Putri Raja Yang Dikorbankan 1
Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat Bagian 1
Kolektor E-Book
Aditya Indrajaja Foto Sumber oleh Awie Dermawan Editing oleh D.A.S3 PUTRI RAJA YANG DIKORBANKAN Widi Widayat PENGANTAR PENULIS.
Cerita PUTRI RAJA YANG DI KORBANKAN ini, terjadi pada abad 16.
Pada kala itu Kerajaan Mataram terancam bahaya pemberontakan yang dilakukan oleh Ki Wanabaya di Mangir.
Panembahan Senapati, raja Mataram, amat khawatir kalau-kalau pemberontakan Wanabaya itu meluas dan terjadi peperangan.
Sebab jika terjadi peperangan, disamping menimbulkan banyak korban, juga menyebabkan keringkihan Mataram.
Karena itulah putri Pembayun ditugaskan untuk mencegah meletusnya pemberontakan ini, agar Wanabaya takluk dan menyerah.
Betapa sedih dan betapa derita yang dialami putri raja ini dalam menjalankan tugas.
Sebab, tugas yang penting, harus pandai menarik hati Wanabaya, pandai pula berusaha agar Wanabaya jatuh hati kepadanya.
Dengan itu, teranglah bahwa tugas yang dipikulkan, ia sebagai umpan Bagaimanakah akhir kisah ini? mengherankan! Perlu kami kemukakan, bahwa cerita sejarah ini ditulis berdasar bahan-bahan dari babad dan buku5 sejarah.
Beberapa yang kurang masuk akal dihilangkan atau disoroti dengan pandangan-pandangan baru yang selaras dan Iempang.
Sala, 3 Oktober 1965, Penggubah; Widi Widayat.6 Bab I.
Mengemban tugas.
Terharu hati Panembahan Senapati maupun perdana menteri Mandaraka menyaksikan putri Pembayun menangis sedih.
Dalam hatinya pun sebenarnya tak sampai hati untuk harus mengorbankan putri Pembayun.
Tetapi apa dirasa, tiada jalan lain yang lebih tepat duduk menundukkan Wanabaya yang bermaksud berontak.7
"Ya nini, akupun insyaf bahwa tugas ini kau rasakan amat berat."
Kata Panembahan Senapati setelah menghela napas dalam.
"Ya, karena tugas yang dipikulkan pada pundakmu penuh bahaya. Akupun sebenarnya tak menginginkan peristiwa ini terjadi, Tetapi nini, kalau kau mau memandang lebih jauh dan menyisihkan kecintaanmu terhadap diri sendiri dan memberatkan cinta kasihmu terhadap negara dan rakyat, kau akan merasa bangga dan tugas memikul tugas ini. Dan tentu kau tak akan merasakan ternoda, sebaliknya malah kau bangga pabila tugas itu dapat kau selesaikan dengan baik. Sebab kepergianmu ke Mangir untuk melindungi rakyat dan negara Mataram. Ketahuilah nini, bahwa demi untuk keselamatan rakyat dan negara, sering pula seseorang harus memberikan pengorbanan bukan saja harta benda, tetapi juga jiwa dan raganya sekalipun. Pengorbananmu tak akan sia-sia."
Panembahan Senapati menatap putrinya, tapi putri Pembayun masih menangis sedih. Lalu katanya melanjutkan.
"Nini, aku ingat akan sabda Sunan Kalijaga pada waktu memberi petunjuk kepada Ki Gede Pandanaran yang antara lain bahwa manusia hidup di dunia ini ibarat hidup di dalam alam kematiannya. Apa arti dan maksud sabda Sunan8 Kalijaga ini? Maksudnya manusia hidup ini berlakulah seperti orang mati. Mengekang hawa nafsu dan keserakahan, untuk menghindarkan bahaya yang dapat menimpa. Jadi ini, manusia itu harus pandai menempatkan diri. Ibarat sebuah cermin, akan tampaklah bayangan yang sama dalam cermin itu. Tidak lain bayangan itu adalah manusia sejati. Ini memperingatkan kepada tiap manusia, bahwa hidupnya di dunia ini tidaklah sendirian, apabila perbuatan yang mulia itu diperuntukkan kebahagiaan selama hidupnya."
Dipandangnya sekilas putrinya kemudian katanya lebih lanjut.
"Ya nini, sama pula dengan tugas yang kau pikul untuk menundudukkan Wanabaya. Didalam hidupmu melaksanakan tugas ini, kau harus merasa seperti orang yang telah mati. Segala derita, segala malu, semua kesedihan yang bertubi-tubi memukulmu, anggaplah tak pernah terjadi. Aku percaya apabila kau dapat berlaku seperti orang mati, tujuan dapat kau capai dengan selamat, negara dan rakyat akan terhindar dari malapetaka. Seperti apa yang telah kukatakan tadi bahwa bayangan dalam cermin bukanlah manusia biasa tapi manusia sejati yang tak pernah tergoyahkan oleh godaan-godaan yang memenuhi dunia ini. Kau pergi menunaikan9 tugas suci. Kepentingan sendiri kau korbankan, untuk keselamatan rakyat dan negara. Harus kau sadari anakku, bahwa ada puncak tugasmu nanti kau akan menghadapi persimpangan jalan yang sukar dihindarkan. Antara tugas dan cinta. Tugas untuk menyelamatkan negara, dan cinta yang dibawa oleh kodrat manusia. Semua ini dipikulkan diatat pundakmu, Akupun menginsyafi bahwa tugas yang dipikulkan atas pundakmu bukanlah tugas yang enteng Karena itulah maka kau memikul tugas tidak sendirian. Beberapa tamtama akan berlaku sebagai pelindungmu. Pamanmu Majalaya akan selalu mendampingi dan berlaku sebagai bapakmu. Bibi Adisara juga ikut menjaga dirimu, berlaku sebagai ibumu. Maka pintaku nini. Lakukan tugas ini dengan penuh gembira untuk keselamatan Mataram."
