Ceritasilat Novel Online

Dia Tanpa Aku 4


Esti Kinasih Dia Tanpa Aku Bagian 4



Katanya, untuk mengakhiri sorot cemas di kedua mata itu.

   "Cepet amat? Cuma pake Bengbeng doang, lagi."

   Reinald tertawa pelan.

   "Gue bukan sakit, tapi kelaperan... banget!"

   Katanya berbohong.

   "Ulangan Inggris nih. Siap?"

   "Siap nggak siaplah,"

   Dengus Citra.

   Cewek itu memang lemah di semua mata pelajaran yang ada judul "bahasa"-nya.

   Reinald tertawa tanpa suara.

   Bel berbunyi.

   Seluruh isi kelas segera menuju bangku masing-masing.

   Mereka langsung mengeluarkan kertas ulangan.

   Bu Nana, guru bahasa Inggris, memang sudah memberi tahu perihal ulangan ini sejak dua minggu lalu.

   Tak lama Bu Nana memasuki kelas.

   Satu tangannya memeluk sebuah map berisi fotokopian soal-soal.

   Tanpa banyak bicara, beliau langsung membagi tumpukan soal itu menjadi empat bagian dan menaruhnya di empat meja terdepan.

   Delapan murid yang duduk di meja terdepan segera mengopernya ke teman mereka di belakang, setelah meninggalkan selembar untuk diri mereka sendiri.

   Seisi kelas langsung bersiap-siap dan Bu Nana duduk tegak-tegak di kursinya.

   Ia memastikan setiap murid di depannya mengerjakan soal hanya dengan menggunakan otak mereka sendiri.

   Kelas hening.

   Meskipun sempat merasa heran karena soal yang berjumlah dua puluh itu keseluruhannya berformat jawaban B-S (Benar-Salah), seisi kelas langsung berkonsentrasi dengan keras di hadapan masing-masing.

   Termasuk Reinald.

   Cowok itu juga segera tenggelam dalam keseriusan menjawab deretan soal di depannya.

   Ketika akhirnya selesai mengerjakan kedua puluh soal tersebut, Reinald mendapati kenyataan bahwa seluruh jawabannya adalah...

   Benar! Ini belum pernah terjadi.

   Reinald membaca ulang seluruh soal dari awal.

   Tetap, jawaban yang ia dapatkan adalah "Benar"

   Untuk seluruh soal.

   Masih tidak yakin, sekali lagi Reinald membaca ulang seluruh soal.

   Sekali lagi pula, jawaban keseluruhan untuk soal itu adalah "Benar".

   Seketika wajah Reinald memucat.

   Kini ia menyadari, inilah jawaban dari pertanyaan yang diajukannya dalam hati saat mengurung diri di dalam bilik toilet jam istirahat tadi.

   "Apakah Ronald memang kembali?"

   Di depan matanya, jawaban pertanyaan itu diberikan dalam dua puluh kali perulangan.

   BENAR!!! BAB 15 RONALD datang! Dia kembali! Reinald membeku di bangkunya.

   Di kelas yang dikosongkan oleh jam istirahat, ia merasa dunia di sekelilingnya mengabur.

   Ada dunia lain bergabung.

   Dunia tempat Ronald kini tinggal.

   Kekalutannya kini jadi ketakutan yang nyata.

   Tiba-tiba Reinald tersentak.

   Ia menyapukan pandangan ke sekeliling, lalu ke luar jendela.

   Citra tidak terlihat, berarti masih di kantin.

   Reinald cepat-cepat berdiri lalu keluar kelas.

   Di kantin, Citra sedang duduk di antara cewek-cewek teman sekelas lainnya, mengobrol dengan riuh sambil mengunyah tahu isi.

   Reinald bergegas menghampiri.

   "Cit, sebentar."

   Diraihnya tangan kiri Citra. Cewek itu menoleh kaget.

   "Apa?"

   "Ikut gue bentar."

   Dengan paksa Reinald menarik Citra sampai berdiri dan membawanya ke luar kantin, diiringi tatapan bingung cewek-cewek itu.

   Citra berlari-lari kecil, mengimbangi langkah cepat Reinald.

   Begitu sampai di luar, Reinald melepaskan genggamannya dan langsung ke masalah yang tadi muncul mendadak di kepalanya.

   "Cit, lo kenal Ronald?"

   "Ronald siapa?"

   "Ronald siapa aja. Yang penting lo kenal dia. Ada nggak?"

   "Mmm..."

   Citra mengingat-ingat.

   "Ada sih."

   Muka Reinald langsung pucat.

   "Ada?"

   Desisnya tegang.

   "Ada. Itu juga gue yang kenal dia. Dia sih bisa dipastikan nggak kenal gue sama sekali. Itu tuh, si Ronaldinho. Pemain bola,"

   Citra menjawab kalem. Lalu ia terkikik geli.

   "Siapa juga yang nggak kenal Ronaldinho?"

   Reinald mendesis lagi. Kali ini karena kesal. Jantungnya sudah nyaris lepas, tapi ternyata Citra cuma bercanda.

   "Gue nanya serius banget nih, Cit."

   Citra akan meneruskan candanya, tapi batal saat dilihatnya muka keruh Reinald.

   "Nggak."

   Dia menggeleng.

   "Yakin? Coba lo inget-inget"

   "Nggak."

   Citra menggeleng lagi.

   "Temen-temen gue di SMP nggak ada yang namanya Ronald. Kalo temen-temen SD..."

   "Nggak perlu yang udah lama banget,"

   Reinald langsung memotong.

   "Temen-temen yang lo kenal waktu SMP aja."

   "Ya itu tadi. Nggak ada."

   Untuk ketiga kalinya Citra menggeleng.

   "Yakin?"

   "Yakin!"

   Reinald terlihat lega. Citra jadi tidak tahan untuk tidak bertanya.

   "Emang kenapa sih?"

   "Nggak apa-apa."

   Reinald langsung menggeleng.

   "Yuk, balik ke kelas. Udah mau bel nih,"

   Ajaknya. Citra mengangguk. Ia melambai ke arah teman-temannya yang masih asyik ngobrol.

   "Gue dulan yaaa!"

   Serunya. Mereka menoleh dan berseru bersamaan.

   "Yaelaaaah! Ke kantin aja dijemput!"

   Citra meringis lebar.

   Sekali lagi ia melambaikan tangan lalu menyusul Reinald.

   *** Dia mungkin tidak lagi kasat mata.

   Dia kini maya.

   Abstrak.

   Tidak terlihat.

   Tidak teraba.

   Tapi dia adalah Ronald! Kakak satu-satunya.

   Saudara cowok satusatunya.

   Musuh bebuyutan di dalam rumah, namun sekutu sahati untuk urusan berkelahi di halaman rumah mereka.

   Sedetik mereka adu jotos, lima menit kemudian Ronald bisa menghajar anak tetangga demi Reinald.

   Dan sepanjang ingatan Reinald, mereka belum pernah tidak sekamar.

   Jadi Reinald mengenal sosok invisible itu lebih baik daripada siapa pun! Tapi keyakinan itu tidak bertahan lama.

   Mengenal baik sosok invisible Ronald bukan berarti tahu pula cara menghadapinya.

   Reinald justru sangat menyadari bahwa ia sama sekali tidak punya cara.

   Dan itu membuatnya putus asa.

   Selain itu, Reinald tahu ia tak bisa membagi kekalutannya pada siapa pun.

   Hanya pada satu orang, tapi ia tidak yakin dengan respons orang itu.

   Andika kaget saat membuka pintu depan dan mendapati Reinald berdiri di hadapannya dengan muka pucat.

   "Ada apa?"

   Tanyanya cemas. Mulut Reinald sudah terbuka, tapi perlu waktu cukup lama sebelum akhirnya Andika mendengar suara serak keluar dari sana.

   "Ronald pulang."

   Seketika wajah Andika tampak kaget, bingung, dan reaksi-reaksi shock lainnya.

   Tumpukan reaksi yang membuatnya tak bisa bicara, hanya mampu menatap Reinald dengan mulut ternganga dan mata terbelalak.

   Anak itu sampai lupa menyuruh Reinald masuk sehingga sang tamu menceritakan semuanya dengan berdiri di ambang pintu.

   Cerita yang dituturkan Reinald tidak keruan.

   Suaranya yang serak kadang terbata, dan kadang meluncur deras begitu saja.

   Ketika Reinald selesai, Andika sedikit lega.

   Tadinya ia mengira Ronald "pulang"

   Dalam bentuk penampakan, dalam aura mistis atau horor, seperti di film atau sinetron.

   Ia tidak sanggup membayangkan sahabatnya menjadi arwah gentayangan, hanya karena soal cinta yang belum dimulai.

   Masih berdiri di ambang pintu, Reinald menatap Andika.

   Tatapannya yang seakan berkata "Gue mesti gimana?"

   Jelas-jelas terbaca di kedua matanya.

   "Masuk dulu."

   Andika melebarkan pintu.

   "Lo udah makan?"

   "Nggak tau. Lupa."

   Reinald menggeleng.

   "Makan dulu kalo gitu. Abis itu baru kita omongin. Kalo perut kenyang, otak juga kerjanya lebih bener."

   Andika lalu berjalan ke dalam.

   Ia sengaja mengulur waktu karena tak tega mengatakan bahwa penyebab kekalutan Reinald sebenarnya cuma dua hal.

   Rasa bersalah dan kenangan.

   *** Walaupun Andika menganggap sumber kekalutan Reinald berasal dari diri Reinald sendiri, toh itu membuatnya tidak tenang juga.

   Terpaksa terus dipantaunya kondisi adik almarhum sahabatnya itu, yang semakin dianggap sebagai adiknya sendiri sejak kematian Ronald.

   Langkah pertama yang diambil Reinald untuk mengatasi ketakutannya itu cukup membuat Andika kaget.

   "Lo apain si Citra?"

   "Cuma gue protect doang."

   "Dengan cara yang lo sebut tadi, itu namanya dikerangkeng."

   "Belom ketemu cara lain."

   Reinald malas berdebat.

   Ia sadar usaha yang dilakukannya mungkin sia-sia.

   Tapi ia tidak tahu cara lain.

   Untuk saat ini, hanya ini.

   Memastikan Citra tetap berada pada fokus pandangannya, dan terus memastikan keadaanya lewat kontak telepon begitu cewek itu harus dilepasnya.

   Bukan hanya Andika yang bingung melihat sikap Reinald terhadap Citra.

   Teman-teman sekelas mereka juga bertanya-tanya.

   Ke mana pun Citra pergi, Reinald pasti mengikuti, kalo ia tidak bisa ikut, Citra harus lapor sebelumnya.

   Pergi ke mana, dengan siapa, berapa lama.

   Kalau Citra melanggarnya, Reinald pasti blingsatan mencari-cari Citra.

   Kalau tidak menemukan Citra di mana pun, Reinald bisa panik, senewen, dan ujungujungnya cowok itu marah-marah karena Citra menghilang tanpa izin darinya.

   Pemandangan Citra melakukan protes pun kemudian menjadi pemandangan yang sering disaksikan teman-teman sekelas mereka.

   "Gue udah bilang, kalo mau ke mana-mana, ngomong dong. Jangan ngilang gitu aja!"

   Ujar Reinald suatu hari.

   "Orang gue cuma ke toilet. Masa mesti ngomong juga? Toiletnya keliatan dari sini. Tuuuh!"

   Citra menunjuk toilet di ujung koridor dengan jengkel. Reinald tidak peduli.

   "Toiletnya emang keliatan. Tapi kalo lo udah masuk ke situ, mana keliatan, lagi? Mana gue tau lo ada di dalam sana?"

   "Ya udah, lo ikut masuk aja, Ren,"

   Kata Ian dengan tampang bosan.

   "Lo kelewatan juga sih. Masuk daerah orang aja lapor ke Pak RT-nya 1 x 24 jam. Sekali doang. Nah kalo elo, masa tiap lima menit Citra kudu lapor sih?"

   Reinald menoleh dan menatap Ian dengan ekspresi tidak suka.

   "Kalo nggak tau masalahnya, mending nggak usah ngomong deh."

   Kali lain, di jam istirahat, teman-teman sekelas mereka menemukan Citra terduduk lesu di bangkunya, sambil memegangi perut. Di sampingnya, Reinald sedang sibuk menulis sesuatu dengan cepat.

   "Kenapa lo, Cit?"

   Tanya Roni, yang baru saja memasuki kelas.

   "Laper bangeeet!"

   Citra langsung menjawab dengan suara melengking keras. Roni melirik Reinald dengan kesal, tapi wajahnya tetap ke arah Citra.

   "Kalo laper ya ke kantin sana. Buruan. Udah mau bel nih."

   "Nggak boleh pergi sendiri,"

   Ujar Citra sambil mencebik.

   "Ya ampuuun! Ya udah, sini sama gue."

   Roni berjalan menghampiri Citra sambil geleng-geleng kepala. Digamitnya lengan cewek itu.

   "Ren, Citra gue temenin ke kantin. Lo ngapain sih? Nggak liat cewek lo udah mau semaput gitu, apa?"

   "Ngerapiin catetan bio. Anak 1-3 diperiksa mendadak. Eh, Cit, lo kan udah gue kasih kue tadi?"

   Reinald menghentikan kesibukannya dan menatap Citra.

   "Sementara buat ganjel perut kan cukup? Ntar istirahat kedua, gue traktir."

