Paket Bergambar Tengkorak 3
Detektif Stop Paket Bergambar Tengkorak Bagian 3
"Cepat, serahkan tas itu padaku,"
Ia mengancam.
"Jangan macam-macam, atau kau akan merasakan akibatnya."
Sambil berkata demikian, ia merogoh kantung mantelnya.
Tiba-tiba saja tangannya telah menggenggam sebilah pisau, Sporty melepaskan tas itu.
Ia mundur satu langkah, Cahaya senternya diarahkan pada wajah gelandangan itu.
Dengan sebelah tangan orang itu melindungi matanya dan sinar yang menyilaukan itu.
Tetapi pada detik berikutnya, ia menyerang.
Pisaunya diayun-ayunkan di depan Sporty.
Anak itu menyambutnya dengan sebuah tendangan keras ke arah perut.
Kemudian dengan sekuat tenaga, ia menyepak tulang kering penyerangnya.
Gelandangan itu mengerang-erang.
Tetapi pisau itu tetap di tangannya Sambil membungkuk, ia menusuk-nusuk ke arah kaki Sporty.
Namun ia salah perhitungan.
Dengan gerakan secepat kilat, Sporty menginjak tangan orang itu dengan kaki kanannya.
Seluruh berat badannya ditumpukannya pada kaki itu.
Sambil berteriak kesakitan, gelandangan itu melepaskan pisaunya Dengan satu tendangan Sporty menjauhkan senjata tajam itu Kemudian ia melangkah mundur.
Gelandangan itu tetap tergeletak di lantai.
Ia merintih-rintih.
"Bajingan, kau mencoba untuk membunuhku?!"
Sporty membentaknya.
"Orang seperti kau harus diserahkan ke polisi. Mereka pasti akan berterima kasih.
"
"Jangan... jangan...,"
Orang itu mendesah.
"Aku hanya main-main tadi. Aku tidak bermaksud melukaimu.
"
"Oh, tentu saja tidak. Dan pisaumu itu juga hanya sebuah pisau karet, bukan?"
Gelandangan itu terdiam. Senjata yang dipakainya untuk menyerang Sporty bukan pisau mainan. Pisau itu memang agak berkarat, tetapi masih cukup tajam.
"Sekarang aku ingin tahu, siapa namamu,"
Ujar Sporty kemudian "Erich, Eddi Tato, maksudku. Kau belum pernah mendengar namaku? Aku..."
"Aku tanya nama lengkapmu!"
"Erich Stranowski. Kau akan melaporkanku pada polisi, bukan?"
"Itu bukan urusanmu. Sekarang jawab dulu pertanyaanku. apa yang kaukerjakan di sini?"
"Aku hanya..."
Ia berhenti berkata dan matanya dikedip-kedipkan.
"Tolong dong, sentermu dimatikan dulu."
Sporty tidak mempedulikan permintaan si gelandangan.
"Kau belum menjawab pertanyaanku,"
Katanya kemudian Gelandangan itu bangkit sambil mengeluh. Dengan hati-hati ia meraba seluruh tubuhnya. Jangan-jangan ada tulang yang patah, pikirnya. Setelah yakin bahwa badannya masih utuh, ia menjawab.
"Aku tinggal di sini, di ruang bawah tanah. Sudah beberapa hari. Dan tadi.., kau yang ke sini tadi?"
"Bukan. Orang lain."
"Aku tadi lagi tidur-tiduran di bawah."
Stranowski menerangkan.
"Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki. Polisi, pikirku. Aku paling segan berurusan dengan petugas-petugas itu, soalnya aku tidak punya KTP. Karena itu aku diam saja di bawah dan menunggu. Tetapi tidak terjadi apa-apa. Lalu aku memutuskan untuk naik ke sini. Aku ingin tahu siapa yang datang kemari, tengah malam buta begini. Mungkin saja salah seorang temanku yang juga membutuhkan tempat menginap. Lumayan kan, dapat teman ngobrol. Aku masuk ke ruangan ini dan melihat tas di atas meja bilyar. Barangkali ketinggalan di sini. Tapi... kau jangan hubungi polisi, ya?"
Sambil mengedip-ngedipkan mata ia menatap Sporty.
"Cepat, menghadap ke dinding.
"
Perintah anak itu.
"Dan jangan bergerak."
Sporty mendekati meja bilyar.
Cahaya senternya tetap diarahkan ke Stranowski.
Ia membuka tas yang dibawa Toni tadi untuk melihat uang itu.
50.000 Mark bukan suatu jumlah yang kecil.
Ketika memeriksa tas itu, mata Sporty tiba-tiba terbelalak.
Tas itu ternyata kosong! 12.
Toni Berkhianat UNTUK sesaat Sporty merasa terpukul sekali, Tanpa berkata apa-apa, ia menatap tas yang tak berisi itu.
Apa yang telah terjadi? Apakah uang itu sudah diambil Stranowski? Atau barangkali si pemeras sendiri yang mendahuluinya? Tapi bagaimana mungkin.
Tak seorang pun dapat masuk atau keluar gudang kosong itu tanpa terlihat oleh Sporty dan teman-temannya.
Berarti ada kemungkinan, si pemeras masih berada di sekitar situ .
"Isi tas ini telah diambil orang,"
Kata Sporty.
"Dan kau yang melakukannya. Stranowski. Aku akan menggeledahmu. Jangan bergerak!"
"Aku tidak melakukan apa-apa. Tas sialan itu sama sekali tidak kupegang,"
Gelandangan itu memprotes.
"Tapi kalau kau mau menggeledahku-silakan! Asal jangan kaugelitik aku."
Sporty berjalan menuju pintu, lalu mencopot sarung tangannya.
Ia hendak bersuit untuk memanggil kedua temannya.
Sporty tidak peduli bahwa suitan itu mungkin terdengar oleh si pemeras.
Uangnya telah hilang! Jadi mereka tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi.
Sporty yakin Stranowski tidak berdusta.
Menggeledah gelandangan itu sebenarnya tidak perlu.
Tetapi..
Sporty telah meletakkan jari pada bibirnya.
Senternya masih terarah pada gelandangan itu.
Tiba-tiba saja pikiran itu melintas di benaknya.
Secara mendadak Sporty menyadari apa yang telah terjadi.."Oke, Stranowski.
Kami tidak akan mengusik kutu-kutu yang kaupelihara itu.
Kasihan mereka nanti.
Karena itu, kami tidak jadi menggeledahmu."
Sporty mengambil tas di atas meja, kemudian keluar dari ruangan itu.
Ia menyusuri lorong tadi sampai tiba di pintu masuk.
Angin dingin langsung menerpa wajahnya, begitu ia melangkah keluar.
Ia berlari menuju pintu gerbang kuburan.
Thomas dan Oskar telah keluar dari persembunyian dan menyambutnya.
Sporty mengayun-ayunkan tas itu, lalu bercerita.
"Lho, kenapa kau tidak jadi menggeledah gelandangan itu?"
Tanya Oskar terheran-heran.
"Siapa lagi yang mengambil uang itu kalau bukan dia?"
"Bukan, bukan Stranowski. Tapi aku tahu di mana uang itu sekarang."
"Dari mana kau tahu?"
"Kau juga tahu, Oskar. Atau tepatnya, hanya kau yang tahu. Dan kau akan menunjukkan tempat itu Untung saja kau telah melaksanakan tugasmu dengan baik.
"
"Kau bicara soal apa sih?"
Tanya Oskar.
"Yang jelas dong, kalau bicara."
"Aku juga tidak mengerti maksudmu,"
Ujar Thomas sambil geleng-geleng kepala.
"Mungkin Oskar belum bercerita padamu, apa yang terjadi ketika ia membuntuti Toni Wiedemann tadi. Si Toni ternyata tidak langsung kembali ke mobil. Ia sempat menghilang selama dua menit di balik sebuah kuburan keluarga. Aku berani bertaruh bahwa ia menyembunyikan uang itu di sana "Nah, sekarang kita harus cepat-cepat menemukan kuburan itu. Mungkin Detlef Egge telah datang dan mengambil uang itu, sementara kita berjaga sambil menggigil kedinginan di sini. Kali ini kita memang terkecoh! Tapi, kejadian ini juga membuktikan-atau hampir membuktikan -bahwa Toni dan Detlef bersekongkol. Mereka bermaksud menipu Lembke. Tetapi Toni tetap harus masuk ke gudang itu. Soalnya mungkin saja Lembke menyuruh anak buahnya mengawasi gerak-genk Toni. Sesuai dengan pesan si pemeras, Toni kemudian meninggalkan tas yang dibawanya di atas meja bilyar. Tetapi ia lalu mengeluarkan uang 50.000 Mark itu, dan menyembunyikannya di bawah jaket yang ia kenakan. Di suatu tempat yang dirasanya aman, Toni meninggalkan uang itu, sebelum ia akhirnya kembali ke mobil."
"Kau benar!"
Seru Thomas bersemangat.
"Sekarang semuanya sudah jelas. Ayo, Oskar, tunjukkan tempat di mana Toni menghilang tadi!"
"Ya, ampun,"
Ujar Oskar.
"Mudah-mudahan aku belum lupa tempatnya. Semuanya serba gelap sih tadi. Pokoknya, aku masih ingat bahwa di tempat itu ada sebuah patung malaikat. Patung itu terbuat dan marmer."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga anak itu mulai mencari. Sporty agak waswas. Jangan-jangan Oskar kehilangan arah. Tetapi akhirnya mereka berhasil menemukan patung itu berdiri di depan tiga buah batu nisan yang membentuk setengah lingkaran.
"Di sini Toni menghilang tadi,"
Kata Oskar sambil menunjuk ke celah di antara batu nisan pertama dan kedua.
Sporty menyalakan sen1ernya.
Dengan jelas anak-anak dapat melihat bekas kaki yang tercetak dalam salju.
Karena terlindung di balik batu-batu nisan, jejak itu belum terhapus angin.
Dengan mengikuti jejak itu, Sporty mengetahui bahwa Toni berlutut di balik batu nisan kedua.
Di tempat itu, Toni telah menggali sebuah lubang.
Dengan tangan telanjang, tentunya.
Kemudian, setelah memasukkan bungkusan bensi uang, ia meimbunkembali lubang tadi dengan salju.
Suatu tempat penyembunyian yang nyaris sempurna.
Oskar langsung mulai menggali.
Paket yang tersembul kemudian, tidak lebih besar dan sebuah kotak cerutu.
Paket itu dibungkus dengan kantung plastik rangkap tiga, dan diikat dengan tali.
Semuanya klihatannya dikerjakan dengan terburu-buru.
Dengan senyum kemenangan, Oskar mengeluarkan bungkusan itu.
Tali pengikat langsung dilepaskannya, Dan kantung plastik tadi, ia mengeluarkan segepok uang.
Semuanya lembaran ratusan dan lima ratusan.
Jumlahnya tepat 50.000 Mark.
"Kau benar, kau benar!"
Oskar bersorak dengan gembira. Thomas hanya terbengong-bengong. Baru kali ini ia melihat uang begitu banyak. Untuk ketiga kalinya Oskar menghitung uang itu.
"Tak kurang sepeser pun,"
Ia berkomentar setelah selesai.
"Jujur juga si Toni,"
Ujar Sporty sambil nyengir.
"Ternyata tidak semua orang ditipunya"
Anak-anak itu tertawa.
"Bagaimana rencana kita selanjutnya?"
Tanya Thomas.