Panembahan Senapati menatap putri Pembayun ( atau Sekar Kedaton ) yang masih menangis sedih itu. Dan Mandaraka yang sejak tadi cuma berdiam diri, sekarang membuka mulut untuk ikut membesarkan hati putri Pembayun .
"Putri, nenek pun amat berat sebenarnya harus melepaskan putri untuk melakukan tugas seberat ini. Tapi putri, jalan yang lebih tepat tak ada lagi. Memang benar Mataram mampu memukul Wanabaya dengan kekerasan,10 tetapi akibatnya akan sangat luas jika terjadi peperangan. Nenek mempercayakan kepada putri memikul tugas ini dengan pertimbangan, bahwa Wanabaya masih muda dan belum kawin. Dengan penyamaranmu, dan menyaksikan kecantikanmu, nenek pencaya bahwa Wanabaya akan jatuh cinta. Sebagai menantu, nenek percaja bahwa Wanabaya akan merasa wajib ikut melindungi kejayaan, Mataram. Maka tetapkan hatimu, putri akan berhasil menunaikan tugas ini dengan gilang-gemilang."
Air mata Pembayun masih terus mengalir.
Mata dan pipinya terata pedas oleh sentuhan sapu tangan.
Kepedihan hatinya, menyebabkan ia tak kuasa meng- ucapkan kata-kata.
Panembahan Senapati dan Mandaraka sama- sama diam.
Tapi pandangannya tak pernah lepas dari putri Pembayun yang menangis sedih dihadapannya.
Setelah agak lama suasana dalam ruangan itu cuma dipenuhi oleh suara isak putri Pembayun, kini terdengar suara kecil terputus-putus .
"Ayah betapa sedih hamba mendengar tugas hamba yang berat itu. Tapi hamba juga sadar bahwa tugas yang hamba pikul demi untuk keselamatan rakyat dan Mataram. Ayah bagaimanapun berat tugas ini akan hamba lakukan Ya ayah, dengan ketabahan11 dan kesadaran hamba insyaf bahwa tugas ini tak dapat dilakukan orang lain. Ayah pangestu paduka hamba harapkan "
Putri Pembayun menatap ayahnya. Dan ia dapat menyaksikan bahwa wajah ayahnya dikuasai oleh keharuan. Putri Pembayun memalingkan mukanya, menatap wajah neneknya, lalu katanya .
"Nenek pangestu paduka hamba harapkan menyertai tugas ini Hamba berbesar hati semoga tugas ini dapat kami lakukan dengan baik "
Perdana Menteri Mandaraka manggut- manggut, jawabnya .
"Putri, semoga Tuhan beserta- mu. Semoga Putri bisa menyelesaikan tugas yang berat ini tanpa rintangan!"
Panembahan Senapati amat terharu.
Hatinya tersayat-sayat, sebagai ayah harus mengorbankan putrinya uutuk menyelesaikan tugas yang berbahaya.
Sebagai pesinden dalam rombongan wayang kulit yang berkeliling ke desa-desa.
Baru sesudah Panembahan Senapati berhasil meredakan hati, terdengarlah memberikan pesan.
"Nini, demikianlah berat tugas yang harus kau lakukan. Ya nini, ayah yakin bahwa kau akan berhasil dalam tugasmu."12
"Ayah, hamba akan melakukan tugas ini dengan kesadaran dan keinsyafan."
Jawab putri Pembayun.
Putri Pembayun meninggalkan ruangan itu dengan langkah lunglai.
Sekalipun benar ia telah menyanggupkan diri untuk melaksanakan tugas itu, tapi perasaan khawatir akan derita dalam perjalanan, tak berhasil diusirnya.
Pada hari itu juga selesailah sudah penyusunan rombongan wayang kulit untuk memulai tugas spionase, dimana sebagai otak penyusupan ini tak lain perdana menteri Mandaraka.
Memang, perdana menteri Mandaraka seorang yang amat cerdik.
Ia mengerti, apabila sampai terjadi peperangan antara Mataram dan Mangir, hal itu amat membahayakan Mataram.
Karena pada waktu itu Mataram belum kuat, dan dalam pada itu Madura, Surabaya, Madiun, Malang, Kediri, Tuban, Cirebon dan Banten tak mau tunduk kepada Mataram.
Kalau terjadi peperangan antara Mataram dan Mangir, dikhawatirkan Bupati-Bupati yang memisahkan diri dengan Mataram akan menggunakan kesempatan untuk ikut serta mengangkat senjata melawan Mataram.
