Teror Melanda Kelas 9a 2
Detektif Stop Teror Melanda Kelas 9a Bagian 2
Baru saja gadis itu bertanya.
"Anggur Lugana-nya ditambah sebotol lagi, Pak Borello? Atau mau coba anggur lain?"
"Lugana saja,"
Jawab pria berambut gelap tadi.
Suaranya serak.
Barangkali ia sedang sakit tenggorokan.
Borello? Sporty terperanjat.
Jadi itukah suami Bu Mubo? Mestinya memang begitu, karena Borello adalah sebuah nama yang jarang terdengar-setidak-tidaknya di kota ini.
Kalau memang itu orangnya, pikir Sporty dengan heran, untuk apa ia minum-minum dengan si King? Kedua pelayan tadi telah mengetahui kedatangan Sporty.
Gadis di balik meja layan juga melihatnya, tetapi terlalu sibuk membuka sebuah botol anggur.
Borello dan Seibold tidak menyadari bahwa seseorang berdiri di belakang mereka.
Orang Itali itu menarik sesuatu dari kantung jasnya.
Jarinya menggenggam dua lembaran kertas.
Dengan jelas Sporty melihat bahwa kertas itu adalah lembaran uang 500 Mark.
Uang itu diserahkan pada King.
Borello berkata.
"Sampai saat ini kau berhasil melaksanakan tugas-tugasmu dengan baik. Hei, Kawan, kau bisa kaya-raya kalau tetap bekerja seperti kemarin-kemarin. Jangan sia-siakan kesempatan emas ini."
"Tenang saja. Aku bisa menanganinya. Sebentar lagi ia akan menyerah."
Kini keduanya baru menyadari bahwa ada yang memperhatikan mereka Borello menengok ke belakang.
Ia seorang pria tampan dengan gigi putih bersih, dan sejumlah kerut-kerut kecil di sekitar matanya.
Tapi matanya sendiri menyorot dingin seperti kaca berwarna hitam.
Seibold berbalik badan.
Untuk sesaat, ia dan Sporty saling memelototi.
"Kau masih ingat aku?"
Tanya Sporty.
"Kau pasti gembira sekali melihatku di sini, bukan?"
Seibold menutup mulut dan meraih antingnya yang bergoyang-goyang.
"Coba lihat keluar jendela!"
Kata Sporty.
"Untuk apa? Siapa sih kau? Dan apa maksudmu?"
"Jangan pura-pura, Maling kurang ajar! Coba lihat keluar! Tuh, di dekat pot bunga. Kau masih ingat sepeda balap itu?"
Seibold segera menengok. Semuanya dapat melihat sepeda itu dengan jelas.
"Kau pasti kaget, bukan?"
Kata Sporty.
"Baru saja polisi mengambilnya dari garasimu. Dan kini mereka sedang mencarimu. Ayahmu sudah ditahan. Karena menyembunyikan barang curian. Sebenarnya aku kepingin sekali menggantungmu -dengan kalungmu yang konyol itu -tetapi aku tidak mau mengotori tanganku."
Ini suatu penghinaan besar.
Tapi kelihatannya King Seibold sama sekali tidak mendengarnya.
Wajahnya menjadi pucat pasi, dan sebentar-sebentar ia menelan ludah.
Reaksi Borello juga di luar dugaan Sporty.
Matanya terbelalak, dan tangannya menarik-narik syal yang melilit di lehernya.
Seibold berdiri.
Ia bakalan menyerang, pikir Sporty.
Coba saja, kalau berani.
Tapi Seibold melewatinya begitu saja.
"Aku mau nelepon dulu,"
Pemuda berandal itu berkata pada Borello.
Kemudian ia menghilang di balik suatu pintu yang rupanya tidak hanya menuju ke kamar kecil, tetapi juga ke telepon umum.
Borello telah dapat menguasai diri kembali.
Ia meraih gelasnya, mencium-cium isinya, lalu minum seteguk.
"Siapa kau?"
Ia bertanya pada Sporty.
"Sebentar lagi si berandal tadi pasti akan memberitahukannya pada Anda. Tapi Anda sendiri siapa? Saya sudah pernah mendengar nama Anda. Apakah Anda suami Bu Muller-Borello?"
Orang Itali itu mendadak waspada "Kalau ya, kenapa?"
"Kalau begitu, Anda memang tidak pantas mempunyai istri seperti itu. Atau mungkin Anda justru menginginkan istri Anda berurusan dengan seorang pencuri, seorang tukang pukul, seorang bajingan tengik, yang kerjanya menganiaya orang-orang sebangsa Anda sendiri? Tapi kelihatannya Anda memang cukup akrab dengan....King Seibold. Bukankah Anda baru saja menyerahkan uang 5OO Mark padanya, agar ia terus melakukan pekerjaannya dengan baik? Ya, saya melihatnya sendiri. Cara-cara dunia hitam, bukan? Untung Anda tidak ikut membesarkan dan mendidik anak Anda."
Sporty menarik napas panjang.
Ia telah mengutarakan pendapatnya tentang Borello secara terus terang, dan kini kekesalannya hampir sirna.
Terheran-heran ia menyaksikan raut wajah Borello berubah.
Muka orang itu kelihatan membengkak.
Urat-urat di pelipisnya nampak menonjol.
"Jangan bawa-bawa Marco dalam urusan ini,"
Ia berteriak.
"Marco adalah anak saya. Anak saya! Dan saya akan membawanya. Ia akan bahagia kalau tinggal bersama saya. Hanya bersama saya!"
"Saya kira Marco akan lebih betah tinggal bersama istri Anda,"
Ujar Sporty dengan suara tenang.
"Diam!"
Borello mendesis, dan menambahkan sesuatu dalam bahasa Itali. Kedengarannya seperti sebuah makian-sebuah makian yang kasar sekali.
"Non capisco. Parli adagio!"
Kata Sporty. Kemampuan bahasa Italinya terbatas pada keempat kata itu, yang berarti. Saya tidak mengerti. Bicaralah pelan-pelan. Pada detik berikut, King Seibold kembali. Wajahnya merah padam.
"Semuanya hanya isapan jempol!"
Ia berseru.
"Ayahku ada di rumah, dan polisi yang dibawa si konyol ini ke rumah, terpaksa balik lagi tanpa dapat berbuat apa-apa, karena..."
Ia ragu-ragu untuk meneruskan kalimatnya.
"Karena pencurian sepedaku tidak dapat dibuktikan.
"
Sporty melengkapinya.
"Sayangnya memang begitu. Tapi kau sudah sempat berkeringat dingin, bukan?"
"Usir dia,"
Kata Borello pada Seibold.
"Kalau perlu, rontokkan beberapa giginya. Tapi jangan di dalam. Tunggu sampai di luar saja."
"Dengan senang hati, Antonio."
Seibold nyengir lebar.
Sambil bertolak pinggang, ia mendekati Sporty.
Sesaat kemudian ia telah terbanting ke lantai.
Benturannya begitu keras, sampai gelas-gelas di atas meja layan bergoyang semuanya.
Dengan suatu teknik judo-yang sederhana, Sporty telah mengait kaki lawannya sehingga pemuda berandal itu kehilangan keseimbangan.
Seibold meraung-raung.
Tulang keringnya membentur lantai ubin dengan keras.
"Aku tidak mau bikin keributan di sini, walaupun sebenarnya kau memang pantas diberi pelajaran karena berani mencuri sepedaku. Tapi aku yakin bahwa kita masih akan bertemu di lain kesempatan. Ingat! Mulai sekarang Maria Estate dan Fabio Leone berada di bawah perlindunganku dan teman-temanku juga membantu. Kalau kau masih mau coba-coba mengganggu mereka, maka bersiap-siaplah untuk berhari Natal di rumah sakit. Ini berlaku untuk kau dan teman-temanmu."
Ketika meninggalkan restoran itu, Sporty hanya melirik sekilas pada Borello.
Ia mengangguk ramah ke arah gadis pirang di balik meja layan, dan kedua pelayan pria yang berdiri di dekat pintu.
Selama kejadian di dalam, Sporty setiap beberapa detik menengok ke arah sepedanya.
Wah, ujarnya dalam hati.
Ini sudah kedua kalinya aku terlibat keributan di tempat umum hari ini.
Kalau terus-terusan begini, bisa-bisa namaku dapat cap buruk.
Tapi semuanya kan bukan salahku.
Akulah yang jadi korban pencurian.
Dan aku pula yang jadi korban ulah kriminal si Bettger, Drechsel, dan Seibold.
Bahwa kedua murid kelas 9a terlibat dalam urusan ini sudah dapat dipastikan.
King Seibold sebelumnya tidak mengenal Sporty.
Pasti Bettger dan Drechsel yang telah memanas-manasinya.
Nampaknya King memang senang melakukan segala kegiatan yang merugikan orang lain.
Ketika Sporty hendak pulang, tiba-tiba ia melihat toko sepeda di seberang jalan.
Borello dan Seibold pasti sedang memperhatikannya dengan geram, tapi Sporty tidak menengok lagi.
Di toko sepeda itu, ia dilayani oleh seorang wanita yang ramah.
"Sepedamu bagus sekali,"
Kata wan ita itu sambil menengok ke arah sepeda Sporty yang berada di depan pintu masuk.
"Tidak ada yang lebih baik lagi. Kau mau jadi pembalap sepeda?"
Sporty menanggapinya dengan ketawa.
"Untuk selingan sih boleh juga,"
Katanya.
"Tetapi tidak sebagai pekerjaan utama "
Ia membeli sebuah rantai pengikat untuk sepedanya.
Dengan sengaja ia mencari yang paling kokoh.
Ketika membayar, secara kebetulan ia menengok ke luar jendela..Borello dan Seibold sedang berdiri di depan Restoran Fattoria.
Mereka kelihatannya berbisik-bisik sambil merapatkan kepala.
Kemudian Seibold menghidupkan motornya, dan melaju pergi.
Orang Itali itu naik ke mobil Ferrari berwarna abu-abu metalik.
Gila! pikir Sporty.
Rupanya Borello banyak uang.
Mobil itu masih baru, dan termasuk salah satu jenis mobil termahal.
"Hati-hati, jangan sampai sepeda balapmu hilang dicuri orang,"
Wanita tadi menasihati Sporty.
Anak itu tersenyum dan berterima kasih.
Coba kalau dia tahu! Tapi Sporty merasa tidak perlu menceritakan segala kejadian yang telah dialaminya hari ini.
Lagi pula ia juga sudah harus pulang ke asrama.
Ia meninggalkan toko sepeda, menggantungkan rantai di bawah sadelnya, lalu hendak berangkat.
Tiba-tiba seseorang memanggilnya.
"He, kau!"
Orang itu berseru dari seberang jalan.
Sporty menengok dan menyadari bahwa ia yang dimaksud.
Salah seorang pelayan Itali tadi berdiri di depan restoran dan memberi isyarat pada Sporty agar mendekat.
Ada apa ini, tanya Sporty dalam hati.
Pelayan itu tersenyum lebar.
Pakaiannya mungkin meniru pakaian adat di Itali.
celana gelap, baju putih, rompi merah, dan sebuah selendang hijau yang dililitkan pada perutnya, tanpa dapat menyembunyikan lapisan lemak yang tertimbun di sana.
Pelayan itu memelihara kumis lebat, dan kedua pipinya nampak menggelembung "Wah, kau benar-benar hebat...' ia menegur dengan ramah.
"Aku senang melihat kau mempermalukan bajingan itu. Seharusnya sudah lama ada yang melakukannya. Ia memang pantas menerima pelajaran itu. Si Seibold, maksudku. Tapi kau harus hati-hati menghadapi Borello. Hanya itu saja yang hendak kukatakan padamu."
"Terima kasih atas peringatannya. Apakah si Borello itu berbahaya?"
"Jangan main-main dengan dia. Kata-kata yang kauucapkan padanya-wah, kalau aku sih tidak akan berani berbuat seperti itu."
"Memangnya kenapa? Aku hanya sekadar mengatakan pendapatku. Apakah Anda tahu di mana si 'Borello itu bekerja?"
"Borello pedagang mobil baru dan bekas. Orangnya kaya-raya. Dan tidak mengenal belas kasihan. Kau perlu berhati-hati. Soalnya,"
Pelayan itu mulai berbisik-bisik.
"dengar-dengar ia punya hubungan dengan Mafia. Menurut kabar burung, Borello punya banyak kaki-tangan di kalangan orang tidak beres."
Hm, rasanya ia terlalu mengada-ada, pikir Sporty. Aku tidak yakin bahwa si Borello benar-benar anggota jaringan penjahat yang tersebar di seluruh dunia itu. Tapi bagi orang-orang Itali, rupanya setiap penjahat sudah pasti bekerja untuk Mafia.
"Untung Bapak memberi tahu aku,"
Kata Sporty sambil berjabatan tangan dengan pelayan itu.
Ia lalu kembali ke asrama.