   "Kue kecil gitu, mana kenyang? Dibagi dua sama elo, lagi. Cuma sampe di tenggorokan nih, sama ngotor-ngotorin gigi. Nggak nyampe perut!"

   Citra bersungut-sungut sambil berdiri, lalu mengikuti Roni. Reinald berseru saat kedua orang itu sampai di ambang pintu.

   "Kalo gitu gue titip..."

   "Bodo!"

   Tanpa menoleh, Citra langsung menolak. Roni tertawa dan menghentikan langkahnya.

   "Titip apa lo?"

   Tanyanya.

   "Apa aja. Yang penting bisa bikin perut gue rada terisi. Lemper kek, tahu isi kek. Bakwan juga boleh."

   "Oke."

   Roni mengangguk, sementara Citra langsung menggerutu.

   "Sendirinya kelaperan, tapi gue disuruh nunggu sampe jam istirahat kedua!"

   "Jangan protes, Cit. Ntar lo nggak gue kasih izin ke kantin nih!"

   Ancam Reinald. Roni buru-buru mengajaknya pergi.

   "Buruan, Cit. Udah mau bel."

   Cowok itu berjalan ke luar kelas dengan langkah-langkah cepat.

   Citra buru-buru mengikuti.

   Teman-teman sekelas yang menyaksikan adegan itu lagi-lagi tampak bingung.

   Karena terlalu seringnya mereka menyaksikan itu, kemudian merebaklah beberapa versi dugaan kenapa Reinald sampai overprotektif begitu.

   Mereka menginterogasi Citra ketika cewek itu balik dari kantin.

   "Lo pasti pernah nyolong ya, Cit, waktu main ke rumah Reinald. Makanya lo diawasin terus sama dia. Takut lo nyolong di tempat lain,"

   Ujar Didot.

   "Jangan-jangan lo cewek tukang selingkuh ya? Nggak bisa dipercaya. Makanya ke mana-mana dibuntutin terus."

   Ini kata Toto.

   "Lo punya penyakit ayan ya, Cit? Makanya Reinald nggak tega ngebiarin lo sendirian. Takut lo kumat di jalan, trus nggak ada yang nolongin."

   Kalau ini Derry yang ngomong. Diiringi tawa geli seisi kelas, Citra lalu berdiri dan bertolak pinggang.

   "Iyaaa, sebutin aja yang jelek-jelek. Gue tukang nyolong, tukang selingkuh, ayan. Trus apa lagi?"

   "Abis, kenapa dong Reinald sampe kayak gitu?"

   Tanya Didot. Reinald yang sedang asyik duduk di bangkunya, baru saja hendak menjawab, tapi Citra sudah lebih cepat.

   "Ya karena dia cinta banget sama gue!"

   Tandas Citra. Langsung seisi kelas bersuit-suit dan bertepuk tangan riuh.

   "Cieeeh! Keren!"

   Seru Toni.

   "Romantis, bo!"

   Timpal Alfian.

   "Emang!"

   Jawab Citra, dengan nada makin tandas tapi muka makin bete.

   "Makanya lo-lo jangan pada berisik! Mengganggu kemesraan kami aja, tau!"

   Kembali seisi kelas jadi ketawa-ketawa geli. Citra berjalan ke arah bangkunya, sambil terus menatap Reinald. Cowok itu balas menatap Citra dengan tampang bingung.

   "Hai, darling honey!"

   Seru Citra, dengan nada yang dibuat riang.

   "Mereka pada ngiri tuh. Katanya kita mesra banget!"

   Ketika Citra sudah duduk di sisi Reinald, cowok itu meraih Citra dengan satu tangan lalu mencium puncak kepalanya. Sontak teriakan histeris memenuhi ruang kelas mereka.

   "CUIH! BETE!"

   "NORAK!"

   "KAMPUNGAN!"

   "UDIK!" *** Tidak hanya itu. Reinald juga menjeput dan mengantar pulang Citra. Setiap hari. Sementara bentuk proteksi lain yang dilakukan cowok itu begitu Citra tidak lagi bersamanya adalah dengan mengiriminya SMS atau menelponnya, untuk memastikan cewek itu dalam keadaan baik. Tadinya Citra patuh. Ia membalas setiap SMS dan menjawab setiap telepon. Tapi lama-lama cewek itu bosan juga. Karena bunyi setiap SMS dan telepon Reinald selalu "Lo baik-baik aja, kan?", minimal sehari dua kali, lama-lama Citra jadi stres. Jadinya malah nggak baik-baik aja, kan? Pernah Citra mematikan ponselnya untuk melarikan diri sebentar saja dari overprotektif Reinald. Tapi usahanya itu malah membuat telepon rumahnya terus berdering. Kemudian didengarnya suara mamanya menjawab pertanyaan, setelah itu mamanya muncul di kamar, menanyakan ada masalah apa antara Citra dan Reinald. Citra tak bisa menjawab karena ia sendiri juga tidak tahu. Cewek itu jadi dapat masalah baru, karena mamanya mengira ia punya masalah gawat tapi tidak mau cerita. Membiarkan ponselnya begitu saja tanpa memedulikan SMS dan telepon dari Reinald, ternyata juga bukan jalan keluar. SMS yang masuk jadi bertubitubi dan ponsel itu jadi berdering terus. Bikin kepala mau pecah. Emosi Citra akhirnya memuncak. Ketika kemudian diangkatnya telepon, siap marah-marah, Reinald ternyata lebih galak lagi.

   "Kenapa SMS gue nggak dibales!?"

   Dari seberang langsung terdengar nada tajam.

   "Bosen, tau! Isinya sama melulu. Telepon nanyanya itu-itu juga."

   "Citra, denger ya!?"

   Reinald mendesis dengan nada yang semakin tajam.

   "Gue kuatir sama elo, Cit. Makanya gue SMS, gue telepon. Kalo lo nggak bales SMS gue, nggak ngangkat telepon, lo bikin gue tambah kuatir."

   "Kan tiap hari lo nganter gue sampe rumah? Kenapa juga lo masih ngirim SMS dan nelepon?"

   "Gue cuma nganter, Cit. Nggak nginep. Dan itu kan tadi sore. Sekarang udah mau jam sembilan. Selisih berapa jam tuh? Bisa terjadi banyak hal, tau!"

   "Tapi gue kan di rumah sendiri!"

   "Nggak peduli lo ada di mana!"

   Tandas Reinald.

   "Pokoknya, bales SMS gue ya! Kalo gue telepon, angkat!"

   Reinald langsung mematikan telepon. Citra menghentakkan kakinya.

   "Hiiih! Dasar otoriter!"

   Makinya sambil melempar ponsel itu ke kasur.

   Di seberang, Reinald tercenung.

   Masih dengan ponsel di tangan.

   Ia tahu, ketakutannya telah menyebabkan dirinya bersikap terlalu keras terhadap Citra.

   Tapi ia tidak tahu cara lain.

   Ia berharap, dengan begini Ronald tidak bisa "mengambil"

   Citra.

   Cewek itu terus berada dalam pengawasan kedua orangtuanya dan pengawasan Reinald.

   Kalaupun bisa, apa pun wujud kakaknya itu kini, jiwa adalah kekal.

   Reinald berharap hati juga kekal sama seperti jiwa.

   *** Esok paginya, ketika hendak berangkat sekolah dan memeriksa isi dompetnya, Reinald baru menyadari bahwa uang sakunya cekak banget.

   Ia nggak sadar bahwa setiap hari meng-SMS dan menelpon Citra telah menguras isi dompetnya untuk membeli pulsa.

   Sedangkan jadwal mendapatkan uang saku bulanan masih jauh.

   Otak Reinald terus mengalkulasi sisa uang saku yang ada, plus sedikit tabungan, kira-kira ia bisa bertahan berapa lama.

   Busa saja ia menghemat transpor dan mengurangi jajan, tapi sampai kapan? Karena sibuk memikirkan ini-itu, Reinald jadi tidak ingat sarapan.

   Akibatnya saat ini, saat menelusuri trotoar menuju rumah Citra, perutnya melilit kelaparan.

   Enak nggak ya, kalo numpang sarapan di rumah Citra? Gila, laper banget! Katanya dalam hati.

   Kemudian cowok itu berdecak dan tersenyum sumbang.

   Semalem gue marah-marahin tu cewek, dan sekarang gue minta makan? Tragis banget! Kelaparan dan kepala sibuk mempertimbangkan untuk numpang makan membuat Reinald tidak fokus pada jalanan di depannya.

   Tiba-tiba satu pukulan keras mendarat di punggungnya.

   Cowok itu berteriak keras, kaget dan kesakitan.

   Seketika ia balik badan.

   Seorang bapak menyambutnya dengan tatapan marah.

   "Kamu tau nggak kalo semennya belum kering!?"

   Bentaknya.

   Reinald menunduk.

   Tidak jauh dari kakinya, ada satu area kecil berupa lapisan semen yang masih basah, untuk menutupi lubang agar tidak semakin lebar dan membahayakan pengguna jalan.

   Kedua jejak sepatunya tercetak jelas di sana.

   Pantas saja bapak itu jadi berang.

   "Maaf, pak. Maaf..."

   Reinald membungkukkan badan.

   "Saya nggak ngeliat."

   "Makanya kalo jalan jangan sambil ngelamun. Jadi bisa liat-liat. Sana pergi!"

   Usir bapak itu. Sambil meraih ember kecil berisi adukan semen ia memelototi Reinald. Reinald buru-buru pergi dari situ. Ketika ia sampai di rumah Citra, cewek itu sedang menunggunya di teras. Tampangnya cemberut.

   "Yuk!"

   Citra langsung mengajak Reinald berangkat. Tapi saat melihat wajah Reinald yang pucat, Citra jadi bertanya.

   "Kok tampang lo kusut begitu? Belum sarapan ya?"

   "Mmm...."

   Reinald berdeham. Ditatapnya Citra dengan senyum kikuk.

   "Iiya."

   "Hah!?"

   Citra ternganga.

   "Gimana sih lo? Gimana bisa belajar kalo nggak sarapan?"

   "Yaaah..."

   Reinald melebarkan senyumnya. Kemudian ia juga menceritakan peristiwa ia dipukul tadi. Singkat tapi dilebih-lebihkan. Maksudnya jelas, supaya Citra tambah kasihan, sekaligus melupakan soal marah-marah semalam.

   "Sumpah, Cit. Sakit banget."

   Reinald menyentuh punggungnya hati-hati dengan satu tangan. Citra meliriknya, masih dengan tampang kesal.

   "Roti aja, ya? Makan sambil jalan. Soalnya kalo makan di sini, ntar kita telat."

   "Oke. Lo sweet banget emang,"

   Reinald langsung melontarkan pujian.

   "Semalem lo udah marah-marah, sekarang gue yang ngasih sarapan. Kalo lo masih bilang gue jelek, bener-bener gue kasih racun di roti lo ntar!"

   Gerutu Citra sambil balik badan dan berjalan ke dalam.

   Reinald menatapnya sambil menyeringai.

   Namun seringai itu langsung menghilang begitu Citra sudah tidak terlihat.

   Reinald tetap merasa apa yang menimpanya hari ini bukan kebetulan.

   Tak lama Citra keluar, dengan satu tangkup roti dan segelas air mineral.

   Reinald buru-buru mengubah air mukanya.

   "Isinya selai kacang. Adanya cuma ini,"

   Kata Citra sambil mengeluarkan roti. Reinald menerimanya dengan sigap.

   "Ini juga udah oke banget. Yuk, jalan. Nyokap lo mana? Mau pamit."

   "Lagi di kamar mandi. Udah gue pamitin tadi."

   Keduanya pun melangkah keluar.

   *** Sampai siang menjelang sore, saat Reinald menyusuri jalan menuju rumahnya, rasa sakit di pungguang akibat pukulan tadi pagi tidak juga hilang.

   Reinald kembali berpikir, apa yang menimpanya hari ini pasti bukan kebetulan.

   Tiba-tiba saja ia melihat "tanda"

   Itu, dulu sekali, di suatu hari saat ia dan Ronald masih SD.

   Pertengkaran serius mereka yang pertama.

   Reinald sudah lupa apa penyebabnya, dengan sebatang ranting kayu Ronald memukulnya keras-keras di punggung.

   Reinald ingat, kejadian itu membuatnya menangis, setelah sebelumnya ia menjerit keras dan Bi Minah tergopoh-gopoh menghampiri.

   Perempuan paruh baya yang biasa sabar itu sampai marah-marah.

   Dia merebut ranting itu dari tangan Ronald dan mengancam akan melakukan hal yang sama jika sekali lagi Ronald berani memukul adiknya seperti itu.

   Kenangan samar yang mendadak teringat lagi dengan sangat jelas itu membuat Reinald tersentak.

   Langkahnya terhenti mendadak.

   Tanpa bisa dicegah, jantungnya berdebar keras saat menyadari penyebab semua kejadian yang menimpanya hari ini.

   Ronald marah! *** Sudah lima belas hari berlalu sejak Reinald memasuki kamar dengan jantung deg-degan dan pikiran campur aduk.

   Sudah selama itu pula ia berdiri di depan foto Ronald.

   Tatapannya terpaku pada dua mata di dalam foto itu.

   Sepasang mata yang sedang tertawa, tapi Reinald tidak menangkap kesan itu saat ini.

   Ada banyak kalimat yang telah terlontar dalam diam yang cukup lama itu.

