Ceritasilat Novel Online

Monster Telur Dari Mars 3


Goosebumps Monster Telur Dari Mars Bagian 3



Masalahnya, aku kehabisan akal.

   Aku kembali mencoba membuka pintu.

   Siapa tahu Dr.

   Gray sembrono dan membiarkannya tidak terkunci.

   Sayang sekali harapanku tidak terkabul.

   Aku memeriksa celah tempat baki makanan tadi dimasukkan.

   Tingginya hanya beberapa sentimeter saja.

   Terlalu sempit untuk menyelinap keluar.

   Aku terperangkap.

   Aku tertawan.

   Aku menjadi kelinci percobaan.

   Dengan lesu aku duduk di lantai dan menyandarkan punggung ke dinding.

   Aku menarik lutut dan merangkul keduanya dengan tangan.

   Aku sengaja meringkuk begitu agar tubuhku tetap hangat.

   Sampai kapan Dr.

   Gray akan menyekapku di sini? Untuk selama-lamanya? Aku mendesah panjang.

   Tapi kemudian aku teringat sesuatu yang sedikit menghiburku.

   Dan harapanku pun bangkit kembali.

   Aku baru teringat bahwa aku sempat memberitahu Anne ke mana aku akan pergi.

   Aku sempat memberitahu dia bahwa aku akan membawa makhluk telur itu ke lab ilmiah.

   Tadi pagi di pekarangan belakang rumahnya.

   Yeah, berarti aku takkan celaka! aku menyadari.

   Aku melompat berdiri dan mengangkat kedua tanganku.

   Kemudian aku bersorak-sorai dengan gembira.

   "Yesss!"

   Aku tahu persis apa yang bakal terjadi.

   Pada saat aku tidak muncul untuk makan malam, orangtuaku akan menelepon Anne.

   Sebab di situlah biasanya aku berada pada saat aku seharusnya ada di rumah untuk makan malam.

   Anne akan memberitahu mereka bahwa aku pergi ke lab ilmiah di Denver Street.

   Mommy akan berkata.

   "Wah, seharusnya Dana sudah pulang jam segini."

   Daddy akan berkata.

   "Sebaiknya kujemput saja."

   Dan kemudian dia akan menyelamatkanku.

   Aku tahu ini hanya masalah waktu.

   Beberapa jam lagi ayahku akan muncul dan membebaskanku dari penjara dingin ini.

   Perasaanku langsung lebih enak.

   Aku kembali duduk di lantai dan bersandar ke dinding.

   Semua makhluk telur memandang ke arahku.

   Mereka menatapku sambil membisu.

   Barangkali mereka pun sedang mempelajariku.

   Aku tidak tahu kapan aku ketiduran.

   Saking capeknya, aku tidak sadar bahwa aku akhirnya terlelap Aku juga tidak tahu berapa lama aku tertidur.

   Aku terbangun karena mendengar suara-suara.

   Suara-suara dari ruang di ujung lorong.

   Seketika aku sadar sepenuhnya, dan langsung duduk tegak.

   Aku pasang telinga.

   Dan mendengar suara Daddy.

   Yes! Dia ada di sini.

   Dia datang untuk menyelamatkanku.

   Yes! Aku berdiri, meregangkan otot-ototku yang terasa pegal, dan bersiap-siap untuk menyambut ayahku.

   Dan kemudian, dari ruang di ujung lorong, aku mendengar Dr.

   Gray berkata.

   "Maaf, Mr. Johnson, putra Anda tidak mampir ke sini."

   Chapter 22

   "ANDA yakin?"

   Aku mendengar Daddy bertanya.

   "Tentu,"

   Sahut Dr. Gray.

   "Saya satu-satunya orang di sini. Sebenarnya hari ini lab kami tutup. Dan tidak ada tamu sama sekali."

   "Tinggi anak saya kira-kira segini,"

   Kata ayahku lagi.

   "Rambutnya berwarna gelap, dan memakai kacamata."

   "Maaf. Sayang sekali saya tidak bisa, membantu Anda,"

   Dr. Gray berkeras.

   "Tapi dia memberitahu temannya bahwa dia akan kemari. Katanya ada sesuatu yang ingin diperlihatkannya kepada seorang ilmuwan. Dan sepedanya juga tidak ada di garasi."

   "Hmm, silakan mencari sepeda putra Anda di luar,"

   Dr. Gray berkata kepada Daddy.

   "Tapi saya rasa Anda takkan menemukannya di sini."

   Dia memindahkan sepedaku! pikirku. Supaya tak ada yang bisa menemukannya! Aku berteriak dengan geram dan berlari menghampiri jendela.

   "Dad -aku di sini!"

   Seruku. Kutempelkan tangan di sekeliling mulut agar suaraku bertambah keras.

   "Dad! Daddy bisa dengar aku? Aku di sini! Daddy?"

   Aku menarik napas dalam-dalam dan pasang telinga. Saking kerasnya jantungku berdegup, suara-suara di depan nyaris tak terdengar. Ayahku dan Dr. Gray terus berbicara dengan suara yang pelan dan tenang.

   "Dad! Daddy bisa dengar aku?!"

   Aku menjerit.

   "Ini aku! Dana! Aku di sini, Dad! Di belakang! Bebaskan aku!"

   Suaraku terdengar parau. Leherku terasa sakit karena terlalu banyak berteriak.

   "Dad -tolong!"

   Napasku terengah-engah ketika aku menempelkan telinga ke jendela dan berusaha mendengarkan percakapan mereka.

   "Hmm, ini memang aneh sekali, Mr. Johnson,"

   Dr. Gray sedang berbicara.

   "Putra Anda sama sekali tidak berkunjung kemari. Tapi barangkali Anda ingin melihat-lihat lab kami dulu?"

   Ayo, Dad! aku berkata dalam hati. Terimalah ajakannya. Katakan padanya bahwa Dady mau lihat-lihat keadaan di sini! Tolonglah! "Terima kasih, tapi saya rasa itu tidak perlu,"

   Aku mendengar Daddy menjawab.

   "Sebaiknya saya cari dia di tempat lain. Sekali lagi terima kasih, Dr. Gray."

   Aku mendengar Daddy berpamitan. Aku mendengar pintu depan menutup. Dan aku tahu bahwa aku akan celaka. Chapter 23

   "ADUH, kok jadi begini?"