Ketika ia tiba di sana, jam pelajaran tambahan sudah hampir habis.
Guru yang bertugas sore itu adalah Dr.
Lemberg, yang antara lain juga mengajar bahasa Jerman di kelas 9a.
Orangnya agak pendiam, tetapi ramah.
Murid-murid menyukainya.
Pengetahunnya dalam bidang bahasa Jerman sangat mendalam, sehingga guru-guru lain pun sering berkonsultasi padanya.
Dr.
Lemberg telah mencatat ketidakhadiran Sporty.
Ia sangat terkejut ketika mendengar alasan anak itu.
"Baru kali ini ada murid yang memberi alasan seperti kau. Sukar dipercaya!"
Ia berkomentar sambil geleng-geleng kepala.
Sporty telah menceritakan semua hal yang menyangkut Seibold.
Tapi keterlibatan Bettger dan Drechsel dengan sengaja tidak ia singgung-singgung.
Persoalan itu akan menimbulkan terlalu banyak keributan, sementara Sporty belum dapat membuktikan apa-apa.
Oskar, yang turut mendengarkan percakapan antara Sporty dengan Dr.
Lemberg, berusaha mengurangi ketegangannya dengan makan coklat.
Setengah jam lagi.
Sporty duduk di bangkunya.
Ia berkonsentrasi penuh, dan berhasil menyelesaikan tugas terjemahan bahasa Prancis-satu-satunya pekerjaan rumah untuk besok.
Seusai jam pelajaran tambahan, Oskar dan Sporty berjalan ke SARANG RAJAWALI.
"Enak ya, kau bisa mengalami macam-macam, sementara aku terpaksa menghabiskan waktu untuk membuat pekerjaan rumah,"
Kata Oskar sambil merebahkan diri di atas tempat tidur.
"Tunggu sampai kaudengar semuanya,"
Jawab Sporty. Ia lalu melaporkan segala peristiwa yang dialaminya tadi.
"Dasar bajingan!"
Cetus Oskar setelah tahu bahwa pencurian sepeda temannya didalangi oleh Bettger dan Drechsel.
"Tapi jangan takut, mereka juga akan dapat giliran."
"Ada satu hal yang terus-menerus menghantui pikiranku.
"
Oskar berjalan ke arah jendela, dan menatap temannya dengan pandangan bertanya-tanya.
"Yaitu?"
"Apakah mungkin si Borello terlibat dalam aksi teror terhadap Bu Mubo? Mereka kan belum resmi bercerai. Aku rasa si Borello dulu pasti bersandiwara terus di depan istrinya. Tetapi setelah kedoknya terbongkar, Bu Mubo lalu tidak mau berurusan lagi dengannya, dan mengajukan permohonan perceraian."
"Hm, aku tahu arah pembicaraanmu,"
Ujar Oskar.
"Kau tentu menduga bahwa si Borello merasa sakit hati. Bu Mubo telah mengusik harga dirinya. Bajingan itu bukannya berpisah secara baik-baik, eh, malah menghancurkan jendela di rumah istrinya, merusak mobil Bu Mubo, dan memaki-makinya melalui telepon. Ia...
" .
"Bukan dia sendiri yang melakukannya,"
Sporty memotong.
"Borello pasti menyuruh orang lain. Ia sendiri tetap di belakang layar, tanpa perlu repot-repot. Si Borello itu bosnya. Ia membayar anak-anak buahnya untuk melaksanakan pekerjaan kotor itu."
Oskar mengangguk.
"Pekerjaan kotor. Ya, ia memang punya banyak tukang sampah-tapi maksudku bukan para pekerja yang rajin membantu kita agar tidak tenggelam dalam sampah. Kau benar. Borello punya anak buah seperti si Seibold itu. Gila, 1000 Mark diberikan begitu saja. Apa katanya tadi?"
"Tenang saja. Aku bisa menanganinya. Sebentar lagi ia akan menyerah. Itulah yang dikatakannya."
"Mencurigakan sekali."
Untuk beberapa saat kedua sahabat itu sibuk dengan pikiran masing-masing.
Udara petang yang sejuk mulai menyusup ke dalam SARANG RAJAWALI.
Di ufuk barat matahari sebentar lagi akan tenggelam.
Sinarnya menerangi tepi hutan dengan warna kecoklat-coklatan.
Di atas halaman sekolah, sekawanan burung layang-layang melintas beradu cepat terbang pulang ke sarang.
Dari dapur besar yang terdapat di lantai bawah, kini terdengar bunyi piring, gelas, sendok, garpu, panci, dan peralatan memasak lainnya.
Seperempat jam lagi semua murid asrama akan dipanggil untuk makan malam bersama.
Seperti sebuah keluarga besar saja, pikir Sporty.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana suasana makan malam setelah semuanya lulus dan berkeluarga.
Apakah akan sama ramainya dengan sekarang? "He, Sporty, coba tebak apa yang akan dihidangkan nanti.
"
Kata Oskar tiba-tiba.
"Teh pahit."
"Ah, aku serius nih. Sejak pertama aku tinggal di sini minumannya memang selalu teh pahit. Maksudku tadi makanannya.
"
"Baunya sih seperti ikan."
"Wah, gawat!"
Oskar mendesah.
"Berarti kita hanya dikasih roti sosis."
"Dan sekarang juga ada bau bawang."
"Nah, sudah mulai lumayan. Kita memang jarang dapat strawberry di sini. Sayangnya buah-buah itu selalu berbau bawang."
"Kenapa kau tidak protes pada juru masak saja?"
Sporty mengusulkan.
"Tapi hati-hati, kalau ia lagi kesal, bisa-bisa kau dijadikannya daging cincang. Dan kami yang terpaksa menghabiskannya."
"Dasar kanibal! Aku kan akrab sekali dengan juru masak kita. Ia sangat senang kalau ada orang yang dapat menghargai masakannya."
Sewaktu bel dibunyikan, mereka berdua segera keluar kamar dan bergabung dengan anak-anak lain yang menuju ke ruang makan.
Seperti biasanya, di pintu masuk anak-anak saling mendorong dan berebut masuk.
Oskar-si rakus-mencoba menyelinap, tetapi akhirnya tertahan juga.
Sporty termasuk salah satu di antara sedikit anak asrama yang tidak pernah didorong-dorong.
Semua penghuni asrama sudah tahu bahwa ia jago judo.
Tetapi justru sekarang tiba-tiba ia menerima senggolan keras dari belakang, sampai-sampai tubuhnya terdorong ke depan dan menabrak seorang murid kelas terakhir.
Sporty cepat-cepat minta maaf, berbalik badan, lalu menarik baju anak yang berdiri di belakangnya.
Ia terkejut ketika melihat wajah Ulrich Ranke yang pucat pasi di hadapannya.
"Maaf, maaf, Sporty,"
Ujar anak itu terbata-bata.
"Aku tidak sengaja. Ada yang mengait kakiku waktu aku lagi melangkah. Karena itu aku menabrakmu. Sungguh, aku tidak sengaja menyikutmu."
Sporty melepaskannya.
"Mungkin saja. Lain kali lebih hati-hati kalau jalan."
Ia yakin benar bahwa Ulrich Ranke tidak akan menabraknya secara sengaja.
Anak itu memang loyo, dan sama sekali tak berbakat dalam olahraga.
la benar-benar seorang penakut yang tidak berani berbuat apa-apa.
Mungkin ia bahkan tidak berani untuk mempunyai pendapat sendiri.
Ia termasuk orang-orang yang takut berbeda pandangan dengan orang lain, dan karena itu selalu membenarkan ucapan lawan bicaranya.
Sporty tidak menyukai Ulrich, tetapi ia merasa kasihan padanya.
Pernah suatu kali Ulrich hendak dikeroyok oleh kakak-beradik Schmidt, karena suatu persoalan yang sepele.
Tetapi pada waktu itu Sporty melindunginya.
Langsung saja kedua saudara itu mundur teratur.
Dalam mimpi pun mereka tidak akan berani berurusan dengan Sporty.
Ketika Sporty datang ke meja, Oskar sudah mulai melahap makanan di hadapannya "Ada kabar menggembirakan,"
Katanya.
"Ramalanmu tepat sekali. Malam ini disediakan teh pahit untuk kita.
"
"Terus apa lagi?" .
"Ikan goreng dengan kentang rebus. Pakai bawang segala."
Oskar mengeluarkan sekeping coklat dari kantung celananya.
"Coklat cocok dengan segala macam makanan. Untung aku selalu bawa persediaan."
Sewaktu makan, Sporty memandang piringnya sambil merenung.
"Kau tidak lapar?"
Tanya Oskar.
"Siapa bilang?"
"Atau kau sedang mencari strawberry di dalam kentang?"
"Hanya makanan saja yang ada di otakmu,"
Desah Sporty.
"Aku sedang memikirkan nilai-nilai yang lebih luhur."
"Apa itu, kalau aku boleh tahu."
"Aku lagi bingung, apakah kita perlu mengorek keterangan dari si Ulrich?"
"Dari si loyo itu? Untuk apa?"
"Aduh, dasar rakus! Si Ulrich kan anak 9a."
"Benar juga. Aku hampir lupa,"
Jawab Oskar sambil mengunyah.
"Setiap kali melihatnya, aku kira ia masih duduk di taman kanak-kanak."
"Padahal anaknya tidak bodoh."
"Huh,"
Kata Oskar.
"Aku juga tidak bisa dikatakan bodoh. Tapi coba lihat, bagaimana angka-angka di buku raporku? Orang buta huruf pun akan malu kalau harus menunjukkan nilai seperti itu pada orang tuanya."
Ia terbatuk-batuk karena keselak. Sporty menepuk-nepuk punggungnya.
"Gara-gara ikan brengsek itu. Durinya banyak benar!"
Oskar mengeluh.
"Kalau kauhabiskan seluruh isi teko teh itu maka ikannya bisa berenang-renang dengan leluasa di dalam perutmu.
"
"Usulmu boleh juga. Tapi untuk apa kau mau bicara dengan si Ulrich?"
"Karena dia anak 9a! Kalau mikir pakai otak dong, jangan pakai dengkul! Si Ulrich akan memberi tahu kita kenapa kelasnya memusuhi Bu Mubo."
"Mana mungkin ia mau bercerita?"
Tanya Oskar dengan ragu.
"Ah, kau hanya perlu memelototinya sebentar, dan ia akan menceritakan apa saja yang ingin kauketahui."
Ulrich Ranke duduk tiga meja di sebelah kanan mereka.
Ia tidak diajak berbincang-bincang oleh siapa pun.
Satu-satunya kesibukannya adalah membersihkan tulang ikan dari sisa-sisa daging.
Akhirnya Ulrich selesai makan dan berdiri.
Dengan lesu anak itu meninggalkan ruang makan.
Sporty dan Oskar segera mengikutinya.
Oskar hanya sempat menghabiskan tiga porsi, suatu hal yang amat disesalinya.
Dalam sekejap mereka telah menyusul Ulrich.
Anak itu sedang berdiri di depan papan pengumuman.
Ia menengok ke kiri dan ke kanan, seakan-akan bingung hendak berjalan ke mana.
"Eh, Ulrich, sudah lama aku ingin menanyakan sesuatu padamu,"
Sporty menegurnya "Kau ada waktu sekarang?"
"Ada apa sih?"
Tanya Ulrich dengan cemas. Barangkali ia mengira bahwa Sporty menaruh dendam karena peristiwa di ruang makan tadi.
"Persoalan ini tidak bisa dibicarakan di sini. Kita ke SARANG RAJAWALI saja. Di sana kita bisa ngomong dengan santai."
"Ayo, deh."
Bertiga mereka menaiki tangga ke lantai dua.
Setelah masuk ke kamar Sporty dan Oskar, Ulrich segera duduk di kursi belajar Sporty.
Oskar menawarkan coklat pada Ulrich, dan anak itu melahapnya seperti seseorang yang sudah tiga hari tidak makan apa-apa.
"Bagaimana pendapatmu mengenai Bu Muller-Borello?"
Tanya Sporty.
"Bu Mubo? Pendapatku mengenai... Hm. Tidak tahu juga, yah. Sebenarnya ia... Sebenarnya aku belum pernah memikirkannya."
"Apakah bisa dikatakan bahwa ia seorang guru yang baik dan ramah?"
Ulrich tidak dapat duduk dengan tenang.
"Ya, benar. Aku rasa kau memang benar."
"Siapa lagi di kelasnya yang berpendapat seperti itu? Bu Mubo kan wali kelas kalian, dan seharusnya semua murid punya pendapat mengenainya."
"Hm. Aku tidak tahu pasti. Ada sih beberapa orang yang berpikiran seperti itu. Tapi kami tidak pernah membicarakan hal itu."
Sporty berusaha untuk menahan kekesalannya. Si penakut yang kini duduk di hadapannya tidak pernah memikirkan apa pun, hanya agar tidak perlu mengemukakan pendapatnya.
"Jadi bisa dikatakan,"
Sporty melanjutkan.
