Ceritasilat Novel Online

Teror Melanda Kelas 9a 1


Detektif Stop Teror Melanda Kelas 9a Bagian 1


TEROR MELANDA KELAS 9A Ebook by Syauqy_arr -OCR by Raynold 1. Bencana Menimpa Petra WAKTU istirahat hampir berlalu. ketika Sporty menyadari bahwa arlojinya tidak menempel pada pergelangan tangannya.

   "Padahal tadi aku masih memakainya."

   Ia berkata pada Oskar yang berdiri di sampingnya sambil melahap permen-permen coklat.

   "Seingatku. kaulepaskan arlojimu sebelum latihan olak peluru,"ujar Oskar.

   "Lalu kauletakkan di atas bangku."

   "Oh ya. sekarang aku baru ingat lagi. Kalau begitu, arlojiku masih ada di lapangan olahraga. Aduh, mana aku sempat mengambilnya? Sebentar lagi jam pelajaran berikut sudah mulai. Ah, masa bodoh Daripada arlojiku hilang."

   Ia membiarkan Oskar berdiri seorang diri.

   dan berlari ke arah lapangan olahraga.

   Tepat pada saat itu, bel yang menandakan awal jam pelajaran berdentang.

   Hampir seribu murid mulai bergerak ke arah kelas masing-masing.

   Ada yang bergegas seakan-akan terburu-buru.

   tetapi ada juga yang santai-santai saja.

   Keributan yang selama istirahat memenuhi halaman sekolah kini semakin berkurang.

   Terpaksa deh, aku terlambat masuk jam pelajarannya Bu Raul, pikir Sporty.

   Tapi tidak apa-apa Arlojiku lebih penting.

   Aneh, kok aku bisa lupa sama sekali! Jam tangan itu merupakan hadiah ulang tahun dari ibunya.

   Biasanya Sporty tidak pernah melepaskannya, kecuali bila mandi atau tidur.

   Tetapi jam pelajaran olahraga tadi memang berlangsung dengan seru.

   Acaranya adalah latihan tolak peluru.

   Tolakan Sporty yang pertama kurang sempurna.

   Tetapi pada tolakan kedua, ia berhasil memecahkan rekor pribadinya.

   Setelah melepaskan jam tangan agar lebih leluasa bergerak, ia kemudian membuat tolakan yang terakhir.

   Dalam kesempatan itu, ia memperbaiki rekornya yang baru berumur dua menit dengan menambah jarak dua puluh lima sentimeter.

   Kegembiraannya meluap-luap, sehingga ia sama sekali melupakan jam tangannya.

   Sporty adalah salah seorang atlet andalan sekolahnya.

   Ia jago judo, dan walaupun baru berumur tiga belas setengah tahun, ia telah terpilih untuk memperkuat regu bola voli sekolahnya.

   Lapangan olahraga terletak di belakang aula, dan bangku di mana Sporty meletakkan arlojinya berada di ujung lapangan.

   Tetapi ia terpaksa mengambil jalan memutar, karena murid-murid tidak diperbolehkan melewati taman kecil yang memisahkan aula dengan lapangan itu pada saat pelajaran sedang berlangsung.

   Taman kecil itu ditumbuhi tanaman perdu dan pohon-pohon peneduh.

   Letaknya di belakang bangunan yang dihuni oleh para guru yang belum berkeluarga.

   Taman itu direncanakan sebagai tempat istirahat bagi para tenaga pengajar.

   Tetapi nyatanya, mereka tidak pernah memanfaatkan tempat itu.

   Mereka lebih senang berbincang-bincang di ruang guru, atau berjalan-jalan di pekarangan sekolah.

   Karena itu suasana di taman kecil itu biasanya sepi, setidak-tidaknya pada pagi hari.

   Jam tangannya ternyata masih tergeletak di atas bangku.

   Dari jauh ia sudah dapat melihat kilauan cahaya matahari yang memantul pada kacanya.

   Setelah memasang arlojinya pada pergelangan tangan, Sporty berlari kembali ke arah sekolah.

   Aku ambil jalan pintas saja, ia berkata dalam hati.

   Mudah-mudahan tidak ada orang yang melihatku.

   Tanpa mengurangi kecepatan, Sporty memasuki taman itu.

   Jalan-jalan setapak berkelok-kelok, menyerupai aliran Sungai Elbe yang mengalir dekat sekolahnya.

   Dahan-dahan pohon yang menggantung rendah menghalangi pandangannya.

   Karena itulah ia nyaris menabrak wanita yang tiba-tiba saja telah berdiri di hadapannya.

   Sporty hanya mempunyai dua meter untuk menghentikan langkahnya.

   "Oh, maaf,"

   Ujarnya terkejut.

   Baru sekarang ia menyadari siapa wanita itu, Bu Muller-Borello, seorang guru muda yang mengajar di sekolah Sporty.

   Dia biasanya dipanggil Bu Mubo oleh sebagian besar murid sekolah itu.

   Bu Mubo berumur sekitar tiga puluh tahun, berbadan langsing, dan bermata biru.

   Rambutnya yang keriting berwarna pirang.

   Bibirnya selalu diolesi lipstik berwarna merah.

   Ia memiliki banyak pengagum, baik di antara rekan-rekan sesama guru, maupun di kalangan murid-murid yang lebih tua.

   Namun mereka hanya berani meliriknya secara sembunyi-sembunyi.

   Masalahnya, Bu Mubo sudah menikah, dan anak laki-lakinya sudah berumur tujuh atau delapan tahun.

   Dengan kikuk Sporty menatap wajah gurunya itu.

   Wanita itu sedang menangis.

   Air mata mengalir di kedua pipinya.

   Kedua matanya bengkak dan berwarna merah.

   Untuk menyelubungi isakannya.

   wanita itu menutup mulutnya dengan sebuah sapu tangan.

   "Eh... maaf,"

   Kata Sporty sekali lgi.

   "Saya... saya tidak melihat Ibu."

   Wanita itu menunduk, seakan-akan malu. Sporty kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

   "Ehm... ada apa, Bu Muller-Borello? Apakah saya bisa membantu?"

   Wanita itu menggeleng dan memalingkan wajahnya.

   "Tidak ada apa-apa, Sporty. Saya tidak apa-apa."

   Suaranya terdengar sengau, seperti .seseorang yang sedang pilek.

   "Tidak ada pelajaran sekarang?"

   "Ada, Bu."

   "Kalau begitu, cepat, masuk ke kelasmu."

   Sporty agak ragu-ragu, tetapi kemudian ia menyadari bahwa kehadirannya memang tidak ada gunanya.

   Cepat-cepat ia kembali bergegas ke arah gedung sekolah.

   Anehnya, ia berkata dalam hati, Bu Mubo tahu namaku! Padahal ia belum pernah mengajar di kelasku.

   Apalagi ia salah seorang guru yang tinggal di kota.

   Tetapi di pihak lain, siapa yang tidak mengenal Sporty di sekolah ini? Kepala Sekolah pun kalah terkenal dengan anak itu.

   Nama sebenarnya adalah Peter Carsten.

   Ia memperoleh julukan "Sporty"

   Karena sangat gemar berolahraga.

   Di antara anak-anak sebaya, hampir tidak ada yang dapat menandingi kecepatan larinya.

   Ia juga termasuk murid yang pandai.

   Pelajaran kesukaannya adalah matematika.

   Hasil ulangannya hampir selalu yang terbaik di kelasnya.

   Sporty bersyukur sekali karena diterima di suatu sekolah yang terkenal bermutu tinggi.

   Lebih-lebih karena ia menemukan tiga orang sahabat di sekolah itu, Thomas, Oskar, dan Petra.

   Keempat anak itu bergabung dalam kelompok STOP.

   Nama itu diambil dari huruf awal nama mereka masing-masing.

   Sporty seorang anak yatim.

   Ayahnya, seorang insinyur, meninggal dalam suatu kecelakaan lalu lintas beberapa tahun lalu.

   Sejak kejadian itu, Sporty semakin dekat dengan ibunya, yang tinggal di kota lain.

   Bu Carsten bekerja di bagian tata buku suatu perusahaan besar, dan ia terpaksa membanting tulang untuk membiayai sekolah anaknya.

   Sporty tahu hal itu.

   Sebagai balas budi ia selalu belajar dengan tekun, tetapi itu tidak berarti bahwa ia sok rajin.

   Sporty mempercepat langkahnya.

   Namun tetap saja ia terlambat masuk ke kelas.

   Kejadian tadi masih saja menyibukkan pikiran Sporty.

   Ia merasa heran melihat gurunya itu menangis di taman.

   Apakah Bu Mubo mengalami kesulitan dengan anak didiknya di kelas 9a? Anak-anak itu memang selalu mengganggu wali kelas mereka dengan tingkah yang aneh-aneh.

   Atau barangkali Bu Mubo mempunyai masalah pribadi? Tetapi mungkin juga ia hanya terlalu lelah.

   Aku akan membicarakan hal ini dengan yang lain, kata Sporty dalam hati.

   Barangkali Oskar tahu sesuatu.

   Teman sekamarnya itu memang sudah beberapa minggu mengikuti pelajaran tambahan di rumah Bu Mubo, karena hasil ulangan bahasa Inggris dan bahasa Prancis-nya semakin jelek saja Padahal sebenarnya otaknya cukup encer.

   Tetapi mau tidak mau, Sporty pun terpaksa mengakui bahwa Oskar-lah murid yang paling malas di sekolah mereka.

   Sporty membuka pintu kelasnya.

   Anak-anak kelas 9b sudah duduk di tempat masing-masing.

   Bu Guru menyambutnya dengan tatapan setajam pedang.

   "Carsten, dari mana saja kamu?"

   Suaranya terdengar melengking.

   "Saya baru. saja dari lapangan olahraga, Bu. Saya mohon maaf, jam tangan saya tertinggal di sana. Saya baru menyadarinya ketika bel sudah berbunyi."

   "Itu bukan alasan. Saya selalu mulai mengajar tepat pada waktunya, dan saya minta agar kamu jangan seenaknya saja."

   Sporty mengangguk, lalu berjalan ke bangkunya. Ia duduk di samping Oskar.

   "Kamu mengerti apa yang saya katakan?"

   Tanya Bu Dr. Frederike Raul, guru bahasa Inggris mereka yang baru.

   "Ya,"

   Ujar Sporty.

   "Saya mengerti, Bu."

   Beberapa murid melirik ke arah Sporty sambil nyengir.

   Tetapi sebagian besar anak-anak yang lain tidak berani main-main.

   Mereka sedang tegang, karena sebentar lagi hasil ulangan terakhir akan diumumkan.

   Bu Raul sudah memberi tahu bahwa untuk kesekian kalinya nilai-nilai anak-anak kelas 9b jelek-jelek.

   Namun itu tidak berarti bahwa anak-anak itu bodoh atau malas belajar.

   Masalah sebenarnya adalah karena cara penilaian Bu Raul yang aneh.

   Sewaktu Sporty memperhatikan guru bahasa Inggris itu, ia tiba-tiba menyadari bahwa penampilan Bu Raul berlawanan 180 derajat dengan Bu Mubo.

   Pendapatnya itu tidak keliru.

   Penampilan Bu Frederike Raul memang jauh dari anggun, dan dengan pakaian yang biasa dikenakannya, ia menjadi semakin tidak menarik.

   Nampaknya wanita itu tidak pernah mengurus rambutnya yang coklat dan agak berminyak.

   Kaca mata yang dipakainya sama sekali tidak cocok dengan mukanya yang lonjong.

   Dan di atas bibirnya selalu terdapat bayangan gelap, seakan-akan kumisnya siap tumbuh.

   "

   Tetapi Sporty dan teman-teman sekelasnya tidak pernah mengusik masalah penampilan Bu Raul.

   Mereka menyadari bahwa kecantikan adalah karunia Tuhan, dan tidak setiap orang memperolehnya.

   Yang menyebabkan Bu Raul tidak disukai oleh anak-anak adalah sifatnya yang tidak adil, cara mengajarnya yang membosankan dan tanpa semangat, serta sikapnya yang tidak peduli terhadap murid-murid.

   Siapa yang bisa mengikuti pelajaran dengan baik, siapa yang mengalami kesulitan-semuanya itu seakan-akan tidak diperhatikannya.

   Kecuali itu, Bu Raul nampaknya juga tidak menyukai anak-anak gadis di kelas, terutama yang cantik seperti Lori dan Stella.

   Namun yang paling menderita adalah Petra.

   Mungkin karena gadis itu tidak hanya sekadar cantik -ia merupakan gadis tercantik di seluruh sekolah, dan Sporty, Oskar, serta Thomas sependapat mengenai hal itu.

   Petra Glockner duduk dua baris di depan Sporty.

   Gadis itu sama-sama berumur tiga belas tahun Ia tinggal di kota dengan orang tuanya, dan setiap hari datang ke sekolah dengan mengendarai sepedanya.

   Hanya dalam musim dingin saja ia menumpang bis sekolah.

   Petra mempunyai rambut yang indah, panjang, dan berwarna pirang keemasan.

   Matanya biru, dan alisnya hitam dan tebal.

   Dalam renang gaya punggung, ia nyaris tidak mempunyai saingan di antara teman-temannya, dan begitu juga dalam pelajaran bahasa Inggris.