   Aku mengeluh.

   "Padahal aku sudah hampir selamat!"

   Aku kembali duduk di lantai.

   Benar-benar putus asa.

   Rasanya aku ingin ditelan bumi saja.

   Tenggorokanku sampai sakit karena terlalu banyak berteriak.

   Tapi kenapa Daddy tidak mendengarku? Padahal aku bisa mendengar dia.

   Dan kenapa dia percaya begitu saja pada cerita bohong yang disuguhkan Dr.

   Gray? Kenapa dia tidak memeriksa sendiri keadaan dalam lab? Kalau saja dia mau masuk, dia pasti akan melihatku melalui jendela.

   Dan aku akan selamat.

   Ternyata Dr.

   Gray benar-benar jahat.

   Dia bilang dia cuma tertarik pada ilmu pengetahuan semata-mata, tapi rupanya itu hanya dalih saja.

   Dia cuma pura-pura memikirkan kesehatan dan keselamatanku.

   Dia berbohong bahwa dia menahanku di sini untuk memastikan bahwa aku tidak apa-apa.

   Nyatanya dia juga membohongi Daddy.

   Aku meringkuk di lantai dan menggigil tak terkendali.

   Udara yang dingin seperti menembus kulitku.

   Aku memejamkan mata dan menundukkan kepala.

   Aku harus tetap tenang.

   Aku tahu aku harus tenang agar dapat berpikir dengan jernih.

   Tapi aku tidak sanggup.

   Aku merinding bukan cuma karena aku kedinginan, tapi juga karena aku ketakutan setengah mati.

   Aku menegakkan kepala ketika mendengar suara-suara di depan.

   Aku menahan napas dan pasang telinga.

   Sepertinya suara Daddy.

   Atau jangan-jangan aku sudah mulai berkhayal macam-macam? "Barangkali ada baiknya kalau saya lihat-lihat dulu."

   Sepertinya itu yang dikatakan ayahku. Mimpikah aku? Tidak. Aku mendengar Dr. Gray menyahut sambil bergumam. Kemudian aku mendengar Daddy berkata.

   "Kadang-kadang Dana menyusup ke tempat-tempat yang seharusnya tidak boleh dia datangi. Dia sangat berminat pada ilmu pengetahuan, Dr. Gray. Mungkin saja dia menyelinap masuk melalui pintu belakang."

   "Yes!"

   Aku bersorak dengan gembira.

   "Yes!"

   Sepertinya setiap kali aku sudah putus asa, aku tiba-tiba mendapat kesempatan baru lagi.

   Aku langsung berdiri dan menghampiri jendela.

   Dalam hati aku berdoa agar Daddy berjalan sampai ke belakang dan melihatku.

   Beberapa detik kemudian, aku melihat ayahku dan Dr.

   Gray di ujung lorong yang panjang.

   Dr.

   Gray berjalan di depan, membukakan pintu demi pintu.

   Mereka mengintip ke setiap lab, lalu kembali melangkah.

   "Dad!"

   Aku memanggil.

   "Daddy bisa mendengarku? Aku di belakang sini! Meskipun wajahku sudah menempel pada daun jendela, dia tetap tidak bisa mendengarku. Kacanya kugedor-gedor. Tapi Daddy terus berjalan bersama Dr. Gray. Dia sama sekali tidak menengok. Aku menunggu sampai mereka mendekat. Jantungku berdegup kencang sekali. Mulutku kering kerontang. Aku semakin merapat ke jendela. Beberapa detik lagi ayahku akan menoleh ke jendela dan melihatku. Dan setelah itu aku akan bebas -dan Dr. Gray harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Aku memperhatikan mereka melangkah maju. Tangan dan hidungku menempel di jendela. Lampu di ujung lorong sebelah sini tidak menyala. Tapi aku bisa melihat mereka melongok ke lab di seberang.

   "Dad!"

   Aku berseru.

   "Dad -aku di sebelah sini!"

   Aku tahu dia tidak bisa mendengarku.

   Tapi aku tetap berusaha memanggilnya.

   Selama beberapa detik mereka masuk ke salah satu lab.

   Kemudian mereka keluar lagi dan berjalan ke arahku.

   Mereka bercakap-cakap dengan suara pelan.

   Aku tidak mendengar apa yang mereka bicarakan.

   Ayahku menatap Dr.

   Gray.

   Tengok ke sini, Dad, aku berkata dalam hati.

   Tengok ke sini! Lihatlah ke jendela! Mereka terus bercakap-cakap, lalu menghilang di balik pintu lain.

   Apa sih yang mereka bicarakan? aku bertanya dalam hati.

   Beberapa detik kemudian mereka kembali muncul di lorong, dan menuju ke arahku.

   Tolong, Dad! Aku di sini! Aku merapatkan wajah ke kaca jendela.

   Kacanya kugedor-gedor dengan tangan terkepal.

   Daddy menoleh.

   Dia menatap ke jendela.

   Dia menatapku.

   Aku selamat! aku menyadari.

   Aku akan segera terbebas dari sini.

   Daddy menatapku selama beberapa detik.

   Kemudian dia kembali berpaling kepada Dr.

   Gray.

   "Terima kasih, Anda telah mengantar saya berkeliling,"

   Katanya.

   "Kelihatannya Dana memang tidak ada di sini. Maaf, saya telah mengganggu Anda."

   Chapter 24

   "DADDY! aku di sini!"

   Aku memekik.

   "Aku persis di depan mata Daddy!"

   Kenapa dia tidak melihatku? Apakah aku mendadak tembus pandang? "Maaf, saya telah mengganggu Anda, Dr. Gray,"

   Aku mendengar ayahku berkata sekali lagi.

   "Moga-moga Anda segera menemukan Dana,"

   Dr. Gray menyahut.

   "Tapi saya rasa Anda tidak perlu kuatir. Kemungkinan besar dia main ke rumah temannya, lalu lupa waktu. Anda tahu sendiri bagaimana anak-anak."

   "Aduuuhhhh!"

   Aku meratap panjang.

   "Dad -jangan pergi! Jangan pergi!"

