Ceritasilat Novel Online

Lapangan Golf Maut 3


Agatha Christie Lapangan Golf Maut Bagian 3



"Dia pasti ingin melihat jenazah ayahnya."

   Anak itu memberikan isyarat menolak, dia tampak merinding, dan Hakim yang selalu ingin membantah Giraud pada setiap kesempatan, menyahut.

   "Itu tak perlu -tidak sekarang. Tuan Bex tentu mau berbaik hati untuk membawakannya kemari."

   Komisaris meninggalkan ruangan itu.

   Stonor menyeberang ke arah Jack, dan meremas tangan anak muda itu.

   Poirot bangkit dan memperbaiki letak sepasang wadah lilin.

   Bagi matanya yang sangat terlatih itu, letak benda-benda itu agak miring.

   Hakim sedang membaca lagi surat cinta yang misterius tadi untuk terakhir kalinya.

   Dia masih tetap berpegang kuat-kuat pada teorinya yang pertama mengenai rasa cemburu dan tikaman di belakang itu.

   Tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar, dan Komisaris masuk dengan berlari-lari.

   "Pak Hakim! Pak Hakim!"

   "Ya, ya! Ada apa?"

   "Pisau belati itu! Sudah hilang!"

   "Apa -hilang?"

   "Hilang. Lenyap. Stoples kaca tempat menyimpannya sudah kosong!"

   "Apa?"

   Aku berseru.

   "Tak mungkin. Baru tadi pagi saya melihatnya -"

   Lidahku tak dapat mengucapkan kata-kata itu lagi. Tetapi perhatian seluruh ruangan itu sudah tertuju padaku.

   "Apa kata Anda tadi?"

   Seru Komisaris.

   "Tadi pagi?"

   "Saya melihatnya di sana tadi pagi,"

   Kataku perlahan-lahan.

   "Tepatnya kira-kira satu setengah jam yang lalu."

   "Jadi, Anda pergi ke gudang itu? Bagaimana Anda mendapatkan kuncinya?"

   "Saya memintanya dari agen polisi."

   "Lalu Anda masuk ke sana? Untuk apa?"

   Aku bimbang, tapi akhirnya kuputuskan bahwa satu-satunya yang sebaiknya kulakukan adalah mengakuinya dengan terus terang.

   "Pak Hakim,"

   Kataku.

   "Saya telah melakukan kesalahan besar, untuk mana saya mohon dimaafkan."

   "Eh bien! Lanjutkan, Saudara."

   "Terus terang,"

   Kataku, ingin benar aku agar aku tidak berada di tempat itu.

   "saya tadi bertemu dengan seorang gadis, seorang kenalan saya. Dia menunjukkan keinginan besar untuk melihat segala-galanya, dan saya -yah, singkat cerita, saya ambil kunci itu untuk memperlihatkan mayat itu padanya."

   "Aduh, sialan,"

   Seru Hakim dengan marah.

   "Tapi Anda telah berbuat salah besar, Kapten Hastings. Hal itu benar-benar melanggar hukum. Anda tak pantas melakukan kebodohan itu."

   "Saya akui itu,"

   Sahutku lemah.

   "Apa pun yang Anda katakan, tidak akan terlalu kasar, Pak Hakim."

   "Apakah gadis itu Anda undang kemari?"

   "Tidak. Saya bertemu dengan dia secara kebetulan sekali. Dia seorang gadis Inggris yang kebetulan menginap di Merlinville. Saya tidak mengetahui hal itu sebelum saya bertemu dengan dia secara tak disangka-sangka."

   "Yah, yah,"

   Kata hakim itu dengan lebih lembut.

   "Itu benar-benar melanggar peraturan, tapi wanita itu tentu muda dan cantik, ya? Begitulah kalau anak muda! Ah, remaja, remaja!"

   Dan dia pun mendesah dengan pengertian. Tetapi Komisaris yang tidak begitu romantis dan lebih praktis, mengambil alih percakapan.

   "Lalu tidakkah Anda tutup kembali dan kunci pintu itu setelah Anda pergi?"

   "Itulah soalnya,"

   Kataku lambat-lambat.

   "Di situlah saya benar-benar menyalahkan diri saya. Teman saya itu pusing waktu melihat mayat itu. Dia hampir pingsan. Saya mengambilkannya air dan brendi, dan setelah itu saya bersikeras untuk mengantarnya kembali ke kota. Dalam kekacauan itu, saya lupa mengunci pintu kembali. Dan baru saya kunci setelah saya kembali ke villa."

   "Jadi selama sekurang-kurangnya dua puluh menit -"

   Kata komisaris itu lambat-lambat. Dia berhenti.

   "Benar,"

   Kata saya.

   "Dua puluh menit,"

   Kata komisaris itu merenung.

   "Menyedihkan sekali,"

   Kata Tuan Hautet, yang bersikap tegas lagi.

   "Sungguh menyedihkan."

   Tiba-tiba terdengar suatu suara lain berkata.

   "Menurut Anda itu menyedihkan, Bapak Hakim?"

   Tanya Giraud.

   "Jelas."

   "Eh bien! Menurut saya itu mengagumkan,"

   Kata Giraud dengan tenang. Sikap memihak padaku yang tak kusangka-sangka itu membuatku heran.

   "Mengagumkan, Tuan Giraud?"

   Tanya Hakim, sambil memperhatikannya dengan tajam dengan sudut matanya.

   "Tepat."

   "Mengapa?"

   "Karena sekarang kita tahu bahwa si pembunuh, atau yang berkomplot dengan pembunuh itu, berada di dekat villa hanya sejam yang lalu. Maka akan aneh sekali, bila dengan kenyataan itu kita tak bisa menangkapnya dalam waktu singkat."

   Nada suaranya terdengar jahat sekali. Dilanjutkannya lagi.

   "Dia telah menantang bahaya untuk mendapatkan pisau belati itu. Mungkin dia takut sidik jarinya ditemukan pada pisau itu."

   Poirot berpaling pada Bex.

   "Kata Anda tak ada sidik jarinya?"

   Giraud mengangkat bahunya.

   "Mungkin dia kurang merasa yakin."

   Poirot melihat padanya.

   "Anda keliru, Tuan Giraud. Pembunuh itu memakai sarung tangan. Jadi dia tentu yakin."

   "Saya tidak mengatakan pembunuhnya sendiri. Mungkin komplotannya yang tak tahu keadaannya yang sebenarnya."

   "Agaknya salah caranya mengumpulkan data-data, selalu komplotan saja dikatakannya!"

   Gumam Poirot, tapi dia tak berkata apa-apa lagi. Juru tulis Hakim mulai mengumpulkan surat-surat di atas meja. Tuan Hakim berkata pada kami.

   "Pekerjaan kita di sini sudah selesai. Tuan Renauld, silakan Anda mendengarkan kesaksian Anda dibacakan. Semua pekerjaan di sini saya usahakan supaya diselesaikan dengan cara tak resmi. Saya dikatakan lain dari yang lain dalam cara kerja saya itu, tapi saya pertahankan cara yang lain daripada yang lain itu mengingat hasilnya. Penyelidikan perkara ini sekarang ditangani oleh Tuan Giraud yang sudah terkenal. Dia pasti bisa menjadi terkemuka. Saya bahkan ingin tahu, apakah dia sekarang belum berhasil menangkap pembunuh-pembunuh itu! Nyonya, sekali lagi saya nyatakan rasa turut dukacita saya yang sedalam-dalamnya. Tuan-tuan, saya mengucapkan selamat siang."

   Hakim pergi diikuti oleh juru tulisnya dan Komisaris. Poirot mengeluarkan arlojinya yang sebesar lobak itu, lalu melihat waktu.

   "Mari kita kembali ke hotel untuk makan siang, Sahabatku,"

   Katanya.

   "Dan kau harus menceritakan lagi selengkapnya mengenai perbuatan salahmu tadi pagi itu. Tak seorang pun melihat kita. Kita tak perlu minta diri."

   Kami keluar, dari ruangan dengan diam-diam. Hakim Pemeriksa baru saja keluar dari halaman rumah dengan mobilnya. Aku sedang menuruni tangga ketika suara Poirot menghentikan langkahku.

   "Tunggu sebentar saja, Sahabatku."

   Dia cepat-cepat mengeluarkan pita pengukurnya, lalu dia mengukur sehelai mantel yang tergantung di lorong rumah itu, dari lehernya sampai ke tepi bawahnya.

   Aku sebelumnya tidak melihat mantel itu tergantung di situ, dan menduga itu milik Tuan Stonor atau Jack Renauld.

   Kemudian, dengan menggeram menyatakan rasa puasnya, Poirot menyimpan kembali pita pengukurnya ke dalam sakunya, dan menyusulku keluar ke udara terbuka.

   Bab 12 POIROT MENJELASKAN BEBERAPA HAL "MENGAPA kauukur mantel itu?"

   Tanyaku dengan rasa ingin tahu, sedang kami berjalan di sepanjang jalan putih yang panas dengan langkah-langkah santai.

   "Parbleu! Untuk melihat berapa panjangnya tentu,"

   Sahut sahabatku itu dengan tenang.

   Aku jengkel.

   Kebiasaan Poirot yang tak hilang-hilangnya untuk menjadikan sesuatu yang penting itu suatu misteri, selalu membuatku jengkel.

   Aku berdiam diri saja mengikuti jalan pikiranku sendiri.

   Meskipun tadi aku tidak mendengarnya secara khusus, kini beberapa kata-kata tertentu yang diucapkan Nyonya Renauld pada putranya teringat olehku, sarat dengan pengertian baru.

   "Jadi kau tak jadi berlayar?"

   Kau wanita itu, lalu ditambahkannya.

   "Tapi sudahlah, tak ada artinya lagi -sekarang."

   Apa maksud kata-katanya itu? Kata-kata itu menimbulkan tanda tanya -karena mengandung arti.

   Apakah mungkin wanita itu tahu lebih banyak daripada yang kami sangka? Dia mengaku tidak mengetahui tugas misterius apa yang telah dipercayakan suaminya pada anaknya.

   Tapi apakah dia sebenarnya tidak sebuta daripada yang dibuat-buatnya? Apakah sebenarnya dia bisa membantu memberi kami keterangan bila dia mau? Lalu apakah sikap tutup mulutnya itu suatu bagian dari suatu rencana yang sudah dipikirkan dan dipertimbangkannya masak-masak? Makin kupikirkan hal itu, makin yakin aku bahwa aku benar.

   Nyonya Renauld tahu lebih banyak daripada yang dikatakannya.

   Dalam keadaan terkejut melihat putranya, tanpa disadarinya dia telah mengkhianati dirinya sendiri.

   Aku merasa yakin bahwa dia tahu, kalaupun bukan pembunuhnya sendiri, setidak-tidaknya alasan pembunuhan itu.

   Tetapi dengan alasan yang kuat, dia harus merahasiakan hal itu.

   "Kau sedang berpikir dalam sekali, Sahabatku,"

   Kata Poirot memecahkan renunganku.

   "Apa yang begitu mengganggu pikiranmu?"

   Karena merasa sudah yakin akan kuatnya dasar pikiranku, kuceritakan padanya, meskipun aku sudah menduga bahwa dia akan menganggap kecurigaanku itu tak masuk akal. Tetapi dia membuatku terkejut, karena dia mengangguk dengan serius.

   "Kau memang benar, Hastings. Sejak semula aku sudah yakin bahwa dia menyembunyikan sesuatu. Mula-mula aku curiga bahwa dia, kalaupun tidak mendorong, sekurang-kurangnya membiarkan seseorang melakukan kejahatan."

   "Kau mencurigai wanita itu?"

   Aku berseru.

   "Tentu! Dia akan mendapatkan keuntungan besar -bahkan dengan surat wasiat yang baru itu, dia adalah satu-satunya ahli waris. Jadi sejak semula aku sudah memberikan perhatian khusus padanya. Mungkin kau melihat, bahwa pada awal pemeriksaan pun aku sudah memeriksa pergelangan tangannya. Aku ingin melihat apakah terdapat kemungkinan bahwa dia menyumbat mulutnya dan mengikat dirinya sendiri. Eh bien, aku melihat bahwa ikatan itu tidak dibuat-buat, tali telah benar-benar diikat demikian teriknya sampai menggigit melukai dagingnya. Hal itu menyingkirkan kemungkinan bahwa dia telah melakukan kejahatan itu sendiri. Tapi masih ada kemungkinannya bahwa dia mendiamkan saja hal itu dilakukan, atau menjadi pendorong dalam suatu komplotan. Apalagi, waktu dia mengisahkan kejadiannya, rasanya aku sudah mengenal kejadian serupa itu -orang-orang yang berkedok yang tak dapat dikenalinya, disebut-sebutnya suatu 'rahasia' -aku pernah mendengar atau membaca semuanya itu. Suatu hal kecil yang khusus, meneguhkan keyakinanku bahwa dia tidak berkata benar. Arloji itu, Hastings, arloji itu!"

   Lagi-lagi arloji itu! Poirot memandangiku dengan rasa ingin tahu.

   "Kaulihatkah, mon ami? Mengertikah kau?"

   "Tidak,"

   Sahutku dengan rasa tak senang.

   "Aku tak mengerti dan tak paham. Semuanya ini telah kaujadikan suatu misteri yang membingungkan, dan rasanya tak guna memintamu untuk menjelaskannya. Kau selalu suka menyembunyikan sesuatu sampai saat yang terakhir."

   "Jangan marah, Sahabatku,"

   Kata Poirot sambil tersenyum.