   Reinald tidak ingin menyebut sikap yang diambilnya saat ini sebagai tantangan.

   Ia tidak berniat menyakiti Ronald.

   Sama sekali.

   Namun Citra milik dunia ini, dan cewek itu tidak tahu apa-apa.

   Jadi biarkan Citra tetap di sini.

   Itulah permohonan Reinald pada sang kakak.

   Permohonan yang digemakan dalam hati tapi ia yakin Ronald bisa mendengarnya.

   Biarkan Citra tinggal.

   Yang artinya, Reinald juga memohon agar sang kakak juga mau melepaskannya....

   Pagi ini, sekali lagi dengan kedua mata menatap lurus pada kedua mata di dalam foto itu, Reinald mengulangi permohonnanya, dalam diam dan dengan sikap tubuh yang menantang.

   Setelah sepuluh menit tegak di depan foto Ronald, Reinald membalikan badan.

   Dilihatnya jam di pergelangan tangan.

   Astaga! Sudah lewat lima menit dari jadwal ia harus berangkat.

   Diraihnya tas sekolahnya, tanpa memeriksa isinya, kemudian bergegas keluar rumah.

   Bus yang pertama lewat, penuh sesak.

   Reinald nekat berdiri di pintu.

   Sampai di rumah Citra, cewek itu sudah senewen berat.

   "Kok telat banget sih? Telepon gue nggak diangkat-angkat, lagi."

   Sambutnya begitu Reinald muncul di depan pagar.

   "Mana nyokap lo? Mau langsung pamit nih,"

   Ucap Reinald langsung.

   Citra berlari ke dalam, tak lama muncul bersama sang mama.

   Reinald langsung pamit, juga Citra.

   Diiringi tatapan mama Citra, Reinald dan Citra balik badan dan berlari ke luar halaman.

   Keduanya terus berlari di sepanjang gang dan trotoar tepi jalan raya.

   Setiap kali Citra tertinggal, Reinald langsung meraih satu tangannya dan menariknya.

   Ditikungan, mereka melihat bus jurusan sekolah mereka baru saja meninggalkan halte.

   Serentak keduanya memanggil.

   Reinald berteriak, Citra menjerit.

   Bus itu berhenti.

   Meskipun pelajar adalah jenis penumpang yang sama sekali tidak potensial memberikan keuntungan, histeria kedua pelajar itu membuat sang sopir tak tega untuk meninggalkan mereka di belakang.

   Bus itu penuh, tapi keduanya tidak peduli.

   Yang penting bisa memperkecil persentase keterlambatan.

   Reinald menyuruh Citra naik lebih dulu, kemudian ia menyusul.

   Untuk kedua kalinya di pagi ini, cowok itu harus berdiri di pintu.

   Kali ini dengan Citra yang harus dijaganya.

   Yang harus ditahananya dengan punggung setiap kali bus itu berbelok ke arah kanan.

   Begitu bus berhenti di halte depan sekolah, keduanya langsung melompat turun dan berlari sekencang-kencangnya menuju sekolah.

   Ternyata pintu gerbang telah tertutup.

   Bel baru saja berbunyi.

   Keduanya memohon dengan amat sangat pada Pak satpam agar bersedia membuka gerbang sedikit saja, karena masih ada sedikit waktu sebelum guru piket datang dan sebelum guru jam pertama sampai di kelas.

   Dengan berat hati petugas sekuriti itu menggeser pintu gerbang yang berat itu.

   Hanya sedikit, cukup untuk kedua anak itu menyelinap masuk.

   Keduanya mengucapkan terima kasih, lalu berlari secepat-cepatnya menuju kelas.

   Untung saja, guru belum datang.

   Keduanya masuk kelas dengan tubuh basah oleh peluh tetapi lega karena berhasil selamat.

   Godaan teman-teman sekelas mereka tanggapi hanya dengan cengengesan.

   Selamat untuk Citra, tapi tidak untuk Reinald.

   Saat istirahat pertama, cowok itu baru sadar bahwa ia tidak membawa buku pelajaran PKN! "Mampus gue, Cit!"

   Desis Reinald.

   "Buku PKN gue ketinggalan!"

   "Yaaah!"

   Citra memekik tertahan.

   "Kok bisa? Hari ini yang ada PKN cuma kelas kita, nggak bisa cari pinjeman."

   "Makanya, ck!"

   Reinald berdecak.

   "Ya udah. Kita pake cara kayak waktu itu lagi. Tapi jangan pinjem bukunya Giri. Ntar nggak sukses lagi."

   "Percuma!"

   Reinald menggeleng.

   "Yang ketinggalan bukan cuma buku cetaknya. Semuanya. Buku catetan, PR, latihan."

   "HAAAH!?"

   Kali ini Citra memekik keras.

   "Ketinggalan, apa lo sengaja nggak bawa sih?"

   "Ketinggalanlah!"

   Jawab Reinald dengan intonasi yang tanpa sadar jadi ketus. Ia enggan menceritakan alasan kenapa ia bisa lupa.

   "Ya udah. Mendingan ntar lo jujur sama Bu Emi,"

   Usul Citra kemudian. Reinald manggeleng.

   "Percuma!"

   "Iya sih."

   Citra mengangguk lemah.

   "Jadi?"

   "Pasrah. Mau gimana lagi?"

   Untuk Bu Emi, tidak membawa buku PKN adalah pelanggaran yang sifatnya absolut.

   Meskipun cerita di balik tidak terbawanya buku tersebut sedramatis kisah Anna Karenina atau Romeo-juliet, beliau tidak peduli.

   Nggak bawa, ya nggak bawa.

   Titik! "Waktu itu, cuma nggak bawa buku cetak aja, lo dikeluarin dari kelas.

   Sekarang lo bukan cuma nggak bawa buku cetak, tapi juga buku catetan, buku PR, sama buku latihan!"

   Citra memandangi keempat jarinya. Kedua matanya terbelalak saat menyadari betapa gawat masalah yang dihadapi Reinald.

   "Kayaknya lo bakal dikeluarin dari sekolah!"

   Reinald melirik jengkel, tapi tidak jadi marah ketika mendapati sorot cemas di kedua mata Citra.

   Ternyata Bu Emi masih ingat bahwa sebelumnya Reinald juga pernah tidak membawa buku PKN.

   Tidak mengherankan sih sebenarnya.

   Bedanya, dulu beliau menganggapnya sebagai kasus ringan atau kasus umum, tapi sekarang Bu Emi menganggapnya sebagai kasus khusus.

   Karena Reinald tidak membawa seluruh buku yang berhubungan dengan PKN -Bu Emi menekankan kata "seluruh"

   Itu dengan menyebutnya tiga kaliberarti Reinald memang tidak tertarik untuk mengikuti pelajarannya.

   Jadi dengan sangat berat hati, beliau membebaskan Reinald dari pelajaran PKN selama satu bulan.

   Satu bulan? What a wonderfull life! Beneran, sumpah! Kalau saja PKN bukan salah satu mata pelajaran yang nilainya wajib berwarna biru di rapor.

   Dengan adanya kejadian ini, Reinald tidak yakin sekeras apa pun ia berusaha dirinya akan punya peluang untuk mendapatkan nilai biru.

   Reinald tidak tahu bagaimana cara Ronald melakukannya, atau bagaimana semua peristiwa yang menimpanya selama dua hari terakhir ini terhubung dengan almarhum kakaknya itu.

   Yang jelas, hari ini nasibnya lebih sial daripada kemarin.

   Jauh lebih sial! *** Reinald berjalan memasuki halaman rumah dengan muka kaku dan rahang terkatup rapat.

   Ia begitu sibuk dengan pikirannya sendiri sehingga -tidak seperti biasanya-ia masuk rumah begitu saja, tanpa memberi salam.

   Ia langsung menuju kamar dan menutup pintu rapat-rapat.

   Reinald lalu berdiri di kaki tempat tidur Ronald.

   Karena hanya di situ satu-satunya tempat ia bisa "berdiri berhadapan"

   Dengan Ronald.

   Masih dengan ransel tersandang di punggung, Reinald berdiri tegak di sana.

   Ditentangnya sepasang mata Ronald yang berada di dalam foto berbingkai.

   Sesaat hanya ada keheningan.

   Kemudian Reinald bicara dengan suara tenang.

   Sangat tenang.

   Jenis ketenangan yang biasa terjadi sesaat menjelang badai.

   "Sekarang Citra sama gue. Bukan sama elo!" *** Kalimat yang sama, sikap yang sama, diulangi Reinald keesokan paginya, sesaat sebelum berangkat ke sekolah. Tindakan yang tidak perlu sebenarnya. Satu kali, cukup. Tapi dua kali, terlalu banyak! Reinald pamit pada seisi rumah, lalu berangkat. Tidak sampai berdiri lima menit di halte, bus yang ditanggungnya datang. Namun bus itu tidak pernah sampai di halte tujuan. Di tengah jalan, bus yang sarat penumpang itu mogok. Segala upaya yang dilakukan sopir berikut kondekturnya tidak berhasil membuat mesin kendaraan itu menyala. Akhirnya kedua orang itu pasrah dan memindahkan seluruh penumpang ke bus-bus pada trayek yang sama. Tapi saat ini jam sibuk. Seluruh angkutan umum dalam keadaan penuh. Bus pertama yang lewat cuma bisa memuat tujuh orang lagi. Bus kedua malah lebih parah, hanya tiga orang yang bisa naik. Itu pun sudah pasti di pintu. Tak ayal, tiap kali sebuah bus muncul lalu berhenti di hadapan, terjadi saling dorong di antara penumpang. Semua berebut naik. Reinald pilih mengalah. Akibatnya, ia jadi tidak bisa menjemput Citra. Waktunya tidak cukup. Terpaksa diteleponnya cewek itu. Memintanya untuk tidak menunggu dan berangkat ke sekolah lebih dulu. Sebenarnya hal itu membuat Reinald sangat cemas. Tapi tidak ada jalan lain. Ketika bus berikutnya muncul, Reinald memaksa naik karena waktu sudah benar-benar mepet. Begitu sampai di halte tujuan, cowok itu langsung melompat turun. Ditelusurinya trotoar dengan setengah berlari, karena bel masuk sudah berbunyi dua menit yang lalu. Tapi Reinald lega karena tadi Citra sudah mengirim SMS yang mengatakan dia sudah sampai di sekolah. Paling tidak cewek itu tidak ikut terlambat. Langkah setengah berlari Reinald mendadak terhenti. Seorang laki-laki yang sepertinya tidak waras tiba-tiba muncul dari tikungan di depannya. Laki-laki itu kurus, kumal, dekil dan bajunya compang-camping. Di kepalanya bertengger helm rusak. Tapi bukan itu yang membuat Reinald mematung. Melainkan benda yang tergenggam di tangan kanan laki-laki itu. Pentungan besi! Orang gila itu menghampiri Reinald dengan mata melotot dan muka marah.

   "Mau gue abisin lo!?"

   Teriaknya. Reinald memucat dan semakin tak mampu bergerak. Orang gila itu mengayunkan pentungan besinya. Sesaat Reinald mengira dirinya sudah tewas, tapi satu tangan menyambar lengan kiri Reinald dari belakang.

   "Lari, goblok!"

   Si pemilik tangan berteriak dan menariknya dengan sentakan.

   Reinald tersadar.

   Ia balik badan, mengikuti tangan yang menariknya.

   Ternyata Ian.

   Keduanya lari pontang-panting.

   Orang gila itu mengejar sambil berteriak-teriak dan mengacung-acungkan pentungan besinya.

   Kedua cowok itu terpaksa nekat memanjat pagar sebuah rumah, lalu melompat masuk ke halamannya setelah tiga kali bunyi bel yang mereka tekan dengan kalap tidak membuat satu orang pun keluar.

   Ian pucat.

   Reinald lebih pucat lagi.

   Keduanya bersembunyi di belakang kursi teras, sambil mengintip ke arah jalan.

   Tak lama orang gila itu muncul.

   Berlari melewati rumah tempat mereka bersembunyi.

   Masih sambil berteriak-teriak dan mengacung-acungkan besi yang di pegangnya.

   Setelah teriakan orang gila itu tidak terdengar lagi, baru kedua cowok itu menarik napas lega.

   "Bego, lo!"

   Bentak Ian kemudian.

   "Bukannya langsung kabur! Lo bisa mati kalo tadi sempet kena sabetan!"

   "Biasanya di situ nggak pernah ada orang gila. Kenapa tiba-tiba ada? Terus kok sama sekali nggak ada polisi yang nangkep?"

   Suara Reinald terdengar mengambang. Seketika ia teringat kalimat yang dua kali diucapkannya di depan foto Ronald.

   "Namanya juga orang gila, suka berkeliaran."

   Ia berdiri.

   "Yuk, ah. Buruan. Keburu yang punya rumah nongol. Ntar kita dikira mau nyolong, lagi. Lagian udah telat banget nih. Untung ada alesan yang oke!"

   Keduanya kembali memanjat pagar, melompat keluar dan segera berlari ke arah semula.

   Siangnya, sepulang sekolah, saat menyusuri kembali trotoar itu menuju halte bersama Citra, Reinald mengawasi sekelilingnya dengan waspada.

   Citra melakukan hal yang sama, juga semua murid yang berjalan menuju halte.

   Kejadian yang menimpa Reinald dan Ian tadi pagi memang menjadi pembicaraan ramai.

   Reinald menarik napas lega setelah bus yang mereka tunggu datang dan orang gila berbahaya itu tidak terlihat sama sekali.