   Dengan mata terbelalak aku memperhatikan Dad berpaling dan menyusuri lorong yang panjang ke arah pintu depan. Sambil berseru-seru aku kembali menggedor kaca jendela dengan tangan terkepal.

   "Dad! Dad! Daddy!"

   Aku memanggil seirama pukulan tanganku. Daddy berbalik.

   "Eh, suara apa itu?"

   Tanyanya kepada Dr. Gray. Ilmuwan itu ikut menoleh. Aku semakin keras menggedor jendela. Aku menggedor-gedor sampai tanganku terasa nyeri.

   "Daddy! Daddy! Daddy!"

   Aku memanggil tanpa henti.

   "Kedengarannya seperti ada yang menggedor-gedor?"

   Tanya ayahku.

   "Oh, itu cuma pipa-pipa,"

   Jawab Dr. Gray.

   "Belakangan ini banyak masalah dengan pipa-pipa di sini. Kami sudah memanggil tukang, tapi dia baru bisa datang hari Senin."

   Daddy mengangguk.

   Dia kembali melangkah ke pintu depan.

   Aku mendengar dia berpamitan pada Dr.

   Gray.

   Dan kemudian aku mendengar pintu depan menutup di belakangnya.

   Aku tahu kali ini dia takkan kembali.

   Aku tidak beranjak dari jendela.

   Pandanganku tidak beralih dari lorong panjang itu.

   Beberapa detik kemudian, aku melihat Dr.

   Gray berjalan ke arahku.

   Dia tampak merengut dengan kesal.

   Aku jadi tawanannya, pikirku dengan suram.

   Apa yang akan dilakukannya terhadapku? Chapter 25 DR.

   GRAY berhenti di depan jendela.

   Dia menyalakan lampu di lorong.

   Dalam cahaya yang terang, aku bisa melihat butir-butir keringat yang menempel di dahinya.

   Dia mengerutkan kening dan menatapku dengan matanya yang biru.

   "Usahamu boleh juga, Dana,"

   Katanya sambil tersenyum masam.

   "Hah? Apa maksud Anda?"

   Aku menyahut dengan suara parau. Kakiku gemetaran tak terkendali. Bukan karena aku kedinginan, melainkan karena benar-benar ketakutan sekarang.

   "Kau hampir berhasil menarik perhatian ayahmu,"

   Jawab Dr. Gray.

   "Dan itu tidak bagus. Sebab semua rencana saya akan hancur berantakan."

   Kutempelkan kedua tanganku ke kaca jendela. Aku berusaha keras agar tubuhku tidak gemetaran lagi.

   "Kenapa ayah saya tidak bisa melihat saya?"

   Tanyaku. Dr. Gray mengusap sisi luar jendela dengan sebelah tangan.

   "Ini kaca satu arah,"

   Dia menjelaskan.

   "Orang di lorong tidak bisa melihat ke dalam -kecuali kalau lampu di lorong dinyalakan dulu."

   Aku menghela napas.

   "Jadi...?"

   "Ayahmu hanya melihat kegelapan,"

   Ilmuwan itu menyahut sambil tersenyum puas.

   "Dia pikir dia sedang memandang ke ruangan yang kosong. Sama seperti kau tadi -sebelum saya menyalakan lampu."

   "Tapi kenapa dia tidak mendengar saya?"

   Aku kembali bertanya.

   "Padahal saya sudah berteriak-teriak dengan sekuat tenaga?"

   Dr. Gray menggelengkan kepala.

   "Itu cuma buang-buang waktu. Ruangan tempat kau berada seratus persen kedap suara. Tak ada bunyi yang bisa keluar ke lorong."

   "Tapi saya bisa mendengar Anda!"

   Seruku.

   "Saya mendengar setiap kata yang diucapkan Anda dan ayah saya tadi. Dan Anda juga bisa mendengar saya sekarang."

   "Saya memasang pengeras suara di dinding,"

   Dr. Gray menjelaskan.

   "Saya bisa menyalakan dan mematikannya dengan unit pengendali yang mengunci pintu."

   "Jadi saya bisa mendengar Anda, tapi Anda tidak bisa mendengar saya?"

   Gumamku.

   "Sebenarnya kau ini cerdas sekali,"

   Dia menyahut. Matanya yang biru berbinar-binar.

   "Dan saya tahu kau cukup cerdas untuk tidak berbuat macam-macam lagi.

   "Anda harus melepaskan saya!"

   Aku menjerit.

   "Anda tidak bisa mengurung saya di sini!"

   "Oh, bisa saja,"

   Katanya pelan-pelan.

   "Saya bisa menyekapmu selama saya suka."

   "Tapi... tapi...,"

   Aku tergagap-gagap. Saking ngerinya, aku tidak bisa berkata apa-apa.

   "Saya berkewajiban untuk menahanmu di sini,"

   Dr. Gray meneruskan dengan tenang. Dia sama sekali tidak peduli bahwa aku begitu ketakutan dan bingung. Dia sama sekali tidak peduli padaku. Sepertinya dia tidak waras, pikirku. Dia gila dan jahat.

   "Saya berkewajiban untuk menahanmu di sini,"

   Dia mengulangi.

   "Saya harus memastikan bahwa kau tidak apa-apa setelah memegang makhluk telur itu. Saya harus memastikan bahwa makhluk telur itu tidak menularkan kuman, yang mungkin akan menular lagi kepada orang-orang lain."

   "Lepaskan saya!"

   Aku memekik. Aku terlalu ngeri untuk mendebat dia. Terlalu marah untuk berpikir dengan tenang.

   "Lepaskan saya! Lepaskan saya!"

   Aku menuntut, sambil menggedor-gedor kaca sampai tanganku terasa nyeri.

   "Beristirahatlah, Dana,"

   Dr. Gray memberi instruksi.

   "Jangan sampai kau kelelahan, Nak. Besok pagi saya akan memulai serangkaian tes. Ada banyak, banyak sekali tes yang harus saya lakukan."

   "T-tapi s-saya k-kedinginan,"

   Aku tergagap-gagap.

   "Lepaskan saya dari sini. Atau paling tidak, biarkan saya bermalam di tempat yang hangat."

   Permohonanku tak digubrisnya.

   Dia mematikan lampu di lorong dan berpaling.

   Aku memperhatikannya menyusuri lorong yang panjang.