   "Kalau kau mau, akan kujelaskan. Tapi jangan katakan sepatah pun juga pada Giraud, mengerti? Dia memperlakukan aku seperti seorang tua yang tak ada artinya saja! Kita lihat saja nanti! Demi kepentingan bersama telah kuberi dia petunjuk terselubung. Bila dia tidak mengambil tindakan apa-apa, itu urusannya sendiri."

   Kutekankan pada Poirot bahwa dia bisa mempercayai aku.

   "C'est bien! Kalau begitu marilah kita menyuruh sel-sel kecil kelabu kita bekerja. Coba katakan, Sahabat, pukul berapa menurut kau, tragedi itu terjadi?"

   "Yah, pukul dua atau sekitarnya,"

   Kataku terkejut.

   "Kau tentu ingat Nyonya Renauld bercerita pada kita bahwa dia mendengar jam berbunyi waktu kedua orang laki-laki itu ada di dalam kamar."

   "Benar, dan berdasarkan keterangan itu, kau, Hakim Pemeriksa, Bex, dan semuanya yang lain, percaya mengenai jam itu tanpa bertanya lagi. Tapi aku, Hercule Poirot, mengatakan bahwa Nyonya Renauld berbohong. Kejahatan itu dilakukan sekurang-kurangnya dua jam sebelum itu."

   "Tapi dokter-dokter itu -?"

   "Setelah memeriksa mayat, mereka menerangkan bahwa dia meninggal antara sepuluh atau tujuh jam sebelumnya. Mon ami, dengan suatu alasan tertentu, amatlah penting supaya kejahatan itu kelihatannya seolah-olah terjadi kemudian dari jam yang sebenarnya. Pernahkah kau membaca tentang jam atau arloji yang sudah hancur tetapi masih bisa memberikan saat kematian yang tepat? Supaya pernyataan kematiannya tidak akan tergantung pada kesaksian Nyonya Renauld semata-mata, seseorang telah memutar jarum arloji tangan itu ke arah pukul dua, lalu melemparkannya kuat-kuat ke lantai. Tapi sebagaimana yang sering terjadi, cara kerja mereka itu keliru. Kacanya memang hancur, tapi mesin arloji itu tidak rusak. Itu suatu tindakan mereka yang merugikan, karena hal itu segera mengarahkan perhatian kita pada dua hal -pertama bahwa Nyonya Renauld telah berbohong, kedua bahwa pasti ada suatu alasan penting untuk diundurkannya waktu."

   "Tapi apa alasan itu?"

   "Nah, itulah soalnya. Di situlah letak misteri itu. Untuk sementara aku belum bisa menjelaskannya. Aku hanya melihat adanya satu hal yang berhubungan dengan itu."

   "Apa itu?"

   "Kereta terakhir meninggalkan Merlinville pukul dua belas lewat tujuh belas menit."

   Aku mengikutinya dengan cermat.

   "Jadi kejahatan yang mungkin dilakukan kira-kira dua jam kemudian, dengan berangkatnya si pembunuh naik kereta api itu, dia akan menemukan alibi yang tak dapat diganggu gugat!"

   "Tepat, Hastings! Kau mengerti rupanya!"

   Aku melompat.

   "Tapi kita harus bertanya ke stasiun. Mereka di sana pasti akan dapat mengenali dua orang asing yang berangkat naik kereta api itu! Kita harus segera pergi ke sana!"

   "Begitukah pendapatmu, Hastings?"

   "Tentu, mari kita pergi ke sana."

   Poirot mengurangi semangatku dengan menyentuh tanganku dengan lembut.

   "Pergilah kalau kau mau, mon ami -tapi bila kau pergi juga, jangan tanyakan khusus tentang dua orang asing."

   Aku terbelalak, dan dia berkata dengan agak tak sabaran.

   "Nah nah, apakah kau percaya pada semua omong kosong itu? Tentang orang-orang yang berkedok dan semua kisah-kisah isapan jempol itu!"

   Kata-katanya itu demikian membuatku terkejut, hingga aku hampir tak tahu lagi bagaimana harus menjawabnya. Dia melanjutkan dengan tenang.

   "Bukankah kau sudah mendengar aku berkata pada Giraud, bahwa semua hal-hal kecil dalam kejahatan ini sudah pernah kukenal? Eh bien, hal itu memberikan kemungkinan pada satu dari dua hal, mungkin otak yang merencanakan kejahatan yang dulu itu juga merencanakan kejahatan yang ini, atau setelah membaca tentang pembunuhan yang terkenal itu, peristiwa itu tanpa disadarinya telah melekat dalam ingatan si pembunuh, lalu menirukan cara-cara itu. Aku baru akan bisa menyatakan hal itu dengan pasti, setelah -". Dia berhenti berbicara dengan mendadak. Dalam otakku bergalau beberapa soal.

   "Lalu bagaimana dengan surat Tuan Renauld itu? Di situ disebutkan dengan jelas tentang suatu rahasia dan Santiago."

   "Memang, pasti ada rahasia dalam hidup Tuan Renauld -hal itu tak dapat diragukan lagi. Sebaliknya, menurut aku, kata Santiago itu hanya merupakan umpan saja, yang terus-menerus ditempatkan ke jalur kisah untuk menyesatkan kita. Mungkin pula hal itu juga dipakai terhadap Tuan Renauld, supaya dia tidak menujukan kecurigaannya ke tempat yang lebih dekat. Yakinlah, Hastings, bahwa bahaya yang mengancamnya bukan di Santiago, bahaya itu dekat saja, di Prancis ini!"

   Dia berbicara dengan demikian bersungguh-sungguh, dan dengan keyakinan yang demikian besarnya, hingga aku pun terpengaruh. Tetapi aku masih menemukan suatu keberatan terakhir.

   "Lalu mengenai batang korek api dan puntung rokok yang ditemukan di dekat mayat itu, bagaimana?"

   "Diletakkan di situ! Dengan sengaja diletakkan di situ supaya ditemukan Giraud atau orang-orang semacam dia! Dia memang hebat, si Giraud itu. Banyak akalnya! Sama benar dengan seekor anjing pelacak yang baik. Dia menggabungkan dirinya dengan perasaan amat puas pada dirinya sendiri. Berjam-jam lamanya dia merangkak. 'Lihat apa yang telah kutemukan,' katanya. Lalu dikatakannya lagi padaku, 'Apa yang Anda lihat di sini?' Aku hanya menjawab kenyataan apa adanya, 'Tak ada apa-apa.' Dan Giraud yang hebat itu tertawa. Pikirnya, 'Oh, goblok benar pak tua ini!' Tapi kita lihat saja nanti."

   Tapi pikiranku terarah pada kejadian-kejadian utama.

   "Jadi semua kisah tentang orang-orang yang berkedok itu -?"

   "Bohong belaka!"

   "Apa yang terjadi sebenarnya?"

   Poirot mengangkat bahunya.

   "Hanya seorang yang bisa menceritakannya pada kita -Nyonya Renauld. Tapi dia tak mau berbicara. Mulai dari permohonan, sampai pada ancaman, tidak akan bisa menggerakkannya. Dia seorang wanita yang hebat, Hastings. Segera setelah aku melihatnya, aku terus tahu, bahwa aku harus berurusan dengan seorang wanita yang bersifat istimewa. Sebagaimana telah kukatakan mula-mula, aku cenderung untuk mencurigai dia terlibat dalam kejahatan ini. Tapi setelah itu aku mengubah pendapatku."

   "Apa yang membuatmu berubah?"

   "Kesedihannya yang tulus dan murni waktu dia melihat mayat suaminya. Aku berani bersumpah bahwa kesedihan dalam ratapannya itu adalah murni."

   "Ya,"

   Kataku.

   "kita memang tak bisa keliru dalam hal-hal semacam itu."

   "Maaf, Sahabat -orang bisa saja keliru. Ingat saja seorang aktris besar, bila dia memerankan suatu kesedihan, apakah kita tidak akan terbawa dan terkesan akan kesungguhannya? Tidak, betapapun kuatnya kesan dan keyakinanku sendiri, aku membutuhkan bukti lain sebelum aku merasa puas. Penjahat itu bisa saja seorang aktor besar. Keyakinanku pada perkara itu tidak kusadarkan pada pemikiranku sendiri, melainkan atas kenyataan yang tak dapat dibantah, bahwa Nyonya Renauld benar-benar pingsan. Aku membalikkan kelopak matanya dan meraba nadinya. Kejadian itu tak dibuat-buatnya -dia memang benar-benar pingsan. Oleh karenanya aku merasa yakin bahwa kesedihannya memang mumi dan tidak dibuat-buat. Selain daripada itu, ada lagi suatu kenyataan kecil yang menarik. Nyonya Renauld tak perlu memamerkan kesedihannya yang mendalam. Dia sudah setengah pingsan waktu mendengar tentang kematian suaminya, dan dia tak perlu lagi berpura-pura mempertunjukkan kesedihan yang begitu hebat pada saat melihat mayatnya. Tidak, Nyonya Renauld bukan pembunuh suaminya. Tapi mengapa dia berbohong? Dia berbohong tentang arloji tangan itu, dia berbohong tentang orang-orang yang berkedok itu -dia juga berbohong tentang hal yang ketiga. Katakan, Hastings, bagaimana kau menjelaskan tentang pintu yang terbuka itu?"

   "Yah,"

   Kataku agak kemalu-maluan.

   "kurasa itu adalah suatu kelengahan. Mereka lupa menutupnya."

   Poirot menggeleng dan mendesah.

   "Itu kan keterangan Giraud. Aku tak bisa menerimanya. Ada suatu makna di balik pintu yang terbuka itu, yang sementara ini belum dapat kupikirkan."

   "Aku punya gagasan,"

   Teriakku tiba-tiba.

   "Nah, bagus! Coba kudengar."

   "Dengarkan. Kita sependapat bahwa kisah Nyonya Renauld adalah isapan jempol belaka. Jadi tidakkah mungkin, kalau Tuan Renauld meninggalkan rumah untuk memenuhi janji -katakanlah dengan si pembunuh -dengan meninggalkan pintu depan terbuka, untuk dia kembali nantinya. Tapi dia tak kembali, dan esok paginya dia ditemukan dalam keadaan tertikam di punggungnya."

   "Suatu teori yang pantas dikagumi, Hastings, tetapi ada dua kenyataan yang tak kaulihat, hal mana dapat dimaklumi. Pertama, siapakah yang menyumbat mulut Nyonya Renauld dan mengikatnya? Dan untuk apa mereka harus kembali ke rumah untuk melakukan hal itu? Yang kedua, tak ada seorang pun di muka bumi ini yang mau memenuhi janji dengan hanya mengenakan pakaian dalam dan mantel saja. Ada waktu-waktu tertentu di mana orang mungkin hanya mengenakan piyama dan mantel -tapi kalau pakaian dalam saja tak pernah!"

   "Benar,"

   Kataku terpukul.

   "Tidak,"

   Lanjut Poirot.

   "kita harus mencari penyelesaian mengenai misteri tentang pintu yang terbuka itu di tempat lain. Aku yakin mengenai satu hal -mereka tidak kembali melalui pintu. Mereka melalui jendela."

   "Tapi di bedeng bunga di bawahnya tidak terdapat bekas jejak kaki."

   "Tidak -padahal seharusnya ada. Dengarkan, Hastings. Kau kan mendengar Auguste, si tukang kebun itu, mengatakan bahwa dia telah menanami kedua buah bedeng itu petang hari sebelumnya. Di salah sebuah bedeng itu banyak terdapat bekas sepatu botnya yang berpaku besar itu -pada bedeng yang sebuah lagi, tak ada satu pun! Mengertikah kau? Seseorang telah melewati bedeng itu, seseorang yang telah melicinkan kembali permukaan bedeng itu dengan sebuah garu, untuk menghilangkan bekas telapak kakinya."

   "Dari mana mereka mendapatkan garu itu?"

   "Tak ada sulitnya."

   "Tapi apa yang membuatmu menduga bahwa mereka keluar dengan melewati bedeng itu? Tentu tidak masuk akal kalau mereka masuk melalui jendela, dan keluar melalui pintu."

   "Itu tentu mungkin. Tapi aku punya gagasan kuat bahwa mereka keluar melalui jendela."

   "Kurasa kau keliru."

   "Mungkin, mon ami."

   Aku merenung, memikirkan kemungkinan baru yang telah dikemukakan Poirot.

   Aku ingat bahwa aku keheranan waktu mendengarkan sindirannya yang tersembunyi mengenai bedeng bunga dan arloji tangan itu di hadapan orang-orang lain.

   Waktu itu kata-katanya itu kedengarannya sama sekali tak berarti, dan baru sekaranglah aku menyadari betapa hebatnya kemampuannya menguraikan sebagian besar dari misteri yang menyelubungi perkara itu hanya berdasarkan peristiwa-peristiwa kecil.

   Aku menaruh hormat pada sahabatku itu, meskipun terlambat.

   Seolah-olah dia bisa membaca pikiranku, dia mengangguk-angguk.

   "Cara kerja, ingat itu! Cara kerja! Susun fakta-faktamu! Atur pikiran-pikiranmu. Dan bila ada suatu fakta kecil tak bisa dicocokkan -jangan sia-siakan, tapi telitilah baik-baik. Meskipun menurut kau tampaknya tidak begitu penting, kau harus yakin bahwa itu penting."

   "Sementara itu,"

   Kataku setelah berpikir.

   "meskipun sudah banyak yang kita ketahui, kita masih belum mendekati penyelesaian misteri mengenai siapa yang membunuh Tuan Renauld."