   BAB 16 MALAM telah larut, namun Reinald masih tergolek di tempat tidur dengan mata terbuka lebar.

   Sudah sejak siang tadi ia gelisah.

   Sangat cemas.

   Perasaan itu muncul begitu saja setelah ia meninggalkan rumah Citra.

   Sampai saat ini tidak tahu apa penyebab munculnya perasaan ini.

   Yang pasti ini terlepas dari soal kemunculan orang gila dengan pentungan besi itu, karena sejak masuk kamar Reinald berusaha keras tidak menatap foto Ronald.

   Sudah tiga kali Reinald mengontak Citra, memastikan keadaanya.

   Cewek itu baik-baik saja.

   Namun entah kenapa perasaan gelisah dan cemas ini tidak juga hilang.

   Terus menekan dan tak bisa diabaikan.

   Reinald menatap jam bekernya.

   Hampir jam satu dini hari.

   Terlalu larut untuk menelpon, tapi perasaan cemas itu membuatnya tak bisa menahan diri.

   Akhirnya ia bangkit lalu meraih ponselnya di meja.

   Ditekannya tombol kontak dan ponselnya langsung terhubung dengan nomer yang dikontaknya terakhir kali.

   Citra.

   Tidak diangkat.

   Jelas saja.

   Dicobanya lagi.

   Tetap tidak diangkat.

   Reinald tidak peduli.

   Terus ditekannya tombol sampai ponsel di seberang akhirnya diangkat.

   "Cit, sori bangunin. Lo baik-baik aja, kan?"

   Tanyanya langsung. Terdengar gumaman tidak jelas di seberang. Sepertinya Citra menempelkan ponsel di telinga sambil tetap melanjutkan tidurnya.

   "Cit? Lo baik-baik aja, kan?"

   Reinald mengulangi pertanyaannya, lebih keras.

   "Iyaaa. Ada apa sih? Tadi kan juga udah ditanyain. Gue ngantuk banget niiih..."

   "Sori. Sori. Ya udah, lanjutin deh tidurnya. Gue cuma mau mastiin lo nggak kenapa-napa,"

   Ucap Reinald lalu mematikan ponsel.

   Dihelanya napas panjang.

   Citra baik-baik saja.

   Seperti tiga kali kabar sebelumnya.

   Tapi kenapa perasaan gelisah dan cemas ini tidak juga berkurang? Kembali Reinald tergolek di tempat tidur dengan mata terbuka.

   Hampir tiga jam setelah waktu pergantian hari ketika akhirnya cowok itu jatuh tertidur.

   Keesokan paginya Reinald sama sekali tidak terbangun saat bekernya melengking keras.

   Satu hal yang sangat jarang terjadi.

   Sepulas apa pun tidurnya pasti akan terbangun kalau beker itu berbunyi.

   Reinald baru membuka mata setelah adiknya, Raina, menjerit-jerit di telinganya setelah gagal membangunkan sang kakak dengan guncangan tangan.

   "Apa sih pagi-pagi jerit-jerit?"

   Reinald terlonjak bangun.

   "Hah, udah setengah enam!?"

   Kembali ia terlonjak.

   "Kenapa Mas baru dibangunin sekarang sih, Rin?"

   Serunya. Raina, yang baru saja meraih hendel pintu dan hendak keluar, melirik kakaknya dengan kesal.

   "Aku termasuk hebat, tau! Berhasil bangunin Mas Reinald. Mama sama Bi Minah sampai nyerah tuh. Ini aja kalau aku gagal, Mas Reinald mau disiram air sama papa. Tidurnya kebo banget sih?"

   Katanya, lalu keluar.

   Begitu kesadarannya pulih, hal pertama yang diingat Reinald adalah Citra, lalu gimana keadaan cewek itu pagi ini.

   Perasaan gelisah itu kembali datang dan semakin menggunung karena pagi ini Reinald tidak bisa menjemput.

   Reinald meraih ponselnya.

   "Cit, lo udah bangun?"

   "Udah dari tadi."

   "Gimana kabar lo pagi ini?"

   "Baik."

   Citra mulai bete. Ditanya itu melulu siapa juga yang nggak bosen.

   "Udah mau berangkat, ya?"

   "He-eh. Ngabisin sarapan dulu."

   "Sori, Cit. Gue nggak bisa jemput elo pagi ini. Telat bangun."

   "Nggak papa. Berangkat sendiri juga bisa."

   "Berani, kan?"

   Suara Reinald langsung terdengar cemas. Cowok itu tidak menyadari bahwa ketakutan itu sebenarnya hanya milik dirinya sandiri.

   "Berani. Emang kenapa? Dulu-dulu gue juga berangkat sendiri."

   "Ya udah kalo gitu. Ati-ati di jalan, ya?"

   "Iya."

   "Kontak gue kalau ada apa-apa."

   "Iya."

   "Kalau bus penuh jangan paksa berdiri deket pintu. Bahaya."

   "Iyaaa. Aduuuh!"

   Citra jadi kesal.

   "Ntar gue nggak berangkat-berangkat nih."

   Reinald mengakhiri pembicaraan, karena ia sendiri juga belum apa-apa.

   "Oke deh. Sampe ketemu di seko...."

   "Oke. Daaah!"

   Citra buru-buru memotong dan menutup telepon.

   Sesaat Reinald mengerutkan kening, kemudian tersenyum.

   Diletakannya ponsel di meja lalu buru-buru berlari ke luar setelah menyambar handuk.

   *** Citra melangkah ke luar rumah dengan perasaan gembira.

   Setelah berhari-hari selalu berada dalam pengawasan dan pengawalan ketat Reinald, bisa sendirian rasanya merdeka banget.

   Langkah-langkah ringan Citra menelusuri trotoar menuju halte melambat saat ia melewati sebuah rumah.

   Ada suasana duka terasa di rumah itu.

   Yang jelas, kematian itu bukan menimpa keluarga ini.

   Mungkin salah satu sanak saudara mereka, karena sama sekali tidak terjadi kesibukan di rumah itu.

   Hanya samar-samar terdengar isak tangis dari dalam.

   Sepertinya mereka sudah siap berangkat menuju tempat duka, karena di halaman telah terparkir sebuah sedan biru dengan mesin menyala.

   Di dasbornya ada sebuah buket bunga bertuliskan "TURUT BERDU..."

   Sisanya tidak terbaca karena tertutup bunga, tapi sudah bisa dipastikan apa bunyi kalimat lengkapnya.

   Citra sudah akan meneruskan langkahnya saat seseorang menabraknya dari arah jalan raya.

   Cowok.

   Dia membawa buket bunga juga.

   Tabrakan itu cukup keras hingga membuat Citra terhuyung.

   Cewek itu nyaris jatuh kalau tidak cepat-cepat menyambar tiang listrik terdekat dengan kedua tangan.

   Cowok itu juga terhuyung nyaris jatuh.

   Buket bunga di tangannya terlepas dan terlempar ke trotoar tanpa bisa dicegah.

   Citra menatap terbelalak saat melihat buket bunga itu menghantam kerasnya trotoar sehingga beberapa tangkai bunganya patah.

   Citra melepaskan kedua tangannya yang tanpa sadar masih memegangi tiang listrik.

   Cepat-cepat dihampirinya buket bunga itu.

   Ia hendak memungutnya agar tidak semakin banyak bunga yang rusak, tapi cowok itu sudah lebih dulu bergerak.

   Baru saja Citra akan mengulurkan tangan, sebuah tangan sudah terulur lebih dulu, menyambar bunga naas itu dari trotoar.

   "Maaf, ya,"

   Ucap Citra lirih, jadi merasa bersalah juga.

   "Bukan salah lo,"

   Jawab cowok itu singkat, lalu bergegas pergi sebelum Citra sempat menatap wajahnya.

   Gerakan cowok itu yang cepat dan tiba-tiba membuat tangkai bunga yang membentur trotoar tadi akhirnya benar-benar patah dan terlepas dari buketnya.

   Bunga itu terjatuh, tanpa cowok itu menyadarinya.

   Refleks, Citra mengulurkan kedua tangannya.

   Bunga itu jatuh di sana.

   Di tengah kedua telapak tangan Citra yang terbuka.

   Mawar yang masih kuncup.

   Warnanya putih.

   Warna mawar yang paling disukai Citra.

   Citra menengadahkan muka, akan memanggil cowok itu, namun batal karena cowok itu sudah sampai di teras dan tak lama menghilang masuk ke rumah lewat pintu depan yang terbuka.

   Citra hanya sempat melihat sekilas punggung dan bagian belakang tubuh yang lumayan tinggi itu.

   Setelah sempat tercenung beberapa saat, Citra mengedikkan bahu.

   Ditatapnya kuncup mawar di telapak tangannya itu.

   "Ya udah. Buat gue aja deh,"

   Ucapnya ringan, kemudian diteruskannya langkah kakinya menuju halte. Selama di dalam bus, sepanjang perjalanan menuju sekolah, Citra terus memandangi kuncup mawar di tangannya itu.

   "Cantik banget,"

   Gumamnya.

   Satu senyum kecil muncul di bibirnya.

   Sesampainya di kelas, Citra meletakkan kuncup mawar itu di meja, beralaskan selembar tisu.

   Sementara itu, begitu bus sampai di halte tujuan, Reinald langsung melompat turun, bahkan sebelum bus benar-benar berhenti.

   Cowok itu kemudian berlari menuju sekolah.

   Kecemasan itu semakin pekat, tapi tetap tanpa penjelasan hingga membuat Reinald seakan gila dan ingin berteriak sekeras-kerasnya.

   "Ada apa sih sebenernya!?"

   Begitu sampai di ambang pintu kelas, Reinald langsung mencari-cari sosok Citra.

   Cewek itu ada di bangkunya.

   Kepalanya menunduk, serius dengan sesuatu yang sedang disalinnya.

   Pasti PR bahasa Inggris.

   Namun kali ini Reinald tidak peduli lagi dengan kebiasan jelek Citra itu.

   Biarlah.

   Biar saja dia menyalin PR di sekolah.

   Biar saja dia cerewet, bawel, dan kadang celotehnya yang ramai itu bikin kesal dan sakit kuping.

   Biar saja dia suka iseng dan sering bikin orang pengin marah.

   Biar.

   Yang penting dia nggak apa-apa.

   Reinald menarik napas panjang.

   Lega melihat Citra baik-baik saja.

   Sekaligus melegakan paru-parunya yang sedari tadi terasa sesak.

   Cowok itu kemudian memasuki kelas menuju bangkunya dengan langkah lambat.

   Sedikit menyantaikan kedua kakinya yang tadi berlari dari halte.

   "Pasti nyalin PR..."

   Mulut Reinald masih terbuka, tapi kalimatnya tidak selesai.

   Langkahnya terhenti mendadak.

   Tubuhnya lalu menegang di samping meja.

   Dua manik matanya tertancap lurus-lurus ke satu titik.

   Ada gelombang dahsyat ketidakpercayaan dan penolakan atas apa yang saat ini ada di depan matanya.

   Kuncup mawar itu! Kuncup mawar itu adalah bunga yang paling dikenali Reinald.

   Bunga yang paling diingatnya dari semua bunga yang pernah dilihatnya.

   Dan tidak akan pernah bisa ia lupakan sampai mati nanti.

   Satu-satunya bunga yang terlepas dari buketnya saat kecelakaan itu terjadi.

   Tergenggam erat di satu tangan Ronald.

   Bunga itu lalu diberikan oleh Reinald kepada Citra, agar cewek itu menyimpannya, biar menjadi kenangan Ronald pada gadis yang dicintainya.

   Tapi itu sudah lama berlalu.

   Dan seharusnya mawar itu sudah mengering.

   Namun mawar itu sekarang ada di sini, dan masih tampak segar.

   Ada di sini...

   Di dekat Citra! Ternyata inilah penjelasan dari kecemasan pekat yang muncul mendadak kemarin siang itu.

   Kecemasan yang sekarang sudah menghilang karena sudah menjelma menjadi rasa takut.

   Rasa takut itu membuat Reinald tidak berada lagi dalam posisi seratus persen sadar, saat kemudian disambarnya kuncup mawar itu.

   "Eeeeeh!"

   Citra sudah akan merebut bunga itu tapi urung begitu dilihatnya kondisi Reinald. Tertegun ditatapnya cowok itu. Sepasang matanya yang menyorot tajam sarat dengan ketakutan.

   "Dari mana lo dapet ini!?"

   Bisikan Reinald seperti datang dari tempat yang sangat jauh.

   "Mmm..."

   Citra jadi tergagap.

   "Citra, dari mana lo dapet ini!?"

   Bisik Reinald lagi. Kedua rahangnya terkatup rapat.

   "Ng... itu... dari nemu."

   "Di mana?"

   "Itu... tadi gue ditabrak cowok,"

   Citra menjelaskan dengan suara terbatabata, karena Reinald masih menikamnya dengan tatapan tajam yang sarat ketakutan itu.

   Citra tidak mengerti tatapan Reinald itu, tapi membuatnya takut.

   Meskipun cerita yang didengarnya terputus-putus, meskipun tidak mendengarkan dengan kesadaran penuh, Reinald bisa memastikan satu hal.

   Citra telah bertemu Ronald......

   BAB 17 KUNCUP mawar itu akhirnya menghentikan semua perlawanan Reinald.

   Orang yang dihadapinya muncul dari ketiadaan.