Sudah dibayangkan bahwa Mataram akan mampu menghalau serangan dari segala jurusan ini.13 Oleh sebab itu Mandaraka menentukan jalan Ki Wanabaya harus ditaklukkan secara diam-diam dengan jalan melepaskan umpan, yaitu Putri Pembayun.
Semula Panembahan Senapati memang tidak rela putrinya harus dikorbankan sebagai umpan.
Bagaimana pun pula, adalah putri yang dicinta kasihi.
Panembahan Senapati tidak sanggup untuk melepas- kan putrinya.
Tapi Mandaraka yang amat luas pengalaman dan pandangannya itu kemudian memberikan penjelasan mengenai situasi politik dan hubungan dengan para Bupati yang telah memisahkan diri, niscaya Mataram akan hancur berantakan kalau tidak bijaksana dalam menghadapi pemberontakan Wanabaya.
Itulah sebabnya Mandaraka tak setuju menghadapi Wanabaya dengan kekerasan senjata, tetapi harus dengan jalan lain yang lebih tepat.
Dan setelah Panembahan Senapati mendengar penjelasan yang gemilang dari Mandaraka itu, pada akhirnya insyaf dan menyetujui melepas umpan putrinya untuk memikat hati Wanabaya yang akan memberontak.14 Begitulah, setelah Panembahan Senapati menyetujui siasat untuk Wanabaya, maka putri Pembayun lalu diberi tahu.
Dan karena putri Pembayun tak pernah menyangka dan menerima tugas seberat itu, maka ia menangis sedih.15 Bab II.
Permulaan perjalanan.
Persiapan untuk memulai perjalanan keliling menyamar sebagai rombongan wayang kulit telah dapat diselesakan secara cepat.
Keberangkatan putri Pembayun dan Raden Ayu Adisara diiringi hujan tangis penghuni kraton.
Baik yang mau pergi maupun yang akan ditinggalkan.
Kepergian rombongan wayang kulit ini, keluar dari kraton Mataram pada malam hari.
Maksudnya untuk tidak diketahui rakyat.
Putri Pembayun yang sekarang berganti nama Rara Adiwati, meninggalkan kraton masih menitikkan air mata, dipimpin oleh bibi Raden Ayu Adisara yang sekarang bertindak sebagai isteri Ki dalang dan ibu Rara Adiwati, menggunakan nama Nyai Sandiguna.
Di samping rara Adiwati dan ibunya ini, masih ada seorang wanita lagi, ialah seorang pesinden muda bernama Prekis.
"Anakku, jangan kau menangis sepanjang jalan,"
Kata nyai dalang Sandiguna "Bukankah dengan perbuatanmu ini, orang yang tahu akan menjadi curiga. Kita harus pandai merahasiakan perjalanan ini."16
"Gusti ah adikku yang manis,"
Sambung Prekis.
"Jangan membuang air mata. Aku sanggup menggendongmu jika kau telah lelah dalam perjalanan."
Rara Adiwati tersenyum mendengar kelakar Prekis itu. Nyai dalang Sandiguna menatap rara Adiwati lalu katanya setengah berbisik .
"Anakku, lupakah kau akan pesan gusti panembahan Senapati yang menyatakan Aku percayakan tugas yang berat ini kepadamu, dan aku pencaya bahwa kau akan berhasil menyelesaikan tugas ini. Keselamatan Mataram ditanganmu dan sebaliknya keruntuhan Mataram terletak ditanganmu pula. Lupakah kau akan pesan itu?"
Rara Adiwati tersenyum, jawabnya perlahan .
"Benar bu, tapi terasa juga kesedihan memenuhi dadaku. Aku takut apabila dihadapan umum nanti, tak dapat mengendalikan perasaan."
"Itulah maka kupinta padamu, sembunyikan segala perasaanmu untuk tidak membocorkan penyamaranmu,"
Kata nyai Sandiguna "Dan lagi segala derita dalam perjalanan nanti anggaplah tidak pernah terjadi."17 Rombongan ini berjalan amat lambat.
Putri Pembayun dan Raden Ayu Adisara yang tak pernah melakukan perjalanan jauh menyusuri jalan-jalan desa yang penuh debu dan batu, dan dibakar pula oleh sinar matahari, merupakan siksaan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
Tapi disamping itu juga merasa geli melihat tingkah laku orang-orang desa yang tak dapat menyembunyikan perasaan kagum melihat kecantikan rara Adiwati.
Banyak di antara mereka yang berduyun-duyun mengikuti rombongan itu, dan pandangan mata mereka tak pernah lepas untuk menikmati kemolekan wajah Adiwati dan nyai dalang Sandiguna.
Penduduk di desa-desa jarang menyaksikan wanita-wanita cantik seperti itu, seakan bidadari turun dari sorga.
Sedang Prekis sekalipun kalah cantik dibanding dengan rara Adiwati dan nyai Sandiguna, tapi juga merupakan wanita yang sukar dicari di desa-desa.
Yah, Prekis ini yang bertindak sebagai pesinden sesungguhnya, justru ia adalah pesinden kraton yang memiliki suara emas.
Rombongan pak Sandiguna ini dibutuhkan orang pada pertama kali di desa Paker.