"bahwa sebagian besar anak-anak 9a sebenarnya menyukai Bu Mubo. Tapi kenapa kalian tetap saja merongrongnya? Semuanya ikut serta. Bahkan kau, Ulrich, tidak ketinggalan. Kalian benar-benar kelas paling brengsek di sekolah ini. Kalian menteror Bu Mubo. Apa saja kalian lakukan untuk mengganggunya. Perbuatan kalian adalah tindakan paling keji dalam sejarah sekolah ini. Cepat, katakan apa yang sebenarnya sedang terjadi!"
Ulrich duduk dengan sikap bungkuk. Wajahnya yang lembek menunjukkan kebingungannya.
"Apa sih maksudmu, Sporty?"
"Aku minta kau bercerita mengapa kalian menyiksa Bu Mubo!"
Sporty menghardiknya.
"Oh, itu. Entahlah. Maksudku, aku juga tidak tahu sebabnya. Bettger dan Drechsel menyuruh kami. Yang lain ikut-ikutan saja. Hanya orang gila yang tidak mau turut. Akhirnya, semuanya jadi senang mengganggu Bu Mubo. Tapi aku tidak,"
Ia cepat-cepat menambahkan.
"Aku biasanya juga tidak berbuat apa-apa."
"Jadi, kalian dihasut oleh Bettger dan Drechsel?"
Ulrich mengangguk. Terheran-heran Sporty menggeleng-geleng.
"Dan semuanya mau saja? Tidak ada yang melawan? Masa anak-anak 9a semuanya pengecut?"
"Bukannya begitu. Semuanya ketakutan. Mula-mula ada tiga anak yang tidak mau ikut. Frenzel, Dippe, dan Zollitseh. Tapi sore harinya mereka dicegat di kota dan dikeroyok sampai harus dirawat di rumah sakit."
"Siapa yang mengeroyok mereka?"
"Bettger dan Drechsel juga ikut. Selain itu juga ada tiga prokem. Umur mereka sekitar delapan belas tahun. Salah satu dari mereka dipanggil 'King' Nah, setelah kejadian itu, justru Frenzel, Dippe, dan ZoUitseh yang paling bersemangat menyiksa Bu Mubo. Masuk akal, bukan? Mereka tidak mau ambil risiko dihajar untuk kedua kalinya. Peristiwa itu merupakan peringatan bagi anak-anak lain Sejak itu tidak ada yang berani melawan, soalnya Drechsel dan Bettger punya dukungan prokem-prokem itu. Seluruh kelas 9a dilanda ketakutan."
Ulrich menggigil. Bayangan bahwa ia mungkin saja menjadi korban keganasan berandal-berandal itu membuat wajahnya menjadi pucat pasi.
"Oke, deh,"
Kata Sporty.
"Hanya itu yang aku ingin tahu. Eh, masih ada satu hal. besok kalian ada pelajaran Bu Mubo?"
"Ada. Dua jam bahasa Inggris. Mulai jam keempat sampai jam kelima." 7. Peringatan bagi Para Perusuh CUACA keesokan harinya ternyata sama sekali tidak nyaman. Langit diselimuti awan tebal, dan matahari seakan-akan enggan bersinar. Dinginnya udara pagi membuat Oskar menggigil. Ia berdiri di pintu gerbang sekolah, menunggu kedatangan Petra dan Thomas. Oskar mendapat tugas untuk segera menyampaikan rencana Sporty pada kedua sahabatnya itu. Sementara itu, Sporty berdiri di samping pintu ruang kelas 9a. Murid-murid berdatangan satu per satu. Ulrich Ranke juga memasuki kelasnya. Dengan heran ia menatap Sporty. Bettger dan Drechsel datang bersamaan dan paling akhir. Mereka hanya mendelik ke arah Sporty, lalu masuk kelas. Bettger hendak membanting pintu, tetapi Sporty mencegahnya. Cepat-cepat si pengacau itu mundur, dan Sporty melangkah masuk. Sebagian besar anak-anak 9a telah duduk di tempat masing-masing. Beberapa orang berdiri dekat jendela. Dalam beberapa menit lagi jam pelajaran pertama akan dimulai. Sporty berdiri di samping meja guru. Ia akan memberikan suatu sambutan singkat. Kata-katanya sudah dipersiapkan tadi malam.
"Halo,"
Ujar Sporty dengan lantang.
"Coba dengarkan aku sebentar. Apa yang akan kukatakan menyangkut kalian semua."
Anak-anak 9a terheran-heran. Mereka yang tadi masih sibuk berbincang-bincang, kini mengarahkan perhatian pada Sporty.
"Aku sudah tahu bahwa kalian terus menteror Bu Mubo,"
Kata Sporty keras-keras.
"Dan aku juga sudah tahu bahwa yang bertanggung jawab sebenarnya cuma Bettger dan Drechsel. Yang lainnya hanyalah segerombolan pengecut yang mudah digertak. Bu Mubo kan guru yang baik. Ia tidak pantas diperlakukan seperti itu. Aku sama sekali tidak mengerti kenapa Bettger dan Drechsel menghasut-hasut kalian. Tapi satu hal ingin kutegaskan. mulai saat ini aksi teror kalian harus dihentikan. Supaya jelas. siapa yang masih berulah, macam-macam akan berhadapan denganku, mengerti?"
Ia berhenti sejenak dan menatap wajah-wajah di hadapannya. Sejumlah anak memandangnya dengan mata terbelalak, seakan-akan ia merupakan salah satu keajaiban dunia. Beberapa menunduk malu. Hanya Bettger dan Drechsel yang nyengir mengejek.
"Supaya kalian tahu teman macam apa Bettger dan Drechsel ini,"
Sporty melanjutkan.
"aku akan menceritakan peristiwa yang kualami kemarin. Sepeda balapku dicuri di dekat Taman Balai Kota, oleh seorang pemuda berandal yang dipanggil 'King', tapi sebenarnya bernama Otto Seibold. Beberapa saat sebelum pencurian itu terjadi, Bettger dan Drechsel masih duduk-duduk bersama-sama si King di suatu kedai minum. Aku tahu persis bahwa mereka dapat melihat sepeda balapku. Dan tentu saja Bettger dan Drechsel seharusnya juga dapat menyaksikan pencurian itu, soalnya keduanya tetap duduk di tempat duduk semula. Sewaktu aku menanyai mereka, Bettger dan Drechsel mengaku tidak melihat apa-apa dan malah mengejekku. Tapi aku yakin bahwa mereka berdusta. Aku juga yakin bahwa merekalah yang mendalangi pencurian itu, dengan memanfaatkan teman prokem mereka.
"Nyatanya rencana mereka gagal total, karena aku sudah memperoleh sepedaku lagi. Dan polisi juga sudah tahu ulah si Seibold. Kalian jangan mau ditakut-takuti oleh Bettger dan Drechsel. Konyol betul, kalau mereka sampai berhasil merusak suasana di sekolah kita."
Bel kedua sudah lama berbunyi. Setelah mengucapkan kata terakhir, Sporty segera berbalik, hendak meninggalkan kelas. Di ambang pintu ia hampir bertabrakan dengan Dr. Lemberg.
"Maaf,"
Sporty bergumam-lalu hendak lewat di samping guru itu.
"Saya sudah agak lama berdiri di sini,"
Kata Pak Lemberg.
"Sudah sejak kau mulai memberi sambutan. Aku tidak ingin memotongmu tadi."
Tanpa berkomentar apa-apa lagi, Pak Lemberg kemudian menambahkan.
"Cepat kembali ke kelasmu. Nanti kau terlambat."
Sporty bergegas.
Nanti siang semua guru pasti sudah tahu, ia berkata dalam hati.
Biar mereka mengerti siapa biang keladi kerusuhan di kelas 9a.
Pelajaran di kelas Sporty telah dimulai-dan guru yang mengajar justru Bu Raul.
Wah, aku bisa kena semprot lagi, pikir Sporty.
Alasan apa lagi yang bisa aku berikan? Tetapi-sungguh ajaib! Bu Raul hanya memandangnya dengan tatapan lembut.
"Ayo, cepat duduk di tempatmu,"
Katanya.
Petra tersenyum ke arah Sporty, ketika anak itu duduk di bangkunya sambil menarik napas lega.
Oskar telah melaporkan apa yang dikerjakan Sporty.
Thomas tersenyum lebar, dan mengacungkan jempol.
Bu Raul berdiri di belakang meja guru.
Senyumnya yang masam.
kelihatan sekali dibuat-buat, tetapi itu sudah merupakan suatu perubahan tingkah laku yang besar.
Ia mengeluarkan tiga kertas ulangan dari mapnya.
"Ibu perlu menyampaikan sesuatu,"
Ujarnya.
"Secara tidak sengaja Ibu telah membuat kesalahan pada penilaian ulangan terakhir. Ibu... Ibu keliru menuliskan angka pada ulangan salah seorang teman kalian. Untung anak itu tidak tinggal diam, dan Ibu masih sempat mengubah nilainya. Ia seharusnya dapat nilai 1."
Petra berusaha keras untuk tidak bersorak. Sambil tersenyum cerah ia menerima kertas ulangannya.
"Terima kasih banyak, Bu,"
Katanya dengan riang.
Petra menengok ke belakang, dan mengedipkan mata pada sahabat-sahabatnya.
Tanpa berkomentar apa-apa, Bu Raul mengembalikan kertas ulangan Thomas dan Sporty.
Sukses besar! pikir Sporty.
Kita harus berterima kasih pada Bu Mubo.
Ia pasti telah bersusah payah agar Bu Raul mau mengubah penilaiannya.
Bu Mubo memang luar biasa.
Kenapa Bettger dan Drechsel begitu membencinya? Aneh! Pasti ada sebabnya.
Begitu bel tanda istirahat berbunyi dan Bu Raul meninggalkan kelas, Petra langsung dikelilingi oleh teman-temannya.
Oskar menyalaminya dengan gaya resmi, dan Thomas berbicara mengenai kemenangan kebenaran atas ketidakadilan.
Sporty mengucapkan selamat, lalu bergegas keluar kelas.
"Aku mau ke kelas 9a sebentar,"
Ia berkata pada ketiga sahabatnya.
"Aku ingin tahu apakah Bettger dan Drechsel masih membuat ulah."
Dengan langkah panjang ia menyusuri selasar.
Dr.
Lemberg sudah berjalan menuju ruang guru Kelas 9a hanya berjarak beberapa ruang dari kelas Sporty.
Semua pintu kelas terbuka lebar.
Hanya pintu kelas 9a yang tertutup rapat.
Dari balik pintu terdengar suara Bettger.
Sporty mencoba membuka pintu, tetapi pegangan pintu tidak dapat digerakkan sama sekali.
Mungkin diganjal dengan kursi dari dalam.
"Bagaimana?"
Tanya Oskar. Ia bersama Petra dan Thomas telah menyusul Sporty.
"Sst,"
Anak itu mendesis sambil menempelkan telinga ke daun pintu.
" ... karena itu pikirkanlah pilihan kalian dengan matang,"
Kata Bettger. Rupanya ia sedang berbicara pada teman-teman sekelasnya, karena hanya suaranya yang terdengar.
"Kalau berurusan dengan si Carsten, maka kalian tidak akan cedera. Si tolol itu takkan tega menghajar kalian habis-habisan. Tetapi bayangkan kalau kalian dihajar oleh King Seibold dan gerombolannya dan setiap hari lagi! Masih ingat bagaimana nasib Frenzel, Dippe, dan Zollitseh? Daripada harus menanggung risiko seperti itu, lebih baik kalian pindah saja dari sekolah ini.
"Aku memperingatkan kalian. Awas kalau ada yang menjawab pertanyaan Bu Mubo! Siapa pun yang ditanya, jangan buka mulut! Yang berani membangkang akan kucatat pada daftar hitam-dan daftarnya akan kuserahkan pada si King. Jelas?! Satu-satunya perkecualian. kalau Bu Mubo bawa Kepala Sekolah ke sini, maka kalian harus bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Biar aku yang membereskannya. Awas, kalau ada yang berani macam-macam!"
Suasana di kelas 9a tetap hening. Tidak ada yang berani menjawab.
"Apa-apaan ini?"
Bisik Petra.
"Masa satu kelas takut sama satu orang?"
"Awas, Pak Guru datang,"
Kata Oskar.
Sementara mereka asyik menguping, bel tanda mulainya pelajaran berikut telah berbunyi-dan guru matematika berjalan mendekat dengan cepat.
Sporty mendengar bahwa kursi pengganjal pintu ditarik kembali.
Tetapi kini mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Mereka harus kembali ke kelas mereka sendiri.
"Kalau begini caranya,"
Kata Petra.
"seharusnya semua anak 9a dikeluarkan dari sekolah. Tapi hal semacam itu belum pernah terjadi."
"Mereka ketakutan,"
Sporty berkomentar.