   Selama ini, Petra memang juara kelas dalam mata pelajaran itu.

   Namun sejak Bu Raul mengajar, hasil ulangan gadis itu semakin menurun.

   Nampaknya Bu Raul telah bertekad untuk tidak memberikan nilai bagus pada Petra.

   Petra sering dijuluki "Salam"

   Oleh teman-temannya.

   Julukan itu timbul karena gadis itu sangat menyayangi binatang, terutama anjing.

   Setiap kali menjumpai seekor anjing, Petra pasti akan mengajaknya bersalaman.

   Dan anehnya, semua anjing itu menurut saja -bahkan yang paling galak sekalipun! Bagi Petra sudah jelas, ia bercita-cita menjadi dokter hewan kalau sudah besar nanti.

   Suasana di dalam kelas mendadak hening.

   Bu Raul mulai membagikan kertas ulangan yang telah diperiksa.

   Nilai 5 dan 6 bertebaran di mana-mana.

   Padahal menurut anak-anak ulangan terakhir tidak sulit Oskar memperoleh nilai 5, tetapi ia tidak ambil pusing.

   Satu-satunya reaksinya adalah memasukkan sepotong coklat ke dalam mulutnya.

   Sporty dan Thomas boleh bergembira karena mendapat nilai 2.

   Namun Sporty tidak terlalu senang.

   Soalnya ia tahu, bahwa ia bersama beberapa orang lagi, merupakan anak emas Bu Raul.

   Lalu Petra menerima kertas ulangannya.

   Bu Raul menyerahkannya tanpa berkomentar.

   Sporty melihat temannya itu terperanjat kaget.

   Petra menundukkan kepala.

   Rambutnya yang tebal jatuh ke depan dan menutupi wajahnya.

   Tetapi melihat gerakan bahunya yang naik turun, Sporty dapat menebak bahwa Petra sedang menangis.

   Sporty menggigit-gigit bibirnya.

   Ia selalu ikut prihatin bila Petra sedang sedih.

   Sporty tidak tahu apa sebabnya, tetapi begitulah keadaannya.

   Melihat gadis itu menangis membuat hatinya tersayat-sayat.

   Seandainya saja ia dapat membantunya! Mimpi apa aku semalam? tanya Sporty dalam hati.

   Hari ini aku sudah melihat dua orang menangis di sekolah.

   "Petra?"

   Ia memanggil perlahan.

   Gadis itu menengok ke belakang.

   Matanya sembab.

   Meskipun demikian ia mencoba tersenyum.

   Dengan punggung tangan ia menyeka air mata yang membasahi wajahnya.

   Dengan mengangkat empat jari, Petra mengisyaratkan angka yang diperolehnya.

   Nilai 4? pikir Sporty terkejut.

   Petra dapat nilai 4? Ah, mana mungkin! Biasanya ia selalu memperoleh nilai 1.

   Nilai 2 saja sudah merupakan bencana kecil baginya.

   Wah, ada yang tidak beres kalau begini.

   Aku tahu bahwa Petra mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh untuk menghadapi ulangan ini.

   Ia hampir tidak pernah keluar rumah karena belajar terus.

   "Kau dapat berapa?"

   Petra balik bertanya Sporty hanya sempat mengangkat dua jari.

   Kemudian Petra ditegur oleh Bu Raul agar menghadap ke depan.

   Akhirnya jam pelajaran ini pun berlalu.

   Semua murid menarik napas lega ketika bel berbunyi.

   Pelajaran berikutnya adalah biologi, tetapi gurunya tidak masuk karena sakit.

   Karena tidak ada guru pengganti, anak-anak dibiarkan bebas selama jam pelajaran itu.

   Namun sebelumnya ada waktu istirahat lima menit, dan keempat sahabat yang tergabung dalam kelompok STOP segera keluar dari kelas.

   Sporty menghampiri Petra.

   Gadis itu duduk termenung sambil menatap kertas ulangannya dengan pandangan kosong.

   "Aku tidak mengerti,"

   Sporty berkata pada Petra.

   "Mana mungkin kau dapat nilai 4? Tidak masuk akal. Kelihatannya Bu Raul kumat lagi."

   Petra menyodorkan kertas ulangannya.

   "Hanya ada dua kesalahan kecil dalam karangan sepanjang enam halaman yang kubuat. Nah, tapi coba kaubaca komentarnya. Di sini tertulis dengan tinta merah bahwa tata bahasanya kacau, isi karangannya sendiri kurang berbobot, dan gaya penulisannya tidak memenuhi persyaratan."

   Sporty membaca halaman pertama.

   "Hm,"

   Gumamnya kemudian.

   "Karanganmu jauh lebih bagus dibandingkan karangan yang aku buat. Dan aku malah diberi nilai 2! Coba kaubaca, Thomas. H. Thomas Vierstein, alias Komputer, bertubuh jangkung, kurus kering, dan berkaca mata tebal. Kaca matanya itu hanya dilepas jika perlu dibersihkan. Kedua lengannya luar biasa panjang, dan pakaian yang dikenakannya selalu kelihatan kedodoran. Thomas dijuluki "Komputer"

   Karena daya ingatnya yang hebat.

   Kemampuan itu barangkali diwariskan oleh ayahnya, seorang profesor dalam bidang matematika.

   Daya ingat yang luar biasa itu memungkinkan Thomas mencapai prestasi-prestasi gemilang.

   Anak itu tahu segala-galanya, tidak pernah melupakan sesuatu, dan suka menganggap dirinya sebagai buku pintar berjalan -suatu kebiasaannya yang sering membuat teman-temannya menjadi kesal.

   Tetapi kecuali itu, ia merupakan teman yang dapat diandalkan.

   "Bu Raul benar-benar tidak adil,"

   Komentar Thomas sewaktu mengembalikan kertas ulangan Petra. Gadis itu hanya menatap teman-temannya dengan sedih.

   "Tetapi apa yang harus kulakukan sekarang?"

   "Kau bisa melaporkan kejadian ini pada Kepala Sekolah,"

   Thomas mengusulkan.

   "Ah, aku tidak berani."

   "Tetapi ini kan menyangkut nilaimu."

   "Kalau aku lapor ke Kepala Sekolah, maka Bu Raul seumur-umur akan menjadi musuhku. Kalau sudah begitu, lebih baik aku pindah sekolah saja sekalian.."

   "Sekarang pun Bu Raul sudah memusuhimu,"

   Ujar Sporty.

   "Padahal ia tidak punya alasan yang jelas. Kau tidak pernah punya urusan dengannya, bukan? Bukan salahmu kalau tampang Bu Raul seperti boneka pengusir burung di tengah-tengah ladang gandum. Sepertinya, ia tidak senang kalau ada anak gadis yang cantik di kelasnya, dan kau sebagai gadis tercan... ehm... maksudku, Bu Raul jauh lebih ramah terhadap murid laki-laki."

   Kesedihan mendadak terhapus dari wajah Petra.

   Dengan matanya yang biru gadis itu menatap Sporty.

   Ah, brengsek, pikir anak itu.

   Lagi-lagi aku salah ngomong.

   Hampir saja aku mengakui Petra sebagai gadis tercantik yang kukenal.

   Dan sekarang ia menatapku seakan-akan baru saja menerima karangan bunga mawar dariku.

   Malu-maluin saja! Pasti ia menduga bahwa aku diam-diam mengaguminya, tetapi tidak berani berterus terang.

   Brengsek, soalnya ada benarnya juga...

   Sporty merasakan bagaimana mukanya menjadi merah.

   Thomas tersenyum simpul.

   Oskar, yang tak henti-hentinya makan coklat, nyengir selebar-lebarnya.

   "Nah, aku ada akal,"

   Kata Sporty cepat-cepat.

   "Oskar kan ikut jam pelajaran tambahan Bu Mubo nanti sore. Petra bisa menitipkan kertas ulangannya. Kertas ulangan Thomas dan aku dibawa sekalian saja -biar ada bandingan. Jangan khawatir, Bu Mubo benar-benar ramah.. Oskar nanti bisa minta tolong padanya untuk memeriksa ulangan kita. Coba kita lihat apakah kau pantas memperoleh nilai 4. Petra."

   "Ide yang hebat!"

   Thomas memuji. Mata gadis itu berbinar-binar.

   "Kalau bisa. aku akan senang sekali. Katanya. Bu Mubo selalu bertindak adil terhadap siapa saja. Dan penilaiannya bisa dijadikan pegangan. Kalau ia mengatakan bahwa nilai 4 itu memang pantas -yah, apa boleh buat kalau begitu. Berarti kali ini aku memang gagal. Tapi kalau... kita lihat saja nanti. Oskar, kau bisa menghubungi Bu Mubo?"

   Oskar mendadak berhenti nyengir "Yaah,"

   Katanya sambil garuk-garuk kepala.

   "sebenarnya sih bisa saja. Tapi aku suka gugup kalau membicarakan hal-hal seperti itu. Aku bisa mencobanya, tapi,"

   Ia berpaling pada Sporty.

   "aku lebih senang kalau kau ikut, oke? Kau sajalah yang menerangkan semuanya. Kalau bisa, secara panjang lebar, supaya Bu Mubo tidak terlalu memperhatikan hasil ulanganku."

   Sporty ketawa.

   "Oke, aku ikut deh."

   Penampilan Oskar, dan juga sebagian pembawaannya, sangat berbeda dengan Sporty. Oskar agak pendek, dan berbadan bulat. Karena itu ia sering dipanggil "si Gendut"

   Ia sama sekali tidak suka berolahraga.

   Baginya, hidup harus dijalani dengan santai dan tanpa terburu-buru.

   Anak itu sebenarnya cerdik, hanya saja malasnya tidak ada tandingannya.

   Kekurangan Oskar yang paling menonjol adalah seleranya yang luar biasa terhadap coklat.

   Anak itu bisa melahap coklat sampai berkilo-kilo.

   Satu hari saja tanpa makanan kesukaannya itu adalah suatu hal yang tidak mungkin baginya.

   Kegemaran Oskar itu didukung oleh kenyataan bahwa ayahnya merupakan pemilik salah satu pabrik coklat terbesar.

   Petra dan Thomas tinggal bersama orang tua masing-masing di kota, yang jaraknya kurang-lebih dua puluh menit Ian santai dan sekolah mereka.

   Oskar tinggal di asrama, walaupun orang tuanya juga tinggal di kota yang sama.

   Pak dan Bu Sauerlich, orang tua Oskar, mendiami sebuah rumah besar yang terletak di tengah-tengah pekarangan luas.

   Sebenarnya, segala kebutuhan Oskar terpenuhi di sana, namun anak itu lebih senang tinggal di asrama.

   Suasana di rumah orang tuanya terlalu membosankan, katanya, apalagi dibandingkan dengan keadaan di asrama yang selalu ramai.

   "Terima kasih atas bantuanmu, Sporty,"

   Kata Petra.

   Anak itu mengangguk.

   Ia memasang tampang seakan-akan memang sudah seharusnya ia menolong Petra.

   Tiba-tiba Sporty ingat bahwa pukul 15.00 ia punya janji dengan dokter gigi.

   Ia segera mengatakan hal itu, dan Petra lalu bertanya apakah ia sakit gigi.

   "Gigiku sehat-sehat saja. Tetapi aku memang terbiasa mengunjungi dokter gigi setengah tahun sekali. Sekadar untuk periksa saja. Selama ini Dr. Kempfer belum pernah mengebor gigiku. Setiap kali aku datang, ia selalu berkomentar bahwa seandainya semua orang mempunyai gigi seperti aku, maka pasti sudah lama ia terpaksa gulung tikar. Aku memang jarang jajan, apalagi yang manis-manis. Berbeda denganmu, Oskar. Nanti, pada waktu kau berumur dua puluh tahun, kau pasti sudah pakai gigi ketiga, yaitu gigi palsu."

   "Masa bodoh,"

   Jawab Oskar dengan tenang.

   "Pokoknya aku masih bisa mengunyah coklat. Eh, ngomong-ngomong, pantas tidak sih, kalau aku bawakan coklat sebagai hadiah untuk Bu Mubo? Soalnya ia selalu begitu ramah.. kalau memberikan pelajaran tambahan."

   "Ya, sporty mengangguk. Ia memang ramah sekali. Tapi hari ini rupanya ia sedang susah. Tadi, sebelum jam pelajaran bahasa Inggris, aku melihatnya berurai air mata."

   "Hah, apa?"

   Tanya ketiga sahabatnya serentak. 2. Berkomplot Melawan Ibu Guru SPORTY menceritakan pertemuannya dengan Bu Mubo di taman kecil tadi.

   "Aku yakin bahwa ia menangis karena ulah anak-anak kelas 9a,"

   Kata Thomas.

   "Benar-benar keterlaluan. Pak Kepala Sekolah sendiri mengatakan bahwa merekalah murid-murid yang paling brengsek di sekolah kita."

   Sporty mengangguk.

   "Hanya satu hal yang aku tidak mengerti. Bu Mubo kan disukai di mana-mana, kenapa justru anak didiknya sendiri yang terus-menerus merongrongnya?"

   Di samping bertindak sebagai wali kelas, Bu Mubo juga mengajar bahasa Inggris dan bahasa Prancis di kelas 9a. Namun akhir-akhir ini, suasana pada saat belajar kadang-kadang lebih mirip pasar daripada ruang kelas.