Ketika rombongan ini tiba di rumah orang yang memanggil, hari masih siang.
Para pembantu pak Sandiguna yang18 terdiri dari para Mantri dan Temenggung masih sibuk mengatur wayang, layar dan gamelan.
Tapi orang- orang desa telah berbondong-bondong datang, mereka sama kagum akan kebagusan gamelan, layar dan wayang yang dipertunjukkan.
Tapi bagi para pria, kebanyakan lebih tertarik kepada tiga orang wanita dalam rombongan itu, Tak puas mereka menyusuri wajah-wajah cantik itu berjam-jam.
Dan sebenarnya Adiwati merasa sedih.
"Bu, mengapa orang-orang itu matanya liar,"
Bisik Adiwati kepada nyai Sandiguna.
"Tidakkah ayah dapat melarang orang Itu?"
Nyai Sandiguna tersenyum, lalu jawabnya berbisik .
"Biarkan orang-orang itu menikmati ke- cantikanmu. Bukankah hal itu memang kita harapkan sejak memulai perjalanan ini?"
Adiwati terkejut. Lalu tanya Adiwati.
"Maksud ibu, aku harus menjual kecantikanku?"
"Bukan menjual, anakku,"
Jawab nyai Sandiguna seraya tersenyum.
"Tapi mempamerkan kecantikan- mu itu dihadapan umum. Ketahuilah dengan memijam mulut orang-orang desa ini, kecantikan wajahmu akan segera menjadi buah bibir. Dan yang kita harapkan, Wanabaya cepat mendengar."
Adiwati tersenyum,19 kenyataan itu tak dapat dibantah. Tapi sekalipun demikian, perasaan malu yang memenuhi dada itu tak dapat ditahan. Maka bisiknya.
"Bu, tapi aku malu juga."
Nyai Sandiguna tersenyum. Ia dapat me- maklumi perasaan gadis seperti Adiwati ini. Lalu jawabnya berbisik.
"Anakku, jika kau malu, baiklah. Jangan kau memandang orang-orang itu. Duduklah tenang, sembunyikanlah perasaanmu. Dan malahan, biasakan keadaan-keadaan seperti ini dengan ke- tabahan hatimu."
Untung Adiwati tidak mendengar suara-suara pria desa itu. Mereka itu membicarakan Adiwati, Prekis dan nyai Sandiguna.
"Kalau saja aku dapat menghilang,"
Kata seorang muda di antara mereka itu "Untuk apa?"
Tanya seorang kepadanya.
"Aku mau mencuri anak dalang,"
Jawabnya tegas.
"Lalu akan kuperisterikan dia."
Semua yang mendengar ketawa riuh. Lalu ujar seorang yang lain.
"Tak usah terlalu muluk. Melamun yang tak berarti. Bagiku, asal diperbolehkan me-20 ngecup bibirnya sudah cukup puas, sekalipun aku harus membayar dengan padi sepikul."
"Tak mungkin ia mau,"
Bantah pemuda yang memulai .
"Mengapa tak mau?"
Jawabnya membela."
Berapa upah yang diterima ayahnya menjelang semalam suntuk?"
"Betul! Betul! Aku pun juga mau. Aku pun juga rela membayar padi sepikul asal ia mau memberikan bibirnya."
Dukung salah seorang. Mereka ketawa lebih riuh lagi.
"Ya, aku heran melihat rombongan ini,"
Ujar salah seorang yang lain. Rambutnya telah dikembangi oleh warna putih "Anaknya itu begitu cantik, mengapa diajaknya berkeliling? Tak sayang kepada gadisnya? Aku kira banyak orang-orang kaya mau memperistri- kannya."
"Siapa tau ayahnya terlalu rewel,"
Dijawab yang lain.
"Lamaran orang-orang itu selalu ditolaknya. Menyebabkan ia banyak musuh lalu mereka terpaksa melarikan diri."
"Betul. Aku telah mengira duga bahwa mereka bukan orang desa,"
Sambung yang lain.
Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku berani21 bertaruh, mereka ini tentu orang kota. Mungkin beberapa orang bangsa mau telah jatuh cinta kepada anaknya. Tapi selalu ditolaknya, akibatnya mereka harus melarikan diri."
"Betul. aku mendukung pendapatmu,"
Dukung yang lain.
"Orang desa tak mungkin memiliki kulit demikan kuning dan halus terpelihara."
"Ah, mengapa repot mempertengkarkan desa dan kota?"
Sela seorang yang berkumis "Aku berani bertaruh bahwa kalian semua akan mau juga mengecup bibir ibunya dengan membayar padi sepikul, tak usah gadisnya."
Orang-orang itu ketawa riuh lagi.
Adiwati dapat pula menerka apa yang sedang dibicarakan dan diketawakan orang-orang itu.
Namun ia tak dapat mencegah dan menghalangi.
Sejak masih sore, penonton telah penuh sesak sekalipun pertunjukan wayang belum dimulai.
Sebab- nya, pria-pria dan pemuda-pemuda desa itu terpikat oleh kecantikan tiga wanita dalam rombongan itu.
Kecantikan yang dimiliki itu kuat sekali daya penariknya terhadap orang-orang desa.