"dan akhirnya mereka ikut bersalah karena terlalu dicekam ketakutan -seperti kita lihat sendiri. Tapi apakah karena itu semua anak 9a harus dijatuhi hukuman berat? Di mataku, pengecut-pengecut itu tidak ada harganya. Aku hanya merasa kasihan pada mereka. Aku rasa, sebenarnya sudah cukup kalau Bettger dan Drechsel saja yang disingkirkan dari peredaran. Merekalah biang keladi kerusuhan di kelas 9a."
"Kita wajib membebaskan anak-anak 9a dari... eh... oknum-oknum pengacau itu,"
Thomas memberi tanggapan.
"Tapi bagaimana caranya?"
Pak Guru belum masuk ke kelas, sehingga mereka masih punya sedikit waktu.
Cepat-cepat keempat sahabat itu berembuk.
Tanpa perlu berdiskusi panjang-lebar, mereka mencapai kesepakatan.
Pada waktu istirahat berikut, mereka akan pergi ke ruang guru dan berbicara dengan Bu Mubo.
Tidak satu pun di antara keempat sahabat itu memperhatikan pelajaran biologi dengan tekun.
Hal itu patut disayangkan, karena pembicaraannya mengenai kulit manusia, dan Pak Kausch telah berusaha keras untuk membuat anak-anak tertarik.
Namun, pikiran Sporty dan teman-temannya memang sedang menerawang jauh.
Tidak lama setelah bel istirahat berbunyi, mereka telah berada di depan ruang guru.
Sporty mengetuk pintu.
Pak Braun yang keluar, dan Sporty segera mengatakan bahwa ia ingin bertemu dengan Bu Muller-Borello.
Guru wanita itu menemui anak-anak di selasar.
Ia tersenyum ramah, dan mungkin mengira bahwa kedatangan mereka hanya sehubungan dengan perbaikan nilai ulangan Petra.
Gadis itu langsung mengucapkan terima kasih.
Tetapi Bu Mubo mengatakan bahwa ia memang wajib membantu bila terjadi kekeliruan dalam penilaian -apalagi kalau menyangkut pelajaran bahasa Inggris.
"Kami masih ada keperluan lain,"
Kata Sporty kemudian.
"Kami hendak memberi tahu Ibu, bahwa anak-anak kelas 9a telah merencanakan untuk mempermainkan Ibu pada saat mengajar mereka."
Bu Mubo mengamati Sporty dengan pandangan bertanya-tanya.
"Saya dapat kabar bahwa ada seorang murid yang sangat bersemangat dalam membela saya. Dr. Lemberg telah bercerita mengenai tindakan anak itu tadi pagi."
Sporty merasakan wajahnya menjadi merah. Cepat-cepat ia berkata .
"Bukan hanya saya, Bu Mubo, yang tidak setuju dengan ulah anak-anak itu. Teman-teman saya-dan sebenarnya semua murid lain-juga sependapat. Hanya anak-anak 9a saja yang tidak mau pakai otak. Bettger dan Drechsel mengancam bahwa teman-teman berandal mereka akan menghajar setiap anak yang tidak ikut dalam aksi teror melawan Ibu."
Sporty lalu bercerita secara terperinci, juga mengenai rencana Bettger dan Drechsel untuk hari ini.
Wajah Bu Mubo menjadi pucat pasi ketika mendengar laporan itu.
Kelopak matanya bergetar, dan ia berusaha keras untuk menguasai diri.
Tetapi Sporty mendapat kesan bahwa guru wanita itu sebentar lagi akan menangis.
"Kenapa mereka tega berbuat seperti itu?"
Bu Mubo bertanya dengan suara datar.
"Dua-duanya bukan murid yang baik. Tapi selama ini saya selalu bersikap lunak terhadap mereka. Menurut rencana, mereka akan meninggalkan sekolah pada akhir tahun pelajaran ini untuk mulai bekerja. Kenapa mereka begitu membenciku? Kenapa mereka begitu kejam?"
Sporty langsung teringat pada Antonio Borello, suami Bu Mubo. Hampir saja ia mengemukakan kecurigaannya, tapi akhirnya membatalkan niatnya, karena merasa saatnya kurang tepat.
"Kalau kami boleh usul,"
Ia berkata kemudian.
"ada baiknya kalau Bettger dan Drechsel disuruh menghadap Kepala Sekolah sebelum jam pelajaran keempat dimulai. Kami bisa membuktikan bahwa merekalah yang menghasut anak-anak lain. Mereka pasti akan memperoleh peringatan keras. Kecuali itu-tanpa mereka, anak-anak lain pasti tidak akan berulah macam-macam. Dengan demikian sekaligus bisa diperlihatkan siapa yang mendalangi aksi teror di kelas itu. Ibu guru itu mengangguk.
"Saya akan segera membicarakan hal ini dengan Bapak Kepala Sekolah."
Sepanjang jam pelajaran kedua.
Sporty memaksakan diri untuk mengikuti pelajaran dengan berkonsentrasi penuh.
Tetapi ia tetap tidak dapat memusatkan pikirannya.
Ketiga sahabatnya juga menunggu kejadian selanjutnya dengan tegang.
Pada waktu pergantian pelajaran berikutnya.
mereka mendapatkan jawabannya.
Pak Kepala Sekolah mengutus sekretarisnya ke kelas 9a untuk memanggil Bettger dan Drechsel.
Dengan wajah berkerut-kerut kedua anak itu ikut ke kantor.
Sporty berdiri di ambang pintu kelasnya dan tersenyum pada mereka.
"Ini pasti gara-gara kau!"
Desis Drechsel sambil lewat.
"Memang. Pak Kepsek sudah tahu semuanya, Selamat bersenang-senang."
Pada waktu istirahat antara jam keempat dan jam kelima, keempat sahabat yang tergabung dalam kelompok STOP berdiri di selasar. menunggu Bu Mubo. Dengan wajah bahagia ia keluar dari kelas dan berhenti di depan anak-anak itu sambil tersenyum.
"Kedua perusuh itu masih ada di kantor Kepala Sekolah dan anak-anak yang lain berubah sama sekali. Seluruh kelas mengikuti pelajaran saya dengan sangat tekun seakan-akan hendak memperbaiki kesalahan yang telah mereka lakukan."
"Dan selama itu Pak Kepala Sekolah tetap menahan Bettger dan Dreehsel?"
Tanya Thomas terheran-heran. Bu Mubo mengangguk.
"Tadi memang sudah disepakati. Sampai saat ini Pak Kepala Sekolah belum berbicara sepatah kata pun pada mereka. Keduanya pasti sudah kapok sekarang. Baru sekitar akhir jam pelajaran berikut mereka diperbolehkan kembali ke kelas, supaya saya punya gambaran bagaimana anak-anak lain bersikap kalau mereka tidak ada di kelas."
Pada jam berikutnya, Bu Mubo tetap dapat mengajar dengan baik.
Anak-anak kelas 9a sama sekali tidak membuat ulah.
Bettger dan Drechsel baru kembali ketika jam pelajaran bahasa Inggris sudah hampir usai.
Dari Ulrich Ranke, Sporty dan teman-temannya kemudian mendengar bahwa keduanya masuk kelas sambil tersenyum mengejek.
Mereka kelihatannya belum kapok.
"Justru sebaliknya,"
Kata Ulrich.
"Mereka hanya ketawa-ketawa waktu Bu Mubo menanyakan apakah mereka masih mau mengganggu pelajaran. Lalu Bettger bilang, peringatan keras yang mereka terima itu tidak pada tempatnya. Ia mengaku bahwa mereka telah jadi korban fitnah, dan bahwa mereka telah tahu siapa yang harus bertanggung jawab. Ia memperingatkan orang itu agar selanjutnya lebih berhati-hati."
Ulrich menatap Sporty dengan mata terbelalak.
"Pasti kau yang mereka maksud, bukan? Wah, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Mereka berdua-dan juga King Seibold beserta gerombolannya-mengincarmu. Dan kalian juga,"
Ia berkata pada Petra, Thomas, dan Oskar.
"Semua orang tahu bahwa kalian selalu bersama-sama."
"Peringatan keras,"
Ujar Sporty.
"Ini baru adil."
"Kalau mereka masih berani membuat onar,"
Kata Petra.
"maka mereka bisa langsung dikeluarkan dari sekolah."
"Apakah orang tua mereka diberi tahu mengenai kejadian ini?"
Tanya Oskar.
"Tentu saja. Orang tua mereka akan dikirimi surat dari sekolah."
Jawab Ulrich.
"supaya tahu bagaimana ulah anak-anak mereka."
Namun Bettger dan Drechsel rupanya tidak ambil pusing. Setelah jam pelajaran keenam. Sporty secara kebetulan mendengar percakapan mereka dengan seorang murid lain.
"Masa bodoh amat dengan peringatan itu."
Bettger berkoar keras-keras.
"Mau dikeluarkan dari sekolah pun-karir kita tidak akan terganggu!"
Drechsel menambahkan sambil tertawa-tawa.
"Kita sudah punya tempat kerja, tidak perlu pakai ijazah sekolah segala!"
"Boleh juga,"
Murid tadi menanggapi mereka.
"Di mana kalian akan bekerja?"
"Di Borello-Motor,"
Jawab Drechsel.
"Pertama-tama kita ikut training, lalu diangkat sebagai pegawai tetap. Pokoknya hebat, deh! Itulah gunanya koneksi."
Sporty terpaku di tempat.
Nah, ini baru kejutan! Sekarang hampir bisa dipastikan bahwa kedua pengacau itu mempunyai hubungan dengan Antonio Borello.
Bolehkah ia menyembunyikan hal ini dari Bu Mubo? Petra, Thomas, dan Oskar-yang mendahuluinya-berdiri di depan papan pengumuman.
Mereka sedang berbincang-bincang dengan Bu Mubo.
Ibu guru itu baru saja hendak melangkah pergi.
Melihat wajah-wajah cerah di hadapannya, Sporty langsung menebak bahwa mereka tadi membicarakan sesuatu yang menyenangkan dengan Bu Mubo.
"Bayangkan, Sporty,"
Kata Petra cepat-cepat.
"Kami diundang."
"Ya, oleh Bu Mubo,"
Thomas menambahkan.
"Nanti sore, pukul tiga."
"Untuk minum kopi dan makan kue,"
Oskar melengkapinya. Ia nampaknya sangat bersemangat.
"Aku juga diundang?"
Tanya Sporty.
"Pakai nanya segala,"
Ujar Petra sambil geleng-geleng. Sporty nyengir.
"Kami akan menjemputmu, Petra. Pukul setengah tiga tepat. Oh, ya, sebelum lupa, sebaiknya kita bawa karangan bunga, yang kecil saja juga cukup. Kau bisa mengusahakannya, Thomas?" 8. Berkunjung ke Rumah Bu Mubo HUJAN baru saja mereda. Lapisan awan mulai terkuak, dan langit biru kembali membentang di atas kota. Udaranya bersih. Mereka-Sporty, Thomas, dan Oskar-telah menjemput Petra di rumahnya. Keempat sahabat itu kini bersepeda melintasi kota. Bello berlari dengan riang di samping sepeda Petra. Gadis itu sebenarnya agak ragu-ragu membawa anjingnya, soalnya siapa tahu Bu Mubo keberatan. Namun kemudian Sporty dan Oskar berhasil meyakinkan teman mereka itu. Ke mana pun Bello dibawa, mereka berdalih, ia tidak pernah membuat onar. Dan Bello bahkan bisa bermain-main dengan Astor, anak anjing milik Marco. Mereka melewati sekelompok pekerja yang sedang sibuk menggali lubang di tepi jalan. Sambil buka baju, mereka membanting tulang di bawah terik matahari. Salah seorang dari mereka nampak seperti buku komik berjalan, karena seluruh badannya dipenuhi gambar tato. Lengan, dada, dan bahu orang itu ditutupi gambar bunga, burung elang, kapal layar, bahkan sebuah gambar hati tertembus panah. Sporty bercerita bahwa Pak Seibold juga mempunyai tato di lengannya. Thomas, si Komputer, segera memanfaatkan kesempatan ini untuk memamerkan kebolehannya.
"Hanya orang-orang tertentu saja yang senang ditato,"
Ia memulai penjelasannya.
"Soalnya, gambar tato itu harus terus dipakai seumur hidup. Memang, gambar tato yang kecil bisa dihapus dengan berbagai cara, tetapi pasti ada bekasnya. Dan bekasnya itu biasanya malah lebih mengganggu daripada gambar tato itu sendiri. Dulu hanya para pelaut, para gelandangan, dan para penjahat yang memakai tato, tetapi sekarang orang-orang biasa pun mulai menggemarinya. Barangkali dengan demikian mereka hendak membedakan diri dari orang-orang lain.