   "Baru minggu lalu,"

   Oskar melaporkan.

   "Pak Kepala Sekolah terpaksa turun tangan karena keributan anak-anak 9a sampai mengganggu kelas-kelas lain."

   "Ya, mereka mencoba segala cara untuk merongrong wibawa Bu Mubo,"

   Tambah Petra.

   "Pernah suatu kali, mereka semua duduk menghadap ke belakang. Dan mereka tidak peduli ketika Bu Mubo masuk kelas. Anak-anak itu malah menertawakannya beramai-ramai. Waktu mau ada ulangan, mereka melancarkan aksi mogok. Tak seorang pun mau memegang pulpen. Terpaksa ulangan dibatalkan."

   "Belum lagi masalah kunci palsu,"

   Ujar Thomas bersemangat.

   "Salah satu dari mereka -entah siapa -punya kunci pintu ruang kelas. Ketika jam pelajaran bahasa Inggris seharusnya dimulai, anak itu mengunci pintu dari dalam, sehingga Bu Mubo tidak bisa masuk."

   "Kalau aku jadi Bu Mubo,"

   Kata Petra.

   "aku tidak akan berani masuk kelas itu."

   "Bu Mubo memang tidak menunjukkannya secara terang-terangan,"

   Kata Sporty.

   "tetapi aku yakin bahwa ia juga takut Karena itulah ia sampai menangis tadi. Barangkali ia berpikir bahwa tidak ada orang lain di sana. Bu Mubo pasti malu karena kepergok olehku. Jadi, peristiwa tadi tidak boleh kita ceritakan pada siapa-siapa.

   "

   Petra merapikan rambutnya yang panjang.

   "Bagaimana mungkin satu kelas bisa bersikap seperti itu? Bayangkan, dua puluh empat anak, dan semuanya seakan-akan telah berkomplot untuk mempermainkannya."

   Sporty, yang membelakangi pintu ruang kelas yang terbuka lebar, mendengar seseorang melangkah masuk, tetapi ia tidak menengok ke belakang.

   "Dua puluh empat anak-semua kurang ajar,"

   Katanya.

   "itu memang tidak biasa. Tapi aku tidak yakin bahwa semuanya tidak tahu aturan. Di dalam suatu kelompok, biasanya hanya ada beberapa orang yang pegang peranan menentukan. Yang lainnya tidak berkutik -mungkin karena ngeri, mungkin juga karena mereka merupakan pendukung setia para pemimpin kelompok itu. Kalau menurut aku sih, anak-anak kelas 9a sepenuhnya diatur oleh Detlef Bettger dan Joachim Drechsel. Yang perlu dipertanyakan hanyalah. siapa di antara mereka berdua yang lebih brengsek?"

   Raut muka Petra tiba-tiba berubah.

   Dengan mata terbelalak gadis itu memandang ke arah pintu.

   Oskar, yang berdiri di hadapan Sporty, sejak tadi sibuk mengedipkan sebelah mata; Thomas pun mencoba memberikan isyarat pada Sporty.

   Sporty sadar.

   Ucapannya tadi seharusnya tidak boleh didengar oleh orang yang baru saja masuk kelas.

   Siapakah orang itu? Seorang guru? Pasti bukan Bu Mubo.

   Lagi pula, mendengar suara langkahnya, Sporty merasa yakin bahwa orang itu bukan seorang wanita.

   Kalau begitu, berarti salah satu murid 9a.

   Tanggung, deh, pikir Sporty.

   Biar ia tahu bagaimana pendapatku mengenai kelakuan kelasnya.

   "Yang paling parah adalah,"

   Ia melanjutkan.

   "bahwa tidak ada yang berani menentang teror itu. Aku berani jamin bahwa si Bettger dan si Dreehsel-lah biang keladi semuanya ini Tapi kenapa mereka bersikap seperti itu? Apa mereka pernah diperlakukan tidak adil oleh Bu Mubo? Rasanya tidak mungkin! Si Bettger memang brengsek, dan si Drechsel sama saja. Mereka pasti senang melihat Bu Mubo tidak berdaya menghadapi mereka."

   "Menarik sekali,"

   Sebuah suara berkata dengan sinis. Tanpa membalik badan, Sporty menjawab.

   "Syukur deh, kalau kau sependapat denganku, Drechsel."

   "Ternyata kau hanya bisa menjelek-jelekkan orang dari belakang. Dasar pengecut!"

   Kini Sporty berbalik.

   "Dari belakang? Dengan senang hati aku akan mengulanginya -berkali-kali, jika kau mau. Dan kalau aku punya waktu, aku bahkan bersedia untuk menyatakannya secara tertulis. Sekaligus dengan salinannya untuk si Bettger. Biar ada sesuatu untuk dipikirkannya."

   Joachim Drechsel sama besarnya dengan Sporty, tetapi umurnya sudah lima belas tahun Dua kali ia tidak naik kelas, pertama sewaktu masih duduk di sekolah dasar, dan yang kedua kalinya di kelas delapan.

   Wajahnya kasar, dan kelihatan lebih tua daripada umur sebenarnya.

   Ia dikenal sebagai tukang berkelahi yang menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan.

   Ia suka memukul atau menendang duluan -sasaran yang dituju biasanya perut lawan.

   Dari dekat, bau asap rokok yang menempel padanya segera tercium.

   Semua murid tahu, bahwa ia dan Detlef Bettger diam-diam merokok di WC selama jam istirahat.

   Joachim Drechsel bertolak pinggang di depan Sporty.

   "Rupanya kau kepingin dihajar, ya?"

   "Coba saja, kalau kau memang mau cari ribut. Ayo, aku sudah siap. Atau kita keluar saja? Ke aula, ke gudang sepeda, atau ke taman-kau tinggal pilih. Tapi sebaiknya kita ke taman saja. Di sana banyak rumput, jadi kau tidak perlu takut gegar otak kalau kubanting."

   Dengan susah payah Oskar berusaha untuk tidak ketawa. Si Drechsel menatapnya dengan marah, tetapi kemudian kembali melihat ke arah .Sporty.

   "Aku akan mempertimbangkan tawaranmu, Carsten. Kau pasti menyesal nanti Sebaiknya dari sekarang kau pesan tempat di rumah sakit."

   Sambil tersenyum mengejek, Sporty memperhatikan Joachim Drechsel dari ujung rambut sampai ujung kaki.

   "Apa kau tidak sadar bahwa kau bau, Drechsel? Seperti kedai minum murahan. Sebenarnya mau apa sih kau di sini? Ini kelas 9b, bukan 9a. Kami jadi sesak napas gara-gara kau. Sudah, jauh-jauhlah dari sini!"

   "Dasar orang gila,"

   Desis Drechsel. Sambil berlagak tenang ia meninggalkan Sporty dan teman-temannya. Oskar menutup pintu. Petra menarik napas lega.

   "Aku sudah takut kalau-kalau kalian akan berkelahi di sini."

   "Dia takut menghadapimu,"

   Thomas berkomentar.

   "Tapi ia pasti mendendam. Si Drechsel takkan ragu-ragu untuk menyerangmu dari belakang. Atau minta bantuan si Bettger. Kau harus hati-hati."

   Sporty hanya tersenyum.

   "Mengenai kelas 9a,"

   Ujar Thomas kemudian.

   "aku baru saja menyadari bahwa sebagian besar dari mereka bukan anak asrama Aneh, bukan? Jangan-jangan anak-anak asrama memang lebih tahu aturan!"

   "Hus, jangan sembarangan,"

   Kata Petra sambil ketawa.

   Mereka membuat janji untuk berkumpul lagi pukul setengah empat sore di rumah Petra.

   Jam pelajaran terakhir -bahasa Jerman -berlalu dengan cepat.

   Seusai sekolah, Thomas dan Petra pulang dengan mengendarai sepeda masing-masing.

   Sporty dan Oskar berjalan ke arah bangunan asrama.

   Kamar mereka berada di lantai dua.

   Murid-murid yang berumur antara dua belas sampai empat belas tahun tinggal di sana, dan setiap kamar diberi nama oleh para penghuninya.

   Ketika sampai di SARANG RAJAWALI -kamar mereka -Oskar langsung melemparkan tas sekolahnya ke tempat tidur.

   Dengan gesit ia naik ke sebuah kursi dan menurunkan sebuah kardus besar dari atas lemari.

   Kardus itu berisi berbagai jenis coklat dengan aneka macam rasa.

   Oskar sering berkata bahwa ia tidak bisa hidup tanpa persediaan coklat itu.

   "Eh, sepuluh menit lagi kita makan siang,"

   Sporty memperingatkannya.

   "Kenapa memangnya? Dalam sepuluh menit aku bisa menghabiskan dua keping coklat."

   "Busyet, membayangkannya saja aku sudah sakit perut. Coklat sebelum makan siang!"

   "Apa sih maumu? Aku rasa, coklat bisa membangkitkan selera makan. Lagi pula, rasa coklat cocok dengan rasa berbagai masakan seperti ikan asap, asinan ketimun, obat batuk, otak sapi, bayam, dan sebagainya."

   Oskar tertawa.

   "Hei, obat batuk? Ini suatu ide yang baik! Aku harus memberitahukannya pada ayahku. Bayangkan, permen coklat diisi dengan obat batuk -anak-anak kecil pasti berlomba-lomba untuk sakit."

   "Satu hal harus diakui,"

   Kata Sporty menyindir.

   "kau benar-benar tahu makanan yang enak. Aku takkan heran kalau suatu hari nanti kau mengarang buku masakan yang bisa membuat perut paling kuat pun menjadi tak berdaya."

   Perkiraan Sporty tidak meleset.

   Dalam waktu sepuluh menit tanda makan siang telah dibunyikan.

   Menu hari ini adalah spaghetti dengan semur daging.

   Penuh semangat Oskar langsung menghabiskan tiga porsi besar.

   Seperti biasanya, murid-murid lebih banyak menghabiskan waktu untuk bercanda daripada untuk makan, terutama kalau guru pengawas di meja masing-masing sedang tidak memperhatikan mereka.

   Barangkali kelakuan mereka akan sedikit lebih baik seandainya anak-anak perempuan ikut makan bersama, tetapi asrama itu memang dikhususkan untuk murid laki-laki saja.

   Setelah makan siang, Sporty memasukkan keempat kertas ulangan bahasa Inggris ke dalam sebuah map.

   Oskar agak mengantuk karena kekenyangan.

   Matanya terasa berat.

   Dan ia berkata bahwa sebenarnya ia ingin tidur dulu.

   Tetapi itu tidak mungkin, karena jam pelajaran tambahan Bu Mubo dimulai tepat pukul 14.00.

   Dengan ogah-ogahan ia akhirnya mengikuti Sporty ke arah gudang sepeda.

   Beberapa waktu lalu Oskar memperoleh sebuah sepeda lipat dari orang tuanya Sepeda itu buatan sebuah perusahaan terkenal, dan harganya pun cukup mahal.

   Walaupun demikian, sepeda itu tidak dapat menandingi kendaraan roda dua milik Sporty.

   Sporty mempunyai sebuah sepeda balap, yang dibelinya dengan uang hasil keringatnya sendiri.

   Sepeda itu dilengkapi dengan berbagai peralatan tambahan, sehingga bahkan memenuhi syarat untuk mengikuti pertandingan balap sepeda internasional semacam Tour de France.

   Sporty terpaksa mengorbankan liburan semesternya untuk mengumpulkan uang.

   berminggu-minggu lamanya ia bekerja sebagai pengantar koran, pembantu tukang-tukang yang sedang membangun rumah, dan ikut menumpuk kardus-kardus dan peti-peti di gudang toko serba ada.

   Ketika akhirnya berhasil mengumpulkan jumlah uang yang dibutuhkannya dan tinggal mengambil sepeda di toko pada keesokan harinya, ia sampai tidak bisa tidur sepanjang malam.

   Sejak itu Sporty merawat sepedanya seperti seorang pengemudi mobil merawat mobil sportnya.

   Mereka menuju ke kota.

   Sekolah dan asrama mereka terletak agak di luar kota, dikelilingi hutan dan ladang-ladang.

   Satu-satunya penghubung ke kota adalah sebuah jalan kecil yang diapit oleh deretan pohon mahoni di kedua sisinya.

   Jalan itu berakhir di sekolah mereka.

   Angin lembut kini berhembus.

   Tanaman gandum tumbuh dengan subur dan kini sudah hampir siap untuk dipanen.

   Keringat Oskar bercucuran.

   Sepanjang jalan ia mengeluh bahwa otaknya sudah mulai mengering, dan bahwa karena itu pelajaran tambahan pasti akan sia-sia saja.

   Dalam waktu singkat mereka telah sampai di kota.

   Kota itu termasuk besar, bahkan punya lapangan terbang dan stadion olahraga.

   Kalau cuaca lagi cerah, pegunungan di kejauhan terlihat dengan jelas.

   Sejumlah danau merupakan obyek rekreasi yang pada akhir pekan ramai dikunjungi penduduk-penduduk kota.

   Bu Muller-Borello tinggal di suatu daerah perumahan baru.

   Untuk mencapainya, Sporty dan Oskar melewati rumah-rumah yang berderet-deret.