Mereka tak pernah tenang, saling berbisik dan ketawa riuh.22 Baru setelah Ki Dalang Sandiguna memulai mempertunjukkan kecakapan dan kemahirannya mendalang, objek penonton itu terbagi menjadi dua.
Mereka yang memperhatikan pemainan wayang dan cerita Ki Dalang, merasa kagum dibuatnya oleh kemahiran Ki Dalang.
Mereka mengakui bahwa belum pernah menyaksikan seorang dalang seperti Sandiguna.
Ceritanya begitu gamblang, sedang suara Ki Dalang pun juga tak canggung memperbedakan suara wanita atau suara pria.
Sebaliknya bagi mereka yang mengagumi wanita-wanita dalam rombongan ini, perhatiannya dipusatkan kepada penabuh gender yang sekalipun umurnya sudah 30 tahun lebih, tapi kecantikan yang dimiliki masih belum pudar.
Setelah menyusuri kecantikan nyai Sandiguna, bergantikan pandangan- nya kepada pesinden Prekis.
Mereka menjadi gandrung akan suara emas yang meluncur dari mulutnya.
Tapi apabila perhatian mereka tertuju kepada Adiwati yang kala itu juga sebagai pesinden, sampai bingunglah mereka akan menilai.
Keseluruhannya menyedapkan, baik parasnya, senyumnya, suara dan lagi umurnya masih amat muda.23 Disebabkan mereka tergila-gila oleh paras ayu ini, kebanyakan mereka segan meninggalkan tempat itu sekalipun pertunjukan telah bubar pada pagi hari.
Cepat sekali rombongan dalang Sandiguna ini termasyur dan memikat hati penduduk desa.
Orang- orang kaya saling berebut untuk dapat mengundang.
Dan akibatnya tiap malam dipanggil orang kalau saja pak Sandiguna sanggup melaksanakan.
Tetapi perjalanannya ini bukanlah untuk mendapatkan duit.
Perjalanannya ini merupakan tugas spionase.
Bekal uang sudeh cukup banyak.
Pergelaran wayang yang dilakukan cuma sekedar untuk memancing-mancing, agar Ki Wanabaya tertarik dan mengundangnya.
Oleh sebab itu, setelah dua hari di desa Paser, rombongan menuju desa Tari, kemudian langsung ke desa Celep, beberapa hari lagi sudah menginjakkan kaki di desa Mayungan, terus ke desa Sandar.
Rombongan ini makin dekat sudah dengan wilayah Mangir.
Dan selama Adiwati berkelana ke desa-desa ini banyak kali terjadi peristiwa yang menggemparkan, Orang-orang yang gandrung kepadanya saling berebut mendekatinya.
Mereka tak segan berkelahi antuk mencari muka dan menarik perhatian Adiwati.
Tetapi semua usaha itu tidaklah mungkin terlaksana.
Setelah putri Pembayun ini menyusuri beberapa desa dan24 telah berminggu-minggu meninggalkan kraton Mataram, rasa canggung dalam merobah cara hidupnya di dalam kraton dan disesuaikan dengan kedudukannya sebagai anak dalang berkeliling makin menghilang.
Tidak seperti apa yang dilakukan pada waktu menempuh perjalanan kelilingnya mula-mula, selalu mengeluh akan beratnya perjalanan dan mengeluh lecetnya kaki terantuk batu, dan mengeluh kulitnya kotor oleh debu.
Dan kalau mula-mula Adiwati merasa sedih tidur di rumah-rumah orang desa tanpa kasur dan banyak nyamuk itu, sekarang ia dapat tidur nyenyak di samping raden ayu Adisara.
Dan dikala senggang pun, putri Pembayun ini dapat beromong-omong dan bercanda dengan gadis-gadis dan wanita-wanita desa.
Tak lagi ia merasa terasing dalam perjalanan keliling itu.
Putri Pembayun sudah tak perduli pada pandangan-pandangan dari mata pemuda dan pria- pria desa, ia tak mengeluh dan merasa ngeri lagi, paras dan kemontokannya itu ditelan bulat-bulat oleh pandangan liar itu.
Dibiarkannya mereka memandang dan menyusuri puas-puas.
Dibiarkannya mereka saling berbisik dan ketawa-ketawa menyeringai.
Asal saja mereka itu tidak kurang ajar, berani menghina dan25 berusaha untuk menyentuh tubuhnya.
Para tamtama Mataram yang selalu melindungi tak akan tinggal diam.
Raden ayu Adisara gembira menyaksikan perubahan-perubahan putri Pembayun.
Dengan itu penyamarannya lebih rapih lagi.
Selain mereka yang bertugas sebagai anggota rombongan dan pelindung rombongan ini, tak seorang pun akan menginsyafi Adiwati sebenarnya putri Panembahan Senapati yang sedang memikul tugas amat berat untuk menyelamat- kan Mataram dari malapetaka.26 Bab III.
Ki Wanabaya.
Ki Wanabaya III yang berkuasa didaerah Mangir dan sungai Progo bagian selatan ini, disebut-sebut sebagai keturunan Brawijaya terakhir raja Majapahit.
Ki Wanabaja III di sebut-sebut memiliki sebuah pusaka ampuh yang dibangga-banggakan berwujud tombak bernama Barukuping.
