Ceritasilat Novel Online

Terror Di Akhir Pekan 1


Fear Street Terror Di Akhir Pekan Bagian 1


Prolog "RINDU aku?"

   "Well, yeah. Kau tahu jawabannya."

   "Tapi kau bisa mengatakannya, kan?"

   Goda Tina, sambil memutar-mutar kabel telepon dengan jari-jari tangannya yang ramping.

   "Kau akan naik kereta yang mana?"

   Josh mengubah topik pembicaraan. Tina menghela napas.

   "Sudah kukatakan tiga kali, Josh. Kereta yang terakhir. Aku harus menunggu Holly."

   Josh menggerutu.

   Holly dan Josh tidak terlalu cocok.

   Meskipun tidak sampai berantem sih.

   Josh hanya menganggap Holly terlalu banyak bicara, terutama tentang dirinya sendiri.

   Bagaimana perasaan Holly terhadap Josh? Tina tidak tahu.

   Holly saudara sepupunya.

   Holly belum pernah berkomentar jelek tentang pacar Tina.

   "Kita akan punya banyak waktu untuk bersama, Josh,"

   Kata Tina.

   "Satu akhir pekan penuh."

   "Bagus,"

   Jawab Josh.

   "Aku tak sabar menunggu. Kurasa kau akan menyukai teman-temanku, Tina. Mereka semua baik. Mereka sudah tahu segalanya tentang dirimu."

   Di cermin meja riasnya, Tina melihat dirinya sendiri tersenyum.

   "Kau menceritakan aku kepada teman-temanmu?"

   "Yeah. Kadang-kadang, Josh mengakui.

   "Foto-fotomu kupasang di kamarku. Mereka menanyakan foto-foto itu kepadaku."

   "Aku sudah tak sabar ingin ke sana!"

   Seru Tina.

   "Akhir pekanku yang pertama di college. Tinggal di asrama. Bergaul dengan mahasiswa. Dan kau, tentu saja. Kau akan menjemput kami di stasiun kereta api?"

   "Aku akan ada di sana,"

   Jawab Josh.

   "Tidak ada masalah."

   Tidak ada masalah.

   Aneh bahwa kadang rencana yang sederhana seperti rencana Tina tidak berjalan sesuai harapan.

   Tidak ada masalah.

   Itu kata-kata Josh.

   Tapi Josh keliru.

   Ada banyak masalah.

   Lebih banyak daripada yang mereka berdua bisa bayangkan.

   Chapter 1 TINA RIVERS melihat arlojinya kira-kira untuk yang kesejuta kali.

   Ia berharap bisa melompat ke luar dan membantu menarik kereta api ke Stasiun Patterson.

   Ia belum bertemu pacarnya, Josh Martin, sejak Natal.

   Tiga bulan yang lama.

   "Bangun, Holly,"

   Kata Tina, sambil menyikut lengan saudara sepupunya dengan lembut.

   "Kita hampir sampai di stasiun."

   Holly Phillips tergolek di bangku di samping Tina. Rambutnya yang cokelat keriting tergerai di wajahnya. Ia mendengkur pelan.

   "Bangun dong,"

   Bujuk Tina.

   "Pesta akan dimulai, Holly. Pesta penuh cowok college yang ganteng, semuanya untukmu."

   Holly mengerang ketika mengulurkan kakinya yang panjang. Akhirnya ia membuka mata dan menguap.

   "Cowok-cowok college?"

   "Aku tahu itu akan membuatmu bangun."

   Tina berpaling dari sepupunya yang masih mengantuk dan melihat ke luar jendela dengan gelisah.

   Suatu hari aku akan boleh bepergian sendiri, pikir Tina, teringat lagi pada perdebatan dengan orangtuanya.

   Tina mohon pada ayah dan ibunya agar diizinkan mengunjungi Josh sendirian.

   Tapi tidak boleh.

   Sepupunya harus menemaninya, kalau tidak Tina harus tinggal di rumah.

   Dan Tina tidak mau gagal menikmati Spring Fling Weekend bersama Josh.

   "Kau sudah lihat dia?"

   Tanya Holly sambil menggosok-gosok mata.

   "Tidak. Terlalu gelap sih,"

   Jawab Tina. Ia merogoh tas untuk mengambil tempat makeup.

   "Lagi pula, kita masih bergerak."

   Ia mengeluarkan lipstik, kaca, dan sikat.

   "Perutku mulas,"

   Kata Tina sambil menyikat rambut pirangnya yang panjang.

   "Apa aku kelihatan oke?"

   Holly mendesah.

   "Lima jam di kereta api, dan kau kelihatan cantik sekali. Aku merasa seperti karung beras berada di sebelahmu."

   Tina tertawa.

   "Bagaimana sih rasanya jadi karung beras?"

   "Suatu hari nanti kau akan jadi model terkenal, Tina,"

   Kata Holly kepadanya.

   "Aku tahu pasti."

   Tina memang ingin suatu hari nanti jadi sampul majalahmajalah mode.

   Ia terus-menerus mengamati kompetisi di antara para model, menyusun rencana.

   Tapi sekarang ini ia tidak bisa memikirkan apa pun selain Josh.

   Ia rindu sekali padanya.

   Tahun lalu, di Shadyside High, mereka makan siang bersama setiap hari.

   Sekarang ia hampir tidak bertemu Josh sama sekali.

   Tina memeriksa makeup-nya sekali lagi dan menyimpan cermin.

   Kemudian ia menyemprotkan parfum kesukaannya di pergelangan tangan dan di belakang telinga.

   Ia tersenyum ketika membayangkan saat pertama dicium Josh.

   "Rasanya kita mulai berhenti,"

   Kata Holly. Suara berdecit memenuhi gerbong kereta api. Pengeras suara terdengar bergemeresik.

   "Kita sekarang tiba di Stasiun Patterson. Semua penumpang dimohon tetap di tempat duduk sampai kereta benar-benar berhenti."

   Tina melompat berdiri. Ia tidak bisa duduk tenang semenit pun. Kereta api tersentak ketika ia mulai menurunkan barang-barang dari rak di atas kepala. Ia terhuyung ke depan dan memegang bahu Holly agar tidak jatuh ke lantai.

   "Cepat,"

   Desak Tina.

   "Kau perlu bantuan?"

   "Tidak. Aku bisa membawa semuanya,"

   Jawab Holly, masih duduk.

   "Aku hanya kebas. Pasti posisi tidurku salah."

   Tina memutar bola matanya. Jelaslah, Holly tidak ingin buruburu turun dari kereta api. Tapi, Holly kan tidak sedang jatuh cinta. Ia tidak tahu betapa inginnya Tina bertemu Josh. Di pintu, kondektur berseragam abu-abu mengangguk kepada mereka.

   "Kalian satu-satunya penumpang yang turun di sini. Jadi berhati-hatilah,"

   Ia memperingatkan.

   "Stasiun ini sangat sepi. Jangan terlalu lama di sini."

   "Kami akan baik-baik saja,"

   Tina meyakinkan kondektur itu, lalu cepat-cepat menuruni tangga.

   "Pacar saya akan menjemput kami."

   Tapi peron itu kosong.

   Tina memandang pelataran yang panjang itu dengan gelisah.

   Di mana Josh? Ia menjatuhkan kopernya.

   Kereta mereka tadi ditunda.

   Mereka terlambat setengah jam.

   Mungkin Josh capek menunggu dan pergi ke suatu tempat untuk membeli kopi.

   Itu masuk akal, tapi Tina tetap saja tidak dapat menahan rasa kecewanya.

   Kalau aku yang menjemput Josh, pikirnya, aku akan berdiri di peron ini, tidak peduli betapa terlambatnya dia.

   Aku tak mau kehilangan satu menit pun waktuku bersamanya.

   "Jadi di mana dia?"

   Tanya Holly. Tina mengangkat bahu.

   "Kau tahu Josh. Ia tidak pernah bisa berdiri diam. Aku yakin ia akan segera kembali."

   "Kau yakin kita ada di stasiun yang benar?"

   Tanya Holly.

   "Tentu dong,"

   Bentak Tina. Peron bergetar ketika kereta api berangkat. Kereta itu pergi dengan suara bergemuruh dan meninggalkan bau diesel. Kedua gadis itu berdiri berdempetan di peron yang gelap. Holly menggelengkan kepala.

   "Kuharap ini bukan pertanda apa yang akan terjadi sepanjang akhir pekan ini."

   "Sudah dong,"

   Pinta Tina, sambil memainkan seuntai rambutnya.

   "Kau dan firasatmu itu. Aku akan membelikan sorban dan bola kristal untuk hadiah ulang tahunmu. Kau bisa buka stan ramalan di pasar malam Shadyside bulan depan."

   Holly memaksa dirinya tersenyum.

   "Kau boleh mengolok-olok aku, tapi terkadang aku benar-benar bisa merasakan perasaan-perasaan ini.... Hei, apa kaupikir ada kelab dansa yang bagus di sini?"

   Tanya Holly mengubah topik pembicaraan.

   "Asyik deh. Tak ada orangtua. Tak ada jam malam. Aku bisa keluar rumah selarut yang kumau."

   "Aku tak habis pikir orangtuaku kok bisa ngotot kau ikut aku. Jika saja mereka tahu betapa bandelnya kau sesungguhnya. Kau pengaruh yang buruk sekali buatku!"

   Tina bercanda.

   "Kau pasti menyukainya!"

   Jawab Holly. Tina menatap langit malam. Tampak satu-satunya bintang, kuning pucat di langit kelabu. Bintang pertama malam ini, pikir Tina. Bintang Harapan. Ia memejamkan mata dan diam-diam mengucapkan permintaannya.

   "Kuharap akhir pekan ini menjadi yang terindah dalam hidupku."

   Angin dingin bertiup di peron. Tina membuka mata dan menarik jaket birunya erat-erat di dada. Josh suka jaket ini. Tapi sekarang Tina berharap memakai jaket yang lebih tebal.

   "Ayo masuk,"

   Ajaknya.

   Tina meraih kopernya dan mendorong pintu ganda yang besar itu hingga terbuka, masuk ke stasiun kecil.

   Koper Tina seakan-akan beratnya satu ton.

   Seharusnya aku tidak membawa begini banyak pakaian, pikirnya sambil menarik koper itu ke dalam.

   Tapi kata Josh mereka akan piknik, pergi ke pasar malam, dan pesta.

   Ia kan perlu bersiap-siap.

   Tapi ia tidak siap menghabiskan waktu di stasiun kereta api yang kosong dan sangat kotor ini, di tempat yang asing.

   Kok Josh tega melakukan ini padaku? tanya Tina dalam hati.

   Bau ruangan ini apak dan tidak enak.

   Deretan kursi bersandaran tinggi dari kulit abu-abu memenuhi ruangan.

   Potongah-potongan kertas beterbangan di lantai, seakan ditiup para hantu.

   Holly menjatuhkan kopernya dan menghela napas.

   "Josh tahu kita akan datang, kan?"

   "Tentu!"

   Tina membentak.

   "Mungkin ia lupa,"

   Kata Holly, sambil memandang ke sekeliling ruangan yang suram.

   "Karena sekarang sudah kuliah, ia mungkin berubah. Aku tahu, aku pun bakal berubah jika sudah kuliah. Aku akan menindik hidungku, pasti deh. Dan mungkin mentato tubuhku."

   "Kurasa Josh takkan mau menindik hidungnya. Aku akan menelepon dia. Kau tunggu di sini, jaga barang-barang kita."

   Tina mengaduk-aduk dompetnya untuk mencari koin dan bergegas menghampiri dua telepon umum. Ia mengangkat gagang telepon yang pertama, kemudian membantingnya.

   "Tidak ada nada!"

   Ia berteriak kepada Holly. Telepon yang satu lagi bahkan tidak bergagang. Tina berjalan kembali ke tempat sepupunya.

   "Ayo ke meja tiket,"

   Saran Tina, berusaha terdengar riang.

   "Mungkin ada pesan buat kita."

   Langkah kaki mereka bergema di lantai keramik. Pesan yang ditulis tangan di meja itu berbunyi AKAN SEGERA KEMBALI. Di dekat pesan itu ada secangkir kopi yang sudah dingin. Holly bergidik.

   "Kelihatannya sudah berhari-hari tak ada yang kemari."

   Tina mendengar suara dari balik bilik.

   "Apa itu?"

   Tanyanya sambil memegang lengan Holly.

   "Dengar."

   Suara mencakar pelan itu semakin terdengar. Tina menahan napas.

   "Binatang,"

   Holly menebak sambil melangkah sedikit demi sedikit mengitari meja.

   "Kembali,"

   Perintah Tina.

   "Mungkin itu tikus."

   Tempat ini kotor sekali, pikir Tina.

   Aku yakin berlusin-lusin tikus ada di sini.

   Ia menarik lengan sepupunya.

   Sesuatu menghantam meja dengan suara berdebuk keras.

   Tina memutar badannya.

   Seekor kucing hitam yang besar menatapnya.