   Oskar berada di depan, karena ialah yang tahu alamat Bu Mubo.

   Akhirnya mereka berhenti di depan sebuah rumah mungil.

   Jauh di belakangnya, terlihat rel kereta api.

   Di sepanjang rel itu terdapat kebun-kebun kecil milik orang-orang kota.

   Payung-payung warna-warni menunjukkan bahwa orang-orang itu sedang sibuk di kebun masing-masing.

   Jelas saja! pikir Sporty.

   Dengan cuaca sebagus ini! Mestinya kita ke kolam renang saja.

   Tapi Oskar malahan harus ikut pelajaran tambahan, dan aku sudah membuat janji dengan Dr.

   Kempfer.

   Yah, apa boleh buat.

   Rumah itu kelihatan bersih dan terawat.

   Sebuah pagar rendah mengelilinginya.

   Di samping sebuah ayunan, seorang anak kecil sedang bermain dengan anjingnya yang paling-paling baru berumur tiga bulan.

   "Itu Marco dan Astro,"

   Oskar menerangkan.

   "Marco adalah anak Bu Mubo, dan Astro adalah anjingnya."

   "Kalau sebaliknya agak aneh, dong,"

   Kata Sporty sambil ketawa. Mereka menyandarkan dan mengunci sepeda masing-masing pada pagar, lalu berjalan ke arah pintu.

   "Halo, kalian sudah berkenalan dengan Astro?"

   Anak kecil tadi berseru.

   Tanpa menunggu jawaban Sporty dan Oskar.

   Marco sudah mengangkat anak anjing itu dan berlari mendekat.

   Marco adalah seorang anak kecil yang lucu.

   Matanya sama birunya dengan mata ibunya.

   Rambutnya yang hitam pekat mungkin diwarisi dari ayahnya.

   Sambil tertawa ia menyodorkan anjingnya pada Sporty.

   "Nih, kau boleh menggendong Astro. Jangan takut. Astro tidak pernah menggigit, kok."

   "Kau baik sekali,"

   Kata Sporty.

   Dengan sebelah tangan ia menerima anjing itu, sementara tangannya yang lain memegang map berisi kertas ulangan bahasa Inggris.

   Astro langsung memanfaatkan kesempatan itu.

   Ia memanjat ke bahu Sporty dan mulai menjilat-jilat wajah anak itu.

   "Hei!"

   Seru Sporty sambil tertawa.

   "Kau anjing kecil yang nakal sekali."

   Marco tersenyum lebar.

   "Aku juga selalu dijilatinya. Seharusnya sih tidak boleh. Tapi itu artinya Astro menyukaiku. Dan ia juga menyukaimu."

   "Aku juga menyukai kau dan anjingmu,"

   Jawab Sporty sambil mengembalikan Astro pada anak kecil itu.

   "Namamu siapa?"

   Tanya Marco kemudian.

   "Aku Peter."

   "Kau juga ikut pelajaran tambahan?"

   "Tidak, aku hanya mau minta tolong sedikit."

   Astro tiba-tiba meloncat dan berlari ke belakang rumah. Marco segera mengejarnya sambil bersorak riang.

   "Masih kurang dua menit,"

   Kata Oskar sambil melihat jam tangannya.

   "Apa kita tunggu dulu, atau..."

   Mereka ternyata tidak perlu mengambil keputusan, karena pintu rumah tiba-tiba terbuka.

   Sambil tertawa ramah Bu Muller-Borello muncul di ambang pintu.

   Semula ia mengira bahwa hanya Oskar yang datang.

   Sewaktu melihat Sporty dan mengenalinya, guru wanita itu nampak malu untuk sesaat.

   Kedua anak itu menyalaminya, dan Sporty berkata.

   "Saya ikut karena kami -oskar, saya, dan dua teman sekelas -mempunyai suatu persoalan yang agak pelik. Namun kami percaya Ibu akan bersedia membantu kami."

   "Kedengarannya serius sekali,"

   Jawab Bu Muller-Borello.

   "Ayo, masuk dulu."

   Udara di dalam rumah itu terasa sejuk.

   Pintu dapur terbuka.

   Seorang wanita berumur sekitar enam puluh tahun sedang membereskan piring-piring.

   Dengan ramah ia membalas teguran Sporty dan Oskar.

   Melihat wajahnya, kedua anak itu langsung dapat menebak bahwa wanita itu adalah ibu Bu Mubo.

   Walaupun sambutannya ramah, Sporty segera melihat bahwa mata wanita tua itu agak merah dan sembab, seakan-akan baru saja menangis.

   Ia berbagi duka dengan anaknya, pikir Sporty.

   Anak-anak 9a memang keterlaluan.

   Seandainya mereka tahu penderitaan Bu Mubo...

   Tapi-apakah pantas kita membuat repot Bu Mubo dengan urusan kita? Ah, sebenarnya sih tidak apa-apa.

   Setiap orang seharusnya punya waktu untuk membereskan suatu ketidakadilan.

   Lagi pula, aku kan mau membantu Petra.

   Bu Mubo mengajak Sporty dan Oskar ke ruang tamunya.

   Ruangan itu ditata secara apik.

   Tetapi Sporty hanya memperhatikannya sepintas.

   Pandangannya segera beralih ke jendela besar yang menghadap ke halaman belakang.

   Kaca jendela itu pecah berantakan.

   Sisa-sisanya masih menempel pada kusennya.

   Pecahan-pecahan kaca berserakan di antara pot-pot tanaman yang berdiri dekat jendela..

   Suatu kerai kayu telah diturunkan, sehingga bagian ruangan ini menjadi agak gelap.

   Untung masih ada dua jendela lain.

   "Keadaan di kamar kerja saya lebih parah lagi,"

   Kata Bu Mubo.

   "Jendelanya telah dilempari beberapa batu dan barang saya banyak yang pecah."

   Oskar terbengong-bengong mendengar penjelasan itu. Sporty pun menatap gurunya itu dengan pandangan bertanya-tanya.

   "Mari, silakan duduk!"

   Kata Bu Mubo. la berusaha keras agar tidak menangis kembali.

   "Siapa yang melakukannya?"

   Tanya Sporty sambil menggelengkan kepala.

   "Dan untuk apa?"

   Anak-anak telah duduk di atas sofa. Bu Mubo duduk di hadapan mereka.

   "Saya pun tidak tahu siapa pelakunya, dan apa tujuannya. Kejadiannya tadi pagi, sewaktu ibu saya sedang pergi berbelanja dengan Marco. Saya sama sekali tidak dapat menjelaskannya. Kelihatannya ada satu atau beberapa orang yang tidak menyukai saya. Tetapi saya sungguh-sungguh tidak tahu apa sebabnya. Saya tidak pernah merugikan siapa-siapa. Saya sudah tidak tahan lagi menghadapi teror ini."

   "Teror?"

   Tanya Sporty.

   "Apa maksud Ibu?"

   "Kejadian ini bukan yang pertama kalinya."

   "Bukan?"

   "Hari Minggu lalu, jendela dapur saya dilempari batu. Hari Senin, seseorang mematahkan antene mobil saya-saya memang terpaksa memarkir mobil di tepi jalan di depan rumah, karena tidak punya garasi. Lalu sudah dua kali saya ditelepon malam-malam, dan diganggu dengan kata-kata kurang ajar. Setiap kali orangnya sama-seorang pria. Tetapi saya tidak mengenali suaranya."

   "Rangkaian kejadian ini kelihatannya direncanakan dengan matang. Apakah Ibu sudah menghubungi polisi?"

   Kini Sporty baru mengerti mengapa Bu Mubo begitu putus asa tadi pagi. Pada waktu itu ia pasti baru menerima kabar mengenai kejadian ini dari ibunya.

   "Tentu saja sudah,"

   Jawab Bu Mubo dengan lesu.

   "Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Saya khawatir, bahwa kasus ini dianggap sepele. Rumah saya tidak akan dijaga secara khusus hanya karena kejadian-kejadian seperti itu."

   "Bagaimana kalau suami Ibu mencoba menangkap bajingan-bajingan itu?"

   "Suami saya tidak tinggal di sini,"

   Jawab wanita itu cepat-cepat.

   "Kami akan bercerai."

   Ya, ampun! pikir Sporty.

   Malang benar nasibnya.

   Aku yakin bahwa perceraiannya terjadi bukan karena kesalahannya.

   Aku tidak dapat membayangkan bahwa Bu Mubo...

   Ah, guru itu memang kurang beruntung.

   Tiba-tiba Bu Mubo nampak menegakkan tubuhnya.

   Wajahnya yang pucat mencoba tersenyum.

   "Tetapi, itu semua adalah persoalan saya. Maaf ya, kalau kalian terpaksa mendengarkan keluh-kesah saya. Nah, bagaimana saya bisa membantu kalian?"

   Kami juga harus membantu Bu Mubo, pikir Sporty, sebelum berkata.

   "Kami menghadapi suatu ketidakadilan."

   Bu Mubo memperhatikan Sporty dengan saksama.

   "Suatu penilaian yang tidak adil?"

   Sporty tersenyum. Ia senang Bu Mubo langsung dapat menebak maksud kedatangan mereka.

   "Betul,"

   Katanya kemudian.

   "Tapi yang hendak kautanyakan bukan nilaimu sendiri, bukan? Kau tadi menyinggung dua teman sekelasmu....

   "

   "Mereka adalah teman-teman kami. Petra Glockner dan Thomas Vierstein."

   "Hm, saya sudah pernah mendengar nama mereka, tetapi belum pernah bertemu langsung."

   "Thomas memperoleh nilai 2 dalam ulangan bahasa Inggris.

   "

   Sporty melaporkan.

   "dan ia puas dengan nilai itu. Ia menitipkan kertas ulangannya, agar Ibu punya bahan bandingan. Saya sendiri juga dapat nilai 2. Kertas ulangannya juga saya bawa. Masalahnya adalah nilai yang diperoleh Petra. Teman kami itu selama ini selalu mendapat nilai 1, tetapi akhir-akhir ini prestasinya merosot terus. Dan sekarang ia tiba-tiba diberi nilai 4 oleh Bu Raul."

   "Itu kan masih lumayan."

   "Tapi rasanya tidak adil. Kami ingin minta bantuan Ibu untuk menilai kembali ulangan-ulangan kami."

   Untuk sesaat Bu Mubo nampak merenung. Sporty segera menyadari bahwa gurunya itu sedang mempertimbangkan sesuatu. Bagaimanapun juga, Bu Raul adalah rekannya sesama guru. Akhirnya ia berkata.

   "Baiklah, coba saya lihat ulangan kalian."

   Sporty berdiri dan menyerahkan kertas-kertas itu.

   "Mana kertas ulanganmu, Oskar?"

   "Ada, Bu. Tapi saya dapat nilai 5."

   Bu Mubo mendesah, seakan-akan memang sudah menduganya.

   Kemudian ia mulai membaca karangan Thomas.

   Oskar memijit-mijit tangannya sambil memperhatikan lukisan-lukisan yang tergantung di dinding Sporty melihat ke luar jendela.

   Di dekat kebun-kebun tadi ada jalan setapak.

   Sebuah mobil sedang menuju ke arah kota, dan meninggalkan awan debu di belakangnya.

   Seorang pria tiba-tiba keluar dari sebuah pondok kecil.

   Dengan sikap mengancam, ia mengepalkan tangan dan meneriaki si pengemudi mobil.

   Tetapi orang itu sudah terlalu jauh.

   Dengan melirik sebentar, Sporty tahu bahwa Bu Mubo baru saja selesai membaca kertas ulangannya, dan kini meraih pekerjaan Petra.

   Ketika selesai membaca semuanya, wanita itu menumpukkan ketiga ulangan itu di atas meja di hadapannya.

   "Kalian pasti sudah tahu bahwa guru pun hanyalah manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan. Dalam kasus ini nampaknya Bu Raul telah keliru memberi nilai. Pekerjaan Petra Glockner ternyata paling baik di antara hasil pekerjaan kalian. Hanya ada dua kesalahan yang tidak berarti. Saya sendiri tidak akan memperhitungkan kesalahan sepele seperti itu dalam penilaian. Nilai-nilai yang lain kelihatannya juga kurang sesuai. Maaf, Sporty, ulanganmu seharusnya hanya pantas diberi nilai 3. Pekerjaan Thomas agak lebih baik. Mengenai Petra, gadis itu pantas diberi nilai 1 untuk ulangannya.

   "

   Sporty menatapnya sambil tersenyum lebar.

   "Benar sekali! Justru ini yang kami harapkan. Ini baru adil. Petra sampai menangis tadi garagara dapat nilai jelek. Saya berpendapat bahwa penilaian seorang guru seharusnya tidak boleh menyesatkan muridnya.

   "

   "Saya yakin bahwa Bu Raul tidak bermaksud jelek. Semua orang sekali-sekali bisa membuat kesalahan, bukan? Tinggalkan saja kertas ulangan kalian di sini. Saya akan membicarakan hal ini dengan Bu Raul. Oke?"

   "Wah, tentu saja."

   Kata Sporty sambil berdiri.