Di dalam buku babad disebutkan antara lain demikian.
Salah seorang putra prabu Brawijaya Majapahit yang terakhir bernama Wanabaya.
Mula-mula tinggal di Juwana, tapi kemudian ia pergi bertapa ke gunung Merapi sedang tempat tinggalnya di Juwana diserahkan kepada anaknya yang disebut Wanabaya II.
Ketika Wanabaya I ini berkunjung kepada anak nya di Juwana yang punya hajat menyelamati genap 7 bulan kandungan isterinya, ada seorang perawan cantik anak Demang Jigong yang meminjam pisau milik Wanabaya I.
Pemintaan pinjam itu diluluskan dengan pesanan bahwa pisau itu jangan sekali-kali diletakkan dipangkuan.
Dan perawan itu sanggup.
Tapi karena kesibukannya melakukan pekerjaan dalam peralatan itu, perawan ini lupa, pisau tersebut diletakkan dipangkuannya.
Dan tiba-tiba, pisau itu27 lenyap tak berbekas.
Dan kemudian terjadi peristiwa ajaib, perawan tersebut merasa mengantuk dan mimpi berhubungan asmara dengan Wanabaya I.
Peristiwa itu terjadi dalam waktu yang amat cepat.
Sesudah perawan itu sadar, segera memberitahukan hilangnya pisau itu.
Cuma Wanabaya pesan apabila pada kemudian nanti terjadi sesuatu yang tak pernah diharapkan, harap dihadapi dengan penuh ketabahan.
Beberapa bulan kemudian terjadilah peristiwa yang sangat mengejutkan Perawan itu merasa mengandung.
Orang tuanya selalu mendesak agar anaknya mau mengakui siapa ayah bayi yang dikandungnya.
Tapi perawan itu tak dapat menjawab desakan ayahnya, karena apa jawaban yang harus diberikannya? Kemudian perawan itu karena malu lari dan masuk dalam hutan.
Kemudian pada suatu hari, ia merasakan badan amat panas.
Karena tak kuat menahan rasa panas itu kemudian ia terjun ke dalam sebuah jembangan yang penuh air.
Tiada amat lama, ia merasa seperti melahirkan anak.
Tetapi betapa terkejutnya ternyata anak yang dilahirkannya itu bukannya anak, tapi seekor ular.
Akibat rasa takut, ia segera menyingkir dan dari jauh ia menunggu apa yang akan terjadi kemudian.28 Ternyata bahwa ular yang dilahirkan itu cepat sekali menjadi besar.
Jambangan yang penuh air itu kini tak cukup lagi menampungnya.
Maka akhirnya jembangan pecah.
Seakan ular tersebut mengerti siapa ibu yang melahirkannya, maka ia merayap dan mendekati.
Tapi ibu tersebut takut setengah mati dan pingsan karenanya.
Kala ibu itu sadar, ia terkejut dan keheranan justru ular tersebut dapat mengucapkan kata-kata seperti manusia.
Ular itu menghibur ibunya, jangan takut.
Dan lalu ia menanyakan, siapa ayah yang telah menurunkannya Oleh ibunya itu kemudian diceritakan apa yang telah terjadi sebelumnja.
Dan ditunjukkan pula bahwa ayah ular tersebut bernama Wanabaya yang bertapa di gunung Merapi.
Setelah mendapat penjelasan dari ibunya, ular tersebut kemudian pergi.
Akhirnja ular besar tadi dapat menemukan seorang pertapa yang dicari itu.
Wanabaya I menyatakan, bersedia mengakui sebagai anaknya asalkan ular tersebut sanggup untuk melingkari gunung Merapi.
Ular tersebut menyanggupkan diri, dan dilingkarilah gunung Merapi yang besar itu.
Tapi sayang sekali, badannya masih belum cukup dan kurang beberapa sentimeter.
Untuk dapat memenuhinya, maka lidah ular tersebut dijulurkan.29 Pada saat lidah ular tersebut menjulur keluar dengan cepat keris Ki Wanabaya bekerja.
Terpotong- lah lidahnya.
Lalu keajaiban terjadi, lidah ular besar tersebut berubah bentuk menjadi mata tombak, sedang badan ular tersebut menjelma sebagai landeyan (tangkai tombak).
Oleh Wanabaya tombak tarsebut diberi nama Barukuping.
Keterangan dongeng seperti tersebut di atas, di dalam buku-buku sering sekali kita jumpai.
Misalnya dongeng tentang Ajisaka, ia mempunyai anak yang berujud ular bernama Baruklinting.
Ibu ular tersebut seorang perawan desa juga yang kala itu sedang menumbuk padi.
Dikala Aji Saka melihat betis perawan desa yang kuning halus itu berkobarlah asmara Ajisaka dan dengan ilmu "Aji Asmaragama"
Yang diucapkan Ajisaka, maka baik Aji Saka maupun perawan desa tersebut, mengeluarkan kama.
Tapi karena perawan tersebut sedang berdiri, maka kama itu tetes ke tanah dan termakan oleh seekor ayam.
Ayam itu kemudian bertelur dan ketika menetas bukan anak ayam, tetapi ular besar.