   Bulu ekornya berdiri tegak.

   Matanya yang kuning berkilauan.

   Tina menjerit ketika kucing itu mendesis dan kemudian melompat turun dari meja.

   Kucing itu mendarat di samping kaki Tina dan berlari melintasi ruangan.

   Tina tertawa tegang.

   "Ku-kukira itu tadi tikus terbesar di dunia!"

   "Kucing hitam,"

   Bisik Holly.

   "Kau tahu apa artinya itu."

   "Artinya Josh sebaiknya cepat ke sini. Dan itu saja artinya,"

   Kata Tina.

   "Tidak ada pertanda lagi, oke? Aku tidak mau dengar lagi."

   "Kita duduk yuk,"

   Ajak Holly.

   "Ide yang bagus. Lututku seakan-akan terbuat dari keju lembut."

   "Itu karena kau terlalu banyak makan keju,"

   Goda Holly. Tina mengikuti sepupunya menuju kursi-kursi yang bersandaran keras.

   "Jam berapa sekarang?"

   Tanyanya.

   "Sembilan,"

   Jawab Holly.

   "Josh tahu malam ini kita datang, seharusnya ia menjemput kita, betul, kan?"

   "Ya, Holly. Ya, ia tahu kita tiba malam ini. Ya, ia tahu ini stasiunnya. Oke?"

   "Oke, oke. Sori,"

   Holly minta maaf.

   Cahaya bulan menerobos jendela dan membentuk bayangan panjang di dinding.

   Tina tetap memandang ke pintu masuk.

   Kumohon, Josh.

   Cepat kemari.

   Pikirannya dipenuhi berjuta-juta kemungkinan.

   Mungkin ia memang salah memberitahukan waktu kedatangan mereka.

   Mungkin ia memang salah memberitahukan tanggalnya.

   Mungkin...

   Hentikan, ia memerintahkan dirinya sendiri.

   Tina tidak bisa duduk diam.

   Ia berdiri dan mulai mondarmandir mengitari ruangan.

   Setelah berjalan satu lingkaran penuh, ia melihat ada bayangan bergerak di luar jendela di ujung stasiun.

   "Itu dia!"

   Teriak Tina. Ia menyambar tasnya dan buru-buru lari ke pintu.

   "Josh!"

   Teriak Tina, sambil melambai-lambai.

   "Kami di sini."

   "Mana dia?"

   Tanya Holly.

   "Aku tidak melihat seorang pun."

   Peron yang panjang itu tetap kosong.

   "Josh!"

   Teriak Tina lagi. Tak ada orang di sana. Perut Tina mulas. Ada yang tidak beres.

   "Ayo masuk lagi,"

   Bisiknya pada Holly. Terlambat. Seorang laki-laki melompat dari kegelapan di samping stasiun.

   "Hei -apa kabar?"

   Ujarnya dengan suara parau.

   "K-kami mau pergi,"

   Tina tergagap. Laki-laki itu maju mendekati Tina.

   "Tidak, kau tidak boleh pergi,"

   Katanya dengan suara yang dingin dan rendah.

   "Kau tidak boleh pergi ke mana-mana."

   Chapter 2

   "AKU perlu uang,"

   Laki-laki itu menggeram kepada Tina.

   "Berapa pun yang kaubawa."

   Oke, pikir Tina.

   Oke.

   Ia ingin uang.

   Ia boleh memiliki semuanya.

   Lima puluh dolar yang diberikan Dad kepadaku.

   Tina mencari-cari dompetnya.

   Laki-laki itu memajukan wajahnya.

   Rambutnya tergerai di keningnya, membentuk gumpalan-gumpalan kotor.

   Napasnya bau alkohol.

   Matanya berkaca-kaca.

   Tina merapat ke dinding.

   Sekujur tubuhnya gemetar.

   "U... uangku di..."

   Tina tergagap. Tapi ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya.

   "Hei -jangan ganggu dia!"

   Perintah seseorang bersuara dalam.

   "Keluar dari sini!"

   Josh! pikir Tina. Akhirnya! Laki-laki itu berteriak terkejut dan langsung pergi. Tina menutupi wajahnya dengan tangan, memerintahkan tubuhnya supaya berhenti gemetar.

   "Kau baik-baik saja?"

   Tanya penolongnya. Ini bukan suara Josh, Tina baru sadar. Ia menengadah dan melihat orang asing yang memiliki mata hijau tajam dan rambut berwarna gelap yang diikat jadi ekor kuda pendek.

   "Aku baik-baik saja -sekarang,"

   Kata Tina kepadanya.

   "Holly? Holly?"

   Holly berdiri merapat di dinding stasiun, lengannya memeluk tubuhnya sendiri. Tina menghambur ke sampingnya.

   "Kau tak apaapa?"

   Holly mengangguk.

   "Kau sendiri bagaimana? Apa dia menyakitimu?"

   "Tidak. Ia hanya membuatku ketakutan setengah mati,"

   Jawab Tina.

   "Akan kubunuh Josh karena terlambat begini."

   Holly menoleh pada orang asing itu.

   "Trims karena mengusir orang tadi."

   Tina merasa cowok itu memandanginya. Matanya menjelajahi wajah hingga kaki Tina, kemudian kembali ke wajahnya.

   "Kau pasti Tina,"

   Katanya.

   "Aku Chris Roberts. Teman sekamar Josh."

   "Oh, yeah,"

   Jawab Tina.

   "Josh pernah cerita tentang dirimu."

   Josh bercerita bahwa uang Chris banyak sekali. Tapi Josh tidak pernah mengatakan kepadanya betapa tampannya Chris.

   "Di mana Josh?"

   Tanya Tina sambil memaksa matanya supaya tidak menatap Chris dan memandang ke stasiun.

   "Kenapa ia tidak ke sini?"

   "Kemarin ia pergi kamping geologi dengan teman kami Steve,"

   Jawab Chris.

   "Apa? Ia pergi kamping?"

   Teriak Tina.

   "Tapi ia kan tahu aku mau datang!"

   "Mereka seharusnya pulang hari ini,"

   Chris menjelaskan.

   "Tapi tadi sore mereka menelepon dari bengkel. Mobil mereka mogok. Mereka harus menunggu persneling mobilnya diperbaiki."

   "Kapan mereka kembali?"

   Tanya Holly.

   "Nanti malam."

   "Oh,"

   Bisik Tina, kecewa. Hancurlah semalam dari akhir pekannya yang sempurna. Tapi paling tidak sekarang ia tahu kenapa Josh tidak menjemput.

   "Josh minta aku ke sini untuk menjemputmu. Sori aku terlambat sekali,"

   Chris minta maaf.

   "Jangan minta maaf,"

   Kata Holly.

   "Kalau kubilang sih, kau sampai di sini tepat pada waktunya."

   Ia menyibakkan rambutnya yang cokelat keriting dari wajahnya dan tersenyum.

   "Bagaimana kau tahu aku orang yang kaucari?"

   Tanya Tina.

   "Josh memasang foto-fotomu di kamar kami,"

   Chris menjelaskan, sambil menatap Tina.

   "Semua orang melihat foto-foto itu."

   Ia menyeringai jahil. Tina merasa Chris memandanginya lagi.

   "Kupikir kau datang sendirian,"

   Ujar Chris, senyumnya menghilang.

   "Rencananya sih begitu,"

   Tina berbohong. Ia tidak ingin cowok seganteng Chris tahu bahwa orangtuanya tidak mengizinkannya pergi sendirian.

   "Tapi Holly ingin melihat-lihat departeman drama di Patterson. Jadi ia ikut juga."

   "Ehem."

   Holly batuk dibuat-buat.

   "Oh, sori,"

   Kata Tina.

   "Aku belum mengenalkan dia padamu. Ini Holly Phillips, sepupuku."

   "Hai,"

   Kata Chris tanpa benar-benar memandang Holly.

   "Ayo kita pergi."

   Chris mengangkat koper Tina.

   "Jipku ada di luar."

   Tina mengikuti Chris memutari stasiun, menuju mobilnya.

   Dalam beberapa jam lagi ia akan bersama Josh.

   Chris memasukkan koper-koper itu ke belakang jip Cherokeenya.

   Kemudian Holly dan Tina masuk.

   Ketika mereka keluar dari pelataran parkir, Tina memperhatikan interior jip itu.

   Ia melihat ada CD player yang mahal, bahkan telepon mobil.

   Chris pasti kaya sekali, ia memutuskan.

   Tina menyandarkan kepalanya di sandaran dari kulit yang mewah.

   Ini jauh lebih baik daripada kursi kereta api yang keras, pikirnya.

   "Jadi seberapa jauh kampus kalian?"

   Tanya Holly, menjulurkan kepalanya di antara mereka dari bangku belakang.

   "Aku tak sabar melihatnya. Ada acara asyik malam ini? Minggu lalu aku mengunjungi Blaine College. Mereka punya beberapa kelab musik yang hebat. Tapi aku tidak terlalu suka departemen drama mereka. Terlalu serius."

   Tina dan Chris bertukar pandang dengan geli.

   "Dan bulan lalu aku pergi ke Munroe College,"

   Holly terus ngoceh.

   "Percaya nggak, mereka hanya mementaskan dua lakon setahun? Plus, kehidupan malam hari di sana mati."

   "Lihat ke sebelah kirimu, Holly,"

   Kata Chris.

   "Di sana itu gedung Little Town Playhouse."

   Chris menunjuk sebuah bangunan kecil dari batu bata yang jauh dari pinggir jalan.

   "Departemen drama college kadang-kadang pentas di sana."

   "Gedung yang bagus,"

   Ujar Holly. Chris mencondongkan badannya ke depan dan memasukkan sebuah CD. Beberapa detik kemudian terdengar sebuah lagu yang tidak asing lagi.

   "Aku suka CD ini,"

   Katanya, tersenyum kepada Tina. Aneh! Tina suka CD ini juga. Tak seorang pun yang dikenalnya, termasuk Josh, pernah mendengar Psycho Surfers, dan Chris punya CD mereka.

   "Kau tahu grup ini?"

   Tanya Tina.

   "Tentu,"

   Jawab Chris.

   "Aku sering sekali menyetel lagu ini. Josh sampai hanya mengizinkan aku mendengarkan lagu ini di mobil."

   "Apakah di kota ini pernah diadakan konser?"

   Tanya Holly.

   "Apa ada grup bagus konser di sini?"

   "Tidak terlalu sering,"

   Jawab Chris sambil membelokkan jipnya ke jalan sempit yang berbatu-batu.

   "Payah sekali,"

   Jawab Holly sambil bersandar kembali ke bangku.

   "Holly, lihat itu,"

   Kata Tina sambil menunjuk anak-anak yang berderet di luar sebuah kelab.

   "Di sana tempat untukmu."

   "Itu Club Cobalt. Aku jarang ke sana lagi,"

   Kata Chris.

   "Tapi kelab itu lumayan populer."

   Tina menyadari suara Chris agak sendu. Kenapa dia tidak ke sana lagi? tanya Tina dalam hati. Holly menghela napas.

   "Tidak banyak kelab di kota kami, ya kan, Tina?"

   Tina mengangkat bahu. Ia tidak begitu sering pergi ke kelab. Tanpa Josh, buat apa? "Tina,"

   Kata Chris.

   "Josh bilang kau ingin jadi model."

   "Ya. Sejak aku memenangkan kontes modeling waktu kelas lima,"

   Jawab Tina.

   "Kalau begitu aku yakin kau pernah mendengar soal pamanku -Rob Roberts, sang fotografer?"

   Tanya Chris. Rob Roberts! Semua orang tahu dia. Majalah-majalah mode menggunakan foto modelnya di sampul mereka sepanjang waktu.

   "Ia pamanmu? Wow!"

   Seru Tina, heran karena Josh tidak pernah menyebut-nyebut hal itu. Chris mengangguk.

   "Aku ingin bekerja dengannya setelah lulus nanti. Ia berjanji akan membantuku mulai kerja di bisnis itu."

   "Hebat sekali,"

   Puji Tina.

   "Jika kau ada waktu selama di sini, aku mau memotretmu,"

   Chris menawarkan.

   "Aku perlu beberapa bahan untuk portofolioku."

   "Asyik sekali, tapi aku tidak tahu apakah aku punya cukup waktu."

   Sesungguhnya, Tina berharap ia tidak akan punya waktu. Ia sangat ingin menghabiskan setiap menit bersama Josh.

   "Aku ingin sekali mencoba membuat beberapa foto wajah,"

   Kata Chris. Dan kemudian menambahkan.

   "Jika ada waktu."

   Mereka meluncur di kota kecil itu. Tina memikirkan Josh. Holly mengomentari toko-toko dan restoran.

   "Kalian lapar?"

   Tanya Chris sambil membelok ke jalan satu arah.

   "Tidak,"

   Jawab Holly.

   "Kami tadi makan sandwich di kereta api."

   "Sayang sekali,"

   Komentar Chris.

   "Ada restoran Meksiko di sebelah sana."

   Tina tersenyum.