   "Memang belum,"

   Kata Poirot tetap ceria.

   "Kita bahkan makin menjauh."

   Hal itu agaknya menyenangkan hatinya, hingga aku memandangnya dengan tercengang. Dia membalas pandanganku dan tersenyum.

   "Tapi lebih baik begitu. Sebelum itu, kelihatannya sudah jelas sekali bagaimana dan oleh siapa kematian itu. Sekarang semuanya itu hilang. Kita berada dalam kegelapan. Beratus-ratus soal yang bertentangan membuat kita bingung dan susah. Itu baik. Itu baik sekali. Dari kekacauan itu akan muncul hal-hal yang memberi harapan. Tapi kalau sejak semula kita sudah menemukan hal-hal yang memberikan harapan, bila suatu kejahatan kelihatan sederhana dan jelas, maka hal itu tak dapat dipercaya! Maka keadaan kita jadi seperti -apa yang dikatakan orang -bak makan pisang berkubak! Penjahat yang ulung biasanya sederhana -tapi sedikit sekali penjahat yang benar-benar ulung. Dalam usahanya untuk menutupi jejaknya, mereka biasanya membuka rahasia sendiri. Ah, mon ami, ingin benar aku bertemu dengan seorang penjahat yang benar-benar ulung pada suatu hari -seseorang yang melakukan kejahatannya, lalu -tidak berbuat apa-apa lagi! Maka aku, Hercule Poirot sekalipun, akan gagal menangkapnya."

   Tetapi aku tidak mengikuti kata-katanya itu. Aku mulai melihat titik terang.

   "Poirot! Nyonya Renauld! Sekarang aku sadar! Dia pasti melindungi seseorang."

   Melihat betapa tenangnya Poirot menyambut kata-kataku itu, aku tahu bahwa gagasan itu sudah ada pula padanya.

   "Ya,"

   Katanya dengan merenung.

   "Melindungi seseorang -atau menyembunyikan seseorang. Salah satu."

   Aku melihat perbedaan kecil sekali antara kedua perkataan itu, tapi aku mengembangkan pokok pikiranku dengan bersungguh-sungguh. Poirot mengambil sikap yang benar-benar tak dapat dipahami; dia berulang kali berkata.

   "Mungkin -ya, mungkin. Tapi sampai sekarang aku belum tahu! Ada sesuatu yang tersembunyi dalam sekali di bawah semuanya ini. Kau lihat saja nanti. Sesuatu yang dalam."

   Kemudian, waktu kami memasuki hotel, dia mengisyaratkan supaya aku diam.

   Bab 13 GADIS YANG BERMATA KETAKUTAN KAMI makan siang dengan berselera besar.

   Aku cukup maklum bahwa Poirot tak mau membicarakan tragedi itu di tempat di mana orang dapat mendengar kami dengan mudah.

   Tetapi sebagaimana biasanya, bila suatu persoalan memenuhi pikiran melebihi segalanya tak ada satu pun pikiran lain yang bisa menarik perhatian kita.

   Hanya sebentar kami makan tanpa berkata apa-apa, lalu Poirot berkata dengan menggoda.

   "Eh bien! Bagaimana dengan perbuatanmu yang ceroboh itu! Tidakkah kau akan menceritakannya?!"

   Aku merasa mukaku panas.

   "Oh, maksudmu kejadian tadi pagi?"

   Aku berbicara dengan nada santai. Tetapi Poirot memang bukan tandinganku. Dalam beberapa menit saja dia telah berhasil memeras seluruh cerita itu dari mulutku, matanya berbinar-binar ketika sedang mendengarkan itu.

   "Waduh! Benar-benar suatu kisah yang romantis. Siapa nama gadis cantik itu?"

   Aku terpaksa mengakui bahwa aku tak tahu.

   "Lebih romantis lagi! Pertemuan pertama dalam kereta api dari Paris, pertemuan kedua di sini. Perjalanan berakhir di mana orang-orang yang sedang bercinta itu bertemu, begitu kata orang, bukan?"

   "Jangan goblok, Poirot."

   "Kemarin Nona Daubreuil, hari ini Nona -Cinderella! Kau benar-benar punya hati seperti orang Turki, Hastings. Kau seharusnya membangun sebuah harem!"

   "Kau memang pantas menggodaku. Nona Daubreuil memang seorang gadis yang cantik, dan aku sangat mengaguminya -aku bersedia mengakui hal itu. Yang seorang lagi itu bukan apa-apa -kurasa aku tidak akan berjumpa lagi dengan dia. Dia hanya seorang kawan bicara yang menyenangkan selama perjalanan kereta api, tapi dia bukan semacam gadis pada siapa aku akan tergila-gila."

   "Mengapa?"

   "Yah -mungkin kedengarannya sombong -tapi dia bukan wanita utama, sama sekali bukan,"

   Poirot mengangguk sambil termangu. Kemudian dia bertanya dengan nada yang kurang mengandung kelakar.

   "Jadi kau masih percaya akan derajat kelahiran dan pendidikan?"

   "Aku mungkin punya pendirian kolot, tapi aku sama sekali tak sependapat dengan perkawinan karena perbedaan golongan seseorang. Itu tak pernah berhasil."

   "Aku sependapat dengan kau, mon ami. Sembilan puluh sembilan dari seratus perkawinan semacam itu, tak berhasil. Tapi selalu masih ada yang keseratus itu, bukan? Namun itu tak berlaku, karena kau tak punya niat untuk menemui gadis itu lagi."

   Kata-katanya yang terakhir hampir-hampir merupakan pertanyaan, dan aku menyadari betapa tajamnya pandangan yang ditujukannya pada diriku.

   Dan di hadapan mataku, seolah-olah tertulis dengan huruf-huruf dari nyala api, kulihat kata-kata Hotel du Phare, dan terngiang lagi suaranya mengatakan.

   "Datanglah mengunjungi aku,"

   Dan jawabanku sendiri dengan tekanan.

   "Baiklah."

   Yah, mau apa lagi? Waktu itu aku memang berniat untuk pergi.

   Tetapi sejak itu, aku punya waktu untuk berpikir.

   Aku tak suka pada gadis itu.

   Setelah memikirkannya tenang-tenang, aku bisa mengambil kesimpulan dengan penuh keyakinan, bahwa aku benar-benar tak suka padanya.

   Aku terlibat dalam suatu kesulitan gara-gara kebodohanku mau memenuhi permintaannya untuk memuaskan rasa ingin tahunya yang gila-gilaan itu, dan aku sama sekali tak ingin bertemu dengan dia lagi.

   Aku menjawab Poirot dengan ringan saja.

   "Dia memintaku untuk mengunjunginya, tapi tentu aku tak mau."

   "Mengapa 'tentu'?"

   "Pokoknya -aku tak mau."

   "Oh begitu."

   Diperhatikannya aku beberapa lamanya.

   "Ya, aku mengerti betul. Dan kau memang benar. Pertahankanlah apa yang telah kaukatakan itu."

   "Agaknya itu merupakan nasihat yang tak dapat dilanggar,"

   Kataku dengan tersinggung.

   "Aduh, Sahabatku, percayalah pada Papa Poirot. Suatu hari kelak, bila kau mau, aku akan mengatur suatu pernikahan yang serasi sekali bagimu."

   "Terima kasih,"

   Kataku sambil tertawa.

   "tapi aku tak berminat pada rencana itu."

   Poirot mendesah lalu menggeleng.

   "Dasar orang Inggris!"

   Gumamnya.

   "Tak punya sistem kerja -sama sekali tak punya. Kalian selalu menyerahkan segala-galanya pada nasib!"

   Dia mengerutkan alisnya, lalu memperbaiki letak botol garam.

   "Kaukatakan Nona Cinderella menginap di Hotel d'Angleterre?"

   "Bukan, Hotel du Phare."

   "Benar. Aku lupa."

   Sesaat aku merasa was-was.

   Aku sama sekali tak pernah menyebutkan nama sebuah hotel pada Poirot.

   Aku melihat padanya, dan aku merasa tenang.

   Dia sedang memotong-motong rotinya menjadi segi empat kecil-kecil, dia kelihatan asyik benar dalam pekerjaannya itu.

   Dia pasti menyangka bahwa aku pernah mengatakan padanya di mana gadis itu menginap.

   Kami minum kopi di luar menghadap ke laut.

   Poirot mengisap rokoknya yang kecil, lalu mengeluarkan arlojinya dari sakunya.

   "Kereta api ke Paris akan berangkat pukul dua lewat dua puluh lima menit,"

   Katanya.

   "Aku harus berangkat."

   "Ke Paris?"

   Teriakku.

   "Begitulah kataku, mon ami."

   "Kau akan pergi ke Paris? Untuk Apa?"

   Dia menjawab dengan serius sekali.

   "Untuk mencari pembunuh Tuan Renauld."

   "Kaupikir dia ada di Paris?"

   "Aku yakin sekali dia tak ada di sana. Tapi aku harus mencarinya dari sana. Kau tak mengerti, tapi akan kujelaskan semuanya itu padamu kalau sudah tiba waktunya. Percayalah padaku, perjalanan ke Paris ini perlu sekali. Aku pergi tidak akan lama. Besar kemungkinannya aku akan kembali besok. Aku tak ingin kau ikut aku. Tinggallah di sini dan amat-amatilah Giraud. Ikutilah pula tindak-tanduk Tuan muda Renauld. Dan ketiga, kalau kau mau, usahakan untuk memutuskan hubungannya dengan Nona Marthe. Tapi aku kuatir tidak akan banyak hasil usahamu itu."

   Aku tak senang mendengar kata-katanya yang terakhir itu.

   "Aku jadi ingat,"

   Kataku.

   "Aku sudah berniat untuk bertanya, bagaimana kau sampai tahu hubungan mereka berdua?"

   "Mon ami -aku tahu sifat manusia. Pertemukanlah seorang anak muda seperti Jack Renauld itu dan seorang gadis cantik seperti Nona Marthe, dan akibatnya tak dapat dihindarkan lagi. Lalu, mengenai pertengkaran itu! Kalau tidak karena uang tentu karena perempuan, dan mengingat penjelasan Leonie tentang betapa marahnya anak muda itu, aku yakin bahwa yang kedualah yang menjadi persoalan. Jadi aku lalu menerka -dan ternyata aku benar."

   "Lalu itukah sebabnya kauperingatkan aku supaya tidak menaruh hati pada wanita itu? Apakah kau memang sudah menduga bahwa dia mencintai Tuan muda Renauld?"

   Poirot tersenyum.

   "Yang jelas -aku melihat bahwa matanya penuh ketakutan. Begitulah aku selalu membayangkan Nona Daubreuil -sebagai seorang gadis yang bermata penuh ketakutan."

   Suaranya demikian seriusnya hingga aku mendapat kesan yang tak enak.

   "Apa maksudmu, Poirot?"

   "Sahabatku, kurasa kita akan melihatnya dalam waktu singkat. Tapi sekarang aku harus berangkat."

   "Kau masih punya waktu banyak."

   "Mungkin -mungkin. Tapi aku suka bersantai-santai di stasiun. Aku tak suka berlari-lari, terburu-buru, dan ketakutan akan terlambat."

   "Bagaimanapun juga,"

   Kataku sambil bangkit.

   "aku akan ikut mengantarmu."

   "Kau tak boleh mengantarku. Aku tak mau."

   Kata-katanya tegas sekali hingga aku terbelalak memandangnya karena keheranan. Dia mengangguk menegaskan kata-katanya.

   "Aku bersungguh-sungguh, mon ami. Au revoir! Bolehkah aku merangkulmu? Ah, tidak, aku lupa bahwa itu bukan kebiasaan orang Inggris. Bersalaman sajalah kalau begitu."

   Setelah Poirot meninggalkan aku, aku tak tahu apa yang harus kuperbuat.

   Aku berjalan-jalan saja di pantai, dan memperhatikan orang yang berkecimpung di laut.

   Aku tak punya keinginan untuk menyertai mereka.

   Kubayangkan Cinderella mungkin sedang bersenang-senang pula di antara orang banyak itu dengan memakai pakaian yang bagus sekali, tapi aku sama sekali tak melihatnya.

   Tanpa tujuan aku berjalan santai di sepanjang pantai pasir ke arah ujung kota.

   Aku baru menyadari bahwa, bagaimanapun juga, sepantasnyalah kalau aku menanyakan keadaan gadis itu.

   Maka hal itu akhirnya akan menghindarkan kesulitan, dan urusannya akan selesai.

   Dan aku pun tak perlu memikirkan dia lagi.

   Tapi kalau aku sama sekali tak pergi, mungkin sekali dia akan mengunjungi aku di villa.

   Dan itu jelas akan menyusahkan.

   Jelas akan lebih baik kalau aku mengunjunginya sebentar.

   Dalam pertemuan itu akan kujelaskan dengan tegas, bahwa selanjutnya aku tak bisa lagi menjadi penunjuk jalan baginya.

   Sesuai dengan rencana itu, kutinggalkan pantai dan berjalan ke arah darat.

   Aku segera menemukan Hotel du Phare, suatu bangunan yang sangat sederhana.

   Aku benar-benar jengkel, karena aku tak tahu nama gadis itu, dan dengan demikian kehilangan harga diriku.

   Maka kuputuskan untuk masuk dan melihat-lihat saja.

   Aku mungkin akan bisa menemukannya di lobi.

   Merlinville hanya sebuah kota kecil; orang meninggalkan hotel hanya untuk pergi ke pantai, dan meninggalkan pantai untuk kembali ke hotel lagi.

   lak ada tempat lain yang menarik.