"Kita tidak akan membiarkan uang ini kedinginan di sini, bukan?"
"Sekarang kita telah memperoleh satu barang bukti,"
Kata Sporty.
"Detlef dan Toni ternyata benar-benar bersekongkol. Jelas, bahwa pemerasan ini tidak mungkin dilaksanakan oleh Toni sendiri. Soalnya, si pemeras hanya menghubungi Detlef. Berarti si Egge juga terlibat. Mereka menipu Lembke, dan berhasil memperoleh 40.000 Mark dari kantungnya, Tapi untuk apa? Mungkin karena selama ini sebagian besar hasil penjualan narkotika dimakan sendiri oleh Lembke. Atau, mungkin juga, karena mereka berdua sudah mau menarik diri dari bisnis kotor itu, tetapi sebelumnya masih ingin menikmati hasilnya. Untuk kita sih sama saja. Pokoknya, kita sekarang telah dapat memaksa mereka untuk mengembalikan map ibuku."
"Tetapi apa yang bisa kita lakukan sekarang?"
Tanya Thomas.
"Uang ini belum membuktikan bahwa mereka terlibat dalam penjualan narkotika. Polisi tidak akan menindak mereka, hanya karena uang ini. Paling-paling kita bisa mengadukan perbuatan Toni pada si Lembke.
"
"Jangan dulu,"
Ujar Sporty cepat-cepat. Ia berpikir.
"Kalau kita memberi tahu si Lembke soal penipuan Toni, bisa-bisa terjadi perang antar gang. Bagaimana kalau kita menunggu di sini saja? Mudah-mudahan saja Detlef datang malam ini juga untuk mengambil uangnya.
"
"Apa?"
Oskar mengeluh.
"Menunggu lagi? Belum tentu si Egge muncul malam ini!"
Ternyata Thomas juga keberatan. Ia mengatakan, bahwa ia sudah tidak bersemangat lagi untuk menunggu kedatangan Detlef.
"Aku ada akal,"
Sporty berkata tiba-tiba.
"Aku akan meninggalkan sebuah pesan di sini. Thomas, kau bawa buku catatanmu?"
Thomas tidak pernah meninggalkan rumah tanpa buku catatan dan alat tulis.
Segera ia menyerahkan buku catatannya dan sebuah bolpen pada Sporty, Thomas membungkuk.
Punggungnya digunakan sebagai alas untuk menulis.
Oskar memegang senter, dan mengarahkan sinarnya pada lembaran kertas di hadapan Sporty Anak itu menulis, Aku telah menemukan dan membawa uangmu.
Kalau kau masih berminat, temui aku pukul 14.00 hari Sabtu besok-dalam kurung ia menambahkan tanggal-nya-di Istana Es Krim.
Jangan lupa, bawa map bensi dokumen-dokumen itu.
S.
Kemudian ia bacakan isi pesan itu pada teman-temannya, Thomas dan Oskar setuju.
Sporty melipat lembaran kertas itu, dan memasukkannya ke dalam kantung plastik tadi.
Oskar lalu mengembalikan kantung itu ke tempat semula dan menutup lubang itu dengan salju.
Uang itu dimasukkan ke dalam tas yang dibawa Sporty dari Wisma Gelandangan.
Lalu mereka pulang.
Cuaca tidak berubah, malah semakin dingin.
Tetapi, ketiga anak itu tidak sempat merasa kedinginan.
Sambil berjalan ke arah pusat kota, mereka berbincang-bincang mengenai kejadian yang baru saja mereka alami.
Mereka memang terpaksa jalan kaki, karena kendaraan umum sudah tidak ada pada jam selarut itu.
Akhirnya mereka sampai di kota.
Thomas segera pulang ke rumahnya.
Tentu saja ia tidak ingin orang tuanya tahu bahwa ia berkeliaran malam-malam di luar rumah.
Tetapi karena kamarnya di lantai bawah, keluar-masuk rumah tidak menjadi masalah baginya.
Mereka berpisah.
Thomas membelok ke suatu jalan kecil.
Sporty dan Oskar meneruskan perjalanan menuju asrama.
Ketika akhirnya mereka tiba, jam tangan Sporty telah menunjukkan pukul 03.00 subuh.
Oskar berjalan dengan langkah gontai.
Ia benar-benar lelah.
"Gila, paling sedikit berat badanku turun dua kilo"
Ujar Oskar.
"Ini perlu dirayakan."
Langsung ia mengeluarkan sekeping coklat yang ia bawa sejak berangkat.
"Kurang tidur tidak apa-apa asal makan tetap terjaga,"
Katanya pada Sporty.
"Mudah-mudahan tanggamu masih ada,"
Bisik Sporty sewaktu mereka melewati pintu gerbang asrama.
"Kau jangan menakut-nakuti aku,"
Kata Oskar.
"Dalam keadaan begini aku tidak bakalan sanggup memanjat talimu. Daripada begitu, lebih baik aku tidur di teras depan. Peduli amat, kalau ketahuan."
Tetapi tangga itu ternyata masih ada di tempat semula.
Dengan susah payah Oskar memanjat ke atas.
Sporty terpaksa mendorongnya dari bawah.
Setelah berjuang selama beberapa menit, Oskar sampai di atas.
Ia membuka jendela dan masuk ke dalam.
Sporty segera menyusulnya.
Dalam sekejap ia telah berdiri di samping temannya itu.
Seluruh penghuni asrama tidur dengan nyenyak.
Di bangunan sebelah, tempat tinggal para guru, semua penghuninya juga telah memadamkan lampu.
Sporty melepaskan tangga, menutup jendela, lalu mengikuti Oskar berjingkat-jingkat menuju SARANG RAJAWALI.
Begitu masuk kamar, Oskar langsung menyalakan lampu baca di samping tempat tidurnya.
Dengan tenang ia mulai melahap sekeping coklat.
"Nih, simpan tanggamu,"
Ujar Sporty.
"Sebenarnya sayang ya kita tidak berjumpa dengan hantu-hantu penunggu kuburan tadi,"
Kata Oskar sambil menyimpan tangganya dalam lemari pakaiannya.
"Sekarang kau baru berani bicara begitu,"
Balas Sporty sambil nyengir.
"Coba dari tadi."
"Di mana akan kausembunyikan uang itu?"
"Aku juga masih bingung. Pokoknya, uang ini jangan sampai jatuh ke tangan guru. Tapi aku tidak bisa menyembunyikan tas ini di gudang. Risikonya terlalu besar. Tempat penyimpanannya harus bisa dikunci. Berarti, satu-satunya pilihan adalah lemari pakaianku.
"
"Benar, di situ saja. Pemeriksaan lemari kan baru kemarin. Sebelum minggu depan, tidak akan ada yang mengutak-atik isi lemarimu. Percaya saja, deh."
Sporty masih agak ragu-ragu.
Tetapi kemudian ia mengikuti saran Oskar.
Tas berisi uang itu disembunyikannya di bawah tumpukan baju.
Sepintas, tas itu sama sekali tidak nampak.
Sporty menengok ke arah Oskar.
Temannya itu sudah tertidur pulas Sporty segera mengikuti contohnya, dan membaringkan diri di tempat tidur.
"Aku,.. kepingin tahu... bagaimana... bagaimana reaksi si Egge,"
Ia bergumam sambil memejamkan mata.
"Mudah-mudahan., ia besok muncul.., di... di Istana Es Krim....
"Tapi... sebaiknya... aku mengawasi... gerak-geriknya. Kalau... ia pergi... ke... Kuburan... Lama...."
Sporty berhenti bergumam.
Oskar mendengkur keras.
Beberapa menit kemudian, Sporty akhirnya tertidur.
Kedua anak itu sama sekali tidak menduga bahwa besok pagi bencana telah menunggu mereka.
Hari berikutnya adalah Sabtu.
Hari libur.
Tidak ada pelajaran.
Siapa yang mau, boleh tidur sepuas-puasnya.
Dan hampir semua penghuni asrama tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Biasanya, Sporty tetap bangun pagi.
walaupun pada hari libur.
Tetapi hari ini, ia baru bangun pukul setengah sembilan.
Hal mi tidak mengherankan, mengingat pengalamannya semalam.
Masih setengah mengantuk, ia menengok keluar jendela.
Untuk pertama kali sejak beberapa hari, matahari bersinar cerah.
Langit bersih tanpa awan.
Ia menoleh ke arah Oskar.
Anak itu ternyata masih dibuai mimpi indah.
Dengan gesit Sporty melompat turun dari tempat tidurnya.
Ia mengguncang-guncang bahu Oskar untuk membangunkannya.
Kemudian ia bergegas menuju ruang mandi bersama.
Cepat-cepat ia menghidupkan pancuran.
Air dingin dan air panas secara bergantian membasahi tubuhnya.
Sebelum pukul sembilan, Sporty telah muncul di ruang makan.
Pada hari Sabtu, sarapan disediakan antara pukul 8.00 sampai pukul 10.00.
Hanya beberapa penghuni asrama yang mendahului Sporty.
Anak itu mengambil sepotong roti madu dan segelas teh manis.
Kemudian ia melayangkan pandangannya ke seluruh ruangan.
Di salah satu sudut ruangan ia menemukan dua teman sekelas sedang makan.
Segera ia bergabung dengan mereka.
Sambil menikmati sarapan.
ketiga anak itu berbincang-bincang mengenai pertandingan hoki es yang akan diadakan nanti malam.
Kedua temannya itu kepingin nonton.
Mereka sudah membeli karcis berdiri.
"Mau ikut?"
Salah seorang mengajak. Sporty menggeleng.
"Ibuku datang, dan..."
Kalimatnya terpotong oleh sebuah pengumuman yang disampaikan melalui pengeras suara Pengumuman itu dibacakan oleh Pak Kepala Sekolah. Mendengar nada bicaranya, Sporty langsung dapat menebak bahwa ada yang tidak beres.
"Semua penghuni bangunan utama harap segera kembali ke kamar, lalu menunggu penjelasan dari guru pembimbing masing-masing.
"
"Lho, apa lagi ini?"
Tanya Sporty.
"Hari Sabtu pun tidak bisa santai. Selalu saja kita diburu-buru "
"Ah, paling-paling hanya latihan kebakaran,"
Rainer berkomentar.
Dengan ogah-ogahan, ketiga anak itu kembali ke kamar masing-masing.
Kalau Kepala Sekolah mengatakan segera kembali, maka perintah itu harus dituruti oleh semua penghuni asrama.
Sporty masih sempat mereguk tehnya sampai habis.
Sambil mengunyah roti, ia menaiki tangga dan menuju SARANG RAJAWALI.
Oskar masih saja tidur.
Cepat-cepat Sporty membangunkannya.
"He, Gendut! Bangun!"
Anak itu menggosok-gosok matanya. Antara sadar dan tidak, ia menatap ke arah Sporty, lalu menguap.
"Aku masih capek,"
Katanya sambil terkantuk-kantuk.
"Badanku pegal semuanya, gara-gara kunjungan kita ke Kuburan Lama semalam. Eh, kita kan benar-benar ke sana? Jangan-jangan aku hanya bermimpi.
"
Sporty hendak menanggapi ucapan temannya itu, tetapi tiba-tiba terdengar tiupan peluit di lorong.
"Ah, itu pasti si Weniger,"
Ujar Oskar dengan kesal.
"Bikin ribut saja."
Dr.
Weniger adalah salah seorang guru di sekolah mereka.