   "Aku suka makanan Meksiko."

   "Apakah kau pernah makan enchilada kepiting?"

   Tanya Chris.

   "Kepiting?"

   Tina menaikkan alisnya.

   "Tidak. Memangnya enak?"

   "Enak sekali,"

   Jawab Chris.

   "Kau harus ke sana akhir pekan ini."

   Tina memandang ke luar jendela, ke malam yang berbintang.

   "Josh tidak suka makanan Meksiko,"

   Gumamnya.

   "Ia tidak tahu ia rugi besar,"

   Ujar Chris. Aku tahu, pikir Tina. Ia rugi besar karena tidak bertemu aku. Josh seharusnya di sini bersamaku sekarang.

   "Ini asramanya,"

   Kata Chris.

   Ia memarkir jipnya di tempat parkir.

   Akhirnya, pikir Tina seraya membuka pintu.

   Semoga kau ada, Josh.

   Semoga kau ada.

   Kata-kata itu berulang-ulang di benaknya ketika ia mengikuti Chris masuk ke bangunan asrama dari bata merah yang tinggi itu.

   Tapi ketika Chris membuka pintunya, kamar itu gelap dan kosong.

   "Rencananya kalian akan tinggal di kamar kami ini,"

   Kata Chris kepada mereka.

   "Josh dan aku sudah mendapat izin dari kepala asrama. Kami akan tidur di studioku."

   "Apa kaupikir Josh ada di sana saat ini?"

   Tanya Tina.

   "Aku meragukannya,"

   Jawab Chris sambil melihat arlojinya.

   "Sekarang baru jam sepuluh."

   "Bagaimana kalau kita menelepon ke sana -hanya untuk memastikan,"

   Tina memberi saran.

   Ia tahu Josh tidak akan ada di sana.

   Jika cowoknya itu sudah kembali ke kota, ia pasti telah menunggunya di sini.

   Sementara Chris memutar nomor, Tina menggigit-gigit bagian dalam pipinya dengan gugup.

   Seperti dugaannya, tak ada yang mengangkat telepon di studio.

   Tina duduk di salah satu ranjang.

   Ia tahu ia akan segera bertemu Josh.

   Tapi toh ia tetap kecewa.

   "Sampai nanti,"

   Kata Chris sambil meletakkan telepon.

   "Jika kalian ingin sesuatu, telepon aku."

   Chris menulis nomor telepon studio di secarik kertas.

   "Kamar di asrama ini lebih besar daripada kamar di Blaine College,"

   Kata Holly setelah Chris pergi.

   "Dan lihat, mereka bahkan punya stereo dan TV."

   Ia mengambil remote dan memilih-milih saluran sampai menemukan MTV.

   "Aku yakin barang-barang itu milik Chris,"

   Kata Tina.

   Josh hampir tak mampu kuliah di luar kota.

   Tina memandang ke sekeliling ruangan.

   Dua ranjang, dua lemari, dan dua meja hampir memenuhi tempat ini.

   Komputer kuno milik Josh terletak di atas mejanya.

   Di meja Chris ada Mac berwarna lengkap dengan CD-ROM dan laser printer.

   Tina bertanya-tanya apakah Josh pernah iri pada Chris.

   Jika ya, ia tak pernah menyebut-nyebut hal itu kepadanya.

   Peta geologi menutupi dinding di dekat ranjang Josh.

   Sebuah foto laut dan pengumuman kontes fotografi tergantung di dinding seberangnya.

   Dan tentu saja, batu-batuan dan fosil bertebaran di mana-mana.

   Di meja belajar Josh.

   Di atas bufet.

   Di kusen jendela.

   Bahkan di lantai.

   Dalam segala bentuk dan ukuran.

   Persis seperti kamar Josh di rumah, pikir Tina.

   Bahkan mungkin mimpinya pun tentang batu-batuan.

   Tina mengambil batu hitam berbentuk segi tiga dan menggosokkannya di antara jari-jarinya.

   Pinggiran batu yang kasar itu menggores kulitnya.

   Sambil memegang batu itu, ia berdiri dan mondar-mandir di kamar.

   Walaupun semuanya kelihatan normal, ada sesuatu yang tidak beres.

   Sesuatu yang hilang.

   "Ada apa?"

   Tanya Holly.

   "Aku tak tahu,"

   Jawab Tina sambil melemparkan batu itu ke ranjang Josh.

   Lalu dia teringat sesuatu.

   Di mana semua foto dia yang disebutsebut Chris itu? Foto pesta dansa mereka terletak di atas bufet Josh.

   Tapi cuma itu.

   Ia mengambil foto tersebut dan memandang wajah Josh yang tampan.

   Tina tahu ia tak akan pernah melupakan malam itu.

   Sebagai pengganti korsase biasa, Josh memberinya korsase yang terbuat dari lapisan-lapisan kristal mika berwarna hijau.

   Ia jadi merasa benarbenar istimewa, berbeda dari orang lain.

   Sepanjang malam temantemannya mengomentari kristalnya.

   Ia membalik foto itu untuk membaca tulisan di belakangnya.

   Tulisan itu telah lenyap! Aneh sekali, pikirnya.

   Ia menulis pesan untuk Josh di belakang foto ini.

   Apakah Josh sudah menghapusnya? Seseorang mengetuk pintu.

   Tina buru-buru membukanya.

   Kumohon Josh yang datang, pikirnya.

   Ternyata seorang gadis berambut gelap, berdiri di gang.

   "Tidak!"

   Jerit gadis itu.

   "Aku tak percaya ini!"

   Chapter 3 TINA menatap gadis itu.

   "Maaf?"

   Gadis itu memakai blue jeans ketat dan kaus ngepas warna beige. Rambutnya yang berwarna gelap dipotong pendek, membingkai wajahnya yang bulat dan serius.

   "Sori,"

   Gadis itu minta maaf.

   "Kupikir kau orang lain. Tapi warna rambutmu jauh lebih muda."

   Ia mengerjap-ngerjapkan matanya dengan cepat.

   "Kau baik-baik saja?"

   Tanya Tina.

   "Aku tak tahu kenapa aku begini,"

   Jawab gadis itu.

   "Terlalu banyak minum kopi, kukira. Aku ngebut belajar untuk ujian. Dan aku -aku tidak mengira kau mirip dia."

   "Mirip "siapa?"

   Desak Tina.

   "Uh... tak ada,"

   Ia tergagap, sambil menggerak-gerakkan tangannya di depannya.

   "Maaf. Bicaraku ngawur, kan?"

   Ia bohong, pikir Tina. Ada apa sih? "Kau siapa?"

   Tanya Tina.

   "Aku Carla Ryan,"

   Gadis itu menjelaskan.

   "Aku pacar Steve. Kau Tina, kan? Kata Chris ia akan menjemputmu di stasiun."

   "Betul,"

   Jawab Tina.

   "Dan ini sepupuku Holly."

   Tina jadi agak santai. Josh telah menceritakan soal Steve dan Carla kepadanya. Steve kuliah geologi juga. Carla mahasiswi jurnalistik, dan selalu membesar-besarkan masalah.

   "Menurutmu aku mirip siapa?"

   Tina mengulangi pertanyaannya. Carla mengabaikan pertanyaan itu. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang Josh. Tina duduk di sampingnya.

   "Aku satu SMA dengan Steve dan Chris,"

   Carla menjelaskan, menyisir rambutnya yang pendek dan lembut itu dengan jari-jarinya.

   "Mereka cowok-cowok yang hebat."

   "Kau punya apartemen sendiri?"

   Tanya Holly ingin tahu sambil membongkar pakaiannya.

   "Tidak, belum,"

   Jawab Carla.

   "Aku tinggal di asrama. Di lantai sepuluh. Tapi aku bekerja di butik, dan tahun depan aku akan memiliki tempat tinggal sendiri. Aku bosan tinggal di asrama."

   Aku berharap bisa kuliah di luar kota tahun depan, pikir Tina.

   Mungkin jika aku mendapat pekerjaan modeling, aku akan mampu kuliah di suatu tempat selain Waynesbridge Junior College.

   Ia tak peduli jika harus tinggal di asrama selama empat tahun.

   Pasti lebih baik daripada tinggal di rumah.

   Musik meraung keras dari kamar sebelah, menenggelamkan suara TV.

   "Suasana Jumat malam memang begini."

   Carla memukul-mukul dinding. Musik malah bertambah keras. Carla membelalakkan matanya, dan mereka semua tertawa.

   "Jika ingin jadi model seperti yang diceritakan Josh, kau sebaiknya minta Chris memotretmu,"

   Saran Carla.

   "Ia sangat berbakat."

   "Ia menawarkan untuk memotret aku akhir pekan ini,"

   Kata Tina.

   "Kalau begitu kau harus menerima tawarannya,"

   Jawab Carla.

   "Mungkin kau akan menemukan agen seperti temanku di New York. Chris memperlihatkan foto-fotonya kepada pamannya. Ia mengatakan tentang pamannya kepadamu, kan?"

   "Uh-huh."

   Tina memandang jam di atas lemari. Sebelas lewat lima. Josh seharusnya sebentar lagi datang.

   "Tapi aku ingin menghabiskan semua waktuku dengan Josh."

   Carla menggelengkan kepalanya.

   "Aku tak habis pikir kenapa Josh pergi kamping. Maksudku, aku bertemu Steve sepanjang waktu,"

   Katanya.

   "Tapi kau belum bertemu Josh sejak libur Natal. Dan karena mobilnya rusak, ia baru akan kembali larut malam nanti."

   Tina mengerang.

   "Jangan mengingatkanku."

   "Apakah tidak berat terpisah sedemikian jauh?"

   Tanya Carla.

   "Tak bisa kubayangkan seandainya aku tinggal terpisah seperti itu dengan Steve."

   "Kami sering ngobrol di telepon,"

   Tina menjelaskan. Tapi jika Josh rindu kepadanya seperti ia merindukan Josh, kenapa cowok itu pergi kamping minggu ini? Apa batu-batunya yang bisu itu begitu penting? "Apakah kau tahu mereka pergi ke mana?"

   Tanya Tina kepada Carla.

   "Tentu,"

   Jawab Carla.

   "Steve menceritakan semuanya kepadaku."

   "Oh,"

   Kata Tina. Josh dulu juga menceritakan segalanya kepadaku. Mungkin college benar-benar bisa mengubah orang.

   "Cerita dong tentang Chris."

   Holly selesai membongkar pakaiannya dan membuka botol cat kuku.

   "Apakah ia punya pacar?"

   "Ceritanya sedih deh,"

   Kata Carla pelan. Ia memandang foto laut.

   "Benar-benar menyedihkan."

   "Jangan membuat kami tegang,"

   Desak Holly sambil mengecat kuku ibu jarinya dengan warna merah terang. Carla menghela napas dalam-dalam dan mulai cerita.

   "Waktu SMA dulu, Chris punya pacar. Judy. Mereka tergila-gila satu sama lain. Maksudku, mereka pergi ke mana-mana berdua. Mereka suka sekali berlayar naik kapal Chris. Dan kemudian musim panas yang lalu..."

   Carla ragu-ragu.

   "Musim panas yang lalu mereka mengalami kecelakaan. Mereka berlayar terlalu jauh, tiba-tiba badai datang. Judy jatuh ke laut dan..."

   "Jangan katakan padaku ia tenggelam!"

   Teriak Holly. Carla mengangguk. Mengerikan sekali, pikir Tina. Ia bahkan tak bisa membayangkan bagaimana rasanya seandainya musibah seperti itu terjadi pada Josh.

   "Chris mencoba menyelamatkan Judy,"

   Carla melanjutkan.

   "Tapi Chris tak bisa menemukan Judy di mana-mana. Mereka harus mencari tubuh Judy selama dua hari."

   Keheningan yang mencekam memenuhi kamar. Tina membayangkan Chris di atas kapal, dengan angin mengibar-ngibarkan layar, mencari-cari, mencari pacarnya. Mengerikan sekali.

   "Cowok malang,"

   Gumam Holly, memecah kesunyian.

   "Steve mencoba menjodohkan Chris beberapa kali,"

   Kata Carla kepada mereka.

   "Tapi Chris tidak tertarik."

   "Bagaimana kalau kau berkencan dengan dia, Holly?"

   Tanya Tina. Ia memandang sepupunya sekilas. Holly menggeleng.

   "Bukan tipeku,"

   Gumamnya.

   "Terlalu normal?"

   Goda Tina.

   "Tepat,"

   Jawab Holly. Carla melihat jam tangannya. Ia menggigit bibir dan menggeleng.

   "Aku harus bicara dengan Josh bila mereka sudah kembali."

   Ia mengambil sebuah batu Josh.

   "Kupikir dia tidak menghargaimu."

   Tina memandang Carla ketika ia melemparkan batu itu ke udara dan kemudian menangkapnya.

   Carla bicara seakan ia tahu sesuatu tentang Josh.

   Sesuatu yang tidak diketahui Tina.

   Dan itu membuat Tina merasa tidak enak.