Dengan perbandingan dongeng antara Wanabaya dan Ajisaka yang sama bentuk maupun kejadiannya itu dan ular tersebut justru mempunyai30 nama yang sama Baru, penulis sangsi akan kebenaran dongeng tersebut.
*** Disebabkan Wanabaya III memiliki sebuah pusaka bernama Barukuping atas pemberian neneknya maka Wanabaya berhasil menundukkan orang-orang dan pemimpin-pemimpin desa di dekat Mangir.
Makin hari daerah Mangir makin luas.
Wanabaya kemudian lalu membangun sebuah kota dengan benteng yang amat kuat di samping melatih prajurit-prajurit yang bisa diandalkan.
Setelah Wanabaya merasa kuat, maka lalu memproklamirkan diri, memisahkan diri dari kerajaan Mataram, berdiri sendiri.
Mengapa Wanabaya tak mau tunduk lagi kepada Mataram? Sebab Wanabaya beranggapan bahwa ia sebagai keturunan Brawijaya Majapahit, ia merasa berhak menjadi raja.
Dan anggapan rakyat wilajah Mangir dan wilayah yang semula termasuk Mataram yang berhasil ditundukkan itu cuma Wanabaya sajalah yang diakui sebagai raja.
Rakyat itu sangat cinta kepada junjungannya, sangat setia kepada Wanabaya, dan mereka berjanji akan membela kedaulatan Mangir.31 Kesetiaan rakyat ini membesarkan hati Wanabaya.
Parsiapan-persiapan untuk menghadapi penyerbuan Mataram, telah diselenggarakan dan dipimpin sendiri oleh Wanabaya.
Sepak terjang dan tindak tanduk Wanabaya yang suka mendekati rakyatnya inilah sebenarnya yang menyebabkan rakyat itu setia kepadanya.
Sebab kala masih merupakan wilajah Mataram, rakyat itu tidak pernah dapat mengenal junjungannya.
Raja selalu jauh dengan rakyat.
Dan tentang rombongan wayang kulit Ki dalang Sandiguna yang populer dikalangan rakyat desa itu juga telah didengar oleh Wanabaya.
Sepanjang berita yang didengarnya, rombongan wayang kulit itu amat bagus.
Ki dalaag Sandiguna adalah dalang yang amat mahir dalam mempermainkan wayang, dan dalam pada itu juga disebut-sebut orang tentang kecantikan perawan rara Adiwati anak Ki Dalang, yang disanjung orang laksana bidadari yang turun dari sorga.
Oleh tersiarnya berita secara luas tentang keayuan Adiwati itu, Wanabaya tertarik hatinya.
la mengakui, telah banyak kali para punggawa Mangir mendesak agar ia mau kawin.
Tapi apa harus dikata, nyatanya Wanabaya juga telah berusaha untuk bisa menemukan perawan yang sesuai untuk diangkat32 sebagai permaisuri.
Namun usahanya itu masih belum dapat terlaksana.
Sedang kini tersiar luas kabar dari mulut ke mulut tentang kejelitaan Adiwati.
la ingin mengenalnya dari dekat.
Wanabaya berkeinginan, bahwa permaisuri itu tidak harus anak seorang bangsawan.
Karena itu apabila nanti ternyata anak Ki Dalang Sandiguna itu benar-benar cantik laksana bidadari seperti kata orang, ia bermaksud memperistrikan.
Oleh karena itu, kemudian diutuslah beberapa orang punggawa Mangir untuk mengundang Ki Dalang, Berangkatlah kemudian utusan Wanabaya itu mencari rombongan Ki Dalang Sandiguna.
Tak terlalu susah ponggawa Mangir itu mencarinya, justru hampir tiap hidung orang desa tahu dimana Ki Dalang Sandiguna berada.
Barang tentu gembira benar Ki Dalang Sandiguna mendapat undangan Ki Wanabaya.
Bukankah undangan itu merupakan tujuan yang utama? Kalau Ki Dalang Sandiguna gembira atas undangan Itu, sebaliknya putri Pembayun gelisah.
Tak segembira seperti masih belum mendapat undangan Wanabaya.
Kegelisahan yang memenuhi dadanya itu,33 karena telah tiba saatnya nanti berhadapan dengan Wanabaya Dan penyelesaian tugas keseluruhannya dipikulkan atas pundaknya.
Ia merasa bimbang, dapatkah ia menguasai diri dan dapat menyelesaikan tugas itu? Raden ayu Adisara yang bertindak sebagai ibunda, dan yang tak pernah terpisah di manapun ia berada, dapat juga menyelami isi hati putri Pembayun.
Ia justru masih muda, ia justru belum berpengalaman, kebimbangan dan keraguan ini tentu memenuhi dadanya.
Tapi sekalipun demikian katanya berbisik .
Anakku, mengapa kau tampak bimbang dan gelisah setelah hampir tiba waktunya? Bukankah undangan ini berarti berakhirnya sudah berjalanan keliling yang yang amat susah ini ?"
Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Putri Pembayun menatap ibunya seraya menghela napas. Kemudian jawabnya berat.
"Bu, kita memang selalu mengharapkan diundang oleh Wanabaya. Tapi Bu, setelah kita mendapat undangan itu, hati saya menjadi gelisah dan bimbang. Bukankah saya akan sendirian di Mangir nanti kalau saya berhasil memikat hati Wanabaya?"