"Tato telah dikenal di Jepang sejak 1500 tahun yang lalu. Di Eropa sempat dilarang, karena-alasan-alasan agama. Para penghuni pulau-pulau di daerah Lautan Teduh merajah kulit mereka untuk memperlihatkan dari suku mana mereka berasal. Gambar tato dibuat dengan cara memasukkan zat pewarna ke bawah kulit-hanya beberapa milimeter saja, sehingga tidak sakit Alat yang biasanya digunakan untuk itu adalah sebuah jarum rajah yang dilengkapi dengan motor listrik, dan bisa menusuk kulit sebanyak 7000 kali dalam satu menit. Zat pewarna khusus dialirkan melalui jarum itu. Tusukan-tusukan itu tentu saja mengakibatkan luka-luka kecil. Karena itu, tempat yang diberi tato harus diperban selama dua minggu. Baru setelah itu keindahan gambarnya bisa dikagumi.
"Gambar tato terindah dibuat di Jepang. Di sana bukan hanya beberapa bagian tubuh yang dirajah, tapi seluruh badan. Gambarnya sering kali menyerupai lukisan."
"Kedengarannya menarik juga,"
Ujar Oskar.
"Aku akan minta dibuatkan gambar tato berbentuk kepingan coklat di punggungku, lengkap dengan tulisan bahwa coklat buatan ayahku tidak ada tandingannya sedapnya. Habis itu, aku akan selalu buka baju kalau pergi, semacam iklan berjalan jadinya."
"Sekaligus orang-orang bisa melihat bagaimana akibatnya kalau makan coklat melulu,"
Petra berkomentar sambil ketawa.
"Kalau aku sih sama sekali tidak berminat untuk ditato,"
Kata Sporty..
"Padahal sebenarnya kau pantas kalau memakai tato kecil berbentuk hati pada lenganmu,"
Kata Petra.
"Di bawahnya kau bisa menambahkan nama gadis yang menjadi idamanmu."
"Wah, terlalu bahaya,"
Jawab Sporty sambil nyengir.
"Bagaimana kalau dua minggu kemudian aku dapat idaman baru? Bisa gawat kalau begitu! Selama hidupku aku akan terikat pada nama seseorang yang sebenarnya sudah ingin kulupakan."
"Kalau nama itu adalah namaku, bagaimana?"
Tanya Petra sambil menatap Sporty.
"Sebagai kenang-kenangan persahabatan kita,"
Ia menambahkan cepat-cepat.
"Petra Gloekner-agak panjang, bukan? Berarti namamu harus ditulis dalam beberapa baris, mulai dari bahu sampai ke siku. Dan supaya adil, nama Oskar Sauerlieh dan Thomas Vierstein juga harus dicantumkan. Aku akan dianggap sebagai buku alamat berjalan."
Tepat pada waktu yang telah dijanjikan, anak-anak itu tiba di rumah Bu Mubo.
Mereka mendorong sepeda masing-masing ke pekarangan rumah itu, lalu memasang kunci pengaman.
Setelah kejadian yang dialami Sporty, mereka semakin waspada.
Bu Muller, ibunya guru mereka, membuka pintu.
Petra menyerahkan karangan bunga yang mereka bawa.
Bu Mubo muncul tidak lama kemudian, dan semuanya ketawa ketika melihat Bello bermain-main dengan Astro.
Petra segera memanggil anak anjing itu dan menggendongnya Ia mengajak Astro bersalaman, tetapi anjing kecil itu belum mengerti.
Sebagai gantinya ia menjilat hidung gadis itu.
Marco turun dari tangga dan menyalami keempat sahabat itu.
Dengan Astro dan Bello, ia kemudian kembali ke kamarnya.
"Anjingmu pasti betah di sana,"
Kata Bu Mubo pada Petra.
Meja di ruang tamu telah diatur rapi.
Bu Mubo menyediakan tart coklat dan kue donat.
Ia bertanya siapa yang mau minum susu coklat, siapa yang lebih senang teh, dan siapa yang memilih limun saja.
Setelah semua mendapatkan minuman yang disukai, Bu Mubo mulai memotong tart.
Tentu saja Oskar memperoleh potongan paling besar.
Akhirnya pembicaraan beralih pada Bettger dan Drechsel.
"Sekarang tinggal menunggu bagaimana tindakan mereka selanjutnya,"
Kata Bu Mubo.
"Hanya ada dua kemungkinan. mereka tunduk pada peraturan, atau dikeluarkan dari sekolah. Tapi sampai sekarang pun saya belum mengerti mengapa mereka berdua melakukan aksi teror itu."
Untuk sesaat semua terdiam. Kemudian Sporty angkat bicara.
"Suami ibu seorang pedagang mobil, bukan?"
Agak terkejut wanita itu menatap Sporty.
"Ya, benar,"
Katanya.
"Apakah Ibu tahu bahwa Bettger dan Drechsel akan mulai bekerja di perusahaan suami Ibu setelah tahun ajaran ini berakhir? Keduanya berkoar bahwa mereka sudah pasti diterima, dan bahkan tidak perlu menunjukkan ijazah sama sekali. Mereka mengaku punya koneksi."
Ya, Tuhan, pikir Sporty ketika melihat reaksi Bu Mubo. Mungkin seharusnya aku tidak menyampaikan berita ini. Aduh, wajahnya menjadi pucat seperti mayat. Bu Mubo menatap tangannya.
"Mengapa kau menceritakan ini pada saya?"
Ia bertanya dengan suara bergetar.
"Mudah-mudahan Ibu tidak kaget kalau mendengar lanjutannya,"
Kata Sporty.
"Kemarin saya bertemu dengan suami Ibu di Restoran Fattoria. Ia ditemani seorang pemuda berandal bernama King Seibold, orang yang telah mencuri sepeda balap saya. Saya melihat bahwa suami Ibu memberi uang 1000 Mark pada bajingan itu. Orang itu lalu menjawab bahwa ia bisa mengatasi masalah yang dihadapi suami Ibu, dan bahwa seseorang sebentar lagi akan menyerah."
Bu Mubo telah meletakkan cangkir tehnya pada tatakan. Tangannya gemetar.
"Ya, Tuhan!"
Ia berkata.
"Saya sudah menduganya, tapi selama ini saya tidak mau mempercayainya."
Tak seorang pun berkomentar. Bu Mubo tentu saja tidak perlu membeberkan semua rahasia perkawinannya pada keempat sahabat itu. Dan mereka juga tahu diri, dan tidak bertanya apa-apa. Tapi kemudian Bu Mubo sendiri yang mulai bercerita.
"Saya akan bercerai dari suami saya. Mengapa, itu tidak penting. Pokoknya baru belakangan saya tahu bagaimana sifat suami saya sesungguhnya. Ia pandai sekali menyembunyikannya. Kami berpisah sambil bertengkar. Masalahnya sekarang, siapa yang akan membawa Marco? Suami saya berkeras bahwa Marco harus ikut dengannya. Saya sangat mencintai anak saya, dan saya yakin bahwa saya bisa mendidiknya lebih baik daripada Antonio. Pertengkaran mengenai Marco akhir-akhir ini semakin sengit. Semuanya benar-benar tidak menyenangkan. Ketika saya terakhir bertemu dengan suami saya-kira-kira tiga minggu yang lalu-ia mengancam bahwa ia akan mencari jalan untuk memaksaku menyerahkan Marco padanya. Tidak lama kemudian, aksi teror tiba-tiba dimulai. Maksud saya, aksi perusakan rumah saya. Pada saat yang hampir bersamaan, anak-anak kelas 9a berubah menjadi segerombolan murid kurang ajar yang tidak dapat dikendalikan. Mereka mencoba segala cara untuk menakut-nakuti saya. Saya tidak berusaha untuk mencari hubungan antara tingkah anak-anak dengan kesulitan yang saya alami di luar sekolah. Tetapi saya sudah curiga bahwa aksi teror kehidupan pribadi saya diatur oleh Antonio. Masuk akal, jika ia menyewa orang lain untuk melempari jendela-jendela rumahku dengan batu."
Bu Mubo memandang ke luar ruang tamu. Kaca jendela yang pecah berantakan telah diganti.
"Saya tidak akan heran kalau Detlef Bettger dan Joachim Drechsel juga dipengaruhi oleh Antonio."
Ia melanjutkan.
"Bayangkan, ia menghasut anak-anak muda itu untuk menteror saya dan sebagai imbalan, mereka bahkan diberi tempat kerja di perusahaannya."
Sporty menunggu sesaat sebelum memecahkan keheningan.
"Tapi kalau memang begitu apa yang ingin dicapai oleh suami Ibu?"
"Kaki-tangan Antonio itu sudah mengemukakannya. Antonio ingin agar saya menyerah dan menyerahkan Marco secara sukarela padanya. Suami saya menganggap hal ini sebagai pertarungan antara dia dengan saya. Dan Marco jadi hadiah yang diperebutkan. Tapi saya yakin bahwa anak kami akan masuk ke lingkungan yang tidak baik apabila ikut dengan Antonio."
"Aku heran,"
Bisik Petra pelan.
"kok ada orang yang tega berbuat seperti ini?"
"Antonio bersedia memakai cara apa saja, untuk merebut Marco dari saya. Sebelum menikah dengan saya, ia sudah pernah berkeluarga di Prancis selatan. Di sana, suami saya punya seorang anak gadis. Ketika perkawinan itu berakhir dengan perceraian, Antonio mencoba menculik Madelaine, putrinya itu. Padahal, pengadilan telah memutuskan bahwa anak itu akan diurus oleh ibunya. Baru pada saat terakhir, ketika sudah dekat perbatasan, ia berhasil diberhentikan dan gadis cilik itu dikembalikan pada ibunya. Saya tahu semuanya ini dari wanita itu. Saya berkenalan dengannya ketika ia mengunjungi kami untuk menanyakan uang yang seharusnya dikirim suami saya setiap bulan."
Bu Mubo mengusap matanya.
"Saya takut sekali kalau-kalau Antonio akan berusaha menculik Marco begitu upaya secara hukum tidak berhasil. Sidang perceraian kami akan dilaksanakan besok, pengacara saya yakin bahwa pengadilan akan menyerahkan Marco pada saya. Tetapi Antonio tidak akan puas dengan keputusan itu. Saya dengar ia merencanakan menjual usahanya, dan kembali ke Itali. Ia pasti tidak mau pulang tanpa membawa Marco. Saya khawatir kalau Antonio sampai lupa diri dan berbuat nekat."
Sebenarnya tidak masuk akal kalau seorang ayah hendak menculik anaknya sendiri, pikir Sporty.
Tapi Bu Mubo benar.
Kalau ikut ayahnya, maka Marco pasti akan terbawa-bawa ke hal-hal yang tidak baik.
Jalan hidupnya seakan-akan sudah digariskan, kalau begitu.
Sedangkan dengan ibunya, anak itu mempunyai kesempatan sebesar-besarnya untuk berkembang.
"Apa yang akan Ibu lakukan,"
Tanya Sporty.
"seandainya suami Ibu memang punya rencana seperti itu?"
Bu Mubo mengangkat bahu. Ia nampak tak berdaya.
"Selama akhir pekan besok, ibu saya akan membawa Marco mengunjungi kenalan kami di luar kota. Mereka punya rumah peristirahatan di pinggir Danau Pagel. Tapi setelah itu..."
Ia berhenti berbicara dan mengangkat kepala karena mendengar bunyi dentaman.
Anak-anak juga mendengar suara itu.
Bunyinya seperti sebuah palu dihantamkan pada pelat baja.
Pada detik berikut terdengar raungan mesin sepeda motor.
Pengendaranya tancap gas, dan tidak lama kemudian suara knalpot sepeda motor itu telah menghilang di kejauhan.
Bu Mubo dan tamu-tamunya tidak dapat melihat apa-apa, karena semua jendela menghadap ke belakang.
"Itu... itu... saya... mobil saya diparkir di luar,"
Ujar wanita itu tergagap-gagap.
Semuanya beranjak dari tempat duduk.
Sporty yang pertama sampai di jalanan.
Mobil itu, sebuah sedan kecil berwarna biru, diparkir di tepi jalan.
Di sampingnya tergeletak sebuah batu sebesar kepala anak kecil.
Beratnya sekitar sepuluh kilo.
Seseorang telah menghantamkan batu itu pada mobil tadi.
Kap mesinnya penyok, dan catnya retak-retak.
Mesin mobil sampai terlihat melalui celah lebar di bagian pinggir kap mesin.
"Kurang ajar!"
Ujar seorang pria setengah baya yang datang dari seberang jalan.
"Hal semacam ini belum pernah terjadi selama saya tinggal di sini. Ini bukan sekadar tindakan anak-anak iseng, Bu Muller-Borello. Kelihatannya mereka memang punya rencana untuk merusak mobil Anda."
Bu Mubo dan teman-teman Sporty juga telah keluar ke jalanan. Marco rupanya tidak mengetahui apa yang terjadi. Tanpa sanggup berkata apa-apa, mereka berdiri mengelilingi mobil itu. Bu Mubo berusaha menahan air matanya.
"Mereka itu siapa, Pak Raditz? Apakah Bapak sempat melihat pelakunya?"