   Seseorang mengetuk pintu.

   Holly membukanya dan Chris melangkah masuk.

   "Aku lupa aku ingin membawa catatan kimiaku ke studio. Ada apa, Carla?"

   Tanyanya.

   "Tidak ada apa-apa,"

   Jawab Carla.

   "Kami sedang menunggu mereka."

   "Ada kabar?"

   Chris duduk di kursi belajar Josh. Tina menggelengkan kepalanya.

   "Aku jadi khawatir."

   "Jangan,"

   Carla berkeras.

   "Malam ini sangat berkabut. Mereka harus mengendarai mobil pelan sekali. Kupikir mereka baru sampai setelah tengah malam."

   "Carla benar,"

   Chris menambahkan.

   "Dengar, bagaimana kalau kita pergi ke pesta, daripada bengong di sini menunggu?"

   "Ide yang bagus,"

   Teriak Holly.

   "Bagaimana, ya,"

   Bisik Tina.

   "Ayolah,"

   Desak Chris.

   "Josh pun takkan ingin kau bosan."

   Tina berpikir beberapa saat. Waktu akan lebih cepat berlalu di pesta. Dan ketika pesta berakhir, Josh pasti sudah kembali.

   "Oke. Ayo pergi,"

   Katanya kepada Chris.

   "Bagus,"

   Jawab Chris.

   "Bagaimana denganmu, Carla?"

   Carla mengangkat bahu.

   "Kenapa tidak?"

   "Aku mau ganti baju dulu."

   Holly mengambil jeans dan sweter merah cerah dari atas ranjang.

   "Di mana kamar mandinya?"

   "Di ujung gang,"

   Carla memberitahu.

   "Keluar pintu dan di sebelah kirimu."

   Tina membuka kopernya.

   "Aku akan menggantung beberapa bajuku dulu."

   Ia mengambil dua potong pakaian yang dibawanya untuk dansa.

   Gaun hitam yang seksi dan rok mini dengan blus putih.

   Rencananya ia akan memakai salah satu yang paling disukai Josh.

   Ketika ia mengibas-ngibaskan bajunya untuk menghilangkan kusut, ia merasakan Chris sedang memandanginya.

   Ia merinding.

   Dengan baju tersampir di lengan, Tina membuka pintu lemari.

   Ia meraik gantungan yang kosong.

   Kakinya membentur benda keras.

   Ia melihat ke bawah.

   Aneh sekali, pikirnya.

   Sepatu mendaki gunung milik Josh? Jika Josh sedang mendaki gunung untuk mencari batu-batuan, pikir Tina, kenapa Josh meninggalkan sepatunya di sini?"

   Chapter 4

   "KAU belum siap juga?"

   Tanya Holly sambil masuk ke kamar. Holly memakai jeans yang berlubang di lutut dan sweter merah ketat. Anting-anting dari manik-manik menjuntai hampir sampai bahunya.

   "Kenapa kau bengong begitu?"

   "Aku sudah siap,"

   Jawab Tina sambil menutup lemari. Tapi ia tidak bisa melupakan sepatu Josh yang tadi dilihatnya. Kenapa Josh meninggalkan sepatu itu di lemari? "Well, kita akan pergi atau tidak?"

   Tanya Holly tidak sabar.

   "Aku harus menulis pesan dulu buat Josh,"

   Jawab Tina.

   "Chris, kita mau ke mana? Aku akan memberitahu Josh agar menyusul kita."

   Ia menemukan bolpoin dan secarik kertas di lemari Josh.

   "Ke pesta di Old Town,"

   Jawab Chris. Ketika Tina sedang menulis, Chris menatapnya dengan sungguh-sungguh.

   "Aku tak tahu alamatnya. Katakan kepadanya agar menunggu kita di sini."

   Carla menggeleng dan berdecak-decak.

   "Ia tak pantas untukmu,"

   Katanya.

   "Jika aku sudah tiga bulan tidak ketemu pacarku, aku pasti akan menunggunya di sini."

   Tina menghela napas dan berusaha mengabaikan Carla. Tapi mau tak mau ia setuju juga. Tenggorokannya terasa tersumbat ketika ia meletakkan pesan itu di bantal Josh.

   "Jangan dengarkan Carla,"

   Ujar Chris.

   "Josh akan segera kembali."

   "Well, jangan hanya berdiri di sini dan ngomongin itu melulu,"

   Desak Holly.

   "Ayo pergi ke pesta."

   Ketika mereka sampai di jip, Tina memutuskan untuk duduk di jok belakang dengan Carla. Supaya Holly dan Chris bisa mengobrol dan mungkin Holly akan tahu bahwa Chris ternyata tipenya. Tina bergerak menaiki mobil.

   "Tina,"

   Panggil Chris.

   "Duduklah di depan dengan aku, oke? Dan jangan cemas lagi."

   Bubar sudah rencanaku, pikir Tina sambil duduk di jok depan.

   Ia membuka kaca jendela dan membiarkan angin yang sejuk meniup rambutnya yang pirang ke belakang.

   Ia menatap langit yang cerah.

   Di sini bintang-bintang bersinar lebih terang daripada di Shadyside.

   Tina membayangkan Josh sedang bermobil di gunung.

   Tapi masih saja ia tak bisa mengusir rasa gelisahnya.

   "Chris,"

   Tina mulai. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat.

   "Rasanya ada sesuatu yang aneh. Kulihat sepatu mendaki gunung milik Josh ada di lemarinya. Kenapa ia meninggalkan sepatu itu kalau ia pergi kamping?"

   Mata Chris terbelalak.

   "Ia membawa sepatu baru. Sangat bagus, dengan bantalan pergelangan kaki dua lapis dan kulit lembut."

   "Sungguh?"

   Jawab Tina, amat lega.

   "Tapi kondisi keuangan Josh kan sedang mepet. Bagaimana ia mampu membeli sepatu baru?"

   Chris mengurangi persneling dan berbelok di kelokan.

   "Ia pasti tidak bercerita tentang pekerjaannya kepadamu. Ia menangani urusan komputer untuk lab geologi. Upahnya lumayan."

   "Kupikir ia pernah menyebut-nyebut hal itu,"

   Tina berbohong, malu untuk mengakui bahwa pacarnya tidak menceritakan pekerjaan itu kepadanya. Tina memandang ke luar jendela.

   "Hidupku tak menentu dan sendirian... begitu lama... sangat tak adil."

   Kata-kata itu mengalun ke udara. Itu CD Spoiled Rotten, pikirnya. Aku tak percaya Chris juga punya CD itu. Tina menatap Chris. Cowok itu bersenandung mengikuti lagu tadi. Aku yakin Chris rindu pada pacarnya yang dulu, pikirnya.

   "Kau punya CD ini?"

   Tanya Chris.

   "Susah lho mendapatkannya."

   "Memang,"

   Jawab Tina.

   "Aku cari ke mana-mana, dan akhirnya aku menemukan toko yang menjual berbagai macam barang yang aneh."

   "Apa lagi yang kausuka?"

   Tanya Chris. Sebelum Tina sempat menjawab, Holly berteriak dari jok belakang.

   "Musik ini bising sekali! Kecilkan dong."

   Chris tersenyum pada Tina. Ia salah satu cowok paling tampan yang pernah kutemui selama ini, pikirnya. Mereka membelok ke jalan sempit yang diapit pepohonan, dan menemukan tempat parkir di pinggir jalan.

   "Kita sudah sampai,"

   Chris mengumumkan. Ia mematikan mesin mobil. Ketika mereka bergegas di jalan masuk yang panjang, Tina mendengar dentuman bas gitar. Mahasiswa-mahasiswa berkumpul di teras dan di halaman depan.

   "Hei, Carla!"

   Teriak seorang cowok jangkung.

   "Bill mencarimu."

   "Well, ia harus terus mencari!"

   Carla balik berteriak sambil menyibakkan rambut dari wajahnya.

   Holly terkikik.

   Inilah yang disukai Holly, pikir Tina.

   Pesta dan cowok-cowok untuk dikecengi.

   Begitu melangkah masuk, Tina merasa tidak enak.

   Aku yakin semua orang tahu aku masih SMA, pikirnya.

   Tina memperhatikan seorang cewek yang memakai jeans dan rompi.

   Ada cincin perak di hidungnya.

   Cewek yang lain memakai rok mini dengan kaus kaki yang panjangnya sampai paha, beberapa inci di bawah keliman rok.

   Coba tadi aku ganti pakaian, pikir Tina.

   Semua orang akan berpikir aku begitu membosankan.

   Anak SMA yang masih ingusan.

   Tina mengikuti Chris melintasi ruang tamu.

   Beberapa cowok menyapa Chris dan tersenyum pada Tina.

   Cowok-cowok college ternyata memperhatikan dia juga! Mungkin ia tidak kelihatan membosankan seperti yang dibayangkannya.

   Akhirnya mereka menemukan tempat kosong di dinding dekat jendela yang terbuka.

   Angin sepoi-sepoi yang sejuk terasa menyenangkan.

   "Pesta yang hebat!"

   Seru Holly. Ia bergoyang mengikuti irama musik.

   "Bagaimana kalau kau dan Holly berdansa,"

   Tina menyarankan kepada Chris. Ia harus berteriak agar suaranya terdengar.

   "Ini salah satu lagu kesukaannya."

   Chris mengangkat bahu.

   "Well, aku tidak terlalu -"

   "Oh, lihat!"

   Carla menyela.

   "Itu cewek yang jadi pemeran utama di Our Town. Ayo, Holly, kukenalkan kau dengan dia."

   Carla memegang Holly dan menariknya pergi, meninggalkan Tina berduaan dengan Chris.

   Tina mundur selangkah.

   Rasanya tidak enak berdiri begitu dekat dengan Chris, walaupun mereka dikelilingi orang banyak.

   Pesta college-nya yang pertama, dan seharusnya ia datang bersama pacarnya, namun ternyata ia datang dengan teman sekamar pacarnya.

   Tapi itu bukanlah bagian yang terburuk.

   Bagian terburuk adalah ia merasa tertarik pada cowok ini.

   Tina bergerak-gerak gelisah.

   "Mau minum?"

   Tanya Chris.

   "Ada soda di lemari es di sana."

   Ia menunjuk ke seberang ruangan.

   "Trims,"

   Jawab Tina.

   "Kau di sini saja, ya,"

   Kata Chris padanya.

   "Tempat ini penuh sesak."

   Chris susah payah menerobos kerumunan orang.

   Tina langsung tidak bisa melihatnya.

   Ia merasa agak kikuk berdiri sendirian.

   Ia lega ketika akhirnya melihat Chris kembali menghampirinya.

   Chris mengulurkan kaleng soda kepada Tina, dan membuka sekaleng untuk dirinya sendiri.

   Chris meneguk sodanya, sambil memandang ke sekeliling ruangan.

   "Aku jarang pergi ke pesta. Dulu sih sering, tapi..."

   Ia mengalihkan pandangannya dari Tina. Tina mengulurkan tangan dan menyentuh lengan Chris, mencari kata-kata yang tepat.

   "Jadi kau suka makanan pedas?"

   Tanyanya tiba-tiba.

   "Suka sekali,"

   Jawab Chris, tersenyum.

   "Kau harus ikut Josh ke Shadyside. Ada restoran Meksiko yang tidak terlalu jauh, di Waynesbridge. Taruhan deh kau tidak bakal sanggup makan jalapenos mereka lebih dari satu."

   "Oh, entah ya. Musim semi yang lalu di Old Town Festival ada kontes. Dan tebak siapa yang menang?"

   "Wah, siapa ya,"

   Goda Tina.

   "Berapa yang bisa kaumakan?"

   "Selusin,"

   Chris membual.

   "Kepalaku hampir meledak."

   Tina tertawa. Pasti menyenangkan kalau ada Chris di Shadyside. Ia begitu mudah diajak bicara, dan mereka punya banyak persamaan.

   "Jadi apakah kau akan mulai sekolah di sini musim gugur nanti?"

   Tanya Chris.

   "Tidak. Aku tak mampu melanjutkan sekolah di luar kota,"

   Jawab Tina.

   "Barangkali aku akan melanjutkan ke Waynesbridge Junior College, jadi aku bisa tinggal di rumah."

   "Sayang sekali,"

   Komentar Chris.

   "Ada beberapa tempat bagus di sekitar sini yang bisa kutunjukkan.... Maksudku Josh bisa menunjukkannya padamu, jika kau punya lebih banyak waktu."

   Lagu slow mulai mengalun.

   "Mau dansa?"

   Tanya Chris.

   "Tentu,"

   Jawab Tina. Mereka berada di antara pasangan-pasangan lain. Tina menyandarkan kepalanya di pundak Chris ketika mereka berdansa.

   "Rambutmu harum,"

   Bisik Chris di telinganya.

   Tina tersenyum dan merapat manja.

   Ia bisa merasakan otot-otot Chris di balik kemejanya.

   Enak rasanya dipeluk.

   Meskipun yang memeluknya orang yang tidak semestinya.