"Ya, aku pun menyadari hal itu,"
Kata raden ayu Adisara "Menang kau akan sendirian. Tapi sekali pun demikian, janganlah kau menjadi ragu dan bimbang.''34
"Saya pun juga berusaha menenangkan hati,"
Jawab putri Pembayun sedih.
"Tapi Bu, saya masih, muda. Saya belum berpengalaman. Kekhawatiran timbul, kalau aku sampai lupa. Bu, memang benar telah jelas penjelasan ayahanda Panembahan, aku harus berlaku sepertl orang mati dalam menghadapi Wanabaya. Tapi itu adalah tidak mudah dilakukan oleh orang muda, Bu. Justru orang muda belum banyak merasakan garam kehidupan dan pengalaman."
Raden ayu Adisara menghela napas. Ditatapnya putri Pembayun lama-lama. Lalu katanya.
"Yah, aku tak dapat menyalahkan apa yang kau kemukakan. Itu memang amat sukar dilakukan. Tapi anakku, jika kau insyaf dan dapat membedakan antara kepentingan diri sendiri dengan kepentingan negara, aku kira kau dapat melaksanakan tugasmu dengan baik, Ingatlah anakku, bahwa keruntuhan dan kejayaan Mataram dalam hal ini ditanganmu."
"Saya insyaf akan hal itu bu,"
Jawab putri Pembayun.
"Yah, disebabkan tugas itulah saya menjadi bimbang. Dapatkah saya menyelesaikan tanpa rintangan? Dapatkah pada nantinya saya berhasil membujuk Wanabaya?"35
"Itulah yang kau bimbangkan? Tak perlu kau bimbang Akan kutunjukkan siasat yang tepat dalam menghadapinya."
Kata raden ayu Adisara dengan ter- senyum.
Lalu ia berbisik memberi petunjuk kepada putri Pembayun apa yang harus dilakukan nanti.
Putri Pembayun nampak memperhatikan nasihat itu, tetapi wajahnya menampakkan rasa malu dan pipinya kadang merah kadang memucat, la seorang gadis suci yang belum kenal soal asmara, mendapat kuliah ibunya itu sudah barang tentu menerimanya dengan rasa yang agak malu.
Perjalanan menuju Mangir ini amat lambat.
Prekis.
Adiwati dan nyai dalang Sandiguna melangkah kan kaki sambil saling berbisik membicarakan sesuatu.
Orang yang bicara sambil berjalan, tentu tak dapat cepat.
Karena itu Ki Dalang Sandiguna dan utusan Ki Wanabaya yang berjalan di muka terpaksa sering harus bersabar menunggu.36 Bab IV.
Masuk perangkap.
Makin dekat dengan tempat tinggal Ki Wanabaya hati putri Pembayun makin berdebar- debar.
Dan ketika melangkahkan kaki masuk melewati pintu benteng kuat yang dijaga para prajurit bersenjata, kaki putri Pembayun gemetaran.
Sukar untak melangkah, rasanya bumi ini melengket pada telapak kakinya.
Putri Pembayun dipimpin oleh Prekis dan rada ayu Adisara.
Nasihat-nasihat diberikan untuk membesarkan hati putri Pembayun.
Namun tak berhasil, putri Pembayun makin gemetar setelah sekilas melihat Wanabaya duduk di kursi pendapa, sinar matanya tajam memperhatikan.
Kepala putri Pembayun menunduk, berusaha untuk menyembunyi kan wajahnya, dan berusaha pula menenangkan hatinya.
Baru setelah ditempatkan dalam sebuah ruangan, ia merasa agak lega.
Kemudian hari telah malam.
Ki Dalang Sandiguna dan rombongannya telah mengambil tempat duduk masing-masing.
Malam ini Ki Dalang Sandiguna bermain lebih bersungguh-sungguh, apalagi lakon yang dipilih oleh Ki Wanabaya adalah37 Mintaraga.
Lakon wayang Mintaraga ini dipenuhi oleh adegan-adegan cinta kasih yang justru cocok dengan tugas yang dipikul, untuk menarik hati Ki Wanabaya.
Pada adegan Arjuna digoda oleh bidadari- bidadari Wilotama, Warsika.
Surendra, Gagarmayang, Maneka, Warsarini dan Supraba, Ki Dalang Sandiguna sengaja mengutik hati Wanabaya.
Dan apalagi waktu Ki Dalang Sandiguna menceritakan kepergian Arjuna yang sarimbit1 dengan Supraba menuju negeri Imartaka.
Dalam perjalanan ini ki dalang pandai sekali menarik perhatian.
Kata Ki dalang Sandiguna mewakili suara Arjuna .
"Dewi, saya takut untuk melepaskan dewi berjalan dibelakang. Bathara Indera memerintahkan, agar saja menjaga keselamatan dewi di belakang. Dan yang, lebih penting dewi, saya berjalan dibelakang akan dapat menikmati keindahanmu, kecantikanmu dan kerampingan tubuhmu. Saya dapat menikmati sepuas hatiku tanpa harus menoleh seperti kalau saya jalan dimuka."
Si Pedang Kilat -- Gan K L Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH Pendekar Cacad Karya Gu Long