   Dia maya.

   Dia abstrak.

   Dan kemungkinan besar, dia memang tidak akan bisa dikalahkan.

   Kini, setiap kali Reinald menatap Citra, ada perasaan hubungan ini tidak selamanya.

   Akan ada hari terakhir, kemundian cewek itu takkan lagi dilihatnya.

   Sama sekali.

   Sama seperti kini ia tak lagi melihat Ronald.

   Reinald menghela napas.

   Panjang dan berat.

   Sebenarnya ia tidak ingin pasrah, tapi ia tidak tahu apa yang bisa dilakukan.

   "Tinggal ngitung mundur aja,"

   Ucapnya dengan suara serak. Ditatapnya Andika yang siang ini sengaja menjemputnya karena khawatir. Andika menatap Reinald dengan nelangsa.

   "Lo yakin?"

   Tanyanya pelan.

   "Gue rasa karena selama ini elo terus di sebelah Citra. Lo awasin dia sampe begitu. Kalo lo lepas dia, mungkin..."

   "Percuma! Kalo gue lepas dia, nanti pasti ada cowok lain yang deketin dia. Sama saja."

   Reinald menggeleng lemah.

   Andika terpaksa mengakui kebenaran kata-kata itu.

   *** Hanya tinggal menghitung mundur....

   Sepasang mata Reinald menatap nanar kegelapan di sekelilingnya.

   Kamarnya gelap gulita, juga di luar sana.

   Listrik padam dan satu-satunya cahaya yang terlihat olehnya hanya sebatang lilin yang menyala di rumah tetangga.

   Di balik tirai, cahaya itu begitu buram dan tidak menerangi apa-apa.

   Buram....

   Dan jauh....

   Seperti itu yang terlihat olehnya sekarang.

   Citra dan hari-hari mereka harus ditinggalkannya.

   Harus dilupakan.

   Semua yang pernah terjadi.

   Semuanya.

   Reinald mengerti, Citra memang milik Ronald.

   Karena itu ia ikhlas berdiri di tempatnya sekarang, yang dulu adalah tempat Ronald.

   menjaga Citra.

   Tidak lebih dari itu.

   *** Hanya menjaga Citra.

   Satu kalimat pendek, namun berat karena Reinald harus mematikan hatinya.

   Cowok itu memutuskan untuk melakukan dengan cepat.

   Dratis.

   Karena mati dengan cara cepat lebih baik daripada mati pelan-pelan.

   Begitu memutuskan itu, Reinald langsung mengontak Citra, mengatakan besok pagi ia tidak bisa menjemput.

   Reinald juga mengatakan ia tidak bisa lagi mengantar dan menjemput setiap hari.

   Hanya bisa sekali-sekali.

   "Kenapa?"

   Ada nada kaget di dalam suara Citra. Reinald mengatakan alasan yang paling masuk akal yang bisa ia temukan.

   "Gue capek. Tiap hari kudu bangun lebih pagi. Trus pulangnya udah sore. Rumah lo kan lumayan jauh, Cit."

   "Oh? Iya sih."

   "Nggak apa-apa kan berangkat sendiri?"

   "Nggak apa-apa. Santai aja."

   "Sip kalo gitu."

   Reinald meletakan telepon.

   Kedua matanya perlahan terpejam.

   Kalau Ronald bisa memberikan Citra kuncup mawar itu, Ronald pasti juga bisa menjaganya.

   Alasan Reinald memang masuk akal, karena itu Citra tidak berpikir apa-apa sampai kemudian ia mendapati Reinald menjadi orang yang benar-benar berbeda, yang nyaris tidak dikenalnya.

   Reinald tidak hanya tak pernah lagi menjemput dan mengantarnya pulang.

   Cowok itu juga menjaga jarak.

   Setiap kali Citra akan meraih lengannya -satu tindakan yang kerap dilakukan Citra tanpa sadar karena telah terbiasa-reaksi Reinald adalah menjauh seketika.

   Cowok itu berusaha keras agar Citra tidak dapat menyentuhnya.

   Setelah itu Reinald akan berpura-pura itu tidak terjadi.

   Seakan-akan penolakan itu dilakukannya tanpa sadar.

   Reinald telah menciptakan jarak.

   Tinggal Citra yang kebingungan.

   Ia ingin bertanya, tapi urung.

   Malu.

   Keanehan Reinald yang lain yaitu cara kedua matanya menatap Citra.

   Terkadang, Reinald menatap dengan sorot seakan Citra jauh di batas horizon sana, bukan di depan matanya.

   Terkadang, cowok itu menatap dengan sorot sedih dan putus asa.

   Namun untuk satu hal ini, Reinald tidak berusaha menyembunyikannya.

   Ia tidak bisa mengelak setiap kali Citra memergoki tatapannya.

   Untuk satu keanehan ini, Citra berani bertanya.

   "Lo kenapa sih?"

   Namun jawaban Reinald juga tidak berarti apa-apa untuknya.

   "Nggak apa-apa. Cuma pengin ngeliatin elo aja. Nggak apa-apa, kan? Atau nggak boleh juga?"

   Kening Citra sontak mengerut rapat. Sementara kedua matanya yang menatap Reinald jadi menyipit. Cuma itu reaksi yang bisa ia berikan. Keanehan Reinald yang lain lagi-lagi membuat Citra tidak tahu harus memberikan reaksi apa.

   "Cit, lo tuh manis, ya? Bandel, tapi manis."

   Citra tertegun. Reinald tengah menatapnya. Dengan sorot putus asa itu. Namun kini sorot itu seakan menembusnya.

   "Lo kenapa sih?"

   Citra bertanya lirih.

   Lagi-lagi ia mengajukan pertanyaan yang itu-itu juga, karena ia tidak tahu bentuk bentuk pertanyaan bagaimana yang bisa mendapatkan jawaban.

   Blur tidak apa-apa, daripada gelap sama sekali.

   Namun lagi-lagi, jawaban Reinald tidak memberikan penjelasan apa pun.

   "Nggak apa-apa. Cuma pengin ngomong gitu aja. Nggak apa-apa, kan? Atau nggak boleh?"

   Lama-lama Citra juga jadi ikut putus asa, dan akhirnya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Reinald padanya.

   Menjauh.

   Mencipta jarak.

   Citra malu bicara terus terang, apalagi mencecar seperti saran Loni.

   Karena kalau diingat-ingat, Citra dan Reinald dekat tanpa komitmen apa-apa.

   Tanpa ungkapan apa pun.

   Tanpa pernyataan.

   Dekat begitu saja, lalu merasa nyaman satu sama lain.

   Akhirnya Citra sampai pada kesimpulan bahwa mungkin Reinald ingin di antara mereka tidak ada hubungan apa-apa.

   *** Esok paginya,saat berjalan dari halte ke sekolah, sendirian, Citra masih merenungkan hal itu.

   "Ya udah. Mau gimana lagi?"

   Desisnya lirih.

   Cewek itu menghela napas tanpa sadar.

   Ditelusurinya trotoar dengan langkah lambat dan kepala tertunduk.

   Sekarang berangkat ke sekolah jadi sesuatu yang membuat sedih.

   Di mana-mana terasa sepi.

   Muram.

   Kosong.

   Bahkan di saat kelas ingar-bingar karena cowok-cowok di bangku belakang bikin ulah, Citra merasa keramaian itu jauh di tempat lain.

   Kalau ada bangku yang kosong karena penghuninya tidak masuk, di mana pun posisinya, Citra pasti akan langsung pindah.

   Toh tidak ada bedanya, di mana-mana terasa sepi dan sedih.

   Cewek itu juga tidak lagi bersemangat melakukan keisengan.

   Sudah tidak ada lagi orang yang akan melindunginya kalau ia dapat masalah gara-gara keisengannya itu.

   Reinald menyaksikan semua perubahan Citra itu.

   Walaupun itu sudah diduganya, tak urung dia terpukul juga.

   Namun ia tidak bisa apa-apa selain tetap berdiri di tempatnya.

   Perubahan dratis keduanya sudah pasti membuat bingung seisi kelas.

   Reinald-Citra mungkin memang pasangan paling unik.

   Paling membingungkan.

   Waktu baru jadian, hebohnya minta ampun.

   Sebentar-sebentar berantem.

   Sebentar-sebentar ribut.

   Tapi begitu bubaran, adem ayem.

   Sepi, tanpa sedikit pun huru-hura.

   Kebalikan dari pasangan pada umumnya.

   Meskipun begitu, semua bisa melihat kesedihan keduanya.

   Citra berusaha melarikan diri, dan Reinald tetap di tempatnya.

   Mendung yang muncul sejak pagi membuat udara hari ini terasa lebih sejuk.

   Namun bagi Citra, mendung cuma membuat hatinya tambah nelangsa.

   Ia kangen banget sama Reinald.

   Kangen sama cowok yang hanya duduk setengah meter darinya itu, kangen sama suaranya saat berbicara pada siapa pun juga, kangen sama setiap gerak tubuhnya yang tertangkap oleh ekor mata.

   Saat suasana kelas sedang hening, ingin sekali Citra menoleh ke sebelah.

   Takut Reinald ternyata sudah nggak ada.

   Namun saat jam istirahat, jam kosong, atau saat-saat bebas lainnya, terpaksa cowok itu dijauhinya.

   Soalnya ia nggak tahu mau ngomong apa.

   Reinald sekarang udah nggak asyik lagi buat diajak ngobrol.

   Jawabannya pendek-pendek, kadang malah sekenanya.

   Sering juga dia nggak ngomong apa-apa.

   Cuma mendengarkan dengan diam, dan menatapnya dengan sorot yang kadang sedih, putus asa, atau nggak fokus itu.

   Pokoknya nggak jelas dan bikin bingung, serta akhirnya membuat Citra seperti ini.

   Putus asa juga.

   Menjelang siang, mendung bertambah pekat dan berubah menjadi hujan lebat.

   Citra menatap tetes-tetes air itu dengan perasaan yang semakin nelangsa lagi.

   Reinald masih di sebelahnya, tapi rasanya sepi banget.

   Sedih.

   Kosong.

   Tak lama menjelang bel pulang, hujan berhenti.

   Perasaan Citra tidak berubah menjadi lebih baik.

   Sebentar lagi ia akan mendengar kalimat yang mulai akrab di telinganya akhir-akhir ini.

   Ucapan perpisahan Reinald.

   "Gue duluan ya, Cit. Ati-ati di jalan."

   Lima menit setelah bel pulang berbunyi, Citra berjalan pelan ke arah gerbang.

   Sendiri.

   Hujan lebat tadi telah menciptakan kubangan air kotor di depan trotoar sekolah.

   Mendadak keinginan itu muncul.

   Ngisengin orang, ah.

   Kali aja bikin gue jadi bahagia dikit.

   Gila, udah lama banget gue nggak ngusilin orang, ujar Citra dalam hati.

   Keinginan itu kemudian memang memberinya sedikit kegembiraan.

   Cewek itu melangkah menuju gerbang sekolah dengan perasaan yang jauh lebih ringan.

   **** Andika sedang merapikan rak bukunya, saat matanya tertumbuk pada sebuah komik yang tergeletak di rak paling atas.

   Dengan perasaan heran diambilnya komik tersebut.

   Ia langsung ingat, komik itu dibawa Ronald saat datang ke rumahnya untuk pinjam motor.

   "Pinjem motor lo bentar, Dik. Mau jemput adik gue sekalian mau ngeliat Citra. Udah tinggal tiga hari nih, dia pake putih-biru."

   Andika masih ingat dengan jelas. Begitu ia serahkan kunci motor, Ronald langsung berlari ke luar sambil berseru.

   "Titip komik, ya? Di dalemnya ada fotonya Citra tuh!"

   Andika tersentak.

   Tidak perlu mencari di anatara halaman-halaman komik, karena foto yang diselipkan itu sudah membentuk sedikit celah.

   Andika menarik keluar foto itu.

   Seketika kenangan itu datang.

   Memunculkan rasa sedih, juga kangen yang menyakitkan.

   Foto ini diambil di hari ia menemani Ronald ke sekolah Citra.

   Dihari ketika dilihatnya cewek itu untuk yang pertama kali.

   Diambil sesaat sebelum momen satu-satunya itu terjadi.

   Ketika itu Ronald memutuskan untuk mengejar Citra, menemaninya berlari kemudian melindunginya.

   Momen ketika akhirnya mereka saling menyebutkan nama.

   Andika menghela napas.

   Tatapannya meredup.

   Masih bisa diingatnya dengan jelas wajah bahagia Ronald saat itu, dan celotehan ramainya di sepanjang perjalanan pulang.

   Kembali Andika menghela napas.

   Disisipkannya lagi foto itu di antara halaman-halaman komik, lalu diletakkannya komik itu di atas meja.

   Cover depannya yang sedikit tersibak memperlihatkan pemilik sah komik tersebut.

   Ia meraih kembali komik itu dan membuka halaman pertamanya.

   Ternyata itu milik Reinald.

   Bukan hal yang mengherankan, mengingat Ronald dan Reinald sama-sama penggila komik.

   Keterbatasan dana membuat keduanya lalu melakukan kesepakatan.

   Masing-masing akan membeli judul yang berbeda, kemudian saling meminjam.

   Andika langsung memutuskan akan mengembalikan komik itu besok siang.

   Kalau ditunda, takutnya malah lupa.

   Cowok itu berjalan ke luar kamar dan menuju meja telepon.