   Ketika lagu berakhir, Chris membimbingnya ke luar, menuju teras belakang untuk menghirup udara segar.

   Berjuta-juta bintang seperti titik-titik di langit.

   Tina menengadah dan memandang bulan.

   Bau segar rumput yang baru dipotong tercium dari halaman di bawah.

   Tina menarik napas, kemudian mengembuskannya pelan-pelan.

   "Indah sekali di sini,"

   Komentarnya.

   "Aku tahu kenapa kau suka tempat ini."

   Chris melingkarkan lengannya di tubuh Tina.

   "Ucapkan permintaanmu."

   Tina menatap bintang yang paling terang di langit.

   "Aku berharap menjadi model yang terkenal suatu hari nanti,"

   Bisiknya, sambil membayangkan dirinya menjadi gadis sampul Glamour atau Vogue. Terbang keliling dunia dengan jet pribadi. Mengunjungi tempat-tempat yang luar biasa. Punya cukup uang untuk mendapatkan segala sesuatu yang diinginkannya.

   "Mungkin aku bisa membuat harapanmu itu menjadi kenyataan,"

   Kata Chris lembut sambil mengangkat dagu Tina mendekati wajahnya.

   "Biar kufoto kau untuk portofoliomu."

   Tina merasa jantungnya berdetak lebih cepat.

   Selama beberapa detik mereka saling menatap.

   Kemudian Chris menunduk dan mencium bibirnya lembut.

   Tina merasa tubuhnya gemetar.

   Ia ingin Chris menciumnya lagi.

   Chris menciumnya.

   Tina tidak mendengar langkah kaki di belakangnya sampai semua sudah terlambat.

   Sampai terdengar suara berteriak.

   "Apa-apaan ini?"

   Chapter 5 TINA terkejut dan langsung melepaskan diri dari Chris. Ia berputar dan melihat Carla berdiri di sana, lengannya disilangkan di dada.

   "Aku, uh... kami... tadi..."

   Tina tergagap seraya memasukkan tangan ke dalam saku. Wajahnya merah padam.

   "Hei -tak apa-apa,"

   Carla mengangkat bahu.

   "Kami barusan ingin pergi,"

   Kata Chris.

   Bagaimana aku bisa mencium Chris seperti itu? tanya Tina kepada dirinya sendiri.

   Selama dua tahun pacaran dengan Josh, ia tak pernah mengkhianati Josh.

   Ia bahkan tak pernah berpikir untuk mengkhianati Josh.

   Aku harus memaksa Carla bersumpah tidak akan bercerita kepada orang lain, pikir Tina.

   Supaya Josh tak pernah tahu.

   Walaupun sesungguhnya tak ada yang terjadi.

   "Yeah. Ayo pergi,"

   Kata Tina. Sekarang ia semakin ingin bertemu Josh.

   "Di mana Holly?"

   "Aku tak tahu."

   Carla menyibakkan rambutnya yang menutupi mata.

   "Ke mana Holly pergi?"

   Tanya Tina.

   "Bukankah dia tadi bersamamu?"

   "Hanya sebentar. Tapi kemudian segerombolan anak kota masuk dan kami terpisah. Ia dansa dengan beberapa cowok, dan itulah terakhir kali aku melihatnya,"

   Kata Carla.

   "Anak kota?"

   Tanya Tina.

   "Kau tahu."

   Carla melambaikan tangannya.

   "Anak-anak lokal yang tidak sekolah di sini. Mereka agak konyol."

   Tina menoleh kepada Chris.

   "Aku akan mencari Holly."

   "Aku yakin dia baik-baik saja,"

   Chris meyakinkannya kembali.

   "Kau tidak kenal Holly,"

   Jawab Tina, membayangkan yang terburuk.

   Tina bergegas masuk kembali.

   Yang pasti pesta telah berubah.

   Beberapa cowok yang lebih tua telah datang.

   Mereka mengoper sebuah kantung kertas di antara mereka, meneguk isi botol di dalam kantung itu.

   Tina merasa seseorang tengah menatapnya.

   Ia menoleh.

   Seorang cowok dengan tato tengkorak di kedua lengan atasnya berkedip padanya.

   Ia cepat-cepat menoleh ke arah lain.

   Lantai bergetar karena dentuman musik heavy-metal yang menggelegar.

   Udara pengap membuat Tina sakit kepala.

   Ia menerobos orang-orang di lantai dansa, sibuk mencari sepupunya.

   "Hei,"

   Terdengar suara rendah memanggilnya.

   "Kenapa buruburu?"

   Tina menatap cowok yang mengikat kepalanya dengan kaus. Mata cowok itu merah.

   "Aku sedang mencari seseorang,"

   Jawabnya pendek.

   "Well, ini aku."

   Ia tertawa sambil menangkap pinggang Tina.

   "Dansa?"

   "Tidak, trims."

   Tina menggeliat-geliat untuk melepaskan diri.

   "Bagaimana kalau minum?"

   Tanyanya sambil menyodorkan gelas besar ke bibir Tina. Rasanya pahit.

   "Tidak, sungguh, tidak usah,"

   Jawab Tina. Didorongnya gelas itu menjauh. Cowok itu menyambar lengan Tina.

   "Hei, kau cantik sekali. Ayolah, dansa denganku. Satu kali saja. Aku tak akan menyakitimu."

   Tina mencium bau napas tidak enak cowok itu. Ia menarik lengannya dan buru-buru menyeberangi ruangan. Itu dia, pikir Tina, lega. Ia melihat puncak rambut Holly yang keriting.

   "Holly!"

   Panggilnya. Susah payah ia melintasi ruangan. Seseorang yang tidak dikenalnya berbalik. Bukan Holly.

   "Apakah kau sudah menemukan dia?"

   Tanya Chris sambil melangkah mendekati Tina. Senyum Chris yang hangat membuatnya merasa lebih enak, tapi hanya sedikit. Tina menggeleng.

   "Tidak, belum."

   "Aku akan mengecek dapur,"

   Chris menawarkan.

   "Kau pergilah ke koridor."

   Tina berjalan di sepanjang koridor yang sempit. Ia membuka pintu sebuah kamar tidur. Kemudian ia membantingnya hingga menutup setelah melihat tampang marah pasangan yang sedang cekcok di dalam.

   "Maaf,"

   Gumam Tina.

   Ia menyesal sekali datang ke pesta ini.

   Ketika akan balik ke ruang tamu, Tina mendengar seorang gadis menjerit.

   Jeritan yang keras dan melengking.

   Itu Holly! pikirnya.

   Aku tahu pasti! Ia menerobos menuju pintu depan.

   Ia sampai di teras ketika beberapa sepeda motor menjauh dengan suara meraung-raung.

   Salah seorang pengemudinya memeluk seorang gadis berambut cokelat keriting.

   "Holly!"

   Jerit Tina.

   "Kembali!"

   Teriaknya, berlari di trotoar.

   Ia tidak berhenti hingga tiba di pojok jalan.

   Angin dingin bertiup, menderu-deru di antara pepohonan.

   Sebuah kaleng kosong berkelontangan di sepanjang trotoar itu.

   Ke mana mereka membawa Holly? Tenanglah, Tina berkata kepada dirinya sendiri.

   Tenanglah.

   Mungkin Holly ingin pergi bersama mereka.

   Tetapi kalau benar begitu, kenapa ia menjerit? Mungkin itu bukan Holly.

   Banyak gadis berambut cokelat keriting.

   Aku harus mencari Chris, pikirnya.

   Chris tahu apa yang harus dilakukan.

   Ketika melangkah kembali ke pesta, Tina melihat sesuatu yang bersinar di trotoar.

   Benda itu berkilauan tertimpa cahaya bulan.

   Apa itu? pikirnya sambil membungkuk.

   Ia mengambil benda tersebut dan mengamatinya.

   Dan terkejut.

   Tidak.

   Anting manik-manik milik Holly.

   Chapter 6 TINA menggenggam anting Holly.

   Mereka membawa Holly, ia tersadar.

   Mereka membawa kabur Holly.

   Dengan sekujur tubuh gemetar, ia lari menaiki tangga teras dan menabrak Carla.

   "Di sini kau rupanya!"

   Seru Carla.

   "Aku mencarimu ke manamana."

   "Mereka membawa dia!"

   Jerit Tina.

   "Beberapa cowok naik sepeda motor -mereka membawa kabur Holly!"

   "Apa?"

   Teriak Carla.

   "Kau bicara apa?"

   "Holly dalam bahaya!"

   Jerit Tina.

   "Kita harus mencari Chris dan mengejar mereka."

   "Stop,"

   Potong Carla. Ia meletakkan tangannya di bahu Tina.

   "Tenanglah. Holly bersama cewek bernama Alyssa Pryor. Itu sebabnya aku mencarimu. Untuk memberitahumu. Ia baik-baik saja."

   "Alyssa Pryor?"

   Tina mengulangi.

   "Dari Shadyside?"

   Carla mengangguk.

   "Yeah. Katanya ia kenal Alyssa sejak dulu. Dan Alyssa kuliah di departemen drama, jadi ia mengajak Holly melihat gedung drama."

   "Itu masuk akal,"

   Kata Tina.

   "Holly dan Alyssa pernah main drama bersama di Shadyside. Aku lupa Alyssa melanjutkan sekolah di sini."

   Tina merasa lega. Ia bisa membayangkan bagaimana terkejutnya orangtuanya -dan orangtua Holly -jika mereka tahu ia kehilangan sepupunya.

   "Tapi ini sudah lewat tengah malam. Kenapa mereka pergi ke gedung drama sekarang?"

   Tanya Tina.

   "Anak-anak drama di sekolah ini sangat aneh,"

   Jawab Carla sambil memutar bola mata.

   "Maksudku mereka itu ganjil sekali. Terkadang mereka di panggung semalam suntuk."

   Tina menguap dan duduk di tangga di dekat Carla.

   "Apakah kita harus menunggu Holly di sini?"

   "Tidak mau,"

   Jawab Carla.

   "Aku capek. Ayo kita cari Chris untuk mengantarkan kita pulang."

   "Tapi Holly bagaimana?"

   Desak Tina.

   "Holly bersama gerombolan anak-anak itu. Jangan cemas. Pasti ada yang akan mengantarkannya,"

   Carla menenangkan Tina.

   Tina menghela napas.

   Ditatapnya langit.

   Awan-awan bergerak menutup, tapi Tina melihat beberapa bintang.

   Dipilihnya bintang yang paling terang.

   Saat ini ia ingin Josh sedang menunggunya di asrama.

   Dan ia ingin tidak pernah, sekali pun, mencium Chris.

   "Dengar,"

   Katanya pada Carla.

   "Tentang apa yang kaulihat tadi."

   Mata Carla melebar.

   "Kau cewek pertama yang berkencan dengan Chris sejak... kau tahu... kecelakaan itu."

   "Bukan begitu,"

   Tina berkeras.

   "Kami tidak pacaran."

   "Aku bisa tertipu,"

   Kata Carla, tertawa.

   "Aku punya pacar,"

   Jawab Tina.

   "Well, aku selalu mengatakan,"

   Carla melanjutkan sambil menyeringai.

   "jika kau tidak bisa bersama orang yang kaucintai, cintailah orang yang bersamamu."

   "Sungguh, Carla,"

   Tina ngotot.

   "Tolong jangan katakan apa-apa kepada Josh. Janji?"

   "Tak jadi soal,"

   Bisik Carla.

   "Kau tahu, college tidak seperti SMA. Steve dan aku berkencan dengan orang lain. Hampir semua orang melakukannya."

   "Kalian kencan dengan orang lain?"

   Tanya Tina.

   "Apakah kau tidak cemburu?"

   "Tidak. Nanti juga kau akan terbiasa."

   Tapi Tina merasa tidak bisa. Ketika ia membayangkan Josh bersama cewek lain, dadanya terasa panas.

   "Jangan katakan apa-apa,"

   Tina mengulangi permintaannya.

   "Jangan khawatir soal itu,"

   Kata Carla sambil berdiri.

   "Bersenang-senanglah, Tina. Ini akhir pekanmu yang hebat di college." *********************************** Tina enggan bicara dalam perjalanan pulang ke asrama. Chris menyetel radio, tapi Tina tidak bisa memusatkan pikirannya pada musik. Kok Holly tega pergi tanpa memberitahu dia? Dan kenapa Josh tidak berada di sini? Kenapa Carla begitu ingin menjodohkan dia dengan Chris? Dan kenapa ia membiarkan dirinya mencium Chris? Semakin ia mencoba memahami semua itu, ia semakin marah. Pada Holly. Pada Carla. Pada Josh. Pada dirinya sendiri. Chris menghentikan jipnya di pinggir jalan. Carla keluar dari belakang bahkan sebelum Tina membuka pintu mobil.

   "Sampai jumpa besok,"

   Kata Carla dan lari masuk ke asrama. Kenapa ia begitu tergesa-gesa? Tina heran. Ia sungguh-sungguh berusaha menjodohkan aku dengan Chris. Tina menoleh kepada Chris.