Ia bertanya pada pria tadi.
"Ya, tapi tidak begitu jelas. Saya sedang memotong rumput di pekarangan,"
Orang itu menjawab.
"ketika mendengar suara gaduh itu. Saya segera menengok, dan masih sempat melihat sebuah sepeda motor besar dipacu dengan kecepatan tinggi. Dua orang duduk di atasnya. Dua-duanya mengenakan helm dan pakaian kulit berwarna gelap. Sayang sekali saya tidak melihat wajah-wajah mereka, dan juga tidak sempat membaca pelat nomor sepeda motor itu."
Hanya itu yang diketahuinya. Akhirnya pria itu kembali ke rumahnya sambil geleng-geleng kepala. Bu Mubo nampaknya terpukul sekali dengan kejadian itu. Ia tak dapat mengalihkan pandangan dari kap mesin yang rusak. Oskar mengangkat batu tadi.
"Busyet, berat benar!"
Ia berkomentar sambil meletakkan batu itu pada tempat semula.
Sporty melangkah ke tengah jalan, memungut sesuatu, dan memasukkannya ke dalam saku celananya.
Petra dan Thomas memperhatikannya, tetapi tidak bertanya lebih lanjut.
Dalam keadaan termenung, semuanya kembali ke dalam rumah.
Sementara Bu Mubo menelepon polisi, Oskar cepat-cepat menyikat potongan kue coklat yang masih tersisa di piring.
"Kejadian-kejadian seperti ini membuat aku jadi gelisah,"
Katanya.
"akibatnya... mau tidak mau aku jadi lapar."
Tak seorang pun ketawa. Bu Mubo telah selesai menelepon, dan kini kembali ke ruang tamu.
"Saya minta agar kalian jangan menyinggung suami saya di depan polisi,"
Ia menghimbau.
"Mobil patroli sebentar lagi akan tiba. Saya tidak punya bukti bahwa Antonio memang terlibat dalam kejadian ini. Tapi kalau saya mengemukakan kecurigaan saya, maka pengacaranya dapat saja memanfaatkan hal itu untuk menyerang saya di ruang sidang pengadilan besok."
Anak-anak mengangguk.
"Sayang sekali,"
Bu Mubo kembali berkata.
"bahwa acara kita terpaksa berakhir seperti ini."
"Kami senang sekali berkunjung ke rumah Ibu,"
Jawab Sporty.
"Sekali lagi terima kasih atas kebaikan Ibu. Kami semua mendoakan agar Ibu berhasil di pengadilan besok."
Keempat sahabat itu masih menunggu sampai mobil polisi tiba.
Tetapi ternyata mereka tidak dibutuhkan sebagai saksi karena yang mereka lihat sama sedikitnya dengan Bu Mubo.
Akhirnya mereka berpamitan.
Petra menjemput Bello dari kamar Marco.
Kemudian mereka naik sepeda masing-masing menuju pusat kota.
Setelah bersepeda beberapa saat, Petra berhenti di tepi jalan.
"Apa sih yang kaupungut di tengah jalan tadi?"
Gadis itu bertanya pada Sporty. Tanpa berkata apa-apa, anak itu menyodorkan sebuah mata kalung tembaga sebesar telapak tangan. Pada sisi mukanya terdapat sebuah gambar berwarna merah, kuning, dan biru muda.
"Apa manfaatnya barang ini bagimu?"
Tanya Thomas.
"Kau menduga bahwa mata kalung ini milik salah satu pengendara motor tadi?"
Tanya Petra. Sporty mengangguk.
"Tapi tidak ada gunanya bagi kita, bukan?"
Oskar ingin tahu.
"Ada. Soalnya aku tahu siapa pemilik barang ini. King Seibold!"
Untuk sesaat teman-temannya menahan napas.
"Ini baru kejutan,"
Ujar Thomas.
"Kelihatannya dewi keberuntungan berada di pihak kita "
"Lalu apa yang hendak kaulakukan sekarang?"
Tanya Petra.
"Aku akan mendatangi bajingan itu sambil membawa mata kalung ini. Biar ia tahu bahwa kita telah mencium jejaknya. Coba kita lihat apa yang akan diperbuatnya kalau begitu. Untuk membantu Bu Mubo, kita harus membuktikan bahwa suaminya mengupah King Seibold-dan barangkali juga Bettger dan Drechsel. Tapi pertama-tama aku akan menelepon Seibold Yunior dulu."
Sewaktu meneruskan perjalanan, mereka lewat di depan kantor pos.
Kedua telepon umum di depan bangunan itu sedang dipakai, tetapi kemudian dua wanita keluar pada saat yang hampir bersamaan.
Di buku telepon, Sporty menemukan nomor telepon Otto Seibold, pedagang ban dan pemilik bengkel.
Dua nomor tercantum, satu untuk di rumah, dan satu lagi untuk di bengkel.
Sporty memutar nomor rumah Pak Seibold.
Petra ikut berdesak-desakan di kotak telepon.
Oskar dan Thomas menunggu di luar.
Telepon berdering dua kali sebelum diangkat.
"Halo?"
Suara seorang wanita terdengar agak sewot.
"Selamat siang. Nama saya Peter. Bisa bicara dengan Otto?"
"Suami saya?"
Tanya wanita itu.
"Bukan, maksud saya si King, anak Ibu."
"Sedang pergi. Kalau tidak salah ada di bengkel."
"Terima kasih. Saya akan menelepon ke sana saja."
Sporty meletakkan gagang telepon. Untuk sesaat ia berpikir.
"Ini alamat bengkel Pak Seibold, Petra. Jalan Gudang Utara. Berarti di sekitar sini dong. Daripada menelepon. lebih baik kita ke sana saja langsung untuk mengamati bengkelnya. Siapa tahu teman si King masih ada di sana. Dialah yang melempar batu ke mobil Bu Mubo, sementara King memacu motornya. Mungkin juga sebaliknya, tapi itu kan tidak begitu penting.
" . Mereka naik sepeda masing-masing, dan menuju ke Jalan Gudang Utara. 9. Mengintip dari Balik Pagar SEBUAH truk kecil melintas di jalan kecil itu. Di dalam sebuah gedung. seseorang sedang memalu. Seekor anjing menghilang di balik pagar kayu. Jalan Gudang Utara memang nama yang sesuai untuk jalan itu. Tidak ada toko di sepanjang jalan, rumah-rumah tinggal juga tidak. Yang ada hanyalah belasan gudang. sebuah bengkel pandai besi sebuah perusahaan yang bergerak di bidang bahan bangunan, dua perusahaan ekspedisi. dan bengkel mobil milik Otto Seibold. Rupanya orang itu tidak senang kalau kegiatan di bengkelnya diketahui orang. karena seluruh pekarangannya dikelilingi pagar setinggi orang. Pintu pagarnya berupa pintu geser dan dibiarkan terbuka sedikit, cukup untuk dilewati seorang pria langsing. Sporty berhenti di depan pintu dan mengintip melalui celah itu. Ia melihat beberapa bangunan, setumpukan ban bekas dan sebuah gudang yang terbuat dari seng gelombang. Sepeda motor si King distandar di samping mobil sport berwarna merah. milik ayahnya Dari sebuah bangunan tak berjendela yang mirip sebuah kubus beton, sayup-sayup terdengar suara mendesis seperti suara semprotan bertekanan tinggi. Tetapi suara itu teredam oleh pintu seng yang tertutup rapat. Teman-teman Sporty tidak ikut berhenti, dan kini Thomas bersuit sambil memberikan isyarat-isyarat dengan tangannya. Mereka telah menemukan sebuah gang sempit yang menyusuri sisi samping pekarangan bengkel Pak Seibold. Ketika Sporty membelok, teman-temannya sudah tidak kelihatan lagi. Sebuah mobil barang menghabiskan hampir seluruh lebar jalanan. Di baliknya, orang bisa bersembunyi tanpa terlihat. Itulah yang dilakukan Petra, Thomas, dan Oskar.
"Tepat sekali untuk mengintai musuh,"
Ujar Thomas, sewaktu Sporty turun dari sepedanya "Papan-papan pagarnya penuh dengan lubang-lubang."
"Hm, kelihatannya sepi-sepi saja,"
Kata Oskar.
Ia menempelkan wajahnya ke pagar, memejamkan sebelah mata dan mengintip melalui sebuah lubang pagar, seperti teman-temannya juga.
Sporty berdiri di samping Petra.
Mereka berdua mengintai melalui sebuah celah mendatar antara dua papan kayu.
Bello berbaring di tanah dan tidur.
Oskar benar, pikir Sporty.
Keadaannya sepi-sepi saja.
Tidak ada langganan, tidak ada mobil.
Dan semuanya kelihatan tidak terurus.
Mana ada orang mau membetulkan mobilnya di tempat seperti ini? Padahal Pak Seibold mengendarai mobil sport terbaru, dan sepeda motor si King pasti juga tidak murah.
Aku jadi kepingin tahu dari mana mereka dapat uang untuk semuanya ini? "Awas,"
Bisik Petra.
Pintu seng pada bangunan tak berjendela membuka, dan King Seibold melangkah ke luar.
Ia mengenakan pakaian kerja montir yang berlepotan dengan cat.
Setelah melepaskan dan melempar topi petnya ke tumpukan papan kayu bekas, ia lalu berusaha membuka pakaian kerjanya.
Seperti biasa, di baliknya ia tidak pakai baju.
Namun kali ini, kalungnya tidak kelihatan.
Mendadak ia mulai terbatuk-batuk.
Sambil menepuk-nepuk dadanya, anak muda itu kembali masuk ke dalam bangunan tadi.
Tidak lama kemudian, ia keluar lagi sambil menenteng sebuah tas kain yang bertuliskan nama sebuah perusahaan penerbangan.
King Seibold duduk di atas tumpukan papan-papan bekas, membungkuk, lalu membuka tas itu dan memeriksa isinya.
Wajahnya nampak kecewa ketika ia mengeluarkan sebuah gunting rumput, sebuah baju dingin, dan sepasang sarung tangan kulit.
Tiba-tiba pemuda itu tersenyum lebar dan mengangkat sebuah botol minuman keras.
Kelihatannya ia langsung hendak membuka botol itu untuk mencoba isinya, tetapi akhirnya ia mengurungkan niatnya Rupanya King merasa bahwa udara terlalu panas, atau barangkali ia tidak mau ambil risiko kehilangan SIM karena mengendarai sepeda motornya dalam keadaan mabuk.
Dari Jalan Gudang Utara terdengar suara mobil mendekat.
Sporty memasang telinga.
Rasanya ia mengenali bunyi mobil itu.
Tetapi ia tidak ingat di mana ia pernah mendengarnya.
Mobil itu berhenti di depan pintu gerbang.
Mesinnya dimatikan.
Kemudian terdengar suara pintu mobil menutup.
Seseorang mendorong pintu gerbang dan memasuki pekarangan.
Orang itu adalah Antonio Borello.
"Itu suami Bu Mubo,"
Sporty berbisik. King Seibold menegurnya seperti seorang kenalan akrab, lalu memanggil ayahnya yang rupanya masih berada di dalam bangunan kotak itu. King berkata pada Borello.
"Jangan masuk dulu, kami masih sibuk menyemprot. Sayang kan kalau pakaianmu sampai kena. Kami pakai cat yang coklat-metalik-sesuai dengan pesananmu."
Orang Itali itu mengangguk.
Kelihatannya ia lagi kesal.
Dari sebuah kotak emas ia mengeluarkan sebatang rokok.
King Seibold memperhatikannya dengan pandangan penuh harap tetapi Borello tidak peduli.
Pak Seibold tua kini melangkah ke luar.
Dengan sebuah lap ia membersihkan tangan dan lengannya yang bertato.
"Halo, Antonio,"
Katanya. Ia berusaha menyapa dengan akrab, tetapi kedengarannya seperti bawahan yang ingin mengambil hati bosnya.
"Semuanya berjalan lancar. Yang lain jadinya bagus semua. Coba kaulihat saja sendiri."
Mereka menghilang ke dalam sebuah gudang.
King Seibold menaruh botol minuman keras itu di samping motornya.
Tas tadi beserta seluruh isinya ia masukkan ke dalam tong sampah.
Ia terpaksa menekan-nekan sekuat tenaga, karena tempat sampah itu rupanya sudah penuh.
Pak Seibold dan Borello kembali tidak lama kemudian.
Orang Itali itu hanya mengangguk ke arah kedua orang itu, meninggalkan pekarangan, lalu masuk ke mobilnya.
Langsung ia tancap gas dan menghilang.
"Dasar brengsek!"
Kata Pak Seibold.
"Sombongnya bukan main. Sama saja dengan orang-orang Itali lainnya.
"
"Tapi bayarannya dong,"
Ujar anaknya.
"Itulah satu-satunya alasan kenapa aku mau berhubungan dengannya."