   Kemudian dia menghilang di balik pintu di depan.

   Dia melangkah maju, dan membanting pintu di belakangnya.

   Aku berdiri sambil menggigil, dengan jantung berdegup-degup.

   Aku benar-benar kedinginan -dan benar-benar ketakutan.

   Sama sekali tak terbayangkan olehku bahwa keadaannya bakal lebih mengerikan lagi! Chapter 26 SAKING ngototnya aku berusaha menarik perhatian ayahku tadi, aku nyaris melupakan makhluk-makhluk telur itu.

   Kini aku berpaling dari jendela dan melihat bahwa semuanya telah menyebar ke seluruh ruangan.

   Mereka semua diam seperti patung.

   Tak ada yang bergetar ataupun melonjak-lonjak.

   Dan sepertinya mereka semua memandang ke arahku.

   Dr.

   Gray telah memadamkan semua lampu, kecuali lampu kecil yang redup di langit-langit.

   Makhluk-makhluk telur itu tampak pucat dan kelabu dalam cahaya yang redup.

   Bulu kudukku berdiri.

   Apakah aku aman tidur seruangan dengan mereka? Tiba-tiba aku merasa letih sekali.

   Seluruh tubuhku pegal dan linu.

   Kepalaku serasa berputar-putar.

   Aku perlu tidur.

   Aku tahu aku harus beristirahat kalau aku ingin fit dan siaga besok.

   Dan aku tahu aku harus fit dan siaga kalau aku ingin keluar dari sini.

   Tapi kalau aku tidur, apa yang akan dilakukan makhlukmakhluk telur itu? Mungkinkah mereka tidak menggangguku? Mungkinkah mereka ikut tidur? Ataukah mereka akan mencoba mencelakakanku? Apakah mereka bersahabat? Atau jahat? Apakah mereka memiliki kecerdasan? Aku sama sekali tidak tahu.

   Aku cuma tahu bahwa aku tidak bisa melek lagi.

   Mataku terasa berat sekali.

   Aku duduk di pojok ruangan dan merangkul lutut supaya tetap hangat.

   Tapi sia-sia.

   Udaranya terlalu dingin.

   Hidungku beku.

   Telingaku kaku.

   Kacamataku melekat di wajahku.

   Walaupun aku sudah meringkuk seperti itu, aku tetap saja menggigil tak terkendali.

   Aku bakal mati beku, aku menyadari.

   Kalau Dr.

   Gray besok pagi datang, dia akan menemukanku tergeletak kaku di lantai.

   Sebab besok pagi aku pasti sudah berubah jadi balok es.

   Aku menatap makhluk-makhluk telur di sekelilingku.

   Semuanya membalas tatapanku dalam cahaya yang remang-remang.

   Sunyi.

   Saking heningnya, aku rasanya ingin menjerit dengan sekuat tenaga.

   "Kalian tidak kedinginan?"

   Seruku pada mereka. Suaraku terdengar serak dan pelan karena terlalu banyak berteriak.

   "Kalian tidak takut mati beku?"

   Aku bertanya dengan suara melengking.

   "Bagaimana kalian bisa tahan di udara dingin seperti ini?"

   Tapi tentu saja tak ada yang menyahut.

   "Dana, jangan panik!"

   Aku memarahi diriku sendiri.

   "Kau tidak boleh panik!"

   Aku sedang mencoba berbicara dengan segerombolan gumpalan telur dari planet lain! Mana mungkin makhluk-makhluk itu mengerti yang kukatakan? Mereka menatapku sambil membisu.

   Tak ada yang bergetar.

   Tak satu pun bergerak.

   Mata mereka yang kecil dan gelap tampak bersinar karena memantulkan cahaya redup lampu di langit-langit.

   Barangkali mereka sedang tidur, pikirku.

   Barangkali mereka tidur dengan mata terbuka.

   Barangkali itu sebabnya mereka tidak bergerak.

   Barangkali itu sebabnya mereka semua diam seperti patung.

   Soalnya mereka sedang tertidur lelap.

   Pikiran itu membuatku agak terhibur.

   Aku semakin erat memeluk lutut dan berusaha tidur juga.

   Kalau saja aku bisa berhenti menggigil.

   Aku memejamkan mata.

   Tidur, tidur, tidur, aku mengulangulangi dalam hati.

   Tapi percuma.

   Ketika aku melek lagi, aku melihat makhluk-makhluk telur itu mulai bergerak.

   Ternyata aku keliru.

   Mereka sama sekali tidak tidur.

   Mereka terjaga sepenuhnya.

   Dan mereka semua bergerak secara bersamaan.

   Serempak.

   Semuanya bergerak mendekatiku.

   Chapter 27

   "

   OHHH!"

   Aku mengerang tertahan.

   Dari tadi tubuhku sudah menggigil karena kedinginan.

   Tapi sekarang aku gemetaran karena ngeri.

   Makhluk-makhluk telur itu bergerak cepat sekali.

   Mereka semua berkumpul di tengah-tengah ruangan, saling membentur, saling mendesak.

   Aku berusaha bangkit.

   Tapi kakiku tidak mau diajak bekerja sama.

   Lututku menekuk seakan-akan terbuat dari karet, dan aku terduduk kembali di lantai.

   Aku merapatkan punggung ke pojok ruangan -dan memperhatikan makhluk-makhluk itu sambil menahan napas.

   Aku mendengar bunyi plop, plop, plop ketika mereka saling menubruk.

   Dan sambil saling membentur, semuanya menggelinding maju.

   Menggelinding ke arahku.

   "Mau apa kalian?"

   Aku menjerit dengan suara melengking tinggi.

   "Aku mau diapakan?"

   Mereka tidak menyahut. Bunyi plop memenuhi seluruh ruangan ketika makhlukmakhluk itu saling menubruk dan membentur.

   "Jangan ganggu aku!"

   Aku memekik. Sekali lagi aku berusaha bangkit. Kali ini aku berhasil berlutut. Tapi aku terlalu gemetar untuk bisa berdiri tegak.

   "Aku mohon -jangan ganggu aku! Kalian akan kubantu melarikan diri juga!"

   Aku berjanji.

   "Sungguh. Percayalah. Aku akan membantu kalian -besok. Tapi kalian jangan ganggu aku malam ini."