   "Terima kasih untuk tumpangannya,"

   Katanya.

   "Lebih baik aku ke atas. Aku yakin Josh sudah kembali sekarang."

   "Biar kuantarkan,"

   Chris menawarkan diri.

   "Sendirian juga tidak apa-apa kok,"

   Jawab Tina.

   "Sungguh."

   "Aku hanya sebentar di atas,"

   Chris berkeras.

   "Aku perlu mengambil beberapa barang."

   Jantung Tina berdetak lebih cepat ketika mereka masuk ke asrama dan mulai menaiki tangga menuju kamar Josh. Ia membuka pintu.

   "Josh?"

   Panggilnya dengan cemas.

   Tapi sekali lagi dilihatnya ruangan itu gelap dan kosong.

   Masih belum kembali, pikirnya, sambil menghela napas sedih.

   Ia melihat catatan di ranjang masih di tempat ia meninggalkannya tadi.

   Letak kertas itu tidak berubah.

   Jam digital menunjukkan angka satu-lima belas.

   "Di mana dia?"

   Desaknya.

   "Mungkin mereka mengalami kecelakaan."

   Chris menggeleng.

   "Aku yakin mereka baik-baik saja. Barangkali mereka menyetir mobilnya pelan sekali. Jalanan menyeramkan kalau gelap."

   "Itulah sebabnya aku khawatir,"

   Jawab Tina. Ia mengecek mesin penjawab telepon. Tidak ada pesan. Tina menelan ludah. Ini sama sekali bukan kebiasaan Josh. Ada yang tidak beres.

   "Apa kau ingin ikut aku ke studio?"

   Tanya Chris.

   "Tidak,"

   Jawab Tina cepat.

   "Aku menunggu di sini saja. Coba lihat apakah Josh meninggalkan pesan di sana."

   Chris menatap matanya. Ia ingin mencium aku lagi, pikir Tina. Tetapi Chris ternyata cuma tersenyum.

   "Aku akan meneleponmu kalau ada pesan di studio. Dan aku akan menemuimu besok,"

   Janjinya. Chris melambai cepat, berbalik, dan meninggalkan kamar. Sepuluh menit kemudian telepon berdering. Tina menghambur untuk mengangkatnya.

   "Josh?"

   Teriaknya. Ia ingin sekali mendengar suara Josh.

   "Bukan. Ini aku. Chris."

   Tina membawa telepon ke ranjang dan berbaring telentang.

   "Ada kabar?"

   "Josh meninggalkan pesan untukmu di sini,"

   Kata Chris.

   "Apa yang terjadi? Kenapa ia tidak menelepon ke asrama?"

   "Ia sudah mencoba, tapi mesin itu rusak,"

   Chris menjelaskan.

   "Bengkel baru bisa menyelesaikan mobilnya besok. Jadi mereka harus bermalam di motel yang kotor."

   "Sungguh?"

   Kata Tina melengking, tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya.

   "Kapan mereka kembali?"

   "Mungkin besok siang. Kira-kira empat jam perjalanan,"

   Kata Chris kepadanya. Empat jam. Mereka baru sampai saat makan siang. Tina hampir tidak punya waktu bersama Josh.

   "Tina, kau masih di sana?"

   Tanya Chris.

   "Ya. Terima kasih telah meneleponku,"

   Ujarnya.

   "Sampai jumpa besok."

   Tina menutup telepon.

   Ini pasti menjadi akhir pekan yang terburuk dalam hidupku! pikirnya marah.

   Barangkali harus menunggu berbulan-bulan sebelum aku punya kesempatan bersama Josh lagi.

   Dilemparkannya bantal ke seberang kamar.

   Tina mengganti pakaiannya dengan kaus panjang dan naik ke ranjang Josh.

   Ia mencium bau aftershave Josh di seprai.

   Seumur hidup tak pernah ia merasa begitu rindu pada seseorang seperti ini.

   Jika Holly tidak minggat, paling tidak aku punya teman untuk kuajak bicara.

   Tina memutuskan untuk menunggu sepupunya.

   Ia menarik majalah geologi dari meja di samping tempat tidur Josh dan membalik-balik halamannya, mencari artikel yang menarik.

   Batu-batuan dan mineral! Betapa membosankan.

   Ia menemukan suatu artikel tentang tambang emas dan mulai membaca.

   Tapi baru beberapa detik kata-kata itu mulai mengabur, dan ia mengantuk.

   Sambil menguap, ia berjalan ke seberang kamar dan mematikan lampu.

   Kemudian ia meringkuk di ranjang.

   Cahaya bulan yang pucat keperakan menembus jendela.

   Wajah menakutkan laki-laki di stasiun kereta api itu melintas di benaknya.

   Ia memalingkan wajah dari jendela.

   Pikirkan sesuatu yang lain, perintahnya pada diri sendiri.

   Tapi bentuk-bentuk asing di kamar itu membuat imajinasinya menjadi liar.

   Konyol.

   Aku ada di kamar asrama, aman tenteram.

   Aku akan memikirkan Josh.

   Dan hanya Josh.

   Tentang bagaimana rasanya ketika ia memelukku, Tentang besok ketika aku akan pergi ke pasar malam bersamanya dan naik Ferris Wheel.

   Lamunan yang indah.

   Lamunan yang membuatnya tenang.

   Lamunan yang mengantarkannya tidur...

   Suara apa itu? Tina terkejut dan bangun.

   Jam berapa ini? Berapa lama ia tertidur? Ia tidak ingin bergerak, jadi ia tidak bisa melihat jam.

   Ia masih berbaring, menahan napas.

   Itu dia lagi.

   Bunyi klik yang aneh.

   Ada orang di sini, pikirnya.

   Ada orang di kamar ini.

   Chapter 7 TINA duduk, memicingkan mata menatap kegelapan.

   Rasa dingin merayapi punggungnya.

   "Holly -kaukah itu?"

   Tak ada jawaban.

   "Josh?"

   Aku harus menyalakan lampu, ia memutuskan.

   Tapi bagaimana kalau memang ada orang di kamar ini? Bagaimana kalau mereka membekapku ketika aku berdiri? Tina mendengarkan dengan cermat.

   Ia tidak mendengar apa pun kecuali jantungnya yang berdetak keras.

   Ia turun dari ranjang dan berjalan di atas karpet.

   Dinyalakannya lampu.

   Matanya langsung mengamati kamar.

   Kosong.

   "Wow,"

   Gumam Tina.

   "Aku pasti benar-benar stres. Aku mendengar yang tidak-tidak sekarang."

   Ia terpaku.

   Pintunya terbuka.

   Seseorang memang masuk ke kamarnya tadi.

   Ia melangkah ke koridor.

   Diamatinya dari ujung ke ujung.

   Tak ada orang.

   Keheningan yang mengerikan mencekam asrama.

   Dengan gemetar, Tina masuk ke kamar lagi.

   Ia menutup pintu dan menguncinya.

   Ia menyambar selimut dari atas ranjang, menyampirkannya di sekeliling pundak, lalu ia mondar-mandir dengan gelisah.

   Kok aku bisa membiarkan pintu tidak terkunci, pikir Tina.

   Siapa yang masuk tadi? Jam digital menunjukkan pukul empat.

   Empat! Dan Holly masih tidak ada.

   Di mana dia? Tina memandang malam di luar jendela.

   Awan gelap bergulung-gulung di langit.

   Pasti akan ada badai, pikirnya sambil menutupi tubuhnya dengan selimut.

   Tina membayangkan Josh tidur di kamar motel tua yang kotor.

   Kecoa-kecoa merayap di dinding-dindingnya yang retak.

   Ganjaran yang setimpal, Josh, pikirnya.

   Mengapa kau pergi minggu ini? Tina menghampiri meja Josh.

   Ditariknya kursi lalu duduk.

   Ia melihat surat terakhirnya kepada Josh terletak di atas meja.

   Tina tersenyum.

   Josh menyimpannya.

   Kuharap ia akan selalu menyimpannya.

   Ia memeriksa beberapa kuitansi pembelian CD, setumpuk uang receh, dan tabel mineral.

   Di sampingnya terletak makalah tentang riset formasi batu.

   Ketika mengambil makalah itu, ia melihat batu yang sudah tidak asing lagi.

   Bukankah itu gantungan kunci yang kuberikan padanya Natal yang lalu? Tina terheran-heran.

   Kenapa benda itu ada di sini? Ia mengambil potongan kwarsa berbentuk empat persegi panjang tersebut.

   Kuncinya tergantung di rantainya.

   Bagaimana Josh bisa menyetir mobil tanpa membawa kuhci ini? Ia selalu mengatakan kwarsa ini membawa keberuntungan.

   Ia tak pernah pergi mengumpulkan batu tanpa membawanya.

   "Aku akan menelepon Chris,"

   Bisiknya.

   "Chris tahu jawabannya. Tidak, aku tak boleh menelepon Chris sekarang,"

   Bantahnya.

   "Sekarang masih tengah malam."

   Oh, bagus.

   Sekarang aku malah bicara sendiri, pikirnya.

   Kuasailah dirimu.

   Jangan begitu curiga.

   Lagi pula, Josh tadi kan sudah menelepon.

   Aku akan tidur lagi.

   Ya, itu penyelesaiannya.

   Dan kemudian ketika aku bangun, hari sudah pagi.

   Semua selalu kelihatan lebih baik di pagi hari.

   Paling tidak, itulah yang dikatakan ibuku berkali-kali.

   Ia naik kembali ke ranjang.

   "Apa itu?"

   Serunya keras.

   Ada yang mengetuk jendela.

   Tina memandang kegelapan malam.

   Hujan deras memukulmukul kaca.

   Kilat menyambar-nyambar di langit.

   Guntur menggelegar di udara.

   Tina merapatkan selimut ke dada.

   Aku yakin Holly akan mengatakan badai ini pertanda buruk.

   Tidurlah, Tina, katanya kepada dirinya sendiri.

   Jangan berpikir yang macam-macam.

   Tidurlah.

   Ia terus-menerus mengulangi kata-kata itu sampai matanya menutup.

   ********************************** Ketika ia bangun, sinar matahari menerobos ke dalam kamar.

   Nah, ini baru namanya pertanda.

   Dan pertanda yang bagus, pikirnya.

   Badai sudah berlalu.

   Ia melihat jam sekilas.

   Sepuluh-lima belas.

   Bagaimana aku bisa bangun begini terlambat? Josh akan kembali dua jam lagi! Ia menoleh ke ranjang sebelah, berharap melihat Holly.

   Ranjang itu belum disentuh.

   Pakaian Holly tetap di tempat ia meninggalkannya kemarin.

   Holly pergi semalam suntuk.

   Kau bukan ibunya, Tina mengingatkan dirinya sendiri.

   Holly memang sudah menunggu-nunggu akhir pekan tanpa jam malam ini.

   Well, jika Holly tidak menelepon aku, maka aku yang harus menelepon dia, pikir Tina.

   Ia menghubungi bagian informasi dan menanyakan nomor telepon Alyssa Pryor.

   "Maaf. Nama itu tidak terdaftar,"

   Jawab suara merdu itu. Sekarang bagaimana? Ia memutuskan untuk menelepon studio.

   "Apakah Josh sudah kembali?"

   Tanyanya tanpa basa-basi ketika Chris mengangkat telepon.

   "Ia baru tiba beberapa jam lagi, Tina,"

   Chris mengingatkannya. Tina menghela napas.

   "Kupikir mungkin ia akan meneleponku dari motel pagi ini."

   "Barangkali ia tidak mau membangunkanmu. Kauingin aku datang dan mengantarkanmu dan Holly melihat-lihat kampus?"

   Chris menawarkan diri.

   "Holly bahkan tidak pulang semalam."

   "Barangkali ia terlalu asyik mengobrol dengan cewek kenalannya itu,"

   Chris mengajukan kemungkinan.

   "Barangkali,"

   Jawab Tina, sambil memutar-mutar kabel telepon.

   "Tenanglah."

   Suara Chris yang menenangkan membuatnya merasa lebih baik.

   "Biar kuselesaikan mencuci satu set foto ini, lalu aku akan segera ke sana."

   "O ya, Chris?"

   Kata Tina.

   "Aku menemukan kunci Josh tadi malam."

   "Kau apa?"

   Tanya Chris.

   "Aku tidak bisa mendengar suaramu. Ada truk besar lewat. Oh, timer-ku berbunyi,"

   Katanya.

   "Aku akan segera ke sana."

   Tina menatap gagang telepon dan mendengarkan nadanya.

   Chris bahkan tidak mengucapkan selamat tinggal.

   Ia berganti baju.

   Musik dari kamar sebelah berdentum menembus dinding.

   Tina merasa iri.

   Semua orang bersenang-senang.

   Semua, kecuali aku.

   Ia mengambil sepotong mika hijau.

   Mika ini persis seperti korsase pesta dansaku, pikirnya.

   Ia masih menatap mika itu ketika Chris mengetuk pintu.