   "Atas nama Petra, saya mengucapkan terima kasih banyak." 3. Siapa Pencuri Sepeda Balap Sporty! SETELAH mendengar hasil penilaian kembali oleh Bu Mubo, Sporty segera mohon diri. Dengan sepedanya ia kembali ke arah pusat kota. Sedangkan Oskar tetap tinggal di rumah Bu Mubo, karena masih harus mengikuti pelajaran tambahan. Sporty merenung. Ada apa sebenarnya dengan Bu Mubo? Kelihatannya ia kehilangan kendali atas anak-anak didiknya di kelas 9a. Si Bettger dan si Drechsel pastilah biang keladi aksi teror ini. Keduanya memaksa anak-anak lain untuk berlaku kurang ajar terhadap wali kelas mereka itu. Mereka dengan sengaja telah menciptakan iklim ketakutan di kelas. Dan aksi teror itu bahkan berlanjut sampai ke rumah Bu Mubo. Bagaimana mungkin dua murid begitu membenci guru mereka? Perusakan terhadap rumah Bu Mubo bukan lagi sekadar tindakan kenakalan remaja, tetapi sudah menjurus ke arah perbuatan kriminal. Fakta-faktanya sudah jelas, pikir Sporty. Hanya saja, secara keseluruhan aku belum bisa memastikan apa artinya semua ini. Tapi aku pasti akan menemukan siapa yang bertanggung jawab. Tempat praktek Dr. Kempfer terletak di dekat Taman Balai Kota, pusat keramaian di kota itu. Dua jalan utama bersilangan di sini. Sejumlah besar lampu lalu lintas hidup-mati secara bergantian. Sekitar dua ratus mobil berdesak-desakan di pelataran parkir. yang luas. Rumah-rumah tua berdampingan mengelilingi f1man yang nyaris berbentuk bujur sangkar itu. Toko-toko berderet-deret. Sejumlah restoran dan kedai minum menyediakan kursi-kursi di teras masing-masing untuk duduk-duduk dengan santai. Teras di depan salah satu restoran dipenuhi oleh meja-meja yang diteduhi oleh payung-payung warna-warni. Mobil-mobil melintas tepat di depannya namun para pengunjung rupanya tidak merasa terganggu. Sporty menemukan suatu tempat untuk menyandarkan sepedanya di depan sebuah bangunan. Setelah merantai sepedanya dan memasang kunci gembok, ia lalu berjalan ke bangunan itu. Pada lantai dasar terdapat sebuah kedai minum bernama KENDI EMAS. Melalui kaca jendela para pengunjungnya dapat menyaksikan keramaian di Taman Balai Kota, suatu hal yang membuat mereka bertambah betah. Karena, siapa pun yang tinggal di kota ini -pada suatu saat pasti akan lewat di situ. Kecuali itu, pada persimpangan dua jalan utama tadi rata-rata terjadi dua kecelakaan lalu lintas setiap hari. Biasanya tidak terlalu parah namun ada saja orang yang menyukai pemandangan seperti itu. Dari luar, Sporty dapat melihat keadaan di dalam kedai minum itu dengan jelas. Di belakang meja layan yang berbentuk setengah lingkaran. pemilik kedai minum yang berperut buncit sedang sibuk mengisi gelas-gelas para tamu. Berliter-liter bir dituangkannya langsung dari sebuah gentong besar. Hampir semua kursi di hadapan meja layan telah terisi Pengunjung-pengunjung yang baru datang berdiri di dekat pintu masuk dan menunggu sampai ada kursi yang kosong. Meskipun suasananya ramai sekali, Sporty langsung melihat kedua pemuda yang sedang memperhatikannya sambil nyengir. Mereka adalah Detlef Bettger dan Joachim Drechsel. Keduanya tidak duduk berdampingan tetapi di sebelah kiri dan kanan seorang pemuda lainnya. Rupanya mereka baru saja memberitahukan kehadiran Sporty pada pemuda itu. Umurnya sekitar delapan belas tahun. Ia mengenakan sebuah jaket kulit 1anpa baju di dalamnya. Sebuah kalung besar menggantung di lehernya. Wajahnya mengingatkan Sporty pada tampang seekor anjing buldog. Pemuda itu berambut pirang. Potongannya menutupi sebagian dahinya. Telinga kirinya dihiasi sebuah anting yang bergoyang-goyang setiap kali ia menggerakkan kepala. Baru saja ia mengangkat sebuah gelas kecil berisi minuman keras. Dengan sekali tenggak, isinya telah menghilang dalam kerongkongannya. Bir satu gelas penuh segera menyusul. Kawan yang menyenangkan bagi Bettger dan Drechsel, pikir Sporty. Barangkali prokem itu mereka jadikan contoh. Bangunan itu hanya mempunyai satu jalan masuk. Selasar di balik pintu masuk menuju ke suatu tangga. Itu tempat praktek Dr. Kempfer terletak di lantai atas. Sporty harus melewati pintu kedai minum yang terbuka lebar. Ia tidak menengok ke dalam, tetapi suara cempreng Bettger terdengar dengan jelas.

   "Kau lihat anak itu, King? Itu si Mulut Besar yang kuceritakan padamu. Monyet itu perlu diberi pelajaran sekali-sekali. Biar jangan mengigau terus. Ha ha ha..."

   Sporty sadar bahwa kata-kata itu tertuju padanya.

   Namun ia tidak ambil pusing.

   Ia terus menaiki tangga.

   Kemudian memencet bel di samping pintu ruang Praktek Dr.

   Kempfer.

   Setelah menunggu sesaat.

   pintu itu terbuka.

   Dengan ramah ia menyapa asisten dokter yang duduk di belakang meja tulis.

   Sporty mengatakan bahwa ia telah membuat janji dengan Pak Dokter, lalu dipersilakan masuk ke ruang tunggu.

   Hanya ada satu pasien yang datang sebelumnya, seorang pria.

   Orang itu membalas teguran Sporty dengan mendesah, seakan-akan sedang menanggung beban yang sangat berat.

   Dengan sebuah sapu tangan ia melap wajahnya yang basah oleh keringat.

   "Ya, Tuhan,"

   Gumamnya sambil menyandarkan badan.

   Sporty duduk dan mengambil sebuah majalah olahraga.

   Ia membolak-balik halamannya, tetapi sebuah bunyi aneh membuatnya mengangkat kepala.

   Terheran-heran ia melihat pria tadi sedang mereguk minuman langsung dari botol.

   Bau minuman keras menyebar ke seluruh ruangan.

   "Biasanya saya jarang minum,"

   Kata pria itu seakan-akan hendak minta maaf atas tindakannya.

   "Tetapi setiap kali pergi ke dokter gigi. saya perlu memupuk keberanian dulu. Dengan minuman ini. Setiap kali saya selalu ketakutan setengah mati. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Tanpa minuman keras ini, saya tidak akan berani masuk ke ruang praktek."

   Sporty ketawa.

   "Ya, pergi ke dokter gigi memang bukan hal yang menyenangkan."

   "Kau sendiri tidak takut?"

   "Gigi saya hanya akan diperiksa."

   "Kau beruntung. Lima buah gigi saya perlu ditambal. Dan paling tidak sebuah gigi geraham harus dicabut.

   "

   "Tenang saja, Pak. Setengah jam lagi semuanya sudah lewat."

   "Yah, untung saya bawa obat penenang ini."

   Ia kembali mereguk minumannya.

   "Ya, ampun, sudah habis! Dan pengaruhnya sudah mulai berkurang. Wah, gawat."

   Dengan putus asa pria itu memandang ke sekelilingnya. Tiba-tiba ia mendapat sebuah ide.

   "Apakah kau keberatan kalau masuk duluan?"

   Ia bertanya pada Sporty.

   "Kita bertukar giliran saja."

   "Sama sekali tidak. Malah kebetulan, jadi saya tidak perlu menunggu lama-lama."

   "Terima kasih, Nak! Terima kasih!"

   Ia berdiri.

   "Untung ada kedai minum di bawah. Saya bisa menenangkan diri dulu di sana sementara kau diperiksa."

   "Semoga berhasil!"

   Seru Sporty sewaktu orang itu bergegas meninggalkan ruang tunggu.

   Ketika asisten dokter masuk ke ruang tunggu, pria tadi belum kembali.

   Berarti Sporty akan mendahuluinya.

   Dr.

   Kempfer memeriksa semua gigi Sporty.

   Dengan gembira ia menyatakan bahwa akhirnya ia berhasil menemukan sesuatu yang harus dirawat.

   "Nah,"

   Katanya.

   "pada gigi geraham kedua di sebelah kiri bawah ada sedikit karang gigi yang perlu dibersihkan."

   Sporty menanggapinya dengan ketawa.

   "Kelihatannya kesehatan saya menurun dengan pesat,"

   Ia berkomentar.

   Dalam waktu kurang dari satu menit semuanya sudah selesai.

   Mereka masih berbincang-bincang sejenak mengenai sekolah dan olahraga, kemudian Sporty diperbolehkan pulang.

   Sekarang langsung ke rumah Petra, kata Sporty dalam hati, ketika menuruni tangga.

   Petra pasti gembira kalau tahu bahwa Bu Mubo bersedia membantunya.

   Tanpa berhenti ia melewati pintu kedai minum.

   Matahari bersinar cerah.

   Manusia dan kendaraan memadati Taman Balai Kota.

   Kebisingannya memantul dari bangunan-bangunan yang mengelilinginya.

   Mendadak langkah Sporty terhenti, seakan-akan telah menabrak rintangan yang tak terlihat.

   Ia menggosok-gosok mata, karena tak dapat mempercayai pandangannya.

   Sepeda balapnya lenyap.

   Nampaknya si maling sama sekali tidak memperdulikan lima atau enam sepeda karatan yang ada di sekitarnya.

   Tetapi di tempat Sporty mengunci sepedanya, kini hanya rantai dan gemboknya yang masih tergeletak di bawah.

   Ia membungkuk dan memungutnya.

   Rasanya ia ingin menangis.

   Terbengong-bengong diperhatikannya rantai yang diputus dengan menggunakan tang.

   Di sini, di tempat yang paling ramai, dan pada siang hari bolong! Sporty memandang ke sekelilingnya.

   Orang-orang berjalan kian-kemari.

   Tapi tak seorang pun di antara mereka memperhatikan yang lainnya.

   Paling-paling beberapa anak muda mencoba menggoda seorang gadis cantik yang lewat di hadapan mereka.

   Lagi pula-tempat penyimpanan sepedanya dipisahkan dari jalan raya oleh sederetan mobil yang sedang diparkir.

   Jalur pejalan kaki juga ada di sebelah sana.

   Seseorang yang lewat di tempat ini hanya mempunyai tiga pilihan, yaitu mendatangi Dr.

   Kempfer,.

   pergi ke restoran, atau masuk ke kedai minum.

   Seandainya maling sepedanya bekerja secara cepat dan sembunyi-sembunyi, maka tak seorang pun akan memperhatikannya.

   Tempat ini hanya terlihat dari...

   Sporty berbalik.

   Seketika Bettger dan Drechsel menundukkan kepala.

   Namun Sporty menyadari bahwa mereka sedang tersenyum lebar.

   Kini mereka duduk berdampingan-di balik sejumlah gelas bir yang telah kosong.

   Si prokem tadi, yang dipanggil "King" (Raja) oleh mereka, tidak kelihatan lagi.

   Tidak mungkin! pikir Sporty.

   Aku tidak percaya bahwa mereka selicik ini.

   Maling? Mustahil! Lagi pula mereka tidak mungkin menyembunyikan sepedaku di dalam kedai minum.

   Tapi kenapa mereka nyengir terus? Apa justru mereka berdua yang melihat sesuatu? Barangkali si King itu yang...

   Ia mengantungi rantai dan gemboknya, lalu melangkah ke arah kedai minum.

   Bettger dan Drechsel melotot ke arah rak botol, ketika Sporty mendekati mereka.

   Kelihatannya mereka sedang berusaha keras agar tidak ketawa.

   "Aku ingin menanyakan sesuatu pada kalian."

   Ujar Sporty. Terheran-heran mereka menengok ke arahnya. Namun tentu saja mereka hanya pura-pura bingung.

   "Hei, coba lihat siapa yang datang!"

   Ujar Detlef.

   "Ini kan si Sporty, anak ingusan dan rombongan pelawak STOP! Selamat datang! Kau pasti datang untuk mentraktir kami, bukan? Tidak perlu yang mahal-mahal, satu-dua gelas bir juga sudah cukup."

   Detlef Bettger berperawakan kekar.

   Sayang, sikapnya agak bungkuk.

   Wajahnya sempit, dan matanya yang biru jernih menatap Sporty dengan dingin.

   Barangkali Detlef-lah yang lebih berbahaya dibandingkan Bettger-dan agak lebih licik.

   Sporty tidak memperhatikan ucapan yang mengejeknya itu.

   Masalah itu akan diselesaikan lain kali.

   Ia pasti masih akan bertemu lagi dengan kedua pemuda itu.

   "Sepeda balapku dicuri orang,"

   Katanya.

   "sewaktu aku ada di tempat praktek dokter gigi. Kalian..."

   "Aduh, kami turut menyesal!"

   Joachim Drechsel memotong ucapannya.

   "Rasanya tak kuasa aku menahan air mata."

   "Dari sini, kalian bisa melihat tempatku menyimpan sepeda tadi,"

   Ujar Sporty kemudian.

   "Apakah kalian melihat seseorang yang mencurigakan di sana?"