   Sepertinya mereka tidak mengerti.

   Sepertinya mereka bahkan tidak mendengarkan aku! Mau apa mereka sebenarnya? aku bertanya-tanya sambil memperhatikan makhluk-makhluk itu bergerak maju.

   Kenapa mereka saling menubruk seperti ini? Kelihatannya mereka sengaja menunggu sampai aku hampir ketiduran, aku menyadari.

   Kelihatannya mereka sengaja menunggu saat yang tepat untuk menyergapku.

   Berarti mereka hendak melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan terhadapku.

   Sesuatu yang takkan kusukai.

   Aku merapatkan punggung ke dinding.

   Makhluk-makhluk telur itu menggelinding dengan cepat.

   Semuanya tampak kelabu dalam cahaya yang remang-remang.

   Aku menatap mereka sambil memicingkan mata.

   Dan kemudian aku melihat bahwa semuanya telah bergabung menjadi satu.

   Mereka tak lagi merupakan gerombolan makhluk telur yang mungil.

   Mereka telah bergabung dan membentuk satu makhluk telur raksasa! Aku berhadapan dengan sebuah karpet telur yang bergetargetar.

   Saking besarnya.

   "karpet"

   Itu menutupi hampir seluruh lantai. Dan "karpet"

   Itulah yang kini bergerak menghampiriku.

   "Hei! Jangan -hei!"

   Aku berkata dengan suara parau.

   Aku tahu aku seharusnya berdiri.

   Aku tahu aku seharusnya berusaha kabur.

   Tapi kabur ke mana? Mana mungkin aku bisa meloloskan diri dari sergapan karpet telur ini? Aku seperti lumpuh.

   Aku cuma tergeletak di lantai dan menyaksikannya mendekat.

   "Ohhh!"

   Aku kembali mengerang ketika karpet itu mulai merambat lewat sepatuku.

   Gerakannya begitu cepat.

   Karpet itu mulai menelan sepatuku, celana jinsku, pinggangku.

   Aku tergeletak tak berdaya, sementara aku ditelan hidup-hidup.

   Aku tak bisa bergerak.

   Aku tak sanggup melawan, tak sanggup berbuat apa-apa.

   Aku hanya bisa pasrah pada nasib.

   Chapter 28 SEHARUSNYA aku berusaha bangkit.

   Seharusnya aku melawan.

   Tapi terlambat.

   Kumpulan makhluk yang hangat dan lengket itu menyelubungiku bagaikan selimut tebal.

   Aku mengangkat kedua tangan.

   Mengangkat kedua lutut.

   Berusaha berguling ke samping.

   Tapi tak bisa.

   ĒBYKYLάWάS.BOGŞPOT.ČOM Aku berusaha merangkak keluar.

   Tapi selimut hidup yang berat itu menahanku di lantai.

   Makhluk-makhluk itu mulai menyelubungi pinggangku.

   Lalu dadaku.

   Apakah kepalaku juga akan tertutup? Apakah aku akan mati lemas karena kehabisan napas? Aku memukul-mukul dengan tangan terkepal.

   Tapi segala usaha sudah terlambat.

   Selimut hidup itu merayap naik.

   Mendekati leherku.

   Begitu hangat dan berat.

   Aku menggerakkan kepala ke kiri-kanan.

   Aku berusaha menggelinding ke samping.

   Tapi sia-sia saja.

   Aku terperangkap di bawah selimut hidup yang menutupi tubuhku sampai ke leher.

   Aku merasakannya bergetar.

   Berdenyut-denyut.

   Tubuhku terbungkus lusinan monster telur yang saling menempel.

   Aku menghirup udara dalam-dalam, lalu menahan napas ketika selimut hangat itu naik sampai ke daguku.

   Tangan dan kakiku tak bisa bergerak sedikit pun.

   Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk melawan.

   Aku benar-benar tak berdaya.

   Di luar dugaanku, selimut hidup itu berhenti tepat di bawah daguku.

   Aku mengembuskan napas panjang.

   Kemudian aku menunggu.

   Betulkah makhluk-makhluk telur itu telah berhenti? Ya! Selimut hidup itu tidak menutupi kepalaku.

   Selimut itu membungkus tubuhku sambil berdenyut-denyut dengan irama tetap.

   Seakan-akan memiliki dua lusin detak jantung.

   Rasanya begitu hangat.

   Aku merasa hangat sekali di bawah selimut hidup itu.

   Bahkan hampir bisa dibilang nyaman.

   Aku mendesah perlahan.

   Akhirnya aku bisa berhenti menggigil.

   Tangan dan kakiku tak lagi terasa beku.

   Aku tak lagi gemetaran karena kedinginan.

   Hangat.

   Aku merasa begitu hangat.

   Tanpa sadar aku mengembangkan senyum.

   Rasa takutku mereda bersamaan dengan menghangatnya tubuhku.

   Makhluk-makhluk telur ini tidak bermaksud buruk, aku menyadari.

   Mereka justru ingin menolongku.

   Mereka bergabung untuk membentuk selimut.

   Selimut hidup yang hangat dan nyaman.

   Mereka bekerja sama agar aku tidak beku.

   Mereka menyelamatkan aku! Aku terbaring di bawah selimut yang hangat dan berdenyutdenyut.

   Tiba-tiba aku merasa tenteram sekali, dan mengantuk.

   Dalam sekejap saja aku sudah tertidur pulas.

   Aku tidur begitu nyenyak.

   Tapi meskipun aku bisa beristirahat dengan nyaman, aku tetap tidak siap menghadapi kengerian yang menantiku keesokan paginya.

   Chapter 29 MALAM itu aku terjaga beberapa kali.

   Mula-mula aku kaget sekali ketika menyadari bahwa aku tidak di tempat tidurku sendiri di rumah.

   Tapi selimut hidup yang hangat dan berdenyut-denyut itu langsung membuatku tenang kembali.

   Aku memejamkan mata dan segera terlelap lagi.

   Keesokan paginya aku terbangun karena mendengar suara bernada marah.

   Aku merasa sepasang tangan meraih pundakku dengan kasar.

   Seseorang sedang mengguncang-guncang pundakku agar aku bangun.

   Aku membuka mata dan melihat Dr.

