan ini menaikkan nilai obligasi kami lagi."
"Lalu, apa yang terjadi pada si Miranda itu?"
"Micky? Mayatnya ditemukan di dalam sebuah koper besar yang terdampar di Isle of Wight. Tak seorang pun tahu bagaimana dia bisa berada di dalam koper itu."
Hugh mengikuti terus berita itu, sampai yang berwajib berhasil melakukan identifikasi resmi atas mayat Micky; identifikasi ini penting, karena dengan begitu Rachel sekarang bisa menikah secara sah dengan Dan Robinson.
Seorang murid mengedarkan selebaran berisi nyanyian Windfield School yang ditulis tangan.
"Dan kau sendiri?"
Tanya Greenbourne pada Hugh.
"Apa rencanamu setelah semua urusan sindikat ini selesai?"
"Aku ingin minta nasihat Anda tentang hal ini.
"
Jawab Hugh.
"Terus terang aku akan mendirikan bank baru."
"Bagaimana?"
"Dengan menjual sahamnya di bursa. Pilasters Limited. Bagaimana menrut Anda?"
"Hmmm, gagasan bagus. Kau memang selalu punya gagasan baru dan asli."
Greenbourne tampak berpikir-pikir.
"Kau tahu, jatuhnya Pilasters Bank malah akhirnya menaikkan reputasimu sebagai bankir andal dan terper-caya. Masyarakat melihat caramu menangani kasus ini. Mereka akan beranggapan, kalau dalam menangani bank bangkrut saja kau sudah bisa diandalkan dan dipercaya, apalagi kalau kau menangani bank milikmu sendiri!"
"Jadi, menurut Anda rencanaku ini akan berhasil?"
"Ya. Aku mungkin akan ikut menjadi pemegang sahamnya."
F Hugh mengangguk lega.
Sangat penting untuk mendapat kepercayaan tokoh keuangan paling dihormati seperti Ben Greenbourne.
Hugh memang yakin idenya ini akan berjalan, apalagi sekarang ditambah dengan restu Greenbourne! Seluruh hadirin berdiri ketika kepala sekolah memasuki ruangan aula, diikuti oleh para guru, tamu kehormatan anggota Partai Liberal di Parlemen dan Bertie, wakil wisudawan.
Setelah semua duduk kembali, Bertie naik ke mimbar dan memberi aba-aba dengan suara nyaring.
"Mari kita nyanyikan bersama-sama nyanyian sekolah kita."
Hugh melirik ke Maisie dan mereka berdua tertawa bangga.
Intro lagu dimulai dengan dengung piano.
Satu jam kemudian, Hugh meninggalkan mereka di kamar Bertie.
Ia keluar melewati lapangan squash, menuju Bishop's Wood.
Cuaca makin panas, persis seperti dua puluh enam tahun yang lalu.
Hutan itu tampak tak berubah, masih lembap dan beraroma pohon-pohon elm.
Ia masih ingat jalan menuju ke kolam maut itu dan bisa menemukannya dengan mudah.
Ia tidak menuruni bukit terjal di atas kolam ia sudah terlalu tua untuk itu.
Iahanya duduk di tepi tebing dan melempari tepi kolam dengan batu kecil.
Batu itu memecah air yang tenang.
Hanya dia dan Albert Cammel di Cape Town sana yang masih hidup.
Semua temannya yang berenang di kolam ketika itu telah mati.
Peter Middleton, tewas pada hari itu; Tonio ditembak oleh Micky dua tahun yang lalu; Micky sendiri mati terdampar di tepi pantai; dan 'sekarang Edward mati karena sakit sipilis dan dimakamkan di Prancis.
Seakan-akan ada kuasa jahat yang muncul dari dasar danau itu pada tahun 1866, memunculkan sisi gelap diri mereka dan meracuni kehidupan mereka dengan keserakahan, nafsu, kekejaman, penipuan, kebangkrutan, penyakit mematikan, dan pem-650 bunuhan.
Tapi sekarang semuanya sudah berlalu.
Utang-utang telah dibayar lunas.
Kuasa jahat itu sudah terkubur kembali di dasar danau.
Dan Hugh berhasil melawannya.
Hugh berdiri.
Sudah waktunya kembali ke keluarganya.
Ia menengok sekali lagi sebelum meninggalkan danau itu.
Lingkaran di permukaan air sudah sirna, tinggal pantulan sinar matahari membentuk aneka warna indah menggoda di lapisan atas air danau.
Semuanya tampak tenang dan damai.
di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh OBI Dilarang meng-komersil-kan atau di scan dan di djvu kari untuk dimhader (dimhad.ccťcc) oleh OBI Dilarang men g-komersil-kan atau kesialan menimpa anda selamanya Tentang Pengarang Ken Follett lahir pada tanggal 5 Juni 1949 di Cardiff, Wales.