Ia masih muda, tetapi hampir semua murid tidak menyukainya.
Guru itu mempunyai kebiasaan memberikan berbagai macam aba-aba dengan tiupan peluit.
Kebiasaannya itu mungkin merupakan sisa-sisa didikan para pelatih ketika ia menjalani masa dinas militernya.
Setiap kali ia membunyikan peluitnya, anak-anak harus segera keluar dari kamar masing-masing.
"Brengsek,"
Ujar Oskar sambil mengeluh.
Cepat-cepat ia merapikan pakaiim tidurnya.
Setelah memakai sandal, ia keluar ke lorong.
Sporty sebenarnya tidak senang diperintah dengan cara seperti itu.
Tetapi apa boleh buat.
Dengan berat hati ia terpaksa mengikuti Oskar.
Ketika Sporty keluar kamar, semua murid yang tinggal di lantai dua telah berkumpul di lorong.
Sebagian besar baru bangun tidur.
Dengan tampang loyo, mereka menunggu penjelasan dari guru pembimbing masing-masing.
Sporty agak heran melihat keenam guru pembimbing hadir semua.
Pak Kepala Sekolah juga ada.
Dr.
Freund adalah seorang pria berumur sekitar enam puluh tahun.
Perawakannya tinggi besar.
Rambutnya berwarna kelabu.
Ia mengajar bahasa Latin dan Yunani Kuno, Dr.
Freund dikenal berwatak keras.
Tetapi murid-murid sekolah itu menyukainya, karena ia selalu bersikap adil pada semua orang.
Tak terkecuali pada anaknya sendiri.
Anak Dr.
Freund pernah mendapat nilai lima, walaupun dengan sedikit berbaik hati, ayahnya dapat saja memberinya nilai enam.
Dengan wajah kaku Pak Kepala Sekolah menatap barisan anak-anak itu.
Ketika ia mengangkat tangan, semuanya terdiam.
"Kalian tentu menyadari bahwa mencuri adalah perbuatan yang tercela,"
Dr. Freund mulai berkata.
"Apalagi kalau mencuri barang milik kawan sendiri. Sebenarnya saya tidak dapat mempercayai bahwa salah seorang di antara kalian tega berbuat seperti itu. Namun demikianlah kenyataannya, Seorang teman kalian, Dieter Heidergott dari kelas 8a, kemarin sore minta izin pada guru pembimbingnya untuk mengambil sejumlah uang dari tabungannya. Uang itu telah dipakainya untuk membeli lima keping emas sebagai hadiah ulang tahun untuk ayahnya. Keping-keping itu berada dalam sebuah kotak berwarna biru, dan disimpan di dalam laci lemari pakaiannya. Kotak itu kemudian lenyap Sebelum melaporkan kejadian ini, Dieter telah memeriksa seluruh sudut-sudut kamarnya, tetapi tanpa hasil. Karena itu, kemudian timbul kecurigaan bahwa kotak itu hilang dicuri.
"Saya lihat kalian hadir semua. Atau, sudah ada yang meninggalkan asrama? Tidak ada? Baiklah, sekarang saya ingin memberi kesempatan pada si pencuri untuk mengakui perbuatannya. Kalau tidak ada yang mengaku, maka kami terpaksa menggeledah kamar-kamar kalian."
Ya ampun, pikir Sporty.
Ini benar-benar nasib buruk.
Yang pertama-tama digeledah pasti lemari-lemaripakaian.
Bagaimana kalau mereka menemukan uang 50.000 Mark itu? Apa yang harus kukatakan pada mereka? Menceritakan kejadian sesungguhnya? Mereka takkan percaya.
Tapi...
masih ada harapan untuk lolos dari lubang jarum ini.
Asal...
Ayo, mengakulah, pencuri brengsek! Kepsek kelihatannya sudah benar-benar marah.
Oskar malah hampir ketiduran lagi.
Dari tadi ia memguap terus.
Apa ia tidak menyadari bahwa situasinya gawat? Di lemarinya ada tangga, dan di lemariku ada uang yang tidak ketahuan asalnya.
Aku sudah bisa membayangkan judul berita yang akan terpampang di koran-koran.
Dua murid terbukti mencuri! Ah, kalau saja aku bisa menyelinap ke kamar sejenak.
Tapi Pak Freund tidak pernah menengok ke arah lain barang sedetik pun.
"Jadi tidak ada yang mengaku?"
Tanya Dr Freund dengan suara bergetar.
"Baiklah, Jangan ada yang beranjak dari tempatnya. Dr. Weniger akan mengawasi kalian, sementara guru-guru lain menggeledah kamar-kamar kalian."
Masih ada kesempatan, pikir Sporty.
Mungkin saja mereka menemukan keping emas itu sebelum SARANG RAJAWALI mendapat giliran untuk diperiksa.
Tapi mana mungkin! Si pencuri tidak akan sebodoh itu.
Keping-keping emas itu pasti sudah disembunyikannya di tempat lain.
Dan kotak itu tentu telah dibuang.
Dasar sial! Tanpa dapat berbuat apa-apa, Sporty menyaksikan kamar-kamar di ujung lorong mulai diperiksa.
Dr.
Weniger berdiri di tengah-tengah lorong.
Sesuai dengan pesan Kepala Sekolah, ia mengawasi anak-anak yang berdiri di de pan pintu kamar masing-masing.
Tak sekali pun ia mengalihkan pandangannya.
Tiba-tiba saja Sporty mendapat akal.
13.
Sebuah Kejutan AKU harus cari alasan yang tepat, terlintas di kepala Sporty.
Untuk menerangkan bagaimana uang 50.000 Mark itu bisa berada di lemari pakaianku.
Hanya Ibu yang dapat membantuku.
Kalau Ibu mengatakan bahwa ia menitipkan uang itu padaku karena beranggapan bahwa di sini lebih aman daripada di hotel, maka...
aduh, aku terpaksa melibatkannya dalam urusan ini.
Dan untuk itu, Ibu harus berbohong sedikit.
Aku tahu bahwa Ibu tidak akan keberatan.
Tetapi...
ah, tidak.
Tindakan ini tidak akan merugikan siapa-siapa.
Dengan cara itu, aku bisa melaksanakan rencanaku.
Jadi..."Pak Weniger!"
Sporty mendekati guru yang langsung memasang wajah masam.
"Apakah saya boleh menelepon sebentar. Ibu saya sedang berkunjung ke sini. Ia tinggal di Hotel Kaiserhof. Saya sudah berjanji akan meneleponnya pagi ini. Ia pasti bingung kalau saya terlambat menghubunginya."
Dr. Weniger menatap tajam ke arah Sporty.
"Apa harus sekarang?"
Tanyanya. Sporty mengangkat bahu.
"Masalahnya penting sekali untuk saya. Dan juga untuk ibu saya. Silakan Bapak geledah saya, kalau Bapak beranggapan bahwa saya hendak menyembunyikan keping-keping emas itu.
"
"Hmm saya rasa Pak Kepala Sekolah tidak akan keberatan,"
Guru itu berkata.
"Tapi kau tidak boleh ke kamarmu sebelumnya."
"Tentu saja tidak. Tapi kecurigaan Bapak yang berlebihan itu membuat saya agak tersinggung. Saya kari bukan pencuri!"
"Sudahlah. Cepat, pergi sana."
Sporty mengangguk lalu berjalan ke arah tangga.
Ketika Dr.
Weniger sudah tidak melihat ke arahnya, anak itu berlari secepat kilat.
Pesawat telepon yang boleh dipakai oleh para penghuni asrama dipasang di suatu ruang kecil dekat papan pengumuman di lantai bawah.
Ruang kecil itu dijuluki Gudang Sapu oleh anak-anak.
Dulunya ruang itu memang pernah dipakai sebagai tempat penyimpanan alat-alat.
Tapi kini, pihak pengelola asrama telah memasang sebuah pesawat telepon di ruang itu.
Pintunya telah diganti dengan pintu kaca.
Sporty baru saja hendak membuka pintu, ketika ia menyadari ada orang di dalam ruangan itu.
Pak Braun, guru kesenian.
sedang menelepon.
Kemungkinan besar ia sedang berbincang-bincang dengan pacarnya.
Senyum yang tersungging di bibirnya membuktikan dugaan Sporty.
Sebentar-sebentar ia tertawa kecil.
Wah, kacau, pikir Sporty.
Bisa berjam-jam aku menunggu di sini.
Ia mulai memaki-maki kelakuan guru muda itu, tetapi hanya dalam hati.
Dengan pandangan kesal, anak itu memperhatikan Pak Braun yang makin asyik berbincang-bincang.
Setelah beberapa saat, guru itu baru menyadari bahwa ia sedang diperhatikan, Ia mengerutkan kening begitu melihat Sporty.
Rupanya ia merasa terganggu.
Kemudian ia membelakangi anak itu, Lima menit berlalu, Sporty berjalan mondar-mandir di depan pintu kaca itu.
Ia semakin gelisah.
Tetapi guru kesenian itu tidak menyadari hal itu.
Dengan tenang ia meneruskan pembicaraannya.
Hampir saja Sporty nekat, dan memaksa guru itu untuk meletakkan gagang telepon.
Berapa lama lagi sampai SARANG RAJAWALI mendapat giliran digeledah? "Sporty!"
Ia berbalik ke arah tangga, di mana Oskar sedang melompati anak tangga paling bawah.
"Sporty! Kita selamat!"
Seru Oskar sambil terengah-engah.
"Pencuri itu akhirnya mengaku. Coba kautebak siapa orangnya, Alfred Guttlich! Ia mengaku begitu saja, dan mengambil keping-keping emas itu dari bawah bantalnya. Tidak lama setelah kau turun. Apa kau sudah menghubungi ibumu? Ah.., itu sudah tidak perlu sekarang. Kau tadi pasti hendak memberitahunya bahwa kita hampir saja celaka, bukan? Tapi masih ada yang lebih seru. Kenapa si Alfred tiba-tiba mengaku, coba? Karena ia ingin mencegah para guru untuk menggeledah isi lemari pakaiannya. Tetapi mereka tetap melakukannya. Dan apa yang mereka temukan? Ayo, kau bisa menebaknya?"
Wajah Oskar merah padam, Ia sangat gembira karena pertanyaan itu menurut dugaannya tidak mungkin bisa dijawab oleh Sporty.
"Jangan-jangan..,"
Ujar Sporty.
"heroin."
"Apaaa? Busyet, dari mana kau tahu?"
"Aku hanya menebak."
"Tebakan kau tepat sekali, Bagaimana caranya kau bisa menebak seperti itu?"
"Dengan melihat tingkah lakumu. Kau takkan berlari-lari ke sini, seandainya yang ditemukan hanya sebungkus rokok atau seekor kadal mati. Yang paling masuk akal adalah heroin. Gila. berarti barang terkutuk itu benar-benar sudah sampai di asrama kita."
"Hanya sebungkus kecil. Isinya serbuk putih keabu-abuan. Wagner, itu guru kimia mereka, langsung tahu bahwa serbuk itu heroin. Guru-guru lain sama sekali tidak memperhatikan bungkusan itu."
"Kacau,"
Bisik Sporty. Kedua tangannya memegang kepalanya.
"Sekarang Kepala Sekolah malah punya alasan yang lebih kuat untuk melakukan penggeledahan. Bukan karena keping-keping emas itu, tetapi karena mereka ingin mengetahui siapa lagi yang menyimpan heroin. Kenapa kau tidak mengeluarkan tangga dan uang itu dati lemari? Kau kan bisa..."