   Sepanjang pantai sudah kujalani tanpa melihat dia, jadi dia pasti ada di hotel.

   Aku masuk.

   Beberapa orang sedang duduk di lobi yang kecil itu, tapi orang yang kucari tak ada di antara mereka.

   Aku melihat ke ruangan-ruangan lain, namun bayangannya pun tak ada.

   Aku menunggu beberapa lamanya, sampai kesabaranku habis.

   Kuajak petugas penjaga pintunya ke suatu sudut, lalu kuselipkan lima franc ke dalam tangannya.

   "Saya ingin bertemu dengan seorang wanita yang menginap di sini. Seorang gadis berkebangsaan Inggris, orangnya kecil dan berambut hitam. Saya kurang tahu namanya."

   Laki-laki itu menggeleng, dan kelihatan dia seperti menahan senyum.

   "Tak ada wanita seperti yang Anda lukiskan itu menginap di sini."

   "Mungkin dia orang Amerika,"

   Aku menegaskan. Bodoh benar orang-orang ini. Tetapi laki-laki itu terus menggeleng.

   "Tidak ada, Tuan. Di sini hanya ada enam atau tujuh orang wanita Inggris dan Amerika, dan mereka semuanya jauh lebih tua daripada yang sedang Anda cari. Bukan di sini Anda harus mencarinya, Tuan."

   Dia kelihatan begitu yakin hingga aku jadi ragu.

   "Tapi wanita itu mengatakan bahwa dia menginap di sini."

   "Mungkin Tuan keliru -atau mungkin wanita itu yang keliru, karena ada seorang pria lain yang juga menanyakan dia."

   "Apa kata Anda?"

   Seruku keheranan.

   "Benar, Tuan. Seorang pria yang melukiskan wanita itu seperti Anda pula."

   "Bagaimana pria itu?"

   "Pria itu kecil, berpakaian bagus, rapi sekali, tak bercacat, kumisnya kaku, bentuk kepalanya aneh, dan matanya hijau."

   Poirot! Jadi itulah sebabnya dia tak mengizinkan aku menyertainya ke stasiun.

   Kurang ajar sekali! Akan kukatakan padanya supaya tidak mencampuri persoalanku.

   Apakah sangkanya aku memerlukan seorang perawat untuk mengawasi diriku? Setelah mengucapkan terima kasih pada orang itu aku pergi.

   Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat, aku masih jengkel sekali pada temanku yang suka mencampuri soalku.

   Saat itu aku menyesal sekali bahwa waktu itu dia berada jauh dari jangkauanku.

   Aku akan senang sekali kalau aku bisa mengatakan padanya, apa pendapatku mengenai campur tangannya yang tak diinginkan itu.

   Bukankah sudah kukatakan jelas-jelas, bahwa aku tak punya niat untuk menjumpai gadis itu lagi? Seorang sahabat memang tak boleh terlalu suka campur tangan! Tetapi di mana gadis itu? Rasa benciku kukesampingkan dulu, dan aku mencoba memecahkan teka-teki itu.

   Agaknya, karena kecerobohannya, dia telah salah menyebutkan nama hotelnya.

   Kemudian aku mendapatkan suatu pikiran lain.

   Apakah itu benar karena kecerobohan? Atau mungkinkah dia dengan sengaja menyembunyikan namanya dan memberikan alamat yang salah? Makin lama aku memikirkannya, makin yakin aku, bahwa dugaanku yang terakhir ini yang benar.

   Entah dengan alasan apa, dia tak ingin perkenalan kami berkembang menjadi persahabatan.

   Dan meskipun setengah jam yang lalu hal itu merupakan keinginanku pula, aku tak mau aku yang menjadi pihak yang ditolak.

   Semua kejadian itu sangat tak menyenangkan hatiku, dan aku lalu pergi ke Villa GeneviEve dalam keadaan hati yang kacau.

   Aku tak pergi ke rumah, melainkan pergi ke jalan setapak, ke bangku kecil di dekat gudang, lalu duduk dengan murung.

   Pikiranku terganggu oleh bunyi suara-suara dari jarak dekat.

   Sebentar kemudian aku menyadari bahwa suara-suara itu tidak berasal dari kebun tempatku berada, melainkan dari kebun di sebelah, yaitu kebun Villa Marguerite, dan suara-suara itu mendekat dengan cepat.

   Suara seorang gadis berbicara, suara yang kukenali sebagai suara Marthe yang cantik.

   "Sayang,"

   Katanya.

   "benarkah itu? Apakah semua kesulitan kita sudah berlalu?"

   "Kau tahu itu, Marthe,"

   Sahut suara Jack Renauld.

   "Sekarang, tak satu pun yang bisa memisahkan kita, Sayang. Halangan terakhir terhadap hubungan kita sudah tersingkirkan. Tak satu pun bisa memisahkan kau dari aku."

   "Tak satu juga pun?"

   Gumam gadis itu.

   "Aduh, Jack, Jack -aku takut."

   Aku berniat untuk pergi dari situ, karena aku menyadari bahwa tanpa sengaja aku telah mendengarkan percakapan orang.

   Waktu aku bangkit, mereka dapat kulihat melalui suatu celah pada pagar.

   Mereka berdua berdiri menghadap ke arahku.

   Yang laki-laki memeluk gadis itu, sambil menatap matanya.

   Mereka memang merupakan pasangan yang serasi sekali, pemuda berambut hitam yang tampan dan dewi muda cantik yang berambut pirang.

   Sedang mereka berdiri di situ, mereka memang kelihatannya seperti pinang dibelah dua.

   Mereka berbahagia, meskipun dalam umur yang begitu muda mereka sudah dibayangi tragedi yang begitu mengerikan.

   Tetapi wajah gadis itu murung, dan Jack Renauld agaknya melihat hal itu.

   Sambil mendekap gadis itu lebih erat lagi, dia bertanya.

   "Tapi apa yang kaukatakan, Sayang? Apa yang harus ditakutkan -sekarang?"

   Kemudian tampak olehku pandangan di mata gadis itu, pandangan seperti yang dikatakan Poirot. Gadis itu menggumam, hingga aku hanya bisa menerka apa yang diucapkannya melihat gerak bibirnya "Aku takut -demi kau."

   Aku tak mendengar jawab Jack Renauld, karena perhatianku tertarik pada sesuatu yang aneh agak di ujung pagar.

   Di situ tampak serumpun semak yang berwarna cokelat, suatu hal yang aneh sekali, mengingat bahwa sekarang masih awal musim panas.

   Aku melangkah akan menyelidikinya, tetapi waktu aku mendekat, semak cokelat itu menghindar cepat-cepat, dan berhadapan denganku dengan jari di bibirnya.

   Dia adalah Giraud.

   Demi kewaspadaan, dia mengajakku ke belakang gudang sampai ke tempat di mana kami tak bisa didengar orang.

   "Apa yang Anda lakukan di sana tadi?"

   Tanyaku.

   "Sama benar dengan apa yang sedang Anda lakukan -memasang telinga."

   "Tapi saya berada di tempat itu tadi tidak sengaja!"

   "Oh!"

   Kata Giraud.

   "Saya sengaja."

   Sebagaimana biasa, aku mengagumi laki-laki itu sementara aku juga membencinya. Dia memandangiku dari atas sampai ke bawah dengan semacam pandangan menyalahkan.

   "Dengan mengganggu begini, Anda tidak akan membantu menyelesaikan persoalan. Saya tadi sebenarnya hampir mendengar percakapan yang mungkin akan berguna. Anda apakan manusia purba Anda itu?"

   "Tuan Poirot sedang pergi ke Paris,"

   Sahutku dingin.

   "Dan sebaiknya saya katakan pada Anda, Tuan Giraud, bahwa beliau sama sekali bukan manusia purba. Dia telah menyelesaikan banyak perkara yang benar-benar telah mengelabui kepolisian Inggris."

   "Bah! Kepolisian Inggris!"

   Giraud menjentikkan jarinya dengan mengejek.

   "Mereka itu pasti hanya setaraf dengan Pak Hakim Pemeriksa kita itu. Jadi dia pergi ke Paris, rupanya? Yah, bagus juga. Makin lama dia berada di sana, makin baik. Tapi apa pikirnya yang akan ditemukannya di sana?"

   Kurasa aku mendengar nada kuatir dalam suaranya. Hal itu menghidupkan semangatku.

   "Saya tak boleh mengatakan hal itu,"

   Kataku dengan tenang. Giraud menatapku dengan tajam.

   "Mungkin dia memang bijak untuk mengatakannya pada Anda,"

   Katanya dengan kasar.

   "Selamat petang. Saya sibuk."

   Setelah berkata begitu dia berbalik dan meninggalkan aku tanpa basa-basi.

   Agaknya keadaan sedang mogok di Villa GeneviEve.

   Giraud tidak menginginkan aku bersamanya, dan berdasarkan apa yang kulihat tadi, pasti Jack Renauld pun tak suka.

   Aku kembali ke kota, berenang dengan nyaman lalu kembali ke hotel.

   Aku pergi tidur lebih awal, dengan perasaan ingin tahu, apakah esok harinya akan muncul sesuatu yang menarik.

   Aku sama sekali tak siap untuk menghadapi apa yang sebenarnya terjadi.

   Aku sedang sarapan sederhana di ruang makan ketika pelayan, yang semula sedang bercakap-cakap dengan seseorang di luar, masuk kembali dengan bergegas.

   Dia bimbang sebentar mempermainkan serbetnya, lalu dikatakannya semua.

   "Maafkan saya, Tuan. Bukankah Tuan punya hubungan dengan perkara di Villa GeneviEve itu?"

   "Ya,"

   Kataku dengan bersemangat.

   "Ada apa?"

   "Belumkah Tuan mendengar beritanya?"

   "Berita apa?"

   "Bahwa semalam ada pembunuhan lagi di sana?"

   "Apa?"

   Kutinggalkan sisa sarapanku, kusambar topiku lalu aku berlari secepat-cepatnya.

   Ada pembunuhan lagi, padahal Poirot tak ada.

   Berbahaya sekali.

   Lalu siapa yang terbunuh? Aku berlari memasuki pintu pagar.

   Sekelompok pelayan berdiri di jalan masuk mobil, sambil bercakap-cakap dengan disertai gerakan-gerakan tangan.

   Lengan FranCoise kutangkap.

   "Apa yang telah terjadi?"

   "Oh, Tuan, Tuan! Suatu pembunuhan lagi! Mengerikan sekali. Rumah ini sudah kena kutukan rupanya. Ya, saya yakin pasti sudah dikutuk! Seharusnya dipanggil pastor dengan membawa air suci. Satu malam pun saya tak mau lagi tidur di bawah atap rumah ini. Mungkin nanti giliran saya pula, siapa tahu?"

   Dia membuat salib.

   "Ya,"

   Teriakku.

   "tapi siapa yang terbunuh?"

   "Mana saya tahu. Seorang laki-laki -seseorang yang tak dikenal. Mereka menemukannya di sana itu -di dalam gudang -tak sampai sembilan puluh meter dari tempat mereka menemukan jenazah Tuan kami yang malang itu. Dan itu belum semua. Dia ditikam -ditikam jantungnya, dengan pisau belati yang sama!"

   Bab 14 MAYAT YANG KEDUA TANPA menunggu apa-apa lagi, aku berbalik lalu berlari melalui jalan setapak yang menuju ke gudang.

   Dua orang yang mengawal di situ menyingkir memberi jalan padaku, dan aku masuk dengan perasaan kacau.

   Di dalam agak gelap.

   Tempat itu hanya merupakan bangunan kasar dari kayu untuk menyimpan pot-pot dan alat-alat tua.

   Aku masuk menerobos saja, tetapi di ambang pintu aku menahan langkahku, aku terpana melihat pemandangan di hadapanku.

   Giraud sedang merangkak lagi.

   Sambil memegang sebuah senter, diperiksanya setiap jengkal tanah di situ.

   Dia mendongak sambil mengerutkan alisnya waktu aku masuk, lalu wajahnya menjadi agak lembut, tetapi dengan pandangan agak sombong dan geli.

   "Nah, ini dia Tuan dari Inggris! Mari masuk. Mari kita lihat bagaimana Anda menyelesaikan perkara ini."

   Aku merasa tersinggung mendengar nadanya, lalu kutundukkan kepalaku dan masuk.

   "Itu dia,"

   Kata Giraud, sambil menyorotkan senternya ke sudut yang jauh.

   Aku melangkah ke tempat itu.

   Mayat itu terbujur tertelentang.

   Panjang tubuhnya sedang saja, kulit mukanya agak hitam, dan dia mungkin berumur lima puluh tahun.

   Pakaiannya rapi, memakai setelan biru, berpotongan bagus dan mungkin dibuat oleh seorang penjahit dengan bayaran mahal, meskipun pakaian itu tak baru lagi.

   Wajahnya kaku sekali, dan di sebelah kiri tubuhnya, tepat di tentang jantungnya, tertancap gagang pisau belati, hitam dan berkilat.

   Aku mengenalinya.

   Belati itu adalah belati yang terdapat dalam stoples kaca kemarin pagi! "Saya menunggu dokter yang akan datang setiap saat,"

   Giraud menjelaskan.

   "Meskipun sebenarnya kita boleh dikatakan tidak membutuhkannya lagi. Tak perlu diragukan lagi apa penyebab kematiannya. Dia ditikam di jantungnya, dan kematiannya tentu terjadi seketika."