Ayahnya seorang penilik pajak.
Setelah lulus dari University College, London, dengan gelar kehormatan dalam filsafat, Follett menjadi reporter South Wales Echo di kota kelahirannya, lalu pindah ke London Evening News.
Sambil bekerja, ia menulis novel pertamanya yang ternyata cukup berhasil.
Kemudian ia pindah bekerja pada Everest Books, perusahaan penerbitan kecil di London, dan menjadi Deputy Managing Director.
Ken Follett tinggal di Chelsea, London, di sebuah rumah berusia dua ratus tahun yang menghadap ke Sungai Thames, bersama istrinya, Barbara.
Follett menyukai karya-karya Shakespeare; ia juga senang bermain musik, dan menjadi pemetik bass guitar di sebuah band beraliran blues.
Follett juga terlibat aktif dalam dunia politik dan pernah menulis pamflet tentang ketidakadilan dalam hukum keimigrasian Inggris.
Istrinya adalah kandidat parlemen.
Bestseller internasional Follett yang pertama adalah Eye of the Needle yang muncul pada tahun 1978, memenangkan Edgar Award dan difilmkan dengan bintang Kate Nelligan dan Donald Sutherland.
Sebelumnya, Follett pernah menulis sepuluh buku lain dengan nama samaran.
Menyusul kesuksesan Eye of the Needle adalah novel-novel Triple, The Key to Rebecca, The Man from St.
Petersburg, dan Lie Down with Lions.
Pada tahun 1989, Follett yang selama itu dikenal sebagai master of espionage thrillers, mengejutkan para pembacanya dengan memilih tema yang jauh berbeda untuk novel berikutnya, The Pillars of the Earth, yang berkisah tentang pembangunan sebuah katedral pada Abad Pertengahan, lalu menyusul Night Over Water^ novel tentang Perang Dunia Kedua.
Kemudian A Dangerous Fortune, tentang kejatuhan sebuah keluarga bankir terkenal* pada era Victoria.
Follett menghabiskan waktu antara enam bulan sampai setahun untuk membuat kerangka setiap novelnya.
Ia memulai dengan menulis beberapa paragraf, lalu menambahkan materi karangan setiap hari.
Setelah membuat sekitar 100-200 versi, barulah terbentuk sinopsis akhir yang panjangnya kurang-lebih 40 halaman.
Menurut Follett, yang terpenting dalam karya fiksi populer adalah alur cerita yang menarik, sehingga pembaca menikmatinya sekaligus dibuat penasaran.
"Bukan berarti tokoh cerita tidak penting, tapi itu nomor dua,"
Kata Follett. Baginya, yang paling sulit adalah menulis konsep pertama.
"Semua materi di kerangka cerita mesti dibayangkan, lalu dituangkan dalam bahasa yang hidup, supaya pembaca bisa ikut membayangkan dan menikmatinya. Itu yang sulit,"
Katanya.
Tapi para pembaca dan kritikus sependapat bahwa karya-karya Follett memang memikat.
Dalam setiap bab novelnya ada saja plot yang membuat orang terus penasaran untuk membaca hingga akhir cerita.
Itulah kehebatan Follett.
Ya, catat nama saya sebagai anggota GRAMEDIA BOOK CLUB dan kirimi saya informasi setiap kali ada buku baru karya pengarang favorit saya yang terbit.
Terlampir prangko balasan Rp.
600,-Pna/wanira* Jabatan.
Pelajar/nuhasiswaAaryawanMira^tawan/ibn rnmah tangga* Alamat .
-.___Kode Pos.
_ * Coret yang tidak perlu Tandai pengarang yang Anda pilih ( ) John Grisham ( ) Sidney Sheldon ( )Alistair Maclean ( )JackHiggins ( ) Frederick Forsyth ( ) Michael Crichton ( ) Sir Arthur Conan Doyle ( ) Allan Folsom ( ) Erich Segal ( ) Irving Wallace ( ) Stephen King Telp.__ (A Dangerous Fortune ) ( ) Barbara Taylor Bradford ( ) Amy Tan ( ) Pearl S Buck ( ) Jackie Collins ( ) Joan Collins ( ) Agatha Cristie ( ) Louisa May Alcott ( ) Danielle Steel ( ) Ching Yun Bezine ( ) Mary Higgins Clark ( ) Ken Follett PTGramedia Pustaka Utama Bagian Promosi JL Palmerah Selatan 24-26, Lt.
6 Jakarta
Agatha Christie Lapangan Golf Maut Pendekar Rajawali Sakti Misteri Tabib Siluman Pendekar Rajawali Sakti Penghuni Telaga Iblis