   Gray membungkuk di atasku dengan jas labnya yang putih.

   Wajahnya merengut karena marah, sambil berseru-seru dengan kesal.

   "Dana -apa yang kaulakukan?! Apa yang kaulakukan terhadap monster-monster telur ini?!"

   "Hah?"

   Aku masih terkantuk-kantuk. Aku berusaha memfokuskan mata. Kepalaku bergoyang-goyang ketika pundakku diguncang-guncang oleh ilmuwan yang sedang marah itu.

   "Lepaskan saya!"

   Aku akhirnya berkata dengan suara parau.

   "Apa yang kaulakukan terhadap mereka?"

   Tanya Dr. Gray dengan nada menuduh.

   "Bagaimana caranya kau mengubah mereka menjadi selimut?"

   "S-saya tidak melakukan apa-apa!"

   Aku tergagap-gagap. Dia meraung-raung dengan geram.

   "Kau menghancurkan semuanya!"

   Dia membentak dengan gusar.

   "S-saya...,"

   Aku mulai berkata sambil berusaha mengusir rasa kantuk. Dia melepaskan pundakku dan meraih selimut hidup itu dengan kedua tangan.

   "Apa yang kaulakukan, Dana?"

   Dia bertanya sekali lagi.

   "Kenapa kaulakukan ini?"

   Sambil meraung dia mengangkat selimut itu -dan melemparnya ke dinding. Aku mendengar bunyi plop ketika makhluk-makhluk telur itu membentur dinding lab. Aku mendengar mereka memekik-mekik kesakitan. Kemudian semuanya terjatuh ke lantai.

   "Anda tidak boleh begitu, Dr. Gray!"

   Aku menjerit. Cepat-cepat aku bangkit. Kulitku masih terasa hangat karena selimut hidup itu.

   "Anda menyakiti mereka!"

   Aku menuduh. Aku menatap selimut kuning yang tergeletak di lantai. Makhluk-makhluk itu sama sekali tak bergerak.

   "Kau membiarkan mereka menyentuhmu?"

   Dr. Gray bertanya sambil menyeringai karena jijik.

   "Kau membiarkan mereka menyelimutimu?"

   "Mereka menyelamatkan nyawa saya!"

   Seruku.

   "Mereka bergabung untuk membentuk selimut yang hangat -mereka menyelamatkan saya!"

   Sekali lagi kutatap selimut hidup yang telah menyelamatkanku. Makhluk-makhluk telur itu tetap menyatu. Tapi selimut yang mereka bentuk tampak seperti mendidih. Berdenyut-denyut dengan keras. Seakan-akan marah.

   "Kau sudah gila?"

   Dr. Gray menghardikku. Wajahnya merah karena marah.

   "Kau sudah gila? Kau membiarkan monster-monster ini menyelubungimu? Kau bersentuhan dengan mereka? Kau memegang-megang mereka? Kau ingin menghancurkan temuan saya? Penelitian saya?"

   Justru dia yang gila, aku menyadari.

   Ucapan Dr.

   Gray sama sekali tidak masuk akal.

   Segala sesuatu yang dilakukannya sama sekali tidak masuk akal.

   Sekonyong-konyong dia melangkah maju -cepat sekali -dan kembali meraih pundakku.

   Dia memegangku begitu erat sehingga aku tidak bisa melepaskan diri.

   Kemudian dia mulai menyeretku ke pintu.

   "Lepaskan saya! Lepaskan! Saya mau dibawa ke mana?"

   Aku bertanya.

   "Saya pikir kau bisa dipercaya,"

   Dr. Gray menyahut dengan nada yang tidak mengenakkan.

   "Tapi ternyata saya keliru. Saya menyesal, Dana. Saya sungguh menyesal. Tadinya saya berharap kau bisa dibiarkan hidup. Tapi sekarang itu tidak mungkin lagi."

   Chapter 30 DR.

   GRAY menyeretku ke pintu.

   Kemudian dia berhenti dan merogoh kantong jas labnya.

   Dia ingin mengambil unit pengendali untuk membuka pintu.

   Inilah kesempatanku.

   Aku cuma dipegang dengan sebelah tangan.

   Dengan mengerahkan segenap tenaga aku memberontak dan berhasil membebaskan diri.

   Dr.

   Gray berseru kaget.

   Lalu berusaha menangkapku.

   Tapi aku lebih cepat.

   Aku berhasil menghindari sergapannya, dan berlari ke ujung lab.

   Kemudian aku berbalik, menghadap ke arah ilmuwan itu.

   Dia tersenyum janggal.

   "Dana, kau tidak bisa kabur,"

   Ujarnya pelan-pelan.

   Aku memandang berkeliling.

   Aku sendiri tidak tahu apa yang kucari.

   Aku sudah memeriksa semuanya.

   Dan aku tahu apa yang dikatakannya benar.

   Dr.

   Gray menghalangi satu-satunya pintu yang ada.

   Sedang kaca jendela yang lebar terlalu tebal dan kuat untuk dipecahkan.

   Selain itu, tidak bisa dibuka.

   Tak ada jendela lain.

   Tak ada pintu lain.

   Tak ada jalan untuk kabur.

   "Apa yang akan kaulakukan sekarang, Dana?"

   Dr. Gray bertanya dengan lembut. Senyum janggal itu masih tersungging di bibirnya. Dia menatapku dengan matanya yang biru.

   "Kau mau lari ke mana, hmm?"

   Aku membuka mulut untuk menyahut. Tapi tak ada yang bisa kukatakan.

   "Saya akan memberitahumu apa yang akan terjadi,"

   Dr. Gray berkata dengan tenang.

   "Kau akan tetap di sini. Di ruangan yang dingin ini. Saya akan meninggalkanmu di sini, dan saya akan memastikan bahwa pintunya terkunci rapat."

   Senyumnya bertambah lebar.

   "Kau tahu apa yang saya lakukan setelah itu?"

   "Apa?"

   Tanyaku dengan ngeri.

   "Saya akan membuat udara di sini semakin dingin. Saya akan membuatnya lebih dingin dari freezer."

   "Jangan -!"

   Aku memprotes. Senyumnya menghilang.