   "Kapan hal itu terjadi? Semalam?"

   Giraud menggeleng.

   "Saya tak yakin. Saya tak mau mencampurkan hukum pada kesaksian medis, tapi menurut saya orang ini sudah lebih dari dua belas jam meninggal. Kapan kata Anda, Anda melihat pisau belati ini terakhir?"

   "Kira-kira pukul sepuluh kemarin pagi."

   "Kalau begitu saya cenderung untuk menetapkan bahwa kejahatan itu dilakukan tak lama setelah itu."

   "Tapi orang tak henti-hentinya lalu-lalang di gudang ini."

   Giraud tersenyum tak sependapat.

   "Anda membuat kemajuan hebat! Siapa yang mengatakan pada Anda bahwa dia dibunuh di gudang ini?"

   "Yah -"

   Hatiku panas.

   "Saya -berkesimpulan begitu."

   "Oh, sungguh seorang detektif yang hebat! Lihatlah dia itu, mon petit -apakah seseorang yang sudah ditikam di jantungnya jatuh seperti itu -dengan rapi, dengan kaki lurus dan rapat, dan lengannya lurus di sisinya? Tentu tidak, bukan? Kemudian, apakah seseorang berbaring tertelentang dan membiarkan dirinya ditikam tanpa mengangkat tangannya untuk membela dirinya? Tak masuk akal, bukan? Tapi lihatlah ini -dan ini -"

   Senternya disorotkannya di sepanjang tanah. Kulihat bekas-bekas aneh yang tak beraturan di tanah kotor yang lembut itu.

   "Dia diseret kemari setelah dia mati. Setengah diseret, setengah ditopang oleh dua orang. Bekas-bekasnya tak kelihatan di tanah yang keras di luar, sedang di sini mereka berhati-hati dan menghapusnya -tapi salah seorang di antaranya adalah seorang wanita, Sahabat."

   "Seorang wanita?"

   "Ya."

   "Tapi bila bekas-bekasnya telah dihapus, bagaimana Anda bisa tahu?"

   "Karena, meskipun sudah disamarkan, bekas-bekas sepatu wanita tak dapat diragukan. Juga, dengan ini -"

   Dan, sambil membungkuk dia menarik sesuatu dari gagang pisau belati itu, lalu ditunjukkannya padaku.

   Yang diperlihatkannya itu adalah sehelai rambut wanita yang berwarna hitam -sama dengan rambut yang diambil Poirot dari kursi di kamar baca.

   Dengan tersenyum mengejek, rambut itu dililitkannya di sekeliling pisau belati itu lagi.

   "Barang-barang yang ada di sini, sedapat mungkin, kita biarkan sebagaimana adanya,"

   Katanya menjelaskan.

   "Hakim Pemeriksa lebih suka demikian. Eh bien, adakah Anda melihat sesuatu yang lain lagi?"

   Aku terpaksa menggeleng.

   "Lihat tangannya."

   Aku melakukan yang disuruhnya itu. Kukunya patah-patah dan warnanya kotor, sedang kulitnya kelihatan kasar. Keadaan itu tidak memberikan penjelasan seperti yang kuingini. Aku memandang Giraud.

   "Tangan itu bukan tangan pria yang berkedudukan baik,"

   Katanya membalas pandanganku.

   "Sebaliknya, pakaiannya adalah pakaian orang yang berada. Aneh, bukan?"

   "Aneh sekali,"

   Kataku membenarkan.

   "Dan tak ada bekas apa-apa pada pakaiannya. Apa yang dapat Anda simpulkan dari situ? Orang ini mencoba menampilkan diri seolah-olah dia orang lain. Dia menyamar. Mengapa? Adakah sesuatu yang ditakutinya? Apakah dia sedang mencoba melarikan dirinya dengan menyamar itu? Untuk sementara ini, kita belum tahu, tapi satu hal sudah kita ketahui -dia berusaha keras untuk menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya, sedang kita berusaha keras untuk mengetahuinya."

   Dia melihat ke mayat itu lagi.

   "Seperti juga yang terdahulu, tak ada bekas sidik jari pada gagang pisau belati itu. Pembunuhnya memakai sarung tangan juga."

   "Jadi, menurut Anda, pembunuhnya sama dalam kedua perkara ini?"

   Tanyaku dengan bersemangat. Arti pandangan Giraud tak dapat kuduga.

   "Tak usah pikirkan apa pendapat saya. Kita lihat saja nanti. Marchaud!"

   Agen polisi itu muncul di ambang pintu.

   "Ya, Tuan?"

   "Mengapa Nyonya Renauld tak ada di sini? Sudah seperempat jam aku memintanya datang."

   "Beliau sedang dalam perjalanan ke mari, Tuan, dan putranya juga."

   "Bagus. Tapi aku hanya ingin menjumpai seorang demi seorang."

   Marchaud memberi salam, lalu menghilang lagi. Sesaat kemudian dia muncul lagi dengan Nyonya Renauld.

   "Ini Nyonya Renauld."

   Giraud maju sambil mengangguk singkat.

   "Silakan ke mari, Nyonya."

   Wanita itu dituntunnya ke seberang ruangan itu, lalu dia tiba-tiba menyingkir dan berkata.

   "Ini orangnya. Kenalkah Anda padanya?"

   Sambil berbicara, matanya menatap wajah wanita itu dengan pandangan yang tajam sekali, akan mencoba membaca pikirannya, dan mencatat semua gerak-geriknya.

   Tetapi Nyonya Renauld tetap tenang sekali -kurasa bahkan terlalu tenang.

   Dia menunduk melihat mayat itu dengan hampir-hampir tidak memperlihatkan perhatian, dan sama sekali tanpa ada tanda-tanda terkejut atau pengenalan.

   "Tidak,"

   Katanya.

   "Saya tak pernah melihatnya selama hidup saya. Orang ini sama sekali tak saya kenal."

   "Yakinkah Anda?"

   "Yakin sekali."

   "Tidakkah Anda mengenalinya sebagai salah seorang yang menyerang Anda, umpamanya?"

   "Tidak,"

   Dia kelihatan agak ragu, karena teringat akan hal itu.

   "tidak, saya rasa bukan. Bukankah mereka berjanggut -yang menurut Hakim Pemeriksa adalah janggut palsu, namun demikian -tidak."

   Kini kelihatannya dia benar-benar telah mengambil keputusan.

   "Saya yakin bahwa laki-laki ini bukan salah seorang di antara mereka."

   "Baiklah, Nyonya. Cukup sekian saja, kalau begitu."

   Wanita itu keluar dengan kepala tegak, matahari memantulkan cahaya berkilat di rambutnya yang hitam.

   Jack Renauld menyusulnya.

   Anak muda itu pun tak bisa mengenali laki-laki itu.

   Sikapnya wajar sekali.

   Giraud hanya menggeram saja.

   Aku tak dapat memastikan apakah dia senang atau jengkel.

   Dia hanya berseru pada Marchaud.

   "Adakah yang seorang lagi di situ?"

   "Ada, Tuan."

   "Bawa dia masuk." 'Yang seorang lagi itu' rupanya adalah Nyonya Daubreuil. Dia masuk dengan marah-marah, sambil memprotes keras.

   "Saya keberatan, Tuan! Ini suatu hinaan! Apa hubungan diri saya dengan ini semua?"

   "Nyonya,"

   Kata Giraud dengan kasar.

   "saya sedang menyelidiki bukan hanya satu pembunuhan, melainkan dua! Menurut saya, bisa saja Nyonya telah melakukan keduanya."

   "Berani benar Anda!"

   Teriaknya.

   "Berani benar Anda menghina saya dengan tuduhan begitu! Sungguh keji!"

   "Keji, kata Anda? Bagaimana dengan ini?"

   Sambil membungkuk, dilepaskannya lagi rambut yang terlilit tadi, lalu diangkatnya.

   "Anda lihat ini, Nyonya?"

   Dia mendekati wanita itu.

   "Izinkanlah saya melihat, apakah rambut ini cocok dengan warna rambut Anda."

   Sambil berteriak wanita itu melompat mundur, bibirnya pucat.

   "Itu tuduhan palsu -saya berani bersumpah. Saya tak tahu apa-apa mengenai kejahatan itu -kedua kejahatan itu. Siapa pun yang berkata bahwa saya terlibat, telah berbohong! Oh, Tuhan! Apa yang harus saya lakukan?"

   "Tenanglah, Nyonya,"

   Kata Giraud dingin.

   "Belum ada seorang pun yang menuduh Anda. Tapi sebaiknya Anda jawab pertanyaan-pertanyaan saya tanpa banyak macam-macam."

   "Apa saja yang Anda kehendaki, Tuan."

   "Lihatlah mayat orang itu. Pernahkah Anda melihatnya?"

   Sambil bergerak mendekat, dan darahnya sudah mulai meronai wajahnya lagi, Nyonya Daubreuil menunduk melihat kepada korban dengan perhatian yang cukup besar, dan ingin tahu. Kemudian dia menggeleng.

   "Saya tidak mengenalnya."

   Agaknya tak seorang pun bisa meragukannya, kata-katanya keluar begitu wajar. Giraud menyatakan dia boleh pergi dengan menganggukkan kepalanya saja.

   "Anda biarkan dia pergi?"

   Tanyaku dengan berbisik.

   "Apakah itu tak keliru? Rambut hitam itu pasti berasal dari kepalanya."

   "Saya tak perlu diajar dalam urusan saya,"

   Kata Giraud datar.

   "Dia berada dalam pengawasan. Saya belum mau menahannya."

   Kemudian dia menoleh pada mayat itu, sambil mengerutkan alisnya.

   "Apakah menurut Anda orang ini berpotongan orang Spanyol?"

   Tanyanya tiba-tiba. Kuperhatikan wajah mayat itu dengan cermat.

   "Tidak,"

   Kataku akhirnya.

   "Menurut saya, dia pasti orang Prancis."

   Giraud menggeram dengan kesal.

   "Sama saja."

   Dia berdiri diam sejenak, lalu dengan suatu isyarat disuruhnya aku menyingkir, lalu dia merangkak lagi dan melanjutkan penyelidikannya di lantai gudang itu.

   Dia memang luar biasa.

   Tak satu pun luput dari pemeriksaannya.

   Setiap inci dari lantai itu dijalaninya, membalik pot-pot, memeriksa karung-karung.

   Sebuah buntalan di dekat pintu disambarnya, tapi buntalan itu ternyata hanya terdiri dari jas dan celana kumal saja, lalu dilemparkannya dengan geram.

   Dua pasang sarung tangan tua menarik perhatiannya, tapi akhirnya dia menggeleng, lalu menyingkirkannya.

   Kemudian dia kembali ke pot-pot tadi, membalik-baliknya satu demi satu dengan cara tertentu.

   Akhirnya, dia bangkit sambil menggeleng dengan penuh pikiran.

   Agaknya dia heran dan tak mengerti.

   Kurasa dia lupa akan kehadiranku di situ.

   Tapi pada saat itu terdengar suatu gerak dan kesibukan dari luar, dan sahabat lama kami, Hakim Pemeriksa, yang disertai juru tulisnya dan Tuan Bex, dengan dokter di belakangnya, masuk beramai-ramai.

   "Ini benar-benar luar biasa, Tuan Giraud,"

   Seru Tuan Hautet.

   "Satu lagi kejahatan! Rupanya kita belum sampai ke dasar perkara ini. Ada suatu misteri yang kelam di sini. Lalu siapa korbannya kali ini?"

   "Itulah yang belum dapat dikatakan oleh siapa pun juga pada kita, Pak Hakim. Belum ada yang bisa mengenalinya."

   "Mana mayat itu?"

   Tanya dokter. Giraud bergerak agak menyingkir.

   "Itu di sudut. Dia ditikam tepat di jantungnya, sebagaimana yang dapat Anda lihat. Dan dengan pisau belati yang dicuri kemarin pagi pula. Menurut saya, pembunuhan itu dilakukan langsung setelah pencurian pisau itu -tapi Andalah yang bisa memastikannya. Anda bisa memegang pisau belati itu dengan bebas -tak ada bekas sidik jarinya di situ."

   Dokter berlutut di dekat mayat laki-laki itu, dan Giraud berpaling pada Hakim Pemeriksa.

   "Suatu perkara yang menarik, bukan? Tapi saya akan menyelesaikannya."

   "Jadi tak seorang pun bisa mengenalinya?"

   Tanya Hakim Pemeriksa dengan termangu.

   "Mungkinkah dia salah seorang dari pembunuh itu? Mungkin telah terjadi perpecahan antara mereka."

   Giraud menggeleng.

   "Laki-laki ini orang Prancis -saya berani disumpah, bahwa -"

   Pada saat itu pembicaraan mereka dipotong oleh dokter, yang duduk berjongkok dengan air muka tak mengerti.

   "Dia dibunuh kemarin pagi, kata Anda?"

   "Saya menyesuaikannya dengan pencurian pisau belati itu,"

   Giraud menerangkan.

   "Tapi mungkin saja dia dibunuh siang harinya."

   "Siang harinya? Omong kosong! Orang ini sekurang-kurangnya sudah empat puluh delapan jam mati, bahkan mungkin lebih lama."

   Kami semua berpandangan dengan terbelalak keheranan.

   Bab 15 SEBUAH FOTO KATA-KATA dokter itu demikian mengejutkan, hingga kami semua terpana seketika.

   Laki-laki ini telah ditikam dengan sebilah pisau belati, yang sepanjang pengetahuan kami dicuri dua puluh empat jam sebelumnya, namun Dokter Durand menerangkan dengan pasti bahwa dia sudah mati sekurang-kurangnya empat puluh delapan jam.