"Lalu apa yang kubawa ini heh?"
Tanya Oskar sambil tersenyum simpul.
"Kau...?"
"Jelas, dong. Memangnya aku tidak punya otak? Aku punya pikiran yang sama denganmu. Begitu para guru sibuk mengerubungi lemari Alfred, aku langsung masuk kamar kita Cepat-cepat kukeluarkan tangga dan uang itu dari lemari. Setelah itu aku lari ke sini."
"Oskar, kadang-kadang idemu memang cemerlang."
"Hal itu boleh kauceritakan ke teman-teman kita,"
Ujar Oskar sambil nyengir.
"Tapi kalau mereka tahu kita tidak ada di tempat, maka,.."
Sporty terdiam.
Ia menarik tangan Oskar, mengajaknya pergi.
Anak itu menyadari maksud Sporty.
Karena terlalu terburu-buru, sandalnya sampai ketinggalan.
Sambil berjalan, Sporty melirik ke arah Gudang Sapu.
Pak Braun masih sibuk bercengkerama dengan pacarnya.
Ia membelakangi pintu kaca.
Apa yang terjadi di lorong sama sekali tidak menarik perhatiannya.
Lorong itu memang sepi, seperti biasanya setiap Sabtu.
Baik guru maupun murid seakan-akan menghindari tempat itu.
Kedua anak itu berlari sampai ke ruang laboratorium biologi.
Sporty tahu bahwa pintu ke ruang itu tidak dapat dikunci.
Tanpa menimbulkan suara, mereka melangkah masuk.
Belasan lemari berderet sepanjang dinding.
Isinya berbagai perlengkapan yang berhubungan dengan pelajaran biologi.
Theo, misalnya, diam mematung di salah satu pojok ruangan.
Perlu diketahui bahwa Theo adalah julukan yang diberikan oleh anak-anak pada sebuah rangka tulang manusia yang berdiri tegak.
Pada siang hari, Theo tidak terlalu menyeramkan.
Kesan itu pasti akan berubah, seandainya rangka itu diselimuti jubah hitam dan ditempatkan di sebuah lorong gelap di malam hari.
Dari balik kaca lemari, beberapa ekor burung yang telah diawetkan melotot ke arah Sporty dan Oskar.
Sporty mengeluarkan burung elang yang sedang melebarkan sayap dari lemari.
Setelah menyembunyikan bungkusan berisi uang, anak itu mengembalikan burung tadi pada tempat semula.
"Tolong jaga uang ini,"
Sporty menitipkan pesan.
Oskar menyembunyikan tangganya di bawah sebuah lemari.
Beberapa saat kemudian, kedua anak itu telah kembali ke lantai dua.
Mereka tiba tepat pada waktu penggeledahan kamar mereka dimulai Dr.
Weniger memimpin penggeledahan, Ia memeriksa setiap laci dengan teliti.
Setiap potong pakaian diamatinya dengan cermat.
Tak satu kantung celana pun luput dari rogohannya, Dengan penuh perhatian ia mengangkat kasur di tempat tidur Oskar.
Setelah yakin bahwa anak itu tidak menyembunyikan sesuatu di bawahnya, ia lalu meraba-raba seluruh permukaan kasur, sentimeter demi sentimeter.
Ketika ia menemukan persediaan coklat di atas lemari Oskar, Dr.
Weniger berseru.
"Nah! Apa ini?"
"Itu,"
Ujar Oskar.
"coklat, Pak Guru."
"Siapa tahu ada heroin di dalamnya."
"Pak Guru,"
Oskar berkata sambil memasang wajah masam.
"ayah saya, Herrmann Sauerlich, pemilik pabrik coklat yang terkenal di seluruh dunia, membuat coklat ini berdasarkan suatu resep rahasia. Saya dapat memastikan bahwa heroin tidak termasuk dalam bahan bakunya. Kalau saya memberi tahu ayah saya tentang tuduhan ini, maka Bapak akan dilaporkan pada polisi dengan tuduhan memfitnah."
"Jangan mengada-ada, Oskar,"
Dr. Weniger berkata dengan kesal.
"Kau tahu apa maksud saya. Mungkin saja ada kantung-kantung kecil berisi heroin di bawah kertas pembungkus coklatmu itu Coba kaubuka satu per satu,"
Oskar tidak dapat membantah.
Dengan berat hati ia melepaskan kertas pembungkus dari semua keping coklat.
Tapi tentu saja Dr.
Weniger tidak menemukan heroin yang dicarinya.
Oskar tersenyum-senyum.
Sporty langsung dapat menebak apa yang dipikirkan temannya itu.
"Kau tidak perlu menghabiskan semuanya, walaupun kertas pembungkusnya sudah terbuka,"
Katanya setelah Dr. Weniger meninggalkan kamar mereka "Tetapi coklat ini tidak bisa tahan lama kalau bungkusnya sudah dibuka,"
Jawab Oskar.
"Ingat talimu itu, Kalau berat badanmu bertambah terus, kau tidak mungkin bisa ikut bertualang lagi denganku Tangga itu takkan kuat menahan bobot badanmu.
"
"Aku tahu, Tenang saja. Aku sudah menemukan model lain yang jauh lebih kuat. Tangga itu kuat menahan lima kuintal."
"Terserah deh, kalau kau mau bertambah gembrot. Tapi ingat, begitu beratmu melewati satu kuintal, aku tidak mau kenal lagi denganmu, Daripada orang-orang nanti berkomentar. 'Tuh lihat, itu Sporty dengan bola coklatnya.' "
Dengan tenang Oskar memasukkan sepotong coklat ke dalam mulutnya.
"Aku rasa berat badanku belum berlebihan. Masalahnya hanya bahwa aku kurang tinggi dibandingkan dengan ukuran tubuhku. Tapi itu kan bukan salahku? Sekarang, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?"
"Aku ingin tahu apa yang akan terjadi dengan si Alfred.
"
Anak itu berumur lima belas tahun Ia satu tingkat dengan Sporty dan Oskar.
Alfred tidak mempunyai kawan akrab.
Tetapi karena ia tidak pernah membuat keributan, ia juga tidak punya musuh di asrama itu.
Orang tuanya termasuk golongan berkecukupan, Namun rupanya mereka tidak terIalu memperhatikan anak mereka.
Sudah dua kali Sporty memergoki Alfred sedang mengadukan perbuatan teman-temannya pada guru pembimbing.
Sejak itu Sporty berpendapat anak itu tidak dapat dipercaya.
Kenyataan bahwa salah seorang penghuni asrama menyimpan heroin di lemarinya.
sungguh-sungguh mengejutkan semua orang.
Pak Kepala Sekolah tidak mempunyai pilihan lain.
Ia terpaksa menghubungi polisi.
Dari jendela kamarnya, Sporty menyaksikan kedatangan Komisaris Glockner, ayah Petra.
Tidak lama kemudian, Alfred Guttlich dipanggil ke kantor Kepala Sekolah.
Walaupun pintu kantor tertutup rapat, anak-anak asrama dapat mehgikuti pembicaraan yang terjadi di dalam.
Soalnya, Peter Henschel, penghuni asrama yang berbadan paling kecil, memanjat ke lemari di samping pintu kantor.
Melalui celah-celah ventilasi, ia dapat mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan.
Alfred mengaku bahwa ia tidak mengenal orang yang menjual heroin itu padanya, Ia membeli heroin itu hanya karena terdorong rasa ingin tahu saja.
Komisaris Glockner masih belum puas.
Tetapi walaupun telah didesak-desak, Alfred tetap pada pernyataannya itu.
Petugas polisi tidak berhasil mengorek keterangan yang lebih berarti.
Sporty juga tidak mempercayai pengakuan Alfred.
Ia curiga anak itu mempunyai maksud yang tersembunyi.
Sementara itu, penggeledahan kamar-kamar telah selesai.
Ternyata hanya Alfred yang menyimpan heroin.
Ketika suasana mulai tenang kembali, Sporty pergi ke laboratorium biologi dan mengambil bungkusan berisi uang serta tangga milik Oskar.
Uang itu kembali Ia masukkan ke dalam lemari pakaiannya.
Ia yakin lemarinya tidak akan diperiksa lagi.
Komisaris Glockner kembali ke kota.
Alfred Guttlich untuk sementara waktu tidak boleh meninggalkan kamarnya.
Anak itu kemudian menjadi pusat perhatian penghuni asrama.
Ia sangat senang semua orang menyerbunya dengan berbagai pertanyaan.
Ia berlagak seperti seorang pengedar narkotika kelas kakap yang tertangkap polisi.
14.
Para Pengedar Narkotika Beraksi SEMENTARA itu Pak Braun akhirnya selesai berbincang-bincang dengan pacarnya.
Segera Sporty menelepon ibunya.
Ia sebenarnya belum mempunyai kabar yang menggembirakan.
Walaupun demikian, Sporty berusaha meyakinkan ibunya bahwa persoalan mereka akan dapat diselesai kan dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.
Sporty kemudian berjanji untuk menemui ibunya di Hotel Kaiserhof.
Berdua dengan Oskar, ia berangkat ke sana.
Sporty memiliki sebuah sepeda balap yang ia beli dengan uang hasil usahanya sendiri.
Dengan memakai sepeda, mereka dapat menghemat waktu, walaupun harus berhati-hati karena jalanan licin.
Cuaca pada hari itu tetap cerah.
Cocok sekali untuk berjalan-jalan di pusat kota.
Namun Bu Carsten tidak begitu bersemangat.
Ia nampak lesu.
Setengah jam kemudian, ia mengajak Sporty dan Oskar kembali ke hotel.
Tidak lama kemudian, kedua anak itu berpamitan.
"Masih banyak yang harus kami kerjakan hari ini, Bu,"
Sporty menerangkan.
"Pencuri map Ibu sudah berhasil kami temukan. Orang itu ternyata telah mengamati kita sejak Ibu tiba di stasiun kereta api. Aku memang ada persoalan dengannya. Dengan menggunakan kunci palsu, salah seorang rekan orang itu berhasil memasuki kamar Ibu di hotel ini. Ia lalu membawa map berisi dokumen-dokumen itu. Mengenai persoalanku dengan orang itu, akan kujelaskan setelah urusan ini selesai."
Bu Carsten mengangguk. Wajahnya pucat dan murung. Tetapi dengan tabah ia memaksakan diri untuk tersenyum, karena tidak ingin menambah beban pikiran Sporty.
"Kau kelihatannya kurang tidur, Peter,"
Wanita itu berkata pada Sporty.
"Jaga kesehatanmu baik-baik. Dan, apa pun yang akan kalian lakukan, jangan sampai kau atau teman-temanmu terancam bahaya."
Sporty merangkul ibunya.
"Jangan khawatir, Bu,"
Katanya.
"Kami akan berhati-hati.
"
Kemudian ia menambahkan bahwa ia akan menelepon kembali sore hari.
Bersama Oskar ia lalu pergi ke rumah Petra.
Thomas telah menunggu di sana.
Anak itu sedang menceritakan pengalaman mereka di Kuburan Lama semalam.
Sporty dan Oskar.
baru saja duduk, ketika Evi Pertigo, saudara sepupu Petra, pulang sehabis berbelanja.
Petra memperkenalkan teman-temannya pada saudaranya itu.
Petra sudah pernah bercerita bahwa Evi berumur tujuh belas tahun.