   Dikontaknya Reinald.

   Setelah berbasa-basi menanyakan kabar, Andika mengatakan maksudnya.

   "Besok siang ketemu ya, Ren. Mau balikin komik lo sama ngobrol bentaran."

   "Komik yang mana?"

   "Yang waktu itu dibawa Ronald ke rumah gue trus ketinggalan."

   "Oh. Oke." *** Hari ini udara terasa sejuk, karena mendung sudah membayang sejak pagi. Dua jam menjelang bel berbunyi, mendadak langit menjadi sangat pekat dan turun hujan lebat. Andika menatap tetes-tetes air itu, mempertimbangkan untuk membatalkan rencananya ke sekolah Reinald. Namun lima belas menit menjelang bel, mendadak hujan berhenti sama sekali. Begitu bel pulang berbunyi, Andika segera bangkit dan berjalan ke luar kelas. Dianggukkan kepala pada guru mata pelajaran terakhir, yang masih sibuk mengemasi buku dan kertas-kertasnya. Ia meminta maaf dengan senyum karena keluar kelas lebih dulu. Dua puluh menit kemudian, karena menumpang mobil seorang teman, Andika sudah sampai di tujuan, di sebuah warung makan merangkap toko stationery di seberang sekolah Reinald. Setelah memilih bangku dan memesan minuman, Andika mengirimkan SMS pada Reinald, memberitahukan dirinya sudah di tempat. Sambil menunggu kedatangan Reinald, Andika memperhatikan gedung sekolah di depannya. Tatapannya lalu beralih ke trotoar di depan gedung itu. Hujan yang cuma sesaat tapi sangat lebat telah memenciptakan genangan air kotor di beberapa tempat di depan trotoar itu. Tak lama Reinald datang. Sendirian.

   "Di mana Citra?"

   Tanyanya. Reinald mengedikkan bahu.

   "Tadi sih ada,"

   Jawabnya sambil lalu. Andika jadi menyesal telah mengucapkan pertanyaan yang maksudnya hanya untuk basa-basi itu, karena ia sudah tahu perkembangan terakhir hubungan Reinald dan Citra.

   "Itu Citra!"

   Desis Andika tiba-tiba sambil menunjuk ke seberang jalan.

   "Panjang umurnya tuh anak!"

   Reinald menoleh.

   Dilihatnya Citra berjalan sendirian menuju gerbang dengan langkah-langkah santai.

   Cara Citra berjalan dan ekspresi wajahnya yang tampak wajar, cenderung polos malah, tanpa sadar membuat Reinald waspada.

   Walaupun kini mereka telah saling asing, Reinald terlalu mengenal cewek itu.

   "Sori, Dik. Ngobrolnya ditunda dulu, ya."

   Reinald memutar kursi yang ia duduki.

   Kini cowok itu duduk membelakangi Andika, menghadap ke jalan raya.

   Andika jadi mengerutkan kening melihat tingkah Reinald, dan perhatiannya jadi ikut tertuju pada Citra.

   Sementara itu, masih dengan langkah santai dan ekspresi biasa-biasa saja, Citra menghampiri kerumunan teman-teman sekelasnya yang sedang berdiri di tepi trotoar, menunggu jemputan atau bajaj kosong yang lewat, atau menunggu orang yang akan bersama-sama berjalan ke halte bus.

   Tiba-tiba, dengan gerakan yang begitu cepat dan tidak terduga, Citra melompat ke tengah genangan air kotor, tepat di depan kerumunan temantemannya.

   Tak ayal, cipratan air kotor melayang ke segala arah.

   Mendarat di baju, tas, tangan, kaki dan semua objek yang berada tepat dijalur cipratannya.

   Seketika terdengar pekikan dan jeritan keras.

   "CITRAAA.....!!!!"

   Sambil terkikik, Citra langsung mengambil jurus langkah sejuta.

   Langkah seribu sih masih kurang cepat.

   Cewek itu berlari secepat-cepatnya.

   Terbiritbirit meninggalkan tempat itu.

   Para korban keisengannya jelas tidak tinggal diam.

   Mereka berlari mengejar, sambil menjerit dan berteriak-teriak.

   Melontarkan ancaman dan sumpah serapah.

   "Bener, kan!?"

   Desis Reinald dan segera bangkit berdiri.

   "Bentar, Dik!"

   Ditepuknya bahu Andika tanpa menoleh, dan cowok itu langsung berlari keluar dari warung makan.

   Sesaat Andika cuma bisa terkesima melihat peristiwa itu.

   Namun sedetik kemudian ia tertegun saat menyadari peristiwa yang sama pernah terjadi.

   Dulu sekali.

   DEjA vu! Tanpa berpikir lagi, Andika segera ikut berdiri dan berlari keluar.

   Disusulnya Reinald.

   Di dalam kepalanya berkelebat peristiwa lampau, dan tanpa sadar ia membandingkannya dengan apa yang saat ini sedang terjadi di depannya.

   Citra melakukan keisengan yang persis sama.

   Akibatnya juga persis sama.

   Cewek itu dikejar-kejar para korban keisengannya.

   Dulu Ronald berlari mengejar Citra.

   Kini Reinald juga berlari untuk mengejar cewek yang sama.

   Bedanya, Reinald berlari di bawah bayang-bayang pepohonan atau lindungan mobil-mobil yang terparkir di pinggir jalan.

   Dulu Ronald berlari menyebrangi jalan tepat di pertigaan untuk menghadang Citra.

   Kini Reinald juga melakukan hal yang pasti akan persis sama.

   Dugaan Andika tepat.

   Di depan mereka ruas jalan bercabang tiga.

   Setelah sesaat menengok ke belakang untuk meyakinkan Citra sudah tertinggal jauh di belakangnya, Reinald berlari menyeberang dan langsung berbelok.

   Andika segera menyusulnya.

   Mendadak Reinald berhenti berlari.

   Andika seketika juga menghentikan larinya, dan menghentikan dugaan-dugaan di kepalanya.

   Reinald mengamati pepohonan peneduh jalan tidak jauh di dekatnya, lalu menghampiri salah satunya dengan langkah cepat.

   Batang pohon itu lumayan besar dan ada semak-semak rimbun di kakinya.

   Kemudian Reinald berdiri menunggu, di balik batang pohon itu, di sisi yang tidak terlihat dari arah tikungan tempat Citra akan muncul nanti.

   Andika berdiri mematung.

   Ia menyadari betapa miripnya jalinan peristiwa ini dengan peristiwa lain yang pernah terjadi.

   Setelah beberapa detik tubuh Reinald hilang di balik batang pohon, Andika tersadar.

   Ia segera menghampiri Reinald.

   Reinald menyambutnya dengan meletakan satu telunjuk di bibir, sambil tersenyum, lalu menunjuk ke seberang dengan dagu.

   Ini sedikit berbeda.

   Hanya sedikit.

   Andika mengangguk mengerti.

   Tak lama Citra muncul dari tikungan.

   Masih berlari secepat-cepatnya.

   Napasnya terengah, namun bibirnya meringis geli.

   Juga kedua matanya.

   Kilatan tawa itu muncul jelas-jelas di sana.

   Andika tertegun.

   Ada sesuatu yang terasa luruh di dalam dadanya.

   Ekspresi itu juga masih ekspresi yang sama.

   Reinald yang juga mendengar suara orang berlari dan sudah menduga itu pasti Citra, segera bersiap-siap.

   Ia menegakkan tubuh.

   Sesaat menjelang Citra akan melewati pohon yang jadi tempatnya bersembunyi, Reinald mengulurkan tangan kanannya dengan gerakan tiba-tiba.

   Ia menangkap tubuh Citra dan menariknya ke semak-semak rimbun di dekat pohon.

   Citra kaget dan seketika berontak, tapi langsung diam begitu didengarnya suara bisikan.

   "Sst! Ini gue!"

   Sambil menarik Citra ke tengah rerimbunan semak, Reinald menoleh ke arah Andika dan mengingatkan pesannya tadi dengan bahasa isyarat.

   Andika mengangguk sambil tersenyum.

   Senyum yang dipaksakan karena tak lama kemudian senyum itu menghilang tanpa sisa.

   Sepasang mata Andika berubah nanar.

   Menyaksikan apa yang terjadi tidak jauh dari tempatnya berdiri.

   Reinald dan Citra merunduk dalam-dalam di balik semak.

   Karena tidak bisa menahan tawa, dengan gemas Reinald terpaksa memeluknya dengan tangan kiri.

   Sementara tangan kanannya membekap mulut cewek itu kuat-kuat.

   Tiba-tiba Andika terpaku.

   Tubuhnya membeku saat menyadari sesuatu.

   Persamaan setting tempat, persamaan situasi.

   Usai jam sekolah, hujan yang baru saja reda meninggalkan genangan air kotor di depan trotoar sekolah.

   Citra melakukan keisengan.

   Menciprtatkan genangan air kotor itu ke arah temantemannya, lalu terbirit-birit untuk menyelamatkan diri! Dulu, Ronald berlari mengejar untuk melindungi Citra.

   Dan kini ganti Reinald yang melakukannya! Namun ada perbedaan ending! Dulu Ronald hanya bisa melindungi Citra dengan berdiri untuk menutupi.

   Tidak bisa lebih.

   Sementara kini, Reinald tidak bisa hanya seperti itu karena Citra mengenalinya.

   Andika tersentak dari keterpakuannya saat didengarnya suara-suara orang berlari dan tak lama kemudian beberapa cewek muncul di tikungan.

   Seragam sekolah mereka penuh bercak cokelat.

   Enam atau tujuh cewek itu, semuanya teman sekelas Citra, berlari sambil mengomel.

   Mereka berhenti tidak jauh dari Andika, lalu memandang berkeliling.

   Mencari-cari.

   Masih sambil marah-marah.

   "Si Citra tuh iseng banget deh. Heran! Tu anak kalo nggak ngisengin orang sebentar aja langsung mati, kali ya?"

   "Tapi sekarang isengnya dia nggak lucu. Pasti abis deh ntar gue diomelin nyokap nih. Rok gue sampe kotor banget gini."

   "Kalo sampe ketangkep, bakalan gue celupin tu anak di kubangan air tadi. Sumpah!"

   Andika buru-buru bertindak, karena salah satu cewek sudah bergerak mendekati semak tempat Reinald dan Citra bersembunyi.

   "Nyari cewek yang lari sambil ketawa-ketawa, ya?"

   Tanyanya.

   "Iya!"

   Langsung terdengar jawaban kompak.

   "Tadi lari ke seberang."

   Andika menunjuk ke seberang jalan. Ke arah kompleks perumahan. Tanpa berpikir lagi, cewek-cewek itu langsung berlari ke seberang jalan begitu lalu lintas di depan mereka sepi.

   "Makasih, kak!"

   Seru mereka bersamaan.

   "Oke!"

   Andika balas berseru, sambil menahan senyum. Begitu keadaan sudah benar-benar aman, dia berseru ke arah semak-semak.

   "Oke, aman!"

   Reinald keluar dari semak, menggandeng Citra yang mukanya memerah karena menahan tawa. Reinald lalu menegurnya dengan nada kesal.

   "Elo isengnya kadang suka kelewatan deh, Cit. Baju mereka sampe kotor gitu."

   "Alaaah, direndem sebentar trus dicuci juga ilang,"

   Citra menjawab ringan.

   "Ya udah. Lo cucian gih sana!"

   Reinald melotot gemas.

   "Hehehe."

   Citra menyuarakan tawanya dalam bentuk tiga suku kata, tapi langsung didusul tawa yang benar-benar geli.

   Rasanya ingin sekali Reinald menjitak kepala Citra.

   Rasa asing di antara mereka dengan cepat mencair.

   Keduanya kembali seperti sebelum Reinald memutuskan untuk menjauh.

   "Yuk, cabut, Dik. Keburu mereka nongol nanti,"

   Ajak Reinald.

   Ketiganya segera meninggalkan tempat itu, berlari cepat ke arah tikungan depan, menuju halte.

   Berlari di antara Reinald dan Andika, mendadak membuat Citra teringat kembali akan peristiwa yang dialaminya.

   Cewek itu tiba-tiba berhenti.

   Reinald dan Andika yang mengapitnya seketika menghentikan laju langkah-langkah cepat mereka.

   Citra berdiri di hadapan Andika.

   Ditatapnya cowok itu lurus-lurus.

   "Kayaknya dulu gue pernah lari bareng elo juga deh."

   Kata-katanya itu membuat kedua cowok di dekatnya membeku.

   "Iya, bener elo!"

   Citra mengangguk.

   "Trus, kayaknya ada cowok satu lagi deh."

   "Akhirnya lo inget juga."

   Suara Andika tersekat di tenggorokan.

   "Siapa ya nama tu cowok? Temen lo itu?"

   "Siapa? masih inget, nggak?"

   Suara Andika kini bergetar.

   "Mmm...."

   Citra mengerutkan keningnya. Sesaat kemudian ia menggeleng.

   "Coba tolong diinget-inget, Cit. Inget bener-bener."

   Andika benar-benar memohon.

   Sementara itu Reinald membeku di tempatnya berdiri.

   Kedua matanya yang menatap Citra lurus-lurus mulai berkabut.

   Inikah hari itu? Hari terakhir Ronald bertemu Citra, seperti yang ditulis Ronald di catatan hariannya? Citra mengerutkan keningnya lagi.

   Tampak jelas ia berusaha mengingat.