   Semuanya itu sangat mengherankan.

   Belum lagi kami pulih dari kejutan gara-gara pemberitahuan dokter itu, datang pula sepucuk telegram untukku.

   Telegram itu diteruskan oleh pihak hotel ke villa.

   Kusobek telegram itu.

   Ternyata dari Poirot, yang memberitahukan bahwa dia akan kembali naik kereta api, dan akan tiba di Merlinville pukul dua belas lewat dua puluh delapan menit.

   Aku melihat ke arlojiku dan menyadari bahwa bila aku ingin pergi ke stasiun untuk menjemputnya tanpa tergesa-gesa, aku harus segera berangkat.

   Aku merasa bahwa dia perlu sekali segera mengetahui tentang perkembangan-perkembangan baru yang mengejutkan dalam perkara itu.

   Rupanya, pikirku, Poirot tidak mengalami kesulitan dalam menemukan apa yang dicarinya di Paris.

   Kedatangannya kembali dengan cepat membuktikan hal itu.

   Beberapa jam saja sudah cukup.

   Aku ingin tahu, bagaimana dia menanggapi berita hangat yang akan kusampaikan.

   Kereta api terlambat beberapa menit, dan aku berjalan santai hilir-mudik tanpa tujuan di peron.

   Tiba-tiba aku berpikir, sebaiknya kumanfaatkan waktu itu dengan menanyakan beberapa pertanyaan, siapa yang telah berangkat dari Merlinville naik kereta api terakhir pada malam hari tragedi itu terjadi.

   Kudatangi kepala petugas pengangkut barang, seseorang yang kelihatan cerdas.

   Tanpa susah-payah aku berhasil membujuknya untuk membicarakan soal itu.

   Sungguh sesuatu yang memalukan kepolisian, katanya dengan berapi-api, bahwa pembunuh itu bisa berkeliaran tanpa dihukum.

   Kukatakan bahwa ada kemungkinannya mereka berangkat naik kereta api tengah malam, tapi dia membantah gagasan itu dengan tegas.

   Dia pasti bisa mengenali dua orang asing -dia yakin akan hal itu.

   Hanya kira-kira dua puluh orang yang berangkat dengan kereta api, dan dia tak mungkin gagal mengenalinya.

   Aku tak tahu bagaimana aku sampai mendapatkan gagasan itu -mungkin karena rasa takut yang mendalam yang terdengar di suara Marthe Daubreuil -tapi aku lalu tiba-tiba bertanya.

   "Bagaimana dengan Tuan muda Renauld -dia tidak berangkat naik kereta api, bukan?"

   "Ah, tidak, Tuan. Datang dan berangkat lagi hanya dalam jangka waktu setengah jam, tak masuk akal, bukan?"

   Aku terbelalak memandang laki-laki itu. Aku hampir-hampir tak mengerti kata-katanya. Kemudian barulah mataku terbuka.

   "Maksud Anda,"

   Kataku, dengan hati yang agak berdebar.

   "bahwa Tuan Jack Renauld tiba di Merlinville pada malam itu juga?"

   "Benar, Tuan. Naik kereta api yang terakhir, yang tiba pukul sebelas lewat empat puluh menit."

   Otakku berputar.

   Rupanya itulah alasan dari ketakutan Marthe yang amat sangat.

   Jack Renauld ada di Merlinville pada malam hari kejahatan itu terjadi! Tapi mengapa dia tidak mengatakannya? Mengapa kami sebaliknya disuruhnya percaya, bahwa dia ada di Cherbourg? Membayangkan wajahnya yang jujur yang kekanakan, aku rasanya tak bisa menduga bahwa dia ada hubungan dengan kejahatan itu.

   Namun, mengapa dia menutup mulut mengenai soal yang begitu penting? Satu hal sudah jelas.

   Marthe selama ini sudah tahu.

   Karena itu dia begitu takut, dan dengan sangat ingin tahu bertanya pada Poirot apakah ada seseorang yang dicurigai.

   Renunganku terganggu oleh kedatangan kereta api, dan sesaat kemudian aku sudah menyalami Poirot.

   Pria kecil itu tampak berseri-seri.

   Dia ceria sekali dan berceloteh dengan riang.

   Dia merangkulku dengan hangat di peron, dia lupa bahwa sebagai orang Inggris, aku tak menyukai hal itu.

   "Mon cher ami, aku telah berhasil -berhasil luar biasa."

   "Begitukah? Aku senang mendengarnya. Sudahkah kau mendengar berita yang terakhir di sini?"

   "Bagaimana aku bisa mendengar apa-apa? Apakah ada perkembangan-perkembangan baru? Apakah Giraud yang jagoan itu telah menahan seseorang? Atau beberapa orang barangkali. Aku akan membuat orang itu merasa malu! Tapi, akan kaubawa ke mana aku ini, Sahabatku? Apakah kita tidak akan pergi ke hotel? Aku masih perlu mengurus kumisku -kumis ini sudah menjadi layu sekali gara-gara panasnya dalam perjalanan tadi. Dan, jasku tentu penuh debu. Lalu dasiku pun tentu perlu diperbaiki letaknya."

   Celotehnya tentang pakaiannya itu kupotong.

   "Poirot yang baik -biarkanlah semuanya itu. Kita harus segera pergi ke villa. Di sana telah terjadi suatu pembunuhan lagi!"

   Aku sering mengalami kekecewaan bila aku menyangka bahwa aku telah memberikan berita penting pada sahabatku itu.

   Biasanya berita itu sudah diketahuinya atau berita itu disisihkannya saja, karena dianggapnya tak ada hubungannya dengan soal yang utama -dan dalam keadaan yang terakhir, keadaan biasanya membuktikan bahwa dia memang benar.

   Tetapi kali ini aku tak kecewa.

   Tak pernah aku melihat orang lebih terkejut dari dia.

   Dia ternganga.

   Semua keceriaan lenyap dari dirinya.

   Dia menatapku dengan terbelalak.

   "Apa katamu? Suatu pembunuhan lagi? Aduh, kalau begitu aku keliru. Aku telah gagal. Giraud bisa mencemoohkan aku -dia akan punya alasan untuk itu."

   "Jadi kau tidak tahu hal itu terjadi?"

   "Aku? Sama sekali tidak. Kejadian itu merobohkan teoriku -menghancurkan segala-galanya -aduh, tidak!"

   Dia tiba-tiba berhenti, meninju dadanya.

   "Tak mungkin. Aku tak mungkin keliru! Fakta-fakta yang telah kukumpulkan dengan begitu teratur dan dengan urut-urutan yang begitu baik, hanya mungkin punya satu penyelesaian. Aku harus benar! Aku memang benar!"

   "Tapi lalu -"

   Dia menyelaku.

   "Tunggu, Sahabatku. Aku harus benar, oleh karenanya pembunuhan yang baru terjadi itu tak mungkin, kecuali -kecuali -ah, tidak. Kuminta, jangan kaukatakan apa-apa -"

   Beberapa menit lamanya dia diam saja, lalu, dengan sikapnya yang seperti biasa lagi, dia berkata dengan tenang dan dengan suara penuh keyakinan.

   "Si korban adalah seorang laki-laki setengah baya. Mayatnya ditemukan dalam gudang yang terkunci, di dekat tempat kejadian kejahatan yang pertama, dan dia sekurang-kurangnya sudah empat puluh delapan jam meninggal. Dan mungkin sekali, dia ditikam dengan cara yang sama seperti Tuan Renauld, meskipun tak perlu di punggung."

   Kini giliranku untuk ternganga -sungguh-sungguh ternganga. Selama aku mengenal Poirot, tak pernah dia melakukan sesuatu yang begitu gemilang. Dan mau tak mau, timbullah keraguan dalam pikiranku.

   "Poirot,"

   Teriakku.

   "kau mempermainkan aku. Kau sudah mendengar segala-galanya."

   Dia memandangi aku dengan serius, seperti menegur.

   "Apakah aku mau berbuat begitu? Sungguh, aku sama sekali tidak mendengar apa-apa. Tak kaulihatkah betapa terkejutnya aku mendengar beritamu tadi?"

   "Tapi, demi Tuhan, bagaimana kau bisa tahu semuanya itu?"

   "Jadi dugaanku tadi benar? Aku sudah tahu. Sel-sel kecil yang kelabu, Sahabatku, sel-sel kecil yang kelabu! Sel-sel itulah yang memberi tahu aku. Dengan cara itu, dan tak mungkin dengan cara lain, kematian kedua itu bisa terjadi. Nah, sekarang ceritakanlah semuanya padaku. Bila kita membelok ke sebelah kiri di sini, kita bisa lewat jalan pintas melalui lapangan golf, supaya kita bisa sampai di belakang Villa GeneviEve jauh lebih cepat."

   Sambil kami berjalan, dengan mengambil jalan yang dianjurkannya, kuceritakan semua yang kuketahui, Poirot mendengarkan dengan saksama.

   "Pisau belatinya ada di lukanya katamu? Sungguh aneh. Yakinkah kau bahwa pisau belati itu pisau yang sama?"

   "Yakin sekali. Itulah yang menjadikan hal itu rasanya tak mungkin."

   "Tak ada satu pun yang tak mungkin. Mungkin ada dua buah pisau belati yang serupa."

   Alisku terangkat.

   "Itu kan sama sekali tak mungkin? Itu akan merupakan suatu kebetulan yang luar biasa."

   "Seperti biasanya, kau berbicara tanpa berpikir, Hastings. Dalam beberapa hal, dua buah senjata yang serupa, mungkin sekali. Tapi dalam hal ini tidak. Senjata khusus ini adalah tanda mata yang dibuat atas pesanan Jack Renauld. Tapi kalau dipikir-pikir, rasanya tak mungkin dia hanya menyuruh membuat sebuah. Besar kemungkinannya dia menyuruh membuat sebuah lagi untuk dipakainya sendiri."

   "Tapi tak seorang pun berkata demikian,"

   Kataku menyatakan keberatanku. Terdengar nada bicara seorang penceramah, waktu Poirot berkata lagi.

   "Sahabatku, dalam menangani suatu perkara, kita tidak hanya mempertimbangkan hal-hal yang disebut orang saja. Tak ada alasan orang mengucapkan apa-apa yang mungkin penting. Demikian pula, sering kali ada alasan penting untuk tidak mengatakannya. Kita tinggal memilih motif yang mana."

   Aku terdiam, aku harus mengakui bahwa aku terkesan.

   Beberapa menit kemudian kami tiba di gudang itu.

   Kami menemukan semua teman kerja kami di sana, dan setelah saling menyampaikan basa-basi sopan-santun, Poirot memulai pekerjaannya.

   Setelah melihat cara kerja Giraud tadi, aku jadi sangat tertarik.

   Poirot hanya melihat seperlunya saja ke keadaan sekitarnya.

   Satu-satunya barang yang diperiksanya adalah jas dan celana yang kumal yang tergumpal di dekat pintu.

   Tampak senyum cemooh menghiasi bibir Giraud, dan seolah-olah melihat hal itu, Poirot melemparkan buntalan itu kembali.

   "Apakah itu pakaian tua tukang kebun?"

   Tanyanya.

   "Tentu saja,"

   Kata Giraud.

   Poirot berlutut di dekat mayat.

   Jari-jarinya bergerak cepat namun penuh keahlian.

   Diselidikinya jenis Bahan pakaiannya, dan dia kelihatan merasa puas, karena tak ada bekas-bekasnya.

   Sepatu botnya diselidikinya dengan teliti pula, demikian pula kuku jari tangan yang patah-patah dan kotor.

   Sambil memeriksa kuku-kuku itu, dia bertanya dengan cepat pada Giraud.

   "Apakah Anda lihat ini?"

   "Ya, saya lihat,"

   Sahut yang ditanya. Wajahnya tetap tenang. Tiba-tiba Poirot menjadi tegang.

   "Dokter Durand!"

   "Ya?"

   Dokter itu maju.

   "Ada busa di bibirnya. Apakah Anda lihat itu?"

   "Harus saya akui bahwa saya tidak melihatnya."

   "Tapi sekarang Anda melihatnya, bukan?"

   "Oh, ya, tentu."

   Poirot melemparkan pertanyaan pada Giraud.

   "Anda pasti sudah melihatnya, bukan?"

   Yang ditanya tak menyahut.

   Poirot melanjutkan pekerjaannya.

   Pisau belati sudah dicabut dari lukanya.

   Benda itu terletak dalam sebuah stoples gelas di sisi mayat itu.

   Poirot menyelidiki pisau belati itu, lalu melihat lukanya dengan teliti.

   Waktu dia mengangkat mukanya, matanya tampak berapi-api, dan warna hijau yang begitu kukenal bersinar di mata itu.

   "Luka ini aneh! Tak ada darahnya. Tak pula ada bekasnya pada pakaiannya. Mata pisau belati itu hanya berbekas darah sedikit sekali. Bagaimana pendapat Anda Dokter?"

   "Saya hanya bisa berkata bahwa itu sangat tak wajar."

   "Itu sama sekali tak wajar. Dan amat sederhana. Laki-laki itu ditikam, sesudah dia meninggal."

   Lalu, sambil menenangkan paduan suara terkejut dari semua yang hadir, dengan mengangkat tangannya, Poirot berpaling pada Giraud, dan menambahkan.

   "Tuan Giraud sependapat dengan saya, bukan?"