   Kedua pemuda itu saling berpandangan.

   "Hm,"

   Detlef bergumam.

   "walaupun ingatanku sudah agak kacau karena alkohol, tapi rasanya..."

   Dengan gaya dibuat-buat, ia meletakkan tangannya di dahinya.

   "Wah, sori, aku baru ingat bahwa tadi aku ke kamar kecil sebentar. Apa kau tahu sesuatu, Joachim?"

   Drechsel nyengir.

   "Tentu saja! Aku menyaksikan semuanya. Seorang nenek berumur sekitar sembilan puluh tahun datang naik sepeda motor gajah. Dengan gigi palsunya ia menggigit putus rantai pengikat sepedamu. Busyet, coba kaulihat bagaimana ia kabur dari sini dengan sepedamu di boncengan, hahaha. Mudah-mudahan kau paham bahwa kami tidak tahu apa-apa. Carsten. Kami ada di sini untuk bersantai, untuk menikmati suasana yang nyaman. Siapa yang mau memperhatikan sepedamu yang bulukan itu?!"

   "Aku rasa kau bohong,"

   Kata Sporty.

   "Dari mana kau tahu bahwa rantai pengikat sepedaku telah diputuskan? Aku sama sekali tidak menyinggung hal itu."

   "Hah... apa? Aku... aku juga tidak tahu. Kebetulan saja aku tadi melihat kau memungutnya."

   "Jadi hanya itu yang kaulihat? Aku yakin kalian berbohong. Awas, ya! Aku akan membuat kalian bermimpi buruk kalau sampai terbukti bahwa kalian berdusta. Siapa si King tadi? Dan siapa namanya sebenarnya?"

   "Hati-hati kalau bicara. Bung!"

   Kata Bettger.

   "Bisa-bisa gelas bir ini melayang ke kepalamu. Sudah, pergi dari sini. Cari tempat lain saja kalau mau sok jago!"

   Pemilik kedai minum yang berperut buncit telah mendengar sebagian percakapan mereka.

   Dari caranya memandang Sporty langsung dapat menebak, pada siapa orang itu memihak.

   Seandainya tatapan mata laki-laki gendut itu bisa berubah menjadi pisau, maka Sporty sudah menjadi daging cincang sekarang.

   Kini orang itu mendekat dan membanting kedua tangannya pada meja layan ..

   "Mau pesan apa?"

   Ia menghardik Sporty.

   "Bir, Wiski, vodka? Atau kau hanya mau mengganggu tamuku saja?"

   "Aku hanya ingin tahu bagaimana suasana di suatu kedai minum yang menjual minuman keras pada anak-anak di bawah umur,"

   Jawab Sporty dengan tenang.

   "Asal tahu saja, kedua jagoan ini baru berumur lima belas -badannya saja yang bongsor tapi perkembangan otak mereka jauh terbelakang. Seharusnya mereka masih duduk di taman kanak-kanak."

   Ia melangkah keluar.

   Perasaan putus asa mulai menguasai dirinya.

   Dari semua benda yang dimiliki Sporty, sepeda balapnyalah barang yang paling berarti baginya.

   Bahwa Bettger dan Drechsel menyaksikan pencurian sepedanya sudah dapat dipastikan.

   Tapi ia tidak bisa membuktikannya.

   Apakah mereka telah memanas-manasi si King untuk melakukannya? Sporty berjalan ke Balai Kota.

   Di lantai dasar gedung besar itu terdapat sebuah pos polisi.

   Langsung ia melaporkan kejadian itu pada seorang polisi, yang menanggapi pengaduan Sporty dengan ramah dan penuh perhatian.

   Polisi itu mencatat semua keterangannya.

   "Terus terang saja.

   "

   Ia berkata kemudian.

   "kau jangan berharap terlalu banyak. Di kota ini memang sering terjadi pencurian sepeda-bahkan lusinan setiap harinya. Jarang sekali yang dapat ditemukan kembali. Kecuali itu, urusan kami bukan hanya itu saja. Akhir-akhir ini kota kita semakin tidak aman saja. Belum pernah terjadi begitu banyak pencurian kendaraan bermotor seperti dalam bulan-bulan terakhir ini. Hampir setiap hari ada pemilik mobil mewah yang datang untuk melaporkan kehilangan kendaraannya. Kelihatannya ini ulah suatu jaringan penjahat yang terorganisasi dengan baik. Mereka mempunyai tenaga-tenaga ahli yang bisa mengubah penampilan kendaraan-kendaraan itu. Setelah dirombak, barulah mobil-mobil itu dilempar ke luar negeri untuk dijual di sana. Apa ada yang kaucurigai?"

   "Mengenai pencurian mobil-mobil itu?"

   Tanya Sporty terkejut.

   "Bukan, maksudnya soal sepedamu.

   "

   Sporty berpikir, apakah ia mempunyai alasan yang kuat untuk menuduh Bettger dan Drechsel? Dan si King itu? Tidak! Ia akhirnya memutuskan.

   Mungkin saja ia keliru.

   Siapa tahu orang lain yang mencuri sepedanya.

   Sebelum menuduh kedua teman sekolahnya.

   ia harus mengumpulkan bukti-bukti yang kuat dulu.

   Karena itu ia kemudian mengangkat bahu.

   "Saya sering bertengkar dan musuh saya cukup banyak. Tapi saya tidak punya alasan untuk mencurigai seseorang."

   "Yah, setidak-tidaknya kami sudah mencatat ciri-ciri sepedamu,"

   Ujar polisi itu.

   "Sepeda balap mahal seperti yang kau punya kan jarang terlihat berkeliaran di jalanan. Barangkali saja sepedamu muncul lagi." 4. Maria, Kawan Baru dari Itali SPORTY sudah terbiasa menempuh perjalanan ke rumah Petra yang cukup jauh itu dengan bersepeda. Kini ia terpaksa berlari-lari kecil. Diayunkannya langkahnya dengan gesit. Meskipun demikian, tetap saja ia tiba lebih lambat daripada yang direncanakannya. Tempat tinggal gadis itu berada di suatu jalan kecil yang tenang. Rumah-rumah tua berderet-deret pada kedua sisi jalan. Bu Glockner, ibu Petra, mempunyai sebuah toko kecil yang menjual bahan-bahan makanan. Petra kadang-kadang ikut membantunya. Pak Glockner bekerja pada dinas kepolisian. la berpangkat komisaris dan sering mengl1adapi kasus-kasus kejahatan yang pelik. Ketika lewat di depan toko Bu Glockner, Sporty melihat setumpuk kardus berisi buah-buahan. Bu Glockner sedang sibuk menimbang satu kilo apel untuk seorang pembeli.

   "Halo, Sporty,"

   Ia berkata sambil ketawa. Wanita itu memang sangat menyukai Sporty.

   "Lho, kau jalan kaki hari ini? Mana sepedamu? Petra dan Maria ada di halaman belakang. Nanti, sebelum pulang, kau harus mampir dulu di toko, ya?"

   "Dengan senang hati, Bu Glockner,"

   Jawab Sporty, walaupun sebenarnya ia agak keberatan.

   Soalnya, ibu Petra itu selalu menghadiahkan buah-buahan segar padanya.

   Menurut wanita itu, di asrama Sporty pasti jarang mendapatkannya.

   Hal itu memang benar, tetapi lama-lama Sporty merasa malu juga.

   Ia tidak mau mengambil untung dari kebaikan hati Bu Glockner.

   Melalui selasar panjang Sporty berjalan ke arah halaman belakang.

   Petra sudah pernah bercerita mengenai temannya yang bernama Maria.

   Namun sampai sekarang, Sporty belum pernah bertemu langsung dengannya.

   Maria berasal dari Itali.

   Ia berumur enam belas tahun, dan tinggal bersama orang tuanya di ujung jalan yang sama dengan Petra.

   Sejak beberapa waktu yang lalu, ia berteman dengan putri keluarga Glockner itu.

   Nama lengkapnya adalah Maria Estate.

   Estate adalah bahasa Itali, yang berarti musim panas.

   Sporty pernah diberi tahu oleh Petra bahwa Nyonya Estate, ibu Maria, bekerja sebagai juru masak di sebuah hotel, sementara ayahnya bekerja sebagai pelayan restoran.

   Sebelum Sporty sempat menutuki pintu belakang, ia sudah disambut oleh gonggongan gembira.

   Bello, anjing spanil milik Petra, telah melihat anak itu dan kini menyerbu ke arahnya.

   Setiap kali kejadiannya sama saja.

   Bello melonjak-lonjak dan menggonggong sambil mengibaskan ekor.

   Sporty segera membungkuk, lalu membelai dan mengelus anjing itu.

   Petra dulu mengambil Bello dari tempat penampungan hewan.

   Bello sungguh beruntung mendapat majikan seperti Petra.

   Hanya ke sekolah saja yang ia tidak boleh ikut Tetapi pada waktu-waktu lain, Petra jarang terlihat tanpa anjingnya.

   Bello sangat setia pada gadis itu, dan sering mempertunjukkan berbagai keterampilan yang telah diajarkan Petra padanya.

   Sayangnya, sebelah matanya buta.

   Namun itu tidak mempengaruhinya, karena indra penciuman lebih penting bagi seekor anjing.

   Dengan bantuan daya penciuman, ia selalu nampak sibuk menyelidiki lingkungan sekitar.

   Menurut Petra, itulah cara anjing untuk meningkatkan kecerdasannya.

   Anjing-anjing yang tidak pernah diberi kesempatan untuk mencium-cium sesuatu akan tetap bodoh.

   Tetapi hanya sedikit pemilik anjing yang mengetahui hal itu.

   "Halo,"

   Sporty menegur kedua gadis itu. Terheran-heran ia lalu melihat ke bawah. Seekor tikus putih melintas tepat di depannya, kemudian berhenti. Sambil berdiri dengan dua kaki belakangnya, binatang itu nampak menghirup-hirup udara.

   "Itu tikusnya Maria,"

   Petra menerangkan sambil ketawa.

   "Eh, hati-hati!"

   Ujar Sporty dengan nada cemas.

   "Bagaimana kalau dimakan Bello?"

   "Jangan takut. Kelihatannya justru Bello yang agak ngeri. Tuh, lihat saja sendiri."

   Bello telah berlari mendekati tikus itu.

   Setengah meter di depan binatang itu ia berhenti.

   Ia berbaring dan merayap maju sambil mengendus-endus.

   Akhirnya ia menggonggong, seakan-akan hendak mengajaknya bermain.

   Tikus itu sama sekali tidak peduli dan malah mendekat.

   Ketika binatang itu mulai naik ke kaki Bello, anjing itu tidak tahan lagi.

   Cepat-cepat ia mengambil langkah seribu.

   Kedua anak gadis itu ketawa, dan untuk sesaat Sporty juga melupakan kekesalannya.

   "Maria, ini temanku yang bernama Sporty,"

   Petra memperkenalkannya.

   Dengan malu-malu Maria menjabat tangan Sporty.

   Rambut gadis itu panjang dan berwarna gelap.

   Wajahnya sempit, dengan sepasang mata berwarna coklat yang memancarkan sinar lembut.

   Maria berpenampilan menarik, tetapi Sporty tidak dapat memutuskan apakah gadis itu bisa dikatakan cantik atau tidak Namun.

   itu tidak penting, karena kelihatannya Maria enak diajak berteman.

   Petra selalu penuh pujian kalau membicarakan kawan barunya itu.

   Sporty mengangkat dan meletakkan tikus putih itu pada lengan bawahnya.

   Langsung saja binatang itu merayap ke bahu Sporty, lalu memanjat ke atas kepalanya.

   Nampaknya tikus itu tertarik pada telinga anak itu.

   Maria tersenyum.

   Pembawaannya ternyata selembut penampilannya.

   Ia agak malu-malu dan tidak banyak bicara.

   Dalam hal ini ia cocok dengan Petra, yang justru bersifat sebaliknya.

   "Bagaimana?"

   Tanya Petra penuh rasa ingin tahu. Sporty langsung memahami maksud pertanyaan itu, dan mulai melaporkan kunjungannya ke rumah Bu Mubo. Dengan riang Petra bertepuk tangan.

   "Bu Mubo memang baik sekali! Seandainya aku benar-benar dapat nilai 4, maka untuk selanjutnya aku tidak berminat lagi belajar bahasa Inggris. Aku takkan pernah lupa bahwa kau telah membantuku dalam urusan ini, Sporty. Dan aku juga akan berterima kasih pada Bu Mubo. Kalau ia mengatakan bahwa aku seharusnya dapat nilai 1, maka Bu Raul tidak mungkin ngotot lagi."

   Ia lalu berpaling pada Maria.

   "Ini ulasan ulangan bahasa Inggris yang aku ceritakan tadi."

   Anak Itali itu mengangguk. Petra menatap Sporty.

   "Hei, kenapa sih tampangmu kusut begitu? Kau tidak senang bahwa keadilan akhirnya menang?"

   Gadis itu bertanya.

   "Tentu saja aku ikut gembira. Tapi sepedaku tidak akan kembali karena hal itu."

   "Sepedamu? Ada apa dengan sepedamu?"

   Sporty bercerita. Petra sangat terkejut ketika mengetahui apa yang dialami temannya itu. Ia hendak mengeluarkan pendapatnya, tetapi keburu didahului oleh Maria.