   "Kupikir mungkin kau lapar."

   Chris mengulurkan sekantong donat.

   "Semoga kau suka cokelat."

   Ia suka. Malah, memang donat cokelat favoritnya. Tapi ada sesuatu di benaknya yang lebih penting daripada donat.

   "Chris, lihat apa yang kutemukan,"

   Katanya. Diambilnya kunci Josh.

   "Bukankah katamu mereka naik mobil Josh?"

   "Aku yakin ia punya kunci serep,"

   Jawab Chris cepat.

   "Tapi kenapa ia tidak membawa gantungan kunci yang kuberikan padanya?"

   Tanya Tina.

   "Katanya gantungan kunci itu membawa keberuntungan."

   "Mungkin ia tidak ingin benda itu hilang,"

   Jawab Chris.

   "Atau tergores. Mereka kamping di tempat yang sangat berbatu-batu."

   Chris benar, pikir Tina.

   Ia melahap dua donat sambil berjalan ke kampus.

   Matahari menyengat lengan Tina.

   Angin semilir yang sejuk meniup pucuk-pucuk pepohonan.

   Chris berjalan dengan langkah panjang dan lambat, lengannya berayun-ayun di sampingnya.

   Jari-jari mereka bersentuhan.

   Tina memasukkan tangannya ke saku celana.

   Aku harus hati-hati, pikirnya.

   Aku begitu tertarik padanya.

   "Ini tempat perkumpulan mahasiswa,"

   Chris menjelaskan ketika mereka melewati beberapa rumah bergaya Victoria.

   "Apakah kau mencoba jadi anggota salah satu perkumpulan itu?"

   Tanya Tina.

   "Mereka menyebutnya apa? Apakah kau berikrar masuk perkumpulan mahasiswa?"

   "Tidak,"

   Jawab Chris tajam.

   "Aku tidak suka yang begituan."

   "Josh juga,"

   Jawab Tina.

   "Sungguh? Lalu kenapa ia akan berikrar semester depan?"

   Tanya Chris.

   "Josh berikrar?"

   Tanya Tina, terpana. Ia dan Josh selama ini sepakat bahwa perkumpulan mahasiswa dan mahasiswi tak ada gunanya. Apakah Josh sudah begitu berubah? tanya Tina dalam hati.

   "Memangnya kalian jarang bicara akhir-akhir ini?"

   Tanya Chris.

   "Kurasa mungkin ia memang pernah menyebut-nyebut hal itu,"

   Tina bohong.

   "Patterson College,"

   Seru Chris ketika mereka menaiki tangga utama.

   "Rumah regu Mavericks yang kalah melulu. Kemampuan mereka cuma satu touchdown pada setiap pertandingan."

   "Apakah mereka tidak pernah menang?"

   Tanya Tina.

   "Hampir tidak pernah."

   Chris tersenyum.

   "Ayo kita lihat departemen drama."

   Chris menunjuk ke bukit.

   "Kadang-kadang para mahasiswa drama tidur di kamar rias. Mungkin Holly bersama mereka."

   Chris dan Tina mendaki bukit yang landai, menuju bangunan dari bata yang kelihatan mengesankan itu.

   Ketika mereka masuk, Tina ternganga melihat atapnya yang tinggi dan koridor-koridornya yang panjang.

   Poster berbagai drama dan aktor terkenal berderet di dinding.

   Gedung ini sama sekali tidak seperti departemen drama di Shadyside yang kecil, pikir Tina.

   Mereka melongok ke dalam beberapa ruangan.

   "Ada orang di sini? Holly?"

   Panggil Tina. Tak ada jawaban.

   "Ayo ke belakang panggung,"

   Saran Tina.

   Ia menarik Chris ke auditorium yang besar.

   Langkah kaki mereka bergema ketika mereka menyeberangi panggung yang kosong.

   Suatu hari nanti aku akan menjadi model di panggung seperti ini, pikirnya.

   Melenggak-lenggok di pentas mengenakan pakaian yang indah.

   "Apa yang sedang kaupikirkan?"

   Tanya Chris.

   "Modeling,"

   Jawabnya.

   "Kau akan tampil menakjubkan."

   Chris menatap Tina dengan kagum. Pandangan mata Chris membuat Tina gugup sekaligus bahagia.

   "Ayo kita periksa kamar rias,"

   Desak Tina.

   Tina naik ke panggung dan tergesa-gesa melintasinya.

   Ia memeriksa semua kamar rias.

   Tampak kostum-kostum yang mengagumkan di gantungan.

   Gaun-gaun model Victoria yang panjang, mantel tanpa lengan, baju-baju robek, pakaian balet.

   Kemudian ia memeriksa kamar perlengkapan pentas yang penuh sesak.

   Sekolah ini benar-benar punya departemen drama yang bagus, pikirnya.

   Pasti deh Holly akan melanjutkan sekolah di sini pada musim gugur.

   "Holly tak ada di kamar rias,"

   Kata Chris.

   "Dan ia tak ada di sini juga."

   Tina menghela napas. Mereka menuju pintu keluar. Tina mendengar suara mendesir. Dicengkeramnya lengan Chris. Petugas kebersihan gedung muncul membawa sapu. Aku harus menenangkan diri, pikir Tina. Aku begitu tegang.

   "Sekarang ke mana?"

   Tanya Tina.

   "Coba kita ke kafeteria,"

   Saran Chris.

   "Holly toh harus makan -bukankah begitu?"

   Tina tertawa.

   "Kadang-kadang."

   Mereka bergegas berjalan ke sisi lain kampus. Bau kopi pahit tercium dari jendela kafeteria. Tina berlari masuk.

   "Apakah murid-murid drama tadi ke sini?"

   Ia bertanya pada sekelompok gadis di meja panjang. Mereka menggeleng.

   "Pagi ini tidak,"

   Jawab gadis berambut gelap panjang.

   "Tapi kurasa ada pesta semalam suntuk di Fifth Street."

   Tina berpaling pada Chris.

   "Kaupikir mereka pergi ke sana?"

   "Mungkin saja,"

   Jawab Chris.

   "Tapi kalau akhir pekan begini, di mana-mana sih ada pesta!"

   Kalau saja orangtuaku mengizinkan aku datang sendirian, pikir Tina. Nasibku pasti jauh lebih baik. Mereka meninggalkan kafeteria. Tina merosot duduk di rumput.

   "Sekarang bagaimana?"

   Tanya Tina.

   "Kita tak bisa naik mobil mengelilingi seluruh kota ini. Aku tahu aku bukan penjaga Holly. Tapi aku akan merasa lebih baik kalau tahu di mana dia."

   "Kenapa kita tidak mencoba menelepon temannya itu?"

   Saran Chris.

   "Aku sudah mencoba. Namanya tidak terdaftar."

   "Aku bisa mencari nomornya,"

   Kata Chris.

   "Ada buku alamat murid di toko buku."

   Tina menunggu sementara Chris bersusah payah mendaki bukit menuju toko buku. Ia menarik selembar rumput dan memutarmutarnya di antara jari-jarinya. Ia berada di kampus yang indah, tapi tak bisa menikmatinya sesaat pun.

   "Sudah dapat,"

   Kata Chris, membuyarkan lamunannya.

   "Ini koin."

   Mereka menemukan telepon umum.

   Tina memasukkan koin dan menghubungi nomor itu.

   Semangatnya bangkit.

   Alyssa akan menjawab.

   Holly akan minta maaf karena tidak menelepon.

   Tapi setidaknya aku bakal tahu Holly baik-baik saja, pikirnya.

   Kemudian aku akan kembali ke asrama dan menunggu Josh.

   Josh akan tiba sejam lagi.

   Setelah berdering dua kali, mesin penjawab telepon menyala.

   "Ini Alyssa,"

   Terdengar suara yang kecil dan melengking.

   "Aku sedang di panggung dan tak bisa menerima telepon. Tinggalkan namamu dan aku akan -"

   Mesin itu tiba-tiba mati. Tina menjatuhkan gagang telepon. Benda itu berayun-ayun di dekat kakinya. Ada yang tidak beres. Tina tahu pasti sekarang. Suara di mesin penjawab telepon tadi bukan suara Alyssa Pryor! Chapter 8

   "ADA yang tidak beres!"

   Teriak Tina. Terlalu banyak yang tidak beres, pikirnya. Terlalu banyak. Ia tidak ingin mengakuinya, tapi indra keenam Holly benar kali ini.

   "Mesin itu tiba-tiba mati. Aku bahkan tak bisa meninggalkan pesan. Dan tadi bukan suara Alyssa."

   "Kau tahu bagaimana para aktris,"

   Jawab Chris.

   "Mereka selalu bermain-main dengan suara dan logat yang dibuat-buat. Mungkin Alyssa sedang latihan untuk perannya."

   "Mungkin,"

   Jawab Tina.

   "Tapi aku ingin Holly tahu kita sedang mencari-cari dia."

   "Mau telepon ke rumah?"

   Saran Chris.

   "Kau bisa pakai kartu teleponku."

   Ia mengeluarkan dompet dan mencari-cari di antara kartu kreditnya.

   "Wow! pikir Tina. Ia punya kartu kredit lebih banyak daripada ibuku! "Tidak."

   Tina kembali ke tempat yang berumput tadi dan terduduk lesu.

   "Tidak, jika Holly memang pergi dengan cowok-cowok itu, ia bisa-bisa akan diomeli. Dan kemudian aku bakal diomeli juga."

   Chris duduk di sampingnya, bahu Chris hampir menyentuh bahunya.

   "Ini bukan salahmu."

   "Kau tidak kenal orangtua kami sih,"

   Tina menggerutu.

   "Kami disuruh saling mengawasi."

   Sepasang muda-mudi lewat sambil bergandengan tangan dan tertawa-tawa.

   Tina iri pada mereka.

   Akhir pekan ini seharusnya menjadi akhir pekan yang paling indah dalam hidupku, pikirnya.

   Namun sejauh ini malah yang paling buruk.

   Seekor burung biru berkicau di pohon di dekatnya.

   Tina mendengar musik sayup-sayup di kejauhan.

   "Pasar malam telah mulai,"

   Chris menjelaskan.

   "Diadakan di alun-alun utama. Kau ingin ke sana?"

   Tina menyibak rerumputan dengan jarinya.

   "Jam berapa sekarang?"

   Tanyanya. Chris melihat arloji.

   "Dua belas kurang sepuluh."

   "Hampir jam dua belas?"

   Tina melompat berdiri.

   "Kita harus kembali ke asrama. Bukankah katamu Josh akan kembali kira-kira tengah hari?"

   Chris tidak menjawab.

   "Chris,"

   Desak Tina.

   "Ada apa?"

   "Itu Carla, ya?"

   Tanya Chris sambil menyipitkan mata. Carla berlari-lari di rerumputan menghampiri mereka. Di bagian dada kaus putihnya melintang tulisan PATTERSON MAVERICKS. Ia memakai kacamata hitam untuk menahan rambutnya supaya tidak tergerai ke wajah.

   "Akhirnya!"

   Teriak Carla.

   "Kalian berdua ke mana saja?"

   "Ke mana-mana,"

   Jawab Tina.

   "Josh dan Steve menelepon,"

   Carla memberi tahu.

   "Mereka telepon!"

   Detak jantung Tina semakin keras.

   "Mula-mula ia mencoba menghubungi kamarmu,"

   Carla menjelaskan.

   "Tapi kau tidak ada."

   "Well? Di mana mereka?"

   Desak Tina.

   "Mereka masih tertahan di sana. Mobil mereka sudah selesai diperbaiki, tapi kemudian mogok lagi."

   Carla menyelipkan rambut ke belakang telinga. Ia terus-menerus menoleh ke belakang.

   "Jadi aku akan pergi ke sana untuk menjemput mereka."

   Carla berbalik pergi.

   "Tunggu!"

   Tina menangkap lengan Carla.

   "Aku ikut."

   Carla menggigit bibir. Matanya menatap Chris.

   "Tidak,"

   Katanya pada Tina.

   "Kau tidak boleh ikut!"

   Chapter 9

   "KENAPA?"

   Tina memegangi lengan Carla. Ia tidak mengerti kenapa ia tidak boleh ikut. Mengapa sikap Carla aneh sekali? Tina terheran-heran. Ia bahkan tidak mau memandang aku. Josh kan pacarku. Aku ingin ikut dia menjemput Josh.

   "Kau harus mengajak aku,"

   Tina berkeras.

   "Tak ada tempat,"

   Carla menjelaskan.

   "Mobilku hanya punya dua tempat duduk."

   Ia melepaskan cengkeraman Tina.

   "Salah seorang dari cowok itu nanti harus bergelantungan di jendela."

   "Oh."

   Tina menghela napas.

   "Tapi jip Chris kan kosong. Bagaimana kalau kita pakai mobilnya?"

   Tanya Tina penuh harap.

   "Tentu,"

   Jawab Chris sambil menyerahkan kunci mobil.