   Apa pun yang sebenarnya dipikirkan Giraud, dia mengakui kebenaran itu tanpa ada perubahan sedikit pun pada otot mukanya. Dengan tenang dan hampir dengan nada cemooh, dia menjawab.

   "Tentu saya sependapat."

   Terdengar lagi suara dengung keheranan dan penuh perhatian.

   "Pikiran apa itu!"

   Seru Tuan Hautet "Menikam seseorang setelah dia meninggal! Tak beradab sekali! Tak pernah kita mendengar perbuatan seperti itu! Pembalasan dendam yang tak terperikan mungkin."

   "Bukan, Pak Hakim,"

   Kata Poirot.

   "Saya rasa itu dilakukan dengan darah dingin -untuk menciptakan suatu kesan tertentu."

   "Kesan apa?"

   "Kesan yang memang diciptakan,"

   Sahut Poirot. Para pendengarnya sulit memahaminya. Tuan Bex sedang berpikir.

   "Jadi bagaimana laki-laki itu terbunuh?"

   "Dia tidak dibunuh. Dia meninggal. Dia meninggal, Pak Hakim, kalau saya tidak terlalu keliru, karena serangan sakit ayan!"

   Pernyataan Poirot itu menimbulkan kekacauan cukup besar lagi. Dokter Durand berlutut lagi, lalu mengadakan pemeriksaan menyeluruh sekali lagi. Akhirnya dia bangkit.

   "Bagaimana, Pak Dokter?"

   "Tuan Poirot, saya harus mengakui bahwa pernyataan Anda memang benar. Saya semula salah duga. Pendapat umum yang seolah-olah tak dapat dibantah lagi, bahwa laki-laki itu telah ditikam, telah mengalihkan perhatian saya dari semua petunjuk-petunjuk yang lain."

   Pada saat itu Poirot merupakan pahlawan.

   Hakim pemeriksa memuji-mujinya terus.

   Poirot menanggapinya dengan luwes, lalu minta diri dengan alasan bahwa kami berdua belum sempat makan siang dan bahwa dia ingin menghilangkan letihnya akibat perjalanannya.

   Baru saja kami akan meninggalkan gudang itu, Giraud mendatangi kami.

   "Satu hal lagi, Tuan Poirot,"

   Katanya, dengan suaranya yang mencemooh dengan halus.

   "Kami menemukan ini terlilit pada gagang pisau belati. Ini rambut seorang wanita."

   "Oh!"

   Kata Poirot.

   "Rambut seorang wanita? Saya ingin tahu, rambut wanita mana ya?"

   "Saya juga ingin tahu,"

   Kata Giraud. Kemudian dia meninggalkan kami, setelah membungkuk.

   "Dia tetap berkeras, Giraud kita yang hebat itu,"

   Kata Poirot sambil merenung, dalam perjalanan kami ke hotel.

   "Aku ingin tahu ke arah mana dia ingin menyesatkan aku? Rambut seorang wanita -hm!"

   Kami makan siang dengan enak, namun Poirot tampak agak linglung dan kurang perhatian. Setelah itu kami pergi ke ruang duduk, dan di sana kuminta dia untuk menceritakan padaku tentang perjalanannya ke Paris yang misterius itu.

   "Dengan senang hati, Sahabatku. Aku pergi ke Paris untuk menemukan ini."

   Dari sakunya dikeluarkannya selembar guntingan surat kabar yang sudah kabur. Guntingan itu merupakan foto seorang wanita. Foto itu diberikannya padaku. Aku menyerukan kata seru.

   "Kau kenal kan, Sahabatku?"

   Aku mengangguk. Meskipun foto itu kelihatannya sudah lama sekali dibuat, dan rambutnya ditata dengan gaya yang lain, keserupaannya tak dapat dibantah.

   "Nyonya Daubreuil!"

   Aku berseru. Poirot menggeleng sambil tersenyum.

   "Kurang tepat, Sahabatku. Bukan itu namanya waktu itu. Itu adalah foto Madame Beroldy yang terkenal jahat itu!"

   Madame Beroldy! Sekilas semuanya kuingat kembali.

   Sidang pembunuhan yang telah menarik begitu banyak perhatian.

   Perkara Beroldy.

   Bab 16 PERKARA BEROLDY KIRA-KIRA dua puluh tahun yang lalu sebelum kisah yang sekarang ini terjadi, Tuan Arnold Beroldy, seorang yang berasal dari Lyons, tiba di Paris disertai istrinya yang cantik dan putri mereka yang waktu itu masih bayi.

   Tuan Beroldy adalah seorang patner yunior dalam sebuah perusahaan anggur.

   Dia adalah seorang pria setengah umur yang gemuk, yang menggemari hidup senang, sangat cinta pada istrinya yang cantik, dan sama sekali tidak menonjol dalam hal-hal lainnya.

   Perusahaan di mana Tuan Beroldy merupakan patner adalah sebuah perusahaan kecil.

   Dan meskipun berjalan dengan baik, perusahaan itu tidak memberikan penghasilan besar pada patner yunior.

   Keluarga Beroldy tinggal di sebuah apartemen yang kecil dan semula hidup dengan cara yang sederhana.

   Tetapi kalaupun Tuan Beroldy sangat tidak menonjol, istrinya sangat menyukai hal-hal yang romantis.

   Nyonya Beroldy masih muda dan cantik, apalagi berpembawaan sangat menarik, hingga dia segera menimbulkan kegemparan di daerah itu.

   Terutama ketika orang mulai membisikkan tentang suatu misteri yang menyelubungi.

   Didesas-desuskan bahwa dia adalah anak tak sah seorang Grand Duke dari Rusia.

   Ada pula yang mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang Archduke dari Austria, dan bahwa perkawinan orang tuanya adalah sah, meskipun ibunya adalah seorang kebanyakan.

   Tetapi semua pendapat sama mengenai satu hal, yaitu bahwa Jeanne Beroldy adalah pusat dari suatu misteri yang menarik.

   Bila ada orang yang ingin tahu dan bertanya, Nyonya Beroldy tidak membantah desas-desus itu.

   Sebaliknya, meskipun dia tetap bungkam, dibiarkannya orang menduga bahwa semua kisah itu mempunyai dasar yang benar.

   Pada sahabat-sahabat karibnya dia berkisah lebih banyak, berbicara tentang persekongkolan politik, tentang 'surat-surat tertentu', tentang bahaya tersembunyi yang mengancamnya.

   Banyak pula diceritakannya tentang permata-permata mahkota yang akan dijual secara diam-diam, dan dialah yang akan menjadi perantaranya.

   Di antara sahabat-sahabat dan kenalan keluarga Beroldy itu, ada seorang pengacara muda yang bernama Georges Conneau.

   Segera ternyata bahwa pria muda itu tergila-gila pada Jeanne yang mempesona itu.

   Diam-diam Nyonya Beroldy memberi harapan pada anak muda itu, namun dia selalu berhati-hati dan selalu menunjukkan pengabdian seutuhnya pada suaminya yang setengah baya itu.

   Namun banyak orang yang tak senang, dan tanpa ragu-ragu menyatakan bahwa Conneau adalah kekasih gelapnya -dan dia bukan pula satu-satunya! Setelah keluarga Beroldy berada di Paris kira-kira tiga bulan, muncul pula seorang tokoh baru dalam kehidupan mereka.

   Dia adalah Tuan Hiram P.

   Trapp, seorang pria berasal dari Amerika Serikat, pria itu kaya luar biasa.

   Begitu diperkenalkan pada Nyonya Beroldy yang menarik dan misterius, dia langsung menjadi korban pesonanya.

   Rasa kagumnya tak disembunyikannya, meskipun diselubunginya dengan rasa hormat.

   Sekitar waktu itu, Nyonya Beroldy jadi lebih berterus terang dalam menceritakan rahasia-rahasianya.

   Pada beberapa orang teman dikatakannya bahwa dia sangat menguatirkan keselamatan suaminya.

   Dijelaskannya bahwa suaminya telah terseret dalam beberapa peristiwa politik, dia juga bercerita tentang beberapa surat penting yang telah dipercayakan pada suaminya itu untuk diselamatkannya.

   Surat-surat itu mengenai suatu 'rahasia' yang penting mengenai Eropa Timur.

   Surat-surat itu dipercayakan di bawah pengawasannya untuk menyesatkan orang, tetapi Nyonya Beroldy merasa kuatir, karena dia sudah mengenal beberapa orang anggota penting dari lingkungan revolusi di Prancis.

   Pada tanggal dua puluh delapan November, terjadilah peristiwa itu.

   Wanita yang setiap hari datang untuk membersihkan rumah dan memasak untuk keluarga Beroldy terkejut mendapatkan pintu apartemen yang terbuka lebar.

   Karena mendengar bunyi samar-samar orang mengerang dari kamar tidur, dia masuk.

   Dia menemukan suatu pemandangan yang mengerikan.

   Nyonya Beroldy terbaring di lantai, dengan kaki tangan terikat, sambil mengeluarkan suara erangan yang halus, setelah berhasil mengeluarkan sumbat mulutnya.

   Di tempat tidur terbaring Tuan Beroldy, dalam genangan darah, dan sebuah pisau tertancap di jantungnya.

   Keterangan yang diberikan Nyonya Beroldy cukup jelas.

   Ketika dia tiba-tiba terbangun dari tidurnya, disadarinya dua orang yang bertopeng membungkuk di atas dirinya.

   Mereka menyumbat mulutnya untuk mencegah teriakannya, lalu mengikatnya.

   Kemudian mereka menuntut 'rahasia' yang terkenal itu dari Tuan Beroldy.

   Tetapi pedagang anggur yang pemberani itu menolak mentah-mentah untuk memenuhi permintaan mereka.

   Karena marahnya gara-gara permintaannya ditolak, salah seorang laki-laki itu dengan bernafsu menusuk jantungnya.

   Dengan menggunakan kunci-kunci si korban, mereka membuka tempat menyimpan perhiasan yang ada di sudut, dan membawa pergi segumpal kertas.

   Kedua laki-laki itu berjanggut lebat, dan memakai kedok, tetapi Nyonya Beroldy dapat mengatakan dengan pasti bahwa mereka adalah orang-orang Rusia.

   Peristiwa itu telah menimbulkan sensasi besar, yang lalu dikenal dengan nama 'Misteri Rusia'.

   Waktu berjalan terus, namun jejak kedua laki-laki yang berjanggut itu tak pernah bisa ditelusuri.

   Kemudian, baru saja perhatian orang banyak mulai mereda, terjadilah suatu perkembangan yang mengejutkan.

   Nyonya Beroldy ditahan dan dituduh membunuh suaminya.

   Waktu sidangnya dimulai telah timbul perhatian umum secara meluas.

   Usianya yang muda dan kecantikan tertuduh, serta sejarahnya yang misterius, sudah cukup untuk menjadikannya suatu peristiwa yang tersebar luas.

   Orang banyak terbagi-bagi, ada yang membenarkan ada yang menyalahkan tertuduh.

   Tetapi orang-orang yang memihaknya mendapatkan tantangan.

   Masa lalu Nyonya Beroldy yang romantis, darah ningratnya, dan komplotan-komplotan yang misterius, di mana dia menyatakan dirinya terlibat, ternyata hanya merupakan angan-angannya saja.

   Tanpa diragukan terbukti bahwa orang tua Jeanne Beroldy adalah pasangan biasa yang dihormati.

   Mereka adalah saudagar buah-buahan, di pinggiran kota Lyons.

   Grand Duke dari Rusia, komplotan-komplotan dalam sidang, dan rencana-rencana politik -semua cerita itu adalah karangan wanita itu sendiri! Dari otaknyalah terlahir kisah-kisah yang menyentuh hati itu, dan terbukti bahwa dia telah berhasil mengumpulkan uang dalam jumlah besar dari beberapa orang yang mudah percaya akan cerita karangannya mengenai permata-permata mahkota! Permata-permata itu ternyata hanya tiruan.

   Seluruh kisah hidupnya ditelanjangi dengan kejam.

   Motif pembunuhan itu terletak pada diri Tuan Hiram P.

   Trapp.

   Tuan Trapp berusaha keras untuk mengelak, tetapi ketika diinterogasi tanpa tenggang rasa dan dengan penuh keahlian, dia terpaksa mengakui bahwa dia mencintai wanita itu, dan bahwa seandainya wanita itu tidak terikat dalam pernikahan, dia akan melamarnya menjadi istrinya.

   Kenyataan bahwa hubungan keduanya adalah hubungan cinta murni dari hati memberatkan terdakwa.

   Karena tak berhasil menjadi kekasih simpanannya, karena pria itu punya pendirian yang terhormat, maka Jeanne Beroldy lalu menjalankan perbuatan terkutuk itu.

   Dibunuhnya suaminya yang setengah baya dan tidak mempunyai kelebihan apa-apa itu, untuk menjadi istri orang Amerika yang kaya-raya itu.

   Selama sidang itu, Nyonya Beroldy menghadapi para penuduhnya dengan tenang dan penuh percaya diri.

   Tak pernah dia berubah dalam keterangannya.

   Dia tetap menyatakan dengan tegas bahwa dia keturunan ningrat, dan bahwa dia telah ditukarkan menjadi putri penjual buah-buahan itu waktu dia masih kecil sekali.

   Meskipun pernyataan-pernyataan itu tak masuk akal dan sama sekali tak berdasar, banyak sekali orang yang percaya mutlak akan kebenarannya.

   Tetapi penuntut umum tak dapat dikecoh.