Tetapi hal itu agak sulit dipercaya, melihat perawakannya yang kecil mungil.
Tingginya anya 158 sentimeter.
Dalam hati Sporty mengakui bahwa Evi memang mirip dengan wanita-wanita gypsy yang sering muncul menjadi peramal di pasar malam Dengan ramah Evi menyapa ketiga teman saudara sepupunya.
Selama beberapa saat ia menatap Sporty.
Lalu mengeluarkan belanjaannya, dan memamerkannya pada anak-anak itu.
Sebagian besar merupakan barang-barang untuk keperluan pesta topeng di rumah Detlef nanti malam.
Sporty mengamati barang-barang itu.
"Hmmm, bagus,"
Ia berkomentar dengan singkat.
"Hebat. Menarik."
Kata-kata itu diulang-ulangnya setiap kali Evi mengeluarkan sesuatu dari kantung plastik yang diletakkannya di atas meja.
Tetapi tentu saja Sporty mengucapkannya dalam urutan yang berbeda-beda.
Ketika Evi membawa barang-barang itu ke kamar Petra, Sporty merenung sejenak.
"Evi."
Ujarnya ketika gadis itu kembali.
"apa kau tahu bahwa si Detlef Egge itu seorang bajingan tengik?"
Gadis itu terperanjat.
"Apa? Kenapa kau berkata begitu?"
Tanyanya agak kesal.
"Tunggu sebentar. Nanti akan kuterangkan duduk persoalannya padamu,"
Jawab Sporty. Sambil menengok ke arah teman-temannya, ia lalu berkata.
"Tidak ada jalan lain. Evi harus diberi tahu. Ia kan akan menghadiri pesta topeng di rumah Detlef nanti malam. Tidak adil rasanya, jika kita tidak memperingatkannya mengenai kelakuan Detlef"
"Memangnya ada apa dengan Detlef?"
Tanya Evi.
"Kenapa aku perlu diperingatkan?"
"Detlef terlibat dalam penjualan narkotika. Ia adalah seorang pengedar heroin. Di samping itu, ia juga seorang pemeras."
Dengan mata terbelalak Evi menatap Sporty.
Melihat hal itu.
senyum tipis tersungging di wajah Petra.
Ia merasa gembira bahwa Sporty secara terus terang mengungkapkan kebejatan Detlef di hadapan saudara sepupunya itu.
Sejak kedatangan Evi, ia terpaksa mendengarkan ocehan saudara sepupunya yang tergila-gila pada Detlef.
"Sebelum aku mulai, kau harus berjanji bahwa kau tidak akan bercerita pada siapa pun juga mengenai persoalan ini,"
Sporty mengajukan syarat.
"Hal ini harus dirahasiakan. Orang lain tidak perlu tahu."
"Dirahasiakan? Tidak ada yang perlu tahu?"
Tanya Evi. Ia mempunyai kebiasaan mengomentari perkataan orang lain dengan dua buah pertanyaan. Tetapi rupanya tidak pernah, disadarinya. Cepat-cepat ia mengangkat tangan kanannya untuk bersumpah.
"Aku takkan mengucapkan sepatah kata pun,"
Janjinya.
"Bagaimana? Oke?"
Sporty mengangguk.
Lalu mulai bercerita.
Ekspresi wajah gadis itu berubah-ubah ketika mendengar penjelasan Sporty.
Berapa kali ia memekik tertahan sambil menutup mulut dengan sebelah tangan.
Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Detlef tega berbuat seperti itu.
"Aduh, hampir saja aku tertipu olehnya,"
Evi berkata sambil mengepalkan tangan.
"Untung kalian memberitahuku bagaimana sifat anak itu sesungguhnya. Heran, kenapa aku bisa merasa tertarik pada orang semacam dia?! Sayang, terpaksa aku tidak datang ke pestanya nanti malam."
"Kau tak perlu kecewa,"
Ujar Petra cepat-cepat.
"Bagaimana kalau kita merayakan karnaval di sini saja. Pasti tidak kalah meriah dengan pesta di rumah Detlef. Lagi pula, si Detlef kan hanya kepingin memamerkan kekayaan orang tuanya saja. Ia senang kalau teman-temannya terkagum-kagum karena di rumahnya ada kolam renang."
Sporty melirik jam tangannya.
"Ada kemungkinan Detlef akan membatalkan pesta itu,"
Katanya kemudian.
"Karena-seperti sudah kukatakan tadi-aku akan menemuinya di Istana Es Krim pukul 14.00 tepat. Mudah-mudahan saja ia muncul. Tapi aku yakin ia akan datang. Ia takkan berani mengambil risiko. 50.000 Mark tidak sedikit, untuk orang macam Detlef sekalipun. Dan, siapa tahu, mungkin Detlef akan kehilangan semangat untuk berhura-hura setelah aku bertemu dengannya. Yuk ah. aku berangkat sekarang."
Mula-mula ketiga temannya hendak menyertai Sporty, Tetapi anak itu menolak.
"Sori, urusan ini adalah tanggung jawabku sendiri. Aku harus mendapatkan kembali map ibuku, Map itu hilang karena kesalahanku. Karena itu, aku sendiri yang harus membereskan persoalan ini. Kecuali itu, Detlef mungkin akan merasa keder kalau kita berempat datang. Sebaiknya aku menemuinya sendirian. Setelah bertemu Detlef, aku akan segera kembali ke sini."
Sporty harus bersepeda selama sepuluh menit untuk sampai di Istana Es Krim.
Tempat itu sangat terkenal di kalangan anak muda.
Dalam musim dingin sekalipun.
Istana Es Krim tidak pernah sepi dari pengunjung, Soalnya pemiliknya tidak hanya menyediakan es krim dalam porsi raksasa dan dengan harga yang disesuaikan dengan kantung remaja.
Papan iklan yang terpasang di atas pintu masuk menyatakan, bahwa para pengunjung dapat memperoleh susu murni dengan berbagai rasa, dingin maupun panas.
Susu murni itulah yang paling banyak dicari dalam cuaca dingin seperti ini.
Namun bukan hanya anak muda yang merupakan langganan setia.
Orang-orang tua yang telah pensiun juga banyak yang datang ke Istana Es Krim.
Sambil menikmati susu panas, mereka dapat berbincang-bincang dengan santai.
Ketika tiba di tempat itu, Sporty menyandarkan sepedanya pada sebatang pohon, dan menguncinya.
Lalu ia melangkah masuk.
Seperti biasa, Istana Es Krim dipadati pengunjung, walaupun belum sampai penuh sesak.
Hampir semua kursi telah terisi.
Tetapi Sporty tidak mengalami kesulitan unuk menemukan orang yang dicarinya.
Detlef Egge dan Toni Wiedemann duduk di bagian belakang ruangan itu.
Sewaktu Sporty masuk, keduanya sedang termenung-menung.
Sebentar-sebentar Detlef menengok ke arah pintu masuk dengan gelisah.
Tetapi begitu mengetahui kedatangan Sporty, ia langsung pura-pura sibuk berbincang-bincang dengan Toni.
Sambil melewati deretan meja, Sporty berjalan ke arah mereka.
Tiga buah kursi mengelilingi meja kecil yang ditempati Toni dan Detlef.
Satu kursi masih kosong.
Sporty segera duduk.
Pertama-tama kedua pemuda itu tidak bereaksi.
Namun akhirnya mereka menoleh ke arah anak itu.
Mereka menatapnya sambil menyipitkan mata.
Detlef Egge berusaha memasang tampang mengejek.
Wajah Toni nampak kaku.
"Luka itu merupakan hadiah dariku, bukan?"
Kata Sporty sambil menunjuk luka kecil di pergelangan tangan Toni. Jangan khawatir, sebentar lagi juga sembuh dengan sendirinya."
Kemudian ia menoleh ke arah Detlef.
"Bagaimana, kau bawa map itu?"
Ia kembali bertanya.
"Ya, ampun!"
Ujar Detlef.
"Lagi-lagi si gila ini. Eh, Toni, masa anak ingusan ini menyangka aku menyimpan map ibunya?! Aneh sekali, bukan? Aku tidak mengerti jalan pikirannya. He, Bocah, kau bermimpi atau apa?"
"Aku tidak punya waktu untuk bermimpi, Egge, Soalnya aku senang berkeliaran di Kuburan Lama di tengah malam buta."
"Kenapa kau tidak sekalian menggali liang kuburmu sendiri?"
Toni mengejek -"Karena aku punya 50.000 Mark yang belum sempat kuhambur-hamburkan,"
Balas Sporty dengan tenang.
"Sayang sekali, kan, kalau uang itu tidak terpakai. Apalagi karena 10.000 Mark berasal dari kantungmu, Egge. Sisanya disumbangkan oleh Lembke. Informasiku cukup lengkap, bukan? Kalian pasti penasaran dari mana aku mengetahui semuanya itu. Mudah saja. Aku menguping ketika kau, Wiedemann, berunding dengan Lembke di Super-Sound-Disco. Aku lalu mengajak teman-temanku untuk mengunjungi Kuburan Lama. Kami menyaksikan bagaimana kau menipu Lembke di sana. Kau hanya pura-pura masuk ke Wisma Gelandangan, bukan? Uang tebusan itu kausembunyikan di balik batu nisan yang terdapat di dekat sebuah patung malaikat. Seharusnya kau. Egge, yang mengambil uang itu kemudian. Sayang sekali, kami telah menduluimu. Kalian tidak perlu mungkir, kami sudah mengetahui bahwa kalian berdua hendak menipu Lembke. Cerita mengenai pemeras yang meneleponmu, Egge, hanyalah isapan jempol belaka. Tapi itu sih terserah kalian, Kalau mau mencurangi Lembke, silakan saja. Itu bukan urusanku. Aku hanya minta agar kalian mengembalikan map ibuku."
Untuk sesaat, semuanya terdiam Kemudian Detlef angkat bicara.
"Nah, Toni, apa aku bilang! Bocah ini memang agak kurang waras. Ia selalu saja berceloteh tentang map ibunya yang katanya hilang dicuri."
Kemudian ia berpaling pada Sporty.
"He, Bocah, aku tidak tahu-menahu tentang map ibumu itu, Tetapi kenapa kau tidak membeli map lain saja? Katanya kau punya 50.000 Mark. Dengan uang segitu banyak, kau bisa membeli ribuan map. Jadi untuk apa kau bersusah-susah?"
Detlef berkata sambil nyengir mengejek.
"Jangan berlagak bodoh,"
Jawab Sporty.
"Kau tahu persis map mana yang kumaksud. Kalau kau mengembalikan map itu, aku bisa mengambil uangnya sekarang juga."
"Oh, jadi kau tidak membawanya?! Jangan-jangan uang itu hanya ada dalam khayalanmu saja."
"Apa kaupikir aku sebodoh itu? Uang itu kusimpan di suatu tempat yang aman."
Detlef menoleh ke arah Toni. Tanpa berkata apa-apa ia menatap temannya itu Toni langsung berdiri.
"Aku harus ke belakang sebentar,"
Katanya pada Detlef.
"Perutku agak mulas. Mungkin kebanyakan minum susu."
Tanpa menengok ke arah Sporty, ia menuju kamar kecil.
"Jadi bagaimana?"
Sporty kembali bertanya.
"Apanya yang bagaimana?"
"Mana map itu?"
"Dasar bocah bebal! Aku kan sudah bilang..."