   "Tadinya saya percaya padamu, Dana. Saya percaya padamu. Tapi kau mengkhianati kepercayaan saya. Kaubiarkan mereka menyentuhmu. Kaubiarkan mereka membentuk selimut ini! Kau merusak mereka, Dana! Kau merusak monstermonster telur saya!"

   "S-saya tidak melakukan apa-apa!"

   Aku tergagap-gagap. Kukepalkan kedua tanganku dengan geram. Tapi aku merasa begitu tak berdaya. Tak berdaya dan ketakutan.

   "Anda tidak bisa membekukan saya di sini!"

   Seruku.

   "Anda tidak berhak berbuat begitu! Tidak boleh!"

   "Oh, boleh saja,"

   Dr. Gray menyahut dengan datar.

   "Ini lab saya. Dunia saya. Saya boleh berbuat sesuka hati saya."

   Dia mengeluarkan unit pengendali dari kantong jasnya. Kemudian mengarahkannya ke pintu dan menekan sebuah tombol. Pintunya langsung membuka. Ilmuwan itu berpaling.

   "Selamat tinggal, Dana,"

   Ujarnya. Chapter 31

   "JANGAN -jangan!"

   Aku memekik. Dr. Gray berpaling lagi padaku. Ketika itu, secara bersamaan, selimut makhluk telur pun bangkit. Selimut itu berdiri tegak -lalu menyergap ilmuwan tersebut, dan menyelubungi tubuhnya.

   "Hei...!"

   Dr.

   Gray berseru dengan gusar.

   Tapi seruannya teredam oleh selimut kuning yang tebal.

   Seluruh tubuhnya terbungkus.

   Aku melihat Dr.

   Gray merontaronta di bawah selimut.

   Aku mendengarnya berteriak-teriak.

   Dia memberontak dan menggeliat-geliut, tapi tidak berhasil membebaskan dirinya.

   Dia tidak berhasil menyingkirkan selimut itu.

   Dia juga tidak bisa menyelinap ke luar.

   Akhirnya dia terjatuh ke lantai, tertindih di bawah selimut.

   Dengan mata terbelalak kulihat selimut itu bergelembunggelembung di atasnya, seolah-olah mendidih.

   Aku tidak membuang-buang waktu lagi.

   Aku menarik napas dalam-dalam -lalu melesat melintasi ruangan.

   Aku berlari melewati Dr.

   Gray yang menendang-nendang dan mengayun-ayunkan kaki di bawah selimut.

   Cepat-cepat aku menyelinap lewat pintu yang terbuka.

   Menyusuri lorong panjang yang menuju ke bagian depan gedung lab.

   Yes! Beberapa detik kemudian aku membuka pintu depan dan menghambur ke luar.

   Sambil terengah-engah aku menghirup udara pagi yang segar.

   Pagi yang indah.

   Matahari baru muncul di atas pepohonan yang baru mulai hijau lagi sehabis musim dingin.

   Langit tampak biru dan bersih dari awan.

   Aku memandang berkeliling.

   Di ujung jalan aku melihat tukang koran sedang menggenjot sepedanya.

   Selain dia, tidak ada siapa-siapa.

   Aku berbalik dan berlari ke sisi bangunan.

   Bau rumputnya begitu wangi! Udara pagi begitu sejuk dan segar.

   Aku gembira sekali karena berhasil lolos dari penjaraku! Sekarang aku ingin pulang.

   Aku punya firasat -dan firasatku ternyata benar.

   Aku menemukan sepedaku tersandar di dinding belakang lab, tersembunyi di balik kontainer sampah.

   Cepat-cepat aku naik dan mulai mengayuh.

   Belum pernah aku begitu senang karena bisa naik sepeda.

   Aku berhasil lolos.

   Lolos dari cengkeraman Dr.

   Gray yang sinting dan labnya yang dingin membeku.

   Aku mengayuh semakin cepat, melesat tanpa berhenti satu kali pun.

   Segala sesuatu di sekelilingku tampak buram.

   Rasanya aku memecahkan rekor kecepatan bersepeda.

   Tanpa mengurangi kecepatan aku membelok ke pekarangan depan.

   Batu-batu kerikil beterbangan.

   Kemudian aku melompat turun dari sepeda dan membiarkannya jatuh ke rumput.

   Aku berlari ke pintu dapur dan segera menyerbu masuk.

   "Mom!"

   Seruku. Ibuku langsung berdiri dari meja makan. Roman mukanya cemas sekali, tapi berubah seketika waktu aku muncul di hadapannya.

   "Dana!"

   Dia berseru.

   "Ke mana kau? Kami cemas sekali. Kau sedang dicari polisi, dan... dan...."

   "Aku tidak apa-apa,"

   Ujarku sambil memeluknya. Ayahku masuk ke dapur.

   "Dana -kau tidak apa-apa? Di mana kau semalam? Kami benar-benar...!"

   "Monster telur!"

   Aku menyela.

   "Monster telur dari Mars! Cepat!"

   Aku meraih tangan Daddy dan menarik-nariknya.

   "Ayo, cepat!"

   "Hah?"

   Ayahku mengerutkan kening. Dia menatapku sambil memicingkan mata.

   "Apa kau bilang?"

   "Nanti saja kujelaskan!"

   Ujarku terburu-buru.

   "Mereka menangkap Dr. Gray. Dia jahat, Dad. Dia jahat sekali!"

   "Dana, ada apa sebenarnya?"

   Tanya Mom.

   "Makhluk telur! Dari Mars! Cepat! Tak ada waktu!"

   Mereka tidak beranjak. Aku melihat mereka saling melirik. Mom menghampiriku dan menempelkan tangannya ke keningku.

   "Kau demam, Dana? Kau lagi sakit, ya?"

   "Tidak!"

   Aku memekik.

   "Dengarkan aku! Makhluk telur dari Mars! Cepat ikut aku!"

   Aku sadar bahwa penjelasanku tidak terlalu jelas. Tapi aku terlalu bingung.

   "Dana -kau harus berbaring,"

   Kata Mom.

   "Aku akan memanggil Dr. Martin."

   "Jangan -jangan! Aku tidak butuh dokter!"

   Aku memprotes.

   "Pokoknya ikut saja! Kalian harus lihat sendiri makhluk-makhluk telur itu. Ayo, kita harus cepat-cepat!"