   "Carla, kau bisa pakai mobilku. Aku akan tinggal di sini, berjaga-jaga kalau Holly kembali."

   Holly! pikir Tina. Aku tak boleh pergi sampai tahu Holly tidak apa-apa.

   "Lebih baik aku juga tidak ikut,"

   Kata Tina kepada Carla dengan enggan.

   "Tapi cepat kembali, ya. Dan katakan kepada Josh aku tidak sabar untuk bertemu dia."

   Carla mengangguk dan buru-buru pergi. Tina meletakkan tangannya di bahu Chris.

   "Sikapnya aneh sekali, ya? Aku merasa ia sebetulnya tidak ingin aku ikut."

   "Mungkin ia akan menemui cowok-cowok lain di perjalanan,"

   Kata Chris.

   "Carla tidak bisa ditebak."

   Menemui cowok lain? Mulut Tina menjadi kering.

   Mungkin Carla ingin berduaan dengan Josh.

   Gadis itu pernah bilang bahwa ia dan Steve berkencan dengan orang lain.

   Selama akhir pekan ini Carla berusaha menjodohkan aku dengan Chris.

   Tiba-tiba Tina menyadari sesuatu.

   Mungkin Carla mendorong aku untuk mendekati Chris karena ia tertarik pada Josh.

   "Chris -apa kaupikir Carla ingin mendekati Josh? Mungkin karena itu ia tidak menginginkan aku ikut?"

   "Steve kan ada di sana?"

   Tanya Chris.

   "Ya. Kukira kecurigaanku tidak beralasan. Tapi sikapnya kepadaku aneh."

   "Kau terlalu khawatir."

   Chris merangkul Tina.

   "Dengar, kau butuh bersenang-senang sedikit. Aku tak ingin akhir pekan ini kacaubalau sepenuhnya. Jadi ini ideku. Temanku punya toko sepeda motor. Ayo kita sewa skuter hari ini. Aku akan mengajakmu berkeliling. Dan aku akan mengambil beberapa fotomu di luar ruangan untuk portofoliomu."

   "Holly bagaimana?"

   Tanya Tina.

   "Kita akan terus menelepon kamar asrama saat jalan-jalan nanti. Mungkin kita bahkan bisa menemukan Holly."

   Setengah jam kemudian Tina duduk di belakang skuter, memeluk pinggang Chris.

   Ketika mereka meluncur di jalan-jalan tua, angin meniup rambutnya.

   Chris menghentikan motor di puncak bukit.

   Tina memandang kota di bawahnya.

   Jalanan berkelok-kelok.

   Pohon-pohon maple besar berderet di pinggirnya.

   Kota itu berakhir di dasar gunung.

   Salju menutupi puncaknya yang paling tinggi.

   Kuharap aku bisa melanjutkan sekolah di sini, pikirnya.

   Kota ini indah sekali.

   "Ini Lookout Point,"

   Chris menjelaskan.

   "Aku ingin mengambil beberapa fotomu di sini."

   Chris mengeluarkan kacamata berbingkai kawat dan memakainya.

   "Aku perlu ini untuk fokus,"

   Katanya malu-malu. Ia kelihatan tampan memakai kacamata, pikir Tina. Chris mengatur kameranya sementara Tina berdiri di puncak bukit.

   "Oke,"

   Kata Chris akhirnya..

   "Lihat ke kota itu. Biarkan rambutmu melambai bebas."

   Dipencetnya tombol kamera.

   "Bersikap yang wajar, Tina."

   Sulit melakukannya, pikirnya. Bagaimana aku bisa bersikap wajar kalau Rob Roberts mungkin akan melihat foto-foto ini? Ia tak tahu bagaimana mengatur posisi tangannya. Atau kakinya harus diapakan.

   "Santai saja,"

   Bujuk Chris.

   "Pikirkan tentang nanti malam. Tentang dansa."

   Tina membayangkan berdansa bersama Josh.

   "Bagus!"

   Seru Chris.

   "Itulah yang kuinginkan."

   Ia memotretnya berkali-kali. Ia begitu cermat mengawasi aku, pikir Tina. Apakah semua fotografer seserius ini? Atau ada sesuatu yang lain terjadi di antara kami? "Oke,"

   Kata Chris sambil menurunkan kamera.

   "Di sini cukup."

   Mereka meluncur ke perpustakaan, sebuah gedung tua besar dari batu dengan jendela-jendela dari kaca warna-warni.

   Chris memotret Tina beberapa kali waktu sedang duduk di anak tangga.

   Dan ketika berjalan di depan tiang-tiang pintu masuk.

   Jadi model untuk fotografer yang andal benar-benar mengasyikkan, pikirnya.

   "Foto-foto ini akan hebat."

   Chris menggenggam tangan Tina dan menggandengnya ke skuter.

   "Kau memang berbakat."

   Jantung Tina berdebar-debar.

   "Kuharap begitu,"

   Katanya.

   "Sejak lahir aku ingin menjadi model."

   Sedetik Chris memandangnya dengan penuh cinta. Tina merasa perutnya mulas. Ia begitu menikmati saat-saat menyenangkan ini sampai melupakan Holly.

   "Kita harus kembali ke asrama. Bagaimana jika Holly ada di sana, mencari aku?"

   "Tidak. Dengar, bagaimana kalau kita pergi ke pasar malam? Tidak aneh kalau Holly tiba-tiba muncul di sana. Ia tahu kau pasti akan ke tempat itu."

   "Oke,"

   Tina setuju.

   Mereka naik skuter lagi dan meluncur membelah kota.

   Di lampu merah Chris melompat turun.

   Sekarang apa lagi yang akan dilakukannya? pikir Tina.

   Chris menyambar kamera dan memotret wajah Tina yang terkejut.

   Ketika lampu berubah hijau, Chris melompat naik lagi.

   Tina melingkarkan lengannya kembali ke pinggang Chris.

   Kuharap foto-foto ini hasilnya bagus, pikir Tina, kalau tidak aku tak ingin orang lain melihatnya.

   Terutama Rob Roberts.

   Ketika mereka sampai di alun-alun utama, Tina mendengar Spring Fling Carnival sedang heboh-hebohnya.

   Jeritan-jeritan gembira terdengar dari wahana piring oleng dan halilintar.

   Aroma asin-manis popcorn dan harum manis menyambut kedatangannya.

   Chris memarkir skuternya di bawah pohon.

   Ia meraih tangan Tina dan membantunya turun.

   Cowok-cowok yang memakai kaus bertulisan berbagai nama perkumpulan mahasiswa di bagian dadanya berseru-seru pada mereka.

   "Satu dolar untuk tiga lemparan! Di sini. Menangkan boneka beruang untuk pacarmu!"

   Tina melihat seorang bocah yang lucu melemparkan anak panah ke balon. Ia memenangkan boneka beruang yang besar sekali. Seharusnya aku di sini bersama Josh, pikirnya. Chris baik sekali. Mau menghabiskan waktunya bersamaku. Tapi ia bukan Josh.

   "Ayo,"

   Kata Chris, sambil menarik tangannya.

   "Aku ingin mencoba lemparan sofbol itu. Akan kumenangkan hadiah untukmu. Bagaimana kalau Barney ungu yang besar itu?"

   "Uh! Tidak, trims,"

   Tina memprotes.

   Chris menyerahkan kameranya pada Tina.

   Penjaga stan memberi Chris tiga bola sofbol untuk dilemparkan ke gelang-gelang.

   Chris memutar-mutar bola pertama, kemudian melemparkannya ke gelang.

   Ia berhasil.

   Sebelum melemparkan bola kedua, ia menoleh dan tersenyum pada Tina.

   Lemparan kedua juga masuk ke gelang.

   Ia mengedipkan mata pada Tina.

   Tina menahan napas ketika Chris melemparkan bola sofbol ketiga.

   Bola itu membentur sisi gelang dan jatuh ke lantai.

   "Oh, well."

   Chris merogoh saku untuk mencari uang receh lagi. Gawat, pikir Tina. Ia sama sekali tidak menginginkan boneka Barney "Tina?"

   Terdengar suara yang dalam memanggilnya.

   "Jack!"

   Serunya.

   "Hai!"

   Jack Hampron lulus dari Shadyside High setahun sebelum Josh.

   "Apa yang kaulakukan di sini?"

   Tanya Jack. Ditatapnya Chris dengan pandangan ingin tahu.

   "Bukankah kau masih pacaran dengan Josh?"

   "Tentu,"

   Jawab Tina.

   "Aku datang untuk menengok Josh akhir pekan ini. Tapi kau kan tahu Josh. Ia pergi untuk melakukan riset geologi dan mobilnya mogok."

   Jack menggeleng-gelengkan kepala.

   "Josh memang begitu."

   "Ini Chris."

   Tina menarik Chris.

   "Teman sekamar Josh. Ia mengajakku melihat-lihat."

   Jack mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Chris. Chris menjabat tangan Jack singkat.

   "Lebih baik kita jalan lagi,"

   Chris menyarankan.

   "Aku ingin memotretmu di komidi putar."

   Chris memainkan tali kameranya. Chris cemburu, pikir Tina.

   "Sebentar dong,"

   Kata Tina.

   "Sudah lama aku tidak bertemu Jack."

   "Keluargamu mengizinkan kau ke sini sendirian?"

   Tanya Jack.

   "Tumben."

   "Tidak,"

   Tina mengakui.

   "Aku ke sini dengan sepupuku Holly. Kau melihatnya di sekitar sini? Kupikir ia bersama Alyssa Pryor."

   "Alyssa Pryor?"

   Jack mengerutkan dahinya.

   "Yang dari Shadyside?"

   Tina mengangguk. Dari sudut matanya ia melihat Chris memainkan kameranya dengan gelisah.

   "Aneh sekali,"

   Komentar Jack.

   "Alyssa tidak kuliah di sini lagi. Ia pindah ke sekolah seni di Seattle."

   Chapter 10

   "TIDAK mungkin!"

   Teriak Tina. Jari-jarinya mencengkeram lengan Chris.

   "Kau yakin? Alyssa Pryor? Yang berambut pirang pendek? Yang ayahnya punya toko pakaian di mal?"

   "Yakin sekali,"

   Jawab Jack.

   "Aku menelepon Alyssa minggu lalu. Kami bahkan mengobrol tentang kau dan Josh. Tentang semua orang dari Shadyside."

   Kepala Tina mulai pusing. Ada yang berbohong. Dan itu pasti Carla.

   "Kalau begitu di mana Holly?"

   Tanya Tina. Ia membayangkan Holly tergeletak di selokan di suatu tempat. Atau diikat di kursi, disiksa pengendara sepeda motor yang mabuk.

   "Mungkin ia bersama Alyssa yang lain,"

   Jack memberi pendapat. Rasanya tidak, pikir Tina. Kalau saja aku tahu apa yang direncanakan Carla. Seorang gadis cantik berambut merah menghampiri mereka dan memeluk Jack.

   "Semua orang menunggumu,"

   Ujarnya. Jack melambaikan tangan ketika gadis itu menariknya pergi.

   "Jangan khawatir!"

   Teriaknya.

   "Kau pasti akan menemukan Holly. Sampaikan salamku padanya."

   "Kita harus mencari Holly,"

   Desak Tina sambil menoleh pada Chris lagi.

   "Mungkin saja ada apa-apa."

   Ia cepat-cepat pergi dari deretan stan pasar malam dan masuk ke kerumunan orang.

   Ia menabrak cowok yang sedang membawa sekotak popcorn.

   Tina berbalik.

   Seorang badut berlari-lari ke arahnya.

   Bibir merahnya yang tebal mengingatkan Tina pada darah.

   Beberapa anak kecil mengikuti badut itu.

   Mereka mengitari Tina, tertawa dan berteriakteriak.

   Tina merasa terperangkap.

   Enyahlah dariku! pikirnya.

   Aku tak bisa berpikir.

   Jangan kerubuti aku.

   Ia menutup telinga dengan kedua tangannya.

   Holly -di mana kau? "Aku harus pergi dari sini!"

   Teriak Tina.

   "Tenanglah,"

   Kata Chris. Ia memegang lengan Tina dan membimbingnya ke bangku.

   "Bagaimana aku bisa tenang?"

   Teriaknya.

   "Sepupuku hilang. Entah di mana dia saat ini. Dan suara aneh di mesin telepon itu terdengar sangat mengerikan. Ada yang benar-benar tidak beres."

   Chris membetulkan ekor kudanya.

   "Katamu Holly ingin pergi sendirian, kan?"

   Chris menatap matanya.

   "Dan ia selalu suka bersenang-senang?"

   "Ya, tapi..."

   Tina berhenti bicara. Aku tahu Chris mencoba mengemukakan alasan yang masuk akal, pikirnya. Dan aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak bingung lagi. Tapi ini lain. Kali ini aku tahu ada yang berbohong.


Satria Gendeng Geger Pesisir Jawa Pengemis Binal Kemelut Kadipaten Bumiraksa Pendekar Rajawali Sakti Bidadari Penakluk

Cari Blog Ini