"He, Bung! Jaga omonganmu, kalau kau mau pulang dalam keadaan utuh,"
Sporty menghardiknya. Egge tersentak. Tetapi dengan cepat ia dapat menguasai diri.
"Bagaimana kalau aku mengadu pada Lembke?"
Kata Sporty.
"Aku bisa mengatakan padanya bahwa kalian hendak menipunya."
"Apakah kau dapat membuktikan ucapanmu itu?"
Detlef berkomentar sambil tersenyum.
"Tanpa bukti, kau tidak dapat berbuat apa-apa! Lembke tidak akan mempercayaimu.
"
Sporty kehabisan akal.
Ia sama sekali tidak menduga bahwa Detlef akan menolak tawarannya.
Dengan susah payah ia berusaha untuk tidak memperlihatkan kekecewaannya.
Tetapi kemudian Sporty menyadari bahwa ia telah salah langkah.
Kedua bajingan itu memang tidak mungkin mengaku bahwa mereka hendak menipu Lembke, si pemilik diskotek itu.
Risikonya terlalu besar bagi mereka berdua.
Bagaimanapun juga, Sporty adalah musuh mereka.
Detlef dan Toni tidak mempunyai alasan untuk mempercayainya.
Brengsek! pikir Sporty.
Mereka nampaknya tidak peduli.
Tapi pasti ada udang di balik batu Detlef tidak akan membiarkan uangnya hilang begitu saja.
Hm, seandainya saja aku tahu rencana busuk apa lagi yang telah mereka persiapkan.
Toni kembali dari kamar kecil.
Sewaktu menarik kursinya, ia mengangguk ke arah Detlef.
"Eh, Toni, masa si bocah gila ini hendak mengadukan kita pada Lembke,"
Kata Egge.
"Terserah deh! Aku akan memberi tahu Lembke bahwa omongan anak ingusan ini tidak perlu diperhatikannya. Lagi pula, kalau ia memang mengambil uang tebusan yang katanya diminta oleh si pemeras itu, maka sudah jelas bahwa ia sendiri dalangnya."
"Logika bengkok,"
Sporty berkomentar.
"Itu katamu,"
Balas Toni sambil nyengir lebar-lebar.
"Kau telah mencoba memfitnah kami. Padahal kau sendiri yang mendalangi pemerasan itu, bukan? Lembke pasti senang kalau tahu kami telah berhasil membuka kedokmu. Dengar, Bocah, aku punya nasihat untukmu."
Sporty tidak memberi tanggapan. Perhatiannya tersita oleh pelayan yang menghampirinya dan menanyakan pesanannya. Ia minta segelas susu murni. Toni menunggu sampai pelayan itu pergi. Kemudian ia kembali berkata.
"Nasihatku singkat saja. Jangan buka mulut, apa pun yang terjadi! Sebaiknya kauperhatikan nasihatku ini. Daripada kau menyesal nanti. Dan siapa tahu, mungkin saja map itu akan kauperoleh kembali kapan-kapan."
"Rekanmu ini telah menganjurkan hal yang sama ketika aku mendatangi rumahnya kemarin malam,"
Kata Sporty.
"Hebat sekali petuah kalian. Padahal kau sendiri mengatakan bahwa kalian tidak terlibat dengan urusan ini. Sekarang begini saja. kalau sampai pukul 20.00 nanti malam kalian belum mengembalikan map itu, maka aku akan serahkan uang itu pada polisi. Aku akan mengatakan semua yang kuketahui tentang kalian. ..
"Fitnah,"
Egge berkata sambil tersenyum.
"Ya, kau hanya ingin menjelek-jelekkan kami."
Toni menyeringai.
"Tapi silakan saja, kalau kau memang ingin melapor,"
Kata Egge.
"Kami tidak takut."
"Benar,"
Toni menimpali.
"Apa yang perlu dikhawatirkan? Kami tidak melakukan apa-apa kok."
Keduanya berdiri. Pelayan langsung mendatangi mereka sambil membawa bon. Egge mengeluarkan dompet dan menyerahkan selembar uang.
"Ambil saja uang kembaliannya.
"
Katanya pada pelayan itu.
"Tapi bocah ini, biar bayar sendiri. Tapi hati-hati, anak ini agak terganggu pikirannya, Kalau terlalu banyak minum susu, gilanya kumat."
Pelayan itu hanya tertawa, Mungkin ia menyangka Egge sedang bergurau.
Dengan perasaan tidak menentu, Sporty menyaksikan kedua bajingan itu meninggalkan Istana Es Krim.
Ia merasa heran, Egge dan Toni sama sekali tidak menggubris ancamannya.
Hal itu membuat Sporty merasa tidak tenang.
Apakah mereka hanya berpura-pura? Atau mereka memang memegang kartu as yang belum diketahuinya.
Pelan-pelan ia menghabiskan susunya.
Rasanya agak hambar.
Selama beberapa saat ia duduk memandang gelas yang kosong itu.
Tiba-tiba ia sadar.
Seperti tersengat tawon, ia melompat berdiri.
Sambil berlari menuju pintu, ia membayar pesanannya.
Pelayan yang menerima uangnya hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.
Terburu-buru Sporty menaiki sepeda balapnya.
Dengan kecepatan penuh, ia menyusul mobil-mobil yang berada di depannya.
Tikungan-tikungan dilewatinya tanpa mengerem.
Dua kali ia nyaris terjatuh.
Akhirnya ia tiba di jalan kedl yang menuju asrama.
Ia bertemu dengan sejumlah murid yang sedang dalam perjalanan pulang.
Beberapa berjalan kaki, tetapi sebaglan besar bersepeda.
Sporty tidak sempat menegur anak-anak yang dikenalnya.
Kemudian sebuah taksi berpapasan dengannya.
Sambll lalu Sporty mengenali wajah penumpangnya.
Alfred Guttlich.
"Ya, ampun!"
Pikir Sporty.
"Itu dia. Berarti aku terlambat.
"
Untuk sesaat, perasaan marah, kesal, jengkel bercampur baur menjadi satu dalam diri anak itu.
Dengan lesu Sporty meneruskan perjalanannya.
Ia sudah tidak perlu terburu-buru seperti tadi.
Ketika sampai di pekarangan asrama, ia menyimpan sepedanya dalam gudang,lalu menuju SARANG RAJAWALI.
Lorong di lantai dua itu sepi.
Tak seorang pun nampak.
Sporty menutup pintu kamar dan menghampiri lemari pakaiannya.
Kunci pintu lemari telah dibongkar, isiya diobrak-abrik.
Apa yang dikhawatirkannya menjadl kenyataan.
uang itu hilang.
Toni telah menelepon ke asrama, pikir Sporty.
Ia minta bicara dengan Alfred Guttlich, kemudian menyuruh anak itu membongkar lemanku.
Duganku ternyata tepat.
Alfred memperoleh hroin itu dari Toni dan Detlef.
Jelas saja ia menuruti semua perintah mereka.
Brengsek! Aku terpaksa mencari cara lain untuk memperoleh kembali map Ibu.
Tapi aku tidak akan menyerah! Apalagi setelah kejadian ini.
Sporty memeriksa kamar-kamar yang bersebelahan dengan SARANG RAJAWALI.
Semuanya kosong.
Anak-anak pergi semua.
Mungkin ke kota.
Tidak ada saksi mata bahwa Alfred masuk ke kamarnya.
15.
Kesempatan Terakhir bagi Sporty KETIKA Sporty kembali ke kota, ia merasa sangat terpukul.
Bukan karena merasa ditipu.
Soalnya, dari mana ia dapat mengetahui bahwa Egge dan Wiedemann dapat memaksa Alfred Guttlich untuk mencuri uang itu dari lemarinya? Bukan, bukan itu sebabnya.
Yang membuatnya kecewa adalah kenyataan bahwa kemungkinan untuk memperoleh kembali map ibunya sema kin kecil saja.
Dengan uang 50.000 Mark ia akan dapat memaksa Detlef untuk mengembalikan map itu.
Tetapi sekarang? Semua rencananya buyar.
Ia juga tidak dapat membuktikan bahwa Detlef terlibat dalam penjualan heroin.
Memang, polisi tentu akan mencatat keterangannya, tetapi apakah mereka juga akan dapat mengambil tindakan -hal itu masih perlu dipertanyakan.
Bahkan Komisaris Glockner, ayah Petra yang selalu siap membantu, belum tentu dapat berbuat apa-apa.
Dengan wajah murung, Sporty tiba di rumah Petra, Teman-temannya tidak perlu bertanya macam-macam.
Dengan memandang wajahnya saja, mereka sudah dapat membayangkan bahwa ia gagal.
Hanya Oskar yang tidak dapat membaca situasi "Bagaimtma hasilnya?"
Tanyannya penuh rasa ingin. tahu.
"Oh. sukses besar."
Jawab Sporty dengan sinis.
"Semua penjahat telah dijebloskan ke penjara. Dan aku bahkan diberi hadiah berupa uang. Sayang sekali aku belum sempat menghitung jumlahnya."
"Maaf deh, bertanya kan boleh,"
Ujar Oskar. Ia agak tersinggung oleh jawaban ketus Sporty.
"Sori, Gendut. Aku tak bermaksud mnyinggung perasaanmu. Hanya saja, aku merasa begitu kesal. Sial! Brengsek! Mereka berhasil mengelabuiku!". Ia menceritakan kejadian itu pada teman-temannya. Keempat anak itu-Evi juga hadir-tidak dapat berkata apa-apa.
"Membongkar... membongkar lemari?!"
Kata Oskar terbata-bata.
"Bangsat benar si Alfred! Tetapi bagaimana kau dapat membuktikan perbuatannya? Paling-paling kau hanya dapat mengancamnya supaya mengaku. Padahal si brengsek itu tahu betul bahwa kau tidak akan mempergunakan kekerasan terhadapnya. Di lain pihak, ia tentu dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya seandainya ia mengkhianati Detlef dan Toni. Mereka akan menghajarnya habis-habisan. Karena itu ia takkan buka mulut."
"Justru itu masalahnya,"
Kata Sporty.
"Alfred tidak akan membantu kita,"
"Lalu, bagaimana dong?"
Tanya Oskar.
Sporty merenung.
Pandangannya terarah pada lemari pakaian Petra, Evi telah menggantungkan pakaiannya untuk pesta topeng di bagian samping lemari pakaian itu.
Sebuah rok berwarna-warni, sebuah blus berwarna putih, sebuah syal berumbai-rumbai berwarna merah, sepasang anting-anting sebesar tatakan, dan sebuah topeng berenda berwarna hitam.
Evi pasti akan kelihatan cantik sekali dalam pakaian itu.
Dengan gerakan menyentak, Sporty mengangkat kepala.
"He, aku tahu! Hanya ada satu cara. Aku akan menghadiri pesta topeng di rumah Detlef, Tanpa diketahui olehnya, tentu saja. Evi dan aku akan pergi ke sana. Tapi kau tidak bisa ikut, Oskar. Potongan tubuhmu terlalu menyolok Kecuali kalau kau bisa mengurangi berat badanmu sampai sepuluh kilo. Sayang, waktunya terlalu singkat. Dan kau juga terlalu mudah dikenali, Thomas. Kalau Petra hmm... sebenarnya... bisa saja... tapi..."
"Jelas dong, aku ikut,"
Kata Petra cepat-cepat.
"Kalau kau pergi ke sana, maka aku harus ikut"
"Egge mengatakan bahwa aku boleh mengjak siapa saja,"
Ujar Evi. Sporty mengangguk.