   Dalam tuntutannya dia menolak kisah tentang 'Orang-orang Rusia' itu, dan menyatakan bahwa kejahatan itu telah dijalankan oleh Nyonya Beroldy bersama kekasihnya, Georges Conneau.

   Maka dikeluarkanlah surat perintah untuk menahan pria itu.

   Tetapi dia cerdik, dan dia telah menghilang.

   Bukti menunjukkan bahwa ikatan perkawinan Nyonya Beroldy demikian rapuhnya, hingga dengan mudah dia dapat membebaskan dirinya.

   Lalu, menjelang penutupan sidang, sepucuk surat yang diposkan di Paris, dikirimkan ke alamat Jaksa Penuntut.

   Surat itu dari Georges Conneau, dan tanpa mencantumkan tempat dari mana dia menulis, surat itu berisi pengakuan penuh atas kejahatan itu.

   Dinyatakannya bahwa atas ajakan Nyonya Beroldy, dia memang telah melakukan kejahatan itu.

   Dia menyangka bahwa wanita itu telah diperlakukan dengan tak baik oleh suaminya, dan dia telah gelap mata oleh cintanya pada wanita itu.

   Dia yakin bahwa dia tidak bertepuk sebelah tangan.

   Dia lalu merencanakan kejahatan itu, dan kemudian menjalankan perbuatan yang akan membebaskan wanita yang dicintainya itu dari ikatan yang dibencinya.

   Kini dia baru mendengar tentang adanya Tuan Hiram P.

   Trap, dan menyadari bahwa wanita yang dicintainya telah mengkhianatinya! Wanita itu ingin bebas, bukan untuk kepentingannya -melainkan supaya bisa menikah dengan orang Amerika yang kaya itu.

   Wanita itu telah memperalatnya, dan sekarang, karena amukan rasa cemburunya, dia berbalik dan menuding wanita itu.

   Dinyatakannya, bahwa atas bujukan wanita itulah dia selama ini bertindak.

   Waktu itulah Nyonya Beroldy menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita yang hebat.

   Tanpa ragu dibatalkannya pembelaan dirinya yang terdahulu, dan mengakui bahwa mengenai 'Orang-orang Rusia' itu adalah semata-mata ciptaannya sendiri.

   Pembunuh yang sebenarnya adalah Georges Conneau.

   Karena terdorong oleh cintanya, Georges telah melakukan kejahatan itu dengan mengancam bahwa bila dia tidak menutup mulutnya, laki-laki itu akan membalaskan dendam yang mengerikan atas dirinya.

   Karena ketakutan akan ancaman-ancaman itu, dia bersedia menutup mulutnya -juga karena dia takut bahwa bila dia mengatakan yang sebenarnya, mungkin dia akan dituduh merestui pembunuhan itu.

   Tetapi Nyonya Beroldy tetap membantah bahwa dia terlibat dalam pembunuhan suaminya.

   Laki-laki itu telah menulis surat menuduh dirinya sebagai pembalasan dendam atas sikapnya itu.

   Dengan sesungguh-sungguhnya dia bersumpah, bahwa dia tak ada hubungan apa-apa dengan rencana kejahatan itu.

   Dia benar-benar telah terbangun pada malam kejadian itu, dan melihat Georges Conneau berdiri di sampingnya, dengan memegang pisau yang sudah bernoda darah itu.

   Perkaranya jadi membingungkan.

   Kisah Nyonya Beroldy hampir tak dapat dipercaya.

   Tetapi wanita yang dongengnya mengenai komplotan-komplotan ningrat telah dipercaya orang dengan mudahnya itu, punya keahlian untuk membuat orang percaya pada dirinya.

   Pidato yang ditujukannya pada juri hebat sekali.

   Dengan air mata yang bercucuran, dia berbicara tentang putrinya, tentang harga diri kewanitaannya -tentang keinginannya untuk menjaga agar nama baiknya tidak cacat demi anak itu.

   Dia mengakui bahwa, karena dia adalah kekasih gelap Georges Conneau, mungkin dia dianggap bertanggung jawab secara moral atas kejahatan itu -tapi demi Tuhan, tak lebih dari itu! Dia tahu bahwa dia telah membuat kesalahan besar karena tidak mengadukan Conneau pada polisi, tapi, dengan suara terputus-putus, dinyatakannya bahwa tak seorang wanita pun akan bisa berbuat demikian.

   Dia telah mencintai laki-laki itu! Mungkinkah dia mengirim laki-laki yang dicintainya itu ke balok pemenggalan dengan tangannya sendiri? Dia memang bersalah, tapi dia tidak bersalah dalam kejahatan kejam yang telah dituduhkan atas dirinya.

   Apa pun yang telah terjadi, kefasihan lidahnya dan kepribadiannya memberikan kemenangan padanya.

   Di tengah-tengah keadaan yang kacau, Nyonya Beroldy dibebaskan.

   Dengan usaha polisi yang sebesar-besarnya sekalipun, Georges Conneau tak berhasil ditemukan.

   Sedang mengenai Nyonya Beroldy, tak pernah terdengar apa-apa lagi.

   Dengan membawa putrinya, dia pergi meninggalkan Paris untuk memulai hidup baru.

   Bab 17 KAMI MENGADAKAN PENYELIDIKAN SELANJUTNYA PERKARA Beroldy itu kucatat seluruhnya.

   Tentulah tidak semua kejadian itu secara terperinci bisa kuingat sebaik yang kuceritakan di sini.

   Namun, secara menyeluruh aku ingat perkara itu dengan baik.

   Hal itu telah menarik banyak perhatian, dan dilaporkan pula oleh surat-surat kabar Inggris, hingga aku tak perlu kuat-kuat berusaha untuk mengingat hal-hal kecil yang menonjol.

   Pada saat ini, dalam keadaanku yang kacau begini, rasanya seluruh perkara itu terkuak kembali.

   Kuakui bahwa aku mudah terpengaruh, dan Poirot menyayangkan kebiasaanku yang selalu terlalu cepat mengambil kesimpulan, tapi kupikir dalam hal ini aku punya alasan.

   Aku segera merasa kagum melihat betapa sesuainya penemuan itu dengan pandangan Poirot.

   "Poirot,"

   Kataku.

   "aku mengucapkan selamat padamu. Sekarang aku mengerti semuanya."

   "Kalau itu memang benar, aku yang mengucapkan selamat padamu, mon ami. Karena biasanya kau sulit mengerti, bukan?"

   Aku agak jengkel.

   "Ah sudahlah, jangan terus-menerus mengingatkan aku pada kegagalanku. Kau sendiri yang selalu misterius, selalu berbicara dengan tak jelas, dan hal-hal yang kaukemukakan selalu samar, hingga siapa pun juga pasti akan sulit memahami apa maksudmu."

   Poirot menyalakan rokoknya yang kecil itu dengan caranya yang biasa. Lalu dia mengangkat mukanya.

   "Dan karena sekarang katamu kau mengerti, mon ami, tolong katakan apa yang sebenarnya kaulihat?"

   "Tentu, bahwa Nyonya Daubreuil-Beroldy-lah yang telah membunuh Tuan Renauld. Persamaan antara kedua perkara itu tak dapat diragukan lagi."

   "Jadi kau menganggap bahwa orang telah melakukan kesalahan karena telah membebaskan Nyonya Beroldy? Bahwa dia sebenarnya bersalah, karena telah bersekongkol dalam pembunuhan suaminya?"

   Aku terbelalak.

   "Tentu! Tidakkah begitu pula pendapatmu?"

   Poirot berjalan ke ujung kamar, menarik sebuah kursi dengan linglung, lalu berkata sambil merenung.

   "Ya, aku pun berpendapat demikian. Tapi tanpa kata 'tentu', Sahabatku. Secara teknis, Nyonya Beroldy tak bersalah."

   "Dalam kejahatan yang itu mungkin tidak. Tapi dalam perkara yang ini, dia jelas bersalah."

   Poirot duduk lagi, lalu memperhatikan diriku, air mukanya tampak makin serius.

   "Jadi kau benar-benar berpendirian, bahwa Nyonya Daubreuil yang telah membunuh Tuan Renauld, Hastings?"

   "Ya."

   "Mengapa?"

   Pertanyaan itu dilontarkannya demikian mendadaknya hingga aku terpana.

   "Yah?"

   Aku tergagap.

   "Tentulah, karena -"

   Aku terhenti. Poirot mengangguk padaku.

   "Nah kaulihat sendiri, kau segera kehilangan keyakinan. Mengapa Nyonya Daubreuil harus membunuh Tuan Renauld? Bayangan motifnya saja pun tak bisa kita temukan. Wanita itu tidak mendapat keuntungan apa-apa dengan membunuhnya; baik dilihat dari sudut dirinya sebagai kekasih gelap, maupun sebagai pemeras. Dia berada di pihak yang salah. Tak ada pembunuhan tanpa motif. Kejahatan yang pertama dulu itu lain. Dalam keadaan itu ada seorang kekasih gelap yang akan menggantikan kedudukan suaminya."

   "Uang bukan merupakan satu-satunya motif pembunuhan,"

   Sanggahku.

   "Benar,"

   Kata Poirot dengan tenang.

   "Ada dua motif lain. Satu di antaranya adalah pembunuhan karena cinta. Lalu ada pula motif ketiga yang jarang terjadi, yaitu pembunuhan yang menunjukkan bahwa pembunuhnya mengalami kelainan mental. Maniak pembunuhan dan fanatik keagamaan tergolong di sini. Dalam perkara ini, yang terakhir ini bisa dikecualikan."

   "Lalu bagaimana dengan kejahatan yang disebabkan oleh cinta? Bisa pulakah itu dikecualikan? Bila Nyonya Daubreuil adalah kekasih gelap Renauld, bila didapatinya bahwa cinta Renauld padanya sudah mendingin, atau bila rasa cemburunya timbul karena sesuatu hal, apakah tak mungkin dia menyerang laki-laki itu dalam marah yang membara?"

   Poirot menggeleng.

   "Seandainya -catat kataku, seandainya -Nyonya Daubreuil adalah kekasih gelap Renauld, maka laki-laki itu tak sempat merasa bosan padanya. Dan bagaimanapun juga, kau keliru mengenai watak wanita itu. Dia adalah seorang wanita yang dapat berpura-pura sedang mengalami tekanan yang besar. Dia pandai sekali main sandiwara. Tapi, bila kita lihat dia dengan tenang, akan tampak bahwa cara hidupnya berlawanan dengan penampilannya. Bila kita periksa keseluruhannya, dia selalu bersikap dingin dan selalu memperhitungkan segala motif dan tindakannya. Dia telah membenarkan pembunuhan atas diri suaminya, bukan untuk mengikatkan hidupnya dengan pengacara muda itu. Yang menjadi tujuannya adalah orang Amerika itu, yang mungkin sama sekali tak dicintainya. Bila dia melakukan kejahatan, itu selalu untuk mendapatkan keuntungan. Dalam hal ini, tak ada keuntungannya. Selain daripada itu, bagaimana kau bisa menerangkan tentang penggalian kubur itu? Itu adalah pekerjaan laki-laki."

   "Mungkin dia berkomplot,"

   Saranku. Aku tak mau menyerah kalah dalam pendirianku.

   "Aku beralih pada keberatan yang satu lagi. Kau tadi mengatakan tentang persamaan antara kedua kejahatan itu. Dalam hal apa persamaannya?"

   Aku menatapnya keheranan.

   "Kaulah yang menyatakan hal itu, Poirot! Kisah tentang dua orang laki-laki berkedok, rahasia dan surat itu!"

   Poirot tersenyum kecil.

   "Kuharap kau jangan begitu berang. Aku tidak menyangkal apa-apa. Persamaan antara kedua kisah itu pasti menjadi penghubung antara kedua perkara itu. Tapi sekarang pikirkanlah tentang sesuatu yang sangat aneh. Bukan Nyonya Daubreuil yang menceritakan kisah itu pada kita -bila demikian halnya, semuanya akan menjadi mudah sekali -Nyonya Renauld-lah yang menceritakannya. Jadi mungkinkah dia bersekutu dengan Nyonya Daubreuil?"

   "Aku tak bisa membayangkannya,"

   Kataku lambat-lambat.

   "Bila demikian halnya, maka Nyonya Renauld itu pasti seorang pemain sandiwara yang paling ulung yang pernah dikenal dunia."

   "Nah -nah,"

   Kata Poirot tak sabaran.

   "Lagi-lagi kau berbicara dengan sentimen, bukan dengan logikamu! Bila seorang penjahat merasa perlu untuk menjadi seorang pemain sandiwara yang ulung, biar saja dia menjadi pemain sandiwara itu. Tapi apakah itu perlu? Aku tak percaya Nyonya Renauld bersekutu dengan Nyonya Daubreuil karena beberapa hal. Beberapa di antaranya telah kuberitahukan padamu. Alasan-alasan lain sudah terbukti sendiri. Oleh karenanya, kemungkinan itu bisa kita hapuskan. Makin lama kita sudah makin dekat pada keadaan sebenarnya, yang sebagaimana biasanya, sangat aneh dan sangat menarik."

   "Poirot,"

   Seruku.

   "apa lagi yang kau tahu?"

   "Mon ami, kau harus membuat uraianmu sendiri. Kau telah memiliki fakta-faktanya! Konsentrasikan sel-sel kecilmu yang kelabu itu. Berpikirlah jangan seperti Giraud -tetapi seperti Hercule Poirot."


Wiro Sableng Empat Berewok Dari Goa Sanggreng Roro Centil Tragedi Pulau Berhala Roro Centil Ular Betina Selat Madura

Cari Blog Ini