   "Kau bilang bahwa seorang pemuda bernama King telah mencuri sepedamu. Sporty?"

   "Ya, dialah yang kucurigai. Tetapi aku belum bisa memastikannya."

   Maria mengangguk.

   "Aku kenal orang itu,"

   Katanya.

   "Ia memimpin sekelompok anak berandal. Mereka selalu mengganggu kami -maksudku, orang-orang Itali yang bekerja di sini. Dan juga orang-orang Turki. Mereka sering kali mengeroyok kami -sasaran mereka bukan hanya laki-laki saja, tetapi juga anak-anak perempuan. Mereka bilang kami telah merampas tempat kerja mereka. Padahal itu tidak benar. Kami hanya memperoleh pekerjaan yang kasar dan kotor. Orang-orang Jerman sendiri tidak akan mau melakukan pekerjaan kami. Anak-anak berandal itu hanya cari alasan untuk melampiaskan kekesalan mereka. Fabio sampai-sampai tidak berani keluar rumah setelah gelap."

   Sporty mengerutkan dahi.

   "Fabio? Siapa itu?"

   "Pacarku. Fabio Leone. Ia tinggal di dekat sini dan sedang magang di sebuah bengkel mobil. Si King pernah menghajar Fabio sampai harus dirawat dokter. Luka di kepalanya panjang sekali,"

   Kata Maria sambil memperagakannya dengan kedua belah tangan.

   "dan terpaksa dijahit."

   "Bajingan,"

   Gumam Sporty.

   "Jadi, si King menghajar Fabio-hanya karena pacarmu itu orang Itali?!"

   "Bukan hanya karena itu,"

   Kata Maria sambil menunduk.

   "Si King... aduh... bagaimana ya cara mengatakannya...? Si King memaksa agar aku jadi pacarnya, benar begitu?"

   "Kalimatnya tenar, tapi aku tidak setuju kalau kau berpacaran dengan bajingan itu."

   Maria tersenyum.

   "Aku memang tidak mau berdekatan dengannya. Tapi justru karena itu, ia semakin membenci Fabio."

   Sporty meraih tikus putih yang masih bertengger di atas kepalanya, dan menyerahkannya pada Maria.

   "Kau tahu siapa nama si King sebenarnya?"

   Ia bertanya kemudian.

   "Seibold. Otto Seibold. Tetapi ia tidak senang dipanggil Otto. Barangkali karena kedengarannya kurang seram. Karena itu ia selalu menggunakan julukan King."

   "Aneh. Bagiku, dipanggil Sporty atau Peter sama saja. Tapi pokoknya sekarang aku punya dua alasan untuk menyelidiki orang itu. Pertama karena sepedaku hilang, dan kedua karena urusanmu."

   Sporty merasakan tatapan Petra.

   Baru belakangan ia menyadari bahwa gadis itu ternyata agak cemburu.

   Selama ini Sporty tidak pernah mengurusi gadis lain.

   Seluruh perhatiannya hanya tercurah pada Petra dan Petra sudah terbiasa dengan keadaan itu.

   Bahwa Sporty kini hendak membela gadis lain, membuatnya agak kikuk.

   Namun Petra sama sekali tidak menganggap Maria sebagai saingan.

   "Pengalaman Bu Mubo lebih gawat lagi,"

   Ujar Sporty kemudian.

   "Ada apa memangnya?"

   Tanya Petra.

   "Ia diteror, dan saking takutnya Bu Mubo sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya bila diteror oleh anak-anak kelas 9a."

   Petra menanggapinya sambil mengangguk.

   "Kita sudah tahu hal itu."

   "Ternyata bukan hanya oleh anak-anak didiknya saja,"

   Kata Sporty.

   "Apa yang dialami Bu Mubo pasti bukan hanya perbuatan iseng murid-muridnya."

   Ia lalu menceritakan semua yang diketahuinya.

   "Mana mungkin?!"

   Seru Petra terperanjat.

   "Apa maksud semuanya itu? Siapa biang keladinya? Dan untuk apa ia melakukannya?"

   "Aku juga tidak tahu. Tapi rasanya, kelompok STOP perlu membantunya. Seperti yang kaubilang tadi, Petra, Bu Mubo memang baik sekali dan patut dihormati. Eh, malah murid-muridnya sendiri memperlakukannya seperti itu. Dan teror itu bahkan berkelanjutan di rumahnya."

   "Apakah ada hubungan antara kedua hal itu?"

   "Aku juga sudah berpikir begitu. Tapi untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus menemukan siapa yang bertanggung jawab atas semua kejadian yang dialami Bu Mubo."

   Sporty berpaling pada Maria.

   "Apakah kau tahu rumah Otto Seibold?"

   "Ia tinggal di Jalan Karl Ludwig,"

   Jawab gadis Itali itu.

   "Di samping pintu gerbangnya ada sebuah papan iklan besar. Otto Seibold, ahli ban segala kendaraan -tulisannya "

   "Hah? Si konyol itu jual-beli ban?"

   Tanya Sporty terheran-heran.

   "Bukan dia, tapi ayahnya. Nama mereka kebetulan sama."

   "Kalau begitu aku akan ke sana,"

   Kata Sporty.

   Begitu keluar dari rumah Petra, anak itu langsung berjalan ke kanan.

   Sambil termenung, ia melewati toko Bu Glockner.

   Sporty sama sekali lupa bahwa ia tadi telah berjanji untuk mampir dulu sebelum pulang.

   Ia baru teringat lagi sewaktu Bu Glockner memanggilnya.

   "Tunggu dulu, Sporty! Ibu punya sesuatu untukmu,"

   Kata wanita itu sambil menyerahkan sebuah kantung plastik.

   Pertama-tama Sporty tidak mau menerimanya, tetapi Bu Glockner tetap memaksa -seperti biasanya -dan akhirnya Sporty mengalah.

   Ia mengucapkan terima kasih, tetapi Bu Glockner memotong ucapannya sambil tertawa, lalu mendorongnya keluar dari toko.

   Kantung itu ternyata berisi anggur.

   Paling sedikit satu kilo.

   Harganya mahal, dan Sporty tidak pernah punya pikiran untuk membeli buah-buahan semacam itu dengan uang sakunya.

   Bu Glockner benar-benar luar biasa.

   Lagi pula ia sangat mirip dengan Petra.

   Pada pandangan pertama orang sudah dapat menebak bahwa mereka adalah ibu dan anak.

   Sporty mencicipi buah anggur itu.

   Rasanya enak sekali.

   Ketika sampai di Jalan Karl Ludwig, isi kantung plastik tadi sudah habis disikatnya.

   Gawat, ia berpikir.

   Lama-lama aku bisa jadi saingan si Oskar! 5.

   Sebuah Siasat Licik PELAN-PELAN Sporty melewati rumah itu.

   Dinding luarnya dicat dengan warna hijau-bayam.

   Pada sisi sampingnya terdapat sebuah garasi yang dihubungkan oleh sebuah jalur beraspal dengan jalan raya.

   Halaman rumah itu nampak tak terurus.

   Rumputnya kering kerontang karena tidak pernah disiram.

   Daun-daun di semak-semak sudah mulai layu, dan beberapa tanaman hias malah sudah mati.

   Sporty terus berjalan, seakan-akan tidak memperhatikan rumah itu.

   Namun beberapa meter kemudian ia berhenti, menyeberang jalan.

   lalu menyusuri jalan ke arah yang berlawanan.

   Jalanan yang berlubang-lubang itu rupanya jarang dilewati mobil.

   Beberapa ekor burung gereja hinggap di pohon-pohon yang terdapat di kedua sisi jalan.

   Dan Sporty berada tepat di depan pintu gerbang.

   Ia berbalik ke seberang jalan, lalu cepat-cepat bersembunyi di balik sebatang pohon.

   Dengan hati-hati ia mengintip.

   Otto Seibold Yunior, pemuda berandal yang biasa dipanggil King, baru saja keluar dari pintu rumah.

   Ia mengenakan celana Jean, sepatu lars yang dibuat dari kulit, dan sebuah jaket kulit berwarna hitam.

   Ia berjalan dengan kepala terdongak.

   Kedua belah tangannya dimasukkan ke dalam kantung-kantung jaket.

   Sebatang rokok terselip di antara kedua bibirnya.

   Barangkali itulah caranya untuk memperlihatkan bahwa ia tidak takut pada siapa pun.

   Otto Seibold berjalan ke bagian samping rumah.

   mengeluarkan sebuah anak kunci dari saku celana, kemudian membuka pintu garasi.

   Ketika pintu itu telah terbuka lebar, Sporty melihat sesuatu yang membuat detak jantungnya bertambah kencang.

   Di dalam garasi terdapat sebuah jip dan di sampingnya, agak terdesak, sebuah sepeda motor.

   Namun yang menarik perhatian Sporty adalah sepeda balap yang disandarkan tepat di bawah sebuah jendela kecil di dinding belakang.

   Sayang pandangan Sporty terhalang oleh jip itu, sehingga ia hanya bisa melihat stang sepeda itu dan sebagian sadelnya.

   Jaraknya ke garasi itu lebih dari lima puluh meter, kecuali itu.

   keadaan di dalamnya agak remang-remang.

   Karena itu Sporty sulit untuk memastikan apakah itu sepedanya atau bukan.

   Walaupun demikian ia merasa seperti tersengat listrik.

   Mungkinkah itu sepedanya? Otto mendorong sepeda motor tadi keluar dari garasi.

   Ia lalu menutup pintu dan menguncinya dengan seksama.

   Kepada seseorang yang berada di belakang rumah, ia berseru.

   "Kalau ada sesuatu-aku ada di Fattoria!"

   Sporty tidak dapat melihat dengan siapa si King berbicara.

   Kemudian anak berandal itu naik ke sepeda motornya.

   Gayanya persis seperti seorang pembalap Setelah menghidupkan mesin, ia langsung ngebut.

   Tanpa mengenakan helm, tentunya.

   Rupanya ia tidak terlalu menyayangi kepalanya, ujar Sporty dalam hati.

   Kalau sampai terbalik, akibatnya bisa gawat baginya.

   Ia tetap memperhatikan si King yang kini telah sampai di ujung jalan.

   Jadi bajingan itu mau ke Fattoria? Tempat itu masih di sekitar daerah itu.

   Dengan berjalan kaki, dalam lima menit juga sudah sampai.

   Tapi namanya juga prokem.

   Jarak segitu saja harus naik sepeda motor.

   Dasar sok jago! Sporty tahu tempat yang dituju Otto.

   Ia sudah sering lewat di depannya, walaupun belum pernah masuk.

   Fattoria adalah nama sebuah restoran Itali.

   Ia kembali memperhatikan rumah di seberang jalan.

   Siapakah yang berada di belakang bangunan itu? Risikonya memang besar, tetapi Sporty telah bertekad untuk menyelinap ke balik garasi, lalu mengintip melalui jendela kecil agar dapat memastikan apakah sepeda yang ia lihat tadi merupakan miliknya atau bukan.

   Sporty tidak membuang-buang waktu lagi.

   Cepat-cepat ia menyeberang, berlari menyusuri dinding samping bangunan itu, kemudian menuju garasi.

   Di sini ia berhenti sejenak, sambil mengamati keadaan sekelilingnya.

   Ternyata bagian belakang garasi terlihat dari halaman yang memanjang.

   Dan pria kekar yang bekerja di sana juga masih berada dalam jarak pandang.

   Tetapi untung orang itu sedang membelakangi Sporty, karena sibuk mengutak-atik sebuah mobil sport berwarna merah menyala.

   Pada dinding belakang garasi terdapat dua jendela kecil Sporty berjinjit lalu menempelkan hidung pada jendela yang pertama.

   Lapisan debu tebal menghalangi pandangannya.

   Sejumlah sarang labah-labah menempel di kusen.

   Walaupun demikian, ia dapat melihat sepeda tadi.

   Ternyata memang sepeda balap kebanggaannya.

   "He, kau! Sedang apa kau di sana?"

   Tiba-tiba terdengar teriakan garang.

   Otto Seibold Senior sangat mirip dengan anaknya-atau mungkin juga sebaliknya.

   Raut mukanya sama kasarnya-hanya seperempat abad lebih tua -dan bulu-bulu kaku yang menghiasi bibir atasnya segera mengingatkan Sporty pada seekor landak.

   Pria itu mendekat.

   Lengan bajunya digulung ke atas.

   Pada masing-masing lengannya terdapat gambar tatoo.

   Dengan tangan kanannya ia memegang sebuah kunci pas.

   "Saya sedang mencari sepeda balap saya,"

   Jawab Sporty.

   "Apa?"

   "Anda Pak Seibold?"

   "Memangnya kaukira siapa?! Mau apa kau di sini?"

   Matanya yang kecil mendelik ke arah Sporty.

   "Anak Bapak tadi telah mencuri sepeda balap saya. Ia memutuskan rantai pengikatnya. Itu adalah tindakan kriminal."

   "Bajingan kau! Dasar orang Itali tak tahu diri!"

   Pak Seibold menghardiknya.

   "Berani-beraninya kau memfitnah anakku..."

   "Bapak tidak perlu berteriak-teriak,"

   Sporty memotongnya.