   Namun tak lama ia menyerah.

   "Nggak inget."

   Ia menggeleng.

   "Sama sekali?"

   "Iya."

   "Kalo tampangnya kayak gimana, masih inget, nggak?"

   Nada suara Andika mulai melemah.

   "Apalagi itu,"

   Jawab Citra sambil mengedikkan bahu dengan sikap santai.

   "Ah, udah ah. Ngapain dibahas sih? Nggak penting."

   Terputus! Andika merasa satu-satunya mata rantai yang masih menghubungkan cewek ini dengan Ronald telah terputus.

   Reinald juga merasakan hal yang sama, tapi dengan emosi yang membadai kedua arah yang berlawanan.

   Senang, tapi juga sedih.

   Lega, tapi sesak juga.

   Bersyukur, tapi menyesal.

   Ingin memeluk, namun sekaligus juga ingin melepaskan.

   Sesaat hanya ada keheningan.

   Reinald terdiam.

   Andika terdiam.

   Citra menatap keduanya dengan bingung.

   "Kok jadi pada diem? Kenapa sih?"

   Tanya Citra. Reinald dan Andika tersentak bersamaan. Keduanya lalu berusaha keras menetralkan emosi masing-masing.

   "Dik, katanya ada yang lo mau omongin?"

   Suara Reinald terdengar mengambang.

   "Besok-besok aja. Nggak terlalu penting."

   Suara Andika juga terdengar jauh. Saling pengertian yang tidak diucapakan.

   "Kalo gitu gue duluan ya. Mau ngaterin si tukang iseng nih."

   Reinald melirik Citra yang berdiri di sebelahnya.

   "Ntar keburu temen-temennya nongol, lagi."

   Citra terkikik geli. Tapi tak lama tawa itu menghilang.

   "Lo mau nganter gue pulang lagi?"

   Ditatapnya Reinald dengan heran.

   "Kemaren-kemaren gue disuruh pulang sendiri."

   "Udah, diem. Nggak usah cerewet. Gara-gara tadi, besok pagi kayaknya lo juga mesti gue jemput."Reinald melotot. Citra langsung terkekeh-kekeh geli. Terlihat jelas kegembiraan di wajahnya.

   "Asyiiiik. Besok selamet,"

   Katanya tanpa dosa. Dua cowok yang berdiri di dekatnya menatapnya dengan perasaan campur aduk.

   "Oke deh."

   Andika menepuk bahu Reinald.

   "Ntar gue kabarin lagi kalo mau ketemu."

   Mereka berpisah.

   Saat Reinald dan Citra sudah berjalan menjauh itulah Andika teringat kembali apa tujuannya menemui Reinald siang ini.

   Sambil mengeluarkan komik yang disisipi foto Citra, Andika mengejar keduanya.

   Namun tak lama langkahnya terhenti.

   Ia membatalkan niatnya.

   Kalau Citra melihat foto dirinya saat masih di SMP itu, pasti ia akan ribut bertanya.

   Saat ini Andika dan Reinald sudah terlalu letih untuk menjawab.

   Sambil menatap dua orang yang semakin jauh itu, Andika mengeluarkan foto Citra dari halaman komik.

   Tatapannya kemudian bergerak turun.

   Mendadak ia terkejut saat menyadari sesuatu.

   Dengan cepat diangkatnya kepala.

   Ditatapnya Citra, yang walaupun sudah berjalan cukup jauh tapi masih bisa dilihatnya dengan jelas.

   Tatapan Andika lalu kembali ke foto di tangannya, kemundian ke sosok Citra yang menjauh.

   Lalu sekali lagi kembali ke foto di tangannya.

   Tidak salah.

   Anting-anting yang sama, jam tangan yang sama, tas yang sama, ikat pinggang yang sama, kaus kaki yang sama dan sepatu yang sama! Bahkan saat ini Citra mengikat rambutnya dengan ikatan yang jadi ciri khasnya.

   asal-asalan.

   Satu-satunya yang tidak lagi ada di dalam foto itu adalah seragam putih-biru.

   Andika terpaku.

   Instingnya mengatakan, ini bukan kebetulan.

   Karena, ini terlalu sempurna.

   Perlahan Andika menyisipkan kembali foto itu ke tengahtengah halaman komik.

   Saat dimasukkannya ke tas, komik itu tersangkut di ritsleting.

   Lembaran-lembarannya terbuka tepat di halaman tempat foto Citra diselipkan, menampakan bagian belakangnya.

   Ada sebaris kalimat di sana.

   Seketika Andika batal memasukkan komik itu ke tas.

   Diambilnya lagi foto Citra lalu dibaliknya dengan cepat.

   Cowok itu terkesiap.

   Keterkejutannya yang teramat sangat membuat tubuhnya limbung.

   Cepat-cepat disambarnya dahan pohon terdekat.

   Sambil menyandarkan tubuh ke batang pohan yang kuat, ditekannya dadanya dengan satu tangan.

   Gemuruh jantungnya bahkan sanggup menggetarkan kelima jarinya.

   Diiringi kesadaran yang sepertinya sudah menurun jauh dari posisi seratus persen, tatapan Andika turun perlahan, ke foto Citra yang masih ada di tangannya.

   Tanpa sadar tangannya mencengkeram kuat.

   Sekali lagi dibacanya tulisan di balik foto, dengan kesadaran yang tidak lagi seratus persen itu.

   Kasih tau Reinald, gue titip Citra.

   BAB 18 MALAM itu, di kamar masing-masing, dua orang sama-sama dicekam satu perasaan yang tidak bisa mereka uraikan dengan kata apa pun yang pernah mereka kenal.

   Keduanya sama-sama duduk diam di depan jendela, memandang ke langit malam.

   Tidak bergerak.

   Hanya dada mereka yang bergerak teratur yang memberitahukan keduanya hidup, bukan patung lilin.

   "Ah, udah ah. Ngapain dibahas sih? Nggak penting."

   Kalimat yang diucapkan Citra siang tadi, bergema berulang kali di dalam tempurung kepala Reinald. Nggak penting.... Nggak penting.... Nggak penting.... Perlahan, kedua mata Reinald mengelam dan berkabut. Perlahan pula kepalanya kemudian tertunduk.

   "Maaf, Ron,"

   Bisiknya serak.

   *** Kalimat yang sama berdentam di kepala Andika.

   Berulang kali.

   Namun perlahan menghilang saat satu kalimat lain menyeruak pelan-pelan.

   Kasih tau Reinald, gue titip Citra...

   Perlahan, sorot mata Andika mengelam.

   Perlahan pula kepalanya kemudian tertunduk.

   "Lo bilang sendiri, Ron. Dia adik lo,"

   Bisiknya ke kegelapan malam. *** Reinald menatap satu baris kalimat itu sejak beberapa menit yang lalu. Tanpa bicara. Tanpa bergerak. Kepalanya terus menunduk karena Andika meletakkan foto Citra dengan posisi terbalik itu di atas meja.

   "Tulisan ini tadinya ada, nggak?"

   Suara Reinald terdengar samar.

   "Nggak tau. Gue nggak pernah balik-balik tu foto. Nggak kepikiran,"

   Andika menjawab pelan.

   "Kita tunggu apa kata Ronald."

   "Hah?"

   Kepala Reinald terangkat perlahan. Andika tertegun menatap wajah di depannya. Kesedihan, kerinduan, penyesalan. Semuanya terlihat jelas dan saling berperang.

   "Kita tunggu apa kata Ronald. Gue udah bilang, gue nggak mau ikutan. Ini urusan kalian berdua. Jadi dia yang harus ngomong."

   Andika memasukkan foto itu ke dalam laci meja belajar Ronald, tempat fotofoto Citra yang lain disimpan. Tiba-tiba terdengar bunyi bel, lalu suara pintu pagar dibuka dan ditutup kembali.

   "Citra udah dateng,"

   Ucap Reinald pelan.

   "Ngapain Citra ke sini?"

   "Mau belajar bahasa Inggris. Senin ulangan. Tu anak Inggris-nya parah banget. Makanya gue suruh ke sini."

   "Pantes lo nggak ikut nyokap-bokap lo. Pilih jaga kandang."

   "Bukannya pilih jaga kandang. Ikut juga percuma. Nggak bakalan enjoy. Senin ada ulangan dua. Berat-berat pula."

   Tak lama terdengar bunyi pintu depan diketuk.

   Namun tidak ada yang bergerak.

   Suasana di dalam kamar itu masih terasa begitu emosional, hingga keduanya merasa seperti terikat.

   Terdengar lagi pintu depan diketuk-ketuk, disusul suara Citra yang mengucapkan rentetan salam keras-keras.

   "HALOOO? PERMISIII! ASSALAAMU"ALAIK UM! SPADAAA! EXCUSE ME? TOK-TOK-TOK? SHALOM? KULONUWUN? PUNTEEEN!"

   Reinald dan Andika saling pandang lalu sama-sama tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. Keduanya berjalan ke luar kamar.

   "Iya, halo,"

   Kata Reinald sambil membuka pintu.

   "Satu aja cukup kali, Cit."

   "Maaf deh. Maksudnya supaya cepet dibukain, gitu. Soalnya gue aus banget nih. Bagi minum dong. Yang dingin ya. Trus gelasnya yang gede,"

   Citra langsung nyerocos.

   "Masuk dulu, kaliii."

   "Oke!"

   Cewek itu melompat masuk. Andika menatapnya, tak mampu menahan senyum.

   "Eh? Haiii!"

   Sapa Citra begitu melihat Andika.

   "Hai juga,"

   Balas Andika, masih sambil tersenyum.

   "Lo istirahat sebentar, trus kita langsung mulai ya? Biar lo pulangnya nggak kemaleman,"

   Kata Reinald sambil berjalan ke dapur.

   "Oke!"

   Citra mengangguk.

   Ia berjalan menuju sofa panjang, meletakkan tasnya di sana, lalu duduk dengan nyaman.

   Jam lima lewat lima belas, Reinald dan Citra siap-siap belajar.

   Andika menyingkir ke teras.

   Karena malam ini Reinald sendirian di rumah, Andika memutuskan untuk menginap dan pulang besok siang.

   "Setel radio dong. Kalo belajar suasananya sepi, gue malah cepet ngantuk."

   Citra merosot dari sofa, kemudian duduk bersila di lantai.

   Ia menghadap ke meja tamu yang rendah.

   Di atas meja buku cetak bahasa Inggris-nya sudah dalam keadaan terbuka.

   Reinald menggeser sofa panjang di belakang Citra sampai menempel di dinding agar tercipta ruang lapang, kemudian cowok itu berjalan ke dalam.

   Malas menggotong radionya yang besar dari kamar, dipinjamnya radio-tape kecil milik Bi Minah.

   "Radio apa?"

   "Apa aja. Yang penting penyiarnya asyik."

   Reinald memutar-mutar tunning. Tiba-tiba gerakan tangannya terhenti. Samar-samar ia mendengar lagu Glenn-Dewi, When I Fall in Love. Dibesarkannya volume.

   "Bosen, ah!"

   Citra langsung protes.

   "Ganti yang lain deh."

   Reinald tidak mengacuhkan.

   Intuisinya mengatakan sesuatu akan terjadi, karena jantungnya berdetak lebih detak tanpa sebab.

   Lagu itu berakhir.

   Suara sang penyiar, cewek, langsung menyusul.

   Dengan nada riang penyiar itu mengatakan di studio telah hadir seorang tamu yang khusus diundang atas permintaan pendengar.

   "Nih orang punya story yang waktu itu bikin terharu. Trus banyak yang minta dia cerita ulang. Makanya kami undang dia ke studio."

   Sang penyiar kemudian menambahkan bahwa selama setengah jam ke depan, hanya satu lagu itu yang akan diputar. Karena lagu itulah yang jadi lagu kenangan.

   "Oh iya,"

   Sambungnya.

   "Dia nggak mau ngasih tau nama aslinya. Malu, katanya. Takut ada yang ngenalin. Jadi di sini dia pake nama Tom. Oke? Yuk, kita dengerin sama-sama ceritanya."

   Tom! Nama itu menghantam Reinald seperti pukulan godam.

   Di teras Andika juga mendengarnya.

   Ia tersentak.

   Sesaat tubuhnya diam menegang, kemudian ia melompat berdiri dan berlari ke dalam.

   Melalui sebuah gelombang radio, dari suatu tempat entah di mana di luar sana.

   Seseorang bernama Tom memulai ceritanya.

   Dan suara itu....

   membekukan aliran darah Reinald dan Andika.

   Merenggut setengah kesadaran mereka.

   Menusuk tepat di pusat emosi keduanya, lalu merobeknya, hingga jubah berlapis yang selama ini mereka kenakan ketegaran, ketabahan, kesabaran, keikhlasan-semuanya terkoyak dan menampakan isi yang kesungguhannya.

   "Eh, itu cowok yang waktu itu!"

   Seru Citra, lalu meletakan buku yang sedang dipegangnya.

   "Gue apal suaranya. Gedein! Gedein!"

   Baik Reinald maupun Andika sama-sama tidak bergerak, jadi Citra mengulurkan satu tangann ya.

   "Kok sore-sore sih? Waktu itu kan malem? Asyiiiik, bisa dengerin cerita lengkapnya!"

   Katanya senang, tidak menyadari sesuatu telah menimpa kedua cowok yang saat ini berdiri di belakangnya.

   Ia besarkan volume radio.