Pak Seibold menuju ke bangunan tadi, yang rupanya dipakai untuk mengecat mobil-mobil bekas. King Seibold mengambil sebuah lap, dan mulai menggosok-gosok sepeda motornya.
"Rajin benar ia membersihkan motornya,"
Oskar berkomentar dengan berbisik-bisik.
"aku tidak yakin bahwa ia serajin itu kalau menggosok giginya."
Sporty berpikir keras.
Perlukah ia menghampiri pemuda berandal itu dan menyodorkan mata kalung yang ditemukannya? Dan sekaligus menuduhnya sebagai pelaku pengrusakan mobil Bu Mubo? Atau lebih baik kalau si King dibiarkan dulu agar menyangka bahwa keadaannya aman-aman saja, sehingga mereka bisa memergokinya pada saat kembali membuat onar? Petra rupanya agak lelah.
Gadis itu menyandarkan badan pada bahu Sporty, yang merasakan kehangatan badan Petra melalui T-shirt-nya.
Posisi berdirinya memang agak tidak enak-ia hanya berdiri pada satu kaki-tetapi diberi uang berapa pun Sporty tidak akan bersedia bergerak.
Kelakuan Petra membuatnya agak kikuk.
Karena itu, ia tidak dapat memutuskan tindakan yang perlu diambil dalam menghadapi Seibold.
Kemudian situasinya berubah total, karena di depan pintu gerbang terdengar suara-suara yang sangat dikenal keempat sahabat itu.
Bettger dan Drechsel mendorong sepeda masing-masing ke dalam pekarangan.
Mereka diikuti oleh seorang pemuda berambut merah, yang kira-kira seumur dengan King.
Pemuda itu mengenakan baju montir yang masih lumayan bersih.
Ia melangkah dengan santai.
Kakinya terbungkus sepatu olahraga, sebatang rokok menyala terselip di 'sudut mulutnya.
Bercak-bercak merah memenuhi wajahnya.
"Halo, Fritz,"
Ia ditegur oleh King Seibold. Bettger mengeluarkan sebungkus rokok, menawarkannya pada Drechsel dan Seibold. kemudian menyalakan korek api untuk mereka.
"Eh, King, kau boleh bersyukur bahwa aku bekerja di tempat yang sama dengan si Itali itu, si Fabio Leone-maksudku. Setiap kali ia menelepon, aku bisa dengar seluruh pembicaraannya, tanpa si tolol itu menyadarinya. Nanti malam ia mau traktir ceweknya ke bioskop. Aku tidak tahu filmnya apa, tapi pokoknya mereka akan pergi ke Bioskop Rex. Hanya itu yang ingin kuberi tahu. Kau masih berminat kan sama si Maria?"
Seibold nyengir.
"Berminat atau tidak, itu urusanku. Tapi yang jelas, kita tidak bisa tinggal diam. Dulu aku sudah pernah menghajar si Itali itu sampai setengah mampus. Tapi rupanya belum cukup juga. Bangsat itu masih saja belum mau mengerti. Fritz, kau memang teman sejati. Ini kesempatan emas. Nanti malam kita akan memberi pelajaran pada si Itali itu, sampai ia merengek-rengek minta pulang kampung. Kalian ikut, bukan?"
Bettger dan Drechsel ketawa.
"Sudah pasti,"
Kata Drechsel.
"Aku kasih tahu si Bernd,"
Fritz mengusulkan.
"Hanya untuk berjaga-jaga saja. Siapa tahu si Itali itu bawa teman-temannya."
"Jam berapa kita kumpul?"
Tanya Bettger.
"Pertunjukannya mulai jam delapan,"
Kata Seibold.
"Kalau begitu kita ketemu jam setengah delapan di pojok jalan, depan Bioskop Rex. Supaya mereka tidak bisa lolos. Fritz, jangan lupa bawa motor. Sekalian kaujemput Detlef."
Yang dimaksud adalah Bettger.
"Dan suruh Bernd bawa motor juga. Biar dia saja yang jemput Joachim.
"
Joachim adalah nama depan Drechsel.
"Kalau kita bertiga bawa motor, baru sip. Sudah jelas semuanya?"
Teman-temannya mengangguk.
"Apa isi botol itu?"
Tanya Fritz sambil menunjuk botol di samping sepeda motor King.
"Minuman?"
"Ya, untuk acara kita nanti malam. Biar tambah ramai. Menghajar orang dan minum-minum-busyet, ini baru acara yang padat!"
Ia nyengir. Yang lain ketawa-ketawa. Kemudian Seibold bertanya apakah mereka mau melihat mobil-mobil-dan semuanya lalu menuju ke gudang tempat penyimpanan kendaraan-kendaraan yang sudah selesai dicat.
"Ayo, kita batik saja,"
Kata Sporty.
"Apa yang kita dengar sudah cukup. Wah, untung sekali kita berada di sini pada saat yang tepat."
Mereka bersepeda sampai bengkel itu tidak terlihat lagi. Akhirnya Petra tidak tahan lagi.
"Dasar gerombolan pengacau!"
Ia berseru.
"Sekarang mereka sekali lagi mau menyiksa Fabio. Padahal anaknya baik sekali Kalau aku kasih tahu Maria, ia tidak akan berani keluar rumah lagi saking takutnya."
"Kau tahu, apakah Fabio punya teman-teman?"
Tanya Sporty. Petra mengangguk.
"Yang aku kenal hanya Luigi dan Marcello."
"Berapa umur mereka? Dan apakah mereka bisa berkelahi?"
"Marcello kelihatannya lumayan kuat. Luigi tidak begitu. Umur mereka sama dengan Fabio, kira-kira tujuh belas tahun. Kenapa memangnya?"
"Aku rasa King dan gerombolannya sekali-sekali harus kena batunya. Mereka harus sadar bahwa tindak-tanduk mereka tidak ada gunanya. Percuma saja kalau kita bicara baik-baik dengan mereka. Apa boleh buat-kekerasan harus dilawan dengan kekerasan. Mereka harus dihajar sampai kapok."
"Aku setuju,"
Kata Petra.
"Oskar dan aku harus cepat-cepat kembali ke asrama. Kita berdua bisa kena hukuman kalau sampai terlambat lagi. Tapi kau dan Thomas-kalian harus menghubungi Maria. Dan Fabio juga, tentu saja. Suruh dia bawa teman-temannya. Mudah-mudahan saja mereka mau. Dengan bantuan mereka, kita bisa pasang perangkap bagi gerombolan jagoan konyol itu."
"Oke. Tapi apa rencanamu?"
"Kita berempat ketemu Marcello dan Luigi, paling lambat pukul tujuh, di depan kafetaria kecil dekat Bioskop Rex. Kalau tidak salah, di sampingnya ada pekarangan kosong yang bisa dipakai menyimpan sepeda-sepeda kita. Kita juga akan bersembunyi di sana. Jaraknya ke Bioskop Rex paling-paling tiga puluh langkah. Dari halaman itu kita bisa mengawasi Maria dan Fabio dengan mudah. Mereka akan kita sodorkan sebagai umpan. Kita beraksi begitu King dan gerombolannya mulai mengganggu mereka berdua."
"Sip!"
Petra berseru.
"Aku ikut."
Terheran-heran Sporty menatap temannya itu. Ia tidak dapat membayangkan bahwa Petra sanggup menyakiti seseorang. Kecuali itu, Sporty tidak akan membiarkan gadis itu terancam bahaya.
"Petra, nanti malam kau bawa uang sedikit,"
Katanya.
"Kau akan menempati pos di kafetaria. Dari sana kau bisa mengamati semua kejadian dari jarak yang aman. Begitu keadaannya mulai ramai, Maria akan menemanimu di sana. Anak-anak perempuan tidak perlu ikut bertempur."
Petra tidak berkomentar. Wajahnya nampak kesal, tapi sebenarnya ia lega juga. Ia tadi hanya menuruti emosi saja, tanpa memikirkan akibat-akibatnya.
"Yuk, ah, kita pulang dulu,"
Kata Sporty.
"Jadi sampai nanti."
Dengan kecepatan tinggi ia dan Oskar menuju asrama.
Tetapi tatap saja mereka terlambat.
Jam pelajaran tambahan telah dimulai.
Karena alasan baru saja pulang dari rumah Bu Mubo, mereka terhindar dari hukuman.
Oskar nampak lesu.
Hampir tanpa semangat ia menggigit sekeping coklat sambil mengerjakan soal-soal latihan.
"Ada apa sih?"
Tanya Sporty.
"Kau sakit?"
"Ah, tidak. Ehm... aku terus terang saja... yah... tapi jangan cerita ke siapa-siapa, aku agak cemas."
"Soal nanti malam?"
"Apa lagi?! Bettger dan Drechsel, dua-duanya tukang pukul. King apalagi. Kalau lihat potongan Fritz, aku yakin ia akan bisa mengangkatku dengan satu tangan. Dan yang namanya Bernd pasti juga bukan tandinganku. Aku khawatir, kita takkan dapat berbuat banyak melawan mereka. Yah, kecuali kau, maksudku."
"Kenapa kau berpikiran seperti itu?"
"Kau kan tahu sendiri, aku ini bukan tukang berkelahi. Thomas lebih jago pakai otak daripada pakai otot. Kami berdua bukan penakut tetapi rasanya bantuan kami tidak akan banyak gunanya. Fabio sendiri juga bukan potongan jagoan. Dan menurut cerita Petra, kita tidak bisa mengharapkan terlalu banyak dari Luigi. Tinggal Marcello yang benar-benar bisa membantumu."
Sporty menengok ke guru pengawas yang duduk di depan, tetapi tertidur sambil memegang buku. Sambil berbisik-bisik ia menjawab.
"Kau terlalu meremehkan kemampuanmu sendiri dan kemampuan Thomas. Selama ini, kalian selalu membantu kalau kita menghadapi keadaan yang gawat. Lagi pula, kita masih akan menyusun taktik untuk nanti malam. Sebaiknya kalian berdua mengincar satu orang saja. Bettger misalnya. Ia pasti tidak berdaya melawan kau dan Thomas. Drechsel adalah jatah Fabio dan Luigi. Marcello dan aku akan menantang yang lainnya. Untuk apa aku latihan judo sejak tiga tahun yang lalu selama empat sampai lima jam setiap minggu, kalau aku tidak berani melawan mereka? Kata pelatihku, aku sebenarnya sudah pantas memakai sabuk coklat. Itu tingkatan terakhir sebelum mencapai gelar master. Tunggu saja sampai kita memporak-porandakan gerombolan perokok dan pemabuk itu."
Oskar berseri-seri.
Ucapan Sporty telah memperbesar rasa percaya dirinya.
Ia memutuskan untuk menyikat dua keping coklat lagi sebelum pertempuran dimulai, supaya tenaga bisa bertambah.
Sporty bekerja cepat dan berkonsentrasi penuh.
Lama sebelum Jam pelajaran tambahan berakhir, ia sudah menyelesaikan semua tugasnya.
Ia tetap duduk di tempatnya dan sekali-sekali menguap.
Ia sama sekali tidak cemas menghadapi kejadian nanti malam.
Sudah terlalu sering ia memenangkan pertarungan.
Yang lebih merisaukannya adalah bagaimana caranya ia mengatasi rasa bosan sampai jam pelajaran usai.
Untung kemudian ia menemukan koran yang tergeletak di kusen jendela.
Barangkali seorang guru lupa membawanya setelah selesai membaca.
Coba kita lihat apa yang terjadi di kota! pikir Sporty sambil membuka halaman berisi berita-berita lokal.
"Musim Pencuri Mobil?"-begitu judul sebuah artikel. Hal itu menarik perhatiannya, apalagi setelah mendengar keterangan Sersan Kaltenberger, bahwa pencuri-pencuri itu semakin sering beraksi. Artikel itu merupakan rangkuman dari kejadian-kejadian minggu lalu. Daftar kendaraan yang dicuri dan sampai saat ini belum berhasil ditemukan adalah sebagai berikut. Satu sedan Mercedes, dua buah BMW, sebuah Jaguar, dan sebuah Porsehe. Salah satu dari mobil-mobil itu milik seorang arsitek, dan berisi gambar-gambar penting yang belum sempat di-fotocopy. Berarti kerugian ganda bagi orang itu. Di salah satu mobil lain terdapat botol berisi obat antihama yang mengandung racun. Polisi menduga-seperti sudah diketahui oleh Sporty-bahwa pelaku kejahatan-kejahatan tersebut tidak bekerja sendiri, tetapi merupakan bagian dari suatu jaringan terorganisasi, yang menjual kendaraan-kendaraan itu ke luar negeri. Akhirnya bel berbunyi. Jam pelajaran tambahan telah selesai. 10. Pertarungan di Depan Bioskop ANGIN sejuk bertiup lembut Di sebelah barat, langit nampak merah karena diterangi sisa-sisa terakhir cahaya matahari Hari belum gelap ketika Sporty dan Oskar sampai di kota. Mereka telah hafal jalan menuju Bioskop Rex. Sore hari yang nyaman seakan-akan mengundang penduduk-penduduk kota untuk berjalan-jalan. Daerah perbelanjaan masih ramai dikunjungi orang-orang yang hendak membeli sesuatu atau sekadar ingin melihat-lihat barang-barang yang dipajang di jendela-jendela toko. Kedua restoran taman yang dilewati anak-anak itu tensi penuh. Tak satu kursi pun terlihat kosong. Bioskop Rex terletak agak terpencil, di ujung suatu jalan kecil Di depan gedung bioskop, jalan itu agak melebar sehingga membentuk sebuah taman yang dikelilingi pohon-pohon rimbun. Agak menyerong di seberang jalan, sebuah kafetaria kecil masih membuka pintu bagi orang-orang yang merasa lapar atau haus. Halaman di sebelahnya terlindung di bawah bayangan sebuah pohon besar. Tempat itu benar-benar sesuai untuk rencana Sporty dan teman-temannya. Sebuah kelompok kecil berdiri di depan jalan masuk ke halaman itu. Petra mengenakan stelan jeans-nya yang berwarna biru muda. Thomas bersandar pada sepedanya sambil memasukkan tangan ke dalam kantung celana. Maria Estate kali ini tidak ditemani oleh tikus putihnya. Sporty langsung dapat menebak bahwa ketiga pemuda yang menemani mereka adalah orang-orang Itali. Sporty melompat turun dari sepedanya.