   "Itu tidak akan mengubah kenyataan. Lagi pula saya bukan orang Itali. Rambut saya memang berwarna gelap, tetapi itu kan hal yang biasa, Pak Seibold-untuk orang Jerman sekalipun."

   "Jangan kurang ajar. Kutampar kau nanti. Sudah numpang di negeri orang, masih berani macam-macam lagi."

   Sambil bergeleng-geleng, Sporty berkata.

   "Rupanya kemampuan berpikir Bapak agak di bawah standar. Saya akan mengulanginya sekali lagi. anak Bapak adalah seorang pencuri. Ia mencuri sepeda saya. Sepedanya sekarang ada di dalam garasi ini. Ini suatu bukti yang cukup kuat, bukan?"

   Pak Seibold membasahi bibirnya.

   Ia memperhatikan Sporty dengan mata setengah terpejam.

   Ayah dan anak ternyata sama saja, pikir Sporty.

   Rupanya Pak Seibold yang terhormat ini menganggap semua orang asing sebagai sampah masyarakat.

   Pantas saja kalau anaknya jadi seperti itu.

   "Heh, bagaimana kau bisa membuktikan bahwa sepeda itu memang milikmu?"

   "Mudah saja. Nama saya terukir di suatu tempat yang tersembunyi."

   Sporty tidak mengada-ada. Di bawah sadel sepedanya memang terdapat sebuah lempengan logam yang bertuliskan namanya.

   "Kecuali itu, sekurang-kurangnya seratus teman sekolah saya bisa menjadi saksi bahwa sepeda itu milik saya."

   "Dasar pembohong! Bah, orang-orang Itali memang sama saja semuanya. Aku tak percaya sepatah kata pun dari ocehanmu."

   Sporty ketawa. Maki-makian orang itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap dirinya.

   "Kalau begitu, silakan Bapak buka pintu garasi. Saya akan menunjukkan di mana nama saya terukir. Nama saya Peter Carsten."

   Pak Seibold kini mulai lebih waspada.

   "Kuncinya tidak ada,"

   Katanya singkat.

   "Terserah Bapak,"

   Kata Sporty.

   "Tetapi dengan tindakan ini, Bapak jadi ikut bersalah."

   Ia berjalan memutari Pak Seibold, sambil memastikan bahwa ia tetap berada di luar jangkauan tangan pria itu.

   Soalnya, mungkin saja orang itu tiba-tiba mengamuk.

   Setelah melewatinya, Sporty mulai berlari.

   Ia harus menghubungi polisi.

   Dan secepat mungkin.

   Tetapi bilik telepon umum terdekat berada di ujung jalan, sekitar empat ratus meter dan rumah Pak Seibold.

   Setelah berlari sekitar dua ratus meter, Sporty menengok ke belakang.

   Pak Seibold berdiri di tepi jalan, dan mengepalkan tinjunya ke-arah Sporty.

   Brengsek! pikir anak itu.

   Kalau ia sekarang memindahkan sepedaku, maka aku bisa dituduh mempermainkan polisi.

   Tapi kalau begitu aku akan minta agar rumahnya digeledah.

   Dengan napas tersengal-sengal ia sampai di bilik telepon umum.

   Untung ia masih punya sekeping uang logam di saku celananya.

   Di buku telepon ia menemukan nomor telepon pos polisi di Balai Kota.

   Ia langsung memutarnya, lalu minta bicara dengan Sersan Kaltenberger, polisi yang tadi mencatat pengaduan Sporty mengenai pencurian sepedanya.

   Dengan singkat Sporty menjelaskan apa yang telah terjadi.

   "Tolong secepatnya ke sini, Pak,"

   Kata anak itu.

   "Saya akan kembali ke sana. Saya khawatir kalau-kalau Pak Seibold mengeluarkan sepeda saya dari garasi dan menyembunyikannya di tempat lain. Mungkin ia malah akan memindahkan sepeda saya dari rumahnya."

   "Saya segera ke sana,"

   Polisi itu berjanji.

   Sporty tidak menyempatkan diri untuk beristirahat sedetik pun.

   Setelah meletakkan gagang telepon, ia langsung kembali ke rumah Pak Seibold.

   Tiba-tiba ia melihat sepedanya tersandar pada sebuah hidran air di pinggir jalan, kira-kira lima puluh meter dari rumah Pak Seibold.

   Sambil menarik napas panjang, Sporty menghentikan langkahnya.

   Bukan main! Orang itu menyingkirkan barang curiannya dan beranggapan bahwa dengan demikian sudah tidak ada masalah lagi.

   Cepat-cepat anak itu memeriksa keadaan sepedanya.

   Ternyata tidak ada yang rusak atau hilang.

   Alasan apa yang akan diberikan Pak Seibold? Apakah ia hanya akan mengangkat bahu sambil berkata bahwa ia tidak tahu-menahu tentang pencurian itu? Bersepeda.

   Sporty lalu kembali ke dekat rumah berwarna hijau-bayam itu.

   Sekitar dua puluh lima meter dari bangunan itu ia berhenti dan menunggu.

   Beberapa menit kemudian mobil patroli polisi tiba.

   Kendaraan itu semakin mendekat, kemudian berhenti di samping Sporty.

   Sersan Kaltenberger membuka jendela.

   "Rupanya sepedamu sudah kembali. Apakah si Seibold akhirnya takut juga?"

   "Malah sebaliknya,"

   Jawab Sporty. Kemudian ia menceritakan apa yang terjadi.

   "Sebenarnya perkara ini sudah jelas,"

   Kata polisi itu.

   "Tapi si Seibold cukup cerdik. Ia memilih untuk mundur teratur sebelum berhadapan dengan polisi. Sulit sekali untuk membuktikan sesuatu kalau sudah begini. Kau satu-satunya saksi. Berarti keterangan kalian saling beradu. Saya sendiri percaya pada ucapanmu, tetapi penilaian pengadilan mungkin saja berbeda. Sekarang sebaiknya kita mendatanginya saja."

   Polisi itu turun dari mobil patroli.

   Sporty mendorong sepedanya.

   Untuk sementara waktu ia tidak akan menaruhnya di sembarang tempat.

   Otto Seibold Senior pura-pura sibuk menggosok-gosok mobil sportnya.

   Ketika didatangi Sporty dan Sersan Kaltenberger, ia mengangkat kepala dan berhenti bekerja.

   Raut mukanya tenang, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.

   Sersan Kaltenberger segera membuka pembicaraan.

   "Bapak tentu telah mengetahui maksud kedatangan saya. Peter Carsten melaporkan bahwa anak Bapak telah mencuri sepeda balapnya. Katanya, sepeda ini beberapa menit lalu masih berdiri di dalam garasi Bapak. dan Peter sendiri yang melihatnya melalui sebuah jendela pada dinding belakang garasi. Menurut pengakuannya, Bapak tadi tidak bersedia mengembalikan sepeda balap miliknya. Ketika Peter kemudian kembali dari telepon umum setelah menghubungi saya, ia menemukan sepedanya di pinggir jalan -tersandar pada sebuah hidran air. Apakah Bapak ingin mengatakan sesuatu sehubungan dengan hal ini?"

   Pak Seibold bertolak pinggang.

   "Benar, anak ini tadi memang ke sini. Ia mengoceh tidak keruan tentang sebuah sepeda yang hilang dicuri. Hal itu juga benar. Setelah itu saya mengusirnya. Di garasi saya memang ada sepeda balap. Tapi sepeda itu milik saya sendiri. Sudah sejak sepuluh tahun yang lalu. Sebenarnya tadi ia bisa saja memeriksanya, kalau mau. Pintu garasinya terbuka lebar. Tidak perlu mengintip-ngintip lewat jendela belakang segala. Dasar anak berandal! Berani-beraninya lagi memfitnah orang yang tidak bersalah."

   "Busyet!"

   Ujar Sporty.

   "Luar biasa. Pertama-tama Bapak membawa sepeda saya ke hidran air,lalu Bapak mengambil sepeda balap Bapak, dan memasukkannya ke dalam garasi -melelahkan sekali, bukan? Bapak bahkan masih berkeringat."

   "He, jangan kurang ajar!"

   Seru Pak Seibold kesal.

   "Kau memang kepingin ditampar, ya?"

   "Jangan terburu-buru, Peter,"

   Ujar Sersan Kaltenberger.

   "Kita bicarakan hal-hal yang dapat dibuktikan saja."

   Mereka berjalan ke depan.

   Pak Seibold segera membuka pintu garasi.

   Ternyata ia tidak berdusta.

   Pada dinding belakang garasi memang terdapat sebuah sepeda balap tua.

   Karat terlihat di mana-mana.

   Lumpur yang telah mengering menempel pada rantainya Beberapa jerujinya telah patah.

   dan bentuk sadelnya sudah tidak keruan.

   Sepeda itu hanya bisa didorong.

   Untuk dinaiki sudah tidak mungkin.

   "Bapak rupanya memakai sepeda ini untuk bersantai-santai setiap sore, bukan?"

   Ujar Sporty menyindir.

   "Pantas sepedanya dalam keadaan siap pakai dalam garasi yang sempit ini."

   "Ini garasi saya, dan sepeda balap itu juga milik saya. Jadi terserah saya dong di mana saya mau menyimpannya,"

   Jawab Pak Seibold dengan ketus.

   "Baiklah kalau begitu. Terima kasih. Pak Seibold."

   Kata Sersan Kaltenberger dengan tenang ia mengangguk, berbalik, lalu berjalan ke arah mobil patrolinya. Sporty mengepalkan tangan. Ia benar-benar merasa kesal.

   "Sial,"

   Polisi itu berujar.

   "Saya yakin tuduhanmu memang benar. tetapi kita tidak bisa membuktikannya."

   "Tapi itu tidak adil, karena ia bisa lolos begitu saja."

   "Yah, itulah hidup. Banyak orang yang seharusnya dihukum, tetapi mereka masih saja bisa berkeliaran tanpa dikenai sanksi apa-apa. Mereka -para penjahat kecil dan besar -memang lihai, dan pandai memanfaatkan lubang-lubang dalam undang-undang. Tapi biasanya justru penjahat-penjahat kelas kakap yang lolos. Bahwa seorang penjahat kelas teri seperti si Seibold bisa membebaskan diri dari tuduhan adalah suatu hal yang jarang terjadi."

   "Siapa bilang bahwa ia hanya seorang penjahat kelas teri,"

   Sporty menanggapinya.

   "Barangkali ia malah salah seorang gembong kejahatan."

   Sersan Kaltenberger tertawa.

   "Saya bisa memahami kekesalanmu. Tapi jangan terlalu dipikirkan! Sepedamu kan sudah ditemukan. Itulah yang terpenting bukan?"

   Sporty mengucapkan terima kasih atas bantuan polisi itu.

   Bagaimanapun juga, Sersan Kaltenberger telah berbuat sebatas wewenangnya.

   Mobil patroli itu kembali ke pos.

   Sporty melihat jam tangannya.

   Jam pelajaran tambahan di asrama sudah lama dimulai.

   Di bawah pengawasan para guru, anak-anak sedang menyelesaikan pekerjaan rumah mereka.

   Biar saja, pikir Sporty.

   Sekali-sekali aku tidak ikut.

   Masa kejadian ini tidak bisa diterima sebagai alasan?! Tapi sekarang aku harus mencari si King dulu.

   Aku tidak akan bisa tidur dengan tenang nanti malam, kalau bajingan itu belum diberi pelajaran.

   Tanpa terburu-buru, ia mengarahkan sepedanya ke Restoran Fattoria.

   6.

   Salah Pergaulan RESTORAN FATTORIA terletak di pinggir suatu jalan yang ramai.

   Karena kekurangan tempat parkir, beberapa pengunjungnya terpaksa memarkir kendaraan mereka di atas trotoar.

   Tetapi jalur pejalan kaki di depan rumah makan itu memang sangat lebar.

   Sebuah pesawat terbang pun bisa diparkir di sana.

   Sporty menyandarkan sepedanya pada sebuah pot bunga yang sebesar bak mandi.

   Tanpa rantai, ia tidak dapat menguncinya.

   Kenyataan ini membuatnya agak gelisah, dan ia memutuskan untuk tetap memperhatikan sepedanya melalui jendela restoran.

   Ia berjalan melewati sebuah mobil Ferrari berwarna abu-abu metalik.

   Di samping mobil itu terdapat sepeda motor milik Otto Seibold Yunior.

   Berarti bajingan itu masih ada di sini.

   Sporty memasuki restoran itu.

   Hampir tidak ada pengunjung.

   Dua pelayan berdiri di dekat meja kasir.

   Di bagian belakang, sebuah keluarga dengan tiga anak sedang makan.

   Pada bar yang berbentuk tapal kuda hanya ada dua tamu.

   Yang pertama adalah King Seibold, yang kedua seorang pria berambut gelap dengan penampilan perlente.

   Orang itu mengenakan stelan jas berwarna krem yang terbuat dari sutra alam, sepatu berwarna terang, dan sebuah syal berwarna biru.

   Keduanya sedang minum anggur, dan dilayani dari balik meja layan oleh seorang gadis berambut pirang.


Pendekar Rajawali Sakti Iblis Tangan Tujuh Fear Street Terror Di Akhir Pekan Putri Bong Mini Pedang Teratai Merah

Cari Blog Ini