   Suara volume yang diperbesar itu seolah menghadirkan Ronald kembali ke tengah-tengah Reinald dan Andika.

   Rasanya benar-benar tak bisa dipercaya, mereka bisa mendengar lagi suara Ronald.

   Sungguh-sungguh suara Ronald.

   Cowok yang mengaku bernama Tom itu menuturkan satu cerita yang baik Reinald maupun Andika terlibat di dalamnya.

   Cinta pertamanya.

   Pengamatannya.

   Penantiannya.

   Kecemasannya.

   Kesabaran sekaligus ketidaksabarannya.

   Dan harapannya.

   Namun, ternyata tidak hanya itu.

   Suara yang sudah sangat mereka kenal itu juga bercerita tentang sang adik.

   Satu-satunya saudara cowok yang dimiliki.

   Tentang tiada hari tanpa pertengkaran.

   Saling meledek, saling tuduh, saling berteriak, saling tendang, saling jotos, saling jitak.

   Dan biasanya pertengkaran itu berakhir dengan pemulihan fisik.

   Bisa di mana saja.

   Di sofa, di tempat tidur, di lantai, di ambang pintu, hingga membuat orang jadi susah lewat, bahkan di atas tanah dan rumput halaman.

   Sesaat cerita itu terputus oleh tawa.

   Kemudian suara itu melanjutkan bahwa gulat fisik itu bisa berlangsung cukup lama.

   Hingga mama mereka kemudian memanggil kedua anak laki-lakinya itu dengan panggilan "Tom and Jerry".

   Tokoh kucing dan tikus di film kartun yang jadi favorit mama sejak kecil sampai jadi mahasiswi.

   Tatapan Reinald mengabur.

   Cerita itu tervisualisasi di sana, di fokus matanya yang kini kembali ke hari-hari dulu itu.

   Dia dan Ronald.

   Beda usia mereka kurang dari dua tahun.

   Sejak kecil sampai saat-saat terakhir, Ronald hanya sedikit lebih tinggi darinya.

   Pertengkaran dan perkelahian mereka mulai berkurang setelah Ronald masuk SMP.

   Perbedaan seragam itu penyebabnya.

   Dengan seragam putih-biru, Ronald merasa sudah besar dan ogah lagi meladeni Reinald yang waktu itu masih berseragam putihmerah.

   Satu yang bisa dirasakan dengan jelas tidak hanya oleh Reinald, tapi juga oleh Citra dan Andika, kasih dan cinta dalam cara suara itu menuturkan ceritanya.

   Cowok itu menyayangi adiknya.

   Kontras dengan Citra -yang tertawa-tertawa geli saat mendengar bagian cerita yang lucu, mendesah pelan dengan kepala menggeleng ke samping, atau kedua tangan tertangkup di depan dada saat cerita berada pada bagian yang mengharukan-di kiri-kanannya, Reinald dan Andika membeku.

   Keduanya pucat pasi, menggigil dalam keterdiaman.

   Samar, kemudian terdengar lagi lagu When I Fall in Love.

   Kali ini lagu itu cuma sebagai latar, rupanya tanda bahwa Tom akan kembali berkisah tentang cinta pertamanya.

   Kali ini cowok itu tidak lagi menyebut "cewek gebetan gue", tapi langsung menyebutkan namanya.

   Bukan Citra, tetapi Devi.

   Nama lengkap Citra memang Citra Devi! Citra memekik, tapi tetap tidak tahu apa-apa.

   Hal itu malah membuat Reinald dan Andika merasakan sakit di dada kiri mereka, seakan ditikam.

   Namun puncak dari semua hantaman bertubi yang diterima keduanya di sore menjelang malam itu adalah saat Tom mengatakan bahwa...

   dia menyerahkan cinta pertamanya itu untuk sang adik! Seketika Reinald limbung.

   Dia terhuyung.

   Andika buru-buru menangkap tubuhnya lalu menopangnya dari belakang.

   Reinald benar-benar shock dan nyaris tak sadarkan diri.

   Andika yang tidak kuat menopang berat badannya, dengan hati-hati kemudian mendudukkan Reinald di lantai, di belakang Citra, agar cewek itu tidak tahu telah terjadi sesuatu.

   Citra memang tidak tahu, karena dia sedang mendengarkan dengan serius, dan cerita itu membuatnya semakin larut.

   Andika kemudian duduk bersila di sebelah Reinald.

   Tiba-tiba suara sang penyiar yang bernada riang itu menyeruak, mengatakan bahwa siapa pun yang ingin berinteraksi langsung dengan Tom, ada satu nomer telepon yang bisa dihubungi.

   Berinteraksi langsung!? Reinald dan Andika hanya mampu bereaksi dengan sisa-sisa kesadaran yang masih mereka miliki.

   Ini mimpi.

   Pasti mimpi.

   Satu-satunya mimpi tapi mereka bisa tetap sadar dan terjaga.

   Namun tetap saja, ini pasti cuma mimpi! Citra langsung ribut.

   "Pinjem telepon dong, Ren. Hp gue kayaknya pulsanya udah sekarat."

   Cewek itu meraih tasnya, mengeluarkan ponselnya, lalu mengecek pulsa.

   "Tinggal seribu!"

   Keluhnya.

   "Nggak cukup dong."

   Karena Reinald sama sekali tidak beraksi, Andika mengeluarkan ponsel miliknya dari saku kemeja.

   "Nih, pake punya gue aja,"

   Ucapnya pelan. Diulurkannya benda itu kepada Citra.

   "Makasiiih."

   Citra menerima tanpa menoleh. Langsung ditekannya sederet angka yang tadi disebutkan sang penyiar.

   "Halo? Ini Citra,"

   Katanya begitu telepon tersambung.

   "Hai, Citra."

   Melalui radio kecil di depan mereka, Reinald dan Andika bisa mendengar suara "Ronald"

   Melembut saat menjawab sapaan itu.

   "Hai jugaaa,"

   Citra menjawab penuh semangat. Radio kecil itu menggaungkan tawa geli.

   "Eh, nama gebetan lo itu kayak nama gue lho. Nama gue juga ada "Devi-nya!"

   Ucap Citra kemudian.

   "Gitu ya? Bagus deh. Seneng dengernya."

   "Kenapa sih elo nyerah gitu? Kenapa gebetan lo itu lo kasih ke adik lo?"

   Citra bertanya polos. Sama sekali tidak menyadari dampak pertanyaan itu terhadap Reinald. Keheningan yang menghancurkan hadir sebagai jawaban sementara.

   "Karena gue nggak bisa jaga dia,"

   Jawab "Ronald"

   Sesaat kemudian.

   "Emangnya lo kenapa?"

   Kejar Citra. Kembali keheningan yang menghancurkan tercipta. Reinald memejamkan kedua matanya. Citra, please, bisik hatinya pedih.

   "Soalnya gue harus pergi."

   "Jauh?"

   "Jauh banget."

   "Ke mana?"

   "Ke tempat cewek itu nggak bisa nyusul."

   "Ke mana tuh? Manusia paling jauh baru bisa sampe ke bulan tuh. Bisa disusul. Asal punya duit banyak. Dan gue jamin, lo nggak mungkin pergi ke sana. Pasti masih di bumi. Terdengar tawa geli "Ronald".

   "Di bumi itu banyak tempat yang nggak bisa disusul lho, Cit."

   Katanya lunak. Citra terdiam. Kemudian ia bicara dengan nada yang juga melunak.

   "Maaf deh. Bukannya gue mau ikut campur. Abis gue sedih nih dengernya."

   "Gue malah lebih sedih lagi."

   "Iya sih. Ya udah. Thanks ya ngobrolnya."

   "Sama-sama,"

   Jawab Tom lembut.

   "Baik-baik ya, Cit."

   "Iya."

   Citra mengangguk tanpa sadar.

   "Sekarang kasih teleponnya ke orang di sebelah kanan elo."

   "Iya."

   Citra menyerahkan telepon itu pada Reinald. Setelah benda itu berpindah tangan, baru cewek itu merasa heran. Bagaimana Tom bisa tahu ia tidak sendirian? Keherannya makin bertambah saat kemudian didengarnya percakapan itu.

   "Nggak ada yang mau lo omingin sama gue?"

   Tanya Tom. Reinald menelan ludah dengan susah payah.

   "Maaf, Ron,"

   Ucapnya serak. Hening. Keheningan yang membuat tubuh Reinald menggigil hebat.

   "Ron, maaf,"

   Bisiknya, dengan lebih susah payah, karena tenggorokannya terasa sangat sakit.

   "Nggak apa-apa. Nggak usah merasa bersalah gitu. Daripada tu cewek gue bawa ke sini. Mendingan dia sama elo."

   Hening. Kemudian "Ronald"

   Meneruskan dengan kalimat yang membuat pertahanan Reinald akhirnya runtuh.

   "Gue sayang elo. Titip cewek itu, ya?"

   Tak terjawab. Reinald tidak mampu lagi menahan isaknya. Ponsel di tangannya terlepas dan hampir saja membentur lantai kalau saja Andika tidak buru-buru menangkapnya.

   "Hai, kawan,"

   Tom menyapanya. Andika mendengar suara Ronald melalui radio kecil itu. Andika membeku, tidak mampu menjawab.

   "Thanks banget. Buat semuanya. Baik-baik, ya? Bye."

   Acara itu berakhir.

   Kembali lagu Glenn Fredly-Dewi Sandra mengalun.

   Hanya di bagian akhir.

   Mengiringi suara penyiar yang mengucapkan terima kasih lalu menutup acara itu dengan salam perpisahan.

   Kemudian hening.

   Radio kecil itu tidak lagi mengeluarkan suara apa pun.

   Reinald dan Andika tersadar.

   Keduanya bergerak bersamaan.

   Seperti kesetanan, mereka mengguncang-guncang radio itu.

   Nihil.

   Mereka periksa kabel.

   Masih tersambung ke stop kontak.

   Mereka pukul-pukul dengan telapak tangan.

   Tetap tanpa hasil.

   Jarum indikator masih di sana.

   Di tempat yang persis sama.

   Namun stasiun radio itu menghilang.

   Tidak ada sedikit pun suara yang tertangkap.

   Hening.

   Radio-tape kecil itu membisu.

   Keduanya segera teringat nomer telepon tadi.

   Meskipun sudah bisa menduga apa yang akan mereka dengar, Reinald menekan juga deretan angka itu.

   Pada posisi speaker aktif, terdengar suara monoton dari mesin operator.

   "Nomer yang anda tuju, belum terpasang..." ***** Hampir seperempat jam berlalu sejak radio-tape itu benar-benar membisu. Dengan sorot mata sangat kebingungan, Citra menatap dua cowok yang duduk tidak jauh di belakangnya itu. Reinald yang menangis tanpa suara. Andika yang pucat dan seperti tidak sadar sepenuhnya. Hanya pada kedua mata mereka, segala gejolak emosi yang ditahan mati-matian itu jelas-jelas terbaca.

   "Ada apa sih?"

   Citra bertanya lirih dan hati-hati.

   "Kalian berdua kenapa?"

   Sesaat tidak ada sedikit pun reaksi. Kemudian Reinald bergerak. Tangan kanannya menghapus air mata, sementara tangan kirinya melambai pelan.

   "Duduk sini, Cit,"

   Katanya pelan. Sambil menggeser tubuh, ditepuknya tempat di sebelah kirinya. Citra tampak ragu, tapi kemudian bergerak juga. Ia duduk di tempat kosong yang di berikan Reinald. Di antara cewek itu dan Andika.

   "Ada apa sih?"

   Citra bertanya lagi, karena lagi-lagi kedua cowok di kirikanannya bungkam. Reinald kemudian merangkulnya. Sementara Andika mengusap pelan kepalanya.

   "Nanti gue ceritain,"

   Ucap Reinald lirih.

   ***** Beberapa saat yang lalu, kuncup mawar diletakkan dengan sangat hati-hati di batu nisan Ronald.

   Dan kini, di sisi nisan, Reinald duduk bersila di atas rumput.

   Kepalanya tertunduk dan kesepuluh jarinya bertaut.

   Di sebelah kirinya, Citra duduk bersimpuh.

   Di atas pangkuannya, sebuah amplop cokelat tergenggam di antara kesepuluh jarinya.

   Amplop itu berisi foto-foto dirinya dan secarik kertas yang pernah ditempelkan Ronald di dinding di atas meja belajarnya.

   Reinald mengangkat kepala lalu menoleh ke cewek yang duduk di sebelahnya itu.

   Sama seperti dirinya, Citra sama sekali tidak mengeluarkan suara.

   "Udah?"

   Tanya Reinald lirih. Citra menoleh. Kedua matanya masih berkabut. Ia mengangguk.

   "Yuk, pulang."

   Reinald bangkit berdiri.

   Diulurkannya tangan kirinya.

   Lembut, ditariknya Citra sampai berdiri.

   Keduanya meninggalkan tempat itu dalam diam, namun mereka yakin Tuhan dan alam akan menyampaikan apa yang ternyata tadi tidak sanggup mereka sampaikan selain dengan bahasa diam.

   Untuk seseorang yang kini dipeluk bumi dan tidur dalam diam.

   Untuk Ronald, terima kasih dan seluruh cinta.....

   

   

   

Pendekar Rajawali Sakti Kabut Hitam Di Karang Setra Seymour Simon Mengejutkan Kawan Kawannya Einstein Anderson Rajawali Emas Raja Lihai Langit Bumi

Cari Blog Ini