"Tapi dari mana kuperoleh pakaian yang cocok? Aku harus menyamar, supaya tidak langsung dikenali. Kalau sudah berhasil masuk ke rumahnya, aku tinggal menunggu kesempatan untuk memeriksa kamar tidur si Egge, Mudah-mudahan saja kepala pelayan yang konyol itu tidak berjaga-jaga di depan pintu. Tapi kalau aku beruntung,.. Egge yakin bahwa kita tidak akan bertindak selama ia masih menyimpan map ibuku. Ia yakin bahwa kita tak mungkin menghubungi polisi untuk menggeledah rumahnya. Dalam hal ini, keyakinannya memang beralasan. Tapi kalau aka sendiri yang melakukannya... Tidak ada jalan lain. Aku harus memeriksa kamarnya. Map itu pasti ada di sana."
"Aku akan membantumu untuk menyamar,"
Kata Petra. Gadis itu bersemangat sekali.
"Tetapi kepalamu harus ditutupi dengan sesuatu. Sesuatu yang tidak mudah dibuka-buka, Barang itu harus menjadi titik perhatian utama dalam penyamaranmu."
"Aku punya topeng monster di rumah!"
Thomas berseru.
"Itu tepat sekali,"
Ujar Petra sambil bertepuk tangan.
"Sekalian kuambilkan baju montir ayahku. Ayah selalu memakai baju itu kalau berkebun. Aku rasa, ukurannya pas untukmu. Bagaimana, kau setuju?"
Sporty mengangguk sambil tersenyum lebar Kemudian ia berpaling pada Evi.
"Kalau ketemu Detlef nanti malam, katakan saja bahwa Petra dan aku adalah saudara-saudara sepupumu. Kau dapat saja menyebutkan nama asliku, Peter. Soalnya kecuali ibuku, dan beberapa guru di sekolah, tidak ada yang memanggilku dengan nama itu. Tetapi Petra terpaksa ganti nama. Aku usul kita menamakannya Rosalinde, atau Pauline, atau Walburga, atau..."
"Sudah, sudah! Stop!"
Seru Petra sambil tertawa.
"Enak saja kau memilih-milih nama-nama kuno itu untukku. Kalau aku setuju dengan salah satu nama yang kauusulkan itu, maka Detlef pasti ingin melihat wajahku. Itu tak boleh terjadi. Soalnya aku yakin ia mengenalku. Aku takut rencana kita akan terbongkar."
"Benar juga,"
Ujar Sporty.
"Mana ada murid sekolah kita yang tidak mengenal gadis paling can., eh... maksudku, aku akan menyamar sebagai monster. Dan kau?"
"Sepertinya, masih ada yang hendak kaukatakan,"
Kata Petra.
Sporty merasakan wajahnya menjadi merah.
Lagi-Iagi aku salah omong! Lihat, tuh, si Thomas cengar-cengir terus.
Oskar malah cekikikan.
Dasar brengsek semuanya.
Dan Petra juga sama saja.
Busyet, setiap kali ia berhasil membuat wajahku menjadi merah padam.
"Ehm, sebenarnya tidak ada!"
Jawab Sporty.
"Jadi kau akan menyamar sebagai drakula?"
"Sembarangan!"
Seru Petra terkejut.
"Nanti pasti ada anak-anak konyol yang mengharapkan aku bersedia menggigit leher mereka. Tidak ah, aku akan menyamar sebagai badut saja. Aku masih menyimpan pakaian badut yang kupakai tahun lalu. Mudah mudahan saja masih cukup."
Gadis itu segera mencari baju badut itu di lemari pakaiannya.
Sementara itu, Thomas pulang sebentar untuk mengambil topeng monster dan baju montir ayahnya.
Petra mengeluarkan baju badutnya dan meletakkannya di atas tempat tidur.
Ia juga mengambil sebuah topeng dari lacinya.
"Hebat,"
Sporty berkomentar.
"Pasti takkan ada yang mengenalimu. Sekarang kita tinggal menunggu Thomas."
Thomas kembali dengan mengenakan topeng monsternya.
Petra dan Evi memekik kaget ketika tiba-tiba ia muncul di ambang pintu.
Topeng itu terbuat dari karet, dan menutupi seluruh kepala sampai sebatas leher.
Empat buah celah terdapat pada topeng itu.
Dua buah untuk mata, lalu masing-masing satu untuk mulut dan hidung.
Sisanya tertutup rapat.
Orang yang mengenakan topeng itu pasti akan merasa kepanasan.
Topeng itu memang menakutkan.
Sporty segera mencobanya lalu memandang ke cermin.
"Apa kau masih bisa mengenaliku,"
Ia bertanya pada Petra.
"Jelas. Soalnya wajahmu hampir tidak berubah"
"Terima kasih atas pujianmu. Aku baru tahu bahwa kau perlu memakai kaca mata."
Semuanya tertawa. Sporty pergi ke kamar mandi dan berganti pakaian. Baju montir yang dibawakan Thomas ternyata pas sekali.
"Suaramu juga lain, kalau kau memakai topeng itu,"
Ujar Oskar.
"Penyamaranmu benar-benar hebat. si Egge takkan menduga bahwa kau yang berada di balik topeng itu."
Pintu kamar Petra diketuk dari luar.
Bu Glockner melangkah masuk.
Ia membawa baki berisi minuman dan makanan kecil untuk tamu putri-putrinya itu Ketika melihat Sporty, ia kaget setengah mati.
Hampir saja baki itu terlepas dari tangannya Tetapi untung Thomas cukup sigap.
Ia melompat mendekat dan membantu Bu Glockner.
"Ya ampun, Sporty."
Wanita itu berkata sambil tertawa.
"Jangan sekali-kali naik kendaraan umum dengan topengmu itu. Penumpang-penumpang lain bisa pingsan kalau melihat tampangmu. Rupanya kalian jadi pergi ke pesta itu, ya?"
Karena tahu bahwa Sporty juga akan menghadiri pesta itu, Bu Glockner mengizinkan Petra dan Evi pulang agak lebih malam daripada biasanya. Ia juga bertanya, apakah anak-anak telah mempersiapkan kado untuk tuan rumah nanti "Wah, kita sama sekali lupa,"
Ujar Petra. Tadinya kita memang hampir tidak jadi pergi ke pesta itu. Aduh, bagaimana ya? Hari ini kan Sabtu, toko-toko tutup lebih cepat daripada biasanya. Mana sempat kita beli hadiah?"
"Jangan bingung."
Bu Glockner berkomentar.
"Ibu masih punya sekeranjang buah-buahan segar di toko. Kalian boleh membawanya, kalau mau."
Tentu saja anak-anak setuju dengan usul itu. Ketika Bu Glockner kembali dari toko dengan membawa sekeranjang buah-buahan. Oskar langsung tergiur. Ia berpendapat bahwa Detlef Egge sebenarnya tidak patut menerima hadiah itu.
"Lebih baik. kita sendiri yang menikmati buah-buahan ini,"
Ujarnya dengan serius.
"Sayang kan, kalau dihadiahkan ke orang lain."
Tetapi teman-temannya hanya tertawa mendengar usulnya itu. Sambil minum teh, mereka kemudian merundingkan bagaimana sebaiknya mereka bersikap di rumah Detlef nanti. Sewaktu anak-anak masih asyik menyusun rencana, Sporty menelepon ibunya.
"Nanti malam aku akan datang ke Hotel Kaiserhot.... Wah, aku belum tahu..... Ada pekerjaan penting yang harus segera kami selesaikan. Ya, aku akan berhati-hati.... Aku akan memberi tahu hal ini pada petugas piket di asrama."
Lama sekali ia berbicara dengan ibunya.
Kemudian ia menelepon ke asrama.
dan minta bicara dengan guru piket.
Ternyata Dr.
Weniger yang sedang bertugas.
Guru itu sedang kesal karena terpaksa berdinas pada malam Minggu.
Walaupun demikian, ia memberi izin pada Sporty untuk pulang pukul 23.00.
"Oh, ya. Saya hampir saja lupa."
Sporty menambahkan.
"Oskar Sauerlich juga ikut."
Oskar juga diizinkan pulang malam.
Berdua dengan Thomas, ia akan berpatroli di depan rumah Detlef Egge.
Sekadar berjaga-jaga seandainya terjadi sesuatu di luar dugaan.
Mungkin saja Sporty tertangkap basah sewaktu menyelinap ke kamar Detlef.
Dalam keadaan seperti itu, bantuan Thomas dan Oskar sangat dibutuhkan.
Menurut rencana, pesta akan dimulai pukul 19.30.
Kelima anak itu berangkat setengah jam sebelumnya.
Mereka menumpang bis kota.
Sesuai anjuran Bu Glockner, Sporty mencopot topengnya ketika naik kendaraan umum.
Tetapi Evi dan Petra.
yang telah memakai penyamaran lengkap, menjadi pusat perhatian penumpang-penumpang lain.
Halte bis berada beberapa ratus meter dari rumah keluarga Egge.
Jarak itu mereka tempuh dengan berjalan kaki.
Ketika hampir sampai, Sporty kembali memakai topeng monsternya.
Rumah Detlef terang-benderang.
Sama seperti kemarin malam, seluruh kejadian di sekitar kolam renang terlihat dengan jelas dari jalanan.
Sejumlah pengunjung bertopeng telah datang.
Sporty menaksir jumlahnya sekitar dua puluh orang.
Evi dan Petra agak gugup ketika mereka mendekati pintu rumah DetIef.
Sporty berusaha menenangkan kedua gadis itu.
Kemudian ia menekan bel, lalu mengambil posisi di belakang Evi.
Evi telah melepaskan topeng, supaya Detlef dapat segera mengenalinya.
Detlef sendiri yang membuka pintu.
Tidak jelas Detlef menyamar sebagai apa.
Mungkin gabungan antara playboy dan bajak laut.
Seluruh pakaiannya terbuat dari sutera berwarna putih.
Sebuah anting.
berukuran raksasa tergantung di kuping kirinya.
"EVI! Aku senang sekali kau ternyata memenuhi janji. Ayo, masuk."
Evi menyalaminya, kemudian memperkenalkan Petra dan Sporty.
"Ini Helga, saudara sepupuku. Ia sedang berlibur di sini. Dan ini Peter. Maaf, ia tidak bisa membuka topeng, soalnya sulit sekali untuk memasangnya lagi."
Detlef hanya mengangguk.
Kemudian ia merangkul pinggang Evi dan mengajaknya ke kolam renang.
Sporty dan Petra mengikuti mereka.
Musik yang hingar-bingar menyambut mereka.
Sebuah tape deck dipasang sekeras-kerasnya.
Orang-orang terpaksa menggunakan bahasa isyarat kalau ingin mengatakan sesuatu.
Para pengunjung berdansa di sekeliling kolam renang.
Suasananya meriah sekali.
Begitu masuk, Sporty langsung melihat deretan botol minuman keras di bar.
Sebagian besar telah dibuka.
Seorang pengunjung dengan pakaian koboi sedang menuangkan minuman ke dalam gelasnya.
Dari gerakannya yang klkuk segera terlihat bahwa koboi itu telah mulai mabuk.
Sporty dan Petra bergabung dengan tamu-tamu lainnya.
Mereka berdansa.
Namun Sporty tetap memperhatikan Evi.
Detlef Egge tidak beranjak dari sisi gadis itu, kecuali kalau ia menuju pintu rumah untuk menyambut tamu yang baru datang.