"Nah, itu mereka,"
Kata Petra.
Semuanya menengok ke arah Sporty dan Oskar.
Sporty hanya perlu memperhatikan ketiga orang yang belum dikenalnya untuk menentukan siapa nama masing-masing.
Fabio Leone adalah seorang anak muda yang lembut.
Ia nampak agak malu-malu.
Bisa dipastikan bahwa Fabio bukan tipe orang yang menyukai kekerasan.
Sporty merasa heran bahwa King Seibold begitu membenci anak itu.
Luigi, yang berbadan jangkung dan langsing, berpakaian seperti mau pergi ke disko.
celana jeans berwarna merah anggur, kemeja merah muda, dan rompi berwarna putih.
Anaknya ramai, berbicara tanpa henti, tetapi kelihatan agak gelisah.
Marcello berbadan kekar, dan pasti kuat sekali.
Tapi potongannya yang agak gemuk dengan dada bidang dan leher seperti Mike Tyson membuat gerak-geriknya agak lamban.
Sporty menduga bahwa Marcello tidak terlalu gesit.
Tapi Mareello-lah satu-satunya yang kelihatan tidak cemas.
Ia nyengir lebar dan mengenakan gelang kulit pada kedua pergelangan tangannya.
Sporty dan Oskar telah memperkenalkan diri.
"Kalian baik sekali mau membantu kami,"
Kata Fabio. Kedua temannya mengangguk. ' "Tanpa bantuan kalian,"
Ujar Maria.
"kami pasti akan mengalami nasib sial malam ini. Si King tidak mengenal ampun."
"Jadi mereka berlima?"
Tanya Marcello.
"Ya, lima orang,"
Sporty menegaskan.
"dan sebentar lagi mereka akan tiba di sini. Aku usul, agar kau, Luigi, Thomas, Oskar dan aku mengambil tempat di halaman sana. Maria dan Fabio berdiri di depan bioskop, sementara Petra menunggu di kafetaria. Begitu gerombolan si King datang, Maria langsung menuju ke tempat Petra. Kalau mereka mencoba memotong jalannya, ia bisa masuk ke bioskop."
Semuanya setuju dengan rencana itu.
Sporty menjelaskan siapa yang akan melawan siapa, dan kembali semuanya setuju.
Sementara itu, hari telah semakin gelap.
Halaman tadi telah gelap-gulita.
Sebelum berjalan menuju kafetaria, Petra dengan malu-malu menyalami Sporty.
Fabio menggandeng pacarnya.
Seakan-akan tidak tahu apa yang bakal terjadi, mereka berjalan dengan santai ke arah gedung bioskop.
Film yang diputar hari ini adalah sebuah film koboi.
Kedua anak muda itu berdiri di depan papan-papan reklame film sambil memperhatikan foto-foto yang tertempel.
Sepeda Petra telah ditaruh di halaman itu.
Thomas, Oskar, dan Sporty menyimpan sepeda masing-masing di tempat yang sama.
Marcello dan Luigi mengambil tempat di balik tembok kecil yang memisahkan halaman itu dengan trotoar.
Tembok itu tidak sampai setinggi pinggang orang, sehingga mereka harus berjongkok agar tidak terlihat dari jalanan.
Oskar tak henti-hentinya makan permen coklat.
"Berhenti dulu kenapa sih?"
Tegur Sporty.
"Coba kalau nanti ada yang menghajar perutmu!"
"Jangan khawatir, justru dengan makan coklat sebanyak-banyaknya, perutku akan bertambah kencang. Sekarang saja sudah sekeras bola sepak."
Mereka lalu menemani pemuda-pemuda Itali tadi.
Sekali-sekali sebuah mobil melintas di depan mereka.
Keramaian di kafetaria belum juga berkurang.
Petra duduk di pinggir jendela, memandang ke arah teman-temannya.
Sporty melambaikan tangan ke arahnya, tetapi gadis itu tidak bereaksi.
Ia memang tahu di mana teman-temannya bersembunyi, tetapi mereka terlindung dalam kegelapan malam, sehingga tidak kelihatan.
Maria dan Fabio sebentar-sebentar menengok ke belakang.
Sporty melihat bahwa Fabio berusaha menenangkan pacarnya.
Tetapi gadis itu merasa takut.
Ia nampak gelisah, berulang kali ia merapikan rambutnya, walaupun rambutnya sama sekali tidak berantakan.
Pukul setengah delapan kurang tiga menit Sporty mendengar gemuruh suara sepeda motor yang semakin mendekat Sesaat kemudian ia melihat mereka.
Dengan kecepatan tinggi mereka menyusuri jalan ke arah Bioskop Rex.
King paling depan.
Fritz, si rambut merah, berada di belakangnya, sambil memboncengkan Bettger.
Sepeda motor ketiga dikendarai oleh seorang pemuda berwajah kasar.
Rambutnya yang berminyak beterbangan terkena angin.
Drechsel duduk di belakangnya.
"Wah, kenapa justru sekarang aku tiba-tiba harus ke belakang?"
Thomas berbisik pada Sporty yang berdiri di sampingnya.
"Nanti akan kukatakan pada mereka supaya menunggu kau kembali dari WC sebelum mulai bertempur.
"
"Ya sudah, aku di sini saja,"
Gerombolan anak berandal itu mengurangi kecepatan ketika mereka melintas di depan gedung bioskop.
Dari cara mereka menengok, Sporty langsung tahu, mereka telah melihat Maria dan Fabio.
Kedua anak muda itu masih saja melihat-lihat iklan film.
Tetapi gadis itu semakin gelisah.
Kelihatannya seperti ia sudah tidak tahan lagi, dan hendak kabur dari tempat itu.
Di seberang jalan, King Seibold berhenti, dan menstandar sepeda motornya.
Teman-temannya segera mengikuti contohnya.
Sporty melihat bahwa Seibold mengeluarkan botol minuman keras dari kantung kulit yang terpasang pada jok sepeda motornya.
Botol itu tidak segera dibukanya, tetapi diletakkan di atas sadel.
Barangkali untuk merayakan kemenangan gemilang yang ia kira dapat diperoleh dengan mudah.
Sekarang tidak ada waktu lagi, karena Maria tidak tahan lagi.
Seharusnya gadis itu masih menemani Fabio di depan bioskop, tetapi tiba-tiba saja ia telah berlari ke arah kafetaria.
Fabio rupanya kebingungan, dan akhirnya pemuda itu mengikutinya pacarnya.
Dengan demikian keduanya malah semakin dekat dengan para pengacau itu.
Dalam sekejap mereka telah dikelilingi oleh King Seibold dan anak buahnya.
"Sekarang!"
Sporty berseru.
Keadaannya sudah sangat mendesak, karena Seibold nampaknya sudah begitu marah sehingga tidak mau membuang-buang waktu lagi.
Tanpa peringatan, ia melayangkan tinjunya.
Pukulannya merobek bibir Fabio.
Pemuda Itali itu terhuyung-huyung, dan akhirnya jatuh.
Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit kembali.
Dengan kasar Seibold menggenggam bahu Maria.
Gadis itu memekik.
Sedetik kemudian, Seibold mulai menyesali tindakannya.
Ia diangkat kemudian dilempar oleh Sporty.
Dengan keras ia menabrak Drechsel yang tidak sempat menghindar lagi.
Keduanya terjatuh.
Drechsel berguling ke samping.
Tapi King terpaksa mencium aspal jalanan.
Wajahnya bagai diamplas oleh permukaan yang kasar itu.
Rasa sakit membuatnya menjerit.
Sebenarnya hanya kulitnya yang lecet.
tetapi ketika ia membalik, wajahnya telah berlumuran darah, mulai dari alis sampai ke dagu.
Untuk sesaat teman-temannya hanya berdiri terpaku, namun kemudian mereka mulai bertindak.
"Kita akan membereskan mereka,"
Teriak Bernd yang berambut gondrong sambil melompat ke arah Oskar yang berdiri paling dekat Oskar berusaha membebaskan diri dari sekapan pemuda itu.
Bahwa ia menyundulkan kepala dalam usaha itu, hanyalah suatu kebetulan belaka.
Tapi sundulan itu tepat mengenai hidung Bernd.
Seketika hidung si Gondrong mulai berdarah.
dan matanya mulai berair.
Kejadian itu membuatnya marah sekali.
Ia mengamuk, lalu mencekik leher Oskar yang malang dengan kedua belah tangannya.
Sporty melihat Marcello dan Fritz terlibat dalam pertempuran tanpa ampun.
Keduanya saling membalas pukulan.
Fabio, yang sampai sekarang belum kuat berdiri dihujani dengan tendangan-tendangan oleh Bettger.
Untung Thomas kemudian menyergap bajingan itu dari samping dan menarik lengannya dengan sekuat tenaga.
Luigi mulai kewalahan menghadapi Drechsel.
Kecelakaan kecil tadi rupanya sama sekali tidak mempengaruhi pengacau itu.
King masih terduduk di jalanan.
Wajah Oskar telah merah padam, dan kedua matanya mulai berputar-putar tak keruan.
Oskar-lah yang paling membutuhkan bantuan.
Bernd belum melepaskan cekikannya, dan sekarang malah mengguncang-guncang tubuh lawannya.
Bunyi tabrakan antara Sporty dengan Bernd terdengar sampai di seberang jalan.
Bagaikan palu godam kepalan tangan Sporty menghantam tulang iga pemuda itu.
Cengkeraman tangan Bernd pada leher Oskar langsung mengendur.
Ia membungkuk sambil meringis kesakitan, tetapi masih mencoba memukul perut Sporty.
Hal itu seharusnya jangan dilakukannya, karena Sporty menghindar dan memberinya sebuah pukulan telak tepat pada tengkuknya.
Mulai saat itu Bernd menarik diri dari pertempuran.
Ia tertelentang di jalanan sambil menikmati istirahatnya.
Drechsel telah berhasil menjatuhkan Luigi.
Kini ia berusaha membenturkan kepala pemuda itu ke aspal jalanan.
Sporty segera bertindak.
Ia menarik.
Drechsel dan mengangkatnya.
Drecsel mencoba melawan, tetapi tak berdaya menghadapi bantingan Sporty.
Bahwa ia tepat terlempar ke arah King Seibold, bukanlah suatu kebetulan.
Walaupun pergumulan berlangsung dengan seru, Sporty tetap tidak kehilangan ketenangannya.
Setiap gerakannya telah ia perhitungkan masak-masak.
Ia tidak pernah bertindak kalap.
Untuk kedua kalinya King dan Drechsel terbanting.
Dengan keras bahu Drechsel membentur jalanan, tapi kali ini ia tidak berdiri lagi.
Ia tetap tergeletak, dan memeriksa tulang keringnya sambil merintih-rintih.
Pertarungan antara Marcello dan Fritz belum menunjukkan tanda-tanda kemenangan untuk salah satu pihak.
Tapi Bettger, yang masih saja ditarik-tarik oleh Thomas, kini menendang dada Fabio dengan keras.
Menendang lawan yang sudah terjatuh dan tak berdaya lagi merupakan kecurangan yang tidak dapat diampuni.
Sporty menarik baju Bettger.
Anak itu segera membalik.
Tetapi sebelum dapat berbuat apa-apa, tamparan Sporty telah mendarat di wajahnya.
"Nih, hadiah untukmu!"
Seru Sporty.
Belum pernah ada orang yang menerima tamparan sekeras itu di bagian kota ini.
Pendekar Rajawali Sakti Bidadari Penakluk Pendekar Rajawali Sakti Misteri Hantu Berkabung Wiro Sableng Sepasang Manusia Bonsai