   Orangtuaku kembali berpandangan dengan cemas.

   "Aku tidak gila!"

   Aku menjerit.

   "Aku cuma minta Daddy dan Mommy ikut ke lab!"

   "Oke, oke,"

   Ayahku akhirnya mengalah.

   "Kau ada di lab semalam?"

   "Ya,"

   Kataku, sambil mendorongnya ke pintu dapur.

   "Aku memanggil-manggil Daddy. Tapi Daddy tidak bisa mendengarku."

   "Oh, wow,"

   Gumam ayahku. Dia geleng-geleng kepala.

   "Wow."

   Kami bertiga segera naik mobil.

   Perjalanan ke lab hanya makan waktu tiga menit.

   Ayahku parkir di depan.

   Aku melompat turun sebelum dia benar-benar berhenti.

   Pintu depan lab masih terbuka lebar, persis seperti waktu kutinggalkan tadi.

   Aku bergegas masuk.

   Orangtuaku menyusul tepat di belakangku.

   "Mereka makhluk telur,"

   Ujarku sambil terengah-engah.

   "Mereka berasal dari Mars. Dan mereka menangkap Dr. Gray!"

   Aku menyusuri lorong yang panjang.

   Membuka pintu ke ruangan yang dingin membeku.

   Mommy dan Daddy masuk di belakangku.

   Aku memandang berkeliling -dan terbengong-bengong.

   Chapter 32 AKU melihat orangtuaku menatapku sambil mengerutkan kening.

   Keduanya tampak kuatir.

   "Di mana makhluk-makhluk telur itu?"

   Tanya ibuku dengan lembut. Daddy meletakkan sebelah tangan di pundakku.

   "Di mana mereka, Dana?"

   Tanyanya setengah berbisik.

   "Ehm... mereka lenyap,"

   Ujarku. Tenggorokanku serasa tersekat. Lab itu kosong melompong. Tak ada Dr. Gray. Tak ada makhluk telur. Tak ada siapa-siapa. Aku cuma melihat dinding-dinding putih. Tak ada siapa pun yang tergeletak di lantai. Tak ada apa-apa.

   "Barangkali mereka sudah pulang ke Mars,"

   Aku bergumam sambil mengangguk-anggukkan kepala..

   "Dan Dr. Gray? Bagaimana dengan Dr. Gray?"

   Tanya Daddy.

   "Barangkali dia dibawa ke sana,"

   Sahutku.

   "Ayo, kita pulang saja,"

   Kata ibuku. Dia menghela napas panjang.

   "Kau harus istirahat dulu, Dana."

   Daddy menggiringku keluar sambil menggenggam pundakku.

   "Aku akan menelepon Dr. Martin,"

   Katanya.

   "Mudah-mudahan dia bisa mampir ke rumah pagi ini."

   "A-aku memang merasa agak aneh,"

   Aku terpaksa mengakui.

   Mereka membawaku pulang dan menyuruhku berbaring di tempat tidur.

   Dr.

   Martin datang tak lama kemudian.

   Dia memeriksaku, tapi tidak menemukan sesuatu yang aneh.

   Dia hanya berpesan agar aku tetap berbaring dan beristirahat dulu.

   Aku tahu ayah dan ibuku tidak mempercayai ceritaku.

   Dan itu benar-benar mengusikku.

   Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya meyakinkan mereka bahwa aku tidak mengada-ada.

   Aku memang merasa agak aneh.

   Pasti karena capek, aku berkata dalam hati.

   Aku tertidur, terbangun, dan ketiduran lagi.

   Setelah sore, aku terbangun dan mendengar Brandy berbicara dengan teman-temannya di luar kamarku.

   "Dana sudah gila,"

   Aku mendengar dia berkata.

   "Dia mengaku diculik monster telur dari Mars."

   Aku mendengar teman-teman Brandy ketawa cekikikan.

   Oh, bagus, pikirku dengan getir.

   Sekarang semua orang menyangka aku sinting.

   Rasanya aku ingin memanggil Brandy dan menceritakan segala sesuatu yang terjadi.

   Aku ingin membuatnya percaya.

   Aku ingin ada orang yang mempercayai ceritaku.

   Tapi bagaimana caranya? Aku terlelap lagi.

   Aku terbangun oleh suara yang memanggil-manggil namaku.

   Aku duduk tegak di tempat tidur.

   Suara itu masuk lewat jendelaku yang terbuka.

   Aku turun dari tempat tidur dan menghampiri jendela.

   Anne sedang memanggilku dari depan garasi.

   "Dana -kau tidak apa-apa? Kau mau main ke rumahku? Aku baru dapat permainan Battle Chess versi CD-ROM."

   "Wah, keren!"

   Aku membalas.

   "Tunggu sebentar, aku segera ke sana."

   Aku mengenakan T-shirt dan celana jins.

   Keadaanku sudah jauh lebih baik.

   Aku merasa seperti sedia kala.

   Aku gembira sekali semuanya sudah kembali normal.

   Aku menyisir rambutku sambil bersenandung pelan.

   Kemudian kuamati diriku di cermin.

   Kau telah mengalami petualangan yang menakjubkan, Dana, aku berkata pada diriku sendiri.

   Bayangkan saja -kau bermalam bersama makhluk-makhluk telur dari Mars! Tapi sekarang kau sudah aman, dan hidupmu akan kembali normal.

   Saking gembiranya, aku sampai memeluk Brandy ketika berpapasan dengannya di tangga.

   Dia menatapku seakan-akan aku benar-benar gila! Sambil bersenandung, aku keluar lewat pintu dapur dan melintasi pekarangan belakang menuju ke rumah Anne.

   Semuanya tampak begitu indah.

   Rumput yang hijau.

   Pohonpohon.

   Bunga-bunga musim semi.

   Matahari yang sedang terbenam di balik pepohonan.

   Hari yang indah! Sempurna dan normal! Dan kemudian, di tengah jalan ke rumah Anne, aku mendadak berhenti.

   Aku jongkok di rumput -dan bertelur! Telur paling besar yang pernah ada di dunia!END

   

   

   

Shugyosa Samurai Pengembara I Pendekar Rajawali Sakti Hantu Karang Bolong Pendekar Pulau Neraka Lambang Kematian

Cari Blog Ini