Dan itu memang sering terjadi.
Dalam sekejap, ruangan itu telah penuh sesak.
Para tamu harus berhati-hati agar tidak kecebur ke kolam renang.
Siapa yang berada di balik topeng-topeng itu tidak dapat diketahui.
Tetapi beberapa tamu rupanya merasa tidak perlu menyembunyikan wajah mereka.
Toni Wiedemann, misalnya, yang berpakaian seperti pelaut.
Atau Alfred Guttlich, yang mengenakan sebuah kemeja putih yang penuh dengan coretan-coretan spidol.
Sebagian besar pengunjung memanfaatkan minuman keras yang disediakan dengan sebaik mungkin.
Beberapa di antara mereka sudah memperlihatkan kelakuan yang aneh-aneh.
Dua kali Sporty terpaksa melindungi Petra dari tamu-tamu yang mulai kurang ajar.
Rupanya mereka dapat menebak bahwa di balik topeng badut itu terdapat seraut wajah cantik.
Tetapi, setiap kali Sporty berhasil mengusir mereka tanpa terlalu menarik perhatian.
Beberapa menit sebelum setengah sepuluh, Sporty mengajak Petra ke tangga yang menuju lantai atas.
Kebetulan tidak ada siapa-siapa di sekitar tangga "Aku akan ke atas,"
Katanya pada gadis itu.
"Kau tungu di sini saja. Aku akan kembali dalam beberapa menit."
Cepat-cepat Sporty menaiki tangga.
Jantungnya berdebar-debar.
Ia harus bersiap-siap untuk menghadapi kmungkinan bertemu dengan opang tua Detlef atau Si kepala pelayan.
Pintu, pintu, pintu.
Sporty menempelkan telinganya pada setiap pinu sebelum membukanya.
Ia juga mengintip melalui lubang kunci.
Semua kamar dalam keadaan gelap.
Keika hendak memasuki salah satu kamar.
Sporty tiba-tiba mendengar suara langkah.
Seseorang sedang mendekat ke arahnya.
Terburu-buru Sporty bersembunyi di balik sebuah kursi antik yang terdapat di samping pintu tadi.
Dengan tegang ia menyaksikan si kepala pelayan berjalan ke arahnya.
Namun kemudian pria itu berhenti beberapa langkah di depan Sporty.
Seakan-akan teringat sesuatu.
laki-laki itu akhirnya berbalik dan menuruni tangga.
Uih.
hampir saja, pikir Sporty lega.
Keringat dingin membasahi keningnya.
Sporty keluar dari persembunyiannya dan mendekati pintu berikutnya.
Kali ini ia beruntung.
Begitu membuka pintu, ia langsung tahu bahwa ia berada di kamar Detlef.
Poster-poster berukuran besar tertempel di dinding.
Perabot di ruangan menyerupai di kapal pesiar zaman dulu.
Semuanya serba mahal.
Tanpa berpikir panjang.
Sporty menyelinap masuk.
Ia menutup pintu lalu menghidupkan lampu.
Segera Ia membuka lemari pakaian Detlef dan memeriksanya.
Map ibunya ada di bawah tumpukan baju.
Kegembiraan Sporty meluap-luap.
Ia sudah hendak meninggalkan kamar itu, ketika melihat meja tulis di sudut kamar.
"Kenapa tidak?"
Pikirnya.
"Tanggung, aku toh sudah sampai di sini."
Ia memeriksa setiap laci, namun tidak menemukan apa-apa.
Kemudian ia teringat pada laci di lemari pakaian yang belum sempat ia buka tadi.
Benar saja! Paket bergambar tengkorak, serta tas berisi uang tebusan itu terdapat di dalamnya.
Sporty tidak mengutak-atik barang-barang itu.
Ia menutup laci tadi, lalu meninggalkan kamar kerja Detlef dan menuruni tangga.
Petra masih menunggunya.
Gadis itu melompat-lompat dengan gembira sewaktu melihat map yang dibawa Sporty.
"Aku akan menemui Thomas dan Oskar. Map ini sebaiknya kutitipkan pada mereka saja. Sebentar, ya."
Cepat-cepat Sporty bergegas keluar. Hampir saja ia bertabrakan dengan Sepasang tamu yang sedang bermesraan di dalam kegelapan yang menyelimuti halaman rumah itu. Sporty berlari ke jalanan. Ia bersuit. Thomas dan Oskar langsung datang menghampirinya.
"Tolong jaga map ibuku. Jangan sampai hilang lagi. Dan sekarang kalian harus menelepon Komisaris Glockner. Katakan padanya, bahwa kita membutuhkan bantuannya Paket bergambar tengkorak itu ada di kamar Detlef. Isinya heroin. Seperempat kilo, paling tidak. Uang tebusan itu juga ada di sana. Berarti bukti sudah lengkap."
"Busyet!"
Ujar Oskar singkat.
Kemudian kedua anak itu berbalik.
Mereka berlari menuju kotak telepon umum yang terlihat di ujung jalan.
Sporty kembali ke rumah Detlef Secara kebetulan ia melihat ke arah kolam renang.
Jantungnya hampir copot ketika ia menyadari apa yang sedang terjadi.
Sekelompok orang berdiri di sekeliling kolam renang.
Semuanya sedang tertawa terbahak-bahak.
Mereka menertawakan Petra.
Gadis itu tidak lagi bertopeng.
Entah siapa yang merampas topeng itu dari wajahnya.
Dua laki-laki memegang tangan dan kakinya dengan kasar.
Petra meronta-ronta, dan berusaha menendang mereka.
Tetapi kedua orang tadi mengayun-ayunkan gadis itu, diiringi teriakan dan tawa para tamu lain.
Detlef Egge menyaksikan kejadian itu dengan wajah merah padam.
Ia melotot ke arah Petra, seakan-akan hendak membunuhnya dengan sorot matanya.
Detlef rupanya telah menyuruh kedua orang tadi untuk melemparkan Petra ke dalam air.
Sporty berlari ke pintu masuk.
Pintunya ternyata dikunci dari dalam.
Ia memencet bel, berulang-ulang, dan tak henti-henti.
Jantungnya berdetak kencang.
Kemarahan yang amat sangat menguasai dirinya.
Sesaat kemudian pintu terbuka.
Evi yang membukanya.
Gadis itu juga sudah tidak mengenakan topengnya.
Air mata membasahi pipinya.
"Sporty! Rencana kita berantakan. Entah kenapa, si Egge tiba-tiba ingin melihat wajah Petra, dan merenggut topeng dari wajahnya. Ternyata ia langsung mengenalinya. Sekarang mereka lagi mempermainkan Petra di kolam renang. Egge membentak-bentak kami agar mengaku bahwa kaulah yang berada di balik topeng monster itu. Ia..."
Sporty tidak memperhatikan kata-kata Evi selanjutnya...Ia terbang menuju kolam renang.
Sambil berlari, ia membuka topengnya.
Tape deck di kolam renang telah dimatikan.
Namun suasananya malah bertambah hiruk-pikuk.
Tawa dan sorak-sorai terdengar dengan jelas.
Petra berteriak-teriak.
Kedua laki-laki tadi masih saja mempermainkannya dengan kasar.
Petra pasti kesakitan.
"Berhenti!"
Sporty mengamuk.
Tanpa mengurangi kecepatannya, ia menembus kerumunan orang itu.
Lima-enam orang terpental ke samping.
Kemudian ia sampai di hadapan Petra dan kedua laki-laki tadi.
Dengan satu tendangan, Sporty menyapu kaki salah seorang penyiksa Petra.
Sambil memekik, bajingan itu terjatuh ke dalam kolam renang.
Air memercik membasahi lantai di sekitarnya.
Rekannya segera mendesak maju.
Rupanya ia belum tahu bahwa lawannya jago judo.
Dengan sekali angkat, Sporty telah melemparkannya ke tengah-tengah kolam renang.
Pada detik berikutnya, Toni Wiedemann ikut campur.
Tangannya menggenggam sebuah tongkat kayu.
Sporty menyambutnya dengan sebuah tendangan ke arah tulang kering.
Dengan lengan kirinya, ia menangkis pukulan Toni.
Bersamaan dengan itu, Sporty menghantam dada Wiedemanh dengan sikunya.
Toni roboh sambil menyeringai kesakitan.
Penonton lainnya segera mundur.
Banyak di antara mereka yang berbadan lebih besar daripada Sporty.
Tetapi tiba-tiba semuanya kehilangan keberanian.
"Hajar bangsat itu!"
Detlef Egge berteriak dari belakang. Namun tidak ada yang beraksi. Sporty meraih tangan Petra dan menariknya ke pintu, di mana Evi sedang berdiri dengan mata terbelalak. Ia sudah berhenti menangis.
"Cepat. keluar dari sini,"
Perintah Sporty "Thomas dan Oskar ada di luar. Aku akan berjaga di sini."
Sporty tetap berdiri di ambang pintu.
Tidak ada yang berani mendekat.
Sebenarnya anak itu kalah seandainya dikeroyok.
Tetapi ternyata penampilannya tadi telah menciutkan nyali teman-teman Detlef.
Tiba-tiba terdengar bunyi sirene mobil patroli Suara itu semakin nyaring, dan baru berhenti di depan rumah Detlef.
Yang terjadi kemudian adalah mimpi buruk bagi Detlef Egge, Toni Wiedemann, dan Alfred Guttlich.
Komisaris Glockner, dibantu dua orang petugas polisi lainnya, mengamankan paket bergambar tengkorak yang tersimpan di lemari pakaian Detlef.
Isinya ternyata memang heroin.
Tas berisi uang 50.000 Mark dibawa sekalian.
Detlef Egge dan Toni Wiedemann dikenakan tahanan sementara.
Sporty dan teman-temannya ikut ke kantor polisi.
Di sana mereka memberikan kesaksian.
Sebuah mobil polisi segera berangkat ke Super-Sound-Disco untuk menangkap Dieter Lembke.
Tanpa berkedip, Komisaris Glockner mendengarkan cerita anak-anak itu.
Ketika Sporty menyinggung Zaulich, si Hidung Bengkok, Komisaris Glockner langsung mengangguk.
"Zaulich adalah seorang pedagang narkotika yang bermarkas di Frankfurt. Untung kalian berhasil mengenalinya. Saya akan segera melaporkan hal itu pada dinas kepolisian di sana"
Setelah selesai melaporkan apa yang mereka ketahui sebuah mobil patroli mengantar keempat sahabat itu ke Hotel Kaiserhof.
Evi juga diajak.
Begitu tiba di hotel semuanya langsung menuju kamar Bu Carsten.
Bu Carsten sangat gembira melihat anak-anak.
Kegembiraannya bertambah besar ketika Sporty menyerahkan sebuah map.
"Ka... kau... berhasil... Peter!"
Ujarnya seakan-akan tidak percaya. Bu Carsten terdiam. Keharuan mencekam dirinya. Ia hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. Matanya mulai berair. Kemudian ia memeluk anaknya.
"Aku sangat berterima kasih, Peter. Dan untung kalian selamat semuanya."
"Nanti kuceritakan semuanya, Bu. Tapi sekarang aku harus melampiaskan kegembiraanku dulu,"
Kata Sporty dengan suara bergetar.
"Syukurlah semuanya sudah berlalu."
TAMAT
Raja Petir Pembalasan Berdarah Pendekar Rajawali Sakti Jago Dari Mongol Pendekar Rajawali Sakti Hantu Karang Bolong